pengelolaan aset negara

Upload: muhammad-mujtabah

Post on 13-Jul-2015

568 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

A. PENGANTARSejak reformasi keuangan Negara bergulir pada awal tahun 2003, Pemerintah Pusat telah membangun komitmen yang kuat untuk memenuhi prinsip-prinsip tata kelola kepemerintahan yang baik (good governance) melalui pengelolaan keuangan yang sehat dan modern (sound and modern)1. Lingkup perubahan yang terjadi sangat mendasar dan bersifat menyeluruh, termasuk di dalamnya adalah pengelolaan aset Negara. International best practices memperlihatkan peran strategis pengelolaan aset negara sebagai salah satu indikator penting pengendali anggaran negara dan upaya perwujudan akuntabilitas tata kelola suatu keuangan negara. Adalah sebuah citacita bagi Pemerintah Pusat untuk segera mewujudkan strategic asset management, yaitu integrasi fungsi perencanaan, penganggaran, pengelolaan, dan pertanggungjawaban aset negara yang mengendepankan prinsip 3 Tertib dan The highest and best use of assets. Makalah ini berusaha menggambarkan secara umum sebuah rationale atas skenario perubahan tata kelola aset negara, terhitung sejak berdirinya organisasi Direktorat Jenderal Kekayaan Negara. Beberapa hal penting yang akan dideskripsikan antara lain gambaran singkat sejarah manajemen aset negara pada Pemerintah Pusat, reformasi manajemen aset, roadmap strategic asset management, dan kedudukan hukum dalam pengelolaan aset negara Apakah Aset Negara? 1. Prinsip-prinsip tata kelola kepemerintahan yang baik (good governance) dalam hal ini khususnya keterbukaan dan transparansi (openness dan transparency), tanggung gugat (accountability), superemasi hukum (rule of law), profesionalisme dan kompetensi, daya tanggap (responsiveness), efisiensi dan efektivitas, dan kemitraan dengan dunia usaha swasta dan pemerintah (Disarikan dari 14 prinsip-prinsip tata kelola kepemerintah yang baik, Bappenas (2007). Terminologi aset negara dalam tulisan ini memiliki makna yang sama dengan Barang Milik Negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, namun memiliki makna yang lebih sempit dari kekayaan negara3 dalam terminologi hukum dan mengandung makna yang lebih luas dari aset tetap4 yang biasa digunakan dalam terminologi akuntansi. Penggunaan istilah aset negara dalam tulisan ini dimaksudkan untuk mempermudah pengenalan konsep strategic asset management mengingat subfungsi di dalam keuangan negara menggunakan peristilahan yang berbeda-beda dari sistem

penganggaran, sistem pengelolaan barang milik negara, dan sistem akuntansi, sementara obyek asetnya adalah sama. Pertama, penganggaran membaginya berdasarkan substansi peruntukan belanja, bukan jenis barang. Sebagai ilustrasi, alokasi belanja untuk perolehan aset negara sekurang-kurangnya terdapat pada alokasi belanja modal, belanja barang, hibah, dan bantuan sosial. Alokasi lainnya yang masih dapat dimaknai sebagai alokasi untuk perolehan aset negara adalah dana yang dibelanjakan untuk perolehan aset yang berasal dari dana dekonsentrasi5, dana tugas pembantuan6, dan anggaran pembiayaan dan perhitungan (BA APP)7. Kedua, di dalam konteks manajemen aset, PP Nomor 6 tahun 2006 menggunakan istilah Barang Milik Negara (BMN), yaitu segala sesuatu barang berwujud dan/atau tidak berwujud, sepanjang diperoleh dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau perolehan lain yang sah. Dengan demikian, seluruh jenis alokasi anggaran yang menghasilkan aset, baik untuk digunakan pihak Pemerintah, dikerjasamakan maupun untuk dipindahtangankan kepada pihak lain, dikategorikan sebagai BMN. 2. Barang Milik Negara adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN/APBD atau yang berasal dari peroleh lainnya yang sah (Pasal 1 angka 1 dan 2, UU No. 1 Tahun 2004). 3. Kekayaan Negara dapat dikategorikan menjadi dua kelompok, yaitu kekayaan yang dimiliki pemerintah (domein privat) dan kekayaan yang dikuasai negara (domein publik). Dalam landasan konstitusional kita mengacu pada Pasal 23 ayat 1 dan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945. 4. Aset Tetap adalah aset berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintah atau dimanfaatkan oleh masyarakat umum (Sumber: PP Nomor 24 tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan). 5. Dana dekonsentrasi adalah dana yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi, tidak termasuk dana yang dialokasikan untuk instansi vertikal pusat di daerah (Sumber: PP Nomor 7 tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan). 6. Dana tugas pembantuan adalah dana yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh daerah dan desa yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan tugas pembantuan (Sumber: PP Nomor 7 tahun 2008).

7.

Anggaran Pembiayaan dan Perhitungan adalah dana APBN yang dialokasikan kepada Menteri Keuangan/Bendaraha Umum Negara sebagai pengguna anggaran selain yang dialokasikan untuk Kementerian/Lembaga yang dalam pelaksanaannya dapat diserahkan kepada Kementerian/Lembaga/Pihak Lain sebagai Kuasa Pengguna Anggaran. Ketiga, di dalam konteks akuntansi dan pelaporan, BMN dikenal dengan berbagai jenis akun akuntansi dan dapat berbentuk persediaan8, aset tetap, dan aset lain-lain9. Dengan demikian, untuk mempermudah pemahaman pembaca dan menampung 3 (tiga) sudut pandang yang berbeda, maka digunakan istilah aset negara untuk menggambarkan barang milik negara atau aset yang diperoleh dari berbagai jenis alokasi anggaran atau persediaan, aset tetap, atau aset lain-lain. Sejarah pengelolaan aset negara di Indonesia tidak dapat lepas dari konteks peraturan perudang-undangan yang berlaku saat itu dan organisasi Pemerintah Pusat selama lebih dari 4 (empat) dekade. Sejak berlangsungnya fungsi keuangan dalam menjalankan roda pemerintahan, Pemerintah RI berpedoman pada aturan lama peninggalan jaman kolonial, yaitu Undang-Undang Perbendaharaan/Indische Comptabiliteitswet (ICW)10. Sampai dengan terbitnya 3 (tiga) paket Undang-Undang bidang Keuangan Negara (2003-2004), praktik penatausahaan aset negara yang berjalan sangat minim, seperti pencatatan secara terpisah antara arus uang dan arus barang, belum menyajikan laporan posisi keuangan pemerintah (neraca), belum menerapkan standar akuntasi pemerintahan, dan pencatatan dilakukan secara manual. Era Tahun 70-an s.d. Tahun 90-an adalah era menjamurnya kebijakan pembangunan infrastruktur dimana fokus Pemerintah RI adalah membangun sarana dan prasarana guna mendukung berlangsungnya roda pemerintahan saat itu. Strategi Trilogi

Pembangunan11 yang dikenal pada masa Orde Baru telah memperlihatkan hasil pembangunan fisik sarana dan prasarana pemerintah dan publik, seperti berdirinya batalyon s.d. komando daerah militer (Kodam), kantorkantor polisi, rumah-rumah tahanan, puskesmas-puskesmas, sekolah-sekolah negeri, kantor agama, serta sarana prasarana kantor-kantor pemerintahan dan fasilitas infrastruktur lainnya, seperti jalan, irigasi, dan jaringan. 8. Persediaan adalah aset lancar dalam bentuk barang atau perlengkapan yang dimaksudkan untuk mendukung kegiatan operasional pemerintah, dan barang-barang yang

dimaksudkan untuk dijual dan/atau diserahkan dalam rangka pelayanan kepada masyarakat.

9.

Termasuk dalam kelompok aset lain-lain adalah aset tak berwujud, aset eks BPPN, aset barang sitaan, dan barang-barang rusak berat yang belum dihapuskan.

10. Undang-undang Perbendaharaan Indonesia/Indische Compabiliteitswet (staaatsblad Tahun 1925 Nomor 448) sebagaimana telah beberapa kali diubah dan ditambah terakhir dengan UU Nomor 9 tahun 1968). 11. Trilogi Pembangunan terdiri stabilitas nasional, pertumbuhan ekonomi, dan pemerataan pembangunan dan hasilhasilnya. Sayangnya, euforia tersebut terjadi pada masa dimana transparansi dan akuntabilitas belum menjadi perhatian besar publik. Negara sibuk membangun, namun belum memiliki pola pertanggungjawaban yang memadai. Hingga tahun 1990-an, Pemerintah hanya memiliki mekanisme Perhitungan Anggaran Negara (PAN) yang merupakan satusatunya alat pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran kepada DPR. Sebagai konsekuensi, seluruh aset yang dimiliki Pemerintah pada masa itu belum mensyaratkan adanya pelaporan aset atau yang pada masa tersebut dikenal sebagai inventaris kekayaan negara (IKN). Pada awal tahun 1990-an, Pemerintah Pusat mulai memaknai pentingnya akuntansi dan pelaporan pelaksanaan anggaran, tidak hanya dari aspek ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan (complience report), namun juga penyajian laporan posisi keuangan (Neraca) dan laporan arus kas. Hal ini ditandai dengan pembentukan organisasi Eselon I Badan Akuntansi Keuangan Negara (BAKUN) yang mempunyai misi mewujudkan laporan keuangan Pemerintah Pusat. Pendirian BAKUN telah mengenalkan adanya fungsi koordinator penatausahaan inventaris kekayaan negara bagi seluruh kementerian/lembaga dengan mekanisme penatausahaan yang masih sangat sederhana. Aset dikenal dengan istilah Inventaris Kekayaan Negara/IKN, yang ditatausahakan oleh setiap departemen melalui pencatatan IKN secara manual atau pembukuan tunggal 12 (single entry book keeping). Produk pertanggungjawaban yang dihasilkan berupa Laporan Mutasi Barang Triwulan (LMBT) dan Laporan Tahunan (LT). Inilah satusatunya produk pertanggungjawaban penatausahaan aset saat itu, yang dikompilasi dan dikoordinasikan oleh BAKUN. Pada tahun 90-an terminologi yang dikenal adalah Barang Milik/Kekayaan Negara (BM/KN) yang menempatkan aset dalam lingkup yang lebih luas, yaitu tidak terbatas pada barang-barang inventaris yang diperoleh dari sumber APBN, namun/ juga kekayaan negara yang dikuasai oleh negara, seperti aset asing cina.

12. Pembukuan tunggal atau single entry book keeping adalah Sistem pembukuan yang sederhana dengan seluruh transaksi yang dicatat pada satu sisi, sehingga merupakan sistem pembukuan yang tidak terpadu. Pencatatan atas arus mutasi aset dilakukan secara terpisah dengan pencatatan arus keuangan, sehingga tidak dapat dibandingkan antara belanja yang telah dikeluarkan dengan aset diperoleh. Pada masa tersebut, Pemerintah (BAKUN) sedang dalam tahap membangun sistem untuk menghasilkan Neraca (Sistem Akuntansi Pemerintah) . Saat itu telah dirintis aplikasi BM/KN berupa Sistem Akuntansi Aset Tetap (SAAT). Sebagai pionir, SAAT hanya sampai tahapan ujicoba dan belum sepenuhnya dapat diterapkan pada Kementerian/Lembaga. Namun, SAAT merupakan sebuah milestone penting bagi pengembangan aplikasi aset tetap selanjutnya, yaitu Sistem Akuntansi Barang Milik Negara13 (SABMN). SABMN inilah yang kemudian menjadi subsistem dari Sistem Akuntansi Instansi (SAI)14 yang akhirnya mampu menghasilkan neraca

Pemerintah.Sementara itu, hal-hal terkait dengan perolehan aset, pemanfaatan, dan penghapusan aset ditangani oleh Direkorat Pengelolaan Kekayaan Negara pada Direkorat Jenderal Anggaran. 13. Sistem Akuntansi Barang Milik Negara (SABMN) adalah subsistem dari Sistem Akuntansi Instansi (SAI) yang merupakan serangkaian prosedur yang saling berhubungan untuk mengolah dokumen sumber dalam rangka menghasilkan informasi untuk penyusunan neraca dan laporan barang milik negara, serta laporan manajerial lainnya, sesuai ketentuan yang berlaku (Sumber: PMK No. 171/PMK.05/2007). 14. Sistem Akuntansi Instansi (SAI) adalah serangkaian prosedur manual maupun yang berkomputerisasi mulai dari pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran, sampai dengan pelaporan posisi keuangan dan operasi keuangan pada Kementerian Negara/Lembaga (Sumber: PMK No. 171/PMK.05/2007). Lahirnya 3 (tiga) paket Undang-undang Bidang Keuangan Negara15 menjadi lokomotif bagi perubahan paradigma manajemen aset negara. Pertama, Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara merupakan payung hukum tertinggi yang mengatur mengenai fungsi pengelolaan barang milik Negara sebagai bagian dari lingkup perbendaharaan Negara. Hal ini bermakna bahwa di dalam siklus keuangan Negara, yang bermula dari perencanaan, penganggaran, perbendaharaan, dan pemeriksaan, maka subfungsi pengelolaan barang milik Negara merupakan satu bagian yang saling mengait dengan subfungsi lainnya di dalam fungsi perbendaharaan secara utuh.

Kedua, dengan lahirnya Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah (BMN/D) yang diamanatkan oleh UU No. 1 Tahun 2004, telah terjadi perubahan paradigma dari penatausahaan barang milik/kekayaan Negara menjadi pengelolaan barang milik Negara/daerah atau BMN/D16. Perubahan tersebut mencakup, antara lain: a. Lingkup pengelolaan yang luas dimulai dari perencanaan kebutuhan dan penganggaran, pengadaan, penggunaan, pemanfaatan, pengamanan dan

pemeliharaan, penilaian, penghapusan, pemindahtanganan, penatausahaan, dan pembinaan pengawasan dan pengendalian; b. Para pejabat pengelolaan BMN/D dengan lebih mengenalkan peran baru sebagai pengelola aset (asset manager) dalam rangka profesionalisme pengelolaan BMN/D; c. Pengintegrasian unsur manajerial dan pelaporan BMN/D di dalam laporan keuangan sebagai bagian dari pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran Negara/daerah. 15. Terdiri dari UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU nomor 15 tahun 2005 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. 16 PP No. 6 Tahun 2006 Pasal 3 ayat (2) telah mengatur bahwa lingkup pengelolaan barang milik Negara/Daerah mencakup mulai dari perancanaan kebutuhan dan penganggaran, pengadaan, penggunaan, pemanfaatan, pengamanan dan pemeliharaan, penilaian, penghapusan, pemindahtanganan, penatausahaan, dan pembinaan pengawasan dan pengendalian. Untuk dapat menjalankan business process pengelolaan BMN/D secara memadai, PP No. 6 Tahun 2006 mengamanatkan terbitnya beberapa produk hukum yang mengatur lebih lanjut aspek pengelolaan BMN/D, seperti (i) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.06/2007 tentang Tata cara Penggunaan, Pemanfaatan, Penghapusan, dan Pemindahtanganan Barang Milik Negara, (ii) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 97/PMK.06/2007 tentang Penggolongan dan Kodifikasi Barang Milik Negara, (iii) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 120/PMK.06/2007 tentang Penatausahaan Barang Milik Negara, dan (iv) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 02/PMK.06/2008 tentang Penilaian Barang Milik Negara. Reformasi bidang hukum menimbulkan konsekuensi lebih lanjut di dalam aspek organisasi dan ketatalaksanaan. Hingga tahun 2007, penataan ulang organisasi secara menyeluruh di Departemen Keuangan telah berlangsung sebanyak 2 (dua) kali. Pertama, pada tahun 2004, terjadi peleburan dua unit Eselon II, yaitu Direktorat Pengelolaan

Kekayaan

Negara

(Dit.PKN)-Ditjen

Anggaran

dan

Pusat

Akuntansi

Barang

Milik/Kekayaan Negara (Pusat Akbar)-BAKUN, menjadi satu unit Eselon II baru, Direktorat Pengelolaan BMKN (Direktorat PBMKN) pada Direktorat Jenderal Perbendaharaan17. Direktorat inilah yang menjadi cikal bakal pengembangan organisasi Direktorat Jenderal Kekayaan Negara yang saat ini melaksanakan peran selaku Pengelola Barang (asset manager).Kedua, lahirnya unit eselon I baru, yaitu Direktorat Jenderal Kekayaan Negara atau DJKN, yang merupakan peleburan antara Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara (DJPLN), Direktorat Pengelolaan Barang Milik/Kekayaan Negara-Ditjen Perbendaharaan, dan Bidang Pengelolaan Kekayaan Negara pada Kanwil Direktorat Jenderal Perbendaharaan. Perubahan ini ditandai dengan terbitnya Keputusan Menteri Keuangan Nomor 466/KMK.01/2006, dan selanjutnya disempurnakan menjadi Peraturan Menteri Keuangan No. 131/PMK.01/2006. Skenario perubahan dilakukan dengan pendekatan fungsi. Merger antara eks DJPLN dan eks Direktorat PBMKN bukan sekedar penyatuan SDM dua unit. Secara substansi, kedua fungsi tersebut berubah komposisi, baik yang sifatnya penajaman fungsi yang ada (penatausahaan KN), perampingan domain pengelolaan (piutang Negara dan lelang), maupun fungsi baru (perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, penilaian, dll). Lihat Gambar 2 Transformasi fungsi pengelolaan kekayaan Negara.

B. IMPLIKASI PENGATURAN PASAL 33 UUD 1945Pasal 33 UUD 1945 adalah pasal yang dikenal sebagai pasal ideologi dan politik ekonomi Indonesia , karena di dalamnya memuat ketentuan tentang hak penguasaan negara atas:y

Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak; dan

y

Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang harus dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Keterkaitan dengan hak penguasaan negara dengan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat akan mewujudkan kewajiban negara sebagai berikut: 1. Segala bentuk pemanfaatan (bumi dan air) serta hasil yang didapat (kekayaan alam), harus secara nyata meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.

2. Melindungi dan menjamin segala hak-hak rakyat yang terdapat di dalam atau di atas bumi, air dan berbagai kekayaan alam tertentu yang dapat dihasilkan secara langsung atau dinikmati langsung oleh rakyat. 3. Mencegah segala tindakan dari pihak manapun yang akan menyebabkan rakyat tidak mempunyai kesempatan atau akan kehilangan haknya dalam menikmati kekayaan alam. Ketiga kewajiban di atas menjelaskan segala jaminan bagi tujuan hak penguasaan negara atas sumber daya alam yang sekaligus memberikan pemahaman bahwa dalam hak penguasaan itu, negara hanya melakukan pengurusan (bestuursdaad) dan pengolahan (beheersdaad), tidak untuk melakukan eigensdaad. Berikut ini adalah beberapa rumusan pengertian, makna, dan subtansi dikuasi oleh negara sebagai dasar untuk mengkaji hak penguasaan negara antara lain yaitu:y

Mohammad Hatta merumuskan tentang pengertian dikuasai oleh negara adalah dikuasai oleh negara tidak berarti negara sendiri menjadi pengusaha, usahawan atau ordernemer. Lebih tepat dikatakan bahwa kekuasaan negara terdapat pada membuat peraturan guna kelancaran jalan ekonomi, peraturan yang melarang pula penghisapan orang yang lemah oleh orang yang bermodal.1

y

Muhammad Yamin merumuskan pengertian dikuasai oleh negara termasuk mengatur dan/atau menyelenggarakan terutama untuk memperbaiki dan mempertinggi produksi dengan mengutamakan koperasi. 2

y

Panitia Keuangan dan Perekonomian bentukan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang diketuai oleh Mohammad Hatta merumuskan pengertian dikuasai oleh negara sebagai berikut:

(1) Pemerintah harus menjadi pengawas dan pengatur dengan berpedoman keselamatan rakyat; (2) Semakin besarnya perusahaan dan semakin banyaknya jumlah orang yang menggantungkan dasar hidupnya karena semakin besar mestinya persertaan pemerintah;(3) Tanah haruslah di bawah kekuasaan negara; dan (4) Perusahaan tambang yang besar dijalankan sebagai usaha negara. 3

Mohammad Hatta, Penjabaran Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: Mutiara, 1977), hal. 28. Muhammad Yamin, Proklamasi dan Konstitusi, (Jakarta: Djembatan, 1954), hal.42-43. 3 Mohammad Hatta, loc. Cit.2

1

y

Bagir Manan merumuskan cakupan pengertian dikuasai oleh negara atau hak penguasaan negara, sebagai berikut:

(1) Penguasaan semacam pemilikan oleh negara, artinya negara melalui Pemerintah adalah satu-satunya pemegang wewenang untuk menentukan hak wewenang atasnya, termasuk di sini bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya, (2) Mengatur dan mengawasi penggunaan dan pemanfaatan, (3) Penyertaan modal dan dalam bentuk perusahaan negara untuk usaha-usaha tertentu.4 Berdasarkan rumusan-rumusan di atas ternyata mengandung beberapa unsur yang sama. Dari pemahaman berbagai persamaan itu, maka rumusan pengertian hak penguasaan negara ialah negara melalui pemerintah memiliki kewenangan untuk menentukan penggunaan, pemanfaatan dan hak atas sumber daya alam dalam lingkup mengatur, mengurus, mengelola, dan mengawasi pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam. Oleh karena itu terhadap sumber daya alam yang penting bagi negara dan menguasai hajat orang banyak, karena berkaitan dengan kemaslahatan umum (public utilities) dan pelayanan umum (public services), harus dikuasai negara dan dijalankan oleh pemerintah. Sebab sumber daya alam tersebut, harus dapat dinikmati oleh rakyat secara berkeadilan, keterjangkauan, dalam suasana kemakmuran dan kesejahteraan umum yang adil dan merata.

C. LINGKUP PENGATURAN SEKTORALKekayaan yang dikuasai Negara (domain publik) bersumber pada pasal 33 UUD 1945 meliputi ?Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat?. Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya meliputi permukaan bumi (tanah), tubuh bumi (bawah tanah dan bawah air), dan ruang angkasa (di atas tanah dan di atas air). Pengaturan mengenai pengelolaan kekayaan yang dikuasai Negara selama ini diatur secara terpisah-pisah dalam bentuk undang-undang yang mengatur sumber daya agraria dan sumber daya alam beserta peraturan pelaksanaannya.Bagir Manan, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, (Bandung: Mandar Maju, 1995), hal. 12.4

Kekayaan yang dikuasai Negara (domain publik) ini dikelola dalam rangka pelaksanaan kekuasaan Negara untuk menjamin bahwa kekayaan tersebut digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kekayaan yang dikuasai Negara (domain publik) bersumber pada pasal 33 UUD 1945 meliputi Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pengelolaan Kekayaan Negara yang bersumber pada pasal 33 ayat 3 UUD 1945 adalah Negara adalah badan penguasa atas barang negara dengan hak menguasai dan bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Instansi pengelolanya adalah instansi pemerintah departemen/LPND yang diberikan wewenang untuk itu. Tanah oleh Badan Pertanahan Nasional, Tambang oleh Departemen Sumber Daya Mineral dan Energi, laut dan kekayaannya oleh Departemen Kelautan dan sebagainya. Pengaturan atas pengelolaan barang milik negara dalam ruang lingkup ini telah diatur dalam berbagai undang-undang. Penafsiran mengenai konsep penguasaan negara terhadap Pasal 33 UUD 1945 juga dapat kita cermati dalam Putusan MK mengenai kasus-kasus pengujian undang-undang terkait dengan sumber daya alam. Mahkamah dalam pertimbangan hukum Putusan Perkara UU Migas, UU Ketenagalistrikan, dan UU Sumber Daya Air (UU SDA) menafsirkan mengenai hak menguasai negara (HMN) bukan dalam makna negara memiliki, tetapi dalam pengertian bahwa negara hanya merumuskan kebijakan (beleid), melakukan pengaturan (regelendaad), melakukan pengurusan (bestuursdaad), melakukan pengelolaan (beheersdaad), dan melakukan pengawasan (toezichthoundendaad).

Sumber2:

http://www.djkn.depkeu.go.id/?mod=faq&faq_id=3 http://www.djkn.depkeu.go.id/index.php/20070815146/Examples/Kekayaan-Negara.html http://pbmkn.perbendaharaan.go.id/Artikel/004.htm http://jurnalhukum.blogspot.com/2006/10/penafsiran-konsep-penguasaan-negara.html http://my.opera.com/hadame/blog/kekayaan-dimiliki-vs-kekayaan-dikuasai-pemerintah Salim, Emil, Otonomi Daerah dan Pengelolaan Sumber Daya Kelautan. Makalah kuliah umum di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta, 29 November 2000. Internet (www.google.co.id) Cooper, Phillip J. Dan Vargas, Claudia M., Implementing Sustainable Development from Global Policy to Local Action, Rowman & Littlefield Publisher Inc., UK, 2004 Khor, Martin, "Globalization and the Crisis of Sustainable Development", Third World Network. Stiglitz, Joseph, Globalization and its Discontents, The Penguin Books, 2002)

World Economic Forum, World Investment Report 2005.