penentuan status kebahasaan isolek- isolek di … awal.pdfkepada yang terhormat ketua umum yapertif:...
TRANSCRIPT
DISERTASI
PENENTUAN STATUS KEBAHASAAN ISOLEK-
ISOLEK DI KABUPATEN NAGEKEO: KAJIAN
DIALEK GEOGRAFI
BUKU I
PETRUS PITA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2016
ii
DISERTASI
PENENTUAN STATUS KEBAHASAAN ISOLEK-
ISOLEK DI KABUPATEN NAGEKEO: KAJIAN
DIALEK GEOGRAFI
BUKU I
PETRUS PITA
NIM:0790171004
PROGRAM DOKTOR
PROGRAM STUDI LINGUISTIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2016
iii
PENENTUAN STATUS KEBAHASAAN ISOLEK-ISOLEK
DI KABUPATEN NAGEKEO: KAJIAN DIALEK GEOGRAFI
BUKU I
Disertasi untuk Memperoleh Gelar Doktor
Pada Program Doktor, Program Studi Linguistik,
Program Pascasarjana Universitas Udayana
PETRUS PITA
NIM: 0790171004
PROGRAM DOKTOR
PROGRAM STUDI LINGUISTIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2016
iv
v
Panitia Ujian Disertasi
Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana
Nomor: 4083/UN.14.4/HK/2015
Tanggal: 1 Desember 2015
Ketua : Prof . Dr. Drs. Ida Bagus Putra Yadnya, M.A.
Anggota :
1. Prof. Dr. Aron Meko Mbete (Promotor )
2. Prof. Dr. Multamia R.M.T. Lauder, Mse,D.E.A (Kopromotor I)
3. Dr. Ni Made Dhanawaty, M.S (Kopromotor II)
4. Prof. Dr. Ketut Artawa, M. A. Ph.D
5. Prof. Dr. I Wayan Pastika, M.S.
6. Prof. Dr. Made Suastra, Ph. D
7. Dr. A.A. Putu Putra, M. Hum.
vi
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Petrus Pita
NIM : 0790171004
Jurusan/Program Studi: Linguistik
Fakultas/Program : Program Doktor Pascasarjana Universitas Udayana
Menyatakan bahwa karya ilmiah disertasi ini bebas plagiat. Apabila
di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa dalam disertasi ini
terkandung ciri-ciri plagiat dan bentuk peniruan lain yang dianggap
melanggar peraturan, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan
Peraturan Mendiknas RI No. 17 Tahun 2010 dan peraturan perundang-
undangan yang yang berlaku.
Denpasar, Maret 2016
Petrus Pita
vii
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan yang Mahakuasa karena atas
Rahmat dan kasih-Nya, disertasi yang berjudul “Penentuan Status Kebahasaan
Isolek-Isolek di Kabupaten Nagekeo: Kajian Dialektologi Geografi” dapat
diselesaikan. Penyusunan disertasi ini dilakukan untuk memenuhi salah satu
syarat untuk memperoleh gelar doktor dalam bidang program studi Linguistik,
Program Pascasarjana Universitas Udayana. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa disertasi ini dapat diselesaikan dalam
bentuk dan isinya seperti ini karena adanya bimbingan, bantuan, dan kerja sama
dari semua pihak, terutama promotor dan kopromotor sejak penyusunan proposal
penelitian hingga ujian terbuka ini. Terhadap pihak-pihak yang telah memberikan
bimbingan dan bantuan baik secara langsung maupun tidak langsung hingga
terwujudnya naskah disertasi ini, pada kesempatan ini penulis mengucapkan
terima kasih dan penghargaan yang setulus-tulusnya:
Kepada yang terhormat Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. Ketut
Suastika, Sp. PD-KEMD atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada
penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Doktor di
Universitas Udayana.
Kepada yang terhormat Direktur Pascasarjana Universitas Udayana Prof.
Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K), Asisten Direktur I Prof. Dr. Made Budiarsa;
Asisten Direktur II Prof. Made Sudiana Mahendra, Ph. D. atas kesempatan yang
diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Doktor pada
Program Studi Linguistik Program Pascasarjana Universitas Udayana.
Kepada yang terhormat Prof. Dr. Aron Meko Mbete, selaku promotor yang
telah membimbing, mengarahkan, membaca dan mencermati naskah disertasi ini
dengan penuh kesabaran dan kerendahan hati walaupun di tengah kesibukan
tugas, namun tetap menyediakakn waktu bagi penulis untuk berkonsultasi serta
dukungan doa dan kunjungan ke Rumah Sakit Sanglah Denpasar serta kunjungan
ke rumah di Ende untuk menguatkan kembali niat dan motivasi agar penulis tetap
menyelesaikan disertasi ini setelah menderita sakit stroke sejak 16 Oktober 2011.
Kepada yang terhormat Prof. Dr. Multamia R.M.T. Lauder, S.S, Mse,
D.E.A, dari Universitas Indonesia selaku Kopromotor I yang telah mencermati isi
naskah disertasi ini serta membimbing dan mengarahkan penulis tahap demi tahap
walaupun di tengah kesibukan tugas dan kadang-kadang dalam kondisi kesehatan
yang kurang prima, serta dukungan dan doa untuk menguatkan kembali niat dan
motivasi agar penulis tetap menyelesaikan disertasi ini setelah menderita sakit
stroke.
Kepada yang terhormat Dr. Ni Made Dhanawaty, M.S, selaku Kopromotor
II yang telah dengan penuh semangat kekeluargaan mencermati, mengarahkan,
viii
dan menguatkan motivasi penulis untuk tetap tekun menyelesaikan disertasi ini
walaupun banyak tantangan dan kesulitan yang menghadang, terutama setelah
menderita sakit stroke.
Kepada yang terhormat almarhum Prof. Dr. I Wayan Bawa yang telah
menanamkan motivasi dan pemahaman dasar tentang studi dialektologi atau
geografi dialek sejak penulis belajar di S-1 dan S-2 Universitas Udayana ini.
Kepada yang terhormat Prof. Dr. Ketut Artawa, M.A, Ph.D., mantan Ketua
Program Studi Pendidikan Doktor Linguistik Program Pascasarjana Universitas
Udayana yang memungkinkan penulis untuk mendapatkan dana hibah penelitian
sehingga sebagian dari kesulitan dan masalah dana penelitian teratasi dengan baik
dan penelitian dapat dijalankan secara maksimal hingga dapat merampungkan
naskah disertasi ini untuk siap ujian terbuka.
Kepada yang terhormat Prof. Dr. I Wayan Pastika, M.S, yang dengan tulus
dan lapang dada serta penuh persahabatan mencermati dan mengarahkan
perbaikan naskah disertasi yang berkenaan dengan fonologi generatif, sehingga
penulis semakin memahami konsep-konsep fonologi generatif yang relevan
dengan disertasi ini. Penulis juga hendak menyampaikan ucapan terima kasih tak
terhingga atas kebaikan dan persahabatan penuh semangat kekeluargaan melalui
kontak pribadi dengan penulis setelah kembali ke Ende untuk usaha penyembuhan
dan pemulihan kembali dari sakit; serta dukungan dan doa untuk menguatkan
kembali niat dan motivasi penulis agar tetap menyelesaikan disertasi ini setelah
menderita sakit stroke.
Kepada yang terhormat Dr. A.A. Putra, M.Hum. yang telah pula merelakan
waktu untuk berdiskusi baik langsung berhadapan muka maupun melalui kontak
pribadi dengan telepon genggam dan bahkan rela mengunjungi penulis di rumah
kediaman penulis di Ende dalam suatu perjalanan di Flores.
Kepada yang terhormat Bapak Drs. Thomas Geba, M. Si, mantan Rektor
Universitas Flores yang telah mendukung dan merekomendasikan penulis untuk
melanjutkan pendidikan ke jenjang S-3 linguistik ini.
Kepada yang terhormat Bapak/Ibu Staf Pegawai Tata Usaha pada Program
Studi Linguistik Program Pascasarjana Universitas Udayana yang senantiasa
melayani dengan penuh kasih dan semangat persaudaraan sejak masa perkuliahan,
masa sakit stroke dengan mengunjungi penulis baik di rumah sakit maupun di
rumah kediaman.
Kepada yang terhormat Ketua Umum Yapertif:
1) Bapak Drs. H.J. Gadidjou (alm) yang telah memberikan izin kepada penulis
untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang S-3 linguistik ini serta membantu
meringankan beban biaya kesehatan ketika penulis pertama kali terserang
stroke.
ix
2) Bapak Dr. Laurentius Gadidjou yang telah memberikan motivasi dan dukungan
moril serta bantuan yang dapat meringankan beban keuangan sehingga penulis
dapat menyelesaikan disertasi S-3 linguistik ini.
Kepada yang terhormat Rektor Universitas Flores Bapak Prof. Dr.
Stephanus Djawanai yang senantiasa mendukung dan memotivasi penulis untuk
menyelesaikan disertasi S-3 linguistik ini.
Kepada yang terkasih Bapak Matheus Maya (mantan Wali Kota Dili) dan
keluarga di Denpasar yang dengan penuh kebaikan dan cinta membantu usaha
penyembuhan dan pemullihan kembali dari sakit stroke yang dialami penulis
selama berobat di Denpasar Bali.
Kepada yang terkasih Kakak Benediktus Djandon sekeluarga di Denpasar
dan adik Viktor Djandon sekeluarga di Wangka - Riung yang dengan penuh
kebaikan dan cinta membantu penulis selama masa perkuliahan serta usaha
penyembuhan dan pemullihan kembali dari sakit stroke yang dialami sejak 16
Oktober 2011.
Kepada yang terkasih Adik Udin Syafrudin dan Adik Sisilia da Cunha
sekeluarga di Denpasar yang dengan penuh kebaikan dan cinta membantu penulis
selama masa usaha penyembuhan dan pemulihan kembali dari sakit stroke yang
dialami penulis.
Kepada yang terkasih ayahanda Aloysius Meo (Almarhum) dan Mamanda
Maria Tipa yang telah mengorbankan segala kesederhanaan hidup demi
pendidikan anaknya hingga penulis memperoleh pendidikan dan pekerjaan seperti
sekarang ini.
Kepada yang tercinta istri Dra. Maria Gorety Djandon, M. Si. yang setia
mendampingi penulis sejak masa perkuliahan, tahapan penelitian dan pengolahan
data, mengerjakan ketikan naskah pada setiap tahapan perbaikan, terutama cinta
dan pengorbanan lahir batin untuk merawat penulis selama menderita sakit stroke
sejak tanggal 16 oktober 2011.
Kepada yang tersayang anak-anak:
1) Paulus Ludgerius Rusman Pita, S.TP (Alumni Fakultas Teknologi Pertanian
Universitas Udayana Denpasar – Bali).
2) Yulita Fulgensia Rusman Pita, mahasiwa semester VIII Pendidikan Bahasa
Inggris pada FKIP Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja-Bali yang
pernah ditinggalkan di Ende sejak kelas II SMP hingga tamat SMA. Penulis
sungguh menyadari keikhlasan keduanya yang telah merelakan waktu untuk
mencintai dan mengawasi mereka di masa kecil dan masa remaja karena
harus mencurahkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk menyelesaikan
pendidikan di jenjang S-3 linguistik ini.
Akhirnya, penulis mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada
semua kakak adik sanak saudara turunan Pake Rugha dan Meo Sato di Rendu dan
x
di luar Rendu yang senantiasa mendukung penulis, baik di masa kuliah maupun di
masa pemulihan kembali dari sakit stroke. Ucapan terima kasih yang sama juga
penulis tujukan bagi semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu
dalam disertasi ini, namun semuanya telah berjasa membantu penulis sejak awal
perkulihan hingga ujian terbuka atau ujian promosi doktor ini.
Semoga amal bakti dan keikhlasan hati semua pihak dibalas dengan berkat
dan rahmat berlimpah dari Tuhan Sang Penyelenggara kehidupan dan Allah
Pengasih Yang Mahacinta.
Denpasar, 2016
Penulis
xi
ABSTRAK
Petrus Pita. Penentuan Status Kebahasaan Isolek-isolek di Kabupaten Nagekeo:
Kajian Dialek Geografi
Disertasi Doktor. Denpasar: Universitas Udayana. 2016.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) perbedaan bentuk isolek
berdasarkan paradigm leksikal di beberapa tempat di Kabupaten Nagekeo, (2)
pengelompokan isolek di Kabupaten Nagekeo ke dalam dialek and subdialek, dan
(3) perubahan-perubahan fonem secara fonology di kabupaten Nagekeo.
Penelitian ini adalah jenis penelitian descriptif. Melalui metode dialektometri
ditemukan 3 bahasa di Kabupaten Nagekeo, yaitu:
I. Bahasa Mbay/Riung dengan 3 dialek, yaitu (1) Dialek Lengkosambi, (2)
Dialek Nggolonio, (3) Dialek Nggolombay.
II. Bahasa Nagekeo dengan 22 dialek, yaitu:
1) Nage Tengah mempunyai satu dialek yaitu dialek Boawae dan 3 subdialek
yaitu Subdialek Rawe, Subdialek Rowa, dan Subdialek Kelewae.
2) Nage Tengah Utara mempunyai enam dialek, yaitu: (1) Dialek Munde, (2)
Dialek Dhawe, (3) Dialek Lape – Ia (Lape – Nataia), (4) Dialek Lambo,
(5) Dialek Dhereisa (6) Dialek Rendu.
3) Nage Tengah Selatan mempunyai empat dialek yaitu: (1) Dialek Ndora,
(2) Dialek Jaduro (Raja, Wudu, Wolowea, Gero), (3) Dialek Kelimado, (4)
Dialek Kotakeo dengan Beda Wicara Ladolima.
4) Nage Utara Timur mempunyai dua dialek, yaitu: (1) Dialek Wolowae atau
Dialek Toto dengan Subdialek Utetoto, (2) Dialek Oja dengan Subdialek
Watumite dan Subdialek Tendarea.
5) Perbatasan antara Kabupaten Nagekeo dan Kabupaten Ngada mempunyai
3 dialek, yaitu: (1) Dialek Sara–Taka (Sarasedu, Takatunga), (2) Dialek
Soa (Desa Menge-ruda), (3) Dialek Poma (Desa Denatana).
6) Keo Barat mempunyai tiga dialek, yaitu: (1) Dialek Lejo, (2) Dialek
Aewoe, (3) Dialek Kotagana dan subdialek Wolokisa.
7) Keo Tengah mempunyai dua dialek, yaitu: (1) Dialek Kotowuji dengan
Subdialek Mbaenuari, (2) Dialek Romba.
8) Keo Timur mempunyai satu dialek yaitu Dialek Riti–Woko (Riti-Woko-
dekororo) dan satu beda wicara yaitu dialek Riti – Woko.
Dalam penelitian ini terdapat 6 konsonan dalam bahasa Nagekeo yang
mengalami variasi teratur sebagai ciri pembeda dialek secara fonologis,
yaitu: (1) Variasi konsonan /b/≈ /bh,
mb/; (2) Variasi Konsonan /d/ ≈
nd/;
(3) Variasi Konsonan /g/ ≈ [g, ŋg]; (4) Variasi Konsonan alveolar
/z/ ≈ /r,
R, s, y/; (5) Variasi Konsonan tril
/r/ ≈ [r,R, l, h, lh
,
y, ø]; (6) Variasi
Konsonan lateral /l/ ≈ [l, d, ld,
rz, ø].
III. Bahasa Ende dengan 2 dialek, yaitu (1) Dialek Maukaro; (2) Dialek
Nangapanda.
Kata Kunci: Linguistik, Isolek, Dialek, Geografi
xii
ABSTRACT
Petrus Pita. The Linguistic Status of Isolects in Nagekeo Regency: A Dialect
Geography Analysis. Doctoral Dissertation. Denpasar. Graduate School. Udayana State University, 2016.
This study aims to investigate (1) the forms of isolect differences based on
lexical paradigm in various research locations in Nagekeo regency, (2) the
grouping of these isolects in Nagekeo regency into dialects and sub dialects, and
(3) the forms of phonemic changes phonologically of isolects in Nagekeo regency.
This research was Descriptive Analysis Research. The data were collected
through dialect metric method and comprised from three parts dialectology of
Nagekeo language.
I. Mbay language/Riung. It consists of three dialects: a). Dialect Lengkosambi,
b). Dialect Nggolonio, and c). Dialect Nggolombay.
II. Nagekeo Language. It covers 22 dialects, 5 sub-dialects, and 3 contrast in
speech, as bellow:
1) The midle Nage has one dialect and three sub-dialects, namely Boawae
dialect, Rawe sub-dialect, Rowa sub dialect, and Kelewae sub dialect.
2) The north-midle Nage has 6 dialects: Munde dialect, Dhawe dialect, Lape
dialect, Lambo dialect, Dhereisa dialect, and Rendu dialect.
3) The south –midle has 4 dialects and one contrast in speech such as Ndora
dialect, Jaduro dialect (Raja,Wudu, Wolowea, Gero), Kelimado dialect
Kotakeo dialect and Ladolima contrast in speech.
4) The north-east consists of two dialects and one contrast in speech, that is
Wolowae dialect or Toto dialect with Utetoto sub-dialect, Oja dialect with
Watumite subdialect and Tendarea subdialect.
5) The boundary region that located beatween Nageko and Ngada district has
three dialects that is Sara -Taka Dialect (Sarasedu,Takatunga); Soa Dialect
(Mengeruda), Poma Dialect (Denatana)
6) The west Keo has three dialects and one sub dialect that is Lejo dialect
with Wolokisa subdialect; Aewoe dialect; and Kotagana dialect.
7) The midle Keo has two dialect and one subdialect, namely Kotowuji
dialect with Mbaenuamuri subdialect; Romba dialect
8) The east Keo has one dialect and one contrast in speech like Riti dialect-
Woko (Riti- Wokodekororo) with contrast in speech to Riti dialect.
From it, the reseacher found the six consonants that occur regular variety
as distinctive features of dialect in term fonological point of view. They are:
(1) consonant variation is occuring on fonem /b/ ≈ [b, bh,
mb, (2) Consonant
variations on /d/ ≈ [d, nd], (3) Alveolar variation consonant /z/ ≈ [z, r, R, s,
y], (4) Various trill consonant /r/ ≈ [r,R, l, lh, h,y, Ø], and (6). Various
lateral consonant /l/ ≈ [l, d, d,
rz, ø].
III. Ende Language. It consists of two dialects; (1) Maukaro Dialect and
dialect; (2) Nangapanda Dialect.
Key Words: Linguistic, Isolects, Dialect, Geography
xiii
RINGKASAN
PENENTUAN STATUS KEBAHASAAN ISOLEK-ISOLEK
DI KABUPATEN NAGEKEO: KAJIAN DIALEK GEOGRAFI
Oleh
Petrus Pita
1. Pendahuluan
1. 1 Latar Belakang
Penelitian dialek geografi yang memfokuskan kajian tentang
kebervariasian isolek di Kabupaten Nagekeo dipandang penting dan sudah
saatnya ditangani secara ilmiah dan objektif, mengingat:
1) Isolek-isolek yang digunakan oleh masyarakat di Kabupaten Nagekeo
tergolong sebagai isolek dari bahasa daerah kecil yang hingga sekarang
kurang mendapat perhatian dalam upaya pendokumentasian berupa hasil
penelitian ilmiah, baik secara mikrolinguistik maupun secara
makrolinguistik.
2) Generasi muda dan generasi terpelajar cenderung menggunakan bahasa
Indonesia daripada bahasa-bahasa lokal sebagai bahasa ibu atau bahasa
pertama sekalipun dalam ranah-ranah keluarga dan kebudayaan lokal.
3) Bila dihubungkan dengan wawasan Nusantara dan ketahanan nasional
bangsa Indonesia, penelitian terhadap bahasa-bahasa daerah kecil, seperti
bahasa-bahasa kecil yang ada di Kabupaten Nagekeo dapat memberikan
dampak positif terhadap eksistensi Negara Kesatuan RI sebagai negara
kesatuan bangsa (bdk. Ayatrohaedi, 1985:4-5; Dhani, 1991:3-4) karena
elemen bangsa sekecil apa pun merupakan perekat yang mengokohkan
persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
4) Kebervariasian isolek yang terdapat dalam berbagai kelompok tutur dalam
masyarakat Nagekeo merupakan representasi langsung dari kekayaan
budaya masyarakat Nagekeo, sekaligus juga merupakan kekayaan bangsa
Indonesia yang perlu diselamatkan dari kepunahannya.
5) Bila ingin mengetahui kejatidirian masyarakat Nagekeo sebagai bagian dari
bangsa Indonesia yang bhineka, kebervariasian isolek yang digunakan oleh
masyarakat di Kabupaten Nagekeo pantas dipelajari dan dipahami karena
melalui isolek-isolek inilah dapat ditelusuri belantara tata kehidupan
masyarakat Nagekeo.
Kebervariasian isolek dari kelompok-kelompok bahasa masyarakat yang ada
di Kabupaten Nagekeo itu tampak semakin kompleks pada daerah-daerah atau
wilayah-wilayah transisi antara dua daerah atau dua wilayah yang berbeda.
Misalnya, di daerah atau wilayah perbatasan antara Nagekeo dengan wilayah
Ende, antara wilayah Nagekeo dengan wilayah Bajawa dan antara wilayah
xiv
Nagekeo dengan wilayah Riung di Kabupaten Ngada. Di daerah-daerah transisi
itu diduga banyak terjadi proses masuknya anasir kosa kata, struktur, dan cara
pelafalan dari suatu bahasa atau dialek ke dalam bahasa atau dialek lainnya
sehingga kebervariasian isolek yang muncul menjadi kompleks dan bahkan rumit
untuk dideskripsikan. Kondisi lingual seperti yang digambarkan itulah yang
berpotensi untuk menghasilkan tuturan-tuturan yang perbedaannya bergradasi
antara satu kelompok tutur dengan kelompok tutur lainnya dalam masyarakat
Nagekeo. Kebervariasian tutur yang kompleks itu pulalah yang menjadi
pertimbangan penting bagi penulis untuk memilih kebervarisian isolek dalam
bahasa masyarakat di Kabupaten Nagekeo sebagai objek penelitian.
1.2 Rumusan Masalah
Masalah-masalah yang diangkat dalam penelitian ini dirumuskan secara
spesifik sebagai berikut.
1) Bagaimanakah wujud perbedaan isolek berdasarkan paradigma
leksikon pada berbagai lokasi pengamatan di Kabupaten Nagekeo?
2) Bagaimanakah pengelompokan terhadap isolek-isolek yang terdapat di
Kabupaten Nagekeo ke dalam dialek dan subdialek?
3) Bagaimanakah wujud perubahan fonem-fonem secara fonologis pada
isolek-isolek di Kabupaten Nagekeo?
1.3 Tujuan Penelitian
Merujuk pada masalah penelitian yang telah dirumuskan di atas, tujuan
penelitian ini dirumuskan secara spesifik sebagai berikut.
1) Menganalisis wujud perbedaan isolek berdasarkan paradigma leksikon
pada berbagai daerah pengamatan di Kabupaten Nagekeo.
2) Mengelompokkan isolek-isolek berdasarkan paradigma leksikon dan pola-
pola isoglos yang terdapat pada berbagai daerah pengamatan di Kabupaten
Nagekeo ke dalam dialek dan subdialek.
3) Mendeskripsikan wujud perubahan fonem-fonem yang terdapat dalam
isolek-isolek di Kabupaten Nagekeo berdasarkan paradigma fonologis.
1.4 Manfaat Penelitian
Secara akademis penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh para peneliti lain
yang melakukan penelitian terhadap bahasa Nagekeo di Kabupaten Nagekeo dan
Kabupaten Ende, baik penelitian mikrolinguistik maupun penelitian
makrolinguistik. Selain itu, penelitian ini dapat pula dimanfaatkan untuk
memperkaya fakta dan informasi tentang kebervariasian bahasa dalam kajian
dialektologi di Indonesia.
Selanjutnya, secara praktis penelitian ini dapat membantu masyarakat
bahasa Nagekeo untuk mengenal ciri-ciri khas dialek atau subdialek lain dalam
xv
bahasa Nagekeo, sehingga penutur dapat memilih dan menggunakannya sesuai
dengan ranah pembicaraan, latar belakang bahasa atau dialek dari lawan tutur, dan
tujuan komunikasi tertentu. Selain itu, dapat juga membantu para guru dan subjek
didik di sekolah-sekolah dalam wilayah bahasa Nagekeo mempelajari bahasa ibu
sebagai bahasa budaya masyarakat pendukungnya serta membantu pemerintah
daerah dalam hal pemekaran desa atau kecamatan agar mempertimbangkan
kesamaan bahasa dan budaya masyarakatnya dengan bantuan wilayah dialek atau
subdialek sebagai salah satu petunjuk satuan wilayah.
2. Konsep
2.1 Isolek
Kridalaksana (1988:82), dalam makalahnya yang berjudul Masalah
Metodologi dalam Rekonstruksi ‘Bahasa Melayu Purba’, mendefinisikan isolek
sebagai bentuk yang statusnya entah bahasa entah dialek. Selain itu, Mahsun
(1995:11) dalam bukunya Dialektologi Diakronis Sebuah Pengantar, mengatakan
bahwa isolek digunakan sebagai istilah netral untuk perbedaan dialek atau bahasa.
2.2 Isoglos dan Berkas Isoglos
Isoglos didefinisikan sebagai sebuah garis imajiner yang diterakan di atas
sebuah peta bahasa (bdk. Keraf, 1984:161, dan bdk. pula Lauder, 1990:117).
Selanjutnya, istilah isoglos disebut juga (garis) watas kata, yaitu garis yang
memisahkan dua lingkungan dialek atau bahasa berdasarkan wujud atau sistem
kedua lingkungan itu yang berbeda yang dinyatakan di dalam peta bahasa
(Ayatrohaedi, 1979:5). Jadi, isoglos merupakan suatu garis imajiner yang ditarik
di atas peta bahasa untuk memisahkan gejala kebahasaan berdasarkan variasi yang
berbeda.
2.3 Dialek
Panitia Atlas bahasa-bahasa Eropa mendefinisikan, dialek ialah sistem
kebahasaan yang dipergunakan oleh suatu masyarakat untuk membedakannya dari
masyarakat lainya yang bertetangga yang mempergunakan sistem yang berlainan
tetapi erat hubunganya (Ayatrohaedi, 1979:1).
2.4 Variasi dalam Dialektologi
Variasi (variation) yaitu ujud pelbagai manisfestasi bersyarat maupun tak
bersyarat dari suatu satuan (Kridalaksana, 2001:225). Dipandang dari dimensi
geografi, perubahan atau perbedaan yang disebut variasi ada yang terjadi secara
teratur dan ada pula yang terjadi secara sporadis.
xvi
Variasi atau perbedaan unsur-unsur kebahasaan yang relevan dalam
penelitian ini meliputi dua aspek, yaitu variasi yang berkenaan dengan variasi
leksikon dan variasi fonologis.
1) Variasi Leksikon
Menurut Mahsun (1995:54) yang dimaksudkan variasi atau perbedaan
leksikon ialah jika leksem-leksem yang digunakan untuk merealisasikan suatu
makna yang sama itu tidak berasal dari satu etimon prabahasa.
Pengkajian perbedaan leksikon dilakukan berdasarkan pada pertimbangan
bahwa bidang ini cukup menentukan dalam pengelompokan variasi atau
perbedaan bahasa, sebagaimana dikatakan oleh Chambers dan Trudgill
(1980:46, dan bdk. Grijns, 1976: 10).
2) Variasi Fonologis
Menurut Mahsun (1995:23), yang dimaksudkan variasi atau perbedaan
fonologi yaitu variasi yang berkenaan dengan perbedaan fonetik. Deskripsi
variasi atau perbedaan unsur-unsur kebahasaan pada tataran fonologi yang
dijadikan objek kajian dalam penelitian ini hanya ditekankan pada perbedaan
fonem-fonem segmental.
2.5 Sifat Kajian
Kajian dialektologi yang dilakukan dalam penelitian ini bersifat sinkronis.
Artinya, aspek sinkronik (synchronic) itu didasarkan pada peristiwa penggunaan
bahasa yang terjadi dalam suatu waktu atau masa yang terbatas; yaitu unsur
bahasa yang digunakan sekarang ini oleh masyarakat pendukungnya. Hal ini
sejalan dengan esensi dialektologi sinkronis yaitu bidang linguistik yang
menyelidiki kebervariasian bahasa pada berbagai dialek pada waktu tertentu
(Kridalaksana, 2000: 129, 198; bdk. pula Mahsun, 1995:13-14; bdk,
Djajasudarma, 1993:7; Nothofer, 1981:6-7; dan Dhani, 1991:11).
2.6 Proses Fonologis
1) Proses Asimilasi
Menurut Kridalaksana (2001:18) asimilasi (assimilation) adalah proses
perubahan bunyi yang mengakibatkanya mirip atau sama dengan bunyi lain
di dekatnya.
Asimilasi dibedakan atas 3 macam, yaitu:
a) Asimilasi Progresif
Bila bunyi yang diasimilasikan terletak sesudah bunyi yang
mengasimlasikan, artinya arah perubahan bunyi itu ke kanan (Kridalaksana
2001:18).
Contoh: Bahasa Nagekeo ’putar’: kilu ~ kili
xvii
b) Asimilasi Regresif
Asimilasi regresif, yaitu bila bunyi yang diasimilasikan itu mendahului
bunyi yang mengasimilasikan, artinya arah perubahan bunyi itu ke kiri
(Kridalaksana 2001:18).
Contoh: ;jambul ayam’ lari manu ~ rari manu
c) Asimilasi Resiprok
Asimilasi resiprok, yaitu bila bunyi yang diasimilasikan itu
mendahului bunyi yang mengasimilasikan, artinya arah perubahan bunyi itu
ke kiri (Kridalaksana 2001:18).
Contoh: ’delapan’ rua butu ~ ro butu
2) Proses Metatesis
Metatesis yaitu perubahan bunyi yang berkaitan dengan pertukaran
tempat fonem di antara dua bunyi (Kridalaksana 2001:136).
Contoh: Bahasa Nagekeo: ’isap’ səmo ~ məso
’memoton ranting kayu’ soli ~ losi
3) Protesis
yaitu penambahan segmen fonem di awal kata.
Contoh Bahasa Nagekeo’ hidung’: izu ~ ŋizu
’kaki’ aʔi ~ waʔi
’putar’ īlu ~ kilu
4) Proses Afaresis
Afaresis yaitu pelesapan bunyi pada posisi awal (Kridalaksana 2001:2),
Contoh: Bahasa Nagekeo ’terbongkar’ : beɠa ~ bea
3. Teori
Penelitian dialek geografis terhadap bahasa Nagekeo yang dilakukan ini
mengacu pada teori dialektologi tradisional sebagai landasan kerja ilmiah. Prinsip
dasar teori dialektologi tradisional ialah variasi unsur-unsur kebahasaan dalam
tataran leksikon tidak dapat diterangkan hubungan perubahan fonem-fonem antara
satu kata dengan kata yang lainnya, meskipun kata-kata itu mengacu kepada
makna yang sama.
Perbedaan-perbedaan leksikon antara satu lokasi dengan lokasi lainnya
umumnya dipengaruhi oleh latar belakang sosial masyarakatnya sehingga setiap
daerah secara manasuka memberikan nama yang berbeda-beda terhadap satu
benda atau hal yang mengacu kepada makna yang sama. Pemberian nama yang
berbeda terhadap suatu konsep yang sama muncul sebagai akibat dari pandangan
yang berbeda-beda dari masyarakatnya terhadap benda atau hal itu sesuai dengan
zat, wujud, sifat, keadaan, atau pun kegunaan dan sebagainya.
xviii
4. Kajian Pustaka
4.1 Kajian Hasil-hasil Penelitian Sebelumnya
Kajian pustaka yang dikerjakan di sini terbatas pada hasil-hasil penelitian
dialek geografi dan dialek sosial yang dipandang erat relevansinya dengan
penelitian dialek geografi terhadap kebervariasian isolek di Kabupaten Nagekeo,
sebagaimana tampak dalam deskripsi berikut ini.
1) Penelitian Bahasa Sasak di Pulau Lombok pada tahun 1951 oleh A.
Teeuw.
2) Penelitian Dialek Geografi Bahasa Nagekeo dalam bentuk skripsi yang
dilakukan oleh Petrus Pita pada tahun 1984.
3) Penelitian Dialek Geografi Bahasa Ngadha yang dilakukan oleh Petrus
Pita pada tahun 2002.
4) Penelitian Dialek Geografi Bahasa Sumba di Provinsi Nusa Tenggara
Timur oleh A.A.Putra pada tahun 2007.
5) Penelitian tentang Relasi Historis Kekerabatan Bahasa Flores yang
dilakukan oleh Inyo Fernandez pada tahun 1996.
4.2 Relevansi Kajian Pustaka Terhadap Penelitian Kebervariasian Isolek
di Kabupaten Nagekeo
Relevansi yang dapat ditarik dari kajian pustaka terhadap hasil-hasil
penelitian dialek geografi, dialek sosial, dan hasil penelitian perbandingan bahasa-
bahasa-bahasa Flores, meliputi hal-hal dberikut ini: 1) Pemilihan Teori, 2)
Penggunaan Metode Analisis Data, 3) Penentuan Daerah Pengamatan, 4)
Penentuan Informan, 5) Pembuatan Instrumen Penelitian, 6) Penggunaan Metode
Penyediaan Data.
5. Metode Penelitian
5.1 Pemilihan dan Penomoran Lokasi Penelitian
5.1.1 Dasar Pertimbangan Pemilihan Lokasi Penelitian
Secara ideal Gaston Paris menganjurkan agar penelitian dilakukan pada
setiap masyarakat. Hal ini berarti bahwa secara ideal penelitian memang harus
dilakukan pada setiap desa, pada setiap tempat, betapa pun kecil dan terpencilnya
desa atau tempatnya itu (bdk. Ayatrohaedi, 1979:36; bdk. pula Mahsun, 1995:102-
105).
Menjawabi sebagian anjuran Gaston Paris di atas, dalam penelitian dialek
geografi bahasa Nagekeo ini, dipilih 50 desa dari 104 desa.
5.1.2 Penetapan Lokasi Penelitian
Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara proporsional berdasarkan taraf
kebervarian unsur-unsur bahasa yang terdapat dalam tuturan masyarakat dan
jumlah desa (50 desa) pada berbagai satuan wilayah, yakni: 1) Kecamatan Aesesa
xix
8 desa, 2) Kecamatan Aesesa Selatan 1 desa, 3) Kecamatan Nangaroro 5 desa, 4)
Kecamatan Boawae 9 desa, 5) Kecamatan Mauponggo 6 desa, 6) Kecamatan Keo
Tengah 10 desa, 7) Kecamatan Riung 1 desa, 8) Kecamatan Wolomeze 1 desa, 9)
Kecamatan Golewa 2 desa, 12) Kecamatan Nangapanda 4 desa, 13) Kecamatan
Soa 1 desa, dan 14) Kecamatan Maukaro 2 desa.
5.2 Instrumen Penelitian
5.2.1 Hakikat Daftar Pertanyaan
Daftar pertanyaan (instrumen penellitian) yang dibuat untuk penelitian
dialek geografi bahasa Nagekeo ini berisikan kosakata yang dapat mengeksplorasi
variasi leksikon dan variasi fonologi, sedangkan bidang sintaksis terbatas pada
upaya untuk mengecek silang jawaban informan yang sama pada item yang
berbeda atau bahkan mengosongkan jawabannya dalam kuesioner dengan teknik
wawancara mendalam.
5.2.2 Syarat Daftar Pertanyaan
Untuk memperoleh hasil yang memuaskan, daftar pertanyaan dalam
penelitian ini mengacu pada syarat-syarat umum (Ayatrohaedi, 1979: 38-39;
bdk. Mahsun, 1995:106-112), sebagai berikut.
1) Daftar pertanyaan dalam penelitian ini diusahakan untuk menampilkan
berbagai variasi tutur (ciri istimewa) yang terdapat dalam bahasa Nagekeo.
Jawaban inilah yang kemudian diidentifikasi sebagai ciri penentu status
isolek baik variasi secara leksikon maupun secara fonologis.
2) Daftar pertanyaan disusun berdasarkan pengelompokan medan makna
dengan mempertimbangkan sifat dan keadaan budaya masyarakat bahasa
Nagekeo.
3) Daftar pertanyaan disusun secara mudah dan sederhana, dengan harapan
agar informan dapat memberikan jawaban secara langsung dan spontan
dan jawaban yang pertama kali diberikan dipandang sebagai jawaban yang
paling tepat.
5.2.3 Susunan Daftar Pertanyaan
Daftar pertanyaan yang disusun untuk penelitian dialek geografi bahasa
Nagekeo ini berisikan 1.000 Kosakatayang diharapkan dapat mengeksplorasi
variasi leksikon dan variasi fonologis. Susunan daftar pertanyaan dikelompokkan
menurut medan makna agar informan dapat memberikan jawaban yang langsung
dan spontan. Untuk keperluan tersebut, daftar pertanyaan disusun berdasarkan
tautan arti sesuai dengan medan maknanya masing-masing. Artinya, hal-hal yang
mempunyai tautan arti tertentu dikelompokkan dalam kelompok yang sama.
xx
5.2.4 Cakupan Daftar Pertanyaan
Daftar pertanyaan yang dibuat untuk menjaring data dalam penelitian ini
berupa daftar pertanyaan leksikon. Artinya, daftar pertanyaan ini berupa daftar
kata-kata dalam berbagai ranah kehidupan masyarakat, dengan
mempertimbangkan variasi fonologis dan variasi leksikon yang ada dalam
berbagai dialek (bdk. Lauder, 1990:70).
Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai, cakupan daftar pertanyaan dalam
penelitian ini (bdk. Ayatrohaedi, 1979: 41; bdk. Mahsun 1995:107-112; dan bdk.
Lauder, 1990:70) meliputi dua segi, yaitu: 1) segi leksikon, 2) segi fonetik.
5.3 Syarat Informan
Pengumpulan data dilakukan dengan mendatangi 50 desa atau kelurahan
yang telah ditetapkan sebagai daerah pengamatan. Mengacu kepada pendapat
Samarin yang mengatakan bahwa penelitian dialektologi membutuhkan banyak
informan dan pendapat Uhlenbeck yang mengatakan bahwa seorang ahli bahasa
hendaknya jangan bertumpu pada seorang informan saja karena penggunaan lebih
dari satu informan dapat memberikan gambaran yang lebih objektif mengenai
situasi kebahasaan setempat (Lauder, 1990:84; badk. Mahsun, 1995:106), dalam
penelitian ini dipilih satu orang informan pada setiap daerah pengamatan sebagai
informan kunci dan dua orang informan pembantu.
5.4 Metode Penyediaan Data
Metode penyediaan data yang digunakan dalam penelitian ini, meliputi:
1) Metode Lapangan. Aplikasi metode lapangan dilakukan dengan teknik-teknik:
a) Teknik Perekaman, b) Teknik Tanya - Catat Langsung, c) Teknik Bertanya
Langsung, d) Teknik Bertanya Taklangsung, e) Teknik Memancing Jawaban, f)
Teknik Peragaan.
2) Metode Menyimak
5.5 Metode Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ialah metode
dialektometri. Rumus yang digunakan dalam dialektometri, ialah:
(S x 100)
= d %
n
Keterangan: S = jumlah beda dengan daerah pengamatan lain
n = jumlah peta yang diperbandingkan
d = jarak Kosakatadalam persentase
xxi
Hasil penghitungan itu digunakan untuk menentukan hubungan
antardaerah pengamatan berdasarkan pemilahan Seguy (Mahsun, 1995:118)
seperti berikut ini.
1) 81% ke atas : dianggap perbedaan bahasa (langue)
2) 51-81% : dianggap perbedaan dialek (dialecte)
3) 31-50% : dianggap perbedaan subdialek (sousdialecte
4) 21-30% : dianggap perbedaan wicara (parler)
5) Di bawah 20% : dianggap tidak ada perbedaan.
5.6 Metode Penyajian Data
Hasil analisis disajikan melalui dua cara (Mahsun, 1995:148-149; bdk.
Mahsun, 2005:116-117), yaitu: 1) perumusan dengan kata-kata biasa, termasuk
penggunaan terminologi yang bersifat teknis; 2) perumusan dengan tanda-tanda
atau lambang-lambang.
6. Gambaran Umum Daerah Penelitian
6.1 Sejarah Singkat Terbentuknya Nagekeo pada Zaman Belanda
Tiap-tiap subetnik yang mendiami wilayah Nagekeo sekarang ini pada
tahun 1911 oleh Pemerintahan Kolonial Belanda dibentuk menjadi dua kerajaan,
yaitu:
1) Kerajaan Nage untuk wilayah Tengah, Utara, dan Timur dengan Rajanya Oga
Ngole berkedudukan di Boawae. Masyarakatnya disebut orang Nage atau
etnik Nage;
2) Kerajaan Keo untuk wilayah Selatan dengan Rajanya Muwa Tunga
berkedudukan di Kota. Masyarakatnya disebut orang Keo atau etnik Keo.
Pada tahun 1928 Pemerintahan Kolonial Belanda menggabungkan
Kerajaan Nage dan Kerajaan Keo menjadi satu kerajaan saja dengan nama
Kerajaan Nagekeo dan rajanya Oga Ngole yang berkedudukan di Boawae.
6.2 Sejarah Pembentukan Kabupaten Nagekeo
Kabupaten Nagekeo dibentuk berdasarkan berbagai pertimbangan
(Nagekeo dalam angka, 2009:vii-viii), seperti:
1) Melalui Undang-Undang No. 69 Tahun 1958 yang secara integral
memasukkan wilayah Nagekeo sebagai bagian dari wilayah Kabupaten
Ngada dan UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di
Daerah.
2) Melalui Peraturan Pemerintah No. 129 tahun 2000 Tentang Pembentukan,
3) Penghapusan, dan Penggabungan Daerah.
4) Melalui Surat Pernyataan DPR-GR Kabupaten Ngada No. 1 Tahun 1965.
xxii
5) DPR-GR Kabupaten Ngada mengajukan permohonan kepada Pemerintah
Agung RI agar Kabupaten Ngada dibagi menjadi dua kabupaten yakni
Kabupaten Nagekeo dan Kabupaten Ngada.
6) Melalui keputusan dari Pemerintah Agung RI untuk membagi Kabupaten
Ngada menjadi 2 kabupaten, yaitu Kabupaten Ngada dan Kabupaten
Nagekeo.
7) Melalui Surat Rekomendasi Bupati Ngada No. 594/PEM/10/2003 perihal
Usulan Pembentukan Kabupaten Nagekeo sebagai Pemekaran dari
Kabupaten Ngada, dan usulan Gubernur NTT melalui Surat Usulan
Gubernur NTT kepada Menteri Dalam Negeri NO.PEM.135/02/2004
tentang Usulan Pembentukan Kabupaten Nagekeo sebagai Pemekaran
Kabupaten Ngada dalam Provinsi Nusa Tenggara Timur.
8) Melalui dukungan DPRD Kabupaten Ngada dengan mengeluarkan
Keputusan DPRD Kabupaten Ngada No. 14 Tahun 2003 tentang
persetujuan dan dukungan terhadap usulan Pembentukan Kabupaten
Nagekeo sebagai Pemekaran dari Kabupaten Ngada dan DPRD NTT
dengan keluarnya Keputusan DPRD Provinsi NTT No. 4/PIM.DPRD/2004
tentang pemberian dukungan bagi pemekaran Kabupaten Ngada.
6.3 Keadaan Geografi
6. 3.1 Topografi
Kabupaten Nagekeo terletak di antara 80
26’00” - 80
64’
40” Lintang
Selatan dan 12106’20” – 121
032’00” Bujur Timur. Kabupaten Nagekeo berbatasan
dengan (Nagekeo dalam angka, 2009:4):
* Utara dengan Laut Flores
* Selatan dengan Laut Sawu
* Timur dengan Kabupaten Ende
* Barat dengan Kabupaten Ngada
6.3.2 Iklim
Kabupaten Nagekeo tergolong daerah yang beriklim tropis. Sebagai daerah
yang beriklim tropis, perubahan suhu tidak dipengaruhi oleh pergantian musim
tetapi ditentukan oleh perbedaan ketinggian dari permukaan laut.
6.3.3 Fauna dan Flora
Wilayah Kabupaten Nagekeo hampir sebagian besar daerahnya adalah
padang rumput yang ditumbuhi pepohonan seperti pohon lontar, asam, kayu
manis, kemiri, dan sebagainya. (Nagekeo dalam angka, 2009:4).
xxiii
6.4 Wilayah Administrasi dan Penduduk
6.4.1 Wilayah Administrasi
Wilayah Kabupaten Nagekeo (Nagekeo dalam angka, 2009:3-12) terdiri
dari 7 wilayah kecamatan, 78 desa dan 15 kelurahan.
6.4.2 Luas Wilayah
Berdasarkan data pada tahun 2009 (Nagekeo dalam angka, 2009:6-10),
luas wilayah Kabupaten Nagekeo 1.416,96 km2. (Nagekeo dalam angka, 2009:6-
10).
6.4.3 Jumlah Penduduk
Jumlah penduduk berdasarkan data tahun 2009 sebanyak 127.006 jiwa
(Nagekeo dalam angka, 2009:4).
6.5 Kepercayaan dan Agama
Kepercayaan dan agama yang dianut oleh masyarakat Nagekeo dapat
dijelaskan sebagai berikut.
1) Pada zaman dahulu (leluhur Nagekeo) masyarakat Nagekeo termasuk
kelompok masyarakat animisme yang percaya kepada kekuatan alam jagad
raya, yaitu alam langit yang dikenal dengan nama Dewa Zeta, dan alam bumi
yang dikenal dengan nama Ga’e Zale.
2) Pada zaman agama wahyu, masyarakat Nagekeo memeluk agama Katolik
sebagai agama mayoritas dan agama Islam (terutama di kota dan daerah
pesisir pantai).
6.6 Objek Parwisata (Tourism Destination)
Kabupaten Nagekeo merupakan salah satu kabupaten di Pulau Flores yang
kaya dengan objek wisata alam, seperti panorama alam di pantai Ena Gera
Kecamatan Mauponggo, sumber air panas yang terdapat di Puta Kecamatan
Aesesa; sumber air panas Agi di Desa Tenga Tiba Kecamatan Aesesa Selatan dan
Air Terjun Ngaba Tata di Desa Rendu Butowe Kecamatan Aesesa Selatan; Wisata
budaya seperti peninggalan batu rumah adat tradisioanl, pola perkambungan adat
di Kampung Adat Renduola di Rendu; Peo Adat (Rendu, Lambo, Lape, Gero,
Raja), dan kerajinan tangan tenun ikat, seperti hoba Nage di Nage Tengah dan
Utara, ragi Mbay di Nage Utara.
7. Penghitungan Jarak Kosakata
7.1 Penghitungan Jarak KosakataBerdasarkan Dialektometri
Metode yang digunakan untuk menentukan status bahasa, dialek, dan
subdialek dari isolek-isolek di Kabupaten Nagekeo adalah metode Dialektometri
xxiv
leksikal yang diperkenalkan oleh Jean Seguy (1973). dengan rumus yang
digunakan, ialah:
(S x 100)
= d %
n
Keterangan: S = jumlah beda dengan daerah pengamatan lain
n = jumlah peta yang diperbandingkan
d = jarak Kosakatadalam persentase
Hasil penghitungan itu digunakan untuk menentukan hubungan
antardaerah pengamatan berdasarkan pemilahan Seguy (Mahsun, 1995:118)
seperti berikut ini.
1) 1) 81% ke atas : dianggap perbedaan bahasa (langue)
2) 2) 51-80% : dianggap perbedaan dialek (dialecte)
3) 3) 31-50% : dianggap perbedaan subdialek (soubdialecte)
4) 4) 21-30% : dianggap perbedaan wicara (parler)
5) 5) Di bawah 20% : dianggap tidak ada perbedaan.
7.2 Pengelompokan Status Isolek sebagai Bahasa, Dialek, dan Subdialek
Penentuan status isolek sebagai bahasa, dialek, dan subdialek ditetapkan
dengan mengacu pada hasil penghitungan persentase dialektometri keseluruhan
medan makna dan hasil penghitungan persentase dialektometri dengan permutasi,
seperti yang tampak berikut ini.
Tabel 1: Pengelompokan Status Isolek
Parameter Status Isolek
Bahasa Dialek Subdialek
1. Dialektometri
Leksikon
Keseluruhan
Medan Makna
2-6:81% 1-3:54 % 4-5:59% 3-13:41% 14-24:42%
5-7:85% 1-13:62% 5-6:66 % 3-14:42% 14-25:44%
2-3:58 % 5-12:63% 4-14:42 % 17-21:31%
2-4:69% 13-14:53% 6-8:35% 18-21:31%
8-10:37% 19-21:33%
9-10: 32% 21-22:38%
10-20:35% 27-35:31%
11-16:33% 34-35:31%
13-26:31% 34-36:32%
13-35:35% 36-46:36%
14-15:40%
No. Bahasa Dialek Subdialek
2. Dialektometri
dengan
Permutasi
21-5:82% 21-4:52% 5-39:64%
5-12:62% 5-40: 65%
5-15:61% 5-45:64%
5-16:61% 5-48:64%
5-22:61% 5-49:65%
xxv
5-23:63% 1-12:63%
5-28:63% 1-14:65%
5-29:60% 1-16:63%
5-30:61% 1-27:63%
5-31:64% 1-30:63%
5-32:62% 1-39:64%
7.3 Pengelompokan Bahasa
Mengacu pada tabel pengelompokan status isolek berdasarkan persentase
dialektometri keseluruhan medan makna dan persentase dialektometri dengan
permutasi di atas, selanjutnya dilakukan pengelompokan bahasa seperti berikut
ini.
1) Bahasa Mbay/ Riung dan Dialek-dialeknya
Penetapan persentase tertinggi sebagai bahasa berdasarkan dialektometri
antartitik pengamatan terdapat pada TP 5 di Desa Nggolombay dan TP 7 Desa
Olaia sebesar 85%. Melalui pendekatan konfirmasi dengan pola-pola isoglos
keseluruhan medan makna, ditemukan bahwa TP 5 berada dalam satu pola
dengan TP 1 dan 2 dari satuan wilayah Mbay/Riung sehingga status isolek pada
satuan wilayah ini ditetapkan sebagai bahasa Mbay/Riung.
Bahasa Mbay/Riung dalam penelitian ini yang digunakan pada TP 1,2
dan 5 didukung oleh 3 dialek, yaitu:
(1) Dialek Lengkosambi (sebesar 67% yang terdapat di antara TP 1 di Desa
Lengkosambi dengan TP 35 di Desa Sarasedu).
(2) Dialek Nggolonio (sebesar 69% yang terdapat di antara TP 2 di Desa
Nggolonio dengan TP 4 di Desa Dhawe).
(3) Dialek Nggolombay (sebesar 66% yang terdapat di antara TP 5 di Desa
Nggolombay dengan TP 6 di Desa Lape).
2) Bahasa Nagekeo dan Dialek-dialeknya
Bahasa Nagekeo yang digunakan pada TP 3, 4, 6--9, 11, 12, 15--20,
22--34, 37--50 dan daerah perbatasan di Kabupaten Ngada pada TP 13, 14, 35,
36 meliputi dialek-dialek sebagai berikut.
(1) Dialek Boawae (sebesar 63% (antara TP 1 di Desa Lengkosambi dengan
TP 27 di Desa Natanage). Dialek Boawae ini meliputi subdialek-subdialek
sebagai berikut).
a) Subdialek Rawe (sebesar 44% antara TP 14 di Desa Mengeruda dengan
TP 25 di Desa Nagerawe);
b) Subdialek Rowa (sebesar 42% antara TP 21 di Desa Kerirea dengan TP
26 di Desa Rowa) ).
c) Subdialek Kelewae (sebesar 34% antara TP 8 di Desa Tendambepa
dengan TP 34 di Desa Kelewae).
xxvi
(2) Dialek Dhawe (sebesar 69% (antara TP 4 di Desa Dhawe dengan TP 2 di
Desa Nggolonio.
(3) Dialek Munde (sebesar 58% antara TP 3 Desa Tedamude dengan TP 2
Desa Nggolonio.
(4) Dialek Lape-Ia (sebesar 66% % antara TP 6 di Desa Lape dengan TP 5 di
Desa Nggolombay).
(5) Dialek Lambo (sebesar 63% antara TP 12 di Desa Labolewa dengan TP 5
Desa Nggolombay).
(6) Dialek Dhereisa (sebesar 61% antara TP 15 di Desa Dhereisa dengan TP 5
di Desa Nggolombay).
(7) Dialek Rendu (sebesar 63% antara TP 16 Desa Renduwawo dengan TP 1 di
Desa Lengkosambi.
(8) Dialek Ndora (sebesar 61% antara TP 22 di Desa Bidoa dengan TP 5 di
Desa Nggolombay).
(9) Dialek Jaduro (Raja, Wudu, Gero) (sebesar 63% antara TP 23 di Desa Raja
dan TP 28 di Desa Wolopogo dengan TP 5 di Desa Nggolombay). Dialek
Jaduro (Raja, Wudu, Gero) ini meliputi Subdialek Gero (sebesar 42%
antara TP 24 di Desa Gerodhere dengan TP 14 di Desa Mengeruda).
(10) Dialek Kelimado (sebesar 60% antara TP 29 Desa Kelimado dengan TP 5
di Desa Nggolombay).
(11) Dialek Kotakeo (sebesar 64% (antara TP 31 Desa Kotakeo dengan TP 5
di Desa Nggolombay).
(12) Dialek Wolowae atau Dialek Toto (sebesar 65% antara TP 11 di Desa
Natatoto dengan TP 1 di Desa Lengkosambi). Dialek Wolowae atau
Dialek Toto ini meliputi Subdialek Utetoto (sebesar 32% (antara TP 17 di
Desa Utetoto dengan TP 21 di Desa Kerirea).
(13) Dialek Oja (sebesar 63% antara TP 19 Desa Tendambepa dengan TP 1 di
Desa Lengkosambi). Dialek Oja ini meliputi subdialek-subdialek sebagai
berikut ini.
a) Subdialek Watumite (sebesar 33% (antara TP 18 di Desa Watumite
dengan TP 21 di Desa Kerirea).
b) Subdialek Tendarea (sebesar 35% (antara TP 20 di Desa Tendarea
dengan TP 10 di Desa Kebirangga).
(14) Dialek Lejo (sebesar 65% antara TP 32 Desa Selalejo dengan TP 38 di
Desa Wuliwalo). Dialek Lejo ini meliputi Subdialek Wolokisa (sebesar
34% antara TP 37 Desa di Desa Wolokisa dengan TP 8 di Desa
Tendambepa).
(15) Dialek Aewoe (sebesar 66% antara TP 46 Desa Aewoe dengan TP 1 di
Desa Lengkosambi).
xxvii
(16) Dialek Kotagana (sebesar 65% antara TP 47 Desa Kotagana dengan TP 1
di Desa Lengkosambi).
(17) Dialek Wajo (sebesar 65% (antara TP 50 Desa Udiworowatu dengan TP 1
di Desa Lengkosambi dan antara TP 40 di Desa Wajo dengan TP 5 di
Desa Nggolombay).
(18) Dialek Romba (sebesar 66% (antara TP 45 Desa Witurombaua dengan TP
1 di Desa Lengkosambi).
(19) Dialek Riti - Woko (sebesar 65% antara TP 42 di Desa Wokodekororo
dengan TP 1 di Desa Lengkosambi).
(20) Dialek Sara – Taka (Sarasedu – Takatunga) (sebesar 67% antara TP 35 di
Desa Sarasedu dengan TP 1 di Desa Lengkosambi). Wilayah pakai
Dialek Sara – Taka ini terdapat di daerah perbatasan antara Kabupaten
Nagekeo dengan Kabupaten Ngada.
(21) Dialek Soa (sebesar 65% (antara TP 14 Desa Mengeruda dengan TP 1 di
Desa Lengkosambi). Wilayah pakai Dialek Soa ini terdapat di daerah
perbatasan antara Kabupaten Nagekeo dengan Kabupaten Ngada.
(22) Dialek Poma (sebesar 62% antara TP 13 Desa Denatana dengan TP 1 di
Desa Lengkosambi).
3) Bahasa Ende dan Dialek-dialeknya
Penetapan persentase tertinggi untuk Bahasa Ende berdasarkan
dialektometri dengan permutasian dari Timur ke Barat terdapat pada TP 5 di Desa
Nggolombay dengan TP 21 di Desa Kerirea sebesar 82%. Melalui pendekatan
konfirmasi dengan pola-pola isoglos keseluruhan medan makna, ditemukan bahwa
TP 21 itu berada dalam satu pola dengan TP 10 di Desa Kebirangga dari satuan
wilayah Ende; sehingga status isolek pada TP ini ditetapkan sebagai Bahasa
Ende.
Selanjutnya, bahasa Ende dalam wilayah penelitian ini terdiri atas 2 dialek,
yaitu:
(1) Dialek Maukaro sebesar 66% (yang terdapat di antara TP 1 di Desa
Lengkosambi dengan TP 10 di Desa Kebirangga.
(2) Dialek Nangapanda sebesar 52% (yang terdapat di antara TP 14 Desa
Mengeruda dengan TP 21 Desa Kerirea.
8. Deskripsi Fonologis
8.1 Penentuan Fonem
Melalui pendekatan pasangan minimal ditemukan bahwa:
1) Fonem vokal dalam bahasa Nagekeo berjumlah 6 (enam) buah, yaitu: a, i, u, e,
ә, o.
xxviii
TABEL 30 VOKOID BAHASA NAGEKEO
DEPAN PUSAT BELAKANG
ATAS i - - - u o
ATAS - KENDUR I - ī - ū ō
TENGAH- KENDUR α - ē ә U O
BAWAH a - - - - ā
2) Fonem konsonan dalam bahasa Nagekeo berjumlah dua puluh satu (21) buah,
yaitu: p, b, ɓ, m, f, t, d, ɗ, n, l, r, c, j, h, s, z, k, g, ɠ, ŋ, ʡ.
3) Fonem semi vokal dalam bahasa Nagekeo berjumlah dua (2) buah, yaitu: w dan y
Tabel Diagram Konsonan
ARTIKULATOR
DAN TITIK
ARTIKULASI
HAMBAT-
AN UDARA
YANG KE-
LUAR DARI
PARU-PARU
Bi-
la-
bi-
al
La-
bio
den-
tal
Api-
ko
al-
veo-
lar
La-
mi-
no
pa-
la-
tal
Me-
dio
pa-
la-
tal
Dor-
so-
ve-
lar
Uvu-
lar
Fari-
ngal
Glo-
tal
NASAL
B m - n - - ŋ
- - -
HAMBAT
EKSPLOSIF
TB p
- t - - - k - ʡ
B b - d - - g - -
HAMBAT IMPLOSIF
-
- - -
- -
FRIKATIF
TB - f s - c - - h -
B - z - j - - -
LATERAL
B - - l - - - - - -
TRILL=GETAR
B - - r - - - - - -
LUNCURAN
SEMIVOKAL B - w - - y - - - -
8.2 Variasi Fonem dalam Dimensi Geografi Dialek
Variasi-variasi segmen fonem dalam Bahasa Nagekeo dibedakan atas dua
macam, yaitu: variasi teratur dan variasi tidak teratur (sporadis).
ɓ ɗ ɠ
xxix
8.2.1 Variasi Teratur
Variasi segmen fonem dikatakan teratur jika realisasi variasi fonem
berupa alofon-alofon itu terjadi pada glos-glos yang berbeda pada berbagai titik
pengamatan yang sama. Variasi-variasi segmen bunyi berupa alofon-alofon dalam
berbagai isolek di Kabupaten Nagekeo, oleh penuturnya dijadikan sebagai ciri
pengenal dan pembeda wilayah dialek/subdialek karena varian-varian itu
digunakan secara konsisten dan berulang dalam berbagai glos pada satuan
wilayah/daerah tertentu.
Variasi segmen fonem yang terjadi secara teratur dalam berbagai isolek di
Kabupaten Nagekeo yang dipandang signifikan sebagai ciri pengenal dan
pembeda wilayah dialek/subdialek secara geografis hanya ditemukan pada variasi
fonem konsonan sedangkan variasi fonem vokal terjadi secara tidak teratur atau
sporadis.
Dalam penelitian ini ditemukan 6 (enam) buah fonem konsonan yang
mengalami variasi teratur, seperti yang dideskripsikan berikut ini.
8.2.1.1 Varian Teratur Konsonan /b/ ≈ Alofon [b], [bh], [
mb] / #__V
Identifikasi variasi alofon [b], [bh], dan [
mb] dilakukan berdasarkan
pemakaian varian alofon-alofon itu pada berbagai titik pengamatan dalam Bahasa
Nagekeo, Bahasa Mbay, dan Bahasa Ende.
a) Wilayah Bahasa Nagekeo
(1) Alofon bilabial [b] menjadi ciri pemakaian di:
(a) Wilayah Nage – Tengah Utara pada Dialek Munde, yang terdapat
pada TP 3, Dialek Dhawe pada TP 4, Dialek Lape–Ia pada TP 6, 7,
Dialek Lambo pada TP 12, Dialek Dhereisa pada TP 15, Dialek
Rendu pada TP 16.
(b) Wilayah Nage - Tengah Selatan pada Dialek Ndora pada TP 22,30,
Dialek Jaduro (Raja, Wudu, Gero) pada TP 23, 24, 28, Dialek
Kotakeo pada TP 31, 41, 44.
(c) Wilayah Nage - Tengah yang terdapat pada Dialek Boawae pada TP
25,26, 27, 34.
(d) Wilayah Keo–Barat, yang terdapat pada Dialek Lejo pada TP 32, 33,
37, 38; Dialek Aewoe pada TP 46; Dialek Kotagana pada TP 47; Sara
– Taka pada TP 35, 36; dan Dialek Soa – Poa pada TP 13, 14.
(2) Alofon bilabial beraspirasi [bh] menjadi ciri pemakaian di wilayah Nage
Utara –Timur yang terdapat Dialek Toto atau Dialek Wolowae pada TP 8,
11, 17 dan Dialek Oja pada TP 18.
(3) Alofon bilabial pranasal [m
b] menjadi ciri pemakaian di:
(a) Wilayah Keo - Tengah pada Dialek Kotowuji pada TP 39, 40, 48, 49,
50; dan Dialek Romba pada TP 45.
xxx
(b) Wilayah Keo – Timur yang terdapat pada Dialek Riti-Woko pada TP
42, 43.
(c) Wilayah Nage Utara – Timur, yang terdapat pada Dialek Oja pada TP
9, 19, 20.
(4) Alofon bilabial beraspirasi [bh] dan Alofon bilabial berpranasal /
mb/
dikenal dan digunakan secara bersama di wilayah Nage Utara - Timur
yang terdapat di wilayah Dialek Toto atau Dialek Wolowae pada TP 17 di
Desa Utetoto karena desa ini sejak zaman dahulu terletak di daerah transisi
dengan wilayah Bahasa Ende yang menggunakan alofon bilabial berpra-
nasal /m
b/.
b) Wilayah Bahasa Mbay
Konsonan bibial berpranasal /m
b/ menjadi ciri pemakaian dari:
(1) Dialek Lengkosambi yang terdapat pada pada TP 1.
(2) Dialek Nggolonio yang terdapat pada TP 2.
(3) Dialek Nggolombay yang terdapat pada TP 5.
c) Wilayah Bahasa Ende
Alofon bibial berpranasal [m
b] menjadi ciri pemakaian dari:
(1) Dialek Maukaro yang terdapat pada TP 10 Desa Kebirangga
(2) dialek Nangapanda yang terdapat pada TP 21 Desa Kerirea.
8.2.1.2 Varian Teratur Konsonan /d/ ≈ Alofon [d] dan [nd] / #__V
Identifikasi variasi alofon [d] dan [nd] dilakukan berdasarkan pemakaian
varian alofon itu pada berbagai titik pengamatan dalam Bahasa Nagekeo, Bahasa
Mbay, dan Bahasa Ende, seperti terlihat pada tabel di atas.
1) Wilayah Bahasa Nagekeo
a) Alofon dental [d] menjadi ciri pemakaian di wilayah-wilayah berikut ini,
(1) Wilayah Nage - Tengah Utara, yang terdapat Dialek Munde pada TP 3;
Dialek Dhawe pada TP 4; Dialek Lape – Ia pada TP 6,7; Dialek Lambo
pada TP 12; Dialek Dhereisa pada TP 15; Dialek Rendu pada TP 16.
(2) Wilayah Nage Tengah – Selatan yang terdapat Dialek Ndora pada TP
22, 30; Dialek Jaduro (Raja, Wudu, Gero) pada TP 23, 24, 28; Dialek
Boawae yang terdapat pada TP 25-27,25-27, 34; Dialek Kelimado
pada TP 29;13,14,Dialek Kotakeo pada TP 31; Dialek Sara - Taka
pada TP 35, 36.
(3) Wilayah Keo – Barat yang terdapat Dialek Lejo pada TP 37, 38; Dialek
Aewoe pada TP 46; Dialek Kotagana pada TP 47.
b) Alofon dental berpranasal [nd] menjadi ciri pemakaian di wilayah-wilayah
berikut ini.
(1) Wilayah Nage Utara – Timur, yang terdapat pada Dialek Toto atau
Dialek Wolowae pada TP 8, 9, 11, 17; Dialek Oja pada TP 18, 19, 20.
xxxi
(2) Wilayah Keo Tengah, yang terdapat pada Dialek Kotowuji pada TP 39,
40, 48-50
(3) Wilayah Keo Timur, yang terdapat pada Dialek Riti – Woko pada TP
42, 43.
(4) Wilayah Keo Barat, yang terdapat pada Dialek Lejo pada TP 32, 33;
Dialek Aewoe pada TP 46; dan Dialek Kotagana pada TP 47.
c) Alofon dental [d] dan dental berpranasal [nd] digunakan secara
bersama di wilayah Keo Barat yang terdapat di wilayah Dialek
Ladolima Utara pada TP 41, wilayah Dialek Ladolima pada TP 44,
wilayah Dialek Witurombaua pada TP 45, wilayah Dialek Aewoe
pada TP 46 dan Dialek Kotagana pada TP 47 karena wilayah ini
terletak di daerah transisi dengan wilayah Keo Tengah.
2) Wilayah Bahasa Mbay
Alofon dental berpranasal [nd] menjadi ciri pemakaian pada.
(1) Dialek Lengkosambi yang terdapat pada TP 1.
(2) Dialek Nggolonio yang terdapat pada TP 2.
(3) Dialek Nggolombay yang terdapat pada TP 5.
3) Wilayah Bahasa Ende
Alofon dental berpranasal [nd] menjadi ciri pemakaian pada:
(1) Dialek Maukaro yang terdapat pada TP 10 Desa Kebirangga
(2) dialek Nangapanda yang terdapat pada TP 21 Desa Kerirea.
8.2.1.3 Varian Teratur Konsonan /g/ ≈ Alofon [g] dan [ŋg] / #__V
Identifikasi varian alofon velar [g] dan velar berpranasal [ŋg] dilakukan
berdasarkan pemakaian varian-varian alofon itu pada berbagai titik pengamatan
dalam Bahasa Nagekeo, Bahasa Mbay, dan Bahasa Ende.
1) Wilayah Bahasa Nagekeo
a) Varian alofon velar [g] menjadi ciri pemakaian di:
(1) Wilayah Nage Tengah - Utara yang terdapat pada Dialek Munde
pada TP 3; Dialek Dhawe yang terdapat pada TP 4; Dialek Lape - Ia
yang terdapat pada TP 6, 7; Dialek Lambo yang terdapat pada RP
12; Dialek Dhereisa yang terdapat pada TP 15; Dialek Rendu
terdapat pada TP 16.
(2) Wilayah Nage Tengah - Selatan yang terdapat pada Dialek Ndora
pada TP 22, 30; Dialek Jaduro (Raja, Wudu, Gero) pada TP 23, 24,
28; Dialek Kelimado pada TP 29; Dialek Kotakeo pada TP 31, 41,
44; Dialek Boawae pada TP 25, 26, 27, 34; Dialek Sara – Taka pada
TP 35, 36; Dialek Soa – Poma pada TP 13, 14.
(3) Wilayah Keo - Barat yang terdapat pada Dialek Lejo pada TP
32, 33, 37, 38; Dialek Aewoe pada TP 46.
xxxii
(3) Wilayah Dialek Toto atau Dialek Wolowae terdapat pada TP 8, 9,
11; Dialek Oja terdapat pada TP 17, 18;
b) Varian alofon velar berpranasal [ŋg] menjadi ciri pemakaian di:
(1) Wilayah Nage Utara - Timur yang terdapat pada dialek Toto atau
Dialek Wolowae pada TP 9,17; Dialek Oja terdapat pada TP 19, 20.
(2) Wilayah Keo – Tengah yang terdapat pada Dialek Kotowuji pada TP
39, 40, 45, 48--50; Dialek Romba yang terdapat pada TP 45.
c) Varian alofon velar [g] dan velar berpranasal [ŋg] digunakan secara bersama
di wilayah Nage Utara–Timur yang terdapat di wilayah Dialek Toto atau
Dialek Wolowae pada TP 17 di Desa Utetoto karena desa ini sejak zaman
dahulu terletak di daerah transisi dengan wilayah Bahasa Ende yang
menggunakan alofon velar berpranasal [ŋg].
2) Wilayah Bahasa Mbay
Alofon velar berpranasal [ŋg] menjadi ciri pemakaian pada (1) Dialek
Lengkosambi yang terdapat pada TP 1, (2) Dialek Nggolonio yang terdapat
pada TP 2, (3) Dialek Nggolombay yang terdapat pada TP 5.
3) Wilayah Bahasa Ende
Alofon velar berpranasal [ŋg] menjadi ciri pemakaian pada:
(1) Dialek Maukaro yang terdapat pada TP 10 Desa Kebirangga
(2) dialek Nangapanda yang terdapat pada TP 21 Desa Kerirea.
8.2.1.4 Varian Teratur Konsonan Apiko Alveolar /z/ ≈ Alofon [z], [r], [R], [s],
[y]/ #__V
Identifikasi varian alofon [z], [r], [s], [y] dilakukan berdasarkan
pemakaian varian alofon itu pada berbagai titik pengamatan dalam Bahasa
Nagekeo, Bahasa Mbay, dan Bahasa Ende.
1) Wilayah Bahasa Nagekeo
a) Varian alofon apiko alveolar [z] menjadi ciri pemakaian di:
(1) Wilayah Nage Tengah-Utara, yang terdapat Dialek Munde pada TP
3; Dialek Dhawe pada TP 4; Dialek Lape – Ia pada TP 6,7; Dialek
Lambo pada TP 12; Dialek Dhereisa pada TP 15; Dialek Rendu
pada TP 16
(2) Wilayah Nage Utara–Timur, yang terdapat pada Dialek Toto atau
Dialek Wolowae pada TP 11, 17 dan Dialek Oja pada TP 20.
(3) Wilayah Nage Tengah – Selatan, yang terdapat pada Dialek Ndora
pada TP 22, 30; Dialek Jaduro (Raja, Wudu, Gero) pada TP 23, 24,
28; Dialek Kelimado pada TP 29.
(4) Wilayah Nage Tengah, yang terdapat pada Dialek Boawae pada TP
25-27.
xxxiii
(5) Wilayah perbatasan Kabupaten Nagekeo, dengan Kabupaten
Ngada yang terdapat pada Dialek Sara – Taka pada TP 35.
b) Varian alofon tril [r] menjadi ciri pemakaian pada wilayah berikut ini.
(1) Wilayah Nage Tengah yang terdapat pada Dialek Boawae pada TP 34.
(2) Wilayah perbatasan Kabupaten Nagekeo dengan Kabupaten
Ngada yang terdapat pada Dialek Sara - Taka pada TP 36.
(3) Wilayah Keo – Barat pada yang terdapat pada Dialek Lejo yang
terdapat pada TP 32, 33, 37, 38; Dialek Aewoe pada TP 46.
(4) Wilayah Keo Tengah yang terdapat pada Dialek Kotowuji pada TP
39, 40, 48--50; Dialek Romba pada TP 45.
(5) Wilayah Keo Timur yang terdapat pada Dialek Riti - Woko pada TP 42,
43.
(6) Wilayah Nage Utara – Timur, yang terdapat pada Dialek Watu Mite pada
TP 18
c) Varian alofon apiko alveolar dan tril [z,r] menjadi ciri pemakaian pada
Dialek Wolowae pada TP 8.
d) Varian alofon semivokal [y] menjadi ciri pemakaian di:
(1) Wilayah Nage Utara – Timur, yang tedapat pada Dialek Toto atau Dialek
19.
(2) Wilayah Nage Tengah – Selatan, yang tedapat pada Dialek Kotakeo pada
TP 31, 41, 44.
2) Wilayah Bahasa Mbay
Varian alofon desis [s] menjadi ciri pemakaian pada:
(a) Dialek Lengkosambi yang terdapat pada TP 1.
(b) Dialek Nggolonio yang terdapat pada TP 2.
(c) Dialek Nggolombay yang terdapat pada TP 5.
3) Wilayah Bahasa Ende
Varian alofon tril uvular [R] menjadi ciri pemakaian Dialek Maukaro pada
TP 10 dan Subdialek Kerirea pada TP 21.
8.2.1.5 Varian Teratur Konsonan tril /r/ ≈ Alofon [r], [R], [l], [lh], [h], [y], [ø]/
#__V
Identifikasi Varian Alofon [r], [R], [l], [lh], [h], [y], [ø] dilakukan
berdasarkan pemakaian varian alofon-alofon itu pada berbagai titik pengamatan
dalam Bahasa Nagekeo, Bahasa Mbay, dan Bahasa Ende.
a) Wilayah Bahasa Nagekeo
1) Alofon tril [r] menjadi ciri pemakaian dari Wilayah Nage Tengah – Utara pada:
(a) Dialek Dhawe pada TP 4,
(b) Dialek Dhereisa pada TP 15,
xxxiv
(c) Dialek Rendu pada TP 16.
2) Alofon lateral [l] menjadi ciri pemakaian dari:
(a) Wilayah Nage Utara Timur dengan sebaran pada Subdialek Utetoto
pada TP 17 dan Subdialek Tendarea pada TP 20.
(b) Wilayah Keo - Barat dengan sebaran pada Dialek Lejo pada TP 32 dan
Dialek Kotagana pada TP 47.
(c) Wilayah Keo – Tengah dengan sebaran pada Dialek Kotowuji pada TP
39, 40, 48--50; dan Dialek Romba pada TP 45.
(d) Wilayah Keo – Timur yang terdapat pada Dialek Riti - Woko pada TP
42, 43.
3) Alofon lateral beraspirasi [lh] menjadi ciri pemakaian di wilayah Nage
Tengah Utara yakni Dialek Lape-Ia pada TP 6, 7.
4) Alofon faringal [h] menjadi ciri pemakaian dari bahasa di:
(1) Wilayah Nage Utara yakni Subdialek Munde pada TP 3.
(2) Wilayah Nage Tengah yakni Dialek Boawae pada TP 25--27.
5) Alofon semivokal [y] menjadi ciri pemakaian bahasa di wilayah Nage
Utara – Timur yakni Dialek Toto atau Dialek Wolowae pada TP 8, 9, 11;
Dialek Oja pada TP 19; dan Subdialek Watumite pada TP 18.
6) Alofon zero [ø] menjadi ciri pemakaian bahasa di wilayah Nage Tengah –
Selatan yakni Dialek Ndora pada TP 22, 30; Dialek Jaduro (Raja, Wudu,
Gero pada TP 23, 24, 28; Dialek Kelimado pada TP 29; Dialek
Kotakeo pada TP 31; dan Beda Wicara Ladolima pada TP 41, 44.
8.2.1.6 Varian Teratur Konsonan Lateral /l/ ≈ Alofon [r], [R], [l], [lh], [h], [y],
[ø] / #__V
Identifikasi variasi konsonan lateral /l/ menjadi alofon [l], [d], [ld], [
rz],
[ø] didasarkan atas pemakaian varian alofon-alofon itu pada berbagai titik
pengamatan dalam Bahasa Nagekeo, Bahasa Mbay, dan Bahasa Ende.
1) Wilayah Bahasa Nagekeo
a) Alofon lateral [l] menjadi ciri pemakaian bahasa Nagekeo di:
(1) Wilayah Nage – Tengah, yang terdapat pada Dialek Boawae pada TP
25-27, 34.
(2) Wilayah Nage Tengah – Selatan, yang terdapat pada Dialek Ndora pada
TP 22, 30; Dialek Jaduro (Raja, Wudu, Gero) pada TP 23, 24, 28;
Dialek Ndora pada TP 22, 30; Dialek Kelimado pada TP 29; Dialek
Kotakeo pada TP 31; Beda Wicara Ladolima pada TP 41, 44.
(3) Wilayah Nage-Tengah Utara, yang terdapat pada Dialek Munde pada
TP 3; Dialek Dhawe pada TP 4; Dialek Lape - Ia pada TP 6, 7; Dialek
xxxv
Lambo pada TP 12; Dialek Dhereisa pada TP 15; dan Dialek Rendu
pada TP 16.
(4) Wilayah Keo – Barat, yang terdapat pada Dialek Lejo pada TP 32, 33,
37; Dialek Aewoe pada TP 46.
(5) Wilayah perbatasan Kabupaten Nagekeo dengan Kabupaten Ngada,
yang terdapat pada Dialek Sara – Taka pada TP 35.
b) Alofon dental [d] menjadi ciri pemakaian dari:
(1) Wilayah Nage - Tengah Utara, yang terdapat pada Dialek Lambo pada TP 12.
(2) Wilayah Nage Utara – Timur, yang terdapat pada Dialek Toto atau
Dialek Wolowae pada TP 8, 11, 17; Dialek Oja pada TP 19; dan
Subdialek Tendarea pada TP 20.
(3) Wilayah Nage – Tengah - Selatan, yang terdapat Dialek Ndora pada
TP 22.
(4) Wilayah Keo - Barat, yang terdapat pada Dialek Lejo pada TP 38;
Dialek Kotagana pada TP 47.
(5) Wilayah Keo - Tengah, yang terdapat pada Dialek Kotowuji pada TP
39, 40, 48-50; Dailek Romba pada TP 45.
(6) Wilayah Keo - Timur, yang terdapat pada Dialek Riti – Woko
pada pada TP 42, 43.
e) Alofon dental berpralateral [ld] menjadi ciri di wilayah Nage Utara –
Timur, yang terdapat pada Subdialek Watumite pada TP 18.
d) Alofon zero [ø] menjadi ciri wilayah dialek di perbatasan Kabupaten
Nagekeo dengan Kabupaten Ngada, yang terdapat pada Dialek Sara –
Taka pada TP 36.
2) Wilayah Bahasa Mbay
Alofon lateral [l] menjadi ciri pemakaian di
(1) Dialek Lengkosambi yang terdapat pada TP 1.
(2) Dialek Nggolonio yang terdapat pada TP 2.
(3) Dialek Nggolombay yang terdapat pada TP 5.
3) Wilayah Bahasa Ende
Alofon alveolar berpralateral [rz] menjadi ciri pada:
(1) Dialek Maukaro yang terdapat pada TP 10 Desa Kebirangga
(2) dialek Nangapanda yang terdapat pada TP 21 Desa Kerirea.
8.2.2 Variasi Tidak Teratur (Sporadis)
Variasi tidak teratur (sporadis) penting juga dideskripsikan
secara memadai untuk mengetahui fakta keragaman suatu bahasa dan jenis-jenis
variasi yang telah memperkaya keragaman bahasa itu secara geografis. Variasi
tidak teratur adalah variasi bunyi yang muncul secara sporadis. Dipandang dari
segi linguistik, variasi bunyi yang disebut variasi tidak teratur itu muncul bukan
xxxvi
karena persyaratan lingkungan linguistik tertentu (Saussure, 1988:25, bdk.
Mahsun, 1995:33) dan karena itu data yang menyangkut perubahan bunyi yang
berupa variasi tak teratur terbatas pada satu atau dua buah contoh saja.
8.2.2.1 Asimilasi
Asimilasi ialah variasi atau korespondensi fonem (vokal atau konsonan)
menjadi sama atau mirip satu sama lainnya. Terdapat 3 macam asimilasi dalam
penelitian ini, yaitu:
1) Asimilasi Progresif
Asimilasi progresif ialah variasi atau korespondensi fonem (vokal atau
konsonan) menjadi sama atau mirip dengan fonem yang mendahuluinya. Jadi,
segmen yang berada di sebelah kanan mempengaruhi segmen yang berada di
sebelah kiri. Variasi atau korespondensi fonem yang terjadi di sini ialah variasi
atau korespondensi vokal /u/ yang berada di sebelah kanan mengalami asimilasi
atau penyesuaian dengan vokal /i/ yang berada di sebelah kiri sehingga
menghasilkan vokal /i-i/, seperti dalam temuan berikut ini.
putar (seperti tutupan botol)
kilu: 6, 13, 27 ~ kili: 35
2) Asimilasi Regresif
Asimilasi regresif ialah variasi atau korespondensi fonem (vokal atau
konsonan) menjadi mirip atau sama dengan fonem yang mengikutinya. Dalam
peristiwa ini konsonan likuid lateral /l/ yang berada di sebelah kiri mengalami
proses asimilasi atau penyesuaian menjadi serupa dengan konsonan tril /r/ yang
berada di sebelah kanan sehingga menghasilkan konsonan likuid tril /r-r/, seperti
dalam temuan berikut ini.
(1) air ludah (peta 48)
ʡae lura: 6,7,15,16,44 ~ ʡae rura: 3, 13, 14, 25, 26; wae rura: 35,36
(2) jambul ayam (peta 148)
lari manu: 4, 6, 7, 13, 15, 16 ~ rari manu: 14, 26, 35
3) Asimilasi Resiprok
Asimilasi resiprok ialah korespondensi dua fonem yang berurutan, yang
menyebabkan kedua fonem itu menjadi fonem yang lain dari semula
(Kridalaksana, 2001:19). Jadi, terjadi peleburan dua buah segmen yang
berdekatan menjadi sebuah segmen baru. Asimilasi ini bersifat dua arah karena
antara segmen yang satu dengan segmen yang lain saling mempengaruhi, seperti
contoh berikut ini.
(1) delapan (peta 8)
rua butu : 19, 32, 33, 34, 46, 47, 38, 46, 47, 48; rua bhUtu: 17, 18; rua
mbutu: 20,39,40,42, 43,45, 49, 50; rua
mbutu: 10, 21 ~ ro b
hutu: 8.
(2) delapan belas(peta 18)
xxxvii
ā bulu rua butu: 38; ā bulu ə.sa rua butu: 33, 34; ha bulu rua butu : 37, 46; ha mbulu əsa rua
mbutu: 45; bulu əsa rua butu: 32; sa budu rua butu: 22; ā budu
əsa rua butu: 47; se bu rua butu: 36; se budu əsa rua butu: 19; se bhU
ldu əsa
rua bhUtu: 18; se b
hUlu əsa rua b
hUtu: 11, 17; ha
mbudu rua
mbutu: 42; ā
mbudu əsa rua
mbutu: 39, 40, 43, 48-50; se
mbulu, ā
mbudu əsa rua
mbutu: 9 ~
se budu əsa ro butu: 8.
8.2.2.2 Proses Struktur Silabel
Proses struktur silabel dalam bahasa Nagekeo yang ditemukan dalam
penelitian ini terwujud dalam bentuk penambahan konsonan di awal kata
(protesis), tampak seperti data berikut ini.
a) Variasi Berupa Penambahan Konsonan
(1) Variasi berupa penambahan konsonan hambat velar /k/pada kata yang diawali
dengan vokal /i/, seperti data berikut ini.
putar, (memutar tutupan botol) (peta 901)
øīlu :29 ~ kilu: 6, 13, 27.
(2) Variasi berupa penambahan konsonan hambat velar implosif /ɠ/ pada kata
yang diawali dengan vokal /a/, tampak seperti data berikut ini.
kaki (peta 87)
ʡaʡi: 3, 4, 6--13, 15--32, 39, 40, 41, 43--45, 47--50 ~ ɠaʡi: 42.
(1) Variasi berupa penambahan konsonan nasal velar /ŋ/ pada kata yang diawali
dengan vokal /i/, seperti data berikut ini.
hidung (peta 80)
ʡi.zu: 6, 7, 8, 12, 15--17, 20, 22--24, 26--30 ~ ŋi.zu: 14, 35.
b) Variasi Berupa Penambahan Semivokal
(1) Variasi berupa penambahan semivokal /w/ dan /y/ di depan kata yang
diawali vokal /a/, tampak dalam data berikut ini.
kaki (peta 87)
ʡaʡi: 3, 4, 6--13, 15--32, 39, 40, 41, 43--45, 47--50 ~ waʡi: 14, 35 dan
yaʡi: 37, 38, 46.
(2) Variasi konsonan hambat bilabial /b/ dan /f/ menjadi semivokal /w/.
(a) Variasi Konsonan frikatif /f/ menjadi semivokal /w/
lemak (seperti pada daging babi) (peta 104)
bozo: 15, 23, 24, 27, 28 ~ wozo: 29
(b) Variasi Konsonan frikatif /f/ menjadi semivokal /w/
makan mangga menggunakan gigi depan (peta 843)
fa.gi: 3, 6, 7, 12, 15, 16, 23--25, 27, 28; fa.gi: 8, 11, 18 ~ wa.gi: 4, 22
(c) Variasi konsonan velar implosif / ɠ / menjadi semivokal /y/.
ramas/remas (peta 903)
ɠəme: 3, 4, 8, 13, 15, 22, 24, 25, 27, 30, 31, 37, 41, 46, 48 ~ yəme: 18
xxxviii
8.2.2.3 Pelesapan Segmen
Variasi berupa pelesapan konsonan velar implosif /ɠ/ di antara vokal /e/
dan /a/, ditemukan dalam data berikut ini.
terbongkar (rumah karena di tabrak mobil (745)
beɠa: 4, 6, 7, 12, 15, 16, 22--38, 40, 41, 43, 46, 47 ~ bea: 14; mbea: 39
8.2.2.4 Metatesis
Metatesis yaitu perubahan tempat fonem-fonem dalam kata (bd.
Kridalaksana, 2001:136). Metatesis yang terjadi di sini berupa:
a) Pertukaran tempat konsonan yaitu konsonan pada suku kata pertama berpindah
tempat ke suku kata kedua.
b) Konsonan pada suku kata kedua berpindah tempat ke suku kata pertama.
Adapun variasi metatesis, meliputi:
1) Metatesis konsonan /g-l/ menjadi /l-g/. Data metatesis /g-l /~ /l-g/ yang
ditemukan dalam Bahasa Nagekeo, tampak seperti berikut ini.
keliling (mengelilingi) (peta 827)
gili ge.o: 31, 32, 37, 46; ~ li.gi leo: 44
2) Metatesis konsonan /s-m/ menjadi /m-s/. Data metatesis /s-m / ~ /m-s/ yang
ditemukan dalam Bahasa Nagekeo, tampak seperti
isap (misalnya air dalam drum dengan selang plastik) (peta 819)
səmo: 33, 37, 42 ~ məso: 4, 13
3) Metatesis konsonan /s-l/ menjadi / l-s /. Data metatesis /s-l/ menjadi / l-s /.
yang ditemukan dalam Bahasa Nagekeo, tampak seperti berikut ini:
memotong ranting kayu (peta 858)
soli: 42 ~ losi: 17
8.2.2.5 Variasi Segmen Vokal
Variasi segmen vokal meliputi:
(1) Variasi berupa pendepanan vokal belakang bundar /o/ menjadi vokal depan
takbundar /e/, seperti tampak dalam data berikut ini.
sakit bere-bere (peta 248)
bowo: 23, 26, 27, 29, 34, 35, 37, 42; bowo ~ bewe: 33, 38, 46, 47
(2) Variasi berupa pendepanan vokal belakang bundar /u/ menjadi vokal depan
takbundar /i/, seperti tampak dalam data berikut ini.
putar (putar tutupan botol (901)
kilu: 6, 13, 27 ~ kili: 35
8.2.2.6 Variasi Segmen Konsonan
Variasi konsonan berdasarkan cara artikulasi mengacu pada penyempitan
tertentu dalam saluran suara, baik hambatan total maupun penyempitan yang
xxxix
melebihi cara mengartikulasikan. Jadi, berdasarkan jalannya udara yang keluar
dari dalam paru-paru.
1) Variasi konsonan hambat palatal takbersuara /c/:
a) Konsonan hambat palatal takbersuara /c/ menjadi konsonan lateral bersuara
/l/ kecil (677)
coʡo: 12, 15--18, 22--24, 27--34, 46, 50 ~ loʡo: 8, 11, 19, 20, 22
b) Konsonan hambat palatal takbersuara /c/ menjadi konsonan velar bersuara
/g/ kecil (677)
coʡo: 12, 15--18, 22--24, 27--34, 46, 50 ~ goʡo: 42, 43, 45, 46, 48--50
c) Konsonan hambat palatal takbersuara /c/ menjadi konsonan desis /s/
kecil (677)
coʡo: 12, 15--18, 22--24, 27--34, 46 ~ soʡo: 4, 29, 33, 34, 36--41, 44, 47\]
2) Variasi konsonan nasal dental /n/
(a) Variasi konsonan nasal dental /n/ menjadi hambat dental /d/ disertai dengan
variasi konsonan /g/ menjadi konsonan /k/ pada suku kata kedua.
tunduk (peta 929)
nugu: 3, 4, 6--8, 11--13, 15--17, 22--38, 41, 42, 44, 46, 47 ~ duku: 14
(b) Variasi konsonan nasal dental /n/ menjadi hambat palatal /j/, seperti data
berikut ini.
tunduk (peta 929)
nugu: 3, 4, 6--8, 11--13, 15--17, 22--38, 41, 42, 44, 46, 47 ~ juku: 43
(c) Variasi konsonan nasal dental /n/ menjadi hambat labial /p/, seperti data
berikut ini.
tunduk (peta 929)
nugu: 3, 4, 6--8, 11--13, 15--18, 22--38, 41, 42, 44, 46, 47; nuŋgu:
9, 19, 20, 39, 40, 45, 48, 50 ~ pəgu: 49
3) Variasi nasal bilabial bersuara /m/
a) Variasi konsonan nasal bilabial bersuara /m/ menjadi hambat bilabial
implosif bersuara /ɓ/, disertai dengan variasi konsonan hambat velar
eksplosif /g/ menjadi konsonan hambat velar implosif /ɠ/ pada suku kata
kedua, seperti data berikut ini.
telanjang (peta 737)
moga : 11, 49, 50 ~ ɓo.ɠa:12, 22, 30
b) Variasi konsonan nasal bilabial bersuara /m/ menjadi hambat hambat dental
bersuara /d/, disertai peristiwa pengulangan dengan variasi konsonan
/d/menjadi /r/ pada kata kedua, suku kata pertama seperti data berikut ini.
telanjang (peta 737)
moga: 11, 49, 50 ~ doga –roga: 41
c) Variasi nasal bilabial bersuara /m/ menjadi hambat palatal /j/ pada suku kata
pertama dan kedua, seperti data berikut ini.
xl
ramas/remas (peta 903)
ɠə.me: 3, 4, 8, 13, 15,22 24,25,27, 30, 31, 37, 41, 46, 48 ~ ɠə.je: 9,17,19,20, 40, 48-
-50; ɠə.jo: 21, 45
4) Variasi konsonan hambat velar takbersuara /k/ pada suku kata kedua menjadi
konsonan hambat velar bersuara /g/, tampak seperti dalam data berikut ini.
menanduk (peta 864)
puku: 3, 4, 6, 7, 11, 12--16, 23, 25, 27, 31, 36--38 ~ pugu: 46, 47; pəgu: 39,
43, 44, 48, 49; pagu: 17, 20
5) Variasi konsonan hambat dental /d/ meliputi:
a) Variasi konsonan dental /d/ menjadi konsonan bilabial /p/
menanduk (peta 864)
dəgu: 6,8, 9, 15, 18, 19, 22,24,28--30, 34, 35, 40, 41 ~ pəgu: 39,43,44,48,49
b) Variasi konsonan dental /d/ menjadi konsonan dental /t/.
menanduk (peta 864)
dəgu: 6, 8, 9, 15, 18, 19, 22, 24, 28--30, 34, 35, 40, 41; ~ tə.gu: 26 \
6) Variasi konsonan likuid /r/ menjadi konsonan velar implosif /ɠ/, seperti
tampak dalam data berikut ini.
gagak (peta 481)
ra: 3, 12, 16; ʡa.na ra: 15, 44 ~ ɠa: 18; tu.ra; ɠa: 11
7) Variasi konsonan velar /k/ meliputi:
a) Variasi konsonan velar /k/ menjadi luncuran laringal /h/
putar (putar tutupan botol ) (peta 901)
ki.lu: 6, 13, 27; ki.li: 35; ki.du: 50; kiu: 36, 39, 43 ~ hi.du: 40
b) Variasi konsonan velar /k/ menjadi konsonan bilabial /b/
jatuh (karena terantuk) (peta 674) mbo.ka: 9, 10, 19--21, 50; b
ho.ka: 8 ~ bo.ba: 4, 6, 15, 16, 23, 24, 26, 28,
32, 33, 36, 37, 41, 44, 46, 47; m
bo.ba: 43
c) Variasi konsonan velar /k/ berkorespondensi dengan konsonan bilabial implosif /ɓ/
telan (peta 916)
kəo: 4,15,16; kəo:36 ~ ɓə.lo: 31,32,35,41, 44; ɓə.do: 39,40,43,45,47-- 50.
d) Variasi konsonan hambat velar takbersuara /k/ berkorespondensi dengan konsonan
hambat velar
bersuara /g/, tampak seperti data berikut ini.
duri (peta 387)
ka.lo: 20, 32, 39, 40, 42, 43, 45, 46, 48--50; ka.ro: 14, 17, 21, 35, 36,
44, 46; ka.yo: 8, 9, 18, 19, 33, 37, 38, 46 ~ ga.ro: 3, 4, 6, 7, 12, 13, 25;
ga.yo: 11; gaøo: 22, 30
e) Variasi konsonan velar eksplosif takbersuara /k/ berkorespondensi
dengan konsonan velar implosif bersuara /ɠ/
ramas/remas (peta 903)
xli
kəje: 39, 43, 49 ~ ɠəse: 6, 7, 26, 36, 38, 47; ɠəce: 12, 16, 23, 28, 29, 32--
34, 46; ɠəje: 9, 17, 19, 20, 40, 48, 50; ɠəjo: 45
f) Variasi konsonan velar / k / berkorespondensi dengan konsonan likuid tril /r/
putar (putar tutupan botol ) (peta 901)
kilu: 6, 13, 27; kili: 35; kidu: 50; kiu: 36, 39, 43 ~ 10 ridu: 8.
8) Variasi konsonan velar implosif bersuara /ɠ/ berkorespondensi dengan
konsonan velar eksplosif takbersuara /k/
putar (putar tutupan botol ) (peta 901)
ɠilu:7,15,16,18, 28,31,32,44 ~ kilu: 6,13,27; kili: 35; kidu: 50; kiøu:36,39, 43.
9) Perubahan konsonan hambat bilabial implosif /ɓ/ berkorespondensi dengan
konsonan hambat bilabial eksplosif /b/
sum-sum dalam tulang (peta 368)
ɓilu: 3, 4, 6, 7, 13--16, 23--35, 37, 38, 41, 44, 46; ɓidu: 8, 11, 12, 22, 39, 47,
49; ɓiu: 36 ~ bidu: 40.
10) Variasi konsonan likuid lateral /l/ berkorespondensi dengan konsonan velar /k/
kayu pengikat tali tenunan di pinggang (peta 999)
logo: 3, 4, 6, 7, 14--16, 23--28, 31, 33--35, 46 ~ kogo: 22, 30, 32, 36, 41,
44; koŋgo: 9, 39, 40, 42, 43, 45, 48, 49.
11) Variasi konsonan bilabial eksplosif /b/ berkorespondensi dengan konsonan
bilabial implosif /ɓ/
Variasi konsonan bilabial /b/ berkorespondensi dengan konsonan bilabial
implosif /ɓ/.
(a) terapung (peta 742)
bawa: 3, 6, 7, 11--13, 15, 16, 25, 27, 33, 34, 36, 37, 39--41, 44, 46, 47 ~
ɓawa: 4, 14, 17, 26, 29, 35.
(b) sandar (peta 906)
beʡi: 3, 6, 7, 12, 13, 15, 16, 22, 25, 28, 30--34, 36--38, 41, 44, 46, 47 ~
ɓeʡi: 4, 14, 17, 26, 29, 35.
(12) Variasi konsonan velar eksplosif /g/ berkorespondensi dengan konsonan
velar implosif /ɠ /
guling (peta 813)
gola: 4, 22, 23, 25, 27, 29, 30, 34, 41; goda: 8, 11, 12; goa: 36; ~ ɠola: 15, 16;
ɠole: 26.
13) Perubahan Konsonan Alveolar /z/
a) Perubahan Konsonan Alveolar /z/ berkorespondensi dengan konsonan
dental implosif /ɗ/
(1) beras (peta 355)
zea pa.re: 3, 4, 16; zea pae: 22, 24, 25; zea mama: 13; zea nika:
15, 23, 27, 28, 29, 41; bu zea: 8; zea ka: 6, 7, 12; ka zea: 18;
xlii
ʡetu zea: 39 ~ ɗea: 14, 35, 36.
b) Perubahan konsonan apiko-palatal [z] berkorespondensi dengan konsonan
apiko-alveolar /s/
bau basi (peta 985)
wau bazu: 3, 4, 7, 11, 12, 14--16, 22--24, 28, 30; wau bhazu: 8, 17,
18; wau mbazu: 20 ~ wau
mbasu: 39.
14) Perubahan konsonan dental /t/ berkorespondensi dengan konsonan alveolar /s/
jemput (menjemput anak) (peta 821)
tabu: 12, 13, 15, 16, 23, 24, 28, 38, 41, 44, 46, 47;tambu: 39, 40, 42, 43,
45, 48--50 ~ sabu: 3, 4, 7, 14, 22, 25, 29; sabhu: 11; sa
mbu: 19.
15) Variasi konsonan dental /d/ berkorespondensi dengan konsonan bilabial /p/
menanduk (peta 864)
dəgu : 4,6,7, 12, 15, 16 ~ pəgu: 39, 43, 44, 48, 49; pagu: 17, 20; pugu: 46,
47.
16) Variasi konsonan palatal bersuara /j/ meliputi:
a) Variasi konsonan palatal bersuara /j/ berkorespondensi dengan konsonan
frikatif alveolar takbersuara /z/.
(1) kuda (peta 500)
jara: 3, 4, 6, 7, 9, 12, 13, 15, 16, 19, 20, 21, 25, 26, 32, 50; jaya: 11; ja:
22--24,27--31 ~ zara: 14.
(2) pisang hutan (peta 422)
buju: 3, 6, 7, 13, 15, 16, 22--29, 31, 32, 38, 39, 41, 44, 45 ~ buzu: 14.
17) Perubahan konsonan frikatif alveolar takbersuara ersuara /z/
berkorespondensi dengan konsonan hambat palatal /j/.
bau basi (peta 985)
wau bazu: 3, 4, 7, 11, 12, 14--16, 22--24, 28, 30; wau bhazu: 8, 17, 18; wau
mbazu: 20 ~ wau baju: 26, 27, 29, 33, 34, 36--38, 46.
9. Temuan Penelitian
9.1 Parameter Penghitungan
Berdasarkan hasil penghitungan dialektometri dengan Parameter
dialektometri antartitik pengamatan dan Parameter dialektometri dengan
permutasi, di Kabupaten Nagekeo terdapat 3 bahasa, yaitu:
a) Bahasa Mbay/Riung dalam penelitian ini didukung oleh 3 dialek, yaitu:
(1) Dialek Lengkosambi, (2) Dialek Nggolonio, (3) Dialek Nggolombay.
b) Bahasa Nagekeo terdiri atas 22 dialek, yaitu:
(1) Dialek Boawae dengan subdialek sebagai berikut:
a) Subdialek Rawe,
c) Subdialek Kelewae.
b) Subdialek Rowa,
xliii
(2) Dialek Munde
(3) Dialek Dhawe
(4) Dialek Lape - Ia (Lape - Nataia)
(5) Dialek Lambo
(6) Dialek Dhereisa
(7) Dialek Rendu
(8) Dialek Ndora
(9) Dialek Jaduro (Raja, Wudu, Gero)
(10) Dialek Kelimado
(11) Dialek Kotakeo dengan Beda Wicara Ladolima
(12) Dialek Sara – Taka (Sarasedu – Takatunga)
(13) Dialek Soa (di Desa Mengeruda)
(14) Dialek Poma (di Desa Denatana)
(15) Dialek Lejo dengan Subdialek Wolokisa
(16) Dialek Aewoe
(17) Dialek Kotagana
(18) Dialek Wolowae (Dialek Toto) dengan subdialek sebagai berikut:
(a) Subdialek Utetoto
(b) Subdialek Watumite.
(19) Dialek Oja dengan Subdialek Tendarea
(20) Dialek Kotowuji dengan Subdialek Mbaenuari
(21) Dialek Romba
(22) Dialek Riti – Woko (Riti – Wokodekororo)
c) Bahasa Ende dalam penelitian ini didukung oleh 1 dialek, yaitu Dialek
Kerirea dan Subdialek Kebirangga.
9.2 Fonem yang Bervariasi Secara Teratur
Bahasa Nagekeo yang digunakan di Kab. Nagekeo dan daerah
perbatasannya, memiliki 6 buah fonem konsonan yang mengalami variasi
fonologis secara teratur, yaitu:
(1) Konsonan bilabial /b/ menjadi alofon [b], [bh], [
mb]
(2) Konsonan dental /d/ menjadi alofon [d] dan [nd]
(3) Konsonan Velar /g/ menjadi alofon [g] dan [ŋg]
(4) Konsonan alveolar /z/ menjadi alofon [z], [r], [R], [s], [y]
(5) Konsonan tril /r/ menjadi alofon [r], [R], [l], [l
h], [h], [y], [ø]
(6) Konsonan lateral /l/ menjadi alofon [l], [d], [ld], [
rz], [ø]
xliv
9.3 Kekhasan Bahasa
Secara leksikon terdapat dua hal unik yang merupakan kekhasan Bahasa
Mbay/Riung dibandingkan dengan Bahasa Nagekeo dan Bahasa Ende, yang
ditemukan dalam penelitian ini, yaitu:
1) Basis Bilangan
Kata bilangan yang digunakan dalam Bahasa Mbay/Riung berbasis 10
(sepuluh) sedangkan Bahasa Nagekeo dan Bahasa Ende menggunakan
kata bilangan berbasis 5 (lima), seperti dalam tabel berikut ini:
No. Kata
Bilangan
Bahasa
Mbay/Riung
Bahasa Nagekeo Bahasa Ende
1 satu (s,c)a ʡəsa ʡəsa
2 dua sua z(r,ɗ)ua Rua
3 tiga təlu tə(l,d)u tərzu
4 emat pat wutu wutu
5 lima lima l(d, ld)ima
rzima
6 enam nen(ng) (l ,d)ima ʡəsa rzima ʡəsa
7 tujuh pitu (l,d, ld)ima (z r,ɗ) ua
rzima Rua
8 delapan walu (z r) ua butu Rua m
butu
9 sembilan (s,c)iwa ta(ə)ra ʡəsa taRa ʡəsa
10 sepuluh sa bulu sa m
bulu s(c)a pulu
11 sebelas s(c)apulu
s(c)a
sa (b, m
b) ulu sa
ʡəsa a
mbu
rzu sa
ʡəsa
12 dua
belas s(c)apulu
sua
sa (b, m
b)ulu əsa
(z,r,ɗ)ua
a m
burzu ?əsa
Rua
2) Tipe Vokalis dan Nonvokalis
Kata-kata yang digunakan dalam Bahasa Nagekeo bersifat vokalis,
artinya kata-kata yang digunakan dalam kedua bahasa ini bersifat terbuka
atau selalu diakhiri dengan vokal, sedangkan kata-kata yang digunakan
dalam Bahasa Mbay/Riung bersifat nonvokalis, artinya kata-kata yang
digunakan dalam bahasa itu ada yang bersifat terbuka atau diakhiri dengan
vokal dan ada pula yang bersifat tertutup atau diakhiri dengan konsonan
pada akhir suku kata, seperti yang tampak dalam tabel berikut ini.
No
.
Glos Bahasa
Mbay/Riung
Bahasa Nagekeo
1 bulu
ekor
ayam
la n
do manuk:
1,2,5
lado manu : 15,16,24,26
weʡo manu: 3,4,6-13,17-34,36-
41,43-50
2 nenas pala wa n
daŋ: pala wada : 3,4,6,7, 11,13,25
xlv
1,2,5
3 member
i
tahu
to n
daŋ: 1,2,5
toda :3,4,6,7,12, 14-16,23,25, 28-30
4 kacang
hijau
rumbet :1,2,5
rube: 3,4, 13-16,25,26
5
garam
tanah
pasek: 1,2,5 pazo :3,4,6,7, 11-16,18,22-30, 35,38,
39,41
6 tongkat ɗoar:1,2,5 ɗoa: 3, 4, 6,7, 15,16
9.4 Temuan Teori Korespondensi Konsonan dalam Bahasa Nagekeo
Terdapat 2 teori berkorespondensi konsonan dalam Bahasa Nagekeo,
yaitu:
1) Teori Korespondensi Konsonan Hambat:
a) Rumusan Teori Korespondensi Konsonan Hambat: “Secara artikulasi
konsonan hambat selalu berkorespondensi dengan konsonan pranasal
hambat“.
b) Korespondensi Konsonan Hambat, meliputi:
(1) Konsonan Hambat Bilabial [b] Berkorespondensi [b], [m
b]
(2) Konsonan Hambat Dental [d] Berkorespondensi ≈ [d], [nd]
(3) Konsonan Hambat Velar [g] Berkorespondensi ≈ [g], [ŋg]
c) Formulasi Teori Korespondensi Konsonan Hambat: “Konsonan Hambat
/b,d, g/ ≈ [b,d, g] ≈ [m
b, n
d, n
d, ŋ
g]”.
b) Teori Korespondensi Konsonan Kontinuan
(1) Rumusan Teori Korespondensi Konsonan Kontinuan: “Konsonan
kontinuan selalu berkorespondensi dengan tipe konsonan kontinuan
yang lebih beragam tetapi tetap mempertahankan tempat
artikulasinya”.
(2) Korespondensi Konsonan Kontinuan, meliputi:
a) Korespondensi konsonan alveolar /z/ ≈ [z], [r], [R], [s], [y]
(b) Konsonan Likuida Tril /r// ≈ [r], [R], [l], /lh/, /h/,/y//,[ø]
(c) Konsonan Likuida lateral /l/ ≈ [l], [d], [ld] , [
rz] , [ø]
(3) Formulasi Teori Korespondensi Konsonan Kontinuan:
(a) Konsonan Kontinuan /z/ ≈ [z] ≈ [r] ≈ [R] ≈ [s] ≈ [y]
(b) Konsonan Likuida Tril /r// ≈ [r] ≈ [R] ≈ [l] ≈ /lh/≈ /h/≈ /y//≈ [ø]
(c) Konsonan Likuida lateral /l/ ≈ [l] ≈ [d] ≈ [ld] ≈ [
rz] ≈ [ø]
10. Simpulan dan Saran
10.1 Simpulan
Simpulan sebagai inti jawaban masalah penelitian disajikan berikut ini.
1) Pengelompokan isolek sebagai bahasa, dialek, subdialek, beda waicara dan
tidak perbedaan dilakukan berdasarkan:
xlvi
a) Parameter dialektometri antartitik pengamatan
b) Parameter dialektometri dengan permutasi.
2) Berdasarkan hasil penghitungan dialektometri dengan Parameter dialektometri
antartitik pengamatan dan Parameter dialektometri dengan permutasi di
Kabupaten Nagekeo terdapat 3 bahasa, yaitu:
a) Bahasa Mbay/Riung dalam penelitian ini didukung oleh 3 dialek.
b) Bahasa Nagekeo yang didukung oleh 22 dialek.
c) Bahasa Ende dalam penelitian ini yang didukung oleh 2 dialek.
3) Bahasa Nagekeo yang digunakan di Kab. Nagekeo dan daerah perbatasannya,
memiliki 6 buah fonem konsonan yang mengalami variasi fonologis secara
teratur, yaitu:
(1) Konsonan bilabial /b/ menjadi alofon [b], [bh], [
mb]
(2) Konsonan dental /d/ menjadi alofon [d] dan [nd]
(3) Konsonan Velar /g/ menjadi alofon [g] dan [ŋg]
(4) Konsonan alveolar /z/ menjadi alofon [z], [r], [R], [s], [y]
(5) Konsonan tril /r/ menjadi alofon [r], [R], [l], [l
h], [h], [y], [ø]
(6) Konsonan lateral /l/ menjadi alofon [l], [d], [ld], [
rz], [ø]
10.2 Saran
Berkenaan dengan saran sebagai rekomendasi untuk penelitian lebih lanjut
terhadap Bahasa Nagekeo, ada beberapa hal yang disarankan, yaitu:
1) Terhadap kekhasan atau keunikan fonologis yaitu konsonan lateral beraspirasi
/lh/ yang terdapat pada Dialek Lape – Ia (Nataia) di Desa Lape dan Desa Olaia
dan konsonan pralateral dental /ld
/ yang terdapat pada Dialek Watumite; dan
konsonan tril posterior /R/ yang terdapat pada Dialek Lambo perlu ditelusuri
asal-muasal serta arah saling pengaruh antara dialek-dialek itu dengan dialek-
dialek lain, bahkan dengan bahasa lain di sekitarnya.
2) Instrumen sebagai alat penjaring data untuk penelitian lebih lanjut pada bidang
fonologi perlu diperluas sehingga variasi-variasi fonem yang menyebabkan
terjadinya perubahan kategori kata secara signifikan, seperti kata poka
’potong’ sedangkan variannya kata boka ’jatuh’, pala ’telapak kaki’
sedangkan variannya kata bala ’bekas telapak kaki’ dapat terjangkau secara
memadai. Demikian juga dengan kehadiran kompositum sebagai pembentuk
frase dalam bidang sintaksis sebagai pemarkah golongan kata, seperti kata
kema ’kerja’ sedangkan frase ola kema ’pekerjaan’, kata ka ’makan’,
sedangkan frase ola ka ’makanan’ juga dapat diteliti secara memadai pula.
3) Terhadap munculnya gejala kepunahan keberadaan bahasa kecil sebagai
penopang bahasa nasional, maka disarankan kepada para pemangku dan
pemegang kebijakan kehidupan bangsa ini untuk membuat regulasi yang dapat
xlvii
melindungi dan mengayomi semua bahasa dan budaya, agar bahasa dan
budaya kecil di negeri ini tetap eksis dalam kehidupan masyarakat
pendukungnya.
xlviii
DISSERTATION SUMMARY
THE LINGUISTIC STATUS OF ISOLECTS IN NAGEKEO REGENCY:
A DIALECT GEOGRAPHY ANALYSIS
By
Petrus Pita
1. Introduction
1.1 Background
A research on dialect geography focusing on isolect variations in Nagekeo
regency is important and it should be investigated scientifically and objectively.
There are some main reasons such as:
1) Isolects used by people of Nagekeo regency are isolects of small local
languages which are rarely documented in the forms of scientific research
results, either micro or macro research.
2) Young generation and intellectuals tend to use Indonesian language, and not
local languages as their mother tongue or first language, even at family of local
culture domain.
3) In connection with the Nusantara Concept and national defense of Indonesian
nation, research on small local languages, such as the small languages in
Nagekeo regency will bring positive impact to the existence of Unitary
Country of the Republic of Indonesia as the unitary nation state (cf.
Ayatrohaedi, 1985:4-5; Dhani 1991: 3-4) because every elements of the nation,
no matter how small they are, are the glue that strengthens the unity and the
unitary of the Indonesian nation.
4) Isolect variations found in various speech communities in Nagekeo people are
the direct representation of cultural properties of Nagekeo people, at the same
time are the properties of the Indonesian nation which must saved from their
extinction.
5) To understand the people of Nagekeo as part of Indonesian nation, which is
diverse, isolect varieties used by the people in Nagekeo regency must be
studied and understood well, because through these isolects the life of Nagekeo
people can be learned.
Isolect variation of speech communities found in Nagekeo regency become
more complex in transitional areas between two different areas. For example,
in the bordering areas between Nagekeo and Ende, between Nagekeo and
Bajawa, and between Nagekeo and Riung in Ngada regency. In these
transitional areas, the entrance of elements of vocabulary and the pronunciation
from one language or dialect into another language or dialect, so that isolect
varieties become more complex and difficult to describe. Linguistic condition
like this potentially results in gradual differences in speech between one speech
xlix
community and another in Nagekeo people. This complex speech variety
becomes an important consideration for the writer in choosing the isolect
variation in the speech community in Nagekeo regency as the object of the
research.
1.2 Statement of the Problems
Problems raised in this research are specifically formulated as follows:
1) How are the forms of isolect differences based on lexical paradigm in various
research locations in Nagekeo regency?
2) How are the grouping of these isolects in Nagekeo regency into dialects and
subdialects?
3) How are the forms of phonemic changes phonologically of isolects in Nagekeo
regency?
1.3 Objectives of the Research
Based on the problems that have been formulated above, the objectives of
the research are formulated as follows:
1) To analyze the differences between isolects based on lexical paradigm in
various research locations in Nagekeo regency..
2) To group the isolects based on lexical paradigm and isoglosic patterns found in
various regions in Nagekeo regency.
3) To describe phonemic changes found in those isolects in Nagekeo regency
based in phonological paradigm.
1.4 Significance of the Research
Academically, the present research can be used by other researchers who
do research on Nagekeo language in Nagekeo regency and Ende regency, either
microlinguistic or macrolinguistic research. Besides, this research can be use to
enrich the facts and information about language variation in dialectogy studies in
Indonesia.
Furthermore, practically, this research can help Nagekeo speech
community to recognize and appreciate the characteristics of their dialectal and
other subdialects in Nagekeo language, so that the speakers can choose and use
them according to the domains of use, linguistic or dialect background of the
interlocutor, and particular communicative aims. Aside from this, this research
can help the teachers and students in the schools in Nagekeo language area to
learn their mother tongue as the language of the culture and help local government
in the formation of new villages or new districts consider linguistic and cultural
similarities of the people with the help of dialect or subdialect areas as one of the
indication of one regional entity.
l
2. Concept
2.1 Isolect
Kridalaksana (1988:82) in his paper entitled “Masalah Metodoligi dalam
Rekonstruksi Bahasa Melayu Purba’”, defines isolect as the form whose status is
either language or dialect. Aside frim this, Mahsun (1955:11) in his book
Dialektologi Diakronis Sebuah Pengantar, says that isolect is used as neutral term
to indicate dialect and language differences.
2.2 Isogloss and Isogloss Sheaf
Isogloss is defined as an imaginary line drawn on a linguistic map (cf. Keraf,
1984: 161, and also Lauder, 1990: 117).
Furthermore, the term isogloss is also known as word/lexical border line, is
the line that separates two dialect or linguistic environment based on the form or
system of the two environments which are different from one another , and which
are realized in linguistic map (Ayotroheaedi, 1979:5). So isogloss is an imaginary
line, which is drawn on a linguistic map to separate linguistic phenomenon based
on different variation.
2.3 Dialect
Atlas Commission on European languages defines dialect as the linguistic
systems used by a society that ditinguish them from other neighboring societies
that use different but closely related systems (Ayatrohaedi, 1979:1)
2.4 Variation in Dialectolgy
Variation is the form of various conditional or non-conditional manifestation
of an entity (Kridalaksana, 2001:225). Viewed from geographical dimension,
some changes or differences called variations happen based on rules while some
others sporadically.
Variation or differences in linguistic elements which are relevant in this
research comprises two aspects, they are, lexical variations and phonological
variations.
1) Lexical Variation
According to Mashun (1995:54), lexical variation or lexical difference
means when lexemes used to realize a meaning similar or different derived
from one pre-language etymon.
The analysis of lexical differences is done based on the consideration that
this field has important role in the grouping of language variations or
differences, as claimed by Chambers and Trudgill (1980:46, and cf. Grijns,
1976:10).
li
2) Phonological Variation
According to Mashun (1995:23) phonological variations or phonological
differences are the variations which are related to phonetic differences. The
description of variations or differences in linguistic items at phonological
level which become the object of analysis in this research focuses on the
differences of segmental phonemes.
2.5 Types of Analysis
Dialectological analysis carried out in this research is synchronic in nature.
This means the synchronic aspects is based on the phenomena of language use
that happen in limited period of time; that is, language elements that are used by
the people at present. This is in line with the essence of synchronic dialectology,
the branch of linguistic that investigates language variation of various dialects at
certain point of time (Kridalaksana, 2000:129, 198; cf. Mahsun, 19945: 13 – 14;
cf. Djajasudarma, 1993:7; Nothofer, 1981: 6 – 7; and Dhani, 1991:11).
2.6 Phonological Process
1) Assimilation Process
According to Kridalaksana (2001:18) assimilation is the process of sound
change that results in similarities or differences with other sounds nearby; for
example ad + similasi > assimilasi.
There are three types of assimilation:
a) Progressive Assimilation
When the assimilated sound comes after the assimilating sound; this
means sound change direction is to the right (Kridalaksana, 2001:18).
For example: Language Nagekeo ’rorate’: kilu ≈ kili
b) Regressive Assimilation
Regressive assimilation happens when the assimilated sound comes
before the assimilating sound; this means the sound change direction is to
the left (Kridalaksana 2001: 18)
For example: Nagekeo Language ‘crest’ lari manu ≈ rari manu.
c ) Assimilation Resiprok
Assimilation reciprocal , that is, if the sound that assimilated it precedes
sounds assimilate , meaning that the sound changes direction to the left
(Kridalaksana 2001: 18 ) .
Example : ' eight ' rua butu ≈ ro butu
2) Metathesis Process
Metathesis is sound change related to the change of place of the two
sounds involved (Kridalaksana, 2001:136).
For example, Nagekeo Language: ’suck’ səmo ≈ məso
‘cut the twig‘ soli ≈ losi
lii
3) Prothesis Process
Prothesis is the addition of a sound at the initial position of a word
(Kridalaksana, 2001:181), for example in Nagekeo Language:
Example : ' nose ' : izu ≈ Nizu
' foot ' aʔi ≈ waʔi
' rotate ' ilu ≈ kilu
4 ) Apharesis Process
Afaresis ie deletion sound at the starting position ( Kridalaksana 2001: 2 ) ,
Example : Nagekeo Language ' uncovered ' : beɠa ≈ bea
3. Theory
The dialectal geographical research on Nagekeo language carried out here
uses traditional dialectology theory as its theoretical framework. The basic
principle of traditional dialectology theory is the variation of language elements at
the level of lexicon, the relationship between phenemic changes between words
cannot be explained, although the words have the same meaning.
The differences of lexicon between one location and another is generally
influenced by social background of the people, so that each region arbitrarily give
different names to the same object of thing that carried the same meaning. Giving
different names to the same concept occurs as the result of different views from
the people to an object or a thing, based on the material, physic, characteristics,
condition or the function, etc.
4.1 Review of Literature
4.1 Review of Previous Studies
In this research, the review of previous studied is limited to the results of
geographical dialect research and social dialect research that are closely relevant
to this geographical dialect research on isolect variation in Nagekeo regency, as it
is clear in the following description:
1) The study of Sasak Language in Lombok in 1951 by A. Teeuw.
2) The study of Geographical Dialect of Nagekeo Language (undergraduate
thesis) by Petrus Pita in 1984.
3) The study of Geographical Dialect of Ngadha Language by Petrus Pita in 1984.
4) The study of Geographical Dialect of Sumba Language by A.A. Putra in 1984.
5) The study of Historical Relations of Language Family in Flores by Inyo
Fernandez in 1996.
liii
4.2 Relevance of Review of Literature with the Study of Isolect in Nagekeo
Regency
The relevance between related literature and the results of geographical
dialect research, social dialect research, and the result of comparative studies of
languages in Flores, comprises the following points: 1) Theory Selection, 2) The
Use of Data Analysis Method, 3) Selection of Observation Areas, 4) Informant
Selection, 5) Formulation of Research Instrument, 6) The Use of Data Collection
Method
5. Research Method
5.1 Selection and Coding of Research Location
5.1.1 Criteria of the Selection of Research Location
Ideally Gaston Paris suggests that the research should be done to each
society. This means, ideally the research is done to every village, every location
no matter how small and remote the place is (cf. Ayatrohaedi, 1979: 36; cf. also
Mashun, 1995: 102 – 105).
To comply with part of the suggestion of Gaston Paris, in this geographical
dialect research of Nagekeo language, 50 out of 104 villages are chosen.
5.1.2 Numbering System of Research Location
The numbering of research location done in this research is the horizontal
rightward system. There are 50 villages chosen as the research location.
5.1.3 Selection of Research Location
The selection of research location is done proportionally based on the degree
of variation of linguistic elements in the speech communities dan the number of
villages in an area (district), they are: 1) Aesesa District: 8 villages, 2) Aesesa
Selatan district: 1 village, 3) Nangaroro District: 5 villages, 4) Boawae District: 9
villages, 5) Mauponggo District: 6 villages, 6) Keo Tengah District: 10 villages,
7) Riung District: 1 village, 8) Wolomeze District: 1 village, 9) Golewa
District: 2 villages, 10) Nangapada District: 4 villages, 11) Soa District: 1 village,
12) Maukaro District: 2 villages
5.2 Research Instrument
5.2.1 Nature of Questionnaire
Questionnaire made for this research of geographic dialect of Nagekeo
Language contains word list that can be sued to explore lexical variation and
phonological variation, whereas field of syntax is used to crosscheck the same
response of the informants for different items or even no response in the
questionnaire through in-depth interview.
liv
5.2.2 Criteria of the Questionnaire
To get satisfactory result, the questionnaire in this research comply with
the general criteria (Ayatrohaedi, 1979: 38 – 39; cf. Nashun, 1995: 106 – 112), as
follows:
1) The questionnaire in this research is made in such a way as to reveal various
speech variations (specific characteristics) found in Nagekeo language. The
answers are then identified as the determining characteristics of isolect status,
both lexical and phonological variations.
2) The questionnaire is arranged based on the grouping of semantic fields,
considering the nature and the condition of the culture of Nagekeo people.
3) The questionnaire is easy and simple, hoping that the informants can give the
answers directly and spontaneously and the first answer is regarded as the
most appropriate answer.
5.2.3 Organization of the Questionnaire
The questionnaire in this study contains 1,000 words, which is expected to
explore the lexical and phonological variation. The questions are arranged
according to semantic fields so that the informants can give direct and
spontaneous answer. For this purpose, the questions are arranged based on
meaning relation according to each semantic field. This means, words that have
meaning realation are grouped in the same group.
5.2.4 Scope of the Questionnaire
The questionnaire in this study is in the form of lexical questions. This
means, the questionnaire is in the form of list of words of various domains of
people’s life, with the consideration of phonological and lexical variation in
various dialects (cf. Lauder, 1990:70).
Based on the aim, the questionnaire in this research (cf. Ayatrohaedi,
1979:41; cf. Mashun, 1995: 107 – 112; and cf. Lauder, 1990:70) include two
aspects, they are: 1) phonetic and 2) lexical aspect.
5.3 Criteria for the Informants
Data collection is done by visiting the 50 villages that have been chosen as
the areas of observation. Based on the opinion of Samarin that dialectology
research needs many informants and the opinion of Uhlenbeck that a linguist does
not only rely on only one informant because more than one informant will give
more objective picture of local linguistic situation (Lauder, 1990:84; cf, Mashun,
1995:106), in this research one key informant and two additional informants are
chosen from each area of observation.
lv
5.4 Method of Data Collection
Method of data collection in this research includes:
1) Field Method. The application of this method is done using the following
techniques: a) recording technique, b) Direct ask – take notes technique, c)
direct questioning technique, d) indirect questioning technique, e) Answer
eliciting technique, f) modeling technique.
5.5 Method of Data Presentation
Method of data analysis used in this research is dialectometric method. The
formula used in dialectometric method is:
(S X 100) = d%
n
Legend: S = number of differences with other areas
n = number of maps compared
d = distance of words in percentage
The result of the calculation is used to determine the relation between areas of
observation based on classification by Seguy (mahsun, 1995:118), as follows:
1) 81% - up : regarded as language difference (langue)
2) 51% - 81% : regarded as dialect difference (dialecte)
3) 31% - 50 % : regarded as subdialect difference (sousdialecte)
4) 21 %– 30% : regarded as speech difference (parler)
5) Below 20% : regarded as no difference
5.6 Method of Data Analysis
The result of the analysis is presented in two ways (Mashun, 2005:116 –
117), they are: 1) presentation using words and sentences, including technical
terms; 2) presentation using signs and symbols.
6. General Picture of Research Location
6.1 Short History of Nagekeo Formation during Dutch Era
Each subethnic that inhabit Nagekeo region now in 1911 belongs to one of
the two kingdoms created by Dutch Colonial Administration, they are:
1) Kingdom of Nage for Middle, North, and East Regions, with Oge Ngole as its
king, and Boawae as its Capital. The people of this kingdom is called Nege
people or Nage ethnic group.
2) Kingdom of Keo for south region, with Muwa Tunga as its king and Kota as
its capital. The people is called Keo people or Keo ethnic group.
In 1928 Dutch Colonial Administration merged the two kingdoms Nage and
Keo into one kingdom, that is Nagekeo kingdom, with Oga Ngole as its king and
Boawae as its capital.
lvi
6.2 History of the Foundation of Nagekeo Regency
Nagekeo Regency was founded based on several considerations (Nagekeo in
Figures, 2009: vii – viii), such as:
1) Through Ordinance No. 69 Year 1958 included Nagekeo Region into Ngada
Regency and Ordinance No. 5 Year 1974 about Regional Government.
2) Through Government Regulation No. 129 Year 2000 about Foundation,
Nullification, and merger of the regions.
3) Through Letter of Declaration of DPR-GR of Ngada Regency No. 1 Year
1965. DPR-GR of Ngada Regency made a proposal to Central Government of
Republik of Indonesia to divide Ngada Regency into two regencies: Nagekeo
Regency and Ngada Regency.
4) Through the Decree of Central Government of the Republic of Indonesia
Ngada Regency was divided into two regencies: Nagekeo Regencies and
Ngada Regencies.
5) Through the Letter of Recommendation from Ngada Mayor No.
594/PEM/10/2003 about the Proposal for the Foundation of Nagekeo
Regency and the propsal from the Governor of NTT through the Proposal to
the ministry of Internal Affairs No. PEM.135/02/2004 about the Proposal for
the Foundation of Nagekeo Regency in NTT Province.
6) Through the support from DPRD of Ngada Regency by issuing the Decree of
DPRD of Ngada Regency No 14 Year 2003 about the consent and support to
the proposal of the Foundation of Nagekeo Regency and from DPRD NTT
with the Decree of DPRD of NTT Province No. 4/PIM.DPRD/2004 about
the support for the division of Ngada Regency.
6.3 Geographical Condition
6.3.1 Topography
Nagekeo regency is located between 8026’00’’ - 8
064’40’’ South Latitude
and 12106’20’’ - 121
0 32’00’’ East Longitude. Nagekeo Regency abuts on
(Nagekeo in Figures, 2009:4):
Flores Sea to the North
Sawu Sea to the South
Ende Regency to the East
Ngada Regency to the West
6.3.2 Climate
Nagekeo Regency has tropical climate. As an area that has tropical climate
the change of temperature does not depend on the season but on the variation of
height from sea level.
lvii
6.3.3 Fauna and Flora
Most of the areas of Nagekeo Regency is covered with savannah, and tress
like palmyra, tamarind, cinnamon, candlenut, etc. (Nagekeo in Figures, 2009:4)
6.4 Administrative Region and Population
6.4.1 Administrative Region
The area of Nagekeo Regency (Nagekeo in Figures, 2009:3-12) consists of 7
districts, 78 villages, and 15 kelurahan.
6.4.2 Areal Extent
Based on data in 2009 (Nagekeo in Figures, 2009:6-10). The extent of the
area of Nagekeo Regency is 1.416,96 km2.
6.4.3 Population
The population of Nagekeo Regency, based on data in 2009 (Nagekeo in
Figures, 2009:4), is127.006.
6.5 Faith and Religion
Religion and faith of people of Nagekeo can be discribed as follows:
1) Formerly (Nagekeo ancestors) people of nagekeo were animists, who
believed in cosmic powers, known as Dewa Zeta (heaven) and Ga’e Zale
(earth).
2) During the era of religon of revelation, Nagekeo people embrace Catholic
religion as the religion of the majority and Islam (mostly in cities and cosal
areas).
6.6 Tourism Destination
Negekeo Regency is one of the regencies in Flores island that has many
natural tourist destination, such as natural view in Ena Gera beach in
Mauponggo District, hot spring in Putu, Aesesa District, hot spring Agi in
Tenga Tiba village, South Aesesa District, water fall Ngaba Tata in Rende
Butowe village, South Aesesa district, cultural tourist destination, such as relic
of traditional stone house, traditional village pattern in Traditional Village
Renduola in Rendu; Peo Adat, and handicraft of weaving, such as hoba Nage
in Central and North Nage, ragi Mbay in North Nage.
7. Measurement of the Distance between Vocabulary (Lexical items) based on
Dialectometre
7.1 Measurement of the Distance between Vocabulary (Lexical items?) based
on Dialectometre
lviii
Method of data analysis used in this research is dialectometric method. The
formula used in dialectometric method is:
(S X 100) = d%
n
Legend: S = number of differences with other areas
n = number of maps compared
d = distance of words in percentage
The result of the calculation is used to determine the relation between areas of
observation based on classification by Seguy (mahsun, 1995:118), as follows:
6) 81% - up : regarded as language difference (langue)
7) 51% - 81% : regarded as dialect difference (dialecte)
8) 31% - 50 % : regarded as subdialect difference (sousdialecte)
9) 21 %– 30% : regarded as speech difference (parler)
10) Below 20% : regarded as no difference
7.2 The Grouping of Isolect Status as Language, Dialect and Subdialect
The identification of isolect status as language, dialect or subdialect is based
on the result of dialectometric percentage calculation of the whole semantic field
and dialectometric percentage calculation with permutation, as follows:
Table 1: The Grouping of Isolect Status
Parameter Isolect Status
Language Dialect Subdialect
1. Dialectometer
of total
Semantic Field
2-6:81% 1-3:54 % 4-5:59% 3-13:41% 14-24:42%
5-7:85% 1-13:62% 5-6:66 % 3-14:42% 14-25:44%
2-3:58 % 5-12:63% 4-14:42 % 17-21:31%
2-4:69% 13-14:53% 6-8:35% 18-21:31%
8-10:37% 19-21:33%
9-10: 32% 21-22:38%
10-20:35% 27-35:31%
11-16:33% 34-35:31%
13-26:31% 34-36:32%
13-35:35% 36-46:36%
14-15:40%
7.3 Language Grouping
Based on the table of the the grouping of isolect status based on dialectometric
percentage of total semantic field and dielectometric percentage with permutation,
languages are grouped as follows:
lix
7.3.1 Mbay/Riung Language and Its Dialects
The highest percentage as language based on among points of observation is
found at OP 5(Observation Point) in Nggolombay village and OP 7 Olaia village.
Through confirmation check with isoglossic pattern of the whole semantic field,
it is found that OP 5 has the same patter with OP 1 and 2 from Mbay/Riung region
so that isolect status in this region is regarded as Maby/Riung language.
Mbay/Riung language in this research , which used by people in OP1, 2, and 5
has three dialects, they are:
(1) Lengkosambi Dialect (67%) found between OP 1 in Lengkosambi village
and OP 35 Sarasedu village.
(2) Nggolonio Dialect (69%) found between OP 2 in Nggolonio village and
OP 4 in Dhawe village.
(3) Nggolombay Dialect (66%) found between OP 5 in Nggolombay village
and OP 6 in Lape village.
7.3.2 Nagekeo Language and Its Dialects
Negekeo language used at OP 3, 4, 6 -9, 11, 12, 15 – 20, 22 – 34, 37 – 50 and
bordering areas of Ngada regency at OP 13, 14, 35, 36 comprise the following
dialects:
(1) Boawae Dialect (63% ) between OP 1 in Lengkosambi village and OP 27
in Natange village, which comprises the following subdialects:
a) Rawe Subdialect (44%) between OP 14 and in Mengeruda village with
OP 25 in Nagerawe village.
b) Rowa Subdialect (42%) between OP 21 in Kerirea village and OP 26
in Rowa village; and
c) Kelewae Subdialect (343%) between OP 8 in Tendambepa vaillage
and OP 34 in Kelewae village.
(2) Dhawe Dialect (69%) between OP 4 in Dhawe village and OP 2 in
Nggolonio village.
(3) Munde Dialect (58%) between OP 3 Tedamude village and OP 2
Nggolonio.
(4) Lape-Ia Dialect (66%) between OP 6 Lape village and OP 5 Nggolombay
village.
(5) Lambo Dialect (63%) between OP 12 Labolewa villae and OP 5
Nggolombay village.
(6) Dhereisa Dialect (61%) between OP 15 Dhereisa village and OP 5
Nggolombay village.
(7) Rendu Dialect (63%) between OP15 Renduwawo village with OP 1 in
Lengkosambi village.
lx
(8) Ndora Dialect (61%) between OP 22 Bidoa village and OP 5 Nggolombay
village.
(9) Jaduro Dialect (Raja, Wudu, Gero) (63%) between OP 23 Raja village
and OP 28 Wolopogo village. Jaduro dialect comproses subdialects Gero
(42%), between OP 24 in Gerodhere village and OP 14 in Mengeruda
village.
(10) Kelimado Dialect (60%) between OP 29 kelimado village and OP 5 in
Nggolombay village.
(11) Kotakeo Dialect (64%) between OP 31 Kotakeo village and OP 5 in
Nggolombay village.
(12) Wolowae Dialect or Toto Dialect (65%) between OP 11 in Natatoto
village and OP 1 in Lengkosambi village. This dialect comprises Utetoto
subdialect (32%) between OP 17 in Utetoto village and OP 21 in Kerirea
village.
(13) Oja Dialect (63%) between OP 19 in Tendambepa village and OP 1 in
Lengkosambi village. This dialect comprises the following subdialects:
a) Watumite Subdialect (33%) between OP 18 in Watumite village and
OP 21 in Kerirea village.
b) Tendarea Subdialect (35%) between OP 20 in Tendarea village and
OP 10 in Kebiringga village.
(14) Lejo Dialect (65%) between OP 32 in Selalejo village and OP 38 in
Wuliwalo village. This dialect comprises Wolokisa subdialect (34%)
between OP 37 in Wolokisa village and OP 8 in Tendambepa village.
(15) Aeweo Dialect (66%) between OP 46 in Aeweo village and OP 1 in
Lengkosambi village.
(16) Kotagana Dialect (65%) between OP 47 in Kotagana village and OP 1 in
Lengkosambi village.
(17) Wajo Dialect (65%) between OP 50 in Udiworowatu village and OP 1 in
Lengkosambi village and between OP 40 in Wajo village and OP 5 in
Nggolombay village.
(18) Romba Dialect (66%) between OP 45 in Witurombaua village and OP 1
in Lengkosambi village.
(19) Riti – Woko Dialect (65%) between OP 42 in Wokodekororo village and
OP 1 in Lengkosambi village
(20) Sara – Taka Dialect (Sarasedu – Takatunga) (67%) between OP 35 in
Sarasedu village and OP 1 in Lengkosambi village. Sara – Taka dialect is
spoken by people in bordering areas of Nagekeo regency and Ngada
Regency
lxi
(21) Soa Dialect (65%) between OP 14 in Mengeruda villae and OP 1 in
Lengkosambi village. Soa dialect is spoken by people in bordering areas
of Nagekeo regency and Ngada Regency.
(22) Poma Dialect (62%) between OP 14 in Denatan village and OP 1 in
Lengkosambi village.
7.3.3 Ende Language and its Dialect
The determination of the highest persentase for Ende language based on
dialectometry with mutation from East to west is found on TP 5 at Nggolombay
village and TP 21 at Kerirea village is 82 %. Throgh confirmation approach with
isoglos pattern of whole meaning field is found that TP 21 is on the same pattern
with TP 10 at Kebirangga village from Ende region unit; by the way the isoleg on
this TP is determind as Ende Language.
Ende language in this research is the language spoken at OP 10 and 21 and
has two dialects:
(1) Maukaro Dialect
(2) Nangapanda Dialect
8. Phonological Description
8.1 Phoneme Identification
Through Minimal technique, it is found out that:
(1) There are 6 (six) vowels in Nagekeo language: a, i, u, e, ә, o
Vowel Diagram
DEPAN PUSAT BELAKANG
ATAS i - - - u o
ATAS - KENDUR I - ī - ū ō
TENGAH- KENDUR α - ē ә U O
BAWAH a - - - - ā
(1) Nagekeo language has 21 (twenty-one) consonants: p, b, ɓ, f, t, d, ɗ, n, l, r,
c, j, h, s, z, k, g, ɠ, ŋ, ?.
(2) There are 2(two) semi vowels in Nagekeo language: w and y
lxii
Consonant Diagram
Point of
Articulation
Manner of
Articulation
bil
abia
l
labio
den
tal
Apic
o-a
lveo
lar
Lam
ino p
alat
al
Med
io p
alat
al
Dors
o v
elar
Uvula
r
Phar
ingal
Glo
ttal
Nasal B m - n - - ŋ - - -
Plosive Stop T B p - t - - - k - ?
b - d - - - g - -
Implosive Stop ɓ - ɗ - - - ɠ - -
Fricative T B - f s - c - - - -
B z j h
Lateral B l
Thrill B r
Glide/semivowel B w y
8.2 Phonemic Variation in Dialect Geography Dimension
Segmental phonemes variations in Nagekeo language are divided into two
types: the rule-governed (regular) variation and sporadic variation.
8.2.1 Rule-Governed (Regular) Variation
Segmental phoneme variation is said to be rule-governed if the realization of
phonemic variation in the form of allophones takes place for different glosses at
the same observation point (OP). Variations of segmental sounds in the form of
allophones in various isolects in Nagekeo regency becomes the characteristics and
distinguishing marks of dialects/subdialects bacause the variations are used
consistently and repetitively in various glosses at one particular area.
Rule-governed segmental phonemes variations in various isolects in Negekeo
regency, which are regarded significant as the determining characteristics of
regional dialect/subdialect, are only found in consonant variation, while vowel
variations are sporadic.
In this research, it is found out that there are 6 (six) consonants that undergo
rule-governed (regular) variation, as described below:
8.2.1.1 Rule-Governed (Regular) Variation of Consonant /b/ ≈ [b], [bh], [
mb]
The identification of allophonic variation of [b], [bh], and [
mb] is done based
on the use of these allophonic variants at various observation points in Nagekeo
language, Mbay language and Ende language.
lxiii
a) Nagekeo language Area
(1) Allophone [b] bilabial becomes the characteristic of use in:
(a) North Central-Nage Area at Munde Dialect, which is found at OP 3,
Dhawe dialect at OP 4, Lape-Ia dialect at OP 6, 7, Lambo dialect at
OP 12, Dhereisa dialect at OP 15, Rendu dialect at OP 16.
(b) South Central-Nage at Ndore dialect OP 22, 30, Jaduro Dialect at OP
23, 24, 28, Kotakeo dialect at OP 31, 41, 44.
(c) Central Nage Area found in Boawae dialect at OP 25, 26, 27, 34.
(d) West Keo Area found in Lejo dialect at OP 32, 33, 37, 38; Aewoe
dialect aat OP 46, Kotagana dialect at OP 47; Sara-Taka dialect at OP
35, 36; and Soa- Poa dialect at OP 13, 14.
(2) Allophone [bh] (aspirated) becomes the characteristic of use in North –
East Nage Area, found in Toto dialect or Wolowae Dialect at OP 8, 11,
17; and Oja dialect at OP 18.
(3) Allophone [m
b] (prenasal) becomes the characteristic of use in:
(a) Central Keo Area at Kotowuji dialect at OP 39, 40,48, 49, 50; and
Romba dialect at OP 45.
(b) East Keo Area, found in Riti-Woko dialect at OP 43.
(c) North- East Nage Area, found in Oja dialect at OP 9, 19, 20.
(4) Allophone [bh] (aspirated) and Allophone [
mb] (prenasal) are known and
used in North East Nage Area in the area of Toto dialect or Wolowae
dialect at OP 17 in Utetoto village because this village was formerly
situated at transitional area of Ende language area, that use allophone
[m
b] (prenasal).
b) Mbay Language Area
Prenasal bilabial consonant [m
b] becomes the characteristic of use of:
(1) Lengkosambi dialect at OP 1.
(2) Nggolonio dialect at OP 2
(3) Nggolombay dialect at OP 5.
c) Ende Language Area
Allophone [m
b] prenasal becomes the characteristics of use of:
(1) Maukaro dialect at OP 10.
(2) Nangapanda dialect at OP 21.
8.2.1.2 Rule-Governed (Regular) Variation of Consonant /d/ ≈ [d], [nd]
The identification of variation of allophones [d] and [nd] is done based on the
use of allophonic variation at various observation points in Nagekeo language,
Mbay language, and Ende language, as seen in the table above.
1) Nagekeo Language Area
a) Allophone [d] becomes the characteristic of use in the following areas:
lxiv
(1) North Central Nage, found in Munde dialect at OP 3, Dhawe dialect at
OP 4; Lape-Ia dialect at OP 6, 7; Lambo dialect at OP 12; Dhereisa
dialect at OP 15; Rendu dialect at OP 16.
(2) South Central Nage, foound in Ndora dialect at OP 22, 30; Jaduro
dialect at OP 23, 24, 28; Boawae dialect OP 25 – 27, 34; Kelimado
dialect at OP 29, 13, 14; Kotakeo at OP 31; Sara-Taka at OP 35 – 36.
(3) West Keo Area, found in Lejo dialect at OP 37, 38; Aewoe dialect at
OP 46; Kotagana dialect at OP 47.
b) Allophone [nd] becomes the characteristic of use in the following areas:
(1) North East Nage, found in Toto dialect or Wolowae dialect at OP 8, 9,
11, 17; Oja dialect at OP 18, 19, 20.
(2) Central Nage Area, found in Kotowuji dialect at OP 39, 40, 48 – 50.
(3) East Keo Area, found in Riti – woko dialect at OP 42, 43.
(4) West keo Area, found in Lejo dialect at OP 32, 33; Aewoe dialect at
OP 46; and Kotagana dialect at OP 47.
c) Allophones [d] and [nd] are used together in West Keo area in North
Ladolima dialect at OP 41, Ladolima dialect area at OP 44, Witurombaua
dialect area at OP 45, Aewoe dialect area at OP 46 and Kotagana at OP
47, because these areas are situated at the borders of Central Keo area.
2) Mbay Language Area
Allophone [nd] becomes the characteristic of use in the following areas:
(1) Lengkosambi dialect at OP 1
(2) Nggolobio dialect at OP 2.
(3) Nggolombay dialect at OP 5.
3) Ende Language Area
Allophone [nd] becomes the characteristic of use in the following areas:
(1) Maukaro dialect at OP 10.
(2) Nangapanda dialect at OP 21.
8.2.1.3 Rule-governed (regular) variation Consonant /g/ ≈ Allophones [g], [ŋg]
The identification of the variants of allophones [g] and [ŋg] is carried out
based on the use of allophonic variants at various observation points in Nagekeo
language, Mbay language and Ende language.
1) Nagekeo Language Area
a) Variant of Allophone [g] becomes the characteristic of use in:
(1) North Central Nage Area, found in Munde dialect at OP 3; Dhawe
dialect at OP 4; Lape-Ia dialect at OP 6, 7; Lambo dialect at OP 12;
Dhereisa delaect at OP 15; Rendu dialect at OP 16.
(2) South Central Nage Area, found in Ndora dialect at OP 22, 30; Jaduro
dialect at OP 23, 24, 28; Kelimado dialect at OP 29; Kotakeo dialect
lxv
at OP 31, 41, 44; Boawae dialect at OP 25, 26, 27, 34; Sara – Taka
dialect at OP 35, 36; Soa – Poma dialect at OP 13, 14.
(3) West Keo Area, found in Lejo dialect at OP 32, 33, 37, 38; Aeweo
dialect at OP 46.
(4) Toto Dialect area or Wolowae at OP 8, 9, 11; Oja dialect at OP 17, 18.
b) Variant of Allophone [ŋg] becomes the characteristic of use in:
(1) North East Nage Area, found in toto dialect or Wolowae dialect at OP
9, 17; Oja dialect at OP 19, 20.
(2) Central Keo Area, found in Kotowuji dialect at OP 40, 45, 48 – 50;
Romba dialect at OP 45.
c) Variant of Allophone [g] and [ŋg] are used together in North East Nage
Area, which is found in Toto dialect area or Wolowae dialect at OP 17 in
Utetoto village because this village is situated in transitional area of Ende
Language area, which uses allophone [ŋg].
2) Mbay Language Area
Allophone [ŋg] becomes the characteristic of use in (1) Lengkosambi dialect
found at OP 1, (2) Nggolonio dialect at OP 2, (3) Nggolombay dialect at OP 5/
3) Ende Language Area
Allophone [ŋg] becomes the characteristic of us in Maukaro dialect at OP
10, 12.
8.2.1.4 Rule-governed (regular) variation of Consonant /z/ ≈Allophones [z],
[r], [R], [s]. [y]
The identification of variants of allophones [z], [r], [R], [s]. [y] is carried
out based on the use of allophonic variants at various observation points in
Nagekeo language, Mbay language and Ende language.
1) Nagekeo Language Area
a) Allophonic variant of [z] becomes the characteritic of use in
(1) North Central Nage Area, found in Munde dialect at OP 3; Dhawe
dialect at OP 4; Lape – Ia dialect at op 6, 7; Lambo dialect at OP OP 12;
Dhereisa dialect at OP 15; Rendu dialect at OP 16.
(2) North East Nage Area, found in Toto dialect or Woloae dialect at OP
11, 17 and Oja dialect at OP 20.
(3) South Central Nage Area, found in Ndora dialect at OP 22, 30; Jaduro
dialect at OP 23, 24, 28; Kelimado at OP 29.
(4) Central Nage Area, found in Boawae dialect at OP 25 – 27.
(5) Bordering Areas between Naekeo regency and Ngada regency, found in
Sara – Taka dialect at OP 35.
b) Allophonic variant of [r] becomes the characteritic of use in
(1) Central Nage Area, found in Boawae dialect at OP 34.
lxvi
(2) Bordering Areas between Naekeo regency and Ngada regency, found in
Sara – Taka dialect at OP 36.
(3) West Keo Area, found in Lejo dialect at OP 32, 33, 37, 38; Aewoe
dialect at OP 46.
(4) Central Keo Area, found in Kotowuji dialect at OP 39, 40, 48 – 50;
Romba dialect at OP 45.
(5) East Keo Area. Found in Riti – Woko dialect at OP 42, 43.
(6) North East Nage Area, found in Watu Mita dialect at OP 18.
c) Allophonic variant of [z,r] becomes the characteritic of use in
Wolowae dialect at OP 8.
d) Allophonic variant of [y] becomes the characteritic of use in
(1) North East Nage Area, found in Toto dialect or Woloae dialect at
OP 19.
(2) South Central Nage, found in Kotakeo dialect at OP 31, 41, 44.
2) Mbay Language Area
Allophonic variants of [s] becomes the charateristic of use in:
(a) Lengkosambi dialect at OP 1
(b) Nggolonio dialect at OP 2.
(c) Nggolombay dialect at OP 5
3) Ende Language Area
Allophonic variant of [R] becomes the characteristic of use in Maukaro
dialect at OP 10 and Kerirea subdialect at OP 21.
8.2.1.5 Rule-governed (regular) variation of Consonant /r/ ≈ Allophones [r],
[R], [l]. [lh], [h], [y], [Ø]
The identification of allophonic variants of [r], [R], [l]. [lh], [h], [y], [Ø] is
carried out based on the use of variants of these allophones at various observation
points in Nagekeo language, Mbay language and Ende language.
a) Nagekeo Language Area
1) Allophone [r] becomes the characteristic in North Central Nage Area in:
(a) Dhawe dialect at OP 4,
(b) Dhereiss dialect at OP 15
(c) Rendu dialect at OP 16
2) Allophone [l] becomes the characteristic of use in:
(a) North East Nage Area, found in Utetoto subdialect at OP 17 and
Tendarea subdialect at OP 20.
(b) West Keo Area found in Lejo dialect at OP 32 and Kotagana dialect at 47.
(c) Central Keo Area found in Kotowuji at OP 39, 40, 48 – 50; and
Romba dialect at OP 45.
(d) East Keo dialect found in Riti – Woko dialect at OP 42, 43.
lxvii
3) Allophone [lh] (aspirated) becomes the characteritic of use in Central
North Nage Lape – Ia dialect at OP 6, 7.
4) Allophone [h] becomes the characteristic of use in:
(1) North Nage Area, Munde Subdialect at OP 3.
(2) Central Nage Area, Boawae dialect at OP 25 – 27.
5) Allophone [y] becomes the charateristic of use in North East Nage area,
Toto dialect of Wolowae dialect at OP 8, 9, 11; Oja dialect at OP 19; and
Watumite subdialect at OP 18.
6) Zero Allophone [Ø] becomes the characteristic of use in Central South
Nage area Dora dialect at OP 22, 30; Jaduro dialect at OP 23, 24, 28;
Kelimado dialect at OP 29; Kotakeo dialect at OP 31; and Ladolima
dialect at OP 41, 44,
8.2.1.6 Rule-governed (regular) variation of Consonant /l/ ≈ Allophones [r],
[R], [l]. [lh], [h], [y], [Ø]
The identification of allophone [l] ≈ s [l], [d]. [ld], [
rz], [Ø] is carried out
based on the use of variants of these allophones at various observation points in
Nagekeo language, Mbay language and Ende language.
1) Nagekeo Language Area
a) Allophone [l] becomes the charateristic of use in
(1) Central Nage Area, found in Boawae dialect at OP 25 – 27, 34.
(2) South Central Nage Area, found in Ndora dialect at OP 22, 30; Jaduro
dialect at OP 23, 24, 28; Kelimado at OP 29; Kelimado dialect at OP
29; Kotakeo dialect at OP 31; Ladolima at OP 41, 44.
(3) North Central Nage Area, found in Munde dialect at OP 3; Dhawe
dialect at OP 4; Lape – Ia dialect at op 6, 7; Lambo dialect at OP OP
12; Dhereisa dialect at OP 15; Rendu dialect at OP 16.
(4) West Keo Area found in Lejo dialect at OP 32, 33, 37; and Aewoe
dialect at OP 46.
(5) Bordering Areas between Naekeo regency and Ngada regency, found
in Sara – Taka dialect at OP 35.
b) Allophone [d] becomes the charateristic of use in
(1) North Central Nage Area, found in Lambo dialect at OP 12.
(2) North East Nage Area, found in Toto dialect or Woloae dialect at OP
8, 11, 17 and Oja dialect at OP 19; and Tendarea subdialect at OP 20.
(3) South Central Nage Area, found in Ndora dialect at OP 22.
(4) West Keo Area found in Lejo dialect at OP 38; Kotagana dialect at OP 47.
(5) Central Keo Area found in Kotowuji at OP 39, 40, 48 – 50; and
Romba dialect at OP 45.
(6) East Keo dialect found in Riti – Woko dialect at OP 42, 43.
lxviii
c) Allophone [ld] becomes the charateristic of use in North east Nage Area
in Watumite subdialect at OP 18.
d) Allophone [Ø] becomes the charateristic of use in dialect area in the
borders between Nagekeo regency and Ngada regency, found in Sara-
Take dialect at OP 36.
2) Mbay Language Area
Allophonic variants of [l] becomes the charateristic of use in:
(d) Lengkosambi dialect at OP 1
(e) Nggolonio dialect at OP 2.
(f) Nggolombay dialect at OP 5
3) Ende language Area
Allophone [rz] becomes the charateristic of:
(1) Maukaro dialect at OP 10.
(2) Nangapanda dialect at OP 21.
8.2.2 Sporadic Variation
It is also important to describe the sporadic variations appropriately in order
to know that facts about the varieties of a language and kinds of variations that
have enrich the language geographically. Sporadic variation is the sound that
appear sporadically. From linguistic point of view, sound variation that occurs
sporadically happens not because of certain linguistic environment (Saussure,
1988:25; cf. Mahsun, 1995:33) and therefore data related to sound changes in the
form of sporadic variation is limited to one or two examples.
8.2.2.1 Assimilation
Assimilation is phonemic variation or correspondence (vowel or consonant)
to become more like each other. There are three types of assimilation:
1) Progressive Assimilation
Progressive assimilation is variation or correspondence of phonemes
(vowel or consonant) to become the same or similar to the sound that
precedes it. Thus, the segmental that is on the right influences the one on the
left side. Variation or correspondence of the phoneme that happens here is the
variation of phoneme /u/ that is on the right undergoes assimilation or
adjustment with vowel /i/ which is on the left side, so that it results in vowel
/i-i/, as in the following finding:
turn (putar): kilu: 6, 13, 27 ~ kili: 35
2) Regressive Assimilation
Progressive assimilation is variation or correspondence of phonemes
(vowel or consonant) to become the same or similar to the sound that follows
lxix
it. In this phenomenon fluid consonant lateral /l/ that is on the left side
undergoes assimilation process to become like thrill /r/ that is on the right
side, so that it results in fluid consonant thrill /r-r/, as in the following finding.
(1) Saliva (map 48)
?ae lura: 6,7,15,16,44 ~ ?ae rura: 3, 13, 14, 25, 26; wae rura: 35, 36.
(2) Crest (map 148)
lari manu: 4, 6, 7, 13, 15, 16 ~ rari manu
3) Reciprocal Assimilation
Reciprocal assimilation is the correspondence of two successive
phonemes, that result of in a new phoneme which is different from the two
original phonemes (Kridalaksana, 2001: 19). Thus, there is a merger of two
neighboring segmental phonemes to become one new segmental. This
assimilation is two ways because the two segmental phonemes influence one
another, as can be seen in the following examples:
(1) eight (map 8)
rua butu:19,32,33,34, 46,47, 38, 46, 47, 48; rua bhUtu: 17, 18; rua
mbutu:20,39,40,42, 43,45,49,50; Rua
mbutu:10,21 ~ ro b
hutu: 8.
(2) eighteen (map 18)
ā bulu rua butu: 38; ā bulu ə.sa rua butu: 33, 34; ha bulu rua butu : 37,
46; ha mbulu əsa rua
mbutu: 45; bulu əsa rua butu: 32; sa budu rua {butu}:
22; ā budu əsa rua butu: 47; se bu rua butu: 36; se budu əsa rua butu: 19;
se bhU
ldu əsa rua b
hUtu: 18; se b
hUlu əsa rua b
hUtu: 11, 17; ha
mbudu
rua mbutu: 42; ā
mbudu əsa rua
mbutu: 39, 40, 43, 48-50; se
mbulu, ā
mbudu əsa rua
mbutu: 9 ~ se budu əsa ro butu: 8.
8.2.2.2 Syllabic Structure Process
Syllabic structure process in Nagekeo language found in this research is in
the form of addition of consonants at the initial position (prothesis), as seen in the
following:
a) Variation in the Form of Addition of Consonant
(1) Variation in the form of addition of stop velar consonant /k/ at the
beginning of a word that starts with vowel /i/, as seen in the following
unlock (unlocking bottle cover) (map 901)
øīlu :29 ~ kilu: 6, 13, 27.
(2) Variation in the form of addition of stop velar implosive consonant /ɗ/ at
the beginning of a word that starts with vowel /a/, as seen in the
following.
foot (map 87)
ʡaʡi: 3, 4, 6--13, 15--32, 39, 40, 41, 43--45, 47--50 ~ ɠaʡi: 42.
lxx
(3) Variation in the form of addition of nasal velar consonant /ŋ/ at the
beginning of a word that starts with vowel /i/, as seen in the following.
nose (map 80)
ʡi.zu: 6, 7, 8, 12, 15--17, 20, 22--24, 26--30 ~ ŋi.zu: 14, 35.
b) Variation in the Form of Addition of Semivowel
(1) Variation in the Form of Addition of Semivowel /w/ and /y/ at the initial
position of a word that starts with vowel /a/, as seen in the following.
foot (map 87)
ʡaʡi: 3, 4, 6--13, 15--32, 39, 40, 41, 43--45, 47--50 ~ waʡi: 14, 35 dan
yaʡi: 37, 38, 46.
(2) Variation of stop bilabial consonant /b/ and /f/ becomes semivowel /w/.
(a) Variation of bilabial consonant /b/ becomes semivowel /w/
pork (fat part of pork) (map 87)
bozo: 15, 23, 24, 27, 28 ~ wozo: 29
(b) Variation of fricative consonant /f/ becomes semivowel /w/
Eat (manggoes) with front teeth (map 843)
fagi: 3,6,7,12,15,16,23--25,27,28; fagi: 8,11,18 ~ wagi: 4, 22
(c) Variation of velar plosive consonant /ɠ/ becomes semivowel /y/
knead (map 903)
ɠəme: 3,4,8,13,15,22,24,25,27,30, 31, 37, 41, 46, 48 ~ yəme: 18
8.2.2.3 Segmental Omission
Variation in the form of omission velar implosive consonant /ɠ/ between
vowels /e/ and /a/, as seen in the following.
demolished (demolished house by the crash of car) (map 745)
beɠa: 4, 6, 7, 12, 15, 16, 22--38, 40, 41, 43, 46, 47 ~ bea: 14; mbea: 39
8.2.2.4 Metathesis
Metathesis is the change of place of phonemes in a word
(Kridalaksana:2001: 136). Metathesis that happens here is in the form of:
a) Change of place of consonants, that is, the consonant in the first syllable
of the word moves to the second syllable.
b) The consonant in the second syllable moves to the first syllable of the
word. Metathesis variation comprises:
1) Metathesis of consonant /g – l/ becomes /l – g/ . Data metathesis /g – l/
~ /l – g/ found in Nagekeo language is:
Turn around (peta 827)
gili ge.o: 31, 32, 37, 46; ~ li.gi leo: 44
2) Metathesis of consonant /m – s/ becomes /s – m/. Data metathesis /m –
s/ ~ /s – m/ found in Nagekeo language is
lxxi
suck (suck at a hose ) (peta 819)
sə.mo: 33, 37, 42 ~ mə.so: 4, 13
3) Metathesis of consonant /s – l/ becomes /l – s/. Data metathesis /s – l/ ~
/l – s/, found in Nagekeo language is
Cutting branches of a tree (peta 858)
soli: 42 ≈ losi: 17
8.2.2.5 Segmental Vowel Variation
Variation of segmental vowels comprises:
(1) Variation in form of the fronting of back rounded vowel /o/ becoming front
unrounded vowel /e/, as seen in the following.
swollen (map 248)
bowo: 23, 26, 27, 29, 34, 35, 37, 42; bowo ~ bewe: 33, 38, 46, 47
(2) Variation in the form of the fronting of back rounded vowel /u/ becoming
front unrounded vowel /i/, as seen in the following.
unlock (unlocking bottle cover) (map 901)
kilu: 6, 13, 27 ~ kili: 35
8.2.2.6 Segmental Consonant Variation
Consonant variation based on manner of articulation is related to the
constriction of certain voice tract, be it total block or constriction more than
manner of articulation. Thus, it is based on the manner in which the air passes out
from the lungs.
1) Variation of stop palatal voiceless consonant /c/:
a) Stop voiceless consonant /c/ ~ lateral voiced consonant /l/.
small (map 677)
coʡo: 12, 15--18, 22--24, 27--34, 46, 50 ~ loʡo: 8, 11, 19, 20, 22
b) Stop palatal voiceless consonant /c/ ≈ velar voiced consonant /g/.
small (map 677)
coʡo: 12, 15--18, 22--24, 27--34, 46, 50 ~ goʡo: 42, 43, 45, 46, 48--50
c) Stop palatal consonant voiceless consonant /c/ ~ velar voiced consonant
/s/.
small (map 677)
coʡo: 12, 15--18, 22--24, 27--34, 46 ~ soʡo: 4,29, 33, 34, 36--41, 44,47.
2) Variation of nasal dental consonant /n/:
(a) Variation of nasal dental /n/ ~ dental stop /d/ accompanied by variation
of consonant/g/ ~ consonant /k/ at second syllable of the word.
nod (map 929)
nugu: 3, 4, 6--8, 11--13, 15--17, 22--38,41,42,44, 46, 47 ~ duku: 14
(b) Variation of nasal dental /n/ ~ stop palatal /j/, as seen in the following.
nod (map 929)
lxxii
nugu: 3, 4, 6--8, 11--13, 15--17, 22--38, 41, 42, 44, 46, 47 ~ juku: 43
(c) Variation of nasal dental /n/ ~ stop labial /p/, as seen in the following.
nod (map 929)
nugu: 3,4,6--8,11--13,15--18,22--38,41,42,44,46, 47; nuŋgu: 9,
19, 20, 39, 40, 45, 48, 50 ~ pəgu: 49
3) Variation of bilabial nasal voiced consonant /m/:
(a) Variation of bilabial nasal consonant /m/ ≈ stop bilabial plosive voiced
/ɓ/, accompanied by variation of stop velar explosive /g/ ~ stop velar
implosive /ɠ/ at second syllable of the word, as seen in the following.
naked (map 737)
moga : 11, 49, 50 ~ ɓoɠa:12, 22, 30
(b) Variation of bilabial nasal voiced /m/ ~ dental stop voiced /d/,
accompanied by repetition with variation of consonant /d/ ~ /r/ at second
syllable of second word, as in the following.
naked (map 737)
moga: 11, 49, 50 ~ doga –roga: 41
(c) Variation of bilabial nasal voiced /m/ ~ stop palatal /j/ at first and second
syllable of the word, as seen in the following.
knead (map 903)
ɠəme: 3, 4, 8, 13, 15, 22, 24, 25, 27, 30, 31, 37, 41, 46, 48 ~ ɠəje: 9, 17, 19, 20,
40, 48--50; ɠəjo: 21, 45
4) Variation of stop velar voiceless /k/ of the second syllable of the word ≈ stop
velar voiced, as seen in the following.
butt (map 864)
puku: 3,4,6,7,11,12--16,23, 25, 27,31, 36--38 ~ pugu: 46,47; pəgu: 39, 43, 44, 48,
49; pagu: 17,20.
5) Variation of stop dental consonant /d/ comprises:
a) Variation of dental consonant /d/ ~ bilabial consonant /p/
butt (map 864)
dəgu: 6, 8, 9, 15, 18, 19, 22, 24, 28--30, 34, 35, 40, 41 ~ pəgu: 39, 43, 44, 48, 49
b) Variation of dental consonant /d/ ~ dental consonant /t/
butt (map 864)
dəgu: 6, 8, 9, 15, 18, 19, 22, 24, 28--30, 34, 35, 40, 41; ~ təgu: 26 .
6) Variation of fluid consonant /r/ ~ velar implosive consonant /ɠ/, as seen in the
following data.
crow (map 481)
ra: 3, 12, 16; ʡana ra: 15, 44 ~ ɠa: 18; tura; ɠa: 11
7) Variation of velar consonant /k/, comprises:
(a) Variation of velar consonant /k/ ~ larynx fluid consonant /h/
unlock (unlocking bottle cover) (map 901)
lxxiii
kilu: 6, 13, 27; kili: 35; kidu: 50; kiu: 36, 39, 43 ~ hidu: 40
(b) Variation of velar consonant /k/ ~ bilabial consonant /b/.
fall (map 674) mboka: 9, 10, 19--21, 50; b
hoka: 8 ~ boba: 4, 6, 15, 16, 23, 24, 26, 28,
32, 33, 36, 37, 41, 44, 46, 47; m
boba: 43
(c) Variation of velar consonant /k/ ~ bilabial implosive consonant /ɓ/.
swallow (map 916)
kəlo: 4,15,16; kəo: 36 ~ ɓəlo: 31,32,35,41,44; ɓədo: 39,40,43,45,47-- 50.
(d) Variation of stop velar consonant /k/ ~ stop velar consonant /e/ as seen
in the following.
thorn (map 387)
kalo: 20,32,39,40,42,43,45,46,48--50; karo: 14,17,21,35,36, 44, 46;
kayo: 8,9,18,19,33,37,38,46 ~ garo: 3,4,6,7,12,13,25; gayo:
11; gaøo: 22,30
(e) Variation of velar explosive voiceless consonant /k/ ~ velar implosive
voiced consonant /ɠ/
knead (map 903)
kəje: 39, 43, 49 ~ ɠəse: 6, 7, 26, 36, 38, 47; ɠəce: 12, 16, 23, 28, 29,
32--34, 46; ɠəje: 9, 17, 19, 20, 40, 48, 50; ɠəjo: 45
(f) Variation of velar consonant /k/ ~ thrill fluid consonant /r/ putar unlock
(unlocking bottle cover) (map 901)
kilu: 6, 13, 27; kili: 35; kidu: 50; kiu: 36, 39, 43 ~ 10 ridu: 8.
8) Variation of velar implosive consonant /ɠ/ ~ velar explosive voiceless
consonant /k/.
unlock (unlocking bottle cover) (map 901)
ɠilu:7,15,16,18, 28,31,32,44 ~ kilu:6,13,27; kili:35; kidu: 50; kiøu: 36,39, 43.
9) The change of stop bilabial implosive consonant /ɓ/ ~ stop bilabial explosive
consonant /b/.
Marrow (map 368)
ɓi.lu: 3, 4, 6, 7, 13--16, 23--35, 37, 38, 41, 44, 46; ɓi.du: 8, 11, 12, 22, 39,
47, 49; ɓiu: 36 ~ bi.du: 40.
10) Variation of lateral fluid consonant /l/ ~ velar consonant /k/
A tool in traditional weaving activity (map 999)
logo: 3, 4, 6, 7, 14--16, 23--28, 31, 33--35, 46 ~ kogo: 22, 30, 32, 36,
41, 44; koŋgo: 9, 39, 40, 42, 43, 45, 48, 49.
11) Variation of bilabial explosive consonant /b/ ~ bilabial implosive consonant
/ɓ/, variation of bilabial consonant /b/ ~ bilabial implosive /ɓ/
(a) float (map 742)
bawa: 3, 6, 7, 11--13, 15, 16, 25, 27, 33, 34, 36, 37, 39--41, 44, 46, 47 ~
ɓawa: 4, 14, 17, 26, 29, 35.
lxxiv
(b) lean on (map 906)
beʡi: 3, 6, 7, 12, 13, 15, 16, 22, 25, 28, 30--34, 36--38, 41, 44, 46, 47 ~
ɓeʡi: 4, 14, 17, 26, 29, 35.
12) Variation of velar explosive consonant /g/ ~ velar implosive /ɠ/
Roll over (map 813)
gola: 4, 22, 23, 25, 27, 29, 30, 34, 41; goda: 8, 11, 12; goa: 36; ~ ɠola: 15, 16;
ɠole: 26.
13) The change of alveolar consonant /z/
a) The change of alveolar consonant /z/ ~ dental implosive /ɗ/.
rice (map 355)
zea pa.re: 3,4,16; zea pae: 22,24,25; zea mama: 13; zea nika : 15,
23, 27, 28, 29, 41; bu) zea: 8; zea ka: 6, 7, 12; ka zea: 18; ʡetu zea: 39 ~
ɗea: 14, 35, 36.
b) The change of apico-palatal /z/ ~ apico-alveolar /s/
odor of stale (map 985)
wau bazu: 3, 4, 7, 11, 12, 14--16, 22--24, 28, 30; wau bhazu: 8, 17,
18; wau mbazu: 20 ~ wau
mbasu: 39.
14) The change of dental consonant /t/ ~ alveolar /s/
Pick up (map 821)
tabu: 12, 13, 15, 16, 23, 24, 28, 38, 41, 44, 46, 47;tambu: 39, 40, 42, 43, 45,
48--50 ~ sabu: 3, 4, 7, 14, 22, 25, 29; sabhu: 11; sa
mbu: 19.
15) Variation of dental consonant /d/ ~ bilabial consonant /p/
butt (map 864)
dəgu : 4,6,7, 12, 15, 16 ~ pəgu: 39, 43, 44, 48, 49; pagu: 17, 20; pugu: 46,
47.
16) Variation of palatal voiced /j/ comprises:
Variation of palatal voiced /j/ ~ fricative alveolar voiceless /z/
(1) horse (map 500)
jara: 3, 4, 6, 7, 9, 12, 13, 15, 16, 19, 20, 21, 25, 26, 32, 50; jaya: 11;
ja: 22--24,27--31 ~ zara: 14.
(2) wild banana (map 422)
buju: 3,6,7,13,15,16,22--29,31,32,38,39,41,44,45 ~ buzu: 14.
17) The change of fricative alveolar voiceless/voiced consonant /z/ ~ stop palatal
consonant /j/.
Odor of stale (map 985)
wau bazu: 3, 4, 7, 11, 12, 14--16, 22--24, 28, 30; wau bhazu: 8, 17, 18; wau
mbazu: 20 ~ wau baju: 26, 27, 29, 33, 34, 36--38, 46.
lxxv
9. The Finding
9.1 Calculation Parameter
Based on the result of dialectometric calculation, using the dialectometric
parameter between observation points and dialectometric parameter with
permutation, there are three languages in Nagekeo regency, they are :
a) Mbay/Riung Language, which, in this research is supported by three dialects:
(1) Lengkosambi dialect, (2) Nggolonio dialect, (3) Nggolombay dialect
b) Nagekeo Language consists of 22 dialects:
(1) Boawae dialect, with the following subdialect:
a) Rawe subdialect
b) Kelewae subdialect
c) Rowa subdialect
(2) Munde dialect
(3) Dhawe dialect
(4) Lape - Ia dialect (Lape - Nataia dialect)
(5) Lambo dialect
(6) Dhereisa dialect
(7) Rendu dialect
(8) Ndora dialect
(9) Jaduro dialect (Raja, Wudu, Gero dialect)
(10) Kelimado dialect
(11) Kotakeo dialect with Ladolima speech difference (parler)
(12) Sara – Taka dialect (Sarasedu – Takatunga) dialect
(13) Soa dialect (in Mengeruda village)
(14) Poma dialect (in Denatana village)
(15) Lejo dialect with Wolokisa Subdialect
(16) Aewoe dialect
(17) Kotagana dialect
(18) Wolowae dialect (Toto dialect) with the following subdialect:
(a) Utetoto Subdialect
(b) Watumite Subdialect.
(19) Oja dialect with Tendarea Subdialect
(20) Kotowuji dialect with Mbaenuari Subdialect
(21) Romba dialect
(22) Riti – Woko dialect (Riti – Wokodekororo dialect)
c) Ende Language, which is supported by 1 dialect, that is Nangapanda dialect
and Maukaro dialect.
lxxvi
9. 2 Phoneme that Undergoes Rule-Governed Variation
Nagekeo language used in Nagekeo regency and the bordering areas, has 6
consonants that undergo rule-governed phonological variation:
(1) Bilabial consonant /b/ becoming allophones [b]. [bh], [
mb]
(2) Dental consonant /d/ becoming allophones [d] and [nd]
(3) Velar consonant /g/ becoming allophones [g] and /ng/
(4) Alveolar consonant /z/ becoming allophones [z], [r], [R], [s], [y]
(5) Thrill consonant /r/ becoming allophones [r], [R], [l], [l], [h], [y], [Ø]
(6) Lateral consonant /l/ becoming allophones [l], [d], [d], [z], [Ø]
9. 3 Language Characteristics
Lexicon-wise, there are two unique linguistic phenomena in Mbay/Riung
language compared to Nagekeo and Ende language found in this research:
(1) Basic Numeral
Basic numerals used in Mbay/Riung language is 10 (ten), while Nagekeo and
Ende language has 5 (five) basic numbers, as seen in the following table:
No Numeral Mbay/Riung
Language
Nagekeo
Language
Ende
Language
1 one (s,c)a ʡəsa ʡəsa
2 two sua z(r,ɗ)ua Rua
3 three təlu tə(l,d)u tə
rzu
4 four pat wutu wutu
5 five lima l(d,
ld)ima
rzima
6 six nen(ng) (l ,d)ima ʡəsa
rzima ʡəsa
7 seven pitu (l,d,
ld)ima (z
r,ɗ) ua
rzima Rua
8 eight walu (z r) ua butu Rua
mbutu
9 nine (s,c)iwa ta(ə)ra ʡəsa taRa ʡəsa
10 ten Sa bulu sa
mbulu s(c)a pulu
11 eleven s(c)apulu s(c)a
sa (b, m
b) ulu
sa ʡəsa
a m
burzu sa
ʡəsa
12 twelve s(c)apulu
sua
sa (b, m
b)ulu
əsa (z,r,ɗ)ua
a m
burzu
?əsa Rua
lxxvii
(2) Vocalic and Non-vocalic Types
Words used in Nagekeo language are vocalic in nature, which means, words
used in both languages are open in nature, or the ending is always a vowel,
whereas the words in Mbay/Riung language are non-vocalic, which means,
some words used in this language are open or end in vowels and others are
closed or end in consonants, as in the following table:
No. Gloss Mbay/Riung Language Negekeo Language
1 feather la n
do manuk: 1,2,5 lado manu :
15,16,24,26
weʡo manu: 3,4,6-
13,17-34,36-41,43-50
2 pineapple pala wa n
daŋ: 1,2,5 pala wada : 3,4,6,7,
11,13,25
3 inform to n
daŋ: 1,2,5
toda :3,4,6,7,12, 14-
16,23,25, 28-30
4 green pea rumbet :1,2,5
rube: 3,4, 13-16,25,26
5 (soil) salt pasek: 1,2,5 pazo :3,4,6,7, 11-16,
18,22-30, 35,38, 39,41
6 Stick/cane ɗoar:1,2,5 ɗoa: 3, 4, 6,7, 15,16
9.4 The Discovery of Consonant Correspondence Theory in Nagekeo
Language
There are two theories of consonant correspondence in Nagekeo
Language, are:
a) Obstruct consonant correspondence theory:
a) The formulation of obstruct consonant: “ Correspondence articulatory of
obstruct consonans is always corresponds with consonant pranasal
obstruction“.
b) The correspondence of obstruct consonant include:
(1) Obstruct bilabial consonant [b] corresponden with [b], [m
b]
(2) Obstruct dental consonant [d] corresponden with [d], [nd]
(3) Obstruct velar consonant [g] corresponden with [g], [ŋg]
c) Formulation of Obstruct consonant correspondence theory: “ Obstruct
consonant /b,d, g/ ≈ [b,d, g] ≈ [m
b, n
d, n
d, ŋ
g]”.
b) Continual consonant correspondence theory:
(1) Formulation of continual consonant correspondece theory: “ continual
consonant always corresponds with the type of more various continual
consonant caretantly maintain the position of its articulation”.
lxxviii
(2) The continual consonant correspondence include:
a) Alveolar consonant correspondence /z/ ≈ [z], [r], [R], [s], [y]
(b) Trill Liquida consonant /r// ≈ [r], [R], [l], /lh/, /h/,/y//,[ø]
(c) Lateral Liquid consonant /l/ ≈ [l], [d], [ld] , [
rz] , [ø]
(3) Formulation of continual consonant correspondece theory :
(a) Continual consonant /z/ ≈ [z] ≈ [r] ≈ [R] ≈ [s] ≈ [y]
(b) Trill Liquid consonant /r// ≈ [r] ≈ [R] ≈ [l] ≈ /lh/≈ /h/≈ /y//≈ [ø]
(c) Lateral Liquid consonant /l/ ≈ [l] ≈ [d] ≈ [ld] ≈ [
rz] ≈ [ø]
10. Conclusion and Suggestion
10.1 Conclusion
1) The grouping of isolect into language, dialect, subdialect in this research is
done based on:
a) Dialectometric Parameter among observation points
b) Dialectometric Parameter with permutation
2) Based on result of the calculation with dialectometric parameter among
observation points and dialectomateris parameter with permutation, there are 3
languages in Nagekeo regency:
a) Mbay/Riung Language, supported by 3 dialects
b) Nagekeo language, supported by 22 dialects.
c) Ende language, supported by 1 dialect
3) Nagekeo language used in Nagekeo Regency and the bordering areas has 6
consonants that undergo rule-governed phonological variation:
(1) (1) Bilabial consonant /b/ becoming allophones [b]. [bh], [
mb]
(2) (2) Dental consonant /d/ becoming allophones [d] and [nd]
(3) (3) Velar consonant /g/ becoming allophones [g] and /ng/
(4) (4) Alveolar consonant /z/ becoming allophones [z], [r], [R], [s], [y]
(5) Thrill consonant /r/ becoming allophones [r], [R], [l], [l], [h], [y], [Ø]
(6) Lateral consonant /l/ becoming allophones [l], [d], [d], [z], [Ø]
10.2 Suggestions
In terms of suggestions as recommendation for further studies of Nagekeo
language, there are several points that are suggested here:
1) For phonological uniqueness, that is, lateral aspirated consonant /lh/ in
Lape – Ia dialect (Nataia) in Lape and Olaia village and dental prelateral
consonant /ld/ in Watumite dialect; and posterior thrill /R/ in Lambo
dialect need to be investigated concerning their origin and the direction of
influence between those dialects and with other dialects, or even with
other neighboring languages.
lxxix
2) Instrument of data collection for further studies in the field of phonology
need to be broaden, so that phonemic variations that cause the significant
change of word class, such as the word poka ‘cut’, while its variant boka
‘fall’ , pala ‘sole’ and its variant bala ‘footprint’, can be analyzed
appropriately. In addition, the existence of form as phrase formation in
syntactic field as signal of word class, such as the word kema ‘to work’
while the phrase ola kema ‘the work’, the word ka ‘to eat’, while the
phrase ola ka ‘the food’ can be investigated more appropriately.
3) In terms of the phenomena of extinction of small language as the support
of national language, it is suggested that the stakeholders and decision
makers should promulgate the rules and regulations to protect all the
languages and cultures, so that the small languages and cultures in this
country can survive in the lives of its people.
lxxx
DAFTAR ISI
JUDUL LUAR ...................................................................................................... i
JUDUL DALAM ................................................................................................. ii
HALAMAN PRASYARAT GELAR ................................................................ iii
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................ iv
HALAMAN PANITIA PENGUJI ..................................................................... v
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ................................................................ vi
UCAPAN TERIMA KASIH ............................................................................ vii
ASBTRAK .......................................................................................................... xi
ABSTRACT ....................................................................................................... xii
RINGKASAN ................................................................................................... xiii
RESUME ........................................................................................................ xlviii
DAFTAR ISI ................................................................................................... lxxx
DAFTAR LAMBANG/SINGKATAN ....................................................... lxxxvi
DAFTAR BAGAN/DENAH ...................................................................... lxxxvii
DAFTAR TABEL ..................................................................................... lxxxviii
DAFTAR PETA .................................................................................................xc
I. PENDAHULUAN ................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................... 8
1.3 Tujuan ..................................................................................................... 9
1.4 Manfaat Penelitian .................................................................................. 9
1.4.1 Manfaar Akademis .................................................................................. 9
1.4.2 Manfaat Praktis ..................................................................................... 10
II. KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI................... 11
2.1 KAJIAN PUSTAKA ............................................................................. 11
2.1.1 Penelitian Bahasa Sasak di Pulau Lombok ........................................... 11
2.1.2 Penelitian Dialek Geografi Bahasa Nagekeo ........................................ 12
2.1.3 Penelitian Dialek Geografi Bahasa Sumba ........................................... 15
2.2 Konsep .................................................................................................. 17
2.2.1 Isolek ..................................................................................................... 17
2.2.2 Isoglos dan Berkas Isoglos.................................................................... 18
2.2.3 Dialek .................................................................................................... 20
2.2.4 Variasi Dalam Dialektologi .................................................................. 21
2.2.5 Sifat Kajian ........................................................................................... 23
2.3 Landasan Teori...................................................................................... 24
III. METODE PENELITIAN ................................................................... 28
3.1 Pemilihan dan Penomoran Lokasi Penelitian ...................................... 28
3.1.1 Dasar Pertimbangan Pemilihan Daerah Penelitian ............................... 28
lxxxi
3.1.2 Sistem Penomoran Daerah Penelitian ................................................... 33
3.2 Instrumen Penelitian ............................................................................. 39
3.2.1 Hakikat Daftar Pertanyaan ................................................................... 39
3.2.2 Syarat Daftar Pertanyaan ................................................................... 39
3.2.3 Susunan Daftar Pertanyaan ............................................................... 40
3.2.4 Cakupan Daftar Pertanyaan ............................................................... 40
3.3 Sumber Data dan Syarat Informan ........................................................ 42
3.3.1 Sumber Data.......................................................................................... 42
3.3.2 Syarat Informan .................................................................................... 43
3.4 Metode Penyediaan Data ...................................................................... 44
3.4.1 Metode Lapangan.................................................................................. 44
3.4.2 Metode Simak ....................................................................................... 46
3.5 Metode Pengolahan Data ...................................................................... 46
3.6 Metode Penyajian Hasil Analisis Data ................................................. 49
3.7 Model Penelitian ................................................................................... 50
IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN ............................ 52
4.1 Sejarah Singkat Terbentuknya Nagekeo di Zaman Belanda ................. 52
4.2 Sejarah Pembentukan Kabupaten Nagekeo ........................................ 55
4.3 Keadaan Geografi ................................................................................ 59
4.3.1 Topografi............................................................................................... 59
4.3.2 Iklim ...................................................................................................... 61
4.3.3 Fauna dan Flora..................................................................................... 61
4.4 Wilayah Administrasi dan Penduduk ................................................... 62
4.4.1 Wilayah Administrasi ........................................................................... 62
4.4.2 Luas Wilayah ........................................................................................ 65
4.4.3 Jumlah Penduduk .................................................................................. 65
4.5 Kepercayaan dan Agama ...................................................................... 66
4.6 Objek Pariwisata ................................................................................... 67
V. PENGHITUNGAN JARAK KOSAKATA BERDASARKAN
DIALEKTOMETRI ........................................................................... 68
5.1 Penghitungan Jarak Kosakata Berdasarkan Dialektometri ................... 68
5.2 Penghitungan Jarak Kosakata Berdasarkan Medan Makna ................. 70
5.2.1 Penghitungan Jarak Kosakata Berdasarkan Medan Makna Bilangan
dan Hitungan ......................................................................................... 70
5.2.2 Penghitungan Jarak Kosakata Berdasarkan Medan Makna Ukuran
dan Keterangan Jumlah ......................................................................... 73
5.2.3 Penghitungan Jarak Kosakata Berdasarkan Medan Makna Bagian
Tubuh dan Produksi Tubuh Manusia .................................................... 76
5.2.4 Penghitungan Jarak Kosakata Berdasarkan Medan Makna Bagian
Tubuh Binatang ..................................................................................... 80
5.2.5 Penghitungan Jarak Kosakata Berdasarkan Medan Makna Kata Ganti,
Sapaan, Kekerabatan, dan Acuan .......................................................... 83
5.2.6 Penghitungan Jarak Kosakata Berdasarkan Medan Makna Dukun,
Penyakit, Pengobatan, dan Kematian.................................................... 86
lxxxii
5.2.7 Penghitungan Jarak Kosakata Berdasarkan Medan Makna Adat
Perkawinan dan Kelahiran Manusia ..................................................... 89
5.2.8 Penghitungan Jarak Kosakata Berdasarkan Medan Makna
Rumah/Bangunan dan Bagian-bagiannya ........................................... 92
5.2.9 Penghitungan Jarak KosakataMedan Makna Peralatan Dapur
dan Rumah Tangga ............................................................................... 95
5.2.10 Penghitungan Jarak Kosakata Berdasarkan Medan Makna Makanan
dan Minuman ...................................................................................... 98
5.2.11 Penghitungan Jarak Kosakata Berdasarkan Medan Makna Tanaman 101
5.2.12 Penghitungan Jarak Kosakata Berdasarkan Medan Makna Nama
Binatang dan Peralatannya ................................................................ 104
5.2.13 Penghitungan Jarak Kosakata Berdasarkan Medan Makna Pertanian,
Perkebunan, dan Alat-alatnya ........................................................... 107
5.2.14 Penghitungan Jarak Kosakata Berdasarkan Medan Makna Waktu
dan Musim .......................................................................................... 110
5.2.15 Penghitungan Jarak Kosakata Berdasarkan Medan Makna Keadaan
Alam dan Benda Alam ...................................................................... 113
5.2.16 Penghitungan Jarak Kosakata Berdasarkan Medan Makna Sifat
atau Keadaan ....................................................................................... 116
5.2.17 Penghitungan Jarak Kosakata Berdasarkan Medan Makna Gerak
Kerja .................................................................................................... 119
5.2.18 Penghitungan Jarak Kosakata Berdasarkan Medan Makna Warna .... 122
5.2.19 Penghitungan Jarak Kosakata Berdasarkan Medan Makna Pakaian
dan Perhiasan .................................................................................... 124
5.2.20 Penghitungan Jarak Kosakata Berdasarkan Medan Makna Kehidupan
di Desa ................................................................................................ 127
5.2.21 Penghitungan Jarak Kosakata Berdasarkan Medan Makna Arah
dan Petunjuk........................................................................................ 130
5.2.22 Penghitungan Jarak Kosakata Berdasarkan Medan Makna Bau
dan Rasa .............................................................................................. 133
5.2.23 Penghitungan Jarak Kosakata Berdasarkan Medan Makna Tenun Ikat
dan Peralatannya ................................................................................. 136
5.3 Deskripsi Hasil Penghitungan Jarak Kosakata Keseluruhan Medan
Makna ................................................................................................. 140
5.3.1 Penghitungan Jarak Kosakata Keseluruhan Medan Makna ................ 140
5.3.2 Deskripsi Status Isolek Keseluruhan Medan Makna .......................... 145
5.3.2.1 Deskripsi Status Isolek Beda Bahasa .................................................. 145
5.3.2.2 Deskripsi Status Isolek Beda Dialek ................................................... 145
5.4 Deskripsi Permutasi Antartitik Pengamatan ....................................... 147
5.4.1 Penghitungan Jarak Kosakata Berdasarkan Permutasi Antara Titik
Pengamatan ......................................................................................... 147
5.4.1.1 Timur – Barat ...................................................................................... 149
5.4.1.2 Utara - Selatan.................................................................................... 150
5.4.1.3 Barat Laut - Tenggara ......................................................................... 152
5.4.1.4 Timur Laut – Barat Daya .................................................................... 153
5.4.1.5 Tenggara - Timur Laut ........................................................................ 154
lxxxiii
5.4.1.6 Barat Laut - Timur Laut ...................................................................... 156
5.4.1.7 Barat Laut - Barat Daya ...................................................................... 157
5.4.1.8 Barat Daya - Tenggara ....................................................................... 158
5.4.2 Hubungan Pemahaman Antartitik Pengamatan ................................. 159
5.5 Pengelompokkan Pola Isoglos ............................................................ 160
5.5.1 Dasar Pengelompokkan Pola Isoglos .................................................. 160
5.5.2 Macam-macam Pola Isoglos ............................................................... 161
5.5.2.1 Peta Berpola A .................................................................................... 161
5.5.2.2 Peta Berpola B .................................................................................... 163
5.5.2.3 Peta Berpola C .................................................................................... 164
5.5.2.4 Peta Berpola D .................................................................................... 166
5.5.2.5 Peta Berpola E..................................................................................... 167
5.5.2.6 Peta Berpola F ..................................................................................... 169
5.5.2.7 Peta Berpola G .................................................................................... 170
5.5.2.8 Peta Berpola H .................................................................................... 172
5.5.3 Hubungan Antara Pengelompokkan Isoglos dengan Wilayah
Bahasa/Dialek ..................................................................................... 173
5.6 Pengelompokkan Status Isolek sebagai Bahasa, Dialek/Subdialek .... 176
5.6.1 Dasar Pengelompokkan Status Isolek ................................................. 176
5.6.2 Pengelompokkan Status Isolek sebagai Bahasa .................................. 178
5.6.2.1 Bahasa Mbay/Riung ............................................................................ 179
5.6.2.2 Bahasa Nagekeo .................................................................................. 179
5.6.2.3 Bahasa Ende ........................................................................................ 187
VI. DESKRIPSI FONOLOGIS .............................................................. 190
6.1 Inventarisasi dan Klasifikasi Segmen Bunyi Bahasa Nagekeo........... 190
6.1.1 Inventarisasi dan Klasifikasi Bunyi-bunyi Vokoid ............................. 191
6.1.1.1 Kriteria Klasifikasi Bunyi-bunyi Vokoid............................................ 191
6.1.1.2 Penentuan Fonem-fonem Vokal ......................................................... 196
6.1.2 Inventarisasi dan Klasifikasi Bunyi-bunyi Kontoid ............................ 198
6.1.2.1 Kriteria Klasifikasi Bunyi-bunyi Kontoid .......................................... 198
6.1.2.2 Penetuan Fonem-fonem Konsonan ..................................................... 212
6.1.2.3 Distribusi Fonem dalam Bahasa Nagekeo .......................................... 216
VII. VARIASI LEKSIKON DALAM DIMENSI
GEOGRAFI DIALEK .................................................................... 219
7.1 Variasi Leksikon Dalam Dimensi Geografi Dialek ............................ 219
7.1.1 Variasi Leksikon Medan Makna Bilangan dan Hitungan ................... 219
7.1.2 Variasi Leksikon Medan Makna Ukuran dan Keterangan .................. 221
7.1.3 Variasi Leksikon Medan Makna Bagian Tubuh Manusia .................. 224
7.1.4 Variasi Leksikon Medan Makna Bagian Tubuh Binatang .................. 236
7.1.5 Variasi Leksikon Medan Makna Kata Ganti, Sapaan, Kekerabatan,
dan Acuan ........................................................................................... 238
7.1.6 Variasi Leksikon Medan Makna Dukun, Penyakit,
Pengobatan dan Kematian................................................................... 246
7.1.7 Variasi Leksikon Medan Makna Adat Perkawinan
lxxxiv
dan Kelahiran Manusia ....................................................................... 260
7.1.8 Variasi Leksikon Medan Makna Rumah/Bangunan
dan Bagian - bagian dan Peralatannya ................................................ 265
7.1.9 Variasi Leksikon Medan Makna Peralatan Dapur
dan Rumah Tangga ............................................................................. 271
7.1.10 Variasi Leksikon Medan Makna Makanan dan Minuman .................. 279
7.1.11 Medan Makna Tanaman ..................................................................... 283
7.1.12 Medan Makna Nama Binatang dan Peralatannya ............................... 296
7.1.13 Medan Makna Pertanian, Perkebunan, dan Alat-alatnya .................... 307
7.1.14 Medan Makna Waktu dan Musim ....................................................... 310
7.1.15 Medan Makna Keadaan Alam dan Benda Alam ................................. 318
7.1.16 Medan Makna Sifat atau Keadaan ...................................................... 323
7.1.17 Medan Makna Gerak dan Kerja .......................................................... 332
7.1.18 Medan Makna Warna .......................................................................... 337
7.1.19 Medan Makna Pakaian dan Perhiasan ................................................ 338
7.1.20 Medan Makna Kehidupan di Desa ...................................................... 342
7.1.21 Medan Makna Arah dan Petunjuk ...................................................... 346
7.1.22 Medan Makna Bau dan Rasa .............................................................. 349
7.1.23 Medan Makna Tenun Ikat dan Peralatannya ...................................... 351
VIII. VARIASI FONEM DALAM DIMENSI GEOGRAFI DIALEK.. 354
8.1 Variasi Fonem sebagai Ciri Pembeda Dialek ..................................... 354
8.1.1 Variasi Teratur .................................................................................... 354
8.1.1.1 Variasi Konsonan Hambat Bilabial /b/ ............................................... 355
8.1.1.2 Variasi Konsonan Hambat Dental /d/ ................................................. 368
8.1.1.3 Variasi Konsonan Hambat Velar /g/ ................................................... 374
8.1.1.4 Variasi Konsonan /z/ ........................................................................... 381
8.1.1.5 Variasi Konsonan Tril /r/ .................................................................... 386
8.1.1.6 Variasi Konsonan Lateral [l] ............................................................... 398
8.1.2 Variasi Tidak Teratur (Sporadis) ........................................................ 410
8.1.2.1 Asimilasi ............................................................................................. 411
8.1.2.2 Protesis ................................................................................................ 414
8.1.2.3 Pelesapan Segmen ............................................................................... 416
8.1.2.4 Metatesis ............................................................................................. 417
8.1.2.5 Variasi Segmen Vokal ........................................................................ 420
8.1.2.6 Variasi Segmen Konsonan .................................................................. 421
IX. TEMUAN PENELITIAN ................................................................. 442
9.1 Temuan Penelitian sebagai Acuan Pengembangan dan Pengujian ..... 442
9.2 Pengelompokan Bahasa dan Dialek di Kabupaten Nagekeo .............. 442
9.2.1 Berdasarkan Paradigma Varian Leksikon ......................................... 442
9.2.2 Deskripsi Varian Fonem sebagai Pembeda Satuan Wilayah
Dialek/Subdialek ................................................................................. 446
9.2.2.1 Variasi Konsonan Hambat Bilabial /b/ ≈ dengan alofon [b],
[bh],[
mb] ............................................................................................... 447
9.2.2.2 Variasi Konsonan Hambat Bilabial/d/ ≈ dengan alofon [d],
lxxxv
dan [nd] ................................................................................................ 452
9.2.2.3 Variasi Konsonan Velar /g/ ≈ dengan alofon velar [g] dan pranasal velar
[ŋg]....................................................................................................... 454
9.2.2.4 Variasi Konsonan Aveolar/z/ dengan alofon [z],[r],[R],[s][y] ........... 456
9.2.2.5 Variasi Konsonan Tril /r/ ≈ dengan alofon [r],[R],
[I],[Ih],[H],[y],[Ø] ............................................................................... 458
9.2.2.6 Variasi Konsonan Lateral /l/ ≈ dengan alofon [l], [d], [ld], ]rz], [Ø] .. 460
9.3 Kekhasan Bahasa Mbay/ Riung, Bahasa Nagekeo dan Bahasa Ende . 463
9.4 Temuan Teori Korespondesi Konsonan dalam Bahasa Nagekeo ....... 465
X. KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 467
10.1 Simpulan ............................................................................................. 467
10.2 Saran ................................................................................................... 478
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 481
lxxxvi
DAFTAR LAMBANG DAN SINGKATAN
1. / : dalam lingkungan
2. [ ….] : pengapit segmen fonetis
3. / …./ : pengapit segmen fonemis
4. ( ….) : pengapit segmen manasuka
5. …. : pengapit segmen yang dapat dipilih
6. ____ : posisi terjadinya proses fonologis
7. # : batas kata
8. $ : batas silabe
9. ø : zero
10. ≈ : bervariasi secara teratur
11. ~ : bervariasi secara ssporadis
12. ŋ : nasal velar
13. ʡ : glottal
14. ɓ : implosif bilabial
15. DL : Dialektologi Leksikon
16. ɗ : implosive dental
17. ɠ : implosive velar
18. R : tril posterior
19. bers. : bersuara
20. bul. : bulat
21. impl. : implosif
22. K : konsonan
23. lat. : lateral
24. ting : tinggi
25. TP : titik pengamatan
26. V : vokal
lxxxvii
DAFTAR BAGAN/ DENAH
No. Judul Bagan Halaman
1. Sistem Penomoran Daerah Penelitian ................................................... 33
2. Model Penelitian ................................................................................... 51
3. Bagan Hubungan Permutasi Antartitik pengamatan ........................... 148
4. Denah Vokoid Bahasa Nagekeo ......................................................... 196
5. Vokal Bahasa Nagekeo ....................................................................... 198
lxxxviii
DAFTAR TABEL
No. Judul Tabel Halaman
1. Nama – Nama Desa Lokasi Penelitian.................................................. 30
2. Urutan Desa sebagai Lokasi Penelitian................................................. 33
3. Penyebaran Lokasi Penelitian .............................................................. 38
4. Simbol Garis dalam Peta ....................................................................... 48
5. Nama-nama Desa di Kabupaten Nagekeo ............................................ 62
6. Luas Wilayah di Kabupaten Nagekeo................................................... 65
7. Jumlah Penduduk di Kabupaten Nagekeo ............................................ 66
8. Dialektometri Leksikal Medan Makna Bilangan dan Hitungan ........... 71
9. Dialektometri Leksikal Medan Makna Ukuran dan
Keterangan Jumlah................................................................................ 74
10. Dialektometri Leksikal Medan Makna Bagian Tubuh Manusia ........... 77
11. Dialektometri Leksikal Medan Makna Bagian Tubuh Binatang .......... 80
12. Dialektometri Leksikal Medan Makna Kata Ganti, Sapaan,
Kekerabatan, dan Acuan ....................................................................... 83
13. Dialektometri Leksikal Medan Makna Dukun, Penyakit,
Pengobatan, dan Kematian ............................................................... 86
14. Dialektometri Leksikal Medan Makna Adat Perkawinan dan
Kelahiran Manusia ................................................................................ 89
15. Dialektometri Leksikal Medan Makna Rumah/Bangunan
dan Bagian- bagiannya .......................................................................... 92
16. Dialektometri Leksikal Medan Makna Peralatan Dapur dan
Rumah Tangga ...................................................................................... 95
17. Dialektometri Leksikal Medan Makna Makanan dan Minuman .......... 98
18. Dialektometri Leksikal Medan Makna Tanaman ............................... 101
19. Dialektometri Leksikal Medan Makna Nama Binatang
dan Peralatannya ................................................................................. 104
20. Jarak Kosakata Medan Makna Pertanian, Perkebunan,
dan Alat-alatnya ................................................................................. 107
21. Jarak Kosakata Medan Makna Waktu dan Musim ............................. 110
22. Jarak Kosakata Medan Makna Keadaan Alam dan Benda Alam ....... 113
23. Jarak Kosakata Medan Makna Sifat atau Keadaan ............................. 116
24. Jarak Kosakata Medan Makna Gerak dan Kerja................................. 119
25. Jarak Kosakata Medan Makna Warna ................................................ 122
26. Jarak Kosakata Medan Makna Pakaian dan Perhiasan ....................... 125
27 Jarak Kosakata Medan Makna Kehidupan di Desa ............................ 127
28. Jarak Kosakata Medan Makna Arah dan Petunjuk ............................ 130
29. Jarak Kosakata Medan Makna Bau dan Rasa ..................................... 133
lxxxix
30. Jarak Kosakata Medan Makna Tenun Ikat & Peralatannya ................ 137
31. Penghitungan Jarak Kosakata Keseluruhan Medan Makna ................ 140
32. Pengelompokan Status Isolek Berdasarkan Dialektometri
Keseluruhan Medan Makna ............................................................... 177
33. Pengelompokan Status Isolek Berdasarkan Dialektometri
dengan Permutasi ................................................................................ 178
34. Vokoid Bahasa Nagekeo ................................................................... 195
35. Vokal Bahasa Nagekeo ....................................................................... 197
36. Diagram Kontoid Bahasa Nagekeo ..................................................... 211
37. Diagram Konsonan Bahasa Nagekeo.................................................. 215
38. Distribusi Fonem dalam Bahasa Nagekeo .......................................... 217
39. Penyebaran Varian Alofon [b], [bh],[ mb] /# __ V ............................... 356
40. Penyebaran Alofon Hambat Bilabial [b], [bh],[ mb] / V __ V ............. 360
41. Penyebaran Alofon [a,i,u,e,o] Tegang ................................................ 365
42. Penyebaran Alofon Hambat Dental [d], [ nd] / # __ V ........................ 369
43. Penyebaran Alofon Hambat Velar [d], [nd] / V __ V .......................... 371
44. Penyebaran Alofon Hambat Velar [g], [ŋg] / # __ V ........................... 375
45. Penyebaran Alofon Hambat Velar [g], [ŋg] / V __ V .......................... 379
46. Realisasi Alofon Aveolar [z], [r], [R], [s], [y], [h] / # __ V ............... 381
47. Realisasi Alofon Aveolar [z], [r], [R], [s], [y], [h] / V __ V .............. 384
48. Penyebaran Varian Alofon Tril [r], [R], [l], [lh], [h], [y] # __ V ....... 387
49. Penyebaran Varian Alofon [i,e,o,u, a] ≈ [ī,ē,ō,ũ, ā] ........................... 394
50. Penyebaran Varian Alofon [a,i,u,e,o] ≈ [ī,ē,ō,ũ,ā] ............................. 396
51. Korespondensi Alofon [l] ≈ [d] ≈ [ld] ≈ [
rz] ≈ [ø] # __ V ................... 399
52. Korespondensi Alofon [l] ≈ [d] ≈ [ld] ≈ [
rz] ≈ [ø] V __ V .................. 402
53. Alofon [i,e,o,u, a] ≈ [ī,ē,ō,ũ, ā] ≈ [ī,ē,ō,ũ, ā] Bersama Lesapnya
Alofon [l] # __ V ............................................................................. 409
54. Kekhasan Kata Bilangan dalam Bahasa Mbay/Riung ........................ 464
55. Ciri Nonvokalis dalam Bahasa Mbay/Riung ...................................... 465
xc
DAFTAR PETA
No. Judul Peta Halaman
1. Wilayah Kecamatan di Kabupaten Nagekeo, Kabupaten Ngada dan
Kabupaten Ende .................................................................................... 32
2. Wilayah Penelitian di Kabupaten Nagekeo, Sebagian Wilayah
Kabupaten Ngada dan Sebagian Wilayah Kabupaten Ende ................. 35
3. Wilayah Bekas Kerajaan Nage dan Kerajaan Keo ............................... 55
4. Segitiga Dialektometri .......................................................................... 69
5. Dialektometri Leksikal Medan Makna Bilangan
dan Hitungan ......................................................................................... 72
6. Dialektometri Leksikal Medan Makna Ukuran
dan Keterangan Jumlah ......................................................................... 75
7. Dialektometri Leksikal Medan Makna Tubuh Manusia ....................... 78
8. Dialektometri Leksikal Makna Bagian Tubuh Binatang ...................... 81
9. Dialektometri Leksikal Makna Kata Ganti, Sapaan, Kekerabatan, dan
Acuan .................................................................................................... 84
10. Dialektometri Leksikal Makna Dukun, Penyakit,
Pengobatan, dan Kematian .................................................................... 87
11. Dialektometri Medan Makna Adat Perkawinan dan Kelahiran
Manusia ................................................................................................. 90
12. Dialektometri Leksikal Medan Makna Bangunan/Rumah,
dan Bagiannya ....................................................................................... 93
13. Dialektometri Leksikal Medan Makna Peralatan Dapur
dan Rumah Tangga ............................................................................... 96
14. Dialektometri Leksikal Medan Makna Makanan dan Minuman .......... 99
15. Dialektometri Leksikal Medan Makna Tanaman ............................... 102
16. Dialektometri Leksikal Medan Makna Nama Binatang dan
Peralatannya ........................................................................................ 105
17. Dialektometri Leksikal Medan Makna Pertanian,
Perkebunan, dan Alatnya .................................................................... 108
18. Dialektometri Leksikal Medan Makna Waktu
dan Musim .......................................................................................... 111
19. Dialektometri Leksikal Medan Makna Keadaan Alam
dan Benda Alam .................................................................................. 114
20. Dialektometri Leksikal Medan Makna Sifat atau Keadaan ................ 117
21. Dialektometri Leksikal Medan Makna Gerak dan Kerja .................... 120
22. Dialektometri Leksikal Medan Makna Warna .................................... 123
xci
23. Dialektometri Leksikal Medan Makna Pakaian dan Perhiasan .......... 126
24. Dialektometri Leksikal Medan Makna Kehidupan di Desa ................ 129
25. Dialektometri Leksikal Medan Makna Arah dan Petunjuk ................ 132
26. Dialektometri Leksikal Medan Makna Bau dan Rasa ....................... 135
27. Dialektometri Leksikal Medan Makna Tenun Ikat dan Peralatannya 138
28. Jaring Laba-laba Keseluruhan Medan Makna .................................... 142
29. Pemahaman Penutur dari Timur – Barat ............................................. 150
30. Pemahaman Penutur dari Utara – Selatan ........................................... 151
31. Pemahaman Penutur dari Barat Laut – Tenggara ............................... 152
32. Pemahaman Penutur dari Timur Laut – Barat Daya ........................... 154
33. Pemahaman Penutur dari Tenggara - Timur Laut ............................... 155
34. Pemahaman Penutur dari Barat Laut – Timur Laut ............................ 156
35. Pemahaman Penutur dari Barat Laut –Barat Daya ............................ 157
36. Pemahaman Penutur dari Barat Daya – Tenggara ............................. 159
37. Pola A.................................................................................................. 162
38. Pola B .................................................................................................. 164
39. Pola C .................................................................................................. 165
40. Pola D.................................................................................................. 167
41. Pola E .................................................................................................. 168
42. Pola F .................................................................................................. 170
43. Pola G.................................................................................................. 171
44. Pola H.................................................................................................. 173
45. Penggabungan Isoglos Berpola dan Tidak Berpola ............................ 176
46. Wilayah Bahasa dan Dialek ................................................................ 188
47. Pemakaian Variasi Alofon Hambat Bilabial [b] ≈ Hambat Bilabial
Beraspirasi [ /bh/] ≈ Pranasal Hambat Bilabial [
mb] / #_V ................. 364
48. Penyebaran Pemakaian Vokal /i, e, o, u, a / ≈ Alofon [α,Ï,Ʋ,ε,Ɔ]
Kendur /K_V ...................................................................................... 368
49. Variasi Alofon [d] dan [nd] ................................................................. 374
50. Variasi Alofon Hambat Velar /g/ dan Pranasal Hambat Velar [ŋg] .... 380
51. Varian Alofon [z], [r], [R], [s], [y] /# _ V ........................................... 386
52. Varian Alofon [r], [R], [l], [lh], [h], [y], [Ø]....................................... 393
53. Alofon [i,e,o,u,a] Tegang ≈ Alofon [ ī,ē,ō,ū,ā] panjang Bersama
Lesapanya Alofon Tril /r/ ≈ Zero [Ø] ................................................. 396
54. Variasi Alofon [i,e,ә,o,u,a] Tegang ≈ Alofon [Ï,∊, Ǝ, Ɔ,Ʋ,α]
Kendur,Bersamaan dengan variasi Alofon Likuid Tril
/r/ ≈ Alofon Lateral Beraspirasi /lh/ .................................................... 398
55. Variasi Alofon [l], [d], [ld], [
rz], [Ø] /# _ V ........................................ 408
56. Variasi Alofon /i,e,o,u,a/ Tegang ≈ Alofon / ī,ē,ō,ū,ā / Panjang
Bersama Lesapnya Alofon Lateral /l/ / # _ V ..................................... 410
xcii
57. Asimilasi Progresif Vokal /u/ ~Vokal /i/ / # _ V ............................... 412
58. Asimilasi Regresif Segmen /l-r ~ Segmen /r-r/ ................................. 413
59. Asimilasi Resiprokal Segmen /ua/ ~ Vokal /o/ .................................. 414
60. Penambahan Segmen Velar /k/ di Awal Suku Kata ............................ 415
61. Pelersapan Segmen Velar implosif /ɠ/ di Antara Segmen [e]
dan [a] V_V ......................................................................................... 416
62. Metatesis Segmen Konsonan [g-l] ~ [l-g] / K_V ................................ 417
63. Metatesis Segmen Konsonan [s-m] ~ [m-s] / K_V ............................. 418
64. Metatesis Segmen Konsonan [s-l] ~ [l-s] / K_V. ................................ 419
65. Pendepanan Segmen Vokal /o/ ~ /e/ ................................................... 420
66. Variasi Segmen Konsonan /c/ ~ /l/ / #_ ............................................. 421
67. Variasi Segmen Konsonan /c/ ~ /g/ / #_ ............................................ 422
68. Variasi Segmen Konsonan /c/ ~ /s/ / #_ ............................................. 423
69. Variasi Segmen Konsonan /n/ ~ /d,j,p/ #_ ........................................ 424
70. Variasi Segmen Konsonan /m/ ~ [ɓ,d] #_ ....................................... 426
71. Variasi Segmen Konsonan /m/ ~ [j] #_ ............................................ 427
72. Variasi Segmen Konsonan /k/ ~ [g] /#_ V .......................................... 428
73. Variasi Segmen Konsonan /d/ ~ [p,t] /#_ ............................................ 429
74. Variasi Segmen Konsonan /k/ ~ [h] /#_ .............................................. 430
75. Variasi Segmen Konsonan /k/ ~ [b] /#_ .............................................. 431
76. Variasi Segmen Konsonan /k/ ~ [ɓ] /#_ .............................................. 432
77. Variasi Segmen Konsonan /k/ ~ [g] /#_ .............................................. 433
78. Variasi Segmen Konsonan /k/ ~ [ɠ] /#_ ............................................. 434
79. Variasi Segmen Konsonan /k/ ~ [ɠ] /#_ .............................................. 435
80. Variasi Segmen Konsonan /k/ ~ [l] /#_ ............................................... 436
81. Variasi Segmen Konsonan /g/ ~ [ɠ] /#_ .............................................. 437
82. Variasi Segmen Konsonan /z/ ~ [s] /V_ ............................................. 438
83. Variasi Segmen Konsonan /z/ ~ [s] /V_ ............................................. 439
84. Variasi Segmen Konsonan /t/ ~ [s] /#_ ............................................... 440
85. Variasi Segmen Konsonan /j/ ~ [z] /#_ ............................................... 441