pendahuluan - ris.uksw.edu

18

Upload: others

Post on 03-Oct-2021

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PENDAHULUAN - ris.uksw.edu
Page 2: PENDAHULUAN - ris.uksw.edu

PENDAHULUAN

Minyak bumi atau crude oil merupakan senyawa hidrokarbon yang umumnya

tersusun atas 85% karbon (C) dan 15% hidrogen (H). Selain itu juga terdapat bahan organik

dalam jumlah kecil dan mengandung oksigen (O), sulfur (S) atau nitrogen (N) (Budhiarto,

2008). Minyak bumi yang dapat diolah untuk Bahan Bakar Minyak (BBM) dan Non Bahan

Bakar Minyak (NBBM) atau bahan bahan lainnya. Minyak bumi diperoleh dengan cara

pengeboran yang dilakukan pada lahan tertentu. Salah satu komponen utama dalam

pengeboran adalah lumpur pengeboran. Lumpur pengeboran memiliki fungsi diantaranya

mengangkat dan menahan cutting dari dasar lubang, menahan tekanan formasi, menahan

dinding lubang supaya tidak runtuh, menahan material pemberat saat sirkulasi berhenti,

mengurangi berat rangkaian pengeboran, sebagai pelumas dan pendingin, media logging

listrik, media informasi, dan tenaga penggerak bit (Suhascaryo, 2001 dalam Rismayani,

2014).

Lumpur pengeboran terdiri beberapa komponen campuran yaitu komponen padat,

cair, dan aditif. Ada dua jenis komponen padat yaitu yang bersifat reaktif dan lembam.

Komponen padat yang bersifat reaktif merupakan zat yang dapat mudah bereaksi seperti

bentonit. Komponen padat yang bersifat lembam merupakan zat yang tidak mudah bereaksi

dalam sistem lumpur pengeboran seperti barit. Komponen cair merupakan zat cair yang

jumlahnya lebih banyak dalam komposisi lumpur. Komponen aditif merupakan zat-zat yang

dapat mengontrol sifat-sifat lumpur pengeboran (Rubiandini 2005 dalam Rismayani, 2014).

Lumpur pengeboran dibagi menjadi dua jenis yaitu lumpur yang menggunakan

bahan dasar air (Water Based Mud) dan bahan dasar minyak (Oil Based Mud). Water Based

Mud (WBM) adalah lumpur pengeboran yang fase cairnya berupa air tawar yang berfungs i

sebagai fase kontinyu. Oil Based Mud (OBM) adalah lumpur pengeboran yang dibuat

dengan minyak sebagai fase kontinyu. OBM lebih sering digunakan karena OBM lebih

stabil pada temperatur tinggi, memiliki sifat pelumasan yang baik, cocok untuk pengeboran

terarah, tidak menyebabkan korosi pada peralatan pengeboran, stabil terhadap kontaminas i,

dan dapat digunakan kembali lebih baik daripada WBM (Farid 2011 dalam Rismayani,

2014).

Pertamina merupakan salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang

mengelola minyak bumi di Indonesia, baik BBM maupun NBBM. Salah satu produk NBBM

dari Pertamina adalah Smooth Fluid 05 (SF-05). SF-05 termasuk ke dalam OBM yang

Page 3: PENDAHULUAN - ris.uksw.edu

biasanya digunakan pada kilang Pertamina untuk melumasi mata bor. SF-05 merupakan

fraksi atas dari ekstraksi minyak bumi (Pertamina, 2012).

SF-05 memiliki kadar polisiklik aromatik yang tinggi. Senyawa aromatik

mengandung berbagai senyawa aromatik lainnya seperti polisiklik aromatik hidrokarbon

(PAH) yakni senyawa aromatik yang mengandung lebih dari dua cincin benzena

(Lukitaningsih, Sulistyo and Neogrohati, 2001). Kualitas awal SF-05 memiliki PAH sebesar

10,75%. Kadarnya yang tinggi dapat menyebabkan korosi pada mata bor dan limbahnya

dapat menyebabkan pencemaran lingkungan (bersifat karsinogen). Oleh karena itu

Environmental Protection Agency (EPA) menetapkan 16 jenis PAH yang berbahaya dari

100 jenis PAH yang telah diketahui. Keenambelas senyawa tersebut adalah asenaftena,

benzo(a)antrasena, benzo(a)pirena, benzo(b)fluorantena, benzo(k)fluorantena,

benzo(g,h,i)perilena, krisena, fluorantena, fluorena, indeno(1,2,3-cd)pirena, naftalena,

fenantrena dan pirena (Lukitaningsih, Sulistyo and Neogrohati, 2001). Salah satu metode

untuk menurunkan kadar PAH pada SF-05 yaitu dengan adsorpsi menggunakan clay

(commercial grade). Pada penelitian Lemic et al 2007, penggunaan organozeolit dapat

menghilangkan 98% fluorene, fluoranthene, pyrene, phenanthrene, dan benzo(a)antrasena.

Aktivasi bertujuan untuk melarutkan pengotor-pengotor atau senyawa-senyawa yang dapat

menutupi pori clay sehingga meningkatkan karakteristik adsorpsi clay (Sinta, Suarya and

Santi, 2015). Pada penelitian Amstaetter et al 2012, pernggunaan karbon aktif antrasit dan

batok kelapa dapat mengurangi 95% PAH. Bahan kimia yang sering digunakan sebagai zat

aktivator baik secara maupun basa adalah H3PO4, CaCl2, KOH, H2SO4, Na2CO3, NaCl, K2S,

HCl, dan ZnCl2. H3PO4 merupakan salah satu asam yang tepat untuk meningkatkan ukuran

dan volume pori-pori (Acton, 2012).

Belum banyak penelitian mengenai penurunan kadar aromatik pada SF-05. Oleh

karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah menurunkan kadar polisiklik aromatik

hidrokarbon (PAH) pada Smooth Fluid 05 dengan adsorpsi clay teraktivasi H3PO4 0,25 M

dan 1 M.dalam penelitian ini akan dilakukan penurunan kadar PAH pada SF-05

menggunakan clay teraktivasi H3PO4.

Berdasarkan latar belakang diatas maka tujuan dari penelitian ini adalah menurunkan

kadar polisiklik aromatik hidrokarbon (PAH) pada Smooth Fluid 05 dengan adsorpsi clay

tanpa aktivasi dan teraktivasi H3PO4 0,25 M dan 1 M.

Page 4: PENDAHULUAN - ris.uksw.edu

1. BAHAN DAN METODA

2.1 Bahan dan Piranti

Sampel yang digunakan adalah Smooth Fluid 05 yang diambil dari. RU V

Balikpapan. Bahan yang digunakan diantaranya H3PO4 p.a(E-Merck, Germany),

Isooktana (C8H18) p.a(E-Merck, Germany), H2SO4 p.a(E-Merck, Germany), aseton

(CH3COCH3) p.a(E-Merck, Germany), akuades dan bahan lainnya adalah clay

(Commercial grade).

Alat yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya mortar, cawan porselin,

Spektrofotometer UV-Vis (PerkinElmer), neraca dengan ketelitian 0,0001 g

(OHAUS), neraca dengan ketelitian 0,1 g (OHAUS), labu ukur 10, 25 dan 1000 mL

(Pyrex), pipet volume 1, 2 dan 5 mL (Pyrex), gelas ukur 250 mL (Pyrex), spatula,

corong, gelas beaker 100, 800 dan 1000 mL (Duran), pipet tetes, pengaduk (IKA RW

20 Digital), kertas saring whatman 40, botol sampel, piknometer (Duran), viskometer

(TAMSON), termometer, stopwatch (Casio), rubber bulb, XRD (PANanalytical DY

1074), XRF (PANanalyical), Surface Area Analyzer (ASAP 2400), Oven (LABSC,

Germany), Furnace (KSL-1100X), desikator, vakum.

2.2 Metode Penelitian

2.2.1 Aktivasi Clay menggunakan H3PO4 (Indah, Sari & Wijayanti, 2016; Elysta &

Kurniati, 2014)

Larutan H3PO4 0,25 M diambil sebanyak 400 mL, dimasukkan ke dalam

gelas beaker 800 mL. Kemudian ditambah 40 gram clay dan diaduk dengan

kecepatan 200 rpm selama 1 jam. Setelah proses pengadukan, campuran clay

dan larutan H3PO4 dipisahkan dengan cara disaring menggunakan vakum

dengan kertas saring whatman 40. Clay yang sudah disaring dikumpulkan dalam

cawan kemudian dioven pada suhu 100°C sampai kering. Setelah dioven,

didinginkan terlebih dahulu. Setelah dingin clay dihaluskan menggunakan

mortar, kemudian di kalsinasi secara bertahap seperti pada gambar di bawah ini

:

50°C

100°C 100°C

400°C 400°C

50°C

15 min

60 min

30 min

120 min

Page 5: PENDAHULUAN - ris.uksw.edu

Gambar 1 Grafik proses kalsinasi

Setelah suhu mencapai 400°C, clay dikeluarkan dari oven dan

dimasukkan ke dalam desikator. Langkah tersebut diulangi pada larutan H3PO4

1 M.

2.2.2 Adsorpsi Aromatik Smooth Fluid 05 dengan Clay teraktivasi H3PO4 dan tanpa

aktivasi (Mara dan Kurniawan, 2015)

Smooth Fluid 05 ditimbang sebanyak 200 gram dalam beaker glass 500

mL dan ditambah 40 gram clay ke dalam sampel yang sudah ditimbang. Sampel

yang sudah ditambah clay di aduk selama 1 jam dengan kecepatan 300 rpm.

Setelah 1 jam, sampel di saring menggunakan vakum dengan kertas saring

whatman 40. Sampel yang sudah disaring ditimbang untuk mendapatkan massa

setelah diadsorpsi. Pengujian tersebut diulangi dengan perbandingan sampel dan

clay yang sama tetapi berbeda variasi pada kecepatan pengadukan yaitu 300 rpm

selama 2 jam dan 500 rpm selama 1 dan 2 jam. Langkah adsorpsi aromatik

diulangi pada clay tanpa aktivasi.

2.2.3 Pengujian Smooth Fluid 05

2.2.3.1. Pengujian Densitas (ASTM D-1217)

Penentuan densitas suatu zat cair dengan metode piknometer, dimana

ditimbang lebih dahulu berat piknometer kosong dan piknometer berisi

SF-05 yang telah diadsorp diuji. Selisih dari penimbangan adalah

massa zat cair tersebut pada pengukuran suhu tertentu (15°C dan 20°C)

dan dalam volume konstan, tertera pada piknometer. Perhitungan

densitas dihitung menggunakan rumus dibawah ini :

𝝆 =𝒘𝟏𝟓 −𝒘𝒌𝒐𝒔𝒐𝒏𝒈

𝝆𝒂𝒊𝒓𝟏𝟓 (1)

dengan

ρ = densitas

ρ15 = densitas suhu 15ºC

w15 = massa sampel pada suhu 15ºC

wkosong = massa alat

2.2.3.2. Pengujian Viskositas (ASTM D - 445)

SF-05 yang telah diadsorp dituangkan kedalam Viskometer sampai

batas volume yang ditentukan kemudian Viskometer digantung dengan

penyangga dan dimasukkan kedalam oilbath, didiamkan selama ±30

Page 6: PENDAHULUAN - ris.uksw.edu

menit. Kemudian dilakukan pengujian dengan menggunakan filler dan

dicatat waktu alir sampel. Viskositas dari sampel dihitung dengan

rumus di bawah ini :

𝑲 = 𝒄 × 𝒕

Dengan :

c = konstanta kapiler dalam (cSt/s)

t = waktu alir (s)

𝐾 = Viskositas Kinematik (cSt)

2.2.3.3. Pengujian Aromatik (SMS 2728-08)

SF-05 yang telah diadsorp diencerkan 5000 kali dengan larutan

isooktana pada suhu kamar. Kemudian dimasukkan ke dalam UV-Vis

dan akan terhubung dengan perangkat lunak spektrofotometer, lalu

software akan membaca sampel dan dihasilkan dalam bentuk

spektrum. Spektrum yang terbentuk kemudian ditandai nilai absorbansi

sesuai dengan puncak-puncak yang ditentukan. Untuk mendapatkan

kadar aromatik (%) digunakan persamaan sebagai berikut :

𝐵𝑎𝑠𝑒𝑙𝑖𝑛𝑒 𝐴𝑏𝑠𝑜𝑟𝑏𝑎𝑛𝑐𝑒 = 𝐴2 − [𝐴3 + 0,458 × (𝐴1 − 𝐴3)]

𝐴𝑟𝑜𝑚𝑎𝑡𝑖𝑐, 𝑚𝑔 𝑘𝑔⁄ =𝐴×𝐷

𝑏×𝑎×𝜌× 103

Dengan :

A1 = Absorbansi pada panjang gelombang terendah sebelum

puncak grafik pembacaan (biasanya pada λ 242 nm).

A2 =Absorbansi pada panjang gelombang pada puncak grafik

pembacaan (biasanya pada lambda 268 nm).

A3 =Absorbansi pada panjang gelombang setelah puncak grafik

pembacaan (biasanya pada lambda 290 nm).

A =Baseline absorbance.

D =Faktor pengenceran.

b =Pathlength dari sel kuarsa (s), cm, contoh. 1,00

a =Faktor absorptivitas yang ditetapkan secara empiris, L.g-1.cm-

1, viz 2,34.

ρ =Densitas dari sampel pada suhu ruangan, g/mL.

2.2.3.4. Pengujian X-Ray Fluorescene (ASTM D5381-93; ASTM D7343-07;

ASTM D6247-10)

(2)

(3) (4)

Page 7: PENDAHULUAN - ris.uksw.edu

Sampel ditimbang ±5 gram dan dimasukkan ke dalam wadah cup yang

telah dibuat. Sampel diletakkan pada tempat yang telah disediakan

pada alat XRF. Program “SuperQ Manager” dibuka lalu pilih menu

Measure and Analyse dan klik Open Sample Changer. Tab Add

Measurement dibuka dan dimasukkan identitas sampel dan aplikasi

yang akan digunakan. Kemudian klik Measure.

2.2.4 Pengujian Clay Teraktivasi H3PO4

2.2.4.1. Pengujian X-Ray Fluorescene (ASTM D5381-93; ASTM D7343-07;

ASTM D6247-10)

Sampel dipreparasi dengan memasukkan sampel yang telah halus

kedalam wadah cup alumunium khusus hingga padat dan press wadah

tersebut dengan menggunakan alat presser. Sampel dimasukkan ke

dalam wadah cup yang telah dibuat. Sampel diletakkan pada tempat

yang telah disediakan pada alat XRF. Program “SuperQ Manager”

dibuka lalu pilih menu Measure and Analyse dan klik Open Sample

Changer. Tab Add Measurement diklik dan dimasukkan identitas

sampel dan aplikasi yang akan digunakan, kemudian klik Measure.

2.2.4.2. Pengujian X-Ray Diffraction (ASTM D3906-03; ASTM D5758-01)

Sampel dihaluskan dan dimasukkan kedalam plat sample hingga

permukaan plat dengan sampel sama rata dan datar. Kemudian

dimasukkan pada alat XRD. Pada software disetting dan alat XRD

dibiarkan menganalisa sampel sesuai waktu yang ditentukan (±1 jam).

Data hasil analisa kemudian diolah.

2.2.4.3. Pengujian Surface Area (ASTM D3663-03)

Sampel ditimbang ±0,2 gram dimasukkan sample tube. Kemudian

dipasang pada alat ASAP 2400 untuk dilakukan proses degassing.

2. HASIL DAN PEMBAHASAN

Clay merupakan salah satu jenis material berpori yang memiliki daya adsorpsi yang

tinggi dan memiliki kemampuan dalam mengikat unsur pengotor (Mara and Kurniawan,

2015). Berdasarkan kandungan mineralnya, clay dibedakan menjadi monmotilonit, kaolinit,

haloisit, klorit, dan illit. Clay memiliki sifat yang mudah mengembang, luas permukaan

yang cukup besar dan memiliki kation yang dapat dipertukarkan (Sinta, Suarya and Santi,

Page 8: PENDAHULUAN - ris.uksw.edu

2015). Sifat-sifat tersebut menjadikan clay cocok dimanfaatkan sebagai adsorben. Potensi

clay sebagai adsorben dapat ditingkatkan dengan proses aktivasi. Aktivasi ini dilakukan

untuk menghilangkan pengotor atau senyawa yang dapat menutupi pori clay sehingga

meningkatkan karakteristik dan kemampuan adsorpsi clay. Clay yang digunakan dalam

penelitian ini adalah clay commercial.

Aktivasi Clay dengan H3PO4

Aktivasi clay menggunakan H3PO4 diharapkan menghasilkan clay dengan situs aktif

lebih besar dan keasaman permukaan yang lebih besar. Clay teraktivasi akan memilik i

kemampuan adsorpsi yang lebih tinggi dibandingkan sebelum diaktivasi. Aktivasi dengan

pemanasan (kalsinasi) akan menyebabkan bertambah besarnya ukuran pori dengan bentuk

kristal yang lebih baik, karena suhu tinggi dan dalam waktu yang lama clay cenderung

mengalami rekristalisasi, menghasilkan kristal yang lebih baik dengan pori-pori yang lebih

besar Proses aktivasi merupakan proses yang terpenting karena sangat menentukan kualitas

clay yang dihasilkan dari segi luas area permukan maupun daya adsorpsinya. Luas

permukaan berhubungan erat dengan aktivitas karena reaksi berlangsung di atas

permukaan. Luas permukaan yang besar akan menyebabkan semakin banyak pula molekul-

molekul zat pereaksi teradsorpsi pada permukaan sehingga aktivitas adsorpsinya akan

bertambah besar (Indah, Sari and Wijayanti, 2016).

XRD (X-Ray Diffraction)

Pengujian XRD dilakukan untuk melihat kristalinitas pada clay dan pengaruh

aktivasi menggunakan H3PO4 terhadap kristalinitas clay.

Page 9: PENDAHULUAN - ris.uksw.edu

Gambar 1. Difraktogram Clay sebelum dan sesudah teraktivasi

Dari Gambar 1 terlihat bahwa unsur oksida yang dominan adalah SiO2 dalam bentuk

quartz yakni sebesar 72,5%. Pada Gambar 1 ditunjukkan pada puncak difraksi utama

terletak di sudut 2θ 26,64º dengan intensitas 100%. Puncak quartz (SiO2) lainnya terdeteksi

pada sudut 2θ 20,85º; 59,22º; 50,15º; 59,96º dan 68,15º. Puncak-puncak yang tajam dengan

intensitas yang tinggi memperlihatkan kristalinitas yang baik dari clay (Ruslan, Hardi and

Mirzan, 2017). Jika dibandingkan sebelum dan sesudah teraktivasi, tampak pola hampir

mirip hanya intensitasnya yang berbeda. Puncak difraksi utama mengalami sedikit

pergeseran pada sudut 2θ yaitu hanya bergeser sekitar 1-2º. Perbandingan sudut 2θ pada

clay sebelum dan sesudak\h aktivasi dapat dilihat pada Tabel 1. Hal ini menunjukkan bahwa

proses aktivasi dengan H3PO4 tidak merubah struktur, tetapi hanya meningkatkan

kristalinitas clay. Jika dibandingkan antara pola kristalinitas pada clay teraktivasi H3PO4

0,25 dan 1 M terlihat bahwa intensitas dengan aktivator H3PO4 1 M lebih tinggi daripada

dengan H3PO4 0,25 M.

Tabel 1. Perbandingan Sudut 2θ Antara Clay Tanpa Aktivasi dan Sesudah Aktivasi

Clay Tanpa Aktivasi Clay Aktivasi H3PO4 0,25 M Clay Aktivasi H3PO4 1 M

26,64º 26,62º 26,78º 20,85º 20,81º 20,97°

Page 10: PENDAHULUAN - ris.uksw.edu

39,45° 39,36° 39,60°

42,41° 42,03° 42,59° 45,77°

50,15° 54,86°

59,22° 68,15°

45,74°

50,16° 54,97°

59,89° 68,09°

45,93°

50,27° 55,01°

60,09° 68,31°

XRF (X-ray Fluorence)

XRF digunakan untuk melihat kandungan dalam clay sebelum dan setelah diaktivas i

dengan menggunakan H3PO4.

Tabel 2. Hasil XRF Sebelum dan Sesudah Aktivasi

NO Unsur

Clay Komersil

Non teraktivasi

Teraktivasi H3PO4

0,25 M 1 M

Kadar (%) Kadar (%) Kadar (%)

1 O 44,678 50,076 50,344

2 Si 27,361 31,258 30,871

3 Al 12,889 13,899 12,785

4 Na 1,937 1,319 1,311

5 Ca 1,084 0,873 0,858

6 Mg 0,454 0,287 0,262

7 Ti 0,105 0,118 0,104

8 Mn 0,027 0,023 0,023

9 Cl 0,023 0,022 0,018

10 K 0,849 0,917 0,869

11 P 0,021 0,376 1,724

Terlihat pada Tabel 2 bahwa senyawa yang dominan terdapat dalam clay adalah Si

dan O. Hal ini mendukung hasil analisa XRD pada Gambar 1.

Luas Permukaan, Volume Pori dan Diameter Pori pada Clay

Pengukuran luas permukaan, volume pori, dan diameter pori ditentukan dengan alat

BET (Brunauer-Emmet-Teller) Surface Area Analyzer (SAA). Teori BET didasarkan pada

Page 11: PENDAHULUAN - ris.uksw.edu

proses adsorpsi menggunakan prinsip adsorpsi isoterm (teori Langhmuir). Gas yang

digunakan adalah nitrogen. Gas nitrogen berperan sebagai adsorbat. Ukuran pori-pori clay

ditentukan oleh banyaknya gas nitrogen yang terserap.

Tabel 3. Hasil Surface Area Analyzer Clay Sebelum dan Sesudah Aktivasi

Parameter Tanpa Aktivasi H3PO4

0,25 M 1 M

Luas Permukaan

(m2/g)

12,02 7,73 4,66

Volume Pori

(cc/g)

0,03 0,02 0,01

Diameter Pori

(Å)

87,62 104,74 86,17

Dari Tabel 3 terlihat bahwa luas permukaan dan volume pori sebelum teraktivas i

lebih besar daripada setelah teraktivasi. Namun, diameter pori pada clay yang teraktivas i

H3PO4 0,25 M meningkat cukup besar. Hal ini dikarenakan ukuran diameter volume yang

semakin besar akan menyebabkan jumlah pori semakin sedikit sehingga luas permukaan

semakin kecil.

Kualitas Awal Smooth Fluid 05

Tabel 4. Kualitas Awal Smooth Fluid 05

Parameter Analisa

Aromatik

(%)

Viskositas 40ºC (cSt) Densitas

(g/cm3)

10,75 3,374 0,82

Sumber: PT. Pertamina (Persero)

Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat bahwa kandungan PAH yang ada di dalam SF-05

adalah sebesar 10,75%. Kandungan PAH ini dapat mencemari lingkungan karena bersifat

toksik (Lamichhane, Bal Krishna and Sarukkalige, 2016). Kadar PAH dapat diturunkan

dengan clay treatment.

Tabel 5. Kandungan Polisiklik Aromatik Hidrokarbon pada Smooth Fluid 05

Setelah Clay Treatment

Kecepatan Pengadukan Kandungan PAH (%)

Tanpa Aktivasi

Teraktivasi H3PO4

0,25 M 1 M

300 rpm 1 jam 7,86 14,79 6,12

300 rpm 2 jam 38,71 8,91 8,99

Page 12: PENDAHULUAN - ris.uksw.edu

500 rpm 1 jam 27,69 5,43 5,42

500 rpm 2 jam 32,49 7,48 6,78

Tabel 5 menunjukkan hasil adsorpsi dengan clay treatment dapat menurunkan kadar

PAH dalam SF-05. Penurunan kadar PAH pada SF-05 yang paling optimal pada proses

adsorpsi clay tanpa aktivasi adalah pada kecepatan pengadukan 300 rpm selama 1 jam

dengan kadar 7,86%. Penurunan kadar PAH yang paling optimal pada proses adsorpsi clay

teraktivasi adalah pada kecepatan pengadukan 500 rpm selama 1 jam menggunakan clay

teraktivasi H3PO4 1 M dengan kadar 5,42%. Kadar yang diperoleh pada proses adsorpsi

dengan menggunakan clay teraktivasi lebih kecil daripada dengan clay tanpa aktivasi. Hal

ini diduga karena clay yang belum teraktivasi memiliki aktivitas yang tidak cukup tinggi

dan terlalu banyaknya pengotor yang menutupi luas permukaan clay (Suarya, 2012).

Penggunaan clay teraktivasi memberikan pengaruh yang signifikan terhadap penurunan

kadar PAH pada SF-05. Aktivasi perlakuan asam memiliki kemampuan mendealuminas i

yang lebih baik dibandingkan dengan aktivasi tanpa perlakuan asam (Moharya, 2014). Ion

H+ akan memutuskan ikatan atom Al yang berada pada kerangka clay dan akan menyerang

atom oksigen yang terikat pada atom Si dan Al (Hamdan, 1992). Pemutusan ion Al3+ dapat

menaikkan perbandingan SiO2 dan Al2O3 pada clay sehingga kadar Al3+ dalam clay akan

menurun (terdealuminasi). Namun pada penelitian ini proses dealuminasi tidak berlangsung

dengan baik, karena seperti yang terlihat pada Tabel 2 ion Al3+ tidak berkurangsehingga

tidak semua ion-ion pada clay terjadi pertukaran ion (Vinal & Craig, 1999).

Berikut contoh mekanisme dealuminasi :

Gambar 1. Mekanisme dealuminasi dengan H3PO4

Page 13: PENDAHULUAN - ris.uksw.edu

Pengaruh Kecepatan Pengadukan terhadap Adsorpsi PAH pada SF-05

Gambar 2. Grafik Pengaruh Kecepatan Pengadukan terhadap Kadar PAH pada

SF-05

Gambar 2 menunjukkan bahwa kecepatan pengadukan pada proses adsorpsi baik

dengan clay tanpa aktivasi dan teraktivasi memberikan pengaruh pada penurunan kadar

PAH. Kecepatan pengadukan dapat mempengaruhi proses adsorpsi karena bila pengadukan

terlalu lambat maka proses adsorpsi berlangsung lambat pula, tetapi bila pengadukan terlalu

cepat kemungkinan struktur adsorben cepat rusak, sehingga proses adsorpsi kurang optimal

(Syauqiah, Amalia and Kartini, 2011). Kecepatan pengadukan yang terlalu lambat juga

menyebabkan kapasitas adsorpsi semakin kecil sehingga kadar PAH yang terserap hanya

sedikit. Namun, kecepatan pengadukan yang terlalu cepat dapat mengakibatkan PAH yang

telah teradsorpsi mengalami desorpsi karena PAH yang telah terserap, terlepas kembali

(Motta, et al 2014 dalam Haryanto, dkk 2016). Selain itu, adsorbat yang terlepas kembali

diduga karena ikatan yang kurang stabil antara adsorbat yang telah terserap dengan adsorben

(Hidayah, Deviyani and Wicakso, 2012). Selain itu adsorpsi fisik terjadi terutama karena

adanya gaya Van der Waals yaitu apabila gaya tarik antar molekul zat terlarut dengan

adsorben lebih besar dari pada gaya tarik antara molekul dengan pelarutnya maka zat terlarut

tersebut akan diadsorpsi. Ikatan tersebut sangat lemah, sehingga mudah untuk diputuskan

apabila proses pengadukan terlalu cepat (Indah, Sari and Wijayanti, 2016).

0

10

20

30

40

50

300 500

Kad

ar P

AH

(%

)

Kecepatan Pengadukan (rpm)

tanpa aktivasi (1

jam)

tanpa aktivasi (2

jam)

Page 14: PENDAHULUAN - ris.uksw.edu

Pengaruh Lama Pengadukan terhadap Adsorpsi PAH pada SF-05

Gambar 3. Grafik Pengaruh Lama Pengadukan terhadap Kadar PAH pada SF-05

Gambar 3 menunjukkan bahwa lama waktu pengadukan dapat mempengaruhi

proses adsorpsi karena dalam suatu proses adsorpsi, proses akan terus berlangsung selama

belum terjadi kesetimbangan. Semakin lama waktu pengadukan, memungkinkan proses

difusi dan penempelan molekul zat terlarut yang teradsorpsi berlangsung dengan baik

(Hidayah, Deviyani and Wicakso, 2012). Dari Gambar 3 terlihat waktu optimal pada proses

adsorpsi dengan clay teraktivasi H3PO4 baik dengan konsentrasi 0,25 M maupun 1 M

dengan kecepatan pengadukan 500 rpm adalah 1 jam. Pada waktu 2 jam, kadar PAH pada

SF-05 kembali meningkat. Hal ini dikarenakan banyaknya PAH yang terserap saling berjejal

dalam clay dan luas permukaan adsorben semakin berkurang yang menyebabkan clay tidak

mampu lagi menyerap PAH lagi sehingga PAH yang terserap terdesorpsi lagi ke dalam SF-

05 (Irawan, Dahlan and Retno, 2012).

Gambar 4. Grafik Viskositas pada SF-05

0,00

10,00

20,00

30,00

40,00

50,00

1 2

Kad

ar P

AH

(%

)

Waktu Pengadukan (jam)

300 rpm tanpa

aktivasi

500 rpm tanpa

aktivasi

300 rpm teraktivasi

H3PO4 0,25 M

500 rpm teraktivasi

H3PO4 0,25 M

33,13,23,33,43,53,63,7

300

rpm 1

jam

300

rpm 2

jam

500

rpm 1

jam

500

rpm 2

jam

Vis

kosi

tas

(cSt

)

Variasi Pengadukan

Tanpa Aktivasi

H3PO4 0,25 M

H3PO4 1M

Page 15: PENDAHULUAN - ris.uksw.edu

Gambar 4 menunjukkan bahwa selisih viskositas sangat kecil, baik dengan adsorpsi

clay tanpa aktivasi maupun teraktivasi H3PO4 0,25 M dan 1 M. Pada Tabel 4 viskositas

kualitas awal SF-05 adalah 3,374 cSt. Jika dibandingkan dengan viskositas SF-05 setelah

adsorpsi, selisihnya sangat kecil. Sehingga proses adsorpsi dengan menggunakan clay tanpa

aktivasi dan teraktivasi H3PO4 0,25 dan 1 M tidak memberikan pengaruh yang berarti pada

viskositas SF-05.

Gambar 5. Grafik Densitas pada SF-05

Gambar 5 menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan densitas pada SF-05 setelah

adsorpsi baik dengan clay tanpa aktivasi dan teraktivasi H3PO4 0,25 dan 1 M. Nilai densitas

yang diperoleh setelah aktivasi masih sama seperti kualitas awal pada Tabel 1 yaitu 0,82

g/cm3. Hal ini berarti proses adsorpsi dengan clay tanpa aktivasi dan teraktivasi H3PO4 0,25

M dan 1 M tidak memberikan pengaruh pada densitas SF-05.

3. KESIMPULAN

Clay yang diaktivasi dengan H3PO4 0,25 M dan 1 M dapat menurunkan kadar PAH

pada Smooth Fluid 05, yaitu dari 10,75% menjadi 5,43% (H3PO4 0,25 M) dan 5,42% pada

(H3PO4 1 M) dengan kecepatan pengadukan 500 rpm dan lama waktu pengadukan 1 jam.

4. SARAN

Pada penelitian selanjutnya sebaiknya dilakukan uji lebih lanjut pada clay

sebelum dan setelah teraktivasi.

DAFTAR PUSTAKA

0

0,1

0,2

0,3

0,4

0,5

0,6

0,7

0,8

0,9

300 rpm

1 jam

300 rpm

2 jam

500 rpm

1 jam

500 rpm

2 jam

De

nsi

tas

(g/c

m3

)

Variasi Pengadukan

Tanpa Aktivasi

H3PO4 0,25M

H3PO4 1M

Page 16: PENDAHULUAN - ris.uksw.edu

Acton, QA. 2012. Gases: Advances in Research and Application, 2011. England: Scholarly

Edition. ISBN: 146492063X-9781464920639.

ASTM International (1993) ‘Standard Test Method for Density and Relative Density ( Specific

Gravity ) of Liquids by’, 14(May), pp. 1–5. doi: 10.1520/D1217-12.

ASTM International (2007) ‘Surface Area of Catalysts and Catalyst Carriers 1’, Annual Book

of ASTM Standards, i, pp. 9–13. doi: 10.1520/D3663-03R08.2.

ASTM International (2010a) ‘Elemental Content of Polyolefins by Wavelength Dispersive X-

ray Fluorescence Spectrometry’, Annual Book of ASTM Standards, doi:

10.1520/D6247-10.

ASTM International (2010b) ‘Standard Test Method for Kinematic Viscosity of Transparent

and Opaque Liquids ( and Calculation of Dynamic Viscosity ) 1’, Annual Book of ASTM

Standards, i(C), pp. 1–10. doi: 10.1520/D0445-11A.In.

ASTM International (2012a) ‘Standard Practice for Optimization , Sample Handling ,

Calibration , and Validation of X-ray Fluorescence Spectrometry Methods for

Elemental Analysis of Petroleum Products and Lubricants 1’, Annual Book of ASTM

Standards, i(September 2007), pp. 1–7. doi: 10.1520/D7343-07.This.

ASTM International (2012b) ‘Standard Test Method for Determination of Relative X-ray

Diffraction Intensities of’, Annual Book of ASTM Standards, i(Reapproved 2008), pp.

1–7. doi: 10.1520/D3906-03R08.2.

ASTM International (2015a) ‘Standard Guide for X-Ray Fluorescence (XRF) Spectroscopy of

Pigments and’, Annual Book of ASTM Standards, 93(Reapproved), pp. 1–2. doi:

10.1520/D5381-93R09.2.

ASTM International (2015b) ‘Standard Test Method for Determination of Relative

Crystallinity of Zeolite ZSM-5 by’, Annual Book of ASTM Standards, 1(Reapproved

2011), pp. 6–9. doi: 10.1520/D5758-01R11E01.2.

Budhiarto, A. (2008) ‘Buku Pintar Migas Indonesia’, Engineering, pp. 1–30.

Elystia, S., & Kurniati, R. I. (2014). Menggunakan Tanah Lempung Dengan Metoda,

(September), 69–77.

Farid, R., 2011. “Sistem Pengolahan Limbah Lumpur Pengeboran Minyak Bumi di PT Cevron

Pasific Indonesia Duri” dalam: Rismayani, L. 2014. Optimasi Formula dan Pengujian

Sifat Fisik Oil Based Mud Drilling. Bogor: Kimia, Institut Pertanian Bogor.

Hamdan, H. (1992). Introduction to zeolit esynthesis, characterization and modifications.

Universiti Teknologi Malaysia.

Hidayah, N., Deviyani, E. and Wicakso, D. (2012) ‘Adsorpsi Logam Besi ( Fe ) Sungai Barito

Menggunakan Adsorben Dari Batang Pisang’, Konversi, 1(1), pp. 19–26.

Indah, T., Sari, W., & Wijayanti, H. (2016). Pengaruh Metode Aktivasi Pada Kemampuan

Kaolin Sebagai Adsorben Besi ( Fe ) Air Sumur Garuda, 5(2), 20–25.

Page 17: PENDAHULUAN - ris.uksw.edu

Irawan, C., Dahlan, B. and Retno, N. (2012) ‘Pengaruh Massa Adsorben, Lama Kontak Dan

Aktivasi Adsorben Menggunakan HCl Terhadap Efektivitas Penurunan Logam Berat

(Fe)Dengan Menggunakan Abu Layang Sebagai Adsorben’, Jurnal Teknologi Terpadu,

3(2), pp. 107–117.

Lamichhane, S., Bal Krishna, K. C. and Sarukkalige, R. (2016) ‘Polycyclic aromatic

hydrocarbons (PAHs) removal by sorption: A review’, Chemosphere. Elsevier Ltd, 148,

pp. 336–353. doi: 10.1016/j.chemosphere.2016.01.036.

Lemic, J. et al. (2007) ‘Competitive adsorption of polycyclic aromatic hydrocarbons on

organo-zeolites’, Microporous and Mesoporous Materials, 105(3), pp. 317–323. doi:

10.1016/j.micromeso.2007.04.014.

Lukitaningsih, E., Sulistyo, B. and Neogrohati, S. (2001) ‘Analysis of polycyclic aromatic

hydrocarbons in some meat products’, Majalah Farmasi Indonesia, 12(3), pp. 103–108.

Mara, I. M. and Kurniawan, A. (2015) ‘Analisa Pemurnian Minyak Pelumas Bekas Dengan

Metode Jurusan Teknik Mesin , Fakultas Teknik , Universitas Mataram Jalan Majapahit

No . 62 Mataram – NTB’, Dinamika Teknik Mesin, 5(2), pp. 106–112.

Moharya, N. A. (2014). Aktivasi dan Impregnasi Logam Nikel-Molibdenum Terhadap Sifat

Fisika-Kimia Zeolit Alam. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Motta., et al. 2014. “Study of electrofloation method for threatment of waste water” dalam:

Haryanto, Bode., 2016. Kajian Kemampuan Adsorpsi Batang Jagung (Zea mays.)

Terhadap Ion Logam (Cd2+). Medan: Teknik Kimia, Universitas Sumatera Utara.

Pertamina. (2012). Smooth Fluid 05. Retrieved September 13, 2017, from

http://www.pertamina.com/en/our-business/downstream/marketing-and-

trading/product-and-service/business-solution/petrochemical/chemicals/smooth-fluid-

05/

Rubiandini, R., dkk. 2005. “Oil Based Baru Buatan Dalam Negeri Yang Tidak Bersifat Toksis

Untuk Lumpur Berbahan Dasar Minyak (OBM)” dalam: Rismayani, L. 2014. Optimasi

Formula dan Pengujian Sifat Fisik Oil Based Mud Drilling. Bogor: Kimia, Institut

Pertanian Bogor.

Ruslan, Hardi, J. and Mirzan, M. (2017) ‘Sintesis dan Karakterisasi Katalis Lempung Terpilar

Zirkonia Tersulfatasi sebagai Katalis Perengkah’, in. Yogyakarta: Prosiding Seminar

Nasional Kimia UNY 2017, pp. 183–188.

Shell Method Series (2008) ‘Determination of Aromatic Hydrocarbon Content of Hydrocarbon

Solvents (Ultaviolet Spectrophotometric Method)’, Shell Global Solutions

International B.V, pp. 1–9.

Sinta, I. N., Suarya, P. and Santi, S. R. (2015) ‘Adsorpsi Ion Fosfat oleh Lempung Teraktivas i

Asam Sulfat (H2SO4)’, Jurnal Kimia, 2, pp. 217–225.

Suarya, P. (2012) ‘Karakterisasi Adsorben Komposit Aluminium Oksida pada Lempung

Teraktivasi Asam’, Jurnal Kimia, (7222), pp. 101–109.

Page 18: PENDAHULUAN - ris.uksw.edu

Suhascaryo, N., Rubiandini, R., and Handayani, SR. 2001. “Studi Laboratorium Aditif

Temperatur Tinggi Terhadap Sifat-Sifat Rheologi Lumpur Pemboran Pada Kondisi

Dinamis” dalam: Rismayani, L. 2014. Optimasi Formula dan Pengujian Sifat Fisik Oil

Based Mud Drilling. Bogor: Kimia, Institut Pertanian Bogor.

Syauqiah, I., Amalia, M. and Kartini, H. A. (2011) ‘Analisis Variasi Waktu dan Kecepatan

Pengaduk pada Proses Adsorpsi Limbah Logam Berat dengan Arang Aktif’, Info

Teknik, 12(1), pp. 11–20.

Vinal & Craig. (1999). The Viscosity of Sulfuric Acid Solution Use for Battery Electrolytes.