penegakan hukum

18
PENDAHULUAN Penegakan hukum merupakan pusat dari seluruh “aktivitas kehidupan” hukum yang dimulai dari perencanaan hukum, pembentukan hukum, penegakan hukum dan evaluasi hukum. Penegakan hukum pada hakikatnya merupakan interaksi antara berbagai perilaku manusia yang mewakili kepentingan kepentingan yang berbeda dalam bingkai aturan yang telah disepakati bersama. Oleh karena itu, penegakan hukum tidak dapat semata-mata dianggap sebagai proses menerapkan hukum sebagaimana pendapat kaum legalistik. Namun proses penegakan hukum mempunyai dimensi yang lebih luas daripada pendapat tersebut, karena dalam penegakan hukum akan melibatkan dimensi perilaku manusia. Dengan pemahaman tersebut maka kita dapat mengetahui bahwa problem-problem hukum yang akan selalu menonjol adalah problema “law in action” bukan pada “law in the books”. Pada saat ini dapat mengamati, melihat dan merasakan bahwa penegakan hukum berada dalam posisi yang tidak menggembirakan. Masyarakat mempertanyakan kinerja aparat penegak hukm dalam pemberantasan korupsi, merebaknya mafia peradilan, pelanggaran hukum dalam penelitian APBN dan APBD di kalangan birokrasi. Dafatar ketidakpuasan masyarakat dalam penegakan hukum semakin bertambah panjang apabila membuka kembali lembaran – lembaran lama seperti kasus Marsinah, kasus wartawan Udin, kasus Sengkon dan Karta, kasus Tanah Keret di Papua dan lain-lainnya. Pengadilan yang merupakan representasi utama wajah penegakan hukum dituntut untuk mampu melahirkan tidak hanya kepastian hukum, melainkan pula keadilan, kemanfaatan sosial dan pemberdayaan sosial melalui putusan putusan hakimnya. Kegagalan lembaga peradilan dalam mewujudkan tujuan hukum diatas telah mendorong meningkatnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap pranata hukum dan lembaga-lembaga hukum.

Upload: andrika-indrayoga

Post on 03-Dec-2015

7 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

penegakan hukum

TRANSCRIPT

Page 1: Penegakan Hukum

PENDAHULUAN

Penegakan  hukum  merupakan  pusat  dari  seluruh  “aktivitaskehidupan”  hukum  yang  dimulai  dari  perencanaan  hukum,pembentukan  hukum,  penegakan  hukum  dan  evaluasi  hukum.Penegakan  hukum  pada  hakikatnya  merupakan  interaksi  antaraberbagai  perilaku  manusia  yang  mewakili  kepentingan  –kepentingan  yang  berbeda  dalam  bingkai  aturan  yang  telahdisepakati bersama. Oleh karena itu, penegakan hukum tidak dapatsemata-mata  dianggap  sebagai  proses  menerapkan  hukumsebagaimana pendapat kaum  legalistik. Namun proses penegakanhukum  mempunyai  dimensi  yang  lebih  luas  daripada  pendapattersebut, karena dalam penegakan hukum akan melibatkan dimensiperilaku  manusia.  Dengan  pemahaman  tersebut  maka  kita  dapatmengetahui  bahwa  problem-problem  hukum  yang  akan  selalumenonjol  adalah  problema  “law  in  action”  bukan  pada  “law  in  thebooks”.Pada  saat  ini  dapat  mengamati,  melihat  dan  merasakanbahwa  penegakan  hukum  berada  dalam  posisi  yang  tidakmenggembirakan.  Masyarakat  mempertanyakan  kinerja  aparatpenegak  hukm  dalam  pemberantasan  korupsi,  merebaknya  mafiaperadilan, pelanggaran hukum dalam penelitian APBN dan APBD dikalangan  birokrasi.  Dafatar  ketidakpuasan  masyarakat  dalampenegakan  hukum  semakin  bertambah  panjang  apabila membukakembali  lembaran –  lembaran  lama seperti kasus Marsinah, kasus wartawan  Udin,  kasus  Sengkon  dan  Karta,  kasus  Tanah  Keret  diPapua dan lain-lainnya.Pengadilan  yang  merupakan  representasi  utama  wajahpenegakan  hukum  dituntut  untuk  mampu  melahirkan  tidak  hanyakepastian hukum, melainkan pula keadilan, kemanfaatan sosial danpemberdayaan  sosial  melalui  putusan  –  putusan  hakimnya.Kegagalan  lembaga  peradilan  dalam  mewujudkan  tujuan  hukumdiatas  telah  mendorong  meningkatnya  ketidakpercayaanmasyarakat terhadap pranata hukum dan lembaga-lembaga hukum.Mungkin benar apabila dikatakan bahwa perhatian masyarakatterhadap  lembaga-lembaga  hukum  telah  berada  pada  titik  nadir.Hampir setiap saat kita dapat menemukan berita, informasi, laporanatau  ulasan  yang  berhubungan  dengan  lembaga-lembaga  hukumkita. Salah satu permasalahan yang perlu mendapat perhatian kitasemua  adalah  merosotnya  rasa  hormat  masyarakat  terhadapwibawa hukum.Bagaimana  juga masih banyak warga masyarakat yang  tetapmenghormati putusan – putusan yang telah dibuat oleh pengadilan.Meskipun  demikian  sah-sah  juga  kiranya  apabila  masyarakatmempunyai penilaian  tersendiri  terhadap putusan  tersebut. Adanya

Page 2: Penegakan Hukum

penilaian  dari  masyarakat  ini  menunjukkan  bahwa  hukum  /pengadilan  tidak  dapat  melepaskan  diri  dari  struktur  sosialmasyarakatnya. Hukum  tidaklah steril dari perilaku – perilaku sosiallingkungannya.  Oleh  karena  itu  wajar  kiranya  apabila  masyarakatmempunyai  opini  tersendiri  setiap  ada  putusan  pengadilan  yangdipandang  bertentangan  dengan  nilai  –  nilai  keadilan  hidup  dantumbuh di tengah – tengah masyarakat. Persoalannya  tidak  akan  berhenti  hanya  sebatas munculnyaopini  publik,  melainkan  berdampak  sangat  luas  yaitu  merosotnyacitra lembaga hukum di mata masyarakat. Kepercayaan masyarakatakan  luntur  dan mendorong munculnya  situasi  anomi. Masyarakatkebingungan nilai – nilai mana yang benar dan mana yang salah.

Page 3: Penegakan Hukum

SUMBER WIBAWA HUKUM

Dalam  pikiran  para  yuris,  proses  peradilan  sering  hanyaditerjemahkan  sebagai  suatu  proses  memeriksa  dan  mengadilisecara  penuh  dengan  berdasarkan  hukum  positif  semata-mata.Pandangan  yang  formal  legistis  ini  mendominasi  pemikiran  parapenegak hukum, sehingga apa yang menjadi bunyi undang-undang,itulah yang akan menjadi hukumnya.Kelemahan utama pandangan ini adalah terjadinya penegakanhukum yang kaku,  tidak diskresi dan cenderung mengabaikan  rasakeadilan masyarakat karena lebih mengutamakan kepastian hukum.Proses  mengadili  –  dalam  kenyataannya  bukanlah  proses  yuridissemata. Proses peradilan bukan hanya proses menerapkan pasal-pasal  dan  bunyi  undang  –  undang,  melainkan  proses  yangmelibatkan  perilaku  –perilaku  masyarakat  dan  berlangsung  dalamstruktur  sosial  tertentu.  Penelitian  yang  telah  dilakukan  oleh MarcGalanter  di  Amerika  Serikat  dapat  menunjukkan  bahwa  suatuputusan  hakim  ibaratnya  hanyalah  pengesahan  saja  darikesepakatan  yang  telah  dicapai  oleh  para  pihak. Dalam  perspektifsosiologis,  lembaga  pengadilan  merupakan  lembaga  yang  multifungsi  dan  merupakan  tempat  untuk  ”record  keeping”,  ”site  ofadministrative  processing”,  ”ceremonial  changes  of  status”,”settlement negotiation”, ”mediations and arbitration”, dan warfare. Produk  dari  pengadilan  adalah  putusan  hakim.  Dari  sinilahawal  dapat  dibangunnya  wibawa  hukum.  Dalam  putusan  hakim,wibawa  hukum  dipertaruhkan.  Para  petinggi  hukum  tidak  perluberteriak-teriak  minta  kepada  masyarakat  agar  menghormatipengadilan. Cukuplah apabila pengadilan di tingkat PN, PT ataupunMA membuat  putusan  yang  bermutu  tinggi, maka  rasa  hormat  ituakan datang dengan sendirinya.Kiranya  masyarakat  dapat  memberikan  penilaian  tersendiriterhadap mutu putusan para hakim. Haruslah disadari benar bahwamenegakkan  wibawa  pengadilan  tidakkah  semudah  membaliktelapak  tangan.  Sistem  peradilan  di  Indonesia  yang  merupakanwarisan  kolonial  Belanda  sedikit  banyak  menyulitkan  dalamprakteknya.  Sisa-sisa  perilaku  sebagai  bangsa  terjajah  masihtampak  di  kalangan  para  hakim.  Sebagai  contoh,  sampai  saat  inikita masih  bisa melihat  digunakannya Osterman  Arrest  dari  HogeRaad Belanda sebagai contoh  tentang Perbuatan Melawan Hukum(PMH). Dari  sisi  ini  setidaknya  kita  dapat melihat  adanya  tiga  hal,yaitu : pertama, hakim-hakim kita tidak mempunyai kepercayaan diriuntuk  mengutip  yuriprudensi  dari  Mahkamah  Agung  Indonesia.Kedua, kemungkinan memang  tidak ada putusan hakim  (MA) yangdapat  dianggap  berkualitas  kasus  itu.  Ketiga,  menganggapyuriprudensi asing selalu lebih valid dan bermutu.

Page 4: Penegakan Hukum

Munculnya  kritik-kritik  terhadap  keberadaan  lembagaperadilan  tidak  lain  karena  peradilan  kita  tidak  dapat memberikanpengayoman  kepada  warg  masyarakat.  Putusan  pengadilan  yangdiharapkan dapat mengembalikan keseimbangan masyarakat yangterganggu  tidak  dapat  terpenuhi.  Adanya  isu  mafia  peradilan,keadilan  dapat  dibeli,  munculnya  bahasa-bahasa  yang  sarkastis dengan  plesetan  HAKIM  (Hubungi  Aku  Kalau  Ingin  Menang),KUHAP  diplesetkan  sebagai  Kurang  Uang  Hukuman  Penjara,tidaklah  muncul  begitu  saja.  Kesemuanya  ini  merupakan  ”produksampingan” dari bekerjanya lembaga-lembaga hukum itu sendiri.Ungkap-ungkapan  ini  merupakan  reaksi  dari  rasa  keadilanmasyarakat yang terkoyak karena bekerja lembaga-lembaga hukumyang  tidak  profesional maupun  putusan  hakim/putusan  pengadilanyang  semata-mata  hanya  berlandaskan  pada  aspek  yuridis.Berlakunya  hukum  di  tengah-tengah  masyarakat,  mengembantujuan  untuk  mewujudkan  keadilan,  kepastian  hukum  dankemanfaatan dan pemberdayaan sosial bagi masyarakatnya. Untukmenuju pada cita-cita pengadilan sebagai pengayoman masyarakat,maka  pengadilan  harus  senantiasa  mengedapkan  empat  tujuanhukum di atas dalam setiap putusan yang dibuatnya. Hal ini sejalandengan  apa  yang menjadi  dasar  berpijaknya  hukum  yaitu  ”hukumuntuk  kesejahteraan masyarakat”. Dengan  demiian,  pada  akhirnyatidak  hanya  dikatakan  sebagai  Law  and  Order  (Hukum  danKetertiban)  tetapi  telah  berubah  menjadi  Law,  Order  dan  Justice(Hukum,  Ketertiban,  dan  Ketentraman).  Adanya  dimensi  keadilandan ketentraman yang merupakan manifestasi bekerjanya  lembagapengadilan,  akan  semakin  mendekatkan  cita-cita  pengadilansebagai pengayom masyarakat.

Page 5: Penegakan Hukum

MEMBUDAYAKAN PERILAKU ANTIKORUPSI

Dalam  10  tahun  terakhir,  gelombang  perubahan  yangmenakjubkan  telah  terjadi  di  Indonesia.  Pemerintah  telah  memilihjalan  untuk  melaksanakan  program  desentralisasi  secara  besar-besaran dan telah melaksanakan pemilihan umum secara langsunguntuk  memilih  presiden,  gubernur,  bupati,  dan  walikota.  Hal  iniharuslah  dilihat  sebagai  proses  transisi  secara  damai  dari  rezimotoriter  kepada  rezim  demokrasi  yang  diikuti  pula  dneganperubahan – perubahan kelembagaan dan transformasi regulasi.Dalam konteks inilah masalah korupsi di Indonesia perlu untukdikaji.  Korupsi  bukanlah  sesuatu  yang  khas  Indonesia.  Hampir  dikebanyakan negara korupsi selalu  terjadi. Korupsi merebak hampirdi  semua  negara  di  dunia  baik  negara  industri  maupun  negaraberkembang. Survei yang dilakukan oleh Transparansi Internasionalmenunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara korupdi  dunia.  Dalam  bidang  pemberantasan  korupsi,  skor  Indonesiahanya  sejajar  dengan Nigeria  dan  Bangladesh  dan  tertinggal  jauhapabila dibandingkan dengan Philipina maupun Malaysia.Hasil  survei  ini mencerminkan  transparansi  yang  lebih  besarmengenai  korupsi  di  Indonesia  dan  menunjukkan  bahwamasyarakat Indonesia menjadi salah satu masyarakat yang terbuka.Masyarakat  mengakui  bahwa  korupsi  secara  objektif  terjadi  diberbagai  sektor  dan masyarakat  juga  berpendapat  bahwa  korupsimerupakan  kejahatan  yang  harus  dibasmi.  Korupsi  merupakanancaman yang besar bagi transmisi politik dan ekonomi di Indonesiakarena  korupsi  melemahkan  kemampuan  negara  untukmenyediakan  barang  –  barang  publik  dan  mengurani  kredibilitas negara  di mata  rakyat. Dalam  jangka  panjang  korupsi merupakanancaman bagi keberlangsungan demokrasi.Survei  nasional  yang  dilaksanakan  oleh  Partnerhip  forGovernance  Rerofm  in  Indonesia  menyajikan  sumber  informasiyang kaya tentang persepsi 2.300 rumah tangga, pejabat publik danpengusaha. Hasil  survei mengungkapkan  bahwa  75 %  respondenberpendapat  bahwa  korupsi  sangat  lazim  di  sektor  publik.  Disamping  itu,  65  %  rumah  tangga  melaporkan  telah  mengalamisecara  langsung  dan  70  %  responden  melihat  korupsi  sebagai“penyakit  yang  harus  diberantas”.  Survei  juga  mengungkapkantingkat  kemarahan  publik  dan  kemuakan  terhadap  korupsi.  80  %responden  menghendaki  agar  pejabat-pejabat  yang  korupdipenjarakan  dan  disita  kekayaannya.  Sebagian  kecil  respondenmenghendaki pejabat tersebut dipermalukan di depan umum. Nyaristidak  ada  dukungan  untuk  memberikan  amnesti  atau  tumpangan

Page 6: Penegakan Hukum

bagi pelaku korupsi di masa lalu.Survei  tersebut  menawarkan  tiga  temuan  yang  signifikan.Pertama,  orang  tidak  terlalu  percaya  pada  lembaga  –  lembaganegara.  Lembaga-lembaga  yang  dianggap  paling  paling  koruptermasuk  di  sektor  peradilan  (Kepolisian,  Pengadilan,  Kejaksaandan Departemen Kehakiman), instansi – instansi pendapatan (DinasPabean  dan  Instansi  perpajakan),  Departemen  Pekerjaan  Umumdan  Bank  Indonesia.  Kedua,  lembaga  –  lembaga  yang  dirankingpaling korup juga dianggap kurang efisien dalam penyampaian jasa.Ketiga,  survei  tersebut  memberi  wawasan  terhadap  penyebab-penyebab  aktual  di  Indonesia. Walaupun  hasil  survei menunjukkakepercayaan  yang  kuat  bahwa  korupsi  disebabkan  oleh  gajipegawai  yang  rendah,  rendahnya  moral  perorangan,  serta  tidak adanya pengendali – pengendali dan akuntabilitas, namun analisisdata  yang  cermat  menunjukkan  bahwa  empat  variabel  tersebutberkorelasi  dengan  manajemen  bermutu  tinggi,  nilai  –  nilaiorganisasi  yang  anti  korupsi,  manajemen  kepegawaian  bermututinggi dan manajemen pengadaan barang bermutu tinggi.Sebagai warisan yang sudah berkembang sejak  jaman VOC,pemberantasan  korupsi  diyakini  akan  sulit  dilakukan  karena  akanmenentang  kepentingan  –  kepentingan  kelompok  yang  kuat,terorganisasi  secara  rapi  dalam  kelompok  –  kelompok  yang  salingmenguntungkan.  Terjadinya  distorsi  –  distorsi  secara  sistematisdalam struktur yang menghalalkan sistem  insentif sehingga mampumengubah  cara  pengambilan  keputusan  masyarakat  sehinggamengubah  pula  perilaku  masyarakat  yang  bebas  korupsi  akantergambar suasana sebagai berikut  :  (1) Birokrasi sebagai pelayanpublik merasa bertanggung  jawab atas pelayanan mereka, merasatakut  untuk  memungut  biaya  tidak  resmi  dan  akan  mendapatkantakut  untuk  memungut  biaya  tidak  resmi  dan  akan  mendapatkaninsentif  resmi  karena  bertindak  jujur.  (2) Masyarakat menganggapaturan  –  aturan  akan  ditaati  sehingga  masyarakat  memposisikanperilakunya  dalam  kerangka  peraturan  tersebut.  (3)  Masyarakattidak  perlu  membayar  insentif  tidak  resmi  (komisi,  suap,  uangpelicin)  karena  mengetahui  bahwa  tanpa  membayar  pun  akandilindungi  hak-haknya  untuk  mendapatkan  pelayanan  publik  yangberkualitas.

Pengalaman di negara maju menunjukkan bahwa upaya untukmembangun perilaku anti korupsi memerlukan waktu yang lama dankomitmen yang kuat dari para pemimpinnya serta pengawasan terusmenerus  dari  masyarakat  dan  media  massa.  Oleh  karena  itumengharapkan  Indonesia  mampu  memberantas  korupsi  danmembudayakan  perilaku  antikorupsi  dalam  waktu  singkat,  adalahharapan  yang  berlebihan.  Dibutuhkan  waktu  yang  lama  melaluiproses  yang  disebut  oleh  Peter  L  Berger  sebagai  proses

Page 7: Penegakan Hukum

internalisasi yang dimulai dari bangku-bangku sekolah dasar.Indonesia  menemukan  momentum  untuk  memulai  perangmelawan  korupsi  dengan  dilakukan  perubahan  mendasar  dalambidang  ketatanegaraan  yang  memungkinkan  dilaksanakannyapemilihan  umum  yang  jujur,  bebas,  adil  dan  pemilihan  langsungpresiden pada  tahun 2004. Hal  ini membuat presiden dan anggotaparlemen lebih bertanggung jawab kepada rakyat. Pemilihan kepaladaerah secara langsung sebagai amanat UU Nomor 32 tahun 2004tentang  pemerintahan  daerah  akan  meningkat  akuntabilitas  ditingkat lokal. Pergeseran ini diyakini akan membuat para pemegangkekuasaan publik  lebih berhati – hati karena masyarakat menuntutakuntabilitas  yang  lebih  besar  sebagai  imbalan  dari  suara  yangdiberikan pada saat pemlilihan kepala negara dan kepala daerah.Pergeseran  dalam  pemilihan  kepala  daerah  di  Indonesiaharuslah  dilihat  sebagai  peluang  untuk membangun  perilaku  barudalam penciptaan sebagai peluang untuk membangun perilaku barudalam  penciptaan  keadilan  dan  pemberantasan  korupsi  melaluikontrak politik antara  calon kepala daerah dan  konstituennya. Daritahun  2005  sampai  dengan  tahun  2009  akan  terjadi  pemilihan  33Gubernur, 349 Bupati dan 91 Walikota. Oleh karena  itu perubahan sistem  ketatanegaraan  ini  haruslah  dijadikan  sebagai  momentumuntuk membangun peningkatan akuntabilitas publik.Perubahan dalam kerangka akuntabilitas juga tercermin dalamkelengkapan pranata hukum yang disiapkan oleh pemerintah untukmemerangi  korupsi  dan membangun  perilaku  antikorupsi.  Pranatahukum ini bersumber dari Ketetapan MPR bulan Oktober 1999 yangmenetapkan  sebagai  tujuan  reformasi  yaitu  suatu  aparat  negarayang  berfungsi  dalam  penyelenggaraan  jasa  kepada  rakyat  yangprofesional,  efisien,  produktif,  transparan,  dan  bebas  dari  kolusi,knrupsi dan nepotisme. Pranata hukum  lainnya adalah UU Nomor.28  tahun  1999  tentang  pemerintah  yang  bersih  dan  bebas  KKNyang  mengharuskan  pejabat-pejabat  publik  mengumumkan  hartakekayaannya  dan menyetujui  audit  secara  berkala,  UU  Nomor  31tahun  1999  tentang  pemberantasan  tindak  pidana  korupsi  yangmendefinisikan  secara  lebih  luas  tentang  pidana  korupsi  danmenetapkan  gugatan  dan  prosedur  penuntutan,  dan  amandemenUU  tersebut  melalui  UU  Nomor  2  tahun  2001  yang  meletakkanbeban  pembuktian  kepada  terdakwa.  Selain  itu  juga  sudahdiundang-undangan UU tentang Pencucian Uang dan UU Nomor 30tahun  2002  tentang  Komisi  Anti  Korupsi.  Dari  segi  pengelolaankeuangan negara telah pula diundangkan UU Nomor 17 tahun 2003tentang  Keuangan  Negara,  UU  Nomor  1  tahun  2004  tentangPerbendaharaan  Negara  dan  UU  Nomor  15  tahun  2004  tentangTatacara  Pemeriksaan  dan  Pertanggungjawaban  KeuanganNegara. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa pranata hukum diIndonesia sudah cukup memadai untuk melakukan pemberantasan

Page 8: Penegakan Hukum

korupsi  di  Indonesia  sudah  cukup  memadai  untuk  melakukanpemerantas-an korupsi dan membangun perilaku anti korupsi. Dari segi kelembagaan, selain lembaga-lembaga konvensionaldalam  penegakan  hukum  seperti  kejaksaan  dan  kepolisian,  telahpula  dibentuk  komisi  ombudsman  nasional  yang  bertugasmenangani pengaduan-pengaduan, Komisi Pemberantasan Korupsi(KPK)  yang  bertugas  secara  khusus  untuk  menangkap  danmemeriksa  pelaku  korupsi  dan  pusat  pelaporan  dan  analisistransaksi  keuangan  (PPATK)  yang  bertugas  untuk  memantautransaksi  yang  mencurigakan  dan  melaporkan  transaksi  tersebutkepada Jaksa Agung.

Page 9: Penegakan Hukum

PENUTUP

Haruslah  disadari  benar  bahwa  upaya  menegakkan  hukumtidaklah semudah membalik telapak tangan. Kejadian-kejadian yangsekarang  menimpa  lembaga  hukum  hanyalah  satu  proses  untukmenuju  terciptanya  wibawa  hukum.  Sikap  mawas  diri  merupakanlangkah  terpuji  yang  seyogyanya  dibarengi  dengan  upaya-upayayang  bersifat  sistemik  dari  lembaga-lembaga  hukum  mulaikejaksaan,  kepolisian,  kehakiman,  dan  organisasi  penasehathukum.  Sudah  saatnya  lembaga-lembaga  penegak  hukummelakukan  :  Pertama,  evaluasi  berkesinambungan  atas  semuaprogram  dan  kebijaksanaan  yang  sudah  dicanangkan,  agar  dapatmengurangi kendala yang dihadapi  ; Kedua, klarifikasi kasus-kasusbesar  yang  diputuskan  oleh  pengadilan,  sehingga  masyarakatmengetahui  secara  jelas  pertimbangan  hukum  dan  dasar-dasarhukum  yang  digunakan.  Ketiga,  adalah  reorientasi  visi  dan  misilembaga penegak hukum agar mengutamakan keadilan substansial.Oleh karena itu peningkatan kualitas sumber daya manusia dibidang  hukum mutlak  perlu. Di  dalam  era  global  seperti  sekarang ini,  dengan  perubahan  sosial  yang  begitu  cepat,  aparat  penegakhukum  harus  tanggap  dan  melakukan  penyesuaian  diri  denganmeningkatkan  kemampuan.  Adanya  perbedaan  penafsiran  bunyisuatu pasal, seharusnya tidak perlu terjadi. Pemahaman yang samaterhadap  suatu  konstruksi  hukum  akan  sangat  mendukungkeberhasilan proses penegakan hukum. Koordinasi dan penyamaanpersepsi  antar  aparat  penegak  hukum  (Polisi,  Jaksa,  Hakim,  danPengacara)  harus  dikembangkan  sejak  dini.  Pembenahan  palingdini  dapat  dimulai  dari  sistem  rekrutmennya.  Seperti  yang  kitaketahui,  rekrutmen  untuk  jabatan-jabatan  inti  dalam  hukum  sepertihakim, Jaksa, maupun advokat berasal dari populasi sarjana hukumyang  sangat  bervariasi mutunya.  Pada  umumnya  dapat  dikatakanbahwa mereka yang melainkan untuk jabatan hakim, maupun jaksabukanlah  lulusan  yang  terbaik.  Seleksi  pelamar  terutama  yangmenyangkut  tentang  kemahiran,  pengetahuan,  dan  kemampuanhukum tidaklah ketat.Di  negara  maju,  untuk  seleksi  jabatan  hakim,  jaksa,  danadvokat  benar-benar  memperhatikan  mutu  pengetahuan,kemahiran,  dan  kemampuan  hukum.  Seleksi  untuk  memperolehjabatan  inti  ini  sangat  ketat. Di  Jepang, hakim,  jaksa, dan advokatharus  mengikuti  pendidikan  khusus  setelah  mereka  lulus  darifakultas  hukum.  Sementara  itu,  Malaysia,  dan  Singapura  melaku-kan  seleksi  untuk  jabatan  inti  dengan  cara  kerjasama  yang  eratantara  pendidikan  tinggi  hukum  dengan  institusi  hukum.  Institusi

Page 10: Penegakan Hukum

hukum  ini  hanya  mau  menerima  lulusan-lulusan  terbaik  saja.Kiranya  kita  dapat  belajar  dari  negara-negara  tetangga  yang  telahmemelopori  peningkatan  kualitas  sumber  daya manusia  di  bidanghukum. Selain  melakukan  pembenahan  sumber  daya  manusiasebagai  bagian  dari  brainware  system,  penting  pula  kiranya  untukmembenahi perangkat hukum sebagai bagian dari software system.Oleh karena  itu diperlukan pergeseran paradigma dari hukum yangteknokratis  struktural  menuju  hukum  humams  partisipatoris  yangdimulai  dari  proses  hukum  yang  paling  awal  karena  terdapathubungan  yang  erat  antara  perencanaan  hukum,  pembentukanhukum,  penegskan  huknm  dan  pendayagunaan  hukum.  Dalamkonteks  penegakan  hukum  itu  sendiri  perlu  dilakukan  redefinisibahwa  penegakan  hukum  tidak  lain  adalah  mewujudkan  isi,  jiwa,dan  semangat  undang-undang/peraturan  ke  dalam  kehidupansehari-hari. Oleh  karena  itu,  siapapun  yang  telah mewujudkan  isi,jiwa  dan  semangat  undang-undang  dalam  kehidupan  sehari-hari,dirinya adalah penegak hukum.

Page 11: Penegakan Hukum

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, 1989, Perkembangan Pemikiran  tentang PembinaanHukum Nasional, Jakarta, Akademika Presindo.

Adamson, Walter L., 1980 Hegemony and Revolution  : A Study ofAntonio  Gramsci’s  Political  and  Culture  Theory.  Berkeley,University of California Press.

Darmaputera,  Eka,  1997,  Pancasila,  Identitas  dan  Modernitas,Jakarta, BPK Gunung Mulia.

Glenn,  H  Patrick,  2000.  Legal  Traditions  of  The  World,  OxfordUniversity Press.

Hatta, Moh, 1975, Menuju Negara Hukum, Jakarta, Yayasan Idayu.

Jawamaku,  Anton,  1993,  Cita-cita  Hukum  dan  Langkah  StrategisPembangunan Hukum, Analisis CSIS No. 1 Bulan Januari-Februari l993.

Jeremy, Pope, 2002, Strategi Memberantas Korupsi, Elemen SistemIntegritas Nasional, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia.

Malleson,  Kate,  2003,  The  Legal  System,  United  Kingdom,  LexisNexis.

Milner, Andrew dan JeffBrowit, 2002, Contemporary Cultural Theory,Third Edition, Australia, Allen Ulwin,

Osman Samsudin, Zulkarnam Hj Awang, Sarojini Naidu, 2000, GoodGovemance Issues and Challengers, INTAN Malaysia.

Persahi,  Kerangka  Landasan  Pembangunan  Hukum,  Jakarta,Pustaka Sinar Harapan.

Peters,  AAG,  dan  Koesnani  Siswosoebroto,  1990,  Hukum  danPerkembangan Sosial Buku III, Jakarta, Sinar Harapan.Prawiro,  Wahono,  1977,  Utilitarianisme  dan  Masalah  Keadilan,Majalah Driyarkara VI Nomor 2 Tahun 1977.

Priyono, Herry, 1984, Teori Keadilan John Rawls, Majalah DryarkaraXI Nomor 4 November 1984

Page 12: Penegakan Hukum

Makna etika dan moral

Di dalam Kamus Besar Bahasa  Indonesia (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988) dipaparkan makna kata etika yang berasal dari bahasa Yunani ethos, dalam tiga pengertian, yaitu: 1) ilmu tentang apa yang baik dan buruk dan tentang hak dan kewajiban  moral (akhlak); 2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; 3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut oleh suatu golongan atau masyarakat. K. Berten dalam bukunya Etka (Seri Filsafat Atmajaya: 15/1997: 6) mempertajam rumusan makna dalam kamus tersebut di atas, menyatakan: pertama, kata etika bisa dipakai dalam arti: nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan seseorang atau sesuatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.   Misalnya, jika orang berbicara “etika suku-suku Indian”, “etika agama Buddha”, “etika Protestan”, maka tidak dimaksudkan sebagai “ilmu”, melainkan arti pertama tadi. Secara singkat arti ini bisa juga dirumuskan sebagai “sitem nilai”, dan boleh dicatat lagi, sistem nilai itu bisa berfungsi dalam hidup perorangan maupun pada taraf sosial. Kedua, etika berarti  juga kumpulan asas atau nilai moral, yang dimaksud di sini adalah kode etik, seperti “Etika Rumah Sakit Indonesia (1986). Ketiga, etika mempunyai arti  “ilmu tentang yang baik atau buruk”.

Kata etika sangat dekat maknanya dengan kata moral. Kata moral yang berasal dari kosa kata bahasa Latin (berasal dari kata mos bentuk singular, mores bentuk jamak) yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988) disamakan maknanya dengan kata etika. Jika sekarang kita memandang arti kata moral, perlu kita simpulkan bahwa artinya sama dengan etika menurut arti pertama tadi, yaitu nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau sesuatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Kita mengatakan, misalnya bahwa perbuatan seseorang tidak bermoral. Dengan itu dimaksudkan bahwa kita menganggap orang itu melanggar nilai-nilai dan norma-norma etis yang berlaku dalam masyarakat. Atau kita mengatakan bahwa kelompok pemakai narkotika mempunyai moral yang bejat, artinya mereka berpegang pada nilai-nilai dan norma-norma yang tidak baik. Moralitas (dari kata sifat Latin moralis) mempunyai arti yang pada dasarnya sama dengan moral, hanya terdapat nada yang lebih abstrak. Kita berbicara tentang moralitas suatu perbuatan, artinya, segi moral suatu perbuatan atau baik buruknya. Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik buruk (Berten, 1997:7). Di samping kata moral seperti tersebut di atas, kita masih mendengar atau membaca istilah amoral dan immoral. Menurut K. Berten, kata amoral diartikan sebagai netral dari sudut moral atau tidak mempunyai relevansi etis, sedangkan immoral berarti bertentangan dengan moralitas yang baik. Masih terkait dengan moral dan etika dan etiket. Etiket lebih menekankan pada sopan santun, di samping berarti label.

Pengungkapan korupsi sebagai salah satu wujud perbuatan yang bertentangan dengan etika dan moralitas bangsa, karena hal ini yang paling berdampak, yakni kerugian dan penderitaan masyarakat luas atas perilaku segelintir dari para koruptor, di samping itu perbuatan yang bertentangan dengan etika dan moralitas lainnya adalah pelacuran dengan adanya beberapa lokasi PSK yang sangat besar di beberapa kota di Indonesia, pelanggaran hak azasi manusia (HAM), terorisme yang mengguncangkan bangsa Indonesia sejak beberapa tahun yang lalu, yang memberi citra negatif kepada bangsa ini sebagai bangsa yang belum mampu mengatasi teroris dan menjadikan warga negara asing (khususnya wisatawan) membatalkan keinginannya untuk berlibur di Indonesia. Permasalah korupsi dan berbagai bentuk pelanggaran etika dan moralitas bangsa ini merupakan  sebuah ancaman yang besar yang dapat menghancurkan sendi-sendi

Page 13: Penegakan Hukum

kebangsaan (integritas bangsa) Indonesia yang mesti disadari oleh seluruh bangsa Indonesia untuk dicarikan solusi guna memecahkan dan mengatasinya.