pengaruh kemiskinan, anggaran kesehatan dan...
TRANSCRIPT
PENGARUH KEMISKINAN, ANGGARAN KESEHATAN DAN
PENDIDIKAN TERHADAP PEMBANGUNAN MANUSIA DI
LIMA PROVINSI KAWASAN TIMUR INDONESIA (KTI)
TAHUN 2010-2018
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Ekonomi (S.E.)
Oleh
Octavira Maretta
NIM. 11150840000059
PROGRAM STUDI EKONOMI PEMBANGUNAN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H / 2019 M
ii
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING
iii
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN KOMPREHENSIF
iv
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH
v
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI
vi
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
I. Identitas Pribadi
1. Nama Lengkap : Octavira Maretta
2. Tempat/ Tanggal Lahir : Sleman, 29 Oktober 1997
3. Alamat : Jl. Cendrawasih V No. 55A RT 003/RW 003
Sawah Baru, Ciputat, Tangerang Selatan
4. Telepon : 081310669312
5. Email : [email protected] /
II. Pendidikan Formal
1. SD Negeri Sawah Baru 2 Tahun 2003-2009
2. SMP Negeri 6 Tangerang Selatan Tahun 2009-2012
3. SMA Negeri 1 Tangerang Selatan Tahun 2012-2015
4. S1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2015-2019
III. Pengalaman Organisasi
1. Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Ekonomi Pembangunan Fakultas
Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016-2017
IV. Pengalaman Professional
1. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kementerian
Keuangan (Kemenkeu), Desember 2018 – Januari 2019.
V. Pengalaman Karya Tulis Ilmiah (KTI)
1. Economic Call For Paper National Championship (ECLASHIP), UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016.
2. Incredible Research and National Competition (INSTINCT), Universitas
Riau, 2017.
3. Konferensi Internasional “Good Local Governance”, Selcuk Municipality
dan Social Sciences Research Society (SoSReS), Izmir Turki, 2018.
vii
ABSTRACT
Maretta, O. The Impacts of Poverty, Health and Education Budgets on
Human Development in the Five Provinces of Eastern Indonesia (KTI) for
Year 2010-2018.
Eastern Indonesia is an area which mainly consists of provinces with low levels of
human development and high levels of poverty. The role of the provincial
government in alleviating poverty and allocating budgets for health and education
sector that can support human development efforts is urgently needed. Therefore,
this study aims to analyze the extent of the impacts of Poverty Rate, Health and
Education Budgets on Human Development in the Five Provinces of Eastern
Indonesia (KTI) for year 2010-2018. The author used secondary data obtained
from the Statistics Indonesia (BPS) and Directorate General of Fiscal Balance of
the Ministry of Finance of the Republic of Indonesia. This study was conducted
using panel data analysis with the approach of Fixed Effect Model (FEM). The
results of this study indicate that poverty rate, health and education budgets
simultaneously have a significant effect on human development. Partially, an
increase in poverty rate will reduce human development. Then an increase in the
health budget will reduce human development. This can occur due to
inefficiencies in budget allocation. Meanwhile, increasing the education budget
will increase human development in the five provinces of Eastern Indonesia.
Keywords: Human Development, Poverty Rate, Health Budget, Education
Budget, Fixed Effect Model (FEM).
viii
ABSTRAK
Maretta, O. Pengaruh Kemiskinan, Anggaran Kesehatan dan Pendidikan
Terhadap Pembangunan Manusia di Lima Provinsi Kawasan Timur
Indonesia (KTI) Tahun 2010-2018
Indonesia Timur merupakan kawasan yang sebagian besar terdiri dari provinsi-
provinsi dengan tingkat pembangunan manusia rendah dan tingkat kemiskinan
yang cukup tinggi. Peran pemerintah provinsi dalam mengentaskan kemiskinan
serta mengalokasikan anggaran untuk kesehatan dan pendidikan yang dapat
mendukung upaya pembangunan manusia sangat dibutuhkan. Oleh karena itu,
penelitian ini bertujuan untuk menganalisis sejauh mana pengaruh Tingkat
Kemiskinan, Anggaran Kesehatan dan Pendidikan terhadap Pembangunan
Manusia di Lima Provinsi Kawasan Timur Indonesia (KTI) tahun 2010-2018.
Penulis menggunakan data sekunder yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik
(BPS) dan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kementerian
Keuangan Republik Indonesia. Penelitian dilakukan menggunakan analisis data
panel dengan pendekatan Fixed Effect Model (FEM). Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan, anggaran kesehatan dan pendidikan
secara simultan berpengaruh signifikan terhadap pembangunan manusia. Secara
parsial, peningkatan tingkat kemiskinan akan menurunkan pembangunan manusia.
Kemudian peningkatan anggaran kesehatan akan menurunkan pembangunan
manusia. Hal ini dapat terjadi karena adanya inefisiensi dalam pengalokasian
anggaran. Sementara itu, peningkatan anggaran pendidikan akan meningkatkan
pembangunan manusia di lima provinsi Kawasan Timur Indonesia.
Kata Kunci: Pembangunan Manusia, Tingkat Kemiskinan, Anggaran
Kesehatan, Anggaran Pendidikan, Fixed Effect Model (FEM).
ix
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.
Segala puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT
yang telah melimpahkan nikmat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “PENGARUH KEMISKINAN,
ANGGARAN KESEHATAN DAN PENDIDIKAN TERHADAP
PEMBANGUNAN MANUSIA DI LIMA PROVINSI KAWASAN TIMUR
INDONESIA (KTI) TAHUN 2010-2018” dengan baik. Shalawat serta salam
senantiasa penulis curahkan kepada Baginda Nabi Muhammad SAW yang telah
memberikan syafa’at kepada umatnya dari zaman jahiliyah hingga zaman yang
penuh dengan ilmu pengetahuan.
Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi syarat-syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Ekonomi di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta. Penulisan dan penyusunan skripsi ini dapat selesai dengan
bantuan serta dukungan dari pihak-pihak yang telah membantu penulis. Oleh
karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Orang tua penulis, Ibu Suwarni dan Bapak Ngadirin yang selalu memberikan
doa, restu, dukungan, dan motivasi yang tiada henti sehingga penulis
mendapatkan motivasi dan semangat dalam menyelesaikan skripsi ini. Serta
adik penulis, Resqita yang telah memberikan dukungan kepada penulis.
Terima kasih yang sebesar-besarnya atas segala dukungan dan motivasi yang
telah diberikan, semoga Allah SWT senantiasa selalu melindungi.
2. Bapak Dr. Amilin, SE., Ak., M.Si., CA, BKP., QIA selaku Dekan Fakultas
Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Dr. M. Hartana I. Putra, M.Si selaku ketua program studi dan Bapak
Deni Pandu Nugraha, SE., M.Sc selaku sekretaris program studi Ekonomi
Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Bapak Arisman, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan
waktu, memberikan arahan, serta ilmu pengetahuan yang bermanfaat kepada
penulis selama menyelesaikan penulisan skripsi. Semoga Bapak selalu
diberikan keberkahan dan kesehatan oleh Allah SWT.
x
5. Ibu Utami Baroroh, M.Si selaku dosen pembimbing akademik yang selalu
memberikan bimbingan, motivasi, dan ilmu pengetahuan yang sangat
bermanfaat kepada penulis selama masa perkuliahan. Semoga Ibu selalu
dilindungi dan diberikan keberkahan serta kesehatan oleh Allah SWT.
6. Seluruh dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis yang telah memberikan ilmu
yang berguna dan bermanfaat selama perkuliahan, serta jajaran staf dan
karyawan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu dan
melayani penulis selama menyelesaikan masa perkuliahan.
7. Teman-teman satu perjuangan, dua belas orang yang telah bersedia
meluangkan waktu dan tenaga untuk membantu penulis dalam melewati
masa-masa perkuliahan. Semoga kalian selalu diberi kemudahan dan
kesehatan.
8. Teman-teman Kuliah Kerja Nyata (KKN) 186 yang telah memberikan
pengalaman berharga selama satu bulan menjalani KKN di desa. Semoga
kalian selalu diberi kemudahan dan kesehatan.
9. Teman-teman Ekonomi Pembangunan 2015.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan karena
masih adanya keterbatasan ilmu pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki. Oleh
sebab itu, penulis mengharapkan segala bentuk kritik dan saran yang membangun
untuk tercapainya hasil yang lebih baik.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Jakarta, Juni 2019
Octavira Maretta
xi
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ...................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN KOMPREHENSIF .................................. iii
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH ........................... iv
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI .................................................... v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ............................................................................ vi
ABSTRACT .......................................................................................................... vii
ABSTRAK .......................................................................................................... viii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... ix
DAFTAR ISI ......................................................................................................... xi
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xiii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xiv
DAFTAR GRAFIK ............................................................................................. xv
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xvi
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................. 1
B. Identifikasi Masalah ................................................................................... 10
C. Batasan Masalah......................................................................................... 10
D. Rumusan Masalah ...................................................................................... 11
E. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ................................................. 12
F. Tinjauan Kajian Terdahulu ........................................................................ 13
G. Sistematika Penulisan ................................................................................ 19
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 20
A. Pembangunan Manusia .............................................................................. 20
B. Kemiskinan ................................................................................................ 24
C. Pengeluaran Pemerintah Sektor Kesehatan dan Pendidikan ...................... 29
D. Hubungan Antar Variabel .......................................................................... 32
1. Hubungan Kemiskinan dengan Pembangunan Manusia ........................ 32
2. Hubungan Anggaran Kesehatan dengan Pembangunan Manusia .......... 33
3. Hubungan Anggaran Pendidikan dengan Pembangunan Manusia ......... 33
xii
E. Kerangka Pemikiran ................................................................................... 34
F. Hipotesis ..................................................................................................... 35
BAB III METODE PENELITIAN .................................................................... 36
A. Populasi dan Sampel .................................................................................. 36
B. Tempat dan Waktu Penelitian .................................................................... 37
C. Sumber Data ............................................................................................... 37
D. Instrumen Penelitian................................................................................... 38
E. Teknik Pengumpulan Data ......................................................................... 39
F. Teknik Pengolahan Data ............................................................................ 39
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN ...................................................... 46
A. Gambaran Umum Objek Penelitian ........................................................... 46
1. Nusa Tenggara Timur (NTT) ................................................................. 48
2. Gorontalo ................................................................................................ 51
3. Maluku .................................................................................................... 53
4. Papua Barat ............................................................................................. 56
5. Papua ...................................................................................................... 59
B. Temuan Hasil Penelitian ............................................................................ 62
1. Uji Asumsi Klasik .................................................................................. 62
2. Analisis Model Data Panel ..................................................................... 63
3. Uji Hipotesis ........................................................................................... 69
4. Analisis Ekonomi ................................................................................... 72
BAB V PENUTUP ............................................................................................... 76
A. Kesimpulan ................................................................................................ 76
B. Saran ........................................................................................................... 77
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 79
LAMPIRAN-LAMPIRAN ................................................................................. 82
xiii
DAFTAR TABEL
No Keterangan Halaman
1.1 Penelitian Sebelumnya ............................................................................... 13
3.1 Sampel Penelitian ....................................................................................... 36
4.1 Proyeksi Penduduk Kawasan Timur Indonesia (ribu jiwa)........................ 46
4.2 Jumlah Penduduk Miskin Kawasan Timur Indonesia (ribu jiwa) .............. 47
4.3 Anggaran Kesehatan dan Pendidikan (dalam Rupiah) NTT ...................... 49
4.4 Anggaran Kesehatan dan Pendidikan (dalam Rupiah) Gorontalo ............. 52
4.5 Anggaran Kesehatan dan Pendidikan (dalam Rupiah) Maluku ................. 55
4.6 Anggaran Kesehatan dan Pendidikan (dalam Rupiah) Papua Barat .......... 57
4.7 Anggaran Kesehatan dan Pendidikan (dalam Rupiah) Papua .................... 60
4.8 Hasil Uji Heteroskedastisitas ..................................................................... 62
4.9 Hasil Uji Multikolinearitas ......................................................................... 63
4.10 Hasil Uji Chow ........................................................................................... 64
4.11 Hasil Uji Hausman ..................................................................................... 64
4.12 Regresi Data Panel dengan Fixed Effect Model ......................................... 65
4.13 Interpretasi Fixed Effect Model .................................................................. 67
4.14 Koefisien Determinasi ................................................................................ 69
4.15 Hasil Uji F-Statistik ................................................................................... 70
4.16 Hasil Uji t-Statistik ..................................................................................... 71
xiv
DAFTAR GAMBAR
No Keterangan Halaman
2.1 Kerangka Berpikir ...................................................................................... 34
3.1 Model Regresi Data Panel .......................................................................... 43
4.1 Hasil Uji Normalitas .................................................................................. 62
xv
DAFTAR GRAFIK
No Keterangan Halaman
1.1 Indeks Pembangunan Manusia Lima Provinsi KTI Tahun 2018 ................. 2
1.2 Angka Harapan Hidup saat Lahir Lima Provinsi KTI Tahun 2018 ............. 3
1.3 Harapan Lama Sekolah dan Rata-rata Lama Sekolah
Lima Provinsi KTI Tahun 2018 (dalam tahun) ........................................... 4
1.4 Pengeluaran per Kapita (orang/tahun) Lima Provinsi KTI
Tahun 2018 (dalam Juta Rupiah) ................................................................. 5
1.5 Tingkat Kemiskinan Lima Provinsi KTI Tahun 2018 (dalam persen) ........ 6
1.6 Anggaran Kesehatan dan Pendidikan Indonesia (dalam Miliar Rupiah) ..... 8
1.7 Anggaran Kesehatan dan Pendidikan Lima Provinsi KTI
Tahun 2018 (dalam Miliar Rupiah) ............................................................. 9
4.1 Tingkat Kemiskinan (dalam persen) NTT ................................................. 48
4.2 Indeks Pembangunan Manusia NTT .......................................................... 50
4.3 Tingkat Kemiskinan (dalam persen) Gorontalo ......................................... 51
4.4 Indeks Pembangunan Manusia Gorontalo ................................................. 53
4.5 Tingkat Kemiskinan (dalam persen) Maluku ............................................. 54
4.6 Indeks Pembangunan Manusia Maluku ..................................................... 55
4.7 Tingkat Kemiskinan (dalam persen) Papua Barat ...................................... 56
4.8 Indeks Pembangunan Manusia Papua Barat .............................................. 58
4.9 Tingkat Kemiskinan (dalam persen) Papua ............................................... 59
4.10 Indeks Pembangunan Manusia Papua ........................................................ 61
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
No Keterangan Halaman
1 Uji Asumsi Klasik
A. Uji Normalitas ............................................................................... 82
B. Uji Heteroskedastisitas .................................................................. 82
C. Uji Multikolinearitas ...................................................................... 82
2 Hasil Olah Data Panel
A. Common Effect Model (Pooled Least Squares) ............................. 83
B. Fixed Effect Model (FEM) ............................................................. 84
C. Uji Chow ........................................................................................ 85
D. Random Effect Model (REM) ........................................................ 86
E. Uji Hausman .................................................................................. 87
3 Data Penelitian ........................................................................................ 88
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembangunan ekonomi adalah upaya atau proses untuk melakukan
perubahan ke arah yang lebih baik dengan tujuan untuk menyejahterakan
masyarakat. Pada awalnya, pembangunan ekonomi suatu negara dikatakan dapat
berhasil jika negara tersebut mampu menciptakan peningkatan produksi
semaksimal mungkin di mana dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang
tinggi. Kemudian pemahaman mengenai pembangunan yang berhasil dilakukan
oleh suatu negara mengalami pergeseran. Pembangunan suatu negara dianggap
berhasil tidak hanya diukur dari aspek perekonomian saja, melainkan juga dari
aspek kualitas masyarakat atau Sumber Daya Manusia (SDM) di negara tersebut.
Oleh karena itu, ukuran keberhasilan pembangunan suatu negara untuk mencapai
kesejahteraan selain dari peningkatan pendapatan juga dilihat dari adanya
peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Sumber daya manusia memiliki peran yang penting bagi keberhasilan
pembangunan ekonomi suatu negara. Dalam melihat kemajuan perekonomian
negara, faktor kualitas pembangunan manusia menjadi determinan lain yang perlu
diperhatikan khususnya bagi negara dengan jumlah penduduk yang melimpah
seperti Indonesia. Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan salah satu faktor
produksi selain sumber daya alam, modal, maupun teknologi yang berkontribusi
dalam pembangunan ekonomi. Tercapainya SDM yang dapat bersaing dalam
pasar internasional dilihat dari keberhasilan upaya suatu negara dalam
membangun kualitas manusianya. United Nations Development Programme
(UNDP) telah mengeluarkan indeks yang dapat menggambarkan tingkat
pembangunan manusia di seluruh negara termasuk Indonesia yaitu Indeks
Pembangunan Manusia (Human Development Index).
Menurut UNDP, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) digunakan untuk
menggambarkan bahwa menilai pembangunan suatu negara tidak hanya dari
pertumbuhan ekonomi saja, melainkan juga menjadikan masyarakat dan
kemampuan mereka sebagai kriteria utama. IPM menggambarkan kunci
2
keberhasilan dari pembangunan manusia, yaitu hidup yang sehat dan berumur
panjang, berpengetahuan, serta memiliki standar kehidupan yang layak. Hal ini
berarti negara dengan tingkat pembangunan manusia yang tinggi menggambarkan
kondisi di mana tercapainya kesejahteraan bagi sebagian besar masyarakat, juga
tersedianya fasilitas yang layak bagi setiap individu untuk memperoleh akses
kesehatan, pendidikan, memperluas pengetahuan, kesempatan meningkatkan
kesejahteraan, dan mengembangkan potensi yang dimiliki.
Jika dilihat dari sekitar 189 negara (United Nations Development
Programme, 2018), peringkat Indeks Pembangunan Manusia yang dicapai oleh
Indonesia ini dapat dikatakan cukup baik. Sayangnya peningkatan yang dicapai
oleh Indonesia ini masih berada di kategori menengah. Hal ini dapat terlihat dari
sebagian besar daerah di Indonesia khususnya Kawasan Timur Indonesia (KTI)
yang masih berada pada kategori tingkat pembangunan manusia rendah dan
menengah. Indonesia seharusnya dapat memperbaiki tingkat pembangunan
manusia menjadi maju atau bahkan sangat maju melihat potensi SDM yang
melimpah. Namun, melimpahnya jumlah SDM yang dimiliki jika tidak diiringi
dengan adanya komitmen negara untuk melakukan pembangunan manusia yang
baik tentu saja akan menjadi sia-sia.
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS), April 2019 (diolah oleh penulis)
Sebagian besar provinsi dengan tingkat pembangunan manusia yang masih
rendah berada di Kawasan Timur Indonesia. Terdapat sepuluh provinsi dari tiga
belas provinsi di Indonesia Timur yang masih memiliki indeks pembangunan
manusia rendah hingga menengah. Sementara tiga provinsi lainnya, yaitu Bali,
Sulawesi Utara, dan Sulawesi Selatan sudah memiliki indeks pembangunan
64,39
67,71 68,87
63,74
60,06
56
61
66
71
NTT Gorontalo Maluku Papua Barat Papua
Grafik 1.1. Indeks Pembangunan Manusia Lima Provinsi
KTI Tahun 2018
3
manusia maju. Grafik 1.1 di atas menggambarkan lima provinsi di Kawasan
Timur Indonesia dengan nilai IPM yang masih rendah di antara provinsi lainnya.
Dari lima provinsi tersebut, Provinsi Papua memiliki nilai IPM yang terendah
yaitu sebesar 60,06. Sedangkan empat provinsi lainnya memiliki nilai IPM yang
sudah berada di atas 60. Papua merupakan provinsi satu-satunya di Indonesia
dengan tingkat pembangunan manusia yang masih rendah. Sedangkan Nusa
Tenggara Timur, Gorontalo, Maluku, dan Papua Barat termasuk ke dalam
beberapa provinsi dengan tingkat pembangunan manusia menengah di Indonesia.
Dalam perhitungan IPM menurut BPS, terdapat tiga dimensi dasar yaitu
umur panjang dan hidup sehat dari sisi kesehatan, pengetahuan dari sisi
pendidikan, serta standar hidup yang layak dari sisi kesejahteraan masyarakat.
Terdapat empat aspek yang perlu diperhatikan dalam IPM, di antaranya adalah
Angka Harapan Hidup (AHH) saat lahir, harapan lama sekolah, rata-rata lama
sekolah, dan pengeluaran per kapita. Oleh karena itu, empat aspek ini perlu
diperhatikan untuk melihat bagaimana kondisi pembangunan manusia di lima
provinsi Kawasan Timur Indonesia.
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS), April 2019 (diolah oleh penulis)
Angka Harapan Hidup merupakan rata-rata tahun hidup yang akan dijalani
oleh setiap bayi yang baru lahir. Menurut BPS, AHH dapat digunakan sebagai alat
evaluasi kinerja pemerintah dalam meningkatkan kesehatan masyarakat.
Berdasarkan grafik 1.2 di atas, Gorontalo memiliki AHH yang tertinggi di antara
provinsi lainnya, yaitu 67,45 tahun. Hal ini berarti bayi-bayi yang dilahirkan
menjelang tahun 2018 di Gorontalo akan dapat hidup sampai 67 hingga 67,5
tahun. Sedangkan Papua memiliki AHH yang paling rendah, yaitu 65,36 tahun.
66,38
67,45
65,59 65,55 65,36
64,00
65,00
66,00
67,00
68,00
NTT Gorontalo Maluku Papua Barat Papua
Grafik 1.2. Angka Harapan Hidup saat Lahir
Lima Provinsi KTI Tahun 2018 (dalam tahun)
4
Hal ini berarti bayi-bayi yang dilahirkan menjelang tahun 2018 di Papua akan
dapat hidup sampai 65 hingga 65,5 tahun.
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS), April 2019 (diolah oleh penulis)
Menurut BPS, Harapan Lama Sekolah didefinisikan sebagai lamanya
sekolah yang akan dicapai oleh anak-anak pada umur tertentu di masa mendatang
di mana dihitung untuk penduduk berusia 7 tahun ke atas. Berdasarkan grafik 1.3
di atas, Maluku memiliki angka HLS yang tertinggi dan Papua adalah yang
terendah. Secara rata-rata anak usia 7 tahun di Maluku yang memasuki jenjang
pendidikan formal pada tahun 2018 memiliki peluang untuk bersekolah selama
13,92 tahun atau setara dengan diploma II, sedangkan anak usia 7 tahun di Papua
memiliki peluang untuk bersekolah selama 10,83 tahun atau setara dengan kelas
dua pada tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) atau yang sederajat.
Menurut BPS, Rata-rata Lama Sekolah didefinisikan sebagai jumlah tahun
penduduk usia 15 tahun ke atas yang telah digunakan untuk menyelesaikan
pendidikan formal tanpa menghitung tahun mengulang. Berdasarkan grafik 1.3 di
atas, Maluku memiliki angka rata-rata lama sekolah yang tertinggi sedangkan
Papua adalah yang terendah. Hal ini menunjukkan bahwa penduduk usia 15 tahun
ke atas di Maluku rata-rata telah menyelesaikan pendidikan formal selama 9,58
hingga 10 tahun atau sampai kelas satu SMA/sederajat. Sementara itu, penduduk
usia 15 tahun ke atas di Papua rata-rata telah bersekolah selama 6,52 hingga 7
tahun atau hanya sampai kelas satu Sekolah Menengah Pertama/sederajat.
13,10 13,03 13,92
12,53
10,83
7,3 7,46
9,58
7,27 6,52
0
5
10
15
NTT Gorontalo Maluku Papua Barat Papua
Grafik 1.3. Harapan Lama Sekolah dan Rata-rata Lama
Sekolah Lima Provinsi KTI Tahun 2018 (dalam tahun)
Harapan Lama Sekolah Rata-rata Lama Sekolah
5
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS), April 2019 (diolah oleh penulis)
Menurut BPS, pengeluaran per kapita adalah biaya yang dikeluarkan oleh
rumah tangga yang digunakan untuk konsumsi selama periode tertentu dibagi
dengan jumlah anggota rumah tangga. Pengeluaran rumah tangga dapat digunakan
sebagai salah satu alat untuk mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat.
Berdasarkan grafik 1.4 di atas, pengeluaran per kapita Gorontalo pada tahun 2018
sebesar 9,84 juta rupiah artinya secara rata-rata setiap orang mengeluarkan 9,84
juta rupiah dalam setahun untuk konsumsi. Sementara itu, pengeluaran per kapita
Papua adalah yang terendah yakni 7,16 juta rupiah. Hal ini berarti secara rata-rata
setiap orang mengeluarkan 7,16 juta rupiah dalam setahun untuk konsumsi.
Berdasarkan hasil penelitian Adelfina & Jember (2016) yang dilakukan
untuk melihat pembangunan manusia di Provinsi Bali, terdapat hubungan yang
negatif dan signifikan antara tingkat kemiskinan dan pembangunan manusia.
Pernyataan ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Muliza,
Zulham, & Seftarita (2017) dengan studi kasus Provinsi Aceh. Menurut hasil
penelitian Adelfina & Jember (2016) serta Muliza et al. (2017), tingkat
kemiskinan yang tinggi dapat berdampak pada penurunan indeks pembangunan
manusia. Upaya pengentasan kemiskinan yang menjadi target dalam Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals) merupakan salah
satu fokus bagi pemerintah Indonesia. Hal ini dikarenakan kemiskinan masih
dianggap sebagai permasalahan utama yang menghambat pembangunan manusia
7,57
9,84 8,72
7,82 7,16
-
2
4
6
8
10
12
NTT Gorontalo Maluku Papua Barat Papua
Grafik 1.4. Pengeluaran per Kapita (orang/tahun) Lima
Provinsi KTI Tahun 2018 (dalam Juta Rupiah)
6
Indonesia. Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang rendah dapat
mencerminkan masih rendahnya tingkat produktivitas masyarakat.
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS), Januari 2019 (diolah oleh penulis)
Grafik 1.5 di atas menggambarkan tingkat kemiskinan pada lima provinsi
dengan nilai indeks pembangunan manusia yang masih rendah di Kawasan Timur
Indonesia. Lima provinsi tersebut merupakan provinsi dengan tingkat kemiskinan
yang tertinggi di antara sepuluh provinsi Kawasan Timur Indonesia yang memiliki
indeks pembangunan manusia rendah hingga menengah. Berdasarkan data dari
Badan Pusat Statistik (BPS), Papua merupakan provinsi dengan tingkat
kemiskinan yang paling tinggi di antara lima provinsi tersebut. Provinsi Papua
memiliki tingkat kemiskinan pada tahun 2018 sebesar 27,43 persen dengan
jumlah penduduk miskin sebanyak 915,22 ribu jiwa. Sementara itu, tingkat
kemiskinan Provinsi Papua Barat berada di bawah Papua dengan persentase
sebesar 22,66 persen dan jumlah penduduk miskin sebanyak 213,67 ribu jiwa.
Dari lima provinsi tersebut, Gorontalo merupakan provinsi dengan tingkat
kemiskinan terendah yakni sebesar 15,83 persen dan jumlah penduduk miskin
sebanyak 188,30 ribu jiwa.
Dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, telah diamanatkan bahwa negara bertanggung jawab melindungi
segenap bangsa Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum untuk
mewujudkan keadilan sosial. Oleh karena itu, diperlukan adanya upaya yang
terarah, terpadu, serta berkelanjutan antara pemerintah pada tingkat pusat maupun
21,03
15,83 17,85
22,66
27,43
0
5
10
15
20
25
30
NTT Gorontalo Maluku Papua Barat Papua
Grafik 1.5. Tingkat Kemiskinan Lima Provinsi KTI
Tahun 2018 (dalam persen)
7
daerah dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Peningkatan kualitas
SDM tidak sepenuhnya diserahkan kepada pasar melainkan diperlukan adanya
intervensi dari pemerintah melalui pengeluaran pemerintah. Peran pengeluaran
pemerintah sangat penting karena menunjukkan komitmen pemerintah dalam
pembangunan ekonomi khususnya pembangunan manusia.
Menurut hasil penelitian Adelfina & Jember (2016), terdapat hubungan
yang signifikan antara pengeluaran pemerintah dalam hal ini belanja daerah
dengan tingkat pembangunan manusia. Penelitian yang dilakukan oleh Dianaputra
& Aswitari (2017), Kusumaningrum (2018), serta Zulyanto (2018) juga
mendukung pernyataan ini di mana pengeluaran pemerintah khususnya pada
sektor kesehatan dan pendidikan memiliki hubungan yang signifikan terhadap
pembangunan manusia. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pengeluaran
pemerintah berkontribusi dalam peningkatan pembangunan manusia. Pengeluaran
pemerintah merupakan salah satu instrumen dalam kebijakan fiskal yang
mencerminkan peran pemerintah dalam mengatur perekonomian di suatu wilayah.
Dalam hal pembangunan manusia, pengeluaran pemerintah khususnya di
sektor kesehatan dan pendidikan berperan penting untuk meningkatkan
produktivitas serta kualitas sumber daya masyarakat di daerah-daerah.
Berdasarkan penelitian Dianaputra & Aswitari (2017) serta Zulyanto (2018),
ditemukan hasil bahwa pengeluaran pemerintah di suatu wilayah pada sektor
kesehatan dan pendidikan dapat meningkatkan pembangunan manusia sehingga
meningkatkan kualitas sumber daya manusia di wilayah tersebut. Menurut
Suparno (2014), kesehatan adalah inti dari kesejahteraan dan pendidikan adalah
hal yang pokok untuk mencapai kehidupan yang layak. Kedua sektor ini berperan
penting dalam meningkatkan produktivitas dan memperbaiki tingkat kesejahteraan
masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia mengalokasikan anggaran
belanja dalam jumlah tertentu pada sektor kesehatan dan pendidikan.
Berdasarkan data The World Bank (2019), Indonesia memiliki
pengeluaran pemerintah untuk sektor kesehatan sebesar 3,12% dari PDB, dan
untuk sektor pendidikan sebesar 3,6% dari PDB (The World Bank, 2019b).
Anggaran sektor kesehatan dan pendidikan di Indonesia bersifat mandatory yakni
pemenuhan belanja yang diamanatkan oleh peraturan undang-undang (mandatory
8
spending). Sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 36 tahun 2009 tentang
Kesehatan, pemerintah Indonesia telah mengalokasikan anggaran untuk sektor
kesehatan sebesar 5% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di
luar gaji. Sementara untuk sektor pendidikan, pemerintah Indonesia
mengalokasikan anggaran minimal sebesar 20% dari APBN di luar gaji pendidik
dan biaya pendidikan kedinasan. Hal ini sesuai dengan amanat UU Nomor 20
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Sumber: Kementerian Keuangan Republik Indonesia (Kemenkeu RI), 2018
(diolah oleh penulis)
Sesuai amanat UU Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, pemerintah
daerah provinsi mengalokasikan anggaran kesehatan minimal sebesar 10% dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di luar gaji. Sementara untuk
sektor pendidikan sesuai dengan amanat UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, pemerintah daerah mengalokasikan anggaran minimal
sebesar 20% dari APBD di luar gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan.
Dengan demikian, pemerintah pada tingkat daerah pun berkewajiban
meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia melalui besaran anggaran
kesehatan dan pendidikan yang dialokasikan dari APBD. Hal ini juga sesuai
dengan adanya sistem otonomi daerah di Indonesia.
28,8 39,4 41,5 48,2 61,0
74,8 104,1 104,0
225,2
266,9
310,8
345,3 375,4
408,5 416,6 416,1
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
Grafik 1.6. Anggaran Kesehatan dan Pendidikan Indonesia
(dalam Miliar Rupiah)
Anggaran Kesehatan Anggaran Pendidikan
9
Sumber: Drektorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kemenkeu RI, 2018
(diolah oleh penulis)
Dari grafik di atas, pemerintah provinsi Papua Barat mengalokasikan
anggaran kesehatan dengan jumlah yang terendah di antara provinsi lainnya yaitu
sebesar 110 miliar rupiah. Sementara pada sektor pendidikan, pemerintah provinsi
Gorontalo juga mengalokasikan besaran dengan jumlah yang terendah sebesar 434
miliar rupiah. Papua memiliki anggaran kesehatan dan pendidikan yang cukup
tinggi meskipun memiliki Indeks Pembangunan Manusia yang paling rendah dan
tingkat kemiskinan yang paling tinggi dibandingkan provinsi lainnya. Anggaran
kesehatan Papua pada tahun 2018 adalah sebesar 903 miliar rupiah sedangkan
anggaran pendidikan sebesar 1,5 triliun rupiah. Bahkan besaran alokasi anggaran
pemerintah provinsi Papua untuk kedua sektor ini dapat dikatakan lebih tinggi
dari beberapa provinsi yang memiliki indeks pembangunan manusia dan tingkat
kemiskinan yang lebih baik.
Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah SDM yang banyak.
Bahkan negara ini termasuk dalam negara dengan jumlah penduduk terbanyak di
dunia. Sayangnya aset SDM yang dimiliki oleh Indonesia belum dimanfaatkan
secara optimal. Berdasarkan data UNDP, Indonesia memiliki tingkat
pembangunan manusia yang masih berada di kategori menengah. Kondisi ini juga
tercermin dari sebagian besar provinsi di Indonesia yang masih termasuk dalam
kategori tingkat pembangunan manusia menengah. Bahkan masih terdapat
provinsi di Indonesia yang berada dalam tingkat pembangunan manusia rendah.
306 131
285 110
903
1.191
434
761 603
1.540
0
500
1.000
1.500
2.000
NTT Gorontalo Maluku Papua Barat Papua
Grafik 1.7. Anggaran Kesehatan dan Pendidikan Lima
Provinsi KTI Tahun 2018 (dalam Miliar Rupiah)
Kesehatan Pendidikan
10
Sebagian besar provinsi ini berada di Kawasan Timur Indonesia yang berdasarkan
letak wilayahnya dapat dikatakan sangat jauh dari pusat ibu kota negara DKI
(Daerah Khusus Ibu kota) Jakarta. Masih rendahnya tingkat pembangunan
manusia pada beberapa provinsi di Indonesia ini juga diiringi dengan masih
tingginya tingkat kemiskinan. Selain pemerintah pusat yang telah mengalokasikan
pengeluaran untuk sektor kesehatan dan pendidikan dari APBN, pemerintah
daerah dalam hal ini tingkat provinsi pun telah mengalokasikan anggaran untuk
kedua sektor tersebut. Hal ini dilakukan sebagai bentuk investasi publik dengan
harapan dapat meningkatkan kualitas dan produktivitas SDM. Maka dari itu,
upaya pengentasan kemiskinan serta pengalokasian anggaran kesehatan dan
pendidikan yang efektif perlu dilakukan sehingga peningkatan pembangunan
manusia di Kawasan Timur Indonesia dapat dengan mudah tercapai.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, identifikasi
masalah yang akan dijadikan sebagai pembahasan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
a. Masih rendahnya tingkat pembangunan manusia pada beberapa provinsi di
Kawasan Timur Indonesia (KTI).
b. Masih tingginya tingkat kemiskinan pada beberapa provinsi di Kawasan
Timur Indonesia (KTI), khususnya provinsi-provinsi dengan tingkat
pembangunan manusia yang rendah di antara provinsi lainnya.
c. Signifikansi peran pemerintah daerah dalam hal ini tingkat provinsi di
Kawasan Timur Indonesia (KTI) melalui anggaran daerah fungsi kesehatan
dan pendidikan dalam upaya peningkatan pembangunan manusia.
C. Batasan Masalah
Penulis membatasi penelitian pada provinsi-provinsi di Kawasan Timur
Indonesia dengan nilai indeks pembangunan manusia yang rendah dan tingkat
kemiskinan yang tertinggi. Provinsi tersebut di antaranya adalah Nusa Tenggara
Timur, Gorontalo, Maluku, Papua Barat, dan Papua. Tahun penelitian dari 2010
hingga 2018 dipilih karena menyesuaikan dengan perhitungan Indeks
Pembangunan Manusia menggunakan metode baru. Tingkat kemiskinan pada
11
provinsi-provinsi tersebut digunakan untuk melihat bagaimana dampaknya
terhadap upaya pembangunan manusia. Anggaran belanja daerah fungsi kesehatan
dan pendidikan dipilih karena penulis bermaksud melihat sejauh mana peran atau
kontribusi dari pemerintah daerah dalam hal ini provinsi dari sisi kesehatan dan
pendidikan dalam upaya pembangunan manusia pada wilayah tersebut.
D. Rumusan Masalah
Selama periode 2010 hingga 2018, masih terdapat tingkat pembangunan
manusia yang belum merata serta masih tingginya tingkat kemiskinan pada
beberapa provinsi di Indonesia. Selain itu, pengalokasian anggaran belanja daerah
pada beberapa provinsi untuk sektor kesehatan dan pendidikan yang belum
mencapai rasio minimal terhadap APBD sesuai undang-undang serta masih belum
tepat sasaran. Dengan demikian, hal ini dikhawatirkan dapat menghambat upaya
pemerintah dalam hal ini pemerintah provinsi untuk meningkatkan produktivitas
masyarakat khususnya bagi daerah-daerah dengan tingkat pembangunan manusia
yang terbilang masih rendah dibandingkan daerah lainnya di Indonesia, seperti
halnya beberapa provinsi di Indonesia Timur.
Berdasarkan perumusan masalah yang telah dipaparkan, maka dapat
dirumuskan dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaruh tingkat kemiskinan secara parsial terhadap pembangunan
manusia di lima provinsi Kawasan Timur Indonesia (KTI) tahun 2010-2018?
2. Bagaimana pengaruh anggaran belanja daerah fungsi kesehatan secara parsial
terhadap pembangunan manusia di lima provinsi Kawasan Timur Indonesia
(KTI) tahun 2010-2018?
3. Bagaimana pengaruh anggaran belanja daerah fungsi pendidikan secara parsial
terhadap pembangunan manusia di lima provinsi Kawasan Timur Indonesia
(KTI) tahun 2010-2018?
4. Bagaimana pengaruh tingkat kemiskinan, anggaran belanja daerah fungsi
kesehatan dan pendidikan secara simultan terhadap pembangunan manusia di
lima provinsi Kawasan Timur Indonesia (KTI) tahun 2010-2018?
12
E. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dijelaskan di atas, tujuan
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui pengaruh tingkat kemiskinan secara parsial terhadap pembangunan
manusia di lima provinsi Kawasan Timur Indonesia (KTI) tahun 2010-2018.
2. Mengetahui pengaruh anggaran belanja daerah fungsi kesehatan secara parsial
terhadap pembangunan manusia di lima provinsi Kawasan Timur Indonesia
(KTI) tahun 2010-2018.
3. Mengetahui pengaruh anggaran belanja daerah fungsi pendidikan secara parsial
terhadap pembangunan manusia di lima provinsi Kawasan Timur Indonesia
(KTI) tahun 2010-2018.
4. Mengetahui pengaruh tingkat kemiskinan, anggaran belanja daerah fungsi
kesehatan dan pendidikan secara simultan terhadap pembangunan manusia di
lima provinsi Kawasan Timur Indonesia (KTI) tahun 2010-2018.
Kemudian, manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Bagi Pemerintah Terkait
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi kontribusi serta acuan bagi
pembuat kebijakan khususnya pemerintah terkait baik pemerintah pusat
maupun provinsi dalam merencanakan pembangunan selanjutnya untuk
Indonesia sebagai negara yang memiliki sumber daya manusia melimpah
namun masih termasuk dalam kategori tingkat pembangunan manusia
menengah (medium human development).
b. Bagi Civitas Akademika
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan dan menambah wawasan
civitas akademika terkait pengaruh tingkat kemiskinan, anggaran belanja
daerah fungsi kesehatan dan pendidikan terhadap pembangunan manusia di
lima provinsi Kawasan Timur Indonesia (KTI) tahun 2010-2018 serta sebagai
bahan literatur tambahan bagi penelitian selanjutnya.
13
F. Tinjauan Kajian Terdahulu
Tabel 1.1. Penelitian Sebelumnya
No. Penulis dan
Tahun Judul Metode Hasil
1.
(Zulyanto,
2018)
Pengeluaran
Pemerintah dan
Indeks
Pembangunan
Manusia (IPM)
di Provinsi
Bengkulu
Variabel:
pengeluaran
pemerintah
sektor
infrastruktur,
kesehatan, dan
pendidikan, IPM
Analisis:
GLS
(Generalized
Least Squares)
dengan REM.
Pengeluaran pemerintah
pada sektor pendidikan
berpengaruh positif
signifikan terhadap
IPM.
Pengeluaran pemerintah
pada sektor kesehatan
dan infrastruktur
berpengaruh negatif
tidak signifikan
terhadap IPM.
2.
(Hakim &
Sukmana,
2017)
Pengaruh
Pengeluaran
Pemerintah di
Sektor
Pendidikan dan
Kesehatan
Terhadap Indeks
Pembangunan
Manusia di 16
Negara
Organisasi
Konferensi Islam
(OKI)
Variabel:
pengeluaran
pemerintah
sektor kesehatan
dan pendidikan,
serta IPM
Analisis:
analisis regresi
linear berganda
Pengeluaran pemerintah
sektor pendidikan dan
kesehatan berpengaruh
negatif tidak signifikan
terhadap IPM di 16
negara-negara OKI.
Hal ini disebabkan oleh
beberapa faktor yang
salah satunya adalah
permasalahan di sektor
pendidikan dan
kesehatan yang masih
terjadi akibat tingginya
angka korupsi.
3.
(Muliza et al.,
2017)
Analisis
Pengaruh
Belanja
Pendidikan,
Belanja
Kesehatan,
Tingkat
Variabel:
belanja
pemerintah
daerah sektor
kesehatan dan
pendidikan,
tingkat
Pengeluaran pemerintah
di sektor kesehatan dan
pendidikan tidak
berpengaruh signifikan
terhadap IPM.
Tingkat kemiskinan
berpengaruh negatif dan
14
No. Penulis dan
Tahun Judul Metode Hasil
Kemiskinan dan
PDRB Terhadap
IPM di Provinsi
Aceh
kemiskinan,
PDRB, dan IPM
Analisis:
regresi data
panel dengan
Random Effect
Model
signifikan terhadap
IPM.
PDRB berpengaruh
positif dan signifikan
terhadap IPM.
4.
(Tarumingkeng,
Rumate, &
Rotinsulu,
2018)
Pengaruh
Belanja Modal
dan Tingkat
Kemiskinan
Terhadap Indeks
Pembangunan
Manusia (IPM)
di Provinsi
Sulawesi Utara
Variabel:
belanja modal,
tingkat
kemiskinan, dan
IPM
Analisis:
Ordinary Least
Square (OLS)
Semakin besar belanja
modal akan
meningkatkan IPM.
Tingkat kemiskinan
dapat mempengaruhi
naik atau turunnya IPM.
Secara simultan, belanja
modal dan tingkat
kemiskinan
berpengaruh signifikan
terhadap IPM.
5.
(Syofya, 2018) Pengaruh
Tingkat
Kemiskinan dan
Pertumbuhan
Ekonomi
Terhadap Indeks
Pembangunan
Manusia
Indonesia
Variabel:
tingkat
kemiskinan,
pertumbuhan
ekonomi, IPM
Analisis:
regresi linear
OLS
Secara parsial, tingkat
kemiskinan dan
pertumbuhan ekonomi
berpengaruh signifikan
terhadap IPM.
Secara simultan, tingkat
kemiskinan dan
pertumbuhan ekonomi
berpengaruh signifikan
terhadap IPM.
6.
(Dianaputra &
Aswitari, 2017)
Pengaruh
Pembiayaan
Pemerintah di
Sektor
Pendidikan dan
Kesehatan
Variabel:
pembiayaan
pemerintah
sektor kesehatan
dan pendidikan,
Pembiayaan pemerintah
di sektor pendidikan
dan kesehatan
berpengaruh positif dan
signifikan terhadap
indeks kualitas
manusia.
15
No. Penulis dan
Tahun Judul Metode Hasil
Terhadap Indeks
Kualitas
Manusia serta
Pertumbuhan
Ekonomi pada
Kabupaten/Kota
Provinsi Bali
Tahun 2011-
2015
indeks kualitas
manusia, dan
pertumbuhan
ekonomi
Analisis:
analisis jalur
(path analysis)
Pembiayaan pemerintah
di sektor pendidikan
dan kesehatan
berpengaruh tidak
langsung terhadap
pertumbuhan ekonomi
melalui indeks kualitas
manusia yang berperan
sebagai variabel
intervening.
7.
(Çağlayan-
Akay & Van,
2017)
Determinants of
the Levels of
Development
Based on the
Human
Development
Index: Bayesian
Ordered Probit
Model
Variabel:
populasi
penduduk desa,
anggaran
kesehatan, PDB,
jumlah
pengguna
internet, Angka
Harapan Hidup
(AHH), bagian
dari tahun yang
diharapkan dari
kursi sekolah di
parlemen, dan
IPM
Analisis:
Bayesian
Ordered Probit
Model
Berdasarkan hasil
pengujian, penulis
mendapatkan hasil
penelitian bahwa
variabel populasi
penduduk desa,
pengeluaran sektor
kesehatan, PDB, jumlah
pengguna internet,
AHH, dan bagian dari
tahun yang diharapkan
dari kursi sekolah di
parlemen memilliki
hubungan positif
dengan IPM dalam
jangka pendek.
Dalam jangka panjang,
variabel pengeluaran
sektor kesehatan, PDB,
jumlah pengguna
internet, dan bagian dari
tahun yang diharapkan
dari kursi sekolah di
parlemen memiliki
hubungan positif
dengan IPM.
16
No. Penulis dan
Tahun Judul Metode Hasil
8.
(Mittal, 2016) Social Sector
Expenditure and
Human
Development of
Indian States
Variabel:
anggaran sektor
sosial dan IPM
Analisis:
metode korelasi
dan regresi
sederhana
Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa
terdapat hubungan
positif antara
pengeluaran pemerintah
pada sektor sosial dan
IPM di India.
9.
(Arisman,
2018)
Determinant of
Human
Development
Index in ASEAN
Countries
Variabel:
jumlah
penduduk,
tingkat inflasi,
tingkat
pengangguran,
pertumbuhan
pendapatan per
kapita, dan IPM
Analisis:
regresi data
panel dengan
model Fixed
Effect (FEM)
Jumlah penduduk dan
tingkat pertumbuhan
pendapatan per kapita
berpengaruh terhadap
IPM pada negara-
negara di ASEAN.
Tingkat inflasi dan
tingkat pengangguran
tidak berpengaruh
terhadap IPM.
Berdasarkan hasil
penelitian ini,
didapatkan implikasi
bahwa pemerintah
penting untuk
mengendalikan jumlah
penduduk dan
meningkatkan
pertumbuhan ekonomi.
10.
(Nortje, 2017) The Effect of
Poverty on
Education in
South Africa
Variabel:
tingkat
kemiskinan dan
pendidikan
Kemiskinan berdampak
terhadap pendidikan,
maka meningkatkan
pendidikan masyarakat
menjadi upaya yang
harus dilakukan untuk
meningkatkan
kesejahteraan.
17
No. Penulis dan
Tahun Judul Metode Hasil
Analisis:
penelitian
kualitatif dengan
review
Terkait hal tersebut,
pemerintah dapat
berupaya dengan
membantu sekolah-
sekolah untuk
mendapatkan kebutuhan
yang penting dalam
menyediakan
pendidikan yang
berkualitas.
11.
(Lubis, 2015) Regional
Government
Budgets and
Human
Development
Outcomes
Across
Indonesia’s
Provinces (Study
Case of
Provinces in
Indonesia)
Variabel:
pengeluaran
pemerintah
sektor kesehatan
dan pendidikan,
serta IPM
Analisis:
regresi data
panel
Pengeluaran di sektor
kesehatan memiliki
pengaruh positif
terhadap indeks
pembangunan manusia.
Sementara itu,
pengeluaran di sektor
pendidikan memiliki
pengaruh positif
terhadap IPM namun
tidak signifikan.
12.
(Fadilah,
Ananda, &
Kaluge, 2018)
A Panel
Approach: How
Does
Government
Expenditure
Influence
Human
Development
Index
Variabel:
IPM yang
diukur
berdasarkan
komponen
indeks
pendidikan,
indeks
kesehatan, serta
indeks
pendapatan,
Pengeluaran pemerintah
pada sektor pendidikan,
kesehatan, dan ekonomi
memiliki pengaruh
positif dan signifikan
terhadap indeks
pendidikan, indeks
kesehatan, dan indeks
pendapatan.
18
No. Penulis dan
Tahun Judul Metode Hasil
pengeluaran
pemerintah
sektor
pendidikan,
kesehatan,
ekonomi, dan
infrastruktur.
Analisis:
regresi data
panel dengan
Fixed Effect
Model (FEM)
dan Random
Effect Model
(REM).
Pengeluaran pemerintah
pada sektor
infrastruktur memiliki
pengaruh positif
signifikan terhadap
indeks pendidikan dan
indeks pendapatan,
sedangkan pengaruhnya
tidak signifikan
terhadap indeks
kesehatan.
13.
(Palenewen,
Walewangko,
& Sumual,
2018)
Pengaruh
Pengeluaran
Pemerintah
Sektor
Pendidikan dan
Sektor
Kesehatan
Terhadap IPM
dan Dampaknya
Terhadap
Kemiskinan di
Sulawesi Utara
Variabel:
Pengeluaran
pemerintah
sektor
pendidikan dan
kesehatan, IPM,
serta
kemiskinan.
Analisis:
Analisis regresi
sederhana dan
regresi berganda
Pengeluaran pemerintah
sektor pendidikan
berpengaruh positif dan
tidak signifikan
terhadap IPM di
Sumatera Utara,
sedangkan sektor
kesehatan memiliki
pengaruh yang negatif
dan signifikan terhadap
IPM. Secara simultan,
kedua variabel ini tidak
berpengaruh signifikan
terhadap IPM.
Kemudian, variabel
IPM memiliki pengaruh
positif dan tidak
signifikan terhadap
kemiskinan.
19
G. Sistematika Penulisan
Berikut adalah urutan-urutan penyajian hasil penelitian penulis:
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Identifikasi Masalah
C. Batasan Masalah
D. Rumusan Masalah
E. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
F. Tinjauan Kajian Terdahulu
G. Sistematika Penulisan
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pembangunan Manusia
B. Kemiskinan
C. Pengeluaran Pemerintah Sektor Kesehatan dan Pendidikan
D. Hubungan Antar Variabel
E. Kerangka Pemikiran
F. Hipotesis
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Populasi dan Sampel
B. Waktu Penelitian
C. Sumber Data
D. Instrumen Penelitian
E. Teknik Pengumpulan Data
F. Teknik Pengolahan Data
BAB IV. ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Objek Penelitian
B. Temuan Hasil Penelitian
BAB V. PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
20
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pembangunan Manusia
Pembentukan modal manusia adalah proses memperoleh dan
meningkatkkan jumlah orang yang mempunyai keahlian, pendidikan dan
pengalaman yang menentukan bagi pembangunan ekonomi dan politik suatu
negara (Jhingan, 2012). Pembentukan modal manusia berkaitan erat dengan
investasi pada manusia. Menurut Schultz, terdapat lima cara pengembangan
sumber daya manusia, yaitu sebagai berikut:
1. Fasilitas dan pelayanan kesehatan yang pada umumnya diartikan
mencakup semua pengeluaran yang mempengaruhi harapan hidup,
kekuatan dan stamina, tenaga serta vitalitas rakyat
2. Latihan jabatan, termasuk magang model lama yang diorganisasikan oleh
perusahaan
3. Pendidikan yang diorganisasikan secara formal pada tingkat dasar,
menengah, dan tinggi
4. Program studi bagi orang dewasa yang tidak diorganisasikan oleh
perusahaan, termasuk program ekstension khsusunya pada pertanian
5. Migrasi perorangan dan keluarga untuk menyesuaikan diri dengan
kesempatan kerja yang selalu berubah.
Modal manusia merupakan investasi produktif mencakup pengetahuan,
keterampilan, kemampuan, gagasan, kesehatan dan lokasi yang dihasilkan dari
pengeluaran di bidang pendidikan, program pelatihan dalam pekerjaan, dan
perawatan kesehatan (Todaro & Smith, 2009). Upaya pembangunan manusia kait
eratannya dengan istilah investasi SDM. Dalam Todaro & Smith (2009), investasi
pada SDM dianalogikan seperti investasi konvensional dalam modal fisik. Setelah
dilakukan investasi awal, aliran pendapatan yang lebih tinggi di masa yang akan
datang dapat diperoleh dari perluasan pendidikan dan peningkatan kesehatan.
Pada akhirnya, kesehatan dan pendidikan ini akan berkontribusi langsung
terhadap kesejahteraan. Menurut Jhingan (2012), investasi pada modal manusia
21
dalam pengertian luas adalah pengeluaran di bidang pelayanan kesehatan,
pendidikan, dan sosial pada umumnya.
Menurut Todaro & Smith (2009), kesehatan dan pendidikan berkaitan erat
dalam pembangunan ekonomi. Peningkatan modal kesehatan berkontribusi dalam
meningkatkan pengembalian atas investasi di bidang pendidikan, sebagian karena
kesehatan merupakan salah satu faktor penting dalam kehadiran di sekolah atau
lembaga pendidikan lainnya dan dalam proses pembelajaran. Usia lebih panjang
akan meningkatkan pengembalian atas investasi di bidang pendidikan; kesehatan
yang lebih baik dalam masa kerja seseorang akan berpengaruh terhadap
penurunan tingkat penyusutan modal pendidikan. Kemudian, peningkatan modal
pendidikan berkontribusi dalam meningkatkan pengembalian atas investasi di
bidang kesehatan karena sebagian besar program di bidang kesehatan bergantung
pada keterampilan yang dipelajari selama berada di sekolah, misalnya kesehatan
dan kebersihan pribadi, serta pembentukan dan pelatihan bagi petugas kesehatan.
Selanjutnya, peningkatan efisiensi produktif dari investasi di bidang pendidikan
akan meningkatkan pengembalian atas investasi di bidang kesehatan yang
berkontribusi dalam meningkatkan angka harapan hidup.
Kondisi pembangunan manusia di suatu wilayah apakah berada pada
tingkat sangat tinggi, tinggi, menengah, atau rendah dapat diukur melalui IPM.
Menurut Todaro & Smith (2009), IPM adalah indeks yang mengukur pencapaian
pembangunan sosio-ekonomi suatu negara yang mengombinasikan pencapaian di
bidang pendidikan, kesehatan, dan pendapatan riil per kapita yang disesuaikan.
IPM menunjukkan bahwa perbedaan dalam pendapatan lebih besar dibandingkan
dengan perbedaan dalam indikator pembangunan lainnya, setidaknya di bidang
kesehatan dan pendidikan. Melalui IPM, kita dapat melihat bahwa pembangunan
yang sesungguhnya merupakan pembangunan manusia dalam arti luas, yakni
tidak hanya sekadar pendapatan yang tinggi. IPM memiliki kecenderungan kuat
meningkat sejalan dengan peningkatan pendapatan per kapita, karena negara-
negara atau wilayah-wilayah yang lebih kaya dapat berinvestasi lebih banyak
dalam bidang kesehatan dan pendidikan yang berarti tambahan sumber daya
manusia ini meningkatkan produktivitas.
22
Indeks Pembangunan Manusia digunakan sebagai indikator untuk
mengukur status komparatif pembangunan sosio-ekonomi (Todaro & Smith,
2009). IPM disajikan dalam laporan tahunan yaitu Human Development Report
yang dipublikasikan oleh United Nations Development Programme (UNDP).
Human Development Report pertama kali dipublikasikan pada tahun 1990. Dalam
IPM, semua negara diurutkan menjadi peringkat dengan skala 0 (tingkat
pembangunan manusia terendah) hingga 100 (tingkat pembangunan manusia
tertinggi). Pemeringkatan ini didasarkan atas tiga tujuan atau produk akhir
pembangunan, yaitu: masa hidup (longevity) yang diukur melalui harapan hidup
setelah lahir, pengetahuan yang diukur dengan bobot rata-rata tingkat melek
aksara orang dewasa dengan bobot dua per tiga dan rasio partisipasi sekolah bruto
(gross school enrollment ratio) dengan bobot satu per tiga, serta standar hidup
yang diukur berdasarkan produk domestik bruto per kapita yang disesuaikan
dengan paritas daya beli mata uang setiap negara yang nilainya berbeda-beda
untuk mencerminkan biaya hidup dengan asumsi utilitas marginal yang semakin
menurun (diminishing marginal utility) pendapatan.
Menurut Badan Pusat Statistik Indonesia, Indeks Pembangunan Manusia
(IPM) merupakan indikator penting untuk mengukur keberhasilan dalam upaya
membangun kualitas hidup masyarakat. Pembangunan manusia adalah segala
sesuatu yang berkaitan dengan kebebasan manusia, termasuk kebebasan untuk
mewujudkan potensi penuh setiap kehidupan manusia tidak hanya sedikit atau
sebagian besar, namun seluruh kehidupan di dunia saat ini dan masa depan.
Menurut definisi dari UNDP, IPM juga dapat digunakan untuk menganalisis
pilihan kebijakan nasional. Dalam hal ini, IPM digunakan untuk melihat
perbandingan di antara dua negara dengan tingkat GNI per kapita yang sama
namun memiliki hasil pembangunan manusia yang berbeda. Indeks Pembangunan
Manusia adalah ukuran ringkasan pencapaian rata-rata dalam kunci pembangunan
manusia yaitu, kehidupan yang panjang dan sehat, berpengetahuan, dan memiliki
standar kehidupan yang layak. IPM hanya menyederhanakan sebagian dari hal
yang dibutuhkan dalam upaya pembangunan manusia. IPM tidak mencerminkan
ketimpangan, kemiskinan, keamanan manusia, pemberdayaan, dan lain-lain.
23
Berdasarkan UNDP, Indeks Pembangunan Manusia terdiri dari beberapa
komponen yaitu sebagai berikut:
1. Angka Harapan Hidup (AHH) Saat Lahir
Angka harapan hidup yang dapat dicapai oleh bayi yang baru lahir jika pola
angka kematian usia tertentu yang berlaku saat kelahiran tetap sama selama
masa hidupnya.
2. Angka Harapan Lama Sekolah
Angka harapan lama sekolah yang dapat dicapai oleh anak usia sekolah jika
pola angka pendaftaran usia tertentu yang berlaku tetap sama sepanjang
hidup anak tersebut.
3. Rata-rata Lama Sekolah
Rata-rata tahun pendidikan yang dapat dicapai oleh penduduk berusia 25
tahun dan lebih dari 25 tahun, yang telah diubah dari pencapaian tingkat
pendidikan menggunakan lama waktu yang resmi dari setiap jenjang.
4. Gross National Income (GNI) per Kapita
Pendapatan agregat yang dapat dihasilkan dari proses produksi dan
kepemilikan faktor produksi, dikurangi pendapatan yang dibayarkan untuk
penggunaan faktor produksi yang dimiliki oleh negara-negara lain di dunia,
telah dikonversi ke dolar internasional dengan menggunakan suku bunga
Paritas Daya Beli (Purchasing Power Parity) dibagi dengan populasi
pertengahan tahun.
Manusia merupakan sumber daya paling utama dalam menentukan
keberhasilan suatu pembangunan ekonomi. Pembangunan manusia sendiri
memiliki dua sisi, yaitu pembentukan kapabilitas manusia dan penggunaan
kapabilitas yang mereka miliki. Hal ini dikarenakan pertumbuhan ekonomi tidak
semata-mata tergantung pada jumlah sumber daya manusia saja, tetapi lebih
menekankan pada efisiensi mereka (Jhingan, 2012). Penggunaan secara tepat
sumber daya manusia untuk pembangunan ekonomi dapat dilakukan dengan cara
sebagai berikut (Jhingan, 2012):
1. Pertama, harus ada pengendalian atas perkembangan penduduk. Sumber daya
manusia dapat dimanfaatkan dengan baik apabila jumlah penduduk dapat
24
dikendalikan dan diturunkan, misalnya melalui Program Keluarga Berencana
dan memerlukan penelitian untuk menurunkan angka kelahiran.
2. Kedua, harus ada perubahan dalam pandangan tenaga kerja. Perilaku sosial
dari tenaga kerja merupakan hal yang penting dalam proses pembangunan
ekonomi. Untuk meningkatkan produktivitas dan mobilitas tenaga kerja
(dalam hal ini buruh), pandangan masyarakat harus diubah agar mereka
bersedia menerima arti penting dan martabat buruh.
Dalam Mittal (2016), konsep pembangunan manusia membahas tentang
perkembangan manusia dengan mempertimbangkan peningkatan pada beberapa
sektor seperti kondisi ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, kesehatan, dan
kewarganegaraan dari masyarakat yang berada di wilayah tertentu.Menurut Mittal
(2016), peningkatan IPM dipengaruhi oleh peningkatan pengeluaran pemerintah
pada sektor sosial. Kemudian dalam Çağlayan-Akay & Van (2017), IPM
merupakan indikator untuk menekankan bahwa masyarakat dan kemampuan
mereka harus menjadi kriteria utama selain melihat pertumbuhan ekonomi dalam
penilaian pembangunan di suatu negara. IPM adalah indeks yang membahas dan
mengukur kemajuan jangka panjang dalam ruang lingkup tiga dimensi dasar
pembangunan manusia, yaitu kehidupan yang panjang umur dan sehat, akses
terhadap informasi, dan kondisi kehidupan yang layak. Menurut Çağlayan-Akay
& Van (2017), peningkatan PDB akan meningkatkan IPM dalam jangka panjang.
Menurut Zulyanto (2018), IPM merupakan salah satu indikator yang bisa
digunakan untuk mengevaluasi kinerja pemerintah. Peningkatan IPM dipengaruhi
secara signifikan oleh beberapa faktor, seperti pengeluaran pemerintah pada
sektor kesehatan dan pendidikan, pertumbuhan ekonomi, serta pengentasan
kemiskinan (Adelfina & Jember, 2016; Dianaputra & Aswitari, 2017; Muliza et
al., 2017; Tarumingkeng et al., 2018; Zulyanto, 2018).
B. Kemiskinan
Bank Dunia mendefinisikan kemiskinan secara absolut yakni orang yang
memiliki pendapatan kurang dari 1,9 USD per hari. Sementara itu menurut
seorang ekonom Inggris bernama Thomas Malthus (1766-1834) menyatakan
bahwa pertumbuhan populasi yang tinggi akan menyebabkan kemiskinan. Ketika
populasi meningkat yang tidak diimbangi dengan jumlah persediaan makanan
25
maka hal ini akan meningkatkan jumlah penduduk miskin. Ekonom Amerika
Serikat yaitu David Dollar dan Aart Kraay menyatakan bahwa dengan
perdagangan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menurunkan
kemiskinan di negara berkembang. Berdasarkan pengamatan mereka, negara-
negara yang memotong tarif dapat berkembang dengan pesat dan memiliki tingkat
kemiskinan yang menurun.
Seorang ekonom India bernama Amartya Sen berpendapat bahwa
kemiskinan adalah keterbatasan dalam kemampuan dan fungsi yakni hal-hal yang
bisa dilakukan oleh seseorang, bukan terkait dengan barang atau jasa yang bisa
mereka dapatkan. Dalam buku The Economics (Kishtainy et al., 2012), sebagian
besar faktor-faktor kemiskinan seseorang adalah di luar dari kendali orang
tersebut, di antaranya adalah masyarakat miskin tidak memiliki kekayaan atau
barang-barang berharga, masyarakat miskin tidak bisa mengakses pendidikan
karena pada beberapa negara mereka harus membayar untuk mendapatkan akses
serta fasilitas pendidikan, dan kondisi tersebut menyebabkan mereka memiliki
prospek pekerjaan yang kurang baik dan kesehatan yang memburuk. Seorang
penggiat kampanye sosial di Inggris bernama Beatrice Webb pada tahun 1990
menyatakan bahwa penyebab kemiskinan adalah faktor yang struktural dan tidak
bisa langsung menyalahkan kepada masyarakat miskin itu sendiri.
Dalam Chambers (1983), seorang profesor ekonomi bernama C. T. Kurien
dalam bukunya berjudul Poverty, Planning, and Social Transformation
mendefinisikan kemiskinan sebagai fenomena sosial-ekonomi di mana
ketersediaan sumber daya hanya untuk memenuhi kebutuhan beberapa orang saja
sementara masih banyak orang yang tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan
mereka termasuk kebutuhan pokok. Konsep ini menyatakan bahwa kemiskinan
pada dasarnya merupakan fenomena sosial dan hanya merupakan fenomena fisik.
Chambers (1983) menyatakan terdapat lima karakteristik dari ketidak beruntungan
(disadvantage) yang dialami rumah tangga, yaitu sebagai berikut:
1. Poverty. Memiliki aset yang jumlahnya sedikit, seperti rumah tempat tinggal
yang kurang layak, tidak memiliki tanah atau hanya menyewa, dan anggota
keluarga yang bekerja memiliki tingkat produktivitas yang rendah.
26
2. Physical Weakness. Ada rasio yang tinggi dari orang tanggungan terhadap
orang dewasa yang sehat. Orang tanggungan ini termasuk anak-anak, orang
tua, orang yang menderita penyakit, dan disabilitas.
3. Vulnerability. Cenderung rentan terhadap kondisi-kondisi yang tidak
menguntungkan misalnya ketika terjadi musim hujan, kekurangan makanan,
dan gagal panen sehingga mereka rentan terhadap penyakit dan kematian.
4. Isolation. Pada umumnya terisolasi dari dunia luar, bertempat tinggal jauh
dari kota, dan tidak mendapatkan sumber informasi yang cukup. Mereka
terikat dengan tetangga hanya karena utang atau karena kebutuhan mendesak
yang harus dipenuhi.
5. Powerlessness. Mereka tidak berdaya atau memiliki posisi yang lemah karena
tidak terlalu memahami hukum sehingga dapat secara mudah menjadi korban
dari predasi yang lebih kuat. Mereka cenderung lebih mudah dieksploitasi
oleh rentenir, pedagang, tuan tanah, pejabat yang licik, dan polisi.
Dalam Isdijoso, Suryahadi, & Akhmadi (2016), kemiskinan merupakan
kondisi keterbatasan kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup
dengan layak seperti keterbatasan dalam pendapatan, keterampilan, kondisi
kesehatan, penguasaan aset ekonomi, maupun akses informasi. Pengukuran
kemiskinan dapat dilakukan dari pendekatan moneter melalui pendekatan
pendapatan rumah tangga dengan melihat data pengeluaran. Selain itu,
pengukuran kemiskinan juga dapat dilihat dari aspek lainnya, seperti akses
terhadap layanan pendidikan, kesehatan, serta informasi publik, kepemilikan
barang berharga, kesempatan berpartisipasi dalam kegiatan masyarakat, dan
kebebasan berpendapat. Isdijoso et al. (2016) melakukan penelitian Moving Out
Poverty (MOP) di tiga provinsi, yaitu Jawa Timur, Maluku Utara, dan Nusa
Tenggara Timur. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi mengapa keluarga kaya tetap kaya (always rich), keluarga kaya
bisa jatuh miskin (faller), keluarga miskin dapat keluar dari kemiskinan (mover),
dan keluarga miskin tetap miskin (chronic poor). Isdijoso et al. (2016)
mendapatkan hasil bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi dinamika
kemiskinan, yaitu sebagai berikut:
27
1. Faktor struktur sosial, yakni di mana adanya kelompok-kelompok bangsawan
atau kelompok elit yang memiliki hak istimewa secara turun-temurun
mempengaruhi dinamika kemiskinan.
2. Faktor agensi, yakni dinamika kemiskinan dipengaruhi oleh kapasitas
masyarakat dalam mencapai tujuan ditunjukkan dengan adanya kepemilikan
aset materi, kemampuan individu dari kondisi kesehatan dan tingkat
pendidikan, serta kemampuan sosial-politik-psikologis.
3. Faktor gender, sistem kekuasaan dalam keluarga yang pada umumnya
dimiliki oleh laki-laki sehingga perempuan memiliki kesempatan dan peran
yang lebih kecil dalam proses pengambilan keputusan di masyarakat.
Keluarga yang dikepalai oleh laki-laki maupun perempuan memiliki akses
yang relatif sama terhadap kredit dan informasi. Namun, jumlah keluarga
miskin yang dikepalai oleh perempuan lebih besar daripada jumlah keluarga
miskin yang dikepalai oleh laki-laki.
Zuhdiyaty & Kaluge (2017) melakukan penelitian untuk menganalisis
faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi tingkat kemiskinan di Indonesia
dalam kurun waktu 2011-2015. Penelitian ini mendapatkan hasil bahwa Indeks
Pembangunan Manusia berpengaruh signifikan terhadap penurunan kemiskinan.
Sementara itu, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) dan pertumbuhan ekonomi
tidak berpengaruh terhadap kemiskinan. Menurut Zuhdiyaty & Kaluge (2017),
pertumbuhan ekonomi selama ini dinilai kurang berkualitas sehingga tidak
berkontribusi dalam penurunan angka kemiskinan. Penelitian lainnya mengenai
faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kemiskinan dilakukan oleh Jacobus,
Kindangen, & Walewangko (2018) dengan studi kasus kemiskinan rumah tangga
di Sulawesi Utara. Menurut Jacobus et al., (2018), kemiskinan merupakan kondisi
di mana masyarakat tertentu tidak mampu memenuhi tuntutan kebutuhan yang
paling minimum yaitu aspek konsumsi dan pendapatan. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa kesehatan dan pendidikan berpengaruh signifikan dalam
menurunkan kemiskinan.
Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia dalam mengukur kemiskinan
menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs
approach) di mana kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan secara
28
ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang
diukur dari sisi pengeluaran. Maka dari itu, Badan Pusat Statistik mendefinisikan
penduduk miskin sebagai penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per
kapita per bulan di bawah dari garis kemiskinan yang ditetapkan. Garis
Kemiskinan (GK) dihitung berdasarkan dua konsep, yaitu sebagai berikut:
1. Garis Kemiskinan (GK) adalah penjumlahan dari Garis Kemiskinan Makanan
(GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM) di mana penduduk
yang memiliki pengeluaran rata-rata per kapita per bulan di bawah garis
kemiskinan dikategorikan sebagai penduduk miskin.
2. Garis Kemiskinan Makanan (GKM) adalah nilai pengeluaran kebutuhan
minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kilokalori per kapita dalam
sehari, yang terdiri dari 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan,
daging, telur dan susu, sayur-sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan,
minyak, lemak, dan lain-lain).
3. Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM) adalah kebutuhan minimum
berupa perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan yang terdiri dari 51
jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di pedesaan.
Sedangkan untuk persentase penduduk miskin, perhitungan menurut BPS
dilakukan dengan menggunakan konsep Head Count Index (HCI-P0) yang
merupakan persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan. Rumus
perhitungan persentase penduduk miskin menurut BPS adalah sebagai berikut:
∑[
]
Di mana:
α : 0
z : garis kemiskinan
yi : pengeluaran rata-rata per kapita sebulan penduduk yang berada di bawah
garis kemiskinan (i = 1, 2, 3, …., q), yi < z
q : banyaknya penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan
n : jumlah penduduk
Menurut Adelfina & Jember (2016) yang melakukan penelitian dengan
studi kasus Provinsi Bali, penurunan tingkat kemiskinan dapat berpengaruh secara
29
signifikan dalam meningkatkan indeks pembangunan manusia di suatu wilayah.
Penelitian yang dilakukan oleh Muliza et al. (2017) dengan studi kasus Provinsi
Aceh juga mendapatkan hasil yang sama. Oleh karena itu, upaya pengentasan
kemiskinan adalah hal penting yang harus dilakukan oleh setiap pemerintahan di
tingkat provinsi termasuk kota/kabupaten untuk meningkatkan indeks
pembangunan manusia. Tidak hanya pada tingkat provinsi, penurunan tingkat
kemiskinan juga berpengaruh secara signifikan terhadap peningkatan indeks
pembangunan manusia pada tingkat nasional (Syofya, 2018).
C. Pengeluaran Pemerintah Sektor Kesehatan dan Pendidikan
Pengeluaran pemerintah (government expenditure) adalah salah satu
instrumen dari kebijakan fiskal yaitu kebijakan pemerintah dalam mengatur
perekonomian. Pengeluaran pemerintah berperan dalam pembentukan modal
melalui pengeluaran pemerintah di berbagai bidang seperti sarana dan prasarana
di mana hal ini sangat penting dalam pertumbuhan ekonomi (Suparno, 2014).
Menurut Dumairy (1999) dalam Suparno (2014), pemerintah melakukan
pengeluaran belanja pembangunan sebagai langkah untuk menjalankan fungsi
alokatif, distributif, stabilitatif, dan dinamisatif. Belanja pembangunan ini
merupakan upaya pemerintah dalam kegiatan pembangunan ekonomi. Menurut
Pujoalwanto (2014), pengeluaran pemerintah menjadi bagian penting dari
perekonomian makro suatu negara karena menentukan ke mana kondisi negara
akan dibawa. Terdapat beberapa teori pengeluaran pemerintah dari beberapa ahli,
yaitu sebagai berikut:
1. Teori Pengeluaran Pemerintah Menurut Wagner (1912)
Menurut Wagner (1912), terdapat lima faktor yang menyebabkan pengeluaran
pemerintah selalu meningkat. Faktor tersebut adalah: tuntutan peningkatan
perlindungan keamanan dan pertahanan, kenaikan tingkat pendapatan
masyarakat, urbanisasi yang mengiringi pertumbuhan ekonomi,
perkembangan demokrasi dan ketidakefisienan birokrasi yang mengiringi
perkembangan pemerintahan. Wagner menamakan hal ini sebagai hukum
aktivitas pemerintah yang selalu meningkat.
2. Teori Pengeluaran Pemerintah Menurut Peacok dan Wiseman (1961)
30
Peacock dan Wiseman (1961) mendasarkan teori mereka pada suatu analisis
dialektika penerimaan-pengeluaran pemerintah. Dalam hal ini, pemerintah
selalu berusaha memperbesar pengeluarannya dengan mengandalkan
penerimaan dari pajak sementara masyarakat tidak menyukai peningkatan
pada pembayaran pajak. Berdasarkan teori pemungutan suara (voting),
Peacok dan Wiseman (1961) berpendapat bahwa masyarakat memiliki batas
toleransi pajak yakni di mana masyarakat dapat memahami besarnya
pungutan pajak yang dibutuhkan pemerintah untuk membiayai pengeluaran.
Perkembangan ekonomi menyebabkan pungutan pajak meningkat meskipun
tarif pajak tidak berubah sehingga meningkatkan pengeluaran pemerintah.
3. Teori Pengeluaran Pemerintah Menurut Rostow dan Musgrave (1971)
Teori ini menghubungkan pengeluaran pemerintah dengan tahap
pembangunan ekonomi. Pada tahap awal pembangunan ekonomi, rasio
pengeluaran pemerintah terhadap pendapatan nasional relatif besar karena
membutuhkan prasarana. Pada tahap menengah, pemerintah tetap
mengupayakan investasi baik dari investasi pemerintah maupun swasta untuk
memacu pertumbuhan sehingga dapat lepas landas. Pada tahap ini, peranan
pemerintah besar karena banyak terjadinya kegagalan pasar dari
pembangunan ekonomi. Kemudian menurut Musgrave, rasio investasi total
terhadap pendapatan nasional semakin besar namun rasio investasi
pemerintah terhadap pendapatan nasional semakain kecil dalam proses
pembangunan ekonomi. Sedangkan menurut Rostow, akan terjadi peralihan
aktivitas pemerintah dari penyediaan prasarana ekonomi ke pengeluaran
untuk layanan sosial seperti kesehatan dan pendidikan pada tahap lanjut
proses pembangunan ekonomi.
Pengeluaran pemerintah pada sektor sosial khususnya kesehatan dan
pendidikan pada dasarnya merupakan bentuk pelayanan publik pemerintah kepada
masyarakat. Menurut Mahmudi (2007) dalam Widodo, Waridin, & K. (2011),
pelayanan publik adalah segala kegiatan pelayanan yang diselenggarakan oleh
penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan publik dan
pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini,
penyelenggara pelayanan publik yang dimaksud adalah pemerintah baik
31
pemerintah pada tingkat pusat maupun tingkat daerah. Pemenuhan kebutuhan
dasar oleh pemerintah pada sektor ini akan berkontribusi dalam melahirkan
sumber daya manusia yang berkualitas.
Kebutuhan dasar masyarakat yang wajib dipenuhi oleh pemerintah adalah
kesehatan dan pendidikan. Kesehatan merupakan inti dari kesejahteraan,
sedangkan pendidikan merupakan hal yang pokok untuk mencapai kehidupan
yang layak (Suparno, 2014). Anggaran sektor kesehatan dan pendidikan
merupakan upaya pemerintah untuk melahirkan SDM yang berkualitas sehingga
nantinya tercipta tenaga kerja yang produktif. Anggaran pendidikan adalah hal
penting yang harus dilakukan oleh pemerintah karena pendidikan merupakan
salah satu faktor pendorong pertumbuhan ekonomi (Suparno, 2014). Menurut
Dianaputra & Aswitari (2017) serta Zulyanto (2018), pengeluaran pemerintah
pada sektor kesehatan dan pendidikan berdampak positif dan signifikan terhadap
IPM. Maka dari itu, peningkatan jumlah anggaran yang dialokasikan untuk kedua
sektor ini akan berkontribusi dalam meningkatkan IPM di wilayah tersebut.
Sebagai bentuk peningkatan kesejahteraan masyarakat, pemerintah
Indonesia telah mengalokasikan anggaran untuk sektor kesehatan dan pendidikan
baik pada tingkat pusat maupun daerah. Hal ini sesuai dengan amanat UU Nomor
36 tahun 2009 tentang Kesehatan dan UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Besar anggaran kesehatan yang dialokasikan adalah
minimal sebesar 5% dari APBN di luar gaji pada tingkat pusat dan minimal
sebesar 10% dari APBD di luar gaji pada tingkat daerah. Sedangkan besar
anggaran pendidikan yang dialokasikan adalah minimal sebesar 20% dari APBN
pada tingkat pusat dan minimal sebesar 20% dari APBD pada tingkat daerah di
luar gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan. Jika melihat dari tahun 2010
hingga 2017, maka dapat dikatakan besaran anggaran pendidikan pemerintah
Indonesia menunjukkan trend yang cenderung meningkat. Pada tahun 2017,
anggaran pendidikan Indonesia menyentuh angka sekitar 400 miliar rupiah.
Meskipun demikian, besaran alokasi anggaran pendidikan pada tingkat daerah
masih berbeda-beda di antara satu provinsi dengan provinsi lainnya. Misalnya
pada beberapa provinsi di Indonesia Timur, terdapat perbedaan yang cukup jauh
antara jumlah anggaran pendidikan pemerintah Papua dan pemerintah Gorontalo.
32
D. Hubungan Antar Variabel
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dijelaskan, penulis bertujuan
untuk meneliti pengaruh dari tingkat kemiskinan, anggaran kesehatan dan
pendidikan terhadap pembangunan manusia di lima provinsi Kawasan Timur
Indonesia (KTI) tahun 2010-2018. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh
Syofya (2018) tentang Pengaruh Tingkat Kemiskinan dan Pertumbuhan Ekonomi
Terhadap Indeks Pembangunan Manusia Indonesia, terdapat hubungan negatif dan
signifikan antara tingkat kemiskinan dan pembangunan manusia. Hal ini berarti
ketika tingkat kemiskinan meningkat maka akan menurunkan pembangunan
manusia. Kemudian Fadilah et al. (2018) yang meneliti tentang A Panel
Approach: How Does Government Expenditure Influence Human Development
Index, mendapatkan hasil bahwa anggaran kesehatan dan pendidikan memiliki
pengaruh yang positif dan signifikan terhadap Indeks Pembangunan Manusia
yang diukur berdasarkan tiga komponen yaitu indeks pendidikan, indeks
kesehatan, dan indeks pendapatan. Hal ini menjadi pertimbangan penulis untuk
menggunakan variabel tingkat kemiskinan, anggaran kesehatan dan pendidikan
sebagai variabel bebas untuk melihat sejauh mana pengaruhnya terhadap
pembangunan manusia sehingga dapat dibuat persamaan sebagai berikut:
HDI = f (POV_rate, Health_Budget, Edu_Budget)
Keterangan:
HDI : Human Development Index (Indeks Pembangunan Manusia)
POV_rate : Poverty rate (Tingkat Kemiskinan)
Health_Budget : Anggaran Belanja Daerah Fungsi Kesehatan
Edu_Budget : Anggaran Belanja Daerah Fungsi Pendidikan
1. Hubungan Kemiskinan dengan Pembangunan Manusia
Dalam Kishtainy et al. (2012), sebagian besar faktor-faktor kemiskinan
berada di luar kendali seseorang di antaranya adalah masyarakat miskin tidak
memiliki kekayaan atau barang-barang berharga, masyarakat miskin tidak bisa
mengakses pendidikan karena pada beberapa negara mereka harus membayar
untuk mendapatkan akses serta fasilitas pendidikan, serta kondisi tersebut
menyebabkan mereka memiliki prospek pekerjaan yang kurang baik dan
kesehatan yang memburuk. Kemiskinan merupakan kondisi keterbatasan
33
kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan layak seperti
keterbatasan dalam pendapatan, keterampilan, kondisi kesehatan, penguasaan
aset ekonomi, maupun akses informasi (Isdijoso et al., 2016). Oleh karena itu,
upaya pengentasan kemiskinan perlu dilakukan untuk meningkatkan
pembangunan manusia yang dapat dilihat dari peningkatan pada aspek
kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan masyarakat.
2. Hubungan Anggaran Kesehatan dengan Pembangunan Manusia
Berdasarkan UU Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, pemerintah
daerah dalam hal ini provinsi diamanatkan untuk mengalokasikan anggaran bagi
sektor kesehatan dengan besaran minimal 10% dari APBD di luar gaji.
Anggaran untuk sektor kesehatan merupakan salah satu mandatory spending di
Indonesia yang alokasi belanjanya sudah diatur dalam undang-undang dan
ditujukan untuk meningkatkan sarana dan prasarana fasilitas kesehatan,
meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan, penguatan penanganan dan
pencegahan gizi buruk (stunting), serta penguatan program dari pemerintah
dalam rangka peningkatan kesehatan masyarakat. Maka dari itu, diharapkan
alokasi anggaran kesehatan dari pemerintah provinsi dapat meningkatkan
pembangunan manusia dari sisi kesehatan.
3. Hubungan Anggaran Pendidikan dengan Pembangunan Manusia
Sesuai amanat UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, maka pemerintah daerah dalam hal ini provinsi diwajibkan
mengalokasikan anggaran untuk sektor pendidikan dengan besaran minimal 20%
dari APBD di luar gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan. Anggaran
untuk sektor pendidikan juga merupakan mandatory spending selain anggaran
kesehatan. Pengalokasian anggaran untuk sektor pendidikan ditujukan untuk
memperbaiki sarana dan prasarana fasilitas pendidikan, beasiswa bidik misi,
penguatan program pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan
masyarakat, serta penguatan program pendidikan vokasi untuk meningkatkan
adanya link and match dengan kebutuhan industri. Dengan demikian, alokasi
anggaran untuk sektor pendidikan dapat menjadi salah satu faktor untuk
meningkatkan pembangunan manusia dari sisi pendidikan.
34
E. Kerangka Pemikiran
Berdasarkan penjelasan teori dan hasil penelitian sebelumnya, kerangka
pemikiran penulis dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2.1. Kerangka Berpikir
Penulis melakukan penelitian yang dilatar belakangi dengan data kondisi
pembangunan manusia di Indonesia yang menggambarkan bahwa tingkat
pembangunan manusia di beberapa provinsi masih cukup rendah disertai tingkat
kemiskinan yang masih tinggi. Maka dari itu, penulis bertujuan untuk melihat
sejauh mana pengaruh dari tingkat kemiskinan, alokasi anggaran belanja daerah
fungsi kesehatan dan pendidikan terhadap upaya pembangunan manusia pada lima
provinsi di Kawasan Timur Indonesia tahun 2010-2018. Setelah melakukan
tinjauan pustaka dari beberapa literatur baik yang bersumber dari buku maupun
penelitian sebelumnya serta ketersediaan data-data yang diperoleh, kemudian
penulis menentukan judul dan variabel-variabel dalam penelitian. Selanjutnya,
penulis menentukan model dan metode analisis yang dipilih sesuai dengan tujuan
penelitian. Dengan menggunakan metode analisis data yang telah disebutkan serta
35
tinjauan pustaka yang telah dilakukan, diharapkan penulis dapat menarik
kesimpulan dan memberikan saran melalui penelitian ini.
F. Hipotesis
Dengan mengacu pada kerangka pemikiran dan studi empiris yang telah
dilakukan dalam penelitian-penelitian sebelumnya, maka penulis dapat
merumuskan hipotesis sebagai berikut:
1. H0 : Diduga tidak terdapat pengaruh yang signifikan dari tingkat
kemiskinan secara parsial terhadap pembangunan manusia di lima provinsi
Kawasan Timur Indonesia (KTI) tahun 2010-2018.
Ha : Diduga terdapat pengaruh yang signifikan dari tingkat kemiskinan
secara parsial terhadap pembangunan manusia di lima provinsi Kawasan
Timur Indonesia (KTI) tahun 2010-2018.
2. H0 : Diduga tidak terdapat pengaruh yang signifikan dari anggaran
belanja daerah fungsi kesehatan secara parsial terhadap pembangunan
manusia di lima provinsi Kawasan Timur Indonesia (KTI) tahun 2010-2018.
Ha : Diduga terdapat pengaruh yang signifikan dari anggaran belanja
daerah fungsi kesehatan secara parsial terhadap pembangunan manusia di
lima provinsi Kawasan Timur Indonesia (KTI) tahun 2010-2018.
3. H0 : Diduga tidak terdapat pengaruh yang signifikan dari anggaran
belanja daerah fungsi pendidikan secara parsial terhadap pembangunan
manusia di lima provinsi Kawasan Timur Indonesia (KTI) tahun 2010-2018.
Ha : Diduga terdapat pengaruh yang signifikan dari anggaran belanja
daerah fungsi pendidikan secara parsial terhadap pembangunan manusia di
lima provinsi Kawasan Timur Indonesia (KTI) tahun 2010-2018.
4. H0 : Diduga tidak terdapat pengaruh yang signifikan dari tingkat
kemiskinan, anggaran belanja daerah fungsi kesehatan dan pendidikan
secara simultan terhadap pembangunan manusia di lima provinsi Kawasan
Timur Indonesia (KTI) tahun 2010-2018.
Ha : Diduga terdapat pengaruh yang signifikan dari tingkat kemiskinan,
anggaran belanja daerah fungsi kesehatan dan pendidikan secara simultan
terhadap pembangunan manusia di lima provinsi Kawasan Timur Indonesia
(KTI) tahun 2010-2018.
36
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Populasi dan Sampel
Menurut Teguh (2005), populasi menunjukkan keadaan dan jumlah obyek
penelitian secara keseluruhan yang memiliki karakteristik tertentu. Populasi dalam
penelitian ini adalah provinsi-provinsi di Kawasan Timur Indonesia dengan nilai
IPM yang termasuk pada kategori menengah untuk tahun 2018. Sedangkan
sampel menunjukkan obyek-obyek penelitian yang memiliki karakteristik tertentu,
yang merupakan fraksi atau kelompok-kelompok tertentu dari suatu populasi
(Teguh, 2005). Dalam penelitian ini, metode penentuan sampel yang digunakan
adalah teknik purposive sampling yaitu metode penentuan sampel berdasarkan
atas pertimbangan atau karakteristik tertentu dari penulis sesuai dengan maksud
dan tujuan tertentu. Penulis menggunakan sampel lima provinsi di Kawasan
Timur Indonesia (KTI) sebagai provinsi dengan tingkat pembangunan manusia
yang masih rendah dan tingkat kemiskinan yang tertinggi di antara provinsi
lainnya. Lima provinsi dengan tingkat pembangunan manusia rendah dan tingkat
kemiskinan tertinggi di Kawasan Timur Indonesia (KTI) dipilih sebagai sampel
oleh penulis dengan maksud untuk melihat sejauh mana pengaruh serta
signifikansi dari tingkat kemiskinan, alokasi anggaran belanja pemerintah daerah
pada sektor kesehatan dan pendidikan terhadap upaya pembangunan manusia pada
masing-masing wilayah tersebut.
Tabel 3.1. Sampel Penelitian
Provinsi IPM (2018) Tingkat Kemiskinan (2018)
Nusa Tenggara Timur 64,39 21,03%
Gorontalo 67,71 15,83%
Maluku 68,87 17,85%
Papua Barat 63,74 22,66%
Papua 60,06 27,43%
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS), April 2019
37
B. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada lima provinsi di Kawasan Timur Indonesia
(KTI), yaitu: Nusa Tenggara Timur (NTT), Gorontalo, Maluku, Papua Barat, dan
Papua. Lima provinsi tersebut merupakan daerah dengan tingkat pembangunan
manusia yang masih rendah dan tingkat kemiskinan yang tertinggi di antara
provinsi lainnya. Waktu penelitian yang digunakan adalah dari tahun 2010 sampai
2018 karena menyesuaikan dengan perhitungan IPM metode baru menurut BPS.
Penelitian dilakukan dari Januari 2019 hingga Mei 2019. Dalam jangka waktu
tesebut, penelitian dilakukan dari tahap penyusunan proposal, pengumpulan data
penelitian, pengolahan data, hingga penyelesaian hasil penelitian. Pengumpulan
data dilakukan oleh penulis dalam waktu tiga bulan.
C. Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif yakni
data-data yang disajikan dalam bentuk angka atau bilangan. Jenis data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yakni jenis data yang
diperoleh melalui hasil pengolahan pihak kedua dari hasil penelitian lapangannya,
baik berupa data kualitatif maupun kuantitatif (Teguh, 2005). Jenis data ini
diperoleh melalui monografi yang diterbitkan oleh masing-masing lembaga,
laporan baik mingguan, bulanan, triwulan, maupun tahunan, buku-buku profil,
literatur, majalah-majalah, dan publikasi data dari media surat kabar. Data
sekunder diperoleh penulis dari beberapa lembaga resmi terkait sebagai berikut:
1. Data Indeks Pembangunan Manusia
Untuk melihat hasil pembangunan sumber daya manusia pada masing-masing
provinsi, penulis memproksikan dengan menggunakan data Indeks
Pembangunan Manusia (Human Development Index). Data ini diperoleh dari
Badan Pusat Statistik Indonesia yang sesuai dengan Human Development
Report yang dipublikasikan setiap tahun oleh United Nations Development
Programme (UNDP). Indeks Pembangunan Manusia adalah gabungan indeks
yang berfokus pada tiga dimensi penting dalam pembangunan manusia, yaitu:
kemampuan untuk menjalani hidup yang panjang dan sehat yang diukur dari
harapan hidup saat lahir; kemampuan untuk memperoleh pengetahuan yang
diukur dari rata-rata tahun sekolah dan tahun sekolah yang diharapkan; dan
38
kemampuan untuk mencapai standar hidup yang layak yang diukur dari
pengeluaran per kapita.
2. Data Kemiskinan
Data Kemiskinan digunakan oleh penulis untuk melihat bagaimana tingkat
kemiskinan pada masing-masing provinsi. Data kemiskinan ini diperoleh dari
Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia.
3. Data Anggaran Kesehatan dan Pendidikan
Sumber data yang penulis gunakan untuk variabel anggaran belanja fungsi
kesehatan dan pendidikan pada tingkat pemerintah pusat diperoleh dari
Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Sedangkan data anggaran
belanja fungsi kesehatan dan pendidikan pada tingkat pemerintah daerah
diperoleh dari Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK)
Kementerian Keuangan Republik Indonesia.
D. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian merupakan alat atau fasilitas yang digunakan untuk
membantu peneliti dalam mengumpulkan data. Instrumen penelitian yang
digunakan adalah dokumen-dokumen berisi data dari lembaga terkait. Data
tersebut dapat menunjang penelitian dalam mengukur fenomena yang sedang
diamati. Fenomena ini secara spesifik disebut sebagai variabel. Oleh karena itu,
keberhasilan suatu penelitian salah satunya ditentukan oleh pemilihan instrumen
penelitian yang tepat dan sesuai. Penelitian ini menggunakan tiga variabel bebas
(independent variable) dan satu variabel terikat (dependent variable). Variabel
bebas yang digunakan adalah tingkat kemiskinan, anggaran belanja daerah fungsi
kesehatan dan pendidikan. Variabel tingkat kemiskinan digunakan untuk melihat
pengaruhnya dari kesejahteraan masyarakat terhadap pembangunan manusia.
Variabel anggaran belanja daerah fungsi kesehatan dan pendidikan untuk melihat
pengaruhnya dari sisi pemerintah yang terkait dengan upaya pembangunan
manusia. Variabel terikat yang digunakan adalah IPM karena untuk melihat sejauh
mana dampak tingkat kemiskinan serta alokasi anggaran daerah untuk sektor
kesehatan dan pendidikan dapat mempengaruhi tingkat pembangunan manusia
yang masih rendah di Kawasan Timur Indonesia.
39
E. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan, maka
pengumpulan data merupakan hal penting yang harus dilakukan dalam
penyusunan sebuah hasil penelitian. Dalam hal ini, penulis menggunakan metode
tertentu yang sesuai untuk memperoleh data yang menunjang penelitian. Metode
yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah metode dokumentasi. Metode
dokumentasi adalah metode yang digunakan untuk memperoleh data-data tertulis
dari dokumen-dokumen atau catatan-catatan yang tersimpan.
F. Teknik Pengolahan Data
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang sesuai dengan data dalam penelitian ini adalah pendekatan
kuantitatif. Pendekatan ini menekankan pada angka-angka di mana dari data
yang diperoleh kemudian penulis melakukan analisis dan diharapkan dapat
memberikan kesimpulan yang tepat.
2. Uji Asumsi Klasik
Dalam penelitian ini, dilakukan uji asumsi klasik sebagai syarat-syarat
yang harus dipenuhi oleh model regresi linier sehingga model tersebut
menjadi valid. Adapun uji asumsi klasik yang dilakukan oleh penulis, yaitu
uji normalitas, uji heteroskedastisitas, dan uji multikolinearitas.
a. Uji Normalitas
Pengujian ini dilakukan untuk melihat sebaran data (residual) dalam
sebuah model regresi apakah terdistribusi normal atau tidak. Uji
normalitas dalam penelitian ini dilakukan menggunakan histogram
dengan melihat nilai probabilitas. Bila nilai probabilitas yang didapatkan
lebih besar dari taraf signifikansi 5%, maka hasil menunjukkan tidak
signifikan dan dapat dikatakan data berdistribusi normal.
b. Uji Heteroskedastisitas
Pengujian ini dilakukan untuk melihat apakah terjadi ketidaksamaan
varian dari residu pada model regresi linier. Terdapat beberapa cara
untuk melakukan uji heteroskedastisitas, yaitu: Uji Glejser, Uji Park, Uji
40
Spearman, atau dengan grafik (Scatterplot). Dalam penelitian ini, uji
heteroskedastisitas dilakukan dengan menggunakan Uji Glejser. Uji
Glejser dilakukan dengan melihat nilai signifikansi (Sig.) dan taraf
signifikansi. Jika nilai signifikansi lebih besar dari taraf signifikansi 5%,
maka tidak terjadi masalah heteroskedastisitas.
c. Uji Multikolinearitas
Multikolinearitas terjadi jika antar variabel bebas dalam sebuah model
memiliki hubungan atau korelasi yang sempurna atau mendekati
sempurna. Ketika dilakukan penambahan atau pengurangan variabel
bebas dalam sebuah model kemudian koefisien beta variabel bebas
mengalami perubahan yang cukup drastis, maka model tersebut terdapat
gejala multikolinearitas. Uji multikolinearitas dalam penelitian ini
dilakukan dengan melihat nilai koefisien korelasi Pearson yang
ditunjukkan dalam tabel korelasi. Jika nilai korelasi antar variabel bebas
bernilai kurang dari 0,8, maka tidak terindikasi adanya multikolinearitas.
3. Analisis Data Panel
Penelitian ini menggunakan metode analisis data panel. Data panel
atau pooled data merupakan data yang terdiri dari gabungan data cross-
section (beberapa objek) dan time-series (berdasarkan waktu). Menurut
Gujarati (2005) dalam Suliyanto (2011), data panel atau pool data merupakan
kombinasi data time series dan cross section, micropanel data, longitudinal
data, analisis even history dan analisis cohort. Analisis data panel ini sesuai
dengan penelitian penulis yang menganalisis pengaruh kemiskinan, anggaran
kesehatan dan pendidikan terhadap pembangunan manusia menggunakan
studi kasus lima provinsi di Kawasan Timur Indonesia yang termasuk
kategori tingkat pembangunan manusia rendah dan menengah dengan tahun
yang akan diteliti dari tahun 2010 hingga 2018.
Model dengan data cross-section digambarkan sebagai berikut:
Yi = α + βXi + εi ; i = 1, 2,… N.
Di mana:
N = banyaknya data cross-section
41
Model dengan data time-series digambarkan sebagai berikut:
Yt = α + βXt + εt ; t = 1, 2,…T.
Di mana:
T = banyaknya data time-series
Data panel merupakan gabungan antara data cross-section dan data
time-series, maka model persamaan dapat digambarkan sebagai berikut:
Yit = α + βXit + εit ; i = 1, 2,…. ,N; t = 1, 2,…., T
Di mana:
N = Banyaknya data cross-section
T = Banyaknya data time-series
N T = Banyaknya data panel
Menurut Suliyanto (2011), terdapat beberapa alasan data panel lebih
baik digunakan dalam model-model regresi dibandingkan data time series
maupun cross section yaitu sebagai berikut:
a. Data panel memiliki tingkat heterogenitas yang tinggi karena melibatkan
beberapa individu dalam beberapa waktu. Maka dari itu, dapat diestimasi
karakteristik pada masing-masing individu berdasarkan heterogenitasnya.
b. Data panel memberikan data yang lebih informatif, bervariasi, serta
memiliki tingkat kolinieritas yang rendah karena menggabungkan data
time series dan cross section.
c. Data panel cocok untuk studi perubahan dinamis karena merupakan data
cross section yang diulang-ulang (series).
d. Data panel mampu mendeteksi dan mengukur pengaruh yang tidak dapat
diobservasi dengan data time series murni atau cross section murni.
e. Data panel mampu memelajari model perilaku yang lebih kompleks.
Dalam Suliyanto (2011), data panel dikelompokkan menjadi dua
berdasarkan keseimbangan datanya yaitu sebagai berikut:
a. Data panel seimbang (balanced panel)
Data panel seimbang jika setiap unit cross section-nya memiliki jumlah
observasi time series yang sama.
42
b. Data panel tidak seimbang (unbalanced panel)
Data panel tidak seimbang jika setiap unit cross section tidak memiliki
jumlah observasi time series yang sama.
4. Estimasi Model Data Panel
Terdapat tiga pendekatan yang dapat digunakan dalam mengestimasi
model data panel, yaitu sebagai berikut:
a. Pendekatan Pooled Least Square (PLS) atau Common Effect
Model pendekatan PLS ini adalah pendekatan model data panel yang paling
sederhana karena tidak memperhatikan dimensi antar individu maupun waktu.
Maka dari itu, model ini dapat disebut sebagai model OLS (Ordinary Least
Square) dengan data panel yang menggunakan kuadrat terkecil.
b. Pendekatan Efek Tetap (Fixed Effect Model)
Model efek tetap menyatakan bahwa suatu objek memiliki konstanta
(intercept) dan koefisien regresi yang besarnya tetap untuk berbagai periode
waktu. FEM dapat melihat pengaruh dari masing-masing individu dan waktu.
c. Pendekatan Efek Acak (Random Effect Model)
Pendekatan ini digunakan untuk mengatasi kekurangan FEM yang tidak pasti
akibat penggunaan variabel semu. REM melibatkan adanya residual (error
term) yang diduga memiliki korelasi antar waktu dan objek.
5. Pemilihan Model Data Panel
Dalam pemilihan model data panel, terdapat beberapa pengujian yang
harus dilakukan.
a. Uji Chow
Pengujian ini dilakukan untuk melihat model mana antara PLS dan FEM yang
lebih cocok dalam suatu penelitian. Jika hasil menunjukkan model PLS yang
diterima, maka penelitian tersebut menggunakan model PLS. Sebaliknya, jika
FEM diterima, maka pengujian tahap kedua dilakukan. Uji Chow ini
menggunakan F-Restricted.
H0 : Model PLS atau Common Effect
Ha : Model Fixed Effect
43
Uji F-Restricted dapat dirumuskan sebagai berikut:
F =
( )
Di mana:
R2
UNRESTRICTED : R2
Model Fixed Effect
R2
RESTRICTED : R2 Model PLS
K : jumlah individu
N : jumlah data/total observasi
Jika nilai p-value lebih kecil dari taraf signifikansi (α = 5%), maka tolak
H0. Hasil ini menandakan bahwa model Fixed Effect lebih cocok untuk
digunakan. Sebaliknya jika tidak tolak H0, maka model PLS lebih cocok
digunakan dalam estimasi.
b. Uji Hausman
Pengujian ini digunakan untuk membandingkan antara model Fixed Effect
dan Random Effect. Uji Hausman ini menggunakan Chi-square statistic.
H0 : Model Random Effect
Ha : Model Fixed Effect
Jika nilai statistik uji Hausman yang diperoleh lebih besar dari Chi-
square statistic, maka hasilnya adalah tolak H0 yang artinya model Fixed
Effect lebih cocok.
6. Model Empiris
Gambar 3.1. Model Regresi Data Panel
44
Dalam penelitian ini, persamaan yang menunjukkan hubungan antar variabel
yang dihipotesiskan adalah sebagai berikut:
LN_HDIit = β0 + β1 (POV_rateit) + β2 (LN_Healthit) + β3 (LN_Eduit) + eit
Di mana:
LN_HDIit = Indeks Pembangunan Manusia di provinsi i pada periode t
POV_rateit = Tingkat kemiskinan di provinsi i pada periode t
LN_Healthit = Anggaran belanja daerah fungsi kesehatan di provinsi i
pada periode t
LN_Eduit = Anggaran belanja daerah fungsi pendidikan di provinsi i
pada periode t
β0 = Intersep/konstanta
β1, β2, β3, β4 = Koefisien regresi
eit = error term
7. Uji Hipotesis
a. Koefisien Determinasi (Goodness of Fit)
Koefisien determinasi (R2) digunakan untuk melihat bagaimana pengaruh
variabel bebas terhadap variabel terikat. Nilai koefisien determinasi dapat
dilihat dari R-square (jika variabel bebas hanya satu) atau Adjusted R-
square (jika variabel bebas lebih dari satu). Pengujian ini dilakukan untuk
melihat apakah sebuah model regresi tepat atau tidak digunakan sebagai
alat analisis. Jika nilai R2
semakin besar (mendekati 1) maka model
semakin tepat karena variansi dari regressand (Y) dapat dijelaskan oleh
regressor (X) dan sebaliknya.
b. Uji Simultan (Uji F-Statistik)
Uji F dilakukan dengan membandingkan hasil F-hitung dan F-tabel untuk
melihat apakah terdapat pengaruh dari semua variabel bebas (secara
simultan) terhadap variabel terikat.
H0 β = 0, di mana tidak ada pengaruh signifikan dari variabel bebas
terhadap variabel terikat secara simultan
Variabel Terikat (Y2)
Kemiskinan
45
H0 β > 0, di mana ada pengaruh signifikan dari variabel bebas
terhadap variabel terikat secara simultan
Dengan taraf signifikansi sebesar 5% (α = 0,05), maka kriteria
penilaiannya adalah sebagai berikut:
1) Jika F-hitung > F-tabel, maka tolak H0 berarti ada pengaruh signifikan
dari variabel bebas terhadap variabel terikat secara simultan.
Jika t-hitung < t-tabel, maka terima H0 berarti tidak ada pengaruh
signifikan dari variabel bebas terhadap variabel terikat secara simultan.
c. Uji Parsial (Uji t-Statistik)
Uji t dilakukan dengan membandingkan hasil t-hitung dan t-tabel untuk
melihat apakah terdapat pengaruh dari masing-masing variabel bebas
(secara parsial) terhadap variabel terikat.
H0 β = 0, di mana tidak ada pengaruh signifikan dari variabel bebas
terhadap variabel terikat secara individu/parsial
H0 β > 0, di mana ada pengaruh signifikan dari variabel bebas
terhadap variabel terikat secara individu/parsial
Dengan taraf signifikansi sebesar 5% (α = 0,05), maka kriteria
penilaiannya adalah sebagai berikut:
1) Jika t-hitung > t-tabel, maka tolak H0 berarti ada pengaruh signifikan
dari variabel bebas terhadap variabel terikat secara individu/parsial.
2) Jika t-hitung < t-tabel, maka terima H0 berarti tidak ada pengaruh
signifikan dari variabel bebas terhadap variabel terikat secara
individu/parsial.
46
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Objek Penelitian
Indonesia Timur atau Kawasan Timur Indonesia (KTI) merupakan sebuah
kawasan yang berada di bagian timur Indonesia meliputi Sulawesi, Bali,
Kepulauan Nusa Tenggara, Kepulauan Maluku, dan Papua. Sebelumnya kawasan
ini disebut sebagai Timur Raya pada masa Hindia Belanda dan disebut sebagai
Negara Indonesia Timur (kecuali Papua) pada masa Republik Indonesia Serikat
(RIS). Pada saat ini, Kawasan Timur Indonesia terdiri dari 13 provinsi, yaitu: Bali,
Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan,
Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Gorontalo, Maluku,
Maluku Utara, Papua Barat, dan Papua.
Tabel 4.1. Proyeksi Penduduk Kawasan Timur Indonesia (ribu jiwa)
PROVINSI TAHUN
2015 2020 2025 2030
Nusa Tenggara Timur 5.120,10 5.541,40 5.970,80 6.402,20
Gorontalo 1.133,20 1.219,60 1.299,70 1.370,20
Maluku 1.686,50 1.831,90 1.972,70 2.104,20
Papua Barat 871,50 981,80 1.092,20 1.200,10
Papua 3.149,40 3.435,40 3.701,70 3.939,40
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS), 2014
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2014 yang digambarkan
pada tabel 4.1 di atas, dapat kita lihat proyeksi jumlah penduduk beberapa
provinsi di Kawasan Timur Indonesia yang menjadi objek dalam penelitian ini.
Menurut data proyeksi penduduk tersebut, pertumbuhan jumlah penduduk di
Kawasan Timur Indonesia tidak terlalu tinggi. Pada tahun 2020, provinsi Nusa
Tenggara Timur akan memiliki jumlah penduduk yang paling banyak yakni
5.541.400 jiwa di antara lima provinsi lainnya. Sedangkan provinsi Papua Barat
memiliki jumlah penduduk yang paling sedikit dari empat provinsi lainnya yakni
sebanyak 981.800 jiwa. Meskipun terjadi peningkatan jumlah penduduk, namun
dapat dikatakan bahwa proyeksi penduduk dari lima provinsi tersebut hingga
tahun 2030 bahkan tidak sampai 30%.
47
Tabel 4.2. Jumlah Penduduk Miskin Kawasan Timur Indonesia (ribu jiwa)
PROVINSI TAHUN
2015 2016 2017 2018
Nusa Tenggara Timur 1.160,53 1.150,08 1.134,74 1.134,11
Gorontalo 206,51 203,69 200,91 188,30
Maluku 327,78 331,79 320,42 317,84
Papua Barat 225,54 223,6 212,86 213,67
Papua 898,21 914,87 910,42 915,22
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS), Januari 2019
Ketimpangan dan kemiskinan yang terjadi di Indonesia selama ini
terkonsentrasi pada wilayah-wilayah di Indonesia Timur, khususnya di wilayah
pedesaan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2019, pada tahun 2018
Nusa Tenggara Timur merupakan provinsi yang memiliki jumlah penduduk
miskin terbanyak yaitu sebesar 1.134.110 jiwa di antara lima provinsi tersebut.
Sementara itu, Gorontalo merupakan provinsi dengan jumlah penduduk miskin
paling sedikit yaitu sebanyak 188.300 jiwa. Kondisi ini yang menjadi salah satu
alasan pemerintah kini juga memfokuskan pembangunan di Kawasan Timur
Indonesia untuk mengurangi kesenjangan antar-wilayah.
Menurut Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional), kondisi-
kondisi riil wilayah Kawasan Timur Indonesia adalah sebagai berikut :
1. Keterbatasan penyediaan sarana dasar
2. Keterbatasan prasarana pendukung perekonomian, misalnya persediaan air
minum, air bersih, listrik, dan energi
3. Keterbatasan sarana dan prasarana transportasi untuk meningkatkan
aksesibilitas ekonomi
4. Masih rendahnya kualitas sumber daya manusia
5. Rawan terhadap ancaman separatisme (memisahkan diri dari Indonesia)
Untuk meningkatkan keseimbangan serta pemerataan pembangunan antara
Kawasan Indonesia Barat dan Kawasan Indonesia Timur, pemerintah
mempercepat pembangunan baik dari sisi fisik berupa infrastruktur maupun dari
sisi sosial yakni kualitas sumber daya manusia. Pembangunan yang dilakukan
oleh pemerintah juga disesuaikan dengan keunggulan kompetitif wilayah masing-
masing. Berdasarkan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
48
(PUPR), Kawasan Timur Indonesia kini menjadi fokus pembangunan
infrastruktur dan konektivitas untuk mengurangi disparitas antara kawasan timur
dan barat Indonesia. Sementara itu, salah satu upaya untuk menurunkan disparitas
pembangunan di Kawasan Timur Indonesia adalah dengan perbaikan pelayanan
dasar. Hal ini dapat dilakukan dengan pemenuhan akses masyarakat terhadap
kesehatan dan pendidikan yang dapat meningkatkan kualitas sumber daya
manusia dan akan berdampak langsung pada indeks pembangunan manusia.
1. Nusa Tenggara Timur (NTT)
Nusa Tenggara Timur merupakan salah satu provinsi dengan tingkat
kemiskinan tertinggi di Indonesia berada di urutan ketiga setelah Papua dan
Papua Barat (BPS Indonesia, 2019). Jika melihat berdasarkan wilayahnya,
tingkat kemiskinan di NTT lebih tinggi di kawasan perdesaan (24,74%)
dibanding kawasan perkotaan (9,09%). Kemiskinan di NTT selalu menjadi fokus
pembangunan bagi pemerintah baik pusat maupun daerah melihat masih
banyaknya jumlah penduduk miskin serta letak wilayahnya yang berada di
perbatasan antara Indonesia dan Timor Leste.
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS), Januari 2019 (diolah oleh penulis)
Berdasarkan data BPS, dapat dikatakan bahwa tingkat kemiskinan di
Provinsi NTT mengalami fluktuasi dan cenderung menurun dari tahun 2010
hingga 2018. Tingkat kemiskinan tertinggi yakni pada tahun 2010 sebesar
23,03%. Sedangkan tingkat kemiskinan terendah dicapai oleh Provinsi NTT
pada tahun 2014 yaitu sebesar 19,60%. Pada tahun 2015, tingkat kemiskinan
Provinsi NTT mengalami peningkatan yang cukup signifikan menjadi 22,58%.
23,03
21,23
20,41 20,24
19,60
22,58
22,01
21,38 21,03
19
20
21
22
23
24
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018
Grafik 4.1. Tingkat Kemiskinan (dalam persen)
49
Meskipun demikian, kemiskinan di NTT kembali mengalami penurunan hingga
mencapai 21,03% pada tahun terakhir. Berdasarkan laporan Bappenas dan
UNICEF (United Nations Children’s Fund), pada tahun 2015 lebih dari
seperempat anak-anak di NTT hidup di bawah garis kemiskinan internasional
US$ 1,90 (PPP) per orang dalam satu hari (Bappenas dan UNICEF, 2019).
Menurut Matondang (2017), kemiskinan di NTT dapat disebabkan oleh
beberapa faktor, yakni tanahnya yang kering dan kurang subur serta
permasalahan sosial yang sering terjadi di masyarakat.
Berdasarkan Program Pangan Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (WFP),
NTT merupakan provinsi selain Papua yang mayoritas kabupatennya memiliki
tingkat kerawanan pangan tinggi (Bank Dunia Indonesia, 2017). Hal ini tentu
saja dapat berdampak buruk bagi keluarga miskin. Oleh karena itu, pemerintah
pusat maupun daerah telah memberikan beberapa program untuk mengentaskan
kemiskinan di NTT. Program tersebut di antaranya adalah PKH (Program
Keluarga Harapan), Subsidi Rastra (Beras Sejahtera), dan program Dana Desa
yang telah dialokasikan sejak tahun 2015. Namun menurut Bappenas (2017),
PKH dan Rastra dianggap belum efektif di NTT karena masih kurangnya sinergi
antara pemerintah pusat dan daerah.
Tabel 4.3. Anggaran Kesehatan dan Pendidikan (dalam Rupiah)
Tahun Kesehatan Pendidikan
2010 83.979.309.250 55.872.712.111
2011 142.068.878.326 82.903.236.761
2012 165.695.156.349 91.083.795.500
2013 574.035.036.408 248.605.077.141
2014 198.569.827.000 65.216.268.000
2015 46.621.066.071 50.340.148.922
2016 259.928.934.497 92.805.528.096
2017 45.134.588.871 50.575.368.555
2018 305.991.588.680 1.190.841.423.000 Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kemenkeu RI, 2018
Berdasarkan data dari DJPK (Direktorat Jenderal Perimbangan
Keuangan) pada tabel 4.3 di atas, dapat dikatakan bahwa jumlah anggaran
pemerintah daerah NTT yang dialokasikan untuk sektor kesehatan dan
pendidikan mengalami fluktuasi. Jumlah anggaran kesehatan yang terbesar
adalah pada tahun 2013 yaitu sebesar 574 miliar rupiah dialokasikan untuk
50
meningkatkan kesehatan masyarakat. Sementara jumlah anggaran pendidikan
yang terbesar adalah pada tahun 2018 yaitu mencapai 1,19 triliun rupiah.
Peningkatan anggaran pendidikan ini dapat dikatakan cukup signifikan.
Diharapkan dengan alokasi anggaran kesehatan dan pendidikan ini dapat
meningkatkan kualitas SDM di provinsi NTT.
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS), April 2019 (diolah oleh penulis)
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada grafik 4.2 di atas, dapat
dikatakan bahwa tingkat pembangunan manusia yang dicapai oleh Provinsi NTT
selalu meningkat dari tahun 2010 hingga tahun 2018 meskipun peningkatan ini
tidak terlalu besar. Pencapaian IPM yang tertinggi adalah pada tahun 2018 yaitu
64,39. Sementara itu, indeks pembangunan manusia yang dicapai oleh provinsi
ini memiliki nilai terendah pada tahun 2010 yaitu 59,21 di mana nilai ini
merupakan tingkat pembangunan manusia rendah. Jika dilihat secara
keseluruhan dari tahun 2010 hingga 2018, nilai IPM Provinsi NTT masih berada
di kisaran 60 hingga 64 sehingga provinsi ini masih termasuk kategori tingkat
pembangunan manusia menengah. Kota Kupang memiliki nilai IPM tertinggi
sebesar 78,25 sedangkan Sabu Raijua merupakan kabupaten dengan nilai IPM
terendah sebesar 55,22 (BPS Indonesia, 2018). Meskipun terjadi peningkatan
nilai IPM dari tahun 2010 hingga 2018, sayangnya belum terdapat pemerataan
tingkat pembangunan pada kabupaten-kabupaten di NTT. Hal ini dapat dilihat
dari mayoritas kabupaten yang masih berada di kategori rendah dan menengah
sedangkan hanya satu daerah yaitu Kota Kupang sebagai ibu kota provinsi NTT
yang sudah berada di kategori tinggi.
59,21
60,24 60,81
61,68 62,26
62,67 63,13
63,73 64,39
58
59
60
61
62
63
64
65
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018
Grafik 4.2. Indeks Pembangunan Manusia
51
2. Gorontalo
Gorontalo merupakan provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi di
antara provinsi lainnya di Pulau Sulawesi (BPS Indonesia, 2019). Jika melihat
berdasarkan wilayahnya, tingkat kemiskinan di Gorontalo lebih tinggi di
kawasan perdesaan (23,86%) dibanding kawasan perkotaan (4,45%). Menurut
Badan Perencanaan, Penelitian, dan Pengembangan Daerah (Bappeda)
Gorontalo, pembangunan di Gorontalo telah cukup meningkatkan kesejahteraan
masyarakat namun masih menghadapi beberapa permasalahan, yaitu masih
lambatnya pertumbuhan ekonomi, tingginya angka kemiskinan, serta masih
tingginya ketimpangan antar masyarakat dan kesenjangan antar daerah (Bappeda
dan BPS Gorontalo, 2017). Berdasarkan laporan Bappenas dan UNICEF, selain
NTT pada tahun 2015 lebih dari seperempat anak-anak di Gorontalo juga hidup
di bawah garis kemiskinan internasional US$ 1,90 (PPP) per orang dalam satu
hari (Bappenas dan UNICEF, 2019). Oleh karena itu, salah satu tujuan penting
dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Gorontalo
tahun 2010-2017 adalah pengentasan kemiskinan.
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS), Januari 2019 (diolah oleh penulis)
Berdasarkan data BPS, dapat dikatakan bahwa tingkat kemiskinan di
Gorontalo cenderung mengalami penurunan dari tahun 2010 hingga 2018.
Tingkat kemiskinan tertinggi yakni pada tahun 2010 sebesar 23,19%. Sedangkan
tingkat kemiskinan terendah dicapai oleh Gorontalo pada tahun 2018 yaitu
sebesar 15,83%. Meskipun demikian, tingkat kemiskinan Gorontalo sedikit
mengalami fluktuasi. Pada tahun 2011 hingga 2012 mengalami penurunan
hingga mencapai 17,22%. Namun kemudian di tahun selanjutnya yaitu pada
23,19
18,75 17,22
18,01 17,41
18,16 17,63 17,14 15,83
13
15
17
19
21
23
25
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018
Grafik 4.3. Tingkat Kemiskinan (dalam persen)
52
tahun 2013, tingkat kemiskinan Gorontalo mengalami peningkatan menjadi
18,01% lalu kembali menurun di tahun 2014 dan meningkat di tahun 2015
menjadi 18,16%. Meskipun demikian, kemiskinan di Gorontalo kembali
mengalami penurunan hingga mencapai 15,83% pada tahun terakhir.
Jika membandingkan dengan empat provinsi lainnya di Kawasan Timur
Indonesia yaitu NTT, Maluku, Papua Barat, dan Papua, maka Gorontalo
memiliki tingkat kemiskinan yang paling rendah. Menurut data Bank Indonesia
Gorontalo (2018), perbaikan tingkat kemiskinan Gorontalo terjadi karena adanya
penurunan jumlah penduduk miskin dan perbaikan ketimpangan pendapatan
antar masyarakat. Jumlah penduduk miskin di Gorontalo mengalami penurunan
yang cukup signifikan dari 1.150.080 jiwa pada tahun 2016 menjadi 1.134.740
jiwa pada tahun 2017. Oleh karena itu, dalam upaya pengentasan kemiskinan
maka sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan berperan penting bagi
perekonomian Gorontalo (Bappeda dan BPS Gorontalo, 2017). Sektor pertanian,
kehutanan, dan perikanan merupakan sektor yang mendominasi perekonomian
Gorontalo. Dengan demikian, diharapkan peningkatan pada sektor ini akan
berkontribusi dalam menurunkan angka kemiskinan di Gorontalo.
Tabel 4.4. Anggaran Kesehatan dan Pendidikan (dalam Rupiah)
Tahun Kesehatan Pendidikan
2010 22.207.276.336 48.422.442.269
2011 25.808.639.647 66.836.783.302
2012 35.620.621.365 54.866.882.859
2013 61.653.398.122 63.864.303.406
2014 84.579.441.957 83.797.397.579
2015 24.600.779.660 52.497.993.005
2016 167.085.856.255 117.107.913.756
2017 21.143.050.367 74.510.509.686
201 131.453.779.736 434.486.076.568 Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kemenkeu RI, 2018
Berdasarkan data dari DJPK di atas, dapat dikatakan bahwa jumlah
anggaran pemerintah daerah Gorontalo yang dialokasikan untuk sektor
kesehatan dan pendidikan mengalami fluktuasi. Jumlah anggaran kesehatan yang
terbesar adalah pada tahun 2016 yaitu sebesar 167 miliar rupiah. Sementara itu,
jumlah anggaran pendidikan yang terbesar adalah pada tahun 2018 yaitu sebesar
53
434 miliar rupiah. Diharapkan dengan alokasi anggaran kesehatan dan
pendidikan ini dapat meningkatkan kualitas SDM di provinsi Gorontalo.
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS), April 2019 (diolah oleh penulis)
Berdasarkan data pada grafik 4.4 di atas, dapat dikatakan bahwa tingkat
pembangunan manusia yang dicapai oleh Gorontalo selalu meningkat dari tahun
2010 hingga tahun 2018. Pencapaian IPM yang tertinggi adalah pada tahun 2018
yaitu 67,71. Sementara itu, indeks pembangunan manusia yang dicapai oleh
provinsi ini memiliki nilai terendah pada tahun 2010 yaitu 62,65. Jika dilihat
secara keseluruhan dari tahun 2010 hingga 2018, nilai IPM Provinsi Gorontalo
masih berada di kisaran 62 hingga 68 sehingga provinsi ini masih termasuk
kategori tingkat pembangunan manusia menengah. Kota Gorontalo merupakan
wilayah di Provinsi Gorontalo yang memiliki IPM tertinggi yaitu sebesar 76,09
sedangkan Kabupaten Gorontalo Utara menjadi wilayah dengan nilai IPM
terendah yakni sebesar 63,52 (BPS Indonesia, 2018). Gorontalo memiliki nilai
IPM yang selalu meningkat dari tahun 2010 hingga 2018. Sayangnya, masih
terdapat ketimpangan dalam tingkat pembangunan manusia pada kabupaten-
kabupaten di Gorontalo dilihat dari mayoritas kabupaten masih berada pada
kategori menengah sedangkan hanya Kota Gorontalo yang sudah tinggi.
3. Maluku
Maluku merupakan provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi baik di
Indonesia maupun di Kawasan Timur Indonesia setelah Nusa Tenggara Timur
(BPS Indonesia, 2019). Jika melihat berdasarkan wilayahnya, tingkat
kemiskinan di Maluku lebih tinggi di kawasan perdesaan (26,61%) dibanding
62,65
63,48 64,16
64,70 65,17
65,86 66,29
67,01 67,71
61
62
63
64
65
66
67
68
69
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018
Grafik 4.4. Indeks Pembangunan Manusia
54
kawasan perkotaan (6,15%). Sebanyak 40% penduduk di Maluku adalah anak-
anak dan data tahun 2015 menunjukkan bahwa sekitar 24% atau sebanyak
160.000 anak hidup di bawah garis kemiskinan provinsi yaitu sebesar Rp 13.139
per orang per hari (Bappenas dan UNICEF, 2019).
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS), Januari 2019 (diolah oleh penulis)
Berdasarkan data BPS, dapat dikatakan bahwa tingkat kemiskinan di
Provinsi Maluku cenderung mengalami penurunan dari tahun 2010 hingga 2018.
Tingkat kemiskinan tertinggi yakni pada tahun 2010 sebesar 27,74%. Sedangkan
tingkat kemiskinan terendah dicapai oleh Provinsi Maluku pada tahun 2018
yaitu sebesar 17,85%. Secara keseluruhan dari tahun 2010 ke 2018, terjadi
penurunan tingkat kemiskinan yang cukup signifikan di Maluku.
Menurut Bank Indonesia Maluku (2018), terjadi peningkatan
kesejahteraan penduduk yang dapat dilihat dari menurunnya jumlah penduduk
miskin di Maluku. Pada tahun 2017, penduduk miskin Maluku sebanyak
320.420 jiwa dan menurun menjadi 317.840 jiwa pada tahun 2018. Meskipun
demikian, terjadi peningkatan jumlah penduduk miskin di kawasan perdesaan
dikarenakan terjadi penurunan pendapatan masyarakat desa akibat penurunan
harga komoditas perkebunan dan pertanian (Bank Indonesia Maluku, 2018).
Hasil penelitian Satyakti, Pamungkas, Rum, Sihaloloho, & Rijoly (2018)
menunjukkan bahwa penurunan kemiskinan di kawasan perdesaan Maluku dapat
dilakukan dengan menerapkan kebijakan langsung yang berkaitan dengan
pemberdayaan masyarakat desa. Upaya pemberdayaan masyarakat ini salah
27,74
23,00
20,76
19,27 18,44
19,36 19,26 18,29 17,85
15
17
19
21
23
25
27
29
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018
Grafik 4.5. Tingkat Kemiskinan (dalam persen)
55
satunya dapat dilakukan dengan kebijakan langsung transfer pemerintah untuk
pemberdayaan perekonomian lokal.
Tabel 4.5. Anggaran Kesehatan dan Pendidikan (dalam Rupiah)
Tahun Kesehatan Pendidikan
2010 86.331.379.197 147.242.071.296
2011 113.984.123.580 142.332.875.789
2012 117.980.407.791,88 104.266.220.752,11
2013 170.803.401.282 91.881.312.068
2014 81.510.352.157 43.068.964.652
2015 68.519.503.263 73.237.730.282
2016 255.669.820.943 179.704.755.892
2017 70.318.878.888 80.896.939.805
2018 285.234.771.463 761.408.494.771 Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kemenkeu RI, 2018
Berdasarkan data dari DJPK di atas, dapat dikatakan bahwa jumlah
anggaran pemerintah daerah Maluku yang dialokasikan untuk sektor kesehatan
dan pendidikan mengalami fluktuasi. Jumlah anggaran kesehatan yang terbesar
adalah pada tahun 2018 yaitu sebesar 285 miliar rupiah. Begitu juga dengan
sektor pendidikan, jumlah anggaran pendidikan yang terbesar adalah pada tahun
2018 yaitu sebesar 761 miliar rupiah. Pengalokasian anggaran belanja daerah
Provinsi Maluku untuk sektor kesehatan dan pendidikan ini diharapkan
berkontribusi terhadap peningkatan kualitas SDM dan perbaikan IPM.
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS), April 2019 (diolah oleh penulis)
Berdasarkan data pada grafik 4.6 di atas, dapat dikatakan bahwa IPM
yang dicapai oleh Provinsi Maluku selalu meningkat dari tahun 2010 hingga
64,27 64,75
65,43 66,09
66,74 67,05
67,60 68,19
68,87
63
64
65
66
67
68
69
70
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018
Grafik 4.6. Indeks Pembangunan Manusia
56
tahun 2018. Pencapaian IPM yang tertinggi adalah pada tahun 2018 yaitu 68,87
dan terendah pada tahun 2010 yaitu 64,27. Jika dilihat secara keseluruhan dari
tahun 2010 hingga 2018, nilai IPM Provinsi Maluku masih berada di kisaran 64
hingga 69 sehingga provinsi ini masih termasuk kategori tingkat pembangunan
manusia menengah. Capaian IPM Maluku di tahun 2018 ini merupakan yang
tertinggi di antara lima provinsi tersebut. Kota Ambon sebagai ibu kota provinsi
merupakan daerah di Maluku dengan IPM tertinggi yaitu sebesar 70,82,
sedangkan Maluku Barat Daya merupakan kabupaten dengan IPM terendah
yaitu sebesar 60,16 (BPS Indonesia, 2018). Jika membandingkan dengan
provinsi NTT, Gorontalo, Papua Barat, maupun Papua, maka provinsi Maluku
memiliki pemerataan IPM yang lebih baik. Hal ini dapat dilihat dari IPM yang
dicapai oleh kabupaten-kabupaten memiliki perbedaan tidak terlalu jauh.
4. Papua Barat
Papua Barat memiliki tingkat kemiskinan tertinggi baik di Kawasan
Timur Indonesia maupun di Indonesia (BPS Indonesia, 2019). Tingkat
kemiskinan Papua Barat berada di urutan kedua tertinggi setelah Papua. Jika
melihat berdasarkan wilayah, kemiskinan di Papua Barat lebih tinggi berada di
kawasan perdesaan yaitu sebesar 34,29% sedangkan di kawasan perkotaan
hanya sebesar 5,57%. Berdasarkan data Bappenas dan UNICEF, pada tahun
2015 sebesar 31% atau sebanyak 104.000 anak-anak di Papua Barat hidup di
bawah garis kemiskinan provinsi yaitu sebesar Rp14.517 per orang per hari.
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS), Januari 2019 (diolah oleh penulis)
34,88
31,92
27,04 27,14 26,26 25,73
24,88
23,12 22,66
20
22
24
26
28
30
32
34
36
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018
Grafik 4.7. Tingkat Kemiskinan (dalam persen)
57
Berdasarkan data BPS, dapat dikatakan bahwa tingkat kemiskinan di
Papua Barat cenderung mengalami penurunan dari tahun 2010 hingga 2018.
Meskipun sedikit terjadi kenaikan dari tahun 2012 sebesar 27,04% ke tahun
2013 menjadi sebesar 27,14%. Tingkat kemiskinan tertinggi yakni pada tahun
2010 sebesar 34,88%. Sedangkan tingkat kemiskinan terendah dicapai oleh
Papua Barat pada tahun 2018 yaitu sebesar 22,66%. Dari tahun 2010 hingga
2018, secara keseluruhan terjadi penurunan tingkat kemiskinan di Papua Barat
dan penurunan ini cukup signifikan.
Menurut Bank Indonesia Papua Barat (2019), tingkat kemiskinan di
Papua Barat masih berada di atas tingkat kemiskinan nasional. Meskipun
demikian, Papua Barat hanya menyumbang 0,83% dari total jumlah penduduk
miskin nasional pada September 2018. Tingkat kemiskinan Papua Barat lebih
tinggi pada kawasan perdesaan daripada perkotaan. Hal ini berarti akses
masyarakat terhadap sumber pendapatan dan pemenuhan kebutuhan di perkotaan
jauh lebih mudah daripada di perdesaan (Bank Indonesia Papua Barat, 2019).
Keterbatasan akses masyarakat di desa akan berdampak pada keterbatasan akses
pemenuhan kebutuhan dan meningkatkan biaya sehingga menjadi faktor masih
tingginya angka kemiskinan di perdesaan. Maka dari itu, upaya peningkatan
aksesibilitas dan konektivitas melalui pembangunan infrastruktur antar wilayah
perdesaan dan perkotaan perlu dilakukan seperti halnya pembangunan Trans
Papua yang diharapkan dapat berkontribusi dalam pengentasan kemiskinan
khususnya di perdesaan (Bank Indonesia Papua Barat, 2019).
Tabel 4.6. Anggaran Kesehatan dan Pendidikan (dalam Rupiah)
Tahun Kesehatan Pendidikan
2010 82.190.589.876 113.631.195.939
2011 73.578.875.526 127.202.550.210
2012 67.328.957.694 132.557.799.122
2013 73.194.956.061 126.340.776.840
2014 682.850.044.956 1.280.719.000.638
2015 63.752.890.963 77.389.944.506
2016 186.944.309.297 182.989.027.421
2017 33.240.030.960 86.902.567.110
2018 110.058.654.612 602.627.012.184 Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kemenkeu RI, 2018
58
Berdasarkan data dari DJPK di atas, dapat dikatakan bahwa jumlah
anggaran pemerintah daerah Papua Barat yang dialokasikan untuk sektor
kesehatan dan pendidikan mengalami fluktuasi. Jumlah anggaran kesehatan yang
terbesar adalah pada tahun 2014 yaitu sebesar 682 miliar rupiah. Begitu juga
dengan sektor pendidikan, jumlah anggaran pendidikan yang terbesar adalah
pada tahun 2014 yaitu mencapai 1,28 triliun rupiah. Dengan adanya alokasi
anggaran daerah untuk sektor kesehatan dan pendidikan ini, diharapkan dapat
meningkatkan upaya pembangunan manusia di Papua Barat.
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS), April 2019 (diolah oleh penulis)
Berdasarkan data pada grafik 4.8 di atas, dapat dikatakan bahwa tingkat
pembangunan manusia yang dicapai oleh Papua Barat selalu meningkat dari
tahun 2010 hingga tahun 2018. Indeks pembangunan manusia yang tertinggi
adalah pada tahun 2018 yaitu 63,74 sedangkan IPM yang dicapai oleh provinsi
ini memiliki nilai terendah pada tahun 2010 yaitu 59,60. Jika dilihat secara
keseluruhan dari tahun 2010 hingga 2018, nilai IPM Papua Barat masih berada
di kisaran 59 hingga 64 sehingga provinsi ini masih termasuk kategori tingkat
pembangunan manusia menengah. Kota Sorong merupakan daerah di Papua
Barat dengan IPM tertinggi yakni sebesar 76,73 dan Tambrauw merupakan
kabupaten dengan IPM terendah yakni sebesar 51,01. Menariknya, ibu kota
provinsi yaitu Manokwari memiliki IPM yang lebih rendah daripada Kota
Sorong yakni hanya sebesar 70,67 (BPS Indonesia, 2018). Jika melihat secara
wilayah, masih terdapat perbedaan yang cukup jauh pada tingkat pembangunan
manusia di Papua Barat antara daerah dengan IPM tertinggi dan terendah.
59,60 59,90
60,30 60,91
61,28 61,73
62,21
62,99
63,74
58
59
60
61
62
63
64
65
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018
Grafik 4.8. Indeks Pembangunan Manusia
59
5. Papua
Papua merupakan provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi baik di
Kawasan Timur Indonesia maupun di Indonesia (BPS Indonesia, 2019). Jika
melihat berdasarkan wilayah, tingkat kemiskinan Papua lebih tinggi di wilayah
perdesaan yakni sebesar 36,55% daripada wilayah perkotaan yang hanya sebesar
4,01%. Maka dari itu, dapat dikatakan terdapat perbedaan yang cukup jauh
antara kawasan perdesaan dan perkotaan di Papua. Berdasarkan data Bappenas
dan UNICEF, Papua merupakan provinsi dengan jumlah penduduk muda yang
cukup signifikan di mana sekitar 38% dari total penduduk atau sebanyak 1,2 juta
orang adalah anak-anak yang mayoritasnya tinggal di perdesaan. Pada tahun
2015, sekitar 35% dari penduduk anak-anak atau sebanyak 412.000 anak-anak
hidup di bawah garis kemiskinan provinsi yakni sebesar Rp13.217 per orang per
hari (Bappenas dan UNICEF, 2019).
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS), Januari 2019 (diolah oleh penulis)
Berdasarkan data BPS, dapat dikatakan bahwa tingkat kemiskinan di
Provinsi Papua cenderung mengalami penurunan dari tahun 2010 hingga 2018.
Meskipun sedikit terjadi kenaikan dari tahun 2012 sebesar 30,66% ke tahun
2013 menjadi sebesar 31,53%. Tingkat kemiskinan tertinggi yakni pada tahun
2010 sebesar 36,80%. Sedangkan tingkat kemiskinan terendah dicapai oleh
Provinsi Papua pada tahun 2018 yaitu sebesar 27,43%. Tingkat kemiskinan
Papua ini merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan NTT, Gorontalo,
36,80
31,98
30,66 31,53
27,80 28,40 28,40 27,76 27,43
25
27
29
31
33
35
37
39
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018
Grafik 4.9. Tingkat Kemiskinan (dalam persen)
60
Maluku, dan Papua Barat. Jika dilihat dari tahun 2010 hingga 2018, maka terjadi
penurunan angka kemiskinan yang cukup signifikan di Papua.
Terjadi peningkatan kesejahteraan masyarakat di Papua yang dapat
dilihat dari penurunan kesenjangan antar masyarakat (Bappenas dan UNICEF,
2019). Beberapa tahun terakhir, Papua menjadi salah satu fokus pembangunan
pemerintah. Peningkatan pembangunan infrastruktur di Papua terus diupayakan
untuk meningkatkan konektivitas antar wilayah dan menurunkan kesenjangan
antar masyarakat. Dengan demikian, masyarakat Papua khususnya yang tinggal
di daerah terpencil mendapatkan akses terhadap pelayanan pemerintah. Terdapat
beberapa program yang telah dilakukan pemerintah untuk mengentaskan
kemiskinan di Papua, misalnya adalah Program Keluarga Harapan (PKH) dan
Program Pembangunan Generasi dan Keluarga (Bangga) Papua sejak 2018
ditargetkan untuk kabupaten-kabupaten dengan tingkat kemiskinan tinggi dan
IPM yang masih rendah. Selain itu juga terdapat program Dana Desa yang telah
dialokasikan sejak tahun 2015 ke setiap desa termasuk Papua.
Tabel 4.7. Anggaran Kesehatan dan Pendidikan (dalam Rupiah)
Tahun Kesehatan Pendidikan
2010 448.560.005.262 248.118.355.355
2011 475.363.886.398 270.682.515.290
2012 578.870.773.655 291.779.213.007
2013 672.966.034.000 218.340.884.000
2014 649.772.365.282 154.490.959.100
2015 156.785.871.335 80.972.960.775
2016 682.509.511.628 531.588.191.604
2017 146.910.165.961 125.888.297.437
2018 903.231.039.555 1.539.750.827.595 Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kemenkeu RI, 2018
Berdasarkan data dari DJPK di atas, dapat dikatakan bahwa jumlah
anggaran pemerintah daerah Papua yang dialokasikan untuk sektor kesehatan
dan pendidikan mengalami fluktuasi. Jumlah anggaran kesehatan yang terbesar
adalah pada tahun 2018 yaitu sebesar 903 miliar rupiah. Begitu juga dengan
sektor pendidikan, jumlah anggaran pendidikan yang terbesar adalah pada tahun
2018 yaitu mencapai 1,54 triliun rupiah. Sebagai provinsi dengan IPM yang
paling rendah di antara provinsi lainnya, peningkatan alokasi anggaran
61
kesehatan dan pendidikan pemerintah Papua diharapkan dapat berkontribusi
meningkatkan kualitas SDM Papua.
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS), April 2019 (diolah oleh penulis)
Berdasarkan data pada grafik 4.10 di atas, dapat dikatakan bahwa tingkat
pembangunan manusia yang dicapai oleh Provinsi Papua selalu meningkat dari
tahun 2010 hingga tahun 2018 dan peningkatan ini juga cukup besar. Pencapaian
IPM yang tertinggi adalah pada tahun 2018 yaitu 60,06 sedangkan nilai terendah
pada tahun 2010 yaitu 54,45. Jika dilihat secara keseluruhan dari tahun 2010
hingga 2018, nilai IPM Provinsi Papua masih berada di kisaran 54 hingga 60
sehingga provinsi ini masih termasuk kategori tingkat pembangunan manusia
rendah. Kota Jayapura sebagai ibu kota provinsi Papua memiliki IPM yang
tertinggi yakni sebesar 79,23 sementara itu Nduga merupakan kabupaten dengan
IPM terendah yakni hanya sebesar 27,87 dan nilai ini adalah yang terendah di
antara kabupaten/kota lainnya di Indonesia (BPS Indonesia, 2018). Masih
terdapat perbedaan yang cukup jauh antara daerah dengan IPM tertinggi dan
IPM terendah di Papua. Oleh karena itu, diperlukan upaya dan koordinasi yang
tepat sasaran dari semua pihak untuk memperkecil perbedaan ini serta
meningkatkan kualitas pembangunan manusia di Papua sebagai provinsi yang
menjadi aset berharga bagi Indonesia.
54,45 55,01
55,55
56,25 56,75
57,25
58,05
59,09
60,06
53
54
55
56
57
58
59
60
61
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018
Grafik 4.10. Indeks Pembangunan Manusia
62
B. Temuan Hasil Penelitian
1. Uji Asumsi Klasik
a. Uji Normalitas
Uji normalitas dilakukan untuk melihat apakah data berdistribusi
normal atau tidak dengan melihat nilai probabilitas pada grafik.
Gambar 4.1. Hasil Uji Normalitas
Jarque-Bera 2.157951
Probabilitas 0.339944
Sumber: Hasil pengolahan data dengan Eviews 8.0
Berdasarkan grafik di atas, didapatkan nilai probabilitas sebesar
0,339944 yang berada di atas taraf signifikansi (α = 5%) sehingga data
tersebut terdistribusi normal.
b. Uji Heteroskedastisitas
Pengujian ini dilakukan untuk melihat apakah terjadi
ketidaksamaan varian dari residu pada model regresi linier yang dilakukan
dengan membandingkan nilai probabilitas masing-masing variabel bebas
dari hasil Uji Glejser dan taraf signifikansi (α = 5%).
Tabel 4.8. Hasil Uji Heteroskedastisitas
Variabel Koefisien Probabilitas
C 0.027992 0.6946
POV_rate 0.135490 0.1646
LN_Health 0.001120 0.7551
LN_Edu -0.002572 0.2398
Sumber: Hasil pengolahan data dengan Eviews 8.0
63
Variabel tingkat kemiskinan (POV_rate), anggaran kesehatan
provinsi (LN_Health), dan anggaran pendidikan provinsi (LN_Edu)
memiliki nilai probabilitas di atas taraf signifikansi (α = 5%) sehingga
dapat dikatakan tidak terindikasi adanya heteroskedastisitas.
c. Uji Multikolinearitas
Pengujian ini dilakukan untuk melihat apakah terdapat korelasi
antara variabel bebas. Multikolinearitas terjadi jika nilai korelasi antar
variabel bebas lebih besar dari 0,8.
Tabel 4.9. Hasil Uji Multikolinearitas
POV_rate LN_Health LN_Edu
POV_rate 1.000000 0.413437 0.283415
LN_Health 0.413437 1.000000 0.720511
LN_Edu 0.283415 0.720511 1.000000
Sumber: Hasil pengolahan data dengan Eviews 8.0
Berdasarkan tabel 4.9 di atas, hasil ini menunjukkan bahwa nilai
koefisien korelasi masing-masing variabel bebas dengan variabel bebas
lainnya tidak lebih dari 0,8 sehingga model ini tidak terindikasi adanya
permasalahan multikolinearitas.
2. Analisis Model Data Panel
a. Uji Chow
Pengujian ini dilakukan untuk melihat apakah Pooled Least Square
(PLS) atau Fixed Effect Model yang lebih cocok untuk digunakan dalam suatu
penelitian. Jika nilai probabilitas F-statistik yang diperoleh lebih kecil dari
taraf signifikansi α = 5%, maka model yang lebih cocok adalah Fixed Effect.
Sementara itu, jika nilai probabilitas F-statistik yang diperoleh lebih besar
dari taraf signifikansi α = 5%, maka model PLS atau Common Effect lebih
cocok untuk digunakan dalam penelitian. Perumusan hipotesis penelitian
adalah sebagai berikut:
H0 : Model PLS atau Common Effect
Ha : Model Fixed Effect
64
Berdasarkan hasil uji Chow yang telah dilakukan, diperoleh hasil
sebagai berikut:
Tabel 4.10. Hasil Uji Chow
Effects Test Statistic d.f. Prob.
Cross-section F 22.089568 (4,37) 0.0000
Cross-section Chi-square 54.911606 4 0.0000
Sumber: Hasil pengolahan data dengan Eviews 8.0
Berdasarkan hasil uji Chow yang digambarkan pada tabel 4.10 di atas,
diperoleh nilai Cross-section F-statistik sebesar 22,089568 dengan nilai
degree of freedom sebesar 4,37 dan nilai probabilitas sebesar 0,0000. Nilai
probabilitas Cross-section F ini lebih kecil dari taraf signifikansi 0,05 (α =
5%), maka hasil uji Chow menyatakan tolak H0 dan terima Ha sehingga
model yang dipilih adalah Fixed Effect Model (FEM).
b. Uji Hausman
Setelah uji Chow dilakukan dan mendapatkan model Fixed Effect, uji
Hausman ini dilakukan untuk melihat model mana yang lebih cocok dalam
suatu penelitian antara Fixed Effect Model atau Random Effect Model. Jika
nilai probabilitas yang diperoleh lebih kecil dari taraf signifikansi α = 5%,
maka model yang lebih cocok adalah Fixed Effect. Sementara itu, jika nilai
probabilitas yang diperoleh lebih besar dari taraf signifikansi α = 5%, maka
model Random Effect lebih cocok untuk digunakan dalam penelitian.
Perumusan hipotesis penelitian adalah sebagai berikut:
H0 : Model Random Effect
Ha : Model Fixed Effect
Berdasarkan hasil uji Hausman yang telah dilakukan, diperoleh hasil
sebagai berikut:
Tabel 4.11. Hasil Uji Hausman
Test Summary Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.
Cross-section random 7.923857 3 0.0476
Sumber: Hasil pengolahan data dengan Eviews 8.0
65
Berdasarkan hasil uji Hausman pada tabel 4.11 di atas, diperoleh nilai
Chi-square statistik sebesar 7,923857 dengan nilai degree of freedom sebesar
3 dan nilai probabilitas sebesar 0,0476. Nilai probabilitas ini lebih kecil dari
taraf signifikansi 0,05 (α = 5%), maka hasil uji Hausman menyatakan tolak
H0 sehingga model yang lebih cocok adalah Fixed Effect Model (FEM).
c. Model Efek Tetap (Fixed Effect Model)
Berdasarkan pengujian pemilihan model yang telah dilakukan, maka
model dalam penelitian ini adalah Fixed Effect Model (FEM) yang dapat
digambarkan melalui persamaan regresi sebagai berikut:
LN_HDIit = 4,196114 – 0,633927 (POV_rateit) – 0,013483 (LN_Healthit) +
0,016742 (LN_Eduit) + eit
Di mana:
LN_HDIit = Indeks Pembangunan Manusia di provinsi i pada periode t
POV_rateit = Tingkat kemiskinan di provinsi i pada periode t
LN_Healthit = Anggaran belanja daerah fungsi kesehatan di provinsi i pada
periode t
LN_Eduit = Anggaran belanja daerah fungsi pendidikan di provinsi i pada
periode t
eit = error term
Tabel 4.12. Hasil Regresi Data Panel dengan Fixed Effect Model
Variabel Koefisien t-Statistik Prob.
C 4.196114 43.06491 0.0000
POV_rate -0.633927 -6.851178 0.0000
LN_Health -0.013483 -2.626550 0.0125
LN_Edu 0.016742 3.760326 0.0006
R2 0.938799
Adj. R2 0.927221
F-statistik 81.08145
Prob(F-statistik) 0.000000
Sumber: Hasil pengolahan data dengan Eviews 8.0
66
Berdasarkan hasil regresi dengan model Fixed Effect yang digambarkan
pada tabel 4.12 di atas, variabel tingkat kemiskinan memiliki pengaruh yang
negatif terhadap variabel IPM dengan koefisien sebesar 0,633927. Hal ini
berarti ketika tingkat kemiskinan pada lima provinsi di Kawasan Timur
Indonesia meningkat sebesar 1%, maka akan menurunkan IPM sebesar
0,633927% atau 0,63%. Dengan demikian, hipotesis yang menyatakan bahwa
tingkat kemiskinan berpengaruh terhadap pembangunan manusia di lima
provinsi Kawasan Timur Indonesia dapat diterima.
Begitu juga dengan variabel anggaran kesehatan yang memiliki
pengaruh negatif terhadap variabel IPM dengan koefisien sebesar 0,013483.
Hal ini berarti ketika anggaran kesehatan pada lima provinsi di Kawasan
Timur Indonesia meningkat sebesar 1% yang berarti terjadi peningkatan
alokasi anggaran belanja provinsi untuk sektor kesehatan, maka akan
menurunkan IPM sebesar 0,013483% atau 0,013%. Oleh karena itu, hipotesis
yang menyatakan bahwa anggaran kesehatan berpengaruh terhadap
pembangunan manusia di lima provinsi Kawasan Timur Indonesia dapat
diterima. Meskipun demikian, hasil ini berbeda dengan beberapa penelitian
sebelumnya yang menyatakan anggaran kesehatan dapat meningkatkan
pembangunan manusia sehingga diperlukan analisis lebih lanjut.
Berbeda dengan tingkat kemiskinan dan anggaran kesehatan, variabel
anggaran pendidikan memiliki pengaruh positif terhadap variabel IPM
dengan koefisien sebesar 0,016742. Hal ini berarti ketika anggaran
pendidikan pada lima provinsi di Kawasan Timur Indonesia meningkat
sebesar 1% yang berarti terjadi peningkatan alokasi anggaran belanja provinsi
untuk sektor pendidikan, maka akan meningkatkan IPM sebesar 0,016742%
atau 0,017%. Dengan demikian, hipotesis yang menyatakan bahwa anggaran
pendidikan berpengaruh terhadap pembangunan manusia pada lima provinsi
di Kawasan Timur Indonesia dapat diterima.
67
Tabel 4.13. Interpretasi Fixed Effect Model
Variabel Koefisien Efek Individu Prob.
C 4.196114 0.0000
POV_rate? -0.633927 0.0000
LN_Health? -0.013483 0.0125
LN_Edu? 0.016742 0.0006
Fixed Effects (Cross)
_NTT--C -0.012515 4.183599
_GORONTALO--C 0.007010 4.203124
_MALUKU--C 0.047692 4.243806
_PAPUABARAT--C -0.0000469 4.1960671
_PAPUA--C -0.042140 4.153974
Sumber: Hasil pengolahan data dengan Eviews 8.0
1) Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT)
Berdasarkan tabel 4.13 di atas, maka model persamaan untuk
Provinsi NTT dapat digambarkan sebagai berikut:
LN_HDI = 4,183599 – 0,633927 (POV_rate) – 0,013483 (LN_Health) +
0,016742 (LN_Edu) + e
Berdasarkan persamaan di atas, dapat dijelaskan bahwa ketika terjadi
perubahan sebesar 1% pada variabel tingkat kemiskinan, anggaran
kesehatan, dan anggaran pendidikan, maka Provinsi NTT akan
mendapatkan pengaruh individu terhadap IPM sebesar 4,18%.
2) Provinsi Gorontalo
Berdasarkan tabel 4.13 di atas, maka model persamaan untuk
Provinsi Gorontalo dapat digambarkan sebagai berikut:
LN_HDI = 4,203124 – 0,633927 (POV_rate) – 0,013483 (LN_Health) +
0,016742 (LN_Edu) + e
68
Berdasarkan persamaan di atas, dapat dijelaskan bahwa ketika terjadi
perubahan sebesar 1% pada variabel tingkat kemiskinan, anggaran
kesehatan, dan anggaran pendidikan, maka Provinsi Gorontalo akan
mendapatkan pengaruh individu terhadap IPM sebesar 4,20%.
3) Provinsi Maluku
Berdasarkan tabel 4.13 di atas, maka model persamaan untuk
Provinsi Maluku dapat digambarkan sebagai berikut:
LN_HDI = 4,243806 – 0,633927 (POV_rate) – 0,013483 (LN_Health) +
0,016742 (LN_Edu) + e
Berdasarkan persamaan di atas, dapat dijelaskan bahwa ketika terjadi
perubahan sebesar 1% pada variabel tingkat kemiskinan, anggaran
kesehatan, dan anggaran pendidikan, maka Provinsi Maluku akan
mendapatkan pengaruh individu terhadap IPM sebesar 4,24%.
4) Provinsi Papua Barat
Berdasarkan tabel 4.13 di atas, maka model persamaan untuk
Provinsi Papua Barat dapat digambarkan sebagai berikut:
LN_HDI = 4,1960671 – 0,633927 (POV_rate) – 0,013483 (LN_Health)
+ 0,016742 (LN_Edu) + e
Berdasarkan persamaan di atas, dapat dijelaskan bahwa ketika terjadi
perubahan sebesar 1% pada variabel tingkat kemiskinan, anggaran
kesehatan, dan anggaran pendidikan, maka Provinsi Papua Barat akan
mendapatkan pengaruh individu terhadap IPM sebesar 4,20%.
5) Provinsi Papua
Berdasarkan tabel 4.13 di atas, maka model persamaan untuk
Provinsi Papua dapat digambarkan sebagai berikut:
LN_HDI = 4,153974 – 0,633927 (POV_rate) – 0,013483 (LN_Health) +
0,016742 (LN_Edu) + e
69
Berdasarkan persamaan di atas, dapat dijelaskan bahwa ketika terjadi
perubahan sebesar 1% pada variabel tingkat kemiskinan, anggaran
kesehatan, dan anggaran pendidikan, maka Provinsi Papua akan
mendapatkan pengaruh individu terhadap IPM sebesar 4,15%.
3. Uji Hipotesis
a. Koefisien Determinasi
Koefisien determinasi (R2) digunakan untuk melihat bagaimana
pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat. Nilai koefisien determinasi
dapat dilihat dari R-square (jika variabel bebas hanya satu) atau Adjusted R-
square (jika variabel bebas lebih dari satu).
Berdasarkan hasil analisis regresi data panel dengan model Fixed Effect,
maka didapatkan nilai koefisien determinasi sebagai berikut:
Tabel 4.14. Koefisien Determinasi
R-squared (R2) 0.938799
Adjusted R-squared (Adj. R2) 0.927221
Sumber: Hasil pengolahan data dengan Eviews 8.0
Berdasarkan tabel 4.16 di atas, maka didapatkan nilai adjusted R-
squared sebesar 0,927221 atau sebesar 92,7221%. Maka dari itu, dapat
dikatakan bahwa 92,7221% variabel IPM pada lima provinsi di Kawasan
Timur Indonesia dapat dijelaskan oleh variabel tingkat kemiskinan, anggaran
kesehatan dan pendidikan sedangkan sisanya yaitu sebesar 7,2779% (100% -
92,7221%) dijelaskan oleh variabel lainnya di luar model penelitian ini.
b. Uji F-statistik dan Interpretasi Hasil Analisis
Uji F digunakan untuk melihat pengaruh dari semua variabel bebas
yaitu tingkat kemiskinan, anggaran kesehatan dan pendidikan secara simultan
terhadap variabel terikat yaitu IPM. Pengujian dilakukan dengan
membandingkan nilai F-statistik hasil regresi dengan F-tabel atau melihat
nilai probabilitas F-statistik dengan taraf signifikansi α = 5%.
70
Uji F dapat juga digunakan untuk menolak atau menerima hipotesis
yang telah disusun. Hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut:
H0 : Diduga tidak terdapat pengaruh yang signifikan dari tingkat
kemiskinan, anggaran belanja daerah fungsi kesehatan dan pendidikan
secara simultan terhadap pembangunan manusia di lima provinsi Kawasan
Timur Indonesia (KTI) tahun 2010-2018.
Ha : Diduga terdapat pengaruh yang signifikan dari tingkat kemiskinan,
anggaran belanja daerah fungsi kesehatan dan pendidikan secara simultan
terhadap pembangunan manusia di lima provinsi Kawasan Timur Indonesia
(KTI) tahun 2010-2018.
Berdasarkan hasil analisis regresi data panel dengan model Fixed Effect,
maka didapatkan hasil uji F sebagai berikut:
Tabel 4.15. Hasil Uji F-Statistik
F-statistik Prob(F-statistik)
81.08145 0.000000
Sumber: Hasil pengolahan data dengan Eviews 8.0
Berdasarkan hasil uji F yang digambarkan pada tabel 4.15 di atas,
didapatkan nilai probabilitas sebesar 0,000000 yang berada di bawah taraf
signifikansi 5%. Maka dari itu, hasil ini menolak H0 dan menerima Ha
sehingga dapat dikatakan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan dari
tingkat kemiskinan, anggaran kesehatan dan pendidikan secara simultan
terhadap pembangunan manusia di lima provinsi Kawasan Timur Indonesia
(KTI) pada tahun 2010-2018 dengan tingkat kepercayaan sebesar 95%.
c. Uji t-Statistik dan Interpretasi Hasil Analisis
Uji t digunakan untuk melihat pengaruh dari masing-masing variabel
bebas yaitu tingkat kemiskinan, anggaran kesehatan, dan anggaran
pendidikan secara parsial terhadap variabel terikat yaitu IPM. Pengujian
dilakukan dengan membandingkan nilai t-statistik hasil regresi dengan t-tabel
atau melihat nilai probabilitas masing-masing variabel dengan taraf
signifikansi.
Uji t dapat juga digunakan untuk menolak atau menerima hipotesis
yang telah disusun. Hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut:
71
1) H0 : Diduga tidak terdapat pengaruh yang signifikan dari tingkat
kemiskinan secara parsial terhadap pembangunan manusia di lima provinsi
Kawasan Timur Indonesia (KTI) tahun 2010-2018.
Ha : Diduga terdapat pengaruh yang signifikan dari tingkat kemiskinan
secara parsial terhadap pembangunan manusia di lima provinsi Kawasan
Timur Indonesia (KTI) tahun 2010-2018.
2) H0 : Diduga tidak terdapat pengaruh yang signifikan dari anggaran
belanja daerah fungsi kesehatan secara parsial terhadap pembangunan
manusia di lima provinsi Kawasan Timur Indonesia (KTI) tahun 2010-
2018.
Ha : Diduga terdapat pengaruh yang signifikan dari anggaran belanja
daerah fungsi kesehatan secara parsial terhadap pembangunan manusia di
lima provinsi Kawasan Timur Indonesia (KTI) tahun 2010-2018.
3) H0 : Diduga tidak terdapat pengaruh yang signifikan dari anggaran
belanja daerah fungsi pendidikan secara parsial terhadap pembangunan
manusia di lima provinsi Kawasan Timur Indonesia (KTI) tahun 2010-
2018.
Ha : Diduga terdapat pengaruh yang signifikan dari anggaran belanja
daerah fungsi pendidikan secara parsial terhadap pembangunan manusia di
lima provinsi Kawasan Timur Indonesia (KTI) tahun 2010-2018.
Berdasarkan hasil analisis regresi data panel dengan model Fixed Effect,
maka didapatkan hasil uji t sebagai berikut:
Tabel 4.16. Hasil Uji t-Statistik
Variabel Koefisien t-Statistik Probabilitas
C 4.196114 43.06491 0.0000
POV_rate -0.633927 -6.851178 0.0000
LN_Health -0.013483 -2.626550 0.0125
LN_Edu 0.016742 3.760326 0.0006
Sumber: Hasil pengolahan data dengan Eviews 8.0
Berdasarkan hasil uji t pada tabel 4.14 di atas, maka dalam penelitian
ini semua variabel bebas, yaitu tingkat kemiskinan, anggaran kesehatan dan
72
pendidikan secara parsial berpengaruh signifikan terhadap pembangunan
manusia. Dengan demikian, hipotesis dapat dibuktikan sebagai berikut:
1) Tingkat kemiskinan memiliki nilai probabilitas sebesar 0,0000 yang
berada di bawah taraf signifikansi 5%. Maka dari itu, hasil ini menolak H0
dan menerima Ha sehingga dapat dikatakan bahwa terdapat pengaruh yang
signifikan dari tingkat kemiskinan terhadap pembangunan manusia di lima
provinsi Kawasan Timur Indonesia (KTI) pada tahun 2010-2018 dengan
tingkat kepercayaan sebesar 95%.
2) Anggaran kesehatan memiliki nilai probabilitas sebesar 0,0125 yang
berada di bawah taraf signifikansi 5%. Maka dari itu, hasil ini menolak H0
dan menerima Ha sehingga dapat dikatakan bahwa terdapat pengaruh yang
signifikan dari anggaran kesehatan terhadap pembangunan manusia di lima
provinsi Kawasan Timur Indonesia (KTI) pada tahun 2010-2018 dengan
tingkat kepercayaan sebesar 95%.
3) Anggaran pendidikan memiliki nilai probabilitas sebesar 0,0006 yang
berada di bawah taraf signifikansi 5%. Maka dari itu, hasil ini menolak H0
dan menerima Ha sehingga dapat dikatakan bahwa terdapat pengaruh yang
signifikan dari anggaran pendidikan terhadap pembangunan manusia di
lima provinsi Kawasan Timur Indonesia (KTI) pada tahun 2010-2018
dengan tingkat kepercayaan sebesar 95%.
4. Analisis Ekonomi
a. Tingkat Kemiskinan Terhadap Pembangunan Manusia
Kemiskinan mengukur kemampuan masyarakat untuk bisa memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya, terutama kebutuhan dasar seperti sandang, pangan,
dan papan. Kemiskinan dilihat sebagai ketidakmampuan masyarakat untuk
memenuhi kebutuhan dasar karena memiliki sumber daya yang terbatas.
Pengentasan kemiskinan merupakan tujuan yang pertama dalam
Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals). Sebagai salah
satu strategi untuk mengetaskan kemiskinan, pemerintah kini menerapkan
strategi pembangunan ekonomi inklusif yakni pembangunan ekonomi yang
tidak hanya meningkatkan pertumbuhan ekonomi tapi juga meningkatkan
73
jumlah lapangan pekerjaan dan dapat menurunkan kemiskinan. Hal ini
dikarenakan salah satu ukuran keberhasilan pembangunan ekonomi adalah
tingkat kemiskinan. Kemiskinan juga dapat menggambarkan
ketidakmampuan masyarakat untuk mengakses fasilitas kesehatan maupun
pendidikan. Oleh karena itu, terdapat beberapa program dari pemerintah yang
berkaitan dengan pengentasan kemiskinan serta untuk meningkatkan akses
masyarakat terhadap fasilitas kesehatan dan pendidikan, seperti BOS
(Bantuan Operasional Sekolah), KIP (Kartu Indonesia Pintar), KIS (Kartu
Indonesia Sehat), maupun PKH (Program Keluarga Harapan).
Dalam penelitian ini, variabel tingkat kemiskinan dan indeks
pembangunan manusia memiliki hubungan negatif. Hal ini berarti penurunan
tingkat kemiskinan yang ditandai dengan peningkatan kemampuan
masyarakat miskin untuk dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari, mengakses
kesehatan dan pendidikan, maka akan meningkatkan indeks pembangunan
manusia yang terdiri dari komponen kesehatan, pendidikan, dan standar hidup
yang layak. Hasil penelitian ini didukung oleh penellitian-penelitian
sebelumnya yang dilakukan oleh Adelfina & Jember (2016) yang
menganalisis tentang Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Kemiskinan, dan
Belanja Daerah Terhadap Indeks Pembangunan Manusia di Kabupaten Kota
Provinsi Bali Periode 2005-2013 serta Syofya (2018) yang menganalisis
tentang Pengaruh Tingkat Kemiskinan dan Pertumbuhan Ekonomi Terhadap
Indeks Pembangunan Manusia Indonesia.
b. Anggaran Kesehatan Terhadap Pembangunan Manusia
Sebagai bentuk pelayanan publik, pemerintah mengalokasikan sejumlah
besaran anggaran untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam
menikmati hasil pembangunan ekonomi. Pemerintah telah mengalokasikan
anggaran untuk sektor kesehatan sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas
kesehatan masyarakat karena seperti yang kita ketahui bahwa kesehatan
merupakan kebutuhan pokok yang harus disediakan oleh pemerintah.
Anggaran kesehatan yang merupakan mandatory spending ini juga
dialokasikan untuk memenuhi undang-undang. Sesuai amanat UU Nomor 36
74
tahun 2009 tentang Kesehatan, pemerintah daerah diamanatkan untuk
mengalokasikan anggaran kesehatan sebesar 10% dari APBD di luar gaji. Hal
ini dilakukan untuk meningkatkan sarana dan prasarana di bidang kesehatan
yang akan berkontribusi dalam peningkatan produktivitas masyarakat.
Dalam penelitian ini, variabel anggaran kesehatan memiliki hubungan
negatif dengan IPM. Hal ini berarti peningkatan jumlah anggaran yang
dialokasikan pemerintah daerah untuk sektor kesehatan tidak dapat
berkontribusi dalam meningkatkan IPM. Penemuan ini berbeda dengan
beberapa penelitian sebelumnya di mana semakin tinggi anggaran yang
dialokasikan untuk sektor kesehatan maka akan meningkatkan kualitas
kesehatan masyarakat dan meningkatkan IPM. Seperti penelitian yang
dilakukan oleh Dianaputra & Aswitari (2017) yang menganalisis tentang
Pengaruh Pembiayaan Pemerintah di Sektor Pendidikan dan Kesehatan
Terhadap Indeks Kualitas Manusia serta Pertumbuhan Ekonomi pada
Kabupaten/Kota Provinsi Bali Tahun 2011-2015 dan Çağlayan-Akay & Van
(2017) yang menganalisis tentang Determinants of the Levels of Development
Based on the Human Development Index: Bayesian Ordered Probit Model.
Sementara itu, hasil penelitian yang didapatkan oleh penulis ini
didukung oleh penelitian-penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Hakim
& Sukmana (2017) yang menganalisis tentang Pengaruh Pengeluaran
Pemerintah di Sektor Pendidikan dan Kesehatan Terhadap Indeks
Pembangunan Manusia di 16 Negara Organisasi Konferensi Islam (OKI) dan
Zulyanto (2018) yang menganalisis tentang Pengeluaran Pemerintah dan
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Provinsi Bengkulu. Hasil penelitian
yang menunjukkan hubungan negatif antara anggaran kesehatan dan IPM ini
dapat disebabkan oleh adanya faktor inefisiensi dalam pengalokasian
anggaran sehingga besarnya jumlah anggaran tidak mampu mencapai target
pembangunan. Kemudian dikarenakan oleh belum berjalannya program
kesehatan secara menyeluruh dan tepat sasaran sehingga besarnya jumlah
alokasi anggaran menjadi sia-sia. Selain itu kondisi ini juga dapat disebabkan
oleh indikasi masih tingginya angka korupsi sehingga pengalokasian
75
anggaran menjadi tidak efisien dan tepat sasaran karena tidak dapat
berdampak langsung bagi pembangunan kualitas kesehatan masyarakat.
c. Anggaran Pendidikan Terhadap Pembangunan Manusia
Selain sektor kesehatan, bentuk pelayanan publik lainnya yang
disediakan oleh pemerintah juga terdapat pada sektor pendidikan. Pemerintah
telah mengalokasikan anggaran pendidikan dalam jumlah tertentu untuk
meningkatkan akses masyarakat terhadap fasilitas pendidikan. Anggaran
pendidikan juga merupakan mandatory spending yang harus dipenuhi oleh
pemerintah. Sesuai dengan amanat dalam UU Nomor 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, pemerintah daerah dalam hal ini tingkat provinsi
diamanatkan untuk mengalokasikan anggaran pendidikan minimal sebesar
20% dari APBD di luar gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan. Hal ini
dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas dan produktivitas
masyarakat melalui sektor pendidikan yang pada nantinya akan berkontribusi
dalam meningkatkan pembangunan manusia.
Dalam penelitian ini, variabel anggaran pendidikan memiliki hubungan
positif dengan IPM. Peningkatan jumlah anggaran yang dialokasikan untuk
sektor pendidikan maka akan meningkatkan indeks pembangunan manusia
karena kualitas pendidikan masyarakat menjadi lebih baik. Peningkatan
alokasi anggaran pendidikan oleh pemerintah provinsi yang digunakan untuk
program-program yang tepat dan sesuai dengan target akan mendukung
terciptanya peningkatan kualitas pendidikan di setiap daerah. Maka dari itu,
hal ini dapat melahirkan sumber daya manusia yang berpengetahuan dan
berdaya saing sehingga dapat berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi
Indonesia. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian-penelitian
sebelumnya yang dilakukan oleh Dianaputra & Aswitari (2017) yang
menganalisis tentang Pengaruh Pembiayaan Pemerintah di Sektor
Pendidikan dan Kesehatan Terhadap Indeks Kualitas Manusia serta
Pertumbuhan Ekonomi pada Kabupaten/Kota Provinsi Bali Tahun 2011-
2015 dan Zulyanto (2018) yang menganalisis tentang Pengeluaran
Pemerintah dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Provinsi Bengkulu.
76
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penelitian ini membahas tentang pengaruh kemiskinan, anggaran
kesehatan dan pendidikan terhadap pembangunan manusia di lima provinsi
Kawasan Timur Indonesia (KTI) tahun 2010-2018. Berdasarkan hasil analisis dan
pembahasan yang telah dijelaskan sebelumnya, penulis memperoleh kesimpulan
yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Tingkat kemiskinan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap
pembangunan manusia di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Gorontalo, Maluku,
Papua Barat, dan Papua. Hal ini berarti peningkatan angka kemiskinan akan
menurunkan IPM di lima provinsi tersebut. Semakin banyak jumlah
penduduk miskin di wilayah tersebut maka semakin banyak masyarakat yang
memiliki tingkat kesejahteraan rendah serta tidak mampu mengakses
kesehatan dan pendidikan sehingga dapat menurunkan kualitas SDM.
2. Anggaran kesehatan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap
pembangunan manusia di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Gorontalo, Maluku,
Papua Barat, dan Papua. Peningkatan alokasi anggaran belanja daerah untuk
sektor kesehatan tidak dapat berkontribusi dalam meningkatkan IPM di lima
provinsi tersebut. Kondisi ini dapat disebabkan oleh pengalokasian anggaran
yang inefisien dan tidak tepat sasaran sehingga besarnya jumlah anggaran
kesehatan tidak berkontribusi signifikan terhadap upaya pembangunan
manusia. Oleh karena itu, diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai faktor
yang menyebabkan adanya inefisiensi dalam pengalokasian anggaran
kesehatan terhadap upaya pembangunan manusia di wilayah tersebut.
3. Anggaran pendidikan berpengaruh positif dan signifikan terhadap
pembangunan manusia di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Gorontalo, Maluku,
Papua Barat, dan Papua. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa semakin
77
besar alokasi anggaran belanja daerah untuk sektor pendidikan dapat
berkontribusi dalam peningkatan upaya pembangunan manusia yang
digambarkan dengan peningkatan IPM di lima provinsi tersebut.
4. Tingkat kemiskinan, anggaran kesehatan dan pendidikan berpengaruh
signifikan terhadap pembangunan manusia di Provinsi Nusa Tenggara Timur,
Gorontalo, Maluku, Papua Barat, dan Papua. Maka dari itu, peningkatan atau
penurunan tingkat kemiskinan, anggaran kesehatan dan pendidikan secara
bersamaan akan berpengaruh terhadap pembangunan manusia yang
digambarkan dengan peningkatan atau penurunan IPM di wilayah tersebut.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah dijelaskan di atas, maka penulis
memberikan beberapa saran sebagai berikut:
1. Bagi Pemerintah Terkait
a. Tingginya angka kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Gorontalo,
Maluku, Papua Barat, dan Papua masih menjadi permasalahan yang harus
diselesaikan baik bagi pemerintah pusat maupun daerah. Oleh karena itu,
perlunya penguatan program pengentasan kemiskinan dari pemerintah
khususnya dalam hal peningkatan akses terhadap kesehatan dan
pendidikan bagi masyarakat sehingga selain dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, maka diharapkan upaya ini dapat meningkatkan
kualitas pembangunan manusia di lima provinsi tersebut.
b. Anggaran belanja daerah untuk sektor kesehatan dan pendidikan
merupakan salah satu upaya pemerintah provinsi untuk mendukung
peningkatan kualitas pembangunan manusia di daerah. Sayangnya, alokasi
anggaran kesehatan di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Gorontalo, Maluku,
Papua Barat, dan Papua masih belum efektif. Oleh karena itu, pemerintah
provinsi terkait diharapkan dapat mengalokasikan anggaran untuk sektor
kesehatan maupun pendidikan sesuai dengan rasio yang telah ditetapkan
oleh undang-undang serta digunakan dengan tepat guna sehingga dapat
78
mendukung upaya pemerintah pusat dalam melahirkan SDM Indonesia
yang berkualitas dan berdaya saing.
2. Bagi Civitas Akademika
a. Menambahkan atau menggunakan variabel bebas lainnya untuk
mengetahui faktor-faktor selain variabel determinan dalam penelitian ini
yang dapat mempengaruhi upaya pembangunan manusia.
b. Menggunakan alat analisis lainnya yang dapat mengetahui apa saja
variabel bebas yang dapat berpengaruh terhadap upaya pembangunan
manusia baik dalam jangka pendek maupun panjang.
c. Menganalisis apa saja faktor-faktor yang dapat berpengaruh terhadap
adanya inefisiensi dalam pengalokasian anggaran kesehatan maupun
pendidikan di tingkat provinsi.
79
DAFTAR PUSTAKA
Adelfina, & Jember, I. M. (2016). Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Kemiskinan,
dan Belanja Daerah Terhadap Indeks Pembangunan Manusia di Kabupaten
Kota Provinsi Bali Periode 2005 - 2013. E-Jurnal Ekonomi Pembangunan
Universitas Udayana, 5, 1011–1025.
Arisman. (2018). Determinant of Human Development Index in ASEAN
Countries. Signifikan: Jurnal Ilmu Ekonomi, 7 (1), 113–122.
Bank Dunia Indonesia. (2017). Menuju Sistem Bantuan Sosial yang Menyeluruh,
Terintegrasi, dan Efektif di Indonesia.
Bank Indonesia Gorontalo. (2018). Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional
Provinsi Gorontalo.
Bank Indonesia Maluku. (2018). Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional
Provinsi Maluku.
Bank Indonesia Papua Barat. (2019). Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional
Provinsi Papua Barat.
Bappeda dan BPS Gorontalo. (2017). Analisis Tabel Input-Output Provinsi
Gorontalo.
Bappenas. (2017). Profil dan Analisis Daerah (Provinsi: Nusa Tenggara Timur,
2017).
Bappenas dan UNICEF. (2019). SDG untuk Anak-Anak Indonesia (Profil singkat
provinsi). Retrieved May 1, 2019, from https://sdg4children.or.id/resources/
BPS Indonesia. (2018). Indeks Pembangunan Manusia Menurut Kabupaten/Kota,
2017 (Metode Baru).
BPS Indonesia. (2019). Persentase Penduduk Miskin Menurut Provinsi 2007 -
2018.
Çağlayan-Akay, E., & Van, M. H. (2017). Determinants of the Levels of
Development Based on the Human Development Index: Bayesian Orderes
Probit Model. International Journal of Economics and Financial Issues,
7(5), 425–431.
Chambers, R. (1983). Rural Development: Putting the Last First. New York:
Routledge.
Dianaputra, I. G. K. A., & Aswitari, L. P. (2017). Pengaruh Pembiayaan
Pemerintah di Sektor Pendidikan dan Kesehatan Terhadap Indeks Kualitas
Manusia serta Pertumbuhan Ekonomi pada Kabupaten/Kota Provinsi Bali
Tahun 2011-2015. E-Jurnal Ekonomi Pembangunan Universitas Udayana, 6
Nomor 3.
Fadilah, A., Ananda, C. F., & Kaluge, D. (2018). A Panel Approach: How Does
80
Government Expenditure Influence Human Development Index? Jurnal
Ekonomi Dan Studi Pembangunan, 10(2).
Hakim, A. A. A. A., & Sukmana, R. (2017). Pengaruh Pengeluaran Pemerintah di
Sektor Pendidikan dan Kesehatan Terhadap Indeks Pembangunan Manusia di
16 Negara Organisasi Konfrensi Islam (OKI). Li Falah Jurnal Studi Ekonomi
Dan Bisnis Islam, 2 Nomor 1.
Isdijoso, W., Suryahadi, A., & Akhmadi. (2016). Penetapan Kriteria dan Variabel
Pendataan Penduduk Miskin yang Komprehensif dalam Rangka
Perlindungan Penduduk Miskin di Kabupaten/Kota.
Jacobus, E. H., Kindangen, P., & Walewangko, E. N. (2018). Analisis Faktor-
faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan Rumah Tangga di Sulawesi Utara.
Jurnal Pembangunan Ekonomi Dan Keuangan Daerah, 19 Nomor 7.
Jhingan, M. L. (2012). Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada.
Kishtainy, N., Abbot, G., Farndon, J., Kennedy, F., Meadway, J., Wallace, C., &
Weeks, M. (2012). The Economics Book: Big Ideas Simply Explained. New
York: DK Publishing.
Kusumaningrum, R. A. (2018). Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Indeks Pembangunan Manusia di Provinsi Jawa Tengah Periode Tahun
2006-2016. Jurnal Universitas Islam Indonesia.
Lubis, I. H. (2015). Regional Government Budgets and Human Development
Outcomes Across Indonesia’s Provinces (Study Case of Provinces in
Indonesia).
Matondang, E. (2017). Finding Out the Potential of Nusa Tenggara Timur in
Poverty Alleviation: The Effect of Local Government’s Policies. Jurnal Bina
Praja, 9 (2), 231–242. https://doi.org/10.21787/jbp.09.2017.231-242
Mittal, P. (2016). Social Sector Expenditure and Human Development of Indian
States (No. 75804).
Muliza, Zulham, T., & Seftarita, C. (2017). Analisis Pengaruh Belanja
Pendidikan, Belanja Kesehatan, Tingkat Kemiskinan dan PDRB Terhadap
IPM di Provinsi Aceh. Jurnal Perspektif Ekonomi Darussalam, 3 Nomor 1.
Nortje, M. J. (2017). The Effect of Poverty on Education in South Africa. Educor
Multidisciplinary Journal, 1 No. 1.
Palenewen, T. O. M., Walewangko, E. N., & Sumual, J. I. (2018). Pengaruh
Pengeluaran Pemerintah Sektor Pendidikan dan Sektor Kesehatan Terhadap
IPM dan Dampaknya Terhadap Kemiskinan di Sulawesi Utara. Jurnal
Berkala Ilmiah Efisiensi, 18 No. 04.
Pujoalwanto, B. (2014). Perekonomian Indonesia: Tinjauan Historis, Teoritis,
dan Empiris. Yogyakarta: Graha Ilmu.
81
Satyakti, Y., Pamungkas, E., Rum, I. A., Sihaloloho, E., & Rijoly, J. D. (2018).
Analyzing the Island Province Policy on Poverty Alleviation in Maluku
Province. Advances in Social Science, Education and Humanities Research
(ASSEHR), 126.
Suliyanto. (2011). Ekonometrika Terapan - Teori dan Aplikasi dengan SPSS.
Yogyakarta: ANDI.
Suparno, H. (2014). Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Sektor Pendidikan,
Kesehatan, dan Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan
Peningkatan Pembangunan Manusia di Provinsi Kalimantan Timur.
Ekonomika-Bisnis, 5 Nomor 1, 1–22.
Syofya, H. (2018). Pengaruh Tingkat Kemiskinan dan Pertumbuhan Ekonomi
Terhadap Indeks Pembangunan Manusia Indonesia. Jurnal Ilmiah Ekonomi
Dan Bisnis, 15 Nomor 2.
Tarumingkeng, W. A., Rumate, V. A., & Rotinsulu, T. O. (2018). Pengaruh
Belanja Modal dan Tingkat Kemiskinan Terhadap Indeks Pembangunan
Manusia (IPM) di Provinsi Sulawesi Utara. Jurnal Pembangunan Ekonomi
Dan Keuangan Daerah, 19 Nomor 6.
Teguh, M. (2005). Metodologi Penelitian Ekonomi: Teori dan Aplikasi. Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada.
The World Bank. (2019a). Current health expenditure (% of GDP).
The World Bank. (2019b). Government expenditure on education, total (% of
GDP).
Todaro, M. P., & Smith, S. C. (2009). Pembangunan Ekonomi (Edisi Kesebelas
Jilid 1). Jakarta: Erlangga.
Undang-Undang (UU) Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
Undang-Undang (UU) Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
United Nations Development Programme. (2018). Human Development
Indicators and Indices: 2018 Statistical Update.
Widodo, A., Waridin, & K., J. M. (2011). Analisis Pengaruh Pengeluaran
Pemerintah di Sektor Pendidikan dan Kesehatan Terhadap Pengentasan
Kemiskinan Melalui Peningkatan Pembangunan Manusia di Provinsi Jawa
Tengah. Jurnal Dinamika Ekonomi Pembangunan, 1 Nomor 1.
Zuhdiyaty, N., & Kaluge, D. (2017). Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Kemiskinan di Indonesia Selama Lima Tahun Terakhir (Studi Kasus pada 33
Provinsi). JIBEKA, 11 Nomor 2, 27–31.
Zulyanto, A. (2018). Pengeluaran Pemerintah dan Indeks Pembangunan Manusia
(IPM) di Provinsi Bengkulu. PARETO: Jurnal Ekonomi Dan Kebijakan
Publik, 1 Nomor 1.
82
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran I: Uji Asumsi Klasik
A. Uji Normalitas
0
1
2
3
4
5
6
7
-0.04 -0.02 0.00 0.02 0.04 0.06
Series: Standardized Residuals
Sample 2010 2018
Observations 45
Mean 6.51e-16
Median -0.008434
Maximum 0.059029
Minimum -0.045526
Std. Dev. 0.027609
Skewness 0.416931
Kurtosis 2.325033
Jarque-Bera 2.157951
Probability 0.339944
B. Uji Heteroskedastisitas
Dependent Variable: RESABS
Method: Panel Least Squares
Date: 05/26/19 Time: 21:01
Sample: 2010 2018
Periods included: 9
Cross-sections included: 5
Total panel (balanced) observations: 45
White diagonal standard errors & covariance (d.f. corrected)
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 0.027992 0.070741 0.395703 0.6946
POV_RATE 0.135490 0.095549 1.418021 0.1646
LN_HEALTH 0.001120 0.003564 0.314215 0.7551
LN_EDU -0.002572 0.002153 -1.194721 0.2398
C. Uji Multikolinearitas
POV_RATE LN_HEALTH LN_EDU
POV_RATE 1.000000 0.413437 0.283415
LN_HEALTH 0.413437 1.000000 0.720511
LN_EDU 0.283415 0.720511 1.000000
83
Lampiran II: Hasil Olah Data Panel
A. Common Effect Model (Pooled Least Squares)
Dependent Variable: LN_HDI
Method: Panel Least Squares
Date: 05/26/19 Time: 20:51
Sample: 2010 2018
Periods included: 9
Cross-sections included: 5
Total panel (balanced) observations: 45
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 4.395579 0.126371 34.78316 0.0000
POV_RATE -0.897873 0.090133 -9.961617 0.0000
LN_HEALTH -0.023158 0.006370 -3.635527 0.0008
LN_EDU 0.021027 0.006732 3.123477 0.0033
R-squared 0.792649 Mean dependent var 4.132233
Adjusted R-squared 0.777477 S.D. dependent var 0.060632
S.E. of regression 0.028601 Akaike info criterion -4.186038
Sum squared resid 0.033540 Schwarz criterion -4.025445
Log likelihood 98.18584 Hannan-Quinn criter. -4.126170
F-statistic 52.24409 Durbin-Watson stat 0.426541
Prob(F-statistic) 0.000000
84
B. Fixed Effect Model (FEM)
Dependent Variable: LN_HDI?
Method: Pooled Least Squares
Date: 05/26/19 Time: 21:07
Sample: 2010 2018
Included observations: 9
Cross-sections included: 5
Total pool (balanced) observations: 45
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 4.196114 0.097437 43.06491 0.0000
POV_RATE? -0.633927 0.092528 -6.851178 0.0000
LN_HEALTH? -0.013483 0.005133 -2.626550 0.0125
LN_EDU? 0.016742 0.004452 3.760326 0.0006
Fixed Effects (Cross)
_NTT--C -0.012515
_GORONTALO--C 0.007010
_MALUKU--C 0.047692
_PAPUABARAT--C -4.69E-05
_PAPUA--C -0.042140
Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables)
R-squared 0.938799 Mean dependent var 4.132233
Adjusted R-squared 0.927221 S.D. dependent var 0.060632
S.E. of regression 0.016357 Akaike info criterion -5.228518
Sum squared resid 0.009899 Schwarz criterion -4.907333
Log likelihood 125.6416 Hannan-Quinn criter. -5.108783
F-statistic 81.08145 Durbin-Watson stat 0.700226
Prob(F-statistic) 0.000000
85
C. Uji Chow
Redundant Fixed Effects Tests
Equation: Untitled
Test cross-section fixed effects
Effects Test Statistic d.f. Prob.
Cross-section F 22.089568 (4,37) 0.0000
Cross-section Chi-square 54.911606 4 0.0000
Cross-section fixed effects test equation:
Dependent Variable: LN_HDI
Method: Panel Least Squares
Date: 05/26/19 Time: 20:52
Sample: 2010 2018
Periods included: 9
Cross-sections included: 5
Total panel (balanced) observations: 45
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 4.395579 0.126371 34.78316 0.0000
POV_RATE -0.897873 0.090133 -9.961617 0.0000
LN_HEALTH -0.023158 0.006370 -3.635527 0.0008
LN_EDU 0.021027 0.006732 3.123477 0.0033
R-squared 0.792649 Mean dependent var 4.132233
Adjusted R-squared 0.777477 S.D. dependent var 0.060632
S.E. of regression 0.028601 Akaike info criterion -4.186038
Sum squared resid 0.033540 Schwarz criterion -4.025445
Log likelihood 98.18584 Hannan-Quinn criter. -4.126170
F-statistic 52.24409 Durbin-Watson stat 0.426541
Prob(F-statistic) 0.000000
86
D. Random Effect Model (REM)
Dependent Variable: LN_HDI
Method: Panel EGLS (Cross-section random effects)
Date: 05/26/19 Time: 20:53
Sample: 2010 2018
Periods included: 9
Cross-sections included: 5
Total panel (balanced) observations: 45
Swamy and Arora estimator of component variances
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 4.258077 0.091835 46.36665 0.0000
POV_RATE -0.706100 0.083862 -8.419764 0.0000
LN_HEALTH -0.015795 0.004916 -3.212846 0.0026
LN_EDU 0.017292 0.004387 3.941723 0.0003
Effects Specification
S.D. Rho
Cross-section random 0.019936 0.5977
Idiosyncratic random 0.016357 0.4023
Weighted Statistics
R-squared 0.672946 Mean dependent var 1.090093
Adjusted R-squared 0.649016 S.D. dependent var 0.029220
S.E. of regression 0.017311 Sum squared resid 0.012287
F-statistic 28.12058 Durbin-Watson stat 0.655829
Prob(F-statistic) 0.000000
Unweighted Statistics
R-squared 0.744627 Mean dependent var 4.132233
Sum squared resid 0.041307 Durbin-Watson stat 0.195077
87
E. Uji Hausman
Correlated Random Effects - Hausman Test
Equation: Untitled
Test cross-section random effects
Test Summary Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.
Cross-section random 7.923857 3 0.0476
Cross-section random effects test comparisons:
Variable Fixed Random Var(Diff.) Prob.
POV_RATE -0.633927 -0.706100 0.001529 0.0649
LN_HEALTH -0.013483 -0.015795 0.000002 0.1175
LN_EDU 0.016742 0.017292 0.000001 0.4693
Cross-section random effects test equation:
Dependent Variable: LN_HDI
Method: Panel Least Squares
Date: 05/26/19 Time: 20:53
Sample: 2010 2018
Periods included: 9
Cross-sections included: 5
Total panel (balanced) observations: 45
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 4.196114 0.097437 43.06491 0.0000
POV_RATE -0.633927 0.092528 -6.851178 0.0000
LN_HEALTH -0.013483 0.005133 -2.626550 0.0125
LN_EDU 0.016742 0.004452 3.760326 0.0006
Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables)
R-squared 0.938799 Mean dependent var 4.132233
Adjusted R-squared 0.927221 S.D. dependent var 0.060632
S.E. of regression 0.016357 Akaike info criterion -5.228518
Sum squared resid 0.009899 Schwarz criterion -4.907333
Log likelihood 125.6416 Hannan-Quinn criter. -5.108783
F-statistic 81.08145 Durbin-Watson stat 0.700226
Prob(F-statistic) 0.000000
88
Lampiran III: Data Penelitian
DATA PENELITIAN
Tahun Provinsi POV_RATE HEALTH EDU HDI
2010 NTT 0.2303 83,979,309,250 55,872,712,111 59.21
2011 NTT 0.2123 142,068,878,326 82,903,236,761 60.24
2012 NTT 0.2041 165,695,156,349 91,083,795,500 60.81
2013 NTT 0.2024 574,035,036,408 248,605,077,141 61.68
2014 NTT 0.196 198,569,827,000 65,216,268,000 62.26
2015 NTT 0.2258 46,621,066,071 50,340,148,922 62.67
2016 NTT 0.2201 259,928,934,497 92,805,528,096 63.13
2017 NTT 0.2138 45,134,588,871 50,575,368,555 63.73
2018 NTT 0.2103 305,991,588,680 1,190,841,423,000 64.39
2010 Gorontalo 0.2319 22,207,276,336 48,422,442,269 62.65
2011 Gorontalo 0.1875 25,808,639,647 66,836,783,302 63.48
2012 Gorontalo 0.1722 35,620,621,365 54,866,882,859 64.16
2013 Gorontalo 0.1801 61,653,398,122 63,864,303,406 64.70
2014 Gorontalo 0.1741 84,579,441,957 83,797,397,579 65.17
2015 Gorontalo 0.1816 24,600,779,660 52,497,993,005 65.86
2016 Gorontalo 0.1763 167,085,856,255 117,107,913,756 66.29
2017 Gorontalo 0.1714 21,143,050,367 74,510,509,686 67.01
2018 Gorontalo 0.1583 131,453,779,736 434,486,076,568 67.71
2010 Maluku 0.2774 86,331,379,197 147,242,071,296 64.27
2011 Maluku 0.23 113,984,123,580 142,332,875,789 64.75
2012 Maluku 0.2076 117,980,407,791.88 104,266,220,752.11 65.43
2013 Maluku 0.1927 170,803,401,282 91,881,312,068 66.09
2014 Maluku 0.1844 81,510,352,157 43,068,964,652 66.74
2015 Maluku 0.1936 68,519,503,263 73,237,730,282 67.05
2016 Maluku 0.1926 255,669,820,943 179,704,755,892 67.60
2017 Maluku 0.1829 70,318,878,888 80,896,939,805 68.19
2018 Maluku 0.1785 285,234,771,463 761,408,494,771 68.87
2010 Papua Barat 0.3488 82,190,589,876 113,631,195,939 59.60
2011 Papua Barat 0.3192 73,578,875,526 127,202,550,210 59.90
2012 Papua Barat 0.2704 67,328,957,694 132,557,799,122 60.30
2013 Papua Barat 0.2714 73,194,956,061 126,340,776,840 60.91
2014 Papua Barat 0.2626 682,850,044,956 1,280,719,000,638 61.28
2015 Papua Barat 0.2573 63,752,890,963 77,389,944,506 61.73
2016 Papua Barat 0.2488 186,944,309,297 182,989,027,421 62.21
2017 Papua Barat 0.2312 33,240,030,960 86,902,567,110 62.99
2018 Papua Barat 0.2266 110,058,654,612 602,627,012,184 63.74
89
2010 Papua 0.368 448,560,005,262 248,118,355,355 54.45
2011 Papua 0.3198 475,363,886,398 270,682,515,290 55.01
2012 Papua 0.3066 578,870,773,655 291,779,213,007 55.55
2013 Papua 0.3153 672,966,034,000 218,340,884,000 56.25
2014 Papua 0.278 649,772,365,282 154,490,959,100 56.75
2015 Papua 0.284 156,785,871,335 80,972,960,775 57.25
2016 Papua 0.284 682,509,511,628 531,588,191,604 58.05
2017 Papua 0.2776 146,910,165,961 125,888,297,437 59.09
2018 Papua 0.2743 903,231,039,555 1,539,750,827,595 60.06
DATA PENELITIAN (LN)
Tahun Provinsi POV_RATE LN_HEALTH LN_EDU LN_HDI
2010 NTT 0.2303 25.15384 24.74634 4.08109
2011 NTT 0.2123 25.67958 25.14094 4.09834
2012 NTT 0.2041 25.83342 25.23505 4.10775
2013 NTT 0.2024 27.07596 26.23913 4.12196
2014 NTT 0.196 26.01441 24.90097 4.13132
2015 NTT 0.2258 24.56532 24.64207 4.13788
2016 NTT 0.2201 26.28367 25.25377 4.14520
2017 NTT 0.2138 24.53291 24.64673 4.15466
2018 NTT 0.2103 26.44682 27.80568 4.16496
2010 Gorontalo 0.2319 23.82369 24.60323 4.13756
2011 Gorontalo 0.1875 23.97398 24.92552 4.15072
2012 Gorontalo 0.1722 24.29619 24.72818 4.16138
2013 Gorontalo 0.1801 24.84479 24.88003 4.16976
2014 Gorontalo 0.1741 25.16096 25.15167 4.17700
2015 Gorontalo 0.1816 23.92604 24.68404 4.18753
2016 Gorontalo 0.1763 25.84177 25.48636 4.19404
2017 Gorontalo 0.1714 23.77458 25.03421 4.20484
2018 Gorontalo 0.1583 25.60192 26.79743 4.21523
2010 Maluku 0.2774 25.18146 25.71534 4.16309
2011 Maluku 0.23 25.45933 25.68143 4.17053
2012 Maluku 0.2076 25.49378 25.37021 4.18098
2013 Maluku 0.1927 25.86378 25.24376 4.19102
2014 Maluku 0.1844 25.12400 24.48607 4.20080
2015 Maluku 0.1936 24.95038 25.01698 4.20544
2016 Maluku 0.1926 26.26715 25.91458 4.21361
2017 Maluku 0.1829 24.97631 25.11644 4.22230
90
2018 Maluku 0.1785 26.37658 27.35844 4.23222
2010 Papua Barat 0.3488 25.13231 25.45622 4.08766
2011 Papua Barat 0.3192 25.02162 25.56905 4.09268
2012 Papua Barat 0.2704 24.93286 25.61028 4.09933
2013 Papua Barat 0.2714 25.01639 25.56225 4.10940
2014 Papua Barat 0.2626 27.24954 27.87844 4.11545
2015 Papua Barat 0.2573 24.87828 25.07212 4.12277
2016 Papua Barat 0.2488 25.95408 25.93269 4.13052
2017 Papua Barat 0.2312 24.22702 25.18805 4.14298
2018 Papua Barat 0.2266 25.42428 27.12456 4.15481
2010 Papua 0.368 26.82931 26.23717 3.99728
2011 Papua 0.3198 26.88735 26.32421 4.00751
2012 Papua 0.3066 27.08435 26.39926 4.01728
2013 Papua 0.3153 27.23496 26.10932 4.02981
2014 Papua 0.278 27.19989 25.76340 4.03866
2015 Papua 0.284 25.77815 25.11738 4.04743
2016 Papua 0.284 27.24904 26.99913 4.06130
2017 Papua 0.2776 25.71309 25.55866 4.07906
2018 Papua 0.2743 27.52924 28.06264 4.09534