pendidikan karakter dalam kitab “adabul …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/1901/1/skripsi...
TRANSCRIPT
PENDIDIKAN KARAKTER DALAM KITAB “ADABUL
‘ALIM WAL MUTA’ALIM” KARYA
K.H HASYIM ASY’ARI
S K R I P S I
Diajukan untuk Memenuhi Kewajiban dan Melengkapi Syarat
guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)
Disusun oleh
Fitriyanti Wahyuni
111 13 088
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN (FTIK)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
2017
ii
iii
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, peneliti menyatakan bahwa
skripsi ini tidak berisi materi yang pernah ditulis oleh orang lain atau pernah
diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi satupun pikiran-pikiran orang
lain, kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan
rujukan.
Apabila di kemudian hari ternyata terdapat materi atau pikiran-pikiran
orang lain di luar referensi yang peneliti cantumkan, maka peneliti sanggup
mempertanggung jawabkan kembali keaslian skripsi ini di hadapan sidang
munaqosah skripsi.
Demikian deklarasi ini dibuat oleh penulis untuk dapat dimaklumi.
Salatiga, 24 Juli 2017
Penulis
Fitriyanti Wahyuni
111 13 088
iv
v
Mufiq, S. Ag., M. Phil.
Dosen IAIN Salatiga
Nota Pembimbing
Lamp : 4 Eksemplar
Hal : Naskah Skripsi
Saudari : Fitriyanti Wahyuni
Kepada
Yth. Dekan Fakultas Tarbiyah dan
Ilmu Keguruan IAIN Salatiga
di Salatiga
Assalamu'alaikum. Wr. Wb.
Setelah kami meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, maka
bersama ini, kami kirimkan naskah skripsi saudara :
Nama : Fitriyanti Wahyuni
NIM : 111 13 088
Fakultas / Progdi : Tarbiyah dan Ilmu Keguruan / Pendidikan Agama
Islam (PAI)
Judul : PENDIDIKAN KARAKTER DALAM KITAB
“ADABUL ‘ALIM WAL MUTA’ALIM” KARYA
K.H HASYIM ASY’ARI
Dengan ini kami mohon skripsi Saudara tersebut di atas supaya segera
dimunaqosyahkan. Demikian agar menjadi perhatian.
Wassalamu'alaikum, Wr, Wb.
Salatiga, 24 Juli 2017
Pembimbing
ufiq, S. Ag., M. Phil.
NIP.19690617 199603 1 004
KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA
vi
INSTITUT AGAMNA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN (FTIK)
Jl. Lingkar Salatiga Km. 2 Tel. (0298) 6031364 Salatiga 50716 Website : tarbiyah.iainsalatiga.ac.id E-mail : [email protected]
_______________________________________________________________________________
SKRIPSI
PENDIDIKAN KARAKTER DALAM KITAB
“ADABUL ‘ALIM WAL MUTA’ALIM” KARYA
K.H HASYIM ASY’ARI
Disusun oleh:
FITRIYANTI WAHYUNI
NIM: 111 13 088
Telah dipertahankan di depan Panitia Dewan Penguji Skripsi Jurusan Pendidikan
Agama Islam, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Institut Agama Islam Negeri
(IAIN) Salatiga, pada tanggal 29 Agustus 2017 dan telah dinyatakan memenuhi
syarat guna memperoleh gelar Sarjana Pendidikan
Susunan Panitia Penguji
Ketua Penguji : Imam Mas Arum, M.Pd.
Sekretaris Penguji : Mufiq, S,Ag., M.Phil.
Penguji I : Siti Rukhayati, M.Ag.
Penguji II : Drs. Ahmad Sultoni, M.Pd.
Salatiga, 29 Agustus 2017
Dekan Fakultas Tarbiyah dan
Ilmu Keguruan (FTIK)
Suwardi, M.Pd.
NIP. 19670121 199903 1 002
vii
MOTTO
“Sebaik-baik kamu yaitu yang paling baik keadaan akhlakny
“Dunia itu adalah sebagai satu hiasan, dan sebaik-baik
hiasan dunia itu adalah
wanita yang baik
(Shalihah)”
viii
PERSEMBAHAN
“Sebagai Ungkapan Rasa Syukurku dan tanda Bakti Kepada Kedua
Orang Tuaku”
Tugas Akhir ini saya persembahkan kepada
Pertama
Kedua orang tuaku tercinta Ibundaku “Wasiyah” dan Ayahandaku
“Mujiran” yang senantiasa membimbing, mendorong, mendukung dengan
penuh kesabaran, keikhlasan, kegigihan dan tidak henti-hentinya
mendo’akan anak-anaknya supaya menjadi orang yang sholih, solihah
bermanfaat bagi Agama, Nusa dan Bangsa Amin Yaa Robbal alamiin
Taklupa kepada Adik-adiku tercinta dan yangku sayang Ahmmad
Sayfullah dan Syamsul Arifin
Ke-dua
Kiyai saya KH. Abdul Rosyyid al-Hamid, Alm KH. Zumri RWS, Ibu
Nyai Hj Siti Basiro, Ibu Nyai Hj Latifah Guru-guruku, Ustad ustazah
Pondok pesantren Sabilull Huda, dan Pondok pesantren Al-Falah yang
selalu mendo’akan dan memberi nasehat-nasehatnya yang sangat
bermanfaat untuk saya
Ke-tiga
Penyemangatku Kang Mas Muhammad Zubaidi yang selalu
mendo’akan, memberi semangat, memberi nasehat-nasehatnya dan
teman-temanku seperjuangan di pondok Al-Falah angkatan 2013 (mb Risa
Rosiana, mb Novita Intan) yang ikut serta memberi dorongan, semangat
dan do’anya dalam menyelesaikan tugas akhir ini
Ke-empat
Yang terakhir Almamaterku FTIK (Fakultas tarbiyah dan ilmu
keguruan) S1 Pendidikan Agama Islam Institut Agama Islam Negri
(IAIN) Salatiga
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah dan taufiqnya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Sholawat serta salam kami haturkan kepada junjungan
kita Nabi Agung Muhammad SAW yang telah menuntun umatnya ke jalan
kebenaran dan keadilan.
Skripsi ini penulis susun dalam rangka memenuhi tugas dan melengkapi
syarat guna untuk memperoleh gelar sarjana pendidikan. Adapun jugul skripsi ini
adalah “PENDIDIKAN KARAKTER DALAM KITAB “ADABUL ‘ALIM WAL
MUTA’ALIM” KARYA K.H HASYIM ASYARI”.
Penulisan skripsi ini tidak lepas dari berbagai pihak yang telah
memberikan dukungan moril maupun materi. Dengan penuh kerendahan hati,
penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. H. Rahmat Hariyadi, M.Pd. selaku Rektor IAIN Salatiga
2. Bapak Suwardi, M.Pd. selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan
IAIN Salatiga.
3. Bapak Mufiq, S.Ag., M.Phil., selaku Dosen Pembimbing yang telah berkenan
secara ikhlas dan sabar meluangakan waktu serta mencurahkan pikiran dan
tenaganya memberi bimbingan dan pengarahan yang sangat berguna sejak
awal proses penyusunan dan penulisan hingga terselesaikannya skripsi ini.
4. Ibu Siti Rukhayati, M.Ag. selaku Kajur Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan
IAIN Salatiga.
5. Ibu Maslikhah, M.Si. selaku dosen pembimbing akademik.
6. Seluruh anggota tim penguji skripsi yang telah meluangkan waktunya untuk
menilai kelayakan dan menguji skripsi dalam rangka menyelesaikan studi
Pendidikan Agama Islam di Institut Agama Islam Negeri (IAIN Salatiga).
x
xi
ABSTRAK
Wahyuni, Fitriyanti. 2017. Pendidikan Karakter Dalam Kitab Adabul ‘Alim Wal
Muta’alim Karya K.H.Hasyim Asy’ari. Skripsi. Fakultas Tarbiyah dan
Ilmu Keguruan. Jurusan Pendidikan Agama Islam. Institut Agama
Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Mufiq, S.Ag, M. Phil.
Kata Kunci: Pendidikan Karakter menurut K.H Hasyim Asy’ari
Penelitian ini membahas tentang pendidikan karakter menurut K.H
Hasyim Asy’ari. Fokus Penelitian yang akan dikaji adalah: 1. Bagaimana
pendidikan karakter Perspektif K.H Hasyim Asy’ari; 2. Bagaimana relevansi
Pendidikan Karakter Perspektif K.H Hasyim Asy’ari dalam konteks kekinian.
Penelitian ini menggunakan pendekatan library research yaitu suatu
penelitian kepustakaan murni. Dengan demikian pengumpulan data dalam
penelitian ini adalah dengan menggunakan metode dokumentasi yang mencari
data mengenai hal-hal atau variabel-variabel yang berupa catatan seperti buku-
buku, majalah, dokumen, artikel, perkataan-perkataan, notulen harian, catatan
rapat dan sebagainya. Penulis menggunakan teknik analisis dekduktif induktif
dengan cara menemukan pola, tema tertentu dan mencarihubungan yang logis
antara pemikiran tersebut. Kemudian mengklasifikasikan pemikiran sang tokoh
sehingga dapat dirumuskan dalam pendidikan karakter yang sesuai. Langkah
terakhir yaitu merumuskan hasil penelitian yang dilakukan penulis.
Hasil penelitian bahwa pendidikan karakter dalam kitab Adabul ‘Alim Wal
Muta’alim karya K.H Hasyim Asy’ari bisa dilihat dalam integritas/ integral
terbukti sesuai dengan kondisi sekarang ini. Pemikiran-pemikiran K.H Hasyim
Asy’ari yang telah dituangkan dalam kitabnya yang tidak terlepas dari praktek
pendidikan yang dialaminya. Seperti ketika hendak membaca atau hendak menulis
buku atau kitab beliau selalu bersuci dan mengawalinya dengan membaca
basmalah. Kebiasaan beliau pada saat itu masih terlaksana pada saat ini seperti,
sebelum memulai pembelajaran setiap sekolah membuka pembelajaran dengan
membaca do’a, membaca surat-surat pendek dan membaca asmaul husna.
Pendidikan karakter dilakukan dengan cara memasukkan pelajaran PKN, Akidah
Ahlak dan sebagainya. Pendidikan karakter ini dinyatakan dalam publikasi pusat
kurikulum yang berfungsi mengembangkan potensi dasar Agama, memperkuat
dan membangun perilaku bangsa yang multikultural, meningkatkan peradaban
bangsa yang kompetitif. Agar tercapainya generasi bangsa Indonesia yang
berakhlakul karimah yang menjadikan generasi masa depan unggul, inovatif,
kreatif, mandiri sesuai dengan kemajuan zaman.
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................. i
HALAMAN BERLOGO .......................................................................... ii
HALAMAN DEKLARASI ....................................................................... iii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN................................................. iv
HALAMAN NOTA PEMBIMBING ........................................................ v
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................... vi
MOTTO..................................................................................................... vii
PERSEMBAHAN ..................................................................................... viii
KATA PENGANTAR .............................................................................. x
ABSTRAK ................................................................................................ xiii
DAFTAR ISI ........ ................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. xvii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................ 1
B. Fokus Masalah .............................................................. 5
C. Tujuan Penelitian .......................................................... 5
D. Kegunaan Penelitian ..................................................... 6
E. Metode Penelitian ......................................................... 7
1. Library Research................................................... 7
2. Teknik Analisis Data........................................... 7
F. Telaah Pustaka .............................................................. 8
G. Sistematika Penulisan ................................................... 10
xiii
BAB II BIOGRAFI K. H HASYIM ASY’ARI
A. Riwayat Hidup K.H Hasyim Asy’ari ............................ 13
B. Pendidikan K.H Hasyim Asy’ari ................................... 18
C. Mendirikan Pesantren Tebuireng....................... ............ 24
D. Pemikiran K.H Hasyim Asy’ari
Dalam Bidang Pendidikan............................................. 31
E. Nasehat-Nasehat K.H Hasyim Asy’ari........................... 37
1. Tentang Pendidikan................................................ 37
2. Tentang Akhlaq...................................................... 40
3. Tentang Kesuksesan Murid.................................... 42
F. Karya-Karya K.H Hasyim Asy’ari.................................... 44
BAB III PENDIDIKAN KARAKTER DALAM KITAB
“ADABUL ‘ALIM WAL MUTA’ALIM” KARYA
K.H HASYIM ASY’ARI
A. Pendidikan Karakter Secara Umum................................. 47
B. Pandangan K.H Hasyim Asy’ari tentang
Pendidikan Karakter........................................................ 56
1. Etika yang harus dimiliki oleh pelajar
terhadap dirinya sendiri............................................ 60
2. Etika pelajar terhadap gurunya................................. 61
3. Etika pelajar dalam proses pembelajaran dan
apa yang harus dilakukan di hadapan guru serta
tujuan belajar........................................................... 62
4. Etika alim (guru)untuk dirinya sendiri..................... 63
5. Etika seorang guru terhadap pelajarannya............... 65
6. Etika seorang alim terhadap para muridnya............. 66
xiv
7. Etika terhadap kitab................................................. 66
BAB IV RELEVANSI PEMIKIRAN PENDIDIKAN KARAKTER
K.H HASYIM ASY’ARI
A. Relevansi Pemikiran....................................................... 73
B. Tujuan Pendidikan Karakter........................................... 81
C. Nilai-Nilai Karakter........................................................ 83
D. Pentingnya Pendidikan Karakter.................................... 84
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan...................................................................... 86
B. Saran................................................................................ 89
DAFTAR
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Era informasi dan pengetahuan yang ditandai oleh penempatan
teknologi informasi dan pengetahuan intelektual sebagai modal utama
dalam berbagai bidang kehidupan, teryata, di sisi lain memberikan dampak
negatif terhadap pertumbuhan karakter bangsa. Semakin hari degradasi
moral, sikap dan perilaku semakin terasa di berbagai kalangan masyarakat.
Ada kecenderungan bahwa watak atau karakter anggota masyarakat
Indonesia mengalami kemunduran.
Degradasi moral ditandai oleh mundurnya sikap santun, ramah, serta
jiwa kebhinnekaan, kebersamaan, dan kegotongroyongan dalam
masyarakat Indonesia. Di samping itu, perilaku anarkisme dan ketidak
jujuran marak di kalangan peserta didik, termasuk mahasiswa. Di sisi lain
banyak terjadi penyalahgunaan wewenang oleh para pejabat negara
sehingga korupsi semakin merajalela di hampir semua instansi pemerintah.
Perilaku seperti itu menunjukkan bahwa bangsa ini telah terbelit oleh
rendahnya moral, akhlak, atau karakter (Zuchdi, 2011:2).
Rendahnya karakter bangsa ini menjadikan perhatian semua pihak.
Kepedulian pada karakter telah dirumuskan pada fungsi dan tujuan
pendidikan bagi masa depan bangsa ini. Pasal 3 Undang-Undang Nomer
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan.
2
Suatu bangsa pasti tidak ingin menjadi bangsa yang tertinggal atau
terbelakang. Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk kemajuan
bangsanaya. Guna untuk menghadapi kecanggihan teknologi dan
komunikasi yang terus berkembang, perbaikan sumber daya manusi yang
cerdas, terampil, mandiri, dan berakhlak mulia (Wiyani, 2013:20).
Tidak ada yang menyangkal bahwa karakter merupakan aspek yang
penting untuk kesuksesan manusia dimasa depan. Karakter yang kuat akan
membentuk mental yang kuat. Sedangkan mental yang kuat akan
melahirkan sepirit yang kuat, pantang menyerah, berani mengarungi
proses yang panjang, serta menerjang arus badai yang bergelombang dan
berbahaya. Karakter yang kuat merupakan prasyarat untuk menjadi
seorang pemenang dalam medan kompetisi.
Pentingnya karakter yang kuat. Jika karakter bangsa ini lemah maka
bangsa Indonesia dijadikan budak negara-negara maju yang pandai dalam
bidang pengetahuan dan teknologi, mampu membuat trobosan progresif di
segala bidang. Negara ini akan semakin tertindas di dalam dan luar Negeri,
menjadi buruh di negara sendiri, yang akhirnya dijajah sumber daya alam
dan manusianya secara eksploitatif dan tidak manusiawi.
Pendidikan karakter dapat dijadikan tolak ukur bagi kemajuan dan
kualitas kehidupan suatu bangsa. Sehingga dapat dikatakan bahwa
kemajuan bangsa atau negara dapat dicapai dengan salah satunya melalui
pembaharuan serta penataan pendidikan yang baik. Jadi, kedudukan
pendidikan karakter mempunyai peran penting dalam menciptakan
3
masyarakat yang cerdas, pandai, berjiwa demokritis serta berkarakter
mulia.
Dasar hukum pendidikan karakter:
1. Undang-Undang Dasar 1945.
2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan (Asmani,2013:41).
Pendidikan karakter, menurut Ratna Megawangi (2004:95),
“Sebuah usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil
keputusan dengan bijak dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-
hari, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif kepada
lingkungannya”.
Menurut pandangan di atas pendidikan karakter dapat dipahami bahwa
suatu usaha masyarakat untuk membina dirinya menjadi peribadi yang
baik serta memiliki ilmu yang luas. Agar mereka mampu menyesuaikan
diri dengan cita-cita masyarakat dalam pembangunan bangsa dan negara.
Dalam referensi Islam, nilai yang sangat terkenal dan melekat yang
mencerminkan akhlak atau perilaku yang luar biasa tercermin pada Nabi
Muhammad Saw, yaitu: Sidik, Amanah, Fatonah, Tablik. Tentu dipahami
bahwa empat nilai ini merupakan esensi, bukan seluruhnya. Karena Nabi
Muhammad juga terkenal dengan karakter kesabarannya, ketangguhannya,
dan berbagai karakter lain (Permana, dkk, 2011: 11).
4
Pada dasarnya pendidikan karakter dimulai dari hal yang terkecil
dalam mewujudkannya. Melalui bimbingan akhlak sebagai modal utama.
Sebagaimana yang telah difirmankan oleh Allah dalam surat An-Nahl
Artinya:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran
yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya
Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari
jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat
petunjuk”(Q.S An-Nahl 125).
Nabi Muhammad diutus kebumi oleh Allah SWT untuk
menyempurnakan ahlak. Beliau berkata:
Dari Abu Dzar Jundub bin Junadah dan Abu Abdurrahman Mu’adzib
bin Jabal ra., keduanya berkata, Rosulullah saw. Bersabda:
“Bertakwalah kamu kepada Allah dimanapun kamu berada. Iringilah
kesalahanmu dengan berbuat baik, niscaya kebaikan itu menghapusnya.
Dan pergaulilah manusia dengan akhlak terpuji”(H.R Tirmidzi).
Ketakwaan kepada Allah SWT dapat menjadi penghalang antara kita
dengan siksa Allah SWT, ini dilakukan dengan jalan melaksanakan
perintahnya dan menjauhi semua larangannya. Allah SWT menyuruh
segenap manusia untuk menyembah-Nya semata dan tidak menyekutukan-
Nya.
5
Hasyim Asy’ari adalah salah satu tokoh atau pemikir Islam klasik di
Indonesia membawa pemikiran tentang kemajuan. Merekalah yang disebut
kaum pembaharu yang telah dinantikan. Tujuannya tidak hanya menentang
pengaruh barat dari segi sosial dan budaya tetapi juga menghimbau agar
mereka kembali pada dasar-dasar pokok Islam melalui pendidikan
karakter. Sebagaimana pendidikan karakter dalam kitab “Adabul ‘Alim
Wal Muta’Alim” karya K.H Hasyim Asyari. Perjalanan pendidikan harus
melalui peroses yang pada akhirnya akan bermuara pada tumbuhnya
kreatifitas dan inovasi. Berdasarkn dari berbagai realitas seperti yang telah
dijabarkan di atas, penulis ingin melakukan penelitian mengenai
pendidikan karakter dengan judul “Pendidikan Karakter Dalam Kitab
“Adabul ‘Alim Wal Muta’Alim” Karya K.H Hasyim Asy’ari”.
B. Fokus Masalah
Dari latar belakang yang telah diuraikan, maka dalam penelitian ini
fokus masalahnya sebagai berikut:
1. Bagaimana Pendidikan Karakter Dalam Kitab “Adabul ‘Alim Wal
Muta’Alim” Karya K.H Hasyim Asyari?
2. Bagaimana relevansi Pendidikan Karakter Dalam Kitab “Adabul ‘Alim
Wal Muta’Alim” Karya K.H Hasyim Asyari dalam konteks kekinian?
C. Tujuan penelitian
Dengan adanya fokus masalah di atas penelitian yang berjudul
“Pendidikan Karakter Dalam Kitab Adabul ‘Alim Wal Muta’Alim Karya
6
K.H Hasyim Asyari” maka tujuan penulis melakukan penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui Pendidikan Karakter Dalam Kitab “Adabul ‘Alim
Wal Muta’Alim” Karya K.H Hasyim Asyari.
2. Untuk mengetahui relevansi Pendidikan Karakter Dalam Kitab
“Adabul ‘Alim Wal Muta’Alim” Karya K.H Hasyim Asyari dalam
konteks kekinian.
D. Kegunaan Penelitian
Dalam penelitian ini diharapkan dapat membawa manfaat baik secara
teoritik maupun praktik.
1. Teoritik dalam arti: Sebagai salah satu sumbangan pemikiran untuk
pengembangan ilmu pengetahuan pendidikan Indonesia secara umum
dan khususnya dalam bidang pendidikan Islam.
2. Secara praktis dalam arti: Memberikan informasi ulang kepada praktisi
tentang pendidikan karakter Dalam Kitab “Adabul ‘Alim Wal
Muta’Alim” Karya K.H Hasyim Asyari.
a. Untuk dijadikan sebagai rujukan dalam pelaksanaan pendidikan
Karakter di sekolah.
b. Untuk dijadikan bahan penyusunan kurikulum pendidikan Islam
yang berkarakter.
E. Metode Penelitian
Jenis penelitian ini adalah studi perspektif tokoh. Dalam penelitian ini
tokoh yang dijadikan sentral studi adalah K.H Hasyim Asyari. Penelitian
7
ini termasuk penelitian literatur yang berfokus pada referensi buku.
Penelitian literatur lebih difokuskan kepada setudi kepustakaan. Adapun
pengertian metode dalam penelitian ini adalah suatu cara untuk
memperoleh bahan-bahan penopang dalam penelitian. Dalam penulisan
skripsi penulis menggunakan metode:
1. Library Research
Untuk memperoleh data yang valid dalam penelitian ini, penulis
menggunakan library research yaitu penelitian perpustakaan, dengan
metode ini peneliti mengambil langkah-langkah sebagai berikut:
a. Mengumpulkan buku yang ada relevansinya dengan kajian
permasalahan.
b. Mengidentifikasikan semua permasalahan yang berkaitan dengan
penelitian.
c. Menarik suatu kesimpulan sebagai hasil kesimpulan suatu penelitian
tentang pokok permasalahan (Komaruddin, 1988:145).
2. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan penulis dalam penulisan skripsi
ini adalah:
a. Deduktif
Metode deduktif adalah metode berfikir dari pengetahuan yang
bersifat umum dan bertitik tolak dari pengetahuan itu kita hendak
menilai suatu kejadian yang khusus (Sutrisno Hadi, 1981:42). Dengan
cara mengumpulkan data dalam permasalahan umum kemudian
8
mengerucut pada peroses pengambilan kesimpulan yang bersifat
khusus.
b. Induktif
Metode induktif adalah metode berfikir yang berangkat dari fakta-
fakta peristiwa khusus yang bersifat umum (Sutrisno Hadi, 1981:42).
Metode ini digunakan untuk membahas tentang sejumlah data
pendidikan karakter dalam kitab “Adabul ‘Alim Wal Muta’Alim”
karya K.H Hasyim Asyari.
F. Telaah Pustaka
K.H Hasyim Asyari ini merupakan pendiri (NU) Nahdlatul Ulama.
Kepemimpinanya sangatlah penting didalam tubuh Nahdlatul Ulama tidak
hanya itu beliau sosok yang dikenal aktif dalam menggulirkan gagasannya
tentang gerakan pendidikan maupun dakwah sekaligus entrepreneur yang
cukup sukses. Di ranah pendidikan K.H Hasyim Asyari terkenal sebagai
seorang yang tenang, sabar dan tidak keburu nafsu. Ia selalu menghadapi
segala persoalan dengan dada yang lapang, tidak terseret perasaan. Itulah
sebabnya, ia mampu memecahkan masalah-masalah yang berat dalam
situasai yang sulit, dengan hasil yang tepat dan memuaskan (Santoso,
2007:19). Sistem pendidikan yang dibangun yang berorentasi pada
pendidikan ala santri deangan menggunakan sistem pendidikan klasikal.
Adapun buku yang telah terbit mengenai beliau diantaranya:
1. Ditulis oleh Zaenuri Siroj dan Nur Hadi, dengan judul “Adabul ‘Alim
Wal Muta’allim”. Ditetbitkan oleh CV Megah Jaya pada tahun 2009.
9
2. Ditulis oleh Ai-Madyuni, dengan judul “Sang Kiai Tiga Generasi”.
Diterbitkan oleh Pustaka Al-Khumul pada tahun 2013.
3. Ditulis oleh Mukani, dengan judul “Biografi dan Nasehat
Hadratussyaikh KH.M. Hasyim Asy’ari”. Diterbitkan oleh Pustaka
Tebuireng pada tahun 2015.
4. Ditulis oleh Masyamsul Huda, dengan judul “Guru Sejati K.H Hasyim
Asyari pendiri pesantren Tebu Ireng yang mengakhiri era kejayaan
Kebo Ireng dan Kebo Kecak”. Diterbitkan oleh Tim Pustaka Inspirasi
pada tahun 2014.
5. Ditulis oleh M. Sanusi, dengan judul “Kebiasaan-Kebiasaan Inspiratif
K.H Hasyim Asyari”. Diterbitkan oleh DIVA Press (Anggota IKAPI)
pada tahun 2013 di Jogjakarta.
6. Ditulis oleh Fuad Jabali and Ismatu Ropi, dengan judul “Hasyim
Asyari Religious Thought and Political Activities” (1871-1947).
Diterbitkan oleh Logos Wacana Ilmu pada tahun 2000 Jakarta Selatan.
7. Ditulis oleh Santoso, dengan judul “Manusia di panggung sejarah
pemikiran dan gerakan tokoh-tokoh Islam”. Diterbitkan oleh SEGAR
ARSY pada tahun 2007 di Bandung.
8. Ditulis oleh Muhammad Mojlum Kham, dengan judul “100 Muslim
Paling Berpengaruh Sepanjang Sejarah”. Diterbitkan oleh PT Mizan
Publika pada tahun 2012 Jagjakarta-Jakarta Selatan.
10
9. Ditulis oleh Mahfudz, dengan judul “BIOGRAFI 5 RAIS’AM NU”.
Diterbitkan oleh PUSTAKA PELAJAR pada tahun 1995 di
Yogyakarta.
10. Ditulis oleh Muhamad Sobari, dengan judul “NU DAN
KEINDONESIAAN”. Diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama
pada tahun 2010 Jakarta.
11. Ditulis oleh KH. Abdurrahman Navis, Muhammad Idrus Ramli dan
Faris Khoirul Anam, dengan judul “Risalah Ahlussunnah Wal-
Jama’ah”. Diterbitkan oleh Kalista pada tahun 2012 Jawa Timur
(surabaya).
Dari beberapa sumber di atas, sejumlah pengamatan penulis masih ada
kekurangan yang membahas tentang pendidikan karakter perspektif K.H
Hasyim Asyari. Harapan penulis pemikiran yang akan disampaikan ini
dapat melengkapi informasi yang ada sebelumnya dan menambah wacana.
G. Sistematika Penulisan Skripsi
Dalam penyusunan skripsi, secara menyeluruh terdapat lima Bab
untuk membahas Pendidikan Karakter Dalam Kitab “Adabul ‘Alim Wal
Muta’Alim” Karya KH. Hasyim Asyari. Sistem penulisan skripsi untuk
mempermudah jalan pikiran dalam memahami secara keseluruhan isi
skripsi. Sistematika penulisan disusun sebagai berikut:
BAB I: Pendahuluan. Dalam bab ini penulis menjabarkan mengenai
pokok permasalahan yang terdiri: Latar Belakang Masalah, Fokus
11
Masalah, Tujuan Penelitian, Telaah Pustaka, dan Sistematika Penulisan
Skripsi.
BAB II: Biografi K.H. Hasyim Asyari. Dalam bab ini memuat
beberapa pembahasan seperti halnya tentang, Riwayat Hidup, Setting
Sosial Politik, Karya-karya K.H Hasyim Asyari.
BAB III: Pendidikan Karakter Dalam Kitab “Adabul ‘Alim Wal
Muta’Alim” Karya K.H Hasyim Asyari. Dalam bab ini penulis
memaparkan pemikiran beliau yang merupakan inti dari skripsi ini. Maka
penulis mencoba memberikan penjelasan mengenai pengertian pendidikan
karakter, tujuan pendidikan karakter, dan dasar pendidikan karakter.
BAB IV: Pembahasan. Dalam bab ini penulis menelaah pendidikan
karakter K.H Hasyim Asyari secara analisis. Selanjutnya dicari
relevansinya dengan konteks kekinian dan implikasinya dalam pendidikan
karakter di Indonesia.
BAB V: Penutup. Dalam bab ini berisi tentang kesimpulan, saran-
saran dan penutup.
12
BAB II
BIOGRAFI K.H HASYIM ASY’ARI
Hasyim Asy’ari merupakan orang yang istimewa di setiap langkahnya
sangat disegani oleh masyarakat. Beliau adalah tokoh pejuang yang tidak
kenal menyerah. Seorang pemimpin yang telah menuntun menjadi seorang
yang kritis terhadap dunia pendidikan. Dari hasil pemikiran ini
menghasilkan berbagai gagasan tentang pembaharuan yang meliputi
masalah politik, sosial, budaya dan pendidikan. Tak hanya itu, beliau
dikenal sebagai pejuang pendidik sejati yang membawa pembaharuan
dalam kebudayaan Indonesia (Santoso,2007:36-37).
Beliau juga sebagai pengajar, ilmu agama yang dibawa beliau sangat
mempengaruhi para peserta didik. Hasyim Asy’ari juga sangat disegani
masyarakat luas karena kesederhanaannya, beliau tidak segan bergaul pada
masyarakat awam, tetangga, orang-orang yang lebih tua, golongan priyayi,
tokoh-tokoh agama. Beliau juga tidak segan untuk tukar pendapat. Dalam
bergaul beliau tidak memandang derajat apapun. Termasuk orang-orang
yang sudah mempunyai jabatan tinggi dipemerintahan. Kesederhanaan
hidupnya membuat beliau mempunyai teman-teman yang semisi dan sevisi
dalam dunia pendidikan. Pergerakan beliau pun mempunyai hasil yang
cukup baik dalam perputaran roda pemerintahan. Segala rintangan dan
halangan tak mengurangi usaha untuk mengatasi tanpa memperhatikan
betapa beratnya. Sampai akhirnya beliau pun bisa mengatasinya.
13
Organisasi yang didirikan beliau mempunyai tanggapan positif di
masyarakat (Sanusi,2013:264-266).
Untuk mengetahui keseluruhan tentang K.H. Hasyim Asy’ari penulis
mengajak pembaca untuk membahas bersama mengenai beliau:
A. Riwayat Hidup K.H Hasyim Asy’ari
K.H. M. Hasyim Asy’ari lahir di Gedang, Jombang, Jawa Timur, hari
selasa keliwon, Dzulhijah 1287 H, bertepatan dengan 14 Februari 1871 M
(Madyuni,2013:2).
K.H Hasyim Asy’ari lahir dari pasangan kyai Asy’ari dan Nyai
Halimah. Nama lengkap kyai Hasyim adalah Muhammad Hasyim bin
Asy’ari bin ‘Abdul Wahid bin ‘Abdul Halim (Pangeran Benowo) bin
‘Abdurrahman (Jojo Tingkir atau Mas Karebet atau Sultan Hadiwijaya)
bin ‘Abdullah bin ‘Abdul Aziz bin ‘Abdul Fattah bin Maulana Ishaq bin
Ainul Yaqin, yang lebih populer sunan Giri (Mukani,2015:4).
K.H Hasyim Asy’ari adalah ketiga dari 11 bersaudara. Ayahnya
bernama Kyai Asy’ari pemimpin pesantren keras Jombang, dari jalur ayah
nasab Kyai Hasyim bersambung kepada Maulana Ishak. Hingga Imam
Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Bakir. Sedangkan Ibunya bernama Nyai
Halimah, putri kyai Usman pendiri dan pengasuh pesantren Gedung Jawa
Timur. Kyai Usman juga merupakan seorang pemimpin Thariqah ternama
pada akhir abad ke- 19 M. Dari garis ibu, kiyai Hasyim merupakan
keturunan ke delapan dari Jaka Tingkir (Sultan Panjang) (Mukani,2015:6).
14
Silsilah Nasab yaitu: menurut silsilah melalui sunan Giri (Raden Ainul
Yaqin) K.H Hasyim Asy’ari memiliki garis keturunan sampai dengan
Rasulullah dengan urutan sebagai berikut:
1. Sunan Giri (Raden Ainul Yaqin)
2. Abdurrohman / Jaka Tingkir (Sultan Panjang)
3. Abdul Halim (Pangeran Benowo)
4. Abdurrohman (Pangeran Samhud Bagda)
5. Abdul Halim
6. Abdul Wahid
7. Abu Sarwan
8. K.H Asy’ari (Jombang)
9. K.H Hasyim Asy’ari (Jombang) (Madyuni,2013:2-3).
Menurut catatan Sa’adah Ba Alawi Hadramaud, silsilah dari Sunan
Giri (Raden Ainul Yaqin) merupakan keturunan Rasulullah sebagai
berikut:
1. Husain bin Ali
2. Ali Zainal Abidin
3. Muhammad al-Baqir
4. Ja’far ash-Sadiq
5. Ali al-Uraidh
6. Muhammad an- Naqib
7. Isa ar-Rumi
8. Ahmad al-Muhajir
15
9. Ubaidullah
10. Alwi Awwal
11. Muhammad Sahibus Saumiah
12. Alwi ats-Tsani
13. Ali Khali’ Qasam
14. Muhammad Shahib Mirbath
15. Alwi Ammi Al-Faqih
16. Abdul Malik (Ahmad Khan)
17. Abdullah (al-Azhamat) Khan
18. Ahmad Syah Jalal (Jalaluddin Khan)
19. Jamaluddin Akbar al Husaini (Maulana Akbar)
20. Maulana Ishaq
21. Dan ‘Ainul Yaqin (Sunan Giri) (Madyuni,2013:3).
Semasa kecil, K.H Hasyim Asyari sudah memperlihatkan tanda-tanda
keulamaanya. Terdidik dan besar dari keluarga ulama yang tinggal di
pesantren, membuat Hasyim Asy’ari kecil tidak canggung memerankan
sosok kyai, yang kelak menjadi poros ketokohannya.
Tanda-tanda keulamaan Hasyim Asy’ari tidak hanya terlihat saat dia
berkelana dari pesantren satu ke pesantren lainnya, tetapi sudah terlihat
saat beliau berusia sangat muda, usia 13 tahun. Bahkan tanda-tanda
keulamaannya sudah terlihat saat beliau masih dalam kandungan ibunya,
Nyai Halimah (Sanusi,2013:172).
16
Menurut Ishom Hadzik (2000) dalam K.H Hasyim Asy’ari: Figur
Ulamak dan Pejung Sejati, Nyai Halimah dikenal sebagai wanita yang taat
beribadah. Beliau berpuasa selama tiga tahun berturut-turut. Puasa pertama
diniatkan untuk dirinya sendiri, puasa tahun kedua diniatkan untuk anak
dan cucunya, puasa tahun ketiga diniatkan untuk santrinya agar mereka
senantiasa dilindungi Allah Swt. dan sukses dalam menjalani hidup
(Sanusi,2013:172-173).
Saat mengandung Nyai Halimah bermimpi pada suatu malam, bulan
jatuh dari langit dan hinggap di kandungannya. Tentu saja, mimpi tersebut
merupakan sebuah pertanda yang sangat baik, bahwa anak yang akan
dilahirkan merupakan sosok yang istimewa di kemudian hari mempunyai
kecerdasan, talenta, dan bimbingan dari Allah Swt. Hasyim Asy’ari berada
dalam kandungan ibunya kurang lebih 14 bulan(Sanusi:2013,172-173).
Keyakinan terhadap keistimewaan Hasyim Asy’ari terbukti
dikemudian hari. Tidak perlu menunggu dewasa, pada usia 13 tahun.
Hasyim sudah menunjukkan talentanya. Di usia ketika anak-anak lainnya
masih senang bermain, Hasyim sudah terbiasa mengajar murit-muritnya,
menggantikan, ayahnya, K.H Asy’ari.
Saat itu, Ayahnya adalah pendiri sekaligus pengasuh pondok
pesantren keras. Pesantren ini terletak di Jombang Selatan. Pesantren ini
terletak di Desa Keras, maka dinamai pesantren keras. Pesantren ini
didirikan pada tahun 1876, yang tanahnya merupakan hibah dari kepala
desa setempat (Sanusi,2013:173).
17
Di pesantren inilah, Hasyim tumbuh dan berkembang dari kecil
hingga dewasa. Pada saat usia sangat belia, Hasyim sudah belajar ilmu-
ilmu agama kepada ayahnya.
Pada usia 13 tahun itulah, Hasyim sudah memperlihatkan kualitasnya
sebagai pribadi yang istimewa. Beliau mengajar murid-murid ayahnya
dengan keseriusan yang jarang diperlihatkan seorang anak seusia dirinya.
Kebiasaan itu dilakukan hingga beliau berumur 15 tahun. Terbukti,
ayahnya tidak salah membebani tugas mengajar kepada anak berumur13
tahun karena nantinya anak itu menjadi guru dari semua orang
(Santoso,2007:21).
Baru berumur 21 tahun, beliau dinikahkan dengan dengan Chadidjah,
salah satu putri Kyai Ya’qub. Tidak lama setelah menikah, Hasyim
bersama istrinya berangkat ke Mekah guna menunaikan ibadah haji. Tujuh
bulan di sana, Hasyim kembali ke tanah air, sesudah istri dan anaknya
meninggal.
Tahun 1893, beliau berangkat lagi ke tanah suci. Sejak itulah beliau
menetap di Mekah selama 7 tahun dan berguru pada Syaikh Ahmad Khatib
Minangkabau, Syaikh Mahfudz At-Tarmasi, Syaikh Said Yamani, Syaikh
Rahmaullah, Syaikh Sholeh Saqqaf, dan Sayyid Husein Al Habsyi. Tahun
1899 pulang ke tanah air, Hasyim mengajar di pesantren milik kakeknya,
Kyai Usman (Mahfudz,1995:3).
18
B. Pendidikan K.H Hasyim Asy’ari
Sejak anak-anak kemauan keras dalam diri Hasyim Asy’ari untuk
selalu belajar telah membentuk kebesaran namanya. Hal ini ditunjukkan
dengan pola pengasuhan dari lingkungan keluarga yang sangat kental
dengan nuansa pesantren. Sampai dengan umur 5 tahun (Mukani,2015:9).
Beliau tumbuh dan dididik dengan baik oleh orang tuanya, yaitu
dengan mengajarkan Al-Qur’an dan berbagai buku agama hingga beliau
mencapai kedewasaannya. K.H Hasyim Asyari belajar dasar-dasar agama
dari ayah dan kakeknya, Kyai Utsman yang juga Pemimpin Pesantren
Nggedang di Jombang (Siroj dan Hadi,2009:1).
Saat masih dalam masa pendidikan kakek dan ayah, Hasyim Asy’ari
banyak belajar tentang dasar-dasar ushuluddin, fiqih, tafsir, hadits bahasa
arab dan sebagainya. Bakat kepemimpinan dan kecerdasan Hasyim
memang sudah nampak. Di antara teman sepermainannya, ia kerap tampil
sebagai pemimpin. Dalam usia 13 tahun, ia sudah membantu ayahnya
mengajar santri-santri yang lebih besar, lebih senior ketimbang dirinya.
Dengan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, tepatnya pada tahun
1876. Usia 15 tahun, beliau berkelana meninggalkan kedua orang tuanya
untuk “thalabul ‘ilmi” di beberapa pondok pesantren yang terkenal,
dengan keterbatasan fasilitas pada masa beliau. Termasuk harus jalan kaki
hingga sampai di Pesantren Wonorejo, Jombang. Mula-mula beliau
menjadi santri di pondok pesantren Sona dan Siwalan (keduanya berada
dikota Sidoarjo), pondok Langitan Tuban, kemudian pindah ke pondok
19
Bangkalan Madura di mana Shibul Karomah Syekh Khalil (yang
dipercaya Wali Allah), kemudian beliau melakukan perjalanan ke Kota
Mekah dan sekitarnya. Kemudian, beliau bermukim beberapa tahun dan
belajar kepada ulama’ terkenal setempat. Beliau belajar ilmu agama
kepada Syekh Muhammad Nawawi al-Bantany, Syekh Khatib al-
Minangkabawi, dan Syeh Syu’aib bin Abdurrohman. Saat menuntut ilmu,
menurut Ahmad Muhibbin Zuhri, Hasyim menerapkan filosofi Jawa yaitu:
luru ilmu kanti lelaku dan santri kelana. Kedua filosofi itu
menggambarkan bahwa mencari ilmu harus mengutamakan proses yang
dijalani, bukan mengfokuskan diri kepada hasil yang diperoleh. Jika proses
mencari ilmu dilalui dengan mematuhi rambu-rambu (laku-laku) tertentu,
maka ilmu yang diperoleh akan memiliki nilai lebih (barokah) dan
manfaat (Mukani,2015:9).
Beliau belajar berbagai ilmu agama yaitu; masalah Kutub al-Hadis al-
Nabawiy beliau berguru kepada Sayyid ‘Abbas al-Maliky al-Hsaniy dan
untuk ulum al-syar’iyyah, adab dan sosial beliau berguru kepada Syekh
Muhammad Mahfudz bin abdulloh al-Tirmasiy. Hasyim Asy’ari memang
berpindah-pindah dalam menuntut ilmu karena beliau mencari ilmu yang
dicari secara khash dari pesantren yang didatangi. Kondisi ini, menurut
Zamakhsyari Dhofier, disebabkan masing-masing pesantren memang
memiliki ciri khas dalam pelajaran ilmu agama yang diberikan. Dari
semua itulah, beliau dapat banyak pengetahuan, baik berupa ma’qul
maupun manqul (Mukadi,2015:11).
20
Hasyim Asy’ari pindah ke Pesantren Wonokoyo di Probolinggo
selama tiga tahun kemudian meneruskan rihlah ilmiyah ke Pesantren
Langitan di Tuban. Kemudian pindah lagi ke Pesantren Tenggilis di
Surabaya kemudian meneruskan perjalanan ke Pesantren Kademangan
Bangkalan Madura. Saat itu pesantren diasuh syaikhona Kholil bin Abdul
Latif.
Dari tokoh ini Hasyim Asyari menimba ilmu selama tiga tahun
tentang fiqih, akhlaq, tata bahasa dan tata Arab. Saikhona Khalil berperan
besar saat pendirinan NU, karena Hasyim memohon restu terlebih dulu
dari tokoh ini. Syaikhona Khalil dianggap sebagai waliyulloh dan
mahaguru para kyai di pulau jawa dan madura. Meski demikian syaikhona
Kholill tidak sungkan berguru ke Hasyim Asyari pada bidang hadis di
Pesantren Tebuireng.
Di pesantren ini, Hasyim Asyari tinggal selama tiga tahun. Segala
ilmu yang diperoleh Hasyim Asy’ari teryata belum memuaskan hasrat
ingin tahu yang kemudian mendorong dirinya untuk melajutkan rihlah
ilmiyahnya Kembali. Pada tahun 1891, Hasyim lalu balik ke pulau jawa,
tepatnya ke Pesantren Siwalan Panji di Buduran Sidoarjo yang diasuh oleh
Kyai Ya’qub (Mukani,2015:12).
Di Pesantren Panji, Hasyim lebih banyak menggunakan waktu untuk
memperdalam pengetahuan yang dimiliki di bidang fiqih, tafsir, hadits,
tauhid dan sastra Arab selama tiga tahun. Ketekunan dan kecerdasan yang
dimiliki Hasyim diamati secara seksama oleh Kyai Ya’qub. Kelebihan
21
dalam hal ini yang mendorong Kyai Ya’qub berkehendak untuk
menjadikan Hasyim Asyari sebagai calon menantu. Dinikahkan dengan
putrinya bernama Khadijah (Madyuni,2013:4-5).
Setelah menikah, satu tahun berikutnya Hasyim bersama istri dan
mertua berangkat ke Mekah untuk melaksanakan ibadah haji, Hasyim
menetap di Mekah. Belum genap tujuh bulan di Mekkah, istri Hasyim
Asy’ari wafat setelah melahirkan putra pertama, Abdullah.
Belum hilang kesedihan ditinggal Khadijah, bayi pertama Hasyim
bernama Abdullah ikut meninggal dunia dalam usia 40 hari. Dua peristiwa
ini mengganggu konsentrasi Hasyim dalam menimba ilmu di Mekkah.
Lalu Kyai Ya’qub mengajak pulang terlebih dahulu ke Indonesia untuk
beberapa waktu guna menenangkan pikiran (Mukani,2015:7).
Dikarenakan semangat menimba ilmu masih sangat tinggi dalam
dirinya, pada tahun 1893 Hasyim Asy’ari berangkat kembali bersama
adiknya, Anis. Hasyim kembali ke Mekkah untuk menimba ilmu setelah
dinasehati Kyai Ya’qub. Kemungkinan besar, menurut Ahmad Muhibbin
Zuhri, anjuran guru sekaligus mertua didasarkan adat saat itu bahwa
seorang ulama belum dikatakkan cukup ilmunya jika belum mengaji di
Mekkah selama bertahun-tahun.
Pada keberangkatan kedua ini, Hasyim Asy’ari lebih lama menetap di
Mekkah karena selalu teringat pesan dan harapan al marhumah Khadijjah.
Istri pertama ini mengharap agar Hasyim menjadi orang pandai yang
mampu memimpin masyarakat. Pada masa ini Hasyim kembali berduka
22
karena harus ditinggal wafat adiknya. Anis ini yang setia menemani dalam
menimba ilmu selama di Arab Saudi.
Hari-hari Hasyim Asy’ari lebih banyak dimanfaatkan untuk mengaji
beberapa ilmu yang diajarkan oleh para ahlinya di Makkah. Di samping
juga berupaya memperkuat emosi dengan cara memperbanyak wirid dan
do’a di Masjid Haram maupun di Gua Hira’ yang berada di atas bukit
Jabal Nur. Hasyim selalu membawa buku-buku bacaan dan Al Qur’an
untuk dikaji selama menetap di tempat itu. Ketika hari Jum’at pagi,
Hasyim turun untuk melaksanakan Shalat Jum’at di kota Mekkah.
Menurut Zamkhsyari Dhofier, Hsyim Asy’ari berhasil menela’ah
dengan seksama banyak literatur yang valid di bawah bimbingan para
syaikh di Makkah. Guru-guru Hasyim Asy’ari di Arab Saudi sangat
banyak.
Selam 7 tahun Hasyim Asy’ari menetap di Makkah untuk menimba
ilmu yang diliputi dengan semangat yang membara. Dengan memiliki
prestasi belajar yang menonjol, menurut Zuhairi Misrawi, membuat
Hasyim Asy’ari memproleh kepercayaan untuk mengajar di Masjidil
Haram.
Beberapa ulama terkenal dari berbagai negara pernah belajar kepada
Hasyim Asy’ari. Di antaranya adalah Syaikh Sa’dullah al-Maymani
seorang mufti di Bombai di India, Syaikh Umar Hamdan yang ahli hadits
di Mekkah, al-Syihab Ahmad bin Abdullah dari Syiria, KH. Abdul Wahab
23
Hasbullah Tambak beras, KH. R.Asnawi Kudus, KH. Bisyri Syansuri
Denanyar, KH.Dahlan Kudus dan KH. Saleh Tayu.
Fakta ini menunjukkan bahwa ulama asal diri sebagai ulama yang
pantas untuk membagikan ilmu ke Indonesia pada masa lalu bukan hanya
sekedar “murid” para ulama di Timur Tengah dan dunia islam. Namun
mereka juga sebagai “guru” karena kedalaman ilmunya mendapatkan
penghormatan yang sangat banyak. Nama ulama dari Nusantara pun
dicatat dengan tinta emas (Santosa,2007:36-37).
Setelah menyelesaikan belajarnya di Tanah Suci, beliau kembali ke
Indonesia. Hasyim Asy’ari telah berhasil menunjukkan diri sebagai
seorang ulama yang pantas untuk membagikan ilmu kepada orang lain.
Hasyim Asy’ari merasa berutang jasa besar karena Mekkah telah
menjadikannya sebagai salah satu ulama yang mumpuni.
Sesampainya di Indonesia pada tahun 1883 M, berdasarkan catatan
Gunsei kambu Jepang, Hasyim Asy’ari kembali lagi ke rumah orang tua
di Pesantren keras untuk mengajarkan berbagai ilmu yang diperoleh di
Mekkah. Di samping juga mengajar di Pesantren mertuanya di Kemuning
Kediri dan Pesantren kakeknya di Gedang Jombang.
Dengan memiliki latar belakang sebagai orang ‘alim, memiliki bakat
yang baik dalam mencari ilmu dan pengalaman dalam mengajar yang
cukup panjang, Hasyim Asy’ari menjadi guru terkenal di Jombang.
Didorong sejarah perjuangan ayah dan kakek yang berdakwah dengan
mendirikan pesantren, Hasyim Asy’ari membangun pondok pesantren
24
Tebu Ireng (Jombang), Pada tanggal 26 Rabi’ul Awwal 1317 H. Beliau
juga mendirikan madrasah Salafiyyah Syafi’iyyah di pondoknya dan
memegang seluruh proses belajar mengajar di sana (Mukani,2015:18).
Kyai Hasyim bukan saja kyai ternama, melainkan juga seorang petani
dan pedagang yang sukses. Tanahnya puluhan hektar, dua hari dalam
seminggu, kyai Hasyim istirahat tidak mengajar. Saat itulah beliau
memeriksa sawah-sawahnya, pergi ke Surabaya berdagang kuda, besi dan
menjual hasil pertaniannya. Dari situlah beliau menghidupi keluarga dan
pesantrennya (Sanusi,2013:245-248).
C. Mendirikan Pesantren Tebuireng
Pada awalnya, menurut Abdul Basitth Adnan, niatan Hasyim Asy’ari
untuk mendirikan pesantren ini mendapat tantangan keras dari keluarga.
Ini dikarenakan lokasi Tebuireng sangat dekat dengan pabrik gula Tjoekir
yang identik deangan dunia hitam dan kejahatan. Pendirian Pesantren
menjadi tahap awal dan memberikan kesempatan bagi Hasyim Asyari
untuk mengamalkan ilmu, bukan hanya untuk diri sendiri, melainkan juga
masyarakat Jawa dan Nusantara (Mukani,2015:17).
Untuk mendirikan pesatren sendiri Hasyim Asy’ari membeli sebidang
tanah dari seorang dalang wayang kulit di Tebuireng bernama Saiban. Di
atasnya didirikan bangunan sederhana dari bambu (Jawa: tratak) yang
terdiri dari dua bagian. Satu bagian untuk tempat tinggal Hasyim Asy’ari
bersama keluarganya. Bagian satunya lagi untuk keperluan para santri.
25
Baik untuk tempat tinggal, shalat, mengaji dan sebagainya
(Madyuni,2013:12).
Selama kurang lebih dua setengah tahun Hasyim Asy’ari tinggal
bersama keluarga dan delapan santri yang ikut dari pesantren keras.
Mereka harus berjuang untuk menjaga keberadaan Pesantren Tebuireng
dari segala serangan dari Tokoh-Tokoh “dunia hitam” baik berupa seranga
fisik, fitnah, gangguan dan sebagainya.
Dunia Tebuireng saat itu, mengutip Masyamsul Huda, terkenal dengan
segala kemaksiyatan. Seperti perjudian, perampokan, pelacuran,
pencurian, narkoba, minuman kersa dan sebagainya. Ini akibat yang belum
terbiasanya penduduk pribumi dalam menghabiskan gaji yang terlalu
tinggi dari pemerintah Belanda setelah bekerja di pabrik gula Tjoekir.
Pesantren Tebuireng didirikan pada tanggal 26 Rabi’ul Awal 1317
Hijriyah atau 1899 M dan diakui Belanda pada tanggal 6 Februari 1907 M.
Dalam waktu tiga bulan, telah mampu memiliki 28 santri
(Mukani,2015:18-19).
Keberhasilan ini merupakan puncak dari kegigihan Hasyim Asy’ari
dalam berjuang tidak mengenal lelah. Di samping itu, kegigihan akhlaq
yang ditunjukkan Hasyim Asy’ari merupakan daya tarik tersendiri dalam
menaklukkan kerasnya mental masyarakat Tebuireng saat itu. Kesabaran
Hasyim Asy’ari dalam mewujudkan cita-cita, termasuk tidak
menggunakan kekerasan dalam berdakwah, telah menjadikan masyarakat
menjadi insyaf dan menghentikan aksinya.
26
Hasyim Asy’ari tidak pernah membalas dengan kekerasan terhadap
berbagai kekerasan dari masyarakat sekitar. Termasuk teror dan intimidasi
yang dilakukan setiap malam hari. Sebagai antisipasi, Hasyim meminta
bantuan teman-temannya dari Cirebon Jawa Barat yang ahli pencak silat.
Yaitu Kyai Saleh Bendakerep, Kyai Abdullah Pangurungan, Kyai Samsuri
Wanantara dan Kyai Abdul Djalil Buntet (Mukani,215:19).
Selam delapan bulan, Hasyim dan para santri belajar pencak silat dari
para pendekar ini dan terbukti berhasil. Pada waktu selanjutnya, para santri
Tebuireng sudah berani mengadakan patroli malam hari. Ini menyebabkan
daerah sekitar Tebuireng menjadi tenang dan aman.
Para perusuh dan pengacau lambat laun menyingkir dari Tebuireng.
Menurut Imron Arifin, fakta ini mengakibatkan pengaruh Pesantren
Tebuireng terhadap budaya masyarakat sekitar juga semakin meningkat.
Kemajuan pesat yang ditunjukkan Pesantren Tebuireng ini teryata
ditanggapi negatif oleh penjajah Belanda. Hal ini dikarenakan banyak
alumni Pesantren yang menjadi Tokoh agama di masyarakat. Juga
memiliki jaringan kuat dengan K.H Hasyim Asy’ari. Di khawatirkan hal
ini akan menjadi “bom waktu” yang akan meledak sewaktu-waktu dan
akhirnya akan mengancam Belanda di pulau Jawa.
Berbagai ancaman dan intimidasi dilakukan Belanda agar Hasyim
Asy’ari menghentikan kegiatan dalam melahirkan para ulama. Termasuk
mengirim surat teguran, menuduh Pesantren Tebuireng sebagai markas
27
pengacau yang melakukan teror maupun dengan cara menggempur secara
langsung bangunan Pesantren Tebuireng (Mukani,2015:20).
Tentara Belanda datang ke lokasi Pesantren dan dengan membabi
buta, menghancurkan semua bangunan yang ada. Membakar banyak
refrensi atau kitab-kitab kuning yang digunakan untuk mengaji dan bahkan
menghajar penghuni Pesantren Tebuireng yang masih ada.
Peristiwa yang terjadi pada tahun 1913 ini, menurut Choirul Anam,
tetap tidak mampu menyurutkan semangat Hasyim Asy’ari dalam
melanjutkan kegiatan. Namun justru semakin mendorong para santri untuk
lebih giat dalam berjuang dan semakin menunjukan bahwa Belanda
memang pemerintahan yang tidak menghendaki adanya perkembangan
Islam di daerah jajahannya.
Dalam periode perkembangannya, Pesantren Tebuireng telah
mengalami berbagai perubahan, meskipun tokoh sentral di pesantren
tersebut masih Hasyim Asy’ari. Sikap terbuka terhadap perubahan dalam
memimpin lembaga pendidikan yang ditunjukkan Hasyim Asy’ari ini
merupakan pengaruh dari keadaan di Jazira Arab saat Hasyim Asy’ari
menimba ilmu di sana, yang ramai dengan kebangkitan semangat
nasionalisme.
Sebagai bukti, menurut Karel A. Steenbrink, Hasyim Asy’ari setuju
terhadap gagasan K.H. Ma’shum ‘Ali, santri sekaligus menantu, yang
mengenalkan sistem madrasah di Pesantren. Gagasan ini diharapkan
mampu meningkatkan kualitas lulusan Pesantren melalui pemantauan
28
terhadap kehadiran santri dalam mengikuti proses belajar mengajar yang
dilakukan kiyai, termasuk melakukan perbaikan manajemen. Contoh lain
adalah dimasukkannya pelajaran umum di madrasah, seperti matematika,
geografi, sejarah, menulis huruf latin dan bahasa Belanda
(Mukani,2015:22).
Hal ini merupakan “lompatan tersendiri” dari Pesantren Tebuireng
dan kemajuan yang terlalu moderen untuk jamannya. Pada masa awal, ide
ini di respon negatif oleh para orang tua santri. Bahkan banyak yang
memulangkan kembali anaknya, karena khawatir pemikiran anak-anak
mereka diracuni oleh ilmu-ilmunya orang kafir Belanda.
Namun keputusan ini baru dirasakan ketika Jepang menjajah
Indonesia, karena surat menyurat saat itu harus menggunakan bahasa latin.
Di samping itu, banyak alumni Pesantren Tebuireng yang menjadi anggota
Sangi Kai, sebagai dewan penasehat untuk Daerah Karesidenan, karena
mereka telah di bekali ilmu pengetahuan agama dan pandai dalam
menggunakan bahasa melayu.
Meski demikian, Hasyim Asy’ari seorang yang selektif terhadap
gagasan perubahan yang diusulkan oleh orang-orang terdekat. Ide KH.A.
Wahid Hasyim, putra sulung, adalah membatasi pengajaran buku-buku
berbahasa Arab yang ditulis pada masa klasik (kutubus salaf) di Pesantren
Tebuireng. Ini dilakukan mengingat santri tidak harus menjadi kiyai dan
mempelajari agama Islam bisa dari buku-buku berbahasa Indonesia. Usul
ini, menurut Aboebkar Atjeh, ditolak oleh KH. Hasyim Asy’ari karena di
29
khawatirkan perubahan secara radikal tersebut akan memunculkan
kekacauan di antara sesama pemimpin pesantren.
Hasyim Asy’ari menyetujui usul pendirian perpustakaan. Tidak hanya
menyimpan kutubus salaf, namun juga berlangganan majalah dan surat
kabar umum. Seperti Panji Islam, Islam Bergerak, Dewan Islam, Adil,
Nurul Islam, Berita Nahdhatul Ulama, Al- Munawarah, Panji Pustaka,
Pujangga Baru, Pustaka Timur, Panjebar Semangat, dan sebagainya
(Mukani,2015:23).
Pengabdian Pesantren Tebuireng kepada dunia pendidikan, terutama
pada periode kepemimpinan Hasyim Asy’ari, telah melahirkan ribuan
alaumni. Pesantren Tebuireng telah menjelma menjadi “sumber penghasil”
para pemimpin Pesantren di pulau Jawa dan Madura. Dari jumlah 200
alumni menjelang akhir 1910-an dan 2000 alumni pada tahun 1920-an,
tepat pada tahun 1942-an, pesantren Tebuireng telah melahirkan tidak
kurang 20.000 orang kyai yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
Para alumni tersebut, lanjut Zuhairi Misrawi, tepat menjadikan
Pesantren Tebuireng sebagai “kiblat” dalam mengembangkan diri. Hasyim
Asy’ari tetap menjadi figur sentral dalam setiap pergerakan saat itu.
Di antara alumni tersebut adalah KH. Abdul Wahab Hasbullah
Tambak beras, KH. Bisri Syamsuri Denanyar, KH. Manaf Abdul Karim
Lirboyo, KH. Abbas Buntet Cirebon, KH. As’ad Syamsul Arifin Sukorejo
Situbondo, KH. Ma’shum Ali Seblak Jombang, KH. ‘Adlan Ali Cukir
Jombang, KH. Saifuddin Zuhri, KH. Masjkur Singosari Malang,
30
KH.Abdul Muchit Muzadi yang menjadi mustasyar PBNU dan sebagainya
(Mukani,2015:24).
Dukungan penuh dari keluarga merupakan salah satu faktor penting
keberhasilan Hasyim Asy’ari dalam mengelola Pesantren Tebuireng. Baik
ayah, maupun kakek moyang. Ini dimungkinkan karena menjadi seorang
ulama tidak mudah.
Pada masa lalu, seorang ulama harus mampu melahirkan ulama-ulama
yang lain. Di antaranya, dengan mendirikan pondok pesantren dan
mendidik putra-putrinya dengan pendidikan keagamaan yang baik. Hasyim
Asy’ari adalah salah satu potret nyata dari tradisi keulamaan Nusantara
yang latar belakang keluarga ulamanya telah mendorong untuk menjadi
seorang ulama besar di kemudian hari.
Gelar keulamaan Hsyim Asy’ari sendiri semakin dikokohkan saat
guru yang sangat dihormati yaitu syaikhona khalil, datang kepesantren
Tebuireng untuk belajar tentang hadis. Kedatangan beliau yang Kharis
matik itu seolah semakin mengukuhkan bahwa Hasyim Asy’ari kini sudah
menjadi gurunya dalam bidang hadis.
Syaikhona Khalil meski ahli dalam bidang tata bahasa Arab, sengaja
datang ke Pesantren Tebuireng untuk menambah wawasan dalam bidang
hadis. Terutama setelah mendengar kabar dari banyak orang yang pulang
haji bahwa Hasyim Asy’ari telah menjadi ulama yang kedalaman
ilmunya tidak diragukan lagi, hususnya dalam bidang hadis
(Mukani,2015:25).
31
Setelah Hasyim Asy’ari wafat pada 1947, kepemimpinan Pesantren
Tebuireng diserahkan kepada putra sulung, KH Abdul Wahid Hasyim
(1947-1950). Dalam Profil Pesantren Tebuireng, pengasuh pondok
Pesantren Tebuireng berikutnya berturut-turut adalah KH. Abdul Karim
Hasyim (1950-1951), KH Achmad Baidhawi Asro (1951-1952), KH.
Abdul Kholik Hasyim (1953-1965), KH. Muhammad Yusuf Hasyim
(1965-2006) dan KH. Salahudin Wahid (2006-sekarang)
(Mukani,2015:25-26).
D. Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari Dalam Bidang Pendidikan
Tepat pada tanggal 26 Rab’ Al-Awwal 1317 H. Berepatan pada
tanggal 6 Februari 1906 M, Hasyim Asy’ari mendirikan Pondok Pesantren
Tebuireng. Oleh karena kegigihannya dan keikhlasannya dalam
mensosialisasikan ilmu pengetahuan, dalam beberapa tahun kemudian
Pesantren relatif ramai dan terkenal (Madyuni,2013:28).
Menurut Abu bakar Atjeh yang dikutip oleh editor buku Rais’ Am
Nahdlatul Ulama hal. 153 bahwa KH. Hasyim Asy’ari mengusulkan
pengajaran di pesantren diganti dari sistem bandongan menjadi sistem
tutorial yang di bawah komando kyai-kyai NU.
Kemudian menurut buku 20 Tahun Indonesia Merdeka VII yang di
terbitkan Departemen Penerangan, hal tersebut menunjukkan betapa
penuhnya perhatian ulma besar tersebut akan nasib perjuangan bangsa dan
negara. Karena situasi bangsa di bawah kekuasaan penjajah belanda, di
32
samping mengajar, ia turut memikirkan dan memperjuangkan kemerdeka.
Keluar masuk penjara pun menjadi resiko (Madyuni,2013:29).
Pada masa itu, beliau mengeluarkan dua fatwa yang terkenal dalam
sejarah. Pertama: perang melawan Belanda adalah jihad, hukumnya wajib
bagi setiap orang (fardhu ain). Kedua: melarang kaum muslimin beribadah
haji menumpang kapal-kapal Belanda (Santosa,2007:37).
Pada masa penjajahan Jepang beliau pernah ditahan bersama KH.
Mahfudz Siddiq, karena menolak Seikrei, sistematis dengan tujuan untuk
mengembangkan inisiatif dan keperibadian para santri. Namun hal ini
ditolak oleh ayahnya, Asy’ari dengan alasan akan menimbulkan konflik di
kalangan kyai sinior.
Pada tahun 1916-1934 Hasyim Asy’ari membuka sistem pengajaran
berjenjang. Ada tujuh jenjang kelas dan dibagi ke dalam dua tingkatan.
Tahun pertama dan tahun kedua dinamakan siffir awal dan siffir tsani yaitu
masa persiapan untuk memasuki masa lima tahun jenjang berikutnya. Pada
siffir awal dan siffir tsani itu diajarkan bahasa Arab sebagai landasan
penting pembedah khazanah pengetahuan Islam. Kurikulum madrasah
mulai ditambah dengan pelajaran-pelajaran bahasa Indonesia (Melayu),
matematika dan ilmu bumi, dan tahun 1926 ditambah lagi dengan mata
pelajaran bahasa Belanda dan Sejarah(Madyuni,2013:30).
Kyai Hasyim Asy’ari terkenal sebagai ulama yang mampu melakukan
penyaringan secara ketat terhadap sekian banyak tradisi keagamaan yang
dianggapnya tidak memiliki dasar-dasar dalam hadis dan beliau sangat
33
teliti dalam mengamati perkembangan tradisi ketarekatan di Pulau Jawa,
yang nilai-nilainya telah menyimpang dari kebenaran ajaran Islam.
Menurut Kyai Hasyim Asy’ari, beliau tetap mempertahankan ajaran-
ajaran madzhab untuk menafsirkan Al-Qur’an dan Hadis dan pentingnya
peraktek tarikat (Madyuni,2013:30).
Sebagaimana diketahui dalam sejarah pendidikan Islam tradisional,
khususnya di Jawa, peranan Kyai Hasyim Asy’ari yang kemudian terkenal
dengan sebutan Hadratu Asy-Syaikh (guru besar di lingkungan pesantren),
sangat besar dalam pembentukan kader-kader ulama pimpinan pesantren.
Banyak pesantren besar yang terkenal terutama yang berkembang di Jawa
Timur dan Jawa Tengah, di kembangkan oleh para kyai hasil didikan kyai
Hasyim Asy’ari.
Beliau menyebutkan bahwa tujuan utama ilmu pengetahuan adalah
mengamalkan. Hal itu dimaksutkan agar ilmu yang dimiliki menghasilkan
manfaat sebagai bekal untuk kehidupan akhirat kelak. Terdapat dua hal
yang harus diperhatikan dalam menuntut ilmu, yaitu: pertama, bagi murid
hendaknya berniat suci dalam menuntut ilmu, jangan sekali-kali berniat
untuk hal-hal duniawi dan jangan melecehkannya atau menyepelekannya.
Kedua, bagi guru dalam mengajarkan ilmu hendaknya meluruskan niatnya
terlebih dahulu, tidak mengharapkan materi semata. Agaknya pemikiran
beliau tentang hal tersebut di atas, dipengaruhi oleh pandanganya akan
masalah sufisme (tasawuf) yaitu salah satu persyaratan bagi siapa saja
34
yang mengikuti jalan sufi menurut beliau adalah “niat yang baik dan lurus”
(Madyuni,2013:31).
Salah satu karya monumental KH Hasyim Asy’ari yang berbicara
tentang pendidikan adalah kitab Adabul ‘Alim Wal Muta’allim yang
dicetak pertama kali pada tahun 1415 H. Sebagaimana umumnya kitab
kuning, pembahasan terhadap masalah pendidikan lebih ditekankan pada
masalah pendidikan etika. Meski demikian tidak menafikan beberapa
aspek pendidikan lainnya. Keahliannya dalam bidang hadis ikut pula
mewarnai isi kitab tersebut (Madyuni,2013:31).
Belajar, menurut KH. Hasyim Asy’ari merupakan ibadah untuk
mencari ridha Allah, yang mengantarkan manusia untuk memperoleh
kebahagiaan dunia dan akhirat. Karenanya belajar harus diniatkan untuk
mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai Islam, bukan hanya untuk
sekedar menghilangkan kebodohan. Pendidikan hendaknya mampu
mengantarkan umat manusia menuju kemaslahatan. Menuju kebahagiaan
dunia dan akhirat.
Menurut Kiyai KH. Hasyim Asy’ari ada dua puluh etika yang harus di
punyai oleh seorang guru:
pertama: selalu berusaha mendekatkan diri kepada Allah.
Kedua: mempunyai rasa takut kepada Allah, takut atau Khouf.
Ketiga: mempunyai sikap tenang dalam segala hal.
Keempat: berhati-hati atau wara dalam perkataan maupun dalam
perbuatan.
35
Kelima: tawadhu, tawadhu adalah dalam pengertian tidak sombong, dapat
juga dapat dikatakan rendah hati.
Keenam: khusyuk dalam segala ibadahnya.
Ketujuh: selalu berpedoman kepada hukum Allah dalam segala hal.
Kedelapan: tidak hanya menggunakan ilmunya untuk tujuan duniawi
semata.
Kesembilan: tidak rendah diri terhadap pemuja dunia.
Kesepuluh: zuhud dalam segala hal.
Kesebelas: menghindari pekerjaan yang menjatuhkan martabat.
Kedua belas: menghindari tempat-tempat yang dapat menimbulkan
ma’siyat.
Ketiga belas: selalu menghidupkan syiar Islam.
Keempat belas: menegakkan sunah Rosull.
Kelima belas: menjaga hal-hal yang sangat di anjurkan.
Keenam belas: bergaul dengan sesama manusia secara ramah,
melestarikan nilai-nilai kebajikan dan norma-norma islam kepada generasi
penerus umat, dan penerus bangsa (Madyuni,2013:32).
Catatan menarik dan perlu dikedepankan dalam membahas pemikiran
dan pandangan yang ditawarkan oleh KH. Hasyim Asy’ari adalah etika
dalam pendidikan dimana guru harus membiasakan menulis, mengarang
dan meringkas, yang pada masanya jarang dijumpai. Dan hal ini beliau
buktikan dengan banyaknya kitab hasil karangan atau tulisan beliau.
36
Betapa majunya pemikiran beliau di bandingkan dengan tokoh-tokoh
lain pada zamannya, bahkan beberapa tahun sesudahnya. Dan pemikiran
ini diangkat kembali oleh pemikiran pendidikan pada zaman sekarang,
yaitu Harun Nasution, yang mengatakan hendaknya para dosen-dosen di
Perguruan Tinggi Islam khususnya agar untuk membiasakan untuk
menulis (Madyuni,2013:33).
Selain mumpuni dalam bidang agama, Kyai Hasyim Asy’ari juga ahli
dalam mengatur kurikulum pesantren, mengatur strategi pengajaran,
memutuskan permasalahan-permasalahan aktual kemasyarakatan, dan
mengarang kitab. Pada tahun 1919, ketika masyarakat dilanda informasi
tentang koperasi sebagai bentuk kerja sama ekonomi, kyai tidak berdiam
diri. Beliau aktif bermuamalah dan mencarai solusi alternatif dalam
pengembangan umat, dengan berdasarkan kitab-kitab Islam kelasik. Beliau
membentuk badan semacam koperasi yang bernama Syirkatul Inan Li
Murabathati Ahli al- Tujjar.
Dengan memiliki dua puluh etika tersebut diharapkan para guru
menjadi pendidik yang baik, mendidik yang mampu menjadi teladan anak
didik. Di sisi lain, ketika pendidik mempunyai etika, maka yang
terdidikpun akan menjadi anak yang terdidik beretika. Karena keteladanan
mempunyai peran penting dalam mendidik akhlak anak
(Madyuni,2013:33-34).
37
E. Nasehat-Nasehat KH. Hasyim Asy’ari
1. Tentang pendidikan
Inti pendidikan adalah menolong orang yang tidak tahu dan
membetulkan orang yang melakukan kesalahan. (Adabul ‘Alim,80)
Saat ilmu tidak dicari untuk kepentingan agama, tunggulah
kehancurannya.(Risalah Aswaja, 26)
Sedikit sekali orang mendapatkan ilmu secara sempurna kecuali
orang-orang yang memiliki sifat faqir, qana’ah dan berpaling dari
mencari dunia dan harta benda yang fana’ ini. (Adabu ‘Alim,83)
Mengutip dari kitab Nata’ij al-Afkar al-Qudsiyyah, bahwa siapa saja
yang ingin selamat di dunia dan akhirat, ketika mencari guru hendaknya
mencari guru yang memiliki sifat, (1) paham sifat-sifat Allah dan para
Rasul beserta dalilnya, baik’ aqly maupun naqly, (2) paham guru harus
sama dengan paham ahlussunnah wal jama’ah, (3) harus mengetahui
segala hukum Islam atau fiqh, baik yang menyangkut dzahir seperti
bersuci, atau yang berkenaan dengan batin, seperti syukur dan tawakkal,
(4) harus mengerjakan perintah-perintah Allah dan menjauhi segala
larangan, terutama yang dapat melunturkan sifat adil, karena setiap guru
harus memiliki sifat adil. (Risalah fi al-Aqa’id, 28-29)
Kewajiban seorang yang ingin menjadi guru, sebaiknya seorang murid
yang akan mengambil guru hendaknya guru itu memenuhi empat syarat,
(1) mengetahui sifat-sifat wajib, sifat-sifat mustahil dan sifat jaiz Allah,
dengan dalil aqli dan dalil naqli, (2) keyakinan guru harus sesuai dengan
38
ahli kebenaran yang bermadzhab empat, (3) guru harus alim dengan
hukum-hukum Allah, baik bathiniyyah maupun badaniyyah serta
lembutnya cobaan dalam beramal, (4) guru itu harus mengamalkan
ilmunya, memenuhi norma ilahi, yang haram harus dijauhi, yang wajib dan
sunah harus dijalani serta tidak merusak sesuatu yang dapat merusak sikap
adilnya. (al-Durar al-Muntatsirah, 46-47)
Etika yang baik perlu dipelajari seoarang pelajar ketika sedang belajar,
demikian juga guru perlu mengetahui etika ketika sedang mengajar,
(Adabul ‘Alim, 11).
Ulama adalah orang yang dalam diri mereka ada rasa takut kepada
Allah adalah sebaik-baik mahluk. Ulama juga harus mengamalkan
ilmunya, karena mereka memiliki keperibadian yang baik, selalu
menjauhkan diri dari perbuatan maksiat dan berbuat apa saja untuk
memperoleh ridha Allah. (adabul ‘Alim,13)
Puncak suatu ilmu adalah amal, karena amal merupakan implementasi
dari ilmu itu. Pemanfaatan ilmu dalam kehidupan sehari-hari merupakan
buah ilmu itu, sekaligus sebagai bekal kita kelak untuk menghadap Allah.
(Adabul ‘Alim, 14)
Sebaik-baik pemberian yang diberikan kepada manusia adalah akal,
sedangkan sejelek-jelek musibah yang diterima manusia adalah
kebodohan. (Adabul ‘Alim, 19)
39
Sesungguhnya ilmu adalah pelindung dan perisai dari tipu daya setan,
sebagai benteng dari tipu daya orang yang hasud, dengki dan sekaligus
sebagai petumjuk akal. (Adabul ‘Alim,19)
Hidupnya ulama adalah rahmat bagi umat. Kematian ulama dalam
Islam akan menyebabkan Islam menjadi terguncang, karena keseimbangan
sosial masyarakat Islam menjadi goyah. (Adabul ‘Alim, 21)
Mencari ilmu bukan digunakan untuk mencari keuntungan duniawi
(materialistik), baik untuk mencari jabatan, mengumpulkan harta bennda
ataupun berlomba-lomba memperbanyak pengikut dan murid. (Adabul
‘Alim, 22)
Ketika tujuan itu menjadi cacat, maka niat orang yang mencari ilmu
itu juga menjadi rusak. Hal ini karena memakai ilmu sebagai perantara
mencari kemewahan dunia yang bersifat sementara, baik untuk
mengumpulkan harta benda atau mencari jabatan. Pahala mencari ilmunya
benar-benar telah sirna dan amal perbuatannya juga menjadi hilang,
sehingga akhirnya menjadi orang yang sangat merugi. (Adabul ‘Alim, 24)
Yang mampu memberikan kebahagiaan dan usia yang panjang pada
diri manusia dan ketenangan hanya jika dia mampu membersihkan dirinya
dari kebodohan ilmu dan berpegang teguh pada ilmu itu dengan kuat serta
tidak melupakan untuk mengamalkan ilmu itu. (Adabul ‘Alim, 46)
Janganlah beranggapan bahwa memperoleh buku-buku atau
mengoleksi buku-buku yang bannyak akan menjamin pada pemahaman
seperti banyak dilakukan oleh murid jaman sekarang. (Adabul ‘Alim,96)
40
Hendaknya memakai sopan santun dalam meletakkan sebuah buku
sebagai bentuk penghormatan pada ilmu, kemuliaan atau pengarangnya
serta keagungannya. (Adabul ‘Alim, 97) (Mukani,2015:49-84).
2. Tentang Akhlaq
Sehatnya hati adalah terhindar dari sifat berlebihan dan sifat sombong.
(Adabul ‘Alim, 26)
Ada empat perkara yang tidak akan merendahkan posisi orang yang
mulia jika melakukannya meskipun seorang raja, yaitu berdiri untuk
melayani orang tuanya, ber-khidmah kepada guru yang mendidiknya,
bertanya sesuatu yang tidak diketahuinya dan melayani tamu. (Adabul
‘Alim,40-41)
Salah satu cara mengobati penyakit pikiran adalah dengan
berkeyakinan bahwa iri adalah suatu perbuatan yang berlawanan deangan
kehendak Allah, karena semua sudah ditetapkan Allah terutama kepada
orang yang di-iri-kan juga bahwa iri itu hanya akan membuat sulit dan
rusaknya hati semata. (Adabul ‘Alim, 64)
Akan datang suatu zaman saat manusia berorentasi hanya kepada
perut kemuliaan hanya diukur dari harta benda, wanita dijadikan kiblat
dan uang dijadikan agama. Mereka ini adalah sejelek-jeleknya makhluk
Allah. (Risalah Aswajah,28)
Saat orang jujur dicap sebagai pengkhianat dan pengkhianat dicap
sebagai orang jujur, maka berarti kiamat sudah sangat dekat. (Risalah
Aswajah,25)
41
Nasehat adalah sebuah kata yang mengungkapkan sejumlah
keinginan baik terhadap sasaran nasehat dan tidaklah mungkin
mengungkapkan semua itu dengan satu kata yang dapat mencakup
semuanya. Baik itu kepada Allah, kitab-Nya, rasul-Nya, pemimpin kaum
muslimin dan kaum awam. (al-Nur al-Mubin, 10)
Tanda orang baik beruntung itu memiliki sifat-sifat beriman, amal
saleh, memberi nasehat kebenaran dan memberi nasehat kesabaran,
menjalani kebaikan dan menjauhi maksiat, sabar dalam menghadapi
cobaan dan bahaya. (al- Durar al Muntatsirah,51)
Akhir dari jalan menuju Allah adalah taubat dari segala dosa dan hal-
hal terlarang yang bisa dilakukan, dengan jalan (1) melanggengkan
keadaan suci (2) melaksanakan shalat fardhu di awal waktu secara
berjama’ah, (3) melanggengkan shalat Dhuha delapan rakaat dan empat
rakaat antara shalat Mahrib dan shalat Isyak, (4) berpuasa sunnah di hari
Senen dan Kamis, (5) Shalat sunah di waktu malam hari, (6) membaca Al-
Qur’an (7) memperbanyak membaca istighfar dan shalawat atas atas Nabi
Muhammad Saw, (8) melanggengkan dzikir. (al-Maqashid,35)
Silaturrahmi harus dijalankan dengan baik kepada saudara-saudara
yang masih berhubungan darah, baik laki-laki maupun perempuan,
terutama saudara yang lebih tua. (al- Tibyan, 9)
Perbedaan pendapat yang terjadi tentang hukum suatu masalah
hendaknya tidak dijadikan alasan untuk memutus tali silaturahim. (al-
Tibyan, 16)
42
Sesungguhnya seluruh kebaikan itu berasal dari tiga perkara, yaitu
membenarkan ke-Esa-an Allah serta mempelajarinya secara global,
menguatkan diri secara lahir dan batin dengan ajaran syariat yang mulia
dan memohon pertolongan untuk melaksanakan keduanya dengan bersifat
wira’i dan riyadhah, dengan menjauh dari keramaian manusia yang
negatif, meminimalkan makan, mengurangi perkataan, dan mengurangi
tidur. (Risalah fil al-Masa’il al-Tsalatsah, 38) (Mukani,2015:49-52).
3. Tentang Kesuksesan Murid
Murid harus mensucikan hatinya dari segala sesuatu yang memiliki
unsur menipu, kekotoran hati, rasa dendam, dengki, keyakinan yang tidak
baik. Ini dilakukan agar mempermudah dalam peroses penerimaan ilmu,
penghapalan ilmu dan juga pemahaman makna-makna yang sulit dan yang
tersirat. (Adabul ‘Alim, 24)
Murid wajib berhati-hati dalam mengambil ilmu, jangan mengambil
ilmu bukan dari ahlinya. (Risalah Aswajah, 17)
Gunakan masa mudamu untuk menuntut ilmu. Gunakan waktumu
sebaik-baiknya, jangan tertipu dengan menunda-nunda belajar dan terlalu
banyak berangna-angan (thulul amal), karena perjalanan umur manusia
seperti berputarnya waktu, yang tidak mungkin diganti, ditukar, apalagi
dikembalikan. (Adabul ‘Alim,25)
Murid hendaknya qana’ah dengan penuh keikhlasan hati terhadap
segala hal yang diterima, baik dalam hal bekal ataupun pakaian. Satukan
43
hati agar tidak terpecah akibat berbagai macam angan agar sumber hikmah
bisa masuk mengalir ke dalam hati.(Adabul ‘Alim, 25)
Murid hendaknya mencari teman bermain yang bertaqwa kepada
Allah, wira’i, bersih hatinya, banyak berbuat kebaikan, sedikit berbuat
kejelekan, memiliki harga diri yang baik, sedikit berselisih pada orang lain
dan mengingatkan jika murid lupa berbuat salah. (Adabul ‘Alim, 28)
Seorang murid sudah harus seyogyanya berpandangan bahwa guru
adalah sosok yang agung dan terhormat serta memiliki derajat yang mulia
dan tinggi. Ini harus dilakukan murid agar ilmu yang diperoleh
bermanfaat. (Adabul ‘Alim, 30)
Dalam suatu pertemuan pembelajaran, seorang murid harus memakai
budi pekerti yang baik, selalu menghormati sahabat, memuliakan
pemimpin, pejabat dan teman sejawat, karena dengan ini berarti murid
sudah menghormati gurunya dan menghormati majlis pembelajaran itu.
(Adabul ‘Alim,35)
Silahkan murid bertanya kepada guru tentang berbagai hal yang belum
dipahami. Pakailah bahasa yang sopan dengan sebaik mungkin. Gunakan
waktu pembelajaran sebaik mungkin untuk meminta penjelasan guru.
Adabul ‘Alim,36-37)
Murid sebaiknya tidak membandingkan antar guru, tidak
menunjukkan pemahamannya tentang suatu hal, tidak menyela penjelasan
guru dan tetap berkonsentrasi terhadap penjelasan guru. (Adabul ‘Alim, 38)
44
Murid yang sejati akan memiliki cita-cita yang tinggi, sehingga tidak
akan merasa cukup dengan ilmu yang sedikit, karena kalau bisa mencari
ilmu sebanyak mungkin. Murid tidak boleh merasa cukup hanya pada apa
yang diwariskan oleh para Nabi, karena hanya sedikit, sehingga murid
tidak sombong dan bodoh. (Adabul ‘Alim, 48)
Sebelum membaca kitab, murid hendaknya membaca ta’awudz,
basmalah, hamdalah, dan shalawat kepada Nabi Muhammad Saw,
keluarganya, para sahabatnya, kemudian mendoakan gurunya, dirinya
sendiri dan kaum muslimin, meminta rahmat Allah untuk pengarang kitab
yang sedang di baca. (Adabul ‘Alim, 52)
Murid harus semangat dan optimis akan berhasil di masa mendatang,
yang diwujudkan dengan kegiatan yang positif dan bermanfaat serta
menghindari keresahan yang mengganggu. (Adabul ‘Alim, 53)
Murid hendaknya menyebar luaskan kedamaian, menunjukkan sikap
kasih sayang dan penghormatan serta menjaga hak yang dimiliki oleh
teman, saudara baik seagama atau seaktivitas (Adabul ‘Alim, 54)
(Mukani,2015:84-93).
F. Karya-Karya KH. Hasyim Asy’ari
KH. Hasyim Asy’ari dikenal tidak semata sebagai pendiri jam’iya
Nahdlatul Ulama. Lebih dari itu, Rais Akbar PBNU ini juga memiliki
beberapa kitab yang tersimpan dengan rapi dan telah dikondifikasi secara
apik khususnya oleh sang cucu, alm KH. Ishom Hadzik
(Madyuni,2013:24).
45
Tidak diragukan lagi bahwa Syekh Hasyim Asy’ari mempunyai
banyak ilmu dan ahli dalam berbagai bidangnya sehingga beliau menjadi
panutan bagi para ulama pada zamannya maupun setelahnya. Berdasarkan
keluasan dan kedalaman ilmunya, beliau telah membuat banyak buku, di
antaranya:
1. Adaabul al-‘Alim Wa al-Muta’allim, yang menerangkan hal-hal
yang dibutuhkan para pencari ilmu dan para pengajar dalam proses
belajar dan mengajar.
2. Ziyaadatu Ta’liiqaat
3. Al- Tanbiihaat al-Waajibaat
4. Al-Risaalah al-jaami’ah, yang menjelaskan keadaan kematian dan
tanda-tanda hari kiamat dan disertai pemahaman Hadits mengenai
masalah tersebut.
5. Al- Nur al Mubiin fi Mahabbati Sayyidi al- Nursaliin, yang
menerangkan arti dari cinta kepada Rasulluah SAW dan tata cara
mengikutinya serta meneladani beliau dalam kehidupan.
6. Hasyiyiah ‘Ala Fathi al-Rahman dan di sertai syarah Risalati al-
Waliy Ruslaani karangan Syekh al-Islam Zakariyyah al-Anshariy.
7. Al-Durar al-Munqatsirah fil al-Masa’il al-Ti’i ‘Asyarah,
menjelaskan masalah Thariqah dan Kewalian dan segala sesuatu.
8. Al-Tibyan fi al Nahyiy ‘an Muqaathi’ati al-Arham wa al-Aqaarib
wa al-ikhwan, yang menjelaskan pentingnya menyambung
46
persaudaraan dan akibat yang akan diterima jika memutuskan
persaudaraan.
9. Al-Risalah al-Tauhidiyyah, ini adalah buku kecil yang
menerangkan perihal aqidah ahlu al-sunnah wa al-jama’ah.
10. Al-Qalaa’id, yang menerangkan seputar tata cara berakidah. Dan
lain sebagainya, yang kesemuanya merupakan hasil karya yang
bagus dan sangat bermanfaat. Ini semua mengindikasikan bahwa
beliau adalah kyai produktif dan memiliki kedalaman ilmu (Siroj
dan Hadi,2009:1-2).
47
BAB III
PENDIDIKAN KARAKTER PERSPEKTIF
K.H. HASYIM ASY’ARI
A. PENDIDIKAN KARAKTER SECARA UMUM
Mengupas masalah pendidikan karakter merupakan suatu pembahasan
yang menarik, karena pemahaman pemikiran tentang makna pendidikan
karakter sendiri sangat beragam. Kita berbicara tentang pendidikan
karakter secara umum. Pendidikan karakter ini hendaknya ditempatkan
pada skala prioritas dalam membangun bangsa. Mereka hendaknya
dididik agar menjadi anak bangsa yang berakhlakul karimah. Untuk
menjadikan generasi masa depan yang unggul, inovatif, kreatif, mandiri
sesuai dengan kemajuan zaman (Nizar,2002:107).
Banyak pendapat yang berlainan tentang pendidikan. Salah satu
diantaranya menerangkan bahwa pendidikan adalah hasil peradaban suatu
bangsa yang dikembangkan atas dasar pandangan hidup bangsa yang
berfungsi sebagai filsafat pendidikan, suatu cita-cita atau tujuan yang
menjadi motif; cara suatu bangsa berfikir dan berkelakuan, yang dilakukan
turun temurun dari generasi ke generasi. Cara ini menunjukkan tingkat
kemajuan, peradaban suatu generasi, juga menjadi satu kenyataan bahwa
dalam perkembangannya manusia selalu menuju ke arah peningkatan
nilai-nilai kehidupan dan membina kehidupan yang lebih sempurna
(Suwarno,2006:19).
48
Menurut George F. Kneller, pendidikan memiliki arti luas dan sempit.
Dalam arti luas, pendidikan diartikan sebagai tindakan atau pengalaman
yang mempengaruhi perkembangan jiwa, watak, ataupun kemampuan fisik
individu. Dalam arti sempit, pendidikan adalah suatu proses
mentransformasikan pengetahuan, nilai-nilai, dan keterampilan dari
generasi ke generasi yang dilakukan oleh masyarakat melalui lembaga-
lembaga pendidikan (Suwarno,2006:20).
Banyaknya faktor yang menyebabkan runtuhnya bangsa Indonesia
pada saat ini. Diantaranya adalah faktor pendidikan. Kita tentu sadar
bahwa pendidikan merupakan mekanisme institusional yang akan
mengakselereasi pembinaan karakter bangsa dan juga berfungsi sebagai
arena mencapai tiga hal prinsipal dalam pembinaan karakter bangsa. tiga
hal prinsipal tersebut (menurut Rajasa, 2007) adalah:
1. Pendidikan sebagai arena untuk re-aktivasi karakter luhur bangsa
Indonesia. Secara historis bangsa Indonesia adalanh bangsa yang
memiliki karakter kepahlawanan, nasionalisme, sifat heroik, semangat
kerja keras serta berani menghadapi tantangan. Kerajaan-kerajaan
Nusantara di masa lampau adalah sebagai bukti keberhasilan
pembangunan karakter yang mencetak tatanan masyarakat maju,
berbudaya dan berpengaruh.
2. Pendidikan sebagai sarana untuk membangkitkan suatu karakter
bangsa yang dapat mengakselerasikan pembangunan sekaligus
49
memobilisasi potensi domestik untuk meningkatkan daya saing
bangsa.
3. Pendidikan sebagai sarana untuk menginternalisasi kedua aspek diatas
yakni re-aktivasi sukses budaya masa lampau dan karakter inovatif
serta kompetitif, ke dalam segenap sendi-sendi kehidupan bangsa dan
program pemerintah (Muslica,2011:2-3).
Mendidik dikatakan membudayakan manusia, mendidik juga dikatan
memanusiakan anak manusia. Anak manusia akan menjadi manusia hanya
bila ia menerima pendidikan. Anak manusia bila di besarkaan oleh seekor
binatang di tengah hutan akan bertingkah seperti binatang sebab tingkah
laku binatang itulah yang sempat ia tiru. Dalam hal seperti ini jelaslah ia
tidak menjadi manusia baik ditinjau dari segi penampilan maupun dari segi
kejiwaan. Oleh sebab itu, untuk membuat anak manusia menjadi anak
manusia yang mutlak diperlukan pendidikan (Pidarta,1997:4).
Ketika bangsa Indonesia bersepaka memproklamasikan kemerdekaan
Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, para bapak pendiri bangsa
menyadari paling tidak ada tiga tantangan besar yang harus dihadapai.
Pertama, adalah mendirikan Negara yang bersatu dan berdaulat, kedua
adalah membangun bangsa, dan ketiga adalah membangun karakter.
Ketiga hal tersebut secara jelas tampak dalam konsep Negara Bangsa dan
pembangunan karakter Bangsa. Pada implementasinya kemudian upaya
mendirikan Negara relatif lebih cepat jika dibandingkan dengan upaya
untuk membangun bangsa dan membangun karakter. Kedua hal terakhir
50
itu terbukti harus diupayakan terus menerus, tidak boleh putus di
sepanjang sejarah kehidupan kebangsaan Indonesia (Samani dan
Hariyanto,2011:1).
Karakter dimaknai sebagai cara berpikir dan berperilaku yang khas
tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkungan
keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Individu yang berkarakter baik
adalah individu yang dapat membuat keputusan dan siap
bertanggungjawab setiap akibat dari keputusannya. Karakter dapat
dianggap sebagai nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan
Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan
kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan
perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya,
adat istiadat, dan estetika. Karakter adalah perilaku yang tampak dalam
kehidupan sehari-hari baik dalam bersikap maupun dalam bertindak
(Samani dan Hariyanto,2011:42).
Berkaitan dengan dirasakan semakin mendesaknya implementasi
pendidikan karakter di Indonesia, Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan
Pengembangan Kementrian Pendidikan Nasional dalam publikasinya
berjudul Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Karakter (2011) menyatakan
bahwa pendidikan karakter pada intinya bertujuan membentuk bangsa
yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran,
bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, berorentasi
ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya dijiwai oleh iman dan
51
taqwa kepada Tuhan yang Maha Esa berdasarkan Pancasila (Samani dan
Hariyanto,2011:9).
Pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan
nasional. Dalam UU Sisdiknas tahun 2003 diyatakan bahwa tujuan
pendidikan nasional antara lain mengembangkan potensi peserta didik
untuk memiliki kecerdasan, kepribadian, dan akhlak mulia. Pendidikan
karakter ini sebaiknya dimulai dari dalam keluarga karena anak mulai
beinteraksi dengan orang lain pertama kali terjadi dalam lingkungan
keluarga. Pendidikan karakter sebaiknya diterapkan sejak usia kanak-
kanak atau yang biasa disebut para ahli psikologi sebagai usia emas
(golden age) karena usia ini terbukti sangat menentukan kemampuan anak
dalam mengembangkan potensinya (Muhadjir dan Nurgiantoro,2011:31).
Sejak awal kemerdekaan, bangsa Indonesia sudah bertekad untuk
menjadikan pembangunan karakter bangsa sebagai bahan penting dan
tidak dipisahkan dari pembangunan nasional. Secara eksplisit pendidikan
karakter (watak) adalah amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasonal yang pada pasal 3 menegaskan bahwa
“Peandidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradapan bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
52
jawab. Potensi peserta didik yang akan dikembangkan seperti beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, kreatif ,
mandiri, menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawaab
pada hakikatnya dekat dengan makna karakter. Potensi tersebut harus
menjadi landasan implementasi pendidikan karakterdi Indonesia (Samani
dan Hariyanto,2011:26-27).
Dalam publikasi Pusat Kurikulum diyatakan bahwa pendidikan
karakter berfungsi (1) mengembangkan potensi dasar agar berhati baik,
berpikiran baik, dan berperilaku baik; (2) memperkuat dan membangun
perilaku bangsa yang multikultural; (3) meningkatkan peradapan bangsa
yang kompetitif dalam pergaulan dunia. Dalam kaitan itu telah di
identifikasi sejumlah nilai pembentuk karakter yang merupakan hasil
kajian empirik pusat kurikulum. Nilai-nilai yang bersumber dari agama,
Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional tersebut adalah: (1)
Religius, Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran
agama yang dianutnya, toleransi terhadap pelaksanaan ibadah agamaa lain,
dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain. (2) Jujur, Perilaku yang
disadarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu
dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan. (3) Toleransi,
Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis,
pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya. (4)
Disiplin, Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada
berbagai ketentuan dan peraturan. (5) Kerja Keras, Tindakan yang
53
menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan
peraturan. (6) Kreatif, Berpikir dan melakukan sesuatu untuk
menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki. (7)
Mandiri, Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain
dalam menyelesaikan tugas-tugas. (8) Demokratis, Cara berpikir, bersikap,
dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang
lain. (9) Rasa Ingin Tahu, Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk
mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya,
dilihat dan didengar. (10) Semangat Kebangsaan, Cara berpikir, bertindak,
dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara diatas
kepentingan diri dan kelompok. (11) Cinta Tanah Air, Cara berpikir,
bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan
negara diatas kepentingan diri dan kelompok. (12) Menghargai Prestasi,
Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu
yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati
keberhasilan orang lain. (13) Bersahabat/Komunikatif, Sikap dan tindakan
yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi
masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain.
(14) Cinta Damai, Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk
menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta
menghormati keberhasilan orang lain. (15) Gemar Membaca, Kebiasaan
menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan
kebajikan bagi dirinya. (16) Peduli Lingkungan, Sikap dan tindakan yang
54
selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya,
dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam
yang sudah terjadi. (17) Peduli Sosial, Sikap dan tindakan yang selalu
ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang
membutuhkan. (18) Tanggung Jawab, Sikap dan perilaku seseorang untuk
melaksanakan tugas dan kewajibannya yang seharusnya dia lakukan,
terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial, dan budaya),
negara dan Tuhan Yang Maha Esa. (Samani dan Hariyanto,2011:9).
Sebagai bangsa Indonesia yang meliliki peradaban yang mulia (baca:
masyarakat madani) dan peduli dengan pendidikan bangsa, sudah
seyogyanya kita berusaha untuk menjadikan nilai-nilai karakter mulia itu
tumbuh dan bersemi kembali menyertai sikap dan perilaku bangsa, mulai
dari pemimpin tertinggi hingga rakyat jelata. Salah satu upaya kearah itu
adalah melakukan pembinaan karakter di semua aspek kehidupan
masyarakat, terutama melalui institusi pendidikan (Zuchdi,2013:13).
Dalam kamus bahasa Inggris-Indonesia karakter berasal dari kata
character yang berarti watak, karakter atau sifat (Echols,1996:107). Dalam
kamus bahasa Indonesia, “karakter” diartikan dengan tabiat, sifat-sifat
kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan
yang lainnya. Orang berkarakter berarti orang yang berkeperibadian,
berperilaku, bersifat, bertabiat, atau berwatak. Dengan makna seperti ini
berarti karakter indentik dengan keperibadian atau akhlak. Keperibadian
merupakan ciri atau karakteristik atau sifat khas dari diri seseorang yang
55
bersumber dari bentuk-bentuk yang diterima dari lingkungan, misalnya
keluarga, dan bawaan sejak kecil (Muhajir dan Nurgiyantoro,2011:27).
Dari pengertian di atas dapat di pahami bahwa karakter identik dengan
akhlak, sehingga karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang
universal yang meliputi seluruh aktivitas manusia, baik denga
berhubungan dengan Tuhannya, dengan dirinya, dengan sesama manusia,
maupun dengan lingkungannya, yang berdasarka dengan norma-norma
agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Dari konsep karakter
ini muncul konsep pendidikan karakter (character education)
(Zuchdi,2013:16-17).
Dari keseluruhan ini dalam pendidikan karakter sesungguhnya
Hasyim Asy’ari sangat paham tentang pendidikan karakter dalam negara
Indonesia. Dengan adanya pandangan, pelaksanaan pendidikan karakter
yang hanya dipahami sebagai proses pewarisan adat dan sosialisasi
perilaku individu maupun sosial yang telah menjadi model baku dalam
masyarakat. Kondisi yang demikian menyebabkan pelaksanaan pendidikan
karaakter berjalan searah dan tidak bersifat dialogis. Padahal pengembanga
Religius, Jujur, Toleransi, Disiplin, Kerja Keras, Kreatif, Mandiri,
Demokratis, Rasa Ingin Tahu, Semangat kebangsaan, Cinta Tanah Air,
Menghargai Prestasi, Bersahabat, Cinta Damai, Gemar Membaca, Peduli
Lingkungan, Peduli Sosial, dan Tanggung Jawab merupakan cara strategis
untuk mencapai pendidikan karakter yang tinggi (Samani dan
Hariyanto,2011:52).
56
Pendidikan yang ditawarkan oleh Hasyim Asy’ari adalah pendidikan
yang berbasis karakter yang sedang di gembar gemborkan oleh Mentri
Pendidikan saat ini untuk dijadikan sebagai acuan dalam pembentukan
karakter peserta didik. Itu artinya pemikiran pendidikan organisasi Islam
terbesar di duni ini telah melampaui zamannya. Pokok-pokok pemikiran
pendidikan karakter Hasyim Asy’ari, dapat dengan jelas di ketahui dalam
kitabnya “Adabul ‘Alim wal Muta’allim”. Jombang Turats, 1415 H”.
(Madyuni,2013:31).
Masalah pendidikan di negeri ini, selain kurikulum, metode juga
menjadi sorotan. Ini dapat dipahami karena metode memang lebih penting
dari kurikulum. Namun metode juga sangat tergantung pelaksanaannya
pada guru, sebab guru lebih penting dari metode itu sendiri. Namun, roh
seorang guru lebih bermakna dari jasadnya sendiri, karena metode
secanggih apapun, jika berada pada guru yang tidak bersemangat akan
nihil hasilnya. Prinsip keterkaitan antar kurikulum, metode dan guru, telah
disadari pentingnya oleh Hasyim Asy’ari dan para ulama-ulama muktabar
yang terjun langsung mengurus lembaga pendidikan (Madyuni,2013:30).
B. PANDANGAN KH. HASYIM ASY’ARI TENTANG PENDIDIKAN
KARAKTER
Pembahasan yang sangat menarik, karena pandangan pemikiran
tentang pendidikan karakter sendiri beragam. Berbagai sumber ini kita bisa
mencari pandangan tentang pendidikan karakter yang sudah berkembang
dan yang sudah diterapkan.
57
Sebelum memasuki pembahasan mengenai pandangan KH. Hasyim
Asy’ari terhadap pendidikan karakter, perlunya sedikit menengok sejarah
panjang yang melatar belakangi terbentuknya ide dan gagasan dari para
pejuang, guru bangsa kita. Kegelisaan para tokoh semisal KH. Hasyim
Asy’ari dan lainnya merupakan bentuk jawaban dari ketidak puasan
terhadap kondisi bangsa yang terjajah. Dunia karakter juga ternyata di
racuni oleh penjajah demi kepentingan pribadi dan kelangsungan hidup
mereka dibumi pertiwi. Berangkat dari keprihatinan itulah yang
mendorong perjuangan melalui pendidikan karakter, menjadikan perhatian
serius pada tokoh-tokoh pejuang bangsa. Karena dengan pendidikan
karakter bangsa ini bisa maju terbebas dari cengkraman kaum
imperialisme (Sucipto,2010:103-104).
Dalam pandangan KH. Hasyim Asy’ari, pembentukan karakter
merupakan suatu keniscayaan dalam dunia pendidikan, karena dengan
karakter peserta dapat menuntut ilmu dengan baik. Hasyim Asy’ari
mengutip sebuah kisah bahwa ketika imam Syafi’i pernah ditanya
seseorang, “sejauh mana perhatianmu terhadap karakter?” beliau lalu
menjawab, “setiap kali telingaku menyimak suatu pengajaran budi pekerti
meski hanya satu huruf maka seluruh organ tubukku akan ikut merasakan
(mendengarkan) seolah-olah setiap orang memiliki alat pendengaran
(telinga). Demikian perumpamaan hasrat kecintaanku terhadap pengajaran
budi pekerti”. Beliau lantas ditanya lagi,” lalu bagaimanakah usaha-usah
dalam mencari karakter itu?” beliau menjawab, “Aku akan senantiasa
58
mencarinya laksana seorang ibu yang mencari anak satu-satunya yang
hilang”. Maka dalam bukunya itu, Hasyim Asy’ari menuliskan kesimpulan
kaitannya dengan masalah karakter ini bahwa sebagian ulama
menjelaskan konsekuensi dari pernyataan tauhid yang telah diikrarkan oleh
seseorang adalaah mengharuskan beriman kepada Allah (dengan
membenarkan dan menyakini Allah tanpa sedikit pun keraguan). Karena
apabila ia tidak memiliki keimanan itu, tauhidnya dianggap tidak sah.
Demikian pula keimanan jika keimanan tidak dibarengi dengan
pengamalan syariat (hukum-hukum Islam) dengan baik maka
sesungguhnya ia belum memiliki keimanan dan tauhid yang benar. Begitu
pula dengan pengamalan syariat, apabila ia mengamalkannya tanpa
dilandasi karakter maka pada hakikatnya ia belum mengamalkan syariat
dan belum dianggap beriman serta bertauhid kepada Allah SWT.
Berdasarkan beberapa hadis Rosulullah dan keterangan ulama di atas,
kiranya tidak perlu kita ragukan lagi betapa luhurnya kedudukan karakter
di dalam ajaran agama Islam. Karena tanpa karakter dan perilaku yang
terpuji maka apa pun amal ibadah yang dilakukan seseorang tidak akan
diterima di sisi Allah SWT sebagai satu amal kebaikan, baik menyangkut
amal qalbiyah (hati), badaniyah (badan), qauliyah (ucapan), maupun
fi’liyah (perbuatan). Dengan demikian, dapat kita maklumi bahwa salah
satu indikator amal ibadah seseorang diterima atau tidak disisi Allah
adalah melalui sejauhmana aspek karakter disertakan dalam setiap amal
perbuatan yang dilakukan (Sanusi,2013:196-197).
59
Melihat gagasan-gagasan yang ditawarkan di atas, nampak jelas
nuansa kesufian dalam diri Hasyim Asy’ari. Hal ini tidaklah
mengherankan sebab dalam perilaku kehidupannya beliau memang lebih
cenderung pada kehidupan sufi. Dengan ilmu tasawuf dan hadis yang
dikuasainya, sangat mewarnai gagasan pemikiran keagamaan dan juga
dalam bidang pendidikan. Beliau adalah sufi yang tidak hanya sibuk
dengan zikir dan fikir, tapi masuk berbaur dengan masyarakat untuk
membebaskan umat dari belenggu kebodohan. Ada beberapa catatan
menarik dari gagasan-gagasan Hasyim Asy’ari terkait dengan integritas
seorang guru, seperti seorang guru haruslah membiasakan diri menulis,
mengarang, dan meringkas. Hasyiam Asy’ari memandang bahwa perlu
adanya tulisan dan karangan, sebab media tulisan itulah ilmu yang dimiliki
seseorang akan terabadikan dan akan banyak memberi manfaat pada orang
yang datang setelahnya, atau pada generasi mendatang, di samping dirinya
akan dikenang sepanjang masa (Sanusi,2013:222-226).
Tapi harus diakui bahwa gagasan Hasyim Asy’ari di atas tidak
terlepas dari praktik pendidikan yang telah dialaminya selama hidupnya,
yang telah mengabadikan dirinya dalam dunia pendidikan. Inilah yang
menjadi kekuatan tersendiri dalam mengeluarkan gagasan-gagasan.
Sampai-sampai hal-hal yang sepele seperti cara menegur dan menyikapi
anak yang terlambat masuk kelas juga diangkatnya.
Jelas, hal ini hanya wujud dari para praktisi pendidikan yang paham
betul dunia pendidikan, yang sangat sulit disentuh oleh para penggagas
60
dan pengamat pendidikan yang hanya duduk di kursi kantor. Belum lagi
pada penampilan, baik fisik maupun sikap, semua disajikan secara detail.
Dengan mengaplikasikan pemikiran pendidikan KH. Hasyim Asy’ari di
atas, dengan haqqul yaqin, pendidikan karakter yang minus teladan akan
terealisasi dengan sendirinya (https://kmnu.or.id/konten-108-pendidikan-
adab-menurut-kh-hasyim-asyari diakses, Sabtu, 6 Maret 2017 jam 13.53).
Hasyim Asy’ari dalam kitab “Adabul ‘Alim wal Muta’allim”,
menawarkan tentang
1. “Etika yang harus dimiliki oleh pelajar terhadap dirinya sendiri”,
pembahasan pada bab ini ada 10 materi kajian, sebagai mana berikut
ini:
a. seorang pelajar hendaknya menyucikan hatinya dari segala
kedustaan, kotoran hati, prasangka buruk, iri hati, aqidah yang
sesat dan ahlak yang buruk.
b. Membaguskan niat dalam mencari ilmu, yaitu mencari ilmu
bertujuan semata mata untuk mencari ridho Allah SWT,
mengamalkan ilmu yang dimiliki, menghidupkan syari’at islam
dan beribadah taqarrub kepada Allah’Azza wa Jalla.
c. Bergegas mencari ilmu ketika masih muda dan setiap kali ada
kesempatan. Belajar jangan mudah tergoda bujukan nafsu yang
suka menunda-nunda dan berkhayal saja, karena setiap waktu
yang sudah berlalu tidak bisa diganti lagi.
61
d. Seorang pelajar hendaknya bersikap qona’ah (menerima apa
adanya) terhadap makanan maupun pakaian yang dimiliki.
e. Seorang pelajar harus mengatur waktu siang dan malamnya, serta
memanfaatkan sisa-sisa usianya dengan baik karena usia yang
sudah terlewati tidak ada gunanya lagi.
f. Seorang pelajar hendaknya mengurangi makan dan minum karena
kekenyangan bisa membuatnya malas beribadah dan membuat
tubuhnya merasa berat melakukan aktivitas.
g. Seorang pelajar hendaknya memilih sikap wira’i dan hati-hati
dalam segala tingkah lakunya.
h. Seorang pelajar lebih baik mengurangi makan makanan yang bisa
menyebabkan kebodohan dan melemahkan kinerja panca indra.
i. Seorang pelajar hendaknya mengurangi waktu tidurnya selama
tidak berdampak buruk kepada kondisi tubuh dan akalnya.
j. Meninggalkan pergaulan, pergaulan yang lebih banyak menyita
waktu untuk bermain-main dan tidak banyak mengasah pikiran
pelajaran (Siroj dan Hadi,2009:16-19).
2. “Etika pelajar terhadap gurunya”, di dalam pembahasan bab ini,
terdapat 12 macam etika pelajar terhadap gurunya, diantaranya
sebagai berikut:
a. Sepatutnya seorang pelajar terlebih dahulu mempertimbangkan
dan meminta petunjuk kepada Allah SWT, agar dipilihkan guru
yang tepat sehingga ia dapat belajar dengan baik dari guru
62
tersebut serta dapat menyerap pelajaran akhlakul karimah dan
adab darinya.
b. Pelajar hendaknya memilih guru yang memiliki pandangan yang
sempurna terhadap ilmu syar’i, bukan seorang yang belajar hanya
dari buku dan tak pernah berkumpul dengan para cendekiawan.
Imam Syafi’i berkata: “Barang siapa belajar (fiqh) dari buku,
maka ia telah menyia-nyiakan hukum.”
c. Pelajar yang baik akan selalu menjalankan perintah gurunya,
tidak menentang pendapat dan peraturan-peraturannya.
d. Memandang guru dengan penuh kekaguman dan rasa hormat
ta’dzim, berkeyakinan bahwa gurunya memiliki derajat yang
sempurna.
e. Mengerti akan hak gurunya dan tidak melupakan keutamaanya,
mendo’akan guru baik ketika masih hidup ataupun telah
meninggal dunia (Siroj dan Hadi,2009:20-21).
3. “Etika pelajar dalam proses pembelajaran dan apa yang harus
dilakukan di hadapan guru serta tujuan belajar”, di dalam bab ini
ada 13 macam etika sebagai berikut:
a. Mengawali belajar dari hal-hal pokok yang terdiri empat macam
cabang ilmu, yaitu: pengetahuan tentang Dzat Allah, pengetahuan
tentang sifat-sifat Allah, mempelajari ilmu fiqih, dengan cara
mempelajari hal-hal yang lebih meningkatkan ketaatan kepada
Allah, seperti toharoh, shalat, dan puasa.
63
b. Mempelajari Al-Qur’an dengan sungguh-sungguh menyakini
kebenarannya, serta giat dalam memahami tafsir dan segala
macam ilmu yang berhubungan dengan Al Qur’an.
c. Jangan terlalu cepat berkecimpung ke dalam argumen dan isu-isu
yang diperselisihkan, karena hal itu bisa membingungkan hati dan
pikiran.
d. Meminta guru atau orang yang dipercaya untuk mengoreksi buku
yang dipelajari sebelum menghafalnya, dan setelah selesai
menghafal, kemudian dengan rutin diulang-ulang.
e. Bersegera dalam menghadiri majlis ilmu, apalagi majlis ilmu
hadits (Siroj dan Hadi,2009:29-31).
4. “ Etika alim (guru) untuk dirinya sendiri”, dalam pembahasan ini
ada 10 etika alim untuk dirinya sendiri yaitu:
a. Seorang alim memperbanyak muraqabah kepada Allah (dalam
pengawasan Allah) baik dalam keadaan rahasia maupun terang
terangan.
b. Tetap takut kepada Allah dalam segala aktivitasnya, geraknya,
diamnya, perkataanya, dan perbuatannya. Karena dia adalah
orang yang dipercaya atas sesuatu yang dititipkan kepadanya
berbagai macam ilmu, hikmah, dan rasa takut kepada Allah dan
meninggalkannya adalah khianat. Allah SWT.
64
Berfirman dalam surah Al-An’am: 27
Artinya:
“janganlah kamu menghianati Allah dan Rasu (Muhammad) dan
(juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang
dipercayakan kepadmu, sedang kamu mengetahui (QS.AL-An’am:27)
c. Bersikap tenang.
d. Bersikap Wira’i.
e. Bersikap tawadhu’.
f. Khusyu’ karena Allah, Umar RA berkata: belajarlah kamu
sekalian ilmu dan belajarlah bersamanya ketenangan dan
kewibawaan.
g. Dalam segala hal bergantung kepada Allah SWT.
h. Menjadikan ilmunya sebagai tangga (sarana) yang dibuat sarana
ke beberapa tujuan duniawi.
i. Tidak mengagungkan anaknya orang yang terbuai oleh kehidupan
dunia, berjalan kepada mereka dan berdiri di depan mereka
kecuali jika adanya maslahah ini mengurangi mafsadah
(kerusakan), apalagi dia pergi ke tempat orang belajar darinya dan
walaupun dia adalah orang yang tinggi pangkatnya.
j. Orang yang alim berakhlak dengan berzuhud dari keduniaan dan
menyedikitkannya sebagaimana yang dia butuhkan, dan itu tidak
membahayakan bagi dirinya dan keluarganya, yakni hidup
sederhana dan menerima apa adanya (Siroj dan Hadi,2009:34-37).
65
5. “Etika seorang guru terhadap pelajarannya”, ketika seorang alim
mengajar (menghadiri majelis) pelajaran, maka sebaiknya suci dari
hadats, kotoran, dalam keadaan bersih, memakai wangi-wangi, dan
memakai pakaian yang paling bagus serta sesuai dengan
perkembangan mode pada zamannya, ini bertujuan untuk
mengagungkan ilmu, menghormati syari’ah dan olehnya belajar
berniat untuk mendekatkan diri kepada Allah, menyebarkan ilmu,
menghidupkan agama Islam, menyampaikan hukum-hukum Allah
SWT.
Ketika sudah sampai di dalam majelis mengucapkan salam
kepada orang yang hadir, duduk dengan menghadap kiblat (jika
memungkinkan), duduk yang berwibawa, tenang, rendah hati.
Jika dalam pelajaran terdapat banyak pelajaran maka
mendahulukan pelajaran yang paling mulia, yang paling penting
kemudian yang penting, yakni mendahulukan tafsir Qur’an, kemudian
hadits, ushuluddin, usul fiqih, kitab-kitab madzhab, nahwu, dan
diakhiri pelajaran-pelajaran yang memberi faedah, serta dapat
menyucikan hati.
Tidak berbicara dengan suara keras jika tidak diperlukan dan
tidak dengan suara yang pelan jika tidak dapat menghasilkan apa yang
dimaksudkan, yang penting suara itu tidak melampaui batas dan
hadirin dapat mendengarnya dengan sempurna (Siroj dan
Hadi,2009:48-50).
66
6. “Etika seorang alim terhadap para muridnya”,
a. Seorang guru mengajarkan murid-muridnya dengan niat dan
tujuan untuk menyebarkan ilmu, mensyiarkan ajaran syariat,
melestarikan hal-hal yang benar dan melenyapkan hal-hal yang
batil, menjaga dan melestarikan keharmonisan umat dengan ilmu
yang mereka bekali.
b. Seorang guru tidak boleh menghentikan pengajarannya terhadap
murid yang tidak mempunyai ketulusan niat, sesungguhnya
ketulusan niat dimaksudkan keberkahan ilmu, sebagaian ulama
salaf berkat: “kita mencari ilmu karena selain Allah, maka ilmu
mencegah sesuatu kecuali karena Allah.
c. Seorang guru dalam memberikan materi dengan perkataan yang
baik dan mudah dipahami.
d. Seorang guru berjuang sekuat tenaga dalam mengajar dan
memberi pemahaman kepada muridnya dengan mencurahkan
kekuatannya dan menggunakan diksi yang mudah dipahami
dengan tidak memperbanyak keterangan yang dapat
membingungkan murid (Siroj dan Hadi,2009:56-58).
7. “Etika terhadap kitab sebagai sarana mendapatkan ilmu dan
sesuatu yang berhubungan dengan cara mendapatkannya dan
etika meletakkan kitab dan menulisnya”.
67
a. Sepatutnya seseorang yang haus ilmu berusaha mendapatkan
kitab yang di pelajari semaksimal mungkin, diantaranya dengan
membelinya, menyewa atau meminjam.
b. Disunahkan meminjam buku kepada orang yang tidak
mempunyai rekor buruk, dari orang yang tidak mempunyai buruk
pula.
c. Ketika seorang santri menulis (menyalin) atau muthala’ah kitab
jangan diletakkan di atas bumi, melainkan membuat sesuatau
yang bisa menyelamatkan buku dari kerusakan jilidannya, dan
ketika meletakkan kitab dalam keadaan bertumpuk maka
diletakkan di atas meja, atau sejenisnya diusahakan selamat dari
sesuatu hal yang bisa menjatuhinya.
d. Ketika meminjam atau meminjamkan kitab sebelumnya diteliti
awal, tengah, dan akhirnya, diteliti pula urutan babnya dan
kupasannya.
e. Ketika menulis atau menyalin kitab-kitab yang berkaitan dengan
ilmu syariat, sebaiknya dalam keadaan suci, menghadap kiblat,
bersih pakaian dan badannya, menggunakan tinta yang suci
mengawali tulisan dengan (Siroj dan
Hadi,2009:66-68).
68
BAB IV
RELEVANSI PEMIKIRAN PENDIDIKAN KARAKTER
K.H HASYIM ASY’ARI
K.H Hasyim Asy’ari sering kali diceburkan dalam persoalan sosial
politik. Hal ini dapat dipahami bahwa sebagian dari sejarah kehidupan K.H
Hasyim Asy’ari juga dihabiskan untuk merebut kedaulatan bangsa Indonesia
melawan hegemoni kolonial Belanda dan Jepang. Lebih-lebih organisasi yang
didirikannya, Nahdatul Ulama, pada masa itu cukup aktif melakukan usaha-
usaha sosial politik (Madyuni,2013:14).
Pada saat itu bangsa Indonesia berada pada kekuasaan kolonial
Belanda yang berujung pada penindasan, keterbatasan dan kebodohan tak
terkecuali bagi masyarakat Islam. Keberadaan lembaga pendidikan pun masih
dianggap kurang memadai untuk mengangkat derajat kaum muslimin dari
keterpurukan, masih dianggap dampak dari penjajahan yang tidak kunjung
usai. Untuk menyelamatkan umat dari penjajahan fisik Belanda dan
penjajahan syirik, takhayul, bid’ah, khurafat, kemiskinan dan kebodohan
adalah melalui sarana kependidikan. Pendidikan ditujukan untuk
mempertinggi budi pekerti, akhlak, dan kepandaian bergaul ditambah dengan
adat istiadat. Pada tanggal 16 Rajab 1344 H/ 31 Januari 1926 M. Organisasi
NU resmi didirikan, dengan nama Nahdhatul Ulama’, artinya kebangkitan
ulama. Kyai Hasyim dipercaya sebagai Rais Akbar pertama. Kelak, jam’iyah
ini menjadi organisasi dengan anggota terbesar di Indonesia, bahkan di Asia
(Madyuni,2013:14).
Kyai Hasyim terkenal sebagai ulama yang mampu melakukan
penyaringan secara ketat terhadap sekian banyak tradisi keagamaan yang
69
dianggapnya tidak memiliki dasar-dasar dalam hadis dan ia sangat teliti
dalam mengamati perkembagan tradisi ketarekatan di pulau Jawa, yang nilai-
nilainya telah menyimpang dari kebenaran ajaran Islam. Menurut kyai
Hasyim ia tetap mempertahankan ajaran-ajaran mazhab untuk menafsirkan al-
Qur’an dan hadis dan pentingnya praktek tarikat (Madyuni,2013:30).
Pendidikan karakterpun perlu dikembangkan atau diperkokoh
sedemikian rupa karena merupakan konsekuensi logis dari keberadaan
(eksistensi) serta hakikat manusia sebagai mahluk sosial dan mahluk
berbudaya. Sebagai mahluk sosial dan mahluk berbudaya, manusia berada
pada jaringan interaksi interdependensi dengan sesama manusia yang diatur
dalam pola-pola jaringan norma yang dijabarkan dari nilai yang hidup serta
beroperasi di satu kelompok masyarakat (Muslich,2011:138).
Pendidikan karakter tidak bisa lepas dari sistem nilai yang dimiliki
oleh masyarakat serta proses internalisasi nilai untuk melestarikan sistem
nilai tersebut. Proses internalisasi nilai itu sendiri pada dasarnya adalah salah
satu aspek dari substansi proses pendidikan dalam arti luas. Dengan
demikian, pendidikan karakter merupakan proses pendidikan yang dapat
berlangsung di keluarga (bagian dari sisi pola asuh), di masyarakat (bagian
dari interaksi sosial), dan di sekolah (bagian dari pendidikan formal). Dengan
cara demikian, pendidikan karakter akan dapat menumbuhkan sikap serta
perilaku sehari-hari yang mencerminkan sistem nilai yang hidup di
suatumasyarakat. Bahkan, pendidikan karakter juga merupakan
70
pengembangan budaya dan nilai-nilai luhur budaya bangsa
(Muslicah,2011:138).
Berbagai permasalahan bangsa dan negara akan teratasi bila SDM
yang ada benar-benar berkualitas dan mampu berpikir secara maksimal sesuai
dengan bidang keahlian masing-masing. Sebenarnya tidak sedikit SDM di
negara kita yang berkualitas, namun belum banyak memberikan kontribusi
terhadap kemajuan bangsa dan negara secara menyeluruh. Di sisi lain, tidak
sedikit juga SDM kita yang berkualitas diberdayakan pihak asing sehingga
menambah kemakmuran bangsa dan negara lain. Ini terjadi akibat rendahnya
kesadaran bangsa kita akan nilai-nilai nasionalisme dan sudah banyak terbius
oleh nilai-nilai individualisme, materialisme, bahkan hedonisme.
Inilah permasalahan karakter yang melanda sebagai besar bangsa kita.
Masih banyak karakter (negatif) lain yang sekarang berkembang bahkan
menjadi budaya ditengah-tengah masyarakat kita yang semakin memperparah
problem bangsa dan bernegara. Karena itulah, tahun lalu presiden kembali
mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk bersama-sama membangun
kembali budaya dan karakter luhur bangsa yang sudah memudar. Nilai-nilai
karakter mulia yang dimiliki bangsa dan negara Indonesia sejak berabat-abat
dan sekarang sudah terkikis harus dibangun kembali terutama melalui
pendidikan (Zuchdi,2011:466).
K.H Hasyim Asy’ari memiliki tekat yang luar biasa untuk
memperjuangkan dan menanamkan nilai-nilai karakter kepada rakyatnya. Hal
71
ini dijalankan oleh K.H Hasyim Asy’ari, karena ia tidak mau bahwa
rakyatnya mengikuti pendidikan yang dijalankan oleh pemerintah penjajah.
Pandangan K.H Hasyim Asy’ari mengenai pendidikan karakter yang
demikian itu selalu diulangi dalam tulisan-tulisannya. Dan pemikiran
mengenai pendidikan yang mau memberi perhatian kepada pendidikan
karakter itu tetaplah merupakan suatu pandangan yang relevan pada masa ini,
sekalipun pemikiran K.H Hasyim Asy’ari ini berasal dari jaman penjajahan ,
enampuluh tahun yang lalu. Bukan itu saja, bahkan pemikiran K.H Hasyim
Asy’ari mengenai pendidikan karakter pada umumnya tetaplah aktual untuk
jaman ini. Dan dapatlah dikatakan bahwa pandangan K.H Hasyim Asy’ari itu
merupakan suatu keindahan lama yang selalu baru dan segar. Pandangan K.H
Hasyim Asy’ari dapatlah dipakai sebagai cermin, dan apa yang didengungkan
olehnya tidaklah kalah dengan pemikiran-pemikiran pendidikan karakter pada
masa ini. Bahkan yang dikemukakan oleh K.H Hasyim Asy’ari enampuluh
tahun yang lalu, juga dikemukakan oleh tokoh-tokoh pendidikan karakter
jaman sekarang ini dengan kata-kata dan rumusan yang berbeda
(Sardy,1985:46-47).
Dalam dunia yang serba maju, yang ditandai dengan oleh majunya
teknologi dan kemajuan sains di segala bidang dan seginya, kiranya tidak ada
jeleknya kalau kita menengok ke belakang dan berguru pada tokoh pendidik
kita, K.H Hasyim Asy’ari. Sebab bagaimana pun juga K.H Hasyim Asy’ari
sebagai tokoh pendidikan Indonesia, mau mengangkat derajat rakyat yang
biasanya dianggap bodoh dan dijajah. Pendidikan karakter yang dijalankan
72
oleh K.H Hasyim Asy’ari benar-benar mau menampilkan kekhasannya
sendiri (Sardy,1985:48).
Kalau kita mengamati fenomena pendidikan karakter yang ada di
Indonesia dan kemudian menghubungkannya dengan pemikiran K.H Hasyim
Asy’ari itu masih relevan juga pada jaman sekarang ini. Pemikiran yang sama
ternyata diberi perhatian oleh pemerintah, dan para mentri pendidikan pun
tidak jarang yang menekankan masalah pendidikan karakter. Salah satu
menteri pendidikan Republik Indonesia yang begitu besar menaruh perhatian
yang dicanangkan oleh K.H Hasyim Asy’ari (Sardy,1985:84).
Pemikiran K.H Hasyim Asy’ari itu haruslah dilihat dalam konteks
sejarah pergerakan nasional yang mencita-citakan kemerdekaan Indonesia
dari tangan penjajah. Bila pemikiran K.H Hasyim Asy’ari itu ditempatkan
dalam konteks sejarahnya, maka kita dapat menghargai bahwa K.H Hasyim
Asy’ari itu benar-benar merupakan seorang tokoh yang tangguh dan berani
melawan arus yang diciptakan oleh penjajah. Walaupun demikian, pemikiran
K.H Hasyim Asy’ari itu juga melampaui jamannya juga, bahkan hingga kini
pemikiran K.H Hasyim Asy’ari itu masih terasa segar, dan merupakan suatu
keindahan lama yang selalu baru. Hal ini dapat kita rasakan kalau kita
membaca karya-karya K.H Hasyim Asy’ari sendiri beserta berbagai pendapat
dan pemikiran tentangnya.
73
A. Relevansi Pendidikan
Relevansi pemikiran K. H. Hasyim Asy’ari terhadap pendidikan
sekarang nampak pada munculnya berbagai lembaga yang dinaungi panji-
panji islam atau lebih dikenal dengan sebutan Pondok Pesantren. Pesantren
sampai sekarang masih menjadi satu-satunya lembaga yang diharapkan
mampu melahirkan sosok ulama yang berkualitas, dalam arti mendalam
pengetahuan agamanya, agung moralitasnya dan besar dedikasi sosialnya.
Walaupun banyak corak dan warna profesi santri setelah belajar dari
pesantren, namun figur kyai masih dianggap sebagai bentuk paling ideal,
apalagi ditengah krisis ulama sekarang ini (Mukani,2015:20).
K.H Ilyas Rukyat (al-Maghfurlah) mengatakan, munculnya figur
santri sebagai seorang ulama masih menjadi harapan besar pesantren. Label
kyai tidak bisa diberikan oleh pesantren, tapi oleh masyarakat setelah melihat
ilmu, karakter, dan perjuangannya ditengah masyarakat. Santri tersebut
mampu menyampaikan gagasan-gagasan besar dengan bahasa sederhana yang
bisa dipahami dan dilaksanakan masyarakat luas.
Modernisasi kehidupan yang menyentuh semua aspek kehidupan
akibat revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi meniscayakan semua pihak
untuk meresponnya secara aktif dan kontekstual. Masalah-masalah
kontemporer yang datang silih berganti menuntut partisipasi aktif pesantren
untuk ikut memberikan kontribusi maksimal agar mampu memandu gerak
dinamika sejarah dengan nilai-nilai sucinya. Seorang kyai atau santri dituntut
untuk aktif mengikuti perkembangan informasi dan melakukan revitalisasi
74
tradisi intelektualnya untuk merumuskan jawaban-jawaban sederhana yang
aplikatif bagi aneka macam problem kontemporer tersebut. Disinilah letak
relevansi dan aktualitas pesantren ditengah moderasi kehidupan
(Mukani,2015:32).
Kalau pesantren tidak mampu merespons masalah kontemporer
dengan khazanah intelektualnya, maka krisis keilmuan pesantren akan
berimbas pada krisis identitas santri dalam menatap masa depannya. Krisis
identitas ini akan menurunkan kepercayaan diri santri dalam mengarungi
masa depannya. Efeknya, semangat santri dalam mengkaji khazanah
intelektual dan wacana kontemporer sebagai modal aktualisasi diri di tengah
kehidupan sosial menjadi rendah (Mukani,2015:47).
Memang harus diakui, saat ini, alumni pesantren yang mampu muncul
sebagai seorang kyai berkualitas baik dalam ilmu, karakter, dan dedikasi
sosialnya sedikit jumlahnya. Modernisasi pesantren mempengaruhi visi
seorang santri dalam melihat masa depannya. Banyak dari mereka yang
berkeinginan menjadi seorang birokrat, kaum professional, intelektual, dan
wirausahawan. Ragam profesi yang mereka sandang ini menunjukkan
elastisitas dan fleksibelitas pesantren dalam membentuk generasi masa depan
bangsa. Namun, fenomena kelangkaan ulama menjadi masalah serius yang
menarik diperbincangkan. Identitas pesantren sebagai lembaga tafaqquh
fiddin (pendalaman ilmu agama) dipertanyakan banyak pihak.
Menurut KH. MA. Sahal Mahfudh, semangat santri dalam mengkaji
dan mengembangkan ilmu sekarang jauh dibanding santri zaman dulu.
75
Sehingga pesantren sekarang semakin sulit melahirkan ulama besar.
Menurutnya, figur santri yang mendalam pemahaman aqidah dan syari’ah
masih menjadi figur ideal di tengah goncangan pemikiran keislaman yang
pasif sekarang ini. Di sinilah tantangan besar pesantren, bagaimana
memadukan visi melahirkan seorang kyai yang berkualitas di satu sisi dan
mengakomodir modernisasi tanpa kehilangan identitasnya sebagai lembaga
tafaqquh fiddin di sisi yang lain (Mukani,2015:56).
Inilah masalah serius yang harus segera ditanggulangi. Karena
kebutuhan akan lahirnya ulama masa depan yang berkualitas sudah sangat
mendesak supaya kehidupan dunia modern tidak berjalan tanpa kontrol.
Akhirnya, kita berharap pesantren mampu menjawab kritik pedas selama ini
tentang kelangkaan ulama yang berkualitas tinggi, bukan sekedar ulama
biasa. Yang perlu diyakini, pesantren mampu melakukan tugas sucinya ini
dengan kerja keras menuju keridloan Allah Swt (Madyuni,2015:74).
Pendidikan merupakan hal terpenting pada setiap orang karena dengan
pendidikan orang bisa mencapai kualitas dalam hidupnya. Dan dengan
pendidikan pula kita bisa menciptakan manusia manusia yang berakhlak baik
dan cerdas. Dan kini pendidikan dari tahun ke tahun selalu mengalami
perubahan. Banyak perubahan dari zaman dahulu hinga zaman sekarang dan
sebagai contohnya, tujuan utama dari pendidikan sekarang bukanlah demi
orang tua, nilai yang tinggi, diri sendiri ataupun guru namun saat ini yang
ingin dicapai dari sekolah ialah mendapat manfaat yang bisa dipergunakan
dalam kehidupan sehari-hari (Mangunpranoto,1976:15).
76
Pendidikan karakter menurut K.H Hasyim Asy’ari harus berbasis
tauhid. Hal itu terjadi karena pada saat itu bangsa Indonesia berada dalam
kekuasaan kolonial bangsa, yang berujung pada penindasan, keterbatasan dan
kebodoha tak terkecuali bagi masyarakat Islam. Keberadaan lembaga
pendidikan pun masih dianggap kurang memadai untuk mengangkat derajat
kaum muslimin dari keterpurukan, masih dianggap dampak dari penjajah
yang tidak kunjung usai. Pendidikan Barat dulu masih sangat terbatas.
Pembelajaran masih menggunakan sistem belajar di rumah. Pendidikan
ditujukan untuk mempertinggi budi pekerti, akhlak, dan kepandaian bergaul
ditambah dengan adat istiadat.
Pendidikan karakter bangsa ini bisa maju dan terbebas dari
cengkraman kaum imperialisme. Untuk membangun pendidikan karakter
umat manusia, khususnya di negara Indonesia. Langkah awal yang digagas
adalah gigih membina angkatan muda untuk turut bersama-sama
melaksanakan pembangunan pendidikan karakter yang berbasis tauhid.
Adapun karya Hasyim Asy’ari yang merupakan jawaban atas berbagai
problematika masyarakat, misalnya, ketika umat Islam banyak yang belum
paham persoalan tauhid atau akidah, Hasyim Asy’ari lalu menyusun kitab
tentang tauhid atau akidah, di antaranya Al-Qalaidi fi Bayani ma Yajib mina
al-Aqaid, Ar-Risalah al-Tauhidiyah, Risalah Ahli Sunnah Wal Jama’ah, al-
Risalah fi al-Tasawwuf, dan lain sebagainya (Sanusi,2013:227).
Dalam bukunya, K.H Hasyim Asy’ari menuliskan kesimpulan
kaitannya dengan masalah karakter ini bahwa sebagian ulama menjelaskan
77
konsekuensi dari pernyataan tauhid yang telah diikrarkan oleh seseorang
adalah mengharuskan beriman kepada Allah (dengan membenarkan dan
menyakini Allah tanpa sedikit pun keraguan). Karena apabila ia tidak
memiliki keimanan itu, tauhidnya dianggap tidak sah. Demikian pula
keimanan jika keimanan tidak dibarengi dengan pengamalan syariat (hukum-
hukum Islam) dengan baik maka sesungguhnya ia belum memiliki keimanan
dan tauhid yang benar. Begitu pula dengan pengamalan syariat, apabila ia
mengamalkannya tanpa dilandasi karakter maka pada hakikatnya ia belum
mengamalkan syariat dan belum dianggap beriman serta bertauhid kepada
Allah SWT. Berdasarkan beberapa hadis Rosulullah dan keterangan ulama,
kiranya tidak perlu kita ragukan lagi betapa luhurnya kedudukan karakter di
dalam ajaran agama Islam. Karena tanpa karakter dan perilaku yang terpuji
maka apa pun amal ibadah yang dilakukan seseorang tidak akan diterima di
sisi Allah SWT sebagai satu amal kebaikan, baik menyangkut amal qalbiyah
(hati), badaniyah (badan), qauliyah (ucapan), maupun fi’liyah (perbuatan).
Dengan demikian, dapat kita maklumi bahwa salah satu indikator amal
ibadah seseorang diterima atau tidak disisi Allah adalah melalui sejauhmana
aspek karakter disertakan dalam setiap amal perbuatan yang dilakukan.
Ada beberapa catatan menarik dari pemikiran Hasyim Asy’ari terkait
dengan integritas seorang guru, seperti seorang guru haruslah membiasakan
diri menulis, mengarang, dan meringkas. Hasyiam Asy’ari memandang
bahwa perlu adanya tulisan dan karangan, sebab media tulisan itulah ilmu
yang dimiliki seseorang akan terabadikan dan akan banyak memberi manfaat
78
pada orang yang datang setelahnya, atau pada generasi mendatang. K.H
Hasyim Asy’ari adalah pendiri sekaligus sosok yang paling banyak
melahirkan karya, terdapat 15 judul kitab yang ia tulis dalam bahasa Arab,
yang kesemuanya terangkum dalam satu kitab yang berjudul Irsyadus Sari.
Muhammad Asad Syibah (1994) menegaskan bahwa perpustakaan
pribadi kyai Hasyim merupakan perpustakaan yang paling kaya, baik dalam
bentuk buku maupun manuskrip. Buku yang tersedia tidak hanya dalam
bahasa Indonesia, tetapi juga dalam bahasa Jawa, Melayu, Arab, bahkan
asing. Perpustakaan ini hampir sama besarnya dengan perpustakaan Lembaga
Penelitian Islam yang berada di Jakarta (Sanusi,2013:226).
Pemikiran Hasyim Asy’ari ini tidak terlupakan sampai sekarang, saat
ini guru untuk naik pangkat untuk mendapatkan sertifikasi maka guru harus
memiliki karya yang dinilai. Inilah yang menjadi kekuatan tersendiri bagi
pemikiran Hasyim Asy’ari. Sekalipun pemikiran Hasyim Asy’ari ini berasal
dari jaman penjajahan, enam puluh tahun yang lalu, namun pemikirannya
tetaplah aktual untuk jaman ini.
Sampai hal-hal yang sepele seperti cara menegur dan menyikapi anak
yang terlambat masuk kelas juga diangkat oleh K.H Hasyim Asy’ari.
Pada zaman sekarang, hal ini hanya wujud dari para praktisi
pendidikan yang paham betul dunia pendidikan, yang sangat sulit disentuh
oleh para penggagas dan pengamat pendidikan yang hanya duduk di kursi
kantor. Belum lagi pada penampilan, baik fisik maupun sikap, semua
disajikan secara detail. Dengan mengaplikasikan pemikiran pendidikan KH.
79
Hasyim Asy’ari di atas, dengan haqqul yaqin, pendidikan karakter yang
minus teladan akan terealisasi dengan sendirinya. (https://kmnu.or.id/konten-
108-pendidikan-adab-menurut-kh-hasyim-asyari diakses, Sabtu, 6 Maret
2017 jam 13.53).
Banyak perubahan dari zaman dahulu hingga zaman sekarang,
modernisasi kehidupan yang menyentuh semua aspek kehidupan akibat
revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi meniscayakan semua pihak untuk
meresponnya secara aktif dan kontekstual. Masalah-masalah kontemporer
yang datang silih berganti menuntut K.H Hasyi Asy’ari menuangkan
pemikirannya dalam kitabnya “Adabul ‘Alim wal Muta’alim” tentang:
1. Etika pelajar terhadap dirinya sendiri.
2. Etika pelajar terhadap gurunya.
3. Etika pelajar dalam proses pembelajaran.
4. Etika guru untuk dirinya sendiri.
5. Etika seorang guru terhadap pelajarannya.
6. Etika seorang guru terhadap para muridnya.
7. Etika terhadap kitab, etika meletakkan kitab dan menulisnya
Pemikiran-pemikiran K.H Hasyim Asy’ari yang telah dituangkan
dalam kitabnya tidak terlepas dari praktik pendidikan yang telah dialami
selama hidupnya. Seperti, K.H Hasyim Asy’ari ketika hendak membaca atau
hendak menulis buku, biasanya selalu bersuci mengawalinya dengan
basmalah. Bagi K.H Hasyim Asy’ari, setiap ilmu adalah nur atau cahaya
Allah Swt. karenanya, ia selalu menyempatkan diri untuk bersuci terlebih
80
dahulu dan menggunakan etika agar ilmu yang dipelajarinya bisa bermanfaat
dan berkah (Sanusi,2013:230).
Kebiasaan yang dilakukan K.H Hasyi Asy’ari, pada saat itu masih
terlaksana sampai saat ini misalnya, sebelum memulai pembelajaran setiap
sekolah membuka pembelajaran dengan membaca do’a, membaca surat-surat
pendek dan membaca Asmaul husna.
Di atas kami sudah mencoba mengemukakan pokok pikiran K.H
Hasyi Asy’ari, pemikiran pendidikan karakter dan relevansi pemikiran
tersebut pada zaman kini. Kupasan itu hanyalah merupakan sebagian kecil
dari bentangan luas pemikiran K.H Hasyim Asy’ari. Atau dengan kata lain
tulisan tersebut baru merupakan suatu pengantar untuk memasuki filsafat
pendidikan karakter yang dicanangkan oleh K.H Hasyim Asy’ari. Bagaimana
pun harus diakui bahwa K.H Hasyim Asy’ari adalah tokoh besar, dan pejuang
yang senantiasa memikirkan kepentingan bangsanya.
Pemikiran K.H Hasyim Asy’ari itu haruslah dilihat dalam konteks
sejarah pergerakan nasional yang mencita-citakan kemerdekaan Indonesia
dari tangan penjajah. Bila pemikiran Hasyim Asy’ari itu ditempatkan dalam
konteks sejarahnya, maka kita dapat menghargai bahwa Hasyi Asy’ari itu
benar-benar merupakan seorang tokoh yang tangguh dan berani melawan arus
yang diciptakan oleh penjajah. Walaupun demikian, pemikiran Hasyim
Asy’ari itu juga melampaui jamannya, bahkan hingga kini pemikiran Hasyim
Asy’ari masih terasa segar, dan merupakan keindahan lama yang selalu baru.
81
Hal ini dapat kita rasakan jika kita membaca karya-karya Hasyim Asy’ari
beserta berbagai pendapat dan pemikiran tentangnya (Sardy,1985:87).
B. Tujuan Pendidikan Karakter
Dalam pendidikan karakter, dari zaman Nabi sampai sekarang dan
yang akan datang. Tujuan pendidikan secara umum manusu hidup adalah
untuk mencapai kebahagiaan hidup didunia dan akhirat. Di tengah
kebobrokan dan kebangkrutan moral bangsa, maraknya tindak kekerasan,
inkoherensi politisi atas retorika politik, dan prilaku keseharian yang tanpa
peduli sesama, pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis religius
menjadi relevan untuk diterapkan. Maka dari itu pentingnya tujuan pendidik
karakter menurut K.H Hasyim Asy’ari yang menekankan tentang pendidikan
karakter (Mu’arif,2013:40).
Dalam pandangan K.H Hasyim Asy’ari pembentukan karakter
merupakan suatu keniscayaan dalam dunia pendidikan, karena dengan
karakter peserta dapat menuntut ilmu dengan baik.
Tujuan utama pendidikan yaitu mengembangkan pengetahuan, sikap,
dan keterampilan secara simultan dan seimbang. Dunia pendidikan kita telah
memberikan porsi yang sangat besar untuk pengetahuan, pengembangan
sikap nilai dan perilaku dalam pembelajarannya. Dunia pendidikan sangat
memperhatikan mata-mata pelajaran yang berkaitan dengan pembentukan
karakter bangsa. Pelajaran-pelajaran yang mengembangkan karakter bangsa
seperti Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN), Pendidikan
Agama, Ilmu Pengetahuan Sosial (Muslich,2011:17).
82
Menurut Foerster, pencetus pendidikan karakter dan pedagog Jerman,
ada empat ciri dasar dalam pendidikan karakter:
1. Keteraturan interior di mana setiap tindakan diukur berdasarkan
hierarki nilai. Nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan.
2. Koherensi yang memberi keberanian, membuat seseorang teguh
pada prinsip, tidak mudah terombang ambing pada situasi baru.
3. Otonomi, seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai
menjadi nilai-nilai bagi pribadi.
4. Keteguhan dan kesetiaan, merupakan daya tahan seseorang guna
menginginkan apa yang dipandang baik, dan kesetiaan merupakan
dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih.
Secara ideal tujuan pendidikan memiliki orentasi yang
mengharminikan tiga hal sekaligus, yaitu; teknis, humanistik, dan induktif.
Tujuan teknis adalah pendidikan di orentasikan kepada kemahiran dan
keahlian. Tujuan humanistik adalah sikap disiplin, penundukan kepada
tuntunan-tuntunan objektif bagai mana mengelolah partisipasi dan integrasi
didalam pergaulan sosial, dan pemanfaatan secara maksimal semua potensi
manusia secara individual dan sosial. Sedangkan tujuan induktif adalah
bagaimana membangun sistem pendidikan karakter yang ada
(Tholkhah,2004:4).
Perlu dipahami bahwa karakter yang baik mencakup pengertian,
kepedulian, dan tindakan berdasarkan nilai-nilai etika inti. Karenanya,
pendekatan holistik dalam pendidikan karakter berupaya untuk
83
mengembangkan keseluruhan aspek kognitif, emosional, dan perilaku dari
kehidupan moral (Muslich,2011:130).
C. Nilai-Nilai Karakter
Pada masa Orde Baru, saat kebudayaan masih dikelola oleh
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di bawah otoritas Direktoral
Jendral Kebudayaan, telah diterbitkan buku saku Pedoman Penanaman Budi
Pekerti Luhur (1997). Penyusun buku saku tersebut adalah Prof.Dr.Edi
Sedyawati, Direktur Jendreral Kebudayaan pada saat itu. Dalam buku itu
ditegaskan bahwa budi pekerti dapat dikatakan identik dengan morality
(moralitas). Ditegaskan bahwa sesungguhnya pengertian budi pekerti yang
paling hakiki adalah perilaku. Dalam kaitannya sikap dan perilaku budi
pekerti mengandung lima jangkauan sebagai berikut:
1. Sikap dan prilaku dalam hubungannya dengan Tuhan.
2. Sikap dan prilaku dalam hubungannya dengan diri sendiri.
3. Sikap dan prilaku dalam hubungannya dengan keluarga.
4. Sikap dan prilaku dalam hubungannya dengan masyarakat dan
bangsa,dan
5. Sikap dan prilaku dalam hubungannya dengan alam sekitar
(Samani dan Hariyanto,2011:46).
K.H Hasyim Asy’ari memiliki tekat yang luar biasa untuk
memperjuangkan dan menanamkan nilai-nilai karakter kepada rakyatnya.
Pandangan K.H Hasyim Asy’ari mengenai pendidikan karakter yang
demikian itu selalu diulangi dalam tulisan-tulisannya, wujud dari pemikiran
84
K.H Hasyim Asy’ari dituangkan dalam kitabnya “Adabul ‘Alim wal
Muta’allim” menawarkan tentang etika.
Dalam kaitan implementasi nilai-nilai dan proses-proses tersebut,
pendidikan bagi anak dilaksanakan dengan maksud memfasilitasi mereka
untuk menjadi orang yang memiliki kualitas, moral, kewarga negaraan,
kebaikan, kesantunan, rasa hormat, kesehatan, sikap kritis, keberhasilan,
kebiasaan, insan yang kehadirannya dapat diterima dalam masyarakat. Dalam
pendidikan karakter diinginkan terbentuknya anak yang mampu menilai apa
yang baik, memelihara secara tulus apa yang dikatakan baik, dan
mewujudkan apa yang diyakini baik walaupun dalam situasi terkekan (penuh
tekanan dari luar) dan penuh godaan yang muncul dari dalam hati sendiri
(Samani dan Hariyanto,2011:50).
D. Pentingnya Pendidikan karakter
Melihat kondisi riil bangsa Indonesia yang belum solid, kukuh, dan
terbelah-belah, maka sebagai suatu bangsa yang merdeka dan berdaulat, perlu
terus mengupayakan terciptanya warga dan bangsa Indonesia yang
berkarakter dan berbudaya. Bangsa Indonesia yang memiliki kejelasan dan
kebanggaan identitas diri merupakan impian dan cita-cita bangsa
(Zuchdi,2011:67).
Bangsa Indonesia yang berkarakter dan berbudaya ditunjukkan
dengan perilaku yang berakar dengan agama yang diyakini, budaya yang
melatar belakangi, dan keluhuran tujuan yang dicita-citakan. Dengan
demikian individu yang berkarakter seharunya ditunjukkan dengan prilaku
85
unik sesuai dengan karakteristik kepribadian, nilai-nilai agama yang dianut,
dan kondisinya dimana mereka berada. Dalam konteks sebagai warga
Indonesia, maka individu itu seharusnya menjunjung tinggi nilai-nilai ke
Indonesiaan dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila, UUD 1945,
Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI (Zuchdi,2011:68).
Menyadari akan luasnya cakupan pendidikan karakter, yaitu aspek
kognitif, efektif, sehingga menjadikan individu sebagai pribadi dan warga
negara yang baik, maka sekolah maupun universitas bertanggung jawab
penuh memberikan bantuan terhadap peserta didik dalam menguasai nilai-
nilai moralitas dan kebangsaan, sehingga menjadi warga negara yang baik
(Zuchdi,2011:70).
86
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian tentang “Pendidikan Karakter dalam kitab Adabul ‘Alim
wal Muta’alim karya K.H Hasyim Asy’ari” maka dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. Pemikiran K.H Hasyim Asy’ari tentang pendidikan karakter sebagai suatu
usaha dalam memperlihatkan sistem pendidikan, dengan karakter peserta
dapat menuntut ilmu dengan baik. Hasyim Asy’ari menuliskan
kesimpulan kaitannya dengan masalah karakter ini bahwa sebagian ulama
menjelaskan konsekuensi dari pernyataan tauhid yang telah diikrarkan
oleh seseorang adalah mengharuskan beriman kepada Allah (dengan
membenarkan dan menyakini Allah tanpa sedikit pun keraguan). Karena
apabila ia tidak memiliki keimanan itu, tauhidnya dianggap tidak sah.
Demikian pula keimanan jika keimanan tidak dibarengi dengan
pengamalan syariat (hukum-hukum Islam) dengan baik maka
sesungguhnya ia belum memiliki keimanan dan tauhid yang benar.
Begitu pula dengan pengamalan syariat, apabila ia mengamalkannya
tanpa dilandasi karakter maka pada hakikatnya ia belum mengamalkan
syariat dan belum dianggap beriman serta bertauhid kepada Allah SWT.
Pokok-pokok pemikiran pendidikan karakter Hasyim Asy’ari, dapat
dengan jelas di ketahui dalam kitabnya “Adabul ‘Alim wal Muta’allim”,
yang menerangkan tentang:
87
a. Etika pelajar terhadap dirinya sendiri.
b. Etika pelajar terhadap gurunya.
c. Etika pelajar dalam proses pembelajaran.
d. Etika guru untuk dirinya sendiri.
e. Etika seorang guru terhadap pelajarannya.
f. Etika seorang guru terhadap para muridnya.
g. Etika terhadap kitab, etika meletakkan kitab dan menulisnya.
2. Relevansi pemikiran K. H. Hasyim Asy’ari terhadap pendidikan sekarang,
terkait dengan integritas seorang guru, seperti seorang guru haruslah
membiasakan diri menulis, mengarang, dan meringkas. Hasyiam Asy’ari
memandang bahwa perlu adanya tulisan dan karangan, sebab media
tulisan itulah ilmu yang dimiliki seseorang akan terabadikan dan akan
banyak memberi manfaat pada orang yang datang setelahnya, atau pada
generasi mendatang. Dalam hal ini beliau buktikan dengan banyaknya
kitab-kitab hasil karangan dan tulisam-tulisan beliau. Bagi beliau, setiap
ilmu adalah nur atau cahaya karenanya, beliau selalu bersuci terlebih
dahulu, membaca do’a dan menggunakan etika ketika akan belajar.
Kebiasaan yang dilakukan beliau, pada saat itu masih terlaksana sampai
saat ini semisal, sebelum memulai pembelajaran setiap sekolah membuka
pembelajaran dengan membaca do’a, membaca surat-surat pendek dan
membaca asmaul husna.
88
B. Saran
Dengan selesainya penulisan skripsi ini penulis berharap dapat
memberikan tambahan wawasan tambahan pengetahuan tentang pendidikan
karakter kepada:
1. Bagi para pengajar dan penglola sekolah, supaya memiliki tujuan dan
dasar yang jelas dalam mendidik siswa-siswinya.
2. Bagi masyarakat pada umumnya, supaya mencintai sekolahan yang
dijadikan sebagai acuan dalam pembentukan pendidikan karakter yang
berfungsi (1) mengembangkan potensi dasar agar berhati baik,
berpikiran baik, dan berperilaku baik; (2) memperkuat dan
membangun perilaku bangsa yang multikultural; (3) meningkatkan
peradapan bangsa yang kompetitif dalam pergaulan dunia.
89
DAFTAR PUSTAKA
Asmani, Ma’mur, Jamal. 2013. Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter
di Sekolah. Yogyakarta: DIVA Press.
Ali, M. 1987. Penelitian Kependidikan: Prosedur dan Strategi. Bandung: PN,
Angkasa.
Amin Ahmad. 1992. Ilmu Akhlak (ahlak). Jakarta: Bulan Bintang.
Asmaran AS.1992. Pengantar Setudi Akhlak. Jakarta: PT. Raja Wali Grafindo
Persada.
Afandi. Muhammad Sidik. Skripsi Penerapan Pendidikan Karakter dalam
Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) di SMA N 1 Tengaran
Tahun Ajaran 2012/2013.
Hadi, Sutersno. Metodologi Research Jilid I. Yogyakarta: Fakultas Pisikologi
UGM.
Hamka. 1992. Akhlakul Karimah. Jakarta: Pustaka Panjimas.
Madyuni. 2013. Sang Kiai Tiga Generasi. Tebuireng Jombang: Pustaka Al-
Khumul.
Muka. 2015. Biografi dan Nasihat Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari.
Jombang Jawa Timur: Pustaka Tebuireng.
Majid, Abdul dan Dian Andayani. 2013. Pendidikan Karakter Perspektif Islam,
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Megawangi, Ratna. 2004. Pendidikan Karakter “Solusiyang Tepat Membangun
Bangsa”. Jakar: BM. MIGAS.
Muhadjir, Noeng dan Nurgiyantoro Burhan. 2011. Pendidikan Karakter dalam
Perspektif Teori dan Praktik. Yogyakarta: UNY Press, Yogyakarta.
Muslich, Mansur. 2011. Pendidikan Karakter Menjawab Tntangan Krisis
Multidimensional. Jakarta: Bumi Aksara.
Munir, Abdullah. 2011. Pendidikan Karakter Membangun Karakter Anak Sejak
dari Rumah. Yogyakarta: PT Pustaka Insan Madani.
Muhadjir, Noeng dan Nugiantoro. Burhan. 2011. Pendidikan Karakter dalam
Perspektif Teori dan Praktik. Yogyakarta: UNY Press, Yogyakarta.
Nizar, Samsul. 2002. Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis dan
Praktis. Jakarta: Ciputat Press.
Pidarta, Made. 1997. Landasan Kependidikan. Jakarta: PT.Rimeka Cipta.
Samani, Muchlas dan Hariyanto. Konsep Islam (PAI) di SMA N I Tengaran Tahun
Ajaran 2012/2013.
Suwarno, Wiji. 2006. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan. Jogjakarta: AR-Ruzz.
Siroj, Zoenuri dan Hadi. Nur. 2006. Adabul ‘Alim Wal Muta’alim, CV Megah
Jaya.
Sucipto, Hery. 2010. K.H Hasyim Asy’ari Pendiri Nahdatul Ulamak. Jakarta: Best
Media Utama.
Sanusi, Muhammad. 2013. Kebiasaan-kebiasaan Inspiratif K.H Hasyim Asy’ari
dan K.H Ahmad Dahlan. Jogjakarta: Diva Press.
Santosa, Kholido. 2007. Manusia di Panggung Sejarah. Bandung: SEGA ARSY
Samani, Muchlas dan Hariyanto. 2011. Pendidikan Karakter. Bandung: PT
REMAJA ROSDAKARYA.
90
Sardy, Martin. 1985. Pendidikan Manusia. Bandung: Kotak Pos 272.
Wiyan, Ardy, Novan. 2013. Membumikan Pendidikan Karakter di SD.
Yogyakarta: AR-Ruzz Media.
Zuchdi Darmiyati. 2011. Pendidikan Karakter dalam Persepektif Teori dan
Praktik. Yogyakarta: UNY Press.
91
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
A. Data Pribadi
Nama : FITRIYANTI WAHYUNI
Tempat/Tanggal Lahir : Kencana Mulia 6 Februari 1994
Agama : Islam
Warga Negara : Indonesia
Alamat : Dusun 1 RT/RW 007/003 Desa, Kencana
Mulia Kecamatan, Rambang (Sum-Sel)
B. RIWAYAT PENDIDIKAN
1. MI Nurul Barkah Betung : Lulus Tahun 2007
2. MTs YPI Sabilul Huda : Lulus Tahun 2010
3. MA Sabilul Huda : Lulus Tahun 2013
4. IAIN Salatiga : Lulus Tahun 2017
C. DATA ORAANG YUA
1. Nama Ayah : Bapak Mujiran
2. Nama Ibu : Ibu Wasiyah
3. Alamat : Dusun 1 RT/RW 007/003 Desa, Kencana Mulia
Kecamatan, Rambang (Sum-Sel)
Salatiga, 24 Juli 2017
Penulis
Fitriyanti Wahyuni
111 13 088
92
Lembar konsultasi Skripsi
93
94
95
96
97