penerapan restorative justice dalam kasus …

85
PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS KECELAKAAN LALU LINTAS (Analisis Putusan Nomor: 151/Pid.Sus/2013/PN. Jkt. Tim) SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh : LIVIA AMALIA NIM :11160480000020 PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1441 H/ 2021 M

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS …

PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS KECELAKAAN

LALU LINTAS

(Analisis Putusan Nomor: 151/Pid.Sus/2013/PN. Jkt. Tim)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh :

LIVIA AMALIA

NIM :11160480000020

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1441 H/ 2021 M

Page 2: PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS …

PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS KECELAKAAN

LALU LINTAS

(Analisis Putusan Nomor: 151/Pid.Sus/2013/PN. Jkt. Tim)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1441 H/ 2021 M

i

Oleh :

LIVIA AMALIA

NIM :11160480000020

Page 3: PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS …

ii

PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS KECELAKAAN

LALU LINTAS

(Analisis Putusan Nomor: 151/Pid.Sus/2013/PN. Jkt. Tim)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh

LIVIA AMALIA

NIM: 11160480000020

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. JM. Muslimin, M.A. Fathudin, S.H.I., S.H., M.A.Hum., M.H.

NIP. 19680812 199903 1 014 NIP. 19850610 201903 1 007

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1441 H / 2020 M

Page 4: PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS …

iii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI

Skripsi yang berjudul “PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS

KECELAKAAN LALU LINTAS (Analisis Putusan Nomor: 151/Pid.Sus/2013/PN.

Jkt. Tim)” telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum

Program Studi Ilmu Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

pada Tanggal 20 Januari 2021 , Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat

untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata Satu (S-1) pada Program Studi

Ilmu Hukum.

Jakarta, Januari 2021

Mengesahkan

Dekan,

Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A.

NIP. 19760807 200312 1 001

PANITIA UJIAN MUNAQASYAH

1. Ketua : Dr. M. Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. ( )

NIP. 19670203 201411 1 101

2. Sekretaris : Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. ( )

NIP. 19650908 199503 1 001

3. Pembimbing I : Dr. JM. Muslimin, M.A. ( )

NIP. 19680812 199903 1 014

4. Pembimbing II : Fathudin, S.H.

5. I., S.H., M.A.Hum., M.H. ( )

NIP. 19850610 201903 1 007

6. Penguji I : Prof. Dr. Abdullah Sulaiman, S.H., M.H. ( )

NIP. 19591231 198609 1 003

7. Penguji II : M. Nuzul Wibawa, S.Ag., M.Hum. ( )

NIDN. 9920112985

Page 5: PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS …

iv

LEMBAR PERNYATAAN

Yang Bertanda Tangan Di Bawah Ini :

Nama :Livia Amalia

Tempat, tanggal lahir :Bekasi, 18 November 1998

NIM :11160480000020

Program Studi :Ilmu Hukum

Alamat :Kp. Cijingga No. 34 RT. 001/003 Desa.

Serang, Cikarang Selatan, Bekasi

Nomor Telepon :085774784213

Email :[email protected]

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Strata (S-1) di Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika kemudian hari terbukti hasil karya saya bukan hasil karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islan Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 02 Februari 2021

Livia Amalia

Page 6: PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS …

v

ABSTRAK

Livia Amalia. NIM 11160580000020. PENERAPAN RESTORATIVE

JUSTICE DALAM KASUS KECELAKAAN LALU LINTAS (Analisis

Putusan Nomor: 151/Pid.Sus/2013/PN.Jkt.Tim), Program Studi Ilmu Hukum,

Fakultas Syariah Dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta, 1441 H/ 2020 M, ix + 62 halaman + 4 halaman daftar pustaka.

Studi ini bertujuan untuk menjelaskan penerapan restorative justice

terhadap kasus kecelakaan lalu lintas yang terjadi pada Muhammad Rasyid

Abdullah Rajasa. Adapun rumusan masalah, pertama konsep restorative justice

dalam perspektif hukum pidana di Indonesia. Kedua, pertimbangan hakim pada

penerapan restorative justice dalam kasus kecelakaan lalu lintas pada Ptusan

Pengadilan Nomor: 151/Pid.Sus/PN. Jkt. Tim.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif dengan

menggunakan pendekatan penelitian kasus (Case Approach) dan pendekatan

perundang-undangan (Statute Approach) dengan melakukan pengkajian

terhadap peraturan perundang-undangan, buku-buku, jurnal, dan putusan

pengadilan, yang berkaitan dengan judul skripsi ini.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa dalam putusan Nomor:

151/Pid.Sus/2013/PN.Jkt.Tim pertimbangan hakim dalam menerapkan hukum

pada kasus kecelakaan lalu lintas yang terjadi di Tol Jagorawi KM 3+350 yang

dialami oleh Terdakwa Muhammad rasyid Amrullah Rajasa tersebut sudah

berdasarkan pertimbangan yuridis yaitu melihat dari peraturan perundang-

undangan, surat dakwaan, surat tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum, keterangan

saksi dan keterangan terdakwa di dalam persidangan. Seorang hakim mengacu

pada fakta-fakta yang diperoleh, dan juga dari alat bukti yang sah yang terdapat

pada Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Kemudian dari penelitian ini peneliti menemukan bahwa vonis putusan yang

dilakuan Majelis Hakim berupa sanksi keringanan hukuman penjara 5 (lima)

bulan, dimana ada pengecualian yakni tidak usah dijalani jika tidak melakukan

tindak pidana dalam masa percobaan 6 (enam) bulan adanya konsep restorative

justice.

Kata Kunci : Restorative Justice, Muhammad Rasyid,

Pertimbangan Hakim.

Pembimbing Skripsi : 1. Dr. JM. Muslimin, M.A.

2. Fathudin, S.H.I., S.H., M.A.Hum., M.H.

Daftar Pustaka : Tahun 1980 Sampai Tahun 2019

Page 7: PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS …

vi

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur hanya untuk Allah SWT. Atas berkat rahmat,

hidayat, dan juga anugerah-Nya peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan

judul “PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS

KECELAKAAN LALU LINTAS (Analisis Putusan Nomor:

151/Pid.Sus/2013/PN. Jkt. Tim)”. Sholawat serta salam tidak lupa tercurah

oleh peneliti kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa

umat manusia dari zaman jahiliah, kepada zaman islamiyah pada saat ini.

Penulisan skripsi ini dilakukan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada

Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini tidak

dapat diselesaikan oleh peneliti tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak

selama penyusunan skripsi ini.

Selanjutnya Peneliti ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-

besarnya atas para pihak yang telah memberikan peranan secara langsung dan

tidak langsung atas pencapaian yang telah dicapai oleh peneliti, yaitu antara lain

kepada yang terhormat:

1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., MH., M.A. Dekan Fakultas Syariah dan

Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu

Hukum dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu

Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dr. JM. Muslimin, M.A. dan Fathudin, S.H.I., S.H., M.A.Hum., M.H.

Pembimbing Skripsi peneliti, saya ucapkan terimakasih atas kesempatan

waktu, arahan, dan kritik, serta saran yang diberikan demi penelitian yang

saya lakukan.

4. Kepala Urusan Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta, saya ucapkan terimakasih telah memberikan peneliti

fasilitas untuk mencari bahan bacaan dalam menyelesaikan skripsi ini.

Page 8: PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS …

vii

5. Kepada kedua orang tua saya Neneng Nuraeni, ayah kandung saya Emun,

dan ayah sambung saya Emed, juga nenek saya Siti Masitoh dan kakek saya

(Alm) H. Ahmad Nahrowi yang telah mendukung saya baik materi ataupun

immateriil berupa motivasi, da’a bahkan kepercayaan untuk dapat

menyelesaikan gelar sarjana ini.

6. Yunita Alnanda Sarawatari dan Sinta Nur Kholifah. saya ucapkan

terimakasih kepada kakak dan adik saya yang telah memberikan semangat,

memberikan dukungan secara finansial, dan selalu mendukung pilihan saya.

7. Semua pihak yang telah memberi kontribusi kepada peneliti dalam

penyelesaian karya tulis ini.

Jakarta, Januari 2021

Livia Amalia

Page 9: PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS …

viii

DAFTAR ISI

COVER ................................................................................................................... i

LEMBAR PERSETUJUAN BIMBINGAN ........................................................ ii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ................................. iii

LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iv

ABSTRAK ............................................................................................................. v

KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi

DAFTAR ISI ....................................................................................................... viii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ................................................................. 1

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ...................... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................... 7

D. Metode Penelitian ............................................................................. 8

D. Sistematika Pembahasan ............................................................... 11

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG RESTORATIVE JUSTICE DAN

KEALPAAN DALAM HUKUM PIDANA ........................................ 13

A. Kerangka Konseptual .................................................................... 13

B. Kerangka Teori .............................................................................. 26

C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu .......................................... 38

BAB III RESTORATIVE JUSTICE DALAM HUKUM PIDANA

INDONESIA ......................................................................................... 41

A. Restorative Justice dalam Pembaharuan Hukum Pidana di

Indonesia ......................................................................................... 41

B. Restorative Justice dalam Penyelesaian Kasus Kecelakaan Lalu

Lintas ............................................................................................... 43

Page 10: PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS …

ix

C. Contoh Kasus Penggunaan Restorative Justice ........................... 46

BAB IV PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS

LAKALANTAS .................................................................................... 49

A. Kasus Posisi .................................................................................... 49

B. Pertimbangan Hakim Dalam Putusan Nomor:

151/Pid.Sus/2013/PN.Jkt.Tim ........................................................ 50

C. Analisis Pertimbangan Hukum Hakim ........................................ 59

BAB V PENUTUP ............................................................................................. 69

A. Kesimpulan ..................................................................................... 69

B. Rekomendasi ................................................................................... 70

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 72

Page 11: PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS …

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kejahatan dan pelanggaran lalu lintas merupakan fenomena yang

setiap hari harus dihadapi oleh masyarakat, yang setiap harinya masyarakat

melakukan aktivitasnya menggunakan jalan raya. Jalan raya sudah menjadi

kebutuhan pokok bagi masyarakat, agar jalan raya berfungsi semestinya

sebagai kebutuhan pokok, maka perlu adanya peraturan-peraturan tertentu

mengenai ketertiban maupun keamanan guna kenyamanan dan keselamatan

masyarakat yang menggunakannya.

Perkembangan di Indonesia akhir-akhir ini, terutama di kota-kota

besar menunjukan adanya pembaharuan di bidang motorisasi yang begitu

cepat. Salah satunya yaitu dengan begitu meningkatnya jumlah kendaraan

bermotor secara begitu pesat dan tidak proposional dengan perluasan jalan

raya termasuk peningkatan sarana dan prasarana yang menimbulkan

masalah-masalah lalu lintas yakni kemacetan-kemacetan, pelanggaran-

pelanggaran dan kecelakaan-kecelakaan lalu lintas. Data Badan Pusat

Statistik (BPS) mencatat sejak tahun 2009 hingga 2018 pertumbuhan

kepemilikan kendaraan bermotor tiap tahunnya mencapai 9,05 persen.

Tingginya kepemilikan kendaraan bermotor tidak diimbangi dengan ruas

pembangunan jalan, data pertumbuhan jalan di Indonesia tercatat dari tahun

2009 hingga 2018 menunjukan persentase rerata 1,45 persen tiap tahunnya.1

Jalan raya merupakan sarana penting bagi kehidupan manusia karena

segala macam aktivitas manusia sekarang ini tidak lepas dengan

menggunakan mobilitas jalan raya. Oleh karena itu, pihak-pihak yang

bertanggung jawab atas keselamatan penggunaan jalan raya sedemikian

mungkin untuk menanggulangi kecelakaan lalu lintas, dengan cara

menerapkan peraturan yang telah disusun yang sebelumnya telah

1www.bps.go.id diakses pada tanggal 28 September 2020 Pukul 02.34 WIB.

1

Page 12: PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS …

2

disosialisasikan. Walaupun dengan demikian, dalam kenyataannya masih

banyak masalah-masalah di jalan raya yang sulit dan belum dapat

ditanggulangi.2

Akhir-akhir ini kasus kecelakaan lalu lintas sangat memprihatinkan

baik secara kualitas maupun kuantitas. Dalam sebuah kasus kecelakaan lalu

lintas seringkali tidak hanya mengakibatkan luka-luka ringan maupun berat

saja, tetapi juga tidak sedikit yang menimbukan kematian. Sepanjang tahun

2020 meskipun tingkat kecelakaan lalu lintas pada pekan ke-31 mengalami

penurunan 10,06 persen dibandingkan dengan pekan sebelumnya, yaitu

pada pekan ke-31 tercatat data yang dihimpun oleh Korlantas Polri

sebanyak 974 kasus dengan korban meninggal dunia sebanyak 189 orang,

luka-luka berat sebanyak 142 orang, dan luka-luka ringan sebanyak 1170

orang dengan kerusakan material sebesar 1.675.500.000 rupiah. Sedangkan

pada pekan sebelumya jumlah kasus kecelakaan lalu lintas yakni pada pekan

ke-30 sebanyak 1.083 kasus dengan korban meninggal dunia 200 orang,

korban luka berat 135 orang, dan yang mengalami luka ringan 139 orang

dengan kerugian material sebesar 1.958.801.700 rupiah.3

Pada hari Selasa tanggal 1 Januari 2013, masyarakat Indonesia

dikejutkan dengan berita kecelakaan yang mengakibatkan kematian.

Kecelakaan lalu lintas di Tol Jagorawi, KM 3+350 yang mengakibatkan 3

(tiga) korban luka ringan dan 2 (dua) korban tewas yaitu Harun (57 tahun)

dan Raihan (14 bulan). Kecelakaan lalu lintas ini terjadi bermula ketika

kedua mobil berada di jalur paling kanan. Mobil Daihatsu Luxio berada di

depan, lalu tiba-tiba ditabrak oleh mobil BMW hingga pintu samping mobil

Daihatsu Luxio terbuka dan penumpang jatuh hingga kedua penumpang

tewas. Penyebab utama kecelakaan itu, yaitu merupakan putra bungsu Hatta

Rajasa yang pada saat itu sedang menjabat sebagai Menteri Perekonomian

2Marjan Miharja, Diversi dan Restoratif Justice dalam Penanganan Kecelakaan Lalu

Lintas, (Pasuruan: Qiara Media, 2019) h.3. 3https://otomotif.kompas.com/read/2020/08/06/082200515/kasus-kecelakaan-lalu-lintas-

di-indonesia-diklaim-turun-10-persen diakses pada tanggal 28 September 2020 Pukul 03.09 WIB.

Page 13: PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS …

3

pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yaitu M. Rasyid

Amrullah Rajasa.

Pelaku sendiri telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Metro

Jaya. Adpaun pelanggaran yang telah dilakukan oleh putra bungsu Hatta

Rajasa ini. Pertama, kelalaian dalam berlalu lintas yang mengakibatkan

kecelakaan lalu lintas dengan kerusakan barang/kendaraan (Pasal 310 ayat

(1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009, ayat (2) dan ayat (3)

menyebutkan perbuatan pidana yang telah dilakukan oleh M. Rasyid, yaitu

kelalaian dalam berlalu lintas yang menimbulkan kecelakaan dengan korban

luka ringan dan kerusakan barang/kendaraan ayat (2) dan kelalaian dalam

berlalu lintas yang menyebabkan kecelakaan dengan luka berat ayat (3).

Pengadilan Negri Jakarta Timur sudah memvonis pelaku 5 (lima) bulan

kurungan dengan hukuman percobaan 6 (enam) bulan serta denda 12 juta

subsider enam bulan kurungan, penetapan hukuman kurungan tidak akan

dijalankan kecuali apabila dalam kurun 6 (enam) bulan pelaku melakukan

pidana kembali.4

Sebagian besar kecelakaan lalu lintas diakibatkan oleh kesalahan dan

kelalaian manusia (human error). Ketidak-taatan pengemudi/pengendara

pada peraturan lalu lintas adalah sebagai penyebab utama terjadinya

kecelakaan lalu lintas tersebut, disamping buruknya karakter pribadi

pengemudi/pengendara seperti ingin menang sendiri, tak peduli atas orang

lain sehingga orang lain menjadi susah karenanya, selain itu penyebab lain

adalah mau untung sebanyak-banyaknya walaupun harus mencelakakan

orang lain.5

Salah satu fungsi hukum yaitu sebagai sarana perubahan masyarakat,

fungsi ini mengandung arti bahwa hukum itu menciptakan pola-pola

masyarakat. Pola-pola tersebutlah yang tentunya harus mampu mendukung

terciptanya suatu kondisi yang menjunjung pembangunan di berbagai

4Lihat Putusan Pengadilan No:151/Pid.Sus/2013/PN. Jkt. Tim. h. 2. 5Marjan Miharja, Diversi dan Restoratif Justice dalam Penanganan Kecelakaan Lalu

Lintas, h.5.

Page 14: PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS …

4

sektor. Di setiap negara hukum pelaku penyimpangan aturan hukum

diharuskan mempertanggungjawabkan apa yang telah diperbuatnya, suatu

perbuatan dapat dipidana apabila perbuatan hukum tersebut memenuhi

unsur kesalahan yang telah dirumuskan dalam Undang-Undang. Mengenai

sistem peradilan di Indonesia, sekarang ini dinilai masih belum sesuai

dengan harapan masyarakat. Banyak kritikan yang dilontarkan dan kerap

menimbulkan keputusan para pencari keadilan terhadap sistem peradilan di

Indonesia. Hal ini dapat dimaklumi karena masyarakat menginginkan agar

lembaga peradilan dapat memberikan keadilan kepada masyarakat yang

tepat dan sesuai.6

Keadilan tidak dapat tercapai, apabila kepastian hukum terpenuhi,

karena subjek hukum tertentu dapat dihukum tanpa memperhatikan terlebih

dahulu, apakah tindakan yang dianggap suatu pelanggaran atau kejahatan,

yang memang merupakan suatu delik.7 Keterkaitan antara nilai keadilan

dengan kepastian hukum sangat erat, yakni memberikan perlindungan yang

bermanfaat terhadap hak-hak setiap individu, dimana hal tersebut

dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang seadil-adilnya.

Dalam hukum pidana di Indonesia biasanya penyelesaian perkara

menekankan pada penerapan retributive justice. Pendekatan retributive

justice ini perlu direformasi yaitu dengan alternatif penyelesaian masalah

pidana dengan penekanan pada pemulihan masalah/konflik dan

pengambilan keseimbangan masyarakat yakni dengan restorative

justice.8Sistem peradilan pidana di Indonesia dinilai masih bersifat offender

oriented, yaitu terlalu mengedepankan hak-hak tersangka atau terdakwa

sebagaimana yang dikemukakan oleh Andi Hamzah:

6Muhammad Rusli, Potret Lembaga Pengadilan Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pres, 2006),

h.180. 7E. Fernando M. Manulang, Menggapai Hukum Berkeadilan Tinjauan Hukum Kodrat dan

Antinomi Nilai, (Jakarta: Januari, 2007), h. 101. 8Ali Sodikin, Restorative Justice daalam Tindak Pidana Pembunuhan: Persfektif Hukum

Pidana Indonesia dan Hukum Pidana Islam, dalam As-Syari’ah, 49, Edisi 1 Juni 2015, h.29.

Page 15: PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS …

5

“Dalam membahas hukum acara pidana khususnya yang berkaitan

dengan hak-hak asasi manusia, ada kecenderungan untuk

mengupashal-hal yang berkaitan dengan hak-hak tersangka tanpa

memperhatikan pula hak-hak para korban. Korban tidak diberikan

kewenangan dan tidak terlibat secara aktif dalam proses penyidikan

dan persidangan sehingga ia kehilangan kesempatan untuk

memperjuangkan hak-hak dan memulihkan keadaanya akibat suatu

kejahatan”.9

Akibat sistem peradilan pidana yang cenderung offender oriented,

maka diperlukannya konsep penyelesaian diluar sistem peradilan pidana.

Solusi yang ditawarkan, yaitu penyelesaian perkara pidana dengan konteks

keadilan restorative justice (keadilan restoratif). Konsep pendekatan

restorative justice merupakan suatu konsep yang lebih menitikberatkan

pada kondisi terciptanya keadilan bagi pelaku dan korban.10 Konsep

restorative justice yaitu suatu konsep penyelesaian masalah/konflik yang

terjadi dengan melibatkan para pihak yang berkepentingan dengan tindak

pidana yang terjadi (korban, pelaku, keluarga korban, keluarga pelaku,

masyarakat, dan penengah).11

Mark S Umbreit menyatakan bahwa keadilan restoratif memberi

kerangka kerja yang sangat berbeda dalam menanggapi kejahatan. Pihak-

pihak yang terkena langsung oleh kejahatan, yakni korban, anggota

masyarakat dan pelaku yang melakukan tindak pidana dianjurkan untuk

memegang peran aktif dalam proses peradilan. Dari pada menitikberatkan

pada penghukuman terhadap pelaku, lebih baik menitikberatkan pada

pemulihan kehilangan baik emosi maupun materiil.12

Restorative justice mengupayakan me-restore keamanan korban,

penghormatan pribadi, martabat, dan yang paling penting adalah sense of

9Dikdik M. Arief Mansur & Elisatri Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan

antara Norma dan Realita, (Jakarta: Raja Grafindo, 2008), h.25. 10Bambang Waluyo, Viktimologi perlindungan korban dan saksi, (Jakarta: Sinar Grafika,

2012), h. 58. 11Marlina, Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice dalam Hukum Pidana,

(Medan: USU Press, 2010), h.2. 12Muhammad. Hatta Ali, Peradilan Sederhana Cepat & Biaya Ringan Menuju Keadilan

Restoratif, (Bandung: PT Alumni, 2012), h.321.

Page 16: PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS …

6

control (rasa dari control). Dengan menganut paradigma restorative justice,

diharapkan kerugian dan penderitaan yang dialami oleh korban dan

keluarganya dapat dipulihkan oleh si pelaku, dan juga beban rasa

bersalahpelaku kejahatan berkurang karena telah mendapatkan maaf dari

korban atau keluarganya.13 Dengan adanya pemahaman seperti ini,

penegakan hukum memberi ruang partisipasi antar korban dan pelaku dalam

bentuk kesepakatan yang bisa merestorasi hubungan keduanya sebagaimana

sebelum terjadinya tindak pidana.

Mengingat adanya pendekatan restorative justice pada penyelesaian

tindak pidana pada lakalantas di Indonesia pada umumnya, mendorong

peneliti untuk meneliti dan mengkaji lebih dalam penerapan hukum dan

pertimbangan hakim dalam menyelesaikan perkara kecelakaan lalu lintas

dikaitkan dengan konsep restorative justice ke dalam sebuah penelitian

skripsi yang berjudul “PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE

DALAM KASUS KECELAKAAN LALU LINTAS (Analisis Putusan

Nomor: 151/Pid.Sus/2013/PN. Jkt. Tim)”.

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Adapun beberapa permasalahan yang ditemukan dalam penelitian

ini diantaranya:

a. Kurangnya kesadaran masyarakat terhadap peraturan lalu lintas.

b. Belum adanya Undang-Undang yang mengatur jelas tentang

restorative justice.

c. Perbedaan pendapat antara Jaksa dan Hakim mengenai penerapan

hukum terhadap perkara Nomor: 151/Pid.Sus/2013/PN. Jkt. Tim.

d. Pemidanaan di Indonesia yang masih mengedepankan retributive

justice disbanding restorative justice.

13Bambang Waluyo, Penegakan Hukum di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2016), h.108.

Page 17: PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS …

7

2. Pembatasan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang telah dipaparkan di

atas terdapat banyak masalah yang teridentifikasi, agar penelitian lebih

terfokus pembahasannya maka membuat peneliti membatasi

masalahnya hanya pada penerapan restorative justice dan pertimbangan

hakim dalam menyelesaikan kasus tindak pidana lakalantas dalam

perkara Nomor: 151/Pid.Sus/2013/PN. Jkt. Tim.

3. Perumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah yang sudah dipaparkan, maka

perumusan masalah yang diangkat oleh peneliti yaitu tentang penerapan

restorative justice dan pertimbangan hakim dalam menyelesaikan kasus

tindak pidana lakalantas dalam perkara Nomor: 151/Pid.Sus/2013/PN.

Jkt. Tim. Untuk mempertegas dan mempermudah perumusun masalah,

peneliti uraikan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:

a. Bagaimana konsep restorative justice dalam perspektif hukum

pidana di Indonesia?

b. Bagaimana penerapan restorative justice dalam kasus kecelakaan

lalu lintas sebagaimana menurut Putusan Pengadilan Nomor:

151/Pid.Sus/PN. Jkt. Tim?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi dan

pengetahuan sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui penerapan restorative justice terhadap kasus

perkara Nomor: 151/Pid.Sus/2013/PN. Jkt. Tim.

b. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam memutus perkara

Nomor: 151/Pid.Sus/2013/PN. Jkt. Tim.

Page 18: PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS …

8

2. Manfaat Penelitian

Berdasarkan uraian diatas, secara garis besar manfaat penelitian ini

adalah sebagai berikut:

a. Manfaat Teoritis

Adapun dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat dijadikan

sumber atau bahan kajian mengenai penyelesaian tindak pidana

melalui restorative justice.

b. Manfaat Praktis

Bagi kalangan akademisi dapat dijadikan sebagai informasi ilmiah

guna untuk mengembangkan pengkajian dan pembahasan lebih

mendalam mengenai pertimbangan hakim dalam memutus perkara

menggunakan prinsip teori hukum restorative justice, dan bagi

masyarakat luas, diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan

wawasan dan pemahaman baru lagi.

D. Metode Penelitian

Penelitian merupakan suatu proses dari kegiatan mengumpulkan,

mengolah, menyajikan dan menganalisis suatu data dalam sebuah peristiwa.

Untuk memperoleh suatu hasil kajian yang dapat dipertanggungjawabkan

secara ilmiah, maka metode yang digunakan adalah sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif.

Penelitian hukum normatif sering juga disebut sebagai penelitian hukum

doktrinal, yaitu penelitian yang mengkaji hukum yang dikonsepkan sebagai

norma atau kaidah perundang-undangan menurut doktrin positivisme.14

2. Pendekatan Penelitian

14 Jonaedi Efendi dan Johnny Ibrahim, Metodologi Penelitian Hukum Normatif dan

Empiris, (Depok: Prenadamedia Group, 2018), h.124..

Page 19: PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS …

9

Pendekatan kasus (Case Approach) bertujuan untuk mempelajari

penerapan norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam

peraktik hukum. Terutama mengenai kasus-kasus yang telah diputus

sebagaimana yang dapat dilihat dalam yurisprudensi terhadap perkara-

perkara yang menjadi fokus penelitian.15 Pendekatan kasus (Case

Approach) digunakan kalangan praktisi dalam melakukan penelitian

dengan mengidentifikasi putusan-putusan pengadilan yang telah

berkualifikasi yurisprudensi untuk digunakan dalam perkara konkret.16

Selanjutnya pendekatan perundang-undangan (Statute Approach),

pendekataan ini dilakukan dengan menelaah semua peraturan

perundang-undangan yang bersangkut paut dengan permasalahan (isu

hukum) yang sedang dihadapi. Pendekatan perundang-undangan ini

dilakukan dengan mempelajari konsistensi/kesesuaian antara Undang-

Undang Dasar dengan Undang-Undang, atau antar Undang-Undang

yang satu dengan Undang-Undang yang lain.17

3. Sumber Bahan Hukum

Sumber bahan hukum yang digunakan oleh penulis pada penelitian

iniada dua sumber bahan hukum, antara lain:

a. Bahan Hukum Primer

Sumber bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang bersifat

autoritatif artinya mempunyai otoritas dan mengikat, berupa

peraturan perundang-undangan.18 Adapun dalam penelitian ini

penulis mengambil bahan hukum primer dari Undang-Undang

Nomor 22 Tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan,

KUHP, KUHAP, dan salinan putusan pengadilan Nomor:

151/Pid.Sus/2013/PN. Jkt. Tim.

15Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, h.321. 16I Made Pasek Diantha, Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Prenada Media

Group, 2016) h.165. 17Peter Mahmud Marzuki, Penilitian Hukum Edisi Revisi, (Jakarta: Kencana Prenada

Media Group, 2014), h.93 18Peter Mahmud Marzuki, Penilitian Hukum Edisi Revisi, (Jakarta: Kencana Prenada

Media Group, 2014), h.141.

Page 20: PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS …

10

b. Bahan Hukum Sekunder

Sumber bahan hukum sekunder, merupakan bahan hukum yang

diperoleh dari sumber bukan asli yang memuat informasi. Biasanya

berupa doktrin, pendapat hukum, atau teori yang diperoleh dari

literatur hukum, hasil penelitian, artikel ilmiah, juga website yang

terkait dengan penelitian. Bahan hukum sekunder ini bermanfaat

untuk memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer dan untuk

mrmahami atau menganalisis bahan hukum primer.

4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah studi kepustakaan yang mempelajari pengetahuan-pengetahuan

dasar mengenai hukum pidana, tindak pidana kealpaan, restorative

justice dan lakalantas.Studi pustaka ialah teknik pengumpulan data

dengan mengumpulkan data melalui buku-buku, literatur-literatur,

jurnal, peraturan perundang-undangan, dokumen, atau hasil penelitian

yang selaras dengan tema yang diangkat dalam penelitian ini.

5. Teknik Pengolahan Bahan Hukum

Dalam pengolahan bahan hukum dalam penilitian ini yaitu

menggunakan metode kualitatif, yakni dengan cara mengumpulkan

bahan hukum sebanyak-banyaknya yang kemudian diolah dan dijadikan

kesatuan bahan hukum untuk mendeskripsikan permasalahan yang akan

dibahas dengan mengambil materi yang relevan dengan permasalahan

lalu dikomparasikan yaitu dari bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder. Kemudian sumber-sumber hukum tersebut di klasifikasikan

agar memudahkan dalam menganalisa.

6. Teknik Analisa Bahan Hukum

Proses analisis bahan hukum yang digunakan oleh penulis dalam

penelitian ini yaitu menggunakan metode normatif-kualitatif. Bahan

hukum yang sudah di klasifikasikan dari bahan hukum primer dan bahan

hukum sekunder kemudian dilakukan analisa dengan cara menguraikan

isi dalam bentuk penafsiran dan argumentasi rasional untuk

Page 21: PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS …

11

mempertahankan gambaran yang sudah diperoleh. Selanjutnya penulis

juga menggunakan metode analisis deduktif, yaitu dengan cara

menganalisis bahan hukum yang bertitik tolak dari bahan hukum yang

bersifat umum kemudian ditarik pada kesimpulan yang khusus.

7. Teknik Penulisan

Dalam penyusunan penulisan proposal skripsi ini, penulismerujuk

pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi yang Diterbitkan oleh Fakultas

Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2017”.

E. Sistematika Pembahasan

Pembahasan penelitian ini dibagi menjadi beberapa bab-bab agar

dapat memudahkan para pembaca untuk memahami isi dari penelitian ini,

yang terdiri dari:

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini memaparkan latar belakang masalah, pokok

permasalahan yang menjadi acuan dalam penelitian

ini yaitu identifikasi masalah, pembatasan masalah

dan perumasan masalah, Terdapat juga tujuan dari

penelitian, metode penelitian, dan sistematika

penulisan dalam penelitian ini.

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG RESTORATIVE

JUSTICE, DAN KEALPAAN DALAM HUKUM

PIDANA

Dalam bab ini dibagi menjadi tiga sub bab

pembahasan, sub bab yang pertama memaparkan

mengenai tindak pidana kealpaan yang menjelaskan

terkait pengertian tindak pidana kealpaan dan teori-

teorinya. Sub bab kedua yaitu memaparkan terkait

restorative justice dan yang terakhir yaitu sub bab

ketiga yaitu memaparkan mengenai lakalantas.

Page 22: PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS …

12

BAB III : RESTORATIVE JUSTICE DALAM HUKUM

PIDANA INDONESIA

Dalam bab ini terdiri dari dua sub bab pembahasan.

Pertama menjelaskan mengenai restotarive justice

dalam penyelesaian kasus kecelakaan lalu lintas,

yang kedua menjelaskan mengenai restotarive

justice dalam pembaharuan hukum pidana di

Indonesia.

BAB IV : PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE

DALAM KASUS LAKALANTAS

Dalam bab ini terbagi menjadi tiga sub bab

pembahasan, Pertama adalah terkait pemaparan

kronologi kasus, kedua menjelasakan tentang

pertimbangan hakim dalam memutus perkara

Nomor: 151/Pid.Sus/2013/PN. Jkt. Tim. ketiga

menjelaskan tentang analisis penulis terhadap

pertimbangan hakim.

BAB V : PENUTUP

Dalam bab ini berisi kesimpulan atas pertanyaan

penelitian yang telah diajukan dan rekomendasi atas

penelitian ini.

Page 23: PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS …

13

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG RESTORATIVE JUSTICE DAN

KEALPAAN DALAM HUKUM PIDANA

A. Kerangka Konseptual

Dalam pembahasan ini, akan diuraikan beberapa konsep-konsep terkait

beberapa istilah yang akan sering digunakan, sehingga dalam hal ini peneliti

mencoba untuk memberikan berbagai konseptual dalam rangka

menyederhanakan pemahaman terhadap penelitian ini berupa:

1. Penerapan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pengertian

penerapan adalah perbuatan menerapkan, sedangkan menurut beberapa

ahli, penerapan adalah suatu perbuatan mempraktekkan suatu teori,

metode, dan hal lain untuk mencapai tujuan tertentu dan untuk suatu

kepentingan yang diinginkan oleh suatu kelompok atau golongan yang

telah terencana dan tersusun sebelumnya. Menurut Usman, penerapan

(implementasi) adalah bermuara pada aktivitas, aksi, tindakan, atau

adanya mekanisme suatu sistem. Implementasi bukan sekedar aktivitas,

tetapi suatu kegiatan yang terencana dan untuk mencapai tujuan

kegiatan.1 Menurut Setiawan penerapan (implementasi) adalah

perluasan aktivitas yang saling menyesuaikan proses interaksi antara

tujuan dan tindakan untuk mencapainya serta memerlukan jaringan

pelaksana, birokrasi yang efektif.2

Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan

bahwa kata penerapan (implementasi) bermuara pada aktifitas, adanya

aksi, tindakan, atau mekanisme suatu sistem. Ungkapan mekanisme

mengandung arti bahwa penerapan (implementasi) bukan sekedar

aktifitas, tetapi suatu kegiatan yang terencana dan dilakukan secara

1 Nurdin Usman, Konteks Implementasi Berbasis Kurikulum, (Jakarta: Grasindo, 2002),

h.70. 2 Guntur Setiawan, Implementasi dalam Birokrasi Pembangunan, (Jakarta: Balai Pustaka,

2004), h. 39.

13

Page 24: PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS …

14

sungguh-sungguh berdasarkan acuan norma tertentu untuk mencapai

tujuan kegiatan.

Penerapan atau penegakan hukum menurut pendapat Soerjono

Soekanto adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang

terjabarkan dalam kaidah-kaidah, pandangan-pandangan yang mantap

dan mengejawantahkannya dalam sikap, tindak sebagai serangkaian

penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan kedamaian pergaulan

hidup.3 Dalam hal penegakan hukum di Indonesia khususnya dalam

pemberantasan korupsi, Satjipto Rahardjo berpandangan bahwa pada

umumnya kita masih terpaku cara penegakan hukum yang

konvensional, termasuk kultur. Hukum yang dijalankan berwatak liberal

dan memiliki kultur liberal yang hanya menguntungkan sejumlah kecil

orang (privileged few) di atas “penderitaan” banyak orang. Untuk

mengatasi ketidakseimbangan dan ketidakadilan itu, kita bisa

melakukan langkah tegas (affirmative action). Langkah tegas itu dengan

menciptakan suatu kultur penegakan hukum yang beda, sebutlah kultur

kolektif. Mengubah kultur individual menjadi kolektif dalam penegakan

hukum memang bukan hal yang mudah.4

Sudikno Mertokusumo,5 mengatakan bahwa hukum berfungsi

sebagai perlindungan kepentingan manusia, sehingga hukum harus

dilaksanakan secara normal, damai, tetapi dapat terjadi pula pelanggaran

hukum, sehingga hukum harus ditegakkan agar hukum menjadi

kenyataan. Dalam penegakan hukum mengandung tiga unsur, pertama

kepastian hukum (rechtssicherheit), yang berarti bagaimana hukumnya

itulah yang harus berlaku dan tidak boleh menyimpang, atau dalam

pepatah meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan (fiat justitia

et pereat mundus). Hukum harus dapat menciptakan kepastian hukum

3 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: PT.

Raja Grafindo Persada, 1983), h. 3. 4 Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, (Jakarta: Kompas, 2007), h. 142-143. 5 Sudikno mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty,

2005), h.160.

Page 25: PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS …

15

karena hukum bertujuan untuk ketertiban masyarakat. Kedua

kemanfaatan (zweekmassigkeit), karena hukum untuk manusia maka

pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus memberi manfaat atau

kegunaan bagi masyarakat, jangan sampai justru karena hukumnya

diterapkan menimbulkan keresahan masyarakat. Ketiga keadilan

(gerechtigheit), bahwa dalam pelaksanaan hukum atau penegakan

hukum harus adil karena hukum bersifat umum dan berlaku bagi setiap

orang dan bersifat menyamaratakan. Tetapi hukum tidak identik dengan

keadilan karena keadilan bersifat subyektif, individualistic dan tidak

menyamaratakan.

Andi Hamzah mengemukakan penegakan hukum disebut dalam

bahasa Inggris Law Enforcement, bahasa Belanda rechtshandhaving.

Beliau mengutip Handhaving Milieurecht, 1981, Handhaving adalah

pengawasan dan penerapan (atau dengan ancaman) penggunaan

instrumen administratif, kepidanaan atau keperdataan dicapailah

penataan ketentuan hukum dan peraturan yang berlaku umum dan

individual. Handhaving meliputi fase law enforcement yang berarti

penegakan hukum secara represif dan fase compliance yang berarti

preventif.6

2. Restorative Justice

Restorative justice atau Keadilan Restoratif adalah penyelesaian

perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga

pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari

penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada

keadaan semula, dan bukan pembalasan.

Restorative justice adalah salah satu upaya alternatif penyelesaian

perkara pidana yang menekankan pada pemulihan masalaah/konflik dan

pengambilan keseimbangan masyarakat. Konsep ini menitikberatkan

pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku dan

6 Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h.48.

Page 26: PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS …

16

korban, dan dengan tujuan meminimalisir over capacity

rutan.Restorative justice pada dasarnya merupakan proses damai yang

melibatkan mereka yang memiliki peranan dalam suatu tindak pidana

tertentu dan secara kolektif diidentifikasikan menderita kerugian, dan

sekaligus mempunyai kebutuhan, serta kewajiban, dengan maksud

sedapat mungkin untuk memulihkannya dan memperlakukannya sebaik

mungkin.

Beberapa pengertian restorative justice yang dikemukakan oleh para

ahli, antara lain:

a. Menurut Braithwaite bahwa restorative justice lebih berkaitan

dengan usaha penyembuhan atau pemulihan, daripada

menderitakan, pembelajaran moral, partisipasi masyarakat, dan

kepedulian masyarakat, dialog yang saling menghormati, pemaafan,

tanggungjawab, permintaan maaf, dan mengganti kerugian.7

b. Menurut Tony F. Marshall seorang ahli kriminologi mengatakan

bahwa restorative justice adalah sebuah proses dimana para pihak

yang berkepentingan dalam pelanggaran tertentu bertemu bersama

untuk menyelesaikan persoalan secara berama-sama bagaimana

menyelesaikan akibat dari pelanggaran tersebut demi kepentingan

masa depan.8

c. Menurut Howad Zahr keadilan restoratif adalah proses untuk

melibatkan dengan menggunakan segala kemungkinan, selaku pihak

terkait dan pelanggaran tertentu dan untuk mengidentifikasi serta

menjelaskan ancaman, kebutuhan dan kewajiban dalam rangka

menyembuhkan serta menempatkan hal tersebut sedapat mungkin

sesuai dengan tempatnya.9

7John Braithwaite, Restorative Justice and Responsive Regulation, (New York: Oxford

University Press, 2002), h. 11. 8Mahmud Siregar dkk, Pedoman Praktis Melindungi Anak Dengan Hukum Pada Situasi

Emergensi Dan Bencana Alam, (Medan: Pusat Kajian Dan Perlindungan Anak (PKPA), 2007), h.

34. 9Bambang Waluyo, Penegakan Hukum di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2016), h. 109.

Page 27: PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS …

17

Restorative justice telah berkembang secara global diseluruh dunia.

Dibanyak negara, restorative justice menjadi satu dari sejumlah

pendekatan penting dalam kejahatan dan keadilan yang secara terus

menerus dipertimbangkan di sistem peradilan dan undang-undang.

Sesuai dengan penyebaran proses ini di seluruh dunia maka timbul

beberapa inovasi yang memang terbuka untuk restorative justice. Lebih

memudahkan restorative justice memandang bahwa:

a. Kejahatan adalah pelanggaran terhadap rakyat dan hubungan antar

warga masyarakat.

b. Pelanggaran menciptakan kewajiban.

c. Keadilan mencakup para korban, para pelanggar, dan warga

masyarakat di dalam suatu upaya untuk meletakkan segala

sesuatunya secara benar.

d. Fokus sentralnya: para korban membutuhkan pemulihan kerugian

yang dideritanya (baik secara fisik, psikologis, dan materi) dan

pelaku bertanggung jawab untuk memulihkannya (biasanya dengan

cara pengakuan bersalah dari pelaku, permohoanan maaf dan rasa

penyesalan dari pelaku dan pemberian kompensasi atau restitusi).10

Selama ini penggunaan proses Restorative Justice di Indonesia

didasarkan pada diskresi dan diversi ini merupakan upaya pengalihan

dari proses peradilan pidana keluar proses formal untuk diselesaikan

melalui musyawarah. Pada dasarnya penyelesaian masalah dan sengketa

melalui jalan musyawarah bukan merupakan hal asing bagi masyarakat

Indonesia. sejak sebelum Belanda datang ke Indonesia hukum adat yang

merupakan hukum asli Indonesia, sudah menggunakan jalan

musyawarah untuk menyelesaikan segala macam sengketa, baik perdata

maupun pidana dengan tujuan untuk mengembalikan keseimbangan

atau memulihkan keadaan. Dimana pada dasarnya sistem ini telah sesuai

10Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial

Prudence), (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), h. 249.

Page 28: PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS …

18

dengan tujuan dari sistem peradilan pidana itu sendiri yang dirumuskan

oleh Madjono sebagai berikut:11

a) Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.

b) Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat

puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana;

dan

c) Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak

mengulangi lagi kejahatannya.

Bagir Manan berpendapat, bahwa prinsip dalam sistem Restorative

Justice yaitu: “membangun partisipasi bersama antara pelaku, korban,

dan kelompok masyarakat untuk menyelesaikan suatu peristiwa atau

tindak pidana. Menempatkan pelaku, korban, dan masyarakat sebagai

stakeholders yang bekerjasama dan langsung berusaha menemukan

penyelesaian yang dipandang adil bagi semua pihak (win win

solution).”12

Pada suatu proses restoratif, kepentingan-kepentingan korban

adalah jauh bersifat sentral dibanding dalam proses-proses hukum acara

pidana saat ini. Di beberapa negara telah mengadopsi suatu legislasi

yang menetapkan hak-hak prosedural yang dimiliki oleh korban

sepanjang suatu proses hukum acara pidana atau proses dari hukum

acara pidana remaja.13 Bentuk atau variasi penerapan restorative

justicemerupakan praktik yang sebagian dari tradisi dalam masyarakat

atau hasil dari penelitian dan perjalananpanjang dari contoh yang

diambil sebagai cara alternatif untuk menyelesaikan kasus pidana di luar

peradilan.

11Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana-Perspektif Eksistensialisme dan

Abolisionisme, (Bandung: Binacipta, 1996), h.15. 12Bagir Manan, Restorative Justice (suatu perkenalan) dalam buku Refleksi dinamika

hukum rangkaian pemikiran dalam dekade terakhir, (Jakarta: Perum Percetakan Negara RI, 2008),

h. 4. 13Rufinus Hitmaulana Hutauruk, Penanggulangan Kejhatan Korporasi Melalui

Pendekatan Restoratif Suatu Trobosan Hukum, (Jakarta: Sinat Grafika, 2014), h. 264.

Page 29: PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS …

19

Bentuk praktik restorative justice yang telah berkembang di negara

Eropa, Amerika Serikat, Canada, Australia, dan New Zealand, dimana

bentuk ini dapat dikelompokan dalam empat jenis praktik yang menjadi

pioner penerapan restorative justice dibeberapa negara yaitu, Victim

Offender Mediation, Conferencing/Family Group Conferencing,

Circles dan Restorative Board/Youth Panels. Adapun penjelasannya

sebagai berikut:

1) Victim Offender Mediation, dalam pelaksanaan dilakukan nya VOM

yaitu memberi penyelesaian terhadap perstiwa yang terjadi,

diantaranya dengan membuat sanksi alternatif bagi pelaku atau

untuk melakukan pembinaan ditempat khusus bagi pelanggaran

yang benar-benar serius. Dalam bentuk dasarnya proses ini

melibatkan dan membawa bersama korban dan pelakunya kepada

satu mediator yang mengkoordinasi dan memfasilitasi

pertemuan.Sasaran dari VOM yaitu proses penyembuhan terhadap

korban dengan menyediakan wadah bagi semua pihak untuk

bertemu dan berbicara secara sukarela serta memberi kesempatan

pada pelaku belajar terhadap akibat dari perbuatannya itu serta

membuat rencana penyelesaian kerugian yang terjadi.14

2) Conferencing/Family Group Conferencing. Yaitu memiliki tujuan

mendapatkan kejelasan dari peristiwa yang terjadi dengan memberi

semangat kepada pelaku, mengembalikan kerugian korban,

melakukan reintegrasi korban ke masyarakat dan pertanggung

jawaban bersama.15 Sasarannya memberikan kesempatan kepada

korban untuk terlibat secara langsung dalam diskusi dan pembuatan

keputusan mengenai pelanggaran yang terjadi padanya dengan

sanksi yang tepat bagi pelaku serta mendengar secara langsung

14Marlina, Perlindungan Pidana Anak di Indonesia Pengembangan Konsep Diversi dan

Restorative Justice,(Bandung: PT. Refika Aditama, 2009), h. 184. 15Marlina, Perlindungan Pidana Anak di Indonesia Pengembangan Konsep Diversi dan

Restorative Justice, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2009), h. 189.

Page 30: PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS …

20

penjelasan dari pelaku tentang pelanggaran yang terjadi. Kemudian

meningkatkan kepedulian pelaku atas akibat perbuatannya kepada

orang lain serta memberi kesempatan pelaku bertanggung jawab

penuh atas perbuatannya. Terakhir adalah memberikan kesempatan

korban dan pelaku untuk saling berhubungan dalam memperkuat

kembali tatanan masyarakat yang sempat terpecah karena terjadinya

pelanggaran oleh pelaku terhadap korban.

3) Circles. Bentuk restorative justice ini memiliki tujuan untuk

membuat penyelesaian terhadap suatu tindak pidana dengan

mempertemukan korban, pelaku, masyarakat dan pihak lainnya

yang berkepentingan dengan terjadinya suatu tindak pidana. Sasaran

yang ingin dicapai melalui proses circles adalah terlaksananya

penyembuhan pada pihak yang terluka karena tindakan pelaku dan

memberi kesempatan kepada pelaku untuk memperbaiki dirinya

dengan tanggung jawab penyelesaian kesepakatan. Masyarakat

digugah untuk peduli terhadap permasalahan anak ada disekitarnya

dan mengawasi penyebab dari tindakan yang besangkutan.16

4) Restorative Board/Youth Panels.Pada bentuk yang satu ini restoratif

memiliki tujuan menyelesaikan perkara tindak pidana melibatkan

pelaku, korban, masyarakat, mediator dan juga hakim, jaksa dan

pembela secara bersama merumuskan bentuk sanksi yang tepat bagi

pelaku dan ganti rugi bagi korban atau masyarakat. Sasarannya

adalah peran serta aktif anggota masyarakat secara langsung dalam

proses peradilan tindak pidana, kemudian memberi kesempatan

kepada korban dan anggota masyarakat melakukan dialog secara

langsung dengan pelaku. Dalam pertemuan yang diadakan tersebut

pelaku melakukan pertanggungjawaban secara langsung atas

tindakan yang telah dilakukannya.17

16Marlina, Perlindungan Pidana Anak di Indonesia Pengembangan Konsep Diversi dan

Restorative Justice, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2009), h.192. 17Marlina, Perlindungan Pidana Anak di Indonesia Pengembangan Konsep Diversi dan

Restorative Justice, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2009), h.195.

Page 31: PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS …

21

3. Kecelekaan Lalu Lintas

Di dalam Undang-undang No. 22 tahun 2009 Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan (selanjutnya disingkat UU LLAJ) didefinisikan sebagai

gerak kendaraan dan orang di ruang lalu lintas jalan, sedang yang

dimaksud dengan ruang lalu lintas jalan adalah prasarana yang

diperuntukan bagi gerak pindah kendaraan, orang dan/atau barang yang

berupa jalan atau fasilitas pendukung. Operasi lalu lintas di jalan raya

ada empat unsur yang saling terkait yaitu pengemudi, kendaraan, jalan

dan pejalan kaki. Pemerintah mempunyai tujuan untuk mewujudkan lalu

lintas dan angkutan jalan yang selamat, aman, cepat, lancar, tertib dan

teratur, nyaman dan efisien melalui menajemen lalu lintas dan rekayasa

lalu lintas. Tata cara berlalu lintas di jalan diatur dengan peraturan

perundangan menyangkut arah lalu lintas, prioritas menggunakan jalan,

lajur lalu lintas, jalur lalu lintas dan pengendalian arus dipersimpangan.

Menurut H.W. Heinrich Kecelakaan merupakan tindakan tidak

direncanakan dan tidak terkendali, ketika aksi dan reaksi objek, bahan,

atau radiasi menyebabkan cidera atau kemungkinan cidera.18 Menurut

D.A. Colling sebagaimana dikutip oleh Marc M. Schneier sebagai tiap

kejadian yang tidak direncanakan dan terkontrol yang dapat disebabkan

oleh manusia, situasi, faktor lingkungan, ataupun kombinasi-kombinasi

dari hal-hal tersebut yang mengganggu proses kerja dan dapat

menimbulkan cederaataupun tidak, kesakitan, kematian, kerusakan

Properti ataupun kejadian yang tidak diinginkan lainnya.19

Menurut F.D. Hobbs mengungkapkan kecelakaan lalu lintas

merupakan kejadian yang sulit diprediksi kapan dan dimana terjadinya.

Kecelakaan tidak hanya meliputi trauma cidera, ataupun kecacatan

18H.W. Heinrich, Industrial Accident Prevention : A Safety Management Approach, (New

York: McGrawHill, 1980), h. 22. 19Marc M. Schneier, CONSTRUCTION ACCIDENT LAW : A Comprehensive Guide to

Legal Liability and Insurance Claims, (Chicago: American Bar Asscociation, 1999), h. 14.

Page 32: PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS …

22

tetapi juga sering kali menyebabkan kematian. Kasus kecelakaan sangat

sulit untuk diminimalisasi dan cenderung meningkat seiring

pertambahan panjang jalan dan banyaknya pergerakan dari kendaraan.

Secara teknis kecelakaan lalu lintas didefinisikan sebagai suatu kejadian

yang disebabkan oleh banyak faktor yang tidak disengaja (Random

Multy Factor Event) yang artinya penyebab kecelakaan itu sendiri bukan

dikarenakan kesengajaan dari si pelaku itu sendiri, melainkan kelalaian

dari si pelaku.20

Menurut Pasal 1 ayat (24) UULLAJ Tahun 2009 menentukan

sebagai berikut : “Kecelakaan Lalu Lintas adalah suatu peristiwa di

Jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja melibatkan Kendaraan

dengan atau tanpa Pengguna Jalan lain yang mengakibatkan korban

manusia dan/atau kerugian harta benda. Menurut Pasal 229 UULLAJ

Tahun 2009 menentukan sebagai berikut:

1) Kecelakaan Lalu Lintas digolongkan atas :

a. Kecelakaan Lalu Lintas ringan

b. Kecelakaan Lalu Lintas sedang

c. Kecelakaan Lalu Lintas berat

2) Kecelakaan Lalu Lintas ringan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) huruf a merupakan kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan

Kendaraan dan/atau barang.

3) Kecelakaan Lalu Lintas sedang sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) huruf b merupakan kecelakaan yang mengakibatkan luka

ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang.

4) Kecelakaan Lalu Lintas berat sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) huruf c merupakan kecelakaan yang mengakibatkan korban

meninggal dunia atau luka berat. 5) Kecelakaan Lalu Lintas

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disebabkan oleh

20F.D Hobbs, Perencanaan dan Tehnik Lalu Lintas, Terjemahan oleh : Suprapto,

(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1995), h. 474.

Page 33: PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS …

23

kelalaian Pengguna Jalan, ketidaklaikan Kendaraan, serta

ketidaklaikan Jalan dan/atau lingkungan.

Sedangkan korban kecelakaan lalu lintas adalah manusia yang

menjadi korban akibat terjadinya kecelakaan lalu lintas, berdasarkan

tingkah keparahan korban kecelakaan dibedakan menjadi 3 macam

yaitu:

1) Korban meninggal dunia atau mati

2) Korban luka berat

3) Korban luka ringan

Klasifikasi kecelakaan pada dasarnya dibuat berdasarkan tingkat

keparahan korban, dengan demikian kecelakaan lalu lintas dibagi dalam

4 macam kelas sebagai berikut :

1) Klasifikasi berat Apabila terdapat korban yag mati (meskipun

hanya satu orang) dengan atau korban luka-luka berat atau

ringan.

2) Klasifikasi sedang Apabila tidak terdapat korban yang mati

namun dijumpai sekurangkurangnya satu orang mengalami

luka-luka berat.

3) Klasifikasi ringan Apabila tidak terdapat korban mati dan luka

luka berat dan hanya dijumpai korban yang luka ringan saja.

4) Klasifikasi lain-lain Apabila tidak ada manusia yang menjadi

korban hanya berupa kerugian materiil saja baik berupa

kerusakan kendaraan, atau fasilitas lain.21

Secara umum, terdapat 3 faktor utama penyebab kecelakaan, yaitu

Faktor Pengemudi, Faktor Kendaraan, dan Faktor Lingkungan Jalan.

Namun dewasa ini yang menjadi penyebab terjadinya kecelakaan pada

21Pengertian Dan Klasifikasi Kecelakaan Lalu Lintas. WWW. Google. Com, Diakses Pada

Hari Sabtu Tanggal 12 September 2020, Jam 02.03.

Page 34: PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS …

24

umumnya tidak hanya disebabkan oleh satu faktor saja, melainkan hasil

interaksi antara berbagai faktor lain, yaitu:22

a. Faktor Pengemudi : kondisi fisik pengemudi merupakan faktor

utama yang menjadi penyebab kecelakaan seperti kondisi fisik

(mabuk, lelah, sakit, dan sebagainya), kemampuan mengemudi,

penyebrang atay pejalan kaki yang lengah.

b. Faktor kendaraan : kondisi kendaraan tidak fit, terdapat

modifikasi, kerusakan pada kendaraan.

c. Faktor Lingkungan : kondisi jalan, lubang, penerangan kurang,

jalan licin, marka lalu lintas minim.

d. Faktor Cuaca : hujan, kabut, asap, salju.

4. Kealpaan

Kealpaan berasal dari kata culpayang berarti kesalahan pada

umumnya. Dalam ilmu pengetahuan hukum memiliki arti yaitu suatu

macam kesalahan si pelaku tindak pidana yang tidak seberat seperti

kesengajaan, yaitu kurang berhati-hati, sifatnya bertingkat-tingkat, ada

orang yang melakukan suatu pekerjaan sangat berhati-hati, ada yang

kurang lagi ada yang lebih kurang lagi.23

Kealpaan (culpa) dalam arti luas berarti kesalahan pada umumnya,

sedang dalam arti sempit adalah bentuk kesalahan yang berupa

kealpaan. Alasan mengapa culpa menjadi salah satu unsur kesalahan

adalah bilamana suatu keadaan, yang sedemikian membahayakan

keamanan orang atau barang, atau mendatangkan kerugian terhadap

seseorang yang sedemikian besarnya dan tidak dapat diperbaiki lagi.

Menurut pasal 359 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

kealpaan adalah barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya)

22F.D Hobbs, Perencanaan dan Tehnik Lalu Lintas, Terjemahan oleh : Suprapto, h. 474. 23Debi Aris Siswanto & Marjan Miharja, Tinjauan Diversi Dan Restorative Justice Dalam

Penanganan Kecelakaan Lalu Lintas Dengan Pelaku Anak Yang Menyebabkan Korban Meninggal

Dunia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana

Anak, (Pasuruan: Qiara Media, 2019), h. 8.

Page 35: PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS …

25

menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling

lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun. Kealpaan

juga diartikan bahwa terdakwa tidak bermasud melangar larangan

undang-undang, tetapi ia tidak mengindahkan larangan itu, sehingga

tidak berhati-hati dan menimbulkan keadaan yang dilarang. Moeljanto

berpendapat kealpaan itu mengandung dua syarat, yaitu tidak

mengadakan penduga-penduga sebagaimana diharuskan oleh hukum

dan tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh

hukum.24Berdasarkan pada keterangan KUHP tersebut kejahatan

kealpaan dapat dipahami terjadi bukanlah semata-mata seorang

menentang larangan tersebut dengan justru melakukan yang dilarang itu.

Tetapi dia tidak begitu mengindahkan larangan, hal ini nyata dari

perbuatannya. Hal tersebutlah sehingga oleh Moeljatno disebut dengan

gecompliceerd.

Pada prinspinya seseorang dapat dikatakan mempunyai culpa di

dalam melakukan perbuatannya apabila orang tersebut telah melakukan

perbuatannya tanpa disertai “de nodige en mogelijke voorzichtigheid en

oplettendheid” atau tanpa disertai kehati-hatian dan perhatian

seperlunya yang mungkin ia dapat berikan. Oleh karena itu maka

menurut Simons, culpa itu pada dasarnya mempunyai dua unsur masing-

masing yakni “het gemis aan voorzichtigheid” dan “het gemis van de

voorzienbaarheid” atau “tidak adanya kehati-hatian” dan “kurangnya

perhatian terhadap akibat yang dapat timbul”. Sejalan dengan hal

tersebut, menurut Van Hamel, sebagaimana dikutip Moejatno bahwa

kealpaan itu mengandung dua syarat, yaitu: pertama, tidak mengadakan

praduga-duga sebagaimana diharuskan oleh hukum. Kedua, tidak

mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum.25

Selain apa yang telah disebutkan di atas, ada pula yang disebut

dengan culpa atau kelalaian / kealpaan yang dalam doktrin hukum

24Moeljanto, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta,1993), h. 201. 25Moeljanto, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta,1993), h. 217.

Page 36: PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS …

26

pidana dikenal sebagai kealpaan yang tidak disadari atau onbewuste

schuld dan kealpaan yang disadari atau bewute schild. Faktor terpenting

dalam unsur ini adalah pelaku dapat menduga terjadinya akibat dari

perbuatannya itu, atau pelaku kurang berhati-hati. Wilayah culpa ini

terletak diantara sengaja dan kebetulan. Oleh sebab itu, untuk

mempertanggujawabkan perbuatan, hubungan batin terdakwa dengan

akibat yang timbul harus dibuktikan adanya hubungan kausal sehingga

dapat ditentukan kesalahannya.

B. Kerangka Teori

Konsep teori merupakan bagian terpenting dalam membantu

memecahkan masalah. Adanya peran konsep menjadikan peneliti lebih

memahami serta melakukan pembatasan dalam rangka menjawab setiap

permasalahan yang timbul. Sebelum dilakukan penelitian, peneliti sudah

mempunyai gambaran, harapan, jawaban atau bayangan tentang apa yang

akan ditemukannya melalui penelitian yang dimaksud.

Menurut Muchyar Yahya teori hukum adalah cabang ilmu hukum yang

mempelajari berbagai aspek teoritis maupun praktis dari hukum positif

tertentu secara tersendiri dan dalam keseluruhannya secara interdisipliner,

yang bertujuan memperoleh pengetahuan dan penjelasan yang lebih baik,

lebih jelas, dan lebih mendasar mengenai hukum positif yang

bersangkutan.26 Selain itu, Bruggink mengartikan teori hukum adalah :

“suatu keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan berkenaan dengan

sistem konseptual aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum, dan

sistem tersebut untuk sebagian penting dipositifkan”.27

Selanjutnya teori-teori yang dipergunakan sebagai alat untuk

menjelaskan masalah yang telah diidentifikasi, yakni sebagai berikut:

1. Teori Pemidanaan

26Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2001), h. 87. 27Salim, HS, Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,

2010), h. 20.

Page 37: PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS …

27

Pemidanaan didalam hukum Indonesia merupakan suatu cara atau

proses untuk menjatuhkan sanksi atau hukuman untuk seseorang yang

telah melakukan tindak pidana ataupun pelanggaran. Pemidanaan

adalah kata lain dari sebuah penghukuman. Menurut Prof. Sudarto,

bahwa penghukuman berasal dari kata dasar “hukum”, sehingga dapat

diartikan sebagai “menetapkan hukum” atau “memutuskan tentang

hukumanya”.28 Dalam artian disini menetapkan hukum tidak hanya

untuk sebuah peristiwa hukum pidana tetapi bisa juga hukum perdata.

Pemidanaan adalah suatu tindakan terhadap seorang pelaku kejahatan,

dimana pemidanaan ditujukan bukan karena seseorang telah berbuat

jahat tetapi agar pelaku kejahatan tidak lagi berbuat jahat dan orang lain

takut melakukan kejahatan serupa. Jadi dari pernyataan diatas bisa kita

simpulkan bahwa pemidanaan ataupun penghukuman itu adalah sebuah

tindakan kepada para pelaku kejahatan yang mana tujuannya bukan

untuk memberikan balas dendam kepada para pelaku melainkan para

pelaku diberikan pembinaan agar nantinya tidak mengulangi

perbuatannya kembali.

Teori pemidanaan dapat digolongkan dala tiga golongan pkok yaitu

golongna teori pembalasan, golonngan teori tujuan, dan golongan teori

gabungan.

a. Teori Pembalasan

Teori pembalasan atau juga bisa disebut dengan teori absolut

adalah dasar hukuman harus dicari dari kejahatan itu sendiri, karena

kejahatan itu menimbulkan penderitaan bagi orang lain maka si

pelaku kejahatan pembalasannya adalah harus diberikan penderitaan

juga.29 Teori pembalasan ini menyetujui pemidanaan karna

seseorang telah berbuat tindak pidana. Pencetus teori ini adalah

Imanuel Kant yang mengatakan “Fiat justitia ruat coelum” yang

28 Muladi dan Barda Nawawi, Teori – Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni,

1984), h.1. 29 Leden Marpaung, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h.

105.

Page 38: PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS …

28

maksudnya walaupun besok dunia akan kiamat namun penjahat

terakhir harus tetap menjalakan pidananya. Kant mendasarkan teori

ini berdasarkan prinsip moral dan etika. Pencetus lain adalah Hegel

yang mengatakan bahwa hukum adalah perwujudan kemerdekaan,

sedangkan kejahatan adalah tantangan kepada hukum dan keadilan.

Karena itu, menurutnya penjahat harus dilenyapkan. Sedangkan

menurut Thomas Aquinas pembalasan sesuai dengan ajaran tuhan

karena itu harus dilakukan pembalasan kepada penjahat.30

Jadi dalam teori ini adalah pembalasan itu ditujukan untuk

memberikan sebuah hukuman kepada pelaku pidana yang mana

nantinya akan memberikan efek jera dan ketakutan untuk

mengulangi perbuatan pidana tersebut. Teori pembalasan atau teori

absolut dibagi dalam dua macam, yaitu:31

1) Teori pembalasan yang objektif, berorientasi pada pemnuhan

kepuasan dari perasaan dendam dari kalangan masyarakat.

Dalam hal ini perbuatan pelaku pidana harus dibalas dengan

pidana yang berupa suatu bencana atau kerugian yang seimbang

dengan kesengsaraan yg diakibatkan oleh si pelaku pidana.

2) Teori pembalasan subjektif, berorientasi pada pelaku pidana.

Menurut teori ini kesalahan si pelaku kejahatanlah yang harus

mendapat balasan. Apabila kerugian atau kesengsaraan yg besar

disebabkan oleh kesalahan yang ringan, maka si pembuat

kejahatan sudah seharusnya dijatuhi pidana yang ringan.

b. Teori Tujuan

Berdasarkan teori ini, pemidanaan dilaksanakan untuk

memberikan maksud dan tujuan suatu pemidanaan, yakni

memperbaiki ketidakpuasan masyarakat sebagai akibat perbuatan

30 Erdianto Efendi, Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2011), h. 142. 31 Erdianto Efendi, Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2011), h. 142.

Page 39: PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS …

29

kejahatan tersebut. Dalam hal ini teori ini juga dapat diartikan

sebagai pencegahan terjadinya kejaatan dan sebagai perlindungan

terhadap masyarakat. Penganjur teori ini yaitu Paul Anselm van

Feurbach yang mengemukakan “hanya dengan mengadakan

ancaman pidana pidana saja tidak akan memadai, melainkan

diperlukan pemjatuhan pidana kepada si penjahat”. Mengenai tujuan

– tujuan itu terdapat tiga teori yaitu : untuk menakuti, untuk

memperbaiki , dan untuk melindungi. Yang dijelaskan sebagai

berikut:32

1) Untuk menakuti;

Teori dari Anselm van Feurbach, hukuman itu harus diberikan

sedemikian rupa, sehingga orang takut untuk melakukan

kejahatan. Akibat dari teori itu ialah hukuman yang diberikan

harus seberat – beratnya dan bisa saja berupa siksaan.

2) Untuk memperbaiki;

Hukuman yang dijatuhkan dengan tujuan untuk memperbaiki si

terhukum sehingga sehingga di kemudian hari ia menjadi orang

yang berguna bagi masyarakat dan tidak akan melanggar

peraturan hukum.

3) Untuk melindungi;

Tujuan pemidanaan yaitu melindungi masyarakat terhadap

perbuatan kejahatan. Dengan diasingkannya si penjahat itu

untuk semntara, maka masyarakat akan diberikan rasa aman dan

merasa di lindungi oleh orang- orang yang berbuat jahat tersebut.

Jadi dalam teori tujuan yang lebih modern memilki artian bahwa

pemidanaan memebrikan efek jera kepada si pelaku agar tidak

berbuat tindak pidana lagi.

c. Teori Gabungan

32 Erdianto Efendi, Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2011), h. 142.

Page 40: PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS …

30

Teori gabungan ini lahir sebagai jalan keluar dari teori absolut

dan teori relatif yang belum dapat memberi hasil yang memuaskan.

Aliran ini didasarkan pada tujuan pembalasan dan mempertahankan

ketertiban masyarakat secara terpadu.33 Artinya penjatuhan pidana

beralasan pada dua alasan yaitu sebagai suatu pembalasan dan

sebagai ketertiban bagi masyarakat.

Adapun teori gabungan ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu:34

1) Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi

pembalsan itu tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu

dan cukup untuk dapatnya diperthankan tat tertib masyarakat.

2) Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib

masyrakat, tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh

lebih berat dari perbuatan yang dilakukan terpidana.

Teori gabungan yang menitik beratkan pada pemblasan ini

didukung oleh Zevenbergen yang bependpat bahwa:35

“makna setiap pidana adalah suatu pembalasan, tetapi

mempunyai maksud melindungi tat tertib hukum, sebab

pidana itu adalah mengembalikan dan mempertahankan

ketaatan pada hukum dan pemerintah. Oleh sebab itu pidana

baru dijatuhkan jika jika memang tidak ada jalan lain untuk

memperthankan tata tertib hukum itu”.

Jadi menitik beratkan pada pembalasan itu artinya memberikan

hukuman atau pembalsan kepada penjahat dengan tujuan untuk

menjaga tata tertib hukum agarsupaya dimana masyarakat ataupun

kepentingan umumnya dapat terlindungi dan terjamin dari tindak

pidana kejahatan. Teori gabungan yang mengutamakan

perlindungan tata tertib hukum didukung antara lain oleh Simons

dan Vos. Menurut Simons, dasar primer pidana yaitu pencegahan

33 Niniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda Dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan,

(Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h.19. 34 Adami Chazaw, Pelajaran Hukum Pidana, (Jakarta: Grafindo Persada, 2002). h. 162. 35 Adami Chazaw, Pelajaran Hukum Pidana, (Jakarta: Grafindo Persada, 2002). h. 162.

Page 41: PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS …

31

umum dan dasar sekundernya yaitu pencegahan khusus. Dalam

artian pidana primer ialah bertujuan pada pencegahan umum yang

terletak pada ancaman pidananya dlam undang-undang, apabila hal

ini tidak cukup kuat atau tidak efektif dalam hal pencegahan umum,

maka barulah diadakan pencegahan khusus yang bertujuan untuk

menakut-nakuti, memperbaikin dan membuat tidak berdayanya

penjahat. Dalam hal ini harus diingat bahwa pidana yang dijatuhkan

harus sesuai dengan undang-undang atau berdasarkan hukum dari

masyarakaat.36

Jadi teori gabungan yang mengutamakan perlindungan dan tata

tertib hukum ini dalam artian memberikan keadilan bagi para korban

kejahatan demi melindungi hak hak mereka, dan untuk penhat

sendiri bertujuan memberikan efek jera agar tidak mengulangi

perbuatan kejahatannya kembali.

Jenis-jenis Pemidanaan berdasarkan ketentuan yang ada di

KUHP menyangkut tentang sanksi pidana atau jenis pemidanaan

hanya terdapat 2 macam hukuman pidana, yaitu pidana pokok dan

pidana tambahan.37 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

pasal 10 berbunyi sebagai berikut, Pidana terdiri atas:

1. Hukuman pokok (hoofd straffen):

a. Pidana Mati

b. Pidana penjara

c. Pidana kurungan

d. Pidana denda

2. Hukuman tambahan (bijkomende straffen):

a. Pencabutan hak-hak tertentu

b. Perampasan barang-barang tertentu

c. Pengumuman Putusan Hakim

36 Adami Chazaw, Pelajaran Hukum Pidana, (Jakarta: Grafindo Persada, 2002). h. 163. 37 M. Najih, Pengantar Hukum Indonesia, (Malang: Setara Press, 2014), h.177.

Page 42: PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS …

32

Pidana pokok adalah hukuman yang dapat dijatuhkan terlepas

dari hukuman hukuman-hukuman lain. Sedangakan pidana

tambahan adalah hukuman yang hanya dapat dijatuhkan bersama-

sama dengan hukuman pokok.

2. Teori Dasar Pertimbangan Hakim

Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana

bersyarat perlu didasarkan kepada teori dan hasil penelitian yang saling

berkaitan sehingga didapatkan hasil penelitian yang maksimal dan

seimbang dalam tataran teori dan praktek. Salah satu usaha untuk

mencapai kepastian hukum dengan penegakan hukum secara tegas

adalah melalui kekuasaan kehakiman, di mana hakim merupakan aparat

penegak hukum yang melalui putusannya dapat menjadi tolok ukur

tercapainya suatu kepastian hukum.

Pokok Kekuasaan Kehakiman diatur dalam Undang-Undang Dasar

1945 Bab IX Pasal 24 dan Pasal 25 serta di dalam Undang-Undang

Nomor 48 tahun 2009. Undang-Undang Dasar 1945 menjamin adanya

suatu Kekuasaan Kehakiman yang bebas. Hal ini tegas dicantumkan

dalam Pasal 24 terutama dalam Penjelasan Pasal 24 ayat (1) dan

penjelasan Pasal 1 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009, yaitu Kekuasaan

Kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan

berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik

Indonesia.

Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka dalam

ketentuan ini mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman

bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial,

kecuali hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar

1945. Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak

Page 43: PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS …

33

mutlak karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan

keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan

rasa keadilan rakyat Indonesia. Kemudian pada Pasal 24 ayat (2)

menegaskan bahwa: Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah

Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam

lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan

peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh

sebuah Mahkamah Konstitusi. Menurut Andi Hamzah dalam bukunya

yang berjudul “Hukum Acara Pidana Indonesia”, hakim yang bebas dan

tidak memihak telah menjadi ketentuan universal. Hal ini menjadi ciri

suatu Negara hukum.38

Kebebasan hakim perlu pula dipaparkan posisi hakim yang tidak

memihak (impartial judge) Pasal 5 ayat (1) UU No.48 Tahun 2009.

Istilah tidak memihak di sini haruslah diartikan tidak harfiah, karena

dalam menjatuhkan putusannya hakim harus memihak pada yang benar.

Dalam hal ini hakim tidak memihak diartikan tidak berat sebelah dalam

pertimbangan dan penilaiannya. Lebih tepatnya perumusan UU No.48

tahun 2009 Pasal 5 ayat (1): “Pengadilan mengadili menurut hukum

dengan tidak membeda-bedakan orang”. Seorang hakim diwajibkan

untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan tidak memihak. Hakim

dalam memberikan suatu keadilan harus menelaah terlebih dahulu

tentang kebenaran peristiwa yang diajukan kepadanya kemudian

memberi penilaian terhadap peristiwa tersebut dan menghubungkannya

dengan hukum yang berlaku. Setelah itu hakim baru dapat menjatuhkan

putusan terhadap peristiwa tersebut.

Kehidupan masyarakat saat ini yang semakin komplek dituntut

adanya penegakan hukum dan keadilan untuk memenuhi rasa keadilan

masyarakat. Untuk figur seorang hakim sangat menentukan melalui

putusan-putusannya karena pada hakekatnya hakimlah yang

38 Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), h.101.

Page 44: PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS …

34

menjalankan kekuasaan hukum peradilan demi terselenggaranya fungsi

peradilan itu.39

Seorang hakim dianggap tahu akan hukumnya sehingga ia tidak

boleh menolak memeriksa dan mengadili suatu peristiwa yang diajukan

kepadanya. Hal ini diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UU No.35 Tahun 1999

jo.UU No.48 Tahun 2009 yaitu: pengadilan tidak boleh menolak untuk

memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih

bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk

memeriksa dan mengadilinya.

Seorang hakim dalam menemukan hukumnya diperbolehkan untuk

bercermin pada yurisprudensi dan pendapat para ahli hukum terkenal

(doktrin). Menurut pendapat Wirjono Projodikoro dalam menemukan

hukum tidak berarti bahwa seorang hakim menciptakan hukum,

menurut beliau seorang hakim hanya merumuskan hukum.40

Hakim dalam memberikan putusan tidak hanya berdasarkan pada

nilainilai hukum yang hidup dalam masyarakat, hal ini dijelaskan dalam

Pasal 28 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2009 yaitu: “Hakim wajib menggali,

mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam

masyarakat”. Hakim oleh karena itu dalam memberikan putusan harus

berdasar penafsiran hukum yang sesuai dengan rasa keadilan yang

tumbuh, hidup, dan berkembang dalam masyarakat, juga faktor lain

yang mempengaruhi seperti faktor budaya, sosial, ekonomi, politik, dan

lain-lain. Dengan demikian seorang hakim dalam memberikan putusan

dalam kasus yang sama dapat berbeda karena antara hakim yang satu

dengan yang lainnya mempunyai cara pandang serta dasar pertimbangan

yang berbeda pula. Dalam doktrin hukum pidana sesungguhnya ada

yang dapat dijadikan pedoman sementara waktu sebelum KUHP

Nasional diberlakukan.

39 Nanda Agung Dewantoro, Masalah Kebebasan Hakim dalam Menangani Suatu Perkara

Pidana, (Jakarta: Aksara Persada, 1987), h.149. 40 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai

Pustaka, 2003), h. 383.

Page 45: PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS …

35

Pedoman tersebut dalam konsep KUHP baru Pasal 55 ayat (1), yaitu:

a. Kesalahan pembuat tindak pidana;

b. Motif dan tujuan melakukan tindak pidana;

c. Sikap batin pembuat tindak pidana;

d. Apakah tindak pidana dilakukan berencana;

e. Cara melakukan tindak pidana;

f. Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana;

g. Riwayat hidup dan keadaan sosial dan ekonomi pembuat tindak

pidana;

h. Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana;

i. Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban;

j. Pemaafan dari korban atau keluarganya;

k. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.

Seorang pelaku tindak pidana dapat tidaknya dijatuhi pidana maka

perbuatan pelaku harus mengandung unsur kesalahan, hal ini

berdasarkan asas kesalahan Geen Straf Zonder Schuld (tiada suatu

perbuatan yang dapat dihukum tanpa ada kesalahan). Berdasarkan hal

tersebut, dalam menjatuhkan hukuman terhadap pelaku hakim harus

melihat kepada kesalahan yang dilakukan oleh pelaku sesuai dengan

perbuatan yang dilakukan. Selain itu dalam menjatuhkan hukuman

kepada pelaku hakim juga melihat kepada motif, tujuan, cara perbuatan

dilakukan dan dalam hal apa perbuatan itu dilakukan (perbuatan itu

direncanakan). Konsep KUHP baru yang didasarkan pada Pasal 55

menyatakan bahwa hakim dalam menjatuhkan hukuman kepada pelaku

selain melihat dan mempertimbangkan kepada aspek lain yakni melihat

aspek akibat, korban dan juga keluarga korban. Hal ini merupakan

konsep baru yang harus diperhatikan hakim dalam menjatuhkan pidana

kepada pelaku tindak pidana, karena perbuatan yang dilakukan selain

berdampak kepada pelaku, hal ini juga berakibat kepada korban dan juga

keluarga korban.

Page 46: PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS …

36

3. Teori Keadilan

Terkait dengan teori keadilan, ada beberapa ahli yang menjelaskan

tentang bahasan ini antara lain Plato, Aristoteles, dan John Rawls.

Dalam teori Plato terkait tentang keadiaan ia menekankan pada harmoni

atau keselarasan. Plato mendefinisikan keadilan sebagai “the supreme

virtue of the good state”, sedang orang yang adil adalah “the self

diciplined man whose passions are controlled by reasson”. Bagi Plato

keadilan tidak dihubungkan secara langsung dengan hukum. Baginya

keadilan dan tata hukum merupakan substansi umum dari suatu

masyarakat yang membuat dan menjaga kesatuannya.

Dalam konsep Plato tentang keadilan dikenal adanya keadilan

individual dan keadilan dalam negara. Untuk menemukan pengertian

yang benar mengenai keadilan individual, terlebih dahulu harus

ditemukan sifat-sifat dasar dari keadilan itu dalam negara, untuk itu

Plato mengatakan41: “let us enquire first what it is the cities, then we will

examine it in the single man, looking for the likeness of the larger in the

shape of the smaller”. Walaupun Plato mengatakan demikian, bukan

berarti bahwa keadilan individual identik dengan keadilan dalam negara.

Hanya saja Plato melihat bahwa keadilan timbul karena penyesuaian

yang memberi tempat yang selaras kepada bagian-bagian yang

membentuk suatu masyarakat. Keadilan terwujud dalam suatu

masyarakat bilamana setiap anggota melakukan secara baik menurut

kemampuannya fungsi yang sesuai atau yang selaras baginya.

Pembahasan yang lebih rinci mengenai konsep keadilan

dikemukakan oleh Aristoteles. Jika Plato menekankan teorinya pada

keharmonisan atau keselarasan, Aristoteles menekankan teorinya pada

perimbangan atau proporsi. Menurutnya di dalam negara segala

sesuatunya harus diarahkan pada cita-cita yang mulia yaitu kebaikan dan

kebaikan itu harus terlihat lewat keadilan dan kebenaran. Penekanan

41The Liang Gie, Teori-teori Keadilan, (Yogyakarta: Sumber Sukses, 2002), h. 22.

Page 47: PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS …

37

perimbangan atau proporsi pada teori keadilan Aristoteles, dapat dilihat

dari apa yang dilakukannya bahwa kesamaan hak itu haruslah sama

diantara orang-orang yang sama42. Maksudnya pada satu sisi memang

benar bila dikatakan bahwa keadilan berarti juga kesamaan hak, namun

pada sisi lain harus dipahami pula bahwa keadilan juga berarti

ketidaksamaan hak. Jadi teori keadilan Aristoteles berdasar pada prinsip

persamaan. Dalam versi modern teori itu dirumuskan dengan ungkapan

bahwa keadilan terlaksana bila hal-hal yang sama diperlukan secara

sama dan hal-hal yang tidak sama diperlakukan secara tidak sama.

Aristoteles membedakan keadilan menjadi keadilan distributif dan

keadilan komutatif. Keadilan distributif adalah keadilan yang menuntut

bahwa setiap orang mendapat apa yang menjadi haknya, jadi sifatnya

proporsional. Di sini yang dinilai adil adalah apabila setiap orang

mendapatkan apa yang menjadi haknya secara proporsional.

Jadi keadilan distributif berkenaan dengan penentuan hak dan

pembagian hak yang adil dalam hubungan antara masyarakat dengan

negara, dalam arti apa yang seharusnya diberikan oleh negara kepada

warganya.Sebaliknya keadilan komutatif menyangkut mengenai

masalah penentuan hak yang adil diantara beberapa manusia pribadi

yang setara, baik diantara manusia pribadi fisik maupun antara pribadi

non fisik. Dalam hubungan ini maka suatu perserikatan atau

perkumpulan lain sepanjang tidak dalam arti hubungan antara lembaga

tersebut dengan para anggotanya, akan tetapi hubungan antara

perserikatan dengan perserikatan atau hubungan antara perserikatan

dengan manusia fisik lainnya, maka penentuan hak yang adil dalam

hubungan ini masuk dalam pengertian keadilan komutatif.

Selanjutnya menurut John Rawls keadilan adalah kebajikan utama

dalam institusi sosial, sebagaimana kebenaran dalam sistem pemikiran.

Suatu teori, meskipun begitu elegan dan ekonomisnya, harus ditolak dan

42J.H. Rapar, Filsafat Politik Plato, (Jakarta: Rajawali Press, 2019) h. 82.

Page 48: PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS …

38

direvisi jika ia tiadak benar, demikian juga dengan hukum dan institusi

tidak peduli seberapa efisien dan rapinya harus direformasi atau

dihapuskan jika tidak adil.43 Subjek utama dalam keadilan adalah

sebuah struktur dasar masyarakat, atau lebih tepatnya cara lembaga-

lembaga sosial utama mendistribusikan hak dan kewajiban fundamental

serta menentukan pembagian keuntungan dari kerja sama sosial.44

John Rawls mengemukakan tentang prinsip keadilan yakni, yang

pertama bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama atas kebebasan

dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang.

Selanjutnya pinsip keadilan yang dikemukakan oleh John Rawls yaitu,

ketimpangan sosial dan ekonomi mesti diatur sedemikian rupa sehingga

dapat diharapkan memberi keuntungan kepada semua orang dan semua

posisi dan jabatan terbuka bagi semua orang. 45

C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

1. Skripsi ditulis oleh Afan Fatkurohman46

Skripsi ini memiliki persamaan dengan tema yang akan peneliti

bahas yaitu membahas tentang pengimplementasian restorative justice

dalam tindak pidana. Adapun mengenai perbedaannya adalah skripsi ini

meneliti tentang prosedur pelaksanaan restorative justice dengan model

diversi terhadap tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh anak

dengan pengimplementasian oleh kepolisian, sedangkan pada penelitian

ini peneliti akan membahas implementasi restorative justice pada

tindak pidana lakalantas yang dilakukan oleh Muhammad Amrullah

Rajasa yang sudah memasuki usia dewasa.

43John Rawls, Teori Keadilan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), h. 3. 44John Rawls, Teori Keadilan, h. 7. 45John Rawls, Teori Keadilan, h. 72. 46Afan Fatkurohman, Implementasi Restorative Justice Dalam Tindak Pidana Pencurian

Yang Dilakukan Oleh Anak (Studi Kasus Di Polresta Surakarta, (Skripsi Fakultas Hukum

Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2018). Diakses pada tanggal 17 November 2019 pukul 20.15

Page 49: PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS …

39

2. Skripsi ditulis oleh Ethania Yulie S.47

Pada skripsi yang ditulis oleh Ethania Yulie S, dalam skripsinya

memiliki kesamaan dalam membahas terkait peneapan atau

pengimplementasian suatu tindak pidana dengan penyelesain melalui

pendekatan restorative justice. Selanjutnya mengenai perbedaan pada

skripsi tersebut membahas terhadap kasus yang general sedangkan

dalam skripsi yang ditulis oleh penulis lebih membahas penerapan

terhadap kasus yang lebih khusus.

3. Jurnal ilmiah ditulis oleh Lilik Purwastuti Yudaningsih48

Jurnal ini memiliki kesamaan dengan tema yang akan peneliti

bahas yaitu mengenai penyelesaian masalah tindak pidana melalui

restorative justice. Namun memiliki perbedaan, pada jurnal ini

membahas tentang penanganan tindak pidana yang dilakukan oleh anak

sedangkan yang akan peneliti bahas yaitu penanganan tindak pidana

yang dilakukan bukan oleh anak yakni melainkan dilakukan oleh ukuran

usia dewasa.

47Ethania Yulie S., Penerapan Restorative Justice Terhadap Pelaku Tindak Pidana

Kecelakaan Lalu Lintas Oleh Anak Di Bawah Umur, (Skripsi Fakultas HukumUniversitas

Tarumanegara, 2014) Diakses pada tanggal 12 September pukul 02.57.

48Lilik Purwastuti Yudaningsih, Penanganan Perkara Anak Melalui Resorative Justice,

(Jurnal Ilmu Hukum Tahun 2014). Diakses pada tangga 17 November 2019 pukul 00.46

Page 50: PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS …

40

Page 51: PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS …

41

BAB III

RESTORATIVE JUSTICE DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA

A. Restorative Justice dalam Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia

Hukum yang progresif berangkat dari asumsi dasar bahwa hukum

adalah untuk manusia, bukan sebaliknya. Hukum bukan sebagai institusi

yang bersifat mutlak dan final, melainkan sebagai institusi bermoral,

bernurani dan karena itu sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk

mengabdi kepada manusia. Hukum adalah suatu institusi yang bertujuan

untuk mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan

membuat manusia bahagia. Kemanusiaan dan keadilan menjadi tujuan dari

segalanya dalam kita berkehidupan hukum. Maka kalimat “hukum untuk

manusia” bermakna juga “hukum untuk keadilan”. Ini berarti, bahwa

kemanusiaan dan keadilan ada di atas hukum. Intinya adalah penekanan

pada penegakan hukum berkeadilan yang di Indonesia yaitu terciptanya

kesejahteraan masyarakat atau yang sering disebut dengan “masyarakat

yang adil dan makmur”.1

Restorative justice sebagai salah usaha untuk mencari penyelesaian

konflik secara damai di luar pengadilan masih sulit diterapkan. Di Indonesia

banyak hukum adat yang bisa menjadi restorative justice, namun

keberadaannya tidak diakui negara atau tidak dikodifikasikan dalam hukum

nasional. Hukum adat bisa menyelesaikan konflik yang muncul di

masyarakat dan memberikan kepuasan pada pihak yang berkonflik.

Munculnya ide restorative justice sebagai kritik atas penerapan sistem

peradilan pidana dengan pemenjaraan yang dianggap tidak efektif

menyelesaikan konflik sosial. Penyebabnya, pihak yang terlibat dalam

konflik tersebut tidak dilibatkan dalam penyelesaian konflik. Korban tetap

saja menjadi korban, pelaku yang dipenjara juga memunculkan persoalan

1Rudi Rizky, Refleksi Dinamika Hukum (Rangkaian Pemikiran dalam Dekade Terakhir),

(Jakarta: Perum Percetakan Negara Indonesia, 2008), h. 4.

Page 52: PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS …

42

baru bagi keluarga dan sebagainya.2 Menurut Detlev Frehsee, meningkatnya

penggunaan restitusi dalam proses pidana menunjukkan, bahwa perbedaan

antara hukum pidana dan perdata tidak begitu besar dan perbedaan itu

menjadi tidak berfungsi.3

Munculnya konsep restorative justice bukan berarti meniadakan

pidana penjara, dalam perkara-perkara tertentu yang menimbulkan kerugian

secara massal dan berkaitan dengan berharga nyawa seseorang, maka

pidana penjara masih dapat dipergunakan. Konsep restorative justice

merupakan suatu konsep yang mampu berfungsi sebagai akselerator dari

Asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan, sehingga lebih menjamin

terpenuhinya kepastian hukum dan keadilan masyarakat. Di dalam praktek

sistem peradilan di Indonesia terdapat perkembangan mengenai konsep

tujuan pemidanaan, mulai retribution yang merupakan bentuk pembalasan

secara absolut terhadap seseorang yang telah melakukan kejahatan, tanpa

harus melihat dampak dan manfaat lebih jauh. Kemudian ada konsep

restraint yang bertujuan menjauhkan (mengasingkan) pelaku kejahatan dari

kehidupan masyarakat, agar masyarakat aman, tenang, terhindar dari

keresahan dari ulah kejahatan serupa. Ada juga konsep deterrence

individual dan general deterrence, yang dimaksudkan agar hukuman

membuat si pelaku secara individual merasa jera (individual detterance)

atau sekaligus ditujukan supaya dijadikan Sebagai contoh masyarakat agar

tidak melakukan kejahatan serupa (general deterrence) Perkembangan

selanjutnya adalah konsep reformation atau rehabilitation, suatu bentuk

penghukuman yang dimaksudkan untuk memperbaiki atau merehabilitasi si

pelaku kejahatan agar pulih menjadi orang baik yang dapat diterima kembali

di lingkungan masyarakatnya.

2Setyo Utomo, Sistem Pemidanaan Dalam Hukum Pidana Yang Berbasis Restorative

Justice,dalam Mimbar Justitia Fakultas Hukum Universitas Suryakancana, Volume 5 Nomor 01, h.

86. 3Barda Nawawi Arief, Mediasi Penal Penyelesaian Perkara Diluar Pengadilan,

(Semarang: Pustaka Magister, 2008), h. 4.

Page 53: PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS …

43

Kedudukan restorative justice di Indonesia diatur secara tegas dalam

gamblang dalam berbagai peraturan perundang-undangan misalnya

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945; Undang-Undang

Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang

Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah oleh UndangUndang

Nomor 5 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 2009Tentang Mahkamah Agung. Dengan

demikian, mengingat bahwa Mahkamah Agung (MA) merupakan lembaga

negara yang melaksanakan kekuasaan kehakiman dan sebagai puncak

peradilan maka sudah seyogianya apabila Mahkamah Agung (MA)

mengadopsi atau menganut dan menerapkan pendekatan atau konsep

keadilan restoratif (restorative justice).

Selain itu, Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yaitu Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan

Kehakiman tepatnya pada Pasal 5 dengan tegas menyebutkan bahwa hakim

wajib menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat (the living law atau

local wisdom). Dengan demikian, pada hakikatnya hakim harus atau wajib

menerapkan pendekatan atau konsep keadilan restoratif (restorative justice)

dalam menyelesaikan perkara karena pendekatan atau konsep keadilan

restoratif (restorative justice) sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia yakni

Pancasila, sesuai dengan nilai-nilai hukum adat dan sesuai pula dengan

nilai-nilai agama.

B. Restorative Justice dalam Penyelesaian Kasus Kecelakaan Lalu Lintas

Dalam hal penanggulangan terhadap tindak pidana kecelakaan lalu

lintas telah banyak diatur di dalam Undang-undang. Tetapi penanggulangan

terhadap tindak pidana kecelakaan lalu lintas dalam mewujudkan

pemulihan (restorative) secara hakiki yang melindungi hak asasi manusia

tidak secara ekspilisit di atur lengkap oleh Undang-undang tersebut.

Kondisi hukum positif di bidang pidana di Indonesia seperti ini tentu

tidak apat dibiarkan atau menunggu sampai adanya perubahan hukum yang

Page 54: PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS …

44

memungkinkan diterapkannya restorative justice.Artinya, secara praktis

tidak dapat mengandalkan pada keberadaan hukum positif terlebih dahulu

yang memberi dasar legitimasi penerapan konsep restorative justice dalam

praktik penanggulangan kejahatan di Indonesia, terlebih ketika perubahan

hukum acara pidana atau hukum pidana pada umumnya bukan menjadi

prioritas legislasi. Pengabaian konsep restorative justice dalam sistem

peradilan pidana Indonesia berarti pengabaian terhadap korban dan

keluarganya serta anggota masyarakat yang terpengaruh atas terjadinya

kejahatan itu.

Belajar dari sitem peradilan pidana di negara lain yang telah lama

menerapkan basis hak asasi manusia dengan tujuan mencapai keadilan,

musyawarah sebagai proses dalam penyelesaian perkara pidana tampaknya

bukanlah hal yang baru diberlakukan. Model Plea Bargaining Sistem yang

di terapkan oleh Amerika Serikat adalah salah satu contohnya. Model ini

mengedepankan pada suatu negosiasi antara pihak penuntut umum dengan

tertuduh atau pembelanya. Motivasi dari negosiasi tersebut yang paling

utama adalah untuk mempercepat proses penanganan perkara pidana.

Sedangkan sifat negosiasi harus dilandaskan pada kesuka relaan tertuduh

untuk mengakui kesalahanya dan kesediaan penuntut umum memberikan

ancaman hukuman yang dikehendaki tertuduh atau pembelanya. Selain

Amerika Serikat, negara Jepang juga telah menggunakan Sistem

pengedepanan pada kesepakatan atau musyawarah dalam menyeleaikan

perkara pidana. Konsep tersebut dikenal sebagai istilah konesp abolisme.

Bahkan Sistem ini menekankan pada penyelesaian musyawarah telebih

dahulu, daripada penggunaan litigasi. Konsep ini dilandasi oleh pandangan

bahwa Sistem pemidanaan bukan hanya satu-satunya cara terbaik untuk

mengahadapi kejahatan dan kejahatan bukanlah sesuatu yang terjadi

mendahului Sistem Hukum Pidana, melainkan merupakan hasil dari

pelaksanan Sistem dalam hukum pidana tersebut, serta pandangan bahwa

pelaku kejahatan bukanlah mahluk terasing dan berbeda dengan

wargamasyarakat lain. Hal ini menunjukan bahwa wawancara musyawarah

Page 55: PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS …

45

didalam Sistem Peradilan Pidana (SPP) dapat dimungkin kan terjadi,

tergantung dari konsep yang bagaimana yang sesuai diterapkan dalam

Sistem Peradilan Pidana yang ekisis tersebut.4

Meskipun demikian di dalam praktiknya tidak semua pihak yang

sedang berperkara mau untuk melakukan musyawarah, banyak mereka yang

menolak untuk melakukan musyawarah. Pihak yang mempunyai

kemungkinan terbesar untuk menolak diadakanya upaya musyawarah. Hal

ini menjadi gambaran untuk kita bahwa dalam menyelesaikan sebuah

perkara pidana tidak hanya dengan pembuatan Undang-undang yang baik.

Akan tetapi kemauan kedua belah pihak untuk saling berperan aktif dala

menyelesaikan sengketa diantara keduabelah pihak akan menjadi salah satu

bentuk upaya restorative justice.

Namun di Indonesia sendiri dalam kasus kecelakaan lalu lintas

dengan penyelesaian melalui pendekatan restorative justice sudah mulai

digunakan oleh hakim, meski demikian belum secara menyeluruh

digunakan oleh hakim dalam kebijakannya.

Beberapa contoh pelanggaran lalu lintas yang mengakibatnya

timbulnya kecelakaan serta merugikan banyak pihak diantaranya adalah :

1. Kasus Afriyani Susanti. Pada saat itu, kendaraan (mobil) yang

dikendarai oleh Afriyani Susanti menabrak pejalan kaki yang sedang

berjalan kaki di trotoar, dan mengakibatkan 9 (sembilan) orang

meninggal dunia serta 3(tiga) orang lainnya mengalami luka-luka.

Atas kecelakaan tersebut Afriyani Susanti beserta ketiga orang

temannya langsung dibawa oleh petugas untuk dilakukan

pemeriksaan.5

2. Kasus kecelakaan anak bungsu menko Perekonomian Hatta

Rajasa,Rasyid. Kesalahan Rasyid yaitu kecelakaan maut terjadi di

4Ridwan Mansur, Mediasi Penal Terhadap Perkara KDRT, (Jakarta: Yayasan Gema

Yustisia Indonesia, 2010),h. 243. 5Mochamad Yusuf, Analisis Kasus Kecelakaan Lalu Lintas yang Dilakukan Oleh Afriyani

Susanti dan Mengakibatkan Korban Meninggal Dunia dan Luka Berat, (Bandung: Universitas

Padjadjaran, 2013).

Page 56: PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS …

46

Km 3,5 Tol Jagorawi, Selasa 1 Januari 2013 pagi. Rasyid

mengendarai BMW X5 B 272 HR jenis SUV menabrak angkutan

umum berpelat hitam Daihatsu Luxio F 1622 CY mengakibatkan 2

orang tewas, yaitu Muhammad Raihan (1,5) dan seorang kakek dua

cucu bernama Harun (57), dan 3 orang luka-luka.6

3. Kasus Kecelakaan Anak Ahmad Dhani, Abdul Qodir Jaelani atau

Dul. Minggu dini hari, Lancer yang dikemudikan oleh Dul

mengalami kecelakaan berutun dengan Gran Max dan Avanza,

terjadi di KM 8 Tol Jagorawi, di jalur 3 dan 4 arah Jakarta. Diketahui

5 orang tewas dan Dul berada di salah satu mobil yang terlibat

kecelakaan mengalami patah tulang. Saat itu polisi memastikan

bahwa pengemudi Lancer adalah Dul yang masih dibawah umur (13

tahun).7

Dari ketiga contoh kasus pelanggaran lalu lintas di atas, maka dapat

disimpulkan bahwa pelanggaran-pelanggaran lalu lintas tersebut

berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 pada akhirnya

diancam dengan sanksi pidana yaitu sanksi pidana penjara. Dalam

perkembangannya, pelaku tindak pidana lalu lintas jalan ini berkewajiban

memberikan santunan kepada korbannya. Memang santunan bagi korban

tindak pidana lalu lintas jalan pada saat ini seperti sudah menjadi kewajiban,

apalagi jika si pelaku adalah orang yang mempunyai kedudukan ekonomi

kuat atau dengan kata lain mempunyai uang yang lebih.

C. Contoh Kasus Penggunaan Restorative Justice

6Mushlihin, “Kejanggalan Kecelakaan Anak ‘Jetset’ di Tol Jagorawi”,

(http://mushlihin.com), diakses pada Rabu 13 Oktober 2020. 7Kronologi Kecelakaan Beruntun yang Melibatkan Anak Ahmad Dhani, detiknews.com

diakses pada tanggal Rabu 13 Oktober 2020.

Page 57: PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS …

47

Masalah penerapan sanksi dalam tindak pidana kecelakaan lalu

lintas akan sangat menarik untuk dikaji lebih mendalam apalagi terkait

dengan kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan korban meninggal dunia.

Berikut beberapa kasus tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang

diselesaikan menggunakan penerapan restorative justice:

1. Peristiwa yang dialami AQJ seorang anak yang berusia 13 tahun. Pada

penyelesaian kasus ini terdapat polemik hukuman yang harus diberikan

kepada AQJ hingga terdapat pro kontra dikalangan masyarakat. Untuk

menindak perbuatan AQJ tersebut sudah diatur dalam Undang-Undang

No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang 11

Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak, dalam Undang-Undang

tersebut persoalan hukum yang melilit anak dibawah umur dapat

dilakukan dengan konsep diversi (prinsip anak dikeluarkan dari

persoalan hukum karena dianggap belum mampu bertanggung jawab

akan perbuatannya) dan konsep restorative justice. Dalam kasus

kecelakaan yang dialami AQJ yang mengakibatkan 7 (tujuh) orang

meninggal dunia, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan

memvonis tersangka dengan dikembalikan kepada orangtuanya alias

bebas. Vonis ini berbanding terbalik dari keputusan Jaksa Penuntut

Umum yang menuntut tersangka dengan satu tahun penjara dengan

masa percobaan dua tahun serta denda Rp. 5 Juta subside tiga bulan

kerja sosial.8

2. Kasus kecelakaan di Sleman antara pengendara sepeda motor dengan

pejalan kaki. Terdakwa yang berinisial MR.A mengemudikan sepeda

motornya dengan tidak hati-hati sehingga mengakibatkan kecelakaan

sehingga mengakibatkan satu korban meninggal dunia. Dalam

penyelesaian kasus kecelakaan yang dialami oleh terdakwa MR.A,

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sleman dalam memutus putusannya

terhadap kasus ini menggunakan pendekatan restorative justice, dalam

8 Liputan6.com 16 Juli 2014, Diakses pada tanggal 28 November 2020 Pukul 00.13 WIB

Page 58: PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS …

48

putusannya pada putusan nomor: 156/Pid.Sus/2013/PN.Slmn.

menjatuhkan pidana kepada terdakwa MR.A dengan pidana penjara 9

(Sembilan) bulan, dan tidak perlu menjalani pidana tersebut kecuali

dikemudian hari Terdakwa melakukan perbuatan yang dapat dihukum.9

3. Kasus kecelakaan Guritno Aji Pambudi bin Sarusmanto yang

mengemudikan kendaraan bermotor dank arena kelalaiannya tidak bias

menguasai sepeda motor yang dikemudikan, sehingga terjadi

kecelakaan lalu lintas pada hari Kamis tanggal 06 Maret 2014 bertempat

di jalan raya Jepara-Kudus Km 25 yang mengakibatkan seorang pejalan

kaki yang akan menyebrang jalan yaitu Ngadiman bin Wagiyo

meninggal dunia. Dalam proses persidangannya terdapat kesaksian atas

istri korban bahwa keluarga korban sudah memaafkan terdakwa dan

sudah tidak mempermasalhkan lagi. Dengan demikian terdakwa

dipidana selama 8 (delapan) bulan dengan masa percobaan selama 10

(sepuluh) bulan namun pidana tersebut tidak perlu dijalani oleh

terdakwa karena adanya pendekatan restorative justice.10

9 Salinan Putusan Pengadilan Negeri Sleman Nomor: 156/Pid.Sus/2013/PN.Slmn. 10 Salinan Putusan Pengadilan Negeri Jepara Nomor: 87/Pid.Sus/2014/PN.Jpa.

Page 59: PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS …

49

BAB IV

PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS LAKALANTAS

A. Kasus Posisi

Kasus kecelakaan lalu lintas yang dialami oleh terdakwa M. Rasyid

Amrullah Rajasa ini terjadi pada hari Selasa tanggal 1 Januari 2013sekitar

pukul 05.30 WIB, kecelakaan lalu lintas di Tol Jagorawi, KM 03. 432 yang

mengakibatkan 3 (tiga) korban luka ringan dan 2 (dua) korban tewas yaitu

Harun (57 tahun) dan Raihan (14 bulan). Kecelakaan lalu lintas ini terjadi

bermula ketika kedua mobil berada di jalur paling kanan. Mobil Daihatsu

Luxio berada di depan, lalu tiba-tiba ditabrak oleh mobil BMW hingga pintu

samping mobil Daihatsu Luxio terbuka dan penumpang jatuh hingga kedua

penumpang tewas.1

Penyebab utama kecelakaan itu, yaitu M. Rasyid Amrullah Rajasa.

Kecelakaan melibatkan mobil BMW B 272 HR berwarna hitam yang

dikemudikan M Rasyid Amrullah, putra bungsu Menko Perekonomian

Hatta Rajasa dengan Daihatsu Luxio hitam F 1622 CY. Alasan terjadinya

kecelakaan diketahui terdakwa kurang tidur dan kurang istirahat namun

tetap memacu kendaraanya dengan kecepatan sekitar 100 Km perjam dan

tanpa kehati-hatian atas situasi dan keberadaan kendaraan lain yang ada

didepannya, sehingga menabrak atau membentur keras kendaraan Daihatsu

Luxio yang menyebabkan pintu mobil belakang terbuka dan para

penumpangnya yang duduk dibelakang terlempar dan jatuh ke aspal.2

Berdasarkan keterangan pengemudi Luxio, Frans Sirait, kepada

penyidik Polda, dirinya melanjukan kendaraan dengan kecepatan 80

KM/jam. Sopir BMW diduga mengantuk sehingga melaju lebih cepat dari

mobil Luxio. “Jadi kedua mobil beriringan, tidak ada yang berhenti di jalur

tol tersebut. Kejadian pukul 05.45 WIB dan begitu cepat dan korban

langsung di bawa ke RS terdekat," ujar Sudarmanto. Kedua mobil itu

1Putusan Pengadilan Nomor: 151/Pid.Sus/2013/PN. Jkt. Tim. h.4. 2Putusan Pengadilan Nomor: 151/Pid.Sus/2013/PN. Jkt. Tim. h.5.

Page 60: PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS …

50

bertujuan dari arah Jakarta menuju Bogor. Menurut Sudarmanto, pada saat

kejadian tidak ada mobil lain yang berada di lokasi tersebut. Pihaknya

belum mengetahui lebih detail kecelakaan itu. "Kami belum menanyakan

penyebab kecelakaan itu dan seperti apa kecelakaan maut tersebut,"

katanya. Korban tewas adalah Harun (57 tahun), pria beralamat Jalan

Semangka 1 N0.99 Cibodas Sari, Tangerang dan M Raihan (14 bulan),

bocah laki-laki, beralamat Kampung Ciaul RT 8/2 Mekarjaya, Kababungan,

Sukabumi, Jawa Barat. Sementara korban luka ringan adalah Nung (30

tahun), perempuan beralamat Mekarjaya, Sukabumi, yang luka lecet pada

wajah dan kaki. Moh Rifan, laki-laki luka pada kaki dan tangan lecet yang

dirawat di RS Polri. Lalu, Supriyati (30 tahun), beralamat di Jalan Swadaya

III No 8 Rawabuaya Jatinegara, Jakarta Timur. Dia terluka di kaki kiri lecet

serta lengan tangan kiri retak, kini dirawat di RS UKI.3

Pelaku sendiri telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Metro

Jaya. Dengan pelanggaran yang telah dilakukan oleh putra bungsu Hatta

Rajasa ini. Pertama, kelalaian dalam berlalu lintas yang mengakibatkan

kecelakaan lalu lintas dengan kerusakan barang/kendaraan (Pasal 310 ayat

(1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009, ayat (2) dan ayat (3)

menyebutkan perbuatan pidana yang telah dilakukan oleh M. Rasyid, yaitu

kelalaian dalam berlalu lintas yang menimbulkan kecelakaan dengan korban

luka ringan dan kerusakan barang/kendaraan ayat (2) dan kelalaian dalam

berlalu lintas yang menyebabkan kecelakaan dengan luka berat ayat (3).4

B. Pertimbangan Hakim Dalam Putusan Nomor: 151/Pid.Sus/2013/PN.

Jkt. Tim

Dasar pertimbangan hakim adalah suatu alasan bagi hakim dalam

mempertimbangkan sanksi yang akan diberikan pada terdakwa yang

disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian

yang diperoleh dari proses pemeriksaan yang dijadikan dasar penentuan

3https://www.liputan6.com/news/read/478376/ini-kronologi-kecelakaan-bmw-maut-

putra-hatta-rajasa diakses pada Tanggal 13 September 2020 Pukul 02.43 WIB. 4Putusan Pengadilan Nomor: 151/Pid.Sus/2013/PN. Jkt. Tim. h.2.

Page 61: PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS …

51

kesalahan terdakwa. Dasar pertimbangan hakim terdiri dari pertimbangan

yuridis dan pertimbangan non yuridis. Namun biasanya dalam penjatuhan

putusan, hakim cenderung lebih menggunakan pertimbangan yuridis

daripada perbandingan non yuridis. Seorang hakim harus mempunyai alasan

dan dasar pertimbanganpertimbangan dalam menjatuhkan putusannya.

Dalam menjatuhkan putusan terserbut mesti memperhatikan 3 (tiga)

unsur, yaitu:

1. Kepastian hukum, menekankan agar hukum atau aturan yang

berlaku ditegakkan dan ditaati.

2. Kemanfaatan, menekankan bahwa pelaksanaan hukum harus

memberikan manfaat, jangan sampai justru menimbulkan

keresahan bagi masyarakat dan negara.

3. Keadilan, menekankan bahwa dengan ditegakkannya hukum maka

akan memberikan rasa keadilan bagi masyarakat.5

Saat menjatuhkan putusan, pada pemeriksaan di persidangan

seorang hakim mengacu pada fakta-fakta yang diperoleh, serta juga dari alat

bukti yang sah yang terdapat pada Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu:

“Alat bukti yang sah ialah:

1. Keterangan saksi

2. Keterangan ahli

3. Surat

4. Petunjuk

5. Keterangan terdakwa.”

Tugas hakim secara konkrit dalam memeriksa dan mengadili suatu

perkara melalui tiga tindakan secara bertahap. Pertama, mengkonstalasir

yaitu menetapkan atau merumuskan peristiwa konkrit. Kedua,

mengkualifikasi yaitu merumuskan hukumnya. Ketiga, mengkostituir yaitu

5 Sulardi, Kepastian Hukum, Kemanfaatan, dan Keadilan Terhadap Pidana Anak, (Jurnal

Yudisial, Vol. 8 No.3 Edisi Desember 2015) diakses pada tanggal 12 Desember 2020, h. 258.

Page 62: PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS …

52

menetapkan hukumnya dan memberikan keadilan bagi pihak yang

bersangkutan.6 Sehingga dalam proses keputusan yang dilakukan oleh

majelis hakim dalam kasus ini hakim melakukan ketiga proses tersebut.

Proses sebagaimana tugas Hakim diatas maka Hakim akan

membuktikan terhadap pasal yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum.

Bahwa dipersidangan Penuntut Umum telah menghadapakan Terdakwa

dengan dakwaan yang berbentuk subsideritas yakni Primair melanggar

Pasal 310 ayat (4) jo Pasal 229 ayat (4) UU RI No. 22 Tahun 2009 yaitu

kecelakaan lalu lintas berat yang mengakibatkan korban meninggal dunia.

Subsidair melanggar Pasal 310 ayat (3) jo Pasal 229 ayat (4) UU RI No. 22

Tahun 2009 yaitu kecelakaan lalu lintas berat yang mengakibatkan orang

lain luka berat; bahwa karena dakwaan Penuntut Umum disusun secara

Subsideritas maka terhadap dakwaan tersebut terlebih dahulu Majelis

Hakim akan mempertimbangkan dakwaan Primair dimana jika dakwaan

primair tidak terbukti maka terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan

primair dan selanjutnya akan dipertimbangkan dakwaan subsidair atau

sebaliknya apabila dakwaan primair telah terbukti maka dakwaan subsidair

tidak perlu dipertimbangkan lagi.7

Sebagaimana dengan yang telah didakwakan oleh Jaksa Penuntut

Umum kepada terdakwa Muhammad Rasyid Amrullah Rajasa bahwa dalam

dakwaan Primair terdakwa telah disangkakan oleh Penuntut Umum

melanggar Pasal 310 ayat (4) jo Pasal 229 ayat (4) UU RI No. 22 Tahun

2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.8

Ketentuan pasal 310 ayat (4) UU RI No. 22 Tahun 2009 Tentang

Lalu Lintas dan Angkutan Jalan disebutkan,”Setiap orang yang

mengemudikan kendaraan bermotor yang karena kelalaiannya

mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan mengakibatkan orang lain

6Syafrudin Makmur, Hukum Acara Pidana, (Tangerang Selatan, UIN FSH Press, 2016),

h.61. 7 Putusan Pengadilan Nomor: 151/Pid.Sus/2013/PN. Jkt. Tim. h. 2. 8 Putusan Pengadilan Nomor: 151/Pid.Sus/2013/PN. Jkt. Tim. h. 6.

Page 63: PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS …

53

meninggal dunia dipidana dengan penjara paling lama 6 (enam) tahun

dan/atau denda paling banyak Rp. 12.000.000-, (dua belas juta rupiah).”

Maka Hakim dalam menimbang perbuatan Terdakwa yang telah

melangar Pasal 310 ayat (4) jo Pasal 229 ayat (4) UU RI No. 22 Tahun 2009

Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, melihat muatan unsur-unsur yang

terkandung dalam pasal tersebut. Unsur-unsur tersebut yang termuat sebagai

berikut:9

1. Setiap orang;

Unsur dari “Setiap Orang” memiliki pengertian sama dengan “Barang

Siapa” dalam KUHP yaitu menunjuk kepada Subyek Hukum sebagai

pendukung hak dan kewajiban. Dalam hal ini subjek hukum menunjuk

pada pelaku tindak pidana yakni Terdakwa Muhammad Rasyid Amrullah

Rajasa. Sehingga unsur “Setiap Orang” terpenuhi menurut hukum.

2. Mengemudikan Kendaraan Bermotor;

Unsur kedua ini sesuai Pasal 1 angka 8 UU RI Nomor 22 Tahun 2009

tentang lalu lintas dan angkutan jalan: setiap kendaraan yang digerakkan

oleh peralatan mekanik berupa mesin selain kendaraan yang berjalan di

atas rel. Pada kasus ini Terdakwa menggunakan kendaraan bermotor

sebagai perantara terjadinya kecelakaan dan terpenuhi menurut hukum.

3. Karena Kelalaiannya;

Kelalaian/kealpaan atau Culpa diartikan kurangnya kehati-hatian atau

kelalaian, kekurangwaspadan atau keteledoran. Perkataan Culpa dalam

arti luas berarti kesalahan pada umumnya, sedang dalam arti sempit

adalah bentuk kesalahan yang berupa kealpaan.10 Kelalaian yang terjadi

dalam peristiwa ini adalah pelaku dalam mengendarai kendaraan

berdasarkan fakta hukum didasari dengan kelalaian. Sehingga unsur ini

terpenuhi menurut hukum.

4. Menyebabkan Kecelakaan Lalu Lintas;

9Putusan Pengadilan Nomor: 151/Pid.Sus/2013/PN.Jkt.Tim. h. 89. 10Sudarto, Hukum Pidana 1, (Semarang: Yayasan Sudarto, 1990), h. 123.

Page 64: PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS …

54

Akibat dari cara Terdakwa mengemudi mobil dengan tidak berhati-hati

terjadi kecelakaan dan menabrak korban yang berada pada mobil luxio.

Unsur ini telah terpenuhi menurut hukum.

5. Mengakibatkan Orang Lain Meninggal Dunia

Dari akibat kecelakaan tersebut, perbuatan dari pelaku mengakibatkan

hilangnya nyawa seseorang. Unsur “Mengakibatkan Orang Lain

Meninggal Dunia” telah terpenuhi menurut hukum

Dari penjelasan diatas, pada dasarnya diketahui adanya unsur

kesalahan sebagai unsur tindak pidana. Kesalahan sebagai unsur tindak

pidana merupakan penilaian yang normatif dengan meneliti ciri-ciri

kelakuan dari pembuat pada saat melakukan suatu perbuatan. Kesalahan

bukan sebagai unsur yang konstitutif dalam rumusan tindak pidana, kecuali

pada tindak pidana-tindak pidana tertentu menurut pembentuk undang-

undang harus mencantumkan unsur kesalahan.11

Tindakan Terdakwa, menurut UU No 22 tahun 2009 tentang lalu

lintas dan angkutan jalan, Pasal 235 ayat 1 menyebutkan bahwa:

“Jika korban meninggal dunia akibat kecelakaan lalu lintas

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1) huruf c,

pengemudi, pemilik, dan/ atau perusahaan angkutan umum wajib

memberikan bantuan kepada ahli waris korban berupa biaya

pengobatan dan/atau biaya pemakaman dengan tidak menggugurkan

tuntutan perkara pidana.”

Maka berkaitan dengan tindakan yang dilakukan oleh pihak

keluarga pelaku atau terdakwa dengan cara memberi santunan berupa uang,

biaya perawatan, hingga biaya sekolah kepada korban, telah sesuai dengan

Pasal tersebut yakni adanya pertanggung jawaban dari pelaku.

Berdasarkan apa yang telah dijelaskan terlebih dahulu mengenai

restorative justice pada dasarnya tujuan selain untuk benar-benar

memulihkan dan menghilangkan konflik khususnya pada pihak korban,

juga merupakan sistem yang bisa dijadikan sebagai pembaharu proses

11Romli Atmasasmita, Tindak Pidana & Pertanggung Jawaban Pidana, h. 100.

Page 65: PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS …

55

hukum dalam peradilan di Indonesia.12 Selama ini sistem yang telah

diterapkan (retributif) masih banyak belum memaksimalkan sepenuhnya

terhadap korban, walaupun pelaku telah diputus bersalah dan mendapatkan

hukuman, namun kondisi korban tidak dapat kembali seperti semula.

Kemudian manfaat yang lainnya untuk mengurangi proses perkara di

peradilan dapat menuju keadilan dan upaya mewujudkan peradilan secara

sederhana, cepat, dan biaya ringan yang selama ini menjadi pokok bahasan

terus dilakukan karena mempunyai implikasi yang erat agar setiap upaya

penegakan hukum dan pemberian pelayanan hukum dalam sistem peradilan

berjalan sesuai dengan harapan masyarakat sebagaimana tercantum dalam

Pasal 4 ayat (2) dari UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan

Kehakiman. Penjelasan dari ayat tersebut bahwa ketentuan ini diharapkan

dapat memenuhi harapan para pencari keadilan, bahwa sederhana

dimaksudkan agar pemeriksaan dan penyelesaian dilakukan dengan cara

yang efesien dan efektif, sedangkan yang dimaksud dengan biaya ringan

adalah biaya perkara yang dapat terpikul oleh rakyat dengan tetap tidak

mengorbankan ketelitian dalam mencari kebenaran dan keadilan.13

Selanjutnya pada alat bukti persaksian, Eman selaku saksi 2 dan

Enung selaku saksi 3 yang tak lain juga sebagai korban sekaligus orang tua

dari 2 orang korban luka-luka dan meninggal dunia, memberikan

keterangan telah memaafkan perbuatan Terdakwa terhadap dirinya juga

anaknya dan mengikhlaskan. Dalam hal ini pemberian maaf merupakan

salah satu sistem restorative justice karena pihak korban telah memaafkan,

tidak ada rasa kebencian dan balas dendam, sesuai tujuan restoratif pada

umumnya memulihkan pihak korban dan benar-benar damai dengan

pelaku.14

12 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial

Prudence), h. 249. 13M. Hatta Ali, Peradilan Sederhana Cepat & Biaya Ringan, h. 3. 14Putusan Pengadilan Nomor: 151/Pid.Sus/2013/PN. Jkt. Tim. h.21.

Page 66: PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS …

56

Didalam hukum positif pun adanya alasan hapusnya kewenangan

menjalani pidana, diantaranya:

a. Tidak adanya pengaduan pada delik-delik aduan;

b. Ne bis in idem;

c. Matinya terdakwa;

d. Daluwarsa;

e. Telah ada pembayaran denda maksimum kepada pejabat

tertentu untuk pelanggaran yang hanya diancam dengan denda

saja;

f. Ada abolisi atau amnesti.15

Melihat kewenangan penghapusan pidana, pemberian maaf hanya

sebagai penerapan restorative justice, bukan menjadi salah satu alasan

untuk dihapuskannya/ gugurnya suatu hukuman dan menjadi pertimbangan

hakim dalam keringanan hukuman. Hukuman yang diberikan Terdakwa

dengan penjara 5 (lima) bulan dengan 6 (enam) bulan masa percobaan.

Sementara itu, dalam hukum Islam menegaskan bahwa permintaan

maaf adalah bagian dari pada perdamaian antar kedua belah pihak yang

sedang bertikai. Waluyadi menyebutkan dalam tulisannya bahwa:

“Penyelesaian perkara pidana dengan perdamaian pada tingkat

penyidikan mendasarkan kesepakatan diantara pelaku dan korban.

Lalu apabila kesepakatan itu dilanggar, mereka sepakat untuk

menggunakan hukum formal. Perkara pidana yang diselesaikan

dengan perdamaian, bersifat personal dan nilai kerugiannya relative

kecil. Islam menempatkan perdamaian sebagai salah satu alternatif

penyelesaian perkara pidana, sepanjang perkara tersebut belum

sampai ke tangan hakim.”16

15Barda Nawawi,Hukum Pidana II, (Semarang: Badan Penyediaan Bahan Kuliah Fakultas

UNDIP, 1993), h. 57. 16 Waluyadi, Islah Menurut Hukum Islam Relevansinya Dengan Penegakan Hukum Pidana

Di Tingkat Penyidikan, (Jurnal Yustisia, Vol. 3 No.2 Edisi Mei-Agustus 2014), diakses pada tanggal

19 Desember 2020, h.2.

Page 67: PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS …

57

Ganti rugi yang telah dijelaskan juga menjadi pertimbangan

dikatakan sebagai restorative justice karena Terdakwa telah benar-benar

mementingkan korban atas kesalahannya dan tidak semata-mata Terdakwa

hanya dihukum sesuai ketetapan negara, tetapi adanya kepetingan pihak

korban. Sehingga dalam hal ini menurut penulis bahwa terdapat penerapan

restorative justice di Pengadilan Negeri Jakarta Timur dalam

menyelesaikan permasalahan kecelakaan lalu lintas oleh Muhammad

Rasyid Amrullah Rajasa yang menyebabkan kematian.

Salah satu fungsi hukum acara pidana yakni mencari kebenaran

materiil, kebenaran yang dimaksud adalah kebenaran dari peristiwa atau

keadaan yang telah lalu yang diduga berkaitan dengan tindak pidana.17

Sehingga perolehan fakta hukum dari kasus ini, diantaranya:18

1. Pada hari Selasa, tanggal 01 Januari 2013 sekitar jam 05.45 WIB,

bertempat di Tol dalam kota arah selatan KM 03.350 sampai dengan KM

03.432 Jakarta Timur terjadinya tabrakan anatara kendaraan Jeep BMW

dengan kendaraan Daihatsu Luxio.

2. Terdakwa mengendarai mobil dengan kecepatan 100 KM perjam

menggunkan lajur paling kanan atau lajur cepat. Padahal kecepatan yang

diperbolehkan di jalan tol tersebut untuk lajur yang paling kanan yaitu

minimum 60 KM perjam dan maksimun 80 KM perjam.

3. Terdakwa dalam mengemudikan kendaraan Jeep BMW dengan keadaan

kurang tidur semalaman dan kurang sehat, mengakibatkan kelelehan

namun Terdakwa mengemudi dengan kecepatan sekitar 100 KM perjam

tanpa kehati-hatian atas situasi dan keberadaan kendaraan lain yang ada

di depannya sehingga kendaraan Jeep BMW menabrak/membentur

kendaraan Daihatsu Luxio.

4. Akibat tertabraknya Daihatsu Luxio olrh Jeep BMW, menyebabkan pintu

belakang terbuka dan para penumpang yang duduk di belakang yaitu

17Agung Priyanto, Hukum Acara Pidana Indonesia,(Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2012),

h. 84. 18Putusan Pengadilan Nomor: 151/Pid.Sus/2013/PN. Jkt. Tim. h.82.

Page 68: PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS …

58

saksi Enung, saksi Supriyati, sdr. Ripal Mandala Putra dan Harun serta

M.Raihan terlempar dan jatuh ke aspal.

5. Bahwa penumpang Daihatsu Luxio yang terjatuh anatara lain Harun dan

M.Raihan meninggal dunia ditempat.

6. Korban lainnya yang terjatuh yaitu saksi Enung, saksi Supriyati, dan sdr.

Ripal Mandala Putra langsung dilarikan ke RS. R. Said Sukanto dan RS

UKI.

7. Korban meninggal dunia bernama M. Raihan terdapat luka lecet

padakepala, punggung, bokong, lengan atas bawah kiri kanan, tungkai

atas kanan, tungkai bawah kiri kanan, kaki kanan, dan luka memar pada

dahi kiri, kelopak mata kanan, punggung akibat kekerasan tumpul.

Teraba patah tulang tengkorak bagian depan. Berdasarkan Visum Et

Repertum yang dibuat dan di tandatangani oleh dr. Slamet Purnomo,

Sp.F.

8. Korban meninggal dunia bernama Harun terdapat luka terbuka pada

kepala, luka lecet pada wajah, siku kiri, punggung tangan kanan,

punggung dan bokong akibat kekerasan tumpul. Berdasarkan Visum Et

Repertum yang dibuat dan di tandatangani oleh dr. Slamet Purnomo,

Sp.F.

9. Terdakwa memiliki SIM A.

10. Terdakwa dan keluarganya mau bertanggung jawab, dan sudah

memberikan bantuan kepada korban dan keluarga korban berupa uang

hingga biaya perawatan di RS dan biaya untuk sekolah anak korban.

11. Keluarga korban sudah tidak menuntut lagi dan sudah memaafkan

Terdakwa.

Dari pemaparan di atas, sebelum dijatuhkan pidana ada beberapa hal

yang bisa meringanan dan memberatkan hukuman, yaitu: Perbuatan

terdakwa telah mengakibatkan keluarga korban kehilangan orang yang

dicintainya; Antara keluarga korban dengan Terdakwa telah ada perdamaian

dan keluarga korban sudah memaafkan Terdakwa; Terdakwa sudah

memberikan bantuan kepada keluarga korban; Terdakwa masih muda

Page 69: PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS …

59

usianya untuk memperbaiki kembali masa depannya yang lebih baik;

Terdakwa belum pernah dihukum; Terdakwa masih kuliah; Oleh sebab itu

majlis hakim memberikan hukuman dengan pidana penjara selama 5 (lima)

bulan; Menetapkan pidana tersebut tidak usah dijalani kecuali jika

dikemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain disebabkan

karena Terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan

selama 6 (enam) bulan berakhir;19 Hukum yang diberikan telah tepat dan

memenuhi rasa keadilan, baik secara yuridis, sosiologis, maupun filosofis.

C. Analisis Pertimbangan Hukum Hakim

Banyak yang menanggapi putusan hakim untuk Rasyid ini sudah diatur

sehingga putusan yang dijatuhkan sangat ringan, bahkan terdakwa tidak perlu

ditahan karena hanya dijatuhi hukuman percobaan. Wajar apabila banyak yang

beranggapan seperti itu, sebab saat persidangan, baik jaksa maupun hakim

seakan-akan justru mencari pembenaran atas kasus ini bukan berupaya mencari

bukti atau membuktikan bahwa Rasyid bersalah.20

Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 48 Tahun 2009

Tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa “Hakim dan hakim

konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan

rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”, sedangkan menurut

penjelasannya, ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim dan hakim

konstitusi sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Oleh sebab itu,

hakim tidak boleh mengabaikan masyarakat, karena masyarakat merupakan

kontrol dari penegak hukum sehingga dalam penerapan restorative justice

tersebut juga harus memperhatikan nilai keadilan yang hidup di masyarakat.

Selanjutnya dalam pertimbangannya Majelis Hakim

mempertimbangkan bahwa M. Rasyid Amrullah Rajasa terbukti bersalah,

19Putusan Pengadilan Nomor: 151/Pid.Sus/2013/PN. Jkt. Tim. h. 106. 20 Oriwidianto dalam Kompasiana, http//:www.Kompasiana.com/oriwidianto/balada-

rasyid-dan-dwigusta-beda-kasta-bmwdan-nissan juke_552a6267fi7e615205d623d5, diunduh pada

Selasa 29 Desember2020, Pukul 19:00 WIB

Page 70: PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS …

60

karena telah memenuhi semua unsur dari Pasal 310 ayat (4) dan Pasal 310 ayat

(2) UU RI No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan,

sehingga tidak ada dasarpenghapusan pidana. Selanjutnya, Majelis Hakim juga

berpendapat: “bahwa selama pemeriksaan perkara berlangsung ternyata tidak

dapat diketemukan adanya alasan yang dapat menghapuskan kesalahan

terdakwa, baik berupa alasan pemaaf maupun pembenar, sehingga terdakwa

harus dinyatakan sebagai subyek hukum yang mampu dipertanggungjawabkan

menurut Hukum Pidana di Indonesia, dan atas kesalahan yang dilakukan harus

dijatuhkan pidana yang setimpal.21 Majelis hakim terlebih dahulu akan

mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan kesalahan

Terdakwa sebagai berikut:22

Hal-hal yang memberatkan:

Bahwa perbuatan terdakwa tidak menjadi contoh yang baik dalam mengemudi

kendaraan bermotor roda empat di jalan tol.

Hal-hal yang meringankan :

1. Bahwa terdakwa berlaku sopan dan tidak mempersulit jalannya

persidangan.

2. Bahwa terdakwa masih berusia muda dan masih berstatus Mahasiswa.

3. Bahwa terdakwa maupun keluarga terdakwa telah meminta maaf kepada

keluarga korban.

Selain hal yang meringankan dan memberatkan tersebut, Majelis Hakim

juga mempertimbangkan tujuan dari pemidanaan yang akan digunakan untuk

menentukan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan kepada terdakwa.

Majelis Hakim berpendapat, berdasarkan teori gabungan (retributive

teleologis) yang menekankan pencegahan sekaligus rehabilitasi yang harus

dicapai dalam suatu pemidanaan, dan kemudian lahir lagi suatu pemikiran

“justice model” yang menjelaskan suatu sanksi yang tepat dan efektif merubah

21 Pertimbangan Majelis Hakim dalam Putusan Nomor : 151/Pid.Sus/2013/PN. Jkt. Tim.

Hlm.100 22 Pertimbangan Majelis Hakim dalam Putusan Nomor : 151/Pid.Sus/2013/PN. Jkt. Tim.

Hlm.101

Page 71: PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS …

61

si pelaku dan sekaligus juga dapat mencegah orang lain melakukannya. Dalam

model ini juga lahir pemikiran “restorative justice” yang mengembalikan

konflik kepada pihak yang paling berpengaruh yaitu korban, pelaku, dan

masyarakat.

Majelis hakim juga mengemukakan fakta-fakta hukum yang dirasa

majelis hakim telah memenuhi karakteristik restorative justice, sebagai

berikut:23

1. Kata-kata dan ucapan terdakwa yang mengatakan “bertanggung jawab”.

2. Tindakan dan sikap terdakwa di tempat kejadian perkara yang turut aktif

memberikan pertolongan kepada korban dan tidak melarikan diri.

3. Tindakan serta perbuatan terdakwa dan/atau keluarga yang memberikan

perhatian yang begitu besar terhadap para korban dengan mengunjungi

keluarga korban, menghadiri pemakaman korban yang meninggal dunia,

memberikan santunan dan bantuan berupa materi baik untuk acara

pemakaman korban maupun pembiayaan perawatan karena sakit/luka yang

diderita korban, penggantian kendaraan yang rusak sampai janji akan

membiayai pendidikan dari anak korban yang meninggal dunia.

4. Sikap keluarga korban yang telah memaafkan terdakwa dan menyatakan

menerima dengan ikhlas peristiwa yang terjadi dan dipandang sebagai

musibah dan memohon agar terdakwa tidak dihukum.

5. Terdakwa masih berstatus sebagai mahasiwa di salah satu perguruan tinggi

di London, Kerajaan Inggris dengan status mahasiswa semester akhir yang

sebentar lagi akan mengakhiri perkuliahanya

Pertimbangan Majelis hakim selanjutnya adalah, Pasal 14 a KUHP

tentang pidana bersyarat dimana yang inti pokoknya, apabila hakim

menjatuhkan pidana penjara paling lama satu tahun atau pidana kurungan, tidak

termasuk pidana kurungan pengganti maka dalam putusannya hakim dapat pula

memerintahkan bahwa pidana tidak usah dijalani, kecuali jika dikemudian hari

ada putusan hakim yang menentukan lain.

23 Salinan Putusan Pengadilan Nomor : 151/Pid.Sus/2013/PN. Jkt. Tim. Hlm.103

Page 72: PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS …

62

Majelis hakim berpendapat tujuan pemidanaan sebagai wujud

pencegahan agar tidak mengulangi lagi kejahatan yang sama baik oleh terdakwa

maupun oleh orang lain telah terwujud dengan dijatuhkannya secara formal

pemidanaan atas terdakwa, sedang pada sisi lain dengan telah terpenuhinya

karakteristik restorative justice dalam perkara ini, maka keseimbangan antara

kepentingan korban, terdakwa dan masyarakat juga telah diwujudkan, sehingga

pemidanaan yang dijatuhkan atas diri terdakwa tersebut diyakini oleh majelis

hakim sudah tepat dan benar berdasarkan rasa keadilan dan setimpal dengan

kesalahan terdakwa.

Berdasarkan analisis pertimbangan hakim, penulis setuju dengan

putusan hakim pada nomor kesatu bahwa “M. Rasyid Amrullah Rajasa bersalah

melakukan tindak pidana mengemudikan kendaraan bermotor yang karena

kelalaiannya mengakibatkan orang lain meninggal dunia dan mengemudikan

kendaraan bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu

lintas dengan korban luka ringan dan kerusakan kendaraan dan/atau barang.

Analisis selanjutnya yaitu penjatuhan berat atau ringannya pidana

sebagaimana telah disampaikan oleh hakim dalam amar putusannya yang

menyatakan : menjatuhkan pidana kepada ia Terdakwa oleh karena itu dengan

pidana penjara selama 5 (lima) bulan dan denda sebesar Rp.12.000.000,- (dua

belas juta rupiah dengan ketentuan apabila tidak dibayar diganti dengan pidana

kurungan selama 6 (enam) bulan. Berdasarkan pertimbangannya, hakim

mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan kesalahan

Terdakwa, sebagai berikut:

Hal-hal yang memberatkan:

Bahwa perbuatan terdakwa tidak menjadi contoh yang baik dalam mengemudi

kendaraan bermotor roda empat di jalan tol.

Hal-hal yang meringankan :

1. Bahwa terdakwa berlaku sopan dan tidak mempersulit jalannya

persidangan.

2. Bahwa terdakwa masih berusia muda dan masih berstatus mahasiswa.

Page 73: PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS …

63

3. Bahwa terdakwa maupun keluarga terdakwa telah meminta maaf kepada

keluarga korban.

Dalam hal ini hakim sudah sesuai dengan KUHAP Pasal 197 ayat (1)

huruf f bahwa sebelum menjatuhkan pemidanaan terlebih dahulu harus

dipertimbangkan mengenai “keadaan-keadaan yang meringankan” dan

“keadaan-keadaan yang memberatkan”, dua hal tersebut memang menjadi

acuan untuk menetukan tinggi rendahnya hukuman walaupun itu tetap tidak

bisa menjadi patokan mutlak mengenai nilai pemidanaan, artinya hakim akan

tetap mempertimbangkan dua hal tersebut namun ukuran berat dan ringan yang

dituangkan dalam bentuk nilai pidana akan menjadi standar penilaian masing-

masing hakim secara bebas.

Penentuan berat ringannya pidana merupakan kebebasan hakim yang

bersumber dari hati nurani hakim karena memang tidak ada penentuan ataupun

rumus yang mengatur seberapa lama seorang terdakwa dapat dijatuhi pidana.

Putusan tersebut merupakan hasil dari olah pikir dan pendalaman nurani yang

dikemas dengan sentuhan-sentuhan teori dan pengetahuan hukum sehingga

sebuah putusan akan mengandung nilai-nilai akademik, logis dan yuridis.

Hakim mempunyai kedudukan yang penting dalam suatu sistem hukum, begitu

pula dalam sistem hukum di Indonesia, karena hakim melakukan fungsi yang

pada hakikatnya melengkapi ketentuan-ketentuan hukum tertulis melalui

penemuan hukum (rechtvinding) yang mengarah kepada penciptaan hukum

baru (creation of new law). Fungsi menemukan hukum tersebut harus diartikan

mengisi kekosongan hukum (recht vacuum) dan mencegah tidak ditanganinya

suatu perkara dengan alasan hukumnya (tertulis) tidak jelas atau tidak ada.24

Pada pokoknya, penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim, berawal

dari peristiwa hukum konkret yang dihadapkan kepada hakim untuk diputuskan,

sehingga sudah seharusnya putusan hakim memenuhi dimensi keadilan,

kepastian hukum dan juga kemanfaatan. Sebenarnya sangat sulit sekali

mewujudkan ketiganya dalam suatu putusan, sehingga kadangkala putusan

24 Mochtar Kusumaatmaja, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, (Bandung:

Alumni, 2002), h. 99.

Page 74: PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS …

64

hakim dikatakan sebagai putusan yang tidak adil, nyeleneh, ataupun putusan

yang mengoyak dan tidak mendengarkan rasa keadilan masyarakat, dan sebutan

yang lainnya, putusan yang demikian itulah yang menimbulkan kontroversi

serta polemik dikalangan masyarakat luas maupun kalangan ahli ataupun

pemerhati hukum. Keadaan yang sedemikian itu, seharusnya dapat menggugah

dan memanggil hati nurani para hakim untuk menemukan hukum melalui

putusan-putusannya yang bersifat progresif demi membantu bangsa dan negara

keluar dari keterpurukan, dan juga mengerti akan keinginan dan kebutuhan

rakyat serta mengabdi pada keadilan, kesejahteraan dan kepedulian terhadap

seluruh warga bangsa pada umumnya,25 dan untuk itulah diperlukan langkah-

langkah hukum yang bersifat progresif melalui penemuan hukum yang

dilakukan oleh hakim, yang sesuai dengan metode-metode penemuan hukum

yang selama ini ada dalam praktik, sehingga diharapkan akan dihasilkan

putusan-putusan hakim yang bersifat progresif yang bermanfaat bagi perbaikan

wajah penegakan hukum dan peningkatan kehidupan berbangsa dan bernegara

bagi seluruh rakyat Indonesia.

Persepsi masyarakat bahwa keadilan selalu identik dengan kemenangan

dapat dipengaruhi oleh dua faktor antara lain :

1) Rendahnya mutu putusan hakim dimana pertimbangan tidak dapat

menjelaskan secara rasional mengenai alasan yang digunakan, sehingga

tidak dapat menyentuh rasa keadilan bagi para pihak yang berpekara.

2) Rendahnya kesadaran masyarakat khususnya para pihak yang berpekara

yang memandang keadilan hanya sebatas menang dan kalah.26

Persepsi inilah yang harus mampu diatasi oleh hakim, bahwa putusan

yang dijatuhkannya harus benar-benar dipahami oleh masyarakat luas,

khususnya oleh pihak yang berpekara, karena mereka umumnya tidak

memandang dari segi teori maupun kaidah hukum melainkan dari rasa keadilan

yang diterima oleh pihak yang berpekara maupun rasa empati yang timbul

25 Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif (Penjelajahan Suatu Gagasan), (Jakarta: Yayasan

Pusat Pengkajian Hukum, 2004), h. 1.

26Darmoko Yuti Witanti dan Arya Putra N.K, Diskresi Hakim Sebuah Instrumen

Menegakkan Keadilan Substantif Dalam Perkara Pidana, (Bandung: Alfabeta, 2013), h..33

Page 75: PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS …

65

diantara masyarakat yang tidak berperkara. Oleh sebab itu dalam

pertimbangannya hakim harus mampu memberikan ulasan-ulasan yang

memang harus berpedoman pada teori-teori hukum, kaidah-kaidah hukum serta

nilai-nilai yang hidup di masyarakat yang ditafsirkan secara benar.

Hakim berpendapat bahwa, terdakwa yang masih muda dan merupakan

mahasiwa di salah satu perguruan tinggi di London, masih memiliki masa depan

yang panjang dan dapat memperbaiki kesalahannya, mengingat terdakwa

memberikan bentuk pertanggungjawaban terhadap korban, dimana hal tersebut

dipandang hakim merupakan hal yang meringankan pidana sesuai dengan aliran

neo klasik. Pertimbangan hakim tersebut dapat diterima mengingat keluarga

terdakwa, menyatakan akan menanggung biaya pendidikan anak korban yang

meninggal dunia, serta sikap keluarga korban yang telah memaafkan terdakwa

dan menyatakan menerima dengan ikhlas peristiwa yang terjadi dan dipandang

sebagai musibah dan mohon agar terdakwa tidak dihukum.27

Berdasarkan tujuan dari pemidanaan yaitu teori gabungan yang

merupakan gabungan dari teori pembalasan (retributive) dan teori tujuan

(teleologis), yang menekankan pencegahan sekaligus rehabilitasi yang harus

dicapai dalam suatu pemidanaan. Pemidanaan juga harus memberikan manfaat

kepada terdakwa, oleh karena itu hakim harus mempertimbangkan kepentingan

terdakwa, jadi pemberian pidana tidak semata-mata untuk meberikan balasan

terhadap perbuatan terdakwa, namun juga mampu memperbaiki terdakwa

sehingga dapat diterima di masyarakat.

Akan tetapi, pemberian pidana juga harus memperhatikan nilai-nilai

keadilan yang ada di masyarakat. Hal ini, berkaitan dengan asas hukum yang

menyebutkan bahwa hukum memandang semuanya sama atau yang sering

disebut equality before the law. Asas ini ditegaskan dalam Pasal 4 ayat (1)

Undang-Undang No.48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang

menyatakan : “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-

bedakan orang.” Selain itu, juga terdapat dalam penjelasan umum KUHAP butir

27 Lihat Salinan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur

Nomor:151/Pid.Sus/2013/PN.Jkt.Tim

Page 76: PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS …

66

3a merumuskan asas ini yaitu : “Perlakuan yang sama atas diri setiap orang

dimuka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan”.

Kesamaan di muka hukum tersebut tidak hanya dalam hal mengadili

ketika beracara namun juga perlakuan yang sama dalam mendapatkan keadilan

pidana, dengan kata lain penjatuhan pidana yang sesuai dengan perbuatan

pidana yang dilakukan. Keadilan menurut Aristoteles dibedakan menjadi dua

kelompok yaitu keadilan komutatif (comutative justice) dan keadilan distributif

(distributive justice) : 28

1. Keadilan komutatif adalah keadilan yang dipandang berdasarkan nilai

dan ukuran yang sama atau biasa disebut dengan keadilan yang sama

rata.

2. Keadilan distributif yaitu keadilan yang diberikan sesuai dengan

kepentingan, kemampuan dan kebutuhannya, keadilan distributif tidak

melihat pada pembagian menurut jumlahnya namun semata-mata

didasarkan pada seberapa besar keadilan itu yang menjadi bagiannya.

Pada era reformasi dewasa ini seakan masyarakat memiliki hak yang

penuh untuk menilai keadilan dalam setiap putusan hakim, sehingga tidak heran

jika orang dengan mudah mengkritik dan menyalahkan putusan pengadilan

tanpa memahami terlebih dahulu apa yang menjadi argumentasi dalam putusan

tersebut. Paradigma yang berkembang saat ini bahwa dukungan masyarakat

lebih banyak memihak pada permasalahan yang sedang populer di masyarakat

oleh pemberitaan media elektronik.

Sama halnya, ketika hakim memberikan lamanya pidana, keadilan yang

diharapkan oleh masyarakat mungkin adalah keadilan komutatif dimana

semuanya harus sama, sama dalam pandangan masyarakat atau masing-masing

orang. Namun, hakim tidak bisa boleh menerapkan keadilan komutatif dalam

pemberian pidana, karena faktor-faktor yang memberatkan dan meringankan

masing-masing terdakwa berbeda-beda. Oleh sebab itu munculah disparitas

putusan, yaitu adanya perbedaan mengenai nilai pemidanaan terhadap beberapa

28 J.H. Rapar, Filsafat Politik Plato, (Jakarta: Rajawali Press, 2019) h. 82

Page 77: PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS …

67

perkara yang memiliki kesamaan, walaupun sebenarnya disparitas sendiri bisa

berarti perbedaan mengenai seluruh muatan dari isi putusan menyangkut fakta,

pertimbangan dan amar, namun oleh karena masyarakat selalu melihat bahwa

putusan itu adalah amar dan amar putusan identik dengan angka pemidanaan,

maka istilah disparitas selalu dimaksudkan pada arti nilai pemidanaan semata.

Suatu tindak pidana walaupun diancam dengan pasal yang sama namun

belum tentu substansi perbuatannya juga sama, sehingga jika dilihat dari

beberapa aspek seperti, dampak kejahatan bagi pihak korban, modus dan latar

belakang terjadinya perbuatan pidana, maka seharusnya suatu peristiwa pidana

itu tidak akan pernah ada yang sama walaupun dalam kategori dan klasifikasi

rumusan pidana yang sama, sehingga potensi terjadinya disparitas terhadap

masing-masing putusan sangatlah tinggi.

Seperti hal nya bertolak belakang dengan kasus Muhammad Rasyid

Amrullah rajasa, kasus yang serupa terjadi pada 07 april 2013 dengan terdakwa

Muhammad Dwigusta Cahya yang berusia 19 tahun pada saat itu. Dari segi

jumlah korban, kasus ini memang lebih parah dari pada kasus Rasyid sebab

mengakibatkan 5 (lima) orang meninggal. Namun dari awal langsung tampak

betapa bedanya perlakuan penegak hukum pada kasus ini. Putusan hakim yang

dijatuhkan kepada Dwigusta justru jauh berbeda dengan putusan Rasyid

(bahkan dari dakwaan yang diajukan oleh Jaksa meskipun pasalnya sama tetapi

tuntutannya berbeda). Pengadilan Negeri Bale Bandung menjatuhkan Vonis 1

(satu) tahun penjara kepada Dwigusta, jelas jauh berbeda dengan Putusan

Negeri Jakarta Timur yang menjatuhkan pidana kepada Rasyid yang hanya

menjatuhkan pidana penjara selama 5 (lima) bulan dan denda Rp, 12.000.000,-

(dua belas juta) dengan subsider 6 (enam) bulan kurungan, dan pidana penjara

itu tidak akan dilakukan dengan masa percobaan 6 (enam) bulan. Bahkan, dalam

tahap banding, majelis hakim Pengadilan Tinggi Bandung malah menjatuhkan

hukuman yang lebih berat dari Pengadilan Negri Bale Bandung, yaitu pidana

penjara selama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan kepada Dwigusta, dan menolak

permintaan penasehat hukum Dwigusta yang meminta hakim

mempertimbangkan untuk menerapkan restorative justice dalam kasus

Page 78: PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS …

68

kliennya, sebab kliennya telah bertanggungjawab kepada keluarga korban

dengan memberikan ganti rugi bahkan telah menyanggupi untuk membiayai

anak dari korban hingga kerja. Tetapi, hakim Pengadilan Tinggi dalam

pertimbangan putusannya menyatakan: “Menimbang, bahwa pendapat

Pengadilan Tinggi tentang penjatuhan pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa

terlalu ringan dengan pertimbangan bahwa walaupun antara terdakwa melalui

orang tuanya telah melakukan perdamaian dengan pihak keluarga para korban,

namun korban akibat kelalaian terdakwa tersebut jumlahnya 5 (lima) orang

meninggal dunia, maka menurut Pengadilan Tinggi pidana yang dijatuhkan

pada terdakwa dianggap terlalu ringan.”29

Perbedaan penjatuhan pidana dalam kasus Rasyid dan Dwigusta jelas

melukai rasa keadilan masyarakat, Padahal berdasarkan Pasal 5 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

menegaskan bahwa: “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti,

dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam

masyarakat”. Dari kasus tersebut, jelas hakim tidak mempertimbangkan rasa

keadilan yang ada di masyarakat, padahal tujuan hukum selain memberikan

kepastian hukum, juga harus memperhatikan keadilan. Selain itu, perbedaan

perlakuan terhadap Dwigusta dan Rasyid jelas bertentangan dengan asas

persamaan dihadapan hukum (Equality Before The Law) yang lebih jelas diatur

dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945.

29 Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 334/Pid/2013/PT.BDG, hlm. 11.

Page 79: PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS …

69

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang telah diuraikan oleh peneliti dalam penelitian ini,

maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Penerapan restorative justice dalam perkara putusan nomor:

151/Pid.Sus//2013/PN. Jkt. Tim dalam hukum positif telah terpenuhi, yakni

penyelesaian dengan bentuk model restorative board/youth panels, dimana

bentuk ini melibatkan hakim, jaksa, dan pengacara untuk menyelesaikan

perkara kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan kematian. Meskipun

pengadilan bukan termasuk wadah atau lembaga untuk restorative justice

maka disini perlu untuk dikodifikasikan. Kemudian unsur pemberian maaf,

Page 80: PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS …

70

ganti rugi/restitusi dan keringanan hukuman menjadi pendukung dalam

penerapan restorative justice. Pemberian maaf tidak dapat menggugurkan

hukuman pidana, karena dalam hukum positif tidak ada alasan pemaaf untuk

ditiadakan penghapusan pidana, tetapi hanya sebagai keringanan hukuman

saja. Sehingga dalam putusannya Terdakwa mendapatkan keringanan

hukuman penjara 5 (lima) bulan, dimana ada pengecualian yakni tidak usah

dijalani jika tidak melakukan tindak pidana dalam masa percobaan 6 (enam)

bulan.

2. Dasar pertimbangan hakim dalam penjatuhan pidana terhadap sdr.

Muhammad Rasyid Amrullah Rajasa dalam tindak pidana kecelakaan lalu

lintas bahwasanya sudah berdasarkan pertimbangan yuridis yaitu melihat

dari peraturan perundang-undangan, surat dakwaan, surat tuntutan oleh

Jaksa Penuntut Umum, keterangan saksi dan keterangan terdakwa di dalam

persidangan. Dan dasar pertimbangan non yuridis yaitu berdasarkan

kebijaksanaan dan keyakinan hati nurani seorang hakim, dalam melihat

keadaan yang digolongkan antara lain latar belakang perbuatan, kondisi diri,

kondisi sosial ekonomi, sifat sopan dan santun terdakwa dalam persidangan.

Selain itu hal-hal yang meringankan dan memberatkan juga masuk ke dalam

dasar pertimbangan hakim yang bersifat non yuridis.

B. Rekomendasi

Berdasarkan kesimpulan di atas maka peneliti dapat memberikan beberapa

saran, sebagai berikut:

1. Dalam hukum nasional kita masih menganut sistem retributif , hendaknya

di Indonesia sendiri dapat mengaplikasikan sistem restorative justice untuk

memperhatikan korban dan dapat secara langsung korban aktif dalam ikut

memberikan sanksi terhadap pelaku.

2. Diharapkan dalam penerapan mengenai restorative justice yang akan

terapkan pada penyelesaian kasus kecelakaan lalu lintas yang

mengakibatkan korban meninggal dunia harus lebih jelas lagi dan tertulis

Page 81: PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS …

71

agar para penegak hukum bisa lebih adil dalam menerapkan restorative

justice terhadap siapapun pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas.

3. Kemudian dalam ganti rugi atau restitusi pemberian santunan berupa uang,

biaya perawatan, juga biaya sekolah termasuk pada kategori bentuk

penyelesaian, yakni untuk menaksir/menilai kompensasi atau perbaikan

yang harus dibayar oleh pelaku tindak pidana kepada korban kejahatan.

Meskipun dalam penyelesaiannya kasus ini terdapat penerapan restorative

justice tetapi wadah untuk melembagakan restorative justice belum dan

perlu dibuat dalam perundang-undangan, karena Pengadilan bukanlah

lembaga atau wadah yang tepat dibentuknya restorative justice.

Page 82: PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS …

72

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Ali, Achmad. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan

(Judictial Prudence). Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009.

Ali, Muhammad Hatta. Peradilan Sederhana Cepat & Biaya Ringan Menuju

Keadilan Restoratif. Bandung: PT. Alumni, 2012.

Arief, Barda Nawawi. Mediasi Penal Penyelesaian Perkara Diluar Pengadilan.

Semarang: Pustaka Magister, 2008.

Atmasasmita, Romli. Sistem Peradilan Pidana-Perspektif Eksistensialisme dan

Abolisionisme. Bandung: Binacipta, 1996.

Atsasmita, Romli. Tindak Pidana & Pertanggung Jawaban Pidana. Jakarta:

Prenadamedia Group, 2016.

Braitwaite, John. Restorative Justice and Responsive Regulation. New York:

Oxford University Press, 2002.

Debi Aris Siswanto, Marjan Miharja. Tinjauan Diversi dan Restorative Justice

dalam Penanganan Kecelakaan Lalu Lintas dengan Pelaku Anak yang

Menyebankan Korban Meninggal Dunia berdasarkan Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Pasuruan:

Qiara Media, 2019.

Diantha, I Made Pasek. Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: Prenada

Media Group, 2016.

Fatkurohman, Afan. Implementasi Restorative Justice dalam Tindak Pidana yang

Dilakukan Oleh Anak (Studi Kasus di Polresta Surabaya). Jakarta: Skripsi

S1 Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2019.

Gie, The Liang. Teori-teori Keadilan. Yogyakarta: Sumber Sukses, 2002.

Heinrich, H. W. Industrial Accident Prevention : A Safety Management Approach.

New York: McGrawhill, 1980.

Hobbs, F. D. Perencanaan dan Tekhnik Lalu Lintas. Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press, 1995.

Hutauruk, Rufinus Hitmaulana. Penanggulangan Kejahatan Korporasi Melalui

Pendekatan Restoratif Suatu Terobosan Hukum. Jakarta: Sinar Grafika,

2014.

Ibrahim, Johnny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang:

Bayumedia Publishing, 2007.

Page 83: PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS …

73

Mahmud Siregar, et al. Pedoman Praktis Melindungi Anak dengan Hukum pada

Situasi Emergensi dan Bencana Alam. Medan: Pusat Kajian dan

Perlindungan Anak (PKPA), 2007.

Makmur, Syafrudin. Hukum Acara Pidana. Tangerang Selatan: UIN FSH Press,

2016.

Manan, Bagir. Restorative Justice (suatu perkenalan) dalam buku Refleksi

Dinamika Hukum Rangkaian Pemikiran dalam Dekade Terakhir. Jakarta:

Perum Percetakan Negara RI, 2008.

Mansur, Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatri Gultom. Urgensi Perlindungan

Korban Kejahatan antara Norma dan Realita. Jakarta: Raja Grafindo, 2008.

Mansur, Ridwan. Mediasi Penal terhadap Perkara KDRT. Jakarta: Yayasan Gema

Yustisia Indonesia, 2010.

Manulang, E. Fernando M. Menggapai Hukum Berkeadilan Tinjauan Hukum

Kodrat dan Antinomi Nilai. Jakarta: Januari, 2007.

Marlina. Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice dalam Hukum Pidana.

Medan: USU Press, 2010.

—. Perlindungan Pidana Anak di Indonesia Pengembangan Konsep Diversi dan

Restorative Justice. Bandung: PT. Refika Aditama, 2009.

Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum Edisi Revisi. Jakarta: Kencana Pranada,

2014.

Mertokusumo, Sudikno. Teori Hukum. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2001.

Miharja, Marjan. Diversi dan Restoratif Justice dalam Penanganan Kecelakaan

Lalu Lintas. Pasuruan: Qiara Media, 2019.

Moeljanto. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta, 1993.

Nawawi, Barda. Hukum Pidana II. Semarang: Badan Penyediaan Bahan Kuliah

Fakultas UNDIP, 1993.

Priyanto, Agung. Hukum Acara Pidana Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Ombak,

2012.

Rapar, J.H. Filsafat Politik Plato. Jakarta: Rajawali Press, 2019.

Rawls, John. Teori Keadilan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.

Rizky, Rudi. Refleksi Dinamika Hukum (Rangkaian Pemikiran dalam Dekade

Terakhir). Jakarta: Perum Percetakan Negara Indonesia, 2008.

Rusli, Muhammad. Potret Lembaga Pengadilan Indonesia. Jakarta: Rajawali Press,

2006.

Page 84: PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS …

74

S., Ethania Yulie. Penerapan Restorative Justice terhadap Pelaku Tindak Pidana

Kecelakaan Lalu Lintas oleh Anak di Bawah Umur. Jakarta: Skripsi S1

Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara, 2014.

Salim, HS. Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum. Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 2010.

Schneier, Marc M. CONSTRUCTION ACCIDENT LAW : A Comprehensive Guide

to Legal Liability and Insurance Claims . Chicago: American Bar

Association, 1999.

Sudarto. Hukum Pidana I. Semarang: Yayasan Sudarto, 1990.

Syukur, DS. Dewi dan Fatahillah A. Mediasi Penal: Penerapan Restorative Justice

di Pengadilan Anak Indonesia. Depok: Indie-Publishing, 2011.

Waluyo, Bambang. Penegakan Hukum di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2016.

—. Viktimologi Perlindungan Korban dan Saksi. Jakarta: Sinar Grafika, 2012.

Weinstein, Jack B. “Same Benefit and Risks of Privatization of Justice Though

ADR.” Ohio State Journa on Dispute Resolution, 1996.

Yusuf, Mochamad. Analisis Kasus Kecelakaan Lalu Lintas yang Dilakukan Oleh

Afriyani Susanti dan Mengakibatkan Korban Meninggal Dunia dan Luka

Berat. Bandung: Universitas Padjajaran, 2013.

Jurnal

I Tajudin, Nella Sumika Putri. “Penyelesaian Tindak Pidana Lalu Lintas Melalui

Pendekatan Restorative Justice sebagai Dasar Penghentian Penyidikan dan

Perwujudan Asas Keadilan dalam Penjatuhan Putusan.” PADJAJARAN

Jurnal Ilmu Hukum, 2015: 145-167.

Mulyadi, Lilik. “Mediasi Penal dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia:

Pengkajian Asas, Norma, Teori dan Praktik.” Yustisia, 2013: 1-14.

Prihatini, Lilik. “Perspektif Mediasi Penal dan Penerapannya dalam Perkara

Pidana.” Pakuan Law Review, 2015: 1-46.

Sodikin, Ali. “Restorative Justice dalam Tindak Pidana Pembunuhan: Perspektif

Hukum Pidana Indonesia dan Hukum Pidana Islam.” As-Syari'ah, 2015: 63-

100.

Yudaningsih, Lilik Purwastuti. “Penanganan Perkara Anak Melalui Restorative

Justice.” Jurnal Ilmu Hukum, 2014: 67-79.