pengaruh ketersediaan bahan organik pada daya …/pengaruh... · dalam penelitian kali ini penulis...
TRANSCRIPT
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
PENGARUH KETERSEDIAAN BAHAN ORGANIK PADA
DAYA PREDASI Mesocyclops aspericornis
TERHADAP LARVA Aedes aegypti
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran
AMANDA ARTA M. SIMANJUNTAK G0008196
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
Surakarta 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user vii
DAFTAR ISI
PRAKATA .................................................................................................................. vi
DAFTAR ISI .............................................................................................................. vii
DAFTAR TABEL ......................................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................... xii
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 4
C. Tujuan Penelitian ........................................................................ ................ 4
D. Manfaat Penelitian ...................................................................... ............... 5
BAB II. LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka ......................................................................... ............... 6
1. Aedes aegypti ........................................................................................ 6
a. Klasifikasi ........................................................................................ 6
b. Morfologi .......................................................................................... 7
c. Sifat hidup larva ............................................................................... 8
2. Pengendalian Vektor ............................................................................. 9
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user viii
3. Mesocyclops aspericornis .................................................................. 12
a. Klasifikasi ........................................................................................ 12
b. Morfologi ......................................................................................... 12
c. Daur Hidup dan Habitat .................................................................. 13
d. Perilaku ........................................................................................... 15
4. Peranan Mesocyclops aspericornis sebagai Pengendali Hayati Larva 16
B. Kerangka Pemikiran ........................................................................ ......... 17
C. Hipotesis ..................................................................................... ............... 17
BAB III. METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian ......................................................................................... 18
B. Lokasi Penelitian ...................................................................................... 18
C. Objek Penelitian ........................................................................... ……... 18
D. Teknik Sampling ................................................................. ............ ……. 18
E. Identifikasi Variabel ................................................................. ………… 18
F. Definisi Operasional Variabel ........................................................ .......... 19
G. Alat dan Bahan .................................................... ...................................... 20
H. Rancangan Penelitian ................................................. ............................... 21
I. Cara Kerja......................................................................... .......................... 22
J. Teknik Analisis Data Statistik .................................................................... 24
BAB IV. HASIL PENELITIAN ....................................................... …………… 25
BAB V. PEMBAHASAN ......................................................................... ............... 29
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user ix
BAB VI. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan ......................................................................................... ......... 32
B. Saran .......................................................................................... ............... 32
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
ABSTRAK
Amanda Arta M. Simanjuntak, G0008196, 2011. Pengaruh Ketersediaan Bahan Organik pada Daya Predasi Mesocyclops aspericornis terhadap Larva Aedes aegypti. Skripsi Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Tujuan Penelitian: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ketersediaan bahan organik pada daya predasi Mesocyclops aspericornis terhadap Larva Aedes aegypti.
Metode Penelitian: Penelitian ini bersifat eksperimental laboratorik dengan metode post-test only control group design, dilakukan di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit (B2P2VRP), Salatiga, Jawa Tengah pada bulan Agustus 2011. Objek penelitian larva Aedes aegypti instar I dan II. Objek penelitian dibagi menjadi 8 kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari 23 larva. Teknik sampling yang digunakan adalah random sampling. Mesocyclops aspericornis terlebih dahulu dipuasakan selama satu hari dan dipelihara dalam rendaman bahan organik selama 3 hari, setelah itu baru dimasukkan larva Aedes aegypti. Pelihara selama 2 hari. Pengamatan dilakukan pada jam pertama, kedua, keempat, kedelapan, kedua puluh empat, dan keempat puluh delapan. Pengamatan dilakukan sebanyak 3 kali ulangan.
Hasil Penelitian: Hasil perhitungan uji statistik Anova dengan p = 0,048 (p<0,05) menunjukkan ada perbedaan signifikan pada jumlah larva Aedes aegypti yang tersisa pada kadar bahan organik I, II, II, dan IV. Hasil uji Post-Hoc antara kadar IV dengan kadar yang lain menunjukkan nilai p < 0,05 menunjukkan bahwa kadar IV memiliki perbedaan paling signifikan dibanding kadar lain.
Simpulan Penelitian: Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ketersediaan bahan organik secara statistik berpengaruh pada daya predasi Mesocyclops aspericornis terhadap larva Aedes aegypti. Ketersediaan bahan organik kadar tinggi justru menurunkan daya predasi Mesocylops aspericornis terhadap larva Aedes aegypti.
Kata Kunci: Daya predasi, Mesocyclops aspericornis, larva Aedes aegypti
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang
menjadi fokus utama kesehatan internasional. Insidensi virus Dengue telah
berkembang pesat di seluruh dunia akhir- akhir ini. Dua setengah milyar
orang, yaitu dua perlima dari populasi dunia sekarang berisiko terkena virus
Dengue. World Health Organization memperkirakan ada kurang lebih lima
puluh juta infeksi Dengue setiap tahunnya di dunia (WHO, 2009).
Demam Berdarah Dengue juga merupakan penyakit endemis di
Indonesia. Pada tahun 2010 telah dilaporkan sebanyak 2.603 kasus dengan
kematian 35 orang di 12 Provinsi yakni : Bangka Belitung, Lampung, Banten,
Jawa Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kalimantan Barat, Kalimantan
Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Gorontalo,
dan Nusa Tenggara Timur (Ditjen PP & PL, 2010).
Penanggulangan DBD seperti juga penyakit menular lain, dapat
didasarkan atas pemutusan rantai penularan, dalam hal DBD ini komponen
penularan terdiri dari virus Dengue, Aedes aegypti, dan manusia penderitanya.
Manfaat penanggulangan penyakit DBD adalah pengurangan kesakitan,
kematian, serta penderitaan individu dan keluarganya. Namun karena sampai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
sekarang belum ditemukan obat/vaksinnya, maka salah satu penanggulangan
penyakit DBD adalah dengan cara pencegahan penularannya, yaitu dengan
memberantas vektornya. Pemberantasan vektor DBD stadium pradewasa
relatif lebih mudah daripada stadium dewasanya. Pemberantasan stadium
dewasa Aedes aegypti dapat dilakukan secara hayati atau kimiawi. Upaya
secara kimiawi menggunakan insektisida, semakin lama justru menimbulkan
resistensi nyamuk vektor. Jika dosis insektisida terus-menerus ditingkatkan,
pada suatu saat akan membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan.
WHO (1987) melaporkan bahwa di Karibia dan sekitarnya, jentik Aedes
aegypti telah resisten terhadap Malathion, Fenitrothion, Fenthion, dan
Temephos yang digunakan secara luas sejak tahun 1973. Melihat adanya
resistensi pemakaian larvasida kimia yang dimasukkan ke dalam tempat
penampungan air, termasuk air minum perlu mendapatkan perhatian yang
seksama. Alternatif lain yang lebih berwawasan lingkungan perlu
dipertimbangkan untuk mengendalikan vektor penyakit. Salah satu cara yang
banyak diteliti dan dikembangkan adalah penggunaan predator jentik nyamuk
dalam upaya pengendalian vektor secara hayati (Yuniarti & Widyastuti,
2000).
Mesocyclops adalah Cyclopoid Copepoda, dilaporkan sebagai
predator jentik Aedes dan jentik nyamuk dari genus atau spesies lain.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
Mesocyclops dapat bertahan hidup selama dalam penampungan air asalkan
ada air dan suplai makanan (Marten, 1989).
Mesocyclops aspericornis merupakan salah satu jasad hayati yang
terbukti efektif sebagai vektor kontrol yang digunakan untuk pengendalian
jentik nyamuk malaria dan demam berdarah. Mesocyclops aspericornis
memiliki tingkat predasi dan reproduksi yang tinggi dan mampu memakan
berbagai macam organisme seperti: Algae, Rotifera, Copepoda yang lain,
Protozoa, Chironomid, Oligochaeta, larva ikan, dan beberapa organisme
akuatik yang lain (Williamson, 1991).
Mesocyclops aspericornis merupakan spesies Copepoda yang hidup
bebas dan tersebar luas di danau air tawar, reservoir, parit, kolam, lubang
pohon, sumur dan liang/lubang kepiting. Menurut Williamson (1991)
Copepoda juga ditemukan berlimpah pada rawa, tanah basah, air payau,
empang, genangan air, dan beberapa spesies Copepoda dapat hidup pada celah
atau di bawah sistem permukaan tanah.
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Yuniarti (1997) mengenai
daya predasi dan reproduksi Mesocyclops aspericornis dilaporkan bahwa
Mesocyclops aspericornis memiliki kemampuan makan terhadap jentik
nyamuk Aedes aegypti pada tempat penampungan air (air ledeng) berkisar
antara 77,77 - 99,34 % dan pada air sumur berkisar antara 97,32 – 100 %
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
sedangkan reproduksi Mesocyclops aspericornis tertinggi terdapat pada
rendaman tinja marmut (97,59 ekor).
Oleh karena hal tersebut di atas, penulis berkeinginan untuk
mengendalikan faktor yang mempengaruhi daya predasi Mesocyclops
aspericornis, di antaranya adalah ketersediaan bahan organik seperti kondisi
di alam. Dalam penelitian kali ini penulis akan menggunakan media rendaman
kangkung dan rendaman tinja kelinci dalam berbagai kadar selama beberapa
hari untuk mengetahui efeknya pada daya predasi.
B. Rumusan Masalah
Apakah pengaruh ketersediaan bahan organik pada daya predasi
Mesocyclops aspericornis terhadap larva Aedes aegypti?
C. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui pengaruh ketersediaan bahan organik pada daya
predasi Mesocyclops aspericornis terhadap larva Aedes aegypti.
D. Manfaat Penelitian
1. Teoritik :
Memperluas pengetahuan tentang pemberantasan vektor, khususnya
secara hayati dengan menggunakan Mesocyclops aspericornis.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
2. Praktis :
Mesocyclops aspericornis diharapkan dapat sebagai salah satu alternatif
pemberantasan vektor nyamuk Aedes aegypti sehingga dapat digunakan
dalam kehidupan sehari-hari di lapangan dan supaya dapat diketahui
media optimal untuk mengembangkan daya predasi Mesocyclops
aspericornis.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Aedes aegypti
a. Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Subfilum : Aceloturata
Kelas : Insecta
Ordo : Diptera
Famili : Culicidae
Genus : Aedes
Subgenus : Stegomyia
Spesies : Aedes aegypti
( Reinert, 2004).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
b. Morfologi
Aedes yang berperan sebagai vektor penyakit semuanya tergolong
Stegomyia dengan ciri-ciri tubuh bercorak belang hitam putih pada dada,
perut, dan tungkai. Corak ini merupakan sisi yang menempel di luar tubuh
nyamuk. Corak putih pada dorsal dada nyamuk berbentuk seperti siku yang
berhadapan (Fitriasih, 2008).
Telur Aedes berukuran kecil (± 50 mikron), berwarna hitam, sepintas
tampak bulat panjang dan berbentuk oval menyerupai torpedo, di bawah
mikroskop, pada dinding luar (exochorion) telur nyamuk ini, tampak ada
garis-garis yang membentuk gambaran menyerupai sarang lebah. Larva Aedes
aegypti berbentuk lonjong, tampak seperti anyaman kasa pada dindingnya.
Larva Aedes aegypti mempunyai sifon panjang dan bulunya satu pasang, sisir
bergigi lateral, pelana tidak menutupi segmen anal (Juni Prianto, 1999).
1) Daur Hidup dan Habitat
Perkembangan Aedes aegypti melalui berbagai perubahan bentuk
(metamorphosis) : telur – jentik (larva) – kepompong (pupa) – nyamuk.
Perkembangan dari telur menjadi jentik memerlukan 2 – 3 hari, dari jentik
menjadi kepompong rata- rata 4 – 9 hari, dan dari kepompong sampai
menetas menjadi nyamuk diperlukan waktu 7 – 14 hari (Hardjanto, 2009).
Nyamuk Aedes aegypti, seperti halnya Culicines lain, meletakan
telur pada permukaan air bersih secara individual. Setiap hari nyamuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
Aedes betina dapat bertelur rata-rata 100 butir. Telur membutuhkan
waktu satu sampai dua hari untuk menjadi larva (Pandujati, 2009).
Larva ini terbagi menjadi 4 stadium sebelum tumbuh menjadi
pupa (Hoedojo, 1993). Stadium larva biasanya berlangsung 6 - 8 hari
(Depkes RI, 1992). Dari stadium larva akan berubah menjadi pupa. Pupa
ini tidak makan tapi masih memerlukan oksigen yang diambil melalui
tabung pernapasan. Pupa ini sangat sensitif terhadap pergerakan air.
Stadium ini berlangsung antara 2 - 3 hari dan akan tumbuh menjadi
nyamuk dewasa (Soedarto, 1992). Pertumbuhan dari sejak telur keluar
sampai menjadi nyamuk dewasa kira-kira mencapai 7 - 14 hari
(Hardjanto, 2009).
c. Sifat Hidup Larva
Setelah telur menetas tumbuh menjadi larva yang disebut larva
stadium I (instar I). Kemudian larva stadium I ini melakukan 3 kali
pengelupasan kulit (ecdysis atau moulting), berturut- turut menjadi larva
stadium II, larva stadium III, dan larva stadium IV (Hoedojo, 1993).
Dalam air di wadah, larva Aedes bergerak sangat lincah dan
aktif, dengan memperlihatkan gerakan-gerakan naik ke permukaan air dan
turun ke dasar wadah secara berulang-ulang. Larva Aedes aegypti dapat
hidup di wadah yang mengandung air ber-pH 5,8 – 8,6. Jentik dalam
kondisi yang sesuai akan berkembang dalam waktu 6 – 8 hari dan akan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
melakukan pengelupasan kulit sebelum berkembang menjadi pupa
(Pandujati, 2009).
2. Pengendalian Vektor
Pemberantasan sebenarnya lebih tepat disebut pengendalian, tujuannya
menekan populasi serangga vektor sampai berada di bawah batas kemampuannya
dalam menularkan penyakit. Pengendalian nyamuk Aedes aegypti dapat
dilakukan pada beberapa stadium, yaitu telur, larva, pupa, dan nyamuk dewasa
(Soedarto, 1992).
Untuk stadium larva ada empat cara pengendalian, yaitu:
a. Cara Kimia
Cara pemberantasan larva Aedes aegypti menggunakan
insektisida pembunuh larva lebih dikenal dengan istilah larvasida.
Larvasida yang biasa digunakan antara lain temephos. Formulasi
temephos yang digunakan adalah butiran. Dosis yang digunakan 1 ppm
atau 10 gram untuk tiap 100 liter air. Larvasida temephos mempunyai
efek residu 3 bulan. Selain itu dapat pula digunakan golongan insect
growth regulator (Depkes RI, 2003).
b. Cara Biologi/Hayati
Menurut Jumar (1997), pengendalian hayati adalah pengendalian
serangga dengan cara biologi, yaitu dengan memanfaatkan musuh-
musuh alaminya (agensia pengendali biologi), seperti predator, parasit,
dan patogen.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
Beberapa keunggulan pengendalian hayati dalam Jumar (1997),
antara lain:
1) Aman, tidak menimbulkan pencemaran lingkungan, tidak
menyebabkan keracunan pada manusia dan ternak.
2) Tidak menyebabkan resistensi terhadap sasaran.
3) Musuh alami bekerja secara selektif terhadap inang atau
mangsanya.
4) Bersifat permanen, untuk jangka panjang dinilai lebih murah
apabila keadaan lingkungan telah stabil atau telah terjadi
keseimbangan antara hama dengan musuh alaminya.
Selain itu ada beberapa kelemahan dalam pengendalian hayati, di
antaranya (Jumar, 1997) :
1) Hasil sulit diprediksi dalam waktu singkat.
2) Diperlukan biaya yang cukup besar pada tahap awal baik untuk
penelitian maupun untuk pengadaan sarana dan prasarananya.
3) Pembiakan masa di laboratorium kadang-kadang menghadapi
kendala, karena musuh alami menghendaki kondisi lingkungan
yang khusus.
4) Teknik aplikasi di lapangan belum banyak dikuasai.
c. Cara Fisik
Cara ini dikenal dengan kegiatan 3M, yaitu menguras bak mandi,
bak WC, menutup tempat penampungan air rumah tangga, serta
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
mengubur barang-barang bekas seperti kaleng dan ban. Pengurasan
tempat-tempat penampungan air perlu dilakukan secara teratur
sekurang-kurangnya seminggu sekali agar nyamuk tidak dapat
berkembang biak di tempat itu (Depkes RI, 2003).
d. Cara Lingkungan
Cara ini dikenal dengan modifikasi lingkungan dan pengelolaan
lingkungan. Modifikasi lingkungan antara lain dengan (Depkes RI,
2000):
1) Perbaikan saluran air
Apabila aliran dan sumber air tidak memadai dan hanya tersedia
pada jam tertentu maka harus diperhatikan kondisi penyimpanan air
pada berbagai jenis wadah. Suplai air minum yang tersedia dalam
jumlah yang cukup, berkualitas baik, dan terus menerus sangatlah
penting agar penyimpanan air yang dapat digunakan sebagai tempat
perindukan larva dapat dikurangi.
2) Talang air atau tangki air bawah tanah dibuat antinyamuk
Perindukan larva Aedes aegypti di talang air atau tanki air
bawah tanah yang bangunannya terbuat dari batu harus dibuat
antinyamuk. Sedangkan pengelolaan lingkungan dilakukan dengan
mengeringkan instalasi penampungan air. Genangan air akibat
kebocoran di ruang berdinding batu, pipa saluran, katup pintu air,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
kotak keran hidran, meteran air dapat menjadi tempat perindukan
larva Aedes aegypti apabila tidak ditangani dengan baik.
3. Mesocyclops aspericornis
a. Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Kelas : Maxillopoda
Ordo : Cyclopoida
Famili : Cyclopidae
Spesies : Mesocyclops aspericornis
(Myers, 2008)
b. Morfologi
Mesocyclops aspericornis berukuran 0,5 – 2,0 mm dan merupakan
Copepoda yang hidup bebas (Yuniarti dkk., 1995). Tubuhnya bersegmen-
segmen, terdiri atas segmen kepala dan dada yang menjadi satu (sefalotoraks)
dan segmen abdomen (Upiek, 1998). Di bagian abdomen dilengkapi 5 pasang
kaki, pada kepala terdapat mata median (Radiopoetro, 1996). Pada bagian
anterior dilengkapi alat mulut dan antena, bagian posterior dilengkapi ekor
(Upiek , 1998). Alat mulutnya dilengkapi dengan alat pemotong yang bergigi-
gigi disebut gnathobasis (Radiopoetro, 1996). Yang betina membawa telur-
telurnya di dalam dua kantung yang terletak di sebelah lateral dekat ujung
abdomen (Borror et al., 1992).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
Gambar 1. Morfologi Mesocyclops aspericornis
(labs1.eol.org)
c. Daur Hidup dan Habitat
Mesocyclops aspericornis mengalami reproduksi secara seksual. Baik
jantan maupun betina dapat melakukan perkawinan satu kali atau lebih
(Upiek, 1998).
Adapun siklus hidup atau metamorfosis Mesocyclops aspericornis,
adalah sebagai berikut (Pennak, 1978) :
1) Telur: bentuk bulat bergerombol yang diletakkan pada oviseas atau kantung
telur
2) Nauphillus I: tiga pasang bagian tubuh yang memendek diwakili oleh antena
pertama, kedua, dan mandibel.
3) Nauphillus II: setelah masa pemberian makanan, mempunyai maksila
tambahan.
4) Nauphillus VI: mempunyai semua bagian tubuh menyambung dengan
pasangan lengan kedua.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
5) Copepodid I: mempunyai empat ruas toraks, semua bagian tubuh
menyambung dengan pasangan lengan keempat.
6) Dewasa: Mesocylcops aspericornis dewasa dapat bertahan hidup sampai 2,5
bulan. Untuk jantan lebih cepat mati karena bersifat kanibal. Mesocyclops
aspericornis dewasa dapat kawin satu kali dan lebih.
Waktu yang dibutuhkan untuk mengalami siklus hidup yang sempurna,
dari telur hingga telur lagi merupakan variabel yang tinggi tergantung dari
spesies dan kondisi lingkungan, untuk Mesocyclops aspericornis berkisar 7
hingga 180 hari (Pennak, 1978).
Penelitian yang dilakukan oleh Yuniarti dkk. (1997) menunjukkan
bahwa reproduksi Mesocyclops aspericornis paling tinggi diperoleh dari
medium rendaman tinja marmut, diikuti oleh medium rendaman eceng
gondok, dan rendaman jerami. Di daerah tropis dan subtropis, distribusi
Mesocyclops tersebar luas terdapat dalam jumlah yang melimpah di danau air
tawar, reservoir (tendon air), parit, kolam, lubang pohon, sumur, dan liang
kepiting (Widyastuti, 1995). Mesocyclops aspericornis dilaporkan sebagai
hewan pemakan Algae, Rotifera, Protozoa, Chorinomid, Ologochaeta, ikan
kecil, dan beberapa organisme akuatik lainnya (Yuniarti, 1997).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
d. Perilaku Mesocyclops aspericornis
Sama seperti predator pada umumnya, Mesocyclops aspericornis
sebagai predator bagi larva nyamuk (Jumar, 1997) juga memiliki ciri sebagai
berikut:
1) Predator dapat memangsa semua tingkat perkembangan mangsa (telur, larva,
nympha, pupa, dan imago). Dalam hal ini Mesocyclops aspericornis
memangsa nyamuk pada masa larva instar I dan II awal.
2) Predator membunuh dengan cara memakan atau menghisap mangsanya
dengan cepat.
3) Seekor predator memerlukan dan memakan banyak mangsa selama hidupnya.
Mesocyclops aspericornis memakan kurang lebih 15 larva per hari.
4) Predator membunuh mangsa untuk dirinya sendiri.
5) Kebanyakan predator bersifat karnivor, baik pada saat pradewasa maupun
sesudah dewasa (imago) dan memakan jenis mangsa yang sama atau beberapa
jenis mangsa.
6) Predator memiliki ukuran tubuh lebih besar dibandingkan tubuh mangsanya.
7) Dari segi perilaku makannya, ada predator yang mengunyah semua bagian
tubuh mangsanya, begitu juga Mesocyclops aspericornis.
8) Metamorfosis predator ada yang sempurna dan ada juga yang tidak sempurna.
4. Peranan Mesocyclops aspericornis sebagai Pengendali Hayati Larva
Mesocyclops aspericornis sebagai pengendali hayati larva Aedes aegypti
sudah dibuktikan dengan hasil penelitisan Yuniarti, dkk bahwa larva Aedes aegypti
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
paling disukai oleh Mesocyclops aspericornis sebesar 100 % pada perbandingan
25:20 dibandingkan Culex queneuefasciatus (50,66 %) dan Anopeles aconitus
(27,33 %). Kemampuan makan Mesocyclops aspericornis terhadap jentik nyamuk
Aedes aegypti paling besar dengan asumsi sebagai berikut:
a. Perilaku aktif jentik nyamuk Aedes aegypti yang aktif, karena menurut
monokov dalam Yuniarti, dkk (2000), Cyclopoida cenderung menangkap
mangsa yang lebih aktif, sedangkan mangsa yang kurang aktif dapat dideteksi
hanya setelah kontak.
b. Perilaku makan jentik Aedes aegypti bisa mengambil makanan di dasar,
sedang Mesocyclops aspericornis yang hidup di dasar memungkinakan
terjadinya kontak kedua organisme tersebut relatif tinggi.
Berdasarkan hasil penelitian-penelitian yang telah dilakukan
berhubungan dengan keberhasilan Mesocyclops aspericornis dalam
memangsa larva nyamuk Aedes aegypti, berarti bahwa Mesocyclops
aspericornis sebagai predator larva nyamuk sangat berperan dan bermanfaat
guna mengendalikan perkembangan nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor
Dengue yang pada akhirnya akan menekan jumlah prevalensi penyakit Deman
Berdarah Dengue.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
B. Kerangka Pemikiran
C . Hipotesis
Ketersediaan bahan organik menurunkan daya predasi Mesocyclops
aspericornis terhadap larva Aedes aegypti.
Mesocylops aspericornis dipelihara di tempat
penampungan air berisi bahan organik
Larva Aedes aegypti
Faktor yang mempengaruhi:
1. Suhu udara 2. Suhu air 3. Air yang dipakai 4. pH
Kemampuan makan Mesocylops aspericornis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik dengan post
test only group design
B. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Vektor dan Reservoir Penyakit (B2P2VRP), Salatiga, Jawa Tengah
C. Subjek Penelitian
Subjek penelitian yang dipakai yaitu Mesocyclops aspericornis dan larva
Aedes aegypti instar I atau II
D. Teknik Sampling
Pengambilan sampel dilakukan dengan cara random sampling
E. Identifikasi Variabel :
1. Variabel bebas : Jenis bahan oganik dan kadar bahan organik.
2. Variabel terikat : Jumlah larva Aedes aegypti yang tersisa
3. Variabel luar (pengganggu)
a. Terkendali :
1) Suhu udara dan suhu air
2) Air yang dipakai
3) pH
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
b. Tidak terkendali:
Kemampuan makan Mesocyclops aspericornis
F. Definisi Operasional Variabel
1. Variabel bebas
a. Jenis bahan organik
Bahan organik yang digunakan adalah rendaman kangkung dan
rendaman tinja kelinci yang mengandung sumber makanan alternatif bagi
Mesocyclops aspericornis seperti Algae, Protozoa, dan Rotifera
(Setyaningrum dkk., 2008).
Skala : rasio
b. Kadar bahan organik
Konsentrasi rendaman kangkung dan rendaman tinja kelinci yang
digunakan masing-masing adalah 0%; 15%; 30%; dan 45%.
Skala : interval
2. Variabel terikat
Larva Aedes aegypti yang dipakai yaitu larva instar I atau II, berumur
sekitar 1-3 hari, sebanyak 3000 ekor. Diperoleh dari hasil pemeliharaan dan
pengembangan di laboratorium Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Vektor dan Reservoir Penyakit (B2P2VR) Salatiga, Jawa Tengah.
Skala : rasio
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
3. Variabel luar (pengganggu)
a. Terkendali :
1. Suhu udara dan suhu air
Percobaan dilakukan pada suhu ruangan (kurang lebih 250 C).
Skala : interval
2. Air yang dipakai
Pada penelitian ini menggunakan air ledeng
3. Ukuran panjang Mesocyclops aspericornis
Berukuran panjang kurang lebih 1 mm
Skala : interval
4. pH
Percobaan dilakukan pada pH
b. Tidak terkendali:
Kemampuan makan Mesocyclops aspericornis tergantung selera makan
dan kondisi kesehatannya.
G. Alat dan Bahan
1. Wadah tempat pembiakan dari bahan plastik dengan volume 1 L
2. Pipet dengan diameter mulut pipet ± 4 mm untuk mengambil dan menghitung
jentik Aedes aegypti dan Mesocyclops aspericornis.
3. Jentik nyamuk Aedes aegypti instar I atau II ditaruh ke dalam gelas-gelas plastik
dengan pipet.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
4. Dog food yang sudah dihaluskan dengan blender untuk makanan jentik nyamuk
Aedes aegypti.
5. Mesocyclops aspericornis dewasa sebanyak 20 ekor yang dihitung secara manual
dengan pipet, ditaruh dalam nampan plastik berisi air.
6. Rendaman kangkung dan rendaman tinja kelinci
H. Rancangan Penelitian
Eksperimen
Mesocylops aspericornis
Pelihara selama 3 hari
Larva Aedes aegypti
Bandingkan jumlah larva yang tersisa
850 ml air +
150 ml rendaman kangkung
550 ml air +
450 ml rendaman kangkung
700 ml air +
300 ml rendaman kangkung
1 L air
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
.
I. Cara Kerja
Penelitian dilakukan menurut metode Endah Setyaningrum (2008) yang
dimodifikasi
1. Pembuatan media
a. Kangkung dan tinja kelinci dikeringkan kemudian ditimbang berat keringnya.
Mesocylops aspericornis
Pelihara selama 3 hari
Larva Aedes aegypti
Bandingkan jumlah larva yang tersisa
850 ml air +
150 ml rendaman
tinja kelinci
550 ml air +
450 ml rendaman
tinja kelinci
700 ml air +
300 ml rendaman
tinja kelinci
1 L air
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
b. Bahan tersebut di atas yang sudah dikeringkan dipotong kecil-kecil kemudian
masing-masing sebanyak 5 gram direndam ke dalam ember berisi 1 L akuades
selama 4 hari.
c. Media siap digunakan untuk mengembangbiakkan Mescyclops aspericornis.
Setiap jenis media dijadikan sebagai perlakuan.
2. Rendaman media yang telah disiapkan kemudian disaring dengan saringan biasa
lalu diambil 150 ml, 300 ml, dan 450 ml .
3. Pada setiap wadah dimasukkan satu ekor Mesocyclops aspericornis dewasa
betina tanpa kantung telur yang sudah dipuasakan terlebih dahulu selama satu
hari. Pelihara selama 3 hari.
4. Lalu masukkan 25 ekor larva Aedes aegypti.
5. Wadah diletakkan pada suhu kamar 25o C dan pH 7
6. Dibiarkan selama 2 hari lalu jumlah jentik nyamuk yang tersisa dihitung pada
jam pertama, kedua, keempat, kedelapan, dan kedua puluh empat, dan keempat
puluh delapan.
7. Percobaan dilakukan sebanyak 3 kali ulangan (Munif, 1997).
Penentuan jumlah ulangan berdasarkan rumus
Keterangan:
n : jumlah ulangan
t : jumlah kelompok perlakuan
(n-1)(t-1) > 15
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
Karena pada kelompok ini menggunakan 8 kelompok perlakuan, maka:
(n-1)(t-1) > 15
(n-1)(8-1) > 15
7n > 22
n > 3,14
jadi untuk setiap kelompok, ulangan harus lebih dari 3,14. Dalam penelitian ini
digunakan 3 kali ulangan dalam setiap kelompok.
J. Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis secara statistik dengan
menggunakan Uji Analisis Varians (Anova) yang dilanjutkan dengan Post-Hoc
test untuk mengetahui kemaknaan antar kadar dan uji t untuk mencari letak
perbedaan antar jenis bahan organik (Subana dan Sudrajat, 2009).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang
menjadi fokus utama kesehatan internasional. Insidensi virus Dengue telah
berkembang pesat di seluruh dunia akhir- akhir ini. Dua setengah milyar
orang, yaitu dua perlima dari populasi dunia sekarang berisiko terkena
virus Dengue. World Health Organization memperkirakan ada kurang
lebih lima puluh juta infeksi Dengue setiap tahunnya di dunia (WHO,
2009).
Demam Berdarah Dengue juga merupakan penyakit endemis di
Indonesia. Pada tahun 2010 telah dilaporkan sebanyak 2.603 kasus dengan
kematian 35 orang di 12 Provinsi yakni : Bangka Belitung, Lampung,
Banten, Jawa Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kalimantan Barat,
Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi
Utara, Gorontalo, dan Nusa Tenggara Timur (Ditjen PP & PL, 2010).
Penanggulangan DBD seperti juga penyakit menular lain, dapat
didasarkan atas pemutusan rantai penularan, dalam hal DBD ini komponen
penularan terdiri dari virus Dengue, Aedes aegypti, dan manusia
penderitanya. Manfaat penanggulangan penyakit DBD adalah pengurangan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
kesakitan, kematian, serta penderitaan individu dan keluarganya. Namun
karena sampai sekarang belum ditemukan obat/vaksinnya, maka salah satu
penanggulangan penyakit DBD adalah dengan cara pencegahan
penularannya, yaitu dengan memberantas vektornya. Pemberantasan vektor
DBD stadium pradewasa relatif lebih mudah daripada stadium dewasanya.
Pemberantasan stadium dewasa Aedes aegypti dapat dilakukan secara
hayati atau kimiawi. Upaya secara kimiawi menggunakan insektisida,
semakin lama justru menimbulkan resistensi nyamuk vektor. Jika dosis
insektisida terus-menerus ditingkatkan, pada suatu saat akan
membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan. WHO (1987)
melaporkan bahwa di Karibia dan sekitarnya, jentik Aedes aegypti telah
resisten terhadap Malathion, Fenitrothion, Fenthion, dan Temephos yang
digunakan secara luas sejak tahun 1973. Melihat adanya resistensi
pemakaian larvasida kimia yang dimasukkan ke dalam tempat
penampungan air, termasuk air minum perlu mendapatkan perhatian yang
seksama. Alternatif lain yang lebih berwawasan lingkungan perlu
dipertimbangkan untuk mengendalikan vektor penyakit. Salah satu cara
yang banyak diteliti dan dikembangkan adalah penggunaan predator jentik
nyamuk dalam upaya pengendalian vektor secara hayati (Yuniarti &
Widyastuti, 2000).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
Mesocyclops adalah Cyclopoid Copepoda, dilaporkan sebagai
predator jentik Aedes dan jentik nyamuk dari genus atau spesies lain.
Mesocyclops dapat bertahan hidup selama dalam penampungan air asalkan
ada air dan suplai makanan (Marten, 1989).
Mesocyclops aspericornis merupakan salah satu jasad hayati yang
terbukti efektif sebagai vektor kontrol yang digunakan untuk pengendalian
jentik nyamuk malaria dan demam berdarah. Mesocyclops aspericornis
memiliki tingkat predasi dan reproduksi yang tinggi dan mampu memakan
berbagai macam organisme seperti: Algae, Rotifera, Copepoda yang lain,
Protozoa, Chironomid, Oligochaeta, larva ikan, dan beberapa organisme
akuatik yang lain (Williamson, 1991).
Mesocyclops aspericornis merupakan spesies Copepoda yang hidup
bebas dan tersebar luas di danau air tawar, reservoir, parit, kolam, lubang
pohon, sumur dan liang/lubang kepiting (Brown dan Hendriksz, 1991).
Menurut Williamson (1991) Copepoda juga ditemukan berlimpah pada
rawa, tanah basah, air payau, empang, genangan air, dan beberapa spesies
Copepoda dapat hidup pada celah atau di bawah sistem permukaan tanah.
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Yuniarti (1997) mengenai
daya predasi dan reproduksi Mesocyclops aspericornis dilaporkan bahwa
Mesocyclops aspericornis memiliki kemampuan makan terhadap jentik
nyamuk Aedes aegypti pada tempat penampungan air (air ledeng) berkisar
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
antara 77.77% - 99.34% dan pada air sumur berkisar antara 97.32- 100%
sedangkan reproduksi Mesocyclops aspericornis tertinggi terdapat pada
rendaman tinja marmut (97,59 ekor).
Oleh karena hal tersebut di atas, penulis berkeinginan untuk
mengendalikan faktor yang mempengaruhi daya predasi Mesocyclops
aspericornis, di antaranya adalah ketersediaan bahan organik seperti
kondisi di alam. Dalam penelitian kali ini penulis akan menggunakan
media rendaman kangkung dan rendaman tinja kelinci dalam berbagai
kadar selama beberapa hari untuk mengetahui efeknya pada daya predasi.
B. Rumusan Masalah
Adakah pengaruh ketersediaan bahan organik pada daya predasi
Mesocyclops aspericornis terhadap larva Aedes aegypti?
C. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui pengaruh ketersediaan bahan organik pada daya predasi
Mesocyclops aspericornis terhadap larva Aedes aegypti.
D. Manfaat Penelitian
1. Teoritik :
Memperluas pengetahuan tentang pemberantasan vektor, khususnya
secara hayati dengan menggunakan Mesocyclops aspericornis.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
2. Praktis :
Mesocyclops aspericornis diharapkan dapat sebagai salah satu alternatif
pemberantasan vektor nyamuk Aedes aegypti sehingga dapat digunakan
dalam kehiduapan sehari-hari di lapangan dan supaya dapat diketahui media
optimal untuk mengembangkan daya predasi Mesocyclops aspericornis.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Aedes aegypti
a. Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Subfilum : Aceloturata
Kelas : Insecta
Ordo : Diptera
Famili : Culicidae
Genus : Aedes
Subgenus : Stegomyia
Spesies : Aedes aegypti
( Reinert, 2004).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
b. Morfologi
Aedes yang berperan sebagai vektor penyakit semuanya tergolong
Stegomyia dengan ciri-ciri tubuh bercorak belang hitam putih pada dada,
perut, dan tungkai. Corak ini merupakan sisi yang menempel di luar tubuh
nyamuk. Corak putih pada dorsal dada nyamuk berbentuk seperti siku yang
berhadapan (Fitriasih, 2008).
Telur Aedes berukuran kecil (± 50 mikron), berwarna hitam, sepintas
tampak bulat panjang dan berbentuk oval menyerupai torpedo, di bawah
mikroskop, pada dinding luar (exochorion) telur nyamuk ini, tampak ada
garis-garis yang membentuk gambaran menyerupai sarang lebah. Larva Aedes
aegypti berbentuk lonjong, tampak seperti anyaman kasa pada dindingnya.
Larva Aedes aegypti mempunyai sifon panjang dan bulunya satu pasang, sisir
bergigi lateral, pelana tidak menutupi segmen anal (Juni Prianto, 1999).
1. Daur Hidup dan Habitat
Perkembangan Aedes aegypti melalui berbagai perubahan bentuk
(metamorphosis) : telur – jentik (larva) – kepompong (pupa) – nyamuk.
Perkembangan dari telur menjadi jentik memerlukan 2 – 3 hari, dari jentik
menjadi kepompong rata- rata 4 – 9 hari, dan dari kepompong sampai
menetas menjadi nyamuk diperlukan waktu 7 – 14 hari (Hardjanto, 2009).
Nyamuk Aedes aegypti, seperti halnya Culicines lain, meletakan
telur pada permukaan air bersih secara individual. Setiap hari nyamuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
Aedes betina dapat bertelur rata-rata 100 butir. Telur membutuhkan
waktu satu sampai dua hari untuk menjadi larva (Pandujati, 2009).
Larva ini terbagi menjadi 4 stadium sebelum tumbuh menjadi
pupa (Hoedojo, 1993). Stadium larva biasanya berlangsung 6-8 hari
(Depkes RI, 1992). Dari stadium larva akan berubah menjadi pupa. Pupa
ini tidak makan tapi masih memerlukan oksigen yang diambil melalui
tabung pernapasan. Pupa ini sangat sensitif terhadap pergerakan air.
Stadium ini berlangsung antara 2-3 hari dan akan tumbuh menjadi
nyamuk dewasa (Soedarto, 1992). Pertumbuhan dari sejak telur keluar
sampai menjadi nyamuk dewasa kira-kira mencapai 7-14 hari (Hardjanto,
1997).
c. Sifat Hidup Larva
Setelah telur menetas tumbuh menjadi larva yang disebut larva
stadium I (instar I). Kemudian larva stadium I ini melakukan 3 kali
pengelupasan kulit (ecdysis atau moulting), berturut- turut menjadi larva
stadium II, larva stadium III, dan larva stadium IV (Hoedojo, 1993).
Dalam air di wadah, larva Aedes bergerak sangat lincah dan
aktif, dengan memperlihatkan gerakan-gerakan naik ke permukaan air dan
turun ke dasar wadah secara berulang-ulang. Larva Aedes aegypti dapat
hidup di wadah yang mengandung air ber-pH 5,8 – 8,6. Jentik dalam
kondisi yang sesuai akan berkembang dalam waktu 6 – 8 hari dan akan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
melakukan pengelupasan kulit sebelum berkembang menjadi pupa
(Pandujati, 2009).
2. Pengendalian Vektor
Pemberantasan sebenarnya lebih tepat disebut pengendalian, tujuannya
menekan populasi serangga vektor sampai berada di bawah batas kemampuannya
dalam menularkan penyakit. Pengendalian nyamuk Aedes aegypti dapat
dilakukan pada beberapa stadium, yaitu telur, larva, pupa, dan nyamuk dewasa
(Soedarto, 1990).
Untuk stadium larva ada empat cara pengendalian, yaitu:
a. Cara Kimia
Cara pemberantasan larva Aedes aegypti menggunakan
insektisida pembunuh larva lebih dikenal dengan istilah larvasida.
Larvasida yang biasa digunakan antara lain temephos. Formulasi
temephos yang digunakan adalah butiran. Dosis yang digunakan 1 ppm
atau 10 gram untuk tiap 100 liter air. Larvasida temephos mempunyai
efek residu 3 bulan. Selain itu dapat pula digunakan golongan insect
growth regulator (Depkes RI, 2003).
b. Cara Biologi/ Hayati
Menurut Jumar (1997), pengendalian hayati adalah pengendalian
serangga dengan cara biologi, yaitu dengan memanfaatkan musuh-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
musuh alaminya (agensia pengendali biologi), seperti predator, parasit,
dan patogen.
Beberapa keunggulan pengendalian hayati dalam Jumar (1997),
antara lain:
1. Aman, tidak menimbulkan pencemaran lingkungan, tidak
menyebabkan keracunan pada manusia dan ternak.
2. Tidak menyebabkan resistensi terhadap sasaran.
3. Musuh alami bekerja secara selektif terhadap inang atau
mangsanya.
4. Bersifat permanen, untuk jangka panjang dinilai lebih murah
apabila keadaan lingkungan telah stabil atau telah terjadi
keseimbangan antara hama dengan musuh alaminya.
Selain itu ada beberapa kelemahan dalam pengendalian hayati, di
antaranya (Jumar, 1997) :
1. Hasil sulit diprediksi dalam waktu singkat.
2. Diperlukan biaya yang cukup besar pada tahap awal baik untuk
penelitian maupun untuk pengadaan sarana dan prasarananya.
3. Pembiakan masa di laboratorium kadang-kadang menghadapi
kendala, karena musuh alami menghendaki kondisi lingkungan
yang khusus.
4. Teknik aplikasi di lapangan belum banyak dikuasai.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
c. Cara Fisik
Cara ini dikenal dengan kegiatan 3M, yaitu menguras bak mandi,
bak WC, menutup tempat penampungan air rumah tangga, serta
mengubur barang-barang bekas seperti kaleng dan ban. Pengurasan
tempat-tempat penampungan air perlu dilakukan secara teratur
sekurang-kurangnya seminggu sekali agar nyamuk tidak dapat
berkembang biak di tempat itu (Depkes RI, 2003).
d. Cara Lingkungan
Cara ini dikenal dengan modifikasi lingkungan dan pengelolaan
lingkungan. Modifikasi lingkungan antara lain dengan (Depkes RI,
2000):
1. Perbaikan saluran air
Apabila aliran dan sumber air tidak memadai dan hanya tersedia
pada jam tertentu maka harus diperhatikan kondisi penyimpanan air
pada berbagai jenis wadah. Suplai air minum yang tersedia dalam
jumlah yang cukup, berkualitas baik, dan terus menerus sangatlah
penting agar penyimpanan air yang dapat digunakan sebagai tempat
perindukan larva dapat dikurangi.
2. Talang air atau tanki air bawah tanah dibuat antinyamuk
Perindukan larva Aedes aegypti di talang air atau tanki air
bawah tanah yang bangunannya terbuat dari batu harus dibuat
antinyamuk. Sedangkan pengelolaan lingkungan dilakukan dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
mengeringkan instalasi penampungan air. Genangan air akibat
kebocoran di ruang berdinding batu, pipa saluran, katup pintu air,
kotak keran hidran, meteran air dapat menjadi tempat perindukan
larva Aedes aegypti apabila tidak ditangani dengan baik.
3. Mesocyclops aspericornis
a. Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Kelas : Maxillopoda
Ordo : Cyclopoida
Famili : Cyclopidae
Spesies : Mesocyclops aspericornis
(Myers, 2008)
b. Morfologi
Mesocyclops aspericornis berukuran 0,5 – 2,0 mm dan
merupakan Copepoda yang hidup bebas (Yuniarti dkk., 1995).
Tubuhnya bersegmen-segmen, terdiri atas segmen kepala dan dada
yang menjadi satu (sefalotoraks) dan segmen abdomen (Upiek, 1998).
Di bagian abdomen dilengkapi 5 pasang kaki, pada kepala terdapat
mata median (Radiopoetro, 1996). Pada bagian anterior dilengkapi alat
mulut dan antena, bagian posterior dilengkapi ekor (Upiek , 1998).
Alat mulutnya dilengkapi dengan alat pemotong yang bergigi-gigi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
disebut gnathobasis (Radiopoetro, 1996). Yang betina membawa telur-
telurnya di dalam dua kantung yang terletak di sebelah lateral dekat
ujung abdomen (Borror et al., 1992).
Gambar 1. Morfologi Mesocyclops aspericornis
c. Daur Hidup dan Habitat
Mesocyclops aspericornis mengalami reproduksi secara seksual.
Baik jantan maupun betina dapat melakukan perkawinan satu kali atau
lebih (Upiek, 1998).
Adapun siklus hidup atau metamorfosis Mesocyclops
aspericornis, adalah sebagai berikut (Pennak, 1978) :
1. Telur: bentuk bulat bergerombol yang diletakkan pada oviseas atau
kantung telur
2. Nauphillus I: tiga pasang bagian tubuh yang memendek diwakili
oleh antena pertama, kedua, dan mandibel.
3. Nauphillus II: setelah masa pemberian makanan, mempunyai
maksila tambahan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
4. Nauphillus VI: mempunyai semua bagian tubuh menyambung
dengan pasangan lengan kedua.
5. Copepodid I: mempunyai empat ruas toraks, semua bagian tubuh
menyambung dengan pasangan lengan keempat.
6. Dewasa: Mesocylcops aspericornis dewasa dapat bertahan hidup
sampai 2,5 bulan. Untuk jantan lebih cepat mati karena bersifat
kanibal. Mesocyclops aspericornis dewasa dapat kawin satu kali
dan lebih.
Waktu yang dibutuhkan untuk mengalami siklus hidup yang
sempurna, dari telur hingga telur lagi merupakan variabel yang tinggi
tergantung dari spesies dan kondisi lingkungan, untuk Mesocyclops
aspericornis berkisar 7 hingga 180 hari (Pennak, 1978).
Penelitian yang dilakukan oleh Yuniarti dkk. (1997)
menunjukkan bahwa reproduksi Mesocyclops aspericornis paling tinggi
diperoleh dari medium rendaman tinja marmut, diikuti oleh medium
rendaman eceng gondok, dan rendaman jerami. Di daerah tropis dan
subtropis, distribusi Mesocyclops tersebar luas terdapat dalam jumlah
yang melimpah di danau air tawar, reservoir (tendon air), parit, kolam,
lubang pohon, sumur, dan liang kepiting (Widyastuti, 1995).
Mesocyclops aspericornis dilaporkan sebagai hewan pemakan Algae,
Rotifera, Protozoa, Chorinomid, Ologochaeta, ikan kecil, dan beberapa
organisme akuatik lainnya (Yuniarti, 1997).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
d. Perilaku Mesocyclops aspericornis
Sama seperti predator pada umumnya, Mesocyclops aspericornis
sebagai predator bagi larva nyamuk (Jumar, 1997) juga memiliki ciri
sebagai berikut:
1. Predator dapat memangsa semua tingkat perkembangan mangsa
(telur, larva, nympha, pupa, dan imago). Dalam hal ini
Mesocyclops aspericornis memangsa nyamuk pada masa larva
instar I dan II awal.
2. Predator membunuh dengan cara memakan atau menghisap
mangsanya dengan cepat.
3. Seekor predator memerlukan dan memakan banyak mangsa
selama hidupnya. Mesocyclops aspericornis memakan kurang
lebih 15 larva per hari.
4. Predator membunuh mangsa untuk dirinya sendiri.
5. Kebanyakan predator bersifat karnivor, baik pada saat pradewasa
maupun sesudah dewasa (imago) dan memakan jenis mangsa yang
sama atau beberapa jenis mangsa.
6. Predator memiliki ukuran tubuh lebih besar dibandingkan tubuh
mangsanya.
7. Dari segi perilaku makannya, ada predator yang mengunyah
semua bagian tubuh mangsanya, begitu juga Mesocyclops
aspericornis.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
8. Metamorfosis predator ada yang sempurna dan ada juga yang
tidak sempurna.
4. Peranan Mesocyclops aspericornis sebagai Pengendali Hayati Larva
Mesocyclops aspericornis sebagai pengendali hayati larva Aedes aegypti
sudah dibuktikan dengan hasil penelitisan Yuniarti, dkk bahwa larva Aedes aegypti
paling disukai oleh Mesocyclops aspericornis sebesar 100% pada perbandingan
25:20 dibandingkan Culex queneuefasciatus (50,66%) dan Anopeles aconitus
(27,33%). Kemampuan makan Mesocyclops aspericornis terhadap jentik nyamuk
Aedes aegypti paling besar dengan asumsi sebagai berikut:
a. Perilaku aktif jentik nyamuk Aedes aegypti yang aktif, karena menurut
monokov dalam Yuniarti, dkk (2000), Cyclopoida cenderung menangkap
mangsa yang lebih aktif, sedangkan mangsa yang kurang aktif dapat dideteksi
hanya setelah kontak.
b. Perilaku makan jentik Aedes aegypti bisa mengambil makanan di dasar,
sedang Mesocyclops aspericornis yang hidup di dasar memungkinakan
terjadinya kontak kedua organisme tersebut relatif tinggi.
Berdasarkan hasil penelitian-penelitian yang telah dilakukan
berhubungan dengan keberhasilan Mesocyclops aspericornis dalam
memangsa larva nyamuk Aedes aegypti, berarti bahwa Mesocyclops
aspericornis sebagai predator larva nyamuk sangat berperan dan bermanfaat
guna mengendalikan perkembangan nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
Dengue yang pada akhirnya akan menekan jumlah prevalensi penyakit Deman
Berdarah Dengue.
B. Kerangka Pemikiran
C . Hipotesis
Ketersediaan bahan organik mempengaruhi daya predasi Mesocyclops
aspericornis terhadap larva Aedes aegypti.
Mesocylops aspericornis dipelihara selama 3 hari di tempat penampungan air
berisi bahan organik dengan kadar bervariasi
Larva Aedes aegypti
Faktor yang mempengaruhi:
- Suhu udara - Suhu air - Air yang dipakai - pH
Daya predasi Mesocylops aspericornis
Jumlah larva yang tersisa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik
dengan post test only group design
B. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit (B2P2VRP),
Salatiga, Jawa Tengah
C. Objek Penelitian
Objek penelitian yang dipakai yaitu larva Aedes aegypti instar I
atau II
D. Teknik Sampling
Pengambilan sampel dilakukan dengan cara random sampling
E. Identifikasi Variabel :
1. Variabel bebas : Jenis bahan oganik dan kadar bahan
organik.
2. Variabel terikat : Jumlah larva Aedes aegypti yang
tersisa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
3. Variabel luar (pengganggu)
Terkendali :
a. Suhu udara dan suhu air
b. Air yang dipakai
c. pH
Tidak terkendali:
Kemampuan makan Mesocyclops aspericornis
F. Definisi Operasional Variabel
1. Variabel bebas
a. Jenis bahan organik
Bahan organik yang digunakan adalah rendaman kangkung
dan rendaman tinja kelinci yang mengandung sumber
makanan alternatif bagi Mesocyclops aspericornis seperti
Algae, Protozoa, dan Rotifera (Setyaningrum dkk., 2008).
Skala: rasio
b. Kadar bahan organik
Konsentrasi rendaman kangkung dan rendaman tinja kelinci
yang digunakan masing-masing adalah 0%; 15%; 30%; dan
45%.
Skala : interval
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
2. Variabel terikat
Larva Aedes aegypti yang dipakai yaitu larva instar I
atau II, berumur sekitar 1-3 hari, sebanyak 3000 ekor.
Diperoleh dari hasil pemeliharaan dan pengembangan di
laboratorium Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor
dan Reservoir Penyakit (B2P2VR) Salatiga, Jawa Tengah.
Skala : rasio
3. Variabel luar (pengganggu)
a. Terkendali :
1. Suhu udara dan suhu air
Percobaan dilakukan pada suhu ruangan (kurang lebih
250 C).
Skala : interval
2. Air yang dipakai
Pada penelitian ini menggunakan air ledeng
3. Ukuran panjang Mesocyclops aspericornis
Berukuran panjang kurang lebih 1 mm
Skala : interval
4. pH
Percobaan dilakukan pada pH 7
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
b. Tidak terkendali:
Kemampuan makan Mesocyclops aspericornis tergantung
selera makan dan kondisi kesehatannya.
G. Alat dan Bahan
1. Wadah tempat pembiakan dari bahan plastik dengan volume 1 L
2. Pipet dengan diameter mulut pipet ± 4 mm untuk mengambil dan
menghitung jentik Aedes aegypti dan Mesocyclops aspericornis.
3. Jentik nyamuk Aedes aegypti instar I atau II ditaruh ke dalam
gelas-gelas plastik dengan pipet.
4. Dog food yang sudah dihaluskan dengan blender untuk makanan
jentik nyamuk Aedes aegypti.
5. Mesocyclops aspericornis dewasa sebanyak 20 ekor yang dihitung
secara manual dengan pipet, ditaruh dalam nampan plastik berisi
air.
6. Rendaman kangkung dan rendaman tinja kelinci
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
H. Rancangan Penelitian
Eksperimen
Mesocylops aspericornis
Pelihara selama 3 hari
Larva Aedes aegypti
Bandingkan jumlah larva yang tersisa
850 ml air +
150 ml rendaman kangkung
550 ml air +
450 ml rendaman kangkung
700 ml air +
300 ml rendaman kangkung
1 L air
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
.
I. Cara Kerja
Penelitian dilakukan menurut metode Endah Setyaningrum (2008) yang
dimodifikasi
1. Pembuatan media
a. Kangkung dan tinja kelinci dikeringkan kemudian
ditimbang berat keringnya.
Mesocylops aspericornis
Pelihara selama 3 hari
Larva Aedes aegypti
Bandingkan jumlah larva yang tersisa
850 ml air +
150 ml rendaman
tinja kelinci
550 ml air +
450 ml rendaman tinja kelinci
700 ml air +
300 ml rendaman tinja kelinci
1 L air
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
b. Bahan tersebut di atas yang sudah dikeringkan dipotong
kecil-kecil kemudian masing-masing sebanyak 5 gram
direndam ke dalam ember berisi 1 L akuades selama 4 hari.
c. Media siap digunakan untuk mengembangbiakkan
Mescyclops aspericornis. Setiap jenis media dijadikan
sebagai perlakuan.
2. Rendaman media yang telah disiapkan kemudian disaring dengan
saringan biasa lalu diambil 150 ml, 300 ml, dan 450 ml .
3. Pada setiap wadah dimasukkan satu ekor Mesocyclops aspericornis
dewasa betina tanpa kantung telur yang sudah dipuasakan terlebih
dahulu selama satu hari. Pelihara selama 3 hari.
4. Lalu masukkan 25 ekor larva Aedes aegypti.
5. Wadah diletakkan pada suhu kamar 25o C dan pH 7
6. Dibiarkan selama 2 hari lalu jumlah jentik nyamuk yang tersisa
dihitung pada jam pertama, kedua, keempat, kedelapan, dan kedua
puluh empat, dan keempat puluh dua.
7. Percobaan dilakukan sebanyak 3 kali ulangan (Munif, 1997).
Penentuan jumlah ulangan berdasarkan rumus
Keterangan:
n : jumlah ulangan
t : jumlah kelompok perlakuan
(n-1)(t-1) > 15
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
Karena pada kelompok ini menggunakan 8 kelompok perlakuan,
maka:
(n-1)(t-1) > 15
(n-1)(8-1) > 15
7n > 22
n > 3,14
jadi untuk setiap kelompok, ulangan harus lebih dari 3,14. Dalam
penelitian ini digunakan 3 kali ulangan dalam setiap kelompok.
J. Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisa secara
statistik dengan menggunakan Uji Analisa Varians (Anova) yang
dilanjutkan dengan post-hoc test untuk mengetahui kemaknaan antar
kadar dan uji t untuk mencari letak perbedaan antar jenis bahan organik
(Subana dan Sudrajat, 2009).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
BAB IV
HASIL PENELITIAN
Hasil penghitungan jumlah jentik nyamuk Aedes aegypti yang tersisa setelah
dimakan oleh Mesocyclops aspericornis selama 48 jam pada rendaman kangkung dan
rendaman tinja kelinci dengan kadar 0%;15%; 30%; dan 45%, serta ulangan sebanyak
3 kali adalah:
Tabel 1. Rerata Jumlah Jentik Nyamuk Aedes aegypti yang Tersisa setelah 48 Jam Pengamatan
Kadar Bahan
Organik
Jenis Bahan Organik
Rendaman Kangkung Rendaman Tinja
Kelinci
0% (I) 9 11,3
15% (II) 7,7 13
30% (III) 10 10
45% (IV) 17 14
Uji normalitas data dilakukan untuk mengetahui apakah distribusi data normal
atau tidak. Uji ini dapat dilakukan dengan menggunakan Kolmogorov Smirnov Test.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
Suatu data dikatakan mempunyai sebaran normal jika didapatkan nilai p > 0,05 pada
setiap kelompok (Dahlan, 2005).
Tabel 2. Hasil Uji Normalitas Data
Variabel Kelompok Kolmogorov
Smirnov Z
Nilai p Keterangan
Kadar bahan
organic
Kadar I 0,508 0,958 Distribusi
normal
Kadar II 0,534 0,938 Distribusi
normal
Kadar III 0,482 0,974 Distribusi
normal
Kadar IV 0,577 0,893 Distribusi
normal
Jenis bahan
organik
Rendaman kangkung 0,730 0,661 Distribusi
normal
Rendaman tinja
kelinci
0,554 0,919 Distribusi
normal
Tabel 2 menunjukkan sebaran data hasil analisis Kolmogorov Smirnov
Test dari berbagai variabel penelitian pada kelompok kadar bahan organik dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
jenis bahan organik itu sendiri. Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa semua data
dari berbagai variabel pada tiap kelompok terdistribusi normal (p>0,05).
Untuk mengetahui perbedaan antara rendaman kangkung dan rendaman tinja
kelinci maka dilakukan uji t. Terlebih dahulu dilakukan uji homogenitas dengan
Levene’s test yang menghasilkan data homogen dengan nilai p = 0,333. Data
dianggap homogen, karena nila p > 0,05. Sedangkan hasil uji t didapatkan nilai
signifikansi p = 0,505. Hasil tersebut membuktikan bahwa tidak ada perbedaan
bermakna dari rendaman kangkung dan rendaman tinja kelinci.
Setelah uji t, dilakukan pula uji statistik Analisa Varians (Anova) untuk
membandingkan rerata kadar organik yang dipakai. Terlebih dahulu dilakukan uji
homogenitas Levene’s test dengan nilai p = 0,261 yang berarti data homogen. Hasil
Anova didapatkan nilai signifikansi p = 0,048. Hasil uji tersebut menunjukkan bahwa
terdapat perbedaan rerata yang signifikan pada tiap kelompok kadar organik yang
dipakai. Untuk mengetahui kelompok mana yang mempunyai perbedaan yang
signifikan itu maka dilanjutkan dengan Post Hoc test dengan hasil seperti tertera pada
tabel 3.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
Tabel 3. Hasil Uji (Post Hoc) antar Kadar
Variabel Kelompok
Perlakuan
Kelompok
Perlakuan
Nilai p
Kadar Kadar I Kadar II 0,938
Kadar III 0,938
Kadar IV 0,021
Kadar II Kadar I 0,938
Kadar III 0,877
Kadar IV 0,025
Kadar III Kadar I 0,938
Kadar II 0,877
Kadar IV 0,018
Kadar IV Kadar I 0,21
Kadar II 0,25
Kadar III 0,018
Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa kadar IV yang memiliki
perbedaan paling signifikan dilihat dari jumlah larva yang tersisa dibandingkan
dengan kadar yang lain. Setelah semua kadar dibandingkan, didapatkan bahwa kadar
4 mempunyai nilai yang signifikan p <0,05 jika dibandingkan dengan kadar 1,2 dan3.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
BAB V
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian mengenai pengaruh ketersediaan bahan organik
pada daya predasi Mesocyclops aspericornis terhadap larva nyamuk Aedes aegypti,
dapat dilihat bahwa ada perbedaan jumlah jentik nyamuk yang dimakan (dari jumlah
yang tersisa) pada kadar karena perbedaan pada tiap kelompok kadar organik yaitu
pada kadar 45% dengan kadar 0%; 15%; dan 30%. Tetapi tidak didapatkan perbedaan
berarti antara jenis bahan organiknya yaitu antara rendaman kangkung dan rendaman
tinja kelinci. Untuk membuktikan bahwa hal di atas terjadi bukan karena kebetulan
tapi karena pengaruh perlakuan selama penelitian maka dilakukan pengujian secara
statistik dengan uji Analisa Varians (Anova).
Berdasarkan perhitungan pada taraf kepercayaan 95% didapatkan nilai
signifikansi p = 0,048. Dengan demikian nilai p ≤ 0.05 sehingga pernyataan Ho bahwa
“tidak ada pengaruh ketersediaan bahan organik pada daya predasi Mesocyclops
aspericornis terhadap larva Aedes aegypti”, ditolak.
Dengan mengamati hasil dan perhitungan statistik tersebut diketahui terdapat
perbedaan antara kadar bahan organik 0%, 15%, 30%, dan 45%, di mana jumlah
jentik nyamuk yang dimakan pada keempat kelompok kadar tadi ada perbedaan yang
nyata, sehingga dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh variasi kadar bahan organik
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
terhadap kemampuan Mesocyclops aspericornis untuk memakan jentik nyamuk
Aedes aegypti.
Selain itu dilakukan pula uji t untuk mencari letak perbedaan antar jenis bahan
organik yaitu rendaman kangkung dan rendaman tinja kelinci. Pada perhitungan
didapatkan nilai signifikansi p = 0,505. Dengan demikian nilai p ≥ 0,05, sehingga
pernyataan Ho bahwa “tidak ada pengaruh variasi jenis bahan organik pada
kemampuan predasi Mesocylops aspericornis terhadap larva Aedes aegypti”,
diterima. Hal ini mungkin disebabkan karena kadar kandungan mikroorganisme yang
berfungsi sebagai makanan Mesocyclops aspericornis pada kedua jenis bahan organik
tersebut tidak jauh berbeda.
Pada penelitian ini juga dapat diketahui bahwa sisa larva Aedes aegypti pada
kadar bahan organik yang paling signifikan perbedaannya adalah pada kadar 45%.
Penelitian yang dilakukan oleh Endah Setyaningtum dkk. (2008) menyatakan bahwa
makanan yang tersedia bagi Mesocyclops aspericornis yang berupa mikroorganisme
lebih banyak pada rendaman kangkung dibandingkan pada media lainnya sehingga
kebutuhan makanan Mesocyclops aspericornis sudah tercukupi dan tidak perlu
memangsa larva Aedes aegypti lagi. Menurut Suriawiria (1976) mikroorganisme
sangat menyukai sayuran karena kandungan airnya 68 – 96,1 %, karbohidrat 2,7 –
27,9 %, protein 6,5 – 6,7 % dan lemak 0,1 – 1,2 %. Sedangkan menurut Abu Syafwan
(2001) satu ekor kelinci yang berusia dua bulan atau lebih, atau yang beratnya sudah
mencapai 1 kg akan menghasilkan 28,0 kotoran lunak per hari dan mengandung 3 g
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
protein serta 0,35 nitrogen dan bakteri atau setara 1,3 g protein. Dari penelitian-
penelitian tersebut dapat memperkuat fakta bahwa dalam penelitian ini Mesocyclops
aspericornis yang dipelihara pada kadar organik tinggi daya predasi terhadap larva
Aedes aegypti menurun dikarenakan bahan makanan yang disukai Mesocyclops
aspericornis sudah tersedia cukup banyak.
Dalam penelitian Sri Muwarni dkk. (2009) menyebutkan bahwa reproduksi
M. aspericornis pada media rendaman kangkung dan air sawah yang paling tinggi
adalah media rendaman kangkung dengan pembentukan kantung telur yang dapat
mencapai 5-7 kali pembentukan kantung telur, sedangkan pada media air sawah M.
aspericornis hanya dapat membentuk 1-2 kali pembentukan kantung telur. Hal ini
diduga disebabkan media rendaman kangkung terdapat pakan alami M. aspericornis
yang berupa mikroorganisme seperti alga, protozoa dan rotifera seperti hasil
penelitian Setyaningrum dkk (2008) bahwa media rendaman kangkung memiliki
populasi mikroorganisme yang tinggi sebanyak 2078 ekor/10ml yang terdiri dari
protozoa, alga dan rotifera yang merupakan pakan alami M. aspericornis. Jadi dapat
disimpulkan bahwa media organik hanya efektif pada daya reproduksi Mescocyclops
aspericornis namun setelah dilakukan penelitian ketersediaan bahan organik justru
menurunkan daya predasinya terhadap larva Aedes aegypti.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut:
1. Ketersediaan bahan organik secara statistik mempengaruhi jumlah jentik nyamuk
Aedes aegypti yang dimakan oleh Mesocyclops aspericornis.
2. Ketersediaan bahan organik dalam kadar yang tinggi justru menurunkan daya
predasi Mesocyclops aspericornis terhadap larva Aedes aegypti.
Saran
1. Penulis mengharapkan supaya penelitian ini bermanfaat bagi pemberantasan
penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD).
2. Mesocylops aspericornis lebih baik diaplikasikan pada daerah dengan kondisi air
yang bersih dengan ketersediaan bahan organik pada kadar rendah.
3. Air dengan ketersediaan bahan organik kadar tinggi hanya baik untuk
pemeliharaan dan perkembangbiakan Mesocyclops aspericornis
4. Penulis mengharapkan supaya penelitian ini dapat menjadi bahan untuk
penelitian-penelitian selanjutnya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
BAB V
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian mengenai pengaruh ketersediaan bahan organik
pada daya predasi Mesocyclops aspericornis terhadap larva nyamuk Aedes aegypti,
dapat dilihat bahwa ada perbedaan jumlah jentik nyamuk yang dimakan (dari jumlah
yang tersisa) pada kadar karena perbedaan pada tiap kelompok kadar organik yaitu
pada kadar 45 % dengan kadar 0 %; 15 %; dan 30 %. Tetapi tidak didapatkan
perbedaan berarti antara jenis bahan organiknya yaitu antara rendaman kangkung dan
rendaman tinja kelinci. Untuk membuktikan bahwa hal di atas terjadi bukan karena
kebetulan tapi karena pengaruh perlakuan selama penelitian maka dilakukan
pengujian secara statistik dengan uji Analisis Varians (Anova).
Berdasarkan perhitungan pada taraf kepercayaan 95 % didapatkan nilai
signifikansi p = 0,048. Dengan demikian nilai p ≤ 0.05 sehingga pernyataan Ho bahwa
“tidak ada pengaruh ketersediaan bahan organik pada daya predasi Mesocyclops
aspericornis terhadap larva Aedes aegypti”, ditolak.
Dengan mengamati hasil dan perhitungan statistik tersebut diketahui terdapat
perbedaan antara kadar bahan organik 0 %, 15 %, 30 %, dan 45 %, di mana jumlah
jentik nyamuk yang dimakan pada keempat kelompok kadar tadi ada perbedaan yang
nyata, sehingga dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh variasi kadar bahan organik
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
terhadap kemampuan Mesocyclops aspericornis untuk memakan jentik nyamuk
Aedes aegypti.
Selain itu dilakukan pula uji t untuk mencari letak perbedaan antar jenis bahan
organik yaitu rendaman kangkung dan rendaman tinja kelinci. Pada perhitungan
didapatkan nilai signifikansi p = 0,505. Dengan demikian nilai p ≥ 0,05, sehingga
pernyataan Ho bahwa “tidak ada pengaruh variasi jenis bahan organik pada
kemampuan predasi Mesocylops aspericornis terhadap larva Aedes aegypti”,
diterima. Hal ini mungkin disebabkan karena kadar kandungan mikroorganisme yang
berfungsi sebagai makanan Mesocyclops aspericornis pada kedua jenis bahan organik
tersebut tidak jauh berbeda.
Pada penelitian ini juga dapat diketahui bahwa sisa larva Aedes aegypti pada
kadar bahan organik yang paling signifikan perbedaannya adalah pada kadar 45%.
Penelitian yang dilakukan oleh Endah Setyaningtum dkk. (2008) menyatakan bahwa
makanan yang tersedia bagi Mesocyclops aspericornis yang berupa mikroorganisme
lebih banyak pada rendaman kangkung dibandingkan pada media lainnya sehingga
kebutuhan makanan Mesocyclops aspericornis sudah tercukupi dan tidak perlu
memangsa larva Aedes aegypti lagi. Menurut Suriawiria (1976) mikroorganisme
sangat menyukai sayuran karena kandungan airnya 68 – 96,1 %, karbohidrat 2,7 –
27,9 %, protein 6,5 – 6,7 % dan lemak 0,1 – 1,2 %. Sedangkan menurut Abu Syafwan
(2001) satu ekor kelinci yang berusia dua bulan atau lebih, atau yang beratnya sudah
mencapai 1 kg akan menghasilkan 28,0 gr kotoran lunak per hari dan mengandung 3
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
gr protein serta 0,35 gr nitrogen dan bakteri atau setara 1,3 gr protein. Dari penelitian-
penelitian tersebut dapat memperkuat fakta bahwa dalam penelitian ini Mesocyclops
aspericornis yang dipelihara pada kadar organik tinggi daya predasi terhadap larva
Aedes aegypti menurun dikarenakan bahan makanan yang disukai Mesocyclops
aspericornis sudah tersedia cukup banyak.
Dalam penelitian Sri Muwarni dkk. (2009) menyebutkan bahwa reproduksi
Mesocyclops. aspericornis pada media rendaman kangkung dan air sawah yang
paling tinggi adalah media rendaman kangkung dengan pembentukan kantung telur
yang dapat mencapai 5 - 7 kali pembentukan kantung telur, sedangkan pada media air
sawah Mesocyclops aspericornis hanya dapat membentuk 1 - 2 kali pembentukan
kantung telur. Hal ini diduga disebabkan media rendaman kangkung terdapat pakan
alami M. aspericornis yang berupa mikroorganisme seperti alga, protozoa dan
rotifera seperti hasil penelitian Setyaningrum dkk (2008) bahwa media rendaman
kangkung memiliki populasi mikroorganisme yang tinggi sebanyak 2078 ekor/10ml
yang terdiri dari protozoa, alga dan rotifera yang merupakan pakan alami
Mesocyclops aspericornis. Jadi dapat disimpulkan bahwa media organik hanya
efektif pada daya reproduksi Mescocyclops aspericornis namun setelah dilakukan
penelitian ketersediaan bahan organik justru menurunkan daya predasinya terhadap
larva Aedes aegypti.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan sebagai
berikut:
Ketersediaan bahan organik dalam kadar yang tinggi menurunkan daya predasi
Mesocyclops aspericornis terhadap larva Aedes aegypti.
Saran
1. Penulis mengharapkan supaya penelitian ini bermanfaat bagi pemberantasan
penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD).
2. Mesocylops aspericornis lebih baik diaplikasikan pada daerah dengan kondisi air
yang bersih dengan ketersediaan bahan organik pada kadar rendah.
3. Air dengan ketersediaan bahan organik kadar tinggi hanya baik untuk
pemeliharaan dan perkembangbiakan Mesocyclops aspericornis
4. Penulis mengharapkan supaya penelitian ini dapat menjadi bahan untuk
penelitian-penelitian selanjutnya