pengaruh produksi beras, impor beras,...
TRANSCRIPT
PENGARUH PRODUKSI BERAS, IMPOR BERAS, TINGKAT
KONSUMSI BERAS TERHADAP HARGA BERAS DI INDONESIA
TAHUN 2008-2013
(Studi Kasus 32 Provinsi)
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah
Untuk Memenuhi Persyaratan guna Memperoleh
Gelar Sarjana Ekonomi
Oleh :
DIMAS BRIANTO
NIM: 1111084000006
JURUSAN ILMU EKONOMI DAN STUDI PEMBANGUNAN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H/2015 M
PENGARUH PRODUKSI BERAS, IMPOR BERAS, TINGKAT KONSUMSI
BERAS TERHADAP HARGA BERAS DI INDONESIA TAHUN 2008-2013
(Studi Kasus 32 Provinsi)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah
Untuk Memenuhi Persyaratan guna Memperoleh
Gelar Sarjana Ekonomi
Oleh :
DIMAS BRIANTO
NIM: 1111084000006
Di Bawah Bimbingan
JURUSAN ILMU EKONOMI DAN STUDI PEMBANGUNAN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H/2015 M
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN KOMPREHENSIF
Hari ini Selasa, 07 April 2015 telah dilakukan Ujian Komprehensif atas mahasiswa:
1. Nama : Dimas Brianto
2. NIM : 1111-084-0000-06
3. Jurusan : Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan
4. Judul Skripsi : Pengaruh Produksi Beras, Impor Beras dan Tingkat
Konsumsi Beras terhadap Harga Beras di Indonesia Tahun
2008-2013 (Studi Kasus 32 Provinsi)
Setelah mencermati dan memperhatikan penampilan serta kemampuan yang
bersangkutan selama proses ujian Komprehensif, maka diputuskan bahwa mahasiswa
tersebut di atas dinyatakan LULUS dan diberi kesempatan untuk melanjutkan ke tahap
Ujian Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI
Hari ini Selasa, 22 September 2015 telah dilakukan Ujian Skripsi atas mahasiswa:
1. Nama : Dimas Brianto
2. NIM : 1111-084-0000-06
3. Jurusan : Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan
4. Judul Skripsi : Pengaruh Produksi Beras, Impor Beras dan Tingkat
Konsumsi Beras terhadap Harga Beras di Indonesia Tahun 2008-2013
(Studi Kasus 32 Provinsi)
Setelah mencermati dan memperhatikan penampilan serta kemampuan yang
bersangkutan selama proses ujian Skripsi, maka diputuskan bahwa mahasiswa diatas
dinyatakan LULUS dan Skripsi ini diterima sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Dimas Brianto
NIM : 1111084000006
Fakultas : Ekonomi dan Bisnis
Jurusan : Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan
Dengan ini menyatakan bahwa dalam penulisan skripsi ini, saya:
1. Tidak menggunakan ide orang lain tanpa mampu mengembangkan dan
mempertanggungjawabkan
2. Tidak melakukan plagiat terhadap naskah karya orang lain.
3. Tidak menggunakan karya orang lain tanpa menyebutkan sumber asli
atau tanpa izin pemilik karya
4. Tidak melakukan manipulasi dan pemalsuan data
5. Mengerjakan sendiri karya ini dan mampu bertanggungjawab atas karya
ini
Jika di kemudian hari ada tuntutan dari pihak lain atas karya saya, dan telah melalui
pembuktian yang dapat dipertanggungjawabkan, ternyata memang ditemukan bukti
bahwa saya telah melanggar pernyataan di atas, maka saya siap untuk dikenai sanksi
berdasarkan aturan yang berlaku di Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya.
i
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Dimas Brianto
Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 18 Februari 1992
Alamat : Jl. Ubin C7/23 Rt 007/ Rw 06 Komplek Pondok Jaya,
Kelurahan Pondok Karya, Kecamatan Pondok Aren,
Bintaro Jaya Tangerang Selatan, Banten, 15225
Nomor Handphone : 087727895410
Email : [email protected], [email protected]
Latar Belakang Keluarga
Nama Ayah : Alm. Suandi
Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 06 Februari 1962
Nama Ibu : Almh. Susanti
Tempat, Tanggal Lahir : Solo, 21 April 1964
Alamat : Jl. Koral C7/24 Rt 007/ Rw 06 Komplek Pondok
Jaya, Kelurahan Pondok Karya, Kecamatan Pondok
Aren, Bintaro Jaya Tangerang Selatan, Banten,
15225
Anak Ke dan Dari : 1 dari 2 bersaudara
Pendidikan Formal
1. SDN 04 Bintaro Jakarta Selatan Tahun 1998 – 2004
2. MTs Al-Zaytun Indramayu Tahun 2005 – 2008
3. MA Al-Zaytun Indramayu Tahun 2008 – 2011
4. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2011 – 2015
ii
Pendidikan Non Formal
1. International Computer Driving Licence, ECDL Foundation, Al-Zaytun Global
Information And Comunication Technology, 2010-2012
Pengalaman Organisasi
1. Bendahara Majelis Permusyawaratan Kelas IX MTs Al-Zaytun, 2007-2008
2. Anggota Komunitas Pencinta Tanaman Hias Al-Zaytun, 2008-2009
3. Anggota Departemen Informasi Majelis Permusyawaratan Kelas X-XI MA Al-
Zaytun, 2008-2010
4. Anggota Kelompok Ilmiah Fisika Al-Zaytun, 2005-2008
5. Bendahara Kelompok Ilmiah Fisika Al-Zaytun, 2008-2009
6. Anggota Forum Studi Jurnalis Al-Zaytun, 2009-2010
7. Anggota Workshop Sigma Al-Zaytun, 2009-2010
8. Sekertaris Kelompok Ilmiah Fisika Al-Zaytun, 2009-2011
9. Qismu Alat (Departemen Peralatan) Pengurus Binayah Huffadh Al-Zaytun,
2008-2010
10. Staf Departemen Kesekretariatan Organisasi Pelajar Al-Zaytun Dharma Bakti
VII, 2010-2011
11. Produser Film “Pertama dan Terakhir” Festival Film Independen Al-Zaytun,
2011
12. Sekertaris Kelompok KKN “Pendekar” UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014
13. Anggota Panitia Perayaan 1 Muharram Masjid Uswatun Hasanah Komplek
Pondok Jaya, 2014
14. Ketua Panitia Perayaan 17 Agustus Rt 007/ Rw 06 Komplek Pondok Jaya, 2015
Pengalaman Kerja
iii
1. Rapporteur Forum Pemerintahan dan Swasta dalam Manajemen Gratifikasi
Transparency Internasional Indonesia dan Komisi Pemberantasan Korupsi Republik
Indonesia, 2014
Seminar dan Workshop
1. Seminar “The Most Effective Way To Learn A Foreign Language”, Faculity of
Languages Universitas Al-Zaytun Indonesia, 2010
2. Training dan Talkshow “Kokohkan Iman dan Budayamu Ditengah Terjangan
Globalisasi”, UIN Jakarta, 2012
3. Dialog Publik “Pemanfaatan Energi Panas Bumi Untuk Kemajuan Indonesia”,
UIN Jakarta, 2012
4. Dialog Publik “Konsep Tata Ruang Kota di Indonesia dalam Perspektif Etika
Lingkungan”. UIN Jakarta, 2012
5. Dialog Jurusan dan Seminar Konsentrasi “Mengenal Lebih Dekat dengan jurusan
Sendiri”, UIN Jakarta, 2013
6. Seminar Nasional “Pembangunan Ekonomi Berbasis Inovasi dan Imtaq Menuju
Indonesia Yang Maju, Adil-Makmur, Berdaulat, dan Diridhai Allah SWT”, UIN
Jakarta, 2013
7. Seminar Nasional “Mewujudkan Lembaga Keuangan Mikro Yang Berdaya Saing
Dalam Menghadapi MEA (Masyarakat Ekonomi Asean) 2015”, UIN Jakarta,
2014
8. Seminar Nasional “Korupsi Mengkorupsi Indonesia”, UIN Jakarta, 2014
9. Dialog Safari Ramadhan “Kegiatan Edukasi Keuangan Bersama Otoritas Jasa
Keuangan”, JPMI DKI Jaya, 2015
iv
Abstract
This study aimed to analyze the influence of Rice Production, Rice Imports and
Rice Consumption against Price of Rice 32 provinces in Indonesia. This study uses
research methods combination of sequential explanatory design, where there is a
quantitative approach using panel data analysis methods Fixed Effect Model (FEM) in
the first stage and a qualitative approach uses the interviews in the second phase to
strengthen the results of quantitative research result approach to gain deeper
understanding on the problem. The results showed that 65% variable Price of Rice 32
provinces in Indonesia can be described by Rice Production, Rice Imports and Rice
Consumption. Simultaneously, Rice Production, Rice Import and Rice Consumption
significant effect on Price of Rice. However partially, the statistical results showed
that: first, Rice Production does not significantly and positively correlated to the Prices
of Rice, second, Rice Imports significant and negatively correlated to the Prices of
Rice, third, Rice consumption is significant and negatively correlated to the price of
Rice. Additionally there is a problem in rice production because productivity figure
only reached 50%. While in rice imports are treated free for premium rice quality and
special needs, while the medium rice quality is only done by Bulog. As with the
consumption of rice, in which the amount of consumption of rice in Indonesia made a
great deal of pressure, but no local food that is capable of being a substitute and
complementary of rice.
Keywords: Price of Rice, Rice Production, Rice Imports, Rice Consumption, Fixed
Effect Model
v
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh Produksi Beras, Impor
Beras dan Konsumsi Beras terhadap Harga Beras 32 Provinsi di Indonesia. Penelitian
ini menggunakan metode penelitian kombinasi sequential explanatory design, dimana
terdapat pendekatan kuantitatif dengan menggunakan analisis data panel metode Fixed
Effect Model (FEM) pada tahap pertama dan kualitatif berupa wawancara pada tahap
kedua untuk memperkuat hasil penelitian kuantitatif, agar hasil penelitian lebih
mendalam dan komprehensif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 65% variabel
Harga Beras 32 Provinsi di Indonesia dapat dijelaskan oleh Produksi Beras, Impor
Beras dan Konsumsi Beras. Secara simultan, Produksi Beras, Impor Beras dan
Konsumsi Beras berpengaruh signifikan terhadap Harga Beras. Namun secara parsial,
hasil statistik menunjukkan bahwa: pertama, Produksi Beras tidak berpengaruh
signifikan dan berkolerasi positif terhadap Harga Beras, kedua, Impor Beras
berpengaruh signifikan dan berkorelasi negatif terhadap Harga Beras, ketiga,
Konsumsi Beras berpengaruh signifikan dan berkorelasi negatif terhadap Harga Beras.
Selain itu terjadi permasalahan pada Produksi Beras dikarenakan angka produktifitas
hanya mencapai 50%. Sedangkan dalam Impor Beras diperlakukan bebas bagi beras
kualitas premium dan kebutuhan khusus, sedangkan beras kualitas medium hanya
dilakukan oleh Bulog. Lain halnya dengan Konsumsi Beras, dimana besarnya
Konsumsi Beras di Indonesia membuat tekanan yang sangat besar, namun tidak ada
pangan lokal yang mampu menjadi substitusi maupun komplementer dari beras.
Kata Kunci: Harga Beras, Produksi Beras, Impor Beras, Konsumsi Beras, Fixed Effect
Model
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi Rabbil 'Alamin, segala puji hanya milik Allah SWT yang
telah memberikan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh Produksi Beras, Impor
Beras dan Tingkat Konsumsi Beras terhadap Harga Beras di Indonesia
(Studi Kasus 32 Provinsi)”. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah
kepada Baginda Rasulullah SAW beserta para sahabat dan para pengikutnya
hingga akhir zaman kelak, Amin.
Dengan diselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, dorongan,
bimbingan, serta doa dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis ingin
menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya
kepada pihak-pihak yang terkait dalam penyelesaian skripsi ini, kepada :
1. Allah SWT yang telah menciptakan bumi, langit dan seluruh isinya
termasuk penulis yang bukan apa-apa jika dibandingkan dengan kuasa
Allah. Terima kasih banyak ya Allah atas segala perjalanan hidup yang
dihadapi penulis termasuk salah satunya dalam penggarapan skripsi ini
sehingga akhirnya dapat terselesaikan dengan baik.
2. Nabi Muhammad SAW yang menjadi inspirasi, tuntunan bagi penulis
dan seluruh umat islam. Sari tauladan yang diberikan beliau membuat
penulis selalu berusaha menjadi lebih baik sehingga dapat berguna bagi
vii
keluarga, Negara, Agama dan seluruh umat manusia di dunia.
3. Alm. Bapak Suandi dan Almh. Ibu Susanti selaku orang tua penulis
yang selalu menjadi inspirasi, motivasi, sumber kebahagiaan serta
kekuatan dalam hidup. Terima kasih untuk seluruh pengorbanan,
pengajaran, daya dan upaya yang telah dilakukan serta doa yang tidak
pernah putus kepada penulis, semoga mereka mendapatkan
perlindungan Allah SWT dan mendapatkan tempat terbaik di sisi
Allah SWT.
4. Kepada seluruh Keluarga Besar Darmowiyono dari pihak ibu baik itu
Mbah Darmo, Pakde Giyoto, Bude Lis, Bude Harto, Pakde Tukijo,
Mama Tarti, Pakde Harno, Bude Harno, Om Tino, Bulek Warni, Mbak
Yuni dan Suami, Mbak Umi dan Suami, Mas Sukar dan Istri, Mas
Suhono dan Istri, Mas Sigit, Mbak Dina, Mbak Ida, Mbak Hesti, Kiki,
Dito, Nisa, Mbak Anis dan Suami, Aziz, Mbak Fitri dan suami, Rhino,
Mbak Dian dan Suami, Panji, Wisnu, Sasa, Bagus dan seluruh kerabat
dari keluarga Darmowiyono yang belum saya sebutkan saya ucapkan
terima kasih banyak atas dukungannya, semangatnya dan segalanya
terlebih setelah penulis kehilangan kedua orang tua kalianlah sebagian
dalam hidup saya.
5. Kepada Keluarga Besar Samid dari pihak ayah seperti Paman, Bibi dan
kerabat yang mohon maaf tidak saya sebutkan satu persatu. Selain itu
viii
Keluarga Besar Ibu Yuli sebagai ibu sambung saya seperti Kakek,
Nenek, Bu Yuli, Huda, Isa, Om-Om dan Tante-Tante serta seluruh
kerabat yang saya sebutkan saya ucapkan terima kasih atas
dukungannya, semangatnya dan segalanya terlebih setelah penulis
kehilangan kedua orang tua kalianlah sebagian dalam hidup saya.
6. Kepada seluruh keluarga besar saya yang telah mendahului kami
kepada Allah SWT seperti Mbah Kakung, Kakek dan Nenek dari pihak
bapak, Pakde dan Bude Sadinem, Pakde Harto, Mas Siswo, dan kerabat
lain yang belum penulis sebutkan.
7. Bapak Dr.M. Arief Mufraini, Lc., M.Si, selaku Dekan Fakultas
Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
memberikan ilmu yang sangat berharga selama perkuliahan.
8. Bapak Arief Fitrijanto, M.Si, selaku Ketua Jurusan Ilmu Ekonomi dan
Studi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, atas bimbingan, arahan, dan pengalamannya yang
diberikan pada penulis.
9. Bapak Pheni Chalid, Ph.D selaku Dosen Pembimbing Skripsi 1 yang
dengan kerendahan hatinya bersedia meluangkan waktu untuk
memberikan pengarahan, ilmu yang berharga, serta bimbingan yang
sangat berarti selama penyelesaian skripsi. Terima kasih atas semua
saran dan arahan yang Bapak berikan selama proses penulisan hingga
ix
terselesaikannya skripsi ini. Semoga Allah SWT membalas kebaikan
bapak.
10. Bapak Arief Fitrijanto, M.Si, selaku Dosen Pembimbing 2 yang telah
meluangkan waktu, memberikan arahan serta bimbingan yang sangat
berarti kepada penulis. Terima kasih atas semua saran dan arahan yang
bapak berikan sehingga terselesaikannya skripsi ini. Semoga Allah
SWT membalas kebaikan bapak.
11. Seluruh jajaran dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis secara umum dan
doesn Jurusan Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan secara khusus yang
telah memberikan ilmu yang sangat berguna dan berharga bagi penulis.
Semoga Allah selalu, memberikan pahala yang sebesar-besarnya atas
kebaikan para dosen FEB UIN Jakarta. Jajaran karyawan dan staf UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah melayani dan membantu penulis
selama perkuliahan.
12. Narasumber dalam wawancara yang dilakukan penulis kepada bapak
Bustanul Arifin, Narasumber dari Badan Ketahanan Pangan dan Ditjen
Tanaman Pangan yang telah meluangkan waktunya dalam wawancara.
Semoga Allah SWT membalas kebaikan Bapak dan Ibu sekalian.
13. Kepada ustadz dan ustadzah yang membimbing penulis dan
mengajarkan hal-hal positif selama belajar di Al-Zaytun. Khususnya
kepada Umi Waway Nuryani yang telah membantu penulis
x
memperbaiki diri dari keterpurukan setelah meninggalnya ibu saat itu,
memberikan motivasi yang besar dan mengajarkan banyak hal untuk
memperbaiki kualitas hidup penulis, dan Abi Juniarto Hendro Buwono
yang menjadi pengganti bapak dari Penulis dan teman-teman satu
angkatan SWAT selama 6 tahun mengasuh dan mendidik kami. Semoga
Allah membalas kebaikan Bapak dan Ibu sekalian.
14. Sahabat-sahabat dari SMP yang menemani dari masa-masa sekolah di
Al-Zaytun hingga saat ini meniti kesuksesan bersama-sama; Achix,
Sabriyan, Abghi, Roli, Lukman, Topik, Juang, Shoffan, Bagus Aryo,
Bagus Herda, Rusydan, Nanda, Hanif, Wahyu, Septian, Mahmuda,
Willian, Dori, Zamroni, Wafiy, Haziq Hassan, Haziq Mohsin, Abni,
Waldan, Aji, Khoer, Tansa, Imam Belo, Dani Belo, Arum, Iqlim, Ines,
Ima, Sarah, Iwan, Ushe, Vita, Asih, Ama, Kiki Marwah, Ita, Toyib,
Nunu, Ukhfiya, Ratih, Andre Jidat, Andre Sengau, Eliya, Gesta, Silmi,
Nopiah, Wasiah, Puspita, Camay, Kinah, Thoriq, Jawad, Zaki, Qori,
ACR terima kasih atas doa, semangat, canda, tawa, tangis dan segalanya
yang diberikan kepada penulis sehingga mewarnai kehidupan penulis
dan memberikan dorongan untuk menyelesaikan skripsi ini dengan baik
dan berusaha menggapai kesuksesan bersama-sama amin.
15. Teman-teman SWAT (Santriwan Santriwati Angkatan Tujuh) yang
mohon maaf tidak disebutkan satu-persatu terma kasih atas segalanya
xi
sehingga mewarnai kehidupan penulis dan memberikan dorongan untuk
menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan berusaha menggapai
kesuksesan bersama-sama amin.
16. Teman-teman terbaikku Rudi Suwardi, Vallerio Raga, Abdur Rozaq,
Septian Puguh, Ariad Ditya, Aprian Subhan, Barep Prajitno, Riri
Ruhiana, Novanda Dwi Saputra, Kemal, Kharisma Susetyo, M. Ihsan,
M. Arief Budiman, Yusuf Muhammad, Azhar, Bilal, Lukman, Riski,
Dwika Julia Mutiara, Annisa Rahmadani, Vina Refriana, Isti Destriani,
Ella Dhanila, Indri Filiyana, Nilam Nurlaela, Tami, Amel, Annisa
Febriyanti, Nuni, Nunu, Revi, Weli, Wihda, Rani, Aryo, Ina Windi
terima kasih untuk semua motivasi, semangat, dan kenangan yang
sangat berkesan selama 4 tahun ini yang akan menjadi ambisi
penulis untuk meraih kesuksesan.
17. Teman seperjuangan IESP angkatan 2011 yang tidak bisa penulis
sebutkan satu per satu, terima kasih untuk 4 tahun yang sangat indah
serta berkesan dan tidak akan pernah penulis lupakan
18. Senior dan junior Fakultas Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang memberikan
banyak inspirasi dan pengetahuan kepada penulis dalam menjalani
kuliah dan skripsi.
19. Teman-teman sekaligus Keluarga Besar Binayah Huffadh; Teh Enuy,
xii
Kak Sitim, Kak Nufus, Kakak-kakak Panglima (maaf lupa namanya
satu-satu), Teh Gina, Kak Mar’ah, Kak Indah, Adlan, Adi, Ziden,
Risman, Diba, Dzulfi, Maya, Athirah, Melia, Subhan, Ulum, Yuli, Umi,
Ary, Hasna, Luqman, Amut, Rahma, Nur Syahirah, Firman, Ubay,
Hasbi, Nabihah, Icha, Aming, Zaytunah, dan semuanya belum tersebut
oleh penulis terima kasih banyak atas goresan warna-warni kehidupan
yang kalian berikan sehingga indah kehidupan penulis bersama kalian.
20. Pembina, Senior, Pengurus dan Anggota Kelompok Ilmiah Fisika yang
telah memberikan kesempatan kepada penulis dalam berfikir, berkarya
dan berteknologi pada organisasi yang terbaik menurut penulis.
21. Teman-teman main di rumah; Dani, Kenang, Mbak Estu, Mbak Lia,
Wahid, Galuh terima kasih atas doa dan semangatnya kepada penulis.
22. Sahabat-sahabat KKN PENDEKAR Bang Ilham, Bang Akrom,
Lukman, Pandu, Ariad, Nisa, Putri, Amel, Gesty, Atina, Gita, Ino,
Aldha terima kasih untuk 30 hari yang begitu berharga dan berkesan.
23. Bapak Hasanuddin Kades Kosambi Timur, para tokoh-tokoh
masyarakat yang ada di Desa Kosambi Timur, Karang Taruna dan
Remaja Masjid Desa Kosambi Timur, PKK Desa Kosambi Timur,
Seluruh Institusi Pendidikan yang ada di Desa Kosambi Timur, Seluruh
Perangkat Desa serta Bagian Kesehatan yang ada di Desa Kosambi
Timur dan masyarakat Desa Kosambi Timur terima kasih atas doa dan
xiii
semangat yang diberikan kepada penulis agar menyelesaikan kuliah dan
sukses.
24. Dan untuk semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu,
terima kasih yang sebesar-besarnya untuk seluruh doa, dukungan, dan
motivasinya. Semoga keberkahan dan kesuksesan menyertai kita
semua. Amin.
Akhirnya semoga skripsi ini dapat menambah wawasan serta informasi
kepada para pembaca. Jika ada kritik dan saran yang bersifat
membangun untuk kebaikan skripsi ini penulis akan terima dengan senang
hati.
Jakarta, 31 Agustus 2015
Penulis
Dimas Brianto
xiv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .....................................................................................
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI ........................................................
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN KOMPREHENSIF ...........................
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI ............................................
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH ....................
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ..................................................................... i
ABSTRACT .................................................................................................... iv
ABSTRAK ..................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ................................................................................... vi
DAFTAR ISI .................................................................................................. xiv
DAFTAR TABEL ......................................................................................... xvii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xix
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xxi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................. 1
B. Perumusan Masalah .......................................................... 16
C. Tujuan Penelitian .............................................................. 17
D. Manfaat Penelitian ............................................................ 17
BAB II KERANGKA TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori .................................................................. 19
xv
1. Teori Harga ............................................................... 19
2. Teori Produksi ........................................................... 23
3. Hubungan Antara Produksi dan Harga ...................... 26
4. Teori Impor ............................................................... 36
5. Hubungan Antara Impor dan Harga .......................... 57
6. Teori Konsumsi ......................................................... 59
7. Hubungan Antara Konsumsi dan Harga .................... 63
B. Penelitian Terdahulu ......................................................... 64
C. Kerangka Berfikir ............................................................. 75
D. Hipotesis ........................................................................... 78
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian ................................................. 79
B. Populasi dan Sampel ........................................................ 80
C. Metode Pengumpulan Data .............................................. 80
D. Teknik Analisis ................................................................. 83
1. Analisis Data Kuantitatif ........................................... 84
2. Estimasi Model Data Panel ....................................... 86
3. Pemilihan Model Data Panel ..................................... 88
4. Model Empiris ........................................................... 91
5. Uji Asumsi Klasik ..................................................... 92
6. Uji Hipotesis .............................................................. 95
xvi
E. Operasional Variabel Penelitian ....................................... 100
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Objek Penelitian ................................. 103
B. Hasil Analisis dan Pembahasan ........................................ 106
1. Analisis Deskriptif ..................................................... 106
2. Pemilihan Model Terbaik .......................................... 119
3. Uji Asumsi Klasik ..................................................... 125
4. Pengujian Hipotesis ................................................... 130
5. Analisis Hasil Wawancara ......................................... 146
6. Analisis Ekonomi ...................................................... 191
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ....................................................................... 218
B. Saran ................................................................................. 222
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 224
LAMPIRAN ................................................................................................... 230
xvii
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Harga Rata-Rata Beras pada 32 Provinsi di Indonesia Tahun 2008-2013
Per Kilogram .................................................................................. 3
Tabel 1.2 Jumlah Produksi Beras pada 32 Provinsi di Indonesia Tahun 2008-2013
Per Ton ........................................................................................... 8
Tabel 1.3 Jumlah Impor Beras pada 32 Provinsi di Indonesia Tahun 2008-2013 Per
Ton .................................................................................................. 11
Tabel 1.4 Jumlah Konsumsi Beras pada 32 Provinsi di Indonesia Tahun 2008-2013
Per Ton ........................................................................................... 13
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu ....................................................................... 70
Tabel 3.1 Operasional Variabel Penelitian ...................................................... 102
Tabel 4.1 Regresi Data Panel: Pooled Least Square (PLS) ............................ 120
Tabel 4.2 Regresi Data Panel: Fixed Effect Model (FEM) ............................. 121
Tabel 4.3 F-Restricted ..................................................................................... 122
Tabel 4.4 Regresi Data Panel: Random Effect Model (REM) ......................... 123
Tabel 4.5 Uji Hausman ................................................................................... 124
Tabel 4.6 Matriks Korelasi .............................................................................. 126
Tabel 4.7 Uji Park ........................................................................................... 127
Tabel 4.8 Uji Glejser ....................................................................................... 128
Tabel 4.9 Uji Autokorelasi sebelum Cross section weight ............................. 129
Tabel 4.10 Uji Autokorelasi sesudah Cross section weight ............................ 129
xviii
Tabel 4.11 Hasil Regresi dengan FEM ........................................................... 130
Tabel 4.12 Hasil Uji T ..................................................................................... 131
Tabel 4.13 Hasil Uji F ..................................................................................... 134
Tabel 4.14 Cross section effect 32 Provinsi di Indonesia ............................... 136
Tabel 4.15 Kebijakan dan Penyaluran mengenai Gabah/Beras ...................... 177
Tabel 4.16 Perbandingan Harga Beras Impor dan Beras Lokal di Indonesia Tahun
2008-2013 ....................................................................................... 182
Tabel 4.17 Perbandingan Harga Beras Impor dan Beras Lokal di Indonesia Tahun
2008-2013 ....................................................................................... 201
Tabel 4.18 Tabel Differensiasi Konsumsi ....................................................... 210
xix
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Kurva Cobweb ............................................................................. 22
Gambar 2.2 Kurva Biaya Total, Biaya Tetap dan Biaya Variabel .................. 28
Gambar 2.3 Kurva Biaya Rata-Rata ................................................................ 30
Gambar 2.4 Kurva Marginal Cost ................................................................... 31
Gambar 2.5 Teorema Amplop (Envelope Theorem) ...................................... 34
Gambar 2.6 Skala Produksi Ekonomis dan Tidak Ekonomis ......................... 35
Gambar 2.7 Kurva Impor ................................................................................ 38
Gambar 2.8 Analisis Efek-Efek Tarif Bea Masuk .......................................... 43
Gambar 2.9 Infrant Industry Argument ........................................................... 47
Gambar 2.10 Analisis Efek-Efek Tarif Beas Masuk ....................................... 53
Gambar 2.11 Analisis Subsidi ......................................................................... 56
Gambar 2.12 Kurva Fungsi Konsumsi ............................................................ 62
Gambar 2.13 Kurva Garis Anggaran (Budget Line Curve) ............................ 64
Gambar 2.14 Kerangka Penelitian .................................................................. 77
Gambar 3.1 Langkah-Langkah Penelitian dalam Sequential Explanatory Design
......................................................................................................... 84
Gambar 4.1 Harga Rata-Rata Beras Pada 32 Provinsi di Indonesia Tahun 2008-2013
......................................................................................................... 108
Gambar 4.2 Jumlah Produksi Beras Pada 32 Provinsi di Indonesia Tahun 2008-2013
......................................................................................................... 112
xx
Gambar 4.3 Jumlah Impor Beras Pada 32 Provinsi di Indonesia Tahun 2008-2013
......................................................................................................... 115
Gambar 4.4 Total Konsumsi Beras Agregat Pada 32 Provinsi di Indonesia Tahun
2008-2013 ....................................................................................... 118
Gambar 4.5 Histogram-Uji Normalitas ........................................................... 125
Gambar 4.6 Alur Distribusi Beras di Indonesia .............................................. 149
xxi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Data Normal dan Data Penyesuaian dengan Model ................. 230
Lampiran 2 : Pooled Least Square dan Fixed Effect Model ........................... 241
Lampiran 3 : Uji Chow ................................................................................... 242
Lampiran 4 : Random Effect Model ............................................................... 242
Lampiran 5 : Uji Hausman .............................................................................. 243
Lampiran 6 : Histogram-Uji Normalitas ......................................................... 243
Lampiran 7: Matriks Korelasi ......................................................................... 243
Lampiran 8 : Uji Park ...................................................................................... 244
Lampiran 9 : Uji Glejser ................................................................................. 244
Lampiran 10 : Uji Autokorelasi-Sesudah Cross Section Weight .................... 245
Lampiran 11 : Cross Section Effect ................................................................ 246
Lampiran 12: Tabel Differensiasi Konsumsi .................................................. 247
Lampiran 13 : Pedoman Wawancara Bapak Bustanul .................................... 249
Lampiran 14 : Pedoman Wawancara Badan Ketahanan Pangan dan Ditjen Tanaman
Pangan ............................................................................................ 251
Lampiran 15 : Hasil Wawancara dengan Bapak Bustanul Arifin ................... 252
Lampiran 16 : Hasil Wawancara dengan Narasumber Badan Ketahanan Pangan
......................................................................................................... 266
Lampiran 17 : Hasil Wawancara dengan Narasumber Ditjen Tanaman Pangan
......................................................................................................... 287
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ada pepatah mengatakan bahwa hampir semua orang Indonesia bila sedang
lapar pasti akan makan dengan nasi, tidak akan kenyang bila makan dengan
selain nasi. Adapun nasi sendiri merupakan salah satu olahan pangan yang
terbuat dari beras. Sehingga saat ini masyarakat Indonesia sebagian besar
sangat tergantung dengan adanya beras. Bahkan Kepala Badan Urusan Logistik
(Bulog) Sutarto Alimoeso dalam wawancara kepada Antara TV dalam acara
Mata Indonesia mengatakan bahwa 95% orang Indonesia bergantung dengan
beras sebagai bahan konsumsi.
Dahulu orang Indonesia memiliki makanan pokok sesuai keadaan
wilayahnya seperti Jawa Tengah dan Jawa Timur banyak yang menggunakan
jagung sebagai bahan makanan pokok, atau Maluku, Papua dan daerah
Indonesia timur terkenal dengan sagu sebagai bahan makanan pokoknya.
Namun seiring berkembangnya jaman banyak masyarakat yang mulai
meninggalkan kebiasaan lama mereka menggunakan bahan makanan pokok
lokal, mereka mengikuti daerah-daerah yang telah maju terlebih dulu dengan
menggunakan beras sebagai bahan makanan pokok. Pergeseran kebiasaaan ini
membuat tingkat konsumsi beras meningkat, sehingga beras menjadi populer
2
bagi masyarakat di Indonesia. Sayangnya peningkatan tingkat konsumsi
beras ini tidak seiring dengan kapasitas produksi yang dimiliki Indonesia, hal
ini terjadi karena banyak faktor, yaitu percepatan pertumbuhan penduduk yang
sangat tinggi di Indonesia, pertumbuhan produksi beras di dalam negeri tidak
sebanding dengan pertumbuhan penduduk, dan juga tingkat produktivitas padi
di Indonesia belum maksimal berada dikisaran angka 50%.
Pemenuhan kebutuhan masyarakat atas harga beras yang murah dan
stoknya terjamin merupakan salah satu upaya pemerintah dalam melaksanakan
ketahanan pangan yang sesuai dengan amanah undang undang Pangan No. 18
Tahun 2012, dimana pada pasal 4 tertulis bahwa “Ketahanan Pangan adalah
kondisi terpenuhinya Pangan bagi Negara sampai dengan perseorangan, yang
tercermin dari tersedianya Pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya,
aman, beragam, bergizi, merata dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan
agama, keyakinan dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan
produktif secara berkelanjutan.”
Harga suatu barang dan jumlah barang tersebut yang diperjualbelikan,
ditentukan oleh permintaan dan penawaran barang tersebut. Dan juga keadaan
di suatu pasar dikatakan dalam keseimbangan atau ekuilibrium apabila jumlah
yang ditawarkan pada penjual pada suatu harga tertentu adalah sama dengan
jumlah yang diminta para pembeli pada harga tersebut. Dengan demikian harga
suatu barang dan jumlah barang yang diperjualbelikan dapat ditentukan dengan
3
melihat keadaan keseimbangan dalam suatu pasar (Sadono Sukirno, 2009: 90).
Menurut Winardi (1987: 13) bahwa harga menerangkan komposisi atau
alokasi produksi total. Menurut Pindyck (2009: 13) harga merupakan salah satu
penentu dari situasi-tukar dalam setiap pilihan manusia. Seperti seorang
konsumen yang melakukan situasi-tukar antara daging sapi dan ayam tidak
hanya pada preferensinya, tetapi juga berdasarkan harganya. Begitu juga, para
pekerja melakukan situasi-tukar antara kerja dan istirahat sebagian berdasarkan
pada “harga” yang mereka peroleh dari pekerjaan mereka – yaitu upah. Dan
perusahaan memutuskan apakah akan memperkerjakan karyawan lebih banyak
atau membeli mesin lebih banyak sebagian juga didasarkan pada tingkat upah
dan harga mesin.
Tabel 1.1
Harga Rata-Rata Beras pada 32 Provinsi di Indonesia Tahun 2008-2013
Per Kilogram
Provinsi 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Aceh 6.258,32 6.532,56 6.993,89 8.247,31 8.643,8 9.264,79
Sumatera Utara 5.894,92 6.390,29 6.954,47 7.725,61 7.881,98 8.286,99
Sumatera Barat 6.653,31 7.117,49 8.007,47 9.878,17 9.721,15 9.921,76
Riau 6.562,43 7.081,2 7.888,78 9.600,82 9.775,81 9.976,67
Jambi 5.973,92 6.142,24 7.335,81 8.031,48 8.733,38 8.562,53
Sumatera Selatan 5.552,26 5.840,13 6.824,81 7.631,13 8.376,95 8.889,22
Bengkulu 5.480,81 5.776,42 6.742,39 7.643,67 8.459,45 9.349,06
Lampung 5.621,7 5.948,41 6.515,6 7.667,32 8.430,09 12.978,43
Bangka Belitung 5.841,16 5.804,45 6.712,67 7.556,16 8.673,44 8.655,33
Kep. Riau 7.571,66 7.781,6 9.350,89 10.574,74 11.487,14 9.135,93
DKI Jakarta 5.838,09 6.143,26 7.982,68 9.929,83 11.811,22 12.654,83
4
Jawa Barat 5.599 5.779,26 6.888,16 7.639,1 8.913,89 9.083,01
Jawa Tengah 5.469,96 5.644,64 6.668,52 7.761,37 8.653,99 8.117,34
DI. Yogyakarta 5.241,32 5.563,05 6.357,81 7.183,22 7.830,38 8.982,15
Jawa Timur 5.240,08 5.578,45 6.673,45 7.798,9 8.537,42 7.521,66
Banten 5.020,62 5.087,39 5.868,78 6.493,79 7.262,23 8.899,08
Bali 5.419,46 5.794,45 7.173,71 8.332,57 9.188,72 9.549,81
NTB 4.843,46 5.133,18 6.185,78 6.609,87 7.418,37 7.587
NTT 5.957,7 6.271,66 7.404,06 8.058,16 9.025,44 9.518,21
Kalimantan Barat 6.387,73 6.579,09 8.162,34 9.116,78 10.293,72 11.016,41
Kalimantan Tengah 6.010,74 6.373,52 9.133,91 10.882,96 10.749,92 10.458,16
Kalimantan Selatan 5.024,82 5.335,93 7.774,83 9.343,89 9.117,71 9.387,5
Kalimantan Timur 5.699,39 6.261,48 7.199,49 8.056,5 8.850,76 9.299,97
Sulawesi Utara 5.684,16 6.431,62 7.288,34 7.677,71 8.726,8 8.865,08
Sulawesi Tengah 4.970,38 5.676,91 6.515 7.014,97 7.834,2 7.502,49
Sulawesi Selatan 4.798,78 5.132,31 5.922,01 6.503,52 7.410,08 7.981,99
Sulawesi Tenggara 4.679,82 5.823,58 6.429,68 6.706,13 8.008,11 8.296,84
Gorontalo 5.645,97 6.406,41 7.174,76 7.613,73 8.186,81 7.888,93
Maluku 6.170,24 6.433,64 7.504,53 8.394,32 9.159,99 9.539,41
Maluku Utara 6.766,44 6.771,75 7.980,56 8.785,25 9.565,95 9.807,03
Papua 7.586,64 7.576,48 7.536,79 9.284,97 9.993,12 8.083,06
Papua Barat 6.533,12 6.674,23 6.977,41 7.551,39 7.920,77 10.155,63
Sumber: Tabel Rata-rata Harga Eceran Beras di Pasar Tradisional di 33 Kota,
2000-2013 (Diolah dari Hasil Survei Harga Konsumen) Badan Pusat Statistik
Republik Indonesia (diolah kembali)
Dari tabel 1.1 dapat dilihat bahwa perkembangan harga rata-rata beras pada
32 provinsi di Indonesia selalu mengalami peningkatan yang signifikan dengan
besaran perubahan harga beras di Indonesia pada angka 10% dalam periode
2008-2013. Hal ini menandakan bahwa tren harga beras di Indonesia itu selalu
naik setiap tahunnya, hal ini disebabkan oleh banyak hal seperti harga
kebutuhan pokok produksi yang selalu meningkat, harga pokok transportasi dan
logistik yang selalu naik. Perubahan harga beras yang paling tertinggi terjadi
pada tahun 2010 sebesar 17,1% mengingat pada tahun 2010 terjadi krisis
5
keuangan global sehingga banyak harga-harga barang komoditas utama
mengalami kenaikan yang cukup besar, termasuk beras. Sedangkan perubahan
harga beras yang paling terrendah terjadi pada tahun 2013 sebesar 4,2%, hal ini
disebabkan keadaan perekonomian yang sedang stabil menyebabkan perubahan
harga beras pada hampir seluruh provinsi berada di kisaran angka 1-7%.
Seharusnya penentuan harga beras dapat menyesuaikan keadaan ekonomi
masyarakat yang kebanyakan golongan menengah kebawah, ditambah lagi
dengan kondisi produksi yang melimpah, impor yang tersedia, dan kemampuan
Indonesia untuk mengekspor beras jenis-jenis tertentu. Pemerintah sebagai
pengendali pasar dan pihak yang mengatur perdagangan beras di Indonesia, hal
ini sesuai dengan kebijakan pemerintah melalui Undang Undang Pangan No.
12 Tahun 2012, pada pasal 55-57. Adapun yang sesuai dengan penentuan harga
beras, bahkan komoditas pangan pada umumnya berada pada pasal 56 ayat a
dan b yaitu “penetapan harga pada tingkat produsen sebagai pedoman
pembelian pemerintah” dan “penetapan harga pada tingkat konsumen sebagai
pedoman bagi penjualan pemerintah”.
Untuk harga yang dijual kepada masyarakat salah satu pembentuk harganya
melalui HPP yang diatur dalam Impres Nomor 3 Tahun 2012 untuk saat ini.
Harga pembelian gabah dengan kualitas air maksimum 25% dan kadar hampa
kotoran maksimum 10% adalah Rp. 3.300/kg di petani sementara di tingkat
penggilingan dihargai Rp. 3.350/kg untuk jenis gabah kering panen (GKP).
Sementara itu untuk gabah kualitas gabah kering giling (GKG) dengan kadar
6
air maksimum 14% dan kadar hampa kotoran maksimum 3% adalah Rp.
4.150/kg di gudang perum Bulog. Untuk harga beras dengan kualitas kadar air
maksimum 14%, bulir patah maksimum 2% dan derajat sosoh minimum 95%
adalah Rp. 6.600/kg di gudang perum bulog. (Pada Bisnis Indonesia judul
Harga Beras: HPP dan Gabah Petani Naik Maret 2015, 15 Maret 2015)
Adapun beberapa faktor utama yang menyebabkan harga beras selalu naik
adalah: (1) kondisi Iklim yang tidak menentu, dimana di saat-saat tertentu misal
turunnya hujan pada tahun 2014 yang seharusnya turun pada bulan oktober
justru turun pada bulan November. (2) Banjir yang terjadi dibanyak daerah,
dimana bila sudah datang musim hujan, curah hujan sangat tinggi menyebabkan
banyak daerah terendam banjir, seperti yang terjadi di Serang, Banten akibat
2.300 hektar lahan pertanian terendam banjir potensi produksi gabah kering
giling hilang sebanyak 12.000 ton. (3) dugaan adanya penimbunan beras yang
terjadi di beberapa area pergudangan. Misalnya, penimbunan beras operasi
pasar khusus yang ditemukan di area pergudangan di Pulogadung dan Klender,
Jakarta Timur. Temuan di dapati ketika dilakukan inspeksi mendadak oleh
sejumlah lembaga pemerintahan. Berdasarkan data Kementerian Perindustrian,
terdapat 10.400 gudang penyimpanan yang dikelola swasta di seluruh
Indonesia. Tidak tertutup kemungkinan kegiatan penimbunan juga terjadi oleh
mereka. (4) adanya mafia beras yang juga dilakukan oleh oknum internal Perum
Bulog. Hal ini diperkuat oleh keterangan Menteri Perdagangan Rachmat Gobel
setelah melakukan inspeksi mendadak di salah satu gudang beras di Cakung,
Jakarta Timur. Ditemukan kegiatan pengoplosan antara beras Perum Bulog dan
beras lain, dikemas ulang dan dijual dengan harga yang lebih mahal. Di tempat
terpisah, juga terdapat temuan beras illegal atas nama Perum Bulog yang masuk
ke Pasar Induk Besar Cipinang, Jakarta Timur. (Pada Kompas judul Harga
Beras Naik, Salah Siapa, 15 Maret 2015).
7
Berdasarkan cuplikan kedua berita diatas dapat menggambarkan keadaan
harga beras di Indonesia memiliki pembentuk harga dasar dari harga penentuan
gabah kering dan harga penentuan gabah giling sehingga harga pokok produksi
beras berada di kisaran harga penentuan gabah kering dan gabah giling. Selain
itu faktor-faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya harga beras di pasar
adalah harga-harga penentu produksi misal perubahan harga pupuk, harga
transportasi, harga bahan bakar minyak, kondisi iklim dan cuaca ekstrim,
bahkan hingga terjadinya penimbunan beras dan adanya mafia beras yang
sangat merugikan pasar.
Sedangkan penentuan harga itu sebenarnya salah satu pengaruhnya
berdasarkan kemampuan produksi beras, mengapa? Karena dengan semakin
besarnya produksi beras (jika seluruh faktor-faktor pengaruh lainnya dianggap
tetap, ceteris paribus), maka dapat diasumsikan harga beras yang dijual kepada
konsumen di pasar akan semakin murah, dikarenakan ketersediaan beras di
pasar melimpah. Sedangkan jika semakin kecil produksi beras (ceteris paribus),
maka dapat diasumsikan harga beras yang dijual kepada konsumen di pasar
akan semakin mahal dikarenakan ketersediaan pasar di pasar terbatas.
Menurut I Gusti Ngurah Agung (2008: 9) produksi dapat didefinisikan
sebagai hasil dari suatu proses atau aktifitas ekonomi dengan memanfaatkan
beberapa masukan (input), oleh karena itu kegiatan produksi tersebut adalah
mengkombinasikan berbagai input untuk menghasilkan output. Menurut Ari
8
Sudarman (2001: 119) produksi meliputi semua aktivitas dan tidak hanya
mencakup pembuatan barang-barang yang dapat dilihat. Menulis buku, memberi
nasehat, pertunjukkan bioskop dan jasa bank adalah termasuk dalam pengertian
produksi. Tetapi akan sedikit mengalami kesulitan untuk menunjukkan secara
pasti faktor-faktor produksi seperti yang dicontohkan tadi, namun jelas bahwa
dalam proses produksi seperti ini diperlukan beberapa keterampilan baik bersifat
teknis maupun intelektual.
Sadono Sukirno (2009: 193) menyatakan bahwa fungsi produksi adalah
hubungan diantara faktor- faktor produksi dan tingkat produksi yang
diciptakannya. Adapun menurut Prathama Rahardja dan Mandala Manurung
(2006: 109) menyatakan bahwa ekonom membagi faktor produksi barang
menjadi barang modal (capital) dan tenaga kerja (labour).
Tabel 1.2
Jumlah Produksi Beras pada 32 Provinsi di Indonesia Tahun 2008-2013
Per Ton
Produksi Tahun
2008 2009 2010 2011 2012 2013
ACEH 1.556.858 1.402.287 1.582.393 1.772.962 1.788.738 1.956.940
SUMATERA UTARA 3.527.899 3.340.794 3.582.302 3.607.403 3.715.514 3.727.249
SUMATERA BARAT 2.105.790 1.965.634 2.211.248 2.279.602 2.368.390 2.430.384
RIAU 531.429 494.260 574.864 535.788 512.152 434.144
JAMBI 644.947 581.704 628.828 646.641 625.164 664.535
SUMATERA SELATAN 3.125.236 2.971.286 3.272.451 3.384.670 3.295.247 3.676.723
BENGKULU 510.160 484.900 516.869 502.552 581.910 622.832
LAMPUNG 2.673.844 2.341.075 2.807.676 2.940.795 3.101.455 3.207.002
KEP. BANGKA BELITUNG
19.864 15.079 22.259 15.211 22.395 28.480
KEP. RIAU 430 404 1.246 1.223 1.323 1.370
9
DKI JAKARTA 11.013 8.352 11.164 9.516 11.044 10.268
JAWA BARAT 11.322.68
1 10.111.06
9 11.737.07
0 11.633.89
1 11.271.86
1 12.083.16
2
JAWA TENGAH 9.600.415 9.136.405 10.110.83
0 9.391.959
10.232.934
10.344.816
DI YOGYAKARTA 837.930 798.232 823.887 842.934 946.224 921.824
JAWA TIMUR 11.259.08
5 10.474.77
3 11.643.77
3 10.576.54
3 12.198.70
7 12.049.34
2
BANTEN 1.849.007 1.818.166 2.048.047 1.949.714 1.865.893 2.083.608
BALI 878.764 840.465 869.161 858.316 865.553 882.092
NUSA TENGGARA BARAT
1.870.775 1.750.677 1.774.499 2.067.137 2.114.231 2.193.698
NUSA TENGGARA TIMUR
607.359 577.895 555.493 591.371 698.566 729.666
KALIMANTAN BARAT 1.300.798 1.321.443 1.343.888 1.372.988 1.300.100 1.441.876
KALIMANTAN TENGAH
578.761 522.732 650.416 610.236 755.507 812.652
KALIMANTAN SELATAN
1.956.993 1.954.284 1.842.089 2.038.309 2.086.221 2.031.029
KALIMANTAN TIMUR 555.560 586.031 588.879 552.616 561.959 439.439
SULAWESI UTARA 549.087 520.193 584.030 596.223 615.062 638.373
SULAWESI TENGAH 953.396 985.418 957.108 1.041.789 1.024.316 1.031.364
SULAWESI SELATAN 4.324.178 4.083.356 4.382.443 4.511.705 5.003.011 5.035.830
SULAWESI TENGGARA 407.367 405.256 454.644 491.567 516.291 561.361
GORONTALO 256.934 237.873 253.563 273.921 245.786 295.913
MALUKU 89.875 75.826 83.109 87.468 84.271 101.835
MALUKU UTARA 46.253 51.599 55.401 61.430 65.686 72.445
PAPUA BARAT 36.985 39.537 34.254 29.304 30.245 29.912
PAPUA 98.511 85.699 102.610 115.437 138.032 169.791
Sumber: Tabel Produksi Produk Pangan Beras Tahun 2008-2013 Badan
Pusat Statistik Republik Indonesia (diolah kembali)
Berdasarkan data diatas dapat diketahui bahwa perubahan produksi beras
pada 32 provinsi di Indonesia cenderung fluktuatif. Seperti yang terjadi pada
kurun waktu 2008-2009 perubahan produksi beras berada pada angka -0,05%,
lain hal pada kurun waktu 2009-2010 terjadi peningkatan kapasitas produksi
10
beras berada pada angka 16,17%. Namun, pada kurun waktu 2010-2011
perubahan produksi beras berada pada angka 0,4%, hal ini disebabkan
banyaknya daerah-daerah yang mengalami penurunan kapasitas produksi
seperti provinsi Bangka Belitung pada angka -31,66%, DKI Jakarta pada angka
-14,76% dan Papua Barat pada angka -14,45%. Sedangkan pada kurun waktu
2011-2012 perubahan produksi beras berada pada angka 6,13%, hal ini
disebabkan meningkatnya kapasitas produksi pada banyak provinsi di
Indonesia seperti pada provinsi Bengkulu pada angka 15,79%, Bangka Belitung
pada angka 47,22%, DKI Jakarta pada angka 16,05%, DI Yogyakarta pada
angka 12,25%, Jawa Timur pada angka 15,33%, NTT pada angka 18,12%,
Kalimantan Tengah pada angka 23,8%, dan Papua Barat pada angka 19,57%.
Lain lagi pada kurun waktu 2012-2013 perubahan produksi beras mengalami
penurunan, yaitu pada angka 4,89%. Penurunan perubahan ini disebabkan oleh
menurunnya kapasitas produksi beras pada banyak provinsi di Indonesia seperti
pada provinsi Riau pada angka -15,23% dan Kalimantan Timur pada angka -
21,8%.
Adapun bila produksi nasional tidak mencukupi kebutuhan nasional maka
pemerintah umumnya melakukan impor. Adapun kebijakan ini diambil selain
menutupi defisit antara produksi dan konsumsi nasional, impor juga digunakan
pemerintah sebagai salah satu cara dalam menekan tingginya harga beras yang
ditawarkan kepada pasar. Menurut Suherman Rosyidi dalam bukunya Pengantar
11
Teori Ekonomi: Pendekatan Kepada Teori Ekonomi (2001: 223-224)
Kemampuan suatu bangsa untuk mengimpor sangat tergantung pada pendapatan
nasionalnya. Artinya, semakin besar pendapatan nasional, semakin besar pula
kemampuan bangsa tersebut mengimpor barang dan jasa. Jadi: M = f(Y). Tetapi
harus diingat, bahwa hubungan antara impor, M, dengan pendapatan nasional,
Y, itu tidaklah berupa hubungan proporsional. Artinya, tidak dapat ditarik
kesimpulan bahwa jika pendapatan nasional bertambah menjadi dua kali lipat,
misalnya, maka impor akan menjadi dua kali lipat.
Tabel 1.3
Jumlah Impor Beras pada 32 Provinsi di Indonesia Tahun 2008-2013
Per Ton
Provinsi 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Aceh 15.900 0 14.750 31.400 4.600 0
Sumatera Utara 45.100,4 26.395,6 92.672,6
5 358.693,89 103.175,3 47.566
Sumatera Barat 23.000 0 10.500 44.250 25.050 0
Riau 21.500 0 10.951,1
4 86.853,12 18.501 0
Jambi 0 0 0 0 0 0
Sumatera Selatan 0 0 0 43.550 22.900 0
Bengkulu 0 0 0 0 0 0
Lampung 6.200 25.499,9
9 77.408,2
0 205.495,99 88.007,79 49.616,15
Bangka Belitung 0 0 0 0 0 0
Kep Riau 0 0 0 0 0 0
DKI Jakarta 66.975,9 105.289,
8 262.484,
8 1.001.298,8
6 749.936,7 221.537,0
6
Jawa Barat 0 0 0 0 0 0
Jawa Tengah 30.716,9
1 418,02 2.481,90 3.955 612 2.640
DI Yogyakarta 0 0 0 0 0 0
12
Jawa Timur 80.296,1
9 92.869,6
9 116.368,
4 605.533,84 588.174,8 151.305,4
Banten 0 0 9.650 135.780 109.464,3
5 0
Bali 0 0 8.450 12.894,36 9.600 0
NTB 0 0 0 22.200 0 0
NTT 0 0 27.264,4
0 23.900 34.731,8 0
Kalimantan Barat 0 0 0 0 0 0
Kalimantan Tengah 0 0 0 0 0 0
Kalimantan Selatan 0 0 0 0 0 0
Kalimantan Timur 0 0 3.900 18.750 8.600 0
Sulawesi Utara 0 0 12.000 82.600 26.767,9 0
Sulawesi Tengah 0 0 10.500 18.950 0 0
Sulawesi Selatan 0 0 0 0 0 0
Sulawesi Tenggara 0 0 0 3.600 0 0
Gorontalo 0 0 0 0 0 0
Maluku 0 0 12.000 24.671,09 13.650 0
Maluku Utara 0 0 0 0 0 0
Papua 0 0 12.200 15.400 0 0
Papua Barat 0 0 0 10.700 6.600 0
Sumber: Buku Statistik Perdagangan Luar Negeri Impor Jilid III 2008-2013
Badan Pusat Statistik Republik Indonesia (diolah kembali)
Berdasarkan data impor diatas dapat diketahui bahwa perubahan impor
pada 32 provinsi di Indonesia secara umum terjadi penurunan, namun tren
kenaikan sangat signifikan terjadi pada kurun waktu 2010-2011 yaitu pada
angka 302,36%. Tingginya kenaikan jumlah impor beras di Indonesia pada
kurun waktu 2010-2011 disebabkan terjadinya penurunan kapasitas produksi
beras di Indonesia pada kurun waktu yang sama, sehingga pemerintah
mengantisipasi adanya kelangkaan beras dan tingginya harga beras dengan
13
meningkatkan jumlah impor beras. Pada kurun waktu 2008-2009 terjadi
penurunan jumlah impor beras pada angka -13,53% dikarenakan meningkatnya
kapasitas produksi beras di waktu yang sama. Sedangkan pada kurun waktu
2009-2010 terjadi peningkatan jumlah impor sebesar 172,91%. Adapun pada
kurun waktu 2011-2012 terjadi penurunan jumlah impor beras sangat besar,
yaitu pada angka -34,17%. Penurunan jumlah impor beras ini disebabkan
meningkatnya kapasitas produksi beras di Indonesia pada kurun waktu yang
sama. Seperti pada kurun waktu sebelumnya, pada kurun waktu 2012-2013
terjadi kembali penurunan jumlah impor beras namun dengan jumlah
perubahan yang jauh lebih besar yaitu pada angka -73,89%. Hal ini disebabkan
adanya peningkatan kapasitas produksi beras di Indonesia pada kurun waktu
yang sama.
Selain produksi dan impor, harga dapat dipengaruhi oleh tingkat konsumsi
dikarenakan apabila tingkat konsumsi tinggi namun kapasitas produksinya
tidak dapat memenuhi konsumsi maka dapat diasumsikan harga beras akan
meningkat tajam karena ketidaktersediaannya beras dipasar. Pernyataan ini
diperkuat menurut Ratih Kumala Sari (2014) yaitu “meskipun jumlah produksi
beras terus meningkat belum tentu dapat memenuhi kebutuhan beras di dalam
negeri. Sebab jumlah penduduk Indonesia tiap tahun terus meningkat per
tahunnya, sedangkan produksi yang dihasilkan kurang mencukupi tingkat
konsumsi masyarakat Indonesia”.
14
Tabel 1.4
Jumlah Konsumsi Beras pada 32 Provinsi di Indonesia Tahun 2010-2013
Per Ton
Propinsi Agregat Konsumsi Beras Per Provinsi 2010-2013 (per Ton)
2008 2009 2010 2011 2012 2013
ACEH 693.683,2 716.679 730.095,2 739.396,8 754.322,6 754.504,2
SUMATERA UTARA
2.050.044 2.091.021,
2 2.103.024,
7 2.116.365,
2 2.145.046,
5 2.131.308,
4
SUMATERA BARAT
761.834,9 778.953,4 785.331,3 789.677,1 799.933,0 794.557,4
RIAU 833.758,9 872.299,3 899.871,2 916.634,3 940.539,6 946.176,5
JAMBI 474.645,5 491.387,6 501.612,6 507.060,7 516.272,1 515.345,0
SUMATERA SELATAN
1.159.429,5
1.191.642,5
1.207.640,8
1.216.346,9
1.234.135,2
1.227.741,4
BENGKULU 267.854,6 274.792,8 277.972,4 280.615,4 285.356,7 284.544,6
LAMPUNG 1.197.798,
1 1.223.473,
4 1.232.240,
4 1.238.341,
6 1.253.492,
8 1.243.957,
2
KEP. BANGKA BELITUNG
185.667,2 193.366,2 198.572,5 201.409,2 205.830,5 206.241,5
KEP. RIAU 246.024,9 261.107,8 273.242,9 279.943,1 288.780,3 291.915,4
DKI JAKARTA 1.507.406,
1 1.542.371,
9 1.556.103
1.561.089,3
1.577.740,7
1.563.536,6
JAWA BARAT 6.692.117 6.881.551,
7 6.977.492,
7 7.033.602
7.142.075,9
7.110.603,1
JAWA TENGAH 5.180.631,
3 5.245.470,
3 5.236.924,
8 5.238.591,
8 5.279.138,
5 5.216.697,
4
DI YOGYAKARTA 546.267,1 556.849,2 559.705,7 561.871,1 568.329,6 563.772,7
JAWA TIMUR 5.951.624,
4 6.049.794,
4 6.063.675,
2 6.057.435
6.096.301,3
6.016.336
BANTEN 1.625.179,
1 1.684.464,
4 1.725.298,
0 1.751.853,
3 1.791.554,
2 1.796.046,
4
BALI 601.837,3 620.454,3 630.712,1 633.521,7 641.072,6 636.132,1
NUSA TENGGARA BARAT
709.594,6 724.291,5 728.965,3 733.441,9 743.396 738.774,5
NUSA TENGGARA TIMUR
726.057,9 747.906,3 759.650,2 766.545,9 779.295,5 776.914,6
KALIMANTAN BARAT
696.796 709.361,8 712.065,1 718.570,7 730.405,6 727.890,8
15
KALIMANTAN TENGAH
344.580,6 353.937,7 358.469,9 364.191,7 372.721,9 373.982,3
KALIMANTAN SELATAN
562.888 579.352,4 587.969,5 594.574,9 605.525,0 604.484,7
KALIMANTAN TIMUR
532.278 558.213,9 577.235,4 588.107,8 603.477,3 607.041,0
SULAWESI UTARA
357.088,1 364.891,5 367.654,4 369.122,1 373.313,8 370.171,4
SULAWESI TENGAH
409.217,3 421.015,5 427.103,5 431.056,0 438.233,7 436.838,0
SULAWESI SELATAN
1.266.495.2
1.292.725,8
1.301.067,7
1.305.606,0
1.319.836,6
1.308.240,1
SULAWESI TENGGARA
346.065,4 356.514,6 362.150,2 367.281,2 375.233,5 375.864,2
GORONTALO 160.563,8 165.717,2 168.646,2 170.098,1 172.826,6 172.194,6
MALUKU 234.345,9 243.211,7 248.885,4 251.433,3 255.888,3 255.375
MALUKU UTARA 159.645,2 165.123,3 168.404 170.834,4 174.554,4 174.845
PAPUA BARAT 114.147 119.584,7 123.530,7 125.820,7 129.104 129.898,7
PAPUA 411.390,6 438.640,6 461.162 466.673,2 475.749,1 475.574
Sumber: Tabel Jumlah Penduduk Indonesia Tahun 2000-2010 Badan Pusat
Statistik Republik Indonesia, Tabel Laju Pertumbuhan Penduduk per Tahun
menurut Provinsi di Indonesia Tahun 1971-2010 Badan Pusat Statistik
Republik Indonesia, Tabel Proyeksi Jumlah Penduduk Indonesia Tahun 2010-
2013 Badan Pusat Statistik Republik Indonesia dan Tabel Perkembangan
Konsumsi Rumah Tangga per Kapita di Indonesia Kelompok Padi-padian
Komoditi Beras Departemen Pertanian Republik Indonesia Tahun 1993-2013
(diolah kembali).
Berdasarkan data diatas dapat kita cermati bahwa perubahan tingkat
konsumsi beras pada 32 provinsi di Indonesia tahun 2008-2013 fluktuatif di tiap
tahunnya. Yaitu pada kurun waktu 2008-2009 perubahan tingkat konsumsi
beras berada pada angka 3,1%, sedangkan pada kurun waktu 2009-2010
perubahan tingkat konsumsi beras berada pada angka -99,89%, penurunan
tingkat konsumsi beras yang sangat signifikan ini disebabkan oleh terjadinya
16
kenaikan harga BBM pada saat itu menganggu pola konsumsi masyarakat
Indonesia khususnya pada bidang pangan. Lain halnya pada kurun waktu 2010-
2011 perubahan tingkat konsumsi beras berada pada angka 0,9%, hal ini
disebabkan pada tahun 2010 terjadi krisis keuangan global yang memiliki
pengaruh terhadap perekonomian di Indonesia khususnya harga minyak dunia,
sehingga memicunya kenaikan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) di
Indonesia. Dengan kenaikan harga BBM tersebut akhirnya berdampak terhadap
kenaikan harga barang dan jasa sehingga mengurangi daya belanja masyarakat.
Sedangkan pada kurun waktu 2011-2012 terjadi kenaikan tingkat konsumsi
beras berada pada angka 1,7%, hal ini disebabkan memulihnya keadaan
perekonomian di Indonesia serta bertahannya perekonomian Indonesia dalam
menghadapi krisis keuangan global pada tahun 2010. Sedangkan pada kurun
waktu 2012-2013 terjadi penurunan tingkat konsumsi beras yang signifikan
sehingga berada pada angka -0,2%. Hal ini disebabkan terjadinya penurunan
kapasitas produksi beras di Indonesia pada kurun waktu 2012-2013.
Berdasarkan pemaparan masalah-masalah diatas, pada 32 provinsi di
Indonesia terjadi fenomena bahwa harga beras itu cenderung selalu naik
walaupun keadaan produksi beras yang cenderung fluktuatif, impor beras yang
cenderung menurun dan konsumsi beras yang cenderung fluktuatif. Padahal
dengan keadaan diatas dapat di asumsikan harga beras itu cenderung stabil
bahkan mengalami penurunan. Oleh karena itu, diperlukan penelitian lebih
17
lanjut mengenai masalah ini dengan judul penelitian “Pengaruh Produksi
Beras, Impor Beras dan Konsumsi Beras Terhadap Harga Beras di
Indonesia Tahun 2008-2013 (Studi Kasus 32 Provinsi)”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang sudah diuraikan diatas mengenai Produksi
Beras, Impor Beras dan Konsumsi Beras terhadap Harga Beras di Indonesia
Tahun 2008-2013. Sesuai dengan yang diuraikan diatas, maka dapat
dirumuskan permasalahan yang dapat dikaji dalam penelitian ini yaitu:
1. Seberapa besar pengaruh Produksi Beras terhadap Harga Beras di
Indonesia Tahun 2008-2013 secara parsial?
2. Seberapa besar pengaruh Impor Beras terhadap Harga Beras di Indonesia
Tahun 2008-2013 secara parsial?
3. Seberapa besar pengaruh Konsumsi Beras terhadap Harga Beras di
Indonesia Tahun 2008-2013 secara parsial?
4. Seberapa besar pengaruh Produksi Beras, Impor Beras dan Konsumsi
Beras terhadap Harga Beras di Indonesia Tahun 2008-2013 secara
simultan?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk menganalisis dan mengetahui seberapa besarnya pengaruh
Produksi Beras terhadap Harga Beras secara parsial di Indonesia Tahun
2008-2013.
18
2. Untuk menganalisis dan mengetahui seberapa besarnya pengaruh Impor
Beras terhadap Harga Beras secara parsial di Indonesia Tahun 2008-2013.
3. Untuk menganalisis dan mengetahui seberapa besarnya pengaruh
Konsumsi Beras terhadap Harga Beras secara parsial di Indonesia Tahun
2008-2013.
4. Untuk menganalisis dan mengetahui seberapa besarnya pengaruh secara
simultan Produksi Beras, Impor Beras dan Konsumsi Beras terhadap
Harga Beras di Indonesia Tahun 2008-2013.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:
1. Kegunaan praktis dalam menggambarkan keadaan perberasan di
Indonesia sehingga dapat menjadi informasi dan masukan tambahan bagi
pemerintah khususnya yang menangani bidang pertanian dalam mengatasi
masalah perberasan.
2. Kegunaan ilmiah untuk memberikan sumbangan pemikiran untuk
kemajuan ilmu pengetahuan khususnya dalam pengembangan teori-teori
aplikasi ekonomi makro.
19
BAB II
KERANGKA TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Teori Harga
Harga adalah satuan nilai yang diberikan pada suatu komoditi sebagai
informasi kontraprestasi dari produsen/pemilik komoditi. Dalam teori
ekonomi disebutkan bahwa harga barang dan jasa yang pasarnya
kompetitif, maka tinggi rendahnya harga ditentukan oleh permintaan dan
penawaran pasar. Dalam kenyataannya, penentuan harga pada komoditi
beras di Indonesia ditentukan batasan-batasan tertentu oleh pemerintah.
Hal ini sesuai dengan kebijakan pemerintah melalui Undang Undang
Pangan No. 12 Tahun 2012, pada pasal 55-57. Adapun yang sesuai dengan
penentuan harga beras, bahkan komoditas pangan pada umumnya berada
pada pasal 56 ayat a dan b yaitu “penetapan harga pada tingkat produsen
sebagai pedoman pembelian pemerintah” dan “penetapan harga pada
tingkat konsumen sebagai pedoman bagi penjualan pemerintah”.
Walaupun pemerintah melakukan penentuan harga, mekanisme
permintaan dan penawaran sangat menentukan harga beras di Indonesia
walau berada pada koridor penentuan harga yang ditentukan, atau biasa
kita dengar dengan istilah penentuan harga dasar dan harga atas. Sehingga
20
dengan adanya penentuan harga dasar dan harga atas, diharapkan produsen
(khususnya petani) tetap menjual hasil produksi dengan harga yang layak
namun tidak mencekik konsumen untuk membeli beras.
Selalu dalam asumsi konsumen berusaha mendapatkan barang dengan
harga yang lebih murah, sedangkan dalam asumsi penjual berusaha
menawarkan barang dengan harga yang lebih mahal dengan harapan
keuntungan yang besar. Kedua asumsi ini bertemu dalam kegiatan jual beli,
sehingga terjadi proses tawar-menawar yang nantinya terjadi kesepakatan
bersama atas harga barang. Kesepakatan harga yang telah disetujui pihak
konsumen dan penjual disebut dengan harga pasar. Pada harga tersebut
jumlah barang yang ditawarkan sama dengan jumlah barang yang diminta.
Dengan pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa harga pasar disebut
juga dengan harga keseimbangan (equilibrium).
Harga suatu barang dan jumlah barang tersebut yang diperjualbelikan,
ditentukan oleh permintaan dan penawaran barang tersebut. Dan juga
keadaan di suatu pasar dikatakan dalam keseimbangan atau ekuilibrium
apabila jumlah yang ditawarkan pada penjual pada suatu harga tertentu
adalah sama dengan jumlah yang diminta para pembeli pada harga
tersebut. Dengan demikian harga suatu barang dan jumlah barang yang
diperjualbelikan dapat ditentukan dengan melihat keadaan keseimbangan
dalam suatu pasar (Sadono Sukirno, 2009: 90).
21
Menurut Winardi (1987: 13) bahwa harga menerangkan komposisi atau
alokasi produksi total. Menurut Pindyck (2009: 5) harga merupakan salah
satu penentu dari situasi-tukar dalam setiap pilihan manusia. Seperti
seorang konsumen yang melakukan situasi-tukar antara daging sapi dan
ayam tidak hanya pada preferensinya, tetapi juga berdasarkan harganya.
Begitu juga, para pekerja melakukan situasi-tukar antara kerja dan istirahat
sebagian berdasarkan pada “harga” yang mereka peroleh dari pekerjaan
mereka – yaitu upah. Dan perusahaan memutuskan apakah akan
memperkerjakan karyawan lebih banyak atau membeli mesin lebih banyak
sebagian juga didasarkan pada tingkat upah dan harga mesin.
Suherman dalam bukunya Pengantar Teori Ekonomi: Pendekatan
Kepada Teori Ekonomi (2001: 238) mengatakan mengapa suatu barang
memiliki harga? Haruskah setiap barang memiliki harga? Jawabannya
bahwa tidak semua barang memiliki harga, karena yang memiliki harga
hanya barang ekonomis (economic goods), tetapi barang-barang bebas
(free goods) tidak ada harga. Sedangkan mengapa barang-barang memiliki
harga karena dalam satu sisi barang tersebut berguna atau memiliki
manfaat, selain itu dipihak lain jumlahnya jarang (scare/langka). Oleh
karena itu harga sendiri dibentuk oleh bersatunya dua jenis kekuatan:
kegunaan dan kelangkaan.
Teori Cobweb menjelaskan mengenai harga produk pertanian yang
22
menunjukkan fluktuasi tertentu dari musim ke musim. Penyebab fluktuasi
tersebut adalah reaksi yang terlambat (time lag) dari produsen (petani)
terhadap harga.
Gambar 2.1
Kurva Cobweb
Misalkan, pada musim pertama (musim 1) jumlah produk pertanian
yang dihasilkan sebanyak Q1. Kita telah mengetahui bahwa barang-barang
hasil pertanian merupakan barang non durable (tidak tahan lama). Itulah
sebabnya jumlah Q1 tadi harus terjual habis pada musim itu juga dengan
harga P1 (berdasarkan kurva permintaan D). Untuk selanjutnya, para
petani mungkin sekali mendasarkan keputusannya untuk berproduksi pada
harga yang berlaku di pasar (P1), sehingga jumlah yang ditawarkan pada
musim berikutnya (musim 2) adalah sebanyak Q2 (sesuai dengan hukum
penawaran), dengan anggapan bahwa harga tetap pada P1. Namun, dengan
23
jumlah sebanyak Q2 di pasar, maka harga yang terjadi pada musim 2
adalah P2. Kemudian, petani merencanakan berproduksi selanjutnya
sebanyak Q3 pada musim 3, berdasarkan harga yang berlaku (P2). Hasil
panen sebanyak Q3 ini akan menyebabkan harga naik menjadi P3. Dengan
harga P3 ini pulalah petani membuat rencana produksi Q4 pada musim 4,
dan begitu seterusnya. Apabila proses ini terus berlangsung, fluktuasinya
akan semakn mengecil dan akhirnya terjadi keseimbangan (equilibrium),
di mana harga keseimbangannya Pe dan jumlah yang diproduksi (dan
dikonsumsi) sebanyak Qe. Pada tingkat ini terjadi kestabilan. Dalam
proses tersebut tingkat harga menunjukkan fluktuasi (naik turun) dari satu
musim ke musim berikutnya. Proses ini dinamakan Cobweb atau sarang
laba-laba, karena gambarnya memang menyerupai sarang laba-laba.
(Prathama Rahardja dan Mandala Manurung, 2006: 70-71).
2. Teori Produksi
Produksi adalah suatu proses dimana sumber daya (masukan) diolah
sedemikian rupa agar menghasilkan produk (keluaran) dengan nilai tambah
yang lebih besar daripada bentuk sebelumnya.
Menurut I Gusti Ngurah Agung (2008: 9) produksi dapat didefinisikan
sebagai hasil dari suatu proses atau aktifitas ekonomi dengan
memanfaatkan beberapa masukan (input), oleh karena itu kegiatan produksi
tersebut adalah mengkombinasikan berbagai input untuk menghasilkan
24
output. Menurut Ari Sudarman (2001: 119) produksi meliputi semua
aktivitas dan tidak hanya mencakup pembuatan barang-barang yang dapat
dilihat. Menulis buku, memberi nasehat, pertunjukkan bioskop dan jasa
bank adalah termasuk dalam pengertian produksi. Tetapi akan sedikit
mengalami kesulitan untuk menunjukkan secara pasti faktor-faktor
produksi seperti yang dicontohkan tadi, namun jelas bahwa dalam proses
produksi seperti ini diperlukan beberapa keterampilan baik bersifat teknis
maupun intelektual.
Menurut Denny Afrianto pada skripsinya (2010: 31-32), Pada dasarnya
faktor-faktor produksi meliputi :
a. Faktor Produksi Alam
Sumber-sumber alam merupakan dasar untuk kegiatan disektor
pertanian, kehewanan, perikanan dan di sektor pertambangan.
Sektor-sektor itu lazim disebut produksi primer (industri pabrik
dipandang sebagai produksi sekunder). Faktor produksi ini terdiri
dari :
1) Tanah dan keadaan iklim
2) Kekayaan hutan
3) Kekayaan di bawah tanah (bahan pertambangan)
4) Kekayaan air; sebagai sumber tenaga penggerak, untuk
pengangkutan, sebagai sumber bahan makanan (perikanan),
sebagai sumber pengairan dll.
25
b. Tenaga Kerja
Yang termasuk tenaga kerja yaitu semua yang bersedia dan
sanggup bekerja. Golongan ini meliputi yang bekerja untuk
kepentingan sendiri baik anggota-anggota keluarga yang tidak
menerima bayaran berupa uang maupun mereka yang bekerja
untuk gaji dan upah. Juga yang menganggur, tetapi yang
sebenarnya bersedia dan mampu untuk bekerja.
c. Modal
Modal, yaitu barang-barang yang dihasilkan untuk
dipergunakan selanjutnya dalam produksi barang-barang lain.
Barang-barang modal terutama terdiri atas peralatan yang sangat
berguna dalam proses produksi. Peralatan modal tersebut meliputi:
mesin-mesin, alat-alat besar, gedung-gedung dsb.
Sadono Sukirno (2009: 193) menyatakan bahwa fungsi produksi adalah
hubungan diantara faktor- faktor produksi dan tingkat produksi
yang diciptakannya. Adapun menurut Prathama Rahardja dan Mandala
Manurung (2006: 107) menyatakan bahwa ekonom membagi faktor
produksi barang menjadi barang modal (capital) dan tenaga kerja (labour).
Hubungan matematis penggunaan hal-hal berhubungan dengan produksi
yang menghasilkan output maksimum disebut fungsi produksi sebagai
berikut.
26
Q = f(K,L)
Dimana
Q = tingkat output.
K = barang modal.
L = tenaga kerja/buruh.
Dalam Skripsi Denny Afrianto (2010: 33) bahwa pada produksi bidang
pertanian, faktor produksinya sangat menentukan besar kecilnya produksi
yang akan diperoleh. Untuk menghasilkan produksi (output) yang optimal
maka penggunaan faktor produksi tersebut dapat digabungkan. Dalam
berbagai literatur menunjukkan bahwa faktor produksi lahan, modal untuk
membeli bibit, pupuk, obat-obatan, tenaga kerja dan aspek manajemen
adalah faktor produksi terpenting diantara faktor produksi yang lain
(Soekartawi, 1991), seperti tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, tingkat
keterampilan dan lain-lain.
Dalam praktek, faktor-faktor produksi yang mempengaruhi produksi ini
dibedakan atas dua kelompok (Soekartawi, 1991):
a. Faktor biologis, seperti lahan pertanian dengan macam dan
tingkat kesuburannya, bibit, varietas, pupuk, obat-obatan, gulma dan
lain sebagainya.
27
b. Faktor sosial ekonomi, seperti biaya produksi, harga tenaga kerja,
tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, resiko dan ketidakpastian,
kelembagaan, tersedianya kredit dan sebagainya.
3. Hubungan antara produksi dan harga
Hubungan antara produksi dengan harga dapat dijelaskan dengan teori
biaya produksi. Biaya produksi merupakan nilai yang dikeluarkan untuk
memproduksi suatu barang. Semakin banyak biaya yang dikeluarkan untuk
memproduksi maka akan semakin besar harga yang ditetapkan untuk
barang tersebut. Oleh karena itu, biaya produksi dapat disebut sebagai salah
satu variabel pembentuk harga barang.
Berhubungan dengan konsep biaya produksi, Prathama Rahardja dan
Mandala Manurung (2006: 134) berpendapat bahwa biaya produksi
berhubungan dengan dua konsep biaya. Yaitu, biaya eksplisit (explicit cost)
dan biaya implisit (implicit cost). Biaya eksplisit adalah biaya-biaya yang
secara eksplisit terlihat, terutama melalui laporan keuangan seperti biaya
listrik, telepon, air, pembayaran upah buruh dan gaji karyawan. Sedangkan
biaya implisit adalah biaya kesempatan (opportunity cost).
Perilaku biaya juga berhubungan dengan dengan periode produksi.
Dalam jangka pendek ada faktor produksi tetap yang menimbulkan biaya
tetap, yaitu biaya produksi yang besarnya tidak tergantung pada tingkat
produksi. Dalam jangka panjang, karena semua faktor produksi adalah
28
variabel, biaya juga variabel. Artinya besarnya biaya produksi dapat
disesuaikan dengan tingkat produksi (Prathama Rahadja dan Mandala
Manurung, 2006: 135). Oleh karena itu, biaya produksi terbagi menjadi dua
periode yaitu biaya produksi jangka pendek dan biaya produksi jangka
panjang.
a. Biaya Produksi Jangka Pendek
Pada biaya produksi jangka pendek, hal yang berhubungan adalah
seperti biaya total, biaya tetap, biaya variabel, biaya rata-rata, biaya
marginal. Biaya total jangka pendek (total cost) sama dengan biaya tetap
ditambah biaya variabel. Biaya tetap (fixed cost) adalah biaya yang
besarnya tidak tergantung pada jumlah produksi, contohnya biaya
barang modal, gaji pegawai, bunga pinjaman, sewa gedung kantor.
Bahkan pada saat perusahaan tidak berproduksi (Q=0), biaya tetap harus
dikeluarkan dengan jumlah sama. Biaya variabel (variable cost) adalah
biaya yang besarnya tergantung pada tingkat produksi, contohnya upah
buruh, biaya bahan baku.
TC = FC + VC
Dimana: TC = biaya total jangka pendek
FC = biaya tetap jangka pendek
VC = biaya variabel jangka pendek
29
Gambar 2.2
Kurva Biaya Total, Biaya Tetap dan Biaya Variabel
Kurva FC mendatar menunjukkan bahwa besarnya biaya tetap tidak
tergantung pada jumlah produksi. Kurva VC membentuk huruf S
terbalik, menunjukkan hubungan terbalik antara tingkat produktifitas
dengan besarnya biaya. Kurva TC sejajar dengan VC menunjukkan
bahwa dalam jangka pendek perubahan biaya total semata-mata
ditentukan oleh perubahan biaya variabel (Prathama Rahadja dan
Mandala Manurung, 2006: 135-136).
Biaya rata-rata adalah biaya yang harus dikeluarkan untuk
memproduksi satu unit output. Besarnya biaya rata-rata adalah biaya
total dibagi dengan jumlah output. Karena dalam jangka pendek TC =
FC + VC, maka biaya rata-rata (average cost) sama dengan biaya tetap
30
rata-rata (average fixed cost) ditambah biaya variabel rata-rata (average
variable cost).
AC = AFC +AVC
Atau
𝑇𝐶
𝑄=
𝐹𝐶
𝑄+
𝑉𝐶
𝑄
Dimana: AC = biaya rata-rata jangka pendek
AFC = biaya tetap rata-rata jangka pendek
AVC = biaya variabel rata-rata jangka pendek.
Gambar 2.3
Kurva Biaya Rata-rata
Kurva AFC terus menurun, menunjukkan bahwa AFC makin menurun
bila produksi ditambah. Tetapi kurva AFC tidak pernah menyentuh
sumbu horizontal (asimptot). Artinya nilai AFC tidak pernah negatif.
31
Kurva AC mula-mula menurun lalu naik, sepola dengan pergerakan
AVC. Pola ini berkaitan dengan hukum LDR (law diminishing return).
Kurva AVC juga mula-mula menurun selanjutnya menaik dan terus
mendekati kurva AC, namun tidak pernah bersentuhan (asimptot).
Makin kecil jarak AVC dengan AC karena makin mengecilnya AFC.
Pergerakan kurva AVC berkaitan dengan pergerakan kurva AP
(average product). Bila harga per unit tenaga kerja adalah P, maka AVC
= P/AP. Dari persamaan ini terlihat pada saat nilai AP meningkat, nilai
AVC menurun. Begitu pula sebaliknya (Prahatma Rahadja dan Mandala
Manurung, 2006: 136-137).
Biaya marginal (Marginal Cost) adalah tambahan biaya karena
menambah produksi sebanyak satu unit output. Jika biaya marjinal
jangka pendek dinotasikan MC dan perubahan output adalah ∂Q, maka
𝑀𝐶 = 𝜕𝑇𝐶
𝜕𝑄
Dalam jangka pendek, perubahan biaya total disebabkan perubahan
biaya variabel.
𝑀𝐶 = 𝜕𝑉𝐶
𝜕𝑄
Jika harga per unit tenaga kerja adalah P dan perubahan tenaga kerja
adalah ∂V, maka
∂VC = P. ∂V
MC = P.( ∂V/∂Q), karena MP adalah ∂Q/∂V, maka
32
𝑀𝐶 = 𝑃 (1
𝑀𝑃)
Gambar 2.4
Kurva Marginal Cost
Kurva diatas menunjukkan bahwa garis singgung a, b, c dan seterusnya
menunjukkan besarnya MC. Bila garis singgung makin mendatar, nilai
MC makin mengecil, begitu juga sebaliknya (Prahatma Rahadja dan
Mandala Manurung, 2006: 136-137).
b. Biaya Produksi Jangka Panjang
Menurut Prahatma Rahadja dan Mandala Manurung (2006: 139-140)
dalam jangka panjang semua biaya adalah variabel. Karena itu biaya
yang relevan dalam jangka panjang adalah biaya total, biaya variabel,
biaya rata-rata dan biaya marjinal. Perubahan biaya total adalah sama
dengan perubahan biaya variabel dan sama dengan biaya marjinal.
Adapun pada biaya produksi jangka panjang, S pada STC, SVC, SAC
dan SMC menunjukkan dimensi waktu jangka pendek (short run),
33
sedangkan L pada LTC, LVC, LAC, dan LMC menunjukkan jangka
panjang (long run).
Biaya total (jangka panjang) adalah biaya yang dikeluarkan untuk
memproduksi seluruh output dan semuanya bersifat variabel.
LTC = LVC
Dimana : LTC = biaya total jangka panjang
LVC = biaya variabel jangka panjang
Biaya marjinal adalah tambahan biaya karena menambah produksi
sebanyak satu unit. Perubahan biaya total adalah sama dengan
perubahan biaya variabel.
𝐿𝑀𝐶 = 𝜕𝐿𝑇𝐶
𝜕𝑄
Dimana : LMC = biaya marjinal jangka panjang
∂LTC = perubahan biaya total jangka panjang
∂Q = perubahan output
Biaya rata-rata adalah biaya total dibagi dengan jumlah output.
𝐿𝐴𝐶 = 𝐿𝑇𝐶
𝑄
Dimana : LAC = biaya rata-rata jangka panjang
Q = jumlah output
Dalam Biaya produksi jangka panjang ada banyak macam didalamnya
salah satunya adalah Teorema Amplop (Envelope Theorem) menurut
Prathama Rahadja dan Mandala Manurung (2006: 140-144) merupakan
34
salah satu bentuk perilaku biaya jangka panjang. Pada teorema amplop
dianggap dalam menentukan tingkat produksi perusahaan hanya
memiliki tiga pilihan:
1) Memproduksi dengan pabrik ukuran kecil (small size plant), yang
dalam jangka pendek mempunyai kurva biaya rata-rata SAC1.
2) Memproduksi dengan pabrik ukuran sedang (medium size plant),
yang dalam jangka pendek memiliki kurva biaya rata-rata SAC2.
3) Memproduksi dengan pabrik ukuran sedang (large size plant), yang
dalam jangka pendek mempunyai kurva biaya rata-rata SAC3.
Gambar 2.5
Teorema Amplop (Envelope Theorem)
Jika produsen berpandangan bahwa tingkat output yang memberikan
laba maksimum adalah X1, maka dalam jangka pendek dia memilih
35
berproduksi dengan pabrik ukuran kecil. Tetapi jika menurutnya tingkat
produksi yang memberi laba adalah X3, maka dalam jangka pendek
pabrik yang dia pilih adalah yang berskala menengah. Sebenarnya dia
bisa saja memproduksi X3 dengan menggunakan pabrik kecil, tetapi
biaya produksi rata-ratanya menjadi lebih besar (0C1 > )C2). Dalam
jangka pendek perusahaan hanya dapat memilih satu pabrik saja untuk
berproduksi. Tetapi dalam jangka panjang pengusaha dapat menambah
atau mengurangi jumlah pabrik sesuai dengan tingkat produksi yang
direncanakan. Kemampuan tersebut memungkinkan perusahaan
beroperasi dengan biaya rata-rata yang minimum pada berbagai tingkat
produksi.
Selain Teorema Amplop dikenal juga dengan Skala Produksi Ekonomis
dan Tidak Ekonomis. Skala produksi ekonomis (economies of scale)
adalah interval tingkat produksi dimana penambahan output akan
menurunkan biaya produksi jangka panjang per unit. Sebaliknya, skala
produksi tidak ekonomis (diseconomies of scale) adalah interval tingkat
produksi dimana penambahan tingkat produksi justru menaikkan biaya
produksi jangka panjang per unit. Hal tersebut menunjukkan bahwa
dalam jangka panjang berlaku hukum LDR (Law Dimirishing of
Return).
36
Gambar 2.6
Skala Produksi Ekonomis dan Tidak Ekonomis
Jika dilihat diatas kurva LAC mencapai minimum di titik A, kemudian
naik lagi. Gerak menurun sampai titik A disebabkan efisiensi skala
produksi. Sebaliknya setelah titik A efisiensi skala produksi tidak terjadi
lagi. Penampahan jumlah output menaikkan biaya produksi per unit.
Sebelum di titik A, kurva LMC berada di bawah kurva LAC, karena
pada saat itu nilai MP (marginal product) lebih besar dari AP (average
product). Besarnya nilai MP menyebabkan nilai LAC bergerak
menurun. Hal yang sebaliknya terjadi setelah di titik A.
4. Teori Impor
Impor merupakan pembelian barang dari luar negeri ke dalam negeri.
Hal ini biasa terjadi karena produksi barang yang ada di dalam negeri tidak
dapat memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri. Selain itu sebab-sebab
37
impor dapat pula terjadi karena tidak mampunya dalam negeri
memproduksi barang dikarenakan belum adanya teknologi dan modal yang
mencukupi, permintaan masyarakat akan barang-barang dari luar negeri
walaupun produksi dalam negeri mencukupi kualitas yang dimiliki.
Menurut Suherman Rosyidi dalam bukunya Pengantar Teori Ekonomi:
Pendekatan Kepada Teori Ekonomi (2001: 223-224) Kemampuan suatu
bangsa untuk mengimpor sangat tergantung pada pendapatan nasionalnya.
Artinya, semakin besar pendapatan nasional, semakin besar pula
kemampuan bangsa tersebut mengimpor barang dan jasa. Jadi: M = f(Y).
Tetapi harus diingat, bahwa hubungan antara impor, M, dengan pendapatan
nasional, Y, itu tidaklah berupa hubungan proporsional. Artinya, tidak dapat
ditarik kesimpulan bahwa jika pendapatan nasional bertambah menjadi dua
kali lipat, misalnya, maka impor akan menjadi dua kali lipat.
Hubungan antara impor, M, dan pendapatan nasional, Y, itu ditentukan
oleh hasrat mengimpor marjinal (marginal propensity to import atau MPM)
yang besarnya adalah:
𝑀𝑃𝑀 =𝑑𝑀
𝑑𝑌
Yakni, MPM menunjukkan bagian dari tambahan pendapatan nasional
yang dipakai untuk menambah impor barang dan jasa. Jika kemudian, MPM
itu diberi notasi m, maka bentuk hubungan antara pendapatan nasional
dengan impor itu adalah: M = Mo + mY. Di mana Mo menunjukkan
38
besarnya impor otonom, yakni nilai impor yang tidak dipengaruhi oleh
pendapatan nasional. (Ingat a dalam fungsi konsumsi, yang menunjukkan
besarnya konsumsi otonom).
Secara grafis, kurva impor dapat digambarkan sebagai yang
diperlihatkan dalam gambar … berikut. Dalam gambar tersebut, impor
diletakkan pada sumbu tegak sedangkan di sumbu datar diukurkan
pendapatan nasional. Kurva impor adalah garis M = Mo + mY. Jarak OA
menunjukkan besarnya impor otonom, sedangkan koefisien kemiringan
kurva tersebut adalah sebesar m.
Gambar 2.7
Kurva Impor
Dari gambar diatas, dapat dipahami bahwa jika impor otonom, Mo,
berubah, maka seluruh kurva itu akan bergeser pula, dengan pergeseran
sejajar. Kurva itu akan bergeser ke kiri atas, jika impor otonom bertambah
besar, vice versa. Selanjutnya, jika m berubah, maka kemiringan kurva itu
pun berubah. Jika m atau hasrat mengimpor marginal (MPM) itu bertambah
besar, maka kurva itu akan semakin curam, vice versa.
39
Impor otonom akan berubah, misalnya saja disebabkan oleh berubahnya
kebijakan pemerintah mengenai kuota impor, kebijakan mengenai
pelarangan atau pengizinan impor beberapa jenis komoditi tertentu,
perubahan harga barang impor di luar negeri, dan lain sebagainya.
Sedangkan perubahan MPM dapat disebabkan oleh hal-hal sepertu
perubahan cita rasa konsumen dalam negeri terhadap barang impor,
perubahan nilai mata uang dan sebagainya (Suherman Rosyidi, 2001: 224).
Menurut Hamdy Hady (2001: 65) kebijakan perdagangan internasional
di bidang impor diartikan sebagai berbagai tindakan dan peraturan yang
dikeluarkan pemerintah, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang
akan mempengaruhi struktur, komposisi, dan kelancaran usaha untuk
melindungi atau mendorong pertumbuhan industri dalam negeri dan
penghematan devisa.
Kebijakan perdagangan internasional di bidang impor dapat
dikelompokkan menjadi dua macam kebijakan sebagai berikut.
a. Kebijakan Tariff Barrier
Kebijakan tariff barrier atau TB dalam bentuk bea masuk adalah
sebagai berikut.
Pembebasan bea masuk/tarif rendah adalah antara 0%-5%:
40
Dikenakan untuk bahan kebutuhan pokok dan vital, seperti
beras, mesin-mesin vital, alat-alat militer/pertahanan/keamanan,
dan lain-lain.
Tarif sedang antara >5%-20%:
Dikenakan untuk barang setengah jadi dan barang-barang lain
yang belum cukup diproduksi di dalam negeri.
Tarif tinggi di atas 20%:
Dikenakan untuk barang-barang mewah dan barang-barang lain
yang sudah cukup diproduksi di dalam negeri dan bukan barang
kebutuhan pokok.
1.) Kebijakan Tarif dan Efek-Efek Tarif
Tarif menurut Hamdy Hady (2001: 65-67) adalah pungutan bea
masuk yang dikenakan atas barang impor yang masuk untuk
dipakai/dikonsumsi habis di dalam negeri. Dalam
pelaksanaannya, sistem/cara pemungutan tarif bea masuk ini
dapat dibedakan sebagai berikut.
a) Bea Harga (Ad Valorem Tariff)
Besarnya pungutan bea masuk atas barang impor ditentukan
oleh tingkat prosentase tarif dikalikan dengan harga CIF dari
barang tersebut (BM= % tarif × Harga CIF).
Sifat: Proporsional
41
Keuntungan:
- Dapat mengikuti perkembangan tingkat harga/inflasi.
- Terdapat diferensiasi harga produk sesuai dengan
kualitasnya.
Kerugian:
- Memberikan beban yang cukup berat bagi administrasi
pemerintahan, khususnya bea cukai karena
memerlukan data dan perincian harga barang yang
lengkap
- Sering menimbulkan perselisihan dalam penetapan
harga untuk perhitungan bea masuk antara importir dan
bea cukai, sehingga dapat menimbulkan
stagnasi/kemacetan arus barang di pelabuhan.
b) Bea Spesifik (Specific Tariff)
Pungutan bea masuk ini didasarkan pada ukuran atau satuan
tertentu dari barang impor. Di Indonesia sistem tarif ini
digunakan sebelum tahun 1991.
Sifat: Regresif
Keuntungan
- Mudah dilaksanakan karena tidak memerlukan
perincian harga barang sesuai kualitasnya.
42
- Dapat digunakan sebagai alat kontrol proteksi industri
dalam negeri.
Kerugian
- Pengenaan tarif dirasakan kurang/tidak adil karena
tidak membedakan harga/kualitas barang.
- Hanya dapat digunakan sebagai alat kontrol proteksi
yang bersifat statis.
c) Bea Campuran (Compound Tariff)
Pungutan bea masuk ini merupakan kombinasi antara sistem
a dan sistem b.
Tujuan dan Fungsi Tarif Bea Masuk
1. Menurut tujuannya, kebijakan tarif bea masuk dapat
diklasifikasikan sebagai berikut.
a. Tarif Proteksi, yaitu pengenaan tarif bea masuk yang
tinggi untuk mencegah/membatasi impor barang
tertentu.
b. Tarif Revenue, yaitu pengenaan tarif bea masuk yang
bertujuan untuk meningkatkan penerimaan Negara.
2. Berdasarkan tujuan tersebut maka fungsi bea masuk adalah
sebagai berikut.
43
a. Fungsi mengatur (regulerend), yaitu mengatur
perlindungan kepentingan ekonomi/industri dalam
negeri.
b. Fungsi budgeter, yaitu sebagai salah satu sumber
penerimaan Negara.
c. Fungsi demokrasi, yaitu penetapan besarnya tarif bea
masuk melalui persetujuan DPR.
d. Fungsi pemerataan, yaitu untuk pemerataan distribusi
pendapatan nasional, misalnya dengan pengenaan tarif
bea masuk yang tinggi untuk barang mewah (Hamdy
Hady, 2001: 67)
Efek-efek Tarif (Analisis Parsial untuk Negara Kecil)
Gambar 2.8
Analisis Efek-Efek Tarif Bea Masuk
44
Keterangan:
1) Pada harga P0 dan titik keseimbangan E0, perekonomian berada
dalam keadaan autarki dengan kondisi sebagai berikut.
- Tidak adanya ekspor dan impor.
- Produksi Dalam Negeri = Konsumsi Dalam Negeri = OQ0.
2) Pada harga P1 dan titik keseimbangan E2, perekonomian
berada dalam keadaan free trade dengan kondisi sebagai
berikut.
- Produksi Dalam Negeri = OQ1.
- Konsumsi Dalam Negeri = OQ2.
- Impor = Q1Q2.
Karena produksi dalam negeri menurun dari OQ0, menjadi
OQ1, maka industri dalam negeri akan rugi sehingga dapat
menimbulkan pengangguran. Untuk itu, pemerintah
memberikan produksi dalam bentuk tarif bea masuk sebesar
P1P2.
3) Dengan pengenaan tarif bea masuk sebesar P1P2 maka akan
menimbulkan efek-efek tarif sebagai berikut.
- Harga akan naik dari P1 ke P2.
- Konsumsi Dalam Negeri akan turun dari Q2 ke Q4.
- Produksi Dalam Negeri akan naik dari Q1 ke Q3.
45
- Pemerintah akan mendapat penerimaan Negara dalam
bentuk bea masuk sebesar ruang abde.
- Redistribusi income atau subsidi dari konsumen kepada
produsen sebesar ruang P1afP1
- Cost of Production sebesar ruang aef dan bcd.
- Impor turun dari Q1Q2 menjadi Q3Q4 (Hamdy Hady, hal.
67-68, 2001).
2.) Tarif Nominal dan Tarif Proteksi Efektif
a) Tarif normal
Tarif nominal adalah besarnya prosentase tarif suatu barang
tertentu yang tercantum dalam Buku Tarif Bea Masuk
Indonesia (BTBMI). Tarif Bea Masuk Indonesia yang
digunakan saat ini adalah buku tarif berdasarkan ketentuan
harmonized system atau HS yang menggunakan
penggolongan barang dengan 9 digit.Penggolongan barang
dengan sistem digit ini akan mempermudah dan
memperlancar perdagangan internasional karena adanya
kesatuan kode barang untuk seluruh Negara, terutama yang
telah menjadi anggota World Customs Organization (WCO)
yang bermarkas di Brussel.
b) Tarif Proteksi Efektif
46
Tarif proteksi efektif ini disebut juga sebagai Effective Rate
of Protection (ERP), yaitu kenaikan Value Added
Manufacturing (VAM) yang terjadi karena perbedaan
antara prosentase tarif nominal untuk barang jadi atau CBU
(Completely Built-up) dengan tarif nominal untuk bahan
baku/komponen impor impornya atau CKD (Completely
Knock Down).
𝑅𝑢𝑚𝑢𝑠𝑎𝑛 𝐸𝑅𝑃 = 𝑡𝑗 − 𝑎𝑖𝑗. 𝑡𝑖
1 − 𝑎𝑖𝑗= ∆𝑉𝐴𝑀
Keterangan: tj = Tarif bea masuk untuk barang jadi
(CBU atau Completely Built-Up).
ti = Tarif bea masuk untuk bahan baku
atau komponen input impor (CKD atau
Completely Knock Down).
aij = Bagian atau prosentase komponen
input impor.
∆VAM = Value Added Manufacturing
(nilai tambah fabrikasi).
Kenaikan VAM dalam suatu proses industrialisasi sangat
penting karena VAM diartikan sebagai balas jasa dari faktor
47
produksi yang digunakan dalam proses industrialisasi
tersebut, yaitu:
Tenaga kerja mendapat upah/gaji
Tanah/bangunan mendapat sewa.
Modal mendapat bunga.
Teknologi mendapat royalty/fee.
Pengusaha/manajemen mendapat laba (Hamdy Hady,
2001: 69-70).
3.) Infrant Industry Argument
Menurut Hamdy Hady (2001: 70-71) Pelaksanaan
pembangunan ekonomi di Negara-negara yang sedang
berkembang seperti halnya Indonesia banyak landaskan pada
infrant industry argument. Infrant industry argument adalah
suatu kebijaksanaan untuk melindungi industri-industri dalam
negeri yang baru lahir/tumbuh dengan “proteksi edukatif”,
sehingga dapat bersaing baik di pasar dalam negeri maupun luar
negeri.
Secara grafis “infrant industry argument” tersebut dapat
digambarkan sebagai berikut.
48
Gambar 2.9
Infrant Industry Argument
Keterangan:
Pada awal Pelita I (1969/70), Indonesia memulai
pembangunan industrinya dengan pembangunan sektor
industri tekstil.
Akan tetapi karena industri tersebut baru lahir, (infrant
industry) maka harga produk atau domestik price-nya (Dp)
relatif lebih tinggi dibandingkan harga produk di luar
negeri atau world price (Wp) sehingga perlu di proteksi,
terutama dengan tarif bea masuk yang relatif tinggi.
Infrant industry yang diproteksi ini dicerminkan oleh
bidang A. karena harga produk tekstil dalam negeri masih
lebih tinggi dari pada harga luar negeri (Dp>Wp), maka:
Perlu diberikan proteksi tarif yang edukatif minimal
sebesar jarak Wp-Dp.
49
Terdapat “subsidi” dari konsumen kepada produsen
karena konsumen membayar harga tekstil dalam
negeri lebih mahal daripada luar negeri.
Dengan teori experience curve atau learning curve, harga
tekstil dalam negeri akan semakin menurun sehingga
akhirnya pada tahun 1979/1980 harga tekstil dalam negeri
akan sama dengan luar negeri.
Akhirnya dengan proteksi edukatif yang semakin menurun
dan sejalan dengan perkembangan serta pertumbuhan
infrant industry yang semakin dewasa dan kuat seperti
dicerminkan oleh bidang B, selain harga produk tekstil
dalam negeri sudah lebih murah daripada tekstil luar
negeri (Dp<Wp) maka:
Industri tekstil mampu mengekspor produknya ke luar
negeri.
Konsumen dalam negeri akan mendapatkan
“kompensasi” dari produsen tekstil karena dapat
membeli dengan harga yang relatif lebih murah.
4.) Proteksi Edukatif
Agar tujuan infrant industry argument tersebut dapat dicapai,
maka menurut Hamdy Hady (2001: 72) perlu dijalankan suatu
50
kebijakan “proteksi edukatif”, yaitu kebijakan untuk melindungi
infrant industry secara mendidik dengan ciri-ciri atau
karakteristik sebagai berikut.
a) Transparan
Proteksi harus bersifat “transparan”, yaitu dengan sistem
tariff barrier atau bea masuk.
b) Selektif
Proteksi harus bersifat selektif, maksudnya hanya diberikan
kepada industri yang betul-betul dapat memberikan nilai
tambah atau value added manufacturing yang relatif tinggi.
c) Limitatif
Proteksi hanya diberikan untuk jangka waktu
tertentu/terbatas.
d) Kuantitatif
Tingkat atau besarnya proteksi harus dapat
ditentukan/dihitung berdasarkan Effective Rate of Protection
(ERP) atau kenaikan Value Added Manufacturing (VAM)
yang diperoleh. Dengan kata lain proteksi tidak boleh
ditetapkan berdasarkan pesan sponsor atau kepentingan
pihak-pihak tertentu saja.
e) Declining
51
Proteksi yang diberikan harus semakin menurun sesuai
dengan peningkatan daya saing industri yang bersangkutan.
b. Kebijakan Nontariff Barrier
1.) Instrumen Kebijakan Nontarif
Hamdy Hady (2001: 72-73) menulis bahwa Kebijakan Nontariff
Barrier (NTB) adalah sebagai kebijakan perdagangan selain bea
masuk yang dapat menimbulkan distorsi, sehingga mengurangi
potensi manfaat perdagangan internasional. Secara garis besar NTB
data dikelompokkan sebagai berikut (A.M. Rugman & R.M.
Hodgetts, 1995).
a) Pembatasan Spesifik (Specific limitation):
i. Larangan impor secara mutlak.
ii. Pembatasan impor atau quota system.
iii. Peraturan atau ketentuan teknis untuk impor produk
tertentu.
iv. Peraturan kesehatan/karantina.
v. Peraturan pertahanan dan keamanan Negara.
vi. Peraturan kebudayaan.
vii. Perizinan impor/import licences.
viii. Embargo.
ix. Hambatan pemasaran/marketing seperti:
52
- VER (Voluntary Export Restraint), yaitu pembatasan
ekspor secara sukarela oleh Negara eksportir.
- OMA (Orderly Marketing Agreement), yaitu
pembatasan pemasaran produk tertentu atas
permintaan Negara importir.
b) Peraturan Bea Cukai (customs administration rules)
i. Tatalaksana impor tertentu (procedure).
ii. Penetapan harga pabean (customs value).
iii. Penetapan forex rate (kurs valas) dan pengawasan
devisa (forex control).
iv. Consulat formalities.
v. Packaging/labeling regulation.
vi. Documentation needed.
vii. Quality and testing standard.
viii. Pungutan administrasi (fees).
ix. Tariff classification.
c) Government Participation
i. Kebijakan pengadaan pemerintah.
ii. Subsidi dan intensif ekspor.
iii. Countervailing duties.
iv. Domestic assistance programs.
53
v. Trade-diverting.
d) Import charges
i. Import deposits.
ii. Supplementary duties.
iii. Variable levies.
2.) Sistem Kuota dan Efek-Efek Kuota
Kuota adalah pembatasan fisik secara kuantitatif yang dilakukan
atas pemasukan barang (kuota impor) dan pengeluaran barang
(kuota ekspor) dari/ke suatu Negara untuk melindungi kepentingan
industri dan konsumen.
Menurut ketentuan GATT/WTO, sistem kuota ini hanya dapat
digunakan dalam hal berikut.
a. Untuk melindungi hasil pertanian.
b. Untuk menjaga keseimbangan balance of payment.
c. Untuk melindungi kepentingan ekonomi nasional.
Macam-macam Kuota impor
a. Absolute/unilateral quota, yaitu sistem kuota yang ditetapkan
secara sepihak (tanpa negosiasi).
b. Negotiated/bilateral quota, yaitu sistem kuota yang ditetapkan
atas kesepakatan atau menurut perjanjian.
54
c. Tarif kuota, yaitu pembatasan kuota yang dilakukan dengan
mengkombinasikan sistem tarif dan sistem kuota.
d. Mixing quota, yaitu pembatasan impor bahan baku tertentu
untuk melindungi industri dalam negeri.
Gambar 2.10
Analisis Efek-Efek Tarif Bea Masuk
Keterangan:
1) Pada harga P0 dan titik keseimbangan E0, perekonomian berada
dalam keadaan autarki dengan kondisi sebagai berikut.
- Tidak adanya ekspor dan impor.
- Produksi Dalam Negeri = Konsumsi Dalam Negeri = OQ0.
2) Pada harga P1 dan titik keseimbangan E2, perekonomian berada
dalam keadaan free trade dengan kondisi sebagai berikut.
- Produksi Dalam Negeri = OQ1.
55
- Konsumsi Dalam Negeri = OQ2.
- Impor = Q1Q2.
Karena produksi dalam negeri menurun dari OQ0, menjadi
OQ1, maka industri dalam negeri akan rugi sehingga dapat
menimbulkan pengangguran. Untuk itu, pemerintah
memberikan produksi dalam bentuk tarif bea masuk sebesar
P1P2.
3) Dengan pengenaan tarif bea masuk sebesar P1P2 maka akan
menimbulkan efek-efek tarif sebagai berikut.
i. Harga akan naik dari P1 ke P2.
ii. Konsumsi Dalam Negeri akan turun dari Q2 ke Q4.
iii. Produksi Dalam Negeri akan naik dari Q1 ke Q3.
iv. Pemerintah akan mendapat penerimaan Negara dalam
bentuk bea masuk sebesar ruang abde.
v. Redistribusi income atau subsidi dari konsumen kepada
produsen sebesar ruang P1afP1
vi. Cost of Production sebesar ruang aef dan bcd.
vii. Impor turun dari Q1Q2 menjadi Q3Q4.
Kelemahan sistem kuota impor jika digunakan sebagai instrumen
proteksi adalah sebagai berikut.
i. Sifatnya yang tidak transparan.
56
ii. Jika kuota dibeikan kepada perseorangan atau perusahaan
swasta, maka yang mendapatkan keuntungan/manfaat
hanyalah orang pribadi atau perusahaan yang mendapat
kuota tersebut.
iii. Dapat menimbulkan distorsi pasar berupa monopoli yang
akan merugikan masyarakat konusmen (Hamdy Hady,
2001: 73-75).
3.) Subsidi
Subsidi adalah kebijakan pemerintah untuk memberikan
perlindungan atau bantuan kepada industri dalam negeri dalam
bentuk keringanan pajak, pengembalian pajak, fasilitas kredit,
subsidi harga, dan lain-lain yang bertujuan sebagai berikut.
1) Menambah produksi dalam negeri.
2) Mempertahankan jumlah konsumsi dalam negeri.
3) Menjual harga yang murah daripada produk impor.
57
Gambar 2.11
Analisis Subsidi
1) Pada saat keadaan persaingan/perdagangan bebas (tanpa subsidi):
Untuk harga P1:
Produksi dalam negeri = OQ1.
Konsumsi dalam negeri = OQ2.
Impor =Q1Q2.
2) Jika pemerintah ingin menaikkan produksi dalam negeri dari Q1 ke
Q3 maka:
i. Secara teoritis produsen akan bersedia menaikkan/menambah
produksinya jika harga naik dari P1 ke P2.
ii. Supaya produksi dalam negeri naik, tetapi harga tidak naik
maka pemerintah memberikan subsidi harga sebesar P1P2 atau
BC.
iii. Dengan pemberian subsidi sebesar P1P2 atau BC, maka:
o Produksi dalam negeri naik dari OQ1 ke OQ3.
58
o Impor turun dari Q1Q2 menjadi Q2Q3.
o Konsumen tetap membayar dengan harga P1.
o Produsen menerima pembayaran harga P2.
Kebijakan proteksi terhadap industri dalam negeri dengan pemberian
subsidi ini dalam hal tertentu mempunyai beberapa kelebihan
dibandingkan cara proteksi lainnya karena:
a) Subsidi biasanya diberikan untuk barang-barang kebutuhan pokok
masyarakat banyak.
b) Subsidi biasanya bersifat transparan dan dapat dikontrol oleh
masyarakat (Hamdy Hady, 2001: 75-76).
5. Hubungan antara Impor dan Harga
Hubungan antara impor dengan harga dapat dijelaskan dengan Tarif
Perdagangan. Menurut Dochak Latief (2002: 77-78) tarif perdagangan
merupakan perpajakan yang dikenakan dalam transaksi perdagangan
merupakan hal yang sudah lama sekali dikerjakan bahkan sama tuanya
dengan perdagangan itu sendiri. Khusus menengenai tarif, biasanya
dikandung juga maksud, yaitu sebagai penghasilan Negara, alat
melaksanakan proteksi dan perbaikan neraca pembayaran. Arti tarif
sebenarnya ialah daftar segala jenis barang-barang yang dikenakan beban
pajak, baik pajak impor maupun ekspor, ataupun berupa pajak transit, yaitu
59
pajak yang dikenakan atas barang yang melalui Negara tersebut, tetapi
tujuan yang sebenarnya ialah Negara lain.
Suatu Negara yang ingin menggunakan tarif sebagai instrumen
kebijakan perdagangan akan menghadapi berbagai masalah yang harus
diselesaikan, yaitu sistem perhitungan beban tarif yang dikenakan pada
barang-barang. Biasanya ada tiga kemungkinan:
a. Advalorem, yaitu pajak yang dikenakan atas dasar prosentase dari harga
barang-barang yang diimpor, seperti misalnya 5%, 10% dan sebagainya.
b. Specific duties, yaitu bila pajak itu dipungut atas dasar jumlah atau
volumenya. Misalnya, sebesar Rp. 500,00 per sak semen yang diimpor
atau per gallon minyak atau per buah mobil dan sebagainya.
c. Compound duty atau specific advalorem, yaitu gabungan antara cara
pertama dan kedua.
Baik advalorem maupun specific masing-masing mengandung
kelemahannya. Kesulitan sistem advalorem duty tampak dalam
menghitung penghasilan yang diperoleh Negara dari pemungutan pajak
pada waktu harga barang-barang tersebut tidak stabil. Namun,
pelaksanaannya lebih sederhana, mengingat macam barang-barang yang
akan dikenakan pajak itu sangat banyak sehingga tidak perlu meneliti
secara rinci pengelompokan barang-barang yang akan dikenakan pajak.
60
Begitu pula, saat harga barang-barang yang relatif tinggi, maka hal ini
sangat efektif bila dimasukkan sebagai tarif yang bersifat proaktif.
Specific duties pelaksanaannya lebih repot sebab perlu adanya
penelitian berat barang. Bagi sistem impor yang melalui banyak pelabuhan,
hal ini sangat merepotkan karena peralatan penimbangan tidak selalu ada
di pelabuhan-pelabuhan yang tidak begitu besar. Di samping itu, juga akan
memperlambat proses penyelesaian di kantor-kantor pabean tersebut. Oleh
sebab itu, banyak Negara yang mengikuti sistem campuran, yaitu
compound duties atau specific advalorem duties dalam arti alternative duty.
Hal ini terkait dengan penentuan barang mana yang lebih baik dikenakan
specific dan barang-barang mana yang lebih tepat diperhitungkan beban
pajaknya secara advalorem. Pada saat dunia mengalami inflasi seperti
sekarang ini, banyak Negara yang menerapkan perhitungan advalorem
(Dochak Latief, 2002: 78).
6. Teori Konsumsi
Menurut Samuelson dan Nordhaus dalam bukunya Ilmu
Makroekonomi (2004: 124) Konsumsi (atau lebih tepatnya, pengeluaran
konsumsi pribadi) adalah pengeluaran oleh rumah tangga atas barang jadi
dan jasa. Dilihat dari arti ekonomi, konsumsi merupakan tindakan untuk
mengurangi atau menghabiskan nilai guna ekonomi suatu benda.
Sedangkan menurut Suherman (2001: 147) konsumsi berarti penggunaan
61
barang dan jasa untuk memuaskan kebutuhan manusiawi (the use of goods
and service in the statisfication of human wants). Konsumsi haruslah
dianggap sebagai maksud serta tujuan yang esensial daripada produksi.
Atau dengan perkataan lain, produksi adalah alat bagi konsumsi.
Dan Suherman (2001: 147) berpendapat bila digunakan tanpa
kualifikasi apapun, maka istilah konsumsi itu, akan diartikan secara umum
sebagai penggunaan barang-barang dan jasa secara langsung akan
memenuhi kebutuhan manusia. Namun harus kita ingat terdapat beberapa
jenis barang, seperti mesin-mesin maupun bahan mentah, digunakan untuk
menghasilkan barang lain. Hal ini dapat disebut dengan konsumsi
produktif (productive consumption), sedangkan konsumsi yang dapat
memenuhi kepuasan akan kebutuhan secara langsung disebut sebagai
konsumsi akhir (final consumption).
Konsumsi sebenarnya sangat tergantung (atau merupakan bagian dalam)
pendapatan. Rumusan tersebut adalah Y = C + S, dimana Y adalah
pendapatan, C adalah konsumsi, sedangkan S adalah tabungan.
Berdasarkan persamaan tersebut, hubungan konsumsi dan pendapatan
seperti ini dapat dituliskan bahwa C = f(Y). melihat hal itu, dapat
disimpulkan bahwa terdapat hubungan positif antara konsumsi dan
pendapatan. Artinya apabila pendapatan meningkat, konsumsi pun akan
meningkat, sebaliknya apabila pendapatan menurun maka konsumsi akan
62
mengalami penurunan pula. Hubungan yang erat antara pendapatan
dengan konsumsi seperti ini disebut dengan propensity to consume atau
hasrat untuk mengkonsumsi (Suherman, 2001: 148).
Marginal propensity to consume (hasrat marginal untuk melakukan
konsumsi) dapat disingkat dengan MPC. Bila dilambangkan maka akan
menjadi rumus sebagai berikut:
𝑀𝑃𝐶 = ∆ 𝐶
∆ 𝑌
Atau MPC adalah penambahan konsumsi dibagi dengan pertambahan
pendapatan. MPC menunjukkan berapa bagiankah dari penambahan
pendapatan yang dikonsumsikan. Semakin besar MPC, maka akan berarti
semakin besar pula bagian dari setiap kenaikan pendapatan yang
digunakan untuk keperluan konsumsi, dan demikian pula sebaliknya,
semakin kecil MPC, semakin kecil pula bagian penambahan pendapatan
yang dikonsumsikan (Suherman, 2001: 151).
Dan Suherman (2001: 152) menuliskan selain MPC terdapat hal yang lain
mengenai konsumsi yaitu mengenai APC atau average propensity to
consume (hasrat merata untuk mengkonsumsi). APC ini didapatkan
dengan rumus:
𝐴𝑃𝐶 = 𝐶
𝑌
Atau APC adalah konsumsi dibagi dengan pendapatan, angka APC ini
63
menunjukkan seberapa besar yang dikonsumsi dari setiap pendapatan.
Atau APC menujukkan rasio (perbandingan) antara konsumsi dengan
pendapatan, yakni berapa bagiankah pendapatan yang dipergunakan untuk
keperluan konsumsi.
a. Fungsi Konsumsi
Menurut Samuelson dan Nordhaus (2004: 129-130) fungsi
konsumsi menunjukkan hubungan antara tingkat pengeluaran
konsumsi dengan tingkat pendapatan pribadi yang siap dibelanjakan.
Konsep ini, yang diperkenalkan oleh Keynes, didasarkan hipotesis
bahwa ada hubungan empiris yang stabil antara konsumsi dan
pendapatan.
Fungsi konsumsi adalah suatu kurva yang menggambarkan sifat
hubungan di antara tingkat konsumsi rumah tangga dalam
perekonomian dengan pendapatan nasional (pendapatan disposabel)
perekonomian tersebut. Fungsi konsumsi dapat dinyatakan dalam
persamaan:
C = a + bY
Di mana a adalah konsumsi rumah tangga ketika pendapatan
nasional adalah 0, b adalah kecondongan konsumsi marginal, C adalah
tingkat konsumsi dan Y adalah tingkat pendapatan nasional.
64
Gambar 2.12
Kurva Fungsi Konsumsi
Secara singkat menurut Suherman (2001: 150) bahwa kurva diatas
menjelaskan bahwa pendapatan dikurangi konsumsi sama dengan
tabungan. Pernyataan ini persis sama dengan pernyataan yang terlebih
dahulu yakni Y = C + S, pendapatan sama dengan konsumsi ditambah
tabungan. Dari fungsi tersebut terjadi transformasi sebagai berikut:
Oleh karena Y = C + S
Maka S = Y – C
Atau C = Y – S
7. Hubungan antara konsumsi dan harga
Hubungan antara konsumsi dengan harga dapat dijelaskan dengan
kurva garis anggaran (budget line). Menurut Prathama Rahadja dan
Mandala Manurung (2006: 84-85) Garis anggaran (budget line) adalah
kurva yang menunjukkan kombinasi konsumsi dua macam barang yang
65
membutuhkan biaya (anggaran) yang sama besar. Misalnya garis anggaran
dinotasikan sebagai BL, sedangkan harga sebagai P (Px untuk X dan Py
untuk Y) dan jumlah barang yang dikonsumsi adalah Q(Qx untuk X dan
Qy untuk Y), maka
BL = Px.Qx + Py.Qy
Kemiringan (slope) kurva BL adalah negatif, yang merupakan rasio Px
dan Py. Pada gambar dibawah dapat kita lihat bahwa OY sama dengan
besarnya pendapatan (M) dibagi harga Y, sedangkan OX sama dengan
besarnya pendapatan (M) dibagi harga X. sehingga slope kurva garis
anggaran adalah:
- (OY/OX) = - (1/Py.M) / (1/Px.M) = -Px/Py
Gambar 2.13
Kurva Garis Anggaran (Budget Line Curve)
66
B. Penelitian Terdahulu
Penelitian mengenai harga beras dan perberasan di Indonesia maupun
Negara lain cukup banyak dilakukan, penelitian-penelitian tersebut banyak
digunakan sebagai referensi penelitian di masa akan datang. Penelitian
mengenai harga beras dan perberasan telah dilakukan oleh:
1. Ratih Kumala Sari (2014)
Penelitian yang berjudul “Analisis Impor Beras di Indonesia”
menggunakan metode Analisis Regresi Berganda dengan model ECM
(Error Correction Model) dari tahun 2001-2012. Variabel yang
digunakan adalah Produksi Beras, Konsumsi Beras, Harga Beras
Dalam Negeri, Kurs Dollar Amerika Serikat dan Impor Beras. Dalam
penelitian ini disimpulkan bahwa secara parsial maupun bersama-sama
Produksi Beras, Konsumsi Beras, Harga Beras Dalam Negeri, Kurs
Dollar Amerika Serikat berpengaruh dan signifikan terhadap Impor
Beras di Indonesia.
2. Edward Christianto (2013)
Penelitian yang berjudul “Faktor Yang Mempengaruhi Volume Impor
Beras di Indonesia” menggunakan metode Analisis Regresi Berganda
dari tahun 2001-2010. Variabel yang digunakan adalah Produksi
Beras, Harga Beras Dunia, Tingkat Konsumsi Beras Per Kapita dan
Volume Impor Beras. Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa
67
Produksi Beras tidak berpengaruh signifikan terhadap Volume Impor
Beras, selain itu Harga Beras Dunia juga tidak berpengaruh signifikan
terhadap Volume Impor Beras. Namun, Tingkat Konsumsi Beras Per
Kapita berpengaruh signifikan dan positif terhadap Volume Impor
Beras.
3. Denny Afrianto (2010)
Penelitian yang berjudul “Analisis Stok Beras, Luas Panen, Rata-rata
Produksi, Harga Beras dan Jumlah Konsumsi Beras Terhadap
Ketahanan Pangan di Jawa Tengah” menggunakan metode Analisis
Data Panel dari tahun 2005-2007. Variabel yang digunakan adalah
Stok Beras, Luas Panen, Rata-rata Produksi, Harga Beras Eceran,
Jumlah Konsumsi Beras dan Rasio Ketersediaan Beras. Dari hasil
regresi diketahui bahwa stok berpengaruh positif namun tidak
signifikan terhadap rasio ketersediaan beras, luas panen dan rata-rata
produksi berpengaruh positif dan signifikan terhadap rasio
ketersediaan beras, harga beras berpengaruh negatif namun tidak
signifikan terhadap rasio ketersediaan beras, dan jumlah konsumsi
berpengaruh negatif dan signifikan terhadap rasio ketersediaan beras.
Berdasarkan hasil analisis didapatkan temuan bahwa terdapat 22
kabupaten/kota yang memiliki pertumbuhan ketahanan pangan yang
lebih baik dari Kabupaten Sukoharjo yang menjadi benchmark dam
68
penelitian ini, sementara sisanya yaitu 12 kabupaten/kota di Jawa
Tengah memiliki pertumbuhan ketahanan pangan yang lebih rendah
jika dibandingkan dengan Kabupaten Sukoharjo.
4. A. Husni Mailan, Sudi Mardianto dan Mewa Ariani (2004)
Penelitian yang berjudul “Faktor Yang Mempengaruhi Produksi,
Konsumsi dan Harga Beras Serta Inflasi Bahan Makanan”
menggunakan metode Two-Stage Least Squares (2SLS) dengan model
Error Correction Model (ECM) pada tahun 1970-2002. Variabel yang
digunakan adalah Luas Panen Padi, Produktifitas Padi, Produksi Padi,
Impor Beras, Konsumsi Beras, Harga Domestik Beras dan Inflasi.
Hasil analisis menunjukkan bahwa kebijakan harga dasar gabah tidak
akan efektif apabila tidak diikuti dengan kebijakan perberasan lainnya.
Faktor determinan yang teridentifikasi memberikan pengaruh adalah:
(1) Produksi padi dipengaruhi oleh luas panen padi tahun sebelumnya,
impor beras, harga pupuk urea, nilai tukar riil dan harga beras di pasar
domestik; (2) Konsumsi beras dipengaruhi oleh jumlah penduduk,
harga beras di pasar domestik, impor beras tahun sebelumnya, harga
jagung pipilan di pasar domestik, dan nilai tukar riil; (3) Harga beras
di pasar domestik dipengaruhi oleh nilai tukar riil, harga jagung pipilan
di pasar domestik dan harga dasar gabah; dan (4) Indeks harga
kelompok bahan makanan dipengaruhi oleh harga beras di pasar
69
domestik, nilai tukar riil, excess demand beras, harga dasar gabah,
harga beras dunia dan total produksi padi.
5. Sugiharto, Hari Nugroho (2011)
Penelitian yang berjudul “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Harga Beras di Indonesia Tahun 1988-2008” menggunakan alat
analisis Metode Analisis Regresi Berganda dengan menggunakan
Model “Error Correction Model” (ECM) pada tahun 1988-2008.
Variabel yang digunakan adalah Produksi Beras, Impor Beras,
Pendapatan per Kapita, Harga Gabah dan Harga Beras. Dari model
analisis ECM menghasilkan model yang valid terhadap harga beras,
ditunjukkan dengan nilai ECT pada α = 0,05 dengan nilai koefisien
regresi sebesar 0.693242 sehingga dapat dipakai untuk menganalisis
pengaruh variabel bebas terhadap variabel tidak bebas. Berdasarkan
uji asumsi klasik, untuk uji multikolinieritas tidak ada masalah pada
variabel Produksi Beras, Impor Beras, Pendapatan per Kapita dan
Harga Gabah. Heteroskedastisitas dan autokorelasi tidak ditemukan
masalah. Uji normalitas menunjukkan distribusi Ut normal, uji
spesifikasi model dengan uji Ramsey Reset menunjukkan model yang
digunakan linier. Dari hasil uji kebaikan model, nilai Fhitung
(9.579128) lebih besar dari Ftabel (3.02) berarti model yang digunakan
eksis. Untuk nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0.896063
70
menunjukkan bahwa variasi dari variabel Produksi Beras, Impor
Beras, Pendapatan per Kapita, dan Harga Gabah dapat menjelaskan
variasi dari variabel Harga Beras sebesar 89.6063%. Sedangkan
sisanya yaitu 10.3937% dijelaskan oleh variasi dari variabel‐variabel
lain diluar model. Hasil analisis dengan uji t diketahui bahwa variabel
Produksi Beras, Impor Beras, Pendapatan per Kapita, tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap variabel Harga Beras pada α =
0.05, sedang variabel Harga Gabah berpengaruh secara signifikan
terhadap variabel Harga Beras.
6. Dyah Ayu Suryaningrum, Wen-I Chang dan Ratya Anindita (2013)
Penelitian yang berjudul “Analysis on Spatial Integration of Thailand
and Vietnam Rice Market in Indonesia (Analisis pada Integrasi Spasial
Pangsa Pasar Beras Thailand dan Vietnam di Indonesia)”
menggunakan alat analisis Pendekatan Johansen co-integration test
untuk hubungan jangka panjang dari Harga dan Vector Error
Correction Model (VECM) untuk hubungan jangka pendek dari Harga
dengan data bulanan dari Januari 2000 sampai Desember 2012.
Variabel yang digunakan Harga Beras Thailand, Harga Beras
Vietnam, Harga Beras Indonesia, peraturan batasan Impor. Hasil
analisis menunjukkan bahwa terdapat eksistensi hubungan jangka
panjang antara Harga Beras Thailand, Harga Beras Vietnam dan Harga
71
Beras Indonesia pada pasar domestik Indonesia. Sementara, hasil dari
VECM mengindikasikan perubahan harga di Indonesia sangat
dipengaruhi kondisi musiman panen dan pembatasan impor pada
tahun 2004-2005. Harga Beras Thailand dan Harga Beras Vietnam
sangat dipengaruhi oleh Harga Beras Indonesia periode sebelumnya
(t-1) dan kebijakan pembatasan Impor Indonesia. Kemampuan
penyesuaian Harga Beras Vietnam terhadap ekuilibrium jangka
panjang lebih cepat daripada Harga Beras Thailand, namun
kemampuan penyesuaian Harga Beras Indonesia tidak signifikan.
7. Bisuk Abraham Sisungkunon (2013)
Penelitian yang berjudul “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Produksi Padi di Indonesia Tahun 1972-2011” menggunakan alat
analisis Ordinary Least Square (OLS) dari tahun 1972-2011. Variabel
yang digunakan Produksi padi, Harga Padi, Luas Area Panen Pulau
Jawa, Luas Area Panen diluar Pulau Jawa, dan Produktivitas Padi.
Hasil Penelitian menunjukkan bahwa produksi padi Indonesia
dipengaruhi secara signifikan oleh persentase perubahan luas panen
padi di luar pulau jawa, harga padi di tingkat produsen beda kala satu
tahun, dan produktivitas padi per satuan luas lahan.
72
Tabel 2.1
Penelitian Terdahulu
No. Nama
Penulis Judul
Alat
Analisis Variabel Hasil Penelitian
1
Ratih
Kumala Sari
(2014)
Analisis
Impor
Beras di
Indonesia
Metode
Analisis
Regresi
Bergand
a
dengan
model
ECM
(Error
Correcti
on
Model)
Produksi
Beras,
Konsumsi
Beras, Harga
Beras Dalam
Negeri, Kurs
Dollar
Amerika
Serikat dan
Impor Beras
Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa
secara parsial maupun bersama-sama
Produksi Beras, Konsumsi Beras, Harga
Beras Dalam Negeri, Kurs Dollar Amerika
Serikat berpengaruh dan signifikan terhadap
Impor Beras di Indonesia.
73
2
Edward
Christianto
(2013)
Faktor
Yang
Mempen
garuhi
Volume
Impor
Beras di
Indonesia
Metode
Analisis
Regresi
Bergand
a
Produksi
Beras, Harga
Beras Dunia,
Tingkat
Konsumsi
Beras Per
Kapita dan
Volume
Impor Beras.
Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa
Produksi Beras tidak berpengaruh
signifikan terhadap Volume Impor Beras,
selain itu Harga Beras Dunia juga tidak
berpengaruh signifikan terhadap Volume
Impor Beras. Namun, Tingkat Konsumsi
Beras Per Kapita berpengaruh signifikan
dan positif terhadap Volume Impor Beras.
74
3
Denny
Afrianto
(2010)
Analisis
Stok
Beras,
Luas
Panen,
Rata-rata
Produksi,
Harga
Beras dan
Jumlah
Konsums
i Beras
Terhadap
Ketahana
n Pangan
di Jawa
Tengah
Metode
Analisis
Data
Panel
Stok Beras,
Luas Panen,
Rata-rata
Produksi,
Harga Beras
Eceran,
Jumlah
Konsumsi
Beras dan
Rasio
Ketersediaan
Beras
Dari hasil regresi diketahui bahwa stok
berpengaruh positif namun tidak signifikan
terhadap rasio ketersediaan beras, luas
panen dan rata-rata produksi berpengaruh
positif dan signifikan terhadap rasio
ketersediaan beras, harga beras berpengaruh
negatif namun tidak signifikan terhadap
rasio ketersediaan beras, dan jumlah
konsumsi berpengaruh negatif dan
signifikan terhadap rasio ketersediaan
beras. Berdasarkan hasil analisis didapatkan
temuan bahwa terdapat 22 kabupaten/kota
yang memiliki pertumbuhan ketahanan
pangan yang lebih baik dari Kabupaten
Sukoharjo yang menjadi benchmark dam
penelitian ini, sementara sisanya yaitu 12
kabupaten/kota di Jawa Tengah memiliki
pertumbuhan ketahanan pangan yang lebih
rendah jika dibandingkan dengan
Kabupaten Sukoharjo.
75
4
A. Husni
Mailan, Sudi
Mardianto
dan Mewa
Ariani (2004)
Faktor
Yang
Mempen
garuhi
Produksi,
Konsums
i dan
Harga
Beras
Serta
Inflasi
Bahan
Makanan
Metode
Two-
Stage
Least
Squares
(2SLS)
dengan
model
Error
Correcti
on
Model
(ECM
Luas Panen
Padi,
Produktifitas
Padi,
Produksi
Padi, Impor
Beras,
Konsumsi
Beras, Harga
Domestik
Beras dan
Inflasi.
Hasil analisis menunjukkan bahwa
kebijakan harga dasar gabah tidak akan
efektif apabila tidak diikuti dengan
kebijakan perberasan lainnya. Faktor
determinan yang teridentifikasi
memberikan pengaruh adalah: (1) Produksi
padi dipengaruhi oleh luas panen padi tahun
sebelumnya, impor beras, harga pupuk urea,
nilai tukar riil dan harga beras di pasar
domestik; (2) Konsumsi beras dipengaruhi
oleh jumlah penduduk, harga beras di pasar
domestik, impor beras tahun sebelumnya,
harga jagung pipilan di pasar domestik, dan
nilai tukar riil; (3) Harga beras di pasar
domestik dipengaruhi oleh nilai tukar riil,
harga jagung pipilan di pasar domestik dan
harga dasar gabah; dan (4) Indeks harga
kelompok bahan makanan dipengaruhi oleh
harga beras di pasar domestik, nilai tukar
riil, excess demand beras, harga dasar
gabah, harga beras dunia dan total produksi
padi.
76
5
Sugiharto,
Hari
Nugroho
(2011)
Analisis
Faktor-
Faktor
yang
Mempen
garuhi
Harga
Beras di
Indonesia
Tahun
1988-
2008
Metode
Analisis
Regresi
Bergand
a
dengan
menggu
nakan
Model
“Error
Correcti
on
Model”
(ECM)
Produksi
Beras, Impor
Beras,
Pendapatan
per Kapita,
Harga Gabah
dan Harga
Beras
Hasil analisis dengan uji t diketahui bahwa
variabel Produksi Beras, Impor Beras,
Pendapatan per Kapita, tidak berpengaruh
secara signifikan terhadap variabel Harga
Beras pada α = 0.05, sedang variabel Harga
Gabah berpengaruh secara signifikan
terhadap variabel Harga Beras.
77
6
Dyah Ayu
Suryaningrum,
Wen-I Chang
dan Ratya
Anindita
(2013)
Analysis
on Spatial
Integratio
n of
Thailand
and
Vietnam
Rice
Market in
Indonesia
(Analisis
pada
Integrasi
Spasial
Pangsa
Pasar
Beras
Thailand
dan
Vietnam
di
Indonesia)
Pendekat
an
Johansen
co-
integrati
on test
untuk
hubunga
n jangka
panjang
dari
Harga
dan
Vector
Error
Correcti
on
Model
(VECM)
untuk
hubunga
n jangka
pendek
Harga Beras
Thailand,
Harga Beras
Vietnam,
Harga Beras
Indonesia,
peraturan
batasan Impor
Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat
eksistensi hubungan jangka panjang antara
Harga Beras Thailand, Harga Beras Vietnam
dan Harga Beras Indonesia pada pasar domestik
Indonesia. Sementara, hasil dari VECM
mengindikasikan perubahan harga di Indonesia
sangat dipengaruhi kondisi musiman panen dan
pembatasan impor pada tahun 2004-2005.
Harga Beras Thailand dan Harga Beras Vietnam
sangat dipengaruhi oleh Harga Beras Indonesia
periode sebelumnya (t-1) dan kebijakan
pembatasan Impor Indonesia. Kemampuan
penyesuaian Harga Beras Vietnam terhadap
ekuilibrium jangka panjang lebih cepat daripada
Harga Beras Thailand, namun kemampuan
penyesuaian Harga Beras Indonesia tidak
signifikan.
78
7
Bisuk
Abraham
Sisungkunon
(2013)
Analisis
Faktor-
Faktor
yang
Mempen
garuhi
Produksi
Padi di
Indonesia
Tahun
1972-
2011
Metode
Ordinar
y Least
Square
(OLS)
Produksi
padi, Harga
Padi, Luas
Area Panen
Pulau Jawa,
Luas Area
Panen diluar
Pulau Jawa,
dan
Produktivitas
Padi
Hasil Penelitian menunjukkan bahwa
produksi padi Indonesia dipengaruhi secara
signifikan oleh persentase perubahan luas
panen padi di luar pulau jawa, harga padi di
tingkat produsen beda kala satu tahun, dan
produktivitas padi per satuan luas lahan.
C. Kerangka Berfikir
Teori Cobweb menjelaskan mengenai harga produk pertanian yang
menunjukkan fluktuasi tertentu dari musim ke musim. Penyebab fluktuasi
tersebut adalah reaksi yang terlambat (time lag) dari produsen (petani)
terhadap harga (Prathama Rahardja dan Mandala Manurung, 2006: 70-71).
79
Terdapat variabel yang diduga mempengaruhi harga yaitu produksi, impor dan
konsumsi.
Hubungan antara variabel tersebut mempunyai keterkaitan dengan
harga. Jumlah yang akan diproduksi sangat berkaitan dengan jumlah biaya
yang akan dikeluarkan oleh produsen. Semakin besar biaya produksi maka
akan semakin besar harga barang ditetapkan. Semakin besar jumlah impor
yang ada maka akan semakin besar pengaruhnya terhadap harga barang pada
pasar khususnya beras. Dikarenakan pada umumnya harga beras impor jauh
lebih murah dibandingkan dengan harga beras lokal, sehingga semakin banyak
jumlah impor beras maka akan semakin besar pengaruhnya terhadap harga
beras di pasar. Selain itu, mengikuti dengan perubahan pertumbuhan penduduk
di Indonesia maka jumlah konsumsi masyarakat akan semakin meningkat.
Akibat dari permintaan beras yang tinggi mengakibatkan akan terjadi kenaikan
harga beras.
Dari paparan tersebut, penulis tertarik untuk meneliti variabel yang
diduga mempengaruhi harga beras. Dengan menggunakan variabel
independen produksi beras, impor beras dan konsumsi beras. Sehingga dapat
dibuat persamaan sebagai berikut.
Y = f ( P, I , K )
Dimana:
Y : Harga Beras
80
P : Produksi Beras
I : Impor Beras
K : Konsumsi Beras
81
Gambar 2.14
Kerangka Pemikiran
82
D. Hipotesis
Dengan mengacu pada dasar pemikiran teoritis dan studi empiris yang
pernah dilakukan berkaitan dengan penelitian di bidang ini, maka dapat
dirumuskan hipotesis sebagai berikut :
1. Terdapat pengaruh Produksi Beras, Impor Beras, Konsumsi Beras secara
bersama-sama terhadap Harga Beras pada Periode Penelitian 2008-2013.
2. Terdapat pengaruh Produksi Beras secara parsial terhadap Harga Beras
pada Periode Penelitian 2008-2013.
3. Terdapat pengaruh Impor Beras secara parsial terhadap Harga Beras pada
Periode Penelitian 2008-2013.
4. Terdapat pengaruh Konsumsi Beras secara parsial terhadap Harga Beras
pada Periode Penelitian 2008-2013.
83
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan metode
kombinasi dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif
dilakukan dengan melihat sejauh mana pengaruh Produksi Beras, Impor Beras,
Tingkat Konsumsi Beras terhadap Harga Beras di Indonesia tahun 2008-2013
(Studi Kasus 32 Provinsi). Adapun pendekatan kualitatif bersifat deskriptif,
peneliti melakukan wawancara kepada narasumber yang terkait dengan tema
penelitian ini dan berusaha menjelaskan mengenai perberasan di Indonesia,
khususnya mengenai Produksi Beras, Impor Beras, Konsumsi Beras dan Harga
Beras.
Dalam penelitian ini, penulis melakukan terlebih dahulu pendekatan
kuantitatif melalui metode data panel, dengan data sekunder yang diperoleh
dari hasil pengolahan pihak kedua (data eksternal). Adapun data yang
digunakan merupakan data tahunan pada periode 2008-2013. Dalam
pendekatan kuantitatif, bersifat eksplanatif yang menggambarkan hubungan
sebab akibat antara variabel independen terhadap variabel dependen. Setelah
melakukan pendekatan kuantitatif, maka dilakukan pendekatan kualitatif
bersifat eksploratif untuk melihat sejauh mana hubungan-hubungan antar
84
variabel ini saling mempengaruhi satu sama lain. Adapun pendekatan kualitatif
dengan melakukan wawancara kepada narasumber untuk memperoleh
informasi yang mendalam mengenai variabel-variabel yang diteliti penulis.
B. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh provinsi di Indonesia.
Menurut Sugiyono (2007: 62), Sampel merupakan bagian dari jumlah dan
karakteristik yang dimiliki oleh populasi. Sebuah sampel yang ditemukan tidak
selalu memenuhi persyaratan dalam variabel penelitian sehingga diperlukan
pula besaran peluang representatifnya sebuah kelompok sampel dalam sebuah
populasi penelitian. Adapun sampel yang terdapat dalam penelitian ini adalah
sejumlah 32 provinsi. Dari jumlah keseluruhan provinsi yang ada di Indonesia
sejumlah 34 provinsi, yang tidak masuk ke dalam objek penelitian adalah
provinsi Sulawesi Barat dan Kalimantan Utara. Hal ini dikarenakan provinsi
Sulawesi Barat terdapat ketidak selarasan data antar variabel yang dibutuhkan
penulis di tahun 2008, sedangkan provinsi Kalimantan Utara dimekarkan pada
tanggal 25 Oktober 2012 sehingga tidak selaras dengan data di provinsi
lainnya.
Metode pengambilan data yang akan digunakan penulis adalah dengan
teknik purposive sampling yaitu dengan cara pengambilan sampel, dimana
anggota sampel diserahkan kepada pertimbangan pengumpul data yang
berdasarkan atas pertimbangan yang sesuai dengan maksud dan tujuan
85
tertentu.
C. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan hal yang harus dilakukan dalam
penyusunan penelitian ini untuk memperoleh hasil yang sesuai dengan tujuan
penelitian ini. Metode yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah
penelitian kombinasi (Mixed Methods) dengan kombinasi antara pendekatan
kuantitatif dengan pendekatan kualitatif. Metode kombinasi menghasilkan
fakta yang lebih komprehensif dan kuat dalam meneliti suatu permasalahan,
karena memiliki kebebasan untuk menggunakan semua alat pengumpul data
sesuai dengan jenis data yang dibutuhkan.
Sugiyono (2012: 404) menyatakan bahwa metode penelitian kombinasi
(mixed methods) adalah suatu metode penelitian yang mengkombinasikan atau
menggabungkan antara metode kuantitatif dengan metode kualitatif untuk
digunakan bersama-sama dalam suatu kegiatan penelitian, sehingga diperoleh
data komprehensif, valid, reliable, dan obyektif. Menurut Creswell (2010: 5)
pengertian dari metode penelitian campuran merupakan pendekatan penelitian
yang mengkombinasikan antara penelitian kualitatif dengan kuantitatif.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan
sekunder. Data primer merupakan data yang dikumpulkan langsung dari objek
penelitian. Sedangkan data sekunder merupakan data atau informasi yang
diperoleh secara tidak langsung atau telah dikumpulkan oleh pihak tertentu
86
dari objek penelitian.
Data primer diperoleh melalui wawancara yang mendalam dengan
bapak Bustanul Arifin sebagai narasumber ahli, Kepala Badan Ketahanan
Pangan, Kementerian Pertanian sebagai narasumber Produksi Beras, Harga
Beras dan Konsumsi Beras, Direktur Jendral Tanaman Pangan, Kementerian
Pertanian sebagai narasumber Produksi Beras, Harga Beras dan Impor Beras.
Adapun maksud ditentukannya narasumber adalah sebagai informan guna
mendapatkan keterangan secara lisan mengenai pemahaman, pendapat dan
fakta-fakta yang terdapat pada dunia perberasan di Indonesia.
Pengumpulan data sekunder dalam metode pendekatan kuantitatif
berdasarkan pada publikasi dan data yang tersedia pada Badan Pusat Statistik
Republik Indonesia (BPS RI) dan Departemen Pertanian Republik Indonesia.
Adapun publikasi dan data yang digunakan adalah Tabel Produksi Produk
Pangan Beras tahun 2008-2013, Hasil Survey Harga Konsumen Harga Eceran
Harga Beras Pada Pasar Tradisonal di 33 Kota tahun 2008-2013, Buku
Statistik Perdagangan Luar Negeri Impor Jilid III tahun 2008-2013, Tabel
Jumlah Penduduk Indonesia tahun 2000-2010, Tabel Laju Pertumbuhan
Penduduk per Tahun menurut Provinsi di Indonesia tahun 1971-2010, Tabel
Proyeksi Jumlah Penduduk Indonesia tahun 2010-2013, Tabel Perkembangan
Konsumsi Rumah Tangga per Kapita di Indonesia Kelompok Padi-padian
Komoditi Beras tahun 1993-2013.
87
Pengumpulan data primer untuk penelitian dengan metode kualitatif itu
adalah dengan melakukan studi lapangan berupa wawancara, adapun
wawancara menurut Sugiyono (2012: 316) Esterberg (2002) mendefinisikan
interview sebagi berikut. “a meeting of two person to exchange information
and idea trough question and responses, resulting in communication and joint
construction of meaning about a particular topic”. Wawancara adalam
merupakan merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide
melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik
tertentu.
D. Teknik Analisis
Bogdan menyatakan bahwa ”Data analysis is the process of
systematically searching and arranging the interview transcripts, field notes,
and other materials that’s you accumulate to incrase your own understanding
of them and to enable you to present what you have discovered to others”.
Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang
diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan dan bahan-bahan lain,
sehingga dapat mudah dipahami, dan temuannya dapat diinformasikan kepada
orang lain. Analisis data dilakukan dengan mengorganisasikan data,
menjabarkan ke dalam unt-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola,
memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat
kesimpulan yang dapat diceritakan kepada orang lain (Sugiyono, 2012: 332).
88
Menurut Sugiyono (2012: 415) Model Penelitian sequential
explanatory design adalah metode penelitian kombinasi yang menggabungkan
metode penelitian kuantitatif dan kualitatif secara berurutan, dimana pada
tahap pertama penelitian dilakukan dengan menggunakan metode kuantitatif
dan pada tahap kedua dilakukan dengan metode kualitatif. Berikut merupakan
langkah-langkah penelitian sequential explanatory design:
Gambar 3.1
Langkah-Langkah Penelitian dalam Sequential Explanatory Design
Sumber: Sugiyono (2012: 416)
Kelanjutan dari pengumpulan data adalah menganalisis data, untuk
menganalisis dua jenis data kuantitatif dan kualitatif maka digunakan analisis
sesuai dengan metode yang digunakan yakni, sequential explanatory.Menurut
Sugiyono (2011: 409) Model Penelitian Sequential Explanatory design
dicirikan denganmelakukan pengumpulan data dan analisis data kuantitatif
pada tahap pertama, dan diikuti dengan pengumpulan dan analisis data
89
kualitatif pada tahap kedua guna memperkuat hasil penelitian kuantitaif yang
dilakukan pada tahap pertama.
1. Analisis Data Kuantitatif
Analisis data kuantitatif pada penelitian ini menggunakan analisis data
panel. Menurut Winarno (2011: 9.1), data panel atau pooled data merupakan
data yang terdiri atas data seksi silang (beberapa objek) dan data runtut
waktu (berdasar waktu). Data panel adalah kombinasi dari data cross section
yaitu sejumlah ariabel diobservasi atas sejumlah katagori dan dikumpulkan
dalam suatu jangka waktu tertentu.
Analisis regresi data panel adalah analisis regresi yang didasarkan pada
data panel untuk mengamati hubungan antara variabel terikat (dependent
variable) dan variabel bebas (independent variable). Hal ini sesuai dengan
penelitian yang akan dilakukan mengenai masalah Pengaruh Produksi Beras,
Impor Beras, Konsumsi Beras terhadap Harga Beras di Indonesia
menggunakan studi kasus 32 Provinsi dengan tahun yang akan diteliti dari
tahun 2008-2013.
Model dengan data cross section :
𝑌𝑖 = 𝛼 + 𝛽𝑋𝑖 + 𝜀𝑖 ; 𝐼 = 1,2, … , 𝑁
N = Banyaknya data cross section
Model dengan data time series :
𝑌𝑡 = 𝛼 + 𝛽𝑋𝑖 + 𝜀𝑖 ; 𝑡 = 1,2, … , 𝑇
90
T = Banyaknya data time series
Melihat data panel merupakan gabungan antara data cross section dan
data time series maka model yang dapat disimpulkan adalah sebagai berikut
:
𝑌𝑖𝑡 = 𝛼 + 𝛽𝑋𝑖𝑡 + 𝜀𝑖𝑡 ; 𝑖 = 1,2, … , 𝑁; 𝑡 = 1,2, … , 𝑇
Dimana :
N = Banyaknya data cross section
T = Banyaknya data time series
N T = Banyaknya data panel
2. Estimasi Model Data Panel
Terdapat tiga pendekatan yang dapat digunakan dalam mengestimasi
data panel, yaitu : 1) pendekatan OLS biasa (Pooled Least Square), 2)
pendekatan efek tetap (Fixed Effect Model), dan 3) pendekatan efek acak
(Random Effect Model).
a. Pendekatan Pooled Least Square
Pendekatan ini merupakan pendekatan yang paling sederhana karena
menggabungkan data cross section dan data time series sebagai analisisnya.
Dalam pendekatan ini tidak memperhatikan dimensi antar individu maupun
rentang waktu, sehingga model ini dapat pula dapat pula disebut sebagai
model OLS biasa karena menggunakan kuadrat terkecil.
b. Pendekatan Fixed Effect Model
91
Metode efek tetap ini dapat menunjukan perbedaan antar objek
meskipun dengan regresor yang sama. Model ini dikenal dengan model
regresi Fixed Effect (efek tetap). Efek tetap ini dimaksudkan adalah bahwa
sutu objek, memiliki konstan yang tetap besarannya untuk berbagai periode
waktu. Demikian juga dengan koefisien regresinya, tetap besaranya dari
waktu ke waktu (time invariant).
Keuntungan metode efek tetap ini adalah dapat membedakan efek
individual dan efek waktu dan tidak perlu mengasumsikan bahwa
komponen eror tidak berkolerasi dengan variabel bebas yang mungkin sulit
dipenuhi. Dan kelemahan metode efek tetap ini adalah ketidaksesuaian
model dengan keadaan yang sesungguhnya. Kondisi tiap objek saling
berbeda, bahkan satu objek pada suatu waktu akan sangat berbeda dengan
kondisi objek tersebut pada waktu yang lain (Winarno, 2011: 9.15).
c. Pendekatan Random Effect Model
Keputusan untuk memasukan variabel boneka dalam model efek tetap
(fixed effect) tidak dapat dipungkiri akan dapat menimbulkan konsekuensi
(trade off). Penambahan variabel boneka ini akan dapat mengurangi
banyaknya drajat kebebasan (degree of freedom) yang pada akhirnya akan
mengurangi efisiensi dari parameter yang diestimasi. Model panel data
yang didalamnya melibatkan kolerasi antar error term karena berubahnya
waktu karena berbedanya observasi dapat diatasi dengan pendekatan model
92
komponen eror (eror component model) atau disebut juga model efek acak
(random effect).
Metode ini digunakan untuk mengatasi kelemahan metode efek tetap
yang menggunakan variabel semu, sehingga model mengalami
ketidakpastian. Tanpa menggunakan variabel semu, metode efek
menggunakan residual, yang diduga memiliki hubungan antar waktu dan
antar objek. Syarat untuk menganalisis efek random yaitu objek data silang
harus lebih besar dari pada banyaknya koefisien (Winarno, 2011: 9.17).
3. Pemilihan Model Data Panel
Terdapat dua tahap dalam memilih metode data panel. Pertama kita
harus membandingkan Pooled Least Square (PLS) dengan Fixed Effect
Model (FEM) terlebih dahulu. Kemudian dilakukan uji F-test. Jika hasil
menunjukkan model PLS yang diterima, maka model Pooled Least Square
(PLS) lah yang akan dianalisa. Tapi jika model Fixed Effect Model (FEM)
yang diterima, maka tahap kedua dijalankan, yakni melakukan
perbandingan lagi dengan model Random Effect Model (REM). Setelah itu
dilakukan pengujian dengan Hausman test untuk menentukan metode mana
yang akan dipakai, apakah Fixed Effect Model (FEM) atau Random Effect
Model REM.
a. Pooled Least Square vs Fixed Effect Model (Uji Chow)
Uji ini dilakukan untuk mengetahui model Pooled Least Square
93
(PLS) atau Fixed Effect Model (FEM) yang akan digunakan dalam
estimasi. Relatif terhadap Fixed Effect Model, Pooled Least Square
adalah restricted model dimana ia menerapkan intercept yang sama
untuk seluruh individu. Padahal asumsi bahwa setiap unit cross
section memiliki perilaku yang sama cenderung tidak realistis
mengingat dimungkinkan saja setiap unit tersebut memiliki perilaku
yang berbeda. Untuk mengujinya dapat digunakan restricted F-test,
dengan hipotesis sebagai berikut.
H0: Model Pooled Least Square
H1: Model Fixed Effect
Di mana restricted F-test dirumuskan sebagai berikut:
𝐹 =(𝑅𝑈𝑅
2 − 𝑅𝑅2)/𝑚
(1 − 𝑅𝑈𝑅2 )/𝑑𝑓
Di mana:
R2
UR : Unrestricted R2
R2
R : Restructed R2
m : df for numerator (N-1)
df : df for denominator (NT-N-K)
N : Jumlah Unit cross section
T : Jumlah Unit time series
K : Jumlah koefisien variabel
94
Jika nilai probabilitas (P-Value) lebih kecil dari tingkat
signifikansi α 5% maka menolak H0, artinya model panel yang baik
untuk digunakan adalah Fixed Effect Model, dan sebaliknya jika H0
diterima, berarti model Pooled Least Square yang dipakai dan
dianalisis. Namun, jika H0 ditolak, maka model Fixed Effect Model
harus diuji kembali untuk memilih apakah akan memakai model Fixed
Effext Model atau Random Effect Model baru dianalisis.
b. Fixed Effect Model vs Random Effect Model (Uji Hausman)
Ada beberapa pertimbangan teknis empiris yang dapat digunakan
sebagai panduan untuk memilih antara Fixed Effect Model atau
Random Effect Model (Hamja, 2012:153), yaitu:
1) Bila T (jumlah unit time series) besar sedangkan N (jumlah
unit cross section) kecil, maka hasil Fixed Effect Model dan
Random Effect Model tidak jauh berbeda. Dalam hal ini pilihan
umumnya akan didasarkan pada kenyamanan perhitungan, yaitu
Fixed Effect Model.
2) Bila N besar dan T kecil, maka hasil estimasi kedua
pendekatan dapat berbeda signifikan. Jadi, apabila kita meyakini
bahwa unit cross section yang kita pilih dalam penelitian diambil
secara acak (random) maka Random Effect Model harus
digunakan. Sebaliknya, apabila kita meyakini bahwa unit cross
section yang kita pilih dalam penelitian tidak diambil secara
95
acak maka kita menggunakan Fixed Effect Model.
3) Apabila cross section error component (€i) berkorelasi dengan
variabel bebas X maka parameter yang diperoleh dengan Random
Effect Model akan bias sementara parameter yang diperoleh
dengan Fixed Effect Model tidak habis.
4) Apabila N dan T kecil, dan apabila asumsi yang mendasari
Random Effect Model dapat terpenuhi, maka Random Effect
Model lebih efisien dibandingkan tidak bias.
Keputusan penggunaan Fixed Effect Model dan Random Effect
Model dapat pula ditentukan dengan menggunakan spesifikasi yang
dikembangkan dengan Hausman. Spesifikasi ini akan memberikan
penilaian dengan menggunakan Chi-square statistik sehinggan
keputusan pemilihan model akan dapat ditentukan secara statistik.
Pengujian ini dilakukan dengan hipotesa sebagai
berikut:
H0 : Random Effect Model
H1 :Fixed Effect Model
Setelah dilakukan pengujian ini, hasil dari Haussman test
dibandingkan dengan Chi-square statistik dengan df = k, dimana k
adalah jumlah koefesien variabel yang diestimasi. Jika hasil dari
Hausman test signifikan, maka H0 ditolak, yang Fixed Effect Model
digunakan.
96
4. Model Empiris
Model persamaan yang akan diestimasi pada penelitian ini sebagai
berikut:
𝐻𝑎𝑟𝑔𝑎𝐵𝑒𝑟𝑎𝑠𝑖𝑡 = 𝛽0 + 𝛽1𝑃𝑟𝑜𝑑𝑢𝑘𝑠𝑖𝐵𝑒𝑟𝑎𝑠𝑖𝑡 + 𝛽2𝐼𝑚𝑝𝑜𝑟𝐵𝑒𝑟𝑎𝑠𝑖𝑡 +
𝛽3𝐾𝑜𝑛𝑠𝑢𝑚𝑠𝑖𝐵𝑒𝑟𝑎𝑠𝑖𝑡 + 𝜀𝑖𝑡
Untuk menstandarkan data, model diatas kemudian ditransformasikan
ke dalam bentuk persamaan berikut:
𝐿𝑜𝑔(𝐻𝑎𝑟𝑔𝑎𝐵𝑒𝑟𝑎𝑠𝑖𝑡) = 𝛽0 + 𝛽1(𝐿𝑜𝑔(𝑃𝑟𝑜𝑑𝑢𝑘𝑠𝑖𝐵𝑒𝑟𝑎𝑠𝑖𝑡))𝑡−1 +
𝛽2𝐷(𝐿𝑜𝑔(𝐼𝑚𝑝𝑜𝑟𝐵𝑒𝑟𝑎𝑠𝑖𝑡)) + 𝛽3𝐷(𝐾𝑜𝑛𝑠𝑢𝑚𝑠𝑖𝐵𝑒𝑟𝑎𝑠𝑖𝑡)) + 𝜀𝑖𝑡
Dimana:
HargaBerasit : Harga eceran rata-rata beras provinsi i pada
periode t
ProduksiBerasit : Total Produksi Beras di provinsi i pada
periode t
ImporBerasit : Total Impor Beras di provinsi i pada periode t
KonsumsiBerasit : Total Konsumsi Beras di provinsi i pada
periode t
β0 : Intercept/Konstanta
β1,β2,β3,β4 : Koefisien regresi
eit : error term
97
Setelah model penelitian di estimasi maka akan diperoleh nilai dan
besaran dari masing-masing parameter dalam model persamaan diatas. Nilai
parameter positif atau negarif selanjutnya akan digunakan untuk menguji
hipotesis penelitian.
5. Uji Asumsi Klasik
Uji asumsi klasik untuk melihat apakah data terbebas dari masalah
multikolinieritas, heterokedastisitas dan autokolerasi, Model regresi
berganda dibangun atas beberapa asumsi klasik yang diperlukan untuk
mendapatkan estimator OLS yang bersifat BLUE (Best Linier Unbiased
Estimator), yang berati model regresi tidak mengandung masalah. Untuk itu
perlu dibuktikan lebih lanjut apakah model regresi yang dilakukan sudah
memenuhi asumsi tersebut. Asumsi-asumsi tersebut antara lain:
a. Uji Normalitas
Salah satu asumsi dalam analisis statistika adalah data
berdistribusi normal. Untuk menguji data apakah terdistribusi normal
dengan menggunakan histogram dan uji Jarque-Bera.
Jarque-Bera adalah uji statistik untuk mengetahui apakah data
berdistribusi normal. Uji ini mengukur perbedaan skewness dan
kurtosis data dan dibandingkan dengan apabila datanya bersifat
normal. Dengan H0 pada data berdistribusi normal, uji Jarque-Bera
didistribusi dengan X2 dengan drajat bebas (degree of freedom)
98
sebesar 2. Probability menunjukan kemungkinan Jarque-Bera
melebihi (dalam nilai absolut) nilai terobservasi dibawah hipotesis
nol. Nilai probabilitas yang kecil cendrung mengarahkan pada
penolakan hipotesis nol distribusi normal. Pada angka Jarque-Bera
diatas nilai probabilitas (5%), maka kita dapat menolak H0 bahwa
data terdistribusi normal (Winarno, 2006: 5.37).
b. Uji Multikolinearitas
Multikolinieritas adalah kondisi adanya hubungan dependensi
linier yang kuat diantara variabel independen. Jika terjadi
multikolinieritas maka nilai standard error dari koefisien menjadi
tidak valid sehingga hasil uji signifikansi koefisien dengan uji t tidak
valid. Salah satu ukuran yang paling popular untuk melihat adanya
multikolinieritas antar variabel independen adalah dengan
menggunakan Variance Inflation Factor (VIF) atau tolerance (1/VIF).
Regresi yang bebas multikolinieritas memiliki VIF disekitar satu atau
tolerance mendekati satu. Jika untuk suatu variabel independen nilai
vif>10 dikatakan terjadi koliniearitas yang kuat antar variabel
independen (Rosadi, 2012: 52-53).
Menurut Nachrowi dan Usman (2008: 122), ada beberapa dampak
yang ditimbulkan oleh koliniaritas antara lain:
1) Variansi bebas (dari taksiran OLS)
99
2) Interval kepercayaan lebar (variansi besar, standar eror besar, dan
interval kepercayaan lebar)
3) Uji t tidak signifikan. Suatu vriabel bebas yang signifikan baik
secara subtansi, maupun secara statistik jika dibuat regresi
sederhana, bisa tidak signifikam karena variansi besar akibat
kolinearitas
4) R2 tinggi, tetapi banyak variabel yang tidak signifikan dari uji t.
5) Terkadang taksiran koefisien yang didapat akan mempunyai nilai
yang tidak sesuai dengan subtansi sehingga dapat menyesatkan
interpretasi.
Menurut Rosadi (2012: 53), untuk menyelesaikan masalah
multikolinieritas dapat dilakukan dengan berbagai cari, seperti:
1) Menambah lebih banyak observasi
2) Mengeluarkan salah satu variabel yang memiliki hubuhungan
kolerasi yang kuat.
3) Mentransformasikan variabel independen, seperti misalnya
mengkombinakasikan variabel-variabel independen kedalam
suatu indeks.
c. Uji Heteroskedastisitas
Dalam regresi linier ganda, salah satu asumsi yang harus dipenuhi
agar taksiran parameter dalam model tersebut bersifat BLUE adalah
100
var (ui) = ơ2 (konstan), semua sesatan mempunyai variansi yang
sama. Padahal, ada kasus-kasus tertentu dimana variansi ưi tidak
konstan, melainkan suatu variabel berubah-ubah (Nachrowi, 2008:
128).
Heteroskedastisitas merupakan fenomena terjadinya perbedaan
varian antar seri data. Heteroskedastisitas muncul apabila nilai varian
dari variabel tak bebas (Yi) meningkat sebagai meningkatnya varian
dari variabel bebas (Xi), maka varian dari Yi adalah tidak sama.
Gejala heteroskedastisitas lebih sering dalam data cross section dari
pada time series. Selain itu juga sering muncul dalam analisis yang
menggunakan data rata-rata.
Menurut Nachrowi dan Usman (2008: 129), ada beberapa dampak
yang ditimbulkan oleh heteroskedastisitas terhadap OLS, antara lain:
1. Akibat tidak konstannya variansi, maka salah satu dampak yang
ditimbulkan adalah lebih besarnya variansi dari taksiran.
2. Lebih besarnya variansi taksiran, tentu akan berpengaruh pada uji
hipotesis yang dilakukan (uji t dan F) karena kedua uji tersebut
menggunakan besaran variansi taksiran. Akibatnya, kedua uji
hipotesis tersebut menjadi kurang akurat.
3. Lebih besarnya variansi taksiran akan mengakibatkan standard
error taksiran yang lebih besar sehingga interval kepercayaan
101
menjadi sangat besar.
4. Akibat beberapa dampak tersebut, maka kesimpulan yang diambil
dari persamaan regresi yang dibuat dapat menyesatkan.
Menurut Gujarati (2007:89-94), untuk mendektesi keberadaan
heteroskedastisitas digunakan metode grafik scatter plot, uji Park, uji
Glejser, uji White, dimana apabila nilai probabilitas (p-value)
observasi R2 lebih besar dibandingkan tingkat resiko kesalahan yang
diambil (digunakan α = 5%), maka residual digolongkan
homoskedastisitas.
d. Uji Autokorelasi
Autokolerasi adalah adanya kolerasi antara variabel itu sendiri,
pada pengamatan yang berbeda waktu atau individu. Pada umumnya
autokolerasi lebih sering terjadi pada data time series (Nachrowi dan
Usman, 2008: 135).
Menurut Winarno (2006: 5.26), autokolerasi adalah hubungan
antara residual satu observasi dengan residual observasi lainnya.
Autokolerasi lebih mudah timbul pada data yang bersifat runtut
waktu, karena berdasarkan sifatnya, data masa sekarang dipengaruhi
oleh data pada masa-masa sebelumnya.
Dikarenakan dalam penelitian ini menggunakan data panel, maka
uji autokolerasi sudah tidak perlu di uji kembali, karena data panel
102
sifatnya lebih kepada cross section maka bisa dikatakan tidak ada
autokolerasi.
6. Uji Hipotesis
Uji Hipotesis ini digunakan untuk memeriksa atau menguji apakah
koefisien regresi yang didapat signifikan (berbeda nyata). Maksudnya dari
signifikan ini adalah suatu nilai koefesien regresi yang secara statitik tidak
sama dengan nol. Jika koefisien slope sama dengan nol, berarti dapat
dikatakan bahwa tidak cukup bukti untuk menyatakan variabel bebas
mempunyai pengaruh terhadap variabel terikat. Ada dua jenis uji hipotesis
terhadap koefisien regresi yang dapat dilakukan antara lain:
a. Uji Signifikansi Parameter Individual (Uji Statistik t)
Uji t dilakukan untuk mengetahui pengaruh masing-masing
variabel independen secara parsial terhadap variabel dependen. Uji t
dilakukan dengan membandingkan t hitung terhadap t tabel dengan
ketentuan sebagai berikut:
Ho : β = 0, berarti tidak ada pengaruh positif dari masing-masing
variabel independen terhadap variabel dependen secara parsial
(individu).
Ha : β ≠ 0, berarti ada pengaruh positif dari masing-masing variabel
independen terhadap variabel dependen secara parsial (individu).
Tingkat kepercayaan yang digunakan adalah 95% atau taraf
103
signifikan 5% (α = 0,05) dengan kriteria penilaian sebagai berikut :
1) Jika t hitung > t tabel maka Ha diterima dan Ho ditolak berarti
ada pengaruh yang signifikan dari masing-masing variabel
independen terhadap variabel dependen secara parsial
(individu).
2) Jika t hitung < t tabel maka Ho diterima dan Ha ditolak berarti
tidak ada pengaruh yang signifikan dari masing-masing
variabel independen terhadap variabel dependen secara parsial
(individu).
b. Uji Signifikansi Simultan (Uji Statistik F)
Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui apakah semua variabel
independen secara bersama-sama (simultan) dapat berpengaruh
terhadap variabel dependen. Cara yang digunakan adalah dengan
membandingkan nilai F hitung dengan F tabel dengan ketentuan
sebagai berikut:
Ho : β = 0, berarti tidak ada pengaruh signifikan dari variabel
independen terhadap variabel dependen secara simultan (bersama-
sama).
Ha : β ≠ 0, berarti ada pengaruh yang signifikan dari variabel
independen terhadap variabel dependen secara simultan (bersama-
sama).
104
Tingkat kepercayaan yang digunakan adalah 95% atau taraf
signifikan 5% (α = 0,05) dengan kriteria penilaian sebagai berikut:
1) Jika F hitung > F tabel maka Ha diterima dan Ho ditolak berarti
ada variabel independen secara bersama-sama mempunyai
pengaruh yang signifikan terhadap variabel dependen.
2) Jika F hitung < F tabel maka Ho diterima dan Ha ditolak berarti
variabel independen secara bersama-sama tidak mempunyai
pengaruh yang signifikan terhadap variabel dependen.
c. Koefisien Determinasi R2
Koefisien determinasi merupakan suatu ukuran yang penting
dalam regresi, karena dapat menginformasikan baik tidaknya model
regresi yang terestimasi. Atau dengan kata lain, angka tersebut dapat
mengukur seberapa dekatkah garis regresi yang terestimasi dengan
data sesungguhnya.
Nilai koefisien determinasi (Goodness of fit) mencerminkan seberapa
besar variasi dari regressand (Y) dapat diterangkan oleh regressor (X).
Bila R2 = 0, artinya variasi dari Y tidak dapat diterangkan oleh X sama
sekali. Sementara bila R2 = 1, artinya variasi Y secara keseluruhan
dapat diterangkan oleh X. Dengan kata lain bila R2 = 1, maka semua
titik pengamatan berbeda pada garis regresi. Dengan demikian ukuran
goodness of fit dari suatu model ditentukan oleh R2 yang nilainya
105
antara nol dan satu. (Nachrowi dan Usman, 2008: 21-22).
E. Operasional Variabel Penelitian
1. Variabel Dependen
Harga Beras merupakan nilai tukar yang telah disepakati dalam pasar
untuk membeli satu kilogram beras, secara umum nilai tukar yang
digunakan di Indonesia merupakan mata uang Rupiah (Rp). Harga beras
yang digunakan merupakan Hasil Survey Harga Konsumen Harga Eceran
Harga Beras Pada Pasar Tradisonal di 33 Kota tahun 2008-2013 yang
dilakukan oleh Badan Pusat Statistik Republik Indonesia. Diukur secara
tahunan dalam satuan rupiah.
2. Variabel Independen
a. Produksi Beras merupakan total produksi produk pangan beras di
Indonesia. Produksi beras yang digunakan merupakan hasil
pengumpulan data yang tercatat dalam Tabel Produksi Produk Pangan
Beras Tahun 2008-2013 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik
Republik Indonesia dan diolah kembali menyesuaikan kebutuhan
penelitian. Diukur secara tahunan dalam satuan Ton.
b. Impor Beras merupakan total pengiriman produk pangan beras yang
berasal dari luar negeri untuk digunakan di dalam negeri khususnya
Indonesia. Impor beras yang digunakan merupakan hasil
pengumpulan data yang tertulis dalam Buku Statistik Perdagangan
106
Luar Negeri Impor Jilid III 2008-2013 yang dilakukan oleh Badan
Pusat Statistik Republik Indonesia. Diukur secara tahunan dalam
satuan Ton.
c. Konsumsi Beras merupakan total konsumsi beras yang terdapat di
seluruh Indonesia. Konsumsi Beras yang digunakan merupakan hasil
pengumpulan data yang tercatat dalam Tabel Jumlah Penduduk
Indonesia Tahun 2000-2010, Tabel Laju Pertumbuhan Penduduk per
Tahun menurut Provinsi di Indonesia tahun 1971-2010 dan Tabel
Proyeksi Jumlah Penduduk Indonesia tahun 2010-2013 yang
dilakukan oleh Badan Pusat Statistik Republik Indonesia dan Tabel
Perkembangan Konsumsi Rumah Tangga per Kapita di Indonesia
Kelompok Padi-padian Komoditi Beras tahun 1993-2013
Kementerian Pertanian Republik Indonesia serta diolah kembali
menyesuaikan kebutuhan penelitian. Diukur secara tahunan dalam
satuan Ton.
107
Tabel 3.1
Operasional Variabel Penelitian
No.
Dimensi
Variabel Indikator Ukuran
1 Harga Beras Hasil Survey Harga Konsumen Harga Eceran
Beras pada Pasar Tradisional di 33 Kota
Tahun 2008-2013
Rupiah
2 Produksi Beras Total Produksi Produk Pangan Beras Tahun
2008-2013 pada 32 Provinsi di Indonesia
Ton
3 Impor Beras Total Impor Beras yang tercatat dalam Buku
Statistik Perdagangan Luar Negeri Impor Jilid
III Tahun 2008-2013 pada 32 Provinsi di
Indonesia
Ton
4 Konsumsi Beras Total Konsumsi Beras Tahun 2008-2013 pada
32 Provinsi di Indonesia
Ton
108
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Objek Penelitian
Indonesia, negara yang berdiri diatas kepulauan terluas di dunia dengan
bentang luas daratan sebesar 1.992.570 Km2 dan luas perairannya 3.257.483
Km2. Terletak di antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik serta di antara
benua Asia dan benua Australia, juga berada di daerah ekuator (Khatulistiwa)
membuat Indonesia memiliki iklim yang tropis. Selain itu, indonesia berada di
kawasan gunung berapi yang terkenal dengan “Ring Of Fire” membuat kondisi
tanah di Indonesia sangat subur akibat proses vulkanis tersebut. Dengan
keunggulan tersebut membuat Indonesia menjadi tempat yang sangat subur,
banyak jenis tanaman dan hewan yang hidup di Indonesia. Adanya keunggulan
ini membuat Indonesia menjadi salah satu Negara produsen beberapa jenis
tanaman salah satunya adalah produk pertanian.
Adapun salah satu produk pertanian yang menjadi unggulan baik segi
produksi maupun konsumsinya adalah beras. Mengapa demikian karena beras
atau dalam bentuk jadinya adalah nasi merupakan salah satu makanan pokok
bagi hampir sebagian besar masyarakat Indonesia. Bahkan ada perumpamaan
bahwa bila tidak makan nasi maka tidak akan kenyang. Dahulu orang Indonesia
memiliki makanan pokok sesuai keadaan wilayahnya seperti Jawa Tengah dan
109
Jawa Timur banyak yang menggunakan jagung sebagai bahan makanan pokok,
atau Maluku, Papua dan daerah Indonesia timur terkenal dengan sagu sebagai
bahan makanan pokoknya. Namun seiring berkembangnya jaman banyak
masyarakat yang mulai meninggalkan kebiasaan lama mereka menggunakan
bahan makanan pokok lokal, mereka mengikuti daerah-daerah yang telah maju
terlebih dulu dengan menggunakan beras sebagai bahan makanan pokok.
Pergeseran kebiasaaan ini membuat tingkat konsumsi beras meningkat,
sehingga beras menjadi populer bagi masyarakat di Indonesia. Sayangnya
peningkatan tingkat konsumsi beras ini tidak seiring dengan kapasitas produksi
yang dimiliki Indonesia, hal ini terjadi karena banyak faktor, yaitu percepatan
pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi di Indonesia, pertumbuhan produksi
beras di dalam negeri tidak sebanding dengan pertumbuhan penduduk, dan juga
tingkat produktivitas padi di Indonesia belum maksimal berada dikisaran angka
50%.
Namun Indonesia memiliki potensi ketersediaan lahan yang cukup
besar dan belum dimanfaatkan secara optimal. Berdasarkan Buku Rencana
Strategis Kementerian Pertanian Tahun 2010-2014 (24: 2011) Data dari kajian
akademis yang dilaksanakan oleh Direktorat Jendral Pengelolaan Lahan dan
Air, Kementerian Pertanian pada tahun 2006 memperlihatkan bahwa total luas
daratan Indonesia adalah sebesar 192 juta Ha, terbagi atas 123 juta Ha (64,6%)
merupakan kawasan budidaya dan 67 juta Ha sisanya (35,4%) merupakan
110
kawasan lindung. Dari total luas kawasan budidaya, yang berpotensi untuk
areal pertanian seluas 101 juta Ha, meliputi lahan basah seluas 25,6 juta Ha,
lahan kering tanaman semusim 25,3 juta Ha dan lahan kering tanaman tahunan
50,9 juta Ha. Sampai saat ini, dari areal yang berpotensi untuk pertanian
tersebut, yang sudah dibudidayakan menjadi areal pertanian sebesar 47 juta Ha,
sehingga masih tersisa 54 juta Ha yang berpotensi untuk perluasan areal
pertanian. Jumlah luasan dan sebaran hutan, sungai, rawa dan danau serta curah
hujan yang cukup dan merata sepanjang tahun sesungguhnya merupakan
potensi alamiah untuk memenuhi kebutuhan air pertanian apabila dikelola
dengan baik. Waduk, bendungan, embung dan air tanah serta air permukaan
lainnya sangat potensial untuk mendukung perkembangan usaha pertanian.
Dan juga menurut Buku Rencana Strategis Kementerian Pertanian
Tahun 2010-2014 (2011: 24) Jumlah penduduk Indonesia yang sangat besar
merupakan pasar dalam negeri yang potensial bagi produk-produk pertanian
yang dihasilkan petani. Pada tahun 2009 jumlah penduduk Indonesia tercatat
sebesar 230.632.700 jiwa dengan pertumbuhan 1,25% per tahun. Saat ini,
tingkat konsumsi aneka produk hasil pertanian Indonesia, kecuali beras, gula
dan minyak goreng, masih relatif rendah. Rendahnya tingkat konsumsi produk
pertanian ini, terutama disebabkan masih rendahnya tingkat pendapatan per
kapita penduduk Indonesia sehingga mempengaruhi daya beli.
111
Persoalan mendasar yang diperkirakan masih dihadapi sektor pertanian
di masa yang akan datang, mencakup aspek seperti: kerusakan lingkungan dan
perubahan iklim, infrastruktur, sarana dan prasarana, lahan dan air, kepemilikan
lahan, sistem perbenihan dan pembibitan nasional, akses petani terhadap
permodalan kelembagaan petani dan penyuluh, ketahanan pangan dan energi,
Nilai Tukar Petani (NTP), keterpaduan antar sektor dan kinerja pelayanan
birokrasi pertanian.
Selain itu permasalahan geografis Indonesia sebagai Negara kepulauan
membuat distribusi barang dan jasa menjadi sulit, khususnya pada produk-
produk tidak tahan lama seperti produk pertanian. Selain permasalahan itu,
keterbatasan pilihan akan transportasi penghubung antar pulau, kualitas
transportasi yang tersedia, lamanya bongkar muat di masing-masing pelabuhan
serta kualitas sarana dan prasarana transportasi seperti jalan dan pelabuhan
yang belum baik, biaya distribusi dan transportasi yang tinggi memperparah
kondisi distribusi barang-barang di Indonesia.
B. Hasil Analisis dan Pembahasan
1. Analisis Deskriptif
a. Analisis Deskriptif Harga Beras
Menurut Prathama Rahardja dan Mandala Manurung (2006:
70-71), Cobweb menjelaskan mengenai harga produk pertanian
yang menunjukkan fluktuasi tertentu dari musim ke musim.
112
Penyebab fluktuasi tersebut adalah reaksi yang terlambat (time lag)
dari produsen (petani) terhadap harga.
Harga suatu barang dan jumlah barang tersebut yang
diperjualbelikan, ditentukan oleh permintaan dan penawaran barang
tersebut. Dan juga keadaan di suatu pasar dikatakan dalam
keseimbangan atau ekuilibrium apabila jumlah yang ditawarkan
pada penjual pada suatu harga tertentu adalah sama dengan jumlah
yang diminta para pembeli pada harga tersebut. Dengan demikian
harga suatu barang dan jumlah barang yang diperjualbelikan dapat
ditentukan dengan melihat keadaan keseimbangan dalam suatu
pasar (Sadono Sukirno, 2009: 90).
Menurut Winardi (1987: 13) bahwa harga menerangkan
komposisi atau alokasi produksi total. Menurut Pindyck (2009: 5)
harga merupakan salah satu penentu dari situasi-tukar dalam setiap
pilihan manusia. Seperti seorang konsumen yang melakukan situasi-
tukar antara daging sapi dan ayam tidak hanya pada preferensinya,
tetapi juga berdasarkan harganya. Begitu juga, para pekerja
melakukan situasi-tukar antara kerja dan istirahat sebagian
berdasarkan pada “harga” yang mereka peroleh dari pekerjaan
mereka – yaitu upah. Dan perusahaan memutuskan apakah akan
memperkerjakan karyawan lebih banyak atau membeli mesin lebih
113
banyak sebagian juga didasarkan pada tingkat upah dan harga mesin.
114
Sumber: Tabel Rata-rata Harga Eceran Beras di Pasar Tradisional di 33 Kota, 2000-2013
(Diolah dari Hasil Survei Harga Konsumen) Badan Pusat Statistik Republik Indonesia (diolah
kembali)
Pada gambar 4.1 terlihat bahwa perubahan harga rata-rata
beras pada 32 provinsi di Indonesia selalu positif. Jika dilihat
pertumbuhan perubahan harga rata-rata beras yang paling besar
berada pada provinsi Lampung dengan pertumbuhan rata-rata
sebesar 19,38% per tahun dengan periode waktu 2008-2013.
Sedangkan pertumbuhan perubahan harga rata-rata beras yang
paling kecil disaat periode yang sama berada pada provinsi Maluku
Utara dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 2,21% per tahun.
Perubahan yang terjadi pada harga beras kalau kita lihat secara
nasional pertumbuhannya berada pada angka 10% pada periode
2008-2013 hal ini menandakan bahwa perubahan harga pada
komoditas beras di Indonesia cukup besar. Dengan adanya fakta ini
menandakan perubahan harga beras tidak stabil, sehingga dapat
memperbesar jumlah beban konsumsi masyarakat secara umum.
b. Analisis Deskriptif Produksi Beras
Menurut I Gusti Ngurah Agung (2008: 9) produksi dapat
didefinisikan sebagai hasil dari suatu proses atau aktifitas ekonomi
dengan memanfaatkan beberapa masukan (input), oleh karena itu
kegiatan produksi tersebut adalah mengkombinasikan berbagai
input untuk menghasilkan output. Menurut Ari Sudarman (2001:
115
119) produksi meliputi semua aktivitas dan tidak hanya mencakup
pembuatan barang-barang yang dapat dilihat. Menulis buku,
memberi nasehat, pertunjukkan bioskop dan jasa bank adalah
termasuk dalam pengertian produksi. Tetapi akan sedikit mengalami
kesulitan untuk menunjukkan secara pasti faktor-faktor produksi
seperti yang dicontohkan tadi, namun jelas bahwa dalam proses
produksi seperti ini diperlukan beberapa keterampilan baik bersifat
teknis maupun intelektual.
Sadono Sukirno (2009: 193) menyatakan bahwa fungsi
produksi adalah hubungan diantara faktor- faktor produksi dan
tingkat produksi yang diciptakannya. Adapun menurut Prathama
Rahardja dan Mandala Manurung (2006: 107) menyatakan bahwa
ekonom membagi faktor produksi barang menjadi barang modal
(capital) dan tenaga kerja (labour). Hubungan matematis
penggunaan hal-hal berhubungan dengan produksi yang
menghasilkan output maksimum disebut fungsi produksi sebagai
berikut.
Q = f(K,L)
Dimana
Q = tingkat output.
K = barang modal.
L = tenaga kerja/buruh.
116
Dalam Skripsi Denny Afrianto (2010: 33) bahwa pada produksi
bidang pertanian, faktor produksinya sangat menentukan besar
kecilnya produksi yang akan diperoleh. Untuk menghasilkan
produksi (output) yang optimal maka penggunaan faktor produksi
tersebut dapat digabungkan. Dalam berbagai literatur menunjukkan
bahwa faktor produksi lahan, modal untuk membeli bibit, pupuk,
obat-obatan, tenaga kerja dan aspek manajemen adalah faktor
produksi terpenting diantara faktor produksi yang lain (Soekartawi,
1991), seperti tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, tingkat
keterampilan dan lain-lain.
117
Sumber: Tabel Produksi Produk Pangan Beras Tahun 2008-2013 Badan Pusat Statistik Republik Indonesia (diolah
kembali)
118
Pada gambar 4.2 terlihat bahwa produksi beras terbesar di
Indonesia terdapat pada 3 provinsi yaitu Jawa Barat, Jawa Timur dan
Jawa Tengah. Dan juga dapat dilihat bahwa perkembangan jumlah
produksi dari tahun ke tahun pada 32 provinsi di Indonesia
cenderung fluktuatif, kecuali pada provinsi Kalimantan Timur yang
memiliki tren negatif. Namun perkembangan jumlah produksi beras
tertinggi di Indonesia ada pada provinsi Kepulauan Riau sebesar
42,45% pada periode 2008-2013. Selain itu perkembangan jumlah
produksi beras terendah di Indonesia ada pada provinsi Kalimantan
Timur dengan angka -4% pada periode 2008-2013.
Perubahan jumlah yang terjadi pada 32 provinsi di Indonesia
secara umum berada pada angka 4,36% pada periode 2008-2013. Ini
menandakan bahwa perubahan jumlah produksi beras di Indonesia
cukup signifikan. Namun dengan jumlah perubahan ini sangat tidak
memungkinkan untuk mendukung konsumsi beras bagi masyarakat
Indonesia.
c. Analisis Deskriptif Impor Beras
Impor merupakan pembelian barang dari luar negeri ke dalam
negeri. Hal ini biasa terjadi karena produksi barang yang ada di
dalam negeri tidak dapat memenuhi kebutuhan konsumsi dalam
negeri. Selain itu sebab-sebab impor dapat pula terjadi karena tidak
119
mampunya dalam negeri memproduksi barang dikarenakan belum
adanya teknologi dan modal yang mencukupi, permintaan
masyarakat akan barang-barang dari luar negeri walaupun produksi
dalam negeri mencukupi kualitas yang dimiliki.
Menurut Suherman Rosyidi dalam bukunya Pengantar Teori
Ekonomi: Pendekatan Kepada Teori Ekonomi (2001: 223-224)
Kemampuan suatu bangsa untuk mengimpor sangat tergantung pada
pendapatan nasionalnya. Artinya, semakin besar pendapatan
nasional, semakin besar pula kemampuan bangsa tersebut
mengimpor barang dan jasa. Jadi: M = f(Y). Tetapi harus diingat,
bahwa hubungan antara impor, M, dengan pendapatan nasional, Y,
itu tidaklah berupa hubungan proporsional. Artinya, tidak dapat
ditarik kesimpulan bahwa jika pendapatan nasional bertambah
menjadi dua kali lipat, misalnya, maka impor akan menjadi dua kali
lipat.
Menurut Hamdy Hady (2001: 65) kebijakan perdagangan
internasional di bidang impor diartikan sebagai berbagai tindakan
dan peraturan yang dikeluarkan pemerintah, baik secara langsung
maupun tidak langsung, yang akan mempengaruhi struktur,
komposisi, dan kelancaran usaha untuk melindungi atau mendorong
pertumbuhan industri dalam negeri dan penghematan devisa.
120
Sumber: Buku Statistik Perdagangan Luar Negeri Impor Jilid III 2008-2013 Badan Pusat Statistik Republik
Indonesia (diolah kembali)
121
Dalam grafik diatas dapat dilihat bahwa secara umum pada 32
provinsi di Indonesia impor beras jumlahnya kecil bahkan tidak ada
dari tahun ke tahun, namun ada beberapa provinsi yang memiliki
jumlah impor yang besar. Seperti pada provinsi DKI Jakarta,
Sumatera Utara, Lampung, Jawa Tengah dan Jawa Timur yang
setiap tahun memiliki jumlah impor dari tahun ke tahun pada periode
2008-2013.
Perkembangan jumlah impor provinsi yang tertinggi dalam
periode 2008-2013 pada provinsi Jawa Tengah sebesar 140,25%,
selanjutnya pada provinsi Lampung sebesar 115,90%, selanjutnya
pada provinsi DKI Jakarta sebesar 78,48%, selanjutnya pada
provinsi Jawa Timur sebesar 76,83%, dan yang kelima pada provinsi
Sumatera Utara sebesar 74,30%. Sedangkan provinsi lainnya tidak
setiap tahun mengalami impor beras sehingga kecil perkembangan
yang terjadi pada provinsi-provinsi tersebut. Adapun perubahan
jumlah impor ini mengikuti dengan ketersediaan beras di pasar dan
regulasi-regulasi yang terkait di dalam dunia perberasan di
Indonesia.
d. Analisis Deskriptif Konsumsi Beras
Menurut Samuelson dan Nordhaus dalam bukunya Ilmu
Makroekonomi (2004: 124) Konsumsi (atau lebih tepatnya,
122
pengeluaran konsumsi pribadi) adalah pengeluaran oleh rumah
tangga atas barang jadi dan jasa. Dilihat dari arti ekonomi, konsumsi
merupakan tindakan untuk mengurangi atau menghabiskan nilai
guna ekonomi suatu benda.
Sedangkan menurut Suherman (2001: 147) konsumsi berarti
penggunaan barang dan jasa untuk memuaskan kebutuhan
manusiawi (the use of goods and service in the statisfication of
human wants). Konsumsi haruslah dianggap sebagai maksud serta
tujuan yang esensial daripada produksi. Atau dengan perkataan lain,
produksi adalah alat bagi konsumsi.
Dan Suherman (2001: 147) berpendapat bila digunakan tanpa
kualifikasi apapun, maka istilah konsumsi itu, akan diartikan secara
umum sebagai penggunaan barang-barang dan jasa secara langsung
akan memenuhi kebutuhan manusia. Namun harus kita ingat
terdapat beberapa jenis barang, seperti mesin-mesin maupun bahan
mentah, digunakan untuk menghasilkan barang lain. Hal ini dapat
disebut dengan konsumsi produktif (productive consumption),
sedangkan konsumsi yang dapat memenuhi kepuasan akan
kebutuhan secara langsung disebut sebagai konsumsi akhir (final
consumption).
123
Sumber: Tabel Jumlah Penduduk Indonesia Tahun 2000-2010 Badan Pusat Statistik Republik Indonesia,
Tabel Laju Pertumbuhan Penduduk per Tahun menurut Provinsi di Indonesia Tahun 1971-2010 Badan
Pusat Statistik Republik Indonesia, Tabel Proyeksi Jumlah Penduduk Indonesia Tahun 2010-2013 Badan
Pusat Statistik Republik Indonesia dan Tabel Perkembangan Konsumsi Rumah Tangga per Kapita di
Indonesia Kelompok Padi-padian Komoditi Beras Departemen Pertanian Republik Indonesia Tahun
1993-2013 (diolah kembali).
Pada grafik diatas dapat dilihat bahwa jumlah konsumsi beras
124
yang terbesar di Indonesia merupakan provinsi Jawa Barat sebanyak
7110603.1 Ton pada tahun 2013. Kenyataan bahwa Jawa Barat,
Jawa Tengah dan Jawa Timur menjadi provinsi yang terbesar dalam
mengkonsumsi beras sejalan dengan jumlah penduduk yang terdapat
pada ketiga provinsi tersebut. Namun ternyata provinsi yang
memiliki perubahan jumlah konsumsi beras terbesar di Indonesia
ada pada provinsi Kepulauan Riau dengan angka 3,4% pada periode
2008-2013. Sedangkan provinsi yang memiliki perubahan jumlah
konsumsi beras terkecil di Indonesia ada pada provinsi Jawa Timur
dengan angka 0,2% pada periode 2008-2013. Adapun perubahan
jumlah konsumsi beras sangatlah bergantung pada jumlah penduduk
dan kemampuan rumah tangga masyarakat dalam mengkonsumsi
beras.
2. Pemilihan Model Terbaik
Model yang digunakan secara umum adalah sebagai berikut:
𝐿𝑜𝑔(𝐻𝑎𝑟𝑔𝑎𝐵𝑒𝑟𝑎𝑠𝑖𝑡) = 𝛽0 + 𝛽1(𝐿𝑜𝑔(𝑃𝑟𝑜𝑑𝑢𝑘𝑠𝑖𝐵𝑒𝑟𝑎𝑠𝑖𝑡))𝑡−1 +
𝛽2𝐷(𝐿𝑜𝑔(𝐼𝑚𝑝𝑜𝑟𝐵𝑒𝑟𝑎𝑠𝑖𝑡)) + 𝛽3𝐷(𝐾𝑜𝑛𝑠𝑢𝑚𝑠𝑖𝐵𝑒𝑟𝑎𝑠𝑖𝑡)) + 𝜀𝑖𝑡
Dimana:
HargaBerasit : Harga eceran rata-rata beras provinsi i pada
periode t
ProduksiBerasit : Total Produksi Beras di provinsi i pada
125
periode t
ImporBerasit : Total Impor Beras di provinsi i pada periode t
KonsumsiBerasit : Total Konsumsi Beras di provinsi i pada
periode t
β0 : Intercept/Konstanta
β1,β2,β3,β4 : Koefisien regresi
eit : error term
Selanjutnya kita memilih model mana yang terbaik untuk digunakan
pada persamaan diatas, adapun model-model yang ada pada regresi
data panel adalah sebagai berikut:
a. Pooled Least Square (PLS)
Pertama yang harus dilakukan untuk memulai mengolah data
yaitu dengan menggunakan metode Pooled Least Square (PLS),
dimana metode ini merupakan salah satu syarat untuk melakukan
uji F-restricted. Dari hasil pengolahan yang dilakukan melalui E-
Views 7.0 diperoleh hasil sebagai berikut:
Tabel 4.1
Regresi Data Panel: Pooled Least Square (PLS)
Sumber: Data diolah. Lampiran 2
R-squared 0.364734
Adjusted R-squared 0.352517
126
Tabel 4.1 memperlihatkan hasil estimasi dari regresi data
panel dengan menggunakan metode PLS, dimana R-Squared yang
diperoleh sebesar 0,364734, artinya sebesar 36,47% variabel
Harga Beras pada 32 Provinsi di Indonesia dapat dijelaskan oleh
Produksi Beras, Impor Beras, dan Konsumsi Beras pada 32
Provinsi di Indonesia. Sedangkan 63,53% variabel Harga Beras
dijelaskan oleh variabel lain yang tidak termasuk dalam penelitian
ini.
b. Fixed Effect Model (FEM)
Setelah hasil dari PLS diperoleh, maka dapat dilakukan uji
selanjutnya yaitu dengan metode Fixed Effect Model (FEM). Hal
ini dilakukan agar hasil yang diperoleh antara PLS dengan FEM
dapat dibandingkan dan dilihat kesesuaiannya, sehingga dapat
dijadikan sebagai model penelitian. Dari hasil pengolahan E-
Views 7.0 diperoleh hasil sebagai berikut:
Tabel 4.2
Regresi Data Panel: Fixed Effect Model (FEM)
R-squared 0.650028
Adjusted R-squared 0.554836
Sumber: Data diolah. Lampiran 2
Tabel 4.2 memperlihatkan hasil estimasi dari regresi data
panel dengan menggunakan metode PLS, dimana R-Squared yang
127
diperoleh sebesar 0,650028, artinya sebesar 65% variabel Harga
Beras pada 32 Provinsi di Indonesia dapat dijelaskan oleh Produksi
Beras, Impor Beras, dan Konsumsi Beras pada 32 Provinsi di
Indonesia. Sedangkan 35% variabel Harga Beras dijelaskan oleh
variabel lain yang tidak masuk ke dalam penelitian ini.
c. Pooled Least Square vs Fixed Effect Model (Uji Chow)
Uji Chow merupakan salah satu uji yang digunakan untuk
mengetahui apakah teknik regresi Pooled Least Square (PLS) lebih
baik dari pada Fixed Effect Model (FEM). Untuk mengetahui
model data panel yang akan digunakan, maka digunakan uji F-
Restricted dengan cara membandingkan F-Statistik dan F-Tabel.
Sebelum membandingkan, maka dibuat terlebih dahulu
hipotesisnya sebagai berikut:
H0: Model Pooled Least Square (Restricted)
Ha: Model Fixed Effect (Unrestricted)
Dari hasil regresi berdasarkan metode PLS dan FEM
menggunakan E-Views 7.0 diperoleh F-Statistik seperti yang
terlihat dalam Tabel 4.3 berikut ini:
Tabel 4.3
F-Restricted
128
Redundant Fixed Effects Tests
Equation: FIXED
Test cross-section fixed effects Effects Test Statistic d.f. Prob. Cross-section F 3.287068 (31,125) 0.0000
Cross-section Chi-square 95.390675 31 0.0000
Sumber: Data diolah. Lampiran 3
Dari tabel 4.3 diperoleh nilai F-Statistik 3,287068, dengan
nilai F-Tabel pada df (31,125) α = 5% adalah 1,524 sehingga nilai
F-Statistik > F-Tabel, maka H0 ditolak dan Ha diterima, sehingga
model data panel yang digunakan adalah Fixed Effect Model
(FEM).
d. Random Effect Model (REM)
Setelah ditentukan bahwa Fixed Effect merupakan model yang
sesuai dengan penelitian ini melalui pengujian F-Restricted. Untuk
melihat bahwa model ini merupakan model yang tepat, maka perlu
dilakukan pengujian selanjutnya dengan membandingkan antara
model FEM dan REM pada uji Hausman. Dari hasil pengolahan E-
Views 7.0 didapatkan hasil sebagai berikut:
Tabel 4.4
Regresi Data Panel: Random Effect Model
R-squared 0.250395
Adjusted R-squared 0.235979
Sumber: Data diolah. Lampiran 4
Tabel 4.4 memperlihatkan bahwa hasil estimasi dari regresi
129
data panel dengan menggunakan PLS, dimana R-Squared yang
diperoleh sebesar 0,250395, artinya sebesar 25,03% variabel
Harga Beras pada 32 Provinsi di Indonesia dapat dijelaskan oleh
Produksi Beras, Impor Beras dan Konsumsi Beras. Sedangkan
74,97% variabel Harga Beras dijelaskan oleh variabel lain yang
tidak termasuk dalam penelitian ini.
e. FEM vs REM (Uji Hausman)
Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui model data panel
yang sesuai dalam penelitian antara FEM dan REM. Pengujian ini
dengan cara membandingkan nilai Chi-Square statistik dengan
nilai Chi-Square tabel. Sebelum membandingkan, maka dibuat
hipotesis terlebih dahulu yaitu sebagai berikut:
H0: Model Random Effect
Ha: Model Fixed Effect
Dari hasil regresi dengan E-Views 7.0 melalui Uji Hausman,
diperoleh hasil sebagai berikut pada tabel 4.5:
Tabel 4.5
Uji Hausman
Correlated Random Effects - Hausman Test
Equation: RANDOM
Test cross-section random effects
Test Summary Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.
130
Cross-section random 9.724934 3 0.0211
Sumber: Data diolah. Lampiran 5
Dari Tabel 4.5 diatas diperoleh nilai Chi-Square Statistic
adalah 9,724934 dengan nilai Chi-Square tabel dengan d.f.=3 dan
α=5% adalah 7,814728. Sehingga nilai Chi-Square statistik
(9,724934) > Chi-Square tabel (7,814728), maka H0 ditolak dan
Ha diterima. Dari pengujian ini dapat disimpulkan bahwa model
yang tepat dalam penelitian ini adalah Fixed Effect Model.
3. Uji Asumsi Klasik
a. Uji Normalitas
Untuk menguji apakah dalam model penelitian, variabel
pengganggu atau residual berdistribusi dengan normal atau tidak,
dapat diketahui dengan melihat dan membandingkan nilai Jarque-
Bera (JB) dengan nilai Chi-Square tabel. Menurut Winarno (2011:
5.37), “Jika nilai Jarque-Bera (JB) < Chi-Square Tabel, maka data
penelitian berdistribusi normal”. Setelah dilakukan pengujian
dengan menggunakan E-Views 7.0, diperoleh hasil sebagai
berikut:
Gambar 4.5
Histogram-Uji Normalitas
131
Sumber: Lampiran 6
Gambar 4.5 menunjukkan bahwa nilai JB hitung sebesar
5,780233, dan nilai Chi-Square Tabel df(3), α=5% adalah 7,81.
Dengan nilai Chi-Square tabel (7,81) > JB Hitung (5,780233) dan
dapat disimpulkan bahwa data penelitian ini berdistribusi normal.
Selain itu dapat dilihat dari nilai probabilitas yang lebih dari α=5%
(0,05), dengan nilai probabilitas sebesar 0,55570.
b. Uji Multikolinearitas
Pada uji ini dilakukan untuk mengetahui keterkaitan antar
variabel independen (Produksi Beras, Impor Beras dan Konsumsi
Beras), karena apabila terdapat hubungan antar variabel
independen maka data yang akan diteliti akan mengalami masalah
dan akan mempengaruhi hasil penelitian. Menurut Hamja (2012:
23), untuk mengidentifikasi masalah multikolinearitas dapat
132
dilihat dari nilai matriks korelasi, dimana nilainya tidak boleh
kurang dari 0,8.
Tabel 4.6
Matriks Korelasi
PRODUKSIBERAS IMPORBERAS KONSUMSIBERAS
PRODUKSIBERAS 1.000000 0.147007 0.670848
IMPORBERAS 0.147007 1.000000 0.394934
KONSUMSIBERAS 0.670848 0.394934 1.000000
Sumber: Lampiran 7
Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa tidak terdapat masalah
multikolinearitas karena nilai matriks korelasi semua variabel
(Produksi Beras, Impor Beras dan Konsumsi Beras) kurang dari
nilai 0,8 (Hamja, 2012: 23).
c. Uji Heteroskedastisitas
Masalah heteroskedastisitas dapat dilihat dengan banyak cara
salah satunya dengan melihat Uji Park dan Uji Glejser. Adapun uji
park adalah uji yang menjadikan ln(residu2) menjadi variabel
dependen dan variabel independen diuji bersamanya. Adapun hasil
analisisnya sebagai berikut:
Tabel 4.7
Uji Park
Dependent Variable: LOG(RES2)
Method: Panel Least Squares
Date: 06/25/15 Time: 09:12
Sample (adjusted): 2009 2013
Periods included: 5
133
Cross-sections included: 32
Total panel (balanced) observations: 160 Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 2.542202 1.185842 2.143794 0.0336
PRODUKSIBERAS -0.342190 0.189987 -1.801124 0.0736
D(IMPORBERAS) 0.145916 0.083992 1.737259 0.0843
D(KONSUMSIBERAS) -52.03160 28.90227 -1.800260 0.0738 R-squared 0.042626 Mean dependent var 0.238258
Adjusted R-squared 0.024215 S.D. dependent var 2.028726
S.E. of regression 2.004013 Akaike info criterion 4.252862
Sum squared resid 626.5065 Schwarz criterion 4.329742
Log likelihood -336.2290 Hannan-Quinn criter. 4.284080
F-statistic 2.315243 Durbin-Watson stat 1.740147
Prob(F-statistic) 0.077959
Sumber: Lampiran 8
Pada tabel 4.7 terlihat bahwa nilai probabilitas variabel
Produksi Beras, Impor Beras dan Konsumsi Beras tidak signifikan,
yaitu probabilitas lebih dari α=5% (0,05). Maka data penelitian ini
dapat disimpulkan terbebas dari Heteroskedastisitas.
Untuk memperkuat hasil analisa agar hasil lebih akurat maka
dilakukan uji selanjutnya dengan uji glejser. Uji glejser sendiri
memiliki kemiripan dengan uji park namun letak perbedaannya
adalah variabel dependennya. Bila uji park menggunakan
ln(residu2), uji glejser menggunakan absolut residual sebagai
variabel dependennya. Adapun hasil analisisnya sebagai berikut:
Tabel 4.8
Uji Glejser
Dependent Variable: REABS
Method: Panel Least Squares
134
Date: 06/25/15 Time: 09:15
Sample (adjusted): 2009 2013
Periods included: 5
Cross-sections included: 32
Total panel (balanced) observations: 160 Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 0.928921 0.738119 1.258498 0.2101
PRODUKSIBERAS 0.090175 0.118256 0.762538 0.4469
D(IMPORBERAS) -0.000310 0.052280 -0.005929 0.9953
D(KONSUMSIBERAS) 15.72775 17.99000 0.874250 0.3833 R-squared 0.006315 Mean dependent var 1.545626
Adjusted R-squared -0.012794 S.D. dependent var 1.239479
S.E. of regression 1.247383 Akaike info criterion 3.304654
Sum squared resid 242.7303 Schwarz criterion 3.381533
Log likelihood -260.3723 Hannan-Quinn criter. 3.335872
F-statistic 0.330465 Durbin-Watson stat 2.013620
Prob(F-statistic) 0.803329
Sumber: Lampiran 9
Pada tabel 4.8 diketahui bahwa nilai probabilitas variabel
Produksi Beras, Impor Beras dan Konsumsi Beras tidak signifikan,
yaitu probabilitas lebih dari α=5% (0,05). Maka data penelitian ini
dapat disimpulkan terbebas dari Heteroskedastisitas.
d. Uji Autokorelasi
Masalah autokorelasi dapat dilihat dari nilai Durbin Watson
(DW), dalam penelitian ini menggunakan FEM dan diperoleh nilai
DW sebesar 1,520538 seperti yang dibawah ini.
Tabel 4.9
Uji Autokorelasi sebelum Cross section weight
Durbin-Watson stat 1.520538
Sumber: Data terlampir. Lampiran 2
135
Dengan nilai 1,520538 maka dapat diketahui bahwa
autokorelasi tidak dapat disimpulkan karena berada pada angka
1,34-1,54. Oleh karena itu dilakukan estimasi kembali dengan
menggunakan cross section weight dan masalah autokorelasi dapat
teratasi. Adapun uji autokorelasi setelah dilakukan Cross section
weight adalah sebagai berikut:
Tabel 4.10
Uji Autokorelasi sesudah Cross section weight
Durbin-Watson stat 2.007921
Sumber: Data terlampir. Lampiran 10
Setelah dilakukan Cross section weight diperoleh nilai durbin
Watson (DW) sebesar 2,007921. Karena nilai DW lebih besar dari
1,54 (DW> 1,54) dan juga nilai DW kurang dari 2,15 (DW<2,15)
maka dapat disimpulkan bahwa dalam model penelitian ini
terbebas dari autokorelasi.
4. Pengujian Hipotesis
Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui hipotesis yang telah
ditetapkan diterima atau ditolak secara statistik. Pengujian statistik ini
dilakukan dengan uji F, uji T, uji R2 dan analisis Cross section effects.
Adapun model penelitian yang digunakan merupakan regresi data panel
dengan menggunakan Fixed Effect Model, yang dapat dijelaskan
dengan persamaan sebagai berikut:
136
𝐿𝑜𝑔(𝐻𝑎𝑟𝑔𝑎𝐵𝑒𝑟𝑎𝑠) = 3,661787 +
0,049593(𝐿𝑜𝑔(𝑃𝑟𝑜𝑑𝑢𝑘𝑠𝑖𝐵𝑒𝑟𝑎𝑠))𝑡−1 −
0,004656 𝐷(𝐿𝑜𝑔(𝐼𝑚𝑝𝑜𝑟𝐵𝑒𝑟𝑎𝑠)) −
9,123178 𝐷(𝐿𝑜𝑔(𝐾𝑜𝑛𝑠𝑢𝑚𝑠𝑖𝐵𝑒𝑟𝑎𝑠) + 𝜀
Dimana:
HargaBeras : Harga eceran rata-rata beras
ProduksiBeras : Total Produksi Beras
ImporBeras : Total Impor Beras
KonsumsiBeras : Total Konsumsi Beras
ε : error term
Tabel 4.11
Hasil Regresi dengan FEM
Variable Coefficient C 3.661787
PRODUKSIBERAS 0.049593
D(IMPORBERAS) -0.004656
D(KONSUMSIBERAS) -9.123178
Sumber: Data diolah (Lampiran 3)
a. Uji T dan Interpretasi Hasil Analisis
Pengujian ini dilakukan untuk melihat apakah variabel
independen (Produksi Beras, Impor Beras dan Konsumsi Beras)
berpengaruh secara parsial (individu) terhadap variabel dependen
(Harga Beras). Dengan kata lain, uji ini untuk melihat pengaruh
masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen.
137
Kemudian membandingkan masing-masing nilai t-statistik dari
hasil regresi dengan nilai t-tabel dan disimpulkan dengan hipotesis.
Pada tingkat signifikansi α=5%, maka diperoleh t-tabel 1,975288.
Setelah dilakukan regres data dengan menggunakan E-Views 7.0
diperoleh nilai t-statistik sebagai berikut:
Tabel 4.12
Hasil Uji T
Variabel t-Statistik Probabilitas
ProduksiBeras 0.746428 0.4568
ImporBeras -1.982398 0.0496
KonsumsiBeras -9.631158 0.0000
Sumber: Data terlampir. Lampiran 3
1) Produksi Beras
Setelah melihat pada hasil di tabel 4.12 diketahui bahwa t-
Statistik dari produksi beras sebesar 0,746428, sedangkan
nilai t-Tabel 1,975288.
Dengan hipotesis:
Ho : β = 0, berarti tidak ada pengaruh signifikan dari variabel
Produksi Beras terhadap variabel Harga Beras secara parsial
(terpisah).
Ha : β ≠ 0, berarti ada pengaruh yang signifikan dari variabel
Produksi Beras terhadap variabel Harga Beras secara parsial
(terpisah).
138
Karena t-statistik (0,746428) < t-tabel (1,975288) yang berarti
Ho diterima. Maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada
pengaruh yang signifikan antara variabel Produksi Beras
dengan variabel Harga Beras secara parsial. Hasil ini
diperkuat dengan probabilitas Produksi Beras (0,4568) >
tingkat signifikansi yang digunakan yaitu sebesar 5% (0,05).
Maka dapat disimpulkan bahwa variabel Produksi Beras tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap variabel Harga Beras.
2) Impor Beras
Setelah melihat pada hasil di tabel 4.12 diketahui bahwa t-
Statistik pada variabel Impor Beras diketahui sebesar -
1,982398, sedangkan nilai t-Tabel 1,975288.
Dengan hipotesis:
Ho : β = 0, berarti tidak ada pengaruh signifikan dari variabel
Impor Beras terhadap variabel Harga Beras secara parsial
(terpisah).
Ha : β ≠ 0, berarti ada pengaruh yang signifikan dari variabel
Impor Beras terhadap variabel Harga Beras secara parsial
(terpisah).
Karena t-statistik (-1,982398) > t-tabel (1,975288) yang
berarti Ho ditolak dan Ha diterima. Maka dapat disimpulkan
139
bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara variabel
Impor Beras dengan variabel Harga Beras secara parsial. Hasil
ini diperkuat dengan probabilitas Impor Beras (0,0496) <
tingkat signifikansi yang digunakan yaitu sebesar 5% (0,05).
Maka dapat disimpulkan bahwa variabel Impor Beras
berpengaruh secara signifikan terhadap variabel Harga Beras.
3) Konsumsi Beras
Setelah melihat pada hasil di tabel 4.12 diketahui bahwa t-
Statistik pada variabel Konsumsi Beras diketahui sebesar -
9,631156, sedangkan nilai t-Tabel 1,975288.
Dengan hipotesis:
Ho : β = 0, berarti tidak ada pengaruh signifikan dari variabel
Konsumsi Beras terhadap variabel Harga Beras secara parsial
(terpisah).
Ha : β ≠ 0, berarti ada pengaruh yang signifikan dari variabel
Konsumsi Beras terhadap variabel Harga Beras secara parsial
(terpisah).
Karena t-statistik (-9,631156) > t-tabel (1,975288) yang berarti
Ho ditolak dan Ha diterima. Maka dapat disimpulkan bahwa
terdapat pengaruh variabel Konsumsi Beras dengan variabel
Harga Beras secara parsial. Hasil ini diperkuat dengan
140
probabilitas Konsumsi Beras (0,0000) < tingkat signifikansi
yang digunakan yaitu sebesar 5% (0,05). Maka dapat
disimpulkan bahwa variabel Konsumsi Beras berpengaruh
secara signifikan dengan variabel Harga Beras.
b. Uji F dan Interpretasi Hasil Analisis
Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui dan melihat
pengaruh antara variabel independen (Produksi Beras, Impor Beras
dan Konsumsi Beras) terhadap variabel dependen (Harga Beras)
secara simultan atau bersama-sama. Dari hasil regresi diperoleh
nilai F-Statistik sebesar 6,828576. Pada tingkat signifikansi α =
5%, k = 4, n = 160, sehingga diperoleh nilai F-Tabel dengan nilai
df yaitu 2,429625.
Tabel 4.13
Hasil Uji F
F-statistic 6.828576
Prob(F-statistic) 0.000000
Sumber: Data terlampir. Lampiran 3
Dengan hipotesis:
Ho : β = 0, berarti tidak ada pengaruh signifikan dari variabel
Produksi Beras, Impor Beras dan Konsumsi Beras terhadap
variabel Harga Beras secara simultan (bersama-sama).
Ha : β ≠ 0, berarti ada pengaruh yang signifikan dari variabel
141
Produksi Beras, Impor Beras dan Konsumsi Beras terhadap
variabel Harga Beras secara simultan (bersama-sama).
Diketahui bahwa nilai F-Statistik (6,828576) > F-Tabel
(2,429625) maka dapat disimpulkan bahwa variabel independen
(Produksi Beras, Impor Beras dan Konsumsi Beras) berpengaruh
signifikan secara bersama-sama atau simultan terhadap variabel
dependen (Harga Beras).
c. Uji Koefisien Determinasi (R2) dan Interpretasi Hasil Analisis
Berdasarkan pengolahan data yang dilakukan dengan
menggunakan E-Views 7.0, diperoleh nilai R2 sebesar 0,650028.
Nilai ini menjelaskan bahwa 65% variabel Harga Beras pada 32
Provinsi di Indonesia mampu dijelaskan oleh variabel Produksi
Beras, Impor Beras dan Konsumsi Beras. Sedangkan 35% variabel
Harga Beras dapat dijelaskan oleh variabel lain yang tidak
termasuk dalam penelitian ini.
d. Cross-section Effect dan Interpretasi Hasil Analisis
Tabel 4.14
Cross-section Effect 32 Provinsi di Indonesia
No. PROVINSI Effect
1. Aceh -0.011039
2 Sumut -0.085673
3 Sumbar 7.70E-05
4 Riau 0.094277
5 Jambi 0.002439
142
6 Sumsel -0.068065
7 Bengkulu -0.022915
8 Lampung -0.048003
9 Babel 0.078552
10 Kepri 0.310914
11 DKI 0.141375
12 Jabar -0.085053
13 Jateng -0.141300
14 DIY -0.080389
15 Jatim -0.148472
16 Banten -0.074409
17 Bali -0.015685
18 NTB -0.126876
19 NTT 0.006574
20 Kalbar 0.018033
21 Kalteng 0.086404
22 Kalsel -0.013323
23 Kaltim 0.052072
24 Sulut -0.029852
25 Sulteng -0.070761
26 Sulsel -0.146062
27 Sultengg -0.032371
28 Gorontalo -0.003525
29 Maluku 0.071943
30 Malut 0.104690
31 Papua 0.130087
32 Papbar 0.106336
Sumber: Lampiran 11
Dari tabel 4.14 terlihat bahwa 32 Provinsi di Indonesia
memiliki pengaruh individu yang berbeda-beda untuk setiap
perubahan pada jumlah Produksi Beras, Impor Beras dan
Konsumsi Beras.
1) Provinsi Aceh
Apabila terjadi perubahan sebesar 1% pada Produksi Beras,
143
Impor Beras dan Konsumsi Beras baik antar daerah maupun
antar waktu, maka Provinsi Aceh akan mendapatkan pengaruh
individu terhadap Harga Beras sebesar -0,01%.
2) Provinsi Sumatera Utara
Apabila terjadi perubahan sebesar 1% pada Produksi Beras,
Impor Beras dan Konsumsi Beras baik antar daerah maupun
antar waktu, maka Provinsi Sumatera Utara akan mendapatkan
pengaruh individu terhadap Harga Beras sebesar -0,08%.
3) Provinsi Sumatera Barat
Apabila terjadi perubahan sebesar 1% pada Produksi Beras,
Impor Beras dan Konsumsi Beras baik antar daerah maupun
antar waktu, maka Provinsi Sumatera Barat akan mendapatkan
pengaruh individu terhadap Harga Beras sebesar 7,70%.
Pengaruh individu yang sangat tinggi pada Provinsi Sumatera
Barat disebabkan oleh banyak hal. Adapun hal-hal tersebut
adalah Provinsi Sumatera Barat mencapai percepatan tanam
padi, dengan angka target tanam padi pada Bulan Maret sudah
melampaui 1,14 % dari normal (Website Dinas Tanaman
Pangan Provinsi Sumatera Barat; Judul : Kementan Puji
Sumbar dalam Percepatan Tanam Padi, 10 April 2015) selain
itu, pada Provinsi Sumatera Barat juga memiliki irigasi yang
144
baik, hal ini ditunjukkan salah satunya pada Daerah Irigasi
Limau Manis Kota Padang. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Novi Afrianti (Analisis Partisipasi Petani Dalam
Pengelolaan Irigasi Di Daerah Irigasi Limau Manis Kota
Padang Sumatera Barat, Jurnal Fakultas Pertanian Universitas
Andalas; 2011: 55) menunjukkan bahwa partisipasi petani pada
Daerah Irigasi Limau Manis Kota Padang dalam hal
pengelolaan irigasi masih pada kategori sedang. Dimana petani
yang mengelola irigasi masih cukup banyak dan sadar akan
pentingnya mengelola irigasi yang baik agar memperoleh hasil
panen yang lebih baik lagi. Hal lain yang mempengaruhi
Provinsi Sumatera Barat mendapatkan pengaruh individu yang
sangat besar adalah kebiasaan masyarakat Sumatera Barat,
khususnya dari suku Minangkabau menjadikan nasi atau beras
yang sudah dimasak dengan direbus sebagai makan pokoknya.
Bahkan ada salah satu ungkapan yang sering didengar dalam
suku Minangkabau (suku terbesar di Provinsi Sumatera Barat)
adalah “bialah makan samba lado asal nasinyo lamak” (artinya
biarlah makan dengan sambal asal nasinya enak). Pernyataan ini
menunjukkan begitu pentingnya nasi bagi orang Minangkabau
(Erda Fitriani; Pola Kebiasaan Makan Orang Lanjut Usia (Studi
145
Kasus: Penderita Penyakit Hipertensi Sukubangsa
Minangkabau di Jakarta); Humanus Vol.XI No.2 Th.2012:
138).
4) Provinsi Riau
Apabila terjadi perubahan sebesar 1% pada Produksi Beras,
Impor Beras dan Konsumsi Beras baik antar daerah maupun
antar waktu, maka Provinsi Riau akan mendapatkan pengaruh
individu terhadap Harga Beras sebesar 0,09%.
5) Provinsi Jambi
Apabila terjadi perubahan sebesar 1% pada Produksi Beras,
Impor Beras dan Konsumsi Beras baik antar daerah maupun
antar waktu, maka Provinsi Jambi akan mendapatkan pengaruh
individu terhadap Harga Beras sebesar 0,002%.
6) Provinsi Sumatera Selatan
Apabila terjadi perubahan sebesar 1% pada Produksi Beras,
Impor Beras dan Konsumsi Beras baik antar daerah maupun
antar waktu, maka Provinsi Sumatera Selatan akan
mendapatkan pengaruh individu terhadap Harga Beras sebesar
-0,06%.
7) Provinsi Bengkulu
Apabila terjadi perubahan sebesar 1% pada Produksi Beras,
146
Impor Beras dan Konsumsi Beras baik antar daerah maupun
antar waktu, maka Provinsi Bengkulu akan mendapatkan
pengaruh individu terhadap Harga Beras sebesar -0,02%.
8) Provinsi Lampung
Apabila terjadi perubahan sebesar 1% pada Produksi Beras,
Impor Beras dan Konsumsi Beras baik antar daerah maupun
antar waktu, maka Provinsi Lampung akan mendapatkan
pengaruh individu terhadap Harga Beras sebesar -0,04%.
9) Provinsi Bangka Belitung
Apabila terjadi perubahan sebesar 1% pada Produksi Beras,
Impor Beras dan Konsumsi Beras baik antar daerah maupun
antar waktu, maka Provinsi Bangka Belitung akan mendapatkan
pengaruh individu terhadap Harga Beras sebesar 0,07%.
10) Provinsi Kepulauan Riau
Apabila terjadi perubahan sebesar 1% pada Produksi Beras,
Impor Beras dan Konsumsi Beras baik antar daerah maupun
antar waktu, maka Provinsi Kepulauan Riau akan mendapatkan
pengaruh individu terhadap Harga Beras sebesar 0,31%.
11) Provinsi DKI Jakarta
Apabila terjadi perubahan sebesar 1% pada Produksi Beras,
Impor Beras dan Konsumsi Beras baik antar daerah maupun
147
antar waktu, maka Provinsi DKI Jakarta akan mendapatkan
pengaruh individu terhadap Harga Beras sebesar 0,14%.
12) Provinsi Jawa Barat
Apabila terjadi perubahan sebesar 1% pada Produksi Beras,
Impor Beras dan Konsumsi Beras baik antar daerah maupun
antar waktu, maka Provinsi Jawa Barat akan mendapatkan
pengaruh individu terhadap Harga Beras sebesar -0,08%.
13) Provinsi Jawa Tengah
Apabila terjadi perubahan sebesar 1% pada Produksi Beras,
Impor Beras dan Konsumsi Beras baik antar daerah maupun
antar waktu, maka Provinsi Jawa Tengah akan mendapatkan
pengaruh individu terhadap Harga Beras sebesar -0,14%.
14) Provinsi DI Yogyakarta
Apabila terjadi perubahan sebesar 1% pada Produksi Beras,
Impor Beras dan Konsumsi Beras baik antar daerah maupun
antar waktu, maka Provinsi DI Yogyakarta akan mendapatkan
pengaruh individu terhadap Harga Beras sebesar -0,08%.
15) Provinsi Jawa Timur
Apabila terjadi perubahan sebesar 1% pada Produksi Beras,
Impor Beras dan Konsumsi Beras baik antar daerah maupun
antar waktu, maka Provinsi Jawa Timur akan mendapatkan
148
pengaruh individu terhadap Harga Beras sebesar -0,14%.
16) Provinsi Banten
Apabila terjadi perubahan sebesar 1% pada Produksi Beras,
Impor Beras dan Konsumsi Beras baik antar daerah maupun
antar waktu, maka Provinsi Banten akan mendapatkan
pengaruh individu terhadap Harga Beras sebesar -0,07%.
17) Provinsi Bali
Apabila terjadi perubahan sebesar 1% pada Produksi Beras,
Impor Beras dan Konsumsi Beras baik antar daerah maupun
antar waktu, maka Provinsi Bali akan mendapatkan pengaruh
individu terhadap Harga Beras sebesar -0,01%.
18) Provinsi Nusa Tenggara Barat
Apabila terjadi perubahan sebesar 1% pada Produksi Beras,
Impor Beras dan Konsumsi Beras baik antar daerah maupun
antar waktu, maka Provinsi Nusa Tenggara Barat akan
mendapatkan pengaruh individu terhadap Harga Beras sebesar
-0,12%.
19) Provinsi Nusa Tenggara Timur
Apabila terjadi perubahan sebesar 1% pada Produksi Beras,
Impor Beras dan Konsumsi Beras baik antar daerah maupun
antar waktu, maka Provinsi Nusa Tenggara Timur akan
149
mendapatkan pengaruh individu terhadap Harga Beras sebesar
0,006%.
20) Provinsi Kalimantan Barat
Apabila terjadi perubahan sebesar 1% pada Produksi Beras,
Impor Beras dan Konsumsi Beras baik antar daerah maupun
antar waktu, maka Provinsi Kalimantan Barat akan
mendapatkan pengaruh individu terhadap Harga Beras sebesar
0,01%.
21) Provinsi Kalimantan Tengah
Apabila terjadi perubahan sebesar 1% pada Produksi Beras,
Impor Beras dan Konsumsi Beras baik antar daerah maupun
antar waktu, maka Provinsi Kalimantan Tengah akan
mendapatkan pengaruh individu terhadap Harga Beras sebesar
0,08%.
22) Provinsi Kalimantan Selatan
Apabila terjadi perubahan sebesar 1% pada Produksi Beras,
Impor Beras dan Konsumsi Beras baik antar daerah maupun
antar waktu, maka Provinsi Kalimantan Selatan akan
mendapatkan pengaruh individu terhadap Harga Beras sebesar
-0,01%.
23) Provinsi Kalimantan Timur
150
Apabila terjadi perubahan sebesar 1% pada Produksi Beras,
Impor Beras dan Konsumsi Beras baik antar daerah maupun
antar waktu, maka Provinsi Kalimantan Timur akan
mendapatkan pengaruh individu terhadap Harga Beras sebesar
0,05%.
24) Provinsi Sulawesi Utara
Apabila terjadi perubahan sebesar 1% pada Produksi Beras,
Impor Beras dan Konsumsi Beras baik antar daerah maupun
antar waktu, maka Provinsi Sulawesi Utara akan mendapatkan
pengaruh individu terhadap Harga Beras sebesar -0,02%.
25) Provinsi Sulawesi Tengah
Apabila terjadi perubahan sebesar 1% pada Produksi Beras,
Impor Beras dan Konsumsi Beras baik antar daerah maupun
antar waktu, maka Provinsi Sulawesi Tengah akan
mendapatkan pengaruh individu terhadap Harga Beras sebesar
-0,07%.
26) Provinsi Sulawesi Selatan
Apabila terjadi perubahan sebesar 1% pada Produksi Beras,
Impor Beras dan Konsumsi Beras baik antar daerah maupun
antar waktu, maka Provinsi Sulawesi Selatan akan
mendapatkan pengaruh individu terhadap Harga Beras sebesar
151
-0,14%.
27) Provinsi Sulawesi Tenggara
Apabila terjadi perubahan sebesar 1% pada Produksi Beras,
Impor Beras dan Konsumsi Beras baik antar daerah maupun
antar waktu, maka Provinsi Sulawesi Tenggara akan
mendapatkan pengaruh individu terhadap Harga Beras sebesar
-0,03%.
28) Provinsi Gorontalo
Apabila terjadi perubahan sebesar 1% pada Produksi Beras,
Impor Beras dan Konsumsi Beras baik antar daerah maupun
antar waktu, maka Provinsi Gorontalo akan mendapatkan
pengaruh individu terhadap Harga Beras sebesar -0,003%.
29) Provinsi Maluku
Apabila terjadi perubahan sebesar 1% pada Produksi Beras,
Impor Beras dan Konsumsi Beras baik antar daerah maupun
antar waktu, maka Provinsi Maluku akan mendapatkan
pengaruh individu terhadap Harga Beras sebesar 0,07%.
30) Provinsi Maluku Utara
Apabila terjadi perubahan sebesar 1% pada Produksi Beras,
Impor Beras dan Konsumsi Beras baik antar daerah maupun
antar waktu, maka Provinsi Maluku Utara akan mendapatkan
152
pengaruh individu terhadap Harga Beras sebesar 0,1%.
31) Provinsi Papua
Apabila terjadi perubahan sebesar 1% pada Produksi Beras,
Impor Beras dan Konsumsi Beras baik antar daerah maupun
antar waktu, maka Provinsi Papua akan mendapatkan pengaruh
individu terhadap Harga Beras sebesar 0,13%.
32) Provinsi Papua Barat
Apabila terjadi perubahan sebesar 1% pada Produksi Beras,
Impor Beras dan Konsumsi Beras baik antar daerah maupun
antar waktu, maka Provinsi Papua Barat akan mendapatkan
pengaruh individu terhadap Harga Beras sebesar 0,1%.
5. Analisis Hasil Wawancara
Dunia perberasan merupakan salah satu elemen penting dalam
berkehidupan di Indonesia khususnya saat ini, hal ini tergambarkan
dengan besarnya konsumsi beras per kapita kita paling banyak di
Indonesia yaitu menurut Departemen Pertanian Republik Indonesia
sebesar 85,514 Kg di tahun 2013. Hal ini menyebabkan beras menjadi
tumpuan konsumsi masyarakat Indonesia, padahal kemampuan produksi
kita tak selalu dapat memenuhi kebutuhan nasional akan beras. Fenomena
ini dapat diungkap berdasarkan hasil wawancara penulis dengan beberapa
narasumber yang mengetahui secara jelas mengenai dunia perberasan.
153
a. Produksi Beras
Produksi beras merupakan salah satu penopang konsumsi masyarakat
akan produk beras di Indonesia. Pemerintah mendukung adanya produksi
beras di Indonesia guna memenuhi kebutuhan nasional. Hal ini dapat
dijelaskan oleh salah satu sumber penulis di Badan Ketahanan Pangan
sebagai berikut:
“…Ada strategi yang dilakukan oleh Pemerintah dalam mendukung
peningkatan produksi beras di Indonesia sebagaimana tertuang dalam
Rencana Strategis Kementerian Pertanian (2015-2019) yaitu:
Peningkatan Luas Areal Penanaman dan Peningkatan Produksi Beras
itu sendiri…”
a. Langkah operasional dalam Peningkatan Luas areal
Penanaman adalah:
- Pemanfaatan dan pencetakan lahan baku sawah baru 1 juta
hektar dalam lima tahun (2015-2019).
- Optimasi lahan 1 juta hektar dalam lima tahun (2015-2019).
- Penambahan lahan kering 1 juta hektar untuk kedelai dan
jagung dalam lima tahun.
- Peningkatan indeks pertanaman (IP).
- Pemanfaatan lahan terlantar.
154
- Bantuan alat dan mesin pertanian; 100 ribu traktor, 1500 rice
transplanter, 30 ribu pompa air.
- Pengembangan dan rehabilitasi jaringan irigasi tersier 3 juta
hektar.
- Dukungan peralatan pasca panen sekitar 1000 unit.
b. Langkah operasional dalam Peningkatan Produktivitas
adalah:
- Penerapan pengelolaan tanaman terpadu padi sekitar 700
ribu ha/tahun
- Penyediaan benih unggul padi untuk 3 juta ha/tahun
- Subsidi dan penyediaan pupuk
- Bantuan pengolahan pupuk organik sebanyak 1000 unit
- Pembangunan 1000 desa mandiri benih
- Pemberdayaan penangkar benih 175 penangkar/tahun
- Pendampingan desa mitra sebanyak 2,5 juta WKPP
- Penerapan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim
- Pelatihan teknis pertanian 50 ribu orang
- Pengawalan dan pendampingan penyuluh pada 24 ribu
lokasi
- Penerapan pengendalian hama dan penyakit
- Revitalisasi penggilingan padi sekitar 10 ribu unit
155
- Pemanfaatan kalender tanam.
Sedangkan menurut sumber penulis di Ditjen Tanaman Pangan adalah
sebagai berikut:
“…Secara umum yang dilakukan pemerintah adalah Penguatan
SDM (dengan menggandeng TNI), Kelembagaan dan Pembiayaan
bagi produsen beras…”
Beras tentulah memiliki alur distribusi yang jelas, dari petani sebagai
Produsen hingga masyarakat yang menjadi Konsumen. Adapun
penjelasannya menurut sumber penulis dari Badan Ketahanan Pangan
sebagai berikut:
“…Alur Distribusi Beras dari Petani Produsen hingga konsumen
pada umumnya di Indonesia terdiri dari lima anggota rantai pasok,
meliputi petani padi/beras, penggilingan padi/pedagang pengumpul,
pedagang grosir, pedagang pengecer, dan konsumen akhir. Secara
singkat alur distribusi Beras sebagaimana dalam gambar berikut
ini…”
Gambar 4.6
Alur Distribusi Beras di Indonesia
156
Bila dalam produksi berasnya bagus, maka diharapkan kondisi
perberasan di Indonesia akan lebih baik. Namun, bila produksi berasnya
sedang tidak bagus, maka dimungkinkan akan terjadi kondisi yang tidak
baik pada perberasan di Indonesia. Namun berdasarkan Badan Pusat
Statistik produktifitas produksi beras berada di kisaran angka 0,5 atau
50%, fenomena ini dijelaskan oleh Bapak Bustanul Arifin sebagai berikut:
“…Satu dia (Petani) miskin, kemudian karena miskin luas
tanahnya sempit, luas lahan sempit itu terkena betul-betul
inferiority complex, dan dia merasa kecil, dan lahannya sempit
mereka juga bermasalah dengan efektifitas produksi yang tidak
efisien. Dalam konteks berapapun kita push untuk intensifikasi
ngga dapat, dalam konteks mereka tidak berada pada titik optimal.
Bila anda memahami fungsi produksi, kombinasi input-outputnya
dalam konten yang sekarang tidak tercapai titik-titik yang optimal.
Nah dari situ mau bagaimanapun kita push peningkatan
157
produktifitasnya ton per hektarnya untuk meningkatkan
kesejahteraan petani itu sulit sehingga mereka berada pada kondisi
yang betul-betul tidak berada di kondisi ideal…”
Sedangkan menurut sumber dari Badan Ketahanan Pangan
menyatakan bahwa permasalahan yang dihadapi oleh petani dan produsen
beras adalah sebagai berikut:
“…Beberapa permasalahan yang dihadapi oleh petani selaku
produsen beras adalah: 1) Lebih dari 70% petani di Indonesia
adalah petani kecil/gurem. 2) Penguasaan lahan rata-rata 0,25 ha
di jawa atau 0,5 di luar jawa. Bila petani juga mempunyai lahan
kering/tegalan, maka luasnya sekitar 0,5 ha di Jawa dan 1,0 ha di
luar jawa. 3) Konversi lahan pertanian ke non-pertanian seluas
100-110 ribu ha/tahun. 4) SDM rumah tangga petani 10 tahun
terakhir menurun dari 31 juta menjadi 26 juta. 5) Saluran irigasi
rusak sebesar 46,03%. 6) Pemberian subsidi benih dan pupuk
yang tidak tepat sasaran baik dari sisi jumlah, kualitas dan waktu.
7) Kualitas panen memiliki mutu rendah dan kehilangan hasil
tinggi yaitu 10,82%. 8) Adanya dampak perubahan iklim
kekeringan (el-nino), banjir (la nina), dan jadwal tanam
maju/mundur. 9) Skim pembiayaan belum berpihak pada
petani…”
158
Sedangkan menurut sumber penulis di Ditjen Tanaman Pangan
menyatakan bahwa permasalahan yang dihadapi petani dan produsen
beras adalah sebagai berikut:
“…Permasalahan yang dihadapi petani adalah a) Peningkatan
Produktivitas: 1) Tingkat adopsi teknologi masih lemah -
pertanian budaya, pendidikan rendah, modal lemah, penyuluh
kurang, 2) Ketersediaan benih yang cocok/pas (spesifik lokasi)
terbatas, 3) Daya beli petani yang rendah dan 4) Akses petani ke
permodalan lemah. b) Peningkatan Luas Panen: 1) Konversi lahan
sawah, 2) Kompetisi antar komoditas, 3) Rusaknya lingkungan
(DAS) dan infrakstruktur dan 4) Belum sinerginya pusat dan
daerah (perbedaan prioritas dan kepentingan)…”
Kenyataan ini diperkuat dengan ketersediaan pupuk yang terlambat,
harga tidak terjangkau serta ketiadaan penyuluh dalam membantu petani,
hal ini sesuai dengan pernyataan Bapak Bustanul Arifin sebagai berikut:
“…Kemudian ditambah pupuk sering terlambat, harga tidak
terjangkau, perhatian pemerintah amat sangat rendah dalam
bentuk penyuluh tidak ada, kemudian semua masalah muter
disitu…”
Dengan adanya permasalahan seperti ini, dibutuhkan solusi atau
terobosan yang mana digunakan untuk memperbaiki produksi beras di
159
Indonesia adapun terobosan menurut Bapak Bustanul Arifin sebagai
berikut:
“…kalau memang serius membantu petani dan pertanian, skala
usahanya ditingkatkan. Sekarang itu skala usahanya rata-ratanya
0,5 hektar. Kalo mereka penguasaan lahannya masih kecil, seperti
sekarang ya, kita berharap mereka sejahtera kan akan sulit.
Mereka harus ditingkatkan penguasaan lahannya, sehingga anda
perlu mempelajari konsep-konsep mengenai land reform, ya?
Mengenai reformasi pengelolaan agrarian, dan macam-macam
bentuknya, bisa betul-betul diberi lahannya, bisa konsolidasi
lahan; jadi beberapa lahan dijadikan satu dengan pengelolaan
bersama, atau mereka bisa diberikan harapan baru. Diberi harapan
baru itu, karena kalo kita berharap dengan semi intensif atau super
intensif dari lahan yang kecil, dengan daya dukung yang menurun
itu cukup sulit. Nah misalnya, mereka kita ikutkan program
transmigrasi bagi yang tidak memiliki lahan itu masih bisa.
Mereka yang memiliki lahan, saya katakan tadi konsolidasi
dengan tetangganya, lalu dengan konsep share holding dan konsep
manajemen bergilir, itu juga masih mungkin. Nah saya tentu saja
menyarankan hal seperti ini, subject to. Tergantung pada
keseriusan dan keberanian aparatur pemerintah untuk berbuat
160
seperti itu. Kalau kapasitas birokrasi dari pusat dan daerah tidak
mampu melakukan seperti itu, maka tidak akan ada artinya apa-
apa gitu. Jadi mereka orang pemerintahnya harus memiliki
kapasitas melakukan ini. Dan melakukan ini cuk up berat,
gitu…”
Sedangkan terobosan yang harus dilakukan menurut sumber penulis di
Badan Ketahanan Pangan adalah sebagai berikut:
“…Kementerian Pertanian memiliki Program Upaya Khusus
(UPSUS) dalam rangka meningkatlan produksi beras yang
teraplikasikan dalam kegiatan seperti gerakan pengelolaan
penerapan tanaman terpadu, rehabilitasi dan pembangunan
jaringan irigasi tersier, optimalisasi lahan dan System of Rice
Intensification (SRI). Adapun secara rinci terobosan yang
dilakukan adalah: a) Meningkatkan produksi benih/bibit unggul
(kelas benih sumber) oleh Litbang Pertanian dan membina
penangkar di tingkat pedesaan dalam rangka mewujudkan desa
berdaulat benih. b) Penambahan luas tambah tanam. Membangun
embung, perbaikan irigasi primer dan tersier, sumur resapan dan
channel reservoir untuk menjamin keberlangsungan produksi
pangan. c) Menetapkan kebijakan Harga Pembelian Pemerintah
(HPP) gabah/beras melalui Inpres No.5 Tahun 2015 tentang
161
Pengadaan dan Penyaluran Beras. d) Mengendalikan impor
melalui : kebijakan non tariff serta melakukan pengawasan dalam
implementasi. e) Penguatan pendampingan petani untuk adopsi
teknologi dan mitigasi terhadap dampak anomali iklim…”
Sedangkan terobosan yang harus dilakukan menurut sumber penulis
dari Ditjen Tanaman Pangan adalah sebagai berikut:
“…Untuk meningkatkan produksi beras perlu adanya 2 hal
yang perlu ditingkatkan yaitu dari segi Luas Panen dan
Produktivitas. Adapun langkah-langkah yang perlu dilakukan
sebagai berikut: a) Luas Panen adalah: 1) Peningkatan IP
(Rehabilitasi Jaringan Irigasi,TAM/JITUT/JIDES, Pompanisasi,
mekanisasi), 2) Pemanaman di lahan sawah cetak sawah baru, 3)
Inter cropping di lahan perkebunan, kehutanan dll, 4) Penanaman
dalam pot/polybag, 5) Pengembangan food estate, 6) Pemanfaatan
lahan rawa/lebak (utamanya saat musim kemarau). b)
Produktivitas: 1) Penerapan paket teknologi spesifik lokasi (PTT),
2) Pengamanan produksi dari serangan OPT dan DPI, 3)
Pengurangan susut hasil (looses) panen dan pasca panen…”
Harapan mengenai produksi beras di Indonesia pada masa depan
adalah fokuskan pada peningkatan produksi beras bila tercapai kita dapat
mengurusi bagaimana beras kita bisa masuk ke pasar internasional. Hal ini
162
sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Bapak Bustanul Arifin sebagai
berikut:
“…Harapannya tingkatkan produksinya, urus produksi dulu.
Mungkin kita bisa keperdagangan-perdagangan fungsi dari atau
akibat dari produksi-produksi kita. Kalau produksi kita besar, kita
bisa mengurusi bagaimana beras kita masuk ke pasar
internasional, gitu. Jadi itu yang harus dibenahi di awal…”
Sedangkan harapan yang disampaikan oleh sumber penulis dari Badan
Ketahanan Pangan adalah sebagai berikut:
“…Harapannya kedepan, produk beras di Indonesia dapat
dikonsumsi secara massal sebagai beras organik yang ramah
lingkungan dan baik untuk kesehatan tetapi dapat dijangkau oleh
semua kalangan baik dari sisi kualitas maupun dari harga itu
sendiri…”
Sedangkan harapan yang disampaikan oleh sumber penulis dari Ditjen
Tanaman Pangan adalah sebagai berikut:
“…Adapun harapan dimasa depan mengenai produksi beras
adalah dengan dilaksanakannya penerapan teknologi, mekanisasi
sistem pertanian, revitalisasi penggilingan, menciptakan sawah
baru di luar jawa atau food estate, peningkatan indeks pertanaman
(varietas padi umur pendek/genjah, percepatan panen, olah tanah,
163
tanam melalui mekanisasi), pemanfaatan lahan sub optimal (lahan
kering dan rawa) melalui dukungan paket teknologi, pengamanan
puso dari OPT dan DPI. Sehingga dapat diharapkan terjadinya
peningkatan produksi beras di Indonesia…”
b. Impor Beras
Sejalan dengan kemampuan produksi kita yang belum memenuhi
kebutuhan beras nasional, maka diperlukan impor beras. Hal ini
merupakan salah satu dampak dari belum efisiennya produksi beras di
Indonesia. Selain itu, perubahan harga yang sangat tinggi sering terjadi di
waktu-waktu tertentu pada pasar beras, maka diperlukannya impor beras
untuk menekan perubahan harga yang melonjak saat itu. Namun, selain
itu ada banyak mekanisme yang harus dilalui untuk melakukan impor
komoditas beras di Indonesia, Bapak Bustanul Arifin menjelaskan sebagai
berikut:
“…Sebetulnya cukup bebas, untuk beras premium. Untuk
beras-beras kualitas tinggi anda tinggal meminta izin impor, lihat
pengalamannya, kalo disetujui, disetujui. Itu semua orang boleh
melakukan itu. Tapi untuk beras kualitas medium, kualitas
medium itu dengan kualitas 25% patahan itu hanya boleh
dilakukan oleh bulog…”
Selain itu, selama ini dalam pemberitaan di media massa selalu
164
diungkapkan kuota impor. Melihat dinamika seperti itu ternyata beras
tidak memiliki pengaturan kuota dalam impor khususnya beras kualitas
medium yang hanya boleh dilakukan oleh bulog. Pernyataan ini sesuai
dengan apa yang disampaikan oleh Bapak Bustanul Arifin sebagai berikut:
“…Ngga ada walaupun medium, itu ditentukan oleh
pemerintah, namanya bukan kuota. Jadi keputusan pemerintah
untuk melakukan impor itu adalah fully regulated. Jadi fully
regulated itu ngga ada kuota, yang menentukan pemerintah. Kalo
kuota itu berapa banyak yang diinginkan, berapa banyak yang
mengaplikasikan, lalu kita liat apakah tercapai atau tidak baru itu
namanya kuota. Kalau seperti itu tidak karena memang diatur oleh
pemerintah. Dan hanya boleh dilakukan oleh bulog. Karena
dikhawatirkan dapat mempengaruhi keseimbangan di dalam
negeri, gitu…”
Sedangkan menurut sumber penulis dari Badan Ketahanan Pangan
menyatakan bahwa mekanisme impor beras terdapat banyak aturan yang
berlaku, adapun penjelasannya sebagai berikut:
“…Impor beras di Indonesia dari sisi regulasi masih
dimungkinkan manakala produksi domestik tidak mencukupi dan
merupakan upaya terakhir. Sebagaimana tetuang dalam undang-
undang No.18 Tahun 2012 tentang Pangan pada Pasal 14 ayat 2
165
“Dalam hal sumber penyediaan Pangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) belum mencukupi, Pangan dapat dipenuhi dengan
Impor Pangan sesuai dengan kebutuhan”. Secara teknis
pengaturan mekanisme impor beras dibagi dalam dua peraturan
yaitu: a) Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor
51/Permentan/HK.310/4/2014 tentang Rekomendasi Ekspor dan
Impor Beras Tertentu. Regulasi ini mengatur Khusus Beras
tertentu seperti beras Thai Hom Mali, Japonica, Basmati, Ketan
utuh dan lain-lain (hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumen
tertentu seperti rumah makan, hotel, konsulat, kebutuhan
kesehatan/penyandang diabetes, dan lain-lain). b) Peraturan
Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor: 19-
MDAG/PER/3/2014 tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Beras.
Regulasi ini mengatur khusus komoditas beras medium…”
Dalam memasukkan beras melalui jalur impor ada mekanisme yang
harus dilalui dan dipenuhi. Adapun hal-hal yang harus dilalui dan dipenuhi
menurut sumber penulis dari Badan Ketahanan Pangan sebagai berikut:
“…Importir harus memenuhi persyaratan setidaknya: (a)
nomor dan tanggal rekomendasi impor; (b) nama dan alamat
importir; (c) nomor dan tangggal surat permohonan; (d) jenis
beras; (e) volume beras per pelabuhan tujuan/tempat pemasukan;
166
(f) pos tarif/HS; (g) tingkat kepecahan; (h) merek kemasan; (i)
berat per kemasan (untuk jenis Beras Thai Hom Mali, Basmati,
Japonica, Kukus maksimum 10 Kg); (j) Negara asal; (k) tujuan
penggunaan dan/atau pemasaran; (l) pernyataan uji klinis dari
institusi berwenang Negara asal; (m) keterangan kemurnian
varietas untuk jenis Beras Thai Hom Mali, Japonica dan Basmati;
(n) masa berlaku…”
Salah satu alasan atau statement mengapa impor dilakukan untuk
memenuhi kebutuhan konsumsi beras di Indonesia khususnya pada tahun
2008-2013 biasanya terjadi penyaluran untuk beras miskin terhambat,
tiba-tiba harga melonjak, hal ini sesuai dengan pernyataan Bapak Bustanul
Arifin sebagai berikut:
“…Karena ngga cukup produksinya, kalau cukup ngapain
impor? Tahun 2008-2009 ngga ada impor, tahun 2010 ada impor
karena ada masalah dalam stok. Stok itu berpengaruh lho terhadap
impor. Sama, tahun 2010 itu sama keadaannya dengan sekarang.
Presidennya baru, menterinya baru, kan SBY jilid 2, lalu
penyaluran untuk beras miskin terhambat, tiba-tiba harga
melonjak dan baru disitu impor…”
Sedangkan alasan atau statement mengapa impor menjadi salah satu
cara dalam memenuhi kebutuhan konsumsi beras di Indonesia menurut
167
sumber penulis dari Badan Ketahanan Pangan adalah sebagai berikut:
“…Impor beras dilakukan sebagai upaya terakhir pemerintah
manakala cadangan beras nasional dan produksi padi yang
dihasilkan dalam negeri tidak memenuhi jumlah kebutuhan beras
nasional…”
Pengadaan impor beras ternyata memiliki batasan-batasan aturan dan
waktu kapan diperbolehkannya impor. Seperti tidak diperbolehkan impor
satu bulan sebelum panen raya dan dua bulan setelah panen raya.
Pernyataan ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Bapak Bustanul
Arifin sebagai berikut:
“…Jadi sebenarnya sudah ada ketentuannya. Indonesia itu
tidak akan impor satu bulan sebelum panen raya dan dua bulan
setelah panen raya, itu ketentuannya. Nah anda tanya ketentuan
tadi berupa perencanaannya, jadi impor itu tidak akan terjadi satu
bulan sebelum panen raya dan dua bulan setelah panen raya.
Setidaknya empat bulan, jadi saat satu bulan sebelum panen raya,
saat panen raya dan dua bulan setelahnya. Itu ketentuannya maka
pemerintah fully regulated mengatur, itu perencanaannya. Jadi
impor bila dari perkiraan produksi dan manajemen stok tidak
cukup maka impor boleh dilakukan. Kalau produksinya cukup
seharusnya tidak perlu impor, justru kita ekspor, kalau
168
produksinya cukup…”
Sedangkan menurut sumber penulis dari Badan Ketahanan Pangan
menyatakan bahwa ada langkah-langkah yang sedang direncanakan dan
dilaksanakan pemerintah dalam upaya mengurangi impor, adapun
penjelasannya sebagai berikut:
“…Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah dewasa ini
dalam mengurangi bahkan meniadakan impor beras sehingga
terwujud swasembada beras dan kedaulatan pangan adalah
dengan melakukan Program Upaya Khusus (UPSUS) dalam
rangka meningkatkan produksi beras yang teraplikasikan dalam
kegiatan seperti gerakan pengelolaan penerapan tanaman terpadu,
rehabilitasi dan pembangunan jaringan irigasi tersier, optimalisasi
lahan dan System of Rice Intensification (SRI).Berdasarkan
ARAM I yang dirilis oleh BPS pada 1 Juli 2015 bahwa produksi
padi tahun 2015 mengalami peningkatan dibandingkan dengan
tahun 2014. Produksi padi 2015 diramalkan mencapai 75,55 juta
ton gabah kering giling (GKG) mengalami kenaikan 4,70 juta ton
atau 6,64% dibandingkan dengan tahun 2014 yang hanya
mencapau 70,85 juta ton. Mengacu pada angka padi tersebut,
maka diperkirakan pada tahun 2015 ini akan terjadi surplus
produksi beras sebesar 10,572 juta ton. Angka tersebut diperoleh
169
dari hasil perkiraan ketersediaan sebesar 42,477 juta ton dikurangi
kebutuhan sebesar 31,905 juta ton. Dimana asumsi angka
kebutuhan yang digunakan adalah 124,89 kg/kap/tahun dengan
jumlah penduduk sebanyak 255,462 juta jiwa. Belum lagi, surplus
produksi tersebut belum termasuk stok awal tahun sebesar 1,62
juta ton, sehingga surplus total bisa bertambah menjadi 12,192
juta ton. Artinya, secara hitung-hitungan diatas kertas pada tahun
2015 tidak perlu adanya impor beras…”
Harapan impor di masa depan bagi perberasan di Indonesia adalah
dengan produksi yang besar mana mungkin kita impor. Dan bila ada impor
perlu kita atur dengan baik. Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan
oleh Bapak Bustanul Arifin sebagai berikut:
“…Bagi saya ya, sebagai ekonom impor itu nggak apa-apa.
Kalau seorang ekonom melarang impor itu nggak bener, kalau
nggak ada impor pasti bergejolak. Tapi, kita kelola kita atur, sekali
lagi kalo produksi dalam negeri besar mana mungkin kita impor?
Justru itu akibat saja, buktinya kita kelapa sawit kita ekspor karena
produksi kita berlimpah. Orang-orang Malaysia impor ke kita,
semua Negara dunia mengimpor ke kita. Kita push di
produksinya, kita cetak sawah-sawah baru kita dorong kepada
orang bahwa bertani beras itu sangat amat menguntungkan tapi
170
lahannya harus luas, kalau lahannya sempit tidak
menguntungkan…”
Sedangkan harapan mengenai impor beras bagi sumber penulis dari
Badan Ketahanan Pangan adalah sebagai berikut:
“…Dengan berbagai potensi dan daya dukung yang dimiliki
oleh Indonesia, kedepan Indonesia akan lepas dari impor beras
bahkan menjadi lumbung pangan dunia. Hal ini dapat diyakini
seperti halnya wilayah merauke yang dapat dijadikan lumbung
beras nasional. Data menunjukkan bahwa terdapat 2,5 juta hektar
lahan potensial untuk pangan dan 1,9 juta hektar untuk lahan
basah di merauke (Papua)…”
c. Distribusi Beras
Dalam upaya pemenuhan konsumsi beras masyarakat, perlu adanya
distribusi yang baik dan terjangkau sehingga dapat mengurangi beban
biaya distribusi terhadap harga beras. Namun, dengan buruknya sarana
transportasi dan distribusi di Indonesia baik itu pelabuhan, pergudangan,
jembatan, kualitas jalan dan lain sebagainya membuat harga beras saat ini
menjadi tinggi. Kenyataan yang dihadapi dalam distribusi beras di
Indonesia saat ini sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh Bapak Bustanul
Arifin, sebagai berikut:
“…Ya, kembalikan fungsi logistik. Fungsi distribusi perbaiki
171
mulai dari pelabuhan, pergudangan, transportasi, jembatan,
kualitas jalan, disitu. Kalau itu bagus, ngga usah diatur-atur ntar
jalan sendiri. Bila semua itu baik, maka distribusi akan efisien…”
Sedangkan menurut sumber penulis dari Badan Ketahanan Pangan
distribusi beras yang terjadi di Indonesia sudah diatur dalam perundangan
yang berlaku khususnya pada beras miskin (Raskin), adapun
pernyataannya sebagai berikut:
“…Penyediaan dan penyaluran pangan bersubsidi (Raskin)
bagi masyarakat berpendapatan rendah masih menjadi salah satu
strategi Pemerintah untuk mencegah terjadi fluktuasi harga.
Rumah tangga sasaran penerima pangan bersubsidi tidak hanya
Rumah Tangga Miskin (RTS), tetapi juga meliputi Rumah Tangga
Rentan atau Hampir Miskin. Keberhasilan pelaksanaannya
ditentukan sejak dari perencanaan, penganggaran, penyediaan,
penyaluran, monitoring dan evaluasi, pengawasan dan
penanganan pengaduan oleh K/L terkait yang tergabung dalam
Tim Koordinasi Raskin Pusat. Pelaksanaan penyaluran Raskin
harus memenuhi target 6T (Tepat Sasaran, Tepat Harga, Tepat
Jumlah, Tepat Mutu, Tepat Waktu dan Tepat Administrasi).
Dalam pelaksanaannya, pemerintah menugaskan BULOG untuk
menyalurkan Raskin sampai titik distribusi (TD) di seluruh
172
Indonesia. Pemda melanjutkan penyaluran Raskin dari TD sampai
kepada Pemda yang memiliki APBD yang cukup, menyediakan
Raskin Daerah untuk menambah jumlah RTS, subsidi harga tebus
raskin (HTR), pemberdayaan masyarakat melalui padat karya
raskin (PKR) atau “Raskin for Work”, penyaluran Raskin melalui
Warung Desa dan Pokmaskin. Demikian pula penyertaan
perguruan tinggi dan LSM untuk kajian dan pemantauan
pelaksanaan Raskin telah membuka ruang penilaian yang lebih
independen…”
Menjadikan distribusi beras menjadi efisien merupakan salah satu cara
untuk mengatasi kekurangan pada sistem perberasan di Indonesia menurut
penulis. Adapun cara-cara yang harus dilakukan agar distribusi beras
menjadi efisien menurut sumber penulis dari Badan Ketahanan Pangan
adalah sebagai berikut:
“…1) Mengembangkan Cetak Biru Sistem Logistik dan rantai
pasok Beras Nasional. 2) Mengembangkan Manajemen dan
Sistem Logistik Beras Nasional yaitu: a) Grand Strategi
operasional kawasan pengembangan sistem logistik agribisnis
dengan mempertimbangkan sistem logistic agribisnis: Gapoktan
(sub terminal) -> Terminal agribisnis (BUMD) -> market, b)
Gapoktan (sub terminal) agribisnis diharpkan melaksanakan
173
fungsi-fungsi collecting, grading dan packaging, c) Terminal
agribisnis dikaitkan dengan koridor ekonomi nasional (Sumatera,
Jawa, Nusatenggara, Kalimantan, Papua dan lain-lain) dan juga
pembangunan infrastruktur tol laut. 3) Mengembangkan Reposisi
Peran Bulog dalam Konteks Mendukaung efisiensi distribusi
beras yaitu: Saat ini guna memangkas alur distribusi beras dari
petani selaku produsen hingga ke tangan konsumen, Kementerian
Pertanian bekerjasama dengan BULOG sedang merancang
Kegiatan Toko Tani Indonesia (TTI). Secara konseptual kegiatan
ini memberikan jaminan pasar kepada petani dan juga
memberikan harga yang wajar untuk kemudian dijual kepada
BULOG/Mitra BULOG dan selanjutnya didistribusikan kepada
TTI. Diharapkan dengan adanya kegiatan ini selain efisiensi
distribusi pasokan beras sasaran yang ingin dicapai adalah
stabilisasi pasokan dan harga pangan…”
Selain dengan sarana transportasi dan distribusi yang buruk, masalah
yang terjadi dalam distribusi adalah pungutan tidak resmi di mana-mana
dan banyak pencoleng; yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
adalah orang yang melakukan pencurian atau penipuan dengan kekerasan
dengan seseorang. Adapun pernyataan ini sesuai dengan apa yang
disampaikan oleh Bapak Bustanul Arifin sebagai berikut:
174
“…Ya dibalik aja tadi, dari jalan buruk, pelabuhan banyak
yang tidak berfungsi efisien, masalah di kualitas jalan, pungutan
tidak resmi dimana-mana, banyak pencoleng, itu permasalahan
yang terjadi di distribusi…”
Sedangkan menurut sumber penulis dari Badan Ketahanan Pangan
menyatakan bahwa permasalahan pada distribusi beras merupakan pada
mata rantai distribusi yang relatif panjang hingga mencapai 5 anggota
mata rantai, adapun penjelasan lengkapnya adalah sebagai berikut:
“…Mata rantai distribusi beras uang relatif panjang hingga
mencapai 5 anggota rantai pasok menjadikan mekanisme
distribusi beras di Indonesia kurang efisien. Dimana “middleman”
seringkali bertindak memanfaatkan kesempatan untuk
memperoleh keuntungan dari proses tata niaga beras yang
berlangsung. Ditambah lagi hambatan transportasi dan adanya
“pungutan liar” dalam proses perjalanan distribusi dari produsen
ke pedagang menyebabkan harga beras di tingkat konsumsi
menjadi relatif tinggi karena berbagai komponen biaya yang
dikeluarkan dalam distribusi beras harus ditanggung oleh
konsumen. Selain hal tersebut, secara detil permasalahan
distribusi beras di indonesia adalah: (1) infrastruktur distribusi, (2)
sarana dan prasarana pasca panen, (3) pemasaran dan distribusi
175
antar dan keluar daerah dan isolasi daerah mengingat Indonesia
adalah wilayah kepulauan, (4) sistem informasi pasar, (5)
keterbatasan lembaga pemasaran daerah, (6) hambatan distribusi
karena pungutan resmi dan tidak resmi, (7) adanya kasus
penimbunan beras oleh spekulan, (8) adanya oenurunan akses
beras karena terkena bencana…”
d. Konsumsi Beras
Beras yang sampai dan dikonsumsi oleh masyarakat merupakan rantai
akhir dalam dunia perberasan. Dalam terpenuhinya kebutuhan masyarkat
akan konsumsi beras perlu adanya peran pemerintah dalam mengaturnya.
Adapun peran pemerintah dalam terpenuhinya kebutuhan masyarakat
akan konsumsi beras adalah berupa policy atau kebijakan yang
mengarahkan terpenuhinya konsumsi beras masyarakat di Indonesia
secara umum. Pernyataan ini sesuai dengan yang disampaikan oleh Bapak
Bustanul Arifin sebagai berikut:
“…Pemerintah mengurus kebijakan, kalau kita berharap
pemerintah melakukan sesuatu tetapi pemerintah ikut berdagang
tidak akan bisa, itu tidak efisien karena pemerintah bukan
pedagang. Kalau anda berharap pemerintah sama dengan tukang
beras, tidak bisa juga kan? Karena bukan pekerjaannya
pemerintah bukan? Pemerintah membuat policy atau kebijakan
176
untuk mengarahkan kesana, jadi tidak direct dia. Mungkin harus
ditanyakan kembali bagaimana menjamin ketersediaan berasnya,
kalo mempush ketersediaan harus mempush produksi dong, kalo
memang tidak ada harus bagaimana? …”
Sedangkan menurut sumber penulis dari Badan Ketahanan Pangan,
pemerintah menjamin ketersediaan beras khususnya beras miskin atau
program Raskin, adapun penjelasannya sebagai berikut:
“…Pemerintah telah melakukan program raskin dengan tujuan
selain mengurangi beban pengeluaran Rumah Tangga Sasaran
melalui pemenuhan sebagian kebutuhan pangan beras juga
menjamin ketersediaan beras yang baik dan murah. Berdasarkan
Pedum Raskin Sasaran Program Raskin Tahun 2013 sebanyak
15.530.897 rumah tangga, yakni mengalami penurunan sekitar 2
(dua) juta rumah tangga dari jumlah RTS-PM Program Raskin
2009-2012 sebanyak 17.488.007 rumah tangga. Penurunan pagu
Raskin nasional ini sejalan dengan penurunan angka kemiskinan
dari 15,42% pada 2008 menjadi 11,66% pada September 2012
berdasarkan data BPS. Adapun dalam mencukupi kebutuhan
pangan beras melalui penyaluran beras bersubsidi (Raskin) yang
diberikan dengan alokasi sebanyak 15kg/RTS/bulan…”
Setiap beras yang akan dikonsumsi oleh masyarakat pasti memiliki
177
standar masing-masing. Standar yang digunakan di Indonesia dalam
produk beras sendiri merupakan SNI (Standar Nasional Indonesia).
Setidaknya ada 8 kualitas yang dijadikan standar dalam produk beras di
Indonesia. Pernyataan diatas sesuai dengan pernyataan Bapak Bustanul
Arifin, pernyataan tersebut disampaikan oleh beliau sebagai berikut:
“…Ada dong standarisasi, namanya SNI, Standar Nasional
Indonesia. Pasti ada dong, standar beras di Indonesia itu ada 8
kualitas atau apa gitu. Kalau anda bertanya apakah ada, tapi di
Indonesia itu tidak ada yang bisa mengenforce, tidak ada yang bisa
melakukan pengawasan secara baik. Mmm… kalo kita berharap
pemerintah melakukan pengawasan seluruhnya ya nggak bener
juga, karena nggak punya kemampuan untuk melakukan itu. Pada
orang, kan nggak mungkin melakukan pengawasan satu-persatu.
Mekanisme check and balance itu justru dari para pedagang dan
masyarakat itu sendiri. Kalau dibilang beras kualitas A, yang
datang beras kualitas B mereka menyelesaikan sendiri. Kecuali
ada dispute atau persoalan hukum baru mereka melapor ke
penegak hukum, itu. Kalau kita melihat ada barang yang tidak
layak konsumsi, dikasih ke ayam saja…”
Masalah yang dihadapi oleh Indonesia dalam mengkonsumsi beras
adalah banyaknya beras yang dikonsumsi atau ketergantungannya
178
masyarakat di Indonesia terhadap beras. Dalam food calorie masyarakat
Indonesia secara umum beras mendominasi, secara food balance atau
keseimbangan gizi masyarakat Indonesia belum tercapai. Statement diatas
sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Bapak Bustanul Arifin sebgai
berikut:
“…Kebanyakan makan, hehe. Terlalu banyak bergantung
kepada beras, jadi bagian intake food calorie sebagian besar dari
beras. Kalo, itu saya bilang masalah. Dari situ sehingga
balancenya atau food balance, keseimbangan pangan atau
keseimbangan gizinya belum tercapai. Jadi karena disitu
masyarakat masih banyak tergantung pada beras, dia
menimbulkan tekanan pada konsumsi beras, sehingga konsumsi
beras kita tetap tinggi, gitu. Kita belum tersedia pilihan-pilihan,
dari pangan lokal yang mampu menjadi substitusi atau setidaknya
komplemen dari beras. Kalau itu tidak terjadi, sampai kapanpun
beras akan menjadi isu politis, itu…”
Sedangkan permasalahan yang dihadapi dalam konsumsi beras
menurut sumber penulis dari Badan Ketahanan Pangan adalah
berlebihannya dalam mengkonsumsi beras, penjelasan dari statement
tersebut adalah sebagai berikut:
“…Angka konsumsi beras masyarakat Indonesia yang
179
mencapai 139 kg/kapita menjadikan bangsa Indonesia sebagai
Negara tertinggi di Asia bahkan di Dunia dalam mengkonsumsi
beras. Kebiasaan atau budaya yang melekat di masyarakat
Indonesia bahwa “belum kenyang kalau belum makan nasi” telah
mendarah daging di berbagai kalangan masyarakat. Disamping itu
politisasi beras dan penyeragaman budidaya padi di seluruh
Indonesia sehingga menjadikan beras sebagai “single commodity”
pada era zaman orde baru membuat pemenuhan beras menjadi
permasalahan tersendiri. Oleh karena itu, untuk mengurangi
kebiasaan yang telah melekat di masyarakat, Pemerintah
mentargetkan setiap tahunnya untuk mengurangi angka konsumsi
sebesar 1,5% pertahun dan telah melakukan berbagai terobosan
guna mengurangi angka konsumsi beras nasional, diantaranya
Perpres No. 22 tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan
Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya
Lokal dan Permentan Nomor 43/Permentan/)T140/10/2009
tentang Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi
Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal. Kedua regulasi ini
kemudian diaplikasikan oleh pemerintah daerah seperti di Kota
Depok dengan Program ”One Day No Rice”. Dimana setiap hari
selasa di lingkungan Pemkot Depok dan wilayah Kota Depok
180
disarankan untuk tidak mengkonsumsi nasi. Selain itu berbagai
penyuluhan, dan kampanye tentang bahaya dari konsumsi beras
yang berlebihan sehingga dapat menyebabkan diabetes juga
dilakukan bersama-sama dengan Kementerian Kesehatan dan
BPOM…”
Harapan mengenai konsumsi beras di indonesia pada masa depan
adalah dengan mengurangi konsumsi beras sehingga tekanan terhadap
beras tidak seperti sekarang. Dan juga secara kesehatan beras mengandung
hormon exorfin dengan mempunyai sifat yang mirip dengan morfin yaitu
ketagihan maupun sakau. Penjelasan lebih detil disampaikan oleh Bapak
Bustanul Arifin sebagai berikut:
“…Ya tadi, harapan untuk kita itu kurangi makan lah supaya
nggak gemuk-gemuk, baru tekanan terhadap beras ini berkurang.
Beras itu harus anda pelajari itu dia mengandung hormon exorfin,
exorfin itu sifatnya mirip dengan morfin ketagihan sakau. Kita
makan beras itu ketagihan lho, kurang terus kurang terus serius
lho. Orang banyak tidak perhatikan ini ada unsur exorfin ada unsur
addiction, udang juga ada unsur addiction kita makan satu itu
rasanya nggak cukup. Ada unsur-unsur seperti itu, kecil mirip
exorfin dengan morfin unsur zat kimianya sama jadi bikin
addicted. Anda ngga merasa, kita kan sebelum kembung masih
181
akan menambah itu ketagihan. Nah itu kalo bisa dikurangi akan
mengurangi tekanan konsumsi kepada beras. Makanan pokok,
sementara kalo kita lihat data Negara-negara lain itu mereka sudah
mulai balance karbohidrat, protein vitamin, kita masih banyak
99% karbohidrat. Dan disitu kata orang kesehatan, untuk
mengurangi tekanan orang yang sakit gula diabetes, itu baru bisa
diharapkan yang lain-lain…”
Sedangkan harapan yang disampaikan oleh sumber penulis dari Badan
Ketahanan Pangan adalah sebagai berikut:
“…Kedepan, konsumsi beras diharapkan akan terus
mengalami penurunan sebagaimana target Kementerian Pertanian
itu sendiri sehingga sejalan dengan program diversifikasi pangan
mengingat tingkat konsumsi beras di Indonesia sebesar
139kg/kapita merupakan tertinggi di asia bahkan dunia. Sehingga
masyarakat Indonesia tidak mengandalkan beras sebagai sumber
pangan utama tetapi juga dapat mengkonsumsi pangan lainnya
yang melimpah tersedia di bumi Indonesia seperti jagung,
singkong, sagu, sukun, ubi dan lain-lainnya…”
e. Harga Beras
Nilai akan suatu benda biasanya akan diberikan sesuai dengan biaya
yang dikeluarkan dalam menghasilkan benda tersebut. Bergitu pula
182
dengan harga beras, dengan mengikuti harga dasar yang dikeluarkan untuk
menghasilkan beras dari sejak ditanam hingga diterima dan dikonsumsi
masyarakat. Namun, seiring dengan adanya gejolak di dalam maupun di
luar negeri dapat mempengaruhi harga beras di Indonesia. Untuk
menanggulangi perubahan harga beras yang signifikan di pasar,
pemerintah melakukan upaya dalam menjamin harga beras yang
terjangkau bagi masyarkat. Upaya yang dilakukan adalah dengan operasi
pasar, raskin dan lain sebagainya. Adapun yang telah disampaikan diatas
sesuai dengan pernyataan Bapak Bustanul Arifin sebagai berikut:
“…Anda pernah baca ada operasi pasar? Lalu ada raskin?
Untuk 16 juta masyarakat miskin, pemerintah memberi subsidi
kepada masyarakat melalui bulog, ya? Jadi orang miskin
terpenuhi kebutuhannya, siapa yang dibilang miskin? Yang
menurut kriteria BPS dan BKKBN yang diadminsitrasi oleh
kelurahan, pemerintah yang paling rendah di masyarakat dan
pemerintah desa itu dianggap miskin. Berapa persen, kira-kira
orang miskin itu total 11 juta jadi orang yang paling miskin itu 5-
6% lah. Memang sebagian besar orang miskin nggak dapet,
karena dalam miskin sendiri ada 3 kategori, yang dapet raskin itu
adalah yang paling miskin, itu. Jadi orang miskin seperti itu diberi
subsidi, subsidinya berapa ya 1600 harganya, jadi disubsidi oleh
183
pemerintah menjadi berapa kalo harga 7300, orang cuma bayar
1600 jadi kira-kira. Itu total nilainya 19 atau 20 triliun lah kalo ga
salah, itu yang dilakukan oleh pemerintah. Apakah kita mau
mendorong lebih besar dari itu? Kalo menurut saya tidak usah,
kalo perlu dikurangi sedikit-demi sedikit, begitu. Supaya
menunjukkan bahwa masyarakatnya makin sejahtera…”
Sedangkan menurut sumber penulis dari Badan Ketahanan Pangan
menyatakan bahwa pemerintah melakukan intervensi untuk menjaga
ketersediaan beras dengan cara menerapkan strategi pengadaan
gabah/beras dalam negeri dalam bentuk instrument Harga Pembelian
Pemerintah, adapun penjelasan lengkapnya sebagai berikut:
“…Pemerintah telah menerapkan strategi pengadaan
gabah/beras dalam negeri sebagai bentuk intervensi pada sisi
produsen pada saat suplai melimpah karena panen raya agar harga
di tingkat petani tidak jatuh. Pemerintah melindungi petani dari
kerugian akibat kurang kuatnya nilai tawar petani saat panen raya.
Instrumen yang digunakan adalah Harga Pembelian Pemerintah
(HPP) yang ditetapkan melalui Inpres. Penetapan HPP dilakukan
dalam rangka meningkatkan pendapatan petani, pengembangan
ekonomi pedesaan, stabilitas ekonomi nasional, peningkatan
ketahanan pangan dan dalam rangka pengadaan cadangan pangan.
184
Selain itu juga untuk mendukung peningkatan produktivitas
petani padi dan produksi beras nasional. HPP gabah yang
ditetapkan pemerintah diharapkan menjadi “semacam harga
minimum” (floor price) yang berfungsi sebagai referensi harga
(price reference) bagi petani dan pedagang yang melakukan
transaksi jual-beli gabah/beras…”
Dalam penentuan harga beras, ada campur tangan pemerintah
didalamnya. Campur tangan pemerintah dalam hal menetapkan Harga
Pembelian Pemerintah atau HPP yang gunanya mengelola dunia
perberasan di Indonesia. Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh
Bapak Bustanul Arifin sebagai berikut:
“…Dengan cara menetapkan harga pembelian pemerintah atau
HPP, itu cara mengatur atau bukan mengatur sih tetapi mengelola
sebetulnya. Kalo harga yang mengatur pasar dong, tetapi
pemerintah menetapkan harga pembelian minimum kan…”
Sumber penulis dari Badan Ketahanan Pangan menambahkan bahwa
secara detil kebijakan-kebijakan yang digunakan pemerintah guna
mendukung perberasan di Indonesia ada banyak, adapun keterangan yang
lebih lengkapnya sebagai berikut:
“…Ada, selama periode 2008-2013 pemerintah telah
mengeluarkan inpres tentang Kebijakan dan Penyaluran
185
Gabah/Beras Petani.
Tabel 4.15
Kebijakan dan Penyaluran mengenai Gabah/Beras
Tahun Inpres
yang
Berlaku
Tentang HPP
GKP
Tingkat
Petani
(Rp/Kg)
HPP GKG
Tingkat
Penggilingan
(Rp/Kg)
HPP
Beras
(Rp/Kg)
2008 No.1/2008 Kebijakan
Perberasan
2.240 2.800 4.300
2009 No.8/2008 Kebijakan
Perberasan
2.400 3.000 4.600
2010 No.7/2009 Kebijakan
Perberasan
2.640 3.300 5.060
2011 No.7/2009 Kebijakan
Perberasan
2.640 3.300 5.060
No. 8
Tahun
2011
Kebijakan
Pengamanan
Cadangan
Beras yang
Dikelola
Pemerintah
Dalam
Menghadapi
Kondisi
Iklim
Ekstrim
2012 No.3/2012 Kebijakan
Perberasan
3.300 4.150 6.600
2013 No.3/2012 Kebijakan
Perberasan
3.300 4.150 6.600
Mekanisme:
186
Tujuan dikeluarkannya Inpres tentang kebijakan perberasan
adalah untuk melindungi petani, yaitu dengan meningkatkan
pendapatan petani dan pengembangan ekonomi pedesaan melalui
pembelian gabah/beras petani dengan harga tertentu (minimal
sesuai HPP) sehingga petani memperoleh keuntungan usaha tani
padi yang layak. Namun apabila kita lihat tujuan inpres perberasan
pada kebijakan selanjutnya, mulai Inpres Nomor 2 tahun 2005
tanggal 2 maret 2005 tentang Kebijakan Perberasan, selain untuk
melindungi petani, kebijakan perberasan juga bertujuan untuk
menyediakan dan menyalurkan beras bersubsidi bagi masyarakat
miskin dan rawan pangan, dan untuk cadangan beras pemerintah
untuk menanggulangi keadaan darurat dan menjaga stabilitas
harga dalam negeri. Begitu juga pada Inpres Nomor 8 Tahun 2011
tanggal 15 April 2011 tentang Kebijakan Pengamanan Cadangan
Beras yang Dikelola Pemerintah Dalam Menghadapi Kondisi
Iklim Ekstrim, ditujukan untuk mengamankan cadangan beras
pemerintah serta mengantisipasi gangguan produksi dan kenaikan
harga gabah/beras akibat kondisi iklim ekstrim.
Perubahan Inpres kebijakan perberasan juga terkait dengan
perubahan besaran HPP gabah/beras, yang didasarkan oleh
beberapa pertimbangan, antara lain: (1) adanya kenaikan harga
187
bahan bakar minyak (BBM) yang berdampak pada kenaikan harga
eceran tertinggi (HET) pupuk, terjadi pada tahun 2008 dan 2012;
(2) kondisi harga gabah/beras di petani/masyarakat jauh dari atas
HPP, seperti pada tahun 2008, 2009, dan 2011; serta (3) upaya
antisipasi tingginya harga beras dunia pada tahun 2007. Kenaikan
BBM berdampak pada meningkatnya biaya usaha tani padi
sehingga berpengaruh terhadap penurunan pendapatan petani.
Kondisi harga gabah/beras yang jauh diatas HPP bisa
menyebabkan harga turun/jatuh dari harga di tingkat pasar,
terutama pada saat panen raya sehingga akan merugikan petani.
Dengan adanya perubahan dan peningkatan HPP gabah/beras,
maka diharapkan dapat meningkatkan pendapatan petani,
sekaligus untuk meminimalisir kejadian harga jatuh/turun pada
saat panen raya…”
Secara umum semua pihak berharap tercapainya harga yang stabil pada
produk beras di Indonesia. Namun, fakta dilapangan mengatakan bahwa
terdapat periode-periode tertentu dimana harga beras akan tinggi dan
harga beras akan rendah. Disaat bulan Juni, Juli, Agustus dan September
harga beras di Indonesia sudah pasti tinggi. Disaat bulan Oktober harga
beras mulai stabil dan menurun rendah. Nanti pada bulan November,
Desember dan Januari harga beras akan tinggi lagi. Pola ini sudah baku di
188
Indonesia, biasa meleset setengah bulan dari yang telah disampaikan
diatas. Pernyataan ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Bapak
Bustanul Arifin sebagai berikut:
“…Stabilitas harga itu dapat diukur rentang waktu bisa diukur
rentang tempat. Rentang waktu bisa di duga stabilitasnya, jadi
berhubungan dengan karakteristik dari supply, supply
berhubungan dengan produksi dan pengelolaan stok. Jadi harga
beras di Indonesia itu sudah pasti tinggi pada bulan juni, juli,
agustus, september. Oktober mulai stabil sedikit, menurun rendah.
Nanti november, desember, januari tinggi lagi, sudah pasti seperti
itu polanya, ya meleset-meleset setengah bulan. Nah, dari situ
pemerintah melakukan stabilitas harga yang anda maksudkan itu
untuk mengoptimalkan operasi pasar pada saat harga-harga tinggi.
Pada saat harga rendah, harga rendah itu pada bulan selain yang
saya telah sebutkan tadi. Lebih sedikit sih, kira-kira
perbandingannya 7:5 atau bahkan 8:4 dalam 12 bulan, 7:5
kadangnya, 7 bulan tinggi 5 bulan rendah biasanya seperti itu. Dan
disitulah instrument bukan pengaturan ya tapi pengelolaan harga,
terakhir di inpres 5 tahun 2015 disitu disebutkan pada saat-saat
harga tinggi, pemerintah push operasi pasar. Pada saat harga-
harga rendah pemerintah melalui bulog juga mengambil dari
189
masyarakat untuk disimpan di gudang, gitu mekanismenya.
Apakah itu, 100% jalan saya ya, nggak 100% jalan pastilah. Pasti
ada beberapa kelemahan dilapangan…”
Sedangkan menurut sumber penulis dari Badan Ketahanan Pangan
menyatakan bahwa beras impor lebih berfluktuasi daripada beras lokal.
Adapun penjelasan lebih lengkap mengenai statement tersebut adalah
sebagai berikut:
“…Beras lokal (Beras medium IR II, tingkat grosir) selama
tahun 2008-2013, menunjukkan peningkatan untuk setiap
tahunnya yakni rata-rata 9,52 persen/tahun. Sementara harga
beras impor (beras paritas fob Thai 5%) relatif mengalami
penurunan 5,30 persen/tahun. Harga beras impor untuk periode
tahun 2008-2010 selalu lebih tinggi daripada harga beras lokal,
namun pada periode tahun 2011-2013 harga beras impor lebih
rendah dibandingkan dengan harga beras lokal. Dilihat dari
fluktuasi harga yang digambarkan dengan koefisien variasi (CV),
harga beras impor lebih berfluktuasi dibandingkan dengan harga
beras lokal atau dengan kata lain harga beras lokal lebih stabil
dibandingkan harga beras impor. Fluktuasi harga beras impor
tertinggi terjadi pada tahun 2008 yang mencapai 20,19 persen
sedangkan pada periode yang sama CV untuk harga beras lokal
190
sebesar 2,17 persen. Selama tahun 2008-2013, fluktuasi harga
beras relatif stabil, dimana nilai cv lebih kecil dari 5 persen kecuali
pada tahun 2010 dan 2011 fluktuasi harga beras lebih dari 5 persen
yaitu masing-masing mencapai 5,29 persen dan 9 persen.
Tabel 4.16
Perbandingan Harga Beras Impor dan Beras Lokal di Indonesia Tahun 2008-
2013
Bulan
2008 2009 2010 2011 2012 2013
Beras
Impor
Beras
Lokal
Beras
Impor
Beras
Lokal
Beras
Impor
Beras
Lokal
Beras
Impor
Beras
Lokal
Beras
Impor
Beras
Lokal
Beras
Impor
Beras
Lokal
Januari 5057 5198 8455 5250 6990 6042 5739 6239 6637 7445 6108 7945
Februari 5797 5084 9092 5369 6668 6098 5736 6057 6483 7500 6113 7879
Maret 7206 4866 9054 5256 6199 5698 5316 5865 6689 7500 6091 7758
April 10615 4832 7960 5171 5723 5690 5163 5800 6693 7500 6025 7600
Mei 10648 5053 7250 5171 5654 5835 5077 6029 7351 7537 5970 7713
Juni 9267 5100 7707 5237 5721 5910 5408 6237 7460 7713 5848 7870
Juli 8672 5010 7610 5250 5786 6135 5616 6805 7366 7758 5799 8174
Agustus 8247 5058 7017 5283 5912 6485 5914 7097 7449 7700 5747 8139
September 8302 5100 6800 5250 6264 6530 6414 7087 7387 7717 5355 7930
Oktober 8007 5100 6285 5250 6372 6595 6511 7207 7281 7700 5693 8052
November 8454 5100 6835 5257 6183 6400 6762 7315 7391 7838 5792 7900
Desember 7923 5180 7364 5534 6423 6394 6511 7229 7422 7919 6165 8006
Rata-rata 8183 5057 7619 5273 6158 6151 5847 6580 7134 7652 5892 7914
CV 20,19 2,17 11,66 1,83 6,78 5,29 9,86 9,00 5,35 1,99 3,97 2,13
Keterangan:
Beras Impor (Worldbank diolah BKP)
Beras paritas internasional dari perhitungan beras Thai 5%
(fob) Thailand
191
Harga C & F = Harga Bangkok + insurance (22 USD/MT)
Border price = (Harga C & F X Kurs)/1000 + BM
Harga Paritas = (Border Price + PPh) X 1,15
Beras Lokal= Beras IR II Tingkat Grosir PIBC (Sumber: PIBC
diolah BKP)…”
Selain itu menurut sumber penulis dari Badan Ketahanan Pangan
menyatakan bahwa beras lokal kalah bersaing di pasaran internasional dari
sisi kualitas dan harga. Detil dari penjelasan tersebut adalah sebagai
berikut:
“…Ada, hal ini mengingat pemasaran untuk beras global
seringkali dikaitkan dengan politik dumping seperti kebijakan
yang ada di Jepang dan Vietnam. Disatu sisi kualitas beras
domestik kalah bersaing di pasaran internasional dari sisi kualitas
dan harga…”
Beberapa saat yang lalu, sedang ramai pada khalayak umum dan media
massa mengenai isu beras plastik di Indonesia. Isu tersebut menurut Bapak
Bustanul Arifin tidak ada hubungannya dengan lemahnya pengawasan
pemerintah dan tingginya harga beras saat itu. Kemungkinan yang terjadi
dalam isu beras plastik itu, beras terkontaminasi dengan proses-proses
polishing atau memoles beras dari beras yang lama disimpan digudang
menjadi beras baru. Adapun selengkapnya pernyataan dari Bapak
192
Bustanul Arifin sebagai berikut:
“…Dengan harga mungkin nggak ada, saya nggak melihat isu
itu serius, dalam konteks ini semua dicampur dengan plastik.
Yang sangat mungkin itu dia terkontaminasi dengan Proses-
proses polishing atau memoles beras dari beras yang lama
disimpan digudang menjadi beras baru. Jadi beras itu diambil,
dijual dengan harga murah dari gudang baik dari gudang bulog
atau gudang siapa saja, lalu dipoles lalu disemprotkan bahan kimia
untuk memutihkan dan mempulenkan, saat dia uji laboratorium
dia mirip dengan PVC Poli Profolida kalau tidak salah yang
digunakan sebagai bahan untuk membuat plastik, kira-kira seperti
itu. Apakah ada hubungannya? Tidak ada hubungannya, tidak ada
hubungannya dengan itu. Dugaan saya sih adanya kelalaian dalam
kontaminasi ya dalam pengawasan karena tidak ada yang
mengawasi. Kemungkinan yang kedua, mungkin sabotase tapi itu
sangat kecil sekali…”
Sedangkan mengenai beras plastik, sumber penulis dari Badan
Ketahanan Pangan menyatakan sebagai berikut:
“…Isu beras plastik yang sempat mengemuka semata-mata
bukan hanya karena lemahnya sistem pengawasan dari
pemerintah tetapu ada faktor lain sebagai pemicu untuk dibukanya
193
keran impor oleh pemerintah karena beras domestik pada saat itu
cenderung naik. Disisi lain, faktor politis sebagai pengalihan isu
yang sedang berkembang disinyalir dihunakan oleh pihak-pihak
tertentu dengan memanfaatkan kondisi yang sedang terjadi…”
Harapan mengenai harga beras di Indonesia pada masa depan adalah
perlu adanya pengaturan harga per kualitas, dimana gunanya untuk
menghindari oplosan. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh
Bapak Bustanul Arifin sebagai berikut:
“…Saya sebetulnya tidak ingin mengatur harga kalo boleh itu,
karena kalo signalnya salah pada petani kasihan. Tapi so far untuk
kebutuhan pokok elastisitasnya masih inelastis, sudah pasti masih
tinggi dan semua pelaku pasti tau mengenai hal itu. Kalau saya
sebenarnya ingin kalo memang diatur, ada harga per kualitas
beras. Gunanya untuk menghindari oplosan seperti itu, kalo perlu
juga tapi saya khawatir ngomong seperti ini pemerintah tidak bisa
melaksanakan untuk harga referensi atau harga patokan per
provinsi. Untuk menghidupkan pergerakan beras antar provinsi
juga gitu, kalau harganya dibikin sama, kalo beras di Jakarta Pulau
jawa dengan beras di wamena papua sana yaa sulit kan orang kan
menjadi apa namanya ya, spekulasinya menjadi amat sangat
tinggi. Tapi kan kalo harganya, tapi saya tau serumit apa ini jadi
194
tidak dilaksanakan. Artinya memperlakukan beras seperti
premium, seperti bahan bakar bensin agak riskan, itu ya. Artinya
kita biarkan saja di timur sana harga tinggi karena mereka tidak
memproduksi beras, nah kita dibalikkan seandainya di timur di
papua bisa menjadi sentra produksi beras mungkin nggak akan
seperti ini kejadiannya, mungkin kita tidak impor. Tapi nggak ada
gunanya kalo kita ngomong seandainya…”
Sedangkan harapan mengenai harga beras menurut sumber penulis dari
Badan Ketahanan Pangan adalah sebagai berikut:
“…Dengan sinergitas antara kelembagaan yang menangani
pangan dan Tim Pengendali Inflasi maka, bukan hal yang mustahil
kedepan harga beras di Indonesia akan terjangkau oleh semua
kalangan dengan kualitas yang baik dimana petani selaku
produsen akan memperoleh keuntungan harga yang layak begitu
pula konsumen dapat memperoleh beras dengan harga yang
murah dan terjangkau…”
f. Kecurangan dalam Dunia Perberasan
Curang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah tidak
jujur, tidak lurus hati, tidak adil. Dalam dunia perberasan umumnya tidak
melakukan kecurangan secara besar-besaran seperti aturan di terobos.
Namun dalam bahasa halusnya pedagang itu memanfaatkan segala
195
kesempatan. Etika kadang mereka tidak terlalu junjung dengan baik.
Praktek yang sering terjadi adalah beras yang jelek dipoles lalu dicampur
dengan beras kualitas baik. Apa yang telah tercantum diatas sejalan
dengan apa yang disampaikan oleh Bapak Bustanul Arifin sebagai berikut:
“…Nggak juga sih, pedagang itu bahasa halusnya
memanfaatkan segala kesempatan. Etika kadang mereka tidak
terlalu junjung dengan baik, itu ya. Tapi kalo anda melihat pelaku
curang itu aturan di terabas, kira-kira yang praktek terjadi yang
saya sudah sampaikan tadi beras kecil atau jelek dipoles lalu
dicampur dengan beras kualitas baik, seperti itu. Terus, mereka
tidak taat terhadap pelabelan karena tidak ada yang mengawasi.
Kalo kita pergi kepasar, tertulis beras pandan wangi itu tidak ada
yang bisa menjamin bahwa itu pandan wangi, itu cuma karungnya
aja dan dikasih pewangi. Boleh itu disebut curang, boleh aja itu
disebut curang. Kalo terjadi kita berharap pedagang menjadi
orang sosial itu salah kita berharap seperti itu. Pedagang pasti
memanfaatkan setiap kesempatan, orang sosial masjid saja yang
sosial, pedagang jarang ada yang berfikir seperti itu. Kalau anda
berharap pedagang patuh akan aturan atau apa ya agak sulit, nanti
kalau anda belajar bisnis di dalam bisnis itu ada namanya etika
bisnis. Tapi feeling saya ya? Pasti mereka ada batasnya, kalau
196
curang ditaruh angka 1-100 kira-kira tidak akan full curang 100%
mungkin beberapa persen, ngga mungkin karena akan menganggu
kelangsungan bisnisnya jika mereka main-main habis orang ngga
ada beli pasti mereka putar haluan. Ya apapun mereka
memanfaatkan kesempatan itu sebenarnya…”
Kecurangan dalam impor beras merupakan hal yang berbahaya
dikarenakan dapat menganggu perdagangan. Namun pernah terjadi,
bahwa ada oknum pedagang yang memiliki izin impor beras premium,
namun setelah diselidiki yang masuk ke dalam pasar tiba-tiba beras
medium. Setelah ditelusuri secara mendalam ternyata bea cukai tidak
meneliti secara mendalam jenis yang terdapat dalam isi kontainer, namun
memeriksa berdasarkan kontainer dan kode HS (Harmonized Code), yang
mana antara beras premium dengan beras medium memiliki 5 digit yang
sama. Selengkapnya penjelasan ini disampaikan oleh Bapak Bustanul
Arifin sebagai berikut:
“…Nggak juga sih, itu bahaya. Apa yang pernah terjadi itu ada
pedagang yang memiliki izin impor beras premium, karena beras
premium itu agak bebas mereka dapat izin impor itu. Kemudian
tiba-tiba setelah yang masuk ke pasar tiba-tiba beras medium,
kira-kira seperti itu. Kalau ditelusuri kenapa bea cukai sebagai
garda terdepan pintu masuk beras impor kenapa itu boleh masuk,
197
karena itu beras medium harus pemerintah melalui bulog. Bea
cukai masih beralasan kan mereka tidak atau mereka memeriksa
berdasarkan kontainer dan label namanya HS Harmonized Code,
beras premium dan beras medium sampai dengan 5 digit itu masih
sama. Jadi kalo anda bikin daftar 5 digit pendaftaran, setelah digit
ke 5 pecah dua apakah ini pulen dari Thailand, tidak maka akan
pecah lagi terus sampai digit ke 9 bedanya sampai seperti itu
ketelitiannya, kepalanya pecah trus seperti itu. Sementara yang
dilaporkan ke bea cukai Indonesia itu sampai 5 digit, 5 digit sama
bedanya di sanapun sama-sama beras. Sementara bila ditelusuri
sampai detail baru itu beda, jadi pas kasus kemarin itu tidak ada
yang dituntut ke pengadilan karena memang kelalaian sistem kita
sendiri. Kecurangannya itu ya izinnya beras premium namun yang
datang beras medium, ketika masuk ke catatan badan pusat
statistik lho kenapa tahun ini ada impor beras, padahal seharusnya
tidak ada kira-kira gitu. Jadi kecurangannya itu dalam
memanfaatkan kesempatan kelemahan sistem kita sendiri…”
Dengan adanya kecurangan, tentu banyak pihak yang dirugikan.
Sebenarnya yang dirugikan pedagang sendiri dikarenakan barang yang
diterima tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Hal ini sesuai dengan
pernyataan oleh Bapak Bustanul Arifin sebagai berikut:
198
“…Sebenarnya yang dirugikan adalah pedagang juga, dalam
bahasa lain itu pedagang yang seharusnya mendapat mampu
pasokan sebesar ini kualitas beras premium namun yang datang
kualitas medium. Jadi keseimbangan detilnya saja yang
terganggu…”
Dalam mengatasi kecurangan dalam dunia perberasan di Indonesia,
pemerintah haruslah bertindak untuk menghindari kejadian serupa di masa
depan. Bila pendaftaran HS di perdetil akan memperlambat proses barang,
sehingga tidak efisien. Yang paling baik adalah dengan memeriksa di
pintu terakhir, dengan peran asosiasi pedagang. Selengkapnya pernyataan
Bapak Bustanul Arifin sebagai berikut:
“…Itu agak rumit terus terang, kalau pendaftaran HS
diperdetail hingga sekian digit terakhir pemeriksaan akan lebih
lama, barang yang masuk terhambat pelabuhannya dianggap tidak
efisien terus berputar-putar seperti itu. Paling top, memeriksa di
pintu terakhir tetapi sekarang siapa, kualitas pemeriksanya siapa,
kuli-kuli gitu cuma colok diambil seperti itu. Memang saya
katakan rumit, tergantung pada HS atau harmonized systemnya
sendiri. Sekarang anda lihat saja pelabuhan, di dunia pelabuhan
seperti itu keadaannya. Satu, pengawas yang memiliki kompetensi
berapa, orang yang ingin bekerja di bidang seperti itu tidak
199
banyak, tidak menjadi pekerjaan yang menarik jadi nyambung.
Kalo teknisnya bisa, ya bisa tetapi saya menyebutkan betapa
rumitnya itu persoalan dalam mengatasi kecurangan itu.
Sebetulnya bisa dikembalikan kepada pedagang itu sendiri atau
uruslah asosiasi nah atur-atur sendiri, kalau seperti itu masih
mungkin. Mmm… kalo kita tuh begini, terlalu banyak berharap
kepada pemerintah, pemerintah tidak bisa diharapkan seperti itu
keadaannya hehehe… kebalikan lagi mereka punya mekanisme,
mereka punya asosiasi pedagang, mereka tahu siapa yang suka
main disini. Kalau dikasarin, kau selesaikanlah ya kau atur-atur
sendiri mau ambil beberapa margin silahkan, kalau banyak-
banyak nanti masyarakat dirugikan. Dengan melakukan fungsi
seperti itu sebetulnya sudah lebih dari cukup. Baru setelah
administrasi didaftarkan pendaftaran izin, pendaftaran izin impor,
izin gudang, tidak memperbaiki cabut izinnya pemerintah bisa
melakukan itu. Tetapi bila mengurusi 24 jam sehari nggak
mungkin, nggak akan mampu…”
6. Analisis Ekonomi
Berdasarkan hasil dari estimasi dengan menggunakan fixed effect
model dapat disimpulkan bahwa regresi yang dihasilkan cukup baik untuk
menjelaskan hubungan antara Produksi Beras, Impor Beras dan Konsumsi
200
Beras terhadap Harga Beras di Indonesia tahun 2008-2013. Namun dari
seluruh variabel yang diteliti terdapat satu variabel yaitu Produksi Beras
yang tidak berpengaruh signifikan terhadap Harga Beras. Kemudian
variabel lainnya yaitu Impor Beras dan Konsumsi Beras mempunyai
pengaruh yang signifikan terhadap Harga Beras.
a. Produksi Beras
Produksi Beras merupakan jumlah kumulatif dari hasil produksi
tanaman padi oleh petani atau produsen yang diolah menjadi beras.
Pada hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Produksi Beras
mempunyai pengaruh yang tidak signifikan dan berpengaruh
positif terhadap Harga Beras. Pada hasil statistik diperoleh nilai
koefisien sebesar 0,049593 yang berarti bahwa apabila Produksi
Beras mengalami kenaikan sebesar 1%, maka akan mengakibatkan
kenaikan pada Harga Beras sebesar 0,049593%. Hal ini tidak sesuai
dengan hipotesis yang menyatakan bahwa Produksi Beras
berpengaruh signifikan terhadap Harga Beras.
Produksi Beras yang tidak berpengaruh signifikan terhadap
Harga Beras dimungkinkan terjadi karena Produksi Beras yang
dihasilkan tidak langsung mempengaruhi Harga Beras, melainkan
masuk kedalam suplai beras. Apabila suplai beras tidak dapat
memenuhi permintaan pasar maka dapat mengakibatkan kenaikan
201
harga. Hal ini sesuai dengan apa yang tertulis dalam Teori Cobweb.
Berdasarkan Teori Cobweb menjelaskan mengenai harga
produk pertanian yang menunjukkan fluktuasi tertentu dari musim
ke musim. Penyebab fluktuasi tersebut adalah reaksi yang
terlambat (time lag) dari produsen (petani) terhadap harga
(Prathama Rahardja dan Mandala Manurung, hal.70-71, 2006).
Dikarenakan sifat dari produk pertanian (khususnya beras) yang
cenderung tidak tahan lama jika dibandingkan dengan produk non-
pertanian menyebabkan anggapan petani akan memproduksi
barang atas dasar harga yang telah berlaku periode waktu panen
sebelumnya. Sehingga produksi yang ada akan mempengaruhi
suplai beras, maka nanti suplai beraslah yang akan mempengaruhi
harga. Oleh karena itu, produksi yang mempengaruhi harga
merupakan produksi waktu sebelumnya (t-1) terhadap harga saat
ini.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
Sugiharto, Hari Nugroho (2011), Hasil analisis dengan uji t
diketahui bahwa variabel Produksi Beras, Impor Beras, Pendapatan
per Kapita, tidak berpengaruh secara signifikan terhadap variabel
Harga Beras pada α = 0.05, sedang variabel Harga Gabah
berpengaruh secara signifikan terhadap variabel Harga Beras.
202
Namun, berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa sumber
menyatakan bahwa banyak permasalahan dari segi produksi beras
kita. Menurut bapak Bustanul Arifin permasalahan dari segi
produksi sebagai berikut:
“…Satu dia (Petani) miskin, kemudian karena miskin
luas tanahnya sempit, luas lahan sempit itu terkena betul-
betul inferiority complex, dan dia merasa kecil, dan
lahannya sempit mereka juga bermasalah dengan
efektifitas produksi yang tidak efisien. Dalam konteks
berapapun kita push untuk intensifikasi ngga dapat, dalam
konteks mereka tidak berada pada titik optimal. Bila anda
memahami fungsi produksi, kombinasi input-outputnya
dalam konten yang sekarang tidak tercapai titik-titik yang
optimal. Nah dari situ mau bagaimanapun kita push
peningkatan produktifitasnya ton per hektarnya untuk
meningkatkan kesejahteraan petani itu sulit sehingga
mereka berada pada kondisi yang betul-betul tidak berada
di kondisi ideal…”
Sedangkan menurut sumber dari Badan Ketahanan Pangan
menyatakan bahwa permasalahan yang dihadapi oleh petani dan
produsen beras adalah sebagai berikut:
203
“…Beberapa permasalahan yang dihadapi oleh petani
selaku produsen beras adalah: 1) Lebih dari 70% petani di
Indonesia adalah petani kecil/gurem. 2) Penguasaan lahan
rata-rata 0,25 ha di jawa atau 0,5 di luar jawa. Bila petani
juga mempunyai lahan kering/tegalan, maka luasnya sekitar
0,5 ha di Jawa dan 1,0 ha di luar jawa. 3) Konversi lahan
pertanian ke non-pertanian seluas 100-110 ribu ha/tahun. 4)
SDM rumah tangga petani 10 tahun terakhir menurun dari
31 juta menjadi 26 juta. 5) Saluran irigasi rusak sebesar
46,03%. 6) Pemberian subsidi benih dan pupuk yang tidak
tepat sasaran baik dari sisi jumlah, kualitas dan waktu. 7)
Kualitas panen memiliki mutu rendah dan kehilangan hasil
tinggi yaitu 10,82%. 8) Adanya dampak perubahan iklim
kekeringan (el-nino), banjir (la nina), dan jadwal tanam
maju/mundur. 9) Skim pembiayaan belum berpihak pada
petani…”
Sedangkan menurut sumber penulis di Ditjen Tanaman Pangan
menyatakan bahwa permasalahan yang dihadapi petani dan
produsen beras adalah sebagai berikut:
“…Permasalahan yang dihadapi petani adalah a)
Peningkatan Produktivitas: 1) Tingkat adopsi teknologi
204
masih lemah - pertanian budaya, pendidikan rendah,
modal lemah, penyuluh kurang, 2) Ketersediaan benih yang
cocok/pas (spesifik lokasi) terbatas, 3) Daya beli petani
yang rendah dan 4) Akses petani ke permodalan lemah. b)
Peningkatan Luas Panen: 1) Konversi lahan sawah, 2)
Kompetisi antar komoditas, 3) Rusaknya lingkungan (DAS)
dan infrakstruktur dan 4) Belum sinerginya pusat dan daerah
(perbedaan prioritas dan kepentingan)…”
Kenyataan ini diperkuat dengan ketersediaan pupuk yang
terlambat, harga tidak terjangkau serta ketiadaan penyuluh dalam
membantu petani, hal ini sesuai dengan pernyataan Bapak Bustanul
Arifin sebagai berikut:
“…Kemudian ditambah pupuk sering terlambat, harga
tidak terjangkau, perhatian pemerintah amat sangat rendah
dalam bentuk penyuluh tidak ada, kemudian semua masalah
muter disitu…”
Untuk mengatasi permasalahan tersebut perlu adanya upaya
yang harus dilakukan, agar produksi beras menjadi lebih baik dan
dapat mendukung permintaan pasar akan konsumsi beras secara
nasional. Adapun upaya yang harus dilakukan menurut Bapak
Bustanul Arifin adalah sebagai berikut:
205
“…kalau memang serius membantu petani dan
pertanian, skala usahanya ditingkatkan. Sekarang itu skala
usahanya rata-ratanya 0,5 hektar. Kalo mereka penguasaan
lahannya masih kecil, seperti sekarang ya, kita berharap
mereka sejahtera kan akan sulit. Mereka harus ditingkatkan
penguasaan lahannya, sehingga anda perlu mempelajari
konsep-konsep mengenai land reform, ya? Mengenai
reformasi pengelolaan agrarian, dan macam-macam
bentuknya, bisa betul-betul diberi lahannya, bisa
konsolidasi lahan; jadi beberapa lahan dijadikan satu dengan
pengelolaan bersama, atau mereka bisa diberikan harapan
baru. Diberi harapan baru itu, karena kalo kita berharap
dengan semi intensif atau super intensif dari lahan yang
kecil, dengan daya dukung yang menurun itu cukup sulit.
Nah misalnya, mereka kita ikutkan program transmigrasi
bagi yang tidak memiliki lahan itu masih bisa. Mereka yang
memiliki lahan, saya katakan tadi konsolidasi dengan
tetangganya, lalu dengan konsep share holding dan konsep
manajemen bergilir, itu juga masih mungkin. Nah saya tentu
saja menyarankan hal seperti ini, subject to. Tergantung
pada keseriusan dan keberanian aparatur pemerintah untuk
206
berbuat seperti itu. Kalau kapasitas birokrasi dari pusat dan
daerah tidak mampu melakukan seperti itu, maka tidak akan
ada artinya apa-apa gitu. Jadi mereka orang pemerintahnya
harus memiliki kapasitas melakukan ini. Dan melakukan ini
cukup berat, gitu…”
Sedangkan terobosan yang harus dilakukan menurut sumber
penulis di Badan Ketahanan Pangan adalah sebagai berikut:
“…Kementerian Pertanian memiliki Program Upaya
Khusus (UPSUS) dalam rangka meningkatlan produksi
beras yang teraplikasikan dalam kegiatan seperti gerakan
pengelolaan penerapan tanaman terpadu, rehabilitasi dan
pembangunan jaringan irigasi tersier, optimalisasi lahan dan
System of Rice Intensification (SRI). Adapun secara rinci
terobosan yang dilakukan adalah: a) Meningkatkan
produksi benih/bibit unggul (kelas benih sumber) oleh
Litbang Pertanian dan membina penangkar di tingkat
pedesaan dalam rangka mewujudkan desa berdaulat benih.
b) Penambahan luas tambah tanam. Membangun embung,
perbaikan irigasi primer dan tersier, sumur resapan dan
channel reservoir untuk menjamin keberlangsungan
produksi pangan. c) Menetapkan kebijakan Harga
207
Pembelian Pemerintah (HPP) gabah/beras melalui Inpres
No.5 Tahun 2015 tentang Pengadaan dan Penyaluran Beras.
d) Mengendalikan impor melalui : kebijakan non tariff serta
melakukan pengawasan dalam implementasi. e) Penguatan
pendampingan petani untuk adopsi teknologi dan mitigasi
terhadap dampak anomali iklim…”
Sedangkan terobosan yang harus dilakukan menurut sumber
penulis dari Ditjen Tanaman Pangan adalah sebagai berikut:
“…Untuk meningkatkan produksi beras perlu adanya 2
hal yang perlu ditingkatkan yaitu dari segi Luas Panen dan
Produktivitas. Adapun langkah-langkah yang perlu
dilakukan sebagai berikut: a) Luas Panen adalah: 1)
Peningkatan IP (Rehabilitasi Jaringan
Irigasi,TAM/JITUT/JIDES, Pompanisasi, mekanisasi), 2)
Pemanaman di lahan sawah cetak sawah baru, 3) Inter
cropping di lahan perkebunan, kehutanan dll, 4) Penanaman
dalam pot/polybag, 5) Pengembangan food estate, 6)
Pemanfaatan lahan rawa/lebak (utamanya saat musim
kemarau). b) Produktivitas: 1) Penerapan paket teknologi
spesifik lokasi (PTT), 2) Pengamanan produksi dari
serangan OPT dan DPI, 3) Pengurangan susut hasil (looses)
208
panen dan pasca panen…”
b. Impor Beras
Impor Beras merupakan salah satu upaya yang dilakukan dalam
memenuhi kebutuhan konsumsi yang tidak terpenuhi akibat
kurangnya produksi beras. Adapun selisih produksi beras dalam
negeri dengan kebutuhan konsumsi dipenuhi dengan cara
memasukkan produk beras dari luar negeri. Pada hasil penelitian
diperoleh bahwa Impor Beras berpengaruh negatif dan signifikan
terhadap Harga Beras. Nilai koefisisen yang diperoleh -0,004656
yang berarti apabila Impor Beras meningkat 1% maka akan
menurunkan Harga Beras sebesar 0,004656%. Hal tersebut sesuai
dengan hipotesis bahwa Impor Beras dapat berpengaruh signifikan
terhadap Harga Beras.
Dengan adanya Impor beras, secara langsung dalam skala yang
kecil dapat menekan Harga Beras pada 32 Provinsi di Indonesia
secara umum. Analisa ini berdasarkan yang disampaikan sumber
penulis dari Badan Ketahanan Pangan sebagai berikut:
“…Beras lokal (Beras medium IR II, tingkat grosir)
selama tahun 2008-2013, menunjukkan peningkatan untuk
setiap tahunnya yakni rata-rata 9,52 persen/tahun.
Sementara harga beras impor (beras paritas fob Thai 5%)
209
relatif mengalami penurunan 5,30 persen/tahun. Harga
beras impor untuk periode tahun 2008-2010 selalu lebih
tinggi daripada harga beras lokal, namun pada periode tahun
2011-2013 harga beras impor lebih rendah dibandingkan
dengan harga beras lokal. Dilihat dari fluktuasi harga yang
digambarkan dengan koefisien variasi (CV), harga beras
impor lebih berfluktuasi dibandingkan dengan harga beras
lokal atau dengan kata lain harga beras lokal lebih stabil
dibandingkan harga beras impor. Fluktuasi harga beras
impor tertinggi terjadi pada tahun 2008 yang mencapai
20,19 persen sedangkan pada periode yang sama CV untuk
harga beras lokal sebesar 2,17 persen. Selama tahun 2008-
2013, fluktuasi harga beras relatif stabil, dimana nilai cv
lebih kecil dari 5 persen kecuali pada tahun 2010 dan 2011
fluktuasi harga beras lebih dari 5 persen yaitu masing-
masing mencapai 5,29 persen dan 9 persen.
Tabel 4.17
Perbandingan Harga Beras Impor dan Beras Lokal di Indonesia Tahun 2008-
2013
Bulan
2008 2009 2010 2011 2012 2013
Beras
Impor
Beras
Lokal
Beras
Impor
Beras
Lokal
Beras
Impor
Beras
Lokal
Beras
Impor
Beras
Lokal
Beras
Impor
Beras
Lokal
Beras
Impor
Beras
Lokal
Januari 5057 5198 8455 5250 6990 6042 5739 6239 6637 7445 6108 7945
210
Februari 5797 5084 9092 5369 6668 6098 5736 6057 6483 7500 6113 7879
Maret 7206 4866 9054 5256 6199 5698 5316 5865 6689 7500 6091 7758
April 10615 4832 7960 5171 5723 5690 5163 5800 6693 7500 6025 7600
Mei 10648 5053 7250 5171 5654 5835 5077 6029 7351 7537 5970 7713
Juni 9267 5100 7707 5237 5721 5910 5408 6237 7460 7713 5848 7870
Juli 8672 5010 7610 5250 5786 6135 5616 6805 7366 7758 5799 8174
Agustus 8247 5058 7017 5283 5912 6485 5914 7097 7449 7700 5747 8139
September 8302 5100 6800 5250 6264 6530 6414 7087 7387 7717 5355 7930
Oktober 8007 5100 6285 5250 6372 6595 6511 7207 7281 7700 5693 8052
November 8454 5100 6835 5257 6183 6400 6762 7315 7391 7838 5792 7900
Desember 7923 5180 7364 5534 6423 6394 6511 7229 7422 7919 6165 8006
Rata-rata 8183 5057 7619 5273 6158 6151 5847 6580 7134 7652 5892 7914
CV 20,19 2,17 11,66 1,83 6,78 5,29 9,86 9,00 5,35 1,99 3,97 2,13
Keterangan:
Beras Impor (Worldbank diolah BKP)
Beras paritas internasional dari perhitungan beras Thai
5% (fob) Thailand
Harga C & F = Harga Bangkok + insurance (22
USD/MT)
Border price = (Harga C & F X Kurs)/1000 + BM
Harga Paritas = (Border Price + PPh) X 1,15
Beras Lokal= Beras IR II Tingkat Grosir PIBC (Sumber:
PIBC diolah BKP)…”
Berdasarkan analisa diatas menyatakan bahwa harga beras
impor trennya memiliki nilai yang lebih rendah daripada harga
beras lokal sejak Mei 2010. Sehingga dapat dipastikan pada periode
211
2008-2013 Impor Beras memiliki pengaruh terhadap Harga Beras.
Hubungan antara impor dengan harga dapat dijelaskan dengan
Tarif Perdagangan. Menurut Dochak Latief (hal. 77-78, 2002) tarif
perdagangan merupakan perpajakan yang dikenakan dalam
transaksi perdagangan merupakan hal yang sudah lama sekali
dikerjakan bahkan sama tuanya dengan perdagangan itu sendiri.
Khusus menengenai tarif, biasanya dikandung juga maksud, yaitu
sebagai penghasilan Negara, alat melaksanakan proteksi dan
perbaikan neraca pembayaran. Arti tarif sebenarnya ialah daftar
segala jenis barang-barang yang dikenakan beban pajak, baik pajak
impor maupun ekspor, ataupun berupa pajak transit, yaitu pajak
yang dikenakan atas barang yang melalui Negara tersebut, tetapi
tujuan yang sebenarnya ialah Negara lain.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Ratih (2014), menyatakan bahwa Impor Beras memiliki hubungan
signifikan dengan Harga Beras.
Berdasarkan hasil wawancara kepada ketiga narasumber
didapatkan kesimpulan bahwa perubahan harga yang sangat tinggi
sering terjadi di waktu-waktu tertentu pada pasar beras, maka
diperlukannya impor beras untuk menekan perubahan harga yang
melonjak saat itu. Namun, selain itu ada banyak mekanisme yang
212
harus dilalui untuk melakukan impor komoditas beras di Indonesia,
Bapak Bustanul Arifin menjelaskan sebagai berikut:
“…Sebetulnya cukup bebas, untuk beras premium.
Untuk beras-beras kualitas tinggi anda tinggal meminta
izin impor, lihat pengalamannya, kalo disetujui, disetujui.
Itu semua orang boleh melakukan itu. Tapi untuk beras
kualitas medium, kualitas medium itu dengan kualitas 25%
patahan itu hanya boleh dilakukan oleh bulog…”
Selain itu, selama ini dalam pemberitaan di media massa selalu
diungkapkan kuota impor. Melihat dinamika seperti itu ternyata
beras tidak memiliki pengaturan kuota dalam impor khususnya
beras kualitas medium yang hanya boleh dilakukan oleh bulog.
Pernyataan ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Bapak
Bustanul Arifin sebagai berikut:
“…Ngga ada walaupun medium, itu ditentukan oleh
pemerintah, namanya bukan kuota. Jadi keputusan
pemerintah untuk melakukan impor itu adalah fully
regulated. Jadi fully regulated itu ngga ada kuota, yang
menentukan pemerintah. Kalo kuota itu berapa banyak
yang diinginkan, berapa banyak yang mengaplikasikan,
lalu kita liat apakah tercapai atau tidak baru itu namanya
213
kuota. Kalau seperti itu tidak karena memang diatur oleh
pemerintah. Dan hanya boleh dilakukan oleh bulog.
Karena dikhawatirkan dapat mempengaruhi
keseimbangan di dalam negeri, gitu…”
Sedangkan menurut sumber penulis dari Badan Ketahanan
Pangan menyatakan bahwa mekanisme impor beras terdapat
banyak aturan yang berlaku, adapun penjelasannya sebagai
berikut:
“…Impor beras di Indonesia dari sisi regulasi masih
dimungkinkan manakala produksi domestik tidak
mencukupi dan merupakan upaya terakhir. Sebagaimana
tetuang dalam undang-undang No.18 Tahun 2012 tentang
Pangan pada Pasal 14 ayat 2 “Dalam hal sumber
penyediaan Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
belum mencukupi, Pangan dapat dipenuhi dengan Impor
Pangan sesuai dengan kebutuhan”. Secara teknis
pengaturan mekanisme impor beras dibagi dalam dua
peraturan yaitu: a) Peraturan Menteri Pertanian Republik
Indonesia Nomor 51/Permentan/HK.310/4/2014 tentang
Rekomendasi Ekspor dan Impor Beras Tertentu. Regulasi
ini mengatur Khusus Beras tertentu seperti beras Thai
214
Hom Mali, Japonica, Basmati, Ketan utuh dan lain-lain
(hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumen tertentu
seperti rumah makan, hotel, konsulat, kebutuhan
kesehatan/penyandang diabetes, dan lain-lain). b)
Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia
Nomor: 19-MDAG/PER/3/2014 tentang Ketentuan
Ekspor dan Impor Beras. Regulasi ini mengatur khusus
komoditas beras medium…”
Sedangkan alasan atau statement mengapa impor menjadi salah
satu cara dalam memenuhi kebutuhan konsumsi beras di Indonesia
menurut sumber penulis dari Badan Ketahanan Pangan adalah
sebagai berikut:
“…Impor beras dilakukan sebagai upaya terakhir
pemerintah manakala cadangan beras nasional dan
produksi padi yang dihasilkan dalam negeri tidak
memenuhi jumlah kebutuhan beras nasional…”
Pengadaan impor beras ternyata memiliki batasan-batasan
aturan dan waktu kapan diperbolehkannya impor. Seperti tidak
diperbolehkan impor satu bulan sebelum panen raya dan dua bulan
setelah panen raya. Pernyataan ini sesuai dengan apa yang
disampaikan oleh Bapak Bustanul Arifin sebagai berikut:
215
“…Jadi sebenarnya sudah ada ketentuannya. Indonesia
itu tidak akan impor satu bulan sebelum panen raya dan
dua bulan setelah panen raya, itu ketentuannya. Nah anda
tanya ketentuan tadi berupa perencanaannya, jadi impor itu
tidak akan terjadi satu bulan sebelum panen raya dan dua
bulan setelah panen raya. Setidaknya empat bulan, jadi
saat satu bulan sebelum panen raya, saat panen raya dan
dua bulan setelahnya. Itu ketentuannya maka pemerintah
fully regulated mengatur, itu perencanaannya. Jadi impor
bila dari perkiraan produksi dan manajemen stok tidak
cukup maka impor boleh dilakukan. Kalau produksinya
cukup seharusnya tidak perlu impor, justru kita ekspor,
kalau produksinya cukup…”
Sedangkan menurut sumber penulis dari Badan Ketahanan
Pangan menyatakan bahwa ada langkah-langkah yang sedang
direncanakan dan dilaksanakan pemerintah dalam upaya
mengurangi impor, adapun penjelasannya sebagai berikut:
“…Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah
dewasa ini dalam mengurangi bahkan meniadakan impor
beras sehingga terwujud swasembada beras dan
kedaulatan pangan adalah dengan melakukan Program
216
Upaya Khusus (UPSUS) dalam rangka meningkatkan
produksi beras yang teraplikasikan dalam kegiatan seperti
gerakan pengelolaan penerapan tanaman terpadu,
rehabilitasi dan pembangunan jaringan irigasi tersier,
optimalisasi lahan dan System of Rice Intensification
(SRI).Berdasarkan ARAM I yang dirilis oleh BPS pada 1
Juli 2015 bahwa produksi padi tahun 2015 mengalami
peningkatan dibandingkan dengan tahun 2014. Produksi
padi 2015 diramalkan mencapai 75,55 juta ton gabah
kering giling (GKG) mengalami kenaikan 4,70 juta ton
atau 6,64% dibandingkan dengan tahun 2014 yang hanya
mencapau 70,85 juta ton. Mengacu pada angka padi
tersebut, maka diperkirakan pada tahun 2015 ini akan
terjadi surplus produksi beras sebesar 10,572 juta ton.
Angka tersebut diperoleh dari hasil perkiraan ketersediaan
sebesar 42,477 juta ton dikurangi kebutuhan sebesar
31,905 juta ton. Dimana asumsi angka kebutuhan yang
digunakan adalah 124,89 kg/kap/tahun dengan jumlah
penduduk sebanyak 255,462 juta jiwa. Belum lagi, surplus
produksi tersebut belum termasuk stok awal tahun sebesar
1,62 juta ton, sehingga surplus total bisa bertambah
217
menjadi 12,192 juta ton. Artinya, secara hitung-hitungan
diatas kertas pada tahun 2015 tidak perlu adanya impor
beras…”
Harapan impor di masa depan bagi perberasan di Indonesia
adalah dengan produksi yang besar mana mungkin kita impor. Dan
bila ada impor perlu kita atur dengan baik. Hal ini sesuai dengan
apa yang disampaikan oleh Bapak Bustanul Arifin sebagai berikut:
“…Bagi saya ya, sebagai ekonom impor itu nggak apa-
apa. Kalau seorang ekonom melarang impor itu nggak
bener, kalau nggak ada impor pasti bergejolak. Tapi, kita
kelola kita atur, sekali lagi kalo produksi dalam negeri
besar mana mungkin kita impor? Justru itu akibat saja,
buktinya kita kelapa sawit kita ekspor karena produksi kita
berlimpah. Orang-orang Malaysia impor ke kita, semua
Negara dunia mengimpor ke kita. Kita push di
produksinya, kita cetak sawah-sawah baru kita dorong
kepada orang bahwa bertani beras itu sangat amat
menguntungkan tapi lahannya harus luas, kalau lahannya
sempit tidak menguntungkan…”
Sedangkan harapan mengenai impor beras bagi sumber penulis
dari Badan Ketahanan Pangan adalah sebagai berikut:
218
“…Dengan berbagai potensi dan daya dukung yang
dimiliki oleh Indonesia, kedepan Indonesia akan lepas dari
impor beras bahkan menjadi lumbung pangan dunia. Hal
ini dapat diyakini seperti halnya wilayah merauke yang
dapat dijadikan lumbung beras nasional. Data
menunjukkan bahwa terdapat 2,5 juta hektar lahan
potensial untuk pangan dan 1,9 juta hektar untuk lahan
basah di merauke (Papua)…”
c. Konsumsi Beras
Konsumsi Beras merupakan salah satu tindakan untuk
mengurangi atau menghabiskan nilai guna ekonomi dari beras.
Kegunaan dari beras sendiri adalah sebagai salah satu sumber
makanan (setelah dimasak menjadi nasi) bagi manusia untuk
menjadi sumber tenaga dalam hidup manusia. Pada hasil penelitian
diperoleh bahwa Konsumsi Beras berpengaruh negatif dan
signifikan terhadap Harga Beras. Nilai koefisisen yang diperoleh -
9.123178 yang berarti apabila Konsumsi Beras meningkat 1%
maka akan menurunkan Harga Beras sebesar 9.123178 %. Hal
tersebut sesuai dengan hipotesis bahwa Konsumsi Beras dapat
berpengaruh signifikan terhadap Harga Beras.
Pengaruh negatif yang diperoleh konsumsi beras diakibatkan
219
oleh perubahan konsumsi beras yang cenderung menurun
sedangkan harga cenderung mengalami kenaikan selama tahun
penelitian. Seperti yang dapat kita lihat pada tabel berikut:
Tabel 4.18
Tabel Differensiasi Konsumsi
Sumber: Data terlampir, Lampiran 12
Berdasarkan tabel
diatas dapat diketahui bahwa
Provinsi Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat sebagai contoh
mengalami penurunan perubahan konsumsi. Perubahan inilah yang
Provinsi D(Konsumsi)
Aceh - 08 NA
Aceh - 09 0.014164
Aceh - 10 0.008054
Aceh - 11 0.005499
Aceh - 12 0.008679
Aceh - 13 0.000105
Sumut - 08 NA
Sumut - 09 0.008595
Sumut - 10 0.002486
Sumut - 11 0.002747
Sumut - 12 0.005846
Sumut - 13 -0.002791
Sumbar - 08 NA
Sumbar - 09 0.00965
Sumbar - 10 0.003542
Sumbar - 11 0.002397
Sumbar - 12 0.005604
Sumbar - 13 -0.002929
220
menyebabkan terjadi hubungan negatif antara konsumsi dengan
harga. Selain itu hubungan negatif antara konsumsi dengan harga
juga dapat dijelaskan bahwa terjadi kemampuan masyarakat untuk
berkonsumsi menurun sedangkan harga cenderung tetap bahkan
meningkat diakibatkan besarnya biaya dalam faktor-faktor
produksi di Indonesia, mahal dan buruknya distribusi di Indonesia
dalam jangka waktu penelitian.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan A.
Husni Mailan, Sudi Mardianto dan Mewa Ariani (2004), Konsumsi
beras dipengaruhi oleh jumlah penduduk, harga beras di pasar
domestik, impor beras tahun sebelumnya, harga jagung pipilan di
pasar domestik, dan nilai tukar riil.
Hubungan antara konsumsi dengan harga dapat dijelaskan
dengan kurva garis anggaran (budget line). Menurut Prathama
Rahadja dan Mandala Manurung (hal. 84-85, 2006) Garis anggaran
(budget line) adalah kurva yang menunjukkan kombinasi
konsumsi dua macam barang yang membutuhkan biaya (anggaran)
yang sama besar.
Mengapa pengaruh dari konsumsi beras terhadap harga beras
hal ini dikarenakan dengan membudayanya beras sebagai bahan
pokok konsumsi pada hampir keseluruhan masyarakat Indonesia.
221
Adapun penjelasan detil mengenai konsumsi beras menurut
narasumber penulis adalah sebagai berikut:
Setiap beras yang akan dikonsumsi oleh masyarakat pasti
memiliki standar masing-masing. Standar yang digunakan di
Indonesia dalam produk beras sendiri merupakan SNI (Standar
Nasional Indonesia). Setidaknya ada 8 kualitas yang dijadikan
standar dalam produk beras di Indonesia. Pernyataan diatas sesuai
dengan pernyataan Bapak Bustanul Arifin, pernyataan tersebut
disampaikan oleh beliau sebagai berikut:
“…Ada dong standarisasi, namanya SNI, Standar
Nasional Indonesia. Pasti ada dong, standar beras di
Indonesia itu ada 8 kualitas atau apa gitu. Kalau anda
bertanya apakah ada, tapi di Indonesia itu tidak ada yang
bisa mengenforce, tidak ada yang bisa melakukan
pengawasan secara baik. Mmm… kalo kita berharap
pemerintah melakukan pengawasan seluruhnya ya nggak
bener juga, karena nggak punya kemampuan untuk
melakukan itu. Pada orang, kan nggak mungkin
melakukan pengawasan satu-persatu. Mekanisme check
and balance itu justru dari para pedagang dan masyarakat
itu sendiri. Kalau dibilang beras kualitas A, yang datang
222
beras kualitas B mereka menyelesaikan sendiri. Kecuali
ada dispute atau persoalan hukum baru mereka melapor ke
penegak hukum, itu. Kalau kita melihat ada barang yang
tidak layak konsumsi, dikasih ke ayam saja…”
Masalah yang dihadapi oleh Indonesia dalam mengkonsumsi
beras adalah banyaknya beras yang dikonsumsi atau
ketergantungannya masyarakat di Indonesia terhadap beras. Dalam
food calorie masyarakat Indonesia secara umum beras
mendominasi, secara food balance atau keseimbangan gizi
masyarakat Indonesia belum tercapai. Statement diatas sesuai
dengan apa yang disampaikan oleh Bapak Bustanul Arifin sebgai
berikut:
“…Kebanyakan makan, hehe. Terlalu banyak
bergantung kepada beras, jadi bagian intake food calorie
sebagian besar dari beras. Kalo, itu saya bilang masalah.
Dari situ sehingga balancenya atau food balance,
keseimbangan pangan atau keseimbangan gizinya belum
tercapai. Jadi karena disitu masyarakat masih banyak
tergantung pada beras, dia menimbulkan tekanan pada
konsumsi beras, sehingga konsumsi beras kita tetap tinggi,
gitu. Kita belum tersedia pilihan-pilihan, dari pangan lokal
223
yang mampu menjadi substitusi atau setidaknya
komplemen dari beras. Kalau itu tidak terjadi, sampai
kapanpun beras akan menjadi isu politis, itu…”
Sedangkan permasalahan yang dihadapi dalam konsumsi beras
menurut sumber penulis dari Badan Ketahanan Pangan adalah
berlebihannya dalam mengkonsumsi beras, penjelasan dari
statement tersebut adalah sebagai berikut:
“…Angka konsumsi beras masyarakat Indonesia yang
mencapai 139 kg/kapita menjadikan bangsa Indonesia
sebagai Negara tertinggi di Asia bahkan di Dunia dalam
mengkonsumsi beras. Kebiasaan atau budaya yang
melekat di masyarakat Indonesia bahwa “belum kenyang
kalau belum makan nasi” telah mendarah daging di
berbagai kalangan masyarakat. Disamping itu politisasi
beras dan penyeragaman budidaya padi di seluruh
Indonesia sehingga menjadikan beras sebagai “single
commodity” pada era zaman orde baru membuat
pemenuhan beras menjadi permasalahan tersendiri. Oleh
karena itu, untuk mengurangi kebiasaan yang telah
melekat di masyarakat, Pemerintah mentargetkan setiap
tahunnya untuk mengurangi angka konsumsi sebesar 1,5%
224
pertahun dan telah melakukan berbagai terobosan guna
mengurangi angka konsumsi beras nasional, diantaranya
Perpres No. 22 tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan
Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber
Daya Lokal dan Permentan Nomor
43/Permentan/)T140/10/2009 tentang Gerakan Percepatan
Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber
Daya Lokal. Kedua regulasi ini kemudian diaplikasikan
oleh pemerintah daerah seperti di Kota Depok dengan
Program ”One Day No Rice”. Dimana setiap hari selasa di
lingkungan Pemkot Depok dan wilayah Kota Depok
disarankan untuk tidak mengkonsumsi nasi. Selain itu
berbagai penyuluhan, dan kampanye tentang bahaya dari
konsumsi beras yang berlebihan sehingga dapat
menyebabkan diabetes juga dilakukan bersama-sama
dengan Kementerian Kesehatan dan BPOM…”
Harapan mengenai konsumsi beras di Indonesia pada masa
depan adalah dengan mengurangi konsumsi beras sehingga
tekanan terhadap beras tidak seperti sekarang. Dan juga secara
kesehatan beras mengandung hormon exorfin dengan mempunyai
sifat yang mirip dengan morfin yaitu ketagihan maupun sakau.
225
Penjelasan lebih detil disampaikan oleh Bapak Bustanul Arifin
sebagai berikut:
“…Ya tadi, harapan untuk kita itu kurangi makan lah
supaya nggak gemuk-gemuk, baru tekanan terhadap beras
ini berkurang. Beras itu harus anda pelajari itu dia
mengandung hormon exorfin, exorfin itu sifatnya mirip
dengan morfin ketagihan sakau. Kita makan beras itu
ketagihan lho, kurang terus kurang terus serius lho. Orang
banyak tidak perhatikan ini ada unsur exorfin ada unsur
addiction, udang juga ada unsur addiction kita makan satu
itu rasanya nggak cukup. Ada unsur-unsur seperti itu, kecil
mirip exorfin dengan morfin unsur zat kimianya sama jadi
bikin addicted. Anda ngga merasa, kita kan sebelum
kembung masih akan menambah itu ketagihan. Nah itu
kalo bisa dikurangi akan mengurangi tekanan konsumsi
kepada beras. Makanan pokok, sementara kalo kita lihat
data Negara-negara lain itu mereka sudah mulai balance
karbohidrat, protein vitamin, kita masih banyak 99%
karbohidrat. Dan disitu kata orang kesehatan, untuk
mengurangi tekanan orang yang sakit gula diabetes, itu
baru bisa diharapkan yang lain-lain…”
226
Sedangkan harapan yang disampaikan oleh sumber penulis dari
Badan Ketahanan Pangan adalah sebagai berikut:
“…Kedepan, konsumsi beras diharapkan akan terus
mengalami penurunan sebagaimana target Kementerian
Pertanian itu sendiri sehingga sejalan dengan program
diversifikasi pangan mengingat tingkat konsumsi beras di
Indonesia sebesar 139 kg/kapita merupakan tertinggi di
asia bahkan dunia. Sehingga masyarakat Indonesia tidak
mengandalkan beras sebagai sumber pangan utama tetapi
juga dapat mengkonsumsi pangan lainnya yang melimpah
tersedia di bumi Indonesia seperti jagung, singkong, sagu,
sukun, ubi dan lain-lainnya…”
227
BAB V
PENUTUP
C. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang dipaparkan sebelumnya,
penulis memperoleh kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian mengenai
Pengaruh Produksi Beras, Impor Beras dan Konsumsi Beras terhadap Harga
Beras pada 32 Provinsi di Indonesia Tahun 2008-2013 adalah sebagai berikut:
1. Berdasarkan hasil estimasi regresi data panel model FEM dapat diketahui
dan dijelaskan secara bersama-sama bahwa Produksi Beras, Impor Beras
dan Konsumsi Beras berpengaruh signifikan terhadap Harga Beras tahun
2008-2013. Dengan diperoleh nilai F-Statistik sebesar 6,828576. Ini berarti
faktor-faktor yang menentukan Harga Beras salah satunya merupakan
Produksi Beras, Impor Beras dan Konsumsi Beras.
2. Berdasarkan hasil estimasi regresi data panel model FEM, secara parsial
dapat diperoleh bahwa Produksi Beras tidak berpengaruh signifikan dan
positif terhadap Harga Beras pada 32 Provinsi di Indonesia. Dengan
diperoleh nilai t-statistik sebesar 0,746428 dan probabilitas sebesar 0.4568
pada tingkat signifikansi sebesar 5%. Tidak ditemui hubungan yang
signifikan antara Produksi Beras dengan Harga Beras dapat disebabkan
karena secara umum Produksi Beras di Indonesia belum mencapai titik
228
efisien, dengan angka produktifitas hanya mencapai 50%. Permasalahan
produktifitas ini disebabkan oleh keadaan petani secara umum dalam
keadaan miskin dan luas lahan yang sempit, ditambah dengan tingkat
adopsi teknologi masih lemah. Adapun tingkat adopsi yang lemah dapat
dilihat dari pendidikan rendah, modal lemah dan jumlah penyuluh kurang.
Selain itu, masalah produktifitas juga didapat akibat dari banyaknya
saluran irgasi yang rusak serta pemberian subsidi benih dan pupuk yang
tidak tepat sasaran. Selain dari segi produksi, juga terdapat masalah dalam
Distribusi Beras di Indonesia. Adapun permasalahan yang dihadapi adalah
buruknya kualitas jalan, pelabuhan, sarana dan prasarana transportasi,
banyak oknum yang meminta pungutan secara liar dan mata rantai
distribusi beras yang relatif panjang. Sehingga mekanisme distribusi beras
menjadi tidak efisien dan akhirnya dapat mempengaruhi hubungan antara
Produksi Beras dengan Harga Beras.
3. Berdasarkan hasil estimasi regresi data panel model FEM, secara parsial
dapat diperoleh bahwa Impor Beras berpengaruh signifikan dan negatif
terhadap Harga Betas pada 32 Provinsi di Indonesia. Dengan diperoleh
nilai t-statistik -1,982398 dan probabilitas sebesar 0.0496 pada tingkat
signifikansi sebesar 5%. Hal ini berarti setiap kenaikan perubahan Impor
Beras maka akan mempengaruhi Harga Beras secara negatif. Hal ini
didukung dengan adanya pengaturan berapa jumlah beras impor
229
(khususnya kualitas medium) yang harus dikirim oleh pemerintah. Dan
juga terdapat waktu pembatasan impor, yaitu tidak diperkenankan impor
pada saat satu bulan sebelum panen raya dan dua bulan setelah panen raya.
Sehingga harga beras lokal dapat terjaga dengan baik, dan melindungi
petani-petani lokal. Namun, banyak terjadi kecurangan dalam dunia
perberasan di Indonesia, salah satunya dengan melakukan pelabelan yang
tidak sesuai dengan jenis beras seharusnya, penyalah gunaan izin impor
beras dengan memasukkan beras jenis medium namun hanya memiliki izin
impor beras jenis premium.
4. Berdasarkan hasil estimasi regresi data panel model FEM, secara parsial
dapat diperoleh bahwa Konsumsi Beras berpengaruh signifikan dan negatif
terhadap Harga Beras pada 32 Provinsi di Indonesia. Dengan diperoleh
nilai t-statistik -9.631158 dan probabilitas sebesar 0.0000 pada tingkat
signifikansi sebesar 5%. Pengaruh negatif yang diperoleh konsumsi beras
diakibatkan oleh perubahan konsumsi beras yang cenderung menurun
sedangkan harga cenderung meningkat selama tahun penelitian. Selain itu
hubungan negatif antara konsumsi dengan harga juga dapat dijelaskan
bahwa kemampuan masyarakat untuk berkonsumsi menurun sedangkan
harga cenderung stabil bahkan meningkat diakibatkan besarnya biaya
dalam faktor-faktor produksi, mahal dan buruknya distribusi di Indonesia
dalam jangka waktu penelitian. Selain itu, Indonesia merupakan Negara
230
pengkonsumsi beras tertinggi di dunia, sehingga intake food calorie
sebagian besar dari beras dan food balance atau keseimbangan gizi belum
tercapai. Karena itulah masyarakat masih banyak tergantung pada beras,
menimbulkan tekanan pada konsumsi beras dan juga tidak ada pangan
lokal yang mampu menjadi substitusi atau komplementer dari beras.
231
D. Saran
Berdasarkan hasil analisis dan penelitian, maka saran yang dapat diberikan
oleh penulis adalah sebagai berikut:
1. Bagi pemerintah pusat diharapkan dapat meningkatkan perhatian
dalam kebijakan perberasan di Indonesia, khususnya pada produksi
beras. Perlu adanya upaya lebih keras lagi agar produksi beras dapat
meningkat melebihi dari kebutuhan nasional namun juga
kesejahteraan petani sehingga SDM yang bekerja di bidang
pertanian tidak alih profesi bahkan menjual lahan miliknya untuk
kepentingan non-pertanian.
2. Bagi pemerintah pusat diharapkan juga memperhatikan keadaan
sarana dan prasarana pertanian dan hal-hal yang berkaitan seperti;
irigasi, pupuk, bibit, distribusi, pelabuhan, jalan dan lain
sebagainya. Gunanya agar mencapai kelancaran dunia perberasan
di Indonesia dari segi hulu yaitu produsen (petani) hingga segi hilir
yaitu konsumen. Apabila terjadi maka dapat diharapkan kualitas
dan harga beras Indonesia di pasar lokal maupun pasar internasional
dapat bersaing dengan beras-beras dari Negara lain.
3. Bagi pemerintah pusat agar bersama-sama pemerintah daerah untuk
mengawasi proses dalam dunia perberasan dengan baik. Agar
menghindari terjadinya kecurangan di dunia perberasan. Selain itu
232
memperbaiki celah-celah hukum dalam dunia perberasan di
Indonesia, agar tidak ada pihak-pihak yang memanfaatkan celah
hukum sebagai sarana memperoleh keuntungan yang berlebihan
namun merugikan banyak pihak.
4. Bagi pemerintah daerah baik tingkat provinsi maupun kabupaten
dan kota untuk terus mendukung upaya pemerintah dalam
memperbaiki dunia perberasan di Indonesia. Dengan melakukan
kebijakan daerah (khususnya bidang pertanian) sejalan dengan
kebijakan pemerintah pusat. Dan perlu adanya ketegasan akan
mekanisme lahan pertanian, sehingga mengurangi kesempatan
oknum untuk mengubah lahan pertanian diperuntukkan sebagai
lahan non-pertanian.
5. Bagi pemerintah daerah agar memberikan intensif khusus bagi
petani dan pengusaha di bidang pertanian agar mempercepat
pengembangan usaha di bidang pertanian seperti; pengawasan
pengadaan pupuk dan bibit, pengadaan penyuluh pertanian, upaya
penanggulangan dan pencegahan bencana alam bagi pertanian
misal kekeringan jangka panjang dan wabah hama, membantu
dalam manajemen penyebaran produk pertanian hasil panen.
233
DAFTAR PUSTAKA
Afrianti, Novi. “Analisis Partisipasi Petani Dalam Pengelolaan Irigasi di Daerah
Irigasi Limau Manis Kota Padang Sumatera Barat (Skripsi)”, FP Universitas
Andalas: Padang, 2011.
Afrianto, Denny. “Analisis Pengaruh Stok Beras, Luas Panen, Rata-Rata Produksi,
Harga Beras dan Jumlah Konsumsi Beras terhadap Ketahanan Pangan di
Jawa Tengah (Skripsi)”, FE Universitas Diponegoro: Semarang, 2010.
A. Husni Mailan, Sudi Mardianto dan Mewa Ariani. “Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Produksi, Konsumsi dan Harga Beras serta Inflasi Bahan
Makanan (Jurnal)”, Jurnal Agro Ekonomi Pusat Penelitian dan
Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian: Bogor, 2004.
Badan Pusat Statistik.”Hasil Survei Harga Konsumen Eceran Beras di Pasar
Tradisional di 33 Kota, 2000-2013”, Badan Pusat Statistik Republik
Indonesia: Jakarta, 2014.
___ . “Tabel Produksi Produk Pangan Beras Tahun 2008-2013”,
Badan Pusat Statistik Republik Indonesia: Jakarta, 2014.
___ . “Buku Statistik Perdagangan Luar Negeri Impor Jilid III
Tahun 2008”, Badan Pusat Statistik Republik Indonesia: Jakarta, 2009.
___ . “Buku Statistik Perdagangan Luar Negeri Impor Jilid III
Tahun 2009”, Badan Pusat Statistik Republik Indonesia: Jakarta, 2010.
234
___ . “Buku Statistik Perdagangan Luar Negeri Impor Jilid III
Tahun 2010”, Badan Pusat Statistik Republik Indonesia: Jakarta, 2011.
___ . “Buku Statistik Perdagangan Luar Negeri Impor Jilid III
Tahun 2011”, Badan Pusat Statistik Republik Indonesia: Jakarta, 2012.
___ . “Buku Statistik Perdagangan Luar Negeri Impor Jilid III
Tahun 2012”, Badan Pusat Statistik Republik Indonesia: Jakarta, 2013.
___ . “Buku Statistik Perdagangan Luar Negeri Impor Jilid III
Tahun 2013”, Badan Pusat Statistik Republik Indonesia: Jakarta, 2014.
___ . “Tabel Jumlah Penduduk Indonesia Tahun 2000-2010”, Badan
Pusat Statistik Republik Indonesia: Jakarta, 2011.
___ . “Tabel Laju Pertumbuhan Penduduk per Tahun menurut
Provinsi di Indonesia Tahun 1971-2010”, Badan Pusat Statistik Republik
Indonesia: Jakarta, 2011.
___ . “Tabel Proyeksi Jumlah Penduduk Indonesia Tahun 2010-
2013”, Badan Pusat Statistik Republik Indonesia: Jakarta, 2014.
Bisnis Indonesia. “Harga Beras: HPP dan Gabah Petani Naik Maret 2015 (Artikel
Koran)”, Bisnis Indonesia: Jakarta, 2015. Artikel diakses pada Tanggal 15
Maret 2015 pukul 12:20,
http://industri.bisnis.com/read/20150317/99/412670/harga-beras-hpp-dan-
gabah-petani-naik-maret-2015.
Christianto, Edward. “Faktor Yang Mempengaruhi Volume Impor Beras Di Indonesia
235
(Jurnal)”, Jurnal JIBEKA, 2013.
Creswell, John W, “Research Design Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods
Approaches”, SAGE Publication: United States Of America, 2009.
Dinas Tanaman Pangan Provinsi Sumatera Barat. “Kementan Puji Sumbar dalam
Percepatan Tanam Padi (Artikel)”, Dinas Tanaman Pangan Provinsi
Sumatera Barat: Padang, 2015. Artikel diakses pada tanggal 19 Agustus 2015
pukul 13:36, http://diperta.sumbarprov.go.id/berita-254-kementan-puji-
sumbar-dalam-percepatan-tanam--padi.html.
Dyah Ayu Suryaningrum, Wen-I Chang dan Ratya Anindita. “Analisys on Spatial
Integration of Thailand and Vietnam Rice Market in Indonesia (Jurnal)”,
Greener Journal of Business and Management Studies, 2013.
Fitriani, Erda. “Pola Kebiasaan Makan Orang Lanjut Usia (Studi Kasus: Penderita
Penyakit Hipertensi Sukubangsa Minangkabau di Jakarta) (Jurnal)”,
Humanus Universitas Negeri Padang: Padang, 2012.
Gujarati, Damodar N. “Dasar-dasar ekonometrika”, Edisi Ketiga, Jilid Dua, Erlangga:
Jakarta, 2007
Hamja, Yahya. “Materi Kuliah Ekonometrik”, Bandung, 2008.
Hady, Hamdy. Ekonomi Internasional: Teori dan Kebijakan Perdagangan
Internasional, Ghalia Indonesia: Jakarta, 2001.
Kementerian Pertanian, “Rencana Strategis Kementerian Pertanian Tahun 2010-
2014”, Kementerian Pertanian: Jakarta, 2011.
236
Kompas, “Harga Beras Naik, Salah Siapa (Artikel Koran)”, Kompas: Jakarta, 2015.
Artikel diakses pada Tanggal 26 Maret 2015 pukul 12:25,
http://print.kompas.com/baca/2015/03/04/Harga-Beras-Naik%2c-Salah-
Siapa).
Kumala Sari, Ratih. “Analisis Impor Beras Di Indonesia (Jurnal)”, Economics
Development Analysis Journal Universitas Negeri Semarang: Semarang, 2014.
I Gusti Ngurah Agung, N. Haidy A. Passay, Sugiharso, Teori Ekonomi Mikro: Suatu
Analisis Produksi Terapan, PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2008.
Latief, Dochak. Pembangunan Ekonomi dan Kebijakan Ekonomi Global,
Muhammadiyah University Press: Surakarta, 2002.
Nachrowi, Djalal & Hardius Usman. “Penggunaan Teknik Ekonometrik”, edisi revisi,
Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2008.
Nicholson, Walter. “Mikroekonomi Intermediate dan aplikasinya”, Penerbit
Binarupa Aksara: Jakarta, 1995.
Presiden Republik Indonesia. “Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun
2012 Tentang Pangan”, Pemerintah Republik Indonesia: Jakarta, 2012.
Putong, Iskandar. “Pengantar Ekonomi Mikro dan Makro”, Ghalia Indonesia: Jakarta,
2000.
Rahadja, Pratama. “Teori Ekonomi Mikro; Suatu Pengantar”, Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia: Jakarta, 2006.
237
Robert S. Pindyck dan Daniel L. Rubinfeld. “Mikroekonomi”. PT. Indeks: Jakarta,
2009.
Rosadi, Dedi. “Ekonometrika dan Analisis Runtun Waktu Terapan dengan Eviews”,
ANDY Yogyakarta: Yogyakarta, 2012.
Rosyidi, Suherman. “Pengantar Teori Ekonomi: Pendekatan Kepada Teori Ekonomi
Mikro dan Makro”, Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2001.
Sadono Soekirno. “Mikro Ekonomi Teori Pengantar”. PT. Raja Grafindo Persada:
Jakarta, 2009.
Samuelson, Paul. A dan Nordhaus, William D, “Ilmu Makroekonomi”, Media Global
Edukasi: Jakarta, 2004.
Sisungkunon, Bisuk Abraham. “Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Produksi Padi Indonesia, 1972-2011 (Skripsi)”, FE Universitas Indonesia: Depok,
2013.
Soekartawi. “Agribisnis, Teori dan Aplikasinya”. Rajawali Pers: Jakarta, 1991.
Sugiharto, Hari Nugroho, “Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Harga Beras
di Indonesia Tahun 1988-2008 (Skripsi)”, FE Universitas Muhammadiyah
Surakarta: Surakarta, 2011.
Sugiyono, Prof. Statistik untuk Penelitian, Alfabeta: Bandung, 2007.
Sugiyono, Prof. Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods), Alfabeta: Bandung,
2012.
Sudarman, Ari. “Teori Ekonomi Mikro”, BPFE: Yogyakarta, 2001.
238
Wawancara Pribadi dengan Dr. Bustanul Arifin, S.P, M.Sc. Tangerang Selatan,
tanggal 7 Juni 2015.
Wawancara Pribadi dengan Narasumber Badan Ketahanan Pangan. Jakarta, tanggal
10 Agustus 2015.
Wawancara Pribadi dengan Narasumber Ditjen Tanaman Pangan. Jakarta, tanggal 14
Agustus 2015.
Winardi, DR. “Pengantar Ilmu Ekonomi Mikro”, Alumni: Bandung, 1987.
Winaryo, Wing Wahyu. “Analisis ekonometrika dan statistika dengan Eviews”,
Sekolah Tinggi Ilmu Menejemen YKPN: Yogyakarta, 2006.
Winaryo, Wing Wahyu. “Analisis ekonometrika dan statistika dengan Eviews”,
Sekolah Tinggi Ilmu Menejemen YKPN: Yogyakarta, 2007.
239
LAMPIRAN
Lampiran I
Data normal
Provinsi Tahun HargaBeras ProduksiBeras ImporBeras KonsumsiBeras
Aceh 2008 6258.32 1556858 15900 693683.2
Aceh 2009 6532.56 1402287 0 716679
Aceh 2010 6993.89 1582393 14750 730095.2
Aceh 2011 8247.31 1772962 31400 739396.8
Aceh 2012 8643.8 1788738 4600 754322.6
Aceh 2013 9264.79 1956940 0 754504.2
Sumut 2008 5894.92 3527899 45100.4 2050044
Sumut 2009 6390.29 3340794 26395.6 2091021.2
Sumut 2010 6954.47 3582302 92672.65 2103024.7
Sumut 2011 7725.61 3607403 358693.89 2116365.2
Sumut 2012 7881.98 3715514 103175.3 2145046.5
Sumut 2013 8286.99 3727249 47566 2131308.4
Sumbar 2008 6653.31 2105790 23000 761834.9
Sumbar 2009 7117.49 1965634 0 778953.4
Sumbar 2010 8007.47 2211248 10500 785331.3
Sumbar 2011 9878.17 2279602 44250 789677.1
Sumbar 2012 9721.15 2368390 25050 799933.0
Sumbar 2013 9921.76 2430384 0 794557.4
Riau 2008 6562.43 531429 21500 833758.9
Riau 2009 7081.2 494260 0 872299.3
Riau 2010 7888.78 574864 10951.14 899871.2
Riau 2011 9600.82 535788 86853.12 916634.3
Riau 2012 9775.81 512152 18501 940539.6
Riau 2013 9976.67 434144 0 946176.5
Jambi 2008 5973.92 644947 0 474645.5
Jambi 2009 6142.24 581704 0 491387.6
Jambi 2010 7335.81 628828 0 501612.6
Jambi 2011 8031.48 646641 0 507060.7
Jambi 2012 8733.38 625164 0 516272.1
Jambi 2013 8562.53 664535 0 515345.0
240
Sumsel 2008 5552.26 3125236 0 1159429.5
Sumsel 2009 5840.13 2971286 0 1191642.5
Sumsel 2010 6824.81 3272451 0 1207640.8
Sumsel 2011 7631.13 3384670 43550 1216346.9
Sumsel 2012 8376.95 3295247 22900 1234135.2
Sumsel 2013 8889.22 3676723 0 1227741.4
Bengkulu 2008 5480.81 510160 0 267854.6
Bengkulu 2009 5776.42 484900 0 274792.8
Bengkulu 2010 6742.39 516869 0 277972.4
Bengkulu 2011 7643.67 502552 0 280615.4
Bengkulu 2012 8459.45 581910 0 285356.7
Bengkulu 2013 9349.06 622832 0 284544.6
Lampung 2008 5621.7 2673844 6200 1197798.1
Lampung 2009 5948.41 2341075 25499.99 1223473.4
Lampung 2010 6515.6 2807676 77408.20 1232240.4
Lampung 2011 7667.32 2940795 205495.99 1238341.6
Lampung 2012 8430.09 3101455 88007.79 1253492.8
Lampung 2013 12978.43 3207002 49616.15 1243957.2
Babel 2008 5841.16 19864 0 185667.2
Babel 2009 5804.45 15079 0 193366.2
Babel 2010 6712.67 22259 0 198572.5
Babel 2011 7556.16 15211 0 201409.2
Babel 2012 8673.44 22395 0 205830.5
Babel 2013 8655.33 28480 0 206241.5
Kepri 2008 7571.66 430 0 246024.9
Kepri 2009 7781.6 404 0 261107.8
Kepri 2010 9350.89 1246 0 273242.9
Kepri 2011 10574.74 1223 0 279943.1
Kepri 2012 11487.14 1323 0 288780.3
Kepri 2013 9135.93 1370 0 291915.4
DKI 2008 5838.09 11013 66975.9 1507406.1
DKI 2009 6143.26 8352 105289.83 1542371.9
DKI 2010 7982.68 11164 262484.76 1556103.0
DKI 2011 9929.83 9516 1001298.86 1561089.3
DKI 2012 11811.22 11044 749936.71 1577740.7
DKI 2013 12654.83 10268 221537.06 1563536.6
241
Jabar 2008 5599 11322681 0 6692117
Jabar 2009 5779.26 10111069 0 6881551.7
Jabar 2010 6888.16 11737070 0 6977492.7
Jabar 2011 7639.1 11633891 0 7033602.0
Jabar 2012 8913.89 11271861 0 7142075.9
Jabar 2013 9083.01 12083162 0 7110603.1
Jateng 2008 5469.96 9600415 30716.91 5180631.3
Jateng 2009 5644.64 9136405 418.02 5245470.3
Jateng 2010 6668.52 10110830 2481.90 5236924.8
Jateng 2011 7761.37 9391959 3955 5238591.8
Jateng 2012 8653.99 10232934 612 5279138.5
Jateng 2013 8117.34 10344816 2640 5216697.4
DIY 2008 5241.32 837930 0 546267.1
DIY 2009 5563.05 798232 0 556849.2
DIY 2010 6357.81 823887 0 559705.7
DIY 2011 7183.22 842934 0 561871.1
DIY 2012 7830.38 946224 0 568329.6
DIY 2013 8982.15 921824 0 563772.7
Jatim 2008 5240.08 11259085 80296.19 5951624.4
Jatim 2009 5578.45 10474773 92869.69 6049794.4
Jatim 2010 6673.45 11643773 116368.441 6063675.2
Jatim 2011 7798.9 10576543 605533.84 6057435.0
Jatim 2012 8537.42 12198707 588174.8 6096301.3
Jatim 2013 7521.66 12049342 151305.44 6016336.0
Banten 2008 5020.62 1849007 0 1625179.1
Banten 2009 5087.39 1818166 0 1684464.4
Banten 2010 5868.78 2048047 9650 1725298.0
Banten 2011 6493.79 1949714 135780 1751853.3
Banten 2012 7262.23 1865893 109464.35 1791554.2
Banten 2013 8899.08 2083608 0 1796046.4
Bali 2008 5419.46 878764 0 601837.3
Bali 2009 5794.45 840465 0 620454.3
Bali 2010 7173.71 869161 8450 630712.1
Bali 2011 8332.57 858316 12894.36 633521.7
Bali 2012 9188.72 865553 9600 641072.6
Bali 2013 9549.81 882092 0 636132.1
242
NTB 2008 4843.46 1870775 0 709594.6
NTB 2009 5133.18 1750677 0 724291.5
NTB 2010 6185.78 1774499 0 728965.3
NTB 2011 6609.87 2067137 22200 733441.9
NTB 2012 7418.37 2114231 0 743396.0
NTB 2013 7587 2193698 0 738774.5
NTT 2008 5957.7 607359 0 726057.9
NTT 2009 6271.66 577895 0 747906.3
NTT 2010 7404.06 555493 27264.40 759650.2
NTT 2011 8058.16 591371 23900 766545.9
NTT 2012 9025.44 698566 34731.8 779295.5
NTT 2013 9518.21 729666 0 776914.6
Kalbar 2008 6387.73 1300798 0 696796
Kalbar 2009 6579.09 1321443 0 709361.8
Kalbar 2010 8162.34 1343888 0 712065.1
Kalbar 2011 9116.78 1372988 0 718570.7
Kalbar 2012 10293.72 1300100 0 730405.6
Kalbar 2013 11016.41 1441876 0 727890.8
Kalteng 2008 6010.74 578761 0 344580.6
Kalteng 2009 6373.52 522732 0 353937.7
Kalteng 2010 9133.91 650416 0 358469.9
Kalteng 2011 10882.96 610236 0 364191.7
Kalteng 2012 10749.92 755507 0 372721.9
Kalteng 2013 10458.16 812652 0 373982.3
Kalsel 2008 5024.82 1956993 0 562888
Kalsel 2009 5335.93 1954284 0 579352.4
Kalsel 2010 7774.83 1842089 0 587969.5
Kalsel 2011 9343.89 2038309 0 594574.9
Kalsel 2012 9117.71 2086221 0 605525.0
Kalsel 2013 9387.5 2031029 0 604484.7
Kaltim 2008 5699.39 555560 0 532278
Kaltim 2009 6261.48 586031 0 558213.9
Kaltim 2010 7199.49 588879 3900 577235.4
Kaltim 2011 8056.5 552616 18750 588107.8
Kaltim 2012 8850.76 561959 8600 603477.3
Kaltim 2013 9299.97 439439 0 607041.0
243
Sulut 2008 5684.16 549087 0 357088.1
Sulut 2009 6431.62 520193 0 364891.5
Sulut 2010 7288.34 584030 12000 367654.4
Sulut 2011 7677.71 596223 82600 369122.1
Sulut 2012 8726.8 615062 26767.9 373313.8
Sulut 2013 8865.08 638373 0 370171.4
Sulteng 2008 4970.38 953396 0 409217.3
Sulteng 2009 5676.91 985418 0 421015.5
Sulteng 2010 6515 957108 10500 427103.5
Sulteng 2011 7014.97 1041789 18950 431056.0
Sulteng 2012 7834.2 1024316 0 438233.7
Sulteng 2013 7502.49 1031364 0 436838.0
Sulsel 2008 4798.78 4324178 0 1266495.2
Sulsel 2009 5132.31 4083356 0 1292725.8
Sulsel 2010 5922.01 4382443 0 1301067.7
Sulsel 2011 6503.52 4511705 0 1305606.0
Sulsel 2012 7410.08 5003011 0 1319836.6
Sulsel 2013 7981.99 5035830 0 1308240.1
Sultengg 2008 4679.82 407367 0 346065.4
Sultengg 2009 5823.58 405256 0 356514.6
Sultengg 2010 6429.68 454644 0 362150.2
Sultengg 2011 6706.13 491567 3600 367281.2
Sultengg 2012 8008.11 516291 0 375233.5
Sultengg 2013 8296.84 561361 0 375864.2
Gorontalo 2008 5645.97 256934 0 160563.8
Gorontalo 2009 6406.41 237873 0 165717.2
Gorontalo 2010 7174.76 253563 0 168646.2
Gorontalo 2011 7613.73 273921 0 170098.1
Gorontalo 2012 8186.81 245786 0 172826.6
Gorontalo 2013 7888.93 295913 0 172194.6
Maluku 2008 6170.24 89875 0 234345.9
Maluku 2009 6433.64 75826 0 243211.7
Maluku 2010 7504.53 83109 12000 248885.4
Maluku 2011 8394.32 87468 24671.09 251433.3
Maluku 2012 9159.99 84271 13650 255888.3
Maluku 2013 9539.41 101835 0 255375.0
244
Malut 2008 6766.44 46253 0 159645.2
Malut 2009 6771.75 51599 0 165123.3
Malut 2010 7980.56 55401 0 168404.0
Malut 2011 8785.25 61430 0 170834.4
Malut 2012 9565.95 65686 0 174554.4
Malut 2013 9807.03 72445 0 174845.0
Papua 2008 7586.64 98511 0 411390
Papua 2009 7576.48 85699 0 438640
Papua 2010 7536.79 102610 12200 461162.0
Papua 2011 9284.97 115437 15400 466673.2
Papua 2012 9993.12 138032 0 475749.1
Papua 2013 8083.06 169791 0 475574.0
Papbar 2008 6533.12 36985 0 114147
Papbar 2009 6674.23 39537 0 119584.7
Papbar 2010 6977.41 34254 0 123530.7
Papbar 2011 7551.39 29304 10700 125820.7
Papbar 2012 7920.77 30245 6600 129104.0
Papbar 2013 10155.63 29912 0 129898.7
Data penyesuaian dengan model
Provinsi Tahun HargaBeras ProduksiBeras ImporBeras KonsumsiBeras
Aceh 2008 3.796458 4.201397 5.841161
Aceh 2009 3.815083 6.192249 0 5.855325
Aceh 2010 3.844719 6.146837 4.168792 5.863379
Aceh 2011 3.916312 6.199314 4.49693 5.868878
Aceh 2012 3.936705 6.248699 3.662758 5.877557
Aceh 2013 3.966836 6.252547 0 5.877662
Sumut 2008 3.770478 4.65418 6.311763
Sumut 2009 3.805521 6.547516 4.421532 6.320358
Sumut 2010 3.842264 6.52385 4.966952 6.322844
Sumut 2011 3.887933 6.554162 5.554724 6.325591
Sumut 2012 3.896635 6.557195 5.013576 6.331437
Sumut 2013 3.918397 6.570019 4.677297 6.328646
Sumbar 2008 3.823038 4.361728 5.881861
245
Sumbar 2009 3.852327 6.323415 0 5.891511
Sumbar 2010 3.903495 6.293503 4.021189 5.895053
Sumbar 2011 3.994676 6.344637 4.645913 5.89745
Sumbar 2012 3.987718 6.357859 4.398808 5.903054
Sumbar 2013 3.996589 6.374453 0 5.900125
Riau 2008 3.817065 4.332438 5.92104
Riau 2009 3.850107 5.725445 0 5.940666
Riau 2010 3.89701 5.693955 4.039459 5.95418
Riau 2011 3.982308 5.759565 4.938785 5.962196
Riau 2012 3.990153 5.728993 4.267195 5.973377
Riau 2013 3.998986 5.709399 0 5.975972
Jambi 2008 3.776259 0 5.676369
Jambi 2009 3.788327 5.809524 0 5.691424
Jambi 2010 3.865448 5.764702 0 5.700368
Jambi 2011 3.904796 5.798532 0 5.70506
Jambi 2012 3.941182 5.810663 0 5.712879
Jambi 2013 3.932602 5.795994 0 5.712098
Sumsel 2008 3.74447 0 6.064244
Sumsel 2009 3.766423 6.494883 0 6.076146
Sumsel 2010 3.834091 6.472944 0 6.081938
Sumsel 2011 3.882589 6.514873 4.638988 6.085057
Sumsel 2012 3.923086 6.529516 4.359835 6.091363
Sumsel 2013 3.948864 6.517888 0 6.089107
Bengkulu 2008 3.738845 0 5.427899
Bengkulu 2009 3.761659 5.707706 0 5.439005
Bengkulu 2010 3.828814 5.685652 0 5.444002
Bengkulu 2011 3.883302 5.71338 0 5.448112
Bengkulu 2012 3.927342 5.701181 0 5.455388
Bengkulu 2013 3.970768 5.764856 0 5.45415
Lampung 2008 3.749868 3.792392 6.078384
Lampung 2009 3.774401 6.427136 4.40654 6.087595
Lampung 2010 3.813954 6.369415 4.888787 6.090695
Lampung 2011 3.884644 6.448347 5.312803 6.09284
Lampung 2012 3.925832 6.468465 4.944521 6.098122
Lampung 2013 4.113222 6.491565 4.695623 6.094805
Babel 2008 3.766499 0 5.268735
246
Babel 2009 3.763761 4.298067 0 5.286381
Babel 2010 3.826895 4.178373 0 5.297919
Babel 2011 3.878301 4.347506 0 5.304079
Babel 2012 3.938191 4.182158 0 5.31351
Babel 2013 3.937284 4.350151 0 5.314376
Kepri 2008 3.879191 0 5.390979
Kepri 2009 3.891069 2.633468 0 5.41682
Kepri 2010 3.970853 2.606381 0 5.436549
Kepri 2011 4.02427 3.095518 0 5.44707
Kepri 2012 4.060212 3.087426 0 5.460567
Kepri 2013 3.960753 3.12156 0 5.465257
DKI 2008 3.766271 4.825919 6.17823
DKI 2009 3.788399 4.041906 5.022386 6.188189
DKI 2010 3.902149 3.92179 5.419104 6.192038
DKI 2011 3.996942 4.04782 6.000564 6.193428
DKI 2012 4.072295 3.978454 5.875025 6.198036
DKI 2013 4.102256 4.043126 5.345446 6.194108
Jabar 2008 3.74811 0 6.825564
Jabar 2009 3.761872 7.053949 0 6.837686
Jabar 2010 3.838103 7.004797 0 6.843699
Jabar 2011 3.883042 7.06956 0 6.847178
Jabar 2012 3.950067 7.065725 0 6.853824
Jabar 2013 3.95823 7.051996 0 6.851906
Jateng 2008 3.737984 4.487378 6.714383
Jateng 2009 3.751636 6.98229 2.621197 6.719784
Jateng 2010 3.824029 6.960775 3.394784 6.719076
Jateng 2011 3.889938 7.004787 3.597146 6.719215
Jateng 2012 3.937216 6.972756 2.786751 6.722563
Jateng 2013 3.909414 7.01 3.421604 6.717396
DIY 2008 3.719441 0 5.737405
DIY 2009 3.745313 5.923208 0 5.745738
DIY 2010 3.803308 5.902129 0 5.74796
DIY 2011 3.856319 5.915868 0 5.749637
DIY 2012 3.893783 5.925794 0 5.7546
DIY 2013 3.95338 5.975994 0 5.751104
Jatim 2008 3.719338 4.904695 6.774636
247
Jatim 2009 3.746514 7.051503 4.967874 6.781741
Jatim 2010 3.82435 7.020145 5.065835 6.782736
Jatim 2011 3.892033 7.066094 5.782138 6.782289
Jatim 2012 3.931327 7.024344 5.769506 6.785066
Jatim 2013 3.876314 7.086314 5.179855 6.779332
Banten 2008 3.700757 0 6.210901
Banten 2009 3.706495 6.266939 0 6.226462
Banten 2010 3.768548 6.259634 3.984527 6.236864
Banten 2011 3.812498 6.31134 5.132836 6.243498
Banten 2012 3.86107 6.289971 5.039273 6.25323
Banten 2013 3.949345 6.270887 0 6.254318
Bali 2008 3.733956 0 5.779479
Bali 2009 3.763012 5.943872 0 5.79271
Bali 2010 3.855744 5.92452 3.926857 5.799831
Bali 2011 3.920779 5.9391 4.1104 5.801761
Bali 2012 3.963255 5.933647 3.982271 5.806907
Bali 2013 3.979995 5.937294 0 5.803547
NTB 2008 3.685156 0 5.85101
NTB 2009 3.710386 6.272022 0 5.859913
NTB 2010 3.791394 6.243206 0 5.862707
NTB 2011 3.820193 6.249076 4.346353 5.865366
NTB 2012 3.870308 6.315369 0 5.87122
NTB 2013 3.88007 6.325152 0 5.868512
NTT 2008 3.775079 0 5.860971
NTT 2009 3.797383 5.783445 0 5.873847
NTT 2010 3.86947 5.761849 4.435596 5.880614
NTT 2011 3.906236 5.744679 4.378398 5.884538
NTT 2012 3.955468 5.77186 4.540727 5.891702
NTT 2013 3.978555 5.844207 0 5.890373
Kalbar 2008 3.805347 0 5.843106
Kalbar 2009 3.818166 6.11421 0 5.850868
Kalbar 2010 3.911815 6.121048 0 5.85252
Kalbar 2011 3.959841 6.128363 0 5.85647
Kalbar 2012 4.012572 6.137667 0 5.863564
Kalbar 2013 4.04204 6.113977 0 5.862066
Kalteng 2008 3.778928 0 5.537291
248
Kalteng 2009 3.804379 5.762499 0 5.548927
Kalteng 2010 3.960657 5.718279 0 5.554453
Kalteng 2011 4.036747 5.813191 0 5.56133
Kalteng 2012 4.031405 5.785498 0 5.571385
Kalteng 2013 4.019455 5.878238 0 5.572851
Kalsel 2008 3.701121 0 5.750422
Kalsel 2009 3.72721 6.291589 0 5.762943
Kalsel 2010 3.890691 6.290988 0 5.769355
Kalsel 2011 3.970528 6.265311 0 5.774207
Kalsel 2012 3.959886 6.30927 0 5.782132
Kalsel 2013 3.97255 6.31936 0 5.781385
Kaltim 2008 3.755828 0 5.726139
Kaltim 2009 3.796677 5.744731 0 5.746801
Kaltim 2010 3.857302 5.767921 3.591065 5.761353
Kaltim 2011 3.906146 5.770026 4.273001 5.769457
Kaltim 2012 3.946981 5.742423 3.934498 5.780661
Kaltim 2013 3.968482 5.749705 0 5.783218
Sulut 2008 3.754666 0 5.552775
Sulut 2009 3.80832 5.739641 0 5.562164
Sulut 2010 3.862629 5.716165 4.079181 5.56544
Sulut 2011 3.885232 5.766435 4.91698 5.56717
Sulut 2012 3.940855 5.775409 4.427614 5.572074
Sulut 2013 3.947683 5.788919 0 5.568403
Sulteng 2008 3.69639 0 5.611954
Sulteng 2009 3.754112 5.979273 0 5.624298
Sulteng 2010 3.813914 5.99362 4.021189 5.630533
Sulteng 2011 3.846026 5.980961 4.277609 5.634534
Sulteng 2012 3.893995 6.01778 0 5.641706
Sulteng 2013 3.875205 6.010434 0 5.64032
Sulsel 2008 3.681131 0 6.102604
Sulsel 2009 3.710313 6.013412 0 6.111506
Sulsel 2010 3.772469 6.611017 0 6.1143
Sulsel 2011 3.813148 6.641716 0 6.115812
Sulsel 2012 3.869823 6.654341 0 6.12052
Sulsel 2013 3.902111 6.699231 0 6.116687
Sultengg 2008 3.670229 0 5.539158
249
Sultengg 2009 3.76519 5.609986 0 5.552077
Sultengg 2010 3.808189 5.607729 0 5.558889
Sultengg 2011 3.826472 5.657671 3.556303 5.564999
Sultengg 2012 3.90353 5.691583 0 5.574302
Sultengg 2013 3.918913 5.712895 0 5.575031
Gorontalo 2008 3.751739 0 5.205648
Gorontalo 2009 3.806615 5.409822 0 5.219368
Gorontalo 2010 3.855807 5.376345 0 5.226976
Gorontalo 2011 3.881597 5.404086 0 5.230699
Gorontalo 2012 3.913115 5.437625 0 5.237611
Gorontalo 2013 3.897018 5.390557 0 5.23602
Maluku 2008 3.790302 0 5.369857
Maluku 2009 3.808457 4.953639 0 5.385984
Maluku 2010 3.875323 4.879818 4.079181 5.395999
Maluku 2011 3.923986 4.919648 4.392188 5.400423
Maluku 2012 3.961895 4.941849 4.135133 5.40805
Maluku 2013 3.979522 4.925678 0 5.407178
Malut 2008 3.83036 0 5.203156
Malut 2009 3.830701 4.66514 0 5.217808
Malut 2010 3.902033 4.712641 0 5.226352
Malut 2011 3.943754 4.743518 0 5.232575
Malut 2012 3.980728 4.788381 0 5.241931
Malut 2013 3.991538 4.817473 0 5.242653
Papua 2008 3.880049 0 5.614254
Papua 2009 3.879467 4.993485 0 5.642108
Papua 2010 3.877186 4.932976 4.08636 5.663854
Papua 2011 3.967781 5.01119 4.187521 5.669013
Papua 2012 3.999701 5.062345 0 5.677378
Papua 2013 3.907576 5.13998 0 5.677218
Papbar 2008 3.815121 0 5.057465
Papbar 2009 3.824401 4.568026 0 5.077676
Papbar 2010 3.843694 4.597004 0 5.091775
Papbar 2011 3.878027 4.534711 4.029384 5.099752
Papbar 2012 3.898767 4.466927 3.819544 5.11094
Papbar 2013 4.006707 4.480654 0 5.113605
250
Lampiran 2
Pooled Least Square (PLS)
Dependent Variable: HARGABERAS
Method: Panel Least Squares
Date: 07/09/15 Time: 10:15
Sample (adjusted): 2009 2013
Periods included: 5
Cross-sections included: 32
Total panel (balanced) observations: 160 Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 4.179961 0.039291 106.3850 0.0000
PRODUKSIBERAS -0.042311 0.006295 -6.721452 0.0000
D(IMPORBERAS) -0.007167 0.002783 -2.575421 0.0109
D(KONSUMSIBERAS) -7.362233 0.957628 -7.687992 0.0000 R-squared 0.364734 Mean dependent var 3.891264
Adjusted R-squared 0.352517 S.D. dependent var 0.082518
S.E. of regression 0.066400 Akaike info criterion -2.561570
Sum squared resid 0.687789 Schwarz criterion -2.484691
Log likelihood 208.9256 Hannan-Quinn criter. -2.530352
F-statistic 29.85543 Durbin-Watson stat 0.729953
Prob(F-statistic) 0.000000
Fixed Effect Model (FEM)
Dependent Variable: HARGABERAS
Method: Panel Least Squares
Date: 06/25/15 Time: 09:11
Sample (adjusted): 2009 2013
Periods included: 5
Cross-sections included: 32
Total panel (balanced) observations: 160 Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 3.661787 0.384730 9.517798 0.0000
PRODUKSIBERAS 0.049593 0.066441 0.746428 0.4568
D(IMPORBERAS) -0.004656 0.002349 -1.982398 0.0496
D(KONSUMSIBERAS) -9.123178 0.947257 -9.631158 0.0000 Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables)
251
R-squared 0.650028 Mean dependent var 3.891264
Adjusted R-squared 0.554836 S.D. dependent var 0.082518
S.E. of regression 0.055057 Akaike info criterion -2.770262
Sum squared resid 0.378907 Schwarz criterion -2.097568
Log likelihood 256.6210 Hannan-Quinn criter. -2.497104
F-statistic 6.828576 Durbin-Watson stat 1.520538
Prob(F-statistic) 0.000000
Lampiran 3
Uji Chow
Redundant Fixed Effects Tests
Equation: FIXED
Test cross-section fixed effects Effects Test Statistic d.f. Prob. Cross-section F 3.287068 (31,125) 0.0000
Cross-section Chi-square 95.390675 31 0.0000
Lampiran 4
Random Effect Model (REM)
Dependent Variable: PRODUKSIBERAS
Method: Panel EGLS (Cross-section random effects)
Date: 07/09/15 Time: 10:16
Sample (adjusted): 2009 2013
Periods included: 5
Cross-sections included: 32
Total panel (balanced) observations: 160
Swamy and Arora estimator of component variances Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C -2.466928 1.442928 -1.709668 0.0893
KONSUMSIBERAS 1.413711 0.246325 5.739208 0.0000
D(IMPORBERAS) -0.001121 0.003126 -0.358560 0.7204
D(KONSUMSIBERAS) -3.517588 1.217720 -2.888669 0.0044 Effects Specification
S.D. Rho Cross-section random 0.609887 0.9857
252
Idiosyncratic random 0.073346 0.0143 Weighted Statistics R-squared 0.250395 Mean dependent var 0.309282
Adjusted R-squared 0.235979 S.D. dependent var 0.085701
S.E. of regression 0.074910 Sum squared resid 0.875397
F-statistic 17.36984 Durbin-Watson stat 1.226497
Prob(F-statistic) 0.000000 Unweighted Statistics R-squared 0.457913 Mean dependent var 5.758917
Sum squared resid 70.92787 Durbin-Watson stat 0.015138
Lampiran 5
Uji Hausman
Correlated Random Effects - Hausman Test
Equation: RANDOM
Test cross-section random effects
Test Summary Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.
Cross-section random 9.724934 3 0.0211
Lampiran 6
Histogram-Uji Normalitas
253
Lampiran 7
Matriks Korelasi
PRODUKSIBERAS IMPORBERAS KONSUMSIBERAS
PRODUKSIBERAS 1.000000 0.147007 0.670848
IMPORBERAS 0.147007 1.000000 0.394934
KONSUMSIBERAS 0.670848 0.394934 1.000000
Lampiran 8
Uji Park
Dependent Variable: LOG(RES2)
Method: Panel Least Squares
Date: 06/25/15 Time: 09:12
Sample (adjusted): 2009 2013
Periods included: 5
Cross-sections included: 32
Total panel (balanced) observations: 160 Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 2.542202 1.185842 2.143794 0.0336
PRODUKSIBERAS -0.342190 0.189987 -1.801124 0.0736
D(IMPORBERAS) 0.145916 0.083992 1.737259 0.0843
D(KONSUMSIBERAS) -52.03160 28.90227 -1.800260 0.0738 R-squared 0.042626 Mean dependent var 0.238258
Adjusted R-squared 0.024215 S.D. dependent var 2.028726
S.E. of regression 2.004013 Akaike info criterion 4.252862
Sum squared resid 626.5065 Schwarz criterion 4.329742
Log likelihood -336.2290 Hannan-Quinn criter. 4.284080
F-statistic 2.315243 Durbin-Watson stat 1.740147
Prob(F-statistic) 0.077959
Lampiran 9
Uji Glejser
Dependent Variable: REABS
Method: Panel Least Squares
Date: 06/25/15 Time: 09:15
Sample (adjusted): 2009 2013
Periods included: 5
254
Cross-sections included: 32
Total panel (balanced) observations: 160 Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 0.928921 0.738119 1.258498 0.2101
PRODUKSIBERAS 0.090175 0.118256 0.762538 0.4469
D(IMPORBERAS) -0.000310 0.052280 -0.005929 0.9953
D(KONSUMSIBERAS) 15.72775 17.99000 0.874250 0.3833 R-squared 0.006315 Mean dependent var 1.545626
Adjusted R-squared -0.012794 S.D. dependent var 1.239479
S.E. of regression 1.247383 Akaike info criterion 3.304654
Sum squared resid 242.7303 Schwarz criterion 3.381533
Log likelihood -260.3723 Hannan-Quinn criter. 3.335872
F-statistic 0.330465 Durbin-Watson stat 2.013620
Prob(F-statistic) 0.803329
Lampiran 10
Uji Autokorelasi-Sesudah Cross section weight
Dependent Variable: HARGABERAS
Method: Panel EGLS (Cross-section weights)
Date: 08/04/15 Time: 20:09
Sample (adjusted): 2009 2013
Periods included: 5
Cross-sections included: 32
Total panel (balanced) observations: 160
Linear estimation after one-step weighting matrix Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 3.424811 0.331042 10.34556 0.0000
PRODUKSIBERAS 0.090707 0.057342 1.581844 0.1162
D(IMPORBERAS) -0.005158 0.001576 -3.272840 0.0014
D(KONSUMSIBERAS) -9.095891 0.689959 -13.18324 0.0000 Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared 0.738657 Mean dependent var 4.820834
Adjusted R-squared 0.667572 S.D. dependent var 1.712871
S.E. of regression 0.054910 Sum squared resid 0.376882
F-statistic 10.39116 Durbin-Watson stat 2.007921
Prob(F-statistic) 0.000000
255
Unweighted Statistics R-squared 0.648609 Mean dependent var 3.891264
Sum squared resid 0.380443 Durbin-Watson stat 1.549831
256
Lampiran 11
Cross section effect
No. PROVINSI Effect
1. Aceh -0.011039
2 Sumut -0.085673
3 Sumbar 7.70E-05
4 Riau 0.094277
5 Jambi 0.002439
6 Sumsel -0.068065
7 Bengkulu -0.022915
8 Lampung -0.048003
9 Babel 0.078552
10 Kepri 0.310914
11 DKI 0.141375
12 Jabar -0.085053
13 Jateng -0.141300
14 DIY -0.080389
15 Jatim -0.148472
16 Banten -0.074409
17 Bali -0.015685
18 NTB -0.126876
19 NTT 0.006574
20 Kalbar 0.018033
21 Kalteng 0.086404
22 Kalsel -0.013323
23 Kaltim 0.052072
24 Sulut -0.029852
25 Sulteng -0.070761
26 Sulsel -0.146062
27 Sultengg -0.032371
28 Gorontalo -0.003525
29 Maluku 0.071943
30 Malut 0.104690
31 Papua 0.130087
32 Papbar 0.106336
257
Lampiran 12
Tabel Differensiasi Konsumsi
Provinsi D(Konsumsi) Provinsi D(Konsumsi) Provinsi D(Konsumsi) Provinsi D(Konsumsi)
Aceh - 08 NA Babel - 08 NA Bali - 08 NA Sulteng - 08 NA
Aceh - 09 0.014164 Babel - 09 0.017646 Bali - 09 0.013231 Sulteng - 09 0.012344
Aceh - 10 0.008054 Babel - 10 0.011538 Bali - 10 0.007121 Sulteng - 10 0.006235
Aceh - 11 0.005499 Babel - 11 0.00616 Bali - 11 0.00193 Sulteng - 11 0.004001
Aceh - 12 0.008679 Babel - 12 0.009431 Bali - 12 0.005146 Sulteng - 12 0.007172
Aceh - 13 0.000105 Babel - 13 0.000866 Bali - 13 -0.00336 Sulteng - 13 -0.001386
Sumut - 08 NA Kepri - 08 NA NTB - 08 NA Sulsel - 08 NA
Sumut - 09 0.008595 Kepri - 09 0.025841 NTB - 09 0.008903 Sulsel - 09 0.008902
Sumut - 10 0.002486 Kepri - 10 0.019729 NTB - 10 0.002794 Sulsel - 10 0.002794
Sumut - 11 0.002747 Kepri - 11 0.010521 NTB - 11 0.002659 Sulsel - 11 0.001512
Sumut - 12 0.005846 Kepri - 12 0.013497 NTB - 12 0.005854 Sulsel - 12 0.004708
Sumut - 13 -0.002791 Kepri - 13 0.00469 NTB - 13 -0.002708 Sulsel - 13 -0.003833
Sumbar - 08 NA DKI - 08 NA NTT - 08 NA Sultengg - 08 NA
Sumbar - 09 0.00965 DKI - 09 0.009959 NTT - 09 0.012876 Sultengg - 09 0.012919
Sumbar - 10 0.003542 DKI - 10 0.003849 NTT - 10 0.006767 Sultengg - 10 0.006812
Sumbar - 11 0.002397 DKI - 11 0.00139 NTT - 11 0.003924 Sultengg - 11 0.00611
Sumbar - 12 0.005604 DKI - 12 0.004608 NTT - 12 0.007164 Sultengg - 12 0.009303
Sumbar - 13 -0.002929 DKI - 13 -0.003928 NTT - 13 -0.001329 Sultengg - 13 0.000729
Riau - 08 NA Jabar - 08 NA Kalbar - 08 NA Gorontalo - 08 NA
Riau - 09 0.019626 Jabar - 09 0.012122 Kalbar - 09 0.007762 Gorontalo - 09 0.01372
Riau - 10 0.013514 Jabar - 10 0.006013 Kalbar - 10 0.001652 Gorontalo - 10 0.007608
Riau - 11 0.008016 Jabar - 11 0.003479 Kalbar - 11 0.00395 Gorontalo - 11 0.003723
Riau - 12 0.011181 Jabar - 12 0.006646 Kalbar - 12 0.007094 Gorontalo - 12 0.006912
Riau - 13 0.002595 Jabar - 13 -0.001918 Kalbar - 13 -0.001498 Gorontalo - 13 -0.001591
Jambi - 08 NA Jateng - 08 NA Kalteng - 08 NA Maluku - 08 NA
Jambi - 09 0.015055 Jateng - 09 0.005401 Kalteng - 09 0.011636 Maluku - 09 0.016127
Jambi - 10 0.008944 Jateng - 10 -0.000708 Kalteng - 10 0.005526 Maluku - 10 0.010015
Jambi - 11 0.004692 Jateng - 11 0.000139 Kalteng - 11 0.006877 Maluku - 11 0.004424
Jambi - 12 0.007819 Jateng - 12 0.003348 Kalteng - 12 0.010055 Maluku - 12 0.007627
Jambi - 13 -0.000781 Jateng - 13 -0.005167 Kalteng - 13 0.001466 Maluku - 13 -0.000872
Sumsel - 08 NA DIY - 08 NA Kalsel - 08 NA Malut - 08 NA
Sumsel - 09 0.011902 DIY - 09 0.008333 Kalsel - 09 0.012521 Malut - 09 0.014652
Sumsel - 10 0.005792 DIY - 10 0.002222 Kalsel - 10 0.006412 Malut - 10 0.008544
258
Sumsel - 11 0.003119 DIY - 11 0.001677 Kalsel - 11 0.004852 Malut - 11 0.006223
Sumsel - 12 0.006306 DIY - 12 0.004963 Kalsel - 12 0.007925 Malut - 12 0.009356
Sumsel - 13 -0.002256 DIY - 13 -0.003496 Kalsel - 13 -0.000747 Malut - 13 0.000722
Bengkulu - 08 NA Jatim - 08 NA Kaltim - 08 NA Papua - 08 NA
Bengkulu - 09 0.011106 Jatim - 09 0.007105 Kaltim - 09 0.020662 Papua - 09 0.027854
Bengkulu - 10 0.004997 Jatim - 10 0.000995 Kaltim - 10 0.014552 Papua - 10 0.021746
Bengkulu - 11 0.00411 Jatim - 11 -0.000447 Kaltim - 11 0.008104 Papua - 11 0.005159
Bengkulu - 12 0.007276 Jatim - 12 0.002777 Kaltim - 12 0.011204 Papua - 12 0.008365
Bengkulu - 13 -0.001238 Jatim - 13 -0.005734 Kaltim - 13 0.002557 Papua - 13 -0.00016
Lampung - 08 NA Banten - 08 NA Sulut - 08 NA Papbar - 08 NA
Lampung - 09 0.009211 Banten - 09 0.015561 Sulut - 09 0.009389 Papbar - 09 0.020211
Lampung - 10 0.0031 Banten - 10 0.010402 Sulut - 10 0.003276 Papbar - 10 0.014099
Lampung - 11 0.002145 Banten - 11 0.006634 Sulut - 11 0.00173 Papbar - 11 0.007977
Lampung - 12 0.005282 Banten - 12 0.009732 Sulut - 12 0.004904 Papbar - 12 0.011188
Lampung - 13 -0.003317 Banten - 13 0.001088 Sulut - 13 -0.003671 Papbar - 13 0.002665
259
Lampiran 13
Pedoman Wawancara Bapak Bustanul Arifin
A. Produksi Beras
1. Secara umum apa yang dilakukan pemerintah untuk mendukung produksi
beras di Indonesia?
2. Bagaimana alur beras yang diproduksi petani lokal hingga di konsumsi
oleh masyarakat di Indonesia khususnya pada tahun 2008-2013?
3. Permasalahan apa saja yang dihadapi petani dan produsen dalam
memproduksi beras di Indonesia pada tahun 2008-2013?
4. Terobosan apa saja yang harus dilakukan agar produksi beras di Indonesia
terus meningkat?
B. Impor Beras
1. Bagaimana mekanisme impor beras di Indonesia? Apakah ada pengaturan
kuota dalam impor beras di Indonesia?
2. Bagaimana alur beras impor sejak dari produsen di Negara asal hingga
dikonsumsi oleh masyarakat di Indonesia khususnya pada tahun 2008-
2013?
3. Mengapa impor beras sebagai salah satu cara dalam memenuhi kebutuhan
konsumsi beras di Indonesia khususnya pada tahun 2008-2013?
4. Bagaimana perencanaan untuk mengurangi impor beras bahkan
meniadakan impor beras?
C. Distribusi Beras
1. Bagaimana peran pemerintah dalam menjamin kelancaran distribusi beras
di Indonesia khususnya pada tahun 2008-2013?
2. Bagaimana agar mekanisme distribusi beras lebih efisien?
3. Permasalahan apa saja yang dihadapi dalam proses distribusi beras di
Indonesia khususnya pada tahun 2008-2013?
260
D. Konsumsi Beras
1. Bagaimana peran pemerintah dalam menjamin ketersediaan beras yang
baik dan murah bagi masyarakat di Indonesia khususnya pada tahun 2008-
2013?
2. Bagaimana standarisasi beras agar layak dikonsumsi oleh masyarakat?
3. Permasalahan apa saja yang dihadapi masyarakat dalam mengkonsumsi
beras di Indonesia pada tahun 2008-2013?
E. Harga Beras
1. Bagaimana peran pemerintah dalam menjamin harga beras yang
terjangkau bagi masyarakat di Indonesia khususnya pada tahun 2008-
2013?
2. Adakah kebijakan yang mengatur harga beras di Indonesia khususnya
pada tahun 2008-2013? Bagaimana mekanismenya?
3. Apakah antara harga beras lokal dan beras impor memiliki harga yang
stabil di pasar Indonesia khususnya pada tahun 2008-2013?
4. Apakah ada perbedaaan harga antara harga beras lokal dengan beras
impor? Bagaimana hal ini dapat terjadi?
5. Adanya kejadian terbaru tentang beras plastik yang beredar dimasyarakat,
apakah ada hubungannya dengan lemahnya pengawasan pemerintah dan
tingginya harga beras saat ini?
F. Harapan
1. Harapan apa yang dapat tercapai dimasa depan mengenai produksi beras
di Indonesia?
2. Harapan apa yang dapat tercapai dimasa depan mengenai impor beras di
Indonesia?
3. Harapan apa yang dapat tercapai dimasa depan mengenai konsumsi beras
di Indonesia?
261
4. Harapan apa yang dapat tercapai dimasa depan mengenai harga beras di
Indonesia?
G. Informal Question
1. Sebenarnya adakah pihak-pihak yang curang dalam dunia perberasan di
Indonesia khususnya pada tahun 2008-2013?
2. Apabila ada, apa saja yang dirugikan dengan adanya kecurangan dunia
perberasan di Indonesia khususnya pada tahun 2008-2013?
3. Bagaimana yang seharusnya dilakukan pemerintah dalam mengatasi
kecurangan di dunia perberasan di Indonesia khususnya pada tahun 2008-
2013?
Lampiran 14
Pedoman Wawancara Badan Ketahanan Pangan dan Ditjen Tanaman Pangan
A. Produksi Beras
5. Secara umum apa yang dilakukan pemerintah untuk mendukung produksi
beras di Indonesia?
6. Bagaimana alur beras yang diproduksi petani lokal hingga di konsumsi
oleh masyarakat di Indonesia khususnya pada tahun 2008-2013?
7. Permasalahan apa saja yang dihadapi petani dan produsen dalam
memproduksi beras di Indonesia pada tahun 2008-2013?
8. Terobosan apa saja yang harus dilakukan agar produksi beras di Indonesia
terus meningkat?
B. Distribusi Beras
4. Bagaimana peran pemerintah dalam menjamin kelancaran distribusi beras
di Indonesia khususnya pada tahun 2008-2013?
5. Bagaimana agar mekanisme distribusi beras lebih efisien?
262
6. Permasalahan apa saja yang dihadapi dalam proses distribusi beras di
Indonesia khususnya pada tahun 2008-2013?
C. Konsumsi Beras
4. Bagaimana peran pemerintah dalam menjamin ketersediaan beras yang
baik dan murah bagi masyarakat di Indonesia khususnya pada tahun 2008-
2013?
5. Bagaimana standarisasi beras agar layak dikonsumsi oleh masyarakat?
6. Permasalahan apa saja yang dihadapi masyarakat dalam mengkonsumsi
beras di Indonesia pada tahun 2008-2013?
D. Harga Beras
6. Bagaimana peran pemerintah dalam menjamin harga beras yang
terjangkau bagi masyarakat di Indonesia khususnya pada tahun 2008-
2013?
7. Adakah kebijakan yang mengatur harga beras di Indonesia khususnya
pada tahun 2008-2013? Bagaimana mekanismenya?
8. Apakah antara harga beras lokal dan beras impor memiliki harga yang
stabil di pasar Indonesia khususnya pada tahun 2008-2013?
9. Apakah ada perbedaaan harga antara harga beras lokal dengan beras
impor? Bagaimana hal ini dapat terjadi?
10. Adanya kejadian terbaru tentang beras plastik yang beredar dimasyarakat,
apakah ada hubungannya dengan lemahnya pengawasan pemerintah dan
tingginya harga beras saat ini?
E. Harapan
5. Harapan apa yang dapat tercapai dimasa depan mengenai produksi beras
di Indonesia?
6. Harapan apa yang dapat tercapai dimasa depan mengenai impor beras di
Indonesia?
263
7. Harapan apa yang dapat tercapai dimasa depan mengenai konsumsi beras
di Indonesia?
8. Harapan apa yang dapat tercapai dimasa depan mengenai harga beras di
Indonesia?
Lampiran 15
Hasil Wawancara dengan Bapak Bustanul Arifin
Nama Narasumber : Dr. Bustanul Arifin, S.P, M.Sc
Jabatan : Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian, Universitas Lampung
dan Peneliti Senior, International Center for Applied Finance and Economics
(InterCafe).
Tempat Wawancara : Masjid Uswatun Hasanah, Komplek Pondok Jaya, Bintaro Jaya
Sektor 5, Tangerang Selatan.
Tanggal Wawancara : 7 Juni 2015
Penulis: Secara umum apa yang dilakukan pemerintah untuk mendukung produksi
beras di Indonesia?
Bapak Bustanul: secara politis pemerintah selalu mendukung produksi beras.
Penulis: Bagaimana alur beras yang diproduksi petani lokal hingga di konsumsi oleh
masyarakat di Indonesia khususnya pada tahun 2008-2013?
Bapak Bustanul: seharusnya tidak ditanya itu hehe, dari petani ke pedagang anda bisa
baca itu.. bisa baca beberapa buku
264
Penulis: Permasalahan apa saja yang dihadapi petani dan produsen dalam
memproduksi beras di Indonesia pada tahun 2008-2013?
Bapak Bustanul: mmm… satu dia (Petani) miskin, mmm kemudian karena miskin luas
tanahnya sempit, luas lahan sempit itu.. mmm terkena betul-betul inferiority complex,
dan dia merasa kecil, mmm dan lahannya sempit mereka juga bermasalah dengan
efektifitas produksi yang tidak efisien. Dalam konsteks berapapun kita push untuk
intensifikasi ngga dapat, dalam konteks mereka tidak berada pada titik optimal. Bila
anda memahami fungsi produksi, kombinasi input-outputnya dalam konten yang
sekarang tidak tercapai titik-titik yang optimal. Nah dari situ mau bagaimanapun kita
push peningkatan produktifitasnya ton per hektarnya untuk meningkatkan
kesejahteraan petani itu sulit sehingga mereka berada pada kondisi yang betul-betul
tidak berada di kondisi ideal. Kemudian muterlah disitu mmm ditambah pupuk sering
terlambat, harga tidak terjangkau, perhatian pemerintah amat sangat rendah dalam
bentuk penyuluh tidak ada, kemudian semua masalah muter disitu.
Penulis: Terobosan apa saja yang harus dilakukan agar produksi beras di Indonesia
terus meningkat khususnya kapasitas produksi dan efektifitas produksi?
Bapak Bustanul: kalau memang serius membantu petani dan pertanian, skala usahanya
ditingkatkan. Sekarang itu skala usahanya rata-ratanya 0,5 hektar. Kalo mereka
penguasaan lahannya masih kecil, seperti sekarang ya, kita berharap mereka sejahtera
kan akan sulit. Mereka harus ditingkatkan mmm… penguasaan lahannya, sehingga
anda perlu mempelajari konsep-konsep mengenai land reform, ya? Mengenai reformasi
265
pengelolaan agrarian, dan macam-macam bentuknya, bisa betul-betul diberi lahannya,
bisa konsolidasi lahan; jadi beberapa lahan dijadikan satu dengan pengelolaan bersama,
atau mereka bisa diberikan harapan baru. Diberi harapan baru itu, karena kalo kita
berharap dengan semi intensif atau super intensif dari lahan yang kecil, dengan daya
dukung yang menurun itu cukup sulit. Nah misalnya, mmm… mereka kita ikutkan
program transmigrasi bagi yang tidak memiliki lahan itu masih bisa. Mereka yang
memiliki lahan, saya katakan tadi konsolidasi dengan tetangganya, lalu dengan konsep
share holding dan konsep manajemen bergilir, itu juga masih mungkin. Nah saya tentu
saja menyarankan hal seperti ini, mmm… subject to. Tergantung pada keseriusan dan
keberanian aparatur pemerintah untuk berbuat seperti itu. Kalau kapasitas birokrasi dari
pusat dan daerah tidak mampu melakukan seperti itu, maka tidak akan ada artinya apa-
apa gitu. Jadi mereka orang pemerintahnya harus memiliki kapasitas melakukan ini.
Dan melakukan ini cukup berat, gitu.
Penulis: Bagaimana mekanisme impor beras di Indonesia? Trus apakah ada pengaturan
kuota dalam impor beras di Indonesia? apakah ada juga untuk medium pak?
Bapak Bustanul: sebetulnya cukup bebas, untuk beras premium. Untuk beras-beras
kualitas tinggi anda tinggal meminta izin impor, lihat pengalamannya, kalo disetujui,
disetujui. Itu semua orang boleh melakukan itu. Tapi untuk beras kualitas medium,
kualitas medium itu dengan kualitas 25% patahan itu hanya boleh dilakukan oleh
bulog. Ngga ada… walaupun medium, itu ditentukan oleh pemerintah, namanya bukan
kuota. Jadi keputusan pemerintah untuk melakukan impor itu. Jadi itu fully regulated
266
ya… jadi fully regulated itu ngga ada kuota, yang menentukan pemerintah. Kalo kuota
itu berapa banyak yang diinginkan, berapa banyak yang mengaplikasikan, lalu kita liat
apakah tercapai atau tidak baru itu namanya kuota. Kalau seperti itu tidak karena
memang diatur oleh pemerintah. Dan hanya boleh dilakukan oleh bulog. Karena
dikhawatirkan dapat mempengaruhi keseimbangan di dalam negeri, gitu.
Penulis: Bagaimana alur beras impor sejak dari produsen di Negara asal hingga
dikonsumsi oleh masyarakat di Indonesia khususnya pada tahun 2008-2013?
Bapak Bustanul: biasa saja, dari petani ke pedagang besar, masuk ke kapal dan impor
ke Indonesia hingga ke pedagang di pasar, normal seperti perdagangan biasa.
Penulis: Mengapa impor beras sebagai salah satu cara dalam memenuhi kebutuhan
konsumsi beras di Indonesia khususnya pada tahun 2008-2013?
Bapak Bustanul: Karena ngga cukup produksinya, kalau cukup ngapain impor? Tahun
2008-2009 ngga ada impor, 2010.. 2008-2009 ngga ada impor.. tahun 2010 ada impor
karena ada masalah dalam stok, anda belum ngomong stok lho. Stok itu berpengaruh
lho terhadap impor. Sama, tahun 2010 itu sama keadaannya dengan sekarang.
Presidennya baru, menterinya baru, kan SBY jilid 2, lalu penyaluran untuk beras
miskin terhambat, tiba-tiba harga melonjak dan baru disitu impor.
Penulis: Bagaimana perencanaan untuk mengurangi impor beras bahkan meniadakan
impor beras?
267
Bapak Bustanul: jadi sebenarnya sudah ada ketentuannya. Indonesia itu tidak akan
impor satu bulan sebelum panen raya dan dua bulan setelah panen raya, itu
ketentuannya. Nah anda tanya ketentuan tadi berupa perencanaannya, jadi impor itu
tidak akan terjadi satu bulan sebelum panen raya dan dua bulan setelah panen raya.
Setidaknya empat bulan, jadi saat satu bulan sebelum panen raya, saat panen raya dan
dua bulan setelahnya. Itu ketentuannya maka pemerintah fully regulated mengatur, itu
perencanaannya. Jadi impor bila dari perkiraan produksi dan manajemen stok tidak
cukup maka impor boleh dilakukan. Kalau produksinya cukup seharusnya tidak perlu
impor, justru kita ekspor, kalau produksinya cukup.
Penulis: selanjutnya pak, bagaimana peran pemerintah dalam distribusi beras pak?
Bapak Bustanul: yaa… kembalikan fungsi logistic, ya.. fungsi distribusi perbaiki mulai
dari apa… pelabuhan, pergudangan, transportasi, jembatan, kualitas jalan, disitu. Kalau
itu bagus, ngga usah diatur-atur ntar jalan sendiri. Bila semua itu baik, maka distribusi
akan efisien.
Penulis: trus apa saja sih pak yang dihadapi dalam distribusi beras saat ini?
Bapak Bustanul: ya dibalik aja tadi, dari jalan buruk, pelabuhan banyak yang tidak
berfungsi efisien, masalah di kualitas jalan, pungutan tidak resmi dimana-mana, banyak
pencoleng, itu permasalahan yang terjadi di distribusi.
Penulis: trus pak, bagaimana peran pemerintah dalam menjamin ketersediaan beras
yang baik dan murah, harus ngga sih pak bagi pemerintah?
268
Bapak Bustanul: mmm… pemerintah mengurus kebijakan, kalau kita berharap
pemerintah melakukan sesuatu tetapi pemerintah ikut berdagang tidak akan bisa, itu
tidak efisien karena pemerintah bukan pedagang. Kalau anda berharap pemerintah
sama dengan tukang beras, tidak bisa juga kan? Karena bukan pekerjaannya.
Pemerintah bukan… pemerintah membuat policy atau kebijakan untuk mengarahkan
kesana. Jadi tidak direct dia. mungkin harus ditanyakan kembali bagaimana menjamin
ketersediaan berasnya, kalo mempush ketersediaan harus mempush produksi dong,
kalo memang tidak ada harus bagaimana?
Penulis: ya pak, trus bagaimana standarisasi beras yang layak dikonsumsi oleh
masyarakat pak?
Bapak Bustanul: ada dong standarisasi, namanya SNI, Standar Nasional Indonesia.
Pasti ada dong, standar beras di Indonesia itu ada 8 kualitas atau apa gitu. Kalau anda
bertanya apakah ada, tapi di Indonesia itu tidak ada yang bisa mengenforce, tidak ada
yang bisa melakukan pengawasan secara baik. Mmm… kalo kita berharap pemerintah
melakukan pengawasan seluruhnya ya nggak bener juga, karena nggak punya
kemampuan untuk melakukan itu. Pada orang, kan nggak mungkin melakukan
pengawasan satu-persatu. Mekanisme check and balance itu justru dari para pedagang
dan masyarakat itu sendiri. Kalau dibilang beras kualitas A, yang datang beras kualitas
B mereka menyelesaikan sendiri. Kecuali ada dispute atau persoalan hukum baru
mereka melapor ke penegak hukum, itu. Kalau kita melihat ada barang yang tidak layak
konsumsi, dikasih ke ayam saja.
269
Penulis: Permasalahan apa saja sih pak yang dihadapi masyarakat dalam
mengkonsumsi beras di Indonesia saat ini?
Bapak Bustanul: kebanyakan makan, hehe. Terlalu banyak bergantung kepada beras,
jadi bagian intake food calorie sebagian besar dari beras. Kalo, itu saya bilang masalah.
Dari situ sehingga balancenya atau food balance, keseimbangan pangan atau
keseimbangan gizinya belum tercapai. Jadi karena disitu masyarakat masih banyak
tergantung pada beras, dia menimbulkan tekanan pada konsumsi beras, sehingga
konsumsi beras kita tetap tinggi, gitu. Kita belum tersedia pilihan-pilihan, dari pangan
lokal yang mampu menjadi substitusi atau setidaknya komplemen dari beras. Kalau itu
tidak terjadi, sampai kapanpun beras akan menjadi isu politis, itu.
Penulis: trus bagaimana peran pemerintah dalam menjamin harga beras yang
terjangkau bagi masyarakat pak?
Bapak Bustanul: anda pernah baca ada, operasi pasar? Lalu ada raskin? Untuk 16 juta
masyarakat miskin, pemerintah memberi subsidi kepada masyarakat melalui bulog, ya?
Jadi orang miskin terpenuhi kebutuhannya, siapa yang dibilang miskin? yang menurut
kriteria BPS dan BKKBN yang diadminsitrasi oleh kelurahan, pemerintah yang paling
rendah di masyarakat dan pemerintah desa itu dianggap miskin. berapa persen, kira-
kira berapa ya… mmm… orang miskin itu total 11 jadi orang yang paling miskin itu
5-6% lah. Memang sebagian besar orang miskin nggak dapet, karena dalam miskin
sendiri ada 3 kategori, yang dapet raskin itu adalah yang paling miskin, itu. Jadi orang
miskin seperti itu diberi subsidi, subsidinya berapa ya 1600 harganya, jadi disubsidi
270
oleh pemerintah menjadi berapa kalo harga 7300, orang cuma bayar 1600 jadi kira-
kira. Itu total nilainya 19 atau 20 triliun lah kalo ga salah, itu yang dilakukan oleh
pemerintah. Apakah kita mau mendorong lebih besar dari itu? Kalo menurut saya tidak
usah, kalo perlu dikurangi sedikit-demi sedikit, begitu. Supaya menunjukkan bahwa
masyarakatnya makin sejahtera.
Penulis: trus pak apakah ada kebijakan untuk mengatur harga beras di Indonesia pak?
Bapak Bustanul: mmm… dengan cara menetapkan harga pembelian pemerintah atau
HPP, itu cara mengatur atau bukan mengatur sih tetapi mengelola sebetulnya. Kalo
harga yang mengatur pasar dong, tetapi pemerintah menetapkan harga pembelian
minimum kan.
Penulis: ya, trus pak apakah antara harga beras lokal dengan harga beras impor
memiliki harga yang stabil?
Bapak Bustanul: mmm… sebenarnya pertanyaannya ngga kena sih, stabilitas harga itu
dapat diukur rentang waktu bisa diukur rentang tempat. Rentang waktu bisa di duga
stabilitasnya, jadi berhubungan dengan karakteristik dari supply, supply berhubungan
dengan produksi dan pengelolaan stok. Jadi harga beras di Indonesia itu sudah pasti
tinggi pada bulan juni, juli, agustus, september. Oktober mulai stabil sedikit, menurun
rendah. Nanti november, desember, januari tinggi lagi, sudah pasti seperti itu polanya,
ya meleset-meleset setengah bulan. Nah, dari situ mmm… pemerintah melakukan
stabilitas harga yang anda maksudkan itu untuk mengoptimalkan operasi pasar pada
271
saat harga-harga tinggi. Pada saat harga rendah, harga rendah itu pada bulan selain
yang saya telah sebutkan tadi. Lebih sedikit sih, kira-kira perbandingannya 7:5 atau
bahkan 8:4 dalam 12 bulan, 7:5 kadangnya, 7 bulan tinggi 5 bulan rendah biasanya
seperti itu. Dan disitulah instrument bukan pengaturan ya tapi pengelolaan harga,
terakhir di inpres 5 tahun 2015 disitu disebutkan pada saat-saat harga tinggi,
pemerintah push operasi pasar. Pada saat harga-harga rendah pemerintah melalui bulog
juga mengambil dari masyarakat untuk disimpan di gudang, gitu mekanismenya.
Apakah itu, 100% jalan saya ya.. nggak 100% jalan pastilah. Pasti ada beberapa
kelemahan dilapangan.
Penulis: trus, yang terakhir ini kan mengenai beras plastik pak. Adakah hubungannya
dengan lemahnya pengawasan pemerintah dan tingginya harga beras saat ini pak?
Bapak Bustanul: dengan harga mungkin nggak ada, saya nggak melihat isu itu serius,
dalam konteks ini semua dicampur dengan plastik. Yang sangat mungkin itu dia
terkontaminasi dengan Proses-proses polishing atau memoles beras dari beras yang
lama disimpan digudang menjadi beras baru. Jadi beras itu diambil, dijual dengan harga
murah dari gudang baik dari gudang bulog atau gudang siapa saja, lalu dipoles lalu
disemprotkan bahan kimia untuk memutihkan dan mempulenkan, saat dia uji
laboratorium dia mirip dengan PVC Poli Profolida kalau tidak salah yang digunakan
sebagai bahan untuk membuat plastik, kira-kira seperti itu. Apakah ada hubungannya?
Tidak ada hubungannya, tidak ada hubungannya dengan itu. Dugaan saya sih adanya
272
kelalaian dalam kontaminasi ya dalam pengawasan karena tidak ada yang mengawasi.
Kemungkinan yang kedua, mungkin sabotase tapi itu sangat kecil sekali.
Penulis: sebenarnya ada ngga sih pak pihak-pihak yang curang dalam dunia perberasan
di Indonesia? baik dari segi kualitas berasnya, atau mungkin harganya atau mungkin
distribusinya?
Bapak Bustanul: nggak juga sih, pedagang itu bahasa halusnya memanfaatkan segala
kesempatan. Etika kadang mereka tidak terlalu junjung dengan baik, itu ya. Tapi kalo
anda melihat pelaku curang itu aturan di terabas, kira-kira yang praktek terjadi yang
saya sudah sampaikan tadi beras kecil atau jelek dipoles lalu dicampur dengan beras
kualitas baik, seperti itu. Terus, mereka tidak taat terhadap pelabelan karena tidak ada
yang mengawasi. Kalo kita pergi kepasar, tertulis beras pandan wangi itu tidak ada
yang bisa menjamin bahwa itu pandan wangi, itu cuma karungnya aja dan dikasih
pewangi. Boleh itu disebut curang, boleh aja itu disebut curang. Kalo terjadi kita
berharap pedagang menjadi orang sosial itu salah kita berharap seperti itu. Pedagang
pasti memanfaatkan setiap kesempatan, orang sosial masjid saja yang sosial, pedagang
jarang ada yang berfikir seperti itu. Kalau anda berharap pedagang patuh akan aturan
atau apa ya agak sulit, nanti kalau anda belajar bisnis di dalam bisnis itu ada namanya
etika bisnis. Tapi feeling saya ya? Pasti mereka ada batasnya, kalau curang ditaruh
angka 1-100 kira-kira tidak akan full curang 100% mungkin beberapa persen, ngga
mungkin karena akan menganggu kelangsungan bisnisnya jika mereka main-main
273
habis orang ngga ada beli pasti mereka putar haluan. Ya apapun mereka memanfaatkan
kesempatan itu sebenarnya.
Penulis: mungkin di dalam impor mungkin ada kecurangan?
Bapak Bustanul: nggak juga sih, itu bahaya. Apa yang pernah terjadi itu ada pedagang
yang memiliki izin impor beras premium, karena beras premium itu agak bebas mereka
dapat izin impor itu. Kemudian tiba-tiba setelah yang masuk ke pasar tiba-tiba beras
medium, kira-kira seperti itu. Kalau ditelusuri kenapa bea cukai sebagai garda terdepan
pintu masuk beras impor kenapa itu boleh masuk, karena itu beras medium harus
pemerintah melalui bulog. Bea cukai masih beralasan kan mereka tidak atau mereka
memeriksa berdasarkan kontainer dan label namanya HS Harmonized Code, beras
premium dan beras medium sampai dengan 5 digit itu masih sama. Jadi kalo anda bikin
daftar 5 digit pendaftaran, setelah digit ke 5 pecah dua apakah ini pulen dari Thailand,
tidak maka akan pecah lagi terus sampai digit ke 9 bedanya sampai seperti itu
ketelitiannya, kepalanya pecah trus seperti itu. Sementara yang dilaporkan ke bea cukai
Indonesia itu sampai 5 digit, 5 digit sama bedanya di sanapun sama-sama beras.
Sementara bila ditelusuri sampai detail baru itu beda, jadi pas kasus kemarin itu tidak
ada yang dituntut ke pengadilan karena memang kelalaian sistem kita sendiri.
Kecurangannya itu ya izinnya beras premium namun yang datang beras medium, ketika
masuk ke catatan badan pusat statistik lho kenapa tahun ini ada impor beras, padahal
seharusnya tidak ada kira-kira gitu. Jadi kecurangannya itu dalam memanfaatkan
kesempatan kelemahan sistem kita sendiri.
274
Penulis: dengan adanya kecurangan itu ada ngga sih pak pihak-pihak yang dirugikan
pak?
Bapak Bustanul: sebenarnya yang dirugikan adalah pedagang juga, dalam bahasa lain
itu pedagang yang seharusnya mendapat mampu pasokan sebesar ini kualitas beras
premium namun yang datang kualitas medium. Jadi keseimbangan detilnya saja yang
terganggu.
Penulis: bagaimana yang harus dilakukan pemerintah dalam mengatasi kecurangan di
dunia perberasan?
Bapak Bustanul: itu agak rumit terus terang, kalau pendaftaran HS diperdetail hingga
sekian digit terakhir pemeriksaan akan lebih lama, barang yang masuk terhambat
pelabuhannya dianggap tidak efisien terus berputar-putar seperti itu. Paling top,
memeriksa di pintu terakhir tetapi sekarang siapa, kualitas pemeriksanya siapa, kuli-
kuli gitu cuma colok diambil seperti itu. Memang saya katakan rumit, tergantung pada
HS atau harmonized systemnya sendiri. Sekarang anda lihat saja pelabuhan, di dunia
pelabuhan seperti itu keadaannya. Satu, pengawas yang memiliki kompetensi berapa,
orang yang ingin bekerja di bidang seperti itu tidak banyak, tidak menjadi pekerjaan
yang menarik jadi nyambung. Kalo teknisnya bisa, ya bisa tetapi saya menyebutkan
betapa rumitnya itu persoalan dalam mengatasi kecurangan itu. Sebetulnya bisa
dikembalikan kepada pedagang itu sendiri atau uruslah asosiasi nah atur-atur sendiri,
kalau seperti itu masih mungkin. Mmm… kalo kita tuh begini, terlalu banyak berharap
kepada pemerintah, pemerintah tidak bisa diharapkan seperti itu keadaannya hehehe…
275
kebalikan lagi mereka punya mekanisme, mereka punya asosiasi pedagang, mereka
tahu siapa yang suka main disini. Kalau dikasarin, kau selesaikanlah ya kau atur-atur
sendiri mau ambil beberapa margin silahkan, kalau banyak-banyak nanti masyarakat
dirugikan. Dengan melakukan fungsi seperti itu sebetulnya sudah lebih dari cukup.
Baru setelah administrasi didaftarkan pendaftaran izin, pendaftaran izin impor, izin
gudang, tidak memperbaiki cabut izinnya pemerintah bisa melakukan itu. Tetapi bila
mengurusi 24 jam sehari nggak mungkin, nggak akan mampu.
Penulis: harapannya bapak mengenai tercapainya produksi beras di masa depan seperti
apa?
Bapak Bustanul: harapannya tingkatkan produksinya, urus produksi dulu. Mungkin
kita bisa keperdagangan-perdagangan fungsi dari atau akibat dari produksi-produksi
kita. Kalau produksi kita besar, kita bisa mengurusi bagaimana beras kita masuk ke
pasar internasional, gitu. Jadi itu yang harus dibenahi di awal.
Penulis: trus harapan bapak impor pak di masa depan?
Bapak Bustanul: bagi saya ya, sebagai ekonom impor itu nggak apa-apa. Kalau seorang
ekonom melarang impor itu nggak bener, kalau nggak ada impor pasti bergejolak. Tapi,
kita kelola kita atur, sekali lagi kalo produksi dalam negeri besar mana mungkin kita
impor? Justru itu akibat saja, buktinya kita kelapa sawit kita ekspor karena produksi
kita berlimpah. Orang-orang Malaysia impor ke kita, semua Negara dunia mengimpor
ke kita. Kita push di produksinya, kita cetak sawah-sawah baru kita dorong kepada
276
orang bahwa bertani beras itu sangat amat menguntungkan tapi lahannya harus luas,
kalau lahannya sempit tidak menguntungkan.
Penulis: mmm… mengenai ini pak konsumsi beras?
Bapak Bustanul: ya tadi, harapan untuk kita itu kurangi makan lah supaya nggak
gemuk-gemuk kayak saya kayak anda ini hehehe baru tekanan terhadap beras ini
berkurang. Beras itu harus anda pelajari itu dia mengandung hormon exorfin, exorfin
itu sifatnya mirip dengan morfin ketagihan sakau. Kita makan beras itu ketagihan lho,
kurang terus kurang terus serius lho. Orang banyak tidak perhatikan ini ada unsur
exorfin ada unsur addiction, udang juga ada unsur addiction kita makan satu itu rasanya
nggak cukup. Ada unsur-unsur seperti itu, kecil mirip exorfin dengan morfin unsur zat
kimianya sama jadi bikin addicted. Anda ngga merasa, kita kan sebelum kembung
masih akan menambah itu ketagihan. Nah itu kalo bisa dikurangi akan mengurangi
tekanan konsumsi kepada beras. Makanan pokok, sementara kalo kita lihat data
Negara-negara lain itu mereka sudah mulai balance karbohidrat, protein vitamin, kita
masih banyak 99% karbohidrat. Dan disitu kata orang kesehatan, untuk mengurangi
tekanan orang yang sakit gula diabetes, itu baru bisa diharapkan yang lain-lain.
Penulis: mmm… ini pak mengenai harga, harga beras?
Bapak Bustanul: saya sebetulnya tidak ingin mengatur harga kalo boleh itu, karena kalo
signalnya salah pada petani kasihan. Tapi so far untuk kebutuhan pokok elastisitasnya
masih inelastis, sudah pasti masih tinggi dan semua pelaku pasti tau mengenai hal itu.
277
Mmm.. kalau saya sebenarnya ingin kalo memang diatur, ada kualitas mmm.. ada harga
per kualitas beras. Gunanya untuk menghindari oplosan seperti itu, kalo perlu juga tapi
saya khawatir ngomong seperti ini pemerintah tidak bisa melaksanakan untuk harga
referensi atau harga patokan per provinsi. Untuk menghidupkan pergerakan beras antar
provinsi juga gitu, kalau harganya dibikin sama, kalo beras di Jakarta Pulau jawa
dengan beras di wamena papua sana yaa sulit kan orang kan menjadi apa namanya ya,
spekulasinya menjadi amat sangat tinggi. Tapi kan kalo harganya, tapi saya tau serumit
apa ini jadi tidak dilaksanakan. Artinya memperlakukan beras seperti premium, seperti
bahan bakar bensin agak riskan, itu ya. Artinya kita biarkan saja di timur sana harga
tinggi karena mereka tidak memproduksi beras, nah kita dibalikkan seandainya di timur
di papua bisa menjadi sentra produksi beras mungkin nggak akan seperti ini
kejadiannya, mungkin kita tidak impor. Tapi nggak ada gunanya kalo kita ngomong
seandainya.
Lampiran 16
Hasil Wawancara dengan Narasumber Badan Ketahanan Pangan
Nama Narasumber : Off record
Jabatan : Off record
Tempat Wawancara : Dengan percakapan email (dikarenakan kesibukan
narasumber)
Tanggal Wawancara : 10 Agustus 2015
278
A. Produksi Beras
1. Penulis: Secara umum apa yang dilakukan pemerintah untuk mendukung
produksi beras di Indonesia?
Jawaban:
Ada strategi yang dilakukan oleh Pemerintah dalam mendukung
peningkatan produksi beras di Indonesia sebagaimana tertuang dalam
Rencana Strategis Kementerian Pertanian (2015-2019) yaitu: Peningkatan
Luas Areal Penanaman dan Peningkatan Produksi Beras itu sendiri.
c. Langkah operasional dalam Peningkatan Luas areal Penanaman adalah:
- Pemanfaatan dan pencetakan lahan baku sawah baru 1 juta hektar
dalam lima tahun (2015-2019).
- Optimasi lahan 1 juta hektar dalam lima tahun (2015-2019).
- Penambahan lahan kering 1 juta hektar untuk kedelai dan jagung
dalam lima tahun.
- Peningkatan indeks pertanaman (IP).
- Pemanfaatan lahan terlantar.
- Bantuan alat dan mesin pertanian; 100 ribu traktor, 1500 rice
transplanter, 30 ribu pompa air.
- Pengembangan dan rehabilitasi jaringan irigasi tersier 3 juta hektar.
- Dukungan peralatan pasca panen sekitar 1000 unit.
d. Langkah operasional dalam Peningkatan Produktivitas adalah:
279
- Penerapan pengelolaan tanaman terpadu padi sekitar 700 ribu
ha/tahun
- Penyediaan benih unggul padi untuk 3 juta ha/tahun
- Subsidi dan penyediaan pupuk
- Bantuan pengolahan pupuk organik sebanyak 1000 unit
- Pembangunan 1000 desa mandiri benih
- Pemberdayaan penangkar benih 175 penangkar/tahun
- Pendampingan desa mitra sebanyak 2,5 juta WKPP
- Penerapan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim
- Pelatihan teknis pertanian 50 ribu orang
- Pengawalan dan pendampingan penyuluh pada 24 ribu lokasi
- Penerapan pengendalian hama dan penyakit
- Revitalisasi penggilingan padi sekitar 10 ribu unit
- Pemanfaatan kalender tanam.
2. Penulis: Bagaimana alur beras yang diproduksi petani lokal hingga di
konsumsi oleh masyarakat di Indonesia khususnya pada tahun 2008-2013?
Jawaban:
Alur Distribusi Beras dari Petani Produsen hingga konsumen pada
umumnya di Indonesia terdiri dari lima anggota rantai pasok, meliputi
petani padi/beras, penggilingan padi/pedagang pengumpul, pedagang
280
grosir, pedagang pengecer, dan konsumen akhir. Secara singkat alur
distribusi Beras sebagaimana dalam gambar berikut ini.
3. Penulis: Permasalahan apa saja yang dihadapi petani dan produsen dalam
memproduksi beras di Indonesia tahun 2008-2013?
Jawaban:
Beberapa permasalahan yang dihadapi oleh petani selaku produsen beras
adalah:
a) Lebih dari 70% petani di Indonesia adalah petani kecil/gurem.
b) Penguasaan lahan rata-rata 0,25 ha di jawa atau 0,5 di luar jawa. Bila
petani juga mempunyai lahan kering/tegalan, maka luasnya sekitar 0,5
ha di Jawa dan 1,0 ha di luar jawa.
c) Konversi lahan pertanian ke non-pertanian seluas 100-110 ribu
ha/tahun.
d) SDM rumah tangga petani 10 tahun terakhir menurun dari 31 juta
menjadi 26 juta.
281
e) Saluran irigasi rusak sebesar 46,03%.
f) Pemberian subsidi benih dan pupuk yang tidak tepat sasaran baik dari
sisi jumlah, kualitas dan waktu.
g) Kualitas panen memiliki mutu rendah dan kehilangan hasil tinggi yaitu
10,82%.
h) Adanya dampak perubahan iklim kekeringan (el-nino), banjir (la nina),
dan jadwal tanam maju/mundur.
i) Skim pembiayaan belum berpihak pada petani.
4. Penulis: Terobosan apa saja yang harus dilakukan agar produksi beras di
Indonesia terus meningkat?
Jawaban:
Kementerian Pertanian memiliki Program Upaya Khusus (UPSUS) dalam
rangka meningkatlan produksi beras yang teraplikasikan dalam kegiatan
seperti gerakan pengelolaan penerapan tanaman terpadu, rehabilitasi dan
pembangunan jaringan irigasi tersier, optimalisasi lahan dan System of Rice
Intensification (SRI). Adapun secara rinci terobosan yang dilakukan adalah:
a. Meningkatkan produksi benih/bibit unggul (kelas benih sumber) oleh
Litbang Pertanian dan membina penangkar di tingkat pedesaan dalam
rangka mewujudkan desa berdaulat benih.
b. Penambahan luas tambah tanam
282
c. Membangun embung, perbaikan irigasi primer dan tersier, sumur
resapan dan channel reservoir untuk menjamin keberlangsungan
produksi pangan.
d. Menetapkan kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah/beras
melalui Inpres No.5 Tahun 2015 tentang Pengadaan dan Penyaluran
Beras.
e. Mengendalikan impor melalui : kebijakan non tariff serta melakukan
pengawasan dalam implementasi.
f. Penguatan pendampingan petani untuk adopsi teknologi dan mitigasi
terhadap dampak anomali iklim.
B. Impor Beras
1. Penulis: Bagaimana mekanisme impor beras di Indonesia? Apakah ada
pengaturan kuota dalam impor beras di Indonesia?
Jawaban:
Impor beras di Indonesia dari sisi regulasi masih dimungkinkan manakala
produksi domestik tidak mencukupi dan merupakan upaya terakhir.
Sebagaimana tetuang dalam undang-undang No.18 Tahun 2012 tentang
Pangan pada Pasal 14 ayat 2 “Dalam hal sumber penyediaan Pangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum mencukupi, Pangan dapat
dipenuhi dengan Impor Pangan sesuai dengan kebutuhan”.
283
Secara teknis pengaturan mekanisme impor beras dibagi dalam dua
peraturan yaitu:
- Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor
51/Permentan/HK.310/4/2014 tentang Rekomendasi Ekspor dan Impor
Beras Tertentu. Regulasi ini mengatur Khusus Beras tertentu seperti
beras Thai Hom Mali, Japonica, Basmati, Ketan utuh dan lain-lain
(hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumen tertentu seperti rumah
makan, hotel, konsulat, kebutuhan kesehatan/penyandang diabetes, dan
lain-lain).
- Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor: 19-
MDAG/PER/3/2014 tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Beras.
Regulasi ini mengatur khusus komoditas beras medium.
2. Penulis: Bagaimana alur beras impor sejak dari produsen di Negara asal
hingga dikonsumsi oleh masyarakat di Indonesia khususnya pada tahun
2008-2013?
Jawaban:
Importir harus memenuhi persyaratan setidaknya: (a) nomor dan tanggal
rekomendasi impor; (b) nama dan alamat importir; (c) nomor dan tangggal
surat permohonan; (d) jenis beras; (e) volume beras per pelabuhan
tujuan/tempat pemasukan; (f) pos tarif/HS; (g) tingkat kepecahan; (h) merek
kemasan; (i) berat per kemasan (untuk jenis Beras Thai Hom Mali, Basmati,
284
Japonica, Kukus maksimum 10 Kg); (j) Negara asal; (k) tujuan penggunaan
dan/atau pemasaran; (l) pernyataan uji klinis dari institusi berwenang
Negara asal; (m) keterangan kemurnian varietas untuk jenis Beras Thai
Hom Mali, Japonica dan Basmati; (n) masa berlaku.
3. Penulis: Mengapa impor beras sebagai salah satu cara dalam memenuhi
kebutuhan konsumsi beras di Indonesia khususnya pada tahun 2008-2013?
Jawaban:
Impor beras dilakukan sebagai upaya terakhir pemerintah manakala
cadangan beras nasional dan produksi padi yang dihasilkan dalam negeri
tidak memenuhi jumlah kebutuhan beras nasional.
4. Penulis: Bagaimana perencanaan untuk mengurangi impor beras bahkan
meniadakan impor beras?
Jawaban:
Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah dewasa ini dalam
mengurangi bahkan meniadakan impor beras sehingga terwujud
swasembada beras dan kedaulatan pangan adalah dengan melakukan
Program Upaya Khusus (UPSUS) dalam rangka meningkatkan produksi
beras yang teraplikasikan dalam kegiatan seperti gerakan pengelolaan
penerapan tanaman terpadu, rehabilitasi dan pembangunan jaringan irigasi
tersier, optimalisasi lahan dan System of Rice Intensification (SRI).
285
Berdasarkan ARAM I yang dirilis oleh BPS pada 1 Juli 2015 bahwa
produksi padi tahun 2015 mengalami peningkatan dibandingkan dengan
tahun 2014. Produksi padi 2015 diramalkan mencapai 75,55 juta ton gabah
kering giling (GKG) mengalami kenaikan 4,70 juta ton atau 6,64%
dibandingkan dengan tahun 2014 yang hanya mencapau 70,85 juta ton.
Mengacu pada angka padi tersebut, maka diperkirakan pada tahun 2015 ini
akan terjadi surplus produksi beras sebesar 10,572 juta ton. Angka tersebut
diperoleh dari hasil perkiraan ketersediaan sebesar 42,477 juta ton
dikurangi kebutuhan sebesar 31,905 juta ton. Dimana asumsi angka
kebutuhan yang digunakan adalah 124,89 kg/kap/tahun dengan jumlah
penduduk sebanyak 255,462 juta jiwa. Belum lagi, surplus produksi
tersebut belum termasuk stok awal tahun sebesar 1,62 juta ton, sehingga
surplus total bisa bertambah menjadi 12,192 juta ton. Artinya, secara
hitung-hitungan diatas kertas pada tahun 2015 tidak perlu adanya impor
beras.
C. Distribusi Beras
1. Penulis: Bagaimana peran pemerintah dalam menjamin kelancaran
distribusi beras di Indonesia khususnya pada tahun 2008-2013?
Jawaban:
286
Penyediaan dan penyaluran pangan bersubsidi (Raskin) bagi masyarakat
berpendapatan rendah masih menjadi salah satu strategi Pemerintah untuk
mencegah terjadi fluktuasi harga. Rumah tangga sasaran penerima pangan
bersubsidi tidak hanya Rumah Tangga Miskin (RTS), tetapi juga meliputi
Rumah Tangga Rentan atau Hampir Miskin.
Keberhasilan pelaksanaannya ditentukan sejak dari perencanaan,
penganggaran, penyediaan, penyaluran, monitoring dan evaluasi,
pengawasan dan penanganan pengaduan oleh K/L terkait yang tergabung
dalam Tim Koordinasi Raskin Pusat. Pelaksanaan penyaluran Raskin harus
memenuhi target 6T (Tepat Sasaran, Tepat Harga, Tepat Jumlah, Tepat
Mutu, Tepat Waktu dan Tepat Administrasi).
Dalam pelaksanaannya, pemerintah menugaskan BULOG untuk
menyalurkan Raskin sampai titik distribusi (TD) di seluruh Indonesia.
Pemda melanjutkan penyaluran Raskin dari TD sampai kepada Pemda yang
memiliki APBD yang cukup, menyediakan Raskin Daerah untuk
menambah jumlah RTS, subsidi harga tebus raskin (HTR), pemberdayaan
masyarakat melalui padat karya raskin (PKR) atau “Raskin for Work”,
penyaluran Raskin melalui Warung Desa dan Pokmaskin. Demikian pula
penyertaan perguruan tinggi dan LSM untuk kajian dan pemantauan
pelaksanaan Raskin telah membuka ruang penilaian yang lebih independen.
287
2. Penulis: Bagaimana agar mekanisme distribusi beras lebih efisien?
Jawaban:
a) Mengembangkan Cetak Biru Sistem Logistik dan rantai pasok Beras
Nasional
b) Mengembangkan Manajemen dan Sistem Logistik Beras Nasional
- Grand Strategi operasional kawasan pengembangan sistem logistik
agribisnis dengan mempertimbangkan sistem logistic agribisnis:
Gapoktan (sub terminal) -> Terminal agribisnis (BUMD) -> market
- Gapoktan (sub terminal) agribisnis diharpkan melaksanakan fungsi-
fungsi collecting, grading dan packaging.
- Terminal agribisnis dikaitkan dengan koridor ekonomi nasional
(Sumatera, Jawa, Nusatenggara, Kalimantan, Papua dan lain-lain)
dan juga pembangunan infrastruktur tol laut.
c) Mengembangkan Reposisi Peran Bulog dalam Konteks Mendukaung
efisiensi distribusi beras
- Saat ini guna memangkas alur distribusi beras dari petani selaku
produsen hingga ke tangan konsumen, Kementerian Pertanian
bekerjasama dengan BULOG sedang merancang Kegiatan Toko
Tani Indonesia (TTI). Secara konseptual kegiatan ini memberikan
jaminan pasar kepada petani dan juga memberikan harga yang wajar
untuk kemudian dijual kepada BULOG/Mitra BULOG dan
288
selanjutnya didistribusikan kepada TTI. Diharapkan dengan adanya
kegiatan ini selain efisiensi distribusi pasokan beras sasaran yang
ingin dicapai adalah stabilisasi pasokan dan harga pangan.
3. Penulis: Permasalahan apa saja yang dihadapi dalam proses distribusi beras
di Indonesia khususnya pada tahun 2008-2013?
Jawaban:
Mata rantai distribusi beras uang relatif panjang hingga mencapai 5 anggota
rantai pasok menjadikan mekanisme distribusi beras di Indonesia kurang
efisien. Dimana “middleman” seringkali bertindak memanfaatkan
kesempatan untuk memperoleh keuntungan dari proses tata niaga beras
yang berlangsung. Ditambah lagi hambatan transportasi dan adanya
“pungutan liar” dalam proses perjalanan distribusi dari produsen ke
pedagang menyebabkan harga beras di tingkat konsumsi menjadi relatif
tinggi karena berbagai komponen biaya yang dikeluarkan dalam distribusi
beras harus ditanggung oleh konsumen.
Selain hal tersebut, secara detil permasalahan distribusi beras di indonesia
adalah: (1) infrastruktur distribusi, (2) sarana dan prasarana pasca panen,
(3) pemasaran dan distribusi antar dan keluar daerah dan isolasi daerah
mengingat Indonesia adalah wilayah kepulauan, (4) sistem informasi pasar,
(5) keterbatasan lembaga pemasaran daerah, (6) hambatan distribusi karena
289
pungutan resmi dan tidak resmi, (7) adanya kasus penimbunan beras oleh
spekulan, (8) adanya oenurunan akses beras karena terkena bencana.
D. Konsumsi Beras
1. Penulis: Bagaimana peran pemerintah dalam menjamin ketersediaan beras
yang baik dan murah bagi masyarakat di Indonesia khususnya pada tahun
2008-2013?
Jawaban:
Pemerintah telah melakukan program raskin dengan tujuan selain
mengurangi beban pengeluaran Rumah Tangga Sasaran melalui
pemenuhan sebagian kebutuhan pangan beras juga menjamin ketersediaan
beras yang baik dan murah. Berdasarkan Pedum Raskin Sasaran Program
Raskin Tahun 2013 sebanyak 15.530.897 rumah tangga, yakni mengalami
penurunan sekitar 2 (dua) juta rumah tangga dari jumlah RTS-PM Program
Raskin 2009-2012 sebanyak 17.488.007 rumah tangga. Penurunan pagu
Raskin nasional ini sejalan dengan penurunan angka kemiskinan dari
15,42% pada 2008 menjadi 11,66% pada September 2012 berdasarkan data
BPS. Adapun dalam mencukupi kebutuhan pangan beras melalui
penyaluran beras bersubsidi (Raskin) yang diberikan dengan alokasi
sebanyak 15kg/RTS/bulan.
2. Penulis: Permasalahan apa saja yang dihadapi masyarakat dalam
mengkonsumsi beras di Indonesia pada tahun 2009-2013?
290
Jawaban:
Angka konsumsi beras masyarakat Indonesia yang mencapai 139 kg/kapita
menjadikan bangsa Indonesia sebagai Negara tertinggi di Asia bahkan di
Dunia dalam mengkonsumsi beras. Kebiasaan atau budaya yang melekat di
masyarakat Indonesia bahwa “belum kenyang kalau belum makan nasi”
telah mendarah daging di berbagai kalangan masyarakat. Disamping itu
politisasi beras dan penyeragaman budidaya padi di seluruh Indonesia
sehingga menjadikan beras sebagai “single commodity” pada era zaman
orde baru membuat pemenuhan beras menjadi permasalahan tersendiri.
Oleh karena itu, untuk mengurangi kebiasaan yang telah melekat di
masyarakat, Pemerintah mentargetkan setiap tahunnya untuk mengurangi
angka konsumsi sebesar 1,5% pertahun dan telah melakukan berbagai
terobosan guna mengurangi angka konsumsi beras nasional, diantaranya
Perpres No. 22 tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan
Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal dan
Permentan Nomor 43/Permentan/)T140/10/2009 tentang Gerakan
Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya
Lokal. Kedua regulasi ini kemudian diaplikasikan oleh pemerintah daerah
seperti di Kota Depok dengan Program ”One Day No Rice”. Dimana setiap
hari selasa di lingkungan Pemkot Depok dan wilayah Kota Depok
disarankan untuk tidak mengkonsumsi nasi. Selain itu berbagai penyuluhan,
291
dan kampanye tentang bahaya dari konsumsi beras yang berlebihan
sehingga dapat menyebabkan diabetes juga dilakukan bersama-sama
dengan Kementerian Kesehatan dan BPOM.
E. Harga Beras
1. Penulis: Bagaimana peran pemerintah dalam menjamin harga beras yang
terjangkau bagi masyarakat di Indonesia khususnya pada tahun 2008-2013?
Jawaban:
Pemerintah telah menerapkan strategi pengadaan gabah/beras dalam negeri
sebagai bentuk intervensi pada sisi produsen pada saat suplai melimpah
karena panen raya agar harga di tingkat petani tidak jatuh. Pemerintah
melindungi petani dari kerugian akibat kurang kuatnya nilai tawar petani
saat panen raya. Instrumen yang digunakan adalah Harga Pembelian
Pemerintah (HPP) yang ditetapkan melalui Inpres. Penetapan HPP
dilakukan dalam rangka meningkatkan pendapatan petani, pengembangan
ekonomi pedesaan, stabilitas ekonomi nasional, peningkatan ketahanan
pangan dan dalam rangka pengadaan cadangan pangan. Selain itu juga
untuk mendukung peningkatan produktivitas petani padi dan produksi beras
nasional. HPP gabah yang ditetapkan pemerintah diharapkan menjadi
“semacam harga minimum” (floor price) yang berfungsi sebagai referensi
harga (price reference) bagi petani dan pedagang yang melakukan transaksi
jual-beli gabah/beras.
292
2. Penulis: Adakah kebijakan yang mengatur harga beras di Indonesia
khususnya pada tahun 2008-2013? Bagaimana mekanismenya?
Jawaban:
Ada, selama periode 2008-2013 pemerintah telah mengeluarkan inpres
tentang Kebijakan dan Penyaluran Gabah/Beras Petani.
Tahun Inpres
yang
Berlaku
Tentang HPP
GKP
Tingkat
Petani
(Rp/Kg)
HPP GKG
Tingkat
Penggilingan
(Rp/Kg)
HPP
Beras
(Rp/Kg)
2008 No.1/2008 Kebijakan
Perberasan
2.240 2.800 4.300
2009 No.8/2008 Kebijakan
Perberasan
2.400 3.000 4.600
2010 No.7/2009 Kebijakan
Perberasan
2.640 3.300 5.060
2011 No.7/2009 Kebijakan
Perberasan
2.640 3.300 5.060
No. 8
Tahun
2011
Kebijakan
Pengamanan
Cadangan
Beras yang
Dikelola
Pemerintah
Dalam
Menghadapi
Kondisi
Iklim
Ekstrim
2012 No.3/2012 Kebijakan
Perberasan
3.300 4.150 6.600
2013 No.3/2012 Kebijakan
Perberasan
3.300 4.150 6.600
Mekanisme:
293
Tujuan dikeluarkannya Inpres tentang kebijakan perberasan adalah untuk
melindungi petani, yaitu dengan meningkatkan pendapatan petani dan
pengembangan ekonomi pedesaan melalui pembelian gabah/beras petani
dengan harga tertentu (minimal sesuai HPP) sehingga petani memperoleh
keuntungan usaha tani padi yang layak. Namun apabila kita lihat tujuan
inpres perberasan pada kebijakan selanjutnya, mulai Inpres Nomor 2 tahun
2005 tanggal 2 maret 2005 tentang Kebijakan Perberasan, selain untuk
melindungi petani, kebijakan perberasan juga bertujuan untuk menyediakan
dan menyalurkan beras bersubsidi bagi masyarakat miskin dan rawan
pangan, dan untuk cadangan beras pemerintah untuk menanggulangi
keadaan darurat dan menjaga stabilitas harga dalam negeri. Begitu juga
pada Inpres Nomor 8 Tahun 2011 tanggal 15 April 2011 tentang Kebijakan
Pengamanan Cadangan Beras yang Dikelola Pemerintah Dalam
Menghadapi Kondisi Iklim Ekstrim, ditujukan untuk mengamankan
cadangan beras pemerintah serta mengantisipasi gangguan produksi dan
kenaikan harga gabah/beras akibat kondisi iklim ekstrim.
Perubahan Inpres kebijakan perberasan juga terkait dengan perubahan
besaran HPP gabah/beras, yang didasarkan oleh beberapa pertimbangan,
antara lain: (1) adanya kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang
berdampak pada kenaikan harga eceran tertinggi (HET) pupuk, terjadi pada
tahun 2008 dan 2012; (2) kondisi harga gabah/beras di petani/masyarakat
294
jauh dari atas HPP, seperti pada tahun 2008, 2009, dan 2011; serta (3) upaya
antisipasi tingginya harga beras dunia pada tahun 2007. Kenaikan BBM
berdampak pada meningkatnya biaya usaha tani padi sehingga berpengaruh
terhadap penurunan pendapatan petani. Kondisi harga gabah/beras yang
jauh diatas HPP bisa menyebabkan harga turun/jatuh dari harga di tingkat
pasar, terutama pada saat panen raya sehingga akan merugikan petani.
Dengan adanya perubahan dan peningkatan HPP gabah/beras, maka
diharapkan dapat meningkatkan pendapatan petani, sekaligus untuk
meminimalisir kejadian harga jatuh/turun pada saat panen raya.
3. Penulis: Apakah antara harga beras lokal dan beras impor memiliki harga
yang stabil di pasar Indonesia khususnya pada tahun 2008-2013?
Jawaban:
Beras lokal (Beras medium IR II, tingkat grosir) selama tahun 2008-2013,
menunjukkan peningkatan untuk setiap tahunnya yakni rata-rata 9,52
persen/tahun. Sementara harga beras impor (beras paritas fob Thai 5%)
relatif mengalami penurunan 5,30 persen/tahun. Harga beras impor untuk
periode tahun 2008-2010 selalu lebih tinggi daripada harga beras lokal,
namun pada periode tahun 2011-2013 harga beras impor lebih rendah
dibandingkan dengan harga beras lokal. Dilihat dari fluktuasi harga yang
digambarkan dengan koefisien variasi (CV), harga beras impor lebih
berfluktuasi dibandingkan dengan harga beras lokal atau dengan kata lain
295
harga beras lokal lebih stabil dibandingkan harga beras impor. Fluktuasi
harga beras impor tertinggi terjadi pada tahun 2008 yang mencapai 20,19
persen sedangkan pada periode yang sama CV untuk harga beras lokal
sebesar 2,17 persen. Selama tahun 2008-2013, fluktuasi harga beras relatif
stabil, dimana nilai cv lebih kecil dari 5 persen kecuali pada tahun 2010 dan
2011 fluktuasi harga beras lebih dari 5 persen yaitu masing-masing
mencapai 5,29 persen dan 9 persen.
Bulan
2008 2009 2010 2011 2012 2013
Beras
Impor
Beras
Lokal
Beras
Impor
Beras
Lokal
Beras
Impor
Beras
Lokal
Beras
Impor
Beras
Lokal
Beras
Impor
Beras
Lokal
Beras
Impor
Beras
Lokal
Januari 5057 5198 8455 5250 6990 6042 5739 6239 6637 7445 6108 7945
Februari 5797 5084 9092 5369 6668 6098 5736 6057 6483 7500 6113 7879
Maret 7206 4866 9054 5256 6199 5698 5316 5865 6689 7500 6091 7758
April 10615 4832 7960 5171 5723 5690 5163 5800 6693 7500 6025 7600
Mei 10648 5053 7250 5171 5654 5835 5077 6029 7351 7537 5970 7713
Juni 9267 5100 7707 5237 5721 5910 5408 6237 7460 7713 5848 7870
Juli 8672 5010 7610 5250 5786 6135 5616 6805 7366 7758 5799 8174
Agustus 8247 5058 7017 5283 5912 6485 5914 7097 7449 7700 5747 8139
September 8302 5100 6800 5250 6264 6530 6414 7087 7387 7717 5355 7930
Oktober 8007 5100 6285 5250 6372 6595 6511 7207 7281 7700 5693 8052
November 8454 5100 6835 5257 6183 6400 6762 7315 7391 7838 5792 7900
Desember 7923 5180 7364 5534 6423 6394 6511 7229 7422 7919 6165 8006
Rata-rata 8183 5057 7619 5273 6158 6151 5847 6580 7134 7652 5892 7914
CV 20,19 2,17 11,66 1,83 6,78 5,29 9,86 9,00 5,35 1,99 3,97 2,13
Keterangan:
Beras Impor (Worldbank diolah BKP)
Beras paritas internasional dari perhitungan beras Thai 5% (fob) Thailand
1) Harga C & F = Harga Bangkok + insurance (22 USD/MT)
296
2) Border price = (Harga C & F X Kurs)/1000 + BM
Harga Paritas = (Border Price + PPh) X 1,15
Beras Lokal= Beras IR II Tingkat Grosir PIBC (Sumber: PIBC diolah BKP)
4. Penulis: Apakah ada perbedaan antara harga beras lokal dengan beras
impor? Bagaimana hal ini dapat terjadi?
Jawaban:
Ada, hal ini mengingat pemasaran untuk beras global seringkali dikaitkan
dengan politik dumping seperti kebijakan yang ada di Jepang dan Vietnam.
Disatu sisi kualitas beras domestik kalah bersaing di pasaran internasional
dari sisi kualitas dan harga.
5. Penulis: Adanya kejadian terbaru tentang beras plastic yang beredar di
masyarakat, apakah ada hubungannya dengan lemahnya pengawasan
pemerintah dari tingginya harga beras saat ini?
Jawaban:
Isu beras plastik yang sempat mengemuka semata-mata bukan hanya karena
lemahnya sistem pengawasan dari pemerintah tetapu ada faktor lain sebagai
pemicu untuk dibukanya keran impor oleh pemerintah karena beras
domestik pada saat itu cenderung naik. Disisi lain, faktor politis sebagai
pengalihan isu yang sedang berkembang disinyalir dihunakan oleh pihak-
pihak tertentu dengan memanfaatkan kondisi yang sedang terjadi.
F. Harapan
297
1. Penulis: Harapan apa yang dapat tercapai dimasa depan mengenai produk
beras di Indonesia?
Jawaban:
Harapannya kedepan, produk beras di Indonesia dapat dikonsumsi secara
massal sebagai beras organic yang ramah lingkungan dan baik untuk
kesehatan tetapi dapat dijangkau oleh semua kalangan baik dari sisi kualitas
maupun dari harga itu sendiri.
2. Penulis: Harapan apa yang dapat tercapai di masa depan mengenai Impor
beras di Indonesia?
Jawaban:
Dengan berbagai potensi dan daya dukung yang dimiliki oleh Indonesia,
kedepan Indonesia akan lepas dari impor beras bahkan menjadi lumbung
pangan dunia. Hal ini dapat diyakini seperti halnya wilayah merauke yang
dapat dijadikan lumbung beras nasional. Data menunjukkan bahwa terdapat
2,5 juta hektar lahan potensial untuk pangan dan 1,9 juta hektar untuk lahan
basah di merauke (Papua).
3. Penulis: Harapan apa yang dapat tercapai dimasa depan mengenai konsumsi
beras di Indonesia?
Jawaban:
Kedepan, konsumsi beras diharapkan akan terus mengalami penurunan
sebagaimana target Kementerian Pertanian itu sendiri sehingga sejalan
298
dengan program diversifikasi pangan mengingat tingkat konsumsi beras di
Indonesia sebesar 139kg/kapita merupakan tertinggi di asia bahkan dunia.
Sehingga masyarakat Indonesia tidak mengandalkan beras sebagai sumber
pangan utama tetapi juga dapat mengkonsumsi pangan lainnya yang
melimpah tersedia di bumi Indonesia seperti jagung, singkong, sagu, sukun,
ubi dan lain-lainnya.
4. Penulis: Harapan apa yang dapat tercapai dimasa depan mengenai harga
beras di Indonesia?
Jawaban:
Dengan sinergitas antara kelembagaan yang menangani pangan dan Tim
Pengendali Inflasi maka, bukan hal yang mustahil kedepan harga beras di
Indonesia akan terjangkau oleh semua kalangan dengan kualitas yang baik
dimana petani selaku produsen akan memperoleh keuntungan harga yang
layak begitu pula konsumen dapat memperoleh beras dengan harga yang
murah dan terjangkau.
Lampiran 17
Hasil Wawancara dengan Narasumber Ditjen Tanaman Pangan
Nama Narasumber : Off record
Jabatan : Off record
Tempat Wawancara : Dengan percakapan email (dikarenakan kesibukan
narasumber)
299
Tanggal Wawancara : 14 Agustus 2015
A. Produksi Beras
1. Penulis: Secara umum apa yang dilakukan pemerintah untuk mendukung
produksi beras di Indonesia?
Jawaban:
Secara umum yang dilakukan pemerintah adalah Penguatan SDM (dengan
menggandeng TNI), Kelembagaan dan Pembiayaan bagi produsen beras.
3. Penulis: Permasalahan apa saja yang dihadapi petani dan produsen dalam
memproduksi beras di Indonesia pada tahun 2008-2013?
Jawaban:
a) Peningkatan Produktivitas
Tingkat adopsi teknologi masih lemah - pertanian budaya,
pendidikan rendah, modal lemah, penyuluh kurang
Ketersediaan benih yang cocok/pas (spesifik lokasi) terbatas
Daya beli petani yang rendah
Akses petani ke permodalan lemah
b) Peningkatan Luas Panen
Konversi lahan sawah
Kompetisi antar komoditas
Rusaknya lingkungan (DAS) dan infrakstruktur
300
Belum sinerginya pusat dan daerah (perbedaan prioritas dan
kepentingan)
4. Penulis: Terobosan apa saja yang harus dilakukan agar produksi beras di
Indonesia terus meningkat?
Jawaban:
Untuk meningkatkan produksi beras perlu adanya 2 hal yang perlu
ditingkatkan yaitu dari segi Luas Panen dan Produktivitas. Adapun langkah-
langkah yang perlu dilakukan sebagai berikut:
a) Luas Panen
Peningkatan IP (Rehabilitasi Jaringan Irigasi,TAM/JITUT/JIDES,
Pompanisasi, mekanisasi).
Pemanaman di lahan sawah cetak sawah baru.
Inter cropping di lahan perkebunan, kehutanan dll.
Penanaman dalam pot/polibag
Pengembangan food estate
Pemanfaatan lahan rawa/lebak (utamanya saat musim kemarau)
b) Produktivitas
Penerapan paket teknologi spesifik lokasi (PTT)
Pengamanan produksi dari serangan OPT dan DPI.
Pengurangan susut hasil (looses) panen dan pasca panen
301
F. Harapan
1. Penulis: Harapan apa yang dapat tercapai dimasa depan mengenai
produksi beras di Indonesia?
Jawaban:
Adapun harapan dimasa depan mengenai produksi beras adalah dengan
dilaksanakanya penerapan teknologi, mekanisasi sistem pertanian,
revitalisasi penggilingan, menciptakan sawah baru di luar jawa atau
food estate, peningkatan indeks pertanaman (varietas padi umur
pendek/genjah, percepatan panen, olah tanah, tanam melalui
mekanisasi), pemanfaatan lahan sub optimal (lahan kering dan rawa)
melalui dukungan paket teknologi, pengamanan puso dari OPT dan
DPI. Sehingga dapat diharapkan terjadinya peningkatan produksi beras
di Indonesia.