pengaruh dosis inokulan alami (ektomikoriza)...
TRANSCRIPT
1
PENGARUH DOSIS INOKULAN ALAMI (EKTOMIKORIZA)
TERHADAP PERTUMBUHAN SEMAI CABUTAN Shorea pinanga (TENGKAWANG)
Oleh :
AYU LESTARI
M12 107 008
PROGRAM STUDI KEHUTANAN
FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2012
2
HALAMAN PENGESAHAN
Judul : Pengaruh dosis inokulan alami (ektomikoriza)
terhadap pertumbuhan semai cabutan
Shorea Pinanga (tengkawang)
Nama : Ayu Lestari
Nim : M 121 07 008
Jurusan : Kehutanan
Skripsi ini Disusun Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Kehutanan Pada
Jurusan Kehutanan Fakultas Kehutanan
Universitas Hasanuddin
Menyetujui,
Komisi Pembimbing
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Dr. Ir. H. Muhammad Restu, MP Gusmiaty, SP. MP
NIP. 19650904199203 1 003 NIP. 19791120200912 2 002
Mengetahui,
Ketua Jurusan Kehutanan
Fakultas Kehutanan
Universitas Hasanuddin
Dr. Ir. Beta Putranto, M.Sc
NIP. 19540418197903 1 001
3
ABSTRAK
Ayu Lestari (M12107008). Pengaruh Dosis Inokulan Alami (ektomikoriza)
Terhadap Pertumbuhan Semai Cabutan Shorea Pinanga (Tengkawang),
di bawah bimbingan Muhammad Restu dan Gusmiaty.
Shorea pinanga merupakan salah satu jenis tengkawang yang dapat bersiombiosis dengan cendawan ektomikoriza Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh beberapa dosis inokulan alami terhadap pertumbuhan bibit
Shorea pinanga di persemaian. Penelitain ini dilakukan dengan beberapa tahap penyediaan bibit dan inokulasi ektomikoriza, penanaman dan pemeliharaan
dipersemaian. Pengamatan dan pengukuran dilakukan terhadap variabel tanaman yaitu tinggi, diameter, jumlah daun dan jumlah cabang. Data yang diperoleh dari hasil pengamatan dianalisis dengan menggunakan uji anova dan dilanjutka dengan
uji BNJ (beda nyata jujur). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada analisis sidik ragam anova
untuk variabel Tinggi dan jumlah cabang berbeda nyata pada taraf uji 5%, sedangkan pada variabel diameter dan jumlah daun menunjukkan perbedaan tidak nyata atau relatif sama, pengaruh perlakuan terhadap pertumbuhan tanaman. Dosis
15 gram pada varibel pertambahan tinggi, diameter, dan jumlah daun mempunyai respon pertumbuhan yang terbaik, sedangkan pada variabel pertambahan jumlah
cabang pada dosis 20 gram.
4
KATA PENGANTAR
Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan karunia-Nya sehingga penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan.
Skripsi ini merupakan satu syarat dalam menyelesaikan studi pada jurusan
kehutanan Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin. Skripsi ini berjudul “
Pengaruh Dosis Inokulan Alami (ektomikoriza) terhadap Pertumbuhan
Semai Cabutan Shorea pinanga ”.
Selama pelaksanaan kegiatan penelitian hingga selesainya penulisan
skripsi ini, penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak, baik berupa
bimbingan dan arahan maupun dorongan moral dan material. Untuk itu penulis
menghanturkan terima kasih sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Muhammad Restu, MP dan ibu Gusmiaty, SP.MP
selaku pembimbing sekaligus orang tua yang dengan penuh keihklasan telah
berkenan memberikan tuntunan dan bimbingan saran dalam upaya lebih
menyempurnakan kandungan penelitian ini.
2. Bapak Dr. Ir. Beta Putranto, M. Sc, Prof. Dr. Ir. Samuel A Paembonan
dan Mukrimin S.Hut, M.P selaku penguji
3. Bapak Dr. Ir. Musrizal Muin, M.Sc selaku Pembantu Dekan Bidang
Akademik
4. Bapak Mukrimin, S.Hut, M.P. selaku penasehat akademik yang setia
memberikan tuntunan dan nasehat.
5. Bapak Basri, Ibu Dewy selaku Bagian Tata Usaha atas Bantuannya selama
ini.
6. Bapak Dr.Ir. Rufi’i, M.Sc dan Karmilasanti S.Hut, atas bantuan dan
bimbingannya selama penelitian di Balai Besar Penelitian Dipterokarpa
Samarinda Kalimantan Timur.
5
7. Sahabat-sahabat penulis : Nurul Ima, Hasnawati, Mutiah Ummusyahida
S.Hut, Inna, Nining Permatasari, Fira, Naily Sofya Rasyd S.Hut, yang
setia memberikan doa, bantuan dan saran kepada penulis.
8. Teman PU : Fatimah S.Hut, Musdalifah S.Hut dan Sucianti S.Hut, atas
Bantuan dan Dukungannya selama ini.
9. Rekan-rekan angkatan 2007 yang telah memberikan motivasi dan semangat
pada penulis dan semua pihak yang turut membantu hingga selesainya
penulisan skripsi ini.
10. Kedua orang tua dan orang-orang tercinta yang telah menyayangi dan
membantu baik secara moril, materil dan spritual selama menjalani studi.
Semoga penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang
memerlukannya dalam menambah ilmu pengetahuan terutama dibidang
kehutanan.
Wassalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Makassar, Mei 2012
Penulis
6
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL …………………………………………………….. i
HALAMAN PENGESAHAN .........................................................……... ii
ABSTRAK .................................................................................................. iii
KATA PENGANTAR ............................................................................... iv
DAFTAR ISI .............................................................................................. vi
DAFTAR TABEL ...................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR.................................................................................. ix
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. x
I. PENDAHULUAN
A. Latar belakang ................................................................................ 1
B. Tujuan dan Kegunaan ..................................................................... 3
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tengkawang ………........................................................................ 4
B. Mikoriza ......................................................................................... 7
C. Bibit dan Persemaian ........................................................... …….. 12
III. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat ........................................................................ 14
B. Alat dan bahan .............................................................................. 14
C. Prosedur Kerja .............................................................................. 14
D. Pengolahan Data ........................................................................... 16
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pertambahan Tinggi Semai Shorea pinanga……………………… 18
B. Pertumbuhan Tinggi Semai Shorea pinanga …………………….. 21
C. Pertambahan Diameter Batang Semai Shorea pinanga ………….. 22
D. Pertumbuhan Diameter Semai Shorea pinang……………………. 23
E. Pertambahan Jumlah Daun Semai Shorea pinanga………………. 24
F. Jumlah Daun Semai Shorea pinanga …………………………….. 26
G. Pertambahan Jumlah Cabang Semai Shorea pinanga…………….. 27
H. Jumlah Cabang Semai Shorea pinanga…………………................ 29
7
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ...................................................................................... 30
B. Saran ................................................................................................ 30
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
8
DAFTAR TABEL
No Teks Hal
1. Hasil Uji Lanjut BNJ terhadap Nilai Rata-Rata Pertambahan Tinggi Semai Shorea pinanga Setiap Perlakuan
pada Umur 3 Bulan…………………………………….......................... 18
2. Hasil Uji Lanjut BNJ terhadap Nilai Rata-Rata Pertambahan Jumlah Cabang Semai Shorea pinanga Setiap Perlakuan pada Umur 3 Bulan …………………………………………………… 27
9
DAFTAR GAMBAR
No Teks Hal
1. Histogram Rata-rata Pertambahan Tinggi Semai Shorea pinanga berumur 3 bulan ……………………………………………………… 18
2. GrafikRata-rata Pertumbuhan Tinggi Semai Shorea pinanga………… 21
3. Histogram Rata-rata Pertambahan Diameter Semai Shorea pinanga berumur 3 bulan………………………………………………………. 22
4. Grafik Rata-rata Pertumbuhan Diameter Semai Shorea pinanga……. 23
5. Histogram Rata-rata Pertambahan Jumlah Daun Semai Shorea pinanga berumur 3 bulan ………….......................................... 24
6. Grafik Rata-rata Jumlah Daun Semai Shorea pinanga……………….. 26
7. Histogram Rata-rata Pertambahan Jumlah Cabang Semai Shorea pinanga berumur 3 bulan……………………………………. 28
8. Grafik Rata-rata Jumlah Cabang Semai Shorea pinanga……………… 29
10
DAFTAR LAMPIRAN
No Teks Hal
1. Skema Kerja Inokulan Alami terhadap Semai Shorea pinanga ………………………………………………… 35
2. Karakter Pohon Induk (a), Iklim Mikro Tempat Pengambilan Cabutan (b), Hasil Analisis Mikrobiologi Kandungan Mikroba (c)…… 36
3. Lingkungan Profil Jenis Shorea pinanga Labanan …………………… 37
4. Deskripsi Profil Jenis Shorea pinanga Labanan ………………………. 38
5. Tabel Analisis Varian Tinggi (a), Diameter (b), Jumlah Daun (c), Jumlah Cabang (d), Rata-rata Suhu dan Kelembaban di persemaian selama 3 bulan …………………………………………. 39
6. Dokumentasi ………………………………………………………........ 40
7. Kolonisasi Inokulan Alami ………………………………...................... 43
8. Tabel Pertambahan Pertumbuhan Semai Shorea pinanga Awal dan Akhir Pengukuran………………............................................ 45
11
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang potensial untuk
dikembangkan di pulau Kalimantan adalah biji tengkawang. Menurur Al Rasyid
dkk. (1991), terdapat 13 jenis pohon penghasil tengkawang yang tersebar di
Kalimantan dan sebagian kecil di Sumatera. Biji tengkawang digunakan sebagai
bahan baku lemak nabati (Suharisno, 2009), karena sifatnya yang khas,
menjadikan lemak tengkawang berharga lebih tinggi dari pada minyak nabati lain
seperti minyak kelapa dan digunakan sebagai bahan pengganti minyak coklat,
bahan lipstik, minyak makan dan bahan obat-obatan (Anggraeni, dkk. 1995).
Biji tengkawang sebagai hasil hutan bukan kayu memainkan peranan
penting sebagai sumber pendapatan. Tengkawang juga menyumbang dalam
keanekaragaman produksi hutan dan menjadi alternatif yang menarik secara
ekonomi terhadap pemanfaatan hutan hujan tropis selain untuk produksi kayu.
Penanaman dan budidaya pohon-pohon tengkawang yang bernilai tinggi secara
berkelanjutan merupakan sebuah kontribusi untuk melestarikan keanekaragaman
hayati dan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat (Irwanto, 2011).
Praktek pengelolaan hutan yang tidak memperhatikan aspek kelestarian
sumberdaya hutan, berakibat menurunnya luas hutan primer dan diduga
berpengaruh terhadap penurunan keragaman genetik serta kemungkinan punahnya
jenis pohon penghasil tengkawang. Upaya yang perlu dilakukan untuk
menghindari punahnya jenis pohon penghasil tengkawang adalah dengan
12
menerapkan teknologi budidaya yang memanfaatkan mikroorganisme jenis
ektomikoriza (Karmilasanti dan Andrean, 2011).
Berdasarkan hasil analisis mikrobiologi, fungi ektomikoriza merupakan
salah satu jenis mikroorganisme yang dapat berasosiasi dengan tengkawang
(S. pinanga) yaitu jumlah koloni dalam satu gram sampel fungi ektomikoriza
berjumlah 1.100.000 koloni (Lampiran 2c) untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
lampiran 7b dan 7c . Dengan adanya asosiasi fungi ektomikoriza ini dapat
meningkatkan serapan N, P dan K, meningkatkan ketahanan terhadap senyawa
beracun, juga ketahanan terhadap berbagai pathogen tanah dengan terbentuknya
mantel hifa yang melindungi akar secara fisik sehingga berpengaruh baik
terhadap pertumbuhan tanaman (Zuliana, 2008).
Darwo dan Sugiarti (2008) menyatakan bahwa berdasarkan berbagai hasil
penelitian yang dikumpulkan cendawan ektomikoriza terbukti dapat
meningkatkan mutu bibit dan mempercepat pertumbuhan bibit sehingga bibit
dapat ditanam tepat pada waktunya dan dapat beradaptasi dengan mudah terhadap
lingkungan penanaman (Kropp dan Longlois, 1990), meningkatkan penyerapan
unsur hara dan air (Santoso et al. 1989), meningkatkan ketahanan terhadap
kekurangan air (Boyle et al. 1987), memperbaiki struktur tanah (De la Cruz,
1982), dan menghasilkan hormon IAA (Gay dan Debaud, 1987).
Hal ini didukung pula oleh berbagai hasil penelitian yang menunjukkan
adanya peningkatan dan perbaikan pertumbuhan tanaman sete lah diberikan
inokulasi fungi ektomikoriza bila dibandingkan dengan tumbuhan yang tidak
memiliki simbiosis dengan ektomikoriza (Riniarti, 2002). Oleh karena itu fungi
13
ektomikoriza mempunyai peranan penting dalam meningkatkan kualitas
pertumbuhan khususnya pada tumbuhan jenis tengkawang yang sangat
bergantung pada ektomikoriza (Omon, 2008).
Sampai saat ini penelitian yang menyajikan informasi budidaya pohon
penghasil tengkawang untuk memperoleh jenis pohon unggul melalui perlakuan-
perlakuan teknologi budidaya yang tepat mulai dari penyediaan bibit, pemberian
perlakuan dan pemeliharaan di persemaian, teknik penanaman bibit unggul dan
cara pemeliharaannya di lapangan masih sangat terbatas. Dengan demikian perlu
dilakukan penelitian mengenai pemanfaatan inokulan alami (ektomikoriza) untuk
menghasilkan bibit tengkawang yang berkualitas, melalui pemberian dosis yang
efektif untuk meningkatkan pertumbuhan bibit S. pinanga di persemaian.
B. Tujuan dan Kegunaan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh beberapa dosis
inokulan alami terhadap pertumbuhan bibit S. pinanga di persemaian.
Penelitian ini diharapkan dapat membantu untuk penyediaan bibit bermutu
secara generatif di persemaian.
14
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tengkawang
Tengkawang adalah salah satu jenis tumbuhan khas Kalimantan Barat
yang biasanya tumbuh di kawasan hutan, tumbuhan tengkawang termasuk pada
family Dipterocarpaceae (Irwanto, 2011). Dipterocarpaceae adalah kelompok
tumbuhan yang mendominasi hutan hujan tropika. Salah satu genus dari famili
dipterocarpaceae adalah Shorea spp. Genus meranti meliputi sekitar 194 jenis
yang terdiri atas empat kelompok, yaitu meranti merah, meranti putih, meranti
kuning dan meranti balau yang kayunya dapat digunakan untuk berbagai
keperluan seperti bahan konstruksi bangunan, bahan kayu lapis, dan bahan
furniture serta pulp. Beberapa jenis meranti menghasikan biji tengkawang yang
menghasilkan minyak. Keistimewaan minyak tengkawang adalah sifat titik
cairnya yang tinggi, yaitu rata - rata 30°C, sehingga cocok untuk pembuatan
margarine, coklat, sabun, lipstick, obat – obatan lilin dan sebagainya
(Riniarti, 2002)
Pohon tengkawang termasuk dalam golongan kayu kelas tiga yang
umumnya digolongkan sebagai meranti merah, mempunyai ciri khas dengan
pohon yang tinggi dengan diameter besar, mempunyai banyak cabang dan
berdaun rimbun. Tumbuhan ini tidak tiap tahun berbuah, hanya berbuah sekali
dalam periode antara 3-7 tahun yang terjadi sekitar bulan Juni – Agustus
(Irwanto, 2011).
15
Al Rasyid dkk. (1991) menyatakan bahwa kayu dari jenis-jenis
dipterokarpa sangat terkenal dan mempunyai nila i perdagangan yang cukup
tinggi, dimanfaatkan sebagai bahan baku lemak nabati, lipstik dan obat-obatan.
Hasil ikutan lainnya juga sangat terkenal misalnya buahnya, yang terkenal dengan
nama buah tengkawang, seperti Shorea macrophylla (tengkawang katuko), S.
macroptera (tengkawang jantung), S. palembanica (tengkawang majau), S.
stenoptera (tengkawang lelon) dan kelompok tengkawang lainnya yang
jumlahnya tidak kurang dari 13 jenis ada di Indonesia.
1. Sistematika
Wikipidia (2011), berdasarkan ensiklopedia Indonesia klasifikasi
tengkawang S. pinanga adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembulu)
Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua/dikotil)
Sub Kelas : Dilleniidae
Ordo : Theales
Famili : Dipterocarpaceae
Genus : Shorea
Spesies : Shorea pinanga
16
2. Morfologi
S. pinanga Scheff, tingginya dapat mencapai 23,5 m, batang bebas cabang
tinggi, tumbuh baik pada punggung-punggung bukit (Soeprijadi dkk. 2008).
Nama daerah dari S. pinanga adalah Brunai : kawang, meranti langgai bukit ;
Indonesia : awang boi (Kalimantan Selatan bagian timur), tengkawang biasa,
tengkawang rambai (Kalimantan Barat) ; Malaysia : kawang pinang (sabah),
meranti langgai bukit (Serawak). Pohon berukuran sedang hingga besar, banir
kecil dengan tinggi 1,5 meter, daun jorong hingga bulat telur menyempit, benang
sari 15, kepala sari seperti bola memanjang (Riniarti, 2002).
3. Penyebaran
Penyebaran tumbuhan tengkawang ada lah kawasan Asia
Tenggara ya itu Thailand, Malaysia, Indonesia. Indonesia, terdapat 13 jenis
pohon penghasil tengkawang, di mana 10 jenis di antaranya terdapat di
Kalimantan dan 3 jenis lainnya di Sumatera. Adapun jenis yang biasanya tumbuh
di daerah Kalimantan Barat adalah jenis tengkawang tungkul yang biasanya
disebut meranti merah dengan nama latin Shorea stenoptera (Irwanto, 2011).
Produksi tengkawang yang produktif sebesar 100-250 kg biji
kering/pohon/ tahun. Kerapatan pohon per ha yang mencapai 150 pohon dengan
asumsi harga tengkawang sebesar Rp.2.000,00/kg, maka akan memberikan
pendapatan kotor setiap tahun sebesar Rp. 30.000.000,00 s/d Rp.75.000.000,00
(Sumarhani, 2007).
17
Melalui Peraturan Menteri Kehutanan nomor P.35/Menhut-II/2007 telah
ditetapkan 558 komoditas HHBK baik nabati maupun hewani yang menjadi
urusan kehutanan. Salah satu HHBK yang menjadi andalan di Pulau Kalimantan
adalah biji tengkawang sebagai bahan baku lemak nabati (Suharisno, 2009).
B. Mikoriza
1. Definisi dan Pembagian Mikoriza
Mikoriza merupakan asosiasi mutualisme antara cendawan di tanah dan
akar tumbuhan. Kata mikoriza berasal dari kata mykes yang berarti cendawan dan
Rhiza yang berarti akar, cendawan dan mikoriza membentuk hubungan antara
tumbuhan inang yang menerima hara mineral dengan cendawan yang menerima
senyawa karbon hasil fotosisntesis (Harijoko dkk. 2006).
Berdasarkan struktur dan cara infeksinya terhadap tumbuhan inang,
mikoriza dikelompokkan kedalam 3 golongan besar yaitu : ektomikoryza,
endomikoryza dan ektendomikoryza. Endomikoriza lebih dikenal dengan mikoriza
arbuskula. Mikoriza arbuskula dicirikan dengan adanya struktur hifa, arbuskula
dan vesikula. Hifa intraseluler adalah hifa yang menembus kedalam sel korteks
(Gunawan, 1993 dalam Maulidesta, 2005). Ektomikoriza memiliki jaringan hifa
cendawan yang tidak sampai masuk kedalam sel, tapi berkembang diantara sel
kortek akar membentuk "hartig net dan mantel dipermukaan akar ( Dewi, 2007).
Cendawan ektomikoriza membentuk suatu struktur yang disebut mantel yang
membentuk hifa dan mampu menembus kearah dalam antara sel-sel akar untuk
membentuk suatu sistem antar sel yang kompleks (Smith dan Read, 2008).
18
Beberapa jenis ektomikoriza yang bersimbiosis dengan jenis pohon-
pohonan antara lain Cantharellus sp, Columnare, sp. Dictyosporum, sp.
Simamarianse sp, Sceleroderma spp, Lacaria proxima, L. lacata, Lacaria spp.dan
sebagainya. Jenis-jenis cendawan di atas dapat membentuk badan buah
(Sporocarp) yaitu bagian dari cendawan yang berkembang untuk memproduksi
dan menyebarkan spora pada cuaca yang optimal sehingga keberadaanya pada
suatu tempat dapat diketahui secara kasat mata (Wahyudi, 1999).
Menurut Harijoko dkk. (2006) secara umum terdapat tujuh tipe mikoriza
yang telah dikenal, melibatkan banyak kelompok cendawan dan tanaman inang.
Tipe-tipe asosiasi tersebut antara lain:
1. Mikoriza vesikula-arbuskula
Mikoriza vasikula arbuskula (MVA/VAM) sering disebut endomikoriza.
Beberapa peneliti berpendapat bahwa tidak semua MVA memiliki vasikula
sehingga muncul sebutan cendawan mikoriza, endomikoriza merupakan asosiasi
dari cendawan Zygomycetes anggota glomales yang menghasilkan arbuskula, hifa
dan vesikula di dalam akar, spora dibentuk ditanah dan akar.
2. Ektomikoriza
Ektomikoriza sering disebut Mikoriza Ekto (ME), merupakan asosiasi dari
cendawan Basidiomycetes dan lainnya yang membentuk bengkalan pada akar
lateral pendek yang diselubungi oleh mantel hifa.
19
3. Ektendomikoriza
Ektendomikoriza merupakan suatu bentuk intermediate antara
ektomikoriza dan endomikoriza. Mikola (1965) dan Laiho (1976) memberikan
ciri-ciri ektendomikoriza sebagai berikut:
Adanya selubung tipis berupa jaring hartig
Terdapat hifa tebal intraseluler yang menggelembung
Kadang-kadang selubung tersebut hilang
Hifa dapat menginfeksi dinding sel korteks dan juga sel-sel korteksnya.
4. Arbutroid
Asosiasi ini sama seperti ektomikoriza karakteristiknya, sering ditemukan
pada tanaman Ericales.
5. Monotroid
Asosiasi ini sama seperti ektomikoriza karakteristiknya, sering ditemukan
pada tanaman monotropaceae.
6. Ericoid
Asosiasi ini memiliki gulungan hifa di sel bagian dalam dari “akar
rambut” sempit tanaman ordo Ericales. Asosiasi ini juga ditemukan pada akar
tebal anggota Epacridaceae.
7. Orchid
Memiliki hifa koil di dalam akar atau batang tanaman famili Orchidaceae.
Semai anggrek muda dan beberapa tanaman dewasa yang kehilangan klorofilnya,
semuanya tergantung pada cendawan mikoriza untuk kelangsungan hidupnya.
20
2. Peran Mikoriza
Siddiqui dan Pichtel (2008) menjelaskan bahwa pembentukan simbiosis
mikoriza dengan tanaman, memberikan efek penting dalam pertumbuhan,
ketahanan terhadap penyakit dan kualitas tanah. Jenis mikoriza yang paling
banyak dan penyebarannya luas adalah endomikoriza dan ektomikoriza.
Peranan penting fungi mikoriza dalam pertumbuhan tanaman adalah
kemampuannya untuk menyerap unsur hara baik makro maupun mikro. Selain itu
akar yang mempunyai mikoriza dapat menyerap unsur hara dalam bentuk terikat
dan yang tidak tersedia bagi tanaman (Dewi, 2007). Inokulasi fungi mikoriza
mampu meningkatkan penyerapan berbagai unsur hara yang cukup untuk
digunakan sebagai penyusun karbohidrat dalam proses fotosintesis. Karbohidrat
yang dihasilkan dalam fotosintesis dalam jumlah yang cukup juga menyebabkan
aktivitas pembelahan dan penebalan sel-sel jaringan tumbuhan dalam proses
diferensiasi menjadi lebih cepat. Hal ini menyebabkan pertumbuhan kambium
berjalan lebih cepat, yang tampak dalam pertambahan diameter batang tumbuhan
(Agustina (1990) dalam Nirwana, 2006).
Serapan hara yang terdapat pada inokulan berupa Mg, Mn, Cl. Unsur Mg
berperan sebagai penyusun klorofil, unsur Mn berperan sebagai elemen struktural
kloroplas, sedangkan Cl berpengaruh terhadap evolusi O2 di dalam kloroplas.
Keberadaan unsur ini dapat mempercepat pembentukan daun pada tumbuhan,
jumlah daun pada tiap tumbuhan menunjukkan intensitas pertumbuhan (Setiadi
(2006) dalam Rossiana (2010).
21
Hifa eksternal pada mikoriza dapat menyerap unsur fosfat dari dalam
tanah, dan segera diubah menjadi senyawa polifosfat. Senyawa polifosfat
kemudian dipindahkan ke dalam hifa dan dipecah menjadi fosfat organik yang
dapat diserap oleh sel tumbuhan secara tidak langsung (Dewi, 2007). Penggunaan
pupuk fosfat dan inokulasi mikoriza sangat penting dalam penanaman jenis-jenis
dipterokarpa. Adanya mikoriza meningkatkan kualitas tanah, khususnya pada
unsur fosfat tersedia, total Zn dan Cu total (Suhardi dkk. 2006)
Mikoriza juga bisa memberikan kekebalan bagi tumbuhan dan pelindung
fisik yang kuat, sehingga perakaran sulit ditembus penyakit (patogen), sebab
jamur ini mampu membuat bahan antibotik untuk melawan penyakit (Hardiatmi,
2008). Ditambahkan oleh Fakuara (1994) dalam Zuliana (2008), fungi pembentuk
mikoriza mempunyai dan mengeluarkan antibiotik. Hal ini dimaksudkan untuk
mempertahankan atau melindungi diri agar mikroorganisme lain tidak dapat
berkembang. Pada gilirannya akar berstruktur mikoriza mempunyai kemampuan
mengeluarkan antibiotik tersebut sehingga tahan terhadap serangan patogen akar.
Tumbuhan yang diinokulasi dengan fungi mikoriza umumnya memiliki
sistem perakaran yang lebih luas, karena hifa fungi lebih panjang dan dapat
menyebar secara cepat di dalam tanah sehingga menjadi penting untuk
mengoptimalkan fungsi akar, fungi mikoriza telah lama mendapat perhatian
(sekitar 400 juta tahun), fungi mikoriza pada tanah mencapai panjang beberapa
mil, sehingga sangat bermanfaat untuk efisiensi penyerapan nutrisi tidak larut
(terutama unsur fosfor dan nitrogen) dan air, mengurangi resiko serangan patogen
tumbuhan yang menyerang perakaran sehingga mencapai superioritas
22
pertumbuhan dan ketahanan terhadap kondisi lingkungan yang ekstrim seperti
kekeringan (Setiadi (1992) dalam Zuliana, 2008).
Pemberian inokulan mikoriza ternyata dapat meningkatkan pertumbuhan
tanaman di persemaian bahkan setelah ditanam di lapangan. Hal ini diharapkan
bahwa dengan pemberian mikoriza bagi tumbuhan jenis Hutan Tanaman Industri,
akan dapat membantu meningkatkan keberhasilan pembangunan HTI dan
pembangunan hutan lainnya (Hardiatmi, 2008).
C. Bibit dan Persemaian
Bibit adalah tumbuhan muda dan bagiannya digunakan untuk
memperbanyak dan mengembangkan tumbuhan yang berasal dari bahan generatif
(benih) atau bahan vegetatif , seharusnya mempertimbangkan ketersediaan bibit
yang berkualitas dalam jumlah cukup dan waktu yang tepat. Untuk memperoleh
bibit yang berkualitas diperlukan kriteria-kriteria sebagai acuan pengada dan
pengedar dalam memproduksi bibit (Harijoko, dkk. 2006).
Anakan alam (wildling) sering dijadikan alternatif untuk menyediakan
bibit, apabila ketersediaannya di lapangan masih melimpah, cara ini mempunyai
kelebihan yaitu: mudahnya mendapatkan anakan dan waktu yang dibutuhkan
untuk mempersiapkan bibit lebih singkat dibandingkan dengan yang dari biji.
Kelemahan bibit dari anakan alam adalah kualitas bibit lebih rendah, terutama
dalam hal daya tahan hidup (survival) di lapangan (Wibisono dan Labueni, 2005).
Aplikasi penelitian teknik silvikultur intensif pohon penghasil tengkawang
dikaitkan dengan 3 elemen silvikultur yang mempengaruhi pertumbuhan yaitu : 1)
bagaimana memperoleh bibit unggul dari biji/buah/anakan dari pohon induk yang
23
diduga potensial; 2) manipulasi lingkungan melalui pola penanaman gap jalur dan
lingkaran dan 3) pengendalian hama penyakit terpadu (Soekotjo, 2009).
Kegiatan di persemaian merupakan kegiatan awal dari kegiatan
penanaman hutan, karena itu sangat penting dan merupakan kunci untuk
mencapai keberhasilan penanaman hutan. Penanaman benih di lapangan dapat
dilakukan secara langsung (direct planting) dan secara tidak langsung yang berarti
harus disemaikan terlebih dahulu di tempat persemaian. Penanaman secara
langsung ke lapangan biasanya dilakukan apabila biji-biji (benih) tersebut
berukuran besar dan jumlah persediaannya melimpah. Meskipun ukuran benih
besar tetapi kalau jumlahnya terbatas, maka benih tersebut seyogiyanya
disemaikan terlebih dulu. Pemindahan/penanaman bibit berupa semai dari
persemaian ke lapangan dapat dilakukan setelah semai-semai dari persemaian
tersebut sudah kuat (siap ditanam), misalnya untuk Pinus merkusii setelah tinggi
semai antara 20-30 cm atau umur semai 8 – 10 bulan (Pelupessy, L, 2007).
Faktor penting yang berpengaruh pada penyediaan bibit yang bermutu
adalah sumber bibit yang unggul dan teknik propagasi yang mapan. Kekurangan
unsur hara dan mineral pada tanaman akan menghambat pertumbuhan bibit.
Untuk memacu pertumbuhan pohon di persemaian dan di lapangan, diperlukan
pengetahuan mengenai kondisi biologi, lingkungan di sekitar perakaran beserta
interaksi bio-geokimia dalam proses penyerapan unsur hara oleh tumbuhan. Untuk
itu perlu diterapkan teknologi yang tepat agar dapat diperoleh tumbuhan yang
berkualitas, efisien biaya dan tidak merusak lingkungan (Pidjath, 2006).
24
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September hingga Desember 2011,
di rumah kaca (Green House), Balai Besar Penelitian Dipterokarpa Samarinda
Provinsi Kalimantan Timur.
B. Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain mistar, sarlon,
tali nilon, meteran, kaliper, mikroskop, timbangan digital, kamera digital.
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan
generatif (anakan alam hasil cabutan) dari pohon yang memproduksi buah
yaitu S. pinanga , tanah/ top soil, polybag ukuran (20 x 30) cm dan tanah di
bawah pohon induk sebagai media bibit.
C. Prosedur Kerja
1. Pengambilan Inokulan Alami dan Cabutan di Lapangan
a. Menyiapkan peralatan seperti: sekop kecil, kantong plastik, pisau, dan
cangkul
b. Pengambilan inokulan alami disekitar akar halus dengan menggunakan
sekop/cangkul dengan kedalaman 10 – 15 cm. Inokulan alami diambil lalu
dimasukka ke dalam kantong plastik.
c. Pada saat pengambilan cabutan, dilakukan pengukuran terhadap suhu,
kelembaban udara, dan intensitas cahaya. Hal ini dilakukan guna
mengetahui faktor- faktor mikro yang mempengaruhi pertumbuhan
inokulan (ektomikoriza).
25
2. Penyiapan bibit dan Inokulasi Mikoriza
Anakan hasil cabutan yang diambil di lapangan disemai ke dalam polybag
dengan 5 (Lima) perlakuan inokulan yaitu :
1. Media tanam tanpa inokulan (kontrol)
2. Media tanam + 5 gram inokulan
3. Media tanam + 10 gram inokulan
4. Media tanam + 15 gram inokulan
5. Media tanam + 20 gram inokulan
3. Pemeliharaan semai
Pemeliharaan dilakukan secara rutin meliputi: penyiraman, penyiangan,
pembukaan naungan/sarlon sesuai dengan kebutuhan sinar matahari bagi
pertumbuhan bibit, dan lain- lain.
4. Pengamatan dan Pengukuran
Pengamatan dan pengukuran bibit dilakukan setiap 2 minggu sekali
selama 3 bulan. Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah tinggi bibit
(cm), diameter bibit (mm), jumlah daun, dan jumlah cabang yang muncul.
a. Pengukuran tinggi bibit
Pengukuran tinggi bibit dilakukan dengan menggunakan mistar diukur
mulai dari pangkal batang sampai titik tumbuh teratas selama 3 bulan. Pengukuran
dilakukan terhadap semua unit percobaan.
26
a. Pengukuran diameter batang bibit
Pengukuran diameter batang menggunakan kaliper, pengukuran dilakukan
terhadap semua unit percobaan.
b. Pengamatan pertambahan jumlah daun
Pengamatan dilakukan terhadap semua unit percobaan
c. Pengamatan pertambahan jumlah cabang
Pengamatan dilakukan terhadap semua unit percobaan. Adapun skema
kerja pemberian dosis inokulan alami (ektomikoriza) pada semai S. pinanga
disajikan pada lampiran 1.
D. Pengolahan data
a. Rancangan Percobaan
Rancangan penelitian dengan menggunakan metode Rancangan Acak
Lengkap (RAL) dengan perlakuan media tanam sebanyak 5 perlakuan setiap
perlakuan diulang sebanyak 20 kali, sehingga total unit percobaan sebanyak 100
unit.
b. Data primer
1) Seleksi bibit terbaik dari S. pinanga di persemaian.
2) Pengukuran parameter lingkungan tempat pengambilan anakan/cabutan
(iklim mikro) tanaman (pohon induk) yaitu suhu, kelembaban dan
intensitas cahaya disajikan pada lampiran 2b. Dan karakter pohon induk
S. pinanga disajikan pada lampiran 2a.
3) Pengukuran suhu dan kelembaban di persemaian, yang dilakukan sampai
akhir penelitian disajikan pada lampiran 5e.
27
4) Lingkungan profil dan deskriptif profil tempat pengambilan cabutan/
bibit S. pinanga Labanan disajikan pada lampiran 3 dan 4.
c. Analisis Data
Untuk mengetahui pengaruh beberapa perlakuan terhadap pertambahan
tinggi, diameter, cabang baru dan jumlah daun baru dilakukan uji sidik ragam
Anova, kemudian dilakukan uji lanjut BNJ. Tabel hasil data pengukuran dan
pengamatan terhadap bibit S. pinanga yang digunakan dalam analisis ini,
disajikan pada Lampiran 8, bibit yang hidup pada setiap perlakuan masing-
masing P0 (5 ulangan), P5 (10 ulangan), P10 (16 ulangan), P15 (19 ulangan) dan
P20 (15 ulangan). Rumus uji lanjut BNJ untuk ulangan yang tidak sama adalah
sebagai berikut:
𝐵𝑁𝐽𝛼 = q(α, p, dbgalat). 1
2𝐾𝑇𝐺(
1
𝑛1+
1
𝑛2)
Keterangan:
α = taraf nyata 5%
p = jumlah perlakuan
db galat = derajat bebas galat
KTG = kuadrat tengah galat
𝑛1 = jumlah ulangan perlakuan 1
𝑛2 = jumlah ulangan perlakuan 2
28
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pertambahan Tinggi Semai S. pinanga
Berdasarkan hasil analisis varian (anova) menunjukkan, bahwa faktor
dosis inokulan alami berbeda nyata pada taraf uji 5% terhadap pertambahan
tinggi semai S. pinanga (Lampiran 5a). Uji lanjutan Uji Beda Nyata Jujur (BNJ)
yang diperoleh, disajikan pada tabel 1.
Tabel 1. Hasil Uji BNJ Terhadap Nilai Rata-Rata Pertambahan Tinggi Semai S. pinanga Setiap Perlakuan Pada Umur 3 (Tiga) Bulan.
Perlakuan Rata-rata pertambahan
tinggi (cm) Keterangan
P20 2,4 a
P0 3,3 ab
P5 3,8 abc
P10 4,4 bcd
P15 4,8 cd Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata pada taraf 5%.
Perbedaan respon rata-rata pertambahan tinggi dari kelima perlakuan
inokulan alami semai S. pinanga pada umur 3 (tiga) bulan dapat lebih jelas dilihat
pada Gambar 1.
Gambar 1. Histogram rata-rata pertambahan tinggi semai S. pinanga
berumur 3 (tiga) bulan.
0.0
1.0
2.0
3.0
4.0
5.0
Rat
a-ra
ta p
ert
amb
ahan
tin
ggi
tan
aman
(cm
)
Perlakuan
P0
P5
P10
P15
P20
29
Tabel 1 menunjukkan bahwa perlakuan P10 dan P15 berbeda tidak nyata
dengan rerata pertambahan tinggi sebesar 4,4 cm dan 4,8 cm kedua perlakuan
tersebut berbeda nyata dengan perlakuan P0, P5, dan P20 dengan rerata
pertambahan tinggi P0 (3,3 cm), P5(3,8 cm) dan P20( 2,4 cm).
Pada Gambar 1 terlihat bahwa respon pertambahan tinggi semai yang
terbaik dengan adanya pemberian inokulan alami adalah dosis 15 gram,
sedangkan pada dosis 20 gram rata-rata tinggi tanaman mulai menurun. Hal
tersebut disebabkan karena pada pemberian dosis inokulan lebih dari 15 gram
diduga dapat menurunkan serapan unsur hara yang dibutuhkan tanaman sehingga
pertumbuhan tanaman terhambat. Hal ini sesuai pendapat (Musfal, 2010) yang
menyatakan bahwa pemberian inokulan (mikoriza) lebih dari 15 gram akan
menurunkan serapan P. Penurunan serapan P pada pemberian mikoriza dosis
tinggi diduga berkaitan dengan kompetisi inokulan itu sendiri dalam menginfeksi
akar dan kemampuan akar untuk menyerap P yang ada dalam larutan tanah.
Unsur-unsur yang berguna dalam meningkatkan pertumbuhan tinggi
tanaman, seperti P, Cu, dan Zn yang terkandung dalam inokulan alami dapat
diserap dengan baik oleh tanaman dengan bantuan mikoriza (fungi) yang
diinokulasikan pada media pada dosis 15 gram, ini dibuktikan dengan adanya
kolonisasi hifa dan spora pada akar semai S. pinanga yang disajikan pada
lampiran 7a. Fungi Mikoriza menginfeksi akar tanaman kemudian memproduksi
jalinan hifa secara intensif, sehingga tanaman yang bermikoriza akan mampu
meningkatkan kapasitasnya dalam penyerapan unsur hara. Unsur-unsur hara yang
diserap tanaman yang terinfeksi fungi mikoriza adalah P dan unsur mikro seperti
30
Cu, Zn, dan B dapat ditingkatkan penyerapannya pada tanaman yang berasosiasi
dengan mikoriza (Marschner, 1992 ; David dan Nilsen, 2000) dalam Dewi (2007).
Meristem ujung menghasilkan sel-sel baru di ujung akar atau batang
mengakibatkan tumbuhan bertambah tinggi atau panjang. Tinggi tanaman
merupakan indikator pertumbuhan atau sebagai parameter yang digunakan untuk
mengukur pengaruh lingkungan atau perlakuan karena sifatnya sensitif terhadap
faktor lingkungan (Gardner dkk. (1991) dalam Suherman dkk. (2009).
Cendawan mikoriza juga menghasilkan zat pengatur tumbuh seperti
auksin, sitokinin, dan Giberelin (Setiadi, 1989). Secara fisiologi, auksin berfungsi
dalam pemanjangan sel (Prawiranata et al. 1995 dalam Widyati et al. 2002).
Hormon auksin inilah yang diduga dapat meningkatkan pertambahan tinggi
tanaman yang bermikoriza. Hanya dengan menambahkan 50 g inokulum tanah
dari bawah rizosfir jati ke media tanam ternyata mampu meningkatkan
pertumbuhan bibit jati umur 8 minggu pada lima lokasi yang berbeda seperti yang
ditunjukkan oleh inokulan cendawan mikoriza dari Matakidi, Wakuru, Raha,
Sampolawa, dan Ewa dengan nilai masing-masing 147.37%; 143.95%; 142.82%;
134.42%, dan 93,49 %. Peningkatan ini terjadi karena adanya penyerapan unsur
hara pada tanaman yang dibantu oleh cendawan mikoriza (Suraya (2002) dalam
Nova, dkk. 2006).
Salah satu dampak keberadaan cendawan mikoriza pada sistem perakaran
tanaman ialah terjadinya peningkatan serapan hara makro (N, P, K, Ca, Mg) dan
unsur mikro (Fe, Cu, Mn, Zn) (Paul dan Clark, 1989). Inokulasi isolat cendawan
mikoriza pada bibit jati dilaporkan dapat meningkatkan serapan unsur hara N
31
sebesar 35.2 kali; unsur K sebesar 60 kali; unsur Ca sebesar 38.6%; unsure Mg
sebesar 64.3 kali, Cu sebesar 574 kali, dan Zn sebesar 44 kali lipat jika
dibandingkan dengan kontrol (Suraya (2002) dalam Nova dkk. 2006).
Fosfor merupakan kunci kehidupan. Disebut kunci kehidupan karena P
mendorong pertumbuhan akar. Untuk itu, pada tanaman tingkat semai juga perlu P
dengan dosis yang sesuai untuk merangsang pertumbuhan akar. Tetapi jika
berlebihan akan menyebabkan kekerdilan/pertumbuhan terhambat. Sedangkan
untuk K, karena berperan terhadap 50 enzim penting baik langsung maupun tidak
langsung, maka pemupukan juga mestinya diberikan. Keseimbangan pemberian
dosis hendaknya seimbang, karena dikhawatirkan timbul reaksi saling mengusir
(antagonis) (Karmilasanti dan Andrean, 2011).
B. Pertumbuhan Tinggi Semai S. pinanga
Gambar 2. Grafik rata-rata pertumbuhan tinggi semai S. pinanga
30.0
32.0
34.0
36.0
38.0
40.0
42.0
44.0
0 1 2 3 4 5 6 7
Ra
ta-r
ata
Pertu
mb
uh
an
Tin
gg
i
Sem
ai (c
m)
Pengukuran
P0
P5
P10
P15
P20
32
Pada Gambar 2 menunjukkan bahwa pada kontrol (P0), P5, P10, dan
P15 pertumbuhan tinggi mulai meningkat pada pengukuran pertama sampai
keenam, sedangkan pada dosis 20 gram (P20) pertumbuhan tinggi tanaman
menurun hal ini disebabkan pada pengukuran kedua beberapa bibit mengalami
mati pucuk dan pada pengukuran ketiga mulai meningkat sampai pengukuran
keenam karna munculnya cabang baru.
C. Pertambahan Diameter Batang Semai S. pinanga
Hasil analisis varian diperoleh menunjukkan faktor perlakuan inokulan
alami tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% terhadap pertambahan diameter
batang semai S. pinanga (Lampiran 5b). Hal ini menunjukkan bahwa masing-
masing perlakuan memberikan pengaruh yang tidak nyata terhadap pertambahan
diameter tanaman. Oleh karena itu uji perlakuan dosis inokulan alami dengan
menggunakan Uji BNJ pada diameter batang ini tidak perlu dilanjutkan lagi.
Perbedaan respon rata-rata pertambahan diameter dari kelima perlakuan
inokulan alami semai S. pinanga pada umur 3 (tiga) bulan dapat lebih jelas dilihat
pada Gambar 3.
Gambar 3. Histogram rata-rata pertambahan diameter batang S. pinanga
berumur 3 (tiga) bulan pada perlakuan inokulan alami.
0.00
0.10
0.20
0.30
0.40
0.50
0.60
0.70
Rat
a-ra
ta p
ert
amb
ahan
d
iam
ete
r b
atan
g (m
m)
Perlakuan
P0
P5
P10
P15
P20
33
Pada gambar 3 terlihat bahwa respon rata-rata pertambahan diameter
relatif sama dari kelima perlakuan, sedangkan rata-rata pertambahan diameter
terbaik pada dosis 15 gram, hal ini diduga pada dosis 15 gram unsur hara yang
diserap dengan bantuan fungi mikoriza pada inokulan alami mencukupi sehingga
mempercepat pertumbuhan kambium. Hal ini sesuai pendapat (Agustina (1990)
dalam Nirwana, 2006) yang menyatakan bahwa, fungi mikoriza (inokulan alami)
juga meningkatkan penyerapan berbagai unsur hara yang cukup untuk digunakan
sebagai penyusun karbohidrat dalam proses fotosintesis. Karbohidrat yang
dihasilkan dalam fotosintesis dalam jumlah yang cukup, menyebabkan aktivitas
pembelahan dan penebalan sel-sel jaringan tanaman dalam proses diferensiasi
menjadi lebih cepat sehingga pertumbuhan kambium berjalan lebih cepat, yang
tampak dalam pertambahan diameter batang tanaman.
D. Pertumbuhan Diameter Semai S. pinanga
Gambar 4. Grafik rata-rata pertumbuhan diameter semai S. Pinanga.
3.00
3.20
3.40
3.60
3.80
4.00
4.20
4.40
0 1 2 3 4 5 6 7
Ra
ta-r
ata
Pertu
mb
uh
an
Dia
mete
r
Sem
ai(
mm
)
Pengukuran
P0
P5
P1
0P1
5
34
Pada Gambar 4 menunjukkan bahwa pada kontrol (P0), P5, P10, P15, dan
P20 rata-rata pertumbuhan diameter mengalami peningkatan pada pengukuran
pertama sampai pengukuran keenam, pertumbuhan diameter pada pengukuran
kedua pada perlakuan P15 dan P20 sama, sedangkan pertumbuhan diameter
tertinggi pada pengukuran keenam yaitu perlakuan P15.
E. Pertambahan Jumlah Daun Semai S. pinanga
Berdasarkan hasil analisis varian yang diperoleh, faktor perlakuan
inokulan alami tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% terhadap pertambahan
jumlah daun semai S. pinanga (Lampiran 5c), Hal ini menunjukkan bahwa
masing-masing perlakuan memberikan pengaruh yang tidak nyata terhadap
pertambahan jumlah daun. Oleh karena itu uji perlakuan dosis inokulan alami
dengan menggunakan Uji BNJ tidak perlu dilanjutkan lagi.
Perbedaan rata-rata pertambahan jumlah daun baru dari kelima perlakuan
inokulan alami semai S. pinanga pada umur 3 (tiga) bulan dapat lebih jelas dilihat
pada Gambar 5.
Gambar 5. Histogram rata-rata pertambahan jumlah daun semai S. pinanga berumur 3 (tiga) bulan pada perlakuan inokulan alami.
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
3.5
Ra
ta-r
ata
perta
mb
ah
an
ju
mla
h
da
un
(h
ela
i)
Perlakuan
P0
P5
P10
P15
P20
35
Pada Gambar 5 terlihat bahwa jumlah daun pada perlakuan 15 gram
nyata lebih tinggi dibandingkan 20 gram, hal ini diduga pada dosis tinggi (20
gram) dapat menurunkan penyerapan unsur hara pembentuk daun khususnya
nitrogen, yang mengakibatkan pembentukan daun terhambat. Sehingga pemberian
inokulan alami 15 gram dianggap dosis standar yang dapat berpengaruh terhadap
pertumbuhan daun secara maksimal.
Karmilasanti dan Andrean, (2011) menjelaskan bahwa pada kondisi di
persemaian bibit jenis S. macrophylla terjadi penurunan jumlah daun diduga
karena adanya daun yang tidak mendapatkan nitrogen larut dari daun tua. Ini
sesuai dengan pendapat Salisbury F (1992) bahwa daun gugur yang ditandai
warna kuning atau kuning kecoklatan, daun muda tetap hijau lebih lama karena
mendapat nitrogen larut dari daun tua.
Fungi mikoriza yang terdapat pada inokulan alami tersebut mampu
meningkatkan serapan hara berupa Mg, Mn, Cl. Unsur Mg berperan sebagai
penyusun klorofil, unsur Mn berperan sebagai elemen struktural kloroplas,
sedangkan Cl berpengaruh terhadap evolusi O2 di dalam kloroplas. Keberadaan
unsur ini dapat mempercepat pembentukan daun pada tanaman, jumlah daun pada
tiap tanaman menunjukkan intensitas pertumbuhan (Setiadi (2006) dalam
Rossiana (2010).
36
Jenis Legum dengan bintil akar (mikoriza) mempunyai kemampuan
penyerapan N lebih tinggi dibandingkan jenis lainnya. Over dosis dengan
pemberian mikoriza akan mengakibatkan tanaman mudah rebah karena sistem
perakaran yang sempit. Sementara jika pemberiannya di bawah optimal akan
menyebabkan naiknya asimilasi amonia dan kadar protein dalam daun, serta
pertumbuhan akan terhambat (Rosmakam dan Yuwono (2002) dalam
Karmilasanti dan Andrean, 2011).
F. Jumlah Daun Semai S. pinanga
Gambar 6. Grafik rata-rata jumlah daun semai S.pinanga
Pada Gambar 6 menunjukkan bahwa semua perlakuan rata-rata jumlah
daun mulai meningkat pada pengukuran pertama sampai kedua, pada pengukuran
keempat rata-rata jumlah daun mulai menurun yaitu pada dosis P0, P10, dan P20
hal ini disebabkan karena daun mulai berwarna kuning dan gugur sedangkan pada
pada pengukuran kelima mulai meningkat kembali karna munculnya daun baru
yang diduga karna terjadi penyerapan unsur hara pembentuk daun yang cukup
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
3.5
4.0
0 1 2 3 4 5 6 7
Ra
ta-r
ata
Ju
mla
h D
au
n
Pengukuran
P0
P5
P10
P15
P20
37
oleh mikoriza dan pada pengukuran kelima sungkup bibit sudah mulai dibuka
sehingga mendapatkan cahaya yang cukup untuk pembentukan daun baru.
Pengukuran keempat pada perlakuan P5 jumlah daun hanya sedikit mengalami
peningkatan sampai pengukuran keenam.
G. Pertambahan Jumlah Cabang Semai S. pinanga
Berdasarkan hasil analisis varian yang diperoleh, faktor perlakuan dosis
inokulan alami berbeda nyata pada taraf uji 5% terhadap jumlah cabang semai
Shorea pinanga (Lampiran 5d), selanjutnya dilakukan uji BNJ terhadap perlakuan
yang berbeda nyata disajikan pada tabel 3.
Tabel 2. Hasil Uji BNJ Rata-Rata pertambahan jumlah cabang semai S. pinanga
berumur 3 (Tiga) Bulan Faktor Perlakuan dosis inokulan alami.
Perlakuan Rata-rata pertambahan
jumlah cabang Keterangan
P0 0,20 a
P5 0,30 ab
P10 0,81 bc
P20 1,05 bcd
P15 1,20 cd Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata pada taraf 5%.
Tabel 2 menunjukkan inokulasi perlakuan P15 dan P20 berbeda tidak
nyata dan berbeda nyata terhadap perlakuan tanpa mikoriza, P5 dan P10 (Tabel 3).
Rata-rata jumlah cabang semai S. pinanga yang diinokulasi dosis 15 gram dan 20
gram adalah 1,05 dan 1,20 , nilai ini lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan
dosis 5 gram (0,30), perlakuan 10 (0,81), dan tanpa mikoriza (0,20).
38
Perbedaan rata-rata pertambahan jumlah cabang baru pada perlakuan dosis
inokulan alami semai S. pinanga pada umur 3 (tiga) bulan dapat lebih jelas dilihat
pada Gambar 7 .
Gambar 7. Histogram rata-rata pertambahan jumlah cabang semai S. pinanga berumur 3 (tiga) bulan pada perlakuan inokulan alami
Pada gambar 7 terlihat bahwa pengaruh inokulan alami terhadap rata-rata
pertambahan cabang baru semakin meningkat dengan bertambahnya dosis
inokulan dari P0 sampai P20, namun pertambahan cabang yang paling banyak
terdapat pada dosis 20 gram, sehingga proses pembentukan cabang dianggap
membutuhkan unsur-unsur hara dengan kadar atau dosis inokulan tertentu.
Hal ini sesuai dengan penelitian Karmilasanti dan Andrean (2011), yang
menyatakan bahwa pengaruh perlakuan inokulan alami terhadap pembentukan
cabang baru pada tengkawang jenis S. macrophylla memberi hasil signifikan pada
dosis tertentu yaitu dosis 15 gram.
0.00
0.20
0.40
0.60
0.80
1.00
1.20
Ra
ta-r
ata
perta
mb
ah
an
ju
mla
h
ca
ba
ng
Perlakuan
P0
P5
P10
P15
P20
39
H. Jumlah Cabang Semai S. pinanga
Gambar 8. Grafik rata-rata jumlah cabang semai S. Pinanga
Pada Gambar 8 menunjukkan bahwa rata-rata jumlah cabang pada semua
perlakuan mulai meningkat pada pengukuran pertama sampai kedua. jumlah
cabang perlakuan P0 pada pengukuran kedua sampai pengukuran keenam tidak
mengalami peningkatan, sedangkan P5 tidak mengalami peningkatan pada
pengukuran ketiga dan keempat. Rata-rata jumlah cabang pada P10, P15, dan P20
mulai menurun pada pengukuran keempat hal ini disebabkan karna cabang jatuh
dan kering, namun pada pengukuran kelima mulai meningkat kembali. ini diduga
karna kelembaban dipersemain cukup kondusif terhadap pembentukan cabang
baru. Hal ini sesuai hasil penelitian Karmilasanti dan Andrea (2011) yang
menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi pembentukan cabang
adalah kelembaban yang menunjukan hasil berbeda nyata atau signifikan pada
jenis S.macrophylla.
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
1.2
1.4
0 1 2 3 4 5 6 7
Ra
ta-r
ata
Ju
mla
h C
ab
an
g
Pengukuran
P0
P5
P10
P15
P20
40
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan
bahwa:
1. Perlakuan dosis inokulan alami (ektomikoriza) memberikan pengaruh nyata
terhadap pertambahan tinggi, dan jumlah cabang semai S. pinanga.
2. Perlakuan yang paling efektif dalam meningkatkan pertambahan tinggi,
diameter, dan jumlah daun semai S. pinanga adalah pada dosis 15 gram.
3. Perlakuan yang paling efektif dalam meningkatkan pertambahan jumlah
cabang pada semai S. pinanga adalah pada dosis 20 gram.
B. Saran
1. Untuk penanaman S. pinanga di lapangan sebaiknya menggunakan
ektomikoriza
2. Sebaiknya dilakukan penelitian lanjutan di lapangan untuk mengetahui respon
pertumbuhan bibit S. pinanga yang diberikan perlakuan inokulan alami selama
6 bulan dengan metode inokulasi yang berbeda
41
DAFTAR PUSTAKA
Al Rasyid H, Marfuah, Wijayakusumah H, Hendarsyah D. 1991. Vedemikum dipterocarpaceae. Jakarta. Badang Litbang Kehutanan.
Anggraeni, I. M.D. Wiharta dan Masano. 1995. Tengkawang Dalam Pohon kehidupan. Bogor. Yayasan Prosea Indonesia.
Irwanto. 2011. Kajian terhadap jenis, kegunaan dan konservasi tumbuhan tengkawang dari perspekti sosial budaya masyarakat di Provinsi
kalimantan barat. http://www. Makalah UTS.html. (16 juni 2011)
Wikipidia. 2011. Klasifikasi tengkawang . http://www.plantamor.com. html. (24
agustus 2011)
Darwo dan Sugiarti. 2008. Pengaruh dosis serbuk spora cendawan Scleroderma citrinium person dan komposisi media terhadap pertumbuhan tusam di persemaian. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol V No.5.
Dewi,R.I. 2007. Peran Prospek dan Kendala dalam Pemanfaatan Endomikoriza.
Bandung. Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran Jatinangor.
Hardiatmi, S. 2008. Pemanfaatan Jasad Renik Mikoriza untuk Memacu
Pertumbuhan Tanaman Hutan. Jurnal Inovasi Pertanian Vol 7, No 1.
Harijoko, Sumarjo, Iman Budiman, Eman Suherman, dan Tocin. 2006. Booklet
Teknik Produksi Bibit Bermikoriza. Sumedang. Balai Perbenihan Tanaman Hutan Jawa dan Madura.
Karmilasanti dan Andrean, F. 2011. Silvikultur intensif jenis Dipterokarpa. Laporan hasil penelitian. Samarinda. Balai Besar Penelitian Dipterokarpa.
Maulidesta, N. 2005. Efek Pemberian Mikoriza dan Pembenah Tanah Terhadap Produksi Leguminosa Pada Media Tailing Liat dari Pasca Penambangan
Timah. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan.Fakutas Peternakan. IPB.
Musfal, 2010. Potensi cendawan mikoriza arbuskula untuk meningkatkan hasil tanaman jagung. Jurnal Litbang Pertanian 29(4).
Nirwana, 2006. Aplikasi Mikoriza Vesikular Arbuskular (MVA) terhadap Pertumbuhan Semai Bitti Vitex cofassus Reinw. Makassar. Universitas
Hasanuddin.
Nova H, Mansur I, dan Wilarso S. 2006. Pemanfaatan tanah dari bawah tegakan
jati muna di Sulawesi Tenggara sebagai sumber inokulan cendawan mikoriza. Jurnal Pascasarjana. Vol 29 No1.
42
Omon, M. 2008. Pengaruh dosis tablet mikoriza terhadap pertumbuhan dua jenis
meranti merah asal benih dan stek di HPH PT. ITCIKU, Balikpapan, Kalimantan Timur. Jurnal Info Hutan Vol V No.4.
Pelupessy . 2007. Teknik persemaian. Maluku. Fakultas Pertanian Universitas Pattimura.
Pidjath, C. 2006. Kualitas bibit Acacia crassicarpa A. Cunn.ex. Bnth hasil sinergi bio – organik dengan cendawan mikoriza arbuskula di ulrisol. Tesis Pasca
Sarjana. Bogor. IPB.
Riniarti, M. 2002. Perkembangan kolonisasi ektomikoriza dan pertumbuhan semai
dipterocarpaceae dengan pemberian asam oksalat dan asam humat serta inokulasi ektomikoriza. Tesis Pasca Sarjana. IPB.
Rossiana, N., 2010. Penurunan kandungan logam berat dan pertumbuhan
tanaman sengon Paraserianthes falcataria L (Nielsen). Bandung.
Universitas Padjadjaran.
Siddiqui, Z. A. dan Pichtel, J. 2008. Mycorrhizae sustainable agriculture and forestry. Jepang. Springer Tokyo.
Smith dan Read. 2008. Mycorrhizal symbiosis. New york. Academic Press is an imprint of Elsevier.
Soekotjo. 2009. Teknik silvikultur intensif (SILIN). Yogyakarta. Gadjah Mada University Press.
Soeprijadi D, Sukirno DP, Adriyanti D, Adriana, Nurjanto H, dan Indrioko S.
2008. Butir-butir harapan dari meranti. Jakarta. Direktorat Bina Pengembangan Hutan Alam, Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan, Departeme Kehutanan.
Suhardi, Faridah E, Iskandar E, Rahayu S. 2006. Mycorrihizal formation and
growth of shorea leprosula in bukit suharto after using charcoal and rockphosphate. Plantation Technology in Tropical Forest Science. Springer-Verlag, Tokyo Jepang.
Suharisno. 2009. Grand strategy pengembangan hasil hutan bukan kayu nasional. Jakarta. Ditjen RLPS.
Suherman, C. Nuraini A, dan Rosniawati S. 2009. Pemanfaatan Cendawan
Mikoriza Arbuskular (CMA) Serta Media Campuran Subsoil dan Kompos
pada Pembibitan Kelapa Sawit (Elaeis guieensis) Kultivar Sungai Pancur 2
(SP2).http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2009/10/pemanfaatan_
cendawan_mikroriza_arbuskular_serta_media_campuran_subsoil.pdf.html
(9 Januari 2011).
43
Sumarhani. 2007. Pemanfaatan dan konservasi jenis meranti merah penghasil biji
tengkawang (Shorea stenoptera dan Shorea pinanga). Jurnal Info Hutan Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam Vol.IV No.2
Wahyudi. 1999. Teknik inokulasi mikoriza untuk memacu pertumbuhan semai meranti merah (Shorea leprosul Miq) di persemaian yang berdekatan
dengan hutan alam dipterocarpaceae PT. Gunung Meranti. Banjarmasin. Buletin Kehutanan No 40/1999.
Wahyudi dan Panjaitan S. 2009. Pengaruh aplikasi ektomikoriza terhadap pertumbuhan semai tengkawang (Shorea stenoptera burk) di persemaian. http://www.bsn.or.id/files/348256349/Litbang/2009.pdf.(3 september
2011).
Wibisono, C. T. I. Dan Labueni,S. 2005. Panduan rehabilitasi dan teknik silvikultur di lahan gambut. Bogor.Wetlands International.
Zuliana. 2008. Studi keberadaan ektomikoriza di bawah tegakan Shorea spp di kawasan bukit siling bangai hutan lindung gunung belungai Desa Lumut
Kecamatan Toba Kabupaten Sanggau. Skripsi. Pontianak. Fakultas Kehutanan Universitas Tanjung Pura.
44
LAMPIRAN
45
Penyediaan Bibit (Anakan)
Penularan Secara Alami
Pembuatan lubang inokulan pada
polybag
Penanaman Bibit (Anakan)
Pemeliharaan di Persemaian
Pengamatan dan Pengukuran
Analisis Data
Pembahasan
Kesimpulan
Inokulasi inokulan alami
(mikoriza)
LAMPIRAN
Lampiran 1 : Skema kerja Inokulan Alami terhadap semai S. pinanga
46
Lampiran 2
a. Karakter Pohon Induk
Jenis Lokasi Diameter
pohon (cm)
Tbc
(m)
Diameter
tajuk (m)
Kelas
kelerengan
Shorea
Pinanga
Plot strek
KHDTK Labanan
103,1 23,5 19,7 8 – 15%
b. Iklim Mikro Tempat Pengambilan Cabutan/Anakan
Shorea pinanga labanan
Suhu (0C) 24.0
Kelembaban udara
(%) 82.5
Intensitas cahaya (lux)
235.5
c. Hasil analisis mikrobiologi kandungan mikroba
Kode sampel
Sumber sampel
Kandungan bakteri (jumlah koloni/CFU tiap gram sampel) rerata dari 3 ulangan
Fungi Bakteri penambat
nitrogen/Rhizobium
Bakteri pelarut
fosfat
SP Shorea pinanga Labanan
1,10 x 106 5,50 x 105 8,00 x 105
47
Lampiran 3. Lingkungan profil jenis Shorea Pinanga Labanan
1 Lokasi profil Plot strek (P3S1)
2 Bentuk bentang lahan Berbukit
3 Topografi sekitar Cukup curam
4 Kelas lereng < 30%
5 Panjang lereng ±120 meter
6 Vegetasi sekitar Hutan sekunder tua
7 Penggunaan lahan Hutan penelitian
8 Posisi profil Lereng bawah
9 Kedalaman tanah efektif 100 cm
10 Drainase permukaan Lancar (baik)
11 Kondisi kelembaban tanah Lembab
12 Kedalaman air tanah >100 cm
13 Batuan permukaan Tidak ada
14 Erosi Rendah
15 Banjir Tidak ada
16 Pengaruh manusia Ada (berburu)
48
Lampiran 4. Deskripsi profil jenis Shorea pinanga Labanan :
1 Horison O dan A
2 Kedalaman/ketebalan (cm) O: 1,2 cm A:45cm
3 Batasan
Kejelasan horison O dan A: jelas
Topografi horison O dan A :
bergelombang
4 Kelas tekstur O : -
A : Agak kasar (lempung berpasir)
5 Struktur tingkat kemantapan O dan A : butir tunggal, tidak beragregat,
dan tidak berkohesi
6 Tipe struktur
O dan A : kersai/butiran berbentuk seperti
bola relatif non porous
7 Ukuran diameter struktur O dan A : besar (5-10 mm)
8 Konsistensi O dan A : Gembur
9 Perakaran
O : 1,0 – 5,0 per satuan luas
A : > 5,0 persatuan luas
10 Jumlah pori-pori O dan A : sedang
11 Diameter pori O dan A : halus,1-2 mm
12 Batuan induk Tidak ada
49
Lampiran 5
a. Tabel Analisis Varian Tinggi Semai Shorea pinanga
Sumber keragaman
db JK KT F hitung F tabel 5%
Perlakuan 4 54,885 13,721 5,99*
2,53
Galat 60 137,355 2,289
Total 64 192,24
Keterangan :*= Berbeda nyata pada taraf uji 5%. b. Tabel Analisis Varian Diameter Batang Semai Shorea pinanga
Sumber keragaman
db JK KT F hitung F tabel 5%
Perlakuan 4 0,164 0,041 0,57𝑡𝑛 2,53
Galat 60 4,331 0,072
Total 64 4,495
Keterangan: 𝑡𝑛 = tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%.
c. Tabel Analisis Varian Jumlah Daun Semai Shorea pinanga
Sumber
keragaman
db JK KT F hitung F tabel
5%
Perlakuan 4 499,78 5,807 2,35𝑡𝑛 2,53
Galat 60 148,22 2,470
Total 64 171,45
Keterangan : tn = tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%.
d. Tabel Analisis Varian Jumlah Cabang Semai Shorea pinanga
Sumber keragaman
db JK KT F hitung F tabel 5%
Perlakuan 4 7,777 1,944 2,73∗ 2,53
Galat 60 42,685 0,711
Total 64 50,462
Keterangan: * = Berbeda nyata pada taraf uji 5%.
e. Rata-rata suhu dan kelembaban di persemaian selama 3 bulan yang diukur per
2 hari
Suhu (C°) 30,5
Kelembaban(%) 92,4
50
Lampiran 6. Dokumentasi
Pengukuran diameter pada pohon induk dan pencabutan bibit
Pengambilan inokulan alami (ektomikoriza) di bawah pohon induk dan
pemeriksaan hifa pada cabutan Shorea pinanga
51
. Packing Cabutan Shorea pinanga
d. Daun baru semai Shorea pinanga
52
Pembuatan lubang inokulan Sungkup semai Shorea pinanga
Pengukuran pertambahan diameter dan pertambahan tinggi semai Shorea pinanga
53
Lampiran 7. Kolonisasi inokulan alami
a. Ektomikoriza pada semai Shorea pinanga
A. Akar yang terinfeksi hifa (perbesaran 270x)
B. Akar yang terinfeksi spora (perbesaran 205x)
C. Kolonisasi hifa pada akar tanaman Shorea pinanga perbesaran 270x
A B
Hifa
Spora
54
b. Sampel fungi Shorea pinanga pada analisis mikrobiologi
c. Gambar mikroskopik koloni fungi dari sampel SPL perbesaran 100x
55