pendidikan karakter di dalam kitab amsal
TRANSCRIPT
Jurnal EFATA Vol. 4 No. 1, September 2018 31
PENDIDIKAN KARAKTER
DI DALAM KITAB AMSAL
Poppy M. Elia
ABSTRAK: Pada umumnya, manusia berpendapat bahwa pendidikan
yang diperlukan sebagai bekal untuk meraih kesuksesan hidup adalah
pendidikan di bidang akademik. Namun demikian, dalam
kenyataannya, banyak orang yang mampu menyelesaikan pendidikan
di bidang akademik secara baik tetapi melupakan suatu konsepsi
mendasar yang dapat menjadikan diri mereka sebagai seorang
bijaksana. Konsepsi mendasar yang diperlukan itu adalah karakter yang
baik karena berkaitan dengan harkat dan martabat manusia. Alkitab,
secara khusus Kitab Amsal mengandung banyak pemahaman
mendasar, yaitu hikmat yang dapat menjadi fondasi dalam pendidikan
karakter. Konsepsi pendidikan karakter itu dapat ditetapkan dalam
berbagai bidang kehidupan dan dapat menjadikan seseorang tampil
sebagai pribadi yang bijaksana dan takut akan TUHAN.
KATA KUNCI: kehidupan, karakter, Kitab Amsal, hikmat,
kesuksesan hidup, pendidikan karakter, bijaksana, takut akan TUHAN.
Kebanyakan orang menilai kesuksesan, keberhasilan hidup
hanya dari pencapaian status sosial ekonomi, akademik, materi.
Pencapaian seperti itu baru sebagian dari kesuksesan hidup karena ada
hal yang terlupa, yaitu karakter padahal karakter berperanan penting
dalam keberhasilan hidup manusia. Karakter yang baik berkaitan
dengan harkat, martabat, watak, sifat, tabiat, moral yang baik, akhlak
mulia manusia. Seorang yang sukses dalam pencapaian akademik,
materi, status sosial ekonomi harus dilengkapi dengan karakter yang
baik. Bila tidak, harkat dan martabatnya sebagai manusia akan jatuh.
Tanpa karakter yang baik atau akhlak mulia, manusia kehilangan
harkat, martabat sebagai manusia. Karakter yang baik, akhlak mulia
penting sekali bagi manusia.
32 Jurnal EFATA Vol. 4 No. 1, September 2018
Berakhlak mulia, berkarakter yang baik, yakni karakter Illahi
seharusnya menjadi sifat, tabiat, watak manusia sebagai gambar Allah.
1. Manusia Sebagai Gambar Allah Alkitab menyaksikan bahwa manusia diciptakan sebagai
makhluk ciptaan Allah yang tertinggi, termulia, segambar dengan Allah
(Kejadian 1:26-28). TUHAN menempatkan manusia pada kedudukan
tertinggi di antara seluruh ciptaan-Nya, Ia memberikan otoritas kepada
manusia untuk menguasai alam semesta, binatang-binatang, dan seisi
bumi ini (Mazmur 8:6—10).
Sebagai gambar Allah, manusia mempunyai relasi khusus dengan
Allah, sesama manusia, bumi; yaitu bertanggung jawab terhadap Allah,
sesama manusia, bumi.1 Manusia terpanggil mencerminkan
“keberadaan Allah di dunia”, maksudnya manusia hidup, berlaku
sama seperti Allah terhadap makhluk-makhluk yang lain.2 Di dalam
keberadaan Allah juga tersirat pengertian sifat, karakter Allah. Di muka
bumi, manusia hendaknya merefleksikan karakter, sifat Allah. Sifat Allah
yang kudus, adil, benar, kasih, sabar, murah hati, lemah-lembut, rendah
hati hendaknya terpancar melalui kehidupan manusia. Akan tetapi
kejatuhan manusia ke dalam dosa telah menggagalkan rencana Allah yang
indah ini. Roma 3:23 menyaksikan “karena semua orang telah berbuat dosa dan kehilangan kemuliaan Allah.” Gambar Allah di dalam diri manusia telah rusak. Sifat-sifat Allah yang mulia yang harus
tercermin di dalam diri manusia hilang bahkan berubah menjadi sifat-sifat
buruk, seperti dusta, benci, sombong, serakah, egois, kasar, curang, jahat.
Manusia gagal melaksanakan tugas, tanggung jawabnya mencerminkan
keberadaan Allah di bumi. Pemulihan gambar Allah yang rusak ini
membutuhkan karya penyelamatan Tuhan Yesus lewat kematian-Nya di
atas kayu salib (Roma 8:25; Kolose 1:13-15; II Korintus 4:4).
Di dalam diri Yesus Kristuslah gambar Allah dan kemuliaan
Allah dinyatakan (Ibrani 1:3). Sebagai gambar Allah yang sejati,
Kristus memancarkan, memantulkan hidup Illahi, mencerminkan
kehendak Illahi bagi manusia dengan cara sempurna. Yesus Kristus
1 J. L. Ch. Abineno, Manusia dan Sesamanya di dalam Dunia (Jakarta: PT
BPK Gunung Mulia, 2003) 43.
2 Ibid., 42.
Jurnal EFATA Vol. 4 No. 1, September 2018 33
adalah gambar Allah yang sempurna.3 Hidup manusia harus
diperbaharui di dalam, oleh Yesus Kristus untuk mengembalikan gambar Allah di dalam dirinya (Kolose 3:5-17; Efesus 4:17-32).
Sebagai manusia yang diperbarui Yesus Kristus, kita dapat memamcarkan karakter Illahi sebagaimana yang Ia kehendaki.
2. Karakter Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002) mencantumkan bukan
kata karakter melainkan kata watak. Kata ini merupakan kata benda yang berarti sifat batin manusia yang mempengaruhi segenap pikiran,
tingkah laku, budi pekerti, tabiat.4 Karakter berasal dari bahasa Yunani,
yang merupakan kosa kata benda jenis jantan, yaitu: Ó χαϱαкτηϱ5 atau
dengan menggunakan aksara Latin charakter.6 Liddell, Scott (sejak
tahun 1843); Liddell, Scott, Jones (1940); Liddell, Scott, Jones,
McKenzie (1996), 7 mengartikan Ó χαϱαкτηϱ sebagai engraver,
ukiran. Pengertian karakter sebagai ukiran juga dikemukakan Allport
pada tahun 1930 (1970).8
The Complete Word Study Dictionary New Testament – di dalam The Power for True Success—How to Build Character in Your Life (Institute in Basic Life Principles, 2001) – mengemukakan: “…
character originally denoted an engraver or engraving tool …”.9
Buku ini menerapkan makna istilah karakter ke pada Tuhan Yesus; yaitu dengan merujuk Ibrani I:3. Ayat ini menyaksikan Tuhan Yesus
3 Harun Hadiwijono, Iman Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003)
203. 4 Hasan Alwi (Pemimpin Redaksi), Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Cetakan ke-2 Edisi III (Jakarta: Balai Pustaka, 2002) 1270. 5 The Analytical Greek Lexicon (Grand Rapids: Zondervan, 1968) 435.
6 The Institute In Basic Life Principles, Inc., The Power For True Sucsess: How to Build Character in Your Life (Oak Brook: The Institute In Basic Life Principles, Inc., 2001) 10
7 Liddell, H.G.; R. Scot; Sir Henry Stuart Jones, D.Litt. {1940, New (ninth) edition completed}; Roderick McKenzie, M.A. A Greek-English Lexicon Volume II:λ - ρώδης. (Oxford: The Clarendon, 1940), hlm. 1977. Liddell, H.G.; R. Scot; Sir Henry Stuart Jones, D.Litt.; Roderick McKenzie, M.A. A Greek-English Lexicon (1996, New Supplement added), (Oxford: Clarendon, 1996) 1977.
8 Gordon W. Allport, Pattern and Growth in Personality (London: Holt, Rinehart and Winston, 1970) 31.
9 The Institute In Basic Life Principles, Inc., The Power For True Sucsess: How to Build Character in Your Life (Oak Brook: The Institute In Basic Life Principles, Inc., 2001), Op. Cit.
34 Jurnal EFATA Vol. 4 No. 1, September 2018
sebagai gambar wujud Allah.10
Pengenaan makna karakter tersebut
memperlihatkan bahwa Alkitab (Ibrani I:3) menerjemahkan kata karakter sebagai gambar wujud Allah.
Allport (1970) juga menggambarkan istilah karakter di dalam
situasi kondisi yang bersifat spesifik, yaitu yang bernuansa moral.11
Aplikasi istilah tersebut memperlihatkan, istilah karakter terkait pada konteks penilaian kesempurnaan moral (moral excellence), yang
terungkap sebagai good personality.12
Hal ini memperlihatkan, karakter berkaitan erat dengan penggambaran perilaku yang bersifat etis. Karakter menggambarkan “… the degree of ethically effective
organization of all the forses of the individual …”13 atau “… an
enduring psychophysical disposition to inhibit impulses in accordance
with a regulative principles ….”14 Nuansa moral yang melukiskan
karakter yang baik (good character) dan yang buruk (bad character) secara luas dan mendalam digambarkan sebagai ciri-ciri perilaku yang diutamakan dan tidak dianjurkan menjadi tingkah laku sehari-hari setiap warga masyarakat dikemukakan Amsal 10:3-22:16 dan Amsal
25:1-29:27.15
Institute in Basic Life Principles (2001) mengemukakan ciri-ciri karakter yang baik mengandung:
“… the inward motivation to do what is right according to the
highest standards of behavior … consists of the stable and
distinctive qualities built into an individual’s life which
determine his or her responses … is the wise response to
the pressure of a difficult situation and what we do when we
think that no one is watching …”.16
10 The Institute In Basic Life Principles, Inc., The Power For True Sucsess:
How to Build Character in Your Life (Oak Brook: The Institute In Basic Life Principles,, 2001), Op. Cit.
11 Allport, Ibid., 1970, 31-32.
12 Allport, Ibid., 1970, 31.
13 W. S. Taylor, Journal of Upnormal Social Psychology, “Character and Upnormal Psychology”, Vol. 86, No. 21, 1926, 86.
14 A. A. Roback, The Psychology of Character (New York: Harcourt, Brace, 1927) 450.
15Christopher Peterson and Martin E. P. Seligman, Character Strength and Virtues (New York: American Psychological Association and Oxford University, 2004) 47-48.
16 The Institute In Basic Life Principles, Inc., Op. Cit.
Jurnal EFATA Vol. 4 No. 1, September 2018 35
Buku itu juga mencantumkan dan menjelaskan pengertian kata karakter
(terjemahan bebas oleh penulis),17
yaitu berasal dari bahasa Yunani
charakter.
The Complete Word Study Dictionary New Testament, seperti dikutip The Institute in Basic Life Principles, Inc. (2001) mengemukakan, arti kata karakter pada awalnya menunjuk pada alat pengukir; tentang sesuatu yang diukir, dikerat, dicap, sifat, watak, aksara, tanda, lambang. Kesan ini, dengan ciri-ciri khas yang terdapat di dalamnya, diperhitungkan sebagai perwakilan yang tepat tentang objek yang dicitrakan (“This impression with its particular features was considered as the exact representation of the object whose image
it bore”).18 Kata ini kemudian mempunyai arti yang merujuk pada
hakikat diri sendiri (“later it meant the impression it self”)19 sedangkan
Ibrani 1:3 menunjuk Kristus sebagai gambar wujud Allah (“express the
image of God”). 20
The Institute In Basic Life Principles (2001)21
mengemukakan, karakter yang baik berciri sebagai berikut. Karkter yang baik:
• merupakan motivasi dari dalam untuk melakukan apa yang benar
menurut standar tertinggi dari tingkah laku di dalam setiap situasi.
• Terdiri atas sifat-sifat yang konsisten, berkualitas, dibentuk dalam
kehidupan seseorang yang menentukan respon-respon orang itu
tanpa mempedulikan lingkungannya. • Merupakan respon yang bijaksana terhadap tekanan dalam situasi
yang sulit dan apa yang kita lakukan pada waktu kita
berpikir/mengira bahwa tak seorang pun memperhatikan. Hal itu
merupakan prediksi karakter yang baik.
Karakter merupakan istilah populer dari watak (Sidjabat, 2011).
Watak mengandung arti sifat, tabiat, atau kebiasaan dalam diri dan
kehidupan kita, yang sudah begitu tertanam dan berurat akar serta telah
menjadi ciri khas diri kita sendiri (personalitas). Apakah dilihat orang
atau tidak, kita akan memperlihatkan perangai tersebut secara
17 Ibid.
18 Ibid.
19 Ibid.
20 Ibid.
21 Ibid.
36 Jurnal EFATA Vol. 4 No. 1, September 2018
konsisten; selalu bertanggung jawab, rajin, bersih, teratur, sopan,
ramah, sabar, ulet, dan kerja keras.22
Webster Dictionary mengartikan
watak sebagai keseluruhan ciri -ciri dan kebiasaan yang membentuk sifat seseorang atau sesuatu, kualitas moral atau etis, kualitas kejujuran, keberanian, integritas, reputasi yang baik, gambaran kualitas atau
keunikan seseorang/sesuatu (Sidjabat, 2011).23
Bagi Ensiklopedia
Indonesia watak merupakan pancaran keadaan batin kita berbentuk perilaku sehari-hari secara berkesinambungan, terkait dengan diri sendiri, dengan orang lain bahkan dengan lingkungan alam (Sidjabat,
2011).24
Setelah jatuh ke dalam dosa, manusia kehilangan karakter yang
baik yang merupakan karakter Illahi. Tuhan Yesus datang ke dunia
untuk menyelamatkan manusia dari dosa sekaligus memulihkan
karakternya. Tuhan Yesus menjadi teladan dalam menunjukkan
karakter yang baik. Agar berkarakter yang baik, kita harus meneladani
karakter Tuhan Yesus. Kitab -kitab di dalam Alkitab memperlihatkan
contoh karakter yang baik, buruk melalui kehidupan tokoh-tokoh
Alkitab, nasihat-nasihat, pengajaran-pengajaran. Contoh kitab di dalam
Alkitab yang memperlihatkan karakter baik dan buruk adalah Kitab
Amsal. Kitab ini berisi nasihat-nasihat, pengajaran-pengajaran tentang
karakter, yang disampaikan secara unik, yakni menggunakan gaya
bahasa sastra.
3. Kitab Amsal Sebagai buku, juga sebagai bagian Alkitab khususnya
Perjanjian Lama, Kitab Amsal ditulis dengan cara yang unik, yakni
berupa pepatah, peribahasa. Namun demikian, Kitab Amsal juga sulit
untuk dipahami makna, tujuannya. Oleh karena itu, kita perlu
mengetahui latar belakang penulisan dan bentuk Kitab Amsal. 3.1 Latar Belakang Kitab Amsal
Kitab Amsal berasal dari Sastra Hikmat bangsa Israel Kuno
(LaSor, Hubbard, Bush, 1996). Sastra Hikmat pada mulanya terbentuk
dari ucapan-ucapan hikmat yang diucapkan orang-orang bijak di Israel
dan diteruskan dari generasi kepada generasi yang berikutnya dengan
tujuan mewujudkan dan menanamkan hikmat sebagai kualitas dan
22 B. S. Sijabat, Membangun Pribadi Unggul (Yogyakarta: ANDI, 2011) 1-
3. 23 Ibid., 2-3.
24 Ibid., 3.
Jurnal EFATA Vol. 4 No. 1, September 2018 37
prinsip kehidupan. Untuk mempergiat usaha ini, dilakukan Gerakan
Hikmat.25
Kemudian ucapan-ucapan hikmat itu ditulis oleh pakar-
pakar tulisan dan dihimpun sebagai tulisan-tulisan hikmat. Mereka mencari kehidupan yang baik dan meyakini bahwa hikmat mempunyai
makna keterampilan “menjalani hidup”.26
3.2 Bentuk Kitab Amsal Menurut Clifford (1998) sebagaimana dikutip Elia (2000),
Kitab Amsal merupakan bunga rampai yang terdiri atas kumpulan tulisan dan lampiran yang disusun dan dikumpulkan sejak awal berdirinya Kerajaan Israel (+1000 SM hingga +akhir abad ke-6 SM dan abad-abad berikutnya). Kitab ini mengandung banyak macam gaya sastra tetapi yang paling umum adalah aforisme yang mengetengahkan apa yang baik, apa yang buruk, berisi pengajaran. Kitab Amsal mengetengahkan hikmat sebagai suatu keterampilan, seni menjalani hidup yang baik, mengandung banyak retorika. Untuk memahami makna Kitab Amsal, kita harus memahami gaya retorika pengucapan
Amsal (Clifford, 1998).27
Scott (1973)28
berpendapat, Kitab ini bukan
hanya sekadar bunga rampai dari pepatah-pepatah bijak, melainkan lebih merupakan kitab sumber bahan -bahan pengajaran yang digunakan dalam pendidikan pribadi, bagi pengembangan moralitas pribadi, dan hikmat yang bersifat aplikatif. LaSor, Hubbard, Bush (1996) menjelaskan Kitab Amsal merupakan:
“... kumpulan tulisan dengan aneka ragam gaya yang
berbeda-beda. Jenis tulisan Kitab Amsal disebut masyal. Kata
masyal merupakan akar kata Ibrani untuk amsal. Akar kata dari
masyal berarti ‘menyerupai’ atau ‘dibandingkan dengan’.
25 W. S. LaSor, D. A. Hubbard, F. W. Bush, Pengantar Perjanjian Lama 2
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996) 83, dimuat dalam Poppy Mary Elia, Prinsip-
prinsip Pendidikan Menurut Kitab Amsal (Tesis Magister Theologia pada Sekolah
Tinggi Teologi Jakarta, tidak dipublikasikan, 2000) 9-11. 26 R. B. Y. Scott, The Anchor Bible Vol. 18, Proverbs, Ecclesiastes,
Introduction (New York: Doubleday, 1973), hlm. XVII-XVIII dimuat dalam Poppy Mary Elia, Prinsip-prinsip Pendidikan Menurut Kitab Amsal (Tesis Magister Theologia pada Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, tidak dipublikasikan, 2000) 9-11.
27 Richard J. Clifford, The Wisdom Literature (Nashville: Abingdon Press, 1998), hlm. 42-43 dimuat dalam Poppy Mary Elia, Prinsip-prinsip Pendidikan Menurut Kitab Amsal (Tesis Magister Theologia pada Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, tidak dipublikasikan, 2000) 12-13.
28 Scott, Op. Cit., hlm. 3 dimuat dalam Poppy Mary Elia, Prinsip-prinsip Pendidikan Menurut Kitab Amsal (Tesis Magister Theologia pada Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, tidak dipublikasikan, 2000) 13.
38 Jurnal EFATA Vol. 4 No. 1, September 2018
Amsal berisi ungkapan yang penuh arti, singkat, dan jelas,
yang mengambil intisari hikmat dari pengalaman.”29
Smith (1936) mengemukakan pendapatnya mengenai makna
kata masyal. Pakar ini (dikutip W. McKane, 1992) yang dikutip kembali
oleh Elia (2000), berpendapat, masyal mengandung: “... arti “memerintah”, “berdiri”, “menyerupai”. Apabila arti itu dikaitkan satu dengan yang lain di dalam konteks penggunaan masyal bagi kehidupan sehari-hari maka isi masyal mengandung makna yang bersifat imperatif untuk dicontoh dan diteladankan oleh mereka yang mempelajarinya; di dalam hal ini khususnya para pemuka masyarakat waktu
itu.”30
Kitab Amsal juga merupakan “himpunan kata-kata mutiara dan pepatah yang bersifat menggurui, menasihati, mendidik”
(Musaph-Andriesse, 1997).31
Berkaitan dengan kata-kata mutiara,
kalimat-kalimat pepatah di dalam Kitab Amsal, maka Thompson (1974) mengemukakan pendapat berikut.
“... terdapat sejumlah besar penggunaan bentuk-bentuk
paralel di dalam puisi Ibrani, seperti paralelisme, antitetik,
paralelisme sinonim, paralelisme komparatif. Bait paralel tunggal
merupakan dasar bagi struktur, kitab, dan asas terhadap ciri
artistik Amsal Ibrani.”32 Seiring dengan jenis-jenis gaya bahasa Kitab Amsal, Nel (1982),
dikutip Elia (2000), menemukan: “... bermacam-macam gaya sastra di dalam Kitab Amsal,
seperti metafora, alegori, fabel, teka-teki, ungkapan-ungkapan
29 LaSor, Op. Cit., hlm. 89 dimuat dalam Poppy Mary Elia, Prinsip-prinsip Pendidikan Menurut Kitab Amsal (Tesis Magister Theologia pada Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, tidak dipublikasikan, 2000) 13.
30 William McKane, Proverbs (London: SCM, 1970) 24-26 dimuat dalam Poppy Mary Elia, Prinsip-prinsip Pendidikan Menurut Kitab Amsal (Tesis Magister Theologia pada Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, tidak dipublikasikan, 2000) 14.
31 R. C. Musaph-Andriesse, Sastra Para Rabi Setelah Taurat, Terj. Henk ten Napel (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 1997) 10, dimuat dalam Poppy Mary Elia, Prinsip-prinsip Pendidikan Menurut Kitab Amsal (Tesis Magister Theologia pada Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, tidak dipublikasikan, 2000) 14.
32 John Mark Thompson, The Form and Function of Proverbs in Ancient Israel (Paris: Mouton, 1974) 59-61, dimuat dalam Poppy Mary Elia, Prinsip-prinsip Pendidikan Menurut Kitab Amsal (Tesis Magister Theologia pada Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, tidak dipublikasikan, 2000) 14.
Jurnal EFATA Vol. 4 No. 1, September 2018 39
yang menggunakan angka (numerical saying), onomastika (penyelidikan tentang asal -usul, bentuk, dan makna nama diri terutama nama orang dan tempat), pengajaran hikmat, himne,
dialog, khotbah, amsal populer, kalimat bersajak.”33
Berdasarkan beberapa pendapat di atas; Kitab Amsal
mempunyai keunikan lain, yakni tidak ditulis dengan cara sederhana
melainkan dengan cara yang sangat unik, yaitu menggunakan gaya
bahasa sastra. Kalimat-kalimat yang membentuk Kitab Amsal
mengandung tujuan pendidikan. Untuk mengerti isi Kitab Amsal, perlu
dipahami bentuk-bentuk gaya bahasa sastranya, mengenali tujuan
pendidikan yang tersirat di dalamnya. Bentuk Kitab Amsal mempunyai
kualitas tinggi di dalam keindahan bahasa, isi yang mengarah pada
pendidikan karakter.
3.3 Isi Kitab Amsal Kitab Amsal mengetengahkan hikmat sebagai nilai berkualitas
tinggi. Hikmat diperkenalkan penulis Kitab Amsal dengan menggunakan gaya bahasa sastra berupa personifikasi dan metafora
dengan maksud untuk menunjukkan, hikmat itu sangat penting,
bermanfaat, berharga bagi manusia. Namun demikian, amat disayangkan manusia tidak menyadarinya padahal banyak bagian Kitab
Amsal yang memperlihatkan betapa penting hikmat itu bagi hidup
manusia. Amsal 1:20-33, menggambarkan hikmat sebagai tokoh yang
berseru-seru memanggil orang-orang di jalan untuk menaruh perhatian kepadanya. Atkinson (1996), seperti dikutip Elia (2000), berpendapat, seruan itu mengandung imbauan, tawaran untuk memiliki pengetahuan Allah yang memberikan makna pada kehidupan. Di sini hikmat berperan sebagai imbauan dan penasihat untuk memilih jalan
TUHAN.34
Amsal 2:1-9 menggambarkan hikmat sebagai harta
tersembunyi dan harus dicari. Pakar ini berpendapat, hikmat merupakan sesuatu yang berharga, tidak dapat diperoleh dengan
33 Philip Johannes Nel, The Structure and Ethos of The Wisdom Admonitions
in Proverbs (Berlin: Walter de Gruyter, 1982) 16, dimuat dalam Poppy Mary Elia, Prinsip-prinsip Pendidikan Menurut Kitab Amsal (Tesis Magister Theologia pada Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, tidak dipublikasikan, 2000) 15.
34 David Atkinson, The Message of Proverbs (London: Intervarsity, 1996) 30, dimuat dalam Poppy Mary Elia, Prinsip-prinsip Pendidikan Menurut Kitab Amsal (Tesis Magister Theologia pada Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, tidak dipublikasikan, 2000) 31-32.
40 Jurnal EFATA Vol. 4 No. 1, September 2018
mudah. Ketika ia ditemukan, keberadaannya berperan sebagai perisai
pelindung pemberi perlindungan dalam perjalanan hidup.35
Kitab Amsal juga berisi nilai-nilai hikmat. Atkinson (1996),
menemukan, di antara nilai-nilai itu, ada nilai yang bersifat mendasar dan di atas nilai yang mendasar itu dibangun nilai-nilai lain yang lebih
bersifat praktis. Nilai mendasar itulah yang disebut sebagai “takut akan TUHAN” (Amsal 1:7; 9:10). Yang dimaksud dengan “takut akan TUHAN” adalah ketaatan di dalam sikap hormat kepada
TUHAN.36 Sikap hormat yang benar adalah kasih. Kasih dihubungkan
dengan kesetiaan (Amsal 3:3; 14:22; 19:22; 20:6). Salah satu cara yang
diperlihatkan Kitab Amsal adalah kasih yang harus dinyatakan di dalam sikap murah hati (Amsal 22:9) yang merupakan kebalikan dari
keserakahan. Kasih dihubungkan dengan persahabatan (Amsal 17:17;
18:24), disiplin, pengampunan (Amsal 13:24; 15:5), keadilan,
kebenaran, kejujuran (Amsal 11:1, 18; 14:31; 17:5, 23; 20:10, 23). Amsal 10:9 memperlihatkan integritas pribadi dan watak yang baik.
Nilai-nilai hikmat memberikan fondasi di mana di atasnya dibangun
sifat Illahi. 37
Atkinson (1996) juga mengemukakan nilai- nilai yang berkaitan
dengan kehidupan sehari-hari, seperti keluarga, pernikahan (Amsal
18:22), kedudukan orangtua (Amsal 20:20; 15:20; 19:26), bekerja
(Amsal 12:27; 16:26; 18:9; 19:15), kesehatan (Amsal 3:7-8; 12:25;
14:13), kecukupan materi (Amsal 10:3; 12:9; 13:25; 3:10, 27;
10:2, 4, 22), berbicara (Amsal 16:28; 19:1; 17:19; 18:6-8), kemarahan
(Amsal 15:18), kehidupan berbangsa dan bernegara (Amsal 11:10-11;
20:28; 14:28; 14:35), kehidupan hewan (Amsal 12:10).38
Kitab Amsal berisi nilai-nilai yang mendasari hubungan
manusia dengan TUHAN, alam, diri sendiri, dan sesamanya baik di
dalam keluarga, juga di dalam masyarakat, bangsa, negara. Nilai-nilai
yang dikemukakan Kitab Amsal mendasari sifat, sikap, perilaku
terhadap diri sendiri, orangtua, suami-istri, saudara di dalam keluarga,
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara termasuk perilaku
dalam bekerja, berbicara, sikap terhadap kekayaan, kemarahan,
35 Ibid.
36 Ibid., 101-103.
37 Ibid., 103-116.
38 Ibid., 120-137.
Jurnal EFATA Vol. 4 No. 1, September 2018 41
kesehatan, dan terhadap hewan. Oleh karena itu, nilai-nilai hikmat
menjadi dasar bagaimana seseorang harus bersikap, berperilaku, dan
berkarakter seperti yang dikehendaki TUHAN (YHWH).
4. Pendidikan Karakter di dalam Kitab Amsal Apabila kita membaca dan mempelajari Kitab Amsal dengan
seksama, kita akan melihat bahwa di balik pepatah-pepatah hikmat itu
ada tujuan yang ingin dicapai. Tujuan itu adalah tujuan pendidikan
untuk membentuk manusia yang bermoral tinggi. 4.1 Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan tampak jelas pada Amsal 1:1-7. Banyak pakar yang mengemukakan hal itu, antara lain Melchert (1998) seperti dikutip Elia (2000). Pakar ini mengemukakan, Kitab Amsal mengandung unsur-unsur, tujuan pendidikan. Perikop itu memperlihatkan, tujuan Kitab Amsal adalah untuk menjadikan orang yang bodoh, kurang bijaksana menjadi lebih benar, bijaksana di dalam
sikap, perilaku menjalani kehidupan.39
Rylaarsdam (1964) seperti
dikutip Elia (2000) berpendapat, Kitab Amsal mengandung tujuan
pendidikan, merupakan sumber pembinaan watak40
sedangkan Estes
(1997), seperti dikutip Elia (2000) mengibaratkan Kitab Amsal sebagai suara guru yang sedang berbicara kepada murid-muridnya. Suara ini bergema di halaman- halaman Kitab Amsal. Ia berpendapat, di balik kumpulan amsal yang tidak selalu berurutan, tidak berkaitan satu sama lain, ada teori pendidikan yang dapat disistematikkan. Teori pendidikan ini tidak tampak secara eksplisit, berstruktur melainkan implisit dan
tidak berstruktur.41
Pakar ini berpendapat, tujuan pendidikan di dalam
Amsal 1-9 adalah pembentukan watak Illahi di dalam diri peserta didik. Fokus pengajarannya adalah pengembangan
39
Charles F. Melchert, Wise Teaching (Pennsylvania: Trinity Press International, 1998) 22, dimuat dalam Poppy Mary Elia, Prinsip-prinsip Pendidikan Menurut Kitab Amsal (Tesis Magister Theologia pada Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, tidak dipublikasikan, 2000) 61.
40 J. Coert Rylaarsdam, The Layman’s Bible Commentary, Vol. 10, The Proverbs, Ecclesiastes, The Song of Solomon (Virginia: John Knox, 1964) 14-15, 22, dimuat dalam Poppy Mary Elia, Prinsip-prinsip Pendidikan Menurut Kitab Amsal (Tesis Magister Theologia pada Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, tidak dipublikasikan, 2000) 62.
41 Daniel J. Estes, Hear My Son (Cambridge: Wm. B. Eerdmans, 1997) 13, dimuat dalam Poppy Mary Elia, Prinsip-prinsip Pendidikan Menurut Kitab Amsal (Tesis Magister Theologia pada Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, tidak dipublikasikan, 2000) 62.
42 Jurnal EFATA Vol. 4 No. 1, September 2018
manusia batiniah, bukan hanya mengadopsi pola-pola perilaku
belaka.42
Tujuan pendidikan di dalam Kitab Amsal bersifat umum dan
khusus. Tujuan umumnya adalah untuk menjadikan peserta didik bijaksana dalam konteks takut akan TUHAN dengan menghormati
YHWH. Kitab ini memberi petunjuk bagaimana menjalani hidup yang
berhasil serta bagaimana bersikap dan berperilaku bijaksana di dalam
kehidupan.43
Tujuan khusus Kitab Amsal adalah membuat para peserta
didik dapat melakukan hal-hal tertentu, yaitu: mencari hikmat,
pengetahuan, dan pengenalan akan Allah; hidup dalam ketaatan akan
perintah Allah; menerapkan prinsip-prinsip iman dan kasih terhadap Allah dan sesama manusia di dalam kehidupan sehari-hari; membina
watak yang bermoral tinggi sehingga membentuk kepribadiannya
dengan nilai-nilai hikmat sesuai kehendak Allah; memupuk
keterampilan bermoral dan mendisiplin diri dengan watak yang bermoral; menjalankan kebenaran, kasih, keadilan, persamaan hak, dan
mengambil keputusan yang tepat dalam peristiwa-peristiwa khusus;
membedakan, membandingkan, mengevaluasi jalan hikmat dengan
jalan kebodohan.44
Pendidikan merupakan prioritas utama Kitab Amsal. Amsal
1:1-7 menggunakan kata-kata yang mengandung unsur pendidikan,
seperti mengetahui hikmat, didikan, mengerti kata-kata yang
bermakna, menerima didikan dan menjadikan pandai, memberikan
kecerdasan kepada orang tak berpengalaman, pengetahuan serta kebijaksanaan kepada orang muda, mendengar dan menambah ilmu,
memperoleh bahan pertimbangan, mengerti amsal dan ibarat,
perkataan dan teka-teki orang bijak. Dari kata-kata dalam perikop itu,
terlihat tahap-tahap pendidikan yang ingin dicapai, yakni
pengetahuan, pengertian, pertimbangan, kecerdasan, dan
kebijaksanaan. Secara tersirat, pada tahap-tahap itu terdapat unsur-
42 Ibid., hlm. hlm. 68-70 dimuat dalam Poppy Mary Elia, Prinsip-prinsip
Pendidikan Menurut Kitab Amsal (Tesis Magister Theologia pada Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, tidak dipublikasikan, 2000) 116.
43 Clifford, Op. Cit, 45 dimuat dalam Poppy Mary Elia, Prinsip-prinsip Pendidikan Menurut Kitab Amsal (Tesis Magister Theologia pada Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, tidak dipublikasikan, 2000) 112.
44 Rylaarsdam, Op. Cit., 14-15 dimuat dalam Poppy Mary Elia, Prinsip-prinsip Pendidikan Menurut Kitab Amsal (Tesis Magister Theologia pada Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, tidak dipublikasikan, 2000) 112-113.
Jurnal EFATA Vol. 4 No. 1, September 2018 43
unsur: mengetahui, mengerti, memilih, memutuskan, dan
melaksanakan.
Tujuan pendidikan di dalam Kitab Amsal adalah supaya
manusia mengetahui, mengerti perilaku yang bodoh, membedakan
perilaku yang benar dan salah, baik dan jahat, memilih dan
memutuskan, melaksanakan yang benar dan yang baik. Tujuan
pendidikan di dalam Kitab Amsal mencapai ranah kognitif, afektif, dan
psikomotor. Ranah psikomotor merupakan keterampilan menjalankan
hidup bermoral dan hidup yang baik. Melalui tujuan pendidikan itu
diharapkan ada perubahan tingkah laku peserta didik; yaitu dari
perilaku yang bodoh berubah menjadi perilaku yang pandai, karakter
atau watak yang jahat menjadi karakter atau watak yang baik.
4.2 Isi Pendidikan Kitab Amsal Tujuan capaian pendidikan Kitab Amsal adalah manusia
bermoral tinggi dengan karakter yang baik, yaitu karakter Illahi. Oleh
karena itu, diperlukan kegiatan pembelajaran yang mengarah pada
tujuan pendidikan itu. Kegiatan pembelajaran yang memperlihatkan isi
pendidikan Kitab Amsal tercermin dalam amsal-amsal hikmat dari
Kitab Amsal. Amsal- amsal hikmat Kitab Amsal muncul, berkembang
dari hasil pengajaran orangtua (Crenshaw, 1998 sebagaimana dikutip
Elia, 2000).
Amsal-amsal Kitab Amsal menunjuk pada bimbingan dan
pengarahan orangtua kepada anak (Amsal 23:22-26), berperan untuk
membentuk watak. Crenshaw (1998) menemukan, di Israel Kuno ada
empat ciri watak yang menunjukkan orang bijaksana; yakni
pengendalian diri, keterampilan berbicara, pemahaman situasi,
kerendahan hati. Orang yang dapat mengendalikan diri tidak
membiarkan kemarahan, nafsu, keserakahan, kebencian menguasai
pikiran dan perbuatannya. Orang yang mempunyai keterampilan
berbicara memungkinkannya untuk meyakinkan orang lain dan
berkomunikasi secara efektif. Orang yang memahami situasi menyadari
waktu yang tepat untuk berbicara atau sebaliknya lebih baik untuk
berdiam diri. Orang yang rendah hati menunjukkan sikap yang mau
mencari kebenaran untuk memperoleh pengetahuan tentang misteri
kehidupan.45
45
James L. Crenshaw, Education in An Ancient Israel (New York:
Doubleday, 1998) 230-232 dimuat dalam Poppy Mary Elia, Prinsip-prinsip
44 Jurnal EFATA Vol. 4 No. 1, September 2018
Pepatah-pepatah hikmat berkaitan dengan kehidupan nyata
(Melchert, 1998). Kitab Amsal juga mengemukakan kebajikan seperti
kerja keras, pengendalian diri atau penguasaan diri, kerendahan hati,
keberanian, dan akal sehat. Kebajikan-kebajikan itu diharapkan diambil
alih sebagai pengetahuan (kognitif), lalu dihayati (afeksi), dan
dilaksanakan (psikomotorik) sehingga membentuk sifat, watak yang
mendasar. Sehubungan dengan keberanian, Kitab Amsal memberikan
nasihat untuk berani memilih jalan yang benar, mempercayakan diri
kepada TUHAN.46
Hikmat menjadi nilai utama dalam isi pendidikan menurut Kitab Amsal karena hikmat diartikan sebagai keterampilan menjalani hidup yang baik. Dengan perkataan lain, hikmat dipahami sebagai kecakapan/kepandaian berperilaku sesuai dengan peraturan-peraturan TUHAN dalam menghadapi masalah-masalah kehidupan. Hikmat hanya dapat dipahami di dalam sikap takut akan TUHAN dan bukan dari kepandaian manusia (Amsal 3:7; 9:10). Estes (1997) mengemukakan, untuk mendapat hikmat, diperlukan sikap yang mempercayai TUHAN dengan rendah hati ketimbang sikap yang mempercayai diri sendiri dengan sombong. Hikmat sering dipertentangkan dengan kebodohan. Yang diartikan dengan kebodohan di sini adalah tidak mempunyai motivasi, kemampuan dan keinginan
untuk menyesuaikan diri dengan peraturan TUHAN.47
Estes mengemukakan sikap rendah hati, mau menerima
pengajaran hikmat sebagai nilai utama, penting sekali bagi
kehidupan.48
Sikap seperti itu menunjukkan sikap orang yang takut
akan TUHAN, mau membina hubungan dengan TUHAN, dengan rendah hati menghormati TUHAN, menerima pengajaran-pengajaran-Nya, merangkul kebenaran, menolak ketidakbenaran antara lain
Pendidikan Menurut Kitab Amsal (Tesis Magister Theologia pada Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, tidak dipublikasikan, 2000) 73-74.
46 Melchert, Op. Cit., 66-69 dimuat dalam Poppy Mary Elia, Prinsip-prinsip Pendidikan Menurut Kitab Amsal (Tesis Magister Theologia pada Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, tidak dipublikasikan, 2000) 74-75.
47 Estes, Op. Cit., 43-45. dimuat dalam Poppy Mary Elia, Prinsip-prinsip Pendidikan Menurut Kitab Amsal (Tesis Magister Theologia pada Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, tidak dipublikasikan, 2000) 76-77.
48 Estes, Ibid. 45-61 dimuat dalam Poppy Mary Elia, Prinsip-prinsip Pendidikan Menurut Kitab Amsal (Tesis Magister Theologia pada Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, tidak dipublikasikan, 2000) 78-80.
Jurnal EFATA Vol. 4 No. 1, September 2018 45
kejahatan (Amsal 8:13), kemalasan, perzinahan. Pengajaran-
pengajaran itu merupakan peringatan -peringatan tentang bahaya-
bahaya dan akibat-akibatnya. Ketaatan terhadap pengajaran hikmat
merupakan kunci kehidupan sejati yang mengarah pada kehidupan
bermakna (Amsal 4:13).
Berdasarkan norma, standard TUHAN, isi pendidikan Kitab
Amsal mengemukakan pengajaran tentang perilaku manusia yang
benar dan salah, baik dan buruk/jahat, memperlihatkan konsekuensi
setiap perilaku manusia, yaitu baik atau buruk. Orang yang berperilaku
baik, menaati perintah TUHAN akan mendapat berkat tetapi orang yang
menolak menaati perintah TUHAN akan celaka. Di dalam Kitab Amsal,
manusia diarahkan, diimbau untuk mau menerima pengajaran hikmat,
memilih perilaku yang baik sesuai dengan peraturan TUHAN. Perilaku
yang baik menurut ukuran TUHAN adalah perilaku yang berhikmat.
Dasar perilaku ini adalah takut akan TUHAN. Perilaku berinti sikap dan
merupakan pengejawantahan takut akan TUHAN memperlihatkan
relasi yang benar antara manusia dengan TUHAN, yakni rasa hormat
manusia kepada TUHAN. Makna sikap, perilaku merendahkan hati,
diri, mengakui eksistensi TUHAN, menaati hukum-hukum- Nya
merupakan respon manusia terhadap TUHAN serta mendasari relasi
manusia dengan sesamanya.
Westermann (1995) mengemukakan, relasi antarmanusia di
dalam Kitab Amsal tampak di lingkungan keluarga, masyarakat.
Hubungan di lingkungan keluarga terdiri atas hubungan antara orang
yang lanjut usia dan yang muda, hubungan antar saudara, suami-istri,
relasi antara orangtua dengan anak. Pada relasi orang lanjut usia dan
muda diperlihatkan bahwa baik orang yang lanjut usia maupun yang
muda mempunyai nilai penting. Keberadaan mereka harus diakui dan
dihargai. Orang yang muda harus menghormati orang yang berusia
lanjut (Amsal 16:331; 17:6; 20;29).
Relasi di antara saudara di dalam Kitab Amsal diungkapkan dari
sisi negatif (Amsal 18:19; 27:10c). Mengenai relasi suami dan istri,
dikemukakan tentang istri yang cakap, bijaksana (Amsal 31:10-31).
Pada relasi orangtua dan anak dikemukakan, anak-anak membutuhkan
disiplin supaya menjadi anak-anak yang bijak (Amsal 13:24; 19:25;
22:15; 29:15, 17). Anak yang bijak mendatangkan
46 Jurnal EFATA Vol. 4 No. 1, September 2018
sukacita (Amsal 10:1; 15:20; 13:1) sedangkan anak yang bodoh
mendukakan orangtua (Amsal 15:5; 17:21, 25; 19:13; 28:7).49
Kitab Amsal juga mengemukakan perilaku yang berkaitan
dengan kehidupan raja-raja di dalam bermayarakat, berbangsa, dan
bernegara (Amsal 25:2-5; 20:26; 16:10; 16:12; 28:2; 29:2, 14; 11:14),
seperti keadilan, kepemimpinan, kemuliaan, kebenaran, kekuasaan,
pemerintahan, kebijaksaan, dan sebagainya. Perilaku yang dapat
membahayakan masyarakat, misalnya bebal, malas, jahat, suka
mencuri, suka bertengkar, sombong, menipu, serakah, tidak berbelas
kasihan (Amsal 26:1-28; 16:18; 18:12; 13:10; 21:4, 10, 13; 17:19;
28:10; 16:30; 2:7; 16:29). Perilaku yang membangun masyarkat,
misalnya berbuat baik, berbelas kasihan, murah hati, kasih,
mengampuni, memelihara perdamaian, mengendalikan perkataan,
jujur, sabar, mengendalikan emosi, berakal budi, dan sebagainya
(Amsal 11:12, 25; 17:9; 19:22; 25:21; 19:11; 28:23; 14:3, 17; 15:21;
14:29.50
Pada relasi manusia dengan TUHAN, Kitab Amsal mengemukakan sikap manusia yang menghormati TUHAN mengungkapkan kerinduan manusia untuk menyenangkan hati TUHAN melalui pelaksanaan sebagai wujud menghormati ketetapan-ketetapan-Nya. Hal itu memotivasi manusia untuk melakukan kebajikan dan
membenci kejahatan (Estes, 1997).51
Menurut Westermann (1995),
salah satu tujuan Kitab Amsal adalah memberi dorongan bagi manusia untuk memperoleh pengetahuan dalam memahami dirinya sendiri, yaitu eksistensinya sebagai manusia dan lingkungan di mana ia hidup.
Amsal 20:27; 27:19 menjelaskan bahwa Tuhan memberikan
petunjuk atau penerangan ke dalam hati manusia sehingga manusia
49 Claus Westermann, Roots of Wisdom (Edinburg: T & T Clark, 1995) 24-
28 dimuat dalam Poppy Mary Elia, Prinsip-prinsip Pendidikan Menurut Kitab Amsal (Tesis Magister Theologia pada Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, tidak dipublikasikan, 2000) 100-101.
50 Ibid. 28-48 dimuat dalam Poppy Mary Elia, Prinsip-prinsip Pendidikan Menurut Kitab Amsal (Tesis Magister Theologia pada Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, tidak dipublikasikan, 2000) 101-102.
51 Estes, Op. Cit., 38 dimuat dalam Poppy Mary Elia, Prinsip-prinsip Pendidikan Menurut Kitab Amsal (Tesis Magister Theologia pada Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, tidak dipublikasikan, 2000) 103.
Jurnal EFATA Vol. 4 No. 1, September 2018 47
mampu memahami keberadaannya sebagai manusia. Westermann
(1995) juga mengatakan, menurut Kitab Amsal, manusia bersifat tidak
pernah puas (Amsal 27:20; 30:15-16). Manusia dapat membuat
rancangan yang sulit untuk dipahami (Amsal 20:5a) dan hanya orang
pandai yang dapat memahaminya (Amsal 20:5b). Manusia dapat
memperoleh reputasi yang baik bukan karena kekayaan, koneksi, atau
prestasi pribadi, melainkan karena keberhasilan mengatasi berbagai
ujian dalam hidupnya. Masalah-masalah lain yang berkaitan dengan
sifat dan relasi manusia dengan dirinya antara lain dalam hal berbicara
(Amsal 12:18), kekecewaan (Amsal 13:12), kegembiraan (Amsal
15:30).52
Sifat-sifat manusia yang positif maupun negatif digambarkan di
dalam Kitab Amsal (Amsal 12:25; 14:10, 30; 15:13, 14, 27, 28, 32, 33;
13:14; 15:3; 17:22; 19:15, 23; 20:7, 9, 11; 15:30). Perilaku manusia
yang positif akan membangun dirinya dan lingkungannya. Akan tetapi
perilaku yang negatif menghancurkan diri manusia dan lingkungannya.
Hubungan manusia dengan hewan digambarkan dalam Amsal 12:10,
yang mengatakan bahwa orang benar memperhatikan hewannya.
Dari isi pendidikan Kitab Amsal, kita dapat melihat gambaran
tentang manusia seutuhnya, yaitu manusia yang mempunyai hubungan
yang baik dengan TUHAN, sesamanya, diri sendiri, lingkungan alam
termasuk hewan, tumbuhan. Isi pendidikan Kitab Amsal
menggambarkan bagaimana nilai-nilai hikmat melandasi sikap,
perilaku manusia seutuhnya. Manusia seutuhnya di dalam Kitab Amsal
diartikan secara fisik dan karakter. Manusia seutuhnya berkarakter
Illahi. Karakter itu digambarkan secara rinci, operasional, aplikatif di
dalam wujud sikap dan perilaku. Pada gambaran itu terlihat, Kitab
Amsal juga mengungkapkan, proses pendidikan karakter Illahi bukan
hanya terpampang secara teoretis berbentuk tulisan belaka melainkan
bersifat praktis–yaitu tampak secara konkret dan terwujud nyata di
berbagai bidang hidup, kehidupan, penghidupan sehari-hari. Apa yang
digambarkan sebagai karakter manusia tersebut–yaitu karakter Illahi–diharapkan tercapai melalui pendidikan.
52 Westermann, Op.Cit. 6-24 dimuat dalam Poppy Mary Elia, Prinsip-prinsip Pendidikan Menurut Kitab Amsal (Tesis Magister Theologia pada Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, tidak dipublikasikan, 2000) 103-105.
48 Jurnal EFATA Vol. 4 No. 1, September 2018
4.3 Proses Pendidikan Karakter di dalam Kitab Amsal Amsal-
amsal hikmat Kitab Amsal memperlihatkan tujuan, isi dan proses pendidikan melalui kegiatan belajar-mengajar, belajar
bersama yang bersifat informal; yaitu yang berlangsung di luar ruang
kelas. Proses pengajaran yang bersifat informal pada pendidikan ini
tidak mudah dipahami karena bentuk bahasa Kitab Amsal yang ditulis
secara puitis dan menggunakan gaya bahasa sastra seperti personifikasi,
metafora, beraneka ragam retorika. Hal ini membuat bahasa lebih indah,
lebih memperjelas konsep-konsep pemikiran abstrak menjadi konkret
sehingga lebih mudah dipahami. Amsal 1:20-33 memperlihatkan
hikmat dipersonifikasi sebagai Tokoh Pendidik, yang diibaratkan
sebagai Guru Hikmat. Sosok ini berdiri di tempat-tempat strategis pada
zaman dulu, seperti di jalan-jalan, lapangan-lapangan, di atas tembok-
tembok, di depan pintu-pintu gerbang kota (Amsal 1:20-21). Ia
memanggil orang-orang yang ada di situ untuk mendengarkan
pengajarannya (Amsal 8).
Hikmat, sebagai Pendidik, oleh Estes (1998) dikemukakan
sebagai tokoh yang banyak menggunakan bentuk-bentuk retorika yang
mengandung kata-kata imbauan (panggilan, undangan). Hal ini terlihat
pada Amsal 1-9, yang menampilkan Hikmat sebagai Tokoh Otoritas
yang berbicara dengan suara berwibawa layaknya pakar hikmat.
Melalui seruannya, Hikmat menyapa orang-orang yang di tempat ia
berdiri. Ketegasan suara seruan panggilannya berwibawa mengalihkan
perhatian para hadirin di lingkungan mereka kepada apa yang
diucapkan Hikmat sebagai Pendidik (Amsal 1:20-33; 8:1-11).
Kemudian ia melontarkan tuduhan-tuduhan dan ancaman-ancaman
hukuman untuk menyadarkan manusia dari kebodohan, cemoohan, dan
kebebalan. Gaya bahasa kenabian tampak di dalam Amsal 1:25-33
berupa teguran bagi mereka yang mengabaikan nasihat hikmat dan
kebinasaan, bagi mereka yang mencemooh hikmat namun juga harapan
bagi mereka yang mau mendengarkan hikmat. Hikmat mengharapkan
respon manusia untuk mau menerima dan menaati pengajarannya.
Menurut Estes (1997), bentuk sapaan ini merupakan salah satu
strategi pengajarannya.53
Estes (1997), mengemukakan, strategi
53 Estes, Op. Cit., 84-85, 104, 126-127 dimuat dalam Poppy Mary Elia, Prinsip-prinsip Pendidikan Menurut Kitab Amsal (Tesis Magister Theologia pada Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, tidak dipublikasikan, 2000) 124-127.
Jurnal EFATA Vol. 4 No. 1, September 2018 49
pengajaran Tokoh Hikmat adalah deskripsi (Amsal 6:12-19; 8:22-31).
Di dalam deskripsi ini digambarkan dua lukisan, yaitu orang yang jahat
(Amsal 6:12-15) dan perbuatannya yang jahat (Amsal 6:16-19), yang
dibenci YHWH. Melalui deskripsi ini, Tokoh – di sini digambarkan
sebagai seorang Guru – Hikmat menjelaskan sifat-sifat yang harus
dihindari. Amsal 8:22-31 memperlihatkan deskripsi personifikasi
hikmat. Hikmat digambarkan kaitannya dengan YHWH dan zaman
purbakala. Ilustrasi itu digambarkan agar manusia yang diibaratkan
sebagai murid mau menerima dan menaati pengajaran hikmat. Hal itu
menunjukkan, hikmat mendapat kedudukan terhormat di dalam rencana
TUHAN. Amsal 8:22-31 menggambarkan bagaimana hikmat
merupakan pengamat yang bersukacita atas hasil karya YHWH.
Keberadaan hikmat sejak purbakala dan kedekatannya dengan YHWH
menjadikannya tokoh otoritas di dalam kehidupan. Deskripsi ini
menunjukkan secara implisit bahwa merupakan kebodohan untuk
mengabaikan prinsip-prinsip yang diajarkan Hikmat sebagai
Pendidik.54
Selain strategi deskripsi, ada strategi yang menggunakan
retorika yang beraneka ragam. Salah satunya adalah “persyaratan
disertai perintah” (condition with command). Hal itu dapat dilihat di
dalam Amsal 6:1-5, (Estes, 1997).55
Bentuk ini, menurut McKane
(1970), dipaparkan secara langsung (directive), maksudnya bahwa apabila manusia yang diibaratkan sebagai murid yang jatuh ke dalam
kondisi seperti digambarkan Amsal 6:1-5, maka perintah yang ada di dalamnya akan berlaku. Di dalam hal itu, Hikmat sebagai Pendidik
memberitahukan pengamatan tentang situasi yang akan dihadapi manusia/murid dan menganjurkan supaya murid menaati perintah
hikmat.56
Bentuk retorika “perintah disertai pertimbangan” (command
with reasons) banyak dijumpai di dalam Amsal 1-9 (Estes, 1997).
54 Ibid., 106-109 dimuat dalam Poppy Mary Elia, Prinsip-prinsip Pendidikan Menurut Kitab Amsal (Tesis Magister Theologia pada Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, tidak dipublikasikan, 2000) 127-128.
55 Ibid., 109-110 dimuat dalam Poppy Mary Elia, Prinsip-prinsip Pendidikan Menurut Kitab Amsal (Tesis Magister Theologia pada Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, tidak dipublikasikan, 2000) 128.
56 McKane, Op. Cit., 76 dimuat dalam Poppy Mary Elia, Prinsip-prinsip Pendidikan Menurut Kitab Amsal (Tesis Magister Theologia pada Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, tidak dipublikasikan, 2000) 128-129.
50 Jurnal EFATA Vol. 4 No. 1, September 2018
Bentuk ini memperlihatkan perintah-perintah berisi nasihat-nasihat positif, larangan-larangan negatif yang diikuti alasan yang didahului bentuk perbandingan ( comparable grammatical construction). Guru Hikmat menggunakan strategi penggerakkan motivasi sang murid untuk membuat perintah-Nya jelas, mendesak (Amsal 3:1-12; 4:10-19,
25-27; 5:15-23; Nel (1982).57
Di sini Guru Hikmat beralih dari sikap
seorang pakar yang otoriter menjadi seorang pembujuk yang
persuasif.58
Retorika lain (Estes, 1997) berbentuk perintah disertai
pertimbangan -pertimbangan dan ilustrasi (command with reasons and illustrations). Ilustrasi yang digunakan berbentuk strategi retorika penderitaan. Di sini Guru Hikmat menggerakkan emosi murid untuk bertindak.
Amsal 1:10-19 mengemukakan situasi bersifat hipotetis untuk memperkuat perintah Guru Hikmat agar menolak godaan orang berdosa. Ilustrasi jaring yang dibentangkan bagi burung (Amsal 1:17) menyimpulkan, pelaku kejahatan membahayakan hidupnya (Amsal 1:18-19). Amsal 7 berisi pengajaran panjang dengan menggunakan
ilustrasi berpengaruh kuat.59
Estes (1997) menjelaskan retorika
perintah disertai konsekuensi-konsekuensinya (command with consequences). Pada retorika ini, Guru Hikmat mengemukakan masalah- masalah kehidupan, menerangkan berbagai konsekuensi yang mungkin terjadi lalu menyerahkan keputusan kepada murid. Amsal 1:8-9 memperlihatkan bagaimana usaha Guru Hikmat menyadarkan akal sehat murid, ketaatan terhadap pengajaran orangtua akan memberikan
kehormatan kepada diri anaknya.60
Perintah dengan pertanyaan-
pertanyaan retorika (command with retorical questions) merupakan bentuk retorika berisi perintah yang diikuti pertanyaan-pertanyaan retoris, ketegasan Guru Hikmat untuk membimbing murid
57 Estes, Op.Cit. 111-115 dimuat dalam Poppy Mary Elia, Prinsip-prinsip
Pendidikan Menurut Kitab Amsal (Tesis Magister Theologia pada Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, tidak dipublikasikan, 2000) 129.
58 Nel, Op. Cit., 91 dimuat dalam Poppy Mary Elia, Prinsip-prinsip Pendidikan Menurut Kitab Amsal (Tesis Magister Theologia pada Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, tidak dipublikasikan, 2000) 129.
59 Estes, Op. Cit., 116-118 dimuat dalam Poppy Mary Elia, Prinsip-prinsip Pendidikan Menurut Kitab Amsal (Tesis Magister Theologia pada Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, tidak dipublikasikan, 2000) 130-131.
60 Ibid., 118-119 dimuat dalam Poppy Mary Elia, Prinsip-prinsip Pendidikan Menurut Kitab Amsal (Tesis Magister Theologia pada Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, tidak dipublikasikan, 2000) 131-132.
Jurnal EFATA Vol. 4 No. 1, September 2018 51
kepada pengambilan keputusan secara pribadi (Amsal 6:20-35). Namun
demikian, Guru Hikmat tetap menyerahkan tanggung jawab
sepenuhnya kepada murid (Estes, 1997).61
Proses pendidikan karakter pada Kitab Amsal memperkenalkan unsur ganjaran (insentif). Hikmat memberi ganjaran bagi kehidupan
manusia baik pribadi maupun bermasyarakat.62
Ganjaran ini menjadi
daya tarik bagi manusia/murid untuk mau mencari, menerima, mengasihi hikmat. Estes (1997) mengemukakan, ada bagian-bagian di dalam Kitab Amsal yang menggambarkan kebaikan dan manfaat hikmat (Amsal 3:13-18 dan 8:12-21). Pakar ini juga menemukan, di dalam strategi pengajaran dari Amsal 9 tersirat kata -kata yang mengandung undangan guru kepada murid. Hikmat dan Kebodohan dipersonifikasi sebagai tokoh di dalam Amsal 9. Amsal 9:1-3 dan 9:13-15 menggambarkan bagaimana kedua tokoh itu memberikan undangan kepada manusia/murid. Tokoh Hikmat mengundang manusia/murid menghadiri pesta kehidupan (Amsal 9:4-
6) dan Tokoh Kebodohan memikat manusia/murid untuk menikmati
pesta kematian (Amsal 9:16-18).
Amsal 9 menggambarkan dua jalan (Amsal 9:1-6, 13-18). Kedua jalan
itu dipertentangkan untuk mencapai klimaks yang dramatis dan
pedagogis. Estes (1997) berpendapat, kedua undangan itu mempunyai
kekuatan yang bersifat retoris. Retorika yang digunakan di dalam
Amsal 1-9 baik oleh Tokoh Hikmat demikian pun Tokoh Kebodohan,
menuju pada satu titik klimaks di mana pada titik itu, murid
diperhadapkan dengan keputusan untuk memilih salah satu dari kedua
undangan itu.63
Melchert (1998) berpendapat, metafora merupakan undangan.
Metafora membangkitkan imajinasi murid untuk membayangkan
dirinya mencoba sesuatu yang ditawarkan kepadanya sebelum ia
61 Ibid., 119-121 dimuat dalam Poppy Mary Elia, Prinsip-prinsip
Pendidikan Menurut Kitab Amsal (Tesis Magister Theologia pada Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, tidak dipublikasikan, 2000) 132.
62 Ibid., 121-122 dimuat dalam Poppy Mary Elia, Prinsip-prinsip Pendidikan Menurut Kitab Amsal (Tesis Magister Theologia pada Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, tidak dipublikasikan, 2000) 133-134.
63 Estes, Op. Cit., 122-133 dimuat dalam Poppy Mary Elia, Prinsip-prinsip Pendidikan Menurut Kitab Amsal (Tesis Magister Theologia pada Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, tidak dipublikasikan, 2000) 134.
52 Jurnal EFATA Vol. 4 No. 1, September 2018
menerima tawaran itu (Amsal 2:1-15). Pakar ini juga menganggap, di
dalam metafora ada unsur bermain (Amsal 8:32-36). Ia ingin
mengemukakan, di dalam belajar ada kegembiraan.64
Dari bentuk-bentuk strategi pengajaran dan retorika yang digunakan di dalam Kitab Amsal, Guru Hikmat juga berperan sebagai fasilitator. Di dalam Amsal 3:13-18 dan 8:12-21, peran pendidik ada di latar belakang gambaran Tokoh Hikmat dan Tokoh Kebodohan yang berusaha untuk memikat hati manusia/murid dengan tawaran mereka masing-masing. Sebagai fasilitator, pendidik menyerahkan pilihan,
keputusan kepada manusia/murid (Estes, 1997).65
Selain sebagai
fasilitator, pendidik/Guru Hikmat di dalam Kitab Amsal juga berperan sebagai pembimbing. Ia memberikan pengarahan melalui pengajaran dan pengalaman-pengalaman hidup kepada manusia/murid/peserta didik. Namun demikian, ia memberi kesempatan kepada mereka untuk menyelidiki kehidupan dan membuat keputusan. Estes (1997) berpendapat, di dalam Amsal 1-9, pendidik membimbing peserta didik
untuk menjalani hidup sesuai dengan peraturan YHWH.66
Kitab Amsal juga mengemukakan bagaimana sikap dan perilaku
murid/peserta didik terhadap pengajaran yang diberikan oleh pendidik.
Di dalam proses pendidikan menurut Kitab Amsal diperlihatkan anjuran
atau nasihat supaya peserta didik bersikap rendah hati, menyadari
keterbatasan pengalamannya, dan mau menerima pengajaran yang
disampaikan kepadanya. Anjuran itu tampak di dalam kata-kata kerja
yang diungkapkan pendidik, seperti menerima (Amsal 1:3; 2:1),
terimalah (Amsal 4:10; 8:10), mendengar, dengarkanlah (Amsal 1:5, 8,
33; 4:1, 10; 5:7; 7:24; 8:6, 32-34). Dengan perkataan lain diharapkan
supaya peserta didik
64 Melchert, Op. Cit., 72-73, 200-201, 273 dimuat dalam Poppy Mary Elia,
Prinsip-prinsip Pendidikan Menurut Kitab Amsal (Tesis Magister Theologia pada Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, tidak dipublikasikan, 2000) 135-136.
65 Estes, Op. Cit., 127-129 dimuat dalam Poppy Mary Elia, Prinsip-prinsip Pendidikan Menurut Kitab Amsal (Tesis Magister Theologia pada Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, tidak dipublikasikan, 2000) 138.
66 Ibid., 129 dimuat dalam Poppy Mary Elia, Prinsip-prinsip Pendidikan Menurut Kitab Amsal (Tesis Magister Theologia pada Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, tidak dipublikasikan, 2000) 139.
Jurnal EFATA Vol. 4 No. 1, September 2018 53
bersikap reseptif terhadap pengajaran yang disampaikan kepadanya,
demikian pendapat Estes (1997).67
Peserta didik diharapkan bersikap responsif, yakni
berpartisipasi aktif, terlibat aktif dalam proses pembelajaran (Estes,
1997). Anjuran untuk sikap responsif ini tampak di dalam Amsal 5:7-
8; 6:1-5; 6:20-21; 7:1-3; 1:10, 15; 3:27, 28; 4:14-15. Bagi peserta didik
yang menerima hikmat dan memberikan respon, maka dapat
diharapkan ia juga menghargai hikmat (Estes, 1997). Sikap menghargai
itu tampak di dalam kata-kata kerja yang terdapat dalam Amsal 2:3-4,
seperti berseru, menunjukkan suara, mencari, mengejar; juga kata
memegang, berpegang, memeluk, dalam Amsal 3:18; 4:4-8. Ungkapan “menghargai hikmat” juga tampak di dalam kata-kata, Engkaulah
saudaraku (Amsal 7:4a) dan “hikmat lebih berharga daripada
permata” (Amsal 8:10-11).68
Peserta didik juga diharapkan dapat menginternalkan
pembelajaran karakter dalam Kitab Amsal. Peserta didik menerima pembelajaran tentang karakter Illahi bukan hanya dengan pikiran melainkan juga dengan hati (Amsal 4:23-27). Estes (1997) berpendapat, peserta didik diharapkan menginternalkan hikmat sebagai falsafah hidup yang koheren bagi dirinya dan pengembangan pola kehidupannya pun didasarkan pada hikmat. Hikmat mendasari dan mewarnai seluruh aspek kehidupan peserta didik serta membentuk pribadi yang terampil untuk menjalani kehidupan yang sesuai dengan ketetapan YHWH.
Amsal 4:23 mengemukakan, hati adalah sumber kehidupan; jadi hati
harus dijaga melebihi apa pun;69
artinya hikmat bukan hanya
menyentuh aspek pengetahuan melainkan juga kemauan, yakni kemauan untuk menjalani hidup yang sesuai dengan peraturan YHWH. Kemauan itu diharapkan akan terwujud di dalam tindakannya untuk menghormati TUHAN di dalam perilakunya. Proses pendidikan menyentuh baik ranah kognitif juga afektif, psikomotor.
67 Ibid., 135-138 dimuat dalam Poppy Mary Elia, Prinsip-prinsip
Pendidikan Menurut Kitab Amsal (Tesis Magister Theologia pada Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, tidak dipublikasikan, 2000) 140-141.
68 Ibid., 143-144 dimuat dalam Poppy Mary Elia, Prinsip-prinsip Pendidikan Menurut Kitab Amsal (Tesis Magister Theologia pada Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, tidak dipublikasikan, 2000) 144-145.
69 Ibid., 147 dimuat dalam Poppy Mary Elia, Prinsip-prinsip Pendidikan Menurut Kitab Amsal (Tesis Magister Theologia pada Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, tidak dipublikasikan, 2000) 146.
54 Jurnal EFATA Vol. 4 No. 1, September 2018
4.4 Relevansi Pendidikan dalam Kitab Amsal dengan
Pendidikan Karakter di Masa Kini Masalah-masalah yang dikemukakan di dalam Kitab Amsal
relevan dengan kehidupan masa kini. Berbagai masalah yang dialami
manusia pada zaman dahulu dan diungkapkan generasi yang satu
kepada generasi berikutnya tetap sama seperti yang kita alami sekarang.
Setiap masalah terkait dengan manusia baik secara individual maupun
sosial di dalam masyarakat, bangsa, negara, keluarga. Masalah itu ialah
kemiskinan, kekayaan, keadilan, kebenaran, kesombongan, kejujuran,
kemarahan, keserakahan, kemalasan, pengendalian diri, perzinahan,
kenikmatan hidup, kerajinan, kesedihan, kegembiraan, keputusasaan,
kesehatan. Hal serupa juga dikemukakan Melchert (1998).70
Pengajaran di dalam Kitab Amsal ditujukan kepada seluruh
umat manusia. Mereka terdiri atas laki-laki dan perempuan dari semua
kelompok usia baik anak-anak, pemuda, dewasa, hingga lanjut usia.
Selain itu, pengajaran itu juga ditujukan kepada semua lapisan
masyarakat. Lapisan masyarakat sasaran pengajaran meliputi baik atas,
menengah, dan bawah dari berbagai profesi, etnis, agama, bangsa,
budaya.71
Sifat dan perilaku yang diperlihatkan manusia pada zaman
dahulu sebagaimana digambarkan Kitab Amsal juga tetap sama seperti
yang ditunjukkan manusia pada masa kini. Sifat itu adalah sifat yang
lebih menyukai kenikmatan hidup ketimbang menjalani hidup yang
berhikmat. Lebih banyak orang yang menolak hikmat daripada yang
mau menerimanya. Konsekuensi dari sikap dan perilaku orang yang
digambarkan Kitab Amsal juga sama seperti yang dihadapi manusia
masa kini. Oleh sebab itu, pendidikan karakter di dalam Kitab Amsal
tetap diperlukan untuk pendidikan karakter di masa kini.
70 Melchert, Op. Cit., 2-3, 10 dimuat dalam Poppy Mary Elia, Prinsip-
prinsip Pendidikan Menurut Kitab Amsal (Tesis Magister Theologia pada Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, tidak dipublikasikan, 2000) 82-82.
71 Ibid., 2-3 dimuat dalam Poppy Mary Elia, Prinsip-prinsip Pendidikan Menurut Kitab Amsal (Tesis Magister Theologia pada Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, tidak dipublikasikan, 2000) 81.
Jurnal EFATA Vol. 4 No. 1, September 2018 55
Tujuan pendidikan karakter di dalam Kitab Amsal juga tetap
relevan dengan tujuan pendidikan di masa kini, yakni agar manusia
menghormati TUHAN dan atas dasar itu menghormati sesama manusia
mulai dari keluarga hingga masyarakat, bangsa, dan negara serta
menghormati diri sendiri dan mempedulikan lingkungan alam termasuk
hewan dan tumbuhan. Nilai- nilai hikmat di dalam Kitab Amsal
memperlihatkan karakter Illahi, baik yang mendasar seperti takut akan
TUHAN maupun yang instrumental seperti kebenaran, keadilan,
kejujuran, kasih, kesabaran, pengendalian diri, kemurahan hati,
kerendahan hati, kerajinan tidak berubah dari zaman dahulu hingga
sekarang. Dengan demikian, isi pendidikan yang mengandung nilai-
nilai hikmat di dalam Kitab Amsal tetap relevan dengan pendidikan
karakter di masa kini.
Pendidikan karakter secara informal yang diperlihatkan Kitab
Amsal sangat relevan untuk pendidikan karakter masa kini. Melalui
pendekatan informal seperti di dalam keluarga dan kelompok-
kelompok di dalam masyarakat, nilai-nilai hikmat dapat lebih
disebarluaskan secara merata, intensif, dan lebih mudah diterima.
Penggunaan bentuk-bentuk amsal hikmat di dalam Kitab Amsal dapat
memperkaya metode pendidikan karakter. Bentuk itu memperlihatkan
metode yang indirective dan reflexive; juga berkaitan dengan
pengalaman hidup sehari-hari. Dengan demikian, pengajaran yang
disampaikan melalui amsal-amsal hikmat itu akan lebih menyentuh
pikiran dan perasaan peserta didik.
Demikian pula dengan penggunaan gaya bahasa sastra seperti
personifikasi di dalam amsal-amsal hikmat menambah wawasan
tentang metode pembelajaran. Penggunaan metafora tersebut menurut
Melchert (1998), membangkitkan imajinasi peserta didik dan
membayangkan dirinya memasuki suatu situasi pengalaman hidup yang
mengharuskannya membuat satu pilihan dan keputusan.72
Metode pendidikan yang diperlihatkan Kitab Amsal seperti
teacher centered dan student centered learning juga relevan untuk
pendidikan masa kini. Ada kalanya guru berperan sebagai tokoh
otoritas, tetapi ada saatnya juga sebagai fasilitator dan pembimbing.
72 Ibid., 70-71 dimuat dalam Poppy Mary Elia, Prinsip-prinsip Pendidikan
Menurut Kitab Amsal (Tesis Magister Theologia pada Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, tidak dipublikasikan, 2000) 83-84.
56 Jurnal EFATA Vol. 4 No. 1, September 2018
Anjuran terhadap peserta didik yang diperlihatkan pendidikan karakter
di dalam Kitab Amsal untuk mau menerima, memberikan respon,
menghargai, menginternalkan hikmat, dan membuat komitmen sangat
diperlukan untuk pendidikan karakter masa kini.
5. Kesimpulan 1. Sebagai Firman TUHAN yang tertulis, Kitab Amsal merupakan
bagian Alkitab yang tergolong ke dalam sastra hikmat.
2. Amsal-amsal di dalam Kitab Amsal mengandung nilai-nilai hikmat.
3. Nilai-nilai hikmat ini tersusun berupa pendidikan karakter yang
berinti dan berisi ciri-ciri perilaku sehari-hari yang menghormati,
menyegani, menaati, menyuarakan kehendak TUHAN sebagai
wujud takut akan TUHAN.
4. Selaras dengan hakekat manusia sebagai gambar Allah, karakter
manusia pada hakekatnya menggambarkan karakter Illahi.
5. Karakteristik tingkah laku takut akan TUHAN merupakan wujud
nyata kepribadian yang berkarakter Illahi.
6. Karakter Illahi tidak terbentuk secara instan dan otomatis melainkan
melalui proses tumbuh kembang yang berlangsung sebagai suatu pendidikan karakter dengan tujuan yang berdasar dan bernorma Alkitab.
7. Program pendidikan karakter Illahi merupakan suatu proses
pendidikan yang bersifat langsung, menggunakan media
pembelajaran, meliputi ranah kognitif, afektif, psikomotorik, dapat
dilakukan di berbagai tempat yang strategis dan mengacu pada suatu
kurikulum.
8. Apa yang dialami peserta didik di suatu saat proses pembelajaran
pada tahap yang terdahulu akan mempengaruhi kualitas serapan
peserta didik terhadap materi ajar yang diajarkan kepadanya di saat
proses pemeblajaran pada tahap yang kemudian.
9. Pendidikan karakter Illahi membutuhkan waktu dan proses yang
panjang.
10. Terdapat relasi yang bersifat pemebelajaran antara pendidik dan
peserta didik di dalam suatu pendidikan karakter.
11. Hasil pendidikan karakter Illahi berupa individu yang bersama
TUHAN sanggup menjalani, memecahkan problema hidup secara
lebih bijaksana sesuai dengan kehendak TUHAN.
12. Metode pendidikan karakter Illah pada Kitab Amsal bersifat tidak
langsung, langsung, menggunakan beragam retorika, imbauan
Jurnal EFATA Vol. 4 No. 1, September 2018 57
untuk memilih hikmat, diskripsi tentang hikmat dan kebodohan,
undangan memilih hikmat, ganjaran bagi pencari hikmat.
13. Melalui pembelajaran pendidikan karakter menurut Kitab Amsal,
kita lebih tergerak untuk bagaimana berperilaku yang dikehendaki
TUHAN, baik terhadap TUHAN, sesama manusia, diri sendiri
maupun lingkungan alam termasuk hewan dan tumbuhan.
14. Melalui pembelajaran karakter Illahi menurut Kitab Amsal,
seseorang dapat lebih mengerti, memahami makna, tujuan hidup,
bagamana menjalani hidup yang berkenan pada TUHAN seperti
yang tersurat, tersirat di dalam amsal-amsal hikmat Kitab Amsal.
15. Di dalam proses pendidikan karakter, peserta didik diharapkan mau
menerima, memberikan respon, menginternalisasikan hikmat yang
dipelajarinya, berkomitmen untuk mewujudkannya, dan
menerapkan hikmat itu melalui sikap dan peilakuknya ketika dia
menjalani berbagai bidang hidup, kehidupan, penghidupannya
sehari-hari.
16. Dengan mempelajari, memahami, menghayati, melaksanakan
hikmat Kitab Amsal; manusia akan diperoleh pemahaman tentang
hakekat kesuksesan dan keberhasilan hidup yang sesungguhnya. 17. Pendidikan karakter Illahi memerlukan keteladanan perilaku
pendidik hikmat yang konsisten dengan apa yang dikomunikasikan,
diajarkan kepada peserta didik hikmat.
18. Meskipun sudah memahami makna, berkomitmen untuk
berkarakter Illahi, bila tidak disertai oleh keuletan menjalani latihan
diri untuk mewujudkan perilaku nilai-nilai karakter Illahi memohon
kekuatan Roh Kudus pada proses pemahaman, penghayatan,
pelaksanaan ciri-ciri karakter Illahi maka mustahil akan terjadi
pencapaian perilaku yang merupakan wujud nyata karakter Illahi di
berbagai bidang hidup, kehidupan, penghidupan di tengah-tengah
perkembangan situasi kondisi yang dialami sehari-hari.
Daftar Pustaka
Abineno, J. L. Ch. Manusia dan Sesamanya di dalam Dunia (cetakan
ke-4). Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003. Alkitab, terjemahan baru, edisi NS. Jakarta: Lembaga Alkitab
Indonesia, 2013. Alwi, Hasan (Pemimpin Redaksi). Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Cetakan ke 2 Edisi III). Jakarta: Balai Pustaka, 2002.
58 Jurnal EFATA Vol. 4 No. 1, September 2018
Atkinson, David. The Message of Proverbs. London: Inter-Varsity,
1996.
Clifford, Richard J. The Wisdom Literature. Nashville: Abingdon,
1998.
Crenshaw, James L. Education in An Ancient Israel. New York: Doubleday, 1998.
Elia, Poppy Mary. Prinsip-prinsip Pendidikan Menurut Kitab Amsal.
Tesis Magister Theologiae Bidang Studi Pendidikan Agama
Kristen Sekolah Tinggi Teologi Jakarta (tidak dipublikasikan).
2000.
Estes, Daniel J. Hear My Son. Cambridge: WmB. Eerdmans, 1998.
Hadiwijono, Harun. Iman Kristen (cetakan ke-15). Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2003.
Institute in Basic Life Principles. The Power for True Success—How to
Build Character in Your Life. Oak Brook: Institute in Basic Life Principles, 2001.
LaSor, W. S., D. A. Hubbard, dan F. W. Bush, eds. Pengantar
Perjanjian Lama 2 (terj. Lisda Tirtapradja Gamadhi dan Lily
W. Tjiputra). Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996. Liddell, H. G., R. Scott, Sir Henry Stuart Jones with the assistance of
Roderick McKenzie. New ( ninth ) Edition Completed; A Greek-
English Lexicon Volume II:λ - ρώδης. Oxford: At The
Clarendon, 1940. Liddell, H. G., R. Scott, Sir Henry Stuart Jones with the assistance of
Roderick McKenzie. A Greek-English Lexicon (with a revised
supplement). Oxford: Clarendon, 1996.
McKane, William. Proverbs. London: SMC, 1970. Musaph-Andriesse,
R. C. Sastra Para Rabi Setelah Taurat (terj. Henk ten Napel). Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997.
Nel, Philip Johannes. The Structure and Ethos of The Wisdom
Admonitions in Proverbs. Berlin: Walter de Gruyter, 1982.
Rylaarsdam, J. Coert. The Layman’s Bible Commentary: Volume 10 The Proverbs, Ecclesiastes, the Song of Solomon. Virginia: John Knox.
Sidjabat. B. S. Membangun Pribadi Unggul (cetakan ke-15).
Yogyakarta: ANDI, 2011. Subagjo, Meno. Hormat Kepada TUHAN dalam Sistem Pendidikan
Kebijaksanaan Israel Kuno. Jakarta: Grasindo, 1994. Scott, R. B. Y. “Proverbs and Ecclesiastes (Introduction)”, The
Anchor Bible Vol. 18. New York: Doubleday, 1973.
Jurnal EFATA Vol. 4 No. 1, September 2018 59
The Analytical Greek Lexicon. Grand Rapids: Zondervan, (19683). Thompson, John Mark. The
Form and Function of Proverbs in Ancient Israel. Paris: Mouton, 1974.
Westermann, Claus. Roots of Wisdom. Edinburg: T&T Clark, 1995.