penerjemahan arab; -...
TRANSCRIPT
i
PENERJEMAHAN ARAB;
KEJAYAANNYA PADA MASA ‘ABBÂSIYYAH SERTA ANALISIS PERKEMBANGAN TEORI PENERJEMAHAN
Tesis DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI SYARAT-SYARAT MENCAPAI
GELAR MAGISTER AGAMA ISLAM (S2) DALAM BIDANG BAHASA DAN SASTRA ARAB
Oleh : LILY NABILAH 298-BSA-004
PEMBIMBING : PROF. DR. H. CHATIBUL UMAM
DR. H. ROFI’I
PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA ARAB PROGRAM PASCASARJANA UIN “SYARIF HIDAYATULLAH”
JAKARTA 2001-2002
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Tesis dengan judul “PENERJEMAHAN ARAB; KEJAYAANNYA PADA MASA ‘ABBÂSIYYAH SERTA ANALISIS PERKEMBANGAN TEORI PENERJEMAHAN” yang ditulis oleh :
Nama : Lily Nabilah
NIM : 298-BSA-004
Program studi : BAHASA DAN SASTRA ARAB
Disetujui untuk dibawa ke dalam ujian/penilaian tesis.
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. DR. H. Chatibul Umam Prof. DR. H. Rofi’I Tanggal :………………… Tanggal :……………
iii
PEDOMAN TRANSLITERASI
a = ء b = ب t = ت ts = ث j = ح h = ح kh = خ d = د dz = ذ r = ر z = ز s = س sy = ش sh = ص dl = ض th = ط zh = ظ ع = ‘gh = غ f = ف q = ق k = ك l = ل m = م n = ن w = و h = ه y = ى
â = a panjang î = i panjang û = u panjang
iv
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, seraya memanjatkan kalimat tasyakkur ke hadirat Allah SWT
yang telah memberikan rahmat dan ‘inâyah kepada kita semua, sehingga kita dapat
menjalankan segala tugas dan kewajiban dengan sebaik-baiknya.
Shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpah kepada Nabi `akhîruzzamân,
Muhammad SAW, penuntun jalan umat Islam, dari alam kebodohan menuju alam yang
penuh dengan ilmu pengetahuan, dan senantiasa kita nantikan syafâ’atnya di hari akhir
nanti. Amin......
Tiada kata yang dapat penulis lantunkan, selain ungkapan rasa haru dan bahagia
yang dalam atas berakhirnya tugas penulisan tesis ini. Penulis menyadari, meskipun
memakan waktu yang cukup lama, tesis ini belumlah mencapai taraf kesempurnaan,
karena masih banyak kekurangan dan kelemahan di sana-sini. Di samping itu, penulis
pun menyadari bahwa penyelesaian penulisan tesis ini tidak terlepas dari bantuan dan
dorongan berbagai pihak. Untuk itu penulis merasa perlu untuk mengucapkan terima
kasih kepada orang-orang yang telah memberikan sokongan dan dukungannya kepada
penulis dalam penulisan tesis ini, baik secara moril maupun spirituil.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang
setinggi-tingginya kepada Bapak Prof. DR. H. Chatibul Umam dan DR. H. Rofi’i, yang
telah dengan ikhlas dan sabar membimbing penulis dalam penyusunan tesis ini. Semua
petunjuk dan arahannya merupakan pengetahuan yang amat berharga bagi penulis untuk
pengembangan ilmu berikutnya. Selanjutnya, kepada Bapak DR. H.D. Hidayat, MA,
v
yang telah memberikan masukan dan saran dalam pemilihan judul tesis ini, juga kepada
Bapak Prof. DR. Said Agil Husen al-Munawwar selaku Direktur pascasarjana UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta dan para stafnya, terutama Bapak Dr. A. Wahib Mu’thi
sebagai asisten Direktur, yang telah memberikan segala kemudahan dalam pelayanan
administrasi selama penulis melaksanakan kuliah hingga penulisan tesis ini. Kepada
segenap dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, penulis menyampaikan
ribuan terima kasih atas segala ilmu, didikan dan pemikiran yang diajarkan. Hanya
kepada Allah SWT penulis serahkan, semoga Dia membalas semua itu dengan balasan
yang setimpal, jazâkumullâh ahsanal jazâ....., amin.
Selanjutnya, kepada ayahanda tercinta, KH. Drs. Moh. Dawam Anwar,
matta’ahullâh bithûli hayâtihî wa syafâhullâh min maradlihî, penulis ucapkan banyak
terima kasih atas segala motivasi, didikan dan ajarannya selama penulis menuntut ilmu,
dari kecil hingga sekarang, bahkan walau di tengah sakitnya yang parah beliau masih
memperhatikan penulis dengan memberikan masukan dan saran dalam penulisan tesis
ini. Semoga Allah SWT senantiasa mengiringi kehidupannya dengan keridlaan yang tak
pernah putus di dunia dan akhirat, amin. Juga kepada ibunda tersayang, terima kasih atas
segala kasih sayang dan dukungan yang diberikan kepada penulis. Tiada kata yang
pantas keluar dari mulut seorang anak kecuali doa yang tak pernah henti kepada Allah
SWT, semoga Dia senantiasa membalas segala kesabaran dan pengorbanan ibunda yang
telah mendidik dan merawat ananda hingga ananda menjadi seorang manusia seperti
sekarang ini. Kepada saudara-saudaraku, khususnya adik laki-lakiku satu-satunya,
Khalid, yang telah ikut menyumbangkan sedikit pemikiran dalam penulisan tesis ini,
vi
juga adik-adikku yang lain atas segala sokongan dan persaudaraan yang indah selama
ini.Terima kasih.
Kepada suamiku terkasih, syukrân katsîrâ penulis ucapkan atas segala cinta,
pengertian dan pengorbanan selama ini. Juga kepada kedua mujâhid kecilku, Mu’tazz
dan ‘Ayyasy, binar mata dan teriakan kecilmu telah mampu menyalakan semangat
bunda agar tak patah semangat dalam menjalankan studi ini.
Akhirnya, kepada semua pihak yang tak dapat disebutkan satu per-satu, penulis
mengucapkan banyak terima kasih atas segala bantuan dan dukungan yang telah
diberikan kepada penulis demi terselesaikannya penyusunan tesis ini.
Harapan penulis, semoga sumbangan pemikiran yang amat sederhana dalam tesis
ini dapat menambah khazanah pemikiran bagi para peminat bidang terjemah, khususnya
di bumi Indonesia tercinta ini. Tak lupa pula, segala kritik dan saran amat penulis
harapkan dari para pembaca untuk menyempurnakan tulisan ini di masa yang akan
datang.
Tambun, 24 November 2002 19 Ramadlan 1423
Penulis
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……………………………………………………… i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING………………………… ii
PEDOMAN TRANSLITERASI…………………………………………. iii
KATA PENGANTAR……………………………………………………. iv
DAFTAR ISI……………………………………………………………… vii
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah………………………………………... 1
B. Perumusan dan pembatasan masalah………………………….. 6
C. Tujuan penelitian……………………………………………... 7
D. Metodologi penelitian………………………………………… 7
E. Sistematika pembahasan……………………………………… 8
BAB II. KAJIAN HISTORIS PENERJEMAHAN ARAB
A. Cikal-bakal pertumbuhan aktivitas penerjemahan Arab……… 10
B. Sejarah penerjemahan Arab………………………………….. 14
C. Pelopor-pelopor penerjemahan Arab………………………… 34
D. Penemu teori penerjemahan pertama………………………… 38
viii
BAB III. RUANG LINGKUP PENERJEMAHAN
A. Pengertian terjemah………………………………………… 40
B. Tujuan atau motif penerjemahan…………………………… 46
C. Prinsip dasar penerjemahan………………………………… 49
D. Perbedaan antara tarjamah, ta’rîb dan tafsîr………………. 53
E. Klasifikasi teori-teori penerjemahan………………………. 57
F. Macam-ragam penerjemahan……………………………… 87
BAB IV. ANALISIS PERKEMBANGAN PENERJEMAHAN ARAB
A. Urgensi penerjemahan di dunia Arab……………………… 89
1. Membangun kesefahaman di antara bangsa dan negara menuju hidup
sejahtera di atas keadilan…………………………… 92
2. Memindahkan pemikiran ilmiah atau non ilmiah, antar anggota
suatu bangsa yang sedang berkembang…………….. 93
3. Ia merupakan kesenangan jasmani dan rohani bagi seluruh umat
manusia yang berbeda ras, warna kulit dan bahasa 94
4. Menaikkan derajat material dan spiritual kehidupan setiap Individu
di atas bumi ini…………………………………… 94
5. Mengurangi resiko akibat konflik politik dan militer, dan
menggiatkan hubungan pergagangan…………… 95
B. Terjemah Arab di antara teori dan praktek……………….. 96
C. Beberapa masalah dalam penerjemahan
ix
1. Kurang pemahaman tentang sejarah naskah-naskah yang
diterjemahkan……………………………………… 101
2. Kesalahan bahasa dalam menerjemahkan suatu teks 105
D. Eksistensi teori penerjemahan Arab di antara teori penerjemahan
Asing………………………………………………………. 109
E. Penerjemahan Arab, sekarang dan akan datang…………… 117
BAB V. PENUTUP
A. Kesimpulan………………………………………………… 123
B. Saran-saran………………………………………………… 127
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah.
Berabad-abad yang lalu sebelum kedatangan agama Islam, bangsa Arab telah dikenal
sebagai bangsa yang aktif berakulturasi dengan bangsa lain, khususnya dalam bidang
perdagangan. Hal itu disebabkan oleh karena jazirah Arab menjadi pusat perdagangan
internasional yang senantiasa disinggahi oleh beraneka-ragam suku bangsa di dunia. Keadaan
itu kemudian mempengaruhi bahasa yang mereka gunakan, yaitu bahasa Arab.
Pada awalnya, bahasa Arab hanya digunakan sebagai media komunikasi antar individu.
Namun seiring dengan pertambahan kebutuhan hidup dan kemajuan pemikiran manusia, maka
bahasa tersebut meningkat kegunaannya sebagai bahasa ilmiah di seluruh bidang ilmu
pengetahuan. Sejarah telah mencatat bahwa penggunaan bahasa Arab sebagai bahasa ilmiah
ditandai oleh kemunculan aktivitas penerjemahan buku-buku bangsa Yunani, Persia dan India.1
Aktivitas ini tumbuh subur pada masa daulat Abbasiyyah di bawah pimpinan Khalifah Al-
Ma’mun.
Pada saat itu beliau mendirikan perpustakaan Dar el-Hikmah yang menghimpun
buku - buku berbahasa asing dalam jumlah yang cukup besar. Kemudian beliau
mempekerjakan para penerjemah untuk menerjemahkan buku-buku tersebut ke dalam bahasa
Arab. Mulai saat itulah Dar el - Hikmah berkembang pesat sebagai pusat
1 Philippe Sayegh dan jean Akl. A Translation Course for Baccalaureate Students. (Libanon: Maktabah Lubnan Nasyirun.1993), cet.5, h. 4.
2
penerjemahan bermacam-macam ilmu pengetahuan yang menjadi tolok ukur kejayaan
dan kegemilangan Islam pada masa itu.
Sebenarnya, cikal-bakal aktivitas penerjemahan sudah tampak jauh sebelum masa
kepemimpinan Khalifah Al-Ma’mun. Akan tetapi kedaannya masih bersifat individual dan
tidak seramai aktivitas pada masa Al-Ma’mun. Hal itu disebabkan oleh karena perhatian
kaum muslimin pada awal sejarah Islam masih sepenuhnya dicurahkan untuk
pengembangan agama Islam dan melaksanakan ajaran Islam dengan sebaik-baiknya.
Keadaan yang demikian itu membuat mereka merasa berkecukupan dalam menjalani
hidupnya, sehingga tidak tidak terbetik dalam benak mereka untuk memperhatikan
perkembangan ilmu pengetahuan yang sedang terjadi di belahan bumi lain. Apalagi Kekuatan
barisan mereka pada saat itu merupakan kekuatan yang solid yang selalu menjunjung tinggi
nilai-nilai persatuan. Akan tetapi manakala kedamaian dan keharmonisan hidup yang mereka
alami itu berubah, yang ditandai oleh timbulnya berbagai macam konflik di antara mereka,
misalnya dalam memahami ajaran agama, maka kekuatan yang solid itu mulai goyah sedikit
demi sedikit, terutama semenjak wafatnya Rasulullah. Tidak ada lagi yang dapat mereka
jadikan tumpuan untuk membantu mereka dalam mengatasi berbagai macam persoalan.
Maka sebagai gantinya, mereka mencari cara lain sebagai kompensasi bentuk
pemecahan masalah yang mereka hadapi. Contohnya : mereka mulai membuka hubungan
diplomatic dengan bangsa lain yang berbeda agama dan keyakinan dengan mereka, juga
3
hubungan lain yang bersifat ilmiah. Seperti ketika terjadi perdebatan tentang qadha dan
kebebasan berkehendak. Sedikit banyak hasil pemikiran para filosof Yunani mulai
mempengaruhi dalil-dalil mereka. Seperti pemikiran Aristoteles, Tales, Plato dan lain-lain.2
Maka mulai saat, itu berkembanglah aktivitas penerjemahan naskah-naskah asing
kedalam bahasa Arab. Begitu pula dengan para penerjemah Arab mulai bermunculan satu demi
satu. Dan lambat-laun kemasyhuran nama mereka dapat disejajarkan dengan tokoh-tokoh
terkenal bangsa Arab dan Persia, seperti : Ibnu al-Muqaffa’, Anusyirwan, Bazarjamhar,
Ardasyir dan lain-lain.3 Mengenai tokoh-tokoh penerjemahan Arab ini akan diuraikan pada
bagian lain.
Pada masa Abbasiyyah, Kebudayaan yang paling banyak memberi warna penerjemahan
Arab adalah kebudayaan Persia. Hal ini disebabkan oleh karena daulat Abbasiyyah dikuasai
oleh bangsa Persia. Karena pada saat itu bahasa Persia sedang mengalami kerusakan dan
berada diambang kepunahan, maka mereka yang menjadi pemimpin berusaha untuk menjaga
kelestariannya dengan menerjemahkan naskah-naskah karya mereka ke dalam bahasa
Arab.
Di samping itu tujuan lain dari penerjemahan tersebut adalah agar terbentuk suatu
masyarakat Islam dengan gaya Persia dalam tiga hal, yaitu : politik, sosial dan budaya.4 Maka
tidak mengherankan apabila kebudayaan Persia dapat mendominasi aktivitas penerjemahan
pada saat itu.
2 Mahir Abdul Qadir Muhammad. Al-Turats wa al-Hadharah al-Islamiyyah..( Beirut: Dar al-. Nahdhah
al-‘Arabiyyah, tt), h. 31. 3 Ibid., h. 21. 4 Abdul Hakim Hassan. Al-Adab al-Muqaran wa al-Turats al-Islamy. ( Kairo: Maktabah al-Adab, tt.), h.
40.
4
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi timbulnya aktivitas penerjemahan Arab,
antara lain :
1. Faktor sosiologis bangsa Arab.
Faktor ini didasari oleh adanya konflik internal yang terjadi di tengah-tengah ummat
Islam. Perpecahan ini timbul karena mereka saling berbeda dalam cara
memahami ajaran agama Islam. Satu demi satu persoalan mulai muncul di hadapan
Kaum muslimin, dari masalah khilafah sampai kepada persoalan yang berhubungan
dengan masalah akidah Islam. Karena itulah, ummat Islam kemudian terpecah ke
dalam beberapa kelompok, antara lain : Ahlussunnah wa al-jama’ah, Syi’ah,
Mu’tazilah, Jabariyah dan lain-lain. Semua ini tidak terlepas dari upaya-upaya musuh
Islam yang terdiri dari golongan Yahudi dan Nasrani yang sengaja memecah-belah
persatuan ummat Islam dengan menghembuskan angin permusuhan diantara mereka.
Perbedaan pendapat telah mendorong mereka untuk mencari jawaban lain selain dari
Al-qur’an, dan semua itu mereka dapatkan setelah mereka mempelajari hasil pemikiran
ummat Yahudi dan Nasrani dalam bidang ilmu kalam dan filsafat. Inilah yang melatar-
belakangi timbulnya aktivitas penerjemahan di kalangan bangsa Arab bila ditinjau dari
sudut sosiologisnya.5
5 Mahir Abdul Qadir Muhammad. op.cit., h. 26-28.
5
2. Faktor psikologis bangsa Arab.
Dalam menggali ilmu pengetahuan, bangsa Arab terkenal sebagai bangsa yang
cerdas dan memiliki semangat yang tinggi untuk menguasainya. Terkadang mereka
perlu berjalan berbulan-bulan dalam mencari seorang guru untuk mempelajari suatu
ilmu. Inilah ciri khas yang membedakan mereka dari bangsa - bangsa lain. Kerasnya
alam gurun sahara telah menempa mereka untuk menjadi manusia yang dapat
memiliki daya ingat yang kuat dan berfikir keras dalam memperoleh suatu ilmu.
Begitu pula dengan ajaran agama, akan lebih meresap ke dalam jiwa mereka apabila
sudah dapat diterima oleh akal dan fikiran mereka.
Hal inilah yang kemudian mendorong bangsa Arab untuk berperan aktif dalam
aktivitas penerjemahan, karena jiwa mereka sudah lama terisi oleh seruan dan anjuran
dari Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW tentang pentingnya ilmu pengetahuan dan
kewajiban untuk mencarinya. Demikianlah latar belakang yang mempengaruhi bangsa
Arab dalam penerjemahan ditinjau dari sudut psikologisnya.
Dari uraian di atas, dapat ditarik suatu benang merah dalam sejarah awal penerjemahan
Arab, yaitu meski apapun alasan-alasan yang melatar-belakangi minat kaum muslimin dalam
menekuni aktivitas penerjemahan tersebut, kita tidak dapat memungkiri bahwa penerjemahan
telah banyak memberikan kontribusi kemajuan yang amat besar bagi umat Islam. Hal ini
terbukti di masa Abbasiyyah, saat kaum muslimin mengalami kemajuan yang amat pesat
dalam bidang ilmu pengetahuan (hal ini akan dijelaskan lebih lanjut pada bab II ).
6
Dengan melihat fakta sejarah di atas, kami memandang perlunya diadakan penelitian
yang lebih mendalam tentang peran penerjemahan Arab dalam perkembangan ilmu
pengetahuan. Apalagi setelah dilihat bahwa dalam perkembangan selanjutnya banyak sekali
teori-teori penerjemahan yang muncul dan saling bercampur-baur satu sama lain. Untuk itu
kami sangat berminat untuk mengetahui tentang sejauh - manakah teori-teori tersebut saling
berinteraksi dan berasimilasi, dan di manakah letak eksistensi teori penerjemahan Arab ketika
teori-teori asing banyak bermunculan.
B. Perumusan dan pembatasan masalah.
Adapun masalah sentral dalam penelitian ini adalah perkembangan teori-teori
penerjemahan secara umum, baik teori penerjemahan Arab, maupun teori penerjemahan asing.
Sedangkan topik yang akan diangkat adalah teori penerjemahan manakah yang paling dominan
di antara teori-teori penerjemahan itu, apakah teori penerjemahan asing, ataukah teori
penerjemahan Arab, serta di manakah letak eksistensi teori penerjemahan Arab itu sendiri
setelah teori penerjemahan asing banyak bermunculan.
Mengenai pembatasan masalah, maka penelitian ini akan dibatasi pada ketentuan-
ketentuan sebagai berikut :
1. Penerjemahan Arab di sini maksudnya adalah penerjemahan dari bahasa asing ( sebagai
bahasa sumber/pertama) ke dalam bahasa Arab (sebagai bahasa sasaran/kedua).
7
2. Kajian historis penerjemahan Arab dititik-beratkan pada masa Abbasiyah, sebab di
masa itulah terjadi puncak kejayaan Islam dalam ilmu pengetahuan karena didorong
oleh adanya aktivitas penerjemahan.
C. Tujuan penelitian.
Tujuan dari penelitian ini antara lain :
1. Untuk mengetahui sekilas perjalanan sejarah penerjemahan di dunia Arab, dan sebagai
fokus sejarahnya adalah penerjemahan pada masa Abbasiyah.
2. Untuk mengetahui seberapa besar kontribusi yang diberikan oleh bidang penerjemahan
bagi kemajuan dan kejayaan Islam di masa Abbasiyah, dan bagaimanakah dampak hal
itu pada zaman sekarang.
3. Untuk mengetahui eksistensi teori penerjemahan Arab di antara teori-teori
penerjemahan asing yang berkembang.
D. Metodologi penelitian.
Dalam melaksanakan penelitian ini, penulis menggunakan metodologi penelitian
pustaka (library research), di mana langkah-langkahnya sebagai berikut :
1. mengumpulkan dan mengkaji secara mendalam buku-buku yang membahas tentang
sejarah penerjemahan Arab, serta buku-buku yang menjelaskan tentang teori-teori
8
penerjemahan, baik teori penerjemahan Arab, maupun teori penerjemahan asing. Begitu
pula buku-buku yang berisi tentang urgensi penerjemahan serta kontribusinya dalam
mendorong terciptanya kemajuan dan kejayaan Islam pada masa Abbasiyah hingga
sekarang.
2. Menyeleksi data-data tentang perkembangan teori penerjemahan secara umum dari
buku-buku tersebut, kemudian dilakukan analisis data hingga dapat melahirkan suatu
hipotesa tentang permasalahan yang dijumpai dalam perkembangan teori penerjemahan
Arab.
3. Sebagai langkah akhir, penulis mencoba untuk memberikan kritik dan saran dalam
upaya meningkatkan perkembangan teori penerjemahan Arab.
E. Sistematika pembahasan.
Mengenai sistematika pembahasan, maka penelitian mengandung 5 bab dan beberapa
sub-bab :
Bab I : berisi pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, perumusan dan
pembatasan masalah, tujuan penelitian, metodologi penelitian dan sistematika pembahasan.
Bab II : berupa kajian historis penerjemahan Arab yang diawali oleh cikal-bakal
pertumbuhan aktivitas penerjemahan Arab, masa-masa penting perkembangan aktivitas
penerjemahan Arab, gerakan penerjemahan pada abad ke-1 dan ke-2 H, gerakan penerjemahan
pada abad ke-3 dan ke- 4 H, gerakan penerjemahan di Spanyol dan Mesir, para tokoh yang
9
paling berjasa dalam mengembangkan aktivitas penerjemahan di dunia Arab, serta teori-
teori yang mereka ciptakan.
Bab III : Menjelaskan tentang ruang lingkup penerjemahan, antara lain : definisi
terjemah, tujuan dan motif penerjemah, prinsip-prinsip dasar penerjemahan, perbedaan antara
terjemah-tafsir dan ta’rib, klasifikasi teori-teori penerjemahan, dan Macam ragam
penerjemahan
Bab IV : Menganalisa perkembangan teori penerjemahan Arab yang meliputi : urgensi
penerjemahan di dunia Islam, terjemah di antara teori dan prakteknya, eksistensi teori
penerjemahan Arab diantara teori-teori penerjemahan asing, serta Penerjemahan Arab,
sekarang dan yang akan datang.
Bab V : Merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran.
10
BAB II
KAJIAN HISTORIS PENERJEMAHAN ARAB
1. Cikal-bakal pertumbuhan aktivitas penerjemahan Arab.
Sebagaimana telah disinggung pada bab terdahulu, bahwa pada dasarnya aktivitas
penerjemahan Arab sudah dimulai sejak Rasulullah masih hidup, hanya saja keadaannya masih
bersifat individual dan tidak segencar apa yang terjadi di masa Abbasiyyah, dimana khalifah al-
Ma’mun memiliki perhatian yang cukup besar dalam bidang ini dengan mendirikan pusat
penerjemahan yang disebut dengan Dar el-Hikmah.
Munculnya aktivitas penerjemahan pada abad ke-1 Hijriyah ditandai oleh adanya
kegiatan pemindahan (transfering) ilmu pengetahuan dan kebudayaan bangsa lain kedalam
dunia Islam yang dipelopori oleh dua tokoh dibawah ini :
1.Al-harits bin Kaldah.
Ia adalah seorang dokter yang hidup sezaman dengan Nabi dan wafat pada tahun
33 H. Menurut Schact dan Boutrous, beliau adalah pelopor pertama dalam bidang ini. Ia
menjalani studinya di Jandisabur, sebuah daerah dekat kota Sausah, yang mana daerah
ini memiliki sebuah lembaga pendidikan termasyhur yang telah banyak sekali
menghasilkan ahli-ahli terjemah yang ulung. Adapun Rasulullah sendiri memang
11
mengakui kehebatan beliau dalam menyembuhkan berbagai-macam penyakit.1
2. Khalid bin Yazid bin Mu’awiyah (wafat tahun : 85 H / 704 M).
Menurut Schact dan Boutrous, cucu dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan ini adalah
salah satu khalifah Bani Umayyah yang pertama kali menaruh perhatian yang besar
dalam bidang ilmu pengetahuan, khususnya dalam ilmu kimia. Pendapat ini dibenarkan
oleh Umar Farukh yang menurutnya ketika beliau merasa putus asa dalam memegang
tampuk kepemimpinannya, maka kemudian ia memalingkan perhatiannya pada bidang
ilmiah. Lalu beliau mulai mempelajari ilmu kimia pada seorang pendeta yang bernama
Maryanus dan memerintahkan untuk menerjemahkan buku-buku kimia kedalam bahasa
Arab.2
Namun ada sebagian ulama yang mengingkari peran Khalid bin Yazid bin
Mu’awiyah sebagai seorang pelopor penerjemahan di kalangan bangsa Arab pada abad
permulaan Hijriyah. Diantaranya adalah Ibnu Khaldun dalam kitabnya Al-muqaddimah.
Beliau mengatakan bahwasanya memang ada yang menisbatkan sebagian mazhab adan
pendapat kepada Khalid bin Yazid bin Mu’awiyah, pengasuh marwan bin Hakam.
Sedangkan kenyataannya, beliau merupakan salah satu generasi Arab yang sifat
baduwinya masih sangat kental. Secara umum, beliau belum mengenal keilmuan. Maka,
1 Schact dan Boutrous. Turats al-Islam. Terjemah oleh Husein Mu’nis dan Ihsan Shadiqi al-‘Amd. (Kuwait: ‘Alam al-Ma’rifah. 1978), jilid III., h. 85.
2 Ibid., h. 113.
12
bagaimana mungkin beliau bisa menciptakan suatu hal yang asing yang bersandar pada
pengetahuan tentang tabiat molekul dan percampurannya. Apalagi pada saat itu kitab-
kitab para tokoh kimia dan kedokteran belum begitu banyak dan belum diterjemahkan.
Kecuali, jika yang dimaksud adalah Khalid bin Yazid lainnya dari tokoh kimia yang
memiliki kesamaan nama.3
Meskipun ada perbedaan pendapat tentang keberadaan Khalid bin Yazid bin
Mu’awiyah ini, namun sebagian besar ulama melegitimasi keberadaan beliau sebagai
salah seorang tokoh penerjemahan di abad permulaan Islam. Seperti al-Suyuthi dan
Ibnu Nadim yang mensinyalir bahwa beliau seperti seorang hakim dalam keluarga
Marwan bin Hakam yang memiliki pribadi yang istimewa, mempunyai semangat yang
tinggi dan cinta kepada ilmu pengetahuan.4
Dari uraian tadi dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya hubungan ilmiyah bangsa
Arab dengan bangsa lain telah lama dimulai sebelum abad ke-1 Hijriyah. Kemudian
hubungan tersebut semakin erat lagi dengan kemunculan kedua tokoh tadi yang
mempelopori pemindahan ilmu pengetahuan dan kebudayaan bangsa lain kedalam bahasa
Arab dengan melalui aktivitas penerjemahan. Sedangkan ilmu pengetahuan yang
digeluti oleh orang-orang Arab terdahulu berkisar seputar bidang kimia dan kedokteran.5 Lalu
mulai saat itu berkembang kepada bidang-bidang lain seperti : filsafat, matematika, astronomi
dan sebagainya.
3 Ibnu Khaldun. Al-muqaddimah.,( tt)., h. 505. 4 Ibnu Nadim. Al-fihrasat.(tt), h. 242. 5 Mahir Abdul Qadir Muhammad. Op.cit.,h. 22.
13
Akan tetapi ada beberapa kelemahan yang dijumpai dari para penerjemah pada masa-
masa awal perkembangannya, antara lain :
1. Bahwa sebagian besar mereka yang menerjemahkan buku-buku filsafat dan
ilmu kalam masih belum cukup memadai kemampuannya dalam bidang ini,
karena kebanyakan mereka terdiri dari para dokter.
2. Karena itu pula, mereka merasa kesulitan dalam memahami inti
permasalahan dalam filsafat, ilmu kalam, dan ketuhanan secara lebih
spesifik. Maka sering dijumpai suatu pendapat yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan keasliannya, karena pendapat tersebut mereka
sandarkan kepada pendapat yang lain. Fakta seperti ini bersumber kepada
suatu fenomena dalam penerjemahan Arab dimana terkadang apa yang
diterjemahkan itu masih asing bagi orang Arab itu sendiri.
3. Sebagian besar penerjemah pada masa ini tidak menguasai seluk-beluk
bahasa Arab secara sempurna, karena itu mereka tidak mampu
menerjemahkan naskah asing kedalam bahasa Arab secara lebih detail dan
terperinci.6
6 Ibid.., h. 31-32.
14
3. Masa-masa penting dalam perkembangan penerjemahan Arab.
A.Terjemah di masa Bani Umayyah.
Pada dasarnya, masa ini merupakan masa permulaan sejarah peradaban Islam. Sebagai
masa pertama, tentunya masih banyak kekurangan maupun kelemahannya, karena itu, ia tidak
bisa dibandingkan dengan masa-masa sesudahnya. Meskipun demikian, sesungguhnya secara
umum, di masa inilah terjadi peletakan batu pertama gerakan penerjemahan dan sebagai tolok
ukur pertama penerjemahan dalam dunia Islam, baik di belahan bumi bagian timur, maupun di
bagian barat. Joseph Hasyim menyebutkan bahwasanya penerjemahan pada masa ini terbatas
pada sebagian ilmu-ilmu alam seperti kimia dan kedokteran, dan belum sampai kepada ilmu-
ilmu logika seperti filsafat dan ilmu jiwa. Hal itu didasari oleh adanya kebutuhan manusia yang
baru berkisar seputar ilmu-ilmu tersebut. Misalnya : manusia membutuhkan ilmu kedokteran
karena ia ditimpa berbagai-macam penyakit.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa dalam aktivitas penerjemahan pada saat itu, manusia
mendahulukan kebutuhan yang lebih penting dari kebutuhan-kebutuhan yang lain. Contohnya :
penerjemahan ilmu kedokteran lebih penting dari penerjemahan ilmu logika.
B. Terjemah pada masa Khalifah al-Manshur dan al-Rasyid.
Penerjemahan pada masa ini berbeda dengan masa sebelumnya, karena terjadinya
berbagai-macam perkembangan, baik dari segi materi yang diterjemahkan, jumlah penerjemah
dan latar-belakang budaya mereka, kumpulan-kumpulan hasil terjemahan, dan ditambah lagi
dengan adanya tuntutan materi atau immateri dari mereka maupun orang-orang
15
yang berkepentingan dengan mereka, dan lain sebagainya. Penerjemahan pada masa Bani
Umayyah memang amat menonjolkan fenomena-fenomena tadi. Dan pada kenyataannya
penerjemahan pada masa ini –sebagaimana ia berbeda dari penerjemahan masa sebelumnya-
pun memiliki perbedaan dalam hal perkemabangannya antara satu masa dengan masa lainnya.
Sebagai contoh, penerjemahan pada masa al-Manshur berbeda perkembangannya dengan
penerjemahan pada masa Harun al-Rasyid. Pada masa al-Rasyid penerjemahan berkembang
pesat melampaui perkembangan penerjemahan masa al-Manshur, begitu pula dengan bidang-
bidang lainnya. Dan tentang penerjemahan pada masa al-Rasyid O’lery mengatakan
bahwasanya para penerjemah di masa ini senantiasa bekerja keras dalam bidangnya, yang mana
sebagian besar mereka terdiri dari orang-orang Nasrani, Yahudi dan orang-orang yang baru
masuk Islam.7
C. Terjemah pada masa Khalifah al-Ma’mun.
Masa ini merupakan masa terakhir kejayaan penerjemahan dalam Islam, bahkan dapat
dikatakan bahwa keutamaannya tidak dapat dicapai dalam kurun waktu empat abad lamanya.
Khalifah al-Ma’mun benar-benar telah mengungguli para khalifah bani Abbasiyah yang lain
dalam perhatian dan kepemimpinannya dalam bidang ini. Suatu predikat yang pantas
disandarkan padanya karena kepiawannya dalam memimpin gerakan penerjemahan hingga
mencapai tingkat kesempurnaan. Banyak penerjemah ulung yang muncul pada masa ini seperti
: Hunain bin Ishak al-Abbady, Yohana bin Masawaih, Ya’qub bin Ishaq al-Kindy dan ‘Amr bin
al-Farkhan al-Thabary. Begitu pula halnya dengan hasil-hasil terjemahan mereka. Hasil-hasil
7 Lady Lessey O’lery. Al-fikru al-‘Araby wa Makanuhu fi al-Tarikh..,( tt),h. 120.
16
tersebut terkenal sebagai hasi-hasil penerjemahan yang tiada dapat menandinginya dari hasil-
hasil penerjemahan masa sebelumnya. Banyak sekali para penerjemah yang berdatangan ke
Baghdad yang menjadi pusat penerjemahan pada masa itu, diantaranya dari Irak, Syam, dan
Persia. Diantara mereka ada yang beragama Nasrani, Majusi, Hindu dan Zoroaster.
.Mereka menerjemahkan naskah-naskah Yunani, Persia , India dan lain sebagainya. Mereka
senantiasa berdiskusi dan bertukar-fikiran satu sama lain, sehingga hari-hari mereka penuh
dengan berbagai penelitian dan pengkajian. Kejayaan penerjemahan pada masa ini terus
berlangsung sampai terjadinya proses penerjemahan kitab-kitab kuno ke dalam bahasa Arab.8
D. Terjemah pada masa setelah Khalifah al-Ma’mun.
Masa terjemah keempat ini memiliki perbedaan dari aspek kandungan dan macamnya
karena perbedaan dalam perhatian yang diberikan oleh orang-orang yang terlibat dalam
penerjemahan ini. Sesungguhnya, bobot gerakan penerjemahan pada masa ini terasa semakin
melemah, yaitu pada masa Khalifah al-Mu’tashim dan al-Watsiq. Hal itu berlanjut hingga masa
Khalifah al-Mutawakkil, seakan-akan aktivitas penerjemahan pada masa itu berjalan mundur
dan kembali seperti gerakan penerjemahan pada masa Khalifah al-Ma’mun. Kemunduran itu
semakin berlanjut hingga permulaan abad ke-4 Hijriyah. Adapun tokoh-tokoh penerjemah pada
masa ini antara lain : Tsabit bin Qurrah, Sinan bin Tsabit bin Qurrah, Mata bin Yunus, Yahya
bin ‘Addy, Qistha bin Luqa al-Ba’labaky dan Ibnu Zur’ah.
Pada masa inipun terjadi penerjemahan barbagai-macam naskah seperti yang terjadi
pada masa sebelumnya. Adapun mengenai bukti-bukti nyata kemunduran masa ini, al-ustadz
8 Jurji Zaidan. Tarikh al-Tamaddun al-Islamy. (Mesir. 1958), jilid III, h. 161.
17
Abdul Hamid al-‘Alujy pernah mengatakan bahwa sesungguhnya masa ini berjalan mundur
setelah terjadi pergulatan atau perseteruan yang panjang tentang sebuah nama dalam bidang
kedokteran Arab, yang sebenarnya dasar pendapat itu merupakan dasar yang kuat yang diambil
dari kumpulan pendapat-pendapat ilmiah para dokter Arab dalam bidang kedokteran.
Pendapat-pendapat itu diadopsi dari pemikiran kedokteran klasik, khususnya kedokteran
Yunani, serta dipoles dengan seni kedokteran India dan Persia.9
4. Gerakan penerjemahan pada abad ke-1 Hijriyah.
Penerjemahan pada abad ke-1 Hijriyah memiliki ciri tersendiri dalam sejarah
penerjemahan pada umumnya – meskipun ruang lingkupnya masih amat terbatas. Proses
transformasi ilmu-ilmu orang asing ke dalam bahasa Arab pada masa ini merupakan proses
transformasi pertama dalam sejarah Islam. Jadi, dapat dikatakan bahwa penerjemahan pada
masa ini merupakan pembuka lembaran awal sejarah penerjemahan di dunia Arab.
Imam al-Suyuti pernah mengatakan bahwa sesungguhnya ilmu-ilmu yang pertama kali
muncul itu masuk ke dalam kehidupan umat Islam pada abad ke –1 Hijriyah ketika kaum
muslimin mulai dapat menguasai beberapa wilayah, akan tetapi jumlahnnya masih amat minim
serta belum dapat tersebar luas di antara mereka. Hal itu disebabkan oleh karena golongan
ulama salaf melarang mereka untuk memperdalam bidang penerjemahan ini. 10 Pertumbuhan
ilmu pengetahuan Arab dapat disaksikan pada masa ini, di mana sebagian besar bersumber dari
bidang penerjemahan. Pada awal kebangkitan ini, bangsa Arab mulai memperhatikan ilmu
9 Abdul Hamid al-‘Alujy. Tarikh al-Thibb al-‘Iraqy.,( tt), h. 19. 10 Al-imam al-Suyuti. Shaunu al-Manthiq wa al-Kalam ‘an Fanni al-Manthiq wa al-Kalam. (tt), h. 12.
18
Kimia, di mana sebelumnya mereka menggeluti bidang ilmu kedokteran. Dari sinilah, kelak
mereka akan mempunyai jasa yang amat besar bagi perkembangan kedua ilmu ini .
Adapun di antara tokoh yang paling terkenal dalam bidang penerjemahan pada masa ini
adalah al-Amir Khalid bin Yazid. Beliau bernama lengkap Abu Hasyim Khalid bin Yazid bin
Muawiyah bin Abi Sufyan al-Umawy. Dia berketurunan suku Quraisy, dan yang paling faham
tentang ilmu pengetahuan. Dialah yang memberikan perhatian yang mendalam pada buku-buku
Kimia orang-orang terdahulu, dan dia terkenal sebagai seorang orator dan penyair yang fasih
serta memiliki ide-ide cemerlang. Dan dialah orang yang pertama kali menerjemahkan buku-
buku Kedokteran, Astronomi dan Kimia ke dalam bahasa Arab, sebagaimana dia pula orang
Arab pertama yang membahas ilmu Logika.
Di antara naskah-naskah yang berhasil diterjemahkan pada masa ini adalah Kanasy fi
al-Thib karangan Ahran al-Qis, yang diterjemahkan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz (99-
101 H). Dalam hal ini, Khalifah didampingi oleh seorang dokter yang bernama Masarjawaih.
Menurut Ibnu al-Nadim, ia adalah seorang dokter di Bashrah, berkebangsaan Israil, dan
menguasai ilmu Kedokteran. Dialah yang memimpin Khalifah Umar bin Abdul Aziz dalam
menerjemahkan buku tersebut, dan memili peran yang besar dalam penerjemahan tersebut.11
Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Khalifah Khalid bin Yazid dan
Khalifah Umar bin Abdul Aziz adalah dua tokoh Bani Umayyah yang memiliki perhatian yang
amat besar dalam bidang penerjemahan di masa ini. Bahkan Ahmad Amin menganggap bahwa
peran kedua tokoh ini tidak bisa disamakan dengan tokoh-tokoh lain (khususnya mereka yang
11 Ibnu Nadim. Al-fahrasat.( tt), h. 142-143.
19
mempelopori gerakan filsafat), meskipun itu dari tokoh-tokoh Abbasiyah.12
Akan tetapi pada dasarnya, penerjemahan pada masa Bani Umayyah masih bersifat
individualistis yang eksistensi dan kehancurannya bergantung kepada para tokoh-tokoh
penerjemahan pada masa ini. Berbeda dengan masa Abbasiyah, di mana gerakan penerjemahan
dapat tumbuh subur dan memiliki ruang gerak yang amat luas. Menurut Muhammad Ali Abu
Rayyan, perbedaan ini bersumber kepada kondisi dan situasi perpolitikan yang kurang kondusif
pada masa Bani Umayyah, sehingga menghambat lajunya perkembangan ilmu pengetahuan
pada masa itu.13
Pendapat ini dibantah oleh Rasyid al-Jamily, di mana ia mengatakan bahwa sebenarnya
kondisi perpolitikan pada masa Bani Umayyah tidak jauh berbeda dengan kondisi perpolitikan
yang terjadi pada masa Bani Abbasiyah. Apalagi pada masa Abbasiyah, bukan hanya masalah
politik saja yang meresahkan kehidupan umat Islam. masih banyak lagi permasalahan yang
timbul pada masa itu, seperti masalah-masalah sosial dan keagamaan. Akan tetapi, gerakan
penerjemahan masih bisa berjalan dengan baik, bahkan mencapai puncak kejayaannya.
Menurutnya, Peran para Khalifahlah yang amat menentukan kemajuan dan kemunduran
gerakan penerjemahan. Bila dibandingkan, para Khalifah pada masa Bani Umayyah yang
memiliki perhatian pada bidang ilmu pengetahuan, khususnya penerjemahan, jauh lebih sedikit
jumlahnya dengan para Khalifah pada masa Abbasiyah. Pada masa Bani Umayyah hanya dua
orang Khalifah yang diketahui memiliki perhatian penuh terhadap ilmu, yaitu Khalifah Khalid
bin Yazid dan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Sedangkan pada masa Abbasiyah, hampir
12 Ahmad Amin. Fajru al-Islam.( tt), h. 164-165. 13 Muhammad Ali Abu Rayyan. Tarikh al-Fikr al-Falsafy fi al-Islam. (Beirut. 1970), jilid 1, h. 54.
20
sebagian besar pemimpinnya menaruh perhatian yang mendalam bagi perkembangan ilmu
pengetahuan. Sebut saja seperti Khalifah al-Manshur, Harun al-Rasyid, al-Ma’mun, al-
Mutawakkil dan lain-lain.14
5. Gerakan penerjemahan pada abad ke-2 Hijriyah.
Sudah tidak diragukan lagi, bahwa penerjemahan pada abad kedua Hijriyah ini lebih
utama dari abad kesatu Hijriyah. Hal itu disebabkan oleh bahwasanya perhatian yang cukup
besar dari sebagian besar Khalifah Abbasiyah telah memberikan tempat yang layak bagi
perkembangan aktivitas penerjemahan . Di samping itu, kondisi masyarakat pada masa itu amat
mendukung keberadaan penerjemahan ini, sehingga dapat terciptalah suatu iklim yang kondusif
bagi perkembangan ilmu pengetahuan lewat bidang penerjemahan ini.
Berikut ini, penulis akan menjelaskan perkembangan penerjemahan berdasarkan
kepemimpinan para Khalifah Bani Abbasiyah, sebagai tambahan penjelasan terdahulu.
1. Gerakan penerjemahan pada masa Khalifah al-Manshur.
Abu al-Hasan Ali bin al-Husain bin Ali menyebutkan bahwa Khalifah al-
Manshur adalah Khalifah pertama yang bergaul rapat dengan para ahli Nujum, dan
mempraktekkan ilmu tersebut. Di antara ahli Nujum yang dekat dengan beliau adalah
Nubkhat al-Majusi yang masuk agama Islam berkat pertolongannya, begitu pula
Ibrahim al-Fazary yang memiliki syair Kasidah Nujum dan Ali bin Isa al-Istharlabi.15
14 Rasyid al-Jamily. Harakatu al-Tarjamah fi al-Masyriq al-Islamy fi al-Qarnaini al-Tsalits wa al-Rabi’
li al-Hijrah.(Irak: Dar al-Syuun al Tsaqafiyyah al-‘Ammah, tt), h. 76. 15 Abu al-Hasan Ali bin al-Husain bin Ali. Muruju al-Zahab wa Ma’adinu al-Jauhar. (Kairo. 1958), jilid
4, h. 241-242.
21
Di antara naskah-naskah yang berhasil diterjemahkan ke dalam bahasa Arab
pada masa ini adalah : kitab Kalilah wa Dimnah16, dan Sandahind17. Begitu pula karya-
karya Aristoteles, Bartolemeus, Ekledes, buku-buku Aritmatika dan buku-buku lain
yang berbahasa asing yang berisi ilmu pengetahuan tentang Nujum, Matematika,
kedokteran dan Filsafat.
Khalifah al-Manshur memang dikenal sebagai seorang Khalifah yang menaruh
minat yang besar dalam ilmu Nujum, Arsitektur dan kedokteran. Karena itu pula, buku-
buku asing yang banyak diterjemahkan pada masanya adalah buku-buku yang berisi
ilmu-ilmu tersebut.18 Begitu pula dengan buku-buku ilmu Logika. T. Jones De Boer
pernah mengatakan bahwa Kitab-kitab ilmu Manthiq (logika) juga diterjemahkan
kedalam bahasa Arab pada masa ini. Ibnu al-Muqaffa’ adalah seseorang yang paling
berjasa dalam gerakan penerjemahan buku-buku Logika tersebut. Gerakan ini terus
berjalan pada masa-masa setelahnya. Akan tetapi Ibnu al-Muqaffa’ lebih dikenal
sebagai tokoh dalam bidang Filsafat.19
16 Kitab ini berasal dari India. Pertama kali diterjemahkan kedalam bahasa Persia oleh Anusyirwan bin Qabbaz bin Fairuz. Kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Arab oleh Abdullah Ibnu al-Muqaffa’ al-Khathib.Kitab ini berisi tuntunan dalam upaya mendidik jiwa dan membersihkan hati. Karena itu, kitab ini sangat besar manfaatnya serta memiliki tujuan yang mulia. (Lihat Thabaqat al-Umam, karangan Sha’id al-Andalusy, h. 17).
17 Sandahind adalah salah satu golongan mazhab di kalangan bangsa India yang mempelajari ilmu Nujum. (lihat Tarikh al-Ya’quby, karangan Ahmad bin Abi Ya’qub. 1358 H. Jilid I, h. 65-66, dan Tarikh al-Falak ‘inda al-“Arab, karangan Imam Ahmad. Kairo: 1960., h. 23). Ilmu ini dipelajari pula oleh beberapa ulama Islam, seperti : Muhammad bin Ibrahim al-Fazary, Habsy bin Abdullah al-Baghdady, Muhammad bin Musa al-Khawarizmy, dan al-Husein bin Muhammad dan lain-lain. (lihat Tarikh al-Hukamaa, karangan al-Qifthy, h. 266 dan 270).
18 Jurjy Zaidan. Tarikh al-Tamaddun al-Islamy.( tt), jilid III, h. 157 dan 210. Lihat pula Muhammad Ali Abu Rayyan. Op.cit., jilid I, h. 87-88.
19 T. Jones De Boer. The History of Philosophy in Islam. (London ; 1933), h. 17.
22
Khalifah al-Manshur sangat dihormati dan cintai oleh para ulama di masanya,
karena kecerdasannya. Ia pun dekat dengan para sastrawan, karena ia adalah seorang
sastrawan yang menggeluti berbagai-macam bidang ilmu dan seorang Khalifah Bani
Abbas yang pertama kali menaruh perhatian terhadap ilmu pengetahuan. Ia lah yang
mengumpulkan para ahli Astronomi dan Arsitektur dan lain-lain dalam istananya. Sejak
saat itu, mulailah aktivitas penerjemahan buku-buku ilmiah dari bahasa-bahasa Yunani,
Suryani dan Persia kedalam bahasa Arab. Bahkan tidak hanya itu, Khalifah al-Manshur
juga memberlakukan penerjemahan buku-buku yng berisi adat-istiadat orang Nasrani
dan Persia. 20
Adapun para penerjemah yang terkenal pada masa ini adalah : Abdullah bin al-
Muqaffa’ yang menerjemahkan buku-buku Aristoteles dalam ilmu Logika kedalam
bahasa Arab, yaitu : Kotogorias, Bariarmenias dan Analotika, serta Abu Yahya al-
Bathriq yang menerjemahkan buku-buku kedokteran yang dikarang oleh Jalianus dan
Abqarat, dan anaknya yang bernama Yahya yang menerjemahkan buku Aristoteles
yang berjudul al-Siyasah fi Tadbiri al-Riyasah.21 Ada pula penerjemah lain yang juga
termasyhur pada masa ini , seperti : Georges bin Jibrail bin Bakhtisyu’ yang
menerjemahkan buku-buku kedokteran, dan al-Hajjaj bin Yusuf bin Mathar yang
menerjemahkan buku Arsitektur karya Ekledes.
20 George E. Kirk. A Short History of the Middle East from the Rise of Islam to Modern Times. (London.
1959), h. 30. 21 Ibnu Abi Ushaiba’ah. ‘Uyunu al-Anbaa.( tt), jilid II, h. 174.
23
Sebagai kesimpulan dari uraian di atas, bahwasanya Khalifah al-Manshur adalah
Khalifah Bani Abbas yang pertama kali berjasa dalam bidang penerjemahan. Di
masanya, banyak diterjemahkan buku-buku ilmiah bahasa Yunani, Suryani, Persia dan
India kedalam bahasa Arab. Akan tetapi amat disayangkan, bahwa aktivitas
penerjemahan ini tidak bisa Berlanjut dengan baik pada masa-masa sesudahnya, yaitu
pada masa Khalifah al-Mahdi ( 158-169 H / 774-758 M) dan Khalifah al-Hadi ( 169-
170 H / 785-786 M). Dan barulah pada masa Khalifah Harun al-Rasyid, aktivitas ini
dapat berjalan lagi dan mencapai kesuksesan yang lebih baik.
2. Gerakan penerjemahan pada masa Khalifah Harun al-Rasyid (170-193 H / 786-808 M).
Nama lengkap khalifah ini adalah Harun bin Muhammad bin Abdullah bin
Muhammad bin Ali bin Abdullah bin al-‘Abbas. Dilahirkan pada tahun 145 Hijriyah di
zaman Khalifah al-Manshur, dan wafat pada tahun 193 H.22
Beliau adalah seorang pakar dalam bidang keilmuan yang menggeluti bidang
sastra dan dekat dengan para ulama.23Selain itu, beliau merupakan Khalifah Bani Abbas
yang amat tersohor, sehingga namanya pun dikenal luas oleh bangsa-bangsa lain dan
sering disebut dalam literatur-literatur mereka.24 Sesungguhnya, nama beliau menjadi
teladan bagi kejayaan Khilafah di dunia timur, dan sebagai penopang utama bagi
22 Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabary. Tarikh al-Umam wa al-Muluk. (Kairo. 1939), jilid VI, h.
441. 23 Umar bin al-Hasan bin Ali bin Dahyah al-Kilaby. Al-Nibras fi Tarikh Khulafa Bani al-‘Abbas.
(Baghdad. 1946), h. 36. 24 Ahmad Mukhtar al-‘Abbady. Fi al-Tarikh al-‘Abbasy wa al-Fathimy.( Beirut. 1971), h. 80.
24
sastra Arab. Ia amat dikenal di Eropa setelah diterjemahkannya buku Alfu
Lailah wa Lailah Ke dalam bahasa-bahasa Eropa.25
Khalifah ini sepanjang hidupnya senantiasa berminat penuh terhadap segala
sesuatu yang berbau Persia. Dan dibawah kepemimpinannya terjadi peristiwa gerakan
adopsi kebudayaan Helenisme.26Di samping itu, Khalifah al-Rasyid pun gemar
mengembara untuk mencari ilmu. Al-Suyuthi mengatakan bahwa Khalifah ini pernah
mengembara bersama kedua putranya yang bernama al-Amin dan al-Ma’mun dalam
rangka untuk menemui al-Imam Malik guna mempelajari kitabnya yang berjudul al-
Muwaththa’ .27Dengan demikian, Khalifah Harun al-Rasyid merupakan seorang
Khalifah yang paling banyak jasanya dalam mengembangkan ilmu pengetahuan bangsa
Arab, khususnya dalam penerjemahan naskah-naskah Yunani kedalam bahasa Arab.
Padahal hal itu amat sulit untuk dilakukan. Pertama : para penerjemah Arab harus dapat
menyingkap segala rahasia bangsa Yunani dalam bidang ilmu pengetahuan yang ditulis
dengan bahasa Yunani yang amat rumit. Kedua : menerjemahkan semua itu kedalam
bahasa Arab. Dan ketiga : mereka harus mampu berkreativitas dalam ilmu tersebut
dengan membuat inovasi-inovasi terbaru dalam rangka pengembangan ilmu yang telah
mereka miliki.28
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa Khilafah Abbasiyah dibawah
pimpinan beliau merupakan rujukan utama para cendekiawan dan pakar peneliti
25 F.F. Arbuthnot. Arabic Authors : A Manual of Arabian History and Literature. (London. 1890), h. 95-
96. 26 Suatu kebudayaan yang didalamnya berisi banyak kebudayaan yang berbeda-beda, seperti : Yunani,
Mesir, Syiria dan Persia. (lihat Min Hadharatina, karangan George ‘Athiyyah.( Beirut. 1959), h. 31-32). 27 Al-Suyuthi. Husnu al-Muhadharah fi Tarikhi Mishr wa al-Qahirah. (Kairo. 1967), jilid II, h. 26. 28 William Cecil Dampier. A Shorter History of Science. (Cambridge. 1944), h. 37-38.
25
ilmiah dalam membahas ilmu pengetahuan. Dan segala pengorbanannya dalam bidang
ini telah mengharumkan nama dan periode kepemimpinannya sebagai yang termasyhur
di belahan dunia timur dan barat.
Selain jasa Khalifah ini, ada nama lain yang tidak boleh dilupakan dalam masa
ini yang juga berjasa dalam mengembangkan ilmu pengetahuan lewat penerjemahan,
yaitu periode keturunan Yahya bin Khalid al-Barmaky. Mereka dikenal sebagai
peminat dan pengagum ilmu pengetahuan Yunani. Dan mereka disebut sebagai
pemimpin bidang penerjemahan yang sangat terkenal pada masa Khalifah al-Rasyid.29
6. Gerakan penerjemahan pada abad ke-3 Hijriyah.
Perkembangan penerjemahan pada masa ini bertumpu kepada dua orang Khalifah Bani
Abbasiyah, yaitu : al-Ma’mun dan al-Mutawakkil. Karakteristik penerjemahan pada paruh
pertama masa ini umumnya lebih condong kepada penerjemahan kedalam bahasa Suryani.
Sedangkan pada paruh kedua baru bertambah sedikit demi sedikit kepada penerjemahan
kedalam bahasa Arab. Dalam masa ini pula terjadi gerakan pengoreksian hasil-hasil terjemahan
pada masa sebelumnya.
Para penerjemah pada masa ini sebagian besar beragama Nasrani dan berbicara dengan
bahasa Suryani, sedangkan beberapa diantaranya telah menguasai bahasa Yunani dan Persia.30
29 Rasyid al-Jamily. Op.cit., h. 93. 30 Abdul Rahman Badawy. Al-Turats al-Yunani fi al-Hadharah al-Islamiyyah. (Kairo. 1946), h. 57-58.
26
Gerakan penerjemahan pada masa ini semakin meningkat dan kegiatan ilmiah pun
semakin bertambah. Dimasa ini berbagai macam naskah ilmiah diterjemahkan, begitu pula
naskah-naskah tentang Moral, Filsafat, Kejiwaan, Astronomi, Kedokteran dan Logika. Dalam
ilmu Astronomi buku yang diterjemahkan adalah al-Majisthy karangan Bartolemeus. Dalam
ilmu Kedokteran diterjemahkan buku Abqarath karya Jalianus. Dalam ilmu Logika
diterjemahkan buku Aristoteles dan juga bukunya dalam ilmu Metafisika. Begitu pula karya-
karya Plato dalam ilmu Politik.31
Ada beberapa hal penting yang terjadi pada masa ini, ditinjau dari masalah
pengkhususan dalam bahasa yang diterjemahkan. Tentang ini Arbuthnot memberikan
penjelasan sebagai berikut. Bahwasanya pada masa Khalifah al-Ma’mun muncul satu
kelompok baru dari kalangan ulama yang mengkhususkan diri dalam segi bahasa apakah yang
diterjemahkan kedalam bahasa Arab. Apakah bahasa Yunani, Suryani, atau Persia. Contohnya,
ada sekelompuk penerjemah dari bahasa Persia, tokohnya adalah ‘Amr bin al-Farkhan al-
Thabary, Sahl bin Harun dan Khalifah al-Ma’mun sendiri. Dari bahasa Yunani, pelopornya
adalah : Hunain bin Ishak al-‘Abbady dan Ya’qub bin Ishak al-Kindy. Dan dari bahasa
Suryani adalah : Ishak bin Hunain dan Hubaisy bin al-Hasan al-A’sam.32
Masa al-Ma’mun adalah masa awal penerjemahan berkembang dalam ruang yang lebih
luas dengan kedatangan kaum Nasrani kedalam Emporium Romawi Timur dalam rangka
meneliti buku-buku terbaru. Begitu pula dengan umat Islam yang menerjemahkan naskah -
31 Muhammad Ali Abu Rayyan. Op.cit., h. 87-88 dan 92. 32 F.F. Arbuthnot. Op.cit., h. 90-91. Lihat pula Arthur Gilman. The Saracens from the Earliest Times to
the Fall of Baghdad. (London. 1886), h. 388-389.
27
naskah kuno yang sudah sangat sulit untuk dicari. Banyak pula golongan orang kaya yang
meminta para penerjemah untuk menerjemahkan naskah yang mereka inginkan, dengan
memberikan imbalan memuaskan bagi mereka.33
Secara khusus, Khalifah al-Ma’mun memberikan perhatian penuh dalam ilmu
astronomi untuk diterjemahkan. Karena itu, ilmu ini berkembang pesat pada masanya, baik
dalam bidang penerjemahan, maupun dalam aplikasinya. Salah satu sebabnya adalah karena
Khalifah sendiri telah lama menggeluti budaya perbintangan, didorong pula oleh penelitiannya
terhadap naskah-naskah Yunani dalam bidang ini. Maka, penerjemahan ilmu ini mencapai
implementasi yang nyata pada masa ini, dan kajian-kajian tentang ilmu inipun mencapai
jumlah yang banyak.
Selain ilmu Astronomi, Filsafat pun menarik perhatian Khalifah al-Ma’mun. Al-ustadz
al-Fard Jayum pernah mengatakan bahwa ilmu Filsafat tidak mencapai perkembangan yang
baik kecuali pada masa Khalifah Bani Abbas : al-Ma’mun.34 Diantara faktor pendorong al-
Ma’mun untuk menerjemahkan buku-buku Filsafat antara lain :
1. Kaum muslimin telah menyadari bahwa Filsafat tidak bertentangan dengan akidah
mereka, dan mereka mengetahui keunggulan ilmu-ilmu bangsa Yunani.
2. Filsafat adalah suatu ilmu yang membutuhkan waktu luang dan memberikan
ketenangan dalam hidup.
3. Filsafat juga merupakan suatu ilmu yang memberikan kesenangan jiwa.35
33 Joseph Hell. Die Kultur der Uraber. (Leipzig. 1919) , h. 102. 34 Thomas Arnold. Turats al-Islam. (Kairo. 1936), jilid I, h. 248. 35 Muhammad Ali Abu Rayyan. Op.cit., h. 88 dan 91.
28
Sebelum berakhirnya khilafah al-Ma’mun, bangsa Arab telah menjadi bangsa yang
senang mengarungi lautan ilmu, seperti ilmu kedokteran, Filsafat, Matematika dan sejarah,
dimana mereka telah berhasil menerjemahkan buku-buku Abqarath, Jalianus, Bartolemeus,
Ekledes dan Aristoteles.36 Bahkan dapat dibayangkan, bila masa kejayaan penerjemahan itu
terus berlangsung pada masa-masa setelah Khalifah al-Ma’mun, maka naskah terjemahan yang
ditinggalkan oleh masanya adalah naskah-naskah yang hebat dan sempurna.
Akan tetapi, amat disayangkan, karena Khalifah Abbasiyah yang memegang tampuk
kepemimpinan setelah al-Ma’mun kurang dapat meningkatkan perkembangan penerjemahan.
Seperti Khalifah al-Mu’tashim dan al-Watsiq. Aktivitas peerjemahan pada masa kedua
Khalifah ini memang masih berjalan, akan tetapi tidak segiat aktivitas pada masa Khalifah al-
Ma’mun, bahkan mulai melemah dan berkurang jumlahnya.
Meskipun demikian, masa kemunduran itu tidak berjalan lama. Ketika Khalifah al-
Mutawakkil mulai berkuasa, kegiatan penerjemahan kembali merebak gairahnya. Keadaan ini
pun tidak terlepas dari jasa Hunain bin Ishak al-‘Abbady yang mempelopori semangat
penerjemahan. Karena itu, Khalifah al-Mutawakkil dianggap telah memberikan peran positif
dalam menggerakkan kembali kegiatan penerjemahan, serta memberikan nafas baru untuk
kedua kalinya bagi perkembangan kegiatan penerjemahan ini. Dalam hal ini, Max Mayerhof
menjelaskan bahwa sekitar tahun 241 H / 856 M, Khalifah al-Mutawakkil memperbarui
sekolah terjemah dan perpustakaan di kota Baghdad, dimana beliau mempercayakan Hunain
bin Ishak untuk menjalankannya. Para Khalifah dan individu-individu yang lain mengizinkan
36 W. Cooke Taylor. The History of Mohammedanism. (London. 1851), h. 268-269.
29
dan memberikan bantuan kepada para pakar Nasrani yang sedang meneliti naskah-naskah yang
akan diterjemahkan di kota Baghdad. Hal ini pun tidak jauh berbeda dengan Hunain bin Ishak
yang mengembara di kota Baghdad, Suriah, Palestina dan Mesir ketika ia tidak menemukan
naskah yang ia cari di kota Damaskus.37
Sesungguhnya, penerjemahan pada masa Khalifah al-Mutawakkil telah mampu
mencakup sebagian besar peradaban bangsa asing. Di samping itu, faktor materi telah berperan
penting dalam meningkatkan kuantitas penerjemahan, dimana al-Mutawakkil dan Khalifah
lainnya serta para mentri, telah berani mengorbankan harta yang amat banyak untuk diberikan
kepada para penerjemah. Sehingga hal itu dapat menambah semangat para penerjemah untuk
giat menghasilkan terjemahan yang berguna bagi masyarakat pada masa itu.
7. Gerakan penerjemahan pada abad ke-4 Hijriyah.
Sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya, bahwa abad ke-3 Hijriyah
merupakan suatu masa dalam Khilafah Bani Abbas yang sarat dengan kegiatan penerjemahan,
sehingga jumlah kegiatan tersebut tak terhitung jumlahnya. Kegiatan itu pun pada dasarnya
telah menjadi pendorong tumbuhnya gerakan budaya masyarakat dalam bidang penyusunan
sebuah karya tulis/buku ilmiah. Akan tetapi, kegiatan itu pun masih kalah jumlah bilangannya
bila dibandingkan dengan aktivitas penerjemahan.
Adapun kondisi yang terjadi pada abad ke-4 Hijriyah ini merupakan kondisi sebaliknya
yang terjadi pada abad ke-3 Hijriyah, dimana aktivitas penyusunan karya ilmiah lebih banyak
37 Thomas Arnold. The Legacy of Islam. (Oxford. I931), h. 318.
30
jumlahnya dibandingkan dengan jumlah aktivitas penerjemahan, karena kegiatan tersebut
merupakan dampak langsung dari adanya proses penerjemahan tersebut. Muhammad Jamal al-
Din berbicara tentang hal ini dalam bukunya sebagai berikut : “Para ulama Baghdad dan kota-
kota Islam lainnya telah menyibukkan dirinya di abad ke-2 dan ke-3 Hijriyah dengan aktivitas
penerjemahan ilmu-ilmu asing kedalam bahasa Arab. Akan tetapi pada abad ke-4 Hijriyah
mereka mulai berpaling kepada kegiatan yang lebih bersifat individualistis, dimana mereka
lebih memperhatikan ilmu-ilmu keagamaan dari pada ilmu-ilmu seperti : Matematika dan
Filsafat. Hal itu disebabkan oleh adanya factor agama yang sangat berpengaruh dalam
membentuk jiwa dan kepribadian mereka untuk selalu menyibukkan diri dalam semua hal yang
bersifat agamis, dan mendorong minat mereka untuk mempelajari ilmu bahasa, karena ilmu
tersebut merupakan jalan dalam memahami ajaran agama.38
Pada abad ke-4 Hijriyah ini, aktivitas penerjemahan telah mencapai taraf
kesempurnaan. Dan mulailah kegiatan penyusunan karya ilmiah menjadi aktivitas baru bagi
bangsa Arab. Contohnya, ada beberapa buah buku ilmiah yang dikarang oleh mereka, seperti
Muhammad bin Abi Bakr al-Razy, al-Faraby dan Ibnu Sina.Topik filsafat pada masa ini pun
lebih umum dan luas dari masa-masa sebelumnya, karena ia mencakup ilmu Logika, ilmu
Alam, Kimia, Ketuhanan, Matematika, ilmu Jiwa, Sosiologi dan lain sebagainya. Akan tetapi
dengan berlalunya waktu, terjadi pula pemisahan ilmu-ilmu tersebut dari ruang lingkup ilmu
Filsafat, dan menjadi ilmu yang berdiri sendiri, seperti ilmu Logika, Jiwa dan Sosiologi.
Maka secara umum dapat disimpulkan, bahwa bila pada abad ke-2 dan ke-3 Hijriyah
38 Muhammad Jamal al-Din Surur. Tarikh al-Hadharah al-Islamiyyah fi al-Syarq. (tt), h. 203.
31
kaum Muslimin lebih menaruh perhatian pada aktivitas penerjemahan, dengan memindah ilmu-
ilmu asing kedalam bahasa Arab serta mempelajari dan menguasainya, maka pada abad ke-4
Hijriyah ini lebih memfokuskan diri dalam belajar secara otodidak. Mereka tidak lagi
beraktivitas dalam suatu kumpulan orang yang menghasilkan suatu karya terjemahan, akan
tetapi berpindah kepada suatu kegiatan yang lebih bersifat individualistis, demi kepentingan
masing-masing. Hasil terjemahan yang mereka kerjakan pun lebih dipengaruhi oleh
kebudayaan-kebudayaan lain yang bersifat filosofis dan ilmiah, bukan lagi dipengaruhi oleh
kebudayaan Yunani, Persia dan India.39
Meskipun gerakan penerjemahan pada masa ini telah berunah ruang lingkupnya, dari
penerjemahan ilmu-ilmu yang bersifat ‘Aqly (rasio sebagai dalil) kepada ilmu-ilmu yang
bersifat Naqly (menggunakan dalil agama) , akan tetapi diantara para pakar peneliti modern
masih ada yang berpendapat bahwa kegiatan penerjemahan pada masa ini lebih terfokus pada
penerjemahan ilmu Filsafat. Diantara mereka adalah : De Boer yang mengatakan bahwa proses
penerjemahan pada masa ini masih berjalan. Dan dapat dipastikan bahwa kegiatan
penerjemahan sejak masa Hunain bin Ishak lebih terbatas dalam penerjemahan buku-buku
Aristoteles, maupun kumpulan ringkasan atau penjelasannya.40
Pendapat ini ditanggapi oleh al-Jamily, dimana menurutnya meskipun pada masa ini
banyak karya-karya Aristoteles yang diterjemahkan, namun masih banyak karya lain yang juga
diterjemahkan pada masa ini. Umpamanya, Hunain bin Ishak memang banyak menerjemahkan
buku-buku Aristoteles, akan tetapi ia lebih banyak menerjemahkan buku-bukunya dalam
39 Rasyid al-Jamily., op.cit., h. 127. 40 T. Jones De Boer., op. cit., h. 18-19.
32
bidang kedokteran. Kemungkinan yang dimaksud De Boer di sini adalah Ishak bin Hunain
yang memang mengkhususkan dirinya dalam penerjemahan ilmu-ilmu Filsafat.41
Para penerjemah pada masa ini termasuk penerjemah yang paling berjasa dalam
bidangnya, sehingga namanya senantiasa diingat oleh bangsa Arab sepanjang masa. Bahkan
kita seyogyanya dapat memberikan pujian yang tinggi kepada mereka, karena hasil-hasil
terjemahannya adalah masterpiece diantara hasil-hasil terjemahan yang lain. Sebut saja seperti
Sinan bin Tsabit bin Qarrah, Abu Basyr Mata bin Yunus, Yahya bin ‘Addy dan Isa bin
Ishak bin Zur’ah. Sedangkan sebagian besar buku-buku yang diterjemahkan itu berasal dari
Yunani, dan diterjemahkan kedalam dua bahasa, yaitu : bahasa Suryani dan Arab.
Diantara ilmu-ilmu yang diterjemahkan dari Yunani adalah : ilmu Kedokteran,
Matematika, Filsafat, Astronomi, Farmasi, Kimia, Botani dan lain-lain. Dan selebihnya adalah
dari India, seperti : Sastra dan termasuk pula Kedokteran dan Matematika, dan dari Persia,
seperti : Seni bercerita, Hikmah-hikmah, Pribahasa, menejemen politik dan perkantoran.
Pada umumnya, Khilafah Bani Abbas pada masa ini memiliki citra atau kesan positif
dan juga negatif. Citra positif itu disebabkan oleh adanya perkembangan yang pesat dalam
bidang ilmiah, seperti : bidang Seni Syair , Prosa, dan seluruh bidang Sains, khususnya
Filsafat. Sedangkan citra negatif itu timbul dari adanya menejemen politik yang rusak.
Misalnya : pelimpahan kekuasaan kepada orang yang bukan ahlinya, dan sarat dengan unsur-
unsur korupsi, kolusi dan nepotisme. Sehingga dapat dikatakan, bahwa pada masa ini dunia
Islam menjadi sarana untuk memuaskan ambisi, keinginan dan hawa nafsu keduniaan semata.
41 Rasyid al-Jamily., op.cit., h. 130.
33
karena itu, sejak saat itulah dunia Islam mulai terperosok kedalam jurang kesesatan dan
kehancuran.42 Keadaan ini terus berlangsung hingga terjadilah kebangkitan Islam di Spanyol.
8. Gerakan Penerjemahan di Spanyol.
Ketika umat Islam telah dapat menguasai daerah Afrika Utara dan Eropa Selatan,
pengaruh Arab mulai memasuki kawasan tersebut, terutama di kawasan Spanyol, dengan
ditandai oleh munculnya kajian-kajian pemikiran Arab. Meskipun peperangan antara umat
Islam dengan kaum Nasrani masih berkecamuk, akan tetapi para ulama Islam terus berdatangan
ke Spanyol dan kian bertambah jumlahnya. Imbas dari hasil pemikiran mereka memiliki
pengaruh yang amat luas bagi kaum Yahudi dan bangsa Spanyol. Hal itu terbukti dengan
adanya aktivitas penerjemahan baik kedalam bahasa Arab maupun kedalam bahasa yang lain.
Sebagai contoh, mereka menerjemahkan kitab al-Hayawan kedalam bahasa Arab, begitu pula
dengan kitab Maqamat al-Hariri yang berisi bermacam-macam ilmu pengetahuan, mereka
terjemahkan kedalam bahasa Ibrani dan Latin. Peristiwa ini terjadi pada masa pemerintahan
raja Alfonso VI.
Setelah kota Toledo dapat Ia kuasai,pada tahun 1085, lalu Alfonso VI ini
memerintahkan Gerard Cremona –seorang ilmuwan Nasrani- untuk memimpin penerjemahan
buku-buku orang Islam kedalam bahasa Latin. Maka pada tahun 1150 ia membangun sebuah
pusat penerjemahan di kota Tolon dekat dengan Madrid. Kegiatan itu semakin hari semakin
berkembang hingga sampai ke kota Pernis yang berbatasan dengan Prancis. Pada
42 Ibid., h. 137-138.
34
akhirnya kegiatan tersebut dapat masuk ke daratan Prancis dan negara-negara yang bertetangga
dengannya. Maka semenjak itu, pusat penerjemahan itu berkembang pesat sebagai sebuah
pusat penerjemahan dua kebudayaan besar, yaitu : Arab dan Yunani.43
9. Gerakan penerjemahan di Mesir.
Aktivitas penerjemahan di Mesir sebenarnya telah dimulai sejak dahulu kala ketika para
Ramses berkuasa. Pada masa itu telah dimulai penerjemahan naskah-naskah kuno yang
terdapat pada prasasti-prasasti dan lembaran kulit binatang yang ditulis dengan bahasa Mesir
kuno kedalam bahasa yang digunakan pada saat itu meskipun jumlahnya tidak terlalu banyak.
Kemudian pada abad ke 3 SM peradaban manusia diKairo semakin maju dengan
dirampungkannya dua aktivitas penerjemahan yang memiliki pengaruh yang amat besar bagi
perkembangan agama dan ilmu pengetahuan. Kedua penerjemahan itu adalah :
1. Penerjemahan kitab Taurat dari bahasa Ibrani ke dalam bahasa Yunani yang dikerjakan
pada masa raja Bartolomeus II.
2. Penerjemahan kitab Injil dari bahasa Ibrani ke dalam bahasa Qibti pada abad ke 3 M.
Setelah umat Islam dapat menguasai Mesir, maka Kairo kembali mengulang perannya
yang amat penting dalam bidang penerjemahan dan ta’rib, dimana setelah sekian lama
43 Alan Gilchrist. Modern English Reading : Early Arab Civilization. (Longman. 1973), h. 26-27.
35
pemikiran dan kebudayaan Yunani dipelajari disana lalu diterjemahkan kedalam bahasa Arab.
Peristiwa itu mendapat sambutan yang amat baik dari umat Islam yang mencerminkan bahwa
mereka memiliki akidah yang benar. Sejak saat itu peradaban bangsa Arab memulai masa-
masa kejayaannya. Apalagi setelah Kairo dijadikan sebagai salah satu pusat penerjemahan
disamping pusat-pusat yang tersebar di wilayah Baghdad, Tunisia dan Spanyol.
Akan tetapi ketika bangsa Turki mulai menduduki wilayah Arab pada tahun 1514-1914
–sekitar 400 tahun- kejayaan tersebut semakin hari semakin terkikis, khususnya dalam
kebudayaan, perekonomian dan pengajaran. Bahasa Arab yang sebelumnya mendominasi
hampir di semua bidang kini mulai tergeser keberadaannya oleh bahasa Turki. Begitu pula
halnya dengan aktivitas penerjemahan. Kegiatan ini mulai mengalami kevakuman yang cukup
lama. Sehingga dapat dikatakan bahwa pendudukan Turki tersebut merupakan penghalang
yang amat besar bagi kemajuan peradaban Arap maupun Eropa.
Kemudian di penghujung abad ke 18, yaitu sekitar tahun 1798 tentara Prancis mulai
berdatangan ke wilayah Mesir. Inilah momentum sejarah awal penjajahan bangsa Eropa diatas
bumi jazirah Arab. Meskipun demikian, penjajahan tersebut tidak dapat melumpuhkan sendi-
sendi aktivitas penerjemahan yang telah berlangsung saat itu. Sebaliknya, kaum penjajah amat
memperhatikan aktivitas tersebut dengan diadakannya penerjemahan naskah-naskah Arab
kedalam bahasa Perancis. Karena itulah, penjajahan tersebut pada dasarnya telah memberikan
keuntungan yang besar bagi bangsa Arab. Ada beberapa hasil yang dicapai dalam bidang ini,
antara lain :
36
1. Penerjemahan kitab Taurat dari bahasa Ibrani ke dalam bahasa Yunani pada masa raja
Bartolomeus II.
2. Penerjemahan kitab Injil dari bahasa Ibrani ke dalam bahasa Qibthi pada abad ke-3
Masehi.
Selanjutnya, penerjemahan Arab di Mesir mulai berkembang pesat pada masa
Muhammad Ali , dimana aktivitas tersebut memiliki peran yang amat vital dalam lembaga
pendidikan formal. Lembaga tersebut mendatangkan staf pengajar dari Eropa dengan tujuan
agar mereka dapat mengajarkan bagaimana mereka dapat berhasil dalam bidang sain dan
teknologi pada saat itu. Hal ini merupakan motivasi yang besar bagi para penerjemah untuk
menerjemahkan apa yang mereka sampaikan dalam bahasa Inggris atau Perancis kedalam
bahasa Arab , kemudian terjemahan itu disampaikan kepada para pelajar yang sebagian besar
mereka berkebangsaan Suriah, Libanon, Armenia, Tunisia dan Marokko.
Semenjak dipelopori oleh Rifaat al-Tahtawi dan sahabat-sahabatnya perkembangan
penerjemahan di Mesir semakin hari semakin maju. Sebelumnya mereka diutus oleh
Muhammad Ali untuk menuntut ilmu ke Eropa pada sekitar tahun 1930-an. Sekembalinya
mereka dari sana mereka mulai berusaha keras untuk menerjemahkan buku-buku bangsa Eropa
tentang sain, sastra dan seni kedalam bahasa Arab hingga akhir tahun 1940 . Pada tahun
itu pula terjadi penyelewengan - penyelewengan dalam Penerjemahan dengan menjiplak
istilah – istilah ilmiah bangsa Eropa , dan tidak diterjemahkan kedalam bahasa Arab
yang benar. Keadaan ini segera diantisipasi oleh al-Azhar dengan mengeluarkan perbaikan-
perbaikan atas kesalahan tersebut. Dan inilah universitas yang pertamakali mempelopori usaha
perbaikan dalam terjemah dan ta’rib.
37
10. Pelopor-pelopor penerjemahan Arab.
Setelah al-Harits bin Kaldah dan Khalid bin Yazid bin Muawiyah membuka jalan dalam
kegiatan penerjemahan Arab, maka kemudian usaha mereka diikuti pula oleh beberapa tokoh
yang namanya selalu diingat dalam sejarah penerjemahan Arab. Tokoh-tokoh itu adalah :
1. HUNAIN BIN ISHAK.
Dia adalah seorang penerjemah yang paling masyhur di abad ke 3 H. Dilahirkan
pada tahun 194 H, berkebangsaan Arab dan beragama Nasrani. Dia menguasai sejarah
Yunani, Persia dan Suryani. Begitu pula dengan sastra Arab, bahasa Arab dan sebagian
besar ragam bahasa secara mendalam. Ilmu kedokteran pun ia tekuni. Hidupnya
sezaman dengan al-Ma’mun, al-Mu’tashim, al-Watsiq dan al-Mutawakkil. Pada masa
khalifah yang terakhir inilah ia memperoleh kedudukan terhormat sebagai pemimpin
teratas penerjemahan pada masa itu. Yang paling mengagumkan dari karya-karyanya
adalah penerjemahannya terhadap karya-karya Aristoteles. Dan karena inilah hidupnya
senantiasa berkecukupan.
2. YAHYA BIN ADDI.
Ia merupakan seorang penerjemah termasyhur di abad ke 4 H. Berkebangsaan
Arab dan menganut mazhab Ya’qub. Dia menuntut ilmu pada seorang ulama yang
bernama Mata bin Yunus. Keunggulannya dalam bidang ilmiah terlihat dalam ilmu
38
Filsafat, dan dalam cabang ilmu inilah ia banyak menerjemahkan buku-buku bahasa
Suryani kedalam bahasa Arab.
3. QISTHA BIN LUQA AL-BA’LABAKI.
Dia seorang tokoh penerjemahan Arab di abad ke 3 H. Berkebangsaan Syam
dan beragama Nasrani serta termasuk orang yang paling dekat dengan al-Muqtadir. Dia
menuntut ilmu ke Eropa, lalu menetap di Baghdad untuk menekuni bidang
penerjemahan. Keunggulannya dalam bahasa Yunani, Suryani dan Arab amat diakui
oleh masyarakat pada saat itu. Ciri khas terjemahannya adalah kesempurnaan dalam
memadankan kata dari bahasa satu ke bahasa yang lain, pandai dalam mengungkapkan
maksud dari suatu naskah, dan cermat dalam menangkap apa yang tersirat dalam
naskah itu sendiri. Sebagian besar terjemahannya adalah karya-karya Aristoteles dan
Plato, dan iapun melakukan perbaikan-perbaikan terhadap terjemahan-terjemahan
sebelumnya.
4. ABU USMAN AL-DIMASYQA.
Ia adalah seorang penerjemah ulung di abad ke 4 H. Kebanyakan hasil karyanya
adalah menerjemahkan buku-buku ilmu kalam dan arsitektur. Sedangkan karya
terpenting dalam hidupnya adalah penerjemahan buku Aristoteles yang berjudul Al-
jadal yang ia kerjakan bersama Yahya bin Addi.
39
5. YOHANA BIN AL-BATHRIQ.
Ia hidup pada abad ke 3 H. Hasil penerjemahannya yang terkenal adalah kitab
al-Hayawan yang dikarang oleh Aristoteles. Ia dalah orang yang amat dekat dengan al-
Ma’mun. Sehingga ia dipercaya untuk menerjemahkan buku-buku kedokteran dan
arsitektur.44
6. IBNU AL-MUQAFFA’.
Dilahirkan pada tahun 106 H dikota Gor Persia. Ketika menginjak remaja ia
memeluk agama Islam.45 Sedangkan orangtuanya beragama Majusi. Ia tinggal di
Bashrah, menuntut ilmu dan bergaul dengan para ulama dan kaum intelektual.
Kemasyhurannya dalam bidang terjemah tertulis dalam sejarah bahwa ia adalah orang
pertama yang menyatukan peradaban Persia dan Arab. Iapun orang yang pertama
menerjemahkan karya-karya filosof Yunani kedalam bahasa Arab, seperti karya
Aristoteles dan Porporios. Ia juga orang pertama yang menerjemahkan karya bangsa
India, seperti kitab Kalilah wa Dimnah dan lain-lain.46
44 Mahir Abdul Qadir Muhammad., op.cit. , h. 34-35. 45 Muhammad Kurd Ali. Umara al-Bayan.(Beirut ; Dar al-Kutub. 1969), cet. 3, h. 86-88. 46 Abdul Amir Syamsu al-Din. Al-Fikru al-Tarbawi ‘inda Ibnu al-Muqaffa’, al-Jahiz, abdul Hamid al-
Katib. (Beirut : Dar al-Iqra’. 1985), cet. I , h. 119-120.
40
7. AL-JAHIZ.
Ia adalah seorang penulis ulung yang memiliki jasa yang amat besar dalam
mengembangkan prosa Arab. Dilahirkan pada tahun 160 H dan hidup dalam zaman
ketika bahasa Arab dan ilmu pengetahuan sedang berada dipuncak kejayaan. Begitu
pula halnya dengan bidang penerjemahan. Minatnya dalam mempelajari filsafat Yunani
didorong oleh bakatnya dalam bidang dakwah. Disamping itu, filsafat Yunani pada
masa itu sedang menjadi bahan yang hangat untuk didiskusikan. Selain itu pula, filsafat
dapat dijadikan senjata untuk menghadapi mereka yang ingin merusak agama Islam
ataupun sebagai cara dalam menanamkan akidah yang kuat.47 Menurutnya, seorang
penerjemah harus memiliki dua hal, yaitu : kemampuan dalam menguasai bahan yang ia
terjemahkan harus setara dengan kemampuan pengarang buku tersebut, dan
kemampuan dalam menguasai bahasa untuk menerjemah harus sama dengan
kemampuan dalam menguasai bahasa dari bahan yang akan ia terjemahkan. Dan kedua
hal ini amat sulit untuk dimiliki oleh seorang penerjemah.48
47 Kamil Muhammad Muhammad ‘Awaidhah. Al-Jahiz al-Adib al-Failasuf. (Libanon : Dar al-Kutub al-
‘Ilmiyyah. 1993) , cet I, h. 6-11. 48 Abdul Hakim Hassan., op.cit., h. 39.
41
11. Penemu teori awal penerjemahan.
Dalam prakteknya, penerjemahan pada masa-masa awal menggunakan dua cara, yaitu :
A. Al-tarjamah al-harfiyyah.
Teori ini dipelopori oleh Yohana bin al-Bathriq, Ibnu al-Na’imah al-Himsha dan
lain-lain. Maksud dari teori ini adalah menerjemahkan kata demi kata dari bahasa asing
kedalam bahasa Arab dengan susunan kalimat yang sama dan tidak ada perubahan.
Teori ini menurut para ahli merupakan teori yang kurang sempurna, karena ia memiliki
dua kelemahan, yaitu :
1. Antara kosa kata Arab dengan kosa kata asing tidak selamanya memiliki
kesamaan, sehingga terkadang ada kata-kata asing yang tidak dapat
diterjemahkan kedalam bahasa Arab.
2. Antara bahasa Arab dengan bahasa asing memiliki perbedaan dalam
karakteristik penyusunan kalimat dan hubungan antar kata.
B. Al-tarjamah al-Uslubiyyah.
Teori ini dipelopori oleh Hunain bin Ishak, al-Jauhari dan lain-lain. Maksud
dari teori ini adalah menerjemahkan secara global/umum isi dari suatu naskah dari
bahasa asing kedalam bahasa Arab, meskipun berbeda susunan kalimatnya. Teori inilah
yang diakui sebagai teori yang paling baik dari teori yang lain.49
49 Muhammad Daidawy. Ilmu al-Tarjamah baina al-Nazhariyyah wa al-Tathbiq. (Tunisia : Dar al-Ma’arif. 1992), h. 31.
42
BAB III
RUANG LINGKUP PENERJEMAHAN
1. Definisi terjemah.
Kata terjemah adalah kata yang berasal dari bahasa Arab yaitu Tarjamatun . Bila
dilihat dari sudut ilmu Sharaf1 maka kata tersebut mengikuti wazan Fa’lala. Fi’il Madhi2 kata
tarjamatun adalah Tarjama yang berbentuk Fi’il Ruba’I Mujarrad Shahih yang artinya adalah
fi’il (kata kerja) yang terdiri dari empat huruf yang tidak memiliki huruf tambahan dan bebas
dari huruf ‘Illat (alif, wau dan ya’).3
Adapun arti dari kata tarjamatun atau tarjama adalah : memberikan penjelasan atau
penafsiran dengan lisan atau bahasa yang lain.4 Dalam bahasa Inggris kata itu disebut dengan
Translate-Translation-Interpret-Interpretation dan Explain-Explanation yang artinya :
memindahkan dari satu bahasa ke bahasa yang lain atau memberi penafsiran dan penjelasan.5
Maka secara umum dapat dikatakan bahwa terjemah adalah suatu aktivitas pemindahan
informasi yang melibatkan sedikitnya dua bahasa dan bisa lebih dari itu. Selain itu kata
terjemah dapat pula mengandung arti memberi penafsiran atau penjelasan apabila ia
1Ilmu Sharaf adalah suatu ilmu yang membahas tentang perubahan bentuk (shighat) kata, dalam bahasa
Indonesia disebut Morfologi. Lihat kitab Al-amtsilatu al-Tashrifiyyah karangan Syaikh Muhammad Ma’shum bin Ali h.8
2Fi’il Madhi adalah kata kerja dalam bahasa Arab yang menunjukan arti lampau. 3Syaikh Muhammad Ma’shum bin Ali. Al-amtsilatu al-Tashrifiyyah. Semarang: Pustaka al-Alawiyah.
1991 h. 8. 4Ferdinand Totl. Al-munjid fi al-Lughah wa al-A’lam. Libanon: Dar al-Masyriq. 1986. Cet 28 h.60. 5Rohi Baalbaki. Al-maurid A Modern Arabic-Ennglish Dictionary. Libanon: Dar al-‘Ilm li al-Malayin.
1988. Cet 1 h. 307.
43
berada pada konteks kalimat tertentu. Seperti contoh : kalimat “Tarjama al-rajula” , artinya ia
memberikan penjelasan tentang riwayat hidup orang itu.6
Dari segi terminologi, para linguis saling berbeda-beda dalam memberikan definisi
terjemah itu sendiri. Maka berikut ini kami akan uraikan beberapa definisi yang telah
dikemukakan oleh mereka.
Muhammad Daidawy menyebutkan dalam bukunya Ilmu al-Tarjamah baina al-
Nazhariyyah wa al-Tathbiq bahwa terjemah adalah :
“Menyampaikan suatu pemikiran dari satu bahasa ke dalam bahasa yang lain, dengan
merubah metode penyampaiannya sesuai dengan padanan kata tersebut dalam bahasa yang
lain, baik secara lisan maupun tulisan.” 7
Menurut J.C. Catford, terjemah adalah :
“The replacement of textual material in one language by equivalent textual material in another
language (penggantian naskah berbahasa sumber dengan naskah berbahasa sasaran secara
sepadan.” 8
J. Levy menguraikan definisi terjemah sebagai berikut :
6Ahmad Warson Munawwir. Al-munawwir Kamus Arab-Indonesia. Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku-
buku Ilmiah Keagamaan Pondok Pesantren Al-munawwir.1984. h 141. 7Muhammad Daidawy. Op.cit., h. 15. 8J.C. Catford. A Linguistic Theory of Translation. London: Oxford University Press. 1965. h.20.
44
“Translation is a creative process which always leaves the translator a freedom of choice
between several approximately equivalent possibilities of realizing situational meaning ( proses
kreatif yang memberikan kebebasan bagi penerjemah untuk memilih kemungkinan padanan
yang dekat dalam mengungkapkan makna yang sesuai dengan situasinya).” 8
P. Newmark memberikan batasan sebagai berikut:
“Translation is an exercise which consists in the attemp to replace a written message in one
language by the same message in another language (latihan dalam upaya menggantikan pesan
tertulis dari satu bahasa dengan pesan yang sama pada bahasa lainnya).” 9
Lain halnya dengan Eugene A. Nida, ia mengatakan :
“Translating consists in producing in the receptor language the closest natural equivalent to the
message of the source language, first in meaning and secondly in style (menciptakan padanan
yang paling dekat dalam bahasa penerima terhadap pesan bahasa sumber, pertama dalam hal
makna dan kedua dalam gaya bahasanya).” 10
Adapun Leonard Foster berpendapat bahwa terjemah adalah :
8J.Levy. Translation as A Decision Process. Mouton: The Hangue. 1967. 9P.Newmark. Further Proposition on Translation. The Incorporate Linguist. 1974. Jilid II. 10Eugene A. Nida. Principles of Translation as exemplified by Bible Translating. Leiden: Brill. 1964.
45
“Translation as the transference of the content of a text from one language into another,
bearing in mind that we cannot always dissociate the content from the form (terjemahan
merupakan pemindahan isi naskah dari satu bahasa ke bahasa lainnya. Dan yang perlu diingat
bahwa kita tidak selalu bias memisahkan isi dari bentuk naskah tersebut).” 11
Untuk lebih jelas lagi, berikut ini akan kami paparkan skema proses penerjemahan
secara sederhana, yang pada hakikatnya adalah tidak lain dari sebuah alih pengertian :
BAHASA SUMBER BAHASA PENERIMA Teks yang akan diterje mahkan Terjemahan
Menemukan Menyatakan kembali Pengertian Pengertian Pengertian
Gagasan Teks bahasa ALIH BAHASA Teks bahasa Gagasan
A1 sumber/ lain Indonesia A2
11Leonard Foster. Translation: An Introduction, in Aspects of Translation.. London: Secker and Warburg.
1958. Ed. by A.D. Booth.
46
Sang penerjemah memulai dengan teks bahasa sumber, dimana tugas utamanya adalah
untuk menentukan pengertian teks sumber tersebut. Pengertian tersebut berada dalam kalbu
sang penulis teks tersebut/asli ketika ia menuliskannya. Selain arti, sang penerjemahpun harus
mampu mencari lambing yang tersembunyi dibalik teks tersebut. Ia dapat menemukan semua
itu dengan meneliti kata-kata, kalimat-kalimat dan frasa-frasa ketika wacana itu dirangkaikan.
Begitu ia yakin bahwa ia telah menguasai isi dari teks bahasa sumber tersebut, ia akan
merekonstruksi kembali pengertian yang sama itu kedalam bahasa sasaran/penerima dengan
memperhatikan pula siapa yang akan membacanya, kebudayaannya, pengetahuan tentang
pokok persoalan, serta potensi bahasa penerima. Struktur bahasa penerima mungkin sangat
berbeda dari struktur gramatika bahasa sumber .12 Namun sang penerjemah berusaha
mengalihkan pengertian secara tepat.13
Dari uraian tadi, maka dapat disimpulkan bahwa penerjemahan pada hakikatnya adalah
suatu proses yang bersifat kreatif dalam rangka pemindahan pesan atau makna dari satu bahasa
ke bahasa yang lain, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan menggunakan
bahasa lisan atau tulisan, yang harus dapat menyentuh keseluruhan unsur dan elemen kedua
bahasa, serta sangat dipengaruhi oleh latar belakang pengarang naskah dan juga penerjemah
nya. Adapun yang dimaksud dengan bersifat kreatif adalah karena proses penerjemahan akan
melatih kemampuan penerjemah dengan melibatkan aspek kebebasan dalam menentukan
12 Oesman Rachman. Penerjemahan Sebagai Penunjang Perkembangan Bahasa dan Ilmu di Indonesia.
Dalam Alim, Burhanuddin dan Suparman.Arti Penerjemahan dan Masa Depan Bahasa Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat. 1989. h.28.
13Chatibul Umam. Metodologi dan Karakteristik Penerjemahan. Dalam makalah : Maharatu al-Tarjamah min al-‘Arabiyyah ila al-Indunisiyyah. Disampaikan pada Pekan Ilmiah Mahasiswa Bahasa Arab se- Jabotabek di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 1994. h.5-6.
47
padanan-padanan kata yang ia gunakan untuk mengungkapkan makna yang tersembunyi dan
sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada pada saat itu.
Suatu hasil yang sempurna dari penerjemahan tidak akan terlihat bahwa itu adalah
sebuah terjemahan. Inilah yang dikatakan oleh J.B. Philips dalam bukunya Some Personal
Reflections on New Testment Translation.14 Hal ini didasari oleh adanya bukti-bukti yang
memunjukan bahwa proses pemindahan makna tersebut dapat terlaksana dengan baik. Semua
itu tentunya tidak terlepas pula dari faktor kredibilitas sang penerjemah dalam menguasai
aspek-aspek kedua bahasa serta bahan yang ia terjemahkan. Aspek-aspek itu meliputi : kaidah
tata bahasa atau gramatika, peristilahan, serta karakteristik dan perkamusan.15 Apabila semua
itu dapat dikuasai dengan baik oleh seorang penerjemah, maka proses penerjemahan dapat
berjalan dengan sempurna. Karena proses inilah yang merupakan tiang penyangga utama dan
sangat berperan dalam penerjemahan.16
Dalam penerjemahan ada beberapa bagian penting yang harus diperhatikan, yaitu :
1. Bahasa sumber. Adalah bahasa asal atau bahasa asli yang digunakan oleh pengarang
dalam mengungkapkan pesan, gagasan dan keterangan yang menjadi bahan untuk
diterjemahkan.
2. Bahasa sasaran. Adalah bahasa terjemahan tempat pesan, gagasan dan keterangan
pengarang bahasa asal itu tertuang.
14 J.B. Philips. Some Personal Reflections on New Testment Translation. 1953. 15 Chatibul Umam. Op.cit.,h. 3. 16 Muhammad Daidawy. Op.cit., h. 16.
48
3. Teks. Teks biasanya merupakan satuan bahasa yang paling lengkap dan juga dapat
bersifat abstrak yang diwujudkan secara lisan maupun tulisan. Teks dapat pula diartikan
sebagai wacana, yaitu kesatuan bahasa yang paling lengkap dalam bentuk karangan
utuh, seperti : buku, novel, cerpen, ensiklopedia dan lain-lain.
4. Padanan. Padanan disini tidak hanya menyangkut padanan formal bahasa berupa kata
per-kata atau kalimat per-kalimat, melainkan juga padanan makna, baik makna pusat
(central meaning), makna luas (extended meaning), makna denotative, konotatif, kiasan
dan lain sebagainya.
Keseluruhan bagian penting ini memainkan peran utama dalam suatu proses penerjemahan.
Apabila salah satu unsure tersebut ditiadakan, maka proses tersebut tidak akan mencapai target
yang ingin dicapai. Karena itulah, seorang penerjemah yang baik adalah penerjemah yang
berhasil menguasai kesemua unsur tadi. Bahkan bukan hanya itu saja, selain menguasai iapun
harus dapat menggunakan daya nalarnya secara kreatif dan bebas dalam memindahkan satu
teks kedalam teks lain yang berbeda bahasanya, sehingga hasil terjemahannya tidak berkesan
monoton dan kaku. Adapun mengenai hal-hal yang berhubungan dengan skill atau kemampuan
yang harus dimiliki oleh seorang penerjemah akan kami uraikan pada sub-bab tersendiri.
2.Tujuan atau motif penerjemahan.
Antara seorang penerjemah dengan penerjemah lainnya saling berbeda tujuan ketika
menghadapi suatu bahan yang akan diterjemahkan. Beraneka macam tujuan tersebut akan
selalu menguasai dirinya sehingga lebih bersifat pluralistis. Terkadang seorang penerjemah
49
memiliki lebih dari satu motif, kemudian motif-motif tersebut akan amat berpengaruh terhadap
kualitas penerjemahannya Seperti contoh, seorang penerjemah yang bertujuan
mendapatkan materi tidak mustahil melahirkan produk terjemahan yang berkualitas rendah.
Boleh jadi ia menggunakan kata-kata seenaknya saja dengan tidak memiliki ide yang
utuh, tidak peka terhadap isi teks, serta jauh dari jiwa dan spiritnya karena dikejar waktu.
Begitu pula ada seorang penerjemah yang melakukan tugasnya dengan tujuan
kemanusiaan saja. Ia berbuat demi membantu orang yang tidak bias membaca naskah aslinya.
Ia akan berusaha sebaik mungkin lewat penghayatan yang dalam, lantas memaparkannya
dengan cermat dan baik. Kalau ia merasa tidak puas terhadap hasilnya maka tak heran jika ia
mengoreksinya kembali berulang-ulang, sampai ia merasa hasilnya sudah pantas untuk
disajikan. Dalam hal ini terkadang ia melakukan perubahan gaya bahasa.17
Berdasarkan motif-motif diatas, maka Ainon Muhammad menggolongkan penerjemah
kedalam tiga karakter, yaitu :
1. Penerjemah ilmuwan yang tahu bidangnya, tetapi jika ia bermaksud menghasilkan
terjemahan yang baik, maka ia terpaksa menambah kemampuannya dalam hal imajinasi
dan gaya bahasa, serta bekerja lebih keras lagi.
2. Penerjemah yang tidak layak, tetapi memiliki niat baik. Yaitu penerjemah yang hanya
membuat susunan kata, frase atau kalimat tanpa menimbulkan kejelasan makna dan
gaya bahasanya tidak sempurna.
17 Nurachman Hanafi. Teori dan Seni Menerjemahkan. Nusa Tenggara Timur: Penerbit Nusa Indah.
1986. Cet 1, hal 69.
50
3. Penerjemah sebagai penulis professional yang mungkin akan melakukan kesalahan
karena daya nalarnya tidak setajam seorang penerjemah ilmuwan, atau mungkin ia akan
melakukan tambal-sulam sehingga menyerupai karya aslinya.18
Motif yang bermacam-macam dari seorang penerjemah tadi pada dasarnya menunjukan
adanya kesamaan . Yaitu mereka bertujuan untuk memberikan pemahaman bagi orang yang
membacanya. Bagaimana suatu karya penerjemahan dapat mewakili naskah aslinya yang
bahasanya tidak difahami oleh si pembaca, sehingga menjadikannya mampu menelaah dan
memahami maksud yang terkandung dalam naskah asli tersebut. Karena dalam terjemah yang
harus diprioritaskan adalah segi maknanya, maka untuk ini seorang penerjemah dituntut untuk
menyampaikan makna tersebut dengan cara yang baik agar pemahaman yang akan diperoleh
oleh pembaca dapat memiliki kesan yang amat dalam. Inilah yang dikataka oleh Alexander
Souter dalam bukunya yang berjudul “Hints on Translation from Latin into English.” Bahwa
seakan-akan seorang penerjemah itu dapat memberikan kesan langsung ke lubuk hati pembaca,
dimana kesan tersebut menyerupai kesan yang dimiliki oleh teks aslinya.19
Jadi, yang lebih diutamakan dalam penerjemahan adalah bagaimana pesan yang tertulis
dalam naskah /teks tersebut dapat diterima dengan baik oleh pembaca, sehingga ia dapat
memahami secara benar apa yang terkandung didalamnya, bukan bagaimana pesan tersebut
dirangkai dengan kata-kata yang indah serta kalimat-kalimat yang panjang dan sarat dengan
unsur majaz. Adapun mengenai keunggulan suatu makna dari lafaznya, Nabi S.A.W pernah
18 Ainon Muhammad. Penterjemah dan Penterjemahan Karya Prosa. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan
Pustaka. 1997. 19 Alexander Souter. Hints on Translation from Latin into English. London: Society for Promoting
Christian Knowledge. 1920.
51
menerangkan bahwa sesungguhnya suatu syair itu mengandung hikmah, sedangkan
penjelasannya mengan dung sihir. Artinya, bahwa makna yang terkandung dalam sebuah
kalimat akan lebih berat bobotnya daripada kalimat itu sendiri, meskipun ia amat indah
kedengarannya. Dalam hal inipun Ibnu Jinni pernah mengatakan bahwa kata itu
merupakan pelayan suatu makna dan yang dilayaninya itu lebih mulia daripada yang
melayani.20 Untuk lebih jelasnya, maka akan kami uraikan pada bab selanjutnya.
3. Prinsip Dasar Penerjemahan.
Ada beberapa kriteria penerjemahan yang harus diketahui oleh seorang penerjemah,
dimana kriteria-kriteria tersebut merupakan prinsip-prinsip dasar penerjemahan yang dapat
mendorongnya untuk menciptakan sebuah hasil terjemahan yang baik. Prinsip-prinsip dasar
penerjemahan ini sudah lama muncul semenjak adanya kegiatan penerjemahan beribu tahun
yang lalu. Meskipun demikian, sebagian besar prinsip-prinsip tersebut masih tetap dijadikan
pedoman sampai sekarang.
Martin Luther (1483-1546) mengajukan beberapa prinsip dasar penerjemahan.
Menurutnya, seorang penerjemah harus memiliki kemampuan dalam :
1. Mengalihkan aturan-aturan kata.
2. Mempergunakan kata kerja pembantu (auxiliary verbs).
3. Mempergunakan kata penghubung bila memang diperlukan.
20 Ibnu Jinni. Al-khashaish. Juz 1.
52
4. Tidak memasukkan kata-kata atau istilah-istilah yang tidak ada padanan terjemahannya
dalam bahasa sasaran.
5. Mempergunakan ungkapan/frase tertentu apabila satu kata bahasa sumber itu tidak
ditemui padanannya dalam bahasa sasaran.
6. mampu mengamati ragam dan gaya bahasa sumber.
Begitu pula dengan Eugene A. Nida (1964) memberikan pendapat bahwa seorang
penerjemah itu harus memiliki kemampuan, antara lain :
1. Penerjemah harus mempunyai pengetahuan tentang bahasa sumber yang memadai –
tidak cukup kalau mengandalkan kamus saja.
2. Penerjemah harus berkemampuan memahami isi pesan yang disampaikan oleh penulis
bahasa sumber.
3. Penerjemah juga harus memperhatikan kehalusan makna dan nilai emotif tertentu dari
kosa kata bahasa sumber serta gaya bahasa yang akan dapat menentukan cita rasa
(flavour and feel) pesan yang disampaikan.
Selain itu, Nida juga mengutip pendapat Alexander Fraser Tytler yang mengatakan
bahwa karya terjemahan itu haruslah memberikan transkrip yang lengkap dari buah fikiran
karya aslinya, disamping itu gaya dan cara penulisannya harus berkarakter sama seperti aslinya,
serta terjemahannya itu harus memberikan kemudahan-kemudahan bagi mereka yang
membacanya seperti kemudahan dalam membaca naskah aslinya.
Sementara itu, Theodore Savory (1968) menawarkan beberapa prinsip penerjemahan, di
antaranya :
53
1. Penerjemah harus dapat mencarikan padanan kata yang sesuai dengan makna kata-kata
aslinya.
2. Penerjemah harus dapat menyajikan gagasan-gagasan karya aslinya.
3. Penerjemah hendaknya dapat menghasilkan karya terjemahan yang dapat dibaca dengan
mudah.
4. Penerjemah hendaknya dapat merefleksikan gaya naskah pengarang aslinya.
5. Penerjemah hendaknya memilih gaya penerjemahan yang mandiri pula.
6. Penerjemah hendaknya dapat menghasilkan karya terjemahan yang dapat dibaca sesuai
dengan bahasa kontemporer naskah aslinya.
7. Penerjemah juga hendaknya dapat membuat karya terjemahan yang dapat dibaca sesuai
dengan bahasa kontemporer penerjemah.
8. Penerjemah dapat melakukan penambahan atau pengurangan bagian-bagian tertentu
dari naskah aslinya.
9. Penerjemah juga boleh mengerjakan apa adanya, tidak mengurangi atau menambah
bagian-bagian tertentu.
10. Penerjemah dapat menerjemahkan sebuah sajak dalam bentuk prosa.
11. Penerjemah dapat pula menerjemahkan sajak itu kedalam bentuk sajak lagi.
Menurut Ian Finlay (1971), seorang penerjemah itu haruslah :
1. Memiliki pengetahuan bahasa sumber yang sempurna dan up-todate.
2. Memahami materi yang akan diterjemahkan.
3. Mengetahui terminologi-terminologi padanan terjemahannya dalam bahasa sasaran
54
4. .Berkemampuan mengekspresikan, mengapresiasi serta mengahayati gaya, irama,
nuansa, dan register kedua bahasa sumber dan sasaran. Karena hal demikian akan
sangat membantu menciptakan mood atau keadaan yang diinginkan penulis aslinya
Leonard Forster (1958) dalam Translation : An Introduction mengatakan bahwa sebuah
karya terjemahan dapat dikatakan baik apabila terjemahan dapat meraih tujuan yang sama
seperti yang terdapat dalam naskah aslinya, bukan hanya mendekati tujuan tersebut.
Adapun Koller (1972) Menyebutkan bahwa terjemahan itu hendaknya dapat
dimengerti dengan benar dan mudah sebagaimana naskah aslinya dan kemudian menghadirkan
respon yang sepadan pada bahasa sasarannya. Lain dari pada itu, J.B. Carrol mengungkapkan
bahwa penyimpangan-penyimpangan makna itu hendaknya terjadi sekecil mungkin. Dan L.W.
Tancock menjelaskan bahwa bahasa yang harus dipergunakan oleh penerjemah pada waktu
menerjemahkan naskah bahasa sumber itu adalah bahasa pada waktu dan tempat di saat
terjemahan itu dibuat.21
Demikianlah, ternyata kegiatan penerjemahan tidak semudah apa yang sering
diperkirakan setiap orang. Semua prinsip dasar penerjemahan yang telah diuraikan tadi amatlah
sukar untuk direalisasikan. Betapa tidak, seorang penerjemah setidaknya harus dapat mengupas
naskah yang akan diterjemahkan secara keseluruhan, baik kulit luar maupun dalam naskah
tersebut, sebelum ia berani menjalankan proses penerjemahan. Dengan kata lain, seorang
penerjemah harus dapat mengungguli kemampuan sang pengarang apabila ia ingin karya
terjemahannya meraih kesuksesan yang luar biasa.
21 Suhendra Yusuf. Teori Terjemah Pengantar ke Arah Pendekatan Linguistik dan Sosiolinguistik. Bandung: Penerbit Mandar Maju. 1994. h. 63-66.
55
4. Perbedaan antara Tarjamah, Ta’rib dan Tafsir.
Sebagaimana telah diuraikan bahwa tarjemah adalah sebuah proses pemindahan pesan
atau makna dari satu bahasa ke bahasa yang lain, baik secara langsung maupun tidak langsung,
dengan menggunakan bahasa lisan atau tulisan. Penerjemahan pada umumnya tidak terlepas
dari unsur-unsur yang dimiliki oleh kedua bahasa tersebut. Begitu pula, suatu terjemahan akan
amat dipengaruhi oleh faktor-faktor intrinsik dan ekstrinsik yang dimiliki oleh pengarang dan
juga penerjemah. Oleh karena itu, dalam melaksanakan proses penerjemahan seseorang tidak
bisa dengan seenaknya menerjemahkan suatu naskah atau sumber. Hal itu disebabkan oleh
karena penerjemahan pada dasarnya merupakan suatu kerja kolektif yang ketika dilakukan ia
tidak dapat terlepas dari beberapa aspek, baik aspek-aspek yang dimiliki oleh kedua bahasa,
maupun aspek-aspek yang melatar – belakangi pengarang dan penerjemah.
Adapun yang dimaksud dengan ta’rib adalah pemakaian kata asing dalam ungkapan
Arab dengan menerapkan seluruh kaidah bahasa Arab atas kata asing tersebut.22 Dalam bahasa
Inggris disebut dengan istilah “Arabicising” yang berasal dari kata kerja ‘arraba-yu’arribu
yang artinya pengaraban atau arabicise. Adapun kata yang mengalami proses ta’rib dinamakan
“Mu’arrab”, sedangkan orang yang melakukannya disebut dengan “Mu’arrib”.23
Syahadah al-Khaury mengatakan dalam Dirasat fi al-Tarjamah wa al-Ta’rib bahwa
istilah ta’rib memiliki arti yang berbeda-beda. Contohnya : Ia berarti membersihkan dalam
22 Abdul Rasyid Abdul Ghafur al- Hasani al- Madani al- Tatawi. Al- Mu’arrabat al- Rasyidiyyah.
Thahran. 1960. Juz 1. 23 Ilyas Edward A. Ilyas. Al-qamus al-‘Ashry Araby-Injlizy. Mathba’ah al-‘Ashriyyah. Cet 9 h. 431 dan
Mu’jam Mukhtar al-Shihah h. 446.
56
perkataan : “Arraba fulaanun manthiqahu min al-lahni” (Seseorang telah membersihkan
perkataannya dari lahn atau kesalahan. Iapun berarti memberikan alasan dalam perkataan :
“Arraba ‘an shaahibihi” ( Ia berbicara tentang temannya dan memberikan alasan/pendapat
tentangnya. Adapun ia dapat berarti mengarabkan bila terdapat dalam perkataan : “Arraba
al-isma al-a’jamy” ( Ia mengarabkan kata asing itu).
Dari arti yang berbeda-beda tadi, lalu ia mengelompokkan arti ta’rib yang sering digunakan
kedalam 3 kelompok , yaitu :
1. Ta’rib berarti al-iqtiradh. Yaitu penggunaan kata asing dengan lisan Arab, dimana
ketika kata tertsebut masuk kedalam bahasa Arab ia dilafazkan dengan bahasa Arab
berdasarkan abjad Arab yang berlaku sesuai dengan kemampuan bahasa Arab, sehingga
jiwa dan irama Arab tetap terasa di dalamnya dan tidak hilang. Arti yang pertama ini
sering diaplikasikan untuk nama binatang, tumbuhan, benda mati, obat-obatan, media-
media ilmiah dan lain sebagainya. Contoh al-elektron, al-kalury, al-film, al-tilfiziyyun
dan lain-lain.
2. Ta’rib berarti al-tarjamah. Yaitu memindah naskah bahasa asing kedalam bahasa Arab.
Contoh : Tarjamah al-‘ulum wa al-adab wa al-funun wa saairi ashnaafi al-ma’rifah
yang artinya mengarabkan ilmu pengetahuan, sastra, seni dan semua bentuk
pengetahuan. Begitu pula kata : al-tarjamah al-qanuniyyah wa al-iqtishadiyyah wa al-
idariyyah wa al-siyaasiyyah wa al-I’lamiyyah wa al-tijariyyah yang artinya pengaraban
undang-undang, perekonomian, perkantoran, perpolitikan, informasi dan perdagangan.
57
3. Ta’rib berarti menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa yang mendasar bagi manusia dan
juga bahasa kehidupan. Dalam hal ini bahasa tersebut menjadi bahasa ilmu
pengetahuan, keseharian, fikiran, perasaan, dan aktivitas masyarakat. Contoh perkataan
: ‘Arrabnaa al-mujtama’ yang artinya kami jadikan bahasa Arab sebagai bahasa
kemasyarakatan/kami mengarabkan masyarakat. Begitu pula perkataan ‘Arrabnaa al-
ta’liim yang artinya kami jadikan bahasa Arab sebagai bahasa pengajaran/kami
mengarabkan pengajaran (menyangkut keseluruhan aspek dan fase-fasenya).24
Dari uraian tadi kita jumpai adanya perbedaan yang amat jelas antara tarjamah dan
ta’rib yaitu: tarjamah bersifat lebih umum dari pada ta’rib karena ia berlaku dari satu bahasa ke
bahasa yang lain tanpa adanya pengkhususan tersendiri, sedangkan ta’rib berlaku hanya dari
bahasa asing kedalam bahasa Arab. Adapun perbedaan lain adalah bahwa tarjamah selalu
berkaitan erat dengan unsur-unsur kedua bahasa dan pengarang naskah yang diterjemahkan
(sebagaimana telah diuraikan pada halaman sebelumnya). Oleh karena itu tarjamah tidak bisa
dilakukan dengan sepintas lalu, bahkan sebelum menerjemahkan seorang penerjemah harus
dapat menguasai bahan yang akan diterjemahkan secara mendalam. Sedangkan ta’rib pada
dasarnya tidak serumit tarjamah, ia bisa dilakukan tanpa harus melibatkan keseluruhan unsur-
unsur kedua bahasa dan ia tidak pula berhubungan erat dengan pengarang.
24 Syahadah al-Khaury. Dirasat fi al-Tarjamah wa al-Musthalah wa al-Ta’rib. Juz I h. 157-159.
58
Adapun tafsir, dalam prakteknya ia memiliki kesamaan dengan tarjamah dan ta’rib,
akan tetapi skupnya lebih kecil bila dibandingkan dengan keduanya. Tafsir disebut juga al-
ta’wil atau interpretation. Biasanya ia digunakan dalam menerjemahkan suatu ceramah, pidato
atau kitab suci. Penerjemahannyapun lebih luas dengan menekankan detail arti yang dimiliki
oleh masing-masing kata. Adapun Orang yang menafsirkan disebut dengan Mufassir atau
Interpreter.
Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa tarjamah, ta’rib dan tafsir secara garis besar
memang meliki persamaan maupun perbedaan. Adapun persamaannya terletak pada adanya
Transferring atau proses pemindahan pesan dari satu bahasa kedalam bahasa yang lain.
Sedangkan perbedaannya antara lain :
1. Ruang lingkupnya.
2. Hubungannya dengan disiplin ilmu tertentu.
3. Tarjamah dan tafsir bisa dilakukan dalam semua bahasa, sedangkan ta’rib hanya
berlaku dari bahasa asing kedalam bahasa Arab.
4. Tafsir bersifat lebih luas dari tarjamah dan ta’rib, karena itu ia dapat disebut pula
dengan terjemah bebas.
5. Tarjamah dan tafsir sering digunakan untuk menyalin suatu teks, sedangkan ta’rib
biasanya digunakan untuk menyalin istilah asing modern.
59
5. Klasifikasi teori-teori penerjemahan.
Secara umum penerjemahan dapat dibagi kedalam dua bentuk/model, yaitu :
a. Terjemah Lisan ( al-Tarjamah al-Syafawiyyah / Direct Translation ).
b. Terjemah Tulisan ( al-Tarjamah al-Tahririyyah / Written Translation ).
a. Terjemah Lisan.
Terjemah Lisan yang dalam bahasa Arab disebut dengan al-Tarjamah al-Syafawiyyah
atau al-Tarjamah al-Fauriyyah telah digunakan orang sejak ribuan abad yang lalu, dan ia
merupakan satu-satunya teori penerjemahan yang ada pada saat itu, khususnya bagi sebuah
bangsa yang belum mengenal tulisan dalam pergaulan dengan bangsa lain.
Sejarah telah mencatat, bahwa pada abad ke-14 Pierre Dubois –seorang ilmuwan
Perancis- pernah meminta bantuan kepada pemerintah Perancis agar segera mendatangkan para
penerjemah yang menguasai bahasa Arab dan bahasa Perancis, dengan tujuan untuk menguasai
belahan bumi bagian timur dengan cara damai.25 Pada saat itu pula ia minta dibuatkan sebuah
bangunan sekolah bahasa-bahasa ketimuran, agar dapat menghasilkan para penerjemah lisan
yang dapat berkomunikasi dengan selain bangsa Perancis, juga agar dapat memberikan
pengaruh dan pengertian pada mereka sehingga tercapai maksud dan tujuan bangsa Perancis
itu.
25 Hasan Habsyi. Al-harb al-Shalibiyyah II. Dar al-Fikr al-‘Araby. 1970 h.118.
60
Kemudian pada abad ke-16 setelah Christhoper Columbus menguasai benua Amerika,
Pierre mengutus sejumlah pemuda India ke Spanyol untuk mempelajari bahasanya serta agama
Nasrani dalam kurun waktu yang tidak begitu lama. Setelah kembali, mereka dapat
menyebarkan bahasa dan akidah yang telah dipelajari itu ke seantero bumi Amerika Selatan
dan tengah serta pulau-pulau yang mengelilinginya.
Semenjak itu, penerjemahan lisan menjadi kegemaran para individu di abad-abad
pertengahan dan permulaan abad modern. Ketika itu penerjemahan model ini menjadi alat
untuk berdiskusi di tingkat organisasi daerah dan negara, serta menjadi metode resmi
penerjemahan dalam ruang lingkup nasional maupun internasional.
Setelah Konferensi Perdamaian di Paris tahun 1919, penerjemahan ini semakin
menunjukan arah perkembangannya, dimana ia mulai dipraktekkan dalam dua bahasa utama
yaitu : bahasa Inggris dan Perancis. Apalagi pada saat itu bahasa Perancis merupakan bahasa
diplomatik yang digunakan oleh sebagian besar bangsa di dunia. Setelah itu, tepatnya setelah
Perang Dunia II penerjemahan ini lebih meningkat fungsinya sebagai alat penerjemahan yang
digunakan dalam acara-acara konferensi dan lain-lain.
Mesir mengenal terjemah ini setelah Perang Dunia II dimana terjemah ini disebut
dengan al-Tarjamah al-Mushahabah. Penerjemahan ini mulai memasuki ruang aktivitas dan
penyelidikan setelah setelah terjadinya Revolusi Mesir pada tahun 1952. Pada saat itu, Mesir
terpilih sebagai sekretariat organisasi bangsa-bangsa Afaruasia dipertengahan dekade 50-an.
Dan pada kenyataannya sekretariat inilah yang menjadi lembaga pertama dalam mengajarkan
al-tarjamah al-fauriyyah dan al-tarjamah al-tatabbu’iyyah di Mesir.
61
Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penerjemahan lisan adalah :
1. Agar antara manusia satu sama lain dapat saling berdekatan dan saling memahami apa
yang ada diantara mereka secara lebih terarah.
2. Agar dapat memahami pola berfikir orang lain secara langsung dan cepat.
3. Agar menjadi perantara yang cepat dalam kaitannya dengan hubungan antar komponen
masyarakat.
Sedangkan hal-hal yang perlu diperhatikan oleh seorang penerjemah lisan antara lain :
1. Kemampuan eksternal yang menyangkut kemudahan dalam mengungkapkan suatu
maksud dan kuatnya imajinasi.
2. Kemampuan internal yang meliputi pemusatan fikiran, kecermatan dan daya ingat.
Artinya ia dapat langsung menghubungkan dan mempraktekkan kosa kata kedua bahasa
yang sudah tersimpan dalam otaknya dalam waktu singkat untuk mengungkapkan suatu
maksud tidak lebih dari satu jam.
3. Kemampuan moral yang menyangkut aspek penguasaan diri dan kepekaan terhadap
tanggung jawab.
4. Kemampuan budaya yang meliputi pengayoman terhadap masalah-masalah politik,
ekonomi, sosial, perundang-undangan dan organisasi kedaerahan.
5. Seorang penerjemah lisan harus memiliki pengetahuan yang luas dalam dua bahasa
yang ia gunakan tersebut.26
26 Abdul Ghani Abdul Rahman Muhammad. Op.Cit. h.122-123.
62
Maka dari kriteria-kriteria tadi dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya tidak mudah
untuk menjadi seorang penerjemah lisan, karena ia dituntut untuk dapat terampil mengalihkan
bahasa dan ujaran secara langsung, cepat dan tepat, tanpa diberi kesempatan sedikitpun untuk
memperbaiki kesalahannya. Iapun harus memiliki kemampuan berbicara yang fasih atau jelas
baik dalam bahasa sumber maupun bahasa sasaran, berpengetahuan luas dan mampu
menafsirkan apa yang disampaikan oleh penutur bahasa yang ia terjemahkan itu.
Karena itu, untuk dapat menjadi seorang penerjemah lisan yang baik dibutuhkan waktu
yang cukup lama untuk berlatih . Disamping itu iapun harus memiliki pengalaman yang
banyak, karena ia bukan saja harus menjadi penerjemah, lebih dari itu ia harus pula menjadi
seorang penafsir yang mahir. Karena itulah maka dalam bahasa Inggris seorang penerjemah
lisan disebut pula dengan interpreter yang berarti orang yang menafsirkan.
b. Terjemah Tulisan.
Terjemah tulisan yang dalam bahasa Arab disebut dengan al-Tarjamah al-Tahririyyah
merupakan suatu penerjemahan yang telah digunakan oleh para penguasa Arab sebelum adanya
sistim percetakan ribuan tahun yang lalu. Iapun kerap digunakan oleh para raja dalam
kumpulan diwan27 mereka.28
Bukti tentang adanya aktivitas penerjemahan tulisan di Mesir adalah batu Rasyid yang
memiliki tiga bahasa. Selain itu ditemukan pula batu Tal al-‘Umranah di Assiyut yang berisi
27 Diwan adalah buku kumpulan syair dari seorang penyair 28 Ibrahim Badawy al-Jailani. Ilmu al-Tarjamah wa Fadhlu al-Lughah al-‘Arabiyyah’ala al-Lughaat.
Mesir : Al-maktab al-‘Araby li al-Ma’arif. 1997. Cet. 1 h.63.
63
peristiwa surat-menyurat antara raja-raja Fir’aun dengan raja-raja di belahan dunia timur,
sedangkan batu al-Shal Shal yang berisi dua bahasa ; Sumeria dan Akadiyah juga ditemukan
sebelumnya. Ada pula fakta sejarah yang menyebutkan bahwa ketika raja Sarjun
mengumumkan kemenangannya ia menggunakan bermacam-macam bahasa.
Maka tidak dapat dipungkiri bahwa kebutuhan manusia terhadap terjemah didasari oleh
perbedaan suku dan ras yang ada diantara mereka. Munculnya kelompok-kelompok masyarakat
dalam bangsa Arab yang disebut dengan kabilah dalam jumlah yang amat banyak, dimana
mereka hidup dan bertempat-tinggal dalam suatu komunitas masyarakat suatu bangsa dapat
mendorong terciptanya suatu dialek yang tidak difahami oleh bangsa lainnya. Pada awalnya,
penerjemahan diantara mereka adalah penerjemahan lisan, kemudian berkembang menjadi
penerjemahan tulisan setelah meluasnya aktivitas tulis-menulis.
Perkembangan terjemah lisan kepada terjemah tulisan juga dipengaruhi oleh adanya-
peperangan yang mengharuskan penandatanganan perjanjian-perjanjian antara kedua belah
Yang saling bertikai. Selanjutnya penerjemahan tulisan ini semakin berkembang karena
banyaknya pertempuran antara negara-negara Eropa pada abad ke-19 dan pendirian
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) hingga sekarang.
Lain halnya dengan terjemah lisan, dalam terjemah tulisan seorang penerjemah masih
dapat diberi kesempatan untuk memperbaiki kembali unsur-unsur bahasa yang salah atau
menurutnya memiliki padanan yang kurang tepat. Kefasihan berbicara seorang penerjemah
tulisan tidaklah menjadi syarat yang mutlak. Begitu pula halnya dengan penguasaan bahasa,
seorang penerjemah tulisanpun memang seharusnya menguasai dua bahasa, akan tetapi
64
kapasitasnya tidak seberat apa yang harus dikuasai oleh penerjemah lisan. Bahkan ada yang
mengatakan bahwa penerjemah tulisan boleh menguasai kedua bahasa walaupun ia bersipat
pasif.29
Bila kita kembali kedalam sejarah penerjemahan pada masa pertumbuhannya maka kita
menemukan dua teori utama penerjemahan, yaitu : Terjemah Harfiyyah (terjemah kata per-
kata) yang dipelopori oleh Yohana bin al-Bathriq dkk, dan Terjemah Ma’nawiyyah (terjemah
makna yang terkandung di dalam teks) yang dipelopori oleh Hunain bin Ishak dkk.
Teori-teori inilah yang banyak digunakan para penerjemah pada masa lalu dan
mengalami perkembangan yang pesat pada masa Abbasiyah hingga sekarang, disamping itu
teori-teori ini pulalah yang sering diperdebatkan oleh para ahli terjemah.
Perdebatan-perdebatan itu berkisar seputar klasifikasi kedua teori tersebut. Sebut saja J.C
Catford dalam bukunya A Linguistic Theory of Translation (1978) menjelaskan dengan panjang
lebar bahwa terjemah memiliki tiga kategori umum, yaitu :
A. Terjemah berdasarkan keluasan bahasa sumber.
B. Terjemah berdasarkan unsur-unsur linguistik bahasa sumber.
C. Terjemah berdasarkan tataran (ranks) linguistik.
A. Terjemah berdasarkan keluasan bahasa sumber.
Maksudnya adalah seberapa jauh unsur-unsur bahasa sumber itu dapat diterjemahkan
kedalam bahasa sasaran, apakah seluruh bagian dari naskah bahasa sumber itu dapat dialihkan,
29 Suhendra Yusuf . Op.Cit. h.14
65
atau hanya bagian-bagian tertentu saja yang dapat dipindahkan kedalam bahasa sasaran. Atas
dasar inilah maka terjemah ini terbagi kedalam dua bagian, yaitu :
(1). Terjemah Penuh.
Dalam terjemah penuh atau Full Translation ini, keseluruhan naskah bahasa sumber
sepenuhnya diterjemahkan, yaitu setiap bagian dari naskah bahasa sumber dialihkan dengan
padanannya di dalam bahasa sasaran.
(2). Terjemah Parsial.
Pada jenis terjemah parsial atau Partial Translation ini, ada bagian atau beberapa
bagian tertentu dari bahasa sumber yang tidak diterjemahkan. Malah, ada bagian-bagian
tertentu yang dipindahkan begitu saja dan kemudian digabungkan dengan bahasa
terjemahannya. Terjemah jenis ini banyak ditemukan dalam terjemah kesenisastraan. Mengapa
ada unsur-unsur yang tidak diterjemahkan ?, alasannya adalah karena kosakata bahasa sumber
tersebut memang tidak dapat diterjemahkan, atau tidak ditemukan padanannya yang tepat
dalam bahasa sasaran. Alasan lainnya adalah untuk kepentingan-kepentingan tertentu,
misalnya: untuk tetap memelihara ‘warna asli’ nya atau untuk memberikan cita rasa murni
bahasa sumber dalam bahasa terjemahannya. Dalam hal ini, kemungkinan akan terjadi
terjemah pinjam atau Loan Translation, yakni pemakaian unsure-unsur bahasa sumber di
dalam bahasa sasaran dengan memberikan perubahan – perubahan dalam tulisan yang
disesuaikan dengan pelafalan tata penulisan bahasa sasaran. Seperti dalam Bahasa Indonesia
kita jumpai kata menejemen, televisi, kompleks, frekuensi, relatif, temperatur. Kata-kata tadi
dinamakan sebagai kata yang mengalami proses transferensi.
66
Perbedaan antara terjemah penuh dengan terjemah parsial ini tidak terletak pada unsur-
unsur kebahasaan, melainkan hanya pada seberapa banyak naskah bahasa sumber itu
diterjemahkan.
B. Terjemah berdasarkan unsur-unsur linguistik bahasa sumber.
Maksudnya adalah unsur-unsur linguistik apa saja yang akan diterjemahkan dari bahasa
sumber tersebut. Apakah semua bidang linguistik ( grafologi30, fonologi31, morfologi32,
leksikal33 dan sintaksis34 ) yang akan diterjemahkan, atau hanya bidang-bidang tertentu saja.
Bidang-bidang linguistik tadi kemudian akan menjadi jenis penerjemahan tersendiri yang akan
diuraikan pada halaman selanjutnya. Adapun terjemah jenis ini terbagi kepada dua bagian pula:
(1). Terjemah Tuntas.
Terjemah Tuntas atau Total Translation adalah jenis terjemah yang memindahkan
semua unsur kebahasaan, yakni penggantian unsur tatabahasa dan kosakata bahasa sumber
Dengan padanan terjemah tatabahasa dan kosakata bahasa sasaran, disertai dengan penggantian
unsur-unsur fonologi dan grafologi bahasa sumber oleh fonologi dan grafologi bahasa sasaran.
Pada bahasa-bahasa yang mempergunakan tata huruf atau grafologi dan tata bunyi atau
fonologi yang sama seperti bahasa Inggris dan bahasa Indonesia yang sama-sama
menggunakan huruf latin dan tata bunyi yang relatif sama, pengalihan unsur-unsur tersebut
30 Grafologi adalah ilmu yang mempelajari tentang garis telapak tangan. 31 Fonologi adalah ilmu yang meneliti bunyi bahasa tertentu menurut fungsinya. 32 Morfologi adalah ilmu yang mempelajari struktur internal suatu kata. 33 Leksikal adalah perbendaharaan kata sebuah bahasa. 34 Sintaksis adalah cabang linguistik yang menyangkut susunan kata dalam kalimat.
67
Memang tidak dicari padanannya, oleh karena hampir tidak pernah ada proses penerjemahan
pada unsur-unsur tersebut. Kalaupun ada, tentunya secara fonologis, bentuk bahasa sumber
dan dan bahasa sasarannya adalah sama atau hampir sepadan, sehingga ada kecocokan dalam
penggantian tata bunyi dan tata huruf bahasa sumber di dalam bahasa sasaran. Pada bahasa-
bahasa yang mempergunakan tata huruf berlainan, seperti bahasa Arab dan Rusia, apabila
diterjemahkan maka dengan sendirinya terjadi terjemah grafologis.
Yang kita kenal dengan istilah penerjemahan sehari-hari sebenarnya adalah jenis
terjemah tuntas ini, meskipun kata tuntas ini pun merupakan istilah yang rancu dan masih
banyak yang salah kaprah dalam menggunakannya. Di lain hal, meskipun penerjemahan secara
tuntas ini memang terjadi, tidak semua unsur bahasa sumber bisa memperoleh padanan
terjemahnya dalam bahasa sasaran.
(2). Terjemah Terbatas.
Pada Terjemah Terbatas atau Restricted Translation ini terjadi penggantian salah satu
unsur saja dalam bahasa sumber dengan padanannya di dalam bahasa sasaran. Di dalamnya,
penerjemah hanya mengalihkan unsur grafologi, fonologi, kosakata, atau tatabahasanya saja
kedalam grafologi, fonologi, kosakata dan tatabahasa bahasa sasaran.
Meskipun penerjemahan grafologi dan fonologi bisa juga dikerjakan, kegiatan ini tidak
sepenuhnya sebagai kegiatan penerjemahan, karena ia terbatas hanya pada pengalihan salah
satu unsur dari suatu naskah dengan tidak mengikutsertakan penerjemahan kosakata dan
tatabahasa. Dengan kata lain, suatu penerjemahan harus dapat melibatkan juga penerjemahan
kosakata dan tatabahasa.
68
Terjemah terbatas ini kemudian dibagi-bagi menjadi beberapa bagian sebagai berikut.
(a). Terjemah Fonologi.
Dalam terjemah fonologi atau Phonological Translation ini, fonem bahasa sumber
diganti dengan padanannya dalam bahasa sasaran tanpa perubahan kosakata dan tatabahasa.
Terjemah ini sering dengan sengaja dilakukan oleh para aktor, bintang film, pemain teater,
drama, dan opera dalam menirukan aksen-aksen asing atau aksen-aksen suatu dialek tertentu.
Misalnya, seorang bintang film jawa yang harus menirukan aksen bahasa padang karena ia
berperan dalam film sebagai orang padang. Meskipun itu bisa dilakukan, sangatlah jarang ada
pemain yang dapat melakukan terjemah fonologi ini dengan baik dan konsisten pada aturan
kebahasaan bahasa asing atau dialek bahasa tersebut.
(b). Terjemah Grafologi.
Dalam terjemah grafologi atau Graphological Translation ini grafik atau grafem –yakni
satuan terkecil yang distingtif dalam suatu sistem aksara- bahasa sumber digantikan oleh
padanan grafik bahasa sasarannya tanpa disertai pengalihan unsur-unsur yang lainnya, kecuali
apabila terjadi perubahan-perubahan yang melibatkan pengalihan kosakata dan tatabahasa yang
terjadi secara kebetulan saja.
Terjemah grafologi ini sengaja dikerjakan untuk tujuan-tujuan tertentu, misalnya untuk
menghasilkan tata huruf atau tipografi tertentu. Terjemah ini juga sering terjadi tanpa disengaja
pada seorang pelajar bahasa asing yang sedang menulis bahasa tersebut.
69
Terjemah grafologi ini harus dibedakan dengan transliterasi, yakni proses pengalihan
grafik yang melibatkan penerjemahan fonologi pada akhir penerjemahannya. Proses
transliterasi ini dapat diuraikan sebagai berikut : satu unit grafik bahasa sumber digantikan
menjadi unit-unit fonologi (fonem-fonem) bahasa sumber tersebut. Kemudian unit-unit
fonologi itu dialihkan dengan padanannya dalam unit-unit fonologi bahasa sasaran, baru
kemudian unit-unit fonologi bahasa sasaran itu digantikan oleh unit-unit grafologi bahasa
sasaran. Perhatikan gambar proses transliterasi berikut ini.
Grafik bahasa sumber Grafik bahasa sasaran
Fonem bahasa sumber Fonem bahasa sasaran
Proses pengalihan
70
( c ). Terjemah Tatabahasa.
Dalam terjemah tatabahasa atau Grammatical Translation ini, terjadi pemindahan
tatabahasa sumber dengan padanannya tatabahasa sasaran tanpa disertai pengalihan kosakata
bahasa sumber tersebut. Dengan demikian, pada terjemah tatabahasa ini hanya terjadi
penggantian unsur-unsur tatabahasa atau struktur bahasanya saja tanpa pengalihan unsure-
unsur bahasa yang lainnya.
(d). Terjemah kosakata.
Pada terjemah kosakata atau Lexical Translation ini juga terjadi pengalihan kosakata
bahasa sumber dengan padanannya kosakata bahasa sasaran tanpa disertai pemindahan unsur-
unsur tatabahasa atau yang lainnya.
Kedua jenis terjemah diatas yaitu terjemah tatabahasa dan terjemah kosakata sukar dan
jarang sekali terjadi, oleh karena keterhubungan dan keterpautan yang sangat erat antara unsur
tatabahasa dan kosakata. Akan tetapi, dalam sebuah proses belajar bahasa, kedua jenis terjemah
ini biasa dilakukan dalam rangka mendemontrasikan perbedaan antara keduanya.
C.Terjemah berdasarkan tataran (ranks) Linguistik.
Seperti telah dijelaskan diatas bahwa dalam suatu penerjemahan kita dapat menemukan
padanan terjemah dalam bentuk kata per- kata, frase per- frase, klausa per-klausa, kalimat
perkalimat dan seterusnya yang kemudian dapat diikuti dengan proses penyelarasan
(restructuring) , yaitu perubahan-perubahan struktur terhadap hasil transformasi bentuk bahasa
sumber di dalam bahasa sasaran, menjadi bentuk stilistik yang lebih cocok dalam bahasa
71
sasaran. Penyelarasan ini dilakukan oleh karena seringkali penerjemahan apakah itu
penerjemahan kata per-kata atau yang lainnya terasa ‘tidak enak’ untuk dibaca. Maka
penyesuaian dan penyelarasan itu memang perlu dilakukan khususnya bagi kelompok pembaca
tertentu sejauh tidak mencemari kandungan pesan bahasa sumbernya.
Dengan demikian, manakala pada terjemah tuntas dapat terjadi proses penerjemahan
dalam semua tataran bahasa, baik kata, klausa, frase, kalimat dan seterusnya, maka dalam jenis
terjemah ketiga ini hanya terjadi penerjemahan dalam satu tataran saja. Jenis terjemah ini
dikenal dengan sebutan terjemah terikat. Kebalikan dari terjemah terikat adalah terjemah
bebas, yaitu terjemah yang tidak hanya terikat pada satu tataran saja. Jadi, tataran kalimat
misalnya, yidak harus mendapatkan padanan terjemah dengan tataran kalimat lagi, tataran kata
tidak harus mendapatkan padanan terjemah tataran kata lagi dan seterusnya. Berdasarkan hal
inilah maka terjemah jenis ketiga ini terbagi kedalam dua bagian, yaitu :
(1). Terjemah terikat.
Terjemah terikat atau Rank-Bound Translation ini adalah jenis terjemah yang terbatas
secara lebih khusus lagi kepada penerjemahan dalam tataran kata dan morfem saja, yakni
penggantian kosakata dan morfem bahasa sumber dengan padanannya kosakata dan morfem
bahasa sasaran. Pada jenis terjemah terikat ini biasanya tidak terjadi penerjemahan pada tataran
yang lebih tinggi daripada tataran kata dan morfem saja.
Maka dari itu, terjemah kata per-kata atau word for word dengan sendirinya masuk
dalam terjemah terikat ini. Walaupun ia dikategorikan sebagai terjemahan yang ‘buruk’
terjemah kata per - kata ini biasa digunakan untuk kepentingan - kepentingan tertentu
72
misalnya, dalam penerjemahan puisi dan segala bentuk penerjemahan dalam usaha
menunjukkan adanya perbedaan antara bahasa sumber dan bahasa sasaran dalam proses belajar
bahasa.
(2) Terjemah bebas.
Terjemah bebas atau Unbounded Translation ini adalam jenis terjemah yang tidak
dibatasi oleh keterikatan pada penerjemahan suatu tataran tertentu. Jenis terjemah ini selalu
berada pada tataran yang lebih tinggi daripada tataran kata dan morfem, dan bisa lebih luas dari
tataran kalimat.
Penerjemahan sebuah kalimat bahasa sumber yang sulit diterjemahkan secara kata per-
kata atau harfiyah dapat dihasilkan dalam padanan terjemah dalam bahasa sasaran yang terdiri
atas beberapa kalimat yang dapat membentuk sebuah padanan terjemahan, tergantung kepada
interpretasi penerjemah dan keterpautan kalimat tersebut dengan konsep yang terkandung
dalam bahasa sumber secara keseluruhan. Atau, penerjemahan itu terjadi karena bahasa
sumbernya begitu rumit sehingga satu kkalimat bahasa sumber itu menyimpan pesan yang
panjang dan memerlukan beberapa kalimat padanannya, baik sebagai kalimat yang dianggap
sepadan pemakaiannya, atau sebagai kalimat penjelas yang memberikan keterangan tambahan
pada konsep yang diterjemahkan.35
35 Suhendra Yusuf. Op.Cit. h. 19-26.
73
Seorang linguis lain yang bernama Newmark pun memiliki pendapat lain tentang
pembagian teori penerjemahan. Menurutnya, metode atau teori penerjemahan saat ini bukan
lagi mengenai perdebatan antara penerjemahan harfiyah adan penerjemahan bebas seperti yang
selama ini selalu mendominasi pembahasan tentang teori penerjemahan. Persoalan-persoalan di
luar teks sepatutnya mendapat perhatian pula dalam pemilihan teori yang akan digunakan. Oleh
karena itu Ia mengajukan dua kelompok metode penerjemahan. Kedua kelompok itu antara lain
:
1. Metode yang memberikan penekanan terhadap bahasa sumber.
2. Metode yang memberikan penekanan terhadap bahasa sasaran.
1. Metode yang memberikan penekanan terhadap bahasa sumber.
Metode ini berisi empat metode atau teori penerjemahan, yaitu :
(a). Penerjemahan kata demi kata.
Dalam metode ini biasanya kata-kata teks bahasa sasaran langsung diletakkan dibawah
teks bahasa sumber. Kata-kata dalam teks bahasa sumber diterjemahkan di luar konteks, dan
kata-kata yang bersifat cultural (misalnya kata ‘tempe’) dipindahkan apa adanya. Umumnya
metode ini dipergunakan sebagai tahapan prapenerjemahan (sebagai gloss) pada penerjemahan
teks yang sangat sukar atau untuk memahami mekanisme bahasa sumber.
74
Jadi, dalam proses penerjemahan, metode ini dapat terjadi pada tahap analisis atau tahap
awal pengalihan. Dan dalam prakteknya, khususnya di Indonesia metode ini tidak umum
Digunakan.
(b). Penerjemahan harfiyah.
Konstruksi gramatikal bahasa sumber dicarikan padanannya yang terdekat dalam teks
bahasa sasaran, tetapi penerjemahan kosa katanya dilakukan terpisah dari konteks. Contohnya
seperti kalimat It’s raining cats and dogs dalam bahasa Indonesia diartikan dengan Hujan
kucing dan anjing. Penerjemahan semacam ini selain menghasilkan versi terjemahan yang tidak
bermakna (kucing dan anjing tidak berjatuhan dari langit), juga menghasilkan terjemahan yang
tidak lazim. Maka seperti halnya metode (1) diatas, dalam proses penerjemahan, metode ini
dapat digunakan pada tahap awal pengalihan, bukan sebagai metode yang lazim. Sebagai
proses penerjemahan awal, metode ini dapat membantu penerjemah dalam melihat
permasalahan yang harus diatasi.
(c) . Penerjemahan setia.
Penerjemahan setia mencoba mereproduksi makna kontekstual teks bahasa sumber
dengan masih dibatasi oleh struktur gramatikalnya. Disini kata-kata yang bermuatan budaya
dialihbahasakan, tetapi penyimpangan dari segi tatabahasa dan pilihan kata masih tetap
dibiarkan. Penerjemahan ini berpegang teguh pada maksud dan tujuan teks sumber, sehingga
hasil terjemahan terasa kaku dan seringkali asing. Metode ini dapat dimanfaatkan untuk
membantu penerjemah dalam proses awal pengalihan. Contohnya seperti kalimat Ben is too
75
well aware that he is naughty (kebetulan tanpa muatan budaya) diterjemahkan kedalam bahasa
Indonesia menjadi ‘ Ben menyadari terlalu baik bahwa ia nakal’. Terjemahan ini terasa
sebagai terjemahan yang dihasilkan oleh mahasiswa asing yang belajar bahasa Indonesia pada
tingkat pralanjutan. Meskipun maknanya sangat dekat (setia) dengan makna dalam teks
sumber, versi terjemahannya dalam bahasa sasaran terasa kaku, dan akan terasa lebih wajar
kalau dipoles lagi dalam tahap penyerasian serta disesuaikan dengan kaidah bahasa sasaran
menjadi ‘ Ben sangat sadar kalau ia nakal’. Dalam penyerasian dengan kaidah bahasa sasaran
yang tidak lagi setia dengan teks sumber ini terjadi pergeseran bentuk (dari frase too well
menjadi ‘sangat’), dan pergeseran nuansa makna dalam penyangatan yang terkandung dalam
frase too well tersebut.
(d). Penerjemahan semantis.
Apabila dibandingkan dengan metode penerjemahan setia, penerjemahan semantis
memiliki kesan lebih luwes, dan penerjemahan setia lebih kaku dan tidak berkompromi dengan
kaidah bahasa sasaran. Berbeda dengan penerjemahan setia, penerjemahan semantis harus pula
mempertimbangkan unsur estetika teks bahasa sumber dengan mengkompromikan makna
selama masih dalam batas kewajaran. Selain itu, kata yang hanya sedikit bermuatan budaya
dapat diterjemahkan dengan kata yang netral atau istilah yang fungsional. Bila dibandingkan
dengan penerjemahan setia, penerjemahan semantis lebih fleksibel, sedangkan penerjemahan
setia lebih terikat oleh bahasa sumber. Contohnya, kalimat He is a book-worm yang
diterjemahkan menjadi ‘dia (laki-laki) adalah seorang yang suka sekali membaca’. Hasil
terjemahan tersebut bersifat fungsional (dapat dimengerti dengan mudah), sekalipun tidak ada
76
pemadanan budaya.
2. Metode yang memberikan penekanan terhadap bahasa sasaran.
Keempat metode diatas adalah metode yang lebih menekankan bahasa sumber. Selain
melalui penekanan kepada bahasa sumber, metode penerjemahan dapat lebih ditekankan
kepada bahasa sasaran. Ini berarti, selain pertimbangan kewacanaan, penerjemah juga
mempertimbangkan hal-hal lain yang berkaitan dengan bahasa sasaran. Metode-metode
tersebut adalah :
(a). Metode adaptasi.
Adaptasi merupakan metode penerjemahan yang paling bebas dan paling dekat dengan
bahasa sasaran. Istilah “saduran” dapat dimasukkan disini asalkan penyadurannya tidak
mengorbankan hal-hal penting dalam teks bahasa sumber, misalnya tema, karakter atau alur.
Biasanya metode ini dipakai dalam penerjemahan drama atau puisi, yaitu yang
mempertahankan tema, karakter dan alur. Tetapi dalam penerjemahan terjadi peralihan budaya
bahasa sumber ke dalam budaya bahasa sasaran, dan teks asli ditulis kembali serta
diadaptasikan dalam teks bahasa sasaran. Sebagai contoh adalah penerjemahan drama
Shakespeare yang berjudul ‘Macbeth’ oleh WS Rendra. Rendra mempertahankan semua
karakter dalam naskah asli, dan alur cerita juga dipertahankan, tetapi dialognya disadur dan
disesuaikan dengan bahasa Indonesia.
77
(b). Metode penerjemahan bebas.
Metode ini merupakan penerjemahan yang mengutamakan isi dan mengorbankan
bentuk teks bahasa sumber. Biasanya metode ini berbentuk sebuah parafrase yang dapat lebih
panjang atau pendek dari aslinya. Metode ini sering dipakai di kalangan media massa. Di
Indonesia sendiri metode ini dikenal dengan istilah ‘oplosan’, karena bentuk retorik atau
kalimatnya sudah berubah sama sekali. Metode ini mempunyai kegunaan yang sangat khusus.
Seorang penerjemah harus berhati-hati dalam memilih metode ini serta memikirkan kapan dan
apa tujuan penerjemahannya.
( c). Metode penerjemahan Idiomatik.
Metode ini bertujuan mereproduksi pesan dalam teks bahasa sumber, tetapi sering
dengan menggunakan kesan keakraban dan ungkapan idiomatic yang tidak didapati pada versi
aslinya. Dengan demikian, banyak terjadi distorsi nuansa makna. Contohnya, dalam teks
bahasa sumber terulis ungkapan : Mari minum bir sama-sama; saya yang bayar. Ungkapan ini
kemudian diterjemahkan menjadi I’ll shout you a beer.
Dalam terjemahn di atas, versi bahasa Inggrisnya lebih idiomatic daripada versi asli.
Versi terjemahan yang tidak terlalu idiomatic dapat berbunyi : l et me buy you a beer.
(d). Penerjemahan komunikatif.
Metode ini merupakan reproduksi makna kontekstual yang sedemikian rupa, sehingga
baik aspek kebahasaan maupun aspek isi langsung dapat dimengerti oleh pembaca. Oleh karena
itu, versi teks bahasa sasarannya pun langsung dapat diterima. Sesuai dengan namanya,
78
metode ini memperhatikan prinsip-prinsip komunikasi, yaitu khalayak pembaca dan tujuan
penerjemahan. Melalui metode ini, sebuah versi teks bahasa sumber dapat diterjemahkan menja
di beberapa versi teks bahasa sasaran sesuai dengan prinsip-prinsip di atas. Contohnya adalah
penerjemahan kata spine dalam frase thorns spines in old reef sediments. Apabila kata tersebut
diterjemahkan untuk para ahli atau kalangan ilmuwan biologi, maka padanannya adalah spina
(istilah teknis Latin), tetapi apabila diterjemahkan untuk khalayak pembaca yang lebih umum,
maka kata tersebut dapat diterjemahkan menjadi ‘duri’.36
Dari delapan metode terjemah yang diciptakan oleh Newmark di atas, ada yang bersifat
umum dan ada pula yang bersifat khusus. Yang bersifat khusus, khusus pula penggunaan dan
tujuannya. Dan yang bersifat umum, hanya metode semantis dan komunikatif yang memenuhi
tujuan utama penerjemahan, yaitu demi ketepatan dan efisiensi sebuah teks.
Secara umum dapat dikatakan, bahwa metode penerjemahan semantis dilakukan dengan
mempertimbangkan tingkat kebahasaan penulis teks asli, sedangkan penerjemahan komunikatif
lebih mempertimbangkan tingkat kebahasaan pembaca. Penerjemahan semantis sering
digunakan dalam menerjemahkan teks yang ekspresif, sedangkan metode penerjemahan
komunikatif untuk teks yang informatif atau yang bersifat imbauan (vokatif).
Demikianlah beberapa teori penerjemahan yang diusulkan oleh dua orang linguis barat
yang sangat terkenal, yaitu J.C. Catford dan Newmark. Sebenarnya, bukan hanya mereka saja
yang banyak mengusulkan teori-teori penerjemahan, akan tetapi masih banyak lagi yang lain
yang memberikan usulan dalam cara menerjemahkan. Sebut saja seperti L. Forster dan House.
Masing-masing linguis memiliki ciri yang berbeda dalam tekhnik penerjemahan. Seperti House
36 Rochayah Machali. Pedoman Bagi Penerjemah..Jakarta:PT. Grasindo. 2000. Cet.I h. 49-55
79
dengan cirinya : overt dan covert translation ( ), atau Forster
dengan cirinya : The unit is the individual, the unit is the sentence or phrase, and the
unit Is the whole work (
). 37Lain pula halnya dengan linguis
berkebangsaan Perancis yaitu J. Vinay dan A. Darbelinet. Keduanya mengusulkan tujuh
macam teori penerjemahan, yaitu :
1. Al-iqtibas
2. Al-isti’arah Al-tarjamah al-Mubasyarah
3. Al-tarjamah al-Harfiyyah
4. Al-tabdil
5. Al-idkhal Al-tarjamah al-Multawiyah
6. Al-mu’adalah, dan
7. Al-taqrib
Adapun penjelasannya sebagai berikut :
1. Al-iqtibas (al-Ta’rib atau al-Ta’jim).
Para penerjemah terdahulu yang hidup pada masa kejayaan penerjemahan dibawah
pemerintahan khalifah al-Ma’mun ataupun setelahnya telah mempraktekkan teori
penerjemahan ini. Sebagai contoh, mereka mengadopsi kalimat- kalimat bahasa Persia dan
latin kedalam bahasa Arab. Sehingga kemudian kalimat-kalimat tersebut banyak bertebaran di
dalam kamus-kamus Arab dan tidak diketahui dari mana asalnya yang sebenarnya. Adapun
37 Nurachman Hanafi. Op.Cit. h.54
80
dari mana asalnya yang sebenarnya. Adapun pengertian al-Iqtibas sama dengan al-Ta’rib atau
al-Ta’jim, yaitu: mengambil sebuah kata asing, lalu diterjemahkan kedalam bahasa Arab
dengan mengganti huruf-huruf kata asing tersebut dengan padanannya di dalam huruf Arab.
Dengan kata lain, teori ini hanya menerjemahkan dari segi penulisannya saja. Adapun bunyi
kata-katanya masih terdengar sebagai kata asing. Contoh : banafsyah (Persia), sijil (Latin), ruh
(Armenia), bustan (Persia), qalam (Yunani), handasah (Persia) dan lain sebagainya.
1. Al-isti’arah.
Maksud dari teori penerjemahan ini adalah menerjemahkan suatu ungkapan dalam satu
bahasa kedalam bahasa lain. Terkadang teori ini dapat dipraktekkan pada dua bahasa yang
bertetangga, seperti Amerika dan Inggris, atau Spanyol (asli) dan Spanyol Amerika Latin.
Maka ketika ungkapan-ungkapan tersebut sudah dipergunakan dalam kamus, asal kata yang
sebenarnya sudah tidak diketahui lagi. Hal inipun berlaku pada sebagian negara Arab. Contoh
ungkapan asing yang masuk kedalam perkataan Arab adalah : ta’wim al-‘umlah, safir
mufawwadh fauqa al-‘adah, yahdhuru ittifaqiyyah, al-sayyidah al-ula dan lain sebagainya.
2. Al-tarjamah al-Harfiyyah.
Maksud dari teori penerjemahan ini adalah mengganti suatu kata bahasa sumber dengan
kata lain yang serupa dengannya dalam bahasa sasaran/bahasa kedua. Penerjemahan seperti ini
banyak sekali digunakan dalam proses ta’rib (arabisasi) dan ta’jim (perkamusan). Hanya
saja para linguis kurang mendukung adanya teori ini, karena di dalamnya banyak
81
terdapat kekurangan dan seringkali menyebabkan timbulnya kerusakan dalam bahasa Arab.
Banyak para linguis yang menggunakan komputer dalam melakukan penerjemahan jenis ini.
Apalagi sekarang telah diciptakan kamus komputer di Kanada dan pangsa pasar Eropa lainnya.
Hanya saja yang demikian itu dianggap sebagai hal yang tabu, karena hanya sebagai fasilitator
yang memberikan kemudahan bagi para penerjemah.
Penerjemahan komputer ini dapat menyebabkan beberapa faktor berikut ini :
1. Perubahan arti.
2. Kosong dari arti yang dimaksud.
3. Arti yang dimaksud tidak mungkin tercapai karena tidak adanya kemiripan
antara bahasa sumber dan bahasa sasaran dalam tekhnik penyusunan bahasanya.
4. Dalam proses penerjemahannya tidak diikuti dengan penelitian latar belakang
kalimat tersebut dalam bahasa sumber.
5. Teks/kalimat tersebut sempurna, tetapi tidak memiliki tingkatan bahasa.
Contohnya seperti kalimat Arab : wadha’a al-habla yang diterjemahkan kedalam
bahasa Inggris dengan komputer menjadi : to put the rope. Padahal, arti yang dimaksud adalah
melepaskan ikatannya, bukan meletakkan ikatan. Dengan demikian, hasil penerjemahan tadi
bukanlah penerjemahan yang sesuai dengan isi pesan yang dimaksud.
Meskipun berbagai cara telah ditempuh oleh para linguis dalam menyiasati agar teori
penerjemahan ini dapat lebih sempurna, akan tetapi teori ini tetap dianggap sebagai teori
yang buruk dan banyak kekurangan, bahkan teori inipun dianggap sebagai perusak bahasa.
Menurut mereka, teori ini boleh digunakan hanya pada tahap awal penerjemahan saja,
agar sesuai dengan redaksi kalimat aslinya.
82
Beberapa teori yang telah dijelaskan diatas, baik al-iqtibas, al-isti’arah dan al-tarjamah
al-harfiyyah, kesemuanya itu dinamakan pula sebagai teori al-Tarjamah al-Mubasyarah, yaitu
penerjemahan secara langsung yang masih terikat dengan teks aslinya. Adapun berikut ini akan
dijelaskan beberapa teori yang masuk dalam kategori al-Tarjamah bitasharruf atau
penerjemahan bebas. Teori-teori tersebut adalah :
1. Al-tabdil.
Teori penerjemahan ini dinamakan pula al-tabdil al-lughawy. Yaitu menggantikan suatu
ungkapan dalam bahasa sumber dengan ungkapan lain dalam bahasa sasaran yang sesuai dalam
segi tatabahasanya, seperti menggunakan mashdar sebagai ganti an + fi’il mudhari’.
Contohnya seperti kalimat : ba’da an yaqraa al- kitaaba menjadi ba’da qiraati al-kitaabi.
Dalam al-tabdil ini terdapat dua komponen penting, yaitu Asas dan Badil. Asas adalah
kalimat yang digantikan (ba’da an yaqraa al-kitaaba), sedangkan badil adalah kalimat yang
menggantikan (ba’da qiraati al-kitaabi).
Terkadang di dalam al-tabdil ini terjadi perubahan arti, akan tetapi yang demikian itu tidak
disyaratkan. Adapun proses penyandaran (antara asas dan badil) merupakan bagian dari al-
tabdil , yaitu ketika suatu bahasa yang melakukan penerjemahan dengan teori ini sampai pada
kesimpulan akhir berupa arti fi’il (pekerjaan), atau berupa fi’il , musnad dan musnad ilaih
dalam susunan kalimatnya. Contohnya : kalimat he was blown away yang diterjemahkan
kedalam bahasa Arab menjadi : zahaba adraaja al- Riyah. Kata zahaba (yang artinya pergi)
sebagai kata kerja disini merupakan kesimpulan akhir kalimat tersebut. Dalam bahasa
Indonesia, maksud dari kalimat tersebut adalah : Dia pergi bagaikan angin lalu.
83
Bila dilihat lebih dalam lagi, maka pembahasan tentang ijaz38 dan I’jaz39 dalam ilmu
Balaghah masuk dalam pembahasan teori ini.
2. Al-idkhal.
Adapun yang dimaksud dengan teori ini adalah penerjemahan dengan cara membuat
ungkapan-ungkapan baru yang sepadan dalam bahasa sasaran dari teks yang diterjemahkan.
Teori ini dapat dilakukan ketika teori al-tarjamah al-harfiyyah yang telah diuraikan
sebelumnya tidak lagi dapat lagi dipertahankan, karena bahasanya amat sulit. Ia (al-Idkhal)
akan terkesan sebagai suatu pemaksaan ketika ungkapan yang diterjemahkan itu memang
sesuatu yang wajib diterjemahkan atau memang ada sumbernya dalam kamus. Akan tetapi ia
pun dapat terkesan sebagai suatu kepatuhan ketika seorang penerjemah yang memiliki
kemampuan tentang bahasa yang sangat handal dan menguasai dengan baik seluk-beluk
bahasanya, bersengaja menciptakan ungkapan baru yang sesuai dan sepadan dengan teks
aslinya. Dengan kata lain, teori penerjemahan ini tidak dapat dilakukan kecuali oleh para
penerjemah yang memiliki segudang pengalaman dalam bidang terjemah dan memiliki bakat
dan minat bahasa yang tinggi.
38 Ijaz adalah kalimat yang sedikit memiliki arti yang banyak (lihat Al-sayyid Ahmad al-Hasyimy.
Jawahir al-Balaghah fi al-Ma’ani wa al-Bayan wa al-Badi’. Libanon : Dar al-Fikr. 1994., h.192). 39 I’jaz adalah arti suatu kalimat lebih indah dan bernilai dari kalimat itu sendiri. Loc.Cit., h. 488.
84
3. Al-mu’adalah.
Merupakan suatu teori penerjemahan dengan cara menerjemahkan satu arti kalimat dengan
berbagai macam arti, dimana arti-arti tersebut sangat jauh berbeda dari arti asalnya. Adapun
yang termasuk dalam teori ini adalah bidang peristilahan, pribahasa dan yang serupa dengan
hal itu. Contohnya adalah kalimat : sa’atu al-qahwah (waktu minum teh) diartikan dengan
ba’da al-zhuhri (setelah waktu dzuhur).
4. Al-taqrib.
Teori penerjemahan ini digunakan ketika kata yang diterjemahkan tidak ada padanannya
sama sekali dalam bahasa sasaran. Arti dari al-Taqrib itu sendiri adalah mendekatkan . Maka
al-taqrib dapat berarti mencari arti yang terdekat. Dibuatnya teori ini karena adanya perbedaan
adat kebiasaan antara satu bangsa dengan bangsa lainnya. Misalnya, dalam cara mengucapkan
salam. Orang Amerika kadang-kadang melakukannya dengan berjabat tangan, orang Eskimo
mengucapkan salam dengan hidungnya, Orang Arab dengan cara memeluk dan mencium pipi,
dan orang Inggris dengan cara mencium bibir.40
Demikianlah beberapa teori penerjemahan yang diusulkan oleh para linguis. Walaupun
ada perbedaan dalam teori-teori tersebut, para linguis sepakat untuk menggunakan beberapa
teori penerjemahan dibawah ini sebagai teori penerjemahan umum, yaitu :
40 Muhammad Daidawy. Op.Cit. h.171-178.
85
1. Terjemah Kata demi Kata (Tarjamah al-Kalimat / Word for Word).
Penerjemahan ini menitik-beratkan pada terjemah kata per-kata. Adapun Forster
menyebutnya dengan interlineal version.
Di Eropa, penerjemahan dengan teori ini kerap dilakukan pada abad pertengahan dan
berkembang cukup luas, terutama pada naskah-naskah yang dianggap sakral, seperti kitab suci.
Di Indonesia sendiri, teori penerjemahan ini dipraktekkan untuk menerjemahkan kitab suci al-
Qur’an.
Teori penerjemahan ini memiliki manfaat antara lain :
1. Naskah asli tetap mendapat perhatian, karena teori ini bertujuan untuk mempertahankan
kemurnian produk terjemahan, agar sesuai dengan bentuk aslinya.
2. Cocok untuk beberapa hal tertentu saja, seperti kitab suci, puisi dan naskah-naskah
pendek lainnya.
Sedangkan kelemahan teori ini antara lain :
1. Arti dari konteks kalimatnya seringkali bukan arti yang tepat. Ia lebih menonjolkan
bentuk per-suku-kata, terutama bila kalimatnya cukup panjang dan kompleks. Apabila
masih kurang dimengerti, maka ia diberi catatan atau keterangan tambahan lainnya.
2. Jika struktur kalimatnya sesuai dengan hasil terjemahannya maka penerjemahan ini
dapat pula disebut sebagai terjemah harfiyah.
2.Terjemah Terikat (al-Tarjamah al-Harfiyyah / Literal Translation).
Teori terjemah jenis kedua ini didasarkan pada konsepsi bahwa seorang penerjemah
hendaknya berlaku setia kepada naskah aslinya, atau sejalan dengan naskah aslinya. Karena itu,
86
Theodore Savory dalam bukunya yang berjudul The Art of Translation menyebutkan bahwa
terjemah jenis ini merupakan ‘faithful translation’ (penerjemahan yang gagal).
Adapun manfaat yang dapat dipetik dari teori terjemah ini adalah :
1. Segi dan struktur kalimatnya lebih sesuai dengan aslinya. Dengan demikian, tugas
penggarap naskah bukan hanya sebagai penerjemah, bahkan sekaligus ia berlaku
sebagai transformer atau orang yang memindahkan satu naskah kedalam naskah bahasa
yang lain.
2. Gaya penulisan penerjemah lebih sesuai dan tepat sebagaimana aslinya. Karena itu
penerjemah telah berhasil menyentuh keinginan penulis aslinya.
Sedangkan kelemahan teori terjemah ini antara lain :
1. Karena penekanan jatuh pada bentuk dan struktur kalimat, maka secara otomatis makna
menjadi korban utamanya. Padahal yang seharusnya menjadi prioritas utamanya adalah
makna, dan ia tidak dijadikan korban. Sebab, apabila makna dapat tersirat dengan jelas,
maka pembaca seolah-olah berhadapan langsung dengan penulisnya.
2. Terjemah ini bersifat dogmatis pada bentuk, sehingga tidak memiliki kesan luwes
ketika dibaca, dan ia penuh dengan kekakuan dan terkesan dipaksakan.
3. Terjemah Bebas (al-Tarjamah al-Hurroh / Free Translation).
Dalam teori terjemah bebas ini bukan berarti seorang penerjemah boleh menerjemahkan
dengan sekehendak hati yang dapat menghilangkan inti penerjemahan itu sendiri. Arti bebas di
sini adalah penerjemah tidak terlalu terikat oleh bentuk maupun struktur kalimat yang terdapat
dalam naskah yang ia terjemahkan. Ia boleh memodifikasi kalimat agar pesan yang terkandung
87
di dalamnya mudah dimengerti oleh pembacanya.
Umumnya, terjemah ini menitik-beratkan penekanan pada bahasa sasaran. Itulah
sebabnya, segala kemudahan dapat lebih tercermin agar pembaca dapat merasa puas.
Seandainya terjadi perombakan, penghilangan dan penambahan pada bagian-bagian tertentu
dari kalimatnya, maka hal itu dapat dibenarkan dalam terjemah ini, dengan tujuan mencapai
kemudahan dalam pengertian. Karena itu, Savory menyebutkan pula bahwa terjemah ini
merupakan Idiomatic Translation (penerjemahan idiom).
Adapun manfaat atau kelebihan teori terjemah ini antara lain :
1. Makna mendapat kedudukan yang amat penting. Lewat ketepatan makna, pembaca
dengan mudah dapat menerka maksud penulis, sekalipun dipisahkan oleh latar belakang
budaya, waktu dan tempat yang berbeda.
2. Kreativitas dalam mengungkapkan sesuatu mendapatkan tempat yang semestinya.
Penerjemah dapat mengembangkan kemampuannya semaksimal mungkin, dan dapat
membuat kesan yang lebih indah daripada naskah aslinya.
Sedangkan kelemahan teori terjemah ini antara lain :
1. Produk terjemahan akan tak bernilai (valueless) kalau penerjemahannya terlalu bebas,
2. Gaya penulisan penulisnaskah asli akan terabaikan, dan tersalin dalam gaya ciptaan
penerjemah. Kalau hal ini terjadi, akibatnya produk terjemahan dapat menjadi baik atau
sebaliknya, sesuai dengan kemampuannya.
Agar perbedaan antara ketiga macam teori terjemah yang telah diuraikan tadi lebih jelas,
maka berikut ini penulis akan menjelaskan beberapa contoh kalimat dari ketiga teori tersebut :
kalimat : “ It’s raining cats and dogs” bila diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dan Arab
88
menurut ketiga teori itu adalah :
1. Menurut al-tarjamah al-lafdziyyah : Dia sedang hujan kucing dan anjing.
(Al-samaa’u) mumthirun (tun) qithathan wa
killaaban.
2. Menurut al-tarjamah al-harfiyyah : Hujan kucing dan anjing.
Tamthuru (al-samaa’u) qithathan wa killaaban.
3. Menurut al-tarjamah al-hurrah : Hujan lebat.
Al-matharu ghazirun, tamthuru al-samaa’u
bighazarah, yatahaathalu al-matharu midraaran.41
Demikianlah penjelasan yang sederhana tentang berbagai macam teori dalam terjemah.
Teori-teori diatas merupakan sebagian besar dari teori-teori penerjemahan yang berkembang
sejak pertama kali dipelopori oleh Yohana bin al-Bathriq dan Hunain bin Ishak. Selanjutnya,
bagimana seluk-beluk perkembangannya akan diuraikan pada bab yang akan datang.
6. Macam-ragam penerjemahan.
Ada beberapa macam bentuk penerjemahan, antara lain :
1. Al-tarjamah al-Adabiyyah. Adalah suatu penerjemahan yang meliputi bidang seni dan
sastra. Kegiatan penerjemahan ini telah lama dimulai semenjak abad ke-18.
Penerjemahan ini pernah mengalami masa kevakuman, khususnya ketika terjadi Perang
Dunia. Kemudian penerjemahan ini dapat marak kembali pada abad ke-19 dengan
41 Nurachman Hanafi. Op.Cit. h. 54-60.
89
bantuan dari lembaga pemerintah maupun swasta yang memiliki perhatian dalam bidang
ini.
2. Al-tarjamah al-Sya’biyyah. Merupakan suatu penerjemahan ringan yang meliputi hal-
hal yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa sehari-hari yang terjadi di sekeliling
kita. Biasanya peristiwa itu dimuat dalam surat kabar, majalah mingguan atau bulanan
dan yang senada dengan hal itu dari bentuk media massa lainnya.
3. Al-tarjamah al-‘ilmiyyah. Adalah suatu penerjemahan yang meliputi bidang sains dan
teknologi pada abad modern ini. Penerjemahan ini disebut pula dengan al-Tarjamah al-
Shina’iyyah atau al-Tarjamah al-Taqniyyah karena ia merupakan proses pemindahan
hasil-hasil kreativitas manusia yang berbentuk inovasi terbaru dalam bidang ilmiah dan
pendidikan dari satu bahasa ke dalam bahasa yang lain. Begitu pula ia dinamakan
sebagai terjemah ilmiah, karena berhubungan dengan alat-alat modern hasil ciptaan
manusia.
4. Al-tarjamah al-‘Adiyyah. Merupakan suatu penerjemahan yang bergerak dalam bidang
perundang-undangan, akad perjanjian dan kesepakatan antar negara, surat-surat penting,
ijazah pendidikan dan lain sebagainya. 42
5. Al-tarjamah al-Aliyyah. Adalah suatu penerjemahan yang menggunakan bantuan
program komputer. Penerjemahan ini dapat menambah nilai seorang penerjemah,
menghindarkannya dari kesalahan bahasa, menganalisis penerjemahan dari segi ilmu
tata bahasa dan lain-lain.
42 Abdul Ghani Abdul Rahman Muhammad., op.cit., h. 72-74.
90
6. Al-tarjamah al-Qur’aniyyah. Merupakan suatu penerjemahan yang melakukan
kegiatannya dalam menerjemahkan kitab suci al-Qur’an al-Karim. Penerjemahan ini
dilakukan untuk pertama kalinya ke dalam bahasa Latin oleh dua orang penerjemah
yang bernama Robert yang berkebangsaan Inggris dan Hermann yang berkebangsaan
Jerman pada tahun 1141-1143 .43
Demikianlah klasifikasi umum macam-ragam penerjemahan yang berkembang dewasa ini.
Selain itu masih ada lagi ragam penerjemahan lain yang yang masuk dalam kelompok ini, akan
tetapi telah diuraikan bentuknya pada bab-bab terdahulu, seperti al-Tarjamah al-Tahririyyah
(terjemah tulisan) dan al-Tarjamah al-Syafawiyyah (terjemah lisan).
43 Ibrahim Badawy al-Jailani., op.cit., h. 70-73.
91
BAB IV
ANALISIS PERKEMBANGAN PENERJEMAHAN ARAB.
1. Urgensi penerjemahan di dunia Arab.
Sebagaimana telah diuraikan, bahwa terjemah merupakan salah satu cara yang
digunakan dalam pengajaran bahasa. Selain itu, bila kita kembali ke dalam sejarah, maka
terjemah memiliki arti dan kedudukan yang amat penting dalam kehidupan seluruh bangsa di
atas bumi ini, khususnya bagi para pemimpin suatu negara atau para raja. Manusia dengan
segala kekurangannya tidak mungkin dapat hidup terpisah dari manusia lain. Karena itu, tidak
ada jalan lain agar mereka senantiasa dapat hidup secara berdampingan, kecuali dengan
mengetahui dan memahami bahasa yang mereka gunakan. Apabila seseorang sudah dapat
memahami apa yang dibicarakan oleh orang lain, maka akan mudah baginya untuk
memperoleh suatu ilmu pengetahuan. Apalagi bagi orang yang hidupnya senantiasa berpindah-
pindah dari satu tempat ke tempat yang lain, maka otomatis ia harus dapat berbicara dan
mengerti beberapa macam bahasa yang berbeda, agar tidak mendapatkan kesulitan ketika
berinteraksi dengan orang lain.
Maka dalam hal ini, tidak dapat diragukan lagi bahwa terjemah memiliki peran yang
amat penting dalam kehidupan manusia. Artinya, bahwa apabila seseorang sudah dapat
memahami apa yang disampaikan oleh orang lain dalam bahasa yang berbeda, ia dianggap
telah melakukan aktivitas penerjemahan dalam pengertian yang amat sederhana. Sebab, tugas
terjemah yang paling utama adalah mentransformasikan apa yang disampaikan oleh orang lain
dalam bahasa asing, baik yang berbentuk ilmu pengetahuan, kebudayaan, adat-istiadat atau
92
yang lainnya, ke dalam bahasa yang kita miliki atau bahasa sasaran, agar dapat diambil manfaat
nya.1
Begitu pula yang terjadi di dunia Arab. Sejak penerjemahan pertama kali diminati
orang, ia memang telah berfungsi sebagai salah satu tiang penyangga kehidupan mereka. Pada
awalnya, ia memiliki fungsi yang amat sederhana, yaitu sebagai perantara dalam memenuhi
kebutuhan hidup. Akan tetapi, dengan berjalannya sang waktu dan berubah pula keadaan
zaman, maka meningkat pula kebutuhan hidup manusia sesuai dengan kemajuan pola berfikir
dan taraf hidup mereka,
Dalam beberapa tahun terakhir , penerjemahan di dunia Arab semakin meningkat
kegunaannya dalam berbagai bidang. Bidang-bidang yang terpenting antara lain : perhubungan
(nasional dan internasiona), perekonomian, sains dan teknologi.2 Selain itu, penerjemahan telah
mencapai kedudukan tertinggi dalam organisasi Persatuan Bangsa-bangsa (PBB), sebab ia
berfungsi sebagai alat perhubungan di antara mereka.
Di antara urgensi penerjemahan antara lain :
1. Membangun kesefahaman di antara bangsa dan negara menuju hidup sejahtera
di atas asas keadilan. Antara satu bangsa dengan bangsa yang lain tentunya memiliki
kepentingan, visi, misi dan tujuan yang berbeda. Kepentingan tersebut dapat berarti
negatif dan bertentangan jika pola fikir mereka dalam menjalankan visi, misi dan tujuan
1 Basyir al-‘Aisawy. Al-Tarjamah ila al-‘Arabiyyah Qadhaya wa ‘Araa. (Kairo : Dar al-Fikr al-‘Araby. 2001), cet. 2., h. 46.
2 Mohammed Shaheen. Theories of Translation and Their Application to The Teaching of English/Arabic. (Jordan : Dar al-Thaqafa Library., tt), h. 61.
93
tersebut tidak berada pada tempat yang semestinya. Contoh : masih banyak terjadi
pertikaian dan peperangan antara satu negara dengan negara yang lain. Hal itu disebabkan
oleh adanya pemikiran negatif dalam cara pandang mereka dalam satu hal. Maka untuk
membangun kesefahaman di antara mereka dibutuhkan suatu cara yang dapat membantu
mereka dalam menjalankan kepentingan, visi , misi dan tujuan tersebut. Pada saat inilah
terjemah mulai memainkan perannya. Apabila antara satu negara dengan negara yang lain
sudah dapat saling bertukar fikiran dengan lancar dan mudah, maka jalan ke arah hidup
yang sejahtera berlandaskan keadilan dan persamaan akan dapat terbentang luas.
Sebaliknya, apabila cara yang digunakan itu kurang tepat, maka harapan mereka untuk
dapat hidup secara damai masih amat jauh untuk dicapai.
2. Memindahkan pemikiran ilmiah atau non-ilmiah, antar anggota suatu bangsa
yang sudah maju, maupun bangsa yang sedang berkembang. Di sini lah letak
pengertian terjemah secara umum yang popular di beberapa tahun belakangan ini.. dan
penerjemahan biasanya digunakan dalam dua kategori ini. Apalagi bila berkaitan dengan
hal-hal inovasi terbaru dalam bidang sains dan teknologi. Memang, sudah sewajarnya bila
antara satu bangsa dengan bangsa yang lain saling tukar-menukar informasi dalam segala
bidang kehidupan mereka., baik dalam bidang yang bersifat ilmiah, seperti : ilmu
pengetahuan, pendidikan, teknologi dan lain sebagainya, maupun dalam bidang yang
bersifat non-ilmiah, seperti : kebudayaan, adat-istiadat, norma hidup dan lain sebagainya.
Semua itu apabila dilakukan dengan baik, maka akan dapat mendorong terciptanya
sebuah dunia yang jauh dari kebiadaban, kebodohan dan kemunduran. Apabila antara
94
satu bangsa dengan bangsa lain saling mengambil manfaat satu sama lain, maka mereka
akan dapat menikmati hidup dengan baik, penuh dengan kenyamanan, keharmonisan dan
jauh dari keterbelakangan, kesengsaraan dan keterasingan.
3. Ia merupakan kesenangan jasmani dan rohani bagi seluruh umat manusia yang
berbeda dalam ras, warna dan bahasa. Maksudnya adalah, apabila terjemah dapat
berfungsi sebagai alat transformasi perkembangan sain dan teknologi yang amat
dibutuhkan oleh manusia, maka antara satu bangsa dengan bangsa yang lain, baik yang
sudah maju atau yang sedang berkembang, mereka akan mendapatkan kepuasan dan
kesenangan tersendiri dalam batinnya. Bagi bangsa yang sudah maju, mereka dapat
menambah wawasan dan pengalaman, serta dapat dengan mudah menjalin kontak
dengan bangsa lain. Negara itu pun dapat meluaskan wilayah investasinya di kalangan
negara-negara berkembang. Sedangkan bagi negara yang sedang berkembang, tingkat
kepuasan mereka akan kontribusi penerjemahan akan lebih tinggi dari tingkat kepuasan
negara yang sudah maju. Hal ini disebabkan oleh karena rasa haus mereka akan sains
dan teknologi serta perkembangan ilmu pengetahuan lainnya, akan dapat terpenuhi
dengan baik. Maka, apabila kepuasan dan kesenangan batin sudah dapat direalisasikan,
akan membawa dampak baik bagi jasmani seseorang. Selanjutnya, akan terwujud suatu
keseimbangan (balance) antara jasmani dan rohani setiap manusia di bumi ini.
4. Menaikkan derajat materil dan spirituil kehidupan setiap individu di atas bumi
ini. Hal ini disebabkan oleh karena aktivitas penerjemahan telah diaplikasikan dengan
baik oleh setiap individu di dunia ini, hingga ia dapat melahirkan kesejajaran antara satu
95
bangsa dengan bangsa lain yang berbeda tingkat kemajuan dan perkembangannya.
Semua bangsa akan memiliki predikat dan status yang sama dalam bidang materil
maupun spirituil. Dan tidak akan dijumpai lagi sebuah bangsa yang masih hidup di
bawah garis kemiskinan.
5. Mengurangi resiko akibat konflik politik dan militer, dan menggiatkan hubungan
perdagangan.3 Ini bertujuan untuk menciptakan perdamaian yang penuh dengan
semangat dalam menggapai cita-cita dalam kehidupan. Kembali lagi pada point pertama
di atas, bahwa apabila kesefahaman antar setiap bangsa dapat terwujud, maka akan
terciptalah suatu kehidupan berbangsa dan bernegara yang damai, jauh dari segala
bentuk pertikaian, permusuhan, peperangan, pembantaian dan krisis multi-dimensi
yang lain. Bila setiap bangsa telah mampu menjalankan proses transformasi nilai-nilai
kehidupan pada jalur yang semestinya, maka mereka tidak akan terpasung dalam
permasalahan politik, sosial, moral dan lain-lain yang pernah mereka alami
sebelumnya.
Itulah gambaran secara umum tentang urgensi penerjemahan bagi kehidupan manusia. Bagi
bangsa Arab sendiri, semua itu adalah suatu cambuk untuk melangkah ke arah kemajuan,
setelah mereka sadar akan kontribusi penerjemahan dalam kehidupan mereka. Bahkan, di paruh
pertama abad ke-18, ketika mereka mulai menyadari ketertinggalan mereka dari bangsa-bangsa
yang lain, mereka menanamkan keyakinan dalam diri mereka bahwa penerjemahan
3 Abdul Ghani Abdul Rahman Muhammad., op.cit., h. 68-69.
96
merupakan satu-satunya cara yang dapat menolong mereka untuk bangkit dari ketertinggalan.
Dan mereka memberanikan diri untuk bersatu dengan negara-negara barat guna mencapai
kemajuan dalam bidang sains dan teknologi, seperti yang telah mereka capai.
Di samping itu, ada faktor lain yang menambaha semarak penerjemahan di dunia Arab,
yaitu Arabisasi dalam dunia pendidikan. Dengan program tersebut, bangsa Arab dapat
mempelajari berbagai-macam disiplin ilmu dalam buku-buku berbahasa asing yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Ada pula beberapa bahasa asing yang dijadikan
pengantar dalam memberikan materi pelajaran, khususnya di jenjang pendidikan tinggi. Bahasa
tersebut adalah bahasa Inggris dan Perancis. Hal yang demikian itu dapat meringankan
program Arabisasi tersebut. Sejak saat itu, penerjemahan tidak lagi menjadi kebutuhan yang
amat mendesak, karena sebagian materi pelajaran tidak lagi harus diterjemahkan ke dalam
bahasa Arab, tetapi langsung menggunakan bahasa sumber. Kondisi semacam ini telah lama
berlangsung di beberapa negara Arab, kecuali Syiria.
Adapun gerakan penerjemahan di dunia Arab merupakan sebuah proses dinamis yang
menitik-beratkan penerjemahan literatur-literatur dan kajian-kajian ilmiah yang ditulis dalam
bahasa Inggris dan Eropa, ke dalam bahasa Arab. Gerakan ini memulai debutnya pada awal
abad ke-19 dan memiliki kontribusi yang amat besar bagi kebangkitan dunia Arab dalam
bidang sains dan teknologi. Sebelumnya, gerakan ini hanya dijalankan oleh beberapa
perusahaan percetakan swasta, akan tetapi setelah beberapa lama, lembaga-lembaga
pemerintahan mulai mengambil alih gerakan ini dan mendistribusikan hasil-hasil penerjemahan
ke seluruh pelosok dunia Arab.
Sebagai bukti kesuksesan penerjemahan di dunia Arab yang berlangsung dari tahun
97
1970-1980 telah diterjemahkan buku-buku ilmiah berbahasa asing ke dalam bahasa Arab
sebanyak 2840 buah buku. Data ini diperoleh dari hasil penelitian organisasi-organisasi
kependidikan, Sains dan Kebudayaan Arab ALESCO ( Arab League Educational, Scientific
and Cultural Organization). Perinciannya adalah sebagai berikut :4
MATERI TERJEMAHAN JUMLAH BUKU
1. Pengetahuan Umum 22
2. Filsafat 165
3. Teologi 235
4. Pengetahuan Sosial 560
5. Linguistik 20
6. Pengetahuan Teoritis 224
7. Pengetahuan Terapan 185
8. Seni 93
9. Naskah-naskah Kuno 1022
10. Geografi dan Sejarah 315
Total 2840
4 Mohammed Shaheen., op.cit., h. 61-67.
98
2. Terjemah Arab di antara teori dan praktek.
Teori adalah sekumpulan pendapat yang menjelaskan sebagian peristiwa ilmiah dan
seni. Adapun yang dimaksud dengan teori terjemah adalah kesimpulan yang diambil dari
pemahaman tentang inti penerjemahan dan cara menyempurnakannya, yang dilakukan dengan
jalan meneliti semua unsur yang terkandung di dalam proses penerjemahan tersebut.5
Pada awalnya, teori terjemah merupakan suatu gambaran tentang hasi-hasil pemikiran dan
penelitian para penerjemah yang termasyhur dari kalangan sastrawan dan lain-lain yang amat
terperinci dan diakui kebenarannya. Seperti yang dikatakan al-Jahiz dalam bukunya yang
berjudul al-Hayawan tentang tujuan-tujuan terjemah serta syarat-syarat penerjemah. Begitu
pulaapa yang diutarakan oleh para sastrawan dan pemikir-pemikir Arab modern, seperti :
Abdul Hamid Yunus, ’Abbas Mahmud al-‘Aqqad, Ya’qub Sharuf, Ahmad Husein al-Zayyat,
Khalil Muthran, Anis al-Muqaddasi, Wadi’ Filastin, Ridwan Ibrahim dan lain-lain.
Dengan melihat uraian sebelumnya pada sub bab I, maka dapat diambil kesimpulan bahwa
penerjemahan di dunia Arab telah dapat mencapai sebagian besar target yang menjadi
tujuannya, khususnya penerjemahan buku-buku sains dan teknologi yang pada saat ini semakin
maju dan berkembang. Negara Arab menyadari bahawa kemajuan yang telah dicapai oleh
negara Amerika dan Eropa patut untuk dijadikan contoh bila mereka ingin berdiri sejajar
dengan negara-negara tersebut. Di samping itu, kesadaran ini harus pula dibarengi dengan
usaha yang gigih, kuat dan tak kenal menyerah demi mencapai cita-cita tersebut. Mereka
5 Roda P. Robert. Teaching Translation, Theory, General Considerations and Considerations in the Canadian Context, xth. (Viena : World Congress pf Fit. 1985).
99
Menumpukan harapannya pada bidang terjemah dengan keyakinan bahwa lewat
penerjemahan buku-buku ilmiah bangsa-bangsa tersebut mereka akan mengetahui langkah-
langkah apa yang telah dilakukan negara-negara tersebut dalam meraih kemajuan, dan setelah
itu bangsa Arab dapat menirunya dengan mudah. Terbukti selama tidak lebih dari 10 tahun
(1970-1980), mereka telah berhasil menerjemahkan sedikitnya 2840 buah buku ilmiah. Ini
menunjukan, bahaw penerjemahan bagi mereka bukan hanya sekedar teori yang dapat
dipelajari, diperdebatkan dan dikuasai, akan tetapi ia pun dapat di implementasikan dengan
baik dalam karya-karya hasil terjemahan yang memiliki manfaat yang amat besar bagi
kemajuan dan kejayaan bangsa Arab, khususnya untuk perkembangan dunia Islam.
Selain itu, penerjemahan Arab harus dapat memiliki arti seni (art). Ia tidak hanya sebagai
sebuah hobi untuk mendapatkan kesenangan jasmani dan rohani, karena hal itu hanya akan
meracuni akal fikiran serta menghancurkan moralitas suatu bangsa. Ia harus bisa digunakan
sebagai ilmu yang dapat dipelajari oleh para pelajar dan mahasiswa, selanjutnya teori-teorinya
dikembangkan dan digunakan dalam mentranformasikan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi bangsa lain, dan menjadikan terjemah sebagai sustu ilmu yang sejajar dengan ilmu
pengetahuan yang lain.
Maka di dunia Arab, sejarah telah membuktikan bahwa sejak zaman jahiliyah hingga abad
modern ini, cendekiawan-cendekiawan Arab telah mengorbankan dirinya dengan
menghabiskan waktunya dalam bidang penerjemahan ini. Contohnya, pada zaman jahiliyah
telah muncul para dokter Arab, di antaranya : Ibnu Hazim, Armitsah al-Tamimy dan al-
Harits bin Kaldah yang selalu menjalin kontak dengan bangsa Persia dalam
100
menekuni bidang penerjemahan. Lalu pada masa Rasulullah, muncul seorang penerjemah yang
bernama al-Khazraji , yang minat penerjemahannya didorong oleh adanya kondisi politik dan
keagamaan yang kondusif. Kemudian pada masa-masa setelahnya bermunculan para
penerjemah yang termasyhur dalam bidangnya, seperti : Hunain bin Ishak , Ya’qub bin
Ishak al-Kindy, Tsabit bin Qarrah al-Harani al-Shaibi, ‘Amr bin al-Farkhan al Thabary,
Ishak bin Hunain bin Ishak, Hubaisy bin Hasan al-A’masy, Qistha bin Luqa al-
Ba’labaky, Abu al-Basyr bin Yunus, Sinan bin Tsabit bin Qarrah, Abu Zakaria bin
‘Addi, Isa bin Ishak bin Zur’ah dan lain-lain.
Kemunculan mereka diiringi pula oleh berdirinya sekolah-sekolah penerjemahan yang
memiliki peran yang amat besar dalan memajukan kegiatan penerjemahan. Sekolah-sekolah itu
antara lai : Sekolah al-Iskandariyah, Anthakiyah, Harran, Nashibin, Raha, Jandisabur dan Dar
al-Hikmah yang amat masyhur.6
Kini kita berada di suatu masa, di mana ilmu pengetahuan telah berkembang pesat dan
teknologi telah melampaui kedahsyatannya. Maka yang dibutuhkan sekarang ini adalah
bagaimana agar kegiatan penerjemahan dan kodifikasi suatu ilmu dapat dengan lebih giat
berjalan, begitu pula dengan diskusi-diskusi ilmiah, memperbanyak istilah-istilah ilmiah
berdasarkan bidang disiplin ilmu masing-masing, dan juga penyelarasan dan penyatuan istilah-
istilah tersebut. Dalam hal ini, bangsa Arab telah mengambil langkah sebagai berikut :
1. Halaqah Gotong-royong Arab dalam bidang peristilahan secara teoritis dan praktis pada
tanggal 7-10 Juli 1986 di Tunisia.
6 Muhammad Daidawy., op.cit., h. 412-413.
101
2. Seminar tentang Analisa dan penyatuan istilah-istilah umum dalam teori dan prakteknya
pada 13-17 Maret 1989 di Tunisia.
3. Muktamar Ilmiah Pertama tentang Penulisan Ilmiah Arab , Suatu Realita dan Harapan
pada 13-15 Maret 1990 di Nagasaki.7
3. Beberapa masalah dalam penerjemahan.
A. Kurang pemahaman tentang sejarah naskah-naskah yang diterjemahkan.
Di antara syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang penerjemah adalah kemampuan
memahami latar belakang sejarah naskah yang akan diterjemahkan. Penguasaan ini mutlak
diperlukan, karena akan memudahkan seorang penerjemah dalam kegiatan menerjemahkan
naskah-naskah tersebut. Selain itu, bila ia mampu menguasainya dengan baik, maka akan dapat
mengarahkan pemikirannya kepada objek permasalahan yang benar, sehingga tidak akan
terjadi pemahaman yang menyimpang dari maksud naskah tersebut.
Namun sebaliknya, bila ia tidak mampu menguasainya, maka sudah pasti hasil
terjemahannya akan banyak memiliki kelemahan dan kekurangan, baik dari segi kuantitas
maupun kualitasnya. Dan pada akhirnya, terjemahannya itu akan tidak bermutu sama sekali.
Sebenarnya, masalah kurang pemahaman akan sejarah suatu naskah bukan merupakan
hal yang dapat merintangi proses penerjemahan, akan tetapi hal itu dapat mengaburkan
pemahaman seorang pembaca ketika ia membaca hasil terjemahan itu. Dengan demikian,
7 Ibid., h. 419.
102
masalah ini sebetulnya terletak pada tekhnik penyampaian dalam penerjemahan. Karena itulah
yang menjadi tujuan utama penerjemahan, di mana suatu pesan yang terkandung dalam naskah
bahasa sumber dapat sampai dan difahami oleh pembaca hasil trjemahannya dalam bahasa
sasaran. Maka dari itu, Bila suatu proses penerjemahan mengalami apa yang disebut dengan
slah penyampaian (miss connection) yang dapat mengakibatkan adanya kesalah-fahaman (miss
understanding), maka tujuan penerjemahan itu tidak mungkin tercapai.
Peran latar-belakang sejarah suatu naskah adalah utama dan penting sekali dalam proses
penerjemahan, khususnya dalam penerjemahan kesusastraan. Ia tidak boleh diabaikan, dan
harus dijadikan alternatif pemikiran seorang penerjemah dalam menjalani proses
penerjemahan. Sebab, seni sastra amat dipengaruhi oleh kondisi yang sedang berlangsung di
sekelilingnya. Dan dari kondisi lingkungan itulah timbul suatu inspirasi yang mendorong
terciptanya suatu karya dalam seni sastra tersebut.
Basyir al-‘Aisawy pernah memberikan kritikan terhadap suatu hasil penerjemahan
karya sastra yang berjudul : al-Syarah al-Qurmuziyyah, yang diterjemahkan oleh Jazibiyyah
Shidqi dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Arab pada tahun 1958. Judul asli naskah itu adalah
: The Scarlet Letter yang dikarang oleh Nathaniel Hawthorne pada tahun 1850. Di antara
paragraph yang ia kritik adalah berbunyi sebagai berikut :
“ It was time, at length, that I should often exercise other faculties of my nature and
nourish myself with for which I had appetite. Even old inspector was desirable, as a
change, of diet to a man who has known Alcott.”
Adapun terjemahannya dalam bahasa Arab berbunyi :
103
. و ألغذى نفسى بطعام لم أكن أمیل إلیه من قبل, یرا ألمارس مواهبى الطبیعة األخرىحان الوقت أخ"
."كان مرغوبا فیه كتغییر فى طعام رجل عرف ألكوت, فى حال كحالتى, حتى المفتش الهرم
Maksud dari paragraph di atas adalah persahabatan Howthorne dengan para pemimpin
sebuah sekolah yang bernama Transcendentaliah (al-Ta’aly), serta kerjasama mereka di
sebuah tempat yang disebut dengan Brooke, yaitu sebuah ladang pertanian yang mereka
bangun dan kelola bersama, agar dapat diikuti oleh yang lain. Akan tetapi, suatu ketika
Howthorne mengalami kerugian materil sebesar $ 1000,- dari keuntungan ladang tersebut,
setelah ia bekerja di sana selama kira-kira 1,5 tahun, akibat penipuan yang dilakukan oleh
orang-orang yang bernama Ralph, Emerson dan anak-anaknya.
Menurut al-‘Aisawy, kesalahan pada paragraph ini terletak pada pemakaian kata
Ambersh sebagai ganti dari kata Emerson. Begitu pula kesalahan yang terjadi dalam paragraph
lain, misalnya sebuah nama : Allery Schant yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab menjadi
Emery Schant. Menurutnya, itu semua bisa dikategorikan hanya sebagai suatu kesalahan dalam
percetakan. Akan tetapi ada kesalahan lain yang lebih fatal dari itu. Dalam paragraph
terjemahan di atas disebutkan bahwa ada perubahan bentuk makanan untuk mengenyangkan
perut selama beberapa waktu lamanya. Padahal yang dimaksud dalam paragraph aslinya adalah
perubahan apa yang dimakan oleh jiwa atau fikirannya, sehingga hal itu memberi dampak
buruk dalam persahabatannya dengan para pemimpin sekolah itu. Karena pada dasarnya,
kerugian yang dialami oleh Howthorne ketika bekerja-sama dengan mereka dalam mengelola
104
ladang itu telah membuka fikirannya agar bangkit dari kesusahan, dan memulai kembali
kegiatannya di sekolah lain.8
Secara umum al-‘Aisawy memberikan kritik sebagai berikut :
1. Sebaiknya penerjemah tersebut memasukkan penjelasan tentang seluruh tokoh yang ada
dalam cerita tersebut pada catatan kaki. Ia pun harus menguasai perjalanan sejarah
cerita tersebut, para tokoh dan setiap peristiwa yang terjadi secara terperinci.
2. Pada dasarnya, catatan kaki memang kurang cocok berada dalam terjemahan naskah-
naskah yang berbau seni, seperti legenda, drama dan lain-lain. Akan tetapi, walaupun ia
dimasukkan di dalamnya, ia tidak mungkin memberikan kesan buruk terhadap naskah
tersebut. Sebaliknya, apabila catatan kaki itu ditulis dalam terjemahan tersebut, maka ia
akan menjadi alternatif bacaan bagi para pembaca yang mau membacanya. Karena tidak
semua orang tidak membutuhkan catatan kaki, ada pula orang yang ingin sekali
mengetahui hal-hal kecil bahkan sepele tentang latar belakang suatu cerita. Dan itu akan
didapatkan dalam catatan kaki.
3. Bila catatan kaki memang harus ditiadakan, maka sebagai gantinya penerjemah harus
memulai penerjemahannya dengan pendahuluan yang terperinci yang berisi gambaran
tentang situasi dan kondisi yang ada pada saat cerita itu dibuat, latar-belakang
sejarahnya, para tokoh dan riwayat hidupnya serta hubungan mereka satu sama lain
dalam cerita tersebut.
8 Walter Blaiar, et.al. The Literature of The United States. (Chicago : Scott, Foresman and Company. 1957), h. 350-351.
105
4. Sebagai alternatif lain, penerjemah dapat memberi gambaran tentang tokoh-tokoh
tersebut di dalam kurung setelah nama mereka disebutkan.9
Uraian tadi memberikan penjelasan kepada kita bahwa dalam prakteknya, masih ada
penerjemah yang kurang memahami latar-belakang sejarah naskah yang diterjemahkan.
Kebanyakan mereka sudah merasa cukup dengan hanya memahami dan menguasai isi naskah
yang akan mereka terjemahkan, sementara latar-belakang sejarahnya kurang mereka
perhatikan. Padahal, latar-belakang sejarah suatu naskah amat penting untuk diketahui, agar ia
memperoleh kemudahan dan kelancaran dalam menyusun teks terjemahannya secara lebih
lengkap, akurat dan berkualitas. Dengan kata lain, hasil terjemahan harus memiliki dasar yang
kokoh seperti naskah aslinya, bahkan ia harus lebih lengkap dan berbobot dari naskah asli
tersebut.
C.Kesalahan bahasa dalam menerjemahkan suatu teks.
Sesungguhnya, suatu naskah terjemahan yang tidak mengandung banyak kesalahn,
khususnya kesalahn dalam konteks bahasa, akan memiliki nilai tambah yang membuat
pembaca merasa yakin dan percaya akan kemampuan (skill) dan keunggulan penerjemah dalam
menguasai kedua bahasa, bahasa sumber dan bahasa sasaran. Karena itu, seorang penerjemah
harus mampu menguasai karakteristik dan unsur-unsur yang terkandung dalam kedua bahasa
tersebut secara mendetail. Ia pun harus bisa mencermati kekeliruan, baik dalam pengucapan
9 Basyir al-‘Aisawy., op.cit., h. 26-27.
106
maupun penulisannya, sebelum orang lain mengetahui dan mengkritiknya, terutama sebelum
hasil terjemahannya itu didistribusikan melalui berbagai media cetak dan elektronik.
Dalam hal ini, penerjemah diharapkan pula untuk selalu melakukan berbagai-macam
aktivitas penelitian dan mengevaluasi hasil terjemahannya, agar kesempurnaan dari terjemahan
itu dapat tercapai, serta memiliki andil yang besar dalam memperkaya bahasa Arab. Kesadaran
semacam ini hendaknya selalu ada dalam setiap kalbu penerjemah Arab. Karena pada
kenyataannya, dari tangan-tangan merekalah terlahir kontribusi yang nyata bagi perkembangan
ilmu pengetahuan, yang diadopsi dari kemajuan dan kecanggihan bangsa-bangsa lain.Tanpa
mereka, barangkali bangsa Arab merasakan sedikit kesulitan dalam rangka mengetahui
kemajuan yang telah dicapai oleh bangsa Amerika dan Eropa, terutama mereka yang tidak
pernah mengenyam pendidikan dasar. Maka, eksistensi mereka sangat dibutuhkan, agar bangsa
Arab dapat berdiri sejajar dengan bangsa lain yang telah maju dalam bidang sains dan
teknologi.
Suatu hasil terjemahan akan memiliki nilai kurang, apabila ia berisi banyak kesalahan
dalam menjalankan fungsinya yang utama, sebagai penyampai pesan, fikiran dan makna suatu
naskah berbahasa asing ke dalam bahasa sasaran. Kesalahan yang amat fatal adalah kesalahan
dari segi bahasa, akibat kurang penguasaan terhadap bahasa tersebut, percampuran yang
berlebihan antara satu bahasa dengan bahasa yang lain, serta kerendahan ilmu bahasa yang
dimiliki oleh suatu bahasa. Masalah tersebut dapat mendorong penyebaran bahasa
amiyah/asing yang tidak memiliki akar yang kuat dalam bahasa Arab. Berikut ini, penulis akan
mengklasifikasikan kesalahan bahasa yang sering dilakukan oleh orang Arab :
107
1. Kesalahan dari segi lafadz.
a. Kata-kata yang seharusnya diberi fathah huruf awalnya, tetapi diganti dengan
dhammah, contoh : Jau’an, Qarawy, Naqu’ dan lain-lain.
b. Kata-kata yang seharusnya diberi fathah huruf awalnya, tetapi diganti dengan
kasrah, contoh : Alyah, Tazkar, Thawal dan lain-lain.
c. Kata-kata yang seharusnya diberi dhammah huruf awalnya, tetapi diganti
dengan fathah, contoh : Jumhur, Khurafah, Duf’ah dan lain-lain.
d. Kata-kata yang seharusnya diberi dhammah huruf awalnya, tetapi diganti
dengan kasrah, contoh : Khulsah, Huzmah, Zubdah dan lain-lain.
e. Kata-kata yang seharusnya diberi kasrah huruf awalnya, tetapi diganti dengan
fathah, contoh : Birmil, Birsim, Bithikh dan lain-lain.
f. Kata-kata yang seharusnya dikasrah huruf awalnya, tetapi diganti dengan fathah,
contoh : Hidhan, Hishshah, Himsha dan lain-lain.
g. Kata-kata yang seharusnya disukun huruf tengahnya tetapi diganti dengan
harakah, contoh : Nahwy. Atau sebaliknya, yang seharusnya diberi harakah,
tetapi diganti dengan sukun, contoh : Zuharah.
h. Kata-kata yang seharusnya ditekhfif huruf tengahnya, tetapi diganti dengan
syaddah, contoh : ‘Ijash.
i. Ada pula kata-kata yang tidak ada sumbernya serta shighat yang tidak
digunakan secara benar.
108
2. Kesalahan dari segi susunan kalimat.
a. Kata yang dimuta’addikan dengan bukan hurufnya, contoh : Munawwahun bihi
dan al-Shawabu ‘anhu.
b. Kata yang dimuta’addikan dengan huruf tambahan, contoh : ‘Arafa bi al-Syai.
c. Kata yang dimuta’addikan dengan huruf Naqis, contoh : Yahtajani dan al-
Shawabu yahtaju ilayya.
d. Kata-kata yang disusun dalam susunan kalimat yang tidak sempurna, contoh :
Inzar li’Umumi al-Asykhash, al-Shawabu Inzar li al-Afradi ‘Ammatan dan lain-
lain.10 Untuk lebih jelasnya, lihat halaman lampiran.
Dari pengklasifikasian tersebut, dapat diketahui manakah kata-kata yang benar dan
mana yang salah. Adapun tujuan utama pengelompokkan kata-kata di atas adalah agar bangsa
Arab dapat memelihara bahasanya dari kesalahan-kesalahan, baik yang disengaja atau yang
tidak. Begitu pula, agar bahasa Arab senantiasa murni dari percampuran kata-kata asing yang
masuk di dalamnya (lewat proses ta’rib) yang dengan mudahnya menempati tempat kata-kata
Arab yang baku. Dengan demikian, aktivitas penerjemahan akan terbebas dari segala bentuk
kesalahan, dan kata-kata yang baku dapat sering digunakan dalam penerjemahan. Selain itu,
dapat pula menon-aktifkan pengaruh kata-kata asing yang dengan sengaja disebar-luaskan oleh
oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab dan tidak menghargai bahasanya sendiri.
10 Ibrahim Badawy al-Jailani., op.cit., h. 286-287.
109
4. Eksistensi teori penerjemahan Arab di antara teori-teori penerjemahan asing.
Merupakan suatu kebanggaan yang patut untuk disyukuri, karena bangsa Arab memiliki
predikat sebagai bangsa yang pertama kali menciptakan teori dalam penerjemahan. Mereka
yang berjasa adalah : Yohana bin al-Bathriq dan Ibnu al-Na’imah al-Himsha yang menciptakan
teori al-Tarjamah al-Harfiyyah, dan Hunain bin Ishak serta al-Jauhary yang menciptakan teori
al-Tarjamah al-Uslubiyyah/al-Ma’nawiyyah.
Dalam perkembangannya, kedua teori ini senatiasa dijadikan sebagai referensi utama
dari teori-teori penerjemahan yang banyak dimunculkan oleh para Linguis barat sejak abad ke-
18, seperti teori penerjemahan yang dikemukakan oleh : J.C Catford, Newmark, House,
Forster, Vinay, Nida dan lain-lain yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya. Dengan
kreativitas mereka, para Linguis tersebut berhasil memunculkan teori-teori penerjemahan baru
yang lebih spesifik dan efektif, sebagai pengembangan dari dua macam teori tersebut.
Meskipun dalam kenyataannya sering terjadi perdebatan di antara mereka dalam upaya
mengunggulkan hasil teori ciptaannya, akan tetapi mereka senantiasa mengembalikan pokok
permasalahan kepada kedua teori awal tersebut. Karena itulah, kedua teori tersebut dapat
bertahan pada posisinya, dan senantiasa digunakan dalam seluruh kegiatan penerjemahan
hingga saat ini. Sebagaimana al-Bustani pernah mengatakan bahwa pada dasarnya kedua teori
ini merupakan teori utama dan yang diunggulkan dalam kegiatan penerjemahan hingga
sekarang, dan setelahnya tidak ada teori-teori lain yang lebih tepat dan sempurna dari kedua
teori tersebut.11
11 Sulaiman al-Bustani. Ilyazah Homeros Mu’arrabah Nazhman. (Mesir : Mathba’ah al-Hilal. 1904), h. 76.
110
Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan dijelaskan dua contoh penerjemahan dalam
bahasa Arab dengan menggunakan kedua teori di atas. Naskah aslinya berbunyi :
“ The darkness grew apace ; a cold win began to blow in freshening gusts from the east,
and the showering white flakes in the air increased in number. From the edge of the sea came a
ripple and whisper. Beyond these lifeless sounds the world was silent. Silent ? It would be hard
to convey the stillness of it. All the sounds of man, the bleating of sheep, the cries of bird, the
hum of insects, the star that makes the background of our lives-all that was over. As the
darkness thickened, yhe edding flakes grew more adundant, dancing before my eyes : and the
cold of the air more intense. At last, one of one, swiftly, one after the other, the white peaks of
the distant hills vanished into blackness.
The breeze rose to a moaning wind. I saw the black central shadow of the eclipse
sweeping towards me. In another moment, the pale stars alone were visible. All else was
rayless obscurity. The sky was absolutely black.
A horror of this great darkness came on me. The cold that smote to my marrow and the
pain I felt in breathing overcome me. I shivered and a deedly nause seized me. Then like a red-
hot bow in the sky appeared the edgeof the sun. I got off the machine to recover myself. I felt
giddy and incapable of facing the return journey.” 12
12 Abbas Mahmud al-‘Aqqad. Ba’da al-A’ashir. (Mesir : Dar al-Ma’arif. 1950), h. 154-155.
111
Adapun hasil terjemahan Arab pada naskah di atas berdasarkan teori al-Tarjamah al-
Harfiyyah adalah sebagai berikut :
وازداد عدد ندف . وأخذت ریح باردة تهب من الشرق هبات منعشة–و سرعان ما اشتد الظالم "
و كانت الدنیا فیما خال هذه األصوات التى ال , وارتفعت من ناحیة البحر همسة و حركة, الثلوج فى الهواء
صوات االنسان و فانه لم یبق شىء من أ, ساكنة ؟ ان من العسیر أن أصور لكم سكونها. حیاة فیها ساكنة
ثغاء الخراف و بغام الطیر و طنین الحشرات أو الحركة التى تكون مهاد الصورة فى حیاتناز وزادت مع
و أخیرا . و اشتدت برودة الهواء, اشتداد الظالم ندف الثلج الدوارة زیادة وافرة و تراقصت أمام عینى
و صارت الریاح , ى و تالست فى سواد اللیلواحدة بعد أخر, اختفت القمم البیضاء للتالل النلئیة بسرعة
و لم یبق ما یرى غیر النجوم . و رأیت الظل األسود فى وسط غبرة الكسوف یزحف نحوى. تنوح
.و احلولكت السماء فما یامع قیها شعاع واحد, الشواحب
و غلبنى األلم الذى . و اشتد البرد الذى نفذ الى نخاع عظمى, و روعنى ذلك الظالم الكثیف
ثم بدت حاقت الشمس فى السماء كقوس , شعرت به عند التنفس فارتجفت من البرد و أصابنى دوار ممیت
حام أحمر فنزلت على السرج حتى تثوب نفسى الى فقد شعرت بأن رأسى یدور و أننى غیر قادر على
."رحلة األیاب
Sedangkan hasil terjemahan Arab tentang naskah tersebut berdasarkan teori al-
Tarjamah al-Uslubiyyah/al-Ma’nawiyyah adalah sebagai berikut :
وارتفعت من , و كثرت الثلوج فى الجو, و أخذ الظالم یشتد وهبت ریح صرصر من الشرق"
112
أأقول ساكنة ؟إن من العسیر أن أصور لكم . و كانت الدنیا فبما خال ذلك ساكنة, البحر همسة و حركة
أو من , فما بقى شىء من أصوات اإلنسان و الحیوان و الطیر و الحشرات و الهوام, ا و وقعهسكونه
و اشتد البرد و . و یاتى من كل أوب, و جعل الثلج المتساقط یزداد مع الظالم, الحركة المألوفة فى حیاتنا
و . صارت تنوح و تهجهجو. و لفها اللیل قى سواده, و اختفت أخیرا القمم البیضاء للتالل النائیة. هرانى
و احلولكت السمْا فما یلمع فیها . و لم یبق ما یرى غیر النجوم الشواحب. رأیت غبرة الكسوف تدنو منى
.شعاع واحد
, و تعذر التنفس. و اشتد على البرد وقف منه جلدى. و ثقلت على نفسى وطأة الظالم الكثیف
, فنزلت على السرج حتى تثوب نفسى إلى, الشمسثم ظهر قوس . وعانیت من ذلك كربا شدیدا, فانتفضت
."فقد كان رأسى یدور و كانت أحس أنى غیر قادر على رحلة األیاب
Hasil al-Tarjamah al-Ma’nawiyyah itu disusun oleh al-Marhum Ibrahim al-Mazani,
sedangkan hasil terjemahan al-Harfiyyahnya disusun oleh al-Sayyidah Ni’mat Ahmad Fuad.
Beliau ini sempat melontarkan kritikan pada hasil kerja al-Marhum. Di antara kritikan tersebut
adalah :
1. Al-mazani sering menggunakan padanan kata dalam terjemahannya, yang pada dasarnya
kata tersebut tidak diperlukan.
2. Dengan demikian al-Mazani terkesan menambah-nambahkan kata yang tidak ada sumber
aslinya.
3. Ada beberapa kalimat dalam terjemahan al-Mazani yang jauh berbeda dengan al-Tarjamah
al-Harfiyyah, yaitu :
113
a. Dalam terjemah al-Mazani :
Dalam al-Tarjamah al-Harfiyyah :
b. Dalam terjemah al-Mazani :
Dalam al-Tarjamah al-Harfiyyah :
4. Ada beberapa hal yang dilupakan oleh al-Mazani tentang ungkapan-ungkapan yang harus
disesuaikan dengan tabiat orang Arab, contoh :
a. Dalam terjemah al-Mazani :
Dalam al-Tarjamah al-Harfiyyah :
b. Dalam terjemah al-Mazani :
114
Dalam al-Tarjamah al-Harfiyyah :13
Setelah meneliti kedua terjemahan itu secara mendalam, maka akan dijumpai suatu
kesimpulan :
1. Penerjemahan yang dilakukan berdasarkan teori al-Tarjamah al-Ushlubiyyah terkadang
menghilangkan kata aslinya, dan dicarikan padanan katanya dalam bahasa Arab yang
lebih bagus, indah, dan kaya dengan imajinasi yang tinggi. Hal itu menyebabkan
pembaca tidak merasa jenuh, dan senantiasa ingin mengulang kembali apa yang sudah
dibacanya.
2. Penerjemahan yang dilakukan berdasarkan teori al-Tarjamah al-Harfiyyah hanya
semata-mata memindahkan naskah tersebut ke dalam bahasa Arab sesuai dengan
susunan kalimat aslinya, sehingga hal itu kurang memotivasi para pemabaca untuk
mendalami rahasia kata-katanya.
Meskipun demikian, Jumhur Ulama bahasa Arab mendukung sepenuhnya keberadaan teori
al-Tarjamah al-Uslubiyyah yang diciptakan oleh Hunain bin Ishak.Pemikiran para ulama ini
berpijak pada tujuan pokok penerjemahan, yaitu memindahkan isi suatu naskah dari satu
bahasa ke dalam bahasa yang lain dengan susunan kalimat yang benar, sesuai dengan kaidah
bahasa sasaran dan kalangan pembacanya. Dengan demikian, apabila mereka membaca hasil
terjemahan Arab, maka pada dasarnya ia sedang membaca sesuai dengan kaidah dan norma
13 Shafa Khalushi.,Fannu al-Tarjamah.. ( Mesir : Mathabi’ al-Hai’ah al-Mishriyyah al-‘Ammah li al-Kitab), cet. 2, h. 21-22.
115
Bahasa Arab, bukan membaca suatu naskah yang terkesan asing seperti pada terjemahan yang
dihasilkan oleh teori al-Tarjamah al-Harfiyyah. Karena itulah, Jumhur ulama bahasa lebih
mendukung dan melegitimasi teori al-Tarjamah al-Ushlubiyyah yang diciptakan oleh Hunain
bin Ishak.14
Dari sekian banyak teori penerjemahan yang berkembang, ada suatu fakta ironis yang
dijumpai oleh penulis dalam melakukan penelitian, yaitu tidak adanya terobosan/inovasi baru
dalam teori terjemah yang berhasil dikembangkan oleh kalangan Linguis Arab, sebagaimana
halnya yang dilakukan oleh para Linguis Barat. Fakta ini muncul dalam data-data yang
dikumpulkan oleh penulis yang diambil dari berbagai buku teori penerjemahan, seperti buku
Ilmu al-Tarjamah wa Fadhlu al-‘Arabiyyah ‘ala al-Lughat karangan Ibrahim Badawy al-
Jailani, lalu buku Ilmu al-Tarjamah baina al-Nazhariyyah wa al-Tathbiq karangan Muhammad
Daidawy, kemudian buku Theories of Translation and their Application to the Teaching of
English/Arabic karangan Mohammed Shaheen, dan lain-lain. Dan yang lebih ironis lagi,
kalangan Linguis Arab seringkali mengadopsi teori-teori penerjemahan asing itu ke dalam
ruang lingkup penerjemahan Arab.
Fakta ini memang tidak bisa dipungkiri. Meskipun begitu banyak buku penerjemahan
yang dikarang oleh para Linguis Arab, namun, sebagian besar hanya menguraikan kembali
teori-teori awal penerjemahan, teori-teori penerjemahan asing yang berkembang, masala-
masalah yang harus diperhatikan oleh seorang penerjemah ketika ia melakukan kegiatan
penerjemahan, fakta-fakta kemajuan yang dicapai bangsa Arab dalam bidang penerjemahan,
14 Ibid., h. 14.
116
Hubungan antara teori penerjemahan dan prakteknya di dunia Arab dan lain sebagainya. Bila
memang ada beberapa teori penerjemahan yang berhasil disusun oleh para Linguis Arab, teori
tersebut hanya terbatas pada suatu bidang penerjemahan, seperti : teori terjemah undang-
undang, perekonomian, perdagangan, militer, kedokteran, administrasi perkantoran, al-Qur’an
al-Karim dan yang senada dengan hal itu,15 atau teori tersebut muncul sebagai deduksi dari
teori-teori yang sudah berkembang pada umumnya, seperti : teori Terjemah Lisan, Tulisan,
Ilmiah dan lain-lain.
Dengan demikian, ada beberapa kemungkinan yang menjadi penyebab menurunnya
kreativitas para Linguis Arab dalam mengembangkan teori penerjemahan, antara lain :
1. Efektifitas teori penerjemahan yang sudah dikembangkan oleh para Linguis Barat sudah
cukup memberikan jalan keluar terhadap permasalahan-permasalahan yang mereka
hadapi dalam kegiatan penerjemahan.
2. Keadaan yang demikian itu membuat mereka terlena dalam kemudahan, sehingga tidak
dapat merangsang daya nalar mereka untuk lebih berkembang.
3. Kemunduran bangsa Arab akibat penjajahan bangsa asing dahulu telah menimbulkan
dampak negatif bagi perkembangan pola berfikir bangsa Arab dalam bidang ilmiah,
dimana kebebasan berfikir mereka agak terhambat.
4. Adanya budaya meniru kepada hal yang baru merupakan salah satu sifat yang tidak bisa
ditinggalkan oleh manusia.
5. Tidak adanya masalah yang begitu rumityang dijumpai dalam proses penerjemahan,
15 Ibrahim Badawy al-Jailani., op.cit., h. 64.
117
Sehingga mereka tidak membutuhkan teori yang baru dalam penerjemahan.
6. Mereka seakan-akan lupa pada sebuah kenyataan, di mana bahasa Arab merupakan
bahasa yang paling sempurna di semua unsurnya, sehingga tidak bisa disamakan oleh
bahasa lain dalam segi kualitas, begitu pula dalam teori penerjemahannya.
Dari uraian tadi, dapat diambil kesimpulan, bahwasanya teori penerjemahan Arab yang
diciptakan oleh Hunain bin Ishak dan Yohana bin al-Bathriq merupakan teori yang paling ideal
dalam bidang penerjemahan, meskipun banyak Linguis Arab maupu Batar yang kurang
mendukung salah satu teori dari mereka. Bahkan kedua teori itu merupakan bahan rujukan
utama penerjemahan dan menjadi inspirasi para Linguis dalam mengembangkan teori tersebut.
Namun yang amat disayangkan adalah kurangnya partisipasi para Linguis Arab dalam
mengembangkan teori penerjemahan yang sudah ada, padahal bahasa Arab merupakan bahasa
kitab suci al-Qur’an yang menjadi sumber dari segala sumber ilmu pengetahuan, dan memiliki
kajian yang amat banyak dan beragam untuk diteliti dan diperdalam.
Dengan kata lain, kemajuan luar biasa yang telah dicapai oleh bangsa Arab dalam
bidang penerjemahan dapat dikatakan dengan kemajuan praktis yang lebih menekankan pada
segi aplikasinya, dan belum menjadi sebuah kemajuan teoritis yang lebih mengedepankan
perkembangan teori penerjemahan Arab.
5. Penerjemahan Arab, sekarang dan akan datang.
Sesungguhnya, gambaran yang jelas tentang fakta-fakta perkembangan penerjemahan
Arab amat sulit untuk ditemukan. Hal ini disebabkan oleh faktor wilayah negara Arab
118
yang amat luas jangkauannya, perbedaan ruang gerak penerjemahan antara satu negara dengan
negara yang lain, serta belum disusunnya data statistik yang lengkap tentang jumlah
penerjemah serta hasil-hasil terjemahannya.16
Dalam hal ini, hanya ada satu buku yang berhasil dijumpai, yaitu buku Dirasat ‘an
Waqi’I al-Tarjamah fi al-Wathani al-‘Araby yang disusun oleh Organisasi Pendidikan, ilmu
dan kebudayaan Arab dan terdiri dari dua jilid. Buku ini menjelaskan pula tentang fakta
penerjemahan di tujuh belas negara Arab.
Adapun yang dijadikan pokok permasalahan dalam fakta penerjemahan Arab pada masa
sekarang adalah :
1. Sumber yang diterjemahkan.
Buku sumber merupakan titik tolak dalam suatu penerjemahan. Ia akan
memberikan santapan yang lezat bagi akal, jiwa dan perasaan orang yang
membacanya. Karena itu, pemilihan buku yang akan diterjemahkan menjadi
persoalan yang amat penting untuk diperhatikan dalam proses penerjemahan.
Dalam hal ini, pemilihan buku untuk diterjemahkan oleh para penerjemah Arab
belum memiliki peraturan yang sistematis sebagai tuntunan bagi dalam
melakukan proses penerjemahan.. Adakalanya buku itu adalah buku yang secara
kebetulan ia jumpai, atau ditunjukan oleh temannya, atau buku itu berhubungan
dengan sifat dan hobinya. Terkadang pula buku itu adalah bahan yang
diperintahkan oleh sebuah percetakan untuk diterjemahkan dengan tujuan agar
16 Syahadah al-Khaury. Dirasat fi al-Tarjamah wa al-Mushthalah wa al-Ta’rib. (Damsyik : Dar al-Thali’ah al-Jadidah. 2001), cet.1, h. 13.
119
Mendapatkan keuntungan yang besar. Karena itu, dari data-data yang terkumpul
ada beberapa kelemahan yang dijumpai dalam proses pemilihan buku yang akan
diterjemahkan, antara lain :
A. Adanya ketidak-seimbangan jumlah antara buku-buku ilmiah dan
non ilmiah yang diterjemahkan,17 atau di antara bidang disiplin
ilmu buku-buku tersebut. Misalnya, data penerjemahan antara
tahun 1970-1975 mencatat bahwa buku-buku dasar ilmu
pengetahuan yang diterjemahkan mencapai jumlah 246 buah,
sedangkan buku-buku ilmu sosial, kemanusiaan, dan sastra
mencapai jumlah yang lebih tinggi dari buku-buku tadi, yaitu 626
buah buku.18
B. Minat bangsa Arab dalam kegiatan penerjemahan saling berbeda
antara satu negara dengan negara yang lain.
C. Adanya ketidak-seimbangan antara faktor kebutuhan dan
produksi. Misalnya, buku-buku yang bersifat hiburan lebih
banyak diterjemahkan dari pada buku-buku yang bersifat ilmiah,
karena buku-buku tersebut lebih laku dipasaran .19
17 Mohammed Shaheen., op.cit., h. 69. 18 Syahadah al-Khaury., op.cit., h. 15. 19 Mohammed Shaheen., op.cit., h. 67 dan 69.
120
D. Buku-buku yang diterjemahkan bukanlah buku-buku terbaru,
melainkan ia sudah berpuluh-puluh tahun sejak diciptakan. Hali
ini mengurangi bobot ilmiah buku tersebut, karena
perkembangan ilmu pengetahuan bergerak amat cepat.
E. Terkadang banyak penerjemah yang menerjemahkan buku hanya
dalam satu bidang disiplin ilmu. Ini menunjukkan bahwa
kredibilitas penerjemah Arab dalam menguasai berbagai disiplin
ilmu masih belum merata.20
2. Kredibilitas penerjemah.
Sebagaimana telah diuraikan, bahwa seorang penerjemah harus memiliki
penguasaan terhadap bahasa sumber dan bahasa sasaran secara mendalam.
Dalam penerjemahan Arab, seorang penerjemah harus mampu menguasai Ilmu
Sharaf, Nahwu, Balaghah dan lain-lain yang menjadi unsur-unsur utama bahasa
Arab. Begitu pula dengan bahasa sumber dari naskah yang akan
diterjemahkannya. Hal ini dianggap penting, dengan tujuan agar pemilihan kata-
kata yang akan digunakan lebih luas cakupannya, dan perbandingan antara kata
dalam bahasa sumber dengan kata dalam bahasa sasaran lebih dalam artinya.
Di samping itu pula, selayaknya seorang penerjemah Arab dapat memilih
bidang penerjemahan sesuai dengan kemampuan karakternya dalam bidang
tersebut. Misalnya, seorang dokter lebih mengutamakan penerjemahan dalam
20 Syahadah al-Khaury., op.cit., h. 15.
121
bidang kedokteran, seorang politisi lebih memilih bidang politik dalam
penerjemahannya, seorang Fisikawan lebih memilih bidang fisika untuk
diterjemahkan dan lain-lain. Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah : Apakah
di dunia Arab para penerjemahnya sudah mengaplikasikan hal ini dalam
kegiatan penerjemahannya ?. Jawabannya masih sulit untuk ditemukan.
Sebagian besar penerjemah Arab adalah mereka yang telah mempunyai
pekerjaan pokok, dan terjemah merupakan kegiatan tambahan yang
dilakukannya dalam waktu luang. Jadi, dapat disimpulkan bahwa penerjemahan
bukanlah bidang utama dalam kehidupan mereka. Dengan demikian, bila dalam
penerjemahan Arab pada masa sekarang mengalami keberhasilan yang sedikit,
dan berkesan kurang terkonsentrasi pada jalurnya, maka hal itu semua terpulang
kepada mereka yang terlibat dalam penerjemahan.
Sesungguhnya, keadaan pada masa yang akan datang dalam penerjemahan Arab, sudah
terbersit sebagian pada kenyataan di hari ini. Di mana masih banyak dijumpai kelemahan dan
kekurangan, baik dalam segi bidang penerjemahan yang ditekuni, maupun dari kemampuan
para penerjemah yang berkecimpung di dalamnya. Karena itu, langkang-langkah yang perlu
diperhatikan adalah :
1. Memperbaiki sistim pengajaran bahasa Arab dan bahasa asing pada jenjang pendidikan
menengah, sebelum memasuki jenjang pendidikan S1.
2. Lembaga-lembaga pendidikan yang mengajarkan materi terjemah harus dapat
memberikan anjuran dan peringatan kepada anak didiknya agar mereka setelah keluar
122
tersebut mampu mempraktekkan ilmu terjemah yang telah mereka miliki dengan
sebaik-baiknya dan memotivasi mereka untuk memilih bidang penerjemahan
berdasarkan minat dan kemampuan mereka.
3. Memotivasi para penerjemah yang eksis dalam bidang penerjemahan dengan pemberian
honorarium yang sesuai dengan hasil pekerjaannya, serta memberikan penghargaan.
4. Memberikan perlindungan kepada hak para penerjemah dengan dilakukannya nota
kesefahaman antar negara-negara Arab yang berisi kewajiban melindungi segenap hak-
hak mereka, serta mengimplementasikan kewajiban tersebut dalam kehidupan nyata.
5. Mendorong para penerjemah untuk menjadi anggota dalam suatu organisasi kenegaran,
serta mengarahkan organisasi ini agar dapat mewujudkan persatuan seluruh bangsa
Arab. Misalnya : Persatuan Sastrawan dan Seniman Arab, Persatuan Sejarawan Arab,
Persatuan Distributor Arab dan lain-lain.
6. Memberikan perhatian lebih terhadap masalah Arabisasi ilmu pengetahuan sesuai
dengan tingkatan dan jenisnya.
7. Memberikan perhatian yang lebih dan berkesinambungan dalam penyusunan istilah-
istilah ilmiah dan seni.21
Demikianlah uraian tentang kenyataan yang ada pada ruang penerjemahan Arab pada masa
sekarang, serta harapan yang ingin dicapai pada masa yang akan datang. Kiranya, analisa
sederhana ini dapat menjadi renungan dan motivasi bagi para penerjemah agar dapat bertugas
dan berkarya lebih baik lagi dalam bidang penerjemahan.
21 Ibid., h. 21.
BIODATA PENULIS
Nama : Lily Nabilah
TTL : Bekasi, 1 Mei 1976
Alamat : Pondok Pesantren el-Nur el-Kasysyaf
Jl. S. Hasanuddin 226 Tambun Selatan
Bekasi – Jawa Barat 17511
Riwayat Pendidikan :
1. MI el-Nur el-Kasysyaf (1980-1986)
2. MTS el-Nur el-Kasysyaf (1986-1989)
3. MA el-Nur el-Kasysyaf (1989-1992)
4. Institut Agama Islam Shalahuddin al-Ayyuby (INISA) (1992-1996)
Pengalaman Organisai :
1. Kabid. Pendidikan dan Kesenian ASPI el-Nur el-Kasysyaf (1990-1991).
2. Ketua Umum Sanggar Kaligrafi IPPINK (1990-1991).
3. Ketua Umum Senat Fak. Tarbiyah INISA (1994-1995)
4. Anggota Unit Peningkatan Intelektual (UPI) Senat Fak. Tarbiyah INISA (1993).
5. Ketua Umum Pergerakan Perempuan Kebangkitan Bangsa (PPKB) Kab. Bekasi
(1999- 2003).
6. Ketua FATAYAT NU Kab. Bekasi (1999-sekarang).