pengaruh perkembangan vikariat apostolik semarang bagi partai katolik tahun 1940 – 1961
DESCRIPTION
Pengaruh Perkembangan Vikariat Apostolik Semarang Bagi Partai Katolik Tahun 1940 – 1961TRANSCRIPT
i
PENGARUH PERKEMBANGAN VIKARIAT APOSTOLIK SEMARANG BAGI
PARTAI KATOLIK TAHUN 1940-1961
SKRIPSI
Untuk memperoleh gelar sarjana Pendidikan Sejarah/ S I pada Universitas Negeri Semarang
Oleh L. Dewi Cerealia R NIM 3101401008
FAKULTAS ILMU SOSIAL JURUSAN SEJARAH
2005
ii
ii
iii
iii
iv
iv
PERNYATAAN
Saya menyatakan bahwa yang tertulis di dalam skripsi atau tugas akhir ini
benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain, baik
sebagian atau seluruhnya. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam
skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.
Semarang, Agustus 2005 L. Dewi Cerealia R NIM 3101401008
v
v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
“Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi seorang saudara dalam
kesukaran”, (Amsal 17:17)
“Kesuksesan adalah sebuah hasil dari kerja keras, bukan dari hasil pemberian orang
lain”, (Penulis)
Dengan penuh rasa syukur kepada Allah Bapa atas
kasih dan bimbingan-Nya, kupersembahkan skripsi
ini kepada:
1. Tuhan Yesus, atas perlindungan-Nya pada
penulis dan keluarga.
2. Papa dan Mama untuk setiap doa dan
bimbingannya.
3. Eyang putri yang selalu berdoa dan mendampingi
penulis.
4. Mbak Ika dan Dik Ade, semoga kita selalu sehati
dan tetap saling mengasihi.
5. Teman-teman seperjuangan di Prodi. Pend.
Sejarah tanpa kecuali, terim kasih atas saat indah
kebersamaan kita, semoga kita mencapai sukses.
vi
vi
PRAKATA
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kemurahan dan
penyertaanNya sehingga skripsi ini dapat selesai.
Skripsi berjudul “Partai Katolik dan Perkembangan Vikariat Apostolik
Semarang Tahun 1940 – 1961” disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan
studi Strata Satu untuk mencapai gelar Sarjana Pendidikan.
Ucapan terimakasih sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah
memberikan bantuan dalam segala hal kepada yang terhormat:
1. Drs.H. A.T. Soegito, S. H. M. M, Rektor Universitas Negeri Semarang yang telah
memberikan fasilitas sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
2. Drs. Sunardi, M. M, Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang
yang telah memberikan ijin penelitian sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini.
3. Drs. Jayusman, M. Hum, Ketua Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas
Negeri Semarang yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
menyelesaikan skripsi.
4. Drs. YYFR. Sunardjan, M. S, Dosen Pembimbing I yang telah memberikan
pengarahan, bimbingan, dan saran pada penulis.
5. Dra. Rr. Sri Wahyu S, M. Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang telah
memberikan pengarahan, bimbingan, dan saran pada penulis.
vii
vii
6. Bapak/Ibu dosen di Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri
Semarang yang telah memberikan ilmu dan bimbingan pada penulis sehingga
dapat menyelesaikan studi.
7. Romo Arko, S. J., dan Romo Suyitno, S. J, atas bantuan moral maupun spiritual
pada penulis.
8. Papa, Mama, Eyang, serta Mbak Ika dan Dik Ade atas doa dan pendampingannya
terhadap penulis.
9. Teman-teman di kost Annur Banaran, terutama Desi W dan Yohana yang
membantu kesulitan-kesulitan penulis.
10. semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah banyak
membantu penulis.
Menyadari bahwa penulisan ini masih banyak kekuranganya, maka saran dan
kritik senantiasa penulis harapkan dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
pembaca dan peneliti selanjutnya.
Semarang, Agustus 2005
Penulis
viii
viii
SARI
Rilansusanti, L. Dewi Cerealia. 2005. Pengaruh Perkembangan Vikariat Apostolik Semarang Bagi Partai Katolik Tahun 1940 - 1961. Program Studi Pendidikan sejarah/S I. Fakultas Ilmu Sosial. Universitas Negeri Semarang. Dosen pembimbing Drs. YYFR Sunardjan, M.S dan Dra. Rr. Sri Wahyu S, M. Hum. 117 halaman. Kata kunci: Vikariat Apostolik Semarang, Partai Katolik.
Penulisan ini bertujuan merekontruksi perjalanan Partai Katolik dan Vikariat Apostolik Semarang antara tahun 1940 – 1961. Perkembangan misi mulai menunjukkan hasil dengan dibaptisnya 171 orang di Sedangsono tahun 1904. Pada tahun-tahun selanjutnya terbentuk Vikariat Apostolik Semarang dengan ciri khas yang membedakan dengan Vikariat Apostolik yang lain. Di wilayah ini berdiri Partai Katolik. Bagaimana kedua unsur yang berbeda ini saling mempengaruhi dan bekerjasama, melalui kegiatan penelitian akan diperoleh jawaban yang akurat.
Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimana latar belakang terbentuknya Vikariat Apostolik Semarang?, (2) Bagaimana Perkembangan Vikariat Apostolik Semarang dalam penyebaran misi-misi Gereja dari tahun 1940 sampai tahun 1961?, (3) Bagaimanakah muncul dan perkembangan Partai Katolik di wilayah Vikariat Apostolik Semarang?, (4) Bagaimana pengaruh dan peranan Partai Katolik bagi perkembangan Vikariat Apostolik Semarang?. Penelitian ini bertujuan: (1) Mengetahui latar belakang terbentuknya Vikariat Apostolik Semarang. (2) Untuk mengetahui perkembangan Vikariat Apostolik Semarang dalam penyebaran misi-misi Gereja dari tahun 1940 – 1961. (3) Mengetahui munculnya dan perkembangan Partai Katolik di wilayah Vikariat Apostolik Semarang. (4) Mengetahui pengaruh dan peranan Partai Katolik pada perkembangan Vikariat Apostolik Semarang.
Pembatasan masalah pada penelitian ini adalah wilayah Apostolik Semarang tahun 1940-1961, dengan terbentuknya Keuskupan Agung Semarang, serta resolusi partai-partai Katolik membentuk partai tunggal yaitu Partai Katolik tahun 1949. Metode dalam penulisan ini adalah metode sejarah.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa Gereja atau Vikariat Apostolik Semarang dan Partai Katolik adalah dua hal yang berbeda, namun Vikariat Apostolik Semarang tidak membatasi umatnya untuk melakukan kegiatan politik terutama dalam mendukung pemerintahan Republik Indonesia. Hal itu juga menunjukkan bahwa umat Katolik adalah warga negara Indonesia bukan seperti anggapan selama ini bahwa agama Katolik adalah agama kolonial.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pihak, serta untuk meningkatkan kesadaran berbangsa dan bernegara pada umat Katolik, terutama untuk peningkatan karya misi agama Katolik yang akhir ini makin redup.
ix
ix
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL ............................................................................................................. i
PERSETUJUAN PEMBIMBING.................................................................... ii
PENGESAHAN KELULUSAN ...................................................................... iii
PERNYATAAN............................................................................................... iv
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN.............................................. v
PRAKATA....................................................................................................... vi
SARI................................................................................................................. viii
DAFTAR ISI.................................................................................................... ix
DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.............................................................. 1
B. Perumusan Masalah. ................................................................... 8
C. Tujuan Penelitian. ....................................................................... 9
D. Manfaat Penelitian. ..................................................................... 9
E. Ruang Lingkup Penelitian........................................................... 10
F. Penegasan Istilah......................................................................... 11
G. Sistematika Penulisan ................................................................. 16
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Landasan Teori............................................................................ 19
B. Kerangka Konseptual .................................................................. 23
C. Kerangka Berfikir ....................................................................... 25
x
x
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Metode Penelitian. ............................................................. 26
B. Setting Penelitian ........................................................................ 35
BAB IV PENGARUH PERKEMBANGAN VIKARIAT APOSTOLIK SEMARANG BAGI PARTAI KATOLIK TAHUN 1940 – 1961
4.1 Masa Vikariat Apostolik Semarang
4.1.1 Latar Belakang ......................................................................... 36 4.1.2 Penyebaran Misi Gereja Vikariat Apostolik Semarang
Tahun 1940 – 1961 .................................................................. 44
4.2 Peranan Vikariat Apostolik Semarang Terhadap Kehidupan Politik
4.2.1 Munculnya Partai Katolik ........................................................ 51
4.2.2 Pengaruh Partai Katolik Terhadap Vikariat Apostolik Semarang 65
4.3 Perubahan Kedudukan Vikariat Apostolik Semarang
4.3.1 Hirarki Gereja Indonesia .......................................................... 69 4.3.2 Pengaruh Penetapan Hirarki Gereja Indonesia Bagi
Vikariat Apostolik Semarang................................................... 72
BAB V PENUTUP
A. Simpulan ..................................................................................... 76
B. Saran............................................................................................ 78
Daftar Pustaka .................................................................................................. 79
Lampiran-lampiran .......................................................................................... 83
Gambar-gambar................................................................................................ 94
xi
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Biodata Informan............................................................................... 83
Lampiran 2. Intrumen Wawancara........................................................................ 84
Lampiran 3. Peta misi di Pulau Jawa tahun 1913.................................................. 88
Lampiran 4. Peta Vikariat Apostolik Semarang tahun 1940................................. 89
Lampiran 5. Peta Keuskupan Agung Semarang tahun 1961 sampai sekarang...... 90
Lampiran 6. Susunan dasar suatu Keuskupan........................................................ 91
Lampiran 7. Surat ijin penelitian........................................................................... 92
xii
xii
DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Gereja di Muntilan............................................................................... 94
Gambar 2. Sebagian orang yang dipermandikan Romo F. Van Lith..................... 94
Gambar 3. Gereja yang didirikan di Magelang tahun 1900................................... 95
Gambar 4. Mgr. Alb. Soegijapranata, S. J, Vikaris pribumi pertama.................... 96
Gambar 5. Empat bekas murid Kweekschool di Muntilan.................................... 97
Gambar 6. Rumah Betlehem.................................................................................. 97
Gambar 7. Sekolah Misi kecil di Muntilan ........................................................... 98
Gambar 8. “Muntilan, Betlehem di Jawa”............................................................ 99
Gambar 9. Kongres Umat Katolik Seluruh Indonesia (KUKSI)
Desember 1949................................................................................... 100
Gambar 10. Pembukaan KUKSI ......................................................................... 101
Gambar 11. Kongres Partai Katolik di Malang tahun 1956................................. 102
Gambar 12. Kongres Partai Katolik di Malang tahun 1956................................ 102
Gambar 13. Sidang pengumuman susunan personalia kabinet Hatta
oleh Presiden Soekarno.................................................................... 103
Gambar 14. Josef Felix Basuki dan istri.............................................................. 104
Gambar 15. Makam Mgr. Alb. Soegijapranata, S. J............................................ 104
Gambar 16. Riwayat hidup Mgr. Alb. Soegujapranata, S. J, di Giri Tunggal..... 105
Gambar 17. Monstrans di Boro, Kalibawang....................................................... 106
Gambar 18. Romo Frans Van Lith...................................................................... 107
Gambar 19. Kompleks Katolik di Muntilan......................................................... 108
xiii
xiii
Gambar 20. I. J Kasimo didampingi oleh Frans Seda dan Padmoseputro
dari DPP Partai Katolik.................................................................... 109
Gambar 21. F. C. Palaunsuka, wakil Partai Katolik di DPR tahun 1960
sampai 1973................................................................................... 109
Gambar 22. Lambang partai katolik dalam Pemilu 1955.................................... 110
Gambar 23. V. B. Costa S. H, wakil Partai katolik yang tegas
mempertahankan demokrasi dalam Konstituante............................ 110
Gambar 24. Anggota Delegasi RI untuk berunding dengan Belanda................. 111
Gambar 25. I. J. Kasimo ..................................................................................... 112
Gambar 26. Kasimo dalam panitia Perujukan Dwi Fungsi Tunggal................... 113
Gambar 27. I. J. Kasimo menjadi anggota Volksraad ........................................ 114
Gambar 28. I. J kasimo sebagai Menteri pertanian............................................. 115
Gambar 29. I. J. Kasimo sebagai Menteri Muda kemakmuran............................ 115
Gambar 30. Seminari Tinggi S. Paulus di kentungan, Yogyakarta..................... 116
Gambar 31. Kompleks Muntilan selesai pembakaran......................................... 117
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada tanggal 7 Agustus 1806 Raja Lodewijk Napoleon mengumumkan
Undang-Undang kebebasan beragama. Akibatnya, Gereja Katolik di Indonesia yang
dilarang sejak tahun 1621 bisa berkembang lagi. Tahun 1807 wilayah Hindia
Belanda menjadi satu kesatuan dengan Gereja Katolik, yaitu Prefektur Apostolik1
Batavia. Pada tahun 1842 Prefektur Apostolik Batavia ditingkatkan menjadi
Vikariat2. Tahun 1866 Vikariat Batavia dibagi menjadi 8 stasi3 yaitu; Batavia,
Semarang, Ambarawa, Yogyakarta, Surabaya, Larantuka, Maumere, dan Padang,
(WWW. Kasemarang. Org).
Awal penyebaran agama Katolik ditujukan bagi warga Eropa dan
keturunannya, terutama di wilayah Jawa. Jawa Barat, masuk dalam stasi Batavia
dengan wilayahnya Sukabumi, Rangkasbitung, Serang, Sidanglaya, Cianjur, dan
Cicurug. Mayoritas orang Katolik adalah orang Belanda dan Indo, tetapi berkat
sejumlah Volksschool, dan Rumah Sakit di Sukabumi dan Rangkasbitung sudah ada
kontak dengan penduduk asli. Pastur A. J. Piets adalah perintis utama karya Gereja
diantara orang pribumi, berpangkal pada paroki Cicadas, dimana tahap demi tahap
dibangun Gereja, pasturan, sekolah poliklinik, asrama, Perkumpulan Poeseur
Katholik Soenda, 1934, yang bertujuan membantu dalam bidang keagamaan dan
1 Prefektur Apostolik adalah suatu wilayah Gerejawi di daerah misi yang baru mulai berkembang dan diharapkan dikemudian hari dapat berdiri sendiri sebagai Keuskupan. 2 vikariat adalah wilayah Vikaris. 3 Stasi adalah wilayah Keuskupan yang akan menjadi Paroki.
2
sosial. Vikariat Apostolik4 Batavia juga menangani wilayah Bogor, dimana pada
tahun 1845 di Bogor didirikan Gereja Simultan oleh umat Katolik bersama-sama
umat Protestan. Pada saat itu tidak ada seorang imam Katolik yang diijinkan oleh
pemerintah Hindia Belanda untuk menetap di Bogor. Umat Katolik yang tinggal di
Karesidenan Bogor dan Karesidenan Banten masih tergabung dalam wilayah
Gerejani Vikariat Apostolik Batavia, yang dipimpin oleh Yang Mulia Mgr5. Jakobus
Groof, Pr (1842 – 1846). Tahun 1881, Mgr. A. C. Claessens, Pr, Vikaris Apostolik6
Batavia 1873 – 1893, membeli sebidang tanah berikut rumahnya di Bogor, yang
kemudian dipakai sebagai gedung Gereja untuk menggantikan gedung Simultan.
Peristiwa ini mengakhiri penggunaan Gereja bersama-sama antara umat Katolik dan
umat Protestan di Bogor. Imam pertama yang diijinkan tinggal menetap di Bogor
adalah Pastor M. Y. D. Claessens, Pr7 pada tahun 1885. Dia adalah keponakan Mgr.
A. C. Claessens, yang menjadi perintis dan penggembala Gereja Katolik di Bogor.
Pemerintah Hindia Belanda tahun 1889, secara resmi mengakui Bogor sebagai stasi
dari Vikariat Apostolik Batavia. Tujuh tahun kemudian, tahun 1896 sayap misi
dikembangkan lebih jauh oleh Pastor M. Y. D. Claessens, Pr dengan membuka
sebuah Gereja di Sukabumi, (WWW. KeuskupanBogor. Org).
Dalam bulan November 1957, Congregatio de Propaganda Fide (Departeman
Kepausan untuk Urusan Penyebaran Iman), mengeluarkan keputusan untuk
memisahkan daerah Kabupaten ketiga di Karesidenan Bogor yaitu Kabupaten Bogor
4 Vikariat Apostolik adalah suatu wadah yang utama bagi penyebaran misi Gereja dimana mewakili Roma dan pemimpinnya adalah Vikaris Apostolik. 5 Mgr : Monsignore, Monsinyur. 6 Vikaris Apostolik adalahVikaris yang memiliki kuasa jabatan sama seperti Uskup tetapi terbatas pada bidang batas daerah tertentu. 7 Pr: Praja (Imam diosesan)
3
dari Vikariat Apostolik Batavia, dan menggabungkannya dengan Prefektur Apostolik
Sukabumi. Ketika pembentukan Hirarki Gereja Indonesia pada tahun 1961, Prefektur
Apostolik Sukabumi ditingkatkan menjadi Keuskupan Bogor, dengan Mgr. N. Geise
OFM8 selaku Administrator Apostoliknya. Beliau diangkat menjadi Uskup Bogor
pada tanggal 16 Oktober 1961 dan ditasbihkan Uskup pada tanggal 6 Januari 1962.
Keuskupan Bogor terletak di suatu daerah yang terkenal sebagai daerah
pertanian. Oleh karena itu misi harus hadir juga dikalangan petani, di bidang
kehidupan mereka sehari-hari. Usaha Gereja dalam bidang sosial ekonomi di
Keuskupan Bogor kiranya berkembang lebih menggembirakan. Yan Van Beek OFM
mendirikan Pusat pembinaan Sosial Ekonomi Keuskupan Bogor (PP Sosek KB),
(www. perluasanwilayahBogor. Com).
13 April 1937 diluar Jawa, berdiri Vikariat Apostolik Makassar. Dengan
gedung Gereja Katolik tertua di kota Ujung Pandang dan wilayah Sulawesi Selatan
dan Tenggara, didirikan tahun 1898. Masa pertama Gereja Katolik di Sulawesi
Selatan dan Tenggara berlangsung 1525 – 1668. Pertama kali disinggahi 3 pastor
Misionaris dari Portugal yaitu Pastor Antonio dod Reijs, Cosmas de annunclacio,
Bernardiode Marvao dan seorang Burder, pada tahun 1525. Baru pada 1548 Pastor
Vincente Viegas datang dari Malaka dan tinggal menetap di Makasar untuk melayani
para saudagar Portugis yang Katolik serta beberapa raja dan bangsawan Sulawesi
Selatan yang sudah dibaptis.
Setelah Malaka jatuh ketangan VOC (1641), 40 Imam dan sekitar 20.000 orang
Katolik diperintahkan meninggalkan Malaka. Sekitar 3.000 orang dan beberapa
8 OFM: Ordo Fratrum Minorum, Fransiska.
4
Pastor pindah ke Makasar (1649). Masa II berlangsung 1892 sampai sekarang.
Dimana tahun 1892, Pastor Aselbergssj, dipindahkan dari Larantuka menjadi Pastor
stasi Makasar (7 September 1892). Pada tanggal 19 November 1919, Misionaris
Jesuit diganti oleh Misionaris MSC9, ketika dibentuk Prefektur Apostolik Sulawesi,
dengan Mgr. Vesters sebagai Prefek yang berkedudukan di Manado. Tanggal 13
April 1937 wilayah sulawesi Selatan dan Tenggara dijadikan Prefektur Apostolik
Makasar oleh Sri Paus di Roma, dan dipercayakan kepada Misionaris CICM, dengan
Mgr. Martens sebagai Prefek10. Tanggal 13 Mei 1948 menjadi Vikariat Apostolik
Makasar, dan tanggal 3 Januari 1961 menjadi Keuskupan Agung Makasar, (WWW.
Geocities. Com).
Melihat dua contoh gambaran pembentukan Vikariat Apostolik diwilayah
Indonesia, yang merupakan pembagian wilayah dari Vikariat Apostolik Batavia.
Dapat diamati bahwa keduanya berdiri dari sebuah stasi yang kecil, yang kemudian
berkembang menjadi wilayah yang besar, yaitu menjadi wilayah Vikariat yang
mampu berdiri sendiri. Uraian diatas membuat penulis tertarik untuk menuliskan
tentang bagaimana perkembangan Vikariat Apostolik Semarang dan perannya di
bidang politik, yaitu dengan berdirinya Partai Katolik di wilayah Vikariat Apostolik
Semarang. Vikariat Apostolik Semarang menpunyai ciri khusus yang
membedakannya dengan Vikariat Apostolik lain yang berdiri di wilayah Indonesia.
Vikariat Apostolik Semarang awalnya adalah bagian dari 8 stasi wilayah Vikariat
Apostolik Batavia. Pada masa pendirian Vikariat Apostolik Batavia, Semarang
merupakan stasi dari Batavia dengan tenaga Imam yang sangat terbatas dibandingkan
9 MSC: Missionari Sacratissimi Cordis; Misionaris Hati Kudus Yesus. 10 Prefek: jabatan didalam pemerintahan Gereja Katolik yang mengepalai suatu wilayah tertentu.
5
dengan dengan daerah diluar Jawa seperti: Manado, Larantuka, Maumere, dan Sikka,
Timor dan Kei. Penyiaran agama Katolik di Jawa sangat lambat. Karena itu terdapat
pandangan umum bahwa iman Katolik tidak dapat ditanamkan pada kalangan orang
Jawa, karena penduduknya terlanjur memeluk agama Islam, sehingga sia-sialah
menyiarkan agama Katolik dikalangan mereka, jauh sebelumnya menurut seorang
penulis Belanda, Buddingh SA dalam catatannya menyebutkan bahwa:
“Gereja pertama yang didirikan di Semarang oleh Pendeta J. Lipsus sekitar tahun 1750 terletak disekitar kompleks Gereja Blenduk didekatnya diawal abad 19 dibangun Gereja Katolik namun tidak bisa berkembang dan akhirnya dibongkar. Gereja Katolik yang kedua kemudian didirikan di Gedangan oleh Pastor J Iynen tahun 1876”, (Winatayuda :16).
Awal tahun 1808 Gubernur Jendral Deandles memperoleh dua orang Imam
praja dari negeri Belanda untuk melayani umat Katolik bangsa Eropa di daerah
Hindia Belanda. Oleh Deandles, seorang ditempatkan di Jakarta seorang lagi yakni
Pastor L. Prinsen Pr, ditempatkan di Semarang. Meskipun umat Katolik di Semarang
belum memiliki tempat ibadah sendiri berkat toleransi Deandles mereka
diperbolehkan melakukan ibadat di Gereja Protestan Blenduk. Gereja Katolik
memiliki tempat ibadah sendiri tahun 1815 dan berkembang menjadi Paroki Santo
Yusuf Semarang (1816), meliputi seluruh Jawa Tengah sampai Madiun di Jawa
Timur, Cianjur dan Indramayu di Jawa Barat. Perjalanan Gereja Katolik sempat
mengalami hambatan selama tahun 1845 – 1847 semua Pastor Belanda diusir
bersama Uskup Groof oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda pada waktu itu,
Rochussen. Berkat perundingan dengan tahta suci (Vatikan) pada tahun 1848 campur
tangan pemerintah Belanda diperlunak dan Gereja Katolik Indonesia terus tumbuh
berkembang dan berdaulat. Tahun 1875 melalui usaha dan perjuangan yang berat
6
serta melelahkan Pastor J Lijen Pr mendirikan gedung Gereja Santo Yusuf. Dari
situlah kemudian para Imam Yesuit mencari jalan untuk mendobrak dinding pemisah
yang mengkotakkan masyarakat bangsa Barat dan masyarakat pribumi. Bulan
Oktober 1896 Petrus Hoevenaars dan Fransiskus Van Lith datang ke Semarang. Pada
tanggal 20 Desember 1898, Fansiskus Van Lith, P. Hoevenaars, L. Hebrans dan E.
Engbers berunding di Magelang. Dianggap Semarang kurang baik untuk memulai
missi Jawa. Daerah yang paling cocok ialah Kedu, dimana didirikan suatu stasi yang
baru disamping Muntilan masih merupakan daerah pertanian yang murni, berbatasan
dengan Yogyakarta dan Surakarta. Pusat kebudayan Jawa, apalagi hubungan dengan
Yogyakarta, Magelang dan Semarang mudah.
Karya misi Jawa pada perkembanganya dipusatkan kepada pendidikan di
Muntilan, (Moedjanto, 1992; 29). Pada tahun 1903, seorang guru kerasulan dan 4
orang kepala desa dari pegunungan wilayah Kalibawang berkunjung pada Romo Van
Lith. 4 orang ini dibaptis pada tanggal 20 Mei 1904. Kemudian 171 orang menyusul
dibaptis oleh Romo Van Lith tanggal 14 desember 1904 di Sendangsono.
Wilayah sekitar Surakarta dan Yogyakarta terbukti menjadi tanah subur bagi
benih-benih firman Allah. Disitulah terdapat pengaruh kuat dari keraton Surakarta
dan Yogyakarta, bersamaan dengan nilai tradisional yang telah berakar sangat dalam
dihati dan sikap hidup masyarakat. Adapun Gereja di Indonesia sendiri pada tahun
1940-an berada dalam waktu pemecahan bukan dalam suasana perpecahan.
Pemecahan ini dijalankan hanya demi untuk melayani perkembangan karya dan misi,
dan agar ada pembagian pekerjaan, baik pembagian daerah misi maupun pembagian
wilayah kerja dalam rangka mendatangkan tenaga bantuan dari luar yaitu para
7
Misionaris11. Jawa Tengah adalah salah satu diantara daerah-daerah misi yang amat
subur. Untuk menanggapi kesuburan Gereja tersebut, tahun 1936 didirikan Seminari
Tinggi untuk calon-calon Imam praja yang mengambil tempat di Muntilan. Dalam
situasi tersebut dapat dimengerti bila ada rencana untuk memisahkan Jawa tengah
dari Jawa Barat atau dari Vikariat Apostolik Batavia. Pada tanggal 1 Agustus 1940
didirikan Vikariat Apostolik Semarang. Paus Pius XII menetapkan Romo Albertus
Soegijapranata, S. J. menjadi Vikaris Apostolik Semarang. Ia menjadi Uskup12
pribumi pertama. Peristiwa pengangkatan ini menarik perhatian, bahwa Gereja
ditengah-tengah persoalan mengenai perbedaan ras dan politik, berani terus maju
menempuh jalan yang memang sudah direncanakan sebelumnya. Putera-putera
Katolik dibawah seorang Uskup Jawa yang dibantu oleh banyak tenaga misionaris
asing bekerja sama untuk memperluas dan memperdalam kerajaan Allah di Jawa.
Bagi Gereja tidak berlaku asas perbedaan bangsa dan warna kulit, karena setiap
anggota Gereja merupakan saudara-saudara seiman kepercayaan yang satu.
Pengangkatan Monsigneur sebagai Uskup Agung Semarang dalam bulan Januari
1961 bersamaan dengan diresmikannya Hirarki Gereja Indonesia ini, merupakan
Vikaris Apostolik Semarang pribumi pertama. Pada masa Vikariat Apostolik
Semarang juga berdiri Partai Katolik, penulis akan menjabarkan bagaimana
kedudukan Partai Katolik ini ditengah pergolakan negara khususnya di wilayah
Vikariat Apostolik Semarang. Namun perlu ditegaskan pula bahwa Gereja dan Partai
Politik adalah dua unsur yang berbeda, namun pada masa antara 1940 – 1961, kedua
unsur ini dapat menjadi satu yang tujuannya sama yaitu tercapainya kemerdekaan di
Indonesia. 11 Misionaris adalah orang yang melakukan penyebaran warta injil kepada orang lain yang belum mengenal Kristus; Imam Kristen Katolik yang melakukan kegiatan misi. 12 Uskup adalah sebutan untuk yang menduduki jabatan tertinggi, yang diberikan oleh Gereja Katolik.
8
B. Perumusan Masalah
Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka perumusan
masalah dari penelitian ini adalah:
1. Bagaimana latar belakang terbentuknya Vikariat Apostolik Semarang?
2. Bagaimana Perkembangan Vikariat Apostolik Semarang dalam penyebaran misi-
misi Gereja dari tahun 1940 sampai tahun 1961?
3. Bagaimanakah muncul dan perkembangan Partai Katolik di wilayah Vikariat
Apostolik Semarang?
4. Bagaimana pengaruh dan peranan Partai Katolik bagi perkembangan Vikariat
Apostolik Semarang?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Mengetahui latar belakang terbentuknya Vikariat Apostolik Semarang.
2. Untuk mengetahui perkembangan Vikariat Apostolik Semarang dalam
penyebaran misi-misi Gereja dari tahun 1940 – 1961.
3. Mengetahui munculnya dan perkembangan Partai Katolik di wilayah Vikariat
Apostolik Semarang.
4. Mengetahui pengaruh dan peranan Partai Katolik pada perkembangan Vikariat
Apostolik Semarang.
9
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini:
1. Dapat menjadi bahan bacaan yang dapat menumbuhkan sikap keperdulian sosial,
toleransi dan nasionalisme yang tinggi.
2. Menambah kasanah sejarah nasional, khususnya sejarah lokal.
3. Dapat dijadikan sumbangan pemikiran kearah penelitian yang lebih lanjut pada
masa yang akan datang.
E. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup merupakan batasan dalam penulisan skripsi yang dibagi dalam
ruang lingkup temporal dan spartial. Ruang lingkup temporal adalah lingkup waktu.
Tahun 1940 diambil sebagai batasan awal karena pada tahun inilah terbentuk sebuah
Vikariat baru yang diharapkan mampu menyebarkan misi-misi Gereja dengan
Vikariat yang berasal dari bangsa pribumi. Dan pada akhirnya tahun 1961 Vikariat
ini bersamaan dengan disusunnya Hirarki Gereja yang baru menjadi Keuskupan
Agung Semarang.
Lingkup spartial adalah lingkup batasan wilayah dalam hal ini adalah wilayah
Vikariat Apostolik Semarang yaitu tahun 1940 sampai dengan 1961. Rentang waktu
1940 – 1961 wilayah Vikariat Apostolik Semarang mengalami penambahan dengan
ruang kerja Vikariat yang jelas. Yaitu wilayah Gerejawi Vikariat Apostolik Semarang
Tahun 1940 yang mencakup sejumlah Karesidenan di Jawa Tengah; Semarang,
Jepara, Rembang, beberapa bagian dari Karesidenan Kedu meliputi Magelang, dan
Temanggung serta seluruh wilayah Surakarta dan Yogyakarta. Pada tahun 1961
10
masuk dalam 6 propinsi Gerejawi dengan Keuskupan Sufragan Purwokerto,
Surabaya, dan Malang.
Pada penelitian ini ruang lingkup penelitianya ditekankan pada bidang sosial
politik karena diketahui bahwa pada rentang tahun 1940 – 1961, Indonesia banyak
terjadi pergolakan sosial dan politik terutama di wilayah Vikariat Apostolik
Semarang. Serta berdirinya Partai Katolik pada tahun 1949, sebagai penjelmaan fusi
dari 7 Perkumpulan Katolik yang telah ada.
F. Penegasan Istilah
Agar tidak terjadi salah paham dalam memahami penelitian ini maka akan
dijelaskan istilah-istilah penting dalam penelitian ini:
1. Vikariat Apostolik Semarang
Vikariat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai; 1)
wilayah Vikaris dan 2) jabatan Vikaris. Sedangkan Vikaris Apostolik adalah
Vikaris yang memiliki kuasa jabatan sama seperti Uskup tetapi terbatas pada
bidang batas daerah tertentu, (Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa 1996: 1119). Vikaris diartikan (wakil = latin) paroki atau
kooperator (pekerjasama = Latin) adalah sebutan untuk pastor pembantu
diwilayah beberapa konpetensi Uskup tertentu, (Heuken 1995: 78). Vikariat
Apostolik adalah suatu wadah yang utama bagi penyebaran misi Gereja dimana
mewakili Roma dan pemimpinnya adalah Vikaris Apostolik. Vikariat Apostolik
adalah wilayah Gereja Katolik yang belum cukup berkembang menjadi sebuah
Keuskupan yang swadaya. Wilayah ini dipimpin atas nama Sri Paus oleh seorang
11
Vikaris Apostolik , yang ditasbihkan Uskup (Tituler). Paus bertindak melalui
kongregasi untuk penyebaran iman. Sebuah wilayah tertentu dianggap pantas
menjadi Vikariat biasanya sudah bertahun-tahun lamanya menjadi Prefektur
Apostolik dengan Uskup Diosesan. Prefektur Apostolik adalah suatu wilayah
Gerejawi di daerah misi yang baru mulai berkembang dan diharapkan
dikemudian hari dapat berdiri sendiri sebagai Keuskupan. Wilayah ini dipimpin
oleh seorang Imam yang disebut Prefek Apostolik biasanya tidak memperoleh
tasbihan Uskup, (Heuken 1994: 36). Prefek Apostolik merupakan jabatan didalam
pemerintahan Gereja Katolik yang mengepalai suatu wilayah tertentu.
Sebenarnya seseorang yang menduduki jabatan ini tidaklah berkedudukan Uskup,
namun biasanya secara administratif dapat bertindak sebagai Uskup, (Gonggong
1993: 31). Di Indonesia Vikariat Apostolik sudah menjadi Keuskupan pada tahun
1962, Vikariat Apostolik terakhir adalah Jayapura (1954 – 1967), (Heuken 1995:
77).
2. Partai Katolik
Partai dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan perkumpulan
(segolongan orang) yang seasas, sehaluan, dan setujuan terutama dibidang
politik, (Tim Penyusun Kamus Pusat pembinaan dan Pengembangan Bahasa
1996: 731). Dijelaskan tentang Partai Poliltik yaitu dalam Polititologi, adalah
badan/organisasi sukarela dari orang-orang yang menganut paham
kemasyarakatan (ideologi politik) tertentu yang mengadakan upaya untuk
mempengaruhi bentuk pemerintahan dan kebijaksanaan pemerintah, khususnya
lewat cara pencalonan dalam Pemilihan Umum dan Parlemen. Partai Politik
lazimnya mengajukan program-program yang dimusyawarahkan dan calon yang
12
dipilih untuk menyuarakan pendapat dan perasaan serta keinginan para anggota.
Dinegara-negara yang menganut sistem politik merupakan lembaga yang
mewakili konflik dan perjuangan kekuasaan yang ada dalam masyarakat lewat
cara-cara damai. Dengan demikian menyelenggarakan pergantian kekuasaan
tanpa revolusi. Tergantung sifat dan watak pemerintahan, suatu negara menganut
multipartai atau asas tunggal partai, (Shadily 1984: 2739).
Dalam negara yang demokratis Partai Politik menyelenggarakan beberapa
fungsi:
a. Partai sebagai sarana komunikasi Politik
Tugas partai adalah menyalurkan anekara ragam pendapat dan aspirasi rakyat
dan mengaturnya sedemikian rupa sehingga kesimpangsiuran pendapat dalam
masyarakat dapat berkurang.
b. Partai sebagai sarana sosialisasi politik
Dimana diartikan seseorang memperoleh sikap dan orientasi terhadap
phenomena politik. Dimana Partai Politik menyelenggarakan sosialisasi
politik melalui ceramah penerangan, kursus kader, kursus penataran dan
sebagainya.
c. Partai Politik sebagai sarana rekruitmen politik
Mencari dan mengajak orang berbakat untuk turut aktif dalam kegiatan
politik sebagai anggota partai.
d. Partai Politik sebagai sarana pengatur konflik
Dalam suasana demokrasi persaingan dan perbedaan pendapat dalam
masyarakat merupakan hal yang wajar. Jika sampai terjadi konflik partai
politik berusaha mengatasinya, (Budiardjo 1988: 162).
13
Katolik berasal dari bahasa Yunani, kata Katholikos = umum. (keseluruhan,
menyeluruh) Gereja yang katolik, Gereja yang menyeluruh atau umum, terbuka
bagi semua bangsa. Istilah ini mulai dipakai St. Ignasius dari Antiokia sejak abad
ke-2 untuk membedakan Gereja katolik dari Gereja-Gereja heretika yang
melepaskan diri dari iman dan hidup keseluruhan Gereja. Istilah katolik dipakai
berbagai kalangan Gereja, (Shadily 1982: 1692). Selain itu kata sifat “katolik”
berasal dari kata Yunani Kath’holou yang berarti menyangkut keseluruhan. Kata
ini diterapkan pada Gereja dalam arti keseluruhan atau universal oleh Ignasius
dari Antiokia sekitar 115 konsili Konstantinopel I menambahkan kata itu pada
syahadat dalam rumusannya tentang Gereja sebagai satu, kudus, katolik, dan
apostolik sesudah kristianitas terbagi diantara kristianitas barat dan timur pada
tahun 1054 Gereja timur mulai menyebut sebagai Gereja Ortodoks sementara
Gereja barat tetap dikenal sebagai Gereja Katolik sejak zaman reformasi pada
abad ke-16 menjadi semakin umum bahwa pada sebutan Gereja katolik ditambah
dengan kata Roma, akan tetapi Gereja itu sendiri terus menyebut diri dengan
nama Gereja Katolik saja dalam dokumen resminya, (Rausch 2005: 5).
Katolik digunakan sebagai ciri-ciri Gereja-Gereja yang berpegang pada
jabatan Uskup dengan mengindahkan “suksesi Apostolik” yaitu
berkesinambungan dengan para rasul sekaligus pada corak sakramental
penyampaian rahmat keselamatan misalnya Gereja Ortodoks, Anglikan, dan
Katolik lama, (Heuken 1992: 1873).
Partai Katolik adalah organisasi politik yang bercirikan kebangsaan serta
kerakyatan dan dalam perjuangannya dibimbing oleh azas-azas Katolik. Sebagai
14
organisasi politik, maka Partai Katolik merupakan wadah penghimpun dan sarana
perjuangan dibidang kenegaraan bagi warga Negara yang mempunyai konsensus
dan tekad bersama mengenai tujuan, asas-asas dan program perjuangannya,
(Heuken 1967: 6).
Partai Katolik bukanlah partai Gereja atau partai umat Katolik, melainkan
partai orang-orang beriman Katolik, yang beritikad dan beriktiar
memperjuangkan kepentingan umum seluruh bangsa, berdasarkan prinsip-prinsip
ajaran sosial yang berkembang dalam kalangan umat Katolik dan atas dasar
analisis profesional serta penilaian keadaan sosio-politis dalam terang iman.
Tidak jarang terdapat hubungan pribadi dan pandangan yang sama antara tokoh
partai-partai Katolik dan tokoh-tokoh Gereja. Namun demikian, kedua lembaga
ini berbeda asas dan tujuannya; cara perjuangan dan sarana yang digunakan pun
tidak sama, (Heuken 1994: 274).
Partai Katolik didirikan 12 Desember 1949 pada Kongres Umat Katolik
Seluruh Indonesia di Yogyakarta, sebagai partai kesatuan bagi semua kaum
Katolik Indonesia. Ketua dan pemimpin Fraksi dalam DPR adalah I. J Kasimo,
pada Pemilu 1955, memenangkan 6 kursi DPR dan 10 kursi Konstituante,
sebagai lanjutan dari Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Partai Katolik termasuk dalam
9 Partai yang diakui dan mempunyai wakil dalam DPRGR dan MPRS. Tahun
1973 Partai Katolik mengadakan fusi dengan PNI, Parkindo, Murba, dan IPKI -
bentuk PDI, (Shadily 1984: 2567).
15
G. Sistematika Penulisan
Penyusunan Skripsi ini dibagi kedalam pokok-pokok pembahasan dan bab-bab.
Dengan penerapan metodologi kualitatif dan cara kerja: merumuskan masalah,
pembahasan teoritik atau studi pustaka, mengetengahkan metode dan prosedur kerja,
mengumpulkan data, analisis, dan pembuatan kesimpulan.
Dalam penetapan obyek dipilih yang sepesifik mungkin dan mengeliminasi
obyek lain. Kajian pustaka atau teoritik dipilih yang relevan dengan obyek
spesifiknya. Dalam hal ini keobyekivitasan penelitian sangat dituntut, sehingga
metode penelitian perlu dirancang tuntas sebelum terjun ke lapangan. Obyektivitas
dituntut dalam memilahkan antara sajian data, olahannya dan analisisnya. Melalui
olahan data dibuktikan lebih dulu reliabilitas dan validitas instrumen. Analisis
dilakukan setelah data memang valid. Kesimpulan berdasarkan hasil analisis, dan
dipilah dari teori, data, dan analisis, yang kesemuanya untuk menjaga dan
membuktikan bahwa penelitian itu telah dilaksanakan secara obyektif, (Muhadjir
:330).
Dalam buku “Bimbingan Penulisan Skripsi, Tesis” dijelaskan penulisan
sistematika dalam skripsi meliputi: Bab I berisi Pengantar, Bab II Analisis Landasan
Teori, Bab III berisi Metodologi penyelidikan yang digunakan, Bab IV berisi
Pengumpulan, Penyajian Data dan pembahasan, pada Bab V berisi Ringkasan dan
saran-saran, (Hadi :231). Serta mengacu pada buku Pedoman Penulisan Skripsi
yang di keluarkan Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang tahun 2003,
menetapkan pedoman struktur bagian isi skripsi yang menggunakan penelitian
kualitatif yaitu: Bab I berisi Pendahuluan, Bab II Penelaahan Kepustakaan dan
16
Kerangka Teoritik, Bab III berisi Metode Penelitian, Bab IV berisi Hasil dan
Pembahasan, dan bab V berisi Penutup.
Sistematika penulisan dalam skripsi ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan
Berisi Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian,
Manfaat Penelitian, Ruang lingkup, Penegasan Istilah, Sistematika
Penulisan.
BAB II Kajian Pustaka
Menguraikan penelaahan kepustakaan , kerangka konseptual dan kerangka
berfikir.
BAB III Metode Penelitian
Berisi jenis metode penelitian, setting penelitian
BAB IV Pengaruh Perkembangan Vikariat Apostolik Semarang Bagi Munculnya
Partai Katolik Tahun 1940 – 1961.
Dimana berisi 3 subbab yaitu Bagaimana Kehidupan Masyarakat
Semarang dengan adanya agama Katolik pada masa awal Vikariat
Apostolik Semarang tahun 1940 yang menggambarkan awal pendirian
Vikariat Apostolik Semarang serta penyebaran misinya.
Pada subbab kedua dituliskan bagaimana peranan Vikariat Apostolik
Semarang terhadap kehidupan politik dengan ditandai munculnya Partai
Katolik di wilayah Vikariat Apostolik Semarang dan dapat dilihat
pengaruh Partai Katolik bagi Vikariat Apostolik Semarang.
17
Subbab 3 berisi perubahan kedudukan Vikariat Apostolik Semarang dengan
ditetapkannya Hirarki Gereja Indonesia tahun 1961.
BAB V Penutup
Berisi simpulan dan saran
Daftar Pustaka
Lampiran-lampiran
18
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
Pada penelitian-penelitian tentang Vikariat Apostolik Semarang, bidang
kajianya cenderung sangat luas. Mulai dari penelitian pendidikan, sosial, ekonomi,
dan politik.
Th Van den End dan J. Weitjens (2000), dalam bukunya “Ragi Cerita 2:
Sejarah Gereja di Indonesia 1860-an – Sekarang”. Tentang pembagian Vikariat
Apostolik Batavia, terutama di Vikariat Apostolik Semarang. Pada akhir zaman
Kolonial di Jawa hidup sekitar 80% dari orang Eropa Katolik, dan kurang dari 10%
Katolik pribumi. Pertambahan ini disebabkan sejak sekitar tahun 1900 banyak orang
Katolik Belanda datang ketanah air kita, sebagai guru, pegawai, karyawan bank,
perusahaan, perkebunan dan sebagainya. Sejak tahun 1902 Vikap Batavia mulai
dibagi-bagi, namun baru tahun 1913 pemerintah Hindia Belanda mengakui para
Vikap dan para Prefak lain secara resmi sebagai wali Gereja di daerah masing-
masing.
Gambaran Semarang sebagai Vikariat Apostolik baru kurang mendapat sorotan
secara jelas. Hanya disoroti, di Vikariat Apostolik Semarang sekolah misi
merupakan salah satu sarana utama untuk mewartakan injil diantara mayoritas
penduduk Jawa Tengah yang belum mengenal Kristus. Dijelaskan pula tahun 1898
diambil keputusan bahwa karya misi diantara orang Jawa di Semarang dihentikan.
19
Muntilan dengan Pastor F. Van Lith, dan Mendut dengan Pastor Hoevenaars menjadi
pusat baru.
Pendirian Vikariat Apostolik Semarang merupakan pembagian Vikariat
Apostolik Batavia yang terakhir sebelum masa Jepang. Tidak dijelaskan bagaimana
perkembangan Vikariat baru tersebut. Pada tahun 1942 saat Indonesia dikuasai oleh
Jepang, terjadi penurunan jumlah misionaris terutama diwilayah Vikariat Apostolik
Semarang. Kehidupan politik kurang disoroti, maka tidak diketahui bagaiman
kehidupan politik masyarakat Vikariat Apostolik Semarang antara tahun 1940 –
1961.
M. Henricia Moeryantini CB, (1975), dalam bukunya “Mgr. Albertus
Soegijapranata, S. J. Berisi tentang perjalanan hidup Mgr. Albertus Soegijapranata,
S. J. pada waktu kecil, sampai menjadi seorang Vikaris pribumi yang pertama.
Menyoroti Mgr. Albertus soegijapranata, S. J. sebagai seorang individu yang
mencakup kehidupan politik, sosial, ekonomi dan pendidikan. Dalam penelitiannya
Moeryantini, tidak menjabarkan bagaimana kehidupan politik diwilayah Vikariat
Semarang secara lengkap namun lebih luas. Dituliskan mulai munculnya kesadaran
bahwa Gereja mempunyai sifat supranatural, yang antara lain berarti Gereja
hendaknya mencoba untuk hidup dan berakar pada bangsa-bangsa dimana Gereja
hadir, membangkitkan hasrat untuk lebih mempersiapkan adanya Hirarki Gereja
yang masih jauh. Diceritakan juga tentang kerjasama Mgr. Alb. Soegijapranata, S. J.,
sebagai seorang Vikaris dengan I. J. Kasimo dalam memprakarsai terbentuknya
Partai Katolik tahun 1949.
20
G. Moedjanto, dalam buku “Garis-Garis Besar Sejarah Gereja Katolik
Keuskupan Agung Semarang”, dijelaskan tentang kehidupan misi katolik sebelum
1940-an, dimana para misionaris menemukan banyak kendala dalam penyebaran
agama Katolik dimasyarakat Jawa. Namun berkat usaha Pastor Frans. Van Lith S.
J.,yang merintis penyebaran agama Katolik lewat budaya Jawa. Hal ini membuahkan
hasil dengan dibaptisnya 171 orang untuk menjadi Katolik, dan orang-orang inilah
yang menjadi cikal bakal terbentuknya Vikariat Apostolik Semarang.
Peranan Gereja dituliskan dalam lingkup pendidikan, karya sosial dan politik.
Pada bidang politik diawali oleh didirikannya Katolika Wandawa pada tahun 1913,
namun tidak dijelaskan bagaimana kehidupan politik masyarakat Vikariat Apostolik
Semarang selanjutnya, dan bagaimana keterlibatan para misionaris Gereja dalam
kehidupan politik Vikariat Apostolik Semarang.
Pipitseputra (1970) dalam buku berjudul “Beberapa Aspek Dari Sejarah
Indonesia Aliran Nasionalis Islam, Katolik Sampai Akhir Zaman Perbedaan Paham
1973”. Dijelaskan tentang bagaimana kehidupan politik masyarakat Jawa pertama
kali, yang didorong oleh dikeluarkanya brosur yang ditulis oleh Romo Van Lith.
Dalam selembaran itu Romo Van Lith menujukan seruannya kepada bangsa Jawa
agar mereka mendukung dan berdiri dibelakang mosi-mosinya, sebab hal itu sangat
mengena dihati pribumi yaitu agar mereka mendirikan suatu perkumpulan dan
berjuang sendiri. Dijelaskan pada tahun 1941 berdiri Perkumpulan Politik Katolik
Indonesia. Pada tahun berikutnya umat Katolik semakin ikut berpartisipasi aktif
untuk negara Indonesia. Munculnya 2 nama I. J Kasimo dan Mgr. Alb.
21
Soegijapranata, S. J., ikut menunjukkan jati diri umat Katolik, bahwa mereka adalah
bagian dari bangsa Indonesia bukan bagian dari bangsa Barat.
Dituliskan oleh Anhar Gonggong (1993) dalam buku berjudul “MGR
Albertus Soegijapranata S. J., Antara Gereja dan Negara”. Dijelaskan mengenai
pengangkatan Albertus Soegijapranata sebagai Uskup Agung untuk daerah Vikariat
Apostolik Semarang tahun 1940, penekanan pada buku ini adalah peranan Mgr. Alb.
Soegijapranata, S. J. pada negara Republik Indonesia. Ketika Jepang menduduki
wilayah Hindia Belanda, hampir seluruh kegiatan karya missi mengalami kesulitan
karena tindakan keras dan kejam dari Jepang. Oleh penguasa Jepang, Mgr. Alb.
Soegijapranata, S.J., termasuk diantara pemimpin yang cukup disegani waktu itu di
Semarang. Hal ini terbukti dengan diundangnya beliau menghadiri berbagai upacara
resepsi penting yang diadakan oleh penguasa Jepang. Namun uniknya tak satupun
undangan itu dihadirinya. Pada tahun selanjutnya dijelaskan, bahwa Gereja lebih
mendukung pemerintahan Indonesia dengan pengalihan pusat misi ke Yogyakarta
saat pemindahan ibu kota negara ke Yogyakarta.
B. Kerangka Konseptual
Dalam kerangka konseptual, maka perlu dipaparkan arti istilah Vikariat
Apostolik Semarang dan Partai Politik dalam studi ini. Vikariat Apostolik Semarang
adalah suatu wadah yang utama bagi penyebaran misi Gereja dimana mewakili Roma
dan pemimpinnya adalah Vikaris Apostolik dimana Vikariat Apostolik Semarang
didirikan dengan dikeluarkannya surat pengangkatan Alb. Soegijapranata, S. J
sebagai vikaris Apostolik pertama Jawa. Kebijaksanaan ini juga dikaitkan dengan
22
bertambahnya jumlah anggota Gereja di wilayah ini dan akan berlangsungnya Perang
Dunia II.
Untuk penelitian Vikariat Apostolik Semarang digunakan pendekatan sosial
yaitu dengan mengkaji kehidupan masyarakat pada saat Vikariat Apostolik Semarang
karena permulaan penyebaran misi Gereja diwilayah ini kurang menguntungkan
karena banyak masyarakatnya yang memeluk Islam.
Namun dengan kedatangan Romo Van Lith masyarakat dapat menerima
agama Katolik dan muncul kesadaran bahwa masuknya agama Katolik tidak akan
merubah tradisi yang telah ada didalam masyarakat.
Munculnya kesadaran politik juga berkat ajaran Romo Van Lith dengan
edarannya yang menumbuhkan paham kebangsaan terutama bagi umat Katolik yang
selama ini dianggap lebih berpihak pada Barat. Kemudian mulai muncul Voorloopig
Katholiek Comite Voor Politiek Actie (1917), Indische Katholieke Partij (1918), dan
di Masyarakat Jawa muncul Perkempalan Politik Katolik Djawa (1923), Persatuan
Politik Katolik Indonesia (1930), dan Angkatan Muda Republik Indonesia (1945).
Dibentuk juga Partai Katolik Republik Indonesia (1945) dan Partai Katolik Indonesia
(1945). Pada penelitian mengenai Partai Katolik menggunakan pendekatan politik
yaitu bagaimana Partai Katolik itu berkembang?, bagaimana Anggaran Dasar dan
perananya diperpolitikan Indonesia.
Pada tahun 1949, semua Partai Katolik dilebur menjadi Partai Katolik atas
prakarsa I.J. Kasimo dan Mgr. Alb. Soegijapranata. Vikariat Apostolik Semarang
sangat erat kaitannya dengan terbentuknya Partai Katolik, yaitu dengan tujuan yang
sama kemerdekaan Indonesia, yaitu mendukung pengalihan tempat misi ke
Yogyakarta pada saat pemerintahan Indonesia dialihkan dari Jakarta ke Yogyakarta.
18
C. Kerangka Berfikir
Vikariat Apostolik Semarang - Perang Dunia
II - Masyarakat - Pengangkatan
Vikaris Pribumi
- Missi Gereja
Kesadaran Berpolitik Umat Katolik - Surat edaran Romo F.
Van Lith - Voorlooping Katholiek
Comite Voor Politiek Actie (1917)
- Indische Katholieke Partij (1918)
- Perkempalan Politik Katolik Djawi (1923)
- Persatuan Politik Katolik Indonesia (1930)
- Angkatam Muda Katolik Republik Indonesia (1941)
- Partai Katolik Republik Indonesia (1945)
- Partai Politik Katolik Indonesia (1945)
Vikariat Apostolik Semarang
1940
Partai Politik 1949 - IJ Kasimo dan Mgr. Alb.
Soegijapranoto, S. J. - Kepentingan negara yaitu
kemerdekaan penuh. - Berasal dari partai:
a. Partai Katolik Republik Indonesia (PKRI) 8 Desember 1945 di Surakarta.
b. Partai Katolik Indonesia Timur (PKRI) Flores.
c. Partai Katolik Rakyat Indonesia (PKRI) Makasar
d.Partai Katolik Indonesia Timur (Parkit) Timor.
e. Persatuan Politik Katolik Flores (Perpokat) Flores
f. Permusyaratan Majelis Katolik (Permakat) Menado.
g. Partai Katolik Indonesia Kalimantan (Perkika) Kalimantan
Tujuan yang sama - Kemerdekaa
n Indonesia secara penuh
- Kesadaran sebagai warga negara.
- Pemilu 1955
Vikariat Apostolik Semarang - Konsepsi
Presiden mendukung
- Kedudukan dalam Dewan Nasional dipenuhi.
- Partai Katolik
- Konsepsi Presiden menolak
- Menolak tawaran duduk dalam Dewan Nasional
BEDA PENDAPAT
-Gereja independent.
-Hirarki Gereja
Indonesia
Yayasan Kanisius Theresiana Tarakanita
Gereja Seminari Tinggi PMKRI
Partai Katolik
pada tahun 1973
melebur menjadi
PDI
23
24
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Metode Penelitian
Dalam penulisan yang digunakan adalah metode penelitian sejarah. Metode
penelitian sejarah adalah metode yang mendasarkan pada bukti-bukti atau
peninggalan-peninggalan sejarah atau sumber-sumber yang relevan dengan
permasalahan yang diteliti. Penelitian sejarah adalah proses mengkaji dan
menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau, (Gootschlak 1983:
38).
Setelah penulis menentukan jenis metode yang digunakan dalam penelitian
ini adalah metode penelitian sejarah. Langkah-langkah dalam penelitian sejarah yang
dilakukan oleh peneliti di bagi menjadi empat:
1. Heuristik
Dimana teknik ini membantu dalam mencari jejak-jejak sejarah. Heuristik
berasal dari bahasa Yunani “Heurishein”, (Abdurrahman 1999: 55). Selain itu
heuristik berarti mencari bahan atau menyelidiki sumber sejarah untuk mendapatkan
bahan yang dalam kata Yunani berasal dari “Heuristiek”, (Gazalba 1981: 114).
Heuristik juga dari bahasa Yunani “Heuriskein” yang memperoleh.
Heuristik adalah suatu teknik, suatu seni, dan bukan suatu ilmu. Jejak-jejak material
masa lampu dapat diperoleh di museum-museum yang katalog-katalognya dapat
digunakan sebagai alat heuristik, (Renier 1997: 113).
25
Jejak masa lampau dapat berupa bukti-bukti tertulis seperti arsip, dokumen,
surat kabar yang ada kaitannya dengan permasalahan yang akan dibahas. Suatu
prinsip di dalam heuristik adalah sejarawan harus memperhatikan atau mencari
sumber-sumber primer.
Pada tahap Heuristik, penulis melakukan pencarian sumber-sumber dan
mengumpulkannya dari perpustakaan dan instansi yang berhubungan dengan
penelitian yang penulis lakukan, seperti:
1. Perpustakaan Wilayah Semarang
2. Perpustakaan Universitas Katolik Soegijapranata
3. Museum Missi Katolik di Muntilan
4. Perpustakaan Provinsialat S. J Semarang
5. Perpustakaan Giri Sonta Ungaran
6. Melalui website di internet
Dalam penelitian ini penulis menggunkan dua jenis sumber sejarah., yaitu
sumber primer dan sumber sekunder.
a. Sumber Primer
Menurut Louis Gottschalk (1975:35), sumber primer merupakan
kesaksian dari seseorang dengan mata kepala sendiri atau dengan panca indera
lain, atau dengan alat mekanis seperti diktafon yakni orang atau alat yang hadir
pada saat peristiwa yang diceritakannya. Sumber primer dihasilkan oleh orang
yang hidup sejaman dengan peristiwa itu.
Sumber primer dapat berupa dokumen dan dalam bentuk lisan yang
dianggap primer adalah wawancara, (Abdurrahman 1999:56). Sumber diluar kata
26
dan tindakan merupakan sumber kedua, namun hal itu tidak dapat diabaikan.
Dilihat dari segi sumber data, bahan tambahan yang berasal dari sumber tertulis
dapat dibagi atas sumber buku, dan majalah ilmiah, sumber dari arsip, dokumen
resmi, (Moleong :113).
b. Sumber Sekunder
Sumber sekunder merupakan kesaksian dari siapapun yang tidak hadir
dalam peristiwa yang dikisahkan, (Gottschalk 1975:35). Sumber sekunder dalam
penelitian ini adalah studi pustaka, literature, dokumen, maupun hasil observasi
yang dilakukan para peneliti pada masa sekarang, yang berhubungan dengan
judul penulisan.
Dalam pengumpulan data penulis menggunakan teknik pengumpulan data,
dimana sumber-sumber itu diperoleh dari:
1) Metode Kepustakaan atau Dokumentasi
Metode kepustakaan yaitu usaha mengumpulkan data melalui telaah
buku-buku yang relevan dan berhubungan dengan topik penelitian. Penulis
berusaha mendapatkan buku-buku yang membahas tentang Perkembangan
Vikariat Apostolik Semarang dan Partai Katolik tahun 1940-1961, dan buku-
buku yang berhubungan dengan judul penelitian.
2) Observasi
Observasi adalah pengamatan terhadap obyek penulisan. Teknik
observasi terdiri dari observasi langsung yaitu pengamatan langsung apa yang
akan diteliti dan observasi tidak langsung yaitu dengan mengamati baik melalui
foto maupun gambar. Foto menghasilkan data deskriptif yang sangat berharga
27
dan digunakan untuk menelaah segi subyektif dan hasilnya sering dianalisa
secara induktif, ada dua kategori foto yang dapat dimanfaatkan dalam penelitian
yaitu foto yang dihasilkan oleh orang lain dan oleh peneliti sendiri, (Moleong
:115).
Observasi langsung dengan mengamati tempat tempat penyebaran dan
pembentukan awal mula Vikariat Apostolik Semarang berupa banguan Gereja
Gedangan, Gereja Katedral Santa Maria, dan tempat awal lahirnya pengikut
agama Katolik dan anggota terbesar Vikariat Apostolik Semarang yaitu wilayah
Muntilan. Observasi tidak langsung dilakukan dengan melihat foto serta gambar
kondisi penyebaran agama Katolik dari Vikariat Apostolik Semarang sampai
terbentuknya Hirarki Gereja yang ditandai lahirnya Keuskupan Agung Semarang.
3) Wawancara dan Oral History
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu, tujuan
mengadakan wawancara antara lain merekontruksi mengenai orang, kejadian-
kejadian, organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan keperdulian dan lain-lain
kebulatan merekontruksi kebulatan demikian sebagai yang dialami masa lampau;
memproyeksikan kebulatan-kebulatan sebagai yang telah diharapkan untuk
dialami pada masa yang akan datang, memverifkasi, mengubah dan memperluas
informasi yang diperoleh dari orang lain baik manusia maupun bukan manusia
(trianggulasi) dan memverifikasi, mengubah dan memperluas kontruksi yang
dikembangkan oleh peneliti sebagai pengecekan anggota, (Moleong : 135).
Sedangkan penerapan Oral History (tradisi lisan dalam sejarah) karena
tradisi lisan merupakan sumber sejarah yang merekam masa lampau. Penggalian
28
sumber sejarah adalah melalui metode wawancara, pada saat wawancara penulis
menggunakan alat perekam berupa tape recorder. Oral History digunakan untuk
mengatasi permasalahan sejarah yang tidak tertangkap melalui dokumen. Dalam
mengumpulkan sejarah lisan digunakan teknik-teknik tertentu, paling utama
dalam pengumpulan sejarah lisan adalah wawancara, menyalin, dan menyunting.
Keuntungan penggunaan sejarah lisan adalah memungkinkan mengali
sejarah dari pelaku-pelakunya, mencapai pelaku sejarah yang tidak disebutkan
dalam dokumen, memungkinkan perluasan permasalahan sejarah, karena sejarah
tidak lagi dibatasi adanya dokumen tertulis, (Kuntowijoyo 2003:30).
Dalam penelitian ini penulis menghubungi informan yang mengetahui
tentang Vikariat Apostolik Semarang dan Partai Katolik tahun 1940-1961.
Adapun para informan yang dihubungi:
1. Bpk Yosef Felix Basuki
2. Titus Probo Haryono
3. Lorenz Suryatma
2. Kritik Sumber
Kritik sumber merupakan teknik yang digunakan dalam mengumpulkan data
guna memecahkan masalah dengan cara memberikan kritik terhadap bahan-bahan
yang digunakan dalam penelitian. Untuk memperoleh keabsahan sumber yang harus
diuji adalah keabsahan tentang keaslian sumber (otentisitas) yang dilakukan melalui
kritik eksteren dan keabsahan tentang kesahihan sumber (kredebilitas) yang
ditelusuri melalui kritik interen, (Abdurrahman 1999: 59). Kritik sumber ada 2 yaitu:
29
a. Kritik eksteren
Adalah kritik terhadap sumber itu sendiri, dengan melihat apakah
sumber-sumber itu dapat memberi informasi pada kita tentang tema tersebut. Kritik
eksteren dilakukan terutama untuk menentukan apakah sumber itu merupakan
sumber asli yang dibutuhkan atau tidak? Apakah sumber tersebut aslinya (bukan
turunan), ataukah sumber itu masih utuh dan telah diubah-ubah, (Widja 1988: 22).
Penelitian melakukan pengujian atas asli atau tidaknya sumber berarti ia menyeleksi
segi-segi fisik dari sumber yang ditemukan. Bila sumber itu merupakan dokumen
tertulis, maka harus diteliti kertasnya, tintanya, gaya tulisannya, bahasanya,
kalimatnya, ungkapannya, kata-katanya, huruf-hurufnya, dan segi penampilan
luarnya yang lain. Otentisitas semua ini minimal dapat diuji berdasarkan lima
pertanyaan pokok sebagai berikut;
1) Kapan sumber itu dibuat?
2) Dimana sumber itu dibuat?
3) Siapa yang membuat?
4) Dari bahan apa sumber itu dibuat?
5) Apakah sumber itu dalam bentuk asli?
Perubahan atau pengurangan terhadap teks memang bisa terjadi pada teks
yang telah mengalami penurunan atau penyaduran berkali-kali, maka peneliti harus
berusaha membandingkan perbagai kopi satu sama lain. Dalam banyak hal teks asli
dapat direstorasi secara mendekati atau secara lengkap. Dalam hal itu pula penelitian
sejarah harus berusaha untuk menetapkan kopi yang paling mendekati kepada yang
asli dalam aspek waktunya, (Abdurrahman 1999: 60).
30
Kritik ini dilakukan pengamatan terhadap buku yang berjudul “Kesaksian
Revolusioner Seorang Uskup Dimasa Perang Catatan Harian Mgr. A. Soegijapranata,
S. J., 13 Februari 1947 –17 Agustus 1949”, yang menuliskan keseharian Mgr. Alb.
Soegijapranata, S. J., selama perang kemerdekaan dan kepindahan karya misi dari
Semarang ke Yogyakarta bersumberkan buku harian Mgr. Alb. Soegijapranata, S. J.
b. Kritik Interen
Adalah kritik terhadap isi dari sumber tersebut yang berusaha menjawab
pertanyaan tentang bagaimana nilai pembuktian yang sebenarnya dari isinya. Kritik
interen terutama untuk menentukan apakah isi sumber itu dapat memberikan
informasi yang dapat dipercaya. Dalam penelitian ini ditekankan pada kritik dalam
dengan saling membandingkan data yang diperoleh.
Dalam penelitian ini ditekankan pada kritik dalam, dengan saling
membandingkan data yang diperoleh. Dalam mengkaji sumber yang didapat ternyata
ada beberapa hal yang perlu dicari kebenarannya. Dalam buku Garis-Garis Besar
Sejarah Keuskupan Agung Semarang dituliskan pada tanggal 1 Agustus 1940 Romo
Albertus Soegijapranata, S. J., diangkat menjadi Vikaris Apostolik Semarang, namun
dalam buku Ragi Cerita 2: Sejarah Gereja di Indonesia 1860-an – sekarang, tulisan
Van den End dan Weitjen tahun 2000 ditulis bahwa Paus Pius XII mengangkat
Albertus Soegijapranata, S. J., pada tanggal 4 Agustus 1940 menjadi Vikaris
Apostolik Semarang. Maka ditempuh kritik, dan diperoleh dari buku Mgr. Albertus
Soegijapranata, S. J., tulisan M. Henricia Moeryantini CB tahun 1975, dituliskan
dekrit pengangkatan yang dikeluarkan oleh Roma bertanggal 1 Agustus 1940, yang
31
merupakan tanggal dimulainya Romo Soegijapranata, S. J., menjadi Vikaris
Apostolik Semarang.
Kritik kedua dalam buku Penyebaran dan Perkembangan Islam, Katolik, dan
Protestan di Indonesia. Telaah Sejarah dan Perbandingan tertulis halaman 65 tertulis
tanggal 3 Januari 1961 Sri Paus Yohanes XXIII dan 5 November 1966 Paus Pius VI
mendekritkan berdirinya Hirarki Gereja Katolik Indonesia terdiri dari 7 propinsi
Gerejawi yaitu Jakarta, Semarang, Medan, Kalimantan, Pontianak, Ujung Pandang,
Irian Jaya, dan Merauke. Sedangkan dalam Garis-Garis Besar Sejarah Gereja Katolik
Keuskupan Agung Semarang Halaman 89 dituliskan tanggal 3 Januari 1961 Hirarki
Gereja Indonesia didirikan terdiri dari 6 propinsi Gerejawi yaitu Medan Jakarta,
Semarang, Pontianak, Ujung Pandang, Ende. Maka diperoleh keterangan dari buku
Ragi Cerita 2 Sejarah Gereja Di Indonesia 1860-an – sekarang halaman 477 dimana
tanggal 3 Januari 1961 Paus Yohanes XXIII mendirikan Hirarki di Indonesia kecuali
Irian Jaya dimana didirikan Hirarki oleh Sri Paus Paulus VI tanggal 15 November
1966 sesudah integrasi Irian Jaya dalam Republik Indonesia, jadi pada awal
pendirian Hirarki Gereja Indonesia terdiri dari 6 propinsi Gerejawi yaitu Medan,
Pontianak, Jakarta, Semarang, Ujung Pandang, Ende.
Pendekatan yang dilakukan dalam kritik intern ini ada dua macam yaitu:
1) Penelitian intrinsik, dimana peneliti harus memastikan sifat sumber yang dipakai,
apakah sumber itu resmi atau tidak. Setelah ditentukan sifat dari sumber itu
langkah selanjutnya adalah menyoroti pengarang sumber tersebut. Hal ini dapat
dilakukan dengan memastikan bahwa pengarang mampu dan mau memberikan
32
kesaksian yang benar serta memastikan bahwa kesaksian penagrang tidak
menutupi atau berlebih-lebihan karena ia berkepentingan didalamnya.
2) Membandingkan kesaksian dari berbagai sumber dengan kesaksian dari sumber-
sumber lain.
3. Interpretasi
Interpretasi data seringkali juga disebut dengan analisis data. Interpretasi
adalah menentukan makna saling berhubungan dari data yang diperoleh. Berbagai
data yang lepas satu dengan yang lainnya harus dirangkai dan dihubungkan hingga
menjadi satu kesatuan yang harmonis dan masuk akal. Interprestasi merupakan suatu
usaha untuk merangkaikan fakta-fakta yang bersesuaian satu sama lainnya dan
bermakna, (Wiyono 1990: 50). Peristiwa-peristiwa yang satu harus dimasukkan
kedalam keseluruhan konteks peristiwa-peristiwa yang lain yang melingkupinya,
(Notosusanto 1970: 230). Dan dalam proses interpretasi sejarah seorang peneliti
harus berusaha mencapai pengertian faktor-faktor yang dapat menyebabkan
terjadinya peristiwa, (Abdurrahman 1999: 65).
4. Historiografi
Tahapan ini merupakan langkah penulisan cerita sejarah yang disusun secara
logis, menurut kronologis dan tema yang jelas serta mudah dimengerti yang
dilengkapi dengan pengaturan bab-bab atau bagian-bagian yang dapat mengatur atau
membangun urutan kronologis dan tematis, (Wiyono 1990: 5).
33
Tahapan-tahapan ini memerlukan kemampuan untuk menyusun fakta yang
fragmentaris menjadi suatu uraian yang sistematis, utuh, dan komunikatif, (Abdulah
1985: 14).
B. Setting Penelitian
Skripsi yang berjudul “Pengaruh Perkembangan Vikariat Apostolik
Semarang Bagi Partai Katolik Tahun 1940-1961”, dengan batasan spatial (wilayah)
adalah wilayah Vikariat Apostolik Semarang dari tahun 1940 sampai tahun
1961,(Subanar 2003: 6). Batasan waktu (temporal), penelitian ini dari tahun 1940,
sebagai tahun berdirinya Vikariat Apostolik Semarang. Dan tahun 1961 sebagai
batasan akhir penelitian, karena pada tahun ini Gereja Katolik Indonesia sudah
dianggap dewasa dan berubah menjadi Keuskupan Agung dengan 6 wilayah
Gerejawi. Pada kurun waktu antara 1940-1961 terjadi hubungan antara Gereja di
bawah pimpinan Vikaris Apostoliknya yaitu Mgr Alb. Soegijapranata, S. J., dengan
Partai Katolik di bawah pimpinan I. J Kasimo. Kerjasama yang dilakukan oleh
Vikariat Apostolik Semarang dan Partai Katolik lebih bersifat konsultatif
(konsultasi).
28
BAB IV
PENGARUH PERKEMBANGAN VIKARIAT APOSTOLIK SEMARANG
BAGI PARTAI KATOLIK TAHUN 1940 – 1961
4.1 Masa Vikariat Apostolik Semarang
4.1.1 Latar Belakang.
Vikariat Apostolik Semarang dalam perkembangannya memerlukan waktu
yang lama, serta mendapat banyak tantangan. Sejak 7 Agustus 1806, Raja Lodewijk
Napoleon mengumumkan Undang-Undang kebebasan beragama, Gereja Katolik
sejak tahun 1621 mendapat tekanan dapat berkembang kembali. Wilayah Hindia
Belanda menjadi bagian dalam Gereja Katolik yaitu Perfektur Apostolik Batavia
dengan misionaris pertama Pastor Jacobus Nelissen, tiba di Batavia pada tanggal 4
April 1808. Perkembangan selanjutnya, pada tahun 1842 Prefektur Apostolik Batavia
ditingkatkan menjadi Vikariat, tahun 1866 Vikariat ini dibagi menjadi 8 stasi yaitu;
Batavia, Semarang, Ambarawa, Yogyakarta, Surabaya, Larantuka, Maumere, dan
Padang. Pastor-pastor pertama yang bekerja di enam stasi yang sekarang masuk
dalam wilayah Keuskupan Agung Semarang:
1. L. Prinsen pr. di Semarang, diangkat mulai tahun 1808.
2. C. J. H. Frenssen pr. di Ambarawa, diangkat mulai tahun 1859.
3. J. B. Palinckx, SJ. di Yogyakarta, diangkat mulai tahun 1865.
4. Fr . Voolgel, SJ. di Magelang diangkat mulai tahun1889.
5. Fr. Van Lith, SJ. di Muntilan diangkat mulai tahun 1897.
6. P. Hoevenaars, SJ. di Mendut diangkat mulai tahun 1899.
29
Pada awalnya kegiatan misionaris di Jawa Tengah ditujukan bagi orang Eropa
yang ada di daerah itu, karena adanya anggapan bahwa orang Jawa tidak akan
menganut agama selain agama yang sudah ada lebih dahulu. Sejak tahun 1808
sampai 1824 pada saat Romo L. Prinsen pr., umat Katolik di Semarang belum
mempunyai Gereja sendiri. Dalam ibadat sering menggunakan rumah untuk di sewa,
ataupun menggunakan Gereja bersama (Gereja Gerefomeerd) dengan Protestan yaitu
Gereja Blenduk. Baru pada tahun 1824 Prefek Apostolik Batavia membeli rumah
besar terletak di Paradeplein (sekitar Taman Srigunting). Lantai bawah diubah
menjadi Gereja, dan lantai atas menjadi pastoran. Gedung ini digunakan samapi
1875, pada tahun itu Gereja St. Yosef di Gedangan selesai di bangun dan sampai
sekarang masih dipakai. Pada tahun 1872 umat Katolik berjumlah 1.600 orang yang
sebagian besar terdiri dari orang Eropa. Pastor Yulius Keyzer, S. J., Pastor di
Semarang sejak tahun 1887 tidak sependapat dengan pendapat misionaris
sebelumnya bahwa agama Katolik akan sulit diterima oleh penduduk pribumi, ia
merintis kerasulan di kalangan pribumi. Pastor Yulius Keyzer, S. J., merupakan
Pastor pertama yang mendirikan sekolah missi di sekitar Muntilan dan Magelang.
Pada tanggal 9 Desember 1894 di Bedono, ia menerima dengan resmi 28 orang Jawa
di dalam Gereja. Pada tahun 1915 dibangun gedung Gereja kedua yaitu Gereja
Karangpanas. Untuk melayani pertambahan umat yang pesat maka dipanggil pastor
W. Helings ke Semarang dari tempat tugasnya di Kasiuwi (Maluku), dan tiba di
Semarang bulan Januari 1895. Ia menerbitkan sebuah buku berbahasa Jawa yaitu
Kitab Sembahyang Tjilik kanggo Para Wong Room Katolika. Kegiatan itu membawa
hasil dengan dipermandikannya puluhan orang di Magelang dan Muntilan.
30
Perkembangan misi di Jawa Tengah semakin nampak, maka untuk mengatasi
pertambahan umat yang kian berkembang didatangkan sejumlah tenaga untuk
melayani karya misi. Ini diawali dengan kedatangan misionaris di Semarang pada
bulan Oktober 1896, yaitu Petrus Hoevennaars dan Franciscus Van Lith, mereka
sangat berpengaruh pada perkembangan missi agama Katolik di Jawa. (Gonggong
1984; 12). Awal penyebaran misi agama Katolik tidak membuahkan hasil yang
memuaskan, namun Romo F. Van Lith, S. J., yakin bahwa karya kerasulan dalam
masyarakat Jawa harus dimulai dari pimpinan masyarakat. Masyarakat Jawa sangat
terikat dalam suatu adat dan kehidupan bersama, berdasarkan pertimbangan itu
Romo F. Van Lith, S. J., menyesuaikan diri dengan orang Jawa, ia belajar bahasa
Jawa, sejarah, dan adat istiadat Jawa, ia juga menjalin kerjasama dengan semua
lapisan masyarakat dari Priyayi sampai Petani, Wedana dan Kontrolir. Kedua
prinsipnya yaitu adaptasi dan pembentukan golongan elite, membawa hasil yang
sangat gemilang. Pada tahun 1904 datang seorang guru kerasulan dan 4 orang kepala
desa pegawai wilayah Kalibawang berkunjung pada Romo Van Lith. Mereka minta
diberi ajaran agama Katolik, mereka dibaptis pada tanggal 20 Mei 1904. Pada
tanggal 14 Desember 1904 menyusul 171 orang dibaptis di Sendangsono. (www.
Ekaristi. Org). Peristiwa pembabtisan itu menjadi bukti bahwa nilai-nilai budaya
tidak akan terancam atau diganti dengan agama Katolik, karena proses inkulturasi
yang telah dirintis oleh Romo Van Lith, mengutamakan perlunya bahasa Jawa.
Bahasa bukan hanya alat komunikasi, namun khususnya bahasa Jawa merupakan
endapan jiwa masyarakat yang memandang dunia dan manusia atas cara yang khas
Jawa. Sama seperti Hinduisme, Budhisme, dan Islam, hanya unsur-unsur yang
31
dirasakan cocok atau penting yang diintegrasikan ke dalam pola hidup dan berfikir
rakyat. Selain itu Romo Van Lith berhasrat memberi kaum muda Jawa baik pria dan
wanita suatu pendidikan yang bermutu, membuat mereka mampu memiliki posisi
yang penting dalam masyarakat. Kepada mereka diberikan pendidikan Kristiani, agar
mereka menjadi benih-benih rasul dan tumbuh dan berkembang serta membuahkan
hasil. Dua puluh tahun setelah kedatangannya di Muntilan ia menulis laporan resmi:
“aku hidup di tengah orang Jawa dan menjadi seperasaan dan sepemikiran dengan
mereka”. Romo F. Van Lith, S. J., juga menterjemahkan doa Bapa Kami dalam
bahasa Jawa.
Sementara Pastor Petrus Hoevennaars, S. J., diangkat menjadi Pastor di Mendut
tanggal 27 Mei 1899, dan menyatakan bahwa misi harus mengarahkan kegiatannya
pada rakyat kecil. Pada akhir 1903 di stasi Mendut telah terdapat sekitar 300 orang
Katolik. Tanggal 27 Juni 1905 Pastor P. Hovennaars, S. J., dipindahkan ke Cirebon.
Setelah kepindahannya ke Surakarta, ia mengakui keunggulan dari metode yang
digunakan Romo F. Van Lith, S. J. Pastor P. Hoevennaars mengembangkan Gereja
Katolik di Surakarta dengan memakai metode Van Lith, dalam waktu 4 tahun ia
mendirikan 10 (sepuluh) “standaarschool”. Pada tahun 1929 ia dipindahkan ke
Semarang, kemudian ke Ambarawa. Tapi pada tahun 1930 ia meninggal dunia, dan
dimakamkan di Muntilan dekat dengan F. Van Lith, S. J.
Di Yogyakarta, tahun 1905 Pastor H. E. P. Van Driessche, S. J., mulai berkarya
di kalangan orang Jawa di Yogyakarta. Sebelumnya Pastor H. E. P. Van Driessche,
S. J., tinggal di Muntilan, sejak 1917 setiap minggu ia mengunjungi Yogyakarta dan
tinggal selama 3 hari. Ia mendirikan sekolah rakyat di kampung Kumandanan,
32
sebelah selatan Keraton. Pada tanggal 1 Agustus 1918 HIS pertama di buka, dan
pada bulan Maret tahun berikutnya HIS kedua di buka. Pada akhir tahun 1918
Yogyakarta mempunyai 273 orang Katolik Jawa, dua belas tahun kemudian wilayah
yang dilayani pastoran Kidulloji sudah mempunyai 3.684 umat Jawa Katolik, dan
diluar wilayah itu masih ada 1.100 orang yang semuanya penduduk Yogyakarta.
Peristiwa penting lain adalah pembangunan Kolose Ignatius mulai tanggal 17 Januari
1923, dan pemakaian gedung novisiat S J pada tanggal 16 Juni 1923, dalam tahun
1931 novisiat itu dipindahkan ke Ungaran.
Peristiwa penting yang mendorong terbentuknya Vikariat baru di Semarang
adalah didirikannya Seminari Menengah tahun 1911 di Muntilan, 3 dari enam
generasi pertama 1911 – 1914 ditasbihkan menjadi Imam, 1926 dan 1928 yaitu
Romo FX. Satiman, S. J; A. Djajasepoetra, S. J; dan Alb. Soegijapranata, S. J. tahun
1925 Seminari Menengah kedua didirikan di Yogyakarta. Pada tanggal 1 Juli 1927
Seminari Menengah di Muntilan dipindahkan dan digabung dengan Seminari
Menengah di Yogyakarta.
Pada perkembangan selanjutnya dapat diketahui adanya pertambahan jumlah
umat Katolik di wilayah Jawa, terutama peranan Muntilan dan Mendut yang
merupakan tempat tumbuhnya misi-misi yang subur. Perbedaan situasi yang besar
antara Jawa Barat atau kota Batavia dan Jawa Tengah merupakan alasan utama bagi
Mgr. P. Willkelens seorang Vikaris Apostolik Batavia untuk mengajukan usul
pemecahan Semarang menjadi wilayah Vikariat Apostolik sendiri. Hal itu
berdasarkan anggapan bahwa kesadaran Gereja mempunyai sifat supranasional
dimana Gereja hendaknya mencoba hidup berakar pada bangsa-bangsa dimana ia
33
hadir. Pertumbuhan karya misi di Jawa Tengah mendapat perhatian khusus dari
pihak Roma dan Batavia, menghasilkan suatu rencana pembukaan daerah Vikariat
Apostolik yang baru, (Gonggong 1983: 34). Dipisahkannya Jawa Tengah dari
Vikariat Apostolik Jakarta sudah lama dinanti-nantikan. Namun tidak banyak orang
Belanda, maupun orang Jawa, yang dapat menduga-duga, bahwa yang diangkat
menjadi Uskupnya adalah orang Jawa. Bulan Mei 1940 Mgr. P. Willekens dari
Jakarta mengadakan pembicaraan terakhir di Roma mengenai pemisahan Jawa
Tengah dari Jakarta.
Daerah Vikariat Apostolik harus dipimpin oleh seorang Uskup Agung, untuk
Vikariat baru ini Paus menghendaki mengangkat Vikaris dari penduduk asli, tentu
hal ini berbeda dengan dua Vikariat Apostolik yang ada yaitu di Vikariat Apostolik
Batavia dan Malang. Pengangkatan Uskup Agung yang berasal dari penduduk asli
dan pendirian Vikariat yang baru dilatar belakangi dua faktor utama:
a. faktor dari dalam negeri ialah:
a) Makin nampaknya pertumbuhan karya misi yang diungkap oleh Mgr.
Willekens dalam surat ditujukan kepada ketua Kongregasi Propaganda Fide
di Vatikan tanggal 1 Maret 1940, mengemukakan:
Bahwa Jawa Tengah adalah salah satu dari daerah-daerah misi yang sangat subur , dan situasi Luar Negeri yaitu pecahnya perang dunia II yang jelas akan memberikan pengaruh bagi pertumbuhan karya misi di Hindia Belanda. Untuk menghadapi hal itu diperlukan seorang Uskup yang mampu berdedikasi penuh, (Moeryantini 1975:19).
b) Wilayah Vikariat Apostolik Batavia terlalu luas dengan cakupan wilayah
Batavia, Bogor, dan Jawa Tengah.
34
c) Wilayah Batavia dan sekitarnya, dan wilayah Jawa Tengah memiliki kultur
yang berbeda.
d) Wilayah Jawa Tengah telah memiliki fasilitas bangunan dan personil
misionaris serta sejumlah umat yang memadai untuk mendukung
terbentuknya sebuah Vikariat yang baru.
e) Situasi yang mendesak sehubungan dengan perkembangan dalam negara di
Hindia Belanda, antara lain berkaitan dengan gerakan komunis yang pernah
mengadakan pergolakan, maka Vikariat Apostolik yang baru tersebut
sebaiknya diserahkan kepada anggota Serikat Yesus karena Serikat Yesus lah
yang selama ini telah berkarya di wilayah tersebut.
f) Didirikannya Seminari Tinggi untuk calon-calon imam praja yang mengambil
tempat di Muntilan tahun 1936, (Subanar 2003: 127).
b. Situasi di Luar Negeri, pada saat itu terjadi Perang Dunia II sehingga memberi
pengaruh pada pertumbuhan karya misi di daerah Hindia Belanda, serta
terganggunya jalan komunikasi antara Vatikan dan daerah-daerah yang terlibat
perang.
Untuk menghadapi semua kesulitan itu perlu adanya seorang Vikaris yang mampu
bertanggung jawab secara penuh, agaknya Vatikan melihat itu semua dalam diri
Romo Alb. Soegijapranata, S. J.
Secara resmi rencana pendirian Vikariat Apostolik Semarang selesai tanggal 25
Juni 1940, pada tanggal 1 Agustus 1940 berdiri Vikariat Apostolik Semarang, serta
pengangkatan Romo Albertus Soegijapranata, S. J menjadi Vikaris Apostolik yang
pertama di Semarang dan merupakan Vikaris pribumi pertama yang menduduki
35
jabatan tinggi dalam hirarki Gerejawi. Romo Alb. Soegijapranata, S. J., lahir di
Solo 25 November 1896, (Moeryantini 1975:13). Anak kelima dari keluarga
Karijosoedarma, seorang abdi dalem Kraton. Ketika masih muda keluarganya pindah
ke Yogya, atas ajakan Romo Van Lith, Soegija masuk Muntilan dimana dia dibaptis
pada hari natal tahun 1909. Ia berangkat ke Nederland untuk menjadi Imam, bersama
Romo M. Reksoatmadja., dan ditahbiskan pada tanggal 15 Agustus 1931 di
Maastricht. Awal karirnya Romo Alb. Soegijapranata, S. J., bekerja di paroki
Bintaran Yogyakarta. Pada tahun 1939 Ia diangkat menjadi Consultor (penasehat)
pribumi pertama bagi Superior Serikat Yesus. Tanggal 6 November 1940 di
Semarang, Romo Albertus Soegijapranata ditahbiskan sebagai Uskup Danaba oleh
Vikaris Apostolik Batavia Mgr. P. Willekens S. J., di Gereja Randusari, yang
kemudian berfungsi sebagai Gereja Katedral. Mgr. P. Willeknes S. J., didampingi
oleh Mgr. Albers O. Carm (Malang) dan Mgr. Mekkelholt S. C. J. (Palembang),
(Moeryantini 1975: 22).
Sebagai seorang Vikaris Apostolik yang baru, Mgr. Alb. Soegijapranata, S. J
mempunyai tanggung jawab yang berat, yaitu bagaimana memperluas penyebaran
misi Katolik di wilayah Jawa. Mengingat pada tahun berikutnya adalah tahun yang
berat bagi perkembangan misi agama Katolik. Wilayah Gerejawi Vikariat Apostolik
Semarang meliputi sejumlah Karesidenan di Jawa Tengah: Semarang, Jepara,
Rembang, beberapa bagian dari Karisidenan Kedu meliputi Magelang, dan
Temanggung serta seluruh wilayah Surakarta dan Yogyakarta, (Subanar 2003: 6). Di
bawah ini dapat dilihat perkembangan umat Katolik di daerah sebelum dibentuknya
Vikariat Apostolik Semarang sampai terbentuknya Vikariat Apostolik Semarang:
36
Tabel 1 Perkembangan Umat Katolik dari Masa Sebelum Terbentuknnya Vikariat Apostolik Semarang sampai tahun 1940
Sumber Tim KAS 1991:66
Jumlah tenaga karya misi di Vikariat Apostolik Semarang terdapat 73 orang
Imam berkebangsaan Eropa, 11 orang Imam pribumi, selain itu terdapat 103 orang
Bruder berkebangsaan Eropa, 34 orang Bruder pribumi, 251 orang Suster
berkebangsaan Eropa dan 79 orang Suster pribumi.
4.1.2 Penyebaran Misi Gereja Vikariat Apostolik Semarang Tahun 1940 – 1960
Pada tahun berdirinya Vikariat Apostolik Semarang cukup banyak mengalami
tekanan khususnya tahun 1942 sampai 1945, dengan meletusnya perang Pasifik, dan
Maret 1942 Indonesia jatuh ketangan Jepang. Karya misi di Indonesia mengalami
banyak kesulitan karena tindakan keras dan kejam dari pemerintah Jepang, semua
misionaris Belanda dimasukkan ke dalam penjara, selain itu Imam-Imam yang bukan
Belanda ada juga yang diseret menjadi tahanan. Di Pulau Jawa pada saat itu hanya
ada dua orang Uskup yang berkarya yaitu Mgr. P. Willkens, S. J dari Batavia dan
Mgr. Alb. Soegijapranata, S. J., dari Semarang, sedang Uskup dari Bandung,
Purwokerto, dan Surabaya ditawan, (Gonggong 1984: 43). Jepang dalam
kebijaksanaannya membuat peraturan Gereja dalam pelaksanaan kebaktian dilarang
Tahun Bangsa Eropa Bangsa Indonesia (Pribumi dan Cina)
1928 1933 1938 1940
12.977 12.863 15.202 15.824
8.810 17.442 21.922 25.278
37
menggunakan bahasa musuh, dalam hal ini bahasa Belanda. Gedung Gereja dan
pastoran, banyak banggunan milik misi disita, dihancurkan dan diduduki oleh tentara
Jepang atau dijadikan tempat tahanan, sumber pendapatan untuk karya misipun
dimatikan. Mgr. Alb. Soegijapranata, S. J., banyak sekali kehilangan sebagian besar
dari pembantu-pembantunya, dan dengan sedikit pembantu-pembantu pribumi karya
misi Gereja diteruskan. Dengan mengambil tempat di Gedangan yang saat itu
menjadi induk Gereja di Semarang dan basis perkembangan Gereja di Jawa Tengah,
Mgr. Alb. Soegijapranata S. J tetap menyelenggarakan pelayanan karya misi di
wilayah Vikariatnya, yaitu di wilayah Semarang dan Purwokerto karena para pekerja
karya misi di daerah ini ditangkap oleh Jepang. Pada saat pemerintah Jepang
menegaskan agar Gereja Katolik harus tunduk pada pemerintah Jepang, Mgr. Alb.
Soegijapranata, S. J., menjelaskan tentang hirarki dari Paus, Vikariat sampai paroki,
serta memperlihatkan hubungan diplomatik antara Vatikan dan Kaisar Jepang di
Tokyo. Karena Vikariat Apostolik Semarang ada di bawah wewenang Vatikan yang
memiliki perjanjian khusus, maka Gereja Katolik tidak perlu tunduk kepada
penguasa Jepang.
Sekolah-sekolah misi telah diambil alih Jepang, Kolose di Muntilan,
Ambarawa, Mendut, dan Jakarta terpaksa ditutup. Seminari tingkat menengah
terpaksa dibubarkan, sehingga pelajaran bagi seminaris diteruskan secara
tersembunyi dan menyebar di beberapa tempat. Sementara Seminari tinggi tetap
diperbolehkan hidup walaupun tidak di tempatnya sendiri, hal ini tidak mematahkan
semangat gembala-gembala misi, namun semakin kokoh untuk menyebarkan karya
“terang Yesus” di Indonesia.
38
Antara tahun 1942 – 1945 telah meninggal 74 orang Pastor, 47 Bruder, dan 160
orang Suster, (Gonggong 1993:40). Mereka adalah korban dari kekejaman tentara
Jepang, ditambah peristiwa pembunuhan di Pastoran Magelang 1 November 1945.
Dimana gerombolan ekstrim menyerbu halaman Gereja dan pastoran, menangkap
semua Jesuit yang ada di sana, dengan tuduhan ada tembakan-tembakan dilepaskan
dari Pastoran. Mereka semua dihukum mati dan ditembak di makam Giri laya.
Dalam peristiwa itu Vikariat Apostolik Semarang kehilangan 8 misionaris sekaligus.
Tanggal 20 Desember 1948 Romo Sandjaja dan Frater Bouwes dibunuh secara kejam
oleh fihak yang tidak senang dengan agama Katolik. Akhir 1944 di seluruh pulau
Jawa ada 2 Uskup dan 20 Imam yang bekerja terdiri dari 16 pribumi, 3 Indo, dan 1
Triol-Austria. Dari bulan Oktober 1945 sampai 16 Januari 1946, para misionaris
Belanda di Yogyakarta, yang baru keluar dari kamp tahanan diinternir lagi.
Pada tanggal 17 Agustus 1945, Sukarno-Hatta memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia dan mereka melakukan hal ini atas nama bangsa Indonesia.
Berita proklamasi itu di sambut gembira oleh semua rakyat Indonesia, terutama di
Semarang dan Yogyakarta, yaitu kota-kota terpenting di Jawa Tengah. September
1945, pasukan sekutu mulai tiba di Indonesia, untuk mengambil alih kekuasaan
Jepang. Pasukan sekutu rupanya memberikan kesempatan bagi pasukan Netherlands
Indies Civil administration (NICA) untuk masuk kembali ke Indonesia. Karena
situasi politik saat itu, Vikariat Apastolik Semarang dibagi dua: Semarang dan
sekitarnya dibawah kekuasaan Belanda, sedangkan daerah sebelah selatan dikuasai
oleh Republik Indonesia, dilarang untuk orang-orang Belanda.
39
Belum genap satu tahun usia kemerdekaan Indonesia, terjadi perpindahan pusat
pemerintahan dari Jakarta ke Yogyakarta. Hal ini dilakukan karena tindakan teror
yang dilakukan oleh pihak Belanda, dan merupakan strategi menyelamatkan
kemerdekaan dan pemerintahan Republik Indonesia yang baru saja diproklamasikan.
Terpilihnya Yogyakarta sebagai ibukota Republik Indonesia tentu bukan karena
suatu kebetulan, melainkan melihat beberapa syarat yang terpenuhi yaitu: kondisi
masyarakat, yaitu seberapa jauh mereka menerima proklamasi kemerdekaan itu yang
baru beberapa bulan dicetuskan. Serta sikap para pemimpin utama di daerah itu
terhadap proklamasi. Maka tidak salah pemindahan ibukota Republik Indonesia dari
Jakarta ke Yogyakarta.
Keadaan di Semarang pun semakin genting banyak penduduk yang menyingkir
keluar kota untuk menghindari situasi yang tidak menentu di kotanya. Sampai akhir
tahun 1945 dan awal tahun 1946 Mgr. Alb. Soegijapranata, S. J masih melanjutkan
karya misinya di Semarang, namun tahun 1946 dengan kepindahan pusat
pemerintahan negara Republik Indonesia ke Yogyakarta, beliau memindahkan pusat
karya misi ke Yogyakarta. Mgr. Alb. Soegijapranata, S. J memindahkan pusat
pelayanan umat Katolik ke Yogyakarta tanggal 13 Februari 1947 dikarenakan adanya
kebijaksanaan yang dikelurkan Presiden Soekarno yang menyerukan gencatan
senjata 12 Februari 1947, dengan keputusan gencatan senjata tersebut kiranya
diharapkan keamanan diberbagai wilayah dapat dijamin. Mgr. Alb. Soegijapranata,
S. J memasuki kota Yogyakarta terhitung mulai tanggal 17 Februari 1947. Mgr. Alb.
Soegijapranata, S. J., memindahkan karya misi ke Yoyakarta dari Februari 1947
sampai Agustus 1949, ia tinggal di Pastoran Bintaran Yogyakarta. Hal ini dilakukan
40
karena perhitungannya yang lebih menguntungkan bagi perjuangan bangsanya dan
juga bagi kepentingan karya misi sendiri, beliau dapat berkomunikasi dengan para
pemimpin yang hampir seluruhnya berada di Yogyakarta. Pemindahan pusat Gereja
ke Yogyakarta oleh Mgr. Alb. Soegijapranata, S. J merupakan pertanda yang
ditujukan kepada Belanda, bahwa beliau sama sekali tidak berada dalam posisi
netral, didalam sengketa antara bangsa Indonesia dengan Belanda. Pemindahan pusat
Gereja ke Yogyakarta juga menunjukkan, bahwa Gereja dalam hal ini umat Katolik
yang selama ini dipandang sebagai agama Belanda, dapat diterima sebagai Gereja
Indonesia bukan Gereja Belanda, serta membuktikan berakarnya Gereja di tanah
Indonesia. Mgr. Alb. Soegijaparnata, S. J., mengeluarkan seruan semboyan bagi
umat Katolik yaitu: “100% Katolik, 100% patriot Indonesia, 100% warga negara
Indonesia”. Hal ini menunjukkan, bahwa umat Katolik mempunyai cita-cita dan
tujuan yang sama seperti masyarakat Indonesia yang lain yaitu Indonesia segera
bebas dari penjajah. Hubungan Mgr. Alb. Soegijapranata, S. J., dengan Presiden
Republik Indonesia Ir. Soekarno, dan Moh Hatta serta pemimpin Republik lainnya
memberikan keuntungan yang besar bagi kebebasan dan karya Gereja di Indonesia.
Selama pemindahan pusat Gereja ke Yogyakarta, Mgr. Alb. Soegijapranata, S.
J., tetap melakukan tugasnya sebagai penggembala yang bertanggung jawag atas
kehidupan rohani umatnya. Mgr. Alb. Soegijapranata, S. J, juga melancarkan
berbagai kritikan terhadap pemerintah Belanda berkaitan dengan aksi militer yang
dilakukan Belanda yaitu agresi Militer I dan II. Mgr. Alb. Soegijapranata, S. J.,
melakukan kritikan cukup keras, seperti yang dikutip harian Merdeka 17 Mei 1949
dari berita yang ditulis oleh koran ANP 16 Mei yang terbit di Amsterdam yaitu:
41
“... aksi itu telah diadakan untuk merebut kembali apa jang sudah hilang, melakukan pembalasan buat segala kekalahan, menghidupkan kembali apa jg. sudah tidak ada, memperbaiki dengan kekerasan sendjata dan pertundjukan kekuatan semua noda dan penghinaan jang telah diderita”, (Subanar 2003:xvii).
Belanda memberikan pengakuan kedaulatan pada Indonesia melalui Konferensi
Meja Bundar 27 Desember 1949, dengan pengakuan ini maka karya misi dapat
dilanjutkan kembali dan pusat hirarki Gerejawi dipindahkan kembali ke Semarang.
Tahun 1950 muncul kekuatan komunis melalui PKI, dengan cepat PKI dapat
menarik simpati rakyat kecil dan menjadi pendukung aktif PKI. Mereka tertarik
dengan janji-janji PKI yang akan memberikan perbaikan hidup materiil. Mgr. Alb.
Soegijapranata,S. J mengerti apa yang dihadapi oleh masyarakat ini, maka beliau
berusaha agar dari kalangan Katolik muncul usaha mendirikan organisasi bagi buruh,
nelayan dan lainnya. Organisasi itu terbentuk tanggal 19 Juni 1954 yang diberi nama
“Organisasi Buruh Pancasila”. Sejak itu mulai berkembang organisasi sosial yang
dibentuk oleh umat Katolik di seluruh wilayah Vikariat Apostolik Semarang, satu hal
yang unik dari organisasi sosial yang dibentuk umat Katolik adalah digunakannya
kata “Pancasila” sebagai nama organisasi bukan nama Katolik, (Gonggong 1993:79).
Tahun 1955 MAWI (Majelis Agung Wali Gereja Indonesia) melaksanakan sidang,
yang membicarakan perbagai hal tentang kegiatan sosial. Sidang ini menghasilkan
keputusan membentuk panitia untuk bidang sosial, sebagai ketua ditunjuk Mgr. Alb.
Soegijapranata, S. J. Hal ini sesuai dengan visi beliau yang menekankan perlunya
pegawai, pekerja, buruh, petani, dan pedagang Katolik berusaha menciptakan suatu
front sosial yang kuat sehingga mampu berkarya untuk semua golongan dan lapisan,
serta dilandasi oleh keadilan dan cinta kasih Katolik.
42
Saat menjabat menjadi Vikaris Apostolik Semarang, Mgr. Alb. Soegijapranata,
S. J., banyak melakukan perubahan dalam lingkungan Gereja. Hal ini dilakukan agar
Gereja peradaptasi dengan lingkungan, serta melestarikan nilai-nilai budaya
setempat. Pada tahun 1956,beliau mengijinkan semua Pastor yang berada di
wilayahnya menggunakan bahasa daerah dan bahasa Indonesia ketika mereka
memberikan sakramen permandian. Selain itu gamelan oleh Mgr. Alb.
Soegijapranata, S. J., dianjurkan dapat digunakan dalam perayaan ekaristi. Pada
sosial masyarakat untuk melestarikan dua budaya Jawa maka dapat dilihat usaha
Bruder Thimoteus FIC, dengan menciptakan permainan wayang yang isinya bersifat
kristiani, yang disebut wayang wahyu. Satu budaya Jawa lagi yang dijadikan alat
pengajaran agama adalah ketoprak, seperti Daud dan Goliath, Kisah Ester. Suatu
tindakan yang lebih unik adalah pelaksanaan slawatan, upacara ini biasanya hanya
terjadi dikalangan golongan Islam. Tetapi di Ponorogo hal itu dirubah dalam suatu
bentuk slawatan yang disesuaikan dengan ajaran Kristen, (Gonggong 1993: 82).
Sikap menyesuaikan dengan kondisi masyarakat Indonesia sangat diharapkan, agar
agama Katolik menjadi bagian yang harmonis dan berpengaruh dalam kehidupan
bangsa Indonesia.
Pada masa setelah perang kemerdekaan selesai, umat Katolik di Vikariat
Apostolik Semarang kembali menata diri, pada tahap perkembangan pertama (1940-
1960) jumlah umat di Vikariat Apostolik Semarang 37.391 orang menjadi 78543
orang Katolik. Pertambahan jumlah umat Katolik tidak begitu besar mengingat
banyak peristiwa yang terjadi, seperti masa pendudukan Jepang, revolusi fisik, dan
aksi polisional. Banyak rohaniwan/wati diinternir, para misionaris yang tua pulang
43
karena sakit atau sukar menyesuaikan dengan keadaan yang baru. Hampir semua
orang Katolik Belanda pulang kira-kira 15.000 orang.
Melihat karya penyebaran misi iman Katolik tidak lepas dari usaha kerja keras
Mgr. Alb. Soegijaparanata, S. J., hal ini diungkapkan oleh Dr. J. Weitjens, S. J.,
sebagai berikut:
“Sulit menentukan jasa-jasa Mgr. Alb. Soegijaparanata, S. J., bagi Gereja di Indonesia. Memang ada segi-segi lemah dalam cara beliau membimbing Keuskupannya, akan tetapi dapat dikatakan bahwa berakarnya Gereja Katolik di tanah Indonesia hal itu sebagian besar adalah berkat karya Uskup Agung ini”, (Gonggong 1993:98).
4.2 Peranan Vikariat Apostolik Semarang terhadap Kehidupan Politik
4.2.1 Munculnya Partai Katolik
Dalam bidang politik, dari satu pihak Gereja tidak boleh mencampuri persoalan
politik parktis yang tidak berhubungan dengan agama, di lain pihak setiap orang
Katolik adalah seorang warganegara, yang boleh atau harus aktif dalam politik.
Akhirnya disatu fihak Gereja harus mempertahankan kesatuan Gereja dan umat
manusia di seluruh dunia, namun di lain pihak Gereja harus mengakui hak setiap
bangsa dan negara untuk mempertahankan persatuan dan kedaulatan bangsanya.
Hal inipun tertuang ketika Yesus diberikan pertanyaan. Katakanlah kepada kami pendapatMu: “Apakah diperbolehkan membayar pajak pada Kaisar atau tidak?”. Tetapi Yesus mengetahui kejahatan mereka lalu berkata: “Mengapa kamu mencobai Aku, hai orang-orang munafik? Tunjukanlah padaKu mata uang untuk pajak itu”. Mereka membawa suatu dinar kepadaNya. Maka Ia bertanya kepada mereka: “Gambar dan tulisan siapakah ini?” Jawab mereka: “Gambar dan tulisan Kaisar”. Lalu kata Yesus kepada mereka: “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah”. Mendengar hal itu heranlah mereka dan meninggalkan Yesus lalu pergi, (Matius 22: 17-22).
44
Dari pernyataan diatas maka jelas mengapa Gereja memeberikan kebebasan
kepada semua umatnya untuk menggunakan haknya dalam berbangsa dan bernegara,
tapi jelas fungsi Gereja adalah menjaga agar tidak timbul pertikaian diantara
umatnya. Pernyataan Yesus pada hakekatnya merupakan proklamasi politis bagi
semua orang yang percaya kepadaNya, sebab adanya pemisahan kewajiban setiap
warga negara terhadap Allah dan pada negara, menunjukkan bahwa setiap
warganegara berkewajiban berpartisipasi mengurus negaranya. Namun ada kalanya
kewajiban kepada negara dapat dimanipulasi oleh negara ataupun oarng-orang yang
berkepentingan, sehingga setiap warganegara mempunyai hak-hak untuk meneliti
apakah kewajiban terhadap negara itu benar-benar sah atau tidak.
Pada saat Budi Utomo berdiri, golongan Katolik mulai terjun ke dunia
perpolitikan. Ketertarikan umat Katolik masuk dalam Budi Utomo adalah sifatnya
kepada agama yang netral. Maka dapat dilihat adanya orang Katolik Jawa yang
duduk dalam dewan pengurus berbagai cabang Budi Utomo, namun hali ini tidak
berlangsung lama. Antara tahun 1917-1918 anggota Katolik keluar dari Budi Utomo.
Hal ini dijelaskan oleh I. J. Kasimo yang menulis: “Sebab, meskipun kita dengan partai-partai nasional itu mempunyai banyak kepentingan-kepentingan nasional bersama, namun di sana kita merasa kekurangan satu hal sangat penting, yaitu: perhatian soal agama Katolik di bidang politik. Memang sewajarnya, bahwa suatu partai netral tidak dapat memperhatikan kepentingan-kepentingan agama, dan berdasarkan azas netralnya malahan tidak boleh berbuat demikian. Lain dari pada itu, meskipun tujuan-tujuan nasional golongan Katolik bangsa kita sama dengan tujuan partai-partai netral: namun penentuan pemilihan syarat-syarat, untuk mecapai tujuan tersebut dapat berlainan sama sekali, karena azas dan keyakinan berlainan”. Lagipula: orang-orang Katolik merasakan adanya rasa curiga dari anggota-anggota yang lain terhadap agama mereka. Bukankah agama Kristen (Katolik) itu agamanya orang Belanda? Bagaimana mungkin orang-orang Katolik itu merasa sejiwa dan sehati dengan kami? Bagaimana mungkin mereka itu nasionalis, patriot sejati? Pastilah mereka itu termasuk “barisan kaum sana” bukan “barisan kaum sini”! bahkan mereka yang sudah terpilih menjadi pengurus pun sering kali masih dicurigai, sekalipun tidak terang-terangan, (Pipitseputra 1970:230).
45
Pada tahun 1917 berdiri Voorloopig Katholieke Comité Voor Politieke Actie.
Pada tahun yang sama berdiri juga Katholieke Vereeniging Voor Politieke Actie,
yang pada bulan November 1918 namanya diubah menjadi Indische Katholieke
Partij. Anggota dari Indische Katholieke Partij terdiri dari orang-orang Belanda
Katolik dan Jawa Katolik, namun anggota dari orang Belanda hampir 100% dari
jumlah seluruh anggota. Pada tahun sebelumnya berdiri Katholika Wandawa yang
anggotanya hampir semuanya guru tamatan Muntilan. Pada tahun yang sama Pater J.
J. Van Rijckevorsel mendirikan Katholieke Sociale Bond di Jakarta, partai ini dapat
berkembang di Yogyakarta pada tahun 1919 dengan anggota 30 orang Jawa dan 50
anggota Belanda. Katholieke Social Bond merupakan organisasi pergerakan sosial.
Pada tahun 1920 dibentuk Poesra Katolika Wandawa di Yogyakarta untuk
menggantikan Katholieke Social Bond, sedangkan 1923 terbentuk Wanita Katolik
pertama di Yogyakarta, dimana cabang-cabangnya akan dipersatukan dalam Poesra
Wanita Katolik. Tahun 1914 terbit Djawi Sraya sebagai majalah bulanan Poesra
Katolika Wandawa dan sebagai alat penghubung antar bekas siswa Muntilan.
Pertengahan 1920 Djawi Sraya diganti menjadi Swaa Tama dimana majalah ini
bersifat netral, dan pada Februari 1924 diputuskan bahwa Swara Tama akan menjadi
mingguan yang jelas bersifat Katolik.
Brosur yang ditulis Romo F. Van Lith, S. J., di dalam majalah Belanda berjudul
“De politiek van Nederland ten opzichte van Nederlandsch Indië” (Politik Negeri
Belanda terhadap Hindia Belanda) tahun 1922, merangkum gagasan, bahwa Gereja
mendukung sepenuhnya perjuangan orang-orang pribumi untuk mencapai
pemerintahan sendiri. Brosur yang ditulis oleh Romo F. Van Lith, S. J., membuat
46
banyak orang tercengang terutama di kalangan orang Katolik di Hindia. Hal ini dapat
dimaklumi karena apabila timbul pemberontakan tempat mana yang harus diambil
oleh para misionaris.
F. Van Lith mengemukakan: “Setiap orang tahu, kami, para misionaris, ingin bertindak sebagai penengah; tetapi setiap orang tau juga, seandainya terjadi suatu perpecahan, meskipun hal itu tidak kami harapkan, sedangkan kami terpaksa memilih, kami akan berdiri di pihak golongan pribumi”.
Pandangan F. Van Lith, S. J., memberikan dukungan dan legitimasi pada
tokoh-tokoh muda untuk bergerak dalam bidang politik bagi perbaikan nasib seluruh
bangsa. Karena pengaruh F. Van Lith, S. J., pada bulan Agustus 1923 di Yogyakarta
berkumpullah kurang lebih 30 orang bekas murid Kweekschool (sekolah guru). Usia
mereka antara 20-30 tahun, mereka menyadari bahwa kedudukan mereka di kalangan
masyarakat tidak dapat dipandang tinggi, mereka juga menyadari bahwa jumlah
orang Katolik Jawa pada saat itu belum banyak. Meskipun demikian, dalam
pertemuan itu mereka berani mengambil keputusan untuk mendirikan partai Katolik
untuk golongan Katolik Jawa sendiri. Partai ini tidak langsung berdiri, namun
membutuhkan waktu setahun untuk mempersiapkannya.partai ini diprakarsai oleh F.
S. Harjadi, seorang guru berijazah “hoofdakte”, R. M. Jacob Soejadi, seorang dokter
hewan , dan I. J. Kasimo, guru sekolah pertanian. Partai Katolik baru ini bernama
Katholieke Vereeniging voor Politieke Actie Afdeling Katholieke Javanen
(Perkumpulan Katolik untuk aksi politik Bagi Orang-orang Jawa). Diantara orang-
orang Jawa partai ini dikenal dengan nama Pakempalan Politik Katolik Djawi
(PPKD), (Tim wartawan Kompas 1980:22)
47
Tujuan partai ini adalah suatu perjuangan dalam rangka emansipasi bangsa,
yang bertujuan mencapai kemerdekaan dan kedaulatan. Namun hal ini tentu saja
akan ditentang oleh pemerintah Belanda maka mereka menggunakan siasat bahwa
tujuan partai dicantumkan secara terselubung, dan yang dirumuskan adalah ikut serta
berusaha membangun dan memajukan negara.
Pedoman pokok partai adalah:
a. Aksi PPKD terletak pada lapangan politik, yaitu politik yang berdasarkan
asas-asas Katolik.
b. Aksi itu bersifat pada permulaan nasional Jawa, kemudian nasional
Indonesia.
c. Haluan PPKD harus evolusioner, artinya menurut jalan yang teratur,
tetapi dengan tempo yang cepat.
Pakempalan Politik Katolik Djawa (PPKD) semula berintegrasi dengan IKP
(Indishe Katholieke Partj), tetapi karena memperjuangkan cita-cita kaum pribumi,
maka akhirnya terpaksa memutuskan federasi itu pada 22 Februari 1925. Nama
Pakempalan Politik Katolik Djawa (PPKD) diganti menjadi Perkumpulan Politik
Katolik di Djawa, dengan satu wakil di Volksraad (1923-1927), yaitu R. M Soejadi.
Pada tahun berikutnya muncul kecenderungan organisasi pergerakan nasional di
Indonesia berkembang dari organisasi lokal menjadi partai nasional. Seperti halnya
Perkumpulan Katolik di Djawa mulai menaruh perhatian pada golongan Katolik di
luar Pulau Jawa. Maka tahun 1930, Perkumpulan Politik Katolik di Djawa menjadi
Persatuan Politik Katolik Indonesia (PPKI), yang mempunyai cabang di Jakarta,
Medan, dan Ujung Padang, dan sebelum Jepang menyerbu ke Indonesia, Persatuan
48
Politik Katolik Indonesia (PPKI) sudah mempunyai 41 cabang. Untuk masa sidang
1931-1935 Persatuan Politik Katolik Indonesia (PPKI) memduduki satu kursi
perwakilan. Persatuan Politik Katolik Indonesia (PPKI) tetap menduduki kursi
perwakilan di dalam Volksraad sampai dewan ini bubar lenyap pada tahun 1942.
kursi perwakilan di Volksraad sejak 1931-1942 selalau diduduki oleh I. J. Kasimo.
Tahun berikutnya Volksraad dibubarkan dengan masuknya Jepang ke Indonesia,
pendudukan Jepang membawa suasana yang suaram bagi golongan Nasrani,
termasuk bagi umat Katolik. Semua itu karena kecurigaan Jepang pada mereka yang
memeluk agama yang sama dengan Belanda, yaitu musuh mereka.
Perjuangan kemerdekaan dibawah pimpinan I. J. Kasimo, selama itu sangatlah
penting artinya bagi masa depan Gereja Katolik di Indonesia, yaitu pengertian dan
pandangan Sukarno pribadi, yang diperolehnya mengenai Gereja Katolik.
Dalam pidato Pancasilanya tanggal 1 Juni 1945 Sukarno menekankan, agar
para penganut berbagai agama di Indonesia bekerjasama, sebab tiap agama
mengajarkan toleransi. Setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, Kasimo
maupun pemimpin Katolik tidak ragu lagi untuk mencurahkan tenaga dan pikiran
bagi Republik Indonesia.
Pada tanggal 3 November 1945 pemerintah Republik Indonesia yang baru
mengeluarkan maklumat politik, yang menganjurkan kepada rakyat untuk
mendirikan partai politik yang tujuannya adalah sebagai sarana perjuangan untuk
mempertahankan kemerdekaan dan menjamin keamanaan masyarakat. Diharapkan
agar partai-partai sudah terbentuk sebelum dilangsungkan pemilihan anggota Badan
49
Perwakilan Rakyat bulan Januari 1946, dan mendapat sambutan baik dari
masyarakat.
Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) sebuah badan federasi dari
partai Islam yang dibentuk oleh Jepang berdiri sebagai sebuah partai tanggal 7
November 1945, di bawah pimpinan Dr. Soekiman Wirjosandjojo. Pada tanggal yang
sama berdiri juga Partai Komunis Indonesia (PKI) dibawah pimpinan Mr. Moh.
Jusuf. Partai Kristen Indonesia (Parkindo) tanggal 10 November, ketuanya Mr. A. M.
Tambunan. Dan awal bulan Desember berdiri Partai Sosialis (PS) dibawah pimpinan
Sutan Sjahrir. PNI (Partai Nasional Indonesia) didirikan kembali tanggal 29 Januari
1946 dengan ketuanya S. Mangoensarkoro. Partai Katolik sendiri pada masa Jepang
tidak aktif berjalan, ketika Maklumat Pemerintah itu dikeluarkan, I. J. Kasimo segera
mengundang para pemimpin PPKI yang ada di Surakarta untuk mengadakan rapat.
Rapat ini berlangsung tanggal 15 November dan diputuskan berdirinya kembali
Persatuan Politik Katolik Indonesia, dan memutuskan untuk mengadakan kongres
partai tanggal 8 Desember 1945. Kongres yang diadakan di Surakarta memutuskan
mengganti nama Persatuan Politik Katolik Indonesia dengan nama Partai Katolik
Republik Indonesia (PKRI).
Partai Katolik Republik Indonesia (PKRI) bertujuan memajukan Republik
Indonesia pada umumnya, serta mempertahankan kedudukan serta kelangsungan
hidupnya pada khususnya. Partai Katolik Republik Indonesia (PKRI) berkedudukan
di Surakarta dan pada tahun 1948 dipindahkan ke ibu kota Republik Indonesia yaitu
Yogyakarta. Kongres di Surakarta, juga memutuskan untuk membentuk Angkatan
Muda Katolik Republik Indonesia (AMKRI). Pada saat itu pemerintah RI belum
50
mempunyai senjata kecuali semangat dan tekad bangsa. Maka untuk menggairahkan
dan memobilisir tekad rakyat untuk merdeka, pemerintah Republik Indonesia yang
masih muda itu sangat membutuhkan wadah-wadah sebagai sarana perjuangan, maka
jawaban yang diberikan golongan Katolik di bawah Kasimo adalah positif. Partai
Katolik Republik Indonesia (PKRI) hanya mempunyai anggota di Jawa dan
Sumatera, karena luar Jawa dan Sumatera dengan cepat jatuh dalam kekuasaan
penguasa Belanda.
Pada waktu Belanda pada bulan Desember 1948 menduduki Yogyakarta, I. J.
Kasimo dan anggota Partai Katolik Republik Indonesia (PKRI) antara lain R. M.
Santjojo, dan menteri-menteri Sukiman, Susanta Tirtapradja, K.H. Maskur dan
Murdjani menggabungkan diri dengan pasukan gerilya Republik Indonesia. Pada saat
itu I. J. Kasimo yang berkedudukan sebagai ketua Partai Katolik Republik Indonesia
(PKRI) tetap memimpin partai. I. J. Kasimo bukan hanya memberikan intruksi
namun juga mendatangi anggota-anggotanya, bukan hanya di daerah Yogyakarta dan
Solo, melainkan juga sampai daerah pendudukan Semarang dan Jawa Barat.
Namun pergerakan umat Katolik tidak hanya berlangsung di Jawa dengan pusat
di Yogyakarta tapi juga di Sumatera, perjuangan umat Katolik ini aktif antara tahun
1945-1949. Tanggal 10 November 1945 Partai Politik Katolik berdiri di Medan,
sebelumnya berdiri Persatuan Politik Katolik Indonesia, dimana kata Persatuan
diganti menjadi Politik yang didirikan oleh Puspasutjipta, Dr. Darman, A.
Pandiangan, Hasan Marpaung, Ph. Hutauruk, dan lain-lain. Nama partai ini diubah
lagi tanggal 1 November 1945 menjadi Partai Katolik Nasional Indonesia, cabangnya
dibuka di Pematangsiantar, Kabandjahe, Pangkalanbrandan, Pematang Tanah Jawa,
51
sawahduapane, Perdagangan, dan lain-lain. Pada Januari 1946, Partai Katolik
Nasional Indonesia (PKNI) mengadakan hubungan dengan Partai Katolik Republik
Indonesia (PKRI), yang menghasilkan peleburan Partai Katolik Nasional Indonesia
(PKNI) menjadi cabang Partai Katolik Republik Indonesia (PKRI).
Perkembangan kehidupan politik tidak hanya terjadi di Jawa dan Sumatera, tapi
Kalimantan Barat yang menjadi negara buatan Belanda mempunyai 11 orang Katolik
di Parlemen, 8 Dayak, dan 3 orang Tionghoa, yaitu 27% dari jumlah anggota negara
bagian Kalimantan Barat. Pulau-pulau di luar Jawa dan Sumatera juga membentuk
partai politik yang pada Kongres Umat katolik Seluruh Indonesia (KUKSI) di
Yogyakarta, partai Katolik itu melebur menjadi satu partai tunggal.
Kongres Umat Katolik Seluruh Indonesia (KUKSI) berlangsung di Yogyakarta
tanggal 7 sampai 12 Desember 1949, Kongres ini di prakarsai oleh I. J Kasimo.
Tujuan dari kongres ini adalah menciptakan persatuan diantara golongan Katolik,
dan diadakannya penyelarasan dari semua organisasi Katolik di seluruh Indonesia,
dibawah satu bendera dan satu nama. Pada sidang hari pertama Presiden Sukarno,
Perdana Menteri Hatta dan beberapa Menteri datang. Pada konggres ini Presiden
Soekarno mengucapkan pidatonya:
“Menunjuk kepercayaan kepada Tuhan sebagai dasar Republik dan demokrasi. Baik kepercayaan terhadap Tuhan, maupun demokrasi dicantumkan kedalam Pancasila. Partai Katolik hendaknya jangan mengejar kepentingan sendiri diatas kepentingan umum negara”, (Pipitseputra 1970:342).
Keputusan terpenting dari Kongres Umat Katolik Seluruh Indonesia (KUKSI)
ialah peleburan dari semua Partai Katolik yang ada di Indonesia menjadi satu partai
dengan nama: Partai Katolik, ini terjadi pada tanggal 12 Desember 1949. Partai
52
Katolik mula-mula berkedudukan di Yogyakarta, tapi kemudian dipindahkan ke
Jakarta. Ketua umum pertama dipilih I. J Kasimo. Resolusi tentang peleburan itu
berbunyi:
Kami umat Katolik seluruh Indonesia, sejak dua puluh lima tahun yang lalu senantiasa untuk mengadakan satu Partai Katolik saja, yang meliputi seluruh tanah air kita, hal mana ternyata dari riwayat perkembangan beberapa perkumpulan Katolik, yang bergerak di lapangan politik, pada tanggal 12 Desember 1949 berkumpul dalam Kongres Umat katolik Seluruh Indonesia di Yogyakarta, dengan berkat dan nikmat Tuhan Yang Mahaesa menyatakan dengan suara bulat, bahwa saat untuk mendirikan satu Partai Katolik saja buat seluruh Indonesia telah tiba; memutuskan, menjelmakan: 1. Partai Katolik Republik Indonesia (PKRI), berdiri tanggal 8 Desember
1945 di Surakarta, 2. Partai Katolik rakyat Indonesia (PKRI), didirikan di Flores, 3. Partai katolik rakyat Indonesia (PKRI) didirikan di Makasar, 4. Partai Katolik Indonesia Timor (Parkit) didirikan di Timor, 5. Persatuan Politik Katolik Flores (Perpokaf), yang didirikan di Flores, 6. Permusyawaratan Majelis Katolik (Pemakat), yang didirikan di Manado, 7. Partai Katolik Indonesia Kalimantan (Parkika), yang didirikan di
Kalimantan, Menjadi satu partai kesatuan untuk semua umat Katolik seluruh Indonesia, dengan nama Partai Katolik, (Tim Wartawan Kompas 1980:70).
Pembentukan Partai Katolik diberitahukan kepada Sri Paus, dalam telagram
yang disusun oleh I. J. Kasimo dan ditandatangani oleh Mgr. Alb. Soegijapranata, S.
J., sebagai Vikaris Apostolik, yang menyampaikan pernyataan taat kepada Sri Paus
dan pemberitahuan terbentuknya Partai Katolik. Telegram ini diterjemahkan dalam
bahasa Perancis oleh Romo B. Schouten, S. J, dan dikirimkan ke Vatikan.
Kongres Umat Katolik Seluruh Indonesia (KUKSI), juga mengambil keputusan
untuk mendukung pemerintah agar Irian Barat dimasukkan ke dalam wilayah
Republik Indonesia. Kongres pertama Partai Katolik diadakan di Semarang 4
Agustus 1950, yaitu meresmikan berdirinya Partai Katolik dan mensahkan anggaran
dasar partai. Tujuan dan azas Partai Katolik adalah: “Partai Katolik berdasarkan
53
Ketuhanan Yang Mahaesa pada umumnya serta Pancasila pada khususnya, dan
bertindak menurut azas-azas Katolik”. Tujuan dari Partai Katolik adalah bekerja
sekuat-kuatnya untuk mengembangkan kemajuan Republik Indonesia, (Pipitseputra
1970: 343). Dalam kongres ini Mgr. Alb. Soegijapranata, S. J., berpesan:
“Agar Partai Katolik mau bekerja keras guna kepentingan-kepentingan sosial. Ditegaskan pula jika Gereja di Indonesia mau hidup, seluruh umat Katolik hendaknya bersedia untuk bekerja dan berkorban”, (Gonggong 1993: 84). Kongres pertama Partai Katolik ini memutuskan mengadakan konsolidasi
diantara semua golongan Katolik Indonesia, termasuk keturunan Belanda dan Cina
yang menjadi warganegara Indonesia. Ini dapat dilihat dengan sistem pembagian
dalam Dewan Pimpinan Partai diamana diantara 7 orang anggota Dewan Pimpinan
Partai (DPP) terdapat seorang warganegara Indonesia keturunan Belanda dan seorang
warganegara keturunan Cina. Kongres ini juga menghasilkan resolusi tentang
kebebasan hak beragama, pendidikan, pelayanan, dan jaminan sosial. Dalam Partai
Katolik terdapat juga slogan-slogan partai seperti: “Vox Populi Vox Die” (suara
rakyat itu suara Tuhan), “Bonum Populi” (demi kebaikan rakyat banyak), serta
“Tujuan yang baik dan benar harus lewat jalan yang baik dan benar”. Pada tahun-
tahun berikutnya Partai Katolik menunjukkan perkembangan yang cukup
menggembirakan, karena dalam percaturan politik di Indonesia, banyak tokoh Partai
Katolik yang muncul dan berperan, serta mampu mneduduki jabatan-jabatan tinggi.
Hal ini patut disyukuri karena sebagai partai yang kecil ditengah-tengah partai besar,
serta dari proporsi pengikutnya yang sangat kecil di tengah-tengah golongan
mayoritas yang beragama Islam.
54
Tahun 1950, Negara-Negara Bagian Republik Indonesia Serikat menyatakan
keinginan untuk bersatu dengan Republik Indonesia. Pada tanggal 16 Agustus 1950
lahir Negara Kesatuan Republik Indonesia yang negaranya meliputi seluruh wilayah
Hindia Belanda kecuali Irian Barat. Dalam kabinet Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang kemudian terbentuk, Partai Katolik selalu diikutsertakan.
Ketika berlangsung Pemilu pertama tahun 1955, Partai Katolik memenangkan
770.740 suara untuk DPR dan 748.591 suara untuk Konstituante. Partai Katolik
memperoleh 6 kursi dari 260 kursi di DPR (2,3%), dan 10 kursi untuk Konstituante
dari 520 kursi (1,9%), Partai Katolik keluar sebagai partai nomor 7 di antara 20
partai yang ikut dalam Pemilu. Berdasar hasil Pemilu, maka tahun 1955 terbentuk
Kabinet Koalisi dipimpin Mr. Ali Sastroamidjojo, dan Partai Katolik memperoleh
dua kursi yaitu Menteri Agraria dipegang oleh Prf. Mr. A. A. Soehardi, dan Menteri
Muda perhubungan ditunjuk A. B. de Rozari.
Tanggal 21 Februari 1957, Presiden mengundang para pemimpin partai politik
dan masyarakat ke Istana Negara, dan melontarkan Konsepsi Presiden. Konsepsi
Presiden menganjurkan perubahan sistem pemerintahan yang berlaku saat itu, guna
mengahadapi kesulitan-kesulitan negara. Demokrasi Parlementer diganti menjadi
Demokrasi Indonesia dengan azas Gotong Royong, dengan dibentuknya Dewan
Nasional yang diangkat oleh Presiden, berfungsi sebagai penasihat untuk kabinet.
Disarankan juga pembentukan “Kabinet Kaki Empat atau Kabinet Kaki Kuda”, (Tim
Wartawan Kompas 1980:83), dimana setiap kabinet yang terbentuk harus berintikan
partai-partai politik yang keluar dari Pemilu sebagai empat besar yaitu: Nahdatul
Ulama (NU), Partai Nasional Indonesia (PNI), Masyumi, dan Partai Komunis
55
Indonesia (PKI). Masing-masing partai mendapat 20%-25% dari jumlah kursi dalam
DPR, dengan terbentuknya Kabinet Kaki Empat kestabilan pemerintahan dapat
dicapai. Tanggal 28 Februari 1957, PKI, Murba, PNI, PRN, Baperki, dan Persatuan
Pegawai-pegawai Kepolisian Negara dengan tegas menerima Konsepsi Presiden.
NU, PSII, Parkindo, IPKI, dan PSI menyatakan mereka masih mempertimbangkan,
dan 2 partai yang menolak secara tegas adalah Masyumi, dan Partai Katolik. Sebagi
akibatnya dalam Kabinet Karya di bawah pimpinan Perdana Menteri Ir. Djuanda,
Partai Katolik tidak diikutsertakan, demikian pula pembentukan kabinet-kabinet
selanjutnya. Baru tahun 1964, setelah I. J. Kasimo tidak menjadi ketua DPP, maka
Partai Katolik diikutsertakan dalam kabinet.
Sikap tegas Kasimo yang menolak Konsepsi Presiden, mengundang rasa kagum
dikalangan politik. I. J. Kasimo sebagai pimpinan partai golongan minoritas, berani
mengambil resiko yang besar demi prinsip, dengan itu pula wibawa Partai Katolik
naik.
Sikap I. J. Kasimo banyak mendapat kritik dalam tubuh Partai Katolik seperti;
Djoko Tirto dan H. J. Soemarto dari Komisariat Yogyakarta. Demikian juga saat
berlangsungnya Kongres Partai Katolik di Surakarta tahun 1958. Dua tahun
kemudian dalam kongres partai tahun 1960, Kasimo menyerahkan kedudukan Ketua
DPP Partai Katolik kepada Drs. Frans Seda.
Pada saat terjadinya Gerakan 30 September 1965, anggota Partai Katolik ikut
serta membentuk KAP- Gestapu dan mendukung organisasi Katolik lain yang ikut
dalam KAMI. Partai Katolik juga mendukung adanya Tritura oleh masyarakat serta
memperjuangkan kebebasan bagi semua golongan agama dalam MPRS tahun 1968.
56
Menjelang Pemilu 1971, kedudukan Partai Katolik melemah. Hal ini
disebabkan, karena beberapa tokoh politik dalam Partai Katolik memilih bergabung
dalam Golkar, akibatnya Partai Katolik hanya memperoleh 3 kursi dalam DPR.
Tahun 1973, saat masa Orde Baru berlangsung, terjadi penyederhanaan partai.
Hal ini diungkapkan oleh Menteri dalam Negeri Amir Machmud dalam anjurannya: partai-partai politik agar mengadakan fusi. Pokoknya; dalam Pemilihan Umum tahun 1976 harus ada 3 partai saja, yaitu 2 bendera partai dan 1 bendera Golongan Karya. Partai-partai Islam (NU, Parmusi, Perti, dan PSII) disarankan agar bergabung menjadi sati. Partai-partai yang lainnya (PNI, Partai Katolik, Parkindo, IPKI, Murba) termasuk dalam “Demokrasi Pembangunan”. Sedangkan Golongan Karya akan berdiri sendiri sebagai partai politik, (Tim wartawan Kompas 1980: 102).
Partai Katolik dipersatukan dengan Parkindo, PNI, Murba, dan IPKI
membentuk Partai Demokrasi Indonesia (PDI) sampai sekarang. Meskipun Partai
Katolik sudah tidak ada dan melebur menjadi Partai Demokrasi Indonesia, namun
mereka masih mempunyai visi dan misi untuk agama Katolik. Dalam wadah Partai
Demokrasi Indonesia, Partai Katolik tetap memperjuangkan “Salus Populi Suprema
Lex” yaitu kesejahteraan rakyat adalah hukum tertingi. Partai Katolik juga tetap
memperjuangkan trilogi perjuangan: demokrasi, pembaruan, dan pembangunan.
Umat Katolik diberi kebebasan untuk berpolitik dengan masuk partai manapun,
tetapi tetap menjunjung adanya visi dan misi dari agamanya. Hal ini terbukti dengan
banyaknya umat Katolik yang berpolitik mendapatkan kepercayaan untuk
menduduki tempat-tempat yang strategis, dikarenakan keteladanan, kedisiplinan, dan
keinginan bekerjakeras, serta kejujuran yang dalam melaksanakan semua
kewajibannya.
4.2.2 Pengaruh Partai Katolik terhadap Vikariat Apostolik Semarang
57
Partai Katolik yang tumbuh dalam Vikariat Apostolik Semarang tentu banyak
berpengaruh bagi kehidupan masyarakat di wilayah Vikariat ini. Partai Katolik
adalah bagian dari tubuh Gereja, jadi antara Partai Katolik dan Gereja saling
bekerjasama, dalam hal ini kerjasama bukan bersifat politik namun pada konsultatif.
Unsur partai (pengurus) menghadap Vikaris Apostolik Semarang hanya sekedar
konsultasi, dimana Vikaris (Uskup) menyampaikan ajaran atau pandangan Gereja
sedangkan Partai Katolik atau pengurus partai diharap mampu menerapkan apa yang
diberikan Vikaris, namun bila tidak sesuai mereka dapat tidak menjalankannya.
Gereja mendukung adanya Partai Katolik namun bukan berarti Gereja terlibat
langsung, Gereja hanya memberikan motivasi maupun saran. Sebagai Vikaris di
daerah Vikariat yang baru terbentuk Mgr. Alb. Soegijapranata, S. J., menyadari
bahwa Gereja tidak boleh mencampuri urusan politik, namun situasi yang tidak
memungkinkan maka tidak ada jalan lain kecuali menerimanya. Mgr. Alb.
Soegijapranata, S. J., juga menyadari beliau tidak hanya seorang warga negara, tetapi
juga seorang Uskup.
Mgr. Alb. Soegijapranata, S. J, tertarik dalam bidang politik dan tidak jarang
terlibat dalam politik paktis. Keterlibatan Mgr. Alb. Soegijapranata, S. J.,
menyebabkannya harus bersedia menerima kritikan dari berbagai pihak terutama dari
umat Katolik sendiri. Umat Katolik beranggapan kurang pada tempatnya seorang
Uskup melibatkan diri dalam bidang politik paktis, namun hal itu ditanggapi bahwa
keterlibatan Mgr. Alb. Soegijapranata adalah wajar, apalagi keterlibatannya adalah
dalam kedudukannya sebagai warganegara dan bukan untuk mendapatkan
kedudukan secara pribadi, (Gonggong 1983 :97). Pada masa sekarang jika ada
58
rohaniwan, biarawan maupun biarawati yang masuk dalam politik praktis, mereka
diberi pilihan tetap menjadi rohaniwan atau menjadi umat biasa.
Mgr. Alb. Soegijapranata, S. J., selalu mendukung kegiatan politik yang
dilakukan oleh umatnya. Salah satu wujud keperduliannya adalah Ia sebagai salah
seorang organisator Kongres Umat Katolik Seluruh Indonesia (KUKSI) bersama I. J.
Kasimo. Selain itu I. J. Kasimo menyampaikan resolusi KUKSI pada Mgr. Alb.
Soegijapranata untuk mendapat persetujuan serta ijin agar dapat dilaksanakan. Jadi
Mgr. Alb. Soegijapranata, S. J., dalam jabatan resminya sebagai Vikaris Apostolik
Semarang, namun mempunyai peranan yang cukup luas dari pada wilayahnya.
Meskipun Gereja dan Partai Katolik adalah dua hal yang berlainan, tapi pihak partai
masih memerlukan ijin dari Mgr. Alb. Soegijaparanata, S. J., selaku pimpinan Gereja
untuk tindakannya melebur diri menjadi satu organisasi politik yang meliputi seluruh
Indonesia dan yang bergelar “Katolik”, (Moeryantini 1975:121).
Perbedaan paham mulai terjadi antara Mgr. Alb. Soegijaparanata, S. J., dengan
Partai Katolik bersumber pada Konsepsi Presiden. Secara jelas Partai Katolik
menolak Konsepsi itu, tapi Mgr. Alb. Soegijapranata, S. J., mendukung Konsepsi
Presiden itu. Ketidaksepakatan pendapat itu terjadi karena perbedaan sikap terhadap
Konsepsi Presiden. Mgr. Alb. Soegijapranata, S. J., menghendaki Partai Katolik
mendukung ide Demokrasi Terpimpin, dan ini mendapat dukungan dari Partai
Katolik Cabang Yogyakarta. Gereja sebenarnya tidak dapat bekerjasama dengan
Komunis (PKI), tapi beliau dalam wawancara dengan seorang wartawan bernama I.
Oudejans termuat dalam majalah “Indisch Missietijdschrift” no 41 tahun 1958
mengatakan:
59
Bahwa kebijaksanaan yang ditempuh oleh Partai Katolik tidak tepat, oleh karena di Indonesia tidak dikenal oposisi loyal seperti di negara-negara Barat. Di Indonesia oposisi di pandang berbahaya bagi negara.
Oleh karena itu lebih baik bekerjasama dan memerangi komunisme dan musuh-musuh Gereja lainnya dari dalam pemerintahan. Jalan ini akan lebih berhasil. Orang-orang Katolik akan dapat mempunyai pengaruh apa jika mereka abstain?
Mgr. Alb. Soegijapranata, S. J., mengambil tindakan yang makin menjelaskan
sikapnya tidak sejalan dengan Partai Katolik., yaitu mengisi dua kursi Dewan
Nasional yang disediakan untuk golongan Katolik. Partai Katolik menolak duduk
dalam Dewan Nasional, tapi Mgr. Alb. Soegijapranata, S. J., justru berusaha
mengisinya, dan di Yogyakarta menemukan dua orang Katolik yang bersedia duduk
dalam Dewan Nasional yaitu Ir. Supriadi dan R. E. Soewandi. Usaha itu membuat
hubungan antara Partai Katolik dan Mgr. Alb. Soegijapranata, S. J., makin jauh, tapi
Mgr. Alb. Soegijapranata, S. J., beranggapan Partai Katolik tidak sama dengan
Gereja Katolik atau golongan Katolik, (Moeryantini 1975:123), maka beliau
memasukan dua orang Katolik sebagai wakil golongan Katolik, bukan wakil Partai
Katolik. Selanjutnya sejak tahun enam puluhan sampai wafatnya Mgr. Alb.
Soegijaparanata, S. J., hubungannya renggang dengan Partai Katolik. Namun hal ini
dapat di mengerti, bahwa masing-masing pihak berjuang dan mengambil sikap sesuai
dengan hati nuraninya masing-masing.
Namun peranan Partai Katolik secara tidak langsung berpengaruh pada Vikariat
Apostolik Semarang. Partai Katolik bukan hanya berperan dikancah Nasional tetapi
juga Internasional.
60
Dalam Kongres Umat Katolik seluruh Indonesia yang berlangsung di
Yogyakarta, merupakan kongres nasional yang pertama kali berlangsung setelah
kemerdekaan. Kongres ini dihadiri banyak pejabat antara lain; Presiden Soekarno,
Wakil Presiden Moh. Hatta, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Sri Paku Alam VIII,
serta menteri-menteri, dan pejabat yang lain. Partai Katolik juga menepis anggapan
bahwa, bahwa orang yang beragama Katolik lebih mendukung Kolonial tanpa
mempunyai rasa kebangsaan, sehingga saat mereka terjun ke suatu partai orang-
orang Katolik merasakan adanya rasa curiga dari anggota lain. Dengan berdirinya
Partai Katolik dan kiprahnya antara lain dalam penyelesaian kasus Irian Barat oleh
Drs. Frans Seda wakil dari Partai Katolik, yang merundingkan tentang masalah Irian
Barat dan “Bunker Plan” (dalam 2 tahun pemerintah Belanda harus menyerahkan
Irian Barat kepada Indonesia) dengan Partai Katolik Belanda KPV (Katholieke
Volkspartij), dan usaha ini berhasil. Tanggal 15 Agustus 1962 ditandatangani
Perjanjian New York berdasar prinsip “Bunker Plan”, Irian Barat diserahkan kepada
PBB yang membentuk United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA),
yang mengurus kepemerintahan sementara, dan tanggal 1 Mei 1963 Irian Barat
secara resmi menjadi bagian dari Republik Indonesia.
4.3 Perubahan Kedudukan Vikariat Apostolik Semarang
4.3.1 Hirarki Gereja Indonesia
Menyaksikan perkembangan penyebaran misi di Indonesia, yang mengalami
banyak tantangan. Tanggal 3 Januari 1961 Paus Yohanes XXIII mendirikan Hirarki
Gereja Indonesia. Hal ini dilatarbelakangi oleh:
61
1. Internasional, Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia, sedangkan Irian Jaya belum mereka lepaskan, hal ini menimbulkan semua perusahaan dan perkebunan Belada dinasionalisasi dan para warganegara Belada diusir. Namun ada satu perkecualian: para misionaris, prater, bruder, suster boleh tetap ada dengan beberapa pembatasan.
2. Dalam Negeri, pada tahun 1950-an bertambah kuatnya Partai komunis. Kuatnya hasutan Partai Komunis dapat dilihat di Ambarawa, Kongregasi Suster Fransiskanes sebagaian besar para karyawan karyawatinya menjadi anggota SOBSI, Direktur Rumah Sakit dokter Djajus adalah tokoh HSI (Himpunan sardjana Indonesia) yang bernaung di bawah PKI.
3. Pertambahan jumlah paroki dari 21 pada tahun 1941 menjadi 39 pada tahun 1961. Di Yogyakarta, misalnya; Ganjuran, Bantul, Kalasan, Wates, Pakem, Medari, Klepu, dan Wonosari, dulunya dilayani oleh Kotabaru, tetapi sekarang sudah mandiri, (Tim KAS 1992:83).
Melihat penjelasan diatas, Gereja makin bertambah besar dan merupakan
sarana kesatuan antara manusia dengan Allah dan persatuan seluruh umat manusia.
Dalam perjalanannya Gereja Katolik di Indonesia merasa sudah dewasa, dan perlu
diberlakukan seperti Gereja Katolik di negara lain yang imannya sudah mengakar,
bukan sebagai daerah misi lagi. Wali Gereja Indonesia dalam sidang di Girisonta
Jawa Tengah, 9-16 Mei 1960, membahas tentang Hirarki Gereja di Indonesia.
Keputusan hasil sidang itu ditandatangani oleh seluruh Wali Gereja Indonesia
tanggal 12 Mei 1960 dan di kirim kepada Paus Yohanes XXIII di Roma.
Permohonan ini ditanggapi dalam dekrit “Quod Christus” tanggal 3 Januari 1961,
Sri Paus memandang Gereja Katolik Indonesia sudah dapat mandiri, sehingga Beliau
dengan senang hati mendirikan Hirarki Gereja Indonesia. Sri Paus berharap agar
pemerintah Indonesia selalu melindungi agama Katolik dan segala kegiatan
ibadahnya.
Gereja Katolik Indonesia berakar dan membumi dalam alam kehidupan bangsa
sendiri. Dengan adanya hirarki, istilah Vikariat dan Perfektur Apostolik diganti
62
menjadi Keuskupan Agung dan Keuskupan. Saat Hirarki Gereja Indonesia didirikan
terdiri 6 propinsi Gerejawi:
1. Keuskupan Agung Medan dengan Keuskupan-keuskupan sufragan Sibolga,
Padang, Palembang, Tanjungkarang, dan Pangkalpinang.
2. Keuskupan Agung Jakarta dengan Keuskupan-keuskupan sufragan Bogor dan
Bandung.
3. Keuskupan Agung Semarang dengan Keuskupan-keuskupan sufragan
Purwokerto, Surabaya, dan Malang.
4. Keuskupan Agung Pontianak dengan Keuskupan-keuskupan sufragan Ketapang,
Sintang, Banjarmasin, dan Samarinda.
5. Keuskupan Agung Ujungpandang dengan keuskupan-keuskupan sufragan
Manado, dan Amboina.
6. Keuskupan Agung Ende dengan Keuskupan-keuskupan sufragan Larantuka,
Ruteng, Atambua, Weetebula, dan Denpasar.
Peresmian Hirarki Gereja Indonesia disambut dengan sangat antusias, dengan
kemandirian itu bantuan sebagai daerah missi menjadi sangat berkurang tetapi
merupakan tantangan yang sangat menggairahkan. Hirarki Gereja Katolik di
Indonesia secara garis besar dibagi menjadi Hirarki umum dan Hirarki khusus.
Dalam Hirarki Khusus adalah Keuskupan Angkatan Bersenjata republik Indonesia
(ABRI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia POLRI). Hirarki Umum,
Keuskupan di Indonesia dikelompokkan berdasarkan pembagian menurut Propinsi
Gerejawi atau pembagian menurut Regio. Bersamaan itu Sri Paus lalu mengirim
Surat Gembala “Sacrum Expeditionum” tanggal 20 Maret 1961, Sri Paus
63
menganggap peristiwa itu patut ditulis dalam tinta emas, namun Beliau juga
mengingatkan kehadiran para misionaris dari negara lain masih tetap merupakan hal
yang perlu di Indonesia.
4.3.2 Pengaruh Penerapan Hirarki Gereja Indonesia Bagi Vikariat Apostolik Semarang
Tanggal 3 Januari 1961 bersamaan dengan berdirinya Hirarki Gereja Indonesia,
Vikariat Apostolik Semarang menjadi Keuskupan Agung Semarang (KAS), dengan
Mgr. Alb. Soegijapranata, S. J., sebagai Uskup Agung pertama. Surat keputusan
sebagai Keuskupan Agung diserahkan dari wakil Bapa Suci di Vatikan yaitu
Internunsius tanggal 15 November 1961. Perubahan ini dikuatkan dengan adanya
Surat Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia yaitu SK Meneg no 89 tahun
1965. Dengan menjadi Keuskupan, para Uskup tidak lagi menjadi wakil (Vikaris)
dari Paus, tapi menjadi satu kesatuan dengan Paus dan para Uskup sedunia,
bertindak, dan berwibawa sebagai pengganti para rasul, (Van den End 2000:477).
Wilayah Keuskupan Semarang mencakup:
a. Sebagian besar Propinsi Jawa Tengah dengan Kotamadya-kotamadya Semarang,
Magelang, Surakarta, Salatiga, dan Kabupaten-kabupaten Boyolali, Demak,
Jepara, Grobogan, Kendal, Klaten, Kudus, Pati, Magelang, Semarang, Sragen,
Sukoharjo, Temanggung, Wonogiri, dan
b. Seluruh wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta dengan Kotamadya Yogyakarta,
dan Kabupaten-kabupaten Bantul, Gunung Kidul, Kulon Progo, Sleman.
Untuk memudahkan pengelolaan Keuskupan Agung Semarang dibagi menjadi 4
Vikaris Episkopal (Vikep) atau wakil Uskup untuk suatu wilayah Keuskupan, yaitu:
64
1. Wilayah Kevikepan Semarang mencakup Kabupaten Demak, Jepara, Grobogan,
Kendal, Kudus, Pati, Semarang, dan Kotamadya Salatiga dan Semarang.
2. Kevikepan Yogyakarta mencakup seluruh Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
3. Kevikepan Surakarta, mencakup Kabupaten Klaten, Sragen, Wonogiri, Boyolali,
Sukorejo, Karanganyar, dan Kotamadya Surakarta.
4. Kevikepan Kedu, mencakup Magelang, Temanggung, Tumpang (Wonokerso),
Muntilan, Mertoyudan, Salam, Sumber, Parakan, Borobudur.
Selain disusun Hirarki Gereja Indonesia, juga disusun Hirarki Gereja Katolik
yang dimulai dari para Uskup sebagai Dewan dan ketuanya adalah Paus.
1. Paus, “Konsili Suci mengajarkan, bahwa atas penetapan ilahi, para uskup
menggantikan para rasul sebagai gembala Gereja” (Lumen Gentium 20). Lumen
Gentium adalah Konstitusi Dogmatis Konsili Vatikan II tentang Gereja.
2. Imam merupakan “penolong dan organ para uskup” (Lumen Gentium 28)
Didalam Gereja Katolik ada imam diosesan (sebutan yang sering dipakai imam
praja) dan imam religius (ordo atau kongregasi).
Imam diosesan adalah imam keuskupan yang terikat dengan salah satu
keuskupan tertentu dan tidak termasuk ordo atau kongregasi tertentu. Imam
religius (misalnya SJ, MSF, OFM, dsb) adalah imam yang tidak terikat dengan
keuskupan tertentu, melainkan lebih terikat pada aturan ordo atau kongregasinya.
3. Diakon adalah pembantu Uskup dan Imam dalam pelayanan terhadap umat
beriman. Mereka ditahbiskan untuk mengambil bagian dalam imamat jabatan.
Karena tahbisannya ini, maka seorang diakon masuk dalam kalangan hirarki. Di
Gereja Katolik ada 2 macam Diakon, yaitu:
65
1. Mereka yang dipersiapkan untuk menerima tahbisan Imam.
2. Mereka yang menjadi Diakon untuk seumur hidupnya tanpa menjadi Iman.
4. Kardinal adalah merupakan gelar kehormatan. Kata “kardinal” berasal dari kata
Latin”cardo” yang berarti “engsel”, dimana seorang Kardinal dipilih menjadi
asisten-asisten kunci dan penasehat dalam berbagai urusan gereja. Kardinal dapat
dipilih dari kalangan Imam ataupun Uskup.
Bagi kaum awam, perutusan bukan saja dalam bidang liturgi dan pewartaan, tapi
juga di bidang penggembalaan yaitu:
1. Pengurus Dewan Paroki, tugasnya memikirkan, merencanakan, memutuskan dan
mempertanggungjawabkan hal-hal yang bermanfaat bagi kehidupan dan karya
paroki.
2. Pengurus Wilayah atau stasi, tugasnya adalah mengkoordinasikan kegiatan antara
lingkungan yang berada di dalam wilayah Dewan Parokinya.
3. Pengurus Lingkungan, tugasnya menampung dan menyalurkan masalah-masalah
yang ada di lingkungan kepada Dewan Paroki atau Pastor Parokinya. Juga
mengadakan pendataan dalam lingkungan atau kelompok dan mengadakan
pertemuan bersama dengan pengurus kelompok.
4. Pengurus Kelompok, tugasnya menjadi tumpuan utama dan pertama untuk
mengembangkan kehidupan umat Katolik. Merekalah yang melakukan berbagai
program lingkungan dalam rangka pembinaan umat.
66
BAB V PENUTUP
A. Simpulan
Dari penjelasan pada Bab I sampai Bab IV, maka penulis dapat meyimpulkan
dari hasil penelitian yaitu:
1. Latar Belakang terbentuknya Vikariat Apostolik Semarang adalah peristiwa
pembaptisan di Sendangsono pada tahun 1904, sebanyak 171 orang dibaptis oleh
Romo Van Lith, S. J. Munculnya dua daerah sebagai tempat yang subur dalam
penyebaran misi agama Katolik yaitu Magelang dan Muntilan. Pembangunan
Seminari Tinggi di Muntilan tahun 1936, menunjukkan perlunya pendirian
Vikariat yang baru, Vikariat Apostolik Batavia berbeda kultur dengan Jawa
Tengah. Perbedaan ini membuat Mgr. Willekens mengajukan surat pada
Kongregasi Propaganda Fide di Vatikan, tentang pembukaan daerah Vikariat
yang baru. Hal itu ditanggapi oleh Paus dengan memberikan restunya dan
menginginkan agar Vikariat baru yang akan dibentuk berasal dari pribumi. Selain
faktor diatas yang berasal dari dalam negeri ada juga faktor yang berasal dari luar
negeri yaitu akan pecahnya Perang Dunia II yang akan berpengaruh pada
hubungan komunikasi antara Vatikan dan daerah misi termasuk di Indonesia.
2. Perkembangan Vikariat Apostolik Semarang dalam penyebaran misi Gereja
tahun 1940-1961, ditandai dengan pertambahan umat di Vikariat ini. Vikariat
Apostolik Semarang banyak mengalami tekanan dengan masuknya Jepang ke
Indonesia, menyebabkan banyak misionaris yang ditahan maupun diiternir.
Bangunan Gereja maupun sarana pendukung misi disita. Kegiatan keagamaan
67
dilarang dengan menggunakan bahasa musuh (Belanda). Setelah Jepang pergi
berganti pasukan sekutu, Vikariat Apostolik Semarang memindahkan hirarki
Gerejawi ke Yogyakarta mengikuti perpindahan pemerintahan ibu kota negara ke
Yogyakarta. Setelah Konferensi Meja Bundar hirarki Gerejawi dipindahkan ke
Semarang walupun dengan jumlah misionaris yang kurang tapi karya misi tetap
dilanjutkan. Menjelang tahun 1961, Gereja Katolik dianggap makin dewasa maka
Paus Yohanes XXIII mengumumkan terbentuknya Hirarki Gereja Katolik
Indonesia sejak 3 Januari 1961. Dengan berdirinya Hirarki Gereja Indonesia
Vikariat Apostolik berganti menjadi Keuskupan Agung. Dalam tugasnya
Keuskupan Agung membentuk Dewan Gereja, yang membantu Uskup dalam
penyebaran karya misi disamping terbentuknya Hirarki Gereja Katolik.
3. Muncul dan perkembangan Partai Katolik di Vikariat Apostolik Semarang,
mengalami perjalanan yang panjang. Umat Katolik pertama terjun di Budi
Utomo, namun pada akhirnya mereka mendirikan partai sendiri pada tahun 1917
yaitu Voorloopig Katholieke Comité Voor Politieke Actie. Pada tahun yang sama
berdiri juga Katholieke Vereeniging Voor Politieke Actie, yang pada bulan
November 1918 namanya diubah menjadi Indische Katholieke Partij. Didirikan
Pakempalan Politik Katolik Djawi (PPKD), pada 22 Februari 1925 namanya
diganti menjadi Perkumpulan Politik Katolik di Djawa, tahun 1930, menjadi
Persatuan Politik Katolik Indonesia (PPKI). 8 Desember 1945 diadakan kongres
di Surakarta memutuskan mengganti nama Persatuan Politik Katolik Indonesia
dengan nama Partai Katolik Republik Indonesia (PKRI). Pada Kongres Umat
68
Katolik Seluruh Indonesia (KUKSI) berlangsung di Yogyakarta tanggal 7 sampai
12 Agustus 1949 diputuskan pembentukan Partai Katolik.
4. Pengaruh Partai Katolik bagi Vikariat Apostolik Semarang sangat besar. Partai
Katolik mampu menepis anggapan masyarakat, bahwa umat Katolik lebih
condong pada kolonial. Melalui Partai Katolik Presiden Sukarno mengerti
tentang apa itu Gereja bahkan bekerjasama dengan Mgr. Alb. Soegijapranata, S.
J., selaku Vikaris Apostolik Semarang. Partai Katolik dengan pimpinannya I. J
Kasimo dapat bekerjasama dengan Mgr. Alb. Soegijapranata, S. J, yang
menghasilkan Kongres Umat Katolik Seluruh Indonesia tahun 1949, namun
bentuk hubungan Partai Katolik dan Vikariat Apostolik Semarang hanya bersifat
konsultatif.
B. Saran
Dengan melihat perjalanan panjang Vikariat Apostolik Semarang yang akhirnya
menjadi Keuskupan Agung Semarang, serta Partai Katolik maka penulis dapat
menyarankan:
1. Bagi Keuskupan Agung Semarang perlu adanya penggiatan penyebaran karya
missi yang saat ini makin redup, mengingat terjadinya penurunan jumlah umat
dari tahun-ketahun.
2. Pada masyarakat khususnya umat Katolik, walaupun sekarang Partai Katolik
telah meleburkan diri dalam PDI maupun partai yang lain, hendaknya tetap
berada dalam jalur dan menjunjung azas dan norma Katolik.
69
DAFTAR PUSTAKA
Abdulah, Taufik. Dkk. 1985. Ilmu Sejarah dan Historiografi. Arah dan Perspektif.
Jakarta; PT Gramedia. Abdurrahman, Dudung. 1999. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta; Logos Wacana
Ilmu. Biro Organisasi D. P. P. Partai Katolik. 1967. Landasan Idiil, Anggaran Dasar dan
Rumah Tangga Partai Katolik. Jakarta: BKTN. Budiarjo, Miriam. 1988. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta.: Balai Pustaka. End, Th. Van den & weitjens, J. 2000. Ragi Cerita 2: Sejarah Gereja di Indonesia
1860-an – Sekarang. Jakarta: Gunung Mulia. Fakultas Ilmu Sosial. 2003. Pedoman Penulisan Skripsi. Semarang: _ . Hadi, Sutrisno. tt. Bimbingan Penulisan Skripsi, Thesis Jilid II. Yogyakarta: Yayasan
Penerbit Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada. Heuken, S. J. A. 1967. Ensikopedi Gereja Jilid III. Jakarta; Yayasan Cipta Loka
Caraka ____________. 1989. Ensiklopedi Populer Tentang Gereja Katolik di Indonesia Jilid
Khusus. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka _____________. 1992. Ensikopedi Gereja Jilid II. Jakarta; Yayasan Cipta Loka
Caraka _____________. 1994. Ensikopedi Gereja Jilid IV. Jakarta; Yayasan Cipta Loka
Caraka _____________. 1995. Ensikopedi Gereja Jilid V. Jakarta; Yayasan Cipta Loka
Caraka J. Basuki, Felix. 1994. Peran serta Umat Beragama dalam Kancah Politik Indonesia
(Dipandang dari Faktor Historis dan Praktek dengan Kacamata Iman Kristiani). Makalah disajikan dalam Sidang Istimewa Akedemi, ST. Thomas Aquinas, Kentungan Yogyakarta, 1 Mei.
Gazalba, Sidi. 1981. Pengantar Sejarah Sebagai Ilmu. Djakarta: Bathara. Gonggong, Anhar. 1984. Mgr Albertus Soegijapranata. Jakarta; Depdikbud.
70
______________ . 1993. Mgr Albertus Soegijapranata S. J Antara Gereja dan Negara. Jakarta; PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
Gosttschlak, Louis. 1983. Mengerti Sejarah. Jakarta; UI press. Kuntowijoyo. 2003. Metodologi Sejarah Edisi Kedua. Yogyakarta: Tiara Wacana. Martasudjita,Pr. E. Dkk. 2004. Liturgi dan Semangat Perutusan Renungan Bulan
Maria dan Bulan Katekese Liturgi. Yogyakarta; Kanisius. Moedjanto, G. Dkk. 1991. Garis-Garis Besar Sejarah Gereja Katolik di Keuskupan
Agung Semarang. Semarang; Keuskupan Agung Semarang. Moeryantini. CB. M. Hendricia. 1975. MGR Albertus Soegijapranata, S.J. Ende
Flores; Nusa Indah-Arnoldus. Moleong, Lexy. tt. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung; PT Remaja. Muhadjir, H. Noeng. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi IV. Yogyakarta:
Rake Sarasin. Notosusanto. Nugroho. 1970. Pengantar Ilmu Sejarah. Jakarta; -- Pipitseputra. 1973. Beberapa Aspek dari Sejarah Indonesia Aliran nasionalis, Islam,
Katolik, Sampai Akhir Zaman Perbedaan Paham. Flores: Nusa Indah Ende. Rausch, Thomas. P. 2005. Katolisisme Teologi Bagi Kaum Awam. Yogyakarta:
Kanisius. Renier. G. J. 1997. Metode dan Manfaat Ilmu Sejarah. Yogyakarta; Pustaka Pelajar. Rosariyanto. F. Hasto. S.J. 2001. Gereja Katolik Indonesia Bercermin pada Wajah-
Wajah Keuskupan. Yogyakarta. Kanisius. Shadily, Hasan. 1980. Ensiklopedi Indonesia 3. Jakarta; PT Djaya Pirusa.
_____________. 1984. Ensiklopedi Indonesia Jilid 5. Jakarta; Ichitiar Baru – Van Hoeven
Siagian, Seno. Harbangan. 1987. Agama-agama di Indonesia. Semarang; Satya
Wacana. Sjasudduha. 1987. Penyebaran dan Perkembangan Islam, Katolik, dan Protestan di
Indonesia. Telaah sejarah dan perbandingan. Surabaya; Usaha Nasional. Subanar. G. Budi. S. J. 2003. Soegija si Anak Betlehem Van Java. Yogyakarta;
Kanisius.
71
__________________ . 2003. Kesaksian Revolusioner Seorang Uskup Dimasa Perang Catatan Harian Mgr. A. Soegijapranata. S.J., 13 Februari 1947- 17 Agustus 1949. Yogyakarta; Galang Perss.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinan dan Pengembangan Bahasa. 1966. Kamus
Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua. Jakarta: Balai Pustaka. Tim Wartawan Kompas dan Redaksi. 1974. Sejarah Katolik Indonesia 3. Keuskupan
dan Majelis Agung Wali Gereja Indonesia Abad 20. Ende Flores. ___________.1980. I J Kasimo Hidup dan Perjuangannya. Jakarta; Gramedia. Widja, I Gde. 1988. Pengantar Ilmu Sejarah, Sejarah Dalam Perspektif Pendidikan.
Semarang: Satya Wacana. Winatayuda, Victor, S. tt. Kota Semarang Dalam Kenangan. Wiyono. 1990. Metode Penelitian Sejarah. (Makalah dalam Temu sejarah Guru
Bidang Study Sejarah Jurusan PSPB se- Jawa Tengah) tidak terbit. Semarang; FPIPS IKIP Semarang.
_______. 1998. Alkitab. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia. Sumber-sumber Lain: Gereja Katedral Ujung Pandang. http//www. geocities.com/katedralupg/index.htm
(18 Januari 2005) Keuskupan Bogor. http//www.KeuskupanBogor.Org (18 Januari 2005)
Kristenisasi. http//tumasouw.tripod.com/ihave sejarah_kristenisasi_diindosi.htm (18 Januari 2005)
Perluasan wilayah Bogor. http//www.PerluasanwilayahBogor.Com (18 Januari 2005)
Hirarki Indonesia. http// www. kawali. Org/keuskupan. Html#top (20 Januari 2005)
Sejarah Keuskupan Agung Semarang. http// www. Kawali Org / Keuskupan. Html (20 Januari 2005)
Sejarah Singkat Keuskupan Agung Semarang. http//www.kasemarang Org/history.
Html (22 Juli 2004) Susunan Hirarki Gereja Katolik. http//www.katolik.net (18 April 2005)
72
Lampiran 1
DATA INFORMAN
1. Nama : Yosef Felix Basuki
Umur : 77 Tahun ( Desember 1928)
Jabatan : Sekertaris II Partai Katolik cabang Yogyakarta tahun 1952
Alamat : Jln Gajah 50 Tahuanan Yogyakarta
2. Nama : Titus Probo Haryono
Umur : 70 Tahun
Jabatan : Pensiunan Kepala Sekolah SD Kanisius Weleri
Alamat : Ds sambongsari
3. Nama : Lorenz Suryatma
Umur : 65 Tahun (10 Agustus 1940)
Jabatan : Bagian Arsip dan Dokumen Keuskupan Agung Semarang
Alamat : Dr Wahidin 108C Semarang 50254
73
Lampiran 2
INTRUMEN WAWANCARA
Nama :
Umur :
Jabatan :
Alamat :
1. Sejak tahun berapakah Partai Katolik cabang Yogyakarta berdiri?
2. Dengan berdirinya Partai Katolik, bagaimana tanggapan masyarakat
khususnya umat Katolik?
3. Apakah pemerintah mendukung berdirinya Partai Katolik, wujud
dukungannya seperti apa?
4. Partai Katolik pertama kali berdiri di Yogyakarta, bagaimana tanggapan
Vikariat Apostolik Semarang sebagai pemegang hirarki Gerejawi di daerah
ini?
5. Apa azas dan tujuan dari Partai Katolik?
6. Dalam kurun waktu berdirinya Partai Katolik yaitu tahun 1949, apakah Partai
Katolik bekerjasama dengan Vikariat Apostolik Semarang?(bila ada,
dijelaskan)
7. Kegiatan apa saja yang dilakukan oleh Partai Katolik?
8. Bagaimana persiapan Partai katolik untuk menghadapi Pemilu pertama yang
berlangsung tahun 1955?
74
9. Bagimana tindakan Partai Katolik saat Presiden Sukarno condong pada blok
timur/komunis?
10. Mengapa tahun 1957 Partai Katolik cabang Yogyakarta menyetujui Konsepsi
Presiden Sukarno tentang Demokrasi Terpimpin sama dengan Mgr. Alb.
Soegijapranata, S. J., padahal dalam kongres Partai Katolik di Surakarta
konsepsi itu di tolak?
11. Apa yang menjadi hambatan atau tantangan Partai Katolik selama berdiri,
antara tahun 1949 sampai berintegrasi dengan PDI?
12. Pada saat pemerintah mengeluarkan peraturan adanya fusi partai, bagaimana
sikap Partai Katolik menanggapi hal itu?
13. Apa kontribusi Partai Katolik bagi Vikariat Apostolik Semarang dan agama
Katolik?
14. Bagaimana mengembangkan partisipasi politik Katolik dengan tidak adanya
Partai Katolik?
75
INTRUMEN WAWANCARA
Nama :
Umur :
Jabatan :
Alamat :
1. Bagimana keadaan penyebaran misi pada masyarakat saat Vikariat
Apostolik Semarang belum berdiri?
2. Peristiwa apa yang membuat Sri Paus mau mendirikan Vikariat Apostolik
Semarang, dengan Vikaris yang berasal dari pribumi?
3. Dengan berdirinya Vikariat Apostolik Semarang bagaimana reaksi
masyarakat khususnya umat Katolik?
4. Bagaimana kondisi dan situasi pada saat Vikariat Apostolik Semarang
berdiri?
5. Pada saat Republik Indonesia memindahkan ibu kota negara ke
Yogyakarta, mengapa pada saat itu Mgr. Alb. Soegijapranata, S. J., selaku
Vikaris Apostolik Semarang juga memindahkan hirarki Gerejawi ke
Yogyakarta?
6. Tahun 1949 berdiri Partai Katolik (sebelumnya sudah ada tapi bukan
Partai Katolik), bagaimana Gereja dalam hal ini Vikariat Apostolik
Semarang menanggapinya?
76
7. Mengapa Vikaris Apostolik Semarang terjun ke politik praktis, padahal
Gereja bersifat netral yaitu tidak ikut campur dalam dunia politik?
8. Adakah kerjasaman yang dilakukan antara Partai Katolik dengan Vikariat
Apostolik Semarang?(dijelaskan)
9. Pada tahun 1957 Presiden mengeluarkan Konsepsi Presiden, bagaimana
Vikariat Apostolik menanggapi hal itu? Serta bagaimana dampaknya pada
masyarakat khususnya umat Katolik?
10. Tahun 1961 Sri Paus meresmikan berdirinya Hirarki Gereja Indonesia,
bagaimana Vikariat Apostolik Semarang menanggapi hal itu?
11. Kontribusi apa yang di berikan Vikariat Apostolik Semarang bagi Gereja,
bangsa dan negara?
77
peta Keuskupan Agung Semarang Sumber www.kasemarang.com
72
Susunan Dasar suatu Keuskupan
Uskup
Dewan Pastoral Keuskupan
Kuria Keuskupan Vikaris Jendral + Vikaris Keuskupan
Sekertaris + Ekonom
Dewan Imam
Dewan Keuangan
Tokoh-tokoh umat
Dekanat Dekanat Dekanat
Paroki Paroki Paroki
Wilayah Wilayah Wilayah
Lingkungan-lingkungan
Kring-kring Stasi-stasi
Komisi-komisi antara lain:
- Kerasulan awam - Pengembangan
Sosial Ekonomi - Kepemudaan - Panggilan - Hubungan antara
agama-kepercayaan
- Komunikasi sosial
- Liturgi - Kateketik