pengaruh ajaran tarekat qodiriyyah wa...
TRANSCRIPT
PENGARUH AJARAN TAREKAT QODIRIYYAH WA
NAQSYABANDIYYAH SYEKH ASNAWI
DI CARINGIN PANDEGLANG-BANTEN
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh :
Sobri Wijaya
NIM: 1113033100059
PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019 M/1440 H.
i
ABSTRAK
Tarekat Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyyah merupakan gabungan dari dua
tarekat yaitu tarekat Qodiriyyah dan tarekat Naqsyabandiyyah. Yang didirikan oleh
seorang ulama yaitu Syekh Akhmad Khatib As-Sambasi. Penggabungan kedua
tarekat ini bukan hanya saja pada namanya, tetapi amalan dan ajarannya pun
merupakan pengkombinasian dari dua ajaran terekat tersebut. Sehingga tarekat
Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyyah ini merupakan sebuah tarekat yang berdiri
sendiri. Syekh Asnawi merupakan Mursyid tarekat Qodiriyyah Wa
Naqsyabandiyyah, ia merupakan seorang tokoh ulama yang paling berpengaruh dan
paling kharismatik pada tahun 1920-an. Maka tujuan penelitian ini untuk
mengetahui bagaimana pengaruh Syekh Asnawi terhadap masyarakat Caringin
Pandeglang-Banten. Di dalam skripsi ini dibahas tentang kontribusi perjuangan
Syekh Asnawi dalam menyebarkan agama Islam melalui pendekatan tasawuf.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah bersifat kualitatif.
Dalam hal ini penulis mencoba mencari data-data yang berhubungan dengan tokoh
Syekh Asnawi dengan melakukan wawancara, studi literatur atau studi
kepustakaan. Setelah mengumpulkan data-data baik dari hasil wawancara maupun
dari buku-buku yang berhubungan dengan tokoh, maka kemudian penulis
melakukan evaluasi dan menganalisis secara kritis data-data yang telah
dikumpulkan agar relevan dengan topik yang ditentukan. Sehingga memperoleh
data-data yang relevan untuk menyusun hasil-hasil penelitian kedalam pola yang
benar dan sistematik.
Dari hasil penelitian ini penulis menemukan beberapa kesimpulan.
Pertama, bahwa Syekh Asnawi lahir di Caringin pada tahun 1850 M dari keluarga
ulama. Kedua, upaya yang dilakukan Syekh Asnawi dalam menyebarkan agama
Islam di Caringin menggunakan metode dakwah dan pondok pesantren. Selain itu,
dalam menyebarkan agama Islam, ia mengajarkan ajaran tarekat Qodiriyah Wa
Naqsabandiyah. Ketiga, hasil perjuangan yang dilakukan Syekh Asnawi dalam
menyebarkan agama Islam melalui ajaran tasawuf memberikan pengaruh besar
terhadap prilaku masyarakat Caringin baik prilaku sosial maupun prilaku
keagamaan sehingga yang tadinya berprilaku buruk jauh dari nilai-nilai syari’at
Islam dengan ajarannya membawa masyarakat Caringin kembali ke syari’at Islam.
Keempat, selain itu, Syekh Asnawi berhasil mengobarkan semangat Nasionalisme
kepada masyarakat dan ia juga berhasil dalam bidang pendidikan yakni mendirikan
sebuah lembaga pendidikan Islam yaitu Madrasah Masyariqul Anwar.
Kata kunci : Tarekat, Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyyah, Prilaku Sosial, Kultural,
Nasionalisme, Pendidikan.
ii
KATA PENGANTAR
Bismillāhirrahmānirrahīm
Assālamu’alaikum Warahmatullāh Wabarakātuh.
Alhamdulillah segala puji bagi Allah Swt, Tuhan semesta alam. Tak ada
kata yang mampu untuk merefleksikan rasa syukur kepadanya. Atas bimbingan,
kasih sayang dan kehendaknya akhirnya penulis sanggup dan mampu
menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul ”PENGARUH AJARAN
TAREKAT QODIRIYYAH WA NAQSYABANDIYYAH SYEKH ASNAWI
DI CARINGIN PANDEGLANG-BANTEN”.
Shalawat dan salam penulis haturkan kepada baginda Nabi Muhammad
Saw, beserta sahabat, dan beserta keluarganya, karena nabi lah yang membawa
manusia dari zaman kebodohan menuju zaman kemajuan ilmu pengetahuan. Beliau
adalah manusia sempurna yang menjadi teladan dan panutan seluruh manusia
hingga akhir zaman.
Skripsi ini penulis susun salah satu tujuannya adalah sebagai syarat untuk
mendapatkan gelar sarjana Strata Satu (S1) pada Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam,
Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyadari bahawa terselesaikannya skripsi ini bukanlah dengan hasil jerih
payah penulis sendiri, melaikan karena ada dorongan motivasi serta bantuan baik
berupa moril maupun materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, patut kiranya
penulis sampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya
kepada:
iii
1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc., M.A., Selaku Rektor
Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Bapak Dr. Yusuf Rahman, MA., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Ibu Dra. Tien Rahmatin, MA., selaku ketua Jurusan Aqidah dan Filsafat
Islam, Fakultas Ushuluddin Universitas Islam (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
4. Ibu Dr. Wiwi Siti Sajaroh, MA., selaku dosen pembimbing penulis, yang
telah banyak memberikan masukan, saran, kritik, serta waktu sehingga
selama membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini penuh
kesabaran dan tanpa bosan. Maka dari itu, semoga Allah memberikan
kebaikan dan keberkahan untuk Ibu
5. Drs. Ramlan Abdul Ghani, MA., selaku dosen Pembimbing Akademik.
6. Dosen-dosen yang telah banyak memberikan ilmu dan motivasi kepada
penulis tanpa rasa lelah dan tanpa pamrih selama proses belajar. Terima
kasih pula penulis ucapkan kepada seluruh Staf dan karyawan Fakultas
Ushuluddin yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
7. Ucapan terima kasih juga penulis persembahkan teruntuk buat kedua
Ayahanda tercinta bapak Sueb (Alm), dan Ibunda Undayah yang telah
memberikan Inspirasi terbesar dalam hidup penulis. Terima kasih untuk
segenap cinta, kasih sayang, pengorbanan, doa dan luapan cinta yang tulus
selama ini. Skripsi ini juga penulis persembahkan untuk kakak beserta
keluarga besar.
iv
8. Motivator pribadi penulis, persembahkan teruntuk Adindaku tercinta Wiwin
Purnamasari, terima kasih untuk segenap motivasi, cinta dan doa tanpa
henti.
9. Pimpinan Yayasan Pondok Pesantren Anwarul Huda yaitu Bapak Ustadz
Hafidz, yang telah memberikan motivasi serta ilmu pengetahuan selama
belajar di Pondok pesantren Anwarul Huda.
10. Teman-teman seperjuangan Aqidah dan Filsafat Islam angkatan 2013,
terima kasih untuk shering tukar pendapat, berbagi ilmu, dan diskusi
panjangnya selama proses belajar ini, sehingga menambah Khazanah
keilmuan dan membangun daya kritis bagi penulis.
Akhirnya, penulis berharap agar apa yang telah ditulis dapat bermanfaat
bagi semua kalangan pada umumnya dan juga dapat memperkaya Khazanah
keilmuan Falsafah khususnya. Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kata
sempurna, walaupun penulis sudah berusaha semaksimal mungkin. Kritik dan saran
yang sifatnya dapat membangun penulisan skripsi ini sangat diharapkan. Sebagai
penutup, penulis berharap semoga Allah Swt selalu membimbing langkah kita
menuju jalan yang benar dan lurus (Sirath al-Mustaqim).
Wassalāmu’alaikum Warahmatullāh Wabarakātuh.
Ciputat. 25 Juni 2019
Sobri Wijaya
vi
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN
LEMBAR PERNYATAAN
LEMBAR PENGESAHAN
ABSTRAK. ............................................................................................................ i
KATA PENGANTAR. ......................................................................................... ii
PEDOMAN TRANSLITERASI. ........................................................................ v
DAFTAR ISI. ....................................................................................................... vi
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah. ..……………………………….....……………. 1
B. Identifikasi Masalah. .................................................................................. 8
C. Rumusan Masalah. ..…………………………………....………………... 9
D. Tujuan Penelitian. ...................................................................................... 9
E. Manfaat Penelitian. .……………….……....................…........................ 10
F. Tinjauan Pustaka. ..……………………………..………………………. 10
G. Metode Penelitian. ..…………………………..………………………… 13
H. Sistematika Penulisan. ...……………………….……………………….. 16
vii
BAB II : GAMBARAN UMUM TAREKAT QODIRIYYAH WA
NAQSYABANDIYYAH
A. Definisi Tarekat. .........………………………………………………...... 19
B. Asal Usul Tarekat Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyyah. ...…………..…... 24
C. Sejarah Masuknya Tarekat Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyyah di Caringin.
................................................................................................................... 31
D. Ajaran Tarekat Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyyah. .....................…….... 40
BAB III : BIOGRAFI SYEKH ASNAWI
A. Riwayat Hidup Syekh Asnawi. .............…………...…………………… 53
B. Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Caringin. ......................................... 57
C. Syekh Asnawi Sebagai Tokoh Pendidikan. ....................………………. 65
D. Syekh Asnawi Sebagai Ulama Yang Dihormati. ...………………......... 71
E. Karomah Syekh Asnawi. .......................................................................... 75
F. Silsilah Nasab Keturunan Syekh Asnawi Ibnu Syekh Abdurrahman. ..... 83
G. Silsilah Guru Thoriqoh Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyyah Syekh
Asnawi....................................................................................................... 84
BAB IV : PENGARUH AJARAN TAREKAT QODIRIYYAH WA
NAQSYABANDIYYAH SYEKH ASNAWI
A. Fungsi Tarekat. ......................................................................................... 87
viii
B. Pengaruh Ajaran Tarekat Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyyah Syekh Asnawi
Terhadapa Masyarakat Caringin. ..........................................…............... 90
C. Kultural. ................................................................................................... 91
D. Nasionalisme. ........................................................................................... 93
E. Pendidikan. ............................................................................................. 101
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan. ...…………………………………………………..…….. 102
B. Saran-saran. ...……………………………………………………..…... 103
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………...……. 106
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang masalah
Dalam Tasawuf kehidupan para sufi diidentikan sebagai perjalanan rohani
yaitu para pecinta Tuhan yang menginginkan agar dirinya berada sedekat mungkin
dengan Tuhan (kesempurnaan Suluk) melalui ajaran tarekat. Sehingga banyak
sekali kegiatan moral keagamaan diadakan dan dikembangkan secara besar-
besaran. Seperti majlis dzikir dan pengajian-pengajian keagamaan yang
dilaksanakan secara rutin, termasuk perkembangan tarekat di berbagai wilayah.
Maka hal ini menjadi daya tarik tersendiri dalam dunia sufistik.1
Kegiatan dan perkembangan keagamaan masa sekarang menunjukan bahwa
jiwa spiritual masyarakat tidak tertelan oleh zaman. Zaman modern ternyata tidak
menyurutkan banyak orang untuk melakukan ritual keagamaan bahkan melakukan
hijrah sepenuhnya dalam menempuh kehidupan spiritual.2
Hal ini menunjuan bahwa kehidupan spiritual khususnya tarekat tidak lagi
dianggap tabu dan mistik. Tarekat justru dianggap sebagai salah satu solusi untuk
menyelaraskan antara kehidupan dunia dan akhirat. Namun, terkadang diartikan
hanya sebagai perjalanan ruhani yang identik dengan membunuh kebutuhan naluri
dan mematikan kebutuhan Insaniyah. Perbedaan pemahaman inilah yang
menambah fariasi dalam dunia tasawauf. Walaupun demikian, tujuan tarekat sama
1Muslikh Abdurahman, Risalah Tuntunan Tarekat Qodiriyyah Wa
Naqsyabandiyyah. (Kudus: Menara Kudus 1976), Jilid 1-2, hal. 20-21 2 Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam. (Jakarta: Raja
Grafindo Persada 1997), cet. Ke- II, hal. 29
2
yaitu usaha untuk membersihkan jiwa dengan cara berdzikir dan mengarahkan
kehidupannya agar dia bisa sedekat mungkin dengan sang maha pencipta yaitu
dengan menjalankan semua perintah dan menjauhi semua larangan Allah swt.
Dengan menempuh berbagai tahapan-tahapan (Maqamat) dibawah bimbingan
Guru/Mursyid.3
Salah satu metode yang sering diajarkan di dalam tarekat adalah Zuhud. arti
kata Zuhud adalah tidak ingin kepada sesuatu yang berhubungan dengan duniawi
sehingga membuatnya lupa kepada suatu zat yang maha sempurna yaitu Allah swt.
Menurut istilah Zuhud adalah berpaling dan meninggalkan sesuatu yang disayangi
yang bersifat material atau kemewahan duniawi (Hubbud Dunia) dengan
mengharap dan menginginkan sesuatu wujud yang lebih baik dan bersifat spiritual
atau kebahagiaan yang hakiki (kebahagiaan diakhirat).
Dalam perjalanan seorang sufi “Hubbud Dunia” sesuatu yang harus
dihindari karena dianggap dapat memalingkan hati dari mengingat tujuan
perjalanan sufi yaitu untuk selalu mengingat Allah swt. Namun, ada yang
berpendapat bahwa zuhud bukan berarti semata-mata tidak mau memiliki harta
benda dan tidak suka menikmati nikmatnya dunia, tetapi sebenarnya adalah kondisi
mental yang tidak mau terpengaruh oleh harta dan kesenangan duniawi dalam
mengabdikan diri kepada Allah swt. Artinya, harta bukan jadi penghalang untuk
beribadah kepada Allah swt.4
3 Mahmud Suyuti, Politik Tarekat Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyyah
Jombang. (Yogyakarta: Galang Press, 2001), hal. 52 4 Ahmad Daudy, Kuliah Ilmu Tasawuf. (Jakarta: Bulan Bintang, 1998), hal.
52
3
Tarekat Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyyah merupakan gabungan dari dua tarekat
yaitu: Qodiriyyah dan Naqsyabandiyyah. Penggabungan kedua tarekat tersebut
dimodifikasi sedemikian rupa sehingga terbentuk sebuah tarekat yang mandiri dan
berbeda dari tarekat induknya. Perbedaan itu terutama terdapat dalam bentuk-
bentuk Riyadah dan ritualnya.5
Tarekat ini berkembang dengan cukup pesat ke berbagai wilayah di
Indonesia setelah Syekh Ahmad Khatib Sambas wafat dan digantikan oleh
muridnya yaitu Syekh Abdul Karim al-Bantani sebagai Syekh tertinggi. Syekh Abd
al-Karim adalah pimpinan pusat terakhir yang diakui dalam tarekat ini.6
Sehubunga dengan berkembangnya tarekat di berbagai wilayah di Indonesia
khususnya di wilayah Banten. Banten diidentikan sebagai wilayah religius dan
terkenal dengan negrinya para ulama (kiyai). Islam adalah agama yang dianut oleh
mayoritas masyarakat Banten. Karena Banten merupakan wilayah religius tentunya
para ulama menduduki posisi terhormat dalam struktur sosial masyarakat Banten
bahkan Peran ulama memiliki peran penting bagi masyarakat Banten baik pada
masa kesultanan, masa kolonial, masa kemerdekaan bahkan sampai saat ini para
ulama sangat berpengaruh besar dalam menata sistem kemasyaratan, sosial,
pendidikan dan budi pekerti masyarakat Banten. Pada masa kesultanan, para sultan
sangat menghargai dan menghormati para ulama bahkan Sultan Ageng Tirtayasa
disepanjang waktunya selalu ditemani oleh para ulama. Karena itu, ia mampu
menjaga reputasi Banten sebagai pusat pendidikan Islam yang penting di Nusantara.
5 Zurkani Yahya, Asal-usul Tarekat Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyyah dan
Perkembangannya. (Tasikmalaya: IALM, 1990), hal. 83 6 Martin Van Bruinessen, Tarekat Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyyah.
(Bandung: Mizan Anggota IKAPI, 1992), hal. 92-94
4
Pada masa kesultanan ulama diberikan kedudukan yang tinggi dalam hal birokrasi
kesultanan. Qadhi (Penghulu), satu posisi yang diberikan oleh Sultan kepada para
ulama yang ahli dalam hukum Islam, memiliki peran penting dalam mengambil
keputusan atas setiap kebijakan yang dibuat oleh Sultan.7
Sebagai putra daerah provinsi Banten saya teringat kepada salah satu tokoh
Ulama karismatik yang ada di Caringin Pandeglang-Banten yang bernama K.H.
Asnawi atau biasa dikenal dengan nama Syekh Asnawi. Syekh Asnawi merupakan
pendiri dari masjid Agung As-salafi Caringin (1884-1889), ia juga merupakan
pendiri dari sekolah pendidikan Islam Madrasah Masyariqul Anwar yaitu dibangun
pada tahun 12 Mei 1930. Hingga sampai sekarang sekolah Madrasah Aliyah
Mayariqul Anwar, dari dulu sampai sekarang masih berdiri kokoh dan masih aktif
dalam melakukan kegiatan belajar mengajar (KBM).8
Syekh Asnawi merupakan murid dari Syekh Ahmad Khatib As-Syambasi. Dalam
langkah yang dilakukan oleh Syekh Asnawi dalam menyebarkan agama Islam di
Caringin Pandeglang-Banten yaitu melalui Ajaran tareqat “Qodiriyyah Wa
Naqsyabandiyyah” yang telah diajarkan oleh gurunya. Namun, Syekh Asnawi tidak
lama berguru kepadanya dikarenakan tuan Syekh sudah lanjut usia beliaupun wafat
ahirnya Syekh Asnawi memantapkan ilmu tarekatnya kepada murid Syekh Ahmad
Khatib As-Sambasi seorang ulama Banten yang bernama Syekh Abdul Karim al-
Bantani. Dalam upaya menyebarluaskan agama Islam di Caringin tidak hanya
7 Helmy Faizi Bahrul Ulumi, dkk, Biografi Abuya Muqri Sang Pejuang
Perlawanan Kaum Tarekat 1926 di Banten. Tim Peneliti Laboratorium Bantenologi
IAIN Sultan Maulana Hasanudin Banten, hal. 1-4 8 Raden Ahmad Syaukatudin Inayah, Ringkasan Sejarah Hidup dan
Perjuangan Syekh Asnawi. (Caringin: Badan Kenadziran Maqbaroh, 2000), hal. 10-
19
5
mengajarkan ajaran tarekat Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyyah saja tetapi
menggunakan metode dakwah serta metode pendidikan berbasis Pondok
Pesantren.9 Hingga sampai sekarang tumbuh dan berkembang pesat dibuktikan
dengan adanya Majlis-majlis pengajian dan berdirinya Pondok-pondok Pesantren
serta berdirinya sekolah Madrasah Aliyah Masyariqul Anwar.
Dengan bekal ilmu yang beliau dapat dari gurunya. Ahirnya Syekh Asnawi
mulai berfatwa mengajarkan ilmu-ilmu agama berbasis pondok pesantren dan
mengajarkan ajarannya tarekat Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyyah di wilayah
Caringin. Pada ahirnya berduyun-duyun masyarakat Banten hususnya masyarakat
Caringin berkunjung untuk mempelajari ilmu-ilmu yang beliau ajarkan. Yang
awalnya wilayah Caringin penuh dengan kemaksiatan, jauh dari nilai-nilai syari’at
Islam, penuh dengan kejahatan, kemungkaran dan kemusyrikan belum lagi situasi
politik pada saat itu tidak menentu diakibatkan oleh para penjajah ahirnya banyak
masyarakat Caringin yang terbunuh akibat kelaparan, kesengsaraan akibat dari
kerja paksa, dan melakukan pemberontakan terhadap para penjajah. Maka kondisi
seperti ini masyarakat Caringin membutuhkan sosok seorang tokoh ulama yang bisa
menata kehidupan baik kehiduan sosial maupun kehidupan beragama, dengan
adanya ajaran yang diajarkan Syekh Asnawi bisa merubah prilaku masyarakat
sehingga kemaksiatan, kemungkaran dan kemusyrikan berangsur-angsur lenyap
menjelmalah jadi masyarakat Islami.10
9 Raden Ahmad Syaukatudin Inayah, Ringkasan Sejarah Hidup dan
Perjuangan Syeikh Asnawi Caringin-Pandeglang-Banten, hal. 5-8 10 Raden Ahmad Syaukatudin Inayah, Ringkasan Sejarah Hidup dan
Perjuangan Syeikh Asnawi Caringin-Pandeglang-Banten, hal. 5-8
6
Ahirnya Caringin penuh dengan para santri, Caringin pun menjadi tempat
memperdalam ilmu-ilmu agama yang diajarkan oleh Syekh Asnawi dengan ajaran-
nya tarekat Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyyah. Namun pada tahun 1883 atas
kekuasaan Allah Swt gemparlah seluruh pesisir Selat Sunda Caringin pun menjadi
gelap gulita sehingga tak lama kemudian meletusnya Gunung Krakatau di Selat
Sunda yang tecatat dalam sejarah dunia akan kedahsatan letusan Gunung Krakatau
yang membawa malapetaka terhadap masyarakat Banten khususnya di desa
Caringin peristiwa tersebut menelan korban kurang lebih 36.417 korban jiwa.
Namun, sebelum meletusnya Gunung Krakatau adanyan tanda-tanda akan
meletusnya Gunung Krakatau lalu Syekh Asnawi dan bersama segenap keluarganya
pergi berevakuasi kesebuah dusun yang terletak di daerah Menes yaitu Desa Muruy
untuk sementara waktu. Setelah letusan Gunung Krakatau dan air laut mulai surut,
maka kembalilah Syekh Asnawi ke kampung halamannya di Desa Caringin.
Sekembalinya ke Caringin keadaan kampung tersebut sangat menghawatirkan
seluruh desa Caringin telah hancur semua bangunan telah rata dengan tanah. Maka
pada tahun 1884 Syekh Asnawai beserta seluruh masyarakat membangun kembali
sebuah Masjid di Caringin yang akan menjadi pusat segala ajaran Islam bagi
masyarakat Banten umumnya khususnya masyarakat Caringin. Masjid itu diberi
nama ”Masjid Agung As-salafi” yang sampai sekarang masih berdiri kokoh.
Pembangunan Mesjid itu selesai pada tahun 1889. Pembangunan itu bertujuan
untuk membangun kembali peradaban masyarakat di sekitar wilayah Caringin yang
hancur akibat letusan Gunung Krakatau.11
11 Raden Ahmad Syaukatudin Inayah, Ringkasan Sejarah Hidup dan
Perjuangan Syeikh Asnawi Caringin-Pandeglang-Banten, hal. 9-10
7
Syekh Asnawi tidak hanya aktif berdakwah dalam mensiarkan ajaran Islam
khususnya mengajarkan ajaran tarekat Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyyah saja.
Tetapi beliau juga aktif dalam melawan penjajah Belanda. Beliau mengobarkan
semangat kepada para Santri untuk melawan dan menentang kolonialisme Belanda.
Apalagi pada waktu itu seluruh wilayah Banten berhasil dikuasai penjajah. Banten
dikenal sebagai tempat lahirnya para Pemberontak Belanda bukan hanya dari
kalangan rakyat biasa melainkan dari kalangan para Ulama. Terbukti bahwa Syekh
Asnawi menjadi seorang pemimpin gerakan protes sosial pada tanggal 12
November 1926 di Labuan maka Syekh Asnawi dituduh oleh pemerintah kolonial
Belanda sebagai pemberontak.12 Alhasil, Syekh Asnawai beserta keluarga dan
beserta para laskar Mujahidin ditahan oleh penjajah Belanda ke Batavia selama satu
tahun sembilan bulan dengan tuduhan melakukan pemberontakan selain ditahan di
Batavia Syekh Asnawi pun diasingkan ke Cianjur selama dua setengah tahun dari
kegigihan beliau dalam hal berdakwah dan aktif melawan penjajah Belanda
membuat rakyat Banten simpatik dan ikut serta dalam melawan penjajah Belanda.13
Para ulama Banten dengan semangat jihad, semangat anti kafir dan
semangat anti penjajah Belanda menjadi motor penggerak untuk berbagai gerakan
sosial yang marak pada abad ke-19. Gerakan pemberontakan bukan hanya di
tujukan kepada pemerintah Kolonial melainkan juga kepada penguasa pribumi
yang dianggap sebagai kaki tangan pemerintah Kolonial Belanda. Pada abad ke-19
Masehi bagi sejarah Banten merupakan fase bergolaknya rakyat Banten
12 Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, (Bandung: PT. Grafindo
Media Pratama, Juli 2009), cet. Ke-1, hal. 499 13 Raden Ahmad Syaukatudin Inayah, Ringkasan Sejarah Hidup dan
Perjuangan Syeikh Asnawi Caringin-Pandeglang-Banten, hal. 14-18
8
menghadapi penjajahan Belanda. Meskipun sejak diawal abad ke-19 secara formal
kesultanan Banten telah dihapuskan oleh pemerintah Hindia Belanda.14 Maka
kondisi semacam ini telah melahirkan perlawananan-perlawanan para ulama serta-
santri dan seluruh rakyat Banten yang ditujukan terhadap kekuasaan kolonial.15
Proses kekuasaan dan kehadiran penjajah yang demikian menyengsarakan rakyat,
menjadi modal kebencian orang Banten terhadap Api penjajah untuk melawan
penjajah Belanda.
Alasan tersebut lah yang mendorong penulis untuk meneliti lebih lanjut
seorang tokoh ulama yang ada di Caringin Pandeglang-Banten. Maka judul yang
penulis angkat adalah: “Pengaruh Ajaran Tarekat Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyyah
Syekh Asnawi di Caringin Pandeglang-Banten”.
B. Identifikasi Masalah
Kebanyakan masyarakat Banten khususnya masyarakat Caringin mengenal
Syekh Asnawi hanya dari penggalan-penggalan cerita secara lisan dari para sesepuh
atau dari orang tua mereka bahkan ada juga hanya mengenal namanya saja tanpa
mengetahui bagaimana biografi, peran dan kiprah Syekh Asnawi ditengah
masyarakata Banten semasa hidupnya dimasa penjajahan, dan tidak mengetahui
bagaimana upaya proses Islamisasi yang dilakukan Syekh Asnawi ketika
menyebarluaskan agama Islam di wilayah Caringin-Banten melalui ajaran tarekat
Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyyah ditengah penjajahan.
14 Nina Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah: Ulama, Sultan, dan
Jawara. (Jakarta: Pustaka LP3S Indonesia,2004), hal. 88-89 15 Halwany Michrob, Catatan Masa Lalu Banten, (Serang: Saudara, 1993),
hal. 187-193
9
C. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah yang penulis deskripsikan diatas, maka perlu
dilakukan penelitian mengenai seorang tokoh ulama Syekh Asnawi. Karena itu,
penulis berupaya menelusuri berbagai peristiwa dan permasalahan pada situasi
yang dialami. Untuk memperjelas apa yang akan dibahas dalam skripsi ini, maka
penulis merumuskan masalahnya sebagai berikut: Bagaimana Pengaruh Ajaran
Tarekat Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyyah Syekh Asnawi di Caringin Pandeglang-
Banten ?
D. Tujuan Peneletian
Berdasarkan pada apa yang telah penulis kemukakan dalam Latar Belakang
Masalah dan perumusan masalah di atas, maka tujuan dan manfaat penelitian ini
sebagai berikut:
1. Memperkenalkan salah satu tokoh ulama (Syekh Asnawi) di Caringin
Pandeglang-Banten. Dengan ajarannya tarekat Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyyah.
Kedalam lingkungan Akademik, yakni Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Penulis ingin mengetahui sejauh mana pengaruh ajaran tareqat Qodiriyyah Wa
Naqsyabandiyyah Syekh Asnawi terhadap masyarakat Caringin
3. Penulisan karya ilmiah ini ditujukan sebagai salah satu syarat untuk memenuhi
sebagian persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana pada Fakultas Ushuluddin,
Prodi Studi Akidah dan Filsafat Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
10
E. Manfaat Penelitian
1. Penulis dapat mengetahui dan memahami ajaran tarekat, khususnya tarekat
Qodariyyah Wa Naqsyabandiyyah tidak hanya pada tataran teoritis saja namun
pada tataran praktis
2. Penulis dapat mengetahui sejauh mana pengaruh Syekh Asnawi terhadap
masyarakat Caringin
3. Penulis dapat mengetahui sejarah dan perkembangan terekat Qodiriyyah Wa
Naqsyabandiyyah hingga sampai ke Caringin
4. Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman bagi
mahasiswa, khususnya bagi mahasiswa Fakultas Ushuluddin Jurusan Aqidah dan
Filsafat Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tentang pentingnya kebiasaan
membaca, meneliti, dan menganalisa suatu masalah dalam segala hal, yang
selanjutnya dikemas dalam sebuah karya tulis.
F. Tinjauan Pustaka
Studi tentang tokoh Syekh Asnawi pada dasarnya telah dilakukan oleh
peneliti terdahulu. Namun penjelasannya hanya secara umum saja, seperti dalam
karyanya Helmy Faizi Bahrul Ulumi, dkk ”Biografi Abuya Muqri Sang Pejuang
Perlawanan Kaum Tarekat 1926 di Banten”. Dalalm buku ini dijelaskan tentang
riwayat hidup Abuya Muqri dan dijelaskan pula pemberontakan rakyat Banten di
sepanjang abad ke-19, gerakan kaum tarekat serta peralawanan kaum tarekat
terhadap kolonial Belanda di Banten. Pemberontakan ini dipimpin langsung oleh
ulama tarekat seperti peristiwa Geger Cilegon pada 9 juli 1888 yang dipimpin oleh
Ki Wasyid dan pemberontakan di Labuan pada tahun 1926 yang dipimpin langsung
11
oleh Syekh Asnawi dan kedua tokoh aktivis pemberontakan Labuan yaitu: K.H.
Ahmad Khatib dan K.H. Muqri.
Namun, yang membedakan skripsi ini dengan buku itu, di dalam karyanya
Helmy Faizi Bahrul Ulumi, dkk tidak dijelaskan secara jelas silsilah keturunan dan
silsilah guru-guru tarekat Syekh Asnawi dia menjelaskan tokoh Syekh Asnawi
hanya secara umum saja dalam peran dan kiprah Syekh Asnawi dalam hal melawan
penjajah Belanda yaitu pada peristiwa pemberontakan di Labuan pada tahun 1926.
Namun demikian, keluasan metodologi dan kekayaan faktual dalam buku tersebut
dapat dijadikan pangkal bagi studi lanjutan mengenai tokoh Syekh Asnawi.
Adapula dalam karyanya Yayat Ahdiat Mahasiswa Universitas Indonesia
Fakultas Sastra dalam bidang Arkeologi yaitu dengan judul skripsi “Mesjid
Caringin Pandeglang Jawa Barat (Tinjauan Arsitektur)”. Dalam skripsi ini
dijelaskan tentang gambaran umum dan sejarah desa Caringin serta peninggalan
sejarah Mesjid Agung As-salafi (Tinjauan Arsitektur) dijelaskan pula sejarah
kesultanan Banten (abad ke XVI-XIX), yaitu dari fase awal pertumbuhan,
perkembangan dan fase kemunduran.
Yang membedakan skripsi ini dengan karyanya Yayat Ahdiat. Dalam
skripsi ini dijelaskan tentang pengaruh ajaran tarekat Qodiriyyah Wa
Naqsyabandiyyah Syekh Asnawi di Caringin Pandeglang-Banten. Maka, di
dalamnya membahas tentang peran dan kiprah Syekh Asnawi terhadap masyarakat
Caringin dalam hal menyebarluaskan agama Islam melalui metode dakwah dan
ajaran tarekat Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyyah. Dalam karyanya Yayat Ahdiat
12
tidak dilukiskan secara mendalam tentang pengaruh ajaran tarekat Qodiriyyah Wa
Naqsyabandiyyah Syekh Asnawi terhadap masyarakat Caringin.
Adapula dalam buku : “Api Sejarah” karya Ahmad Mansur Suryanegara.
Dalam buku ini dijelaskan tentang peran dan kiprah perjuangan para ulama dan
santri senusantara dalam hal menyebarkan agama Islam dan melakukan
pemberontakan terhadap para penjajah untuk menegakan kesatuan Republik
Indonesia. Dalam buku ini juga sekilas dijelaskan tentang tokoh Syekh Asnawi.
Yang membedakan skripsi ini dengan buku Api Sejarah. Skripsi ini
menjelaskan tentang peran dan kiprah serta pengaruh Syekh Asnawi sebelum dan
sesudah menyebarluaskan agama Islam melalui ajarannya tarekat Qodiriyyah Wa
Naqsyabandiyyah terhadap masyarakat Caringin. Dalam karya Ahmad Mansur
Suryanegara tidak dijelaskan dia hanya menjelaskan peran Syekh Asnawi secara
singkat dalam melakukan pemberontakan di Labuan pada tahun 1926.
Dalam buku, “Biografi Ulama Banten seri ke-1 satu ( Dinas Kebudayaan
dan Pariwisata Provinsi Banten dan Laboratorium Bantenologi IAIN SMH
Banten”. Dalam buku ini, dijelaskan tentang biografi para ulama Banten serta peran
dan kiprah para ulama Banten dalam menyebarluaskan agama Islam. Dalam buku
ini juga dijelaskan tentang peran dan kiprah Syekh Asnawi dalam pemberontakan
tahun 1926 di Labuan.
Yang membedakan skripisi ini dalam buku itu, skripsi ini memberikan
penjelasan secara mendalam tentang bagaimana pengaruh Syekh Asnawi dengan
ajaran tarekat Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyyah terhadap masyarakat Caringin
dengan metode pendidikan berbasis pondok pesantren dan dakwah. Dalam skripsi
13
ini juga dijelaskan tentang silsilah garis keturunan dan silsilah guru tarekat
Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyyah Syekh Asnawi. Dalam karyanya Mufti Ali, dkk
tidak dijelaskan.
Gerakan kaum tarekat pada dasarnya telah banyak dilakukan oleh peneliti
terdahulu. Adapun studi yang lebih memperhatikan aspek-aspek sosiologis dari
gerakan kaum sufi, telah dilakukan oleh Sartono Kartodirdjo dalam karyanya
“Pemberontakan Petani Banten 1888”. Yang memfokuskan pembahasannya
mengenai gerakan sosial dalam pengertian yang umum.
Kartodirdjo menunjukan peran-peran sosial mereka yang berlangsung dalam
peristiwa sejarah abad 19 melalui jaringan sosial tarekat dengan ajaran-ajaran
mereka yang lebih bersifat mesianik. Namun begitu, keluasan metodologi dan
kekayaan faktual dalam buku tersebut dapat dijadikan pangkal bagi studi lanjutan
gerakan sosial bagi kaum tarekat.
Yang membuat perbedaan skripsi ini, dengan buku itu adalah bahwa skripsi
ini pembahasannya menekankan pada pengaruh tokoh Syaikh Asnawi yaitu salah
satu tokoh yang paling berpengaruh yang ada di Caringin Pandeglang-Banten
melalui ajaranya tarekat Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyyah. Dalam skripsi ini
memberikan penjelasan secara mendalam tentang Pengaruh Ajaran tarekat
Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyyah Syekh Asnawi di Caringin Pandeglang-Banten.
Dalam karya Sartono tidak dilukiskan secara jelas.
G. Metode Penelitian
Untuk memecahkan masalah yang telah dijelaskan tadi, maka penelitian
yang akan dilakukan ini mengunakan metode penelitian kualitatif agar
14
memeperoleh informasi yang objektif dan mendapatkan data-data dari sumbernya.
Metode penelitian kualitatif ini bertujuan untuk mengumpulkan data-data serta
menghasilkan suatu pengkajian yang mendalam dalam upaya menemukan
perspektif baru tentang hal-hal dan fenomena yang ada berdasarkan data fakta yang
otentik dalam penelitian. Teknik wawancara digunakan dalam penelitian ini agar
dapat memperoleh informasi tentang seorang tokoh dan keadaan sekitarnya.
Peneliti ini akan menggali informasi mengenai data-data yang berkaitan dengan
penelitian dari berbagai sumber baik dari hasil wawancara ataupun dari buku-buku
yang berkaitan dengan pembahasan ini, dan juga dibantu dengan informan-
informan lain. Data-data tersebut nantinya akan dirangkum dan diseleksi agar bisa
dimasukan dalam kategori yang sesuai dengan masalah yang diteliti.
Peniliti memilih jenis pendekatan ini didasari dengan alasan pendekatan kualitatif
ini digunakan karena data-data yang dibutuhkan berupa informasi mengenai suatu
gejala fenomena yang terjadi disuatu daerah atau pada masyarakat dalam daerah
tersebut, dalam penelitian ini data-data diambil dari narasumber langsung.
1. Sumber Data
Data merupakan sumber informasi yang didapatkan oleh penulis melalui
penelitian yang dilakukan. Dalam melakukan pengumpulan data penulis terlebih
dahulu memperhatikan kualifikasi sumber data yang relevan dengan penelitian
yang dilakukan. Maka data yang diperoleh melalui dua sumber, yaitu data Primer
dan data Sekunder.
Pertama, sumber data primer merupakan sumber data utama dalam
penelitian. Mengingat bahwa penulisan skripsi ini membahas tentang pengaruh
15
tokoh dengan gerakan tarekat Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyyah. Maka yang
menjadi sumber primer yaitu penulis melakukan wawancara langsung kepada
narasumber; seperti wawancara kepada pimpinan Yayasan Pondok Pesantren
Masyariqul Anwar yaitu KH. Raden Ahmad Syaukatudin Inayah (cucu Syekh
Asnawi), dan juga wawancara dengan Drs H. Ois Kholid yang merupakan cucu
Syekh Asnawi sekaligus kepala sekolah Madrasah Aliyah Masyariqul Anwar pusat
Caringin. Selain itu dari wawancara, penulis mengambil sumber dari buku-buku
yang berkaitan dengan tokoh seperti buku Ringkasana Sejarah Hidup dan
Perjuangan Syekh Asnawi Caringin Pandeglang-Banten. Karya: KH. Raden Ahmad
Syaukatudin Inayah.
Selain wawancara sumber kedua yang merupakan sumber pendukung dari
sumber Primer yaitu data sekunder penulis menggunakan metode kepustakaan
(library Research) yang mana metode dalam penelitian ini nantinya mengunakan
teori-teori yang diambil dari buku-buku atau literatur yang mendukung dan relevan
dengan judul skripsi ini.
2. Analisis Data
Adapun pembahasannya, penulis menggunkan pendekatan deskriptif
analitis yaitu pendekatan dengan cara mengumpulkan data-data yang berkaitan
dengan masalah yang diteliti kemudian dideskriptifkan secara aktual, akurat dan
sistematik untuk memperoleh kejelasan masalah yang diteliti dan dapat menjawab
permasalahan-permasalahan tersebut serta menganalisisnya. Penulis menggunakan
metode kualitatif yaitu suatu proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan
pada metedologi yang menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah manusia.
16
Pada pendekatan ini, peneliti membuat suatu gambaran kompleks, melakukan
wawancara kepada narasumber dan melakukan studi pada situasi yang dialami.
3. Tekhnik Penulisan
Teknik penulisan yang akan digunakan penulis dalam pembuatan Skripsi ini
adalah mengacu kepada buku Pedoman Akademik Tahun 2013/2014 Program
Strata 1 Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, yang
diterbitkan oleh Biro Administrasi Akademik dan Kemahasiswaan Universitas
Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
H. Sistematika Penulisan
Untuk lebih mempermudah pembahasan dan penulisan dalam skripsi ini,
Penulis mengklasifikasikan dalam lima bab yang sistematis. Sehingga dapat
ditemukan jawaban atas persoalan yang dibahas dalam skripsi ini. Skripsi ini
disusun dalam lima bab yang sistematis seperti berikut:
Bab I adalah bagian pendahuluan yang membicarakan tentang pendahuluan
dari skripsi ini. Di dalamnya dibahas mengenai beberapa permaslahan pokok seperti
Latar belakang masalah; yaitu gambaran besar yang akan dibahas dalam skripsi ini.
Identifikasi dan Rumusan Masalah; setelah dilakukan identifiksi masalah maka
perlu adanya batasan dan rumusan masalah yaitu untuk membatasi dan
merumuskan masalah apa saja yang akan dibahas dalam skripsi ini. Tujuan
Penelitian; yaitu penjelasan tentang apa saja tujuan penelitian dalam skripsi ini.
Tinjauan Pustaka; berupaya meninjau baik dari buku-buku maupun skripsi-skripsi
yang sudah ada dengan skripsi ini untuk sebuah perbandingan. Metode Penelitian;
dalam karya ilmiah ini penulis menggunakan metode kualitatif. Sistmatika
17
Penulisan; yaitu pembahasan untuk mengklasifikasikan dalam beberapa bab agar
lebih sistematis.
Bab II yang berisi hasil penelitian. Penulis mencoba untuk memaparkan
pokok bahasan yang berkenaan dengan Biografi Tokoh, seperti riwayat hidup
Syekh Asnawi; yaitu membahas dari masa hidup sampai wafatnya Syekh Asnawi,
mulai dari kelahiran, garis keturunan, dan pendidikan Syekh Asnawi. Syekh
Asnawi sebagai tokoh Pendidikan; membahas tentang awal mula munculnya ide
pembangunan sebuah lembaga pendidikan Islam ditengah penjajahan Belanda.
Syekh Asnawi sebagai ulama yang dihormati; membahas tentang dimana ketika
Syekh Asnawi mendapat sambutan hangat dari masyarakat Caringin maupun
masyarakat diluar Banten pada tahun 1920-an. Karomah Syekh Asnawi; membahas
tentang karomh-karomah yang ada di diri Syekh Asnawi ketika masih hidup
maupun wafat.
Bab III penulis memaparkan beberapa hal yang mengeni tentang gambaran
umum tarekat Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyyah yaitu membahas tentang definisi
tarekat; membahas tentang pengertian tarekat. Asal-usul tarekat Qodiriyyah Wa
Naqsyabandiyyah; membahas sejarah awal mula berdiri dan perkembangan ajaran
tarekat Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyyah di Indonesia mulai dari pendirinya (Syekh
Ahmad Khatib Sambas), sampai kepada para murid-muridnya. Sejarah masuknya
tarekat Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyyah di Caringin; membahas awal mulai
masuknya ajaran tarekat Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyyah ke Caringin yang
diajarkan oleh Syekh Asnawi dimasa penjajah Belanda. Ajaran tarekat Qodiriyyah
Wa Naqsyabandiyyah; membahas tentang ajaran di dalam tarekat Qodiriyyah Wa
18
Naqsyabandiyyah seperti; kesempurnaan suluk, hubungan guru dengan murid
(adab murid terhadap guru) dan jenis dzikir.
Bab IV penulis mencoba untuk melakukan pembahasan yang bersifat
analisis kritis terhadap Pengaruh Ajaran Tarekat Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyyah
Syekh Asnawi di Caringin Pandeglang-Banten. Yakni, bagaimana pengaruh ajaran
tarekat Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyyah Syekh Asnawi terhadap masyarakat
Caringin Pandeglang-Banten; yaitu membahas tentang Bagaimana kondisi
masyarakat Caringin sebelum Syekh Asnawi menyebarluaskan ajaran Islam dengan
pendekatan Tasawuf terhadap masyarakat Caringin, dan bagaimana kondisi
masyarakat Caringin setelah Syekh Asnawi menyebarkan agama Islam dan
mengajarkan ajaran tarekat Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyyah terhadap masyarakat
Caringin Pandeglang-Banten.
Pada bagian bab terakhir yaitu sebagai Penutup atau kesimpulan dari
keseluruhan permasalahan penelitian dalam bentuk skripsi ini. Maka dalam bab ini
dijelaskan mengenai beberapa kesimpulan sebagai jawaban dari inti pembahasan
pada bab-bab yang dijelaskan sebelumnya penulis mencoba menjelaskan hasil
penelitian mengenai permasalahan yang dikaji pada penulisan skripsi ini yaitu
mengenai Pengaruh Ajaran Tarekat Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyyah Syekh
Asnawi di Caringin Pandeglang-Banten. Selain itu, dalam bab ini juga terdapat
saran-saran yang bisa digunakan bagi para pembaca agar lebih baik dalam penulisan
selanjutnya. Sehingga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
19
19
BAB II
GAMBARAN UMUM TAREKAT QODIRIYYAH WA
NAQSYABANDIYYAH
A. Definisi Tarekat
Kata tarekat berasal dari bahasa arab yaitu thoriqoh, jamaknya thoroiq yang
berarti “jalan” atau “metode” yang mengacu kepada aliran keagamaan tasawuf atau
sufisme dalam Islam. Secara konseptual tarekat merupakan metode khusus yang
ditempuh oleh seorang salik (para penempuh jalan) untuk mendekatkan diri kepada
Allah swt dengan melalui tahapan-tahapan/Maqamat dibawah bimbingian seorang
guru.1
Secara terminologi, pengertian tarekat bisa kita lihat dari ungkapan
Zamakhsyari Dhofier, yang mengartikannya sebagai suatu kelompok organisasi
(dalam lingkungan Islam tradisional) yang melakukan amalan-amalan zikir tertentu
dan menyampaikan sumpah yang formulanya telah ditentukan oleh pimpinan
organisasi tarekat tersebut.
Pengertian yang hampir sama dikemukakan oleh Abbas Husayn Basri,
bahwa tarekat merupakan sebuah jalan yang ditempuh berdasarkan syari’at Allah
swt dan peraturannya, mengikuti perintah rasulullah saw yang datang dengan segala
petunjuk dan cahaya kebenaran.2
1Ahmad Daudy, Kuliah Umum Tarekat Tasawuf, (Jakarta: Bulan Bintang,
1998), Cet. Ke-I, hal. 73 2 L. Hidayat Siregar, Tarekat Doktrin dan Sejarah (Bandung: Citapustaka
Media Perintis, 2008), hal. 14-16
20
Tarekat juga diartikan sebagai metode praktis untuk membimbing seseorang
dengan jalan berpikir, merasa dan bertindak melalui tahap-tahap kesinambungan ke
arah pengalaman tertinggi yaitu Hakikat. Di dalam tarekat terdapat seorang guru
yang disebut Mursyid yang berfungsi sebagai pembimbing, pimpinan sekaligus
menjadi tokoh sentral bagi para penganutnya yang disebut murid. Para Mursyid itu
memiliki kedudukan bertingkat-tingkat dalam suatu susunan hierarkis piramidal
wasilah yang berpuncak pada Mursyid terbesar yang biasanya sebagai pendiri aliran
tarekat, dan namanya menjadi aliran tersebut. Semua aliran tarekat dalam susunan
wasilah hierarkis itu selalu berakhir pada diri Rasulullah Muhammad saw.3
Kata “thariqat” juga telah Allah sebutkan dalam al-Qur’an sebanyak 9 kali
dalam 5 surat, dengan mengandung beberapa arti sebagai berikut:
1. Surat An-Nisa: 168
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan melakukan kedzoliman, Allah
sekali-kali tidak akan mengampuni (dosa) merek dan tidak pula akan menunjukan
jalan kepada mereka”. (QS. An-Nisa:168)
2. Surat An-Nisa: 169
“Melainkan ke Neraka Jahanam, mereka kekal di dalamnya selama-
lamanya. Dan yang demikian itu adalah mudah bagi Allah”. (QS. An-Nisa: 169
3 Radja Mu’tasim dan Abdul Munir Mulkhan. Bisnis Kaum Sufi,
(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1998), hal. 3
21
3. Surat Thoha: 63
“Mereka berkata:”Sesungguhnya mereka itu adalah benar-benar ahli sihir
yang hendak mengusir kamu dari negeri kamu dengan sihirnya dan hendak
melenyapkan “kedudukan” kamu yang utama”. (QS. Thoha: 63)
Ayat ini menerangkan kedatangan nabi Musa as. Dan Harun ke Mesir, yang
akan menggantikan bani Israil sebagai penguasa di Mesir. Sebagian ahli tafsir
mengartikan kata “Thariqat” dalam ayat ini yaitu dengan “keyakinan” (agama).
Menurut Ibnu Manzhur (630-711 H). Arti “Thariqat” dalam ayat itu adalah “ar-
Rijalul Asyraf” yang bermakna tokoh-tokoh terkemuka. Jadi ayat itu berarti
menjelaskan, kedatangan nabi Musa dan Harun ke Mesir adalah untuk mengusir
kaum dengan sihirnya dan hendak melenyapkan jamaah atau tokoh-tokoh
terkemuka kamu. Keduanya, yakni Musa dan Harun akan melenyapkan sunah dan
agama kamu yang kamu anut.
4. Surat Thoha: 77
“Dan sesungguhnya telah kami wahyukan kepada Musa : “pergilah kamu
dengan hambaku (Bani Israil) di malam hari, maka buatlah untuk mereka jalan
yang kering di Laut itu, kamu usah khawatir akan tersusul dan tidak usah takut
(akan tenggelam). (QS. Thoha: 77)
Kata “Thariqat” dalam ayat ini berarti “Jalan” di Laut dan terbelahnya
Lautan Merah untuk jalan bagi nabi Musa dan para pengikut-pengikutnya. Peristiwa
itu terjadi setelah ia memukulkan tongkatnya.
22
5. Surat Thoha : 104
“Kami lebih mengetahui apa yang mereka katakan ketika mereka berkata
orang yang paling lurus jalannya diantara mereka : “kamu tidak berdiam (di
dunia) melainkan hanyalah sehari saja”. (QS. Thoha : 104).
Adapun yang dimaksud dengan “lurus jalannya” dalam ayat itu ialah orang
yang agak lurus pikirannya atau amalannya diantara orang-orang berdoa itu.
6. Surat al-Ahqaf : 30
“Mereka berkata : “Hai kaum kami, sesungguhnya kami telah
mendengarkan kitab (al-Qur’an) yang telah diturunkan sesudah Musa yang
membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan
kepada jalan yang lurus”. (QS. Al-Ahqaf : 30)
7. Surat Al-Mukminin : 17
“Dan sesungguhnya kami telah menciptakan diatas kamu tujuh buah jalan
(tujuh buah langit) dan kami tidaklah lengah terhadap ciptaan (kamu)”. (QS. Al-
Mukminin : 17)
8. Surat Al- Jin : 11
“Dan sesungguhnya diantara kami ada orang-orang yang saleh dan
diantara kami ada pula yang tidak demikian halnya. Adalah kami menempuh
“jalan yang berbeda-beda”. (QS. Al-Jin : 11)
Al- Farra mengartikan “Kunna Thariqa Qidada” dalam ayat itu dengan
“Kunna Firqan Mukhtalifa” yang bermakna adalah kami beberapa kelompok yang
berbeda-beda.
23
9. Surat Al-Jin : 16
“Dan bahwasanya jikalau mereka tetap berjalan lurus diatas jalan itu
(agama Islam), benar-benar kami akan memberi minuman kepada mereka air yang
segar (rejeki yang banyak)”. (QS. Al-Jin : 16)
Kata “Thariqat” dalam ayat itu berarti agama Islam.
Berdasarkan dari beberapa definisi yang telah dijelaskan diatas, jelaslah
bahwa thariqat adalah suatu jalan atau cara untuk mendekatkan diri kepada Allah
swt, dengan mengamalkan ajaran tauhid, fikih, dan tasawuf.4
Bila ditinjau dari sisi lain tarekat itu mempunyai tiga sistem yaitu : sistem
kerahasiaan, sistem kekerabatan dan sitem hierarki seperti : khalifah tawajjuh,
khalifah suluk, Syekh atau Mursyid, wali atau kutub. Kedudukan guru tarekat
diperkokoh dengan ajaran wasilah atau silsilah. Keyakinan berwasilah dengan guru
dipererat dengan kepercayaan karamah, barakah, syafa’ah atau limpahan
pertolongan dari guru.
Dengan demikian dari definisi tarekat diatas memiliki dua pengertian,
pertama ia berarti metode pemberian bimbingan spiritual kepada individu dalam
mengarahkan kehidupannya menuju kedekatan dirinya kepada tuhan. Kedua,
tarekat sebagai persaudaraan kaum sufi yang ditandai dengan adanya lembaga
formal seperti zawiyah, ribath, atau khanaqah.
Dalam pengamalannya para penganut tarekat memiliki intensitas dan
kecepatan perjalanan spiritual yang berbeda-beda. Ali Nadwi menggambarkan
4A. Fuad Said, Hakekat Tarekat Naqsyabandiyyah (Jakarta: Percetakan
Mutiara Suber Widya, 1996), hal. 1-6
24
perjalanan mistik Rumi seperti burung Rajawali yang bisa dengan cepat tiba di
tangan si Raja, sedangkan perjalanan spiritual Farid al-Din digambarkan merayap
seperti Semut. Bahkan Rumi sendiri mengatakan bahwa seorang sufi Bermikraj ke
Arsy dalam sekejap sang zahid memerlukan satu bulan untuk sehari perjalanan.5
Pada dasarnya dalam tarekat itu tidak terbatas jumlahnya, artinya setiap manusia
semestinya harus mencari dan merintis jalannya sendiri sesuai dengan bakat dan
kemampuan ataupun taraf kebersihan hati mereka masing-masing.6
Karena apabila Allah swt telah memberi petunjuk pada sanubari seseorang,
niscaya akan berlimpah cahaya di dalamnya, akan lapanglah di dalam dadanya,
akan terungkap baginya rahasia kerajaan Langit dan tersingkaplah dari hatinya tabir
kelengahan dengan kelembutan dan rahmat berkilauan baginya hakikat-hakikat
illahi. Maka tiada hal lain baginya kecuali bersiap sedia untuk mensucikan diri
secara totalitas, menghadirkan semangat disertai kemauan yang benar, dengan
keimanan yang sempurna, dan senantiasa bersabar mencari rahmat yang akan
diberikan Allah kepadanya. Dengan bertaqarub kepada Allah swt.
B. Asal-usul Tarekat Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyyah
Di Indonesia terkenal sebuah tarekat bernama tarekat Qadiriyyah Wa
Naqsyabandiyyah. Tarekat ini merupakan tarekat terbesar, terutama di pulau Jawa.
Tarekat Qadiriyyah Wa Naqsyabandiyyah yang ada di Indonesia didirikan oleh
seorang ulama yang menjadi imam besar di masjid al-Haram Mekah al-
5 Mulyadi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, (Jakarta: Erlangga,
2006), hal. 16 6 Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2012). Cet. Ke-II, hal. 39-40
25
Mukaramah. Ia bernama Syekh Ahmad Khatib Sambas ibn Abd Ghaffar al-
Sambasi al-Jawi. Beliau adalah seorang ulama besar dari Indonesia yang tinggal
sampai akhir hayatnya di kota Mekah.7
Tarekat Qadiriyyah Wa Naqsyabandiyyah, merupakan gabungan dari dua
tarekat yang berbeda yaitu tarekat Qadiriyyah dan tarekat Naqsyabandiyyah.
Tarekat Qodiriyyah Wa Naqsabandiyyah ini tidak hanya sebuah kombinasi antara
dua tarekat yang berbeda yang dipraktekkan secara bersama-sama, tetapi tarekat ini
merupakan sebuah tarekat baru dan berdiri sendiri.8
Tarekat Qadiriyyah didirikan oleh Syekh Abd al-Qadir al-Jailani ia lahir di
kota Tibristan pada tahun 471 H (1078 M) dan wafat di kota Baghdad pada tahun
561 H (1166 M). Syekh Abd al-Qadir al-Jailani merupakan seorang Mursyid tarekat
yang menganut Mazhab Hambali. Ia menyerukan kepada para pengikut tarekatnya
agar selalu memegang prinsip tasamuh dan toleransi, ia pun menegaskan kepada
penganut ajaran tarekatnya agar tidak hanya mengajak diri sendiri tetapi juga
mengajak semua makhluk Allah agar seperti mereka.9 Syekh Abd al-Qadir al-
Jailani juga selalu menyeru kepada murid-muridnya agar bekerja keras dalam
kehidupan sebagai bekal untuk memperkuat ibadah yang dihasilkan dari hasil
keringat sendiri. Ia juga melarang kepada muridnya menggantungkan hidup kepada
masyarakat. Syekh Abd al-Qadir al-Jailani juga mengingatkan kepada pengikut
tarekatnya agar tetap perpegang pada Sunah Rasulullah dan Syari’at agama Islam.
7 Zamaksari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup
Kiyai, (Jakarta: LP3ES, 1994), Cet. Ke-6, hal. 17-18. 8 Zulkifli, Sufi Jawa: Relasi Tasawuf-Pesantren, (Yogyakarta: Pustaka Sufi,
2003), hal. 36-37. 9 Fuad Said, Hakikat Tarekat Naqsyabandiyyah. (Jakarta: Pustaka al-Husna
baru, 2012), hal. 14
26
Ia juga mengingatkan bahwa setan banyak menyesatkan ahli tarekat dengan
menggodanya agar meninggalkan syari’at karena sudah melaksanakan tarekatnya.
Perkembangan tarekat Qadiriyyah terus meluas jaringannya hampir ke
seluruh penjuru negeri Islam di dunia penyebaran tarekat ini tidak hanya tersebar di
kota Baghdad saja tetapi tersebar di luar kota Baghdad seperti: Yaman, Syiria,
Mesir, India, Turki, Afrika termasuk Indonesia. Bahkan Manaqib (sejarah kelahiran
dan sejarah keistimewaanya), kini senantiasa mewarnai prosesi ritual Islamiyah di
daerah jawa setidak-tidaknya nama pendiri tarekat ini selalu disebut dalam prosesi
ritual. Ini menunjukan betapa lestarinya ajaran yang dikembangkan oleh sebuah
institusi tarekat. Penyebaran ajaran tarekat yang mudah tersebar ini karena di dalam
ajaran tarekat Qodiriyyah ada kebebasan bagi setiap pengikutnya yang telah
mencapai tingkat Mursyid, untuk tidak terikat dengan metode yang telah diberikan
oleh gurunya. Artinya murid yang sudah mencapai derajat Mursyid diberikan
kebebasan dalam membuat metode Riyadah sendiri. Penyebaran tarekat ini tersebar
kepenjuru dunia Islam dengan tarekat-tarekat baru seperti salah satu tarekat yang
paling banya pengikutnya di Indonesia yaitu tarekat Qodiriyyah Wa
Naqsyabandiyyah.10
Sedangkan tarekat Naqsyabandiyyah didirikan oleh Muhammad Ibn
Muhammad Bahauddin al-Naqsyabandi yang hidup antara tahun 717 H/1317 M -
791 H/1389 M. Ia dilahirkan di desa yang bernama Qashrul Arifin yang terletak
beberapa kilometer dari kota Bukhara, Rusia. Pusat perkembangan tarekat
Naqsyabandiyyah ini tersebar sejak abad ke-12 M, yaitu di daerah Asia tengah.
10 Kharisudin Aqib, al-Hikmah Memahami Teosofi Tarekat Qodiriyyah Wa
Naqsyabandiyyah. (Surabaya: Dunia Ilmu, 1998), hal. 49-50
27
Pada masa itu sudah ada pemimpin laskar yang menjadi guru Ghujdawani.
Sehingga tarekat Naqsyabandiyyah ini berperan penting dalam kerajaan Timurid.
Klimaksnya setelah tarekat ini berada dibawah kepemimpinan Nashiruddin
Ubaidillah al-Ahrar (1404 M-1490 M), maka hampir seluruh wilayah Asia tengah
dikuasai oleh tarekat Naqsyabandiyyah. Tarekat Naqsyabandiyyah mulai masuk ke
India diperkirakan pada masa pemerintahan Babur yaitu pendiri kerajaan Mughal
(w. 1530 M) di India. Karena pada masa kepemimpinan Ubaidillah al-Ahrar yaitu
seorang paman Babur yang tinggal di pemukiman Mongol sudah menjadi pengikut
tarekat Naqsyabandiyyah.11
Kedua tarekat tersebut kemudian dimodifikasi oleh ulama besar asal
Indonesia yang lahir di Sambas Kalimantan Barat (Borneo), yaitu Syekh Ahmad
Khatib Ibn Abd. Ghaffar al-SambasI al-Jawi (1217 H/1802 M – 1289 H/1872 M).
Sebagai seorang yang alim dan ma’rifat kepada Allah, Syekh Khatib Sambas
memiliki otoritas untuk membuat modifikasi tersendiri bagi tarekat yang
dipimpinnya karena dalam Tarekat Qadiriyyah memang ada kebebasan untuk
memodifikasi bagi yang telah mencapai derajat Mursyid. Dalam tarekat Qadiriyyah
apabila seorang murid telah mencapai derajat Syekh seperti gurunya, ia tidak
diharuskan untuk selalu mengikuti tarekat gurunya. Seorang Syekh tarekat
Qadiriyyah berhak untuk tetap mengikuti tarekat guru sebelumnya atau
memodifikasi tarekat yang lain ke dalam tarekatnya. Hal ini karena ada petuah dari
Syekh Abdul Qadir al- Jailani bahwa murid yang telah mencapai derajat gurunya,
11 Kharisudin Aqib, al-Hikmah Memahami Teosofi Tarekat Qodiriyyah Wa
Naqsyabandiyyah. (Surabaya: Dunia Ilmu, 1998), hal. 49-51
28
maka ia jadi mandiri sebagai Syekh dan Allah lah yang menjadi walinya untuk
seterusnya.12
Syekh Ahmad Khatib Sambas sangat berjasa dalam menyebarkan tarekat ini
di Indonesia dan Melayu hingga wafat. Di kota Mekah ia juga menjadi guru
sebagian ulama Indonesia modern dan mendapatkan ijazah. Sekembalinya ke
Indonesia ia menjadi guru tarekat dan mengajarkannya sehingga tarekat ini tersebar
luas di seluruh penjuru Indonesia, diantaranya Syekh Nawawi al-Bantani (wafat
1887 M), Syekh Halil (w. 1918 M), Syekh Mahfuzd Attarmasi (w. 1923 M), dan
Syekh M. Hasyim Asy’ari pendiri NU di Indonesia, Syekh Abdul Karim al-Bantani.
Semuanya merupakan murid Syekh Ahmad Khatib Sambas. Ketokohan Syekh
Ahmad Khatib Sambas yang menonjol adalah di bidang tasawuf. Beliau sebagai
pemimpin atau Mursyid tarekat Qadiriyyah yang berpusat di Mekah pada waktu itu.
Disamping itu beliau juga sebagai Mursyid tarekat Naqsyabandiyyah.13
Pada masanya telah ada pusat penyebaran tarekat Naqsyabandiyyah di kota
suci Mekah dan Madinah sehingga sangat memungkinkan ia mendapat Bai’at
tarekat Naqsyabandiyyah dari kemursyidan tersebut. Kemudian ia menggabungkan
inti kedua ajaran tarekat tersebut, yaitu tarekat Qadiriyyah dan tarekat
Naqsyabandiyyah dan mengajarkan pada murid-muridnya terutama yang berasal
dari Indonesia. Penamaan tarekat Qadiriyyah Wa Naqsyabandiyyah tidak lepas dari
sikap tawadu dan ta’zim Syekh Ahmad Khatib Sambas kepada pendiri kedua
12Abdullah Hawas, Perkembangan Tasawuf Dan Tokoh-Tokohnya Di
Nusantara (Surabaya : Al Ikhlas, 1990), hal. 75
13 Martin Van Bruinessen. Tarekat Naqsyabandiyyah Di Indonesia, Survei
Historis, Geografis Dan Sosiologis. (Bandung: Mizan. 1992), hal. 35
29
tarekat tersebut sehingga beliau tidak menisbatkan nama tarekatnya pada dirinya
sendiri. Padahal kalau melihat modifikasi ajarannya dan tata cara ritual tarekatnya
itu, lebih tepat kalau dinamakan dengan tarekat Khatibiyah atau tarekat
Sambasiyah, karena memang tarekatnya merupakan buah dari ijtihadnya.
Tarekat Qadiriyyah Wa Naqsyabandiyyah yang terdapat di Indonesia
bukanlah hanya merupakan suatu penggabungan dari dua tarekat yang berbeda
yang diamalkan bersama-sama. Tarekat ini menjadi sebuah tarekat yang baru dan
berdiri-sendiri, yang di dalamnya unsur-unsur pilihan dari Qadiriyyah dan
Naqsyabandiyyah telah dipadukan menjadi sesuatu yang baru. Penggabungan inti
dari kedua ajaran ini atas dasar pertimbangan logis dan strategis bahwa kedua ajaran
inti itu bersikap saling melengkapi terutama dalam hal jenis dzikir dan metodenya.14
Tarekat Qadiriyyah menekankan ajarannya pada dzikir jahr nafi isbat yaitu
melafadkan kalimat ”lailahailalah” dengan suara keras, sedangkan tarekat
Naqsyabandiyyah menekankan pada dzikir sirri ismu dzat yaitu melafadkan kalimat
“Allah” dalam hati.
Penyebaran tarekat Qadiriyyah Wa Naqsyabandiyyah diperkirakan sejak
paruh kedua abad ke-19, yaitu semenjak pulangnya kembali murid-murid Syekh
Ahmad Khatib Sambas ke tanah air. Di Kalimantan Barat, daerah asal Syekh
Ahmad Khatib Sambas tarekat ini disebarkan oleh kedua orang muridnya yaitu
Syekh Nuruddin yang berasal dari Philipina dan Syekh Muhammad Sa’ad putra asli
Sambas. Karena penyebaran tidak melalui lembaga formal seperti pesantren maka
14 Aboebakar Aceh. Pengantar Ilmu Tarekat, Uraian Tentang Misti. (Solo:
Ramdhani. 1990), hal. 52
30
tarekat hanya tersebar dikalangan orang awam dan tidak mendapatkan
perkembangan yang berarti.15
Lain halnya di pulau Jawa tarekat ini disebarkan melalui pondok pesantren
yang didirikan dan dipimpin oleh para pengikutnya sehingga mengalami kemajuan
yang pesat. Penyebaran tarekat Qadiriyyah Wa Naqsyabandiyyah di Jawa
dilakukan oleh 3 (tiga) murid Syekh Ahmad Khatib Sambas, yaitu Syekh Abdul
Karim al-Bantani, Syekh Tholhah Cirebon, dan Syekh Ahmad Hasbullah Madura.
Syekh Abdul Karim al-Bantani merupakan murid kesayangan Syekh Ahmad Khatib
Sambas di Mekah. Semula dia hanya sebagai khalifah tarekat Qadiriyyah Wa
Naqsyabandiyyah di Banten, tahun 1876 diangkat oleh Syeikh Ahmad Khatib
Sambas menjadi penggantinya dalam kedudukan sebagai Mursyid utama tarekat ini
yang berkedudukan di kota Mekah. Dengan demikian semenjak itu seluruh
organisasi TQN di Indonesia menelusuri jalur spiritualnya (silsilah) kepada ulama
asal Banten tersebut.
Khalifah dari Syekh Tholhah Cirebon yang paling penting adalah Syekh
Abdullah Mubarrok, belakangan dikenal sebagai Abah Sepuh. Syekh Abdullah
Mubarok melakukan Bai’at ulang dengan Syekh Abdul Karim al-Bantani di Mekah.
Pada dekade berikutnya Abah sepuh membaiat putranya KH. A. Wafa Tadjul Arifin
yang lebih masyhur dengan panggilan Abah Anom. Hingga sekarang Abah Anom
Masih menjadi Mursyid tarekat Qadiriyyah Wa Naqsyabandiyyah di Suryalaya.
15 Zamaksari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup
Kiyai, (Jakarta: LP3ES, 1994), hal. 14.
31
Di bawah kepemimpinan Abah Anom ini, tarekat Qadiriyyah Wa
Naqsyabandiyyah di Suryalaya berkembang sangat pesat. Dengan menggunakan
metode Riyadah dalam tarekat ini Abah Anom mengembangkan psikoterapi
alternatif, terutama bagi para remaja yang mengalami degradasi mental karena
penyalahgunaan obat-obat yang terlarang, seperti, morfin, heroin dan sebagainya.16
C. Sejarah Masuknya Tarekat Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyyah Di Caringin
Melihat dari sejarah bahwa awal mula lahirnya tasawuf ialah diawal
pertama hijriyah, yaitu pada masa sahabat dan tabi’in. Lahirnya tasawuf pada masa
ini sebagai bentuk kekhawatiran terhadap perubahan mental masyarakat di masa
itu. Karena kondisi masyarakat pada masa itu, setelah nabi Muhammad saw dan
para sahabat mengalami perubahan yang signifikan dari aspek sosial dan ekonomi.
Sedangkan dalam hal spiritual, masyarakat lebih banyak berbicara tentang teologi
dan formulasi syari’at.17 Sehingga pada masa itu masayarakat mulai melupakan
persoalan kerohanian. Kondisi semacam ini jelas ditandai dengan mulai
berkembangnya budaya hedonism di tengah masyarakat. Masyarakat pada saat itu,
mulai hidup bermewah-mewahan. Melihat kondisi semacam ini maka muncul lah
tasawuf yang dipimpin oleh para sahabat, tabi’in, tabi’ tabi’in, sebagai upaya untuk
mengingatkan tentang hakikat hidup serta menyeimbangkan antara kehidupan
16 Martin Van Bruinessen. Kitab Kuning, Pessantren Dan Tarekat: Tradisi-
Tradisi Islam Di Indonesia. (Bandung : Mizan. 1995), hal. 126 17 Sri Mulyati, dkk. Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah
di Indonesia. (Jakaarta: Kencana, 2004). Cet. Ke-I, hal. 6-7
32
dunia dan akhirat dan berusaha agar selalu menanamkan semangat ibadah kepada
tuhan dan melakukan pola hidup yang sederhana atau zuhud.18
Pada perkembangan selanjutnya yaitu memasuki abad ke-3 dan ke-4
hijriyah, ajaran tasawuf pada masa ini tidak hanya terfokus kepada pembinaan
moral saja. Tetapi ilmu tasawuf telah berkembang menjadi beberapa cabang yaitu
ilmu jiwa, ilmu akhlak, dan ilmu ghaib (metafisika). Jika pada abad pertama dan
kedua ajaran tasawuf menekankan pada ajaran kezuhudan, tetapi pada abad ke tiga
dan empat sudah mulai belajar tentang wusul dan ittihad dengan tuhan.19
Memasuki abad ke-5 hijriyah ajaran tasawuf suni dan tasawuf falsafi yang
berkembang pada abad ke-3 dan ke-4 hijriyah, pada abad ke-5 terjadi perubahan.
Perubahan itu terjadi karena pada masa itu tasawuf suni makin berkembang
sedangkan tasawuf falsafi mulai tenggelam dan baru muncul kembali disaat
lahirnya para tokoh sufi yang sekaligus seorang filosof. Akan tetapi, pada abad ke-
5 hijriyah ini mulai muncul tarekat dalam pengertian kelompok zikir, baru muncul
sebagai kelanjutan kaum sufi sebelumnya. Hal itu dapat dilihat dari setiap silsilah
tarekat yang selalu dihubungkan dengan nama pendirinya.20
Pada sekitar abad ke-6 dan ke-7 hijriyah ajaran tasawuf falsafi secara
sempurna, mengalami masa perkembangan yang besar dimana ajaran tasawuf ini
sudah mulai terorganisir dengan baik, dan mendalam dalam segi praktek,
pengajaran dan ide. Perkembangan tasawuf pada abad ke-6 dan ke-7 hijriyah ini,
18 M. Alfatih Suryadilaga, dkk. Miftahus Sufi. (Yogyakarta: Teras, 2008),
hal. 24 19Abu Bakar Aceh. Pengantar Ilmu Tarekat. (Jakarta: Ramadhani, 1993). 20Asmaran As. Pengantar Study Tasawuf. (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1994), cet. Ke-I, hal. 253-254
33
secara signifikan turut berpengaruh pada perkembangan tarekat itu sendiri.
Perkembangan tarekat ini dimulai, ketika tasawuf menempati posisi penting dalam
kehidupan umat Islam dan dijadikan sebagai falsafah hidup. Pada masa ini tasawuf
memiliki aturan prinsip dan sistem khusus, sedangkan sebelumnya tasawuf
dipraktekan secara individual tanpa adanya ikatan satu sama lain. Dalam
perkembangan selanjutnya tarekat menjadi sebuah organisasi atau perguruan dan
kegiatannya pun semakin meluas, tidak terbatas hanya pada dzikir dan wirid atau
amalan tertentu saja, akan tetapi tarekat merupakan sebuah organisasi persaudaraan
kaum sufi yang tunduk kepada seorang Mursyid dalam melaksanakan ajaran-ajaran
yang terperinci dalam tindakan spiritual dan hidup secara bekelompok di dalam
ruang peribadatan.21
Pada perkembangan selanjutnya, tarekat mengalami perubahan makna. Jika
pada awalnya tarekat merupakan suatu jalan yang ditempuh oleh seorang sufi dalam
mendekatkan diri kepada Allah, maka tahap selanjutnya istilah tarekat digunakan
untuk menunjuk pada suatu metode psikologi yang dilakukan oleh guru tasawuf
(Mursyid) kepada muridnya untuk mengenal tuhan secara mendalam. Maka dari
sinilah tarekat terbentuk dalam pengertian sebagai suatu jalan menuju tuhan
dibawah bimbingan seorang guru. Kemudian tarekat memiliki banyak anggota,
maka tahap ini tarekat menjadi sebuah organisasi sejumlah orang yang berusaha
mengikuti kehidupan tasawuf.
Dilihat dari segi ajaran tarekat bahwa ada tarekat yang dianggap sah
(Mu’tabarah) dan ada juga tarekat yang dianggap tidak sah (Ghair al-Mu’tabarah).
21 Abu Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani. Tasawuf Islam : Telaah Historis dan
Perkembangannya. (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008), cet. Ke-I, hal. 293-294
34
Artinya suatu tarekat bisa dianggap sah (Mu’tabarah) apabila memiliki silsilah
yang mutawatir sehingga amalan dalam tarekat tersebut dapat dipertanggung
jawabkan secara syari’at. Sebaliknya jika tarekat tidak memiliki silsilah yang
mutawatir, maka ajaran tarekat tersebut tidak bisa dipertanggung jawabkan secara
syari’at, artinya ia tidak memiliki dasar keabsahan atau bisa dikatakan tarekat yang
tidak sah (Ghair al-Mu’tabarah).22
Secara historis pengajaran tarekat telah dilakukan oleh seorang ulama besar
dari Baghdad yaitu sejak zamannya Abu Manshur al-Hallaj (w. 922 M). Kemudian
diikuti oleh sufi besar lainnya. Para sufi ini mulai merintis mengajarkan dan
mengembangkan tarekat yang berisi dengan tingkatan-tingkatan (Maqamat), atau
metode-metode pencapaian spiritual ini sebagai upaya untuk menemukan hakikat
ibadah dan sebagai cara untuk mendekatkan diri kepada Allah. Selain itu, perluasan
pengaruh mereka ke berbagai wilayah merupakan hal yang dapat menolong baik
secara sosiologis maupun politik yaitu sebagai wadah untuk menaungi
kepemimpinan umat Islam, sebagai akibat dari runtuhnya sistem kekhalifahan di
Baghdad.23
Adapun beberapa tarekat yang melibatkan diri dalam kegiatan politik
diantaranya Seperti tarekat Sanusiyah yang menentang penjajahan Italia di Libiya,
22Sokhi Huda, Tasawuf Kultural Fenomena Shalawat Wahidiyah.
(Yogyakarta: LKIS Yogyakarta, 2008), hal. 63 23Ajid Thohir. Gerakan Politik Kaum Tarekat: Telaah Historis Gerakan
Politik Antikolonialisme Tarekat Qodiriyyah-Naqsyabandiyyah di Pulau Jawa.
(Bandung : Pustaka Hidayah IKAPI, 2002). Cet. Ke-I, hal. 87-89
35
tarekat Tijaniyah yang menentang penjajah Prancis dan Afrika Utara dan tarekat
Safawi yang melahirkan kerajaan Safawi dan Persia (Iran).24
Perkembangan tarekat pada abad ke-6 dan ke-7 hijriyah, tarekat semakin
berkembang kedalam berbagai aliran atau membuat kelompok tarekat dengan para
tokoh pimpinannya diantaranya:25
1. Tarekat Qadiriyyah dikembangkan di Baghdad didirikan oleh Syekh
Abd al-Qadir al-Jailani (W. 561/1166 M).
2. Tarekat Syadziliah dikembangkan di Maroko didirikan oleh Nuruddin
Ahmad Ibn Abdullah al-Syadzili (W. 1228 M)
3. Tarekat Rifa’iyyah dikembangkan di Asia Barat oleh Syekh Ahmad
Rifa’i (w. 1182 M).
4. Tarekat Suhrawardiyah dikembangkan di Baghdad oleh Syekh Abi
Najib Suhrawardi (490-563 H)
5. Tarekat Ahmadiyyah/Badawiyyah dikembangkan di Mesir didirikan
oleh Syekh Ahmad Badawi (595 H-675 H)
6. Tarekat Naqsyabandiyyah dikembangkan di Asia tengah didirikan oleh
Muhammad Ibn Muhammad Bahauddin al-Naqsyabandi yang hidup
antara tahun (717 H-791 H)
Pada masa perkembangan selanjutnya, yaitu sekitar abad ke-15 sampai abad
18 M, telah bermunculan jenis-jenis terekat diantaranya seperti:
24Dharwanto,PerkembanganTarekat,Http//dharwanto.Blogspot.com/200/1
0/perkembangan-tarekat.html. Diakses Hari Rabu Tanggal, 24 April 2019. Pukul.
17:00 WIB 25 Abu Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani. Tasawuf Islam : Telaah Historis dan
Perkembangannya. (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008), cet. I, hal. 294-303
36
1. Tarekat Sammaniyah dikembangkan di didirikan oleh Muhammad bin
Abd al-Karim al-Madani al-Syafi’i al-Saman.
2. Tarekat Tijaniyah dikembangkan di Afrika didirikan oleh Syekh Ahmad
bin Muhammad al-Tijani.
3. Tarekat Bektasyiah dikembangkan di Turki didirikan oleh Syekh
4. Tarekat Khalawatiyyah dikembangkan di Persia didirikan oleh Syekh
Yusuf al-Makassari al-Khalawati pada tahun 1670 M
5. Terekat Syatariyyah dikembangkan di India didirikan oleh Syekh Abdul
al-Syatthari
Sebuah persaudaraan sufi lahir karena adanya seorang guru sufi yang
memiliki banyak murid atau pengikut. Karena pada sekitar abad ke-11 M
persaudaraan sufi banyak tumbuh di negeri-negeri Islam. Yang awalnya merupakan
sebuah gerakan lapisan elit masyarakat muslim, tetapi lama-kelamaan menarik
perhatian masyarakat lapisan bawah. Maka pada abad ke-12 M banyak orang Islam
memasuki dunia kesufian. Pada waktu itu kegiatan mereka berpusat di “Kanqah”
yaitu sebuah pusat latihan sufi yang banyak terdapat di Persia dan wilayah sebelah
timur Persia. Kanqah bukan hanya sebagai pusat titik berkumpul, tetapi disitu juga
mereka melakukan latihan dan kegiatan spiritual, serta pendidikan dan pengajaran
formal, dan termasuk dalam hal kepemimpinan. Tempat lain sebagai titik
berkumpul orang-orang sufi ialah “Zawiyah”, ia merupakan sebuah tempat yang
lebih kecil dari Kanqah dan berfungsi sebagai tempat orang sufi menyepi.26
26Blog Pendidikan Indonesia. Pengertian Tarekat dan Sejarah
Perkembangan. Diakses hari Minggu tanggal, 21 Juli 2019, pukul. 23:51 WIB.
http://www.sarjanaku.com2011/11/pengertian-tarekat-dan-sejarah.html?m=1
37
Setelah itu pada perkembangan selanjutnya, yaitu pada abad ke-19 muncul
sebuah tarekat yang dimodifikasi dari tarekat Qodiriyyah dan tarekat
Naqsyabandiyyah. Yaitu tarekat Qodiriyyah Wa Naqsabandiyyah didirikan oleh
Syekh Ahmad Khotib al-Sambasi (1803-1878 M). Salah satu kelompok tarekat
yang berkemabang dalam kehidupan umat muslim di dunia khususnya di
Nusantara.27
Tarekat Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyyah adalah sebuah tarekat yang
berdiri sekitar abad 19 M. Yang didirikan oleh seorang ulama besar yaitu Syekh
Ahmad Khotib As-Syambasi al-jawi (1803-1878 M). Dia adalah seorang Mursyid
tarekat Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyyah. Sebagai seorang Mursyid yang Kamil
Mukammil Syekh Ahmad Khatib As-Syambasi memiliki otoritas untuk membuat
modifikasi tersendiri bagi tarekat yang dipimpinnya. Kemudian dia
menggabungkan inti ajaran dari kedua tarekat tersebut yaitu tarekat Qodiriyyah dan
tarekat Naqsyabandiyyah menjadi tarekat Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyyah lalu
mengajarkan kepada murid-muridnya khususnya kepada ulama-ulama yang berasal
dari Indonesia.28
Menurut Martin Van Bruinessen, tarekat Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyyah
ini bukan hanya sekedar gabungan dari dua tarekat yang berbeda dan diamalkan
bersama-sama. Tetapi tarekat ini lebih merupakan suatu tarekat yang berdiri sendiri
yang mana ajaran yang ada di dalamnya telah dipadukan antara tarekat Qodiriyyah
27 Abubakar Aceh, Pengantar Ilmu Tarekat: Uraian Tentang Mistik, (Solo:
Ramdani, 1986), cet. Ke-4, hal. 67 28 Pondok Pesantren Suryalaya, Tarekat Qodiriyyah Naqsyabandiyyah,
http://www.suryalaya.org/tqn1.html. Diakses Hari Rabu Tanggal, 24 April 2019.
Pukul. 19:30 WIB.
38
dan tarekat Naqsyabandiyyah. Sehingga dengan begitu menghasilkan suatu aliran
tarekat yang baru yang kemudian dinamakan tarekat Qodiriyyah Wa
Naqsyabandiyyah.29
Kehadiran tasawuf beserta lembaga-lembaga tarekat di Indonesia, sama
tuanya dengan Islam itu sendiri yaitu sebagai agama yang masuk di kawasan ini.
Tetapi, dari sekian banyak tarekat yang berkembang diseluruh dunia, hanya ada
beberapa tarekat yang bisa masuk dan berkembang di Indonesia. Hal itu
dimungkinkan karena faktor kemudahan sistem komunikasi dalam kegiatan
transmisinya. Tarekat yang masuk ke Indonesia adalah tarekat yang populer di
Mekah dan Madinah, dua kota yang saat itu menjadi pusat kajian Islam.
Perkembangan tarekat Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyyah di Nusantara yang
diajarkan oleh Syekh Ahmad Khotib Sambas kepada para murid-muridnya. Ia pun
memiliki banyak murid yang terkenal di Nusantara yang belajar kepadanya di kota
Makkah dengan membai’at sejumlah murid yang terpilih untuk menjadi penganut
ajaran tarekat Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyyah seperti : Syekh Abdul Karim dari
Banten, Syekh Ahmad Thalhah dari Cirebon, Syekh Ahmad Hasbullah dari
Madura, Syekh Muhammad Ismail Ibn Abdul Rahim dari Bali, Syekh Yasin dari
Kedah Malaysia, Syekh Haji Ahmad dari Lampung dan Syekh Muhammad Makruf
Ibn Abdullah al-khatib dari Palembang.30 kemudian dari beberapa muridnya yang
29 Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, (Bandung:
Mizan, 1999), cet. Ke-3, hal. 217 30WIKIPEDIA,TarekatQodiriyyahWaNaqsyabadiyah.http://syariathakikatt
arikatmakrifat.wordpress.com/2010/08/25/tarikat-qadiriah-naqsabandiyah-tqn/.
Diakses hari Rabu Tanggal, 24 April 2019. Pukul. 19:45 WIB
39
terpilih ini menyebarluaskan ajaran tarekat Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyyah
diseluruh wilayah Nusantara.31
Syekh Abdul Karim Amrullah adalah salah satu murid Syekh Ahmad
Khotib Sambas dari Banten yang paling terkenal dia adalah seorang Mursyid dari
penganut ajaran tarekat Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyyah setelah sang guru
membai’atnya.32
Syekh Abdul Karim Amrullah semakin terkenal setelah terjadinya
pemberontakan petani di Cilegon Banten tahun 1888. Dikarenakan terjadinya
pemberontakan petani ini dipelopori oleh sejumlah kiyai dan para santri yang
merupakan murid dari Syekh Abdul Karim Amrullah seperti : Tb Ismail, Tb,
Wasyid, Tb Marjuki. Dari peristiwa itulah Syekh Abdul Karim sering disebut-sebut
sebagai tokoh yang melatar belakangi gerakan pemberontakan dengan kata lain ia
adalah aktor terjadinya pemberontakan. Dengan munculnya peristiwa
pemberontakan itulah organisasi tarekat Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyyah
dianggap oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai organisasi keagamaan. Sehingga
organisasi tarekat ini selalu dicari dan dicurigai keberadaannya bahkan para tokoh
ulama tarekat banyak yang di tangkap oleh pemerintah Hindia Belanda karena para
31 Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, (Bandung:
Mizan, 1999), Cet. Ke-3, hal. 98 32 Bai’at dalam terminologi sufi ialah janji setia yang biasanya diucapkan
oleh seorang murid di hadapan mursyid untuk menjalankan segala persyaratan yang
telah ditetapkan oleh seorang mursyid dan tidak akan melanggarnya sesuai dengan
syarat Islam. Yang menjadi landasan normative ialah surat Al-Fath ayat 10. Bai’at
dijadikan acara ritual resmi setelah seseorang menjadi anggota tarekat, yang
selanjutnya dijadikan bentuk ikatan setia kepada mursyid dan ajaran-ajarannya.
40
tokoh ulama dalam organisasi tarekat ini dianggap sebagai pemeberontak yang anti
terhadap pemerintah Hindia Belanda.33
Meskipun pada abad ke-19 tarekat Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyyah
mengalami rasa tidak simpatik dari pemerintah Hindia Belanda akan tetapi pada
masa itu tarekat sedang mengalami masa perkembangannya, dengan perkembangan
yang cukup pesat ahirnya tarekat ini sampai ke Caringin melalui seorang ulama
kharismatik yaitu Syekh Asnawi. Syekh Asnawi merupakan murid dari Syekh
Abdul Karim Amrullah dia di bai’at oleh Syekh Abdul Karim sebagai Khalifah atau
pimpinan tarekat Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyyah yang ada di Banten dan
Caringin khususnya. Syekh Asnawi bukan hanya sebagai ulama tarekat tetapi dia
juga aktif sebagai ulama pemberontak terhadap para penjajah pada sekitar tahun
1926.34 Sehingga melalui Syekh Asnawi inilah awal mula penyebaran tarekat
Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyyah di Caringin. Sehingga Caringin pun semakin
terkenal dan banyak para santri yang berdatangan ke Caringin baik dari masyarakat
Banten maupun dari luar Banten untuk belajar ilmu tarekat Qodiriyyah Wa
Naqsyabandiyyah kepada Syekh Asnawi.
D. Ajaran Tarekat Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyyah
Sebagai suatu madzhab dalam tasawuf, Tarekat Qadiriyyah Wa
Naqsyabandiyyah memiliki beberapa ajaran yang diyakini akan kebenarannya,
terutama dalam kehidupan kesufian. Ada beberapa ajaran yang diyakini paling
efektif dan efesian sebagai metode untuk mendekatkan diri dengan Allah. Pada
33 Sartono Kartodirjo, Gerakan Petani Banten 1888 (Jakarta: PT. Pustaka
Jaya & YHS, 1984), Cet. Ke-I, hal. 259 34 Harun Nasution, Islam Rasional, (Bandung, Mizan, 1996), hal. 366.
41
umumnya metode yang menjadi ajaran dalam tarekat ini didasarkan pada al-Qur’an,
Hadis, dan perkataan para sufi.35
Ada beberapa pokok ajaran dalam tarekat Qadiriyyah Wa Naqsyabandiyyah
di antaranya ajaran tentang :
1. Kesempurnaan Suluk
Ajaran yang sangat ditekankan dalam tarekat Qadiriyyah Wa
Naqsyabandiyyah adalah suatu keyakinan bahwa kesempurnaan suluk (merambah
jalan kesufian dalam rangka mendekatkan diri dengan Allah), adalah jika berada
dalam 3 (tiga) dimensi keimanan yaitu : Islam, Iman, dan Ikhsan. Ketiga term
tersebut biasanya dikemas dalam satu jalan three in one yang sangat populer dengan
istilah syariat, tarekat, dan hakikat.
Syariat adalah dimensi perundang-undangan dalam Islam. Ia merupakan
ketentuan yang telah ditentukan oleh Allah, melalui Rasulnya Muhammad Saw.
baik yang berupa perintah maupun larangan. Tarekat merupakan dimensi
pelaksanaan syari’at tersebut. Sedangkan hakikat adalah dimensi penghayatan
dalam mengamalkan tarekat tersebut, dengan penghayatan atas pengalaman syari’at
itulah, maka seseorang akan mendapatkan manisnya iman yang disebut dengan
ma’rifat.
Para sufi menggambarkan hakikat suluk sebagai upaya mencari mutiara
yang ada di dasar lautan yang dalam. Sehingga ketiga hal itu (syari’at, tarekat, dan
35 Fuad Said, Hakekat Tarekat Naqsyabandiyyah. (Jakarta: Al-Husna:
Zikra. 1999), hal. 67
42
hakikat) menjadi mutlak penting karena berada dalam satu sistem. Syariat
digambarkan sebagai kapal yang berfungsi sebagai alat transportasi untuk sampai
ke tujuan. Tarekat sebagai lautan yang luas dan tempat adanya mutiara. Sedangkan
hakikat adalah mutiara yang dicari-cari. Mutiara yang dicari oleh para sufi adalah
ma’rifat kepada Allah.
Dalam tarekat Qadiriyyah Wa Naqsyabandiyyah diajarkan bahwa tarekat
diamalkan justru dalam rangka menguatkan syari’at. Karena bertarekat dengan
mengabaikan syariat ibarat bermain diluar sistem, sehingga tidak akan dapat
mendapatkan sesuatu kecuali kesia-siaan.
Ajaran tentang prinsip kesempurnaan suluk merupakan ajaran yang selalu
ditekankan oleh pendiri tarekat Qadiriyyah, yaitu Syekh Abdul Qadir al-Jailani, hal
ini dapat dimaklumi, karena beliau seorang sufi sunni dan sekaligus ulama fiqih.
2. Adab Kepada Mursyid
Adab seorang murid kepada Mursyid (Syekh), merupakan ajaran yang
sangat prinsip dalam tarekat. Adab atau etika murid dengan Mursyidnya diatur
sedemikian rupa sehingga menyerupai adab para sahabat terhadap Nabi
Muhammad Saw. Hal ini diyakini karena Muasyarah (pergaulan) antara murid
dengan Mursyid melestarikan sunnah (tradisi) yang dilakukan pada masa nabi.36
Kedudukan murid menempati peran sahabat sedang kedudukan Mursyid
menempati peran nabi dalam hal Irsyad (bimbingan) dan ta’lim (pengajaran). Adab
kepada guru ini tersimpul dalam rasa penuh cinta seorang murid kepada gurunya
36 Annemarie Schimel, Mystical Dimension Of Islam, diterjemahkan Oleh
S. Djoko Damono, dkk, dengan judul Dimensi Mistik Dalam Islam, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1986), hal. 104-242
43
dengan sebenar-benarnya cinta karena Allah Swt. Abu Yazid al-Bustami
mengatakan: ”Siapa saja jika seorang murid tidak punya Syeikh, maka Syeikhnya
adalah syaiton”.37
Dengan demikian, siapa pun orang yang ingin menjadi murid harus
menjalani sebuah suluk, pertama-tama seorang murid harus tunduk dan patuh harus
mencintai dengan memberinya kesetiaan dan ketaatan sepenuhnya serta ia harus
menjauhi semua yang dilarang sang guru karena Mursyid merupakan pembimbing
rohani dan pemberi petunjuk dalam menempuh jalan menuju keselamatan hidup
dan ridho Allah. Seorang murid harus menyadari dengan rendah hati bahwa ucapan,
sikap, dan tindakan sang Mursyid boleh jadi terkadang terlihat dimatanya sebuah
kekeliruan atau yang bertentangan dengan persepektifnya padahal penglihatan
dirinyalah yang keliru sebab seorang murid belum memahaminya.38
Adapun adab-adab seorang murid kepada gurunya antara lain sebagai
berikut:39
1). Seorang murid harus menghormati gurunya lahir dan batin. Dia harus
yakin bahwa maksudnya tidak akan tercapai melainkan ditangan guru, serta
menjauhkan diri dari segala sesuatu yang dibenci oleh Syekhnya. Jika
seorang murid merasa bimbang dan ingin berpindah kepada guru lain, maka
hal tersebut menjadi sebabnya hirman (terhijab) oleh nur gurunya tersebut,
37 Ahmad Daudy, Kuliah Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Bulan Bintang, 1998), cet.
Ke-I, hal. 74 38 Zaprulkhan , Ilmu Tasawuf sebuah Kajian Tematik. (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2016), cet. Ke-I, hal. 75-82 39KharisudinAqibal-Faqir, Adab Tarekat Qadiriyyah Wa Naqsyabandiyyah,
Https://sufimenembusbatas.blogspot.com/2016/09/adab-tarekat-qadariyah-wa-
naqsabandiyah.html. Diakses Hari Rabu Tanggal 24 April 2019. Pukul. 22:45 WIB
44
yang menghalangi sampainya pancaran berkah (al-fayd al-rahmani). Hal ini
bisa tidak terjadi apabila kepindahan murid kepada guru yang lain itu atas
izin yang Jelas (sharih) dari gurunya yang semula.
2). Seorang murid harus pasrah, menurut dan mengikuti bimbingan guru
dengan rela hati. Ia juga harus melayani (khidmat) guru dengan rasa senang,
rela dan lkhlas hatinya hanya karena Allah. Karena jauharnya iradah
(kehendak) dan mahabbah (kecintaan) itu tidak dapat jelas kecuali menurut,
patuh dan khidmat (mengabdi).
3). Jika seorang murid berbeda paham (pendapat) dengan guru, baik dalam
masalah kuliyyah (Universal) maupun juz’iyyah (sektoral), masalah ibadah
maupun adat, maka murid harus mutlak mengalah dan menuruti pendapat
gurunya karena menentang (i’tiradl) guru itu menghalangi berkah dan
menjadi sebab akhir hayat yang tidak baik (su’ul khatimah). Na’udzubillah
Min dzalik. Kecuali jika guru memberikan kelonggaran kepada murid untuk
menentukan pilihannya sendiri.
4). Jangan menggunjing, mengolok-olok, mengumpat memelototi,
mengkritik dan menyebarluaskan aib guru kepada orang lain. Dan murid
tidak boleh marah ketika maksud dan tujuannya dihalangi oleh guru. Murid
harus yakin, guru meghalangi karena ada hikmah, dan bila diperintah guru
harus berangkat walaupun terasa berat menurut perhitungan nafsunya.
5). Apabila murid mempunyai keperluan dengan guru, jangan sekali-kali
berkirim surat atau menyuruh orang lain. Tetapi datanglah dengan
menghadap sendiri, dan berkatalah yang menyenangkan guru. Jika murid
45
menghendaki kedatangan guru ditempatnya (murid), jangan sekali-kali
memaksa, tetapi mintalah kelonggarannya. Walaupun mungkin secara fisik
guru tidak dapat datang, yakinlah bahwa rohani guru, atau do’a restunya
bisa datang ke tempat murid.
6). Murid tidak boleh menukil pernyataan guru kepada orang lain, kecuali
sekedar yang dapat dipahami oleh orang yang diajak bicara. Dan itupun
perkataan-perkataan yang diizinkan untuk disebar luaskan.
7). Jangan menyembunyikan rahasia dihadapan guru, tentang kata hati,
impian, kasyaf (pandangan indra ke enam) maupun keluarbiasaan
(karamah). Katakanlah dengan terus terang.
8). Jangan tergesa-gesa memberikan atau mengambil kesimpulan (ta’bir)
atas masalah-masalah seperti: impian, dan isyarat-isyarat, akan tetapi
sampaikan hal itu kepada guru dan jangan meminta jawaban. Tunggu saja
jawabannya pada waktu yang lain dan kalau tidak dijawab maka diamlah.
Yakinlah diamnya guru karena ada hikmah.
9). Jika sang guru dipanggil oleh Allah swt (wafat), maka sebaiknya jangan
menikahi bekas isterinya. Akan tetapi murid bisa mengawini anaknya,
dengan niat khidmah. Anggaplah putra-putri guru sebagai saudara sendiri
(dalam hal hormat dan kasih sayang). Karena sesungguhnya guru itu adalah
bapak spiritual. Sedang bapak sendiri adalah bapak jasmani.
10). Kalau berniat menghadap guru jangan sekonyong-konyong, atau tidak
tahu waktu. Jangan menghadap guru dalam waktu sibuk, atau dalam waktu
istirahat. Dan kalau sudah menghadap, jangan bicara sesuatu kecuali yang
46
menyenangkan hati guru serta harus tetap menjaga kesopanan (khudlu’ dan
tawadlu’), jangan memandang ke atas, melihat kanan-kiri, atau bicara
dengan teman. Tetapi menghadaplah dengan penuh perhatian terhadap
perkataan guru. Karena jeleknya tatakrama (su’ul adab) kepada guru bisa
menjadikan tertutup (hirman) dari pencerahan (futuh).
3. Dzikir
Tarekat Qadiriyyah Wa Naqsyabandiyyah adalah termasuk tarekat jenis
dzikir. Sehingga dzikir menjadi ciri khas yang mesti ada dalam tarekat. Dalam suatu
tarekat dzikir dilakukan secara terus-menerus (istiqamah), hal ini dimaksudkan
sebagai suatu latihan psikologis (riyadah al-nafs) agar seseorang dapat mengingat
Allah disetiap waktu dan kesempatan. Dzikir merupakan makanan spiritual para
sufi dan merupakan apresiasi cinta kepada Allah swt. Sebab orang yang mencintai
sesuatu tentunya ia akan banyak menyebut namanya. Pemahaman ini tentunya
sudah jelas dikemukakan di dalam ayat-ayat al-Qur’an antara lain sebagai berikut :
di dalam QS. Al-Ahzab : 41, bahwasanya orang-orang yang beriman diminta untuk
selalu berdzikir dengan sebanyak-banyaknya. Ada juga dinyatakan di dalam QS.
Thaha: 14, bahwasanya dengan berdzikir membuat hati kita menjadi tenang atau
jiwanya tentram. Artinya dzikir kepada Allah tidak mengenal waktu, selamanya dan
dimana saja selalu baik bahkan dianjurkan. Karena bila seorang mukmi lupa kepada
Allah maka Allah akan membuat dirinya lupa. Namun sebaliknya, bila seorang
mukmin senantiasa mengingat Allah maka manusia akan dapat menginsafi bahwa
kehidupannya berasal dari Allah dan kelak akan kembali kepadanya.
47
Adapun yang dimaksud dzikir dalam tarekat Qadiriyyah Wa
Naqsyabandiyyah adalah aktivitas lidah (lisan) maupun hati (batin) sesuai dengan
yang telah dibaiatkan oleh guru.
Dalam ajaran tarekat Qadiriyyah Wa Naqsyabandiyyah terdapat 2 (dua)
jenis dzikir yaitu:
1. Dzikir nafi isbat yaitu dzikir kepada Allah dengan menyebut kalimat
“lailahaillallah”. Dzikir ini merupakan inti ajaran tarekat Qadiriyyah yang
dilafadzkan secara Jahr (dengan suara keras). Dzikir nafi isbat pertama kali
dibaiatkan kepada Ali ibn Abi Thalib pada malam hijrahnya Nabi Muhammad saw
dari Mekah ke kota Yasrib (madinah) disaat Ali menggantikan posisi Nabi
(menempati tempat tidur dan memakai selimut Nabi). Dengan talqin dzikir inilah
Ali mempunyai keberanian dan tawakaal kepada Allah yang luar biasa dalam
menghadapi maut. Alasan lain Nabi membaiat Ali dengan dzikir keras adalah
karena karakteristik yang dimiliki Ali. Ia seorang yang periang, berani, terbuka,
serta suka menentang orang-orang kafir dengan mengucapkan kalimat syahadat
dengan suara keras.
2. Dzikir ismu dzat yaitu dzikir kepada Allah dengan menyebut kalimat
“Allah” secara sirr atau khafi (dalam hati). Dzikir ini juga disebut dengan dzikir
latifah dan merupakan ciri khas dalam tarekat Naqsyabandiyyah. Sedangkan dzikir
ismu dzat dibaiatkan pertama kali oleh Nabi kepada Abu Bakar al-Siddiq, ketika
sedang menemani Nabi di Gua Tsur, pada saat berada dalam persembunyiannya
dari kejaran para pembunuh Quraisy. Dalam kondisi panik Nabi mengajarkan dzikir
ini sekaligus kontemplasi dengan pemusatan bahwa Allah senantiasa menyertainya.
48
Dzikir tarekat dalam 7 latifah di Naqsyabandiyyah:
Dzikir merupakan ciri khas dalam ajaran tarekat dengan berdzikir kita
berusaha agar selalu mengingat Tuhan. Selain itu manfaat dari dzikir juga dapat
menyelamatkan kita dari nafsu keduniawian , nafsu kejelekan bahkan nafsu syaiton
maka untuk menghindari hal semacam itu, bergantunglah kepada Allah swt dengan
selalu mengingatnya. Karena apabila aktivitas dzikir dilakukan secara terus
menerus, maka akan menjadi sebuah warid yang akan timbul cahaya ke ilahiyannya
masuk ke dalam hati yang akan membedekan mana yang hak dan mana yang batil.
Tarekat Naqsyabandiyyah disebut juga dengan dzikir Latifah.
Dzikir tarekat dalam 7 Latifah di Naqsyabandiyyah:40
1. Latifah Qolbu
Latifah yang berarti duduknya di Latifah Qolby, adanya dibawah susu
sebelah kiri jarang dua jari condongnya kedalam. Dalam pengisian dzikir arahnya
kedalam dan harus diisi dengan dzikir sebanyak-banyaknya. Karena disinilah
terletak sifat-sifat kemusyrikan, kekafiran, tahayul, dan sifat Iblis. Maka apabila
latifah ini di sucikan akan terasa manisnya Iman, Islam, Ikhsan, dan Ma’rifat.
Wilayahnya nabi Adam, tempatnya nafsu Lawwamah, bersifat suka mencela,
menuruti hawa nafsu, bohong, menganiaya, bangga diri, menggunjing, dan pamer.
(warnanya Kuning).
40Fauzul Adzim. Pokok-pokok Ajaran Tarekat Qodiriyyah Wa
Naqsyabandiyyah. Diakses pada hari Senin tanggal, 22 Juli 2019. Pukul 23:15 WIB.
https://www.academia.edu/23663287/POKOK-
POKOK_AJARAN_TAREKAT_QADARIYAH_WA_NAQSYABANDIYAH
49
2. Latifah Ruh
Latifah Ruh letaknya berada dua jari diatas susu sebelah kanan, jarang dua
jari condongnya kedalam. Dalam pengisian dzikir arahnya keluar kedalam.
Disinilah terletak sifat binatang jinak yaitu sifat yang menuruti hawa nafsu. Apabila
latifah ini terus disucikan dengan dzikir kepada Allah dengan sebanyak-banyaknya,
maka akan dijauhkan dari hawa nafsu yang selalu mengajak kepada kejahatan,
namun akan selalu berada dalam ketaatan kepada Allah swt.
Wilayahnya nabi Ibrahim dan nabi Nuh. Tempatnya nafsu Mulhimah bersifat
lapang dada, dermawan, rendah hati, sabar, taubat, qana’ah, tahan menghadapi
kesusahan. (warnanya Merah)
3. Latifah Sirri
Letaknya diatas susu sebelah kiri jarang dua jari condongnya keluar. Dalam
pengisian dzikir arahnya keluar dan harus diisi dengandzikir sebanyak-banyaknya.
Apabila pengisian di Latifah Qolby sebanyak 5000 kali, maka pengisian Latifah
Ruh juga harus 5000 kali. Setelah mengerjakan perjalanan dzikir dari Ruh ke Sirri
maka tetaplah berada di latifah Sirri.
Wilayahnya nabi Musa, tempatnya nafsu Muthmainah, bersifat senang ibadah,
bersyukur, ridho, tawakal, sayang dengan sesama makhluk, takut melanggar
larangan Allah/Waro. (warnanya Putih)
4. Latifah Khofi
Latifah Khofi letaknya diatas susu sebelah kanan jarang dua jari
condongnya ke dalam. Dalam pengisian dzikir arahnya ke dalam dan harus diisi
50
dengan dzikir sebanyak-banyaknya. Dari latifah Sirri ke latifah Khofi ada
perjalanan dzikir sebanyak 1000 kali. Bilamana dalam pengisian Latifah Qolby
5000 kali maka Sirri juga harus 5000 kali. Setelah mengerjakan perjalanan dzikir
dari Sirri ke Khofi maka tetaplah di Latifah Khofi.
Wilayahnya nabi Isa, tempatnya nafsu Mardiyah, bersifat baik budi, welas asih,
menjalankan kebaikan, tahu diri, sayang sesama makhluk. (warnanya Hitam)
5. Latifah Ahfa/Akfa
Latifah Akfa letaknya ditengah-tengah dada condongnya keatas kedepan.
Dalam pengisian dzikir arahnya keatas kedepan dan harus diisi dengan dzikir
sebanyak-banyaknya. Dari latifah Khofi ke Latifah Akfa ada perjalanan dzikir
sebanyak 1000 kali. Bilamana dalam pengisian Latifah Qolby, Ruh, Sirri, dan Khofi
5000 kali maka Latifah Akfa juga harus 5000 kali. Setelah mengerjakan perjalanan
dzikir dari Khofi ke Akfa maka tetaplah di Latifah Akfa.
Wilayahnya Nabi Muhammad Saw, tempatnya nafsu Kamilah, bersifat Ilmu Yakin,
Ainul Yakin, dan Hakul Yakin. (warnanya Hijau)
6. Latifah Napsi
Latifah Napsi Letaknya, di tengah diantara dua alis condongnya ke bawah
ke belakang. Dalam pengisian dzikir arahnya ke bawah ke belakang dan harus diisi
dengan sebanyak-banyaknya di Latifah Napsi. Dari latifah Akfa ke latifah Napsi
ada perjalanan dzikir sebanyak 1000 kali. Bilamana dalam pengisian Latifah Qolby,
Ruh, Sirri, Khofi 5000 kali maka Napsi juga harus 5000 kali. Setelah mengerjakan
perjalanan dzikir dari Latifah Akfa maka tetaplah di Latifah Napsi.
51
Tempatnya nafsu amarah, bersifat serakah, takabur, khianat, kikir, syahwat.
(warnanya: merah, kuning, hijau, biru (dominan merah)
7. Latifah Qolab/Qolam
Latifah Qolam adanya, ditengah embun-embun condong kedalam (seluruh
badan). Dalam pengisian dzikir arahnya kedalam ditengah-tengah dada. Dari latifah
Napsi ke latifah Qolam ada perjalanan dzikir sebanyak 1000 kali. Bilamana dalam
pengisian Latifah Qolby, Ruh, Sirri, Khofi, Akfa, Napsi sama, maka Latifah Qolam
juga harus sama. Setelah mengerjakan perjalanan dzikir dari Latifah Napsi maka
tetaplah di Latifah Qolam. Kemudian dinaikan ke Hadiyat: “Kulhu Allah Hu
Ahad”. Ma’iyat: “Wahua Ma’akum Ainama Kuntum”. Akrobiyah: “Wahua Akrobu
Minha, Minha Fi Warid”.Setelah mengisi dzikir di Latifah Qolam maka kembali
ke Latifah Qolby dengan perjalanan dzikir sebanyak 1000 kali, maka tetaplah dzikir
untuk seterusnya di Latifah Qolby yang berarti langsung tenggelam/fana.
Tempatnya nafsu Kamilah, bersifat Tajjali, Laduni, Irsad, Ikmal, Baqobillah.
(warnanya: merah, kuning, hijau, biru (pelangi).
Cara melakukan dzikir Latifah Qolam sebagai berikut: pertama, masukan
dzikir “Hu Allah” lewat napas, dan tarik ke lubang hidung sebelah kiri dimasukan
ke pangkal Jantung diisi zikir “Allah” sebanyak 5000 kali. Dari Jantung disebarkan
lewat urat ashabat kesemua denyut nadi, artinya Jantung dan nadi menjadi satu
disebarkan keseluruh tubuh (latifatul jasad) dan mengisi rongga-rongga tubuh
dengan dzikir sehingga seluruh tubuh berdzikir.
Kedua jenis dzikir ini dibaiatkan sekaligus oleh seorang Mursyid pada
waktu bai’at yang pertama kali. Dapatlah difahami bahwa tarekat adalah cara atau
52
jalan bagaimana seseorang dapat berada sedekat mungkin dengan Tuhan. Diawal
munculnya, tarekat hanya sebuah metode bagaimana seseorang dapat mendekatkan
diri dengan Allah dan masih belum terikat dengan aturan-aturan yang ketat. Tetapi
pada perkembangan berikutnya tarekat mengalami perkembangan menjadi sebuah
pranata kerohanian yang mempunyai elemen-elemen pokok yang mesti ada yaitu:
Mursyid, silsilah, bai’at, murid, dan ajaran-ajaran.
Tujuan seseorang mendalami tarekat muncul setelah ia menempuh jalan sufi
(tasawuf) melalui penyucian hati (Tasfiyatul Qalb). Pada prakteknya tasawuf
merupakan adopsi ketat dari prinsip Islami dengan jalan mengerjakan seluruh
perintah wajib dan sunah agar mencapai ridha Allah swt.
53
BAB III
BIOGRAFI SYEKH ASNAWI
A. Riwayat Hidup Syekh Asnawi
K.H. Asnawi atau lebih dikenal dengan nama Syekh Asnawi dilahirkan di
lingkungan keluarga ulama pada tahun 1850 M, ia adalah seorang ulama
kharismatik di Banten pada tahun 1920’an selain itu ia adalah seorang ulama yang
aktif dalam menyebarluaskan agama Islam di Caringin. Ayahnya bernama K.H.
Abdurrahman, yang dikenal selain sebagai ulama yang disegani ia juga menjabat
sebagai Qodhi (penghulu) kabupaten Caringin. Ibunya bernama Nyai Hj. Rt.
Sabi’ah yaitu salah seorang keturunan dari kesultanan Banten.1
Kedua orang tuanya amatlah tekun dalam mendidik putra kesayangannya
karena mereka mencita-citakan agar putranya kelak menjadi kader penerus
perjuangannya dalam menyebarluaskan agama Islam dan agar ia mampu membina
umat dengan baik. Sang ayah dalam mendidik putranya amatlah telaten dan disiplin
sehingga berkat bimbingan disertai ketekunan dan kecerdasan akalnya dalam usia
yang masih sangat muda yaitu pada usia 11 tahun ia telah hafal al-Qur’an dengan
baik dan menguasai berbagai cabang ilmu agama.2
Dari sejak kecil beliau mempunyai keistimewaan serta kelebihan yang tidak
lumrah dilakukan anak-anak sebaya lainnya, dimana beliau mempunyai perangai
1 Mufti Ali dkk, Biografi Ulama Banten, (Serang: Laboratorium
Bantenologi, 2017). Hal. 140 2 Raden Ahmad Syaukatudin Inayah, Ringkasan sejarah Hidup dan
Perjuangan Syeikh Asnawi Caringin Pandeglang – Banten. (Caringin: Badan
Kenadziran Maqbaroh, 2000), hal. 5
54
yang baik, berbudi luhur, murah senyum, ramah dan suka bertegur sapa, serta taat
melakukan ibadah sehingga beliau dicintai oleh anak-anak sebayanya dan disayangi
oleh orang dewasa.
Dalam usia yang masih sangat muda, dikala beliau masih sangat haus-
hausnya menggali dan mendalami ilmu agama dari ayahandanya namun pada saat
itu sang ayah yang selalu dihormati dan dikaguminya dipanggil ke Rahmatullah
menghadap sang pencipta Allah Aza Wajalla. Ayah yang dahulu merupakan
tumpuan segalanya yang selalu membacakan kalam-kalam illahi dikala beranjak
tidur dan tempatnya menuntut ilmu bagi sang anak kini sudah tiadak lagi.
Dengan sabar dan tawakal ibunda tampil untuk mengisi kekosongan hati
anaknya yang senantiasa taat kepada kedua orang tuanya dengan bimbingan dan
kasih sayang tercurah penuh. Namun karena khawatir tidak seimbang dengan
pengisian jiwa yang diberikan sang ayah kepada puteranya, maka sang ibu dengan
persetujuan keluarganya mengirim Syekh Asnawi ke Makkatul Mukarromah pada
tahun 1862 M.
Disanalah beliau mulai belajar untuk memperdalam berbagai cabang ilmu
agama, ia belajar kepada salah seorang ulama besar yang menjadi imam Masjidil
Haram yang berasal dari Banten yaitu Syekh Nawawi al-Bantani (1813-1897 M).3
Di sana juga ia belajar kepada Syekh Hasabullah al-A’ma dan ia belajar ilmu al-
Qur’an berikut tafsirnya secara takhassus kepada seorang al-Hafidz yang bernama
Syekh Abdul Hamid Makki, serta ia mempelajari ilmu Tasawuf dan ilmu Thoriqoh
3 Azumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara
Abad XVII & XVIII Akar Pembaruan Islam Indonesia. (Depok: Perpustakaan
Nasional, 2013), Cet. Ke-III, hal. 396-397
55
dari Syekh Ahmad Khatib As-Syambasi namun tuan Syekh sudah lanjut usia
beliaupun meninggal dunia dan Syekh Asnawi melanjutkikan kepada salah seorang
murid tuan Syekh yakni seorang ulama asal Banten yang bernama Syekh Abdul
Karim al-Bantani.4
Selama tiga tahun Syekh Asnawi bermukim di kota Makkah untuk
mempelajari berbagai cabang ilmu agama ketika ia baru berusia 15 tahun, beliaupun
diizinkan oleh para gurunya untuk turun ke tanah Jawa yaitu pada tahun 1865 M.
Walaupun masa belajarnya relativ singkat namun berkat ketekunan dan kecerdasan
akalnya, Syekh Asnawi mampu menguasai berbagai cabang ilmu agama yang telah
diajarkan oleh gurunya.
Syekh Asnawi dalam masa mudanya selalu haus akan tuntunan dan
semangat yang tinggi maka untuk memantapkan ilmu Thoriqoh yang telah diterima
dari gurunya ia sering berdiskusi dengan kakak seperguruannya yang bernama
Syekh Sohib Kadu Pinang (berada di kampung Kadu Pinang antara Batu Bantar dan
Mengger).
Adat muda menanggung rindu, adat tua menahan ragam, demikianlah
kiranya kata pepatah sudah menjadi sunatullah bahwasanya Syekh Asnawi sadar
akan masa baligh meningkat dewasa, maka pada usia 20 tahun ia menikah dengan
seorang dara yang bernama Ny. Rt. Halimah yaitu putri seorang pejabat Kabupaten
Caringin bernama patih Rasinah.
4 Raden Ahmad Syaukatudin Inayah, Ringkasan sejarah Hidup dan
Perjuangan Syeikh Asnawi Caringin Pandeglang – Banten, hal. 6-7
56
Jiwa yang sedang menggelora di saat pernikahan tidaklah melunturkan
semangat cita-citanya untuk selalu memperdalam ilmu agama, maka pada saat
itulah Syekh Asnawi ber’uzlah di suatu tempat secara menyendiri dengan seizin
sang istri yang penuh keikhlasan hati melepas suami untuk melatih diri
memperkokoh tauhid menuju Robbul Izzati.
Selama dua tahun Syekh Asnawi ber’uzlah melatih diri ditempat sunyi,
mendekatkan diri pada Illahi Robbi, maka setelah dua tahun Syekh Asnawi
ber’uzlah beliau kembali menemui orang-orang banyak dan mulai berdakwah di
beberapa tempat di wilayah Caringin mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam dengan
cara pesantren dan pengajian umum. Ia mengajarkan agama Islam dengan cara
tarekat Qodiriyyah WA Naqsyabandiyyah. Tarekat ini merupakan ajaran agama
Islam yang mengacu pada tasawuf atau sufisme. Secara konseptual ajaran ini
merupakan ajaran yang ingin mendekatkan diri kepada Allah Swt. Syekh Asnawi
pun mulai mengajarkan ilmu Thoriqoh yang sudah matang diyakini dan
diamalkannya, pada ahirnya berduyun-duyunlah orang dari setiap peloksok di
wilayah Banten datang berkunjung untuk mempelajari ilmu-ilmu yang diajarkan
Syekh Asnawi.5
Melalui Syekh Asnawi inilah Islam di Banten pada umumnya menjadi
semarak terutama di daerah Banten Selatan atau tepatnya di wilayah Labuan,
Caringin, Carita, Anyer dan sekitarnya (perkampungan Nelayan/daerah-daerah
pesisir pantai). Melalui Syekh Asnawi pula, ulama-ulama Banten mengenal tradisi
Suluk dan terekat, terutama tarekat Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyyah karena Syekh
5 Raden Ahmad Syaukatudin Inayah, Ringkasan sejarah Hidup dan
Perjuangan Syeikh Asnawi Caringin Pandeglang – Banten, hal. 8-9
57
Asnawi inilah yang berguru dan di Ba’iat langsung oleh gurunya yaitu seorang
ulama yang arif-billah yang dijuluki sang Mursyid besar yang bermukim di kota
Makkah yakni Syekh Abdul Karim al-Bantani.6
Sesuai dengan nama Caringin, yaitu berasal kata Beringin pohon yang
rindang tempat berteduh, Syekh Asnawi menjadi payung agung untuk masyarakat
sekitarnya tempat Akhlak yang baik, sopan santun, lautan ilmu, tempat orang
meminta nasehat, majlis umat meminta fatwa demikianlah Syekh Asnawi pada saat
itu hingga ahir hayatnya.
B. Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Caringin
Memang pada saat itu, prilaku masyarakat Caringin jauh dari nilai syariat
Islam banyak warga yang meninggalkan shalat bahkan masyarakat Caringin malah
bangga dengan Budaya perjudian, Pelacuran, kemusyrikan, mabuk-mabukan,
penjarahan bahkan pembunuhan. Syekh Asnawi yang masih muda kala itu, sudah
dihadapkan pada beban yang sangat berat yaitu: beban Psikologis, beban kultural
dan beban Nasionalisme. Beban Psikologis karena Syekh Asnawi sudah
ditinggalkan oleh sang ayah untuk selama-lamanya menghadap sang pencipta,
semantara beban Kultural Syekh Asnawi dihadapkan dengan situsi sosial
masyarakat yang rusak secara Moralitas, sedangkan beban Nasionalisme yaitu
Syekh Asnawi dihadapkan dengan situasi politik yang kacau balau akibat dari
penjajah sehingga ia harus melawan para penjajah.7
6 Murtadho Hadi, Jejak Spiritual Abuya Dimyati, (Yogyakarta: Pustaka
Pesantren, 2009), hal. 33 7 Wawancara Pribadi dengan KH. Raden Ahmad Syaukatudin Inayah (cucu
Syekh Asnawi), sekaligus Pimpinan Yayasan Pondok Pesantren Masyariqul
Anwar.
58
Pada saat itu, terjadinya perang batin antara perasaan sedih dan semangat
jihad di hati Syekh Asnawi serta berniat ingin meluruskan kembali akidah masyarak
Caringin. Dengan semangat jihad atas ilmu yang telah ia miliki, Syekh Asnawi pun
berdakwah mengjarkan agama Islam dari satu tempat ke tempat lain. Sehingga
masyarakat Caringin yang dulunya sering melakukan kemaksiatan, perjudian,
kemusyrikan, melakukan kejahatan, meninggalkan shalat dan jauh dari nilai-nilai
syariat Islam. Namun sejak Syekh Asnawi menyebarluaskan ajaran Islam dan juga
mulai mengajarkan ajaran tarekat Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyyah sejak itu
Caringin menjadi gemah ripah loh jinawi, tata tentram karta raharja, kemungkaran
dan kemusyrikan berangsur lenyap. Masyarakat Caringin menjadi masyarakat yang
Islami, sehingga berpengaruh terhadap masyarakat Banten secara umum. Sehingga
seganlah orang yang berbuat jahat dan pudarlah orang-orang yang berbuat maksiat.8
Dunia berputar dan zamanpun beredar ketika Caringin yang damai dan
tentram terusik dengan meletusnya Gunung Krakatau yang terjadi pada tanggal 26
Agustus tahun 1883. Meletusnya Gunung Krakatau yang tercatat akan
kedahsyatannya dalam sejarah dunia. Dengan letusan yang maha dahsyat letusan
Krakatau dapat terdengar hingga 4600 km sehingga menyemburkan material
Vulkanik ke Angkasa dengan ketinggian kabut asap mencapai 80 km, benda-benda
keras yang berhamburan ke udara jatuh di dataran pulau Jawa dan Sumatra.
Dampak dari letusan Gunung Krakatu ini dirasakan sampai ke berbagai negara
seperti: Australia, Srilangka, India, Pakistan, dan Selandia baru sehingga
mengurangi suhu di seluruh dunia dengan rata-rata 1.2 ’C. Akibat dari letusan
8 Raden Ahmad Syaukatudin Inayah, Ringkasan sejarah Hidup dan
Perjuangan Syeikh Asnawi Caringin Pandeglang – Banten, hal. 8-9
59
Gunung Krakatau menimbulkan terjadinya gelombang tsunami yang dahsyat
dengan ketinggian ombak sekitar 30-40 meter. Sehingga gemparlah masa insan
pesisir menyapu habis segala yang ada di daratan memusnahkan seluruh rumah-
rumah dan gedung-gedung perkantoran di daerah pantai sebelah Sumatra dan Jawa
dikawasan Selat Sunda. Sehingga dari peristiwa tersebut yang dicatat oleh
pemerintah Hindia Belanda jumlah korban jiwa yang meninggal dunia sekitar
36.417 orang. Namun ada juga sumber lain yang mengatakan bahwa jumlah korban
jiwa melebihi 120.000 korban jiwa yang meninggal dunia.9
Gunung Krakatau merupakan kepulauan berupa pegunungan vulkanik aktif
yang berada di Selat Sunda. Gunung Krakatau merupakan rangkaian Gunung
sebagai mata rantai yang menghubungkan pegunungan bukit barisan sepanjang
pulau Sumatera dengan pegunungan di pulau Jawa hingga Indonesia bagian Timur,
dan merupakan Gunung yang paling berbahaya di dunia. Ketinggian Gunung
Krakatau diperkirakan kurang lebih 2000 M dari dasar laut Selat Sunda.10
Akibat dari letusan Gunung Krakatau inilah wilayah Caringin yang kala itu
megah dan tentram seketika hancur lebur. Sehingga rumah-rumah dan gedung-
gedung perkantoran kabupaten Caringin musnah rata dengan tanah. Namun, disaat
ada tanda-tanda akan meletusnya Gunung Krakatau Syekh Asnawi beserta keluarga
dan pengikutnya pergi berevakuasi ke sebuah dusun yang terletak di daerah Menes,
9 WIKIPEDIA, Letusan Krakatau 1883. Diakses hari Jumat tanggal, 5 April
2018, Jam 20:15 WIB. Https://id.m.wikipedia.org/wiki/letusan_krakatau__1883. 10 Jefrihutagalung, Sejarah Gunung krakatau Hingga Munculnya Anak
Krakatau. Diakses hari Jumat tanggal 5 April 2018, Jam 20:39 WIB.
Https://ww.google.co.id/amp/s/jefrihutagalung.wordpress..com/2014/04/30/sejara
h-gunung-krakatau-hingga-munculnya-anak-krakatau/amp/.
60
yaitu Desa Muruy untuk sementara waktu, dan setelah laut mulai reda Syekh
Asnawi kembali ke kampung halamannya.11
Sekembalinya Syekh Asnawi ke Caringin, keadaan kampung tersebut
beserta bangunannya musnah rata dengan tanah. Maka Syekh Asnawi beserta
seluruh masyakat Caringin dan Banten, mulai membersihkan puing-puing akibat
dari letusan Gunung Krakatau dan mulai membangun kembali kampung
halamannya. Sebagai seorang pemimpin umat yang bercita-cita mewujudkan
kehidupan masyarakat yang Islami , maka Pada tahun 1884 atas perintah Syekh
Asnawi dibangunlah sebuah masjid yang akan menjadi tempat pusat syiar ajaran
agama Islam bagi seluruh masyarakat Caringin dan Banten yang diberi nama
Masjid Agung As-salafie dan selesai pembangunannya pada tahun 1889. Di Masjid
ini pula Syekh Asnawi mengajarkan ajaran tarekat dan disini pula mulai
menanamkan ide-ide perjuangan untuk membebaskan negara dan Bangsa dari
belenggu penjajah Belanda.12
Sekitar tahun 1920, pada masa itu kondisi politik sedang tidak menentu
akibat dari adanya penjajah Belanda di wilayah Banten dan Indonesia pada
umumnya. Belum lagi dari masyarakat kaum Elit yang pro terhadap kolonial.
Pemerintah kolonial menerapkan sistem politik Devide Et Impera (Adu Domba),
dengan mengkotak-kotakan terhadap status sosial, Mereka membuat bangsa kita
berkasta-kasta dan para elit pun merasa bangga dengan status sosial karena diberi
11 Raden Ahmad Syaukatudin Inayah, Ringkasan sejarah Hidup dan
Perjuangan Syeikh Asnawi Caringin Pandeglang – Banten, hal. 9-10 12 Yayan Ahdiat, Masjid Caringin Pandeglang Jawa Barat (Tinjauan
Arsitektur). Skripsi Sarjana Bidang Arkeologi Fakultas Sastra Universitas
Indonesia 1992. Hal. 20-23
61
fasilitas lebih dengan mendapatkan pendidikan yang istimewa yang nantinya
dijadikan pejabat pemerintah yang akan membantu dan membela kepentingan
kolonial.
Tujuan pengkotak-kotakan tersebut hanyalah untuk menghilngkan rasa
kesatuan dan persatuan di antara masyarakat dan bangsa Indonesia. Pemerintah
kolonial Belanda hanya mengeruk keuntungan dari negeri kita tanpa
memperhatikan kesejahteraan kaum pribumi. Padahal kemakmuran yang dinikmati
negeri Kincir Angin itu adalah hasil jerih payah dan kerja keras Bangsa Indonesia.
Mereka sama sekali tidak memperhatikan masyarakat Indonesia yang kala itu hidup
dalam kesengsaraan, kebodohan, kemiskinan, dan keterbelakangan. Memang pada
saat itu, sudah adanya pembangunan sarana dan prasarana, seperti: jalan, jembatan,
pasar, pelabuhan termasuk sekolah, namun itu semua hanya untuk kepentingan
kaum kolonial dan kapitalis belaka tidak ada untuk peningkatan taraf hidup dan
kecerdasan dikalangan rakyat jelata (Pribumi).13
Pada saat itu, pemerintah kolonial membagi masyarakat pada tiga golongan
yakni :
a). Masyarakat lapisan bawah, yakni rakyat jelata
b). Masyarakat kaum elit yakni orang-orang ningrat yang terdiri dari keluarga
sultan, para pejabat pemerintah serta kaum bangsawan.
c). Masyarakat lapisan menengah, yaitu pegawai, pedagang dan kaum hartawan
pribumi dan etnis asing.
13 Raden Ahmad Syaukatudin Inayah, Ringkasan sejarah Hidup dan
Perjuangan Syeikh Asnawi Caringin Pandeglang – Banten, hal.11-14
62
Dari pengkotak-kotakan status sosial itu, maka terjadilah sistem politik
apharted yang menyebabkan terjadinya pendiskriminsian warna kulit di masyarakat
yang terbagi menjadi tiga kelompok yaitu : a). Golongan kulit putih, b). Golongan
kulit kuning dan timur asing lainnya, c). Golongan pribumi. Golongan pribumi
inilah yang nasibnya bagaikan hamba sahaya yang menggantungkan hidupnya para
pemodal asing dengan bayaran yang sangat amat rendah, tidak seimbang dengan
intensitas kerja yang tinggi. Maka pantas pada saat itu para tokoh yang berlevel
nasional seperti : Dr. Soetomo, H. O..S. Cokroaminoto, H. Agus Salim, K.H.
Hasyim Asy’ari, Dr. Cipto Mangoenkoesoemo, K.H. Ahmad Dahlan, Ir. Soekarno,
Drs. Moh. Hatta membuat organisasi baik yang bergerak dalam bidang pendidikan,
ekonomi, sosial, maupun politik, semuanya bertujuan untuk mengajak masyarakat
Indonesia mendekatkan dan mempersatukan bangsa Indonesia untuk
memerdekakan bangsa Indonesia dari belenggu para penjajah dan juga suatu
pergerakan menuju peningkatan dan kemajuan masyarakat pribumi, sehingga
harkat dan martabat bangsa ini terangkat tidak lagi menjadi bodoh, miskin dan tidak
lagi terkucilkan sehingga menjadi masyarakat yang sejahtera.14
Sebagai seorang ulama khalifah tarekat Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyyah,
maka lewat figur Syekh Asnawi ruh denyut nadi perjuangan itu pun mulai
menggelora di hati Syekh Asnawi, sehingga secara diam-diam ia mulai mengajak
para pengikut ajarannya mengobarkan semangat anti penjajah, lalu mengadakan
kontak dengan para alim-ulama yang sejalan dengan pemikirannya, sehingga
pondok-pondok pesantren mulai menyiapkan kader pejuangnya dengan berlatih
14 Raden Ahmad Syaukatudin Inayah, Ringkasan sejarah Hidup dan
Perjuangan Syeikh Asnawi Caringin Pandeglang – Banten, hal.14-15
63
bela diri dengan berbagai alirannya. Kemudian Syekh Asnawi memilih K.H.Tb.
Ahmad Chatib (mantu) dan K.H. Tb. Emed Ahmad Hadi (Putra) sebagai panglima
laskar Mujahidin ketiga panglima perang ini adalah penganut ajaran tarekat
Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyyah.15 Merekalah yang selalu kontak dengan para
pemimpin baik yang ada di Batavia maupun di wilayah Banten.
Atas seizin Syekh Asnawi K.H. Tb. Ahmad Chatib mulai megatur struktur
organisasi, ia mengangkat K.H. Mukri, sebagai wakil panglima, yang bertugas
untuk merekrut para pemuda menjadi laskar mujahidin. Lalu mengangkat H.
Samaun dan H. Saindang untuk memimpin pelatihan. Pada tanggal 12 November
1926, pecahlah pemberontakan Ulama, jawara dan santri (para penganut tarekat),
diawali dengan penyerbuan Labuan pada tengah malam oleh ratusan orang
dipersenjatai pisau dan keleweng dan senjata Api. Keesokan harinya pasukan
militer datang ke Labuan melakukan perlawanan sengit, namun karena senjata
mereka lebih cangih banyak para pemberontak meninggal dunia.16
Siang malam tak henti-hentinya pasukan militer Belanda menyerang ke
kampung-kampung mencari dan menangkap para pemberontak sehingga banyak
para laskar mujahidin yang tertangkap. Atas doa restu dari Syekh Asnawi serta
dibekali kekuatan supranatural yaitu dengan doa-doa, wirid dan Hijib dibacakan
15 Helmy F.B Ulumi, dkk. Biografi Abuya Muqri Sang Pejuang Perlawanan
Kaum Tarekat 1926 di Banten. Tim Peneliti Laboratorium Bantenologi IAIN Sultan
Maulana Hasanudin Banten, hal. 96-125 16 Helmy F.B Ulumi, dkk. Biografi Abuya Muqri Sang Pejuang Perlawanan
Kaum Tarekat 1926 di Banten, hal. 106-107
64
(Ilmu kekebalan) kepada para santrinya sehingga mereka menjadi kebal, dengan
serentak pecahlah pemberontakan di daerah Labuan, Menes, Caringin.17
Pada tanggal 15 November 1926, Secara agresif mereka menyerang konvoi
patroli tentara kolonial yang sedang lewat diantara Masjid Agung Caringin dengan
jembatan Cisanggoma yang diawali lemparan geranat kearah mereka, sehingga
pada saat itu lima orang dari mereka meninggal dunia dan beberapa belas orang
lainnya luka-luka, sedangkan para laskar mujahidin pun banyak yang meninggal
dunia. Pada keesokan harinya ratusan tentara Belanda menyerang dan menangkap
para mujahidin, sehingga Syekh Asnawi sebagai ide dari pemberontakan beserta
seluruh keluarganya ditangkap dan dipenjarakan ke Batavia selama satu tahun
sembilan bulan, kemudian dibuang ke Cianjur selama dua setengah tahun.
Sedangkan para laskar mujahidin dibuang ke Bouven Digul Irian Barat. Setelah
masa tahanannya selesai Syekh Asnawi dibebaskan pada tahun 1931, sedangkan
para laskar Mujahidin dibebaskan pada pada tahun 1941.18
Setelah masa tahanannya berahir Syekh Asnawi pun kembali ke kampung
halamannya menyebarluaskan ajaran agama Islam melalui ajaran tarekat
Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyyah yang telah lama ia amalkan dan ajarkan kepada
murid-muridnya. Ahirnya pada tahun 1937 hari rabu, tanggal 13 rabi’utsani Syekh
Asnawi berpulang ke Rahmatullah disaat sedang sujud ketika melaksanakan shalat
duha. Syekh Asnawi dimakamkan tidak jauh dari tepi pantai Caringin sampai saat
17 Helmy F.B Ulumi, dkk. Biografi Abuya Muqri Sang Pejuang Perlawanan
Kaum Tarekat 1926 di Banten, hal. 116-125 18 Raden Ahmad Syaukatudin Inayah, Ringkasan sejarah Hidup dan
Perjuangan Syeikh Asnawi Caringin Pandeglang – Banten, hal. 18
65
ini makamnya selalu ramai dikunjungi para peziarah baik dari masyarakat Banten
maupun masyarakat diluar Banten.19
C. Syekh Asnawi Sebagai Tokoh Pendidikan
Awal mula munculnya ide pendidikan yaitu ketika Syekh Asnawi melihat
sistem politik Devide Et Impera (Adu domba), dengan membeda-bedakan status
sosial masyarakat bangsa Indonesia yang telah diterapkan oleh pemerintah Belanda,
yang menjadikan terjadinya pendiskriminasian sehingga masyarakat pribumi
(rakyat jelata), tidak bisa menikmati fasilitas pendidikan. Pada waktu itu memang
sudah dibangun lembaga pendidikan yang dibangun dan disokong oleh pemerintah
Hindi Belanda, namun itu untuk kepentingan mereka. Sekolah yang didirikan oleh
pemerintah Belanda hanya dapat masuk para putra pejabat dan para bangsawan
sedangkan rakyat biasa tidak bisa masuk kesekolah tersebut.20 Dari situlah awal
mula Syekh Asnawi mempunyai ide untuk membangun sebuah lembaga pendidikan
yang dapat menaungi dan mengintegrasikan antara ilmu-ilmu keagamaan dan ilmu-
ilmu pengetahuan umum. Ide itu muncul ketika Syekh Asnawi menyaksikan proses
belajar-mengajar serta hasil yang dicapainya dari Madrasah “Jami’atul Khair”
jakarta dan di “al-Muawwanah” Cianjur ketika Syekh Asnawi diasingkan di kedua
daerah tersebut.
Dalam hal perencanaan pembuatan lembaga Pendidikan Syekh Asnawi
menilai sistem pendidikan Madrasah mempunyai kelebihan dalam hal-hal tertentu
19 Raden Ahmad Syaukatudin Inayah, Ringkasan sejarah Hidup dan
Perjuangan Syeikh Asnawi Caringin Pandeglang – Banten, hal. 16-20 20 Wawancara Pribadi dengan KH. R. Ahmad Syaukatudin Inayah (cucu
Syekh Asnawi), sekaligus Pimpinan Yayasan Pondok Pesantren Masyariqul Anwar
Caringin
66
dibandingkan dengan sistem pendidikan yang dibangun oleh pemerintah Belanda
maupun Pesantren. Dalam pengorganisasian dalam sistem pola pendidikan di
pesantren kurang terorganisasi dengan baik, karena dalam pola dan sistem
belajarnya tidak ada yang dinamakan sistem berkelas, tidak ada kurikulum tertentu
yang dapat memproyeksikan hasil apa yang akan didapat serta diraih selama
belajar, dan tidak ada batasan-batasan pelajaran serta pelajaran apa saja yang harus
dipelajari selama atau dalam masa tertentu. Begitu pula kehidupan di pesantren,
eksistensi para santri maupun masyarakat dilingkungan pesantren masih
bergantung kepada figur Kiyai. Dikarenakan dalam kehidupan pesantren, kiyai
merupakan elemen penting dan paling esensial.21 Lain dari pada itu, jika seorang
kiyai yang memimpin pondok pesantren meninggal dunia maka, para keturunannya
tidak bisa meneruskannya. Walaupun bisa melanjutkan kepimimpinan pesantren
oleh keturunannya namun, biasanya reputasi pesantren tersebut mengalami
penurunan. Begitu pula, dengan yang terjadi di pesantren yang didirikan oleh Syekh
Asnawi. Dimana dalam masa kegiatannya pernah mengalaimi kevakuman
disebabkan ditahannya Syekh Asnawi oleh pemerintah Hindia Belanda.
Proses pembelajaran di Madrasah dalam menjalankan sistem kegiatan
belajar mengajar setiap harinya tidak bertumpu kepada satu orang guru saja, karena
sudah adanya pengorganisasian atau jadwal mengajar dengan waktu yang telah
ditentukan. Dengan sistem pendidikan Madrasah dapat menggabungkan antara
pendidikan keagamaan dan pendidikan umum. Sebelum menjalankan ide-ide
pemikirannya itu, Syekh Asnawi terlebih dahulu memahami dan
21 Zamaksari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup
Kiyai, (Jakarta: LP3ES, 1985), Cet. Ke-6, hal. 55
67
mempertimbangkan apa yang dia lihat secara langsung sistem pendidikan di
Madrasah “ Jamiatul Khair” dan Madrasah “al-Muawwanah” ketika ia masih
dalam masa tahanan di kedua daerah tersebut. Maka untuk mewujudkan ide-ide
pendidikannya itu, ia memerintahkan kepada kedua cucu dan mantunya yaitu: K.H.
Syakirin (Mantu), K. Tb. A. Maemun dan K. Tb. A. Muslih keduanya lulusan
Madrasah Jam’iyatul Khair dan al-Muawwanah, untuk membangun sebuah
lembaga pendidikan Islam yaitu sebuah Madrasah yang bertujuan untuk
menampung para santri dan para generasi muda bangsa. Maka pada tanggal 12 Mei
1930 berdirilah sebuah Madrasah yang diberi nama Madrasah “Masyariqul
Anwar”.22
Setelah masa tahanannya berakhir Syekh Asnawi pun kembali ke Caringin
yang sudah ramai dipenuhi para santri dari berbagai daerah pada tahun 1931. Ia pun
mulai mengajarkan kembali pendidikan di Madrasah, di Madrasah selain
memberikan pendidikan agama, ada juga pendidikan umum serta merupakan
tempat memupuk para pemuda Islam yang militan bagi kader penerus cita-cita
perjuangan Bangsa. Sesuai dengan tujuan dan arahan Syekh Asnawi bahwasanya
program pelajaran diseluruh jenjang pendidika Masyariqul Anwar menggabungkan
mata pelajaran Agama dan Umum dengan hampir 70% pelajaran Agama dan 30%
pelajaran Umum. Kesemuanya ini bahasa pengantarnya menggunakan bahasa
Arab. Pelajaran Umum yang terdiri dari mata pelajaran:
a. Jugrofiyah ( Geografi)
b. Hisab ( Berhitung)
22 Raden Ahmad Syaukatudin Inayah, Ringkasan sejarah Hidup dan
Perjuangan Syeikh Asnawi Caringin Pandeglang – Banten, hal. 19-26
68
c. Riyadhotul Badaniyah ( Olah Raga )
d. Malaziyah ( Bahasa Indonesia)
e. Aljabar
f. Handasah ( Ilmu Ukur)
g. Istigholul Yadawiyah (kerajinan Tangan)
h. Al- Lughotul Injliziyah ( Bahasa Inggris)
Setelah semuanya berjalan dengan baik, Madrasah Masyariqul Anwar pun
terus meningkatkan kualitas pendidikannya dan berkembang dari masa ke masa.
Atas desakan para kepala Madrasah Ibtidaiyah yang berada disemua cabang untuk
membentuk sekolah Madrasah Tsanawiyah Masyariqul Anwar pusat, yaitu untuk
menampung para lulusan Madrasah Ibtidaiyah. Sehingga pada tanggal 09 April
1952 dibentuklah lembaga Madrasah Tsanawiyah Masyariqul Anwar pusat yang
dipimpin oleh K.H. Tb. A. Mursyid Asnawi.23
Seiring dengan perkembangannya pada saat itu, dengan kebutuhan guru
diberbagai jenjang Madrasah, khususnya di Madrasah tinggkat Ibtidaiyah, maka
Masyariqul Anwar pun membentuk sebuah lembaga sekolah pendidikan guru
Agama ( PGA ), pada tanggal 22 April 1955. Yang dipimpin oleh K.H.Tb. Moh.
Syuaib, sehingga Caringin pun semakin dibanjiri oleh para santri dari berbagai
daerah.
Untuk mengkordinir dan mempersatukan cabang-cabang Madrasah, maka
pada tanggal 22 April 1955 dibentuk sebuah Yayasan Pendidikan Islam Masyariqul
Anwar, yang diketuai oleh K.H.Tb. Emed Ahmad Hadi. Sehingga dengan adanya
23 Wawancara Pribadi dengan Drs. H. Ois Kholid (cucu Syekh Asnawi),
sekaligus Kepala Sekolah Madrasah Aliyah Masyariqul Anwar Pusat Caringin.
69
Yayasan ini, maka silaturahmi antar cabang bisa lebih dekat dan bisa saling tukar
menukar informasi serta bisa menjalin hubungan silaturahmi denga baik.
Pada tahun 1962 dimana ketua yayasan sudah tidak sanggup lagi untuk
memimpin dikarenakan telah udzur, maka digantikan oleh K.H.Tb. Maemun Hasni.
Maka pada awal tahun 1963 ia meningkatkan status Yayasan ke tingkat Pengurus
Besar Masyariqul Anwar.
Pada tahun 1966 pengurus besar Masyariqul Anwar Pusat, membentuk
Lembaga Pendidikan Madrasah Aliyah Masyariqul Anwar. Kepala Madrsahnya
dipercayakan kepada K.H.R. Ahmad Syaukatudin Inayah. Maka, pada tanggal 19
Agustus 1975 Masyariqul Anwar disahkan menjadi sebuah perkumpulan oleh
Mentri Kehakiman Republik Indonesia melalui daftar keputusannya Nomor : Ya.
5/289/10.
Namun, sejak berdirinya pemerintahan Orde Baru dan sejak terbitnya surat
keputusan Tiga Menteri pada tahun 1975, Kurikulum yang ditetapkan oleh Yayasan
diadakan perubahan dan harus disesuaikan dengan arahan Kurikukulm Departemen
Agama.24
Surat Kepuutusan Tiga Menteri tersebut antara lain :
1. Keputusan Menteri Agama : No. 6 Th 1975
2. Keputusan MENDAGRI : No. 37 /U/ 1975
3. Keputusan MENDIKBUD : No. 36 Th. 1975
Setelah adanya keputusan tiga Menteri ahirnya kurikulum Madrasah pun
mengikuti Kurikulum yang telah ditetapkan Departemen agama artinya Materi atau
24 Raden Ahmad Syaukatudin Inayah, Ringkasan Sejarah Hidup dan
Perjuangan Syekh Asnnawi Caringin Pandeglang – Banten, hal. 19-26
70
pelajarn-pelajaran di Madrasah harus disesuaikan dengan Kurikulum yang ada di
sekolah-sekolah Negri. Namun, pelajaran agama masih tetap dipelajari di Madrasah
Masyariqul Anwar baik ditingkat MTS maupun yang tingkat Madrasah Aliyah
(MA). Sehingga itu menjadi ciri khas lembaga Pendidikan Islam Madrasah
Masyariqul Anwar yang dipertahankan dari dulu sampe sekarang.25
Dengan mengikuti Kurikulum yang telah ditetapkan Departemen Agama,
Madrasah Masyariqul Anwar pun semakin berkembang pesat mengikuti arus
zamannya. Namun, dengan mengikuti aturan yang telah diterapkan oleh
pemerintah, tentu ada konsekuensinya yaitu pelajaran Agama berkurang, Secara
kuantitas siswa/siswi yang masuk ke Madrasah Masyariqul Anwar baik ditingkat
MTS maupun Aliyah lebih banyak, tetapi kalau dilihat secara kualitas yang sesuai
dengan Visi dan Misi Madrasah yaitu “Addiniyah al-Arobiyah: Mandiri,
berkualitas, berilmu Amaliyah dan Beramal Ilmiyah” jelas berkurang karena yang
kita tahu bahwa pelajaran-pelajaran agama yang dipelajari di Madrasah Masyariqul
Anwar berkurang yaitu hanya sekitar enam pelajaran agama, ditambah sekarang ini
yang masuk ke Madrasah tidak berjenjang artinya dari Madrasah Ibtidaiah
Masyariqul Anwar kemudiah dilanjut ke Tsanawiyah Masyariqul Anwar kemudian
Madrasah Aliyah Masyariqul Anwar, tapi banyak yang dari SD lanjut ke Madrasah
Tsanawiah dan dari SMP masuk ke Aliyah tanpa mengikuti proses pelajaran agama
terlebih dahulu sehingga ketika masuk ke Madrasah Tsanawiah maupun Aliyah
mereka kebingungan dalam menghadapi pelajaran agama yang dipelajari di
Madrasah dan itu menjadi kendala saat ini. Namun, dalam segi kemajuan saat ini
25 Wawancara Pribadi dengan Drs. H. Ois Kholid (cucu Syekh Asnawi),
sekaligus Kepala Sekolah Madrasah Aliyah Masyariqul Anwar Pusat Caringin.
71
semakin berkembang pesat mengikuti arus zamannya. Sehingga saat ini telah ada
kurang lebih 20 cabang dari Madrasah Masyariqul Anwar dan cabang-cabang itu
tidak hanya meliputi di wilayah Caringin saja tetapi ada juga yang di daerah
Tangerang bahkan ada juga di daerah Lampung.26
Tahun Pelajaran 2018/2019
Mata Pelajaran27
1. Bahasa Inggris 12. Akidah Akhlak
2. Bahasa Arab 13. Kesenian
3. Bahasa Indonesia 14. Prakarya
4. Ekonomi 15. Penjaskes ( Olah Raga )
5. Sosiologi 16. PKN
6. Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) 17. Geografi
7. Qur’an Hadits 18. Nahwu Sharaf
8. Tafsir 19. Diroyah Islamiyah
9. Kifayatul ‘awam 20. Tarikh Islam
10. Matematika 21. Fiqih
11. Ushul Fiqih
Caringin, 15 Oktober 2018
Mengetahui,
Kepala Madrasah Wakaur Kurikulum
Drs. H. Ois Kholid Jajuli. S. Pd
NIP. 19621012 199303 1 004 NUPTK.1038 7576 591
D. Syekh Asnawi Sebagai Ulama Yang Dihormati
Syekh Asnawi adalah seorang ulama yang paling dikagumi dan dihormati
oleh masyarakat Banten pada tahun 1920-an dimana pada masa itu merupakan
masa-masa dimana Syekh Asnawi mendapat sambutan hangat oleh masyarakat dan
26 Wawancara Pribadi dengan Drs. H. Ois Kholid (cucu Syekh Asnawi),
sekaligus kepala Madrasah Aliyah Masyariqul Anwar Pusat Caringin. 27 Wawancara Pribadi dengan Drs. H. Ois Kholid (cucu Syekh Asnawi),
sekaligus kepala Madrasah Aliyah Masyariqul Anwar Pusat Caringin.
72
para santrinya yang belajar kepadanya. Hal itu dikarenakan Syekh Asnawi dalam
berdakwah dengan metode yang lemah lembut, memiliki kerendahan hati,
kedisiplinan, ketekunan dan kesabaran dalam mensiarkan agam Islam, dengan
kecerdasan kedalaman ilmu yang dimilikinya sehingga terbukti pada usia yang
masih anak-anak Syekh Asnawi telah menguasai berbagai cabang ilmu agama dan
telah hafal al-Qur’an dengan baik. Dimasa kecilnya Syekh Asnawi seorang anak
yang taat terhadap kedua orang tuanya, dimana kedua orang tuanya sangat tekun
mendidik dalam berbagai cabang ilmu agama terutama dalam hal penanaman
akhlak. Sehingga Syekh Asnawi sangat menghormati kepada orang yang lebih tua
darinya dan juga saling menghormati terhadap orang yang sebaya dengannya.
Sehingga dengan kerendahan hati dan kesalehannya Syekh Asnawi dari sejak kecil
sudah dikagumi dan disayangi oleh orang tua dan anak-anak sebayanya.28
Selain itu, kalau dilihat silsilah nasab keturunan Syekh Asnawi merupakan
ulama yang masih mempunyai hubungan dan silsilah keturunan dengan kesultanan
Banten. Hal itu juga bisa dilihat dari nama ayah dan ibunya. Jika kita lihat nama
ayahnya yang bernama K.H. Mas Abdurahman dan ibunya Nyai Ratu Syabi’ah,
maka tentu saja, Syekh Asnawi memang dilahirkan dari garis keturunan kesultanan
Banten. Yaitu dengan nama “MAS” yang tertera didepan dari nama sang ayah, serta
nama “Nyai Ratu” yang tertera didepan nama sang ibu. Itu merupakan sebuah gelar
yang memang diberikan kepada para keturunan kesultanan Banten.29
28 Wawancara Pribadi dengan KH.R. Ahmad Syaukatudin Inayah (cucu
Syekh Asnawi), sekaligus Pimpinan Yayasan Pondok Pesantren Masyariqul Anwar
Caringin 29 Raden Ahmad Syaukatudin Inayah, Ringkasan Sejarah Hidup dan
Perjuangan Syekh Asnnawi Caringin Pandeglang – Banten, hal. 58
73
Selain itu juga, dengan kecerdasan yang dimilikinya pada usia yang masih
relativ sangat muda setelah wafat ayah handanya dengan seijin ibu dan keluarganya
ahirnya Syekh Asnawi melanjutkan pendidikan ilmu agamanya ke kota Mekkah.
Pada sekitar abad 17-19 Mekkah dan Madinah merupakan pusat studi ilmu-ilmu
keagamaan Islam di dunia. Maka pada saat itu, umat Muslim yang ada diseluruh
penjuru dunia berdatangan ke kota Mekkah dan Madinah untuk belajar berbagai
cabang ilmu agama.30
Sebagai pusat studi ilmu-ilmu agama Islam maka dari tahun ketahun orang-
orang Nusantara khususunya para ahli agama pergi ke Mekkah untuk belajar
berbagai cabang ilmu agama terus meningkat. Maka pada saat itu, banyak
komunitas orang-orang Nusantara yang belajar ilmu-ilmu agama disana. Terlebih
adanya ulama Nusantara yang bermukim dan menjadi ulama besar di kota Mekkah
seperti yang paling terkenal ulama Karismatik yang berasal dari Banten yaitu Syekh
Nawawi al-Bantani. Sehingga itu menjadi daya tarik para ulama Nusantara untuk
belajar disana.31
Syekh Nawawi adalah seorang ulama kelahiran Banten ( 1230 H/1897M –
1314 H/1897M ), yang kemudian menghabiskan sisa hidupnya di kota Mekkah.
Syekh Nawawi al-Bantani merupakan ulama yang dijuluki sebagai pujangga Islam
dikarenakan Intelektual dan otoritas keilmuannya yang amat tinggi. Dengan hasil
karya-karya Syekh Nawawi al-Bantani yang sudah tidak diragukan lagi sekitar 115
30 Wawancara Pribadi dengan K.H.R. Ahmad Syaukatudin Inayah (cucu
Syekh Asnawi), sekaligus Pimpinan Yayasan Pondok Pesantren Masyariqul Anwar
Caringin 31 Azumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII & XVIII Akar Pembaruan Islam Indonesia. Cet. Ke-III, hal.
396-397
74
kitab, karya-karya kitab yang ia tulis dengan Bahasa Arab meliputi ilmu fiqih,
tauhid, ilmu kalam, tafsir, tasawuf dan hadis. Melihat hasil karya-karya kitab yang
ditulis Syekh Nawawi al-Bantani. Akhirnya ia pun dikenal di seluruh Nusantara
maupun di seluruh dunia Muslim sebagai ulama yang sangat Produktif dalam
menulis dan menghasilkan kitab-kitab berbahasa Arab sehingga Syekh Nawawi al-
Bantani dikenal sebagi Ulama Fiqih dan ulama Tafsir.
Dengan otoritas kedalaman ilmu yang sudah tidak diragukan lagi dan sudah
diakui oleh seluruh umat Muslim diberbagai penjuru dunia. Maka Syekh Nawawi
dikagumi oleh seluruh umat muslim maka tak heran jika ia menjadi guru besar bagi
seluruh ulama Nusantara maupun seluruh ulama muslim di berbagai penjuru dunia.
Termasuk Syekh Asnawi yang berguru kepadanya.32
Namun, Syekh Asnawi dikenal bukan sebagai ulama fiqih atau tafsir, akan
tetapi sebagai ulama tarekat. Dikarenakan ilmu yang ia pelajari secara mendalam
adalah ilmu tarekat Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyyah yang di pelajarinya langsung
dari Syekh Abdul Karim al-Bantani. Sehingga Syekh Asnawi lebih dikenal sebagai
ulama tarekat.33
Dari Syekh Abdul Karim al-Bantani inilah Syekh Asnawi belajar ilmu
tarekat dan di Bai’at untuk jadi pengikutnya dan ditunjuk sebagai Khalifah tarkat
Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyyah. Setelah belajar dari Syekh Abdul Karim al-
Bantani itulah kemudian ia mengajarkan ajaran tarekat kepada masyarakat Caringin
32 Azumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII & XVIII Akar Pembaruan Islam Indonesia. (Depok:
Perpustakaan Nasional, 2013) Cet. Ke-III, hal. 396-397 33 Raden Ahmad Syaukatudin Inayah, Ringkasan Sejarah Hidup dan
Perjuangan Syekh Asnawi Caringin Pandeglang – Banten, hal. 6-7
75
dan masyarakat Banten pada umumnya dengan mendirikann pondok Pesantren
sebagai sarana dan tempat mengajarkan ajarannya serta mengembangkan ilmu-ilmu
agama Islam lainnya.
Terlebih juga kegigihan Syekh Asnawi dalam mengobarkan semangat anti
penjajah kepada masyarakat Caringin untuk melawan para penjajah yang
dianggapnya sudah sangat menyengsarakan Rakyat Banten. Begitu juga, dengan
Ide gemilangnya tentang pembuatan lembaga pendidikan di Caringin pada tahun
1930-an. Sehingga Syekh Asnawi semakin dikenal dan dikagumi oleh masyarakat
Caringin maupun masyarakat diluar Banten.
Dari kegigihan Syekh Asnawi dalam mengorbankan semangat anti penjajah
dan ide Pendidikan, mengajarkan ajaran tarekat serta menyebarluaskan ajaran
agama Islam inilah Syekh Asnawi dikenal dan dikagumi oleh masyarakat Caringin
dan masyarakat Banten. Bisa dikatakan bahwa Syekh Asnawi lah seorang tokoh
utama dalam proses Islamisasi di wilayah Caringin.
Maka pada tahun 1920-an dimana Syekh Asnawi mendapat sambutan
hangat dari para santri-santri yang belajar kepadanya baik dari masyarakat Caringin
maupun masyarakat diluar Banten.
E. Karomah Syekh Asnawi Caringin
Syekh Asnawi merupakan ulama penganut tarekat ia juga sosok ulama
Banten yang memiliki karismatik pada tahun 1920-an, beliau lahir tahun 1850 M,
yaitu putra dari pasangan KH. Abdurahman dan Hj. Nyai Ratu Sabi’ah.34 Sejak
34 Mufti Ali dkk, Biografi Ulama Banten, (Serang: Laboratorium
Bantenologi, 2017), hal. 140
76
kecil Syekh Asnawi sudah menampakan kecerdasannya dan keshalihannya, sejak
kecil ia belajar ilmu agama dibawah bimbingan sang ayah dan setelah ayahnya
wafat Syekh Asnawi melanjutkan pendidikannya ke kota Mekah. Ia berguru ke
Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Hasbullah al-A’ma, Syekh Abdul Hamid Makki,
Syekh Ahmad Khatib As-Syambasi dan kepada Syekh Abdul Karim al-Bantani.
Syekh Asnawi sosok ulama yang cukup sempurna dalam menjalankan perintah
agama, beliau bukan saja aktif dalam berdakwah menyebarluaskan ilmu agama
Islam saja, akan tetapi ia juga aktif dalam mengobarkan semangat Nasionalisme
anti penjajah, tokoh pendidikan dan juga menjalankan kehidupan dengan metode
bertasawuf. 35 Tarekat yang dianutnya yaitu tarekat Qodiriyyah Wa
Naqsyabandiyyah. Maka wajar jika dalam perilaku sehari-hari beliau, tawadhu,
istiqomah, sabar, ikhlas, ramah, sopan santun, bertegur sapa, berbudi luhur, akhlak
yang baik dan penuh ketakwaan.36
Syekh Asnawi mulai berdakwah di Caringin beliau banyak melahirkan
ulama-ulama ternama seperti: Abuya Muqri (Karabohong), KH. Ahmad Khatib,
KH. Samaun, KH. Saindang, KH. Abdul Hamid, KH. Muhammad Ghozali, KH.
Abdul Hadi, KH. Ali Yasin, Kiyai Salikin, KH. Asgari, Tb. H. Emed, H. Jahja, dan
KH. Muhammad Salim semuanya ini murid-murid tarekat dan merupakan tokoh
sentral dalam pemberontakan 1926 di labuan.37 Syekh Asnawi adalah tokoh ulama
kharismatik dunia kepesantrenan, penganut ajaran tarekat dan penganjur Ahlusunah
35 Raden Ahmad Syaukatudin Inayah. Ringkasan Sejarah Hidup dan
Perjuangan Syekh Asnawi Caringin Pandeglang-Banten, hal. 5-7 36 Wawancara Pribadi dengan KH. R. Ahmad Syaukatudin Inayah (cucu
Syekh Asnawi), sekaligus Pimpinan Pondok Pesantren Masyariqul Anwar Caringin 37 Mufti Ali dkk, Biografi Ulama Banten, (Serang: Laboratorium
Bantenologi, 2017), hal. 141-146
77
Wal Jama’ah. Beliau ulama yang sangat konsen terhadap penyebaran agama Islam,
pendidikan. Ia juga seorang ulama yang Wirangi (hati-hati dalam bicara, konsisten
dalam perkataan dan perbuatan), Ahli sodakoh, puasa, makan seperlunya, seperti di
contohkan oleh Nabi Muhammad Saw, humanis, penuh kasih sesama umat
manusia. Kegiatan kesehariannya hanya mulang ngaji (mengajar ilmu agama
Islam), berdakwah, shalat serta menjalankan kesunatan lainnya. Maka tak heran
ketika semasa hidupnya, Syekh Asnawi dikenal sebagai gurunya dari para guru dan
kiainya dari para kiai, sehingga tak berlebihan jika Syekh Asnawi disebut sebagai
tokoh ulama besar yang ada di Caringin Pandeglang-Banten. Dibalik kemasyhuran
nama Syekh Asnawi, beliau adalah orang yang sederhana dan bersahaja. Kalau
melihat wajah beliau terasa ada perasaan ‘adem’ dan tenteram dihati orang yang
melihatnya. Syekh Asnawi, begitu panggilan hormat masyarakat kepadanya.38
Maha suci Allah atas segala keagungan dan ke esaannya, semasa hidup
Syekh Asnawi, yaitu menurut cerita para sesepuh masyarakat Caringin bahwa
adanya Karomah-karomah di diri Syekh Asnawi. Seperti:39
Pertama. Ketika Syekh Asnawi sedang mengajarkan agama Islam di masjid
Agung As-salafi, kepada para murid-muridnya, lalu ada tiga kiyai dari kampung
Kasuniatan (sekitar 2 km dari penziarahan Banten), ketiga kiyai itu tidak percaya
akan kewaliyan Syekh Asnawi dan mereka ingin mencoba kewaliyan Syekh
38 Wawancara Pribadi dengan KH. R. Ahmad Syaukatudin Inayah (cucu
Syekh Asnawi), sekaligus Pimpinan Pondok Pesantren Masyariqul Anwar Caringin 39 Wawancara Pribadi dengan KH. R. Ahmad Syaukatudin Inayah (cucu
Syekh Asnawi), sekaligus Pimpinan Yayasan Pondok Pesantren Masyariqul Anwar
Caringin
78
Asnawi tersebut. Lalu ketiga kiyai itu mencobanya dengan membuat pertanyaan
dari masing-masing kiyai itu membuat 50 pertanyaan. Ketika pengajian itu sudah
selesai maka ketiga kiyai itu pun mempertanyakan pertanyaan yang sudah
disiapkan sebelumnya. lalu ketiga kiyai itu membuka buku yang berisi 50
pertanyaan namun setelah bukunya dibuka tiba-tiba bukunya “NGEBLENG” buku
tersebut kosong tidak ada coretan maupun pertanyaan satupun yang telah mereka
siapkan sebelumnya. Pada saat itu, ketiga kiyai itu wajahnya merah dan
menundukkan kepala mereka menahan rasa malu yang amat besar terhadap Syekh
Asnawi. Syekh Asnawi tersenyum lalu ia pun menjelaskan kembali pertanyaan-
pertanyaan yang telah dibuat oleh ketiga kiyai itu berikut penjelasan atau jawaban
dari masing-masing pertanyaannya itu. Karomah itu disaksikan oleh seluruh para
santri yang sedang belajar ilmu agama kepadanya.
Kedua, ada sebuah cerita perbincangan antara Syekh Asnawi dengan Abdul
Hamid (Murid tarekat dari Ciomas), Abdul Hamid adalah murid tarekat Syekh
Asnawi yang bermukim ia termasuk orang yang saleh, tekun, rajin dan sangat patuh
terhadap sang guru. Namun pada suatu kejadian Abdul Hamid tidak ikut pengajian
seperti biasanya bahkan sampe beberapa hari ia tidak ikut pengajian. Pada suatu
ketika ketemulah Syekh Asnawi dengan Abdul Hamid, lalu Syekh Asnawi
menanyakan kepada Abdul Hamid kenapa dalam waktu beberapa hari ini kamu
tidak pernah ikut pengajian ? Abdul Hamid menjawab : “Saya Sudah Mendapat
Martabat Kewaliyan yang sudah tidak diwajibkan lagi untuk melaksanakan
kewajiban sebagai orang yang beragama Islam, karena saya sudah mendapatkan
tempat di Surga jadi setiap saya ingin pergi ke surga tinggal pergi saja”. Syekh
Asnawi pun menanyakan kembali surga yang telah kamu tempati itu surga yang
79
seperti apa ? lalu Syekh Asnawi pun diajak ke surga yang dimaksud oleh Abdul
Hamid. Singkat cerita tiba lah Syekh Asnawi dan Abdul Hamid disuatu tempat yang
dipercayai Abdul Hamid itu sebagai surga. Setelah tiba disuatu tempat tersebut
Syekh Asnawi hanya berpesan kepada Abdul Hamid coba sekarang kamu ingat
Allah seketika ia pun merenung dan tempat itu pun seketika berubah menjadi
Hutan. Detik itu pun dia langsung bertaubat dan kembali ke jalan Allah.
Ketiga, menurut cerita dari para sesepuh ada suatu kejadian dari seorang
murid tarekatnya yaitu dari kampung Mandalawangi. Suatu ketika muridnya itu
sedang sakit, dan ketika ia sakit muridnya berpesan kepada Syekh Asnawi bahwa
apabila saya meninggal dunia maka saya ingin yang menjadi imam dalam shalat
Jenazah saya yaitu Syekh Asnawi. Tak lama setelah muridnya itu sakit dan
berpesan kepada Syekh Asnawi maka ia pun meninggal dunia. Ketika kiyai itu
meniggal dunia maka sang anak (KH. Abdul Mu’ti) dari kiyai itu bergegas
menjemput Syekh Asnawi ke rumahnya berniat untuk memberikan kabar
meninggalnya sang ayah dan sekaligus menjemput Syekh Asnawi untuk menjadi
Imam dalam shalat jenazah.
Setelah KH. Abdul Mu’ti itu sampe di rumah Syekh Asnawi namun, sang
Syekh sudah tidak ada di rumahnya dan kiyai itu menanyakan kepada salah satu
keluarga Syekh Asnawi terkait keberadaan Syekh Asnawi. Lalu salah satu keluarga
Syekh Asnawi itu menjawab bahwa Syekh Asnawi sudah pergi ke Mandalawangi
sesudah shalat subuh tadi untuk menyolatkan jenzah. Maha suci allah atas segala
keagungan dan keesaannya sangat sulit dipahami dengan akal karena pada saat itu
tidak ada yang namanya Hanphone lalu bagaimana sang Syekh bisa tahu bahwa
muridnya itu sudah meninggal dunia.
80
Keempat, kisah seorang murid yang sedang berguru kepada Syekh Asnawi
yang berasal dari Karawang yaitu seorang kiyai biasa dikenal dengan sebutan kiyai
Kobak Rante. Suatu ketika setelah ia telah hatam salah satu ilmu yang telah sang
guru berikan kepadanya. Pada suatu ketika kiyai Kobak Rante melaksanakan shalat
Ashar bersama Syekh Asnawi namun setelah melaksanakan shalat Ashar tiba-tiba
sang Syekh menyuruh kiyai Kobak Rante untuk pulang ke Karawang. Sang kiyai
itu pun kebingungan kenapa sang guru menyuruh ia untuk pulang ke kampung
halamannya di Karawang. Karena Syekh Asnawi merasa telah cukup ilmu yang
telah dimiliki kiyai Kobak Rante maka Syekh Asnawi pun mengijinkan Kobak
Rante untuk mengajarkan ilmunya kepada masyarakat di Karawang. Setelah
mendapat ijin dari sang guru lalu ia pun bergegas membereskan barang-barangnya.
Namun, ketika kiya itu mau berangkat ia kebingungan bagaimana ia bisa pulang ke
Karawang karena pada saat itu tidak adanya kendaraan. Kegelisahan itu pun
diketahui oleh sang guru lalu tiba-tiba sang guru memanggil tukang Sado atau
Delman untuk mengantarkan dia ke Karawang tukang Delman pun datang
menghampirinya.
Kiyai Kobak Rante pun semakin bingung ia berpikir bagaimana bisa dengan
jarak yang sangat jauh dari Caringin ke Karawang hanya dengan mengendarai
Sado/Delman. Dengan doa restu dari sang guru berangkatlah kiya Kobak Rante ke
Karawang. Tidak bisa dipahami dengan akal manusia biasa kecepatan delman itu
melebihi kecepatan roda empat (Mobil) sekarang ini, karena Delman itu tiba di
Karawang sebelum Adzan Maghrib bahkan kiyai Kobak Rante masih sempat
menjadi Imam shalat Maghrib di kampung halamannya itu.
81
Kelima, ketika terjadinya peristiwa yang menggemparkan seluruh Insan
pesisir pantai Selat Sunda yaitu meletusnya Gunung Krakatau yang tercatat
kedahsyatan letusannya dalam sejarah dunia pada tahun 1883 dari peristiwa itu
menelan korban jiwa kurang lebih 36.417 orang. Namun sebelum meletusnya
Gunung Krakatu dengan pengetahuan Bashariyahnya sang Syeh terlebih dahulu
mengetahui akan hal itu maka Syekh Asnawi mengajak keluarga dan seluruh
santrinya untuk mengungsi ke sebuah dusun yaitu ke desa Muruy tak lama setelah
Syekh Asnawi beserta seluruh keluarga dan para santrinya mengungsi meletuslah
Gunung Krakatau.
Keenam, karomah Syekh Asnawi lainnya, yaitu setelah terjadinya peristiwa
Gunung Krakatau yang menghancurkan seluruh wilayah Caringin sehingga setahun
setelah terjadinya peristiwa itu maka Syekh Asnawi mendirikan sebuah Mesjid
yang diberi nama Masjid agung As-Salafi. Ketika pembangunan Masjid Agung As-
Salafi itu adanya Karomah di diri Syekh Asnawi. Konon katanya menurut cerita
para sesepuh bahwa kayu Masjid tersebut berasal dari sebuah pohon di daerah
Kalimantan yang dibawa oleh Syekh Asnawi ke Caringin. Konon katanya dahulu
pohon tersebut tidak bisa ditebang, kalau pun bisa ditebang beberapa saat pohon
tersebut muncul kembali. Hingga ahirnya Syekh Asnawi menebang pohon tersebut
dan berdoa memohon kepada Allah swt agar diberi kekuatan. Ahirnya dengan seijin
Allah swt ditangan Syekh Asnawi lah pohon itu dapat ditebang dengan selamat dan
kayunya dibawa ke Caringin untuk membangun Masjid. Maka dari dulu sampe
sekarang masjid Agung As-Salafi itu masih berdiri kokoh.
Ketujuh, baru-baru ini telah terjadi peristiwa yang menggemparkan pesisir
pantai selat sunda yaitu meletusnya anak Gunung Krakatau yang mengakibatkan
82
terjadinya bencana tsunami yang menghacurkan bangunan-bangunan yang ada
disekitar pesisir pantai bencana itu terjadi pada tanggal 22 desember 2018 sekitar
pukul 22.00 malam. Dari peristiwa bencana tsunami Selat Sunda menurut kepala
pusat data informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho menelan korban
jiwa sekitar 437 korban meninggal dunia, korban luka-luka sebanyak 14.059, 16
orang belum ditemukan, 33.721 mengungsi, 2.752 bangunan rumah rusak, 92
penginapan dan warung rusak, alat-alat transortasi sebanyak 510 perahu dan kapal,
147 kendaraan rusak, serta dua fasilitas dermaga dan shelter juga mengalami
kerusakan. Diakses pada hari senin 31 desember 2018.40
Dari peristiwa bencana tsunami Selat Sunda ada sebuah kejadian diluar
nalar manusia biasa yaitu ketika gelombang tsunami menghancurkan seluruh
bangunan yang ada dipesisir pantai hususnya wilayah Caringin namun ada suatu
keanehan pada kedua makam waliyullah yaitu Syekh Mahdi (Kakek Syekh Asnawi)
dan makam Syekh Asnawi yang mana kedua makam ini tidak jauh sekitar 100 meter
dari pesisir pantai. Menurut cerita yang disampaikan oleh Tb. Didi Harizy. BA
(cucu Syekh Asnawi) dan Jaenal salah satu warga Caringin yang rumahnya dekat
dengan kedua makam waliyullah itu keduanya menyampaikan bahwa ketika
terjadinya gelombang tsunami ombak terpecah menjadi dua sehingga air laut
terpecah ke sebelah kanan dan kiri menghancurkan rumah-rumah dan warung-
warung. Setelah terjadinya tsunami sekitar pukul 22:00 dan pada pukul 02:00 bapak
jaenal bersama warga yang lain kembali melihat kondisi pantai yang sudah porak
40 Eva Safitri, Update Jumlah Korban Tsunami Selat Sunda: 437 Orang
Tewas, 14.059 Luka. Diakses Hari Senin, Tanggal 31 Desember 2018, pukul. 20:32
WIB.https://m.detik.com/news/berita/4365690/update/-jumlah-korban-tsunami-
selat-sunda-437-orang-tewas-14059-luka.
83
poranda rumah-rumah serta warung-warung rata dengan tanah. Namun atas kuasa
Allah Swt kedua makam waliyullah yaitu Syekh Mahdi dan Syekh Asnawi
keduanya masih berdiri kokoh sedikit pun tidak ada yang rusak bahkan di dalam
penziarahannya tidak basah.41
Sebenernya masih banyak cerita tentang karomah-karomah Syekh Asnawi
yang memang tidak bisa dipahami dengan akal manusia biasa. Namun itulah
sebagian cerita dari para sesepuh masyarakat Caringin yang tertulis di Skripsi ini
tentang karomah Syekh Asnawi yang disampaikan oleh KH. Raden Ahmad
Syaukatudin Inayah, KH. Tb. Didi Harizy. Memang tidak bisa dipikirkan dengan
akal manusia biasa namun percayalah itu semua tidak ada yang mustahil bagi Allah
Swt untuk orang-orang soleh yang telah dia kehendaki. ”Mahasuci Allah yang tidak
membuat penanda atas walinya kecuali dengan penanda atas dirinya. Dan Dia
tidak mempertemukan dengan mereka kecuali orang yang Dia kehendaki untuk
sampai kepadanya”.
F. Silsilah Nasab Keturunan Syekh Asnawi Ibnu Syekh Abdurrahman
41 Wawancara Pribadi dengan KH. Tb. Didi Harizy (cucu Syekh Asnawi),
Pendakwah sekaligus pengurus besar Yayasan Pendidikan Islam Madrasah Aliyah
Masyariqul Anwar.
NABI MUHAMMAD SAW
SAYDATINA FATHIMAH AZZAHRA
SAYIDINA HUSAIN ASSIBITH
SAYIDINA ALI ZAENAL BIDIN
MUHAMMAD AL-BAQIR
JA’FAR SIDDIQ
ALI AL-ARIDHI
MUHAMMAD NAQIB
ISA SYAKIR
AHMAD AL-MUHAJIR
UBAIDILLAH
ALWI
84
KETURUNAN DARI AYAH
KETURUNAN DARI IBU
SULTAN AGUNG MATARAM SULTAN MAULANA YUSUF
SYARFAN BUMI AGUNG SULTAN MAULANA NASHRUDDIN
TUMENGGUNG ADI NINGRAT SULTAN ABUL MAFAKHIR
WIRADADAHA SULTAN ABUL MA’ALI
WIRADADAHA SULTAN ABDUL FATH
INDRA MANGGALA SULTAN ABUNNASAR ABD. QOHAR
ARIA RAHANTIKA SULTAN ABUL MAHASIN
SYEIKH SOHIB JASINGA PANGERAN ARIA ABD. JALAL
SYEIKH DAUD PANGERAN ABDUL JAMAL
SYEIKH AJIB RATUBAGUS RIDHO
SYEIKH MAHDI RATUBAGUS BAIL
SYEIKH AFIFUDDIN RATU SYAFI’AH
SYEIKH ABDURAHMAN RATU SYABI’AH
SYEIKH ASNAWI
G. Silsilah Guru Thoriqoh Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyyah Syekh Asnawi
Ibnu Syekh Abdurrahman
1. Allah SWT
2. Malaikat Jibril
3. Nabi Muhammad SAW (571 M/53 SH – 632 M/11 H)
4. Sayyidunaa Ali bin Abu Thalib KW (600 M/23 SH – 661 M/40 H)
5. Sayyidunaa Hussain bin Ali RA (626 M/4 H – 680 M/61 H)
6. Sayyidunaa Zaenal Abidin RA (658 M/38 H – 713 M/95 H)
MUHAMMAD
ALWI
ALI KHALA’QASAM
MUHAMMAD SOHIB MARBATH
ALWI AL-HADHROMI
ABDUL MALIK AL-MUHAJIR
ABDULLAH KHAN
SAYID JALALUDIN
SAYID JAMALUDIN
ALI NUR ALIM
SYARIF ABDULLAH
SYARIF HIDAYATULLAH
SULTAN MAULANA HASANUDIN
85
7. Sayyidunaa Muhammad Baqir RA (676 M/57 H – 743 M/114 H)
8. Sayyidunaa Ja’far Shadiq RA (702 M/83 H – 765 M/148 H )
9. Sayyidunaa Imam Musa al’Kazhim RA (746 M/128 H – 799 M/183 H)
10. Syekh Abul Hasan ali bin Musa ar’ridho RA (765 M/148 H – 818
M/203H)
11. Syekh Ma’ruuf al-Karokhi RA (781 M/165 H - 895 M/242 H)
12. Syekh Sirri As-Saqothi ar’ridho RA (Wafat 867 M/253 H)
13. Syekh Abul Qasim al-Junaedi al’Baghdadi RA (830 M/220 H - 910
M/297H)
14. Syekh Abu Bakar Difli As-Syibli RA (861 M/247 H - 846 M/334 H)
15. Syekh Abul Fadli Abdul Wahid at’Tamimi RA
16. Syekh Abul Faroj at-Thurthuusi RA
17. Syekh Abul Hasan Ali bin Yusuf al-Qirsyi al-Hakaari RA
18. Syekh Abu Sa’id al-Mubarok bin Ali al-Makhzuumi RA (1013 M/403 H –
1119 M/513 H)
19. Syekh Abdul Qodir al-Jaelani QS (1078 M/471 H – 1168 M/561 H)
20. Syekh Abdul Aziz RA (1909 M/1330 H – 1999 M/1420 H)
21. Syekh Muhammad al-Hattaki RA
22. Syekh Syamsuddin RA (1607 M – 1630 M/1039 H)
23. Syekh Syarafuddin RA (1875 M/1292 H – 1936 M/1355 H)
24. Syekh Nuruddin al-Raniri RA ( Wafat. 21 September 1658 M/22 Zulhijjah
1069 H)
25. Syekh Waliyyuddin RA
26. Syekh Hisyamuddin RA
27. Syekh Yahya RA (1900 M - 1971 M/1392 H)
28. Syekh Abu Bakar RA (1498 M/919 H – 1571 M/992 H)
29. Syekh Abdurrohim RA (1325 M/72 H – 1404 M/806 H)
30. Syekh Utsman RA (1822 M/1238 H – 1913 M)
31. Syekh Abdul Fattah RA (1917 M – 1997 M/1417 H
32. Syekh Muhammad Murod RA
33. Syekh Syamsuddin RA
34. Syekh Ahmad Khatib as-Syambas RA (1802 M/1217 H – 1872 M/1289 H)
86
35. Syekh Abdul Karim at-Tanara (1830 M/1250 H – 1896 M/1316 H)
36. Syekh Muhammad Asnawi Caringin al-Banteni RA (1850 M/1270 H –
1937 M/1357 H)
37. Syekh Ahmad Suhari Cibeber RA
38. Syekh Ahmad Khazim Asnawi menes al-Banteni RA (1912 M/1333 H -
1996 M/1417 H)
39. Syekh Ahmad Sukanta Salmin Labuan al-Banteni RA (1935 M/1356 H –
2015 M/1436 H)
87
BAB IV
PENGARUH AJARAN TAREKAT QODIRIYYAH WA
NAQSYABANDIYYAH SYEKH ASNAWI
A. Fungsi Tarekat
Dengan melihat sisi pengamalan, tujuan tarekat berarti mengadakan latihan
(Riyadhah), dan ingin berjuang melawan hawa nafsu (Mujahadah), membersihkan
diri dari sifat-sifat yang tercela dengan melalui perbaikan budi dalam berbagai segi.
Secara umum tujuan tarekat ialah mempertebal keimanan sehingga tidak ada yang
dirasa indah dan dicintai kecuali keindahan dan kecintaannya kepada Allah swt
bahkan kecintaanya kepada Allah dapat melupakan dirinya sendiri dan dunia ini
seluruhnya.
Munculnya rasa takut kepada Allah sehingga timbul dalam diri seseorang
usaha untuk menghindarkan diri dari segala macam pengaruh kecintaan terhadap
duniawi (Hubud Dunia) yang mengakibatkan lupa kepada Allah swt. Dengan
kecintaan terhadap dunia yang berlebihan itu, bisa menghalangi terhadap tujuan
tarekat yang terakhir yaitu untuk mencapai tingkat Ma’rifat. Dari sisi tadzakkur,
tujuan tarekat ingin mewujudkan rasa ingat kepada Allah swt dzat yang maha besar
dan maha kuasa atas segalanya dengan melalui jalan mengamalkan wirid dan dzikir
yang dibarengi dengan tafakur secara terus menerus.
Tarekat memiliki kekhusuan karena ia memiliki makna dan fungsi Jihad
Spiritual, yaitu Mujahadah an-nafs dan Riyadlah tahdziban-nafs. Dari kedua
ungkapan tadi Mujahadah an-nafs diartikan sebagai upaya sungguh-sungguh dan
sistematik dalam mensucikan dan mengendalikan hawa nafsu, agar dirinya tetap
88
berada dijalan yang di ridhoi Allah swt hingga bisa sampai kepada Maqam khusus
untuk menikmati cita rasa Mahabah dan Ma’rifat kepada Allah swt. Sedangkan
Riyadlah Tahdziban-nafs diartikan sebagai upaya sungguh-sungguh dan sistematik
dalam proses mengarahkan, meningkatkan, dan mencerahkan jiwa rohani (Spiritual
enlightening), agar dapat memenuhi panggilan dan kerinduan mistik Ilahiyah
kembali kepadanya, serta panggilan nilai-nilai adiluhung kemanusiaan untuk
senantiasa berada dalam derajat tingkat dan kemartabatan an-nafsal-muthmainnah.1
Tarekat merupakan cara amaliyah-ibadah secara sungguh-sungguh
berupaya untuk mencapai derajat tertinggi agar bisa sampai kepada hakikat
hubungan langsung dengan Allah swt sehingga bisa menikmati kesejatian nikmat
cinta rasa (Ma’rifat dzauqiyah). Tarekat juga memiliki makna dan fungsi
Mukasyafah, yaitu ilmu untuk bisa membuka tirai atau hijab sehingga membantu
dalam upaya memperkuat kualitas derajat Ainul Yaqin. Tarekat juga memiliki
makna dan fungsi Haqiqah, yaitu ilmu tentang inti hakikat kebenaran sehingga
membantu seseorang untuk memperkuat kualitas derajat Haqqul Yaqin.
Dzikir adalaha kunci dan sekaligus posisi yang amat penting dalam tarekat,
karena dzikir bagaikan anak kunci yang mampu membuka gerbang pintu dunia
spiritual yang tidak terbatas. Dengan demikian apabila pintu hati telah terbuka
munculah dalam dirinya pikiran-pikiran yang arif untuk membuka mata hati. Ketika
mata hati itu telah terbuka maka akan tampak sifat-sifat Allah melalui mata hati,
lalu kemudian mata hati akan melihat refleksi (bayangan) kasih sayang kelembutan,
keindahan dan kebaikan Allah, dalam cermin hati yang bersih. Dengan
1 Ahmad Mubarok. Meraih Bahagia Dengan Tasawuf. (Jakarta: PT. Dian
Rakyat. 2009), cet. Ke-3, hal. 147-158
89
membiasakan berdzikir dan berdoa dengan rasa penuh kehusuan akan melatih kita
dan bisa mengendalikan diri dari hawa nafsu syaiton. Dengan berzikir kita berharap
semata-mata agar bisa mengingat Allah agar dirinya berada dalam ridhonya. Para
ulama menjelaskan, diantara tanda-tanda doa seseorang diterima adalah getaran
yang dirasakan oleh seseorang yang lagi berdoa keyakinan hati apa yang kita
mohon harus sesuai antara pikiran dan hati. Adapun ditolaknya doa kita terkadang
disebabkan suatu halangan seperti : memakan makanan yang haram, mendzolimi
orang, atau ketika berdoa dengan hati yang lalai dari Allah Swt.2
Sebelum berdzikir para pengikut tarekat terlebih dahulu melakukan
Rabithah Syekh, yaitu mengingat dan menghadirkan rupa sang Syekh dihadapannya
selama beberapa detik, sambil mengucapkan terima kasih kepadanya dalam hati,
seraya membayangkan bagaimana karunia Allah dilimpahkan kepada Nabi dan
Syekh kepadanya. Maka dari itu, dalam usaha mencari tuhan para penganut tarekat
( Penempuh Salik), diharuskan berguru kepada seorang Mursyid, seorang murid
harus tunduk dan patuh kepada seorang guru dalam bimbingan mendekatkan diri
kepada Allah swt. Dengan demikian maka para penganut tarekat berpusat kepada
seorang Mursyid.3
Tujuan tarekat tersebut akan dapat dicapai oleh setiap orang yang
mengamalkan tarekat. Ia dapat mengerjakan syari’at Allah dan Rasulnya dengan
2 Allamah Sayyid Abdullah bin Alwi Al-Haddad. Guru Sufi Menjawab,
Memahami Ajaran Illahi dari yang Ringan Hingga Masalah Ghaib. (Jakarta: PT.
Mizan Publika Anggota IKAPI), Cet. Ke-I, hal. 277-296 3 Harun Nasution, Thoroqot Qodiriyyah Naqsyabandiyyah: Sejarah Asal
Usul dan perkembangannya. (Suryalaya: Remaja Rosdakarya, 1990), hal. 89-99
90
melalui jalan atau sistem yang mengantarkan tercapainya tujuan hakikat yang
sebenarnya sesuai dengan yang dikehendaki oleh syari’at itu sendiri.
Dengan mengikuti bimbingan sang guru, seorang pengikut tarekat akan
memperoleh kemajuan melalui sederet amalan-amalan, berdasarkan tingkat yang
dilalui oleh semua pengikut tarekat. Mulai dari pengikut biasa (Mansub), menjadi
seorang murid selanjutnya menjadi pembantu Syekh (Khalifahnya) dan pada
akhirnya menjadi guru mandiri (Mursyid).4
B. Pengaruh Ajaran Tarekat Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyyah Syekh Asnawi
Terhadap Masyarakat Caringin
Pada abad ke- 19 tarekat berkembang cukup pesat di Nusantara banyak
corak dan aliran tarekat yang berkembang di Nusantara yang ikut mendukung
kehidupan religius masyarakat muslim Nusantara. Salah satu ajaran tarekat yang
berkembang pesat dan paling besar pengikutnya di Nusantara yaitu tarekat
Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyyah. Awal mula perkembangan tarekat di Nusantara
yaitu ketika Syekh Akhmad Khatib Sambas membai’at sejumlah murid yang berada
di kota Mekkah yang berasal dari Indonesia untuk menjadi anggota tarekatnya dan
selanjutnya dijadikan sebagai khalifah untuk menyebarluaskan ajaran tarekat ini ke
seluruh Nusantara. Salah seorang murid Syekh Ahmad Khatib Sambas yang
terkenal dari Indonesia berasal dari Banten yang telah dijadikan khalifah untuk
menyebarluaskan tarekat yaitu Syekh Abdul Karim al-Bantani.
4 Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyyah di Indonesia,
(Bandung: Mizan, 1996), hal. 15
91
Pada abad ke- 19 tarekat mulai berkembang diberbagai penjuru Nusantara.
Namun, pada abad ke-19 ajaran tarekat Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyyah
mengalami rasa tidak simpatik dari kalangan pemerintah Hindia Belanda akibat dari
perlawanan rakyat Banten yang mayoritas para petani dan penganut ajaran tarekat
yang anti terhadap pemerintah Hindia Belanda. Dengan semakin berkembangnya
ajaran tarekat diberbagai penjuru di Indonesia akhirnya ajaran tarekat Qodiriyyah
Wa Naqsyabandiyyah ini sampai ke Caringin melalui Syekh Asnawi. Sebagaimana
telah dijelaskan di bab sebelumnya bahwa Syekh Asnawi merupakan murid dari
Syekh Abdul Karim al-Bantani ketika ia belajar di kota Mekkah.
A. Kultural
Syekh Asnawi merupakan sosok ulama kharismatik pada tahun 1920-an, ia
adalah ulama tarekat yang aktif dalam menyebarluaskan agama Islam di Caringin.5
Melalui Syekh Asnawi inilah Islam begitu semarak terutama di daerah Banten
selatan tepatnya Labuan, Caringin, Carita, Anyer dan daerah-daerah nelayan
(Pesisir pantai Selatan). Melaui Syekh Asnawi pula masyarakat Caringin dan para
ulama Banten mengenal tradisi Suluk dan tarekat, terutama tarekat Qodiriyyah Wa
Naqsyabandiyyah karena Syekh Asnawi inilah yang bertemu dan berguru langsung
dan mendapat otoritas khusus dari gurunya dan ia juga di Bai’at sebagai khalifah
atau pemimpin tarekat yang ada di Banten dan Caringin khususnya untuk
meyebarluaskan ajaran tarekat Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyyah.6
5 Mufti Ali dkk, Biografi Ulama Banten, (Serang: Laboratorium
Bantenologi, 2017), hal. 140 6 Murtadho Hadi, Jejak Spiritual Abuya Muhtadi, (Yogyakarta: Pustaka
Pesantren, 2009), hal. 33
92
Dalam upaya menyebarluaskan ajaran Islam di Caringin memang tidak
mudah penuh dengan rintangan baik dari masyarakat pribumi (jawara-jawara) yang
tidak senang kepada Syekh Asnawi maupun dari penjajah karena pada waktu itu
prilaku masyarakat Caringin yang buruk jauh dari nilai-nilai syari’at Islam. Budaya
prilaku masyarakat Caringin saat itu senang melakukan kemaksiatan, kemusyrikan,
perjudian, penjarahan bahkan melakukan kejahatan (saling membunuh). Belum lagi
tekanan dari para penjajah yang sangat menyengsarakan rakyat Banten yang pada
masa itu hidup dalam masa kebodohan, kemiskinan, kesengsaraan dan
keterbelakangan. Melihat kondisi semacam ini dengan semangat juang yang tinggi
Syekh Asnawi tampil mengetuk hati masyarakat Caringin dengan metode
dakwahnya. Dengan rasa sabar Syekh Asnawi terus melakukan proses Islamisasi
terhadap masyarakat ahirnya dengan hidayah Allah swt lambat laun masyarakat
Caringin kembali ke jalan Allah swt. Kemungkaran, kemusyrikan dan kejahatan
pun berangsur lenyap menjelmalah masyarakat yang Islami.7 Maka sejak saat itu
Kabupaten Caringin berubah menjadi “Gemah Ripah Loh Jinawi, Tata Tentram
Kata Raharja”.8
Awal mula Syekh Asnawi dalam menyebarluaskan ajaran Islam dengan
metode dakwah dari satu tempat ke tempat lain. Sehingga lambat laun proses
Islamisasi ini menyebar luas di berbagai wilayah Caringin, labuan dan Banten pada
umumnya. Dengan semakin meluas proses Islamisasi di Caringin ahirnya Syekh
7 Wawancara Pribadi Dengan KH. R. Ahmad Syaukatudin Inayah (cucu
Syekh Asnawi), sekaligus Pimpinan Yayasan Pondok Pesantren Masyariqul Anwar
Caringin. 8 Raden Ahmad Syaukatudin Inayah, Ringkasan Sejarah Hidup dan
Perjuangan Syekh Asnawi Caringin Pandeglang-Banten. (Caringin: Badan
Kenadziran Maqbaroh, 2000), hal. 8
93
Asnawi pun mendirikan sebuah masjid agung As-Salafi dan pondok pesantren
sebagai pusat untuk melakukan pengajian. Dari sinilah Syekh Asnawi mulai
mengajarkan berbagai cabang ilmu agama, disini pula Syekh Asnawi mulai
mengajarkan ajaran tarekat Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyyah yang sudah matang
diyakini dan diamalkannya, dan disini pula tempat menanamkan ide-ide
pemberontakan. pada ahirnya berduyun-duyunlah orang datang ke Caringin untuk
mempelajari ilmu-ilmu yang diajarkan Syekh Asnawi.9 Sesuai dengan nama
Caringin yaitu berasal dari kata Beringin diartikan sebagai pohon rindang tempat
berteduh. Syekh Asnawi sebagai payung agung bagi masyarakat sekitar lautan ilmu
tempat orang meminta nasihat, majlis umat meminta fatwa demikinlah Syekh
Asnawi pada saat itu sampai akhir hayatnya.10
B. Nasionalisme
Dengan adanya kolonialisme di Indonesia yang dimulai sejak abad ke-16
oleh penjajah Belanda dan mencapai puncaknya sekitar tahun 1830-an, maka
dimulailah masa penjajahan terutama di pulau Jawa, dengan corak eksploitasi
manusia asing terhadap pribumi. Pada masa itu Belanda dengan mudah mampu
menguasai seluruh pulau ini. Pada abad ke-19 semakin memuncaknya pergolakan
sosial dan politik yang mengiringi perubahan sosial yang diakibatkan oleh
kolonialisasi barat yang semakin kuat meruntuhkan tradisi lokal. Sekitar tahun
1830-1870-an tekanan modernisme, disertai gerkan ekonomi dan politik kapitalis
9 Wawancara Pribadi Dengan KH. R. Ahmad Syaukatudin Inayah (cucu
Syeikh Asnawi), sekaligus Pimpinan Yayasan Pondok Pesantren Masyariqul
Anwar Caringin. 10 Raden Ahmad Syaukatudin Inayah, Ringkasan Sejarah Hidup dan
Perjuangan Syeikh Asnawi Caringin Pandeglang-Banten, hal. 8
94
telah mengakibatkan kemorosotan mental rakyat jajahan, kemorosotan ekonomi,
sosial, politik, budaya dan agama. Pada masa itu, Ordonansi perbudakan sudah
berlaku yang mengakibatkan rakyat diharuskan kerja paksa. Belum lagi kolonial
memberlakukan pajak tanaman dan pencabutan hak atas tanah petani yang tak
sanggup membayar pajaknya. Dengan kondisi seperti ini semakin menambah beban
terhadap rakyat jajahan. Dari kebijakan (Ordonansi) kolonial akhirnya menjadi akar
keresahan para petani (the agrarian unrest), selanjutnya membangun kemarahan
dan frustasi. Selain itu, rakyat pribumi sedang mengalami suatu “anomie” dan krisis
yang luar biasa yaitu runtuhnya kekuasaan para pemimpin mereka. Yaitu sekitar
akhir abad ke-18 sultan-sultan di seluruh Jawa seperti kesultanan Banten, Demak,
Mataram dan Cirebon.11
Sekitar tahun 1870-an mulai hadirnya ajaran tarekat Qodiriyyah Wa
Naqsyabandiyyah di Indonesia khususnya di pulau Jawa yang dikembangkan oleh
seorang ulama besar Syekh Abdul karim al-Bantani. Kehadiran Syekh Abdul Karim
memberikan angin segar kepada rakyat jajahan yang ingin melepaskan diri dari
tekanan penjajah Belanda. Maka pada saat itu, Syekh Abdul Karim memiliki
momentum pengikut yang luar biasa, dan membuat gerakannya mengakar kuat di
kalangan rakyat jajahan dengan isu sentralnya “Jihad Fi Sabilillah”.
Maka pada abad ke-19 seorang pemuka guru tarekat Qodiriyyah Wa
Naqsyabandiyyah bernama Syekh Abdul Karim Al-Bantani memberikan pengaruh
besar terhadap masyarakat Banten. Klimaksnya nama Syekh Abdul Karim menjadi
11Ajid Thohir, Gerakan Politik Kaum Tarekat: Telah Historis Gerakan
Politik Antikolonialisme Tarekat Qodiriyyah-Naqsyabandiyyah di Pulau Jawa,
(Bandung: Pustaka Hidayah IKAPI, 2002), Cet. Ke-I, hal. 27-32
95
lebih populer dan dikenal ketika terjadinya peristiwa pemberontakan gerakan petani
di Cilegon-Banten tahun 1888. Meskipun ia tidak terlibat langsung dimedan
pertempuran pada pemberontakan petani 1888, tetapi Ia dituduh oleh pemerintah
Hindia Belanda sebagai ide atau tokoh dibalik pemberontakan petani 1888. Karena
gerakan pemberontakan tersebut dipelopori oleh sejumlah kiyai yang merupakan
murid dari Syekh Abdul Karim Amrullah dari organisasi tarekat Qodiriyyah Wa
Naqsyabandiyyah. Adapun tokoh sentral murid tarekat Syekh Abdul karim yang
terkenal pada pemberontakan 1888 seperti : Tb. Ismal, Tb. Wasyid dan Tb Marjuki.
Dengan demikian terjadinya peristiwa pemberontakan petani Banten 1888 para
tokoh agama yang ada dalam organisasi tarekat dikenal sebagai anti terhadap
pemerintah Hindia Belanda. Lebih dari itu, organisasi semacam ini dianggap
sebagai organisasi rahasia yang bertujuan menghancurkan dan menumbangkan
kekuasaan pemerintah Hindia Belanda.12
Begitu pula halnya di Caringin, salah seorang tokoh ulama tarekat
Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyyah yang bernama Syekh Asnawi. Ajarannya
berpengaruh besar terhadap masyarakat Caringin dan Banten umumnya. Dengan
ketinggian ilmunya ia berhasil menyatukan masyarakat dari berbagai wilayah untuk
berguru kepadanya ia pun berhasil mengetuk hati masyarakat untuk kembali ke
syari’at Islam mendekatkan diri kepada Allah swt dengan melaksanakan semua
perintah dan menjauhi semua larangannya, ia juga telah berhasil mengobarkan
semangat Nasionalisme terhadap masyarakat.
12 Sartono Kartodirjo, Gerakan Pemberontakan Petani Banten 1888,
(Jakarta: PT. Pustaka Jaya & YHS, 1984), Cet. Ke-I, hal. 258-250
96
Syekh Asnawi merupakan ulama tarekat yang telah ditugaskan oleh Syekh
Abdul Karim al-Bantani untuk mengembangkan ajaran tarekat Qodiriyyah Wa
Naqsyabandiyyah di Banten bagian Barat. Selama proses penyebaran ajaran tarekat
di Caringin, pemerintah kolonial sering dikejutkan dengan iring-iringan Sado
(kereta berkuda), yaitu para anggota tarekat Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyyah dari
wilayah Banten Timur yang akan melaksanakan Manakiban pada setiap tangga 11
bulan Hijriah.13 Adapun ketika terjadinya pemberontakan 1888 di Cilegon yang di
motori oleh gurunya Syekh Abdul Karim al-Bantani, Syekh Asnawi tidak ikut
terlibat dimedan pertempuran karena pada tahun 1883 telah terjadi peristiwa besar
yang menghancurkan seluruh pesisir pantai Selat Sunda yaitu meletusnya Gunung
Krakatau yang mengakibatkan terjadinya tsunami sehingga dari peristiwa tersebut
Caringin menjadi porak poranda. Satu tahun setelah terjadinya letusan Gunung
Krakatau yaitu pada tahun 1884 Syekh Asnawi mendirikan sebuah masjid, dan
pembangunan masjid itu selesai pada tahun 1889.14 Sehingga ketika Syekh Asnawi
melihat kondisi Caringin yang rusak parah akibat dari letusan Gunung Krakatau.
Akhirnya Syekh Asnawi memfokuskan diri terhadap pembangunan masjid yang
bertujuan untuk menghidupkan kembali peradaban di wilayah Caringin
Pandeglang-Banten.
Sebagai ulama yang cinta terhadap bangsanya Syekh Asnawi pun turut
memikirkan nasib masyarakat dan bangsanya karena pada waktu itu situasi dan
13 Ajid Thohir, Gerakan Politik Kaum Tarekat: Telah Historis Gerakan
Politik Antikolonialisme Tarekat Qodiriyyah-Naqsyabandiyyah di Pulau Jawa,
(Bandung: Pustaka Hidayah IKAPI, 2002), Cet. Ke-I, hal. 85-86 14 Raden Ahmad Syaukatudin Inayah, Ringkasan Sejarah Hidup dan
Perjuangan Syeikh Asnawi Caringin Pandeglang-Banten, hal. 8-19
97
konidisi politik bangsa ini semakin rusak akibat dari penjajah Belanda yang sangat
menyengsarakan rakyat Indonesia. Melalui ajaran tarekat Qodiriyyah Wa
Naqsyabandiyyah inilah Syekh Asnawi mengobarkan semangat Nasionalisme
kepada para santrinya untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda.
Dengan karomah-karomaah yang ada didiri Syekh Asnawi mereka meyakini akan
kemursyidan dan kewaliyan Syekh Asnawi. Para santrinya pun dibekali sejumlah
wirid-wirid atau hijib-hijib (ilmu kekebalan) yang membuat mereka menjadi kebal
sehingga menjadi nilai tambah meningkatkan semangat juang untuk melawan para
penjajah. Terbukti hingga akhirnya pemberontakan itu terjadi pada 15 November
1926 di Labuan dengan diawali lemparan Granat kepada para penjajah yang pada
saat itu sedang konvoi patroli melewati Masjid agung As-Salafi Caringin dengan
jembatan Cisanggoma. Biarpun Syekh Asnawi tidak terjun langsung dimedan
pertempuran tetapi Syekh Asnawi lah aktor yang melatar belakangi pemberontakan
1926 di Labuan. Alhasil Syekh Asnawi pun dipenjara di Batavia selama kurang
lebih selama satu tahun sembilan bulan, kemudian dibuang ke Cianjur selama dua
setengah tahun.15
Dari penjelasan diatas terlihat begitu besar pengaruh ajaran tarekat
Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyyah Syekh Asnawi sehingga mampu menggerakan
masyarakat untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah. Kondisi seperti ini
jelas dilatar belakangi dengan adanya rasa ketidakadilan dan kesengsaraan rakyat
yang dilakukan oleh pemerintah Belanda. Maka, pada saat seperti inilah masyarakat
membutuhkan seorang figur pemimpin yang mempu membimbing baik urusan
15 Raden Ahmad Syaukatudin Inayah, Ringkasan Sejarah Hidup dan
Perjuangan Syeikh Asnawi Caringin-Pandeglang-Banten, hal. 8-20
98
agama maupun urusan yang bersifat duniawi dengan harapan mampu
mengembalikan keadilan, kesejahteraan masyarakat tanpa ada lagi gangguan yang
merugikan dan menyengsarakan rakyat. Dengan demikian Syekh Asnawi pun
tampil sebagai pemimpin ulama tarekat, ia berhasil melakukan proses Islamisasi
terhadap masyarakat Caringin. Dengan mengamalkan dan mengajarkan ajaran
tarekat, maka melalui ajaran tarekat ini Syekh Asnawi berhasil mengobarkan
semangat Nasionalisme terhadap masyarakat.
Tarekat berperan penting dalam perjuangan melawan penjajah Belanda di
Indonesia, sampai taraf tertentu otoritas Belanda merasa paling terancam oleh
organisasi tarekat. Organisasi keagamaan semacam ini adalah sebuah alat yang
sempurna untuk mengorganisir resintensi Islam. Kendati fakta demikian pada akhir
abad ke-19 ada semacam tarekat-tarekat tertentu yang telah cukup terorganisir
untuk melakukannya seperti: tarekat Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyyah dan tarekat
Syathariyah.16
Skema Perubahan Tarekat Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyyah dari Gerakan
Keagamaan Menjadi Gerakan Politik
16 Sri Mulyati, Peran Edukasi Tarekat Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyyah
dengan Referensi Utama Suryalaya, (Jakarta: Kencana, 2010), Cet. Ke-I
Tradisi Tarekat Qodiriyyah
Wa Naqsyabandiyyah
Bai’at Talqin
Bimbingan
Riyadullah
Khataman
Manaqiban
99
Momentum adanya perubahan pada umumnya adalah akibat dari adanya
tantangan baik yang mengancam dari luar maupun desakan dari dalam lembaga atau
masyarakat itu sendiri. Perubahan fungsi kelembagaan yang dilakukan tarekat
Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyyah pada akhir abad 19 sampai awal abad ke-20,
yaitu dari sebuah lembaga keagamaa yang berbasis sistem “Sosial-Organik” ke
sistem “Religio Politik” pada dasarnya itu merupakan bukan sebuah tujuan utama
dari doktrin-doktrin tasawuf. Perubahan ini diakibatkan oleh situasi dan kondisi
tuntutan rakyat jajahan yang sebagian besar sebagai anggota tarekat Qodiriyyah Wa
Naqsyabandiyyah. Mereka berusaha melepaskan diri dari tekanan penjajah Belanda
dan menjadikan wadah lembaga keagamaan sebagai aspirasi politiknya. Dengan
Proses Perubahan
Fungsi Organisasi
dalam “Setting”
Sosial Politik Lokal
Ideologi Lokal
Rakyat Jajahan
-Nativisme
-Milleniarisme
-Ratu Adil (Erucokro)
Kondisis
Masyarakat
jajahan dan
Moment sejarah
bagi Tarekat
Qodiriyyah Wa
Naqsyabandiyy
ah di Pulau
Jawa
Tarekat
Qodiriyyah Wa
Naqsyabandiyyah
Sebagai Sistem
Religio Politik
(T.1888-1904)
- Wadah Kegiatan
Sosial, Spiritual,
Politik
- Idiologi Perjuangan
(Mahdiisme, Jihad
Fi Sabilillah,
Magicomysticism)
- Radikal
Pundamental
- Integritas Gerakan
- Dar al-Islam
Tarekat Qodiriyyah
Wa Naqsyabandiyyah
Sebagai sistem Sosial
Organik
- Wadah Kegiatan
Sosial-Spiritual
- Doktrin Keruhanian
Bertingkat
- Tokoh-tokoh
Kharismatik
- Wilayah Ash-Shufiyah
100
berusaha menghidupkan kembali solidaritas rakyat jajahan dengan menumbuhkan
ide-ide pemberontakan yang dikemas dengan “suara agama” maka disinilah wujud
“sistem religio politik”. Dalam membangun ideologi perjuangan tarekat
Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyyah memanfaatkan ideologi lokal yang sudah ada di
kalangan rakyat jajahan seperti nativisme, millaniarisme, dan ratu adil. Selanjutnya
dikemas kembali ideologi lokal ini dengan semangat “Jihad fi Sabilillah” yang
dilengkapi dengan kekuatan “megico-mysticisme” sebagai pengikat picu psikologis.
Dengan demikian dapat kita pahami bahwa yang dimaksud dengan “sistem sosial
organik” adalah kumpulan komunitas masyarakat yang berinteraksi tetapi telah
diikat oleh aturan dan simbol-simbol keagamaan dengan lingkup emosionalnya,
baik fisik maupun psikis. Sedangkan sistem “religio politik” selanjutnya menjadi
penegas gerakan politik kaum tarekat yang merupakan suatu bentuk interaksi sosial,
terutama dalam aspirasi kehidupan politik dari sebuah masyarakat atau komunitas
tertentu yang memiliki ciri ideologi keagamaan.17
Salah satu unsur dari tarekat yang paling utama dan yang membuat terlihat
terorganisasi yaitu adanya kerja sama yang baik hubungan antara guru dengan
murid. Seorang murid harus tunduk dan patuh kepada sang guru kecintaan kepada
sang guru harus benar-benar sepenuh hati, ikatan antara mereka secara resmi
dilakukan secara bai’at, sesuai dengan janji-janji kesetiaan dan ketaatan seorang
murid kepada sang guru tarekat kemutlakan murid kepada mursyid adalah sebagai
wakil Tuhan.
17Ajid Thohir, Gerakan Politik Kaum Tarekat: Telah Historis Gerakan
Politik Antikolonialisme Tarekat Qodiriyyah-Naqsyabandiyyah di Pulau Jawa,
(Bandung: Pustaka Hidayah IKAPI, 2002), Cet. Ke-I, hal. 34-46
101
C. Pendidikan
Syekh Asnawi merupakan ulama yang paling berpengaruh di Caringin ia
dikenal sebagai ulama yang mempunyai semangat juang yang tinggi dalam
melawan penjajah Belanda. Ia mengobarkan semangat nasioanalisme kepada para
santrinya untuk melakukan pemberontakan. Karena pada waktu itu seluruh wilayah
Banten berhasil dikuasai oleh penjajah.18 Ia juga dikenal bukan hanya aktif dalam
megobarkan semangat nasionalisme, melakukan dakwah, mengajarkan ajaran
tarekat Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyyah saja tetapi ia juga dikenal sebagai tokoh
pendidikan. Terbukti ketika Banten berhasil dikuasai oleh penjajah, yang
memberikan efek negatif terhadap rakyat jajahan, yang waktu itu hidup dalam masa
tekanan, ketakutan, kesengsaraan, kemiskinan, dan kebodohan. Apalagi pada saat
itu, adanya sistem politik Devide Et Impera (Adu domba), dengan membeda-
bedakan status sosial masyarakat bangsa Indonesia, yang telah diterapkan oleh
pemerintah Belanda, yang menjadikan terjadinya pendiskriminasian sehingga
masyarakat pribumi (rakyat jelata), tidak bisa menikmati fasilitas pendidikan.
Melihat sistem politik yang diterapkan penjajah Belanda akhirnya Syekh
Asnawi mempunyai ide untuk membangun sebuah lembaga pendidikan yang dapat
menaungi dan mengintegrasikan antara ilmu-ilmu keagamaan dan ilmu-ilmu
pengetahuan umum. Maka pada tanggal 12 Mei 1930 Syekh Asnawi mendirikan
sebuah lembaga pendidikan Islam diberi nama Madrasah Masyariqul Anwar.19
18 Mufti Ali dkk, Biografi Ulama Banten, (Serang: Laboratorium
Bantenologi, 2017), hal. 140 19 Raden Ahmad Syaukatudin Inayah, Ringkasan Sejarah Hidup dan
Perjuangan Syeikh Asnawi Caringin-Pandeglang-Banten, hal. 13-19
102
BAB V
Penutup
A. Kesimpulan
Adapun jawaban riset dari rumusan masalah diatas, menyimpulkan
bahwa dengan adanya ajaran tarekat yang diajarkan Syekh Asnawi dengan
ajaran tarekatnya Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyyah memberikan pengaruh
besar terhadap prilaku kehidupan masyarakat Caringin, sehingga lambat
laun masyarakat berubah menjadi masyarakat yang Islami. Pudarlah orang-
orang yang melakukan kemaksiatan, perzinahan, perjudian, pembunuhan
dan kemusyrikan. Mereka ikut mengamalkan ajaran tarekat Qodiriyyah Wa
Naqsyabandiyyah dibawah bimbingan Syekh Asnawi.
Selain itu, salah satu cara yang dilakukan oleh Syekh Asnawi untuk
mengatasi hal-hal yang tidak diinginkan dari pengaruh kolonialisme
Belanda, Syekh Asnawi mendirikan sebuah Masjid diberi nama Masjid
Agung As-Salafi dan mendirikan sebuah Pondok Pesantren Tradisional.
Sebagai tempat untuk mengajarkan ajaran agama Islam dan tempat
mengajarkan ajaran tarekat Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyyah.
Dari bentuk penerimaan masyarakat Caringin terhadap ajaran
tarekat yang diajarkan oleh Syekh Asnawi memberikan pengaruh besar
selain merubah prilaku sosial, budaya maupun prilaku keagamaan
masyarakat. Melalui ajaran tarekat Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyyah,
Syekh Asnawi juga berhasil menanamkan semangat juang, semangat
nasionalisme, alhasil pada tahun 1926 melakukan pemberontakan terhadap
103
penjajah Belanda yang dipelopori oleh para penganut ajaran tarekat
Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyyah.
Syekh Asnawi juga berhasil mendirikan sebuah lembaga pendidikan
Islam. Karena Pada saat itu, adanya sistem politik Devide Et Impera (Adu
domba) yang membeda-bedakan status sosial sehingga sekolah-sekolah
hanya untuk anak-anak pejabat, para bangsawan untuk kepentingan
pemerintah saja. Melihat kondisi seperti ini Syekh Asnawi mendirikan
sebuah lembaga pendidikan diberi nama sekolah Madrasah Masyariqul
Anwar pada tahun 1930 sehingga masyaraka pribumi bisa menikmati
pendidikan.
B. Saran-saran
Penelitian ini tergolong dalam penelitian yang memeiliki relevansi terhadap
studi kasus yang terjadi di dalam suatu masyarakat, semoga saja dapat
memberikan sumbangan ilmu pengetahuan mengenai upaya yang dilakukan
Syekh Asnawi dalam proses Islamisasi terhadap masyarakat Caringin. Maka
dari itu, penulis mencoba memberikan saran-saran demi perbaikan dan riset-
riset lebih baik kedepannya, diantaranya:
1. Saran bagi pimpinan Yayasan Pondok Pesantren Masyariqul Anwar KH.
Raden Ahmad Syauktudin Inayah, agar terus melanjutkan perjuangan
Syekh Asnawi dalam menyebarkan agama Islam kepada masyarakat
Caringin maupun masyarakat diluar Caringin. Teruslah berikan pemahan
kepada masyarakat bahwa agama Islam bukan hanya sekedar ritual
keagamaan saja melainkan agama sebagai pedoman hidup kita dalam
kesehariannya.
104
2. Saran bagi lembaga pendidikan sekolah Madrasah Masyariqul Anwar yang
dikepalai oleh Drs. H. Ois Kholid beserta seluruh dewan guru, teruslah
berjuang dalam mencerdaskan anak bangsa dengan penuh kesabaran,
keikhlasan dan ketekunan.
3. Saran kepada seluruh orang tua agar bisa mengenalkan sejarah peran dan
kiprah Syekh Asnawi dalam menyebarluaskan agama Islam di Caringin
kepada anak-anaknya. Sehingga di zaman Tekhnologi ini anak-anak bukan
hanya mengetahui tentang HP Android, main Game, dan media sosial saja
melainkan dapat mengetahui sejarah penyebaran agama Islam yang
dilakukan oleh Syekh Asnawi.
4. Saran bagi keluarga maupun pengelola tempat penziarahan makam Syekh
Asnawi agar bisa menata tempat-tempat pedagang dengan baik sehingga
bisa terlihat lebih rapih dan tertata dengan baik, dan yang paling penting
memberantas oknum yang suka melakukan kegiatan jual beli wafak di area
pemakaman Syekh Asnawi dengan iming-iming agar maksud dan tujuan
bisa mudah tercapai dengan percaya terhadap wafak. Karena itu merupakan
perbuatan Musyrik yang dilarang oleh agama Islam.
5. Saran untuk para penganut tarekat Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyyah, tetap
pegang erat ajaran yang telah diajarkan oleh guru untuk senantiasa
mengamalkan ajaran tarekat Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyyah dalam
kehidupan sehari-harinya untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.
6. Saran bagi para Akademisi, penulis berharap agar terus menggali fenomena-
fenomena yang terjadi di lingkungan sekitar kita, agar terus berupaya
mengkaji ulang penelitian-penelitian terdahulu mencari kesamaan dan
105
perbedaan di dalamnya, semoga dengan hal itu dapat menambah keluasan
ilmu dan wacana kita. Pada nantinya dapat menjadi rujukan riset-riset
selanjutnya.
106
Daftar Pustaka
Abdurahman, Muslikh. Risalah Tuntunan Tarekat Qodiriyyah Wa
Naqsyabandiyyah. (Kudus: Menara Kudus), 1976. Jilid 1-2
Aceh, Abubakar. Pengantar Ilmu Tarekat, Uraian Tentang Misti.
(Solo: Ramdhani, 1990), cet. Ke-1
Adzim, Fauzul. Pokok-pokok Ajaran Tarekat Qodiriyyah Wa
Naqsyabandiyyah.Diakses pada hari Senin tanggal, 22 Juli 2019. Puku.
23:15WIB.https://www.academia.edu/2366328POKOK_POKOK_AJARA
N_TAREKAT_QADARIYAH_WA_NQSYABANDIYAH
Ahdiat, Yayan. Masjid Caringin Pandeglang Jawa Barat
(Tinjauan Arsitektur), Skripsi Sarjana Bidang Arkeologi Fakultas Sastra
Universitas Indonesia 1992.
Aqib al-Fakir, Kharisudin. Adab Tarekat Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyyah.
Diakses hari Rabu tanggal 24 April 2018, Pukul. 21:15 WIB.
Https://sufimenembusbatas.blogspot.com/2016/09/adab-tarekat-qadariyah-
wa-naqsabandiyah.html.
Alwi Al-Hadad Bin, Allamah Sayyid Abdullah. Guru Sufi Menjawab, Memahami
AjaranIllahi dari yang Ringan Hingga Masalah Ghaib. (Jakarta: PT.
Mizan Publika Anggota IKAPI), cet. 1
Al-Taftazani, Abu Wafa’ al-Ghanimi., Tasawuf Islam: Telaah Historis dan
Perkembangannya. (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008), cet. I,
As, Asmaran., Pengantar Study Tasawuf. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994),
cet. Ke-I
Brunissen, Van Martin. Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi
Islam Di Indonesia. (Bandung: Mizan, 1995)
Bruinessen, Martin Van. Tarekat Qodariyyah Wa Naqsyabandiyyah Di Indonesia
Survai, Historis, Geografis, dan Sosiologis. (Bandung: Mizan Anggota
IKAPI, 1992).
Blog Pendidikan Indonesia., Pengertian Tarekat dan Sejarah Perkembangan.
Diakses hari Minggu tanggal, 21 Juli 2019, Pukul. 23:51
WIB.http://www.sarjanaku.com2011/11/pengertian-tarekat-dan-
sejarah.html?m=1
Daudy, Ahmad. Kuliah Ilmu Tasawuf. (Jakarta: Bulan Bintang, 1998)
107
Dharwanto, Perkembangan Tarekat. Diakses hari Rabu tanggal 24 April 2018,
Pukul.17:00WIB.Http//dharwanto.Blogspot.com/200/10/perkembangantar
ekat.htm.
Dhofier, Zamaksari. Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kiyai,
(Jakarta: LP3ES, 1994), cet. Ke-6.
Hawas, Abdullah. Perkembangan Tasawuf Dan Tokoh-Tokohnya Di Nusantara,
(Surabaya : Al Ikhlas 1990).
Hadi, Murtadho. Jejak Spiritual Abuya Dimyati, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren,
2009)
Helmy Faizi Bahrul Ulumi, dkk. Biografi Abuya Muqri Sang Pejuang
Perlawanan Kaum Tarekat 1926 di banten. Tim Peneliti Laboratorium
Bantenologi IAIN Sultan Maulana Hasanudin Banten.
Huda, Sokhi., Tasawuf Kultural Fenomena Shalawat Wahidiyah. (Yogyakarta:
LKIS Yogyakarta, 2008).
Inayah, Raden Ahmad Syaukatudin. Ringkasan Sejarah Hidup dan Perjuangan
Syeikh Asnawi Caringin-Pandeglang–Banten. (Caringin: Badan
Kenadziran Maqbaroh, 2000)
Jefrihutagalung, Sejarah Gunung Kralatau Hinga Munculnya Anak Gunung
Krakatau. Diakses hari Jumat tanggal, 5 April 2018, Pukul. 20:39
WIB.Https://www.google.co.id/amp/s/jefrihutagalung.wordpress..com/201
4/04/30/sejarah-gunung-krakatau-hingga-munculnya-anak-krakatau/amp/.
Kartanegara, Mulyadi. Menyelami Lubuk Tasawuf, (Jakarta : Erlangga, 2006)
Kartodirjo, Sartono. Gerakan Petani Banten 1888. ( Jakarta: PT. Pustaka Jaya &
YHS, 1984), cet. Ke-1
Koentjaraningrat. Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia,
1983).
Lubis, Nina. Banten Dalam Pergumulan Sejarah Ulama, Sultan, Jawara. (Jakarta:
Pustaka LP3S Indonesia, 2004)
Mufti Ali, dkk. Biografi Ulama Banten seri ke-1 (satu), Tim Peneliti Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Banten, Laboratorium Bantenologi
IAIN “SMH” Banten.
Michrob, Halwany. Catatan Masa Lalu Banten. (Serang: Saudara, 1993)
108
Mubarok, Ahmad. Meraih Bahagia Dengan Tasawuf. (Jakarta: PT. Dian Rakyat,
2009)
Mulyati, Sri. Peran Edukasi Tarekat Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyyah dengan
Referensi Utama Suryalaya, (Jakarta: Kencana, 2010), cet. 1
Mulyati, Sri. dkk., Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di
Indonesia. (Jakaarta: Kencana, 2004).
Nasution, Harun. Thoriqot Qodiriyyah Naqsyabandiyyah: Sejarah Asal Usul dan
Perkembangannya. (Suryalaya: Remaja Rosdakarya, 1990).
Nasution, Harun. Islam Rasional, (Bandung, Mizan, 1996).
Pesantren Suryalaya, Tarekat Qodiriyyah Naqsyabandiyyah. Diakses hari Rabu
tanggal, 24 April 2018. Pukul. 19:30 WIB.
http://www.suryalaya.org/tqn1.html.
Radja Mu’tasim dan Abdul Munir Mulkhan. Bisnis Kaum Sufi, (Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 1998).
Said, Fuad. Hakekat Tarekat Naqsyabandiyyah. (Jakarta Al-Husna : Zikra. 1999)
Safitri, Eva. Update Jumlah Korban Tsunami Selat Sunda: 437 Orang Tewas,
14.059 Luka. Diakses hari senin tanggal 31 Desember 2018, Pukul. 20:32
WIB. https://m.detik.com/news/berita/4365690/update/-jumlah-korban-
tsunami-selat-sunda-437-orang-tewas-14059-luka.
Schimmel, Annemarie. Mystical Dimension Of Islam, diterjemahkan oleh S.
Djoko Damono, dkk, dengan judul Dimensi Mistik Dalam Islam, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1986)
Suyuti, Mahmud. Politik Tarekat Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyyah Jombang.
(Yogyakarta: Galang Press, 2001).
Suryanegara, Ahmad Mansur. Api Sejarah. (Bandung: PT. Grafindo Media
Pratama, Juli 2009, cet.1
Suryadilaga, M. Alfatih. dkk., Miftahus Sufi. (Yogyakarta: Teras, 2008).
Simuh. Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1996).
Siregar, L. Hidayat. Tarekat Doktrin dan Sejarah, (Bandung : Citapustaka Media
Perintis, 2008)
109
Thohir, Ajid. Gerakan Politik Kaum Tarekat: Telah Historis Gerakan Politik
Antikolonialisme Tarekat Qodiriyyah-Naqsyabandiyyah di Pulau Jawa,
(Bandung: Pustaka Hidayah IKAPI, 2002), cet. Ke-1
Wawancara Pribadi dengan KH. Raden Ahmad Syaukatudin Inayah (Cucu Syekh
Asnawi), sekaligus Pimpinan Yayasan Pondok Pesantren Masyariqul
Anwar Caringin
Wawancara Pribadi dengan KH. Tb. Didi Harizy (cucu Syekh Asnawi),
Pendakwah sekaligus pengurus besar Yayasan Pendidikan Islam
Masyariqul Anwar.
Wawancara Pribadi dengan Drs. H. Ois Kholid (Cucu Syekh Asnawi), sekaligus
Kepala Sekolah Madrasah Aliyah Masyariqul Anwar Pusat Caringin.
WIKIPEDIA, Letusan Krakatau 1883. Diakses hari Jumat tanggal, 5 April 2018,
Pukul.20:15WIB.Https://id.m.wikipedia.org/wiki/letusan_krakatau__1883.
WIKIPEDIA, Tarekat Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyyah. Diakses hari Rabu
Tanggal 24 April 2018, Pukul .19:45 WIB.
http://syariathakikattarikatmakrifat.wordpress.com/2010/08/25/tarikat-
qadiriah-naqsabandiyah-tqn/.
Yahya, Zurkani. Asal-usul Tarekat Qodariyyah Wa Naqsyabandiyyah dan
Perkembangannya. (Tasikmalaya: IALM, 1990)
Zaprulkhan. Ilmu Tasawuf Sebuah Kajian Tematik. (Jakarta: PT Raja Gravindo
Persada, 2016), cet. Ke-1
Zulkifli. Sufi Jawa: Relasi Tasawuf-Pesantren, (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003)
DAFTAR PERTANYAAN PENELITIAN SKRIPSI
1. Pada tanggal dan tahun berapa Syekh Asnawi dilahirkan ?
2. Dimana pertama kali Syekh Asnawi belajar pendidikan Agama ?
3. Berapa lama Syekh Asnawi mengenyam pendidikan ?
4. Selama Syekh Asnawi mengenyan pendidikan bidang apa saja yang
dipelajari?
5. Siapakah tokoh yang paling mempengaruhi pemikiran Syekh Asnawi ?
6. Metode apa yang dilakukan Syekh Asnawi dalam menyebarkan agama
Islam di Caringin ?
7. Apa yang diajarkan Syekh Asnawi kepada masyarakat Caringin dalam
bidang tasawuf ?
8. Bagaimana asal-usul adanya ajaran tarekat Qodiriyah Wa Naqsabandiyah di
Caringin ?
9. Bagaimana kondisi prilaku masyarakat Caringin sebelum dan sesudah
Syekh Asnawi menyebarkan agama Islam melalui ajaran tarekat ?
10. Bagaimana perkembangan masyarakat Caringin setelah kedatangan Syekh
Asnawi menyebarkan agama Islam?
11. Apakah ada karya tulis Syekh Asnawi dalam bentuk buku atau kitab?
12. Adakah karomah-karomah Syekh Asnawi ketika semasa hidup ?
13. Bagaimana kondisi makam Syekh Asnawi ketika terjadi tsunami Selat
Sunda 22 Desember 2018 ?
14. Adakah lembaga pendidikan yang diwariskan Syekh Asnawi ?
15. Pada tahun berapa lembaga pendidikan itu didirikan ?
16. Bagaimana kemajuan lembaga pendidikan dari dulu samape sekarang ?
17. Bidang-bidang ilmu apa saja yang dipelajari dalam lembaga pendidikan itu?
18. Ada berapa cabang Madrasah Masyariqul Anwar dari dulu sampai
sekarang?
TRANSKIP HASIL WAWANCARA
1. Biografi Responden
Nama : KH. Raden Ahmad Syaukatudin Inayah
Umur : 76 Tahun
Alamat : Kampung Caringin RT/RW 10/03 Desa Caringin
Kec. Labuan, Kab. Pandeglang, Prov. Banten.
Jabatan : Pimpinan Yayasan Pondok Pesantren Masyariqul
Anwar sekaligus cucu dari Syekh Asnawi.
Waktu : Hari Minggu, 14 Oktober 2018, pukul 09:30-17:20
WIB
Tempat :Di rumah kediaman KH. Raden Ahmad Syaukatudin
Inayah
Pertanyaan dan Jawaban:
1. Pada tanggal dan Tahun berapa Syekh Asnawi dilahirkan ?
Jawaban: Syekh Asnawi dilahirkan pada tanggal 04 Muharam 1267 Hijriyah
atau 08 November 1850
2. Dimana pertama kali Syekh Asnawi belajar pendidikan Agama ?
Jawaban: Pola kehidupan dimasa kecil Syekh Asnawi dalam didikan kedua
orang tuanya sangatlah tekun dalam mendidik anaknya dengan disiplin yang
tinggi dan bimbingan yang cermat dalam bidang akhlak serta ibadahnya.
Syekh Asnawi pun menyadari bahwa ayahandanya sebagai penghulu
landrat (hakim) di Caringin. Beliau senantiasa menjaga akhlaqul karimah
yang diajrkan oleh kedua orang tuanya. Dalam pola pendidikan di
keluarganya beliau di didik langsung oleh ayahanda dan ibunya sendiri
untuk mengisi jiwa Asnawi dengan penanaman Akhlaqul karimah dan tidak
disekolah kan di sekolah Belanda. Pendidikan agama yang dimulai dengan
Tahfidzul Qur’an dan tajwidnya, bahasa arab dan Nahu-sorof, serta
pendidikan Ubudiyah dan Akhlak nya. Dalam usia 11 tahun ia telah hafidz
al-Qur’an serta menguasai ilmu yang diajarkan oleh kedua orang tuanya.
Namun dalam usia tersebut sang ayah dipanggil keharibaan Tuhannya
beliau wafat. Kemudian ibundanya Nyi Hj. Ratu Sabi’ah bermusyawarah
dengan keluarga tentang kemana Asnawi melanjutkan pendidikannya,
berdasarkan hasil musyawarah, memutuskan bahwa Asnawi melanjutkan
pendidikannya di pesantrenkan di tanah suci Makkatul-Mukarromah.
3. Berapa lama Syekh Asnawi mengenyam pendidikan ?
Jawaban: Beliau mengenyam pendidikan sampai diizinkan pulang ke jawa
oleh para gurunya setelah mukim disana kurang lebih tiga tahun.
4. Selama Syekh Asnawi mengenyam pendidikan bidang apa saja yang
dipelajari ?
Jawaban: Selama Syekh Asnawi menimba ilmu di kota Mekkah, disana
beliau dititipkan ditempat yang tepat yaitu di Halaqoh Syekh Nawawi al-
Bantani. Beliau diasuh oleh tuan Syekh di Halaqohnya bersama para santri
lainnya. Disana juga ia berguru diantaranya: kepada tuan guru Abdul Hamid
Makki dalam bidang Ulumul Qur’an, Ahmad Khatib As-Syambasi
dalambidang Thoriqat yang dilanjutkan berguru kepada murid tuan Syekh
yaitu Syekh Abdul Karim al-Bantani, dan juga berguru kepada Syekh
Hasbullah Al-A’ma dalam bidang Madzahibul Arbaah.
5. Siapakah tokoh yang paling mempengaruhi pemikiran Syekh Asnawi ?
Jawaban: Syekh Asnawi yang saya ketahui dan masyhur dikenal masyarak
Caringin sebagai ulama Thoriqoh bukan sebagai ulama tafsir atau ulama
fiqih seperti gurunya yaitu Syekh Nawawai al-Bantani. Karena Syekh
Asnawi mendalami ilmu Thoriqoh yang dipelajari dari kedua gurunya yaitu
Syekh Khatib As-Syambasi dan Syekh Abdul Karim Al-Bantani.
6. Metode apa yang dilakukan Syekh Asnawi dalam menyebarkan agama
Islam di Caringin ?
Jawaban: Syekh Asnawi selama hayatnya memfokuskan jiwa raganya baik
secara fisik, materil, maupun mental spiritual untuk agama dan bangsa
Indonesia karena pada masanya seluruh wilayah Banten termasuk jajahan
Belanda. Mula-mulanya Syekh Asnawi menyebarkan agama Islam dengan
metode dakwah dari satu tempat ketempat lain. Sehingga lambat laun
penyebaran agama Islam berkembang pesat di wilayah Caringin. Sehingga
pada saat itu, Syekh Asnawi mulai mengajarkan ajaran Thoriqoh kepada
masyarakat berduyun-duyun lah orang datang ke Caringin untuk berguru
kepadanya. Kegiatan penyebaran ajaran Thoriqoh dipusatkan di Caringin
namun santri-santri yang berguru kepadanya bukan hanya masyarakat
Caringin tapi diluar Banten juga ada seperti dari lampung.
7. Apa yang diajarkan Syekh Asnawi kepada masyarakat Caringin dalam
bidang Tasawuf ?
Jawaban: Seperti yang telah saya jelaskan tadi, bahwa Syekh Asnawi
mengajarkan ajaran Thoriqoh Qodiriyah Wa Naqsabandiyah kepada
masyarakat Caringin maupun masyarakat diluar Banten.
8. Bagaimana asal-usul adanya ajaran tarekat Qodiriyah Wa Naqsabandiyah di
Caringin ?
Jawaban: Sesepuh dahulu mengatakan bahwa tasawuf atau ajaran tarekat
Qodiriyah Wa Naqsabandiyah adalah cara mudah untuk mendekatkan diri
kepada Allah. Karena ilmu tasawuf mempunyai kedudukan yang tinggi
dalam menjaga kemurnian ibadah kepada Allah. Tarekat Qodiriyah Wa
Naqsabandiyah pertama kali diajarkan di Caringin oleh Syekh Asnawi
ketika Syekh Asnawi berguru kepada Syekh Ahmad Khatib Sambas dan
Syekh Abdul Karim al-Bantani kemudian ia mengajarkan kepada
masyarakkat Caringin.
9. Bagaimana kondisi prilaku masyarakat Caringin sebelum dan sesudah
Syekh Asnawi menyebarkan agama Islam melalui ajaran tarekat ?
Jawaban: Sebelum Syekh Asnawi berdakwah menyebarkan agama Islam
budaya masyarakat Caringin amatlah buruk, pada masa itu budaya
masyarakat rusak mereka senang melakukakan kemaksiatan, perjudian,
kemusyrikan, kemungkaran bahkan pembunuhan dan juga banyaknya para
jawara-jawara yang berilmu hitam yang terusik atas kedatangan Syekh
Asnawi mereka tidak suka kepada Syekh Asnawi yang ingin merubah
budaya perjudian dengan budaya syari’at Islam. Namun, dengan kegigihan
dan rasa sabar serta hidayah dari Allah Swt setelah berdakwah dan
mengajarkan ajaran Thoriqoh masyarakat Caringin pun kembali
menjalankan syari’at Islam.
10. Bagaimana perkembangan masyarakat Caringin setelah kedatangan Syekh
Asnawi dalam menyebarkan ajaran Tarekat?
Jawaban: Seperti yang tadi dijelaskan, bahwa atas hidayah Allah Swt yang
diberikan kepadanya sehingga masyarakat menyadari bahwa yang
diperbuatnya itu bersebrangan dengan syari’at Islam lambat laun kembali
menjadi masyarakat yang Islami. Tarekat Qodiriyah Wa Naqsabandiyah
yang diajarkan Syekh Asnawi sangat berpengaruh besar terhadap
masyarakat Caringin, dengan belajar tarekat Qodiriyah Wa Naqsabandiyah
masyarakat Caringin bisa lebih meningkatkan keimanan yang kuat dan
menjadi masyarakat yang rukun serta saling mengasihi sesama masyarakkat
yang lainnya.
11. Apakah ada karya tulis yang berbentuk buku atau kitab yang diwariskan
oleh Syekh Asnawi ?
Jawaban: Syekh Asnawi tidak sempat menulis karya tulis berbentuk buku
atau kitab karena ketika Syekh Asnawi telah menyelesaikan pendidikan di
kota Mekkah ia pun pulang ke tanah air. Setelah tiba di tanah Air Syekh
Asnawi memfokuskan untuk berdakwah dan mengajarkan ajaran Thoriqoh
kepada masyarakat. Belum lagi pada saat itu kondisi politik di Indonesia
lagi rusak akibat dari penjajah. Sehingga Syekh Asnawi pun tidak hanya
aktif berdakwah saja tetapi aktif pula dalam mengobarkan semangat
Nasionalisme.
12. Adakah karomah-karomah ketika semasa hidup Syekh Asnawi ?
Jawaban: 1). Ada tiga Kiyai dari Kasuniatan yang tidak percaya terhadap
kewaliyan Syekh Asnawi. Mereka pun ingin mencoba kewaliyan Syekh
Asnawi dengan sebuah pertanyaan apakah Syekh Asanwi bisa menjawab
atau tidak pertanyaan-pertanyaan dari ketiga kiyai tersebut. Dari masing-
masing kiyai itu menulis 50 soal. Setelah pengajian berakhir mereka
langsung bertanya, pas dibuka bukunya kosong. Seketika mereka pun
kebingungan menundukan kepala dan mukanya memerah menahan rasa
malu. Lalu Syekh Asnawi menjelskan kembali pertanyaan-pertanyaan dari
ketiga kiyai itu berikut dengan jawabannya.
2). Ada muridnya yang bermukim dari Ciomas namanya Abdul Hamid, di
suatu ketika ia tidak ikut pengajian dan Syekh Asnawi pun meliha ke
pondoknya, di pondoknya pun ia tidak ada. Di suatu hari Syekh Asnawi
bertemu dengan Abdul Hamid. Syekh Asnawi bertanya kenapa beberapa
hari ini kamu tidak ikut pengajian ? Abdul Hamid menjawab : Saya sudah
mendapatkan martabat kewaliyan, saya sudah tidak diwajibkan
melaksanakan kewajiban soalnya saya sudah mempunyai tempat di Surga.
Syekh Asnawi bertanya dimana Surganya kamu ? Abdul Hamid menepukan
kedua tangannya datang lah seekor burung sebagai kendaraan untuk pergi
ke Surga, diajaklah Syekh Asnawi ke Surga yang dimaksud Abdul Hamid.
Namun, Syekh Asnawi tidak mengendarai seekor burung yang disiapkan
oleh Abdul Hamid. Namun, Syekh Asnawi mempersilahkan Abdul Hamid
untuk pergi terlebih dahulu, Syekh Asnawi hanya berjalan kaki pergi ke
Surga yang dimaksud Abdul Hamid. Singkat cerita tibalah mereka di Surga
yang dimaksud Abdul Hamid, dilihat secara kasat mata tempat itu penuh
dengan keindahan, terdapat bangunan-bangunan mewah, air terjun dimana-
mana. Pas melihat tempat semacam itu, Syekh Asnawi hanya mengingatkan
kepada Abdul Hamid agar ia ingat kepada Allah. Maka tempat itu seketika
gelap berubah menjdi Hutan. Syekh Asnawi pun menasehati Abdul Hamid
bahwa manusia itu banyak godaan dan cobaan sehingga kamu sudah
menyimpang dari ajaran tarekat. Ahirnya Abdul Hamid pun kembali
mengikuti pengajian yang diajarkan oleh Syekh Asnawi.
3). Ada seorang kiyai dari Mandalawangi (murid tarekat Syekh Asnawi),
suatu keika ia sedang sakit, ia berpesan kepada Syekh Asnawi apabila saya
wafat, saya ingin yang menjadi Imam shalat Jenazah saya Kiyai (Syekh
Asnawi). Suatu ketika kiyai itu wafat. Anak dari kiyai itu yang bernama
Abdul Mu’ti pun bergegas pergi ke rumah Syekh Asnawi untuk
memberikan Khabar bahwa ayahnya sudah meninggal. Setelah sampai ke
rumah Syekh Asnawi ia pun bertanya kepada salah seorang keluarganya
dimana Syekh Asnawi berada ? ia menjawab bahwa Mama Asnawi sudah
pergi ke Mandalawangi setelah shalat subuh tadi.
4). Kisah seorang murid tarekat Syekh Asnawi yang berasal dari Karawang
biasa dikenal dengan sebutan kiyai Kobak Rante. Setelah hatam beberapa
ilmu dari Syekh Asnawi dan setelah shalat Ashar kiyai Kobak Rante di
Bai’at sebagai pengikut ajaran tarekt oleh Mama Asnawi. Setelah di Bai’at
ia langsung disuruh pulang oleh Mama Asnawi. Ia pun merasa kebingungan
karena disuruh pulang, Syekh Asnawi pun meyakinkan keilmuan yang
sudah dimiliki Kobak Rante. Kobak Rante bergegas mengangkat barangnya
untuk pulang ke kampung halamannya. Namun, Kobak Rante kebingungan
dengan jarak tempuh dari Caringin ke Karawang bagaimana bisa ia pulang
karena kendaraan pada waktu itu masih jarang dan hanya ada kendaraan
Sado. Ketika ia sedang menunggu di pinggir jalan tiba-tiba ada sado, Kobak
Rante pun mengajak tukang Sado itu untuk pergi ke Karawang. Berangkat
dari Caringin setelah Ashar sampai ke Karawang Sebelum Maghrib bahkan
ia masih sempat menjadi Imam shalat Maghrib. Selama di perjalanan Kobak
Rante tidak merasa sedang di perjalanan ia tidak melihat ke jalan, ia hanya
sadar ketika Kobak Rante telah sampai di Karawang.
2. Biografi Responden
Nama : KH. Tb. Didi Harizy, BA
Umur : 65 Tahun
Alamat : Kp. Caringin RT/RW 10/03 Desa Caringin Kec.
Labuan Kab. Pandeglang Prov. Banten
Jabatan :Penceramah dan pengurus besar Yayasan
Pendidikan Islam Madrasah Masyariqul Anwar Pusat
Caringin
Tempat : Penziarahan makam Syekh Asnawi Bin KH.
Abdurrahman
Waktu : Hari Kamis, Tanggal 10 Januari 2019, Pukul. 10:12-
12:25 WIB
13. Bagaimana kondisi makam Syekh Asnawi ketika terjadi tsunami Selat
Sunda pada tanggal 22 Desember 2018 ?
Jawaban: berkat dari pada Mumkin Khaliful Adab dan juga berkat mu’jizat
Allah Swt, kami di Caringin ini tidak terkena dampak yang hebat seperti di
daerah-daerah lain. Ada juga keajaiban dari Mumkin Khaliful adab dari
kakek nya Syekh Asnawi yaitu Syekh Mahdi. Pertama, ketika terjadi
tsunami Selat Sunda ketinggian air di sekitar penziarahan makam Syekh
Asnawi dan Syekh Mahdi sekitar kurang lebih 4-5 meter. Tetapi air laut itu
tidak sampai air itu membeku seperti agar-agar sehingga sedikit pun tidak
merusak tempat pemakaman bahkan di dalam penziarahannya pun tidak
basah tidak terkena air laut. Kedua, air laut atau gelombang tsunami itu
sebelum sampai ke pemakaman terpecah, sehingga air laut itu melintir
(mengelilingi makam), air itu belok ke sebelah kanan, sehingga gelombang
tsunami itu meghancurkan seluruh rumah dan warung-warung di sekitar
pemakaman.
Jawaban: menurut bapak Zenal gelombang tsunami itu terjadi
beberapa kali, namun yang paling dahsyat yang menghabiskan seluruh
rumah dan warung-warung yaitu gelombang yang ketiga. Sekitar pukul
02:00 malam, saya beserta warga yang lain turun lagi ke Pantai melihat
kondisi pantai dan kondisi rumah beserta warung-warung yang sudah rusak
parah habis. Tetapi ketika melihat kondisi makam kering alhamdulillah air
laut itu terpecah kepinggir sehingga air laut tidak menabrak makam dan
tempat pemakaman Syekh Mahdi dan Syekh Asnawi pun tidak rusak. Pada
saat terjadi tsunami, ada yang lagi ziarah satu orang dan alhamdulillah ia
selamat.
3. Biografi Responden
Nama : Drs. H. Ois Kholid
Umur : 57 Tahun
Alamat : Kp. Caringin RT/RW 10/03 Desa Caringin Kec.
Labuan Kab. Pandeglang Provinsi Banten.
Jabatan : Kepala Sekolah Madrasah Aliyah Masyarikul
Anwar Sekaligus cucu dari Syekh Asnawi
Tempat : Di Sekolah Madrasah Aliyah Masyariqul Anwar
Pusat Caringin
Waktu : Hari Senin, Tanggal 15 Oktober 2018, Pukul 09:05-
11:35 WIB
14. Adakah lembaga pendidikan yang diwariskan oleh Syekh Asnawi ?
Jawaaban: Ya jelas ada dan nama dari pada lembaga pendidikan yang
diwariskan Mama Asnawi itu adalah Masyariqul Anwar di dalamnya ada
tiga tingkatan yaitu: tingkatan Ibtidaiyah, Tsanawiyah kemudian ada Aliyah
(MA). Tentu saja ketika Madrasah ini didirikan, itu awalnya Madrasah
Ibtidaiyah yang siswanya cukup banyak siswanya dari berbagai lapisan
Masyarakat. Karena memang diketahui dan masyarakatnya pun
menegetahui bahwa Mama Asnawi itu sebagai tokoh baik ituntokoh
dimasyarakat yang disebut barangkali ulama atau kiyai maupun seorang
tokoh pergerakan kemerdekaan yang menentang penjajah Belanda pada saat
itu.
15. Pada tahun berapa lembaga pendidikan itu didirikan ?
Jawaban: Kalu Madrasah Ibtidaiyah itu didirikan tepatnya pada tahun 12
Mei 1930. Kemudian banyak dorongan-dorongan dari masyarakat itu
sendiri agar Madrasah Masyariqul Anwar itu membuat jenjang berikutnya
yang dibutuhkan oleh masyarakat yaitu jenjang Tsanawiyah kemudian
kejenjang Aliyah (MA). Maka sekitar pada tahun 1931-1935 didirikan
Tsanawiyah, kemudian pada sekitar tahun 1967 didirikan sekolah Madrasah
Aliyah itu akibat dari pada ketidakpuasan masyarakat untuk mencerdaskan
anak-anaknya disekitar Masyariqul Anwar yang tadinya hanya Ibtidaiyah
kemudian dibangun Tsanawiyah dan kemudian dibangun tingkat Aliyah.
16. Bagaimana kemajuan lembaga pendidikan itu dari dulu samape sekarang ?
Jawaban: Sesuai dengan perkembangan zaman ada SK Tiga Mentri yang
dikeluarkan dan ditandatangani oleh Mentri Pendidikan, Mentri Agama dan
Mentri luar Negeri yang mengharuskan pendidikan suasta atau pendidikan
yayasan itu harus sama pelajaran-pelajarannya dengan kurikulum yang ada
di sekolah-sekolah Negeri. Oleh karena itu, otomatis materi dan pelajaran-
pelajaran yayasan itu terdegradasi atau berkurang yang tadinya 80-90%
pelajaran agama dengan adanya SK Tiga Menteri itu, kita harus
menyesuaikan dengan aturan-aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah pada
saat itu. Tentu saja ada konsekuensinya, mereka para lulusan Madrasah
Aliyah Masyariqul Anwar tidak lagi bisa diandalkan untuk kemudian sesuai
dengan Visi dan Misi “Ad-diniyah Al-Arobiyah”. Kemudian hal yang lain
juga banyak yang masuk ke Madrasah ini tidak berjenjang artinya, dari
Ibtidaiyah Masyariqul Anwar dilanjut ke Madrasah Tsanawiyah kemudian
dilanjut ke Madrasah Aliyah Masyariqul Anwar. Tetapi banyak juga dari
mereka dari SMP yang notabennyan pelajaran-pelajaran yang ada di SMP
khususnya pelajaran agama hanya 2-4 jam dalam satu minggu apabila siswa
siswi itu tidak diberikan tambahan pelajaran agama di rumah bisa jadi untuk
menegakan shalat saja belum benar. Ini menjadi konsekuensi. Kemudian
resiko sekarang susah mengembalikan kembali materi atau pelajaran-
pelajaran agama yang dipelajari sesuai dengan Visi dan Misi sejak awal
sekolah itu didirikan.
Kalau ditanya terkait perkembangan atau kemajuan Madrasah, kita
bagi kedalam dua bagian yaitu: kemajuan kualitas dan kemajuan kuantitas
ini jelas ada konsekuensinya. Secara kuantitas, mereka lebih banyak
sekarang yang masuk ke Madrasah ini, baik ke tingkat Tsanawiyah maupun
Aliyah. Tetapi kalau kita lihat secara kualitas, kualitas yang sesua dengan
Misi Ad-diniyah Al-Arobiyah jelas ini berkurang. Karena yang saya
jelaskan tadi, pelajaran-pelajaran agama nya saja sampai sekarang sekitar 6
pelajaran Agama yang dipelajari sampai sekarang dan itupun terkendala.
Karena yang masuk ke Madrasah Aliyah itu tidak berjenjang tanpa
mengikuti pelajaran agama terlebih dahulu baik itu di rumah ataupun di
Sekolahnya yang lebih dalam lagi mempelajari pelajaran-pelajaran agama.
Sehingga ketika masuk ke Aliyah mereka kebingungan kalau kita terapkan
pelajaran agama sesua dengan pelajaran agama dimana Madrasah ini
pertama didirikan.
17. Bidang-bidang ilmu apa saja yang dipelajari dalam lembaga pendidikan itu?
Jawaban: Adapun proses pembelajaran dan mata pelajaran yang diberikan
pada saat itu, hampir sekitar 80-90% pelajaran-pelajaran agama dan
didalamnya tentu saja disamping pelajaran agama ada juga pelajaran umum
seperti Jughrofiah (Geografi), kemudian ada Hisab (Berhitung), Riyadul
Badaniyah (Olah raga), Malaziyah (Bahasa Indonesia), Aljabar, dan juga
ada pelajaran Handasah (Ilmu Ukur). Disamping tentu saja pelajaran-
pelajaran agama sesuai dengan Visi dan Misi dari pada Madrasah
Masyariqul Anwar itu Addiniyah Al-Arobiyah. Untuk pelajaran kurikulum
tentu tidak ada bedanya dengan pelajaran-pelajaran yang ada di sekolah-
sekolah Negeri. Hanya tadi saya katakan pelajaran agamanya terdegradasi
terdesak karena adanya pelajaran Kurikulum kalau kita mau
mempertahankan pelajaran-pelajaran agama itu mesti pulangnya sampai
jam lima sore dan itu juga menjadi pertimbangan kami apakah itu
disanggupi atau tidak oleh para dewan guru dan para siswa/i nya kalau
belajar dari pagi sampai sore.
18. Ada berapa cabang lembaga Pendidikan Madrasah Masyariqul Anwar dari
dulu samapai sekarang ?
Jawaban: Untuk Cabang sampai sekarang alhamdulillah sekitar 20 cabang
dari pada cabang Madrasah Masyariqul Anwar. Terdiri dari khususnya dari
Ibtidaiyah, dan Tsanawiyah dan cabang-cabangnya itu tersebar ada yang di
daerah Tangerang, Serang bahkan ada juga cabang Madrasah Masyariqul
Anwar diluar Provinsi Banten yaitu di daerah Lampung. Alhamdulillah
banyak.!
LAMPIRAN-LAMPIRAN
SYEKH ASNAWI BIN SYEKH ABDURRAHMAN
(1850 M – 1937 M)
MAKAM SYEKH ASNAWI BIN SYEKH ABDURRAHMAN
CARINGIN - BANTEN (1850-1937)
MASJID AGUNG AS-SALAFI CARINGIN
(1884-1889)
YAYASAN PENDIDIKAN ISLAM (YPI) MASYARIQUL ANWAR
CARINGIN
LABUAN PANDEGLANG – BANTEN
JEMBATAN CISANGGOMA CARINGIN
PANDEGLANG-BANTEN