pengaruh pemikiran taqiyuddin an-nabhani dalam …
TRANSCRIPT
PENGARUH PEMIKIRAN TAQIYUDDIN AN-NABHANI
DALAM PEMBENTUKAN PARTAI POLITIK ISLAM
TERHADAP HIZBUT TAHRIR INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu
Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy)
Oleh :
Andi Saepudin
NIM : 1111045200001
KONSENTRASI KETATANEGARAAN ISLAM
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2015 M / 1437 H
iv
ABSTRAK
Andi Saepudin. NIM: 1111045200001 Pembentukan Partai Politik
Menurut Taqiyuddin an-Nabhani. Skripsi konsentrasi Ketatanegaraan Islam
Program Studi Jinayah Siyasah, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2015 M/1437 H.
Penelitian ini disebabkan atas realitas kegagalan partai politik meraih
kebangkitan Islam. Kemudian penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan
pemikiran Taqiyuddin an-Nabhani terkait pembentukan partai politik untuk
meraih kebangkitan dan pengaruhnya terhadap Hizbut Tahrir Indonesia.
Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif-kualitatif dengan
desain penelitian menggunakan sumber data kepustakaan. Sumber data dimaksud
ada dua, sumber data primer yaitu at-Takattul al-Hizbiy, as-Syakhsiyah al-
Islâmiyah, Mâhim Hizb at-Tahrîr dan Nidzâm al-Islâm. Sumber data sekunder
yaitu buku-buku yang berkaitan dengan pemikiran partai politik Islam seperti
Diskursus Islam Politik dan Spiritual karya Hafidz Abdurahman, Islam dan Tata
Negara karya Munawir Sjadzali dan sebagainya.
Hasil penelitian ini menyimpulkan dua hal. Pertama menurut Taqiyuddin
an-Nabhani pembentukan partai politik yang ingin meraih kebangkitan harus
mengikuti metode Rasulullah Saw yaitu dengan adanya at-tatskîf (pembinaan) at-
Tafâ’ul ma al-Ummah (interaksi dengan masyarakat) dan thalab an-Nushrah
(meminta kekuasaan). Kedua pemikiran Taqiyuddin an-Nabhani memiliki
pengaruh terhadap Hizbut Tahrir Indonesia yaitu terbukti dari keseragaman pola
pikir dan pola gerak sebagai aplikasi dari konsep tabanni hukum syara’.
Kata kunci:Taqiyuddin an-Nabhani, Hizbut Tahrir, Partai Politik, Khilafah,
Mabda, Tsakafah, Tabanni, Thalab an-Nusrhah, ahl-al-Quwwah, Halqah, Kutlah,
Hizbiyah, Kebangkitan.
v
KATA PENGANTAR
تهخطإل
Segala puji bagi Allah Swt raja semesta alam. Tiada tuhan selain-Nya dan
tiada sekutu bagi-Nya. Kekuatan berada dalam genggaman-Nya, Wujud, Qidam,
Baqa, Mukhalaf li al-Hawâdits adalah sebagian sifat yang melekat pada-Nya.
Oleh kare itu amat merugi bila insan menyembah selain-Nya dan tak tunduk patuh
pada perintah-Nya.
Shalawat dan salam senantiasa tercurahkan atas junjungan kita baginda
Muhammad Saw. Manusia pilihan yang mengadu kelemahan diri dan sedikitnya
upaya tatkala penduduk Thaif menolak seruan dakwahnya. Manusia terindah yang
desainnya ada sebelum alam semesta. Cintanya terhadap umat begitu mendalam
dan agung. Wajar bila dikagumi kawan dan disegani lawan. wahai Muhammadku
engkau seumpama secuil cinta langit menetes di bumi.
Alhamdulillah setelah berlelah-lelah meramu tulisan akhir perkuliahan
jenjang strata satu, penulis –atas izin Allah- dapat menyelesaikannya. Tentu dalam
hal ini tidak terlepas pula dari konstribusi beberapa pihak. Oleh itu, penulis
menghaturkan terima kasih kepada,
vi
1. Prof. Dr. Dede Rosyada Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Asep Saefudin Jahar, MA, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
3. Dra. Maskufa, MA, Ketua Program Studi Jinayah Siyasah yang dengan tulus
melayani keluhan mahasiswanya.
4. Dr. H. Mujar Ibnu Syarif, SH, M.Ag sebagai Dosen Pembimbing Skripsi penulis.
Atas berkenan meluangkan waktu dan tenaganya, serta kesabaran dan
keteladanannya penulis haturkan terima kasih.
5. Prof. Masykuri Abdillah Pembimbing Akademik Program Studi Jinayah Siyasah.
Atas bimbingannya penulis berterima kasih.
6. Ir. H. Ismail Yusanto selaku Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia. Atas kesediaan
waktunya untuk diwawancarai, penulis ucapkan terima kasih.
7. Juga seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
bagian adiminstrasi dan tata usaha yang telah banyak membantu memberikan
kelancaran kepada penulis dalam proses penyelesaian prosedur kemahasiswaan,
serta pimpinan dan segenap karyawan Perpustakaan Umum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, dan khususnya Perpustakaan FSH yang telah berkenan
meminjamkan buku-buku penunjang sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini.
8. Terkhusus untuk kedua orangtuaku tercinta, Abah dan Ibu. Atas seluruh biaya,
rintihan doanya, tebaran cintanya dan siraman nasihatnya. Anakmu haturkan terima
kasih tak terkirakan. Juga kepada kaka, teteh, adik dan keluarga besar M. Oyo
Sunaryo atas hiburan dan tawaanya semakin menghiasi kesejukan dalam penatnya
penelitian. Maka penulis ucapkan terima kasih.
viii
Kupersembahkan karya ini untuk
Kedua orangtuaku tercinta.
Dan semoga skripsi ini membawa
Keberkahan untuk keduanya
Di dunia dan akhirat
ix
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1
B. Perumusan Masalah .................................................................... 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................... 8
D. Review Studi Terdahulu .............................................................. 9
E. Metode Penulisan ........................................................................ 10
F. Sistematikan Pembahasan ........................................................... 11
BAB II SISTEM KHILAFAH DAN PERAN JAMAAH ......................... 13
A. Pengertian Khilafah dan Pendapat Para Ulama ........................... 13
B. Hukum Eksistensi Khilafah Menurut Para Ulama Salaf dan
Kontemporer ................................................................................ 15
C. Cara Pengangkatan Khalifah dan Prinsip-Prinsip Negara
Khilafah........................................................................................ 22
D. Peran dan Tujuan Jamaah ............................................................ 28
E. Beberapa Upaya Jama’ah dalam Menegakan Khilafah ............... 32
BAB III BIOGRAFI TAQIYUDDIN AN-NABHANI ............................... 34
A. Silsilah Nasab .............................................................................. 34
B. Riwayat Pendidikan ..................................................................... 35
C. Karya Tulis dan Muridnya ........................................................... 37
x
D. Kiprah Pekerjaan .......................................................................... 39
E. Mendirikan Hizbut Tahrir ........................................................... 41
BAB IV PEMIKIRAN TAQIYUDDIN AN-NABHANI DALAM
PEMBENTUKAN PARTAI POLITIK ISLAM .................... 42
A. Pandangan Taqiyuddin an-Nabhani Terkait Sistem
Ketatanegaraan Islam ................................................................... 47
B. Pandangan Taqiyuddin an-Nabhani Terkait Tata Cara dan
Metode Pengangkatan Khalifah ................................................... 48
C. Pemikiran Taqiyuddin an-Nabhani dalam Pembentukan Partai
Politik Islam untuk Meraih Kebangkitan ..................................... 50
D. Pengaruh Pemikiran Taqiyuddin An-Nabhani dalam
Pembentukan Partai Politik Islam Terhadap Hizbut Tahrir
Indonesia ..................................................................................... 76
E. Analisis Pemikiran Taqiyuddin An-Nabhani .............................. 79
BAB V PENUTUP .......................................................................................... 90
A. Kesimpulan ................................................................................. 90
B. Saran ............................................................................................ 90
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 92
LAMPIRAN ................................................................................................... 96
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setelah berbagai upaya dilakukan para pemikir muslim untuk
mengembalikan Islam dari keterpurukan dan kejumudan ke kancah dunia
internasional, bahkan dengan berbagai gerakan yang mereka dirikan akhirnya
selalu menuai kegagalan. Bahkan, acapkali kegagalan tersebut diulang kembali
oleh para pengikutnya sehingga ibarat jatuh di lubang yang sama untuk kesekian
kalinya. Bukti kegagalan gerakan-gerakan tersebut ditunjukan oleh realitas Dunia
Islam kita pada saat ini yakni mengalami kemunduran hingga mencapai atau
nyaris menyentuh titik yang paling rendah.1
Upaya-upaya itu dilakukan sebagai respon atas realitas Barat yang dengan
berbagai pencapaiannya di bidang sains, politik dan organisasi telah menyilaukan
dunia Islam. Lalu, dengan kemajuan itu Barat mulai mengarahkan kebijakan
politiknya ke bentuk penjajahan negeri-negeri muslim hingga memiliki pengaruh
yang sangat besar2. Melihat kenyataan ini yakni kemajuan sains dan teknologi,
dan dalam hal merespon segala kemajuan itu, kaum muslimin terpecah menjadi
beberapa aliran yaitu Konservatif-Tradisionalis yang dipelopori Abul-A‟la al-
1 Muhamad Hawari, Politik Partai Meretas Jalan Baru Perjuangan Partai Politik Islam
(Bogor: Idea Pustaka Utama, 2003), h.2.
2 Menurut Montgomery awal mula pengaruh Barat yang paling dominan terhadap dunia
Islam terjadi pada abad ke 15 M yakni setelah perdagangan Eropa berekspansi melintas samudera
melalui jalur Tanjung Harapan di Afrika Selatan tahun 1498. (lihat Fundamentalisme Islam dan
Modernitas. Jakarta: PT Raja Grafindo, 1997) h. 92.
2
Maududi3, Hasan al-Banna
4, Sayid Quthb dan Rasyid Ridha, integratif-modernis
yang dipelopori oleh M. Husein Haikal dan Nasionalis-Sekuler yang dipelopori
oleh Ali Abd al-Raziq dan Thaha Husein5. Adapun para pemikir yang bercorak
Konservatif-Tradisionalis dan Integratif-Modernis, mereka mendirikan berbagai
gerakan yang bertujuan membangkitkan Islam ke kancah kehidupan. Al-Maududi
misalnya mendirikan gerakan Jam’iyatul Islamiyah di anak benua India, Rasyid
Ridha dengan gagasan Pan-Islamismenya. Pemikir integratif-modernis juga
demikian, bahkan Moh. Natsir di Indonesia tak ketinggalan peran, Masyumi,
misalnya. Dikatakan integratif-modernis, sebab ia berpendapat bahwa kita boleh
meniru sistem kenegaraan dari barat selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai
dasar Islam.6
Kemunculan gerakan-gerakan ini yang tak lain sebagai respon dari
kemajuan barat seperti yang dijelaskan di atas, sejatinya muncul sejak abad 13
M/8 H, misalnya gerakan Salafiyah gagasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Gerakan ini menjadikan bid‟ah sebagai masalah utama kemorosotan kaum
muslimin, dan gerakan ini pula yang bertujuan reformisme Islam serta pemurnian
ajaran Islam, dicap Barat sebagai fundamentalisme Islam sebagaimana
fundamentalisme Kristen di Eropa. Begitu juga dengan gerakan Wahabi yang
3 Nama lengkapnya, Sayyid Abul A‟la al-Maududi (1904-1979), pada dasarnya beliau
seorang wartawan bukan ulama sekalipun terdidik dengan baik dalam disiplin-disiplin tradisional
Islam. Pada tahun 1941 beliau mendirikan Jam’iyatul Islamiyah di India.
4 Lahir bulan September 1906 M di Desa al-Mahmudiyah di wilayah al-Bahirah kawasan
pedalaman Mesir. Lihat Moh Iqbal dan Amin Husein, Pemikiran Politik Islam, 2010. h. 185
5 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: UI
Press, 1993. Cet. kelima), h. 1-2.
6 Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara: Perspektif Modernis dan Fundamentalis
(Magelang: IndonesiaTera, 2001), h. 70.
3
didirikan Mohammad Abdul Wahab abad ke XVIII M, tujuannya adalah
pemurnian ajaran Islam untuk meraih kebangkitan.7
Kemudian pada pertengahan abad ke XIX M, muncul Mujadid Jamal al-
Din al-Afghani yang disusul Muhamad Abduh dan Rasyid Ridho. Ketiga
pembaharu ini yang tak lain guru dan murid melanjutkan cita-cita al-Afghani
yakni pemurnian ajaran Islam demi kebangkitan umat dari keterpurukan. Bahkan
al-Afghani dan Abduh membentuk organisasi bernama Urwah al-Wutsqa dan
menerbitkan majalah yang senama dengan organisasi tersebut.8
Dari segi pemahaman, gerakan Salafiyah al-Afghani berbeda dengan
Salafiyah ala Ibnu Taimiyah. Salafiyah al-Afghani yang tak lain sebagai aliran
keagamaan berpendirian bahwa untuk memulihkan kejayaannya, umat Islam harus
kembali kepada ajaran Islam yang masih murni seperti yang dahulu diamalkan
oleh generasi pertama Islam, yang juga biasa disebut Salaf (pendahulu yang
shaleh)9, gerakan ini bertumpu pada tiga komponen utama, yakni :
1. Keyakinan bahwa kebangunan dan kejayaan kembali Islam hanya
mungkin terwujud kalau umat Islam kembali kepada ajaran Islam yang
masih murni, dan meneladani pola hidup para sahabat Nabi, khususnya
al-Khulafaur ar-Rasyidun.
2. Perlawanan terhadap kolonialisme dan dominasi Barat, baik politik,
ekonomi maupun kebudayaan.
3. Pengakuan terhadap keunggulan Barat dalam bidang ilmu dan
teknologi, dan karenanya umat Islam harus belajar dari Barat dalam
7 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: UI
Press, 1993, cet. Kelima), h. 125.
8 Ibid., h. 121. 9 Ibid., h. 124.
4
dua bidang tersebut yang pada hakikatnya hanya mengambil kembali
apa yang dahulu disumbangkan oleh dunia Islam kepada Barat, dan
kemudian secera selektif dan kritis memanfaatkan ilmu dan teknologi
Barat itu untuk kejayaan kembali dunia Islam. 10
Adapun Salafiyah ala Ibnu Taimiyah hanya terdiri dari satu unsur saja
yakni unsur pada point pertama.
Menurut al-Afghani, dalam rangka pemurnian Islam untuk meraih
kebangkitan harus dibentuk suatu ikatan politik seluruh umat Islam. Ikatan ini
disebut Jam’iyatul Islamiyah atau Pan-Islamisme dalam bahasa asing. Lagi-lagi,
sekalipun ketiga pembaharu ini sepakat dengan ide gurunya, tetapi dalam aspek
keroganisasian selalu berbeda-beda satu sama lain bahkan tak satu pun dari
mereka yang berhasil membangkitkan umat, terlebih lagi kejayaan umat Islam.
Lalu di tahun 1924 M, yakni setelah institusi kekhalifahan dihapuskan
oleh Mustafa Kamal Ataturk11
, gerakan Islam semakin massif dalam upaya
mengembalikan kejayaan yang telah hilang. Misalnya gerakan Ikhwanul
Muslimin yang didirikan Imam Syahid Hasan al-Bana pada tahun 1928 M di
Mesir yang masih eksis dalam percaturan potitik saat itu. Rasyid Ridho sendiri
mengusulkan diadakan Muktamar Akbar Islami untuk menghidupkan kembali
institusi Khalifah. Namun sekalipun gagasan muktamar itu terwujud pada tahun
1926 di Mesir tetapi tidak membuahkan hasil.12
10
Ibid., h. 125.
11 Gelar “kemal” yang berarti yang sempurna karena kemampuannya yang luar biasa
dalam bidang matematika di sekolah tinggi Militer di Istanbul. Sementara gelar “Ataturk” berarti
bapak turki. Ini karena ia berjasa membawa turki menjadi bangsa modern. Muhammad Iqbal dan
Amien Husein Nasution, ( 2010 : 106)
12 Munawir Sjadzali, Islam dan Tatat Negara (Jakarta: UI Press, 1993, cet. Kelima), h.
136.
5
Hingga saat ini, berbagai gerakan yang telah didirikan itu masih ada dan
berperan dalam upaya kebangkitan Islam. Hanya saja, dari semua gerakan yang
ada itu, tak satu pun yang berhasil membangkitkan umat dan mengembalikan
Islam ke kancah kehidupan. Adapun kebangkitan yang dimaksud yaitu
kebangkitan dalam ketinggian tarap berfikir13
. Adapun tolak ukur ketinggian tarap
berfikir ini memiliki dua kriteria yakni „Umuuq14
(mendalam) dan Syumuul15
(menyeluruh) dan kembalinya Islam memegang tampuk pemerintahan serta
menjadi negara adidaya yang besar.
Dalam arena pergulatan politik di sistem demokrasi di dunia juga
demikian, Parpol Islam selalu mengalami kegagalan. Misalnya Partai Kebebasan
dan Keadilan yang berada di bawah naungan Ikhwanul Muslimin di Mesir, pada
pemilu 2012 atau pasca tumbangnya rezim Husni Mubarak, partai ini memperoleh
235 kursi dari 498 kursi di Parlemen. Namun, hanya berselang satu tahun partai
ini kembali gagal membangkitkan umat. Bahkan mereka dikudeta dan diadili
dengan sepihak pada tanggal 03 Juli 201316
. Hal yang sama juga terjadi dengan
partai Front Islamic Du Salut (FIS) di al-Azajair. Berdasarkan hasil pemilu tahun
2009, partai yang berideologi Islam ini meraih 54% suara atau sekitar 188 kursi di
parlemen. Namun sayang, mantan Presiden Benjenid menggalang kekuatan
bersama militer sehingga dapat membubarkan parlemen di bawah pimpinan Moh
13
Muhamad Hawari, Politik Partai Meretas ‘Jalan Baru’ Perjuangan Partai Politik
Islam, (Bogor: IDeA Pustaka Utama, 2003), h. 27.
14 Umuq maksudnya berfikir meliputi substansi suatu perkara sekaligus melingkupi dasar
struktur pembentukan dan sumbernya
15 Syumul yakni mencakup seluruh aspek atau bagian dari perkara yang menjadi obyek
pembahasannya.
16 “Pengalaman Buruk Demokrasi di Dunia Islam” berita diakses tanggal 2 Februari 2014,
dari www.hizbut-tahrir.orid
6
Roudiaf.17
. Tidak hanya itu, beberapa Parpol Islam diberbagai Negara juga
mengalami hal yang sama, seperti Hamas di Palestina, an-Nahdah di Tunisia,
Hizb al-„Adalah wa Tanmiya di Maroko yang masing-masing berideologi Islam
dan bertujuan menerapkan hukum Islam selalu menuai kegagalan.18
Perlu kita sampaikan pula, bahwa kegagalan-kegagalan gerakan dan
Parpol Islam juga dialami di Indonesia. Baik gerakan koperatif atau non-Koperatif
mengalami nasib yang sama. Misalnya Partai Sarekat Islam (PSI) yang berdiri
sejak sebelum kemerdekaan RI yang telah berupaya memperjuangkan
kebangkitan Islam. Menurut penuturan Solahudin, PSI sendiri tak sekadar berniat
mendirikan Negara Islam di Indonesia, tapi juga menganut paham Pan-Islamisme.
Sedangkan Pan-Islamisme adalah gagasan untuk menyatukan umat Islam sedunia
dalam satu sistem kekhalifahan.19
Bahkan PSI ini cukup serius memperjuangkan
ide tersebut. Misalnya setelah kejatuhan Khilafah Turki Utsmani tahun 1924, PSI
ikut membentuk komite khilafah, semacam komite untuk memperjuangkan
kembali khilafah, dan tokoh PSI Wondoamiseno menjadi ketuanya, namun
perjuangan ini meredup karena tidak mendapat perhatian dari negeri-negeri Islam
lainnya.20
Setelah kemerdekaan juga demikian, gerakan NII misalnya, pimpinan
Semarkadji Maridjan Kartosoewirjo ini bahkan memilih jalan non-koperatif
sekaligus bermetode militarianisme dalam memperjuangkan Islam. Tetapi, lagi-
17
“Pengalaman Pemilu di al-Jazair” berita diakses tanggal 25 Agustus 2009 dari
www.eramuslim.com
18 “Presiden Sementara Pasca Mursi Dikudeta” berita diakses pada tanggal 17 Juli 2014
dari www.republika.co.id
19 Solahudin, NII sampai JI Salafy Jihadisme di Indonesia (Depok: Komunitas Bambu,
2011), h. 58.
20 Ibid., h. 59.
7
lagi NII yang diproklamirkan 7 Agustus tahun 1949 di Cisampak kecamatan
Cilugagar, Kabupaten Tasikmalaya ini mengalami kegagalan. Sungguhpun
menggunakan kekerasan militer tetapi berhasil ditumpas TNI hingga SMK sendiri
berhasil ditangkap dan dihukum mati.21
Tidak hanya itu, jalan koperatif juga ditempuh dalam rangka
memperjuangkan Islam. Namun, baik sebelum kemerdekaan ataupun sesudahnya
selalu menuai kegagalan. Adapun indikasi kegagalan adalah terpecahnya sebuah
gerakan atau parpol menjadi beberapa kubu sebelum mencapai tujuannya, sebagai
contoh gerakan Salafiyah yang melahirkan banyak sempalan. Atau indikasi lain
sampai pada tujuan hanya saja tidak berjaya. Misalnya Partai Pembebasan dan
Keadilan yang meraih kemenangan dengan terpilihnya Presiden Mursi.
Dari latar belakang diatas, muncul sebuah pertanyaan besar, mengapa
upaya memperjuangkan kebangkitan Islam yang begitu mengucurkan keringat
sejak sekitar abad 18 M hingga sekarang belum berhasil? Apakah landasan
normatif setiap parpol keliru atau aspek lain yang memengaruhinya, serta
bagaimana pula pembentukan partai politik dalam Islam itu sendiri. Inilah
momentum bagi Taqiyudin an-Nabhani untuk mengkaji faktor-faktor kegagalan
berbagai gerakan tersebut dari aspek keorganisasiannya. Ulama ini memberikan
perspektif berbeda dan unik yang menarik penulis untuk melakukan penelitian
dengan judul, Pengaruh Pemikiran Taqiyuddin an-Nabhani dalam
Pembentukan Partai Politik Islam Terhadap Hizbut Tahrir Indonesia.
21
Hiroko Horikoshi, The Darul Islam Movement in West Java (1948-62) : An Experience
in the Historical Process, Jurnal Indonesia, Cornel Modern Indonesia Project, 1975 hlm 59-86.
Dikutip oleh Solahudin, NII sampai JI Salafy Jihadisme di Indonesia, (Depok: Komunitas Bambu,
2011), hlm. 65. lihat pula Prof. Dr. H. Agussalim Sitompul, Usaha-Usaha Mendirikan Negara
Islam dan Pelaksanaan Syariat Islam di Indonesia, (Jakarta: Penerbit CV Misaka Galiza, 2008), h.
106.
8
B. Perumusan Masalah
Dengan menguraikan latar belakang masalah di atas, penulis perlu
melakukan pembatasan masalah agar penelitian lebih terarah dan fokus. Penulis
membatasi masalah hanya pada pembentukan Partai Politik Islam. Sebab, menurut
penulis bila melihat aspek tsakafah, maka setiap parpol memiliki orang-orang
yang capability dalam hal agama Islam ditinjauh dari segi komprehensif. Dalam
hal ini juga penulis mencoba membatasi dan memberikan rumusan masalah
sebagai berikut :
1. Bagaimana pemikiran Taqiyudin an-Nabhani dalam pembentukan
Partai Politik Islam untuk Meraih Kebangkitan?
2. Apa pengaruh pemikiran Taqiyudin an-Nabhani dalam perkembangan
Hizbut Tahrir Indonesia?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan di atas, maka penulisan skripsi ini
bertujuan,
a. Untuk mengetahui pemikiran Taqiyudin an-Nabhani dalam
pembentukan Partai Politik untuk meraih kebangkitan.
b. Untuk mengetahui pengaruh pemikiran Taqiyudin an-Nabhani
dalam perkembangan Partai Politik Hizbut Tahrir Indonesia.
2. Manfaat Penelitian
Setiap permasalahan membutuhkan telaah tuntas dan mendasar agar
diperoleh manfaat dari penelitian tersebut, yaitu :
a. Manfaat Akademis
9
1. Sebagai tambahan referensi atau perbandingan untuk
memperkaya literatur keislaman.
2. Sebagai pembuka wacana tema yang terkait untuk melakukan
penelitian lanjutan.
3. Secara akademis pula untuk mendapatkan jawaban atas
persoalan yang terkait dengan pembentukan Partai Politik
Islam.
b. Manfaat Praktis
Sebagai sumbangan pemikiran dan pengembangan tsakafah
keislaman dalam bidang ilmu politik.
D. Review Studi Terdahulu
Ada beberapa penelitian tentang Syeikh Taqiyudin an-Nabhani seperti
skripsi yang ditulis oleh saudari Siti Rohanah Fakultas Syariah dan Hukum
Jurusan Ketatanegaraan Islam tahun 2012 dengan judul Pandangan Tokoh Islam
Indonesia Tentang Konsep Khilafah Taqiyudin an-Nabhani, saudara Rudi
Mulyantoro Fakultas Ushuluddin jurusan Pemikiran Politik Islam tahun 2009
dengan judul Implementasi Syariat Islam dalam Perspektif Hizbut Tahrir
Indonesia, dan saudari Aat Yuliawati Fakultas Dakwah dan Komunikasi jurusan
Manajemen Dakwah dengan judul Peran Dakwah Hizbut Tahrir Indonesia di
Lingkungan Mahasiswa Uin Syarif Hidayatullah Jakarta dan lain-lain. Hanya saja
penelitian-penelitian tersebut terlalu global membahas pemikiran Syeikh Taqiy
dan Hizbut Tahrir. Sementara sepengetahuan penulis, belum ada yang membahas
secara khusus salah satu topik bagaimana membentuk Partai Politik Islam untuk
meraih kebangkitan.
10
E. Metode Penulisan
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan dalam menyusun skripsi ini adalah
penelitan kepustakaan (library research) dengan pendekatan deskriftif-kualitatif.
Yaitu Penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau
lisan dari objek yang diteliti penulis, atau penelitian yang bermaksud untuk
memahami fenomena tentang apa yang dialami oleb subyek penelitian seperti
prilaku, persepsi, motivasi tindakan secara holistic dan dengan cara deskripsi
dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiyah dan
dengan manfaat berbagai metode alamiah. Adapun dari segi tujuan, penelitian ini
juga menggunakan pendekatan analitis yang bertujuan menggambarkan keadaan
sementara dengan memaparkan hasil-hasil penelitian yang bersumber dari data-
data. 22
F. Sumber Data
Sumber data yang digunakan penulis terdiri dari dua macam yaitu sumber
data primer dan sekunder. Adapaun primer terdiri dari beberapa buku karya tulis
asli Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani seperti at-Takatul al-Hizbiy, Daulah al-
Islâmiyyah, Mafâhim Hizb at-Tahrîr, as-Syaksiyah al-Islamiyah Juz III,
Muqaddimah ad-Dustur aw al-asbâb al-Mûjibat Lahu Juz I, Nidzamu al-Hukmi fî
al-Islam, Mafâhim as-Siyâsiy Lihizb at-Tahrîr, dan lain-lain. Sedangkan data
sekunder didapat dari beberapa buku yang berkaitan dengan pemikiran Politik
Islam seperti al-Ahkâm as-Sultâniyah karya Imam al-Mawardi, Teori Politik Islam
karya Dyiauddin ar-Rais, Kekhilafahan dan Kerajaan karya Abul A‟la al-
22
Sumardi Suryabrata, Metodologi Penelitian (Jakarta : Rajawali Press, 2003, cet.
Keempat belas), h. 75.
11
Maududi dan beberapa karya pemikir kontemporer serperti Islam dan Tata
Negara karya Munawir Sadjali, Pemikiran Politik Islam karya Moh Iqbal, Islam
dan Dinamika Sosial Politik di Indonesia karya Prof. Dr. Masykuri Abdillah, Fiqh
Siyasah karya Dr. Mujar Ibnu Syarif dan Dr. Khamami Zada serta beberapa data
lain seperti jurnal al-Wa‟i, tabloid Media Umat, situs www.hizbut-tahrir.or.id, dan
sejenisnya yang berkaitan dengan fiqh siyasah termasuk tafsir-tafsir yang
membahas ayat-ayat politik.
G. Sistematika Pembahasan
Untuk memberikan arah yang jelas terhadap penyusunan penelitian ini,
maka sistematikanya dapat disusun sebagai berikut:
Bab Pertama berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah,
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi terdahulu,
metode penelitian, sumber data dan sistematika pembahasan.
Bab Kedua berisikan pembahasan tentang pengertian khilafah, pandangan
para ulama tentang hukum eksistensi khilafah, bentuk pemerintahan Islam
menurut ulama kontemporer, prinsip-prinsip negara khilafah, cara pengangkatan
khalifah, peran dan tujuan jama‟ah dalam pemerintahan Islam, dan beberapa
upaya jama‟ah mendirikan khilafah.
Bab Ketiga berisikan tentang biografi Taqiyudin an-Nabhani yaitu silsilah
nasab, pendidikan, kiprah pekerjaan, mendirikan Hizbut Tahrir, karya tulis dan
wafatnya Taqiyuddin an-Nabhani.
Bab Keempat membahas pemikiran Taqiyudin an-Nabhani terkait bentuk
pemerintahan Islam, cara pengangkatan khalifah, dan bagaimana konsep
12
pembentukan Partai Politik yang tertuang dalam karya tulisnya at-Takatul al-
Hizbiy serta analisis terhadap pemikiran Taqiyuddin an-Nabhani.
Adapun Bab Kelima, berisi penutup yang terdiri dari kesimpulan dan
saran.
13
BAB II
SISTEM KHILAFAH DAN PERAN JAMA’AH
A. Pengertian Khilafah
Khilafah menurut makna bahasa merupakan mashdar dari fi‟il madhi
khalafa, yang berarti: menggantikan atau menempati tempatnya. Khilafah
menurut Ibrahim Mustafa adalah orang yang datang setelah orang lain lalu
menggantikan posisinya.1 Jadi, menurut bahasa, khalîfah adalah orang yang
mengantikan orang sebelumnya. Jamaknya, khalaa‟if atau khulafaa‟. Inilah makna
firman Allah Swt.:
Artinya: Berkata Musa kepada saudaranya, Harun, „Gantikanlah aku dalam
(memimpin) kaumku. (QS. al-A‟raf: 142).
Menurut Imam ath-Thabari, makna bahasa inilah yang menjadi alasan
mengapa as-sulthan al-a‟zham (penguasa besar umat Islam) disebut sebagai
khalifah, karena dia menggantikan penguasa sebelumnya, lalu menggantikan
posisinya.2
Sedangkan secara istilah, dapat kita jumpai dalam beberapa hadits,
misalnya,
1 Ibrahim Mustafa, Mu‟jam al-Wasith, (Mishr : Dâr ad-Da‟wah, al-Maktabah-as-
Syamilah), h. 251.
2 Muhammad Ibnu Jarir at-Thobari, Jâmi al-Bayan „an Ta‟wil Ây al-Qur‟an, (Dâr al-
Hijah, 2001, Juz I, cet. Kesatu, al-Maktabah as-Syamilah), h. 476.
3 Lihat Musnad al-Bazzar hadits no 1282/IV/108 (al-Maktabah as-Syamilah)
14
Artinya: Sesungguhnya (urusan) agama kalian berawal dengan kenabian dan
rahmat, lalu akan ada khilafah dan rahmat, kemudian akan ada
kekuasaan yang tirani. (HR al-Bazzar).
Kata khilafah dalam hadis ini memiliki pengertian: sistem pemerintahan,
pewaris pemerintahan kenabian. Ini dikuatkan oleh sabda Rasul saw.:
Artinya: Dulu Bani Israel dipimpin/diurus oleh para nabi. Setiap kali seorang
nabi wafat, nabi lain menggantikannya. Namun, tidak ada nabi
setelahku, dan yang akan ada adalah para khalifah, yang berjumlah
banyak. (HR. Muslim).
Dalam pengertian syariah, Khilafah digunakan untuk menyebut orang
yang menggantikan Nabi saw. dalam kepemimpinan Negara Islam (ad-dawlah al-
islamiyah). Inilah pengertiannya pada masa awal Islam.
At-Taftazani mendefinisikan keimamahan sebagai kepemimpinan umum
dalam urusan agama dan dunia, sebagai khalifah atau wakil nabi saw.5 Adapun
Abu al-Hasan al-Mawardi mendefinisikan Keimamahan sebagai suatu nama bagi
pengganti kenabian untuk menjaga agama dan mengatur urusan dunia.6 Sementera
Ibnu Khaldun, berpendapat bahwa karakteristik sistem pemerintahan bergantung
pada undang-undang yang diberlakukannya. Menurutnya, ketika undang-undang
ada tiga macam, maka sistem pemerintahan pun ada tiga macam. Dengan
4 Lihat Shahîh al-Bukhari no 3455/IV/169, Shahîh Muslim no 44/III/1471, Sunan Ibnu
Mâjah hadits no 2871/II/958 (al-Maktabah as-Syamilah)
5 Muhammad Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, Penerjemah Abu Hayyie al-Kattani,
et.all (Jakarta : Gema Insani, 2001), h. 89.
6 Abu al-Hasan bin Ali bin Muhammad bin Muhammad Al-Mawardi, al-Ahkam as-
Shulthoniyah, (Mishr : Dâr al-Hadits(, h. 15.
15
demikian akan didapat kesimpulan tiga macam sistem pemerintahan yaitu al-Mulk
kerajaan yang natural, republik, dan keimamahan atau kekhilafahan.
Menurutnya, bila sistem ini berdasarkan hukum-hukum yang ditentukan
oleh Allah dengan perantaraan seorang Rasul, maka pemerintahan itu disebut
berdasarkan agama, dan pemerintahan agama ini sangat berguna baik untuk hidup
di dunia maupun kelak di akhirat. Sebab, manusia tidak dijadikan hanya untuk
dunia saja yang penuh dengan kehampaan dan kejahatan yang akhirnya mati dan
kesirnaan belaka, inilah yang dimaksud sistem kekhilafahan.7
B. Hukum Eksistensi Khilafah Menurut Ulama Salaf
Hukum mengangkat khalifah dalam pandangan para ulama salaf, tidak ada
ada perbedaan kecuali segelintir orang. Menurut Imam Abu Hasan al-Mawardi,
hukumnya wajib berdasarkan ijma, sekalipun Abu Bakar al-Asham dari pembesar
muktazilah menyelisihinya.8
Agar memberikan penjelasan yang komprehensif, berikut penulis
sampaikan berdasarkan pendapat ulama empat madzhab (madzhab Syafiiah,
Malikiyah, Hanabilah dan Hanafiyah) sebagai berikut,
1. Madzhab Syafi‟i
Dalam kitab Syarah Shahîh Muslim, Imam Abu Zakaria an-Nawawi
mengatakan bahwa hukum mengangkat khalifah wajib. Ia berkata sebagai berikut,
7 Ibnu Khaldun, Mukaddimah, Penerjemah Ahmadie Thoha (Jakarta : Pustaka Firdaus,
2011), h. 233 8 Abu al-Hasan bin Ali bin Muhammad bin Muhammad Al-Mawardi, al-Ahkam as-
Shulthoniyah (Mishr : Dâr al-Hadits(, h. 15.
16
Artinya: Para ulama sepakat bahwa wajib atas kaum Muslim mengangkat
seorang khalifah. Kewajiban ini ditetapkan berdasarkan syariah, bukan
berdasarkan akal. Adapun apa yang hikayatkan dari al-Asham bahwa ia
berkata, “Tidak wajib,” juga selain Asham yang menyatakan bahwa
mengangkat seorang khalifah wajib namun berdasarkan akal, bukan
berdasarkan syariah, maka dua pendapat ini batil.
2. Madzhab Hanafi
Imam „Alauddin al-Kasani, seorang ulama besar dari mazhab Hanafi
menyatakan:
Artinya: Sebab, mengangkat Imam al-A‟zham (Khalifah) adalah fardhu, tidak ada
perbedaan pendapat di antara ahlul haq. Tidak bernilai sama sekali—
penyelisihan sebagian kelompok Qadariyah—karena adanya Ijmak
Sahabat ra. atas kewajiban itu; juga karena adanya kebutuhan terhadap
Khalifah, agar bisa terikat dengan hukum-hukum (syariah), membela
orang yang dizalimi dari orang yang zalim, memutus perselisihan yang
menjadi sebab kerusakan dan berbagai kemaslahatan lain yang tidak
mungkin bisa tegak tanpa adanya seorang imam (khalifah).
3. Madzhab Maliki
Imam al-Qurthubi, dalam tafsirnya, al-Jaami‟ Li Ahkaam al-Qur‟an,
menafsirkan surat al-Baqarah ayat 30 sebagai berikut,
9 Abu Zakaria an-Nawawi, Syarh Shahih Muslim (Mishr : Daâr al-Hadits : 2001, Juz VI,
cet. Keempat), h. 446. 10
„Alâuddin al-Kasani, Badâiطu as-Shonâطi Fî Tartîb as-Syarâ‟I, (Dâr al-Kutub, 1986,
Juz VII cet. Kedelapan, al-Maktabah as-Syamilah), h.1.
17
11
Artinya: Ayat ini adalah dalil asal atas kewajiban mengangkat seorang imam
atau khalifah yang didengar dan ditaati, yang dengan itu kalimat
(persatuan umat) disatukan dan dengan itu dilaksanakan hukum-hukum
Khalifah. Tidak ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban ini, baik
di kalangan umat maupun kalangan para ulama, kecuali yang
diriwayatkan dari al-Asham
4. Madzhab Hanbali
Imam Umar bin Ali bin Adil al-Hanbali, seorang ulama mazhab Hanbali,
menyatakan:
Artinya: Ayat ini, -surat al-Baqoroh ayat 30- adalah dalil yang menunjukkan
kewajiban mengangkat seorang imam atau khalifah yang wajib didengar
dan ditaati, yang dengannya disatukan kalimat (persatuan umat), dan
dilaksanakan hukum-hukum Khalifah. Tidak ada perbedaan pendapat
mengenai kewajiban itu antara para ulama kecuali yang diriwayatkan
dari al-Asham dan pengikutnya.
C. Hukum Eksistensi Khilafah Menurut Ulama Kontemporer
Berangkat dari pemahaman hubungan agama dengan negara dalam
konteks modern, Masykuri Abdillah dalam bukunya Islam dan Dinamika Sosial
Politik di Indonesia, membagi hal tersebut dalam tiga bentuk, yaitu Integrated
(penyatuan agama dengan negara), intersectional (persinggungan agama dengan
negara) dan sekuleristik (pemisahan agama dengan negara)13
. Perdebatan ini
muncul terutama sejak adanya interaksi antara masyarakat Islam dan Barat yang
11
Muhammad al-Qurtubi, al-Jâmi‟ li Ahkâm al-Qur‟an (Mishr : Dâr al-Kutub, 1964, Juz I,
cet. Kedelapan, al-Maktabah as-Syamilah), h. 264. 12
Sirâj ad-din Umar bin Ali, al-lubâb Fî Ulûm al-Kitâb (Beirut : Dâr al-Kutub: 1998, Juz
I, cet. Pertama, al-Maktabah as-Syamilah), h. 501.
13
Masykuri Abdillah, Islam dan Dinamika Sosial Politik di Indonesia (Jakarta :
Gramedia, 2011), h. 8.
18
membawa sistem mereka bersamaan dengan penjajahan mereka di bagian besar
negara-negara Muslim. Pada umumnya pemikiran politik Islam kontemporer ini
merespons sistem politik Barat, seperti nasionalisme, nation state, demokrasi,
sosialisme dan sebagainya. Respon ini adakalanya menolak sepenuhnya,
mendukung sepenuhnya, atau menolak sebagian dan mendukung sebagian.
Kelompok pertama (konservatif) misalnya menolak sistem politik Barat,
kelompok kedua (modernis) mendukung sebagian secara selektif, sedangkan
kelompok ketiga (sekuler) mendukung sepenuhnya.14
, dan dari ketiga bentuk ini
menurut penulis, memengaruhi apakah wajib negara Islam (al-khilafah)
berdasarkan ismun wa musamma bihi, atau tidak wajib dalam artian legal-
formacy, tetapi selektif-subtantif (mengutamakan nilai-nilai universal ajaran
Islam), atau tidak wajib non selektif-subtantif dan non formatif.
Berikut beberapa pendapat pemikir kontemporer tentang hubungan agama
dengan negara,
1. Kelompok yang setuju dengan bentuk Integrated (penyatuan agama
dengan negara)
Kelompok ini memiliki pandangan bahwa agama dan politik adalah
menyatu, tak terpisahkan. Dalam pandangan kelompok ini negara tidak bisa
dipisahkan dari agama, karena tugas negara adalah menegakan agama sehingga
negara Islam atau Khilafah Islamiyah menjadi cita-cita bersama. Karena itulah,
syariat Islam menjadi hukum negara yang dipraktikkan untuk seluruh umat
Islam.15
Kelompok ini diwakili oleh,
14
Ibid., h. 7.
15
Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik
Islam (Jakarta : Erlangga, 2008), h. 39-40.
19
a. Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935) yang menulis al-Khilâfah wa al-
Imâmah al-Uzhma (Kekhilafahan atau Kepemimpinan Agung) dan tafsir
al-Manar.
b. Hasan bin Ahmad bin Abdurrahman al-Banna atau yang lebih dikenal
dengan nama Hasan al-Banna (1906-1949 M) pendiri gerakan Ikhwanul
Muslimin.
c. Abu al-A‟la al-Maududi (1903-1979 M) yang menulis al-Khilâfah wa al-
Mulk (Khilafah dan Kerajaan) dan Islamic Law and Constitution. Ia juga
pendiri Jama‟at Islami di Pakistan.
d. Sayyid Quthb (1906-1966 M) ideologi gerakan Ikhwanul Muslimin yang
menulis al‟Adâlah al-Ijtimâ‟iyah fî al-Islam (Keadilan Sosial dalam Islam)
dan Ma‟âlim at-Thâriq (petunjuk jalan).
e. Imam Khomeini (1900-1989 M) pemimpin Revolusi Islam Iran 1979 M
dan penggagas konsep wilâyat al-faqih yang menulis Hukûmat al-Islâmi
(Sistem Pemerintahan Islam).16
2. Kelompok yang setuju dengan bentuk Intersectional (persinggungan
agama dengan negara)
Sementara kelompok kedua, memiliki pandangan bahwa agama dengan
politik melakukan simbiosis atau hubungan timbal balik yang saling bergantung.
Agama membutuhkan negara untuk menegakkan aturan-aturan syariat. Sementara
negara membutuhkan agama untuk mendapatkan legitimasi. Para pemikir ini
menunjukan garis pemikiran politik yang moderat dengan tidak mengabaikan
pentingnya negara terhadap agama. Tokoh kelompok ini sebagai berikut,
16
Ibid., h. 40.
20
a. Muhammad Abduh (1849-1905 M) tokoh pembaharu Mesir.
b. Muhammad Iqbal (1873-1938 M) bapak pendiri negara Pakistan.
c. Muhammad Husain Haikal (1888-1945 M) yang menulis Hayâtu
Muhammad (Sejarah Hidup Muhammad), Fî Manzil al-Wahyi (Kedudukan
Wahyu), dan al-Hukûmat al-Islâmiyat (Pemerintahan Islam).
d. Fazlur Rahman (1919-1988 M) bapak pembaharu Pakistan yang menulis
Islam, and Modernity, dan Major Themes of the Qur‟an.17
Menurut Husain Haikal -salah satu yang setuju dengan bentuk seperti ini-
karena dalam Islam tidak terdapat sistem pemerintahan yang baku (nizam
muqarrar atau nizam tsabit). Islam hanya meletakkan seperangkat tata nilai etika
yang dapat dijadikan sebagai pedoman dasar bagi pengaturan tingkah laku (suluk)
manusia dalam kehidupan dan pergaulan dengan sesamanya.18
3. Kelompok yang setuju dengan bentuk Sekuleristik (pemisahan agama
dengan negara)
Kelompok ini memiliki pandangan bahwa agama harus dipisahkan dengan
negara dengan argumentasi Nabi Muhammad Saw tidak pernah memerintahkan
untuk mendirikan negara. Terbentuknya negara dalam masa awal Islam hanya
faktor alamiah dan historis dalam kehidupan masyarakat, sehingga tidak perlu
umat Islam mendirikan negara Islam atau Khilafah Islamiyah. Kelompok ini
diwakili oleh,
a. Ali Abd al-Raziq (1888-1966 M) yang menulis al-Islâm wa Usûl al-
Hukm: Ba‟ts fi al-Khilâfah wa al-Hukûmah fî al-Islâm (Islam dan
Pemerintahan: Kajian tentang Khilafah dan Pemerintahan dalam Islam).
17
Ibid., h. 41.
18
Musdah Mulia, Negara Islam (Depok : KataKita, 2010), h. 229.
21
b. Thaha Husein (1889-1973 M) yang menulis Mustaqbal al-Tsaqôfah fî al-
Mishr (Masa Depan Kebudayaan Mesir)
c. Mustafa Kemal Attaturk (1881-1938 M) pendiri Republik Turki Modern.19
Kelompok ini juga berkeyakinan, demikian tulisan Sukron Kamil, bahwa
Islam adalah agama murni bukan negara. Negara, karenanya, adalah persoalan
sekuler (duniawi) yang pertimbangannya adalah akal dan moralitas kemanusiaan
yang bersifat duniawi semata. Negara tidak harus diatur agama. Demikian juga
sebalikya, negara juga tidak boleh mengintervensi urusan agama, karena agama
adalah urusan pribadi dan keluarga. pemikir yang termasuk tipologi seperti ini,
seperti Ali bin Abd ar-Raziq, A. Lutfi Sayyid dan Soekarno di Indonesia.20
D. Bentuk Pemerintahan Islam Menurut Ulama Kontemporer
Ulama modern memiliki pandangan yang berbeda-beda mengenai sistem
pemerintahan Islam. Menurut Yusuf Qardawi, sistem pemerintahan Islam adalah
Negara Madani yang ditegakkan berdasarkan pemilihan, bai‟at dan musyawarah.
Kepala negara bertanggung jawab di hadapan rakyat. Setiap individu masyarakat
berhak untuk menasehati penguasa, menyuruhnya berbuat ma‟ruf dan
melarangnya berbuat mungkar. Bahkan Islam menganggap hal itu sebagai
kewajiban kolektif, atau kewajiban individual bagi yang sanggup ketika orang lain
tidak sanggup melakukannya.21
Adapun dengan Dhiauddin Rais, menurutnya pemerintahan Islam bukan
demokrasi dalam pengertian sempit, bukan juga kerajaan, bahkan menurutnya
19
Ibid., h. 42.
20
Sukron Kamil, Pemikiran Politik Islam Tematik (Jakarta : Kencana, 2013), h. 26.
21
Yusuf Qardhawi, Fiqh Negara, Penerjemah Syafril Halim, (Jakarta: Robbani Pres,
1999, cet. Kedua), h. 68.
22
tidak sama dengan pemerintahan apa pun. Sebab, dalam pemerintahan Islam
terdapat dua kedaulatan yaitu kedaulatan umat dan undang-undagn (syariat). Umat
dan syariat inilah yang memiliki kedaulatan secara bersamaan. Hanya saja, jika
pun ingin memberikan embel-emebel demokrasi dengan tetap memperhatikan
perbedaannya, maka dapat disatukan dalam pengungkapan yang simple dan
ringkas yaitu sebagai Demokrasi Islam.22
Sementara Abu A‟la al-Maududi, penejelasan kekhilafahan yang
dianugerahkan Allah kepada orang yang beriman merupakan kekhilafahan umum
dan bukan kekhilafahan terbatas. Tidak ada pengistimewaan untuk keluarga,
kelompok atau ras tertentu. Setiap mukmin adalah khalifah tuhan sesuai dengan
kemampuan individunya. Dengan demikian dia secara individu bertanggungjawab
kepada tuhan.23
Khalifah-khalifah Allah maksudnya kaum muslimin mengangkat seorang
khalifah sebagai wakil mereka untuk menerapkan aturan dari pencipta yang telah
diletakan ke pundak khalifah-khalifah tersebut. Karena kedaulatan adalah hak
Allah, sedangkan hak mengangkat khalifah di pundak kaum muslimin, maka
konsep semacam ini yang oleh al-Maududi disebut dengan istilah Teo-Demokrasi
atau Demokrasi Ilahi.24
E. Cara Pengangkatan Khalifah dan Prinsip Pemerintahan Islam
Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, dalam bukunya Fiqh Siyasah
mengatakan, baik al-Quran maupun Sunnah tidak pernah menetapkan suatu cara
22
Muhammad Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, Penerjemah Abu Hayyie al-Kattani,
et.all (Jakarta : Gema Insani, 2001), h. 312.
23
Abu A‟la al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, Penerjemah Muhammad al-Baqir,
(Bandung: Mizan, 2007, cet. Pertama), h.255. 24
Ibid., h. 171.
23
atau mekanisme tertentu memilih seorang kepala negara/presiden. Karena itu,
dalam pentas sejarah ketatanegaraan Islam muncul berbagai model atau cara
pengakatan kepala negara Islam, memulai dari yang dianggap demokratis dan
damai sampai kepada cara yang dianggap tidak demokratis dan didahului
peperangan atau revolusi berdarah-darah.25
Menurutnya pula, ia mengutip beberapa pendapat pemikir kontemporer,
ada beberapa cara yang pernah terjadi pada masa awal Islam, diantaranya dengan
metode penunjukan langsung oleh Allah, penunjukan oleh Allah dan Rasulnya,
pemilihan oleh ahl al-halli wa al-aqdi, penunjukan melalui wasiat, pemilihan oleh
tim formatur, revolusi atau kudeta, pemilihan langsung oleh rakyat, penunjukan
berdasarkan keturunan.26
Adapun Ibnu Taimiyah, yang dikutip Abdul Karim Zaidan dalam
karyanya, Masalah Kenegaraan dalam Pandangan Islam, Imamah –yaitu
kepemimpinan negara- dikukuhkan melalui baiat bukan penunjukan
pendahulunya.27
Sementara Abu al-Hasan al-Mawardi, menurutnya terdapat dua
cara pemilihan khalifah yaitu dengan penunjukan orang sebelumnya dan dengan
pemilihan ahl al-hal wa al-aqd.28
Keduanya diperbolehkan. Adapun penunjukan
oleh orang sebelumnya, hal ini didasarkan pada dua argumentasi yaitu penunjukan
Abu Bakar terhadap umar dan kaum muslimin tidak menginkari
25
Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik
Islam (Jakarta : Erlangga, 2008), h. 124. 26
Ibid., 27
Abdul Karim Zaidan, Masalah Kenegaraan dalam Pandangan Islam (Jakarta :
Yayasan al-Amin, 1984), h. 18.
28
Abu al-Hasan bin Ali bin Muhammad bin Muhammad Al-Mawardi, al-Ahkam as-
Shulthoniyah (Mishr : Dâr al-Hadits(, h. 15.
24
kepemimpinannya, sementara yang kedua, karena umar menunjuk dewan
formatur untuk menentukan khalifah penggatinya.29
Beragamnya pendapat mengenai mekanisme pemilihan khalifah, tidak
terlepas dari beragamnya tatacara pemilihan khalifah yang empat dan tradisi
Khilafah Umayah hingga Turki Utsmani. al-Baghadadi yang dikutip Mujar Ibnu
Syarif mensinyalir tidak ada kesepakatan pendapat tentang tata cara pengisian
jabatan kepala negara, apakah melalui penunjukan atau pemilihan, banyak pemikir
politik muslim kontemporer semisal Muhammad Dhiya al-Din al-Rais,
Taqiyuddin an-Nabhani, dan Abd al-Rashid Moten, secara tegas menyatakan, di
masa kontemporer sekarang ini pengisian jabatan kepala negara mesti melalui
cara pemilihan.30
Alasannya karena sejak awal, menurut Abd al-Rashid Moten, Islam telah
memerintahkan agara kepala negara dipilih berdasarkan musyawarah. Perintah
tersebut, tegas dia, termaktub dalam ayat 38 surah as-Syura dan ayat 159 surat Ali
Imran yang sama-sama berisi perintah umat Islam untuk memilih kepala
negaranya berdasarkan musyawarah. Selain dengan kedua ayat tersebut, ia juga
mendukung dengan ucapan Umar ibn al-Khattab yang menyatakan, “Tidak ada
khalifah kecuali dengan musyawarah”31
Karena agama Islam tidak hanya merupakan sistem kepercayaan dan etika-
moral, tetapi juga mencakup sistem kemasyarakatan dan kenegaraan, sehingga ia
29
Ibid., h. 30-31. 30
Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik
Islam (Jakarta : Erlangga, 2008), h. 159.
31
Ibid.,
25
lebih tepat disebut sebagai way of life bagi pemeluknya,32
tetapi seperti menurut
sebagian pemikir politik Islam kontemporer, tidak juga mesti dilegalformalkan,
maka seperti dalam buku Makyuri Abdillah, Islam memiliki beberapa prinsip
dasar dalam kemasyarakatan diantaranya,
1. Keadilan (al-„adâlah)
Nilai ini antara lain terdapat dalam Q.S. Al-Maidah ayat 8 yang berbunyi,
Artinya: Hai orang-orang yang beriman,hendaklah kamu menjadi orang-orang
yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi
dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu
kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena
adil itu lebih dekat kepada takwa.
Pendapat para ulama masa lalu tentang adil masih relevan hingga kini
yakni menempatkan sesuatu secara proporsional. Dalam Islam, nilai keadilan ini
tidak hanya dipraktikan dalam konteks perundangan dan pemerintahan, tetapi juga
dalam kehidupan sehari-hari dan dalam wilayah yang paling kecil seperti
kehidupan rumah tangga.33
2. Kepercayaan dan akuntabilitas (al-Amânah)
Nilai ini antara lain terdapat dalam QS. An-Nisaa ayat 58 yang berbunyi,
32
Masykuri Abdillah, Islam dan Dinamika Sosial Politik di Indonesia (Jakarta :
Gramedia, 2011), h. xii
33
Ibid., h. xv.
26
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya, dan apabila menetapkan hukum
hendaknya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaiknya kepada kamu.
Konsep amanah yang awalnya hanya diartikan kepercayaan (trust) kini
pengertiannya berkembang menjadi pertanggungjawaban (akuntabilitas) dalam
melaksanakan kepercayaan (amanah atau mandate) baik kepada Allah maupun
kepada orang/lembaga yang memberikannya.
3. Persaudaraan (al-Ukhuwwah) dan kemajemukan (at-Ta‟addudiyah)
Kedua nilai ini antara lain terdapat dalam QS. Al-Hujurat ayat 10 yang berbunyi,
Artinya: Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara.
Adapun dalam hadits, yaitu Janganlah kamu saling membenci, jangan
saling dengki dan iri, dan jangan pula saling memusuhi, jadilah hamba Allah
yang bersaudara (HR. Bukhari) dengan pelaksanaan ijtihad kontemporer tentang
hubungan antarwarga negara pada saat ini yang mengalami perkembangan,
persaudaraan ini kemudian dikembangkan menjadi ukhuwah insaniyyah
(persaudaraan kemanusiaan), yang didukung oleh ayat QS. Al-Hujurat : 13 yakni,
Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan,dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-
suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di
antara kamu adalah yang paling beretakwa.34
4. Kesejahteraan
34
Ibid., h. xvi.
27
Prinsip kesejahteraan dalam nomokrasi Islam bertujuan mewujudkan
keadilan sosial dan keadilan ekonomi bagi seluruh anggota masyarakat. Tugas itu
dibebankan kepada penyelenggara negara dan masyarakat. Pengertian keadilan
sosial dalam nomokrasi Islam bukan hanya sekedar pemenuhan kebutuhan materil
dan kebendaan saja, akan tetapi mencakup pula pemenuhan kebutuhan spiritual
dari seluruh rakyat. Negara berkewajiban memperhatikan dua macam kebutuhan
itu dan menyediakan jaminan sosial untuk mereka yang kurang atau tidak
mampu.35
5. Persamaan (al-Musâwah)
Nilai ini antara lain terdapat dalam QS. Al-Hujurat ayat 13 di atas dan
sebuah hadits yang merupakan pidato perpisahan Nabi yakni,
Artinya: Sesungguhnya leluhurmu adalah satu yaitu adam. Karena itu tidak ada
perbedaan antara orang Arab dan non Arab, antara orang yang berkulit
merah dengan yang berkulit hitam, kecuali karena takwanya kepada
Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.
Secara operasional konsep persamaan ini mengandung perdebatan di
antara ulama dan intelektual muslim, terutama persamaan antara lelaki dengan
perempuan serta antara muslim dan non-muslim. Namun umumnya mereka telah
35
Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya
Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini
(Jakarta: Prenada Media, 2003, cet. Pertama), h. 150.
28
berusaha untuk memahaminya secara progresif, tanpa menyalahi pemahaman
standar yang dikemukakan oleh mayoritas ulama.36
6. Permusyawaratan (as-Syûrâ)
Nilai ini terdapat dalam QS. Ali Imrân ayat 159 yaitu, …. وشاورهم في الأمر
(Bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu). Nilai ini mengandung
pengertian adanya partisipasi warga dalam pengambilan keputusan putusan
publik, penyelesaian masalah serta dalam monitoring atau control terhadap
pelaksanaan keputusan.37
7. Perdamaian (as-Silm)
Nilai ini terdapat dalam QS. Al-Anfâl ayat 61, yakni وإن جنحىا للسلم فاجنح لها
Jika mereka (musuh) condong ke perdamaian, maka) وتىكل على الله إنه هى السميع العليم
condonglah kepadanya dan bertawakal kepada Allah). Ayat ini turun ketika
hubungan antarkelompok dalamkondisi sosial pada saat itu didasarkan pada
prinsip konflik. Perdamaian di antara kelompok-kelompok sosial/suku pada waktu
itu hanya terjadi jika ada perjanjian („ahd) di antara mereka. Namun,kini
hubungan antarkelompok/negara didasarkan pada prinsip perdamaian sehingga
para ulama dan intelektual muslim kini menjadikan nilai perdamaian ini sebagai
nilai dasar dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.38
F. Peran dan Tujuan Jamaah
Sesungguhnya organisasi kemasyarakatan (Ijtima‟ insani) umat manusia
adalah satu keharusan. Para filosof (ak-hukama) telah melahirkan kenyataan ini
36
Masykuri Abdillah, Islam dan Dinamika Sosial Politik di Indonesia (Jakarta :
Gramedia, 2011), h. xvii 37
Ibid., 38
Masykuri Abdillah, Islam dan Dinamika Sosial Politik di Indonesia (Jakarta :
Gramedia, 2011), h. xviii lihat juga Musdah Mulia, Negara Islam h. 133-196.
29
dengan perkataan mereka : “manusia adalah bersifat politis menurut tabiatnya”
(al-insanu madaniyyun biathabi‟). Ini berarti, ia memerlukan satu organisasi
kemasyarakatan, yang menurut para filosof dinamakan “kota”39
. Tidak hanya itu,
fenomena berkelompok juga disebabkan secara bawaan, manusia memiliki naluri
mempertahankan diri. Maksud naluri, adalah khasiat yang merupakan fitrah
penciptaannya supaya manusia bisa mempertahankan eksistensinya, keturunan
dan mencari petunjuk mengenai keberadaan Sang Pencipta.40
Kalimat Jama‟ah adalah masdar dari jama‟a yajma‟u jam‟an jama‟atan
yang berarti kelompok41
atau ummah. Meskipun ummah dimaknai secara umum
seperti Umat Islam atau Umat Muhammad, (Q.S. Ali Imron : 111), atau Jamâh,
wal Qaum min an-Nâs,42
tetapi terkadang kalimat ummah juga dimaknai
kelompok seperti dalam ayat,
. Pengertian ini terdapat dalam Tafsir at-Thobari, Jaamiul Bayan
„an Tawil Ayyi al-Qur‟an 43
Sebagian kewajiban yang dibebankan as-Syaari kepada mukallaf, ada
yang bersifat „ainiy (fardu „ain) dan ada juga yang bersifat kifaaiy (fardu kifayah).
39
Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011, cet.
Kesepuluh), h.71.
40
Hafidz Abdurahman, Diskursus Islam dan Politik (Bogor : Al-Azhar Press, 2011, cet.
Kedua), h. 51.
41
A.W. Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997, cet. XIV), h. 209.
42 Husein bin Muhsin Bin Ali Jabir, Membentuk Jama‟atul Muslimin (TT), h. 39.
43
At-Thabari, Jâmi al-bayan „an Ta‟wil Ây al-Qur‟an (al-Maktabah as-Syaamilah), h. 90.
30
Adapun fardu „ain adalah kewajiban yang secara substantif, mesti dilakukan oleh
setiap mukallaf. Artinya, jika soerang Muslim meninggalkannya, status kewajiban
tersebut tidak lantas gugur karena dirinya, meskipun seluruh umat Islam yang lain
telah melaksanakannya. Sebaliknya, seandainya kewajiban tersebut hanya
dilaksanakan oleh dirinya sendiri, sementara seluruh umat Islam
meninggalkannya, maka kewajiban tersebut telah gugur dari dirnya, dan di
hadapan Allah SWT ia telah terbebas dari kewajiban itu. Sementara kewajiban
yang bersifat kifaaiy, adalah kewajiban yang dituntut agar terlaksana tanpa
memperhatikan siapa yang melaksanakannya dari kalangan umat Islam. 44
hanya
saja, bukan berarti bila fardu kifaayah, seperti kewajiban mengurus jenazah,
secara otomatis menggugurkan kewajiban Muslim yang lain. Sebab, maksudnya
gugur kewajiban tersebut bila telah ditunaikan secara sempurna. 45
Oleh karena itu, dalam buku al-Fikru al-Islamiy, oleh Muhamad Mahmud
Ismail, Fardu Kifaayah didefinisikan sebagai berikut,
ولا يسقط اىفشض تحاه الأحىاه حتى يقا تاىعو اىزي فشض ويستحك تاسك اىفشض اىعقاب
يقى ته ولا فشق فى رىل تي فشض اىعي واىفشض عيى اىنفايح ويظو اثا حتى , عيى تشمه
46فنيها فشض عيى جيع اىسيي
Artinya: Sebuah kewajiban, dalam kondisi apa pun, tidaklah gugur sama sekali
sampai berhasil ditegakkan. Orang yang meninggalkan kewajiban layak
mendapatkan sanksi karena tindakannya itu dan tetap dipandang
berdosa sampai dia bisa melaksanaknnya. Dalam hal ini, tidak ada
perbedaan antara fardhu „ain dan fardhu kifaayah. Keduanya memiliki
konotasi yang sama yaitu wajib bagi segenap kaum muslimin.
44
Ahmad Mahmud, Dakwah Islam (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2009, cet. kedua),
h.35.
45 Ibid., h. 37.
46 Muhammad Mahmud Ismail, al-Fikru al-Islamiy (Beirut: al-Wa‟I, 1958), h. 16.
31
Pembagian sifat kewajiban ini juga karena ada pembagian taklif perintah
as-syaari yaitu : (1) taklif untuk individu seperti shalat, puasa, zakat dan
sebagainya, (2) taklif untuk masing-masing individu umat Islam tetapi boleh dan
bahkan wajib dilaksanakan imam jika yang bersangkutan tidak mampu seperti
memberi nafkah kepada pihak tertentu bila pihak yang bertanggungjawab
menafkahi tidak mampu menunaikannya, (3) taklif untuk kepala negara dan boleh
dilaksanakan oleh individu dalam beberapa kondisi. Contohnya melakukan jihad
tatkala musuh tiba-tiba masuk ke daerah kaum muslimin. Sekalipun belum ada
perintah jihad oleh khalifah, tetapi kaum muslimin boleh melakukan perlawanan,
(4) taklif untuk imam saja dan tidak boleh dilakukan pihak lain seperti
menerapkan pidana Islam, perjanjian damai dengan Negara lain dan sejenisnya,
(5) dan taklif untuk jama‟ah seperti Amar Makruf Nahi Munkar47
Dengan demikian, Amar Makruf Nahi Munkar menjadi sesuatu yang
sangat penting dalam rangka mewujudkan kewajiban kifaayah agar terlaksana
dengan sempurna. Sementara, bila belum tertunaikan dengan sempurna, maka
kaum Muslimin secara keseluruhan terkena dosa bila berpangku tangan. Hujjatul
Islam al-Ghazali rahimahullah bertutur dalam bukunya Ihyâ „Ulûm ad-Dîn –
penulis mengutip dari buku Ahmad Mahmud- sebagai beriktu,
فا الأش تاىعشوف واىهى ع اىنش هى اىقطة الأعظ فى اىذي وهى اىه اىزي : أا تعذ
وىى طىي تساطح وأهو عيه وعيه ىتعطيح اىثىج واضحيت , ىه اىثيي أجعياتتعث الله
و خشتت , واىتسع اىخشق, واستشش اىفساد, وشاعت اىجهاىح, اىذياح وعح اىفتشج وفشت اىضلاىح
و هيل اىعثاد, اىثلاد
47
Ahmad Mahmud, Dakwah Islam (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2009, cet. Kedua),
h. 52.
32
Artinya : „Amma ba‟d, sesungguhnya amar makruf nahi munkar merupakan
bagian paling agung dalam agama dan merupakan tugas yang untuknya
Allah mengutus para nabi seluruhnya. Seandainya amar makruf nahi
mungkar ini “dipetieskan”, sementara ilmu dan pengamalannya
diremehkan, maka tidak aka nada kenabian, agama akan rusak, masa
kevakuman (dari kenabian) tidak dapat dihindari, kesesatan akan segera
tersebar luas, kebodohan akan menjadi hal biasa, kerusakan akan
merajalela, pelanggaran akan semakin meluas, negeri-negeri akan
hancur dan manusia akan binasa. 48
Dengan demikian, tujuan keberadaan jama‟ah adalah menyeru kepada al-
khair seperti dalam Q.S. Ali Imran: 110 di atas, dan Amar Makruf Nahi Munkar.
Adapun maksud alkhair, sebagaimana yang dijelaskan Ibnu Katsir dalam
tafsirnya, adalah mengikuti al-Qur‟an dan as-Sunnah49
sementara dalam tafsir at-
Thobari, al-Khair adalah al-Islam.50
. Sehingga, dengan demikian pula, dari amar
makruf nahil munkar menghasilkan kepada tujuan akhir semua Jamaah Islamiyah
yakni terwujudnya baldatun thayyibatun warabbun ghafur yaitu sebuah negara
yang terdiri atas masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera yang diridhai oleh
Allah SWT.51
G. Beberapa Upaya Jamaah dalam Menegakan Khilafah
Seperti yang penulis sampaikan pada bagian pendahuluan, sejak
keruntuhannya Kekhilafahan Islam 1924 M di Istambul, dan sejak Eropa bangkit
dengan demokrasinya, sebagian yang menolak konsep Demokrasi, telah berupaya
48
Muhammad Mahmud Ismail, al-Fikr al-Islamiy (Beirut: al-Wa‟I, 1958), h. 17.
49
Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-„Adzim (Dâr at-Tayyibah, 1999, al-Maktabah as-
Syaamilah), h. 91.
50
Muhammad Ibnu Jarir at-Thabari, Jâmi al-Bayan „an Ta‟wil Ây al-Qur‟an, (Dâr al-
Hijah, 2001, Juz I, cet. Kesatu, al-Maktabah as-Syamilah), h. 90.
51 Ridho al-Hamdi, Partai Politik Islam Teori dan Praktik di Indonesia
(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), h. 10.
33
keras mendirikan kembali kekhilafahan. Tentu, dengan beragam metode. Hal ini
wajar, sebab sebelum kekhilafahan runtuh, tak ada satu pun ulama yang menulis
buku tentang bagaimana kaifiyat mendirikan khilafah jika suatu saat runtuh.
Sebagaimana saat ini tak ada satu pun politisi Barat yang menulis bagaimana
mendirikan kembali Kapitalisme jika suatu saat runtuh. Oleh sebab itu, wajar jika
terjadi perbedaan. Misalnya ada yang menggunakan jalur parlemen seperti al-
Ikhwan al-Muslimun,52
ada pula yang menggunakan jalur militer seperti al-Qaeda
termasuk ISIS, ada pula yang menggunakan jalur umat („an Tharîq al-Ummah)
seperti Hizbut Tahrir yang akan dibahas pada bab mendatang. Yang jelas, sampai
saat ini belum ada yang berhasil merealisasikannya.
52
Taufiq Yusuf, Pemikiran Politik Kontemporer al-Ikhwan al-Muslimun. Penerjemah
Wahid Ahmadi dan Arwani Amin (Solo: Era Intermedia, 2003), h. 147.
34
BAB III
BIOGRAFI TAQIYUDDIN AN-NABHANI
A. Silsilah Nasab
Seperti yang ditulis dalam terjemahan tesis Muhammad Muhsin Rodhi
dengan judul Tsaqofah dan Metode Hizbut Tahrir dalam Mendirikan Negara
Khilafah Islamiyah, nama lengkap Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani adalah Abu
Ibrahim Taqiyuddin Muhammad bin Ibrahim bin Mushthofa bin Isma‟il bin Yusuf
bin Hasan bin Muhammad bin Nashiruddin an-Nabhani. Ia dilahirkan di Ijzim
pada tahun 1909 M. keluarga ia termasuk keluarga terhormat dalam bidang
keagamaan dan pengetahuan.
Nisbat beliau kepada keluarga besar (trah) an-Nabhani dari Kabilah al-
Hanajirah di Bi'r as-Sab'a. Banu (keturunan) Nabhan merupakan orang
kepercayaan Bani Samak dari keturunan Lakhm yang tersebar di wilayah-wilayah
Palestina. Sedang Lakhm adalah Malik bin Adiy. Mereka memiliki bangsa dan
suku yang banyak. Pada akhir abad ke-2 Masehi sekelompok dari Bani Lakhm
tiba di Palestina bagian selatan. Lakhm memiliki kebanggaan-kebanggaan yang
teragung, dan di antaranya yang terkenal adalah Tamin ad-Dariy ash-Shahabiy.1
Syaikh Taqiyuddin hidup dalam lingkungan keagamaan yang kuat.
Pertama pendidikan dari Ayahnya, Ibrahim an-Nabhani yang merupakan tenaga
pengajar ilmu-ilmu syariat di Kementrian Pendidikan Palestina, dan kedua dari
1 Muhammad Muhsin Rodhi, Tsakofah dan Metode Hizbut Tahrir dalam Mendirikan
Negara Khilafah Islamiyah (Bogor: al-Izzah, 2008), h. 59.
35
kakeknya –jalur ibu- Syaikh Yusuf bin Ismail an-Nabhani2, tokoh besar pada
masa dinasti Utsmaniyah. 3
Pertumbuhan Syaikh Taqiyuddin dalam bimbingan kakeknya, memiliki
pengaruh besar dalam pembentukan kepribadiannya. Ia mengkhatamkan
menghafal al-Quran sebelum baligh –umur 13 tahun. Beliau juga diajari bahasa
arab, fiqh, ushul fiqh, syair, hadits dan ilmu-ilmu agama lainnya. Seiring dengan
pertumbuhannya, kakek beliau memasukannya dalam halqoh diskusi keagamaan
dan politik yang berada dalam asuhannya. Pada saat itu, Sang Kakek melihat
tanda-tanda kelebihan dan kejeniusan cucu. Kemudian, Sang Kakek menaruh
perhatian lebih dan sangat mencintainya. Lalu, beliau merekomendasikan kepada
ayah Syaikh Taqiyuddin untuk dikirim ke al-Azhar Cairo Mesir.
B. Pendidikan
Disamping beliau mendapatkan pendidikan langsung dari ayah dan
kakeknya, beliau juga sekolah dasar di madrasah negeri an-Nidzamiyah di ijzim,
kemudian melanjutkan ke sekolah menengah di Akka. Dan belum selesai di
sekolah ini, beliau –atas rekomendasi kakeknya- dipindahkan ke Al-Azhar Cairo
Mesir. Kemudian beliau melanjutkan sekolah menengah di Cairo ini pada tahun
1928 dan lulus dengan meraih Ijazah yang sangat memuaskan.
Setelah lulus, beliau melanjutkan ke Fakultas Dârul „Ulûm yang masih
merupakan cabang al-Azhar Cairo. Di samping itu, beliau juga aktif menghadiri
2 Syeikh Yusuf an-Nabhani (1265 H. - 1350 H./1849 M. - 1932 M.). Beliau adalah Asy-
Syeikh Yusuf bin Ismail bin Yusuf bin Ismail bin Hasan bin Muhammad an-Nabhani asy-Syafi'i.
julukannya Abul Mahasin. Beliau seorang penyair, sastrawan, sufi dan salah seorang qadhi yang
terkemuka. Nasabnya pada kabilah Bani Nabhan, satu kabilah Arab penghuni padang sahara di
Palestina. Syaikh Yusuf bin Ismail an-Nabhani juga termasuk salah satu guru Hadratus Syaikh
Hasim al-Asyari.
3 Muhammad Muhsin Rodhi, Tsakofah dan Metode Hizbut Tahrir dalam Mendirikan
Negara Khilafah Islamiyah (Bogor: Al-Izzah, 2008), h. 60.
36
kelompok-kelompok kajian (halaqoh-halaqoh) ilmiyah di Al- Azhar, yang
diadakan oleh para Syeikh, seperti yang telah disarankan oleh kakeknya, di
antaranya, kelompok kajian yang diadakan Syeikh Muhammad al-Hidhir Husain.
Hal itu dimungkinkan karena sistem pengajaran yang lama di Al-Azhar
membolehkannya. Di mana para mahasiswa dapat memilih beberapa Syeikh Al-
Azhar dan menghadiri halaqoh-halaqoh mereka mengenai bahasa dan ilmu-ilmu
syariah, di antaranya fiqih, ushul fiqih, hadits, tafsir, tauhid (ilmu kalam), dan
yang sejenisnya. Syeikh Taqiyuddin selesai kuliahnya di Fakultas Darul Ulum
tahun 1932 M. Dan pada tahun yang sama, beliau juga selesai kuliahnya di Al-
Azhar sesuai dengan sistem yang lama. Meskipun, Syeikh Taqiyuddin
menghimpun sistem Al-Azhar yang lama dengan Darul Ulum, namun beliau tetap
menampakkan keunggulan dan keistimewaannya dalam hal kesunguhan dan
ketekunannya dalam belajar.4
Syeikh Taqiyuddin sangat menarik perhatian kawan-kawannya, para
dosennya karena kecermatannya dalam berpikir dan kuatnya pendapat, serta
kuatnya hujjah yang dilontarkan dalam perdebatan- perdebatan, dan diskusi-
diskusi pemikiran, baik yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga ilmu yang
ada saat itu di Kairo maupun di negeri-negeri Islam lainnya. Syeikh Taqiyuddin
juga dikenal keistimewaannya, karena beliau sangatlah bersungguh-sungguh,
tekun dan bersemangat dalam memanfaatkan waktunya untuk menimba ilmu dan
belajar.
Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani memperoleh banyak Ijazah, yaitu: Ijazah
dengan predikat sangat memuaskan dari sekolah tingkat menengah (ast-
4 “Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani Pendiri Hizbut Tahrir” artikel di akses tanggal 20 Mei
2007 dari www.hizbut-tahrir.orid
37
tsanawiyah) Al-Azhar, Diploma jurusan bahasa Arab dan sastranya dari Fakultas
Darul Ulum Kairo, dan Diploma dari al-Ma'had al-Ali li al- Qadha' asy-Syar'iy
filial Al-Azhar jurusan peradilan. Tahun 1932 beliau lulus dari Al-Azhar dengan
memperoleh asy-Syahadah al'Alamiyah (Ijazah setingkat Doktor) pada jurusan
syariah.5
C. Karya Tulis dan Muridnya
Karya tulis beliau sangat banyak baik yang berkaitan dengan pemikiran
politk, ekonomi, filsafat, ideologi, sosial bahkan termasuk metodeloginya semisal
Ushul Fiqh. Beliaulah yang menulis seluruh pemikiran dan pemahaman Hizbut
Tahrir, baik yang berkenaan dengan hukum-hukum syara‟, maupun yang lainnya.
Inilah yang mendorong sebagian peneliti untuk mengatakan bahwa Hizbut Tahrir
adalah Taqiyyuddin An-Nabhani.
Karya-karya Taqiyuddin, baik yang berkenaan dengan politik maupun
pemikiran, dicirikan dengan adanya kesadaran, kecermatan, dan kejelasan, serta
sangat sistematis, sehingga beliau dapat menampilkan Islam sebagai ideologi yang
sempurna dan komprehensif yang di-istimbath dari dalil-dalil syar‟i yang
terkandung dalam al-Kitab dan as-Sunnah. Karya-karya beliau dapat dikatakan
sebagai buah usaha keras pertama yang disajikan oleh seorang pemikir muslim
pada era moderen ini di dalam jenisnya.
Karya-karya Taqiyuddin an-Nabhani yang paling terkenal, yang memuat
pemikiran dan ijtihad beliau antara lain :
1. Nizhâm al-Islâm.
2. At-Takattul Al Hizbi.
5 Muhammad Muhsin Rodhi, Tsakofah dan Metode Hizbut Tahrir dalam Mendirikan
Negara Khilafah Islamiyah (Bogor: Al-Izzah, 2008), h. 62.
38
3. Mahâfim Hizb at-Tahrîr.
4. Nizhâm al-Iqthishâdi fî al-Islâm.
5. Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm.
6. Ad-Dustûr.
7. Muqaddimah ad-Dustûr.
8. Daulah al-Islâmiyah.
9. Asy-Syakhshiyah Al-Islâmiyah.,
10. Mafâhim Siyasiyah li Hizbit at-Tahrîr,.6
Semua ini belum termasuk ribuan selebaran-selebaran (nasyrah) mengenai
pemikiran, politik, dan ekonomi, serta beberapa kitab yang dikeluarkan atas nama
anggota Hizbut Tahrir –dengan maksud agar kitab-kitab itu mudah beliau
sebarluaskan– setelah adanya undang-undang yang melarang peredaran kitab-
kitab karya Syaikh Taqiyyuddin. Di antara kitab itu adalah: As-Siyâsah Al-
Iqthishâdiyah Al-Mutsla, Naqd al-Isytirâkiyah Al-Marksiyah, Kaifa Hudimat Al-
Khilâfah, Ahkâm al-Bayyinât, Nizhâm al-‘Uqûbat, Ahkâm as-Shalâh, Al-Fikru Al
Islami. Dan apabila karya-karya Syaikh Taqiyyuddin tersebut ditelaah dengan
seksama, terutama yang berkenaan dengan aspek hukum dan ilmu ushul, akan
nampak bahwa beliau sesungguhnya adalah seorang mujtahid yang mengikuti
metode para fuqaha dan mujtahidin terdahulu. Hanya saja, beliau tidak mengikuti
salah satu aliran dalam ijtihad yang dikenal di kalangan Ahlus Sunnah. Artinya,
beliau tidak mengikuti suatu madzhab tertentu di antara madzhab-madzhab fiqih
yang telah dikenal, akan tetapi beliau memilih dan menetapkan (men-tabanni)
ushul fiqih tersendiri yang khusus baginya, lalu atas dasar itu beliau meng-
6 Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani Pendiri Hizbut Tahrir” artikel di akses tanggal 20 Mei
2007 dari www.hizbut-tahrir.orid
39
istimbath hukum-hukum syara‟. Namun perlu diingat di sini bahwa ushul fiqih
Taqiyuddin An-Nabhani tidaklah keluar dari metode fiqih Sunni, yang membatasi
dalil-dalil syar‟i pada al-Kitab, as-Sunnah, Ijma‟ Shahabat, dan Qiyas Syar’iy,
yakni Qiyas yang illat-nya terdapat dalam nash-nash syara‟ semata.7
Adapun murid-murid Taqiyuddin adalah mereka yang secara langsung
halqoh pada generasi pertama. Di antaranya, Abdul Qadim Zallum, Atha bin
Khalil, Daud Hamdan, Ghanim Abduh dan lain-lain. Mereka juga yang
berperanserta dalam proses pendirian Hizbut Tahrir. Pengaruh guru kepada
muridnya juga sangat besar. Misalnya Atha bin Khalil yang menulis kitab Taisîr
Wushûl ila al-Ushûl. Kitab ini bukan hanya terpengaruh pemikiran Taqiyuddin,
tetapi lebih dari itu yakni memberikan pembahasan yang belum tertulis dalam
kitab ushul fiqh Taqiyuddin yang berjudul as-Syaksiyah al-Islâmiyah. Begitu juga
Abdul Qadim Zallum yang menulis ad-Dimuqratiyah Harâmun Akhdzuhu Wa
Tatbiquhu Wa Hamluhu tidak terlepas dari pemikiran Taqiyuddin an-Nabhani.
Bahkan dapat dikatakan, semua murid Taqiyuddin di seluruh dunia baik yang
berguru langsung atau berguru pada muridnya dan seterusnya, akan memiliki
corak pemikiran yang sama tentang politik, ekonomi dan ushul fiqh.
D. Kiprah Pekerjaan
Setelah selesai studinya, Taqiyuddin an-Nabhani kembali ke Palestina
untuk bekerja di Kementrian Pendidikan Palestina sebagai tenaga pengajar pada
sekolah menengah an- Nidzomiyah di Haifa, di samping beliau juga mengajar di
sekolah al-Islamiyah yang juga di Haifa, beliau berpindah-pindah lebih dari satu
kota dan sekolah sejak tahun 1932 M. hingga tahun 1938 M. Dimana beliau
7 “Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani Pendiri Hizbut Tahrir” artikel di akses tanggal 20 Mei
2007 dari www.hizbut-tahrir.orid
40
mengajukan permohonan untuk bekerja di Mahkamah Syariah. Tampaknya beliau
lebih suka bekerja di bidang peradilan (qadha'), sebab beliau menyaksikan bahwa
pengaruh penjajahan Barat di bidang pendidikan jauh lebih banyak daripada
pengaruhnya di bidang peradilan, khususnya, peradilan syariah. Oleh karena itu,
Taqiyuddin an-Nabhani lebih mengutamakan untuk menjauh dan meninggalkan
bidang pendidikan pada Kementrian Pendidikan. Beliau mulai mencari dan
mengkaji pekerjaan lain yang lebih sedikit mendapatkan pengaruh Barat. Beliau
tidak menemukan yang lebih baik dari Mahkamah Syariah. Sebab, Mahkamah
Syariah seperti yang beliau lihat masih menerapkan hukum-hukum syara'.
Berdasarkan hal itu, maka Taqiyuddin an-Nabhani lebih antusias dan lebih
senang bekerja di Mahkamah Syariah, di mana banyak di antara teman-teman
beliau yang dulu sama-sama belajar di al-Azhar asy-Syarif juga bekerja di sana.
Sehingga dengan bantuan mereka, Taqiyuddin an-Nabhani akhirnya diangkat
sebagai sekretaris di Mahkamah Syariah Beisan, lalu beliau dipindah ke Thabriya.
Namun demikian, cita-cita dan pengetahuan beliau di bidang peradilan
mendorongnya untuk mengajukan kepada al-Majlis al-Islamiy al-A'la (Dewan
Tertinggi Islam) sebuah nota permohonan yang isinya menuntut agar berlaku adil
kepadanya, dengan memberikan haknya. Di mana beliau percaya bahwa dirinya
punya kompetensi untuk menduduki jabatan peradilan. Setelah para pimpinan
peradilan memperhatikan nota permohonannya, mereka memutuskan untuk
memindahnya ke Haifa dengan jabatan sebagai Kepala Sekretaris (Basy Katib),
tepatnya di Mahkamah Syariah Haifa. Kemudian tahun 1940 beliau diangkat
sebagai Musyawir, yakni asisten qadhi. Beliau tetap dengan jabatan itu hingga
tahun 1945, di mana beliau dipindah ke Mahkamah Syariah di Ramallah, dan
41
beliau tetap di sana hingga tahun 1948. Setelah itu beliau pergi meninggalkan
Ramallah menuju Syam sebagai akibat dari jatuhnya Palestina ke tangan Yahudi.
Pada tahun 1948 itu juga, sahabatnya al-Ustadz Anwar al-Khatib mengirim surat
kepada beliau yang isinya meminta beliau agar kembali ke Palestina untuk
dianggkat sebagai qadhi di Mahkamah Syariah al-Quds. Taqiyuddin an-Nabhani
mengabulkan permintaan sahabatnya itu. Dan beliau pun diangkat sebagai qadhi
di Mahkamah Syariah al-Quds.
Kemudian, Kepala Mahkamah Syariah dan Kepala Mahkamah Isti'naf
yang ketika itu dijabat oleh yang mulia al-Ustadz Abdul Hamid as-Sa'ih
memilihnya sebagai anggota di Mahkamah Isti'naf. Beliau tetap menduduki
jabatan itu hingga tahun 1950, di mana beliau mengajukan surat pengunduran diri,
akibat dari pencalonan diri beliau di Dewan Perwakilan. Kemudian, pada tahun
1951, Taqiyuddin an-Nabhani datang ke Amman, dan bekerja sebagai tenaga
pengajar di Fakultas al- Ilmiyah al-Islamiyah. Beliau rahimahullah dipilih untuk
mengajar materi tsakafah Islam bagi para mahasiawa tingkat dua di Fakultas
tersebut. Aktivitasnya ini terus berlangsung hingga awal tahun 1953, di mana
beliau mulai sibuk dengan aktivitas Hizbut Tahrir yang telah beliau rintis antara
tahun 1949 hingga tahun 1953.8
E. Mendirikan Hizbut Tahrir
Barangkali peristiwa yang paling menonjol dalam sejarah kehidupan
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullahu ta'ala adalah berdirinya Hizbut
Tahrir. Hizb ini didirikan setelah beliau melihat realitas usaha parpol dan harakah
lain gagal meraih kebangkitan Islam. Oleh itu, dengan upaya yang dalam dan
8 Ibid., h. 63.
42
penelaahan yang cemerlang, menurutnya hanya dengan kelompok yang
aktifitasnya politik saja yang bisa membangkitkan umat Islam. Maka setelah
berkarir di peradilan, beliau pun tergerak mendirikan hizb ini yang sifatnya global
dengan asas yang sama yaitu Islam.9
Taqiyuddin an-Nabhani mulai melakukan aktifitas untuk tujuan
membentuk sebuah partai di kota al-Quds tahun 1948 M. Pada waktu itu beliau
sedang bekerja pada Mahkamah al-Isti’naf asy-Syar’iyah. Dalam upayanya
beliau terus melakukan kontak dan diskusi hingga mampu meyakinkan
sekelompok di antara para ulama terpandang, para hakim terkemuka serta para
tokoh politik dan pemikir terkenal untuk mendirikan sebuah partai politik yang
berasaskan Islam. Di antaranya adalah Syaikh Ahmad ad-Da‟ur, Namr al-Mishri,
Dawud Hamdan, Syaikh Abdul Qadim Zallum, Adil an-Nablusi, Ghanim Abduh,
Munir Syaqir, Syaikh As‟ad, Bayudl at-Tamimi dan lain-lain.10
Kemudian beliau menyodorkan kepada mereka kerangka organisasi partai
dan pemikiran-pemikiran yang dapat digunakan sebagai bekal tsakafah bagi partai
yang hendak didirikannya. Ternyata, pemikiran-pemikiran beliau dapat diterima
dan disetujui oleh mereka. Dengan begitu, maka aktifitas beliau pun menjadi
semakin padat dengan terbentuknya Hizbut Tahrir. Penyebaran dan publikasinya
pun mulai tersebar luas bahkan melebihi kuantitas yang sebenarnya. Sebab,
pemikiran-pemikirannya merupakan pemikiran baru dan jelas mengenai batasan
seperti apa bentuk Negara Islam, dan bagaimana syariat Islam dapat diterapkan
secara utuh dalam gambaran yang jelas.
9 “Hujjatul Islam: Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Pendiri Hizbut Tahrir” artikel diakses
tanggal 27 Februari 2012 dari http://republika.ac.id
10
Muhammad Muhsin Rodhi, Tsakofah dan Metode dalam Mendirikan Negara Khilafah
Islamiyah. Penerjemah Muhammad Bajuri dan Romli Abu Wafa (Jakarta: al-Izzah, 2008), h. 92.
43
Pada tahun 1952 M Taqiyuddin mengajukan permohonan kepada
Departemen Dalam Negeri Yordania sesuai Undang-Undang Organisasi al-
Utsmani yang berlaku waktu itu. Surat permohonan itu dilengkapi dengan
penjelasan mengenai latar belakang berdirinya partai politik, namanya,
sekretariatnya, alamatnya, dan anggaran dasarnya. Dalam surat itu dilengkapi juga
dengan struktur kepengurusan Hizbut Tahrir dengan susunan sebagai berikut,
1. Taqiyuddin, sebagai ketua Hizbut Tahrir.
2. Dawud Hamdan, sebagai wakil ketua merangkap sekretaris.
3. Ghanim Abduh, sebagai bendahara.
4. Dr. Adil an-Nablusi, sebagai anggota.
5. Munir Syaqir, sebagai anggota.
Kemudian, setelah Hizbut Tahrir melengkapi prosedur-prosedur yang telah
ditetapkan oleh Undang-Undang Organisasi al-Utsmani dan mengirimkan
permohonan pendirian partai kepada pemerintah sesuai dengan anggaran dasarnya
dan mempublikasikan pendiriannya melalui harian as-Sharih edisi 176 tanggal 14
Maret 1453 M. Dengan demikian, Hizbut Tahrir punya otoritas melakukan
seluruh kegiatan kepartaian secara langsung, serta mempraktekan seluruh aktifitas
kepartaian yang ditetapkan dalam anggaran dasarnya. Untuk memperlancar semua
itu, Hizbut Tahrir menyewa tempat di kota al-Quds di depan pintu al-Amud serta
memasang papan nama Hizbut Tahrir.
Setelah publikasi pendirian Hizbut Tahrir di harian ash-Sharih,
Departemen Dalam Negeri mengirim surat kepada Hizbut Tahrir yang isinya
pelarangan orgganisasi Hizbut Tahrir.
44
Kemudian pemerintah memanggil kelima tokoh pendiri Hizbut Tahrir dan
setelah mereka memenuhi panggilan, empat di antaranya ditahan yaitu Syaikh
Taqiyuddin an-Nabhani, Dawud Hamdan, Munir Syaqir dan Ghanim Abduh. Pada
7 Rajab 1372 H/22 Maret 1953 M pemerintah mengeluarkan penjelasan yang
isinya bahwa Hizbut Tahrir ilegal dan para pendirinya dilarang melakukan
kegiatan kepartaian apapun bentuknya.
Pada waktu itu, Hizbut Tahrir berhasil meyakinkan sejumlah wakil rakyat
dan pejabat kabinet di Amman untuk membebaskan Taqiyuddin an-Nabhani dan
koleganya. Akhirnya sekelompok wakil rakyat, pengacara, pebisnis dan orang-
orang yang berpengaruh mengirimkan petisi yang menuntut lembaga berwenang
agar membebaskan Taqiyuddin an-Nabhani dan koleganya. Petisi tersebut
ditandatangani oleh 37 orang.
Adapun sebab kehadirannya Hizbut Tahrir dan pelarangannya dari
menjalankan kegiatan-kegitan kepartaian, maka hal itu terkait dengan dua aspek,
Pertama, terkait keberadaanya secara undang-undang. Pemerintah menilai
bahwa metode yang dijalankan Hizbut Tahrir tidak sesuai dengan undang-undang.
Kedua, terkait dengan ideologi yang menjadi landasan Hizbut Tahrir
pemerintah menilai bahwa ideologi Hizbut Tharir bertentangan dengan UUD
negara. Seperti meraih kekuasaan dengan jalan agama, tidak mengakui
nasionalisme Arab sebagai asas negara, bahkan harus menempatkan agama di
tempatnya. Lebih jauh bahwa sistem yang dijalankan di Yordania adalah sistem
kerajaan dan dijalankan secara warisan. Hal ini bertentangan dengan dakwah
Hizbut Tahrir yang beraktifitas mengembalikan kehidupan yang Islami dengan
45
mendirikan khilafah yang dipimpin oleh seorang khalifah yang dipilih dan dibai‟at
oleh rakyat berdasarkan kerelaan dan kemauan sendiri.11
A. Wafatnya
Taqiyuddin an-Nabhani selama hidupnya tak ingin berkarya hanya untuk
dibaca, diteliti atau koleksi perpustakaan. Baginya, karya tulis harus menjadi
penyadar masyarakat untuk meraih kebangkitan Islam, pembebas kaum terpelajar
dari penjajahan pengetahuan, dan memahami Islam satu-satunya solusi atas
kehidupan.
Taqiyuddin an-Nabhani menghabiskan dua dekade sisa kehidupannya
sebagai orang terasing, terusir dan buronan yang dijatuhi hukuman mati. Namun,
beliau terus berusaha keras dalam menyebarkan pemikiran Hizbut Tahrir serta
berbagai kegiatan yang dilakukan.
Di awal-awal dekade tujuh puluhan, Taqiyuddin an-Nabhani pergi ker
Irak. Beliau ditahan tidak lama setelah adanya kampanye besar-besaran
pengangkapan terhadap para anggota Hizbut Tahrir di Irak. Namun para penguasa
tidak mengetahui bahwa beliau adalah Taqiyuddin an-Nabhani pemimpin Hizbut
Tahrir. Beliau disiksa dengan siksaan yang keras hingga tak mampu berdiri karena
banyaknya siksaan. Bahkan beliau merupakan tahanan terakhir di antara tahanan
Hizbut Tahrir yang merek abantu untuk berdiri ketika dikembalikan ke penjara.
Beliau terus mendapat penyiksaan hingga lumpuh setengah badan. Lalu
dibebaskan dan segera ke Lebanon. Di Lebanon inilah beliau mengalami
kelumpuhan pada otak, kemudian dilarikan ke rumah sakit dengan nama samaran.
Dan di rumah sakit inilah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullahu wa
11 Ibid., h. 94.
46
ta’ala wafat pada tanggal 1 Muharam 1398/11 Desember 1977 M . Beliau
dikebumikan di pekuburan asy-Syuhada di Hirsy Beirut di bawah pengawasan
yang sangat ketat.12
12
Ibid., h. 81.
47
BAB IV
PEMIKIRAN TAQIYUDDIN AN-NABHANI DALAM PEMBENTUKAN
PARTAI POLITIK ISLAM
A. Pandangan Taqiyuddin an-Nabhani Terkait Sistem Pemerintahan
Islam
Taqiyuddin an-Nabhani mengatakan bahwa sistem pemerintahan Islam
bersifat khas, tidak bisa disamakan dengan sistem pemerintahan mana pun di
dunia. Sistem itu adalah al-Khilafah.1 Adapun alasan tidak bisa disamakan dengan
sifat dan ciri negara mana pun, dapat dilihat dari pilar-pilar negara khilafah itu
sendiri. menurutnya, pilar-pilar tersebut ada empat, yaitu, 1) kedaulatan di tangan
syara‟, 2) kekuasaan di tangan umat, 3) mengangkat satu khalifah hukumnya
wajib bagi seluruh kaum muslimin, 4) hanya khalifah yang berhak men-tabanni
(adopsi) terhadap hukum-hukum syara‟.2
Seperti pada penjelasan terdahulu, terutama sebagian pendapat ulama
kontemporer ketika merespon sistem pemerintahan Barat, mereka berkesimpulan
bahwa Islam tidak menentukan satu bentuk apa pun terkait pemerintahan. Maka
bila menggunakan standar empat pilar di atas, menurut Sidiq al-Jawi, tidak ada
satu pun sistem pemerintahan yang cocok dengan pilar-pilar tersebut kecuali
khilafah. Misalnya, sistem demokrasi yang meletakan kedaulatan di tangan rakyat.
1 Taqiyuddin an-Nabhani, Sistem Pemerintahan Islam : Doktrin, Sejarah, Empirik, (Jatim
: Al-Izzah Press, 1997), h. 31.
2 Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr aw al-Asbâb al-Mûjibat lahu al-Qism
al-Awwal (Beirut: Dâr al-Ummah, 2009, cet. Kedua), h. 109.
48
Maka mana mungkin bisa dikatakan sistem demokrasi bisa sesuai atau tidak
bertentangan dengan syariat.3
Begitu juga sistem kerajaan, bagaimana mungkin bisa dikatakan bisa
sesuai dengan syariat padahal dalam sistem ini kekuasaan pemilihan kepala
negara tidak di tangan rakyat. Oleh karena itu, empat pilar tersebut hanya masuk
dalam sistem khilafah sebagaimana yang dipraktekan pada al-Khulafa ar-
Rasyidun. Dan sistem inilah yang diwajibkan syara‟, sebab khalifah hanya untuk
sistem khilafah.4
B. Pandangan Taqiyuddin an-Nabhani Terkait Tata Cara dan Metode
Pengangkatan Khalifah
Salah satu argumentasi sebagian pemikir politik Islam kontemporer,
berpendapat bahwa ketidakberagaman pemilihan khalifah pada masa al-khulâfa
ar-Râsyidûn menunjukan bahwa Islam tidak menentukan bentuk pemerintahan
yang baku. Maka, menurut Taqiyuddin an-Nabhani, itu bukan terletak pada
pengangkatan khalifah, melainkan terletak pada tata cara pemilihan khalifah.
Sementara pengangkatannya, tidak dijumpai perbedaan sejak Abu Bakar hingga
akhir kekhilafahan Turki Utsmani. Semuanya berjalan di atas satu metode yang
baku berdasarkan kitab, sunnah dan ijma‟ yaitu al-Bai‟at.5
Dikatakan Bai‟at ini sebagai metode baku untuk mengangkat khalifah,
menurut Taqiyuddin, karena nabi sendiri dibai‟at oleh kaum muslimin dan bai‟at
ini bukan pengakuan atas kenabian, melainkan atas pemerintahan. Sebab,
pengakuan kenabian bukan berdasarkan bai‟at tetapi berdasarkan ikrar syahadat.
3 Al-Jawi Siddiq, “Benarkah Islam Tidak Mengatur Bentuk Negara?” 20 April 2015, dari
http://htichanel.com 4 Ibid.,
5 Taqiyuddin an-Nabhani, as-Syaksiyah al-Islamiyah al-Juz at-Tsaniy (Beirut : Dâr al-
Ummah, 2003, cet. Kelima), h. 42.
49
Disamping itu, nabi juga memerintahkan kaum muslimin untuk mem-bai‟at
seorang khalifah di antara mereka. 6
Baiat adalah kewajiban atas kaum muslimin, sebab dari segi pendalilannya
baiat sebagai hak katas kaum muslimin kepada khalifah, bukan khalifah kepada
kaum muslimin menunjukan hal itu. Sementara hak ini, ada di pundak kaum
muslimin. Bila tidak ada, maka terkena sifat dari hadits man mâta walaisa fî
„unûqihi bai‟at fa mâta mitatan jâhiliyatan. Oleh karena itu, karena bait ini dari
kaum muslimin terhadap khalifah, sementara saat ini tidak ada khalifah, maka
mewujudkan khalifah agar bai‟at ada di pundak kaum muslimin, hukumnya
wajib.7 Hanya saja, yang jadi perbedaan adalah berapa jumlah pembai‟at yang
merepresentasikan keabsahan seorang khalifah.
Maka menurut Taqiyuddin, perbedaan reprsentasi pembai‟at al-Khulafa ar-
Rasyidun yang mencerimkan keabsahan khalifah seperti Abu Bakar as-Siddiq dan
Umar bin Khatab yang hanya dibai‟at oleh ahl al-halli wa al-aqdi penduduk
Madinah saja tanpa pendukuk Makkah dan daerah sekitar, Utsman bin Affan oleh
Abdurahman bin Auf hanya diambil pendapat penduduk Madinah tanpa melalui
ahl al-hal wa al-aqd, sementara Ali bin Abi Thalib dibai‟at oleh penduk Madinah
dan Kufah, dapat diukur dari pihak yang merepresentasikan pendapat mayoritas
kaum muslimin. Dan menurutnya, ahl al-halli wa al-aqdi dan penduduk Madinah
saat itu adalah representasi dari pendapat mayoritas kaum muslimin dalam
pemerintahan.8
6 Ibid
7 Ibid., h. 28.
8 Ibid., h. 25
50
Adapun sifatnya, harus berdasarkan keridhoan dan pilihan umat. Sebab,
akad khalifah tidak akan terjadi kecuali hanya dengan itu. Dan bai‟at tidak sah
dengan paksaan. Hanya saja, bila sudah sempurna bai‟at dari pihak yang
merepresentasikan pilihan kaum muslimin, maka bila ada pihak yang tidak ber-
ber-bai‟at tetap tidak dipaksa ber-bai‟at tetapi dipaksa taat. Dan ini, bukan bai‟at
pengangkatan, melainkan baiat taat untuk patuh terhadapat hukum syara‟.9
C. Pemikiran Taqiyuddin an-Nabhani Terkait Pembentukan Partai
Politik untuk Meraih Kebangkitan
1. Kegagalan Partai Politik Islam
a. Faktor Internal
Sejak abad 13 Hijriah atau 19 Masehi, telah berdiri berbagai gerakan yang
bertujuan untuk membangkitkan umat Islam. Upaya-upaya tersebut sejauh ini
belum meraih keberhasilan, sekalipun meninggalkan pengaruh yang cukup berarti
bagi generasi yang datang sesudahnya untuk mengulangi upayanya sekali lagi.10
Adapun faktor kegagalannya, bila ditinjau dari aspek keorganisasiaannya
dapat dikembalikan kepada empat faktor yaitu,
1) Gerakan-gerakan tersebut berdiri di atas dasar fikroh (pemikiran
yang masih umum tanpa batasan yang jelas, sehingga muncul
kekaburan dan pembiasan. Lebih dari itu, fikroh tersebut tidak
cemerlang, tidak jernih dan tidak murni. 11
9 Ibid., h. 23.
10 Taqiyuddin an-Nabhani, Pembentukan Partai Politik Islam, Penerjemah Zakaria,
Labib, dkk (Bogor: HTI Press, 2011, cet. Kelima), h. 5. 11
Untuk menjaga kejernihan pemikiran Islam dari tsakafah dan kultur asing, Syaikh
Taqiyuddin mengemukakan konsep Hadlarah (sekumpulan konsep kehidupan yang berasal dari
ideology tertentu) dan Madaniy (bentuk-bentuk fisik hasil pemikiran manusia, ada yang khas dan
ada yang „aam). Adapun Hadlarah selain Islam, menurut beliau kaum muslimin tidak boleh
mengambilnya seperti kapitalisme, sosialisme, sekulerisme dll. Sementara Madaniy, bila bersifat
„aam yang merupakan hasil kemajuan teknologi maka mubah mengambil dan menggunakannya.
51
2) Gerakan-gerakan tersebut tidak mengetahui thariqoh (metode) bagi
penerapan fikroh-nya. Bahkan fikroh-nya diterapkan dengan cara-
cara yang menunjukan ketidaksiapan gerakan tersebut dan penuh
dengan kesimpangsiuran. Lebih dari itu, thariqoh gerakan-gerakan
tersebut telah diliputi kekaburan dan ketidakjelasan.
3) Gerakan-gerakan tersebut bertumpu kepada orang-orang yang
belum sepenuhnya mempunyai kesadaran yang benar. Bahkan
mereka hanyalah orang-orang yang berbekal keinginan dan
semangat belaka.
4) Orang-orang yang menjalankan tugas gerakan-gerakan tersebut
tidak mempunyai ikatan yang benar. Ikatan yang ada hanya
struktur organisasi itu sendiri, disertai dengan sejumlah deskripsi
mengenai tugas-tugas organisasi dan sejumlah slogan-slogan
organisasi.12
a) Kekaburan Memahami Fikroh dan Tharîqoh Partai Politik Islam
Mengenai aspek fikroh dan Tharîqoh yang menjadi sebab kegagalan
gerakan-gerakan tersebut, hal ini tampak jelas pada kekeliruan falsafah (ide dasar)
–kalau boleh dikatakan mereka memiliki falsafah- yang menjadi dasar keberadaan
gerakan-gerakan ini. Gerakan-gerakan tersebut ada yang berupa gerakan
nasionalisme (harakah al-qaumiyah), dan ada pula yang berupa gerakan Islam.13
Adapun gerakan nasionalisme, sebetulnya hasil dari upaya Barat
menghancurkan kekhilafahan Islam yang kemudian gerakan ini berdiri di atas asas
12 Taqiyuddin an-Nabhani, Pembentukan Partai Politik Islam, Penerjemah Zakaria,
Labib, et. all (Bogor: HTI Press, 2011, cet. Kelima), h. 6.
13
Ibid., h. 7.
52
ini. Abdul Qadim Zallum14
dalam terjemahan karya tulisnya, Konspirasi Barat
Meruntuhkan Khilafah Islamiyah menggambarkan awal mula muncul gerakan
nasionalisme sengaja dibentuk dan dipusatkan di Arab; Beirut dan Turki;
Istambul, karena keberhasilan mereka –dengan metode ide nasionalisme-
memisahkan diri dari kekuasaan Islam di Eropa seperti Serbia, Hungaria, Bulgaria
dan Yunani.15
Tidak hanya itu, negara-negara Eropa juga memprovokasi bohong
tentang adanya genosida yang dilakukan Utsmani terhadap orang Kristen yang
kemudian menghasut daerah kekuasaan Utsmani di Eropa memberontak dan
memerdekakan diri. Salah satunya kemerdekaan Bulgaria dan memilih
pemimpinnya dari orang Kristen sendiri.16
Berikut kami menuturkan pendapat
Zallum tentang konspirasi menghancurkan Khilafah dengan ide nasionalisme,
“Adapun di Beirut, kaum kafir Barat memulai aktifitas politik mereka
setelah Ibrahim Pasha ditarik dari Syam. Pada tahun 1842, suatu komite dibentuk
untuk mendirikan asosiasi ilmiah dengan bantuan dana dan program kegiatan dari
The American Mission. Komite itu menjalankan programnya selama lima tahun,
hingga pada tahun 1847 mereka mendirikan suatu asosiasi yang dikenal sebagai
“the Science and Arts Association” (Asosiasi Ilmu Pengetahuan dan Seni).
Asosiasi ini dipimpin oleh dua orang Nasrani, yang dikenal sebagai kaki-tangan
Inggris yang paling berbahaya. Mereka adalah Butrus al-Bustani dan Nasif al-
Yaziji, didukung oleh colonel Churchill dari Inggris dan Eli Smith serta Cornios
Van Dick dari Amerika. Tujuan asosiasi ini pada mulanya tidak jelas, namun
memberikan kesan bahwa mereka bertujuan menyebarluaskan berbagai ilmu
pengetahuan kepada kalangan dewasa dan mendirikan sekolah bagi anak-anak,
dan memberikan motivasi kepada kalangan dewasa serta kalangan anak-anak,
membiasakan mereka dengan budaya Barat, mengajarkan pemikiran-pemikiran
Barat, serta mengarahkan mereka kepada tujuan tertentu. Namun sekalipun
mereka berusaha dengan keras, dalam jangka waktu dua tahun hanya 50 orang
anggota aktif dari seluruh Syam yang bergabung dengan asosiasi tersebut.
Semuanya beragama Nasrani dan kebanyakan berasal dari Beirut.
Pada tahun 1850 dan 1857 didirikan pula asosiasi lain yang mulai
membatasi anggotanya hanya berasal dari orang Arab saja. Orang selain Arabb
tidak diperkenankan menjadi anggota asosiasi ini. Para pendirinya juga
14
Amir kedua Hizbut Tahrir
15
Abdul Qadim Zallum, Konspirasi Barat Meruntuhkan Khilafah Islamiyah (Bangil, Al-
Izzah, 2001), h. 13.
16
Ali Muhammad ash-Shalabi, Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utmaniyah (Jakarta,
Pustaka al-Kutsar, 2003), h. 545.
53
berkebangsaan Arab dan anggotanya mencapai 150 orang. Beberapa tokoh duduk
dalam kepengurusan seperti Muhammad Arsalan dari kelompok Druze, Hussain
Bayham dari kalangan Islam,serta Ibrahim al-Yaziji dan anak Butrus al-Bustani
dari kalangan nasrani. Dua orang terakhir di atas yang merancang ide tersebut
berusaha keras mewujudkannya.
Pada tahun 1857 didirkan sebuah organisasi bernama “The Scret
Association” oleh lima orang pemuda yang merupakan lulusan dari Universitas
Protestan, Beirut. Kelima pemuda tersebut beragama Nasrani dan bermaksud
menggalang suatu organisasi. Kelompok tersebut memusatkan kegiatannya atas
dasar suatu ide politik. Maka, jadilah kelompok itu sebagai suatu partai politik
yang berdasar pada nasionalisme Arab. Kelompok ini dianggap sebagai partai
politik pertama yang berbasis nasionalisme Arab, Arabisme dan Nasionalisme.
Partai ini membangkitkan permusuhan kepada Daulah Utsmaniyah dan
menyebutnya sebagai “Negara Turki”, memperjuangkan pemisahan agama dari
Negara, menegakkan nasionalisme Arab sebagai dasar persatuan, mengubah
kesetiaan menjadi hanya untuk bangsa arab, menyebarkan leaflet yang berisi
tuduhan kepada Turki telah merampah khilafah dari tangan bangsa Arab,
melanggar kemuliaan Islam dan menyalahgunakan agama17
Sebagaimana markas kegiatan di Beirut, markas di Istanbul dimanfaatkan
oleh kaum kafir Barat untuk menyerang Negara Islam di pusat pemerintahan serta
menyerang pejabat-pejabatnya. Sementara itu, kaum kafir melakukan sejumlah
aksi. Aksi yang paling penting dan memberikan hasil yang paling hebat adalah
pendirian organisasi “Turki Muda” atau Union and Progress Committee18
(Komite Persatuan dan Kemajuan). Komite ini pertama kali didirikan di Paris
oleh pemuda-pemuda Turki yang benaknya telah dipenuhi dengan pemikiran
Prancis dan dididik secara kuat dengan konsep “Revolusi Prancis”. Sejak awal,
organisasi ini didirikan sebagai komite revolusi rahasia. Pemimpin kelompok ini
adalah Ahmad Ridha Beik. Dia adalah figure yang cukup terkenal di kalangan
masyarakat yang mempunyai gagasan untuk mengimpor kebudayaan Barat ke
negeri kelahirannya Turki”.19
Jadi, sebetulnya konsep ikatan nasionalisme ini yang digunakan untuk
kebangkitan Islam oleh para pengusungnya adalah hasil dari keberhasilan Barat
memisahkan negeri-negeri Islam dari pusatnya. Bahkan, menurut Ash-shalabi
dalam karya tulisnya, Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah, ketika Turki
Utsmani kalah Perang Dunai I, maka Inggris melakukan perjanjian dengan
daerah-daerah kekuasaan Turki yang padahal dalam aturan perjanjian
internasional pada saat itu, negera yang memenangkan peperangan hanya berhak
17
Abdul Qadim Zallum, Konspirasi Barat Meruntuhkan Khilafah Islamiyah. Penerjemah
Abu Faiz (Bangil, Al-Izzah, 2001), h. 15. 18
Pemikiran yang berkembang pada gerakan ini adalah paham Thuraniyah yang
mengisyaratkan pada asal bangsa asli Turki. Paham ini menyerukan pada martabat Turki bahkan
Ashalabi menyebut sebagai akidah paganistik Turki. 19
Ibid., h. 16.
54
melakukan perjanjian dengan negara pusatnya, bukan daerah-daerah
kekuasaanya.20
Kemudian, setelah daerah-daerah kekuasaan Utsmani dikuasai penjajah,
maka muncul aneka perlawanan rakyat dengan slogan membela negeri, tanah air
dan sebagainya (patriotisme).
Sementara gerakan-gerakan Islam, mereka mendakwahkan Islam dalam
bentuk yang masih terlalu global atau umum. Mereka mencoba
menginterpretasikan Islam agar sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada saat
itu, atau menyesuaikan Islam agar cocok dengan peraturan-peraturan selain Islam
yang akan diambil, sehingga Islam seolah-olah sesuai dengan hal-hal tersebut.
Dengan demikian, penakwilan seperti itu akhirnya hanya menjadi legitimasi untuk
mempertahankan kondisi yang ada atau untuk mengambil peraturan selain
Islam.21
Adapun maksud seruan Gerakan Islam yang masih bersifat umum, Hawari
menjelaskan dengan contoh „untuk kejayaan umat Islam‟, „kembali kepada Allah‟,
„ukwah islamiyah‟, „pendidikan Islam‟ dan sejenisnya yang tidak memiliki
batasan dan tidak mengkristal.22
b) Gerakan-Gerakan Tersebut Tidak Mengetahui Tharîqoh untuk
Menerapkan Fikroh-nya.23
20
Ali Muhammad ash-Shalabi, Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utmaniyah (Jakarta,
Pustaka al-Kutsar, 2003),
21
Taqiyuddin an-Nabhani, Pembentukan Partai Politik Islam, Penerjemah Zakaria,
Labib, et. all (Bogor: HTI Press, 2011, cet. Kelima), h. 7. 22
Muhamad Hawari, Politik Partai Meretas Jalan Baru Perjuangan Partai Politik Islam
(Bogor: IDeA Pustaka Utama, 2003), h. 8. 23
Menurut Ahmad Athiyat dalam Jalan Baru Islam, penting membedakan fikrah
(pemikiran), mafaahim (persepsi) dan thariqoh. Fikroh hanyalah pengetahuan tentang sesuatu
yang belum berimplikasi pada tingkah laku terhadap sesuatu tersebut. Sementara mafahim
(persepsi) berimplikasi pada prilaku karena pemahaman yang dalam pada sesuatu itu. Adapun
55
An-Nabhani meyakini bahwa falsafah kebangkitan yang hakiki
sesungguhnya bermula dari adanya sebuah ideologi (mabda), yang
menggabungkan fikroh dan tharîqoh secara terpadu. Ideologi tersebut adalah
Islam. Sebab, Islam hakikatnya adalah sebuah akidah yang melahirkan peraturan
untuk mengatur seluruh urusan negara dan umat serta merupakan pemecahan
untuk seluruh masalah kehidupan.24
Menurut Athiyat, yang dimaksud mabda (ideologi), secara bahasa berasal
dari bada‟a (memulai) yabda‟u (sedang memulai) bad‟an (permulaan) dan
mabda‟an (titik permulaan). Sementara menurut istilah, Mabda adalah pemikiran
asasi yangn menjadi dasar berbagai pemikiran. 25
Adapun Tharîqoh (metode), untuk menerapkan pemikirannya, hampir
setiap gerakan kebangkitan kurang memahami hal ini. Terkadang mereka tidak
bisa membedakan Tharîqoh, Fikroh, Uslub dan Wasilah. Sehingga setiap upaya
yang mereka lakukan dalam rangka perjuangannya, dianggap Tharîqoh (metode).
Lebih dari itu, mereka tidak mampu membedakan Tharîqoh sebelum meraih
tujuan dan Tharîqoh setelah meraih tujuan. Padahal, mabda (ideology) senantiasa
memiliki keduanya (Fikroh dan Tharîqoh).
Pemikiran dalam sebuah ideology menurut Hawari terdiri dari,
1) Akidah („aqidah)
2) Pemecahan (mu‟alajah)
Thariqoh, adalah metode yang baku, yang dibawahnya terdapat uslub-uslub yang banyak yang
disesuaikan dengan zaman. 24
Taqiyuddin an-Nabhani, Pembentukan Partai Politik Islam, Penerjemah Zakaria,
Labib, et. all (Bogor: HTI Press, 2011, cet. Kelima), h. 9 25
Ahmad Athiyat, Jalan Baru Islam Studi tentang Transformasi dan Kebangkitan Umat
(Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2004), h. 84.
56
3) Upaya pengembanan dakwah Islam (haml ad-da‟wah).26
Sementara Thariqoh (metode) untuk merealisasikan pemikiran (fikroh) dalam
sebuah ideology adalah mencakup,
1) Bagaimana cara (kayfiyah) menjaga akidah,
2) Bagaimana cara (kayfiyah) menerapkan pemecahan,
3) Bagaimana cara (kayfiyah) mengembang dakwah.27
Ini jika ditinjauh dari sisi ideology (mabda), jika ditinjau dari bagaimana cara
(kayfiyah) membumikan ideology dalam thariqoh, maka kajiannya adalah
terhadap,
1) Fase dakwah yang dilakukan oleh Rasulullah saw sebagai sebuah gerakan
atau partai Islam di Makkah,
2) Hukum-hukum apa saja yang dilakukan oleh Rasulullah saw,
3) Kesadaran untuk membedakan mana hukum serta mana sarana (wasilah)
atau teknik-strategi (uslub) untuk melaksanakannya.
Menyampaikan risalah Islam dengan terang-terangan adalah hukum
syariat, berdirinya Rasulullah saw di Shafa untuk menyeru masyarakat adalah
teknis (uslub), dan lisan yang beliau gunakan untuk menyeru masyarakat termasuk
sarana (wasilah). Menyampaikan hukum syariat atau mengungkap rencana-
rencana jahat kaum imprealis adalah hukum syariat, wasilahnya bisa dengan
menyebar selembaran, misalnya. Dan teknik (uslub-nya) adalah dengan
menyebarkan ke tengah-tengah masyarakat sebagai sebuah teknik-strategi
pergolakan (uslub kifahi).28
26
Muhamad Hawari, Politik Partai Meretas Jalan Baru Perjuangan Partai Politik Islam
(Bogor: Idea Pustaka Utama, 2003), h.13. 27
Ibid., h. 14. 28
Ibid., h. 15.
57
Hukum syariat adalah aktifitas yang wajib dilakukan, sementara wasilah
adalah alat-alat yang biasanya disesuaikan dengan zaman seperti media masa,
surat kabar dan lain-lain. Adapun uslub, adalah cara (kayfiyah) yang digunakan
dalam memanfaatkan berbagai wasilah yang ada sesuai dengan karakter aktifitas
yang dilakukan.
Dengan demikian, permasalahan metode (thariqah) bukan hanya
kaitannya dengan pemikiran (fikroh) saja, tetapi bagaimana sesuainya dengan
metode perjuangan Rasulullah saw dalam menyebarkannya di tengah-tengah
kehidupan. Ringkasnya, metode berjuangan Beliau adalah,
1) Berdiri di atas sebuah ideology (mabda) dengan pemikiran (fikroh) dan
metode (tharîqoh)-nya.
2) Memiliki pemimpin atau amir yakni Rasulullah.
3) Melakukan sejumlah aktifitas : 1. Melahirkan kader-kader yang percaya
terhadap partai; 2. Mewujudkan suatu umat ataupun bangsa yang mau
menerima atau mendukung partai; 3. Membentuk kekuatan yang
memungkinkan partai bisa menerapkan ideologinya di tengah-tengah
kehidupan.
4) Konsisten dengan hukum syariat yang berhubungan dengan cara
merealisasikannya tujuannya, misalnya : 1. Konsisten untuk hanya
melakukan dakwah melalui pemikiran (da‟wah fikriyah) saja dan
menjauhkan penggunaan fisik dan kekerasan (mengangkat senjata). 2.
Mengikatkan dan menaati dengan berbagai ketetapan yang telah
58
digariskan partai dan berbagai pemikiran yang telah diadopsi partai. 3.
Melaksanakan keputusan partai.29
c) Tidak Memiliki Individu-Individu yang Layak untuk Menjadi
Anggota Partai
An-Nabhani juga menegaskan, bahwa kegagalan seluruh kelompok-
kelompok Islam juga terjadi karena faktor manusia atau individunya. Sebab di
samping pembentukan kelompoknya bukan atas dasar pembentukan kelompok
yang benar –karena tidak adanya fikroh dan thariqoh, atau karena kesalahan
dalam metode pengikatan orang-orang kedalam kelompok-kelompok tersebut,
juga tidak didasarkan pada kelayakan individunya itu sendiri, melainkan
berdasarkan kedudukan orang tadi di masyarakat, serta dari peluang diperolehnya
manfaat secara cepat dengan keberadaannya dalam partai atau jam‟iyah.30
Kadangkala seseorang direkrut karena ia adalah pemimpin kaumnya atau
karena ia orang kaya di tengah masyarakatnya, atau karena ia seorang pengacara,
dokter, atau mempunyai kedudukan dan pengaruh tanpa mempertimbangkan
apakah ia layak menjadi anggota kelompok atau tidak. Karena itu, yang menonjol
dari kelompok-kelompok semacam ini adalah ketidakkompakan di antara
anggota-anggotanya atau persaingan untuk menduduki jabatan kepemimpinan.
Akibatnya, dalam hati anggota-anggota partai ini muncul semacam perasaam
bahwa mereka lebih utama atau berbeda dari anggota masyarakat yang lain, bukan
semata karena harta dan perannya sebagai pemuka masyarakat, melainkan juga
29
Ibid., h. 16. 30
Taqiyuddin an-Nabhani, Pembentukan Partai Politik Islam, Penerjemah Zakaria,
Labib, et. all (Bogor: HTI Press, 2011, cet. Kelima), h. 29.
59
karena mereka adalah anggota partai atau jam‟iyah tersebut. Karenanya, mereka
sulit berinteraksi dan mengadakan pendekatan dengan masyarakat.31
Tidak hanya itu, para anggota partai yang ada juga hanyalah sekelompok
orang yang berbekal semangat belaka dan keinginan untuk melakukan perubahan
belaka. Keberadaan mereka semacam itu sekadar dipucu oleh kondisi yang terjadi
di negeri mereka dan oleh kesadaran mereka terhadap kerusakan masyarakatnya.
Kondisi-kondisi seperti ini mendorong semangat mereka untuk melakukan
perubahan tanpa disertai dengan adanya kehendak dan kesadaran yang benar. 32
d) Tidak Memiliki Ikatan yang Benar diantara Para Anggotanya
Ideologi itu sesungguhnya telah jelas dan upaya memahaminya untuk
membentuk sebuah kelompok telah menjai hal yang mudah. Maka dari itu, adalah
wajar jika suatu kelompok telah memahami ideology tersebut dengan jelas, maka
ia akan menjadi kelompok yang berpengaruh dan maju,layak untuk diikuti dan
didukung masyarakat, serta mampu melaksanakan tugas-tugasnya. Karena
kelompok tersebut telah memahami benar fikrahnya, mengetahui benar
thariqohnya, dan mengerti benar problem-problemnya.
Hanya saja,adanya pemahaman ideology ini saja tidak akan dapat
mengantarkan pada kebangkitan yang benar kecuali jika para aktifitsnya telah
cukup layak untuk memasuki kelompok tersebut, dan ikatan yang menyatukan
mereka dalam kelompok adalah ikatan yang benar dan produktif. Berdasarkan
ikatan dalam kelompok ini pula ditentukan kelayakan seseorang untuk memasuki
kelompok. Sebuah partai ideologis akan menjadikan keyakinan terhadap
akidahnya dan kematangan dalam tsakafah partainya sebagai ikatan dalam
31
Ibid., h. 30. 32
Muhamad Hawari, Politik Partai Meretas Jalan Baru Perjuangan Partai Politik Islam
(Bogor: Idea Pustaka Utama, 2003), h.13.
60
kelompoknya. Dengan demikian, apakah seseorang layak atau tidak, akan terjadi
seara alami, yaitu dengan meleburnya mereka kedalam partai ketika dakwah telah
bersentuhan dengannya. Jadi yang menentukan layak tidaknya adalah ikatan
tersebut, bukan lembaga partai. 33
b. Faktor Eksternal
1) Pengaruh Tsakafah Asing dan Penjajahan Sistem Pendidikan
Selain itu, pada abad ini (XX M), tsakofah asing telah menyerang negeri-
negeri Islam. Dengan tsakofah itu para penjajah mampu menarik ke pihak mereka
sekelompok kaum Muslim, serta mendorong mereka untuk mendirikan kelompok-
kelompok politik (takattulaat hizbiyah) di dalam wilayah Daulah Islam.
Kelompok-kelompok ini berdiri untuk memisahkan dan memerdekakan negeri
mereka dari Daulah Islam. Penjajah juga mampu, dengan cara tertentu menarik ke
pihak mereka sekelompok orang-orang Arab yang mereka kumpulkan di Paris
untuk membentuk suatu kelompok yang bertugas memerangi Daulah Utsmaniyah,
dengan selogan „Memerdekakan Arab‟ dari Daulah Islam. Mereka telah
dipersatukan oleh tsakafah asing serta perasaan nasionalisme dan patriotism yang
telah dihembuskan oleh penjajah kepada mereka. Mereka dipersatukan dalam satu
pemikiran yang mengantarkan mereka pada suatu tujuan, yaitu kemerdekaan
bangsa Arab. 34
Tsakafah asing mempunyai pengaruh besar terhadap menguatnya
kekufuran dan penjajahan, tidak berhasilnya kebangkitan umat dan gagalnya
gerakan-gerakan terorganisir baik gerakan sosial maupun gerakan politik. Sebab,
33
Taqiyuddin an-Nabhani, Pembentukan Partai Politik Islam, Penerjemah Zakaria,
Labib, at. all (Bogor: HTI Press, 2011, cet. Kelima), h. 12. 34
Ibid., h. 13.
61
sebuah tsakofah memang berpengaruh besar terhadap pemikiran manusia yang
kemudian memengaruhi perjalanan hidupnya.
Tidak hanya itu, setelah mereka berhasil menguasai negeri-negeri Arab
dan menancapkan agen-agennya, mereka juga merancang sistem pendidikan dan
tsakafah atas dasar falsafah tertentu yang merupakan pandangan hidup mereka
yaitu pemisahan materi dari ruh dan pemisahan agama dari negara. Penjajah
menjadikan kepribadian mereka sebagai satu-satunya sumber tsakofah kita.
mereka juga menjadikan peradaban (hadharah), persepsi (mafâhim), unsur-unsur
sosial pembentuk negera mereka, serta sejarah dan lingkungan mereka sebagai
sumber asal bagi pemikiran yang mengisi akal kita. Tidak cukup sampai disitu,
mereka bahkan sengaja mendistorsikan berbagai persepsi dan fakta yang kita
ambil dari mereka. Mereka memutarbalikan gambaran mengenai penjajahan
sedemikian rupa dengan gambaran yang mulia sehingga layak diikuti seraya
menyembunyikan tampang penjajah yang sebenarnya dengan cara-cara yang
licik.35
Sebetulnya, pemikiran pendidikan dalam Islam memiliki metode yang
khas yaitu mempelajari pengetahuan Islam untuk diterapkan. Bukan sekedar
transformasi ilmu, sebagai filosofi dan sebagainya.36
Namun, akibat tsakafah
asing, kaum terpelajar terpengaruh dengan tsakafah mereka sehingga Islam
dipelajari sekedar teori yang banyak. Tidak hanya itu, mereka juga menjadi
terpisah antara pemikiran dan perasaannya. Sehingga, mereka terpisah pula
dengan perasaan masyarakat.
35
Ibid., h. 15. 36
Hafidz Abdurahman, Mafahim Islamiyah Syarah Kitab Mafahim Hizbut Tharir (Bogor:
al-Azhar Freshzone Publishing, 2014), h. 246.
62
Padahal para ulama telah merumuskan ilmu fiqih, misalnya, sebagai ilmu
yang membahas masalah-masalah syariat yang bersifat praktis dan digali dari
dalil-dalil yang rinci. Dengan metode seperti ini, kajian tentang Islam akan
menghasilkan ilmu bagi yang mempelajarinya dan amal perbuatan bagi
masyarakat baik negara maupun individu. 37
Penjajah juga terus memasukan tsakafah mereka ke detil-detil
permasalahan, sampai tak satu pun program yang keluar dari model (manhaj)
umum yang mereka rencanakan. Akibatnya, kita menjadi terdidik dengan tsakafah
yang rusak, kita telah belajar –secara alami- cara orang lain berfikir. Hal ini telah
membuat kita tidak mampu untuk belajar bagaimana seharusnya kita berfikir,
karena pemikiran kita tidak lagi berhubungan dengan lingkungan, kepribadian dan
sejarah kita serta tidak lagi bersandar pada ideology kita.
Karena itu, kaum terpelajar hasil tsakafah penjajah ini tak mungkin
melahirkan sebuah kelompok yang benar, kecuali lebih dahulu diselesaikan
masalah-masalahnya yakni dengan menyelaraskan pemikiran dan perasaannya,
dengan mendidiknya mulai dari awal dengan tsakafah ideologis.38
2) Kebergantungan Kepada Asing
Barat juga berusaha agar kiblat kegiatan para politikus atau orang yang
bergerak dalam bidang politik adalah meminta bantuan orang asing dan
menyerahkan segala urusan kepadanya. Karena itu, sebagian besar kelompok yang
ada –tanpa disadari- telah berusaha meminta bantuan kepada orang-orang asing.
Di berbagai negeri muncullah orang-orang yang meminta bantuan kepada negara-
37
Taqiyuddin an-Nabhani, Mafâhim Hizb at-Tahrîr, Penerjemah Abdullah, (Bogor: HTI
Press, 2011, cet. keenam), h. 14. 38
Ibid., h. 18.
63
negara asing, tanpa menyadari bahwa setiap permintaan bantuan kepada orang
asing dan mengandalkan kekuatan asing –apapun bentuknya- adalah racun dan
pengkhianatan bagi umat Islam, walaupun niatnya baik. Mereka tidak menyadari
bahwa mengikatkan masalah kita dengan orang selain kita adalah bunuh diri
politik. Karena itu, tidak mungkin merekaberhasil mendirikan suatu kelompok apa
pun jika pemikirannya telah diracuni dengan sikap penyerahan diri atau
menggantungkan diri kepada asing. 39
3) Adanya Kelompok yang Bergerak dalam Bidang Sosial
Di samping gerakan-gerakan seperti yang dijelaskan sebelumnya, berdiri
pula gerakan-gerakan atas dasar jama‟iyah (gerakan sosial kemasyarakatan). Di
berbagai negeri muncul organisasi lokal dan regional yang mengarah pada tujuan
sosial/kebajikan (khairiyah). Organisasi-organisasi ini kemudian mendirikan
sekolah-sekolah, rumah-rumah sakit, panti-panti asuhan dan membantu berbagai
aktifitas sosial. Masing-masing organisasi ini menonjolkan kelompoknya. Para
penjajah telah berhasil mendorong munculnya organisasi-organisasi semacam ini,
sehingga kegiatan sosialnya terlihat jelas oleh masyarakat. Sebagian besar
organisasi ini bergerak dalam bidang pendidikan dan sosial, sangat jarang
bergerak dalam bidang politik. 40
2. Gerkan Partai Politik yang Dapat Membangkitkan Umat Islam
a. Mendapatkan Petunjuk Memahami Ideologi Islam
39
Taqiyuddin an-Nabhani, Pembentukan Partai Politik Islam, Penerjemah Zakaria,
Labib, at. all (Bogor: HTI Press, 2011, cet. kelima), h.20. 40
Ibid., h. 24.
64
Seseorang yang mempunyai kemampuan berfikir yang tinggi dan perasaan
yang peka akan mendapat petunjuk untuk memahami ideologi. Kemudian ia akan
menggeluti dan mendalami ideology tersebut hingga menjadi sangat jelas baginya
dan mengkristal dalam dirinya. Pada saat itulah muncul sel pertama dari partai itu.
Tidak beberapa lama kemudian sel tersebut lambat laun akan semakin banyak.
Kemudian muncul orang-orang lain yang akan membentuk sel-sel yang satu sama
lain dihubungkan secara integral oleh ideologi itu. Maka pada saat itu
terbentuklah halqoh pertama (halqah ula) bagi kelompok kepartaian ini yang
sekaligus merupakan pimpinan partai (qiyadah hizb). Adapun jenis ideologi yang
dimaksud adalah ideologi yang bersumber pada wahyu, dan inilah ideologi yang
shahih sebab bersumber dari sang pencipta alam, manusia dan kehidupan. Dialah
Allah Swt.41
Anggota halqoh pertama ini biasanya berjumlah sedikit dan mulanya
bergerak lamban. Karena meskipun mereka mengungkapkan perasaan-perasaan
masyarakat, tetapi mengungkapkannya dengan bahasa-bahasa baru yang asing
didengar masyarakat.
Oleh itu, halqoh pertama tersebut seakan-akan terasing dari masyarakat.
Tidak akan bergabung kedalamnya kecuali orang-orang yang mempunyai nurani
yang kuat sampai batas tertentu dimana tercipta suatu daya tarik kepada magnet
ideology yang terinternalisasi ke dalam halqoh pertama.42
1) Mengaitkan Pemikiran dengan Perbuatan
Pemikiran halqoh pertama bertumpu pada suatu kaidah yang tetap, yaitu
bahwa pemikiran harus berkaitan dengan perbuatan. Dan bahwa pemikiran dan
41
Taqiyuddin an-Nabhani, Nidzâm al-Islam (Beirut: Dâr al-Ummah, 2001), h.. 25. 42
Taqiyuddin an-Nabhani, Pembentukan Partai Politik Islam, Penerjemah Zakaria,
Labib, at. all (Bogor: HTI Press, 2011, cet. Kelima), h. 44.
65
perbuatan harus mempunyai suatu tujuan tertentu yang hendak dicapai.43
. Maka
dari itu, dengan adanya internalisasi ideology dalam diri mereka dan dengan
bersandarnya mereka pada suatu kaidah yang tetap, terciptalah suatu suasana
keimanan yang mantap. Ini akan membantu mereka dalam menundukkan dan
mengubah keadaan. Sebab pemikiran mereka tidak terbentuk dari realitas yang
terjadi, tetapi justru yang membentuk realitas sesuai dengan ideologi mereka.44
Berlainan dengan masyarakat yang tengah merosot, mereka tidak
mempunyai suatu kaidah dalam berfikir, karena masyarakat seluruhnya tidak
mengetahui tujuan mereka berfikir dan berbuat. Tujuan-tujuan individu pada
masyarakat seperti ini hanya bersifat sementara dan sangat individualistis. Oleh
sebab itu, tidak ditemukan adanya suatu keimanan padanya. Mereka dikendalikan
oleh keadaan sehingga mereka menyesuaikan diri dengan keadaan itu.
Karena diantara kewajiban utama halqoh pertama mewujudkan suasana
keimanan yang mengharuskan merkea mengikuti metode berfikir tertentu. Mereka
juga harus bergerak cepat dari halqoh kepartaian (Halqoh Hizbiyah) menjadi
kelompok kepartaian (Kutlah Hizbiyah) untuk kemudian menjadi partai yahng
sempurna yang mewajibkan dirinya terjun dalam masyarakat dengan menjadi
subyek yang berpengaruh di masyarakat. Bukan yang tepengaruh.45
2) Memiliki Kader yang Bersih
43
Setiap perbuatan senantiasa memiliki nilai yang hendak diwujudkan. Nilai ini berbeda-
beda seperti nilai kemanusiaan, akhlak, materi dan ruhiyah. Perdagangan misalnya, tentu hendak
mewujudkan nilai materi berupa keuntungan. Menolong orang yang hendak tenggelam misalnya,
tentu nilainya berupa kemanusiaan semata, bukan materi. Hanya saja, seorang muslim hendaknya
mewujudkan nilai ini berdasarkan hukum syara‟ sehingga tujuan akhirnya meraih ridho Allah Swt. 44
Taqiyuddin an-Nabhani, Mafaahim Hizbut Tahrir, Penerjemah Abdullah, (Bogor: HTI
Press, 2011, cet. keenam), h. 7 45
Taqiyuddin an-Nabhani, Pembentukan Partai Politik Islam, Penerjemah Zakaria,
Labib, et. all (Bogor: HTI Press, 2011, cet. Kelima), h. 46.
66
Akidah yang mendalam dan teguh serta tsakafah partai yang matang wajib
menjadi pengikat antara anggota partai, dan wajib menjadi undang-undang yang
mengendalikan jamaah partai, bukan undang-undang administrasi yang hanya
tertulis di atas kertas. Cara memperkuat akidah dan memperdalam tsakafah
dilakukan dengan cara belajar dan berfikir, agar terbentuk pola piker yang khas
dan terwujud pikiran yang berhubungan dengan perasaan. Suasana keimanan
haruslah tetap menyelimuti partai secara keseluruhan, sehingga pemersatu partai
adalah dua hal, yaitu hati dan akal. Oleh sebab itu, iman terhadap ideologi
haruslah ada sehingga pada mulanya hati menjadi pemersatu individu-individu
partai. Kemudian mereka harus mempelajari ideologi secara mendalam,
menghafalkan, mendiskusikan, dan memahaminya sehingga pemersatu kedua
adalah akal. Dengan demikian, partai telah mempersiapkan dirinya dengan benar
dan mempunyai ikatan kuat yang memungkinkannha selalu teguh menghadapi
segala macam tantangan. Mereka juga harus senantiasa menjaga diri dari perkara-
perkara yang melanggar hukum syara‟. Meninggalkan riba, ikhtilath, dan hal-hal
yang diharamkan oleh syara‟. 46
3) Tahapan (marhalah) Partai Ideologis Meraih Kebangkitan.
a) Tahap pengkajian dan belajar untuk mendapatkan tsakafah partai.
Tahap pertama ini merupakan tahapan pembentukan pondasi gerakan.
Tahapan ini ditempuh dengan suatu asumsi bahwa seluruh individu umat kosong
dari tsakafah apa pun. Pada tahapan ini pertain mulai membina orang-orang yang
bersedia menjadi anggotanya dengan tsakafahnya. Digunakan pula asumsi bahwa
masyarakat secara keseluruhan adalah sekolah bagi partai sehingga dalam waktu
46
Ibid., h. 47.
67
singkat partai mampu mencetak sekelompok orang yang mampu melangsungkan
kontak dengan masyarakat untuk berinteraksi dengannya.
Namun demikian perlu diketahui bahwa pembinaan ini bukanlah ta‟lim
dan bahwa ia berbeda sama sekali dengan sekolah. Oleh itu, pembinaan dalam
halqoh-halqoh tersebut haruslah berjalan dengan suatu asumsi bahwa ideologi
Islam adalah gurunya, bahwa ilmu dan tsakafah yang didapatkan dalam halqoh
hanya terbatas pada ideologi saja –beserta segala ilmu yang diperlukan untuk
mengarungi medan kehidpan dan bahwa tsakafah diambil untuk diamalkan secara
langsung dalam realitas kehidupan.
Maka dari itu, pembinaan haruslah bersifat „amaliah (praktis), yaitu bahwa
tsakafah dipelajari untuk diamalkan dalam kehidupan. Harus diletakkan dinding
tebal yang memisahkan otak dengan aspek ilmiah semata terhadap tsakafah,
sehingga pangkajian tsakafah dalam sekolah yang bersifat ilmiah belaka.47
Partai juga befungsi sebagai pengontrol pemikiran dan perasaan
masyarakat. Partailah yang berusaha menghalangi kemerosotan berfikir, mendidik
masyarakat dan mendorongnya untuk mengarungi medan kehidupan internasional.
Partailah tempat pengkaderan hakiki yang tidak bisa ditandingi sekolah mana pun.
Meskipun jumlah sekolah sangat banyak.
Terdapat perbedaan antara partai dan sekolah diantaranya :
1) bahwa sekolah sekalipun kurikulumnya benar, tidak bisa menjamin
kebangkitan umat tanpa adanya suatu partai di daerah itu yang berjuang di
tengah-tengah masyarakat, yang menganggap masyarakat sebagai
sekolahnya.
47
Taqiyuddin an-Nabhani, Pembentukan Partai Politik Islam, Penerjemah Zakaria,
Labib, at. all (Bogor: HTI Press, 2011, cet. Kelima), h. 53.
68
2) Sekolah mempersiapkan individu untuk memengaruhi jama‟ah sementara
partai mempersiapkan jama‟ah untuk memengaruhi individu.
3) Sekolah bersifat rutin dan tidak mampu membentuk masyarakat,
sementara partai senantiasa berkembang dan dinamis.
4) Sekolah mendidik individu agar berpengaruh dalam jama‟ah sementara
partai mendidik jama‟ah agar memengaruhi individu.
5) Sekolah memepersiapkan perasaan secara parsial pada individu untuk
memengaruhi perasaan jama‟ah. Karenanya ia tak mampu memengaruhi
jama‟ah dan tak mampu merangsang perasaan jama‟ah. Sementara partai
mempersiapkan secara menyeluruh dalam jama‟ah untuk memengaruhi
perasaan indivdu-individunya. Karena itu ia akan mampu mempengaruhi
jama‟ah dan mampu pula merangsang pemikiran mereka secara
sempurna.48
b) Tahap Interaksi dengan Umat
Tahapan ini harus dibangeri dengan tujuan politik (kifah as-siyâsi). Sebab,
tahapan ini paling genting dan krusial. Bahkan bila tahapan ini tidak jalan, berarti
ada yang tidak beres yang harus segera diperbaiki. Tentu, tahapan ini juga
tergantung pada kesuksesan tahapan pertama, yakni pengkajian dan pembinaan.
Keberhasilan tahap pertama, harus diketahui oleh masyarakat, yaitu
mereka mengetahui bahwa ada aktifis dakwah Islam di tengah-tengah mereka.
Demikian pula ruh kejama‟ahan sudah terbentuk pada waktu pembinaan di
halqoh-halqoh. Anggota partai juga melakukan kontak langsung dengan
masyarakat dan berusaha memengaruhinya.
48
Ibid., h. 57.
69
Bila penguasaan tsakafah dalam pembinaan berhasil, maka akan terbentuk
pola piker dan pola sikap (as-syaksiyah al-islâmiyah) yang khas dimana pola jiwa
mereka sudah seirama dengan aqliyah (pola piker). Hal ini sesuai hadits nabi,
Artinya: Tidaklah sempurna iman seorang seorang mukmin sampai hawa
nafsunya tunduk kepada apa yang aku bawa ini (Islam). (HR. al-
Baihaqi)
Berpindahnya tahap pertama menuju tahap selanjutnya harus terjadi secara
alami. Artinya bila belum waktunya sulit terwujud sempurna. Oleh karena itu,
tahap pertama harus sukses sebagai wujud penyempurnaan nuqthatul ibtida (titik
awal dakwah). Kemudian agar dakwah mulai menjalani nuqthatul intilaq (titik
tolak dakwah), maka anggota partai harus menyeru masyarakat secara terus
terang.
Interaksi dengan umat sangat penting. Karena sekali pun anggota partai
banyak, maka tak berarti bila tidak berinteraksi dengan masyarakt. Oleh karena
itu, pengertian interaksi dengan umat bukanlah mengumpulkan masa di sekitar
mereka, tetapi memahamkan uamt akan ideologi partai supaya ia menjadi ideologi
umat. Karena ideologi tersebut –Islam- sebetulnya ideologi umat juga. Kaidah
pengungkapan perasaan umat tersebut –yaitu beraktifitas untuk suatu tujuan-
merupakan ungkapan hakiki dari ideology. Oleh sebab itu ideologi Islam
meruapakn perasaan umat yang paling mendalam dan partai adalah pengungkapan
perasaan tersebut. Jika perasaan ini diungkapkan dengan bahasa yang tepat, jelas,
umat akan memahami ideologi dengan cepat lalu berinteraksi dengan partai. umat
pun secara keseluruhan akan mengaggap dirinya adalah partai sedangkan
49
Lihat al-Madkhal ila as-Sunan al-Kubra al-Baihaqiy hadits no 209/I/188 (al-Maktabah
as-Syâmilah)
70
kelompok pilihan tersebut mengemban tugas memimpin gerakan dengan sebuah
kelompok yang bersifat partai (at-Takattul al-Hizbiy).50
c) Menerima Kekuasaan (istilâm al-hukm)
Partai meraih kekuasaan melalui umat dan melalui aktivitas thalb an-
nushrah, serta menerapkan ideologi secara sekaligus. Inilah yang disebut metode
revolusioner. Metode ini tidak membolehkan partai bergabung kedalam
pemerintahan yang menerapkan hukum Islam secara parsial. Partai harus
mengambil kekuasaan secara total dan menjadikannya sebagai metode untuk
menerapkan ideologi, bukan sebagai tujuan perjuangan. Metode ini mengharuskan
penerapan ideologi Islam secara revolusioner, tidak membolehkan penerapan
ideologi secara bertahap, bagaimana pun juga keadaannya.51
3. Tantangan Partai Meraih Kebangkitan
a. Pertentangan ideologi (Islam) dengan sistem (pranata kehidupan) yang
diterapkan di tengah-tengah masyarakat.
Ideologi partai adalah sebuah sistem kehidupan yang baru bagi masyarakat
sekarang. Ideologi ini bertentangan dengan sistem yang diterapkan atas
masyarakat, yang dengan sistem ini golongan penguasa memerintah rakyat. Oleh
itu, para penguasa tersebut akan menganggap ideologi tersebut merupakan
ancaman terhadap kelompok mereka dan institusi kekuasaan mereka. Mereka
pasti akan menghalangi dan memeranginya dengan berbagai macam cara, dengan
melancarkan propaganda untuk menentang ideologi itu, mengusir para pengemban
dakwahnya, atau dengan menggunakan kekuatan fisik. Maka dari itu, hendaklah
para pengemban ideologi ini pandai-pandai menjaga diri dari siksaan dengan
50
Ibid., 44. 51
Ibid., h. 78.
71
segenap kemampuan, menentang propaganda-propaganda sesat dengan
menjelaskan dakwah mereka dan bersiap sedia menanggung segala penderitaan di
jalan dakwah ini.52
b. Perbedaan Tsakafah
Dalam masyarakat, terdapat berbagai macam tsakafah dan tersebar
berbagai macam pemikiran yang berbeda-beda. Hanya saja mereka masih
mempunyai perasaan yang sama. Berbagai macam tsakafah tersebut, terutama
tsakafah para penjajah, merupakan ungkapan yang bertentangan dengan perasaan
masyarakat. Sementara tsakafah yang berasal dari ideologi partai (Tsakafah al-
Islamiyah) merupakan ungkapan yang benar dari perasaan-perasaan umat. Hanya
saja, tsakafah yang menjadi pendapat umum dalam masyarakat dan kurikulum
pendidikan di sekolah, universitas dan seluruh forum tsakafah, adalah tsakafah
yang sejalan dengan tsakafah asing. Misalnya, mereka mempelajari Islam dengan
metode yang bertentangan dengan metode Islam. Metode dalam Islam adalah
bawah hukum-hukum syara‟ dipelajari sebagai perkara yang bersifat praktis, agar
diterpkan oleh negara, dan oleh individu dalam urusan yang menyangkut
individu.53
Karena itu, dalam proses pembinaanya partai harus terjun ke dalam kancah
pergulatan menghadapi berbagai tsakafah dan pemikiran asing itu, sampai umat
mengetahui dengan jelas ungkapan yang benar dari nurani dan perasaan mereka,
sehingga kemudian umat berjalan bersama partai. Dari sinilah, dalam fase ini pasti
terjadi clash antara pemikiran partai dengan pemikiran lainnya. Dan benturan ini,
52
Ibid., h. 65. 53
Taqiyuddin an-Nabhani, Mafaahim Hizbut Tahrir, Penerjemah Abdullah, (Bogor: HTI
Press, 2011, cet. keenam), h. 9 5.
72
terjadi antara anak-anak umat Islam sendiri. Oleh itu, dalam hal ini partai tidak
boleh melakukan debat kusir tetapi harus berjalan di atas jalan lurus di sisi jalan
yang bengkok.54
c. Adanya orang-orang yang bersikap realistis/pragmatis (al-Wâqi‟în) di
tengah-tengah masyarakat.
Bercokolnya tsakafah asing dan racun-racun asing, serta merajalelanya
kebodohan, telah memunculkan dua macam kelompok orang-orang pragmatis di
tengah-tengah umat.
Kelompok pertama adalah kelompok orang-orang yang bersikap realistis
yang menyeru umat menerima realitas, untuk rela dengan realitas dan menyerah
pasrah kepada realitas, seakan-akan realitas adalah suatu keharusan yang tidak
bisa ditolak. Kelompok kedua adalah kelompok orang-orang zalim yang enggan
hidup dalam kebenaran, karena mereka terbiasa hidup enak dalam kegelapan,
terbiasa tidak peduli terhadap orang lain dan berpikir secara dangkal. Mereka ini
adalah orang-orang yang mengidap penyakit malas, baik malas secara fisik
maupun akal. Mereka berkeras kepala untuk terus memegang teguh peninggalan
nenek moyang mereka. Sebetulnya inilah kelompok pragmatis sebenarnya, karena
mereka termasuk dalam realitas itu sendiri. Meraka adalah orang-orang yang
berpikiran jumud (beku). Karena itu, untuk menyadarkan kelompok ini perlu
usaha lebih keras.55
a. Keterikatan manusia dengan kepentingan-kepentingannya
Hal ini terjadi karena manusia senantiasa terikat dengan kepentingan
pribadinya dan pekerjaan sehari-hari. Sementara pada saat yang sama, dia juga
54
Taqiyuddin an-Nabhani, Pembentukan Partai Politik Islam, Penerjemah Zakaria,
Labib, at. all (Bogor: HTI Press, 2011, cet. Kelima), h. 66. 55
Ibid., h. 68.
73
harus terikat dengan ideologi. Bisa jadi suatu saat kepentingan-kepentingan
tersebut bertentangan dengan aktivitas dakwah kepadaideologi, sehingga dia
berusaha mengkompromikan keduanya. Untuk mengatasi kesulitan ini, setiap
orang yang meyakini ideologi ini (Islam) wajib menjadikan dakwah dan pratai
sebagai titik sentral bagi setiap kepentingan pribadinya. Ia tidak boleh sibuk
dengan pekerjaan-pekerjaan yang melupakan dan menghalanginya dari dakwah.
Dengan cara ini dia telah memindahkan posisi dakwah menjadi sumbu putar
tempat kepentingan-kepentingan pribadinya yang mengitarinya.56
b. Sulitnya mengorbankan kehidupan dunia (harga, perdagangan dan
sejenisnya) di jalan dakwah Islam.
Cara mengatasi kesulitan ini adalah dengan mengingatkan orang-orang
beriman, bahwa Allah telah membeli jiwa dan harta mereka dengan sura. Cukup
ia diberikan peringatan seperti itu kemudian diberikan pilihan tanpa memaksa
untuk berbuat sesuatu. Hadits Rasulullah ketika mengutus Abdullah bin Jahsiy
ketika memata-matai quraisy, “Janganlah sekali-kali engkau memaksa seseorang
dari sahabat-sahabatmu untuk berjalan bersamamu. Laksanakanlah perintahku
bersama-sama orang-orang yang bersedia mengikutimu”.
c. Dalam tahapan interaksi, partai juga menghadapi dua bahaya yaitu bahaya
kelas (khatr at-thabaqiy) dan bahaya ideologis (khatr mabdaiy).
Bahaya ideologi datang dari arus jama‟ah dan dari keinginan untuk
memenuhi tuntutan uamt yang bersifat sesaat dan mendesak. Bahasa itu juga
bersumber dari munculnya pendapat yang mendominasi jama‟ah bahwa pemikiran
partai telah gagal.
56
Ibid., h. 69.
74
Bahaya ini dapat muncul karena ketika partai mengarungi lapangan
kehidupan dalam masyarakat, dia melakukan kontak dengan massa (mayoritas
masyarakat) untuk berinteraksi dengannya dan untuk memimpin mereka. Pada
saat partai yang membekali diri dengan ideologi itu terjun di tengah massa,
didalamnya terdapat pemikiran-pemikiran kuno atau lama yang saling
bertentangan, warisan-warisan generasi masa lalu, pemikiran-pemikiran asing
yang berbahaya. Maka, partai harus membekali diri dengan pemikiran pendapat
partai seruta berusaha dengan sungguh-sungguh memperbaiki persepsi massa,
membangkitkan akidah Islam dalam diri mereka, dan menciptakan suasana yang
benar dan kebiasaan umum.
Adapun bila partai memimpin massa sebelum ia sempurna melakukan
interaksinya dengan massa dan sebelum tercipta kesadaran umum pada umat,
maka kepemimpinannya atas umat bukan berdasarkan hukum dan pemikiran dari
ideologi, melainkan dengan membangkitkan apa yang bergelora di dalam jiwa
umat, dengan menyentuh perasaannya dan dengan menggambarkan bahwa
tuntutan mereka akan terpenuhi dalam waktu dekat.
Pada saat itulah akan banyak tuntutan masyarakat kepada partai yang
bertentangan dengan ideologi partai. Maka pada saat ini juga partai dihadapkan
pada dua pilihan, pertama berhadapan dengan kemarahan dan kebencian umat
serta kehancuran pengaruhnya atas jamaah. Kedua, berhadapan dengan kondisi
lepasnya partai dari ideologi dan munculnya sikap meremehkan ideologi dan
munculnya sikap meremehkan ideologi. Kedua hal ini sangat berbahaya bagi
partai.
75
Karena itu, jika berhadapan dengan dua pilihan, hendaklah partai
berpegang teguh pada ideologi. Sekalipun ia harus menghadapi kebencian umat.
Karena kebencian itu sifatnya temporer. Keteguhan partai pada ideologi akan
mengembalikan kepercayaan umat kepadanya. Dalam hal ini hendaklah partai
berhati-hati agar tidak menyalahi ideologi walaupun hanya sehelai rambut. Sebab,
ideologi adalah kehidupan (nyawa) bagi partai.
Adapun bahaya kelas,57
ia dapat menimpa para aktivis dakwah, bukan
menimpa umat. Bahaya ini terjadi karena ketika partai menjadi wakil umat atau
mayoritas umat, ia akan mempunyai tempat terhormat, posisi yang mulia serta
mendapatkan penghormatan yang sempurna dari umat, khususnya dari masyarakat
umum. Ini kadangkala dapat menghembuskan tipu daya ke dalam jiwa para
aktivis partai sehingga mereka merasa bahwa mereka lebih tinggi dari umat,
bahwa menjadi tugas mereka adalah memimpin sedangkan tugas umat untuk
dipimpin.
Jika ini terjadi berulang-ulang, umat akan merasa bahwa partai adalah
suatu lapisan „kelas‟ yang lain. Demikian pula partai pun akan merasakan hal
yang sama. Munculnya perasaan ini adalah awal dari kehancuran partai. Karena ia
akan melemahkan semangat partai untuk memperayai orang-orang kebanyakan
dari masyarakt dan sebaliknya ia akan melemahkan kepercayaan masyarakat
banyak terhadap partai. Pada saat itulah, umat akan mulai berpaling dari partai.
Apabila umat berpaling dari partai, berarti partai telah hancur. Dan ini
membutuhkan usaha berlipat ganda untuk mengembalikan kepercayaan umat
terhadap partai. Karena itulah, hendaknya para aktivis partai bersikap seperti
57
Mencintai kepemimpinan adalah salah satu manifestasi naluri mempertahankan diri.
Bila tidak dikendalikan syara‟, akan berdampak pada merasa bangga pada diri sendiri dan
memandang rendah terhadap pihak lain.
76
individu-individu umat kebanyakan. Hendaklah mereka tidak mempunyai
perasaan terhadap diri mereka kecuali bahwa mereka adalah pelayan umat dan
bahwa tugas mereka sebagai partai adalah melayani umat. Mereka harus
berpandangan demikian, sebab ini akan memberi mereka kekuatan dan
keuntungan lainnya, bukan hanya terpelihara keercayaan mayoritas umat kepada
mereka, melainkan juga akan sangat bermanfaat bagi mereka pada tahapan ketiga
nanti, ketika partai menguasai pemerintahan untuk menerapkan ideologi. Karena
pada saat itu –sebagai penguasa- mereka sebenarnya tetap menjadi pelayan umat,
sehingga sikapnya tersebut akan memudahkan mereka dalam menerapkan
ideologi.58
D. Pengaruh Pemikiran Taqiyuddin an-Nabhani dalam Pembentukan
Partai Politik Islam Terhadap Hizbut Tahrir Indonesia
Dalam pemahaman Taqiyuddin an-Nabhani, seseorang dikatakan memiliki
kepribadian Islam (as-Syaksiyah al-Islamiyah) adalah apabila pola pikir yang
berasaskan Islam selaras dengan pola sikapnya.59
Maka, termasuk dalam
pemikirannya tentang pembentukan partai politik yang tak lain tergali dari Islam,
harus menghujam di jiwa anggota-anggotanya. Hal ini yang menurut Islamil
Yusanto selaku Juru Bicara HTI, membuat para syabab-nya memiliki karakteristik
yang khas.60
58
Taqiyuddin an-Nabhani, Pembentukan Partai Politik Islam, Penerjemah Zakaria,
Labib, at. all (Bogor: HTI Press, 2011, cet. Kelima), h. 76. 59
Taqiyuddin an-Nabhani, as-Syakshiyah al-Islâmiyah (Beirut: Dâr al-Ummah, 2003),
h.16. 60
Ismail Yusanto, Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia, Wawancara Pribadi, Jakarta, 28
September 2015.
77
Dalam perkembangan HTI sendiri juga tidak terlepas dari pedoman buku
at-Takattul al-Hizbiy tersebut yang menjadi bacaan wajib bagi anggota HTI.61
Bahkan tidak sedikit istilah-istilah khusus yang hanya dipahami anggotanya
seperti defini Politik Islam, Partai Politik, Nidzam, Mabda, Tsakafah, Isyraf dan
sebagainya. Sekalipun istilah itu dikenal oleh masyarakat tetapi HTI memiliki
definisi tersendiri.
Adapun pengaruh yang signifikan dari pemikiran Taqiyuddin terkait
pembentukan partai politik, menurut Ismail Yusanto, hingga kini –sekalipun ada
beberapa perubahan- HTI dan HT seluruh dunia masih berpedoman pada buku
tersebut dalam upaya meraih kebangkitan. Misalnya kegiatan Halqoh, Interaksi
dengan Masyarakat, Meminta Kekuasaan, masih dilakukan di seluruh dunia.
Hanya saja terkait Meminta Kekuasaan, menurut Jubir itu hanya dilakukan oleh
pimpinan tertinggi Hizbut Tahrir. 62
Dalam penatnya penelitian dan semakin besarnya rasa penasaran, terutama
keseragaman pemikiran dan pola gerak HT seperti hasil wawancara dengan Ismail
Yusanto, ternyata dalam pemikiran Taqiyuddin an-Nabhani terdapat sebuah
konsep yang menyatukan hal tersebut. Konsep itu mereka namakan “Tabani”.
Secara etimologi, Tabani artinya adopsi anak kepada, 63
(تبنى فلانا) . Adapun
maksud Taqiyuddin adalah tabani (adopsi) hukum dari pendapat-pendapat yang
banyak yang kemudian menjadi pendapat partai yang mewajibkan seluruh
anggotanya terikat dengan pendapat tersebut sekalipun secara individu memiliki
61
Ibid.,
62
Ibid.,
63
Kamus elektronik Arab-Indonesia V3.0
78
pendapat yang berbeda. Hal ini Taqiyuddin ambil dari praktik al-Khulâfa ar-
Râsyidûn yang biasa mentabani suatu hukum yang kemudian seluruh sahabat
mengikutinya sekalipun memiliki pendapat berbeda. Misalnya, Khalifah Abu
Bakar tidak membedakan pembagian harta terhadap orang yang lebih awal masuk
Islam dengan orang yang lebih akhir masuk Islam. Begitu juga terkait talak,
khalifah Abu Bakar RA menjatuhkan talak tiga dalam satu majelis sebagai talak
satu. Keputusan khalifah ini diikuti oleh seluruh gubernur dan hakim, kemudian
kaum muslimin mematuhinya. Sementara ketika masa khalifah Umar bin Khattab
RA, beliau mengambil keputusan yang berbeda dari Abu Bakar. Beliau
membagikan harga dengan membedakan orang yang lebih awal dan akhir masuk
Islam, beliau juga menjatuhkan talak tiga dalam satu majelis sebagai talak tiga,
dan keputusan ini diikuti oleh seluruh kaum muslimin. 64
Dari konsep tabani inilah menjadikan anggota seluruh HT dan HTI terikat
dengan pemikiran Taqiyuddin an-Nabhani sebagaimana penuturan Ismail Yusanto
dalam wawancara pribadi penulis. Adapun pengaruh lain, misalnya dalam buku
tersebut dikatakan ketika ada pilihan antara keinginan masyarakat yang berbeda
dengan tuntunan ideologi maka harus tetap berpegang kepada ideologi.
Peristiwa seperti ini pernah terjadi sekitar tahun tahun 2007. Ketika itu M.
al-Khattat selaku ketua DPP HTI merangkap ketua FUI (Forum Umat Islam)
diminta untuk melepaskan jabatan FUI oleh Mandub65
. Namun al-Khattat
menolaknya yang kemudian ia sendiri diberikan „iqob dengan dekeluarkannya
dari HTI. Kemudian al-Khattat yang masih memiliki pengaruh besar tersebut
blusukan ke daerah-daerah untuk menggalang dukungan. Tetapi karena anggota
64
Taqiyuddin an-Nabhani, Nidzam al-Islâm (Beirut: Dâr al-Ummah, 2001), h.83.
65
Nama bagi pengawas HT setiap negara yang diutus langsung oleh Amir Hizbut Tahrir.
79
HTI telah memahami benar tsakafahnya dan kepada siapa mereka harus taat,
maka orang sekelas al-Khatat pun –karena melanggar aturan- tak dihiraukan oleh
para anggotanya.
Dengan demikian secara normatif dan empirik, dengan adanya konsep
tabani sebagaimana yang penulis jelaskan di atas, memiliki pengaruh besar
terhadap perjuangan dakwah Hizbut Tahrir Indonesia.
E. Analisis Pemikiran Taqiyuddin An-Nabhani
1. Sistem Pemerintahan Khilafah
Pemahaman terhadap dalil, tergantung pada kaidah ushul fiqh yang
digunakan. Sebab ushul fiqh adalah metode untuk memahami dalil. Adapun
sebagian orang yang menghukumi dalil dengan kaidah selain ushul fiqh, misalnya
dengan metode Heurmenetika maka sekalipun hasilnya berbeda, hal ini tidak
termasuk ikhtilaf melainkan penyimpangan. Oleh karena itu, penting memahami
ushul fiqh yang digunakan seseorang untuk „memukul‟ dalil agar bisa mengetahui
buah pemikirannya.
Mayoritas ulama kontemporer tidak mewajibkan bentuk negara khilafah
karena didasarkan pada suatu kaidah ushul fiqh. Misalnya ketika memahami
hadits penyerbukan kurma sebagai berikut,
»
Artinya: Dari Anas ra. dituturkan bahwa Nabi saw. pernah melewati satu kaum
yang sedang melakukan penyerbukan kurma. Beliau lalu bersabda,
“Andai kalian tidak melakukan penyerbukan niscaya kurma itu menjadi
66
Lihat Shahih Muslim hadits no 141/IV/1836 (al-Maktabah as-Syâmilah)
80
baik.” Anas berkata: Pohon kurma itu ternyata menghasilkan kurma yang
jelek. Lalu Nabi saw. suatu saat melewati lagi mereka dan bertanya,
“Apa yang terjadi pada kurma kalian?” Mereka berkata, “Anda pernah
berkata demikian dan demikian.” Beliau pun bersabda, “Kalian lebih tahu
tentang urusan dunia kalian.” (HR Muslim).
Memahami hadits ini, mayoritas ulama biasanya menggunakan kaidah
(yang menjadi pertimbangan adalah keumumam lafadz,
bukan kekhususan sebab). Sehingga, hadits di atas dapat dipahami keumumannya
yaitu urusan dunia diserahkan kepada teori manusia.
Adapun kaidah ushul fiqh lain yang berkaitan dengan muamalah misalnya,
hukum asal muamalah adalah) نتحريىعهى ا الأصم فى انعايهت الا باحت حتى يدل اندنيم
mubah sampai ada dalil yang mengharamkan). Maka dengan kaidah ini, termasuk
bentuk pemerintahan –karena termasuk muamalah- hukumnya disesuaikan dengan
kebutuhan manusia.
Dari kaidah-kaidah ushul fiqh di atas kemudian muncul beragam pendapat
tentang bentuk pemerintahan. Al-Maududi misalnya menggunakan istilah Teo-
Demokrasi atau Khilafah-Demokratik,67
Diauddin Rais menggunakan istilah
Demokrasi Islam,68
Yusuf Qardawi menggunakan istilah Negara Madani,69
Abdul
Karim Soroush menggunakan istilah Demokrasi Religius70
dan Moh. Natsir
menggunakan istilah Demokrasi Teistik (Demokrasi Ketuhanan).71
67
Abu A‟la al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, Penerjemah Muhammad al-Baqir,
(Bandung: Mizan, 2007, cet. Pertama), h. 171.
68
Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, Penerjemah Abu Hayyie al-Kattani, et. all (Jakarta
: Gema Insani, 2001), h. 312.
69
Yusuf Qardhawi, Fiqh Negara, Penerjemah Syafril Halim, (Jakarta: Robbani Pres,
1999, cet. Kedua), h. 68. 70
Idris Thaha, Demokrasi Religius (Jakarta: Teraju, 2005, cet. Pertama), h. 313. 71
Ibid., h. 312.
81
Adapun Taqiyuddin an-Nabhani, mendasari pendapatnya dengan sebuah
kaidah ushul fiqh yang ia gali sendiri dari berbagai dalil. Bila kaidah ushul fiqh di
atas menjelaskan hukum asal muamalah adalah mubah, maka Taqiyuddin
mengeluarkan kaidah ushul fiqh sebaliknya yaitu,
(hukum asal setiap perbuatan senantiasa terikat dengan hukum-hukum syara‟).
Menurutnya, kaidah ini didasarkan pada praktik para sahabat yang senantiasa
menanyakan status hukum perbuatan yang akan dan telah mereka lakukan.
Misalnya, sahabat bertanya tentang hukum khamr, warisan, sedekah, jual beli, riba
dan sebagainya. Hal ini –menurutnya- menunjukan bahwa asal perbuatan
senantiasa terikat dengan hukum syara‟ sehingga ditemukan qarînah apakah
wajib, sunah, makruh, haram atau mubah.
Adapun keumuman lafadz sebagaimana kidah ushul fiqh di atas,
Taqiyuddin juga sependapat. Misalnya tentang hadits bangkai kambing milik
Maimunah, Rasul bersabda ketika melewatinya “Setiap kulit binatang yang
disamak, maka suci”. Dari peristiwa ini, menurut Taqiyuddin bukan hanya milik
Maimunah, tetapi setiap jenis kulit binatang milik siapa pun. Hanya saja,
Taqiyuddin menurunkan kaidah lain di bawahnya, yaitu فى خصوص انسبب عوو انفظ
keumuman lafadz pada suatu) هو عوو فى يوضوع انحادثت وانسوال ونيس عويا فى كم شيء
sebab adalah keumuman pada topik tertentu dan pertanyaan tertentu. Tidak umum
mencakup segala sesuatu). Maka dengan kaidah ini, maksud hadits “kalian lebih
tahu urusan dunia kalian” maksudnya bebas dalam perkara sejenis yaitu
pertanian dan sains saja.
Senada dengan hadits lain yang berkaitan dengan larangan kepemimpinan
wanita “tidak beruntung sebuah kaum yang di pimpin wanita”, bila dilihat
82
kekhususan sebab, maka hal itu hanya berkaitan dengan putri Kisra. Pun bila yang
digunakan keumuman lafadnya, maka tidak menjalar kesegala hal. Maksud umum
adalah dalam kontek tertentu yaitu pemerintahan. Berarti tidak masuk semua hal
yang bukan pemerintahan (al-hukm), wanita diharamkan memimpin. Oleh karena
itu, Khalifah Umar bin Khatab semoga Allah meridhoinya, pernah menujuk
sahabiyah Sifa untuk mengatur urusan pasar. Dapat dipahami bahwa urusan pasar
bukan urusan al-Hukm melainkan urusan administrasi. Termasuk kepala sekolah,
yayasan dan sejenisnya tidak termasuk larangan untuk wanita memimpin.72
Begitu juga persoalan menerima realitas yang ada sebagai salah satu
alasan bolehnya membentuk pemerintah apa pun –asalkan substansinya Islam-,
tergantung pada kaidah ushul fiqh yang digunakan. Sebab, masing-masing
memiliki dalil baik berbentuk dalil Dzanniy Shahih atau Dzanniy Hasan.
Penting dicatat, benarkah khalifah harus satu, sebagaimana konsep
Taqiyuddin an-Nabhani? Tohir Bawazir dalam bukunya, Jalan Tengah
Demokrasi, mempertahanyakan hal demikian. Sebab, menurutnya dalam realitas
sejarah pun terjadi dualisme kekuasaan. Misalnya misalnya kekhilafahan
Abdurahman ad-Dakhil di Spanyol yang berbarengan dengan kekhilafahan
Abbasiyah di Baghdad, begitu juga kekhilafahan Abdul Malik bin Marwan di
Syam yang berbarengan dengan kekhilafahan Abdullah bin Zubair di Hijaz. Dan
banyak hal lagi yang menurutnya dalam realitas sejarah pun terjadi dualisme
kekuasaan.73
72
Taqiyuddin an-Nabhani, as-Syaksiyah al-Islamiyah al-Juz at-Tslits (Beirut : Dâr al-
Ummah, 2003, cet. Kelima), h. 91-99.
73
Tohir Bawazir, Jalan Tengah Demokrasi Antara Fundamentalisme dan Sekulerisme
(Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2015, cet. Pertama), h. 56.
83
Adapun kekhilafahan Abdul Malik bin Marwan, maka sebetulnya tidak
secara otomatis terjadi dualisme kekuasaan. Sebab, dalam buku Yusuf al-„Isy,
Dinasti Umawiyah Sebuah Perjalanan Lengkap Tentang Peristiwa-Peristiwa
yang Mengawali dan Mewarnai Perjalanan Dinasti Umawiyah, ketika Muawiyah
bin Yazid mengundurkan diri dari tampuk kekuasaan, pada saat itu terjadi
kekosongan kepemimpinan. Maka kemudian penduduk Hijaz membaiat Ibnu
Zubair bin Awam. Setelah beberapa waktu, penduduk Syam pun membait kembali
klan Umayah yaitu Abdul Malik bin Marwan. 74
Hanya saja penting juga dikritisi, apakah sejarah dualisme kekuasaan –
kalau dikatakan dualisme- dapat digunakan sebagai dalil untuk menolak wajibnya
membentuk kekhilafahan dengan mengangkat satu khalifah sebagaimana yang
terdapat pada banyak hadits.
Adapun realitas yang harus diterima, bahkan menjadi hukum sebagaimana
dalam kaidah ushul fiqh انعادة يحكت (kebiasaan bisa menjadi hukum), berbeda juga
dengan pandangan Taqiyuddin. Menurutnya bukan hukum syara‟ –karena khilafah
dalam pandangannya termasuk hukum syara‟- yang disesuaikan dengan realitas
tetapi realitaslah yang harus disesuaikan dengan hukum syara‟.
Sebegitu pun beragamnya pendapat terkait bentuk pemerintahan, menurut
penulis memiliki titik temu yaitu wajibnya mengamalkan perintah agama.
Terlepas yang dimaksud perintah agama bersifat legal-formal atau substansi.
A. Pengangkatan Kepala Negara
Taqiyuddin an-Nabhani membedakan antara metode pengangkatan
khalifah (Thorîq al-in‟iqod nasb al-Khalîfah) dengan metode pemilihan pemilihan
74
Yusuf al-„Isy, Dinasti Umawiyah Sebuah Perjalanan Lengkap Tentang Peristiwa-
Peristiwa yang Mengawali dan Mewarnai Perjalanan Dinasti Umawiyah, Penerjemah Iman
Nurhidayat dan Muhammad Khalil, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2014 cet. Ketiga), h. 225-226.
84
khalifah (thorîq al-intikhôb al-Khalîfah) . Menurutnya metode mengangkat
khalifah (nashb al-khalîfah) bersifat baku yaitu baiat. Sementara tata cara
pemilihan khalifah (intikhôb al-khalîfah) dapat berubah-ubah sesuai dengan
tuntutan jaman sehingga dapat dijumpai pada prosesi pemilihan al-Khulafa ar-
Rasyidun pun terjadi perbedaan. Tetapi berjalan pada satu metode pengangkatan
yang baku yaitu baiat. Tentu pendapat seperti ini berbeda dengan para pemikir
politik Islam kontemporer. Sebab menurut para pemikir modern, prosesi
pemilihan kepala negara yang dialami khalifah yang empat mengalami perbedaan
sebagai indikasi bahwa tata cara pemilihan kepala negara tidak ada yang baku.
Sebetulnya pendapat Taqiyuddin mungkin saja dapat diterima, hanya saja
sejauh pengetahuan penulis Taqiyuddin juga tidak menetapkan tata cara pemilihan
seperti apa yang menurutnya lebih baik. Sebab sekalipun membedakan antara
metode in‟iqhod dengan metode intikhob kepala negara, ia tidak memberikan
penjelasan tentang uslub intikhob-nya. Bahkan dalam salah satu karyanya, Ajhizah
Daulah al-Khilafah disebutkan,
“sebetulnya masih terdapat beberapa perkara penting lainnya yang tidak
85
kami cantumkan di dalam buku ini, tetapi akan kami umumkan pada
waktunya nanti yakni pada saatnya nanti kami mengeluarkan undang-
undang yang berkaitan dengan perkara tersebut dalam suplemen buku ini,
atas izin Allah. Perkara-perkara tersebut adalah: tata cara pemilihan
khalifah, penentuan redaksi baiat, penentuan wewenang amir sementara
dalam kondisi khalifah berada dalam tawanan yang memiliki kemungkinan
bebas atau dalam kondisi tidak ada kemungkinan bebas, …”75
Belum dibahasnya perkara tersebut penulis khawatir terjadi penolakan dari
masyarakat di kemudian hari. Kecuali memang telah disosialisasikan kepada
khalayak metode pemilihan tertentu yang memungkinkan dapat diterima.
B. Pembentukan Partai Politik Islam
Dalil yang digunakan Taqiyuddin an-Nabhani terkait pembentukan Partai
Politik Islam untuk menegakan kembali khilafah (re-Establish the Khilafah)
adalah sirah nabawiyah. Yaitu pembinaan, interaksi dengan umat dan tholab an-
nushroh agar terjadi instilam al-hukmi (penyerahan kekuasaan) dari umat kepada
hizb.
Sebetulnya menjadikan sirah nabawiyah sebagai dalil perlu dikaji lebih
mendalam. Sebab, tidak sedikit ulama yang menolak sirah sebagai dalil. Bahkan
ulama hadits pun mendefiniskan hadits sebagai perkataan, perbuatan dan takrir
nabi yang berkaitan dengan hukum saja. Maka mereka tidak memasukan sirah
sebagai hadits.
Salah satu ulama yang berpandangan demikian misalnya Yusuf Qardawi,
dalam salah satu karyanya ia mengatakan,
75
Taqiyuddin an-Nabhani, Struktur Negara Khilafah Pemerintahan dan Administrasi,
Penerjemah Yahya Abdurahman, (Jakarta: HTI Press, 2005, cet. Kesatu), h. 12.
86
“al-Quran adalah sumber utama dan pokok. Sedangkan sunnah berfungsi
sebagai penjelas dan keterangan. Tapi, kekeliruan terjadi bila sebagian
orang menempatkan sirah nabawiyah untuk mewajibkan dan mengharamkan
sesuatu, seperti mereka mengambil dari al-Quran dan sunnah”76
kemudian ketika mengomentari dalil Q.S. al-Ahzab : 21 “sungguh telah
ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik…” Yusuf Qardawi memberi
penjelasan, “ayat di atas menganjurkan kita kaum muslimin untuk meneladani
Rasulullah. Tetapi, meneladani sirah beliau hanya dalam hal yang berkaitan
dengan moral dan nilai-nilai umum saja, bukan pada hal-hal yang rinci”77
Menurut Taqiyuddin, tahapan pembentukan Parpol Islam untuk meraih
kebangkitan tersebut didasarkan pada sirah nabawiyah, karena dari segi perbuatan
nabi dapat dibedakan beberapa kriteria. Pertama, perbuatan jibîliyyah atau
perbuatan alami manusia seperti duduk, tidur, berkedip dan lain sebagainya. Pada
perbuatan ini tidak disunahkan mengikutinya melainkan mubah saja. Kedua,
perbuatan selain dalam kontek manusia biasa (ghair Jibîliyah), tetapi hanya
khusus untuk nabi dan tidak boleh diikuti oleh umatnya. Contohnya puasa wishal,
shalat tahajud dan witir wajib bagi nabi, menikah lebih dari empat dsb. Ketiga,
perbuatan nabi sebagai penjelas (al-bayan) dari al-Qur‟an seperti shalat
(perbuatan) sebagai penjelas dari “ وا انصلاة ياق “ maka dalam hal ini umatnya
wajib mengikuti (tergantung al-mubayan, jika yang dijelaskan perkara wajib,
maka mengikutinya pun wajib, jika perkara sunnah atau mubah maka status
hukumnya juga demikian). Keempat, perbuatan yang bukan dari sisi manusia
biasa (al-Jibiliyah), bukan kekhususan dan bukan pula penjelas (al-bayan) dari al-
Qur‟an. Maka, menurutnya harus dilihat apakah dalam perbuatan tersebut ada
76
Yusuf Qardhawi, Fiqh Negara, Penerjemah Syafril Halim, (Jakarta: Robbani Pres,
1999, cet. Kedua), h. 104. 77
Ibid., h. 105.
87
maksud taqarrub (Qashd al-Qurbah) atau tidak ada. Bila ada maksud taqarrub
(Qashd al-Qurbah) maka mengikutinya menjadi sunnah atau yang sering disebut
nafilah, seperti shalat dluha.78
Perkara yang menjadi catatan penulis adalah, apa qarinah bahwa sirah
nabawiyah sebagai penjelas bagi perkara wajib –seandainya dikatakan wajib.
Sebab dalam perkara shalat, yang menjadi mubayan-nya bersifat jelas yaitu wajib,
وا انصلاة ياق sehingga mengikuti perbuatan nabi pun (sebagai al-bayan ayat ini)
menjadi wajib. Karena ada qarinah yang menunjukan hal itu yakni hadits
“Shalatlah kalian sebagaimana aku shalat”. Adapun qarinah dari sirah,
sepengetahuan penulis, Taqiyuddin tidak menjelaskan secara mendalam.
Adapun penjelasan lain, justru dapat ditemukan pada karya Syabab79
Hizbut Tahrir Inggris, The Method to Re-Establish the Khilafah. Menurutnya Q.S.
al-Mudatsir : 1-3 “Wahai orang yang berselimut, bangunlah lalu berikanlah
peringatan, dan agungkanlah tuhanmu” adalah ayat yang dijelaskan dalam
perbuatan. Setelah ayat ini turun, rasul hanya melakukan dua hal yaitu menyeru
manusia kepada akidah Islam lalu melakukan pembinaan di rumah al-Arqam bin
Abi al-Arqam.80
Sementara pada tahap kedua, interaksi dengan masyarakat, sebagai
penjelas dari ayat yang status hukumnya wajib pula yaitu Q.S. al-Hijr: 94 “maka
sampaikanlah olehmu secara terang-terangan apa yang telah diperintahkan
(kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang musyrik”. Ayat ini dijelaskan
78
Taqiyuddin an-Nabhani, as-Syaksiyah al-Islamiyah al-Juz at-Tsâlits (Beirut : Dâr al-
Ummah, 2003, cet. Kelima), h. 91-99. 79
Sebutan untuk anggota resmi Hizbut Tahrir
80
Syabab HT, Bagaimana Membangung Kembali Negara Khilafah, Penerjemah
Ramadhan Adi, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2008, cet. Kedua), h. 118.
88
dalam bentuk perbuatan yaitu rasul berinteraksi dengan masyarakat, mengemban
Islam kepada masyarakat agar diterapkan melalui kekuasaan. Nabi juga
menentang kekuasaan Quraisy, menentang kesalahan-kesalahan mereka dalam
mengatur kemasyarakatan, menentang budaya-budaya seperti membunuh bayi
hidup-hidup dsb. 81
Adapun aktifitas tholab an-Nushrah, adalah penjelas dari Q.S.
an-An‟am ayat 34,
“Dan sungguh telah didustakan pula para rasul sebelum kamu, namun
mereka bersabar terhadap pendustaan dan penganiayaan terhadap merekea
hingga datanglah pertolongan kami kepada mereka. Tidak ada seorang pun
yang dapat mengubah-ubah kalimat-kalimat (janji) Allah. Dan
sesungguhnya telah datang kepadamu sebgaian berita para rasul itu”,
Maka menurut Syabab HT Inggris, ayat ini dijelaskan dalam bentuk
perbuatan yaitu aktifitas nabi yang mendatangi berbagai kabilah seperi Bani
Sayiban bin Tsa‟labah, Bani Sha‟shaah dan beberapa bani lainnya sampai nusrah
itu didapat dari suku Aus dan Khadraj. Semua ayat-ayat di atas mengharuskan
mengetahui waktu turunnya. Sebab setiap kali ayat turun, maka rasul pun segera
melakukannya sesuai tahapan di atas82
Sementara indikasi lain wajibnya mengikuti perbuatan nabi dalam cara
mendirikan negara, ulama ushul fiqh seperti Atho bin Khalil adalah al-Istimrar
ma‟al masyaqah (konsisten dalam kesulitan). Maka meskipun nabi dalam
kesulitan tetapi beliau tetap melakukan aktifitas memperoleh nushroh.
Catatan penulis, penjelasan point ketiga masih menyimpan ketidakjelasan,
apakah tholab an-Nushroh (meminta pertolongan) kepada pihak yang memiliki
kekuatan di tengah masyarakat termasuk perintah jazim atau ghairu jazim, apa
indikasinya. Bisa jadi tholab an-Nushroh pada waktu itu disebabkan
81
Ibid., h. 122. 82
bid., h. 132.
89
penganiayaan Quraisy misalnya, sehingga bila dikaitkan pada zaman sekarang –
menurut Yusuf Qardawi- tentu tidak relevan sebab dakwah pada saat ini tidak ada
penaniayaan yang berarti sebagaimana dulu.
Dari berbagai penjelasan dan analisa di atas telah nampak bahwa hal ini
termasuk wilayah dilalah ad-Dzan baik yang digali dari Qatiy at-Tsubût atau
Dzan at-Tsubût. Oleh karena dalam wilayah dilalah ad-dhan maka dapat
dipastikan terdapat perbedaan (al-Ikhtilaf). Dan perbedaan dalam perkara dhan
termasuk bentuk rahmat Allah Swt. Wa Allah „alam bil Murodhihi!
90
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian sekripsi ini, dapat penulis simpulkaln sebagai berikut,
1. Pembentukan Partai Politik Islam untuk meraih kebangkitan, menurut
Taqiyuddin harus mengikuti metode Rasulullah Saw yaitu dengan adanya
at-Tatskif (pembinaan) at-Tafâ’ul ma’a al-Ummah (interaksi dengan
masyarakat) dan istilâm al-Hukm (penyerahan kekuasaan). Sebelum parpol
terbentuk, menurutnya harus ada seseorang yang tertunjuki kepada Mabda
Islam yang kemudian membentuk halqoh kecil, lalu membentuk kutlah-
dan kemudian secara alami terbentuk hizbiyah. Tidak hanya itu, parpol
juga harus bisa mengaitkan pemikiran dan perasaan sehingga memiliki
kader yang ikhlas yang siap mengarungi medan kehidupan. Maka secara
alami kebangkitan pun dapat terwujud di tengah-tengah masyarakat.
2. Pemikiran Taqiyuddin an-Nabhani sangat besar pengaruhnya terhadap
Hizbut Tahrir Indonesia. Buktinya terdapat keseragaman pola pikir dan
pola gerak HTI dan tidak pernah terjadi perpecahan sebagaimana yang
sering terjadi pada beberapa pergerakan lain. Semua itu karena sebuah
konsep yang bernama Tabani Hukum.
B. Saran
Pada bagian ini, penulis memberikan saran baik secara praktik atau
akademik. Secara praktik, saran pertama ditujukan kepada Hizbut Tahrir
91
Indonesia. Hendaknya HTI konsisten dalam pergerakannya hingga
mendapatkan kepercayaan masyarakt dan hendaknya HTI meningkatkan
pola gerak dari sekedar ormas menjadi partai politik sebagaimana parpol
lain sehingga memiliki pengaruh yang lebih besar. Adapun saran kedua,
penulis tujukan kepada pemerintah. Hendaknya tidak perlu memandang
bahaya kepada HTI, sebab dalam tataran praktisnya HTI tidak pernah
terlibat dalam kegiatan yang mengancam masyarakat seperti tindakan
kriminal. Tidak hanya itu, hendaknya pemerintah juga memberikan hak
yang sama kepada HTI terutama hak politik agar dapat berperanserta
memberikan masukan kepada pemerintah. Kemudian penulis juga
memberikan saran kepada masyarakat agar saling menghormati perbedaan
selama tidak menimbulkan cacatnya prinsip ajaran Islam. Sehingga dengan
begitu hidup rukun dapat terwujud.
Adapun saran secara akademik, hendaknya tidak menjadikan
skripsi ini satu-satunya referensi terkait diskursus pemikiran politik Islam.
Penulis menyadari masih ada kekurangan dalam penulisan ini. Oleh karena
itu, sebaiknya dilakukan penelitian lanjutan atau digunakan sebagai
pembanding dengan hasil penelitian lainnya. Dan penulis beharap semoga
tulisan ini membawa manfaat bagi akademisi khususnya dan masyarakat
umumnya.
92
Daftar Pustaka
Abdillah, Masykuri. Islam dan Dinamika Sosial Politik di Indonesia. Jakarta:
Gramedia, 2011.
Abdurahman, Hafidz. Diskursus Islam dan Politik. Bogor: Al-Azhar Press, 2007.
Athiyat, Ahmad. Jalan Baru Islam Studi tentang Transformasi dan Kebangkitan
Umat. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2004.
Hamdi ar-Ridho. Partai Politik Islam Teori dan Praktik di Indonesia.
Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013.
Hawari, Muhamad. Politik Partai Meretas Jalan Baru Perjuangan Partai Politik
Islam. Bogor: IDeA Pustaka Utama, 2003.
Husein bin Muhsin, Ali Jabir. Membentuk Jama’atul Muslimin (TT).
Iqbal, Muhamad dan Nasution Amien Husein. Pemikiran Politik Islam dari Masa
Klasik Hingga Indonesia Kontemporer. Jakarta: Prenada Media Group,
2010.
Isy, al-Yusuf. Dinasti Umawiyah Sebuah Perjalanan Lengkap Tentang Peristiwa-
Peristiwa yang Mengawali dan Mewarnai Perjalanan Dinasti Umawiyah.
Penerjemah Iman Nurhidayat dan Muhammad Khalil. Jakarta: Pustaka al-
Kautsar, 2014.
Ismail, Muhammad Mahmud. al-Fikru al-Islamiy. Beirut: al-Wa‟I, 1958.
Kamaruzzaman. Relasi Islam dan Negara: Perspektif Modernis dan Fundamen-
Talis. Magelang: IndonesiaTera, 2001.
Kamil, Sukron. Pemikiran Politik Islam Tematik. Jakarta: Kencana, 2013.
Kasani, al-„Alaudin. Bada’iu as-Shonâi Fî Tartîb as-Syarâ’I. Dâr al-Kutub,
1986 (al-Maktabah as-Syaamilah).
Karim, Zaidan. Abdul Masalah Kenegaraan dalam Pandangan Islam. Jakarta :
Yayasan al-Amin, 1984.
Katsir, Ibnu. Tafsir al-Qur’an al-‘Adzîm. Dâr-at-Tayyibah, 1999. (al-Maktabah
as-Syaamilah).
93
Khaldun, Ibnu. Muqaddimah Ibn Khaldun. Penerjemah Ahmadie Thoha. Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2011.
Mahmud, Ahmad. Dakwah Islam. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2009.
Mawardi, Abu al-Hasan. al-Ahkâm as-Shulthôniyah. Mesir : Dâr al-Hadits
Mulia, Musdah. Negara Islam. Depok : KataKita, 2010.
Munawwir, A.W. Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap. Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997.
Maududi, Abu al-„Ala. Kekhilafahan dan Kerajaan Konsep Pemerintahan Islam
serta Studi Kritis ‘Kerajaan’ Bani Umayyah dan Bani Abbasiah.
Penerjemah Muhammad al-Baqir Bandung: Mizan, 2007.
Mustafa, Ibrahim. Mu’jam al-Wasith. Mesir : Dâr ad-Da‟wah. (al-Maktabah as-
Syaamilah).
Nabhani, at-Taqiyuddin. At-Takatul al-Hizbiy. Beirut: Dâr al-Ummah, 2001.
------- Nidzam al-Islam. Beirut: Dâr al-Ummah, 2001.
------- Pembentukan Partai Politik Islam. Penerjemah Zakaria, Labib, et.all.
Bogor: HTI Press, 2011.
------- Muqaddimah Dustur au al-Asbaab al-Muwajibah lahu al-Juz al-Awal.
Beirut: Dâr al-Ummah, 2009.
------- as-Syaksiyah al-Islamiyah al-Juz al-awwal. Beirut: Dâr al-Ummah, 2005
------- as-Syaksiyah al-Islamiyah al-Juz at-Tsalists. Beirut: Dâr al-Ummah, 2005.
------- Mafâhim Hizb at-Tahrir. Beirut: Dâr al-Ummah, 2001.
------ Mafaahim Hizbut Tahrir. Penerjemah Abdullah. Bogor: HTI Press, 2011.
------- Struktur Negara Khilafah. Penerjemah Yahya Abdurahman. Bogor: HTI
Press, 2005.
Nawawi, Abu Zakaria. Syarh Shahih Muslim. Mesir : Dâr al-Hadîts, 2001.
Qardawi, Yusuf. Fiqh Negara. Penerjemah Syafril Halim. Jakarta: Robbani
Press,1999.
Qurtubi, Muhammad. al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’an. Mesir: Dâr al-Kutub,
1964. (al-Maktabah as-Syaamilah).
94
Rais, Muhammad Dhiauddin. Teori Politik Islam. Penerjemah Abu Hayyie al-
Kattani, et.all. Jakarta : Gema Insani, 2001.
Rodhi, Muhammad Muhsin. Tsakofah dan Metode Hizbut Tahrir dalam
Mendirikan Negara Khilafah Islamiyah. Bogor: Al-Izzah, 2008.
Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara : Ajaran, Sejarah dan Pemikiran.
Jakarta: UI Press, 1993.
Shalabi, al-Ali Muhammad. Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utmaniyah.
Jakarta: Pustaka al-Kutsar, 2003.
Sitompul, Agussalim. Usaha-Usaha Mendirikan Negara Islam dan
Pelaksanaan Syariat Islam di Indonesia. Jakarta: Penerbit CV Misaka
Galiza, 2008.
Solahudin. NII sampai JI Salafy Jihadisme di Indonesia. Depok: Komunitas
Bambu, 2011.
Suryabrata Sumardi. Metodologi Penelitian. Jakarta: Rajawali Press, 2003.
Syarif, Mujar Ibnu dan Zada Khamami. Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran
Politik Islam. Jakarta: Erlangga, 2008.
Tahir Azhari, Muhammad. Negara Hukum Suatu Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari
Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan
Masa Kini. Jakarta: Prenada Media, 1992.
Thaha, Idris. Demokrasi Religius Pemikiran Politik Nurcholis Madjid dan M.
Amien Rais. Jakarta: Teraju, 2005.
Thobari, al-Muhammad Ibnu Jarir. Jaami al-Bayan ‘an Ta’wil ay al-Qur’an. Dâr
al-Hijah, 2001. (al-Maktabah as-Syaamilah).
Tohir Bawazir. Jalan Tengah Demokrasi antara Fundamentalisme dan
Sekulerisme. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2015.
Umar bin Ali, Siradz ad-Din. al-lubab Fii Ulum al-Kitab. Beirut: Dâr al-Kutub,
1998. (al-Maktabah as-Syaamilah).
Watt, Montgomery. Fundamentalisme Islam dan Modernitas. Jakarta: PT Raja
Grafindo, 1997.
Yusuf, Taufiq. Pemikiran Politik Kontemporer al-Ikhwan al-Muslimun. Solo: Era
Intermedia, 2003.
95
Zallum, Abdul Qadim. Konspirasi Barat Meruntuhkan Khilafah Islamiyah.
Penerjemah Abu Faiz. Bangil: al-Izzah, 2001.
“Pengalaman Buruk Demokrasi di Dunia Islam.” www.hizbut-tahrir.or.id. Diakses
tanggal 2 Februari 2014.
“Pengalaman Pemilu di al-Jazair.” www.eramuslim.com. berita diakses tanggal 25
Agustus 2009.
“Presiden Sementara Pasca Mursi Dikudeta.” www.republika.co.id. berita diakses
pada tanggal 17 Juli 2014.
96
Hasil Wawancara
Narasumber : Ir. Ismail Yusanto (Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia)
Pewawancara : Andi Saepudin
Waktu : Senin, 28 September 2015 Pukul 10.30 WIB sd selesai
Tempat : Kantor DPP Hizbut Tahrir Indonesia
Pewawancara : Ust, apakah buku at-Takatul al-Hizbiy karya Taqiyuddin an-
Nabhani termasuk bacaan wajib anggota Hizbut Tahrir Indonesia?
Narasumber : Iya betul. Wajib dibaca oleh anggota HTI dalam halqoh-halqoh.
Pewawancara : Apa tujuan kitab tersebut untuk anggota HTI?
Narasumber : Agar anggota HTI memiliki pemahaman yang khas bagaimana
sebuah partai politik dibentuk, termasuk definisi politik itu
sendiri. Sebab, selama ini banyak juga yang memandang parpol
itu ya berarti ikut pemilu dan lain sebagainya.
Pewawancara : Kita mengetahui buku tersebut berisi bagaimana pembentukan
partai politik yang mampu membangkitkan umat, lalu apakah
dapat dijumpai buku sejenis dari penulis lain, bila ada, apa
persamaan dan perbedaannya?
Narasumber : Rasanya tidak ada, sebab buku tersebut memang khas dan konklusi
dari pemikiran HT tentang pembentukan sebuah parpol, ini khas.
Pewawancara : Salah satu topiK pembahasan dalam buku itu adalah thalab an-
Nushroh, atau meminta pertolongan kepada pihak pemiliki
kekuasaan rill di tengah masyarakat, apakah hal itu telah
dilakukan oleh anggota HTI dan apa contohnya?
97
Narasumber : Thalab an-Nusroh itu dilakukan oleh pimpinan tertinggi HT, tidak
dilakukan perorangan. Jadi yang dilakukan itu diawali dengan
memberikan pemahaman tentang Islam, Aqidah, Syariah, Dakwah
sampai mendukung kegiatan dakwah itu sendiri.
Pewawancara : Apa tujuan Tatskif (pembinaan) kader, Tafaaul ma’al ummah
(interaksi dengan masyarakat) dalam buku tersebut dan bagaimana
bentuk aktifitasnya?
Narasumber : Pembinaan ya ada dua, ada pembinaan pengkaderan seperti
halqoh, adapula pembinaan umum seperti durusul masaajid,
seminar, tabligh, khutbah dan sebagainya.
Pewawancara : Ust, adakah ada perbedaan aplikasi buku itu antara HTI dengan
HT lainnya di dunia?
Narasumber : Ya tidak ada. Sama di seluruh dunia, justru HT itu gerakan yang
mempunyai konsep yang sama sehingga satu tempat dengan
tempat yang lain tidak ada bedanya.
Pewawancara : Seberapa jauh pengaruh buku tersebut secara internal (terhadap
anggota HTI) dan eksternal (terhadap masyarakat)?
Narasumber : Pengaruh buku itu ya, ke internal. Dan sangat besar. Jadi yang ada
dalam buku itu dilaksanakan, makanya memiliki pengaruh besar.
Termasuk seberapa besar pemahaman anggota HTI terhadap
dakwah, itu mempengaruhi gerakan dakwah juga. Jadi sangat
besar!