pengaruh kecerdasan emosional dan ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/10216/2/t1...i abstrak...

43
PENGARUH KECERDASAN EMOSIONAL DAN PSYCHOLOGICAL WELL BEING TERHADAP PERILAKU AGRESIF PADA ANAK JALANAN SALATIGA OLEH RONA CHANDRA PERMANA 802014704 TUGAS AKHIR Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi. Program Studi Psikologi FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2016

Upload: dangthuan

Post on 11-Mar-2019

239 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

PENGARUH KECERDASAN EMOSIONAL DAN PSYCHOLOGICAL

WELL BEING TERHADAP PERILAKU AGRESIF

PADA ANAK JALANAN SALATIGA

OLEH

RONA CHANDRA PERMANA

802014704

TUGAS AKHIR

Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan

Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi.

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

2016

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN

AKADEMIS

Sebagai citivas akademika Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), saya yang bertanda

tangan di bawah ini:

Nama : Rona Chandra Permana

Nim : 802014704

Program Studi : Psikologi

Fakultas : Psikologi, Universitas Kristen Satya Wacana

Jenis Karya : Tugas Akhir

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada UKSW hal

bebas royalti non-eksklusif (non-exclusive royality freeright) atas karya ilmiah saya berjudul:

PENGARUH KECERDASAN EMOSIONAL DAN PSYCHOLOGICAL WELL BEING

TERHADAP PERILAKU AGRESIF PADA ANAK JALANAN SALATIGA

Dengan hak bebas royalty non-eksklusif ini, UKSW berhak menyimpan, mengalih media atau

mengalih formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data, merawat dan

mempublikasikan tugas akhir, selama tetap mencantumkan nama saya sebagai

penulis/pencipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Salatiga

Pada Tanggal : 22 Agustus 2016

Yang menyatakan,

Rona Chandra Permana

Mengetahui,

Pembimbing

Dr. Chr. Hari Soetjiningsih, MS.

PERNYATAAN KEASLIAN TUGAS AKHIR

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Rona Chandra Permana

Nim : 802014704

Program Studi : Psikologi

Fakultas : Psikologi, Universitas Kristen Satya Wacana

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tugas akhir, judul:

PENGARUH KECERDASAN EMOSIONAL DAN PSYCHOLOGICAL WELL BEING

TERHADAP PERILAKU AGRESIF PADA ANAK JALANAN SALATIGA

Yang dibimbing oleh:

Dr. Chr. Hari Soetjiningsih, MS.

Adalah benar-benar hasil karya saya.

Di dalam laporan tugas akhir ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan atau

gagasan orang lain yang saya ambil dengan cara menyalin atau meniru dalam bentuk

rangkaian kalimat atau gambar serta simbol yang saya akui seolah-olah sebagai karya saya

sendiri tanpa memberikan pengakuan pada penulis atau sumber aslinya.

Salatiga, 22 Agustus 2016

Yang memberi pernyataan,

Rona Chandra Permana

LEMBAR PENGESAHAN

PENGARUH KECERDASAN EMOSIONAL DAN PSYCHOLOGICAL

WELL BEING TERHADAP PERILAKU AGRESIF

PADA ANAK JALANAN SALATIGA

Oleh

Rona Chandra Permana

802014704

TUGAS AKHIR

Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan

Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

Disetujui pada tanggal 30 Agustus 2016

Oleh:

Pembimbing,

Dr. Chr. Hari Soetjiningsih, MS.

Diketahui Oleh,

Kaprogdi

Dr. Chr. Hari Soetjiningsih, MS.

Disahkan Oleh,

Dekan

Prof. Dr. Sutarto Wijono, MA.

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

2016

PENGARUH KECERDASAN EMOSIONAL DAN PSYCHOLOGICAL

WELL BEING TERHADAP PERILAKU AGRESIF

PADA ANAK JALANAN SALATIGA

Rona Chandra Permana

Chr. Hari Soetjiningsih

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

2016

i

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kecerdasan emosi dan psychological well

being terhadap perilaku agresif anak jalanan di Kota Salatiga. Populasi dan sampel dalam

penelitian ini adalah 35 orang anak jalanan di Kota Salatiga. Instrumen yang digunakan

dalam penelitian ini adalah kuesioner. Alat analisis data untuk menjawab kebenaran hipotesis

penelitian adalah regresi linier berganda pada tingkat kesalahan 5%. Hasil penelitian ini

menggunakan uji regresi linear berganda yang menghasilkan temuan bahwa nilai F sebesar

10,103 dengan signifikansi sebesar 0,000 (P<0,05) yang berarti dapat dikatakan bahwa

terdapat pengaruh signifikan secara simultan antara kecerdasan emosi dan psychological well

being terhadap perilaku agresi. Selain itu, hasil analisis koefisien determinasi diketahui

bahwa nilai ( = 0,387 menunjukkan bahwa variabel kecerdasan emosi dan psychological

well being memberikan pengaruh terhadap perilaku agresi sebesar 38,7%.

Kata Kunci : Kecerdasan emosi, Psychological well being, Perilaku agresif anak

jalanan

ii

Abstrack

This study aims to determine the effect of emotional intelligence and psychological well being

of the aggressive behavior of street children in Salatiga. Population and sample in this study

were 35 street children in Salatiga. The instrument used in this study was a questionnaire.

Data analysis tools to answer research hypothesis truth is multiple linear regression on the

error rate of 5%. The results of this study using multiple linear regression test which resulted

in the finding that the F value of 10.103 with a significance of 0.000 (P <0.05), which means

it can be said that there is significant influence simultaneously between emotional

intelligence and psychological well being to aggressive behavior. In addition, the results of

the analysis coefficient of determination is known that the value (= 0.387 showed that the

variables of emotional intelligence and psychological well being giving effect to the

aggressive behavior of 38.7%.

Keywords : Emotional Intelligence, Psychological well being, aggressive behavior of

street children

1

PENDAHULUAN

Perubahan dan perkembangan yang dialami oleh manusia tidak terlepas dari

pemenuhan tugas-tugas perkembangan yang harus dipenuhi oleh individu. Dalam proses

pemenuhan tugas-tugas perkembangan inilah tak jarang individu menghadapi banyak sekali

tantangan dan hambatan, serta tidak sedikit pula individu yang mengalami kemunduran

dalam tahapan perkembangan seperti menunda tanggung jawab kedewasaan, berpindah-

pindah pekerjaan tanpa sasaran yang jelas, maupun berganti dari satu ideologi ke ideologi

lainnya (Feist & Feist, 2010). Tantangan dan hambatan ini sering munculnya khususnya pada

masa transisi dari remaja akhir ke dewasa awal. Santrock (2002) menjelaskan bahwa individu

yang berada pada tahap perkembangan dewasa awal akan memasuki masa transisi, baik

transisi secara fisik, intelektual, maupun transisi dalam peran sosial. Berbagai masalah juga

muncul pada masa transisi ini karena individu beralih dari ketergantungan menuju

kemandirian baik dari segi ekonomi, peran sosial, maupun arahan tentang masa depan yang

lebih realistis.

Beberapa persoalan yang sering muncul pada individu dewasa awal dapat

menghambat pemenuhan kebutuhan pada dewasa awal seperti membentuk keluarga, meniti

karir atau melanjutkan pendidikan, dan bergabung di kelompok sosial yang sejalan dengan

nilai-nilai yang dianutnya (Havighrust dalam Lemme, 1995). Apabila individu gagal dalam

pemenuhan kebutuhan tersebut maka individu akan cenderung memisahkan diri dari

lingkungan sosialnya dan bergabung dengan kelompok sosial yang senasib dengannya atau

sejalan dengan nilai-nilai yang dianutnya. Salah satu fenomena yang muncul terkait dengan

kegagalan pemenuhan tugas perkembangan adalah munculnya anak-anak jalanan. Fenomena

anak jalanan merupakan sebuah tantangan yang dihadapi oleh negara – negara berkembang

saat ini termasuk Indonesia. Fenomena merebaknya anak jalanan di Indonesia merupakan

persoalan sosial yang kompleks. Hidup menjadi anak jalanan memang bukan merupakan

2

pilihan yang menyenangkan, karena mereka berada dalam kondisi yang tidak bermasa depan

jelas, dan keberadaan mereka tidak jarang menjadi “masalah” bagi banyak pihak, keluarga,

masyarakat dan negara. Namun, perhatian terhadap nasib anak jalanan tampaknya belum

begitu besar dan solutif.

Banyak anak jalanan usia dewasa awal mengalami berbagai macam kondisi tertekan

yang mengharuskan mereka memilih untuk melakukan segala sesuatu secara agresif sebagai

bentuk pertahanan diri akan kerasnya hidup dijalanan. Menurut hasil penelitian di 12 kota

besar yang dilakukan Kementerian Pemberdayaan Perempuan, jumlah anak jalanan tahun

2003 sebanyak 147.000 orang. Dari data tersebut terungkap, sebanyak 60% putus sekolah,

40% masih sekolah. Sedangkan sebanyak 18% adalah anak jalanan perempuan yang berisiko

tinggi terhadap kekerasan seksual. Jumlah yang besar tersebut memiliki alasan yang berbeda-

beda setiap individu maupun kelompoknya, namun masalah ekonomi tetap menjadi alasan

utama mengapa mereka menjadi anak jalanan. Berdasarkan survei yang dilakukan

Kementerian Pemberdayaan Perempuan tersebut, alasan anak bekerja di jalan karena

membantu pekerjaan orangtua sebanyak 71%, dipaksa membantu orangtua 6%, menambah

biaya sekolah 15%. Sedangkan alasan ingin hidup bebas, mendapat uang jajan, mendapat

banyak teman, dan sebagainya sebanyak 33%.

Tindakan kriminal yang dilakukan anak jalanan secara kuantitas tampaknya

meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya dengan bentuk yang lebih berani. Sebagai

contoh, bila sebelumnya mereka hanya melakukan pemerasan sesama anak jalanan, kini

mereka sudah berani melakukan pemerasan, penodongan dan pencopetan ke masyarakat.

Mengamati pemberitaan media massa, sejak tahun 2000 kerap kali diberitakan adanya anak

jalanan yang ditangkap akibat melakukan tindakan kriminal.

Hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan beberapa anak jalanan di Kota

Salatiga menunjukkan, bahwa perilaku agresif yang mereka lakukan salah satunya didasari

3

adanya pengalaman-pengalaman tidak menyenangkan yang pernah dirasakan oleh individu.

Bahkan sempat dituturkan bahwa dalam usia labil ini membuat mereka kesulitan dalam

mengontrol emosi, bukan hanya itu saja tapi juga menyangkut masalah pemaknaan para anak

jalanan ini tentang tujuan hidup. Menjadi orang dewasa dimaknai sebagai suatu kebebasan

dalam memilih apapun yang diinginkan dan ketika pilihan tersebut tidak diperbolehkan

seakan mendapat larangan, secara tidak langsung akan membangkitkan amarah remaja yang

sedang menggelora. Ujung dari permasalahan seperti ini biasanya akan berakhir pada

perilaku agresif.

Pengelolaan emosi memang merupakan sebuah aspek penting yang harus benar-

benar ditanamkan sedini mungkin. Pergaulan sekarang lebih banyak mengalami masalah-

masalah emosional yang cukup berat. Banyak orang dewasa yang tumbuh dalam kesepian,

depresi, berada di bawah tekanan, lebih mudah marah dan sulit diatur yang akhirnya

berpengaruh terhadap seluruh kehidupannya. Hal tersebut banyak dipengaruhi oleh

lingkungan sekitar dan teman-teman dalam pergaulannya. Melihat dari hal tersebut, maka

sudah seharusnya remaja memahami dan memiliki kecerdasan emosional untuk menyaring

hal-hal negatif yang muncul dari pergaulan lingkungan sekitar dan teknologi yang sekarang

muncul dengan pesat. Secara tidak langsung, kecerdasan emosinal diperlukan untuk

memecahkan masalah yang timbul.

Menurut Goleman (2002), kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang

mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our emotional life with

intelligence), menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of

emotion and its expression) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi

diri, empati dan keterampilan sosial. Beberapa hasil penelitian di University of Vermont

mengenai analisis struktur neurologis otak manusia dan penelitian perilaku oleh LeDoux

(1970) menunjukkan bahwa dalam peristiwa penting kehidupan seseorang, EQ selalu

4

mendahului intelegensi rasional. EQ yang baik dapat menentukan keberhasilan individu

dalam prestasi belajar membangun kesuksesan karir, mengembangkan hubungan suami-istri

yang harmonis dan dapat mengurangi agresifitas, khususnya dalam kalangan remaja

(Goleman, 2002).

Penelitian-penelitian tersebut di atas setidaknya didukung oleh hasil penelitian yang

dilakukan oleh Fithri (2006), Yunias (2009) Fefriasari (2010), Dewi (2012), Kurniasari

(2014), dan Arini (2016) yang secara serentak sepakat mengemukan bahwa terdapat

hubungan negatif antara kecerdasan emosi dengan perilaku agresif. Meskipun begitu,

terdapat juga penelitian yang menjadi kontras, penelitian yang dilakukan penelitian yang

dilakukan Wulandari (2010) terhadap 100 siswa SMK Muhamadiyah Jogjakarta yang

menunjukkan bahwa kecerdasan emosi memiliki peranan yang lebih penting dalam

menyikapi perilaku agresif siswa.

Individu yang memiliki masalah dengan kecerdasan emosional secara psikologis

juga menunjukan masalah yang sama dengan kesejahteraan. Hal ini sejalan dengan hasil

penelitian yang dilakukan Mwanza dan Menon (2015), bahwa agresi secara signifikan

berhubungan dengan psychological well being (misal: perilaku masalah, gangguan hiperaktif

dan masalah rekan). Temuan ini konsisten dengan beberapa studies (Crick, and Dodge, 1994;

Crick, and Grotpeter, 1995) yang menemukan hubungan yang signifikan antara

ketidakmampuan psikososial dan agresi pada anak. Sikap agresif pada anak cenderung

menampilkan ketidakmampuan emosional dan perilaku serta masalah dalam hubungan teman

sebaya mereka. Hasil penelitian tersebut juga konsisten dengan temuan penelitian

Permatasari (2014) yang menyatakan bahwa tingkat psychological well being mempengaruhi

perilaku agresifitas anak jalanan Rumah Singgah Yayasan Girlan Nusantara Yogyakarta.

Semakin tinggi tingkat psychological well being maka perilaku agresifitas semakin rendah,

5

sebaliknya semakin rendah psychological well-being maka perilaku agresifitas semakin

tinggi.

Penelitian agresifitas pada individu dewasa awal adalah hal yang tetap menarik

untuk dilakukan, sebab bagaimanapun juga usia dewasa awal merupakan tulang punggung

negara di masa yang akan datang. Untuk itu hal-hal yang mengarah pada perilaku

menyimpang seperti halnya agresifitas tetap penting untuk dilakukan sebagai salah satu

upaya untuk memberikan sumbangan pemikiran kepada pemecahan masalah tersebut. Selain

itu penelitian-penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Fithri (2006), Yunias (2009)

Fefriasari (2010), Dewi (2012), Kurniasari (2014), Permatasari (2014), Mwanza dan Menon

(2015), dan Arini (2016), serta Abed, Pakdaman, Heidari dan Tahmassian (2016) hanya

memfokuskan pada satu variabel saja, baik itu variabel kecerdasan emosional dan

psychological well being pada perilaku agresif. Padahal melalui hasil penelitian-penelitian

sebelumnya secara tidak langsung membuktikan bahwa perilaku agresif tidak hanya

dipengaruhi oleh variabel kecerdasan emosional atau psychological well being saja, namun

juga keduanya. Hal tersebut memberikan ketertarikan peneliti untuk menyempurnakan

penelitian-penelitian sebelumnya dengan melakukan penelitian tentang pengaruh kedua

variabel tersebut (kecerdasan emosional dan psychological well being) secara bersama

berpengaruh terhadap perilaku agresif anak jalanan di Kota Salatiga. Penilitian ini

bermaksud untuk menjawab permasalahan mengenai “apakah ada pengaruh kecerdasan

emosional dan psychological well being secara bersama terhadap perilaku agresif anak

jalanan di Salatiga?”

TINJAUAN PUSTAKA

Perilaku Agresif

Buss dan Perry (1992) yang menyatakan bahwa perilaku agresif adalah tindakan

untuk menyakiti orang lain, untuk mengekspresikan perasaan negatifnya seperti permusuhan

6

untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Breakwell (dalam Priliantini, 2008) juga

menjelaskan agresivitas sebagai bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti atau

merugikan orang lain yang memiliki kemauan yang bertentangan dengan orang tersebut.

Aspek Perilaku Agresif

Menurut Buzz dan Perry dalam Wahyudi (2013) perilaku agresif mencakup :

1. Physical aggression (agresifitas fisik), yaitu tindakan menyakiti, mengganggu, atau

membahayakan orang lain melalui respon motorik dalam bentuk fisik.

2. Verbal aggression (agresifitas verbal), yaitu tindakan menyakiti, mengganggu, atau

membaha-yakan orang lain melalui respon motorik dalam bentuk verbal.

3. Anger (kemarahan) merupakan suatu bentuk reaksi afektif berupa dorongan fisiologis

sebagai tahap persiapan agresi. Beberapa bentuk anger adalah perasaan marah, kesal,

sebal, dan bagaimana mengontrol hal tersebut. Termasuk di da-lamnya adalah

irritability, yaitu mengenai temperamental, kecenderungan un-tuk cepat marah, dan

kesulitan mengendalikan amarah.

4. Hostility (Agresifitas yang tersembunyi), yaitu tergolong kedalam agresi covert (tidak

kelihatan). Hostility mewakili komponen kognitif yang terdiri dari kebencian seperti

cemburu dan iri terhadap orang lain, dan kecurigaan seperti adanya ketidakpercayaan,

kekhawatiran.

Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Perilaku Agresif

Menurut Koeswara (1988), faktor-faktor yang menjadi pencetus kemunculan perilaku

agresif, yaitu:

1. Frustrasi

Frustrasi adalah situasi di mana individu terhambat atau gagal dalam usaha mencapai

tujuan tertentu yang diinginkannya atau mengalami hambatan untuk bebas bertindak

dalam rangka mencapai tujuan. Frustrasi bisa mengarahkan individu pada perilaku

7

agresif karena frustrasi bagi individu merupakan situasi yang tidak menyenangkan dan

dia ingin mengatasi atau menghindarinya dengan berbagai cara, termasuk cara agresif.

Individu akan memilih tindakan agresif sebagai reaksi atau cara untuk mengatasi

frustrasi yang dialaminya apabila terdapat stimulus-stimulus yang menunjangnya ke arah

tindakan agresif itu.

2. Stres

Stres merupakan reaksi, respons atau adaptasi psikologis terhadap stimulus eksternal atau

perubahan lingkungan.

a. Stres eksternal, stres eksternal dapat ditimbulkan oleh perubahanperubahan sosial dan

memburuknya kondisi perekonomian. Hal-hal tersebut memberikan andil terhadap

peningkatan kriminalitas, termasuk di dalamnya tindakan-tindakan kekerasan dan

perilaku agresif.

b. Stres internal, stres internal menimbulkan ketegangan yang secara perlahan

memuncak, yang akhirnya dicoba untuk diatasi oleh individu dengan melakukan

perilaku agresif. Tingkah laku yang tidak terkendali, termasuk di dalamnya perilaku

agresif, adalah akibat dari kegagalan ego untuk mengadaptasi hambatan-hambatan,

sekaligus sebagai upaya untuk memelihara keseimbangan intrapsikis.

3. Deindividuasi

Deindividuasi merupakan satu keadaan dimana ciri-ciri karakteristik orang tidak

diketahui. Deindividuasi memperbesar kemungkinan terjadinya perilaku agresif, karena

deindividuasi menyingkirkan atau mengurangi peranan beberapa aspek yang terdapat

pada individu, yakni identitas diri atau personalitas individu pelaku maupun identitas diri

korban dari pelaku agresif, dan keterlibatan emosional individu pelaku agresif terhadap

korbannya.

8

4. Kekuasaan dan Kepatuhan

Kekuasaan menjadi pencetus terjadinya perilaku agresif karena kekuasaan seseorang atau

sekelompok orang memiliki kemampuan untuk mempengaruhi dan mengendalikan

tingkah laku orang lain dan merealisasikan segenap keinginannya. Sedangkan kepatuhan

menjadi pencetus terjadinya perilaku agresif karena dalam situasi kepatuhan individu

kehilangan tanggung jawab atas tindakan-tindakannya serta meletakkan tanggung jawab

pada penguasa.

5. Efek Senjata

Senjata memainkan peran dalam terjadinya perilaku agresif tidak saja karena fungsinya

mengefektifkan dan mengefisienkan pelaksanaan agresif, tetapi juga karena efek

kehadirannya. Misalkan seseorang yang mempersepsikan kehadiran senjata api sebagai

benda yang berbahaya dan mengancam keselamatan dirinya, kemungkinan menghasilkan

efek kecemasan dalam diri orang tersebut. Kecemasan tersebutlah yang mendorong

terjadinya perilaku agresif.

6. Provokasi

Provokasi dapat mencetuskan perilaku agresif karena provokasi itu oleh pelaku agresif

dilihat sebagai ancaman yang harus dihadapi dengan respons agresif untuk meniadakan

bahaya yang diisyaratkan oleh ancaman itu.

7. Alkohol

Terdapat dugaan bahwa alkohol berpengaruh mengarahkan individu kepada perilaku

agresif dan tingkah laku antisosial lainnya. Karena alkohol dapat melemahkan kendali

diri dan melemahkan aktivitas sistem saraf pusat.

8. Suhu Udara

Suhu udara yang tinggi akan mempengaruhi naiknya kadar agresif seseorang. Contohnya

saja pada musim panas terjadi lebih banyak tingkah laku agresif karena pada musim

9

panas hari-hari lebih panjang serta individu- individu memiliki keleluasaan bertindak

yang lebih besar ketimbang musim-musim lain.

Selain itu dari beberapa jurnal dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional

mempengaruhi perilaku agresif “Penelitian-penelitian tersebut di atas setidaknya didukung

oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Fithri (2006), Yunias (2009) Fefriasari (2010),

Dewi (2012), Kurniasari (2014), dan Arini (2016) yang secara serentak sepakat mengemukan

bahwa terdapat hubungan negatife antara kecerdasan emosi dengan perilaku agresif”, juga

psychological well being memengaruhi perilaku agresif “Hasil penelitian tersebut juga

konsisten dengan temuan penelitian Permatasari (2014) yang menyatakan bahwa tingkat

psychological well being memengaruhi perilaku agresifitas anak jalanan Rumah Singgah

Yayasan Girlan Nusantara Yogyakarta. Semakin tinggi tingkat psychological well being

maka perilaku agresifitas semakin rendah, sebaliknya semakin rendah psychological well-

being maka perilaku agresifitas semakin tinggi.”

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor penyebab perilaku agresi

diantaranya adalah faktor amarah, biologis, kesenjangan generasi, peran belajar model

kekerasan, proses pendisiplinan yang keliru, frustasi, stres, deindividuasi, kekuasaan &

kepatuhan, efek senjata, provokasi, alkohol dan suhu udara, kecerdasan emosional dan

psychological well being.

Kecerdasan Emosional

Goleman dalam Wahyuningsih (2004) mengatakan bahwa kecerdasan emosional

adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage

our emotional life with intelligence); menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya (the

appropriateness of emotional and its expression) melalui keterampilan kesadaran diri,

pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial.

10

Aspek-Aspek Kecerdasan Emosional

Goleman (2005) mengemukakan lima aspek dari kecerdasan emosi, yaitu:

1. Mengenali emosi diri sendiri (knowing one’s emotions)

Mengenali emosi diri sendiri merupakan suatu kemampuan untuk mengenali perasaan

sewaktu perasaan itu terjadi. Kemampuan ini merupakan dasar dari kecerdasan

emosional, yakni kesadaran seseorang akan emosinya sendiri. Kesadaran diri membuat

kita lebih waspada terhadap suasana hati maupun pikiran tentang suasana hati, bila

kurang waspada maka individu menjadi mudah larut dalam aliran emosi dan dikuasai

oleh emosi. Kesadaran diri memang belum menjamin penguasaan emosi, namun

merupakan salah satu prasyarat penting untuk mengendalikan emosi sehingga individu

mudah menguasai emosi.

2. Mengelola emosi (managing emotions)

Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam menangani perasaan agar dapat

terungkap dengan tepat, sehingga tercapai keseimbangan dalam diri individu. Menjaga

agar emosi yang merisaukan tetap terkendali merupakan kunci menuju kesejahteraan

emosi. Emosi berlebihan yang meningkat dengan intensitas terlampau lama akan

mengoyak kestabilan kita. Kemampuan ini mencakup kemampuan untuk menghibur diri

sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan akibat-akibat

yang ditimbulkannya serta kemampuan untuk bangkit dari perasaan-perasaan yang

menekan. Individu yang tidak dapat mengelola emosinya dengan baik lebih cenderung

merasa tertekan karena ia sulit bangkit dari kegagalan. Ciri berbeda dimiliki oleh

inidivdu yang dapat mengelola emosinya, yaitu ia dapat segera bangkit dari kegagalan

yang ia rasakan.

11

3. Memotivasi diri (motivating oneself)

Memotivasi diri adalah kemampuan untuk bertahan dan terus berusaha menemukan cara

untuk mencapai tujuan. Ciri individu yang memiliki kemampuan ini adalah memiliki

kepercayaan diri yang tinggi, optimis dalam menghadapi keadaan yang sulit, cukup

terampil dan fleksibel dalam menemukan cara agar sasaran tercapai dan mampu

memecahkan masalah berat menjadi masalah kecil yang mudah dijalankan. Individu

yang dapat memotivasi dirinya sendiri cenderung akan lebih produktif dan efektif dalam

apa yang ia lakukan.

4. Mengenali emosi orang lain(recognizing emotions in others)

Kemampuan untuk mengenali emosi orang lain disebut juga empati. Menurut Goleman

(2005), kemampuan seseorang untuk mengenali orang lain atau peduli, menunjukkan

kemampuan empati seseorang. Individu yang memiliki kemampuan empati lebih mampu

menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang

dibutuhkan orang lain sehingga ia lebih mampu menerima sudut pandang orang lain,

peka terhadap perasaan orang lain dan lebih mampu untuk mendengarkan orang lain.

5. Keterampilan social (handling relationship)

Keterampilan sosial merupakan suatu keterampilan yang menunjang popularitas,

kepemimpinan dan keberhasilan antar sesama. Keterampilan dalam berkomunikasi

merupakan kemampuan dasar dalam keberhasilan membina hubungan. Dengan

kemampuan tersebut, seseorang dapat mempengaruhi orang lain, memimpin dengan

baik, bermusyawarah, menyelesaikan perselisihan, dan mudah bekerja sama dengan

orang lain.

Berdasarkan aspek-aspek kecerdasan emosi yang diungkapkan Goleman (2005)

tersebut, maka seseorang dikatakan memiliki kecerdasan emosi yang baik bila individu

mampu mengenali emosi diri, mengolah emosi dengan baik, memotivasi diri dengan

12

mengedepankan optimism, harapan dan flow, dan juga dapat mengenali emosi orang lain

serta menjaga hubungan dengan orang lain.

Peran Kecerdasan Emosional

Kecerdasan emosional individu memiliki peran yang penting bagi keberhasilan

individu dalam menjalani setiap tantangan dan hambatan dalam hidupnya. Penelitian Walter

Mischel (1960) mengenai “marsmallow challenge” di Universitas Stanford menunjukkan

anak yang ketika berumur empat tahun mampu menunda dorongan hatinya, setelah lulus

sekolah menengah atas, secara akademis lebih kompeten, lebih mampu menyusun gagasan

secara nalar, seta memiliki gairah belajar yang lebih tinggi. Mereka memiliki skor yang

secara signifikan lebih tinggi pada tes SAT dibanding dengan anak yang tidak mampu

menunda dorongan hatinya (Goleman, 2002). Individu yang memiliki tingkat kecerdasan

emosional yang lebih baik, dapat menjadi lebih terampil dalam menenangkan dirinya dengan

cepat, jarang tertular penyakit, lebih terampil dalam memusatkan perhatian, lebih baik dalam

berhubungan dengan orang lain, lebih cakap dalam memahami orang lain dan untuk kerja

akademis di sekolah lebih baik (Goleman, 2002).

Selanjutnya, Goleman (2002) mengungkapkan bahwa perbandingan peran antara

kecerdasan emosional dibanding kecerdasan intelegensi dalam menentukan kesuksesan hidup

seseorang adalah setara dengan perbandingan 80 : 20. Dengan kata lain, peran kecerdasan

emosi terhadap keberhasilan seseorang adalah lebih besar jika dibandingkan dengan hanya

melalui kecerdasan intelegensinya. Apa yang dikemukakan oleh Goleman di atas, jika kita

hubungan dengan pendapat Jensen (2008) yang mengatakan bahwa emosi merupakan suatu

katalis yang mempengaruhi pikiran ke dalam hal-hal dalam fisik dan tubuh, maka emosi

sesungguhnya adalah sumber informasi yang sangat penting bagi pembelajaran dan harus

digunakan untuk menginformasikan kita, dan bukannya menjadi sesuatu yang harus di

abaikan atau ditaklukan.

13

Psychological well being

Konsep Ryff tentang psychological well-being merujuk pada pandangan Rogers

tentang orang yang berfungsi penuh (fully-functioning person), pandangan Maslow tentang

aktualisasi diri (self actualization), pandangan Jung tentang individuasi (individuation),

konsep Allport tentang kematangan, konsep Erikson dalam menggambarkan individu yang

mencapai integrasi dibanding putus asa, konsep Neugarten tentang kepuasan hidup, serta

kriteria positif individu yang bermental sehat yang dikemukakan Johada dalam Ryff (1989).

Psychological well being didefinisikan oleh Ryff (1989), sebagai kondisi dimana

seseorang memiliki kemampuan menerima diri sendiri maupun kehidupannya di masa lalu,

pengembangan diri, keyakinan bahwa hidupnya bermakna dan memiliki tujuan, memiliki

kualitas hubungan positif dengan orang lain, kapasitas untuk mengatur kehidupan dan

lingkungan secara efektif dan kemampuan menentukan tindakan sendiri.

Psychological well being mencakup 1)kemampuan individu untuk menerima dirinya

apa adanya (self-acceptance). 2)Membentuk hubungan yang hangat dengan orang lain

(positive relation with others). 3)Memiliki kemandirian dalam menghadapi tekanan sosial

(autonomy), 4)mengontrol lingkungan eksternal (environmental mastery), 5)memiliki tujuan

dalam hidupnya (purpose in life), serta 6)mampu merealisasikan potensi dirinya

secara continue (personal growth) (Ryff, 1989).

Aspek-Aspek Psychological Well Being

Ryff (1989) mengembangkan konsep psychological well being dengan

mengemukakan enam dimensi dimana setiap dimensinya mencerminkan perbedaan setiap

individu didalam memenuhi tugas masa dewasanya.

Menurut Ryff (1989) dasar untuk memperoleh kesejahterahan psikologis adalah

individu yang secara psikologis dapat berfungsi secara positif. Komponen individu yang

mempunyai fungsi psikologis yang positif antara lain adalah:

14

1. Penerimaan diri (self-acceptrance)

Penerimaan diri ditunjukan pada individu yang dapat mengevaluasi secara positif

terhadap dirinya yang sakarang maupun dirinya dimasa yang lalu. Individu dalam hal ini

dapat mempertahankan sikap-sikap positifnya dan sadar akan keterbatasan yang dimiliki.

Dengan kata lain, seseorang yang mampu menerima dirinya adalah orang yang memiliki

kapasitas untuk megetahui dan menerima kekuatan setara kelemahan darinya dan ini

merupakan salah satu karakteristik dari fungsi secara psikologis.

2. Hubungan positif dengan orang lain (positif relation with others)

Individu ini mampu untuk mengelola hubungan interpersonal secara emosional

dan adanya kepercayaan satu sama lain sehingga merasa nyaman. Selain itu adanya

hubungan positif dengan orang lain juga ditandai dengan memiliki kedekatan yang

berarti dengan orang yang tepat (significant others).

3. Kemandirian (autonomy)

Kemandirian adalah kemampuan, melakukan dan mengarahkan prilaku secara

sadar den mempertimbangkan yang mana yang negatif dan positifnya sehingga

memutuskan dengan tegas dan penuh keyakinan diri. Individu yang mampu melakukan

aktualisasi diri dan berfingsi penuh memiliki keyakinan dan kemandirian, sehingga dapat

mencapai prestasi dengan memuaskan.

Dalam sistem sosial, individu dengan otonomi mampu untuk mempertahankan

dirinya, memiliki kualitas dari keberadaan diri (self-determination) dan memiliki

kebebasan yang mana hal ini merupakan kemampuan di dalam tekanan sosial. Ia

memiliki kekuatan untuk tetap pendiriannya walaupun hal itu berlawanan dengan norma

umum. Sebagai contoh digambarkan oleh (Ryff, 1998) seseorang yang dapat berfingsi

secara penuh (fully functioning person) adalah orang yang memiliki pandangan pribadi

tentang evaluasi mengenai dirinya (internal locus of evaluasi), tanpa harus terdapat

15

persetujuan dari orang lain, tetapi ia memiliki penilaian standar dalam mengevaluasi

dirinya.

4. Penguasaan terhadap lingkungan (environmental mastery)

Hal ini sangatlah berpengaruh pada kehidupan eksternal tiap idividu dimana faktor

eksternal adalah sesuatu hal yang dapat merubah sebagian aspek kehidupan individu.

Sehingga adanya kapasitas untuk mengatur kehidupan dan efektif dan lingkungan

sekitar. Hal ini berarti memodifikasi lingkungannya agar dapat mengelola kebutuhan dan

tuntutan-tuntutan dalam hidupnya. Dari karkteristik yang sehat hal ini menunjukan

dengan kemampuan individu untuk memiliki suatu penciptaan lingkungan agar sesuai

dengan kondisi fisiknya. Dalam teori perkembangan, penguasaan lingkungan ditekankan

dengan adanya seseorang mampu mengendalikan lingkungannya serta merubahnya

secara kreativitas fisik maupun mental. Hal ini mengkombinasikan sudut pandang yang

menganggap bahwa partisipasinya secara aktif dan penguasa lingkungan merupakan

aspek yang penting dalam rangka kerja mengenai berfungsinya aspek psikologisnya

secara positif.

5. Tujuan hidup (purpose in life)

Keberhasilan dalam menemukan makna dan tujuan diberbagai usaha dan

kesempatan dapat diartikan sebagi individu yang memiliki tujuan didalam hidupnya.

Individu tersebut memiliki tujuan dan keyakinan bahwa hidupnya berarti. Dalam

pengertian kematangan juga menakankan adanya pemahaman akan tujuan hidup,

perasaan terarah dan adanya suatu maksud dalam hidupnya. Dalam teori perkembangan

masa hidup merujuk pada adanya berbagai perubahan dalam tujuan hidup, seperti terjadi

seorang yang lebih produktif dan kreatif ataupun tercapainya integritas emosional dimasa

yang akan datang.

16

Oleh sebab itu, seseorang yang telah bisa berfungsi secara positif akan memiliki

tujuan, yang mana semua hal tersebut akan mengerah pada hidup yang bermakna pada

pencapaian mimpi-minpi yang diharapkan tiap individu dalam masa depannya.

6. Pertumbuhan pribadi (personal growth)

Berfungsinya aspek psikologi yang optimal mensyaratkan tidak hanya seorang

tersebut mencapai suatu karkteristik yang telah diciptakan sebelumnya, namun juga

adanya keberlanjutan dan pengembangan akan potensi yang dimiliki, untuk tumbuh dan

terus berkembang sebagai seorang yang berkualitas. Kebutuhan untuk

mengaktualisasikan diri sendiri dan merealisasikan potensi yang dimilikinya adalah

merupakan pusat dari sudut pandang klinis mengenai pertumbuhan pribadi sebagai

contoh: keterbukaan untuk mengalami sesuatu (openness toexperience), merupakan suatu

karakteristik kunci bagi seorang yang berfungsi secar penuh.

Peran Psychological Well Being

Psychological well-being merupakan kemampuan yang dimiliki oleh individu untuk

dapat menerima diri apa adanya (self-acceptance), menjalin hubungan hangat dengan orang

lain (positive relation with others), mandiri (autonomy), mampu mengontrol lingkungan

eksternal (environmental mastery), memiliki tujuan hidup (purpose in life), serta mampu

merealisasikan potensi dirinya secara continue (personal growth) (Ryff,1989). Menurut

Hauser, 2005, Psychological well-being merupakan kesejahteraan psikologis individu yang

berfokus pada realisasi diri (self-realization), pernyataan diri (personal expressiveness), dan

aktualisasi diri (self-actualization). Psychological well-being merujuk pada bagaimana

seseorang mengevaluasi kehidupan mereka (Diener, 1997).

Menurut Ryff, (1995) penting untuk mendapatkan psychological well-being karena

nilai positif dari kesehatan mental yang ada di dalamnya yang akan membuat seseorang dapat

mengidentifikasikan apa yang hilang dalam hidupnya. Kebahagiaan itu bersifat subjektif

17

karena setiap individu memiliki tolak ukur kebahagiaan dan faktor yang mendatangkan

kebahagiaan yang berbeda-beda pada masing-masing individu.

Pengaruh Kecerdasan Emosi dan Psychological Well Being Terhadap Perilaku Agresif

Hasil penelitian di University of Vermont mengenai analisis struktur neurologis otak

manusia dan penelitian perilaku oleh LeDoux (1970) menunjukkan bahwa dalam peristiwa

penting kehidupan seseorang, EQ selalu mendahului intelegensi rasional. EQ yang baik salah

satunya akan dapat mengurangi agresifitas, khususnya dalam kalangan remaja (Goleman,

2002). Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Fithri (2006), Yunias

(2009) Fefriasari (2010), Dewi (2012), Kurniasari (2014), dan Arini (2016) yang secara

serentak sepakat mengemukan bahwa terdapat hubungan negatif antara kecerdasan emosi

dengan perilaku agresif. Berdasarkan penelitian tersebut maka dapat dikatakan, semakin

tinggi tingkat kecerdasan emosi yang dimiliki remaja (individu) maka akan semakin rendah

tingkat agresifitasnya, begitu pula sebaliknya.

Hasil penelitian yang dilakukan Mwanza dan Menon (2015) menunjukkan bahwa

agresi secara signifikan berhubungan dengan psychological well being (misal: perilaku

masalah, gangguan hiperaktif dan masalah rekan). Temuan ini konsisten dengan beberapa

studies yang dilakukan oleh Crick and Dodge (1994); dan Crick and Grotpeter (1995) yang

menemukan hubungan yang signifikan antara ketidakmampuan psikososial dan agresi pada

anak. Hasil penelitian tersebut juga konsisten dengan temuan penelitian Valois, Zullig,

Huebner, & Drane (2001), Dwivedi & Harper (2004), Permatasari (2014), Abed et all (2016),

Pakdaman et all (2016) yang secara keseluruhan juga sepakat bahwa tingkat psychological

well being mempengaruhi perilaku agresifitas.

Jadi dapat disimpulkan bila tingkat kecerdasan emosional dan psychological well

being–nya baik maka tingkat agresifitasnya akan rendah, dan sebaliknya jika tingkat

18

kecerdasan emosional dan psychological well being–nya rendah maka tingkat perilaku

agresifnya akan tinggi.

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas maka model kerangka pemikiran dalam

penelitian ini dijabarkan sebagai berikut:

Hipotesis Penelitian

Hipotesis dalam penelitian ini adalah “Ada pengaruh kecerdasan emosional dan

psychological well being secara bersama terhadap perilaku agresif anak jalanan di Kota

Salatiga.”

METODE PENELITIAN

Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Menurut Creswell dalam

Arikunto (2006) mendefinisikan penelitian kuantitatif sebagai jenis penelitian yang

menjelaskan suatu fenomena dengan menggunakan data angka dan dianalisa menggunakan

metode matematis (sebagai bagian statistik).

Populasi, Sampel, dan Teknik Sampling

Jumlah populasi dalam penelitian ini tidak diketahui, untuk itu dalam penelitian ini

teknik yang digunakan untuk memperoleh sampel penelitian adalah Snowball Sampling.

Subjek dalam penelitian ini adalah 35 orang anak jalanan di Kota Salatiga. Subjek umumnya

berasal dari luar Kota Salatiga, yaitu dari Kota Boyolali, Solo, dan Semarang. Subjek hidup

Psychological well being

(X2)

Kecerdasan Emosional

(X1) Perilaku Agresif

(Y)

19

dijalanan dengan berbagai latar belakang, seperti: kondisi orang tua yang broken home,

kemiskinan, dan lain sebagainya.

Dalam menjalani hidup dijalanan subjek hidup berkelompok dengan rekan-

rekannya. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-sehari, seperti: makan dan minum, subjek

melakukan aktivitas ngamen dijalanan. Sementara untuk kebutuhan MCK subjek

memanfaatkan fasilitas umum yang tersedia di lokasi tempat berkumpul, itupun jika ada.

Namun jika fasilitas tersebut tidak ada subjek memanfaatkan lokasi-lokasi tertentu, seperti:

halaman kosong, bangunan terbengkalai, kebun warga dan lain sebagainya.

Hidup yang dijalani pada umumnya tidak menentu tinggal di jalanan, sehari-hari

mereka menghabiskan waktu dengan ngobrol, sebagian dari mereka minum minuman keras

dan menggunakan pil koplo. Namun demikian mereka kompak atau saling menjaga satu sama

lain.

Karakteristik Partisipan

Hasil penelitian diperoleh data karakteristik responden penelitian sebagai berikut:

No Keterangan Jumlah Prosentase Total

1 Jenis Kelamin

Laki-laki 35 100,00 35

Perempuan 0 0,00

2 Umur Dewasa awal (18-40) 35 100,00 35

Dewasa Madya (41-

60) 0 0,00

Dewasa lanjut (>60) 0 0,00

Hasil penelitian menjelaskan bahwa semua responden dengan jenis kelamin laki-laki

dan memiliki usia dengan kategori dewasa awal (35 orang atau 100%).

Variabel Penelitian

Variabel adalah objek penelitian atau apa yang menjadi titik perhatian suatu penelitian

(Arikunto, 2003:99). Dalam penelitian ini terdapat dua variabel, yaitu:

20

1. Variabel Terikat (Y)

Variabel dependen dalam penelitian ini adalah perilaku agresif. Perilaku agresif dipahami

sebagai keinginan untuk menyakiti orang lain, untuk mengekspresikan perasaan

negatifnya seperti permusuhan untuk mencapai tujuan yang diinginkan (Buss & Perry,

1992)

2. Variabel Bebas (X)

a. Kecerdasan Emosional (X1)

Kecerdasan emosional adalah kemampuan mengenali perasaan sendiri dan perasaan

orang lain, kemampuan memotivaasi diri sendiri, kemampuan mengolah emosi

dengan baik pada diri sendiri dan orang lain.

b. Psychological Well Being (X2)

Keadaan individu yang mampu menerima diri apa adanya, mampu membentuk

hubungan yang hangat dengan orang lain, memiliki kemandirian terhadap tekanan

sosial, mampu mengontrol lingkungan eksternal, memiliki arti dalam hidup serta

mampu merelisasikan potensi dirinya secara continue.

Instrumen Pengumpulan Data

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala perilaku agresif,

kecerdasan emosional dan psychological well being, berikut penjelasannya:

1. Skala Perilaku Agresif

Skala agresivitas yang digunakan adalah skala agresivitas yang diadaptasi dari

alat ukur agresivitas karya Buzz & Perry dalam Wahyudi (2013) yang berjudul the

Aggression Questionnaire, alat ukur ini terdiri dari 29 item dengan menggunakan aspek-

aspek anger (7 item), verbal aggression (5 item), physical aggression (9 item), dan

hostility (8 item). Skala the Aggression Questionnaire disusun menggunakan model

21

penskalaan respon dari Likert, yaitu 1 (sangat tidak sesuai) sampai 4 (sangat sesuai)

untuk pernyataan favorable, dan 1 (sangat sesuai) sampai 4 (sangat tidak sesuai) untuk

pernyataan unfavorable.

Setelah dilakukan diskriminasi item melalui corrected item-total correlation

diperoleh 11 item yang memiliki koefisien korelasi ≤ 0,30 dan dinyatakan gugur. Adapun

item yang gugur tersebut adalah nomer: 1, 2, 3, 5, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 29.

Setelah itu diuji reliabilitas dari item-item tersebut untuk melihat apakah item

tersebut telah memenuhi standart item yang baik dan layak digunakan dalam penelitian.

Pengujian reliabilitas pada penilitian ini menggunakan pengujian internal konsisten

dengan melihat koefisien Cronbach’s alpha.

Reliability Statistics

Cronbach's

Alpha

Cronbach's Alpha Based

on Standardized Items N of Items

.950 .946 18

Berdasarkan hasil uji reliabilitas tabel diatas, diketahui bahwa variabel konsep

diri memiliki koefisien Cronbach’s alpha sebesar 0,95 sehingga skala psikologi dalam

variabel perilaku agresif ini dinyatakan reliabel.

2. Skala Kecerdasan Emosional

Alat ukur kecerdasan emosi pada penelitian ini terdiri dari 36 item yang dibuat

berdasarkan aspek-aspek kecerdasan emosi menurut Goleman (2005), yaitu mengenali

emosi orang lain, mengelola emosi diri sendiri, memotivasi diri, empati dan keterampilan

social, yang dikembangkan dalam penelitian Murniasih (2013). Skala ini disusun

menggunakan model penskalaan respon dari Likert, yaitu 1 (sangat tidak sesuai) sampai

4 (sangat sesuai).

Setelah dilakukan uji diskriminasi item melalui corrected item-total correlation

diperoleh 17 item yang memiliki koefisien korelasi ≤ 0,30 dan dinyatakan gugur. Adapun

22

item yang gugur tersebut adalah nomer: 1, 2, 3, 5, 8, 9, 15, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 33, 34,

35,36.

Setelah itu penulis melakukan uji reliabilitas dari item-item tersebut untuk

melihat apakah item tersebut telah memenuhi standart item yang baik dan layak

digunakan dalam penelitian. Pengujian reliabilitas pada penilitian ini menggunakan

pengujian internal konsisten dengan melihat koefisien Cronbach’s alpha.

Reliability Statistics

Cronbach's

Alpha

Cronbach's Alpha Based on

Standardized Items N of Items

.839 .849 19

Berdasarkan hasil uji reliabilitas tabel diatas, diketahui bahwa variabel konsep

diri memiliki koefisien Cronbach’s alpha sebesar 0,839 sehingga skala psikologi dalam

variabel kecerdasan emosional ini dinyatakan reliabel.

3. Skala Psychological Well - Being

Pada skala ini, peneliti menggunakan skala dari Ryff’s Psychological Well-being

Scale yang dikembangkan dalam penelitian Murniasih (2013). Skala ini disusun

menggunakan model penskalaan respons dari Likert, yaitu 1 (sangat tidak sesuai) sampai

4 (sangat sesuai). Alat ukur ini terdiri dari 22 item.

Setelah dilakukan diskriminasi item melalui corrected item-total correlation

diperoleh 3 item yang memiliki koefisien korelasi ≤ 0,30 dan dinyatakan gugur. Adapun

item yang gugur tersebut adalah nomer: 20, 21, 22.

Setelah itu diuji reliabilitas dari item-item tersebut untuk melihat apakah item

tersebut telah memenuhi standart item yang baik dan layak digunakan dalam penelitian.

Pengujian reliabilitas pada penilitian ini menggunakan pengujian internal konsisten

dengan melihat koefisien Cronbach’s alpha.

23

Reliability Statistics

Cronbach's

Alpha

Cronbach's Alpha

Based on

Standardized Items N of Items

.982 .983 19

Berdasarkan hasil uji reliabilitas tabel diatas, diketahui bahwa variabel konsep

diri memiliki koefisien Cronbach’s alpha sebesar 0,982 sehingga skala psikologi dalam

variabel psychological well being ini dinyatakan reliabel.

Hasil Penelitian

A. Analisis Statistik Diskriptif

Untuk keperluan analisis deskripsi maka total skor jawaban responden dikategorikan

berdasarkan nilai mean dan standar deviasi (SD) sebagai berikut:

Tinggi (X)> mean+1SD

Sedang mean-1SD ≤ X ≤ mean+1SD

Rendah (X) < mean-1SD

Aturan normatif yang menggunakan mean dan standard deviasi tersebut di atas

hanya berlaku jika terdapat tiga kategori dalam pembagian total skor jawaban responden

(Riwidikdo, 2012)

1. Kecerdasan Emosi

Hasil penelitian diperoleh penilaian tingkat kecerdasan emosi responden penelitian,

yaitu anak jalanan sebagai berikut:

Kecerdasan Emosi f %

X>94,56 Tinggi 6 17,14

79,04≤X≤94,56 Sedang 26 74,29

X<79,04 Rendah 3 8,57

Jumlah 35 100,00

24

Tabel di atas menunjukkan bahwa mayoritas responden memiliki tingkat kecerdasan

emosi dalam kategori sedang (26 orang atau 74,29%). Sementara minoritas responden, yaitu

3 orang (8,57%) memiliki tingkat kecerdasan emosi yang rendah, sedang lainnya 6 orang

(17,14%) memiliki tingkat kecerdasan emosi yang tinggi.

2. Psychological Well-Being

Hasil penelitian diperoleh penilaian Psychological Well-Being responden penelitian

sebagai berikut:

Psychologycal Well

Being f %

X>75,98 Tinggi 9 25,71

41,67≤X≤75,98 Sedang 22 62,86

X<41,67 Rendah 4 11,43

Jumlah 35 100,00

Tabel di atas menunjukkan bahwa mayoritas responden memiliki Psychological

Well-Being dengan kategori sedang (22 orang atau 62,68%), sedang minoritas responden (4

orang atau 11,43%) memiliki Psychological Well-Being yang rendah. Sementara lainnya,

yaitu 9 orang (25,71%) memiliki tingkat Psychological Well-Being yang tinggi.

3. Agresivitas

Hasil penelitian diperoleh penilaian tentang agresivitas responden sebagai berikut:

Agresivitas f %

X>73,67 Tinggi 10 28,57

73,67≤X≤94,67 Sedang 19 54,29

X<73,67 Rendah 6 17,14

Jumlah 35 100,00

Tabel di atas menjelaskan bahwa mayoritas responden, yaitu 19 orang (54,29%)

memiliki tingkat agresivitas yang sedang. Minoritas responden memiliki tingkat agresivitas

yang rendah (6 orang atau 17,14%), sementara 10 orang (28,57%) memiliki tingkat

agresivitas yang tinggi.

25

B. Uji Asumsi

1. Uji Normalitas

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Unstandardized

Residual

N 35

Normal Parametersa Mean .0000000

Std. Deviation 8.34846801

Most Extreme

Differences

Absolute .137

Positive .101

Negative -.137

Kolmogorov-Smirnov Z .813

Asymp. Sig. (2-tailed) .523

a. Test distribution is Normal.

Berdasarkan uji Kolmogrov-Smirnov, diketahui bahwa nilai signifikansi sebesar 0,523

(P>0,05) yang berarti bahwa residual telah memenuhi asumsi distribusi normal. Dengan demikian

data penelitian ini memenuhi asumsi normalitas dan model regresi layak digunakan untuk

memprediksi agresivitas berdasarkan kecerdasan emosi dan psychological well being.

2. Uji Multikolinieritas

Coefficientsa

Model

Unstandardized

Coefficients

Standardized

Coefficients

t Sig.

Collinearity

Statistics

B Std. Error Beta Tolerance VIF

1 (Constant) 89.966 9.633 9.340 .000

KE -.453 .202 -.310 -2.240 .032 .999 1.001

PWB -.336 .085 -.547 -3.951 .000 .999 1.001

a. Dependent Variable: Agresivitas

Dari tabel diatas terlihat kedua variabel bebas yang digunakan memiliki nilai

tolerance 0,999>0,10 dan nilai VIF 1,001<10. Dengan demikian dapat disimpulkan tidak

terdapat masalah multikolinearitas pada variabel yang digunakan.

26

3. Uji Heterokedastisitas

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized

Coefficients

t Sig. B Std. Error Beta

1 (Constant) 8.343 4.784 1.744 .091

KE .023 .100 .039 .228 .821

PWB -.047 .042 -.193 -1.112 .274

a. Dependent Variable: RES2

Dari tabel di atas diketahui bahwa nilai signifikansi variabel kecerdasan emosi adalah 0,901

(sig>0,05) yang berarti tidak terjadi heterokedastisitas pada variabel kecerdasan emosi. Sementara itu

diketahui nilai signifikansi variabel psychological well being adalah 0,274 (sig>0,05) yang berarti

tidak terjadi heterokedastisitas pada variabel psychological well being. Dari hasil uji

heterokedastisitas tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pada kedua variabel X pada penelitian ini

tidak terjadi heterokedastisitas, maka model regresi dapat dipakai untuk memprediksi perilaku

agresivitas.

4. Uji Linieritas ANOVA Table

Sum of Squares Df Mean Square F Sig.

Agresivitas * KE Between Groups (Combined) 2059.117 16 128.695 1.282 .304

Linearity 340.048 1 340.048 3.388 .082

Deviation from

Linearity 1719.069 15 114.605 1.142 .390

Within Groups 1806.883 18 100.382

Total 3866.000 34

Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat bahwa nilai signifikansi penyimpangan

linieritas antara kecerdasaan emosi dan agresivitas adalah sebesar 0,390 (P>0,05) yang berarti

terdapat linieritas antara kecerdasan emosi dengan agresivitas.

27

ANOVA Table

Sum of Squares Df Mean Square F Sig.

Agresivitas * PWB Between Groups (Combined) 2592.200 20 129.610 1.425 .252

Linearity 1124.831 1 1124.831 12.363 .003

Deviation from

Linearity 1467.369 19 77.230 .849 .637

Within Groups 1273.800 14 90.986

Total 3866.000 34

Selanjutnya diketahui terdapat nilai signifikansi penyimpangan linieritas antara PWB

dan agresivitas sebesar 0,637 (P>0,05) yang berarti terdapat linieritas antara PWB dengan

agresivitas.

C. Uji Hipotesis

Uji hipotesis (uji signifikansi simultan) dilakukan dengan menggunakan uji regresi

berganda dua variabel. Dua variabel yang dimaksud adalah dua variabel independen yaitu

kecerdasan emosi dan psychological well being. Berikut ini adalah tabel hasil uji signifikansi

nilai F.

ANOVAb

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1 Regression 1496.305 2 748.152 10.103 .000a

Residual 2369.695 32 74.053

Total 3866.000 34

a. Predictors: (Constant), PWB, KE

b. Dependent Variable: Agresivitas

Berdasarkan tabel anova di atas, diketahui bahwa nilai F sebesar 10,103 dengan

signifikansi sebesar 0,000 (P<0,05) yang berarti dapat dikatakan bahwa terdapat pengaruh

signifikan secara simultan antara kecerdasan emosi dan psychological well being terhadap

perilaku agresi. Dari hasil uji regresi berganda maka dapat disimpulkan bahwa hipotesis

dalam penelitian ini diterima.

Selanjutnya penulis melakukan analisis koefisien determinasi untuk mengetahui

sejauh mana pengaruh antara kecerdasan emosi dan psychological well being terhadap

28

perilaku agresi. Berikut ini adalah tabel uji korelasi regresi antara kecerdasan emosi dan

psychological well being terhadap perilaku agresi.

Model Summaryb

Model R R Square

Adjusted R

Square

Std. Error of the

Estimate

1 .622a .387 .349 8.605

a. Predictors: (Constant), PWB, KE

b. Dependent Variable: Agresivitas

Dari hasil analisis koefisien determinasi diketahui bahwa nilai ( sebesar 0,387

menunjukkan bahwa variabel kecerdasan emosi dan psychological well being memberikan

pengaruh terhadap perilaku agresi sebesar 38,7%, sedangkan sisanya sebesar 61,3%

dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Oleh sebab itu dapat

disimpulkan bahwa variabel kecerdasan emosi dan psychological well being dapat digunakan

sebagai prediktor terhadap perilaku agresi.

Pembahasan

Hasil analisis regresi pengaruh kecerdasan emosi dan pyschological well being

terhadap perilaku agresif anak jalanan di Kota Salatiga menghasilkan temuan bahwa nilai F

sebesar 10,103 dengan signifikansi sebesar 0,000 (P<0,05) yang berarti dapat dikatakan

bahwa terdapat pengaruh signifikan secara simultan antara kecerdasan emosi dan

psychological well being terhadap perilaku agresi. Dari hasil uji regresi berganda maka dapat

disimpulkan bahwa hipotesis dalam penelitian ini diterima. Signifikannya pengaruh

kecerdasan emosi dan pyschological well being terhadap perilaku agresif anak jalanan di

Kota Salatiga menunjukkan bahwa perilaku agresif anak jalanan ditunjang oleh pengaruh

kecerdasan emosi dan pyschological well being anak jalanan itu sendiri. Hal tersebut sejalan

dengan apa yang dikemukan oleh Goleman (2002), dan Mwanza dan Menon (2015). Selain

itu, hasil analisis koefisien determinasi diketahui bahwa nilai ( = 0,387 menunjukkan

29

bahwa variabel kecerdasan emosi dan psychological well being memberikan pengaruh

terhadap perilaku agresi sebesar 38,7%. Hal tersebut menunjukkan bahwa 38,7% dari total

varians perilaku agresi dapat dijelaskan secara simultan oleh kecerdasan emosi dan

psychological well being.

Beberapa hasil penelitian sebelumnya secara parsial juga menunjukkan bahwa

kecerdasan emosi berpengaruh signifikan negatif terhadap perilaku agresif (Fefriasari, 2010;

Dewi, 2012, Kurniasari, 2014; dan Arini, 2016). Sementara hasil penilaian kecerdasan emosi

dalam penelitian ini menunjukkan, bahwa kecerdasan emosi yang dimiliki responden

mayoritas dalam kategori sedang. Temuan hasil penelitian tersebut menunjukkan, bahwa

terdapat beberapa hal dalam kecerdasan emosi responden yang dinilai sedang. Adapun

beberapa hal yang menunjukkan tingkat kecerdasan emosi responden sedang, yaitu: 1)

Kurang dapat menyakinkan diri untuk tenang ketika berada dalam kesulitan (point 9), 2)

Tidak mudah untuk melepaskan diri dari perasaan kecewa, sedih, atau marah yang berlarut-

larut (poin 14), 3) Kurang dapat menyemangati diri sendiri saat hambatan menghadang (poin

17).

Temuan hasil penelitian ini setidaknya memberikan dukungan pada pendapat Goleman

(2002), bahwa individu yang tidak dapat mengelola emosinya dengan baik lebih cenderung

merasa tertekan karena ia sulit bangkit dari kegagalan, yang berakibat pada munculnya

perilaku destruktif baik ke dalam dirinya sendiri maupun di luar dirinya. Ciri berbeda dimiliki

oleh inidivdu yang dapat mengelola emosinya, yaitu ia dapat segera bangkit dari kegagalan

yang ia rasakan, mampu mengenali emosi diri, mengolah emosi dengan baik, memotivasi diri

dengan mengedepankan rasa optimisme, dan harapan, serta dapat mengenali emosi orang lain

serta menjaga hubungan dengan orang lain. Goleman (2002) juga menyatakan bahwa ciri

individu yang memiliki kemampuan ini adalah memiliki kepercayaan diri yang tinggi,

mampu menghadapi keadaan yang sulit, cukup terampil dan fleksibel dalam menemukan cara

30

agar sasaran tercapai dan mampu memecahkan masalah berat menjadi masalah kecil yang

mudah dijalankan.

Perilaku agresi yang muncul pada anak-anak jalanan salah satunya diakibatkan oleh

kecerdasan emosi yang berada dalam kategori sedang. Anak-anak jalanan yang cenderung

berada di lingkungan yang sama secara terus menerus tidak memiliki informasi ataupun

pengetahuan mengenai membangun pemikiran optimisme, motivasi diri, dan penyelesaian

masalah yang tepat. Hal ini berakibat pada rendahnya harapan mereka tentang diri mereka di

masa depan, dan cara penyelesaian masalah yang tidak tepat. Anak-anak jalanan kemudian

mengkonsumsi obat-obatan terlarang karena dianggap sebagai jalan keluar dari masalah yang

dihadapi. Selain itu sebagian anak menggunakannya untuk menumbuhkan keberanian saat

melakukan kegiatan di jalanan Huijben (1999). Pernyataan tersebut didukung oleh hasil

penelitian Setara (2000) yang mengungkapkan 62,5% anak jalanan perempuan

mengkonsumsi minuman keras dan pil. .

Temuan hasil penelitian ini juga sejalan dengan beberapa penelitian sebelumnya yang

juga menyatakan bahwa pyschological well being berpengaruh signifikan terhadap perilaku

agresif anak jalanan (Crick and Dodge, 1994; Crick and Grotpeter, 1995; Valois, Zullig,

Huebner, & Drane, 2001, Dwivedi & Harper, 2004; Permatasari, 2014; Abed et all, 2016;

Pakdaman et all, 2016). Sementara hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pyschological

well being anak jalanan mayoritas dinilai dalam kategori sedang. Sesuai dengan hasil

penelitian hal-hal dominan yang menyebabkan pyschological well being dinilai sedang, yaitu:

1) Kurang memiliki sikap positif pada diri sendiri (poin 2), 2) Sedikit teman untuk berbagi

perasaan (poin 6), 3) Merasa lelah melakukan semua hal yang harus dilakukan dalam hidup

(poin 14).

Temuan hasil penelitian ini setidaknya sejalan dengan apa yang dikemukan oleh

Ryff (1989), bahwa dasar untuk memperoleh kesejahterahan psikologis adalah individu yang

31

secara psikologis dapat berfungsi sacara positif. Komponen individu yang mempunyai fungsi

psikologis yang positif antara lain adalah memiliki hubungan positif dengan orang lain, dan

penguasaan lingkungan. Individu yang mampu untuk mengelola hubungan interpersonal

secara emosional dan adanya kepercayaan satu sama lain sehingga merasa nyaman. Selain itu

adanya hubungan positif dengan orang lain juga ditandai dengan memiliki kedekantan yang

berarti dengan orang yang tepat (significant others). Ryff (1989) juga mengatakan bahwa

dalam teori perkembangan, penguasaan lingkungan ditekankan dengan adanya seseorang

mampu mengendalikan lingkungannya serta merubahnya secara kreativitas fisik maupun

mental. Hal ini mengkombinasikan sudut pandang yang menganggap bahwa partisipasinya

secara aktif dan penguasaan lingkungan merupakan aspek yang penting dalam rangka kerja

mengenai berfungsinya aspek psikologisnya secara positif.

PENUTUP

Kesimpulan

Dari hasil pembahasan dan analisis data peneliti memberikan simpulan sebagai

berikut :

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecerdasan emosi dan pyschological well being

berpengaruh signifikan secara simultan terhadap perilaku agresif anak jalanan di Kota

Salatiga, sehingga kecerdasan emosional dan psychological well being dapat menjadi

prediktor perilaku agresif. Sumbangan efektif variabel kecerdasan emosional dan

psychological well being terhadap perilaku agresif sebesar 38,7%.

Saran

Sesuai dengan analisis, pembahasan dan simpulan, maka peneliti dapat memberikan

saran sebagai berikut :

32

1. Bagi Anak Jalanan

Berdasarkan hasil penelitian ini penulis berharap agar anak jalanan dapat lebih

mengembangkan diri dalam hal-hal yang positif seperti memilih lingkungan untuk

bersosialisasi, mengenali diri sendiri, melakukan kegiatan yang lebih produktif bagi diri

sendiri dan sekitarnya sehingga diharapkan memiliki kecerdasan emosional dan

psychological well being yang lebih baik.

2. Bagi Masyarakat

Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi acuan dan pertimbangan bagi masyarakat

untuk dapat lebih memperhatikan anak jalan dengan melakukan pendekatan personal

sehingga diharapkan anak jalanan nanti memiliki role model atau figur bagi diri mereka

sendiri. Selain itu masyarakat juga dapat berperan untuk memberikan arahan terkait

dengan kecerdasan emosi pada anak jalanan.

3. Bagi Peneliti Selanjutnya

Hasil peneilitian ini diharapkan dapat menjadi acuan dan pertimbangan bagi peneliti

yang akan melakukan penilitian tentang kecerdasan emosi dan psychological well being

serta kaitannya terhadap perilaku agresif. Selain itu penelitian ini juga terbatas karena

hanya meneliti kaitan antara dua variabel bebas yaitu kecerdasan emosi dan

psychological well being terhadap perilaku agresif. Dengan demikian masih ada variabel

lain yang turut memberi pengaruh pada perilaku agresif yang belum dijelaskan oleh

penulis. Karena itu penulis merekomendasikan untuk melakukan penelitian selanjutnya

dengan mempertimbangkan variabel-variabel lain.

33

DAFTAR PUSTAKA

Agustian, A. G. (2007). Rahasia sukses membangun kecerdasan emosi dan spiritual esq:

emotional spiritual quotient berdasarkan 6 rukun iman dan 5 rukun islam. Jakarta: Arga Publishing.

Ardani, Rahayu, A., & Sholichatun. (2007). Psikologi Klinis. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Arikunto., Suharsimi. (2006). Metodelogi penelitian. Yogyakarta : Bina Aksara.

Buss, A. H., & Perry, M. (1992). The agression questionnare. Journal of personality social

personality 63 (3), 452-459. The American Psychological Assosiation

Compton., William, C., & Hoffman, H. (2005). Positive psychology the science of happiness

and flourishing. USA: Jon-David Hague.

Compton., William, C. (2005). Introduction to positive psychology. USA: Thomson

Learning.

Depdikbud. (1986). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Efendi., Usman., & Juhaya S. Praja. (1985). Pengantar psikologi. Bandung: Angkasa.

Elizabeth, C., Hunter. “hopelessness and future thinking in parasuicide: The role of

perfectionism, ory C., & O’connor (2003). British journal of clinical psychology,

42, 355–365.

Erikson. (1995). Perkembangan masa hidup. Jakarta: Erlangga.

Feist, J., & Feist, J. G. (2010). Teori kepribadian. Jakarta : Salemba Humanika.

Ghozali, I. (2004). Aplikasi analisis multivariate dengan program SPSS. Semarang: BP

Undip.

Goleman., Daniel. (2005). Working with emotional intelligence: kecerdasan emosi untuk

mencapai puncak prestasi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Goleman., Daniel. (2009). Emotional intelegence. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Gottlieb, B. H. (1983). Social support strategies, Beverly Hills, CA : Sage Publication, Inc.

Hauser, R. M., Springer, K. W., Pudrovska, T. (2005). Temporal structures of psychological

well being.

Hegelson., & Cohe. (1996). Health psychology social support and patient adherence to

medical. American psychological association, 23 (2), 207–218.

Huraerah., Abu, M. Si. (2006). Kekerasan terhadap anak. Bandung: Nuansa.

Hurlock., Elizabeth. B. (1980). Developmental psychology a life-span approach. New Delhi:

Tata Mcgraw-hill Publishing Company ltd.

34

Kisni, T. D., & Hudaniyah. (2001). Psikologi sosial jilid 1. Malang: Universitas

Muhammadiyah Malang Press.

Koeswara, E. (1988). Agresi manusia. Bandung: PT. Eresco.

Lemme, B. H. (1995). Development in adulthood. Boston : Allyn & Bacon.

Malik, Muh., Anas. (2007). Pengantar psikologi sosial. Makassar: Badan Penerbit UNM.

Nggermanto, A. (2002). Quantum quotient (kecerdasan quantum): cara cepat melejitkan iq,

EQ dan SQ secara harmonis. Bandung: Penerbit Nuansa.

Notoatmodjo., Soekidjo, (2002). Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Oetami., Putri., & Kwartarini., Yuniarti, W. (2011). Orientasi kebahagiaan siswa SMA,

tinjauan psikologi indigenous pada siswa laki-laki dan perempuan. Journal of

humanitas. 7(2), Agustus 2011.

Primasari, A. (2012). What make teenagers happy? An exploratory study using indigenous

psychology approach. International Journal of Research Studies in Psychology.

1(2), 53-61.

Putri., Adelia, K. (2012). Sadness as perceived by Indonesian male and female adolescents.

International Journal of Research Studies in Psychology. 1(1), 27-36.

Ritonga, R. (1997). Statistika untuk Penelitian Psikologi dan Penelitian. Jakarta: Lembaga.

Santrock, John. W. (2002). Life-Span Development – Edisi Kelima – Jilid 2.

Jakarta : Penerbit Erlangga

Saphiro., Lawrence, E. (1998). Mengajarkan emotional intelligence pada anak. Jakarta: PT

Gramedia Pustaka Utama.

Sarason, I. G., Levine, H. M., Basham, R. B., & Sarason, B. R. (1983). Assessing social

support: the social support questionnaire. Journal of personality and social

psychology, 44 (1), 127-139.

Sarwono, S. W. (2002). Psikologi sosial. Jakarta: Balai Pustaka.

Seligman. (2005). Authentic happiness oleh jalaludin rahmad. Jakarta: Mizan.

Setiabudhi., Tony., & Hardywinarto. (2002). SKM anak unggul berotak prima. Jakarta: PT.

Gramedia Pustaka Utama.

Snyder, C. R., & Lopes, S. J. (2002). Handbook of positive psychology. New York: Oxford

University Press.

Zamzami, A. (2007). Agresifitas siswa SMK DKI Jakarta. Jurnal Pendidikan Dan

Kebudayaan, tahun ke-13, (069).