pengembangan model hewan autisme pada mencit …
TRANSCRIPT
JSTFI
Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology
Vol.VI, No.2, Juli 2017
29
PENGEMBANGAN MODEL HEWAN AUTISME PADA MENCIT YANG DIINDUKSI
METILMERKURI PADA KONDISI PRENATAL
Tiara Berliani, Andreanus A. Soemardji, Kusnandar Anggadiredja
Sekolah Farmasi, Institut Teknologi Bandung
_____________________________________________________________________________
Abstrak
Hubungan antara paparan merkuri melalui konsumsi ikan dengan autisme saat ini menjadi
perhatian publik, dimana terdapat hipotesis bahwa paparan merkuri saat prenatal berperan
penting dalam etiologi autisme. Merkuri dapat menimbulkan kerusakan dan kematian neuron di
otak dimana kondisi tersebut hampir sama ditemukan pada diagnosa autisme. Penelitian ini
bertujuan untuk mengatahui apakah induksi metilmerkuri pada kondisi prenatal dapat
membentuk model mencit autisme pada anakan mencit (F1). Pembentukan model hewan
autisme dilakukan dengan menginduksi mencit menggunakan dosis oral tunggal metilmerkuri
klorida 4 mg/Kg dan 8mg/Kg, Pemberian dilakukan pada kondsi prenatal pada GD10. Pengaruh
pemberian metilmerkuri diamati melalui pengamatan perilaku yang berkaitan dengan beberapa
gangguan yang terjadi pada kondisi autisme. Parameter uji yang diamati meliputi aktivitas
lokomotor menggunakan Open Field, abnormalitas interaksi sosial menggunakan Three
Chambered Apparatus, perilaku berulang melalui Uji Marble Burying, Self-Grooming dan
Digging serta uji intelegensia (kecerdasan) menggunakan Hebb-William Maze. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pemberian metilmerkuri pada kondisi prenatal dosis oral 4mg/Kg maupun
8mg/Kg berpengaruh terhadap F1 mencit dimana terjadi gangguan perilaku seperti
hiperaktifitias, defisit interaksi sosial, perilaku berulang yang terus-menerus, serta defisit
memori spasial. Pengaruh metilmerkuri terhadap gangguan perilaku berbeda antara jenis
kelamin pada F1 mencit. Induk yang diinduksi metilmerkuri 4mg/Kg gangguan secara umum
dialami oleh F1 betina, sementara induk yang diinduksi metilmerkuri dosis 8mg/Kg
mengakibatkan gangguan perilaku yang secara umum dialami oleh F1 jantan. Pemberian dosis
oral tunggal metilmerkuri 8mg/Kg GD10 berpotensi membentuk model mencit autisme.
Kata kunci: Metilmerkuri, model hewan autisme, prenatal
Abstract
Correlation between mercury exposure through fish consumption with autism increased public
awareness, there is emerging evidence supporting the hypothesis that autism may result from
mercury prenatal exposure. Mercury exposure can cause damage until death of neurons in the
brain where these conditions can be found in autism diagnosis as well. The aims of this study
are to determine whether methyl mercury can form autism mice model. Forming animal model
of utism is by inducing using single oral dose 4mg/Kg and 8mg/Kg of methylmercury chloride.
Methylmercury chloride is given by prenatal condition on GD10. The effect of methyl mercury
was observed by behavioral studies that represent some disorder that occurs on the condition of
autism. Behavioral study including observation of locomotor activity in the Open Field,
abnormality social interactions using Three Chambered Apparatus, repetitive behaviors by
Marble Burying Test, Self-Grooming and Digging and also intelligence using Hebb-William
Maze. Oral inducing prenatal of methyl mercury dose 4mg/Kg or 8mg/Kg affected in F1 mice in
which occurs behavioral disorders such as hyperactivity, social interaction deficits, repetitive
behaviors, as well as spatial memory deficits. The effect of methylmercury on behavioral
disorders differ between the sexes in F1 mice. Mother that induced by methylmercury 4mg/kg
generally caused disorders by F1 females, while mother that induced by methylmercury 8mg/kg
caused behavioral disorder that are commonly by F1 male. Methylmercury single oral dose 8
mg/Kg administration prenataly in mice on GD10 potentially form of autism.
Keywords : Methylmercury, mice model of autism, prenatal.
JSTFI
Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology
Vol.VI, No.2, Juli 2017
30
PENDAHULUAN
Autisme atau Autism Spectrum
Disorder (ASD) merupakan kelompok
gangguan perkembangan pervasif yang
ditandai dengan terjadinya gangguan
komunikasi, interaksi sosial serta terjadinya
pola perilaku berulang. Pasien dengan
autisme mengalami gangguan kepedulian
terhadap sekitar sehingga seperti hidup
dalam dunianya sendiri, selain itu terjadi
pula kelainan emosi, kemauan serta
intelektual (Yatim, 2003). Namun
demikian, terdapat beberapa kasus autisme
dengan tingkat kecerdasan (intelegensia)
yang cukup baik bahkan di atas rata-rata,
meskipun kebanyakan penderita autisme
memang mengalami retardasi mental yang
cukup serius (NIMH, 2014).
CDC (Center for Disease Control)
menyatakan bahwa di Amerika pada tahun
2010, tingkat perbandingan pada anak umur
delapan tahun yang terdiagnosa autisme
adalah 1: 68, sedangkan pada tahun 2013
prevalensi autisme meningkat menjadi 1:50.
Akan tetapi, meskipun prevalensi autisme
terus meningkat, agen terapeutik untuk
memperbaiki gejala-gejala autisme masih
sangat terbatas (Kim et al., 2014).
Disamping itu, penyebab autisme masih
belum diketahui secara pasti. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa faktor
lingkungan memainkan peranan penting
dalam memicu autisme (Altevogt et al.,
2008). Faktor lingkungan yang dapat
memainkan peranan penting dalam memicu
autisme yaitu virus dan logam dimana
diantaranya adalah logam Pb (Chang et al.,
2014) yang berasal dari kendaraan
bermotor, Cd (Curtis et al., 2010) yang
berasal dari batu baterai, serta Hg.
Hg atau merkuri merupakan logam
berat dengan toksisitas akut yang paling
tinggi (Darmono, 1995), bersifat
neurotoksik dengan menginduksi
pembentukan radikal bebas dan stress
oksidatif sehingga dapat menyebabkan
gangguan saraf dan gangguan
perkembangan baik pada manusia maupun
pada hewan (Nascimento et al., 2008). Pada
umumnya paparan merkuri pada manusia
berasal dari tiga sumber utama, yaitu
amalgam, vaksin, serta konsumsi ikan dan
makanan laut yang memiliki kandungan
senyawa metilmerkuri didalamnya
(Clarkson et al., 2003).
Disamping memiliki manfaat gizi, di
sisi lain ikan juga dapat mengakumulasi
logam berat termasuk merkuri dari
lingkungan dan berpotensi meningkatkan
resiko terakumulasinya merkuri pada
manusia apabila dikonsumsi (Ahmed et al.,
2011). Paparan merkuri melalui konsumsi
ikan dan autisme saat ini menjadi perhatian
publik, dimana terdapat hipotesis bahwa
paparan merkuri saat prenatal memainkan
peranan penting dalam etiologi autisme
(Garrecht and Austin, 2011). Hal ini
disebabkan oleh ditemukannya beberapa
kondisi yang hampir sama antara dampak
akibat terpaparnya merkuri dengan kondisi
autisme. Persamaan diantara kedua kondisi
tersebut yaitu sama-sama terjadi disfungsi
JSTFI
Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology
Vol.VI, No.2, Juli 2017
31
imunitas, sensori, sistem saraf, serta
motorik. Selain itu, paparan merkuri dapat
menimbulkan kerusakan dan kematian
neuron di otak dimana kondisi tersebut juga
hampir sama ditemukan pada diagnosa
autisme (Geier et al., 2008). Namun
demikian, salah satu penyebab lambatnya
kemajuan dalam memperoleh pemahaman
mengenai autisme adalah akibat kurangnya
model hewan yang relevan secara klinis
untuk mempelajari potensi penyebab
gangguan autisme (Curtis et al., 2010).
METODOLOGI
Alat
Alat-alat yang digunakan dalam
penelitian ini adalah beaker glass volume
50 dan 100 ml, botol semprot, botol vial,
corong, erlenmeyer, Hebb-Williams Maze,
hot plate stirrer, label, labu ukur 10ml,
masker, mikropipet, neraca analitik, Open
Field Apparatus, pipet ukur 10ml, sonde
oral, stopwatch, dan Three-Chamber
Apparatus.
Bahan
Bahan yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu aquadest, etanol 70%,
metilen biru, metilmerkuri klorida
(CH3ClHg standar analisis, CAS 115-09-3;
Sigma Aldrich), dan NaCl 0,9%.
Hewan Uji
Hewan uji yang digunakan yaitu
mencit dewasa (jantan dan betina) galur
Swiss Webster dengan bobot 20-30 gram
yang diperoleh dari Laboratorium Hewan
Sekolah Farmasi, Institut Teknologi
Bandung (ITB).
Persiapan Hewan Uji
Mencit betina dan mencit jantan fertil
ditempatkan dikandang berbeda serta diberi
makan dan minum ad libitum. Proses
aklimatisasi hewan dilakukan selama 7 hari.
Dilakukan penentuan tahap siklus estrus
terlebih dahulu pada mencit betina dewasa
untuk mengawinkan dan menentukan hari
pertama kehamilan.
Kehamilan pada mencit ditentukan
dengan cara mengamati vagina. Apabila
ditemukan bercak sumbat vagina maka
mencit dinyatakan kawin dan dinyatakan
sebagai hari ke-0 kehamilan (Gestation
Day; GD0) (Taylor, 1986). Namun bila
sumbat vagina tidak ditemukan, maka
dilanjutkan dengan membuat apusan vagina
untuk pembuktian perkawinan. Prosedur
pembuatan apusan vagina sama dengan
prosedur penentuan tahap siklus estrus
mencit. Mencit dinyatakan kawin apabila
pada cairan apusan vagina ditemukan
sperma. Keberadaan spermatozoa dalam
apusan vagina dianggap sebagai hari ke-0
kehamilan (gestational day; GD0) (Gandhi
and Dhull, 2014). Mencit betina hamil
kemudian ditempatkan pada kandang secara
individual pada temperatur kamar. Hari
dimana mencit melahirkan ditentukan
sebagai hari ke-0 kelahiran (postnatal day;
PND0).
Tahap Pengujian
Metilmerkuri klorida diberikan
melalui oral serta dilakukan pada masa
JSTFI
Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology
Vol.VI, No.2, Juli 2017
32
kehamilan (prenatal) yaitu diberikan pada
GD10. Dosis metilmerkuri yang digunakan
adalah dosis oral tunggal 4 mg/Kg bb dan 8
mg/kg bb. Jumlah mencit betina yang telah
dinyatakan hamil dibagi menjadi 3
kelompok, pengelompokan hewan sebagai
berikut :
i. Kelompok kontrol pembawa oral
pada GD10.
ii. Kelompok metilmerkuri 4mg/Kg
dosis tunggal oral pada GD10.
iii. Kelompok metilmerkuri 8mg/Kg
dosis tunggal oral pada GD10.
Tahap Pengamatan
Pengaruh induksi metilmerkuri diamati
pada hasil anakan (F1) mencit baik jantan
maupun betina. Pengamatan dilakukan
melalui uji perilaku yang mewakili
beberapa gangguan yang terjadi pada
kondisi autisme serta dilakukan pada
beberapa periode perkembangan.
Parameter uji yang diamati yaitu meliputi
pengamatan aktivitas lokomotor yang
dilakukan pada PND21, abnormalitas
interaksi sosial yang dilakukan pada
PND23-26, perilaku berulang (repetitive
behaviors) pada PND 28-38, serta uji
intelegensia (kecerdasan) pada PND40
hingga selesai. Skema desain penelitian
ditampilkan pada Gambar 1.
Pengamatan Aktivitas Lokomotor
Pengamatan aktivitas lokomotor
secara umum dilakukan melalui uji pada
arena terbuka (open field test). Uji ini
dilakukan pada periode penyapihan atau
PND21 (Kim et al., 2014). Efek paparan
metilmerkuri terhadap aktivitas lokomotor
dianalisis dengan merekam di arena terbuka
ukuran 40x40x30cm. Hasil rekaman yang
diperoleh kemudian diamati menggunakan
video tracking software SMART® yang
diproduksi oleh PANLAB. Parameter uji
yang diamati adalah jarak yang ditempuh
(cm) oleh mencit selama 15 menit (Moy et
al., 2006b).
Pengamatan Abnormalitas Interaksi
Sosial
Abnormalitas interaksi sosial pada mencit
dapat diukur dengan menggunakan uji
interaksi sosial yang dilakukan dengan
menggunakan Three-Chamber Apparatus.
Alat ini merupakan alat yang terdiri dari 3
kandang uji (Moy et al., 2006a; Kim et al.,
2014). Uji sosialisasi dan uji preferensi
sosial diamati pada PND23-26 (Moy et al.,
2006a).
Pengamatan terdiri dari tiga sesi, sesi
pertama yaitu proses habituasi dimana
Gambar 1. Skema Pengujian dam Pengamatan Pembentukan Model mencit Autisme
Metilmerkuri 4mg/Kg,
Metilmerkuri 8mg/Kg
PND21 PND 23-26 PND 28-38
GD10 Open Field
Test Three Chambered
Social Test MarbleBurying,
Grooming, Digging
H-W Maze
PND40
0
JSTFI
Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology
Vol.VI, No.2, Juli 2017
33
hewan uji diperkenalkan pada
kompartemen tengah, kemudian dibiasakan
selama 5 menit. sesi kedua yaitu uji
sosialisasi dilakukan selama 10 menit..
Hewan stimulus asing (jenis kelamin dan
ukuran sama namun tidak ada kontak
sebelumnya dengan hewan uji) dari strain
yang sama diperkenalkan di dalam kandang
kawat di bagian kiri atau kanan
kompartemen (zona asing 1) secara acak
sementara kandang kawat lainnya dbiarkan
kosong (zona kosong). Waktu yang
dihabiskan di zona asing 1 dan sekitar
kandang diukur terhadap waktu yang
dihabiskan di zona kosong.
Tahap terakhir yaitu uji preferensi
kebaruan sosial selama 10 menit secara
langsung setelah berakhirnya uji sosialisasi.
Hewan asing baru diperkenalkan di
kandang kawat dari kompartemen yang
berlawanan (zona asing 2). Waktu yang
dihabiskan di zona asing baru dan sekitar
kandang diukur terhadap waktu yang
dihabiskan di zona familiar. Indeks
Sosialisasi (SI) dan Indeks Preferensi Sosial
(SPI) dihitung dengan menggunakan
rumus:
(Kim et al
(Kim et al., 2014)
Pengamatan Perilaku Berulang
(Repetitive Behaviors)
Marble Burying
Pengamatan perilaku berulang
melalui uji marble burying dilakukan
menurut penelitian sebelumnya oleh
Thomas et al. (2009) namun dengan sedikit
modifikasi (Kim et al., 2014). Parameter uji
yang digunakan adalah jumlah kelereng
yang dikuburkan (>50% kelereng ditutupi
oleh sekam).
Self-grooming dan Digging
Selain uji marble burying, uji
grooming dan digging juga dapat
mendukung pengamatan perilaku berulang
pada mencit (McFarlane et al., 2008;
Deacon, 2006). Uji dilakukan dengan
sedikit modifikasi (Kim et al., 2014) yaitu
dengan memasukkan mencit ke dalam
kandang yang diisi sekam bersih dan
dibiasakan selama 10 menit, selanjutnya
waktu akumulatif kedua aktivitas tersebut
diamati secara bersamaan pada 10 menit
selanjutnya. Grooming yang dicatat adalah
grooming yang dilakukan pada semua
bagian tubuh (Silverman et al., 2010a).
Pengamatan Intelegensia (Kecerdasan)
Pengamatan intelegensia pada mencit
menggunakan Hebb-Williams Maze (H-W
Maze) dengan sedikit modifikasi (MacLeod
et al., 2010). Percobaan dilakukan dalam
tiga tahap yaitu habituasi, akuisisi dan
pengujian. Pada fase habituasi, dinding
pembatas H-W maze dikeluarkan, masing-
masing mecit diibiarkan menjelajahi labirin
termasuk area start dan finish selama 20
menit/hari untuk 2 hari berturut-turut. Pada
hari kedua diletakan umpan makanan
sebagai hadiah (reward) pada area finish.
Jika hewan tidak menemukan makanan
JSTFI
Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology
Vol.VI, No.2, Juli 2017
34
dalam jangka waktu 20 menit, maka mencit
dipandu dengan lembut ke area finish.
Fase akuisisi dilakukan dengan
melatih mencit di enam labirin latihan.
Konfigurasi dari labirin latihan ditampilkan
pada gambar 2. Setiap mencit mendapat 2
sesi latihan per hari, sesi pertama dimulai
pukul 08.00 dan sesi kedua dimulai pukul
13.00. Setiap sesi terdiri dari lima kali
percobaan menggunakan salah satu (dari
enam labirin latihan) yang dimulai dari
labirin A. Percobaan dianggap selesai
apabila mencit sudah mencapai finish dan
memakan makanan atau mencapai waktu
selama 180 detik. Waktu yang dibutuhkan
mencit untuk dapat menyelesaikan keenam
labirin akuisisi secara berurutan (A-F)
tergantung dari waktu yang dibutuhkan
mencit untuk mencapai kriteria, yaitu
berhasil menyelesaikan 1 sesi (5 kali
percobaan berturut-turut) dalam waktu
kurang dari 30 detik (Gandhi et al., 2014).
Pada tahap pengujian, mencit
diujikan pada labirin uji yang pada
dasarnya terdapat 12 buah labirin (labirin
#1-#12) dan biasanya diujikan dengan
nomor labirin secara berurutan (Pritchett &
Mulder, 2004). Namun pada penelitian ini
labirin yang digunakan hanya 3 bentuk
yaitu labirin #4, #8, dan #9. Labirin yang
digunakan berdasarkan penelitian yang
dilakukan MacLeod et al. (2010) dan
Gandhi et al. (2014), dimana pada ketiga
labirin tersebut secara berturut-turut
menjadi labirin dengan tingkat kesulitan
yang rendah, sedang, hingga tinggi dilihat
dari latensi dan number of error.
Konfigurasi labirin uji ditampilkan pada
Gambar 3.
Uji dilakukan berdasarkan prosedur
yang sama dengan yang digunakan pada
tahap akuisisi. Mencit diujikan pada satu
labirin yang berbeda setiap sesinya. Setiap
sesi terdiri dari lima kali percobaan dimana
labirin digunakan berdasarkan nomor
labirin secara berurutan (yaitu, # 4, # 8, # 9)
hingga ketiga labirin selesai diujikan.
Waktu yang dibutuhkan satu hewan uji
menyelesaikan ketiga labirin yaitu 1,5 hari.
Parameter yang digunakan adalah waktu
tempuh dan jumlah kesalahan (error).
Latensi atau waktu tempuh tercatat mulai
dari penghalang dalam area start diangkat
hingga gigitan pertama makanan oleh
mencit, sedangkan jumlah error tercatat
setiap kali kedua kaki depan mencit
melintasi zona error (pada konfigurasi zona
error digambarkan melalui garis putus-
putus).
(a) (b)
Gambar 2. Konfigurasi Labirin (a) Latihan (b) Uji (Gandhi et al., 2014)
JSTFI
Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology
Vol.VI, No.2, Juli 2017
35
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hg atau merkuri merupakan logam
berat dengan toksisitas akut yang paling
tinggi (Darmono, 1995), bersifat
neurotoksik dengan menginduksi
pembentukan radikal bebas dan stress
oksidatif sehingga dapat menyebabkan
gangguan saraf dan gangguan
perkembangan baik pada manusia maupun
pada hewan (Nascimento et al., 2008).
Melalui beberapa sifat toksik tersebut,
metilmerkuri diduga dapat berpengaruh
terhadap perilaku yang terkait dengan
kondisi autisme, dimana autisme pada
umumnya ditandai dengan terjadinya
gangguan komunikasi, interaksi sosial serta
terjadinya pola perilaku berulang (NIMH,
2014).
Pengaruh Metilmerkuri 4mg/Kg dan
8mg/Kg terhadap Aktifitas Lokomotor
Pada gangguan autisme, manifestasi
utama seringkali disertai dengan sifat-sifat
lainnya, salah satunya adalah hiperaktifitas
(Kim et al., 2016). Semakin besar jarak
yang ditempuh mengindikasikan terjadinya
perilaku hiperaktifitas. Jarak tempuh F1
mencit jantan dan betina dari masing-
masing kelompok dapat dapat dilihat pada
Gambar 3.
Pada gambar 3 dapat dilihat bahwa
jarak tempuh yang dilalui oleh F1 mencit
dari induk yang diinduksi metilmerkuri
4mg/Kg baik pada jantan maupun betina
lebih besar dibandingkan dengan masing-
masing kontrol dan signifikan pada F1
mencit betina (α=0.026). Selanjutnya, tidak
terdapat perbedaan yang nyata (α=0.085)
antara jarak tempuh pada mencit jantan
dengan jarak tempuh pada mencit betina.
Hal berbeda terjadi pada mencit F1
dari induk yang diinduksi metilmerkuri
8mg/Kg. Jika dibandingkan dengan masing-
masing kontrol, jarak tempuh yang dilalui
oleh mencit F1 jantan lebih besar secara
signifikan (α=0.011) dibandingkan dengan
kontrol, sementara pada F1 mencit betina
jarak tempuh yang dilalui lebih kecil
dibandingkan dengan kontrol betina.
Kemudian, jarak tempuh pada F1 mencit
jantan lebih besar secara signifikan
(α=0.010) dibandingkan dengan jarak
tempuh F1 mencit betina.
Pemberian metilmerkuri pada kondisi
Gambar 3. Rata-rata Total Jarak Tempuh (cm) mencit F1 Jantan dan Betina dari Induk yang
diberi Pembawa, Metilmerkuri 4mg/Kg dan Metilmerkuri 8mg/Kg. Keterangan: * : berbeda bermakna dengan kelompok kontrol pembawa (p<0,05)
JSTFI
Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology
Vol.VI, No.2, Juli 2017
36
prenatal menyebabkan perbedaan aktifitas
lokomotor pada F1 tikus jantan dan betina,
dimana terjadi peningkatan aktifitas
lokomotor pada jantan dan penurunan
aktivitas lokomotor pada betina, selain itu
jarak tempuh yang dilalui F1 mencit jantan
lebih tinggi dibandingkan jarak tempuh
yang dilalui F1 mencit betina (Gandhi and
Dhull, 2014; Yoshida et al., 2011).
Perbedaan aktifitas lokomotor akibat
paparan metilmerkuri berhubungan dengan
aktifitas lokomotor yang dimediasi oleh
reseptor dopamin dan hanya terjadi pada
jantan namun tidak terjadi pada betina
(Giménez-Llort et al,. 2001). Aktifitas
lokomotor yang berkatian dengan kondisi
hiperaktif sendiri menurut Fan et al., (2010)
secara spesifik merupakan pengaruh
reseptor dopamin D2.
Pengaruh Metilmerkuri 4mg/Kg dan
8mg/Kg terhadap Interaksi Sosial
Uji Sosialisasi
Uji sosialisasi dapat menggambarkan
kemauan dan motivasi mencit dalam
berinteraksi sosial, khususnya dengan
mencit asing. Waktu tinggal mencit pada
masing-masing kompartemen dan indeks
sosialisai (SI) dapat dilihat pada gambar 5.
Pada gambar 5 dapat dilihat bahwa
pada jantan, kelompok yang secara
signifikan (α=0.028) menghabiskan lebih
banyak waktu di zona kosong dibandingkan
dengan kelompok lainnya serta waktu
tinggal di zona asing lebih rendah secara
signifikan (α=0.036) dibandingkan
kelompok lainnya adalah F1 mencit jantan
dari induk yang diinduksi metilmerkuri
8mg/Kg. Hal berbeda ditunjukkan pada
betina, dimana F1 mencit dari induk yang
diinduksi metilmerkuri 4mg/Kg
menghabiskan lebih banyak waktu di zona
kosong dibandingkan dengan kelompok
lainnya, serta waktu tinggal di zona asing
lebih rendah secara signifikan (α=0.027)
dibandingkan kelompok lainnya.
Berdasarkan hasil perhitungan, F1
mencit betina dari induk yang diinduksi
metilmerkuri 4mg/Kg memiliki indeks
sosial yang lebih rendah secara signifikan
(α=0.010) bila dibandingkan dengan
kontrol betina, sementara pada F1 mencit
Gambar 4. Rata-Rata Waktu Tinggal (Durasi) dan Indeks Sosialisasi (SI) mencit F1 Jantan dan
Betina pada Masing-masing Kompartemen (det) dari Induk yang diberi Pembawa, Metilmerkuri
4mg/Kg dan Metilmerkuri 8mg/Kg Keterangan: * : berbeda bermakna dengan kelompok kontrol pembawa (p<0,05)
JSTFI
Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology
Vol.VI, No.2, Juli 2017
37
dari induk yang diinduksi metilmerkuri
8mg/Kg F1 mencit jantan menunjukkan
indeks sosialisasi yang lebih rendah secara
signifikan (α=0.024) dibandingkan dengan
kotrol jantan. Sementara apabila
dibandingkan, maka indeks sosialisasi pada
F1 mencit jantan lebih rendah secara
signifikan (α=0.024) bila dibandingkan
dengan indeks sosialisasi pada mencit
betina.
Menurut Kim et al. (2014), jika pada
uji sosialisasi suatu kelompok hewan
menghabiskan waktu tinggal lebih banyak
di zona kosong dibandingkan dengan
kelompok uji lain dan waktu yang
dihabiskan untuk tinggal di zona asing lebih
rendah dibandingkan dengan kelompok uji
lain maka kelompok hewan tersebut
menunjukkan terjadinya defisit dalam
sosialisasi. Disamping itu, semakin rendah
indeks sosialisasi pada suatu kelompok ,
artinya mencit tersebut tidak memiliki
motivasi untuk berinteraksi khususnya
dengan mencit asing yang belum pernah
ada kontak sebelumnya.
Uji Preferensi Sosial
Uji preferensi sosial dapat
menggambarkan preferensi mencit dalam
bersosisialisasi dengan mencit asing
dibandingkan bersosialisasi dengan mencit
yang familiar (akrab). Hasil pengamatan uji
preferensi sosial pada mencit F1 jantan
maupun betina dapat dilihat pada Gambar
5.
Pada gambar 5 dapat dilihat bahwa
pada F1 mencit jantan dari induk yang
diinduksi metilmerkuri 8mg/Kg
menghabiskan waktu lebih banyak di zona
familiar dibandingkan dengan kelompok
lainnya, sedangkan waktu tinggal di zona
asing lebih rendah secara signifikan
(α=0.057) dibandingkan kelompok lainnya.
Hal serupa terjadi pada F1 mencit betina
yang diinduksi metilmerkuri 8mg/Kg,
dimana pada zona familiar waktu yang
dihabiskan mencit lebih banyak secara
signifikan (α=0.032) di dibandingkan
dengan kelompok lainnya dan waktu
tinggal di zona asing lebih rendah
dibandingkan kelompok lainnya.
Gambar 5. Rata-Rata Waktu Tinggal (Durasi) dan Indeks Preferensi Sosial (SPI) mencit F1
Jantan dan Betina pada Masing-masing Kompartemen (det) dari Induk yang diberi Pembawa,
Metilmerkuri 4mg/Kg dan Metilmerkuri 8mg/Kg Keterangan: * : berbeda bermakna dengan kelompok pembawa (p<0,05)
JSTFI
Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology
Vol.VI, No.2, Juli 2017
38
Disamping itu, hasil perhitungan Indeks
Preferensi Sosial (SPI) menunjukkan
bahwa pada F1 jantan dan betina dari induk
yang diinduksi metilmerkuri 8mg/Kg yang
menunjukkan indeks preferensi sosial
signifikan lebih rendah (α=0.047; (α=0.049)
dibandingkan kelompok kontrol.
Pada uji preferensi sosial, jika suatu
kelompok hewan tinggal dengan waktu
lebih banyak bersama mencit familiar dan
sedikit waktu dengan mencit asing baru
dibandingkan kelompok kontrol maka
kelompok hewan tersebut menunjukkan
terjadinya defisit dalam sosialisasi (Kim et
al., 2014). Selain itu, semakin rendah
indeks preferensi sosial pada suatu
kelompok, artinya mencit tersebut tidak
memiliki motivasi atau kemauan untuk
berinteraksi khususnya dengan mencit asing
dan lebih memilih berinteraksi dengan
mencit yang sudah familiar.
Penurunan keinginan untuk
bersosialisasi pada mencit setelah
pemberian merkuri tersebut diduga serupa
dengan gangguan autisme. Sementara
kemungkinan terjadinya penurunan
interaksi sosial ini akibat perubahan fungsi
dopamin yang mengubah aktivasi reseptor
D1 yang selanjutnya berpengaruh terhadap
defisit perilaku sosial. Lebih lanjut
dijelaskan bahwa pada paparan logam berat
terjadi penurunan kepadatan atau
penurunan aktifitas dari mekanisme
clearance dopamine (Curtis et al., 2010).
Pengaruh Metilmerkuri 4mg/Kg Dan
8mg/Kg terhadap Pola Perilaku
Berulang
Uji Marble Burying, Self-Grooming dan
Digging
Uji marble burying, grooming dan
digging digunakan untuk mengamati
perilaku berulang pada mencit (McFarlane
et al., 2008; Deacon, 2006). Jumah
kelereng yang dikubur oleh masing-masing
kelompok dapat dilihat pada Gambar 6,
sementara waktu akumulatif grooming dan
digging dapat dilihat pada Gambar 7.
Pada Gambar 7 dapat dilihat bahwa
jumlah kelereng yang dikubur oleh F1
mencit jantan dari induk yang diinduksi
metilmerkuri baik 4mg/Kg maupun
8mg/Kg signifikan lebih banyak (α=0.05;
α=0.000) dibandingkan dengan kontrol.
Begitu pula dengan jumlah kelereng yang
dikubur oleh F1 mencit betina baik dari
induk yang diinduksi metilmerkuri baik
4mg/Kg maupun 8mg/Kg lebih banyak
dibandingkan dengan kontrol. Selanjutnya,
baik pada F1 mencit dari induk yang
diinduksi metilmerkuri 4mg/Kg maupun
8mg/Kg keduanya menujukkan bahwa
jumlah kelereng yang dikubur oleh F1
mencit jantan lebih banyak dibandingkan
dengan jumlah kelereng yang dikubur oleh
F1 mencit betina.
Pada gambar 7 dapat dilihat bahwa
baik waktu akumulatif grooming maupun
digging F1 mencit jantan dan betina dari
induk yang diinduksi metilmerkuri 4mg/Kg
lebih tinggi dibandingkan dengan masing-
JSTFI
Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology
Vol.VI, No.2, Juli 2017
39
masing kontrol (α=0.002; α=0.002; α=0.03;
α=0.097). Hal serupa terjadi pada mencit F1
dari induk yang diinduksi metilmerkuri
8mg/Kg, dimana waktu akumulatif
grooming dan digging pada F1 mencit
jantan dan betina signifikan lebih tinggi
(α=0.002; α=0.002; α=0.000; α=0.000)
dibandingkan dengan masing-masing
kontrol.
Menurut Kim et al. (2016) beberapa
model mencit autime menunjukkan
peningkatan jumlah kelereng yang dikubur,
namun demikian beberapa model mencit
menunjukkan penurunan jumlah kelereng
yang dikubur. Hal tersebut berhubungan
dengan aktifitas lokomotor, dimana pada
mencit yang menunjukkan kenaikan jumlah
kelereng yang dikubur juga menunjukkan
peningkatan aktivitas lokomotor, sementara
pada mencit yang mengalami penurunan
jumlah kelereng yang dikubur
menunjukkan pula penuruan aktivitas
lokomotor. Pada penelitian ini, jumlah
kelereng yang dikubur pada kelompok
induksi metilmerkuri berhubungan dengan
peningkatan aktifitas lokomotor, dimana
jumlah kelereng yang dikubur semakin
banyak seiring dengan peningkatan aktifitas
lokomotor.
Menurut Moy (2006b) perilaku
berulang pada mencit dapat mencakup
perilaku mengendus, berputar-putar,
Gambar 6. Rata-rata Jumlah Kelereng yang dikubur mencit F1 Jantan dan Betina dari Induk
yang diberi Pembawa, Metilmerkuri 4mg/Kg dan Metilmerkuri 8mg/Kg Keterangan: * : berbeda bermakna dengan kelompok kontrol pembawa (p<0,05)
Gambar 7. Rata-rata Waktu Akumulatif Grooming dan Digging (det) mencit F1 Jantan dan Betina
dari Induk yang diberi Pembawa, Metilmerkuri 4mg/Kg dan Metilmerkuri 8mg/Kg Keterangan: * : berbeda bermakna dengan kelompok pembawa (p<0,05)
JSTFI
Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology
Vol.VI, No.2, Juli 2017
40
menggali, berlari dalam kandang, grooming
serta melompat secara terus-menerus dan
berlebihan. Rangkaian perilaku dalam
bentuk grooming mungkin muncul sebagai
pola yang normal, namun pada kondisi
autisme perilaku ini berlangsung dalam
jangka waktu yang yang lama (Silverman et
al., 2010a).
Pada mencit BTBR T + tf / J (BTBR)
yang merupakan salah satu strain mencit
yang digunakan sebagai model hewan
autisme mengalami waktu repetitive self-
grooming cukup lama yaitu hingga 2 menit
dari 10 menit waktu pengamatan, sementara
self-grooming pada kontrol jauh lebih
pendek yaitu hanya sekitar 5-10 detik dari
10 menit pengamatan (McFarlane et al.,
2008). Menurut Silverman et al. (2010b)
grooming yang cukup panjang pada model
hewan BTBR berkaitan dengan aktifitas
reseptor metabotropic glutamat 5
(mGluR5).
Pengaruh Metilmerkuri 4mg/Kg Dan
8mg/Kg terhadap Intelegensia
(Kecerdasan)
Berdasarkan hasil pengamatan, pada
labirin #4, #8 serta #9, F1 mencit jantan
baik dari induk yang diinduksi metilmerkuri
4mg/Kg maupun 8 mg/Kg memiliki latensi
yang lebih lama (α=0.110, α=0.060,
α=0.033; α=0.054, α=0.000, α=0.027)
dibandingkan dengan kontrol. Sementara
pada F1 mencit betina dari induk yang
diinduksi metilmerkuri 4mg/Kg memiliki
latensi yang lebih lama dibandingkan
dengan F1 mencit betina dari induk yang
diinduksi metilmerkuri 8mg/Kg. Hasil
pengamatan latensi dan number of error
pada uji HW-maze dapat dilihat pada
Gambar 8.
Pada uji kecerdasan, disamping
latensi, digunakan jumlah error sebagai
parameter uji. Pada labirin #4 jumlah error
F1 mencit jantan dari induk yang diinduksi
metilmerkuri 4mg/Kg lebih kecil
dibandingkan dengan kontrol, sedangkan
jumlah error F1 mencit jantan dari induk
yang diinduksi metilmerkuri 8mg/Kg
hampir sama dengan error F1 mencit jantan
Gambar 8. Rata-rata Latensi dan Number of Error pada Masing-masing Labirin mencit F1 Jantan
dan Betina dari Induk yang diberi Pembawa, Metilmerkuri 4mg/Kg dan Metilmerkuri 8mg/Kg Keterangan: * : berbeda bermakna dengan kelompok pembawa (p<0,05)
JSTFI
Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology
Vol.VI, No.2, Juli 2017
41
kontrol. Sementara itu, pada labirin #8 dan
#9 jumlah error F1 mencit jantan baik dari
induk yang diinduksi metilmerkuri 4mg/Kg
maupun 8mg/Kg lebih tinggi bila
dibandingkan dengan kontrol. Pada betina,
jumlah error F1 mencit baik dari induk
yang diinduksi metilmerkuri 4mg/Kg
maupun 8mg/Kg keduanya lebih tinggi bila
dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Namun demikian, sama halnya dengan
latensi, number error F1 mencit betina dari
induk yang diinduksi metilmerkuri 4mg/Kg
lebih tinggi bila dibandingkan dengan F1
mencit betina dari induk yang diinduksi
metilmerkuri 8mg/Kg. Menurut Pritchett
and Mulder (2004), semakin cepat hewan
menavigasi labirin (latensi) maka semakin
baik memori spasial yang dimiliki oleh
hewan uji. Sementara pada penelitian ini,
F1 mencit dari induk yang diinduksi
metilmerkuri 4mg/Kg serta 8mg/kg
mememiliki latensi yang lebih lama dan
jumlah error yang lebih banyak
dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Pengaruh Metilmerkuri terhadap
Pembentukan Model Mencit Autisme
Penelitian mengenai pengaruh
metilmerkuri terhadap pembentukan model
mencit autisme dilakukan pada kondisi
prenatal dengan menggunakan dosis
4mg/Kg dan 8mg/Kg. Pengamatan perilaku
yang bekaitan dengan gangguan autisme
dilakukan pada F1 mencit dari induk yang
telah diinduksi. Hasil yang diperoleh dari
pengamatan aktivitas lokomotor,
abnormalitas interaksi sosial, perilaku
berulang serta pengamatan intelegensia di
rekapitulasi pada tabel 1.
Menurut Curtis et al. (2010), model
Tabel 1. Rekapitulasi Hasil Pengamatan Perilaku F1 Mencit jantan dan Betina dari Induk
yang di Induksi Metilmerkuri 4mg/Kg dan 8mg/Kg
No Parameter Uji
Behavior
Parameter
Uji
Kondisi
Analog
Autisme
Metilmerkuri
4mg/Kg
Metilmerkuri
8mg/Kg
♂ ♀ ♂vs♀ ♂ ♀ ♂vs♀
1 Aktifitas
Lokimotor
Open
Field
Jarak
Tempuh
Hiperakti
fitas − + ♂<♀ + − ♂>♀*
2 Abnormalitas
Interaksi
Sosial
Three
Chamber
Apparatus
Sosialisasi
(SI) Defisist
Interaksi
Sosial
− + ♂>♀ + − ♂<♀*
Sosial
Preferens
(SPI)
− − ♂<♀ + + ♂=♀
3 Pola Perilaku
Berulang
Marble
Burying
Jumlah
Kelereng
Perilaku
Berulang
+ − ♂>♀ + − ♂>♀
Grooming Waktu
Akumulatif + +
♂<♀
* + + ♂>♀
Digging Waktu
Akumulatif + + ♂=♀ + + ♂=♀
4 Intelegensia
Hebb-
William
Maze
Latensi Defisit
Memori
Spasial
− + ♂=♀ + − ♂>♀*
Errors − − ♂<♀ − − ♂>♀
Ket : (+) : Berbeda nyata dengan kelompok kontrol pembawa
(−) : Tidak berbeda nyata dengan kelompok kontrol pembawa
(*) : Berbeda nyata jantan dibandingkan dengan betina
JSTFI
Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology
Vol.VI, No.2, Juli 2017
42
hewan yang digunakan sebagai model
autisme baiknya minimal dapat
mencangkup aspek yang luas dari gejala
autisme yaitu disfungsi interaksi sosial,
perilaku berulang gangguan komunikasi
serta fakta bahwa terdapat perbedaan jenis
kelamin yang jelas dalam keadaan
autisme.oleh karena itu penelitian ini
mencoba membahas dan mencangkup
aspek yang terkait dengan beberapa ciri
khusus serta melihat perbedaan jenis
kelamin yang berkaitan dengan perilaku
autisme.
Secara umum F1 mencit betina dari
induk yang diinduksi metilmerkuri 4mg/Kg
lebih banyak mengalami gangguan
dibandingkan jantan. Sementara itu, pada
F1 mencit dari induk yang diinduksi
metilmerkuri 8mg/Kg, jantan mengalami
gangguan pada hampir seluruh pengamatan
perilaku dibandingkan dengan betina.
Berdasarkan hasil yang diperoleh dari
beberapa pengamatan perilaku tersebut,
maka dapat disimpulkan bahwa pemberian
dosis tunggal metilmerkuri 8mg/Kg melalui
oral pada GD10 lebih berpotensi
membentuk model mencit autisme. Hal ini
didasari teori bahwa autisme
mempengaruhi jantan perbandingan 4;1
dibandingkan dengan betina (Smeltzer et
al., 2005). Namun demikian, dosis 4mg/Kg
tetap menghasilkan F1 yang mengalami
gangguan perilaku dengan pebandingan
betina lebih besar dibandingkan jantan.
Autisme lebih mempengaruhi jantan
dibandingkan betina kemungkinan
disebabkan oleh estrogen yang dimiliki oleh
betina. Eestrogen mampu mempengaruhi
sintesis oksitoksin dan meningkatkan
aktifitas reseptor oksitoksin sehingga hal
tersebut membuat tingkat oksitoksin pada
betina lebih tinggi dan kemungkinan
memberikan perlindungan terhadap faktor
resiko apapun yang dapat menyebabkan
resiko autisme (Smeltzer et al., 2005).
Mekanisme yang mendasari
perbedaan gender ini juga dapat terkait
dengan perbedaan kadar testosteron dan
estrogen antara jantan dengan betina.
Testosteron dapat meningkatkan toksisitas
Hg, sedangkan estrogen dilaporkan menjadi
pelindung terhadap kerusakan Hg (Muraoka
and Itoh 1980). Estrogen juga telah terbukti
dapat melindungi stres oksidatif dalam
neuron akibat induksi merkuri (Nilsen
2008).
Gangguan perilaku yang disebabkan
oleh konsumsi ikan yang telah terakumulasi
metilmerkuri telah menjadi perhatian
masyarakat. Metilmerkuri memiliki afinitas
terhadap lipid sehingga mampu untuk
melakukan penetrasi pada membran sel
(Suseno dkk., 2010). Menurut Lubis (2002)
metilmerkuri dapat melewati sawar darah
otak dan plasenta, hal tersebut
menyebabkan terjadinya akumulasi
metilmerkuri dalam otak dan janin sehingga
toksistas paparan merkuri saat prenatal
lebih nyata mempengaruhi janin dari ibu
(Clarkson, 2001). Saat ini, beberapa negara
di Amerika Serikat telah menetapkan
anjuran pembatasan konsumsi ikan, baik
JSTFI
Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology
Vol.VI, No.2, Juli 2017
43
ikan yang berasal dari danau, sungai
maupun laut akibat kontaminasi
metilmerkuri. Jumlah metilmerkuri dibatasi
tidak lebih dari 0,1 µgHg/Kg/hari (EPA,
1997) atau sekitar 0,22 µg Hg/Kg/hari
(WHO, 1990).
SIMPULAN
Pemberian metilmerkuri pada kondisi
kehamilan dosis oral 4mg/Kg maupun
8mg/Kg berpengaruh terhadap F1 mencit
dimana terjadi gangguan perilaku seperti
hiperaktifitias, defisit interaksi sosial,
perilaku berulang yang terus-menerus, serta
defisit memori spasial. Pengaruh
metilmerkuri terhadap gangguan perilaku
berbeda antara jenis kelamin pada F1
mencit. Induk yang diinduksi metilmerkuri
4mg/Kg gangguan secara umum dialami
oleh F1 betina, sementara induk yang
diinduksi metilmerkuri dosis 8mg/Kg
mengakibatkan gangguan perilaku yang
secara umum dialami oleh F1 jantan.
Pemberian dosis oral tunggal metilmerkuri
8mg/Kg GD10 berpotensi membentuk
model mencit autisme.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed, M. S., Y. Aslam, and W. A. Khan.
2011. “Absorption And
Bioaccumulation Of Water-Borne
Inorganic Mercury in The
Fingerlings Of Grass Carp,
Ctenopharyngodon Idella.” The
Journal of Animal & Plant
Sciences, 21(2) pp : 176-181
Altevogt, B.M., Hanson, S.L., Leshner, A.
2008. “Autism And The
Environment: Challenges and
Opportunities for Research.”
Pediatrics, Vol.121, No.6, pp.1225-
1229
Centers for Disease Control and Prevention.
2014. “1 In 68 Children Has Been
Identified With Autism Spectrum
Disorder.” http://www.cdc.gov/
media/releases/2014/p0327-autism-
spectrum- disorder.html.
(21/10/2014)
Chang, J., Kueon,C., Kim, J. 2014.
“Influence of Lead on Repetitive
Behavior and Dopamine
Metabolism in a Mouse Model of
Iron Overload.” Toxicol. Res. Vol.
30, No. 4, pp. 267-276
Clarkson, T.W., Magos, L., Myers, G.J
(2003). “The Toxicology of
Mercury – Current Exposures and
Clinical Manifestations. Review
Article.” The New England Journal
of Medicine. Vol.349, No.18,
pp1731-1737
Curtis, J.T., Hood, A.N., Chen, Y., Cobb,
G.P., Wallace, D.R. 2010. “Chronic
Metals Ingestion By Prairie Voles
Produces Sex-Specific Deficits In
Social Behavior: An Animal Model
Of Autism.” Behav Brain Res. Vol.
213(1), pp 42–49
Darmono. 1995. Logam Dalam Sistem
Biologi Makhluk Hidup. UI Press.
Jakarta.
JSTFI
Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology
Vol.VI, No.2, Juli 2017
44
Fan, X., Xu, M., Hess, E.J. 2010. “D2
Dopamine Receptor Subtype-
Mediated Hyperactivity And
Amphetamine Responses In A
Model Of ADHD.” Neurobiol Dis.
37(1): 228–236.
Gandhi, D.N. and Dhull, K. 2014.
“Postnatal Behavioural Effects on
the Progeny of Rat after Prenatal
Exposure to Methylmercury.”
American Journal of Experimental
Biology. Vol. 1 No. 1 pp. 31-51
Gandhi, R.M., Kogan, C.S., and Messier, C
.2014.”2-Methyl-6-(Phenylethynyl)
Pyridine (MPEP) Reverses Maze
Learning and PSD-95 Deficits in
Fmr1 Knock-Out Mice.” Frontiers
in Cellular Neuroscience. Vol.8
No.8 pp : 1-12
Garrecht,M and Austin, D.W. 2011. “The
Plausibility Of A Role For Mercury
In The Etiology Of Autism: A
Cellular Perspective.”
Toxicological & Environmental
Chemistry, pp : 1–23
Geier, M., Kern, J.K., King, P.G., Sykes,
L., Geier, D.A. 2014. Mercury
Induced Autism. Springer Science
Business Media. New York
Giménez-Llort, L., Ahlbomb, E., Daréb, E.,
Vahterc, M., Ögrena, S.-O.,
Ceccatellib,S. 2001. “Prenatal
Exposure To Methylmercury
Changes Dopamine-Modulated
Motor Activity During Early
Ontogeny: Age And Gender-
Dependent Effects.” Environmental
Toxicology and Pharmacology.
Volume 9, Issue 3, pp : 61–70.
Kim, J.W., Seung, H., Kwon, K.J., Ko,M.J.,
Lee, E.J., Oh, H.A., Choi, C.S.,
Kim, K.C., Gonzales, E.L., You.
J.S., Choi, D.H., Lee, J., Han, S.H.,
Yang, S.M., Cheong, J.H., shin,
C.Y., Bahn, G.H. 2014.
“Subchronic Treatment of
Donepezil Rescues Impaired
Social, Hyperactive, and
Stereotypic Behavior in Valproic
Acid-Induced Animal Model of
Autism.” Plos One. Vol. 9 (8) pp :
1-12
Kim, H., Lim C.S., Kaang, B.K. 2016.
“Neuronal Mechanisms And
Circuits Underlying Repetitive
Behaviors In Mouse Models Of
Autism Spectrum Disorder.” Behav
Brain Funct 12:3, pp 1-13.
MacLeod, L.S., Kogan, C.S., Collin, C.A.,
Berry-Kravis, E., Messier, C.,
Gandhi, R. A. 2010. ”Comparative
Study of The Performance of
Individuals with Fragile X
Syndrome and Fmr1 Knockout
Mice on Hebb-Williams Mazes.”
Genes, Brain and Behavior 9 pp :
53–64
Moy, S.S., Nadler, J.J., Magnuson, T.R.,
Crawley, J.N. 2006a. “Mouse
Models of Autism Spectrum
Disorders: The Challenge for
Behavioral Genetics.” American
JSTFI
Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology
Vol.VI, No.2, Juli 2017
45
Journal of Medical Genetics
142C:40–51
Moy, S.S., Nadler, J.J., Young, N.B., Perez,
A., Holloway, L.P., Barbaro, R.p.,
Wilson, L.M., Threadgill, D.W.,
Lauder, J.M., Magnuson, T.R.,
Crawley, J.N. 2006b. “Mouse
Behavioral Tasks Relevant to
Autism: Phenotypes of 10 Inbred
Strains.” Behavioural Brain
Research. 4786 No. 17 pp : 1-17
Muraoka, Y., and F. Itoh. 1980. “Sex
Difference Of Mercuric Chloride-
Induced Renal Tubular Necrosis In
Rats – From The Aspect Of Sex
Differences In Renal Mercury
Concentration And Sulfhydryl
Levels.” Journal of Toxicological
Sciences 5: 203–14.
Nascimento, J.L.M., Oliveira, K.R.M.,
Lopez, M.E.C., Macchi, B.M.,
Maués, L.A.L., Pinheiro, M.C.N., .
Silveira, L.C.L., Herculano, A.M
.2008. “Methylmercury
Neurotoxicity & Antioxidant
Defenses.” Indian J Med Res 128,
October 2008, pp 373-3
Nilsen, J. 2008. “Estradiol and
neurodegenerative oxidative
stress.” Frontiers
Neuroendocrinology 29: 463–75
NIMH (National Intitute Of Mental Health)
.2014. “Autism Spectrum
Disorder.”http://www.nimh.nih.gov
/health/topics/autism-spectrum-
disorders-asd/index.shtml.
(21/10/2014)
Nøstbakken, O. J., Bredal, I. L., Olsvik, P.
A., Huang, T.S., and Torstensen, B.
E (2012). Effect of Marine Omega
3 Fatty Acids onMethylmercury-
Induced Toxicity in Fish
andMammalian Cells In Vitro.
Journal of Biomedicine and
Biotechnology 417652, pp : 1-13
Pritchett, K & Mulder, G.B (2004). Hebb-
Williams Mazes. Technology
Update. American Association for
Laboratory Animal Science Vol.43,
No. 5 pp : 44-45
Silverman, J.L., Tolu, S.S., Barkan, C.L.,
Crawley, J.N (2010). Repetitive
Self Grooming Behavior in the
BTBR Mouse Model of Autism is
Blocked by the mGluR5 Antagonist
MPEP. Neuropsychopharmacology
35, pp: 976–989
Silverman, J.L., Yang, M., Lord, C.,
Crawley, J.N. 2010. “Behavioural
Phenotyping Assays for Mouse
Models of Autism.” Nature
Reviews Neuroscience. Vol 11(7):
490–502
Smeltzer, M.D., Curtis, J.T., Aragona, B.J.,
Wang, Z. 2005. “Dopamine,
Oxytocin, And Vasopressin
Receptor Binding In The Medial
Prefrontal Cortex Of Monogamous
And Promiscuous Voles.”
Neuroscience Letters 22609 , pp :1-
5
JSTFI
Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology
Vol.VI, No.2, Juli 2017
46
Suseno, H., S. Hudiyono., Budiawan., dan
D. S. Wisnubroto. 2010.
“Bioakumulasi Merkuri Anorganik
dan Metil Merkuri oleh
Oreochromis mossambicus :
Pengaruh Konsentrasi Merkuri
Anorganik dan Metil Merkuri
dalam Air.” Jurnal Teknologi
Pengelolaan Limbah, ISSN 1410-
9565. Vol. 13, pp : 49-62.
Thomas, A., Burant, A., Bui, N., Graham,
D., Yuva-Paylor, L.A., Paylor, R
(2009). “Marble Burying Reflects
A Repetitive And Perseverative
Behavior More Than Novelty-
Induced Anxiety.”
Psychopharmacology (Berl).
204(2): 361–373
Yatim, F. 2003. Autisme: Suatu Gangguan
Jiwa pada Anak-anak. Pustaka
Populer Obor. Jakarta
Yoshida, M., Suzuki, M., Satoh, M.,
Yasutake., Watanabe, C (2011).
“Neurobihavioral effect of Combined
Prenatal Exposure to Low-Level
Mercury Vapor and Methylmercury.”
The Journal of Toxic Ecological
Science. Vol 36, No 1, 77-80