pengembangan alat ukur dalam penelitian sosial · pengembangan alat ukur: bottom-up • bottom up:...
TRANSCRIPT
Pengembangan Alat Ukur dalam
Penelitian Sosial
Oleh: Heru Prasadja
Disampaikan dalam rangka Penyusunan Indeks Keberfungsian Sosial Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial (PMKS),
24 November 2017
Pengantar
• Dalam penelitian kuantitatif, konsep (inti dari teori) terarah pada variabel. Oleh sebab itu, proses pengumpulan data melalui tahap pengembangan alat ukur.
• Ciri lain dari penelitian kuantitatif adalah menggunakan teknik pengambilan sample (sampling).
• Selain itu, dalam penelitian kuantitatif, pengolahan dan analisis data menggunakan metode statistika (statistic analysis).
• Dalam penelitian kuantitatif biasanya peneliti menggunakan kuesioner dengan cara, antara lain:
�wawancara terstruktur (kuesioner dibacakan kepada responden, pewawancara mencatat jawaban responden pada kuesioner).
�Angket (responden mengisi kuesioner sendiri, self administered).
�Wawancara atau angket melalui internet.
• Atau menggunakan check list (daftar hal-hal yang perlu diobservasi). Observer mencatat hasil observasi pada lembar check list.
konseptualisasi
Konsep
Definisi teoritik atau
konseptual
Proses PengukuranProses Pengukuran
Proposisi
Hipotesis empiris
Indikator, dimensi,
elemen, alat ukur
Konsep
operasionalisasi
Definisi operasional
Definisi teoritik atau
konseptual
Indikator, dimensi,
elemen, alat ukur
Definisi operasional
Lihat Neuman 2006 (p: 185), Neuman (2014, p: 209) dengan perubahan.
Tahap-tahap Pengukuran
� Tentukan definisi teoritis dan definisi operasional
dari konsep yang hendak diukur.
� Tentukan indikator, dimensi, elemen.
� Rumuskan ke dalam pertanyaan-pertanyaan.
� Lakukan uji coba alat ukur untuk memeriksa tingkat
kesulitan, validitas, dan reliabilitas.
� Perbaiki alat ukur (bila perlu).
�Gunakan alat ukur.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam
pengukuran
• Ingat definisi teoritis atau konseptual.
• Kreatif, buka kemungkinan-kemungkinan pengukuran.
• Pinjam alat ukur yang pernah dikembangkan. Lakukan modifikasi seperlunya.
• Antisipasi kesulitan.
• Ingat satuan analisis (unit of analysis).
• Usahakan ke skala pengukuran (nominal, ordinal, interval, rasio) tertinggi.
Konsep: Proses Pembelajaran
• Definisi Operasional: Seseorang mengalami proses
pembelajaran jika ia memahami apa yang dipelajari,
mengingat yang dipahami, dan menerapkan apa
yang dipahami dan diingat.
• Dimensi untuk mengukur proses pembelajaran:
�Memahami (D1)
�Mengingat (D2)
�Menerapkan (D3)
Kasus-1
Dimensi terdiri (beberapa) elemen (item):
� Elemen (item) untuk mengukur “Memahami” (D1):
o Menjawab pertanyaan dengan benar (E1).
o Memberi contoh yang tepat (E2).
� Elemen untuk mengukur “Mengingat” (D2):
o Mengingat kembali isi yang dipelajari setelah beberapa
waktu (E3).
� Elemen untuk mengukur “Menerapkan” (D3):
o Memecahkan masalah dg hal yang dipelajari (E4).
o Memadukan dengan materi lain (E5).
Kasus-1
Motivasi Berprestasi
Definisi operasional:
�Seseorang memiliki motivasi
berprestasi tinggi dalam pekerjaan jika
tergerak dari diri sendiri untuk tekun
bekerja, sulit merasa rileks, memilih
bekerja sendiri, tertarik pada
tantangan, dan menginginkan umpan
balik.
Kasus-2
Dimensi-dimensi
“Motivasi Berprestasi”:
1. Digerakkan oleh kerja.
2. Tidak dapat rileks.
3. Tidak sabar dengan ketidak-efektifan.
4. Mencari tantangan moderat.
5. Butuh umpan-balik.
Kasus-2
Pertanyaan-pertanyaan untuk
mengukur “Motivasi Berprestasi”
1. Seberapa sering muncul keinginan anda untuk
menyelesaikan pekerjaan tepat waktu?
2. Seberapa sering anda tetap ingin menyelesaikan
pekerjaan anda walaupun pernah mengalami
kegagalan?
3. Seberapa sering anda mengabaikan kepentingan
pribadi karena asyik bekerja?
4. Seberapa sering anda tetap memikirkan pekerjaan
anda walaupun anda sudah berada di luar
lingkungan pekerjaan anda?
Kasus-2
“Motivasi Berprestasi”
5. Seberapa sering anda menikmati kegiatan di luar
pekerjaan anda? (negatif)
6. Seberapa kecewa anda karena gagal mencapai
pekerjaan?
7. Seberapa banyak anda berkonsentrasi untuk
menyelesaikan pekerjaan anda?
8. Seberapa besar anda merasa terganggu ketika
berbuat kesalahan dalam pekerjaan?
Kasus-2
“Motivasi Berprestasi”
9. Seberapa besar keinginan anda memilih teman kerja yang ramah walaupun tidak berkompeten? (negatif)
10. Seberapa besar keinginan anda untuk bekerja sendiri dibandingkan bekerja dengan orang lain?
11. Seberapa besar keinginan anda untuk memilih pekerjaan yang sulit dan menantang dibandingkan yang mudah dan memiliki rutinitas tinggi?
12. Seberapa sering anda mencari umpan-balik dari atasan mengenai kinerja anda?
Kasus-2
“Motivasi Berprestasi”
13. Seberapa sering anda meminta umpan balik
mengenai pekerjaan anda dari bawahan anda?
14. Seberapa sering anda meminta umpan balik
mengenai pekerjaan anda dari teman sekerja anda?
15. Seberapa besar keinginan anda untuk segera
memperoleh umpan balik tentang pekerjaan anda
dari orang-orang di lingkungan pekerjaan anda?
Kasus-2
• Profesional Work Environment (PWE) Level of Theory
• A job requires high levels of skill and creative knowledge.
Workers have great autonomy and are respected. They
control the design, pace, and content of their work with little
direct supervision. Independent peer associations uphold
standards and discipline members. Operational Level
• Records show a high skill and knowledge level is required.
Officials state respect for teachers and impose few mandates
about work content or schedules. All employees state that
school officials seek and follow suggestions made by teachers.
An independent professional association, not local school
officials, sets standards and disciplines teachers. Empirical
Level
Kasus-3
• Level of Teacher Morale (LTM) Level of Theory
• Most teacher at school have very positive, optimistic feelings
about students, parents, other teachers, one’s work, and
administrators that persist for over a period of time.
Operational Level
• Records show teachers regularly put in extra time/effort
without extra pay. Employees report of hearing teachers
make many positive statements about the students, other
teachers, and the school. Survey responses show very few
complaints and a positive attitude toward the work
environment. Records show few teachers quit or leave the
school for other jobs. Empirical Level
Kasus-3
Indeks (Neuman, 1997, p: 152 Neuman,
2014, p: 226)
�Indeks adalah ukuran yang digunakan peneliti dengan cara menambahkan atau mengkombinasikan beberapa indikator dari sebuah konstruk ke skor tunggal.
(An index is a measure in which researcher adds or combines several distinct indicators of a construct into a single score).
� Indeks sering terukur pada skala interval atau rasio.
(Indexes are often measure at the interval or ratio level).
Contoh Indeks Kualitas PT:
A. Banyaknya mahasiswa.
B. Persentase dosen yang berijasah S3.
C. Banyaknya buku di perpustakaan per mahasiswa.
D. Persentase mahasiswa putus studi.
E. Persentase mhs yang melanjutkan ke pascasarjana.
F. Banyaknya buku atau artikel karya para dosen.
� Indeks Kualitas PT jumlah dari semua item tersebut.
• IKPT1 = -A+B+C-D+E+F (tanpa pembobotan)
• IPPT2=-2A+2B+C-3D+E+3F (dengan Pembobotan)
Skala (Neuman, 1997, p:157-167; Neuman, 2014,
p:230-236)
• Skala merupakan sebuah ukuran yang digunakan peneliti dengan cara menangkap intensitas, arah, tingkatan, atau potensi dari variable konstruk.
(A scale is a measure in which a researcher captures the intensity, direction, level, or potency of variable construct).
• Sebagian besar Skala terukur dalam tingkatan ordinal:
�Likert Scale.
�Thurstone scaling.
�Bogardus Social Distance Scale.
�Orgood Sementic Differential.
�Gutman Scaling.
Likert Scale
� Likert scales are called summated-rating or additive scales because a person’s score on the scale is computed by summing the number of responses he or she gives.
� Ada beberapa pernyataan.� Responden yang diteliti memberi respons sangat tidak
setuju (STS), tidak setuju (TS), netral (N), setuju (S), atau sangat setuju (SS).
� Ukuran skala Likert berada pada tingkatan ordinal karena respons yang diberikan menggunakan peringkat (ranking).
(Likert scale measures are at the ordinal level measurement because responses indicate a ranking only).
Thurstone scaling
�Metode ini menghasilkan ukuran “equal-appearing intervals”.
�Didasarkan pada penilaian para penilai (juri, atau ahli).
� Peneliti menyediakan sekitar 100 pernyataan.
� Para ahli atau Juri (sekitar 100 orang) mereduksi pernyataan menjadi sekitar 20 pernyataan.
� Sekarang Metode ini jarang digunakan karena terlalu banyak waktu dan biaya.
• Ada tiga cara menyusun alat ukur (construct):
1. Cari definisi-definisi konsep yang dikemukakan para ahli (studi literatur, text book, jurnal).
2. Mendefinisikan sendiri (team peneliti), atau mendiskusikan dengan yang berkompeten.
3. Mendiskusikan dengan calon responden atau yang mau diteliti.
• Cara pertama dapat disebut cara Top-Down (konsep ke kuesioner).
• Cara kedua dan ketiga dapat disebut Bottom-Up (kuesioner ke konsep).
• Dalam mengukur validitas, --juga reliabilitas--, secara umum
kita menggunakan prinsip korelasi (keeratan hubungan dua
variabel).
• Korelasi dapat bernilai antara nol sampai dengan satu.
• Korelasi bernilai dekat nol berarti hubungan dua variabel
lemah.
• Korelasi bernilai dekat satu berarti hubungan dua variabel
kuat.
• Korelasi dua variabel dapat dimaknai sebagai sudut dua
variabel (dua garis) jika digambarkan dalam satu bidang.
• Semakin tinggi korelasi, sudut dua garis semakin kecil.
• korelasi sama dengan satu, dua garis berimpit.
• Korelasi sama dengan nol, dua garis saling tegak lurus.
Pengembangan alat ukur Top Down
• Top-Down: Teori, definisi konseptual, definisi operasional,
indikator atau dimensi, item-item, kuesioner. Hati-hati
dengan item-item yang bersifat negatif terhadap total skor.
• Lakukan uji coba alat ukur.
• Hitung korelasi setiap item terhadap skor total.
• Pertimbangkan item-item yang memiliki korelasi rendah
(dekat dengan nol, dapat digunakan batas 0.2 atau 0.3
tergantung banyaknya sample uji coba) untuk diperbaiki
(dalam uji coba, dan data uji coba tidak dipergunakan dalam
penelitian) atau untuk dikeluarkan (data uji coba terpakai
atau menjadi bagian dari data penelitian).
• Untuk melihat validitas dan reliabilitas alat ukur yang
dikembangkan secara Top-Down dapat dilakukan dengan
menganalisis data dengan menggunakan SPSS melalui:
• Analyze, Scale, Reliability analysis, masukkan semua item
yang mau dianalisis.
• Tambahkan analisis dengan meminta: (klik statistics): dan
lanjutkan dengan klik “scale if item deleted” dalam
“Descriptive for”
Pengembangan Alat Ukur: Bottom-Up
• Bottom Up: kumpulkan indikator di lapangan (data sekunder,
diskusi kelompok). Untuk pengembangan alat ukur melalui
diskusi kelompok, kumpulkan indikator-indikator, dimensi-
dimensi, item-item yang diperoleh, kembangkan menjadi
kuesioner.
• Gunakan kuesioner untuk uji coba.
• Lakukan analisis faktor (factor analysis) untuk melihat item-
item, indikator-indikator, dimensi-dimensi yang mengumpul
menjadi faktor-faktor baru. Kemudahan peneliti memberi
nama faktor (sesuai dengan teori) merupakan salah satu kunci
keberhasilan pengembangan alat ukur model ini.
• Untuk melihat validitas dan reliabilitas alat ukur yang
dikembangkan secara bottom up, kita dapat menggunakan
spss:
• Analyze, Dimension Reduction, Factor
• Masukkan seluruh item yang mau dianalisis
• Tambahkan analisis dengan meminta dalam sub-perintah:
Descriptives (terutama klik KMO, dan Anti Image); rotation
(pilih varimax), option(terutama klik sorted by size, suppres
small coeff dan ketik 0.5)
The Social Functioning Scale
• Birchwood, et al (1990):
�The Social Functioning Scale (SFS) was constructed
specifically to tap those areas of functioning that are crucial
to the community maintenance of individuals with
chizophrenia.
� In this respect, the content of the SFS was informed by the
areas focused on in the successful psychosocial
intervention programmes of Hogarty et a! (1979), Paul &
Lentz (1977), Stein & Test (1980), and the impairments
and disabilities assessed by the Disability Assessment
Schedule (World Health Organization, 1980).
• The seven areas selected are shown in Table IV and
include:
a) Social engagement/withdrawal (time spent alone,
initiation of conversations, social avoidance)
b) interpersonal behaviour (number of friends!
heterosexual contact, quality of communication)
c) pro-social activities (engagement in a range of
common social activities, e.g. sport)
d) recreation (engagement in a range of common
hobbies, interests, pastimes etc.)
e) independence-competence (ability to perform
skills necessary for independent living)
f) independence-performance (performance of
skills necessary for independent living)
g) employment/occupation (engagement in
productive employment or structured programme
of daily activity).
• Siporin, untuk mengukur keberfungsian sosial (Social Functioning) menggunakan dimensi-dimensi:
• Mampu memenuhi kebutuhan dasar.
• Mampu mengatasi masalah.
• Mampu berperan sesuai statusnya.
• Mampu mengembangkan diri.
• Bagaimana mengembangkkan dimensi-dimensi tersebut menjadi suatu alat ukur dapat dilakukan dengan menelusuri pengertian masing-masing dimensi tersebut dan mendiskusikan secara kelompok sehingga muncul indikator-indikator.
Daftar Pustaka
• Neuman, W. Lawrence. 2006. Social Research Methods:
Qualitative and Quantitative Approaches. 6th Edition.
Pearson Education Inc., Boston.
• Neuman, W. Lawrence. 2014. Social Research Methods:
Qualitative and Quantitative Approaches, Seventh Edition.
Pearson Education Limited.
• Effendi, Sofian dan Tukiran (Editor). 2012. Metode
Penelitian Survei. Edisi Revisi. Penerbit LP3ES, Jakarta.
• Sekaran, Uma. 2006. Research Methods for Business: Metodologi Penelitian untuk Bisnis, Buku 2 (diterjemahkan oleh Kwan Men Yon, dari judul asli Research Methods for Business. 2003. John Wiley & Sons). Penerbit Salemba Empat, Jakarta.
• Birchwood, Max; Smith, Jo; , Cochrane, Ray; Wetton, Sheila, and Copestake, Sonja. 1990. The Social Functioning Scale The Development and Validation of a New Scale of Social Adjustment for use in Family Intervention Programmes with Schizophrenic Patients. British Journal of Psychiatry (1990), 157, 853-859.
• Siporin, Max. 1977. Introduction to Social Workers Pratice. Mc. Millan Publish.