penetapan tersangka dengan alat bukti yang …hukum pembuktian dalam beracara pidana, perdata, dan...
TRANSCRIPT
-
PENETAPAN TERSANGKA DENGAN ALAT BUKTI
YANG SUDAH DIGUNAKAN DALAM PERKARA
LAIN
(Studi Putusan Nomor 97/Pid.Prap/2017/PN.Jkt.Sel)
SKRIPSI
Oleh:
PUTRI SURYANA
NPM. 1406200099
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA
MEDAN
2019
-
1
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Sega puji dan syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam yang
maha pengasih lagi penyayang, karena atas rahmat dan karunianya sehingga
penulisan skipsi ini dapat diselesaikan. Skripsi ini merupakan salah satu
persyaratan bagi setiap mahasiswa/i yang ingin menyelesaikan studinya di
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. Sehubungan
dengan itu, skripsi disusun dengan berjudul: “PENETAPAN TERSANGKA
DENGAN ALAT BUKTI YANG SUDAH DIGUNAKAN DALAM
PERKARA LAIN” (STUDI PUTUSAN NOMOR 97/PID.
PRAP/2017/PN.JKT.SEL )”.
Secara khusus dengan rasa hormat yang setinggi-tingginya dan dengan
penuh doa penulis ucapkan terimakasih yang tak terhingga dalam penilaiannya
kepada Ayahanda dan Ibunda yang telah mengasuh dan selalu memberikan
motivasi penulis dengan penuh kasih sayang dalam semangat menggapai cita-cita
dan kesuksesan.
Terimakasih kepada Rektor Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara
Bapak Dr. Agussani, M.AP atas kesempatan dan fasilitas yang telah diberikan
kami untuk mengikuti dan menyelesaikan program sarjana ini. Dekan Fakultas
Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara Ibu Ida Hanifah, SH., MH
atas kesempatan menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas
-
2
Muhammadiyah Sumatera Utara. Demikian juga halnya kepada Wakil Dekan I
Bapak Faisal, SH., M.Hum, dan Wakil Dekan III Zainuddin, SH., MH.
Terimakasih yang tak terhingga dan penghargaan setinggi-tingginya
kepada Bapak Erwin Asmadi, SH., MH selaku Kepala Jurusan Hukum Acara,
Bapak Zainuddin, SH.,MH selaku Dosen Penasehat Akademik, Ibu Hj.Asliani
Harahap, SH.,MH selaku Pembimbing I serta Bapak Rahmat Ramadhani,
Sh.,MH selaku Pembimbing II, yang telah dengan penuh perhatian telah
memberikan dorongan, bimbingan dan saran sehingga skripsi ini selesai.
Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada seluruh staf pengajar
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. Terimakasih
kepada seluruh rekan-rekan seperjuangan perkuliahan kelas B-1 Pagi, dan rekan-
rekan kelas D-1 Pagi jurusan Hukum Acara yang telah bersama-sama belajar dan
berjuang dalam meraih gelar sarjana dari Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiyah Sumatera Utara.
Perjalanan hidup merupakan perjalanan singkat yang dilalui oleh setiap
manusia. Pertemanan adalah bagian dari jalannya, kekeluargaan adalah bagian
dari saksinya dan kebahagiaan adalah bentuk syukur untuk merasakan rahmat dan
nikmat yang diberikan oleh Allah SWT. Terkhusus juga saya ucapkan terima
kasih kepada keluarga di perkuliahan saya yaitu PK IMM FAKULTAS
HUKUM UMSU sebagai rumah kedua sebagai tempat belajar, mengenal karakter
pribadi dan mengenal kekeluargaan yang terikat dalam wadah Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah.
-
3
Seiiring berjalannya waktu dibangku perkuliahan saya mengenal abang
senior, kakak senior dan adik junior yang menjadi kekeluargaan di Ikatan
Mahasiswa Muhammadiyah. Oleh karena itu, tak lupa juga dan secara khusus
saya ucapkan terimakasih kepada Abangda senior yaitu: Dyce Ardyan Putra,
Bayu Jani Wibowo, Muhammad Rifai Manik, Bambang Handoko, Jaka
Ahmad Sinaga, Aris Munandar Guci, Muslim Syahri, Aulia Asmul, dan
Kakanda Senior yang selalu memotivasi saya yaitu: Ummi Salamah, Meutya,
Riri Siregar, Nur Bayti Amalia, Maulida Agus Dilla, Lisa Handayani, Rahma
Boy. Dan teman seperjuangan sekaligus sahabat saya di IMM yaitu: Nur Imam,
Tiara Ayu Andani, Wahyudi Dasopang, Citra Diantini, Rio Bagskara. Serta
adik-adik junior saya yaitu: Wildan Lubis, Kennedy Siregar, Wira Fadly, Ok
Fadhil, Satria Hasibuan, Kiky, Tengku, Raja, Danoe, Fajrin, Budi, Febri,
Dwi, Fitri, Lilis, Leni. Semoga persahabatan dan kekeluargaan yang kita bangun
tidak hanya sampai disini, semoga kelak kita semua menjadi orang yang sukses.
Untuk semuanya terimakasih yang setulus-tulusnya
Akhirnya penulis memohon maaf atas segala kesalahan atas kekurangan
selama ini, begitupun disadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna. Untuk itu,
diharapkan ada masukan yang membangun untuk perbaikan dan
kesempurnaannya. Terimakasih semua, tiada lain yang diucapkan selain berserah
diri kepada Allah dan selalu mengharapkan keridhoan Allah SWT. Amiin.
Medan, 15 Januari 2019
Penulis,
Putri Suryana
-
4
ABSTRAK
“PENETAPAN TERSANGKA DENGAN ALAT BUKTI YANG SUDAH
DIGUNAKAN DALAM PERKARA LAIN” (STUDI PUTUSAN NOMOR
97/PID. PRAP/2017/PN.JKT.SEL )”.
PUTRI SURYANA
Penetapan tersangka kepada seseorang harus memiliki bukti-bukti yang
cukup yakni minimal dua alat bukti yang bisa diajukan ke sidang pengadilan. Alat
bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, di
mana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahan
pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu
tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa.
Tersangka menurut Pasal 1 ayat (14) KUHAP, adalah seseorang yang
karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga
sebagai pelaku tindak pidana. Dengan demikian, tersangka merupakan seseorang
yang menjalani pemeriksaan permulaan, dimana salah atau tidaknya seorang
tersangka harus dilakukan dalam proses peradilan yang jujur dengan
mengedepankan asas persamaan dihadapan hukum.
Metode penelitian merupakan salah satu faktor suatu permasalahan yang
akan dibahas, dimana metode penelitian ini merupakan cara utama yang bertujuan
untuk mencapai tingat penelitian ilmiah. Sifat penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah penelitian bersifat deskriptif yang mengarah pada penelitian
hukum yuridis normatif.
Alat bukti dapat didefinisikan sebagai segala hal yang dapat digunakan
untuk membuktikan perihal kebenaran suatu peristiwa di pengadilan. Demikian
pula alat bukti yang berlaku pada persidangan dalam perkara-perkara tertentu
seperti hukum acara Mahkamah Konstitusi, hukum acara dalam persidangan kasus
korupsi, hukum acara dalam persidangan kasus terorisme, dan masih banyak lagi.
Pada penetapan tersangka dengan alat bukti yang sudah digunakan dalam perkara
lain yaitu adalah Penetapan yang dilakukan oleh Termohon untuk menetapkan
Pemohon sebagai Tersangka tidak di dasarkan kepada prosedur dan tata cara
ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, KUHAP dan SOP KPK, maka penetapan Pemohon (Setya
Novanto) sebagai Tersangka adalah tidak sah.
Kata Kunci : Penetapan, Tersangka, Alat Bukti
-
5
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................... i
ABSTRAK ..................................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................. vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .............................................................................. 1
1. Rumusan Masalah .................................................................... 5
2. Faedah Penelitian ..................................................................... 5
B. Tujuan Penelitian ........................................................................... 6
C. Metode Penelitian .......................................................................... 7
1. Sifat Penelitian ......................................................................... 7
2. Sumber data ............................................................................. 7
3. Alat Pengumpul data ................................................................ 8
4. Analisis data ............................................................................ 9
D. Defenisi Operasional...................................................................... 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Penetapan Tersangka ..................................................................... 11
B. Alat Bukti ...................................................................................... 16
C. Perkara Dengan Alat Bukti Yang Sama.......................................... 27
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pengaturan Penetapan Tersangka Dengan Menggunakan Alat Bukti
yang Sudah Digunakan Dalam Perkara Lain .................................. 37
-
6
B. Akibat Hukum Penetapan Tersangka Dengan Menggunakan Alat Bukti
Yang Sudah Digunakan Dalam Perkara Lain ................................. 58
C. Analisi Putusan Nomor:97/Pid.Prap/PN.JKT.SEL ......................... 59
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ................................................................................... 69
B. Saran ............................................................................................. 71
DAFTAR PUSTAKA
-
7
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana menyebutkan bahwa Tersangka adalah seorang yang karena
perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai
pelaku tindak pidana. Dalam hal ini penyidik dalam menetapkan status tersangka
kepada seseorang biasanya telah memiliki bukti-bukti yang cukup sesuai Pasal
183 KUHAP yakni minimal dua alat bukti saja sudah bisa diajukan ke sidang
pengadilan untuk memperoleh satu bukti lagi yakni keyakinan hakim.1
Alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu
perbuatan, di mana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai
bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya
suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa.2
Berdasarkan Pasal 184 ayat (1) KUHAP alat bukti yang sah terdiri dari:
1. Keterangan saksi.
2. Keterangan ahli.
3. Surat.
4. Petunjuk.
5. Keterangan terdakwa
1 Gomgoman Simbolon. “Analisis Hukum Atas Penetapan Tersangka Tindak Pidana
Korupsi Dalam Kaitan Dengan Wewenang Lembaga Peradilan”. Dalam jurnal USU Law Jurnal
Vol. 4 No. 2. 5 Maret 2016. 2 Alfitra. 2011. Hukum Pembuktian Dalam Beracara Pidana, Perdata, dan Korupsi di
Indonesia. Jakarta: Raih Asa Sukses, halaman 23.
-
8
Definisi tentang bukti permulaan menurut Lamintang bahwa:
Pasal 17 KUHAP itu diterjemahkan sebagai “bukti minimal” berupa alat
bukti seperti dimaksud Pasal 184 (1) KUHAP, yang dapat menjadi
jaminan bahwa penyidik ketika melakukan tugasnya berupa penyidikan
terhadap seseorang yang disangka melakukan suatu kejahatan, setelah
orang tersebut patut diduga berdasarkan dua alat bukti yang sah dilakukan
penetapan sebagai Tersangka.3
Berkaitan dengan hal di atas pemberitaan di media begitu mencuak terkait
adanya ketua DPR RI Setya Novanto diduga melakukan tindak pidana korupsi E-
KTP, dengan begitu berdasarkan Surat No. 310/23/07/2017 tanggal 18 Juli 2017
Setya Novanto ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana korupsi. Dan
berdasarkan Surat Perintah Penyidikan yang dikeluarkan oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan No. Sprin.Dik 56/01/07/2017, tanggal 17
Juli 2017 (SPRINDIK) yang diikuti dengan diterbitkannya Surat Pemberitahuan
Dimulainya Penyidikan (SPDP) di mana di dalamnya berisi tentang penetapan
Setya Novanto sebagai tersangka.4
Penetapan Setya Novanto sebagai tersangka adalah tidak sah karena
bertentangan dengan Pasal 39 ayat (1) UU KPK Jo. Pasal 1 angka 2 KUHAP,
kerena KPK langsung menetapkan status Setya Novanto sebagai tersangka dan
tidak pernah ada pemeriksaan terhadap Setya Novanto sebagai calon tersangka.
Hal ini, menurut Putusan Praperadilan No. 36/PID.PRAP/2015/PN.JKT.Sel.
tanggal 26 Mei 2015 tidak sesuai dengan Standar Operasi Dan Prosedur No.
01/23/2008 Prosedur Operasi Baku (POB) Kegiatan Penyidikan (SOP
3 Prabowo Hilmi, “Penetapan Tersangka Berdasarkan Dua Alat Bukti”, melalui
www.repository.umy.ac.id, diakses Senin, 25 Juni 2018, Pukul 08:00 Wib. halaman 48. 4 Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 97/Pid.Prap/2017/Pn.Jkt.Sel,
halaman 4-5.
http://www.repository.umy.ac.id/
-
9
PENYIDIKAN KPK) serta bertentangan pula dengan ketentuan Pasal 1 angka 2
KUHAP.5 Hal ini menyebabkan Setya Novanto tidak terima atas penetapan
dirinya sebagai tersangka sehingga Setya Novanto dan kuasanya melakukan
upaya permohonan Praperadilan pada tanggal 4 September 2017 ke Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan.
Berdasarkan uraian di atas Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutus
perkara tersebut melebihi dari waktu yang ditentukan aturan yang berlaku
sebagaimana Pasal 82 ayat (1) huruf c yang berbunyi bahwa pemeriksaan
Praperadilan tersebut dilakukan secara cepat dan selambat-lambatnya tujuh hari
hakim harus sudah menjatuhkan putusannya. Hal ini dibuktikan dengan adanya
permohonan praperadilan pada tanggal 4 September 2017 sudah diregistrasi
namun diputuskan pada tanggal 29 September 2017 dengan begitu waktu
pemeriksaan sampai pada saat putusan sudah melebihi dari ketentuan yaitu 7 hari.
Dengan begitu, hal ini bertentangan dengan KUHAP.
Kendatipun begitu, permasalahannya lagi adalah pada pertimbangan
putusan Praperadilan Setya Novanto Putusan Nomor 97/Pid.Prap/2017/Pn.Jkt.Sel
menyatakan bahwa penetapan tersangka terhadap Setya Novanto dinilai oleh KPK
dari perkembangan kasus terdakwa Irman dan Sugiharto dalam putusan nomor
perkara No 41/Pid.Sus/Tpk/2017/Pn.Jkt.Pst. KPK menggunakan Surat Perintah
Penyidikan (Sprindik) milik Irman dan Sugiharto serta Andi Narogong untuk
memeriksa saksi, melakukan penyitaan, dan memperoleh bukti-bukti. Dan hasil
pemeriksaan, penyitaan, dan bukti-bukti tersebut digunakan pula untuk perkara
5 Ibid., halaman 8-9.
-
10
Setya Novanto.6 Sehingga hal ini dianggap Hakim yang memeriksa perkara
tersebut tidak sesuai dengan prosedur penetapan tersangka yang dilakukan oleh
KPK.
Hakim berpendapat status seseorang menjadi tersangka seharusnya terjadi
pada tahap penyidikan, bukan penyelidikan. Sebagaiamana merujuk pada Bab VII
bagian ketiga, Pasal 46 UU KPK terkait penetapan tersangka berada dalam Bab
penyidikan, bukan penyelidikan. Karena itu, Hakim Cepi mempunyai pandangan
jika penyidikan harus diawali proses penyelidikan. Artinya, penetapan tersangka
baru ada dalam proses penyidikan, bukan penyelidikan.7
Pertimbangan hakim dalam putusan perkara Setya Novanto menyatakan
bahwa penetapan tersangka Setya Novanto tidak sah karena dilakukan di akhir
penyelidikan atau diawal penyidikan yang seharusnya secara hukum dilakukan di
pertengahan penyidikan dan di akhir penyidikan.
Berdasarkan uraian di atas bahwa bukti permulaan yang dijadikan KPK
untuk menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka adalah bukti dari perkara lain
yang sudah diputuskan dan sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijs)
sehingga hal ini dianggap Hakim bertentangan dengan Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 4 Tahun 2016 tentang larangan peninjauan kembali putusan
praperadilan.
Menanggapi putusan tersebut Mahfud MD berpendapat bahwa
pertimbangan Hakim dalam perkara tersebut tidak logis sebab “penyidik aparat
penegak hukum bisa menggunakan alat bukti yang telah dipakai pada perkara
6 Hukum Online. “Pertimbangan Hakim Batalkan Status Tersangka Setya Novanto”,
melalui www.hukumonline.com, diakses Senin, 15 Juni 2018, Pukul 09:30 Wib. 7 Ibid.
http://www.hukumonline.com/
-
11
sebelumnya untuk menjerat tersangka yang memenangkan praperadilan”.8 Artinya
bukti yang dianggap hakim dalam pertimbangannya tidak dapat digunakan
ternyata masih bisa berlaku lagi sepanjang bukti tersebut disempurnakan
sebagaimana hal ini didukung dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 42/PUU-XV/2017 yang dalam amar pertimbangannya sudah diuraikan di
atas.
Berdasarkan pada uraian latar belakang di atas maka penulis tertarik
mengangkat skripsi ini dengan judul: “Penetapan Tersangka Dengan Alat
Bukti Yang Sudah Digunakan Dalam Perkara Lain” (Studi Putusan Nomor
97/Pid. Prap/2017/PN.Jkt.Sel )”.
1. Rumusan Masalah
Sehubungan dengan latar belakang yang diuraikan di atas, maka rumusan
masalah yang diajukan dalam penulisan proposal skripsi ini adalah:
a. Bagaimana pengaturan penetapan tersangka dengan alat bukti yang sudah
digunakan dalam perkara lain?
b. Bagaimana akibat hukum penetapan tersangka dengan alat bukti yang sudah
digunakan dalam perkara lain?
c. Bagaimana Studi Putusan Nomor 97/Pid.Prap/2017/PN.Jkt.Sel?
2. Faedah Penelitian
Faedah penelitian ini diharapkan berguna baik secara teoritis maupun
secara praktis, dengan kata lain yang dimaksud dengan faedah teoritis yaitu
faedah sebagai sumbangan baik kepada ilmu pengetahuan pada umumnya maupun
8Intisari. “Mahfud MD: Logika yang Digunakan Hakim Praperadilan Setya Novanto
Tak Masuk Akal”, melalui www.intisari.grid.id, diakses Senin, 25 Juni 2018, Pukul 10:30 Wib.
http://intisari.grid.id/tag/praperadilanhttp://www.intisari.grid.id/
-
12
kepada ilmu hukum khususnya, dari segi praktis penelitian ini berfaedah bagi
kepentingan Bangsa, Negara, masyarakat dan pembangunan.9
a. Secara Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi penulis
khususnya, pada umumnya memberikan kontribusi dalam mengembangkan
konsep hukum acara yang berkaitan dengan kedudukan alat bukti yang sudah
digunakan dalam perkara lain untuk menetapkan seorang menjadi tersangka
(Studi Putusan Nomor 97/Pid.Prap/2017/PN.Jkt).
b. Secara Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi
perkembangan ilmu hukum di Indonesia khususnya dalam hal penentuan
kedudukan alat bukti yang sudah digunakan dalam perkara lain untuk menetapkan
seorang menjadi tersangka (Studi Putusan Nomor 97/Pid.Prap/2017/PN.Jkt).
B. Tujuan Penelitian
Suatu tujuan penelitian harus dinyatakan dengan jelas dan ringkas, karena
hal demikian akan dapat memberikan arah pada penelitiannya.10 Dengan demikian
adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui penetapan alat bukti yang diduga melakukan tindak pidana
dalam hal penetapan statusnya menjadi tersangka.
2. Untuk mengetahui akibat hukum alat bukti yang sudah digunakan dalam
perkara lain untuk menetapkan seorang menjadi tersangka.
9 Ida Hanifah, dkk. 2018. Pedoman Penulisan Tugas Akhir Mahasiswa. Medan: Pustaka
Prima, halaman 16.
10 Bambang Sunggono. 2015. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Rajawali Pers, halaman 109.
-
13
3. Untuk mengetahui Studi Putusan Nomor 97/Pid.Prap/2017/PN.Jkt.Sel.
C. Metode Penelitian
Penelitian memegang peranan penting dalam membantu manusia untuk
memperoleh pengetahuan baru dalam memecahkan masalah, di samping akan
menambah ragam pengetahuan lama.11 Dalam memecahkan suatu permasalahan
dan guna mencari jawaban atas permasalahan tersebut, maka penelitian ini
menggunkan dengan pendekatan empiris guna mendapatkan hasil yang maksimal,
maka metode penelitian yang dilakukan meliputi:
1. Sifat penelitian
Sifat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskripsi
dengan jenis yuridis normatif. Pendekatan yuridis normatif yaitu penelitian yang
dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan kepustakaan yang relevan dengan
permasalahan yang diteliti dengan tujuan penelitian ini dapat mendeskripsikan
atau menggambarkan dan menganalisis data yang diperoleh secara sistematis dan
akurat tentang kedudukan alat bukti yang sudah digunakan sebagai bukti dalam
perkara lain untuk menetapkan seorang menjadi tersangka (Studi Putusan Nomor
97/Pid.Prap/2017/PN.Jkt).
2. Sumber Data
Dalam penelitian jenis hukum normatif bahan pustaka merupakan data
dasar atau data pokok yang dalam ilmu penelitian digolongkan sebagai data
sekunder. yang terdiri dari:
11 Bambang Sunggono. Op. Cit., halaman 43.
-
14
a. Bahan hukum primer yaitu Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Kitab
Undang Hukum Acara Pidana, Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012
tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana,
1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
Amandemen kedua,
2) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
3) Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,
4) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemeberantasan Tindak Pidana
Korupsi, Putusan Nomor 97/Pid.Prap/2017/PN.Jkt.
b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang menjelaskan mengenai
bahan hukum primer berupa karya ilmiah, jurnal, buku, dan lain sebagainya
yang berhubungan dengan permasalahan yang diajukan sesuai dengan judul
skripsi.
c. Bahan hukum tersier yaitu berupa bahan hukum yang memberikan petunjuk
dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus
hukum, internet, bahan bahan perkuliahan dan lain sebagainya yang
mempunyai hubungan dengan judul penelitian ini.
3. Alat Pengumpul Data
Alat yang dipergunakan untuk memperoleh data primer yaitu dengan cara
(library research) dimaksud dengan dua cara yaitu: secara Online dan secara
Offline. Secara online dimaksudkan adalah menelusuri perpustakaan dengan
menggunakan media internet guna menghimpun sumber. Bahan hukum yang
-
15
relevan dengan judul penelitian. Sedangkan secara offline adalah penelusuran
perpustakaan yang diperlukan secara langsung dan mendatangi toko-toko buku,
Perpustakaan UMSU, Perpustakaan Daerah maupun perpustakaan lain guna
memperoleh sumber hukum yang dibutuhkan dalam penelitian dimaksud.
4. Analisis Data
Data yang terkumpul dapat dijadikan acuan pokok dalam melakukan
analisis penelitian dan pemecahan masalah. Untuk memperoleh penelitian ini
menggunakan analisis kualitatif yakni sebenarnya merupakan salah satu cara
penelitian yang menghasilkan data deskriptif yakni apa yang dinyatakan secara
tertulis dan perilaku nyata.12 Secara sederhana analisis kualitatif dalam penelitian
ini yaitu memaparkan, menjelaskan, dan menarik kesimpulan serta memecahkan
masalah terkait judul penelitian dari data yang telah terkumpul.
D. Definisi Operasional
Definisi operasional adalah kerangka yang menggambarkan hubungan
antara definisi-definisi/konsep-konsep khusus yang akan diteliti.13 Sesuai dengan
judul penelitian yang diajukan yaitu “kedudukan alat bukti yang sudah digunakan
dalam perkara lain untuk menetapkan seorang menjadi tersangka (Studi Putusan
Nomor 97/Pid.Prap/2017/PN.Jkt)”, maka dapat diterangkan definisi operasional
penelitian yaitu:
12 Soerjono soekanto.1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia
(UI-Press), halaman 51. 13 Ida Hanifah. Loc. Cit.
-
16
1. Penetapan adalah tindakan sepihak menentukan kaidah hukum konkret yang
berlaku khusus.14
2. Tersangka menurut Pasal 1 butir 14 KUHP adalah seorang yang karena
perbuatannya atau keadaanya berdasarkan bukti permulaan patut diduga
sebagai pelaku tindak pidana.
3. Alat bukti adalah segala hal yang dapat digunakan untuk membuktikan perihal
kebenaran suatu peristiwa di pengadilan.15
4. Perkara adalah urusan yang perlu diselesaikan atau dibereskan.16
14 Kamus Besar Bahasa Indonesia. “Penetapan”, melalui www.kbbi.kata.web.id, diakses
Minggu, 23 Desember 2018, Pukul 16.00 Wib. 15 Eddy O.S Hiariej. 2012. Teori Hukum dan Pembuktian. Jakarta: PT. Gelora Aksara
Pratama, halaman 51. 16 Artikata. “Perkara”, melalui www.artikata.com, diakses Sabtu, 21 Juli 2018, Pukul
08:36 Wib.
http://www.kbbi.kata.web.id/http://www.artikata.com/
-
17
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Penetapan Tersangka
Menurut Anton Bachrul Alam, seseorang dikatakan tersangka apabila
perbuatannya berdasarkan bukti permulaan yang cukup, ia patut diduga
melakukan tindak pidana. Penentuan tersangka oleh polisi dilakukan berdasarkan
bukti-bukti yang ditemukan dalam penyelidikan maupun dalam penyidikan, pada
KUHAP tidak ditentukan berapa banyak bukti untuk dapat ditetapkannya
seseorang menjadi tersangka. Dalam hal ini setiap tersangka suatu tindak pidana
tidak dapat diduga bahwa Ia telah benar-benar melakukan suatu tindak pidana,
untuk itu setiap tersangka mempunyai hak-hak.17
Tersangka menurut Pasal 1 ayat (14) KUHAP, adalah seseorang yang
karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga
sebagai pelaku tindak pidana. Dengan demikian, tersangka merupakan seseorang
yang menjalani pemeriksaan permulaan, dimana salah atau tidaknya seorang
tersangka harus dilakukan dalam proses peradilan yang jujur dengan
mengedepankan asas persamaan dihadapan hukum.
Tersangka mempunyai hak-hak sejak ia mulai diperiksa oleh penyidik,
meskipun seorang tersangka diduga telah melakukan suatu perbuatan yang
cenderung sebagai perbuatan negatif dan bahkan suatu tindak pidana yang
17 Indosiar News. “Tulisan Secara hukum apa arti tersangka dan apa kriteria salah seorang
disebut sebagai tersangka”, melalui www.indosiar.com, diakses Jumat 8 Juni 2018. Pukul 13:00 Wib.
http://www.indosiar.com/
-
18
melanggar hukum bukan berarti seorang tersangka dapat diperlakukan semena-
mena dan dilanggar hak-haknya. 18
Tersangka dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu sebagai berikut:
a. Tersangka yang kesalahannya sudah definitif atau dapat dipastikan Untuk
tersangka tipe I ini, maka pemeriksaan dilakukan untuk memperoleh
pengakuan tersangka serta pembuktian yang menunjukkan kesalahan
tersangka selengkap-lengkapnya diperoleh dari fakta dan data yang
dikemukakan di depan sidang pengadilan.
b. Tersangka yang kesalahannya belum pasti Untuk tersangka tipe II ini, maka
pemeriksaan dilakukan secara hati-hati melalui metode yang efektif untuk
dapat menarik keyakinan kesalahan tersangka, sehingga dapat dihindari
kekeliruan dalam menetapkan salah atau tidaknya seseorang yang diduga
melakukan.19
Tersangka diberikan seperangkat hak-hak oleh Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) dari mulai Pasal 50 sampai dengan Pasal 68.
Sekalipun tersangka yang menjadi titik tolak pemeriksaan tersangka tidak boleh
dipandang sebagai objek pemeriksaan. Tersangka harus ditempatkan pada
kedudukan manusia yang memiliki harkat dan martabat serta harus dinilai sebagai
subjek, bukan sebagai objek. Perbuatan tindak pidana tersangka yang menjadi
objek pemeriksaan.
18 Dino Tindaon. “Penentuan Tersangka Berdasarkan Bukti Permulaan Yang cukup”.
melalui http:www.e-journal.uajy.ac.id. diakses Minggu, 23 Desember 2018, Pukul 16.00 Wib. 19 Mujiyono Agus Sri. 2009. “Analisis Perlindungan Hukum Hak Tersangka Dan
Potensi Pelanggaran Pada Penyidikan Perkara Pidana”. Skripsi. Surakarta : Universitas Sebelas Maret. Hlm. 17-18.
-
19
Menurut Pasal 8 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaaan Kehakiman menerangkan bahwa tersangka harus dianggap tidak
bersalah sesuai dengan prinsip hukum “praduga tak bersalah” sampai diperoleh
putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Pasal 1 angka 14 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),
mendefinisikan tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau
keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak
pidana. Selanjutnya definisi tersangka dengan rumusan yang sama diatur pula
dalam ketentuan Pasal 1 angka 10 Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012
tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana (Perkap Nomor 14 Tahun 2012).
Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 14 KUHAP tidak
secara spesifik diatur dalam KUHAP. Definisi itu justru diatur dalam Pasal 1
angka 21 Perkap Nomor 14 Tahun 2012 yaitu “bukti permulaan adalah alat bukti
berupa Laporan Polisi dan 1 (satu) alat bukti yang sah, yang digunakan untuk
menduga bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana sebagai dasar untuk
dapat dilakukan penangkapan”. Jadi, berdasarkan laporan polisi dan satu alat bukti
yang sah maka seseorang dapat ditetapkan sebagai tersangka serta dapat dilakukan
penangkapan kepadanya. KUHAP memang tidak menjelaskan lebih lanjut tentang
definisi bukti permulaan, namun KUHAP secara jelas mengatur tentang alat bukti
yang sah di dalam ketentuan Pasal 184 KUHAP yaitu meliputi:
a. keterangan saksi,
b. keterangan ahli,
c. surat,
-
20
d. petunjuk,
e. keterangan terdakwa.
Proses penyidikan hanya dimungkinkan untuk memperoleh alat bukti yang
sah berupa keterangan saksi, keterangan ahli dan surat. Selain itu, perlu
ditekankan jika keterangan saksi yang dimaksud sebagai alat bukti yang sah tidak
terlepas dari ketentuan Pasal 185 ayat (2) dan ayat (3) KUHAP serta asas unus
testis nullus testis. yang dimaksud unus testis nullus testis (satu saksi bukanlah
saksi) yaitu asas yang menolak kesaksian dari satu orang saksi saja. Dalam hukum
acara perdata dan acara pidana, keterangan seorang saksi saja tanpa dukungan alat
bukti lain tidak boleh dipercaya atau tidak dapat digunakan sebagai dasar bahwa
dalil gugatan secara keseluruhan terbukti.20 Prinsip ini secara tegas dianut oleh
KUHAP dalam pembuktian Pasal 185 ayat (2) yang berbunyi keterangan seorang
saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap
perbuatan yang didakwakan kepadanya.
Keterangan seorang saksi saja tidak dapat serta merta dapat menjadi satu
alat bukti yang sah, karena harus disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.
Itupun haruslah bersesuaian dengan alat bukti yang lain yang telah ada,
sebagaimana lebih lanjut diatur dalam ketentuan Pasal 185 ayat (6) KUHAP,
sebab kinerja penyidik dalam mengumpulkan alat bukti yang sah tersebut sebagai
“bahan baku” bagi hakim untuk memeriksa dan mengadili suatu tindak pidana.
Bilamana telah terdapat laporan polisi didukung dengan satu alat bukti yang sah
20 Moeljatno. 2015. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta, halaman. 62.
-
21
dengan turut memperhatikan ketentuan Pasal 185 ayat (3), Pasal 188 ayat (3) dan
Pasal 189 ayat (1) KUHAP, maka seseorang dapat ditetapkan sebagai tersangka.21
Tindakan penangkapan hanya dapat dilakukan apabila tersangka tidak
hadir tanpa alasan yang patut dan wajar setelah dipanggil dua kali berturut-turut
oleh penyidik. Apabila tersangka selalu hadir memenuhi panggilan penyidik,
maka perintah penangkapan berdasarkan Perkap Nomor 14 Tahun 2012, tidak
dapat dilakukan terhadap tersangka. Demikian pula halnya terhadap tersangka
yang baru dipanggil satu kali dan telah menghadap pada penyidik untuk
kepentingan pemeriksaan guna penyidikan, tidak dapat seketika juga dikenakan
penangkapan.
Berhubung tersangka telah datang memenuhi panggilan penyidik maka
salah satu dari dua pertimbangan dilakukannya tindakan penangkapan
sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 36 ayat (1) Perkap Nomor 14 Tahun
2012 tidaklah terpenuhi. Akan tetapi terhadap diri seorang tersangka dapat
dikenakan penahanan meskipun terhadapnya tidak dikenai tindakan penangkapan,
dimana tindakan penahanan tersebut dilakukan dengan pertimbangan yang
bersifat alternatif berdasarkan ketentuan Pasal 44 Perkap No. 14 Tahun 2012,
sebagai berikut:
a. Tersangka dikhawatirkan akan melarikan diri,
b. Tersangka dikhawatirkan akan mengulangi perbuatannya,
c. Tersangka dikhawatirkan akan menghilangkan barang bukti,
d. Tersangka diperkirakan mempersulit penyidikan.
21 Yuliana Rosalita Kurniawaty. 2015. “Problematika Penetapan dan Penangkapan
Tersangka”. www.hukumonline.com. diakses Jumat, 7 Juni 2018, Pukul 15:24 Wib.
http://www.hukumonline.com/
-
22
Menurut Pasal 21 ayat (1) KUHAP mengatur bahwa perintah penahanan
dapat dilakukan terhadap seorang tersangka dalam hal adanya keadaan yang
menimbulkan:
a. Kekhawatiran bahwa tersangka akan akan melarikan diri,
b. Merusak atau menghilangkan barang bukti, dan/atau
c. Mengulangi tindak pidana.
Diawali dari suatu proses penegakan hukum yang sesuai dengan koridor
hukum maka diharapkan lahir sebuah keadilan bagi masyarakat yang
membutuhkan, dan bangsa Indonesia sedang dalam proses mencapai keadilan itu.
Tentu saja tujuan itu akan tercapai bilamana ada itikad baik untuk menerapkan
hukum tanpa ditunggangi oleh kepentingan dan hanya murni sesuai dengan proses
hukum.22
B. Alat Bukti
1. Pengertian Alat Bukti
Alat bukti dapat didefinisikan sebagai segala hal yang dapat digunakan
untuk membuktikan perihal kebenaran suatu peristiwa di pengadilan. Mengenai
apa saja yang termasuk alat bukti, masing-masing hukum acara suatu perdilan
akan mengaturnya secara rinci, alat bukti dalam hukum acara pidana berbeda
dengan alat bukti hukum acara perdata. Demikian pula alat bukti yang berlaku
pada persidangan dalam perkara-perkara tertentu seperti hukum acara Mahkamah
22 Gunawan Setiadirdja. 1993. Hak-hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila,
Yogyakarta : Kanisius, halaman. 75.
-
23
Konstitusi, hukum acara dalam persidangan kasus korupsi, hukum acara dalam
persidangan kasus terorisme, dan masih banyak lagi.23
Adapun alat-alat bukti yang sah menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP,
adalah sebagai berikut:
1. Keterangan saksi
Menurut Pasal 1 butir 27 KUHAP, keterangan saksi adalah salah
satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari
saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia
lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari
pengetahuannya itu.
2. Keterangan ahli
Menurut Pasal 1 butir 28 KUHAP, keterangan ahli adalah
keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian
khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu
perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan dalam hal serta
menurut cara yang diatur dalam undang-undang.
3. Surat
Menurut Pasal 187 KUHAP, Surat sebagaimana tersebut pada
Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau
dikuatkan dengan sumpah, adalah:
a. berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat
oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di
23 Eddy O.S. Hiariej. 2012. Teori dan Hukum Pembuktian. Jakarta: PT Gelora Aksara
Pratama, halaman 52.
-
24
hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau
keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri,
disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang
keterangannya itu.
b. surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-
undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenal hal yang
termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya
dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau
sesuatu keadaan.
c. surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat
berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu
keadaan yang diminta secara resmi dan padanya;
d. surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya
dengan isi dari alat pembuktian yang lain.
4. Petunjuk
Menurut Pasal 188 KUHAP ayat (1), Petunjuk adalah perbuatan,
kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara
yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu
sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan
siapa pelakunya.
-
25
5. Keterangan Terdakwa
Menurut Pasal 189 ayat (1) KUHAP, Keterangan terdakwa adalah
apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang
dilakukan atau yang ia ketahui sendiri atau ia alami sendiri.
6. Jenis-Jenis Alat Bukti
Dalam pembagian jenis-jenis alat bukti yang digunakan sebagai
pembuktian dan pertanggungjawaban di dalam persidangan terbagi atas beberapa
sesuai dengan perkara-perkara tertentu, adapun jenis-jenis alat bukti berdasarkan
pembuktiannya yaitu:24
a. Pembuktian Dalam Perkara Perdata Di Indonesia
Dalam perkara perdata, yang dicari adalah kebenaran formal. Oleh
karena itu, hakim terikat hanya kepada alat bukti yang sah menurut undang-
undang. Dengan demikian, hakim dalam pemeriksaan perdata bersifat pasif,
tergantung dari para pihak yang bersengketa. Akan tetapi, dalam rangka mencari
kebenaran materiil atas perkara perdata yang diajukan oleh para pihak, hakim
perdata pun bersifat aktif.
Berdasarkan KUHPerdata, RIB dan RDS disebutkan alat-alat bukti terdiri
dari bukti tulisan (sebutan dalam KUHperdata) atau bukti dengan surat (sebutan
dalam RIB dan RDS); bukti dengan saksi; persangkaan-persangkaan; pengakuan
dan sumpah. Sementara itu alat bukti atau keterangan ahli dasar hukunnya
24 Ibid, halaman 80.
-
26
terdapat daam RIB dan RDS. Berikut ini adalah ulasan masing-masing alat bukti
dalam perkara perdata indonesia.
1) Bukti Tulisan/Bukti dengan Surat
Bukti tulisan atau bukti dengan surat merupakan bukti yang sangat krusial
dalam pemeriksaan perkara perdata di pengadilan. Hal ini sebagaimana telah
diutarakan sebelumnya bahwa bukti tertulis atau bukti dengan surat sengaja dibuat
untuk kepentingan pembuktin di kemudian hari bilamana terjadi sengketa. Secara
garis besar, bukti tulisan atau bukti dengan surat terdiri atas dua macam, yaitu
akta dan tulisan atau surat-surat lain.
2) Saksi
Saksi yang dimaksud di sini adalah saksi fakta. Dalam konteks perkara
perdata, jika bukti tulisan kurang cukup, pembuktian selanjutnya adalah dengan
menggunakan saksi yang dapat membenarkan atau menguatkan dalil-dalil yang
diajukan di muka sidang. Ada saksi yang dihadirkan ke pengadilan yang secara
kebetulan melihat, mendengar, dan mengalami sendiri suatu peristiwa, namun ada
juga saksi yang dihadirkan yang dengan sengaja diminta untuk menyaksikan suatu
peristiwa hukum pada saat peristiwa itu dilakukan pada masa lampau.
3) Persangkaan-Persangkaan
Dalam hukum acara perdata, persangkaan-persangkaan atau vermoedens
adalah bukti yang bersifat pelengkap atau accessory evidence. Artinya,
persangkaan-persangkaan dapat menjadi alat bukti yang mandiri. Persangkaan-
persangkaan dapat menjadi alat bukti dengan merujuk pada alat bukti lainnya.
Demikian juga satu persangkaan saja bukanlag alat bukti. Jadi, persangkaan-
-
27
persangkaan ialah kesimpulan-kesimpulan yang diambil berdasarkan undang-
undang atau berdasarkan pemikiran hakim dari suatu peristiwa.
4) Pengakuan
Salah satu alat bukti yang tidak terdapat pada pembuktian perkara di
persidangan pada umumnya, kecuali perdata, adalah alat bukti sumpah. Secara
garis besar sumpah dibagi menjadi dua, yaitu adalah sumpah promisoir dan
sumpah confirmatoir. Sumpah promisoir adalah sumpah yan diucapkan oleh
seseorang ketika akan menduduki suatu jabatan atau ketika bersaksi di
pengadilan. Sementara itu, sumpah confirmasoir adalah sumpah sebagai alat
bukti.
5) Ahli
Dalam konteks hukum perdata di Indonesia, perihal ahli sebagai alat bukti
tidak dicantumkan dalam Buku Keempat KUHPerdata, melainkan terdapat dalam
RIB dan RDS. Dalam RIB dan RDS tidak ada definisi mengenai ahli atau
keterangan ahli. Dalam RIB dan RDS hanya dinyatakan “jika menurut pendapat
ketua pengadilan negeri perkara itu dapat dijelaskan oleh pemeriksaan atau
penetapan ahli-ahli, karena jabatannya atau atas permintaan pihak-pihak, ia dapat
mengangkat ahli-ahli tersebut”. Berdasarkan pasal tersebut dapat disimpulkan
bahwa ahli dibutuhkan di persidangan pengadilan untuk memberi penjelasan
mengenai suatu perkara yang sedang disidangkan.
b. Pembuktian Dalam Perkara Pidana Di Indonesia
Dalam perkara pidana tidak ada hierarki alat bukti. Oleh karena itu dalam,
penyebutan alat bukti yang sah berdasarkan Pasal 184 KUHAP tidak
-
28
menggunakan angka 1 sampai dengan angka 4, melainkan menggunakan huruf a
sampai dengan huruf e untuk menghindari kesan adanya hierarki dalam alat bukti.
Secara ekplisit Pasal 184 ayat (1) KUHAP berbunyi sebagai berikut.
Alat bukti yang sah ialah:
a) Keterangan saksi;
b) Keterangan ahli
c) Surat
d) Petunjuk
e) Keterangan terdakwa
Ulasan berikut ini terkait alat bukti yang sah menurut KUHAP.25
1) Keterangan Saksi
Definisi saksi dan definisi keterangan saksi secara tegas diatur daam
KUHAP. Berdasarkan Pasal 1 angka 26 KUHAP dinyatakan, “Saksi adalah orang
yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan,
dan peradilan tentang perkara pidana yang ia dengar sendiri, lihat sendiri, dan ia
alami sendiri dengan menyebut alasan dari pemberitahuannya itu”.
2) Keterangan Ahli
Definisi keterangan ahli menurut KUHAP adalah: “keterangan yang
diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang
diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan
pemeriksaan”. Keterangan ahli dinyatakan sah sebagai alat bukti jika dinyataan di
depan persidangan dan di bawah sumpah.
25 Ibid, halaman 100.
-
29
3) Surat
Jenis surat yang dapat diterima sebgai alat bukti dicantumkan dalam Pasal
187 KUHAP. Surat tersebut dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan
sumpah. Jenis surat yang dimaksud adalah:26
Pertama, berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh
pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat
keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau dialaminya
sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu.
Kedua, surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata
laksana menjadi tanggungjawabnya dan yang diperuntukan bagi pembuktian
sesuatu hal atau sesuatu keadaan. Contohya, untuk membuktikan adanya
perkawinan, ada surat nikah, untuk membuktikan adanya kematian, ada akta
kematian dan untuk membuktikan tempat tinggal seseorang ada kartu tanda
pengenal (KTP).
Ketiga, surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat
berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta
secara resmi dari padanya. Misalnya adalah hasil visum et repertum yang
dikeluarkan oleh seorang dokter. Visum tersebut dapat dibuat berdasarkan
permintaan korban atau permintaan aparat penegak hukum untuk kepentingan
penyelidikan, penuntutan ataupun persidangan.
26 Ibid, halaman 108.
-
30
Keempat, surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan
isi surat dari alat pembuktian yang lain. Surat jenis ini hanya mengandung nilai
pembuktian apabila isi surat tersebut ada hubungannya dengan alat bukti yang
lain.
4) Petunjuk
Berdasarkan Pasal 188 ayat (1) KUHAP, petunjuk didefinisikan sebagai
perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang
satu dengan dengan yang lain maupun dengan tindak pidana itu sendiri,
menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
Petunjuk tersebut hanya dapat diperoleh dari keteranan saksi, surat, dan
keterangan terdakwa.
Penilaian atas kekuatan pembuktian suatu petunjuk dalam setiap keadaan
tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif dan bijaksana setelah ia mengadakan
pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati
nuraninya. Tegasnya, syarat-syarat petunjuk sebagai alat bukti harus mempunyai
persesuaian satu sama lain atas perbuatan yang terjadi. Selain itu, keadaan-
keadaan tersebut berhubungan satu sama lain dengan kejahatan yang terjadi dan
berdasarkan pengamatan hakim yang diperoleh dari keterangan saksi, surat, atau
keterangan terdakwa.
Adami Chazawi mengubngkapkan persyaratan suatu petunjuk adalah sebagai
berikut.27
27 Ibid, halaman 110.
-
31
a) Adanya perbuaan, kejadian, dan keadaan yang bersesuaian. Perbuatan,
kejadian, dan keadaan merupakan sifat fakta-fakta yang menunjukkan tentang
telah terjadinya tindak pidana, menunjukkan terdakwa yang melakukan, dan
menunjukkan terdakwa bersalah karena melakukan tindak pidana tersebut.
b) Ada dua persesuaian, yaitu bersesuaian antara masing-masing perbuatan,
kejadian, dan keadaan satu sama lain ataupun bersesuaian antara perbuatan,
kejadian, atau keadaan dengan tindak pidana yang didakwakan.
c) Persesuaian yang demikian itu menandakan atau menunjukkan adanya dua
hal, yaitu menunjukkan bahwa benar telah terjadi suatu tindak pidana dan
menunjukkan siapa pelakunya. Unsur ini merupakan kesimpulan bekerjanya
proses pembentukan alat bukti petunjuk, yang sekaligus merupakan tujuan
dari alat bukti petunjuk.
d) Hanya dapat dibentuk tiga alat bukti, yaitu keterangan saksi, surat, dan
keterangan terdakwa. Sesuai dengan asas minimum pembutian yang
diabstraksi dari Pasal 183 KUHAP, selayaknya petunjuk juga dihasilkan dari
minimal dua alat bukti yang sah.
5) Keterangan Terdakwa
Keterangan terdakwa dalam konteks hukum pembuktian secara umum
dapatlah disamakan dengan bukti pengakuan atau confessions evidence. Menurut
Mark Frank, John Yarbrough, dan Paul Ekman, pengakuan tanpa bukti-bukti yang
memperkuat suatu kesaksian dengan sendirinya tidak bernilai apa-apa. KUHAP
memberi definisi keterangan terdakwa sebagai apa yang terdakwa nyatakan di
-
32
sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau ia
alami sendiri.
Dalam Pasal 189 ayat (1) KUHAP keterangan terdakwa merupakan apa
yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia
ketahui sendiri dan ia alami sendiri. Menurut Mark Frank, John Yarbrough, dan
Paul Ekman pengakuan tanpa bukti-bukti yang memperkuat suatu kesaksian
dengan sendirinya tidak bernilai apa-apa. 20 Didalam KUHP Pasal 184 ayat (1)
butir e keterangan terdakwa merupakan salah satu alat bukti di dalam persidangan,
seorang terdakwa di dalam persidangan diberikan kesempatan untuk memberikan
keterangan dan merupakan hak bagi seorang terdakwa yang tidak bisa diganggu
gugat meskipun seorang terdakwa memiliki hak ingkar dalam memberi
keterangan. Keterangan terdakwa menjadi suatu petunjuk dalam pembuktian dan
dalam hal ini keterangan terdakwa menjadi pertimbangan hakim di dalam
putusannya.
Keterangan terdakwa yang dikatakan mengandung nilai pembuktian yang
sah adalah sebagai berikut:28
a) Keterangan harus dinyatakan di depan sidang pengadilan;
b) Isi keterangannya mengenai perbuatan yang dilakukan terdakwa, segala hal
yang diketahuinya, dan kejadian yang dialaminya sendiri.
c) Keterangan tersebut hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri. Artinya,
mengenai memberatkan atau meringankannya keterangan terdakwa di sidang
pengadilan, hal itu berlaku terhadap dirinya sendiri dan tidak boleh
28 Siswandi, “Keterangan Terdakwa”, melalui, http://e-journal.uajy.ac.id, diakses 07
November 2018, Pukul 17.07 Wib.
http://e-journal.uajy.ac.id/
-
33
dipergunakan untuk meringankan atau memberatkan orang lain atau terdakwa
lain dalam perkara yang sedang diperiksa;
d) Keterangan tersebut tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah
melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai
dengan alat bukti yang lain.
Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk
membantu menemukan bukti di sidang, asalkan didukung oleh suatu alat bukti
yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya. Pemeriksaan
terhadap terdakwa juga sudah dimulai pada tahap penyidikan dan dituangkan
dalam berita acara pemeriksaan. Adakalanya keterangan tersangka dan terdakwa
pada tahap penyidikan berubah-ubah sehingga menimbulkan kesulitan bagi
penyidik untuk mengungkapkan fakta-fakta yang sebenarnya. Tidak jarang dalam
menghadapi keterangan tersangka atau terdakwa berubah-ubah pada tahap
penyidikan, penyidik menggunakan alat bukti pendeteksi kebohongan. Terdapat
alat pendeteksi kebohongan yang menggunakan metode psikofiologi dan ada yang
menggunakan teknik paralinguistik.29
C. Perkara Dengan Alat Bukti Yang Sama
Alat bukti merupakan komponen yang sangat penting dalam
menyelesaikan suatu perkara di persidangan. Alat bukti adalah segala sesuatu
yang ada hubunganya dengan suatu perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti
tersebut dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan
keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan
29 Ibid, halaman 113.
-
34
oleh terdakwa. Dalam menangani perkara pidana maka alat bukti yang digunakan
berdasarkan Pasal 184 KUHAP adalah sebagai berikut:
a) Keterangan Saksi
b) Keterangan Ahli
c) Surat
d) Petunjuk
e) Keterangan Terdakwa
Selain undang-undang ada pula Peraturan Kepala Kepolisian Republik
Indonesia yang menjadi pedoman bagi aparat penegak hukum yakni penyidik
dalam melakukan penyeledikan dan penyidikan bahwa mengenai pencarian alat
bukti dan barang bukti diatur ketentuan dalam Pasal 1 angka 20 sampai Pasal 1
angka 23 serta Pasal 2 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia
Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana. Putusan
Mahkamah Agung Konstitusi Nomor: 20/PUU-XIV/2016 mengenai bukti
elektronik (digital) sebagai alat bukti dan putusan Mahkamah Agung Nomor:
42/PUU-XV/2017 mengenai kedudukan dan syarat penggunaan alat bukti yang
sama terkait impilikasinya pada perkara pidana yang berbeda dan dapat digunakan
untuk mengeluarkan Surat Perintah dimulainya Penyidikan (SPRINDIK).
Penyidik aparat penegak hukum bisa menggunakan alat bukti yang telah
dipakai pada perkara sebelumnya untuk menjerat tersangka, hal ini merupakan
salah satu pertimbangan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan uji materi
terhadap Pasal 38 ayat (1) tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam
menggunakan alat bukti sebagai dasar penyidikan kembali adalah alat bukti
-
35
yang telah dipertegas oleh Mahkamah, yaitu meskipun alat bukti tersebut tidak
baru dan masih berkaitan dengan perkara sebelumnya akan tetapi adalah alat
bukti yang telah disempurnakan secara substansial dan tidak bersifat
formalitas semata sehingga pada dasarnya alat bukti yang dimaksud telah
menjadi alat bukti baru yang berbeda dengan alat bukti sebelumnya.
D. Hak dan Kedudukan Tersangka
Membicarakan hak dan kedudukan tersangka dan terdakwa telah diatur
dalam BAB VI KUHAP yang dikelompokkan sebagai berikut:30
1. Hak Tersangka dan Terdakwa Segera Mendapat Pemeriksaan
Penjabaran prinsip peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan
dipertegas dalam Pasal 50 KUHAP, yang memberi hak yang sah menurut
hukum dan undang-undang kepada tersangka/terdakwa:
a. Berhak segera untuk diperiksa oleh penyidik;
b. Berhak segera diajukan ke sidang pengadilan;
c. Berhak segera diadili dan mendapat putusan pengadilan (speedy trial
right).
2. Hak Untuk Melakukan Pembelaan
Untuk kepentingan mempersiapkan hak pembelaan tersangka atau
terdakwa, undang-undang menentukan beberapa paal (Pasal 51 sampai
dengan Pasal 57) KUHAP, yang dapat dirinci:
30 M. Yahya Harahap. 2005. Pembahasan dan Penerapan Masalah KUHAP. Jakarta:
Sinar Grafika, halaman 332.
-
36
a. Berhak diberitahukan dengan jelas dan dengan bahasa yang dapat
dimengerti tentang apa yang disangkakan kepadanya.
b. Hak pemberitahuan yang demikian dilakukan pada waktu pemeriksaan
mulai dilakukan terhadap tersangka.
c. Terdakwa juga berhak untuk diberitahukan dengan jelas dan dengan
bahasa yang dapat dimengerti tentang apa yang didakwakan
kepadanya.
d. Berhak memberi keterangan dengan bebas dalam segala tingkat
pemeriksaan, mulai dari tingkat pemeriksaan penyidikan dan
pemeriksaan sidang pengadilan.
e. Berhak mendapat juru bahasa.
f. Berhak mendapat bantuan hukum.
Guna kepentingan pembelaan diri, tersangka atau terdakwa berhak
mendapat bantuan hukum oleh seseorang atau beberapa orang
penasihat hukum, pada:
1) Setiap tingkat pemeriksaan, dan
2) Dalam setiap waktu yang diperlukan.
g. Berhak secara bebas memilih penasihat hukum
h. Dalam tindak pidana tertentu, hak mendapatkan bantuan hukum
berubah sifatnya menjadi “wajib”. Sifat wajib mendapatkan bantuan
hukum bagi tersangka atau terdakwa dalam semua tingkat pemeriksaan
diatur dalam Pasal 56 KUHAP:31
31 Ibid, halaman 334.
-
37
1) Jika sangkaan atau dakwaan yang disangkakan atau didakwakan
diancam dengan tindak pidana:
a) Hukuman mati;
b) Hukuman lima belas tahun penjara.
Dalam kedua kategori ancaman hukuman ini, tidak dipersoalkan
apakah mereka mampu atau tidak. Jika mereka mampu boleh memilih
dan membiayai sendiri penasihat hukum yang dikehendakinya. Jika
tidak mampu menyediakan dan membiayai sendiri, pada saat itu
timbul “kewajiban” bagi pejabat yang bersangkutan untuk
“menunjuk” penasihat hukum bagi tersangka atau terdakwa. Kalau
tersangka atau terdakwa sendiri menyediakan penasihat hukumnya,
hapus kewajiban pejabat yang bersangkutan menunjuk penasihat
hukum.
2) Kewajiban bagi pejabat yang bersangkutan menunjuk penasihat
hukum bagi tersangka atau terdakwa, digantungkan pada dua
keadaan:
a) Tersangka atau terdakwa “tidak mampu” menyediakan sendiri
penasihat hukumnya, dan
b) Ancaman hukuman pidana yang bersangkutan atau didakwakan
lima tahun atau lebih.
3. Hak Tersangka atau Terdakwa yang Berada Dalam Penahanan
Hak-hak terdakwa yang telah dibicarakan adalah hak yang berlaku pada
umumnya terhadap tersangka atau terdakwa baik yang berada dalam penahanan
-
38
atau di luar penahanan. Di samping hak-hak tersangka atau terdakwa yang umum
tersebut, undang-undang masih memberi lagi hak yang melindungi tersangka atau
terdakwa yang berada dalam penahanan:32
a) Berhak menguhubungi penasihat hukum.
Jika tersangka atau terdakwa orang asing, berhak menghubungi dan berbicara
dengan perwakilan negaranya dalam menghadapi jalannya proses pemeriksaan.
b) Berhak menghubungi dan menerima kunjungan dokter pribadi untuk
kepentingan kesehatan baik yang ada hubungannya dengan proses perkara
maupun tidak.
c) Tersangka atau terdakwa berhak untuk diberitahukan kepada:
1. Keluarganya,
2. Atau kepada orang yang serumah dengannya,
3. Atau orang lain yang dibutuhkan bantuannya,
4. Terhadap orang yang hendak memberi bantuan hukum atau jaminan bagi
penangguhan penahanannya.
d) Selama tersangka berada dalam penahanan berhak:
1. Menghubungi pihak keluarga, dan
2. Mendapat kunjungan dari pihak keluarga.
e) Berhak secara langsung atau dengan perantaraan penasihat hukum melakukan
hubungan:
1. Menghubungi dan menerima sanak keluarganya,
2. Baik hal itu untuk kepentingan perkaranya,
32 Ibid, halaman 336.
-
39
3. Atau untuk kepentingan keluarga, dan
4. Maupun untuk kepentingan pekerjaannya.
f) Berhak atas surat-menyurat
Hal ini diatur dalam Pasal 62 KUHAP yang memberi hak sepenuhnya kepada
tersangka atau terdakw yang berada dalam penahanan:
1. Mengirim dan menerima surat kepada dan dari penasihat hukumnya.
2. Mengirim dan menerima surat kepada dan dari sanak keluarganya,
Kebebasan hak surat-menyurat, tidak terbatas, tergantung kepada kehendak
tersangka atau terdakwa kapan saja yang disukainya. Pejabat rutan harus
menyediakan alat-alat tulis yang diperlukan untuk terlaksananya surat-
menyurat tersebut.
g) Berhak atas kebebasan rahasia surat:
1. Tidak boleh diperiksa oleh penyidik, penuntu umum, hakim, atau pejabat
rumah tahanan negara,
2. Kecuali cukup alasan untuk menduga bahwa surat-menyurat tersebut
disalahgunakan.
Dengan adanya kecurigaan penyalahgunaan surat-menyurat, menjadi penyebab
hapusnya larangan bagi para pejabat yang berwenang untuk membuka dan
memeriksa hubungan surat-menyurat antara tersangka atau terdakwa dengan
keluarga atau dengan penasihat hukumnya. Kalau suatu surat yang diduga
berisi penyalahgunaan, dan kemudian surat tersebut “ditilik” atau diperiksa
oleh pejabat yang bersangkutan (penyidik atau penuntut umum, hakim maupun
-
40
pejabat rumah tahanan negara) maka pembukan, pemeriksaan atau pemilikan
surat itu:33
1. Harus diberitahukan kepada tersangka atau terdakwa,
2. Kemudian surat yang telah ditilik tadi dikirimkan kembali kepada alamat si
pengirim setelah dibubuhi cap yang berbunyi “telah ditilik”
h) Tersangka atau terdakwa berhak menghubungi dan menerima kunjungan
rohaniawan.
4. Hak Terdakwa di Muka Sidang Pengadilan
Di samping hak yang diberikan pada tersangka dan terdakwa selama
dalam tingkat proses penyidikan dan penuntutan, KUHAP juga memberi hak
kepada terdakwa selama proses pemeriksaan persidangan pengadilan.
a) Berhak untuk diadili di sidang pengadilan yang terbuka untuk umum,
b) Berhak mengusahakan dan mengajukan saksi atau ahli:
1) Yang memberi keterangan kesaksian atau keterangan keahlian yang
menguntungkan bagi terdakwa atau a de charge,
2) Apabila terdakwa mengajukan saksi atau ahli yang akan memberikan
keterangan yang menguntungkan baginya, persidangan “wajib” memanggil
dan memeriksa saksi atau ahli tersebut.
Kesimpulan yang mewajibkan persidangan harus memeriksa saksi atau ahli
a de charge yang diajukan terdakwa, ditafsirkan secara “konsisten” dari
ketentuan Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4), serta Pasal 160 ayat (1) huruf e
KUHAP.
33 Ibid, halaman 337.
-
41
3) Terdakwa tidak boleh dibebani kewajiban pembuktian dalam pemeriksaan
sidang yang dibebani kewajiban untuk membuktikan kesalahan terdakwa
adalah penuntut umum.
5. Hak Terdakwa Memanfaatkan Upaya Hukum
Seperti yang diketahui, undang-undang memberi kemungkinan bagi
terdakwa yang dijatuhi hukuman untuk menolak atau tidak menerima putusan
yang diajtuhkan pengadilan. Ketidakpuasan atas putusan, memberi kesempatan
bagi terdakwa:34
a) Berhak memanfaatkan upaya hukum biasa, berupa permintaan pemeriksaan
tingkat banding kepada Pengadilan Tinggi atau permintaan pemeriksaan kasasi
kepada Mahkamah Agung.
b) Berhak memanfaatkan upaya hukum luar biasa, berupa permintaan
pemeriksaan “peninjauan kembali” putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.
6. Berhak Menuntut Ganti Rugi dan Rehabilitasi
KUHAP memberi hak kepada tersangka untuk menuntut ganti rugi dan
rehabilitasinya, apabila:
a) Penangkapan, penahanan, penggeledahan, atau penyitaan dilakukan tanpa
alasan hukum yang sah, atau
b) Apabila putusan pengadilan menyatakan terdakwa bebas karena tindak pidana
yang didakwakan tidak terbukti atau tindak pidana yang didakwakan
kepadanya bukan merupakan tindak pidana kejahatan atau pelanggaran.
34 Ibid, halaman 338.
-
42
Jika putusan pengadilan tidak mencantumkan mengenai rehabilitasi,
maka sebagaimana pernah dijelaskan dalam artikel Rehabilitasi, Mahkamah
Agung telah mengatur mengenai hal tersebut dalam Surat Edaran Mahkamah
Agung No. 11 Tahun 1985 tentang Permohonan Rehabilitasi dari Terdakwa yang
Dibebaskan atau Dilepas dari Segala Tuntutan Hukum.
Demikianlah sekedar gambaran hak-hak yang diberikan undang-undang
kepada tersangka atau terdakwa sejak mulainya berlangsung pemeriksaan
penyidikan sampai pada tingkat pemeriksaan pengadilan. dan seperti yang sering
kita katakan, tujuan pemberian hak-hak tersebut di samping untuk tegaknya
kepastian hukum, dimaksudkan untuk memberi perlindungan terhadap hak asasi
dan hak martabatnya.
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4c43fc1d59dc8/rehabilitasi
-
43
BAB III
HASI PENELITIAN DAN PEMABAHASAN
A. Pengaturan Penetapan Tersangka Dengan Alat Bukti Yang Sudah
Digunakan Dalam Perkala Lain.
1. Pengertian Penetapan Tersangka
Tersangka adalah “seorang yang karena perbuatannya atau keadaanya
berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana”
berdasarkan Pasal 1 ayat (14) KUHAP. Jadi untuk menetapkan seseorang yang
berstatus Tersangka, cukup didasarkan pada bukti permulaan/bukti awal yang
cukup. Di dalam KUHAP tidak memberikan penjelasan mengenai bukti
permulaan, seperti adanya pembatasan minimal jumlah alat bukti untuk
menetapkan seseorang menjadi Tersangka. Definisi tentang bukti permulaan
menurut Lamintang bahwa: hemat dari definisi bukti permulaan dalam rumusan
Pasal 17 KUHAP itu diterjemahkan sebagai “bukti minimal” berupa alat bukti
seperti dimaksud Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yang dapat menjadi jaminan bahwa
penyidik ketika melakukan tugasnya berupa penyidikan terhadap seseorang yang
disangka melakukan suatu kejahatan, setelah orang tersebut patut diduga
berdasarkan dua alat bukti yang sah dilakukan penetapan sebagai Tersangka.35
Harun M. Husein sependapat dengan pendapat Lamintang, bahwa dalam
rangka melakukan penangkapan terhadap seseorang haruslah didasarkan hasil
penyelidikan yang menyatakan bahwa benar telah terjadi tindak pidana, tindak
35 Harun M. Husein. 1991. Penyidikan dan Penuntutan Dalam Proses Pidana. Jakarta:
Rineka Cipta, halaman 112.
-
44
pidana tersebut dapat disidik karena telah tersedia cukup data dan fakta bagi
kepentingan penyidikan tindak pidana tersebut. Harun M. Husein menegaskan
bila laporan polisi ditambah dengan salah satu alat bukti (keterangan saksi pelapor
atau pengadu) dirasakan masih belum cukup kuat untuk dijadikan bukti permulaan
yang cukup guna dipergunakan sebagai alasan penangkapan seseorang. Ada
pengecualian apabila laporan polisi diartikan sebagai laporan hasil penyelidikan
yang berisi tentang kepastian bahwa suatu peristiwa yang semula diduga sebagai
tindak pidana, adalah benar-benar merupakan suatu tindak pidana, terhadap tindak
pidana yang dapat dilakukan penyidikan karena tersedia cukup alat bukti untuk
melakukan penyidikan.36
Menurut M. Yahya Harahap, mengenai bukti permulaan yang cukup,
pembuat undang-undang menyerahkan sepenuhnya kepada penilaian penyidik.
Perlu dicermati cara penerapan yang demikian, bisa menimbulkan
“ketidakpastian” dalam praktek hukum serta sekaligus membawa kesulitan bagi
praperadilan untuk menilai tentang ada atau tidak permulaan bukti yang cukup,
harus rasional dan realitis, apabila perkataan “permulaan” dibuang, sehingga
kalimat itu berbunyi : “diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti
yang cukup”.37
Dalam penetapan tersangka pasca adanya putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 21/PUU-XII/2014 penegak hukum kepolisian yaitu penyidik haruslah
lebih cermat dalam penetapan status Tersangka, “seseorang patut diduga sebagai
pelaku tindak pidana berdasarkan bukti permulaan” sesuai dengan Pasal 1 angka
36 Harun M. Husein, Loc.Cit. 37 M. Yahya Harahap. 2006. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP.
Jakarta: Sinar Grafika, halaman 158.
-
45
(14) KUHAP, frasa bukti permulaan, bukti permulaan cukup, dan bukti yang
cukup dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP setelah
adanya Putusan Mahkamah Konstitusi tentang perubahan Pasal tersebut maka
ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sah berdasarkan Pasal 184 KUHAP
disertai pemeriksaan calon Tersangkanya. Melihat hal tersebut Majelis Hakim
Konstitusi melalui pertimbangan hukum orang yang diberi ditetapkan Tersangka
harus terjamin hak-haknya, apabila setiap orang yang ditetapkan sebagai
Tersangka oleh penyidik maka akan berpengaruh terhadap status sosialnya
dimasyarakat dan hal tersebut merugikan hak konstitusionalnya.38
Penetapan tersangka harus minimal dua alat bukti maka hal tersebut
sudah sesuai dengan asas due process of law, apabila asas tersebut ini disimpangi
dan justru menerapan asas criminal control process maka yang akan timbul
adalah kasus salah tayatp,atau bukti dari penyidik patut dipertanyakan yang
akibatnya orang yang merasa penetapan Tersangka tidak sesuai proses hukum
yang benar due process of law akan mengajukan gugatan di Praperadilan hal
tersebut diatur dalam Pasal 1 angka 14 KUHAP, Sedangkan menurut pendapat
J.C.T. Simorangkir, “bahwa yang dimaksud dengan tersangka adalah seseorang
yang telah disangka melakukan suatu tindak pidana dan ini masih dalam taraf
pemeriksaan pendahuluan untuk mempertimbayatn apakah Tersangka ini
mempunyai cukup dasar untuk diperiksa di persidangan”.39
38 Agus Sahbani, “MK’Rombak’ Bukti Permulaan dan Objek Praperadilan”, melalui http://www.hukumonline.com//, diakses Senin, 24 Desember 2018, Pukul 13.00 Wib.
39 Simorangkir, “Kamus Hukum”, melalui http://www.simorangkirjct.blogspot.com.//, diakses Senin, 24 Desember 2018, Pukul 14.00 Wib.
http://www.hukumonline.com/http://www.simorangkirjct.blogspot.com./
-
46
Adanya ketentuan minimal dua alat bukti maka harus disesuaikan dengan
KUHAP yang mana suasana tidak lagi asal tangkap, baru selanjutnya dipikirkan
beban pembuktianya. Cara yang digunakan oleh penyidik berdasarkan KUHAP
yang diimbangi dengan menugaskan penyelidik yang cermat dengan teknik
investigasi yang berpengalaman supaya mampu mengumpulkan alat bukti yang
sah. Ketika adanya dua alat bukti yang sah baru dilakukan penetapan tersangka
dilanjutkan pemeriksaan penyidikan ataupun penangkapan dan penahanan
terhadap tersangka. 40
Berdasarkan rumusan Pasal 1 angka 2 KUHAP, unsur-unsur yang
terkandung dalam pengertian penyidikan adalah :
a) Penyidikan merupakan serangkaian tindakan yang mengandung tindakan-
tindakan yang antara satu dengan yang lain saling berhubungan;
b) Penyidikan dilakukan oleh pejabat publik yang disebut penyidik;
c) Penyidikan dilakukan dengan berdasarkan peraturan perundangundangan;
d) Tujuan penyidikan ialah mencari dan mengumpulkan bukti, yang dengan bukti
tersebut membuat terang tindak pidana yang terjadi, dan menemukan
Tersangkanya.
Berdasarkan keempat unsur tersebut sebelum dilakukan penyidikan, telah
diketahui adanya tindak pidana tetapi pidana itu belum terang dan belum
diketahui siapa yang melakukannya. Adanya tindak pidana yang belum terang itu
diketahui dari proses penyelidikan. Penyidikan merupakan langkah awal yang
menentukan dari keseluruhan proses penyelesaian tindak pidana yang perlu
40 M. Yahya Harahap. Op. Cit, halaman 58
-
47
diselidiki dan diusut secara tuntas, dalam rangka memperoleh keterangan
terjadinya tindak pidana tentang:41
1) Tindakan pidana apa yang diperbuat;
2) Kapan tindakan itu dilaksanakan;
3) Dimana tindakan itu dilakukan;
4) Dengan alat apa tindakan itu dilakukan;
5) Bagaimana tindakan itu terjadi;
6) Mengapa tindakan itu dilakukan;
7) Siapa pelaku tindakan pidana tersebut.
Proses penetapan tersangka pada ditahap penyidikan dalam rangka
mencari keterangan dan kesaksian diatas maka penyidik senantiasa patut dan taat
peraturan hukum yang berlaku atau due process of law yang diatur sebab proses
penyidikan merupakan bagian terpenting dalam hukum acara pidana agar dapat
melanjutkan ke proses selanjutnya, apabila terjadi penyimpangan pada tahap ini,
maka secara tahap selanjutnya akan terjadi kendala pada dakwaan sampai dengan
putusan hakim yang mengandung unsur ketidakpastian, ketidakmanfaatan, dan
ketidakadilan bagi pelaku tindak pidana. Pentingnya proses penyidikan perkara
sesuai KUHAP, bahwa seorang penyidik harus melakukan wewenangnya secara
tertib dan harus memperhatikan batasan-batasan pada saat proses penetapan
Tersangka. Penerapan due process of law yang dilakukan penyidik, yang perlu
diperhatikan oleh penyidik adalah menemukan kebenaran yang ada di lapangan,
karena hal tersebut sejalan dengan rumusan kitab hukum acara pidana, penyelidik
41 Adami Chazawi. 2005. Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia.
Malang: Bayumedia Publishing, halaman 380.
-
48
harus senantiasa memperhatikan bukti-bukti yang ditemukan saat olah tempat
kejadian perkara pidana sehingga pada proses ini penyelidikan dapat mendekati
titik temu untuk menentukan siapa pelaku kejahatan. Adapun seseorang yang awal
mulanya ditetapkan sebagai saksi setelah memberikan kesaksiannya dalam proses
penyidikan dirubah statusnya menjadi Tersangka ini adalah kewenangan Penyidik
yang memeriksa perkara tersebut. Dari keterangan tersebut justru bisa
memberikan kejelasan terhadap perkara yang diselidiki oleh penyidik, sehingga
bisa jadi saksi merupakan pelaku tindak pidana. Adapun seseorang yang awal
mulanya ditetapkan sebagai saksi setelah memberikan kesaksiannya dalam proses
penyidikan dirubah statusnya menjadi tersangka ini adalah kewenangan penyidik
yang memeriksa perkara tersebut. Dari keterangan tersebut justru bisa
memberikan kejelasan terhadap perkara yang diselidiki oleh penyidik, sehingga
bisa jadi saksi merupakan pelaku tindak pidana.
Pengaturan mengenai alat bukti dan barang bukti dalam peraturan pidana
di Indonesia diatur dalam beberapa peraturan. Secara umum alat bukti sudah
diatur sejak dahulu kala dan tertuang dalam Herzien Inlandsch Reglement (H.I.R)
atau yang dikenal sebagai Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (R.I.B). Pasal
295 H.I.R mengatur mengenai alat bukti yang berisi bahwa sebagai upaya bukti
menurut undang-undang hanya diakui :
1. Kesaksian-kesaksian. Kesaksian yang dimaksud yaitu keterangan lisan
seorang, dimuka sidang pengadilan, dengan disumpah lebih dahulu,
tentang peristiwa tertentu yang didengar, dilihat dan dialami sendiri.
Kesaksian yang tidak dilihat sendiri, akan tetapi menganai hal-hal yang
-
49
dikatan oleh oramg lain bukanlah merupakan kesaksian yang syah.
Kesaksian seperti ini biasa disebut saksi “de auditu”.
2. Surat-surat. Surat-surat sebagai bukti ditentukan dalam beberapa pasal
yakni dalam Pasal 304 H.I.R. menentukan bahwa peraturan tentang
kekuatan bukti surat-surat umum dan surat-surat khusus dalam perkara
perdata harus diperhatikan pula terhadap bukti dalam perkara pidana.
3. Pengakuan. Pengakuan yaitu ketereangan terdakwa, bahwa ia mengaku
telah melakukan suatu peristiwa pidana yang dituduhkan kepadanya.
Supaya pengakuan itu merupakan alat bukti yang cukup sebagaimana
Pasal 307 H.I.R maka pengakuan harus memenuhi syarat-syarat berupa :
diberikan atas kehendak sendiri atau bebas dari paksaan, diberikan di
muka sidang pengadilan, dan disertai dengan pemberitahuna yang tentu
dan seksama, tentang sesuatu yang diketahui, baik dari keterangan orang
yang menderita peristiwa pidana, maupun dari alat-alat bukti lainnya
yang cocok dengan pengakuan itu.
4. Isyarat-isyarat. Isyarat adalah terjemahan dari bahasa Belanda
“aanwijzingen” dengan terjemahan berupa “tanda-tanda” atau
“penunjukkan-penunjukkan”. Dimana dalam Pasal 310 H.I.R yang
dimaksud penunjukan yaitu perbuatan-perbuatan, kejadian-kejadian atau
keadaan-keadaan yang adanya dan persetujuannya, baik yang satu denga
yang lain, maupun dengan kejahatan itu sendiri dengan nyata
menujukkan, bahwa ada suatu kejadian telah dilakukan dan siapakah
pembuatnya.
-
50
Selain Undang-Undang ada pula Peraturan Kepala Kepolisian Republik
Indonesia yang menjadi pedoman bagi aparat penegak hukum yakni penyidik
dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan bahwa mengenai pencarian alat
bukti dan barang bukti diatur ketentuan dalam pengertian yang tertuang dalam
Pasal 1 angka 20 sampai Pasal 1 angka 23 serta Pasal 2 Peraturan Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomro 14 Tahun 2012 tentang
Manajemen Penyidikan Tindak Pidana. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor.
20/PUU-XIV/2016 mengenai bukti elektronik (digital) sebagai alat bukti dan
Putusan Mahkamah Agung Nomor. 42/PUU-XV/201730) mengenai kedudukan
dan syarat penggunaan alat bukti yang sama terkait implikasinya pada perkara
pidana yang berbeda dan dapat digunakan untuk mengeluarkan Surat Perintah
dimulainya Penyidikan (SPRINDIK).
2. Penetapan Tersangka Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 14 Undang Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP) menyebutkan
bahwa “Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya,
berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana”. Pada
tahapan ini seseorang ditetapkan sebagai tersangka hanya berdasarkan bukti
permulaan yang didapat dari hasil penyelidikan yang dilakukan oleh kepolisian.
Berdasarkan bukti permulaan ini kemudian seseorang patut diduga sebagai pelaku
tindak pidana. Ketentuan ini menimbulkan multi tafsir, karena untuk menentukan
sesuatu sebagai bukti permulaan itu sangat tergantung kepada kualitas dan siapa
-
51
yang memberikan pengertian tersebut, antara penyidik dengan tersangka atau
kuasa hukumnya sangat mungkin berbeda.
Keputusan penyidik untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka
merupakan tindak lanjut dari sebuah proses hukum penyelidikan yang dilakukan
oleh kepolisian. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 5 KUHAP menyebutkan
bahwa “Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan
menemukan suatu peristewa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan
dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang
undang ini” Kriteria apa yang dipergunakan oleh penyelidik untuk menentukan
bahwa suatu perbuatan merupakan suatu perbuatan pidana, sehingga dapat
ditingkatkan ke proses hukum penyidikan. Untuk menjawab hal ini perlu kiranya
seorang penyelidik mempunyai kemampuan untuk mengidentifikasi suatu
perbuatan atau peristiwa sebagai tindak pidana dengan menggunakan ilmu hukum
pidana.42
Secara umum dapat dikemukakan disini bahwa yang dimaksud dengan
tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang untuk dilakukan atau mengabaikan
suatu keharusan yang diwajibkan oleh undang undang, yang apabila dilakukan
atau diabaikan diancam dengan hukuman. Dari pengertian umum tindak pidana
ini dapatlah diketahui bahwa setiap perbuatan yang dikualifikasikan sebagai
tindak pidana harus mengandung unsur melawan hukum, yaitu melanggar
larangan undang undang atau mengabaikan suatu keharusan yang diwajibkan oleh
42 Bahran. 2017. Penetapan Tersangka Menurut Hukum Acara Pidana Dalam Perspektif
Hak Asasi Manusia, Jurnal Ilmu Hukum dan Pemikiran. 23 Desember/Volume 17.
-
52
undang undang, yang dilakukan dengan sengaja atau karena kealpaanya, atas
pelanggarang tersebut diancam dengan pidana.
Jika hasil dari proses hukum penyelidikan berkesimpulan, penyelidik
berkeyakinan bahwa perbuatan atau peristiwa ini merupakan tindak pidana, maka
proses hukum sudah barang tentu ditingkat ke proses hukum penyidikan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 2 KUHAP menyebutkan bahwa “Penyidikan
adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur
dalam undang undang ini untuk mencari serta mengumpukan bukti yang terjadi
dan guna menemukan tersangkanya”. Ketentuan ini tidak memberikan penjelasan
yang konkret apa dan bagaimana yang dimaksud serangkaian tindakan penyidik
itu, sedangkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) hanya memberikan kewenangan apabila
proses hukum penyidikan dilakukan. Satu hal yang cukup menarik disini adalah
kapan dapat dikatakan bahwa penyidikan telah dimulai.43
Jika dikaji ketentuan dalam KUHAP, maka ternyata tidak ada satu
pasalpun dalam KUHAP yang secara tegas memberikan penjelasannya. Ketentuan
Pasal 109 ayat (1) KUHAP menyebutkan bahwa “Dalam hal penyidik telah mulai
melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik
memberitahukan hal itu kepada Penuntut Umum” Ketetuan ini menjelaskan
bahwa jika penyidik telah memulai penyidikan, maka hal ini harus diberitahukan
kepada Penuntut Umum. Akan tetapi tidak memberikan penjelasan kapan
mulainya, hanya disebutkan “telah mulai”. Jawaban terhadap pertanyaan ini
43 Ibid, halaman 225.
-
53
penting sekali bagi tersangka dalam rangka membela dan melindungi diri dari
tindakan hukum yang tidak sah.
Sebelum dilakukan judicial review di Mahkamah Konstitusi, beberapa
ketentuan di dalam KUHAP yang berkaitan dengan kualitas dan kuantitas alat
bukti sebagai dasar seseorang ditetapkan sebagai tersangka kurang memberikan
kepastian hukum. Hal ini disebabkan karena kata-kata yang digunakan dalam
redaksional KUHAP bersifat ambigu, sehingga menimbulkan penafsiran yang
berbeda antara penyidik sebagai aparat penegak hukum dengan orang yang diduga
sebagai pelaku tindak pidana. 44
Selama ini yang dipahami oleh masyarakat adalah bahwa jika seseorang
ditetapkan sebagai tersangka yang diduga telah melakukan suatu tindak pidana,
maka status tersangka tersebut sering menimbulkan ketidak-pastian hukum, hal ini
lebih disebabkan karena ketiadaan batas waktu yang diberikan oleh aparat
penegak hukum berapa lama seseorang yang diduga telah melakukan tindak
pidana tersebut menyandang status sebagai tersangka atau kapan status tersangka
yang disandangnya itu selesai. Hal ini tentu sangat berpeluang menimbulkan
ketidak-adilan, sebab bisa saja selama penyidikan berlangsung kondisi ini
dimanfaatkan sebagai alat untuk melakukan kriminalisasi. Terlalu lama
menyandang status tersangka tanpa dibaringi kemajuan yang berarti dalam proses
hukum penyidikan, apalagi kalau belum cukup bukti sehingga proses hukum di
diamkan saja tanpa ada kepastian kapan tindak lanjutnya, maka sama halnya
dengan memasung kebebasan orang.
44 Bahran, Loc. Cit.
-
54
Jika dilihat kebelakang sejarah pada saat KUHAP dibuat dan
diberlakukan pada tahun 1981, saat itu penetapan tersangka belum menjadi isu
krusial dan problematik dalam kehidupan masarakat Indonesia pada umumnya.
Pada masa itu upaya paksa secara konvensional hanya dipahami sebatas pada
penangkapan, penahanan, penyidikan dan penuntutan. Seiring dengan
perkembangan meningkatnya kesadaran hukum masyarakat pada saat sekarang
ini, bentuk upaya paksa telah mengalami berbagai perkembangan atau modifikasi
yang salah satu bentuknya adalah “penetapan tersangka oleh penyidik” yang
dilakukan oleh negara dalam bentuk label atau status tersangka pada seseorang
yang diduga telah melakukan tindak pidana, tanpa ada batas waktu yang jelas,
sehingga orang yang diduga telah melakukan tindak pidana tersebut dipaksa oleh
negara untuk menerima status tersangka tanpa tersedianya kesempatan baginya
untuk melakukan upaya hukum untuk menguji secara kualitas, legalitas dan
kemurnian tujuan dari penetapan tersangka tersebut.45
Kembali kepada ketentuan Pasal 109 ayat (1) KUHAP yang
menyebutkan bahwa “Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan
suatu peristewa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu
kepada Penuntut Umum” Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa ketentuan
pasal ini pun tidak memberikan batas waktu penyampaian pemberitahuan
dimulainya penyidikan tersebut kepada penuntut umum. Pemberitahuan ini
merupakan kewajiban hukum penyidik, oleh karena itu harus dilakukan dengan
segera dalam arti waktu yang sesingkat-singkatnya setelah dimulainya
45 Ibid, halaman 227.
-
55
pemeriksaan tersangka. Akan tetapi hal inipun tidak memberikan waktu yang
pasti. Oleh karena itu pengertian “segera” harus diartikan dalam waktu yang
wajar. Bagaimana “waktu yang wajar” itu. Hal ini sangat tergantung kepada
situasi dan kondisi dilihat dari segi kompleksitas, sikap penyidik yang langsung
menangani perkara pidana yang bersangkutan dengan tidak mengulurulur waktu.
Pasal 139 KUHAP yang menyebutkan “Setelah Penuntut Umum
menerima atau menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik, ia
segera menentukan apakah berkas perkara itu sudah memenuhi persyaratan untuk
dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan”. Dalam ketentuan pasal ini tidak
disebutkan alokasi waktu yang diperlukan untuk menentukan sikap bagi penuntut
umum, apakah perkara ini memenuhi syarat untuk dilimpahkan ke pengadilan
atau tidak. Disini hanya disebutkan dengan kata “segera”, hal ini berarti tidak ada
memberikan kepastian hukum. Penelitian terhadap persyaratan kelengkapan
berkas perkara bisa dilakukan secara cepat bagi perkaraperkara pidana yang
pembuktiannya dianggap mudah, sebaliknya bagi perkara pidana yang
pembuktiannya dianggap sulit dan alat buktinya baik secara kuantitas maupun
secara kualitas kurang, maka dengan prinsip kehatihatian tentu waktu yang
dibutuhkan relatif lama. kualitas kurang, maka dengan prinsip kehatihatian tentu
waktu yang