pengaruh model problem based learning (pbl) …mahasiswa.mipastkipllg.com/repository/artikel...
TRANSCRIPT
1
1) Mahasiswa STKIP-PGRI Lubuklinggau 2)- 3)
Dosen STKIP-PGRI Lubuklinggau
PENGARUH MODEL PROBLEM BASED LEARNING (PBL) TERHADAP
KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA
SISWA KELAS X SMA NEGERI 5 LUBUKLINGGAU
Oleh: 1)
Mastika, 2)
Dr. Fadli, M.Pd, 3)
Rani Refianti, M.Pd.
Abstrak: Skripsi ini berjudul “Pengaruh Model Problem Based Learning (PBL)
terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa Kelas X SMA
Negeri 5 Lubuklinggau Tahun Pelajaran 2015/2016”. Masalah dalam penelitian
ini adalah: (1) apakah ada pengaruh model PBL terhadap kemampuan pemecahan
masalah matematika siswa kelas X SMA Negeri 5 Lubuklinggau tahun pelajaran
2015/2016, dan (2) Bagaimana tingkat kemampuan pemecahan masalah
matematika siswa kelas X SMA Negeri 5 Lubuklinggau setelah mengikuti
pembelajaran dengan menggunakan model PBL. Adapun tujuan dari penelitian ini
yaitu untuk mengetahui pengaruh model PBL terhadap kemampuan pemecahan
masalah matematika siswa kelas X SMA Negeri 5 Lubuklinggau dan untuk
mengetahui tingkat kemampuan pemecahan masalah matematika siswa setelah
mengikuti pembelajaran dengan model PBL. Jenis penelitian ini true experimental
design test, post-test design. Seluruh siswa kelas X SMA Negeri 5 Lubuklinggau
dijadikan populasi, sampel kelas eksperimen berjumlah 34 siswa dan kelas kontrol
berjumlah 36 siswa. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik tes,
tes yang dipilih berbentuk uraian sebanyak 3 butir soal. Data yang terkumpul
selanjutnya dianalisis menggunakan uji-t pada taraf signifikan 𝛼 = 0,05 dan
diperoleh 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 3,28 > 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = 1,671 dengan skor rata-rata post-test 18,00.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh model PBL terhadap
kemampuan pemecahan masalah matematika siswa kelas X SMA Negeri 5
Lubuklinggau setelah mengikuti pembelajaran dengan menggunakan model PBL,
sedangkan untuk tingkat kemampuan pemecahan masalah memiliki kriteria tinggi
yang berada pada rentang 18 – 23 dengan persentase siswa 38,7%.
Kata kunci: model Problem Based Learning, kemampuan pemecahan masalah
A. PENDAHULUAN
Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang selalu diajarkan di
setiap sekolah, karena matematika sangat diperlukan baik untuk kehidupan sehari-
hari maupun dalam menghadapi kemajuan IPTEK. Seperti yang telah
dikemukakan oleh Cornelius (dalam Abdurrahman, 2012:204) menyatakan bahwa
“perlunya belajar matematika karena matematika merupakan sarana berpikir yang
jelas dan logis, sarana untuk memecahkan masalah kehidupan sehari-hari, sarana
mengenal pola-pola hubungan dan generalisasi pengalaman, sarana untuk
mengembangkan kreativitas, dan sarana untuk meningkatkan kesadaran terhadap
perkembangan budaya”. Artinya mata pelajaran matematika dapat dijadikan
2
1) Mahasiswa STKIP-PGRI Lubuklinggau 2)- 3)
Dosen STKIP-PGRI Lubuklinggau
sebagai wahana dalam mengembangkan kemampuan yang dimiliki oleh siswa.
Kemampuan tersebut dapat berupa kemampuan pemecahan masalah matematika.
Pemecahan masalah merupakan bagian dari kurikulum matematika yang
sangat penting karena dalam proses pembelajaran maupun penyelesaiannya, siswa
dituntut untuk memperoleh pengalaman dengan menggunakan pengetahuan serta
keterampilan yang sudah dimiliki untuk diterapkan pada pemecahan masalah yang
tidak rutin dilakukan. Menurut Sumiati dan Asra (2009:139) “Pemecahan masalah
merupakan suatu proses untuk menemukan suatu masalah yang dihadapi berupa
aturan-aturan baru yang tarafnya lebih tinggi”.
Berdasarkan hasil observasi yang penulis lakukan selama penelitian
dilakukan di kelas X SMA Negeri 5 Lubuklinggau diketahui bahwa model
pembelajaran yang digunakan adalah model konvensional yang hanya didominasi
oleh guru, yakni guru sebagai sumber utama pengatahuan, akibatnya tingkat
kemampuan pemecahan masalah matematika siswa serta tingkat pemahaman
siswa terhadap materi ajar menjadi kurang optimal dan siswa menjadi pasif.
Faktor lain yang menjadi kurang optimalnya kemampuan pemecahan masalah
matematika siswa yaitu pembelajaran yang dilaksanakan belum mampu
mengembangkan kemampuan mengkomunikasikan ide-ide matematika siswa
secara tepat, mengembangkan kemampuan pemahaman konsep matematika siswa,
dan mengembangkan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa. Siswa
lebih ditekankan untuk menghafal rumus-rumus praktis yang biasa digunakan
dalam menjawab soal-soal ulangan harian dan ulangan umum.
Salah satu langkah yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan
pemecahan masalah matematika adalah dengan pemilihan dan penggunaan model
pembelajaran yang tepat agar siswa dapat aktif dan memiliki pengetahuan yang
optimal. Penggunaan model pembelajaran yang kurang tepat dapat menimbulkan
kebosanan, kurang paham terhadap materi ajar dan akhirnya turunnya motivasi
siswa untuk belajar. Dengan demikian, diperlukan suatu model pembelajaran yang
menyajikan tugas-tugas dalam bentuk masalah karena dengan adanya masalah
maka siswa akan berusaha untuk mencari solusinya dengan berbagai ide sehingga
kemampuan berfikir siswa benar-benar dioptimalkan melalui proses pemecahan
masalah tersebut.
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas maka rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah: (1) Apakah ada pengaruh model PBL
terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika siswa kelas X SMA Negeri
5 Lubuklinggau tahun pelajaran 2015/2016? dan (2) Bagaimana tingkat
kemampuan pemecahan masalah matematika siswa kelas X SMA Negeri 5
Lubuklinggau setelah mengikuti pembelajaran dengan model PBL?
B. LANDASAN TEORI
Pengertian Matematika
Menurut Johnson dan Myklebust (dalam Abdurrahman, 2012:202)
matematika adalah bahasa simbolis yang fungsi praktisnya untuk
mengekspresikan hubungan-hubungan kuantitatif dan keruangan sedangkan
fungsinya teoretisnya adalah untuk memudahkan berpikir. Cornelius (dalam
Abdurrahman, 2012:204) mengemukakan alasan perlunya belajar matematika
3
1) Mahasiswa STKIP-PGRI Lubuklinggau 2)- 3)
Dosen STKIP-PGRI Lubuklinggau
karena matematika merupakan sarana berpikir yang jelas dan logis, sarana untuk
memecahkan masalah kehidupan sehari-hari, sarana mengenal pola-pola
hubungan dan generalisasi pengalaman, sarana untuk mengembangkan kreativitas,
dan sarana untuk meningkatkan kesadaran terhadap perkembangan budaya. Pada
hakikatnya matematika merupakan suatu aktifitas mental untuk memahami arti
dan hubungan-hubungan serta simbol-simbol kemudian diterapkannya pada
situasi nyata (Uno, 2007:130).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa matematika adalah
suatu bidang ilmu yang berupa bahasa simbolis yang merupakan pengkajian atau
kemampuan berpikir, berkomunikasi dan memecahkan masalah sehingga
memerlukan aktifitas mental untuk menyelesaikannya yang kemudian diterapkan
pada situasi nyata.
Pemecahan Masalah
Suherman (dalam Husna, 2013:84) menyatakan bahwa suatu masalah
biasanya memuat suatu situasi yang mendorong seseorang untuk
menyelesaikannya akan tetapi tidak tahu secara langsung apa yang harus
dikerjakan untuk menyelesaikannya. Menurut Fauziah dan Sukasno (2015:3) pemecahan masalah adalah proses penyelesaikan soal yang tak rutin yang
kompleks dengan menggunakan pemahaman, pengetahuan dan ketrampilan yang
dimiliki. Proses pemecahan masalah memberikan kesempatan kepada siswa
terlibat aktif dalam mempelajari, mencari, menemukan sendiri informasi untuk
diolah menjadi konsep, prinsip, teori, atau kesimpulan, sehingga pemecahan
masalah merupakan kemampuan memproseskan informasi untuk membuat
keputusan dalam memecahkan masalah (Sumiati dan Asra, 2009:139).
Polya (1973:5-6) dalam bukunya yang berjudul “How To Solve It”
menyebutkan ada empat langkah yang dapat dilakukan agar siswa lebih terarah
dalam menyelesaikan masalah matematika, yaitu:
a) Understanding the problem. Memahami istilah yang digunakan dalam
masalah tersebut, merumuskan apa yang diketahui, apa yang ditanyakan,
apakah informasi yang diperoleh cukup, kondisi/syarat apa saja yang harus
dipenuhi dalam masalah tersebut.
b) Devising plan. Menemukan hubungan antara data yang diperoleh dengan hal-
hal yang belum diketahui serta mencari solusi ataupun strategi pemecahan
masalah.
c) Carrying out the plan. Menjalankan rencana guna menemukan solusi, periksa
setiap langkah dengan seksama untuk membuktikan bahwa cara itu benar.
d) Looking back. Melakukan penilaian terhadap solusi yang didapat.
Berdasarkan pendapat di atas maka disimpulkan bahwa pemecahan
masalah adalah suatu proses dalam menyelesaikan masalah untuk mencapai suatu
tujuan dengan menarik pengetahuan yang dimiliki melalui tindakan, tahap demi
tahap secara sistematis yang akan membangun pemahaman matematis baru.
Kemampuan Pemecahan Masalah
Pada umumnya masalah atau soal-soal matematika dapat dibedakan
menjadi dua macam, yaitu soal rutin dan soal non rutin. Menurut Tarhadi
4
1) Mahasiswa STKIP-PGRI Lubuklinggau 2)- 3)
Dosen STKIP-PGRI Lubuklinggau
(2006:122) masalah rutin merupakan pemecahan masalah bersifat prosedural
sedangkan masalah non rutin selain bersifat prosedural juga memerlukan strategi.
Soal rutin biasanya mencakup aplikasi suatu prosedur matematika yang sama atau
mirip dengan hal yang baru dipelajari. Sedangkan dalam masalah non rutin untuk
sampai pada prosedur yang benar diperlukan pemikiran yang lebih mendalam”
Hartatiana dan Darmawijoyo (2011:147).
Polya (dalam Gunantara, 2014:4) kemampuan pemecahan masalah adalah
proses yang ditempuh oleh seseorang untuk menyelesaikan masalah yang
dihadapinya sampai masalah itu tidak lagi menjadi masalah baginya. Kemampuan
pemecahan masalah seseorang dalam mengidentifikasi dan memecahkan masalah
berbeda. Perbedaan ini banyak ditunjang oleh latar belakang kemampuan
pendidikan (Sumiati dan Asra, 2009:139).
Indikator yang menunjukkan untuk mengukur kemampuan pemecahan
masalah matematika siswa menurut Polya (dalam Hoseana, 2015:1) yaitu:
a) Memahami permasalahan
b) Merencang suatu strategi penyelesaian masalah
c) Melaksanakan strategi tersebut
d) Meninjau kembali dan mengembangkan.
Menurut Schoen dan Ochmke (dalam Fauziah, 2010:40) mengemukakan
bahwa pemberian skor pemecahan masalah dalam penelitiannya.
Skor Memahami Masalah Membuat Rencana
Pemecahan
Melakukan
Perhitungan
Memeriksa
Kembali Hasil
0 Salah
menginterprestasikan/salah
sama sekali
Tidak ada rencana,
membuat rencana yang
tidak relevan
Tidak melakukan
perhitungan
Tidak ada
pemeriksaan
atau tidak ada
keterangan lain
1 Salah menginterpres-tasikan
sebagian soal, mengabaikan
Membuat rencana
pemecahan yang tidak
dapat dilaksanakan
sehingga tidak dapat
dilaksanakan
Melaksanakan
prosedur yang
benar dan
mungkin
menghasilkan
jawaban yang
benar tapi salah
perhitungan
Ada
pemeriksaan
tetapi tidak
tuntas
2 Memahami masalah soal
selengkapnya
Membuat rencana
yang benar tetapi salah
dalam hasil/tidak ada
hasil
Melakukan
proses yang
benar dan
mendapatkan
hasil yang benar
Pemeriksaan
dilaksanakan
untuk melihat
kebenaran
proses
3 - membuat rencana yang
benar, tetapi tidak
lengkap
- -
4 - Membuat rencana
sesuai dengan
prosedur dan
mengarah pada solusi
yang benar
- -
Skor maksimal 2 Skor maksimal 4 Skor maksimal 2 Skor maksimal
2
Sumber: Schoen dan Ochmke (dalam Fauziah, 2010:40).
5
1) Mahasiswa STKIP-PGRI Lubuklinggau 2)- 3)
Dosen STKIP-PGRI Lubuklinggau
Sedangkan tingkat kemampuan pemecahan masalah matematika siswa
dapat diukur dengan kriteria kemampuan pemecahan masalah matematika yaitu:
Rentangan skor rata-rata Kriteria
24 – 30 Sangat Tinggi
18 – 23 Tinggi
12 – 17 Cukup
6 – 11 Rendah
0 – 5 Sangat Rendah
(Modifikasi dari Djaali & Pudji Mulyono, 2008:103)
Problem Based Learning (PBL)
Sanjaya (2011:214) berpendapat bahwa PBL dapat diartikan sebagai
rangkaian aktivitas pembelajaran yang menekankan kepada proses penyelesaian
masalah yang dihadapai secara ilmiah. Moffit (dalam Rusman, 2013:241)
mengemukakan bahwa Pembelajaran berbasis masalah merupakan suatu
pendekatan pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu
konteks bagi siswa untuk belajar tentang berpikir kritis dan pemecahan masalah
serta untuk memperoleh pengetahuan dan konteks esensi dari meteri pelajaran.
Amir (2009:21) PBL merupakan instruksional yang menantang siswa agar
“belajar untuk belajar”, bekerja sama dalam kelompok untuk mencari solusi bagi
masalah yang nyata”.
Berdasarkan beberapa pendapat (Kemendikbud, 2014:59 dan Hosnan,
2014:301), langkah-langkah PBL yaitu:
1) Orientasi siswa pada masalah.guru menjelaskan tujuan pembelajaran,
menjelaskan teknik yang dibutuhkan, memotivasi siswa agar terlibat aktif
dalam pemecahan masalah yang dipilih
2) Mengorganisasikan siswa untuk belajar. Guru membentuk kelompok belajar,
membagikan masalah dan membantu siswa mendefinisikan serta
mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut.
3) Membimbing penyelidikan individu maupun kelompok. siswa didorong untuk
mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen untuk
mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalahnya.
4) Mengembangkan dan menyajikan hasil karya. Siswa dibantu guru
merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai.
5) Menganalisa dan mengevaluasi proses pemecahan masalah. Salah satu
kelompok diminta mempresentasikan hasil kerja kemudian secara bersama-
sama melakukan refleksi dan evaluasi terhadap proses-proses yang telah
digunakan.
C. METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah true experimental design. “True experimental
design. Desain eksperimen yang digunakan berbentuk random, pre-test, post-test
design. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah model PBL dan pembelajaran
konvensional. Sedangkan variabel terikat adalah kemampuan pemecahan masalah
matematika siswa.
6
1) Mahasiswa STKIP-PGRI Lubuklinggau 2)- 3)
Dosen STKIP-PGRI Lubuklinggau
Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan metode tes.
Tes ini mengacu pada taksonomi yang mencakup keterampilan intelektual yaitu:
soal yang menuntut siswa untuk mengingat informasi yang telah diterima
sebelumnya (C1), soal yang berhubungan dengan kemampuan untuk menjelaskan
pengetahuan yang telah diketahui dengan kalimat sendiri (C2), soal yang
berhubungan dengan kemampuan untuk menggunakan informasi yang telah
dipelajari kedalam situasi yang baru (C3), dan soal yang berhubungan dengan
kemampuan menguraikan suatu permasalahan (C4).
Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa kelas X SMA Negeri 5
Lubuklinggau pada Tahun Pelajaran 2015/2016. Dari sembilan kelas, diambil dua
kelas secara acak dengan cara diundi. Berdasarkan hasil pengundian, terpilih
sampel penelitian yaitu kelas X.6 dan kelas X.4. Kelas X.6 diberi perlakuan
dengan menggunakan model PBL selanjutnya disebut sebagai kelas ekperimen,
dan kelas X.4 diberi perlakuan oleh guru bidang studi menggunakan model
pembelajaran konvensional selanjutnya disebut sebagai kelas kontrol.
Penelitian ini menggunakan instrument berupa tes uraian sebanyak tiga
soal. Tes dilakukan untuk mengetahui tingkat kemampuan pemecahan masalah
matematika siswa. Tes dilakukan sebanyak dua kali yaitu tes awal dan tes akhir
pada kelas eksperimen dan kelas kontrol.
Hipotesis yang dikaji dalam penelitian ini adalah “Ada pengaruh yang
signifikan model Problem Based Learning (PBL) terhadap kemampuan
pemecahan masalah matematika siswa kelas X SMA Negeri 5 Lubuklinggau
tahun pelajaran 2015/2016”.
D. HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan data tes awal diperoleh skor rata-rata kemampuan pemecahan
masalah matematika awal siswa pada kelas ekperimen 11,68 dan skor rata-rata
pada kelas kontrol 11,77. Sehingga secara deskriptif dapat disimpulkan bahwa
kemampuan awal siswa antara kelas eksperimen dan kelas kontrol sebelum
diberikan perlakuan menggunakan model PBL hampir sama. Begitupun dengan
analisis uji-t data tes awal diperoleh 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = 2,00. Hal ini berarti 𝐻0 diterima.
Dengan demikian tidak ada perbedaan yang signifikan rata-rata kemampuan
pemecahan masalah matematika awal siswa antara kelas eksperimen dan kelas
kontrol. Sedangkan tingkat kemampuan pemecahan masalah awal siswa baik pada
kelas ekperimen maupun pada kelas kontrol berada pada kriteria rendah pada
rentang 6-11.
Berdasarkan data tes akhir diperoleh skor rata-rata kemampuan pemecahan
masalah akhir kelas ekperimen 18,00 dan skor rata-rata kelas kontrol 14,43.
Sehingga secara deskriptif dapat disimpulkan bahwa kemampuan pemecahan
masalah akhir pada kelas eksperimen setleah diterapkannya model PBL lebih
besar daripada kelas kontrol yang mendapatkan perlakuan menggunakan model
pembelajaran konvensional. Berdasarkan analisis data hasil tes akhir
menunjukkan nilai 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 3,28 > 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = 1,671, sehingga dapat disimpulkan
𝐻0 ditolak dan 𝐻𝑎 diterima. Dengan demikian hipotesis yang diajukan dalam
penelitian ini terbukti, yaitu ada pengaruh yang signifikan model PBL terhadap
kemampuan pemecahan masalah matematika siswa kelas X SMA Negeri 5
7
1) Mahasiswa STKIP-PGRI Lubuklinggau 2)- 3)
Dosen STKIP-PGRI Lubuklinggau
Lubuklinggau. Sedangkan untuk tingkat kemampuan pemecahan masalah
matematika siswa kelas X SMA Negeri 5 Lubuklinggau setelah mengikuti
pembelajaran dengan menggunakan model PBL memiliki criteria tinggi pada
rentang 18-23 dengan persentase siswa 38,7 %.
PEMBAHASAN
1) Pengaruh Model PBL Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah
Matematika Siswa
Penelitian ini dilaksanakan di SMA Negeri 5 Lubuklinggau dengan jadwal
penelitian dari tanggal 18 Agustus s.d. 18 September 2015, model pembelajaran
yang digunakan adalah model PBL. Proses pembelajaran penulis lakukan pada
kelas X.6 yang jumlah 34 siswa dengan menerapkan model PBL, sedangkan guru
bidang studi menerapkan pembelajaran konvensional pada kels X.4 dengan
jumlah 36 siswa.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan
skor rata-rata kemampuan pemecahan masalah matematika awal siswa antara
kelas eksperimen dengan kelas kontrol sebelum diberikan perlakuan berbeda. Hal
ini dapat dilihat dari skor rata-rata tes awal siswa kelas eksperimen sebesar 11,68
dan pada kelas kontrol 11,77. Tidak adanya perbedaan kemampuan awal siswa
kedua kelas tersebut dibuktikan dengan hasil uji kesamaan dua rata-rata yang
mana nilai 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 0,12 < 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = 2,000.
Pada saat dilaksanakan tes kemampuan awal terdapat kesalahan siswa
dalam menjawab soal kesalahan yang banyak dilakukan adalah dalam membuat
suatu model matematika dan menuliskan suatu perencanaan dalam menyelesaikan
penyelesaian dari suatu permasalahan serta membuktikan kebenaran jawaban dari
hasil penyelesaian, hal ini terjadi baik itu pada kelas ekperimen maupun kelas
kontrol. Faktor siswa banyak melakukan kesalahan dalam menjawab soal karena
siswa belum pernah diberikan soal berbentuk pemecahan masalah dengan materi
SPLDV. Selain itu hal ini disebabkan karena siswa kesulitan dalam
menterjemahkan kalimat soal cerita kedalam bahasa matematika.
Kegiatan pembelajaran PBL diawali dengan mengorientasikan siswa pada
masalah yaitu guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan langkah-langkah
pembelajaran dengan menggunakan model PBL serta memotivasi siswa untuk
terlibat aktif dalam pemecahan masalah yang dipilih. Dalam hal ini guru
mengajukan permasalahan yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari, yang
berkaitan dengan materi sistem persamaan linear dua variabel. Selanjutnya, guru
mengorganisasikan siswa yaitu membentuk kelompok yang terdiri 6 kelompok
dimana 4 kelompok berjumlah 6 orang dan 2 kelompok berjumlah 5 orang yang
ditentukan secara acak. Setelah membentuk kelompok maka guru membagikan
LKS (Lembar Kegiatan Siswa) kepada masing-masing kelompok sabagai bahan
untuk bertukar pikiran didalam kelompoknya. Selain itu guru membimbing siswa
untuk aktif dalam pembelajaran, mengorganisasikan tugas belajar yang
berhubungan dengan masalah tersebut.
Memasuki kegiatan inti guru membimbing penyelidikan individu maupun
kelompok. Guru membantu siswa melakukakan pemecahan masalah dengan cara
memperjelaskan tentang permasalahan yang ada pada LKS, kemudian mendorong
8
1) Mahasiswa STKIP-PGRI Lubuklinggau 2)- 3)
Dosen STKIP-PGRI Lubuklinggau
siswa untuk mengingatkan kembali materi SPLDV ketika waktu SMP agar siswa
dapat melakukan penyelidikan secara bebas dengan kelompoknya terhadap
masalah yang diberikan. Siswa dibimbing oleh guru dalam beberapa hal yakni:
pertama. memahami masalah yaitu mengarahkan siswa untuk memahami apa
yang diminta soal. Kedua, merencanakan penyelesaian yaitu menentukan variabel
yang akan digunakan dalam menyelesaikan permasalahan yang telah diberikan.
Ketiga, menentukan hasil dari permasalahan yang dipermasalahkan, dan keempat
melakukan pengecekkan terhadap hasil yang diperoleh dengan tujuan untuk
mengetahui apakah jawaban tersebut benar atau salah. Setelah siswa dapat
menyelesaikan masalah tersebut maka siswa bersama kelompoknya untuk
menyajikan hasil kerja mereka didepan kelas serta guru memberikan kesempatan
kepada kelompok lain untuk menaggappi dan membantu temannya yang
mengalami kesulitan. Kemudian guru menganalisis dan mengevaluasi hasil dari
proses pemecahan masalah yang telah siswa lakukan.
Pelaksanaan pertemuan pertama dilakukan pada tanggal 29 September
2015. Pada pertemuan ini setelah menyampaikan tujuan dari pembelajaran dan
memotivasi siswa untuk aktif kemudian membagikan kelompok. Pada saat
membagi kelompok terjadinya kegaduhan karena beberapa siswa merasa tidak
cocok dengan kelompoknya. Saat pertemuan ini siswa mengalami kesulitan dalam
mengikuti pembelajaran dengan menggunakan model PBL, karena siswa masih
belum terbiasa untuk belajar kelompok. Namun pada pertemuan ini ada satu
kelompok yang sudah dapat mengikuti proses pembelajaraan sehingga mereka
dapat menentukan unsur-unsur dari suatu permasalahan dan dapat membuat model
matematika dari permasalahan tersebut. Sedangkan untuk kelompok yang lain
belum berhasil melakukan memahami suatu permasalahan, karena siswa belum
mampu mengungkapkan ide-ide mereka serta siswa lebih cenderung fakum.
Pertemuan kedua dilaksanakan pada tanggal 2 September 2015. Pada
pertemuan ini siswa membahas penyelesaian SPLDV dengan menggunakan
metode eliminasi. Siswa akan menyelesaiakan suatu permasalahan yang berkaitan
dengan kehidupan sehari-sehari dengan menggunakan metode eliminasi. Sebagai
contoh permasalahan yang diberikan yaitu, diketahui sepuluh tahun yang lalu
umur kakek enam kali umur ayah. Lima tahun yang akan datang jumlah umur
kakek dan ayah sama dengan 93 tahun. Jika umur ayah lebih muda 6 tahun dari
kakek, berapakah umur ayah sekrang?. Dari permasalahan tersebut siswa
memerlukan pemikiran yang kritis untuk menemukan penyelesaian. Saat
melakukan penyelesaian metode eliminasi sebagian siswa sudah paham karena
metode eliminasi sudah pernah mereka pelajari waktu SMP, namun siswa masih
sulit menterjemahkan permasalahan tersebut kedalam bahasa matematika. Pada
umumnya siswa belum mampu memahami masalah dengan baik, mereka
kesulitan menafsirkan informasi apa yang ada dalam masalah dan siswa juga
mengalami kesulitan bagaimana untuk mengeliminasikan suatu variabel
sedangkan koeefisian yang berbeda. Berdasarkan LKS yang diberikan pada siswa,
dari dua masalah yang diberikan siswa hanya menjawab satu dari permasalahan
yang diberikan, bahkan ada satu kelompok yang sama sekali tidak dapat
melakukan pemecahkan masalah tersebut.
9
1) Mahasiswa STKIP-PGRI Lubuklinggau 2)- 3)
Dosen STKIP-PGRI Lubuklinggau
Pada tanggal 5 September dilaksanakan pertemuan ketiga. Materi
pembelajaran yang dilaksanakan yaitu metode penyelesaian SPLDV dengan
menggunakan metode substitusi. Proses pembelajaran yang dilakukan oleh siswa
mengalami peningkatan daripada pertemuan kedua karena sebagian dari
kelompok dapat memahami permasalahan yang telah diberikan dan dapat
membuat model matematika. Siswa sudah bisa bekerja sama dengan
kelompoknya, aktif, dan mandiri dalam menyelesaikan tugas yang diberikan.
Namun masih adanya kebingungan siswa dalam menguraikan suatu persamaan
seperti; 2𝑥 − 3𝑦 = −5, maka diurakan menjadi 𝑥 =−5+3𝑦
2. Siswa masih banyak
bertanya-tanya mengapa pengurainya seperti itu. Pada pertemuan ini siswa sudah
berani memprentasikan hasil kerja mereka meskipun jawaban mereka salah,
bahkan kelompok lainpun sudah dapat mengevaluasi hasil kerja temannya,
sehingga proses belajar-mengajar menjadi aktif.
Pertemuan keempat siswa sudah sangat bersemangat mengikuti
pembelajaran dan menikmati proses pembelajaran dengan menggunakan model
PBL. Pada pertemuan ini siswa hanya mengingat kembali metode menyelesaian
sebelumnya, karena pada pertemuan ini siswa menyelesaikan suatu permasalahan
SPLDV dengan menggunakan metode campuran (eliminasi dan substitusi). Pada
pertemuan ini siswa tidak begitu mengalami kesulitan terhadap masalah yang
diberikan terlihat pada lembar LKS siswa dapat menjawab kedua permasalahan
tersebut sesuai dengan prosedur yang telah diberikan. Kesulitan yang masih sering
terjadi yakni kemampuan memahami masalah saat membuat model matematika
dan siswa malas membuat suatu perencanaan.
Kesulitan yang dialami siswa selalu dibimbing dan dimotivasi agar siswa
untuk belajar mandiri, hal ini sesuai dengan pendapat Bruner (dalam Trianto,
2014:63) bahwa “berusaha sendiri untuk mencari pemecahan masalah serta
pengetahuan yang menyertainya, menghasilkan pengetahuan yang benar-benar
bermakna”. Sehingga dalam proses pembelajaran PBL dapat mendorong siswa
untuk berpikir kritis, membangun kecakapan belajar dan memotivasi diri dalam
melakukan suatu pemecahan masalah yang berkaitan dengan dunia nyata serta
dapat mengembangkan kemapuan yang dimiliki siswa sebelumnya.
Selama penelitian di kelas X SMA Negeri 5 Lubuklinggau terdapat
hambatan atau kesulitan yang ditemukan antara lain berasal dari siswa yaitu siswa
yang seharusnya membahas permasalahan yang telah mereka terima tetapi siswa
memanfaatkan waktunya untuk berbicara diluar materi pelajaran dan kurang ikut
serta dalam menyelesaikan tugas kelompoknya. Tetapi kendala tersebut dapat
diatasi dengan peneliti berkeliling mengawasi pekerjaan mereka dan menegurnya
jika tidak ikut serta dalam diskusi. Karakteristik siswa yang berada di kelas sangat
beragam dengan kemampuan yang berbeda, keberanian siswa dalam
mengemukakan pendapat dan bertanya yang rendah. Hal ini berpengaruh pada
kegiatan siswa. Namun peneliti selalu berusah untuk menegur bahkan
memberikan penguatan kepada siswa agar mereka terlibat aktif.
Selain itu, adapun kesulitan lain selama proses pembelajaran dengan
model PBL yaitu ada sebagian siswa yang tidak memperhatikan penjelasan
peneliti, siswa terkadang ribut dan suasana menjadi ramai serta siswa suka keluar
masuk kelas sehingga alokasi waktu yang digunakan untuk membahas hasil
10
1) Mahasiswa STKIP-PGRI Lubuklinggau 2)- 3)
Dosen STKIP-PGRI Lubuklinggau
diskusi terpotong untuk menenangkan kelas, hal ini dikarenakan siswa
menganggap bahwa peneliti bukan guru mata pelajaran mereka. Namun, peneliti
mampu mengatasi kesulitan tersebut dengan cara membatasi waktu siswa dalam
berdiskusi sehingga tersitanya waktu untuk proses pemecahan masalah. Walaupun
ada hambatan tetapi tidak menyurutkan konsentrasi siswa dalam belajar. Hal ini
dapat dilihat dari hasil analisis dibuktikan bahwa pembelajaran matematika
dengan menggunakan model PBL dapat meningkatkan kemampuan pemecahan
masalah matematika siswa. Dengan demikian, hipotesis penelitian yang diajukan
dalam penelitian ini dapat diterima kebenarannya, maka dapat disimpulkan ada
pengaruh yang signifikan model PBL terhadap kemampuan pemecahan masalah
matematika siswa kelas X SMA Negeri 5 Lubuklinggau.
Terbuktinya hipotesis dalam penelitian ini diperkuat dengan penelitian dari
Kudsiah (2013) yang bertujuan untuk mendeskripsikan pengaruh pembelajaran
berbasis masalah terhadap sikap dan kemampuan pemecahan masalah. Hasil
penelitiannya menyimpulkan bahwa terdapat pengaruh pembelajran berbasis
masalah terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika. Uji hipotesis
menunjukkan bahwa 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 3,80, lebih besar dari pada 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = 2,000 pada
taraf signifikansinya 5%.
2) Tingkat Kemampuan Pemecahan Masalah Siswa
Hasil pre-test pada kelas eksperimen menunjukkan bahwa tingkat
kemampuan pemecahaan masalah matematika awal siswa sebelum diterapkan
model PBL masih rendah, hal ini terlihat pada rata-rata skor kemampuan
pemecahan masalah awal siswa yaitu 11,68 yang berada pada rentang 6-11
dengan kriteria rendah. Namun, setelah diterapkan model PBL berdasarkan hasil
rata-rata skor kemampuan pemecahan masalah akhir siswa diperoleh peningkatan
skor rata-rata yaitu 18,00 yang memiliki kriteria tinggi. Tingkat kemampuan
pemecahan masalah siswa berdasarkan data tes kemampuan pemecahan masalah
akhir siswa (post-test) seperti pada tabel 1.
Tabel 1
Persentase Tingkat Kemampuan Pemecahan Masalah Akhir Siswa
Rentangan
Skor
Kriteria Banyak
Siswa
Persentase
Jumlah Siswa
Skor
Rata-rata
24 – 30 Sangat Tinggi 5 16,2 %
18,00
(Tinggi)
18 – 23 Tinggi 12 38, 7%
12 – 17 Cukup 10 32,2 %
6 – 11 Rendah 4 12,9 %
0 – 5 Sangat Rendah 0 0 %
Jumlah 31 100 %
Setelah memberikan model PBL dalam pembelajaran ini, dapat diketahui
tingkat kemampuan pemecahan masalah matematika siswa khususnya pada materi
sistem persamaan linear dua variabel (SPLDV). Hal ini didasari pada pelaksanaan
tes kemampuan pemecahan masalah yang dilaksanakan di kelas eksperimen. Hasil
lembar jawaban tes kemampuan akhir siswa menunjukkan bahwa secara
11
1) Mahasiswa STKIP-PGRI Lubuklinggau 2)- 3)
Dosen STKIP-PGRI Lubuklinggau
keseluruhan kemampuan pemecahan masalah akhir siswa terdapat 5 siswa dari 31
siswa atau 16,2% yang memiliki kemampuan sangat tinggi, 12 siswa atau 38,7%
yang memiliki kemampuan tinggi, 10 siswa atau 32,2% yang memiliki
kemampuan sedang, 4 siswa atau 12,9% yang memiliki kemampuan rendah, dan 0
siswa memiliki kemampuan sangat rendah. Hasil perhitungan tes kemampuan
pemecahan masalah akhir siswa diperoleh skor rata-rata kemampuan pemecahan
masalah siswa yaitu 18,00, sehingga dapat diketahui tingkat kemampuan
pemecahan masalah berada pada rentangan skor rata-rata 18-23 dengan kriteria
tinggi. Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa tingkat
kemampuan pemecahan masalah matematika siswa setelah diterapkan model PBL
memiliki kriteria tinggi.
E. SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa
ada pengaruh yang signifikan model PBL terhadap kemampuan pemecahan
masalah matematika siswa kelas X SMA Negeri 5 Lubuklinggau dengan
perolehan skor rata-rata sebesar 18,00. Sedangkan untuk tingkat kemampuan
pemecahan masalah matematika siswa kelas X SMA Negeri 5 Lubuklinggau
setelah mengikuti pembelajaran menggunakan model PBL memiliki kriteria tinggi
dengan persentasi siswa 38,7% yang berada pada rentang 18-23.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Mulyono. 2012. Anak Berkesulitan Belajar: Teori, Diagnosis, dan
Remediasinya. Jakarta: Rineka Cipta.
Amir, Taufiq. 2009. Inovasi Pendidikan Melalui Problem Based Learning.
Jakarta: Kencana.
Djaali dan Pudji Mulyono. 2008. Pengukuran dalam Bidang Pendidikan. Jakarta:
Grasindo
Fauziah, Anna. 2010. Peningkatan Kemampuan Pemahaman dan Pemecahan
Masalah Matematika Siswa SMP melalui Strategi REACT (Relation
Expperiencing, Appyin, Cooperating, Transfering). Tesis tidak diterbitkan.
Bandung: UPT
Fauziah, Anna dan Sukasno. 2015. Pengaruh Model Missouri Mathematics
Project (MMP) terhadap Kemampuan Pemahaman dan Pemecahan
36Masalah Matematika Siswa SMA N 1 Lubuklinggau. Jurnal Ilmiah
Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung. Vol. 4, No.1.
Hartatiana dan Darmawijoyo. 2011. Pengembangan Soal Pemecahan Masalah
Berbasis Argumen untuk Siswa Kelas V SD Negeri 79 Palembang. Jurnal
Pendidikan Matematika. Vol. 5, No. 2.
12
1) Mahasiswa STKIP-PGRI Lubuklinggau 2)- 3)
Dosen STKIP-PGRI Lubuklinggau
Hoseana, Jonathan. 2015. Sukses Juara Olimpiade Matematika.Jakarta: Grasindo
Hosnan, M. 2014. Pendekatan Saintifik dan Kontekstual di dalam Pembelajaran
Abad 21. Bogor: Graha Indonesia.
Husna, dkk.. 2013. Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah dan
Komunikasi Matematis Siswa Menengah Pertama Melalu Model
Kooperatif Tipe Think-Pair-Share (TPS). Jurnal Peluang. Vol. 1, No. 2.
Kemendikbud. 2014. Materi Pelatihan Guru: Implementasi Kurikulum 2013
Tahun Pelajaran 2014/2015. Jakarta: Badan Pengembangan Sumber Daya
Manusia dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan.
Kudsiah, Musabihatul, dkk., 2013. Pengaruh Model Pembelajaran Berbasis
Masalah terhadap Sikap dan Kemampuan Pemecahan Masalah
Matematika Siswa Kelas V Gugus 3 Suralaga Tahun Pelajaran 2012/2013.
Jurnal Program Pasca sarjana Universitas Pendidikan Ganesha Program
Studi Pendidikan Dasar. Vol. 3.
Polya, George. 1973. How to Solve It. New Jersey: Princon University Press
Rusman. 2013. Model-Model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme
Guru. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Sani, Ridwan Abdullah. 2014. Pembelajaran Saintifik untuk Impelentasi
Kurikulum 2013. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Sanjaya, Wina. 2011. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses
Pendidikan. Jakarta: Kencana.
Sumiati dan Asra. 2009. Metode Pembelajaran. Bandung: Wacana Prima
Uno, Hamzah. 2007. Model Pembelajaran. Gorontalo: Bumi Aksara