pengaruh obesitas terhadap produktivitas
DESCRIPTION
obesitasTRANSCRIPT
PENGARUH OBESITAS TERHADAP PRODUKTIVITAS KERJA
11FEB PENGARUH OBESITAS TERHADAP PRODUKTIVITAS KERJA
Oleh :
ASRIANTI
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL
KATA PENGANTAR …….…………………………………………………………………………………1
DAFTAR ISI …….…………………………………………………………………………………..2
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………………………………………3
I.1 Latar Belakang ……………………………………………………………………………….3
I.2 Rumusan Masalah ……………………………………………………………………………….5
I.3 Tujuan ……………………………………………………………………………….6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………………………………………7
II. 1 Defenisi Obesitas……………………………………………………………………………….7
II.2 Gejala Klinis ……………………………………………………………………………….7
II.3 Penyebab Obesitas…………………………………………………………………………….8
II.4 Risiko Obesitas ……………………………………………………………………………….9
II.5 Hubungan Aktivitas Fisik Dengan Obesitas.………………………………………………..11
II.6 Obesitas Dan Produktivitas Kerja..…………………………………………………………..12
BAB III PEMBAHASAN …………………………………………………………………….14
III.1 Penyebab Obesitas Pada Pekerja…..………………………………………………………14
III.2 Dampak Obesitas Pada Pekerja…………………………………………………………….15
III.3 Obesitas Dan Kinerja…..……………………………………………………………………..17
III.4 Obesitas Dan Absensi………………………………………………………………………..19
III.5 Pengaruh Obesitas Terhadap Produktivitas Kerja…..……………………………………19
III.6 Pengendalian Obesitas Pada Pekerja………………………………………………………20
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ………………………………………………………..…..21
IV.1 Kesimpulan ………………………………………………………………….……..……21
IV.2 Saran ………………………………………………………………………………………………22
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………………………..23
BAB I PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Obesitas Merupakan kelainan metabolisme yang paling sering diderita manusia. Penyakit ini merupakan salah satu kelainan
metabolisme yang paling lama tercatat dalam sejarah seperti terlihat pada sebuah patung tanah liat yang berasal dari zaman
lebih kurang 22.000 tahun sebelum masehi; patung itu menggambarkan seorang wanita setengah baya yang gemuk.
Obesitas kemudian masih selalu tercatat sepanjang sejarah, sejak zaman mesir dan Yunani purba, bahkan juga sampai
sekarang masih merupakan persoalan, baik dalam hal menjelaskan patogenesisnya, maupun dalam upaya mendapatkan
pengobatan yang berhasil. (Sukaton,U. et.al. 1996)
Obesitas dan kelebihan berat badan yang dimiliki dalam dekade terakhir menjadi masalah global – menurut Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) kembali pada tahun 2005 sekitar 1,6 miliar orang dewasa di atas usia 15 tahun kelebihan berat
badan, setidaknya 400 juta orang dewasa menderita obesitas dan setidaknya 20 juta anak di bawah usia 5 tahun kelebihan
berat badan. Para ahli percaya jika kecenderungan ini terus berlangsung pada tahun 2015 sekitar 2,3 miliar orang dewasa
akan kelebihan berat badan dan lebih dari 700 juta akan obesitas. Skala masalah obesitas memiliki sejumlah konsekuensi
serius bagi individu dan sistem kesehatan pemerintah. (News medical, 2012)
Menurut laporan World Economic Forum tahun 2003-2004, daya saing dalam hal sumber daya manusia Indonesia
menduduki ranking ke-37 pada tahun 1999, turun menjadi ranking ke-44 pada tahun 2000, menurun lagi ke urutan 49 pada
tahun 2001, menurun drastis pada tahun 2002 ke urutan 69 dan pada tahun 2003 mencapai peringkat terendah menjadi 72.
Hal ini menunjukkan bahwa produktivitas kerja di Indonesia menurun drastis terutama bila dibandingkan dengan negara-
negara ASEAN. (Sumbodo DP, 2007)
Produktivitas merupakan akar penentu tingkat daya saing, baik pada tingkat individu, perusahaan, industri, maupun pada
tingkat negara. Peningkatan produktivitas terutama faktor total, baik tingkat makro, sektoral industri, perusahaan, dan
individu sangat menentukan kemampuan daya saing perusahaan pada tingkat dalam negeri, regional, maupun global.
Peningkatan produktivitas pada tingkat individu menempati posisi yang sangat penting.(Sumbodo DP, 2007)
Faktor-faktor diet dan pola aktivitas fisik mempunyai pengaruh yang kuat terhadap keseimbangan energi dan dapat
dikatakan sebagai faktor-faktor utama yang dapat diubah (modifiable factors) yang melalui faktor-faktor tersebut banyak
kekuatan luar yang memicu pertambahan berat badan itu bekerja. Lebih jelasnya, diet tinggi lemak dan tinggi kalori dan
pola hidup kurang gerak (sedentarylifestyles) adalah dua karakteristik yang sangat berkaitan dengan peningkatan prevalensi
obesitas di seluruh dunia . (WHO. 2000)
Seiring dengan meningkatnya taraf kesejahteraan masyarakat, jumlah penderita kegemukan (overweight) dan obesitas
cenderung meningkat. Di Indonesia, masalah kesehatan yang diakibatkan oleh gizi lebih ini mulai muncul pada awal tahun
1990-an. Peningkatan pendapatan masyarakat pada kelompok sosial ekonomi tertentu, terutama di perkotaan,
menyebabkan adanya perubahan pola makan dan pola aktifitas yang mendukung terjadinya peningkatan jumlah penderita
kegemukan dan obesitas. ( Almatsier,S., 2004)
Saat ini terdapat bukti bahwa prevalensi kelebihan berat badan (overweight) dan obesitas meningkat sangat tajam di seluruh
dunia yang mencapai tingkatan yang membahayakan. Kejadian obesitas di negara-negara maju seperti di negara-negara
Eropa, USA, dan Australia telah mencapai tingkatan epidemi.(Flegal et al, 2010) Akan tetapi hal ini tidak hanya terjadi di
negara-negara maju, di beberapa negara berkembang obesitas justru telah menjadi masalah kesehatan yang lebih serius.
Sebagai contoh, 70% dari penduduk dewasa Polynesia di Samoa masuk kategori obes (WHO, 1998). Prevalensi overweight
dan obesitas meningkat sangat tajam di kawasan Asia-Pasifik. Sebagai contoh, 20,5% dari penduduk Korea Selatan
tergolong overweight dan 1,5% tergolong obes. Di Thailand, 16% penduduknya mengalami overweight dan 4% mengalami
obes. Di daerah perkotaan Cina, prevalensi overweight adalah 12,% pada laki-laki dan 14,4% pada perempuan, sedang di
daerah pedesaan prevalensi overweight pada laki-laki dan perempuan masing-masing adalah 5,3% dan 9,8%. (Inoue, 2000)
Data tentang obesitas di Indonesia belum bisa menggambarkan prevalensi obesitas seluruh penduduk, akan tetapi data
obesitas pada orang dewasa yang tinggal di ibukota propinsi seluruh Indonesia cukup untuk menjadi perhatian kita. Survei
nasional yang dilakukan pada tahun 1996/1997 di ibukota seluruh propinsi Indonesia menunjukkan bahwa 8,1% penduduk
laki-laki dewasa (>=18 tahun) mengalami overweight (BMI 25-27) dan 6,8% mengalami obesitas, 10,5% penduduk wanita
dewasa mengalami overweight dan 13,5% mengalami obesitas. Pada kelompok umur 40-49 tahun overweight maupun
obesitas mencapai puncaknya yaitu masing-masing 24,4% dan 23% pada laki-laki dan 30,4% dan 43% pada wanita. (Depkes
RI, 2004)
Kegemukan (obesity) dapat menjadi masalah kesehatan masyarakat yang serius di dunia, yang makin meningkat di negara
berkembang. Review yang dilakukan Low, Chin & Deurenberg-Yap (2009) memperlihatkan bahwa kisaran prevalensi
kegemukan di negara-negara maju dan negara-negara berkembang relatif sama. Di negara-negara maju, prevalensi
kegemukan berkisar dari prevalensi terendah (2.4%) di Korea Selatan hingga prevalensi tertinggi (32.2%) di AS, sedangkan
prevalensi kegemukan di negara-negara berkembang berkisar dari prevalensi terendah (2.4%) di Indonesia sampai
prevalensi tertinggi (35.6%) di Saudi Arabia. Namun, bila dilihat menurut kelompok umur, prevalensi kegemukan tertinggi
di negara-negara berkembang terdapat pada kelompok umur yang lebih muda (40-50 tahun) dibandingkan dengan negara-
negara maju (50-60 tahun). Hal ini dapat menjadi masalah kesehatan masyarakat yang serius di negara-negara
berkembang, yang berpendapatan rata-rata menengah dan rendah. (Low, Chin & Deurenberg-Yap 2009).
Obesitas dapat memberikan risiko psikososial dan risiko medis. Di Amerika, orang gemuk lebih sukar mencari pekerjaan.
Hampir semua perusahaan besar di sana mempunyai persyaratan tentang berat badan yang maksimal. Bahkan sesudah
diterima, besarnya gaji dan kenaikan pangkat dapat dipengaruhi oleh berat badan. Gadis yang gemuk lebih sukar
mendapatkan tempat di perguruan tinggi daripada yang berat badannya normal. (Sukaton,U. et.al. 1996)
Obesitas meningkatkan risiko kematian untuk semua penyebab kematian. Orang yang mempunyai berat badan 40% lebih
berat dari berat badan rata-rata populasi mempunyai risiko kematian 2 kali lebih besar dibandingkan orang dengan berat
badan rata-rata (Lew & Garfinkel, 1979). Kenaikan mortalitas diantara penderita obes merupakan akibat dari beberapa
penyakit yang mengancam kehidupan seperti diabetes tipe 2, penyakit jantung, penyakit kandung kemih, kanker
gastrointestinal dan kanker yang sensitif terhadap perubahan hormon. Orang obes juga mempunyai risiko yang lebih besar
untuk menderita beberapa masalah kesehatan seperti back pain, arthritis, infertilitas, dan fungsi psychososial yang
menurun. (WHO, 2000)
Kegemukan dapat menimbulkan berbagai konsekuensi kesehatan, sosial, dan ekonomi. Review yang dilakukan Swinburn et
al (2004) menunjukkan, kejadian kegemukan berhubungan dengan peningkatan risiko diabetes tipe-2, tekanan darah dan
risiko hipertensi, kadar kolesterol-total dan kolesterol-LDL, risiko penyakit jantung koroner dan stroke, risiko penyakit
kantung empedu dan insidens gejala klinis batu empedu, risiko kanker tertentu, dan risiko gout. Dari segi sosial, kegemukan
akan berdampak terhadap perasaan rendah diri, kelambanan bergerak, kurang fashionable, dan malu bergaul. Adapun dari
segi ekonomi, kegemukan berisiko mengurangi produktivitas kerja, hari produktif, usia produktif, dan meningkatkan
pengeluaran kesehatan. (Anonim 2011)
I.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada makalah ini adalah Apa yang dimaksud dengan obesitas, faktor risiko, faktor penyebab
obesitas, bagaimana pengaruh obesitas terhadap produktivitas kerja dan bagaimana cara mengendalikan obesitas.
I.3 Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui obesitas, faktor risiko, faktor penyebab obesitas, pengaruh obesitas
terhadap produktivitas kerja, dan cara mengendalikan obesitas pada pekerja.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Definisi Obesitas
Menurut Kamus Kedokteran Dorland, Obesity adalah peningkatan berat badan melebihi batas kebutuhan rangka dan fisik,
sebagai akibat akumulasi lemak berlebihan dalam tubuh.(Dorland,WA, 2002)
Kelebihan berat badan adalah suatu kondisi dimana perbandingan berat badan dan tinggi badan melebihi standar yang
ditentukan. Sedangkan obesitas adalah kondisi kelebihan lemak, baik di seluruh tubuh atau terlokalisasi pada bagian-bagian
tertentu. Obesitas merupakan peningkatan total lemak tubuh, yaitu apabila ditemukan kelebihan berat badan >20% pada
pria dan >25% pada wanita karena lemak. (Ganong W.F, 2003)
Obesitas adalah penimbunan jaringan lemak secara berlebihan akibat ketidakseimbangan antara asupan energi (energy
intake) dengan pemakaian energi (energy expenditure). (Hidajat,B. Hidayati,SN. Irawan,R. 2011) Menurut Garrow (1988),
Obesitas adalah suatu akumulasi lemak dalam jaringan adiposa yang abnormal/berlebihan hingga mencapai suatu taraf
yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan. Sedangkan menurut Dariyo (2004), yang dimaksud dengan obesitas adalah
kelebihan berat badan dari ukuran normal tubuh yang sebenarnya.
Kegemukan atau obesitas merupakan kondisi ketidaknormalan atau kelebihan akumulasi lemak dalam jaringan adiposa.
Berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT), obesitas dibagi menjadi tiga kategori, yakni: Obesitas I, Obesitas II dan Obesitas
III. Adapun berdasarkan distribusi lemak, obesitas dibagi menjadi dua kategori, yaitu: obesitas sentral dan obesitas umum.
Untuk penduduk barat, seseorang dikatakan obesitas apabila IMT-nya _30 kg/m2 atau lingkar perut _102 cm pada pria dan
_ 88 cm pada wanita, sedangkan untuk penduduk Asia, IMTnya >25 kg/m2 atau lingkar perut _90 cm pada pria dan _80
cm pada wanita. (WHO 2000)
II. 2 Gejala Klinis
Berdasarkan distribusi jaringan lemak, dibedakan menjadi :
Apple shape body (distribusi jaringan lemak lebih banyak dibagian dada dan pinggang)
Pear shape body/gynecoid (distribusi jaringan lemak lebih banyak dibagian pinggul dan paha) (Hidajat,B. Hidayati,SN.
Irawan,R. 2011)
Secara klinis obesitas mudah dikenali dengan adanya tanda dan gejala khas, antara lain:
Wajah membulat
Pipi tembem
Dagu rangkap
Relatif pendek
Dada yang menggembung dengan payudara membesar mengandung jaringan lemak
Perut buncit dan dinding perut berlipat-lipat
genu valgum (tungkai berbentuk X) dengan kedua pangkal paha bagian dalam saling menempel dan bergesekan yang
dapat menyebabkan laserasi kulit.(Crawford et al, 2005)
II. 3 Penyebab Obesitas
Faktor-faktor penyebab obesitas masih terus diteliti. Baik faktor lingkungan maupun genetik berperan dalam terjadinya
obesitas. Faktor lingkungan antara lain pengaruh psikologi dan budaya. Dahulu status sosial dan ekonomi juga dikaitkan
dengan obesitas. Individu yang berasal dari keluarga sosial ekonomi rendah biasanya mengalami malnutrisi. Sebaliknya,
individu dari keluarga dengan status sosial ekonomi lebih tinggi biasanya menderita obesitas. Kini diketahui bahwa sejak
tiga dekade terakhir, hubungan antara status sosial ekonomi dengan obesitas melemah karena prevalensi obesitas
meningkat secara dramatis pada setiap kelompok status sosial ekonomi. Meningkatnya obesitas tak lepas dari berubahnya
gaya hidup, seperti menurunnya aktivitas fisik, dan kebiasaan menonton televisi berjam-jam. Faktor genetik menentukan
mekanisme pengaturan berat badan normal melalui pengaruh hormon dan neural. Selain itu, faktor genetik juga
menentukan banyak dan ukuran sel adiposa serta distribusi regional lemak tubuh. (Zhang, 2004).
Obesitas berhubungan erat dengan distribusi lemak tubuh. Tipe obesitas menurut pola distribusi lemak tubuh dapat
dibedakan menjadi obesitas tubuh bagian atas (upper body obesity) dan obesitas tubuh bagian bawah (lower body obesity).
Obesitas tubuh bagian atas merupakan dominansi penimbunan lemak tubuh di trunkal . Terdapat beberapa kompartemen
jaringan lemak pada trunkal, yaitu trunkal subkutaneus yang merupakan kompartemen paling umum, intraperitoneal
(abdominal), dan retroperitoneal. Obesitas tubuh bagian atas lebih banyak didapatkan pada pria, oleh karena itu tipe
obesitas ini lebih dikenal sebagai ―android obesity‖. Tipe obesitas ini berhubungan lebih kuat dengan diabetes, hipertensi,
dan penyakit kardiovaskuler daripada obesitas tubuh bagian bawah. Obesitas tubuh bagian bawah merupakan suatu
keadaan tingginya akumulasi lemak tubuh pada regio gluteofemoral. Tipe obesitas ini lebih banyak terjadi pada wanita
sehingga sering disebut ―gynoid obesity‖. Tipe obesitas ini berhubungan erat dengan gangguan menstruasi pada wanita.
(Anonim., 2007).
Masukan makanan, keluaran energi, dan keturunan merupakan tiga faktor yang dianggap mengatur perlemakan tubuh
dalam proses terjadinya kegemukan. Menurut Soetrisno (1996), dua faktor pertama, yaitu masukan makanan dan keluaran
energi, dianggap sebagai penyebab langsung, sedangkan keturunan sebagai penyebab tidak langsung. Penimbunan lemak
tersebut terjadi karena adanya ketidakseimbangan antara jumlah energi yang dikonsumsi dengan yang digunakan.
Ketidakseimbangan antara asupan dan keluaran energi mengakibatkan pertambahan berat badan. Obesitas yang muncul
pada usia remaja cenderung berlanjut hingga ke dewasa dan lansia. Sementara obesitas itu merupakan salah satu faktor
risiko penyakit degenaratif, seperti penyakit kardiovaskular, diabetes mellitus, arthritis, penyakit kantong empedu, beberapa
jenis kanker, gangguan fungsi pernapasan, dan berbagai gangguan kulit.(Arisman,MB.,2009)
II.4 Risiko Obesitas
Risiko Obesitas yang sudah banyak disadari oleh masyarakat adalah risiko psikosial, sedang risiko medis masih kurang
diyakini. (Sukaton,U. et.al. 1996)
Risiko Psikososial
Obesitas memberikan hambatan-hambatan fisis, sosial dan psikologis. Orang gemuk mempunyai banyak kesulitan dalam
melakukan aktivitas fisis, sehingga mengurangi kesempatan untuk mengikuti berbagai kegiatan sosial. Pengeluaran biaya
sehari-hari untuk pakaian dan makanan juga lebih banyak pada orang gemuk.
Risiko Medis
Orang gemuk cenderung sering sakit, semakin gemuk semakin sering sakit. Untuk lebih mudah mengerti secara keseluruhan
adanya hubungan antara risiko dan obesitas, perlu diketahui kelainan metabolik yang mungkin timbul pada obesitas.
Kelainan metabolik yang terjadi pada obesitas tampaknya berhubungan dengan besarnya lapisan lemak, dan semua
gangguan metabolic yang berhasil diperiksa dapat diterangkan dengan penambahan lapisan lemak tersebut. dan yang akan
menjadi normal kembali dengan pengurangan berat badan. Kelainan metabolic tersebut umumnya berupa: Resistensi
terhadap insulin, Hiperglikemia, Regulasi growth hormone yang abnormal, Aktivitas lipoprotein lipase yang meningkat pada
sel lemak yang hipertropik, hipertrigliseridemia, dan Peningkatan kadar kolesterol darah. (Sukaton,U. et.al. 1996)
Banyak penyelidikan epidemiologis yang menunjukkan adanya hubungan antara berat badan dan angka kematian, serta
angka kesakitan dari berbagai penyakit tertentu. (Sukaton,U. et.al. 1996)
Terdapat saling keterkaitan antara obesitas dengan risiko peningkatan PJK, hipertensi, angina, stroke, diabetes dan
merupakan beban penting pada kesehatan jantung dan pembuluh darah. Data dari Framingham menunjukkan bahwa
apabila setiap individu mempunyai berat badan optimal, akan terjadi penurunan insiden PJK sebanyak 25 % dan
stroke/cerebro vascular accident (CVA) sebanyak 3,5 %.(Wannamethee, SG. Shaper,AG. Walker,M, 2005)
Banyak orang beranggapan bahwa kegemukan dapat mengurangi kemolekan tubuh, kegemukan juga bisa mengurangi
kegesitan gerak badan dan kerap lebih mudah menimbulkan kelelahan. Selain itu kelebihan berat badan menimbulkan
beragam gangguan kesehatan.
Soegih (1988) merangkum hubungan kesehatan individu dengan kegemukan, yang ringkasnya sebagai berikut :
1. Umur rata-rata seseorang
Penelitian yang dilakukan oleh Metropolitan life Insurance terhadap 50.000 orang menunjukkan bahwa angka kematian
pria gemuk 79% lebih tinggi dari pada pria yang mempunyai berat badan normal, sedangkan untuk wanita gemuk 61% lebih
tinggi daripada wanita yang mempunyai berat badan normal.
2. Penyakit gula (diabetes mellitus)
Dalam penelitian di Jakarta pada tahun 1982 ditemukan diabetes mellitus lebih banyak terdapat pada orang-orang yang
gemuk dibandingkan dengan orang-orang yang tidak gemuk. Pada penelitian ini ditemukan 6,7% orang-orang gemuk
tersebut menderita diabetes mellitus, sedangkan pada orang-orang yang tidak gemuk hanya 0,95%.
3. Penyakit tekanan darah tinggi (hipertensi)
Penelitian terhadap 74.000 karyawan di Amerika menunjukkan bahwa jelas terdapat hubungan antara bertambah beratnya
badan dengan tekanan darah tinggi. Penurunan berat badan 2 kg akan menurunkan tekanan darah sistolik 2,5 mm Hg dan
tekanan diastolic 1,5 mm Hg. Penyebab kenaikan tekanan darah ini tidak diketahui dengan pasti, tetapi beberapa ahli
mengatakan bahwa pada orang gemuk terdapat peningkatan jumlah darah yang beredar sehingga tekanan darah meningkat.
4. Penyakit jantung
Sebuah penelitian membuktikan bahwa orang dengan kelebihan berat badan lebih mudah terkena penyakit jantung
dibandingkan dengan yang berat badan normal. Jenis penyakit jantung yang sering terjadi yaitu aterosklerosis
(penyempitan pembuluh darah). Pada orang gemuk kerja jantung akan lebih besar dan akan dapat menyebabkan
pembesaran jantung dan jadi lemah, keadaan yang akan normal kembali apabila berat badan turun.
5. Penyakit-penyakit lain
Masih banyak penyakit akibat kegemukan, seperti pada wanita kelainan haid dan kemandulan, keputihan, penyakit kulit di
lipatan paha dan payudara, keracunan kehamilan, pada pria gangguan pernapasan, rematik, varices, hernia, dan sering
terjadi juga penyakit batu empedu.
II.5 Hubungan Aktivitas Fisik Dengan Obesitas
Penelitian yang dilakukan oleh sudikno dkk, tentang hubungan aktivitas fisik dengan kejadian obesitas pada orang dewasa
di Indonesia menyatakan bahwa peningkatan status sosial ekonomi dan perubahan gaya hidup, termasuk perubahan dalam
kebiasaan makan dan penurunan kegiatan fisik menyebabkan peningkatan prevalensi kelebihan berat badan dan obesitas.
Penelitian tersebut bertujuan untuk mempelajari hubungan antara aktivitas fisik dan obesitas dewasa di Indonesia.
Penelitian ini menggunakan RISKESDAS (Riset Kesehatan Dasar) 2007 data dengan desain cross-sectional. Populasi adalah
anggota rumah tangga semua berusia ≥18 tahun, sedangkan sampel anggota rumah tangga semua berusia ≥18, sehat
jasmani dan rohani, tidak hamil, dan BMI setidaknya 18,5 kg/m2. Aktivitas fisik dinilai dengan pertanyaan tentang jenis nya
(kuat dan moderat) dan durasinya per minggu. Regresi logistik digunakan untuk mempelajari hubungan antara aktivitas
fisik dan obesitas dewasa. Hasilnya menunjukkan bahwa prevalensi obesitas (IMT> 27kg/m2) pada orang dewasa adalah
12,47% (CI 95%: 12,28-12,66). Hasilnya menunjukkan ada hubungan antara aktivitas fisik dan obesitas dewasa, variabel
perancu (wilayah, usia, jenis kelamin, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, dan kebiasaan merokok) dikontrol. Orang
yang memiliki tingkat aktivitas fisik yang rendah memiliki risiko obesitas lebih dibandingkan dengan mereka yang memiliki
tingkat aktivitas fisik yang tinggi. Telah direkomendasikan bahwa untuk mengurangi risiko obesitas, disarankan untuk
memiliki aktivitas fisik yang cukup seperti berjalan, jogging, lari, dan bersepeda. Terkait dengan hal ini Departemen
Kesehatan perlu juga untuk mengembangkan pedoman aktivitas fisik yang cukup. (Sudikno et al, 2011)
Beberapa data cross-sectional menunjukkan adanya hubungan negatif antara BMI dan aktivitas fisik (Rising et al., 1994;
Schulz & Schoeler, 1994), yang menunjukkan bahwa orang obes atau gemuk mempunyai aktivitas kurang dibandingkan
orang-orang yang ramping. Akan tetapi hubungan tersebut tidak bisa menggambarkan adanya hubungan sebab-akibat dan
sulit untuk menentukan apakah orang obes mempunyai aktivitas fisik kurang oleh karena obesitasnya atau aktivitas fisik
yang kurang menjadikan mereka obes. Namun demikian, beberapa hasil studi dengan rancangan penelitian lain
menunjukkan bahwa rendahnya dan menurunnya aktivitas fisik merupakan faktor yang paling bertanggungjawab terjadinya
obesitas. Sebagai contoh, obesitas tidak terjadi pada para atlit yang aktif sedangkan para atlit yang berhenti melakukan
latihan olah raga lebih sering mengalami kenaikan berat badan dan kegemukan (Williamso, 1996; Rissanen et al, 1991).
Lebih lanjut, kecenderungan sekuler (Secular trend) dalam kenaikan prevalensi obesitas paralel dengan penurunan aktivitas
fisik dan peningkatan perilaku hidup kurang gerak yang selanjutnya disebut SEDENTARIAN (sedentary). Salah satu contoh
studi yang paling baik yang menyokong hipothesis ini ialah yang dikemukakan oleh Prentice & Jebb (Prentice & Jebb, 1995).
Menggunakan taksiran kasar tentang ketidak-aktifan seperti jumlah waktu yang digunakan untuk menonton televisi atau
jumlah mobil per-keluarga, penelitian ini menunjukkan bahwa penurunan aktivitas fisik dan atau peningkatan perilaku
hidup sedentarian mempunyai peranan penting dalam peningkatan berat badan dan terjadinya obesitas. Studi prospektif
lain menunjukkan bahwa jumlah waktu yang digunakan untuk menonton televeisi oleh anak-anak merupakan prediktor
tinggi rendahnya BMI beberapa tahun kemudian (Dietz & Gortmarker, 1985), dan tingkat aktivitas fisik yang rendah pada
orang dewasa dapat dijadikan sebagai prediktor penting penambahan berat badan yang substansial (>5 kg) dalam 5 tahun
kedepan. (Rissanen et al., 1991)
.
II.6 Obesitas Dan Produktivitas Kerja
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2002, pekerja Indonesia di bidang industri pengolahan mencapai
7.941.301orang yang terdiri dari 63,63% pekerja laki-laki dan 36,37% pekerja perempuan sedangkan pada tahun 2006
pekerja laki-laki yang bekerja di industri pengolahan mencapai 44,03% dan pekerja perempuan mencapai 55,97%. Tingkat
Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) pada perempuan juga mengalami peningkatan, yaitu dari 49,23% pada tahun 2004
menjadi 50,65% pada tahun 2005. Peningkatan jumlah pekerja ini berakibat positif pada pertambahan tenaga produktif.
Namun, status kesehatan dan gizi pekerja pada umumnya belum mendapat perhatian yang berakibat pada penurunan
produktivitas kerja dan biaya produksi menjadi tidak efisien. (Kusriyana,R,2010)
Kalangan pekerja, sama halnya dengan masyarakat umum, tidaklah kebal terhadap berbagai gangguan kesehatan, dan
bahkan akibatnya akan lebih jauh berdampak kepada dirinya sendiri maupun perusahaan tempatnya bekerja. Berbagai
literatur telah menjelaskan dengan gamblang bahwa obesitas berhubungan erat dengan produktivitas kerja di mana pekerja
dengan obesitas cenderung memiliki angka absensi yang lebih tinggi dan produktivitas kerja yang lebih rendah. Untuk
kondisi yang lebih berat, tanpa perlu kita hitung secara matematis, sangatlah mudah bagi kita untuk menduga besarnya
dampak yang timbul bila gangguan seperti penyakit jantung koroner ataupun stroke tersebut dialami oleh pekerja. Mulai
dari biaya pengobatan, kehilangan penghasilan sampai kemungkinan ketidakmampuan untuk bekerja kembali merupakan
hal yang sangat mengkhawatirkan. Perusahaan juga akan mengalami kerugian besar bahwa mereka akan kehilangan
seorang tenaga produktif.(Prodia Occupational Health Institute,2011)
Kegemukan dan masalah obesitas yang terkait dengan kesehatan mereka, memiliki dampak ekonomi yang signifikan
terhadap sistem kesehatan dan biaya medis yang terkait dengan kelebihan berat badan dan obesitas memiliki biaya baik
langsung dan tidak langsung – biaya medis langsung mungkin termasuk layanan pencegahan, diagnostik, dan pengobatan
berhubungan dengan obesitas, sementara biaya tidak langsung berhubungan dengan hilangnya pendapatan dari
produktivitas menurun, aktivitas terbatas, ketidakhadiran, hari cuti dan pendapatan hilang oleh kematian dini. (News
medical, 2012)
BAB III PEMBAHASAN
III.1 Penyebab Obesitas Pada Pekerja
Para pekerja intelektual yang banyak berpikir dan kurang aktivitas fisik, adalah sekelompok orang yang berisiko mengalami
kelebihan berat badan akibat kompensasi kalori yang dibutuhkan tubuh. Sebagai pekerja yang dituntut untuk banyak
berpikir, sebaiknya berhati-hati dengan kebiasaan makan. Pasalnya, kegiatan berpikir dapat memacu selera makan. Belum
lama ini, para peneliti mengungkap, tekanan atau stress saat berpikir dapat menyebabkan kebiasaan makan berlebih karena
para pemikir cenderung mencari lebih banyak kalori.
Pekerjaan yang banyak berpikir lebih berpotensi terkena obesitas karena tidak membutuhkan mobilitas tubuh untuk
bergerak. Namun selain itu juga banyak faktor yang mempengaruhi kejadian obesitas pada pekerja :
a. Stress akibat pekerjaan
Pekerjaan dengan banyak berpikir akan sangat berpotensi menimbulkan stress berat yang menimbulkan meningkatnya
nafsu makan sehingga pola makan tidak terkontrol dan terkendali akhirnya menjadi obes.
b. Aktivitas yang sedikit
Pekerjaan dengan banyak berfikir tentunya akan mengurangi aktivitas fisik di dalam pekerjaan dan kalori dalam tubuh tidak
akan terbakar dan akhirnya tertimbun sebagai lemak.
c. Pola makan abnormal
Ada dua pola makan abnormal yang bisa menjadi penyebab obesitas yaitu makan dalam jumlah sangat banyak (binge) dan
makan di malam hari (sindroma makan pada malam hari). Kedua pola makan ini biasanya dipicu oleh stres dan
kekecewaan. Binge mirip dengan bulimia nervosa, dimana seseorang makan dalam jumlah sangat banyak, bedanya pada
binge hal ini tidak diikuti dengan memuntahkan kembali apa yang telah dimakan. Sebagai akibatnya kalori yang dikonsumsi
sangat banyak. Pada sindroma makan pada malam hari, adalah berkurangnya nafsu makan di pagi hari dan diikuti dengan
makan yang berlebihan, agitasi dan insomnia pada malam hari.
d. Jenis makanan yang di konsumsi
Makanan yang disediakan diperusahaan yang tidak memperhatikan aspek makanan sehat sehingga makanan tersebut
banyak mengandung kolesterol yang akan menyebabkan obesitas pada pekerja.
Obesitas di tempat kerja merupakan fenomena yang berkembang, dengan dampak baik bagi pekerja dan majikan mereka.
Studi internasional telah menemukan bahwa kombinasi dari pekerjaan, makanan, dan kebiasaan yang buruk sering
menyebabkan obesitas, yang dapat menempatkan hati pada risiko dan membuka jalan bagi timbulnya penyakit lain.
Obesitas merupakan faktor risiko untuk diabetes tipe 2, penyakit kardiovaskular,penyakit kandung empedu, dan beberapa
kanker (Brunner dkk. 2007). Selain itu, pekerja obesitas memiliki substansial prevalensi lebih tinggi metabolisme,
peredaran darah, muskuloskeletal, dan gangguan pernapasan (Thomson Kesehatan 2007). Obesitas di tempat kerja dapat
memiliki biaya ekonomi juga: Karyawan obesitas di Australia memiliki lebih sering dan lebih panjang absen bekerja
(Australian Institute untuk Kesehatan dan Kesejahteraan 2005), dan di Amerika Serikat, obesitas dikaitkan dengan
kehilangan 39 juta hari kerja, 239 juta Pembatasan aktivitas hari, 90 juta hari tempat tidur dan 63 juta kunjungan dokter
pada tahun 1994. (Chenoweth ,2005).
Meskipun banyak penelitian telah memandang obesitas sebagai masalah kesehatan, sedikit yang diketahui tentang obesitas
di kalangan pekerja Kanada dan implikasi ekonomi. Menggunakan Survei Kesehatan Masyarakat Kanada (CCHS) dan Survei
Kesehatan Penduduk Nasional (NPHS), penelitian ini meneliti tren obesitas di antara pekerja dan melihat sosiodemografi
dan angkatan kerja berkorelasi dengan obesitas. Model-model multivariat membantu menyelidiki beberapa efek dengan
mengendalikan faktor-faktor kondisi kesehatan dan perilaku. Prevalensi indikator stres kerja juga diperiksa untuk
menjelaskan hubungan antara obesitas dan stress di tempat kerja . Akhirnya, hasil penelitian ini terdapat hubungan antara
obesitas dan kinerja pekerjaan seperti terbatasnya aktivitas kerja, hari cuti, cedera kerja dan absen.(Cawley,J.,2007)
III.2 Dampak Obesitas Pada Pekerja
Berlebihnya berat badan atau obesitas bukan saja membuat penampilan menjadi tidak sedap dipandang, tetapi menimbun
penyakit. Ada banyak penyakit yang bisa ditimbulkan karenanya seperti stroke, jantung koroner, diabetes mellitus,
hipertensi, dan gangguan kolesterol. Kita bisa membayangkan bagaimana seandainya dalam satu perusahaan, banyak
karyawannya yang mengalami obesitas. Kegemukan atau obesitas sekarang lebih cenderung dianggap sebagai penyakit dan
bukan merupakan gejala. Karena itu, tentu saja perusahaan yang menampung karyawan dengan berat badan berlebih pasti
akan berhadapan dengan satu masalah, biaya yang bakal berlebih akibat kegemukan yang dialami para karyawannya.
Obesitas bukan merupakan penyakit tapi dapat berdampak buruk bagi kesehatan para pekerja. Penimbunan lemak yang
berlebihan dibawah diafragma dan di dalam dinding dada bisa menekan paru-paru, sehingga timbul gangguan pernafasan
dan sesak nafas, meskipun penderita hanya melakukan aktivitas yang ringan. Gangguan pernafasan bisa terjadi pada saat
tidur dan menyebabkan terhentinya pernafasan untuk sementara waktu (tidur apneu), sehingga pada siang hari penderita
sering merasa ngantuk. (Arena et al, 2006)
Obesitas bisa menyebabkan berbagai masalah ortopedik, termasuk nyeri punggung bawah dan memperburuk osteoartritis
(terutama di daerah pinggul, lutut dan pergelangan kaki). Sering ditemukan kelainan kulit. Seseorang yang obesitas
memiliki permukaan tubuh yang relatif lebih sempit dibandingkan dengan berat badannya, sehingga panas tubuh tidak
dapat dibuang secara efisien dan mengeluarkan keringat yang lebih banyak. Sering ditemukan edema (pembengkakan akibat
penimbunan sejumlah cairan) di daerah tungkai dan pergelangan kaki.
Obesitas bukan hanya tidak enak dipandang mata tetapi merupakan dilema kesehatan yang mengerikan. Obesitas secara
langsung berbahaya bagi kesehatan seorang pekerja. Obesitas meningkatkan resiko terjadinya sejumlah penyakit menahun
seperti:
- Diabetes tipe 2 (timbul pada masa dewasa)
- Tekanan darah tinggi (hipertensi)
- Stroke
- Serangan jantung (infark miokardium)
- Gagal jantung
- Kanker (jenis kanker tertentu, misalnya kanker prostat dan kanker usus besar)
- Batu kandung empedu dan batu kandung kemih
- Gout dan artritis gout
- Osteoartritis
- Tidur apneu (kegagalan untuk bernafas secara normal ketika sedang tidur,
menyebabkan berkurangnya kadar oksigen dalam darah)
- Sindroma Pickwickian (obesitas disertai wajah kemerahan, underventilasi dan
ngantuk).. (Pronk,NP.,2004, Rodbark et al, 2009)
Hilangnya produktivitas karena biaya obesitas sebanyak pengeluaran medis untuk kondisi tersebut, menurut sebuah studi
baru yang pasak biaya obesitas di kalangan pekerja penuh waktu di Amerika Serikat pada $ 73,1 milyar per tahun. Biaya
tersembunyi obesitas, kata para peneliti, berasal dari kenyataan bahwa orang gemuk cenderung kurang produktif
dibandingkan dengan orang dengan berat badan normal. Sementara di tempat kerja – hanya akuntansi untuk hari sakit
tambahan yang mereka ambil melewatkan bagian besar dari gambaran sebenarnya. Studi yang dipublikasikan dalam
Journal of Occupational and Environmental Medicine, memperhitungkan biaya medis, hari sakit dan kesehatan yang
berhubungan dengan produktivitas dan biaya yang terkait dengan obesitas. Temuan para peneliti menunjukkan pengusaha
bisa menghemat uang dengan berinvestasi dalam program peningkatan kesehatan bagi karyawan mereka.( Arterburn et al,
2005. Goetzel et al, 2010.)
Menurut Dr. Samuel Oetoro, M.S. SpGK, karyawan obesitas lebih sering mempunyai masalah khususnya bidang kesehatan
dibanding karyawan dengan berat badan normal. Karena kesehatannya bermasalah, otomatis tingkat absensi meningkat
sehingga poduktivitas menurun. Selain masalah absensi, perusahaan juga bakal mengeluarkan biaya tambahan karena
berkewajiban memberikan biaya kesehatan. Karenanya, perlu dicari cara untuk mengatasi masalah ini. World Health
Organization (WHO) merekomendasikan cara tepat untuk menurunkan berat badan dengan tiga cara yaitu menerapkan diet
dan pola hidup sehat, olahraga, perubahan perilaku, dan pengobatan.(Wahyuningsih, M.,2010)
Hasil Penelitian di Belanda mengatakan bahwa berat badan tampaknya menjadi faktor utama yang menurunkan
produktivitas seseorang. Mereka yang tergolong obesitas ternyata 83% nya memiliki minimal sebuah penyakit,
dibandingkan dengan pekerja dengan berat badan lebih (Overweight) yang hanya 75% dan pekerja normal yang hanya 69%.
Pekerja Obesitas cenderung mengaku sakit atau membutuhkan istirahat selama 10-24 hari lebih banyak dibanding pekerja
dengan berat badan normal. Separuh dari mereka bahkan membutuhkan lebih dari 25 hari. (Lubis,A, 2011)
Selain berbahaya bagi kesehatan tubuh, obesitas atau kegemukan juga membuat orang lebih sulit untuk melakukan
pekerjaan. Menurut studi terbaru, pekerja yang gemuk akan menghabiskan lebih banyak waktu untuk sakit ketimbang
rekan-rekannya yang lebih ramping. Hal ini membuatnya menjadi kurang produktif. Peneliti di Belanda mempelajari hal ini
dengan menganalisa 10.674 pekerja di 49 perusahaan yang bergerak di berbagai bidang, seperti administrasi, industri
manufaktur dan konstruksi. Hasilnya, dibandingkan dengan rekan kerja yang memiliki berat badan normal, pekerja obesitas
dalam penelitian ini 66 persen lebih banyak izin karena mengalami sakit dan masalah kesehatan, yaitu rata-rata selama 10
hingga 24 hari kerja. Saat sedang bekerja pun pekerja obesitas 30 persen kurang poduktif ketimbang pekerja dengan berat
badan normal. Dari hasil studi tersebut, 83 persen dari pekerja obesitas dalam penelitian, dilaporkan memiliki setidaknya
satu penyakit kronis, termasuk penyakit jantung, diabetes, depresi, serta nyeri sendi dan otot. (Wahyuningsih,M. 2010)
III.3 Obesitas Dan Kinerja
Obesitas dan kinerja pekerjaan yang jelas berkorelasi dalam data. Para CCHS (Community Canadian Health Service)
bertanya: ―Minggu lalu, apakah Anda memiliki pekerjaan atau bisnis sehingga Anda tidak hadir ?‖. Untuk penelitian ini,
mereka absen dari bekerja dan mereka menunjukkan sendiri penyakit atau cedera sebagai alasan utama untuk tidak
dianggap absen karena masalah kesehatan. Para pekerja pria muda obesitas (18 sampai 34 tahun) kemungkinan untuk
absen bekerja hampir empat kali lebih tinggi daripada mereka dengan berat badan normal, setelah faktor sosial ekonomi
dan kesehatan yang berhubungan dikendalikan. Bagaimanapun, efek obesitas di mana tidak ada penyakit yang tidak
ditemukan di antara pria dan wanita yang lebih tua. HaI ini mungkin karena banyak orang gemuk yang lebih tua sudah
keluar dari pasar tenaga kerja dan hanya mereka yang lebih sehat cenderung untuk terus bekerja. Penelitian telah
menunjukkan bahwa obesitas, terutama bagi perempuan, mungkin memiliki dampak negatif terhadap pekerjaan lebih
sering melalui presenteeism (yaitu, mengurangi produktivitas pada pekerjaan) daripada ketidakhadiran. (Gates dkk. 2008)
Memang, wanita obesitas usia 35 sampai 64 tahun lebih cenderung kurang produktif dibandingkan dengan berat badan
normal karena problem kesehatan jangka panjang. Seperti halnya kegiatan, dibandingkan dengan berat badan normal
rekan-rekan mereka, pria obesitas usia 55-64 tahun memiliki risiko lebih tinggi mengurangi aktivitas bekerja mereka karena
masalah kesehatan jangka panjang. Mirip dengan temuan berkurangnya aktivitas kerja pada wanita obesitas terkait dengan
probabilitas mereka mengambil hari cuti. Hal ini mengacu pada jumlah hari setiap melewati dua minggu di mana orang
tersebut tinggal di tempat tidur setengah atau sepanjang hari (termasuk menginap di rumah sakit), mengurangi kegiatan
normal, atau upaya ekstra yang dibutuhkan dalam kegiatan sehari-hari karena sakit atau cedera. Perempuan Obesitas usia
35 sampai 64 secara bermakna lebih mungkin untuk mengambil hari cuti dibandingkan rekan mereka dengan berat badan
normal. Obesitas jelas terkait dengan ketidakmampuan seseorang untuk bekerja karena gangguan kesehatan. Namun,
analisis menunjukkan bahwa obesitas memiliki efek yang gigih pada kinerja pekerjaan setelah merasa sehat. Faktor non-
kesehatan lebih lanjut dapat mencegah para pekerja obesitas untuk produktif.
Akhirnya, kelebihan berat badan dapat mengurangi aktivitas kerja karena peningkatan kemungkinan cedera. Pada pekerja
wanita yang obes usia 35-54 tahun secara bermakna telah dilaporkan lebih mungkin cedera bekerja selama satu tahun
terakhir dibandingkan mereka dengan berat badan dalam range normal. Ini konsisten dengan penelitian sebelumnya yang
menemukan bahwa perempuan obesitas secara signifikan lebih mungkin terluka pada saat bekerja daripada berat badan di
kisaran normal (Wilkins dan Mackenzie 2007). Hubungan antara cedera dan obesitas berhubungan dengan kelelahan,
kantuk, keterbatasan fisik dan ergonomi (Pollack et al. 2007). Penggunaan obat oleh para pekerja obes karena kondisi kronis
mereka juga dapat meningkatkan risiko cedera. Selain itu, adalah mungkin peralatan pelindung pribadi, seperti sarung
tangan dan kacamata , kemungkinan kurang digunakan oleh karena kurangnya kenyamanan, kesesuaian atau ketersediaan
untuk pekerja obesitas.(Park,J.2009)
III.4 Obesitas Dan Absensi
Lima studi tentang ketidakhadiran, didefinisikan sebagai jumlah hari kerja per tahun tidak hadir karena sakit atau cedera,
menggunakan dataset perwakilan nasional (Cawley, 2007; Finkelstein et al, 2005;. Lightwood et al, 2009;. Ricci dan Chee,
2005; Wolf dan Colditz, 1996). Semua studi menyimpulkan bahwa karyawan obesitas lebih mungkin absen bekerja sebagai
akibat dari penyakit atau cedera dibanding karyawan dengan berat badan normal. Finkelstein et al. (2005) adalah studi yang
memperkirakan hanya biaya obesitas yang terkait secara langsung dengan ketidakhadiran. Dibandingkan pria dengan berat
normal, pria obesitas membutuhkan tambahan dua hari kerja per tahun. Dibandingkan dengan perempuan berat badan
normal, perempuan cukup gemuk, sangat gemuk, kelebihan berat badan, dan obesitas bertambah lima hari kerja per tahun.
Biaya tidak langsung dari obesitas termasuk absensi pekerja, yang diperkirakan biaya $ 43 milyar per tahun, dan pekerja
yang lebih rendah produktivitas, biaya $ 506 per pekerja obesitas per tahun. (Gates,DM,2008)
Ketika mengukur biaya kehilangan produktivitas, sebagian besar analis hanya melihat pada biaya medis langsung. Yang lain
menganggap biaya tidak langsung tetapi fokus ketat pada ketidakhadiran dan cuti. Baru ―presenteeism‖ telah ditambahkan
ke persamaan produktivitas. Ini didefinisikan sebagai, ‖ kerugian produktivitas yang terjadi ketika pekerja tetap bekerja,
namun tidak sepenuhnya berfungsi. (Chenoweth, 2005)
III.5 Pengaruh Obesitas Terhadap Produktivitas Kerja
Pekerja adalah aset utama perusahaan. Tinggi rendahnya output yang dihasilkan baik berupa barang ataupun jasa semuanya
tergantung dari produktivitas pekerjanya apakah produktivitasnya tinggi ataukah produktivitasnya rendah sedangkan baik
buruknya produk yang dihasilkan tergantung dari pada kualitas pekerja di suatu perusahaan tersebut sehingga untuk
menghasilkan produktivitas yang tinggi dan produk yang berkualitas maka kesehatan pekerja sangat penting untuk
diperhatikan.
Produktivitas di kantor sering diukur sendiri -melaporkan keterbatasan di tempat kerja atau keterbatasan dalam jumlah
pekerjaan yang dilakukan oleh karyawan. Hanya satu studi mengenai produktivitas menggunakan dataset nasional
representatif (Ricci dan Chee, 2005). Para penulis menemukan bahwa orang obesitas cenderung untuk menjadi kurang
produktif di tempat kerja daripada orang dengan berat badan normal. Ricci dan Chee (2005) menjelaskan bahwa
produktivitas ini berkurang karena perbedaan status kesehatan antara obesitas dan pekerja berat badan normal. Tiga
makalah memperkirakan nilai produktivitas berkurang. Menggunakan data nasional yang representatif, Ricci dan Chee
(2005) memperkirakan bahwa setiap tahun, biaya tambahan yang terkait dengan penurunan produktivitas adalah $ 358 per
pekerja obesitas. Perkiraan lain untuk populasi tertentu menunjukkan ada beberapa variasi antara biaya. Menggunakan data
rencana kesehatan anggota, Goetzel et al. (2010) perkiraan biaya per pekerja obesitas menjadi $ 54, sementara Gates dkk.
(2008) memperkirakan biaya akan menjadi $ 575, dengan menggunakan data dari perusahaan-perusahaan manufaktur.
(Gates,DM et al, 2008)
III. 6 Pengendalian Obesitas Pada Pekerja
Obesitas pada pekerja juga berdampak buruk bagi perusahaan sehingga perlu adanya beberapa program pengendalian yang
bisa dilakukan :
a. Penyediaan fasilitas olah raga di perusahaan
Disediakannya fasilitas olah raga diperusahaan merupakan salah satu pendukung
untuk menurunkan angka obesiatas pada pekerja diperusahaan.
b. Peningkatan kualitas pangan oleh perusahaan
Meningkatkan kualitas pangan yang mengacu pada syarat-syarat makanan sehat
rendah kolesterol yang akan mencegah obesitaas pada pekerja
c. Program traveling
Pada perusahaan dengan aktivitas yang tinggi dengan intensitas pekerjaan yang
tinggi pula sangat berpotensi menimbulkan stress pada pekerja dan dapat
menimbulkan obesitas. Sehingga program ini sangat sesuai jika banyak pekerja yang
mengalami stress akibat pekerjaannya.
d. Pelayanan Kesehatan
Penyediaan pelayanan kesehatan beserta dengan tenaga kesehatannya akan sangat
membantu dalam menurunkan angka obesitas dalam perusahaan. Karena konsultasi
tentang masalah obesitas bagi pekerja sangat diperlukan.
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
IV.1 Kesimpulan
Obesitas adalah peningkatan berat badan melebihi batas kebutuhan rangka dan fisik, sebagai akibat akumulasi lemak
berlebihan dalam tubuh.
Masukan makanan, keluaran energi, dan keturunan merupakan tiga faktor yang dianggap mengatur perlemakan tubuh
dalam proses terjadinya kegemukan. Dua faktor pertama, yaitu masukan makanan dan keluaran energi, dianggap sebagai
penyebab langsung, sedangkan keturunan sebagai penyebab tidak langsung. Penimbunan lemak tersebut terjadi karena
adanya ketidakseimbangan antara jumlah energi yang dikonsumsi dengan yang digunakan.
Obesitas bukan merupakan penyakit tapi dapat berdampak buruk bagi kesehatan para pekerja. Penimbunan lemak yang
berlebihan dibawah diafragma dan di dalam dinding dada bisa menekan paru-paru, sehingga timbul gangguan pernafasan
dan sesak nafas, meskipun penderita hanya melakukan aktivitas yang ringan. Gangguan pernafasan bisa terjadi pada saat
tidur dan menyebabkan terhentinya pernafasan untuk sementara waktu (tidur apneu), sehingga pada siang hari penderita
sering merasa ngantuk.
Obesitas merupakan masalah penting karena selain mempunyai resiko penyakit-penyakit tertentu, juga dapat
mempengaruhi produktivitas kerja. Oleh karena itu, perlu pemantauan secara berkesinambungan. Salah satu cara adalah
dengan mempertahankan berat badan yang ideal atau normal. Karena dengan mempertahankan berat badan normal
memungkinkan seseorang dapat mencapai usia harapan hidup lebih panjang.
Kalangan pekerja, sama halnya dengan masyarakat umum, tidaklah kebal terhadap berbagai gangguan kesehatan, dan
bahkan akibatnya akan lebih jauh berdampak kepada dirinya sendiri maupun perusahaan tempatnya bekerja. Berbagai
literatur telah menjelaskan dengan gamblang bahwa obesitas berhubungan erat dengan produktivitas kerja di mana pekerja
dengan obesitas cenderung memiliki angka absensi yang lebih tinggi dan produktivitas kerja yang lebih rendah. Untuk
kondisi yang lebih berat, tanpa perlu kita hitung secara matematis, sangatlah mudah bagi kita untuk menduga besarnya
dampak yang timbul bila gangguan seperti penyakit jantung koroner ataupun stroke tersebut dialami oleh pekerja. Mulai
dari biaya pengobatan, kehilangan penghasilan sampai kemungkinan ketidakmampuan untuk bekerja kembali merupakan
hal yang sangat mengkhawatirkan. Perusahaan juga akan mengalami kerugian besar karena mereka akan kehilangan
seorang tenaga produktif.
IV.2 Saran
1. Promosi di tempat kerja untuk mencegah obesitas, termasuk program pemeliharaan berat badan dengan menyediakan
fasilitas olah raga di perusahaan, dan peningkatan kualitas pangan oleh perusahaan akan memberikan manfaat sosial dalam
peningkatan kesehatan pribadi pekerja.
2. Program traveling oleh perusahaan untuk mencegah stres pada pekerja.
3. Modifikasi gaya hidup merupakan pilar utama dalam penatalaksanaan obesitas melalui peningkatan kebiasaan olahraga,
menghentikan kebiasaan buruk mengkonsumsi alkohol, perubahan pola dan kebiasaan konsumsi makanan sehat. Tentu saja
hal ini juga harus diikuti oleh pengontrolan kesehatan secara berkala kepada tenaga kesehatan. Untuk itu perlu penyediaan
sarana pelayanan kesehatan oleh perusahaan.
4. Untuk mengurangi risiko obesitas, disarankan untuk memiliki aktivitas fisik yang cukup seperti berjalan, jogging, lari, dan
bersepeda. Terkait dengan hal ini Departemen Kesehatan perlu juga untuk mengembangkan pedoman aktivitas fisik yang
cukup. Para ahli merekomendasikan setidaknya 30 menit aktivitas teratur, intensitas sedang – lebih banyak aktivitas
mungkin diperlukan untuk mengendalikan berat badan. Kunci kesuksesan adalah untuk mencapai keseimbangan energi
antara kalori yang dikonsumsi dan kalori digunakan.
5. Pada tingkat yang lebih luas pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya, dengan komitmen berkelanjutan, dapat
memainkan peran penting dalam membentuk lingkungan yang sehat dan membuat pilihan diet sehat terjangkau dan mudah
diakses. Hal ini terutama penting bagi yang paling rentan dalam masyarakat – masyarakat miskin yang memiliki pilihan
terbatas tentang makanan yang mereka makan dan lingkungan di mana mereka tinggal.
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier S, 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Anonim. 2011. Menekan Karyawan Obes di perusahaan . http://blogs.unpad.ac.id. (Online) Diakses Tanggal 31 Desember
2011.
Anonim. 2007. Kesehatan bagi Pekerja Perempuan. (Online). Avalaible from: URL: http//:www.depkes.go.id.
Arena, V. C. et al. 2006. The impact of body mass index on short-term disability in the workplace. Journal of Occupational
and Environmental Medicine, 48, 1118-1124.
Arisman,MB. 2009. Buku Ajar Ilmu Gizi. Gizi Dalam Daur Kehidupan. Ed.2. Jakarta: EGC. Hal. 78.
Arterburn, D., Maciejewski, M., & Tsevat, J. (2005). Impact of Morbid Obesity on Medical Expenditures in Adults.
International Journal of Obesity, 29, 334-339.
Cawley, J. 2007. Occupation Specific Absenteeism Costs Associated With Obesity And Morbid Obesity. Journal of
Occupational and Environmental Medicine, 49(12), 1317-1324.
Chenoweth, D California Departmentof Health Services Public Health Institute April 2005
Crawford, D et.al .2005. Obesity Prevention and Public Health. New York: Oxford University press.
Dariyo. 2004 Psikologi Perkembangan Remaja. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Depkes RI. 2004. Profil Kesehatan Indonesia 2001. Jakarta.
Dorland, W.A. 2002. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta: EGC.
Flegal, K. M.et al. 2010. Prevalence And Trends In Obesity Among US Adults, 1999-2008. Journal of American Medical
Association, 303(3),235-241.
Ganong, WF. 2003. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Ganong. Edisi 22, Jakarta: EGC.
Garrow,JS. 1988. Health Implications of Obesity and Related Desease. London: Churchill Livingstone.
Gates,D.M. et al. ―Obesity and Presenteeism: The Impact of Body Mass Index on Workplace Productivity‖ Journal of
Occupational Environmental Medicine 50 (1) (2008): 39-45.
Goetzel, R. Z. et al. 2010. A Multi-Worksite Analysis Of The Relationships Among Body Mass Index, Medical Utilization, And
Worker Productivity. Journal of Occupational and Environmental Medicine / American College of Occupational and
Environmental Medicine, 52 Suppl 1, S52-8
Hidajat,B. Hidayati,SN. Irawan,R. 2011. OBESITAS. (Online) http://www.pediatrik.com. Diakses Tanggal 31 Desember
2011.
Inoue, S, Zimmet P. and Caterson I. 2000. The Asia-Pacific Perspective: Redefining Obesity and its treatment. Health
Communication, Australia.
Kusriyana,R. Helmyati, S. Budiningsari,RD. Asupan Zat Gizi, Status Gizi Dan Motivasi Serta Hubungannya Dengan
Produktivitas Pekerja Perempuan Pada Bagian Pencetakan Di Pabrik Bakpia Pathuk 25 Yogyakarta. Jurnal Gizi Klinik
Indonesia Vol. 7, No. 1, Juli 2010: 41-47
Low S, Chin MC, Deurenberg-Yap M. 2009. Review On Epidemic Of Obesity. Ann Acad Med Singapore. Jan;38(1):57-9.
Lubis, A. 2011. 10 Ciri Pekerjaan Akan Membunuh Anda. (Online) http://waspada.co.id. Diakses Tanggal 31 Desember 2011.
Wahyuningsih, M. 2010. Tubuh Gemuk dan Rokok Bikin Orang Kurang Produktif. detikHealth (Online)
http://www.detikhealth.com. Diakses Tanggal 1 Januari 2012.
News Medical. 2012. What is Obesity? (Online). http://www.news-medical.net. Diakses 1 Januari 2012.
Park,J. 2009. Obesity On The Job. Statistics Canada — Catalogue no. 75-001-X (Online). www.statcan.gc.ca. Diakses
Tanggal 31 Desember 2011.
Prodia Occupational Health Institute. 2011. (Online). http://prodiaohi.co.id. Diakses Tanggal 31 Desember 2011.
Pronk, NP. Et al. 2004. The Association Between Work Performance and Physical Activity, Cardiorespiratory Fitness, and
Obesity. Jurnal of Occupational & Environmental Medicine: January 2004 – Volume 46 – Issue 1 – pp 19-25.
Rissanen, AM. 1991 Determinants Of Weight Gain And Overweight In Adult Finns. Eur J Clin Nutr, 45:419-430.
Rodbard,HW., Fox, K,. and Grandy, S (2009) Impact of Obesity on Work Productivity and Role Disability in Individuals
With and at Risk for Diabetes Mellitus. American Journal of Health Promotion: May/June 2009, Vol. 23, No. 5, pp. 353-360.
Sudikno, Herdayanti,M. Besral. 2011. Hubungan Aktivitas Fisik Dengan Kejadian Obesitas Pada Orang Dewasa di Indonesia
(Analisis Data Riskesdas 2007). Jurnal Ilmiah. (Online) http://persagi.org. Diakses Tanggal 31 Desember 2011.
Sukaton,U. et.al. 1996. Obesitas. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid I. Edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Hal. 706-
711.
Sumbodo DP. 2007. Daya Saing dan Produktivitas Indonesia dan Negara-negara ASEAN. (online).
http://didiksumbodo.blogspot.com. Diakses Tanggal 31 Desember 2011.
Wannamethee, SG. Shaper,AG. Walker,M Overweight and obesity and weight change in middle aged men: impact on
cardiovascular dsease and diabetes, J Epidemial Communit Health, 2005, 59: 134-139.
WHO. 2000. Obesity: Preventing and Managing the Global Epidemic. Geneva.
Zhang. 2004. Trends In The Association Betwen Obesity Sosioeconomic Status In US Adults. Obesity Research. 12:1622-
1632.
Hubungan Vegetarian dan Kesehatan KESEHATANVEGAN ♦ 16 SEPTEMBER 2009 ♦ 1 KOMENTAR
Rate This
Vegetarian dan kesehatan menjadi isu penting saat ini. Alasan kesehatan merupakan alasan utama bagi sebagian besar
orang memilih vegetarian sebagai gaya hidup. Dengan menjadi seorang vegetarian, berarti anda sudah mengurangi resiko
terkena penyakit ringan sepertisembelit dan wasir, maupun penyakit degeneratif seperti Penyakit Jantung Koroner,
Hipertensi, Hiperkolesterolemia, Diabetes Melitus, Kanker, dan Osteoporosis. Pola makan vegetarian juga dapat
mencegah obesitas karena secara tidak lansung penganutnya sudah berdiet dengan cara alami.
Sebenarnya semua penyakit degeneratif bisa dicegah bahkan hingga usia lanjut dengan menjalani pola hidup sehat dan
menu vegetarian. Hal ini telah dibuktikan oleh Prof.Colin Campbell dari Cornell University dengan penelitian di China (China
Project). Dan dari berbagai faktor penyebab penyakit yang umum ternyata faktor makanan menduduki tempat yang
terpenting. Diet vegetarian selain dapat mencegah juga sekaligus bisa mengobati berbagai penyakit degeneratif tersebut.
Berbagai organisasi di dunia saat ini sudah mulai menyarankan pola hidup yang lebih ditekankan pada nabati. Sebut saja
ADA (American Dietetic Association), ACS (American Cancer Society), WHO dll. Berbagai kalangan medis dan ahli gizi
sudah setuju dengan konsep pola hidup vegetarian. Dan disadari bahwa semakin sedikit kita mengkonsumsi diet hewani
maka kita akan semakin sehat dan demikian juga sebaliknya. Menjalani pola hidup vegetarian yang baik menjadi semakin
penting untuk meningkatkan derajat kesehatan secara optimal.
About these ads