penempatan anggota kepolisian negara republik indonesia...
TRANSCRIPT
PENEMPATAN ANGGOTA KEPOLISIAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA AKTIF DALAM PEMERINTAHAN
(Study Kasus Penempatan Komjen Pol Mochamad Irawan sebagai Pelaksana Tugas
Gubernur Jawa Barat)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
WAHYU
NIM: 11140480000035
P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2019M
i
PENEMPATAN ANGGOTA KEPOLISIAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA AKTIF DALAM PEMERINTAHAN
(Study Kasus Penempatan Komjen Pol Mochamad Irawan sebagai Pelaksana Tugas
Gubernur Jawa Barat)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
WAHYU
NIM: 11140480000035
P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2019M
ii
PENEMPATAN ANGGOTA KEPOLISIAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA AKTIF DALAM PEMERINTAHAN
(Study Kasus Penempatan Komjen Pol Mochamad Irawan sebagai Pelaksana Tugas
Gubernur Jawa Barat)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
WAHYU
NIM: 11140480000035
Pembimbing:
P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2019M
iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi yang berjudul “PENEMPATAN ANGGOTA KEPOLISIAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA AKTIF DALAM PEMERINTAHAN (STUDI KASUS
PENEMPATAN KOMJEN POL. MOCHAMMAD IRAWAN SEBAGAI
PELAKSANA TUGAS GUBERNUR JAWA BARAT)” telah diajukan dalam
sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Ilmu Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada 10 Januari 2019. Skripsi
ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Program Stara Satu (S-1) pada Program Studi Ilmu Hukum.
Jakarta, Januari 2019
PANITIA UJIAN MUNAQASYAH
1. Ketua : Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H.
NIP. 19691121 199403 1 001
2. Sekretaris : Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum.
NIP. 19650908 199503 1 001
3. Pembimbing : Dr. Sodikin, S.H., M.H.
NIDN. 0310056801
4. Penguji I : Prof. Dr. A. Salman Maggalatung, S.H., M
NIP.19651119 199803 1 002
5. Penguji II : Mufidah, S.H.I., M.Hum.
NIDN. 2101018604
iv
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H) di
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Sumber-sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 10 Januari 2019
Wahyu
NIM. 11140480000035
v
ABSTRAK
Wahyu NIM 11140480000035 “PENEMPATAN ANGGOTA KEPOLISIAN
REPUBLIK INDONESIA AKTIF DALAM PEMERINTAHAN (Studi Kasus Penempatan Komjen Pol Mochammad Irawan sebagai Pelaksana Tugas Gubernur Jawa
Barat)”. Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1440 H/2019 M.
Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai penempatan anggota kepolisian
aktif sebagai pelaksana tugas oleh Menteri Dalam Negeri. Adapun yang akan dianalisis
pertamanya ialah dasar pertimbangan Menteri Dalam Negeri menempatkan anggota
Kepolisian dalam pemerintahan dianalisis dari undang-undang yang mengatur Pejabat
Pemerintahan dalam mengeluarkan keputusan. kedua menganalisis dasar hukum yang
dijadikan Menteri Dalam Negeri menempatkan anggota kepolisian aktif sebagai pelaksana
tugas. Serta yang terakhir menganalisis penempatan kepolisian sebagai pelaksana tugas
dilihat dari segi kewenangan yang dimiliki Kepolisian dan kewenangan yang dimiliki oleh
Pelaksana tugas
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis normatif dan library research
dengan melakukan pengkajian terhadap peraturan, perundang-undangan, buku-buku, dan
jurnal yang berkaitan dengan judul skripsi ini.
Hasil penelitian menunjukan bahwa secara teori dan undang-undang penempatan
anggota Kepolisian aktif tidak dibenarkan. Pertama, Menteri Dalam Negeri menempatkan
anggota Kepolisian Komjen Pol. Mochammad Irawan sebagai Pelaksana tugas Gubernur
Jawa Barat atas dasar pertimbangan Provinsi Jawa Barat dikategorikan sebagai daerah yang
rawan akan dipergunakannya isu sara, dasar pertimbangan itu sudah melanggar Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan pasal 8 Ayat (2). Kedua,
dari dasar hukum yang dig11qunakan Menteri Dalam Negeri menempatkan anggota
Kepolisian aktif dalam pemerintahan sudah melanggar yang diamanatkan Pasal 201 Ayat
(10) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, karena maksud dari Pasal tersebut posisi
Pelaksana tugas Gubernur digantikan pejabat Pimpinan Tinggi Madya, yang dimana
pangkat Pimpinan Tinggi Madya sangat erat sekali dengan jabatan Aparatur Sipil Negara
(ASN) bukannya dari Kepolisian. ketiga dilihat dari segi kewenangan yang berikan oleh
undang-undang, secara atribusi Kepolisian mempunyai tugas sebagai alat keamanan negara
sedangkan Pelaksana tugas Gubernur mempunyai tugas di bidang pemerintahan, sehingga
anggota kepolisian aktif yang menempati posisi Pelaksana tugas Gubernur dapat dikatakan
anggota Kepolisian menempati tugas di luar tugas Kepolisian, Kepolisian yang menduduki
jabatan di luar tugas Kepolisian melanggar Undang-Undang Kepolisian Pasal 28 ayat (2),
hal ini karena dalam teori kewenangan, suatu lembaga negara memperoleh kewenangan
melalui tiga cara yaitu, atribusi, delegasi, mandat.
Kata Kunci : Penempatan, Kepolisian, Pelaksana tugas Gubernur
Pembimbing : Dr. Sodikin, S.H., M.H.
Daftar Pustaka: Tahun 1995 samapi Tahun 2016
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji dan syukur Hadirat Allah S.W.T, karena berkat rahmat,
serta karunia-Nya peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Penempatan
Anggota Kepolisian Republik Indonesia Aktif Dalam Pemerintahan (Study
kasus Penempatan Komjen Pol Mochammad Irawan sebagai Pelaksana Tugas
Gubernur Jawa Barat)”. Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi
Muhammad Shallallahu’Alayhi wa Sallam, semoga kita semua mendapatkan syafa’atnya
di akhirat kelak. Amin.
Selanjutnya, peneliti mengucapkan terima kasih kepada para pihak baik
secara langsung maupun tidak langsung yang telah membantu dalam penyelesaian
skripsi ini, yang terhormat:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu Hukum
dan Drs. Abu Thamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah mengarahkan menyelesaikan
skripsi.
3. Dr. Sodikin, S.H., M.H. Pembimbing skripsi yang telah bersedia meluangkan
waktu, tenaga, dan pikiran serta kesabaran dalam memberikan bimbingan,
motivasi, arahan, dan saran-saran yang sangat berharga kepada peneliti dalam
menyusun skripsi ini.
4. Kepala dan Staff Perpustakaan Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Kepala dan Staff Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang telah membantu dalam menyediakan fasilitas yang memadai untuk
mengadakan studi kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.
5. Pihak-pihak lain yang telah memberi kontribusi kepada peneliti dalam
menyelesaikan karya tulis ini sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi dan
studi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
vii
Demikian ucapan terima kasih peneliti, semoga Allah SWT. Memberikan
pahala dan balasan yang berlipat atas semua jasa-jasa mereka. Semoga skripsi ini
bermanfaat bagi peneliti khususnya bagi para pembaca pada umumnya. Amiin
Jakarta, 28 Desember 2018
Peneliti
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................... ii
PENGESAHAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI ............................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iv
ABSTRAK .............................................................................................................. v
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ....................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................... 1
B. Identifikasi, Batasan, dan Perumusan Masalah ............................ 5
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian .................................... 6
D. Metode Penelitian ......................................................................... 7
E. Sistematika Penelitian ................................................................. 11
BAB II KAJIAN PUSTAKA ....................................................................... 14
A. Kerangka Konseptual .................................................................. 14
B. Kerangka teori ............................................................................. 20
1. Teori Negara Hukum.............................................................. 20
2. Teori Kewenangan ................................................................. 26
C. Tinjauan (Review) kajian Terdahulu ........................................... 30
BAB III KEPOLISIAN DALAM SISTEM KETATANEGARAAN
INDONESIA .................................................................................... 33
A. Kedudukan Kepolisian Sebelum Reformasi ............................... 33
B. Kedudukan Kepolisian Setelah Reformasi ................................. 36
C. Tugas dan Wewenang Kepolisian ............................................... 40
BAB IV KEABSAHAN ANGGOTA POLISI SEBAGAI PELAKSANA
TUGAS GUBERNUR ..................................................................... 46
A. Dasar Pertimbangan Menteri Dalam Negeri Menunjuk Komjen
Pol. Mochamad Irawan sebagai Pelaksana tugas Gubernur Jawa
Barat ........................................................................................... 46
ix
B. Analisis Dasar Hukum Penunjukan Komjen Pol. Mochammad
Irawan sebagai Pelaksana tugas Gubernur Jawa Barat ............... 48
C. Analisis Kedudukan Komjen Pol Mochammad Irawan sebagai
Pelaksana tugas Gubernur Jawa Barat ........................................ 52
BAB V PENUTUP ........................................................................................ 58
A. Kesimpulan ................................................................................. 58
B. Rekomendasi ............................................................................... 59
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 61
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setiap negara pasti memiliki tujuan tertentu yang berbeda antara satu
negara dengan negara yang lainnya. Para ahli hukum negara sebagian
berpendapat bahwa tujuan negara dihubungkan dengan tujuan akhir
manusia dan ada pula yang menghubungkan antara tujuan negara dan
kekuasaan. Akan tetapi umumnya pada zaman modern, tujuan negara adalah
menyelenggarakan kesejahteraan dan kebahagiaan rakyat demi tercapainya
masyarakat adil dan makmur. Tujuan negara menurut Niccolo Macchiavelli
adalah “mengusahakan terselenggaranya ketertiban, keamanan, dan
ketentraman guna tercapainya tujuan negara yang lebih tinggi yaitu
kemakmuran bersama”.1
Tujuan negara Indonesia tercantum dalam Pembukaan Undang-
Undang Dasar 1945 alinea ke empat, adapun tujuan negara Indonesia yaitu:
“1. Untuk segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
2. Untuk memajukan kesejahteraan umum, 3. Untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan 4. Untuk ikut serta melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”,
Untuk mencapai dan mewujudkan tujuan negara tersebut, lembaga-lembaga
negara dibentuk.2 Pembentukan lembaga negara dapat melalui Konstitusi
negara yakni Undang-Undang Dasar 1945 dan dapat juga melalui Undang-
Undang.
1Salman Maggalatung dan Nur Rohim Yunus, Pokok-Pokok Teori Ilmu Negara
Aktualisasi Dalam Teori Negara Indonesia, (Bandung: Fajar Media, 2013), h.
2Mexsasai Indra, Dinamika Hukum Tata Negara (Bandung, Refika Aditama, 2011), h.
160
2
Negara Kesatuan Repubik Indonesia adalah negara hukum. Salah
satu ciri negara hukum, yang dalam Bahasa Inggris disebut legal state atau
state based on the rule of law, dalam Bahasa Belanda dan Jerman disebut
rechtstaat, adalah adanya ciri pembatasan kekuasaan dalam
penyelenggaraan kekuasaan negara. 3 Undang-Undang Dasar 1945 pasca
amandemen membentuk lembaga negara dan membagi kekuasaan lembaga
negara sesuai dengan fungsinya masing-masing. Dalam bidang
Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Dasar mengaturnya dalam Bab VI
Pasal 18 dan dalam bidang Pertahanan dan Kemanan negara diatur dalam
Bab XII terkhusus Pasal 30.
Gubernur dalam Undang-Undang Dasar 1945 dimasukan ke dalam
Bab VI Pemerintahan Daerah yang termaktub dalam Pasal 18 Ayat (4)
“Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala
Pemerintahan Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara
demokratis”. Artinya, Gubernur adalah Kepala Pemerintahan Daerah
Provinsi, bukan Kepala Pemerintahan Provinsi. Jabatan Gubernur bukanlah
kepala dari gabungan institusi Gubernur dan DPRD Provinsi. Gubernur
melainkan hanya kepala eksekutif saja.4 Gubernur kemudian diperjelas
melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan
Daerah, Pasal 65 menjelaskan mengenai Tugas Gubernur dalam mencapai
tujuan negara Indonesia, yaitu sebagai berikut:
a. Memimpin pelaksanaan Urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangan Daerah berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan dan kebijakan yang ditetapkan bersama
DPRD
b. Memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat
c. Menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang RPJPD dan
rancangan Perda tentang RPJMD kepada DPRD untuk dibahas
bersama DPRD, serta menyusun dan menetapkan RKPD
3Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2013), h. 281
4Jimly Asshidiqie, Perkembangan & Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi
(Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 249
3
d. Menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD,
rancangan Perda tentang perubahan APBD, dan rancangan Perda
tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD
untuk dibahas bersama
e. Mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat
menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan
f. Mengusulkan pengangkatan wakil kepala daerah
g. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan
Bab XII tentang Pertahanan dan Kemanan Undang-Undang Dasar
1945, dalam bab ini terdiri dari dua institusi yakni Tentara Negara Indonesia
dan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Tentara Negara Indonesia
(TNI) tercantum dalam Pasal 30 Ayat (3) dan Kepolisian Negara Republik
Indonesia tercantum dalam Pasal (4). Ketentuan ini menegaskan pemisahan
antara TNI dan POLRI dalam menjalankan tugas. Untuk bidang pertahanan
dilakukan oleh TNI, dan untuk bidang keamanan dilakukan oleh Kepolisian.
Pemisahan ini terjadi karena koreksi pada masa Orde Baru ada kebijakan
dalam bidang pertahanan/keamanan dilakukan penggabungan antara TNI
dan Kepolisian.5 Sebagai akibat dari penggabungan tersebut terjadinya
kerancuan dan tumpang tindih fungsi antara peran dan fungsi TNI sebagai
kekuatan pertahanan negara dengan peran dan fungsi Kepolisian Negara RI
sebagai kekuatan keamanan negara.
Kepolisian Negara RI diperjelas melalui Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pasal 13
menyebutkan Tugas Pokok Kepolisian: a. memelihara keamanan dan
ketertiban masyarakat; b. menegakkan hukum; dan, c. memberikan
perlindungan, pengayoman. Sebagai alat kemanan, Kepolisian menjamin
kemanan, ketertiban, dan ketentraman umum. Sebagai penegak hukum,
Kepolisian bertugas menyelidik dan menyidik tindak pidana sebagai bagian
5Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2010), h. 234
4
dari sistem penegak hukum pidana terpadu (integrated criminal justice
system).6 Dua tugas Kepolisian tersebut sangat berbeda satu sama lain.
Pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian
terdapat salah satu Pasal dari beberapa Pasal hasil dari TAP MPR Nomor
VII/MPR/2000 Tentang Peran TNI dan Peran Kepolisian. Pasal itu ialah
Pasal 28 Ayat (3) menjelaskan mengenai dilarangnya anggota Kepolisian
menduduki jabatan di pemerintahan atau jabatan diluar tugas yang dimiliki
oleh Kepolisian, sebagaimana penjelasannya “Anggota Kepolisian Negara
Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar Kepolisian setelah
mengundurkan diri atau pensiun dari dinas Kepolisian”. Pasal itu juga
merupakan bentuk keseriusan Reformasi pemerintah Indonesia untuk
membangun masyarakat madani yang berbeda dengan masayarakat negara
yang militeristik seperti era Orde Baru, sehingga dirumuskan kembali dalam
suatu Undang-Undang hubungan antara sipil dan militer dalam struktur
politik dan tata hukum Indonesia.7
Ironisnya, pada saat akan melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah
Tahun 2018 adanya kekosongan beberapa kursi Gubernur di sejumlah
daerah. Kekosongan tersebut akibat dari masa jabatan Gubernur habis
sebelum dilaksanakan Pemilihan Kepala Daerah dan ada beberapa
Gubernur defenitif sebelumnnya ikut mencalonkan kembali, sehingga dari
kekosongan kursi Gubernur tersebut digantikan oleh Pelaksana tugas
Gubernur. Akan tetapi yang menarik dari kebijakan Menteri Dalam Negeri
ialah Menteri Dalam Negeri tidak menempatkan pejabat dari Pemerintahan
Daerah yang bersangkutan atau pejabat dari Kementrian Dalam Negeri
sebagai peran pengganti untuk mengisi kekosongan kursi Gubernur di Jawa
Barat, tetapi lebih memilih menempatkan anggota Kepolisan Komjen Pol
Mochammad Irawan sebagai Pelaksana tugas Gubernur Jawa Barat.
6Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia,… h. 235
7Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pascaamandemen Konstitusi
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), h. 82
5
Tentunya penempatan ini melanggar sebagaimana yang diamanatkan oleh
TAP MPR Nomor VI/MPR/2000 Tentang Pemisahan TNI dan Kepolisian
Negara Republik Indonesia, TAP MPR Nomor VII/MPR/2000 Tentang
Peran TNI dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian hukum dengan judul “Penempatan Anggota Polisi Aktif dalam
Pemerintahan (Studi Kasus Penempatan Komjen Pol Mochamad Irawan
sebagai Pelaksana tugas Gubernur Jawa Barat)”
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan, peneliti mencoba
mengindentifikasi permasalahan yang ada dalam judul penelitian ini
sebagai berikut:
a. Terjadinya kekosongan posisi Gubernur secara bersamaan di
beberapa daerah pada saat dilaksanakannya Pemilihan Kepala
Daerah
b. Penempatan anggota Kepolisian Komjen Pol Mochammad
Irawan sebagai Pelaksana Tugas Gubernur Jawa Barat
c. Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara
dibidang keamanan dan Gubernur sebagai alat negara dibidang
Pemerintahan
d. Kekosongan peran Gubernur diisi oleh pejabat memiliki
kewenangan yang masih berkaitan dengan wewenang Gubernur
2. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka peneliti menganggap
perlu adanya pembatasan masalah, agar masalah yang akan dibahas
menjadi lebih jelas dan terarah sesuai dengan yang diharapkan peneliti.
Disini peneliti hanya membahas terkait masalah “Penempatan Anggota
Kepolisian Negara Republik Indonesia Aktif dalam Pemerintahan (Study
6
kasus Penempatan Komjen Pol Mochamad Irawan sebagai Pelaksana Tugas
Gubernur Jawa Barat)”
3. Perumusan Masalah
Dari pembatasan masalah di atas, pokok permasalahan dalam
perumusan masalah tersebut adalah “Penempatan Anggota Kepolisian
Negara Republik Indonesia sebagai Pejabat Pemerintahan”
Dari pokok permasalahan tersebut, peneliti merumuskan masalah
sebagai berikut:
a. Apa Pertimbangan Menteri Dalam Negeri Menempatkan Komjen
Pol. Mochammad Irawan sebagai Pelaksana tugas Gubernur Jawa
Barat?
b. Apa dasar hukum Menteri Dalam Negeri menempatkan Komjen
Pol. Mochammad Irawan sebagai Pelaksana tugas Gubenur?
c. Bagaiamana kedudukan anggota Kepolisian aktif Komjen Pol.
Mochammad Irawan sebagai Pelaksana tugas Gubernur Jawa
Barat?
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian dapat
dirumuskan sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui pertimbangan Menteri Dalam Negeri
menempatkan Komjen Pol. Mochammad Irawan sebagai Pelaksana
tugas Gubernur Jawa Barat
b. Untuk mengetahui dasar hukum yang dijadikan Menteri Dalam
Negeri menempatkan Komjen Pol. Mochammad Irawan sebagai
Pelaksana tugas Gubernur Jawa Barat.
c. Untuk mengetahui kedudukan anggota Kepolisian aktif Komjen Pol.
Mochammad Irawan sebagai Pelaksana tugas Gubernur Jawa Barat
7
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Diharapkan kajian ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu
pengetahuan yang berkaitan dengan Penempatan Anggota Kepolisian
Negara Republik Indoensia Aktif dalam Pemerintahan (Study Kasus
Penempatan Komjen Pol Mochamad Irawan Sebagai Pelaksana tugas
Gubernur Jawa Barat )
b. Manfaat Praktis
1) Bagi mahasiswa
Diharapkan dapat digunakan untuk meningkatkan wawasan
keilmuan dan keahlian, khususnya dalam Penempatan Anggota
Polisi aktif Menjadi Pejabat Pemerintah.
e. Bagi Peneliti
Dapat melatih kemampuan diri dalam menerapkan teori
yang telah diterima selama kuliah, memperdalam dan
meningkatkan keterampilan serta kereativitas dalam berfikir dan
dapat memecahkan permasalahan yang dihadapi dengan topik
yang diambil.
f. Bagi Fakultas Syariah dan Hukum
Dapat menambah hasil penelitian yang aktual terkait
permasalahan Penempatan Anggota Polisi aktif Menjadi Pejabat
Pemerintah.
D. Metode Penelitian
Untuk dapat merampungkan penyajian skripsi ini agar dapat memenuhi
kriteria sebagai tulisan ilmiah diperlukan data yang relevan dengan skripsi
ini. Dalam upaya pengumpulan data yang diperlukan itu, maka diterapkan
metode pengumpulan data sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
menggunakan penelitian hukum normatif atau yuridis normatif.
8
Penelitian yuridis normatif yaitu penelitian hukum yang meletakan
hukum sebagai bangun sistem norma. Sistem norma yang dimaksud
adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundang-
undangan.8 Yaitu dengan cara menganalisis peraturan-peraturan
yang terkait dengan Kepolisian, dan penempatan Pelaksana tugas
Gubernur.
2. Pendekatan Penelitian
Sehubungan dengan jenis penelitian yuridis normatif, maka
pendekatan yang dilakukan adalah sebagai berikut:
a. Pendekatan perundang-undangan (statue approach)
Yaitu dengan dasar hukum yang dijadikan sebagai
penujukan polisi sebagai pelaksana tugas dianalisis dengan undang-
undang yang diatasnya atau undang-undang yang terkaitlainnya.
b. Pendekatan Historis (Historical approach)
Yaitu dengan cara membanding kedudukan Polisi pada masa
rezim orde baru dan sekarang, kemudian singkronkan dengan
peremasalahan yang peneliti bahas.
3. Data Penelitian
Data penelitian yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data
primer dan sekunder. Data primer yaitu data yang dibuat oleh
peneliti untuk maksud khusus menyelesaikan permasalahan yang
sedang ditanganinya. Data dikumpulkan sendiri oleh peneliti
langsung dari sumber pertama atau tempat objek penelitian
dilakukan semisal berupa ungkapan – ungkapan verbal yang didapat
dari berbagai sumber. Sedangkan data sekunder adalah data yang
telah dikumpulkan untuk maksud selain menyelesaikan masalah
yang sedang dihadapi.
4. Sumber Data
a. Bahan Hukum Primer
8 Fahmi Muhamad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum (Jakarta:
Lembaga Peneltian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010 Cet. Pertama), h. 31
9
Bahan-bahan hukum primer meliputi peraturan perundang-
undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan
perundang-undangan, dan putusan-putusan hakim.9 Dalam
penelitian ini, bahan hukum primer yang digunakan adalah:
1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahum 1945
2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur
Sipil Negara (ASN)
4) Undang-Undang Nomor 5 Tentang Administrasi
Pemerintahan
5) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah
6) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang pemiihan
Gubernur, Bupati dan Walikota
7) Permendagri Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Cuti di Luar
Tanggungan Negara
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh
dari literatur hukum, artikel yang berasal dari jurnal, publikasi
media dalam surat kabar, internet, dokumen skripsi, dan komentar-
komentar para ahli dan pakar hukum.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier adalah bahan-bahan yang memberikan
informasi lebih lanjut terhadap bahan-bahan hukum primer dan
sekunder antara lain Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
kamus hukum, majalah, koran, blog, dan lainnya.
5. Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Teknik Pengumpulan data pada dasarnya tergantung dari
jenis datanya, bagi penelitian hukum normatif yang hanya mengenal
9 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana, cet-IV 2010). h. 141
10
data sekunder saja, yang terdiri dari: bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder, dan bahan hukum tersier, maka dalam mengolah
dan menganalisis bahan hukum tersebut tidak bisa melepaskan diri
dari berbagai penafsiran yang dikenal dalam ilmu hukum.10
Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data studi
pustaka (library research). Studi pustaka dilakukan guna
mengklarifikasikannya dengan masalah yang dikaji. Penelitian ini
adalah penelitian hukum yuridis normatif, yaitu penelitian hukum
yang meletakan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma.
Sistem norma yang dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma,
kaidah dari peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan,
perjanjian, serta doktrin (ajaran).11
Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian
doctrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang
menganalisis hukum baik yang tertulis didalam buku (law as it is
written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim
melalui proses pengadilan (law it is decided by the judge through
judicial process)12. Penelitian hukum normatif dalam penelitian ini
didasarkan data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah
spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.13
Metode yang digunakan adalah metode penelitian normatif yang
merupakan prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran
10 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2004), h. 163
11 Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 31
12 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta:
Kencana, 2006), h. 118
13 J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, (Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2003), h. 3
11
berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.14 Logika
keilmuan yang juga dalam penelitian hukum normatif dibangun
berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum
normatif, yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu sendiri.
6. Metode Analisis Data
Analisis data yang digunakan oleh peneliti adalah analisis
kualitatif. Untuk memperoleh data yang lebih akurat dan faktual,
data yang diperoleh dari penelitian studi kepustakaan, aturan
undang-undang, dan artikel penulis uraikan dan hubungkan
sedemikian rupa, sehingga dapat disajikan dalam penulisan yang
lebih sistematis guna menjawab permasalahan yang telah
dirumuskan. Bahwa cara pengolahan bahan hukum dilakukan secara
deduktif yaitu menarik kesimpulan dari suatu permasalahan.
Selanjutnya bahan hukum yang ada di analisis untuk dapat menilai
penempatan anggota kepolisian dalam pemerintahan dengan bahan
pertimbangan dari tugas dari kepolisian dan Undang-undang yang
berkaitan seperti Undang-Undang Tentang Kepolisian, Undang-
Undang Tentang Pemilihan Kepala Daerah.
7. Teknik Penulisan
Teknik penulisan skripsi ini mengacu pada buku “Pedoman
Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2017”
E. Rancangan Sistematika Penelitian
Skripsi ini disusun yang terbagi dalam lima bab. Masing-masing bab
terdiri atas sub-sub bab guna lebih memperjelas ruang lingkup dan cakupan
permasalahan yang diteliti. Adanya urutan dan tata letak masing-masing bab
serta pokok pembahasan sebagai berikut:
14 J Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: UMM
Press, 2007) h. 57
12
BAB I : Pendahuluan
Pada bab ini terdiri dari Latar Belakang Masalah, Indentifikasi,
Pembatasan, dan Rumusan Masalah yang ditanyakan, Tujuan
dan Manfaat diadakannya Penelitian, , Metode Penelitian yang
digunakan, dan Rancangan sistematikan Penelitian
BAB II : Kajian Pustaka
Pada bab ini terdiri dari tiga sub bab, sub bab pertama
membahas terkait dengan penjelasan umum definisi
penempatan, Gubernur, Pelaksana Tugas dan Kepolisian. Sub
bab kedua membahas mengenai teori-teori. teori kewenangan.
Teori dan teori negara hukum. sub bab ketiga, berisi Tinjauan
(review) kajian terdahulu
BAB III : Kepolisian dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia
Pada bab ini terdiri dari sub bab pertama menjelaskan
kedudukan kepolisian sebelum reformasi, sub bab kedua
menjelaskan kedudukan kepolisian setelah amandemen
reformasi, sub bab ketiga menjelaskan tugas dan wewenang
kepolisian.
BAB IV : Keabsahan Penempatan Anggota Polisi aktif Komjen Pol
Mochammad Irawan Menjadi Pelaksana tugas Gubernur
Jawa Barat
Pada bab ini terdiri dari sub bab pertama menjelaskan
pertimbangan Menteri Dalam Negeri menempatkan anggota
Kepolisian aktif Komjen Pol Mochammad Irawan sebagai
Pelaksana tugas Gubernur Jawa Barat. sub bab kedua,
menjelaskan dasar hukum Menteri Dalam Negeri menempatkan
anggota Kepolisian aktif Komjen Pol Mochammad Irawan
sebagai Pelaksana tugas Gubernur Jawa Barat. Sub bab ketiga,
13
kedudukan anggota Kepolisian aktif Komjen Pol Mochammad
Irawan sebagai Pelaksana tugas Gubernur Jawa Barat.
BAB V : Penutup
Pada bab ini terdiri dari dua sub bab, sub bab pertama membahas
mengenai kesimpulan atas jawaban pada peranyaan-pertanyaan
yang terdapat pada rumusan masalah, dan sub bab kedua
membahas mengenai rekomendasi-rekomendasi dari hasil
kesimpulan tersebut.
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Konseptual
1. Pengertian Penempatan
Penempatan berasal dari kata dasar tempat yang menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tempat memiliki pengertian sesuatu
yang dipakai untuk menaruh (menyimpan, meletakkan, dan
sebagainya).1 Tempat memiliki arti dalam kelas nomina atau kata benda
sehingga tempat dapat menyatakan nama dari seseorang, tempat atau
semua benda dan segala benda yang digunakan. Secara etimologi
penempatan adalah proses, cara perbuatan atau menempati.2 Maka dapat
diartikan penempatan adalah proses seseorang atau pejabat yang
memiliki kewenangan menunjuk orang lain atau pejabat lain untuk
mengisi kekosongan tempat yang telah ditinggalkan. bisa juga memiliki
pengertian proses atau cara sesorang menempati tempat yang kosong
karena telah ditinggalkan. Dalam kasus ini ialah penempatan seorang
anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai Pelaksana tugas
Gubernur Jawa Barat, ditempatkan oleh Menteri Dalam Negeri untuk
mengisi kekosongan peran Gubernur Jawa Barat.
2. Pengertian Gubernur
Negara Indonesia adalah negara kesatuan, yang terdiri dari banyak
daerah-daerah. Pengertian dari negara kesatuan adalah negara yang
bersusun tunggal, yakni kekuasaan untuk mengatur seluruh daerahnya
yang berada di tangan pemerintah pusat.3 Oleh karena itu, Indonesia
1 Dapartemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai
Pustaka, 2007), h. 1167
2 Dapartemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia,… h. 1167
3 A. Salman Maggatung & Nur Rohim Yunus, Pokok-Pokok Teori Ilmu Negara Aktualisasi
Dalam Teori Negara Indonesia (Bandung: Fajar Media, 2013), h. 140
15
yang terdiri dari banyaknya daerah-daerah tidak akan mempunyai
daerah di dalam lingkukannya yang berbentuk negara, namun daerah-
daerah tersebut dibagi menjadi daerah daerah provinsi dan daerah
provinsi dibagi pula menjadi daerah-daerah yang lebih kecil dan
semuanya berada dibawah pemerintahan pusat.4 Hal ini ditegaskan pula
dalam UUD 1945 Pasal 18 Ayat (1) yang menyatakan bahwa “Negara
Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan
daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap
provinsi, kabupaten, dan kota mempunyai pemerintahan daerah, yang
diatur dengan undang-undang”
Setiap daerah-daerah dimpin oleh pemerintahan daerah yang
disebut kepala daerah. Untuk daerah Provinsi kepala daerahnya disebut
sebagai Gubernur. Menurut Wikipedia gubernur adalah kepala daerah
untuk wilayah tingkat provinsi5. Kata “gubernur” bisa berasal dari
Bahasa portugis “governador”, Bahasa Spanyol “gobernador”, atau
dalam Bahasa Belanda “gouverneur”. Bentuk dari Bahasa Belanda ini
mirip dengan bentuk yang digunakan oleh Bahasa Perancis yang
memiliki arti secara harafihnya “pemimpin”, “Penguasa”, atau “yang
memerintah
Gubernur dipilih melalui pemilihan umum, yang diadakan setiap
lima tahun sekali dan dipilih langsung oleh rakyat. Masa jabatan
Gubernur yang dipilih oleh rakyat melalui pemilihan kepala daerah ialah
lima tahun terhitung sejak pelantikan dan sesudahnya dapat dipilih
kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.
Calon gubernur yang mengikuti pemilihan umum dapat melalui diusung
4 C.S.T Kansil & Christine S.T Kansil, Pemerintahan Daerah Di Indonesia Hukum
Administrasi Daerah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008) h. 2
5 https://id.m.wikipedia.org/wiki/Gubernur, diakses pada tanggal 15 Desember 2018, Pukul
20:30
16
oleh partai politik atau gabungan partai politik, dan dapat juga
mendaftarkan perseorangan tanpa melalui partai politik.
Tugas dan wewenang Gubernur diatur dalam pasal 65 Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 Pemerintahan Daerah, sebagai berikut:
Gubernur mempunyai tugas:
a. Memimpin pelaksanaan Urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangan Daerah berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan dan kebijakan yang ditetapkan bersama
DPRD
b. Memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat
c. Menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang RPJPD
dan rancangan Perda tentang RPJMD kepada DPRD untuk
dibahas bersama DPRD, serta menyusun dan menetapkan
RKPD
d. Menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD,
rancangan Perda tentang perubahan APBD, dan rancangan
Perda tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD
kepada DPRD untuk dibahas bersama
e. Mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan
dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
f. Mengusulkan pengangkatan wakil kepala daerah
g. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan
Dalam melaksanakan tugasnya, Gubernur berwenang
a. Mengajukan rancangan Perda
b. Menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama
DPRD
c. Menetapkan perkada dan keputusan kepala daerah
d. Mengambil tindakan tertentu dalam keadaan mendesak yang
sangat dibutuhkan oleh daerah dan/atau masyarakat
e. Melaksanakan wewenang lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Disamping Gubernur sebagai Kepala Daerah, Gubernur juga
dikatakan sebagai Kepala Daerah wakil Pemerintahan Pusat, yaitu bahwa
Gubernur yang karena jabatannya berkedudukan juga sebagai wakil
pemerintah diwilayah provinsi yang bersangkutan dimana dia
17
memimpin. Dalam kedudukan tersebut, Gubernur bertanggung jawab
kepada Presiden.6
Dalam kedudukannya sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi,
Gubernur memiliki tugas dan wewenang. Tugas dan wewenang tersebut
di atur dalam Pasal 91 Ayat (2) dan Ayat (3) Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, yang menyatakan bahwa
Gubernur sebagai wakil Pemerintahan Pusat mempunyai tugas
a. Mengkoordinasikan pembinaan dan pengawasan
penyelenggaraan Tugas pembantuan di Daerah kabupaten/kota
b. Melakukan monitoring, evaluasi, dan supervise terhadap
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kabupaten/kota yang ada
diwilayahnya
c. Memberdayakan dan memfasilitasi Daerah kabupaten/kota di
wilayahnya
d. Melakukan evaluasi terhadap rancangan Perda kabupaten/kota
tentang RPJPD, RPJMD, APBD, perubahan APBD,
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, tata ruang daerah,
pajak daerah, dan retribusi daerah.
e. Melakukan pengawasan terhadap Perda kabupaten/kota
f. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan
Gubernur sebagai wakil Pemerintahan Pusat berwenang:
a. Membatalkan Perda Kabupaten/kota dan Peraturan
Bupati/Walikota]
b. Memberikan penghargaan atau sanksi kepada Bupati, Wali kota
terkait penyelenggaraan Pemerintah Daerah
c. Menyelesaikan perselisihan dalam penyelenggaraan fungsi
pemerintahan antar-Daerah Kabupaten/kota dalam satu Daerah
Provinsi
d. Memberikan persetujuan terhadap rancangan Perda
Kabupaten/Kota tentang pembentukan dan susunan perangkat
Daerah Kabupaten/Kota
e. Melaksanakan wewenang lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan
6 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan & Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 252
18
3. Pengertian Pelaksana tugas (Plt)
Gubernur setelah terpilih dalam pemilihan pemilukada akan
memimpin daerahnya sampai lima tahun kedepan. Selama waktu itu
bukan tidak dipungkiri Gubernur mendapatkan halangan-halangan yang
mengahruskan tidak bisa menduduki jabatan Gubernur tersebut secara
terus menerus, namun halangan tersebut ada yang bersifat sementara dan
ada yang bersifat tetap. Contoh halangan yang bersifat sementara adalah
Gubernurnya sedang sakit, sedang ke luar kota, sedangkan contoh yang
berhalangan tetap ialah Gubernurnya tersandung masalah hukum, ikut
serta dalam Calon Pemilihan Kepala Daerah. Halangan-halangan yang
bersifat sementara tentu di bisa diwakilkan terlebih dahulu dengan wakil
Gubernur. Namun bagaimana jika Gubernur dan Wakil Gubernur
bersamaan tidak bisa menempati kedudukan tersebut, seperti Gubernur
dan Wakil Gubernur mengikuti Pemilihan Kepala Daerah kembali.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Adminitrasi dalam
Pasal 32 Ayat (2) menjelaskan bahwa “apabila pejabat pemerintahan
sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) berhalangan menjalankan
tugasnya, maka atasan Pejabat yang bersangkutan dapat menunjuk
Pejabat Pemerintahan yang memenuhi persyatan untuk bertindak
sebagai Pelaksana harian atau Pelasana tugas”. Dalam artian, Gubernur
yang berhalangan sementara dapat di gantikan oleh Pelaksana harian
untuk menggantikan peran Gubernur di pemerintahan daerah, dan
Gubernur yang berhalangan tetap dapat digantikan dengan Pelaksana
tugas untuk menggantikan peran Gubernur di pemerintahan daerah.
Dalam masalah ini, karena Gubernur dan Wakil Gubernur berhalangan
tetap maka peran Gubernur digantikan oleh Pelaksana tugas. Pelaksana
tugas menurut wikipedia adalah “penjabat yang menempati posisi
jabatan yang sifatnya hanya sementara dikarenakan penjabat definitif
19
yang menempati posisi itu sebelumnya berhalangan tetap atau terkena
peraturan hukum sehingga tidak menempati posisi tersebut.”7
Pejabat atasan yang menunjuk Pelaksana tugas untuk menggantikan
peran Gubernur ini ialah Menteri Dalam Negeri. Hal ini atas dasar
Permendagri Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Cuti di Luar Tanggungan
Negara Bagi Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati,
serta Walikota dan Wakil Walikota. Pasal 2 menjelaskan “Gubernur dan
Wakil Gubernur yang mencalonkan kembali pada daerah yang sama
harus menjalani cuti di luar tanggungan negara”, dan pejabat yang
menggantikan kekosongan kursi tersebut adalah Pelaksana tugas
Gubernur.
4. Pengertian Kepolisian
Kepolisian di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia bermakna
sebagai hal yang bertalian dengan Polisi. Pengertian Polisi sendiri
adalah badan pemerintahan yang bertugas memelihara kemanan dan
ketertiban umum (menangkap orang melanggar undang-undang dan
sebagainya), serta diartikan badan pemerintahan (pegawai negara yang
bertugas menjaga keamanan dan sebagainya).8 Selanjutnya Momo
Kelana mengatakan bahwa istilah Polisi memiliki dua arti. Pertama,
Polisi dalam arti formal yang mencakup organisasi dan kedudukan suatu
instansi Kepolisian. Kedua, Polisi dalam arti material yang memberikan
jawaban-jawaban terhadap persoalan tugas dan wewenang dalam
menghadapi gangguan ketertiban dan keamanan berdasakan peraturan
perundang-undangan.
Kepolisian memiliki peranan penting dalam mewujudkan keamanan
dan kenyamanan dalam kehidupan bermasyarakat, kepolisian
merupakan lembaga yang mengayomi masyarakat dalam segala kondisi
7 Https://id.m.wikipedia.org/wiki.Pelaksana_Tugas, diakses pada tanggal 17 Desember
2018, Pukul 22:30
8 Dapartemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia,… h. 1667
20
sosial yang maruk yang ada dalam lingkup negara. Peran kepolisian
dapat dikatakan sebagai lembaga negara pemeliharaa dan keamanan dan
ketertiban masyarakat, penegakan hukum (law enforcement),
perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.9 Hal ini
sesuai dengan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang
Kepolisian, yang mengatakan bahwa Kepolisian Negara Republik
Indonesia itu bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang
meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan
tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan
pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat
dengan menjunjjung tinggi Hak Asasi Manusi.
Kedudukan Kepolisian berada di bawah Presiden, namun dalam
menjalankan tugas dan Fungsinya kepolisian tetap mandiri. Kepolisian
dimpin oleh Kapolri, yang dimana dalam menjalankan tugasnya
bertanggung jawab kepada Presiden. Wilayah tugas dan fungsi
kepolisian dilakukan diseluruh wilayah negara Republik Indonesia,
wilayah tersebut dibagi kedalam daerah hukum menurut kepentingan
pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
A. Kerangka Teori
1. Teori Negara Hukum
Teori negara hukum banyak digunakan oleh negara-negara yang
sudah maju maupun yang sedang berkembang, termasuk negara
Republik Indonesia menggunakan negara hukum sebagai pedoman
dalam bernegaranya. Hal ini dapat terlihat dengan dicantumkannya
bentuk negara hukum dalam UUD 1945 Pasal 1 Ayat (3) yang berbunyi
“negara Indonesia adalah negara hukum”. Begitu sangat sempurnanya
9 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi,… h. 179
21
negara hukum sehingga banyak negara menggunanya, namun sebelum
itu, harus terlebih dahulu mengetahui hakikat dari negara hukum itu.
Pemikiran tentang konsep negara hukum telah lama dikembangkan
oleh ahli filsafat di zaman Yunani Kuno, seperti: Plato dan Aristoteles.
Aristoteles berpendapat bahwa negara hukum adalah negara harus
berdiri di atas hukum yang akan menjamin keadilan bagi warga negara.
Dengan menempatkan hukum sebagai hal yang tertinggi (supermasi
hukum) dalam negara berarti bahwa penyelenggaraan kekuasaan dalam
negara khususnya kekuasaan pemerintahan haruslah didasarkan atas
hukum.10 dalam pengertian Aristoteles tentang negara hukum ini warga
negara dikonsepsikan ikut serta dalam permusyawaratan negara, dengan
kata lain warga negara secara aktif ikut serta dalam penyelenggaraan
pemerintahan negara.11
Sedangkan negara hukum menurut ahli hukum Indonesia, R
Supomo, dalam bukunya Undang-Undang Dasar Sementara Republik
Indonesia yang dikutip oleh A. Mukhtie Fadjar dalam bukunya telah
mengartikan istilah dari negara hukum sebagai berikut
“Bahwa Republik Indonesia dibentuk sebagai negara hukum artinya
negara akan tunduk pada hukum, peraturan-peraturan hukum berlaku
pula bagi segala badan dan alat-alat perlengkapan negara. Negara
hukum menjamin adanya tertib hukum dalam masyarakat yang artinya
memberi perlindungan hukum pada masyarakat: antara hukum dan
kekuasaan ada hubungan timbal balik”.12
Persamaan dari kedua pendapat ahli tersebut sama-sama
menjelaskan tujuan dari negara hukum itu sendiri yaitu mewejudkan
10 Aminudin Ilmar, Hukum Tata Pemerintahan,… h. 48
11 I Dewa Gede Palguna, Pengaduan Konstitusional (Constitusional Complaint) Upaya
Hukum Terhadap Pelanggaran Hak-hak Konstitusional Warga Negara, (Jakarta: Sinar Grafika,
2013), h. 43
12 A. Mukhtie Fadjar, Tipe Negara Hukum, (Malang: Bayumedia Publishing, 2005), h. 7
22
adanya ketertiban hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan dan
menjaga hak-hak dasar masyarakat yang ada di negaranya. Dengan
terwujudnya ketertiban hukum, dengan sendirinya akan menjauhkan
para penyelenggara pemerintahan dari sikap sewenang-wenang dan
terjaganya hak-hak dasar warganya.
Dalam kepustakaan hukum tata negara disebutkan, bahwa ada dua
konsep negara hukum yang selalu menjadi rujukan disetiap negara yang
menggunakannya, yakni konsep negara hukum dalam artian
“rechtstaat” dan konsep negara hukum dalam artian “Rule of Law”.
Meskipun kedua konsep negara hukum ini pada dasarnya sama yakni
ditujukan untuk memberikan pengakuan dan perlindungan hukum bagi
masyarakat dari suatu tindakan atau perbuatan pemerintah di anggap
menyalahgunakan atau berbuat sewenang-wenang serta perbuatan
melanggar hukum oleh penguasa, namun dari latar belakang sejarah dan
sistem hukum yang menompang kedua konsep negara hukum ini
sangatlah berbeda.13 Oleh karena itu, perlu pula dijelaskan kedua konsep
tersebut secara satu per satu. Konsep tersebut terdiri dari sebagai
berikut: a. Konsep Reechtstaat, dan b Rule Of Law
a. Reechtstaat
Istilah rechtsataat (negara hukum) adalah sutau istilah yang masih
muda, baru muncul pada abad ke-19. Menurut Soediman Kartahadiprojo
yang dikutip oleh. A. Mukhtie Fadjar dalam bukunya14 istilah itu kali
pertama digunakan oleh Rudolf Von Gneist (1816-1895), seorang guru
besar di Berlin, Jerman di mana dalam bukunya “das Englishe
Verwaltunngerechte” (1857), ia mempergunakan istilah “rechtstaat”
untuk pemerintahan negara Inggris.
13 Aminudin Ilmar, Hukum Tata Pemerintahan,… h. 49
14 A. Mukhtie Fadjar, Tipe Negara Hukum,… h. 10
23
Namun konsepi negara hukum, sudah dicetuskan sejak abad ke 17 di
negara-negara Eropa Barat, bersama-sama dengan timbulnya perjuangan
kekuasaan yang tidak terbatas dari penguasa, yaitu dari raja yang
berkekuatan absolut, sebagaimana pernah dipraktikkan di Perancis
sehingga konsep ini sifatnya sangatlah revolusioner. Dengan meletusnya
Revolusi Prancis (1897) yang melahirkan adanya tiga tuntutan dasar,
yakni “egalite” (kesamaan), “fraternite” (kemanusiaan), dan “liberte”
(kebebasan) memberikan penegasan bahwa kesewenang-wenangan yang
diperlakukan oleh raja dalam menyelenggarakan sudah tidak dapat
ditahan atau ditoleransi lagi oleh rakyat karena telah menimbulkan
kesengsaraan dan penderitaan yang sangat dalam bagi rakyat.15 Bersatu
atau bertumbu semua kekuasaan ditangan raja baik dalam pembuatan
undang-undang, melaksanakan undang-undang, dan melaksanakan
proses peradilan berakibat tindakan yang bersifat kesewenang-wenangan
oleh raja yang bermuara pada lahirnya sifat otoriter.
Kondisi atau keadaan tersebut di atas memberikan gambaran yang
utuh kepada kita bagaimana suatu proses penyelnggaraan pemerintahan
dalam kerajaan dijalankan dengan kekuasaan penuh dari raja baik
sebagai kepala negara maupun sebagai kepala pemerintahan. Kekuasaan
raja yang dominan sehingga tidak ada satupun ruang untuk melakukan
kontrol atau mengawasi agar tidak terjadinya pemerintahan yang
sewenang-wenang. Meletusnya revolusi prancis dengan tiga tuntutan
tersebut memberikan angin segar kepada masyarakat untuk menuntut
agar penyelenggaraan pemeritahan tidak lagi dilakukan secara otoriter.
Oleh karena itu, rakyat menginginkan agar kekuasaan yang ditangan raja
dapat diawasi dan dikontrol.
Sejak kejadian tersebut, lahirlah berbagai pandangan dan konsep
untuk dapat melakukan kontrol atau pengawasan terhadap kekuasaan raja
yang sangat besar. Pandangan atau konsep yang pertama kali digagas
15 Aminudin Ilmar, Hukum Tata Pemerintahan,… h. 52
24
oleh John Locke (1632-1704) dalam bukunya Two Treaties if Civil
Government (1690) mengemukakan bahwa kekuasaan penguasa tidak
pernah mutlak, tetapi selalu terbatas, karena dalam mengadakan
perjanjian dengan perorangan maupun kelompok orang, individu-
individu tidak menyerahkan seluruh hak-haknya alamiah mereka. Ada
suatu hak alamiah atau sering disebut hak asasi manusia yang tidak akan
pernah dipisahkan oleh individu tersebut dan penguasa yang diserahi
tugas untuk mengatur hidup dalam organisasi kenegaraan harus
menghormati hak-hak kodrat itu. Atas dasar itu, John Locke juga dalam
bukunya untuk membatasi kekuasaan penguasa negara agar hak-hak
asasi warganya terlindungi, kekuasaan negara tersebut harus dibagi
kedalam tiga kekuasaan, yaitu kekuasaaan legislatif (kekuasaan yang
membuat undang-undang), kekuasaan eksekutif (kekuasaan
melaksanakan undang-undang), dan kekuasaan federatif (kekuasaan
hubungan luar negeri), yang masing-masing kekuasaan tersebut terpisah
satu sama lain.16
Teori pembagian yang digagas John Locke dikembangkan kembali
oleh Mostesquieu dan Blackstone, mereka membagi juga tugas negara
menjadi tiga kekuasaan tetapi sedikit berbeda, yaitu kekuasaan legislatif
(pembuat undang-undang), kekuasaan eksekutif (melaksanakan undang-
undang), dan kekuasaan yudikatif (mengadili pelanggar undang-
undang). Teori yang digagas oleh Mostesquieu dan Blackstone diperkuat
kembali oleh pemikiran J.J Rousseau tentang paham kedaulatan rakyat,
bahkan menjadi semacam “milistone” baru dalam memperkuat gagasan
pembatasan melalui suatu pembagian kekuasaan.
Dengan membagi kekuasaan di tangan raja untuk kemudian dipecah
menjadi tiga cabang kekuasaan, yakni kekuasaan pembuat undang-
undang, kekuasaan pelaksana undang-undang, dan kekuasaan untuk
mengadili pelanggar undang-undang, memberikan pandangan bahwa
16 A. Mukhtie Fadjar, Tipe Negara Hukum,… h. 16-17
25
kekuasaan dengan kekuasaan absolut di tangan raja sudah tidak lagi
berfungsi. Hal ini lah yang menandai runtuhnya atau berakhirnya
kekuasaan raja dan lalu di kenal dengan konsep pembagian kekuasaan
yang menekankan bahwa kekuasaan itu tidak sepenuhnya lagi berada
ditangan raja.
b. Rule of Law
Dalam membahas pengertian apa yang dimaksudkan dengan konsep
Rule of Law tentunya harus merujuk kepada konsep yang dikembangkan
di negara-negara yang bersistem hukum “common law system”. Konsep
ini di pelopori oleh A.V Dicey dalam bukunya An Introduction to the
Study of Law of the Constitusion (1959), yang mengartikan tiga arti dari
konsep “the rule of law”, yaitu:
1) Supremasi absolut atau predominasi dari “regular law” untuk
menentang pengaruh dari “arbitrary power” dan meniadakan
kesewenang-wenangan, prerogative, atau “discretionary
authory” yang luas dari pemerintah
2) Persamaan dihadapan hukum atau penundukan yang sama dari
semua golongan kepada “ordinary law of the land” yang
dilaksanakan oleh “ordinary court” yang berarti bahwa tidak
ada orang yang berada di atas hukum, baik pejabat maupun
warganegara biasa berkewajiban untuk menaati hukum yang
sama, dan tidak ada peradilan administrasi negara.
3) Konstitusi adalah hasil dari “the dionary law of the land”, bahwa
hukum konstitusi bukanlah sumber tetapi merupakan
konsekuensi dari hak-hak individu yang dirumuskan secara dan
ditegaskan oleh pengadilan. Singkatnya, prinsip-prinsip hukum
privat melalui tindakan peradilan dan parlemen sedemikian
26
diperluas sehingga membatasi posisi “crown” dan para
penjabat.17
Pendapat yang dikemukakan oleh A. V. Dicey tersebut mengenai
konsep “rule of law” mendapat tanggapan dari E.C.S Wade dan
Godfrey Philips (1965) dalam bukunya Constitutional and
Administrative Law dengan mengemukakan kritiknya terhadap apa
yang dimaksudkan oleh Dicey tentang konsep rule of law. Menurutnya,
apa yang akan dikemukakan tentang regular law dan arbitrary power
pada hakikatnya akan berkenaan dengan kenyataan bahwa cammon law
tunduk kepada modifikasi oleh parlemen, dengan demikian ada
kemungkinan banyak kebebasan fundamental di ganti oleh “statute”.
Dengan mengemukakan kritiknya kepada Dicey tersebut, maka
Wade dan Philips mengartikan pula konsep tentang Rule of Law, yaitu:
1) Rule of law mendahulukan hukum dan ketertiban hukum dalam
masyarakat daripada anarki
2) The rule of law menunjukan suatu doktrin hukum bahwa
pemerintahan harus dilaksanakan sesuai dengan hukum.
3) The rule of law menunjukan suatu kerangka piker politik yang harus
diperinci dalam peraturan hukum, baik hukum substantif maupun
hukum acara, misalnya apakah pemerintah mempunyai kekuasaan
untuk menahan warganegara tanpa melalui proses peradilan dan
mengenai proses misalnya adanya “presumption of innocence”.18
2. Teori Kewenangan
a. Pengertian Kewenangan
Istilah teori kewenangan berasal dari terjemahan Bahasa
Inggris, yaitu authority of theority, istilah yang digunakan dalam
17 Aminudin Ilmar, Hukum Tata Pemerintahan,… h. 59-60
18 Aminudin Ilmar, Hukum Tata Pemerintahan,… h. 60-61
27
Bahasa belanda, yaitu theorie van het gezag, sedangkan dalam
Bahasa jermannya, yaitu theorie der authoriat. Teori kewenangan
berasal dari dua suku kata, yaitu teori dan kewenangan.
Menurut Prayudi yang dikutip oleh Jum Anggriani dalam
bukunya19 ada perbedaan pengertian antara kewenangan dan
wewenang. Kewenangan adalah
1. Apa yang disebut “kekuasaan formal”, yiatu
kekuasaan yang berasal dari kekuasaan
legislatif (diberi oleh Undang-Undang) atau
dari kekuasaan eksekutif administratif.
2. Kewenangan biasanya terdiri dari beberapa
wewenang
3. Kewenangan adalah kekuasaan terhadap
segolongan orang-orang tertentu atau
kekuasaan terhadap sesuatu bidang
pemerintahan.
Contohnya seperti: kewenangan dibidang kehakiman
atau kekuasaan mengadili disebut kompetensi/yuridiksi.
Wewenang adalah Kekuasaan untuk melakukan sesuatu
tindakan publik. Contohnya seperti: wewenang menandatangani/
menerbitkan surat-surat izin dari seorang pejabat atas nama menteri,
sedangkan kewenangannya tetap berada ditangan menteri.
Dari penjelasan tersebut sudah sangat jelas perbedaan antara
kewenangan dan wewenang, kewenangan adalah kumpulan
kumpulan dari wewenang yang dipunyai oleh lembaga negara
sedangkan wewenang adalah salah satu dari kewenangan tersebut.
Kewenangan lembaga negara dalam menjalankan
pemerintahan bukan muncul dengan sendirinya atau melaksanakan
19 Jum Anggriani, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Graha Ilmu, 2012), h. 87
28
kewenangan dengan semaunya, namun harus dengan ada yang
memberikan kewenangan tersebut. Menurut Philipus Hadjon yang
dikutip Jum Angriani dalam bukunya20 kewenangan membuat
keputusan hanya dapat diperoleh dengan dua cara, yaitu atribusi atau
dengan delegasi. Atribusi adalah wewenang yang melekat pada
suatu jabatan yang berikan oleh Undang-Undang, sedangkan
delegasi adalah pemindahan atau pengalihan suatu kewenangan
yang telah ada. Jadi lembaga negara dalam membuat keputusan
harus berdasarkan kewenangan yang diterimanya
b. Sumber Kewenangan
Indroharto mengemukakan tiga macam kewenangan yang
bersumber dari peraturan perundang-undangan. Kewenangan itu,
meliputi: a. Atribusi, b. Delegasi, c. Mandat21
1) Atribusi Menurut Rosjidi Ranggawidjadja yang dikutip
oleh Jum Anggtiani22 Atribusi ialah pemberian
kewenangan kepada badan/ lembaga/pejabat negara
terntenu yang diberikan oleh pembuat Undang-Undang
Dasar maupun Undang-Undang, baik yang sudah ada
maupun yang baru sama sekali. Pembuat undang-undang
yang berkwenangan untuk memberikan atribusi dibedakan
anatara
a) Yang berkedudukan sebagai original legislator
contohnya seperti MPR sebagai pembentuk Konstitusi
Republik Indonesia, DPR sebagai pembuat undang-
undang bersama dengan Pemerintah, dan DPRD
20 Jum Anggriani, Hukum Administrasi Negara,… h. 89
21 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), h.
104
22 Jum Anggriani, Hukum Administrasi Negara,… h. 89
29
pembuat Peraturan Daerah bersama dengan Pemerintah
Daerah
b) Yang berkedudukan sebagai delegated legilslator,
seperti Presiden yang berdasarkan pada suatu ketentuan
undang-undang berwenang mengeluarkan Peraturan
Pemerintah, dimana dengan Peraturan Pemerintah
tersebut menciptakan wewenang-wewenang
pemerintahan kepada Badan atau Jabatan TUN dibawah
eksekutif.
2) Delegasi
Delegasi adalah penyerahan wewenang yang
dipunyai oleh badan atau jabatan TUN yang diperoleh
secara atributif kepada organ yang lain. Dalam delegasi
mengandung suatu penyerahan, yaitu apa yang semula
kewenangan si A, untuk selanjutnya menjadi kewenangan
si B. kewenangan yang telah diberikan oleh pemberi
delegasi selanjutnya menjadi tanggung jawab penerima
wewenang. Jadi dalam delagasi tidak diciptakan
wewenang baru melainkan hanya mendapat peralihan
wewenang
3) Mandat
Menurut Philipus Hadjon yang dikutip oleh Jum
Anggriani23, didalam mandat tidak terjadi suatu pemberian
wewenang baru (atributif) maupun pelimpihan wewenang
dari Badan atau Pejabat TUN yang satu kepada yang lain
(delagasi). Yang ada hanya suatu hubungan intern dalam
lembaga negara yaitu antar atasan dan bawahan.
Mandat hampir sama dengan bentuk pelimpahan
kekuasaan (delegasi), karena mandataris (penerima
23 Jum Anggriani, Hukum Administrasi Negara,… h. 91
30
mandat) dalam melaksanakan kekuasaanya tidak bertindak
atas namanya sendiri, tetapi atas nama si pemberi mandat,
karenanya yang bertanggungjawab masih si pemberi
mandar. Berbeda dengan delegasi pelimpahan kekuasaan
yang tanggung jawabnya beralih juga kepada si penerima
kekuasaan.
B. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu
Pertama, Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Dalam
Pengangkatan Kepala Kepolisisan Republik Indonesia Menurut
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian, skripsi yang
ditulis oleh Rizki Ramandhika. Dalam skripsi ini substantifnya menjelaskan
ikut campurnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam pengangkatan
Kepala Kepolisian, yang seharusnya kewenangan tersebut hanya dimiliki
oleh Presiden, padahal Kepolisian tersebut lembaga independen di bawah
cabang kekuasaan eksekutif yang cabang tersebut dikepalai oleh Presiden,
bersebarangan dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang mana
lingkupnya cabang kekuasaan legislatif, sehingga tidak relevan bila Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) ikut campur kewenangan Presiden sebagai kepala
cabang kekuasaan eksekutif dalam hal pengangkatan Kepala Kepolisian
Republik Indonesia. Selain itu, sistem pemerintahan yang digunakan oleh
Indonesia adalah sistem presidensial yang termaktub dalam pasal 4 UUD
1945, yang intinya adalah presiden memegang keuasaan pada pemerintahan
suatu negara, oleh Karena itu Presiden berhak atas hak prerogatifnya
mengangkat jajaran pemerintahan lingkungan eksekutif tanpa dipengaruhi
lembaga lain seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari cabang
kekuasaan Legislatif. Implikasinya adalah pergeseran Presiden sebagai
Kepala Pemerintahan atau Kepala Negara dalam sistem Presidensial.24
24 Rizki Ramandhika, Persetujuan Dewan Perwakilan Rakat Dalam Pengangkatan Kepala
Kepolisian Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian, (Skripsi S1,
Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2015), h. 70
31
Perbedaan skripsi ini dengan penelitian penulis terletak pada
pembahasanya. Jika skripsi ini di dalamnya membahas mengenai
keikutsertaanya Dewan Perwakilan Rakyat dalam memilih Kepala
Kepolisian Republik Indonesia, sedangkan Peneliti membahas mengenai
ditunjuknya Polisi sebagai Tugas pelaksana (Plt) Gubernur. Persamaanya
skripsi ini dengan peneliti terletak pada objek penelitiannya yaitu sama
sama meneliti Lembaga Kepolisian
Kedua, Legalitas Penunjukan Pejabat Polri Menjadi Pelaksana
Tugas Gubernur pada masa kampanye Pemilihan Kepala Daerah,
Jurnal yang ditulis oleh Fransica Adelina. Dalam jurnal tersebut, salah satu
sub babnya menjelaskan legalitas penunjukan pejabat Kepolisian menjadi
Plt. Gubernur menurut sifat atau keadaanya. Kemendagri telah menyatakan
bahwa penunjukan Perwira Polri sebagai Plt. Guberbur disebabkan oleh
adanya potensi ketidakstabilitasan dan adanya geagat kerawan di beberapa
Provinsi pada saat kampanye Pemilukada. Keadaan kerawanan itu
dikatakan juga sebagai kegentingan memaksa, yang dimana ihwal
“kegentingan memaksa” tersebut dapat dibuat Perpres yang tujuannya untuk
melegalkan penunjukan Polri sebagai Plt Gubernur.25 Pada jurnal ini,
peneliti menemukan ada perbedaan dan persamaan yang tidak terlalu begitu
mencolok sehingga peneliti menggap bahwa jurnal ini sangat tetap dijadikan
review terdahulu didalam penelitian. Perbedaan jurnal ini dengan penulis
hanya terletak pada pembahasaanya pada jurnal ini membahas mengenai
legalitas penunjukan Pejabat Polri menjadi Plt. Gubernur menurut sifat atau
keadaan kedaruratannya sedangkan peneliti membahas mengenai
keabsahan Penempatan anggota Kepolisan aktif studi kasus Penempatan
Komjen Pol. Mochammad Irawan sebagai Pelaksana tugas Gubernur Jawa
Barat menurut tugas dan undang-undang kepolisian. Persamaanya terletak
25 Fransica Adelina, Legalitas Penunjukan Pejabat Polri Menjadi Pelaksana Tugas
Gubernur Pada Masa Kampanye Pemilihan Kepala Daerah, (Jakarta, Universitas Bung Karno,
2018), h. 17
32
pada materi yang dibahasnya, yaitu sama-sama membahas mengenai
legalitas penempatan anggota Kepolisian menjadi Pejabat publik.
Ketiga, Reformasi TNI Prespektif Baru Hubungan Sipil-Militer di
Indonesia, buku yang ditulis oleh Yuddy Chrisnandi. Didalam buku
tersebut terdapat salah satu bab yang menjelaskan bahwasanya TNI di era
reformasi menyatakan dirinya tidak lagi terlibat dalam politik praktis dan
menegaskan tidak akan mencampuri urusan politik, dengan melalui
pencanangan reformasi internal TNI. Pernyataan tersebut akibat adanya
tuntutan-tuntutan dari masyarakat pada akhir rezim orde baru dan
dimulainya era reformasi. TNI dituntut untuk kembali pada tugas utama
sebagai alat pertahanan dan keamanan negara, karena pada waktu sebelum
reformasi TNI digunakan menjadi alat kekuatan-kekuatan politik. TNI juga
dituntut untuk tidak mencampuri kebijakan politik pemerintah sipil dan
tidak terlibat pada persoalan-persoalan yang tidak ada kaitannya dengan
tugas pertahanan/keamanan.26 Pada buku ini peneliti menemukan ada
perbedaan dan persamaan dalam pembahasan, sehingga peneliti menggap
buku ini juga tepat dijadikan review terdahulu oleh peneliti dalam
penelitian. Perbedaan buku ini dengan penelitian peneliti terletak pada
lembaga penelitian, pada buku ini lembaga yang dibahas adalah Tentara
Negara Indonesia setelah Reformasi, sedangkan objek lembaga peneliti
ialah Kepolisian Republik Indonesia setelah Reformasi. Persamaanya
adalah lembaga kepolisian dan TNI sebelum Reformasi masih dalam satu
organisasi yaitu ABRI, sehingga Kepolisian dan TNI dalam ketatanegaraan
Indonesia sebelum Reformasi disamakan perannya dalam politik.
26 Yuddy Crisnandi, Reformasi TNI Prespektif Baru Hubungan Sipil-Militer di Indonesia,
(Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2005), h. 93-94
33
BAB III
KEPOLISIAN DALAM KETATANEGARAAN INDONESIA
A. Kedudukan Kepolisian Sebelum Reformasi
Pasca Kemerdekaan dalam rangka penataan sistem pemerintahan, Indonesia
mengesahkan organ Kepolisian yang pada waktu itu Kepolisian masih sisa-sisa
peninggalan Jepang menjadi Badan Kepolisian Negara, dan ditempatkan di
lingkungan Dapartemen Dalam Negeri. Namun Pada waktu itu, pemerintahan
Indonesia belum mempunyai sistem pemerintahan sendiri dalam mengelola
lembaga Kepolisian, sehingga pemerintahan Indonesia dalam mengelola
organisasi Kepolisian mengacu pada sistem pemerintahan Belanda.
Kemudian Kepolisian Republik Indonesia lahir sebagai bagian dari institusi
pemerintahan pada tanggal 1 Juli 1946 melalui Ketetapan Pemerintah Nomor
11/SD/1946, yang menetapkan kedudukan Kepolisian Negara berada dibawah
Perdana Menteri.1 Pada masa itupun, kepolisian belum terfokus pada fungsi
hakikinya sebagai lembaga yang bertugas untuk menjaga kemanan dan
ketertiban masyarakat karena kondisi negara saat itu belum stabil paska
kemerdekaan. Tugas Polri lebih banyak berfokus pada mempertahankan
kemerdekaan yang baru saja diraih.2
Selama kurang lebih 15 tahun masih dalam keadaan Revolusi, berdasarkan
keadaan itu, maka MPR ngeluarkan TAP MPRS Nomor I/MPRS/1960 tentang
manifesto Politik Republik Indonesia sebagai Garis-Garis Daripada Haluan
Negara, dan TAP MPRS No. II/MPRS/1960 tentang Garis-Garis Besar Pola
Pembangungan Nasional Semesta Berencana Tahapan Pertama 1961-1969, di
dalam TAP MPRS tersebut menetapkan lembaga Kepolisian Negara
diintegrasikan ke dalam ABRI bersama TNI AD, AL dan AU3. Selang tidak
1 Santy M. Sibrani dkk, Antara Kekuasaan dan Profesionalisme Menuju Kemandirian
Polri, (Jakarta, PT. Dharmapena Multimedia, 2001), h. 12
2 R. Sigid Tri Hardjianto, Ilmu Kepolisian, (Jakarta: PTIK PRESS, 2016), h. 7
3 Santy M. Sibrani dkk, Antara Kekuasaan dan Profesionalisme Menuju Kemandirian
Polri,… h. 12
34
terlalu lama Presiden Soekarno kemudian mengeluarkan Kepres Nomor
21/1960 yang didalamnya mengatur juga mengenai kedudukan Kepolisian
Indonesia sebagai bagian dari militer. Selanjutnya untuk menguatkan eksitensi
Kepolisian pada tahun 1961 di keluarkan juga Undang-Undang Nomor 13
Tahun 1961 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kepolisian Negara.
Undang-undang itu membahas mengenai lembaga kepolisian secara
keseluruhan, tugas-tugas dan kedudukan Kepolisian tak luput di bahas dalam
undang-undang tersebut. Dalam pasal 1, dijelaskan mengenai tugas-tugas
kepolisian dibidang a. Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan, b.
Mencegah dan memberantas menjalnnya penyakit-penyakit masyarakat, c
memelihara keselematan negara terhadap dari gangguan negara dari dalam, d
memelihara keselamatan orang, benda dan masyarakat, termasuk memberi
perlindungan dan pertolongan, dan e. mengusahakan ketaatan warga negara dan
masyarakat terhadap peraturan-peraturan negara. Terkait dengan kedudukan
kepolisian, Undang-Undang ini mengaturnya dalam Pasal 3, yang secara umum
menjelaskan bahwasannya kedudukan Kepolisian sebagai bagian dari Angkatan
Bersenjata.
Dimasukannya Kepolisian kedalam organisasi ABRI mendapat dukungan
oleh Kapolri Inspektur Jendral Polisi Soejipto Danoekoesoemo. Ia
menginginkan operasional Polri yang lebih integratif dengan institusi keamanan
lain untuk memperoleh sinergi kekuatan yang lebih eksitensi dan maksimal
dalam upaya penegakan hukum, keamanan, dan ketertiban umum.4 Pada saat
itu kondisi masih dalam keadaan revolusi mempertahankan kemerdekaan,
kepolisian pun masih lemah dalam melaksanakan fungsinya baik sebagai
penegak hukum maupun sebagai alat keamanan negara sehingga dibutuhkan
bantuan dari institusi keamanan lain. Tergabunganya dengan organisasi ABRI
diharapkan kepolisian dapat maksimal dalam menunjukankan eksitensinya
maupun menjalankan tugas dan fungsinya.
4 Nurinwa Ki S. dkk, Polri Mengisi Publik, (Jakarta: Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian,
2010), h. 49
35
Perubahan besar terjadi dalam kehidupan bangsa Indonesia menyusul
terjadinya peristiwa G-30-S/PKI, yang ingin mengganti Pancasila sebagai
Ideologi nasional. Setelah Soeharto naik menjadi Presiden, awal pemerintahan
Soeharto lebih berfokus pada stabilitas keamanan, penguatan kembali ideologi
Pancasila, dan pembangunan nasional. Dalam bidang kemanan, Soeharto juga
memasukan ABRI kedalam organisasi Dephankam dan menempatkan ABRI
sebagai salah satu komponen politik nasional dalam bidang pertahanan dan
keamanan melalui Surat Keputusan Presiden RI Nomor 32/1967.
Implikasi Kepres tersebut Pemerintahan mulai mempercayakan anggota-
anggota TNI/Polri untuk menempati jabatan-jabatan strategis dalam semua lini,
termasuk untuk jabatan-jabatan sipil yang sama sekali tidak berkaitan dengan
pertahanan dan keamanan. Hal itu terlihat dari dipegangnya jabatan-jabatan
kepala daerah mulai dari Bupati hingga Gubernur di tangan anggota TNI/Polri.
Pemerintah juga mempercayakan pengawasan politik ke tangan ABRI, ini
terlihat dari dimasukkannya unsur TNI/Polri ke dalam badan legislatif.
Masuknya kepolisian kedalam ABRI mengakibatkan kepolisian tidak bisa
bersifat mandiri atau independen sehingga kepolisian dengan mudah
diintervensi oleh pemerintah dan sering dijadikan alat pemerintah untuk
mendiskriminasi orang-orang maupun partai politik yang mengkritik
pemerintahan. Contohnya seperti pada kasus insiden 27 Juli 1996 ketika terjadi
penyerbuan Kantor Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrasi Indonesia
(PDI) di Jl. Dipenogoro, Jakarta Pusat. Yang diketahui bahwasannya parta PDI
adalah partai yang paling keras mengkritik pemerintahan orde baru. Dari
tayangan telivisi, Beberapa anggota polisi terlihat hanya berdiri mematung
ketika sejumlah orang yang juga mengenakan seragam PDI mengobrakab-abrik
kantor DPP PDI yang saat itu dipimpin oleh Megawati Soekarnoputri.5
5 Santy M. Sibrani dkk, Antara Kekuasaan dan Profesionalisme Menuju Kemandirian
Polri,… h. 23
36
B. Kedudukan Kepolisian Setalah Reformasi
ABRI dengan Dwifungsinya yaitu baik sebagai kekuatan pertahanan
keamanan maupun sebagai kekuatan politik bergerak bersamaan dalam dua
lingkungan kehidupan politik, yaitu dalam kehidupan politik di lingkungan
pemerintahan (supra struktur politik) dan dalam kehidupan politik di
lingkungan masyarakat (infra struktur politik). Hal demikian telah berlangsung
sejak kelahirannya pada tahun 1945, dimana pada waktu itu Dwifungsi telah
memberikan banyak kemanfaat bagi kehidupan negara dan bangsa. Dwifungsi
ABRI juga telah memberikan pengaruh yang besar dalam menanggulangi
krisis-krisis nasional sehingga Konsep Dwifungsi ABRI sangat tepat digunakan
pada saat itu. 6
Semua orang mengetahui akan hal itu, tetapi ada segelintir orang yang
menyatakan masih dapatkah Dwifungsi ABRI serta kepolisian masuk kedalam
bagian dari ABRI dan memberikan manfaat untuk menghadapi tantangan-
tantangan masa depan. Dikatakan bahwa dinamika keadaan di Indonesia dari
pertama merdeka sampai dengan Orde Baru mengalami perubahan yang
siginifikan, begitupun permasalahan-permasalahan yang dihadapi Indonesia
semakin berkembang menjadi komplek, sehingga solusi-solusi yang dilakukan
pada keadaan orde lama sampai dengan reformasi di anggap tidak relevan
kembali. Dalam kesempatan reformasi, masyarakat Setidaknya ada enam
tuntutan Reformasi yang mengemuka saat itu, seperti amandemen UUD 1945,
penghapusan doktrin Dwifungsi ABRI, penegakan hukum dan HAM,
pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, Otonomi daerah, kebebasan
pers, dan mewujudkan kehidupan demokrasi.7 Dari salah satu tuntutan tersebut
terdapat tuntutan untuk menghilangkan Dwifungsi ABRI, tuntutan itu sebagai
bukti bahwa masyarakat tidak lagi mendapatkan manfaat dengan dilakukannya
konsep Dwifungsi ABRI.
6 A.S.S. Tambunan, Dwifungsi Abri Perkembangan dan Peranannya dalam Kehidupan
Politik di Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Oress, cetakan kedelapan 1995), h. 56
7 R. Sigid Tri Hardjanto, Ilmu Kepolisian,… h. 12-13
37
Selain dari masyarakat, institusi Kepolisian pun secara internal menyadari
akan adanya ketidak cocokan jika secara terus menerus digabungkan kedalam
ABRI. Kepolisian merasa kehilangan fungsi keamanan, melindungi dan
mengayomi masyarakat, yang dimana fungsi tersebut sangat melekat dengan
institusi kepolisian. Didalam ABRI Polri mempunyai tugas tambahan selain
tugas yang amanatkan oleh undang-undang kepolisian, yaitu tugas pertahanan
dan sosial politik, yang dimana tugas tersebut sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari unsur ABRI. Tentunya tugas tersebut sangat jauh dari tugas
utama kepolisian yang sifatnya represif dan preventif.
Dari kalangan pakar hukum dan ilmu kepolisian pun telah membahas
mengenai gagasan pemisahan kepolisian dari ABRI melalui seminar-seminar,
seminar itu di antaranya dilakukan oleh J.E Sahetapy, Satjipto Rahardjo,
Awaleodin Djamin dan lain sebagainya, yang dikutip oleh R Sigid Tri
Hardjanto dalam bukunya. Secara umum mereka berpendapat bahwa:
“Tugas Kepolisian berbeda dengan tugas Militer, tugas Militer adalah untuk
mengamankan negara dari ancaman musuh. Dalam pelaksanaanya Militer dapat
menghancurkan dan membunuh musuh dengan kekerasan, dan demi komando
Militer dapat melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Hal ini berbanding
terbalik dengan kepolisian, polri mempunyai tugas untuk mengamankan
masyarakat agar tercipta ketertiban dan rasa aman dan terwujudkan
kesejahteraan masyarakat, dan dalam keadaan menjalankan tugasnya menindak
pelanggaran dan mengangkap penjahat pun harus berpedoman kepada hukum
dan Kode etik kepolisian” 8
Pada bulan Mei Tahun 1998 dilakukannya Reformasi di Indoensia yang
dilakukan oleh kalangan Mahasiswa dan masyarakat, hal ini yang mengakhiri
era Orde Baru dan di mulainya era Reformasi dan ditandai dengan turunya
Presiden Soeharto dan digantikan oleh Presiden Bj Habibie. Menindaklanjuti
tuntutan Reformasi, kemudian dikeluarkannya Ketetapan MPR Nomor
8 Nurinwa Ki S. dkk, Polri Mengisi Publik, (Jakarta: Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian,
2010), h. 222
38
X/MPR/1998 Tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka
Penyelamatan dan Memelihara Kehidupan Nasional Sebagai Haluan Negara.
Dengan dasar Ketepan MPR itu, Presiden Habibie mengeluarkan Instruksi
Presiden RI Nomor 2 tahun 1999 tentang langkah kebijakan dalam rangka
pemisahan Polri dan ABRI yang selanjutnya dijadikan sebagai landasan formal
bagi Kepolisian Reformasi Polri.
Salah satu keputusan Reformasi internal ABRI dan untuk merealisasikan
Inpres RI Nomor 2 tersebut maka dilaksanakan pemisahan Polri dari ABRI
mulai tanggal 1 April 1999. Sejak saat itu sistem dari penyelenggaraan
pemikiran kekuataan dan operasional Polri dialihkan ke Dapartemen Hankam.
Penempatan organisasi Polri di bawah Dephankam merupakan penempatan
pada masa transisi dalam rangka menuju Polri yang mandiri dan otonomi,
sebelum akhirnya ditempatkan langsung di bawah Presiden.9
Pemisahan tersebut diperkuat lagi melalui TAP MPR VI/MPR/2000 tentang
Pemisahan Tentara Negara Indoensia dan Kepolisian Negara Republik
Indonesia. Dalam ketentuan Pasal 1 menyatakan bahwa Tentara Nasional
Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia secara kelembagaan
terpisah sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing. Kemudian pemisahan
kelembagaan itu dikembalikan kepada tugas dan fungsi masing-masing
kelembagaan, yang dijelaskan pada ketentuan Pasal 2, yang menyatakan
bahwa Tentara Negara Indonesia adalah alat negara yang berperan dalam
bidang pertahanan negara, sedangkan Kepolisian Negara Republik Indonesia
adalah alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan. Kehadiran TAP
MPR tersebut memperjelas kedudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia
yang sebelumnya ambigiutas anatara sebagai alat negara di bidang keamanan
atau pertahanan.
Peran Kepolisaian Negara Republik Indonesia dan Tentara Republik
Indnoesia dalam kehidupan bernegara kemudian di jelaskan lagi melaui TAP
MPR VII/MPR/2000. TAP MPR itu juga yang mempertegas dihilangkannya
9 Nurinwa Ki. dkk, Polri Mengisi Publik,… h. 223
39
peran TNI dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam bidang politik
negara. Peranan itu dijelaskan pada Pasal 5 untuk TNI, yang menjelaskan bahwa
TNI dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari
dinas ketentaraan, dan Pasal 10 Ayat (3) untuk kepolisian, yang menyatakan
bahwa Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki
jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas
kepolisian. Pasal-pasal tersebut memiliki pengertian bahwasannya kedua
lembaga tersebut harus menjauhkan diri mereka masing-masing dari jabatan-
jabatan sipil atau perpolitikan, yang sebelumnya itu hal yang lumrah dilakukan
pada pemereintahan orde baru.
Salah satu tuntutan reformasi yang lainnya terwujud dengan di
amandemennya UUD 1945 yang kedua. Pada Perubahaan yang kedua UUD
1945 sampai dengan amandemen ke emapat, memperjelas kembali pemisahan
antara TNI dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengaturan itu
tertuang dalam Pasal 30 Ayat (3) “Tentara Nasional Indonesia terdiri atas
Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara sebagai alat negara
bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan
kedaulatan negara” dan Pasal 30 Ayat (4) Kepolisian Negara Republik
Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban
masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta
menegakkan hukum. Pasal 30 Ayat (4), di atur lebih lanjut oleh Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
yang menggantikan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1997. Pada undang-
undang ini banyak menghilangkan dan menambah pasal-pasal. Salah satu Pasal
yang dihilangkan ialah Pasal yang mengatur Kepolisian Negara Republik
Indonesia masuk kedalam angkatan bersenjata, dan pasal yang ditambah adalah
pasal yang mengatur peran kepolisian dalam perpolitikan di Indonesia, yang di
atur dalam pasal 28.
40
C. Tugas Dan Wewenang Kepolisian
Untuk dapat menginformasikan pentingnya eksitensi Polisi dalam suatu
negara kepada masyarakat, maka perlu adanya regulasi yang mengatur tugas
dan wewenang (hak dan kekuasaan untuk bertindak) secara ekspilsit. Dengan
begitu masyarakat akan mengetahui pentingnya eksitensi Kepolisian dalam
sesuatu negara. Selain itu, di masa reformasi yang mengedepankan prinsip
demokrasi ini perlu adanya juga pengawasan langsung dari rakyat mengenai
kinerja lembaga-lembaga negara terutama kinerja Kepolisian dalam
melaksanakan tugas dan fungsinya. Dasar hukum yang diajdikan parameter
untuk mengawasi kinerja kepolisian itu adalah tugas dan kewenangan
kepolisian.
Sebelum membahas tugas dan kewenangan yang dimiliki Kepolisian,
terlebih dahulu dijelaskan mengenai apa itu arti dari Tugas dan apa itu arti dari
Kewenangan. Tugas menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia 1. Yang wajib
dikerjakan atau yang ditentukan untuk dilakukan; pekerjaan yang menjadi
tanggung jawan seseorang; pekerjaan yang dibebankan, 2. Suruhan (perintah)
untuk melakukan sesuatu, 3. Ling fungsi (jabatan). Kewenangan menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia 1. Hal berwenang; 2. Hak dan kekuasaan yang
dipunyai untuk melakukan sesuatu.
Tugas dan wewenang Kepolisian termaktub dalam Bab III mulai dari Pasal
13 sampai dengan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang
Kepolisian.
1. Tugas Kepolisian
Tugas kepolisian dapat dibagi dalam dua golongan, yiatu tugas Represif
dan tugas Preventif. Menurut Kamus Besar Bahasa Indoensia Preventif
ialah bersifat mencegah (supaya jangan terjadi apa-apa), dan Represif
adalah 1. bersifat represi (menekan, mengekang, menahan, atau menindas),
2. Bersifat menyebuhkan. Jadi, jika dihubungkan dengan Kepolisian
sebagai alat negara dibidang keamanan, tugas Preventif Kepolisian
memiliki pengertian preventif ialah menjaga dan mengawasi agar peraturan
41
hukum tidak dilanggar oleh siapapun, dan Tugas represif memiliki artian
yaitu menjalankan peraturan atau perintah dari yang berkuasa apabila telah
terjadi peristiwa pelanggaran hukum.10
Tugas Pokok Kepolisian Negara dalam Pasal 13 Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian menyebutkan “
a. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
b. menegakkan hukum; dan
c. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat.”
Dari tugas-tugas pokok tersebut, kemudian dijabarkan dalam suatu
undang-undang yang tertuang dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 2
Tentang Kepolisian.11 yang menjelaskan Kepolisian Negara RI bertugas:
a. Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patrol
terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan
b. Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan,
ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan
c. Membina masyarakat untuk meningkatan partisipasi masyarakat,
kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat
terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan
d. Turut serta dalam pembinaan hukum nasional
e. Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan
f. Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis
terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan
bentuk-bentuk pengamanan swakarsa
g. Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak
pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-
undangan lainnya
h. Menyelnggarakan identifkasi kepolisian, kedokteran kepolisian,
labolatorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan
tugas kepolisian
i. Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan
lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana
termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung
tinggi hak asasi manusia
10 Laporan Tim Pengkajian Hukum Tentang Format Kepolisian RI di Masa Depan
(Perbandingan dengan Beberapa Negara), (Jakrta: Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI
melalui Badan Pembinaan Hukum, 2011) h. 58
11 Sadjiono, Memahami Hukum Kepolisian, (Yogyakarta: I.P.T Laksbang Presindo, 2010),
h. 17
42
j. Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum
ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang
k. Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan
kepentingan dalam lingkup tugas kepolisian
l. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-
undangan
2. Wewenang Kepolisian
Dalam rangka menyelenggarakan tugas agar setiap tindakannya selalu
mengacu kepada undang-undang dan tidak sewenang-wenang, dan juga
sebagai tolak ukur masyarakat dalam menilai perihal kewenangan
kepolisian. Oleh karena itu Kepolisian Negara Republik Indonesia
diberikan wewenang oleh Undang-Undang. Wewenang kepolisian
termaktub dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, yang
menjelaskan secara umum Kepolisian memiliki Wewenang sebagai berikut:
a. Menerima laporan dan/atau pengaduan
b. Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang
dapat menggangu ketertiban umum
c. Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat
d. Mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau
pengancam persatuan dan kesatuan bangsa
e. Mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan
administratif kepolisian
f. Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan
kepolisian dalam rangka pencegahan
g. Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian
h. Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang
i. Mencari keterangan dan barang bukti
j. Menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional
k. Mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan
dalam rangka pelayanan masyarakat
l. Memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan
putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan
masyarakat
m. Menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu
Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang lainnya berwenang:
a. Memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan
kegiatan masyarakat lainnya
b. Menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor
c. Memberika surat izin mengemudi kendaraan bermotor
43
d. Menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik
e. Memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan
peledak, dan senjata tajam
f. Memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap
badan usaha di bidang jasa pengamanan
g. Memberikan penunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian
khusu dan petugas keamanan swakarsa dalam bidang teknis
kepolisian
h. Melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam
menyidik dan memberantas kejahatan internasional
i. Melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing
yang berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi dengan
instansi terkait
j. Mewakili pemerintahan RI dalam organisasi Kepolisian
internasional
k. Melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas
kepolisian
Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki cita-cita luhur yang
dituliskan dalam alinea ke-IV pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
“kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Agar cita-cita luhur
tersebut dapat tercapai maka diperlukan negara dalam kondisi yang aman
dan damai baik dari gangguan pihak-pihak luar negeri maupun kelompok
sparatis dan perusuh dalam negeri,12 oleh sebab itulah Kepolisian Negara
Republik Indonesia hadir sebagai alat negara yang berperan dalam
memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakan hukum, serta
memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayan kepada masyarakat
dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam masyarakat.13 Dalam
12 Mohammad Nasir, Peran Lembaga Porli Bagi Masyarakat dan Negara, dalam artikel
http://cahayakaltim.com/peran-lembaga-polri-bagi-masyarakat-dan-negara/, diakses pada hari
Jum’at 18 Januari 2019, Pukul 22.38
13 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi,… h. 180
44
melaksanakan salah satunya tugas kepolisian di bidang menegakan hukum,
kepolisian diberikan kewenangan oleh undang-undang dalam proses pidana.
Ketentuan tersebut termaktub dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 2
tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang
menjelaskan:
a. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan
b. Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian
perkara untuk kepentingan penyidikan
c. Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka
penyidikan
d. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta
memeriksa tanda pengenal diri
e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat
f. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka
atau saksi
g. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya
dengan pemeriksaan perkara
h. Mengadakan penghentian penyidikan
i. Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum
j. `Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi
yang berwenang ditempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan
mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang
yang disangka melakukan tindak pidana
k. Memberikan petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik
pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik
pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum
l. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab
Tindakan lain yang dimaksud di atas adalah tindakan-tindakan
penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan jika memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:14
a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum
b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan
tersebut dilakukan
c. Harus patut, masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya
d. Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa
14 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi,… h. 186
45
e. Menghormati hak asasi manusia
Menurut Sadjiono dalam menjalankan fungsinya sebagai aparat penegak
hukum polisi pun wajib memahami asas-asas hukum, asas-asas hukum
tersebut digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam melaksanakan tugas,
asas-asanya tersebut yaitu:15
a. Asas legalitas artinya dalam melaksanakan tugas-tugasnya sebagai
penegak hukum kepolisian wajib tunduk pada hukum
b. Asas kewajiban artinya kewajiban kepolisian dalam mengani
permasalahan dalam masyarakat bersifat diskresi, karena belum
diatur dalam hukum
c. Asas partisipasi artinya dalam rangka mengamankan lingkungan
masyarakat Kepolisian mengkoordinasikan pengamanan swakarsa
d. Asas preventif artinya Kepolisi selalu mengendepankan tindakan
pencegahan dari pada tindakan penindakan.
e. Asas subsidiaritas artinya kepolisian dapat melakukan tugas intitusi
lain agar tidak menimbulkan permasalahan yang lebih besar
Pejabat Kepolisian Negara RI menjalankan tugas dan wewenangnya di
seluruh wilayah negara Republik Indonesia, khususnya di daerah hukum
pejabat yang bersangkutan ditugaskan sesuai dengan peratuuran perundang-
undangan. Untuk kepentingan umum pejabat kepolisian negara melaksanakan
tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaian sendiri atau dapat
melakukan diskresi. Namun dalam pelaksanaan ketentuan ini, kepolisian tidak
setiap saat diperkenankan melakukan tindakan diskresi tersebut, melainkan
harus dilakukan dengan ketentuan-ketentuan dalam keadaan yang sangat perlu
atau mendesak, dalam konidisi tersebut polisi dapat melakukan perbuatannya
sendiri tanpa adanya perintah dari atasan langsung.an itu pun memperhatikan
peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara
Republik Indonesia16
15 Sadjiono, Memahami Hukum Kepolisian, (Yogyakarta: I.P.T Laksbang Presindo, 2010),
h. 17
16Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi,… h. 186
46
BAB IV
PENEMPATAN KEPOLISIAN SEBAGAI PELAKSANA TUGAS
GUBERNUR JAWA BARAT OLEH MENTERI DALAM NEGERI
A. Pertimbangan Menteri Dalam Negeri Menempatkan Anggota Kepolisian
Komjen Pol Mochammad Irawan sebagai Pelaksana Tugas Gubernur
Jawa Barat
Pada tahun 2018, terdapat 171 daerah yang melangsungkan Pilkada secara
serentak. Beberapa Gubernur diantara daerah yang melaksanakan Pemilihan
Kepala Daerah diketahui telah habis masa jabatannya sebelum Pilkada
dilaksanakan, ada pula Kepala Daerah yang kembali mencalonkan diri. Oleh
karena itu, dibutuhkan Pelaksana tugas Gubernur untuk menggantikan peran
Gubernur defenitif. Dalam hal ini ada 17 Provinsi yang harus diisi Pj kepala
daerah dengan rincian, 4 Pelaksana tetap (Plt) Gubernur, 2 Pejabat sementara
(Pjs) Gubernur, dan 13 Pj.
Aturan mengenai pejabat sementara Kepala Daerah diatur dalam Peraturan
Menteri Dalam Negeri (Permendagri ) Nomor 74 Tahun 2016 Tentang Cuti di
Luar Tanggungan Negara bagi Gubenur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil
Bupati, Wali Kota dan Wakil Walikota. Menurut Permendagri ini, Gubernur
dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota,
yang mencalonkan kembali pada daerah yang sama, selama masa kampanye
harus memenuhi ketentuan, yaitu menjalankan cuti di luar tanggungan negara,
dan dilarang menggunakan fasilitas yang terkait jabatannya.
Pada proses penunjukan Pejabat Gubernur untuk mengisi kekosongan kursi
Gubernur, diatur pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang
Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2014, dalam pasal 201 menyebutkan “untuk
mengisi kekosongan jabatan Gubernur, diangkat pejabat Gubernur yang bersal
dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan Gubernur sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Dan yang menunjuk
kekosongan posisi Gubenur adalah atasan Gubernur seperti yang jelaskan oleh
47
Pasal 34 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 yang menyebutkan
“apabila Pejabat Pemerintahan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1)
berhalangan menjalankan tugasnya, maka atasan pejabat yang bersangkutan
dapat menunjuk pejabat Pemerintahan yang memenuhi persyatan untuk
bertindak sebagai pelaksana harian atau pelaksana tugas”. Atasan yang dimakud
dalam pasal ini ialah Menteri Dalam Negeri sesuai ketentuan Permendagri
Nomor 1 Tahun 2018 Pasal 5 Ayat (1), yaitu “Pelaksana tugas Gubernur
sebagaimana dalam Pasal 4 Ayat (2) ditunjuk oleh Menteri”.
Lazimnya Menteri Dalam Negeri menunjuk Pelaksana tugas Gubenur untuk
menggantikan peran Gubernur dari Sekertaris Daerah atau pejabat dari
Kementrian Dalam Negeri yang berpangkat Eselon 1, namun pada saat akan
melaksanakan pilkada tahun 2018 di Jawa Barat dihadapkan Potensi
Penggunaaan suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan yang menyebabkab Jawa
Barat dikategorikan sebagai daerah rawan. Dalam laporan penelitian Potensi
Penggunaaan suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan Dalam Pemilihan Kepala
Daerah Serentak Tahun 2018, Bawaslu memasukkan daerah Jawa Barat sebagai
daerah yang rawan akan digunakannya isu Sara menjelang Pilkada serentak.
Jawa Barat dikategorikan sebagai Provinsi kerawanan dengan tingkat sedang
yang dilaporkan oleh Bawaslu melalui Indeks Kerawanan Pemilu Pemilihan
Kepala Daerah 2018, dengan nilai Jawa Barat (2,52). Penilaian itu dinilai dari
lima aspek, yang meliputi: a) Profesionalitas penyelenggara pemilu, b) politik
uang, c) akses pengawasan, d) partisipasi masyarakat, e) kemanan daerah. 1
semua aspek tersebut di Provinsi Jawa Barat bernilai sedang
Untuk mengantisipasi keadaan itu agar tidak berkepanjangan, oleh
karenanya Menteri Dalam Negeri menempatkan anggota Kepolisian aktif
Komjen Pol Mochammad Irawan sebagai Pelaksana tugas Gubernur Jawa
Barat, dan tidak menunjuk pejabat di daerah yang bersangkutan atau pejabat
dari lingkungan Kementrian Dalam Negeri. Seperti yang dikatakan oleh Kepala
Pusat Penerangan (Kapuspen) Kemendagri, Arief M. Edie, penunjukan tersebut
1Laporan Bawaslu, Indeks Kerawanan Pemilu Pemilihan Kepala Daerah, h. 13
48
untuk menghindari konflik kepentingan terkait penyelenggaraan pilkada secara
serentak. Hal ini karena kekhawatiran adanya politisasi birokrasi sehingga tidak
menunjuk pejabat lokal untuk mengisi posisi Pj Gubernur diwilayah yang
bersangkutan2 Menteri Dalam Negeri menempatkan anggota Kepolisian aktif
dari adanya potensi ketidakstabilan dan gelagat kerawan juga dijelaskan pada
website Kesbagpol Kemendagri terdapat artikel yang berjudul Isu Sara di
Pilkada Serentak dan Potensi Munculnya Radikalisme. Artikel tersebut
menyatakan bahwa Provokasi isu berbau suku, agama, ras dan antar golongan
(SARA) dikhawatirkan akan dimainkan oleh kelompok radikal di tahun politik3
Adanya karawanan yang terjadi di daerah Jawa Barat tidak merubah status
hukum kebijakan Menteri Dalam Negeri dari illegal menjadi legal secara
hukum, karena seperti yang termaktub dalam Pasal 8 Ayat (2) Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan bahwasanya setiap
Pejabat atau Badan Pemerintahan dalam melaksanakan wewenangnya harus
tetap berdasarkan Undang-Undang dan Asas-asas Umum Pemerintahan yang
Baik. Oleh sebab itulah meskipun kerawanan dengan tingkat sedang yang
terjadi di Jawa Barat dijadikan dasar pertimbangan oleh Menteri Dalam Negeri
tetap tidak dibenarkan oleh Undang-Undang.
B. Dasar Hukum Menteri Dalam Negeri Menempatkan Anggota Kepolisian
Komjen Pol Mochammad Irawan sebagai Pelaksana tugas Gubernur Jawa
Barat dilihat dari Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah
Sebagai negara yang mengkokohkan dirinya sebagai negara hukum melalui
diamandemennya kontitusi negara, banyak prinsip-prinsip yang ikut melekat
bersamanya. Asas legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan
2Dewi Sendhikasari D, Wacana Pejabat Gubernur Dari Polri, Bidang Pemerintahan Dalam
Negeri Info singkat Kajian Singkat Terhadap Isi Actual dan Strategis,
Vol.X,No.03/Puslit/Fenuari/2018, h. 25
3Fransica Adelina, Legalitas Penunjukan Pejabat Polri Menjadi Pelaksana tugas
Gubernur Pada Masa Kampanye Pemilihan Kepala Daerah, Journal Legilasi Indonesia, Vol. 15
No. 01 – Maret 2018 : 11-20, h. 17
49
sebagai pijakan dasar dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan di setiap
negara yang menganut konsepsi negara hukum.4 Asas legalitas memiliki
pengertian bahwa kekuasaan untuk menjalankan atau menyelenggarakan
pemerintahannya dalam kehidupan bernegara khususnya kekuasaaan
pemerintahan haruslah didasarkan atas hukum, dalam artian setiap
penyelenggara pemerintahan yaitu kekuasaan eksekutif dalam menjalankan
kekuasaanya harus berdasarkan pada hukum atau undang-undang yang berlaku.
Di dalam ilmu perundang-undangan dikenal adanya Teori Hierarki. Teori
hierarki merupakan teori yang menyatakan bahwa sistem hukum disusun secara
berjenjang dan bertingkat-timgkat seperti anak tangga. Norma yang mengatur
perbuatan norma lain tersebut disebut Superior sedangkan norma yang
melakukan perbuatan disebut norma Inferior. Oleh sebab itu, perbuatan yang
dilakukan oleh norma yang lebih tinggi menjadi alasan validitas keseluruhan
tata hukum yang membentuk satu kesatuan, dan norma yang dibawahnya tidak
boleh melanggar norma yang diatasnya.5
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 merupakan salah satu dasar hukum
bagi badan dan/atau Pejabat pemerintahan, Masyarakat, dan pihak-pihak yang
terkait dengan Administrasi Pemerintahan dalam upaya meningkatkan kualitas
penyelenggaraan pemerintahan. Menteri Dalam Negeri salah satu
penyelenggara pemerintahan harus menjadikan undang-undang tersebut
sebagai dasar hukum dalam setiap berbuat atau pada saat akan mengambil
keputusan, dalam hal ini terkait mengambil keputusan menempatkan Pelaksana
tugas Gubernur untuk menggantikan peran Gubernur defenitif. Seperti yang
amanatkan oleh Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014, Pasal 6 ayat (2) huruf
a, menyebutkan “Pejabat pemerintahan melaksanakan kewenangan yang
dimiliki berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan Asas
Umum Pemerintahan yang Baik”
4Imanuddin Ilmar, Hukum Tata Pemerintahan,… h. 111
5Zaka Firma Aditya & M. Reza Winata, Rekontruksi Hierarki Peraturan Perundang-
undangan di Indonesia, Negara Hukum : Vol. 9 No. 1, Juni 2018, h. 80
50
Pada proses penempatan Pejabat Gubernur untuk mengisi kekosongan kursi
Gubernur, termaktub pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang
perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang penetapan
Perpu Nomor 1 Tahun 2014, dalam Pasal 201 Ayat 10 “untuk mengisi
kekosongan jabatan Gubernur, diangkat pejabat Gubernur yang berasal dari
jabatan Pimpinan Tinggi Madya sampai dengan pelantikan Gubernur sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Adapun yang dimaksud
jabatan Pimpinan Tinggi Madya terdapat dalam penjelasan Pasal 19 Ayat (1)
huruf b Undang-Undang Nomor Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara,
yaitu Pimpinan Madya itu mulai dari Sekretaris Jenderal Kementrian,
Sekretaris Utama, Sekretaris Jendral Kesekretariasan lembaga negara,
Sekretaris Jendral lembaga non-struktural, Direktur Jendral, Deputi, Inspektur
Jendral, Inspektur Utama, Kepala Badan, staf ahli Menteri, Kepala Sekretariat
Presiden, Sekretaris Militer Presiden, Kepala Sekretariat Dewan Pertimbangan
Presiden, Sekretaris Daerah Provinsi, dan jabatan lain yang setara.
Pada Tahun 2016 terbit Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 143/P/2016
tentang Pengesahan, Pemberhentian, dengan Hormat Gubernur dan Wakil
Gubernur Sulawesi Barat dan pengangkatan Pj. Gubernur Sulawesi Barat.
Melalui Kepres itu Brigjen. Pol. Carlo Brix Tewu ditempatkan sebagai
Pelaksana tugas Gubernur Sulawesi Barat. Penempatan itu disebabkab karena
daerah Sulawesi Barat dikategorikan sebagai daerah rawan sedang, hal ini
sesuai dengan laporan Indeks Kerawanan, yaitu kategori kerwanan sedang
terdapat pada Provinsi Sulawesi Barat, DKI Jakarta, Bangka Belitung, dan
Gorontalo. Tingkat kerawanan daerah ini masing-masing adalah Sulawesi Barat
(2,36), Jakarta (2,29), Bangka Belitung (2,29), dan Gorontalo (2,01)6
Dasar hukum yang dijadikan Menteri Dalam Negeri menempatkan anggota
Kepolisian Brigjen Pol. Carlo Brix Tewu adalah Permendagri Nomor 74 Tahun
2016 Tentang Cuti di Luar Tanggungan Negara Bagi Gubernur dan Wakil
Gubernur, Bupati, dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota Pasal
6Laporan Bawaslu Indeks Kerawanan Pemilu Pemilihan Kepala Daerah Tahun 2017, h.
13
51
4 Ayat (2), yang dalam Pasal tersebut menyatakan bahwa “pelaksana tugas
Gubernur sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) berasal dari pejabat madya dari
Kementrian Dalam Negeri atau Pemerintah Daerah”. Jika di analisis, peraturan
tersebut dengan kebijakan yang diambil oleh Menteri Dalam Negeri sangatlah
jauh dari apa yang diamanatkan oleh Permendagri tersebut, karena yang
dimaksud oleh Permendagri ini ialah pejabat yang mempunyai pangkat minimal
Pimpinan Tinggi Madya yang berasal dari Kementrian Dalama Negeri atau
Pejabat Provinsi dari daerah yang bersangkutan bukan dari lembaga Kepolisian.
Merasa payung hukum yang jadikan sebagai dasar mengambil keputusan
belum secara konkret mengaturnrnya, oleh sebab itu Menteri Dalam Negeri
merubahnya dari Permendagri Nomor 74 Tahun 2016 ke Permendagri Nomor
1 Tahun 2018. Salah satu yang diubah ialah Pasal 4 Ayat (2). Pasal sebelumnya
menyebutkan “pelaksana tugas Gubernur sebagaimana dimaksud pada Ayat (1)
berasal dari pejabat Pimpinan Tinggi Madya dari Kementrian Dalam Negeri
atau Pemerintah Daerah”, diubah ke “Pjs Gubernur sebagaimana yang
dimaksud pada Ayat (1) berasal dari pejabat Pimpinan Tinggi Madya/setingkat
di lingkup Pemerintahan Pusat atau Pemerintahan Daerah”, dengan adanya kata
“Pimpinan Tinggi Madya / setingkat di lingkup Pemerintahan Pusat atau
Pemerintahan Daerah, membuka peluang bagi Kepolisian atau pejabat yang
lainnya setingkat dengan Pimpinan Tinggi Madya dapat ditempatkan sebagai
Pelaksana tugas Gubernur.
Permendgari ini pun masih melanggar Pasal 201 Ayat (1) Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2016 mengamanatkan bahwa yang dapat menduduki pejabat
Gubernur, hanya orang yang telah menduduki jabatan Pimpinan Tinggi Madya
sampai dengan pelantikan Gubenur sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Ketentuan ini memerintahkan jabatan pimpinan tinggi
madya yang dapat menduduki pejabat gubernur tidak boleh diartikan setingkat.
Pimpinan tinggi madya yang berhak menjadi Pelaksana tugas Gubernur
telah diatur dalam jabatan Aparatur Sipil Negara, yang tercantum dalam Pasal
19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara, yang
mengatur bahwa jabatan tinggi terdiri atas jabatan Pimpinan Tinggi Utama,
52
Madya, dan Pratama. Dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2014 diatur bahwa jabatan Pimpinan Tinggi adalah sekolompok jabatan tinggi
pada instansi Pemerintahan, kemudian angka 8 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2014 mengamanatkan bahwa Pejabat Pimpinan Tinggi adalah pegawai
Aparatur Sipil Negara yang menduduki jabatan tinggi.
Berdasarkan peraturan perundang-undangan tersebut dapat disimpulkan
bahwa hanya orang yang berada dalam jabatan ASN saja yang dikategorikan
sebagai Pimpinan Tinggi Madya yang dapat menjadi Pelaksana tugas Gubernur,
bukan diartikan setingkat dengan jabatan Pimpinan Tinggi Madya. Oleh karena
itu, anggota Kepolisian Komjen Pol. Mochammad Irawan yang menjadi
Pelaksana tugas Gubernur bertentangan dengan yang diamanatkan Pasal 201
Ayat (10) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016.
C. Analisis Penempatan Anggota Kepolisian Aktif Komjen Pol Mochammad
Irawan sebagai Pelaksana tugas Gubernur Jawa Barat
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo dalam menjalankan tugasnya sebagai
pembantu Presiden dalam hal urusan pemerintahan di dalam negeri,
mendapatkan tantangan yang menguji kompetensinya sebagai menteri.
Tantangan ini terjadi ketika dilaksanakannya pemilihan kepala daerah secara
langsung, yang mengakibatkan kekosongan kursi Gubernur, Bupati atau Wali
Kota secara bersamaan dan ditambah dengan gelagat kerawan daerah tersebut
sehingga tidak memungkinkan untuk kekosongan kursi tersebut di ganti
perannya oleh sekertaris deaerahnya maupun pejabat dari lingkungan
kementriannta. Oleh karena itu, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo meminta
bantuan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk membantu
jalannya pemerintahan, dalam hal ini meminta anggota kepolisian aktif untuk
menjadi Peran pengganti Gubernur Jawa Barat atau Pelaksana tugas Gubenur
sampai terpilihnya Gubernur yang memimpin Jawa Barat selanjutnya.
Ditempatkannya anggota Kepolisian sebagai Pelaksana tugas Gubernur
Jawa Barat menggantikan peran Gubernur, memberikan kesempatan anggota
Kepolisian untuk memimpin daerah tersebut sampai beberapa bulan
53
mendatang. Karena hal itu, tugas dan kewenangan yang dimiliki Gubernur pun
beralih ke Pelaksana tugas Gubernur yang di tempati oleh anggota Kepolisian
aktif tersebut. Namun tugas dan kewenangan yang di terimanya tidak sama
persis dengan tugas dan fungsi Gubernur defenitif sebelumnya, ada yang tidak
boleh dilakukan oleh Pelaksana tugas Gubernur seperti Plt tidak diperbolehkan
mengeluarkan keputusan dan /atau tindakan yang bersidat strategis yang
dilakukan oleh status hukum, kepegawaian, dan penempatan anggaran.7
Seiring dengan pilar utama konsepsi negara hukum, yakni asas legalitas,
maka berdasarkan prinsip ini tersirat bahwa wewenang pemerintahan maupun
lembaga negara berasal dari peraturan perundang-undangan, yang berarti bahwa
sumber wewenang bagi pemerintahan maupun lembaga negara berasal dari
undang-undang tidak ada wewenang lain selain dari yang ditentukan oleh
undang-undang.8 Menurut Philips Hadjon kewenangan hanya dapat diperoleh
dengan dua cara, yaitu dengan atribusi atau dengan delegasi.9 Atribusi adalah
pemberian wewenang baru oleh suatu ketentuan dalam undang-undang, dan
delegasi adalah pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh badan atau
jabatan pemerintahan yang wewenangnya diperolehnya secara atributif kepada
badan/pejabat pemerintah lainnya.
Secara normatif, Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 30 Ayat (4) telah
menyebutkan secara jelas bahwa kedudukan Kepolisian Negara Republik
Indonesia dalam ketatanegaraan Indonesia adalah sebagai berikut, “Kepolisian
Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga kemanan dan
ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani serta
menegakkan hukum”. dan diperjelas oleh Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pasal 13 menyebutkan Tugas
Pokok Kepolisian :
7Artikel yang ditulis oleh sovia Hasanah dalam media Hukumonline.
8Aminudin Ilmar, Hukum Tata Pemerintahan,… h. 111
9Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to the
Indonesia Adminitasive law), (Yogyakarta: Gajah Mada Uneversity Press, cetakan kedua belas
2015), h. 125
54
a. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
b. menegakkan hukum; dan
c. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat.
Selanjutnya aturan mengenai tugas dan fungsi Gubernur terdapat dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Yang
termaktub dalam Pasal 65 Ayat (1), yang menyatakan bahwa, tugas Gubernur
adalah:
a. Memimpin pelaksanaan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan
Daerah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan
kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD
b. Memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat
c. Menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang RPJPD dan
rancangan Perda tentang RPJMD kepada DPRD untuk dibahas bersama
DPRD, serta menyusun dan menetapkan RKPD
d. Menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD, rancangan
Perda tentang perubahan APBD, dan rancangan Perda tentang
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD untuk dibahas
bersama
e. Mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk
kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan
f. Mengusulkan pengangkatan wakil kepala daerah
g. Melaksanakan tugas lain sesuia dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan
Ketentuan Undang-Undang tersebut sudah sangat jelas membedakan bahwa
lembaga Kepolisian sebagai alat negara di bidang keamanan dan Gubernur
sebagai penyelenggara pemerintahan. Demikian dalam hal tugas dan
wewenangnya tidak ada kesamaan antara kedua lembaga tersebut, masing-
masing lembaga mempunyai tugas dan kewenangan, kepolisian mempunyai
tugas yang berakaitan dengan keamanan negara dan Gubernur memiliki tugas
sebagai alat penyelenggara pemerintahan. Adapun frasa kata “bertugas
melindungi, mengayomi, melayani” dalam tugas pokok kepolisian diartikan
dalam rangka melaksanakan fungsi lembaga Kepolisian negara sebagai alat
negara yaitu kekuasaan menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, bukan
sebagai bentuk menjalankan pemerintah. Hal ini karena yang menjalankan
55
pemerintahan menurut UUD 1945 adalah lembaga pemerintah, bukan lembaga
kepolisian.10
Ditempatkannya Kepolisian sebagai Pelaksana tugas Gubernur Jawa Barat
telah menambah kewenangan yang baru kepada anggota Kepolisian. Dengan
demikian kewenangan baru yang diberikan oleh Menteri Dalam Negeri kepada
anggota Kepolisian aktif untuk menggantikan posisi Gubernur Jawa Barat
sudah melanggar kewenangan yang telah ditentukan oleh Undang-Undang, dan
dapat disimpulkan pula kewenangan tersebut sebagai kewenangan Kepolisian
diluar tugas yang dimiliki kepolisian secara normatif, karena tidak ada satupun
undang-undang yang memberikan kewenangan kepada kepolisian untuk
mengurusi pemerintahan.
Ketentuan mengenai anggota Kepolisian menduduki jabatan di luar tugas
Kepolisian termaktub dalam Pasal 28 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, menyatakan bahwa
“anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di
luar Kepolisian setelah mengundur diri atau pensiun dari dinas Kepolisian”.
Merujuk pasal ini, setiap anggota-anggoita Kepolisian yang masih aktif dan
ingin menduduki jabatan di luar kepolisian, maka terlebih dahulu harus
mengundurkan diri dari dinas Kepolisian atau pensiun dari Kepolisian, karena
anggota Kepolisian aktif adalah simbol dari intitusi tersbut.
Dalam permasalahan ini yang menduduki jabatan Pelaksana tugas Gubernur
Jawa Barat adalah anggota Kepolisian yang masih aktif sebagai anggota
Kepolisian, tentunya penunjukan tersebut telah melanggar Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia Pasal 28 Ayat
(2). Terlenggarnya Undang-Undang tersebut, terlanggarnya juga asas kepastian
hukum, yang dimana asas tersebut merupakan salah satu asas yang terpenting
dalam negara yang menyatakan negaranya sebagai penganut konsep negara
hukum. Seperti yang dikatakan oleh azhari dalam bukunya sejauh manapun
10Artikel yang ditulis oleh Sodikin, Kedudukan Kepolisian Negara RI Dalam Sistem
Ketatanegaraan Indonesia
56
hukum tetap lebih supreme daripada yang lain. Parlemen sendiri harus tunduk
pada hukum, apalagi lembaga negara.11 Ini memiliki artian bahwa lembaga-
lembaga negara maupun legislatif yang membuat undang-undnag dalam
melaksanakan tugasnya harus menempatkan hukum diatas segala, dengan
begitu asas kepastian hukum yang merupakan bagian dari konsep negara hukum
akan tetap terjaga.
Selain itu, di dalam Alqur’an dan Hadits pun menjelaskan bahwasanya
dalam pengisian jabatan harus diisi oleh seorang yang sesuai dengan
keahliannya atau sesuai dengan kewenangannya (bidangnya). Demikian dalam
Surat An Nisaa’ Ayat 58, Allah berfirman:
Artinya “sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan
hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya
Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya
Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat”.
Dijelaskan juga dalam Hadits riwayat al-Bukhari yang dikutip oleh Sri
Harmonika dalam jurnalnya.
11Azhary, Negara Hukum Indonesia Analisis Yuridis Normatif tentang Unsur-Unsurnya,
(Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1995), h. 109
57
“Imam al-Bukhari menyatakan) Muhammad bin Sinan menyampaikan
(riwayat) kepada kami, Qulaih bin Sulaiman telah menyampaikan (riwayat)
kepada kami, (riwayat itu) dari Atha’ bersabda: apabila suatu amanah disia-
siakan, maka tunggulah saat kehancurannya. (Abu Hurairah) bertanya:
Bagaimana meletakkan amanah itu ya Rasullah? Beliau menjawab : Apabila
suatu perkara diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah
saat kehancurannya”.12
Kekhawatiran yang akan terjadi ketika anggota Kepolisian menjadi
Pelaksana tugas Gubernur adalah Kepolisian tidak akan maksimal dalam
menjalankan tugasnya sebagai Pelaksana tugas Gubernur, karena memang
Kepolisian dituntut untuk bekerja secara prefosional dibidangnya yaitu
keamanan negara bukan profesional di bidang pemerintahan. Bukan hanya itu
saja, kepolisian juga tidak mengerti dengan keadaan yang terjadi di daerah yang
bersangkutan, sehingga yang akan terjadi lebih-lebih menghambat roda
pemerintahan daerah tersebut. Oleh karenanya, lebih baik jabatan Pelaksana
tugas tetap di tempati oleh Sekertaris Daerah atau Pejabat dari Kementrian
Dalam Negeri, selain sudah mengerti dalam bidang pemerintahan dan mengerti
kondisi daerah yang akan dimpinnya, juga tidak melanggar peraturan
perundang-undangan karena tugas Kementrian Dalam Negeri dan Gubernur
masih berkaitan.
12 Sri Harmonika, Hadits-Hadits tentang Manajemen Sumber Daya Manusia (SDM),
Jurnal At-Tadair, Prodi MPI STAI DArul Kamal Volume 1 Nomor 1 Tahun 2017, h. 6
58
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan bab-bab terdahulu dan untuk mengakhiri
pembahasan dalam skripsi ini, peneliti memberikan kesimpulan sebagai
berikut
1. Provinsi Jawa Barat pada Pemilihan Kepala Daerah Serentak tahun 2018 di
kategorikan sebagai daerah rawan yang akan digunakannya Isu Sara
sebagaimana yang dilaporkan oleh Bawaslu dalam Indeks Kerawanan
Pemilukada, oleh karena itu Menteri Dalam Negeri tidak menempatkan
pejabat dari lingkungan Kementrian Dalam Negeri atau dari Pejabat Daerah
Jawa Barat, dan lebih memilih menempatkan Anggota Kepolisian Aktif
Komjen Pol Mochammad Irawan sebagai Pelaksana tugas Gubernur Jawa
Barat. Namun pertimbangan Menteri Dalam Negeri tersebut tidak merubah
status hukum penempatan Anggota Kepolisian Komjen Pol Mochammad
Irawan dari ilegal menjadi legal, karena seperti yang termaktub dalam Pasal
8 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Administrasi
Pemerintahan, Pejabat atau Badan Negara yang melaksanakan
wewenangnya wajib berdasarkan peraturan perundang-undangan dan
Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik
2. Adapun Dasar Hukum yang dijadikan Menteri Dalam Negeri
menempatkan anggota Kepolisian aktif Komjen Pol Mochammad Irawan
sebagai Pelaksana tugas Gubernur Jawa Barat ialah Pasal 4 Ayat (2)
Permendagri Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Cuti diluar Tanggungan
Negara, namun dasar hukum yang dijadikan Menteri Dalam Negeri
tersebut telah melanggar yang diamanatkan Pasal 201 Ayat (10) Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Kepala Daerah.
3. Kedudukan anggota Kepolisian aktif Komjen Pol Mochammad Irawan
sebagai Pelaksana tugas Gubernur Jawa Barat tidak dibenarkan, dan itu
melanggar Tugas dan Kewenangan Kepolisian yang termaktub dalam
Undang-Undang Dasar dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002.
59
Dengan terlanggarnya tersebut Komjen Pol Mochammad Irawan
menduduki jabatan diluar tugas Kepolisian, yang dimana anggota
Kepolisian yang menduduki jabatan diluar tugas Kepolisian harus
mengundurkan diri dari dinas Kepolisian atau anggota Kepolisian yang
sudah pensiun seperti yang diamanatkan oleh Pasal 28 Ayat (2) Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2002. Karena itu anggota Kepolisian Aktif
Komjen Pol Mochammad Irawan sebagai Pelaksana tugas Gubernur Jawa
Barat menyalahi peraturan perundang-undangan yaitu Pasal 28 Ayat (2)
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002.
B. Rekomendasi
Dari hasil penelitian, maka penulis memberikan rekomendasi sebagai berikut:
1. Dasar pertimbangan Menteri Dalam Negeri menempatkan anggota
Kepolisian aktif Komjen Pol Mochammad Irawan sebagai Pelaksana tugas
Gubernur Jawa Barat karena daerah Jawa Barat dikategorikan sebagai
daerah yang rawan, seharusnya penempatan Pejabat Kepolisian sebagai
Pelaksana tugas Gubernur dirumuskan dalam bentuk Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Pemilihan Kepala Daerah,
dengan pertimbangan adanya kegentingan yang memaksa sehingga dalam
keadaan yang tidak normal seperti konflik sosial pada saat
penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah Menteri Dalam Negeri dapat
Menempatkan anggota Kepolisian sebagai Pelaksana tugas Gubernur.
2. Menteri Dalam Negeri sebaiknya merubah kembali Permendagri Nomor 1
Tahun 2018 Tentang Cuti di Luar Tanggungan Negara, karena
Permendagri tersebut sudah melanggar yang diamanatkan Pasal 201 Ayat
(10) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016.
3. Penempatan Pelaksana tugas Gubernur sebaiknya dikembalikan kepada
pejabat daerah Jawa Barat atau pejabat di Kementrian Dalam Negeri
ataupun Kementrian lainnya. Hal ini mengingat pejabat di Pemerintah
Daerah dan pejabat Kementrian sama-sama memiliki kewenangan di
bidang pemerintahan, sehingga jika dari pejabat daerah atau Kementrian
60
yang ditunjuk tidak melanggar peraturan perundangan-undangan. Namun,
jika Menteri Dalam Negeri masih membutuhkan Kepolian dalam
membantu jalannya roda pemerintahan, sebaiknya Menteri Dalam Negeri
menempatkan kepolisian sesuai dengan tugas dan kewenangan yang
dimilikinya, sehingga tidak akan melanggar peraturan perundang-
undangan yang ada.
61
Daftar Pustaka
1. Buku
Abdullah Rozali, Pelaksaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah
Secara Langsung, (Jakarta: Raja Grafindo Persada), 2005.
Anggriani, Jum, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Graha Ilmu, 2012
Ahmadi, Fahmi Muhamad dan Jaenal Aripin. Metode Penelitian Hukum, Cet
Pertama, Jakarta: Lembaga Peneltian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2010.
Asshiddiqie, Jimly, Pengantar ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada) 2009.
, Perkembangan & Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi, Jakarta: Sinar Grafika, 2012
Azhary, Negara Hukum Indonesia Analisis Yuridis Normatif Tentang Unsur-
Unsurnya, Jakarta: UI PRESS, 1995
Chrisnandy, Yuddy, Reformasi TNI Prespektif Baru Hubungan Sipil-Militer di
Indonesia, Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2005.
Dapartemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga,
(Jakarta: Balai Pustaka, 2007
Fadjar, A. Mukhtie, Tipe Negara Hukum, Jakarta: Bayumedia Publishing, 2005
Hadjon Philipus M., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to the
Indonesia Adminitasive law), Yogyakarta: Gajah Mada Uneversity Press,
2015
Huda, Ni’matul, Hukum Tata Negara Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, 2010
Hardjanto, R. Sigid Tri, Ilmu Kepolisian, (Jakarta: Perguruan Tinggi Ilmu
Kepolisian Press, Cetakan kedua 2016
Hendrowinoto, Nurinwa Ki S. & Lain-lainnya, Polri Mengisi Publik, (Jakarta:
Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, 2010
Ilmar, Aminudin, Hukum Tata Pemerintahan, Jakarta: Prenadamedia Group, 2014.
Indra, Mexsasai, Dinamika Hukum Tata Negara Indonesia, Bandung: PT. Refika
Aditama, 2011
Kansil, C.S.T & Christine S.T Kansil, Pemerintahan Daerah Di Indonesia Hukum
Administrasi Daerah, Jakarta: Sinar Grafika, 2008
Maggalatung, A. Salman, & Nur Rohim Yunus, Pokok-Pokok Teori Ilmu Negara
Aktualisasi Dalam Teori Negara Indonesia, Bandung: 2013
62
Mahfud, Moh. MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen
Konstitusi, Jakarta: Rajawali Pers, 2011
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum Cet. 4, Jakarta: Kencana, 2010.
Palguna, I Dewa Gede Pengaduan Konstitusional (Constitusional Complaint)
Upaya Hukum Terhadap Pelanggaran Hak-hak Konstitusional Warga
Negara, Jakarta: Sinar Grafika, 2013
R, Ridwan H, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Raja Grafindo Persada) 2008.
S, Salim H & Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian
Tesis dan Disertasi, Jakarta: Raja Grafindo Persada 2014
Sadjiono, Memahami Hukum Kepolisian, Yogyakarta: I.P.T Laksbang Presindo,
2010
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, 2010.
Sibrani, Santy M. & Lain-lainnya, Antara Kekuasaan dan Profesionalisme Menuju
Kemandirian Polri, (Jakarta, PT. Dharmapena Multimedia, 2001), h. 23
Tambunan, A.S.S. , Dwifungsi Abri Perkembangan dan Peranannya dalam
Kehidupan Politik di Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Oress, cetakan kedelapan 1995)
Tamrin, Abu & Nur Habibi Ihya, Hukum Tata Negara, Jakarta: Lembaga Penelitian
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010
2. Undang-Undang
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan
Walikota.
Peraturan Kementrian Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2018
63
3. Jurnal
Aditya, Zaka Firma & M. Reza Winata, Rekontruksi Hierarki Peraturan
Perundang-undangan di Indonesia, Negara Hukum : Vol. 9 No. 1, Juni
2018
Adelina, Fransica, Legalitas Penunjukan Pejabat Polri Menjadi Pelaksana tugas
Gubernur Pada Masa Kampanye Pemilihan Kepala Daerah, Journal
Legilasi Indonesia, Vol. 15 No. 01 – Maret 2018 : 11-20
Sendhikasari, Dewi D, Wacana Pejabat Gubernur Dari Polri, Bidang
Pemerintahan Dalam Negeri Info singkat Kajian Singkat Terhadap Isi
Actual dan Strategis, Vol.X,No.03/Puslit/Febuari/2018