pengaruh pendidikan kesehatan tentang pertolongan …
TRANSCRIPT
i
PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN TENTANG PERTOLONGAN
PERTAMA EPISTAKSIS TERHADAP PENGETAHUAN GURU DALAM
PENANGANAN PERTAMA EPISTAKSIS PADA SISWA SDN
KELURAHAN JATISARI SAMBI BOYOLALI
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Sarjana Keperawatan
Oleh
TRI DARMASTO
NIM. S11042
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN
STIKES KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2015
ii
LEMBAR PENGESAHAN
Yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul :
PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN TENTANG PERTOLONGAN
PERTAMA EPISTAKSIS TERHADAP PENGETAHUAN GURU DALAM
PENANGANAN PERTAMA EPISTAKSIS PADA SISWA SDN
KELURAHAN JATISARI SAMBI BOYOLALI
Oleh :
TRI DARMASTO
NIM. S11042
Telah dipertahankan di depan penguji pada tanggal 14 Agustus 2015 dan dinyatakan
lulus telah memenuhi syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Keperawatan
Pembimbing Utama,
bc. Yeti Nurhayati, M. Kes
NIK. 201378115
Pembimbing Pendamping,
Ika Subekti Wulandari, S.Kep.,Ns.,M.Kep
NIK. 201189097
Penguji,
Anita Istiningtyas, S. Kep., Ns., M. Kep
NIK. 201087055
Surakarta, 14 Agustus 2015
Ketua Program Studi S-1 Keperawatan
Wahyu Rima Agustin, S. Kep., Ns., M. Kep
NIK. 201279102
iii
SURAT PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Tri Darmasto
NIM : S.11042
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1) Karya tulis saya, skripsi ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk
mendapatkan gelar akademik (sarjana), baik di STIKes Kusuma Husada
Surakarta maupun di perguruan tinggi lain.
2) Karya tulis ini adalah murni gagasan, rumusan, dan penelitian saya sendiri,
tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan Tim Pembimbing dan masukan Tim
Penguji.
3) Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau
dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan
sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang dan
dicantumkan dalam daftar pustaka.
4) Pernyataan ini saya buat sesungguhnya dan apabila dikemudian hari terdapat
penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya bersedia
menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah diperoleh
karena karya ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma yang berlaku di
perguruan tinggi ini.
Surakarta, 6 Agustus 2015
Yang membuat pernyataan,
Tri Darmasto
S.11042
iv
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Penulis mengucapkan syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT, atas
segala rahmat, karunia, hidayah serta petunjuk yang telah dilimpahkan-Nya.
Sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Pengaruh Pendidikan
Kesehatan Tentang Pertolongan Pertama Epistaksis Terhadap Pengetahuan Guru
Dalam Penanganan Pertama Epistaksis Pada Siswa SDN Kelurahan Jatisari Sambi
Boyolali sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar kesarjanaan ini
dengan lancar.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini,
masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna untuk memperbaiki
dan menyempurnakan penulisan skripsi selanjutnya. Ucapan rasa terima kasih yang
tidak terhingga kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam
penyelesaian penyusunan skripsi ini, sehingga dalam kesempatan ini penulis ingin
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:
1. Dra. Agnes Sri Harti, M.Si, selaku ketua STIKes Kusuma Husada
Surakarta, yang telah memberikan izin penelitian kepada penulis.
2. Wahyu Rima Agustin, S.Kep., Ns., M.Kep, selaku ketua Prodi S-1
Keperawatan.
3. bc. Yeti Nurhayati, M.Kes, selaku pembimbing utama yang dengan sabar
telah membimbing dan memberikan dukungan dan motivasi sehingga
skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
v
4. Ika Subekti Wulandari, S.Kep.,Ns.,M.Kep, selaku pembimbing pendamping
yang juga telah memberikan bimbingan dan arahan penulis dengan penuh
kesabaran, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
5. Bapak Waidi, S. Pd SD selaku Kepala Sekolah SD Neheri 1 Jatisari
Kecamatan Sambi yang telah memberikan izin terlaksananya penelitian ini.
6. Responden yang telah membantu peneliti untuk memberikan informasi yang
dibutuhkan oleh peneliti sehingga terselesaikannya penelitian ini dengan
baik.
7. Bapak dan Ibu Dosen STIKes Kusuma Husada Surakarta yang telah
memberikan segenap ilmu dan pengalamannya kepada penulis, sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
8. Orang tua tercinta, terima kasih atas do’a dan dukungan yang senantiasa
engkau berikan untuk keberhasilanku, serta segala kesabaranmu dalam
mendidik dan membesarkanku selama ini, aku sadar tugas itu sangatlah
berat bagimu, tapi dengan segala rasa kasih sayang dan kesabaranmu,
engkau mengantarkanku pada kelulusan ini.
9. Sahabat-sahabatku Dwi Prasetyo, Danu, Nandung, Ahmad Mujiono,
Gregorius, Triyadi, Didik serta teman seperjuangan yang telah banyak
memberikan bantuan, dorongan dan semangat kepadaku.
10. Teman-teman Prodi S-1 Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta
Angkatan 2011 yang telah berjuang menempuh skripsi bersamaku.
11. Semua pihak, yang tanpa mengurangi rasa terima kasih tidak dapat
disebutkan satu per satu.
vi
Akhir kata penulis berharap semoga dengan do’a, motivasi, nasehat, dan
dukungan yang telah diberikan kepada penulis, dapat bermanfaat bagi penulis untuk
menjadi orang yang lebih baik, dan semoga dengan disusunnya karya ilmiah ini,
dapat memberikan manfaat kepada penulis khususnya, dan pembaca pada
umumnya.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Surakarta, 6 Agustus 2015
Tri Darmasto
S.11042
vii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PERSETUJUAN ii
SURAT PERNYATAAN iii
KATA PENGANTAR iv
DAFTAR ISI vii
DAFTAR TABEL x
DAFTAR GAMBAR xi
DAFTAR LAMPIRAN xii
ABSTRAK xiii
ABSTRACT xiv
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 3
1.3 Tujuan Penelitian 3
1.3.1. Tujuan Umum 3
1.3.2. Tujuan Khusus 3
1.4 Manfaat Penelitian 4
viii
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Teori 6
2.1.1. Guru 6
2.1.2. Siswa 9
2.1.3. Pendidikan Kesehatan 11
2.1.4. Epistaksis 15
2.2 Kerangka Teori 24
2.3 Kerangka Konsep 25
2.4 Hipotesis 25
2.5 Keaslian Penelirtian 26
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian 27
3.2 Populasi dan Sampel 27
3.3 Waktu Penelitian 28
3.4 Variabel Definisi Operasional dan Skala Pengukuran 29
3.5 Alat Penelitian dan Cara Pengumpulan Data 30
3.5.1 Alat Penelitian 32
3.5.2 Cara Pengumpulan Data 32
3.6 Teknik Pengolahan Data 33
3.7 Analisa Data 34
3.8 Etika Penelitian 35
ix
BAB IV HASIL PENELITIAN
4.1. Analisis Data 37
4.2. Analisis Univariat 39
BAB V PEMBAHASAN
5.1. Karakteristik Responden 41
5.2. Pengetahuan Guru dalam Penanganan Epistaksis Sebelum
Pendidikan Kesehatan 42
5.3. Pengetahuan Guru dalam Penanganan Epistaksis Sesudah Pendidikan
Kesehatan 42
5.4. Pengaruh Pendidikan Kesehatan Tentang Epistkasis Terhadap
Pengetahuan Guru dalam Penanganan Epistakasis 42
BAB VI PENUTUP
6.1. Kesimpulan…………………………………………………………. 45
6.2. Saran………………………………………………………………… 45
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
x
DAFTAR TABEL
Nomor Tabel
2.1
3.1
4.1
4.2
4.3
4.4
4.5
4.6
Judul Tabel
Keaslian Penelitian
Definisi Operasional
Karakteristik Responden Menurut Usia
Karakteristik Responden Menurut Jenis Kelamin
Karakteristik Responden Menurut Tingkat
Pendidikan
Pengetahuan Guru Dalam Penanganan Epistaksis
Sebelum Pendidikan Kesehatan Pengetahuan
Guru Dalam Penanganan Epistaksis Setelah
Pendidikan Kesehatan
Pengaruh Pendidikan Kesehatan Tentang
Epistkasis Terhadap Pengetahuan Guru dalam
Penanganan Epistakasis
Halaman
26
29
37
38
38
39
39
40
xi
DAFTAR GAMBAR
Nomor Gambar Judul Gambar
Halaman
2.1
2.2
2.3
Pembuluh darah di daerah septum nasi
Pembuluh darah di dinding lateral hidung
Skema Kerangka Teori
17
17
24
2.4 Skema Kerangka Konsep 25
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Jadwal Penelitian
Lampiran 2 : F.01 Usulan Topik Penelitian
Lampiran 3 : F.02 Pengajuan Persutujuan Judul
Lampiran 4 : F.04 Permohonan Pengajuan Izin Studi Pendahuluan
Lampiran 5 : F.05 Lembar Opponent
Lampiran 6 : F.06 Lembar Audience
Lampiran 7 : Surat Studi Pendahuluan
Lampiran 8 : Balasan Ijin Studi Pendahuluan
Lampiran 9 : Surat Permohonan Ijin Penelitian
Lampiran 10 : Surat Balasan Ijin Penelitian
Lampiran 11 : Lembar Permohonan Menjadi Rresponden
Lampiran 12 : Surat Pernyataan Persetujuan Responden
Lampiran 13 : Kuesioner Pengetahuan Guru dalam Penanganan Epistaksis
Lampiran 14 : SAP Pendidikan Kesehatan Penanganan Epistaksis
Lampiran 15 : Leaflet Penanganan Epistaksis
Lampiran 16 : Hasil Analisis SPSS
Lampiran 17 : Surat Keterangan Selesai Penelitian
Lampiran 18 : Dokumentasi
Lampiran 19 : Lembar Konsultasi
xiii
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN
STIKES KUSUMA HUSADA SURAKARTA
2015
Tri Darmasto
Pengaruh Pendidikan Kesehatan Tentang Pertolongan Pertama Epistaksis
Terhadap Pengetahuan Guru Dalam Penanganan Pertama Epistaksis Pada
Siswa SDN Kelurahan Jatisari Sambi Boyolali
ABSTRAK
Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung, rongga
hidung atau nasofaring dan mencemaskan orang disekitarnya. Penanganan
epistaksis oleh guru di SDN Jatisari Sambi Boyolali hanya membersihkan darah
yang keluar dari hidung dan mereka terkadang bingung harus bersikap dan
bertindak seperti apa.
Jenis penelitian ini adalah Quasi experimental dengan rancangan Pretest-
Posttest Design One Group populasi dalam penelitian ini adalah semua guru yang
berada di SDN Kelurahan Jatisari Sambi Boyolali sebanyak 18 guru dengan
pembagian 9 guru di SDN 1 dan 9 Guru di SDN 2. Pemilihan sampel dilakukan
dengan metode total sampling yaitu 18 guru yang terdiri dari 9 guru di SDN 1
Jatisari dan 9 guru di SDN 2 Jatisari Sambi Boyolali. Analisa data dalam
penelitian ini menggunakan uji Wilcoxon, didapatkan p value 0,000 ( p < 0,005)
sehingga ada pengaruh pendidikan kesehatan tentang penanganan epistaksis
terhadap sikap guru dalam penanganan epistaksis pada murid SD.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendidikan kesehatan dengan media
ceramah dan leaflet dapat meningkatkan pengetahuan karena materi yang
diberikan dapat diterima dengan panca indera penglihatan dan pendengaran
sehingga materi mudah diserap dan lebih mudah dipahami. Hasil penelitian ini
diharapkan dapat meningkatkan penanganan epistaksis di lingkungan sekolah.
Kata Kunci : Epistaksis, Tingkat Pengetahuan, Pendidikan Kesehatan
Daftar Pustaka : 31 (2005-2013)
xiv
BACHELOR PROGRAM IN NURSING SCIENCE
KUSUMA HUSADA HEALTH SCIENCE COLLEGE OF SURAKARTA
2015
Tri Darmasto
Effect of Health Education on the First Aid of Epistaxis on the Teachers’
Knowledge of the First Handling of Epitaxis of the Students of State Primary
Schools of Jatisari Ward, Sambi Sub-district, Boyolali Regency.
ABSTRACT
Epistaxis is defined as an acute bleeding of the nostril, nasal cavity, and
nasopharynx. It makes the people around the victim anxious. The epistaxis is
handled by the teachers at State Primary Schools of Jatisari through merely
cleaning the blood from the nose, and even they were confused of how to behave
and what to do. The objective of this research is to investigate the effect of the
health education on the first aid of epistaxis on the teachers’ knowledge level of
the first handling of epistaxis of the students of State Primary Schools of Jatisari
Ward, Sambi Sub-district, Boyolali Regency.
This research used the quasi experimental method with the one group
pretest-posttest design. The population of the research was all the teachers of State
Primary Schools of Jatisari Ward, Sambi District, Boyolali Regency. The samples
of research were 18 teachers, 9 teacers from State Primary School 1 and 9 teachers
from State Primary School 2. They were taken by using the total sampling
technique. The data of research were analyzed by using the Wilcoxon’s test. The
result of analysis shows that the p-value was 0.00 which was less than 0.05),
meaning that there was an effect of on the first aid of epistaxis on the teachers’
knowledge level of the first handling of epistaxis. The health education with
lecturing media and leaflet could improve the teachers’ knowledge level as the
learning materials delivered could be received with the vision and hearing senses
so that they were easily absorbed and understood.
Thus, the result of this research is expected to improve the epistaxis
handling at schools’ environments.
Keywords: Epistaxis, knowledge level, health education
References: 31 (2005-2013)
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Epistaksis atau perdarahan dari hidung merupakan kegawatdaruratan
yang umum ditemukan di bagian telinga hidung dan tenggorokan. Epistaksis
diperkirakan terjadi pada 7 – 14% populasi umum tiap tahun (Wormald,
2006). Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung,
rongga hidung atau nasofaring dan mencemaskan penderita serta para klinisi.
Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari suatu kelainan yang
mana hampir 90 % dapat berhenti sendiri (Munir, Haryono, dan Rambe,
2006). Komplikasi dapat terjadi langsung akibat epistaksis sendiri atau akibat
usaha penanggulangannya. Akibat perdarahan hebat dapat terjadi syok dan
anemia. Tekanan darah yang turun mendadak dapat menimbulkan iskemia
otak, insufisiensi koroner, infark miokard dan akhirnya kematian
(Soepardi,dkk, 2007).
Epistaksis terbanyak dijumpai pada usia 2-10 tahun dan 50-80 tahun,
sering dijumpai pada musim dingin dan kering. Angka kejadian epistaksis
dijumpai 1 dari 7 penduduk di Amerika Serikat. Epistaksis bagian anterior
sangat umum dijumpai pada siswa dan dewasa muda, sementara epistaksis
posterior sering pada orang tua dengan riwayat penyakit hipertensi atau
arteriosklerosis (Munir, Haryono, dan Rambe, 2006). Angka kejadian
epistaksis meningkat pada siswa- siswa umur 10 tahun dan dewasa di atas 50
2
tahun. Laki-laki lebih sering mengalami epistaksis dibanding wanita
(Schlosser, 2009).
Epistaksis sering dijumpai pada siswa dan angka kejadian epistaksis
menurun setelah pubertas. Epistaksis atau perdarahan dari hidung, dijumpai
pada 60% dari populasi umum, insiden terbanyak pada usia kurang dari 10
tahun dan lebih dari 50 tahun. Seringkali seorang siswa dibawa berobat ke
Unit Rawat Jalan dengan keluhan perdarahan dari hidung yang berulang.
Tidak bergantung pada tingkat keparahan perdarahan, hal ini selalu
menimbulkan kecemasan pada orang tua (Lubis & Saragih, 2007).
Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu
menghentikan perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya
epistaksis. Untuk menanggulangi hal tersebut tekan bagian sebelah hidung
yang mengalami mimisan selama kurang lebih 5 menit. Jika hanya mimisan
biasa, biasanya akan berhenti dengan sendirinya. Jika setelah 10 menit
mimisan masih berlanjut sebaiknya hubungi dokter terdekat (Munir, Haryono,
dan Rambe, 2006).
Hasil studi pendahuluan yang dilakukan di SDN Kelurahan Jatisari
Sambi Boyolali menunjukkan bahwa penanganan epistaksis oleh guru hanya
membersihkan darah yang keluar dari hidung dan membawanya ke
puskesmas terdekat sehingga penanganan yang dilakukan oleh guru belum
sesuai dengan prosedur penanganan epistaksis. Hasil wawancara yang
dilakukan pada 5 guru didapatkan hasil bahwa belum adanya pendidikan
kesehatan atau pemberian informasi tentang penanganan epistaksis yang
3
diajarkan atau diinformasikan kepada guru SDN Kelurahan Jatisari Sambi
Boyolali sehingga mereka terkadang bingung harus berpengetahuan dan
bertindak seperti apa.
Berdasarkan latar belakang tersebut peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian tentang “Pengaruh Pendidikan Kesehatan Terhadap Pengetahuan
Tentang Pertolongan Pertama Epistaksis Guru Pada Siswa SDN Kelurahan
Jatisari Sambi Boyolali”.
1.2 Rumusan Masalah
Adakah Pengaruh Pendidikan Kesehatan Terhadap Pengetahuan
Tentang Pertolongan Pertama Epistaksis Guru Pada Siswa SDN Kelurahan
Jatisari Sambi Boyolali ?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan umum
Untuk Mengetahui Pengaruh Pendidikan Kesehatan Terhadap
Pengetahuan Tentang Pertolongan Pertama Epistaksis Guru Pada
Siswa SDN Kelurahan Jatisari Sambi Boyolali.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah :
1. Mendeskripsikan karakteristik responden dalam penanganan
pertama epistaksis pada siswa di SDN Kelurahan Jatisari Sambi
Boyolali
4
2. Mengidentifikasi Pengetahuan guru dalam penanganan pertama
epistaksis pada siswa di SDN Kelurahan Jatisari Sambi Boyolali
sebelum dilakukan pendidikan kesehatan.
3. Mengidentifikasi Pengetahuan guru dalam penanganan pertama
epistaksis pada siswa di SDN Kelurahan Jatisari Sambi Boyolali
sesudah dilakukan pendidikan kesehatan.
4. Menganalisis Pengaruh Pendidikan Kesehatan Terhadap
Pengetahuan Guru dalam Penanganan Pertama Epistaksis Pada
Siswa SDN Kelurahan Jatisari Sambi Boyolali.
1.4 Manfaat
1.4.1 Institusi Pendidikan
Diharapkan hasil penelitian ini dapat djadikan sumber referensi dalam
penanganan epistaksis dan menambah pustaka.
1.4.2 Sekolah
Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan sumber referensi serta
dapat menambah pengetahuan guru tentang penanganan epistaksis
pada siswa SD.
1.4.3 Peneliti lain
Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi oleh
penelitian lain yang akan meneliti lebih lanjut lagi tentang epistaksis.
5
1.4.4 Peneliti
Diharapakan hasil penelitian ini dapat menambah wawasan dan
pengetahuan tentang penanganan epistaksis bagi peneliti.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Teori
2.1.1 Guru
2.1.1.1. Definisi
Undang-Undang No. 2 tahun 1989 tentang sistem
pendidikan nasional mengkarakteristikan bahwa guru termasuk
kelompok tenaga kependidikan khususnya tenaga pendidik
yang bertugas untuk membimbing, mengajar dan melatih
pesera didik (Surya, 2004).
Guru sebagai pengajar atau pendidik harus mempunyai
“pemahaman” (understanding) agar dapat melihat hubungan-
hubungan dalam perilaku manusia yang menurut pandangan
sepintas tidak nampak, menjelaskan perilaku dari berbagai
aspek dan titik pandang, mengembangkan kesadaran peranan
faktor-faktor penting dalam perilaku, menemukan sebab-sebab
perilaku, dan membuat prediksi-prediksi yang akurat mengenai
perilaku. Seorang guru akan terperangkap dalam reaksi
terhadap perilaku siswa didik sebagai akibat latar belakang
atau karena aspek-aspek lain yang bermakna apabila tanpa
pemahaman (Ali, 2007).
7
Guru merupakan elemen terpenting dalam sebuah sistem
pendidikan. Ia merupakan ujung tombak, proses belajar siswa
sangat dipengaruhi oleh bagaimana siswa memandang guru
mereka (Jamalludin, 2002). Guru adalah pendidik profesional
dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi pesertaa
didik pada pendidikan siswa usia dini jalur pendidikan formal,
dasar, dan menengah menurut Undang-undang Republik
Iindonesia (2005).
2.1.1.2. Tugas dan fungsi
Tugas dan fungsi guru secara umum menurut
Departemen Pendidikan Kesehatan (2009) seperti :
1. Merencsiswaan Pembelajaran
Guru wajib membuat Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP) pada awal tahun atau awal semester,
sesuai dengan rencana kerja sekolah/madrasah.
2. Melakssiswaan Pembelajaran
Melakssiswaan pembelajaran merupakan kegiatan
interaksi edukatif antara peserta didik dengan guru.
Kegiatan tersebut merupakan kegiatan tatap muka
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor
74 Tahun 2008 tentang Guru.
8
3. Menilai Hasil Pembelajaran
Menilai hasil pembelajaran merupakan serangkaian
kegiatan untuk memperoleh, menganalisis, dan menafsirkan
data tentang proses dan hasil belajar peserta didik yang
dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan. Melalui
penilaian hasil pembelajaran diperoleh informasi yang
bermakna untuk meningkatkan proses pembelajaran
berikutnya serta pengambilan keputusan lainnya. Menilai
hasil pembelajaran dilakssiswaan secara terintegrasi dengan
tatap muka seperti ulangan harian dan kegiatan menilai
hasil belajar dalam waktu tertentu seperti ujian tengah
semester dan akhir semester.
4. Membimbing dan Melatih Peserta Didik
Membimbing dan melatih peserta didik dibedakan
menjadi tiga kategori yaitu membimbing atau melatih
peserta didik dalam proses tatap muka, intrakurikuler, dan
ekstrakurikuler.
5. Melakssiswaan Tugas Tambahan
Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008
tentang Guru Pasal 24 ayat (7) menyatakan bahwa guru
dapat diberi tugas tambahan sebagai kepala satuan
pendidikan, wakil kepala satuan pendidikan, ketua program
keahlian satuan pendidikan, pengawas satuan pendidikan,
9
kepala perpustakaan, kepala laboratorium, bengkel, atau
unit produksi. Selanjutnya, sesuai dengan isi Pasal 52 ayat
(1) huruf e, guru dapat diberi tugas tambahan yang melekat
pada tugas pokok misalnya menjadi pembina pramuka,
pembimbing kegiatan karya ilmiah remaja, dan guru piket.
2.1.2 Siswa
2.1.2.1. Definisi
Siswa adalah peserta didik pada satuan pendidikan
jenjang pendidikan dasar. Siswa adalah anggota masyarakat
yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses
pembelajaran pada jalur pendidikan baik pendidikan formal
maupun pendidikan nonformal, pada jenjang pendidikan dan
jenis pendidikan tertentu (Megawati, 2010). Menurut Undang-
undang Republik Indonesia (2003) Siswa atau peserta didik
adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan
potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada
jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu.
Karakteristik psikososial siswa SD agar pengembangan
konsep diri yang positif melalui penerapan umpan balik
menjadi efektif dan efisien. Kesemua ini berkaitan erat dengan
jenis umpan balik yang diberikan dengan kebutuhan siswa
yang dipengaruhi oleh karakteristik khusus yang dimilikinya.
10
Berikut ini beberapa indicator yang menjadi bagian dari aspek
psikososial siswa SD ( Harjasuganda, 2008) :
2.1.2.2. Karakteristik Siswa
1. Karakterisitik perkembangan mental, diantaranya adalah:
a. Munculnya sifat kepahlawanan yang kuat
b. Perhatian kepada teman sekelompok makin kuat
c. Mulai memiliki rasa tanggung jawab untuk menjadi
dewasa
d. Beberapa siswa mudah putus asa dan akan bangkit
bila tidak sukses
2. Karakterisitik perkembangan sosial dan emosional,
diantaranya adalah:
a. Mudah dibangkitkan
b. Mulai tumbuh rasa kasih sayang seperti orang dewasa
c. Senang sekali memberikan pujian dan mengagungkan
d. Mengkritik tindakan orang dewasa
e. Rasa bangga berkembang
f. Ingin mengetahui segala sesuatu
g. Merindukan pengakuan dari kelompok
h. Bangga dengan kesuksesan yang diraihnya
i. Menyukai kegiatan kelompok
j. Loyal terhadap kelompoknya (gang).
11
3. Karakterisitik perkembangan konsep diri, diantaranya
adalah: Perkembangan konsep diri pada siswa besar
berkaitan erat dengan perkembangan pada aspek
psikologis dan sosial yang turut dipengaruhi oleh
lingkungan. Pada masa usia siswa sekolah, siswa mulai
mengembangkan konsep konsep yang perlu bagi
kehidupan sehari-hari, salah satunya adalah pembentukan
konsep diri. Pada masa awal usia sekolah, pada umumnya
siswa dituntut untuk dapat mengerjakan atau
menyelesaikan sesuatu dengan baik bahkan sempurna.
Kemampuan melakukan hal-hal tersebut menumbuhkan
kepercayaan diri atas kecakapan atau kemampuan diri
hingga pada akhirnya akan memiliki penilaian yang positif
terhadap diri sendiri. Kalau tidak, pada diri siswa akan
mulai tumbuh bibit perasaan rendah diri (inferiority) yang
mungkin akan dibawanya pada traf perkembangan psiko-
sosial selanjutnya.
2.1.3 Pendidikan Kesehatan
2.1.3.1. Pengertian pendidikan kesehatan
Pendidikan kesehatan adalah upaya agar masyarakat
dapat berperilaku hidup sehat (tahu, mau, dan mampu)
12
memelihara dan meningkatkan kesehatannya (Notoatmodjo,
2011).
Dimensi sasaran dalam pendidikan kesehatan ada 3
kelompok, yaitu Pendidikan kesehatan untuk individu,
pendidikan kesehatan untuk kelompok, dan pendidikan
kesehatan masyarakat, dengan sasaran masyarakat luas
(Notoatmodjo 2011).
2.1.3.2. Media Pendidikan Kesehatan
Media Pendidikan Kesehatan adalah alat - alat yang
digunakan untuk menyalurkan informasi atau pesan-pesan
kesehatan serta mempermudah penerimaan pesan-pesan
kesehatan bagi masyarakat atau murid. Media tersebut dibagi
menjadi 3 yaitu : media cetak, media elektronik, dan media
papan (Notoatmodjo 2010).
1. Media cetak adalah media statis dan mengutamakan
pesan-pesan visual. Media cetak pada umumnya terdiri
dari gambaran sejumlah kata, gambar atau foto dalam tata
warna.
2. Media luar ruang yaitu media yang menyampaikan
pesannya diluar ruang secara umum melalui media cetak
dan elektronik secara statis, misalnya :
a. Papan reklame adalah poster dalam ukuran besar yang
dapat dilihat secara umum di perjalanan.
13
b. Spanduk yaitu suatu pesan dalam bentuk tulisan dan
disertai gambar yang dibuat di atas secarik kain denga
dipasang di suatu tempat strategi agar dapat dilihat
oleh semua orang.
c. X-Banner atau standing banner adalah ungkapan dari
sebagian orang menyebutkan dengan X banner, kini
menjadi pajangan yang lazim di berbagai tempat.
2.1.3.3. Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Pendidikan Kesehatan
Proses pendidikan kesehatan dipengaruhi oleh beberapa
faktor yang berasal dari pemberi informasi dan guru. Faktor
yang berasal dari pemberi informasi adalah: pengetahuan,
emosi, pengetahuan dan pengalaman masa lalu (Notoadmodjo,
S. 2003).
1. Pengetahuan
Pengetahuan yang baik yang dimiliki pemberi
informasi akan mempengaruhi penyampaian informasi
kepada guru. Sehingga informasi akan lebih jelas untuk
dapat dimengerti guru.
2. Emosi
Pengendalian emosi yang dimiliki pemberi
informasi merupakan faktor yang mempengaruhi
pelaksanaan pendidikan kesehatan. Pengendalian emosi
yang baik akan mengarahkan pemberi informasi untuk
14
lebih berpengetahuan sabar, hati-hati dan telaten. Dengan
demikian informasi yang disampaikan lebih mudah
diterima guru.
3. Pengetahuan
Pengetahuan adalah kunci keberhasilan dalam
pendidikan kesehatan. Pemberi informasi harus memiliki
pengetahuan yang cukup untuk memberikan pendidikan
kesehatan. Pengetahuan yang baik juga akan mengarahkan
pemberi informasi pada kegiatan pembelajaran guru. Guru
akan semakin banyak menerima informasi dan informasi
tersebut sesuai dengan kebutuhan guru dalam
menanganani epistaksis.
4. Pengalaman masa lalu
Pengalaman pemberi informasi berpengaruh
terhadap gaya pemberi informasi dalam memberikan
informasi dan informasi yang diberikan akan lebih terarah
sesuai dengan kebutuhan guru. Pemberi informasi juga
lebih dapat membaca situasi guru berdasar pengalaman
yang mereka miliki.
15
2.1.4 Epistaksis
2.1.4.1. Pengertian
Epistaksis atau perdarahan hidung adalah jenis
perdarahan spontan patologis yang sering. Biasanya terjadi
sebagai erosi spontan salah satu pembuluh superfisial mukosa
dekat dengan tepi septum hidung (Munir, Haryono, dan
Rambe 2006).
2.1.4.2. Etiologi
Menurut Soepardi, dkk (2000) Epitaksis atau
perdarahan hidung dapat terjadi akibat sebab lokal dan umum
atau (kelainan sistemik ).
Etiologi lokal epistaksis dapat berupa:
1. Penyakit kardiovaskuler, misalnya hipertensi dan kelainan
pembuluh darah, seperti ateroklerosis, sirosis hepatis, sifilis
dan nefritiskronis.
2. Kelainan darah,misalnya leukemia, trombositopenia, dan
hemofilia.
3. Infeksi, biasanya infeksi akut pada demam berdarah,
influenza, mobili, demam tifoid.
4. Kelainan endokrin, misalnya kehamilan menarche dan
menopause (Soepardi, dkk, 2000).
16
2.1.4.3. Manifestasi Klinik Epistaksis
Menurut Budiman (2011) Manifestasi klinik epistaksis
dapat ditandai dengan tanda-tanda seperti berikut :
1. Darah yang berwarna merah cerah yang keluar dari
lubang hidung, berasal dari hidungan terior
2. Darah yang berwarna merah gelap atau cerah dari bagian
belakang tenggorokan, berasal dari hidung posterior
(umumnya disalah artikan sebagai hemoptisis karena
adanya ekspektorasi)
3. Pusing, dan sedikit sulit bernapas
4. Perembesan dibelakang septum nasal, ditelinga tengah
dan di sudut mata
5. Hemoragi parah (berlangsung lebih dari 10 menit
setelah ditekan): hipotensi, denyut nadi cepat, dispnea,
dan pucat, darah yang hilang bisa mencapai 1 liter setiap
jam pada orang dewasa.
2.1.4.4. Anatomi Hidung
Hidung terbagi 3 bagian yaitu bagian luar, septum, dan
bagian dalam. Hidung luar berbentuk piramid, terdiri dari
pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsumnasi),
kolumela, dan lubang hidung (naresanterior). Septum terdiri
dari tulang dan tulang rawan. Tulang terdiri dari krista nasalis
os maxilla, krista nasalin os palatum, vomer, dan lamina
17
prependikularis os etmoid. Bagian tulang rawan terdiri dari
tulang rawan septum dan kolumela. Sedangkan hidung bagian
dalam terdiri darikonka, meatus, dan vestibulum. Konka dibagi
menjadi 4 bagian yaitu konka suprema, superior, media, dan
inferior. Meatus terbagi menjadi 3 yaitu meatus superior,
media dan inferior (Budiman, 2011).
Gambar 1. Pembuluh darah di daerah septum nasi.
Gambar 2. Pembuluh darah di dinding lateral hidung.
(Budiman, 2011)
18
2.1.4.5. Perdarahan Hidung
Perdarahan pada hidung terdiri dari perdarahan bagian
atas, bawah, dan depan. Bagian depan dipendarahi oleh arteri
etmoidalis anterior dan arteri etmoidalis posterior. Arteri
tersebut merupakan cabang dari arteri oftalmika yang berasal
dari arteri carotis interna. Bagian bawah hidung dipendarahi
oleh arteri palatina mayor dan arteri sfenopalatina,
merupakan cabang dari arteri maksilaris interna. Bagian
depan dipendarahi oleh cabang-cabang dari arteri fasialis.
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-
cabang arteri sfenopalatina, arteri etmoidalis anterior, arteri
labialis superior, dan arteri palatine mayor, yang disebut
sebagai pleksus Kiesselbach (Little’s area). Pleksus
Kiesselbach letaknya superficial dan mudah cedera oleh
trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis. Vena-
vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan
berdampingan dengan arterinya. Vena-vena di hidung tidak
memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi
mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intrakranial
(Momison, 2009).
2.1.4.6. Persarafan Hidung
Persarafan hidung bagian depan dan atas oleh
persarafan sensoris dari nervus etmoidalis anterior, cabang
19
dari nervus nasosiliaris yang berasal dari nervus oftalmikus
(n. V1). Bagian hidung lain dipersarafi juga secara sensoris
oleh nervus maksilaris melalui ganglion palatina.
Ganglion sfenofalatina, slain memberikan persarafan
sensoris, juga membaerikan persarafan vasomotor atau
otonam untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima
serabut saraf sensoris dari nervus maksila (N. V-2), serabut
parasimpatis dari nervus petrosus superfisialis mayor dan
serabut saraf simpatis dari nervus petrosus profundus.
Ganglion sfenopalatina terletak di belakang dan sedikit di atas
ujung posterior konka media (Muninjaya, 2004).
Fungsi penghidu berasal dari nervus olfaktorius. saraf
ini turun melalui lamina kribrsa dari permukaan bawah
bulbus olfaltorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor
penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas
hidung (Schlosser dalam Budiman 2011).
2.1.4.7. Patofisiologi
Hidung kaya akan vaskularisasi yang berasal dari
arteri karotis interna dan arteri karotis eksterna. Arteri
karotis eksterna menyuplai darah ke hidung melalui
percabangannya arteri fasialis dan arteri maksilaris. Arteri
labialis superior merupakan salah satu cabang terminal dari
arteri fasialis. Arteri ini memberikan vaskularisasi ke nasal
20
arterior dan septum anterior sampai ke percabangan septum.
Arteri maksilaris interna masuk ke dalam fossa
pterigomaksilaris dan memberikan enam percabangan : arteri
alveolaris posterior superior, arteri palatina desenden, arteri
infraorbitalis, arteri sfenopalatina, pterygoid canal dan arteri
pharyngeal. Arteri palatina desenden turun melalui kanalis
palatinus mayor dan menyuplai dinding nasal lateral,
kemudian kembali ke dalam hidung melalui percabangan di
foramen incisivus untuk menyuplai darah ke septum anterior.
Arteri karotis interna memberikan vaskularisasi ke hidung.
Arteri ini masuk ke dalam tulang orbita melalui fisura
orbitalis superior dan memberikan beberapa percabangan.
Arteri etmoidalis anterior meninggalkan orbita melalui
foramen etmoidalis anterior. Arteri etmoidalis posterior
keluar dari rongga orbita, masuk ke foramen etmoidalis
posterior, pada lokasi 2-9 mm anterior dari kanalis optikus.
Kedua arteri ini menyilang os ethmoid dan memasuki fossa
kranial anterior, lalu turun ke cavum nasi melalui lamina
cribriformis, masuk ke percabangan lateral dan untuk
menyuplai darah ke dinding nasal lateral dan septum.
Pleksus kiesselbach yang dikenal dengan “little area” berada
diseptum kartilagenous anterior dan merupakan lokasi yang
21
paling sering terjadi epistaksis anterior (Schlosser dalam
Budiman 2011)..
Sebagian besar arteri yang memperdarahi septum
beranastomosis di area ini. Sebagian besar epistaksis (95%)
terjadi di “little area”. Bagian septum nasi anterior inferior
merupakan area yang berhubungan langsung dengan udara,
hal ini menyebabkan mudah terbentuknya krusta, fisura dan
retak karena trauma pada pembuluh darah tersebut. Walaupun
hanya sebuah aktifitas normal dilakukan seperti menggosok-
gosok hidung dengan keras, tetapi hal ini dapat menyebabkan
terjadinya trauma ringan pada pembuluh darah sehingga
terjadi ruptur dan perdarahan. Hal ini terutama terjadi pada
membran mukosa yang sudah terlebih dahulu mengalami
inflamasi akibat dari infeksi saluran pernafasan atas, alergi
atau sinusitis (Budiman, 2011).
2.1.4.8. Penatalaksanaan
Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis,
yaitu menghentikan perdarahan, mencegah komplikasi dan
mencegah berulangnya epistaksis. Kalau ada syok,
perbaiki dulu keadaan umum siswa.
1. Pre Hospital
a. Menghentikan pendarahan menggunakan kapas yang
dibasahi dengan air.
22
b. Membersihkan darah yang keluar dari hidung
c. Menenangkan siswa dengan Pengetahuan caring
d. Menghubungi keluarga untuk membantu
menenangkan siswanya
e. Membawa siswa ke Puskesmas terkdekat
2. Intra Hospital
a. Menghentikan perdarahan
Sumber perdarahan dicari dengan bantuan
pengisap untuk membersihkan hidung dan alat bekuan
darah kemudian tampon kapas yang telah dibasahi
adrenalin 1/10.000 dan lidocain atau pantocain 2%
dimasukkan kedalam rongga hidung. Tampon
dibiarkan selama 3-5 menit. Dengan cara ini dapatlah
ditentukan apakah sumber perdarahan letaknya
dibagian anterior atau di bagian posterior (Soepardi
2002).
1) Perdarahan anterior
Tindakan sederhana untuk mengatasi
perdarahan anterior adalah dengan memasukkan
tampon yang telah dibasahi dengan adrenalin,
kalau perlu dengan obat anestesi lokal kedalam
rongga hidung kemudian menekan ala nasi
kearah septum selama 3-5 menit. Setelah tampon
23
dikeluarkan tepat asal perdarahan dikaustik
dengan larutan Nitras Argenti 20 –30 % atau
dengan asam triklosetat 10 %. Dapat juga
dipakai elektrokauter untuk kaustik itu.
2) Perdarahan posterior
Untuk menanggulangi perdarahan
posterior dilakukan pemasangan tampon
posterior, yang disebut tampon Bellocq. Tampon
ini harus tepat menutup koana. Pada tampon
Bellocq terdapat 3 buah benang, yaitu 2 buah
pada satu sisi dan sebuah benang di sisi lainnya
(Irma & Ayu Intan, 2013).
b. Mencegah komplikasi
Komplikasi dapat terjadi akibat langsung dari
epistaksis sendiri sebagai akibat dari usaha
penanggulangan epistaksis. Sebagai akibat perdarahan
hebat dapat terjadi syok dan anemia. Pemasangan
tampon dapat menyebabkan sinusitis, otitis media dan
bahkan septikemia. (Soepardi, 2002).
2.1.4.9. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan :
1. Pemeriksaan darah tepi lengkap
2. Fungsi hemostasis
24
3. Uji faal hati dan faal ginjal
4. Pemeriksaan foto hidung, sinus paranasal, dan nasofaring
5. CT scan dan MRI dapat diindikasikan untuk menentukan
adanya rinosinusitis, benda asing dan neoplasma. Jika
diperlukan pemeriksaan radiologi hidung, sinus paranasal
dan nasofaring dapat dilakukan setelah keadaan akut dapat
diatasi (Soepardi, dkk, 2000).
2.2 Kerangka Teori
Gambar 3 Kerangka Teori
(Notoadmojo 2011, Adi 2012, dan Momison 2009)
Etiologi Epistaksis :
1. Penyakit kardiovaskulart
2. Kelainan darah
3. Infeksi
4. Kelainan endokrin
Pre Hospital
1. Menghentikan perdarahan
2. Membersihkan darah
3. Menenangkan siswa
4. Menhubungi keluarganya
5. Membawa ke Puskesmas
terdekat
Epistaksis
Penanganan Epistakasis
Intra Hospital
1. Menghentikan perdarahan
2. Mencegah komplikasi
Pendidikan
Kesehatan
Perilaku
Caring
25
2.3 Kerangka Konsep
Variabel Independen Variabel Dependen
Gambar 4 Kerangka Konsep
2.4 Hipotesis
H0 : Tidak Ada Pengaruh Pendidikan Kesehatan Terhadap Pengetahuan
Guru dalam Penanganan Pertama Epistaksis Pada Siswa SDN
Kelurahan Jatisari Sambi Boyolali
Ha : Ada Pengaruh Pendidikan Kesehatan Terhadap Pengetahuan Guru
dalam Penanganan Pertama Epistaksis Pada Siswa SDN Kelurahan
Jatisari Sambi Boyolali
Pendidikan
Kesehatan Pengetahuan
26
2.5 Keaslian Penelitian
Tabel 2.1 Keaslian Penelitian
No Nama
Pengarang Judul
Metodologi
penelitian Hasil penelitian
1 Lubis dan
Sragih
(2007)
Tata Laksana
Epistaksis
Berulang pada
Siswa
Penelitian ini
menggunakan
metode cross-
sectional terhadap
1218 siswa usia
11-14 tahun
Hasil penelitian ini
menunjukkan ada
beberapa
penatalaksanaan
epistaksis antara lain
Tata laksana
mencakup resusitasi
jika
diperlukan, penekanan
dengan jari, tampon
anterior, kauterisasi,
tampon posterior dan,
pembedahan.
Saat ini terdapat
berbagai alternatif
terapi seperti krim
antiseptik, petroleum
jelly, kauterisasi silver
nitrate,
embolisasi angiografi,
fibrin glue, endoscopic
electrocautery, irigasi
air panas, dan laser
2 Susanty
Octavina
M.S (2008)
Hubungan
Pengetahuan
Guru Tentang
Epistaksis /
Mimisan Dan
Tindakan
Pertolongan
Pertama Pada
Kejadian
Mimisan Di
Kelas Di
Narada
National Plus
School Jakarta
Penelitian melalui
cross sectional
dengan jumlah 40
sampel jenuh
yang diukur
mempergunakan
kuesioner tertutup
menggunakan
analisis
univariat,bivariat
dengan korelasi
pearson product
moment.
Disimpulkan bahwa
terdapat hubungan
yang signifikan antara
pengetahuan guru
tentang
epistaksis/mimisan
dengan tindakan
pertolongan pertama
pada kejadian mimisan
di kelas di Narada
National Plus School
Jakarta.
27
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Desain penelitian ini adalah Penelitian kuantitatif eksperimen semu
dengan rancangan Pretest-Posttest Design One Group yang bertujuan untuk
menentukan pengaruh dari suatu tindakan pada kelompok subjek yang
mendapat perlakuan, kemudian dibandingkan hasil sebelum dan sesudah
pemberian perlakuan (Nursalam 2013). Satu kelompok subyek yang dinilai
saat sebelum dan sesudah pemberian pendidikan kesehatan tentang
pertolongan pertama epistaksis. Sebelum diberikan perlakuan dilakukan
pengukuran (pretest) dan setelah perlakuan dilakukan pengukuran (posttest)
untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh pemberian pendidikan kesehatan
tentang pertolongan pertama epistaksis terhadap pengetahuan guru dalam
penanganan pertrama epistaksis pada siswa SD (Nursalam 2013).
3.2 Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian (Arikunto 2010).
Populasi pada penelitian ini semua guru yang berada di SDN Kelurahan
Jatisari Sambi Boyolali sebanyak 20 guru dengan pembagian 10 guru di
SDN 1 dan 10 Guru di SDN 2.
28
2. Sampel
Sampel adalah bagian populasi yang akan diteliti atau sebagian
jumlah dikarakteristik yang dimiliki oleh populasi (Hidayat 2007).
Pengambilan sampel menggunakan total sampling yaitu cara
pengambilan sampel ini diambil keseluruhan jumlah sampelnya. Peneliti
mengambil semua sampel karena jumlah populasi tidak begitu banyak
sehingga peneliti mengambil semuanya agar hasilnya lebih valid. Sampel
yang digunakan pada penelitian ini adalah 18 guru yang terdiri dari 9
guru di SDN 1 Jatisari dan 9 guru di SDN 2 Jatisari Sambi Boyolali.
3.3 Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di SDN Kelurahan Jatisari Sambi Boyolali.
2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakssiswaan pada bulan februari 2015.
3.4 Variabel Penelitian, Definisi Operasional Dan Skala Pengkuran
1. Variabel terbagi menjadi dua, yaitu :
a. Variabel Independen (Bebas)
Adalah variabel yang nilainya menentukan variabel lain.
Dalam penelitian ini, variabel independennya adalah pendidikan
kesehatan tentang pertolongan pertama epistaksis dengan metode
seminar.
29
b. Variabel Dependen (Terikat)
Adalah variabel yang nilainya ditentukan oleh variabel lain.
Dalam penelitian ini, variabel dependennya adalah pengetahuan guru
dalam penanganan pertama epistaksis pada siswa SD.
2. Definisi Operasional
Definisi Operasional adalah mendefinisikan variabel secara
operasional berdasarkan karakteristik yang diamati, sehingga
memungkinkan peneliti untuk melakukan observasi atau pengukuran
secara cermat terhadap suatu objek atau fenomena (Hidayat 2007).
Tabel 3.1
Definisi Operasonal
Variabel Definisi
Operasional Alat Ukur Hasil Ukur
Skala
Ukur
Variabel
Independe:
pendidikan
kesehatan
Pemberian
penyuluhan
tentang
kesehatan untuk
memberikan
informasi
kesehatan guna
meningkatkan
pengetahuan
Metode
seminar dan
leaflet
Pendidikan kesehatan
dibagi menjadi dua :
1. Sebelum mendapat
Pendidikan
Kesehatan
2. Sesudah mendapat
Pendidikan
Kesehatan
Nominal
Variabel
dependen:
Pendidikan
Guru
dalam
penangana
n pertama
epistaksis
reaksi atau
respon yang
masih tertutup
dari seseorang
guru terhadap
stimulus atau
obyek dalam
melakukan
penanganan
pertama pada
epistaksis.
Menggunakan
Kuesioner
dengan 12
butir
pertanyaan.
1-4 : Kurang
5-9 : Cukup
10-12 : Baik
Ordinal
(Nursalam, 2005)
30
3.5 Alat Pengumpulan Data
Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah kertas, bolpoin,
lembar kuesioner, kamera, laptop, LCD, leaflet (terlampir) dan sound
sistem. Kuesioner dalam penelitian ini menggunakan jenis kuesioner
tertutup, yaitu kuesioner yang jawaban atau isinya sudah ditentukan,
sehingga subjek tidak memberikan respon-respon atau jawaban yang lain.
Kuesioner yang digunakan berisikan 20 pertanyaan yang terdiri pertanyaan
favorable (2,4,5,6,7,9,10,11,12,13,14,17,18,20) dengan klasifikasi penilaian
SS : 4, S : 3, TS : 2, STS : 1 dan unfavorable (1,3,8,15,16,19) klasifikasi
penilaian Salah : 0, Benar : 1 (Sugiyono, 2013).
3.6 Uji Validitas dan Reliabilitas
1. Uji Validitas
Uji validitas adalah suatu pengukuran dan pengamatan yang
berarti prinsip keandalan instrumen dalam mengumpulkan data
(Nursalam 2013). Untuk mengetahui validitas Kuesioner pengetahuan
guru dalam penanganan pertama epistkasis maka digunakan rumus
korelasi moment product dari pearson. Secara sederhana dapat
dikemukakan hasil sebagai berikut jika r hitung > r table (0,05).
Uji validitas dilakukan di SDN 1 Canden Sambi Boyolali dengan
jumlah responden 18 guru dan jumlah butir pertanyaan 20 soal. Hasil
validitas kuesioner didapatkan pertanyaan yang valid adalah no 1, 2, 3,
4, 9, 10, 11, 13, 14, 16, 17, 18 dan butir pertanyaan tidak valid adalah
31
no 5, 6, 7, 8, 12, 15, 19 dan 20. Jumlah kuesioner yang valid 12 soal
dan yang tidak valid 8 soal.
2. Uji Reliabilitas
Uji reliabilitas menggunakan rumus Alpha Cronbach. Uji
instrumen ini dikatakan reliable jika r hitung atau hasil nilai alpa lebih
besar dari r table.
Reliabilitas menunjukkan pada suatu pengertian bahwa
instrumen cukup dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat
pengumpul data karena instrumen tersebut sudah baik. Apabila datanya
memang benar sesuai dengan kenyataannya, maka berapa kalipun
diambil tetap akan sama hasilnya (Arikunto 2006). SDN di Kelurahan
Jatisari Sambi Boyolali terdapat dua SDN yaitu SDN 1 dan SDN 2
Jatisari Sambi Boyolali sehingga Uji validitas kuesioner pengetahuan
dilakukan di luar SD tersebut yaitu SDN 1 Canden Sambi Boyolali
sedangkan SDN 1 dan 2 digunakan peneliti untuk melakukan penelitian.
Hasil uji reliabilitas menggunakan Cronbach Alfa dari 12 butir
pertanyaan yang valid didapatkan nilai r hitung= 0,937 dan r tabel=
0,632, maka r hitung > r tabel sehingga 12 butir pertanyaan tersebut
reliabel dengan nilai 0,937.
32
3.7 Cara Pengumpulan Data
Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan cara :
1. Administratif
a. Membuat F 04 untuk persyaratan ijin melakukan studi pendahuluan
b. Surat ijin studi pendahuluan digunakan untuk mencari data di SDN 1
dan 2 Jatisari Sambi Boyolali
c. Peneliti mengajukan surat permohonan ijin penelitian dari institusi
kepada Kepala SDN 1 dan 2 Jatisari Sambi Boyolali.
d. Setelah mendapatkan surat persetujuan dari Kepala SDN 1 dan 2
peneliti melakukan studi pendahuluan.
e. Peneliti melakukan uji validitas kuesioner pengetahuan di SDN 1
dan 2 Canden, Sambi, Boyolali.
f. Peneliti melakukan penelitian dengan kuesioner yang sudah valid di
SDN 2 Jatisari samba Boyolali di ruang kelas III.
g. Data yang sudah didapatkan di entry lalu dikumpulkan menjadi satu
lalu dan diberikan tanda coding.
2. Teknis
a. Pre Test
Memberikan kuesioner kepada responden sebelum dilakukan penkes
b. Pendidikan Kesehatan
Memberikan Pendidikan kesehatan sesuai dengan materi sesuai SAP
(terlampir)
33
c. Post Test
Memberikan kuesioner kepada responden setelah dilakukan penkes
3.8 Teknik Pengolahan
Dalam penelitian ini dilakukan pengolahan data dengan tahap
sebagai berikut :
1. Editing
Pada tahap ini peneliti melakukan koreksi data untuk melihat kebenaran
pengisian dan kelengkapan jawaban kuesioner dari responden. Hal ini
dilakukan di tempat pengumpulan data sehingga bila ada kekurangan
segera dapat dilengkapi. Selama proses penelitian ada beberapa data
yang tidak terisi sehingga peneliti meminta responden untuk
melengkapinya sehingga didapatkan data yang lengkap.
2. Coding
Peneliti melakukan pemberian kode pada data untuk mempermudah
mengolah data, hanya 1 variabel diberi kode yaitu variabel dependen
(Nursalam 2013). Pengetahuan ada tiga kategori yaitu 1 untuk kurang, 2
untuk sedang dan 3 untuk baik.
3. Entry data
Merupakan suatu proses pemasukan data kedalam komputer untuk
selanjutnya dilakukan analisa data dengan menggunakan program
komputer.
34
4. Cleaning
Cleaning adalah memastikan bahwa seluruh data yang dimasukkan
kedalam mesin pengolah data sudah sesuai dengan sebenarnya atau
proses pembersihan data. Dalam proses ini peneliti melakukan
pengecekan ulang untuk memastikan bahwa semua data yang
dimasukkan dalam program komputer telah sesuai dengan data asli
yang didapat di lapangan.
5. Tabulating
Kegiatan memasukkan data hasil penelitian kedalam tabel kemudian
diolah dengan bantuan komputer.
3.9 Analisa Data
Analisa data dilakukan untuk menjawab hipotesis penelitian. Data
yang diperoleh dianalisa dengan menggunakan teknik statistik kuantitatif
dengan menggunakan analisis unviariat dan bivariat. Pada penelitian ini
menggunakan sistem komputer dalam penghitungan data. Adapun analisa
yang digunakan sebagai berikut :
1. Analisa Univariat
Analisa univariat merupakan suatu analisa yang digunakan untuk
menganalisis tiap-tiap variabel dari hasil penelitian yang menghasilkan
suatu distribusi frekuensi dan prosentase dari masing-masing variabel
(Notoatmodjo 2005).
35
Analisa univariat juga digunakan untuk menggambarkan nilai
mean yang digunakan untuk data yang tidak dikelompokkan ataupun data
yang sudah dikelompokkan, nilai median yang merupakan nilai yang
berada di tengah dari suatu nilai atau pengamatan yang disusun, serta
nilai modus yang digunakan untuk menyatakan fenomena yang paling
banyak terjadi (Hidayat 2007). Analisa univariat dalam penelitian ini
adalah distribusi tentang pendidikan, umur, jenis kelamin, dan lama
bekerjanya guru.
2. Analisa Bivariat
Analisis bivariat menggunakan uji Wilcoxon yang bertujuan untuk
membandingkan antara dua kelompok data yang saling berhubungan
penanganan epistaksis pada siswa SDN Kelurahan Sambi Jatisari
Boyolali sebelum dan sesudah dilakukan pendidikan kesehatan.
Analisa hasil uji statistik : Apabila p value > 0,05 maka Ho diterima
artinya tidak ada pengaruh pendidikan kesehatan tentang pertolongan
pertama epistaksis terhadap pengetahuan guru dalam penanganan
pertama epistaksis pada siswa SD. Apabila p value < 0,05 maka Ho
ditolak artinya ada pengaruh pendidikan kesehatan tentang pertolongan
pertama epistaksis terhadap pengetahuan guru dalam penanganan
pertama epistaksis pada siswa SD.
36
3.10 Etika Penelitian
Ada beberapa etika yang dilakukan untuk mendukung kelancaran
penelitian ini antara lain sebagai berikut :
1. Informed consent (Lembar Persetujuan)
Informed consent merupakan cara persetujuan antara peneliti
dengan calon responden dengan memberikan lembar persetujuan.
Peneliti menjelaskan tujuan penelitian kepada calon responden. Calon
responden bersedia menjadi responden maka dipersilahkan
menandatangani lembar persetujuan.
2. Anonimity (Kerahasiaan Identitas)
Anonimity merupakan etika penelitian dimana peneliti tidak
mencantumkan nama responden dan tanda tangan pada lembar alat
ukur, tetapi hanya menuliskan kode pada lembar pengumpulan data.
Kode yang digunakan berupa nama responden.
3. Confidentiality (Kerahasiaan Informasi)
Peneliti menjamin kerahasiaan hasil penelitian baik informasi
atau masalah lain yang menyangkut privacy klien. Hanya kelompok
data tertentu yang dilaporkan pada hasil penelitian.
37
BAB IV
HASIL PENELITIAN
4.1. Analisa Data
1. Karakteristik Responden
Hasil penelitian yang telah dilakukan didapatkan karakteristik
responden yang meliputi umur, jenis kelamin dan tingkat pendidikan yang
telah disusun dalam bentuk tabel serta deskripsi.
a. Karakteristik Responden Berdasarkan Umur
Karakteristik responden berdasarkan umur hasilnya dapat dilihat
pada tabel berikut ini.
Tabel 4.1 karakteristik responden berdasarkan umur (n=10)
Klasifikasi Umur Frekuensi Presentase (%)
< 31 Tahun 5 28
32-38 Tahun 4 22
39-45 Tahun 3 17
46-56 Tahun 6 33
Total 18 100
Dari tabel 4.1 didapatkan hasil karakteristik responden
berdasarkan umur yang paling banyak adalah rentang umur 46-56
Tahun sebanyak 6 guru (33%) dan 32-38 Tahun sebanyak 4 guru (40%)
sedangkan yang paling sedikit adalah rentang umur 39-45 Tahun
sebanyak 3 guru (17%).
38
b. Karakteristik Responden Berdasarkaan Jenis Kelamin
Karakteristik responden menurut jenis kelamin hasilnya dapat
dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 4.2 Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin (n=10)
Klasifikasi Jenis Kelamin Frekuensi Presentase
Laki-laki 7 39
Perempuan 11 61
Total 18 100
Dari tabel 4.2 didapatkan hasil bahwa jenis kelamin responden
terbanyak adalah perempuan sebanyak 11 guru (61%) dan laki-laki 7
guru (39%).
c. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Karakteristik responden berdasarkan menurut tingkat pendidikan
hasilnya dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 4.3 Karakteristik Responden Menurut Tingkat Pendidikan (n=10)
Klasifikasi Tingkat Pendidikan Frekuensi Presentase
S1 15 83
S2 3 17
Total 18 100
Dari tabel 4.3 didapatkan hasil bahwa tingkat pendidikan yang
paling banyak adalah S1 sebanyak 15 guru (85%) dan S2 sebanyak 3
guru (17%).
39
2. Analisa Univariat
a. Pengetahuan Guru Dalam Penanganan Epsitaksis Sebelum Pendidikan
Kesehatan
Tabel 4.4 Pengetahuan Guru Dalam Penanganan Epistaksis Sebelum
Pendidikan Kesehatan (n=10)
Pengetahuan Frekuensi Presentase
Kurang 5 28
Cukup 13 72
Baik 0 0
Total 18 100
Dari tabel 4.4 didapatkan hasil bahwa semua pengetahuan guru
dalam penanganan epistkasis sebelum dilakukan pendidikan kesehatan
berpengetahuan kurang 5 (28%) guru dan cukup 13 (72%).
b. Pengetahuan Guru Dalam Penanganan Epsitaksis Setelah Pendidikan
Kesehatan
Tabel.4.5 Pengetahuan Guru Dalam Penanganan Epistaksis Setelah
Pendidikan Kesehatan (n=10)
Pengetahuan Frekuensi Presentase
Kurang 0 0
Cukup 15 83
Baik 3 17
Total 18 100
Dari tabel 4.5 didapatkan hasil bahwa pengetahuan guru dalam
penanganan epistaksis setelah diberikan pendidikan kesehatan yang
paling banyak adalah cukup yaitu 15 (80%) guru dan yang paling
sedikit adalah kurang yaitu 0 (0 %) guru.
40
4.2. Analisa Bivariat
Tabel 4.6 Pengaruh Pendidikan Kesehatan Tentang Epistkasis Terhadap
Pengetahuan Guru dalam Penanganan Epistakasis (n=10)
Variabel Z Pre-post Asymp.sig. (2-tailed)
Pendidikan Kesehatan -3.676
a 0,000
Pengetahuan
Dari tabel 4.6 diatas menunjukkan hasil uji Wilcoxon dengan nilai
p value = 0,000 sehingga p value < 0,05 maka ada pengaruh pendidikan
kesehatan tentang penanganan epistaksis terhadap pengetahuan guru
dalam penanganan epistaksis pada murid SD.
41
BAB V
PEMBAHASAN
5.1. Karakteristik Responden
5.1.1. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Berdasarkan hasil penelitian jenis kelamin responden
terbanyak yaitu perempuan sebanyak 11 orang dan laki-laki sebanyak
7 orang. Penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh
Zainuddin (2008) tentang penatalaksanaan epistaksis di masyarakat
yang didominasi oleh responden perempuan.
5.1.2. Karakteristik Responden Berdasarkan Usia
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan 10 responden dengan
klasifikasi usia <31 tahun sebanyak 5 orang, usia 32-38 tahun
sebanyak 4 orang, usia 39-45 tahun sebanyak 3 orang dan 46-56 tahun
sebanyak 6 orang. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Santoso (2008) bahwa responden terbanyak berusia 18
tahun dan paling sedikit berusia 23 tahun dari total responden
sebanyak 31 responden.
5.1.3. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan 15 responden dengan
pendidikan S1 dan 3 responden berpendidikan S2. Penelitian ini
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Adi (2012) bahwa
42
responden terbanyak berpendidikan Sarjana mengenai pemahaman
guru tentang pertolongan pertama pada kecelakaan.
5.2. Pengetahuan Guru Dalam Penanganan Epistaksis Sebelum Pendidikan
Kesehatan
Pengetahuan guru dalam penanganan epistkasis sebelum dilakukan
pendidikan kesehatan adalah cukup sebanyak 13(72%) guru dan kurang 5
(27%) guru. Hasil penelitian Pulungan (2007) menunjukkan bahwa
pengetahuan responden sebelum pemberian penyuluhan dengan
menggunakan ceramah dan leaflet mayoritas adalah negatif yaitu sebesar
96,7% sedangkan responden yang memperoleh penyuluhan ceramah dan dan
film sebagian yang mempunyai pengetahuan negatif sebesar 48,3%. Hasil
penelitian Marini (2009) didapatkan hasil bahwa pengetahuan seseorang
dalam melakukan penangan DBD masih banyak dalam rentang cukup sebab
sumber informasi yang didapatkan masih belum banyak serta belum adanya
upayan penyuluhan atau pemaparan informasi yang mendalam tentang
penanganan DBD.
5.3. Pengetahuan Guru Dalam Penanganan Epistaksis Setelah Pendidikan
Kesehatan
Pengetahuan guru dalam penanganan epistaksis setelah diberikan
pendidikan kesehatan yang paling banyak adalah cukup yaitu 15 guru (83%)
dan 3 guru (20%) menunjukkan pengetahuan cukup dan yang paling sedikit
adalah kurang yaitu 0 guru (0 %). Hasil penelitian Pulungan (2007)
43
menunjukkan bahwa pengetahuan responden sesudah diberikan penyuluhan
dengan metode ceramah dan leaflet mengalami perubahan menjadi
berpengetahuan positif yaitu sebesar 93,3% sdangkan yang diberi penyuluhan
dengan metode ceramah dan film juga terjadi perubahan menjadi mayoritas
berpengetahuan positif yaitu sebesar 98,3.
5.4. Pengaruh Pendidikan Kesehatan Tentang Epistaksis Terhadap
Pengetahuan Guru dalam Penanganan Epistakasis
Hasil uji Wilcoxon dengan nilai p value = 0,000 sehingga p value < 0,05
maka ada pengaruh pendidikan kesehatan tentang penanganan epistaksis
terhadap pengetahuan guru dalam penanganan epistaksis pada murid SD.
Hasil penilitian Pulungan (2007) menunjukkan bahwa terjadi peningkatan
pengetahuan dan pengetahuan dokter kecil tentang PSN-DBD setelah
mendapatkan penyuluhan dengan metode ceramah dan leaflet maupun
ceramah dan film. Keadaan ini menggambarkan bahwa penyuluhan kesehatan
merupakan suatu kegiatan yang dapat mempengaruhi perubahan perilaku
responden meliputi perubahan pengetahuan.
Pengetahuan baru yang diperoleh subjek selanjutnya akan menimbulkan
respon dalam bentuk pengetahuan terhadap objek yang telah diketahuinya
(Notoatmodjo, 2003). Oleh karena itu, semua hal yang mempengaruhi
pengetahuan seseorang berpengaruh pada pengetahuannya terhadap objek
yang sama yang telah diketahuinya tersebut. Penelitian ini mengukur
44
pengetahuan responden terhadap kejadian epistaksis hingga tingkat
pengetahuan yang ketiga yaitu menghargai.
Sebagaimana penjelasan dari Notoatmodjo (2003) bahwa pengetahuan
baru yang diperoleh subjek selanjutnya akan menimbulkan respon batin
dalam bentuk pengetahuan terhadap objek yang telah diketahuinya. Dapat
disimpulkan bahwa bila seseorang yang memiliki pengetahuan yang baik
maka akan memiliki pengetahuan yang baik pula. Dalam penelitian yang
dilakukan oleh Rifki dalam Santoso (2008) didapati bahwa mayoritas tingkat
pengetahuan responden berada pada kategori sedang (55,4%), yang juga
sejalan dengan tingkat pengetahuan responden yang mayoritasnya berada
pada kategori sedang (48,2%).
45
BAB VI
PENUTUP
6.1. Kesimpulan
1. Karakteristik usia terbanyak adalah 46-56 tahun sebanyak 6 (33%)
responden dan paling sedikit 39-45 tahun sebanyak 3
(17%)responden. Karakteristik jenis kelamin responden terbanyak
adalah perempuan 11 (61%) dan paling sedikit laki-laki sebanyak 7
responden (39%). Karakteristik pendidikan responden terbanyak
adalah S1 sebanyak 15 (83%) responden dan paling sedikit S2
sebanyak 3 (17%) responden.
2. Pengetahuan guru sebelum dilakukan pendidikan kesehatan
mempunyai pengetahuan cukup sebanyak 13 guru (72%).
3. Pengetahuan guru setelah diberikan pendidikan kesehatan yang
paling banyak mempunyai pengetahuan cukup yaitu 15 guru (83%),
pengetahuan baik 3 guru (17%) dan yang paling sedikit adalah
kurang yaitu 0 guru (0 %).
4. Pengaruh pendidikan kesehatan terhadap pengetahuan guru
didapatkan hasil uji Wilcoxon dengan nilai p value = 0,005 sehingga
p value < 0,00 maka ada pengaruh pendidikan kesehatan tentang
penanganan epistaksis terhadap pengetahuan guru dalam
penanganan epistaksis pada murid SD.
46
6.2. Saran
6.2.1. Sekolah SD
Diharapkan sekolah dapat mensosialisasikan kepada staff
sekolah dalam penanganan epistaksis.
6.2.2. Guru
Diharapkan dengan adanya penelitian ini staff pengajar di
sekolah dapat menambah wawasan dan menambah ilmu dalam
penanganan epistaksis di sekolah.
6.2.3. Institusi Pendidikan
Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat menambah
ilmu bagi pembaca di perpustakaan mengenai hubungan
pengetahuan terhadap pengetahuan penanganan epistaksis.
6.2.4. Peneliti Lain
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sumber
referensi bagi peneliti lain dan dapat dikembangkan di tempat lain
dengan metode penelitian yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
Adi, Bayu Setyo. (2012). Pemahaman Guru Tentang Pertolongan Pertama Pada
Kecelakaan. Skripsi. Yogyakarta. PPSD FIP UNY
Ali, Mohammad. (2007). Ilmu & Aplikasi pendidikan. Bandung : PT Imperial
Bhakti Utama,
Annisa.(2012) ‘Hubungan Antara Pola Asuh Ibu dengan Perilaku Bullying
Remaja’, Fakultas Ilmu Kedokteran UI, Jakarta.
Arikunto, Suharsimi. (2010). Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktik
(Edisi Revisi 2010), Rineka Cipta, Jakarta.
Budiman J Bestari, Yolazenia.(2012). Epistaksis dan Hipertensi, diakses
7 Desember 2013, {“http://jurnal.fk.unand.ac.id”}.
Budiman J Bestari, Al Hafiz (2011). Epistaksis Berulang dengan
RinosinusitisKronik, Spina, pada Septum dan Telangiektasis, diakses 6
Desember 2013,
Departemen Pendidikam Nasional. (2009). Pelaksanaan Tugas Guru dan
Pengawasan.Jakarta: Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik Dan Tenaga Kependidikan
Harjasuganda, Djukanda. (2008). Pengembangan Konsep Diri yang Positif pada Siswa SD Sebagai Dampak Penerapan Umpan Balik (Feedback) dalam
Proses Pembelajaran Penjas.Jurnal.Pendidikan Dasar.Nomor: 9
Hidayat, A A . (2007) Metode Penelitian Kepemberi informasian dan Teknik
Analisa Data, Salemba Medika, Jakarta.
Jamaludin. (2002). Pembelajaran Yang Efektif.Jakarta: Depag. Pusat
Kucik CJ, Clenney T. (2005). Management of epistaxis. Am Fam Phy; 71(2):305-
11.
Lubis, Bidasari & Saragih, Rina A C. (2007). Tata Laksana Epistaksis Berulang
pada Siswa. Sari Pediatri, Vol. 9, No. 2
Megawati. (2010), ‘Perbedaan Self Confidence Siswa SMP yang Aktif dan Tidak
Aktif Dalam Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) Di SMPN 1
Perbaungan’, Skripsi, Sarjana Psikologi, Fakultas Psikologi, Sumatera
Utara.
Munir, Delfitri, Haryono, Yuritna, Rambe, Andrina Y.M. (2006). Epistaksis.
Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok, Bedah Kepala
leher Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.Majalah
Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3
Notoadmodjo, S. (2005). Pengantar pendidikan kesehatan dan ilmu perilaku,
Yogyakarta: Andi Offset.
Notoatmodjo, Soekidjo. (2010). Promosi Kesehatan Teori & Aplikasi, Edisi
Revisi, Rineka Cipta, Jakarta
Notoatmodjo, Soekidjo. (2011). Promosi Kesehatan Teori & Aplikasi, Edisi
Revisi, Rineka Cipta, Jakarta.
Nursalam. (2005). Konsep & Penerapan Metodelogi Penelitian Ilmu Kepemberi
informasian Pedoman Skripsi, Tesis & Instrumen Penelitian Kepemberi
informasian, Salemba, Medika, Jakarta.
Nursalam. (2013). Konsep & Penerapan Metodelogi Penelitian Ilmu Kepemberi
informasian Pedoman Skripsi, Tesis & Instrumen Penelitian Kepemberi
informasian, Salemba, Medika, Jakarta.
Santoso, Agung. (2008). Mimisan – Cara Menghilangkan Mimisan.
http://www.balita-anda.indoglobal.com diakses 3 Agustus 2015
Schlosser RJ. (2009). Epistaxis. N Engl J Med;360(8):784-9
Soepardi, dkk. (2007). Buku ajar telinga hidung tenggorok kepala & leher. Edisi
keenam. Jakarta: FKUI
Sugiyono. (2013). Metode Peneliian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D, Eds.19,
Alfabeta, Bandung.
Surya, Mohamad. (2004), Bunga Rampai Guru dan Pendidikan. Jakarta : Balai
Pustaka,
UURI, No. 14. (2005), tentang Guru dan Dosen. Jakarta: Departemen Pendidikan
Nasional
UURI, No. 20 Th. 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional.Jakarta: Dep.
Pend. Nas.RI.), hlm. 6.
Wawan, A & Dewi M. (2011). Teori & Pengukuran Pengetahuan, Perilaku, dan
Perilaku Manusia, Nuha Medika, Yogyakarta
Wormald PJ. (2006). Epistaxis. In: Bailey BJ, Johnson, JT, Newlands SD, editors.
Head & Neck Surgery – Otolaryngology. 4th edition. Philadelphia:
Lipincott Williams & Wilkins;p.505-14.
Zainuddin, Hanafi. (2008). Penatalaksanaan Epistaksis. Departemen THT FK
UNSRI Palembang.
Marini (2009)
Pulungan (2007)