pengalengan garap
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tingginya pertumbuhan populasi di dunia memunculkan pertanyaan
bagaimana kebutuhan makanan dapat dipenuhi. Hal tersebut sangat jelas bahwa
peningkatan suplai makanan penting untuk memenuhi kebutuhan gizi untuk setiap
orang. Pengembangan metode produksi, pascapanen, penyimpanan, pengolahan,
pengemasan, penyimpanan dan pemasaran yang lebih baik sangat penting untuk
menghasilkan penggunaan buah-buahan, sayuran, dan produk pertanian lainnya yang
lebih efisien (Larousse, 1997).
Tujuan utama pengolahan makanan adalah untuk mengawetkan makanan
yang mudah rusak dalam bentuk stabil yang dapat disimpan dan dikirim ke pasar
yang jauh selama berbulan-bulan. Pengolahan juga dapat merubah makanan menjadi
bentuk yang baru atau yang lebih bermanfaat dan membuat makanan tersebut lebih
mudah untuk disiapkan (Anonim, 2007a).
Salah satu metode dasar untuk pengolahan buah dan sayuran adalah
pengalengan. Pengalengan merupakan metode utama pengawetan makanan dan
menjadi dasar destruksi mikroorganisme oleh panas dan pencegahan rekontaminasi.
Kualitas makanan yang dikalengkan tidak hanya dipengaruhi oleh proses panas tetapi
juga metode-metode preparasi, misalnya preparasi yang melibatkan pencucian,
trimming, sortasi, blanching, pengisian dalam kontainer, dan penjagaan head space di
dalam kaleng dengan penutupan vakum (Luh, 1975).
Tujuan dari proses pengalengan adalah untuk membunuh mikroorganisme
dalam makanan dan mencegah rekontaminasi. Panas merupakan agensia umum yang
digunakan untuk membunuh mikroorganisme. Penghilangan oksigen digunakan
bersama dengan metode lain untuk mencegah pertumbuhan mikroorganisme yang
memerlukan oksigen. Dalam pengalengan konvensional buah dan sayur, ada tahapan
proses dasar yang sama untuk kedua tipe produk. Perbedaannya mencakup operasi
khusus untuk beberapa buah atau sayuran, urutan tahapan proses yang digunakan
dalam operasi dan tahapan pemasakan atau blanching (Anonim, 2007a).
B. Tujuan Praktikum
Mengetahui dan mempelajari proses pengalengan buah dan sayuran
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Buah-buahan merupakan bakal buah suatu bunga yang masak. Bagian yang
dapat dimakan biasanya bagian daging yang menyelubungi seluruh bagian biji.
Walaupun demikian biji-bijinya sendiri atau bagian vegetative tanamannya yang
merupakan bagian bukan buah juga dapat dimakan (Norman, 2008). Buah-buahan
juga dapat dibedakan menjadi dua golongan menurut penggunaannya. Buah sayuran
secara teknis adalah buah tetapi dimakan sebagai sayuran. Nilai makanan dan sifat-
sifat yang lainnya dari buah sayuran seperti sayuran- sayuran pada umumnya
(Winarno, 1997).
Apel (Pyrus malus) dapat hidup subur di daerah yang mempunyai temperatur
udara dingin. Tumbuhan ini di Eropa dibudidayakan terutama di daerah subtropis
bagian Utara. Sedang apel lokal di Indonesia yang terkenal berasal dari
daerah Malang, Jawa Timur. Atau juga berasal dari daerah Gunung Pangrango, Jawa
Barat. Di Indonesia, apel dapat tumbuh dan berkembang dengan baik apabila
dibudidayakan pada daerah yang mempunyai ketinggian sekitar 1200 meter di atas
permukaan laut. Tumbuhan apel dikatagorikan sebagai salah satu anggota keluarga
mawar-mawaran dan mempunyai tinggi batang pohon dapat mencapai 7-10 meter.
Daun apel sangat mirip dengan daun tumbuhan bunga mawar. Berbentuk bulat telur
dan dihiasi gerigi-gerigi kecil pada tepiannya. Pada usia produktif, apel biasanya akan
berbunga pada sekitar bulan Juli. Buah apel yang berukuran macam-macam tersebut
sebenarnya merupakan bunga yang membesar atau mengembang sehingga menjadi
buah yang padat dan berisi. Klasifikasi buah apel
Regnum : Plantae (Tumbuhan)
Sub Regnum : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Sub Divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Sub Kelas : Dialypetalae
Ordo : Rosales
Famili : Rosaceae (suku mawar-mawaran)
Genus : Pyrus
Spesies : Pyrus malus L.
Buah apel mempunyai bermacam-macam varietas dan memiliki ciri-ciri
tersendiri. Beberapa varietas apel unggulan antara lain Romebeauty, Manalagi,
Anna,Princess Noble, dan Wangli/Lali Jiwo. Pada beberapa varietas apel, aroma
terasa sangat tajam. Citarasa, aroma, maupun tekstur apel sebenarnya dihasilkan dari
kurang lebih 230 komponen kimia, termasuk pula beragam asam seperti asam asetat,
format serta 20 jenis asam lain. Selain itu, ada kandungan alkohol berkisar 30 – 40
jenis, ester seperti etil asetat sekitar 100 jenis, karbonil seperti formaldehid dan
asetaldehid (Ikrawan, 1996).
Senyawa fitokimia pada buah apel yang berfungsi sebagai antioksidan adalah
senyawa fenolik, golongan flavonoid, turunan asam sinamat, kumarin, tokoferol dan
asam-asam organik polifungsional. Apel juga mengandung betakaroten. Betakaroten
memiliki aktivitas sebagai provitamin A yang berguna untuk menangkal serangan
radikal bebas penyebab berbagai penyakit degenerative (Wahono,2011)
Menurut USDA Nutrient database (2010) nilai kandungan gizi Apel per 100 g
(3.5 oz) Energi 218 kJ (52 kcal) Karbohidrat 13,81 g, Gula 10,39 g, Diet serat 2,4 g,
Lemak 0,17 g, Protein 0,26 g, Air 85,56 g, Vitamin A equiv. 3 mg (0%), Thiamine
(Vit. B1) 0.017 mg (1%), Riboflavin (Vit. B2) 0,026 mg (2%), Niacin (Vit. B3) 0,091
mg (1%), Asam pantotenat (B5) 0,061 mg (1%), Vitamin B6 0,041 mg (3%), Folat
(B9 Vit.) 3 mg (1%), Vitamin C 4.6 mg (8%), Kalsium 6 mg (1%), Besi 0,12 mg
(1%), Magnesium 5 mg (1%), Fosfor 11 mg (2%), Kalium 107 mg (2%), Seng 0,04
mg (0%).
Adapun beberapa manfaat dari buah apel yang dipaparkan oleh Direktorat
Budidaya dan Pascapanen Buah (2012) diantaranya sebagai berikut :
1. Untuk mencegah kanker usus, ini merupakan manfaat buah apel yang jarang
dibicarakan orang. Berdasarkan hasil penelitian pada seekor tikus yang diberi
makan kulit apel ternyata mengurangi resiko 43% terkena kanker usus atau
saluran pencernaan. Diketahui bahwa kandungan berupa pectin-lah yang
menyebabkan kesehatan saluran cerna tetap terjaga.
2. Untuk mengurangi berat badan, khusus bagi yang menjalankan diet sebaiknya
masukkan apel dalam daftar makanan diet anda karena dengan
mengkumsumsi minimal 3 buah apel sehari akan mempercepat proses
penurunan badan anda.
3. Untuk mencegah kanker paru-paru. Ini adalah hasil dari penelitian pada
10.000 orang secara acak dimana ditemukan hasil bahwa dengan
mengkomsumsi apel secara rutin maka akan mengurangi resiko terkena
kanker paru-paru sampai 50% lebih rendah dari yang tidak
mengkomsumsinya.
4. Sebagai pengontrol diabetes. Sebagaimana disebutkan di atas bahwa apel
memiliki kandungan berupa pectin yang berfungsi mensuplai galacturonic
acid yang diyakini mampu menurunkan kebutuhan tubuh
melepaskan insulin yang umunya dikenal sebagai penyebab diabetes
5. Manfaat buah apel dalam memperkuat tulang. Peneliti asal prancis telah
menemukan kesimpulan dari hasil penelitiannya bahwa apel memiliki 2
kandungan yang dapat menyebabkan tulang semakin kuat dan padat,
yaitu phloridzin dan baron.
6. Sebagai penurun kolestrol darah. Karena mampu menurunkan kolesterol
hingga 16%
7. Mencegah penyakit asma. Bahkan dengan mengkomsumsi minimal sekali saja
sebulan bagi anak-anak efek dari apel ini sudah bisa dibuktikan dalam
mengurangi resiko penyakit asma dan juga dikatakan bahwa ibu yang sering
mengkomsumsi apel pada saat hamil akan mampu mengurangi resiko asma
pada anaknya dibanding yang tidak mengkomsumsinya.
Jagung (Zea mays L.) merupakan salah satu tanaman pangan dunia yang
terpenting, selain gandum dan padi. Sebagai sumber karbohidrat utama di Amerika
Tengah dan Selatan, jagung juga menjadi alternatif sumber pangan di Amerika
Serikat. Penduduk beberapa daerah di Indonesia (misalnya di Madura dan Nusa
Tenggara) juga menggunakan jagung sebagai pangan pokok. Selain sebagai sumber
karbohidrat, jagung juga ditanam sebagai pakan ternak (hijauan maupun tongkolnya),
diambil minyaknya (dari bulir), dibuat tepung (dari bulir, dikenal dengan istilah
tepung jagung atau maizena), dan bahan baku industri (dari tepung bulir dan tepung
tongkolnya). Tongkol jagung kaya akan pentosa, yang dipakai sebagai bahan baku
pembuatan furfural. Jagung yang telah direkayasa genetika juga sekarang ditanam
sebagai penghasil bahan farmasi. (Adi,2012 ). Kandungan Gizi Jagung per 100 gram
bahan Kalori : 355 Kalori,Protein : 9,2 gr,Lemak : 3,9 gr, Karbohidrat : 73,7 gr,
Kalsium : 10 mg, Fosfor : 256 mg, Ferrum : 2,4 mg, Vitamin A : 510 SI, Vitamin
B1 : 0,38 mg, Air : 12 gr (Adi,2012).
Perubahan warna yang utama pada sayuran dan buah-buahan disebabkan oleh
reaksi browning (pencoklatan). Reaksi pencoklatan terdiri atas pencoklatan
(browning) enzimatis dan non enzimatis. Browning enzimatis disebabkan oleh
aktifitas enzim phenolase dan poliphenolase. Pada buah dan sayuran utuh, sel-selnya
masih utuh, sehingga substrat yang terdiri atas senyawa-senyawa fenol terpisah dari
enzim phenolase sehingga tidak terjadi reaksi browning. Apabila sel pecah akibat
terjatuh/memar atau terpotong (pengupasan, pengirisan) substrat dan enzim akan
bertemu pada keadaan aerob (terdapat oksigen) sehingga terjadi reaksi browning
enzimatis. Pembentukan warna coklat disebabkan oksidasi senyawa-senyawa fenol
dan polifenol oleh enzim fenolase dan polifenolase membentuk quinon, yang
selanjutnya berpolimerisasi membentuk melanin (pigmen berwarna coklat). Untuk
terjadinya reaksi browning enzimatis diperlukan adanya 4 komponen fenolase dan
polifenolase (enzim), senyawa-senyawa fenol dan polifenol (substrat), oksigen dan
ion tembaga yang merupakan sisi aktif enzim. Untuk menghindari terjadinya reaksi
browning enzimatis dapat dilakukan dengan mengeliminasi (menghilangkan) salah
satu atau beberapa komponen tersebut. Browning non enzimatik terutama disebabkan
reaksi Maillard, yaitu reaksi yang terjadi antara gula pereduksi (melalui sisi keton dan
aldehid yang reaktif) dengan asam-amino (melalui gugus amina). Reaksi ini banyak
terjadi selama penyimpana bahan pangan. Reaksi non enzimatik browning yang lain
adalah karamelisasi dan oksidasi asam askorbat. Reaksi browning dapat dicegah
dengan menambahkan senyawa-senyawa anti pencoklatan, antara lain senyawa-
senyawa sulfit, asam-asam organik dan dengan blanching/blansir (Santoso,2006).
Senyawa-senyawa sulfit misalnya natrium bisulfit, SO Natrium 21 sulfit dan
lain-lain mempunyai kemampuan untuk menghambat reaksi browning baik enzimatis
maupun non enzimatis. Penghambatan terhadap browning enzimatis terutama
disebabkan kemampuannya untuk mereduksi ikatan disulfida pada enzim, sehingga
enzim menjadi tidak aktif, sedangkan penghambatan reaksi browning non enzimatis
disebabkan kemampuannya untuk bereaksi dengan gugus aktif gula pereduksi,
sehingga mencegah reaksi antara gula pereduksi tersebut dengan asam amino
(Santoso,2006).
Penambahan asam-asam organik dapat menghambat browning enzimatik
terutama disebabkan efek turunnya pH akibat penambahan senyawa tersebut. Enzim
fenolase dan polifenolase mempunyai pH optimum pada pH 5 - 7, dibawah kisaran
pH tersebut aktifitas enzim terhambat. Asam-asam organik yang dapat ditambahkan
adalah asam askorbat, asam malat, asam sitrat dan asam erithorbat. Disamping
menurunkan pH penambahan asam askorbat yang bersifat pereduksi kuat sehingga
berfungsi sebagai antioksidan. Dengan penambahan asam askorbat, maka oksigen
yang merupakan pemacu reaksi browning enzimatis dapat dieliminasi. Penambahan
asam sitrat disamping dapat menurunkan pH juga dapat mengikat tembaga yang
merupakan sisi aktif enzim sehingga aktifitas enzim dapat dihambat (Santoso,2006).
Blansir adalah proses pemanasan dengan suhu tinggi (80 - 1000C), dengan
menggunakan uap atau air Panas. Blansir umumnya dilakukan terhadap buah dan
sayuran. Tujuan proses blansir adalah sebagai berikut:
a. Menginaktifkan enzim-enzim yang terdapat dalam buah dan sayuran yang dapat
menyebabkan perubahan flavor dan rasa serta warna selama penyimpanan.
Menurut Desrosier (1988), enzim masih dapat mempertahankan aktifitasnya pada
suhu serendah -730C, walaupun pada suhu tersebut kecepatan reaksinya sangat
rendah. Oleh karena itu penyebab kerusakan buah-buahan dan sayuran selama
pembekuan, penyimpanan beku dan thawing sebagian besar disebabkan oleh
aktifitas enzim.
b. Mengerutkan dan melemaskan bahan pangan, sehingga memudahkan pengolahan
selanjutnya.
c. Menurunkan kontaminasi mikroba awal.
d. Menghilangkan kotoran-kotoran pada permukaan bahan dan mengusir udara atau
mengurangi kadar oksigen dari jaringan bahan pangan.
Kalsium merupakan nutrisi tanaman yang paling sering diasosiasikan dengan
kualitas buah dan kekerasan buah. Keterlibatan kalsium dalam beberapa proses
fisiologi dan biokimia diasosiasikan dengan pelunakan buah (Sams (1999) dalam
Dedy,2012)). Kalsium merupakan kation utama dari lamela tengah dinding sel,
dimana kalsium pektat merupakan unsur utama. Kalsium berhubungan erat dengan
kekuatan mekanis suatu jaringan. Konsentrasi kalsium dalam jaringan yang sehat
pada berbagai macam tanaman berkisar antara 0.2 persen hingga beberapa persen
(Epstein, 1972). Ferguson dan Drobak (1988) menyatakan kalsium dapat mereduksi
atau menunda kerusakan dinding sel. Pengaruh ini biasanya diekspresikan pada
penundaan pelunakan buah diasosiasikan dengan aktifitas poligalakturonase. Kalsium
juga mempertahankan fungsi membran. ( Luna-Guzman dan Barrett (2000) dalam
sylviana,2005)) melaporkan pengaruh pengerasan yang disebabkan kalsium klorida
dapat dijelaskan dengan:
1. kompleks dari ion kalsium dengan dinding sel dan pektin lamela tengah.
2. penstabilan membran sel oleh ion kalsium.
3. pengaruh kalsium pada tekanan turgor sel.
Tekstur buah-buahan tergantung pada tebalnya kulit luar, kandungan padatan
terlarut total,dan perbedaan kandungan patinya. Tekstur buah-buahan juga tergantung
pada ketegangan, ukuran, bentuk, dan keterikatan sel-sel, adanya jaringan penunjang,
dan susunan tanamannya. Dengan dinding sel yang tegang dan kuat dipertahankan
suatu tekstur yang kokoh (Pantastico, 1986).
Ferguson (1984) melaporkan perlakuan kalsium pada jaringan sel apel
memberikan efek pada komposisi dinding sel, penguatan mekanis dan fungsi
membran. Larutan 0.14 g/L CaCl2 merupakan konsentrasi untuk memperpanjang
masa simpan serta meminimalkan risiko kerusakan permukaan buah apel ‘Golden
Delicious’. Perlakuan perendaman buah dengan larutan kalsium lebih efektif jika
dikombinasikan dengan perlakuan panas. Lurie dan Klein (1992) melaporkan buah
apel ‘Anna’ menyerap kalsium lebih efektif dengan perlakuan panas sebelum
perendaman dalam larutan kalsium. Kombinasi perlakuan CaCl2 dan perlakuan panas
pada buah apel 'Lobo' meningkatkan pH. Pada saat akhir masa penyimpanan
kekerasan buah apel yang diberi perlakuan lebih tinggi dan gejala kerusakan lebih
rendah dibandingkan kontrol (Dris et al., 2000).
Dengan berkembangnya teknologi pangan mempengaruhi beragam kemasan
produk makanan. Kemasan produk pangan mempunyai arti penting dan luas untuk
sebuah produk pangan. Pengemasan suatu produk pangan sendiri dimaksudkan untuk
membatasi antara bahan pangan dengan keadaan normal sekelilingnya, untuk
menunda proses dalam jangka waktu yang diinginkan. Dengan demikian pengemasan
memberikan peranan yang utama dalam mempertahankan bahan pangan dalam
keadaan bersih dan higienis (Syarief, 2001).
Salah satu metode dasar untuk pengawetan buah dan sayuran adalah
pengalengan. Pengalengan merupakan metode utama pengawetan makanan dan
menjadi dasar destruksi mikroorganisme oleh panas dan pencegahan rekontaminasi.
Kualitas makanan yang dikalengkan tidak hanya dipengaruhi oleh proses panas tetapi
juga metode-metode preparasi, misalnya preparasi yang melibatkan pencucian,
trimming, sortasi, blanching, pengisian dalam kontainer, dan penjagaan head space di
dalam kaleng dengan penutupan vakum (Luh, 1975).
Pengalengan merupakan cara pengawetan bahan pangan dalam wadah yang
tertutup rapat dan disterilkan dengan panas. Cara pengawetan ini merupakan yang
paling umum dilakukan karena bebas dari kebusukan, serta dapat mempertahankan
nilai gizi, cita rasa dan daya tarik. Proses pemanasan kaleng yang dianggap aman
adalah yang dapat menjamin bahan makanan tersebut telah bebas dari karena bakteri
tersebut menghasilkan toksin yang mematikan dan paling tahan terhadap pemanasan
(Annonymous, 2009). Menurut (Widjanarko (2000) dalam Dedy 2012), berdasarkan
pH-nya makanan kaleng dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
o Makanan asam rendah : pH 5,0 atau lebih
o Makanan cukup asam : pH 4,5 – 5,0
o Makanan asam : pH 3,7 – 4,5
o Makanan sangat asam : pH 3,7 atau kurang
Bahan pangan mempunyai mikroflora yang spesifik, organism tertentu akan
spesifik untuk golongan bahan tertentu pula. Organism ini masuk kedalam bahan
pangan selama operasi pengalengan baik melalui tanah, dari zat penyusun maupun
peralatannya. Berdasarkan alat penggolongan asiditas bahan pangan, dimungkinkan
untuk membuat pedoman umum yang berhubungan dengan organism pembusuk yang
sesuai untuk tujuan keberhasilan proses pengalengan (Norman, 2008). Menurut
Winarno (1997) tanda-tanda kerusakan makanan kaleng ditandai dengan kondisi
permukaan yang tidak berbentuk bahkan cekung dan produknya menjadi asam serta
pH sangat rendah.
Sayuran pada umumnya mengandung banyak karbohidrat dan memiliki pH 5-
7. Jadi, berbagai tipe bakteri, jamur dan yeast dapat tumbuh jika kondisinya sesuai.
Mikroorganisme dalam sayuran berasal dari beberapa sumber, misalnya dari tanah,
air, udara, ternak, insekta, burung atau peralatan dan bervariasi tergantung tipe
sayuran. Jumlah dan tipe mikrobia bervariasi tergantung dari kondisi lingkungan dan
kondisi dari pemanenan. Umumnya sayuran dapat memiliki 103-5 mikroorganisme
per square cm atau 104-7 per gram. Beberapa tipe bakteri antara lain bakteri asam
laktat, Coryneforms, Enterobacter, Proteus, Pseudomonas, Micrococcus,
Enterococcus, dan Sporeformers. Sayuran juga memiliki berbagai tipe jamur
seperti Alternaria, Fusarium, dan Aspergillus (Marhaendita, Sefani, 2007).
Tujuan dari proses pengalengan adalah untuk membunuh mikroorganisme
dalam makanan dan mencegah rekontaminasi. Panas merupakan agensia umum yang
digunakan untuk membunuh mikroorganisme. Proses pengolahan dengan suhu tinggi
telah diaplikasikan dalam makanan kaleng dan dapat mempertahankan daya awet
produk pangan hingga 6 bulan atau lebih (Hariyadi, dkk., 2000). Penghilangan
oksigen digunakan bersama dengan metode lain untuk mencegah pertumbuhan
mikroorganisme yang memerlukan oksigen. Dalam pengalengan konvensional buah
dan sayur, ada tahapan proses dasar yang sama untuk kedua tipe produk.
Perbedaannya mencakup operasi khusus untuk beberapa buah atau sayuran, urutan
tahapan proses yang digunakan dalam operasi dan tahapan pemasakan atau blanching
(Luh, 1975).
Meskipun proses pengalengan berbeda untuk produk yang satu dengan yang
lain, dasar tahapan penanganan, preparasi dan perlakuan panas hampir sama untuk
sebagian besar buah dan sayuran (Smith, 1997). Kerusakan makanan kaleng dapat
disebabkan oleh mikroba pembusuk atau mikroba patogen. Kerusakan makanan
kaleng yang diawetkan dengan pemanasan dapat disebabkan oleh adanya sisa
Mikroorganisme yang masih bertahan hidup setelah proses pemanasan, atau karena
masuknya mikroba dari luar melalui bagian kaleng yang bocor setelah proses
pemanasan. Penyebab yang pertama menunjukkan bahwa makanan kaleng tersebut
tidak cukup proses pemanasan-nya (under process) (Kusnandar, dkk., 2000).
Pada umumnya proses pengalengan bahan pangan terdiri atas beberapa tahap,
diantaranya persiapan bahan, pengisian bahan ke dalam kaleng, pengisian medium,
exhausting, sterilisasi, pendinginan, dan penyimpanan (Desrosier, 1988). Persiapan
bahan dilakukan dengan pemilihan bahan-bahan yang akan dikalengkan,
pencucian,pemotongan menjadi bagian-bagian tertentu, dan persiapan bahan untuk
pengolahan selanjutnya (Luh dan Woodroof,1975). Pencucian bertujuan untuk
memisahkan bahan dari material asing yang tidak diinginkan, seperti kotoran,
minyak, tanah, dan sebagainya serta diharapkan dapat mengurangi jumlah mikroba
awal yang sangat berguna dalam efektivitas proses sterilisasi (Lopez, 1981).
Pengisian bahan pangan ke dalam wadah harus memperhatikan ruangan pada bagian
dalam atas kaleng (head space). Head space adalah ruang kosong antara permukaan
produk dengan tutup yang berfungsi sebagai ruang cadangan untuk pengembangan
produk selama disterilisasi, agar tidak menekan wadah karena akan menyebabkan
kaleng menjadi menggelembung. Besarnya head space bervariasi tergantung jenis
produk dan jenis wadah. Umumnya untuk produk cair dalam kaleng, tingginya head
space adalah sekitar 0.25 inci, sedangkan bila wadah yang digunakan adalah gelas jar,
direkomendasikan head space yang lebih besar. Bila dalam pengalengan tersebut
ditambahkan medium pengalengan, tinggi head space tidak boleh kurang dari 0.25
inci, tetapi bila produk dikalengkan tanpa penambahan medium, diperkenankan
produk diisikan sampai hampir penuh dengan meninggalkan sedikit ruang head space
(Muchtadi, 1994). Pengisian bahan ke dalam harus seragam dengan tujuan untuk
mempertahankan keseragaman rongga udara (head space), memperoleh produk yang
konsisten, dan menjaga berat bahan secara tetap. Gelas jars adalah padatan amorf dari
suatu larutan silica oksida, kalsium, natrium, dan elemen lain. Bahan mentah gelas
terutama adalah pasir, soda, abu, dan batu kapur yang dipilih secara hati-hati. Wadah
gelas untuk bahan pangan dapat dibedakan ke dalam dua bentuk, yaitu gelas bermulut
lebar (wide mouth) dan gelas berleher sempit (narrow neck). Gelas jars hendaknya
diperiksa terlebih dahulu terutama pada bagian penutupan, karena produk kalengan
akan membusuk bila penutupan tidak sempurna. Pemeriksaan gelas jars juga
dilakukan terhadap ada/tidaknya keretakan, goresan atau bagian finish yang tidak
sempurna, sedangkan tutup diperiksa apakah dapat menutup dengan baik atau tidak.
Setelah pemeriksaan tersebut, gelas jars beserta tutupnya dicuci dalam air sabun yang
hangat, kemudian dibilas dengan air bersih, setelah itu gelas jars direndam dalam air
mendidih sekurang-kurangnya 15 menit.Apabila tidak, akan menimbulkan kerusakan
pad akaret atau gasket tutup, tutup gelas jars dapat juga direndam dalam air panas
tersebut. Apabila pengisian produk akan dilakukan dalam keadaan panas, maka gelas
jars juga harus dijaga agar tetap dalam keadaan panas. Menurut Muchtadi (1994),
penghampaan udara (exhausting) adalah proses pengeluaran sebagian besar oksigen
dan gas-gas lain dari dalam wadah agar tidak bereaksi dengan produk sehingga dapat
mempengaruhi mutu, nilai gizi, dan umur simpan produk kalengan. Exhausting juga
dilakukan untuk memberikan ruang bagi pengembangan produk selama proses
sterilisasi sehingga kerusakan wadah akibat tekanan dapat dihindari dan untuk
meningkatkan suhu produk di dalam wadah sampai mencapai suhu awal (initial
temperature). Penutupan wadah dilakukan setelah proses penghampaan udara
(exhausting) yang bertujuan untuk mencegah terjadinya pembusukan.
Menurut Muchtadi (1994), sterilisasi adalah operasi yang paling penting
dalam pengalengan makanan. Sterilisasi tidak hanya bertujuan untuk menghancurkan
mikroba pembusuk dan patogen,tetapi juga berguna untuk membuat produk menjadi
cukup masak, yaitu dilihat dari penampilannya,teksturnya, dan citarasa sesuai yang
diinginkan. Oleh karena itu, proses pemanasan ini harus dilakukan pada suhu yang
cukup tinggi untuk menghancurkan mikroba, tetapi tidak boleh terlalu tinggi sehingga
membuat produk menjadi terlalu masak. Sterilisasi pada sebagian besar makanan
kaleng biasanya dilakukan secara komersial. Sterilisasi komersial adalah sterilisasi
yang biasanya dilakukan terhadap sebagian besar makanan di dalam kaleng, plastik,
atau botol. Bahan pangan yang disterilkan secara komersial berarti semua mikroba
penyebab penyakit dan pembentuk racun (toksin) dalam makanan tersebut telah
dimatikan, demikian juga mikroba pembusuk. Spora bakteri non-patogen yang tahan
panas mungkin saja masih ada di dalam makanan setelah proses pemanasan, tetapi
bersifat dorman (tidak dalam kondisi aktif berproduksi), sehingga keberadaannya
tidak membahayakan jika produk tersebut disimpan dalam kondisi normal. Makanan
yang telah dilakukan sterilisasi komersial memiliki daya simpan yang tinggi
(Hariyadi, 2000).
Menurut Muchtadi (1994), sterilisasi dipengaruhi oleh beberapa faktor,
diantaranya:
(1) jenis mikroba yang dihancurkan,
(2) kecepatan perambatan panas ke dalam titik dingin,
(3) suhu awal bahan pangan di dalam wadah,
(4) ukuran dan jenis wadah yang digunakan,
(5) suhu dan tekanan yang digunakan untuk proses sterilisasi, dan
(6) keasaman atau pH produk yang dikalengkan.
Produk pangan yang mengalami sterilisasi dan dikombinasikan dengan
kemasan yang kedap udara dapat mencegah terjadinya rekontaminasi. Kondisi
pengemasan yang kedap udara ini dapat menyebabkan terbatasnya jumlah udara yang
ada, sehingga bakteri yang bersifat aerob tidak akan mampu tumbuh pada produk
pangan tersebut. Umumnya, proses pengemasan bagi bahan pangan yang disterilisasi
dikombinasikan dengan teknik pengemasan yang akan menyebabkan kondisi
anaerobik. Kondisi ini akan memberikan beberapa keuntungan, antara lain mikroba
tidak tahan panas sehingga lebih mudah dimusnahkan pada proses pemanasan dan
kondisi anaerobik ini dapat mengurangi reaksi oksidasi yang mungkin terjadi selama
proses pemanasan maupun selama proses penyimpanan setelah proses. Untuk
mempertahankan kondisi anaerobik ini, bahan pangan perlu dikemas dalam kemasan
kedap udara.
Operasi sterilisasi dapat dilakukan dengan menggunakan panas yang dapat
berasal dari air panas (mendidih) atau dengan menggunakan uap air panas bertekanan
selama waktu yang ditentukan. Produk dalam kemasan disterilisasi dengan
menggunakan ketel uap (retort). Retort yang disebut juga autoclave atau sterilizer,
berbentuk bejana tertutup dan tekanan tinggi yang ditimbulkan oleh uap yang berasal
dari sumber di luar retort. Sumber uap panas tersebut dapat berbentuk boiler atau
steam generator. Menurut Muchtadi (1994), berdasarkan derajat keasaman atau pH
produk pangan, operasi sterilisasi dapat digolongkan menjadi dua kelas, yaitu produk
yang disterilisasi pada suhu 212˚F (100˚C) yang merupakan suhu air mendidih pada
tekanan atmosfer dan produk yang harus disterilisasi. Pada suhu lebih tinggi dari
212˚F(100˚C). Bahan pangan yang asam (pH ˂ 4.5) seperti sari buah, buah-buahan,
beberapa macam sayuran, umumnya disterilisasi dengan cara memanaskan wadah
dalam waktu yang cukup agar suhu pada titik dingin mencapai 200˚F atau lebih.
Dengan cara ini, mikroba yang dapat membusukkan bahan pangan asam telah dapat
hancur. Golongan bahan pangan lainnya yang memiliki pH ˃ 4.5 seperti sayuran yang
tidak asam, sup, daging, dan hasil olahannya, ikan, dan unggas, dilakukan sterilisasi
pada suhu tinggi dibawah tekanan, agar diperoleh tingkat sterilitas yang memadai.
Ketahanan panas bakteri yang penting dalam sterilisasi komersial disebutkan pada
Tabel di bawah ini.
Untuk bahan pangan yang tergolong tidak asam dapat ditambahkan larutan
garam atau larutan gula yang diasamkan sebagai mediumnya, sehingga sterilisasi
dapat dilakukan pada suhu yang lebih rendah (misalnya hanya pada suhu 100˚C,
tekanan atmosfer) sehingga mutu produk dapat lebih dipertahankan. Menurut Reuter
(1993), kerusakan mutu pangan selama proses sterilisasi adalah rendah ketika bahan
pangan tersebut diberi perlakuan suhu yang tinggi dalam waktu yang singkat.
Penentuan waktu dan suhu sterilisasi dipengaruhi oleh kecepatan perambatan panas,
keadaan awal produk (pH, dimensi produk, dan jumlah mikroba awal), wadah yang
digunakan, dan ketahanan panas mikroba atau sporanya. Setiap partikel makanan
harus menerima panas dalam jumlah yang sama. Kombinasi waktu dan suhu yang
diberikan pada produk yang disterilisasi harus cukup untuk mematikan mikroba
patogen dan mikroba pembusuk. Untuk itu, guna memastikan tidak aktifnya enzim
yang terdapat pada bahan pangan dan tercapainya waktu sterilisasi yang singkat,
proses pre-sterilisasi dapat dilakukan dengan proses blansir. Proses sterilisasi
komersial dengan menggunakan panas di desain untuk melindungi kesehatan
konsumen dan untuk melindungi produk dari mikroba pembusuk yang dapat
menyebabkan kerugian secara ekonomis (Smith, 1997).
Setelah melewati semua tahapan maka kemasan kaleng harus segera
didinginkan untuk mempertahankan mutu selain itu untuk mencegah lewat
pemasakan (over cooking) dari bahan pangan, mencegah tumbuhnya spora-spora dari
bakteri perusak bahan pangan yang belum mati, jika tidak maka akan menghasilkan
flavor dan tekstur yang tidak disukai atau tidak sesuai. Kaleng didinginkan dalam air
mengalir dan dibiarkan semalam. Pendinginan dilakukan sampai suhunya sedikit di
atas suhu kamar, maksudnya agar air yang menempel pada dinding wadah cepat
menguap, sehingga terjadinya karat dapat dicegah (Terra, 2011).
Tahapan akhir adalah penyimpanan. Penyimpanan bertujuan agar makanan
yang dikalengkan tidak berubah kualitasnya maupun kenampakannya sampai saat
akan diangkut / dipasarkan. Suhu penyimpanan yang dapat mempertahankan kualitas
bahan yang disimpan adalah 15oC. Suhu penyimpanan yang tinggi dapat
mempercepat terjadinya korosi kaleng, perubahan tekstur, warna, rasa serta aroma
makanan kaleng. Penyimpanan yang baik adalah penyimpanan yang dilakukan pada
suhu rendah, RH rendah, serta terdapat ventilasi atau pertukaran udara di dalam
ruangan penyimpanan harus baik (Larousse, 1997).
BAB III
METODE PRAKTIKUM
A.Bahan dan Alat
Alat :
Pisau
Talenan
Baskom
Gelas jar
Panci
Autoklaf
Kompor
Thermometer
Tissue atau kain lap
B. Prosedur Praktikum
Bahan :
Apel Baby corn Larutan garam 1%,
2%,3% Larutan gula pH 3 dan 4 Larutan CaCl2 1% Air
Buah atau sayur
dikupas, disortasi, dicuci
dan potong
Buah Sayur
direndam CaCl2
1%, selama 20 menit
Hot water blanching 900C
Baby corn : Asam sitrat pH 2 dan 4, selama 3 menit
Alat penyapit
Sendok
Timbangan
Gelas ukur
disteam blanching 1 dan
3 menit
dimasukan dalam gelas jar
dicuci
diexhausting 800 C selama 5 menit
Larutan pengisi 700 C
Buah : larutan gula pH 3 dan 4
Sayur : larutan garam 1,2,3 %
Dilakukan pendinginan pada air mengalir
disterilisasi 1150 C selama 10 menit
Dilakukan pengamatan (hari 1,3,dan 5) terhadap warna buah, larutan, aroma, tekstur dan rasa
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada praktikum acara pengalengan ini dilakukan pengamatan terhadap salah
satu jenis buah dan sayur yaitu apel dan baby corn dengan perlakuan baby corn pada
berbagai konsentrasi perlakuan yaitu larutan garam 1%, 2 % dan 3% sedangkan apel
dengan larutan gula dengan pH 3 dan 4. Dilakukan pengamatan terhadap parameter
warna buah dan warna larutan, aroma, tekstur dan rasa.
1. Warna buah
Dari perlakuan yang berbeda pada masing-masing kelompok yaitu kelompok I
(baby corn,larutan garam 1%), kelompok 2 ( baby corn,larutan garam 2%), kelompok
3 ( baby corn,larutan garam 3 %), kelompok 4 ( apel, larutan gula pH 3) dan
kelompok 5 ( apel,larutan gula pH 4) dilakukan selama 3 kali pengamatan pada hari
ke-1, ke-3 dan ke-5 didapatkan hasil yang dapat dilihat pada table.
Hari Ke-1 Ke-3 Ke-5 kelompok
panelisI II III IV V I II III IV V I II III IV V
1 3 3 3 2 1 3 4 4 3 2 4 3 4 1 12 3 3 3 2 1 3 4 4 3 1 3 3 4 2 13 3 3 3 2 1 3 3 4 2 1 4 3 3 1 14 3 3 3 2 2 3 4 4 2 1 3 4 4 1 15 3 3 3 2 1 3 3 4 2 2 3 3 3 1 16 3 4 2 2 1 3 3 4 2 2 3 3 4 2 17 4 3 4 2 1 3 3 4 4 1 4 3 3 1 18 3 4 4 2 1 3 3 4 2 2 4 3 3 2 19 3 3 3 1 1 3 3 3 3 2 4 3 3 4 210 3 3 3 2 2 3 3 3 3 2 3 3 3 2 111 4 3 3 2 1 3 4 4 2 1 3 4 4 2 112 4 3 4 2 1 3 3 4 2 2 4 3 3 1 113 4 4 4 2 1 3 3 4 2 1 4 3 3 2 114 3 3 4 2 1 3 3 4 2 1 4 3 3 2 115 4 3 3 1 1 3 3 3 2 2 3 3 3 2 1
Jumlah 50 48 49 28 17 45 49 57 34 23 53 47 51 26 16
Rata-rata 3.33
3.2 3.27 1.86 1.13 3 3.27 3.8 2.26 1.53 3.53 3.13 3.4 1.73 1.06
Keterangan :
1= Coklat
2= Kuning kecoklatan
3= Kuning
4= Putih kekuningan
5= Putih
Dari rata-rata nilai yang dihasilkan pada tiap perlakuan rata-rata pada hari
pertama baby corn dengan pemberian larutan 1%,2% maupun 3% memberikan nilai
rata-rata yang hampir sama yaitu 3.33, 3.2, dan 3.27 dengan artian warna buah yang
dihasilkan pada hari pertama dalam larutan garam dengan masing-masing konsentrasi
tersebut memberikan warna kuning. Hal tersebut dikarenakan warna asli dari baby
corn sendiri adalah kuning. Hingga pada pengamatan hari ke-3 dan ke-5 nilai rata-rata
dari respon panelis yang diberikan masih berkisar pada nilai 3 artinya warna dari
baby corn yang disimpan dalam larutan garam yang dikalengkan ini tidak mengalami
perubahan warna yang signifikan. Hal tersebut dikarenakan pada tahapan proses
sebelumnya telah dilakukan blansir atau pemanasan dengan suhu tinggi pada suhu 900
C dengan uap panas. Menurut Desrosier (1988) perlakuan tersebut mengakibatkan
enzim-enzim yang terdapat dalam buah dan sayur menjadi inaktif. Sehingga
perubahan warna selama penyimpanan dapat dihambat. Selain itu, Penambahan asam
sitrat disamping dapat menurunkan pH juga dapat mengikat tembaga yang
merupakan sisi aktif enzim sehingga aktifitas enzim dapat dihambat.
Pada perlakuan apel dengan larutan gula pH 3 dan 4 hari ke-1 respon panelis
terhadap warna apel yang diberikan yaitu 1.86 dan 1.13 artinya warna dari buah apel
saat pengalengan dihari pertama menunjukan warna coklat yang sedikit kuning.
Sedangkan pada hari pengamatan ke-3 respon yang diberikan oleh panelis meningkat
terhadap warna yaitu dengan nilai rata-rata 2.26 dan 1.53 namun menurun lagi pada
hari pengamatan ke-5 dengan nilai rata-rata pada apel dengan pH 3 sebesar 1.73
sedangkan pada pH 4 yaitu 1.06. Perubahan warna pada sayur dan buah disebabkan
oleh reaksi browning. Reaksi tersebut terbagi atas pencoklatan enzimatis dan non
enzimatis. Seperti yang telah dijelaskan dalam tinjauan pustaka bahwa pada buah dan
sayuran utuh, sel-selnya masih utuh, sehingga substrat yang terdiri atas senyawa-
senyawa fenol terpisah dari enzim phenolase sehingga tidak terjadi reaksi browning.
Apabila sel pecah akibat terjatuh/memar atau terpotong (pengupasan, pengirisan)
substrat dan enzim akan bertemu pada keadaan aerob (terdapat oksigen) sehingga
terjadi reaksi browning enzimatis. Pembentukan warna coklat disebabkan oksidasi
senyawa-senyawa fenol dan polifenol oleh enzim fenolase dan polifenolase
membentuk quinon, yang selanjutnya berpolimerisasi membentuk melanin (pigmen
berwarna coklat). Dalam apel sendiri terkandung senyawa fenolik yang berperan
sebagai antioksidan.
Untuk terjadinya reaksi browning enzimatis diperlukan adanya 4 komponen
fenolase dan polifenolase (enzim), senyawa-senyawa fenol dan polifenol (substrat),
oksigen dan ion tembaga yang merupakan sisi aktif enzim. Untuk menghindari
terjadinya reaksi browning enzimatis dapat dilakukan dengan mengeliminasi
(menghilangkan) salah satu atau beberapa komponen tersebut. Pada hari pengamatan
pertama buah apel yang diamati oleh panelis cenderung memberi respon coklat
sedikit kuning. Hal ini dapat disebabkan karena pada tahap pengupasan dan
pemotongan buah apel mengalami kontak dengan oksigen yang cukup lama sehingga
terbentuklah reaksi pencoklatan sebelum diblansir. Untuk itu dalam tahapan
prosesnya dilakukan penambahan asam-asam organik dan dengan blanching/blansir.
Namun pada hari pengamatan ke-3 respon warna dari panelis cenderung lebih baik.
Hal ini dikarenakan pH optimum buah dan sayur berkisar antara 5-7. dibawah kisaran
pH tersebut aktifitas enzim terhambat. Oleh karena itu respon panelis cenderung lebih
baik karena tidak memberikan penurunan warna coklat dari pengamatan hari
sebelumnya. Berbeda halnya dengan pengamatan pada hari ke-5 yang memberikan
penurunan nilai dari hari sebelumya. Hal ini dimungkinkan terjadi karena kaleng
sudah dimasuki oleh oksigen kembali karena proses buka tutup selama pengamatan
dan waktu pemanasan yang kurang sehingga enzim masih bekerja. Selain itu juga,
dapat dikarenakan selama penyimpanan terdapat bagian buah yang tidak tercelup
seluruhnya pada larutan gula. Fungsi larutan gula sendiri salah satunya pada beberapa
bahan pangan seperti apel dapat mencegah pencoklatan.
2. Warna larutan
Hari Ke-1 Ke-3 Ke-5kelompok
panelisI II III IV V I II III IV V I II III IV V
1 4 3 3 4 4 1 2 1 4 4 1 2 2 4 42 3 2 2 4 4 1 3 1 4 4 1 2 2 4 33 3 2 2 4 4 1 2 1 4 4 1 2 1 4 44 4 3 3 4 3 1 2 1 4 4 1 2 3 4 45 3 3 3 4 4 1 2 1 4 3 1 2 2 3 36 2 3 2 3 1 1 2 1 4 3 1 2 2 3 37 3 2 3 2 1 1 2 2 4 3 1 2 2 4 38 4 3 2 4 3 1 3 3 4 3 1 2 2 4 39 4 3 3 4 4 2 2 2 5 3 3 3 2 4 410 4 3 3 3 3 2 3 2 4 3 1 2 2 4 411 4 3 3 3 3 2 3 4 5 4 1 2 3 4 412 3 2 3 3 3 2 2 2 5 3 1 2 1 4 413 4 3 4 3 2 2 2 1 5 3 3 3 2 4 414 3 2 2 4 4 1 2 1 5 4 2 3 3 4 415 3 3 4 2 1 1 2 1 5 4 1 2 2 4 4Jumlah 51 40 42 51 44 20 35 25 66 52 20 33 31 58 55Rata-rata 3.4 2.6
72.8 3.4 2.93 1.33 2.33 1.6
74.4 3.46 1.33 2.2 2.06 3.8
63.67
Keterangan :
1= Tidak jernih
2= Sedikit jernih
3= Agak jernih
4= Jernih
5= Sangat jernih
Seperti halnya pengamatan pada parameter warna buah. Perlakuan yang
diberikan sama saja hanya parameter yang diamati berbeda. Dalam hal ini parameter
yang diamati adalah warna larutan. Penambahan larutan garam dan gula sendiri
bertujuan sebagai bahan pemanis, pemberi flavor, mengurangi rasa asam, membantu
dalam pengawetan bahan karena sifat osmotiknya, mengusir udara dan gas dari
wadah dan bahan serta mengurangi tekanan selama pengolahan dan pada beberapa
bahan pangan misalnya apel penambahan larutan gula bertujuan untuk mencegah
pencoklatan. Untuk pengalengan sayuran, digunakan larutan garam. Penambahan
garam ke dalam wadah dapat berbentuk larutan garam atau tablet garam, kemudian
ditambahkan air secukupnya untuk memperoleh konsentrasi yang diinginkan. Selama
pengamatan yang dilakukan pada hari ke-1, ke-3 dan ke-5 warna larutan dari semua
perlakuan mengalami penurunan terhadap respon panelis. Dari warna agak jernih
yang berkaitan dengan konsentrasi larutan semakin tidak jernih sejalan dengan
bertambahnya lama penyimpanan. Perubahan tersebut dapat dikarenakan adanya
kontaminasi mikroba atau karena adanya reaksi antara produk dengan kaleng.
3. Rasa
Keterangan :
1 = Tidak enak
2= Sedikit enak
3= Agak enak
4= Enak
5= Sangat enak
Pengujian terhadap rasa pada masing-masing perlakuan pada baby corn dan
apel dengan treatment yang serupa dengan pengujian sebelumnya didapatkan hasil
baby corn dengan pemberian larutan garam 1%,2% dan 3% pada hari ke-1
memberikan rata-rata nilai sebesar 2.6, 2, dan 1.8. pada hari pengamatan ke-3
didapatkan nilai rata-rata sebesar 1.1 dan 1. Nilai yang sama juga diberikan pada hari
ke-5 yaitu 1.1 dan 1. Dengan kata lain selama masa penyimpanan respon panelis
terhadap rasa dari baby corn ini rendah atau panelis tidak menyukai rasa dari baby
Hari Ke-1 Ke-3 Ke-5kelompok
panelisI II III IV V I II III IV V I II III IV V
1 4 2 3 4 4 1 1 1 3 2 1 1 1 1 12 1 2 2 4 4 1 1 1 4 3 1 1 1 1 13 3 2 3 4 4 1 1 1 4 3 1 1 1 1 14 1 1 1 4 4 1 1 1 4 3 1 1 1 1 15 2 2 1 4 4 1 1 1 3 3 1 1 1 1 16 3 2 1 3 3 1 1 1 3 3 1 1 1 1 17 1 2 1 4 3 1 1 1 3 3 1 1 1 1 18 3 1 1 3 4 1 1 1 3 3 1 1 1 1 19 3 2 2 3 4 1 1 1 2 3 1 1 1 1 110 2 2 1 4 4 1 1 1 3 3 1 1 1 1 111 2 3 3 3 4 1 1 1 3 4 1 1 1 1 112 2 3 1 3 3 1 1 1 4 3 1 1 1 1 113 3 3 3 4 3 1 1 1 4 3 1 1 1 1 114 2 2 1 3 3 1 1 1 4 3 1 1 1 1 115 2 1 3 3 3 1 1 1 2 3 1 1 1 1 1Jumlah 34 30 27 53 54 15 15 15 49 45 15 15 15 15 15Rata-rata 2.6 2 1.8 3.5 3.6 1 1 1 3.2 3 1 1 1 1 1
corn yang dihasilkan. Hal ini dapat terjadi karena masih adanya spora-spora dari
bakteri perusak bahan pangan yang belum mati, yang dapat menghasilkan flavor yang
tidak disukai. Hal lain juga mungkin dikarenakan pada proses pembuatannya kurang
steril dan kurang cepat dalam prosesnya dalam artian ada waktu tunggu sehingga
berdampak besar pada kerusakan produk selama penyimpanan. Hal ini dapat dilihat
pada penyimpanan hari ke-3 dan ke-5 nilai yang diberikan panelis sama. Hal ini
terjadi karena panelis enggan untuk mecicipi rasa dari produk karena dari
kenampakannya sudah terlihat ditumbuhi jamur dan tercium bau tidak enak yang
kurang diminati panelis.
Hal yang sama juga didapatkan dari nilai rata-rata terhadap apel pada hari ke-1,
ke-3 dan ke-5. Respon panelis mengalami penurunan dari agak enak menjadi tidak
enak. Hal ini juga sama halnya dengan baby corn. Namun pada pengamatan hari ke-3
produk apel tersebut masih dikatakan lebih baik dari baby corn sehingga panelis
masih bersedia memberikan penilaian.
4. Aroma
Hari Ke-1 Ke-2 Ke-3kelompok
panelisI II III IV V I II III IV V I II III IV V
1 3 3 4 4 5 3 4 5 2 2 3 3 4 4 32 2 1 3 4 5 5 5 4 3 3 5 5 5 5 53 3 2 4 4 5 4 5 5 3 3 4 5 5 4 34 3 2 2 3 4 5 5 4 3 3 3 4 4 4 35 2 3 3 3 4 5 5 4 3 2 4 4 4 4 46 2 1 3 4 5 3 3 4 4 3 5 5 4 4 47 3 1 3 4 5 3 3 3 3 4 4 5 4 4 48 2 4 4 3 4 3 4 4 4 4 4 5 5 4 49 3 4 4 4 4 1 1 1 2 3 4 4 4 3 410 3 3 4 4 4 3 4 4 3 3 4 4 4 3 411 2 3 4 4 4 3 2 3 4 4 4 5 5 4 312 2 3 3 4 5 4 4 4 4 3 4 5 5 4 313 3 2 3 4 4 3 4 5 2 3 4 4 4 3 414 3 3 3 4 4 4 4 4 3 3 5 5 4 4 4
15 3 2 4 4 4 4 4 4 3 3 3 3 3 3 3Jumlah 39 37 54 57 66 53 57 58 46 46 60 66 64 57 55
Rata-rata 2.6 2.46 3.6 3.8 4.4 3.53 3.8 3.86 3.06 3.06 4 4.4 4.26 3.8 3.67
Keterangan :
1 = Tidak kuat
2 = Sedikit kuat
3= Agak kuat
4 = Kuat
5 = Sangat kuat
Dari praktikum yang telah dilakukan didapatkan nilai pada parameter aroma
ada masing-masing perlakuan pada hari ke-1 pada baby corn didapat hasil rata-rata
sebesar 2.6, 2.46,dan 3.6. pada hari ke-3 didapatkan nilai rata-rata 3.53, 3.8, dan 3.86
sedangkan pada hari ke-5 didapatkan nilai rata-rata sebesar 4, 4.4, dan 4.26. Nilai
rata-rata yang didapat pada apel pada hari ke-1 sendiri adalah 3.8 dan 4.4. Pada hari
ke-3 masing-masing sebesar 3.06. Sedangkan pada hari ke-5 didapatkan nilai rata-rata
sebesar 3.8 dan 3.67. Secara keseluruhan pada baby corn terjadi peningkatan aroma
dari agak kuat menjadi kuat dan semakin tinggi konsentrasi larutan garam yang
diberikan rata-ratanya semakin tinggi atau dengan kata lain aromanya lebih kuat
dibandingkan dengan konsentrasi yang paling rendah . Hal ini terjadi karena
terbentuknya senyawa yang berbau tidak sedap dari bakteri-bakteri pembentuk gas.
Bahan pangan mempunyai mikroflora yang spesifik, organism tertentu akan spesifik
untuk golongan bahan tertentu pula. Organism ini masuk kedalam bahan pangan
selama operasi pengalengan baik melalui tanah, dari zat penyusun maupun
peralatannya. Sayuran pada umumnya mengandung banyak karbohidrat dan memiliki
pH 5-7. Jadi, berbagai tipe bakteri, jamur dan yeast dapat tumbuh jika kondisinya
sesuai. Proses sterilisasi yang kurang tepat juga dapat berpengaruh. Kombinasi waktu
dan suhu yang diberikan pada produk yang disterilisasi harus cukup untuk mematikan
mikroba patogen dan mikroba pembusuk. Hal tersebut salah satunya dapat berdampak
pada terbentuknya aroma yang kuat yang menyebabkan penurunan nilai kesukaan
oleh panelis karena dilihat dari perubahan parameter lain selama masa penyimpanan
baby corn tersebut telah mengalami kerusakan dan terbentuknya jamur. Sedangkan
pada apel dengan perlakuan larutan gula dengan pH yang berbeda ( 3 dan 4 )
memberikan nilai yang variatif. Dimana pada pH 3 cenderung tidak memberikan
banyak perubahan. Lain halnya dengan perlakuan larutan gula dengan pH 4 yang
memberikan rata-rata respon panelis menjadi lebih baik. Larutan gula sendiri
memberikan peran dalam pemberi flavor, Mengurangi rasa asam dan membantu
dalam pengawetan bahan, karena sifat osmotiknya. CaCl2 yang diberikan menurut
penelitian yang dilakukan Lurie dan Klein (1992) dapat meningkatkan pH. Menurut
Winarno (1980) tanda-tanda kerusakan makanan kaleng ditandai dengan kondisi
permukaan yang tidak berbentuk bahkan cekung dan produknya menjadi asam serta
pH sangat rendah. Sehingga dengan pH 4 dan dilakukannya proses perendaman
dengan larutan CaCl2 tersebut dapat memperbaiki aroma pada produk selama masa
penyimpanan.
5. Tekstur
Hari Ke-1 Ke-3 Ke-5kelompok
panelisI II III IV V I II III IV V I II III IV V
1 1 1 2 4 3 4 2 3 2 3 4 3 3 3 32 1 1 2 5 4 3 2 1 2 3 2 3 2 4 33 1 1 2 4 3 2 1 1 4 4 3 4 3 4 44 1 2 2 4 4 2 1 1 3 4 3 3 3 3 35 2 3 2 4 4 2 1 1 4 3 3 3 3 4 46 2 1 1 4 3 2 1 2 3 4 2 3 3 4 47 2 1 1 4 3 2 2 2 4 4 3 3 2 3 48 2 1 1 3 2 2 2 2 3 4 3 2 2 4 49 2 1 2 4 4 3 3 4 4 3 3 3 4 4 410 2 2 3 5 4 2 2 2 4 4 2 2 4 4 4
11 2 2 3 5 4 1 2 2 3 3 2 3 2 4 312 2 2 3 5 4 3 4 3 4 4 3 4 3 4 413 2 2 3 5 4 3 2 3 3 3 3 3 4 4 414 2 2 2 4 4 2 2 1 3 4 3 3 3 4 415 2 2 2 4 4 1 2 2 4 3 3 3 3 3 3Jumlah 26 24 31 64 54 34 30 30 50 53 42 45 44 56 55
Rata-rata 1.73 1.6 2.06 4.26 3.6 2.26 2 2 3.33 3.53 2.8 3 2.93 2.73 3.67
Keterangan
1 = Tidak lunak
2 = Sedikit lunak
3 = Agak lunak
4 = Lunak
5 = Sangat lunak
Penilaian terhadap tekstur dari perlakuan yang masih sama dengan parameter
yang sebelumnya pada masing-masing kelompok didapatkan hasil pada pengamatan
hari pertama pada baby corn dengan larutan garam 1%,2% dan 3% adalah 1.73, 1.6
dan 2.06 sedangkan apel dengan larutan gula ph 3 dan 4 adalah 4.26 dan 3.6.
pengamatan hari ke-3 didapat hasil pada baby corn dengan larutan garam 1%,2% dan
3% adalah 2.26, 2 dan 2 sedangkan apel dengan larutan gula ph 3 dan 4 adalah 3.33
dan 3.53. Sedangkan pada hari ke-5 pengamatan rata-rata nilai yang didapat pada
baby corn dan apel adalah 2.8,3,2.9, 3, 2.73 dan 3.67. jika dilihat dari rata-rata
keseluruhan tekstur dari baby corn dan apel cenderung lebih lunak apel. Hal tersebut
dikarenakan tekstur asal dari buah dan sayur tersebut. Baby corn memiliki tekstur
yang lebih keras dibandingkan apel. Namun, semakin lama tekstur dari baby corn
menjadi lebih lunak. Sedangkan apel cenderung lebih stabil. Menurut Ferguson dan
Drobak (1988) bahwa kalsium dapat mereduksi atau menunda kerusakan dinding sel.
Pengaruh ini biasanya diekspresikan pada penundaan pelunakan buah diasosiasikan
dengan aktifitas poligalakturonase. Kalsium juga mempertahankan fungsi membran.
Hal tersebut sesuai dengan hasil dari penelitian yang dilakukannya bahwa perlakuan
kalsium pada jaringan sel apel memberikan efek pada komposisi dinding sel,
penguatan mekanis dan fungsi membran. Namun pada prosedur yang dilakukan pada
praktikum kali ini CaCl2 tersebut hanya direndam selama 20 menit padahal perlakuan
perendaman buah dengan larutan kalsium lebih efektif jika dikombinasikan dengan
perlakuan panas. Lurie dan Klein (1992) melaporkan buah apel ‘Anna’ menyerap
kalsium lebih efektif dengan perlakuan panas sebelum perendaman dalam larutan
kalsium. Kombinasi perlakuan CaCl2 dan perlakuan panas pada buah apel 'Lobo'
meningkatkan pH. Pada saat akhir masa penyimpanan kekerasan buah apel yang
diberi perlakuan lebih tinggi dan gejala kerusakan lebih rendah dibandingkan control.
Sedangkan pada baby corn hanya diberikan asam sitrat. Asam sitrat sendiri lebih
sering ditambahkan untuk meningkatkan warna putih dari beberapa sayuran karena
batas oksidasinya pada peningkatan suhu dari produk yang rentan terhadap
pencoklatan atau pewarnaan merah muda. Hal ini juga terlibat dalam susunan
kompleks pigmen yang tidak berwarna dalam sayuran segar, tetapi dapat menjadi
berwarna akibat oksidasi pada peningkatan suhu.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari hasil pengamatan yang dilakukan selama 5 hari. Perlakuan baby corn
dengan berbagai konsentrasi perlakuan yaitu larutan garam 1%, 2 % dan 3%
sedangkan apel dengan larutan gula dengan pH 3 dan 4. Didapatkan nilai rata-rata
terhadap parameter warna buah terbaik pada baby corn dengan rata-rata nilai 3
menuju 4, warna larutan pada larutan gula dengan kisaran nilai 3 hingga 4, aroma
yang relative sama namun apel dengan larutan gula lebih stabil dengan rata-rata nilai
berkisar antara 3 hingga 3.8, tekstur yang lebih keras pada baby corn dengan kisaran
nilai rata-rata 1 hingga 3 dan rasa yang lebih diminati pada apel dengan larutan gula
dengan kisaran nilai rata-rata 3.
B. Saran
Pengalengan buah dan sayur ini dilakukan karena dapat menjadikan umur
buah menjadi lebih lama lagi, karena pengemasan ini merupakan salah satu teknik
dalam pengawetan makanan (buah dan sayur). Namun tetap perlu diperhatikan, cara
ini tidak sepenuhnya dapat menjaga keawetan dari buah, karena adanya faktor-faktor
yang dapat mengakibatkan buah dan sayur selama pengalengan menjadi rusak.
Sehingga pada saat pengolahan sebaiknya hal-hal yang dapat mengakibatkan
kerusakan tersebut diminimalisir.
DAFTAR PUSTAKA
Dedy. 2012. Kajian Kerusakan Kemasan Kaleng Buah Nanas. Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Brwijaya. Malang
Direktorat Jendral Hortikultura. 2012. Manfaat Buah Apel.http://www.inabuy.com/2012/04/jurnal-manfaat-buah-apel-untuk.html diakespada 23 November 2013
Desrosier, Norman W. (2008). The Technology of Food preservation, ThirdEdition (Teknologi Pengawetan Pangan, Edisi Ketiga). Penerjemah: Muchji Mulijohardjo. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Desrosier NW. 1988. Element of Food Technology. Westport, Connecticut : The AVIPublishing Co Company, Inc.
Dris, R., R. Niskanen, and N. El-Assi. 2000. Effect of CaCl2 sprays, heat, andcombined CaCl2-heat treatments on the quality of apples (Malus domesticaBorkh.). Jour. Appl. Hort. 2 : 79-83.www.Horticultureworld.net/2279.htm.
Epstein, Emanuel. 1972. Mineral Nutrition Of Plants Principles and Perspectives.University California. New York.
Ferguson, I, B. 1984. Calcium in plant senescence and fruit ripening. Plant CellEnviron. 7:477-489.
Ferguson,I.B and B.K Drobak. 1988. Calcium and the regulation of plant growth ad senescene. Hort science. 23(2):262-266.
Hariyadi, P. (Ed). 2000. Dasar-dasar Teori dan Praktek Proses Termal. Pusat Studi Pangan dan Gizi IPB, Bogor.
Kusnandar, dkk., 2000. Aspek Mikrobiologi Makanan Kaleng. Pusat Studi Pangan dan Gizi IPB, Bogor.
Larousse, Jean. 1997. Food Canning Technology. Wiley-VHC, Inc. Canada.
Lopez A. 1981. A Complete Course In Canning. Maryland : Canning Trade.
Luh, Bor, S., Woodroof, J.G., 1975. Commercial Vegetable Processing. The Avi
Publishing Company, Inc. Connecticut.
Luna-Guzman, I. and D. M. Barrett. 2000. Comparison of calcium chloride andcalcium lactate effectiveness in maintaining shelf stability and quality offresh cut cantaloupes. Postharvest Biology and Technology. 19 : 61-72.
Lurie, S., and J. D. Klein. 1992. Calcium and heat treatment to improve storabilityof ‘Anna’ apples. HortScience. 27 : 36-39.
Marhaendita, S,. 2007. Apek Blancing pada Pengalengan Buah dan Sayur. Dalam
kuliah buah dan Gula.(04/175255/TP/8240)
Muchtadi D. 1994. Makanan Kaleng : Teknologi dan Pengawasan Mutu. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Pantastico, Er. B. 1986. Susunan Buah-buahan dan Sayur-sayuran. Dalam Er. B.Pantastico (ed.). Fisiologi Pasca Panen, Penanganan dan PemanfaatanBuah-buahan dan Sayur-sayuran Tropika dan Sub Tropika. TerjemahanKamariyani. Gadjah Mada University Press.
Reuter H. 1993. Aseptic Processing of Food : Foods -1nd ed. New Holland. Technomic.
Santoso. 2006. Teknologi Pengawetan Bahan Segar. Faperta UWIGA. Malang
Sams, C. E. 1999. Preharvest factors affecting postharvest texture. PostharvestBiology and Technology. 15:249-254.
Smith, Durward. S., Cash, Jerry. N., Nip, Wai-Kit., Hui, Y.H., 1997. Processing Vegetables Science and Technology. Technomc Publishing Company, USA.
Syarief, R., S.Santausa, St.Ismayana B. 2001. Teknologi Pengemasan Pangan.Laboratorium Rekayasa Proses Pangan, PAU Pangan dan Gizi, IPB.
Sylviana. 2005. Pembuatan Produk Minuman Jelly Cincau Hitam (Mesona palustris BL) [Skripsi] Bogor:Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Terra. 2011. Pengalengan Cocktail, Cincau Dan Sop Buah . http://beautyramissu.wordpress.com/2011/10/12/pengalengan-cocktail-cincau-dan-sop-buah/ diakses pada 26 November 2013
[USDA] United State Department of Agriculture. 2010. USDA National Nutrient Database for Standard Reference. www.nal.usda.gov/fnic/foodcomp/search/ diakses pada 24 november 2013
Wijaya,adi. 2012. Kandungan dan Manfaat Jagung Bagi Kesehatan. http://permathic.blogspot.com/2012/12/kandungan-dan-manfaat-jagung-bagi.html
Winarno, F.G. 1980. Kimia Pangan. Pusbangtepa-FTDC. IPB. Bogor
Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Penerbit Gramedia.
LAPORAN PRAKTIKUM TEKNOLOGI BUAH DAN SAYUR
ACARA 1
PENGALENGAN
Disusun oleh :
Siti Haryati Pertiwi A1M011023
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
PURWOKERTO
2013
LAMPIRAN