pengaruh kenaikan harga bahan bakar minyak (bbm) maret 2005 terhadap...
TRANSCRIPT
VI-56
PENGARUH KENAIKAN HARGA BAHAN BAKAR MINYAK (BBM) MARET 2005 TERHADAP PROFITABILITAS USAHA JASA ALSINTAN
DAN USAHATANI PADI
(Kasus Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan dan Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur)
Pantjar Simatupang, Ketut Kariyasa, Sudi Mardianto,
dan M. Maulana
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Minyak bumi merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang tidak
dapat diperbaharui. Berarti, penggunaan secara terus-menerus menyebabkan
semakin menipisnya persediaan minyak bumi. Globalisasi dan industrialisasi
menyebabkan kebutuhan bahan bakar minyak semakin tinggi. Sementara
kapasitas produksinya tidak mampu mengimbangi pertumbuhan kebutuhannya.
Akibatnya, sepanjang tahun 2005, harga minyak di pasar dunia melonjak dan
sampai Agustus 2005 harga minyak dunia bertahan diatas level 55 US$/barel.
Tingginya harga minyak dunia ini menyebabkan beban subsidi pemerintah
semakin berat.
Pola subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) yang selama ini diterapkan
ternyata malah menjadi penambah beban keuangan negara. Kenaikan harga BBM
merupakan sebuah konsekuensi dari melonjaknya harga minyak dunia. Kenyataan
ini tertuang dalam APBN 2005 yang terus mengalami revisi sebagai penyesuaian
meningkatnya harga minyak dunia.
Bahan Bakar Minyak merupakan faktor produksi penting bagi berbagai
kegiatan sektor perekonomian tak terkecuali sektor pertanian. BBM digunakan
untuk mesin-mesin penggerak produktif seperti kendaraan bermotor angkutan
umum, traktor, industri pengolahan dan generator pembangkit listrik. Mengingat
peran yang amat strategis dari BBM terhadap perekonomian nasional, maka
pemerintah mengendalikan penyaluran dan harga BBM. Namun demikian, dalam
rangka mengurangi beban subsidi, pemerintah secara periodik melakukan
penyesuaian harga BBM agar mendekati harga keseimbangannnya. Pada bulan
Maret 2005, pemerintah melakukan penyesuaian harga BBM sehingga harga BBM
utamanya Solar mengalami kenaikan yang cukup tajam yaitu sebesar 21,93
persen.
VI-57
Diantara berbagai BBM, minyak solar merupakan salah satu faktor
produksi penting bagi sektor pertanian, maka kenaikan solar tersebut jelas akan
mempengaruhi kinerja sektor pertanian, diantaranya mempengaruhi profitabilitas
usaha jasa alat dan mesin pertanian yang secara langsung akan mempengaruhi
profitabilitas usahatani padi.
II. Tujuan Tujuan penelitian ini secara spesifik dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Untuk mengkaji dampak perubahan harga BBM terhadap profitabilitas usaha
jasa traktor tangan, pompa air, power thresher, penggilingan padi akibat
peningkatan biaya operasional dan profitabilitas usahatani padi akibat
peningkatan ongkos usahatani.
2. Simulasi dampak rencana kenaikan harga BBM akhir tahun 2005 terhadap
profitabilitas usaha jasa traktor tangan, pompa air, power thresher,
penggilingan padi dan usahatani padi.
3. Untuk menyusun rumusan kebijakan yang dipandang sesuai sehubungan
dengan kebijakan harga BBM.
METODOLOGI PENELITIAN I. Kerangka Pemikiran Transmisi Dampak Kenaikan BBM terhadap Sektor Pertanian
Pengaruh kenaikan harga solar terhadap sektor pertanian terutama terjadi
melalui 3 (tiga) media yaitu : (1) sewa alsintan; (2) biaya pemasaran dan (3) inflasi
pedesaan. Peningkatan harga solar akan meningkatkan biaya sewa alsintan
selanjutnya akan meningkatkan biaya usahatani dan akan menurunkan produksi
dan laba usahatani.
Peningkatan harga solar akan meningkatkan biaya transportasi yang
selanjutnya akan meningkatkan biaya pemasaran. Peningkatan biaya pemasaran
akan meningkatkan harga output di tingkat konsumen, namun karena biaya
pemasaran mengalami peningkatan, maka harga yang diterima petani akan
mengalami menurun. Selain meningkatkan biaya distribusi, peningkatan harga
solar juga akan meningkatkan biaya pokok produksi input pertanian manufaktur
VI-58
seperti pupuk dan pestisida. Peningkatan harga solar pasti meningkatkan harga
input pertanian tradeable, lebih-lebih input manufaktur. Peningkatan harga input
dan penurunan harga output yang diterima petani akibat kenaikan harga solar
akan menyebabkan produksi dan laba usahatani mengalami penurunan.
Kenaikan harga solar juga akan meningkatkan indeks harga konsumen
pedesaan. Namun karena harga output yang diterima petani mengalami
penurunan, maka kenaikan harga solar mungkin tidak berpengaruh nyata
terhadap inflasi pedesaan. Kenaikan harga solar akan lebih berpengaruh pada
inflasi di perkotaan karena harga yang dibeli oleh konsumen akan mengalami
peningkatan, sehingga kemungkinan besar kesejahteraan masyarakat perkotaan
akan mengalami penurunan.
Dengan demikian peningkatan harga solar akan menurunankan produksi dan
laba usahatani. Penurunan harga output yang diterima petani dapat menurunkan
tingkat upah. Perpaduan dua faktor tersebut akan menyebabkan PDB sektor
pertanian akan mengalami penurunan. Dampak kenaikan harga solar terhadap
sektor pertanian secara rinci disajikan dalam Gambar 1.
Sumber Data, Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder. Data primer
dikumpulkan melalui survey di Propinsi Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Untuk
data tingkat nasional diperoleh dari rata – rata dua propinsi lokasi survey.
Sumber data sekunder adalah lembaga/instansi yang terkait dengan
data/informasi yang dibutuhkan dalam penelitian antara lain seperti Badan Pusat
Statistik dan Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Perkebunan Tingkat I dan II.
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 8 sampai dengan 19 Agustus 2005.
Metode Analisis Analisis Deskriptif Analisis deskriptif adalah metode–metode yang berkaitan dengan
pengumpulan dan penyajian suatu gugus data sehingga memberikan informasi
yang berguna (Walpole, 1995). Analisis Deskriptif memberikan informasi
mengenai sekumpulan data dan mendapatkan gagasan untuk keperluan analisis
selanjutnya, jika diperlukan analisis ini meliputi penyusenan ukuran pemusatan,
VI-59
Kenaikan BBM
Sewa Alsintan Meningkat
Biaya Usaha Meningkat
Produksi pert. Menurun
Laba Usaha Menurun
PDB Pertanian Menurun
Ongkos Pemasaran
Harga input Meningkat
Harga diterima Petani Menurun
Upah pertanian Menurun
Inflasi Non Pertanian
Inflasi Pedesaan
Gambar 1. Dampak Transmisi Kenaikan Harga Solar Terhadap Sektor Pertanian
Kesejahteraan Petani
Menurun
VI-60
ukuran penyebaran, label, diagram dan grafik. Akan tetapi jika dari hasil analisis ini
sudah dapat diambil kesimpulan yang tepat maka tidak perlu menganalisis dengan
cara yang lebih rumit. (Clark and Schkade, 1983).
Perhitungan Profitabilitas Usahatani
Profitabilitas usahatani dihitung dengan menggunakan :
1) π = TR – TC ............................................................ (1)
π = P.Q – (TFC + TVC)...................................................... (2)
π = P.Q - (∑=
n
i
TC1
+ )1
∑=
n
iii XP ............................................. (3)
dimana :
π = keuntungan TR = total penerimaan TC = total biaya P = harga output Q = jumlah output TFC = total biaya tetap TVC = total biaya variabel FCI = jenis biaya tetap ke-i PI = harga input ke-i XI = jumlah input ke-i
Kriteria : Bila π > 0: usahatani layak Bila π < 0: usahatani tidak layak 2) R/C ratio atau rasio penerimaan dan biaya
R/C = TR / TC
dimana : TR = total penerimaan TC = total biaya
Kriteria : Bila R/C > 1 usahatani layak Bila R/C < 1 usahatani tidak layak
VI-61
HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Profitabilitas Usaha Jasa Traktor Sebelum dan Sesudah Kenaikan Harga BBM 2005 Traktor digunakan untuk pengolahan tanah sampai siap tanam. Hingga
kini, penggunaan traktor untuk pengolahan sawah telah berkembang hampir
menyeluruh di daerah persawahan padi di Indonesia baik di daerah kekurangan
tenaga kerja maupun di daerah yang cukup tenaga kerja. Pertimbangan petani
untuk menggunakan traktor diantaranya adalah lebih cepat bila dibandingkan
tenaga kerja manusia ataupun ternak, sehingga jadual tanam yang ketat dan
serempak dapat terealisir, biaya pengolahan tanah per hektarnya lebih murah bila
dibanding tenaga kerja manusia ataupun ternak, dan kesulitan mencari tenaga
kerja manusia ataupun ternak untuk pengolahan sawah (Simatupang et al, 1994).
Pada usahatani padi di lahan sawah jenis traktor yang banyak digunakan oleh
petani adalah traktor tangan (hand tractor) dibandingkan dengan traktor mini
(traktor roda empat). Hal ini disebabkan traktor tangan harganya lebih murah dan
pengorerasiannya relatif lebih mudah.
Di Kabupaten Nganjuk Jawa Timur traktor tangan yang digunakan baik
untuk perorangan maupun usaha jasa persewaan banyak dijumpai merupakan
buatan Cina, salah satunya adalah traktor tangan bermerk Dong Feng dengan
tenaga mesin 8.5 PK. Pertimbangan utama petani untuk menggunakan traktor
tangan buatan Cina dibandingkan dengan buatan lainnya seperti merk Kubota dari
Jepang adalah harga belinya yang lebih murah.
Sebelum kenaikan harga BBM Maret 2005, biaya operasional traktor
tangan mencapai Rp. 100.087/ha. Komponen biaya terbesar dalam biaya
operasional traktor tersebut adalah upah operator yang mencapai Rp. 45.000/ha
atau 44.96 persen dari total biaya operasional. Upah operator ini dihitung sebesar
15 persen dari sewa traktor. Komponen biaya bahan bakar solar merupakan
komponen biaya operasional terbesar kedua yang mencapai Rp. 39.000/ha atau
sekitar 39 persen. Sementara komponen biaya perawatan dan oli hanya sekitar 16
persen.
Sistem pengupahan jasa traktor adalah borongan per satuan luas. Rata –
rata per hektar luasan sawah ongkos sewa traktor mencapai Rp. 300.000. Dengan
ongkos sewa tersebut, laba bersih yang diperoleh pengusaha traktor sekitar Rp.
VI-62
184.000/ha. Jika penyusutan dimasukan dalam perhitungan biaya total yang per
tahunnya mencapai Rp. 16.000, maka rasio pendapatan dengan biaya total (RC
rasio dengan biaya total) adalah sebesar 2.58 (Tabel 1).
Tabel 1. Perubahan Profitabilitas per Hektar Usaha Jasa Traktor di Kabupaten Nganjuk Propinsi Jawa Timur Sebelum dan Sesudah Kenaikan BBM Maret 2005.
Sebelum Kenaikan BBM Setelah Kenaikan BBM Perubahan
Uraian Satuan Vol. Harga Nilai (Rp) Share
(%) Vol. Harga Nilai (Rp) Share (%) Harga Nilai (Rp) %
1. Spesifikasi Teknis
Harga Beli 8 juta 8 juta - - -
Tenaga Mesin PK 8.5 8.5 - - -
Umur Ekonomis Tahun 10 10 - - -
Kemampuan Kerja - - -
- Jam Operasi Jam/ hari
10 10 - - -
- Luas Pelayanan Ha/ hari 0.5 0.5 - - -
2. Biaya Operasional 100,087 100.00 158,342 100.00 - 58,255 58.20
Solar Liter 20 1,950 39,000 38.97 20 2,300 46,000 29.05 350 7,000 17.95
Oli Liter 0.16 21,000 3,360 3.36 0.16 26,000 4,160 2.63 5,000 800 23.81
Perawatan Rp 12,727 12.72 18,182 11.48 - 5,455 42.86
Upah Operator Rp 15% 45,000 44.96 25% 90,000 56.84 - 45,000 100.00
3. Penerimaan Kotor Rp 300,000 360,000 - 60,000 20.00
4. Laba Kotor (3 - 2) Rp 199,913 201,658 - 1,745 0.87
5. Penyusutan Rp 16,000 16,000 - - -
6. Laba Bersih Rp 183,913 185,658 - 1,745 0.95
7. RCR 3.00 2.27 - (0.72) (24.15)
8. Biaya Total Rp 116,087 174,342 58,255 50.18
9. RCR Dengan Biaya Total 2.58 2.06 - (0.52) (20.10)
Sumber : Data Primer, diolah, Agustus 2005.
Kenaikan harga solar yang diberlakukan oleh pemerintah pada bulan Maret
2005 berpengaruh langsung terhadap biaya operasional pengolahan tanah
dengan traktor. Harga solar yang biasa diperoleh pengusaha dari pengecer desa
sebesar Rp. 1.950/liter, setelah kenaikan BBM meningkat menjadi Rp. 2.300/liter.
Peningkatan harga solar ini menyebabkan komponen biaya solar meningkat
sebesar Rp. 7.000/ha atau 17.9 persen. Harga oli juga meningkat dari Rp.
21.000/liter sebelum kenaikan menjadi Rp. 26.000/liter setelah kenaikan BBM
sehingga meningkatkan komponen biaya oli dalam biaya operasional sebesar 23.8
persen. Sementara biaya perawatan meningkat tajam akibat kenaikan BBM
sebesar Rp. 5.422/ha atau 42.8 persen.
VI-63
Untuk komponen biaya upah operator terjadi kenaikan persentase
perhitungan upah dari sewa traktor. Jika sebelum kenaikan BBM nilai upah
operator mencapai 15 persen dari sewa traktor, maka setelah kenaikan BBM
meningkat menjadi 25 persen dari sewa traktor. Sewa traktor sendiri meningkat
rata – rata Rp. 60.000/ha atau sekitar 20 persen sehingga upah operator yang
merupakan persentase terhadap sewa mengalami peningkatan dua kali lipat
dibandingkan sebelum kenaikan BBM. Secara total biaya operasional traktor
meningkat menjadi Rp. 158.342/ha atau meningkat sekitar 58 persen.
Dengan adanya perhitungan kenaikan biaya operasional dan sewa, maka
dapat terlihat bahwa kenaikan harga solar di Kabupaten Nganjuk Jawa Timur telah
menyebabkan peningkatan laba bersih para pemilik atau pengusaha jasa traktor
sebesar Rp. 1.745/ha atau sekitar 0.95 persen. Tetapi secara keseluruhan RC
rasio dengan biaya total turun dari 2.58 menjadi 2.06 setelah adanya kenaikan
BBM.
Di Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan kepemilikan traktor secara umum
dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu: (1) usaha jasa sewa, (2) petani/kelompok
tani, dan (3) pemerintah (pada umumnya dinas dinas lingkup Direktorat Jenderal
Pertanian Tanaman Pangan). Hasil inventarisasi di Kabupaten Sidrap
menunjukkan bahwa, sebagian besar kepemilikan traktor di kabupaten ini
merupakan milik petani (tuan tanah) dan hanya sebagian merupakan milik usaha
jasa sewa traktor. Sehingga pasar usaha penyewaan traktor di wilayah ini relatif
kurang berjalan. Merk traktor yang dimiliki petani cukup beragam, ada merk
Yanmar, Kubota dan ada juga merk Ratna dengan harga yang cukup beragam
pula. Kemampuan kerja traktor sangat ditentukan oleh spesifikasi teknis tenaga
mesin traktor itu sendiri. Traktor dengan PK lebih tinggi tentunya mempunyai
kemampuan kerja lebih tinggi dibanding traktor dengan PK lebih rendah. Dengan
perawatan cukup baik, umur ekonomis traktor diperkirakan bisa mencapai 10
tahun. Dalam sehari (7 - 10 jam) kemampuan mengolah lahan sampai siap tanam
berkisar 0,25 – 0,35 hektar. Untuk kelompok traktor yang disewakan, jumlah hari
efektif mengolah lahan dalam satu musim kurang lebih 20 hari, sehingga dalam
setahun (2 musim padi) luas lahan yang bisa terolah sekitar 10 – 14 hektar.
Kebijakan pemerintah untuk menaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM)
termasuk jenis solar seiiring dengan melonjaknya harga komoditas ini di pasar
dunia di satu sisi dan disisi lain untuk mengurangi beban anggaran negera yang
VI-64
semakin menipis, telah berdampak terhadap kinerja usaha jasa traktor di
Kabupaten Sidrap. Pertanyaannya adalah siapa sajakah yang menanggung
dampak tersebut? Apakah seluruhnya ditanggung oleh usaha jasa traktor atau
pengguna jasa traktor (petani) atau dibebankan secara adil kepada petani dan
usaha jasa traktor?
Pada Tabel 2 disajikan perubahan profitabilitas usaha traktor di Kabupaten
Sidrap akibat adanya kenaikan harga BBM. Untuk menghindari kerugian, kenaikan
harga BBM telah direspon dengan adanya penyesuaian besarnya sewa traktor.
Sebelum kenaikan harga BBM, besarnya sewa traktor yang umumnya berlaku di
Sidrap adalah Rp 400.000/ha dan setelah adanya kenaikan harga BBM menjadi
Rp 500.000/ha (meningkat sebesar 25%). Secara keseluruhan biaya operasional
yang harus dikeluarkan usaha jasa ini mengalami peningkatan sekitar 24,82%
42.027/ha). Kalau diperinci lebih lanjut, biaya BBM jenis solar dan oli yang
dikeluarkan usaha jasa ini meningkat masing-masing 27,27% dan 22,22%,
sementara biaya operator meningkat secara proporsional dengan kenaikan sewa
traktor, mengingat besarnya ongkos operator 20% dari nilai sewa traktor.
Sebelum kenaikan harga BBM rata-rata keuntungan usaha jasa traktor
sekitar Rp 131 ribu/ha pada tingkat RCR 1,49 dan setelah kenaikan harga BBM
menjadi Rp 189 ribu/ha pada tingkat RCR 1,61. Terlihat bahwa setelah adanya
kenaikan harga BBM justru keuntungan yang diterima usaha jasa ini lebih baik dari
sebelumnya. Fakta ini menunjukkan bahwa tambahan biaya operasional akibat
adanya kenaikan harga BBM sepenuhnya ditanggung petani. Fakta ini juga
menunjukkan bahwa usaha jasa traktor cenderung terlalu tinggi menaikkan sewa
traktor, karena pada sewa yang baru keuntungannya semakin membaik secara
nominal, juga terjadi kenaikan relatif (%) lebih tinggi dari kenaikan biaya
operasional. Tanpa adanya perbaikan harga jual gabah di tingkat petani, maka
dapat dipastikan insentif yang diterima petani akan menurun.
VI-65
Tabel 2. Perubahan Profitabilitas per Hektar Usaha Jasa Traktor di Kabupaten Sidrap Propinsi Sulawesi Selatan Sebelum dan Sesudah Kenaikan BBM Maret 2005.
Sebelum Kenaikan BBM Setelah Kenaikan BBM Perubahan
Uraian Satuan Vol. Harga Nilai
(Rp) Share
(%) Vol. Harga Nilai (Rp)
Share (%) Harga Nilai
(Rp) %
1. Spesifikasi Teknis
Harga Beli 11 juta 11 juta - - -
Tenaga Mesin PK 8.5 8.5 - - -
Umur Ekonomis Tahun 10 10 - - -
Kemampuan Kerja - - -
- Jam Operasi Jam/ hari
10 10 - - -
- Luas Pelayanan Ha/ hari
0.33 0.33 - - -
2. Biaya Operasional 169,345 100.00 211,373 100.00 - 42,027 24.82
Solar Liter 21 1,815 38,115 22.51 21 2,310 48,510 22.95 495 10,395 27.27
Oli Liter 0.12 9,900 1,188 0.70 0.12 12,100 1,452 0.69 2,200 264 22.22
Perawatan Rp 21,818 12.88 26,182 12.39 - 4,364 20.00
Upah Operator Rp 20% 80,000 47.24 20% 100,000 47.31 - 20,000 25.00
20% Biaya Bunga Rp 28,224 16.67 35,229 16.67 24.82
3. Penerimaan Kotor Rp 400,000 500,000 - 100,000 25.00
4. Laba Kotor (3 - 2) Rp 230,655 288,627 - 57,973 25.13
5. Penyusutan Rp 100,000 100,000 - - -
6. Laba Bersih 130,655 188,627 - 57,973 44.37
7. RCR Rp 2.36 2.37 - 0.00 0.15
8. Biaya Total 269,345 311,373 42,027 15.60
9. RCR Dengan Biaya Total 1.49 1.61 - 0.12 8.13
Sumber : Data Primer, diolah, Agustus 2005.
Pada tingkat nasional, kenaikan harga BBM meningkatkan biaya
operasional traktor tangan Rp. 49.574/ha atau 41.6 persen. Komponen biaya upah
operator mengalami peningkatan tertinggi sebesar Rp. 35.500/ha atau meningkat
sekitar 57 persen. Komponen biaya lainnya juga mengalami peningkatan masing –
masing adalah komponen biaya perawatan Rp. 4.909/ha (28.4%), Oli Rp. 504/ha
(23.3%) dan solar Rp. 8.661/ha (22.4%) (Tabel 3).
Penerimaan dari sewa traktor juga mengalami peningkatan pasca kenaikan
BBM sebesar Rp. 80.000/ha atau 22.8 persen. Dengan memperhitungkan
biaya penyusutan yang tetap antara sebelum dan sesudah kenaikan BBM sebesar
Rp 19.000/ha maka laba bersih usaha jasa traktor meningkat dari Rp 211.723/ha
sebelum kenaikan BBM menjadi Rp 242.149/ha setelah kenaikan atau 14.3
persen. Tetapi secara umum peningkatan nilai sewa traktor belum mampu
VI-66
Tabel 3. Simulasi Kenaikan Harga BBM Terhadap Perubahan Biaya dan Penerimaan per Hektar Usaha Jasa Traktor Tangan di
Indonesia, Agustus 2005.
Sebelum Sesudah Perubahan Simulasi Kenaikan Harga Solar Uraian Satuan
Volume Harga Nilai (Rp) Share (%) Volume Harga Nilai (Rp) Share
(%) Harga Nilai (Rp) % 20% 30% 40% 50%
1. Spesifikasi Teknis
Harga Beli 9,500,000 9,500,000 - - - 9,500,000 9,500,000 9,500,000 9,500,000
Tenaga Mesin PK 8.5 8.5 - - - 9 9 9 9
Umur Ekonomis Tahun 10 10 - - - 10 10 10 10
Kemampuan Kerja - - -
- Jam Operasi Jam/hari 10 10 - - - 10 10 10 10
- Luas Pelayanan Ha/hari 0.42 0.42 - - - 0.42 0.42 0.42 0.42
2. Biaya Operasional 119,277 100.00 168,851 100.00 - 49,574 41.56 209,086 229,204 249,321 269,439
Solar Liter 20.50 1,883 38,591 32.35 20.50 2,305 47,253 27.98 423 8,661 22.44 56,703 61,428 66,154 70,879
Oli Liter 0.14 15,450 2,163 1.81 0.14 19,050 2,667 1.58 3,600 504 23.30 3,200 3,467 3,734 4,001
Perawatan Rp 17,273 14.48 22,182 13.14 - 4,909 28.42 27,800 30,609 33,418 36,227
Upah Operator Rp 0.175 61,250 51.35 0.225 96,750 57.30 - 35,500 57.96 121,383 133,700 146,016 158,333
3. Penerimaan Kotor Rp 350,000 430,000 - 80,000 22.86 517,585 561,377 605,170 648,962
4. Laba Kotor (3 - 2) Rp 230,723 261,149 - 30,426 13.19 308,498 332,173 355,848 379,523
5. Penyusutan Rp 19,000 19,000 - 19,000 - 19,000 19,000 19,000 19,000
6. Laba Bersih Rp 211,723 242,149 - 30,426 14.37 289,498 313,173 336,848 360,523
7. RCR 2.93 2.55 - (0.39) (13.21) 2.48 2.45 2.43 2.41
8. Biaya Total Rp 138,277 187,851 49,574 35.85 228,086 248,204 268,321 288,439
9. RCR Dengan Biaya Total
2.53 2.29 - (0.24) (9.57) 2.27 2.26 2.26 2.25
Sumber : Data Primer, diolah, Agustus 2005.
VI-67
menutup kenaikan biaya total akibat kenaikan BBM. Hal ini ditunjukkan dengan
nilai RC rasio yang turun dari 2.53 menjadi 2.29.
Dengan terus meningkatnya tren harga minyak dunia maka tentunya
pemerintah akan menyesuaikan harga BBM dalam negeri demi mengurangi beban
subsidi yang ditanggung pemerintah. Hal ini juga akan berpengaruh terhadap
peningkatan biaya operasional dan sewa traktor. Berdasarkan simulasi kenaikan
harga BBM terhadap perubahan biaya dan penerimaan per hektar usaha jasa
traktor, yaitu sebesar 20%, 30%, 40% dan 50% dari harga BBM solar sekarang,
terlihat bahwa jika harga solar naik 20% dari harga kini, biaya operasional
meningkat dari sekitar Rp. 168 ribu/ha menjadi Rp. 209 ribu/ha. Berturut–turut jika
harga minyak solar dinaikkan 30%, 40% dan 50%, biaya operasional meningkat
menjadi Rp. 229 ribu, Rp. 249 ribu dan Rp. 269 ribu per hektar. Untuk
mempertahankan atau meningkatkan kelayakan usaha jasa traktor maka
pengusaha harus menaikkan harga sewa per hektarnya sekitar Rp. 309 ribu –
Rp. 380 ribu.
Perkembangan Profitabilitas Usaha Jasa Pompa Air Sebelum dan Sesudah Kenaikan Harga BBM 2005 Pada usahatani tanaman pangan, pompa air digunakan untuk memenuhi
kebutuhan air bagi tanaman ataupun untuk persiapan pengolahan lahan. Kalau
dilihat dari fungsi pompa air untuk usahatani padi atau palawija, maka pompa air
digunakan baik untuk musim hujan maupun musim kemarau, baik di sawah irigasi
maupun sawah atau lahan tadah hujan. Pada awal musim hujan, sebelum air
irigasi masuk mengairi sawah atau air hujan masih belum cukup, maka untuk
keperluan pengolahan lahan diperlukan kondisi tanah yang basah sehingga
memungkinkan untuk diolah, baik dengan menggunakan traktor, ternak maupun
tenaga manusia. Untuk membasahi tanah ini diperlukan air yang berasal dari
irigasi pompa. Pada tahap-tahap berikutnya, penggunaan pompa air untuk irigasi
bagi tanaman pangan adalah untuk mencukupi kebutuhan air pada saat air irigasi
atau air hujan kurang.
Dilihat dari asal sumber air yang dipompa, irigasi pompa dapat dibedakan
menjadi irigasi pompa bersumber dari air sungai dan dari air sumur. Irigasi pompa
yang sumber airnya berasal dari sungai pada umumnya dapat mengairi sawah
lebih luas daripada irigasi pompa dari air sumur. Hal ini disebabkan karena debit
VI-68
pompa air sungai pada umumnya lebih besar dari debit pompa air sumur,
sehingga pada umumnya pompa air sungai dipasang dengan mempertimbangkan
debit air yang memungkinkan untuk dipompa (Simatupang et al, 1995).
Di Kabupaten Nganjuk, kepemilikan pompa air terutama buatan cina sudah
banyak dimiliki secara perorangan oleh petani untuk mengairi sawahnya sendiri.
Walaupun begitu, masih cukup banyak usaha jasa poma air yang diusahakan
melalui kelompok tani untuk mengairi sawah anggotanya atau petani luar anggota
yang memerlukan. Salah satu jenis pompa air yang banyak dimiliki atau
diusahakan adalah merk Dong Feng dengan tenaga mesin 8.5 PK.
Sebelum kenaikan BBM Maret 2005, sebuah pompa air Dong Feng
dengan sumber air sumur pantek dapat beroperasi mengair satu hektar sawah
dengan biaya operasional rata – rata sebesar Rp. 106 ribu (Tabel 4). Komponen
biaya operasional terbesarnya adalah upah operator dan solar yang masing –
masing mencapai Rp. 54.000 dan Rp. 45.600 atau sekitar 51 dan 43 persen dari
total biaya operasional. Sementara komponen biaya lainnya yaitu biaya perawatan
dan oli totalnya hanya mencapai 5.34 persen.
Sewa pompa air di Kabupaten Ngajuk dihitung dalam satuan jam dengan
nilai sewa per jam mencapai Rp. 4.000. Jika dalam satu hektar dibutuhkan waktu
pengairan 30 jam, maka besar nilai sewa per hektar adalah Rp. 120 ribu. Jika
penyusutan per hektar dihitung sebesar Rp. 9.500, maka laba bersih usaha jasa
pompa air sumur pantek mencapai Rp. 5.275/ha. Dengan memperhitungkan
penyusutan kedalam biaya maka besarnya RC rasio dengan biaya total adalah
sebesar 1.05.
Setelah kenaikan harga BBM Maret 2005, biaya operasional per hektar
usaha jasa pompa air meningkat Rp. 16.225 atau sekitar 15.4 persen. Komponen
biaya operasional yang mengalami peningkatan terbesar adalah biaya perawatan
yang meningkat sekitar 67 persen. Sementara komponen biaya lainnya yaitu oli,
solar dan upah operator meningkat masing – masing 28%, 15% dan 11%. Untuk
menutupi kenaikan biaya operasional ini maka pengusaha jasa pompa air
menaikan pula biaya sewa pompa air rata – rata sebesar 25 persen yaitu dari
Rp 4.000/ jam menjadi Rp. 5 000/jam sehingga sewa pompa air per hektar setelah
kenaikan BBM mencapai Rp 150 ribu.
VI-69
Tabel 4. Perubahan Profitabilitas per Hektar Usaha Jasa Pompa Air di Kabupaten Nganjuk Propinsi Jawa Timur Sebelum dan Sesudah Kenaikan BBM Maret 2005.
Sebelum Sesudah Perubahan
Uraian Satuan Vol. Harga Nilai (Rp) Share
(%) Harga Nilai (Rp) Share (%) Harga Nilai (Rp) %
1. Spesifikasi Teknis
Harga Beli 1,900,000 1,900,000 - - -
Tenaga Mesin PK 8.5 8.5 - - -
Umur Ekonomis Tahun 5 5 - - -
Kemampuan Kerja - - -
- Jam Operasi Jam/hari 10 10 - - -
- Luas Pelayanan Ha/hari 0.33 0.33 - - -
2. Biaya Operasional 105,225 100.00 121,450 100.00 - 16,225 15.42
Solar Liter 24.00 1,900 45,600 43.34 2,200 52,800 43.47 300 7,200 15.79
Oli Liter 0.15 12,500 1,875 1.78 16,000 2,400 1.98 3,500 525 28.00
Perawatan Rp 3,750 3.56 6,250 5.15 - 2,500 66.67
Upah Operator Rp 3 18,000 54,000 51.32 20,000 60,000 49.40 2,000 6,000 11.11
3. Penerimaan Kotor Rp 30 4,000 120,000 5,000 150,000 1,000 30,000 25.00
4. Laba Kotor (3 - 2) Rp 14,775 28,550 - 13,775 93.23
5. Penyusutan Rp 9,500 9,500 - - -
6. Laba Bersih Rp 5,275 19,050 - 13,775 261.14
7. RCR 1.14 1.24 - 0.09 8.30
8. Biaya Total Rp 114,725 130,950 16,225 14.14
9. RCR Dengan Biaya Total 1.05 1.15 - 0.10 9.51
Sumber : Data Primer, diolah, Agustus 2005.
Jika penyusutan diasumsikan tetap yaitu sebesar Rp. 9.500/ha maka laba
bersih usaha jasa pompa air setelah kenaikan BBM meningkat tajam dari
Rp 5.275/ ha menjadi Rp. 19.050 atau sekitar 261 persen. Dengan
memperhitungkan penyusutan sebagai biaya total maka besarnya RC rasio
meningkat dari 1.05 menjadi 1.15
Di Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan, pada usahatani padi sawah irigasi,
penggunaan pompa air relatif sangat sedikit, dan itupun pada umumnya
digunakan pada musim tanam padi ke tiga (MT III) dan awal musim tanam padi
pertama (MT I) ketika kegiatan pengolahan lahan dilakukan. Selain untuk
usahatani padi, penggunaan pompa air juga dilakukan pada usahatani lainnya,
terutama usahatani jagung dan kacang tanah.
Penggunaan pompa pada umumnya banyak dilakukan petani di daerah
irigasi sedang dan tadah hujan. Tidak seperti halnya dengan traktor, pompa air
pada umumnya hanya dimiliki oleh beberapa petani atau kelompok tani tertentu
VI-70
saja. Selain digunakan untuk keperluan sendiri atau kelompok, juga disewakan ke
petani yang membutuhkannya. Dengan tenaga penggerek 18 PK, pompa air
mampu mengairi sekitar 0,33 hektar per hari dengan jam kerja sekitar 10 jam.
Sistem pembayaran untuk jasa pompa air adalah sistem bagi hasil dari
hasil kotor. Untuk komoditas padi jika solarnya ditanggung oleh pemilik pompa
pembagiannya adalah 15% untuk jasa pompa dan 85% untuk petani, sementara
untuk palawija 10% untuk jasa pompa dan 90% petani. Jika solarnya ditanggung
petani, pada komoditas padi pembagiannya akan mengalami perubahan yaitu
10% untuk jasa pompa dan 90% untuk petani, sementara pada komoditas palawija
berubah menjadi 5% untuk jasa pompa dan 95% untuk petani. Sementara
besarnya biaya untuk operator baik untuk komoditas padi maupun palawija 30%
dari keuntungan. Konsep keuntungan yang disepakti antara pemilik pompa dan
operator adalah besarnya selisih antara penerimaan jasa pompa dengan biaya
solar dan oli. Komposisi pembagian untuk jasa pompa dan petani atau komposisi
untuk upah operator pada semua komoditas tidak mengalami perubahan setelah
kenaikan harga BBM.
Sebelum adanya kenaikan harga BBM, untuk mengairi lahan seluas satu
hektar rata-rata biaya operasional yang dibutuhkan pada usaha jasa pompa
sekitar Rp 323 ribu dan setelah adanya kenaikan harga BBM menjadi Rp 356 ribu
atau mengalami peningkatan sekitar 10,03% (Tabel 5). Yang cukup menarik
bahwa walaupun tidak adanya perubahan komposisi dalam pembagian upah jasa
pompa dan upah operator, ternyata keuntungan yang diperoleh pemilik pompa
setelah adanya kenaikan harga BBM relatif lebih baik atau meningkat sebesar
8,73% dari Rp 609 ribu/ha menjadi Rp 663 ribu/ha. Tidak adanya perubahan
dalam komposisi pembagian, sehingga dapat dipastikan bahwa meningkatnya
keuntungan yang diperoleh pemilik pompa akibat tambahan penerimaan karena
adanya kenaikan harga komoditas pertanian (dalam kontek ini harga gabah) lebih
tinggi dari tambahan biaya operasional yang dikeluarkan, mengingat petani
membayar dalam bentuk gabah setelah panen (yarnen). Selain itu, tidak
berubahnya komposisi pembagian menunjukkan bahwa meningkatnya biaya
operasional akibat kenaikan harga BBM seolah-olah tidak dibebankan kepada
petani. Kenapa pemilik pompa tidak mengubah komposisi pembagian tersebut?
Salah satu jawabannya mungkin karena pemilik pompa sudah memprediksi akan
terjadi kenaikan harga komoditas pertanian, dan bahkan mereka berpikir
VI-71
tambahan penerimaan akibat kenaikan harga tersebut lebih tinggi dari kenaikan
biaya operasional karena kenaikan harga BBM. Jika mereka memprediksi tidak
terjadi perubahan harga komoditas pertanian, dapat diduga mereka akan merubah
komposisi tersebut, atau jika upah pompa air yang berlaku dalam bentuk uang
(bukan bagi hasil) dapat dipastikan mereka juga akan menaikkan sewa pompa.
Sehingga kalau dicermati secara mendalam dampak kenaikan harga BBM
sebenarnya dibeban juga kepada petani oleh usaha jasa pompa lewat harga
komoditas padi yang semakin membaik.
Tabel` 5. Perubahan Profitabilitas per Hektar Usaha Jasa Pompa Air di Kabupaten Sidrap Propinsi Sulawesi Selatan Sebelum dan Sesudah Kenaikan BBM Maret 2005.
Sebelum Sesudah Perubahan
Uraian Satuan Vol. Harga Nilai
(Rp) Share
(%) Harga Nilai (Rp)
Share (%) Harga Nilai
(Rp) %
1. Spesifikasi Teknis
Harga Beli 2,500,000 2,500,000 - - -
Tenaga Mesin PK 18 18 - - -
Umur Ekonomis Tahun 5 5 - - -
Kemampuan Kerja - - -
- Jam Operasi Jam/hari 10 10 - - -
- Luas Pelayanan Ha/hari 0.33 0.33 - - -
2. Biaya Operasional 323,497 100.00 355,929 100.00 - 32,431 10.03
Solar Liter 18.65 1,815 33,846 10.46 2,100 39,161 11.00 285 5,315 15.70
Oli Liter 0.45 9,900 4,431 1.37 12,100 5,415 1.52 2,200 985 22.22
Perawatan Rp 13,846 4.28 16,154 4.54 - 2,308 16.67
Upah Operator Rp 271,374 83.89 295,199 82.94 - 23,824 8.78
3. Penerimaan Kotor Rp 942,857 1,028,571 - 85,714 9.09
4. Laba Kotor (3 - 2) Rp 619,360 672,643 - 53,283 8.60
5. Penyusutan Rp 10,000 10,000 - - -
6. Laba Bersih Rp 609,360 662,643 - 53,283 8.74
7. RCR 2.91 2.89 - (0.02) (0.85)
8. Biaya Total Rp 333,497 365,929 32,431 9.72
9. RCR Dengan Biaya Total 2.83 2.81 - (0.02) (0.58)
Sumber : Data Primer, diolah, Agustus 2005.
Pada tingkat nasional, kenaikan harga BBM meningkatkan biaya
operasional pompa air Rp. 24.405/ha atau 11.3 persen. Komponen biaya
perawatan dan oli mengalami peningkatan tertinggi masing – masing sebesar
Rp 2.404/ha dan Rp. 852/ha atau meningkat sekitar 27 persen dan 25 persen.
Komponen biaya lainnya juga mengalami peningkatan masing-masing adalah
VI-72
komponen biaya solar Rp. 6.237/ha (15.7%) dan upah operator Rp. 14.912/ha
(9.17%) (Tabel 6).
Penerimaan dari sewa pompa air juga mengalami peningkatan pasca
kenaikan BBM sebesar Rp. 57.857/ha atau 10.9 persen. Dengan
memperhitungkan biaya penyusutan yang tetap antara sebelum dan sesudah
kenaikan BBM sebesar Rp. 8.800/ha maka laba bersih usaha jasa traktor
meningkat dari Rp. 308.188/ha sebelum kenaikan BBM menjadi Rp. 341.640/ha
setelah kenaikan atau 10.8 persen. Tetapi secara umum peningkatan nilai sewa
traktor terlihat mampu menutup kenaikan biaya total akibat kenaikan BBM. Hal ini
ditunjukkan dengan nilai RC rasio yang relatif tetap sekitar 2.47.
Dengan terus meningkatnya tren harga minyak dunia maka tentunya
pemerintah akan menyesuaikan harga BBM dalam negeri demi mengurangi beban
subsidi yang ditanggung pemerintah. Hal ini juga akan berpengaruh terhadap
peningkatan biaya operasional dan sewa pompa air. Berdasarkan simulasi
kenaikan harga BBM terhadap perubahan biaya dan penerimaan per hektar usaha
jasa pompa air, yaitu sebesar 20%, 30%, 40% dan 50% dari harga BBM solar
sekarang, terlihat bahwa jika harga solar naik 20% dari harga kini, biaya
operasional meningkat dari sekitar Rp. 238 ribu/ha menjadi Rp. 273 ribu/ha.
Berturut–turut jika harga minyak solar dinaikkan 30%, 40% dan 50%, biaya
operasional meningkat menjadi Rp. 290 ribu, Rp. 307 ribu dan Rp. 325 ribu per
hektar. Untuk mempertahankan atau meningkatkan kelayakan usaha jasa traktor
maka pengusaha harus menaikkan harga sewa per hektarnya sekitar Rp. 670 ribu
– Rp. 793 ribu.
VI-73
Tabel 6. Simulasi Kenaikan Harga BBM Terhadap Perubahan Biaya dan Penerimaan per Hektar Usaha Jasa Pompa Air di
Indonesia, Agustus 2005.
Sebelum Sesudah Perubahan Simulasi Kenaikan Harga Solar Uraian Satuan Vol.
Harga Nilai (Rp) Share (%)
Harga Nilai (Rp) Share (%)
Harga Nilai (Rp) % 20% 30% 40% 50%
1. Spesifikasi Teknis
Harga Beli 2,200,000 2,200,000 - - - 2,200,000 2,200,000 2,200,000 2,200,000
Tenaga Mesin PK 8.5 8.5 - - - 9 9 9 9
Umur Ekonomis Tahun 5 5 - - - 5 5 5 5
Kemampuan Kerja - - -
- Jam Operasi Jam/hari 10 10 - - - 10 10 10 10
- Luas Pelayanan Ha/hari 0.33 0.33 - - - 0.33 0.33 0.33 0.33
2. Biaya Operasional 214,441 100.00 238,846 100.00 - 24,405 11.38 273,418 290,704 307,990 325,276
Solar Liter 21.32 1,858 39,609 18.47 2,150 45,847 19.20 293 6,237 15.75 55,016 59,601 64,185 68,770
Oli Liter 0.30 11,200 3,346 1.56 14,050 4,198 1.76 2,850 852 25.45 5,037 5,457 5,877 6,297
Perawatan Rp 8,798 4.10 11,202 4.69 - 2,404 27.32 15,089 17,033 18,976 20,920
Upah Operator Rp 162,687 75.87 177,599 74.36 - 14,912 9.17 198,275 208,613 218,951 229,289
3. Penerimaan Kotor Rp 531,429 589,286 - 57,857 10.89 670,769 711,511 752,253 792,995
4. Laba Kotor (3 - 2) Rp 316,988 350,440 - 33,452 10.55 397,352 420,808 444,263 467,719
5. Penyusutan Rp 8,800 8,800 - - - 8,800 8,800 8,800 8,800
6. Laba Bersih Rp 308,188 341,640 - 33,452 10.85 388,552 412,008 435,463 458,919
7. RCR 2.48 2.47 - (0.01) (0.44) 2.45 2.45 2.44 2.44
8. Biaya Total Rp 223,241 247,646 24,405 10.93 282,218 299,504 316,790 334,076
9. RCR Dengan Biaya Total 2.38 2.38 - (0.00) (0.04) 2.38 2.38 2.37 2.37
Sumber : Data Primer, diolah, Agustus 2005.
VI-74
Perkembangan Profitabilitas Usaha Jasa Power Thresher Sebelum dan Sesudah Kenaikan Harga BBM 2005 Dalam usahatani padi, thresher merupakan alat untuk merontokkan padi
menjadi gabah. Alat ini mrupakan alat bantu bagi tenaga kerja untuk memisahkan
gabah menjadi jeraminya. Thresher atau mesin perontok padi digunakan secara
luas oleh petani baik di daerah kekurangan tenaga kerja pemanen mauun cukup
tenaga kerja. Thresher ini ada dua macam yaitu thresher dengan menggunakan
mesin penggerak (power thresher) dan yang tidak menggunakan mesin atau biasa
dikenal dengan pedal thresher.
Power thresher digerakan dengan menggunakan bahan bakar minyak yaitu
solar. Biaya operasional power thresher di Kabupaten Nganjuk sebelum kenaikan
BBM Maret 2005 mencapai Rp. 105 ribu (Tabel 7). Komponen biaya terbesar dari
biaya operasional adalah upah operator dan solar yang masing – masing sebesar
Rp. 54.000/ha dan Rp. 45.600/ha atau sekitar 51% dan 43%.
Tabel 7. Perubahan Profitabilitas per Hektar Usaha Jasa Power Thresher di
Kabupaten Nganjuk Propinsi Jawa Timur Sebelum dan Sesudah Kenaikan BBM Maret 2005.
Sebelum Sesudah Perubahan
Uraian Satuan Vol. Harga Nilai (Rp) Share
(%) Harga Nilai (Rp) Share (%) Harga Nilai (Rp) %
1. Spesifikasi Teknis
Harga Beli 8,000,000 8,000,000 - - -
Tenaga Mesin PK 8.5 8.5 - - -
Umur Ekonomis Tahun 8 8 - - -
Kemampuan Kerja - - -
- Jam Operasi Jam/hari 10 10 - - -
- Luas Pelayanan Ha/hari 0.33 0.33 - - -
2. Biaya Operasional 105,225 100.00 123,850 100.00 - 18,625 17.70
Solar Liter 24 1,900 45,600 43.34 2,300 55,200 44.57 400 9,600 21.05
Oli Liter 0.15 12,500 1,875 1.78 16,000 2,400 1.94 3,500 525 28.00
Perawatan Rp 3,750 3.56 6,250 5.05 - 2,500 66.67
Upah Operator Rp 3 18,000 54,000 51.32 20,000 60,000 48.45 2,000 6,000 11.11
3. Penerimaan Kotor Rp 120,000 180,000 - 60,000 50.00
4. Laba Kotor (3 - 2) Rp 14,775 56,150 - 41,375 280.03
5. Penyusutan Rp 16,667 16,667 - - -
6. Laba Bersih Rp (1,892) 39,483 - 41,375 (2,187)
7. RCR 1.14 1.45 - 0.31 27.44
8. Biaya Total Rp 121,892 140,517 18,625 15.28
9. RCR Dengan Biaya Total 0.98 1.28 - 0.30 30.12
Sumber : Data Primer, diolah, Agustus 2005.
VI-75
Sewa power thresher per hektar mencapai Rp. 120 ribu sehingga
pengusaha memperoleh laba kotor sebesar Rp 14.775/ha. Perhitungan
penyusutan alat ini per hektarnya ternyata mencapai Rp. 16.667/ha sehingga
secara keseluruhan pengusaha sebenarnya mengalami kerugian sekitar
Rp 1.892/ha.
Setelah kenaikan harga BBM, biaya operasional meningkat 17.7 persen
atau meningkat Rp 18.625/ha sehingga biaya operasionalnya menjadi
Rp 123.850/ ha. Komponen biaya perawatan mengalami peningkatan tertinggi
sebesar Rp. 2.500/ha atau sekitar 67 persen. Sementara komponen biaya lainnya
yaitu oli, solar dan upah operator meningkat berturut – turut sebesar 28%, 21%
adn 11%.
Untuk mengimbangi peningkatan biaya operasional ini maka pengusaha
jasa power thresher ini meningkatkan sewa power thresher ini sebesar Rp.
60.000/ha atau sekitar 50 persen, menjadi Rp. 180 ribu/ha. Peningkatan ini
mampu menutup peningkatan biaya operasional, sehingga pengusaha
mempeoleh laba kotor sekitar Rp. 56.150/ha atau meningkat Rp. 41.375/ha
dibandingkan sebelum kenaikan BBM. Laba kotor ini meningkat hampir tiga kali
lipat sehingga jika diasumsikan penyusutan tetap nilainya maka laba bersih yang
diperoleh pengusaha power thresher akibat kenaikan harga BBM mencapai Rp.
39.483/ha. Dengan memperhitungkan biaya penyusutan dalam total biaya maka
RC rasio usaha jasa power thresher pasca kenaikan BBM Maret 2005 menjadi
1.28.
Di Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan, penggunaan thresher khususnya
untuk merontok padi tidak dapat dipisahkan dengan perkembangan varietas
unggul baru berumur pendek dan mudah dirontok. Terdapat variasi kegiatan
dalam penggunaan thresher di Kabupaten Sidrap. Di beberapa lokasi,
penggunaan thresher menjadi satu kesatuan dengan tenaga kerja panen dan di
beberapa lokasi lainnya penggunaan thresher tidak menyatu dengan tenaga
panen. Dengan tenaga penggerak mesin 6,5 PK, kecepatan merontok padi rata-
rata 6 jam per hektar. Dalam setahun luasan tanaman padi yang bisa dirontok
berkisar 40 – 60 hektar.
VI-76
Baik sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM, secara keseluruhan
ongkos jasa thresher dan panen (sabit) tidak mengalami perubahan yaitu 14,3%
(1/7) dari produksi padi. Namun dalam pembagian antara tenaga penyabit dan
jasa thresher terjadi perubahan yaitu sebelum kenaikan harga BBM dari 14,3%
tersebut, 25% untuk jasa thresher dan 75% tenaga penyabit dan setelah kenaikan
harga BBM menjadi 30% jasa thresher dan 70% tenaga penyabit. Ongkos
operator yang harus dibayar pemilik power thresher juga berubah dari Rp
1500/orang/hari menjadi Rp 2000/orang/hari. Jumlah operator berkisar 8 orang.
Selain sebagai operator, mereka juga sekaligus berperan sebagai tenaga
penyabit, sehingga penerimaan mereka setelah adanya kenaikan harga BBM
sekitar Rp 2000/hari lebih tinggi dari tenaga penyabit.
Perubahan kinerja usaha jasa power thresher dengan adanya kenaikan
harga disajikan pada Tabel 8. Setelah kenaikan harga BBM, biaya operasional
(termasuk biaya tenaga sabit) usaha jasa power thresher meningkat sebesar
9,32%, dari Rp 793 ribu/ha menjadi Rp 867 ribu/ha. Namun demikian, dengan
membaiknya harga komoditas padi dan adanya perubahan komposisi pembagian
untuk tenaga penyabit menyebabkan penerimaan dan keuntungan usaha jasa ini
meningkat masing-masing Rp 9,24% (Rp 943 ribu/ha menjadi Rp 1028 ribu/ha)
dan 8,96% ( Rp 134 ribu/ha menjadi Rp 146 ribu/ha).
Fenomena di atas juga menunjukkan kalau dicermati secara mendalam
bahwa kenaikan harga BBM selain dibebankan ke tenaga penyabit (dengan
berubahnya komposisi pembagian) juga secara tidak langsung dibebankan ke
petani lewat kenaikan harga gabah (walaupun komposisi pembagian tidak
berubah).
Pada tingkat nasional, kenaikan harga BBM meningkatkan biaya
operasional Power Thresher Rp. 46.671/ha atau 10.40 persen. Komponen biaya
solar dan oli mengalami peningkatan tertinggi masing-masing sebesar Rp.
6.768/ha dan Rp. 534/ha atau meningkat sekitar 24 - 26 persen. Komponen biaya
lainnya juga mengalami peningkatan masing – masing adalah komponen biaya
perawatan Rp. 2.083/ha (14.4%) dan upah operator Rp. 37.285/ha (9.2%)
(Tabel 9).
VI-77
Tabel 8. Perubahan Profitabilitas per Hektar Usaha Jasa Power Thresher di Kabupaten Sidrap Propinsi Sulawesi Selatan Sebelum dan Sesudah Kenaikan BBM Maret 2005.
Sebelum Sesudah Perubahan
Uraian Satuan Vol. Harga Nilai
(Rp) Share
(%) Harga Nilai (Rp)
Share (%) Harga Nilai
(Rp) %
1. Spesifikasi Teknis
Harga Beli 4,700,000 4,700,000 - - -
Tenaga Mesin PK 6.5 6.5 - - -
Umur Ekonomis Tahun 5 5 - - -
Kemampuan Kerja - - -
- Jam Operasi Jam/hari 5 5 - - -
- Luas Pelayanan Ha/hari 1.30 1.30 - - -
2. Biaya Operasional 792,849 100.00 866,675 100.00 - 73,826 9,33
Solar Liter 6.25 1,815 11,344 1.43 2,310 14,438 1.67 495 3,094 0.24
Oli Liter 0.23 9,900 2,228 0.28 12,100 2,723 0.31 2,200 495 0.03
Perawatan Rp 25,000 3.15 26,667 3.08 - 1,667 (0.08)
Upah Operator Rp 754,277 95.14 822,848 94.94 - 68,571 (0.19)
3. Penerimaan Kotor Rp 942,847 1,028,560 - 85,713 9,24
4. Laba Kotor (3 - 2) Rp 149,998 161,885 - 11,887 -
5. Penyusutan Rp 15,667 15,667 - - -
6. Laba Bersih Rp 134,331 146,219 - 11,887 8,96
7. RCR 1.19 1.19 - (0.00) -
8. Biaya Total Rp 808,515 882,341 73,826
9. RCR Dengan Biaya Total 1.17 1.17 - (0.00) -
Sumber : Data Primer, diolah, Agustus 2005.
Penerimaan dari sewa power thresher juga mengalami peningkatan pasca
kenaikan BBM sebesar Rp. 72.857/ha atau 13.71 persen. Dengan
memperhitungkan biaya penyusutan yang tetap antara sebelum dan sesudah
kenaikan BBM sebesar Rp. 25.400/ha maka laba bersih usaha jasa power
thresher meningkat dari Rp. 57.315/ha sebelum kenaikan BBM menjadi Rp.
83.500/ha setelah kenaikan atau 45.7 persen. Tetapi secara umum peningkatan
nilai sewa power thresher mampu menutup kenaikan biaya total akibat kenaikan
BBM. Hal ini ditunjukkan dengan nilai RC rasio yang turun dari 1.18 menjadi 1.22.
Rencana pemerintah menaikan harga BBM akhir tahun 2005 juga akan
berpengaruh terhadap peningkatan biaya operasional dan sewa power thresher.
Berdasarkan simulasi kenaikan harga BBM terhadap perubahan biaya dan
penerimaan per hektar usaha jasa power thresher, yaitu sebesar 20%, 30%, 40%
dan 50% dari harga BBM solar sekarang, terlihat bahwa jika harga solar naik 20%
dari harga kini, biaya operasional meningkat dari sekitar Rp. 495 ribu/ha menjadi
Rp. 538 ribu/ha. Berturut – turut jika harga minyak solar dinaikkan 30%, 40% dan
VI-78
Tabel 9. Simulasi Kenaikan Harga BBM Terhadap Perubahan Biaya dan Penerimaan per Hektar Usaha Jasa Power
Thresher di Indonesia, Agustus 2005.
Sebelum Sesudah Perubahan Simulasi Kenaikan Harga Solar Uraian Satuan Vol.
Harga Nilai (Rp) Share (%) Harga Nilai (Rp) Share
(%) Harga Nilai (Rp) % 20% 30% 40% 50%
1. Spesifikasi Teknis
Harga Beli 6,350,000 6,350,000 - - - 6,350,000 6,350,000 6,350,000 6,350,000
Tenaga Mesin PK 8.5 8.5 - - - 9 9 9 9
Umur Ekonomis Tahun 5 5 - - - 5 5 5 5
Kemampuan Kerja - - -
- Jam Operasi Jam/hari 10 10 - - - 10 10 10 10
- Luas Pelayanan Ha/hari 0.82 0.82 - - - 0.82 0.82 0.82 0.82
2. Biaya Operasional 448,708 100.00 495,380 100.00 - 46,671 10.4 538,668 560,312 581,957 603,601
Solar Liter 15.13 1,858 28,095 6.26 2,305 34,863 7.04 448 6,768 24.0 41,836 45,322 48,808 52,295
Oli Liter 0.19 11,200 2,100 0.47 14,050 2,634 0.53 2,850 534 25.4 3,161 3,425 3,688 3,952
Perawatan Rp 14,375 3.20 16,458 3.32 - 2,083 14.4 18,439 19,429 20,419 21,409
Upah Operator Rp 404,139 90.07 441,424 89.11 - 37,285 9.2 475,233 492,137 509,042 525,946
3. Penerimaan Kotor Rp 531,423 604,280 - 72,857 13.7 673,055 707,443 741,831 776,218
4. Laba Kotor (3 - 2) Rp 82,715 108,900 - 26,185 31.6 134,387 147,131 159,874 172,617
5. Penyusutan Rp 25,400 25,400 - - - 25,400 25,400 25,400 25,400
6. Laba Bersih Rp 57,315 83,500 - 26,185 45.6 108,987 121,731 134,474 147,217
7. RCR 1.18 1.22 - 0.04 3.3 1.25 1.26 1.27 1.29
8. Biaya Total Rp 474,108 520,780 46,671 9.8 564,068 585,712 607,357 629,001
9. RCR Dengan Biaya Total
1.12 1.16 - 0.04 3.5 1.19 1.21 1.22 1.23
Sumber : Data Primer, diolah, Agustus 2005.
VI-79
50%, biaya operasional meningkat menjadi Rp. 560 ribu, Rp. 581 ribu dan Rp. 603
ribu per hektar. Untuk mempertahankan atau meningkatkan kelayakan usaha jasa
power thresher maka pengusaha harus menaikkan harga sewa per hektarnya
sekitar Rp. 673 ribu – Rp. 776 ribu.
Perkembangan Profitabilitas Usaha Jasa Penggilingan Padi Sebelum dan Sesudah Kenaikan Harga BBM 2005 Usaha jasa penggilingan padi merupakan salah satu usaha yang
menggunakan mesin – mesin penggerak dengan bahan bakar utamanya adalah
solar. Oleh sebab itu, peningkatan harga BBM pada bulan Maret 2005 juga
menyebabkan peningkatan biaya operasional dan sewa. Di Kabupaten Nganjuk,
biaya penggilingan per kuintal gabah menjadi beras dengan menggunakan dua
mesin yaitu pecah kulit dan pemutih sebelum kenaikan BBM adalah sebesar Rp.
2.785 (Tabel 10). Dari empat komponen utama biaya operasional yaitu biaya
solar, oli, perawatan dan upah operator terlihat bahwa pangsa komponen biaya
terbesar adalah biaya perawatan yang mencapai 31.34 persen.
Tabel 10. Perubahan Profitabilitas Usaha Penggilingan Padi per Kuintal Gabah di
Kabupaten Nganjuk Propinsi Jawa Timur Sebelum dan Sesudah Kenaikan BBM Maret 2005.
Sebelum Setelah Perubahan
Uraian Satuan Volume Harga Nilai (Rp) Share
(%) Volume Harga Nilai (Rp) Share (%) Harga Nilai
(Rp) %
A. BIAYA 2,785 100.00 3,351 100.00 - 566 20.32 1. Solar Lt 0.400 1,810 724 26.00 0.400 2,100 840 25.07 290 116 16.02
2. Oli Lt 0.022 9,250 204 7.31 0.022 10,000 220 6.57 750 17 8.11
3. Perawatan 873 31.34 1,005 30.00 - 132 15.18
4. Upah Operator 736 26.43 1,037 30.94 - 301 40.87
5. Penyusutan 249 8.93 249 7.42 - - -
B.PENERIMAAN kg beras 3.20 2,300 7,360 3.84 2,700 10,368 400 3,008 40.87
KEUNTUNGAN 4,575 7,017 - 2,442 53.38
RCR 2.64 3.09 - 0.45 17.08
Sumber : Data Primer, diolah, Agustus 2005.
Cara pembayaran sewa penggilingan padi kebanyakan menggunakan
sistim bawon. Sistim bawon yang berlaku di Kabupaten Nganjuk adalah jika
diperoleh 1 kuintal beras maka yang harus dikeluarkan oleh petani adalah
sebanyak 5 kg beras sebagai bayar sewanya. Berdasarkan survey lapang
VI-80
diketahui bahwa setiap petani menggilingkan 1 kuintal gabah, dengan rendemen
rata – rata 64 – 65 persen, maka petani harus mengeluarkan sekitar 3.2 kg beras.
Jika harga beras sebelum kenaikan BBM mencapai Rp. 2.300/kg maka nilai sewa
penggilingan 1 kuintal gabah adalah sebesar Rp. 7.360/kuintal gabah. Besarnya
nilai sewa ini memberikan keuntungan kepada pengusaha penggilingan padi
sebesar Rp. 4.575/kuintal gabah petani. RC rasio usaha penggilingan padi di
Kabupaten Nganjuk ini rata – rata mencapai 2.64.
Setelah terjadinya kenaikan BBM, terjadi peningkatan biaya operasional
per kuintal gabah sebesar Rp. 566 atau meningkat sekitar 20 persen. Peningkatan
terbesar komponen biaya operasional ini adalah upah operator yang meningkat
Rp. 300/kw gabah atau sebesar 40.9 persen, diikuti komponen biaya lainnya yaitu
solar, perawatan dan oli yang masing – masing meningkat 16, 15 dan 8 persen.
Untuk mempertahankan tingkat kelayakan usaha penggilingan padi ini,
maka antisipasi peningkatan biaya operasional ini adalah dengan menaikan sewa
penggilingan padi. Melalui sistim bawon yang berlaku maka setiap 1 kuintal beras
hasil giling yang tadinya diambil 5 kg beras, setelah kenaikan BBM menjadi 6 kg
beras. Sebenarnya peningkatan biaya bawon ini tampaknya tidak terlalu besar.
tetapi karena harga beras yang pada saat survey ini sedang tinggi menyebabkan
pengusaha penggilingan memperoleh keuntungan dari kenaikan harga beras
tersebut sehingga kenaikan harga BBM ini meningkatkan perolehan laba usaha
jasa penggilingan padi sebesar Rp. 2.442/kw gabah atau meningkat sekitar 53
persen. RC rasio pun meningkat dari 2.64 sebelum kenaikan BBM menjadi 3.09
setelah kenaikan BBM.
Selain berpengaruh pada kegiatan produksi padi, kenaikan harga BBM
juga mempengaurhi kinerja usaha penggilingan padi (RMU) di Kabupaten Sidrap.
Kenaikan harga BBM telah merubah pembayaran ongkos giling dalam bentuk
natura, yaitu sebelum kenaikan harga berlaku dari 12 kg beras yang dihasilkan
dari penggilingan dipotong 1 liter untuk jasa penggilingan atau 92,86% untuk
pemilik beras dan 7,14% untuk jasa RMU (1 lt = 0,8 kg), sementara setelah
kenaikan harga BBM dari 10 kg beras yang dihasilkan dari penggilingan dipotong
1 liter untuk jasa penggilingan atau 92,0% untuk pemilik beras dan 8,0% untuk
jasa RMU (1 lt = 0,8 kg). Dalam proses penggilingan dari 100 kg GKG biasanya
dihasilkan 63-64 kg beras, 10 kg dedak/bekatul, 2 kg menir dan sisanya sekam.
VI-81
Bekatul/dedak dan menir pada umumnya diambil pemilik beras (petani). Harga
dedak di Sidrap berkisar Rp 600-700/kg.
Kenaikan harga BBM menyebabkan biaya operasional yang dikeluarkan
usaha jasa RMU meningkat sekitar 16,03%, dari Rp 35/kg GKG menjadi Rp
406/kg GKG (Tabel 11). Sementara itu, setelah kenaikan harga BBM dengan
berubahnya sewa penggilingan dan membaiknya harga beras menyebabkan
penerimaan dan keuntungan yang diperoleh usaha jasa ini meningkat masing-
masing 6,38% (Rp 99/kg GKG menjadi Rp 105/kg GKG) dan 1,08% (Rp 63,7/kg
GKG menjadi 64,4/kg GKG). Fakta ini menunjukkan bahwa kenaikan biaya
operasional akibat kenaikan harga BBM sepenuhnya dibebankan ke pengguna
jasa RMU (petani) baik melalui perbaikan harga beras maupun melalui perubahan
komposisi sewa.
Tabel 11. Perubahan Profitabilitas Usaha Penggilingan Padi per Kuintal Gabah di
Kabupaten Sidrap Propinsi Sulawesi Selatan Sebelum dan Sesudah Kenaikan BBM Maret 2005.
Sebelum Sesudah Perubahan
Uraian Satuan Volume Harga Nilai
(Rp) Share (%) Volume Harga Nilai
(Rp) Share (%) Harga Nilai
(Rp) %
A. BIAYA 3,502 100.00 4,063 100.00 - 561 16.03
1. Solar Lt 0.333 1,815 605 10.50 0.333 2,310 770 11.15 495 165 27.27
2. Oli Lt 0.028 10,000 278 5.30 0.028 12,000 333 5.31 2,000 56 20.00
3. Perawatan 1,389 26.52 1,667 26.55 - 278 20.00
4. Upah Operator 987 53.04 1,050 53.11 - 63 6.38
5. Penyusutan 243 4.64 243 3.87 - - -
B.PENERIMAAN kg beras 4.20 2,350 9,870 4.20 2,500 10,500 150 630 6.38
KEUNTUNGAN 6,368 6,437 - 69 1.08
RCR 2.82 2.58 - (0.23) (8.31)
Sumber : Data Primer, diolah, Agustus 2005.
Pada tingkat nasional, kenaikan harga BBM meningkatkan biaya
operasional penggilingan padi Rp. 565/kw gabah atau 17.9 persen. Komponen
upah operator dan solar mengalami persentase peningkatan tertinggi masing –
masing sebesar sekitar 21 persen. Komponen biaya lainnya juga mengalami
peningkatan masing – masing adalah komponen biaya perawatan sebesar 18.14
persen dan oli 14.29 (Tabel 12).
VI-82
Tabel 12. Simulasi Kenaikan Harga BBM Terhadap Perubahan Biaya dan Penerimaan per Kuintal Gabah Usaha
Penggilingan Padi di Indonesia, Agustus 2005.
Sebelum Sesudah Perubahan Simulasi Kenaikkan Harga Solar Uraian Satuan
Volume Harga Nilai (Rp) Share (%) Volume Harga Nilai (Rp) Share
(%) Harga Nilai (Rp) % 20% 30% 40% 50%
A. BIAYA 3,142 100.00 3,707 100.00 - 565 17.99 4,351 4,673 4,995 5,317
1. Solar Lt 0.367 1,813 665 21.15 0.367 2,205 809 21.81 393 144 21.66 970 1,051 1,132 1,213
2. Oli Lt 0.025 9,625 240 7.62 0.025 11,000 274 7.38 1,375 34 14.29 328 355 383 410
3. Perawatan 1,131 35.99 1,336 36.03 - 205 18.14 1,559 1,671 1,783 1,895
4. Upah Operator 862 27.42 1,043 28.14 - 182 21.11 1,247 1,348 1,450 1,552
5. Penyusutan 246 7.82 246 6.63 - - - 246 246 246 246
B.PENERIMAAN kg beras 3.70 2,325 8,602 3.84 2,600 9,984 275 1,382 16.06 11,465 12,205 12,946 13,686
KEUNTUNGAN 5,460 6,277 - 816 14.95 7,114 7,532 7,951 8,369
RCR 2.74 2.69 - (0.04) (1.63) 2.63 2.61 2.59 2.57
Sumber : Data Primer, diolah, Agustus 2005.
VI-83
Penerimaan dari sewa giling padi juga mengalami peningkatan pasca
kenaikan BBM sebesar Rp. 1.382/kw gabah atau sekitar 16 persen. Dengan
memperhitungkan biaya penyusutan yang tetap antara sebelum dan sesudah
kenaikan BBM sebesar Rp. 246/kw gabah maka laba bersih usaha jasa
penggilingan padi meningkat dari Rp. 5.460/kw gabah sebelum kenaikan BBM
menjadi Rp. 6.277/kw gabah setelah kenaikan atau naik 14.9 persen. Tetapi
secara umum peningkatan nilai sewa penggilingan padi terlihat belum mampu
menutup secara penuh kenaikan biaya total akibat kenaikan BBM. Hal ini
ditunjukkan dengan nilai RC rasio yang turun dari 2.74 menjadi 2.69.
Rencana kenaikan harga BBM pada akhir tahun 2005 akan berpengaruh
terhadap peningkatan biaya operasional dan sewa penggilingan padi.
Berdasarkan simulasi kenaikan harga BBM terhadap perubahan biaya dan
penerimaan per kuintal gabah usaha jasa penggilingan padi, yaitu sebesar 20%,
30%, 40% dan 50% dari harga BBM solar sekarang, terlihat bahwa jika harga
solar naik 20% dari harga kini, biaya operasional meningkat dari sekitar Rp.
3.707/kw gabah menjadi Rp. 4.351/kw gabah. Berturut – turut jika harga minyak
solar dinaikkan 30%, 40% dan 50%, biaya operasional meningkat menjadi Rp.
4.673, Rp. 4.995 dan Rp. 5.317 per kuintal gabah. Untuk mempertahankan atau
meningkatkan kelayakan usaha jasa traktor maka pengusaha harus menaikkan
harga sewa per kuintal gabah sekitar Rp. 11.000 – Rp. 14.000.
Perkembangan Harga Upah dan Profitabilitas Usahatani
Kenaikan harga minyak dunia diluar perkiraan banyak pihak menyebabkan
pemerintah melakukan rasionalisasi anggaran negara. Salah satunya adalah
melalui pengurangan beban subsidi terhadap Bahan Bakar Minyak (BBM) yang
memang secara periodik terus dilakukan penyesuaian, agar harga BBM mendekati
harga keseimbangannya.
Kenaikan harga BBM, utamanya minyak solar, akan mempengaruhi kinerja
sektor pertanian karena minyak solar merupakan salah satu faktor penting dalam
proses produksi. Kenaikan harga minyak solar pada kuartal pertama 2005
menyebabkan peningkatan harga gabah dan input usahatani. Harga gabah di
tingkat petani (GKP) meningkat sebesar 13.04 persen sementara harga input
meningkat berkisar 10 – 25 persen (Tabel 13).
VI-84
Tabel 13. Perubahan Harga Gabah dan Input Usahatani Padi Sebelum dan Sesudah Kenaikan Harga BBM 2005.
No. Uraian Satuan Sebelum Sesudah Perubahan % Peru-bahan
1. Benih Rp/Kg 3,000 3,300 300 10.00 2. Pupuk a. Urea Rp/Kg 1,080 1,200 120 11.11 b. SP-36 Rp/Kg 1,450 1,680 230 15.86 c. ZA Rp/Kg 950 1,100 150 15.79
3. Pestisida 1. Insektisida Cair Rp/Liter 62,000 75,000 13,000 20.97 2. Fungisida Cair Rp/Liter 90,000 105,000 15,000 16.67 3. Herbisida Cair Rp/Liter 48,000 56,000 8,000 16.67
4. Traktor Rp/ha 350,000 430,000 80,000 22.86 5. Pompa Air Rp/Jam 4,000 5,000 1,000 25.00 6. Power Thresher Rp/ha 530,000 604,000 74,000 13.96 7. RMU Rp/kw Gabah 8,600 9,900 1,300 15.12 8. Upah Tenaga Kerja Rp/Hari 16,500 20,000 3,500 21.21 9. Gabah Rp/Kg 1,150 1,300 150 13.04
Sumber : Data Primer, Agustus 2005. Harga urea bersubsidi di petani yang sebelum kenaikan harga BBM sudah
mencapai harga diatas Harga Eceran Tertinggi yaitu sebesar Rp. 1,080/kg,
setelah kenaikan harga BBM mencapai Rp. 1.200/kg atau meningkat 11.1 persen.
Sementara harga SP-36 dan ZA meningkat lebih tinggi sekitar 15 – 16 persen.
Sewa traktor, pompa air dan power thresher juga mengalami peningkatan masing–
masing sebesar 22.9, 25.0, dan 13.9 persen.
Peningkatan harga input, sewa alsintan, penggilingan padi dan upah
tenaga kerja tersebut merupakan penyesuaian dari meningkatnya biaya
operasional setelah adanya kenaikan harga BBM. Rata-rata peningkatan biaya
operasional alsintan per hektar mencapai 10 – 41 persen. Sementara biaya
operasional per kuintal gabah di penggilingan padi meningkat 17.99 persen
(Tabel 14).
Peningkatan biaya operasional terbesar terjadi pada penggunaan traktor
tangan yang meningkat rata-rata Rp. 49.500 per ha atau mencapai 41.6 persen.
Penggunaan biaya operasional terbesar adalah pada komponen upah operator
51 – 57 persen dan biaya pada komponen ini sekaligus mengalami peningkatan
paling tinggi (58%) dengan adanya kenaikan harga BBM dibandingkan komponen
lainnya. Sementara untuk pompa air dan power thresher peningkatan biaya
operasional mencapai rata-rata 10 – 12 persen, dimana komponen biaya dengan
VI-85
share terbesar yaitu upah operator hanya mengalami kenaikan terkecil sekitar 9 –
10 persen.
Tabel 14. Perubahan Biaya Operasional Alsintan dan Penggilingan Padi (RMU)
Sebelum dan Sesudah Kenaikan Harga BBM 2005.
No. Uraian Satuan Sebelum Sesudah Perubahan % Perubahan
1 Traktor Tangan Biaya Operasional 119,277 168,851 49,574 41.56 1. Solar Rp/ha 38,591 47,253 8,661 22.44 2. Oli Rp/ha 2,163 2,667 504 23.30 3. Perawatan Rp/ha 17,273 22,182 4,909 28.42 4. Upah Operator Rp/ha 61,250 96,750 35,500 57.96
2 Pompa Air Biaya Operasional 214,441 238,846 24,405 11.38 1. Solar Rp/ha 39,609 45,847 6,237 15.75 2. Oli Rp/ha 3,346 4,198 852 25.45 3. Perawatan Rp/ha 8,798 11,202 2,404 27.32 4. Upah Operator Rp/ha 162,687 177,599 14,912 9.17
3 Power Thresher Biaya Operasional 448,708 495,380 46,671 10.40 1. Solar Rp/ha 28,095 34,863 6,768 24.09 2. Oli Rp/ha 2,100 2,634 534 25.45 3. Perawatan Rp/ha 14,375 16,458 2,083 14.49 4. Upah Operator Rp/ha 404,139 441,424 37,285 9.23
4 RMU Biaya Operasional 3,142 3,707 565 17.99 1. Solar Rp/kw gabah 665 809 144 21.66 2. Oli Rp/kw gabah 240 274 34 14.29 3. Perawatan Rp/kw gabah 1,131 1,336 205 18.14 4. Upah Operator Rp/kw gabah 862 1,043 182 21.11
Sumber : Data Primer, diolah, Agustus 2005.
Peningkatan harga minyak solar yang menyebabkan peningkatan biaya
operasional dan harga sewa serta upah, pada akhirnya akan menurunkan
profitabilitas usahatani. Tabel 15 menyajikan peningkatan ongkos usahatani padi
yang disebabkan kenaikan harga BBM tahun 2005. Biaya usahatani padi
meningkat rata-rata mencapai 11.9 persen dengan peningkatan komponen biaya
tertinggi adalah biaya tenaga kerja (26.5%), diikuti pestisida (18.5%), sewa alsin
(16.29%), pupuk (13.5%) dan benih (10%). Penerimaan usahatani ternyata juga
VI-86
mengalami peningkatan sebesar Rp. 943.500/ha atau meningkat sekitar 13
persen. Peningkatan penerimaan usahatani ini disebabkan oleh peningkatan
harga gabah petani (GKP) rata – rata sebesar Rp. 150/kg atau sekitar 13 persen.
Tabel 15. Perubahan Profitabilitas per Hektar Usahatani Padi Sebelum dan
Sesudah Kenaikan BBM 2005.
Sebelum Sesudah Perubahan No. Uraian Satuan Vol.
Harga Nilai (Rp) Harga Nilai (Rp) Harga Nilai (Rp) %
A BIAYA 4,950,510 5,537,837 587,327 11.86 1. Benih Kg 50 3,000 150,000 3,300 165,000 300 15,000 10.00
2. Pupuk 597,000 667,500 80,500 13.48 a. Urea Kg 275 1,080 297,000 1,200 330,000 120 33,000 11.11
b. SP-36 Kg 125 1,450 181,250 1,680 210,000 230 28,750 15.86
c. ZA Kg 125 950 118,750 1,100 137,500 150 18,750 15.79 3. Pestisida/Obat 162,400 192,400 30,000 18.47
4. Tenaga Kerja 1,153,813 1,460,000 306,187 26.54
5. Alsintan 955,548 1,111,187 155,639 16.29 a. Traktor Tangan Rp 284,673 335,687 51,014 17.92
b. Pompa Air Rp 120,000 150,000 30,000 25.00
c. Power Thresher Rp 550,875 625,500 74,625 13.55 6. Biaya Lainnya 1,931,750 1,931,750
B PENERIMAAN Kg 6,290 1,150 7,233,500 1,300 8,177,000 150 943,500 13.00
C KEUNTUNGAN 2,282,990 2,639,164 356,174 15.00 D RCR 1.46 1.48 0.02
Sumber : Data Primer, diolah, Agustus 2005.
Peningkatan harga gabah ini ternyata mampu menjadi faktor penyangga
keuntungan usahatani sehingga secara umum peningkatan biaya usahatani yang
disebabkan kenaikan harga BBM mampu diimbangi oleh peningkatan penerimaan
usahatani dan justru berdasarkan kajian lapang meningkatkan keuntungan
usahatani padi sebesar Rp. 356.174/ha atau sekitar 15 persen.
Seiring dengan terus bertahannya harga minyak dunia diatas level 55 dolar
per barel maka pemerintah berencana untuk menaikan harga BBM didalam
negeri. Rencana kenaikan BBM ini bertujuan untuk mengurangi beban subsidi
pemerintah. Peningkatan harga BBM ini dikhawatirkan akan menyebabkan
anjloknya keuntungan usahatani jika tidak diimbangi dengan peningkatan harga
gabah petani.
Berdasarkan simulasi perubahan struktur biaya dan penerimaan usahatani
padi terhadap kenaikan harga BBM, utamanya harga minyak solar, dari harga
sekarang sebesar 20%, 30% 40% dan 50%, terlihat bahwa biaya usahatani
mengalami peningkatan yang cukup signifikan (Tabel 16). Jika harga minyak solar
VI-87
Tabel 16. Simulasi Kenaikan Harga BBM Terhadap Perubahan Struktur Biaya dan Penerimaan Usahatani Padi per Hektar
Sebelum dan Sesudah Kenaikan Harga BBM 2005
Sebelum Sesudah Perubahan Simulasi Kenaikan Harga Solar Uraian Satuan Volume
Harga Nilai (Rp) Harga Nilai (Rp) Harga Nilai (Rp) 20% 30% 40% 50%
A. BIAYA 4,950,510 5,537,837 - 587,327 6,227,046 6,571,650 6,916,255 7,260,859
1. Benih kg 50 3,000 150,000 3,300 165,000 300 15,000 180,895 188,843 196,791 204,739
2. Pupuk 597,000 677,500 765,831 809,996 854,162 898,327
a. Urea kg 275 1,080 297,000 1,200 330,000 120 33,000 365,324 382,986 400,648 418,310
c. SP-36 kg 125 1,450 181,250 1,680 210,000 230 28,750 242,090 258,136 274,181 290,227
e. ZA kg 125 950 118,750 1,100 137,500 150 18,750 158,415 168,873 179,331 189,789
3. Pestisida 162,400 192,400 226,711 243,867 261,022 278,178
4. Tenaga Kerja 1,153,813 1,460,000 1,834,958 2,022,437 2,209,916 2,397,395
5. Sewa Alsintan 955,548 1,111,187 1,286,899 1,374,756 1,462,612 1,550,469
a. Traktor Tangan 284,673 335,687 - 51,014 393,640 422,616 451,593 480,570
b. Pompa Air 120,000 150,000 30,000 186,127 204,190 222,254 240,317
c. Power Thresher 550,875 625,500 - 74,625 707,132 747,948 788,764 829,580
6. Biaya Lainnya 1,931,750 1,931,750 1,931,750 1,931,750 1,931,750 1,931,750
B.PENERIMAAN Kg 6.290 1,150 7,233,500 1,300 8,177,000 150 943,500 9,204,519 9,718,279 10,232,039 10,745,799
KEUNTUNGAN 2,282,990 2,639,164 - 356,174 2,977,474 3,146,629 3,315,784 3,484,940
RCR 1.46 1.48 - 0.02 1.48 1.48 1.48 1.48 Usulan Harga Gabah
(HPP-GKP) 1,463 1,545 1,627 1,708
Sumber : Data Primer, diolah, Agustus 2005.
VI-88
dinaikan 20% dari keadaan sekarang maka biaya usahatani meningkat dari sekitar
Rp. 5.5 juta/ha menjadi Rp. 6.2 juta/ha. Berturut – turut jika harga minyak solar
dinaikkan 30%, 40% dan 50%, biaya usahatani meningkat menjadi Rp. 6.6 juta,
Rp. 6.9 juta dan Rp. 7.2 juta per ha.
Untuk mempertahankan atau meningkatkan kelayakan usahatani padi
minimal pada tingkat kelayakan saat ini dengan asumsi produktivitas tetap, maka
harus ada peningkatan penerimaan usahatani sebagai imbangannya. Hasil
simulasi memperlihatkan bahwa jika harga BBM meningkat 20%, untuk
mempertahankan kelayakan usahatani padi maka harga gabah (GKP) minimal
harus bertahan pada level Rp. 1.463/kg. Berturut – turut jika harga minyak solar
meningkat 30%, 40% dan 50% maka harga gabah minimal harus dipertahankan
pada level Rp. 1.545/kg, Rp. 1.627/kg dan Rp. 1.708/kg.
KSIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
Kenaikan harga BBM, utamanya solar, menyebabkan terjadinya kenaikan
biaya operasional usaha jasa traktor, pompa air dan power thresher sekitar 10 –
42 persen. Untuk mempertahankan kelayakan usahanya, para pengusaha jasa
alsintan menaikan sewa alsintan rata – rata 13 – 25 persen. Hasil survey di Jawa
Timur dan Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa kenaikan harga BBM
menyebabkan peningkatan keuntungan bersih (laba bersih) usaha jasa alsintan.
Hal ini menunjukkan bahwa beban peningkatan biaya operasional akibat kenaikan
harga BBM jelas dibebankan kepada penyewa yang dalam hal ini adalah petani.
Peningkatan harga minyak solar yang menyebabkan peningkatan biaya
operasional dan harga sewa serta upah, pada akhirnya akan menurunkan
profitabilitas usahatani. Biaya usahatani padi meningkat rata-rata mencapai 11.9
persen dengan peningkatan komponen biaya tertinggi adalah biaya tenaga kerja
(26.5%), diikuti pestisida (18.5%), sewa alsin (16.29%), pupuk (13.5%) dan benih
(10%). Penerimaan usahatani ternyata juga mengalami peningkatan sebesar Rp.
943.500/ha atau meningkat sekitar 13 persen. Peningkatan penerimaan usahatani
ini disebabkan oleh peningkatan harga gabah petani (GKP) rata – rata sebesar
Rp. 150/kg atau sekitar 13 persen.
VI-89
Peningkatan harga gabah ini ternyata mampu menjadi faktor penyangga
keuntungan usahatani sehingga secara umum peningkatan biaya usahatani yang
disebabkan kenaikan harga BBM mampu diimbangi oleh peningkatan penerimaan
usahatani dan justru berdasarkan kajian lapang meningkatkan keuntungan
usahatani padi sebesar Rp. 356.174/ha atau sekitar 15 persen.
Berdasarkan simulasi perubahan struktur biaya dan penerimaan usaha
jasa alsintan dan usahatani padi terhadap kenaikan harga BBM, utamanya harga
minyak solar, dari harga sekarang sebesar 20%, 30% 40% dan 50%, terlihat
bahwa biaya usahatani mengalami peningkatan yang cukup signifikan.
Untuk mempertahankan atau meningkatkan kelayakan usahatani padi
minimal pada tingkat kelayakan saat ini dengan asumsi produktivitas tetap, maka
harus ada peningkatan penerimaan melalui sewa dan harga gabah usahatani
sebagai imbangannya. Karena beban peningkatan biaya operasional hampir
seluruhnya dibebankan kepada petani maka peningkatan harga gabah menjadi
prioritas utama kebijakan mengantisipasi kenaikan harga BBM yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Clark, C.T. and L.L. Schkade. 1983. Statistical Analysis for Administrative Decisions. South Western Publishing Co., Ohio.
Friyatno, S., Handewi P. Rachman dan Supriyati. 2003. Kelembagaan Jasa Alat
dan Mesin Pertanian (Alsintan). Kerjasama Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian dengan BAPPENAS/USAID/DAI. Bogor.
Simatupang, P., Adreng Purwoto, Budi Santoso, Hendiarto, Supriyati, Sri Hery
Susilowati, Viktor Siagian, Bambang Prasetyo, Ening Ariningsih, E. Eko Ananto dan Jefferson Situmorang. 1995. Pola Pengembangan Mekanisasi Pertanian di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
Simatupang, P., Delima H. Dermawan, Adreng Purwoto, Victor T. Manurung,
Supriyati, Sri Hery Susilowati, Hendiarto, Viktor Siagian dan Jefferson Situmorang. 1994. Dampak Deregulasi Sektor Riil Terhadap Produksi dan Produktivitas Sektor Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
VI-90
Syafa’at, N., Mohamad Maulana dan Pantjar Simatupang. 2003. Perkiraan Dampak Kenaikan BBM Terhadap Sektor Pertanian. Jurnal Sosio Ekonomika. Fakultas Pertanian Universitas Lampung.
Walpole, R.E. 1995. Pengantar Statistika. Edisi – 3. Terjemahan Bambang
Sumantri. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.