pendahuluan - talak tagar
DESCRIPTION
hvvTRANSCRIPT
PENDAHULUAN PPH
Kita ketahui bersama bahwa salah satu poin MDGs yang diajukan pada tahun 2000 adalah
untuk mengurangi kematian ibu sebesar 75 % di tahun 2015. Apabila poin ini bisa dicapai,
kematian ibu yang berhubungan dengan postpartum hemorrhage (PPH) secara signifikan
akan berkurang. Untuk mendukungnya, para petugas medis di negera berkembang harus
mendapatkan akses pengobatan yang memadai dan mendapat pelatihan sesuai standar
prosedur yang ada. Karenanya dibutuhkan suatu petunjuk yang menunjukkan manfaat dan
kegunaan dari beberapa intervensi yang ada dan yang bisa dilakukan. Dengan adanya
petunjuk ini diharapkan dapat membantu program yang ada berjalan dengan baik dan sesuai
dengan pengimplementasian berdasarkan studi terbaru (WHO, 2009).
PPH secara umum didefinisikan sebagai kehilangan darah lebih dari atau sama dengan 500
ml selama 24 jam setelah persalinan, dimana PPH berat didefinisikan sebagai kehilangan
darah lebih dari atau sama dengan 1000 ml dalam waktu 24 jam setelah persalinan. PPH
merupakan penyebab utama kematian ibu di seluruh dunia. Kebanyakan kasus yang
berhubungan dengan PPH selama 24 jam pasca persalinan dianggap sebagai PPH primer, dan
apabila PPH masih berkembang sampai 12 minggu setelah persalinan dapat dianggap sebagai
PPH sekunder (WHO, 2009).
PPH dapat disebabkan oleh adanya kegagalan uterus berkontraksi secara adekuat (atonia),
trauma jalan lahir (laserasi serviks atau vaginal), ruptur uteri, plasenta restan, atau kelainan
perdarahan dari ibu. Atonia uteri merupakan penyebab tersering dari PPH ini. Faktor risiko
dari PPH ini mencakup grande multipara dan gestasi multipel. Walaupun pada beberapa
kasus, PPH terjadi pada wanita yang tak memiliki faktor risiko. Karenanya diperlukan suatu
panduan dan tindakan yang benar untuk manajemen aktif kala 3 pada semua wanita yang
melahirkan, disamping kemampuan tim medis yang ada di lapangan. Manajemen aktif yang
dimaksud ini adalah pemberian agen uterotonika segera setela bayi lahir, klem tali pusat
dengan mengobservasi kontraksi uterus selama 3 menit, dan pengeluaran plasenta dengan
peregangan tali pusat terkendali diikuti masase pada uterus (WHO, 2009).
Penanganan efektif dari PPH ini sendiri melibatkan bidang multidisipliner yang lain secara
simultan. Tim medis yang ada harus bisa memberikan resusitasi secara cepat dan tepat,
mengetahui penyebab dari perdarahan yang terjadi, dan segera komunikasi dengan dokter
spesialis obstetrik ginekologi, spesialis anestesi ataupun spesialis radiologi. Terlambatnya
diagnosis dan penanganan dari PPH ini akan mempengaruhi kesempatan ibu untuk bertahan
hidup (WHO, 2009).
TATA LAKSANA PPH “HEMOSTASIS”
1. H : ASK FOR HELP
Pentingnya komunikasi dengan para ahli di bidang lain akan sangat membantu
penanganan pasien dengan PPH. Apabila perdarahan PPH sekitar 500 – 1000 ml tanpa
tanda syok, wajib memberitahu bidan jaga dan perawat untuk berjaga-jaga. Apabila
perdarahan yang terjadi lebih dari 1000 ml dan perdarahan masih berlanjut serta
mengarah ke tanda syok, yang dilakukan adalah sebagai berikut (Croft et al., 2007).
a. Menghubungi bidan yang berpengalaman
b. Menghubungi residen obsgyn tingkat menengah dan konsulen jaga obsgyn
c. Menghubungi residen anestesi tingkat menengah dan konsulen jaga anestesi
d. Menghubungi laboratorium untuk keperluan transfusi darah
e. Meminta bantuan untuk mengecek jumlah cairan yang masuk, obat apa saja yang
masuk, mengecek tanda vital.
Yang perlu diketahui adalah untuk para residen jangan malu untuk meminta bantuan dan
konsultasi dengan konsulen jaga mengingat pasien dengan PPH ini memerlukan
penanganan dan pengambilan keputusan yang cepat dan tepat.
2. A : ASSESS VITAL PARAMETERS, BLOOD LOSS AND RESUSCITATE
Menilai kehilangan darah bisa dilakukan dari berbagai komponen yaitu sebagai berikut
(Glover, 2003).
a. Jumlah darah yang hilang
Menurut ICD-10-AM, PPH adalah kehilangan darah minimal 500 cc secara per
vaginam atau minimal 750 cc secara per abdominam.
b. Perubahan hematokrit
Dikatakan PPH apabila terjadi perubahan hematokrit minimal 10 % antara sebelum
persalinan dan setelah persalinan dan membutuhkan transfusi
c. Kecepatan hilangnya darah
Klasifikasi ini dibagi menjadi dua yaitu :
1) Perdarahan hebat : kehilangan darah > 150 cc/menit (dalam waktu 20 menit,
kehilangan darah lebih dari 50 %)
2) Perdarahan mendadak : kehilangan darah > 1500-2000 cc (disebabkan atonia
uteri, kehilangan darah sejumlah 25-35 %).
d. Defisit volume darah
Tabel . Klasifikasi Perdarahan dan Derajat Syok (Sumber : Glover, 2003)
Menggunakan klasifikasi Benedetti untuk menilai derajat PPH, dan dibagi menjadi 4
kelas yaitu :
1) Kelas 1
Wanita hamil 60 kg memiliki darah 6 liter pada umur kehamilan 30 minggu
kehilangan darah kurang dari 900 ml jarang menimbulkan keluhan dan tidak
membutuhkan penanganan khusus.
2) Kelas 2
Kehilangan darah sekitar 1200-1500 ml akan menimbulkan gejala klinis seperti
peningkatan nadi dan respirasi. Diketahui terdapat perubahan tekanan darah,
namun belum sampai menyebabkan akral dingin.
3) Kelas 3
Pada keadaan ini pasien mengalami hipotensi, takipnea, takikardi (120-160
kali/menit), dan akral dingin disebabkan adanya kehilangan darah sebanyak
1800-2100 ml.
4) Kelas 4
Umumnya sering disebut dengan perdarahan masif. Bila kehilangan darah lebih
dari 2400 ml, kemungkinan syok bisa terjadi dan menyebabkan sulitnya
pemeriksaan nadi dan tekanan darah.
Tabel . Sistem Siaga Obstetrik (Sumber : Glover, 2003)
RESUSITASI
Resusitasi ini menjadi penting apabila diketahui ada kemungkinan terjadinya syok yang
menyebabkan terganggunya perfusi oksigen ke jaringan di seluruh tubuh. Prinsip yang
perlu diketahui adalah dengan resusitasi ini, hemostasis tercapai dan stabilisasi sirkulasi
volume darah dan urin output (0,5 cc/kgBB/jam) (Chestnut, 2004).
Langkah awal yang perlu dilakukan adalah mendapatkan akses vena untuk resusitasi
sebelum vena kolaps saat syok sudah terjadi, dengan menggunakan kanul ukuran 14 atau
16. Setelah akses vena didapat, hal ini menjadi penting sebagai jalur terapi cepat bagi
pasien apabila terjadi kondisi emergensi. Hal kedua yang penting adalah dengan
mengirimkan sampel darah cito ke laboratorium untuk menilai darah lengkap, PT, dan
APTT. Analisa gas darah menjadi penting untuk menentukan level asidosis. Sebenarnya
tidak semua pasien membutuhkan darah mengingat banyaknya risiko transfusi yang
terjadi, sehingga apabila terjadi syok, solusinya adalah dengan memberikan kristaloid
ataupun koloid. Transfusi darah baru dilakukan apabila setelah pemberian 2 liter
kristaloid dan 1 liter koloid tidak memberikan perubahan yang bermakna pada pasien
yang masih mengalami perdarahan aktif. American Society of Anesthesiologists
mengisyaratkan transfusi baru dilakukan apabila nilai hemoglobin di bawah 7 mg/dl
(Cowen, 2006).
Perlu diketahui resusitasi cairan dilakukan apabila mekanisme kompensasi tubuh untuk
mempertahankan tekanan darah gagal. Perlunya resusitasi cairan ini untuk menjaga
perfusi jaringan di seluruh organ dalam batas normal. Pemberian cairan kristaloid atau
koloid sejumlah 250-500 ml dalam 10-20 menit sering digunakan sebagai acuan
resusitasi (untuk derajat syok yang lebih dalam, bisa diberikan sampai 2-3 liter) (Cowen,
2006).
Penggunaan jenis cairan untuk penanganan perdarahan masih menjadi perdebatan. Baik
kristaloid maupun koloid memiliki keuntungan dan kerugian masing-masing. Selain itu,
stabilisasi konsentrasi hemoglobin itu penting untuk menjaga kapasitas pengangkutan
oksigen ke seluruh jaringan. Apabila hemoglobin mencapai angka 7-8 mg/dl, sudah
menjadi dasar untuk dilakukannya transfusi, kecuali untuk pasien dengan penyakit
jantung iskemik, batas minimal untuk dilakukannya transfusi adalah 9 mg/dl. Semuanya
ini dilakukan untuk mencapai target hemoglobin sebesar 10 mg/dl pada pasien yang
masih mengalami perdarahan aktif (Cowen, 2006).
Secara umum, untuk pasien dengan PPH sejumlah 500 – 1000 ml tanpa tanda syok,
penanganannya adalah sebagai berikut (Rossaint et al, 2010).
a. Pemasangan akses vena dengan kanul no.14 1 jalur
b. Pemberian infus kristaloid
c. Pemasangan kateter urin
Sedangkan untuk PPH lebih dari 1000 ml dengan perdarahan aktif dan atau disertai tanda
syok, penanganannya adalah (Rossaint et al, 2010).
a. Nilai airway, breathing, circulation (ABC)
b. Oksigenasi 10-15 lpm
c. Pemasangan akses vena 2 jalur
d. Segera lakukan transfusi darah sesuai indikasi
e. Apabila darah belum siap, bisa diberikan cairan kristaloid 2 liter dan atau cairan
koloid 1-2 liter secepatnya,
Target yang ingin dicapai setelah melakukan resusitasi pada pasien PPH adalah sebagai
berikut (Rossaint et al, 2010).
a. Hb > 8 gr/dl
b. Leukosit > 75 x 109/l
c. PT < 1,5 x nilai normal
d. APTT < 1,5 x nilai normal
e. Fibrinogen > 1,5 – 2,0 gr/l
Tabel . Petunjuk Penanganan Perdarahan Masif Akut (Sumber : Rossaint et al, 2010)
Tabel . Jenis Cairan untuk Resusitasi (Sumber : Rossaint et al, 2010)
Prognosis akan menjadi buruk bila cardiac arrest terjadi pada pasien PPH yang
disebabkan oleh hipoksemua dan asidosis. Cardiac arrest ini akan menyebabkan
penurunan kesadaran, hilangnya denyut nadi dan respirasi, karenanya diperlukan
penanganan secara basic life support dan advanced life support (Cowen, 2006).
Gambar . Alur Penanganan BLS dan ALS (Sumber : Rossaint et al, 2010)
3. E : ESTABLISH ETIOLOGY, ENSURE AVAILABILITY OF BLOODS, ECBOLICS
(SYNTOMETRINE, ERGOMETRINE, BOLUS OXYTOCIN)
Mencari kemungkinan penyebab-penyebab terjadinya PPH (Anderson et al., 2000).
a. Tonus (penyebab sekitar 70 %)
1) Overdistensi uterus : multiparitas, polihidramnion, makrosomia, hidrosefalus
2) Pemberian relaksan : nifedipin, indometasin, MgSO4
3) Persalinan lama atau terlalu cepat
4) Pemakaian oksitosin untuk menginduksi persalinan
5) Chorioamnionitis : demam, KPD lama
6) Abnormalitas Uterus : Fibroid uterus, plasenta previa
b. Tissue (penyebab sekitar 10 %)
1) Uterus sukar untuk berkontraksi : plasenta restan, multiple fibroid
2) Abnormalitas plasenta : plasenta accreta,
3) Riwayat operasi di uterus sebelumnya : myomektomi, operasi sectio caesarean
klasik
4) Persalinan kala 3 memanjang
5) Tarikan tali pusat yang berlebihan
c. Trauma (penyebab sekitar 20 %)
1) Trauma di vulvovaginal : Episiotomy, partus precipitatus,
2) Makrosomia
3) Robekan di luka operasi SC : malposisi, manipulasi versi luar
4) Ruptur uteri : riwayat operasi di uterus
5) Inversi uteri : multiparitas, tarikan tali pusat berlebihan, fundal placenta,
d. Thrombin (penyebab sekitar 1 %)
1) Didapat selama kehamilan : trombositopenia dari sindrom HELLP, DIC
(eklampsia, IUFD, solutio plasenta, emboli air ketuban), sepsis
2) Herediter : Von Willebrand’s, hemofilia
3) Terapi antikoagulan : pemakaian aspirin/heparin, riwayat deep vein thrombosis /
pulmonary embolism
Cara menggunakan agen uterotonik (Kelly dan Tan, 2001) :
a. Dalam waktu 1 menit setelah bayi lahir, palpasi abdomen untuk mencari
kemungkinan adanya janin lain dan berikan oksitosin 10 IU secara i.m. Oksitosin
lebih dipilih karena efektif dalam waktu 2-3 menit setelah pemberian dan memiliki
efek samping yang minimal
b. Apabila oksitosin tidak ada, bisa diberikan ergometrin 0,2 mg secara i.m.,
syntometrine 1 ampul secara i.m., atau misoprostol 400-600 µgr secara oral.
Pemberian misoprostol dilakukan apabila kondisi penyimpanan agen tersebut tidak
memenuhi.
c. Agen uterotonik membutuhkan syarat penyimpanan :
1) Ergometrin : 2-8 0C dan terlindung dari cahaya dan membeku
2) Misoprostol : tersimpan dalam suhu ruangan dan tempat tertutup
3) Oksitosin : 15-30 0C dan terlindung dari membeku.
d. Beritahu pasien tentang efek samping yang terjadi setelah pemberian agen
uterotonika.
Syntometrine
Syntometrine adalah campuran oksitosin 5 IU dan 500 µgr ergometrin maleat.
Ergometrin sendiri adalah agen ergot alkaloid yang dapat menstimulasi kontraksi uterus
dan otot polos vaskular. Pemberian ergometrin dapat meningkatkan amplitudo dan
frekuensi dari kontraksi uterus dan mengurangi aliran darah uterus. Efek vasokontriksi
dari ergometrin inilah yang dapat menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan darah.
Efek ini terjadi melalui stimulasi reseptor adrenergik alfa dan serotonin serta
penghambatan endothelial relaxation factor release. Pemberian secara intravena dapat
menimbulkan kontraksi dalam waktu 1 menit selama 45 menit. Sedangkan dengan
pemberian secara intramuskular, kontraksi timbul dalam waktu 2-3 menit selama 3 jam.
4. M : MASSAGE UTERUS
Cara melakukan masase uterus adalah sebagai berikut (Lalonde et al., 2006).
a. Segera masase fundus uteri sampai uterus berkontraksi
b. Palpasi uterus yang berkontraksi setiap 15 menit dan ulangi masase selama 2 jam
pertama
c. Pastikan uterus tidak mengalami relaksasi setelah masase dihentikan
Gambar . Masase Uterus
5. O : OXYTOCIN INFUSION/PROSTAGLANDINS
a. Oksitosin
Diketahui sejak lama oksitosin dapat meningkatkan kontraksi uterus dengan
mengaktifkan reseptor oksitosin di myometrium. Reseptor oksitosin ini berikatan
dengan fosfolipase C melalui protein G9q. Adanya aktivasi ini memicu pelepasan
kalsium dari penyimpanan intraseluler dan menyebabkan kontraksi (Breathnach,
2006).
Pemberian infus oksitosin dosis rendah dapat menimbulkan kontraksi ritmis uterus
secara frekuensi dan durasi. Cara kerjanya cepat dimana akan menimbulkan efek
kurang dari 1 menit setelah pemberian melalui bolus intravena sebanyak 10 IU dan
sekitar 2-4 menit setelah pemberian melalui intramuskular. Pemberian oksitosin
melalui infus (40 IU dalam 500 ml NaCl 0,9 %) dapat menimbulkan kontraksi secara
gradual dan mencapai kondisi yang relatif stabil dalam waktu 20-30 menit (Geary,
2006).
b. Prostaglandin
Prostaglandin bekerja mematangkan serviks dengan mengubah substansi
ekstraseluler yaitu dengan meningkatkan aktivitas kolagenase, elastase,
glikoaminoglikan, asam hyaluronat di dalam serviks. Hal ini lah yang menyebabkan
terjadinya relaksasi otot polos dari serviks dan meningkatkan konsentrasi kalsium
intraseluler yang menyebabkan kontraksi myometrium (Alfirevic et al., 2007).
Biasanya diberikan secara intramuskular sebanyak 0,25 mg dan diulangi tiap 15
menit sampai tercapai dosis maksimal 2 mg. Pemberian per rectal dengan
misoprostol (800 – 1000 µgr) juga bisa diberikan sebagai alternatif mengingat
harganya yang murah dan syarat penyimpanannya mudah (Gulmezoglu, 2007).
6. S : SHIFT TO OPERATING THEATRE – WITH BIMANUAL UTERINE / AORTIC
COMPRESSION OR ANTI-SHOCK GARMENT DURING TRANSFER
Pasien harus segera dibawa ke ruang operasi apabila tidak ada perubahan yang berarti
setelah melakukan tindakan “HAEMO” dengan melakukan kompresi bimanual uteri atau
kompresi aorta atau menggunakan Anti-Shock Garment selama pengiriman ke ruang
operasi untuk mengurangi perdarahan yang terjadi (Miller dan Hensleigh, 2006).
Kompresi Bimanual Uteri
Tehnik ini cukup membantu untuk mengontrol perdarahan yang masih terjadi akibat
kurangnya respons terhadap agen oksitosik. Tehnik ini menggunakan kedua tangan
dimana satu tangan mengkompresi bagian posterior uterus di luar (di abdomen) dan
tangan satunya mengkompresi bagian anterior uterus melalui jalan lahir (vagina)
(Roman, 2007).
Gambar . Kompresi Bimanual (Sumber : Cunningham et al., 2005)
Anti-Shock Garment (ASG)
Teknologi terbaru menunjukkan bahwa dengan penggunaan ASG dapat membantu
menurunkan angka mortalitas dan morbiditas yang berhubungan dengan perdarahan
obstetrik (Miller dan Hensleigh, 2006).
ASG adalah suatu alat yang dapat mengurangi perdarahan akibat obstetrik dengan
memberikan penekanan pada tubuh bagian bawah. Penggunaan alat ini dapat menjaga
paien tetap hidup selama dikirim dari pusat kesehatan dengan fasilitas minimal ke pusat
kesehatan utama. Dengan harga yang tidak mahal (USD 160), bobot yang ringan dan
bisa dipakai berkali-kali (paling tidak 50 kali), menjadi nilai tambah dari alat ini. Alat ini
awalnaya dikembangkan oleh NASA kemudian dimodifikasi Zoek dan disetujui FDA
pada tahun 1991. Penggunaan ASG ini hanya membutuhkan waktu 2 menit dan setelah
pemakaian selama 2 -5 menit, kebanyakan pasien dengan tanda syok akan sadar kembali
dan tanda vitalnya membaik. Penghambatan perdarahan dan perbaikan tanda vital
dengan alat ini cukup membantu tim medis mengurangi rasa panik dan dapat berpikir
untuk melakukan tindakan selanjutnya (Miller dan Hensleigh, 2006).
ASG direkomendasikan untuk dipasang apabila memenuhi kriteria syok hipovolemik
kelas 2 : perdarahan > 750 ml, nadi > 100 kali/menit, dengan tekanan darah
normal/menurun. Pemasangan ASG ini bisa dipertahankan selama 18-24 jam sampai
darah siap untuk ditransfusikan. ASG boleh dilepas apabila darah untuk ditransfusikan
tersedia dan mencapai target : Hb > 7, Ht > 20 %, nadi < 100 kali/menit, dan tekanan
sistolik > 100 mmHg (Miller dan Hensleigh, 2006).
Gambar . Anti-Shock Garment (Sumber : Miller dan Hensleigh, 2006)
7. T : TAMPONADE BALLOON / UTERINE PACKING
8. A : APPLY COMPRESSION SUTURE – B-LYNCH
9. S : SYSTEMATIC PELVIC DEVASCULARIZATION
10. I : INTERVENTIONAL RADIOLOGIST
11. S : SUBTOTAL/TOTAL ABDOMINAL HYSTERECTOMY
DAPUS
Alfirevic et al. Prevention of postpartum hemorrhage with misoprostol, Int J Gynaecol Obstet 2007; 99 (2) : 198-201.
Anderson et al. 2000. Advanced Life Supports in Obstetrics (ALSO). Kansas : American Academy of Family Physicians.
Breathnach, F. 2006. A Textbook of Postpartum Hemorrhage. Lancashire : Sapiens Publishing.
Crofts et al. Change in knowledge of midwives and obstetricians following obstetric emergency training, BJOG 2007; 14 : 1534-1541.
Cunningham, F. Gary, Kenneth J. Leveno, Steven L. Bloom, John C. Hauth, dan Katharine D Wenstrom. 2005. Williams Obstetrics. Texas : McGraw-Hill.
Geary, M. 2006. A Textbook of Postpartum Hemorrhage. Lancashire : Sapiens Publishing.Glover P. Blood losses at delivery : how accurate is your estimation? Aust J Midwifery 2003;
16 : 21-24.Gulmezoglu et al. Prostaglandins for prevention of postpartum hemorrhage, Cochrane
Database Syst Rev 2007; 3 : 494.Kelly, A.J., dan Tan, B. Intravenous oxytocin alone for cervical ripening and induction of
labour, Cochrane Database of Systematic Review 2001 : 3246.Lalonde et al. 2006. A Textbook of Postpartum Hemorrhage. Lancashire : Sapiens
Publishing.Miller, S. dan P. Hensleigh. 2006. A Textbook of Postpartum Hemorrhage. Lancashire :
Sapiens Publishing.Mousa HA. Treatment for primary postpartum haemorrhage, Cochrane Database Syst Rev
2007; 1 : 3249.Roman AS. Seven ways to control postpartum hemorrhage, Contemp Ob/Gyn 2003 : 43.Rossaint R. Management of bleeding following major trauma, Critical Care 2010; 14 : 52.WHO. 2009. Guidelines for The Management of Postpartum Hemorrhage and Retained
Placenta. Geneva : WHO.