pengangkatan anak tanpa penetapan...
TRANSCRIPT
PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN
PENGADILAN
( Implementasi PP Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan
Pengangkatan Anak )
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
Muhammad Kasyful Anwar Budi
NIM: 11140440000087
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1441 / 2020
i
ii
iii
iv
ABSTRAK
Muhammad Kasyful Anwar Budi. NIM 11140440000087.
PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILAN
(Implementasi PP Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan
Pengangkatan Anak). Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatulah Jakarta, 1441 H/2020 M.
(62 Halaman dan 20 Halaman Lampiran).
Studi ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan bagaimana praktik
pengangkatan anak yang dilakukan tanpa penetapan pengadilan serta faktor
masyarakarat Desa Bojong melakukan pengangkatan anak tanpa penetapan
pengadilan, mengetahui pemenuhan hak anak angkat terhadap orang tua
angkatnya, dan mengetahui kesadaran masyarakat terhadap Peraturan Pererintah
Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif. Penelitian ini
menggunakan pendekatan hukum normatif empiris, yaitu untuk mengetahui
bagaimana hukum yang tertulis PP Nomor 54 Tahun 2007 dijalankan dalam
pelaksanaan pengangkatan anak. Teknik pengumpulan data dengan metode riset
kepustakaan dan riset lapangan yang meliputi obeservasi dan wawancara.
Wawancara dilakukan dengan beberapa pihak terkait yaitu masyarakat Desa
Bojong yang mengangkat anak tanpa penetapan pengadilan dan tokoh masyarakat
atau pemerintah setempat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa praktik pengangkatan anak yang
dilakukan masyarakat Desa Bojong tidak melalui proses penetapan pengadilan
sehingga akibatnya anak angkat tidak sepenuhnya menerima hak seorang anak
angkat dari orang tua angkatnya karena sebab minimnya pengetahuan masyarakat
tentang peraturan perundang-undangan khususnya dalam pelaksanaan
pengangkatan anak yang tertuang dalam PP Nomor 54 Tahun 2007. Oleh karena
itu implementasi peraturan tersebut belum terpenuhi dan teredukasi sehingga
banyak masyarakat yang belum mengetahui peraturan tersebut.
Kata Kunci : Pengangkatan Anak, Penetapan Pengadilan, PP Nomor
54 Tahun 2007
Pembimbing : Ali Mansur, MA.
Daftar Pustaka : 1977 s.d 2013
.
v
KATA PENGANTAR
الرحمن الرحيمبسم الله
Alhamdulillah puji syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah Swt, yang
telah memberikan. Atas segala nikmatNya, nikmat kesehatan, kekuatan,
kesempatan dan waktu kepada penulis dalam menyelesaikan setiap tahapan dalam
skripsi ini. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Baginda Nabi
Muhammad Saw yang telah membimbing umatnya untuk menempuh kepada
agama yang diridhai oleh Allah Swt. dan kepada jalan yang benar, guna meraih
kebahagiaan dunia dan akhirat.
Penulisan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Hukum pada program studi Hukum Keluarga Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam
proses penyusunan skripsi ini penulis menerima bantuan dari berbagai pihak,
sehingga dapat terselesaikan atas izin Allah Swt. Oleh karena itu, dalam
kesempatan ini penulis ingin mengucapkan rasa terimakasih kepada semua pihak
yang telah memberikan bantuan baik moril maupun materil, khususnya kepada:
1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, SH, MH, MA. Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta beserta
Wakil Dekan I, II, dan III Fakultas Syariah dan Hukum.
2. Dr. Mesraini, M.Ag. Ketua Progam Studi Hukum Keluarga beserta Sekretaris
Program Studi Hukum Keluarga, Ahmad Chairul Hadi, MA. yang senantiasa
memberikan dukungan dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan
perkuliahan dan penulisan skripsi ini.
3. Ali Mansur, MA. Dosen pembimbing skripsi penulis, yang telah sabar dan
terus memberikan arahannya untuk membimbing penulis dalam proses
penyusunan skripsi ini.
4. Dr. Azizah, MA. Dosen penasehat akademik penulis, yang telah sabar
mendampingi hingga akhir perkuliahan dan telah membantu penulis dalam
menyusun proposal penelitian skripsi ini.
vi
5. Seluruh dosen dan sivitas akademika Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah mendidik dan membimbing penulis
selama masa perkuliahan, yang tidak bisa penulis sebut semuanya tanpa
mengurangi rasa hormat dan cinta penulis.
6. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI), Staf Perpustakaan Utama
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Staf Perpustakaan Fakultas Syariah dan
Hukum, yang telah memberikan pelayanan kepada penulis serta memberikan
fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.
7. Bapak Wahyudin, sekertaris Desa Bojong yang telah bersedia diwawancarai
dan memberikan informasi kepada penulis. Serta Bapak Ahmad, Bapak
Soprin, Ibu Fatmawati, Ibu Ifa Ningsih, Ibu Sumarni yang telah bersedia
untuk diwawancarai dan terbuka memberikan informasi yang dibutuhkan
penulis sehingga memudahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi.
8. Terima kasih kepada Ibunda Hj. Yayah Khoeriyah dan Ayahanda H. Mad
Budi yang telah memberikan pendidikan terbaik untuk penulis serta telah
banyak mendo‟akan dan memotivasi penulis untuk segera menyelesaikan
skripsi ini.
9. Terima kasih kepada Ayah mertua H. Tarmizi Hambali dan Ibu mertua Nurul
Badriyah yang selalu mengingatkan dan memotivasi penulis untuk segera
menyelesaikan skripsi.
10. Terima kasih kepada Istriku tercinta Ziyaadaturrahmah yang telah
mendo‟akan, membantu, mendorong, mengingatkan dan memotivasi penulis
untuk segera menuntaskan skripsi ini.
11. Muhammad Nadhir Syah dan Muhammad Danish Abqory kedua anak-anakku
dengan keluguan dan tingkah lucu mereka telah menjadi penyemangat
penulis.
12. Nabilah Marwah, Ahmad Mikail, dan ketiga adik-adik penulis yang lain yang
telah menjadi penyemangat penulis.
13. Teman-Teman seperjuangan Hukum Keluarga B 2014 (Hilman Fauzi, Aris
Muzayyin, Arifin, Rifki Akbari, Ahmad Luthfi, dkk) dan Hukum Keluarga
2014 (Fitrah Fanani, Rizki APU, Nida Sri Widiyanti, dkk).
vii
Semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membaca, khususnya
mahasiswa/i Fakultas Syariah dan Hukum.
Jakarta, 05 Juni 2020
Muhammad Kasyful Anwar Budi
viii
DAFTAR ISI
PERSERUJUAN PEMBIMBING ..................................................................... i
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................... ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN .................................................................. iii
ABSTRAK ......................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ........................................................................................ v
DAFTAR ISI .................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................ 4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................................... 6
D. Review Kajian Terdahulu .................................................................. 6
E. Metode Penelitian ............................................................................... 8
1. Jenis Penelitian ....................................................................... 8
2. Pendekatan Penelitian ............................................................ 8
3. Teknik Penulisan .................................................................... 9
4. Jenis dan Sumber Data ........................................................... 9
5. Teknik Pengumpulan Data ..................................................... 9
6. Analisis Data ........................................................................ 10
F. Sistematika Pembahasan .................................................................. 11
BAB II TINJAUAN UMUM PENGANGKATAN ANAK TANPA
PENETAPAN PENGADILAN ..................................................... 13
A. Tinjauan Umum Pengangkatan Anak dan Peraturan Pemerintah
Nomor 54 Tahun 2007 .................................................................... 13
B. Teori Kepastian dan Kesadaran Hukum Dalam Praktik
Pengangkatan Anak Tanpa Penetapan Pengadilan .......................... 19
C. Konsep Hak Anak Angkat Yang Diangkat Tanpa Penetapan
Pengadilan ....................................................................................... 20
D. Sejarah Pengangkatan Anak ............................................................ 23
E. Pengangkatan Anak Dalam Hukum Islam ...................................... 26
ix
F. Pengangkatan Anak Dalam Hukum Adat ....................................... 29
BAB III PROFIL MASYARAKAT DESA BOJONG, KECAMATAN
KEMANG, KABUPATEN BOGOR ........................................... 33
A. Gambaran Umum dan Letak Geografis Desa Bojong ..................... 33
B. Gambaran Umum Praktik Pengangkatan Anak oleh Masyarakat
Desa Bojong .................................................................................... 34
C. Struktur Masyarakat Desa Bojong .................................................. 36
D. Kondisi Sosial Keagamaan .............................................................. 39
BAB IV ANALISIS PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN
PENGADILAN (IMPLEMENTASI PP NOMOR 54 TAHUN 2007
TENTANG PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK) ......... 41
A. Praktik Pengangkatan Anak di Desa Bojong ................................... 41
B. Pemenuhan Hak dalam Pengangkatan Anak .................................... 49
C. Eksistensi Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 Tentang
Pelaksanaan Pengangkatan Anak ..................................................... 58
BAB V PENUTUP ............................................................................................ 61
A. Kesimpulan ...................................................................................... 61
B. Rekomendasi .................................................................................... 62
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 64
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pengangkatan anak merupakan suatu perbuatan hukum yang sering
terjadi di seluruh belahan dunia, termasuk pengangkatan anak yang terjadi di
Indonesia. Pengangkatan anak bukanlah suatu hal yang baru di Indonesia
karena hal tersebut sudah membudaya dikalangan masyarakat Indonesia.
Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan
adat dan kebiasaan yang berlaku di daerah yang bersangkutan. Pengangkatan
anak yang lazimnya merupakan suatu usaha yang dilakukan pasangan suami
istri untuk mendapatkan hak pengasuhan anak, yang biasanya mereka
melakukan pengangkatan anak salah satunya sebagai solusi untuk
menyelematkan perkawinan atau untuk mencapai kebahagiaan rumah tangga
yang lebih besar karena tujuan berumah tangga adalah memperoleh keturunan
yang baik.
Pengertian pengangkatan anak menurut Arief Gosita adalah “suatu
tindakan pengambil anak orang lain untuk dipelihara dan diperlukan sebagai
anak turunannya sendiri, berdasarkan ketentuan – ketentuan yang disepakati
bersama dan sah menurut hukum yang berlaku di masyarakat yang
bersangkutan”1.
Di Indonesia, pengangkatan anak telah menjadi kebutuhan masyarakat
dan menjadi bagian dari sistem hukum keluarga, karena menyangkut
kepentingan orang perorangan dalam keluarga2. Oleh karena itu, lembaga
pengangkatan anak (adopsi) yang telah menjadi bagian budaya masyarakat,
akan mengikuti perkembangan situasi dan kondisi seiring dengan tingkat
kecerdasan serta perkembangan masyarakat itu sendiri.
1 Arief Gosita, Masalah Perlindungan Anak, (Jakarta: Akademika Presindo,
1985, Cet. Pertama), h., 44. 2 Alam dan Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, (Jakarta:
Kencana, 2008), h., 3.
2
Dalam rangka menjaga kemurnian nasab, Islam tidak hanya melarang
perzinahan, tetapi juga menolak konsep adopsi (pengangkatan anak) secara
mutlak3, yaitu maksudnya adopsi yang menyebabkan putusnya nasab seorang
anak dengan ayah kandungnya.
Menurut M. Budiarto pengangkatan anak dalam hukum islam hanya
dapat dibenarkan apabila memenuhi ketentuan – ketentuan sebagai berikut:
1. Tidak memutus hubungan darah antara anak yang diangkat dengan
orangtua kandung dan keluarganya.
2. Anak angkat tidak berkedudukan sebagai ahli waris dari orang tua
angkatnya, melainkan tetap sebagai ahli waris dari orang tua kandungnya,
demikian juga orang tua angkatnya tidak berkedudukan sebagai pewaris
dari anak angkatnya.
3. Anak angkat tidak boleh menggunakan nama orang tua angkatnya secara
langsung, kecuali sekedar sebagai alamat atau tanda pengenal diatas.
4. Orang tua angkatnya tidak bertindak sebagai wali dalam perkawinan anak
angkatnya.4
Tingginya angka perceraian, poligami, dan pengangkatan anak yang
dilakukan masyarakat, bahkan ketidak harmonisan dalam keluarga salah
satunya disebabkan karena belum memiliki keturunan. Jadi, mayoritas
masyarakat beranggapan bahwa tujuan perkawinan menjadi tidak tercapai
karena perkawinan tersebut tidak menghasilkan keturunan. Dengan demikian,
apabila didalam perkawinan telah memiliki keturunan, maka tujuan
perkawinan dianggap telah tercapai dan proses keberlanjutan generasi dapat
berjalan5.
Pengangkatan anak bukan hanya berlaku untuk pasangan suami istri
yang ingin mempunyai anak saja, tetapi orang tua tunggal (single parent) pun
berhak melakukan pengangkatan anak dengan syarat harus memiliki motivasi
3 M. Nurul Irfan, Nasab dan Status Anak dalam Hukum Islam, (Jakarta: Amzah,
2012), h., 11. 4 M. budiarto, Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Segi Hukum, (Jakarta:
Akademika presindo, 1985), h., 24. 5 M. Nurul Irfan, Nasab dan Status Anak dalam Hukum Islam, h., 12.
3
yang kuat untuk mengasuh seorang anak. Sebagaimana yang telah diatur
dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang
pelaksanaan pengangkatan anak, Angka 1 berbunyi “Anak angkat adalah anak
yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan Keluarga Orang Tua, Wali
yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan,
dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan Keluarga Orang Tua
angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan”. Pada undang –
undang tersebut berbunyi bahwa anak angkat merupakan anak yang hak
keluarga kandung serta lingkungannya sepenuhnya dialihkan ke dalam
lingkungan keluarga orang tua angkat yang sudah ditentukan dalam penetapan
pengadilan. Sehingga anak angkat menerima hak sepenuhnya sebagai seorang
anak dan orang tua angkat dapat melakukan kewajibannya sebagai orang tua
Tetapi, contoh faktualnya yaitu khususnya pada masyarakat di desa
Bojong ada saja anak yang diangkat tidak sepenuhnya masuk ke dalam
lingkungan keluarga orang tua angkatnya. Salah satu kepala keluarga di desa
Bojong bernama pak Ahmad yang mengangkat anak dari tetangga dan
mengambil alih pengasuhan serta biaya dan kebutuhan anak angkat. Akan
tetapi anak yang diangkatnya itu tidak tinggal bersama beliau melainkan
masih bertempat tinggal di kediaman ibu kandungnya. Namun setelah
ditanyakan kepada pak Ahmad perihal proses pengangkatan anak, dan pada
kenyataannya proses pengangkan anak yang telah dilakukan tidak melalui
penetapan pengadilan melainkan dengan melalui kesepakatan antara keluarga
pak Ahmad dengan keluarga orang tua kandung anak yang diangkatnya. Tentu
saja hal ini sangat bertentangan dengan Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun
2007 tentang pelaksanaan pengangkatan anak.
Pengangkatan anak yang dilakukan di Indonesia harus berdasarkan
peraturan perundang- undangan yang belaku. Pengangkatan anak yang
dilakukan melalui proses adat istiadat setempat memang diperbolehkan, tetapi
alangkah baiknya pengangkatan anak harus melalui penetapan pengadilan agar
pengangkatan anak yang dilakukan menjadi sah dimata hukum, agar anak
yang diangkat menjadi terlindungi dengan adanya penetapan pengadilan.
4
Namun pada tatanan empiris sebagian besar masyarakat tidak melakukan
pengangkatan melalui proses penetapan pengadilan.
Hal ini bertentangan dengan peraturan perundang - undangan yang
terdapat dalam pasal 20 Peraturan Pemerintah nomor 54 tahun 2007 tentang
pengangkatan anak, yang berbunyi, “permohonan pengangkatan anak yang
telah memenuhi persyaratan diajukan ke Pengadilan untuk mendapatkan
penetapan Pengadilan.” Penetapan pengadilan ini sangat penting dalam
mengatur masalah hukum, seperti yang diketahui bahwa hal ini dapat
memberikan kepastian hukum secara penuh kepada status anak angkat apabila
tata cara pengangkatan anaknya dilakukan melalui penetapan pengadilan. Dari
pernyataan tersebut maka disinilah peran dan tanggung jawab orangtua angkat
dipertanyakan, bagaimana tanggung jawab orang tua angkat yang notabene
harus menjadi tempat perlindungan bagi anak yang diangkat sedangkan cara
mengangkat anaknya saja tidak melalui tata cara yang benar.
Dari pernyataan diatas, maka penulis termotivasi untuk mengangkat
permasalahan ini untuk diteliti yang dituangkan dalam bentuk skripsi yang
berjudul : “Pengangkatan Anak Tanpa Penetapan Pengadilan Implementasi
Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan
Pengangkatan Anak (Studi Kasus di Desa Bojong Kecamatan Kemang
Kabupaten Bogor”).
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah merupakan beberapa permasalahan yang
berkaitan dengan tema yang sedang dibahas. Ragam masalah yang akan
muncul berdasarkan latar belakang, akan penulis paparkan beberapa
diantaranya yaitu:
a. Praktik pengangkatan anak serta faktor mengangkat anak tanpa
penetapan pengadilan yang dilakukan masyarakat desa Bojong.
b. Pemenuhan hak dan kewajiban orang tua angkat terhadap anak angkat.
c. Kesadaran masyarakat terhadap Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun
2007 tentang pelaksanaan pengangkatan anak.
5
2. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, dan pembahasan agar menjadi
lebih terarah dengan baik, maka penulis hanya membatasi penelitian ini
dengan mengidentifikasi pelaksanaan pengangkatan anak tanpa penetapan
pengadilan yang akan menitikberatkan terhadap praktik pengangkatan
anak serta faktor yang menyebabkan mayoritas masyarakat Desa Bojong
melakukan pengangkatan anak tanpa penetapan pengadilan yang tentunya
sangat bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007
Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak.
Untuk teori-teori yang berkaitan dengan permasalahan ini maka
penulis menggunakan teori kesadaran hukum yang dikemukakan oleh
Soerjono Soekanto bahwa yang menjadi tolak ukur tingkat kesadaran
masyarakat ada empat yaitu, pengetahuan hukum, pemahaman hukum,
sikap hukum dan pola perilaku hukum. Kemudian penulis juga
menggunakan teori kepastian hukum yang dikemukakan oleh Bachsan
Mustafa bahwasanya kepastian hukum dapat disimpulkan pada tiga makna
yaitu, pasti mengenai peraturan hukumnya, pasti dengan kedudukan
hukum dari objek dan subjek hukum, dan mencegah adanya perbuatan
melawan hukum.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah diatas, penulis akan merumuskan
permasalahan penelitian yang akan penulis susun dalam bentuk skripsi.
Beberapa rumusan masalah akan penulis cantumkan sebagai berikut :
1. Bagaimana praktik pengangkatan anak serta faktor masyarakat Desa
Bojong mengangkat anak tanpa penetapan pengadilan?
2. Bagaimana pemenuhan hak dan kewajiban orang tua angkat terhadap
anak angkat?
3. Bagaimana tingkat kesadaran hukum masyarakat terhadap Peraturan
Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan
Anak?
6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini mempunyai tujuan untuk:
1. Mengetahui praktik serta faktor mengangkat anak tanpa penetapan
pengadilan di Desa Bojong.
2. Mengetahui bagaimana pemenuhan hak dan kewajiban orang tua
angkat terhadap anak angkatnya.
3. Mengetahui tingkat kesadaran terhadap Peraturan Pemerintah Nomor
54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat pelaksanaan penelitian ini
1. Secara teoritis, untuk memberikan wawasan penulis agar lebih
memahami tentang pentingnya melakukan pengangkatan anak melalui
penetapan pengadilan. Serta eksistensi peraturan pemerintah tentang
pelaksanaan pengangkatan anak yang menjadi rujukan keharusan
pengangkatan anak melalui proses penetapan pengadilan.
2. Secara Praktis, diharapkan dapat dijadikan acuan serta memperluas
pemahaman masyarakat umumnya terhadap pengaplikasian peraturan
perundang – undangan yang telah ada tentang pengangkatan anak yang
sebaiknya dilakukan melalui proses penetapan pengadilan. Serta untuk
menyadarkan masyarakat bahwa pengangkatan anak dengan melalui
proses penetapan pengadilan akan membuat pengangkatan anak yang
dilakukan telah sah dimata hukum yang berlaku di Indonesia.
Untuk para akademisi, penelitian ini akan sangat membantu dalam
menambah referensi untuk penelitian hukum keluarga yang
bertemakan pengangkatan anak khususnya tentang permasalahan
pengangkatan anak tanpa melalui proses penetapan pengadilan.
D. Review Kajian Terdahulu
1. Judul : “Praktik Pengangkatan Anak Tanpa Penetapan Pengadilan Dan
Dampak Hukumnya (Studi Kasus di Desa Bantarjati, Klapanunggal,
Bogor)
7
Penulis : Nadia Nur Syahidah / P.A / ASS / 2015
Skripsi ini membahas tentang praktik pengangkatan anak tanpa
penetapan pengadilan baik itu melalui pengadilan agama maupun
pengadilan negeri yang membatasi wilayah penelitiannya di Desa
Bantarjadi dan menyertakan dampak hukum yang diakibatkan dari
pengangkatan anak tanpa penetapan pengadilan dengan metodologi
penelitiannya yaitu kualitatif. berbeda dengan apa yang penulis teliti
yang tidak hanya membahas pengangkatan anak tanpa proses penetapan
pengadilan saja, tetapi penulis membahas pula eksistensi peraturan
pemerintah nomor 54 tahun 2007 tentang pelaksanaan pengangkatan
anak dan penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif
dengan pendekatan penelitian normatif-empiris.
2. Judul : “Pengangkatan Anak dalam UU Nomor 3 Tahun 2006 dan
Akibat Hukumnya”
Penulis : Reyza Amalia / HK / 2007
Skripsi ini menganalisa dan menitik beratkan terhadap prosedur
pengangkatan anak yang berlaku di Pengadilan Negeri dengan melihat
sebelum dan sesudah adanya Undang – Undang Nomor 3 Tahun 2006,
bahwasanya pengadilan agama memiliki kewenangan absolut untuk
menerima, memeriksa, dan mengadili perkara permohonan anak
berdasarkan hukum Islam serta metode penelitiannya menggunakan
metode kualitatif. Perbedaan dengan penelitian penulis yakni
menganalisa permasalahan praktik pengangkatan anak tanpa melaui
proses penetapan pengadilan yang juga membahas tentang eksistensi
Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang pelaksanaan
pengangkatan anak dengan metode kualitatif dengan pendekatan
normatif-empiris.
3. Judul : “Praktik Ngukut Anak Pada Masyarakat Desa Cikatomas
Cilograng Lebak”
Penulis : Nida Sriwidiyanti/HK/2018
8
Skripsi ini menganalisa perbuatan hukum yakni pengangkatan
anak yang terjadi di Desa Cikatomas Cilogram Lebak, bahwa dalam
penelitiannya tersebut membahas tentang praktik tradisi ngukut anak
(Pengangkatan anak), kedudukan anak pada aspek perwalian maupun
kewarisan, serta pratik yang terjadi sesuai apa tidak dengan hukum
Islam, hukum positif, maupun hukum adat. Tema skripsi ini secara
umum sama seperti apa yang akan penulis teliti, tetapi perbedaannya
yakni dalam penelitian penulis lebih membahas tentang praktik
pengangkatan anak yang dilakukan tanpa penetapan pengadilan dan
praktik dalam masyarakat sesuai atau tidak dengan PP Nomor 54 Tahun
2007 tentang pelaksanaan pengangkatan anak.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif,
penelitian kualitatif merupakan upaya yang mendalam dan memakan
waktu berhubungan dengan lapangan dan situasi nyata6. Maksudnya ialah
meneliti suatu peristiwa pada masyarakat yang tidak sesuai dengan aturan
yang berlaku. Yang mengharuskan peneliti mencari informasi yang
mendalam bagaimana permasalahan yang berkembang ditengah
masyarakat tersebut bisa terjadi dan perbuatan hukum yang dilakukan
masyarakat tentang pengangkatan anak yang tidak sesuai hukum Islam
dan peraturan perundang-undangan berlaku.
2. Pendekatan Penelitian
Sementara metode penulisan yang digunakan ialah pendekatan
hukum normatif-empiris yaitu penelitian hukum yang mengkaji
pelaksanaan atau implementasi ketentuan hukum positif (perundang-
undangan) dan kontrak secara faktual pada setiap peristiwa hukum
tertentu yang terjadi dalam masyarakat guna mencapai tujuan yang telah
6 Boy S. Sabar Guna, Analisis Data Pada Penelitian Kualitatif, (Jakarta: UI-
Press, 2008), h., 4.
9
ditentukan7, dengan begitu jikalau penelitian hukum normatif berupaya
untuk melihat hukum dari perspektif norma-norma atau aturan yang
tertulis, maka penelitian hukum empiris untuk melihat bagaimana hukum
tersebut dijalankan8.
3. Teknik Penulisan
Serta teknik penulisan ini berpedoman menggunakan buku
“Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta”.
4. Jenis dan Sumber Data
Jenis dan sumber data yang penulis gunakan yaitu :
1. Data Primer, yaitu data yang diperoleh penulis secara langsung dari
hasil wawancara dari pihak-pihak terkait dan berkaitan langsung
dengan penelitian ini di Desa Bojong serta beberapa tokoh dan
anggota masyarakat di wilayah Desa Bojong Kecamatan Kemang
Kabupaten Bogor.
2. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dengan cara
membandingkan atas dokumen-dokumen yang berhubungan dengan
permasalahan yang diajukan, serta memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum atau dokumen-dokumen pada data hukum primer9.
Dokumen-dokumen yang dimaksud adalah Al-Qur‟an, Hadits, Buku-
buku ilmiah, Undang-undang Perlindungan Anak, Kompilasi Hukum
Islam (KHI), serta peraturan-peraturan lainnya yang berkaitan erat
dengan permasalahan penelitian ini.
5. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data ini merupakan salah satu langkah yang
paling strategis, karena jenis penelitian ini sangat memerlukan data
7 A. Muri Yusuf, Metode Penelitian : Kuantitatif, Kualitatif, dan Penelitian
Gabungan (Jakarta : Kencana, 2014), h., 329. 8 Fahmi Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta :
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), Cet. 1, h., 47. 9 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2011), Cet. 13, h,. 13.
10
berkaitan dengan penelitian ini. Bila dilihat dari sumber data yang
dibutuhkan, maka penulis mengumpulkan data menggunakan:
a. Riset kepustakaan, yaitu penelitian yang dilakukan dengan bantuan
materi-materi dari berbagai buku yang berhubungan dengan penelitian
ini.
b. Riset Lapangan, yakni penulis terjun langsung ke lapangan guna
mendapatkan data-data yang dibutuhkan, dengan menggunakan alat
pengumpulan data sebagai berikut:
a) Observasi atau pengamatan, yakni pengumpulan data melalui
pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap gejala
yang tampak pada obyek penelitian10
. Di sini penulis
mengamati penelitian pada masyarakat yang menjadi objek
penelitian yaitu Desa Bojong serta melakukan observasi di
tempat penelitian.
b) Interview, yakni metode pengumpulan data atau informasi
dengan mengajukan sejumlah pertanyaan secara lisan, untuk
dijawab secara lisan pula11
. Dalam interview ini akan
melibatkan beberapa masyarakat setempat khususnya
masyarakat yang melakukan pengangkatan anak tanpa
penetapan pengadilan sebagai informan/responden yang
kiranya dapat memberikan data yang peneliti butuhkan.
6. Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan analisis kualitatif yaitu pendekatan
penelitian yang menekankan analisis proses dari proses berfikir secara
induktif yang berkaitan dengan dinamika hubungan antar fenomena yang
diamati, dan senantiasa menggunakan logika ilmiah12
. Maksudnya bahwa
penelitian kualitatif bukan berarti tidak membutuhkan dukungan dari
10 Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2007), Cet. 12, h., 106. 11
Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, h., 118. 12
Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif : Teori dan Praktik, (Jakarta:
Bumi Aksara, 2013), Cet. 1, h,. 80.
11
penelitian kuantitatif, tetapi lebih ditekankan kepada kedalaman berfikir
formal peneliti dalam menghadapi permasalahan yang dihadapi. Jadi
penulis menganalisa dan menjabarkan data-data yang telah diperoleh dari
penelitian terhadap keluarga yang mengangkat anak.
F. Sistematika Pembahasan
Secara sistematis, dalam penyusunan skripsi ini penulis membaginya
kedalam lima bab, yang masing-masing bab terdiri dari beberapa sub bab.
Oleh karena itu penulis mengklarifikasikan permasalahan dengan sistematika
penulisan sebagai berikut :
1. Bab pertama tentang pendahuluan
Dalam bab ini penulis akan menguraikan latar belakang masalah,
pembatasan masalah dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
2. Bab kedua tentang teori serta konsep dasar pengangkatan anak
Dalam bab ini penulis akan menguraikan konsep dasar pengangkatan
anak yang akan memberikan gambaran tentang: pengertian
pengangkatan anak dan dasar hukumnya, proses pengangkatan anak
sesuai peraturan perundang–undangan yang berlaku, sebab akibat
terjadinya pengangkatan anak tanpa penetapan pengadilan, serta
memuat kajian review terdahulu.
3. Bab ketiga kondisi sosial kemasyarakatan di Desa Bojong
Dalam bab ini penulis menjelaskan sejarah singkat Desa Bojong,
kondisi kemasyarakatannya baik itu perekonomian maupun kehidupan
sosialnya, serta kondisi kebudayaan di Desa Bojong
4. Bab keempat temuan dan analisis
Menjelaskan mengenai pelaksanaan pengangkatan anak di masyarakat
Desa Bojong ; prosedur pengangkatan anak yang dipraktikkan di Desa
Bojong, alasan dan faktor pengangkatan anak, urgensi pengangkatan
anak dan pengetahuan masyarakat tentang pelaksanaan pengangkatan
anak yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007
tentang pelaksanaan pengangkatan anak. Serta bagaimana masyarakat
12
desa Bojong yang telah melakukan pengangkatan anak memenuhi
semua hak anak angkatnya. Lalu alasan masyarakat Desa Bojong
mengangkat anak tanpa melalui penetapan pengadilan serta akibat
hukumnya. Kemudian disertakan analisis penulis.
5. Bab kelima penutup
Bab ini merupakan bab yang terakhir yang terdiri dari kesimpulan dari
penelitian dan rekomendasi-rekomendasi serta daftar pustaka, dan
tidak lupa pula penulis mencantumkan lampiran yang diperlukan.
13
BAB II
TINJAUAN UMUM PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN
PENGADILAN
(IMPLEMENTASI PP NOMOR 54 TAHUN 2007 TENTANG
PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK)
A. TINJAUAN UMUM PENGANGKATAN ANAK DAN PERATURAN
PEMERINTAH NOMOR 54 TAHUN 2007
1. Secara etimologis
Secara bahasa istilah pengangkatan anak sering disebut dengan kata
adopsi yang merupakan kata serapan dari Bahasa Inggris “adoption” yang
berarti pengangkatan, pemungutan, dan dalam istilah pengangkatan anak
disebut adoption of child.13
Dalam bahasa Belanda disebut
“adoptie/adopteren” artinya “mengambil anak orang lain untuk dijadikan
anak sendiri”14
atau dalam bahasa latin disebut “adoptio, adopto” yang
artinya mengangkat sebagai anak15
.
Dalam kamus bahasa Arab kata adopsi atau pengangkatan anak
berasal dari kata (تبني).16
Dari pengertian pengangkatan anak (adopsi)
menurut bahasa, dapat disimpulkan bahwa pengangkatan anak (adopsi)
merupakan perbuatan hukum dengan cara mengambil anak orang lain untuk
dijadikan anak sendiri (dipelihara) seperti halnya dengan anak kandung
sendiri.
2. Secara terminologis
Beberapa para ahli memberikan pengertian seputar pengangkatan
anak atau adopsi sebagaimana berikut :
13
Jhon M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2005), h., 13. 14
Yaswirman, Hukum Keluarga : Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan
Adat dalam Masyarakat Matrilineal Minangkabau, (Jakarta : Rajawali Pers, 2013), h.,
251. 15
Hassan Shadily, Ensiklopedi Indonesia, (Jakarta : Ichtiar Baru – Van Hoeve,
1989), h.,84. 16
Atabik Ali, Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab – Indonesia,
(Yogyakarta: Multi Karya Grafika Pondok Pesantren Krapyak, 2003), h., 402.
14
a. Menurut Soerdaryo Soimin, Pengangkatan anak atau adopsi adalah
suatu perbuatan mengambil anak orang lain ke dalam keluarganya
sendiri, sehingga dengan demikian antara orang yang mengambil
anak dan yang diangkat timbul suatu hubungan hukum17
.
b. Surojo Wignjodipuro, dalam bukunya „Pengantar dan Azaz-Azaz
Hukum Adat‟, memberikan batasan sebagai berikut: “Adopsi
(mengangkat anak) adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang
lain ke dalam keluarga sendiri sedemikian rupa, sehingga antara
orang yang memungut anak dan anak yang dipungut itu timbul suatu
hukum kekeluargaan yang sama, seperti yang ada antara orang tua
dengan anak kandungnya sendiri”18
.
c. Mahmud Syaltut, mengemukakan bahwa setidaknya ada dua
pengertian “pengangkatan anak.” Pertama, mengambil anak orang
lain untuk diasuh dan dididik dengan penuh perhatian dan kasih
sayang, tanpa diberikan status “anak kandung” kepadanya; Cuma ia
diperlakukan oleh orang tua angkatnya sebagai anak sendiri. Kedua,
mengambil anak orang lain sebagai anak sendiri dan ia diberi status
sebagai “anak kandung”, sehingga ia berhak memakai nama
keturunan (nasab) orang tua angkatnya dan saling mewarisi harta
peninggalan, serta hak-hak lain sebagai akibat hukum antara anak
angkat dan orang tua angkatnya itu19
.
d. Amir martosedono, dalam bukunya “Tanya jawab pengangkatan
anak dan masalahnya” bahwa : Anak angkat adalah anak yang
diambil oleh seseorang sebagai anaknya, dipelihara, diberi makan,
kalau sakit diobati, diperlakukan sebagai anaknya sendiri. Dan bila
17
Soedaryo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004),
h., 35. 18
Muderis Zaini, Adopsi : Suatu Tinjauan dari Tiga Sistem Hukum, (Jakarta :
Sinar Grafika, 2002), h., 5. 19
Ahmad Kamil dan M.Fauzan, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di
Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), h., 97.
15
nanti orang tua angkatnya meninggal dunia, dia berhak atas warisan
orang yang mengangkatnya20
.
e. Menurut Hilman Hadikusuma, Menyebutkan bahwa anak angkat
adalah anak orang lain yang dianggap anak sendiri oleh orang tua
angkat dengan resmi menurut hukum adat setempat dikarenakan
tujuannya untuk melangsungkan keturunan dan atau pemeliharaan
atas harta kekayaan rumah tangga21
.
Pendapat-pendapat tersebut diatas dapat disimpulkan sebagai berikut,
bahwa secara umum yang dimaksud dengan pengangkatan anak adalah
tindakan mengambil anak orang lain ke dalam keluarga sendiri yang diasuh
dan dipelihara seperti anak kandung. Sehingga segala kebutuhan hidup yang
dibutuhkan anak angkat telah menjadi tanggung jawab sepenuhnya terhadap
orang tua angkatnya baik itu dalam hal kebutuhan materil atau non materil
demi masa depan anak angkat tersebut.
Dalam hal pengertian pengangkatan anak dan adopsi terdapat
perbedaan yang terletak dalam prinsip hukumnya, bahwasanya kata adopsi
yang sudah ada di Indonesia merupakan hasil revisi dari sistem Eropa yang
menjadikan anak angkat terputus hubungan kekeluargaannya serta hak-
haknya dengan orang tua kandungnya. Sedangkan dalam hukum Islam,
tindakan pengangkatan anak tidak akan memutuskan hubungan kekeluargaan
terhadap orang tua kandungnya serta tidak bisa saling mewarisi antara anak
angkat dengan orang tua angkatnya.
3. Menurut Peraturan Perundang-undangan
Untuk mengetahui pengertian pengangkatan anak menurut peraturan
perundang-undangan Republik Indonesia terlebih dahulu melihat undang-
undang perkawinan, karena pengangkatan anak termasuk dalam hukum
keluarga atau bidang perkawinan. Undang-undang RI Nomor 1 Tahun 1974
yang mengatur tentang perkawinan dalam pasal-pasalnya tidak menyinggung
20
Amir Martosedono, Tanya jawab pengangkatan anak dan masalahnya,
(Semarang: Effhar Offset dan Dahara Prize, 1990) h., 15. 21
Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia Dalam Kajian Kepustakaan,
(Bandung: Alfabeta, 2013), h., 215.
16
anak angkat atau pengangkatan anak. Berikut merupakan beberapa peraturan
perundang-undangan yang mendefinisikan mengenai pengangkatan anak :
a. Pengertian pengangkatan anak yang terdapat dalam Penjelasan Pasal
47 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan. Penjelasan Undang-undang tersebut
memberi pengertian bahwa yang dimaksud pengangkatan anak adalah
perbuatan hukum untuk mengalihkan hak anak dari lingkungan
kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang
bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan
anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya
berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan22
.
b. Anak angkat berdasarkan Pasal 1 angka 9 Undang-Undang No.23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak adalah anak yang haknya
dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang
sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan,
pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan
keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan
pengadilan23
.
c. Didalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 171 huruf (h) yang
berbunyi bahwa anak angkat adalah anak yang dalam hal
pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan, dan
sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada
orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan24
.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan
Pengangkatan Anak
Peraturan pemerintah ini merupakan peraturan untuk melaksanakan
ketentuan mengenai pengangkatan anak sebagaimana yang diatur dalam
22
Musthofa Sy, Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama, (Jakarta :
Kencana Prenada Media Group, 2008), Cet. 1 h., 17. 23
Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 1 angka 9 24
Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum
Indonesia, (Jakarta : Gema Insani Press, 1994), Cet. 1 h., 130.
17
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Untuk
itu undang-undang tersebut perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang
Pelaksanaan Pengangkatan Anak.
Mengenai permasalahan pengangkatan anak, tentu hal yang pertama
harus diketahui yaitu tentang proses pengangkatan anaknya yang harus
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal utama tersebut yaitu
melakukan pengangkatan anak harus melalui proses penetapan pengadilan
sebagaimana yang tertuang dalam pasal 10 ayat (2) Peraturan Pemerintah
Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak yang
berbunyi, “Pengangkatan anak berdasarkan peraturan perundang-undangan
yaitu dilakukan melalui penetapan pengadilan”. Berikut beberapa hal yang
harus diperhatikan dalam proses pengangkatan anak;
a. Pengangkatan anak harus melalui penetapan pengadilan
Pengangkatan anak yang sah menurut hukum positif yaitu dengan
cara lewat penetapan pengadilan. Pasal 1 Angka 1 telah mengatur bahwa
“Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan
kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah atau orang lain yang
bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak
tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan
keputusan atau penetapan pengadilan”.
Pengangkatan anak yang sudah dilakukan dengan proses yang
dilakukan sesuai adat setempat, maka dapat dilakukan mengajukan
permohonan pengangkatan anak ke pengadilan. Pasal 9 ayat (2)
“pengangkatan anak berdasarkan adat kebiasaan setempat dapat
dimohonkan melalui penetapan pengadilan”.
b. Syarat-syarat pengangkatan anak
Syarat calon anak yang akan diangkat sebagaimana yang tertuang
pada Pasal 12 Ayat (1) yang berbunyi :
“Syarat anak yang akan diangkat, meliputi : a. Belum berusia 18
(delapan belas) tahun; b. merupakan anak yang terlantar atau
18
ditelantarkan; c. berada dalam asuhan keluarga atau dalam lembaga
pengasuhan anak; dan d. memerlukan perlindungan khusus”.
Syarat calon orang tua angkat. Pasal 13 yang berbunyi :
“Calon orang tua angkat harus memenuhi syarat-syarat:
1. Sehat jasmani dan rohani;
2. Berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi
55 (lima puluh lima) tahun;
3. Beragama sama dengan agama calon anak angkat;
4. Berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan
tindak kejahatan;
5. Berstatus menikah paling singkat 5 (lima) tahun;
6. Tidak merupakan pasangan sejenis;
7. Tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu
orang anak;
8. Dalam keadaan mampu ekonomi dan sosial;
9. Memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis orang tua atau
wali anak;
10. Membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah
demi kepentingan terbaik bagi anak, kesejahteraan dan
perlindungan anak;
11. Adanya laporan sosial dari pekerja sosial setempat;
12. Telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 (enam)
bulan, sejak izin pengasuhan diberikan; dan
13. Memperoleh izin Menteri dan/atau kepala instansi sosial.”
c. Tata cara pengangkatan anak
Pasal 20 Ayat (1) “Permohonan pengangkatan anak yang telah
memenuhi persyaratan diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan
penetapan pengadilan”
Pasal 20 Ayat (2) “Pengadilan menyampaikan salinan penetapan
pengangkatan anak ke instansi terkait”
19
Pasal 21 Ayat (1) “Seseorang dapat mengangkat anak paling banyak 2
(dua) kali dengan jarak waktu paling singkat 2 (dua) tahun”
Pasal 21 Ayat (2) “Dalam hal calon anak angkat adalah kembar,
pengangkatan anak dapat dilakukan sekaligus dengan saudara
kembarnya oleh calon orang tua angkat”
B. TEORI KEPASTIAN DAN KESADARAN HUKUM DALAM
PRAKTIK PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN
PENGADILAN
1. Teori Kepastian Hukum sebagaimana yang telah dikemukakan oleh
Bachsan Mustafa merupakan administrasi hukum negara positif yang
menjamin kepastian hukum untuk seluruh masyarakat. Teori ini dibagi
menjadi beberapa makna yaitu pasti mengenai peraturan hukumnya, pasti
dengan kedudukan hukum dari objek dan subjek hukum, dan mencegah
adanya perbuatan melawan hukum25
. Dalam praktik pengangkatan anak
yang terjadi di tengah-tengah masyarakat tentu harus melihat terlebih
dahulu beberapa aspek yang perlu diperhatikan. Salah satu aspek tersebut
yaitu kesejahteraan terhadap anak yang diangkat. Anak angkat bukan
hanya membutuhkan kasih sayang, pemeliharaan, dan perhatian saja,
tetapi mereka juga membutuhkan perlindungan serta kepastian dimata
hukum yang ditandai dengan penetapan pengadilan. Oleh karena itu teori
kepastian hukum sangat berguna dalam penelitian tentang pelaksanaan
pengangkatan anak.
2. Teori Kesadaran Hukum yang telah dikemukakan oleh Soerjono
Soekanto bahwa kesadaran hukum merupakan kesadaran atau nilai-nilai
yang terdapat dalam diri manusia tentang hukum yang ada atau tentang
hukum yang diharapkan ada. Pada penekanan ini adalah nilai-niai tentang
fungsi hukum dan bukan suatu penilaian hukum terhadap kejadian-
25
Bachsan Mustafa, Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia, (Bandung:
Cipta Aditya Bakti, 2001), h., 53.
20
kejadian yang konkrit dalam masyarakat yang bersangkutan26
.
Masyarakat harus menyadari betapa pentingnya mematuhi peraturan
perundang-undangan di Indonesia. Mematuhi pearturan perundang-
undangan bukan hanya untuk kepentingan pemerintah tetapi untuk
menertibkan tatanan kesejahteraan yang merupakan hak seluruh
masyarakat Indonesia. Begitu pula pada proses pengangkatan anak yang
harus melalui penetapan pengadilan, oleh karena itu untuk
membangkitkan kesadaran hukum pada masyarakat khususnya dalam
pelaksanaan pengangkatan anak tentu harus dibantu pula oleh pemerintah
setempat agar seluruh masyarakat sadar akan hukum yang telah
ditetapkan. Dari permasalahan tersebut, maka teori kesadaran hukum
akan berguna dalam penelitian ini.
C. HAK ANAK ANGKAT YANG DIANGKAT TANPA PENETAPAN
PENGADILAN
1. Hak anak angkat dalam hal kewarisan
Dalam permasalahan pengangkatan anak, sangat erat kaitannya
dengan subjek dan objek hukum yang dalam hal ini yaitu antara orang tua
angkat dan anak angkat. Pengangkatan anak sudah menjadi perbuatan hukum
yang sering dilakukan di lingkungan masyarakat di belahan dunia manapun,
khususnya di Indonesia. Tetapi pengangkatan anak ini bukan hanya untuk
kepentingan orang tua angkatnya saja yang ingin mempunyai anak angkat,
justru yang yang harus diperhatikan dalam pengangkatan anak ini adalah hak
anak yang diangkat.
Hak antara anak kandung dan anak angkat itu tidak jauh berbeda,
hanya saja perbedaannya terdapat dalam beberapa hal tertentu saja. Contoh
salah satu perbedaannya yaitu dalam hal kewarisan bahwa anak angkat tidak
bisa saling waris mewarisi dengan orang tua angkat. Menurut yurisprudensi
Mahkamah Agung, seorang dapat dinyatakan sebagai anak angkat dari kedua
orang tua angkatnya, bilamana ia telah dibesarkan, dikhitankan, dikawinkan,
26
Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, (Jakarta: CV.
Rajawali, 1982), h., 154.
21
bertempat tinggal bersama, dan telah mendapatkan hibah dari orang tuanya
(orang tua angkatnya)27
.
Pengangkatan anak dalam permasalahan kewarisan harus
diperhatikan. Jangan sampai masyarakat salah kaprah tentang anak angkat
yang seharusnya tidak bisa saling mewarisi dengan orang tua angkat. Anak
angkat mempunyai hak dalam hal kewarisan hanya melalui wasiat wajibah
dengan 1/3 harta dari orang tua angkatnya. Sebagaimana didalam Kompilasi
Hukum Islam pasal 209 ayat (2) tentang hak anak dari orang tua angkat yang
sudah meninggal, yang berbunyi : “Terhadap anak angkat yang tidak
menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta
warisan orang tua angkatnya”28
.
Pengangkatan anak yang dilakukan dengan tata cara dan motivasi
yang salah dari orang tua angkat yang minim pengetahuan tentang
pengangkatan anak akan menimbulkan akibat hukum yang dapat
mempengaruhi kehidupan antara anak angkat dan orang tua angkat. Dalam
pengangkatan anak berarti adanya orang lain yang masuk ke dalam anggota
keluarga orang tua angkat, yang apabila dilakukan dengan motivasi yang
salah akan menimbulkan permusuhan antar keturunan dalam keluarga
tersebut.
Akibat hukum yang bisa menimbulkan permusuhan antar keturunan
di dalam keluarga yang melakukan pengangkatan anak tanpa pengetahuan
tentang tata cara pengangkatan anak yang baik, salah satu contohnya yaitu
dalam hal kewarisan, yang seharusnya anak angkat tidak mendapatkan
warisan tetapi masuk kedalam anggota ahli waris, sehingga anggota ahli
waris yang seharusnya mendapat warisan akan menutup bagian ahli waris
yang seharusnya.
27
Soedaryo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga (Perspektif Hukum Perdata/BW
Hukum Islam dan Hukum Adat), (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h.,.37. 28
Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta:Dirjen Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam, 1997/1998), h., 90.
22
2. Hak anak angkat dalam perwalian pernikahan
Anak angkat pada hakikatnya mempunyai hak yang sama dengan
anak kandung, khususnya untuk anak angkat perempuan yang salah satunya
memiliki hak adanya wali dalam pernikahan. Wali dalam pernikahan untuk
anak angkat, wali nikahnya tetap harus ayah kandungnya. Tetapi apabila
tidak ada ayah kandungnya, maka yang menjadi wali nikah yaitu wali nasab
dari ayahnya seperti kakak, kakek, atau pamannya.
3. Hak anak angkat dalam legalitas hukum
Pengangkatan anak merupakan perbuatan hukum yang sudah ada
aturannya dalam perundang-undangan, sehingga semua masyarakat yang
melakukan pengangkatan anak harus sesuai dengan peraturan perundang-
undangan. tetapi dewasa ini sering sekali melakukan pengangkatan anak
yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Salah satu
contohnya yaitu mengangkat anak tanpa penetapan pengadilan.
Menurut Soedaryo Soimin, dalam bukunya Himpunan Dasar Hukum
Pengangkatan Anak, mengatakan bahwa “Untuk menjamin kebutuhan
masyarakat semakin tinggi dalam memiliki seorang anak maka untuk
menjamin kepastian hukum terhadap orang tua yang mengangkat dan anak
yang diangkat hanya akan didapat setelah memperoleh penetapan dan / atau
putusan pengadilan”29
.
Seorang anak angkat berhak mempunyai legalitas hukum yang
memayungi anak angkat tersebut apakah ia diangkat sesuai perundang-
undangan yang berlaku atau tidak. Sehingga apabila anak tersebut
mendapatkan kepastian hukum, maka apabila ada gugatan atau
persengketaan di pengadilan antara anak angkat dan orang tua angkat dapat
di selesaikan di muka pengadilan.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang
pelaksanaan pengangkatan anak, yang berbunyi :
29
Soedaryo Soimin, Himpunan Dasar Hukum Pengangkatan Anak, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2004), h., 28.
23
Pasal 1 Angka 1 “Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan
dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah atau
orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan
membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua
angkatnya berdasarkan keputusan atau penetapan pengadilan”.
Pasal 9 ayat (2) “pengangkatan anak berdasarkan adat kebiasaan
setempat dapat dimohonkan melalui penetapan pengadilan”Dari
Peraturan Pemerintah diatas, sudah seharusnya pengangkatan anak
dilakukan melalui penetapan pengadilan.
Demi terwujudnya hak anak angkat yang mendapatkan perlindungan
hukum dan untuk terwujudnya kewajiban serta kasih sayang orang tua
angkat yang peduli terhadap anak angkatnya dengan melakukan
pengangkatan anak yang legal serta mendapat kepastian dimata hukum.
D. Sejarah Pengangkatan Anak
Pengangkatan anak yang dilakukan masyarakat Indonesia maupun di
dunia sejak zaman dahulu sudah sering dipratekkan dikehidupan sehari-hari
dalam usaha mereka untuk mencapai tujuan yang beragam. Bahkan jauh
sebelum Islam berkembang sudah mengenal adanya pengangkatan anak.
Adopsi atau pengangkatan anak sudah banyak dikenal oleh masyarakat di
seluruh penjuru dunia sehingga sudah bukan hal yang aneh lagi masalah
pengangkatan anak dilakukan oleh sebagian masyarakat di seluruh dunia. Hal
ini bahkan sudah menjadi tradisi dan dipraktikkan oleh masyarakat dan
bangsa-bangsa lain sebelum kedatangan Islam, seperti yang dipraktikkan
bangsa Yunani, Romawi, India, dan beberapa bangsa pada zaman kuno.30
1. Pengangkatan anak pada masa bangsa Romawi dan Mesir kuno
Pada masa beberapa bangsa zaman kuno, sudah banyak yang
melakukan praktik pengangkatan anak. Contoh halnya yang telah terjadi
pada masa bangsa Romawi dan Mesir kuno. Pengangkatan anak yang
dilakukan pada bangsa Romawi kuno yang memiliki upacara pengangkatan
30
Andi Syamsu dan Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif
Islam,(Jakarta : Kencana, 2008), Cet. 1, h., 22.
24
anak yang bervariasi. Seperti pengangkatan Heraclius oleh Hera, yang
diceritakan Diadorus, masih terus berlangsung seperti kini dilakukan oleh
penduduk Romawi, dimana anak yang diangkat di bawah ke istana dan
melewati BH (BH dilewatkan di atas kepala anak) ibu yang mengangkatnya.
Maka ia pun telah sah menjadi anak kesayangan ibu angkatnya31
.
Begitu pula yang terjadi pada bangsa Mesir kuno yang telah
diabadikan dalam Al-Qur‟an. Dikisahkan pada masa mesir kuno, terdapat
seorang bayi yang hanyut terbawa arus air Sungai Nil hingga masuk ke
dalam taman pemandian permaisuri raja. Karena permaisuri dan sang raja
tidak mempunyai keturunan, berkenanlah baginda raja mengambil bocah
yang hanyut tersebut untuk dijadikan anak angkat. Dididik dan dipeliharalah
anak itu dalam istana kerajaan, sehingga menjadi manusia yang cerdas.
Namun akhirnya anak angkat yang dalam perjalanan hidupnya meneruskan
agama nenek moyangnya Nabi Ibrahim, sedangkan Ramses II bertahan
dengan ambisinya, bahwa ia adalah tuhan. Maka terjadilah permusuhan
antara anak dan orang tua angkatnya yang berakhir kematian ayah angkatnya
secara tragis. Itulah penggalan kisah yang diabadikan Allah SWT dalam
kitab suci Al-Qur‟an32
.
2. Pengangkatan anak pada masa Rasulullah SAW
Pengangkatan anak dalam sejarah agama Islam sudah ada sejak masa
Rasulullah SAW. Ketika itu beliau mengangkat seorang anak yang telah
dimerdekakan dari status sebelumnya sebagai budak. Rasulullah SAW
terlebih dahulu memerdekakannya dan kemudian mengangkat anak tersebut,
dalam beberapa riwayat beliau memperoleh anak tersebut berkat hadiah dari
istri Rasulullah SAW yaitu Khadijah binti Khuwailid ketika anak itu masih
berstatus sebagai budak.
Zaid bin Haritsah adalah mantan budak Rasulullah SAW yang
kemudian diangkat menjadi anak angkatnya. Dikisahkan bahwa Hakim bin
31
Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan dari Tiga Sistem Hukum, (Jakarta :
Sinar Grafika, 2002), Cet ke-4., h., 39 32
Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan dari Tiga Sistem Hukum, h., 69
25
Hisyam bin Khuwailid tiba di Syam dengan membawa budak-budak
diantaranya Zaid bin Haritsah dan seorang anak yang belum baligh.
Kemudian bibi Hakim, Khadijah binti Khuwailid, istri Rasulullah SAW
bertandang ke rumahnya. Hakim berkata kepada Khadijah, „Bibi, pilihlah
mana diantara dua orang tersebut yang engkau sukai, maka ia jadi milikmu‟.
Khadijah memilih zaid kemudian mengambilnya. Rasulullah SAW
mengetahui Khadijah mempunyai Zaid, lalu beliau meminta Khadijah
menghadiahkan Zaid kepada beliau. Khadijah pun menghadiahkan Zaid
kepada Rasulullah SAW kemudian beliau memerdekakan Zaid dan
mengadopsinya. Ini terjadi sebelum wahyu turun kepada beliau33
. Demikian
pula pengangkatan anak pernah dilakukan oleh salah satu sahabat nabi
bernama Huzaifah yang telah mengangkat seorang anak bernama Salim dan
hal itu mendapat persetujuan dari Nabi Muhammad SAW.34
3. Pengangkatan anak pada masa penjajahan Belanda di Indonesia
Pengangkatan anak di Indonesia pada masa pemerintahan Hindia
Belanda sudah banyak terjadi di Indonesia, khususnya yang terjadi pada
masyarakat keturunan Cina di Jawa dan sekitarnya. Pengangkatan anak yang
dilakukan orang-orang keturunan cina yang hidup di Indonesia khususnya
daerah Jawa dan sekitarnya, dengan dasar hukum adat yang telah berlaku di
daerah Cina selatan tanpa melihat pada peraturan pengangkatan anak dalam
Staatsblad Nomor 129 Tahun 1917 yang sudah ditetapkan oleh pemerintah
Hindia Belanda. Dalam praktiknya, mereka yang berhak mengangkat anak
tidak ada batasannya sehingga seorang laki-laki yang mempunyai banyak
anak dari istri tuanya, boleh melakukan pengangkatan anak terhadap anak
keturunan Cina ataupun keturunan asli Indonesia35
.
Adanya pengangkatan anak sejak zaman dahulu sudah menjadi bukti
nyata bahwa pesan historis yang terdapat di masa lalu sudah tersampaikan
33
Abu Muhammad Abdul Malik bin Hisyam Al-Muafiri, As-Sirah An-
Nabawiyah li Ibni Hisyam. Penerjemah Fadhil Bahri, Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam Jilid
I, (Bekasi: Darul Falah, 2013), h., 211. 34
Musthofa Sy, Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama, h., 37 35
Ahmad Kamil dan M. Fauzan, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak
di Indonesia, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2008), h., 20
26
kepada seluruh masyarakat di dunia saat ini. Bukti nyata tersebut sejatinya
sudah sering dilakukan oleh sebagian keluarga dipenjuru dunia yang pada
umumnya bertujuan untuk melanjutkan keturunan dan untuk kepentingan
kesejahteraan anak tersebut atau keluarga anak yang diangkat.
E. Pengangkatan Anak Dalam Hukum Islam
Pengambilan atau pengangkatan anak angkat artinya menghubungkan
keturunan seorang anak dengan seorang bapak, baik anak itu sudah diketahui
keturunannya atau tidak diketahui. Bapak itu berterus terang mengatakan
bahwa anak itu adalah anak angkatnya, bukan anak kandungnya. Cara yang
demikian itu sudah berlaku dikalangan masyarakat pada Zaman Jahiliyah atau
Zaman Pra-Islam. Anak angkat itu sama derajatnya dengan anak kandung36
.
Dan kebiasaan itu terus berlanjut dan berlaku sampai pada masa Permulaan
Islam, dan baru berakhir setelah turunnya firman Allah SWT Q.S. Al-Ahzab
(33): 4:
و لرجل من ق لب ي ف جوفو هن تظهرون ال ي ازواجكم جعل وما ما جعل الل من
تكم لكم اب نا ءكم ادعيا ءكم جعل وما ام ه و باف واىكم ق ولكم ذ وىو الق ي قول والل
ل الس بي ي هدى
Artinya: “Allah tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam
rongganya, dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu dzihar itu
sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak
kandungmu. Yang demikian itu hanyalah perkataan di mulutmu saja, dan
Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan yang lurus”.
Dari penggalan ayat diatas, Allah telah menegaskan dan memberikan
pemahaman bahwa anak yang telah diangkat itu sama sekali tidak boleh
disamakan posisinya sebagai anak kandung. Tidak diperbolehkan bagi orang
tua angkat menjadikan anak angkat menjadi anak kandung dan serta dapat
saling mewarisi antara anak dan orang tua angkat. Hukum Islam sangat
36
Zakariya Ahmad Al Barry, Hukum Anak-Anak Dalam Islam, (Jakarta : Bulan
Bintang, 1977), Cet. 1, h., 31.
27
melarang pengangkatan anak seperti itu sebagaimana praktik pengangkatan
anak yang dikenal oleh hukum Barat/hukum sekuler dan praktik masyarakat
jahiliyah.
Dalam hukum pengangkatan anak, salah satunya bahwa pengangkatan
anak tidak dapat memutus hubungan nasab seorang anak angkat dengan orang
tua kandungnya. Serta anak angkat tidak bisa memakai nasab orang tua
angkatnya dengan tidak menambahkan nama ayah angkatnya di dalam nama
anak angkat tersebut. Sebagaimana yang ditegaskan dalam firman Allah Q.S.
Al-Ahzab (33): 5:
ين آءاب آ ت علوو ل ٱلل و فإن ئهم ىو أقسط عند آب ل ٱدعوىم نكم ف ٱلد ءىم فإخو
ليكم ول كم وكان ٱلل و غفورا ولكن م ا ت عو دت ق لوب ۦأخطأت بو آيس عليكم جناح فيو ومو
ر حيوا
Artinya: “Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan memakai nama
bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil pada sisi Allah dan jika kamu
tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka) sebagai
saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu, dan tidak ada dosa atasmu
terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang
disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”.
Ayat diatas menyampaikan pesan kepada keluarga muslim bahwa
Allah tidak membolehkan anak angkat memakai nama ayah angkatnya.
Sebagaimana yang dikisahkan sahabat nabi yakni Zaid bin Haritsah yang
tidak memakai nama nabi Muhammad SAW sebagai ayah angkatnya,
melainkan tetap memakai nama ayah kandungnya yakni Haritsah. Sebelum
ayat tersebut diturunkan, para sahabat nabi memanggil Zaid dengan nama
Zaid bin ayah angkatnya. Sebagaimana dinyatakan oleh Rasulullah SAW.
dalam Hadits Riwayat Bukhari
28
عت الن ب صل ى الله عليو و سل م ي قول : من عن سعد رضي الل و عنو قال : س
ر أبيو, فالن ة عليو حرم .)رواه البخاري( اد عى إل غي أبيو, وىو ي علم أن و غي
Artinya: “Barang siapa yang memanggil (Mendakwakan) dirinya sebagai
anak dari seseorang yang bukan ayahnya, yang sudah diketahui bahwa dia
bukanlah ayahnya, kelak (Allah SWT) akan mengharamkan baginya surga
(H.R Bukhari)37
.
Masalah kewarisan dalam kaitannya dengan pengangkatan anak sudah
sering menjadi prolematika yang harus diselesaikan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Dalam hukum Islam, anak angkat
tidak ada hubungan mahram dengan orang tua angkat, begitupun sebaliknya.
Secara otomatis disebabkan tidak adanya hubungan mahram antara orang tua
angkat dan anak angkat maka antara orang tua angkat dengan anak angkat
tidak bisa saling mewarisi satu sama lain.
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), telah diatur tentang
permasalahan bahwa anak angkat dan orang tua angkat tidak bisa saling
mewarisi. Yang telah diatur dalam KHI pasal 209 ayat (2) tentang hak anak
dari orang tua angkat yang sudah meninggal, yang berbunyi : “Terhadap anak
angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-
banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya”38
.
Dengan adanya peraturan yang terdapat dalam KHI diatas, telah jelas
bahwa antara anak dan orang tua angkat tidak bisa saling mewarisi.
Sedangkan anak angkat mendapatkan harta orang tua angkatnya yang sudah
meninggal dengan melalui wasiat wajibah yang hanya mendapatkan 1/3 dari
harta orang tua angkatnya. Serta disini juga menjadi jelas bahwa anak angkat
hanya mendapatkan hak dan kewajiban dari orang tua angkat dalam hal
pemeliharaan dan pendidikan saja. Sedangkan untuk masalah perwalian
37
Imam Abi Abdullah Muhammad ibn Ismail Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari,
(Beirut: Dar ibn Katsir littaba‟ah wa al-Nasyri wa al-Tauzi, 2002), hadits ke 2766, h.,
326. 38
Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Dirjen Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam, 1997/1998), h., 90.
29
dalam pernikahan dan kewarisan, anak angkat tetap berhubungan dengan
orang tua kandung.
F. Pengangkatan Anak Dalam Hukum Adat
Pengangkatan anak sudah bukan masalah yang baru lagi di kehidupan
masyarakat di seluruh Negara di dunia, khususnya di Indonesia.
Pengangkatan anak sejak zaman dahulu sudah banyak dilakukan oleh
masyarakat Indonesia, bahkan sebelum adanya hukum positif yang mengatur,
masyarakat di Indonesia sudah melakukan pengangkatan anak dengan cara
dan motivasi yang berbeda-beda dan dengan berlandaskan hukum adat yang
berlaku di setiap daerah di Indonesia. Pengangkatan anak dalam hukum Adat
sering di definisikan sebagai upaya mengangkat anak orang lain untuk diasuh,
dididik, dan diperlakukan seperti anak sendiri.
Dalam hukum adat sendiri apabila istilah pengangkatan anak atau
adopsi ini disandingkan dengan hukum Islam, maka pengertian dan
prinsipnya terdapat perbedaan definisi yang saling bertentangan. Perbedaan
tersebut salah satunya yaitu hukum adat lebih mengenal adopsi yang dapat
menimbulkan hak mewaris bagi anak angkat, sedangkan dalam hukum Islam
tidak mengenal hal tersebut39
.
Prinsip hukum adat dalam suatu perbuatan hukum adat adalah terang
dan tunai. Terang, ialah suatu prinsip legalitas, yang berarti bahwa perbuatan
hukum itu dilakukan dihadapan dan diumumkan di depan orang banyak,
dengan resmi secara formal, dan telah dianggap semua orang mengetahuinya.
Sedangkan kata tunai, berarti perbuatan itu akan selesai seketika pada saat itu
juga, tidak mungkin ditarik kembali.40
1. Praktik pengangkatan anak di beberapa daerah
Terdapat berbagai macam tata cara pengangkatan anak atau adopsi di
beberapa daerah di Indonesia. Banyaknya suku dan budaya di Indonesia itu
bisa menjadi pengaruh adanya perbedaan tata cara pengangkatan anak di
39
Bastian Tafal, Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat: Serta Akibat
Hukumnya di Kemudian Hari, (Jakarta: Rajawali, 1989), Cet. 2 h., 17. 40
Bushar Muhammad, Pokok-pokok Hukum Adat, (Jakarta : Pradnya Paramita,
1981), h., 29.
30
suatu daerah dengan daerah yang lainnya. Pengangkatan anak atau adopsi di
dalam masyarakat adat ada yang melakukannya dengan tertulis maupun tidak
tertulis, sesuai kesepakatan bersama antara kedua belah pihak.
Contoh praktik pengangkatan anak di desa Banjaragung (kabupaten
serang), di kota Pandeglang, di desa Menes (kabupaten Pandeglang), di kota
Jakarta, Jatinegara, dan Cianjur, di desa Cibinong dan Jasinga (kabupaten
Bogor), desa Cipanas (kabupaten Cianjur), desa Panjalu (kabupaten Ciamis),
desa Tuk dan Luwuk (kabupaten Cirebon) melakukan pengangkatan anak
atau adopsi dengan cara penyerahan anak oleh orang tuanya kepada yang
mengangkatnya, tanpa disaksikan orang-orang yang khusus dipanggil untuk
keperluan itu, tanpa upacara, tanpa surat, pendek kata tanpa bentuk tertentu.
Tetapi pengangkatan anak itu cepat diketahui diantara para tetangga41
.
Selanjutnya contoh pengangkatan anak di Lampung yang
melakukannya dengan mengadakan upacara pemotongan kerbau yang
dihadiri oleh anggota keluarga. Kemudian di Lahat (Palembang),
pegangkatan anak dilakukan dengan dihadiri oleh Keiro, khotib, dan
keluarga sedusun. Adopsi adakalanya dilakukan secara tertulis dan adapula
yang tidak, sesuai dengan permintaan keluarga, asalkan semua itu
diumumkan kepada masyarakat sekitar dan dilanjutkan dengan adanya
sedekahan. Begitu pula di kecamatan Lembung Utara dan Selatan,
Kepahiyang dan Curup (Sumatera Selatan), pengangkatan anak dilakukan
dengan mengadakan suatu penjamuan dengan mengundang Kutai, yaitu
ketua adat di marga yang bersangkutan (pasirah) dengan cara memotong
kambing dan memasak Serawa, yaitu beras ketan yang dicampur dengan
kelapa dan gula merah42
.
Didalam praktik pengangkatan anak yang terdapat di lingkungan
masyarakat adat motivasinya beragam. Tetapi motivasi masyarakat adat
berbeda dengan motivasi pengangkatan anak yang terdapat pada undang-
41
Soepomo, Hukum Perdata Adat Jawa Barat, (Jakarta : PT. Penerbit
Djambatan), h., 24. 42
Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2002), h., 46.
31
undang perlindungan anak yang menitik beratkan bahwa mengangkat anak
harus disertai dorongan motivasi semata-mata hanya untuk masa depan anak
yang diangkat. Dalam hukum adat, motivasi dalam mengangkat anak
dikarenakan oleh kekhawatiran calon orang tua angkat akan kepunahan
(tidak memiliki anak), Oleh sebab itu mereka berupaya untuk mengangkat
anak dari lingkungan kerabatnya dengan proses kekerabatan. Dengan begitu
anak yang diangkat memiliki hak penuh dari orang tua angkatnya sama
halnya seperti anak kandung, serta melepaskan haknya terhadap keluarganya
yang semula. Cara pengangkatan anak ini biasanya dipandu oleh pemuka
adat atau tokoh agama dengan dihadiri pihak keluarga besar atau dihadiri
oleh khalayak ramai.
Di Indonesia, praktik adopsi masyhur dilakukan di kalangan keluarga
di beberapa daerah secara umum, terutama Jawa. Meskipun pelaksanaannya
di satu masyarakat berbeda dengan masyarakat lainnya, terdapat beberapa
prinsip yang dianut secara sama terkait praktik adopsi di Jawa. Prinsip-
prinsip ini mengatur, pertama, bahwa anak yang diadopsi secara otomatis
dianggap dan dimasukkan dalam lingkaran keluarga yang mengadopsi.
Kedua, bahwa hubungan anak yang diadopsi dan orang tua biologisnya
terputus, dan ketiga bahwa kedudukan anak yang diadopsi sama dengan
kedudukan anak biologis43
.
Seluruh daerah di Indonesia memiliki padangan yang sama terhadap
masalah keturunan serta berpendapat bahwa keturunan dalam suatu clan
(suku) sebaiknya tidak boleh terputus. Karena keturunan adalah merupakan
unsur esensial serta mutlak bagi suatu klan (suku) atau kerabat yang
menginginkan dirinya tidak punah, yang menghendaki supaya ada generasi
penerusnya44
.
Oleh sebab itu, apabila ada suatu klan atau suku yang merasa
khawatir tidak memiliki keturunan yang akan mewarisi suatu klan atau
43
Asep Saepudin Jahar dkk, Hukum Keluarga Pidana dan Bisnis, (Jakarta:
Kencana, 2013), h., 88. 44
Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Alfabeta, 2013), h.,
207.
32
kerabat, maka klan tersebut atau kerabat biasanya melakukan pemungutan
anak atau adopsi kepada kerabat yang lain, atau bahkan melakukan
perjanjian serta meminta persetujuan istri agar diizinkan untuk menikah lagi
yang bertujuan untuk mendapatkan keturunan.
33
BAB III
PROFIL MASYARAKAT DESA BOJONG, KECAMATAN KEMANG,
KABUPATEN BOGOR
A. Gambaran Umum dan Letak Geografis Desa Bojong
Desa Bojong adalah salah satu desa di kecamatan Kemang Kabupaten
Bogor Provinsi Jawa Barat dengan luas wilayah 287.12 Ha. Orbitrase jarak ke
kecamatan 4 km, lama jarak tempuh dengan kendaraan bermotor ¼ jam. Jarak
ke kabupaten / kota 16 km lama jarak tempuh dengan kendaraan bermotor
kurang lebih 30 menit. Jarak ke provinsi 120 km, dan lama jarak tempuh
dengan kendaraan bermotor 5,5 jam.
Berdasarkan angka pelaksanaan pengangkatan anak tahun 2015 yang
dilansir kecamatan Kemang menunjukkan secara agregat jumlah
pengangkatan anak di kecamatan Kemang tahun 2015 mencapai 34 kasus.
Dari jumlah tersebut (20 kasus), 7 kasus diantaranya terdapat di desa Bojong.
Berdasarkan data tersebut desa Bojong masuk dalam kelompok desa dengan
jumlah kasus pengangkatan anak paling banyak. Meski demikian,
berdasarkan informasi dari beberapa pihak kemungkinan terdapat kasus-kasus
pengangkatan anak lain yang belum terhimpun dan tercatat secara resmi oleh
pemerintah kecamatan Kemang.
Tabel 3.1 Jumlah Pengangkatan Anak di Kecamatan Kemang
No Nama Desa Jumlah Pengangkatan
Anak
1 Kemang 2
2 Bojong 7
3 Jampang 2
4 Tegal 3
5 Pabuaran 4
6 Atang Sanjaya 3
34
7 Pondok Udik 5
8 Semplak Barat 4
9 Parakan Jaya 4
Sumber : Kantor Desa Bojong Kecamatan Kemang Kabupaten Bogor
Tabel 3.2 Jumlah Penduduk
No Jenis Kelamin Jumlah
1 Laki-laki 7000
2 Perempuan 6519
Jumlah 13.519
Sumber : Kantor Desa Bojong Kecamatan Kemang Kabupaten Bogor
Tabel 3.3 Jumlah Pemeluk Agama
No. Pemeluk Agama Laki-laki Perempuan
1 Islam 6912 6407
2 Kristen 53 70
3 Budha 10 7
4 Katholik 12 18
5 Hindu 8 12
6 Konghucu 5 5
Sumber : Kantor Desa Bojong Kecamatan Kemang Kabupaten Bogor
B. Gambaran Umum Praktik Pengangkatan Anak oleh Masyarakat Desa
Bojong
Pengangkatan anak sudah lazim dilakukan oleh masyarakat Desa
Bojong yang belum memiliki keturunan didalam pernikahannya. Perbuatan
hukum ini sudah sering dilakukan karena beranggapan bahwa hal tersebut
menjadi solusi bagi pasangan suami istri yang mendambakan keturunan untuk
melengkapi suasana rumah tangga yang bahagia. Tentu perbuatan hukum ini
menjadi salah satu faktor bagi keluarga yang belum memiliki keturunan untuk
melakukan pengangkatan anak. Praktik pengangkatan anak khususnya yang
terjadi di Desa Bojong yaitu dilakukan dengan tata cara adat istiadat saja,
35
artinya pegangkatan anak yang dilakukan hanya sebatas kesepakatan antara
keluarga orang tua kandung dengan keluarga orang tua kandung sang anak,
serta tidak sama sekali melanjutkan prosesnya dengan memohonkan
permohonan pengangkatan anak ke pengadilan untuk mendapatkan penetapan
pengadilan.
Pengangkatan anak yang dilakukan tanpa melalui proses penetapan
pengadilan oleh masyarakat Desa Bojong tentu bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang tertuang pada Pasal 20 Peraturan
Pemerintah Nomor 54 tahun 2007 tentang pelaksanaan pengangkatan anak,
yang berbunyi, “permohonan pengangkatan anak yang telah memenuhi
persyaratan diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan penetapan
pengadilan”. Peraturan tersebut seharusnya menjadi rujukan bagi masyarakat
yang ingin memutuskan untuk melakukan pengangkatan anak agar proses
pengangkatan anaknya sah dimata hukum, serta anak yang diangkat akan
mendapatkan jaminan dan kepastian hukum mengenai kedudukannya sebagai
seorang anak angkat.
Dalam aspek pernikahan tentunya seorang anak perempuan akan
dinikahkan oleh orang tuanya, dan seorang bapak dari anak perempuan itulah
yang menjadi wali dari anak perempuannya. Masyarakat Desa Bojong yang
mengangkat seorang anak perempuan menjadikan wali hakim sebagai wali
dari anak angkatnya karena sebagian besar masyarakat Desa Bojong yang
mengangkat anak perempuan sedikit memahami bahwasanya seorang ayah
angkat tidak bisa menjadi wali pernikahan dari anak angkat perempuannya
karena yang berhak menjadi wali pernikahan adalah ayah kandung, saudara
kandung, dan atau wali hakim45
.
Sedangkan dari aspek kewarisan, masyarakat Desa Bojong yang
mengangkat anak menyerahkan harta warisannya kepada ahli waris termasuk
pula anak angkat yang mereka pahami berhak menerima warisan. Bahkan
beberapa masyarakat Desa Bojong yang mengangkat anak berniat apabila
45
Wahyudin, Sekertaris Desa Bojong, Interview Pribadi, Bojong, 23 Oktober
2019, Pukul 15.14.
36
kelak meninggalkan harta warisan, maka akan memberikan warisan tersebut
kepada anak angkatnya sebagaimana memberikan warisan kepada anak
kandung. Tentunya hal tersebut sangat menyalahi aturan hukum kewarisan
Agama Islam maupun peraturan perundang-undangan, karena seorang anak
angkat hanya berhak mendapatkan wasiat wajibah dengan jumlah 1/3 dari
harta orang tua angkatnya.
C. Struktur Masyarakat Desa Bojong
Perkembangan kependudukan Desa Bojong tahun 2015 berjumlah
13.435 dan pada tahun 2017 adalah 13.519 orang, penduduk perempuan
berjumlah 6519 dan pemduduk laki-laki berjumlah 7000 orang, dengan
jumlah kepala keluarga 4.971 KK dengan kepadatan penduduk 7,5 km.
Mayoritas penduduk memeluk Agama Islam dengan jumlah perempuan 6407
sedangkan jumlah penduduk laki-laki berjumlah 6912. Etnis penduduk desa
Bojong adalah suku sunda, adat istiadat yang masih aktif di desa Bojong yaitu
adat dalam perkawinan dan penyembuhan penyakit dengan cara tradisional,
akan tetapi untuk pengobatan dengan cara tradisional sudah jarang dipakai
dan hanya sebagai alternatif saja karena hampir seluruh masyarakat memilih
pengobatan dengan berobat ke dokter.46
Mayoritas penduduk laki-laki tamat SD/sederajat mencapai 750 orang,
tamat SMP/sederajat 150 orang, tamat SMA/sederajat 250 orang, tamat
S1/sederajat 20 orang, tamat S2/sederajat 2 orang dan mayoritas penduduk
perempuan tamat SD/sederajat mencapai 850 orang, tamat SMP/sederajat 250
orang tamat SMA/sederajat 354, tamat S1/sederajat 4 orang.
Tabel 3.4 Tingkat Pendidikan
No. Pendidikan Jumlah
Laki-laki Perempuan
1 SD/sederajat 750 850
2 SMP/sederajat 150 250
3 SMA/sederajat 250 354
46
Wahyudin, Sekertaris Desa Bojong, Interview Pribadi, Bojong, 26 Juli 2019.
37
4 S1/sederajat 9 8
5 S2 2 0
Sumber : Kantor Desa Bojong Kecamatan Kemang Kabupaten Bogor
Sebagian besar masyarakat desa Bojong berprofesi sebagai buruh
pabrik yang berjumlah 750 laki-laki dan 150 perempuan. Berikut data
tabel pekerjaan masyarakat desa Bojong.
Tabel 3.5 Pekerjaan
No. Jenis Pekerjaan Jumlah
Laki-laki Perempuan
1 Petani 15 5
2 Buruh Tani 712 137
3 Guru 45 55
4 Dosen 2 2
5 PNS 68 80
6 Pedagang Keliling 15 5
7 Pensiunan PNS 15 5
8 Karyawan Swasta 750 250
9 Artis - -
10 Dukun Kampung 1 1
11 Pembantu Rumah Tangga 0 125
12 Pengusaha Kecil/Menengah - -
13 Bidan Swasta - 4
14 Perawat Swasta 15 20
15 Dokter - -
16 Sopir 45 -
17 Tukang Ojek 85 -
18 Buruh Bangunan 450 -
19 TNI/Polri 5 -
20 Buruh Pabrik 750 150
Sumber : Kantor Desa Bojong Kecamatan Kemang Kabupaten Bogor
38
Peran serta masyarakat dalam pelaksanaan dan pelestarian hasil
pembangunan, masyarakat turut berpartisipasi dalam pelaksanaan
pembangunan fisik di desa, dan juga penduduk yang terlibat dalam
pelaksanaan proyek padat karya oleh pengelola proyek yang ditunjuk
pemerintah desa atau kabupaten / kota, serta adanya gotong royong
membantu masyarakat tidak mampu atau gotong royong dalam
pembangunan desa.
Adapun kondisi sosial budaya masyarakat Bojong meliputi :
1. Pendidikan
2. Mata Pencaharian
3. Kualitas Keagamaan
Pembagian wilayah administrasi dan bidang pemerintahan desa
Bojong menjadi 10 kampung, 40 RT, dan 14 RW dipimpin oleh seorang
kepala desa dan sekertaris.
Untuk mempermudah melihat fasilitas umum sarana lembaga
kemasyarakatan yang ada di desa Bojong yaitu antara sarana peribadatan,
sarana olah raga, sarana kesehatan, sarana pendidikan, prasarana energi
dan penerangan, serta prasarana dan sarana kebersihan dapat dilihat dari
tabel berikut ini :
Tabel 3.6 Sarana Peribadatan
No. Sarana Jumlah
1 Masjid 14 Buah
2 Musholla 16 Buah
3 Gereja Kristen Protestan -
4 Gereja Katholik 1 Buah
5 Vihara -
6 Pura -
7 Klenteng -
Sumber : Kantor Desa Bojong Kecamatan Kemang Kabupaten Bogor
39
Tabel 3.7 Sarana Pendidikan
No. Sarana Jumlah
1 Gedung SMA/sederajat 1 Buah
2 Gedung SMP/sederajat 2 Buah
3 Gedung SD/sederajat 6 Buah
4 Gedung TK 8 Buah
5 Gedung Tempat Bermain Anak -
6 Jumlah Lembaga Pendidikan Agama 2 Buah
7 Jumlah Perpustakaan Keliling -
8 Perpustakaan Desa -
9 Taman Baca -
Sumber : Kantor Desa Bojong Kecamatan Kemang Kabupaten Bogor
D. Kondisi Sosial Keagamaan
Kondisi keagamaan pada sebagian keluarga miskin yang ada di desa
Bojong dapat digolongkan sebagai kelompok yang mengaktualisasikan nilai-
nilai sosial keagamaan secara baik. Terbukti kehidupan sehari-hari rukun
antar sesama. Sifat gotong royong sangat menonjol sekali, apabila diantara
mereka melaksanakan hajatan / acara pernikahan atau musibah kematian,
dengan sukarela mereka gotong royong membantu sesamanya. Untuk
pelaksanaan ritual keagamaan seperti sholat lima waktu, sholat jum‟at dan
sholat hari raya, sarana peribadatan di desa Bojong sangat mencukupi. Baik
itu sarana peribadatan seperti masjid, mushola, ataupun gereja yang sudah
dibangun cukup lama dengan gotong royong dan bantuan dana dari warga
masyarakat desa Bojong.
Dari segi kegiatan keagamaan kondisinya cukup beragama di desa
Bojong, berdasarkan pengamatan di lapangan, warga masyarakat desa Bojong
senantiasa aktif menghadiri kegiatan keagamaan rutin seperti pengajian,
pengajian rutin ataupun yang tidak, seperti kegiatan Peringatan Hari Besar
Islam (PHBI), Isra Mi‟raj, Tahun Baru Islam dan sebagainya. Diantara
kegiatan keagamaan yang secara rutin diikuti masyarakat desa Bojong yaitu
sekolah pendidikan agama Islam anak-anak di madrasah / TPA, pengajian
40
ibu-ibu seminggu tiga kali, pengajian bapak-bapak dan remaja. Dari adanya
kegiatan keagamaan yang sangat baik ini, sangat disayangkan tidak sejalan
dengan peningkatan pengetahuan keagamaan masyarakat desa Bojong, bahwa
bahasan kajian di setiap tempat pengajian hanya sebatas membahas masalah
keagamaan yang mendasar seperti sholat, zakat, ataupun puasa, tetapi tidak
membahas hal-hal keagamaan yang lebih terperinci47
.
47
Hasil Observasi.
41
BAB IV
PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILAN
(IMPLEMENTASI PP NOMOR 54 TAHUN 2007 TENTANG
PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK)
A. Praktik Pengangkatan Anak Di Desa Bojong
1. Proses Pengangkatan Anak
Pengangkatan anak adalah perpindahan hak asuh anak, pendidikan
dan tanggung jawab dari keluarga kandung sang anak kepada keluarga yang
mengangkat anak tersebut dengan tata cara adat setempat serta memohonkan
pengangkatan anak tersebut ke pengadilan untuk mendapatkan penetapan
pengadilan. Dan pengangkatan anak juga merupakan suatu perbuatan hukum
yang sangat bermanfaat bagi sebagian pasangan suami istri, karena hal ini
menjadi solusi bagi pasangan suami istri yang ingin mempunyai seorang anak
untuk hadir ditengah-tengah keluarga mereka. Dan juga pengangkatan anak
akan menjadi berkah bagi sang anak yang nasibnya tidak mendapatkan kasih
sayang dari orang tua ataupun yang tidak mendapatkan pendidikan yang baik
untuk bisa melanjutkan kehidupan yang lebih baik.
Indonesia merupakan negara hukum yang mengatur dan memaksa
masyarakat yang melakukan perbuatan hukum untuk senantiasa mematuhi
peraturan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
Perbuatan hukum yang dilakukan semua kalangan masyarakat di Indonesia
harus berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan,
karena tentunya itu merupakan suatu kewajiban bagi seluruh rakyat
Indonesia, sehingga tidak menimbulkan perbuatan melanggar hukum yang
bisa merugikan diri sendiri ataupun orang-orang di sekitarnya. Salah satu
perbuatan hukum yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan
yaitu pelakasanaan pengangkatan anak, yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 Tentang pelaksanaan pengangkatan anak.
42
Dalam PP No.54 Tahun 2007 terdapat peraturan yang mengatur
tentang pelaksanaan pengangkatan anak. Dalam peraturan tersebut yang
terdapat pada Pasal 2 mengatur bahwa praktik pengangkatan anak dapat
dilaksanakan berdasarkan adat kebiasaan setempat. Sebagaimana data
wawancara yang penulis peroleh di desa Bojong bahwa hampir semua
masyarakat desa Bojong mengangkat anak dengan cara adat setempat yang
hanya mengangkat anak secara kekeluargaan, yaitu hanya dilakukan dengan
kesepakatan antara orang tua kandung dan orang tua angkat sebagai tanda
bahwa seluruh tanggung jawab pemeliharaan, kesejahteraan, dan
perlindungan sang anak beralih seluruhnya kepada orang tua angkat.
Pelaksanaan pengangkatan anak di desa Bojong pada praktiknya
hanya dilakukan dengan cara kekeluargaan antara orang tua kandung si anak
dengan orang tua angkat, dan proses tersebut tanpa melalui penetapan
pengadilan48
. Hal ini justru sangat bertentangan dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 54 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, sebagaimana yang
tercantum pada Pasal 9 ayat (2) yang berbunyi “Pengangkatan anak
berdasarkan adat kebiasaan setempat dapat dimohonkan penetapan
pengadilan”. Akan tetapi mayoritas masyarakat khususnya masyarakat desa
Bojong melakukan pengangkatan anak hanya dilakukan sesuai adat setempat,
tidak ada keinginan untuk memohonkan penetapan pengadilan.
Perbuatan hukum tentang pengangkatan anak yang dilakukan
masyarakat Desa Bojong dengan tidak memohonkan pengangkatan anak
tersebut ke pengadilan merupakan hal yang tidak sesuai dengan hukum positif
di Indonesia. Kasus seperti ini merupakan bukti dari lemahnya kesadaran
masyarakat terhadap hukum. Kesadaran hukum sangat penting kedudukannya
dalam membantu masyarakat taat terhadap hukum. Sebagaimana teori
kesadaran hukum yang dikemukakan oleh Soejono Soekanto berpendapat
bahwa kesadaran hukum dianggap merupakan mediator antara hukum dan
48
Hasil wawancara informan.
43
perilaku manusia baik secara individu maupun kolektif49
. Karena kesadaran
hukum diharapkan dapat mendorong seseorang dalam mematuhi dan
melaksanakan apa yang diperintahkan hukum dan tidak melaksanakan apa
yang dilarang oleh hukum.
Dalam proses pelaksanaan pengangkatan anak melalui penetapan
pengadilan, terdapat batas akibat hukum pengangkatan anak produk
Pengadilan Agama dengan produk Pengadilan Negeri. Perbedaan prinsip
hukum pengangkatan anak yang dimohon dan diputus Pengadilan Agama
dengan Pengadilan Negeri tentu akan menimbulkan perbedaan pemahaman
khususnya dalam hukum Islam. Untuk mengetahui perbedaan positif dan
negatif akibat hukum pengangkatan anak yang dilakukan antara Pengadilan
Agama dengan Pengadilan Negeri dalam pandangan Hukum Islam, dijelaskan
perbedaanya dalam bentuk tabel berikut50
:
No Aspek/Unsur Penetapan Pengadilan
Agama
Penetapan Pengadilan
Negeri
1. Hubungan
Nasab
- Nasab anak angkat tidak
putus dengan nasab
orang tua kandung dan
saudara-saudaranya.
- Yang beralih dari anak
angkat terhadap orang
tua angkatnya hanyalah
tanggung jawab
kewajiban pemeliharaan,
nafkah, pendidikan, dan
lain-lain.
- Nasab anak angkat
putus dengan nasab
orang tua kandung dan
saudara-saudaranya,
serta akibat-akibat
hukumnya.
- Nasab anak angkat
beralih menjadi nasab
orang tua angkat dan
saudara serta anaknya.
Dengan segala akibat-
49
Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, (Jakarta: CV.
Rajawali, 1982), h. 154. 50
Ahmad Kamil dan H.M. Fauzan, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan
Anak di Indonesia, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2008), h. 9.
44
- Anak angkat tetap
dipanggil dengan
bin/binti orang tua
kandung.
akibat hukumnya.
- Anak angkat dipanggil
dengan bin/binti orang
tua angkatnya
2. Perwalian
- Orang tua angkat hanya
menjadi terbatas
terhadap diri, harta,
tindakan hukum, dan
tidak masuk wali nikah
jika anak angkat ini
perempuan.
- Orang tua angkat
menjadi wali penuh
terhadap diri, harta,
tindakan hukum, dan
wali nikah atas anak
angkatnya.
3. Hubungan
Mahrom
- Anak angkat boleh
dinikahkan dengan orang
tua angkatnya, juga
boleh dinikahkan dengan
anak kandung atau anak
angkat lain dari orang
tua angkatnya.
- Anak angkat tidak
boleh dinikahkan
dengan orang tua
angkatnya, juga tidak
boleh dinikahkan
dengan anak kandung
atau anak angkat dari
orang tua angkat.
4. Hak Waris
- Anak angkat tidak boleh
menjadi ahli waris orang
tua angkatnya. Tapi anak
angkat dapat
memperoleh harta
warisan orang tua
angkatnya melalui wasiat
wajibah.
- Anak angkat dapat
menjadi ahli waris
terhadap harta warisan
orang tua angkatnya,
sebagaimana hak-hak
dan kedudukan yang
dimiliki anak kandung.
Dari kelima informan yang telah diwawancara, dalam hal tata cara
pengangkatan anak sebagaimana penuturan dari bapak Soprin, pengangkatan
anak yang dilakukan oleh bapak Soprin yaitu dengan proses kekeluargaan
45
yakni hanya sebatas pertemuan antara keluarga kandung sang anak angkat
dengan keluarga bapak Soprin. Ketika anak tersebut lahir, bapak Soprin
datang ke rumah orangtua kandungnya dan menjelaskan kepada mereka akan
siap mengurus segalanya untuk sang anak dan menjadikan anak tersebut
menjadi anak angkatnya, sebagaimana yang telah disepakati sebelum anak
tersebut lahir51
.
Sementara proses pengangkatan anak yang dilakukan keluarga Ibu
Sumarni yaitu dengan cara kekeluargaan sesuai wasiat dari Ibu kandungnya,
tidak seperti bapak soprin yang mengangkat anak dengan keluarga yang
belum dikenal sebelumnya, tetapi anak yang diangkat Ibu Sumarni
merupakan keponakannya dari mendiang adik kandung Ibu Sumarni yang
meninggal ketika melahirkan anak tersebut52
. Sama halnya seperti yang
dilakukan keluarga Ibu Fatmawati yakni mengangkat anak dengan proses
kekeluargaan dan anak yang diangkatnya pula masih merupakan
keponakannya dari kakak kandung Ibu Fatmawati. Dalam prosesnya ketika
anak tersebut lahir, oleh orang tua kandungnya diantarkan ke rumah Ibu
Fatmawati dan memintanya untuk merawat dan memelihara seperti anak
sendiri53
.
Pengangkatan anak yang dilakukan dengan orang tua kandung sang
anak yang masih ada hubungan kekerabatan yaitu pengangkatan anak yang
dilakukan oleh Ibu Ifa Ningsih yang mengangkat anak dari orang tua kandung
sang anak yang mana ibu kandungnya masih ada hubungan sepupu dengan
Ibu Ifa. Dalam proses pengangkatan anaknya, bukan ibu ifa yang
menawarkan diri untuk mengambil anak tersebut agar dijadikan anak angkat,
51
Soprin, Keluarga yang mengangkat anak, Interview Pribadi, Bojong, 13
Oktober 2019, Pukul 17.06. 52
Sumarni, keluarga yang mengangkat anak, Interview Pribadi, Bojong, 14
Oktober 2019, Pukul 16.15. 53
Fatmawati, keluarga yang mengangkat anak, Interview Pribadi, Bojong, 15
Oktober 2019, Pukul 11.53.
46
melainkan orang tua kandung sang anak yang mengantarkan anak tersebut
kepada Ibu Ifa untuk dirawat oleh Ibu Ifa54
.
Responden yang terakhir yakni pengangkatan anak yang dilakukan
oleh keluarga Bapak Ahmad, dengan proses yang sama seperti keempat
responden lainnya yaitu mengangkat anak dengan adanya kesepakatan antara
dua belah pihak yakni antara keluarga Bapak Ahmad dengan orang tua
kandung dari anak yang diangkatnya. Pada prosesnya Bapak Ahmad
menawarkan diri kepada orang tua kandungnya untuk mengurus dan
menjadikan anaknya sebagai anak angkat Bapak Ahmad55
. Dari hasil
wawancara yang telah dilakukan kepada kelima responden tersebut,
disimpulkan bahwa pengangkatan anak yang dipraktikkan oleh masyarakat
Desa Bojong dilakukan dengan tata cara adat setempat yaitu hanya sebatas
kesepakatan antara orang tua kandung dan orang tua angkat dengan tujuan
yang beragam. Tentu saja yang dipraktikkan oleh masyarakat Desa Bojong
yang mengangkat anak dengan cara adat setempat tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, sebagaimana pada
Pasal 2 PP No.54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak yang
menerangkan bahwa pelaksanaan pengangkatan anak dapat dilaksanakan
berdasarkan adat kebiasaan setempat56
. Permasalahan ini dapat mengacu pada
teori kesadaran hukum bahwasanya masyarakat Desa Bojong kesadaran
terhadap hukum masih tergolong lemah, padahal dengan kesadaran hukum
akan dapat membuat masyarakat menjadi termotivasi dan mentaati peraturan
perundang-undangan yang ditetapkan oleh negara.
2. Faktor Serta Urgensi Pelaksanaan Pengangkatan Anak
Pengangkatan anak yang dilakukan oleh masyarakat Desa Bojong
sudah tentu disebabkan karena adanya faktor yang melatar belakangi
terjadinya pengangkatan anak di Desa Bojong. Berdasarkan hasil wawancara
54
Ifa Ningsih, keluarga yang mengangkat anak, Interview Pribadi, Bojong, 14
Oktober 2019, Pukul 16.43. 55
Ahmad, keluarga yang mengangkat anak, Interview Pribadi, Bojong, 11
Oktober 2019, Pukul 17.05 56
Peraturan Pemerintah No.54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan
Anak.
47
kepada keluarga yang melakukan pengangkatan anak, beberapa menuturkan
bahwa faktor melakukan pengangkatan anak yakni karena faktor biologis,
faktor kekeluargaan, dan faktor penelantaran anak. Berikut beberapa
penjelasan faktor yang mendorong masyarakat Desa Bojong melakukan
pengangkatan anak :
a. Faktor biologis, faktor yang pertama yang membuat sebuah keluarga
melakukan pengangkatan anak adalah faktor biologis. Faktor ini sudah
menjadi kebiasaan dikalangan masyarakat yang sudah berkeluarga
tetapi belum dikarunai anak, maka solusi yang dilakukan yakni
mengangkat anak dari kerabat dekat atau orang lain yang ingin
anaknya diadopsi. Praktik ini dalam adat masyarakat disebut mancing
karena beranggapan akan mendapatkan anak kandung jika
mengadopsi anak orang lain57
. Hal itu menjadi dasar keluarga Ibu Ifa
dan Ibu Fatmawati melakukan pengangkatan anak. Adapun alasan Ibu
Fatmawati mengangkat anak selain untuk melakuan adat mancing
menurut kepercayaan masyarakat setempat, Ibu Fatmawati merasa
bersyukur melalukan pengangkatan anak karena tidak merasa kesepian
setelah ditinggal pergi oleh suaminya58
.
b. Faktor kekeluargaan, faktor yang kedua ini juga dijadikan masyarakat
untuk melakukan pengangkatan anak. Faktor kekeluargaan ini juga
dijadikan alasan oleh masyarakat melakukan pengangkatan anak
dikarenakan orang tua kandungnya yang kurang mampu memenuhi
kebutuhan sang anak baik pendidikan ataupun hak asuh anak. faktor
inilah yang membuat keluarga Bapak Ahmad mengadopsi seorang
anak yatim59
.
c. Faktor penelantaran anak, faktor ini dijadikan sebab melakukan
pengangkatan anak dikarenakan ibu dari anak tersebut meninggal dan
57
Ifa Ningsih, keluarga yang mengangkat anak, Interview Pribadi, Bojong, 14
Oktober 2019, Pukul 16.43. 58
Fatmawati, keluarga yang mengangkat anak, Interview Pribadi, Bojong, 15
Oktober 2019. 59
Ahmad, keluarga yang mengangkat anak, Interview Pribadi, Bojong, 11
Oktober 2019.
48
ayahnya meninggalkan sang anak tanpa sebab sehingga anak tersebut
tidak ada yang mengurusnya. Itulah yang menjadi sebab keluarga Ibu
Sumarni mengangkat anak tersebut yang masih ada hubungan
kekerabatan60
.
Ketiga faktor itu yang menjadi garis besar yang menyebabkan
sebagian masyarakat Desa Bojong berani memutuskan untuk melakukan
pengangkatan anak. Disamping ketiga faktor tersebut, tentu saja tujuan utama
melakukan pengangkatan anak tidak lain yaitu demi kepentingan yang terbaik
bagi sang anak. Menurut hemat penulis, sebagaimana hasil wawancara yang
telah dilakukan kepada kelima informan, meskipun sebagian dari mereka
merupakan keluarga pra sejahtera tetapi mereka berusaha untuk bisa
memenuhi kebutuhan sang anak seperti anak kandungnya sendiri dengan
sebaik-baiknya.
Sebagaimana yang tertuang dalam Undang – undang Nomor 23 Tahun
2002 Tentang Perlindungan Anak pasal 39 ayat (1) yang berbunyi :
“Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan hanya dapat dilakukan untuk
kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan
setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”61
.
Dalam Undang-undang tersebut, motivasi dasar dalam pengangkatan anak
yaitu demi kepentingan sang anak baik itu dalam pemeliharaannya,
kebahagiaaannya, maupun pendidikannya. Selain itu, pengangkatan anak
dapat dilakukan berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku di tempat
berlangsungnya perbuatan hukum mengangkat anak. Undang-undang tersebut
juga menjelaskan bahwa pengangkatan anak selain dengan tata cara adat
setempat, tetapi juga harus sesuai undang-undang yang berlaku salah satunya
yaitu dengan melalui penetapan pengadilan.
60
Sumarni, keluarga yang mengangkat anak, Interview Pribadi, Bojong, 14
Oktober 2019. 61
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
49
B. Pemenuhan Hak dalam Pengangkatan Anak
Terjadinya pengangkatan anak akan menimbulkan akibat hukum yang
baru karena masuknya objek hukum yang baru dalam hal ini yaitu anak
angkat. Secara otomatis dengan masuknya anak angkat dalam suatu keluarga,
maka akan menimbulkan akibat hukum yang baru yakni adanya hak dan
kewajiban yang harus terpenuhi antara anak angkat dengan keluarga dan
orang tua angkatnya. Dalam ilmu fiqih, hak yang harus terpenuhi ini disebut
dengan Hak Syahshi yaitu kewajiban yang ditetapkan oleh syara‟ terhadap
seseorang untuk kepentingan orang lain. Dalam hak syakhshi terdapat 2 pihak
yang saling berhadapan, yang pertama pihak yang mempunyai kewajiban
(multazim) dan kedua yakni pihak yang mempunyai hak (multazam lahu) 62
.
Hak syakhshi ini bisa lahir karena ketetapan syara‟ (undang-undang)
misalnya hubungan hak dan kewajiban antara orang tua dan anak.
1. Hak anak angkat dalam hal kewarisan
Kewarisan merupakan suatu perbuatan hukum yang sudah menjadi
adat kebiasaan pada masyarakat umum bahkan sejak zaman dahulu sudah
menjadi kebiasaan untuk melanjutkan pemeliharaan harta kepada
keturunannya. Akan tetapi dalam praktiknya berbeda dengan peraturan
kewarisan dalam hukum Islam, yang mana mereka memberikan harta warisan
sepenuhnya kepada sang anak meskipun anak itu berstatus anak angkat
maupun anak kandung. Dalam hukum Islam kewarisan sudah menjadi hukum
mutlak bahkan telah diatur secara rinci dalam Al-Qur‟an tentang pembagian
hartanya, siapa saja yang berhak menerima ataupun yang tidak. Sehingga tidak
begitu saja mewariskan harta warisan kepada siapa saja yang dianggap sebagai
keturunanya.
Warisan yang dimiliki sang anak tidak bisa diwariskan kepada orang
tua angkat karena anak angkat tidak ada hubungan darah dengan orang tua
angkat. Tetapi orang tua angkat hanya bisa mendapatkan harta sang anak
angkat melalui wasiat wajibah. Sama halnya dengan anak angkat yang juga
62
Ah. Azharuddin Lathif, Fiqh Muamalat, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005),
Cet. 1, h., 39.
50
tidak bisa menjadi ahli waris dari orang tua angkat dan hanya mendapatkan
1/3 harta melalui wasiat wajibah, sebagaimana yang telah diatur dalam KHI
pasal 209 baik ayat (1) maupun (2)63
. Tetapi yang terjadi di berbagai daerah di
Indonesia yang masyarakat adatnya menganut agama Islam, masih terdapat
dan belaku pengangkatan anak dimana antara anak angkat dan orang tua
angkat bisa saling mewarisi. Bahkan karena terlalu sayang orang tua kepada
anak angkatnya, warisan sudah berlangsung ketika pewaris masih hidup64
.
Khususnya yang terjadi pada masyarakat Desa Bojong yang bahkan
membagikan secara rata harta warisannya kepada anak-anaknya dengan tidak
memandang apakah yang mendapatkan bagian tersebut merupakan anak
angkat atau anak kandung.
Pembagian harta warisan pada masyarakat Desa Bojong yang
mayoritas beragama Islam, dalam praktiknya tidak berdasar hukum Islam.
Kebanyakan dari mereka hanya membagi sesuai kesepakatan bersama selama
dalam pembagian harta warisan tidak menimbulkan permasalahan dan tidak
memandang apakah ahli waris tersebut anak angkat atau anak kandung65
.
Sebagaimana wawancara kepada keluarga Ibu Sumarni yang akan mewariskan
seluruh hartanya kepada anak angkatnya, dengan alasan karena keluarga Ibu
Sumarni belum memiliki anak kandung dan hanya mempunyai anak angkat
tersebut66
. Sama halnya seperti keluarga ibu Fatmawati yang kelak akan
mewariskan seluruh hartanya kepada anak angkatnya yang sudah berkeluarga,
dikarenakan ibu Fatmawati tidak punya anak kandung atau ahli waris dan
hidup sendiri sehingga tidak ada lagi yang bisa meneruskan harta
peninggalannya67
. Keluarga ibu Ifa Ningsih pun kelak akan membagikan
63
Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum
Indonesia, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), h., 139. 64
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, (Bandung : Penerbit Alumni, 1983),
h., 89. 65
Hasil Observasi 66
Sumarni, keluarga yang mengangkat anak, Interview Pribadi, Bojong, 14
Oktober 2019. 67
Fatmawati, keluarga yang mengangkat anak, Interview Pribadi, Bojong, 15
Oktober 2019.
51
secara rata harta warisan kepada ahli warisnya baik anak kandung ataupun
anak angkat68
.
Berbeda dengan keluarga bapak Soprin dalam pembagian harta
warisan. Yang mana keluarga bapak Soprin mempunyai dua anak kandung
dan satu orang anak angkat. Keluarga bapak Soprin kelak apabila
meninggalkan harta warisan akan membagikan secara rata kepada anak-
anaknya dengan catatan ada perbedaan bagian harta kepada anak angkatnya
dengan jumlah yang tidak bisa ditentukan69
. Pembagian harta warisan yang
kelak akan dilakukan oleh keluarga bapak Soprin memang tidak sesuai dengan
ketentuan pembagian warisan dalam hukum Islam, terlebih anak angkat bapak
Soprin dimasukkan menjadi ahli warisnya setara kedudukan anak angkat
tersebut dengan anak kandungnya meskipun ada perbedaan dalam persentase
pembagian harta warisannya. Pembagian harta warisan keluarga bapak Soprin
sama dengan pembagian yang kelak akan dilakukan keluarga bapak Ahmad
yang akan membagikan hartanya kepada anak angkatnya tetapi jumlah
hartanya dibedakan dengan anak kandungnya70
.
Dalam praktik pembagian harta warisan di Desa Bojong sebagaimana
dari hasil wawancara kelima responden, dalam praktiknya tidak bisa
dibenarkan karena tidak sesuai dengan hukum Islam dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Dari kelima responden tersebut telah menjadikan
anak angkat sebagai ahli waris mutlak seperti anak angkat. Seorang anak
angkat tidak dapat menerima harta warisan orang tua angkatnya sebab pada
hakikatnya anak angkat kedudukannya bukan sebagai ahli waris karena tidak
mempunyai hubungan darah. Sebagaimana definisi ahli waris yang tertuang
dalam KHI pasal 171 huruf c yang menyebutkan bahwa : “Ahli waris adalah
orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau
hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang
68
Ifa Ningsih, keluarga yang mengangkat anak, Interview Pribadi, Bojong, 14
Oktober 2019. 69
Soprin, keluarga yang mengangkat anak, Interview Pribadi, Bojong, 13
Oktober 2019. 70
Ahmad, keluarga yang mengangkat anak, Interview Pribadi, Bojong, 11
Oktober 2019.
52
karena hukum untuk menjadi pewaris”71
. Dalam KHI tersebut secara
gamblang menjelaskan bahwa yang berhak menjadi ahli waris atau yang
mendapatkan bagian warisan hanya yang memiliki hubungan darah dengan
pewaris. Dalam permasalahan pengangkatan anak, orang tua atau anak angkat
tidak berhak menjadi ahli waris. Karena dalam hukum Islam anak angkat tidak
diakui untuk dijadikan sebagai dasar dan sebab mewaris, karena prinsip pokok
dalam kewarisan adalah hubungan darah atau arhaam72
Peraturan hukum Islam yang telah tertuang dalam KHI pasal 171 huruf
c tidak serta merta memaksa orang tua angkat atau anak angkat khususnya
tidak mendapatkan harta peninggalan orang tua angkatnya. Meskipun sang
anak tidak menjadi ahli waris, anak tersebut bisa mendapatkan harta
peninggalan orang tua angkatnya melalui wasiat. Akan tetapi apabila pewaris
tidak sempat memberikan warisat kepada anak angkatnya, maka dapat berlaku
ketentuan dalam KHI pasal 209 ayat (2) yaitu “Terhadap anak angkat yang
tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari
harta warisan orang tua angkatnya”73
. Ketentuan tersebut dapat menjadi dasar
hukum untuk memenuhi hak anak angkat atas harta peninggalan orang tua
angkatnya, meskipun mendapatkanya dengan ukuran yang dibatasi yaitu
jumlahnya tidak lebih dari 1/3 dari harta peninggalan orang tua angkatnya.
Dengan ketentuan tersebut lebih baik dilakukan karena sesuai dengan
peraturan perundang-undangan atau hukum Islam yang telah ditentukan.
Seyogyanya tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
dan hukum Islam yang tidak membolehkan anak angkat menjadi ahli waris
ataupun mendapatkan harta yang lebih dari ukuran jumlah harta yang berhak
didapatkan oleh anak angkat.
71
Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum
Indonesia, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), h., 129. 72
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, h., 88. 73
Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum
Indonesia, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), h., 139.
53
2. Hak anak angkat dalam perwalian pernikahan
Hak anak angkat yang berhak didapatkan dari orangtua angkat adalah
hak perwalian bagi anak angkat perempuan khususnya ketika anak tersebut
menikah. Hak tersebut tidak terpenuhi oleh anak angkat ibu Fatmawati ketika
menikah. Sebagaimana yang dilakukan ibu Fatmawati yang tidak menjadikan
bapak kandung anak tersebut menjadi wali nikah, tetapi wali hakim yang
menjadi wali pernikahan anak angkatnya. Meskipun bapak kandung anak
tersebut hadir ketika akad berlangsung74
. Permasalahan yang terjadi pada
keluarga ibu Fatmawati yaitu diakibatkan karena kurangnya pemahaman
dalam pengangkatan anak yang seharusnya bapak kandung yang masih ada
berhak untuk menjadi wali nikah anak kandungnya meskipun anak tersebut
berstatus anak angkat orang lain. Tetapi keluarga ibu Fatmawati beranggapan
bahwa anak angkatnya sudah tidak bisa dapat perwalian dari bapak
kandungnya75
.
Mengenai permasalahan dalam perwalian pernikahan, alasan yang
berbeda disampaikan dari keluarga bapak Soprin yang kelak tidak akan
menjadikan bapak kandung dari anak angkatnya menjadi wali nikah, tetapi
menjadikan wali hakim sebagai wali untuk anak angkatnya. Alasan keluarga
bapak Soprin tersebut dikarenakan memiliki pemahaman bahwa anak angkat
yang ia angakt sudah terputus hubungan dengan orang tua angkatnya sehingga
tidak berhak untuk menjadi wali anak angkatnya sehingga keluarga bapak
Soprin memutuskan wali hakim yang akan menjadi wali dari anak
angkatnya76
. Dari kedua permasalahan diatas disimpulkan bahwa kedua
keluarga tersebut dengan jelas sangat bertentangan dengan Hukum Islam
karena telah membatasi hak perwalian anak angkatnya yang tidak menjadikan
bapak kandung untuk menjadi wali dalam pernikahan mereka. Dari kedua
keluarga tersebut terlihat memang tidak ingin keluarga kandung dari anak
74
Fatmawati, keluarga yang mengangkat anak, Interview Pribadi, Bojong, 15
Oktober 2019. 75
Fatmawati, keluarga yang mengangkat anak, Interview Pribadi, Bojong, 15
Oktober 2019. 76
Soprin, keluarga yang mengangkat anak, Interview Pribadi, Bojong, 13
Oktober 2019.
54
angkatnya menjadi wali dalam pernikahan anaknya. Hal ini terlihat dari
pernyataan keluarga bapak Soprin dan ibu Fatmawati. Yang mana sampai saat
ini ibu Fatmawati enggan memberitahukan anaknya mengenai orang tua
kandungnya77
. Begitu juga keluarga bapak Soprin yang belum berkeinginan
untuk memberitahukan perihal keluarga kandung dari anak angkatnya, dengan
alasan sewaktu-waktu akan memberitahukannya ketika anak tersebut beranjak
dewasa78
.
Sikap yang dilakukan oleh keluarga bapak Soprin dan ibu Fatmawati
dalam praktik pengangkatan anak tentu tidak sesuai dengan peraturan
pemerintah tentang pelaksanaan pengangkatan anak yang tertuang dalam Pasal
6 ayat (1) Peraturan Pemerintah No.54 Tahun 2007 tentang pelaksanaan
pengangkatan anak yang berbunyi : “Orang tua angkat wajib memberitahukan
kepada anak angkatnya mengenai asal-usulnya dan orang tua kandungnya”.
Peraturan tentang pelaksanaan pengangkatan anak tersebut sering kali tidak
dipraktikkan dimasyarakat, khususnya pada masyarakat desa Bojong. Padahal
dalam peraturan tersebut mewajibkan atas orang tua angkat menjelaskan asal-
usulnya serta memberitahukan orang tua kandungnya agar tidak menimbulkan
kesalahpahaman dikemudian hari antara orang tua angkat dengan anak
angkatnya. Bahkan keluarga ibu Fatmawati memang sengaja tidak
memberitahukan dengan alasan bahwa anak angkatnya akan mengetahui
dengan sendirinya79
. Hal ini justru akan menyakiti sang anak apabila
mengetahui kenyataan tanpa terlebih dahulu diberitahukan asal-usulnya oleh
orang tua angkatnya. Sehingga keharmonisan dalam rumah tangga tidak
tumbuh antara anak angkat dan orang tua angkatnya.
3. Hak anak angkat perihal legalitas hukum
Setiap perbuatan hukum yang dilakukan tentunya ada aturan yang
telah mengatur bagaimana cara menjalankan suatu perbuatan hukum tersebut,
77
Fatmawati, keluarga yang mengangkat anak, Interview Pribadi, Bojong, 15
Oktober 2019. 78
Soprin, keluarga yang mengangkat anak, Interview Pribadi, Bojong, 13
Oktober 2019. 79
Fatmawati, keluarga yang mengangkat anak, Interview Pribadi, Bojong, 15
Oktober 2019.
55
dengan peraturan itulah menjadikan perbuatan hukum yang telah dilakukan
tersebut menjadi sah dan legal dimata hukum. salah satunya perbuatan hukum
yaitu pengangkatan anak yang mana telah menjadi budaya masyarakat salah
satunya yaitu yang belum mempunyai keturunan agar segera memiliki anak
melaui proses pengangkatan anak.
Pengangkatan anak sebagaimana yang sudah diatur dalam peraturan
perundang-undangan yaitu harus dilakukan melalui proses penetapan
pengadilan. Pengangkatan anak yang sudah dilakukan melalui adat setempat
dapat dimohonkan penetapan pengadilan sebagaimana yang telah di atur pada
pasal 20 Peraturan Pemerintah No.54 Tahun 2007 tentang pelaksanaan
pengangkatan anak. Yang merupakan upaya pemerintah agar pelaksanaan
pengangkatan anak legal dan sah dimata hukum agar terhindar dari upaya
Trafficking (perdagangan) anak yang dimanfaatkan oleh oknum yang tidak
bertanggung jawab yang menutupi perbuatannya dengan dalih pengangkatan
anak.
Seorang anak angkat mempunyai hak yang tidak ada bedanya dengan
anak kandung. Seorang anak angkat membutuhkan perlindungan serta
membutuhkan haknya untuk mengetahui asal-usulnya agar tidak
menimbulkan kekecewaan dikemudian hari. Salah satu bentuk perlindungan
orang tua angkat kepada anak angkat yaitu melakukan pengangkatan anak
melalui penetapan pengadilan. Untuk memperoleh penetapan pengadilan,
calon orang tua angkat bisa mengajukan permohonan dan nantinya akan
ditetapkan oleh pengadilan tentang penetapan hak asuh anak angkat di
Pengadilan Agama untuk orang Islam dan Pengadilan Negeri untuk
masyarakat non Islam. Mengharuskan proses pengangkatan anak melalui
pengadilan ini telah diatur dalam Pasal 20 Peraturan Pemerintah Nomor 54
Tahun 2007 yang berbunyi “permohonan pengangkatan anak yang telah
memenuhi persyaratan diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan penetapan
pengadilan”80
.
80
Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan
Pengangkatan Anak.
56
Penetapan pengadilan sangatlah penting dalam proses pengangkatan
anak karena hal tersebut untuk memastikan bahwa pengangkatan anak yang
telah dilakukan terbukti sah dimata hukum dan dapat dipertanggung
jawabkan dengan adanya bukti otentik yakni penetapan pengadilan. Oleh
karena itu, penetapan pengadilan mengadung kepastian hukum terhadap anak
angkat didalam keluarga angkatnya dan juga akan memberikan perlindungan
untuk sang anak angkat.
Teori kepastian hukum ini menurut Bachsan Mustafa merupakan
hukum administrasi negara positif yang harus dapat menjamin kepastian
hukum kepada masyarakat. Berikut ini merupakan tiga arti dari kepastian
hukum : 81
a. Pasti mengenai peraturan hukumnya yang mengatur masalah pemerintah
tertentu yang abstrak.
b. Pasti mengenai kedudukan hukum dari subjek dan objek hukumnya dalam
pelaksanaan peraturan-peraturan Hukum Administrasi Negara.
c. Mencegah kemungkinan timbulnya perbuatan sewenang-wenang
(eigenricting) dari pihak manapun, juga tidak dari pemerintah.
Ketiga arti teori kepastian hukum diatas dapat menjadi alasan
mengapa pengangkatan anak harus melalui proses penetapan pengadilan.
Disini dapat disimpulkan bahwa peraturan perundang undang memberikan
kepastian hukum dan mengatur kewenangan pengadilan untuk menetapkan
pengadilan dalam proses pengangkatan anak, memberikan kepastian
kedudukan anak angkat sebagai subjek hukum dengan membuatkan
penetapan pengadilan agar pengangkatan anak yang dilakukan sah dimata
hukum, dan harus ada upaya dari pemerintah dalam hal ini Dinas pencatatan
sipil untuk mencegah terjadinya sewenang-wenang pada masyarakat yang
tidak memiliki kesadaran dan kejujuran dalam proses pengangkatan anak
yang tentunya harus dibantu oleh pemerintah yang lebih dekat dengan
masyarakat yakni pemerintah desa dalam upaya menanggulangi
81
Bachsan Mustafa, Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia, (Bandung:
Cipta Aditya Bakti, 2001), h., 53.
57
pengangkatan anak yang tidak sesuai dan sejalan secara praktik dengan
peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat.
Pemerintah desa Bojong memberi pernyataan bahwa mereka telah
berupaya menangani permasalahan pengangkatan anak, tetapi yang menjadi
pantauan khusus mereka bukan proses pengangkatan anaknya melainkan
hanya mengantisipasi adanya permasalahan rumah tangga masyarakat yang
telah melakukan pengangkatan anak kelak di masa yang akan datang82
.
Menurut penulis ada permasalahan dalam upaya pemerintahan desa yang
seharusnya mereka membenahi masyarakat yang mempraktikkan
pengangkatan anak tanpa penetapan pengadilan diikuti dengan pantauan
khusus dari pemerintah kepada masyarakat yang mengangkat anak sesuai
peraturan perundang-undangan. Tetapi pada faktanya pemerintah desa tidak
melakukan itu dan membiarkan masyarakat melakukan pengangkatan anak
hanya sesuai adat setempat dan kemudian mereka hanya memantau dan
mengantisipasi adanya permasalahan atau sengketa di dalam keluarga yang
mengangkat anak tanpa penetapan pengadilan. Meskipun pemerintah desa
tidak setuju dengan pengangkatan anak yang dilakukan masyarakatnya yang
tanpa memohonkan penetapan pengadilan, tetapi pemerintah desa tidak
menjadikan praktik pengangkatan anak tersebut sebagai suatu permasalahan
yang harus dibenahi, alasan pemerintah desa yaitu dikarenakan mayoritas
masyarakat yang mengangkat anak hanya berniat untuk benar-benar merawat,
mengasuh, dan mendidik demi kesejahteraan sang anak angkat bukan untuk
menyakiti anak tersebut83
.
Peran pemerintah dalam mengatasi permasalahan pengangkatan anak
yang dilakukan tanpa melalui penetapan pengadilan khususnya pemerintah
desa sebaiknya harus secara intensif memberikan penyuluhan kepada
masyarakat untuk memberikan mereka kesadaran dan pengetahuan agar
pengangkatan anak dilakukan melalui proses penetapan pengadilan. Sehingga
82
Wahyudin, Sekertaris Desa Bojong, Interview Pribadi, Bojong, 23 Oktober
2019, Pukul 15.14. 83
Wahyudin, Sekertaris Desa Bojong, Interview Pribadi, Bojong, 23 Oktober
2019.
58
tidak ada masyarakat yang mengangkat anak yang hanya sebatas adat istiadat
atau secara kekeluargaan saja, tetapi menyadarkan masyarakat yang telah
mengangkat anak secara adat istiadat memohonkan permohonan
pengangkatan anak agar ditetapkan melalui penetapan pengadilan. Dengan
proses yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan, maka anak yang
diangkat akan terpenuhi hak legalitasnya dimata hukum, karena seorang anak
angkat memiliki hak yang sama dengan anak-anak yang lainnya yaitu
memiliki hak kepastian hukum dan kesejahteraan dari orang tua angkatnya.
Oleh karena itu, legalitas dimata hukum untuk sang anak angkat sangatlah
penting begitu pula sama pentingnya bagi orang tua yang mengangkat anak,
sehingga apabila terjadi suatu permasalahan atau persengketaan antara orang
tua angkat dan anak angkat dikemudian hari, maka akan dapat diselesaikan di
muka pengadilan.
C. Eksistensi Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 Tentang
Pelaksanaan Pengangkatan Anak
1. Pengetahuan masyarakat tentang PP Nomor 54 Tahun 2007 tentang
pelaksanaan pengangkatan anak.
Mayoritas masyarakat desa Bojong sebagaimana yang telah penulis
observasi bahwa mereka melakukan pengangkatan anak dilakukan tanpa
melalui proses penetapan pengadilan dengan alasan yang beragam, oleh
sebab itu maka perlu diketahui seberapa cakapnya masyarakat desa Bojong
dalam memahami peraturan pelaksanaan pengangkatan anak yang terdapat
pada Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 yang telah menjadi
rujukan masyarakat dalam melaksanakan pengangkatan anak. Hal tersebut
dapat diketahui berdasarkan penuturan beberapa informan yang telah
melakukan pengangkatan anak di desa Bojong.
Sebagaimana penuturan dari bapak Soprin yang sebenarnya
mengetahui peraturan mengenai pelaksanaan pengangkatan anak tetapi tidak
melakukan pengangkatan dengan melalui proses penetapan pengadilan
dengan alasan karena merasa sudah tidak perlu lagi mengangkat anak
59
melalui pengadilan84
. Begitu pula keluarga bapak Ahmad yang juga merasa
proses pengangkatan anak yang dilakukannya sudah cukup dan sudah bisa
memasukkan anak angkatnya kedalam kartu keluarga milik bapak ahmad
meskipun dalam akta tertulis sebagai anak kandung bapak Ahmad85
.
Pemahaman yang tidak tepat tersebut telah membuat mereka melakukan
perbuatan hukum yang tidak sesuai peraturan perundang-undangan, sudah
pasti hal tersebut bertentangan dengan teori kepastian hukum yang akan
mengakibatkan kedudukan anak angkat sebagai subyek hukum tidak
mendapatkan kepastian hukum yang sah karena disebabkan adanya
perbuatan orang tua angkat yang sewenang-wenang melakukan proses
pengangkatan anak dengan tidak melalui penetapan pengadilan.
Berbeda dengan keluarga Ibu Sumarni yang sama sekali tidak
mengetahui peraturan perundang-undangan tentang pelaksanaan
pengangkatan anak, yang mana Ibu Sumarni hanya beranggapan praktik
pengangkatan anaknya sudah sesuai dengan peraturan perundang-
undangan86
. Sama halnya seperti keluarga Ibu Fatmawati yang tidak
mengetahui peraturan yang mengatur pengangkatan anak, dengan alasan
karena pada saat mengangkat anak belum ada peraturan perundang-undangan
yang mengatur87
. Begitupun sama dengan Ibu Ifa Ningsih yang tidak tahu
dengan PP Nomor 54 Tahun 2007 serta tidak ada niat untuk melakukan
permohonan penetapan pengangkatan anak ke pengadilan, alasannya karena
anak yang diangkat merupakan anak dari saudara kandungnya88
.
Sebagaimana penuturan di atas memang sangat memperihatinkan dengan
84
Soprin, keluarga yang mengangkat anak, Interview Pribadi, Bojong, 13
Oktober 2019. 85
Ahmad, keluarga yang mengangkat anak, Interview Pribadi, Bojong, 11
Oktober 2019. 86
Sumarni, keluarga yang mengangkat anak, Interview Pribadi, Bojong, 14
Oktober 2019. 87
Fatmawati, keluarga yang mengangkat anak, Interview Pribadi, Bojong, 15
Oktober 2019. 88
Ifa Ningsih, keluarga yang mengangkat anak, Interview Pribadi, Bojong, 14
Oktober 2019.
60
kesadaran masyarakat terhadap hukum yang telah diatur. Tentu harus ada
upaya khusus bagi pemerintah desa menyelesaikan permasalahan ini.
Kasus di atas merupakan bentuk dari lemahnya kesadaran masyarakat
terhadap hukum, sebagaimana dalam teori kesadaran yang dikemukakan oleh
soerjono soekanto salah satu indikatornya yaitu indikator pengetahuan
tentang peraturan-peraturan hukum (law awareness)89
. Indikator tersebut
yang menjadikan masyarakat Desa Bojong tidak mematuhi peraturan yang
sudah diatur secara tertulis oleh pemerintah. Karena lemahnya pengetahuan
mereka terhadap hukum, mereka tidak menyadari bahwa perbuatan hukum
yang dilakukan oleh mereka sangat tidak sesuai dengan peraturan tertulis
yang tertuang dalam peraturan perundangan.
89
Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, (Jakarta: CV.
Rajawali, 1982), h., 159.
61
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pengangkatan anak yang dilakukan masyarakat Desa Bojong pada
praktiknya tidak melalui proses penetapan pengadilan, mereka yang
mengangkat anak hanya melakukannya dengan proses adat istiadat yaitu
secara kekeluargaan atas kesepakatan antara keluarga kandung dengan calon
keluarga angkat anak yang akan diangkat. Praktik pengangkatan anak yang
dilakukan dengan cara kekeluargaan saja dan tidak memohonkan ke
pengadilan untuk mendapatkan penetapan pengadilan disebabkan karena
berbagai faktor yaitu faktor yang menganggap birokrasi yang rumit ketika
mengajukan permohonan ke pengadilan, faktor ketidak tahuan masyarakat
mengenai peraturan yang mengatur proses pengangkatan anak, dan
menganggap pengangkatan anak dapat dilakukan cukup dengan proses
kekeluargaan saja. Tentunya faktor-faktor tersebut muncul akibat rendahnya
kesadaran masyarakat terhadap hukum.
Pemenuhan Hak dan kewajiban antara orang tua angkat dan anak
angkat dalam praktik pengangkatan anak khusunya di Desa Bojong
disimpulkan pada tiga aspek pemenuhan hak dan kewajiban seorang anak
angkat. Pada pemenuhan hak perwalian dalam pernikahan terhadap anak
perempuan yang diangkat dalam masyarakat Desa Bojong tidak menjadikan
ayah angkatnya sebagai walinya melainkan menyerahkan perwaliannya
kepada wali hakim. Adapun pemenuhan hak kewarisan, dalam temuan ini
masyarakat Desa Bojong menjadikan anak angkatnya sebagai angota keluarga
yang berhak menerima warisan meskipun dengan jumlah yang dibedakan
dengan anggota keluarga yang lainnya. Hal tersebut sangat bententangan
karena dalam peraturan perundang-undangan dan hukum Islam, anak angkat
tidak bisa menjadi ahli waris dan mendapatkan harta peninggalan orang tua
angkatnya hanya dapat melalui wasiat wajibah. Kemudian dalam temuan
selanjutnya, untuk penuhan hak legalitas anak angkat di Desa Bojong terbukti
62
tidak terpenuhi karena mereka diangkat oleh orang tua angkatnya tidak
melalui proses penetapan pengadilan.
Tingkat kesadaran hukum masyarakat Desa Bojong terhadap
peraturan pengangkatan anak sangat lemah. Hal tersebut terbukti dari
beberapa temuan pada penelitian ini yang menunjukkan bahwa masyarakat
Desa Bojong benar-benar tidak mengetahui peraturan pelaksanaan
pengangkatan anak yang sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 54
Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak. Masyarakat Desa
Bojong hanya sebatas mengetahui bahwa pengangkatan anak diperbolehkan
dalam peraturan perundang-undangan maupun hukum Islam dan tidak
mengetahui peraturan pelaksanan pengangkatan anak yang sudah diatur
dalam peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu dalam temuan ini
alasan masyarakat Desa Bojong tidak melakukan pengangkatan melalui
penetapan pengadilan disebabkan karena adanya indikator pengetahuan
tentang peraturan-peraturan hukum (law awareness) sebagaimana teori
kesadaran hukum yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto.
B. Rekomendasi
Berdasarkan kesimpulan dari hasil penelitian yang telah diutarakan di
atas, maka perlu penulis rekomendasikan beberapa hal untuk mengatasi
permasalahan pengangkatan anak tanpa penetapan pengadilan. Beberapa hal
tersebut antara lain :
1. Hendaknya keluarga yang ingin mengangkat anak sudah mempersiapkan
suatu upaya agar bisa memenuhi hak calon anak angkat ketika kelak
sudah mengangkat anak. Satu hak yang harus terpenuhi yaitu hak
legalitas hukum sang anak angkat. Yang mengharuskan orangtua angkat
melakukan proses pengangkatan anak melalui penetapan pengadilan.
2. Hendaknya pemerintah yang paling dekat dengan masyarakat yakni
pemerintah desa mengupayakan bukan hanya memantau masyarakat
yang sudah mengangkat anak, tetapi harus mengupayakan bagaimana
praktik pengangkatan anak tanpa melalui proses penetapan pengadilan
yang dilakukan masyarakat desa Bojong tidak terjadi lagi. Serta dengan
63
mengadakan penyuluhan demi menyadarkan masyarakat desa Bojong
sadar hukum agar mengetahui tata cara mengangkat anak yang sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Penelitian tentang permasalahan pengangkatan anak tanpa penetapan
pengadilan ini tentu yang berperan penting untuk menyadarkan
masyarakat atas aturan hukum pengangkatan anak yaitu pemerintah
setempat. Dalam penelitian ini penulis hanya terfokus pada upaya
pemerintah desa menanggulangi permasalahan pengangkatan anak yang
tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Untuk itu bagi
akademisi yang ingin meneliti tentang pengangkatan anak tanpa melalui
penetapan pengadilan, perlu juga diteliti terhadap apa yang dilakukan
pemerintah daerah atau Disdukcapil dalam mencegah adanya
pengangkatan anak tanpa penetapan pengadilan.
64
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku
Abdullah, Abdul Gani. Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum
Indonesia. Cet. 1. Jakarta: Gema Insani Press, 1994.
Al Barry, Zakariya Ahmad. Hukum Anak-Anak Dalam Islam. Cet.1. Jakarta:
Bulan Bintang, 1977.
Al-Bukhari, Imam Abi Abdullah Muhammad ibn Ismail. Shahih Al-Bukhari.
Beirut: Dar ibn Katsir littaba‟ah wa al-Nasyri wa al-Tauzi, 2002.
Ali, Atabik dan Ahmad Zuhdi Muhdlor. Kamus Kontemporer Arab – Indonesia.
Yogyakarta: Multi Karya Grafika Pondok Pesantren Krapyak, 2003.
Al-Muafiri, Abu Muhammad Abdul Malik bin Hisyam. As-Sirah An-Nabawiyah li
Ibni Hisyam. Penerjemah Fadhil Bahri. Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam
Jilid I. Bekasi: Darul Falah, 2013.
Budiarto, M. Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Segi Hukum. Jakarta: Akademika
presindo, 1985.
Departemen Agama RI. Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: Dirjen Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam. 1997/1998.
Echols, Jhon M. dan Hassan Shadily. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2005.
Fauzan dan Alam. Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam. Jakarta:
Kencana, 2008.
Gosita, Arief. Masalah Perlindungan Anak. Jakarta: Akademika Presindo, 1985.
Hadikusuma, Hilman. Hukum Waris Adat. Bandung: Penerbit Alumni, 1983.
Irfan, M. Nurul. Nasab dan Status Anak dalam Hukum Islam. Jakarta: Amzah,
2012.
Jahar, Asep Saepudin, dkk. Hukum Keluarga Pidana dan Bisnis. Jakarta:
Kencana, 2013.
Kamil, Ahmad dan M.Fauzan. Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di
Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008.
65
Lathif, Ah. Azharuddin. Fiqh Muamalat. Cet. 1. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005.
Martosedono, Amir. Tanya jawab pengangkatan anak dan masalahnya.
Semarang: Effhar Offset dan Dahara Prize, 1990.
Muhammad, Bushar. Pokok-pokok Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramita, 1981.
Mustafa, Bachsan. Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia. Bandung: Cipta
Aditya Bakti, 2001.
Nawawi, Hadari. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press. 2007.
S. Sabarguna, Boy. Analisis Data Pada Penelitian Kualitatif. Jakarta: UI-Press,
2008.
Setiady, Tolib. Intisari Hukum Adat Indonesia Dalam Kajian Kepustakaan.
Bandung: Alfabeta, 2013.
Shadily, Hassan. Ensiklopedi Indonesia. Jakarta: Ichtiar Baru – Van Hoeve, 1989.
Soekanto, Soerjono. Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum. Jakarta: CV.
Rajawali, 1982.
Soepomo. Hukum Perdata Adat Jawa Barat. Cet. 2. Jakarta: PT. Penerbit
Djambatan, 1982.
Soimin, Soedaryo. Himpunan Dasar Hukum Pengangkatan Anak. Jakarta: Sinar
Grafika, 2004.
______________. Hukum Orang dan Keluarga (Perspektif Hukum Perdata/BW
Hukum Islam dan Hukum Adat). Jakarta: Sinar Grafika, 2004.
Sukandarrumidi. Metodologi Penelitian Petunjuk Praktis Untuk Peneliti Pemula.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2004.
Sy, Musthofa. Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2008.
Syamsu, Andi dan Fauzan. Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam. Cet.1.
Jakarta: Kencana, 2008.
Tafal, Bastian. Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat: Serta Akibat
Hukumnya di Kemudian Hari. Cet. 2. Jakarta: Rajawali, 1989.
66
Yaswirman. Hukum Keluarga : Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan
Adat dalam Masyarakat Matrilineal Minangkabau. Jakarta: Rajawali Pers,
2013.
Zaini, Muderis. Adopsi Suatu Tinjauan dari Tiga Sistem Hukum. Cet ke-4.
Jakarta: Sinar Grafika, 2002.
2. Wawancara
Interview Pribadi dengan Ahmad, keluarga yang mengangkat anak, Bogor, 11
Oktober 2019.
Interview Pribadi dengan Fatmawati, keluarga yang mengangkat anak, Bogor, 15
Oktober 2019.
Interview Pribadi dengan Ifa Ningsih, keluarga yang mengangkat anak, Bogor, 14
Oktober 2019.
Interview Pribadi dengan Sumarni, keluarga yang mengangkat anak, Bogor, 14
Oktober 2019.
Interview Pribadi dengan Wahyudin, Sekertaris Desa Bojong, Bogor, 23 Oktober
2019.
Interview Pribadi dengan Soprin, keluarga yang mengangkat anak, Bogor, 13
Oktober 2019.
3. Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perindungan Anak.
Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan
Anak.
Kompilasi Hukum Islam (KHI).
LAMPIRAN-LAMPIRAN
WAWANCARA DENGAN TOKOH MASYARAKAT
Nama : Wahyudin
Jabatan : Sekertaris Desa Bojong
Hari / Tgl : Rabu, 23 Oktober 2019.
Tempat : Kantor Desa Bojong
1. Bagaimana praktik pengangkatan anak di Desa Bojong?
Jawab: Untuk masalah pengangkatan anak memang sudah sering terjadi di
wilayah Desa Bojong, dan prosesnya melalui kekeluargaan dengan
kesepakatan bahwa calon orang tua angkat tidak akan menyakiti,
memperkerjakan dan menelantarkan anak yang akan diangkat tersebut. Dan
praktik pengangkatan anak di Desa Bojong ada juga yang mengangkat anak
melalui lembaga panti asuhan dengan prosedur yang khusus, tetapi untuk
pengangkatan anak yang secara langsung antara calon orang tua angkat dan
orang tua kandung sang anak tidak ada prosedur khusus maupun dokumen
khusus dari desa dan hanya kesepakatan kedua belah pihak.
2. Bagaimana tanggapan bapak dengan praktik pengangkatan yang tidak melalui
proses Penetapan Pengadilan?
Jawab: Kalau memang seperti itu kita kembali kepada kesadaran masyarakat
yang mengangkat anak tidak melalui penetapan pengadilan. Disini kami
menyikapinya dengan siaga, dikarenakan pengangkatan anak yang tidak
melalui penetapan pengadilan tidak bisa dipertanggung jawabkan, dan kami
tetap siaga apabila terjadi permasalahan antara orang tua angkat dan anak
angkat maka kami akan siap menjadi penengah untuk menyelesaikan
permasalahan mereka.
3. Bagaimana solusi yang dilakukan pemerintah desa menangani masalah
pengangkatan anak tanpa penetapan pengadilan?
Jawab: Kami sudah bermusyawarah dengan perangkat desa, babinsa, tokoh
masyarakat untuk memantau dan siap siaga untuk menjadi penengah apabila
terjadi permasalahan antara anak angkat dan orang tua angkat yang tidak
melalui penetapan pengadilan.
4. Apakah bapak setuju dengan praktik pengangkatan anak yang tanpa
penetapan pengadilan?
Jawab: Saya sangat tidak setuju, karena pengangkatan anak tanpa penetapan
pengadilan akan membuat perbuatan hukum tersebut tidak ada jaminan
hukumnya.
5. Bagaimana bapak menyikapi masyarakat yang mengangkat anak dengan
memasukkan anak angkatnya kedalam KK atau Akta Lahir sebagai anak
kandung?
Jawab: untuk itu kami tidak mempermasalahkannya karena niat mereka baik
dalam mengangkat anak tersebut dan akan merawat serta menyayangin anak
angkat tersebut seperti anak kandung.
6. Apakah bapak tahu Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang
Pelaksanaan Pengangkatan Anak?
Jawab : Saya belum tahu, tapi saya pernah mendengar peraturan tersebut.
WAWANCARA DENGAN KELUARGA YANG MENGANGKAT ANAK
HASIL WAWANCARA I
Nama : Ahmad
Pendidikan Terakhir : SMA
Hari / Tgl : Jum‟at, 11 Oktober 2019.
Tempat : Rumah Bapak Ahmad di Desa Bojong
1. Bagaimana tata cara pengangkatan anak yang telah dilakukan oleh Bapak
Ahmad dan apakah prosesnya melalui penetapan pengadian?
Jawab : Pengangkatan anak yang telah saya lakukan dengan proses
kekeluargaan saja, yakni hanya kesepakatan perpindahan pengasuhan antara
keluarga saya dengan keluarga anak tersebut. Prosesnya tidak susah karena
keluarga yang bersangkutan merupakan tetangga dekat saya. Dan saya
mengangkat anak tidak melalui penetapan pengadilan karena prosesnya ribet.
2. Apa faktor penyebab Bapak Ahmad memutuskan untuk mengangkat anak
tersebut?
Jawab : Saya memutuskan untuk mengangkat anak tersebut karena saya
merasa kasihan dan iba. Anak tersebut merupakan anak yatim dan saya
khawatir anak tersebut terlantar dan pendidikannya terabaikan karena
keluarganya yang tergolong kurang mampu.
3. Mengenai waris, apakah anak tersebut mendapatkan warisan?
Jawab: Anak tersebut akan mendapatkan bagian harta warisan tetapi
ukurannya berbeda dengan anak kandung saya.
4. Bagaimana hak perwalian untuk anak angkat Bapak Ahmad?
Jawab: Karena anak angkat saya laki-laki, jadi untuk perwalian anak tersebut
saya hanya menjadi wali dalam administrasi dan pendidikannya saja.
5. Kapan bapak akan memberitahukan bahwa anak tersebut bukan anak kandung
Pak Ahmad?
Jawab: Alhamdulillah anak tersebut sudah mengetahuinya, meskipun saya
belum memberitahukan kepadanya.
6. Pada usia berapa bapak mengangkat anak tersebut dan bagaimana hubungan
anak tersebut dengan orang tua kandungnya?
Jawab: saya mengangkat anak ketika ia berumur 1,5 tahun dan hubungan
dengan orang tua kandungnya baik-baik saja bahkan terkadang sering main
ke rumah orang tua nya.
7. Bagaimana status administrasi kependudukan anak angkat bapak?
Jawab: untuk akta lahir dan KK masuk kedalam keluarga saya dengan status
anak kandung.
8. Apakah bapak mengetahui Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007
Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak?
Jawab: saya tidak tahu.
HASIL WAWANCARA II
Nama : Soprin
Pendidikan Terakhir : SMA
Hari / Tgl : Minggu, 13 Oktober 2019.
Tempat : Rumah Bapak Soprin di Desa Bojong
1. Bagaimana tata cara pengangkatan anak yang telah dilakukan oleh Bapak
Soprin dan apakah prosesnya melalui penetapan pengadian?
Jawab : tata caranya yakni dengan kekeluargaan kesepakatan antara keluarga
saya dan keluarga yang bersangkutan sebelum anak tersebut lahir. Ketika
anak tersebut lahir, saya menjemputnya dengan meyakinkan keluarga yang
bersangkutan bahwa saya siap mengurus dan membesarkan anak tersebut.
Untuk melalui penetapan pengadilan saya tidak melalui proses tersebut.
2. Apa faktor penyebab Bapak Soprin memutuskan untuk mengangkat anak
tersebut?
Jawab : karena anak tersebut berasal dari keluarga yang tidak mampu,
sehingga saya memutuskan siap untuk mengangkat anak tersebut.
3. Mengenai waris, apakah anak tersebut mendapatkan warisan?
Jawab: mendapatkan warisan tetapi jumlahnya tidak sama dengan anak
kandung saya.
4. Bagaimana hak perwalian untuk anak angkat Bapak ?
Jawab: untuk perwalian dalam pernikahan saya akan menjadikan wali hakim
sebagai walinya karena saya tidak berhak menjadi wali nikahnya. Tetapi saya
menjadi wali dalam pendidikan dan administrasi lainnya saja.
5. Kapan bapak akan memberitahukan bahwa anak tersebut bukan anak kandung
Pak Soprin?
Jawab: saya akan memberitahukannya ketika anak tersebut sudah dewasa,
tetapi tidak bisa menentukan kapan itu akan terjadi.
6. Pada usia berapa bapak mengangkat anak tersebut dan bagaimana hubungan
anak tersebut dengan orang tua kandungnya?
Jawab: ketika usia 1 bulan dan hubungan anak tersebut dengan orang tua
kandungnya sudah tidak terjalin karena jaraknya jauh dan diluar kota.
7. Bagaimana status administrasi kependudukan anak angkat bapak?
Jawab: untuk administrasi kependudukannya masuk kedalam keluarga saya
dengan status anak kandung agar mempermudah ketika sekolah dan
kepentingan yang lain.
8. Apakah bapak mengetahui Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007
Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak?
Jawab: saya tidak tahu sama sekali
HASIL WAWANCARA III
Nama : Sumarni
Pendidikan Terakhir : SMP
Hari / Tgl : Senin, 14 Oktober 2019.
Tempat : Rumah Ibu Sumarni di Desa Bojong
1. Bagaimana tata cara pengangkatan anak yang telah dilakukan oleh Ibu
Sumarni dan apakah prosesnya melalui penetapan pengadian?
Jawab : tata cara pengangkatan anak yang saya lakukan hanya cara
kekeluargaan saja, sedangkan untuk prosesnya tidak melalui pengadilan
karena anak yang saya angkat merupakan anak dari mendiang adik saya dan
saya fikir proses ini tidak salah dan cukup kekeluargaan saja.
2. Apa faktor penyebab Ibu Sumarni memutuskan untuk mengangkat anak
tersebut?
Jawab : faktor penyebabnya karena ingin mewujudkan wasiat mendiang adik
saya yang meninggal karena melahirkan untuk mengurus anaknya. Dan saya
juga memutuskan untuk mengangkat anak karena anak tersebut ditinggal
pergi oleh bapak kandungnya.
3. Mengenai waris, apakah anak tersebut mendapatkan warisan?
Jawab: iya, anak angkat akan mendapatkan warisan sepenuhnya karena saya
belum mempunyai anak.
4. Bagaimana hak perwalian untuk anak angkat ?
Jawab: untuk perwalian, saya siap menjadi walinya dalam pendidikan
maupun dalam administrasi lainnya.
5. Kapan ibu akan memberitahukan bahwa anak tersebut bukan anak kandung
bu Sumarni?
Jawab: InsyaAllah ketika dewasa akan saya beritahukan
6. Pada usia berapa ibu mengangkat anak tersebut dan bagaimana hubungan
anak tersebut dengan orang tua kandungnya?
Jawab: saya mengangkat anak ketika anak tersebut berusia 1 minggu dan
hubungan dengan orang tua kandungnya terputus karena bapak dari anak
tersebut telah pergi dan tidak ada kabar sama sekali.
7. Bagaimana status administrasi kependudukan anak angkat ibu?
Jawab: status administrasi kependudukannya masuk kedalam keluarga saya
dan tertulis sebagai anak kandung.
8. Apakah bapak mengetahui Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007
Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak?
Jawab: saya tidak tahu peratuan itu sama sekali
HASIL WAWANCARA IV
Nama : IfaNingsih
Pendidikan Terakhir : SMA
Hari / Tgl : Senin, 14 Oktober 2019.
Tempat : Rumah Ibu Ifa Ningsih di Desa Bojong
1. Bagaimana tata cara pengangkatan anak yang telah dilakukan oleh Ibu Ifa
Ningsih dan apakah prosesnya melalui penetapan pengadian?
Jawab : cara pengangkatan anak yang saya lakukan dengan kekeluargaan saja
dan anak tersebut diantar oleh kedua orang tua kandungnya kepada saya
dengan meminta anak tersebut untuk dirawat oleh saya. Dan prosesnya tidak
melalui pengadilan karena keluarga anak tersebut masih ada ikatan sepupu
dengan saya.
2. Apa faktor penyebab memutuskan untuk mengangkat anak tersebut?
Jawab : penyebabnya karena saya belum mempunyai anak dan kebetulan
anak tersebut merupakan anak dari sepupu saya.
3. Mengenai waris, apakah anak tersebut mendapatkan warisan?
Jawab: akan mendapatkan warisan seperti anak kandung.
4. Bagaimana hak perwalian untuk anak angkat Ibu Ifa Ningsih?
Jawab: perwaliannya saya dan suami saya yang bertanggung jawab.
5. Kapan ibu akan memberitahukan bahwa anak tersebut bukan anak kandung
Ibu Ifa Ningsih?
Jawab: ketika sudah dewasa akan saya beri tahu tentang orang tua
kandungnya.
6. Pada usia berapa ibu mengangkat anak tersebut dan bagaimana hubungan
anak tersebut dengan orang tua kandungnya?
Jawab: ketika usia 8 bulan dan hubungan dengan orang tua kandungnya
masih baik-baik saja serta sering dipertemukan dengan orang tua
kandungnya.
7. Bagaimana status administrasi kependudukan anak angkat ibu?
Jawab: untuk status administrasinya masuk kedalam keluarga saya dan
tercatat sebagai anak kandung.
8. Apakah bapak mengetahui Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007
Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak?
Jawab: saya tidak mengetahuinya sama sekali.
HASIL WAWANCARA V
Nama : Fatmawati
Pendidikan Terakhir : SD
Hari / Tgl : Selasa, 15 Oktober 2019.
Tempat : Rumah Ibu Fatmawati di Desa Bojong
1. Bagaimana tata cara pengangkatan anak yang telah dilakukan oleh Ibu
Fatmawati dan apakah prosesnya melalui penetapan pengadian?
Jawab : tata cara saya mengangkat anak dengan kekeluargaan saja. Prosesnya
tidak melalui penetapan pengadilan karena yang diangkat merupakan masih
keponakan saya.
2. Apa faktor penyebab Ibu Fatmawati memutuskan untuk mengangkat anak
tersebut?
Jawab : faktor penyebabnya karena saya belum mempunyai anak.
3. Mengenai waris, apakah anak tersebut mendapatkan warisan?
Jawab: iya akan mendapatkan warisan.
4. Bagaimana hak perwalian untuk anak angkat Ibu Fatmawati?
Jawab: untuk perwalian dalam pernikahan yaitu bapak kandungnya tetapi
untuk wali dalam pendidikan dan administrasi lainnya adalah saya sendiri.
5. Kapan Ibu akan memberitahukan bahwa anak tersebut bukan anak kandung
Ibu Fatmawati?
Jawab: anak angkat saya sepertinya sudah mengetahui orang tua kandungnya.
6. Pada usia berapa bapak mengangkat anak tersebut dan bagaimana hubungan
anak tersebut dengan orang tua kandungnya?
Jawab: ketika usia 1 bulan dan hubungannya dengan orang tua kandung baik-
baik saja.
7. Bagaimana status administrasi kependudukan anak angkat bapak?
Jawab: untuk status administrasi kependudukannya masuk kedalam keluarga
saya.
8. Apakah bapak mengetahui Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007
Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak?
Jawab: saya tidak tahu.
DOKUMENTASI WAWANCARA
Gambar 1 : Foto dengan Bapak Wahyudin, Sekertaris Desa Bojong.
Gambar 2 : Foto dengan Bapak Ahmad, keluarga yang mengangkat anak.
Gambar 3: Foto dengan Bapak Soprin, keluarga yang mengangkat anak.
Gambar 4: Foto dengan Ibu Ifa Ningsih, keluarga yang mengangkat anak.
Gambar 5: Foto dengan Ibu Fatmawati, keluarga yang mengangkat anak.
Gambar 6: Foto dengan Ibu Sumarni, keluarga yang mengangkat anak.