pengembangan discovery learning berorientasi pada ...digilib.unila.ac.id/33337/3/3. tesis full tanpa...
TRANSCRIPT
PENGEMBANGAN DISCOVERY LEARNING BERORIENTASI PADAKEMAMPUAN BERPIKIR REFLEKTIF DAN
SELF-EFFICACY SISWA
(Tesis)
Oleh
Mega Kusuma Listyotami
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKANUNIVERSITAS LAMPUNG
BANDARLAMPUNG2018
ABSTRAK
DISCOVERY LEARNING DEVELOPMENT ORIENTED IN THEREFLECTIVE THINKING SKILLS AND
SELF-EFFICACY STUDENTS
By
Mega Kusuma Listyotami
This development research aims to produce a discovery learning model that wasoriented towards the ability of reflective thinking and student self-efficacy.Development was carried out in stages, namely preliminary studies, planning,initial product development, initial stage testing, revision of the initial productand field testing. Data collection techniques using observation, interviews,questionnaires, and tests. The subject of the research was the eighth gradestudents of Bandar Lampung 1 State Junior High School in the academic year2017/2018. The results showed that the discovery learning model that wasoriented towards the ability of reflective thinking and self-efficacy of students waseffective to improve the ability of reflective thinking and self-efficacy of studentsrespectively by 77% and 30%.
Keywords: discovery learning, reflective thinking, self-efficacy
ABSTRAK
PENGEMBANGAN DISCOVERY LEARNING BERORIENTASI PADAKEMAMPUAN BERPIKIR REFLEKTIF DAN
SELF-EFFICACY SISWA
Oleh
Mega Kusuma Listyotami
Penelitian pengembangan ini bertujuan untuk menghasilkan model discoverylearning yang berorientasi pada kemampuan berpikir reflektif dan self-efficacysiswa. Pengembangan dilakukan dengan tahap-tahap yaitu, studi pendahuluan,perencanaan, pengembangan produk awal, uji tahap awal, revisi produk awal danuji lapangan. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik observasi,wawancara, angket, dan tes. Subjek penelitian adalah siswa kelas VIII SMPNegeri 1 Bandar Lampung tahun pelajaran 2017/2018. Hasil penelitianmenunjukkan bahwa model discovery learning yang berorientasi padakemampuan berpikir reflektif dan self-efficacy siswa efektif untuk meningkatankemampuan berpikir reflektif dan self-efficacy siswa masing-masing sebesar 77%dan 30%.
Kata Kunci: discovery learning, berpikir reflektif, self-efficacy
PENGEMBANGAN DISCOVERY LEARNING BERORIENTASI PADAKEMAMPUAN BERPIKIR REFLEKTIF DAN
SELF-EFFICACY SISWA
Oleh
Mega Kusuma Listyotami
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai GelarMAGISTER PENDIDIKAN
Pada
Program Studi Pendidikan MatematikaJurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKANUNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG2018
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat pada 04 Mei
1990. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Bapak Iwa
Kusuma Somantri dan Ibu Roaini Idris.
Penulis menyelesaikan pendidikan taman kanak-kanak di TK Bhayangkari
Kabupaten OKU Sumatera Selatan pada tahun 1995. Penulis menyelesaikan pen-
didikan dasar di SD Negeri 08 OKU Sumatera Selatan pada tahun 2001,
pendidikan menengah pertama di SMP Negeri 2 OKU Sumatera Selatan pada
tahun 2003, pendidikan menengah atas di SMA Muhammadiyah 2 Yogyakarta
pada tahun 2007, dan pendidikan sarjana di Universitas Negeri Yogyakarta
program studi Pendidikan Matematika pada tahun 2011. Penulis melanjutkan
program magister di Universitas Lampung pada tahun 2016 dengan mengambil
program studi Pendidikan Matematika.
MOTTO
“GAMBARU”Berjuang sampai titik darah penghabisan
PERSEMBAHAN
Alhamdulillahirobbil’alamin
Dengan hati yang ikhlas dan rasa syukur kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan
segala rahmat dan karunia-Nya, kupersembahkan karya ini sebagai tanda bakti dan
cinta kasihku kepada:
Ayahanda Iwa Kusuma Somantri dan Ibunda Roaini Idris tercinta yang selalu
berusaha memberikan yang terbaik, mencurahkan kasih sayang, perhatian, kerja keras
tanpa mengenal lelah, serta doa yang tulus yang selalu mengiringi keberhasilanku.
Suamiku (Agustian Permadi), Anakku (M.Emir Al Fauzi), dan Adik ku (Hanja Dwi
Kusuma dan Tridana Puja Kusuma) yang selalu memberikan motivasi, semangat,
dukungan, serta doa.
Para pendidik yang dengan tulus dan sabar dalam mendidik dan memberikan ilmunya
Sahabat-sahabat seperjuangan
Almamater Universitas Lampung tercinta
x
SANWACANA
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-
Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis yang berjudul
“Pengembangan Discovery Learning Berorientasi pada Kemampuan Berpikir
Reflektif dan Self-Efficacy Siswa.”
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa selesainya tesis ini tidak terlepas dari
bantuan berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibunda tercinta Roaini Idris, Ayahanda tercinta Iwa Kusuma Somantri,
Suamiku Agustian Permadi, Anakku M.Emir Al Fauzi, serta Adikku Hanja
Dwi Kusuma dan Tridana Puja Kusuma yang selalu memberikan cinta, kasih,
semangat, doa, serta kerja keras yang tak kenal lelah demi keberhasilan
penulis.
2. Ibu Dr. Sri Hastuti Noer, M.Pd., selaku Pembimbing Akademik sekaligus
Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan, motivasi, arahan yang kritis
terhadap berbagai permasalahan, dan ilmunya sehingga tesis ini menjadi lebih
baik.
3. Ibu Dr. Een Yayah Haenilah, M.Pd., selaku Pembimbing II yang telah
memberikan bimbingan, motivasi, arahan dan dorongan dengan sabar terhadap
berbagai permasalahan serta ilmunya sehingga tesis ini menjadi lebih baik.
xi
4. Bapak Dr. Budi Koestoro, M.Pd., selaku Pembahas yang telah memberikan
kritik dan saran yang bersifat kritis dan membangun sehingga tesis ini menjadi
lebih baik.
5. Bapak Dr. Riswandi, M.Pd, selaku validator ahli pengembangan model
pembelajaran yang telah memberikan masukan dan saran-saran sehingga tesis
ini menjadi lebih baik.
6. Bapak Mujib, M.Pd, selaku validator ahli media yang telah memberikan
masukan dan saran-saran sehingga tesis ini menjadi lebih baik.
7. Ibu Yohana Oktariana, M.Pd, selaku validator self-efficacy yang telah
memberikan masukan dan saran-saran sehingga tesis ini menjadi lebih baik.
8. Bapak Dr. Sugeng Sutiarso, M.Pd., selaku validator ahli materi sekaligus
Ketua Program Studi Pendidikan Matematika yang telah memberikan yang
masukan, saran-saran serta kemudahan bagi penulis untuk menyelesaikan tesis
ini.
9. Bapak Dr. Caswita, M.Si., selaku Ketua Jurusan PMIPA yang telah membe-
rikan kemudahan bagi penulis untuk menyelesaikan tesis ini.
10. Bapak dan Ibu dosen yang mengajar di program studi pendidikan matematika
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan yang telah memberikan bekal ilmu
pengetahuan kepada penulis.
11. Bapak Dr. Muhammad Fuad, M.Hum., selaku Dekan FKIP Universitas
Lampung, beserta staf dan jajarannya.
12. Bapak Drs. H. Haryanto, M.Si, selaku Kepala SMP Negeri 1 Bandar Lampung
yang telah memberikan kesempatan untuk melaksanakan penelitian.
xii
13. Bapak Jaka Tata Cahyana, S.Pd, selaku guru mitra di SMP Negeri 1 Bandar
Lampung yang telah memberikan kesempatan, semangat, dan motivasi selama
penelitian.
14. Siswa-siswi kelas VIII SMP Negeri 1 Bandar Lampung tahun pelajaran
2017/2018 atas kerjasamanya.
15. Keluarga besarku yang telah memberikan doa, motivasi, dan dukungan.
16. Sahabat-sahabat yang selalu ada untukku: Lusiana Budiastuti, Eni Kartika,
Indah Putri Ratnasari, Indah Damayanti, Citra Fertika Putri, dan Damelyana
Sagita atas segala kenangan, motivasi, do’a serta dukungan yang telah
diberikan.
17. Sahabat-sahabat seperjuanganku dalam menyusun skripsi ini: Eni Kartika,
Indah Putri Ratnasari, Indah Damayanti, dan Muslikhah Rohmah, atas
dukungan, motivasi, serta bantuan yang telah diberikan.
18. Sahabat-sahabatku di Magister Pendidikan Matematika angkatan 2016 atas
dukungan, motivasi, do’a, bantuan, serta kebersamaannya selama ini.
19. Almamater tercinta yang telah mendewasakanku.
20. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan tesis ini.
Semoga kebaikan, bantuan, dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis
mendapatkan balasan pahala dari Allah SWT dan semoga tesis ini bermanfaat.
Bandar Lampung, Mei 2018
Penulis,
Mega Kusuma Listyotami
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ........................................................................................ xvii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... xx
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ xxii
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................... 8
C. Tujuan Penelitian ................................................................................ 8
D. Manfaat Penelitian .............................................................................. 9
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kemampuan Berpikir Reflektif .......................................................... 10
1. Pengertian Kemampuan Berpikir Reflektif ..................................... 10
2. Fase Berpikir Reflektif .................................................................... 13
3. Tujuan dan Manfaat Berpikir Reflektif ........................................... 15
4. Indikator Kemampuan Berpikir Reflektif ....................................... 15
B. Self-Efficacy ........................................................................................ 17
1. Pengertian Self-Efficacy .................................................................. 17
2. Sumber Self-Efficacy ....................................................................... 18
3. Proses Utama Self-Efficacy ............................................................. 19
4. Karakteristik individu yang Memiliki Self-Efficacy Tinggi dan Self-
Efficacy Rendah .............................................................................. 22
5. Strategi Meningkatkan Self-Efficacy ............................................... 24
C. Model Discovery Learning ................................................................. 25
1. Konsep Dasar Discovery Learning ................................................. 25
2. Karakteristik Model Discovery Learning ........................................ 32
3. Sistem Sosial Discovery Learning .................................................. 34
4. Sistem Pendukung Discovery Learning .......................................... 35
5. Dampak Pengembangan Discovery Learning ................................. 38
D. Teori Belajar Konstruktivisme ............................................................ 38
E. Definisi Operasional ............................................................................ 40
F. Kerangka Pikir .................................................................................... 42
G. Desain Pengembangan Discovery Learning Berorientasi pada Kemampuan
Berpikir Reflektif dan Self-Efficacy Siswa…............................................ 45
1. Tahap Analisis ................................................................................. 46
2. Tahap Desain ................................................................................... 47
3. Tahap Pengembangan ..................................................................... 51
Halaman
xv
4. Tahap Implementasi ........................................................................ 54
5. Tahap Evaluasi ................................................................................ 54
H. Hipotesis Penelitian ............................................................................ 54
III. METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian ................................................................................... 56
B. Tempat, Waktu dan Subjek Penelitian ................................................ 56
C. Prosedur Penelitian ............................................................................. 57
1. Penelitian Pendahuluan dan Pengumpulan Data....... ..................... 58
2. Perencanaan Penelitian .................................................................... 60
3. Pengembangan Desain Produk Awal .............................................. 61
4. Uji Coba Lapangan Awal ................................................................ 61
5. Merevisi Hasil Uji Coba .................................................................. 62
6. Uji Coba Lapangan ......................................................................... 63
D. Instrumen Penelitian ........................................................................... 63
1. Instrumen Nontes....... ..................................................................... 63
a. Angket Validasi Pengembangan Model....... .............................. 63
b. Angket Validasi Soal Pretest Posttest....... ................................. 64
c. Angket Validasi Silabus dan RPP....... ....................................... 65
d. Angket Validasi LKPD....... ....................................................... 68
e. Angket Uji Coba Pengembangan Model....... ............................. 69
f. Angket Uji Coba LKPD....... ....................................................... 70
g. Angket Self-Efficacy....... ............................................................ 71
2. Instrumen Tes .................................................................................. 75
a. Validitas....... ............................................................................... 75
b. Reliabilitas....... ........................................................................... 78
c. Tingkat Kesukaran....... ............................................................... 79
d. Daya Pembeda....... ..................................................................... 80
E. Teknik Analisis Data ........................................................................... 81
1. Analisis Data Pendahuluan....... ...................................................... 81
2. Analisis Data Angket Validasi ........................................................ 81
3. Analisis Efektivitas Pembelajaran ................................................... 83
a. Analisis Data Kemampuan Berpikir Reflektif ............................ 83
b. Analisis Data Self-Efficacy ......................................................... 88
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian Pengembangan ......................................................... 94
1. Studi Pendahuluan dan Pengumpulan Data .................................... 94
2. Hasil Penyusunan Pengembangan Discovey Learning ................... 95
3. Hasil Validasi Ahli .......................................................................... 98
a. Validasi Pengembangan Model Discovery Learning ................. 98
b. Validasi Ahli Materi ................................................................... 99
c. Validasi Ahli Media .................................................................... 100
d. Validasi Angket Self-Efficacy .................................................... 101
4.Hasil Revisi Uji Ahli ........................................................................ 102
a. Revisi pengembangan model discovery learning ....................... 102
b. Revisi perangkat pengembangan discovery learning ................. 108
c. Revisi angket self-efficacy .......................................................... 115
xvi
B. Uji Coba Penelitian Pengembangan .................................................. 116
1. Uji Coba Pengembangan Model Discovey Learning ..................... 116
2. Uji Keterbacaan LKPD .................................................................. 117
C. Uji Lapangan Penelitian Pengembangan ............................................ 119
1. Analisis Kemampuan Berpikir Reflektif ......................................... 120
a. Analisis Kemampuan Awal Berpikir Reflektif........................... 120
b. Analisis Kemampuan Akhir Berpikir Reflektif .......................... 121
c. Analisis Indeks Gain Kemampuan Berpikir Reflektif ............... 124
2. Analisis Self-Efficacy Siswa ............................................................ 124
a. Analisis Self-Efficacy Awal Siswa ............................................. 124
b. Analisis Self-Efficacy Akhir Siswa ............................................. 126
c. Analisis Indeks Gain Self-Efficacy Siswa ................................... 128
D. Pembahasan ......................................................................................... 129
V. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan ............................................................................................. 142
B. Saran ................................................................................................... 143
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
LAIN-LAIN
xvii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Indikator Kemampuan Berpikir Reflektif ......................................... 16
Tabel 2.2 Aspek Self-Efficacy ........................................................................... 25
Tabel 2.3 Fase Umum Model Discovery Learning ........................................... 51
Tabel 2.4 Pengembangan Discovery Learning Berorientasi pada Kemampuan
Berpikir Reflektif dan Self-Efficacy Siswa ...................................... 52
Tabel 3.1 Kisi-kisi Instrumen Validasi Pengembangan Model Discovery
Learning ............................................................................................ 64
Tabel 3.2 Kisi-kisi Instrumen Validasi Soal Pretest dan Posttest .................... 65
Tabel 3.3 Kisi-kisi Instrumen Validasi LKPD oleh Ahli Materi ...................... 67
Tabel 3.4 Kisi-kisi Instrumen Validasi LKPD oleh Ahli Media ...................... 68
Tabel 3.5 Kisi-kisi Angket Respon Siswa pada Pengembangan Model Discovery
Learning ........................................................................................... 69
Tabel 3.6 Kisi-kisi Angket Respon Siswa pada LKPD .................................... 70
Tabel 3.7 Aspek Penilaian Self-Efficacy ........................................................... 71
Tabel 3.8 Hasil Uji Coba Skala Self-Efficacy Siswa ......................................... 72
Tabel 3.9 Skor Pernyataan Skala Self-Efficacy Siswa ...................................... 72
Tabel 3.10 Pedoman Penskoran Tes Kemampuan Berpikir Reflektif ................ 75
Tabel 3.11 Validitas Instrumen Tes Kemampuan Berpikir Reflektif ................. 77
Tabel 3.12 Interpretasi Nilai Tingkat Kesukaran ................................................ 78
xviii
Tabel 3.13 Tingkat Kesukaran Butir Soal ........................................................... 79
Tabel 3.14 Interpretasi Nilai Daya Pembeda ...................................................... 80
Tabel 3.15 Daya Pembeda Butir Soal ................................................................. 80
Tabel 3.16 Interval Nilai Tiap Kategori Penilaian .............................................. 82
Tabel 3.17 Kriteria Kepraktisan Analisis Rata-Rata ........................................... 82
Tabel 3.18 Uji Normalitas Skor Awal Kemampuan Berpikir Reflektif.............. 84
Tabel 3.19 Uji Normalitas Skor Akhir Kemampuan Berpikir Reflektif ............. 84
Tabel 3.20 Uji Homogenitas Populasi Skor Awal Kemampuan
Berpikir Reflektif ............................................................................. 86
Tabel 3.21 Uji Homogenitas Populasi Skor Akhir Kemampuan
Berpikir Reflektif ............................................................................. 86
Tabel 3.22 Kriteria Indeks Gain Kemampuan Berpikir Reflektif ....................... 88
Tabel 3.23 Uji Normalitas Skor Awal Self-Efficacy ........................................... 89
Tabel 3.24 Uji Normalitas Skor Akhir Self-Efficacy .......................................... 90
Tabel 3.25 Uji Homogenitas Populasi Skor Awal Self-Efficacy ......................... 91
Tabel 3.26 Kriteria Indeks Gain Self-Efficacy .................................................... 93
Tabel 4.1 Pengembangan Discovery Learning Berorientasi pada Kemampuan
Berpikir Reflektif dan Self-Efficacy Siswa ...................................... 97
Tabel 4.2 Rekapitulasi Skor Skala Uji Keterbacaan Pengembangan Model
Discovery Learning .......................................................................... 117
Tabel 4.3 Rekapitulasi Skor Skala Uji Keterbacaan LKPD ............................. 118
Tabel 4.4 Data Skor Awal Kemampuan Berpikir Reflektif ............................. 120
Tabel 4.5 Uji t Skor Awal Kemampuan Berpikir Reflektif ............................. 121
Tabel 4.6 Data Skor Akhir Kemampuan Berpikir Reflektif ............................ 122
Tabel 4.7 Uji t Skor Akhir Kemampuan Berpikir Reflektif ............................. 123
Tabel 4.8 Data Indeks N-Gain Kemampuan Berpikir Reflektif Siswa ............ 124
xix
Tabel 4.9 Data Skor Awal Self-Efficacy Siswa ................................................ 125
Tabel 4.10 Uji t Skor Awal Self-Efficacy Siswa ................................................ 125
Tabel 4.11 Data Skor Akhir Self-Efficacy Siswa ............................................... 126
Tabel 4.12 Uji Mann Whitney U Skor Akhir Self-Efficacy Siswa ..................... 126
Tabel 4.13 Data Indeks N-Gain Self-Efficacy Siswa ......................................... 128
xx
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Model ADDIE Branch ..................................................................... 45
Gambar 2.2 Desain Pengembangan Discovery Learning Berorientasi pada
Kemampuan Berpikir Reflektif dan Self-Efficacy Siswa ................. 51
Gambar 2.1 Model ADDIE Branch ..................................................................... 45
Gambar 2.2 Desain Pengembangan Discovery Learning Berorientasi pada
Kemampuan Berpikir Reflektif dan Self-Efficacy Siswa ................. 53
Gambar 4.1 Kerangka Pengembangan Model Discovery Learning Berorientasi
pada Kemampuan Berpikir Reflektif dan Self-Efficacy Siswa ........ 96
Gambar 4.2 Pengembangan Model Discovery Learning Sebelum dan Setelah
Revisi Pertama ................................................................................. 103
Gambar 4.3 Pengembangan Model Discovery Learning Sebelum dan Setelah
Revisi Ke-2 ...................................................................................... 105
Gambar 4.4 Pengembangan Model Discovery Learning Setelah
Revisi Ke-3 ...................................................................................... 106
Gambar 4.5 Pengembangan Model Discovery Learning Setelah
Revisi Ke-4 ...................................................................................... 106
Gambar 4.6 Pengembangan Model Discovery Learning Berorientasi pada
Kemampuan Berpikir Reflektif dan Self-Efficacy Siswa ................. 107
Gambar 4.7 Revisi Kisi-Kisi Soal Pretest Posttest ............................................. 109
Gambar 4.8 Silabus Sebelum Revisi ................................................................... 110
Gambar 4.9 Silabus Setelah Revisi ..................................................................... 111
Gambar 4.10 RPP Sebelum Revisi ..................................................................... 112
xxi
Gambar 4.11 RPP Setelah Revisi........................................................................ 113
Gambar 4.12 Revisi Materi LKPD ..................................................................... 114
Gambar 4.13 Revisi Media LKPD ...................................................................... 114
Gambar 4.14 Angket Self-Efficacy Sebelum Revisi ........................................... 115
Gambar 4.15 Angket Self-Efficacy Setelah Revisi ............................................. 116
Gambar 4.16 Tahap Data Collection dan Data Processing ............................... 132
Gambar 4.17 Tahap Verification......................................................................... 133
Gambar 4.18 Tahap Generalization (Tes dan Jurnal Refleksi Diri) ................... 134
DAFTAR LAMPIRAN
A. PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN
A.1 Silabus .............................................................................................. 152
A.2 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) ...................................... 171
A.3 Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD) ............................................... 211
B. INSTRUMEN PENELITIAN
B.1 Kisi-Kisi Soal Kemampuan Berpikir Reflektif ................................. 254
B.2 Pedoman Penskoran Tes Kemampuan Berpikir Reflektif ................ 256
B.3 Soal Kemampuan Berpikir Reflektif ................................................ 257
B.4 Kunci Jawaban Soal Kemampuan Berpikir Reflektif ....................... 259
B.5 Kisi-Kisi Angket Self-Efficacy.......................................................... 266
B.6 Angket Self-Efficacy ......................................................................... 267
C. ANALISIS DATA
C.1 Analisis Validitas Soal Tes Kemampuan Berpikir Reflektif ........... 269
C.2 Analisis Reliabilitas Butir Soal Tes Kemampuan Berpikir
Reflektif .......................................................................................... 270
C.3 Analisis Tingkat Kesukaran Soal Tes Kemampuan Berpikir
Reflektif .......................................................................................... 271
C.4 Analisis Daya Pembeda Soal Tes Kemampuan Berpikir
Reflektif ........................................................................................... 272
C.5 Analisis Validitas Pernyataan Angket Self-Efficacy ........................ 273
C.6 Analisis Reliabilitas Angket Self-Efficacy ....................................... 279
C.7 Data Kemampuan Berpikir Reflektif .............................................. 280
C.8 Data Self-Efficacy ............................................................................ 282
C.9 Normalitas Data Pretest dan Posttest Kemampuan Berpikir
Reflektif ........................................................................................... 286
C.10 Normalitas Data Pretest dan Posttest Self-Efficacy ........................ 287
C.11 Homogenitas Data Pretest dan Posttest Kemampuan Berpikir
Reflektif .......................................................................................... 288
C.12 Homogenitas Data Pretest dan Posttest Self-Efficacy .................... 289
C.13 Uji T Data Pretest dan Posttest Kemampuan Berpikir
Reflektif .......................................................................................... 290
C.14 Uji T Data Pretest dan Posttest Self-Efficacy ................................. 291
C.15 N Gain Peningkatan Kemampuan Berpikir
Reflektif .......................................................................................... 292
C.16 N Gain Peningkatan Self-Efficacy................................................... 293
Halaman
xxiii
C.17 Analisis Validasi Pengembangan Discovery Learning Berorientasi pada
Kemampuan Berpikir Reflektif dan Self-Efficacy Siswa oleh Ahli
Pengembangan Pembelajaran ......................................................... 294
C.18 Analisis Validasi Perangkat Pembelajaran oleh Ahli Materi .......... 295
C.19 Analisis Validasi LKPD oleh Ahli Materi ...................................... 298
C.20 Analisis Validasi LKPD oleh Ahli Media ...................................... 299
C.21 Analisis Validasi Angket Self-Efficacy ........................................... 300
C.22 Analisis Angket Tanggapan Guru Terhadap Pengembangan Discovery
Learning Berorientasi pada Kemampuan Berpikir Reflektif dan Self-
Efficacy Siswa ................................................................................ 301
C.23 Analisis Angket Tanggapan Guru Terhadap LKPD Pengembangan
Discovery Learning Berorientasi pada Kemampuan Berpikir Reflektif
dan Self-Efficacy Siswa .................................................................. 302
C.24 Analisis Angket Tanggapan siswa Terhadap Pengembangan Discovery
Learning Berorientasi pada Kemampuan Berpikir Reflektif dan Self-
Efficacy Siswa ................................................................................ 303
C.25 Analisis Angket Tanggapan siswa Terhadap LKPD Pengembangan
Discovery Learning Berorientasi pada Kemampuan Berpikir Reflektif
dan Self-Efficacy Siswa .................................................................. 305
D. LEMBAR PENILAIAN AHLI DAN ANGKET
D.1 Lembar Penilaian Ahli Pengembangan Pembelajaran ...................... 307
D.2 Lembar Penilaian Perangkat Pembelajaran Ahli Materi ................. 312
D.3 Lembar Penilaian LKPD Ahli Materi ............................................... 315
D.4 Lembar Penilaian LKPD Ahli Media................................................ 324
D.5 Lembar Penilaian Skala Self-Efficacy .............................................. 331
D.6 Lembar Angket Tanggapan Guru Matematika ................................. 334
D.7 Lembar Jurnal Refleksi Diri Siswa ................................................... 339
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan sangat penting bagi setiap manusia karena dengan pendidikan seseorang
dapat mengembangkan potensi yang ada pada dirinya sehingga menjadi pribadi
yang kreatif, inovatif, mandiri, dan cerdas. Pendidikan juga merupakan suatu proses
kegiatan belajar dan mengajar yang memiliki tujuan untuk mendidik anak bangsa
agar menjadi pribadi yang bertanggung jawab, dan berkepribadian baik. Hal ini
sejalan dengan tujuan pendidikan di Indonesia sebagaimana tercantum dalam
Undang-Undang No 20 tahun 2003 bab II pasal 3 tentang Sistem Pendidikan
Nasional yang menegaskan bahwa:
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.
Salah satu upaya untuk mencapai keberhasilan tujuan pendidikan yaitu dengan
pembelajaran. Semakin baik proses pembelajaran, maka akan semakin baik pula
hasil yang didapatkan. Salah satu proses pembelajaran adalah dengan belajar
matematika yang telah diatur dalam Undang-Undang No 20 tahun 2003 pasal 37.
Undang-Undang tersebut menegaskan bahwa mata pelajaran matematika
2
merupakan salah satu mata pelajaran wajib bagi siswa pada jenjang pendidikan
dasar dan menengah.
Peringkat internasional siswa Indonesia untuk mata pelajaran matematika
berdasarkan hasil PISA (Programme for International Students Assessment) 2015
berada pada posisi 63 dari 73 negara (OECD, 2016). Peringkat dan rata-rata skor
siswa Indonesia tersebut tidak berbeda jauh dengan hasil tes dan survey PISA
terdahulu pada tahun 2012 yang juga berada pada kelompok penguasaan materi
yang rendah. Hasil PISA ini menunjukkan bahwa belum optimalnya kemampuan
siswa Indonesia pada bidang matematika.
Menurut Permendikbud No 58 Tahun 2013 tentang kurikulum SMP dijelaskan
bahwa tujuan pembelajaran matematika di SMP antara lain agar siswa
memahami konsep, menggunakan pola dalam menyelesaikan masalah,
menggunakan penalaran dalam pemecahan masalah, mengkomunikasikan
gagasan, memiliki sikap menghargai kegunaan matematika, memiliki sikap dan
perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai dalam matematika, melakukan kegiatan
motorik yang menggunakan pengetahuan matematika, dan menggunakan alat
peraga sederhana dan teknologi dalam kegiatan matematika.
Sumarmo (2006) berpendapat bahwa pembelajaran matematika diarahkan untuk
mengembangkan (1) kemampuan berpikir matematis yang meliputi pemahaman,
pemecahan masalah, penalaran, komunikasi, dan koneksi matematis; (2)
kemampuan berpikir kritis, serta sikap yang terbuka dan obyektif, serta (3)
disposisi matematis atau kebiasaan, dan sikap belajar yang berkualitas tinggi.
3
Salah satu upaya untuk mengembangkan kemampuan berpikir matematis siswa
yaitu dengan mengembangkan cara berpikir siswa terutama dalam pembentukan
kemampuan menganalisis dengan mengidentifikasi apa yang sudah diketahui,
membuat sintesis, melakukan evaluasi hingga menerapkannya dalam kehidupan
sehari-hari. Jenis kemampuan ini adalah kemampuan berpikir reflektif, hal ini
sesuai dengan pendapat Noer (2010:5).
Berpikir reflektif merupakan suatu proses yang membutuhkan keterampilan-
keterampilan yang secara mental memberi pengalaman dalam memecahkan
masalah, mengidentifikasi apa yang sudah diketahui, memodifikasi
pemahaman dalam rangka memecahkan masalah, dan menerapkan hasil
yang diperoleh pada situasi-situasi yang lain.
Berpikir reflektif bisa disamakan dengan tingkat berpikir yang lebih tinggi, dimana
guru perlu menyelaraskan pelajaran mereka seperti: analisis, sintesis dan evaluasi,
sesuai dengan pendapat Biongan (2015:14) yang menyatakan bahwa “reflective
thinking can be equated to higher thinking level of Bloom‟s Taxonomy (Bloom,
1976) of which teachers need to align into their lessons such as: analysis, synthesis
and evaluation”. Berdasarkan taksonomi Bloom, menganalisis, mensintesis, dan
mengevaluasi diklasifikasikan sebagai urutan yang lebih tinggi. Keterampilan
penyelidikan ilmiah klasik, seperti merumuskan hipotesis, merencanakan
eksperimen, atau menarik kesimpulan juga diklasifikasikan sebagai keterampilan
berpikir tingkat tinggi. Dengan demikian kemampuan berpikir reflektif termasuk
dalam keterampilan berpikir tingkat tinggi.
Kemampuan berpikir reflektif sangat dibutuhkan siswa dalam menyelesaikan
masalah matematika, karena untuk menyelesaikan masalah matematika secara
efektif, siswa harus: (1) mencari dan membatasi masalah; (2) mengembangkan
solusi pemecahan masalah yang baik; (3) mengevaluasi solusi; (4) memikirkan dan
4
mendefinisikan kembali masalah dan solusi dari waktu ke waktu ( Santrock , 2011:
317-318). Hal ini sesuai dengan lima fase pemikiran reflektif dari Dewey dalam
Mewborn (1999:323) (1) fase pertama melibatkan pengenalan solusi yang
mungkin untuk masalah, (2) fase kedua yaitu problematisasi situasi maksudnya
adalah untuk mengidentifikasi masalah, (3) fase ketiga adalah menghasilkan
hipotesis yang bisa mengarah pada solusi, (4) fase keempat adalah menggunakan
penalaran dengan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya untuk menentukan
apakah hipotesis adalah solusi yang layak untuk masalah, (5) hipotesisnya
diterapkan dalam konteks masalah.
Seseorang harus memiliki keyakinan dalam proses berpikir reflektif. Dewey
(Calderhead, 1989 : 43) menyatakan “concept of reflection, for instance, defined
broadly as active, persistent and careful consideration of any belief”. Maksudnya
adalah konsep refleksi didefinisikan secara luas sebagai pertimbangan aktif, gigih
dan keyakinan cermat. Keyakinan dalam hal ini memegang peran penting karena
dalam refleksi memuat bagaimana seseorang dapat mengevaluasi diri mereka
sendiri.
Evaluasi seseorang mengenai kemampuan atau kompetensi dirinya untuk
melakukan suatu tugas, mencapai tujuan, dan mengatasi hambatan adalah definisi
dari efikasi diri atau self-efficacy (Baron dan byrne, 2000). Hackett dan Betz
(Soleymani dan Rekabdar, 2016:16) telah mendefinisikan self-efficacy matematika
sebagai penilaian kepercayaan diri terhadap kemampuan mereka untuk melakukan
tugas dengan sukses atau masalah matematika tertentu.
5
Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Noer (2012), Nicolaidou dan
Philippou (2003), Ayotolaa dan Adedeji (2009) serta Pajares, et al (2000) bahwa
self-efficacy dalam matematika memiliki hubungan positif dan berpengaruh
signifikan terhadap prestasi pendidikan dalam matematika. Semakin tinggi self-
efficacy dan kemampuan matematika siswa maka akan semakin tinggi pula kinerja
matematika siswa. Sebaliknya, semakin rendah self-efficacy dan kemampuan
matematika siswa maka akan semakin rendah pula kinerja matematika siswa.
Self-efficacy memiliki efek pada fungsi kognitif seperti pemecahan masalah,
pengambilan keputusan, penggunaan analitis strategi, evaluasi diri, manajemen
waktu, dan strategi pengaturan diri sendiri (Katz, 2015:104). Keyakinan pada diri
sendiri merujuk pada evaluasi diri. Hal ini menghubungkan antara keyakinan diri
seseorang dengan kemampuannya mengevaluasi dirinya sendiri yang juga dikenal
dengan kemampuan seseorang untuk merefleksi dirinya. Perkembangan self-
efficacy pada diri siswa akan lebih mudah bekerja dan berkembang lebih keras serta
bertahan lama jika diiringi dengan kemampuan akademik siswa (Meral, et al,
2012:1144).
Penelitian ini dilakukan di SMP Negeri 1 Bandar Lampung, karena kelas VIII SMP
Negeri 1 Bandar Lampung sudah aktif menggunakan Kurikulum 2013, dan
berdasarkan hasil observasi dan wawancara peneliti dengan siswa kelas VIII SMP
Negeri 1 Bandar Lampung, terdapat beberapa masalah yang dihadapi siswa, yaitu :
(1) siswa masih kesulitan dalam mengidentifikasi masalah kontekstual (kehidupan
sehari-hari) ke dalam bentuk model matematika; (2) siswa kesulitan dalam
menentukan strategi yang digunakan dalam menjawab soal matematika; (3) Siswa
6
kesulitan dalam memberikan alasan jawaban dari suatu persoalan matematika; (4)
siswa kesulitan dalam mengerjakan soal yang memerlukan kemampuan berpikir
tingkat tinggi. Setelah bertanya lebih lanjut kepada siswa, masalah tersebut muncul
karena siswa sendiri tidak yakin dalam mengerjakan soal matematika. Masalah-
masalah yang dihadapi oleh siswa tersebut adalah terkait dengan kemampuan
berpikir reflektif dan self-efficacy siswa.
Untuk menguatkan hasil wawancara dengan siswa, peneliti juga melakukan
wawancara dengan guru mata pelajaran matematika SMP Negeri 1 Bandar
Lampung. Menurut guru pelajaran matematika kelas VIII SMP Negeri 1 Bandar
Lampung, ketuntasan siswa dalam mata pelajaran matematika untuk KKM 80,
hanya 50% siswa yang dapat menuntaskan KKM. Hal ini karena kurangnya
penguasaan konsep pada siswa. Padahal SMP Negeri 1 Bandar Lampung sudah
menggunakan discovery learning secara aktif sesuai dengan acuan pendekatan
saintifik kurikulum 2013. Pernyataan ini didukung oleh Westwood (2008:30) salah
satu kekurangan model pembelajaran discovery learning adalah walaupun siswa
terlibat secara aktif namun siswa mungkin masih belum memahami garis besar dari
konsep.
Dalam membantu siswa mengatasi masalah-masalah yang dihadapi siswa dan guru
di atas, perlu untuk dicarikan suatu solusi pembelajaran yang dapat menumbuhkan
serta mengoptimalkan kemampuan berpikir reflektif dan self-efficacy siswa.
Pendekatan optimal dari suatu pembelajaran harus mencakup setidaknya satu dari
beberapa hal berikut: (a) tugas yang dipandu memiliki struktur untuk membantu
peserta didik, (b) tugas yang mengharuskan peserta didik untuk menjelaskan
7
gagasan mereka sendiri dan memastikan bahwa gagasan ini akurat dengan
memberikan umpan balik yang tepat waktu, atau (c) tugas yang memberikan contoh
kerja bagaimana tugas itu berhasil (Alfieri, et al, 2011:13).
Pembelajaran yang mempunyai langkah-langkah struktur atau urutan dan
mempunyai tahapan peserta didik mengemukakan gagasan mereka sendiri serta
memastikan gagasan tersebut dengan pembuktian, adalah langkah-langkah dari
model discovery learning (Syah, 2005:244). Namun pada kenyataannya dengan
menerapkan model discovery learning, 50% siswa pada SMP Negeri 1 Bandar
Lampung belum mampu untuk menuntaskan KKM. Hal ini dikarenakan kurangnya
penguasaan konsep pada siswa. Padahal SMP Negeri 1 Bandar Lampung sudah
menggunakan discovery learning secara aktif sesuai dengan acuan pendekatan
saintifik kurikulum 2013. Pernyataan ini didukung oleh Westwood (2008:30) salah
satu kekurangan model pembelajaran discovery learning adalah walaupun siswa
terlibat secara aktif namun siswa mungkin masih belum memahami garis besar dari
konsep. Oleh karena itu perlu dicarikan solusi untuk permasalahan tersebut yaitu
dengan mengembangkan discovery learning dengan mengacu pada kemampuan
berpikir reflektif dan self-efficacy siswa.
Berdasarkan uraian latar belakang masalah, maka peneliti termotivasi untuk
mengadakan penelitian yang berjudul: Pengembangan Discovery Learning
Berorientasi Pada Kemampuan Berpikir Reflektif dan Self-Efficacy Siswa.
8
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka dirumuskan permasalahan dalam
penelitian ini sebagai berikut.
1. Bagaimanakah produk pengembangan model discovery learning yang
berorientasi pada kemampuan berpikir reflektif dan self-efficacy siswa?
2. Bagaimanakah proses pengembangan model discovery learning berorientasi
pada kemampuan berpikir reflektif dan self-efficacy siswa?
3. Bagaimanakah efektivitas produk pengembangan model discovery learning
berorientasi pada kemampuan berpikir reflektif dan self-efficacy siswa?
C Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui produk pengembangan model discovery learning yang
berorientasi pada kemampuan berpikir reflektif dan self-efficacy siswa.
2. Untuk mengetahui proses pengembangan model discovery learning yang
berorientasi pada kemampuan berpikir reflektif dan self-efficacy siswa.
3. Untuk mengetahui efektivitas produk pengembangan model discovery learning
terhadap kemampuan berpikir reflektif dan self-efficacy siswa.
9
D. Manfaat Penelitian
1. Secara Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan
khususnya dalam pengembangan pembelajaran sehingga penelitian ini dapat
dijadikan referensi bagi penelitian-penelitian selanjutnya.
2. Secara Praktis
2.1 Bagi Sekolah
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan yang baik untuk
sekolah yang bersangkutan atau sekolah lain sebagai upaya untuk meningkatkan
mutu pendidikan.
2.2 Bagi Guru
Hasil penelitian ini diharapkan guru dapat memperoleh suatu pendekatan belajar
yang lebih efektif.
2.3 Bagi Siswa
Hasil penelitian ini diharapkan dapat tercipta suasana pembelajaran yang
menyenangkan, sehingga siswa dapat lebih menyerap materi, berupa pengetahuan
sehingga prestasi belajarnya menjadi lebih baik, serta lebih siap dalam pelaksanaan
Kurikulum 2013.
10
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kemampuan Berpikir Reflektif
1. Pengertian Kemampuan Berpikir Reflektif
Kata 'refleksi' berasal dari kata kerja bahasa Latin "reflectere" yang berarti tikungan
atau putar ('flectere') ke belakang atau belakang ('re'). Istilah ini awalnya
diperkenalkan di optik untuk menggambarkan pantulan cahaya terhadap permukaan
air yang halus, cermin atau semacamnya (Bengtsson, 2006:26). Menurut Wilson
dan Jan dalam Şükran Tok (2013:265), refleksi adalah proses individu dalam
evaluasi diri, pengalaman dan pembelajaran.
Dewey dalam Korthagen (1993:317) berpendapat bahwa refleksi tidak hanya
melibatkan serangkaian gagasan, tapi juga sebuah urutan-urutan yang berurutan
dalam sebuah cara yang masing-masing menentukan yang berikutnya sebagai yang
sesuai hasil. Sementara setiap hasil pada gilirannya bersandar kembali, atau
mengacu pada, pendahulunya. Schön dalam Mahasneh (2013:50) mendefinisikan
refleksi yang mengacu pada dua hal, yaitu: (1) refleksi dalam tindakan, yang
mencerminkan saat berada di tengah pemecahan masalah, dan (2) refleksi-tindakan,
yaitu: merefleksikan proses refleksi-in-action (sebagai praktisi reflektif). "Ketika
seseorang merefleksikan tindakan".
11
Noer (2010:5) menyatakan bahwa berpikir reflektif merupakan suatu proses yang
membutuhkan keterampilan-keterampilan yang secara mental memberi
pengalaman dalam memecahkan masalah, mengidentifikasi apa yang sudah
diketahui, memodifikasi pemahaman dalam rangka memecahkan masalah, dan
menerapkan hasil yang diperoleh pada situasi-situasi yang lain.
Meizrow dalam Kember (2010:23-24) memisahkan refleksi menjadi dua, yaitu
refleksi isi dan refleksi proses. Refleksi isi sebagai refleksi tentang apa yang kita
rasakan, pikirkan, rasakan atau lakukan. Refleksi proses adalah metode atau cara
kita berpikir bagaimana seseorang melakukan fungsi untuk memahami, berpikir,
merasakan, atau tindakan dan suatu penilaian dari keyakinan dalam
menjalankannya.
Praktik berpikir reflektif berkaitan dengan konsekuensi dari gagasan dan
kemungkinan tindakan fisik di kemudian hari dapat digunakan untuk memecahkan
berbagai masalah pribadi dan profesional (Phan, 2009:299). Dalam proses belajar
mengajar, pemikiran reflektif memupuk pembelajaran yang berarti membantu
siswa dan pendidik untuk mengembangkan keterampilan khusus yang mungkin bisa
membantu mereka lebih vokal dan kritis untuk mengembangkan keahlian mereka
(Phan, 2008:77). “The learning of mathematics requires the student to reflect
consciously on his (or her) own mental structures and procedures” (Gagatsis dan
Patronis, 1990:30). Belajar matematika mengharuskan siswa untuk merefleksikan
secara sadar pada dirinya untuk memiliki struktur dan prosedur mental.
12
Pemikiran reflektif melibatkan kesadaran kinerja yang mengarah pada pemahaman
situasi, sehingga pengguna berpikir reflektif membangun pengetahuan dan
kemampuan berpikir dimensional yang membantu mereka menilai pemikiran dan
basis kognitif mereka, dan juga sangat memahami masalah kompleks, sesuai
dengan pendapat Tarawneh (2015:25) “the reflective thinking involves
performance awareness leading toward understanding the situations, so the users
of reflective thinking build knowledge and dimensional thinking skills that help
them assess their thinking and cognitive base, and also highly understanding
complex issues”.
Beberapa elemen refleksi menurut Wade dan Yarbrough (1996:64), yaitu : (1)
refleksi adalah proses berpikir yang diterapkan pada pengalaman, gagasan atau
masalah, (2), refleksi membutuhkan waktu dan lebih banyak waktu yang bisa kita
curahkan maka akan semakin besar potensi untuk menambah wawasan (3) refleksi
dapat menyebabkan pertumbuhan kognitif yang dihasilkan dalam bentuk
pemahaman.
Dari uraian tentang pengertian kemampuan berpikir reflektif, dapat disimpulkan
bahwa kemampuan berpikir reflektif adalah suatu jenis pemikiran yang melibatkan
pemecahan masalah, perumusan kesimpulan, memperhitungkan hal-hal yang
mungkin berkaitan dengan solusi masalah, dan membuat keputusan-keputusan
yang efektif untuk konteks tertentu dari suatu tugas berpikir.
13
2. Fase Berpikir Reflektif
Dewey dalam Mahasneh (2013:50-51) menggambarkan lima ciri pengalaman
reflektif dalam praktik: (1) Kebingungan dan keraguan: pelajar dihadapkan pada
situasi dan / atau pengalaman baru, (2) Antisipasi dugaan: pelajar mulai
mengevaluasi situasi dan membuat asumsi atau hipotesis tentatif, (3) Pemeriksaan,
inspeksi, eksplorasi, dan analisis: pelajar melakukan evaluasi menyeluruh terhadap
situasi, (4) Elaborasi hipotesis: pelajar lebih jauh mendefinisikan hipotesis dan
mulai mengujinya terhadap fakta, (5) Menguji hipotesis: pelajar mempelajari
kembali situasi untuk menguji hipotesis. Lee (2004 : 701) berpendapat bahwa
proses berpikir reflektif melibatkan (1) konteks masalah, (2) definisi masalah /
reframing, (3) mencari solusi yang mungkin, (4) percobaan, (5) evaluasi, (6)
penerimaan / penolakan.
Tahapan proses berpikir reflektif menurut Gagatsis dan Patronis (1990:30) adalah
seharusnya tidak hanya menunjukkan kemajuan solusi dari suatu masalah,
melainkan tingkat kesadaran pokok bahasan tentang keseluruhan tema, “the stages
of a process of reflective thinking should not simply indicate the progress of the
solution of a problem, but rather the degree of awareness of the subject about the
whole theme “.Gagatsis dan Patronis (1990:33-34) juga mengemukakan tahap
utama dari proses berpikir reflektif dalam aktivitas matematika yaitu sebagai
berikut: (1) Pikiran awal tentang konsepsi suatu subjek atau masalah, (2)
Mencerminkan subjek dan mencoba memahami, yaitu mengatur pengalaman baru
ke dalam struktur yang sudah ada sebelumnya, (3) Penemuan dengan menemukan
dan atau membenarkan sebuah aturan; Menemukan penjelasan untuk beberapa
kesalahan, (4) Introspeksi, (5) Kesadaran penuh.
14
Lima fase pemikiran reflektif dari Dewey dalam Mewborn (1999: 323) adalah
sebagai berikut.
(1) Recognition of possible solutions to the problem
Fase pertama yaitu mengenali, merasakan dan mengidentifikasi suatu masalah.
(2) Problematize the situation
Fase kedua yaitu problematisasi situasi maksudnya adalah permasalahan dari
masalah yang sudah diidentifikasi pada fase pertama kemudian dibuat batasan dan
rumusan masalah tersebut.
(3) Generate hypotheses that may lead to solutions
Fase ketiga adalah menghasilkan hipotesis yang bisa mengarah pada solusi dari
masalah yang sudah ada pada fase sebelumnya dengan mengajukan beberapa
kemungkinan alternatif solusi dari permasalahan.
(4) Uses reasoning to determine whether or not the hypotheses are viable solutions
to the problem
Fase keempat adalah menggunakan penalaran dengan mengembangkan ide dengan
cara merekonstruksi pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya dan
mengumpulkan data yang dibutuhkan untuk menentukan apakah hipotesis tersebut
adalah solusi yang layak untuk masalah.
(5) After the hypotheses have been fully developed,they are tested in the fifth and
final phase
Fase kelima, melakukan tes untuk menguji solusi masalah dengan cara
menerapkan hipotesis dalam konteks masalah.
15
3. Tujuan dan Manfaat Berpikir Reflektif
Grimmet dalam Abell, et al (1997:492) menyatakan bahwa terdapat tiga tujuan
refleksi dalam pendidikan, yaitu : (1) Mengendalikan dan mengarahkan tingkah
laku, (2) Merekonstruksi pengalaman yang sudah ada, (3) Mengembangkan
tindakan atau pengalaman yang baru diperoleh.
Manfaat dari proses berpikir reflektif diungkapkan oleh Scanlan dan Chernomas
dalam Şükran Tok (2013:267) “the process of reflection facilitates understanding
of the self within the dimensions of practice, and encourages critical thinking skills
in students”. Proses refleksi memudahkan pemahaman diri dalam dimensi praktik,
dan mendorong kemampuan berpikir kritis pada siswa.
Ditambahkan pula menurut Phan (2006:582) “In the teaching and learning
processes, reflective thinking cultivates meaningful learning and helps students and
educators alike to develop specific skills that may assist them to be more vocal and
critical, and to develop expertise in their areas of professionalism”. Dalam proses
belajar mengajar, pemikiran reflektif memupuk pembelajaran yang berarti, dan
membantu siswa dan pendidik untuk mengembangkan keterampilan khusus yang
dapat membantu mereka menjadi lebih vokal dan kritis, dan untuk mengembangkan
keahlian di bidang profesionalisme mereka.
4. Indikator Kemampuan Berpikir Reflektif
Untuk mencapai kemampuan berpikir reflektif yang optimal, ada beberapa fase
kemampuan berpikir reflektif menurut Noer (2010:43-44), yaitu sebagai berikut.
16
a. Reacting, yaitu bereaksi dengan pemahaman pribadi terhadap peristiwa,
stimulasi, atau masalah matematis dengan berfokus pada sifat alami situasi.
b. Comparing, yaitu melakukan analisis dan klarifikasi pengalaman individual apa
yang diyakini dengan cara membandingkan reaksi dengan pengalaman yang lain,
seperti mengacu pada suatu prinsip umum maupun suatu teori.
c. Contemplating, yaitu mengutamakan pengertian pribadi yang mendalam. Dalam
hal ini fokus terhadap suatu tingkatan pribadi dalam proses-proses seperti
menguraikan, menginformasikan, mempertimbangkan dan merekonstruksi situasi
atau masalah.
Berdasarkan fase berpikir reflektif di atas, maka indikator yang digunakan untuk
mengukur kemampuan berpikir reflektif menurut Noer (2010) adalah sebagai
berikut.
Tabel 2.1 Indikator Kemampuan Berpikir Reflektif
Indikator Pengertian
Reacting Berpikir reflektif untuk aksi. Menuliskan sifat-sifat yang
dimiliki oleh situasi kemudian menjawab permasalahan.
Comparing Berpikir reflektif untuk evaluasi. Membandingkan suatu
reaksi dengan prinsip umum atau teori dengan memberi
alasan kenapa memilih tindakan tersebut.
Contemplating Berpikir reflektif untuk inkuiri kritis. Menginformasikan
jawaban berdasarkan situasi masalah, mempertentangkan
jawaban dengan jawaban lain kemudian merekonstruksi
situasi-situasi.
Noer (2010)
17
B. Self-Efficacy
1. Pengertian Self-Efficacy
Self-efficacy terdiri dari kata “self” yang diartikan sebagai unsur struktur
kepribadian, dan “efficacy” yang berarti penilaian diri, apakah dapat melakukan
tindakan yang baik atau buruk, tepat atau salah, bisa atau tidak bisa mengerjakan
sesuatu sesuai dengan yang dipersyaratkan Alwisol (Widyastuti, 2010:31). Self-
efficacy merupakan presepsi individu akan keyakinan kemampuannya melakukan
tindakan yang diharapkan. Efikasi diri mempengaruhi pilihan tindakan yang akan
dilakukan, besarnya usaha dan ketahanan ketika berhadapan dengan hambatan atu
kesulitan. Individu dengan efikasi diri tinggi memilih melakukan usaha lebih besar
dan pantang menyerah.
Konsep self-efficacy pertama kali dikemukakan oleh Bandura. Menurut Bandura
(Hidayat, 2011:156), dari semua pemikiran yang memengaruhi fungsi manusia, dan
merupakan bagian paling inti dari teori kognitif sosial adalah efikasi diri (self-
efficacy). Bandura dalam Behjat dan Chowdury ( 2012:304) “defines self-efficacy
as a person’s beliefs in his or her ability to organize and execute a required course
of action to achieve a desired result”. Bandura mendefinisikan self-efficacy sebagai
kepercayaan seseorang terhadap kemampuannya untuk berorganisasi dan
melakukan tindakan yang diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginkan.
Bandura (2002) juga mengungkapkan bahwa self-efficacy adalah suatu belief
(keyakinan) mengenai kemampuan individu untuk melakukan sesuatu hal ketika
berada dalam berbagai macam kondisi dengan apapun keterampilan yang
18
dimilikinya saat ini. Marsh & Shavelson dalam Zimmerman (2000:84) juga
menyatakan bahwa “belief is a more general self-descriptive construct that
incorporates many forms of self-knowledge and self-evaluative feelings”.
Maksudnya adalah keyakinan adalah konstruksi deskriptif diri yang lebih umum
yang menggabungkan banyak bentuk dari pengetahuan diri dan perasaan evaluatif
diri sendiri. Dari kutipan diatas, keyakinan self-efficacy adalah suatu hal yang
penting untuk dimiliki siswa karena self-efficacy akan membuat siswa termotivasi
untuk belajar melalui penggunaan pengaturan diri sebagai proses penetapan tujuan,
evaluasi diri, dan menetapkan strategi yang digunakan.
Berdasarkan uraian tentang pengertian self-efficacy, dapat disimpulkan bahwa self-
efficacy merupakan keyakinan individu terhadap kemampuannya dalam melakukan
sesuatu hal ketika berada dalam berbagai macam kondisi dengan berbagai
keterampilan yang dimilikinya, untuk mencapai hasil yang diinginkan.
2. Sumber Self-Efficacy
Sumber self-efficacy dinyatakan oleh Bandura dan Zimmerman dalam McQuiggan
(2006:86) adalah sebagai berikut.
a. Enactive mastery experiences (pengalaman penguasaan enaktif)
pengalaman penguasaan enaktif adalah prestasi yang pernah dicapai pada masa
yang telah lalu. Sebagai sumber pengalaman masa lalumenjadi pengubah efikasi
diri yang paling kuat pengaruhnya. Prestasi (masa lalu) yang bagus meningkatkan
ekspektasi efikasi, sedang kegagalan akan menurunkan efikasi.
19
b. Vicarious experiences (pengalaman individu lain (Vikarius))
Diperoleh melalui model sosial. Efikasi akan meningkat ketika mengamati
keberhasilan orang lain, sebaliknya efikasi akan menurun jika mengamati orang
yang kemampuannya kira-kira sama dengan dirinya ternyata gagal. Kalau figur
yang diamati berbeda dengan diri si pengamat, pengaruh vikarius tidak besar.
Sebaliknya, ketika mengamati kegagalan figur yang setara dengan dirinya, bisa jadi
orang tidak mau mengerjakan apa yang pernah gagal dikerjakan figur yang
diamatinya itu dalam jangka waktu yang lama.
c. Verbal persuasion (persuasi verbal)
Efikasi diri juga dapat diperoleh, diperkuat atau dilemahkan melalui persuasi
verbal. Siswa mengalami suatu hasil melalui deskripsi seorang pembujuk.
Misalnya, dia mungkin didorong oleh pembujuk, yang mungkin memuji siswa
tersebut berkinerja baik. Bujukan verbal sangat berguna dalam memungkinkan
siswa untuk mengatasi keraguan diri.
d. Physiological and emotional effects (efek fisiologis dan emosional )
Keadaan emosi yang mengikuti suatu kegiatan akan mempengaruhi efikasi di
bidang kegiatan itu. Emosi yang kuat, takut, cemas, stress, dapat mengurangi efikasi
diri.
3. Proses Utama Self-Efficacy
Bandura dalam McQuiggan, dkk (2006:86-87) juga berpendapat bahwa keyakinan
self-efficacy siswa mengatur perilaku manusia melalui empat proses utama pusat
kinerja manusia. Empat proses tersebut adalah sebagai berikut.
20
a. Cognitive process (proses kognitif)
Self-efficacy mempengaruhi penalaran dan pemecahan masalah siswa, kinerja siswa
dapat meningkat atau terganggu. Keberhasilan self-efficacy yang tinggi memberi
siswa kemampuan untuk menetapkan tujuan masa depan dan komitmen untuk
mencapainya. Siswa dengan self-efficacy tinggi lebih mampu memilih strategi
mengatasi masalah. Di sisi lain, self-efficacy rendah mengurangi hasil pencapaian
tujuan dan memunculkan ketidakmampuan untuk memilih strategi pemecahan
masalah yang optimal.
b. Motivational process (proses Motivasi)
Siswa dengan self-efficacy tinggi lebih cenderung memperlihatkan hasil yang
sukses. Menetapkan tujuan yang menantang pada gilirannya menghasilkan tingkat
motivasi yang meningkat (Lepper, et al., 1993). Self-efficacy rendah dapat
mengurangi ketahanan, ketekunan, dan kemampuan seseorang.
c. Selectiva Process (proses selektif)
Aktivitas yang dipilih siswa untuk terlibat secara signifikan mempengaruhi potensi
mereka untuk mencapainya. Siswa dengan self-efficacy tinggi memilih kegiatan
menantang dan lingkungan yang secara teratur menyajikan kesempatan untuk
menunjukkan ketekunan. Siswa dengan self-efficacy rendah cenderung memilih
aktivitas dan lingkungan yang sedikit atau tanpa tantangan.
d. Affective process (proses afektif)
Self-efficacy mempengaruhi kemampuan siswa untuk mengatur caranya sendiri
pada ranah afektif atau ranah sikap. Semakin tinggi self-efficacy yang dimiliki
21
seorang siswa, maka akan semakin positif pula sikap yang ditunjukkan siswa dalam
pembelajaran, hal ini dibuktikan dengan beberapa hasil penelitian dibawah ini.
Menurut Zimerman (2000:87) keyakinan self-efficacy juga memberi siswa rasa
untuk memotivasi pembelajaran mereka melalui penggunaan proses pengaturan diri
seperti penetapan tujuan, pemantauan diri, evaluasi diri, dan penggunaan strategi.
“Self-efficacy beliefs also provide students with a sense of agency to motivate their
learning through use of such self-regulatory processes as goal setting, self-
monitoring, self-evaluation, and strategy use”.
Zimerman dan Kitsantas dalam zimerman (2000:86) “found self-efficacy to be
highly correlated with students”. Zimerman dan Kitsantas menemukan bahwa self-
efficacy berkorelasi tinggi dengan kemampuan siswa. Hal ini sesuai dengan
pendapat Ayotolaa dan Adedejib (2009:956) “there is a strong positive relationship
between mathematics self-efficacy and achievement in mathematics”, ada
hubungan positif yang kuat antara self-efficacy matematika dan prestasi dalam
matematika. Diperkuat dengan hasil penelitian Soleymani dan Rekabdar (2016:19)
“high positive self-efficacy has positive impact on mathematics achievement. In
contrast, low self-efficacy may have negative impact on students’ mathematics
achievement”. Self-efficacy yang positif tinggi memiliki dampak positif pada
prestasi matematika, sebaliknya, rendahnya self-efficacy mungkin memiliki
dampak negatif pada prestasi matematika siswa. Ditambahkan pula menurut Zarch
(2006) self-efficacy dan kemampuan matematika siswa juga memiliki efek langsung
terhadap kinerja matematika siswa.
22
4. Karakteristik Individu yang Memiliki Self-Efficacy Tinggi dan Self-
Efficacy Rendah
Victoriana (2012:6) menjelaskan tentang karakteristik individu yang memiliki self-
efficacy tinggi dan self-efficacy rendah. Karakterikstik individu yang memiliki self-
efficacy adalah sebagai berikut : (1) Menghadapi suatu persoalan sebagai tantangan
untuk diatasi bukan ancaman yang harus dihindari; (2) Menunjukkan minat dan
ketertarikan untuk terlibat dalam aktivitas; (3). Membuat tujuan yang menantang
untuk dirinya dan mempertahankan komitmen yang kuat pada tujuan tersebut; (4)
Sangat berusaha pada apa yang dikerjakannya; (5) Meningkatkan usaha saat
menghadapi kegagalan; (6) Jika menghadapi kesulitan tetap fokus dan memikirkan
strategi untuk menghadapi kesulitan; (7) Menganggap kegagalan sebagai usaha
yang kurang maksimal yang akan mendukung kesuksesan; (8) Tetap
mempertahankan self-efficacy dirinya setelah mengalami kegagalan; (9) Dapat
mengontrol ancaman dengan percaya diri; (10) Memperbesar kemungkinan
penyelesaian tugas untuk mengurangi stres dan menghindari depresi.
Sedangkan karakterikstik individu yang memiliki self-efficacy rendah adalah
sebagai berikut : (1) Menghindari tugas sulit yang dihadapi; (2) Sulit untuk
memotivasi dirinya sendiri dan menjadi cepat menyerah ketika mengalami
rintangan; (3) Memiliki komitmen yang rendah terhadap tujuan yang ingin
dicapainya; (4) Jika menghadapi situasi yang mendesak, individu akan menekankan
kelemahan personalnya, seperti sulitnya tugas, dan konsekuensi merugikan jika
mengalami kegagalan; (5) Sulit memulihkan rasa efficacy setelah mengalami
kegagalan; (6) Mudah mengalami stress dan depresi.
23
Individu dengan self-efficacy tinggi lebih efektif mengatasi kesulitan dan lebih
mungkin untuk mencapai hasil yang berharga melalui ketekunan (Yakin dan Erdil,
2012:371).“Individuals with high self-efficacy deal more effectively with difficulties
and are more likely to attain valued outcomes through persistence”. Hal ini sesuai
dengan pendapat Luszczynska, et al (2005:81) menyatakan bahwa “people invest
more effort and persist longer than those low in self-efficacy. When setbacks occur,
they recover more quickly and remain committed to their goals”. Orang dengan
self-efficacy tinggi memilih untuk melakukan tugas yang lebih menantang. Mereka
menetapkan tujuan mereka lebih tinggi dan tetap berpegang pada keyakinan diri
sendiri. Tindakan dipaparkan dalam pikirannya, dan orang dengan self-efficacy
tinggi menginvestasikan lebih banyak usaha dan bertahan lebih lama daripada
mereka yang mempunyai self-efficacy rendah. Saat kemunduran terjadi, orang
dengan self-efficacy tinggi pulih lebih cepat dan tetap berkomitmen untuk
tujuannya.
Dari penjelasan tentang karakteristik individu yang memiliki self-efficacy tinggi
dan self-efficacy rendah, dapat ditarik kesimpulan bahwa individu dengan efikasi
diri yang tinggi akan mengerahkan usaha yang lebih besar dan mudah untuk
mengorganisasikan sesuatu hal, melakukan suatu tugas, mencapai suatu tujuan,
menghasilkan sesuatu serta dapat mengimplementasikan tindakan untuk
menampilkan kecakapan tertentu. Sedangkan individu yang memiliki self-efficacy
rendah merasa tidak mampu dalam menyelesaikan suatu permasalahan yang
dihadapi, karena memandang kegagalan sebagai lemahnya personal, sehingga tidak
jarang bahwa individu seperti ini akan mudah mengalami stress dan depresi.
24
5. Strategi Meningkatkan Self-Efficacy
Strategi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan self-efficacy menurut Schunk
dalam Hamidah (2014) adalah sebagai berikut.
a. Mengajarkan siswa suatu strategi khusus sehingga dapat meningkatkan
kemampuannya untuk fokus pada tugas-tugasnya.
b. Memandu siswa dalam menetapkan tujuan, khususnya dalam membuat tujuan
jangka pendek setelah mereka mebuat tujuan jangka panjang.
c. Memberikan reward untuk performa siswa.
d. Mengkombinasikan strategi training dengan menekankan pada tujuan dan
memberi feedback pada siswa tentang hasil pembelajarannya.
e. Memberikan support atau dukungan pada siswa. Dukungan yang positif dapat
berasal dari guru seperti pernyataan “kamu dapat melakukan ini”.
Adapun penelitian tentang self-efficacy, telah dilakukan oleh Asri (2016), bahwa
terjadi peningkatan self-efficacy siswa SMA Negeri 7 Bandar Lampung yang
mengikuti pembelajaran penemuan terbimbing. Dari hasil penelitian tersebut,
didapatkan kesimpulan bahwa cara meningkatkan self-efficacy dapat dilakukan
dengan pembelajaran penemuan terbimbing. Oleh karena itu peneliti bermaksud
melakukan penelitian yang sama yaitu untuk mengetahui apakah self-efficacy siswa
SMP Negeri 1 Bandar Lampung dapat ditingkatkan, melalui pengembangan model
pembelajaran discovery learning.
25
Menurut Noer (2012), aspek yang digunakan untuk mengukur self-efficacy adalah
sebagai berikut.
a. Pencapaian kinerja (Authentic mastery experiences)
b. Pengalaman orang Lain (Vicarious experiences)
c. Persuasi verbal (Verbal persuasions)
d. Indeks psikologis (Psychological Index)
Deskripsi dari aspek untuk mengukur self-efficacy menurut Noer (2012:805)
dinyatakan sebagai berikut.
Tabel 2.2 Aspek Self-Efficacy
Aspek Deskripsi
Pencapaian kinerja Indikator kemampuan yang didasarkan kinerja pada
pengalaman sebelumnya.
Pengalaman orang
Lain
Bukti yang didasarkan pada kompetensi dan perbandingan
informatif dengan hasil yang dicapai orang lain.
Persuasi verbal Mengacu pada umpan balik langsung/kata-kata dari guru
atau orang yang lebih dewasa.
Indeks psikologis Penilaian kemampuan, kekuatan dan kelemahan.
Noer (2012:805)
C. Model Discovery Learning
1. Konsep Dasar Discovery Learning
Menurut Dewey (1997) discovery learning adalah suatu pembelajaran penemuan
mencakup model instruksional dan strategi yang berfokus pada keaktifan dan
kesempatan belajar bagi siswa. Model pembelajaran penemuan (discovery)
merupakan suatu model pembelajaran yang dikembangkan berdasarkan teori
konstruktivisme. Teori konstruktivisme yang berarti bahwa adanya pembentukan
(penemuan) pengetahuan secara aktif pada diri siswa saat siswa mengorgansir
26
kembali pengalamannya berdasarkan pengetahuan dan struktur kognitif siswa
(Piaget, 1970; Von Glasersfeld, 1989 dalam Vrasidas, 2000:346).
Menurut Kurniasih & Sani (2014: 64) discovery learning didefinisikan sebagai
proses pembelajaran yang terjadi bila materi pembelajaran tidak disajikan dalam
bentuk finalnya, tetapi diharapkan siswa mengorganisasi sendiri. Rahmadi
Widdiharto (2004:4) mendefinisikan model penemuan terbimbing atau discovery
learning adalah model pembelajaran dimana menempatkan guru sebagai fasilitator,
membimbing siswa jika diperlukan dan siswa didorong untuk berpikir sendiri,
menganalisis sendiri dengan memanfaatkan pengalamannya sehingga mampu
menemukan prinsip umum berdasarkan bahan atau data yang disediakan oleh guru.
Seberapa jauh siswa yang dibimbing tergantung pada kemampuannya dan materi
yang sedang dipelajari.
Hal ini sesuai dengan pendapat Joolingen (2007:385).
discovery learning is seen as a promising way of learning for several reasons,
the main being that the active involvement of the learner with the domain
would result in a better structured base of knowledge in the learner as
opposed to more traditional ways of learning, where knowledge is said to be
merely transferred to the learner.
Maksudnya adalah belajar penemuan dipandang sebagai cara belajar yang
menjanjikan karena beberapa alasan, yang utama adalah keterlibatan peserta didik
secara aktif dengan domain akan menghasilkan basis terstruktur yang lebih baik
dengan pengetahuan dalam pembelajar dibandingkan dengan cara belajar yang
lebih tradisional, di mana pengetahuan dikatakan hanya ditransfer ke pelajar.
Discovery (penemuan) sering dipertukarkan pemakaiannya dengan inquiry
(penyelidikan), perbedaan antara keduanya yaitu di dalam discovery masalah yang
27
dihadapkan kepada siswa semacam masalah yang direkayasa oleh guru sedangkan
inkuiry masalah bukan hasil dari rekayasa guru tetapi siswa harus menggunakan
pikiran dan keterampilannya untuk mendapatkan temuan-temuan dari masalah yang
mereka cari tahu sendiri melalui proses penelitian. Menurut Hamdani (2011:185)
“Inquiry merupakan perluasan dari discovery (discovery yang digunakan lebih
mendalam), artinya inquiry mengandung proses mental yang lebih tinggi
tingkatannya”.
Hal ini sesuai dengan pendapat Tuovinen dan Sweller (1999:334) “Discovery
learning requires learners to discover concepts and procedures that might
otherwise be communicated by direct instruction, Pure discovery involves almost
no structure or guidance”. Maksudnya adalah pembelajaran discovery learning
mengharuskan peserta didik untuk menemukan konsep dan prosedur yang mungkin
dikomunikasikan dengan instruksi langsung, Penemuan murni hampir tidak
melibatkan struktur atau panduan.
Ditambahkan pula dalam Wulandari, et al (2016:166).
learning by discovery takes students to organize their own knowledge for
theteaching material is not presented in its final form. Students are required
to perform a variety of activitiessuch as finding the learning goals, gather
information,compare, categorize, analyze, integrate, reorganize the subject
matter and make their conclusions.
Maksudnya adalah belajar dengan penemuan membawa siswa untuk mengatur
pengetahuan mereka sendiri untuk materi ajar tidak disajikan dalam bentuk
akhirnya. Siswa diminta untuk melakukan berbagai aktivitas seperti menemukan
tujuan pembelajaran, mengumpulkan informasi, membandingkan,
28
mengkategorikan, menganalisa, mengintegrasikan, mengatur ulang materi
pelajaran dan membuat kesimpulan mereka.
Discovery learning mendorong siswa untuk menjadi agen aktif dalam proses belajar
mereka sendiri. Dalam lingkungan belajar penemuan, tugas utama siswa adalah
menemukan. Guru tidak mempresentasikan kepada siswa secara langsung dalam
pembelajaran, namun siswa harus menemukan melalui eksperimen. Guru hanya
membimbing siswa untuk menemukan. Dua pendekatan tentang discovery
learning, pendekatan pertama memberi penekanan pada penemuan proses
pembelajaran, pendekatan kedua berfokus pada pengembangan pengetahuan
(Saab,et al, 2007:85).
Berdasarkan pengertian model discovery learning di atas dapat disimpulkan bahwa
model discovery learning merupakan pembelajaran yang menekankan pada
pengalaman langsung dan pentingnya pemahaman struktur atau ide-ide penting
terhadap suatu disiplin ilmu, melalui keterlibatan siswa secara aktif dalam
pembelajaran. Jadi siswa memperoleh pengetahuan yang belum diketahuinya tidak
melalui pemberitahuan guru secara langsung, melainkan melalui petunjuk-petunjuk
dari guru dan penemuan siswa sendiri. Hal tersebut dapat melatih keterampilan -
keterampilan kognitif siswa untuk menemukan perluasan dari petunjuk-petunjuk
yang disampaikan guru dan memecahkan masalah melalui penemuannya sendiri.
Dewey menggambarkan tiga hal utama dalam discovery learning yaitu.
1. Mengeksplorasi dan memecahkan masalah untuk megeneralisasi pengetahuan.
2. Terdapat suatu kegiatan yang dapat mendorong siswa untuk mengembangkan
kemampuannya.
29
3. Terdapat suatu kegiatan untuk mendorong pengetahuan baru siswa dengan
pengetahuan yang telah dimiliki siswa sebelumnya.
Dewey dalam Korthagen (1993:317) berpendapat bahwa refleksi tidak hanya
melibatkan serangkaian gagasan, tapi juga sebuah urutan-urutan yang berurutan
dalam sebuah cara yang masing-masing menentukan yang berikutnya sebagai yang
sesuai hasil. Sementara setiap hasil pada gilirannya bersandar kembali, atau
mengacu pada, pendahulunya. Deskripsi teoritis Dewey tentang pemikiran reflektif
adalah awalnya masalah muncul dari pengalaman yang sedang dihadapi, kemudian
data yang relevan dikumpulkan dan diamati, setelah itu masalah tersebut
ditindaklanjuti dan dilakukan pengujian.
Pada tahap ketiga, Dewey berpendapat diperlukannya suatu kegiatan untuk
mendorong pengetahuan baru siswa dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa
sebelumnya. Hal ini merupakan tujuan dari kemampuan berpikir reflektif menurut
Grimmet dalam Abell, et al (1997:492) menyatakan bahwa terdapat tiga tujuan
refleksi, yaitu : (1) Mengendalikan dan mengarahkan tingkah laku; (2)
Merekonstruksi pengalaman yang sudah ada; (3) Mengembangkan tindakan atau
pengalaman yang baru diperoleh.
Menurut Syah (2005:244) langkah-langkah dalam model discovery learning adalah
sebagai berikut.
1) Stimulation (stimulasi/pemberian rangsang).
Kegiatan belajar mengajar dimulai dengan mengajukan pertanyaan, anjuran
membaca buku/referensi, dan aktivitas belajar lain yang mengarah pada persiapan
pemecahan masalah. Tahap ini berfungsi untuk menyediakan kondisi interaksi
30
belajar yang dapat membantu dan mengembangkan peserta didik dalam
mengeksplor bahan. Peserta didik dihadapkan pada sesuatu yang dapat
menimbulkan suatu pertanyaan agar peserta didik mempunyai keinginan untuk
menyelidiki sendiri permasalahan yang dihadapi.
2) Problem statement (pernyataan/identifikasi masalah)
Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengidentifikasi masalah-
masalah yang relevan dengan bahan pelajaran, kemudian salah satunya dipilih dan
dirumuskan dalam bentuk hipotesis.
3) Data collection (pengumpulan data)
Peserta didik diberi kesempatan untukmengumpulkan informasi sebanyak-
banyaknya yang relevan untuk membuktikan hipotesis, apakah benar atau tidak.
Hal ini dapat dilakukan dengan membaca literatur, wawancara dengan narasumber,
mengamati objek, melakukan eksperimen sendiri, dan lain sebagainya.
4) Data processing (pengolahan data)
Pada tahap ini dilakukan pengolahan datadan informasi yang telah didapat peserta
didik baik melalui wawancara maupun observasi lalu ditafsirkan.
5) Verification (pembuktian)
Pada tahapan verifikasi dilakukan pemeriksaan secara teliti untuk membuktikan
benar atau tidaknya hipotesis yang ditetapkan tadi, dihubungkan dengan hasil
pengolahan data.
31
6) Generalization (menarik kesimpulan)
Tahap generalisasi/menarik kesimpulan adalah proses menarik sebuah kesimpulan
yang dapat dijadikan prinsip umum dan berlaku untuk semua kejadian atau masalah
yang sama, dengan memperhatikan hasil verifikasi.
Oleh karena itu pada desain pengembangan discovery learning perlu ditambahkan
tahap refleksi. Fase yang digunakan pada pembelajaran discovery learning tetap
sama, namun pada fase terakhir yaitu generalization selain penarikan kesimpulan
juga disertakan reflection (refleksi). Refleksi yang dilakukan adalah refleksi pada
tugas siswa secara menyeluruh mulai dari solusi yang telah dikerjakan, kesimpulan
yang telah ditetapkan, dan sampai dengan mengembangkan strategi alternatif,
dengan memberikan tes dan jurnal refleksi diri siswa disetiap akhir pembelajaran
agar siswa mampu merefleksi pemahaman yang telah didapatkan siswa selama
pembelajaran.
Sehingga didapatkan suatu discovery learning berorientasi pada kemampuan
berpikir reflektif dan self-efficacy siswa, dengan langkah-langkah sebagai berikut :
(1) Stimulation (stimulasi/pemberian rangsang); (2) Problem statement
(pernyataan/identifikasi masalah); (3) Data collection (pengumpulan data); (4)
Data processing (pengolahan data); (5) Verification (pembuktian); (6)
Generalization, pada tahap generalisasi dilakukan penarikan kesimpulan terlebih
dahulu, kemudian dilakukan refleksi dengan memberikan tes dan jurnal refleksi diri
siswa disetiap akhir pembelajaran agar siswa mampu merefleksi pemahaman yang
telah didapatkan siswa selama pembelajaran.
32
2. Karakteristik Model Discovery Learning
Tingkat efektifitas pengembangan discovery learning berorientasi pada
kemampuan berpikir reflektif dan self-efficacy siswa berdasarkan beberapa
pendapat sebagai berikut.
Menurut Reid, et al (2003:10) untuk menentukan keefektifan discovery learning
ada tiga hal yang perlu diperhatikan, yaitu : (1) kemahiran proses penemuan:
Peserta didik perlu mengaktifkan sebelumnya pengetahuan dan peta yang mengarah
ke masalah yang ditujukan untuk membantu mewakili masalah dan menghasilkan
hipotesis dan pemahaman yang sesuai; (2) sistemik dan logisitas aktivitas
penemuan: Penemuan yang efektif pembelajaran melibatkan penalaran ilmiah yang
tepat, manipulasi sistematis terhadap variabel, dan desain dan implementasi
eksperimen yang berkualitas; (3) Generalisasi reflektif selama proses penemuan,
yang berarti self-monitoring proses penemuan dan abstraksi reflektif dan integrasi
aturan dan prinsip yang ditemukan.
Menurut see Zhang dalam Reid, et al (2003:10-11) tiga tautan utama yang ada
dalam proses discovery learning yang efektif adalah sebagai berikut : (1)
representasi masalah dan generasi hipotesis, yang sangat bergantung pada
pengaktifan dan pemetaan pengetahuan sebelumnya dan kegiatan pembuatan
makna; (2) menguji hipotesis dengan eksperimen yang valid; dan (3) abstraksi
reflektif, diartikan dengan menyajikan refleksi secara singkat dan cermat dalam
tugas yang diberikan kepada siswa sehingga tercipta suatu integrasi atau suatu
kesatuan yang utuh dalam pengalaman penemuan siswa.
33
Menurut Jong dan Van Joolingen (1998) dalam discovery learning terdapat tiga
jenis dukungan pembelajaran pada siswa, yaitu : (1) dukungan interpretatif (IS)
yang membantu peserta didik dengan akses pengetahuan dan aktivasi, generasi
hipotesis yang sesuai, dan konstruksi pemahaman yang koheren; (2) dukungan
eksperimental (ES) yang mempertukarkan peserta didik dalam rancangan
eksperimental ilmiah yang sistematis dan logis, prediksi dan pengamatan hasil, dan
penggambaran kesimpulan yang masuk akal; dan (3) dukungan reflektif (RS) yang
meningkatkan kesadaran diri akan proses pembelajaran dan mendorong abstraksi
reflektif dan integrasi penemuan peserta didik.
Menurut Roestiyah (2011:27), penggunaan model discovery learning memiliki
beberapa keunggulan. Keunggulan discovery learning dijelaskan sebagai berikut.
a. Teknik ini mampu membantu siswa untuk mengembangkan; memperbanyak
kesiapan; serta penguasaan keterampilan dalam proses kognitif/pengenalan siswa.
b. Siswa memperoleh pengetahuan yang bersifat sangat pribadi individual sehingga
dapat kokoh/mendalam tertinggal dalam jiwa siswa tersebut.
c. Dapat membangkitkan kegairahan belajar para siswa.
d. Teknik ini mampu memberikan kesempatan kepada siswa untuk berkembang
dan maju sesuai dengan kemampuannya masing-masing.
e. Mampu mengarahkan cara siswa belajar, sehingga lebih memiliki motivasi yang
kuat untuk belajar lebih giat.
f. Membantu siswa untuk memperkuat dan menambah kepercayaan pada diri
sendiri dengan proses penemuan sendiri.
g. Strategi berpusat pada siswa tidak pada guru. Guru hanya sebagai teman belajar
saja; membantu bila diperlukan.
34
Sedangkan kekurangan model discovery learning menurut Westwood (2008:30)
adalah sebagai berikut.
a. Metode penemuan membutuhkan banyak sumber belajar.
b. Keefektifan metode penemuan tergantung pada kemampuan siswa dalam
membaca, menghitung dan pelajaran lainnya dan juga tergantung pada kemampuan
pengaturan diri siswa.
c. Siswa akan mendapatkan sedikit hasil dari kegiatan penemuan jika mereka
hanya memiliki sedikit pengetahuan dasar atas kegiatan tersebut.
d. Walaupun siswa terlibat secara aktif namun mereka mungkin masih belum
memahami garis besar dari konsep.
e. Siswa seringkali mengalami kesulitan dalam membuat pendapat, perkiraan atau
menarik kesimpulan dari bukti-bukti yang diperoleh dalam kegiatan penemuan.
Kebanyakan dari mereka mempunyai permasalahan dalam penalaran.
f. Guru yang tidak baik dalam membuat dan mengatur lingkungan belajar
penemuan akan memperoleh hasil yang buruk.
g. Guru bisa saja tidak dapat memonitor kegiatan secara efektif sehingga tidak
dapat memberikan dorongan dan bimbingan yang dibutuhkan oleh siswa.
3. Sistem Sosial Discovery Learning
Discovery learning diawali dengan pemberian rangsangan berupa pertanyaan untuk
siswa, dimana pertanyaan tersebut dapat membuat siswa tertarik dalam
mempelajari materi bangun ruang sisi datar. Pada fase pengumpulan data,
pengolahan data, dan pembuktian terjadi interaksi sosial, siswa belajar dalam
kelompok secara aktif dan berinteraksi dengan teman dalam kelompoknya,
sedangkan guru hanya bertindak sebagai fasilitator selama pembelajaran.
35
Discovery learning dalam kaitannya dengan pemikiran reflektif adalah pemikiran
reflektif muncul dari suatu situasi masalah selama terjadinya interaksi dengan
lingkungan. Interaksi dengan lingkungan inilah yang akan tercipta pada fase
pengumpulan data, pengolahan data, dan pembuktian, sehingga situasi masalah
yang terjadi adalah karena adanya interaksi sosial siswa.
4. Sistem Pendukung Discovery Learning
Dalam pengembangan discovery learning yang berorientasi pada kemampuan
berpikir reflektif dan self-efficacy siswa diperlukan beberapa sistem pendukung
yaitu.
a. Siswa
Siswa berperan penting dalam pembelajaran pengembangan discovery learning
karena siswa dituntut untuk aktif dalam setiap fasenya terutama dalam fase data
collection, data processing, dan verification. Model discovery learning berdasar
pada teori konstruktivisme sebagaimana teori konstruktivisme yang sudah kita
pahami betul, siswa yang aktif belajar selalu menemukan pengetahuan, informasi,
atau keterampilan dengan mengalami langsung.
b. Guru
Seperti discovery learning pada umumnya, guru bertindak sebagai fasilitator yang
membantu siswa dalam pembelajaran. Perbedaannya pada pengembangan
discovery learning adalah fasilitas yang diberikan oleh guru lebih kepada
merangsang kemampuan siswa dengan pengetahuan yang telah siswa miliki
sebelumnya, kemudian akan dihubungkan dengan materi pelajaran yang dipelajari
36
oleh siswa. Guru sebagai fasilitator hanya bertindak apabila siswa mengalami
kesulitan saja, yang berperan aktif dalam pembelajaran adalah siswa.
c. Perangkat pembelajaran
Perangkat pembelajaran yang dipergunakan oleh guru berupa silabus, RPP, dan
lembar penilaian juga akan disesuaikan dengan pengembangan discovery learning.
Sehingga silabus, RPP, dan lembar penilaian yang digunakan sudah disesuaikan
dengan pengembangan discovery learning berorientasi pada kemampuan berpikir
reflektif dan self-efficacy siswa.
d. Sumber belajar
Sumber belajar yang digunakan siswa dalam pengembangan discovery learning
selain buku matematika, juga ditambahkan lembar kerja peserta didik (LKPD) yang
sudah disesuaikan dengan pengembangan discovery learning berorientasi pada
kemampuan berpikir reflektif dan self-efficacy siswa. LKPD digunakan untuk
diskusi kelompok siswa agar diskusi menjadi lebih terarah.
Selain sistem pendukung di atas, dalam pengembangan discovery learning yang
berorientasi pada kemampuan berpikir reflektif dan self-efficacy siswa juga
diperlukan beberapa metode pendukung yaitu.
a. Metode diskusi
Metode diskusi menurut Suryosubroto (2009:167) adalah suatu cara penyajian
bahan pelajaran dimana guru memberi kesempatan kepada para siswa (kelompok-
kelompok siswa) untuk mengadakan perbincangan ilmiah guna mengumpulkan
pendapat, membuat kesimpulan atau penyusunan berbagai alternatif pemecahan
suatu masalah.
37
b. Metode brainstorming
Metode brainstorming menurut Parera (1991: 190) adalah suatu aktivitas dari suatu
kelompok kecil yang berkumpul untuk memproduksi atau menciptakan gagasan
yang baru sebanyak-banyaknya. Brainstorming dirancang untuk mendorong
kelompok mengekspresikan berbagai macam ide. Setiap orang menawarkan ide
yang dicatat, kemudian dikombinasikan dengan berbagai macam ide yang lainnya.
Metode brainstorming merupakan suatu bentuk diskusi dalam rangka menghimpun
gagasan, pendapat, informasi, pengetahuan, dan pengalaman dari semua peserta.
Tujuan brainstorming untuk membuat kumpulan pendapat, informasi, pengalaman
semua peserta yang sama atau berbeda, dan hasilnya kemudian dijadikan informasi
atau gagasan untuk menjadi pembelajaran bersama.
Metode diskusi dan brainstorming merupakan pendukung siswa dalam
pengumpulan data dan pengolahan data yang eksploratif dan bersifat induktif, mulai
dari hal yang bersifat khusus dulu kemudian menuju ke hal yang bersifat deduktif
(umum). Misalnya untuk materi luas permukaan bangun ruang sisi datar, guru
menstimulasi siswa dengan memberikan apersepsi awal berupa macam-macam
bangun datar yang diketahui oleh siswa yang nantinya bangun datar tersebut
merupakan komponen penyusun dari suatu bangun ruang sisi datar. Kemudian
siswa melakukan eksplorasi lebih lanjut pada tahap pengumpulan dan pengolahan
data dalam kelompok diskusi yang membutuhkan brainstorming untuk siswa
mengekspresikan berbagai macam ide yang dimilikinya. Diskusi yang dilakukan
oleh siswa akan difasilitasi LKPD, agar diskusi siswa menjadi lebih terarah.
38
5. Dampak Pengembangan Discovery Learning
Dampak instruksional pengembangan discovery learning yang berorientasi pada
kemampuan berfikir reflektif dan self-efficacy siswa adalah diharapkan
pengembangan discovery learning dapat mengatasi masalah pembelajaran di
sekolah yang menggunakan discovery learning terutama dalam hal penguasaan
konsep siswa yang juga berdampak pada masih rendahnya kemampuan berpikir
reflektif dan self-efficacy siswa.
Pengembangan discovery learning diharapkan mampu untuk meningkatkan
penguasaan konsep siswa, sehingga siswa mampu untuk meningkatkan
kemampuan berpikir reflektif siswa dan mampu untuk meningkatkan self-efficacy
diri siswa, yaitu yakin atas kemampuan dirinya dalam menyelesaikan masalah
matematika.
Dampak pengiring discovery learning berorientasi pada kemampuan berpikir
reflektif dan self-efficacy siswa yaitu dengan meningkatkan kemampuan berpikir
reflektif dan self-efficacy siswa, hal ini berdampak pada kemampuan siswa untuk
mengerjakan soal matematika yang memerlukan kemampuan berpikir tingkat tinggi
dan siswa mampu untuk yakin dan percaya diri dalam mengerjakan soal-soal
matematika karena telah meningkatnya penguasaan konsep siswa.
D. Teori Belajar Konstruktivisme
Tokoh dari teori ini adalah Jean piaget dan Vygotsky. Menurut Jean Piaget teori
konstruktivisme ini adalah proses di mana anak secara aktif membangun sistem
makna dan pemahaman realitas melalui pengalaman-pengalaman dan interaksi-
39
interaksi mereka (Trianto, 2007:14). Menurut Vygotsky teori konstruktivisme
bahwasannya adalah sebuah pengetahuan yang telah ada akan berkembang ketika
mereka berinteraksi dengan lingkungan sosial budaya (Baharudin, 2010:124).
Teori konstruktivisme yang berarti bahwa adanya pembentukan (penemuan)
pengetahuan secara aktif pada diri siswa saat siswa mengorgansir kembali
pengalamannya berdasarkan pengetahuan dan struktur kognitif siswa (Piaget dan
Vygotsky dalam Vrasidas, 2000:346). Teori kontruktivisme terangkum dalam teori
kognitif. Teori konstruktivisme ini menyatakan bahwa siswa harus menemukan
sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru
dengan aturan-aturan lama dan merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak lagi
sesuai.
Dalam teori ini siswa perlu dibiasakan untuk menemukan sesuatu yang berguna
bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide. Siswa harus mengkonstruksikan
pengetahuan dibenak mereka sendiri. Guru hanya membimbing siswa dalam proses
menemukan, Esensi dari teori ini adalah ide bahwa siswa harus menemukan dan
mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain. Dengan dasar itu
pembelajaran harus dikemas menjadi proses “mengkontruksi” bukan “menerima”
pengetahuan. Dalam proses pembelajaran, siswa membangun sendiri pengetahuan
mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar dan mengajar.
Prinsip yang paling penting dalam psikologi pendidikan teori belajar
konstruktivisme adalah pendidik tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan
kepada siswa (Hamzah, 2008:18). Siswa harus membangun sendiri pengetahuan di
dalam benaknya. Pendidik dapat memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan
40
memberi kesempatan peserta didik untuk menemukan atau menerapkan ide-ide
mereka sendiri, dan mengajar siswa agar menggunakan strategi mereka sendiri
untuk belajar.
Menurut prinsip kontruktivisme, seorang guru berperan sebagai mediator dan
fasilitator yang membantu agar proses belajar siswa berjalan dengan baik. Fungsi
mediator dan fasilitator adalah (1) menyediakan pengalaman belajar yang
memungkinkan siswa bertanggungjawab dalam membuat rancangan, proses, dan
penelitian; (2) menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang
keingintahuan siswa dan membantu mereka untuk mengekspresikan gagasan-
gagasannya dan mengkomunikasikan ide mereka; (3) Guru memonitor dan
mengevaluasi kesimpulan siswa (Suparno, 2010:70).
Hal ini sesuai dengan model discovery learning, pada saat siswa dalam proses
penemuan, permasalahan dibangun dari pengetahuan yang direkontruksi oleh siswa
sendiri dan siswa mengembangkan ide-idenya sesuai dengan persepsinya, guru
bertindak sebagai fasilitator serta membimbing ketika diperlukan.
E. Definisi Operasional
Untuk menghindari salah penafsiran istiah dalam penelitian ini, maka terdapat
istilah-istilah yang perlu dijelaskan, diantaranya adalah.
1. Discovery learning adalah pembelajaran yang menekankan pada pengalaman
langsung dan pentingnya pemahaman struktur atau ide-ide penting terhadap suatu
disiplin ilmu, melalui keterlibatan siswa secara aktif dalam pembelajaran. Jadi
siswa memperoleh pengetahuan yang belum diketahuinya tidak melalui
pemberitahuan guru secara langsung, melainkan melalui petunjuk-petunjuk dari
41
guru dan penemuan siswa sendiri. Tahapan discovery learning, yaitu : (1)
Stimulation (stimulasi/pemberian rangsang); (2) Problem statement
(pernyataan/identifikasi masalah); (3) Data collection (pengumpulan data); (4)
Data processing (pengolahan data); (5) Verification (pembuktian); (6)
Generalization (penarikan kesimpulan).
2. Kemampuan berpikir reflektif adalah suatu jenis pemikiran yang melibatkan
pemecahan masalah, perumusan kesimpulan, memperhitungkan hal-hal yang
mungkin berkaitan dengan solusi masalah, dan membuat keputusan-keputusan
yang efektif untuk konteks tertentu dari suatu tugas berpikir. Indikator kemampuan
berpikir reflektif dalam penelitian ini diambil dari Noer (2010:43-44), yaitu : (1)
Reacting, berpikir reflektif untuk aksi. Menuliskan sifat-sifat yang dimiliki oleh
situasi kemudian menjawab permasalahan; (2) Comparing, berpikir reflektif untuk
evaluasi. Membandingkan suatu reaksi dengan prinsip umum atau teori dengan
memberi alasan kenapa memilih tindakan tersebut; (3) Contemplating, berpikir
reflektif untuk inkuiri kritis. Menginformasikan jawaban berdasarkan situasi
masalah, mempertentangkan jawaban dengan jawaban lain kemudian
merekonstruksi situasi-situasi.
3. Self-efficacy merupakan keyakinan individu terhadap kemampuannya dalam
melakukan sesuatu hal ketika berada dalam berbagai macam kondisi dengan
berbagai keterampilan yang dimilikinya, untuk mencapai hasil yang diinginkan.
Aspek self-efficacy yang digunakan pada penelitian ini, yaitu : (1) Pencapaian
kinerja, indikator kemampuan yang didasarkan kinerja pada pengalaman
sebelumnya; (2) Pengalaman orang lain, bukti yang didasarkan pada kompetensi
dan perbandingan informatif dengan hasil yang dicapai orang lain; (3) Persuasi
42
verbal, mengacu pada umpan balik langsung/kata-kata dari guru atau orang yang
lebih dewasa; (4) Indeks psikologis, penilaian kemampuan, kekuatan dan
kelemahan.
4. Discovery learning yang berorientasi pada kemampuan berpikir reflektif dan
self-efficacy siswa dalam penelitian ini, menggunakan langkah-langkah sebagai
berikut : (1) Stimulation (stimulasi/pemberian rangsang); (2) Problem statement
(pernyataan/identifikasi masalah); (3) Data collection (pengumpulan data); (4)
Data processing (pengolahan data); (5) Verification (pembuktian); (6)
Generalization, pada tahap generalisasi dilakukan penarikan kesimpulan terlebih
dahulu, kemudian dilakukan refleksi dengan memberikan tes dan jurnal refleksi diri
siswa disetiap akhir pembelajaran agar siswa mampu merefleksi pemahaman yang
telah didapatkan siswa selama pembelajaran.
F. Kerangka Pikir
Kemampuan berpikir reflektif merupakan salah satu kemampuan yang penting
dalam proses pembelajaran. Kemampuan berpikir reflektif dikatakan suatu
kemampuan yang penting untuk dimiliki siswa adalah karena dengan kemampuan
berpikir reflektif, siswa mampu mengembangkan kemampuan berpikir siswa dalam
menganalisis, mengidentifikasi apa yang sudah diketahui, membuat sintesis,
mengevaluasi hasil pekerjaan siswa kembali, dan mampu menerapkan hasil yang
diperoleh.
Dalam proses berpikir reflektif hal yang juga harus dimiliki oleh seseorang adalah
keyakinan. Konsep refleksi didefinisikan secara luas sebagai pertimbangan aktif,
gigih dan keyakinan cermat. Keyakinan dalam hal ini memegang peran penting
43
karena dalam refleksi memuat bagaimana seseorang dapat mengevaluasi diri
mereka sendiri. Evaluasi seseorang mengenai kemampuan atau kompetensi dirinya
untuk melakukan suatu tugas, mencapai tujuan, dan mengatasi hambatan adalah
definisi dari efikasi diri atau self-efficacy.
Self-efficacy adalah suatu hal yang penting untuk dimiliki siswa karena self-efficacy
akan membuat siswa termotivasi untuk belajar melalui penggunaan pengaturan diri
sebagai proses penetapan tujuan, evaluasi diri, dan menetapkan strategi yang
digunakan. Siswa yang memiliki self-efficacy akan cenderung berani untuk
mengungkapkan suatu alasan atau gagasan, dan self-efficacy yang dimiliki oleh
siswa dapat berpengaruh pada siswa dalam menghadapi setiap permasalahan
matematika, dengan adanya keyakinan diri pada siswa maka siswa dapat
menyelesaikan masalah tersebut dengan baik dan lebih teliti.
Kemampuan berpikir reflektif merupakan salah satu kemampuan yang penting
dalam proses pembelajaran. Kemampuan berpikir reflektif dikatakan suatu
kemampuan yang penting untuk dimiliki siswa adalah karena dengan kemampuan
berpikir reflektif, siswa mampu mengembangkan kemampuan berpikir siswa dalam
menganalisis, mengidentifikasi apa yang sudah diketahui, membuat sintesis,
mengevaluasi hasil pekerjaan siswa kembali, dan mampu menerapkan hasil yang
diperoleh.
Dalam proses berpikir reflektif hal yang juga harus dimiliki oleh seseorang adalah
keyakinan. Konsep refleksi didefinisikan secara luas sebagai pertimbangan aktif,
gigih dan keyakinan cermat. Keyakinan dalam hal ini memegang peran penting
karena dalam refleksi memuat bagaimana seseorang dapat mengevaluasi diri
44
mereka sendiri. Evaluasi seseorang mengenai kemampuan atau kompetensi dirinya
untuk melakukan suatu tugas, mencapai tujuan, dan mengatasi hambatan adalah
definisi dari efikasi diri atau self-efficacy.
Self-efficacy adalah suatu hal yang penting untuk dimiliki siswa karena self-efficacy
akan membuat siswa termotivasi untuk belajar melalui penggunaan pengaturan diri
sebagai proses penetapan tujuan, evaluasi diri, dan menetapkan strategi yang
digunakan. Siswa yang memiliki self-efficacy akan cenderung berani untuk
mengungkapkan suatu alasan atau gagasan, dan self-efficacy yang dimiliki oleh
siswa dapat berpengaruh pada siswa dalam menghadapi setiap permasalahan
matematika, dengan adanya keyakinan diri pada siswa maka siswa dapat
menyelesaikan masalah tersebut dengan baik dan lebih teliti.
Untuk membantu siswa menumbuhkan serta mengoptimalkan kemampuan berpikir
reflektif dan self-efficacy siswa, memerlukan suatu pembelajaran yang mempunyai
langkah-langkah struktur atau urutan dan mempunyai tahapan peserta didik
mengemukakan gagasan mereka sendiri serta memastikan gagasan tersebut dengan
pembuktian, adalah langkah-langkah dari model discovery learning.
Menurut Syah (2005:244) langkah-langkah dalam model discovery learning adalah
sebagai berikut : (1) Stimulation (stimulasi/pemberian rangsang); (2) Problem
statement (pernyataan/identifikasi masalah); (3) Data collection (pengumpulan
data); (4) Data processing (pengolahan data); (5) Verification (pembuktian); (6)
Generalization (Generalisasi).
45
Untuk menyempurnakan langkah-langkah pembelajaran discovery learning
berorientasi pada kemampuan berpikir reflektif dan self-efficacy siswa, maka
diperlukan suatu pengembangan model discovery learning yang didalam
langkahnya terdapat indikator yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir
reflektif dan self-efficacy siswa. Ditambahkan pula dalam langkah (6)
Generalization (Generalisasi), setelah penarikan kesimpulan, ditambahkan pula
fase refleksi berupa pemberian tes untuk siswa dan jurnal refleksi diri terkait
pelajaran yang telah diberikan agar pemahaman siswa lebih mendalam.
G. Desain Pengembangan Discovery Learning Berorientasi pada Kemampuan
Berpikir Reflektif dan Self-Efficacy Siswa
Model pengembangan desain discovery learning pada penelitian ini adalah dengan
menggunakan model pengembangan desain pembelajaran ADDIE yang merupakan
singkatan dari analysis, design, development, implementation, dan evaluation.
Menurut Branch (2009: 2).
ADDIE is an acronym for Analyze, Design, Develop, Implement, and
Evaluate. Creating products using an ADDIE process remains one of
today’s most effective tools. Because ADDIE is merely a process that serves
as a guiding framework for complex situations, it is appropriate for
developing educational products and other learning resources.
Hal ini berarti bahwa desain pengembangan pembelajaran ADDIE merupakan salah
satu alat yang paling efektif, karena ADDIE adalah proses yang berfungsi sebagai
penuntun kerangka kerja untuk situasi yang kompleks, hal itu tepat untuk
mengembangkan produk pendidikan dan sumber belajar lainnya.
Selanjutnya Branch (2009:3) berpendapat bahwa “ADDIE is used within
educational environments to facilitate the construction of knowledge and skill
46
Gambar 2.1. Model ADDIE Branch
during episodes of guided learning”. Hal tersebut berarti bahwa prinsip dasar
ADDIE adalah untuk memfasilitasi lingkungan pendidikan dalam mengkostruk
pengetahuan dan kemampuan siswa selama pembelajaran. Dengan demikian model
pengembangan ADDIE sesuai apabila diterapkan dalam pengembangan
pembelajaran discovery learning. Berikut ini adalah hasil modifikasi model ADDIE
menurut Branch (2009:2).
Analyze
Penjelasan dari masing-masing tahapan model desain pengembangan pembelajaran
ADDIE yang akan dilakukan pada discovery learning adalah sebagai berikut.
1. Tahap Analisis (Analysis)
Analisis adalah langkah yang paling penting tahapan model ADDIE. Tahap analisis
ini yang membantu mengidentifikasi siswa dalam proses desain. Menurut Branch
(2009: 17) tujuan dari fase analyze adalah untuk mengidentifikasi kemungkinan
masalah yang terjadi. Dalam penelitian ini, tahap analisis merupakan tahap pra
perencanaan pengembangan discovery learning berorientasi pada kemampuan
berpikir reflektif dan self-efficacy siswa.
Design
Develop
Implement Evaluate
Revision
Revision Revision
Revision
47
Hasil wawancara yang dilakukan pada siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Bandar
Lampung teridentifikasi beberapa masalah, yaitu : (1) siswa masih kesulitan dalam
mengidentifikasi masalah kontekstual ke dalam bentuk model matematika; (2)
siswa kesulitan dalam menentukan strategi yang digunakan dalam menjawab soal
matematika; (3) Siswa kesulitan dalam memberikan alasan jawaban dari suatu
persoalan matematika; (4) siswa kesulitan dalam mengerjakan soal yang
memerlukan kemampuan berpikir tingkat tinggi. Setelah bertanya lebih lanjut
kepada siswa, ketiga masalah tersebut muncul karena siswa sendiri tidak yakin
dalam mengerjakan soal matematika. Masalah-masalah yang dihadapi oleh siswa
tersebut adalah terkait dengan kemampuan berpikir reflektif dan self-efficacy siswa.
Menurut guru mata pelajaran matematika SMP Negeri 1 Bandar Lampung,
ketuntasan siswa dalam mata pelajaran matematika untuk KKM 80, hanya 50%
siswa yang dapat menuntaskan KKM. Padahal SMP Negeri 1 Bandar Lampung
sudah discovery learning secara aktif sesuai dengan acuan pendekatan saintifik
kurikulum 2013, namun ternyata pembelajaran tersebut belum cukup efektif dalam
pembelajaran matematika.
2. Tahap Desain (Design)
Tahap desain adalah langkah brainstorming. Ini adalah tahap menggunakan
informasi yang diperoleh dalam tahap analisis untuk membuat produk
pengembangan yang memenuhi kebutuhan siswa. Menurut Branch (2009:17)
tujuan dari tahap desain adalah untuk memverifikasi produk yang akan
dikembangkan.
48
Fase yang digunakan pada discovery learning menurut Syah (2005:244) adalah :
(1) Stimulation (stimulasi/pemberian rangsang); (2) Problem statement
(pernyataan/identifikasi masalah); (3) Data collection (pengumpulan data); (4)
Data processing (pengolahan data); (5) Verification (pembuktian); (6)
Generalization (menarik kesimpulan). Langkah-langkah discovery learning sudah
sesuai dengan empat fase berpikir menurut para ahli yaitu Brookfield (1987), Norris
dan Ennis ( 1989), Bullen (1997), Garrison, Anderson, dan Archer (2001) dalam
Noer (2010, 29:30) adalah sebagai berikut : (1) Fase pertama (Kepekaan)
:merupakan proses memicu kejadian, memahami suatu isu, masalah, dilema dari
berbagai sumber; (2) Fase kedua (Kepedulian): merupakan proses merencanakan
solusi suatu isu, masalah, dilema dari berbagai sumber; (3) Fase ketiga
(Produktivitas): merupakan proses mengkonstruksi gagasan untuk menyelesaikan
masalah, menyimpulkan, dan menilai kesimpulan; (4) Fase keempat (Reflektif):
proses memeriksa kembali solusi yang telah dikerjakan dan mengembangkan
strategi alternatif.
Tahap-tahap dicovery learning secara umum telah termuat dalam fase berpikir
diatas, yaitu: pada fase kepekaan termuat tahap stimulation (stimulasi/pemberian
rangsang) dan problem statement (pernyataan/identifikasi masalah). Pada fase
kepedulian termuat tahap data collection (pengumpulan data). Pada fase
produktivitas termuat tahap data processing (pengolahan data), verification
(pembuktian), dan generalization (menarik kesimpulan). Namun untuk fase
reflektif belum ada langkah yang termuat dalam model pembelajaran discovery
learning.
49
Hal ini juga diperkuat dengan pendapat beberapa ahli, menurut see Zhang dalam
Reid, et al (2003:10-11) tiga tautan utama yang ada dalam proses discovery
learning yang efektif adalah sebagai berikut : (1) representasi masalah dan generasi
hipotesis, yang sangat bergantung pada pengaktifan dan pemetaan pengetahuan
sebelumnya dan kegiatan pembuatan makna; (2) menguji hipotesis dengan
eksperimen yang valid; dan (3) abstraksi reflektif, diartikan dengan menyajikan
refleksi secara singkat dan cermat dalam tugas yang diberikan kepada siswa
sehingga tercipta suatu integrasi atau suatu kesatuan yang utuh dalam pengalaman
penemuan siswa.
Menurut Reid, et al (2003:10) untuk menentukan keefektifan discovery learning
ada tiga hal yang perlu diperhatikan, yaitu : (1) kemahiran proses penemuan:
Peserta didik perlu mengaktifkan sebelumnya pengetahuan dan peta yang mengarah
ke masalah yang ditujukan untuk membantu mewakili masalah dan menghasilkan
hipotesis dan pemahaman yang sesuai; (2) sistemik dan logisitas aktivitas
penemuan: Penemuan yang efektif pembelajaran melibatkan penalaran ilmiah yang
tepat, manipulasi sistematis terhadap variabel, dan desain dan implementasi
eksperimen yang berkualitas; (3) Generalisasi reflektif selama proses penemuan,
yang berarti self-monitoring proses penemuan dan abstraksi reflektif dan integrasi
aturan dan prinsip yang ditemukan.
Menurut Jong dan Van Joolingen (1998) dalam pembelajaran discovery learning
terdapat tiga jenis dukungan pembelajaran pada siswa, yaitu : (1) dukungan
interpretatif (IS) yang membantu peserta didik dengan akses pengetahuan dan
aktivasi, generasi hipotesis yang sesuai, dan konstruksi pemahaman yang koheren;
50
(2) dukungan eksperimental (ES) yang mempertukarkan peserta didik dalam
rancangan eksperimental ilmiah yang sistematis dan logis, prediksi dan pengamatan
hasil, dan penggambaran kesimpulan yang masuk akal; dan (3) dukungan reflektif
(RS) yang meningkatkan kesadaran diri akan proses pembelajaran dan mendorong
abstraksi reflektif dan integrasi penemuan peserta didik.
Oleh karena itu pada desain pengembangan discovery learning berorientasi pada
kemampuan berpikir reflektif dan self-efficacy siswa perlu ditambahkan indikator
kemampuan berpikir reflektif dan aspek self-efficacy siswa dalam tahapan
discovery learning. Sehingga didapatkan suatu rancangan discovery learning
berorientasi pada kemampuan berpikir reflektif dan self-efficacy siswa, dengan
desain pengembangan sebagai berikut. Pada tahap pertama pemberian rangsang
(stimulation) ditambahkan aspek self-efficacy pertama yaitu pencapaian kinerja dan
aspek self-efficacy ketiga yaitu persuasi verbal. Pada tahap kedua identifikasi
masalah (problem statement) ditambahkan indikator kemampuan berpikir reflektif
pertama yaitu reacting, aspek self-efficacy pertama yaitu pencapaian kinerja dan
aspek self-efficacy ketiga yaitu persuasi verbal. Pada tahap ketiga pengumpulan
data (data collection) ditambahkan indikator kemampuan berpikir reflektif kedua
yaitu comparing, aspek self-efficacy pertama yaitu pencapaian kinerja dan aspek
self-efficacy kedua yaitu pengalaman orang lain. Pada tahap keempat pengolahan
data (data processing) ditambahkan indikator kemampuan berpikir reflektif kedua
yaitu comparing, aspek self-efficacy pertama yaitu pencapaian kinerja, aspek self-
efficacy kedua yaitu pengalaman orang lain, dan dan aspek self-efficacy ketiga yaitu
persuasi verbal. Pada tahap kelima pembuktian (verification) ditambahkan
indikator kemampuan berpikir reflektif ketiga yaitu contemplating, aspek self-
51
efficacy pertama yaitu pencapaian kinerja, aspek self-efficacy kedua yaitu
pengalaman orang lain, dan aspek self-efficacy ketiga yaitu persuasi verbal. Pada
tahap keenam generalisasi (generalization) untuk tahap tes ditambahkan indikator
kemampuan berpikir reflektif pertama yaitu reacting, indikator kemampuan
berpikir reflektif kedua yaitu comparing, indikator kemampuan berpikir reflektif
ketiga yaitu contemplating, untuk tahap refleksi diri ditambahkan aspek self-
efficacy keempat yaitu indeks psikologis.
3. Tahap Pengembangan (Development)
Tahap pengembangan berfokus pada pengembangan produk dari tahap desain.
Pengembangan produk berupa pengembangan discovery learning dengan model
sebagai berikut.
Tabel 2.3 Fase Umum Model Discovery Learning
No Fase Kegiatan
1 Stimulation
(stimulasi/pemberian
rangsang).
Pertanyaan yang diberikan adalah
tentang materi yang dipelajari.
2 Problem statement
(pernyataan/identifikasi
masalah)
Mengidentifikasi masalah yang relevan
dengan materi pelajaran.
3 Data collection (pengumpulan
data)
Pengumpulan data dengan membaca
literatur, wawancara dengan
narasumber, mengamati objek,
melakukan eksperimen sendiri
4 Data processing (pengolahan
data)
Pengolahan data melalui wawancara
maupun observasi
5 Verification (pembuktian) Pembuktian dilakukan dengan
pemeriksaan secara teliti.
6 Generalization (menarik
kesimpulan)
Melakukan penarikan kesimpulan
52
Tabel 2.4 Pengembangan Discovery Learning Berorientasi pada Kemampuan
Berpikir Reflektif dan Self-Efficacy Siswa
No. Fase Kegiatan
1 Stimulation
(stimulasi/pemb
erian rangsang)
Guru memberikan pertanyaan tentang materi pelajaran yang pernah
dipelajari oleh siswa yang berkaitan dengan materi yang akan
dipelajari oleh siswa.
Siswa diberikan umpan balik berupa pertanyaan yang lebih
mendaam.
2 Problem
statement
(pernyataan/ide
ntifikasi
masalah)
Mengidentifikasi masalah dengan bereaksi menuliskan sifat-sifat
suatu masalah menggunakan pemahaman pribadi.
Pada tahap identifikasi masalah, siswa melakukan identifikasi
masalah dengan mengaitkan pengetahuan yang sebelumnya pernah
dipelajari oleh siswa yang berhubungan dengan materi yang sedang
dipelajari oleh siswa.
Siswa diberikan umpan balik oleh guru untuk menggali
permasalahan-permasalahan yang ada dalam kehidupan sehari-hari
siswa terkait materi yang dipelajari oleh siswa agar siswa dapat
mengidentifikasi masalah secara mendalam.
3 Data collection
(pengumpulan
data)
Pengumpulan data diawali dengan memanfaatkan pengetahuan yang
telah dimiliki siswa sebelumnya kemudian dengan mencari literatur
dan mengamati objek.
Pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan teori agar dapat
memberi alasan mengapa memilih tindakan tersebut.
Pengumpulan informasi juga melibatkan pengalaman orang lain di
dalam kelompok tersebut, sehingga pada tahap pengumpulan data
terjadi tukar-menukar informasi antar dalam kelompok tersebut.
4 Data processing
(pengolahan
data)
Pengolahan data dengan melakukan analisis dan klarifikasi data yang
telah didapatkan pada tahap pengumpulan data.
Pengolahan data dengan menggunakan pengetahuan yang dimiliki
oleh siswa sebelumnya.
Pengolahan data juga menggunakan pengalaman individual di dalam
kelompok, apa yang diyakini dengan cara membandingkan reaksi
dengan pengalaman yang lain, seperti mengacu pada suatu prinsip
umum maupun suatu teori.
Guru membantu siswa dengan memberikan umpan balik apabila
dalam tahap pengolahan data ada yang kurang dipahami oleh siswa.
5 Verification
(pembuktian)
Pembuktian dengan menginformasikan jawaban dan merekonstruksi
situasi atau masalah.
Menguraikan informasi pada tahap pembuktian dilakukan dengan
mempresentasikan hasil diskusi kelompok, siswa saling menanggapi
satu sama lain, setiap kelompok siswa dapat membagikan
permasalahan yang dihadapi kelompoknya saat menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang terdapat pada LKPD. Sehingga terjadi
tukar-menukar pengalaman siswa dan menciptakan solusi untuk
menjawab permasalahan tersebut.
Apabila dalam diskusi belum menemukan penyelesaian maka guru
membantu dengan memberikan umpan balik terhadap permasalahan
tersebut.
6 Generalization
(Penarikan
kesimpulan,
refleksi berupa
pemberian tes
dan jurnal
refleksi diri)
Pada tahap generalisasi dilakukan penarikan kesimpulan dengan
pengetahuan yang telah didapatkan siswa, siswa bersama guru
menyimpulkan hasil pembelajaran.
Setelah penarikan kesimpulan, dilakukan tes untuk menguji
kemampuan berpikir reflektif siswa.
Kemudian dilakukan refleksi diri untuk mengetahui pemahaman
siswa lebih mendalam, kekuatan dan kelemahan siswa dan jika
terjadi kegagalan untuk mengetahui letak kegagalan siswa.
53
Desain pengembangan terdapat pada Gambar 2.2 berikut.
Gambar 2.2 Desain Pengembangan Discovery Learning Berorientasi pada
Kemampuan Berpikir Reflektif dan Self-Efficacy Siswa
Keterangan :
DL 1 : Discovery learning fase ke-1
DL 2 : Discovery learning fase ke-2
DL 3 : Discovery learning fase ke-3
DL 4 : Discovery learning fase ke-4
DL 5 : Discovery learning fase ke-5
DL 6 : Discovery learning fase ke-6
SE 1 : Aspek self-efficacy ke-1
SE 2 : Aspek self-efficacy ke-2
SE 3 : Aspek self-efficacy ke-3
SE 4 : Aspek self-efficacy ke-4
KBR 1 : Indikator kemampuan berpikir reflektif ke-1
KBR 2 : Indikator kemampuan berpikir reflektif ke-2
KBR 3 : Indikator kemampuan berpikir reflektif ke-3
54
4. Tahap Implementasi (Implementation)
Tahap implementasi yaitu proses penyajian produk yang telah dikembangkan.
Menurut Branch (2009:18) tujuan dari tahap implementasi adalah untuk
mempersiapkan lingkungan belajar dan melibatkan siswa. Prosedur utama yang
berkaitan dengan tahap menerapkan adalah mempersiapkan guru dan
mempersiapkan siswa.
5. Tahap Evaluasi (Evaluation)
Menurut Branch (2009:18) tujuan dari tahap evaluasi adalah untuk menilai kualitas
produk pengembangan dan proses pembelajaran, baik sebelum dan sesudah
implementasi. Tahap evaluasi umumnya dilakukan pada setiap tahapan ADDIE.
Evaluasi dilakukan untuk mengetahui apakah sudah sesuai dengan tujuan atau
tidak. Evaluasi pada tahap ADDIE ini dilakukan oleh peneliti dengan bimbingan
dari dosen pembimbing, yang kemudian menghasilkan suatu produk berupa
pengembangan discovery learning berorientasi pada kemampuan berpikir reflektif
dan self-efficacy siswa.
G. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang diuraikan sebelumnya, hipotesis dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Hipotesis umum
Pengembangan model discovery learning berorientasi pada kemampuan berpikir
reflektif dan self-efficacy siswa memenuhi kriteria valid, praktis, dan efektif
meningkatkan kemampuan berpikir reflektif dan self-efficacy siswa.
55
2. Hipotesis khusus
a. Hasil pengembangan model discovery learning berorientasi pada kemampuan
berpikir reflektif dan self-efficacy siswa memenuhi kriteria valid.
b. Hasil pengembangan model discovery learning berorientasi pada kemampuan
berpikir reflektif dan self-efficacy siswa memenuhi kriteria praktis.
c. Hasil pengembangan model discovery learning berorientasi pada kemampuan
berpikir reflektif dan self-efficacy siswa efektif meningkatkan kemampuan berpikir
reflektif dan self-efficacy siswa.
d. Pengembangan model discovery learning berorientasi pada kemampuan berpikir
reflektif dan self-efficacy siswa menghasilkan model pembelajaran yang lebih
efektif untuk meningkatkan kemampuan berpikir reflektif dan self-efficacy siswa
dibandingkan dengan model discovery learning biasa.
56
III. METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian yang dilakukan adalah penelitian dan pengembangan (Research and
Development). Research and Development adalah penelitian yang digunakan untuk
menghasilkan produk tertentu dan menguji keefektifan produk tersebut. Menurut
Gall, et al (2003), penelitian pengembangan adalah penelitian yang berorientasi
untuk mengembangkan dan memvalidasi produk-produk yang digunakan dalam
pendidikan. Menurut Sugiyono (2012:407), metode penelitian dan pengembangan
adalah metode penelitian yang digunakan untuk menghasilkan produk tertentu dan
menguji keefektifan produk tersebut. Pengembangan yang akan dilakukan pada
penelitian ini adalah pengembangan discovery learning yang beorientasi pada
kemampuan berpikir reflektif dan self-efficacy siswa.
B. Tempat, Waktu dan Subjek Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri 1 Bandar Lampung pada semester genap
tahun pelajaran 2017/2018. Subjek dalam penelitian ini dibagi dalam beberapa
tahap berikut.
57
1. Subjek studi pendahuluan
Pada studi pendahuluan dilakukan analisis kebutuhan berupa observasi dan
wawancara. Subjek pada saat observasi adalah siswa kelas VIII. Subjek pada saat
wawancara adalah guru mata pelajaran matematika SMP Negeri 1 Bandar Lampung
2. Subjek validasi pengembangan pembelajaran
Subjek validasi pengembangan pembelajaran dalam penelitian ini adalah empat
orang ahli yang terdiri atas satu ahli materi, satu ahli media, satu ahli pendidikan
untuk pengembangan model dan satu ahli untuk self-efficacy.
3. Subjek uji coba lapangan awal
Subjek pada tahap ini adalah seluruh siswa kelas IX.3 SMP Negeri 1 Bandar
Lampung untuk menguji validitas, reliabilitas, daya pembeda, dan tingkat
kesukaran soal pretest posttest dan juga untuk menguji validitas dan reliabilitas
angket self-efficacy siswa. Subjek untuk menguji pengembangan discovery
learning adalah seluruh siswa kelas VIII.7 SMP Negeri 1 Bandar Lampung.
4. Subjek uji coba lapangan
Subjek uji coba kelas eksperimen pada tahap ini adalah seluruh siswa kelas VIII.10
SMP Negeri 1 Bandar Lampung dan subjek uji coba kelas kontrol adalah seluruh
siswa kelas VIII.6 SMP Negeri 1 Bandar Lampung.
C. Prosedur Penelitian
Penelitian pengembangan ini dilakukan dengan mengacu pada prosedur R&D dari
Gall dan Borg (Sukmadinata, 2008) ada 10 langkah pelaksanaan strategi penelitian
dan pengembangan , yaitu.
58
1. Research and information collecting (penelitian dan pengumpulan data).
2. Planning (perencanaan).
3. Develop preliminary form of product (pengembangan desain produk awal).
4. Preliminary field testing (uji coba lapangan awal).
5. Main product revision (revisi hasil uji coba lapangan awal).
6. Main field testing (uji coba lapangan).
7. Operasional product revision (revisi produk hasil uji coba lapangan).
8. Operasional field testing (uji pelaksanaan lapangan).
9. Final product revision (penyempurnaan dan produk akhir).
10. Dissemination and implementation (disseminasi dan implementasi).
Akan tetapi, penelitian ini hanya akan dilakukan sampai pada langkah ke – 6
(enam). Hal ini disebabkan karena keterbatasan waktu, tenaga dan biaya yang
dimiliki oleh peneliti. Penjelasan mengenai langkah penelitian dan pengembangan
di atas sebagai berikut.
1. Penelitian Pendahuluan dan Pengumpulan Data (Research & Information
Collecting)
Langkah pertama yang dilakukan adalah melakukan penelitian pendahuluan
(prasurvei) berupa analisis kebutuhan dan studi literatur. Analisis kebutuhan
dilakukan dengan mencari tahu masalah pembelajaran apa yang dihadapi guru dan
siswa. Pengumpulan informasi tersebut dilakukan dengan wawancara yang
dilakukan pada guru SMP Negeri 1 Bandar Lampung dan siswa kelas VIII SMP
Negeri 1 Bandar Lampung.
59
Dari hasil observasi dan wawancara didapatkan bahwa permasalahan yang dihadapi
siswa adalah sebagai berikut : (1) siswa masih kesulitan dalam mengidentifikasi
masalah kontekstual ke dalam bentuk model matematika; (2) siswa kesulitan dalam
menentukan strategi yang digunakan dalam menjawab soal matematika; (3) Siswa
kesulitan dalam memberikan alasan jawaban dari suatu persoalan matematika; (4)
siswa kesulitan dalam mengerjakan soal yang memerlukan kemampuan berpikir
tingkat tinggi. Setelah bertanya lebih lanjut kepada siswa, masalah tersebut muncul
karena siswa sendiri tidak yakin dalam mengerjakan soal matematika. Masalah-
masalah yang dihadapi oleh siswa tersebut adalah terkait dengan kemampuan
berpikir reflektif dan self-efficacy siswa.
Guru mata pelajaran matematika SMP Negeri 1 Bandar Lampung membenarkan
masalah-masalah yang dihadapi siswa tersebut, diantaranya siswa masih kesulitan
dalam mengidentifikasi masalah kontekstual ke dalam bentuk model matematika,
siswa kesulitan dalam menentukan strategi yang digunakan dalam menjawab soal
matematika, siswa kesulitan dalam memberikan alasan jawaban dari suatu
persoalan matematika dan siswa kesulitan dalam mengerjakan soal yang
memerlukan kemampuan berpikir tingkat tinggi.
Permasalahan dalam pembelajaran matematika ini berdampak pada ketuntasan
siswa dalam mata pelajaran matematika untuk KKM 80, hanya 50% siswa yang
dapat menuntaskan KKM. Kemudian peneliti melakukan identifikasi lebih lanjut
pada pembelajaran yang dilakukan di SMP Negeri 1 Bandar Lampung,
pembelajaran sudah menggunakan discovery learning secara aktif sesuai dengan
acuan pendekatan saintifik kurikulum 2013, namun ternyata pembelajaran tersebut
60
belum cukup efektif dalam pembelajaran matematika. Hal ini karena kurangnya
penguasaan konsep pada siswa. Padahal SMP Negeri 1 Bandar Lampung sudah
menggunakan discovery learning secara aktif sesuai dengan acuan pendekatan
saintifik kurikulum 2013. Pernyataan ini didukung oleh Westwood (2008:30) salah
satu kekurangan model pembelajaran discovery learning adalah walaupun siswa
terlibat secara aktif namun siswa mungkin masih belum memahami garis besar dari
konsep. Untuk mengoptimalkan discovery learning di SMP Negeri 1 Bandar
Lampung, maka peneliti akan mengembangkan discovery learning yang bertujuan
untuk mengatasi masalah pada kemampuan berpikir reflektif dan self-efficacy
siswa.
b.Studi literatur, berkaitan dengan pencarian informasi dan data empiris melalui
teori dan penelitian relevan terkait produk yang akan dikembangkan. Dalam hal ini
produk yang akan dikembangkan adalah discovery learning, oleh karena itu peneliti
mencari sumber-sumber yang relevan untuk mengembangkan discovery learning.
2. Perencanaan Penelitian (Planning)
Perencanaan dalam penelitian R&D meliputi: merumuskan tujuan penelitian,
memperkirakan hal-hal yang dibutuhkan dalam penelitian, merumuskan kualifikasi
peneliti dan bentuk partisipasinya dalam penelitian. Rencana penelitian meliputi
kemampuan yang diperlukan dalam pelaksanaan penelitian, rumusan tujuan yang
hendak dicapai pada penelitian tersebut, desain atau langkah-langkah penelitian,
dan kemungkinan pengujian dalam lingkup terbatas. Pada tahap perencanaan, akan
dilakukan perencanaan penyusunan pengembangan discovery learning
pengembangan yang dilakukan juga meliputi pengembangan perangkat discovery
61
learning berupa silabus dan RPP, serta pembuatan alat untuk memfasilitasi
pengembangan discovery learning yang berupa LKPD. Tahap selanjutnya yaitu
menentukan kelas eksperimen dan kelas kontrol, kemudian menentukan ahli materi,
ahli media, ahli pendidikan untuk pengembangan model dan ahli untuk self-
efficacy.
3. Pengembangan desain produk awal (Develop Preliminary of Product)
Tahapan ini meliputi: (1) Membuat desain produk yang akan dikembangkan; (2)
Menentukan sarana dan prasarana yang dibutuhkan selama penelitian; (3)
Menentukan tahap-tahap pengujian desain di lapangan. Produk yang dikembangkan
pada penelitian ini adalah discovery learning yang berorientasi pada kemampuan
berpikir reflektif dan self-efficacy siswa. Desain pengembangan model discovery
learning pada penelitian ini adalah dengan menggunakan desain pengembangan
pembelajaran ADDIE yang merupakan singkatan dari analysis, design,
development, implementation, dan evaluation.
Setelah menyelesaikan produk pengembangan discovery learning, kemudian
dilakukan validasi oleh ahli pendidikan untuk pengembangan model discovery
learning dan validasi oleh ahli materi serta ahli media untuk perangkat yang
digunakan dalam memfasilitasi pengembangan discovery learning.
4. Uji Coba Lapangan Awal (Preliminary Field Testing)
Tahapan ini berkaitan dengan: (1) Melakukan pengujian awal terhadap
pengembangan discovery learning; (2) Pengujian bersifat terbatas; (3) Uji coba
lapangan dilakukan berkali-kali agar mendapatkan pengembangan model discovery
learning yang sesuai dengan kebutuhan. Pengujian soal pretest dan posttest akan
62
dilakukan di kelas IX.3 SMP Negeri 1 Bandar Lampung, pengujian ini dilakukan
untuk mengetahui validitas, reliabilitas, daya beda, dan tingkat kesukaran soal yang
dikerjakan oleh siswa.
Peneliti menguji cobakan pengembangan model discovery learning dan desain
LKPD kepada siswa kelas VIII.7 SMP Negeri 1 Bandar Lampung. Kelas VIII.7
dipilih karena siswa VIII.7 mempunyai kemampuan yang sama dengan siswa kelas
VIII.6 (kelas kontrol) dan VIII.10 (kelas eksperimen). Hal ini dilakukan agar
pengembangan model discovery learning nantinya juga akan berdampak sama
untuk kelas eksperimen.
Untuk LKPD yang digunakan dalam pengembangan discovery learning juga diuji
cobakan agar bisa digunakan oleh seluruh siswa kelas eksperimen dengan baik.
Peneliti memberikan angket yang berisi pengembangan model discovery learning
dan angket yang berisi uji keterbacaan LKPD yang digunakan dalam
pengembangan discovery learning. Angket tersebut kemudian dianalisis dan
dijadikan sebagai salah satu acuan untuk melakukan revisi serta penyempurnaan
pengembangan model discovery learning dan LKPD yang digunakan dalam
pengembangan discovery learning.
5. Merevisi Hasil Uji Coba (Main Product Revision)
Tahapan ini merupakan perbaikan dari hasil uji coba lapangan awal. Perbaikan yang
dilakukan adalah pada soal pretest dan posttest apabila ada soal yang belum
memenuhi validitas, reliabilitas, daya beda, dan tingkat kesukaran soal, maka akan
dilakukan revisi pada soal pretest dan posttest. Perbaikan juga dilakukan pada
pengembangan model discovery learning dan desain LKPD yang digunakan dalam
63
pengembangan discovery learning dengan melihat hasil angket siswa untuk
menyempurnakan pengembangan model discovery learning dan LKPD yang
digunakan dalam pengembangan discovery learning.
6. Uji Coba Lapangan (Main Field Testing)
Tahap ini berkaitan dengan uji produk secara lebih luas, yang meliputi: (1) Menguji
efektivitas desain produk; (2) Uji efisiensi desain; (3) Hasil uji lapangan adalah
desain yang efektif, baik dari sisi substansi maupun metodologi. Data terkait
penggunan produk dikumpulkan untuk melihat efektifitas dan efisiensi produk.
D. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari dua jenis instrumen, yaitu
nontes dan tes. Instrumen – instrumen tersebut akan dijelaskan sebagai berikut.
1. Instrumen Nontes
Instrumen nontes ini terdiri dari beberapa bentuk yang disesuaikan dengan langkah
– langkah dalam penelitian pengembangan. Terdapat dua jenis instrumen nontes
yang digunakan yaitu pedoman wawancara dan angket. Pedoman wawancara
digunakan saat studi pendahuluan, untuk mengetahui kondisi awal siswa. Instrumen
yang kedua, yaitu angket digunakan pada beberapa tahapan penelitian. Beberapa
jenis angket dan fungsinya dijelaskan sebagai berikut.
a. Angket Validasi Pengembangan Model Discovery Learning
Instrumen untuk memvalidasi pengembangan model discovery learning diserahkan
kepada ahli pendidikan. Instrumen yang diberikan berupa skala likert dengan empat
pilihan jawaban yaitu Sangat Baik (SB), Baik (B), Kurang (K), Sangat Kurang (K),
64
serta dilengkapi dengan komentar dan saran. Kriteria yang menjadi penilaian dari
angket validasi pengembangan model discovery learning adalah: (1) Teori
discovery learning.yang disampaikan cukup untuk dijadikan landasan dalam
penyusunan pengembangan model discovery learning; (2) Konsep dasar yang
relevan sebagai landasan pengembangan model discovery learning; (3) Latar
belakang, tujuan, karakteristik, sistem sosial, sistem pendukung pengembangan
model dinyatakan dengan jelas; (4) Langkah-langkah pembelajaran dinyatakan
dengan jelas; (5) Evaluasi dan penilaian dinyatakan dengan jelas; serta (6) Hasil
belajar yang diinginkan dinyatakan dengan jelas. Tujuan pemberian skala ini adalah
menilai kesesuaian isi pengembangan model discovery learning berorientasi pada
kemampuan berikir reflektif dan self-efficacy siswa.
Tabel 3.1 Kisi – kisi Instrumen Validasi Pengembangan Model Discovery
Learning
Kriteria Indikator Butir Angket
Teori pendukung Teori dalam pengembangan model 1
Konsep dasar pengembangan model 2
Struktur
pengembangan
model
Latar belakang pengembangan model 3
Tujuan pengembangan model 4
Karakteristik pengembangan model 5
Sistem sosial pengembangan model 6
Sistem pendukung pengembangan
model
7
Langkah-langkah pembelajaran 8
Evaluasi dan penilaian 9
Hasil belajar Hasil belajar yang diinginkan 10
b. Angket Validasi Soal Pretest dan Posttest
Instrumen untuk memvalidasi soal pretest dan posttest diserahkan kepada ahli
materi. Instrumen yang diberikan berupa skala likert dengan empat pilihan jawaban
yaitu Sangat Baik (SB), Baik (B), Kurang (K), Sangat Kurang (K), serta dilengkapi
dengan komentar dan saran. Kriteria yang menjadi penilaian dari angket validasi
65
soal pretest dan posttest adalah: (1) Ketepatan pemilihan teknik penilaian dengan
indikator dan tujuan pembelajaran; (2) Kesesuaian butir instrumen dengan indikator
dan tujuan pembelajaran; (3) Ketersediaan kunci jawaban; (4) Kesesuaian
pertanyaan dengan materi; (5) Kesesuaian kunci jawaban dengan pertanyaan soal;
(6) Ketersediaan petunjuk dan kejelasan pengerjaan soal; (7) Ketepatan pilihan
bentuk soal dengan SK dan KD; (8) Penggunaan bahasa, kejelasan penulisan, dan
kemudahan memahami bahasa.
Tabel 3.2 Kisi – kisi Instrumen Validasi Soal Pretest dan Posttest
Kriteria Indikator Butir Angket Kesesuaian teknik
penilaian
Ketepatan pemilihan teknik penilaian
dengan indikator dan tujuan
pembelajaran
1
Kesesuaian butir instrumen dengan
indikator dan tujuan pembelajaran
2
Kelengkapan
instrumen
Ketersediaan kunci jawaban 3
Kecukupan tempat yang disediakan
untuk jawaban soal
4
Kesesuaian isi Kesesuaian pertanyaan dengan materi 5
Kesesuaian kunci jawaban dengan
pertanyaan soal
6
Konstruksi soal Ketersediaan petunjuk pengerjaan soal 7
Kejelasan tujuan soal 8
Ketepatan pilihan bentuk soal dengan
SK dan KD
9
Kesesuaian pertanyaan dengan tingkat
kognitif peserta didik
10
Kebahasaan Penggunaan kaidah bahasa Indonesia 11
Kejelasan penulisan bahasa soal 12
Kemudahan memahami bahasa yang
digunakan
13
c. Angket Validasi Silabus dan RPP
Instrumen untuk memvalidasi silabus dan RPP diserahkan kepada ahli materi.
Instrumen yang diberikan berupa skala likert dengan empat pilihan jawaban yaitu
Sangat Baik (SB), Baik (B), Kurang (K), Sangat Kurang (K), serta dilengkapi
66
dengan komentar dan saran. Kriteria yang menjadi penilaian dari angket validasi
silabus adalah: (1) Aspek kelayakan isi, meliputi kesesuaian silabus dengan KD dan
indikator, kegiatan pembelajaran dirancang berdasarkan pengembangan discovery
learning; (2) Aspek kelayakan bahasa, meliputi penggunaan bahasa sesuai dengan
EYD, kesederhanaan struktur kalimat; serta (3) Aspek kelayakan waktu, meliputi
kesesuaian pemilihan alokasi waktu didasarkan pada KD dan alokasi waktu
persemeter. Tujuan pemberian skala ini adalah menilai kesesuaian isi silabus
dengan discovery learning berorientasi pada kemampuan berikir reflektif dan self-
efficacy siswa.
Kriteria penilaian angket validasi RPP adalah: (1) Aspek kelayakan tujuan, meliputi
kesesuaian RPP dengan kompetensi dasar (KD), ketepatan penjabaran kompetensi
dasar (KD) ke dalam indikator; (2) Aspek kelayakan isi, meliputi sistematika
penyusunan RPP, skenario pembelajaran yang dirancang berdasarkan
pengembangan discovery learning; (3) Aspek kelayakan bahasa, meliputi
penggunaan bahasa sesuai dengan EYD, komunikatif dan kesederhanaan struktur
kalimat; serta (4) Aspek kelayakan waktu, meliputi kesesuaian pemilihan alokasi
waktu didasarkan pada KD. Tujuan pemberian skala ini adalah menilai kesesuaian
isi RPP dengan discovery learning berorientasi pada kemampuan berikir reflektif
dan self-efficacy siswa.
d. Angket Validasi LKPD
Instrumen untuk memvalidasi LKPD diserahkan kepada ahli materi dan ahli media.
Untuk ahli materi instrumen yang diberikan berupa skala likert dengan empat
pilihan jawaban yaitu Sangat Baik (SB), Baik (B), Kurang (K), Sangat Kurang (K),
67
serta dilengkapi dengan komentar dan saran dari para ahli. Kriteria yang menjadi
penilaian dari ahli materi adalah: (1) Aspek kelayakan isi, meliputi kesesuaian
materi dengan KD, keakuratan materi, keberadaan modul dalam mendorong
keinginan siswa; (2) Aspek kelayakan penyajian, meliputi teknik penyajian,
kelengkapan penyajian, penyajian pembelajaran, koherensi dan keruntutan proses
berpikir; serta (3) Aspek penilaian strategi discovery learning.
Tujuan pemberian skala ini adalah menilai kesesuaian isi LKPD dengan model
discovery learning berorientasi pada kemampuan berikir reflektif dan self-efficacy
siswa. Kisi-kisi instrumen validasi LKPD oleh ahli materi dinyatakan pada tabel
sebagai berikut.
Tabel 3.3 Kisi-Kisi Instrumen Validasi LKPD oleh Ahli Materi
Kriteria Indikator Butir Angket
Aspek Kelayakan
Isi
Kesesuaian materi dengan KI
dan KD 1,2,3
Keakuratan materi 4,5,6,7,8
Mendorong kreativitas siswa 9
Aspek Kelayakan
Penyajian
Teknik penyajian 10,11
Kelengkapan penyajian 12,13,14
Penyajian pembelajaran 15, 16
Koherensi dan keruntutan proses berpikir 17,18
Penilaian
pengembangan
discovery learning
Karakteristik pengembangan discovery
learning 19,20,21,22,23,24
Untuk ahli media instrumen yang diberikan berupa skala likert dengan empat
pilihan jawaban yaitu Sangat Baik (SB), Baik (B), Kurang (K), Sangat Kurang (K),
serta dilengkapi dengan komentar dan saran dari para ahli. Kriteria penilaian LKPD
oleh ahli media adalah: (1) Aspek kelayakan kegrafikan, meliputi desain isi LKPD;
serta (2) Aspek kelayakan bahasa, meliputi kelugasan, komunikatif, dialogis dan
68
interaktif, kesesuaian dengan perkembangan siswa, kesesuaian dengan kaidah
bahasa, penggunaan istilah dan simbol. Pemberian skala ini bertujuan untuk menilai
tampilan LKPD dan kesesuaian antara desain yang digunakan dan isi LKPD.
Tujuan pemberian skala ini adalah menilai kesesuaian isi LKPD dengan model
discovery learning berorientasi pada kemampuan berikir reflektif dan self-efficacy
siswa. Kisi-kisi instrumen validasi LKPD oleh ahli materi dinyatakan pada tabel
sebagai berikut.
Tabel 3.4 Kisi-Kisi Instrumen Validasi LKPD oleh Ahli Media
Kriteria Indikator Butir Angket
Aspek Kelayakan
Kegrafikan
Ukuran LKPD 1, 2
Desain Sampul LKPD 3, 4, 5, 6, 7
Desain Isi LKPD 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14,
15, 16
Aspek Kelayakan
Bahasa
Lugas 17, 18, 19
Komunikatif 20, 21
Kesesuaian dengan Kaidah Bahasa 22, 23
Penggunaan istilah, simbol, maupun
lambing 24, 25
e. Angket Uji Coba Pengembangan Model Discovery Learning
Instrumen angket ini diberikan kepada siswa yang menjadi subjek uji coba selain
kelas eksperimen dan kontrol. Angket uji coba pengembangan model discovery
learning diberikan kepada seluruh siswa kelas VIII.6 SMP Negeri 1 Bandar
Lampung untuk mengetahui bagaimana kesesuaian pernyataan untuk menarik
perhatian dan motivasi peserta didik, bagaimana pengelolaan waktu pada
pengembangan model discovery learning serta penggunaan bahasa. Instrumen yang
diberikan berupa pernyataan skala likert dengan empat pilihan jawaban yaitu
69
Sangat Baik (SB), Baik (B), Kurang (K), Sangat Kurang (K). Adapun kisi-kisi
angket respon siswa tertera pada Tabel 3.5.
Tabel 3.5 Kisi – kisi Angket Respon Siswa pada Pengembangan Model
Discovery Learning
Kriteria Indikator Butir Angket
Aspek petunjuk Petunjuk penggunaan 1
Kriteria penilaian 2
Aspek cakupan Ketertarikan peserta didik 3
Pemberian motivasi 4
Kejelasan materi 5
Kesesuaian contoh dengan materi 6
Pengelolaan kelas 7
Keefektifan penggunaan waktu. 8
Penekanan nilai karakter 9
Penarikan kesimpulan 10
Aspek bahasa Penggunaan Bahasa Indonesia yang
benar dan komunikatif
11
Penggunaan bahasa mudah dipahami 12
f. Angket Uji Coba LKPD
Instrumen angket ini diberikan kepada enam siswa yang menjadi subjek uji coba
LKPD untuk mengetahui bagaimana keterbacaan, ketertarikan siswa, dan
tanggapannya terhadap LKPD. Enam siswa tersebut dipilih dari siswa yang
berkemampuan tinggi, sedang dan rendah. Hal ini dilakukan agar LKPD nantinya
bisa digunakan oleh seluruh siswa baik dari kemampuan tinggi, sedang maupun
rendah. Peneliti memberikan angket yang berisi uji keterbacaan LKPD untuk
keenam siswa tersebut. Angket tersebut kemudian dianalisis dan dijadikan sebagai
salah satu acuan untuk kembali melakukan revisi dan penyempurnaan. LKPD yang
dianggap sudah tepat, maka dilanjutkan pada tahap uji coba lapangan. Instrumen
yang diberikan berupa pernyataan skala likert dengan empat pilihan jawaban yaitu
Sangat Baik (SB), Baik (B), Kurang (K), Sangat Kurang (K).
70
Adapun kisi-kisi angket respon siswa tertera pada Tabel 3.6.
Tabel 3.6 Kisi – kisi Angket Respon Siswa pada LKPD
Kriteria Indikator Butir Angket
Aspek tampilan Kejelasan teks 1, 2, 4, 7, 13
Kesesuaian gambar /ilustrasi
dengan materi
15, 17
Aspek penyajian
materi
Kemudahan pemahaman materi 20
Ketepatan penggunaan lambang
atau symbol
14
Kelengakapan dan ketepatan
sistematika penyajian
3, 11, 23
Kesesuaian contoh dengan materi 18, 19
Aspek manfaat Kemudahan belajar 9, 10, 22
Peningkatan motivasi belajar 8, 16, 21
Ketertarikan mengunakan LKPD 5, 6, 12
g. Angket Self-Efficacy
Skala self-efficacy pada penelitian ini mengukur empat aspek, yaitu pencapaian
kinerja berdasarkan pengalaman, pengalaman orang lain, persuasi verbal, dan
indeks psikologi. Angket self-efficacy yang digunakan adalah angket berupa
checklist (daftar cek). Pengukuran skor untuk pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan dilakukan menggunakan skala likert dengan skala 4, yaitu:
1) Skor 1 adalah sangat tidak setuju.
2) Skor 2 adalah tidak setuju.
3) Skor 3 adalah setuju.
4) Skor 4 adalah sangat setuju.
71
Indikator kemampuan self-efficacy ditunjukkan pada Tabel 3.7.
Tabel 3.7 Aspek Penilaian Self-Efficacy
No ASPEK DESKRIPSI INDIKATOR
1 Pencapaian
Kinerja
Indikator kemampuan
yang didasarkan kinerja
pengalaman sebelumnya
1. Pandangan siswa terhadap
kemampuan matematika yang
dimilikinya.
2. Pandangan siswa tentang
keterampilan matematika
2 Pengalaman
Orang Lain
Bukti yang didasarkan
pada kompetensi dan
perbandingan
1. Kemampuan siswa
membandingkan kemampuan
matematikanya dengan orang lain
2. Pandangan siswa tentang
kemampuan matematika yang
dimiliki oleh dirinya dan orang
lain
3 Persuasi
Verbal
Mengacu pada umpan
balik langsung atau kata-
kata guru atau orang yang
lebih dewasa
1. Kemampuan siswa memahami
makna kalimat matematis dalam
soal-soal berpikir kreatif
matematis
4 Indeks
Psikologis
Penilaian terhadap
kemampuan, kelebihan,
dan kelemahan tentang
suatu tugas atau
pekerjaan
1. Pandangannya siswa tentang
kemampuan matematika yang
dimilikinya
2. Pandangan tentang kelemahan
dan kelebihan yang dimiliki siswa
pada matematika
(Noer, 2012)
Sebelum digunakan pada uji lapangan, skala self-efficacy ini divalidasi oleh ahli,
yaitu Yohana Oktariana, M.Pd. Beliau adalah dosen Bimbingan Konseling (BK)
FKIP Universitas Lampung. Tujuan dari validasi ini adalah melihat kesesuaian isi
dengan indikator dan tujuan pembuatan skala. Kriteria yang menjadi penilaian dari
ahli adalah: (1) Keterkaitan indikator dengan tujuan; (2) Kesesuaian pernyataan
dengan indikator yang diukur; (3) Kesesuaian antara pernyataan dengan tujuan;
serta (4) Penggunaan bahasa yang baik dan benar. Berdasarkan penilaian tiap
kriteria tersebut, skala self-efficacy telah memenuhi kriteria baik dan dinyatakan
72
layak untuk digunakan pada uji lapangan. Secara lengkap, kisi-kisi dan instrumen
skala self-efficacy dapat dilihat pada Lampiran B.5.
Setelah dilakukan validasi, skala tersebut diujicobakan untuk mengetahui
reliabilitas dan validitas secara empiris. Uji coba dilakukan pada siswa kelas IX.3
SMP Negeri 1 Bandar Lampung dengan 34 responden. Proses perhitungan
menggunakan menggunakan SPSS versi 20,0. Diketahui N = 34, maka df (degree
of freedom) nya adalah df = N-2, sehingga df =32, kemudian dicek menggunakan r
tabel, didapatkan r tabelnya adalah 0,338.
Dengan demikian pernyataan dikatakan valid jika rxy ≥0,338 Hasil perhitungan
validitas butir pernyataan dapat dilihat pada Tabel 3.8, sedangkan data
selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran C.5.
Tabel 3.8 Hasil Uji Coba Validitas Skala Self Efficacy Siswa
No.
Pernyataan rxy Kriteria
No.
Pernyataan rxy Kriteria
1 0,523 Valid 19 0,491 Valid
2 0,395 Valid 20 0,549 Valid
3 0,581 Valid 21 0,646 Valid
4 0,420 Valid 22 0,760 Valid
5 0,658 Valid 23 0,409 Valid
6 0,593 Valid 24 0,635 Valid
7 0,637 Valid 25 0,498 Valid
8 0,631 Valid 26 0,679 Valid
9 0,706 Valid 27 0,605 Valid
10 0,578 Valid 28 0,564 Valid
11 0,626 Valid 29 0,627 Valid
12 0,704 Valid 30 0,463 Valid
13 0,571 Valid 31 0,636 Valid
14 0,632 Valid 32 0,590 Valid
15 0,708 Valid 33 0,748 Valid
16 0,650 Valid 34 0,594 Valid
17 0,573 Valid 35 0,503 Valid
18 0,650 Valid
73
Berdasarkan hasil uji validitas, terdapat 35 butir pernyataan dengan indeks
konsistensi internal lebih dari 0,338. Dari hasil perhitungan untuk mencari koefisien
reliabilitas (r11) dengan menggunakan SPSS versi 20,0 menunjukkan bahwa skala
tersebut memiliki indeks reliabilitas sebesar 0,946. Dengan demikian skala self-
efficacy tersebut memenuhi kriteria skala yang layak digunakan untuk mengambil
data. Maka dapat disimpulkan, terdapat 35 butir pernyataan yang dapat digunakan.
Tabel 3.9 Skor Pernyataan Skala Self Efficacy Siswa
Nomor
Pernyataan
Skor Nomor
Pernyataan
Skor
STS TS S SS STS TS S SS
1 1 2 3 4 19 1 2 3 4
2 1 2 3 4 20 1 2 3 4
3 1 2 3 4 21 1 2 3 4
4 1 2 3 4 22 1 2 3 4
5 1 2 3 4 23 1 2 3 4
6 1 2 3 4 24 1 2 3 4
7 1 2 3 4 25 1 2 3 4
8 1 2 3 4 26 1 2 3 4
9 1 2 3 4 27 1 2 3 4
10 1 2 3 4 28 1 2 3 4
11 1 2 3 4 29 1 2 3 4
12 1 2 3 4 30 1 2 3 4
13 1 2 3 4 31 1 2 3 4
14 1 2 3 4 32 1 2 3 4
15 1 2 3 4 33 1 2 3 4
16 1 2 3 4 34 1 2 3 4
17 1 2 3 4 35 1 2 3 4
18 1 2 3 4
Skala self-efficacy yang telah layak diberikan kepada kelas eksperimen dan kelas
kontrol pada awal dan akhir kegiatan pembelajaran yang berisi pernyataan-
pernyataan. Penyataan yang diberikan kepada siswa kelas eksperimen dan kelas
kontrol bertujuan untuk mengetahui self-efficacy siswa terhadap pembelajaran
matematika.
74
2. Instrumen Tes
Instrumen ini berupa tes kemampuan berpikir reflektif matematis. Penilaian hasil
tes dilakukan sesuai dengan pedoman penilaian indikator berpikir reflektif dalam
Noer (2010, 43-44) yaitu reacting, comparing, dan contemplating dengan
penjelasan sebagai berikut.
1. Reacting adalah bereaksi dengan pemahaman pribadi terhadap peristiwa,
stimulasi, atau masalah matematis dengan berfokus pada sifat alami situasi.
2. Comparing adalah melakukan analisis dan klarifikasi pengalaman individual apa
yang diyakini dengan cara membandingkan reaksi dengan pengalaman yang lain,
seperti mengacu pada suatu prinsip umum maupun suatu teori.
3. Contemplating adalah mengutamakan pengertian pribadi yang mendalam.
Dalam hal ini fokus terhadap suatu tingkatan pribadi dalam proses-proses seperti
menguraikan, menginformasikan, mempertimbangkan dan merekonstruksi situasi
atau masalah.
Sebelum diberikan di awal dan akhir pembelajaran, instrumen ini diujicobakan
terlebih dulu pada kelas lain yang telah menempuh materi untuk mengetahui
validitas, reliabilitas, tingkat kesukaran, dan daya pembeda soal. Pedoman
penskoran tes kemampuan berpikir reflektif dinyatakan dalam Tabel 3.9 sebagai
berikut.
75
Tabel 3.10 Pedoman Pensekoran Tes Kemampuan Berpikir Reflektif
No
Indikator
Berpikir
Reflektif
Reaksi terhadap soal/masalah Skor
1 Reacting
Tidak menjawab 0
Bereaksi dengan perhatian pribadi terhadap situasi
masalah dengan cara langsung menjawab, tetapi jawaban
salah
1
Bereaksi dengan perhatian pribadi terhadap situasi
masalah dengan cara menuliskan sifat yang dimiliki oleh
situasi, kemudian menjawab permasalahan, tetapi tidak
selesai
2
Bereaksi dengan perhatian pribadi terhadap situasi
masalah dengan cara menuliskan sifat yang dimiliki oleh
situasi, kemudian menjawab permasalahan, tetapi
jawaban salah
3
Bereaksi dengan perhatian pribadi terhadap situasi
masalah dengan cara menuliskan sifat yang dimiliki oleh
situasi, kemudian menjawab permasalahan dan jawaban
benar
4
2 Comparing
Tidak menjawab 0
Tidak melakukan evaluasi terhadap tindakan dan apa
yang diyakini 1
Mengevaluasi tindakan apa yang diyakini dengan cara
membandingkan reaksi dengan suatu prinsip umum atau
teori tetapi tidak memberi alasan mengapa memilih
tindakan tersebut
2
Mengevaluasi tindakan apa yang diyakini dengan cara
membandingkan reaksi dengan suatu prinsip umum atau
teori, memberi alasan mengapa memilih tindakan
tersebut tetapi jawaban salah
3
Mengevaluasi tindakan apa yang diyakini dengan cara
membandingkan reaksi dengan suatu prinsip umum atau
teori, memberi alasan mengapa memilih tindakan
tersebut dan jawaban benar
4
3 Contemplating
Tidak menjawab 0
Menguraikan, menginformasikan jawaban berdasarkan
situasi masalah yang dihadapi tetapi jawaban salah 1
Menguraikan, menginformasikan jawaban berdasarkan
situasi masalah yang dihadapi dan jawaban benar 2
Menguraikan, menginformasikan jawaban berdasarkan
situasi masalah yang dihadapi, mempertentangkan
jawaban dengan jawaban lainnya
3
Menguraikan, menginformasikan jawaban berdasarkan
situasi masalah yang dihadapi, mempertentangkan
jawaban dengan jawaban lainnya, kemudian
merekonstruksi situasi-situasi
4
(Noer, 2010:95)
76
Uji validitas, reliabilitas, tingkat kesukaran, dan daya pembeda soal dijelaskan
sebagai berikut.
a. Validitas
Validitas yang dilakukan terhadap instrumen tes berpikir reflektif didasarkan pada
validitas isi dan validitas empiris. Validitas isi dari tes kemampuan berpikir reflektif
divalidasi oleh validator. Validitas isi dapat diketahui dengan cara membandingkan
isi yang terkandung dalam tes kemampuan berpikir reflektif dengan indikator
pembelajaran yang telah ditentukan. Tes yang dikategorikan valid adalah yang telah
dinyatakan sesuai dengan kompetensi dasar dan indikator yang diukur, maka
validitas instrumen tes ini didasarkan pada penilaian dosen pembimbing.
Teknik yang digunakan untuk menguji validitas empiris ini dilakukan dengan
menggunakan rumus korelasi product moment (Widoyoko, 2012:137).
𝑟𝑥𝑦 =𝑁 ∑ 𝑋𝑌−(∑ 𝑋)(∑ 𝑌)
√(𝑁 ∑ 𝑋2−(∑ 𝑋)2)(𝑁 ∑ 𝑌2−(∑ 𝑌)2)
Keterangan:
𝑟𝑥𝑦 = Koefisien korelasi antara variabel X dan variabel Y
N = Jumlah Siswa
∑ 𝑋 = Jumlah skor siswa pada setiap butir soal
∑ 𝑌 = Jumlah total skor siswa ∑ 𝑋𝑌 = Jumlah hasil perkalian skor siswa pada setiap butir soal dengan total
skor siswa.
Penafsiran harga korelasi dilakukan dengan membandingkan dengan harga 𝑟𝑥𝑦
untuk validitas butir instrumen, yaitu 0,3. Artinya apabila 𝑟𝑥𝑦 ≥ 0,3, nomor butir
tersebut dikatakan valid dan memuaskan (Widoyoko, 2012:143). Tabel 3.11
menyajikan hasil validitas instrumen tes kemampuan berpikir reflektif. Perhitungan
selengkapnya terdapat pada Lampiran C.1.
77
Tabel 3.11 Validitas Instrumen Tes Kemampuan Berpikir Reflektif
Nomor Soal rxy Keterangan
1 0,880 Valid
2 0,900 Valid
3 0,910 Valid
4 0,920 Valid
b. Reliabilitas
Instrumen yang reliabel adalah instrumen yang bila digunakan beberapa kali untuk
mengukur objek yang sama akan menghasilkan data yang sama. Bentuk soal tes
yang digunakan pada penelitian ini adalah soal tes tipe uraian. Menurut Arikunto
(2011: 109) untuk mencari koefisien reliabilitas (r11) soal tipe uraian menggunakan
rumus Alpha yang dirumuskan sebagai berikut.
r11 = (𝑛
𝑛−1) (1 −
∑ 𝜎𝑖2
𝜎𝑖2 )
Keterangan:
r 11 = Koefisien reliabilitas alat evaluasi
𝑛 = Banyaknya butir soal
∑ 𝜎𝑖2= Jumlah varians skor tiap soal
𝜎𝑖2 = Varians skor total
Sudijono (2008: 209) berpendapat bahwa suatu tes dikatakan baik apabila memiliki
nilai reliabilitas ≥ 0,70. Kriteria yang akan digunakan adalah memiliki nilai
reliabilitas ≥ 0,70. Berdasarkan hasil perhitungan uji coba instrumen kemampuan
berpikir reflektif, diperoleh nilai koefisien reliabilitas sebesar 0,92. Hal ini
menunjukkan bahwa instrumen yang diujicobakan memiliki reliabilitas yang tinggi
sehingga instrumen tes ini dapat digunakan untuk mengukur kemampuan berpikir
78
reflektif siswa. Hasil perhitungan reliabilitas uji coba instrumen dapat dilihat pada
Lampiran C.2.
c. Tingkat Kesukaran
Tingkat kesukaran digunakan untuk menentukan derajat kesukaran suatu butir soal.
Sudijono (2008:372) mengungkapkan untuk menghitung tingkat kesukaran suatu
butir soal digunakan rumus berikut.
TK = JT
IT
Keterangan:
TK = tingkat kesukaran suatu butir soal
JT = jumlah skor yang diperoleh siswa pada butir soal yang diperoleh
IT = jumlah skor maksimum yang dapat diperoleh siswa pada suatu butir soal.
Untuk menginterpretasi tingkat kesukaran suatu butir soal digunakan kriteria indeks
kesukaran menurut Sudijono (2008:372) sebagai berikut.
Tabel 3.12 Interpretasi Nilai Tingkat Kesukaran
Nilai Interpretasi
0,00 ≤ TK ≤ 0,15 Sangat Sukar
0,16 ≤ TK ≤ 0,30 Sukar
0,31 ≤ TK ≤ 0,70 Sedang
0,71 ≤ TK ≤ 0,85 Mudah
0,86 ≤ TK ≤ 1,00 Sangat Mudah
Sudijono (2008: 372)
Kriteria soal yang digunakan dalam penelitian ini adalah soal memiliki nilai tingkat
kesukaran 0,31 ≤ TK ≤ 0,85.Hasil perhitungan tingkat kesukaran uji coba soal
kemampuan berpikir reflektif disajikan pada Tabel 3.13.
79
Tabel 3.13 Tingkat Kesukaran Butir Soal
No. Butir Soal Indeks TK Interpretasi
1 0,820 Mudah
2 0,660 Sedang
3 0,690 Sedang
4 0,630 Sedang
Dengan melihat hasil perhitungan tingkat kesukaran butir soal yang diperoleh,
maka instrumen tes kemampuan berpikir reflektif telah memenuhi kriteria tingkat
kesukaran soal yang sesuai dengan kriteria yang diharapkan. Hasil perhitungan
tingkat kesukaran butir soal dapat dilihat pada Lampiran C.3.
d. Daya Pembeda
Daya beda suatu butir tes adalah kemampuan suatu butir untuk membedakan antara
peserta tes yang berkemampuan tinggi dan berkemampuan rendah. Daya beda butir
dapat diketahui dengan melihat besar kecilnya tingkat diskriminasi atau angka yang
menunjukkan besar kecilnya daya beda. Untuk menghitung daya pembeda, terlebih
dahulu diurutkan dari siswa yang memperoleh nilai tertinggi sampai siswa yang
memeperoleh nial terendah. Kemudian diambil 27% siswa yang memperoleh nilai
tertinggi (disebut kelompok atas) dan 27% siswa yang memperoleh nilai terendah
(disebut kelompok bawah).
Sudijono (2008:120) mengungkapkan menghitung daya pembeda ditentukan
dengan rumus:
DP =JA − JB
IA
Keterangan :
DP = indeks daya pembeda satu butir soal tertentu
JA = jumlah skor kelompok atas pada butir soal yang diolah
80
JB = jumlah skor kelompok bawah pada butir soal yang diolah
IA = jumlah skor ideal kelompok (atas/bawah)
Hasil perhitungan daya pembeda diinterpretasi berdasarkan klasifikasi yang tertera
dalam Tabel 3.14.
Tabel 3.14 Interpretasi Nilai Daya Pembeda
Daya Pembeda Kriteria
-1,00 ≤ DP ≤ 0,00
Sangat Buruk
0,00 < DP ≤ 0,20 Buruk
0,20 < DP ≤ 0,40 Agak baik, perlu revisi
0,40 < DP ≤ 0,70 Baik
0,70 < DP ≤ 1,00 Sangat Baik
Sudijono (2008:121)
Kriteria soal tes yang digunakan dalam penelitian ini memiliki interpretasi baik,
yaitu memiliki nilai daya pembeda ≥ 0,30. Hasil perhitungan daya pembeda butir
soal yang telah diujicobakan disajikan pada Tabel 3.15.
Tabel 3.15 Daya Pembeda Butir Soal
No. Butir Soal Nilai DP Interpretasi
1 0,410 Baik
2 0,580 Baik
3 0,430 Baik
4 0,540 Baik
Dengan melihat hasil perhitungan daya pembeda butir soal yang diperoleh, maka
instrumen tes yang sudah diujicobakan telah memenuhi kriteria daya pembeda soal
yang sesuai dengan kriteria yang diharapkan. Hasil perhitungan daya pembeda butir
soal dapat dilihat pada Lampiran C.4.
81
E. Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh dari penelitian ini dianalisis kemudian digunakan untuk
merevisi discovery learning yang dikembangkan sehingga diperoleh discovery
learning yang layak sesuai dengan kriteria yang ditentukan yaitu valid, praktis dan
efektif.
1. Analisis Data Pendahuluan
Data studi pendahuluan berupa hasil observasi dan wawancara dianalisis secara
deskriptif sebagai latar belakang diperlukannya pengembangan discovery learning
berorientasi pada kemampuan berpikir reflektif dan self-efficacy siswa.
2. Analisis Data Angket Validasi
Data yang diperoleh saat validasi discovery learning adalah hasil penilaian
validator terhadap pengembangan discovery learning melalui skala kelayakan.
Analisis yang digunakan berupa deskriptif kuantitatif dan kualitatif. Data kualitatif
berupa komentar dan saran dari validator dideskripsikan secara kualitatif sebagai
acuan untuk memperbaiki pengembangan discovery learning. Data kuantitatif
berupa skor penilaian untuk silabus, RPP divalidasi oleh ahli materi. Data
kuantitatif berupa skor penilaian untuk LKPD divalidasi oleh ahli materi dan ahli
media. Data dideskripsikan secara kuantitatif menggunakan skala likert dengan 4
skala kemudian dijelaskan secara kualitatif. Skala yang digunakan dalam penelitian
pengembangan ini adalah 4 skala, yaitu:
4) Skor 1 adalah kurang baik.
5) Skor 2 adalah cukup baik.
6) Skor 3 adalah baik.
82
7) Skor 4 adalah sangat baik.
Berdasarkan data angket validasi yang diperoleh, rumus yang digunakan untuk
menghitung hasil angket dari validator adalah sebagai berikut.
𝑃 = ∑ 𝑋
∑ 𝑋𝑖× 100%
Keterangan :
P : Presentase yang dicari
∑ 𝑋 : Jumlah nilai jawaban responden ∑ 𝑋𝑖 : Jumlah nilai ideal atau jawaban tertinggi
Tabel 3.16 Interval Nilai Tiap Kategori Penilaian
Persentase (%) Kriteria Validasi
76-100 Valid
56-75 Cukup Valid
40-55 Kurang Valid
0-39 Tidak Valid
Arikunto (2016)
Berdasarkan data angket validasi yang diperoleh, kategori penilaian dan interval
nilai untuk menghitung hasil angket dari siswa berupa angket pengembangan model
dan angket LKPD ditunjukkan pada Tabel 3.17.
Tabel 3.17 Kriteria Kepraktisan Analisis Rata-Rata
Nilai Tingkat Kepraktisan
85-100 Sangat Praktis
70-84 Praktis
55-69 Cukup Praktis
50-54 Kurang Praktis 0-49 Tidak Praktis
Arikunto (2009)
Rumus yang digunakan untuk menghitung hasil angket dari sswa adalah sebagai
berikut.
83
𝑃 = ∑ 𝑋
∑ 𝑋𝑖× 100
Keterangan :
P : Nilai yang dicari
∑ 𝑋 : Jumlah nilai jawaban responden ∑ 𝑋𝑖 : Jumlah nilai ideal atau jawaban tertinggi
3. Analisis Efektivitas Pembelajaran Menggunakan Pengembangan Discovery
Learning
a. Analisis Data Kemampuan Berpikir Reflektif
Pengambilan data dalam penelitian ini dilakukan dengan memberikan tes
kemampuan berpikir reflektif sebelum dan setelah pembelajaran (pretest dan
posttest) pada kelas kontrol dan eksperimen. Pengolahan dan analisis data
kemampuan berpikir reflektif dilakukan dengan menggunakan uji statistik terhadap
peningkatan kemampuan berpikir reflektif siswa (indeks gain) dari kelas
eksperimen dan kelas kontrol dengan bantuan software SPPS versi 20.0. Adapun
langkah-langkahnya sebagai berikut.
1. Uji Normalitas
Uji normalitas dilakukan untuk menentukan apakah data yang didapat berasal dari
populasi yang berdistribusi normal atau tidak. Uji ini menggunakan uji
Kolmogorov-Smirnov Z. Adapun hipotesis uji adalah sebagai berikut.
Ho : data berasal dari populasi yang berdistribusi normal
H1 : data tidak berasal dari populasi yang berdistribusi normal
Dalam penelitian ini uji normalitas dilakukan dengan uji Kolmogorov-Smirnov Z
(K-S Z) menggunakan software SPPS versi 20.0 dengan kriteria pengujian yaitu
jika nilai probabilitas (sig) dari Z lebih besar dari 𝛼 = 0,05, maka hipotesis nol
84
diterima (Trihendradi, 2005: 113). Setelah dilakukan pengujian normalitas pada
skor awal (skor pretest) kemampuan berpikir kreatif matematis didapat hasil yang
disajikan pada Tabel 3.18.
Tabel 3.18 Uji Normalitas Skor Awal Kemampuan Berpikir Reflektif
Kelompok Penelitian Banyaknya Siswa Probabilitas (Sig)
Eksperimen 35 0,200
Kontrol 35 0,200
Berdasarkan output SPSS hasil signifikan yang dibaca pada kolmogorov smirnov,
signifikan untuk data kemampuan awal berpikir reflektif siswa kelas eksperimen
dan kelas kontrol mempunyai nilai sig 0,20. Dengan demikian, nilai signifikansi
data kemampuan awal berpikir reflektif siswa kelas VIII.10 (Eksperimen) dan kelas
VIII.6 (Kontrol) lebih dari 0,05 artinya terima H0. Kesimpulannya, hasil yang
diambil dari data kemampuan awal berpikir reflektif siswa kelas VIII.10
(Eksperimen) dan kelas VIII.6 (Kontrol) berasal dari populasi yang berdistribusi
normal. Perhitungan uji normalitas data skor awal dapat dilihat pada Lampiran C.9
. Uji normalitas juga dilakukan terhadap data posttest kemampuan berpikir reflektif,
setelah dilakukan perhitungan didapatkan hasil yang disajikan pada Tabel 3.19.
Tabel 3.19 Uji Normalitas Skor Akhir Kemampuan Berpikir Reflektif
Kelompok Penelitian Banyaknya Siswa Probabilitas (Sig)
Eksperimen 35 0,200
Kontrol 35 0,084
Pada Tabel 3.19 terlihat bahwa probabilitas (Sig) data kemampuan akhir berpikir
reflektif siswa kelas eksperimen mempunyai nilai sig 0,200 dan kelas kontrol
mempunyai nilai sig 0,084. Dengan demikian, nilai signifikansi data kemampuan
akhir berpikir reflektif siswa kelas VIII.10 (Eksperimen) dan kelas VIII.7 (Kontrol)
85
lebih dari 0,05 artinya terima H0. Kesimpulannya, hasil yang diambil dari data
kemampuan akhir berpikir reflektif siswa kelas VIII.10 (Eksperimen) dan kelas
VIII.6 (Kontrol) berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Perhitungan uji
normalitas data skor akhir dapat dilihat pada Lampiran C.9.
2. Uji Homogenitas
Uji homogenitas variansi dilakukan untuk mengetahui apakah kedua kelompok
data memiliki variansi yang homogen atau tidak (Sugiyono, 2010). Untuk menguji
homogenitas variansi maka dilakukan uji Levene. Adapun hipotesis untuk uji ini
adalah sebagai berikut.
Ho : 𝜎12 = 𝜎2
2 (kedua kelompok populasi memiliki varians yang homogen)
H1 : 𝜎12 ≠ 𝜎2
2 (kedua kelompok populasi memiliki varians yang tidak homogen)
Dalam penelitian ini, uji homogenitas menggunakan uji Levene dengan software
SPSS versi 20.0 dengan kriteria pengujian adalah jika nilai probabilitas (Sig.) lebih
besar dari 𝛼 = 0,05, maka hipotesis nol diterima (Trihendradi, 2005: 145).
Berdasarkan hasil uji normalitas pada data skor awal kemampuan berpikir reflektif
diketahui bahwa kedua kelas berasal dari populasi yang berdistribusi normal.
Sehingga selanjutnya dilakukan uji homogenitas terhadap skor awal kemampuan
berpikir reflektif. Setelah dilakukan perhitungan diperoleh hasil uji homogenitas
yang disajikan pada Tabel 3.20.
86
Tabel 3.20 Uji Homogenitas Populasi Skor Awal Kemampuan Berpikir
Reflektif
Kelompok Penelitian Statistik Levene Probabilitas (Sig.)
Eksperimen 1,602 0,210
Kontrol
Pada Tabel 3.20 terlihat bahwa nilai probabilitas (sig) lebih besar dari 0,05 sehingga
hipotesis nol diterima. Jadi dapat disimpulkan bahwa data skor awal (pretest)
kemampuan berpikir reflektif siswa dari kedua kelompok populasi memiliki varians
yang homogen atau sama. Perhitungan uji homogenitas dapat dilihat pada Lampiran
11.
Untuk data skor akhir kemampuan berpikir reflektif, berdasarkan hasil uji
normalitas pada data skor akhir kemampuan berpikir reflektif diketahui bahwa
kedua kelas berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Sehingga selanjutnya
dilakukan uji homogenitas terhadap skor akhir kemampuan berpikir reflektif.
Setelah dilakukan perhitungan diperoleh hasil uji homogenitas yang disajikan pada
Tabel 3.21.
Tabel 3.21 Uji Homogenitas Populasi Skor Akhir Kemampuan Berpikir
Reflektif
Kelompok Penelitian Statistik Levene Probabilitas (Sig.)
Eksperimen 0,034 0,052
Kontrol
Pada Tabel 3.21 terlihat bahwa nilai probabilitas (sig) lebih besar dari 0,05 sehingga
hipotesis nol diterima. Jadi dapat disimpulkan bahwa data skor akhir (posttest)
kemampuan berpikir reflektif siswa dari kedua kelompok populasi memiliki varians
yang homogen atau sama. Perhitungan uji homogenitas dapat dilihat pada Lampiran
C.11.
87
3. Uji Hipotesis pretest
Berdasarkan uji normalitas kedua sampel berdistribusi normal maka analisis data
dilakukan dengan menggunakan uji kesamaan dua rata-rata, yaitu uji t dengan
hipotesis uji sebagai berikut.
H0: Tidak ada perbedaan kemampuan awal berpikir reflektif siswa yang
menggunakan pengembangan discovery learning dengan kemampuan awal
berpikir reflektif siswa yang menggunakan discovery learning.
H1: Ada perbedaan kemampuan awal berpikir reflektif siswa yang menggunakan
pengembangan discovery learning dengan kemampuan awal berpikir reflektif
siswa yang menggunakan discovery learning.
Kriteria uji adalah jika nilai probabilitas (Sig.) lebih besar dari 𝛼 = 0,05, maka
hipotesis nol diterima (Trihendradi, 2005: 146).
4. Uji Hipotesis posttest
Berdasarkan uji normalitas kedua sampel berdistribusi normal maka analisis data
dilakukan dengan menggunakan uji kesamaan dua rata-rata, yaitu uji t dengan
hipotesis uji sebagai berikut.
H0: Tidak ada perbedaan peningkatan kemampuan berpikir reflektif siswa yang
menggunakan pengembangan discovery learning dengan kemampuan berpikir
reflektif siswa yang menggunakan discovery learning.
H1: Ada perbedaan peningkatan kemampuan berpikir reflektif siswa yang
menggunakan pengembangan discovery learning dengan kemampuan berpikir
reflektif siswa yang menggunakan discovery learning.
88
Dalam penelitian ini, uji-t menggunakan software SPPS versi 20.0. dengan kriteria
pengujian: jika nilai probabilitas (Sig) lebih besar dari 𝛼 = 0,05, maka hipotesis
nol diterima ( Trihendradi, 2005: 146).
Adapun analisis lanjutan tersebut menurut Ruseffendi (1998: 314) menyatakan
bahwa jika H1 diterima maka cukup melihat data sampel mana yang rata-ratanya
lebih tinggi. Analisis data dengan menggunakan data yang diperoleh dari hasil tes
kemampuan berpikir reflektif siswa sebelum pembelajaran dan setelah
pembelajaran kemudian dianalisis untuk mengetahui besarnya peningkatan
kemampuan berpikir reflektif siswa pada kelas yang menggunakan pengembangan
pembelajaran discovery learning dan siswa yang mengikuti pembelajaran discovery
learning. Menurut Melzer dalam Noer (2010: 105) besarnya peningkatan dihitung
dengan rumus indeks gain, yaitu .
𝑔 =𝑝𝑜𝑠𝑡𝑡𝑒𝑠𝑡 𝑠𝑐𝑜𝑟𝑒 − 𝑝𝑟𝑒𝑡𝑒𝑠𝑡 𝑠𝑐𝑜𝑟𝑒
𝑚𝑎𝑥𝑖𝑚𝑢𝑚 𝑝𝑜𝑠𝑠𝑠𝑖𝑏𝑙𝑒 𝑠𝑐𝑜𝑟𝑒 − 𝑝𝑟𝑒𝑡𝑒𝑠𝑡 𝑠𝑐𝑜𝑟𝑒
Hasil perhitungan gain kemudian diinterpretasikan dengan menggunakan klasi-
fikasi dari Hake ( dalam Noer, 2010: 105) seperti terdapat pada Tabel 3.22.
Tabel 3.22 Kriteria Indeks Gain Kemampuan Berpikir Reflektif
Indeks Gain (g) Kriteria
g > 0,7 Tinggi
0,3 < g ≤ 0,7 Sedang
g ≤ 0,3 Rendah
b. Analisis Data Self-Efficacy
Analisis data self-efficacy dengan menggunakan data yang diperoleh dari hasil
pengisian skala self-efficacy sebelum pembelajaran dan setelah pembelajaran.
89
Pengolahan dan analisis data self-efficacy dilakukan dengan menggunakan uji
statistik terhadap peningkatan self-efficacy siswa (indeks gain) dari kelas
eksperimen dan kelas kontrol dengan bantuan software SPPS versi 20.0. Adapun
langkah-langkahnya sebagai berikut.
1. Uji Normalitas
Uji normalitas dilakukan untuk menentukan apakah data yang didapat berasal dari
populasi yang berdistribusi normal atau tidak. Uji ini menggunakan uji
Kolmogorov-Smirnov Z. Adapun hipotesis uji adalah sebagai berikut.
Ho : data berasal dari populasi yang berdistribusi normal
H1 : data tidak berasal dari populasi yang berdistribusi normal
Dalam penelitian ini uji normalitas dilakukan dengan uji Kolmogorov-Smirnov Z
(K-S Z) menggunakan software SPPS versi 20.0 dengan kriteria pengujian yaitu
jika nilai probabilitas (sig) dari Z lebih besar dari 𝛼 = 0,05, maka hipotesis nol
diterima (Trihendradi, 2005: 113). Setelah dilakukan pengujian normalitas pada
skor awal self-efficacy siswa didapat hasil yang disajikan pada Tabel 3.23.
Tabel 3.23 Uji Normalitas Skor Awal Self-Efficacy
Kelompok Penelitian Banyaknya Siswa Probabilitas (Sig)
Eksperimen 35 0,200
Kontrol 35 0,200
Pada Tabel 3.23 terlihat bahwa probabilitas (Sig) data self-efficacy awal siswa kelas
eksperimen mempunyai nilai sig 0,200 dan kelas kontrol mempunyai nilai sig
0,200. Dengan demikian, nilai signifikansi data kemampuan akhir berpikir reflektif
siswa kelas VIII.10 (Eksperimen) dan kelas VIII.6 (Kontrol) lebih dari 0,05 artinya
terima H0. Kesimpulannya, hasil yang diambil dari data kemampuan akhir berpikir
90
reflektif siswa kelas VIII.10 (Eksperimen) dan kelas VIII.6 (Kontrol) berasal dari
populasi yang berdistribusi normal. Perhitungan uji normalitas data skor awal dapat
dilihat pada Lampiran C.10 .
Setelah dilakukan pengujian normalitas pada skor akhir self-efficacy siswa didapat
hasil yang disajikan pada Tabel 3.24.
Tabel 3.24 Uji Normalitas Skor Akhir Self-Efficacy
Kelompok Penelitian Banyaknya Siswa Probabilitas (Sig)
Eksperimen 35 0,017
Kontrol 35 0,008
Pada Tabel 3.24 terlihat bahwa probabilitas (Sig) data skor akhir self-efficacy siswa
kelas eksperimen kelas kontrol mempunyai nilai sig kurang dari 0,05, sehingga
untuk data skor akhir self-efficacy siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol tidak
berdistribusi normal. Dengan demikian, data skor akhir self-efficacy siswa tidak
dilakukan uji homogenitas karena salah satu data sampel berasal dari populasi yang
tidak berdistribusi normal.
2. Uji Homogenitas
Uji homogenitas variansi dilakukan untuk mengetahui apakah kedua kelompok
data memiliki variansi yang homogen atau tidak (Sugiyono, 2010). Untuk menguji
homogenitas variansi maka dilakukan uji Levene. Adapun hipotesis untuk uji ini
adalah sebagai berikut.
Ho : 𝜎12 = 𝜎2
2 (kedua kelompok populasi memiliki varians yang homogen)
H1 : 𝜎12 ≠ 𝜎2
2 (kedua kelompok populasi memiliki varians yang tidak homogen)
91
Dalam penelitian ini, uji homogenitas menggunakan uji Levene dengan software
SPSS versi 20.0 dengan kriteria pengujian adalah jika nilai probabilitas (Sig.) lebih
besar dari 𝛼 = 0,05, maka hipotesis nol diterima (Trihendradi, 2005: 145).
Berdasarkan uji normalitas pada skor awal self-efficacy awal siswa kelas
eksperimen dan kelas kontrol berdistribusi normal, kemudian dilakukan uji
homogenitas kedua kelas tersebut dengan hasil yang disajikan pada Tabel 3.25.
Tabel 3.25 Uji Homogenitas Populasi Skor Awal Self-Efficacy
Kelompok Penelitian Statistik Levene Probabilitas (Sig.)
Eksperimen 0,424 0,517
Kontrol
Pada Tabel 3.25 terlihat bahwa nilai probabilitas (sig) lebih besar dari 0,05 sehingga
hipotesis nol diterima. Jadi dapat disimpulkan bahwa data skor awal (pretest) self-
efficacy siswa dari kedua kelompok populasi memiliki varians yang homogen atau
sama. Perhitungan uji homogenitas dapat dilihat pada Lampiran C12. . Sedangkan
untuk data skor akhir self-efficacy siswa tidak dilakukan uji homogenitas karena
salah satu data sampel berasal dari populasi yang berdistribusi tidak normal.
3. Uji Hipotesis untuk data pretest
Berdasarkan uji normalitas dan homogenitas kedua sampel berdistribusi normal
maka analisis data dilakukan dengan menggunakan uji kesamaan dua rata-rata,
yaitu uji t dengan hipotesis uji sebagai berikut.
H0: Tidak ada perbedaan self-efficacy awal siswa yang menggunakan
pengembangan discovery learning dengan self-efficacy siswa yang
menggunakan discovery learning.
92
H1: Ada perbedaan self-efficacy awal siswa yang menggunakan pengembangan
discovery learning dengan self-efficacy siswa yang menggunakan discovery
learning.
Dalam penelitian ini, uji-t menggunakan software SPPS versi 20.0. dengan kriteria
pengujian: jika nilai probabilitas (Sig) lebih besar dari 𝛼 = 0,05, maka hipotesis
nol diterima ( Trihendradi, 2005: 146).
4. Uji Hipotesis untuk data posttest
Berdasarkan uji normalitas kedua sampel tidak berdistribusi normal maka analisis
data dilakukan dengan uji Mann-Whitney U dengan hipotesis uji sebagai berikut.
H0: Tidak ada perbedaan peningkatan self-efficacy siswa yang menggunakan
pengembangan discovery learning dengan self-efficacy siswa yang
menggunakan discovery learning.
H1: Ada perbedaan peningkatan self-efficacy siswa yang menggunakan
pengembangan discovery learning dengan self-efficacy siswa yang
menggunakan discovery learning.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan SPSS versi 20.0. untuk melakukan uji
Mann-Whitney U dengan kriteria uji adalah jika nilai probabilitas (Sig.) lebih besar
dari 𝛼 = 0,05, maka hipotesis nol diterima (Trihendradi, 2005: 146).
Jika hipotesis nol ditolak maka perlu dianalisis lanjutan untuk mengetahui apakah
peningkatan self-efficacy siswa yang menggunakan pengembangan discovery
learning lebih tinggi daripada peningkatan self-efficacy siswa yang menggunakan
discovery learning. Adapun analisis lanjutan tersebut menurut Ruseffendi (1998:
93
314) menyatakan bahwa jika H1 diterima maka cukup melihat data sampel mana
yang rata-ratanya lebih tinggi.
Analisis data self-efficacy dengan menggunakan data yang diperoleh dari hasil
pengisian skala self-efficacy sebelum pembelajaran dan setelah pembelajaran
kemudian dianalisis untuk mengetahui besarnya peningkatan self-efficacy siswa
pada kelas yang menggunakan pengembangan pembelajaran discovery learning
dan siswa yang mengikuti pembelajaran discovery learning. Menurut Melzer dalam
Noer (2010: 105) besarnya peningkatan dihitung dengan rumus indeks gain, yaitu .
𝑔 =𝑝𝑜𝑠𝑡𝑡𝑒𝑠𝑡 𝑠𝑐𝑜𝑟𝑒 − 𝑝𝑟𝑒𝑡𝑒𝑠𝑡 𝑠𝑐𝑜𝑟𝑒
𝑚𝑎𝑥𝑖𝑚𝑢𝑚 𝑝𝑜𝑠𝑠𝑠𝑖𝑏𝑙𝑒 𝑠𝑐𝑜𝑟𝑒 − 𝑝𝑟𝑒𝑡𝑒𝑠𝑡 𝑠𝑐𝑜𝑟𝑒
Hasil perhitungan gain kemudian diinterpretasikan dengan menggunakan klasi-
fikasi dari Hake ( dalam Noer, 2010: 105) seperti terdapat pada Tabel 3.26.
Tabel 3.26 Kriteria Indeks Gain self-efficacy
Indeks Gain (g) Kriteria
g > 0,7 Tinggi
0,3 < g ≤ 0,7 Sedang
g ≤ 0,3 Rendah
V. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, diperoleh kesimpulan sebagai
berikut.
1. Pengembangan discovery learning berorientasi pada kemampuan berpikir
reflektif dan self-efficacy siswa dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan
berpikir reflektif dan self-efficacy siswa diawali dari studi pendahuluan
menggunakan pedoman wawancara dan observasi terhadap guru dan siswa.
Berdasarkan hasil studi pendahuluan, didapatkan bahwa terdapat beberapa
masalah yang dihadapi siswa, yaitu : (1) siswa masih kesulitan dalam
mengidentifikasi masalah kontekstual (kehidupan sehari-hari) ke dalam bentuk
model matematika; (2) siswa kesulitan dalam menentukan strategi yang digunakan
dalam menjawab soal matematika; (3) Siswa kesulitan dalam memberikan alasan
2. Berdasarkan hasil validasi oleh ahli pengembangan pembelajaran, ahli materi
dan ahli media, menunjukkan bahwa pengembangan discovery learning yang
dikembangkan telah layak digunakan dan termasuk dalam kategori baik dan
sangat baik dan dapat digunakan pada uji lapangan setelah dilakukan revisi
berdasarkan
143
saran dan masukan dari para ahli. Hasil uji coba lapangan awal menunjukkan
bahwa pengembangan discovery learning yang dikembangkan termasuk dalam
kategori baik. Selain itu, hasil angket respon siswa juga menunjukkan bahwa
siswa merasa tertarik dan mendapatkan manfaat dari pengembangan discovery
learning tersebut.
3. Hasil akhir dari penelitian adalah pengembangan discovery learning
berorientasi pada kemampuan berpikir reflektif dan self-efficacy siswa efektif
untuk meningkatkan kemampuan berpikir reflektif dan self-efficacy siswa pada
materi pokok bangun ruang sisi datar kelas VIII SMP.
B. Saran
Berdasarkan hasil kesimpulan dan penelitian, dikemukakan saran-saran sebagai
berikut:
1. Guru dapat menggunakan pengembangan discovery learning sebagai alternatif
untuk meningkatkan kemampuan berpikir reflektif dan self-efficacy siswa pada
materi pokok bangun ruang sisi datar kelas VIII SMP.
2. Pembaca dan peneliti lain yang ingin mengembangkan penelitian lanjutan
mengenai pengembangan discovery learning hendaknya melakukan
pengembangan untuk kemampuan lainnya yang harus dimiliki siswa dalam
pembelajaran matematika.
144
DAFTAR PUSTAKA
Abell, Sandra. K, Lynn A.Bryan, Maria A. Anderson. 1997. Investigating
Preservice Elementary Science Teacher Reflective Thinking Using Integrated
Media Case-Based Instruction in Elementary Science Teacher Preparation.
Science teacher education.
Alfieri, Louis, Patricia J. Brooks, and Naomi J. Aldrich, Harriet R. Tenenbaum.
2011. Does Discovery-Based Instruction Enhance Learning? Journal of
Educational Psychology © 2010 American Psychological Association 2011,
Vol. 103, No. 1, 1–18.
Archambault, J. 2008. “The Effect of Developing Kinematics Concepts
GraphicallyPrior to Introducing Algebraic Problem Solving Techniques”.
Action Research Reguared for the Master of Natural Science Degree with
Concentration in Physics. Arizona State University.
Ayotola, Aremu dan Tella Adedeji. 2009. The relationship between mathematics
self-efficacy and achievement in mathematics. Procedia Social and
Behavioral Sciences 1 (2009) 953–957.
Arikunto, Suharsimi. 2009. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:
Rineka Cipta.
_________________. 2016. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.
Jakarta: Rineka Cipta.
Asri, Eka Yulia. 2016. Pengembangan Model Pembelajaran Penemuan Terbimbing
untuk Meningkatkan Kemampuan berpikir Kritis Matematis dan Self-
efficacy siswa. S2 Thesis Universitas Lampung.
Baharudin dan Wahyuni Esa Nur. 2010.Teori belajar dan Pembelajaran,
Jogjakarta: AR-Ruzz Media.
Bandura, Albert. 2002. Self efficacy: The Exercise of Control. New York : W. H.
Freeman & Company.
Baron, R. A., & Byrne, D. 2000. Social psychology (9th edition). Massachusetts:
Allyn & Bacon.
145
Behjat, Saeed and Mohammmed S. Chowdhury. 2012. Emotional Intelligence,
Self-efficacy and DiversityReceptiveness of University Students: A
Correlation Study. International Journal of Academic Research in Business
and Social SciencesApril 2012, Vol. 2, No. 4ISSN: 2222-6990.
Bengtsson, Jan. 1995. What is Reflection? On reflection in the teaching profession
and teacher education. Teachers and Teaching: theory and practice, Vol. 1,
No. 1.
Biongan, Aida Amasol. 2015. Reflective Thinking Skills of Teachers and Students’
Motivational Preferences: The Mediating Role of Teachers’ Creativity on
Their Relationship. International Journal of Novel Research in Education
and Learning. Vol. 2, Issue 5, pp: (13-25). Available at:
www.noveltyjournals.com.
Branch, R.M. (2009). Instructional Design: the ADDIE Approach. New York:
Springer Science.
Budiyono. 2009. Statistik Untuk Penelitian. Surakarta, Sebelas Maret University :
Pers, Surakarta.
Calderhead, James. 1989. REFLECTIVE TEACHING AND TEACHER
EDUCATION. Teschrn~ & Teacher Educmon. Vol. 5. No I,pp.4S51.
De Jong, T. & van Joolingen, W.R. (1998) Scientific discovery learning with
computer simulations of conceptual domains. Review of Educational
Research, 68, 2, 179–201.
Dewey, J. (1997). Democracy and education. New York: Simon and Schuster.
(Original work published 1916).
Gagatsis, A. dan T. Patronis. 1990. Using Geometrical Models of Reflective
Thinking in Learning and Teaching Mathematics. Educational Studies in
Mathematics 21: 29-54. Kluwer Academic Publishers. Printed in the
Netherlands.
Gall, M.D, Gall, J.I.P, dan Borg, W.R. 2003. Educational Research, An
Introduction (edisi 7). Boston: Pearson.
Hamdani. 2011. Strategi Belajar Mengajar. Bandung: Pustaka Setia. 20-185 hlm.
Hamidah. 2004. Pengaruh self efficacy Terhadap kemampuan komunikasi
matematik. STKIP Siliwangi. Bandung.
Hamzah, 2008. “Pembelajaran Matematika Menurut Teori Belajar
Konstruktivisme”. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan.
146
Ismanuza, D. 2013. Pengembangan Instrumen Kemampuan Berpikir Kritis
Matematis untuk Siswa SMP. Prosiding Seminar Nasional Sains dan
Matematika Jurusan Pendidikan MIPA FKIP UNTAD. Palu. 375 hlm.
Katz Sara, dan Moshe Stupel. 2015. REFLECTION ON SELF-EFFICACY
TRAINING AND SKILL TRAINING TO FOSTER STUDENT
PERFORMANCE IN GEOMETRY: A CASE STUDY. Far East Journal of
Mathematical Education © 2015 Pushpa Publishing House, Allahabad, India
http://dx.doi.org/10.17654/FJMEMay2015_103_135 Volume 14, Number 2,
2015, Pages 103-135.
Kember, David. 2010. Determining the level of reflective thinking from students'
written journals using a coding scheme based on the work of Mezirow.
International Journal of Lifelong Education, 18:1, 18-30.
Korthagen, Fred A. 1993. Two Modes of Reflection. Teacher & Teacher
Education, Vol. 9. No. 3, pp. 317.326, 1993.
Kurniasih, Imas dan Berlin Sani. 2014. Implementasi Kurikulum 2013. Konsep dan
Penerapan. Surabaya: Kata Pena.
Lee, Hea-Jin. 2005. Understanding and assessing preservice teachers’ reflective
thinking. Elsevier Teaching and Teacher Education 21.
www.elsevier.com/locate/tate.
Lepper, M., Woolverton, M., Mumme, D., Gurtner, J.1993: Motivational
techniques of expert human tutors: lessons for the design of computer-based
tutors. In: Lajoie, S., Derry, S. (eds.) Computers as Cognitive Tools, pp. 75–
105. Erlbaum, Hillsdale, NJ.
Luszczynska, Aleksandra dan Benicio Gutie´rrez-Don. 2005. General self-efficacy
in various domains of human functioning: Evidence from five countries..
General self-efficacy in various domains of human functioning: Evidence
from five countries. International Journal of Psychology, 2005, 40 (2), 80–
89.
Mahasneh, Ahmad M.. 2013. The relationship between Reflective Thinking and
Learning Styles among Sample of Jordanian University Students. Journal of
Education and Practice www.iiste.org ISSN 2222-1735 (Paper) ISSN 2222-
288X (Online)Vol.4, No.21, 2013.
McQuiggan, Scott W, Bradford W. Mott, James C. Laster. 2008. Modeling self-
efficacy in intelligent tutoring systems: An inductive approach. Springer
Science+Business Media B.V.User Model User-Adap Inter (2008) 18:81–123
DOI 10.1007/s11257-007-9040-y.
147
Meral, et al. 2012. The relationship between self-efficacy and academic
performance. Procedia - Social and Behavioral Sciences 46 ( 2012 ) 1143 –
1146. Available online at www.sciencedirect.com.
Mendikbud. 2014. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 58
Tahun 2014 tentang Kurikulum SMP.
Mendikbud. 2016. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 22
Tahun 2016 tentang Standar Proses.
Mewborn, Denise S. 1999. Reflective Thinking Among Preservice Elementary
Mathematics Teachers. Journal for Research in Mathematics Education Vol.
30, No. 3, 316-341.
Nicolaidou, M. and Philippou, G. 2003. Attitudes towards mathematics, self-
efficacy and achievement in problem solving. European Research in
Mathematics Education III, M. A. Mariotti, Ed., pp. 1–11, University of Pisa,
Pisa, Italy.
Nindiasari, Hepsi. 2011. Pengembangan Bahan Ajar dan Instrumen untuk
Meningkatkan Berpikir Reflektif Matematis Berbasis Pendekatan
Metakognitif pada Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA). Seminar Nasional
Matematika dan Pendidikan Matematika dengan tema ”Matematika dan
Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran” pada tanggal 3 Desember 2011
di Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY.
Noer, Sri Hastuti. 2010.Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis, Kreatif, dan
Reflektif (K2R) Matematis Siswa SMP Melalui Pembelajaran Berbasis
Masalah. S3 thesis, Universitas Pendidikan Indonesia.
______________, 2012. Self Efficacy Mahasiswa Terhadap Matematika.
Prosiding. FMIPA UNY. Yogyakarta.
OECD.2016.(Online),https://nces.ed.govsurveys/pisa/pisa2015/pisa2015highlight
s_5asp
Pajares, Frank, Shari L. Britner, and Giovanni Valiante. 2000. Relation between
Achievement Goals and Self-Beliefs ofMiddle School Students in Writing
and Science. Contemporary Educational Psychology 25, 406–422 (2000)
doi:10.1006/ceps.1999.1027, available online at http://www.idealibrary.com
on.
Parera, D.J. (1991).Belajar Mengemukakan Pendapat.Jakarta: Erlangga.
Phan, Huy P. 2006. Examination of student learning approaches, reflective
thinking, and epistemological beliefs: A latent variables approach. Electronic
Journal of Research in Educational Psychology, No. 10, Vol 4(3), 2006.
ISSN:1696-2095. pp:577-610.
148
__________. 2008. Predicting change in epistemological beliefs, reflective
thinking and learning styles: A longitudinal study. British Journal of
Educational Psychology, 78,755-93.
Phan, Huy Phuong. 2009. Exploring students’ reflective thinking practice, deep
processing strategies, effort, and achievement goal orientations. International
Journal of Experimental Educational Psychology, 29:3, 297-313, DOI:
10.1080/01443410902877988.
Reid, D.J., J. Zhang & Q. Chen. 2003. Supporting scientific discovery learning in a
simulation environment. Journal of Computer Assisted Learning (2003) 19,
9-20.
Ruseffendi. 1998. Statistika Dasar untuk Penelitian Pendidikan. Bandung: IKIP
Bandung Press.
Roestiyah. 2012. Strategi Belajar Mengajar. Rineka Cipta Cet ke. 8. Jakarta. 20-21
hlm.
Saab, Nadira, Wouter R Van Joolingen, Bernadette H.A.M. Van Hout-
Wolters.2007. Supporting Communication in a Collaborative Discovery
Learning Environment: the Effect of Instruction. Instructional Science (2007)
35:73–98 DOI 10.1007/s11251-006-9003-4.
Santrock, John.W. 2011. Educational Psychology, 5th Edition. University of Texas
at Dallas.
Schön, Donald A. 1992. The Theory of Inquiry: Dewey's Legacy to Education,
Curriculum Inquiry, 22:2, 119-139. The Ontario Institute for Studies in
Education.
Setyati Puji Wulandari1,a), Budiyono1, Isnandar Slamet. 2016. The Development
of Learning Module with Discovery Learning Approach in Material of Limit
Algebra
Functions. International Conference on Mathematics, Science, and
Education 2016 (ICMSE 2016).
Soleymani Bahare , Ghasem Rekabdar. 2016. Relation between Math Self-Efficacy
and Mathematics Achievement with Control of Math Attitude. Applied
Mathematics 2016, 6(1): 16-19. Published online at
http://journal.sapub.org/am.
Sudijono, Anis. 2008. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Sudjana. 2005. Metode Statistika. Bandung: Tarsito.
Sugiyono. 2010. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.
149
________. 2012. Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods). Bandung:
Alfabeta.
Sumarmo, Utari. 2006. Kemandirian Belajar: Apa, Mengapa dan Bagaimana
Dikembangkan pada Peserta Didik. Makalah. (Tidak diterbitkan).
Suparno, Paul. 2000. Filsafat Kontruktivisme Dalam Pendidikan. Yogyakarta:
Kanisius. 70 hlm.
Supriyono, Koes H. 2003. Strategi Pembelajaran Fisika. Malang : Jurusan Fisika
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri
Malang.
Suryanto, Adi, 2011, Evaluasi Pembelajaran di SD, Jakarta: Universitas Terbuka,
Edisi 1, Cetakan Ke-8.
Suryosubroto, B. (2009). Proses Belajar Mengajar di Sekolah. Jakarta: PT Rineka
Cipta.
Syafaruddin dan Irwan Nasution. 2005. Manajemen Pembelajaran. Jakarta:
Quantum Teaching, Cet I.
Syah, Muhibbin. 2005. Psikologi belajar. Jakarta:Raya Grafindo Perkasa.
Tarawneh, Ahmed Abdallah Al-. 2015. Reflective Thinking and its Relationship
with Future Problem Solving for Mutah University Students. British Journal
of Humanities and Social Sciences. July 2015, Vol. 13 (2).
Tok, Şükran & Sevda Doğan Dolapçıoğlu. 2013. Reflective teaching practices in
Turkish primary school teachers, Teacher Development: An international
journal of teachers' professional development, 17:2, 265-287, DOI:
10.1080/13664530.2012.753940.
Trianto. 2007. Model-model Pembelajaran Inovatif Beorientasi Konstruktivistik,
Jakarta :Prestasi Pustaka Publisher, 2007.
Trihendradi, Cornelius. 2005. Step by Step SPSS 13.0 Analisis Data Statistik.
Yogyakarta: Andi Offset.
Tuovinen, Juhani E. and John Sweller. 1999. A Comparison of Cognitive Load
Associated With Discovery Learning and Worked Examples. Journal of
Educational Psychology. American Psychological Association.
Ulfah, Maria. 2016. Perbandingan Keefektifan Pembelajaran Matematika Antara
Pembelajaran Penemuan Terbimbing dengan Pembelajaran Menggunakan
Budaya Lokal pada Materi Pokok Geometri Ditinjau dari Prestasi dan
150
Motivasi Belajar Matematika Siswa SMK. S2 Thesis. Universitas Pendidikan
Indonesia.
Victoriana, Evany. 2012. Studi Kasus Mengenai Self-Efficacy Untuk Menguasai
Mata Kuliah Psikodiagnostika Umum pada Mahasiswa Magister Profesi
Psikologi Di Universitas “X”. [Online]. Tersedia:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20422/4/Chapter%20II.pdf.
Vrasidas, C. 2000. Constructivism versus objectivism: Implications for interaction,
course design, and evaluation in distance education. International Journal of
Educational Telecommunications, 6(4), 339-362.
Wade, Rahima C. dan Donald B. Yarbrough.1996. Portofolios a Tool for Reflektif
Thinking :in Teacher Education ? Teaching & TeacherEducation, Vol. 12,
No. 1, pp. 63-79, 1996.
Westwood, P. (2008). What Teachers Need to Know about Teaching
Method.Camberwell: Acer Press. (p.29-30).
Widdiharto, Rachmadi. 2004. Model-Model Pembelajaran Matematika SMP.
Makalah Disampaikan Pada Diklat Instruktur/ Pengembangan Matematika
SMP Jenjang Dasar. Yogyakarta: dinas pendidikan nasional.
Widoyoko, Eko Putro. 2013. Evaluasi Program Pembelajaran. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Widyastuti. 2010. Pengaruh Pembelajaran Model-Eliciting Activities terhadap
Kemampuan Representasi Matematis dan Self-Efficacy. Tesis. Bandung:
UPI. 31 hlm.
Wouter Van Joolingen. 1998. Cognitive tools for discovery learning. International
Journal of Artificial Intelligence in Education (IJAIED) 10, pp.385-397.
Wulandari, Setyati Puji, Budiyono, Isnandar Slamet. 2016. The Development of
Learning Module with Discovery Learning Approach in Material of Limit
Algebra Functions. International Conference on Mathematics, Science, and
Education 2016 (ICMSE 2016).
Yakin, Mustafa dan Oya Erdil. 2012. Relationships Between Self-Efficacy and
Work Engagement and theEffects on Job Satisfaction: A Survey on Certified
Public Accountants. Procedia - Social and Behavioral Sciences 58 ( 2012 )
370 – 378. Available online at www.sciencedirect.com.
Zarch, Kamali Mahmood. 2006. The Role of Mathematics self-efficacy and
Mathematics ability in the structural model of Mathematics performance.
Proceedings of the 9th WSEAS International Conference on Applied
Mathematics, Istanbul, Turkey, May 27-29, 2006 (pp242-249).
151
Zimmerman, Barry J.. 2000. Self-Efficacy: An Essential Motive to Learn.
Contemporary Educational Psychology 25, 82–91, (2000)
doi:10.1006/ceps.1999.1016, available online at http://www.idealibrary.com
on.
Zohar, Anat, Yehudit J.Dori. 2003. Higher Order Thinking Skills and
LowAchieving Students: Are They Mutually Exclusive?. Journal of the
Learning Sciences, 12:2, 145-181, DOI: 10.1207/S15327809JLS1202_.
Zubaidi. 2011. Desain Pendidikan Karakter. Jakarta: Kencana Prenada Media.