pengembangan model penyelenggaraan makanan … · riskesdas 2010 yang dilakukan terhadap konsumsi...
TRANSCRIPT
PENGEMBANGAN MODEL PENYELENGGARAAN MAKANAN DI SEKOLAH DASAR
BAGI SISWA KELUARGA MISKIN
TIURMA SINAGA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2 0 1 2
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Pengembangan Model Penyelenggaraan Makanan di Sekolah Dasar bagi Siswa Keluarga Miskin adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Agustus 2012
Tiurma Sinaga
NIM I 162070091
ABSTRACT
TIURMA SINAGA. The Development Model of School Feeding Management for Student of Poor Families at Elementary School. Under direction of CLARA MELIYANTI KUSHARTO, BUDI SETIAWAN, and AHMAD SULAEMAN.
Some schools have implemented school feeding such as lunch or snack program for students who come from affordable economic families, however there is no school feeding for students who come from poor families with complete meal. This study was aimed to develop a model for school feeding management at Elementary School (SD) for students belong to poor families. The study was conducted from January until December 2011 in Yayasan Al-Muslim Tambun Cibitung Bekasi, Sekolah Marsudirini Parung Bogor, Sekolah Alam Bogor, SD IT Insantama Bogor, SDN 1 Malangsari Cipanas Lebak Banten and SDN Kebon Kopi 2 Bogor. The study used a study literature, an observation, a research & development (R & D), pre-experiment one-group pretest-posttest design, and SWOT analysis. There are six models which can be implemented in school feeding: 1) model on-site meal preparation donated food with conventional or commissary production, 2) model on-site meal preparation local food with conventional or commissary production, 3) model on-site pre-prepared meal/snack-local food vendors with conventional or commissary production, 4) model off-site prepared meal/snack-private sector participation with conventional or commissary production, 5) model off-site prepared meal/snack-community sector participation with conventional or commissary production, and 6) model take-home coupons or cash or food in bulk. The school feeding model that can be implemented for students of poor families was off-site prepared meal-community sector participation used conventional production. Manpower that can work as a food handlers are person who have interest in culinary, socially minded, and able to work with others in community. The one dish meal with six days cycles menu used in the study. The study showed that there was a differences (p<0.05) between before and after giving one dish meal breakfast as a school feeding among the elementary school children. It was positively affected to increase the level of dietary intake of energy by 27.0%, protein by 31.3%, vitamin A by 42.3%, and iron by 30.0% of the elementary school children. The implementation model of school feeding for elementary children belong to poor family with one dish meal has been tested with good results, but it is need to improve in some part. SWOT analysis method was used to describe and analyze strategic factors internal and external to be more structured to assist the evaluation of the implementation model of school feeding that have been tested.
Key words: one dish meal, dietary intakes, off-site meal preparation, conventional production method, students from poor families, SWOT analysis
RINGKASAN
TIURMA SINAGA. Pengembangan Model Penyelenggaraan Makanan di Sekolah Dasar bagi Siswa Keluarga Miskin.
Dibimbing oleh : CLARA MELIYANTI KUSHARTO, BUDI SETIAWAN, dan AHMAD SULAEMAN
Beberapa sekolah di Indonesia telah melaksanakan penyelenggaraan makanan berupa makan siang ataupun makanan selingan bagi siswa yang berasal dari keluarga mampu, namun belum ada pelayanan makanan lengkap bagi siswa yang berasal dari keluarga miskin. Berdasarkan analisis data Riskesdas 2010 yang dilakukan terhadap konsumsi pangan pada 35.000 anak usia sekolah dasar, menunjukkan bahwa 26.1% anak hanya sarapan dengan minuman (air, teh, susu) dan sebesar 44.6% anak yang sarapan hanya memperoleh asupan energi kurang dari 15% AKG.
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model penyelenggaraan makanan anak di Sekolah Dasar (SD) yang siswanya berasal dari keluarga miskin, sehingga dapat menghasilkan makanan yang dapat diterima siswa dengan baik. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: 1) mengkaji model-model penyelenggaraan makanan anak sekolah di berbagai negara, 2) mengobservasi model-model penyelenggaraan makanan anak sekolah di Indonesia, 3) merancang model penyelenggaraan makanan anak sekolah yang berasal dari keluarga miskin, 4) mengujicobakan model yang di rancang untuk menganalisis tingkat kesukaan dan daya terima siswa terhadap makanan yang diproduksi, dan 5) merekomendasikan model yang dapat diaplikasikan di sekolah yang siswanya berasal dari keluarga miskin.
Setiap tujuan khusus mempunyai metode yang berbeda. Model-model penyelenggaraan makanan anak sekolah di berbagai negara dikaji dengan studi literatur, sedangkan untuk mengkaji model-model penyelenggaraan makanan anak sekolah di Indonesia dilakukan dengan observasi. Perancangan model penyelenggaraan makanan anak sekolah yang berasal dari keluarga miskin, dilakukan dengan metode research and development (R & D). Pengujian terhadap model yang dirancang, dilakukan dengan pre-experiment one-group pretest-posttest design, dan untuk menyempurnakan model dilakukan dengan analisis SWOT.
Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Januari sampai Desember 2011 di Yayasan Al-Muslim Tambun Cibitung Bekasi, Sekolah Marsudirini Parung Bogor, Sekolah Alam Bogor, SD IT Insantama Bogor, SDN 1 Malangsari Cipanas Lebak Banten dan SDN Kebon Kopi 2 Bogor. Ada enam model penyelenggaraan makanan anak sekolah yang dilaksanakan di berbagai negara, yaitu : 1) model penyiapan makanan dilakukan di sekolah, menggunakan bahan pangan dari sumbangan, dengan metode produksi konvensional atau terpusat, 2) model penyiapan makanan dilaksanakan di sekolah, menggunakan bahan pangan lokal, dengan metode produksi konvensional atau terpusat, 3) model penyiapan makanan dilakukan di sekolah, menggunakan tenaga penjual makanan sebagai tenaga penjamah makanan, dengan metode produksi konvensional atau terpusat, 4) model penyiapan makanan dilakukan di luar sekolah dengan partisipasi swasta, dengan metode produksi konvensional atau terpusat, 5) model penyiapan makanan dilakukan di luar sekolah dengan partisipasi masyarakat, dan metode produksi konvensional atau terpusat, serta 6) model kupon atau tunai bawa pulang atau makanan dalam jumlah tertentu.
Penyelenggaraan makanan anak sekolah di Indonesia dapat dilaksanakan dengan model penyiapan makanan yang dilakukan di dalam sekolah atau di luar sekolah, dengan metode produksi konvensional ataupun terpusat. Hal ini bergantung pada fasilitas yang ada di sekolah dan sekitar sekolah. Jika ruang makan tidak ada, dapat mempergunakan ruang kelas sebagai ruang makan, dengan memperhatikan ruangan yang harus bersih, jauh dari tempat pembuangan sampah, dan pembuangan limbah. Tenaga penjamah makanan berasal dari ibu PKK, komite sekolah, atau tenaga yang bekerja khusus untuk pelayanan makanan.
Perancangan model penyelenggaraan makanan anak sekolah disesuaikan dengan situasi dan kondisi sekolah, lingkungan serta sumber daya yang ada. Rancangan model yang dibentuk adalah: penyiapan dan pemasakan bahan pangan menggunakan dapur di luar sekolah, ruang makan di dalam ruang kelas, pengadaan bahan pangan dilakukan dengan cara pembelian langsung ke pasar tradisional yang letaknya tidak jauh dari lokasi pemasakan. Menu sepinggan yang dimasak disesuaikan dengan biaya yang rendah, jenis peralatan yang digunakan sering dipakai untuk mengolah makanan banyak/massal/institusi, tenaga penjamah makanan dapat melakukan pengolahan makanan banyak/massal/institusi, dan waktu pengolahan tidak terlalu lama. Model penyelenggaraan makanan anak yang dirancang dapat diterapkan dengan baik sesuai dengan syarat-syarat penyelenggaraan makanan yang ditentukan. Rata-rata kandungan energi sarapan menu sepinggan contoh 439 KKal, 10 gram protein, 266.8 µg RE vitamin A, dan 1.97 mg Fe dengan biaya Rp 3.000/porsi. Konsumsi energi, protein, vitamin A dan Fe contoh meningkat secara nyata sesudah pemberian sarapan menu sepinggan yaitu energi 27.0%, protein 31.3%, vitamin A 42.3%, dan Fe 30.0%. Tingkat kecukupan contoh terhadap energi, protein, vitamin A dan Fe meningkat sesudah pemberian sarapan menu sepinggan. Keberlangsungan model yang dirancang akan berjalan dengan baik jika ada sumber dana. Sumber dana dapat diperoleh dari pemerintah (pusat ataupun daerah), dapat juga dari LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), CSR (Corporate Social Responsibility), dan sumbangan-sumbangan dari donatur. Metode SWOT digunakan untuk menyempurnakan model penyelenggaraan sarapan bersama menu sepinggan. Penyempurnaan model juga dilengkapi dengan perhitungan biaya dalam penyelenggaraan makanan anak sekolah, khususnya biaya yang digunakan sebagai investasi untuk membangun dapur dan membeli peralatan yang dibutuhkan.
Penyelenggaraan makanan lengkap anak sekolah bagi siswa dari keluarga miskin dapat dilakukan dengan menggunakan model persiapan makanan dilakukan di luar sekolah dengan partisipasi masyarakat, dan metode produksi yang diterapkan adalah konvensional. Kata kunci: menu sepinggan, asupan makanan, dapur di luar sekolah, metode produksi konvensional, siswa dari keluarga miskin, analisis SWOT
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh
karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PENGEMBANGAN MODEL PENYELENGGARAAN MAKANAN DI SEKOLAH DASAR
BAGI SISWA KELUARGA MISKIN
TIURMA SINAGA
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada Program Studi Ilmu Gizi Manusia
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2 0 12
Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Prof. Dr. Ir. Hardinsyah, MS 2. Dr. Minarto Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Prof. Dr. Ir. Hidayat Syarief, MS 2. Dr. Ir. Taufik Hanafi
Judul Disertasi : Pengembangan Model Penyelenggaraan Makanan Siswa
Di Sekolah Dasar Bagi Siswa Keluarga Miskin
Nama : Tiurma Sinaga
NIM : I 162070091
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Clara Meliyanti Kusharto, M.Sc
Ketua
Dr. Ir. Budi Setiawan, MS Prof. Dr. Ir. Ahmad Sulaeman, MS
Anggota Anggota
Mengetahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana
Ilmu Gizi Manusia
drh. M.Rizal M. Damanik, MRepSc, PhD Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr
Tanggal Ujian : 24 Juli 2012 Tanggal Lulus : 31 Agustus 2012
PRAKATA
Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kasih, atas segala berkat dan anugerahNya sehingga dapat menyelesaikan penulisan disertasi yang berjudul “Pengembangan Model Penyelenggaraan Makanan Siswa di Sekolah Dasar bagi Siswa Keluarga Miskin”. Ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada berbagai pihak yang telah membantu terwujudnya disertasi ini.
1. Prof. Dr. Clara Meliyanti Kusharto,M.Sc. selaku ketua komisi pembimbing, Dr. Ir. Budi Setiawan, MS dan Prof. Dr. Ir. Ahmad Sulaeman, MS selaku anggota pembimbing atas segala arahan, saran, motivasi, kesabaran dan teladan yang diberikan kepada penulis sejak penyusunan proposal hingga pelaksanaan penelitian serta penulisan disertasi.
2. Prof. Dr. Ir. Hardinsyah, MS dan Dr. Minarto sebagai dosen penguji pada ujian tertutup; Prof. Dr. Ir. Hidayat Syarief, MS dan Dr. Taufik Hanafi sebagai dosen penguji pada ujian terbuka atas segala kritik yang membangun dan masukan guna perbaikan disertasi, serta Prof. Dr. Ir. Hidayat Syarief, MS sebagai dosen pembahas kolokium atas segala masukan dan koreksi pada proposal penelitian.
3. Seluruh staf pengajar dan pengelola Program Studi Gizi Manusia (GMA) Sekolah Pascasarjana IPB yang telah memberikan segala ilmu yang sangat bermanfaat serta staf administrasi atas bantuan dan kemudahan dalam pengurusan administrasi. 4. Teman-teman angkatan 2007 GMA atas semangat, motivasi, kebersamaan
dalam suka dan duka serta persaudaraan yang diberikan selama masa kuliah.
5. Kepala Sekolah, Guru-guru, TPG Puskesmas Cipanas Lebak Banten dan Merdeka Bogor, orang tua murid dan murid kelas 5 dan 6 SDN Kebon Kopi 2 Bogor dan SDN 1 Malangsari Cipanas Lebak Banten atas bantuan dan kerja samanya selama penelitian berlangsung.
6. Pengelola makanan anak sekolah di Clinton Elementary School dan Southwest High School Nebraska USA, Yayasan Al-Muslim Tambun Cibitung Bekasi, Sekolah Marsudirini Parung Bogor, Sekolah Alam Bogor (SAB), SD IT Insantama Bogor serta ibu-ibu PKK di Malangsari Cipanas Lebak Banten atas informasi dan kerja samanya.
7. Para Sarjana gizi alumni Departemen Gizi Masyarakat Fema IPB (Nonly Stevanie, Yuni Munggaranti, dan Pujani Handayani) yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian.
8. Ibu Dr. Ir. Ikeu Ekayanti, MKes dan mbak Reisi Nurdiani SP, MSi yang telah meluangkan waktu untuk diskusi dan bertukar pikiran serta memberi komentar dan masukan yang berarti untuk penelitian ini.
9. Kakak, adik & keluarga diucapkan terimakasih atas dukungan dan doa yang telah diberikan selama kuliah.
10. Mama di Pematang Siantar dan Inang di Malang terimakasih atas semua doa-doa dan dukungan yang telah diberikan selama kuliah.
11. Kepada suami tercinta David PH Napitupulu dan ketiga anak-anak tercinta Parisabel RH Napitupulu, Johannes Willy H Napitupulu dan Benjamin AM Napitupulu, atas doa, kasih sayang, pengertian, serta dukungan moril dan materil yang tidak pernah berhenti, penulis sampaikan terimakasih yang sedalam-dalamnya.
12. Kepada semua pihak yang belum disebutkan yang telah membantu dengan tulus, penulis sampaikan terimakasih.
Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih belum sempurna, tetapi
penulis berharap disertasi ini bermanfaat bagi pembaca dan pengembangan ilmu gizi manusia khususnya penyelenggaraan makanan
anak sekolah.
Bogor, Agustus 2012
Tiurma Sinaga
xiii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pematang Siantar pada tanggal 21 Mei 1961 sebagai
putri ketiga dari bapak Drs. Alfred Sinaga dan ibu Sinta Sirait. Pendidikan
Sarjana Muda (B.Sc) ditempuh di Akademi Gizi Jakarta Departemen Kesehatan
RI lulus pada bulan Agustus 1983. Pada bulan Mei tahun 1989, penulis
melanjutkan pendidikan program Master of Food Service Administration (MFSA)
di University of the Philippines Diliman, Quezon City dengan beasiswa dari Bank
Dunia dan lulus tahun 1992. Pada tahun 2007 melanjutkan pendidikan doktor
pada program studi Ilmu Gizi Manusia - Institut Pertanian Bogor. Penulis bekerja
di Akademi Gizi Malang sejak bulan Desember 1983 sampai Oktober 2006, mulai
Nopember 2006 sampai Oktober 2008 bekerja di Unit Produksi Makanan (UPM)
RSCM Jakarta, dan sejak Nopember 2008 - sekarang bekerja di Departemen
Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor.
Selama menempuh program doktor, penulis mengikuti Program Sandwich
DIKTI DEPDIKNAS di University of Nebraska Lincoln USA selama 4 bulan mulai
Nopember 2008 sampai Februari 2009. Pada saat mengikuti Sandwich di
Nebraska, penulis melakukan observasi penyelenggaraan makanan di Clinton
Elementary School, Southwest High School, dan Nebraska University
Foodservice. Tulisan “Makan di Sekolah dari APBN/APBD ?” yang diterbitkan
koran Kompas di halaman 6 topik Opini pada tanggal 2 Maret 2009 merupakan
karya penulis tentang manfaat makan di sekolah dengan biaya dari pemerintah.
Karya ilmiah yang merupakan bagian dari disertasi yaitu “Dampak Menu
Sepinggan terhadap Konsumsi dan Tingkat Kecukupan Energi, Zat Gizi Lain
Siswa SD”, akan diterbitkan pada Jurnal Gizi dan Pangan, dan “Kualitas Sarapan
Menu Sepinggan, Daya Terima, Tingkat Kesukaan dan Status Gizi Siswa di
Sekolah Dasar” akan diterbitkan di Jurnal Teknologi Industri Boga dan Busana
(TIBBS) Jurusan Teknologi Industri Fakultas Teknik Universitas Negeri Malang.
xiv
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ................................................................................... xviii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xx
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. xxii
PENDAHULUAN ........................................................................................ 1
Latar Belakang ................................................................................................................. 1
Perumusan Masalah ........................................................................................................ 4
Tujuan Penelitian............................................................................................................. 5
Manfaat Penelitian .......................................................................................................... 5
Kerangka Pemikiran Penelitian ....................................................................................... 6
Definisi Operasional ........................................................................................................ 9
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 11
Penyelenggaraan Makanan Anak Sekolah .................................................................... 11
Manajemen Penyelenggaraan Makanan Anak Sekolah ................................................ 11
Proses Penyelenggaraan Makanan Anak Sekolah ......................................................... 13
Perencanaan Menu ................................................................................................... 13
Pembelian Bahan Pangan .......................................................................................... 20
Penerimaan Bahan Pangan ....................................................................................... 21
Penyimpanan dan Pengeluaran Bahan Pangan ........................................................ 21
Penyiapan Bahan Pangan .......................................................................................... 22
Metode Pemasakan Bahan Pangan ........................................................................... 22
Metode Penyajian Makanan ..................................................................................... 25
Pendistribusian Makanan .......................................................................................... 25
Pencucian Alat Makan dan Alat Masak ..................................................................... 26
Higiene dan Sanitasi Makanan .................................................................................. 26
Model Penyelenggaraan Makanan Anak Sekolah ......................................................... 27
Model Penyiapan Makanan dilakukan di Sekolah, Bahan Pangan berasal dari
Bantuan/Sumbangan................................................................................................. 27
Model Penyiapan Makanan dilakukan di Sekolah, Bahan Pangan berasal dari Lokasi
di Sekitar Sekolah ...................................................................................................... 28
Model Penyiapan Makanan dilakukan di Sekolah, Tenaga Penjamah berasal dari
Pedagang Makanan ................................................................................................... 28
xv
Model Penyiapan Makanan dilakukan di luar Sekolah, Tenaga Penjamah berasal
dari swasta/katering ................................................................................................. 28
Model Penyiapan Makanan dilakukan di luar Sekolah, Tenaga Penjamah dari
Masyarakat................................................................................................................ 29
Model Kupon atau Tunai atau Bahan Pangan di Bawa Pulang ................................. 29
PENYELENGGARAAN MAKANAN ANAK SEKOLAH DI BERBAGAI
NEGARA ................................................................................................. 32
Amerika Serikat ............................................................................................................. 32
Peru ............................................................................................................................... 33
Jepang ........................................................................................................................... 34
Chili ............................................................................................................................... 34
Jamaika.......................................................................................................................... 34
Banglades ...................................................................................................................... 35
Philipina......................................................................................................................... 36
Indonesia ....................................................................................................................... 38
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 42
STUDI PENYELENGGARAAN MAKANAN ANAK SEKOLAH DASAR DI
INDONESIA ............................................................................................. 44
Pendahuluan ................................................................................................................. 45
Metode Penelitian .................................................................................................... 45
Desain .................................................................................................................... 45
Tempat dan Waktu Penelitian .................................................................................. 45
Peralatan ................................................................................................................... 46
Jenis dan Cara Pengumpulan Data ........................................................................ 46
Pengolahan dan Analisis Data ............................................................................... 47
Hasil dan Pembahasan .................................................................................................. 47
Yayasan Al-Muslim Tambun Cibitung Bekasi ............................................................ 47
Sekolah Marsudirini Parung Bogor ........................................................................... 49
Sekolah Alam Bogor (SAB) ........................................................................................ 50
SD IT Insantama Bogor .............................................................................................. 52
SDN 1 Malangsari, Cipanas, Lebak – Banten ............................................................. 53
Simpulan ....................................................................................................................... 56
Daftar Pustaka ............................................................................................................... 57
xvi
MODEL PENYELENGGARAAN SARAPAN MENU SEPINGGAN DAN
EFIKASINYA TERHADAP KONSUMSI, TINGKAT KECUKUPAN
ENERGI DAN ZAT GIZI LAIN PADA SISWA SD .................................... 58
Pendahuluan ................................................................................................................. 60
Metode Penelitian ......................................................................................................... 64
Desain ........................................................................................................................ 64
Tempat dan Waktu Penelitian ................................................................................... 65
Cara Penetapan Peserta Efikasi ............................................................................. 66
Bahan dan Alat .......................................................................................................... 66
Mekanisme Efikasi ................................................................................................. 66
Jenis dan Cara Pengumpulan Data Efikasi ............................................................. 68
Pengolahan dan Analisis Data Efikasi .................................................................... 68
Tahap-tahapan Perancangan Model Penyelenggaraan Makanan ................................ 71
Hasil Perancangan Model Penyelenggaraan Makanan ................................................. 73
Hasil Efikasi Model Sarapan Menu Sepinggan .............................................................. 74
Gambaran Umum Sekolah ........................................................................................ 74
Karakteristik Peserta ................................................................................................. 74
Umur dan Jenis Kelamin ........................................................................................ 74
Besar Uang Jajan ................................................................................................... 75
Pendidikan Orang Tua ........................................................................................... 75
Karakteristik Orang Tua Peserta ................................................................................ 76
Pekerjaan dan Pendapatan Orang Tua .................................................................. 76
Besar Keluarga ....................................................................................................... 77
Sumberdaya pada Penyelenggaraan Sarapan Menu Sepinggan ............................... 78
Tenaga Penjamah Makanan .................................................................................. 78
Peralatan ............................................................................................................... 78
Bahan Pangan ........................................................................................................ 79
Biaya (Dana) .......................................................................................................... 80
Metode .................................................................................................................. 80
Proses Penyelenggaraan Sarapan Menu Sepinggan untuk Anak Sekolah ................ 80
Perencanaan Menu. .............................................................................................. 80
Pengolahan ............................................................................................................ 81
Higiene dan Sanitasi .............................................................................................. 82
xvii
Pemorsian dan Pendistribusian ............................................................................ 83
Penyajian Makanan ............................................................................................... 83
Monitoring dan Evaluasi ....................................................................................... 84
Output Penyelenggaraan Makanan Anak Sekolah.................................................... 84
Tingkat Kesukaan Anak terhadap Menu Sepinggan ............................................. 84
Daya Terima Makanan Anak Sekolah .................................................................... 85
Konsumsi dan Tingkat Kecukupan ........................................................................ 87
Simpulan ....................................................................................................................... 93
Daftar Pustaka ............................................................................................................... 93
ANALISIS SWOT MODEL PENYELENGGARAAN MAKANAN ANAK
SEKOLAH DENGAN MENU SEPINGGAN ............................................. 98
Pendahuluan ................................................................................................................. 99
Metode Analisis ............................................................................................................ 99
Kerangka Analisis Strategis SWOT ............................................................................ 99
Formulasi Analisis SWOT ......................................................................................... 100
Analisis SWOT ............................................................................................................. 101
Simpulan ..................................................................................................................... 106
Daftar Pustaka ............................................................................................................. 106
PEMBAHASAN UMUM ......................................................................... 108
SIMPULAN DAN SARAN ...................................................................... 112
Simpulan ..................................................................................................................... 112
Saran ........................................................................................................................... 113
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 115
L A M P I R A N ..................................................................................... 120
xviii
DAFTAR TABEL Halaman
Tabel 1 Variabel, data, metode pengukuran dan responden penelitian ........ 46
Tabel 2 Kandungan energi, protein, vit A dan Fe kudapan PMT-AS SDN 1
Malangsari Cipanas – Lebak – Banten ............................................ 55
Tabel 3 Daya Terima Siswa Terhadap Menu PMT-AS ................................. 56
Tabel 4 Variabel, data, metode pengukuran dan peserta penelitian ............. 69
Tabel 5 Distribusi peserta berdasarkan umur dan jenis kelamin ................... 75
Tabel 6 Distribusi peserta berdasarkan besar uang jajan ............................. 76
Tabel 7 Distribusi orang tua peserta berdasarkan tingkat pendidikan ........... 76
Tabel 8 Distribusi orang tua peserta berdasarkan pekerjaan ........................ 77
Tabel 9 Distribusi peserta berdasarkan jumlah anggota keluarga ................. 78
Tabel 10 Kandungan energi, protein, vit. A dan Fe sarapan menu sepinggan 81
Tabel 11 Daya terima peserta terhadap menu sepinggan .............................. 86
Tabel 12 Distribusi tingkat kecukupan energi dan protein (TKE dan TKP)
peserta ............................................................................................ 91
Tabel 13 Tingkat kecukupan vit. A dan Fe peserta sebelum dan sesudah
efikasi .............................................................................................. 91
xix
xx
DAFTAR GAMBAR Halaman
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian penyelenggaraan makanan anak
sekolah ............................................................................................ 8
Gambar 2 Komponen-komponen penyelenggaraan makanan anak sekolah .... 9
Gambar 3 Hubungan sistem dan subsistem dalam penyelenggaraan makanan
(Sullivan 1989) .............................................................................. 14
Gambar 4 Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam perencanaan menu
anak sekolah (Sinaga 2007) .......................................................... 15
Gambar 5 Skala Wajah untuk mengukur tingkat kesukaan pada anak sekolah
(Gregoire & Spears 2007) ............................................................. 17
Gambar 6 Skala Comstock untuk mengukur sisa makanan siswa (Gregoire &
Spears 2007) ................................................................................. 18
Gambar 7 Tingkat kesukaan siswa terhadap kudapan PMT-AS ..................... 55
Gambar 8 Alur Pelaksanaan penelitian pengembangan (R&D) menurut Borg
and Gall (1989) dalam Sugiyono (2011) ........................................ 65
Gambar 9 Tahapan kegiatan perancangan sarapan menu sepinggan di SDN
Kebon Kopi 2 Bogor ...................................................................... 72
Gambar 10 Hasil perancangan model penyelenggaraan sarapan menu
sepinggan untuk anak sekolah dasar bagi siswa dari keluarga
miskin ............................................................................................ 73
Gambar 11 Tingkat kesukaan peserta terhadap menu sepinggan ................... 85
Gambar 12 Diagram proses penyusunan strategi penguatan model
penyelenggaraan makanan anak sekolah melalui analisis SWOT
.................................................................................................... 100
Gambar 13 Diagram analisis SWOT (Sumber: Supranto, 1997) .................... 101
Gambar 14 Hasil Matrix Analisis SWOT Model Penyelenggaraan Sarapan Menu
Sepinggan Anak Sekolah ............................................................ 104
xxi
xxii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman
Lampiran 1 Persetujuan Etik (Ethical Clearance) .................................. .........122
Lampiran 2 Analisis uji beda konsumsi dan tingkat kecukupan contoh selama
pemberian makanan sepinggan di SDN Kebon Kopi 2 Bogor
(Dependent sampleT-test ) .......................................................... 123
Lampiran 3 Perbedaan Komponen dalam Penyelenggaraan Makanan di Setiap
Sekolah ....................................................................................... 124
Lampiran 4 Nilai Higiene & Sanitasi Model off-site prepared meal community
sector participation with conventional production ......................... 125
Lampiran 5 (Lanjutan ) Nilai Higiene & Sanitasi Model off-site prepared meal
community sector participation with conventional production ....... 126
Lampiran 6 Gambar Penyelenggaraan Makanan di Clinton Elementary School dan
Southwest High School Nebraska USA ...................................... 127
Lampiran 7 Gambar Penyelenggaraan Makanan di Yayasan Al-Muslim Tambun
Cibitung Bekasi ........................................................................... 128
Lampiran 8 Gambar Penyiapan, Pemasakan, Penyajian dan Pencucian Alat di
Sekolah Marsudirini, Parung Bogor ............................................. 130
Lampiran 9 Gambar Penyimpanan, Pemasakan, Pendistribusian, Penyajian dan
Penyimpanan Alat di SAB, Bogor ................................................ 131
Lampiran 10 Gambar Penyimpanan, Pemasakan, Pendistribusian, Penyajian dan
Penyimpanan Alat di SD IT Insantama Bogor .............................. 132
Lampiran 11 Gambar Penyiapan, Pemasakan, Penyajian dan Suasana Makan
Kudapan PMT-AS di SDN 1 Malangsari Cipanas ........................ 133
Lampiran 12 Gambar Alur Pemilihan Penjamah Makanan ............................... 134
Lampiran 13 Gambar Alur Pembelian Bahan Pangan ...................................... 134
Lampiran 14 Gambar Alur Pendidikan Gizi melalui Makanan di Sekolah ......... 135
Lampiran 15 Gambar Alur Perencanaan Menu ................................................ 136
Lampiran 16 Prosedur Penyelenggaraan Sarapan Menu Sepinggan di SDN Kebon
Kopi 2 Bogor ............................................................................... 137
Lampiran 17 Perhitungan Biaya Pembangunan Dapur Sekolah ....................... 138
xxiii
Lampiran 18 Desain Pembangunan Dapur Sekolah ........................................ 139
Lampiran 19 Perhitungan Biaya Pengadaan Alat Masak dan Alat Saji ............ 140
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Pembangunan sumberdaya manusia (SDM) adalah kunci utama dari
keberhasilan pembangunan nasional. Pembangunan SDM diarahkan untuk
membangun manusia berkualitas baik dari aspek fisik maupun rohani secara
seimbang (Syarief 1997). Kualitas SDM Indonesia relatif rendah dibandingkan
dengan negara-negara di Asia Tenggara lainnya. Hal ini dapat dilihat dari
peringkat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia yang relatif stagnan di
urutan bawah dari tahun ke tahun (Riyadi 2006). Pada tahun 2011
Pembangunan Manusia Indonesia berada di posisi ke-124 di bawah rangking
Singapore, Brunai Darussalam, Malaysia, Thailand dan Filipina (UNDP 2011).
Upaya peningkatan kualitas sumberdaya manusia harus dilakukan sejak
dini, secara sistematis dan berkesinambungan. Usia anak sekolah merupakan
investasi bangsa karena mereka adalah generasi penerus yang akan
menentukan kualitas bangsa di masa yang akan datang. Gizi baik waktu usia
sekolah menghantarkan masa depan gemilang (Muhilal & Damayanti 2006).
Proses tumbuh kembang anak usia sekolah yang optimal diantaranya ditentukan
oleh asupan makanan yang tepat secara kualitas dan kuantitas.
Permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan SDM di bidang
pendidikan adalah masih tingginya angka putus sekolah yang dialami oleh 3%
atau sekitar 11,7 juta anak usia sekolah. Meskipun belum ada penelitian khusus,
diduga penyebab putus sekolah adalah rendahnya keadaan kesehatan dan gizi
anak-anak serta kemiskinan orangtua mereka, sehingga tenaga mereka lebih
diperlukan untuk membantu mencari nafkah (KEMENDAGRI 2010).
Survei yang dilakukan oleh Studdert & Soekirman pada tahun 1998
menunjukkan bahwa 70% anak di desa miskin mengonsumsi makanan kurang
dari 70% kebutuhan energi sehari mereka; 40% anak-anak anemia dan kira-kira
50-80% anak-anak terkena infeksi cacing. Laporan Judhiastuty (2005)
mengungkapkan bahwa anak sekolah di Indonesia yang menderita gizi kurang
kronik sedang (stunting) hanya berkurang 3,7% yaitu dari 39,8% tahun 1994
menjadi 36,1% pada tahun 1999. Hal ini mengindikasikan bahwa hanya sedikit
yang telah dilakukan oleh pemerintah untuk menyelesaikan masalah kekurangan
gizi anak sekolah tersebut. Oleh karena itu, harus dilakukan usaha pencegahan
2
secara menyeluruh (komprehensif) yang dapat dilaksanakan sebagai upaya
untuk memecahkan masalah tersebut.
Berdasarkan Riskesdas Tahun 2010, dinyatakan bahwa status gizi anak
sekolah (usia 6-14 tahun) masih rendah. Prevalensi kependekan (pendek dan
sangat pendek) secara nasional sebesar 35.6% (Jawa Barat 34.2%), dan
prevalensi kekurusan (kurus dan sangat kurus) secara nasional sebesar 12.2%
(Jawa Barat 10.2%). Laporan Riskesdas 2007 disebutkan bahwa di wilayah kota
Bogor prevalensi kurus pada anak laki-laki sebesar 9,5% dan pada anak
perempuan sebanyak 5,3%.
Laporan analisis lanjut data Riskesdas 2010 yang dilakukan oleh Salimar
(2011) menyatakan bahwa deisit energi pada anak usia sekolah (6-12 tahun)
sebesar 294 Kkal/hari, sedangkan defisit untuk keperluan intervensi sebesar 558
Kkal/hari. Dan jika dilihat defisit protein untuk intervensi ditemukan sebesar 12.2
gram/hari.
Anak-anak sekolah di negara sedang berkembang umumnya menderita
kelaparan jangka pendek, kekurangan energi protein, dan kekurangan Iodium,
vitamin A, dan besi. Beberapa studi menemukan bahwa status gizi dan
kesehatan berpengaruh penting pada kapasitas belajar anak-anak dan kinerja
mereka di sekolah. Anak-anak usia sekolah yang kekurangan gizi, terutama besi
dan Iodium, atau yang menderita kekurangan energi-protein, kelaparan, dan/atau
infeksi parasit atau penyakit lain, tidak memiliki kapasitas yang sama untuk
belajar seperti anak-anak yang sehat dan gizinya baik. Banyak intervensi yang
telah dilakukan pada beberapa tahun terakhir ini, yang bertujuan meningkatkan
kemampuan siswa, terutama bagi mereka yang kurang gizi. Di antara intervensi
tersebut, program pemberian sarapan di sekolah sering dianggap sebagai
intervensi yang efektif untuk meningkatkan efisiensi pendidikan di sekolah-
sekolah miskin di negara berkembang (Cueto & Chinen 2008). Program sarapan
di sekolah ditargetkan untuk mengurangi kelaparan dan meningkatkan status gizi
anak-anak, terutama mereka yang kurang gizi (Powell et al 1998).
Program sarapan ataupun makan siang di sekolah dipersiapkan dan
diolah di dapur-dapur sekolah atau di luar gedung sekolah. Hal ini tergantung
dari fasilitas yang tersedia di sekolah tersebut. Sekolah dengan jumlah siswa
yang banyak di kota-kota sering mempergunakan dapur produksi terpusat dan
mengirimkan makanan jadi ke sekolah yang lebih kecil yang berada di sekitarnya
(Palacio & Theis 2009).
3
Beberapa model penyelenggaraan makanan anak sekolah sudah
diterapkan di berbagai negara. Model tersebut adalah model penyiapan makanan
dilakukan di sekolah, model penyiapan makanan dilakukan di luar sekolah, siswa
membawa pulang kupon, atau pemberian uang tunai kepada siswa atau
pemberian bahan pangan dalam jumlah tertentu. Model penyiapan makanan
(berupa makanan lengkap atau makanan kecil/kue) yang dilakukan di sekolah,
bahan pangan yang dipergunakan dapat berupa sumbangan dari pemberi
bantuan, atau bahan pangan lokal yang ada di sekitar sekolah, tenaga penjamah
makanan merupakan tenaga sekolah atau tenaga dari luar sekolah, misalnya
dari katering atau dari penjual makanan. Model penyiapan makanan dilakukan di
luar sekolah, dengan tenaga penjamah makanan berasal dari swasta seperti
tenaga katering. Di dalam model penyiapan makanan yang dilakukan di sekolah
dan luar sekolah, makanan yang diproduksi dikonsumsi di dalam sekolah. Model
lainnya adalah siswa membawa pulang kupon ke rumah atau uang tunai atau
bahan pangan dalam jumlah tertentu. Dalam model ini makanan dikonsumsi di
rumah siswa. Menurut Del Rosso (1999), masing-masing model
penyelenggaraan makanan tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangan.
Pada saat ini beberapa sekolah di Indonesia telah menyelenggarakan
makanan di sekolah (sebagai makanan kecil dan makanan lengkap siang hari)
bagi siswa yang berasal dari keluarga mampu. Hal ini dilaksanakan karena
sekolah-sekolah tersebut memberlakukan 5 hari sekolah (full day school).
Sekolah tersebut memperoleh dana dari orang tua siswa untuk pelaksanaan
kegiatan penyelenggaraan makanannya. Beberapa contoh sekolah yang
melaksanakan penyelenggaraan makanan di sekolah untuk mencukupi
kebutuhan gizi siswanya selama berada di sekolah adalah Sekolah Alam Bogor
(SAB), SD IT Insantama Bogor, Yayasan Al-Muslim Tambun di Bekasi, Sekolah
Marsudirini Parung Bogor, SD Al-azhaar Tulung Agung Jawa Timur, Yayasan Al-
Hikmah Surabaya dll.
Pada hakekatnya di Indonesia telah ada kegiatan Program Makanan
Tambahan Anak sekolah (PMT-AS) dalam rangka pemerataan pelayanan
kesehatan dan mendukung program pengentasan kemiskinan. PMT-AS
bertujuan untuk mencegah masalah kekurangan energi protein pada siswa
Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidayah (MI) sekaligus mengupayakan
mengurangi kecacingan pada anak. PMT-AS dilaksanakan dengan memberikan
kudapan dan merupakan program nasional dimulai sejak 1996/1997, serta
4
dilaksanakan secara lintas sektoral. Pada tahun 2010 dilakukan kegiatan
Penyediaan Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT-AS) dengan meningkatkan
partisipasi masyarakat dalam pengolahan makanan berupa kudapan dari bahan
pangan lokal melalui pemberdayaan masyarakat setempat (KEMENDAGRI
2010).
Dalam rangka penyusunan buku Petunjuk Teknis Pengolahan Kudapan
Nusantara dalam PMT-AS (KEMENDIKNAS 2011), telah dilakukan ujicoba
pembuatan kudapan PMT-AS pada tanggal 21 Mei dan 5 Juni 2011. Ujicoba
tersebut dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Makanan Program Studi Tata
Boga jurusan Ilmu Kesejahteraan Keluarga Fakultas Tehnik Universitas Negeri
Jakarta (UNJ). Pengalaman dalam ujicoba pembuatan kudapan PMT-AS
tersebut adalah cukup susah untuk memenuhi 300 Kkal dan 5 gr protein karena:
1) memerlukan waktu penyiapan yang relatif lama; 2) memerlukan tenaga khusus
yang dapat memasak berbagai macam jenis kudapan; 3) menuntut tersedianya
berbagai macam dan jumlah peralatan memasak yang memadai; dan 4)
beberapa kudapan mempunyai volume yang besar sehingga harus disajikan
lebih dari satu buah. Berdasarkan Laporan Pengumpulan Data Dasar Monitoring
dan Evaluasi PMTAS (1997), rata-rata lama memasak kudapan PMT-AS berkisar
10.8 jam hingga 21.9 jam, serta data yang diperoleh di SDN 1 Malangsari
Cipanas Lebak Banten pada bulan Desember 2011, didapatkan bahwa rata-rata
memasak kudapan PMT-AS adalah 7 jam.
Berdasarkan masalah tersebut di atas, maka penting melakukan
penelitian untuk mengembangkan model sarapan menu sepinggan bagi siswa
yang berasal dari keluarga miskin yang dapat dilaksanakan di sekolah dasar.
Perumusan Masalah Hasil analisis lanjut terhadap data Riskesdas 2010 pada 17.756 anak usia
sekolah dasar yang berada pada kuintil 1 dan 2 didapatkan bahwa, sebesar
48.4% siswa yang sarapan hanya memperoleh asupan energi < 15% AKG, dan
rata-rata konsumsi sarapan siswa SDN Kebon Kopi 2 Bogor adalah sebesar 196
Kkal (10% AKG), serta sebagian besar (75.8%) pendapatan keluarga murid SD
tersebut termasuk kategori miskin.
Beberapa sekolah telah melaksanakan penyelenggaraan makanan
berupa makan siang ataupun makanan selingan bagi siswa yang berasal dari
keluarga ekonomi mampu, tetapi belum ada penyelenggaraan makanan lengkap
5
bagi siswa yang berasal dari keluarga miskin. Pertanyaan yang ingin dijawab
dalam penelitian ini adalah:
1. Model penyelenggaraan makanan anak sekolah yang bagaimana selama ini
dapat diterapkan di berbagai negara ?
2. Model penyelenggaraan makanan anak sekolah yang bagaimana selama ini
dapat dilaksanakan di Indonesia ?
3. Bagaimana model penyelenggaraan makanan di sekolah dasar yang sesuai
untuk siswa yang berasal dari keluarga miskin ?
4. Bagaimana efikasi dari model penyelenggaraan makanan anak sekolah untuk
siswa yang berasal dari keluarga miskin?
5. Model yang bagaimana dapat direkomendasikan untuk diterapkan bagi siswa
yang berasal dari keluarga miskin ?
Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model
penyelenggaraan makanan anak sekolah di Sekolah Dasar (SD) yang siswanya
berasal dari keluarga miskin sehingga dapat menghasilkan makanan yang dapat
diterima siswa dengan baik. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengkaji model-model penyelenggaraan makanan anak sekolah yang telah
dilaksanakan di berbagai negara
2. Mengkaji model-model penyelenggaraan makanan anak sekolah yang telah
dilaksanakan di Indonesia
3. Merancang model penyelenggaraan makanan anak sekolah yang berasal dari
keluarga miskin
4. Efikasi model yang dirancang untuk menganalisa tingkat kesukaan dan daya
terima siswa terhadap makanan yang diproduksi
5. Merekomendasikan model sarapan menu sepinggan yang dapat diaplikasikan
di sekolah yang siswanya berasal dari keluarga miskin
Manfaat Penelitian Penelitian ini merekomendasikan model penyelenggaraan makanan anak
sekolah dasar yang siswanya berasal dari keluarga miskin. Model ini dapat
digunakan oleh penentu kebijakan (pemerintah) dalam upaya perbaikan
konsumsi dan kesehatan anak sekolah melalui pemberian sarapan siswa di
sekolah dasar khususnya bagi siswa yang orang tuanya miskin. Dan juga
6
dihasilkannya publikasi yang bermanfaat dalam pengembangan ilmu
pengetahuan khususnya manfaat sarapan menu sepinggan di sekolah dasar.
Kerangka Pemikiran Penelitian Anak sekolah di negara sedang berkembang banyak yang menderita
kelaparan jangka pendek, kekurangan energi protein, dan kekurangan Iodium,
vitamin A, dan besi. Status gizi dan kesehatan siswa berpengaruh penting pada
konsentrasi belajar anak di sekolah. Anak-anak usia sekolah yang kekurangan
gizi, terutama besi dan Iodium, atau yang menderita kekurangan energi-protein,
kelaparan, dan/atau infeksi parasit atau penyakit lain, tidak memiliki konsentrasi
untuk belajar seperti anak yang sehat dan gizinya baik.
Untuk mengatasi masalah diatas maka diperlukan makanan anak sekolah
yang dilaksanakan selama berada di sekolah. Beberapa model penyelenggaraan
makanan anak sekolah yang sudah dilaksanakan mempunyai keuntungan dan
kerugian. Untuk membuat model yang sesuai dan dapat diterapkan pada sekolah
yang siswanya berasal dari keluarga miskin, maka diperlukan analisa tentang
keuntungan dan kerugian dari model-model penyelenggaraan makanan yang
telah diterapkan di berbagai negara dan juga di Indonesia.
Penyelenggaraan makanan siswa di sekolah dapat dilaksanakan dengan
syarat-syarat yang ditetapkan yaitu memenuhi kontribusi terhadap kecukupan zat
gizi siswa, dengan memperhatikan sanitasi yang tinggi sehingga menghasilkan
makanan yang aman dan dapat diterima siswa. Manajemen penyelenggaraan
makanan anak sekolah merupakan suatu sistem yang terdiri atas beberapa sub-
sistem. Sub-sistem tersebut harus dikoordinasikan dengan baik dalam satu
kesatuan yang utuh untuk mencapai tujuan dari penelenggaraan makanan
tersebut. Sub-sistem yang dimaksud mencakup 3 komponen yaitu sumberdaya,
proses dan hasil (Perdigon 1989).
Sumberdaya dalam kegiatan penyelenggaraan makanan anak terdiri atas
tenaga penjamah makanan, alat yang dipergunakan, biaya yang dibutuhkan,
metode produksi yang dipergunakan, dan bahan pangan yang diperlukan.
Proses penyelenggaraan makanan anak sekolah dimulai dari perencanaan
menu, pembelian bahan pangan, penerimaan bahan pangan, penyimpanan
bahan pangan, pengeluaran bahan pangan, penyiapan bahan pangan,
pemasakan bahan pangan sehingga menghasilkan makanan yang aman dan
seimbang, penyajian atau pemorsian makanan, dan pendistribusian makanan
7
kepada siswa sebagai konsumen, serta pencucian peralatan (alat saji dan alat
masak) (Perdigon 1989).
Hasil dari sumberdaya dan proses penyelenggaraan makanan adalah
menu yang bermutu yang dapat dikonsumsi oleh siswa. Untuk mengetahui mutu
makanan yang dihasilkan, maka dilakukan analisa tingkat kesukaan dan daya
terima siswa terhadap makanan yang diproduksi. Hasil akhir dari kegiatan
penyelenggaraan makanan anak sekolah adalah adanya kenaikan konsumsi,
tingkat kecukupan energi dan gizi lainnya, serta status gizi siswa kearah yang
lebih baik. Pada Gambar 1 dapat dilihat kerangka pemikiran dalam penelitian ini,
dan pada Gambar 2 merupakan komponen-komponen penyelenggaraan
makanan anak sekolah yang dibutuhkan. Penyelenggaraan makanan anak
sekolah melibatkan berbagai pihak yang memiliki peranan masing-masing,
seperti kepala sekolah, guru, siswa, orang tua murid/komite sekolah, masyarakat
di sekitar sekolah, dan Tenaga Pelaksana Gizi (TPG) dari Puskesmas.
Dari hasil penelitian ini diharapkan suatu model penyelenggaraan
makanan anak sekolah yang lebih berdaya guna serta pelaksanaannya yang
lebih efektif dan efisien. Pada akhir penelitian, model yang dibuat akan dievaluasi
dengan menggunakan Analisa SWOT, untuk mengetahui kekuatan, kelemahan,
peluang dan ancaman dari model yang dikembangkan, sehingga diperoleh
langkah-langkah yang strategis dan efektif dalam penerapannya serta untuk
pengembangan yang berkelanjutan sesuai dengan kondisi-kondisi yang ada.
8
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian penyelenggaraan makanan anak sekolah
Status Gizi Siswa Rendah
Konsumsi Makanan Siswa Rendah
Ekonomi Terbatas
Pengetahuan Gizi Siswa Rendah
Penyelenggaraan Makanan Anak
Sekolah
Program PMT-AS belum mencapai sasaran
Teknis Pelaksanaan Rumit
Program belum berkelanjutan
Kepedulian Masyarakat tentang Gizi Rendah
MODEL Penyelenggaraan
Makanan Anak Sekolah
Pendidikan Gizi & Etika
Masyarakat sekitar sekolah peduli & ikut berpartisipasi
Pemilihan Menu yg tepat
Bahan pangan sesuai, ekonomis & bergizi
Proses pengolahan yang praktis & higienis
Intervensi Pemerintah masih minimum
Siswa: -Peningkatan Konsumsi
Makanan - Peningkatan Status
Kesehatan & Gizi - Pendidikan Gizi & Etika - Konsentrasi belajar naik - Tingkat kehadiran naik - Lebih Berprestasi
Masyarakat Sekitar Sekolah : - Pengetahuan Gizi naik - Status Kesehatan & Gizi
naik - Ada Kepedulian &
Kerjasama - Meningkatkan ekonomi
Pemerintah: - Sumber Daya Manusia
yang lebih berkualitas - Program Swadana
Masyarakat dapat mendukung keberkelanjutan program
- - -
9
Gambar 2 Komponen-komponen penyelenggaraan makanan anak sekolah
Definisi Operasional Siswa adalah anak usia sekolah yang berumur 6–18 tahun yang duduk di tingkat
Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah
Menengah Atas (SMA).
Siswa sekolah dasar adalah anak usia sekolah yang berumur 11–14 tahun
yang duduk di kelas 5 dan 6 dan menjadi peserta penelitian.
Penyelenggaraan makanan siswa di sekolah dasar adalah pelaksanaan
penyediaan makanan bagi siswa di sekolah dasar. Pelaksanaan
Penyediaan Makanan Tambahan anak sekolah (PMT-AS) termasuk
dalam penyelenggaraan makanan anak sekolah.
Tingkat kesukaan siswa adalah tingkatan dari “sangat suka”, “suka”, “biasa”,
“tidak suka”, dan “sangat tidak suka” siswa terhadap menu sepinggan
yang diberikan dan diukur dengan menggunakan metode smiley face.
10
Higiene dan sanitasi makanan adalah keadaan yang digambarkan pada tingkat
kebersihan pada saat penyiapan, saat pemasakan, peralatan (masak &
alat saji), penyajian, lingkungan kerja, air dan tenaga kerja.
Daya terima siswa adalah penerimaan (habis tidaknya makanan) siswa
terhadap menu sepinggan yang diukur dengan metode self-reported
consumption (disebut juga penilaian dengan metode Comstock). Daya
terima terhadap sarapan menu sepinggan diukur dengan 6 kategori,
yaitu : tidak dimakan, hanya dicicipi, habis ¼ bagian, habis ½ bagian,
habis ¾ bagian, dan habis semua.
Pengolahan bahan pangan adalah kegiatan yang dilakukan pada saat
penyiapan dan pemasakan makanan untuk anak sekolah.
Model Penyelenggaraan Makanan adalah model pelaksanaan penyediaan
makanan bagi siswa di sekolah dasar yang meliputi input (SDM),
peralatan yang dipergunakan (mulai dari kegiatan penyiapan sampai
pencucian), bahan pangan dan non-pangan (detergen untuk pencucian,
serbet untuk pengering), metode dan biaya, proses (perencanaan menu
sampai penyajian makanan) dan output (kesukaan siswa terhadap menu
dan daya terima siswa terhadap menu) serta dampaknya adalah
konsumsi, dan tingkat kecukupan siswa.
Menu adalah makanan (dapat berupa makanan lengkap atau makanan
kecil/kue) dan minuman yang disajikan kepada anak sekolah.
Menu Sepinggan adalah makanan lengkap yang disajikan dalam satu piring
atau mangkuk, yang terdiri dari makanan pokok sebagai sumber
karbohidrat, lauk pauk sebagai sumber protein, dan sayuran sebagai
sumber vitamin dan mineral.
Tenaga Penjamah Makanan adalah tenaga yang melaksanakan kegiatan
penyelenggaraan makanan mulai dari pembelian bahan pangan,
penerimaan bahan pangan, penyimpanan bahan pangan, pengeluaran
bahan pangan, pengolahan bahan pangan, pemorsian makanan,
penyajian makanan, dan pendistribusian makanan serta pencucian
peralatan.
11
TINJAUAN PUSTAKA
Penyelenggaraan Makanan Anak Sekolah Belajar dari perjalanan sejarah peradaban dunia, kita akan menemukan
bahwa bangsa-bangsa yang sekarang termasuk dalam gugusan negara maju,
seperti Amerika Serikat, Jerman, Perancis, Jepang, dan sekarang disusul oleh
China, India, Malaysia, Korea Selatan, Singapura, dan Taiwan, adalah negara-
negara yang sejak memulai pembangunannya mendudukkan pendidikan sebagai
prioritas pertama. Negara-negara ini menganut paradigma “To Built Nation Built
School”. Penelitian membuktikan bahwa ”Education and learning depend on
good nutrition and health” (Sinaga 2009).
Pemberian makanan di sekolah (School Feeding Program/SFP) telah
dilaksanakan di berbagai negara. Berbagai kesuksesan dapat dicapai melalui
pemberian makanan tersebut. Di negara maju seperti Amerika Serikat, program
pemberian makanan di sekolah telah dimasukkan ke dalam undang-undang
“Makan Siang Anak Sekolah” - P.L. 105-394, November 13, 1998 (Pannell,1999),
sehingga wajib dilaksanakan di sekolah-sekolah. Tujuan pemberian makanan di
sekolah adalah menyediakan makanan yang berguna untuk mengurangi rasa
lapar sehingga siswa dapat berkonsentrasi belajar lebih baik, dan juga cara
untuk menarik anak-anak supaya mau pergi ke sekolah serta mereka hadir
secara teratur (Ahmed 2004).
Di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, program pemberian
makanan anak di sekolah sering dilakukan dengan kerja sama antara organisasi-
organisasi besar dengan pemerintah dan dengan organisasi-organisasi non-
pemerintah. Pelaksanaan yang terbesar dilakukan oleh UN World Food Program
(WFP), yang mengoperasikan program tersebut di 78 negara pada tahun 2006.
Agen lain dan NGOs melaksanakan pemberian makanan di sekolah pada tingkat
nasional, regional dan lokal (Village Hope 2008).
Manajemen Penyelenggaraan Makanan Anak Sekolah Keberhasilan penyelenggaraan makanan anak di sekolah bergantung
pada pengelolaan dan pelaksanaannya yang harus dilakukan dengan efektif dan
efisien. Penyelenggaraan makanan anak di sekolah harus memenuhi syarat-
syarat yang telah ditentukan, seperti menu apa yang dihidangkan, memenuhi
kecukupan zat gizi siswa, dihidangkan secara menarik dan memenuhi standar
12
sanitasi. Hal ini bertujuan untuk memperbaiki dan menjaga status gizi anak
sekolah, meningkatkan tingkat kehadiran anak di sekolah, memperbaiki prestasi
akademik serta mendukung kurikulum pendidikan gizi (Wirakusumah dkk 1989).
Di negara maju atau negara industri, penyelenggaraan makanan di
sekolah diawasi oleh organisasi makanan sekolah yang bertanggung jawab
untuk jasa katering, termasuk kontrol keuangan, perencanaan menu, penasehat
dalam pembelian bahan pangan, perencanaan dapur dan administrasi secara
umum. Pengawasan dapur makanan di sekolah dilakukan oleh petugas katering
atau pengawas juru masak dan pada unit yang lebih kecil dilaksanakan oleh
tukang masak. Banyak perempuan dipekerjakan pada bidang ini, karena mereka
menemukan bahwa bekerja di penyelenggaraan makanan sekolah cocok dengan
tanggung-jawab mereka di rumah. Mereka bekerja dua sampai dua setengah jam
setiap hari di pelayanan makanan, karena fasilitas untuk kegiatan sudah tersedia
lengkap. Staf di dapur pelayanan makanan anak sekolah pada semua tingkatan
manajemen sudah mendapatkan pelatihan sebelum mereka bekerja. Dapur-
dapur sekolah dilengkapi dengan peralatan yang baik. Standar yang tinggi
diterapkan terhadap kesehatan pekerja dan sanitasi dapur dituntut untuk dapat
dipenuhi. Staf pelayanan makanan mengawasi siswa pada waktu makan,
terutama di sekolah dasar dan menengah. Staf pelayanan makanan mempunyai
tanggung jawab atas perilaku dan tata krama yang baik di meja makan dan juga
mendorong anak-anak agar mengembangkan perilaku yang benar terhadap
makanan sehat (Kinton & Ceserani 1989).
Pelayanan makanan siswa di negara maju paling efektif ketika ahli diet
atau ahli gizi, pengelola sekolah, manajer penyelenggaraan makanan, dan
kelompok pendukung lainnya, seperti persatuan orang tua murid menyadari
pentingnya nilai-nilai perkembangan mental dan fisik siswa. Kelompok ini dapat
bekerja sama untuk membuat penyelenggaraan makanan tidak hanya sebagai
"program pemberian makanan" tetapi lebih dari itu, sebagai program pendidikan
gizi untuk semua siswa yang menjadi bagian dari pengalaman belajar anak-anak
di sekolah (Palacio & Theis 2009).
Jenis organisasi dan manajemen yang ada di dalam pelayanan makanan
di sekolah bervariasi bergantung pada jumlah siswa dan lokasi sekolah yang
melaksanakan. Sekolah yang siswanya sedikit kemungkinan mempunyai
penyiapan makanan yang sederhana dan pelayanan hanya diawasi oleh seorang
juru masak atau manajer dengan satu atau dua karyawan dan dibantu oleh siswa
13
yang bekerja part-time. Sekolah dengan jumlah siswa yang banyak di kota-kota
besar sering mempergunakan dapur produksi terpusat dan mengirim makanan
jadi ke sekolah-sekolah yang lebih kecil yang berada di sekitarnya. Manajemen
terpusat dengan pengawas di masing-masing unit sekolah merupakan
karakteristik sistem produksi terpusat/commissary (Palacio & Theis 2009).
Di negara-negara berkembang, penyediaan makanan di sekolah
mempunyai peranan kritis karena berfungsi untuk menjamin anak-anak dapat
belajar ketika mereka berada di sekolah. Anak-anak miskin sering pergi ke
sekolah dengan perut kosong. Tiga ratus juta anak-anak di dunia dalam keadaan
lapar kronis, kira-kira 170 juta dari anak-anak tersebut hadir di sekolah dan
belajar dengan kondisi melawan lapar. Program pemberian makanan di sekolah
membantu anak-anak miskin bersekolah, menolong mereka saat belajar di
sekolah. Anak-anak di pedesaan sering berjalan jauh menuju ke sekolah dengan
perut kosong. Banyak anak-anak tidak membawa makanan dari rumah untuk
dimakan di sekolah karena faktor kemiskinan. Anak-anak ini mempunyai masalah
untuk berkonsentrasi pada pelajaran di kelas. Para guru melaporkan bahwa tidak
sarapan dapat menjadikan anak-anak sekolah tertidur di dalam kelas dan tidak
mampu memperoleh manfaat pendidikan yang telah disediakan. Sindrom ini,
secara umum dikaitkan dengan lapar jangka pendek, dan dapat mempengaruhi
fungsi cognitive anak-anak, dan prestasi belajar. Beberapa studi mengemukakan
bahwa lapar jangka pendek bertambah buruk pada anak-anak yang mempunyai
riwayat kurang gizi (Cueto & Chinen 2008).
Proses Penyelenggaraan Makanan Anak Sekolah
Perencanaan Menu
Istilah “menu” berasal dari bahasa Perancis yang artinya daftar makanan
yang dihubungkan dengan kartu, kertas, atau media lain dimana daftar makanan
itu tertulis (Khan 1989). Menu itu sendiri “rangkaian dari beberapa macam
hidangan atau masakan yang disajikan atau dihidangkan untuk seseorang atau
kelompok orang untuk setiap kali makan, yaitu dapat berupa susunan hidangan
pagi, hidangan siang, ataupun hidangan malam” (Mukri dkk 1990).
Menu yang terencana baik dalam penyelenggaraan makanan anak di
sekolah dapat menjadi suatu alat penyuluhan gizi yang baik untuk siswa, karena
melalui menu tersebut dapat diajarkan pola makan yang baik. Pola makan yang
baik, secara tidak langsung dapat berperan sebagai alat penyuluhan gizi yang
14
baik bagi siswa. Perencanaan menu merupakan rangkaian kegiatan untuk
menyusun suatu hidangan dalam variasi yang serasi. Kegiatan ini sangat penting
dalam sistem pengelolaan makanan anak sekolah, karena menu sangat
berhubungan dengan kebutuhan dan penggunaan sumberdaya lainnya seperti
anggaran belanja. Perencanaan menu harus disesuaikan dengan anggaran yang
tersedia dengan mempertimbangkan kebutuhan gizi dan aspek kepadatan
makanan dan variasi bahan pangan (Mukri dkk 1990). Perencanaan menu
merupakan salah satu tugas yang paling penting dalam sistem penyelenggaraan
makanan anak sekolah (Khan 1989). Sistem penyelenggaraan makanan terdiri
atas beberapa sub-sistem. Sub-sistem ”menu” merupakan unsur paling utama
dalam kegiatan sistem penyelenggaraan makanan anak sekolah (Gambar 3).
Gambar 3 Hubungan sistem dan subsistem dalam penyelenggaraan
makanan (Sullivan 1989)
Dalam perencanaan menu anak sekolah, beberapa faktor yang perlu
dipertimbangkan agar tujuan penyelenggaraan makanan anak sekolah tercapai
adalah jumlah dan keahlian tenaga penjamah makanan, dana yang dibutuhkan,
peralatan yang dipergunakan, cara pembelian bahan pangan, cara memproduksi
makanan dan jenis pelayanan yang akan diberikan kepada anak sekolah.
Gambar 4 menunjukkan faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam
perencanaan menu. Faktor-faktor tersebut yaitu: 1) faktor siswa, yang terdiri dari
kecukupan gizi siswa, kebiasaan makan & kesukaan siswa terhadap makanan,
SUPRA SISTEM
SISTEM PENYELENGGARAAN MAKANAN
MENU
BIAYA
TENAGA PENJAMAH MAKANAN
PENYAJIAN MAKANAN
PENGOLAHAN BAHAN
PANGAN PEMBELIAN
BAHAN PANGAN
ALAT
15
karakteristik makanan & sifat rangsangannya, macam & jumlah siswa yang
dilayani, dan 2) faktor manajemen, yang terdiri dari sasaran & tujuan
penyelenggaraan makanan anak sekolah, dana yang tersedia, keahlian & jumlah
tenaga penjamah makanan, sarana & prasarana, musim/iklim dan keadaan
pasar, macam dan peraturan sekolah, serta metode produksi & sistem pelayanan
(Sinaga 2007; Mukri dkk 1990; Khan 1989).
Skala Hedonik Wajah (Lampiran )
Gambar 4 Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam perencanaan menu anak sekolah (Sinaga 2007)
Hal yang paling utama yang harus diperhatikan dalam menyusun menu
adalah kecukupan gizi anak sekolah. Menu yang dibuat harus sesuai dengan
angka kecukupan gizi berdasarkan pertimbangan umur & jenis kelamin. Untuk
sarapan sebaiknya diberikan 20-25% dari kecukupan siswa dan makan siang
diberikan 30% dari kecukupan siswa/hari. Menu yang direncanakan sebaiknya
disesuaikan dengan kebiasaan makan siswa. Kebiasaan makan siswa ditentukan
oleh faktor kejiwaan, faktor sosial-budaya, agama, kepercayaan, latar belakang
pendidikan, pengalaman, lingkungan hidup sehari-hari tempat asal dan
demografi (Khan 1989).
Menurut Khan 1989, makanan kesukaan adalah pilihan makanan dari
sekian banyak makanan yang dihidangkan kepada siswa. Faktor-faktor yang
mempengaruhi kesukaan siswa terhadap makanan adalah: 1) faktor intrinsik,
yaitu yang berasal dari penampilan makanan seperti warna, aroma, tekstur, rasa,
kualitas dan suhu makanan. Siswa cenderung tertarik pada penyajian makanan
yang menarik, dan warna yang serasi serta rasa yang enak; 2) faktor ekstrinsik,
meliputi lingkungan, situasi, promosi, musim dan suhu lingkungan; 3) faktor
MENU
SISWA
MANAJEMEN
SDM
SARANA & PRASARANA
MACAM & PERATURAN SEKOLAH
TIPE PRODUKSI & SISTEM
PELAYANAN MAKANAN
DANA PASAR & MUSIM
SASARAN DAN TUJUAN
JUMLAH SISWA
ORANG YG DILAYANI
KECUKUPAN GIZI SISWA KEBIASAAN MAKAN & KESUKAAN SISWA
TERHADAP MAKANAN
KARAKTERISTIK
MAKANAN & SIFAT
RANGSANGANNYA
16
Biologi, Fisiologi, dan Psikologi. Jika terjadi gangguan pada fungsi biologi,
fisiologi dan psikologi ini, maka kesukaan siswa terhadap makanan akan
berubah karena perubahan penilaian, persepsi, dan nafsu makan. Usia dan jenis
kelamin juga merupakan faktor biologis yang berpengaruh terhadap kesukaan
anak terhadap makanan. Contoh, anak sekolah cenderung senang makan yang
mengandung gula-gula seperti permen atau coklat. Faktor ke 4) adalah faktor
personal, yang berasal dari siswa itu sendiri, seperti tingkat keinginan dan
prioritas; 5) pengaruh dari orang lain, selera, suasana hati, emosi, keluarga; 6)
faktor Sosial Ekonomi. Faktor ini sangat berpengaruh sekali terhadap pemilihan
makanan. Jika penghasilan orangtua minim, siswa akan cenderung mengurangi
pengeluaran untuk makanan & minuman, sedangkan bagi siswa yang orang
tuanya berpenghasilan tinggi, dapat memilih berbagai macam makanan; 7) faktor
budaya & agama. Dalam ajaran agama, terdapat larangan pada setiap umatnya
untuk menjauhi beberapa makanan yang dianggap haram dan mutlak tidak boleh
dikonsumsi. Faktor agama & budaya sangat mempengaruhi kesukaan terhadap
makanan, seperti, muslim dilarang mengonsumsi daging babi dan hasil
produknya (Khan 1989).
Faktor-faktor tersebut diatas merupakan faktor yang saling berkaitan satu
sama lain. Kesukaan siswa terhadap makanan yang sifatnya lebih kompleks
dapat diketahui dengan melakukan survey pertanyaan atau dengan pengamatan
sisa makanan yang tidak dimakan oleh siswa. Kesukaan siswa terhadap
makanan didefinisikan sebagai derajat suka atau ketidaksukaan terhadap
makanan dan akan berpengaruh terhadap konsumsi pangan. Rasa kesukaan
terhadap makanan terbentuk dari keinginan makan untuk memenuhi rasa lapar
serta dari hubungan kesukaan pada masa anak-anak. Suatu makanan dianggap
memenuhi selera atau tidak, tergantung dari pengaruh sosial, budaya, dan sifat
fisik makanannya (Suhardjo 1986).
Menurut Gregoire & Spears (2007) untuk mengukur tingkat kesukaan
terhadap makanan, umumnya menggunakan skala hedonik yaitu makanan yang
dinilai oleh seseorang memiliki tingkatan “sangat suka” sampai “sangat tidak
suka”. Pengukuran tingkat kesukaan makanan untuk anak-anak umumnya
menggunakan skala hedonik wajah atau yang biasa disebut dengan skala wajah
tersenyum (smiley face). Gambar 5 menunjukkan contoh skala hedonik wajah
untuk mengukur tingkat kesukaan anak-anak terhadap menu yang disajikan.
Penggunaan metode hedonik wajah lebih mudah digunakan untuk anak-anak
17
sekolah dibandingkan dengan metode tulisan atau angka karena kedua metode
tersebut membutuhkan komunikasi dan pemahaman yang baik, kecerdasan, atau
kemampuan untuk berkomunikasi dalam bahasa.
Jenis Makanan Wajah anak
1. Makanan 1
Sangat Suka Suka Biasa-biasa Tidak Suka Sangat
Tidak Suka
2. Makanan 2
Sangat Suka Suka Biasa-biasa Tidak Suka Sangat
Tidak Suka
Gambar 5 Skala Wajah untuk mengukur tingkat kesukaan pada anak sekolah
(Gregoire & Spears 2007)
Daya terima seseorang terhadap makanan secara umum dapat dilihat
dari jumlah makanan yang habis dikonsumsinya. Sisa makanan atau jumlah
makanan yang tersisa (plate waste) merupakan metode yang digunakan untuk
mengukur daya terima makanan. Sisa makanan dapat digunakan dengan
menimbang berat makanan yang tidak dimakan oleh siswa. Pengamatan sisa
makanan di alat saji merupakan salah satu cara memperkirakan makanan yang
tidak dapat dihabiskan oleh siswa (Gregoire & Spears 2007). Cara mengukur
sisa makanan lainnya adalah dengan cara mengisi konsumsi yang dihabiskan
(self-reported consumption). Cara ini dapat dilakukan dengan memperkirakan
atau mengestimasi jumlah sisa makanan yang terlihat di alat saji dengan
menggunakan skala. Cara ini dikenal dengan metode Comstock yang sering
dipergunakan pada program makan siang siswa di sekolah (Gregoire & Spears
2007). Comstock membagi skala dalam 6 kategori yaitu: dimakan habis, dimakan
18
3/4 bagian, dimakan ½ bagian, dimakan ¼ bagian, hanya dicicipi dan tidak
dimakan (Gambar 6).
Jenis Makanan Saya
tidak
makan
Saya
hanya
cicipi
Saya
makan
¼ bgn
Saya
makan
½ bgn
Saya
makan
¾ bgn
Saya
makan
habis
1. Makanan 1
2. Makanan 2
Gambar 6 Skala Comstock untuk mengukur sisa makanan siswa (Gregoire &
Spears 2007)
Karakteristik makanan dan sifat rangsangannya meliputi aspek-aspek: 1)
warna, kombinasi yang menarik dan saling berkaitan dapat membantu
penerimaan terhadap makanan dan secara tidak langsung dapat menambah
nafsu makan siswa. Betapapun lezatnya makanan apabila warna penyajian tidak
menarik dapat mengakibatkan siswa enggan untuk mencoba memakannya.
Hindarilah makanan dengan warna yang sama, karena akan mengurangi
keindahan menu yang disajikan. Biasanya orang menghias menu dengan
tambahan garnish, seperti: peterselli, cheri, tomat atau dengan daun slada; 2)
bentuk makanan, dianjurkan untuk tidak dibuat dengan banyak variasi bentuk,
karena dapat menimbulkan ketidakserasian dan dapat mengurangi keindahan
menu. Bentuk makanan yang disajikan dapat dibedakan menjadi beberapa
macam, antara lain: sesuai bentuk asli bahan pangan, memotong bahan pangan
dengan teknik tertentu, bentuk sajian khusus seperti nasi tumpeng; 3) aroma
makanan mampu merangsang indera penciuman sehingga dapat
membangkitkan selera makan siswa. Aroma sate bakar di pinggir jalan membuat
orang yang sedang lewat ingin segera mampir untuk mencicipinya; 4) konsistensi
makanan, yaitu padat atau kentalnya makanan dapat memberikan rangsangan
19
lebih lambat terhadap manusia. Oleh karena itu, menu yang berkonsistensi padat
sebaiknya dicampur dengan yang lunak, seperti lontong sayur dengan kerupuk;
5) rasa makanan dapat berupa asin, asam, pahit, dan manis. Rasa ini dapat
dipadukan satu dengan yang lainnya dengan perbandingan yang sesuai dan pas,
agar tidak terjadi rasa yang tidak enak dalam masakan; 6) metode penyiapan,
perlu diperhatikan, seperti pada anak sekolah sebaiknya potongan bahan
pangan lebih kecil dari pada orang dewasa; 7) penyesuaian suhu, pada suhu
udara yang dingin biasanya anak lebih suka menu yang dapat menghangatkan
tubuh yaitu makanan panas. Pada suhu yang panas lebih disukai makanan
dingin, seperti es campur; 8) penyajian, merupakan aspek yang sangat
menentukan karena penyajian makanan adalah hal pertama yang dapat
mempengaruhi indera penglihatan siswa, maka diperlukan penyajian yang baik
dari segi alat saji maupun cara penyajiannya (Khan 1989).
Bila konsumen yang akan dilayani homogen seperti anak sekolah,
menyusun menu dapat lebih sederhana. Dalam penyelenggaraan makanan anak
sekolah, umumnya yang dilayani adalah para siswa, tetapi beberapa sekolah
juga melayani para guru dan pegawainya. Tujuan utama penyelenggaraan
makanan anak sekolah adalah melayani makanan siswa selama berada di
sekolah, dan umumnya bersifat pelayanan (service-oriented) bukan mencari
keuntungan (profit-oriented). Penyelenggaraan makanan anak sekolah
memberikan pelayanan yang sesuai dengan kecukupan gizi siswa dan harganya
terjangkau sesuai kemampuan siswa. Menu yang disusun harus sesuai dengan
dana yang ditetapkan. Makanan yang baik dan bergizi untuk anak sekolah bukan
berarti makanan yang harus mahal, oleh karena itu makanan anak sekolah yang
disusun hendaknya beragam dengan harga terjangkau (Sinaga 2007).
Dalam perencanaan menu dibutuhkan tenaga yang berkualitas dan
memiliki keahlian khusus mulai dari pembelian bahan pangan, penyiapan bahan
pangan, pemasakan bahan pangan sampai penyajian makanan. Sebaiknya
penyelenggara makanan anak sekolah memiliki tenaga penjamah makanan yang
cukup dalam hal kualitas dan kuantitasnya (Mukri dkk 1990). Ketersediaan
peralatan di dapur dapat menentukan jenis menu yang disusun baik dari segi
kualitas dan kuantitasnya. Perencanaan menu yang baik & efisien membutuhkan
keseimbangan hubungan antara bahan pangan, peralatan, dan tenaga penjamah
makanan. Menu yang direncanakan harus dapat dilaksanakan dengan
menggunakan alat-alat dan perlengkapan dapur yang tersedia. Jika alat dan
20
perlengkapan yang tersedia baik dan modern tentu menu yang dibuat dapat lebih
bervariasi (Khan 1989).
Iklim dapat mempengaruhi selera dan kebutuhan tubuh siswa. Pada
musim hujan, udara menjadi sejuk, siswa membutuhkan makanan yang sedikit
lebih banyak dari biasanya dan makanan yang diinginkan adalah makanan
panas. Iklim juga mempengaruhi musim terutama untuk buah-buahan dan
sayuran yang sifatnya musiman. Ada beberapa buah yang selalu ada sepanjang
hari dalam setahun seperti pisang, pepaya, dan nenas. Jika menyusun menu
sesuai dengan keadaan pasar/musim akan lebih menguntungkan karena
harganya relatif lebih murah (Mukri 1990). Peraturan sekolah yang menentukan
siapa yang bertanggung jawab untuk pengadaan makanan anak sekolah dan
siapa yang harus diberi makan (murid, guru dan pegawai). Berapa besar biaya
makanan (pembelian bahan pangan, biaya tenaga kerja, dan biaya bahan bakar)
yang disediakan untuk penyelenggaraan makanan anak sekolah juga harus
ditetapkan dalam peraturan sekolah (Sinaga 2007). Tipe produksi makanan anak
sekolah memiliki dampak yang besar terhadap jenis menu dan waktu yang
diperlukan untuk produksi dan penyajian makanan.
Sistem atau macam pelayanan yang diberikan kepada siswa dapat
berbeda-beda. Hal ini bergantung pada kemampuan tenaga penjamah makanan
berdasarkan efisiensi dan efektivitas penyelenggara makanan anak sekolah.
Macam pelayanan yang diberikan akan mempengaruhi susunan peralatan dan
tata alur penyajian makanan siswa. Dengan demikian perlu diperhitungkan
jadwal waktu pengolahan dan pelayanan makanan. Beberapa macam pelayanan
makanan yang dikenal di penyelenggaraan makanan anak sekolah adalah:
pelayanan cara cafetaria, prasmanan, dengan mesin makanan otomatis, dan
lain-lain.
Pembelian Bahan Pangan
Pembelian bahan pangan merupakan serangkaian proses penyediaan
bahan pangan melalui prosedur dan peraturan yang telah ditetapkan
sebelumnya, agar tersedia bahan pangan dengan jumlah dan macam serta
kualitas sesuai dengan yang direncanakan. Cara pembelian bahan pangan yang
tepat dapat meningkatkan efisiensi dan efektifitas penggunaan dana yang
tersedia. Mutu hidangan yang dimasak tergantung dari keadaan fisik dan kualitas
bahan pangan yang dibeli. Cara pembelian bahan pangan untuk makanan anak
21
sekolah dapat dilakukan langsung ke pasar atau melalui pelelangan (Palacio &
Theis 2009).
Pembelian langsung ke pasar biasanya dilaksanakan oleh sekolah yang
jumlah siswanya sedikit. Di negara-negara maju, pada umumnya pembelian
bahan pangan dikelola sendiri oleh penyelenggara makanan anak sekolah.
Sistem ini dianggap efisien dan ekonomis dan menghemat waktu pengawasan.
Penyelenggara makanan anak sekolah langsung mempertanggung jawabkan
semua kegiatan yang dilaksanakannya mulai dari perencanaan menu, hingga
tersedianya makanan siswa yang memenuhi standar. Penyelenggara makanan
anak sekolah jelas lebih menekuni bidangnya, menguasai keadaan pasar dan
sumber bahan pangan yang baik dan segar, matang ataupun setengah matang,
serta mampu menilai kualitas bahan pangan dengan tepat (Sinaga 2007).
Penerimaan Bahan Pangan
Penerimaan bahan pangan merupakan kelanjutan dari proses pembelian
bahan pangan. Penerimaan bahan pangan adalah kegiatan meneliti, memeriksa,
mencatat dan melaporkan bahan pangan yang diperiksa sesuai dengan
spesifikasi yang telah ditetapkan (Mukrie dkk 1990). Dalam penerimaan
diperhatikan juga jumlah, jenis, ukuran kualitas bahan dan batas waktu
kadaluarsa (Moehyi 1992). Jika penyelenggaraan makanan anak sekolah dalam
skala kecil, tidak perlu ada penerimaan bahan pangan, karena petugas pembeli
langsung belanja ke pasar dan membawa bahan ke tempat penyiapan untuk
diproses (Sinaga 2007).
Penyimpanan dan Pengeluaran Bahan Pangan
Penyimpanan dan pengeluaran bahan pangan adalah proses kegiatan
yang menyangkut penyimpanan dan penyaluran bahan pangan sesuai dengan
permintaan untuk kegiatan penyiapan bahan pangan. Fungsi penyimpanan
berbeda antara sekolah besar dan kecil. Bagi sekolah besar, penyimpanan dapat
bertindak sebagai stok bahan pangan dan sistem penyimpanannya dipusatkan.
Dalam sekolah kecil biasanya penyimpanan bahan pangan dilakukan hanya
sementara karena fasilitas yang terbatas. Pembelian bahan pangan hari ini
diperhitungkan untuk dihabiskan hari itu juga. Penyimpanan bahan pangan
dalam penyelenggaraan makanan anak sekolah dilakukan jika ada fasilitas yang
cukup. Tujuan penyimpanan bahan pangan adalah: 1) memelihara dan
mempertahankan kondisi dan mutu bahan pangan yang disimpan, 2) melindungi
22
bahan pangan yang disimpan dari kerusakan, kebusukan dan gangguan
lingkungan lainnya, 3) melayani kebutuhan macam dan jumlah bahan pangan
dengan mutu dan waktu yang tepat, 4) menyediakan stok bahan pangan dalam
jumlah dan mutu yang memadai (Palacio & Theis 2009).
Penyiapan Bahan Pangan
Penyiapan bahan pangan bertujuan untuk mempersiapkan racikan yang
tepat dari berbagai macam bahan pangan untuk berbagai masakan dalam jumlah
yang sesuai dengan standar porsi, dan jumlah siswa serta mempersiapkan
berbagai bumbu masakan sesuai standar resep (Mukri dkk 1990). Ditjen
Pelayanan Kesehatan (1981) menetapkan beberapa hal yang perlu diperhatikan
dalam kegiatan penyiapan makanan anak sekolah yaitu: 1) penyiapan bahan
pangan berdasarkan tertib kerja dan metode teknik penyiapan bahan pangan
dalam standar resep; 2) penyiapan bahan pangan memperhitungkan waktu dan
menu yang diproduksi; 3) peralatan, bahan pangan, dan bumbu-bumbu
disesuaikan dengan menu yang akan diolah dan diatur secara baik sehingga
memudahkan dalam melakukan pekerjaan; 4) pergunakan alat sesuai dengan
menu yang dimasak; 5) perlengkapan dan peralatan disusun sedemikian rupa
sehingga pekerjaan dapat dilakukan secara efektif dan efisien; 6) pergunakan
peralatan dengan baik dan benar untuk menghindari kecelakaan kerja; 7)
perhatikan urutan langkah-langkah kerja sesuai dengan metode teknik
penyiapan; 8) meja kerja, perlengkapan dan peralatan segera dibersihkan dan
disusun kembali setelah digunakan. Penyiapan sebaiknya dilakukan dengan baik
agar penampilan makanan baik dan nilai gizi bahan pangan tidak berkurang.
Metode Pemasakan Bahan Pangan
Pemasakan bahan pangan merupakan suatu kegiatan mengubah
(memasak) bahan pangan mentah menjadi makanan yang siap dimakan,
berkualitas, dan aman untuk dikonsumsi oleh siswa (Depkes 2003). Tujuan
pemasakan bahan pangan pada penyelenggaraan makanan anak sekolah
adalah mempertahankan nilai gizi pangan, meningkatkan nilai cerna bahan
pangan, mempertahankan dan menambah cita rasa, menambah aroma,
memperindah rupa, warna & tekstur makanan, dan membunuh kuman yang
berbahaya atau menghilangkan racun makanan sehingga aman dikonsumsi oleh
siswa (Palacio & Theis 2009). Memasak merupakan suatu pengetahuan dan seni
yang sudah dikenal sejak zaman dahulu, untuk menghasilkan makanan yang
berkualitas dan dapat memenuhi selera makan siswa. Makanan yang disajikan di
23
sekolah harus dapat merangsang kelenjar ludah, mata, lidah dan perasaan
sehingga makanan yang diproduksi sedap dipandang dan mempunyai rasa yang
lezat. Kesalahan dalam urutan dan pencampuran bumbu akan menghasilkan
makanan yang tidak menarik. Untuk dapat menghasilkan makanan yang
berkualitas tinggi di sekolah maka diperlukan pengolahan dengan cara yang
tepat, proporsi bahan pangan penyusun seimbang, bervariasi, disajikan dengan
menarik serta memenuhi standar sanitasi yang tinggi (Ditjen Pelayanan
Kesehatan 1981).
Proses pengolahan perlu mendapat perhatian karena kehilangan zat gizi
sering terjadi pada saat memasak (Hardinsyah dan Briawan 1994). Dalam
pemasakan bahan pangan di sekolah, beberapa peraturan yang harus
dilaksanakan adalah menjaga kualitas bumbu, melaksanakan pemasakan yang
benar, menetapkan tenggang waktu antara penyiapan dan waktu penyajian,
serta memperhatikan kehilangan nilai gizi atau kerusakan akibat pemasakan
yang terlalu lama.
Ada empat metode pemasakan bahan pangan yang sering dipergunakan
dalam penyelenggaraan makanan anak sekolah, yaitu metode konvensional,
produksi yang dipusatkan, makanan matang lalu didinginkan dan makanan
matang lalu dibekukan (makanan dimasak hari ini dan dikonsumsi hari
berikutnya), serta assembly atau serve atau hanya penyajian makanan (Palacio
& Theis 2009; Khan 1989). Metode konvensional berarti penyiapan, dan
pemasakan bahan pangan dilakukan dalam satu tempat, serta penyajian
makanan dilakukan pada hari yang sama. Metode produksi yang dipusatkan,
berarti pembelian, penyiapan, pemasakan bahan pangan dalam jumlah besar
dan dilakukan di sebuah dapur besar atau disebut juga dapur terpusat. Setelah
makanan matang lalu dibagikan ke tempat pelayanan yang membutuhkan yang
lokasinya dekat dengan tempat pemasakan. Metode ready prepared ada 2 jenis
yaitu cook-chill (matang didinginan) dan cook-freeze (matang dibekukan). Pada
metode ini, prinsipnya adalah makanan yang dimasak hari ini akan dikonsumsi
pada hari berikutnya. Penyiapan dan pemasakan bahan pangan dilakukan pada
hari yang berbeda dengan penyajian makanan. Metode assembly atau serve
berarti tidak melakukan kegiatan pembelian, penyiapan, pemasakan bahan
pangan, yang ada hanya kegiatan penyajian makanan. Jadi dalam metode
assembly hanya ada tempat penyajian atau ruang makan dan makanan yang
sudah matang saja.
24
Di dalam penyelenggaraan makanan anak sekolah, metode produksi
mana yang akan diterapkan sangat bergantung dari fasilitas sekolah, seperti
berapa jumlah tenaga penjamah makanan, adakah tempat penyimpanan bahan
pangan, adakah tempat penyimpanan makanan matang, dan waktu yang
tersedia untuk mengolah bahan pangan (Sinaga 2007). Metode produksi
penyelenggaraan makanan anak sekolah dengan dapur terpusat yang
dilaksanakan di India dan Chili dapat berjalan dengan baik di daerah yang padat
penduduknya, metode ini mungkin tidak berhasil di daerah yang lebih pedesaan
seperti di Mali. Keterlibatan masyarakat dan tenaga sukarelawan untuk
mempenyiapan makanan di Mali dapat menjadi metode yang baik di negara
pertanian, dan mungkin tidak cocok dilaksanakan di negara industri, karena para
keluarga tidak memiliki produk pertanian atau jadwal yang kondusif untuk ikut
terlibat dalam kegiatan penyelenggaraan makanan anak sekolah (Winch 2009).
Masing-masing negara seperti di Mali, Chili, dan India mempunyai
pengalaman yang berbeda dalam tujuan pemberian makanan bagi anak sekolah.
Di Mali, tujuan pemberian makanan anak di sekolah adalah memberi anak
kesempatan untuk mendapatkan kebutuhan gizi dasar yang terpenuhi dan dapat
menyelesaikan sekolah dasar. Pemberian makanan anak sekolah di Chili
bertujuan untuk menjamin kesetaraan dalam pendidikan. Di India pemberian
makanan anak sekolah merupakan hak dan kesempatan untuk hidup dan
berkembang. Jadi tujuan pemberian makanan anak di sekolah tidak harus selalu
sama di setiap negara. Pengalaman masing-masing negara menggambarkan
bahwa pemberian makanan anak di sekolah lebih dari sekedar memberi makan
siswa, tetapi juga akan membantu mereka memiliki sarana yang diperlukan untuk
tumbuh, belajar, dan berkembang (Winch 2009).
Kondisi pada penyiapan bahan pangan di berbagai negara berkembang
berbeda-beda, seperti pemanfaatan tenaga relawan karena jarak yang jauh
untuk mengambil air dan bahan bakar, fasilitas memasak yang lambat. Hal
tersebut menyebabkan penyiapan dan pemasakan bahan pangan untuk siswa di
pagi hari tidaklah mudah. Pendekatan-pendekatan yang dilakukan mulai
dikembangkan dan diuji untuk mengatasi beberapa kendala teknis dan logistik
dalam kegiatan penyelenggaraan makanan anak di sekolah. Hal ini
memungkinkan setiap sekolah dapat mempertimbangkan kendala untuk
pengembangan model yang dapat dilakukan dan dapat dimodifikasi (Winch
2009).
25
Metode Penyajian Makanan
Umumnya makanan anak sekolah disajikan dengan tipe (gaya) cafetaria.
Ada beberapa tipe pelayanan cafetaria yang sering dipergunakan di sekolah
yaitu: 1) cafetaria umum; 2) cafetaria dengan pelayanan; 3) kantin bergilir dan 4)
prasmanan. Dalam cafetaria umum, semua hidangan disajikan dalam bentuk
porsi dan diatur dalam kelompok hidangan yang siap untuk diambil oleh siswa.
Siswa dapat mengambil sendiri hidangan yang diinginkan. Tidak ada pelayan
dalam cara cafetaria umum ini. Tipe cafetaria umum banyak di laksanakan di
sekolah menengah atas (SMA). Dalam cafetaria dengan pelayanan, sebagian
dari hidangan tersedia dalam bentuk porsi yang siap untuk diambil siswa, dan
sebagian lagi hidangan disajikan atas permintaan siswa. Untuk jenis ini, harus
tersedia tenaga pelayan. Tipe cafetaria dengan pelayanan umumnya di
laksanakan di SMA. Dalam tipe kantin bergilir, siswa berbaris mengambil baki
makanan atau kotak makanan yang telah diisi dengan makanan dalam bentuk
porsi. Tipe kantin bergilir umumnya di laksanakan di sekolah dasar (SD), sekolah
menengah pertama (SMP) dan SMA. Dalam penyajian secara prasmanan, siswa
secara bergilir mengambil makanan dengan bebas menurut kemampuan dan
kecukupannya, di meja makan yang disediakan. Tipe prasmanan ini dapat di
laksanakan di SMP dan SMA (Pannell 1999).
Pendistribusian Makanan
Dalam proses distribusi makanan anak sekolah, ada dua cara yang sering
dilakukan kepada siswa, yaitu cara sentralisasi dan desentralisasi (Palacio &
Theis 2009). Cara sentralisasi adalah semua kegiatan pembagian makanan
dipusatkan pada suatu tempat. Sebelum memilih cara ini, penanggung jawab
penyelenggaraan makanan anak sekolah harus memperhatikan luas tempat
pembagian makanan, peralatan yang tersedia, dan tenaga yang ada. Sistem
sentralisasi sesuai untuk sekolah yang jumlah siswanya banyak dan tenaga
penjamah makanan terbatas. Tenaga penjamah makanan hanya diperlukan di
dapur produksi makanan. Cara desentralisasi adalah cara pendistribusian yang
diterapkan di sekolah yang memiliki ruang makan yang berada pada lokasi yang
berbeda. Dengan cara ini maka fokus kegiatan masih tetap berada di unit
pembagian utama, dan selanjutnya penataan makanan dan alat-alat makan
siswa disediakan di ruang dapur (pantry). Sistem ini membutuhkan ruang dapur
sementara untuk menghangatkan kembali makanan, membuat minuman dan
sejenisnya, menyiapkan alat makan yang bersih, menyajikan makanan siswa
26
sesuai dengan porsi yang ditetapkan, meneliti macam dan jumlah makanan,
serta membawa hidangan kepada siswa (Palacio & Theis 2009;Mukri dkk 1990).
Pencucian Alat Makan dan Alat Masak
Peranan alat makan dan alat masak dalam higiene sanitasi makanan
siswa sangatlah penting karena merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam
prinsip-prinsip higiene sanitasi makanan penyelenggaraan makanan anak
sekolah. Alat makan dan alat masak perlu dijaga kebersihannya setiap saat akan
dipergunakan. Untuk itu peranan pembersihan atau pencucian alat perlu
diketahui secara mendasar. Dengan membersihkan alat secara baik, akan
menghasilkan alat makan dan alat masak yang bersih dan sehat (Depkes 2006).
Alat makan meliputi piring, gelas, mangkuk, cangkir, sendok, pisau,
garpu, dan lain-lain. Alat saji dapat berupa peralatan kaca (chinaware), logam
(metalware), tembikar (ceramicware), plastik, dan lain lain. Peralatan masak
meliputi kuali/wajan, dandang/kukusan, pisau, talenan, oven dan lain-lain.
Dengan menjaga kebersihan peralatan makan dan masak, maka telah
membantu mencegah terjadinya pencemaran atau kontaminasi makanan yang
dapat terjadi karena peralatan yang digunakan (Depkes 2006).
Higiene dan Sanitasi Makanan
Sanitasi makanan dalam penyelenggaraan makanan anak sekolah
meliputi kegiatan usaha yang ditujukan terhadap semua tingkatan, sejak bahan
pangan mulai dibeli, disimpan, diolah dan disajikan untuk melindungi agar anak
sekolah tidak dirugikan kesehatannya. Usaha-usaha sanitasi dalam
penyelenggaraan makanan anak sekolah meliputi kegiatan-kegiatan: 1)
keamanan makanan dan minuman yang disediakan; 2) higiene perorangan dan
praktek-praktek penanganan makanan oleh penjamah makanan yang
bersangkutan; 3) keamanan terhadap penyediaan air; 4) pengelolaan
pembuangan air limbah dan kotoran; 5) perlindungan makanan terhadap
kontaminasi selama dalam proses pengolahan, penyajian dan penyimpanannya,
dan 6) pencucian, kebersihan dan penyimpanan alat-alat/perlengkapan (Depkes
2006). Sanitasi merupakan suatu usaha untuk menciptakan kondisi lingkungan
hidup yang menyenangkan dan menguntungkan kesehatan masyarakat. Istilah
sanitasi dan higiene mempunyai tujuan yang sama, yaitu mengusahakan cara
hidup sehat, sehingga terhindar dari penyakit, walaupun dalam penerapannya
mempunyai arti yang sedikit berbeda. Usaha sanitasi lebih menitik beratkan
27
kepada faktor-faktor lingkungan hidup manusia, sedangkan higiene lebih menitik
beratkan kepada kebersihan individu (Anwar H dkk 1988).
Pengertian higiene adalah upaya kesehatan dengan cara memelihara dan
melindungi kebersihan individu subyeknya, seperti mencuci tangan dengan air
bersih dan sabun untuk melindungi kebersihan tangan, cuci piring untuk
melindungi kebersihan piring, membuang bagian makanan yang rusak untuk
melindungi keutuhan makanan secara keseluruhan. Higiene sanitasi makanan
adalah upaya untuk mengendalikan faktor makanan, orang, tempat dan
perlengkapannya yang dapat atau mungkin dapat menimbulkan penyakit atau
gangguan kesehatan (Depkes 2006). Di Indonesia penilaian higiene dan sanitasi
penyelenggaraan makanan anak sekolah dapat dilakukan berdasarkan
Permenkes RI nomor : 1096/MENKES/PER/VI/2011 tentang higiene sanitasi
jasaboga.
Model Penyelenggaraan Makanan Anak Sekolah Model penyelenggaraan makanan mana yang ingin dilaksanakan di
sekolah sangatlah bergantung dari fasilitas yang ada di sekolah dan lingkungan
di sekitar sekolah. Model-model yang dapat dilaksanakan di sekolah adalah: 1)
penyiapan makanan dilakukan di sekolah, bahan pangan berasal dari
bantuan/sumbangan; 2) penyiapan makanan dilakukan di sekolah, bahan
pangan berasal dari lokasi di sekitar sekolah; 3) penyiapan makanan dilakukan di
sekolah, dapat berupa makanan lengkap atau kecil, tenaga penjamah berasal
dari pedagang makanan; 4) penyiapan makanan dilakukan di luar sekolah,
tenaga penjamah berasal dari swasta/katering; 5) penyiapan makanan dilakukan
di luar sekolah, tenaga penjamah dari masyarakat dan 6) kupon atau tunai atau
bahan pangan di bawa pulang
Model Penyiapan Makanan dilakukan di Sekolah, Bahan Pangan berasal dari
Bantuan/Sumbangan
Model ini dapat dilakukan jika ada badan/organisasi/lembaga yang
memberikan sumbangan bahan pangan dan sekolah mempunyai fasilitas dapur
untuk mempersiapkan dan mengolah makanan di dapur sekolah. Model ini
umumnya menyajikan makanan lengkap, mempunyai tenaga sendiri atau
membayar tenaga penjamah makanan dari luar sekolah. Semua bahan pangan
yang dibutuhkan merupakan bantuan/sumbangan dari badan/organisasi/lembaga
dari luar sekolah (UNESCO 2004; Del Rosso 1999).
28
Model Penyiapan Makanan dilakukan di Sekolah, Bahan Pangan berasal dari
Lokasi di Sekitar Sekolah
Model ini dapat dilaksanakan di sekolah yang memiliki fasilitas dapur
sekolah, dan menyajikan makanan lengkap, mempunyai tenaga sendiri atau
membayar tenaga penjamah makanan dari luar sekolah. Tenaga penjamah
makanan membeli bahan pangan yang ada di sekitar lingkungan sekolah untuk
kegiatan penyelenggaraan makanannya (WFP 2007). Model ini paling banyak
(81.5%) dilakukan di sekolah-sekolah negara Amerika Serikat (Pannell 1999). Di
Taiwan, sebagian besar (67%) sekolah mempergunakan model ini, yang disebut
sebagai “public-owned-public-managed”, yaitu sekolah memiliki dapur sendiri dan
menyelenggarakan makan siang bagi siswanya (Yang 2006). Di Indonesia
beberapa sekolah menerapkan model ini, khususnya sekolah yang siswanya
berasal dari keluarga mampu dan sekolah masih mempunyai lahan untuk
membangun dapur.
Model Penyiapan Makanan dilakukan di Sekolah, Tenaga Penjamah berasal
dari Pedagang Makanan
Model ini dapat dilaksanakan di sekolah yang memiliki fasilitas dapur
sekolah, dapat menyajikan makanan lengkap atau makanan kecil/selingan,
mempekerjakan tenaga penjamah makanan yang berasal dari pedagang
makanan yang ada di sekitar sekolah. Sekolah yang mempergunakan model ini
biasanya melakukan pelatihan tentang higiene dan sanitasi makanan terlebih
dahulu, supaya tenaga pedagang makanan dapat melakukan kegiatan
penyelenggaraan makanan dengan baik dan menghasilkan makanan yang aman
untuk dikonsumsi oleh siswa (Del Rosso 1999).
Kelebihan model penyiapan makanan dilakukan di sekolah adalah tidak
adanya tambahan biaya transportasi, lebih mudah mengontrol kualitas makanan
karena berada di dalam lingkungan sekolah, makanan dapat disajikan dalam
keadaan hangat tanpa menunggu waktu transportasi, tidak membutuhkan
peralatan untuk menghangatkan makanan. Kekurangan model ini adalah
membutuhkan investasi yang tinggi dalam hal penyediaan fisik dapur dan ruang
makan, peralatan dan perlengkapannya.
Model Penyiapan Makanan dilakukan di luar Sekolah, Tenaga Penjamah
berasal dari swasta/katering
Model ini dilaksanakan di sekolah yang belum memiliki fasilitas dapur
sekolah, menyajikan makanan lengkap atau makanan selingan/kecil,
29
mempekerjakan tenaga penjamah makanan dari sektor swasta, seperti dari
katering, dan membeli sendiri bahan pangan yang dibutuhkan. Dalam model ini
penyiapan dan pemasakan bahan pangan dilakukan di luar gedung sekolah,
mempergunakan fasilitas dapur swasta, seperti dapur katering. Makanan yang
matang kemudian dibawa ke sekolah untuk disajikan kepada siswa (Del Rosso
1999).
Model Penyiapan Makanan dilakukan di luar Sekolah, Tenaga Penjamah dari
Masyarakat
Model ini dilaksanakan di sekolah yang belum memiliki fasilitas dapur
sekolah, menyajikan makanan lengkap atau makanan selingan/kecil, membeli
sendiri bahan pangan, mempekerjakan tenaga penjamah makanan yang berasal
dari partisipasi masyarakat yang mau membantu dan peduli dengan pendidikan.
Tenaga penjamah makanan berasal dari masyarakat, seperti dari Komite
Sekolah (persatuan orang tua murid), masyarakat sekitar sekolah, ibu-ibu
Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Tenaga ini dapat bersifat sukarela
atau sosial atau dibayar dengan upah/honor yang rendah. Model ini
mempersiapkan dan memasak bahan pangan di dapur yang berada di luar
gedung sekolah. Dapur yang dipergunakan adalah dapur masyarakat yang
bersedia untuk melaksanakan kegiatan penyiapan dan pengolahan makanan
anak sekolah (Muhilal 1998).
Kelebihan model ini adalah tidak membutuhkan investasi yang tinggi,
karena semua kebutuhan fisik dapur, tenaga, peralatan dan perlengkapan untuk
melaksanakan kegiatan penyelenggaraan makanan dilaksanakan oleh pihak lain
(katering atau masyarakat). Konsentrasi tenaga pendidik difokuskan untuk
urusan akademik, dan tidak ada gangguan saat penyiapan dan pengolahan
bahan pangan, seperti bau makanan, dan dentingan suara peralatan (Palacio &
Theis 2009). Kekurangan model ini adalah makanan dalam keadaan dingin
sampai di sekolah terutama jika jarak antara sekolah dan tempat pengolahan
makanan sangat jauh. Dan untuk memanaskan makanan membutuhkan biaya
tambahan, seperti menyediakan alat untuk memanaskan makanan, dan ruang
pemanas, serta biaya transportasi meningkat.
Model Kupon atau Tunai atau Bahan Pangan di Bawa Pulang
Dalam model ini makanan tidak dikonsumsi di sekolah, tetapi dibawa
pulang ke rumah masing-masing siswa. Siswa mendapatkan bahan pangan
dalam jumlah tertentu atau uang tunai atau kupon yang dapat dipergunakan
30
untuk membeli makanan (Del Rosso 1999). Kelebihan model ini sama dengan
model penyiapan makanan dilakukan di luar sekolah. Kelemahan model ini
adalah tidak mengetahui apakah makanan yang dibawa pulang ke rumah benar-
benar di konsumsi oleh siswa sebagai sasaran program. Contoh negara yang
melaksanakan model ini adalah Banglades, Laos, Pakistan (PCD 2010).
31
32
PENYELENGGARAAN MAKANAN ANAK SEKOLAH DI BERBAGAI NEGARA
Amerika Serikat Negara maju seperti Amerika Serikat sejak tahun 1946 sudah menetapkan
program makan siang - National School Lunch Program (NSLP) di sekolah dan
masuk ke dalam Undang-undang yang ditanda tangani oleh Presiden Truman.
Program sarapan di sekolah dimulai sebagai pilot program pada tahun 1966 dan
diberlakukan sebagai program yang permanen oleh Congress tahun 1975.
National School Breakfast Program (NSBP) khususnya melayani anak-anak yang
sebagian besar berasal dari keluarga dengan pendapatan yang rendah dan
bertempat tinggal jauh dari sekolah sehingga tidak sempat sarapan (Pannell
1999).
Keluarga yang dikategorikan berada di bawah garis kemiskinan di
Amerika Serikat adalah yang berpenghasilan di bawah US $ 10.000 per tahun
untuk keluarga dengan jumlah anggota 3 orang dan di bawah US 13.000/tahun
untuk keluarga dengan jumlah anggota 4 orang. Kira-kira 84% peserta program
NSBP tersebut menerima makanan gratis atau dengan harga yang sudah
disubsidi oleh pemerintah (Pannell 1999). Pada tahun 1992, Pemerintah Federal
Amerika Serikat mengeluarkan biaya sekitar US $ 5,5 miliar atau setara dengan
sekitar Rp. 12,4 trilyun untuk penyelenggaraan makan siang bagi 24,6 juta anak
sekolah dari kelas 1 sampai kelas 9 dan sekitar 5 juta anak sekolah yang
berpartisipasi dalam NSBP. Salah satu tujuan program NSLP dan NSBP yang
dianggap sangat penting adalah membiasakan anak sekolah mengonsumsi
makanan sesuai dengan Pedoman Gizi yang ditetapkan secara resmi oleh
Pemerintah Amerika Serikat pada tahun 1989. Sudah ada tekad dari Pemerintah
Amerika Serikat bahwa pada tahun 2000, sebagian besar rakyat akan
mempunyai pola menu yang sesuai dengan Pedoman Gizi bagi orang Amerika.
Selain itu NSLP juga bertujuan agar komoditi pertanian setempat dapat terserap
untuk dalam kegiatan penyelenggaraan makanan anak sekolah (Palacio & Theis
2009; Pannell 1999).
Model penyelenggaraan makanan yang dilaksanakan di negara ini adalah
penyiapan makanan dilakukan di sekolah dengan bahan pangan lokal dan dapur
merupakan dapur terpusat. Hal ini berarti bahan pangan lokal dipersiapkan dan
diolah di sekolah. Dapur dan ruang makan berada di dalam gedung sekolah.
33
Tenaga penjamah makanan yang dipergunakan pada model ini adalah tenaga
sekolah atau tenaga dari luar sekolah dan dibayar oleh sekolah. Sekolah yang
jumlah siswanya banyak di perkotaan sering mempergunakan dapur produksi
terpusat, dan mengirimkan makanan jadi ke sekolah yang lebih kecil yang berada
di sekitarnya. Manajemen terpusat dengan pengawas dari masing-masing
sekolah merupakan karakteristik sistim dapur terpusat (Palacio & Theis 2009).
Contoh penyelenggaraan makanan anak sekolah yang diamati adalah
Clinton Elementary School, dan Southwest High School, di Nebraska, USA pada
Januari 2009. Model yang dipergunakan Southwest High School dan Clinton
Elementary School adalah penyiapan makanan dilakukan di sekolah dengan
bahan pangan lokal dan dapur terpusat. Hal ini berarti dapur tidak berada di
Clinton Elementary School, tetapi lokasi dapur berada di Southwest High School.
Penyiapan dan pemasakan bahan pangan dilakukan di dapur Southwest High
School yang letaknya tidak jauh dari Clinton Elementary School. Makanan yang
sudah matang dimasukkan ke dalam kereta makan dan diangkut dengan
menggunakan mobil khusus pengangkut makanan. Clinton Elementary School
memiliki ruang makan yang dilengkapi dengan televisi. Cara pelayanan yang
dilakukan di Clinton Elementary School adalah dengan cara kantin bergilir yaitu
siswa secara bergilir mengambil baki makanan yang telah diisi dalam bentuk 1
porsi. Selama makan, guru mengawasi siswa agar menghabiskan makanannya.
Setelah makan, alat saji yang kotor ditempatkan di atas ban berjalan (conveyor)
yang terhubung sampai di ruang pencucian alat saji (dishwashing machine).
Kegiatan pelayanan makanan Clinton Elementary School dan Southwest High
School, di Nebraska, USA dapat dilihat pada Lampiran 9.
Peru Peru merupakan salah satu negara berkembang seperti halnya
Indonesia. Pemberian makanan pada anak sekolah di Peru berupa sarapan yang
terdiri dari sekitar 80 gr roti dan 200 cc susu. Sejak April 1993, Peru menerapkan
program sarapan di sekolah di ibukota dan lima desa di lima provinsi Andean
yang miskin. Kriteria seleksi daerah miskin adalah kombinasi tingkat kemiskinan
dan prevalensi bayi dan anak penderita gizi kurang di suatu daerah. Tujuannya
untuk mempromosikan gizi yang lebih baik, meningkatkan pendidikan, dan
meningkatkan jumlah kehadiran anak-anak yang terdaftar di sekolah dasar.
Manfaat ini diharapkan dapat menggantikan kerugian biaya sosial dari kebijakan
ekonomi yang diterapkan oleh pemerintah sejak tahun 1990 (Powell 1998).
34
Model penyelenggaraan makanan yang dilaksanakan di Peru adalah penyiapan
makanan dilakukan di luar sekolah dengan bahan pangan lokal dan dapur
terpusat yaitu sekolah memanfaatkan pabrik roti untuk memenuhi kebutuhan
sarapan siswa.
Jepang Jepang mulai melaksanakan program makan siang di sekolah sejak 1946.
Program ini ditetapkan sebagai Undang-Undang tahun 1954. Pada tahun 1996,
lebih dari 90% sekolah dasar di Jepang telah menerapkan program ini (Florencio
2001). Di negara Jepang, disebutkan bahwa penanaman nilai-nilai melalui
program makan siang di sekolah berjalan dengan sangat baik. Kecintaan siswa
pada menu tradisional, sekaligus cinta produk lokal negerinya, menghargai jerih
payah petani, peternak, nelayan dan disiplin mengikuti etika makan terpatri
dalam diri anak sekolah tanpa merasa dipaksa untuk melakukan semua kegiatan
tersebut (Roosita 2007). Model penyelenggaraan yang dilaksanakan di Jepang
adalah model penyiapan makanan dilakukan di sekolah dengan bahan pangan
lokal dan dapur terpusat. Tenaga yang dipergunakan pada model ini adalah
tenaga sekolah atau tenaga khusus dari luar sekolah dan di bayar oleh sekolah.
Chili Di negara Chili, program pemberian makan di sekolah dimulai tahun
1963. Program ini diperuntukkan bagi anak-anak sekolah yang pendapatan
orang tuanya termasuk rendah. Pada tahun 1988, lebih dari setengah juta anak-
anak sekolah menerima pelayanan makanan sebagai sarapan dan makan siang
atau makan siang dan makanan kecil (Florencio 2001). Pada tahun 1988,
pemerintah Chili memasukkan program pemberian makanan anak sekolah ke
dalam Undang-Undang Pendidikan (Winch R. 2009). Model penyelenggaraan
yang dilaksanakan di Chili adalah model penyiapan makanan dilakukan di
sekolah dengan bahan pangan lokal dan dapur terpusat. Tenaga yang
dipergunakan pada model ini adalah tenaga sekolah atau tenaga khusus dari
luar sekolah dan dibayar oleh sekolah.
Jamaika Penyelenggaraan makan siang di sekolah di Jamaika dimulai tahun 1926,
yang dibiayai oleh sekelompok dermawan dalam wilayah perusahaan-
perusahaan. Marcus Garvey Drive merupakan perusahaan yang bertanggung
jawab mempersiapkan makan siang untuk 60.000 siswa di daerah
35
perusahaannya. Pendistribusian makanan yang sudah matang dilakukan dengan
menggunakan truk milik pemerintah (Simeon 1998). Partisipasi pemerintah
dimulai pada 1939, di beberapa sekolah, dan diperluas pada tahun 1955, dengan
bantuan komoditas pangan dari Amerika Serikat. Dapur terpusat didirikan di
daerah perusahaan untuk memasak makan siang yang panas bagi anak-anak.
Pada tahun 1976, USAID melaksanakan Program Perdamaian sebagai hasil
kesepakatan antara Pemerintah Jamaika dan Pemerintah Amerika Serikat.
Berdasarkan perjanjian ini ada tambahan komoditas pangan yang diterima dari
USAID, antara 1975 dan 1988. Makanan juga diterima dari donor lain seperti
Masyarakat Ekonomi Eropa (EEC) dan Lembaga Perkembangan Internasional
Kanada (CIDA). Komoditas yang diterima dari EEC adalah: minyak, mentega,
susu bubuk, dan tepung jagung, dari USAID berupa tepung terigu, tepung
jagung, bulgur, jagung, dan campuran kedelai (soya blend), dari CIDA berupa
bubuk susu skim. Pemerintah Jamaika kemudian memperkenalkan program
makan siang di sekolah sejak tahun 1973 dengan menyediakan makanan
kepada 135 sekolah (Chang 1996). Pada tahun 1976, Departemen Pendidikan
Jamaika dengan bantuan dari Program USAID, memperkenalkan program
pemberian susu di sekolah. Program susu ini berakhir pada awal tahun 1980.
Pada tahun 1984 bantuan dari World Food Programme (WFP),
memperkenalkan Program Nutribun sebagai Pilot Project. Percontohan ini
melayani 14.500 penerima di St Thomas dan Trelawny. Pada tahun 1985
program Nutribun memberi makan 95.000 siswa di taman kanak-kanak, dan
Sekolah Menengah. Program ini diperluas untuk memberi makan 150.000 siswa
Dasar, Bayi, SD, semua sekolah umum di paroki-paroki St. Catherine, St.
Thomas, Trelawny, St. Ann, St. James, dan St. Andrew. Sebagai tambahannya
45.000 penerima makanan di paroki-paroki di Manchester, Kingston, Portland
dan St. Mary (Simeon 1998). Model penyelenggaraan makanan anak sekolah
yang dilaksanakan di Jamaika adalah model penyiapan makanan dilakukan di
dapur terpusat sekolah dengan bahan pangannya berasal dari bantuan. Tenaga
yang dipergunakan pada model ini adalah tenaga sekolah atau tenaga khusus
dari luar sekolah dan dibayar oleh sekolah.
Banglades Pemerintah Banglades meluncurkan program makanan untuk pendidikan
(Food for Education/FFE) pada tahun 1993. Program FFE menyediakan ransum
makanan bulanan gratis (beras atau gandum) kepada keluarga-keluarga miskin
36
di pedesaan jika anak-anak mereka hadir di sekolah dasar. Pada tahun 2002,
Program Primary Education Stipend (PESP), diberlakukan untuk menggantikan
program FFE, dengan cara memberikan bantuan uang tunai kepada keluarga
miskin jika anak-anak mereka hadir di sekolah dasar. Pemerintah Banglades juga
menyediakan bantuan tunai kepada anak-anak perempuan di sekolah menengah
melalui program yang disebut ”four secondary school stipends". Program
pemindahan tunai ini bertujuan meningkatkan pendaftar dan tingkat bertahannya
siswa di sekolah dasar dan menengah di pedesaan Banglades. Studi terbaru
mengindikasikan bahwa ada pengaruh positif program ini untuk peningkatan
bidang pendidikan (Ahmed 2003). Model penyelenggaraan makanan yang
dilaksanakan di Banglades merupakan model membawa pulang uang (bantuan
langsung tunai) atau makanan dalam jumlah tertentu. Dalam model ini makanan
tidak di konsumsi di sekolah, tetapi di bawa pulang ke rumah masing-masing
siswa.
Philipina Pada tahun 1963, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Philipina
melaksanakan Applied Nutrition Program (ANP) yang bertujuan untuk
mengeliminasi kekurangan gizi pada siswa berusia 7 sampai 14 tahun. Pelatihan
dalam bidang gizi, cara memproduksi makanan, cara pemberian makanan
tambahan dan penyuluhan gizi diselenggarakan untuk mencapai tujuan tersebut.
Pemberian makanan tambahan berupa kue/makanan kecil dan sup sayuran
dengan metode self-help supplementary feeding, yaitu pemberian makanan
tambahan swadaya. Pemberian makanan tambahan dilakukan 2 sampai 3 kali
dalam seminggu, dan siswa membayar sebesar US $ 0,02 untuk setiap kali
makan. Hasil pemberian makanan menunjukkan bahwa berat badan dan kondisi
fisik anak-anak meningkat, lebih responsif dan aktif bermain di dalam kelas.
Angka ketidakhadiran di sekolah juga berkurang (Florencio 2001;Muhilal 1998).
Pada tahun 1979 CARE (Cooperatives for American Relief Everywhere)
memberikan makanan tambahan kepada 3,6 juta anak sekolah di Pilipina. CARE
menyediakan roti (pan de sal) yang terbuat dari tepung yang difortifikasi dengan
kedelai. Satu buah roti mengandung 250 kilokalori dan 8,4 gr protein. Sup
sayuran sebagai tambahannya mengandung 50 kilokalori, dan dipersiapkan di
dapur sekolah serta bahan-bahannya berasal dari kebun sekolah, atau bahan
makanan lokal, sehingga total energi yang dikonsumsi anak 300 kilokalori. CARE
menyediakan dana untuk roti, sedangkan Departemen Pendidikan dan
37
Kebudayaan Pilipina menyediakan dana untuk transportasi, alat, tempat, tenaga
dan dana operasional. Roti dipersiapkan dan dimasak oleh pabrik roti lokal yang
dikontrak oleh sekolah. Roti diberikan gratis jika siswa tidak dapat membayar
sebesar US $ 0,014. Total biaya yang dikeluarkan oleh CARE pada tahun 1979-
1980 adalah sebesar US $ 280.259,17. Hasil pemberian makanan tambahan
menyebutkan bahwa 35,6% anak kurang gizi pada awal program, menurun
menjadi 29,1% di akhir program. Sekolah dengan persentase tertinggi anak gizi
kurang menunjukkan peningkatan tertinggi dalam perbaikan status gizi siswa
(Florencio 2001;Muhilal 1998).
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Pilipina dan The Catholic Relief
Services (CRS) melaksanakan Targetted School Feeding Program (TSFP) yaitu
memberikan makanan tambahan kepada siswa TK dan SD yang berat badannya
kurang serta untuk meningkatkan status gizi dan kesehatan siswa. Pada tahun
ajaran 1980/1981, sebanyak 200.000 siswa yang kurang berat badannya ikut
dalam program pemberian makanan tambahan tersebut. Pemberian makanan
tambahan berupa pan de sal (roti) yang terbuat dari tepung yang difortifikasi
dengan kedelai, mengandung 250 kilokalori dan 8,4 gram protein. Sekolah
mengolah sup dan jus buah-buahan yang mengandung 50 kilokalori, sehingga
total energi makanan tambahan adalah 300 kilokalori/hari. CRS memesan
kepada pabrik roti untuk membuat dan mendistribusikan roti ke sekolah-sekolah
yang terlibat dalam program. Siswa membayar US $ 0,02 per roti, dan anak-anak
dengan status gizi kurang diberi roti pan de sal gratis (Florencio 2001;Muhilal
1998).
The World Food Program-Assisted Elementary School Feeding di
Mindanao (WFP-ESFP) pada tahun 1979-1981 menyelenggarakan pemberian
makanan tambahan kepada 1 juta siswa (kelas 1 sampai 6) di 2.856 SD.
Sekolah-sekolah dalam program tersebut sebagian besar berada di daerah
terbelakang. WFP menyediakan 2 macam makanan yaitu tepung yang
difortifikasi dengan kedelai dan susu jagung-kedelai. Seperti halnya program
yang dilaksanakan CARE dan CRS, makanan diberikan dalam bentuk roti pan de
sal yang mempunyai kandungan energi 380 kilokalori, 15 gram protein, 6 gram
lemak dan 882 IU vitamin A dalam satu pasang roti. Makanan diberikan setiap
hari kepada 500.000 siswa. Untuk meningkatkan nilai gizi roti, diberikan jus buah-
buahan atau sup sayur 2 kali dalam satu minggu. Siswa membayar US $ 0,0135
sampai US $ 0,04 yang ikut dalam program tersebut. Dana ini dipergunakan
38
untuk membeli bahan pangan lokal dan biaya untuk pengolahan makanan. Susu
jagung-kedelai ditambahkan kedalam bubur, sup atau kue-kue kecil. Sayuran
dari kebun sekolah atau rumah, dan makanan lokal dimasak menggunakan susu
jagung-kedelai, sehingga makanan tersebut mengandung 370 kilokalori, 13 gram
protein, 6 gram lemak dan 1.700 IU vitamin A. Makanan diberikan sebanyak 2
sampai 3 kali perhari karena siswa tidak dapat mengonsumsi sekaligus. Roti
dibuat di pabrik roti, sedangkan susu jagung-kedelai dibuat di sekolah. Makanan
ini diberikan selama 5 hari dalam seminggu pada tahun pertama, selama 4 hari
dalam seminggu pada tahun kedua, dan selama 3 hari dalam seminggu pada
tahun ketiga. Selama 3 tahun proyek ini diselenggarakan, WFP mengeluarkan
dana sebesar US $ 16,2 juta (Florencio 2001;Muhilal 1998).
Pengaruh pemberian makanan tambahan terhadap tingkat kesehatan dan
status gizi dapat dilihat dengan membandingkan berat dan tinggi badan pada
awal dan akhir periode pemberian makanan tambahan tersebut. Setelah satu
tahun, WFP dan Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan mengamati adanya
peningkatan terhadap jumlah kehadiran siswa di kelas, menurunnya angka siswa
putus sekolah, dan meningkatnya jumlah siswa yang berstatus gizi normal.
Partisipasi dari ibu-ibu yang anaknya terlibat dalam penelitian cukup baik. Ibu-ibu
PKK dalam program ini menunjukkan bahwa pemberian makanan tambahan
penting bagi kesehatan anak-anak mereka (Muhilal 1998). Model
penyelenggaraan yang dilaksanakan di Pilipina adalah model penyiapan
makanan dilakukan di dapur sekolah dan di luar sekolah. Hal ini berarti bahan
pangan lokal untuk pembuatan sup dan jus dilakukan di sekolah, dan roti
diserahkan ke pabrik roti. Tenaga yang dipergunakan untuk membuat sup dan
jus merupakan tenaga sekolah.
Indonesia Di Indonesia perbaikan gizi anak usia sekolah tertuang dalam pasal 11
Undang-undang No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan. Dalam UU ini tercantum
bahwa upaya kesehatan dilaksanakan melalui berbagai kegiatan, salah satunya
adalah perbaikan gizi. Dalam rangka perbaikan gizi masyarakat, pemerintah
sebenarnya telah menetapkan program, sebagaimana dituangkan dalam
Program Pembangunan Nasional Bidang Pembangunan Sosial dan Budaya.
Salah satu kegiatan pokok yang tercakup dalam program ini adalah
melaksanakan perbaikan gizi institusi, seperti di sekolah, rumah sakit,
perusahaan, panti asuhan, dan lain-lain, akan tetapi program perbaikan gizi di
39
sekolah belum dapat dilaksanakan semestinya (Sinaga 2009). Dalam UU RI
nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan pada pasal 79 ayat 1 tercantum bahwa,
kesehatan sekolah diselenggarakan untuk meningkatkan kemampuan hidup
sehat peserta didik dalam lingkungan hidup sehat sehingga peserta didik dapat
belajar, tumbuh, dan berkembang secara harmonis dan setinggi-tingginya
menjadi sumberdaya manusia yang berkualitas, dan ayat 2 menyatakan bahwa,
kesehatan sekolah diselenggarakan melalui sekolah formal dan informal atau
melalui lembaga pendidikan lain.
Indonesia pada hakekatnya telah melaksanakan Program Makanan
Tambahan Anak Sekolah (PMT-AS) yang dilakukan sebagai pilot tested di
beberapa provinsi awal tahun 1990 dan dikenal sebagai kebijakan nasional, dan
disetujui oleh presiden, tahun 1996. Pada tahun 1996/1997 Pemerintah
Indonesia telah melaksanakan Program Makanan Tambahan Anak Sekolah
(PMT-AS) di wilayah luar Jawa-Bali. Selanjutnya tahun 1997/1998, program
tersebut diperluas ke provinsi di wilayah Jawa-Bali. Tujuan PMT-AS adalah
mengurangi angka ketidakhadiran murid di sekolah, menghilangkan kelaparan
dalam jangka pendek, meningkatkan asupan energi, pendidikan gizi dan
kesehatan bagi anak sekolah, dan mengurangi penyakit kecacingan melalui
pemberian obat cacing 2 kali setahun. Pada tahun 1997/98 pengeluaran
pemerintah Indonesia untuk PMT-AS lebih dari US$ 100 juta (Studdert &
Soekirman 1998).
Secara umum, program ini bertujuan untuk meningkatkan status gizi
anak-anak sekolah dan meningkatkan perekonomian masyarakat. Persyaratan
makanan yang diberikan kepada anak-anak sekolah adalah: 1) makanan
berwujud sebagai makanan kecil, bukan makanan lengkap, 2) makanan
menggunakan bahan pangan lokal, dan 3) makanan sebagai makanan kecil yang
biasa dikonsumsi oleh masyarakat. Dalam penyiapan pembuatan PMT-AS,
program ini melibatkan masyarakat, guru sekolah, dan tenaga gizi dari pusat
kesehatan masyarakat (KEMENDAGRI 2010).
Program ini mencakup anak-anak di sekolah dasar yang berumur 6-12
tahun, baik di kota maupun di desa. Program ini juga menyediakan tablet
deworming diberikan dua kali satu tahun. Makanan kecil pada awalnya
direncanakan untuk dibagi-bagikan kepada anak-anak minimal selama 108 hari
dalam satu tahun, tetapi karena keterbatasan anggaran, diberlakukan hanya
selama 90 hari dalam satu tahun. Makanan kecil ini sebagai pemberian makanan
40
tambahan di sekolah berupa makanan tradisional yang bertujuan dapat
memperpendek waktu penyiapan dalam pengolahannya. Biaya yang disediakan
untuk program ini sebesar 10-15 sen US$ per anak. Makanan ini merupakan
makanan lokal yang diproduksi dengan kandungan 300 kilokalori dan 5 gram
protein.
Tujuan lain dari program ini adalah untuk menghindari makanan industri
yang menghasilkan makanan kecil, karena sasaran lain juga untuk meningkatkan
produksi makanan lokal. Bahan pembuat makanan kecil yang digunakan adalah
kaya karbohidrat, seperti akar umbi-umbian (singkong, ubi manis, keladi, dan
lain-lain), serealia (beras, jagung, dan lain-lain), buah-buahan (pisang, dan lain-
lain) serta sayur-sayuran. Makanan ini juga bukan sebagai makanan pengganti
dalam makanan keluarga, karena tujuan pemberian makanan sekolah ini adalah
sebagai tambahan terhadap makanan sehari-hari yang dikonsumsi (Studdert &
Soekirman 1998).
PMT-AS juga diharapkan dapat meningkatkan ketahanan fisik anak
misalnya dengan menurunnya angka ketidakhadiran karena sakit, meningkatnya
kegairahan di kelas, menurunnya angka murid yang pingsan ketika upacara
bendera, dan dalam jangka waktu yang lama dapat meningkatkan status gizi (di
Manado dari 8,42% status gizi kurang pada tahun 1996 menjadi 5,06% pada
tahun 1997), absensi dan putus sekolah menurun (kasus di kecamatan Cibal
Nusa Tenggara Timur, absensi turun dari 18% Tahun Ajaran 95/96 menjadi 12%
Tahun Ajaran 96/97), dan meningkatnya prestasi murid, contoh di kecamatan
Muarabulian Jambi yang mengungkapkan adanya peningkatan rata-rata nilai
Matematika, IPA dan IPS (Riyadi 2006).
Pada tahun 2000, pemberian makanan mencakup 9,8 juta anak-anak
sekolah di Indonesia, tetapi sejak 2001, hanya 30% distrik/daerah yang
melakukan program ini. Hal tersebut karena keterbatasan anggaran ekonomi
sehingga masyarakat tidak bisa melanjutkan program. Program pemberian
makanan sekolah dari NGO Amerika bekerjasama dengan Departemen
Pendidikan Nasional Republik Indonesia menyediakan susu untuk Program
Kesehatan Sekolah (Program Susu UKS). Pada tahun 2003 susu dan/atau
biskuit dibagikan kepada 580,000 anak sekolah, tiga kali dalam satu minggu
yang mencakup sekitar 2,900 sekolah dasar (SD negeri dan Islam) di 70 daerah
di sembilan provinsi (Judhiastuty 2005). Model yang dipergunakan dalam
41
program tersebut adalah penyiapan makanan dilakukan di luar sekolah,
melibatkan faktor swasta, yaitu pabrik makanan.
Pada tahun 2010 sebanyak 1.385.000 siswa Taman Kanak-kanak dan
Sekolah Dasar serta Raudlatul Atfal dan Madrasah Ibtidaiyah di 27 kabupaten
dan kota di 27 provinsi yang termasuk daerah tertinggal menerima makanan
tambahan berupa kudapan. Dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara Perubahan (APBN-P) 2010, Kementerian Pendidikan Nasional
mendapatkan sebesar Rp 218 miliar dan Kementerian Agama sebanyak Rp 32
miliar. Setiap peserta didik pada setiap kali makan akan mendapatkan kudapan
dengan kandungan energi berkisar 300 kilokalori dan 5 gram protein. Biaya per
orang program ini (biaya pembelian bahan pangan, ongkos masak dan biaya
operasinal lainnya) untuk kawasan Indonesia Barat sebesar Rp 2.250,- dan
untuk Kawasan Indonesia Timur sebesar Rp 2.600. Program ini merupakan
upaya bersama berbagai kementerian/lembaga. Penetapan sasaran kabupaten
berdasarkan pada kriteria kabupaten tertinggal, persentase penduduk miskin
yang tinggi, dan prevalensi gizi penduduk (KEMENDAGRI 2010).
Menu kudapan ditentukan oleh ibu-ibu PKK yang melaksanakan
pengolahan bahan pangan sesuai dengan biaya yang telah ditetapkan dari
pemerintahan pusat. Bahan kudapan dianjurkan berasal dari lokasi setempat. Ibu
PKK dapat juga mempergunakan buku pedoman pembuatan kudapan dari
berbagai provinsi yang disediakan oleh tim pusat PMT-AS (KEMENDAGRI
2010). Pada tahun 2011, PMT-AS dilakukan dengan biaya per orang di kawasan
Indonesia Barat ditingkatkan menjadi Rp 2.500 (KEMENDIKNAS 2011).
Model penyelenggaraan PMT-AS di Indonesia yang dilakukan sejak tahun
1996 sampai pada tahun 2011 adalah model penyiapan makanan dilakukan di
luar sekolah dengan bahan pangan lokal, melibatkan partisipasi masyarakat
khususnya ibu PKK. Dapur yang dipergunakan merupakan dapur yang
disediakan oleh Tim PKK. Ibu PKK membeli langsung bahan pangan di pasar
terdekat atau dari hasil pertanian setempat. Perencanaan menu, pengolahan,
pendistribusian PMT-AS sampai di sekolah semua dilakukan oleh ibu PKK
(KEMENDAGRI 2010).
Berdasarkan beberapa hasil monitoring dan evaluasi yang dilaksanakan
tim PMT-AS pusat di lapangan (penulis merupakan anggota tim PMT-AS pusat),
didapatkan bahwa ibu PKK menyatakan bahwa sangat susah membuat kudapan
dengan kandungan gizi yang telah ditetapkan, karena umumnya ukuran/porsi
42
kudapan besar dan pada kenyataannya tidak dapat dihabiskan oleh siswa.
Kudapan yang ditampilkan dengan baik pun belum tentu dapat dihabiskan oleh
siswa. Hasil monitoring dan evaluasi yang dilakukan oleh penulis pada tanggal
20 desember 2011, di SDN Sogiyan 1 kecamatan Omben kabupaten Sampang
Madura, ibu PKK menyerahkan pengolahan kudapan PMT-AS kepada kepala
sekolah karena mereka tidak dapat melaksanakan sesuai petunjuk yang
ditetapkan. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan, didapatkan informasi
bahwa ibu PKK merasa kesulitan merencanakan dan membuat menu kudapan
dengan syarat energi 300 kilokalori dan 5 gram protein.
DAFTAR PUSTAKA Ahmed AU. 2004. Impact of Feeding Children in School: Evidence From
Bangladesh. International Food Policy Research Institute/IFPRI,
Washington D.C. USA.
Chang SM et al. 1996. Effects of Breakfast on Classroom Behavior in Rural
Jamaican School-children. Food and Nutrition Bulletin 17:248-257.
Chitra U and Reddy CR. 2005. The Role of Breakfast in Nutrient Intake of Urban
Schoolchildren. Public Health Nutrition 10(1): 55-58.
Cueto S and Chinen M. 2008. Educational Impact of a School Breakfast
Programme in Rural Peru. International Journal of Educational
Development 28 : 132-148.
Del Rosso JM. 1999. School Feeding Programs : Improving effectiveness and increasing the benefit to education. Oxford: University of Oxford.
________. 2008. Riset Kesehatan Dasar 2007. Departemen Kesehatan RI.
________. 2008. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007: Provinsi Jawa Barat. www.depkes.go.id [ 10 Februari 2011].
Florencio CA. 2001. Developments and Variations in School-Based Feeding
Programs Around the World. Nutrition Today 36:29-36.
Gregoire MB & Spears MC. 2007. Foodservice Organizations: A Managerial and Systems Approach 6th ed. New Jersey: Pearson Education.
Hardinsyah. 2012. Breakfast in Indonesia pada symposium healthy breakfast
[makalah]. 16 Juni 2012. Jakarta.
Khan MA. 1989. Food Service Operation. New York: Van Nostrand Reinhold
Company Inc.
43
[Kemendiknas] Kementerian Pendidikan Nasional. 2011. Petunjuk Teknis Pengolahan Kudapan Nusantara dalam PMT-AS. Jakarta.
Muhilal H. 1998. Program Makanan Tambahan Anak Sekolah di Negara Lain dan
di Indonesia. Gizi Indonesia 23: 1-9. Muhilal H & Damayanti. 2006. Gizi untuk Anak Sekolah Dalam Hidup Sehat Gizi
Seimbang dalam Siklus Kehidupan Manusia, Soekirman dkk. Jakarta: PT
Primamedia Pustaka.
Pannell-Martin D. 1999. School Foodservice Management for the 21st Century. Fifth Edition. Virginia: InTEAM Associates, Inc.
Palacio JP and Theis M. 2009. Introduction to Foodservice. Eleventh Edition.
New Jersey: Columbus, Ohio. Pearson, Prentice Hall.
[PCD] The Partnership for Child Development. 1999. School Feeding Programs: Improving effectiveness and increasing the benefit to education. A Guide for Program Managers. Oxford, UK. University of Oxford. Perdigon GP. 1989. Foodservice Management in The Philippines. Diliman: U.P.
College of Home Economics. Riyadi, DMM. 2006. PMT-AS dan peningkatan kualitas SDM dalam perspektif
IPM pada rapat koordinasi teknis program PMT-AS [makalah]. 19 September 2006. Jakarta.
Simeon. 1998. School Feeding in Jamaica: A Review of Its Evaluation. Am J Clin
Nutr, 67(4): 790S-794S
Sullivan C. 1989. Medical Foodservice. New York: Van Nostrand Reinhold
Company Inc.
Studdert L & Soekirman. 1998. School feeding in Indonesia: A Community based
Programme for Child, School and Community Development. SCN News
16 : 15-16.
Syarief H. 1997. Membangun Sumber Daya Manusia Berkualitas : Suatu Telaah
Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Orasi Ilmiah pada
Pengukuhan Guru Besar Ilmu Gizi Masyarakat dan Sumberdaya
Keluarga, Fakultas Pertanian, IPB. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
[UNDP] United Nations Development Programme. 2011. Human development index. http://hdrstats.undp.org/en/countries/profiles/IDN.html. [1 Februari 2012].
[UNESCO]. 2004. Guidelines to Develop and Implement School Feeding Programmes that Improve Education. FRESH Tools for Effective School http://toolkit.ineesite.org/toolkit/INEEcms/uploads/1072/Guidelines_to_Develop_and_Implement_Feeding.pdf [10 mei 2012]
44
STUDI PENYELENGGARAAN MAKANAN ANAK SEKOLAH DASAR DI INDONESIA
(Study of School Feeding Implementation in Elementary Schools in Indonesia)
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan penyelenggaraan makanan anak sekolah dasar yang telah dilakukan di Indonesia. Penyelenggaraan makanan anak telah dilaksanakan dengan berbagai model di beberapa sekolah di Indonesia. Penelitian dilakukan dengan metode survei. Penelitian mengobservasi lima penyelenggaraan makanan anak sekolah dasar, yang akan dipergunakan sebagai referensi dasar untuk pengembangan model penyelenggaraan makanan anak sekolah di SD yang siswanya berasal dari keluarga miskin. Berdasarkan observasi yang dilakukan, diperoleh hasil bahwa model pelaksanaan penyelenggaraan makanan anak sekolah bergantung pada fasilitas yang ada di sekolah dan sekitar sekolah dengan tetap memperhatikan sanitasi makanan, lingkungan, dan higiene penjamah makanannya.
Kata kunci : model penyelenggaraan makanan, anak sekolah SD, siswa miskin
Abstract
This study aimed to know the implementation of school feeding in Indonesia. School feeding has been implemented in some schools with various models. The study was conducted by survey method. This study observed the implementation of school feeding in five schools, which will be used as a reference for the development of models of school meals in elementary school children from poor families. According to observations of school feeding, the results obtained that the implementation of the school feeding depends on the existing facilities at the school and surrounding of the school with due to care to food hygiene, environmental, and food handler. Key words : school feeding models, elementary students, poor students
45
Pendahuluan Anak-anak sekolah di negara sedang berkembang umumnya menderita
kelaparan jangka pendek, kekurangan energi protein, dan kekurangan Iodium,
vitamin A, dan besi. Beberapa studi menemukan bahwa status gizi dan
kesehatan berpengaruh penting pada kapasitas belajar anak-anak dan kinerja
mereka di sekolah. Anak-anak usia sekolah yang kekurangan gizi tertentu dalam
makanan mereka, terutama besi dan Iodium, atau yang menderita kekurangan
energi-protein, kelaparan, dan/atau infeksi parasit atau penyakit lain, tidak
memiliki kapasitas yang sama untuk belajar seperti anak-anak yang sehat dan
gizinya baik (Cueto & Chinen 2008).
Tujuan utama pemberian makan di sekolah adalah untuk memenuhi
kebutuhan gizi anak selama berada di sekolah, dapat meningkatkan status gizi
anak sekolah, sehingga mampu mengikuti kegiatan belajar mengajar (Sinaga
2007). Kekurangan gizi pada anak di sekolah akan mengakibatkan siswa
menjadi lemah, cepat lelah dan sakit-sakitan, sehingga anak menjadi sering tidak
masuk di kelas serta mengalami kesulitan untuk mengikuti dan memahami
pelajaran dengan baik. Banyak siswa yang terpaksa mengulang di kelas yang
sama (tinggal kelas) atau meninggalkan sekolah (drop-out) sebagai dampak
kurang gizi (WNPG 1998).
Dalam mengelola kegiatan penyelenggaraan makanan anak sekolah di
Indonesia, ada beberapa model yang dapat diterapkan. Hal ini disesuaikan
dengan kemampuan, fasilitas dan situasi yang ada dilingkungan sekolah
tersebut. Tujuan observasi yang dilakukan terhadap lima sekolah dasar adalah
untuk mengetahui model yang dapat diterapkan dan kendala-kendala apa saja
yang mempengaruhi sehingga suatu model dapat dilaksanakan.
Metode Penelitian
Desain
Desain penelitian menggunakan metode survey dengan teknik
pengumpulan data dilakukan dengan observasi atau pengamatan langsung di
sekolah yang telah melaksanakan penyelenggaraan makanan anak sekolah.
Tempat dan Waktu Penelitian
Tempat penelitian dilakukan di Yayasan Al-Muslim Tambun Cibitung
Bekasi, Sekolah Marsudirini Parung Bogor, Sekolah Alam Bogor (SAB), SD IT
Insantama Bogor dan di SDN 1 Malangsari Cipanas Lebak Banten sebagai salah
46
satu penerima PMT-AS tahun 2011. Penelitian dilaksanakan bulan Januari 2011
sampai dengan Desember 2011.
Peralatan
Peralatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah kamera,
timbangan bahan pangan, dan kuesioner.
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Data yang yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder.
Tabel 1 Variabel, data, metode pengukuran dan responden penelitian
No Variabel Data Metode
pengukuran Responden
1 Input penyelenggaraan makanan anak sekolah
Sumberdaya manusia
Peralatan
Bahan pangan
Biaya
Metode
Wawancara dan pengamatan langsung
Pihak sekolah dan tenaga penjamah makanan
2 Proses penyelenggaraan makanan anak sekolah
Perencanaan menu
Pembelian bahan pangan
Penerimaan bahan pangan
Penyimpanan bahan pangan
Pengeluaran bahan pangan
Penyiapan bahan pangan
Pemasakan bahan pangan
Pemorsian dan penyajian makanan
Pendistribusian makanan
Hygiene dan Sanitasi
Wawancara dan pengamatan langsung
Tenaga penjamah makanan
3 Output penyelenggaraan PMT-AS
Tingkat kesukaan dan daya terima siswa terhadap kudapan PMT-AS
Kuesioner form tingkat kesukaan dan daya terima
Siswa
Data primer meliputi: 1) tenaga penjamah makanan yang diperlukan; 2)
sarana dan prasarana fisik dapur; 3) biaya yang dibutuhkan; 4) perencanaan
menu; 5) pembelian bahan pangan; 6) penerimaan bahan pangan; 7)
penyimpanan bahan pangan; 8) pengeluaran bahan pangan; 9) penyiapan bahan
pangan; 10) pemasakan bahan pangan; 11) Pemorsian dan Penyajian makanan;
12) pendistribusian makanan; 13) hygiene & sanitasi. Semua data primer
47
tersebut dilakukan dengan cara wawancara dan pengamatan langsung dengan
menggunakan kuesioner terstruktur. Data sekunder diperoleh dari pihak
penyelenggaraan makanan sekolah meliputi jumlah orang yang dilayani, dan
menu yang dipergunakan.
Pengolahan dan Analisis Data
Proses pengolahan data meliputi entry, cleaning dan edit data. Setiap
komponen dalam penyelenggaraan makanan anak sekolah diolah dan disajikan
secara deskriptif. Hasil analisis data disajikan dalam bentuk tabel, diagram dan
gambar. Data tingkat kesukaan dan daya terima siswa terhadap makanan
dilakukan khusus untuk kudapan PMT-AS. Data tingkat kesukaan siswa
diperoleh dari uji organoleptik, berupa uji hedonik/kesukaan, dan tingkat
kesukaan ini dikategorikan menjadi suka dan tidak suka. Daya terima siswa
terhadap kudapan, dikelompokkan menjadi 6 kategori : dimakan habis, dimakan
¾ bagian, dimakan ½ bagian, dimakan ¼ bagian, hanya dicicipi, dan tidak
dimakan.
Hasil dan Pembahasan
Yayasan Al-Muslim Tambun Cibitung Bekasi
Pelayanan makanan di yayasan Al-Muslim Tambun Cibitung Bekasi
sudah dilakukan sejak tahun 1996 dengan mempekerjakan seorang tenaga gizi
sebagai konsultannya. Sejak tahun 2007, dapur yayasan dipimpin oleh seorang
manajer yang berpendidikan D IV gizi FKUI, dengan latar belakang sarjana muda
gizi (B.Sc). Struktur organisasi dapur berada di bawah yayasan, yaitu non-
kependidikan. Gedung dapur yang dipergunakan merupakan sebuah bangunan
yang sebelumnya dipergunakan sebagai guest house yayasan. Pelayanan
makanan diberikan untuk makan siang dengan menu lengkap dan makanan
selingan berupa kue/roti untuk sore hari sebelum siswa pulang sekolah.
Jumlah tenaga penjamah makanan terdiri dari 12 orang yang melayani
makan siang siswa TK, SD, SMP, SMA, SMK, guru dan karyawan di lingkungan
yayasan dengan jumlah 1642 porsi, dan untuk makanan selingan sebanyak 840
porsi. Dapur penyelenggaraan makanan ada di dalam lingkungan yayasan.
Sarana dan prasarana di dalam dapur yayasan cukup untuk mendukung
kegiatan penyelenggaraan makanan. Peralatan masak terdiri dari dandang besar
(kapasitas 15 kg beras) untuk memasak nasi, wajan, panci. Peralatan penyajian
terdiri dari termos nasi, kontainer plastik, dan alat makan berupa piring dan
48
sendok. Biaya yang harus dibayar siswa adalah Rp 5.000,00 untuk TK–SD dan
Rp 7.500,00 untuk SMP-SMA, dan biaya makanan selingan/kue sebesar Rp
2.000,00. Biaya yang terkumpul dari murid dikelola oleh yayasan untuk melayani
makan siang bagi 1.642 porsi. Biaya untuk membayar upah tenaga penjamah
makanan, biaya peralatan dan pembangunan fisik dapur ditanggung oleh
yayasan.
Perencanaan menu dilakukan bersama-sama oleh tenaga penjamah
makanan dan seorang tenaga gizi. Menu yang direncanakan kemudian di
informasikan kepada guru, pengawas yayasan dan orang tua murid. Jika ada
guru, pengawas yayasan dan orang tua tidak setuju terhadap menu, maka menu
dapat berubah. Pembelian bahan pangan dilakukan secara langsung melalui
pesanan kepada pedagang yang ada di pasar Cibitung. Bahan pangan yang
dipesan diantar langsung oleh pedagang ke dapur yayasan. Di dapur yayasan
penjamah makanan menerima bahan pangan yang disesuaikan dengan
spesifikasi bahan pangan yang telah disepakati. Penyimpanan dan pengeluaran
bahan pangan sudah dilakukan karena fasilitas ada (penyimpanan bahan
pangan basah dan kering).
Proses penyiapan dan pemasakan untuk makan siang dilakukan mulai
pukul 07.00-10.45 WIB dan pemasakan makanan kecil/kue dilakukan pukul
11.00-14.00 WIB. Penyajian makanan dilakukan dengan cara prasmanan, yaitu
siswa mengambil makanan yang disajikan diatas meja. Pendistribusian makanan
menggunakan sistem desentralisasi, yaitu makanan ditempatkan di dalam wadah
besar, seperti nasi ditaruh di dalam termos, lauk pauk, sayuran dan buah di
dalam kontainer plastik, lalu dibawa ke ruang makan atau ke ruang kelas (khusus
hari jumat) pada pukul 11.30.
Higiene tenaga penjamah makanan dan sanitasi dapur cukup baik karena
yayasan menyediakan fasilitas-fasilitas untuk mendukung terwujudnya keadaan
dapur yang bersih. Setelah selesai makan, siswa diwajibkan mencuci sendiri alat
makan di tempat yang sudah disediakan. Setelah alat saji bersih kemudian
dibawa ke kelas dan ditaruh diatas rak piring. Ada aturan dari yayasan yaitu
siswa tidak diperkenankan jajan di luar lingkungan sekolah.
Yayasan Al-Muslim Tambun Cibitung Bekasi mempunyai ruang makan
untuk siswa, dengan kapasitas satu kali pelayanan untuk 150 orang. Siswa
makan di ruang makan secara bergantian, yang dimulai dari kelas kecil sampai
kelas besar, setiap hari senin sampai kamis. Pada hari jumat, siswa makan di
49
kelas masing-masing, karena siswa laki-laki bersiap-siap untuk melakukan
sembahyang jumatan. Monitoring di dapur langsung dilaksanakan setiap hari
oleh tenaga gizi yang bekerja sebagai pegawai yayasan dan bertugas sebagai
manager penyelenggaraan makanan. Monitoring pada saat makan di ruang
makan atau di dalam kelas dilaksanakan oleh guru kelas. Kegiatan penyiapan,
pemasakan, pendistribusian, penyajian dan pencucian alat dapat dilihat pada
Lampiran 10. Keuntungan model penyelenggaraan makanan ini adalah : tidak
membutuhkan tambahan biaya transportasi makanan matang, pengelola
yayasan lebih mudah mengontrol penyiapan dan pemasakan bahan pangan,
makanan dapat disajikan dalam keadaan hangat. Kelemahan model ini adalah
membutuhkan biaya investasi tinggi untuk membangun dapur, ruang makan
beserta perlengkapannya serta tenaga yang profesional.
Sekolah Marsudirini Parung Bogor
Sekolah Marsudirini, Parung, Bogor mengelola penyelenggaraan makanan
untuk para siswa, karyawan dan suster setiap hari, yang telah dimulai sejak
tahun 2006. Pengolahan makanan dilaksanakan di dalam sekolah. Jumlah
tenaga penjamah makanan terdiri dari 15 orang yang merupakan pegawai
sekolah dan untuk melayani 863 porsi. Sarana fisik dapur terdiri dari ruangan
dengan ukuran 8 m x 15 m, yang dibagi menjadi ruang penyimpanan basah dan
kering serta ruang pencucian bahan pangan dan alat masak. Peralatan yang ada
di dapur adalah peralatan memasak seperti: kompor, rice cooker 8 liter, wajan,
panci, pisau, talenan, ulekan, blender.
Perencanaan menu dan makanan selingan/kue ditentukan oleh manager
penyelenggaraan makanan yang juga bekerja sebagai kepala SD. Proses
perencanaan menu belum melibatkan tenaga gizi dan belum memperhitungkan
kecukupan gizi siswa. Setiap tahun diadakan evaluasi terhadap menu yang
disajikan, yang berguna untuk menentukan menu yang tidak disukai oleh siswa,
atau juga untuk menambah menu baru. Evaluasi menu melibatkan orang tua
murid, tenaga penjamah makanan. Pihak sekolah kemudian memberitahukan
kepada orang tua hasil evaluasi terhadap menu.
Pembelian bahan pangan dilakukan dengan cara langsung melalui
rekanan. Penerimaan bahan pangan dilakukan sesuai dengan spesifikasi yang
telah ditetapkan. Penyimpanan bahan pangan dilakukan di tempat penyimpanan
yang terletak di dalam dapur. Penyimpanan bahan pangan kering dan basah
dilakukan di tempat terpisah yang telah tersedia. Pengeluaran bahan pangan
50
dilakukan karena ada penyimpanan bahan pangan mentah. Jam kerja tenaga
penjamah makanan di dapur adalah pukul 07.00-17.00 WIB, dan khusus untuk
tenaga pengolah sarapan dimulai pukul 03.30-04.00 WIB karena bertugas
menyediakan makanan untuk siswa dan pegawai yang tinggal di asrama.
Pemorsian makanan dilakukan oleh petugas pendistribusian. Siswa antri baris
untuk mengambil makanan yang telah diporsi di meja pelayanan. Pendistribusian
makanan untuk guru dan pegawai menggunakan sistem desentralisasi, yaitu
makanan dibawa dari ruang pengolahan ke ruang makan.
Higiene tenaga penjamah sudah cukup baik. Sanitasi dapur juga sudah
cukup baik, yaitu adanya tempat khusus untuk mencuci peralatan masak dan
bahan pangan. Pencucian alat masak menggunakan semprotan air panas agar
kotoran dan kuman yang menempel dapat hilang dan mati. Sekolah Marsudirini
mempunyai ruang makan ukuran 16 m x 45 m dengan kapasitas 1 kali makan
memuat 250 orang, dilengkapi sound system sebagai sarana untuk
memberitahukan pengumuman dan doa bersama sebelum makan. Seluruh
siswa, guru dan pegawai berkewajiban mencuci piring, gelas, sendok dan garpu
secara mandiri, tetapi untuk alat makan yang digunakan siswa dilakukan
pencucian ulang oleh petugas, karena belum seluruh siswa dapat mencuci alat
makan dengan benar. Ruang makan di Sekolah Marsudirini dilengkapi dengan
wastafel sebanyak 20 buah, yang digunakan untuk mencuci tangan sebelum dan
sesudah makan. Tempat sampah yang tersedia cukup, yang ditempatkan di
ruang makan dan di dapur. Pembuangan limbah/sampah akhir jauh dari dapur
dan tempat ruang makan. Kegiatan penyiapan, pemasakan, pendistribusian,
penyajian dan pencucian alat dapat dilihat pada Lampiran 11. Keuntungan model
penyelenggaraan makanan ini adalah : tidak membutuhkan tambahan biaya
transportasi makanan matang, pengelola sekolah lebih mudah mengontrol
penyiapan dan pemasakan bahan pangan, makanan dapat disajikan dalam
keadaan hangat. Kelemahan model ini adalah membutuhkan biaya investasi
tinggi untuk membangun dapur, ruang makan beserta perlengkapannya serta
tenaga yang profesional.
Sekolah Alam Bogor (SAB)
SAB mulai menyediakan pelayanan makanan untuk siswa SD sejak tahun
2005 dengan mempergunakan jasa katering. Dapur berada di dalam lokasi SAB.
Jumlah tenaga penjamah makanan sebanyak 5 orang. Tenaga ini merupakan
pekerja dari luar SAB dan merupakan pegawai jasa katering. Pada umumnya
51
katering SAB melayani untuk makan siang konsumen sebanyak 144 porsi.
Ruangan yang tersedia dibagi menjadi dua bagian. Ruangan pertama
mempunyai ukuran 5 m x 4 m dan ruang kedua 2 m x 4 m. Peralatan untuk
memasak yang dimiliki adalah kukusan untuk menanak nasi, kompor, presto,
panci, blender, dan lain-lain. Harga makanan yang dibayar siswa sebesar Rp
5.500,00 untuk anak TK; Rp 6.000,00 untuk SD, dan Rp 6.500,00 untuk pegawai.
Perencanaan menu dilaksanakan oleh manajer katering dan melibatkan
tenaga penjamah makanan. Siklus menu yang tersedia senin sampai jumat
selama adalah satu bulan adalah siklus 20-22 hari. Pembelian bahan pangan
dilakukan dengan cara/metode langsung melalui pedagang di pasar tradisional.
Penerimaan bahan pangan dilakukan sesuai dengan spesifikasi yang telah
disepakati antara pedagang dan pihak katering. Penyimpanan bahan pangan
dilakukan di tempat penyimpanan yang terletak di dalam lingkungan SAB.
Pengeluaran bahan pangan dilakukan setelah mengisi buku stok bahan pangan.
Proses penyiapan dan pemasakan dimulai pukul 07.00-10.45 WIB. Pemorsian
untuk kelas 5 dan kelas 6 dilakukan didalam rantang. Penyajian makanan
dilakukan dengan cara prasmanan untuk kelas 1-4. Peralatan yang digunakan
untuk penyajian makanan adalah kontainer plastik, dan kotak makan plastik.
Higiene personal tenaga penjamah dan dan sanitasi dapur sudah baik.
Siswa melakukan pencucian alat saji sendiri. Sekolah ikut berpartisipasi untuk
menetapkan harga makanan yang harus dibayar siswa. Sekolah juga ikut
mengawasi pelaksanaan pada waktu makan, dan juga pengawasan terhadap
kebersihan dan kesehatan tenaga penjamah makanan. Orang tua siswa ikut
berpartisipasi dalam mengevaluasi menu yang diberikan kepada anak.
Pendistribusian yang dilakukan katering SAB adalah desentralisasi yaitu
makanan yang di porsi ditempatkan pada satu ruangan, kemudian diambil oleh
siswa untuk dibawa ke dalam kelas masing-masing siswa. Alat saji yang
digunakan siswa disimpan di dalam kelas dan dimasukkan kedalam kontainer
plastik. Pengiriman makanan dilaksanakan pukul 10.30-11.30 karena siswa
makan siang pada pukul 12.00–13.00. Kegiatan penyimpanan bahan pangan,
pemasakan, pemorsian, pendistribusian, penyajian, penyimpanan alat makan,
dapat dilihat pada Lampiran 12. Keuntungan model penyelenggaraan makanan
ini adalah : tidak membutuhkan tambahan biaya transportasi makanan matang,
pengelola yayasan lebih mudah mengontrol penyiapan dan pemasakan bahan
pangan, makanan dapat disajikan dalam keadaan hangat. Kelemahan model ini
52
adalah membutuhkan biaya investasi tinggi untuk membangun dapur beserta
perlengkapannya serta tenaga yang profesional. giatan Pen (lampiran 12)
SD IT Insantama Bogor
Pengolahan makanan di SD ini mempergunakan dapur katering yang
berada di luar sekolah. Jumlah tenaga penjamah makanan di SD IT Insantama
Bogor sebanyak 5 orang. Jumlah makanan yang dipersiapkan oleh katering
sebanyak 242 porsi untuk siswa SD dan SMP. Dapur katering mempunyai
ukuran 3 m x 9 m. Peralatan yang tersedia di dapur katering adalah panci,
kukusan, presto, blender, kompor, oven, wajan, dan lain-lain. Harga yang harus
dibayar siswa adalah Rp 6.000,00 untuk SD kelas 1-3, Rp 6.500,00 untuk SD
kelas 4-6, dan Rp 7.000,00 untuk SMP.
Perencanaan menu dilaksanakan oleh manajer katering bersama-sama
dengan perwakilan orang tua siswa (FOSIS). Siklus menu yang dipergunakan
adalah siklus 20-22 hari. Siklus ini bertujuan agar siswa tidak bosan terhadap
menu yang disajikan pada saat makan siang. Proses penyiapan dan pemasakan
dimulai pukul 05.00-10.30 WIB. Pemorsian dan penyajian makanan dilakukan
secara prasmanan. Pendistribusian makanan menggunakan sistem sentralisasi
dan desentralisasi. Higiene tenaga penjamah dan sanitasi dapur sudah cukup
baik. Pencucian alat makan siswa dilakukan oleh petugas katering di lokasi
katering (Nurdiani 2011).
Penyimpanan bahan pangan dilakukan di tempat penyimpanan yang
terletak di ruang dapur katering. Pengeluaran bahan pangan dilakukan dari
tempat penyimpanan. Kegiatan yang dilakukan di dapur katering SD IT
Insantama Bogor, yaitu penyiapan bahan pangan dimulai pukul 05.00 sampai
10.30 WIB dan didistribusikan pukul 11.00 WIB. Sekolah dilibatkan mulai dari
perencanaan menu sampai dengan evaluasi penyelenggaraan makanan.
Perencanaan yang melibatkan sekolah berupa perencanaan menu, harga
bahan pangan, kualitas, dan lain-lain. Sekolah dan orang tua yang diwakili
FOSIS ikut terlibat dalam memberikan masukan melalui rapat formal ataupun
informal. Semua aktivitas dalam proses produksi makanan sebagian besar
dilakukan oleh katering, sedangkan pihak sekolah terlibat dalam pengawasan
mutu, distribusi, porsi dan lain-lain. Katering yang melayani SD IT Insantama
diperoleh melalui penawaran terbuka dan bisa berasal dari orang tua siswa.
Pencucian alat makan dilakukan oleh pihak katering, dan berada di luar sekolah
(Nurdiani 2011). Kegiatan pemasakan, penyimpanan peralatan pemorsian,
53
pendistribusian, penyajian dan suasana makan di ruang kelas dapat dilihat pada
Lampiran 13. Keuntungan model penyelenggaraan makanan ini adalah : tidak
membutuhkan investasi yang tinggi untuk menyediakan lahan dan pembangunan
dapur sekolah beserta perlengkapannya. Kelemahan model ini adalah :
membutuhkan biaya tambahan untuk transportasi makanan matang,
kemungkinan siswa menerima makanan dalam keadaan dingin, pengelola harus
menyediakan waktu dan transportasi untuk mengontrol pada saat penyiapan dan
pemasakan bahan pangan.
SDN 1 Malangsari, Cipanas, Lebak – Banten
SDN 1 Malangsari Cipanas merupakan salah satu penerima program
PMT-AS tahun 2011. Jumlah tenaga penjamah makanan kudapan PMT-AS di
SDN 1 Malangsari sebanyak 4 orang untuk melayani 330 siswa. Dapur yang
dipergunakan untuk mengolah kudapan mempunyai ukuran 3 m x 3 m, langit-
langit ruangan berwarna putih, lantai dapur terbuat dari ubin semen, dan warna
dinding putih. Peralatan memasak yang tersedia di dapur adalah kompor dua
tungku, dandang, dan wajan. Biaya yang dibutuhkan untuk penyelenggaraan
kudapan PMT-AS adalah Rp 2.500,00 per siswa yang ditanggung oleh APBN.
Perencanaan menu sesuai dengan buku kumpulan menu kudapan PMT-
AS tahun 2011. Pembelian bahan pangan dilakukan oleh 2 orang tenaga
penjamah makanan setiap harinya secara bergantian. Pembelian dilakukan
secara langsung di pasar tradisional. Penerimaan bahan pangan tidak dilakukan
karena pembeliannya dilakukan secara langsung. Penyimpanan bahan pangan
hanya dilakukan sementara dan tidak ada tempat penyimpanan khusus.
Pengeluaran bahan pangan tidak dilakukan karena penyimpanan bahan pangan
hanya sementara.
Penyiapan kudapan untuk esok hari dimulai pada hari sebelumnya, yaitu
pukul 14.00 – 17.30 WIB dan pemasakan dimulai pada keesokan harinya, yaitu
pukul 05.00 WIB. Kudapan dibagi menjadi dua porsi, yaitu porsi kecil (kelas 1
dan 2) dan porsi besar (kelas 3 – 6). Pendistribusian kudapan ke ruang kelas
dilakukan secara sentralisasi oleh petugas pemasak pada pukul 09.00 WIB untuk
siswa kelas 1-2 dan pukul 09.30 WIB untuk siswa kelas 3-6. Penyajian dan
pemorsian kudapan dilayani oleh tenaga penjamah makanan. Kudapan
ditempatkan pada satu baskom sesuai dengan jumlah siswa pada setiap kelas.
Kudapan dibagikan oleh masing-masing wali kelas kepada siswa dan diletakkan
di atas meja.
54
Higiene tenaga penjamah makanan sudah cukup baik, yaitu dengan
penggunaan celemek, masker dan sarung tangan plastik. Sanitasi dapur masih
kurang baik, yaitu tidak adanya tempat pencucian khusus untuk bahan pangan
dan alat masak. Tempat pencucian masih dilakukan di tempat yang sama
dengan tempat mencuci tangan dan peralatan kebersihan siswa. Sebelum
makan, siswa diwajibkan untuk mencuci tangan dengan air dan sabun, kemudian
dilakukan doa bersama dan pengenalan nama kudapan oleh wali kelas masing-
masing. Setelah selesai makan, siswa diwajibkan membuang sampah sisa
kemasan kudapan ke tempat sampah yang tersedia di depan kelas masing-
masing.
Besar porsi kudapan dibedakan menjadi dua, yaitu porsi kecil dan porsi
besar. Porsi kecil diberikan untuk siswa kelas 1-2, dan porsi besar diberikan
untuk siswa kelas 3-6. Pada awal pemberian PMT-AS, besar porsi kudapan yang
diberikan sama (kelas 1-6), namun sebagian besar siswa kelas 1-2 tidak dapat
menghabiskan kudapan yang diberikan sehingga pihak sekolah membedakan
besar porsi kudapan antara kelas 1-2 dan kelas 3-6.
Rata-rata kandungan energi kudapan PMT-AS yang disediakan dapat
dilihat pada Tabel 2, yaitu energi sebesar 224 Kkal (11% dari AKG), dan protein
sebesar 3.9 gram (8.6% dari AKG). Angka ini belum sesuai dengan syarat-syarat
PMT-AS yaitu sebesar 15% dari AKG. Hal tersebut disebabkan susahnya
membuat kudapan yang memenuhi syarat 300 kilokalori dan 5 gr protein,
walaupun buku panduan pembuatan kudapan PMT-AS tahun 2011 sudah ada,
tetapi bahan pangan yang dibutuhkan untuk pembuatan kudapan belum tentu
tersedia di pasar lokal, atau peralatan yang dibutuhkan tidak ada di lingkungan
sekolah penerima PMT-AS.
Tingkat kesukaan siswa terhadap kudapan PMT-AS di SDN 1 Malangsari
Cipanas dapat dilihat pada Gambar 7. Berdasarkan Gambar 7 diketahui bahwa
masih terdapat beberapa siswa yang tidak menyukai kudapan. Salah satu menu
PMT-AS yang tidak disukai adalah putri noong, sebesar 61.7% menyatakan tidak
suka. Pada saat pengamatan waktu makan kudapan putri noong, dan
berdasarkan wawancara terhadap beberapa siswa yang tidak menyukai putri
noong, mereka menyebutkan karena bahan baku putri noong adalah singkong
dan cara pengolahannya dikukus.
55
Tabel 2 Kandungan energi, protein, vit A dan Fe kudapan PMT-AS SDN 1 Malangsari Cipanas – Lebak – Banten
Jenis Kudapan E (Kkal) Kandungan Gizi
P (g) Vit A (µg RE) Fe (mg)
Arem-arem + teh manis 227 4.7 86.29 0.5
Nagasari ayam+ teh manis 202 3.3 86.47 0.4
Combro ayam + teh manis 246 3.3 633.83 0.6
Kumbu kacang hijau 248 5.7 663.06 1.8
Perkedel singkong 242 5.4 1383.17 1.5
Bakwan sayur 285 6.3 1012.57 1.4
Lontong singkong 189 5.6 356.44 1.3
Donat sagu 271 1.5 401.0 1.1
Bakwan jagung manis + teh manis 218 3.0 834.25 0.5
Tahu isi ayam + teh manis 176 4.4 912.57 0.1
Putri noong 157 1.1 27.80 1.1
Cucur wijen 223 2.6 481.00 0.9
Rata-rata 224 3.9 573,2 0,9
Daya terima siswa SDN 1 Malangsari Cipanas terhadap kudapan PMT-
AS dapat dilihat pada Tabel 3. Pada Tabel 3 dapat diketahui bahwa kudapan
arem-arem adalah kudapan yang memiliki daya terima tertinggi, yaitu sebesar
97.37%. Hal tersebut dikarenakan arem-arem memiliki rasa yang gurih dan
bahan pangan dari beras. Daya terima terendah terdapat pada kudapan putri
noong, yaitu sebesar 30%. Kegiatan penyiapan, pemasakan, pendistribusian,
penyajian dan suasana makan di ruang kelas dapat dilihat pada Lampiran 14.
Gambar 7 Tingkat kesukaan siswa terhadap kudapan PMT-AS
56
Tabel 3 Daya Terima Siswa Terhadap Menu PMT-AS
Hari ke-
Jenis Kudapan
Persentase Daya Terima
Dimakan habis
Dimakan ¾ bgn
Dimakan ½ bgn
Dimakan¼ bgn
HanyaDicicipi
Tidak dimakan
1 Arem-arem 97.37 0.00 2.63 0.00 0.00 0.00
2 Nagasari ayam 89.47 5.26 2.63 2.63 0.00 0.00
3 Combro ayam 94.74 5.26 0.00 0.00 0.00 0.00
4 Kumbu kc hijau 81.58 10.53 7.89 0.00 0.00 0.00
5 Perkedel singkong 86.84 7.89 5.26 0.00 0.00 0.00
6 Bakwan sayur 78.95 10.53 7.89 2.63 0.00 0.00
7 Lontong singkong 51.40 20.30 20.30 4.10 4.10 0.00
8 Donat sagu 79.50 9.60 9.60 1.20 0.00 0.00
9 Bakwan jagung manis
89.90 6.30 2.50 0.00 0.00 1.30
10 Tahu isi ayam 97.30 2.70 0.00 0.00 0.00 0.00
11 Putri noong 30.00 17.50 32.50 11.30 6.30 2.50
12 Cucur wijen 78.50 10.10 8.90 2.50 0.00 0.00
Keuntungan model penyelenggaraan makanan ini adalah : tidak
membutuhkan tambahan biaya transportasi makanan matang, pengelola lebih
mudah mengontrol penyiapan dan pemasakan bahan pangan, makanan dapat
disajikan dalam keadaan hangat. Kelemahan model ini adalah membutuhkan
biaya investasi tinggi untuk merenovasi dapur beserta perlengkapannya, dan
perlu biaya untuk melatih ibu PKK yang kurang profesional.
Simpulan Dari observasi lapangan yang dilakukan, diketahui bahwa
penyelenggaraan makanan anak sekolah dapat dilaksanakan dengan model
dapur di dalam sekolah atau di luar sekolah. Hal tersebut bergantung pada
fasilitas yang ada di sekolah dan sekitar sekolah. Ruang makan yang
dipergunakan juga sangat bergantung dari fasilitas yang ada di sekolah, jika
ruang makan tidak tersedia, maka dapat mempergunakan ruang kelas sebagai
ruang makan, dengan tetap memperhatikan ruang kelas harus dalam keadaan
bersih, jauh dari tempat pembuangan sampah, dan jauh dari tempat pmbuangan
limbah. Tenaga penjamah makanan dapat berasal dari ibu PKK, komite sekolah,
atau tenaga swasta/katering yang bekerja khusus untuk pelayanan makanan.
Beberapa keuntungan jika mempergunakan model dapur di dalam sekolah
adalah : tidak membutuhkan tambahan biaya transportasi makanan matang,
pengelola lebih mudah mengontrol penyiapan dan pemasakan bahan pangan,
makanan dapat disajikan dalam keadaan hangat, tetapi mempunyai kelemahan
57
yaitu membutuhkan biaya investasi tinggi untuk membangun dapur, ruang makan
beserta perlengkapannya. Dan jika mempergunakan model dapur di luar sekolah
mempunyai keuntungan yaitu : tidak membutuhkan investasi yang tinggi untuk
menyediakan lahan dan pembangunan dapur sekolah beserta perlengkapannya,
dan kelemahan model ini adalah: membutuhkan biaya tambahan untuk
transportasi makanan matang, kemungkinan siswa menerima makanan dalam
keadaan dingin, pengelola harus menyediakan waktu dan transportasi untuk
mengontrol pada saat kegiatan penyiapan dan pemasakan bahan pangan.
Daftar Pustaka
Cueto, S and Chinen, M. 2008. Educational impact of a school breakfast
programme in rural Peru. International Journal of Educational
Development 28 : 132-148.
Gregoire MB & Spears MC. 2007. Foodservice Organizations: A Managerial and Systems Approach 6th ed. New Jersey: Pearson Education.
[Kemendagri] Kementerian Dalam Negeri RI. 2010. Pedoman Umum Penyediaan
Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT-AS) Melalui Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta.
[Kemendiknas] Kementerian Pendidikan Nasional. 2011. Petunjuk Teknis
Pengolahan Kudapan Nusantara dalam PMT-AS. Jakarta. Palacio, JP and Theis, M. 2009. Introduction to Foodservice. Eleventh Edition.
New Jersey: Columbus, Ohio. Pearson, Prentice Hall.
Sinaga T. 2007. Manfaat Makan di Sekolah. Diktat Pelatihan Gizi untuk Anak Sekolah (11-13 Desember 2007) Jakarta: Yayasan Kuliner Jakarta.
[WNPG] Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII. 1998. Pangan dan Gizi Masa
Depan: Meningkatkan Produktifitas dan Daya Saing Bangsa. Prosiding, Jakarta: LIPI.
58
MODEL PENYELENGGARAAN SARAPAN MENU SEPINGGAN DAN EFIKASINYA TERHADAP KONSUMSI, TINGKAT KECUKUPAN ENERGI DAN ZAT GIZI LAIN PADA SISWA SD
(Designing Model of One Dish Meal Breakfas and Efficacy on Dietary Intake and Adequacy Level of Energy, Other Nutrients of Elementary School Children)
Abstrak
Perancangan model untuk pelaksanaan penyelenggaraan makanan anak sekolah yang siswanya berasal dari keluarga miskin, membutuhkan sebuah model yang tepat dan sesuai dengan situasi serta kondisi sekolah. Studi ini merancang model penyelenggaraan makanan berupa sarapan menu sepinggan berdasarkan metode research and development (R&D) untuk menghasilkan model yang sesuai pada satu sekolah dasar negeri yang persentasi siswanya banyak berasal dari keluarga miskin. Model sarapan menu sepinggan diefikasi untuk menganalisis pengaruh pemberian sarapan menu sepinggan terhadap konsumsi dan tingkat kecukupan energi dan zat gizi lainnya pada siswa. Penelitian ini menggunakan metode pra eksperimental dengan desain one-group pretest-posttest yang dilakukan pada bulan Maret sampai Mei 2011 di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Kebon Kopi 2 Kota Bogor. Jumlah siswa yang berpartisipasi dalam penelitian ini sebanyak 62 orang dan sebagian besar dari siswa adalah anak perempuan, berusia 11 tahun. Penelitian ini telah mendapatkan persetujuan Etik (Ethical Approval) dari Komisi Etik Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Nomor KE.01.05/EC/301/2011. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian sarapan menu sepinggan di sekolah secara nyata berpengaruh (p<0.05) terhadap peningkatan asupan energi dan zat gizi lainnya pada siswa. Peningkatan asupan terhadap energi sebesar 27.0%, protein 31.3%, vitamin A 42.3%, dan Fe 30.0% pada siswa SDN Kebon Kopi 2 kota Bogor. Dan hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pemberian sarapan menu sepinggan secara nyata berpengaruh (p<0.05) terhadap tingkat kecukupan energi, protein, vitamin A dan Fe. Kata kunci : model sarapan menu sepinggan, makanan anak sekolah, metode research and development, asupan makanan, siswa SD
Abstract The design for the implementation of the school feeding that students of
poor families, is need of a model appropriate to the situation and condition of the school. This study designed a model of one dish meal breakfast based on research and development methods to obtain the corresponding model at a public elementary school whose students come from poor families. The objective of efficacy study was to analyze the effect of one dish meal breakfast on dietary intake and adequacy level of energy, other nutrients of elementary school children. The study used pre-experimental one-group pretest-posttest design and was conducted from March to May 2011 at Sekolah Dasar Negeri Kebon Kopi 2 in Bogor City. The total number of sixty two elementary students were fully participated in this study, where most of them were girls aged 11 years old. The
59
Ethical Approval for this study was handed from Komisi Etik Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Nomor KE.01.05/EC/301/2011. The study showed that there is a differences (p<0.05) between before and after giving one dish meal breakfast as a school feeding among the elementary school children. It’s positively affected to increase the level of dietary intake of energy by 27.0%, protein by 31.3%, vitamin A by 42.3%, and iron by 30.0% of the elementary school children. The research results also showed that one dish meal breakfast significantly affected on the adequacy of energy, protein, vitamin A and Fe of the elementary school children (p<0.05).
Key words : one dish meal breakfast model, school feeding, research and development method, dietary intakes, elementary school children
60
Pendahuluan Di Indonesia masih banyak penduduk yang tidak sarapan, bahkan
sebagian besar dari mereka yang sarapan, memiliki mutu sarapannya masih
rendah. Analisis data Riskesdas 2010 yang dilakukan terhadap konsumsi pangan
pada 35.000 anak usia sekolah dasar, menunjukkan bahwa 26.1% anak hanya
sarapan dengan minuman (air, teh dan susu). Dan sebesar 44.6% anak yang
sarapan hanya memperoleh asupan energi kurang dari 15% AKG (Hardinsyah
2012). Kondisi ini memberikan gambaran bahwa konsumsi sarapan anak sekolah
di Indonesia masih menjadi masalah.
Program PMT-AS menyediakan menu kudapan, dan sarapan dapat
disajikan dalam bentuk makanan lengkap berupa menu sepinggan (one dish
meal). Makanan lengkap dapat memenuhi 20% dari kecukupan energi dan gizi
anak sekolah dalam sehari. Jika dibandingkan dengan PMT-AS yang hanya
menyajikan menu kudapan (memenuhi 15% kecukupan siswa/hari), maka menu
sepinggan untuk sarapan lebih besar dalam jumlah energi dan zat gizi lainnya,
dan lebih dapat diterima oleh siswa.
Makanan sepinggan merupakan suatu istilah yang diberikan untuk
hidangan dimana seluruh makanan terdapat dalam "satu piring" atau “satu
mangkuk”. Hidangan sepinggan dikenal dengan sebutan one-dish meal dalam
bahasa Inggris. Walaupun disajikan dalam satu piring/mangkuk, kebutuhan akan
sumber karbohidrat, protein, vitamin dan mineral dapat terpenuhi dalam hidangan
sepinggan. Ciri-ciri makanan sepinggan adalah: mudah dalam pengolahan,
ringkas dan cepat dalam penyajiannya/cepat saji (Erwin 2011). Contoh menu
sepinggan adalah: nasi goreng, bihun jagung goreng, mi goreng, bubur ayam,
bubur manado, berbagai jenis soto, bakmi kethoprak, lontong cap gomeh, nasi
rames, lontong sayur dan lain-lain.
Beberapa sekolah di Indonesia menyelenggarakan makan siang dan
makanan selingan/kecil, karena siswa lebih lama berada di sekolah sebagai
akibat dari 5 hari sekolah (fullday school). Penyelenggaraan makanan anak
sekolah dapat mempergunakan model dapur di dalam atau di luar sekolah.
Model dapur yang berada di dalam sekolah dapat dikelola oleh sekolah, atau
sekolah bekerja sama dengan pihak orang tua murid, atau bekerja sama dengan
swasta. Jika mempergunakan model dapur di luar sekolah berarti sekolah dapat
menyerahkan pengelolaannya kepada swasta, seperti katering, atau kepada ibu
PKK, atau kepada masyarakat yang berada di sekitar sekolah. Menu lengkap
61
yang diberikan kepada siswa dapat berupa sarapan ataupun makan siang. Hal
tersebut bergantung dari tujuan pemberian, lamanya siswa berada di sekolah,
dan fasilitas yang dimiliki sekolah. Penyajian makanan dapat dilakukan dalam
satu alat saji atau beberapa alat saji.
Jika melewatkan makan pagi atau sarapan, dapat menyebabkan tubuh
kekurangan glukosa sehingga tubuh lemah karena tidak adanya suplai energi.
Dalam hal ini, tubuh akan membongkar persediaan tenaga yang ada di jaringan
lemak tubuh. Tidak sarapan pagi dapat menyebabkan kekosongan lambung
selama 10-11 jam karena kemungkinan makanan terakhir yang masuk ke dalam
tubuh adalah makan malam yang berkisar antara pukul 18.00-20.00 (Khomsan
2005).
Sarapan akan menyumbangkan gizi sekitar 25% dari kebutuhan gizi ideal
(Khomsan 2005), dan menurut Depkes (1995), sarapan sebaiknya menyediakan
20-30% dari kebutuhan gizi sehari. Keterlambatan pemasukan zat gula ke dalam
darah dapat menurunkan daya konsentrasi/daya tangkap sewaktu belajar dan
kemampuan mengerjakan tugas-tugas sekolah. Disamping itu, kadar rendah gula
dalam darah dapat menimbulkan rasa malas, mengantuk dan berkeringat dingin.
Dari 808 anak SD di Bogor diketahui, terdapat perbedaan nyata antara daya
konsentrasi dengan kebiasaan sarapan. Hasil uji ANOVA menunjukkan fakta
bahwa sarapan dan status anemia berpengaruh nyata terhadap daya konsentrasi
anak sekolah (Saidin, dkk 1980).
Ada beberapa manfaat yang didapat jika kita melakukan sarapan pagi.
Pertama, sarapan menyediakan karbohidrat yang siap digunakan untuk
meningkatkan kadar gula darah. Kadar gula darah yang cukup akan membuat
gairah dan konsentrasi belajar di sekolah menjadi lebih baik sehingga
berdampak positif terhadap prestasi akademik di sekolah. Kedua, sarapan pagi
dapat memberikan kontribusi penting akan beberapa zat gizi yang diperlukan
tubuh seperti protein, lemak, vitamin dan mineral. Ketersediaan zat gizi tersebut
bermanfaat untuk proses fisiologis dalam tubuh (Khomsan 2005). Sarapan pagi
juga bermanfaat untuk memelihara ketahanan fisik dan meningkatkan
produktivitas kerja (Depkes 1995).
Hidangan sarapan sebaiknya terdiri dari makanan sumber zat tenaga,
sumber zat pembangun, dan sumber zat pengatur dalam jumlah yang seimbang
(Depkes 1995). Makanan seperti pisang goreng, singkong, atau ubi terkadang
dikonsumsi sebagai pengganti sarapan. Makanan ringan seperti ini hanya
62
menyumbangkan energi sebesar 5% dari kebutuhan dan proteinnya hanya cukup
untuk memenuhi 2% dari kebutuhan sehari (Khomsan 2005).
Secara kuantitas, sarapan harus dapat memenuhi kecukupan setiap
individu serta memenuhi syarat gizi seimbang. Hal ini karena setiap jenis zat gizi
mempunyai waktu metabolisme yang berbeda-beda. Pemecahan atau
pembakaran karbohidrat akan berlangsung terlebih dahulu sampai 4 jam
pertama, kemudian protein dan terakhir adalah lemak. Vitamin dan mineral akan
membantu proses metabolisme tersebut. Jadi sarapan harus merupakan
kombinasi yang baik diantara zat gizi yang ada di dalam makanan (Khomsan
2005).
Meyer et al (1989) memperlihatkan bahwa dengan adanya School
Breakfast Program di Lawrence, Mass di USA, murid sekolah memperlihatkan
peningkatan nilai test dasar ketrampilan, mengurangi kemalasan (tardiness) dan
ketidakhadiran (absen) pada siswa kelas tiga sampai kelas enam. Sarapan pagi
kadang-kadang merupakan kegiatan yang tidak menggairahkan, karena nafsu
makan belum ada, menu di meja makan tidak menarik, dan waktu yang terbatas
menyebabkan anak-anak tidak merasa bersalah meninggalkan sarapan pagi.
Peranan ibu dalam pembentukan kebiasaan makan pagi anak sekolah
sangat berpengaruh, karena ibu terlibat langsung dalam penyediaan makanan
rumah tangga. Faktor kesibukan ibu, khususnya yang bekerja, seringkali
mengakibatkan ibu tidak sempat menyediakan sarapan pagi. Membiasakan
sarapan pagi pada anak-anak sekolah memang tidak mudah (Khomsan 2005).
Menurut Sinaga (2009), untuk memecahkan masalah-masalah sarapan pagi
yang disebutkan diatas, maka dapat dilakukan sarapan bersama di sekolah.
Pada dekade terakhir, semakin banyak anak-anak di negara berkembang
yang bersekolah dan tingkat prestasi mereka di sekolah masih mengecewakan.
Kesehatan dan gizi yang buruk menjadi faktor yang menghalangi kemampuan
mereka untuk belajar. Salah satu contoh adalah kejadian kelaparan di sekolah.
Penelitian yang dilakukan oleh Powell et al (1988) terhadap anak usia sekolah di
Jamaika menunjukkan bahwa, tidak sarapan menghalangi kecerdasan kognitif
anak dan cenderung terjadi pada anak-anak kurang gizi.
Studi tentang kebiasaan sarapan anak usia 10-15 tahun di Andhra
Pradesh India, menunjukkan bahwa sebesar 42,8% anak usia sekolah yang
sarapan secara teratur. Lebih dari separuh anak melewatkan sarapan dengan
rentang waktu sarapan yaitu satu sampai dua kali dalam seminggu. Komposisi
63
energi dan protein yang didapatkan apabila seorang anak sekolah sarapan
adalah ¼ atau 1/3 dari kecukupan energi dan protein mereka dalam sehari.
Energi dan protein yang tidak cukup akibat tidak sarapan pagi menyebabkan
tingginya persentase kekurangan gizi pada anak sekolah di India yaitu sebesar
40% pada siswa laki-laki dan 32.1% pada siswa perempuan (Chitra & Reddy
2005).
Intervensi sarapan selama satu tahun pada siswa sekolah dasar di
Jamaika menunjukkan adanya perbaikan kecil yang signifikan terhadap
kehadiran dan status gizi anak pada kelompok sarapan dibandingkan dengan
kelompok yang tidak sarapan (kontrol). Sarapan dapat mengakibatkan
peningkatan tingkat kehadiran anak di sekolah. Anak-anak dalam kelompok
sarapan juga mengalami pertambahan berat badan dan peningkatan tinggi
badan serta BMI (Body Mass Index) secara signifikan dibandingkan dengan
kelompok kontrol. Penelitian ini juga menyatakan terdapat manfaat yang
signifikan dari sarapan terhadap prestasi aritmatika terutama pada siswa kelas
dua dan tiga, dan pada siswa kelas empat dan lima terjadi peningkatan prestasi
membaca dan mengeja (Powell et al 1998).
Banyak orang percaya bahwa sarapan dapat menolong anak-anak di
sekolah. Penelitian menunjukkan bahwa sarapan dapat meningkatkan
performance (kinerja) pada test cognitive jangka pendek. Literatur menyatakan
ada hubungan antara sarapan, peningkatan diet, dan peningkatan performance
cognitive (Cueto & Chinen 2008).
Rampersaud (2009) menyatakan bahwa sarapan dapat meningkatkan
konsumsi anak-anak dengan berkontribusi positif terhadap asupan gizi dalam
sehari, menambah asupan gizi seperti serat dan kalsium, dan membantu
memenuhi pedoman diet yang dianjurkan untuk orang Amerika. Ada bukti bahwa
anak-anak dan remaja yang mengonsumsi sarapan lebih memiliki asupan gizi
yang lebih tinggi dan makanan yang lebih sehat dan memadai. Orang yang
sarapan cenderung memiliki asupan energi sehari-hari yang lebih tinggi
dibandingkan dengan yang tidak sarapan. Dalam beberapa studi yang
mengevaluasi asupan sarapan konsumen dibandingkan yang tidak sarapan,
konsumsi sarapan sering dikaitkan dengan konsumsi yang berhubungan dengan
asupan yang lebih tinggi dari beberapa unsur gizi, khususnya vitamin A, vitamin
C, riboflavin, kalsium, seng, dan besi. Frekuensi sarapan yang banyak juga
dikaitkan dengan asupan gizi harian yang lebih tinggi (Rampersaud 2009).
64
Dalam bidang pendidikan, desain produk seperti model penyelenggaraan
makanan dapat langsung diefikasi setelah divalidasi dan direvisi. Efikasi tahap
awal dilakukan dengan simulasi penggunaan model penyelenggaraan makanan
anak sekolah berupa sarapan menu sepinggan. Setelah disimulasikan, maka
dapat diefikasi kepada kelompok terbatas selama 3 hari. Pengujian dilakukan
untuk mendapatkan informasi apakah model penyelenggaraan sarapan menu
sepinggan pada anak sekolah tersebut lebih efektif dan efisien dibandingkan
dengan model penyelenggaraan makanan anak sekolah lainnya. Tahapan
selanjutnya adalah melakukan efikasi lebih luas, yakni desain model yang telah
diperbaiki dengan melihat kekurangan dan kelemahannya melalui revisi pada
efikasi terbatas, kemudian dilakukan efikasi secara luas dengan
mengimplementasikan melalui pemberian sarapan menu sepinggan di dalam
kelas. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dampak pemberian sarapan
menu sepinggan terhadap konsumsi dan tingkat kecukupan energi dan zat gizi
lainnya bagi siswa yang berasal dari keluarga miskin selama 12 hari.
Metode Penelitian
Desain
Desain penelitian untuk merancang model penyelenggaraan sarapan
menu sepinggan menggunakan metode research and development (R&D).
Metode research and development (R&D) dalam bidang pendidikan dikemukakan
oleh Borg & Gall (1989), yang menyatakan: “ a process used to develop and
validate educational something” yaitu proses yang digunakan untuk
mengembangkan dan memvalidasi produk pendidikan. Tujuan penelitian ini
adalah menghasilkan suatu model penyelenggaraan makanan sepinggan bagi
anak sekolah yang siswanya berasal dari keluarga miskin.
Borg and Gall (1989) menjelaskan empat ciri utama dalam penelitian dan
pengembangan (R&D), yaitu: 1) studying research findings pertinent to the
product to be develop, artinya, melakukan studi pustaka, observasi lapangan
atau penelitian awal untuk mencari temuan-temuan penelitian terkait dengan
produk yang akan dikembangkan, 2) developing the product base on this
findings, artinya, mengembangkan produk berdasarkan temuan penelitian
tersebut, 3) field testing it in the setting where it will be used eventually, artinya,
dilakukan efikasi lapangan dalam seting atau situasi senyatanya di mana produk
tersebut nantinya digunakan, dan 4) revising it to correct the deficiencies found in
65
the field-testing stage, artinya, melakukan revisi untuk memperbaiki kelemahan-
kelemahan yang ditemukan dalam tahap-tahap efikasi lapangan (Gambar 8).
Gambar 8 Alur Pelaksanaan penelitian pengembangan (R&D) menurut Borg and Gall (1989) dalam Sugiyono (2011)
Desain penelitian untuk efikasi model penyelenggaraan yang dirancang
menggunakan metode pra-eksperimen (pre-experimental) dengan One Group
Pretest Posttest disain. Dalam disain ini tidak ada kelompok pembanding
(kontrol), tetapi telah dilakukan observasi pertama (pretest) yang memungkinkan
menguji perubahan-perubahan yang terjadi setelah adanya perlakuan
(eksperimen) (Notoatmojo 2010).
Persetujuan Etik. Penelitian ini telah mendapatkan persetujuan Ethical
Clearance dari Badan Litbang Kesehatan Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta dengan nomor : KE.01.05/EC/301/2011.
Tempat dan Waktu Penelitian
Tempat penelitian perancangan model penyelenggaraan makanan anak
sekolah dilakukan di laboratorium penyelenggaraan makanan departemen gizi
Fakultas Ekologi Manusia IPB, dan di lima sekolah yang mengadakan
penyelenggaraan makanan. Penelitian untuk efikasi dilaksanakan di SDN Kebon
Kopi 2 Kotamadya Bogor. Penentuan tempat efikasi dilakukan secara purposive
sampling dengan beberapa pertimbangan, yaitu: 1) SDN yang tercatat di Dinas
Pendidikan kota Bogor yang siswanya banyak berasal dari keluarga miskin
(kriteria BPS tahun 2010), 2) secara teknis mudah transportasi, 3) siswa mau
berpartisipasi dalam penelitian, dan menandatangani form informed consent.
Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah: 1) SD yang pernah menerima PMT-AS
Studi Pendahuluan Pengembangan
Studi li
teratur
Pustaka Penyusunan
Model
Survei
Lapang
an
Efikasi
Lapangan
Hasil
Revisi
Model
66
(IDT/Inpres Daerah Tertinggal), 2) SD yang mempunyai 1 kelas dari masing-
masing tingkatan kelas, (3) SD yang berada di wilayah kerja Puskesmas
Merdeka yang mempunyai Tenaga Pelaksana Gizi (TPG). Penelitian
perancangan model penyelenggaraan makanan anak sekolah dan efikasi
dilaksanakan bulan Maret sampai Mei 2011.
Cara Penetapan Peserta Efikasi
Peserta efikasi adalah murid SDN Kebon Kopi 2 Bogor. Penentuan
peserta dilakukan secara purposive sampling yaitu sebanyak 62 orang, sesuai
dengan jumlah minimum makanan institusi anak sekolah yaitu > 50 porsi (Mukri
1991), yang terdiri dari kelas 5 (34 siswa) dan kelas 6 (28 siswa). Kelas 5 dan
kelas 6 SD diambil sebagai peserta karena mereka dianggap sudah lebih paham
dalam berkomunikasi untuk menjawab beberapa pertanyaan.
Bahan dan Alat
Bahan yang dipergunakan untuk efikasi adalah makanan lengkap sebagai
sarapan dengan menu sepinggan (one dish meal) dan mempergunakan siklus
menu 6 hari. Kandungan rata-rata energi 436 Kkal, protein 10,0 gram, vitamin A
266.8 µg RE dan zat besi (Fe) 1.97 mg. Peralatan yang dipergunakan adalah alat
masak seperti kompor, wajan, panci, dandang, kukusan, sutil, timbangan bahan
pangan dan alat saji yaitu boks plastik dan sendok stainless-steel.
Mekanisme Efikasi
Siswa kelas 5 dan kelas 6 SDN Kebon Kopi 2 Bogor diberi sarapan menu
sepinggan. Pendekatan kepada guru dan orang tua murid dilakukan agar
sebelum berangkat ke sekolah murid disarankan tidak sarapan di rumah.
Sarapan disediakan di ruang kelas 5 dan kelas 6. Menu yang disajikan
merupakan menu yang disukai oleh siswa. Menu yang disukai (food preference)
diketahui dari hasil kuesioner tentang makanan kesukaan siswa. Menu yang
disajikan adalah menu sepinggan karena mudah pada saat penyiapan,
pemasakan, penyajian dan pencucian peralatannya.
Model penyelenggaraan makanan yang diterapkan adalah dapur berada
di luar sekolah dengan melibatkan masyarakat di sekitar sekolah sebagai tenaga
penjamah makanan. Hal ini berarti bahan pangan dipersiapkan dan diolah di luar
gedung sekolah serta melibatkan partisipasi masyarakat yang berada di dekat
sekolah. Dapur masyarakat yang memenuhi persyaratan (berdasarkan
Permenkes No. 1096 tahun 2011 tentang Higiene Sanitasi Jasaboga)
67
dipergunakan dalam pengolahan menu sepinggan. Tenaga penjamah makanan
dipilih berdasarkan diskusi dengan kepala sekolah dan guru. Tenaga penjamah
makanan yang dipilih mempunyai beberapa kriteria yaitu: 1) mempunyai
ketrampilan/hobbi memasak, 2) bersih diri atau bersih penampilan, 3)
mempunyai dapur dan lingkungan yang bersih, 4) mempunyai fasilitas untuk
menyelenggarakan makanan anak sekolah, seperti: alat masak, sumber air
bersih, bahan bakar, dan penerangan, serta 5) dapat bekerja sama dengan
masyarakat sekitar sekolah. Tenaga penjamah makanan yang terpilih dapat
melakukan penyiapan dan pemasakan dengan masyarakat di sekitar sekolah
secara bergantian.
Pemorsian makanan dilakukan di ruang tamu penjamah makanan.
Makanan matang diporsi ke dalam kotak plastik (kotak plastik mempunyai tanda
5 yang berarti dapat dipergunakan berulang kali), lalu dimasukkan ke dalam
kontainer plastik besar, dan siap diangkut oleh siswa dengan berjalan kaki ke
ruang kelas 5 dan kelas 6 pada pukul 06.50. Di dalam kelas, makanan dibagikan
di kelas 5 dan 6 dengan cara siswa mengambil kotak sendiri di atas meja di
depan kelas. Makan bersama dilakukan di dalam kelas pukul 07.00 dengan
pengawasan guru kelas. Selama ada sarapan pagi bersama di kelas, proses
belajar mengajar dimulai pukul 08.00 dan selesai pukul 13.30. Guru kelas
menginstruksikan cuci tangan terlebih dahulu, lalu masuk ke kelas untuk
bernyanyi (manfaat makanan bergizi & kegunaan mencuci tangan) dan berdoa
bersama. Pada waktu makan, guru kelas memberitahukan agar menghabiskan
makanan yang disajikan (makanan berfungsi sebagai media penyuluhan).
Setelah selesai makan, siswa mengisi kuesioner tingkat kesukaan dan
daya terima makanan. Setiap siswa wajib memilih salah satu pernyataan dengan
cara melingkari, dan menyerahkan kembali kepada guru kelas atau enumerator,
lalu siswa antri berbaris mencuci alat makan di tempat siswa wudhu. Cara
mencuci peralatan makan telah disosialisasikan kepada siswa dengan cara
menggosok dengan spon busa dan sabun cair pencuci piring, kemudian dibilas
dengan air bersih yang berasal dari PDAM. Setelah alat makan bersih, lalu
dibawa ke ruang kelas dan ditiriskan di atas meja siswa yang telah diberi alas
koran bersih, dan dilap dengan tissu/serbet bersih, lalu dimasukkan ke dalam
kontainer plastik besar yang tertutup. Kontainer yang telah diisi kotak makan
kosong diangkut siswa kembali ke tempat penjamah makanan untuk
dipergunakan besok harinya (lampiran 15).
68
Efikasi pemberian menu sepinggan dilakukan 3 kali sebelum pelaksanaan
pemberian sarapan. Efikasi ini diharapkan dapat membiasakan contoh agar bisa
mengikuti prosedur penelitian sehingga proses dapat berjalan seperti yang
direncanakan karena contoh belum pernah mendapatkan sarapan di sekolah.
Jenis dan Cara Pengumpulan Data Efikasi
Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data
primer diperoleh melalui pengamatan langsung dan wawancara dengan alat
bantu kuesioner. Data primer yang dikumpulkan meliputi beberapa aspek, yaitu:
karakteristik siswa (umur, jenis kelamin); konsumsi pangan siswa; tingkat
kesukaan dan daya terima siswa terhadap menu sepinggan. Data primer lainnya,
termasuk sumberdaya dan proses pada penyelenggaraan makanan adalah 1)
sarana dan prasarana fisik dapur, 2) pembelian bahan pangan, 3) penerimaan
bahan pangan, 4) penyimpanan bahan pangan, 5) pengeluaran bahan pangan,
6) penyiapan bahan pangan, 7) pengolahan bahan pangan, 8) sanitasi dan
keamanan pangan, 9) distribusi makanan, 10) biaya yang dibutuhkan 11) metode
pengolahan yang dipergunakan, 12) bahan pangan dan non-pangan yang
dipergunakan serta 13) jumlah SDM yang diperlukan. Data sekunder diperoleh
dari sekolah meliputi gambaran umum sekolah, struktur organisasi sekolah, data-
data umum siswa. Tabel 4 menyajikan variabel, data, metode pengukuran dan
responden dalam penelitian ini.
Pengolahan dan Analisis Data Efikasi
Proses pengolahan data meliputi entry, cleaning dan edit data. Analisis
data yang dilakukan adalah secara deskriptif dan inferensia. Hasil analisis data
disajikan dalam bentuk tabel, diagram dan gambar.
Karakteristik siswa meliputi jenis kelamin, umur, kelas, uang jajan. Uang
jajan contoh dikelompokan berdasarkan sebaran besaran uang jajan yaitu ≤ Rp.
3.000,00 > Rp. 3.000,00–4.000,00, > Rp. 4000-5.000.
Karakteristik orang tua siswa meliputi pekerjaan orang tua, pendidikan
orang tua dan pendapatan orang tua. Pekerjaan ayah atau ibu dikategorikan
menjadi tidak bekerja, buruh (bangunan, angkut barang, pedagang
(keliling,asongan), PNS, swasta, jasa (supir angkot, ojeg). Pendidikan orang tua
dikategorikan menjadi : tamat SD, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi. Pendapatan
orang tua dikategorikan menjadi miskin < Rp. 278.530,00 dan tidak miskin ≥ Rp.
278.530,00.
69
Tabel 4 Variabel, data, metode pengukuran dan peserta penelitian
No Variabel Data Metode
pengukuran Peserta
1 Karakteristik Responden
Usia
Jenis kelamin
BB dan Umur
Konsumsi makanan di rumah
Sosial ekonomi orang tua
Wawancara, penimbangan, food recall & record
Pihak sekolah, Siswa, orang tua siswa
2 Input penyelenggaraan makanan anak sekolah
Sumberdaya manusia
Peralatan
Bahan pangan
Biaya
Metode
Wawancara dan pengamatan langsung
Sekolah, Tenaga Penjamah Makanan
3 Proses penyelenggaraan makanan anak sekolah
Perencanaan menu
Pembelian bahan pangan
Penerimaan bahan pangan
Penyimpanan bahan
Pengeluaran bahan pangan
Penyiapan bahan pangan
Pemasakan bahan pangan
Pemorsian makanan
Pendistribusian makanan
Penyajian makanan
Monitoring dan Evaluasi
Hygiene dan Sanitasi
Wawancara dan pengamatan langsung
Tenaga Penjamah Makanan
4 Output penyelenggaraan makanan anak sekolah
Tingkat Kesukaan
Daya Terima
Konsumsi pangan siswa
Food Recall & Record, form tk. Kesukaan & daya terima, pengamatan langsung
Siswa
Penyelenggaraan makanan untuk anak sekolah terdiri dari input, proses
dan output. Setiap komponen dalam penyelenggaraan makanan anak sekolah
diolah dan dianalisis berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor:
1096/MENKES/PER/VI/2011 tentang Higiene Sanitasi Jasaboga. Energi dan zat
gizi (protein, vitamin A dan Fe) dalam menu sepinggan selama 6 hari
dijumlahkan, kemudian dirata-ratakan per siswa per hari dan dibandingkan
dengan angka kecukupan gizi menurut WNPG 2004.
Data tingkat kesukaan siswa diperoleh dari uji organoleptik yang berupa uji
hedonik/kesukaan penerimaan terhadap menu sepinggan. Tingkat kesukaan
siswa dikategorikan: sangat suka, suka, biasa, tidak suka dan sangat tidak suka.
70
Daya terima siswa diperoleh dengan menggunakan form berdasarkan observasi
atau gambar makanan sepinggan yang dapat dihabiskan (Gregoire 2007).
Data konsumsi pangan berupa jenis dan jumlah makanan dalam
gram/URT diolah dengan menggunakan analisis konsumsi pangan. Data
konsumsi pangan dikonversikan dalam bentuk energi, protein, vitamin A, dan Fe
dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Pangan. Untuk menghitung
jumlah zat gizi dari setiap bahan pangan yang dikonsumsi digunakan rumus
seperti berikut ini (Hardinsyah & Briawan 1994):
Kgij = (Bj/100) X Gij X (BDD/100)
Kgij = Kandungan zat gizi bahan pangan yang dikonsumsi
Bj = Berat bahan pangan yang dikonsumsi
Gij = Kandungan zat gizi yang dikonsumsi dalam 100 gram BDD
BDD = Bagian bahan pangan yang dapat dimakan (% BDD)
Pengukuran tingkat kecukupan energi dan protein merupakan tahap
lanjutan dari perhitungan konsumsi pangan. Tingkat kecukupan konsumsi
merupakan persentase konsumsi aktual siswa dengan Angka Kecukupan Gizi
(AKG) yang dianjurkan berdasarkan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi
(WNPG) VIII tahun 2004. Pengukuran tingkat konsumsi energi dan zat gizi
mempergunakan rumus sebagai berikut:
TKGi = (Ki/AKGi) X 100
TKGi = Tingkat kecukupan energi atau zat gizi i
Ki = Konsumsi zat gizi i
AKG = Kecukupan energi dan zat gizi yang dianjurkan
(Sumber: Hardinsyah & Briawan 1994).
Departemen Kesehatan (1996) mengklasifikasikan tingkat kecukupan
energi dan protein menjadi 5 kelompok yaitu: 1) defisit tingkat berat (< 70%
AKG), 2) defisit tingkat sedang ( 70 – 79% AKG), 3) defisit tingkat ringan (80 –
89% AKG), 4) normal (90 – 110% AKG), dan 5) kelebihan > 120% AKG. Tingkat
kecukupan vitamin dan mineral dikategorikan menjadi 2 yaitu kurang (tingkat
kecukupan < 77%) dan cukup (tingkat kecukupan > 77%) (Gibson 2005).
Analisis statistik yang digunakan adalah 1) tabulasi frekuensi dan tabulasi
silang untuk menganalisis karakteristik responden, tingkat kesukaan, daya
terima, konsumsi, dan tingkat kecukupan, 2) uji beda t untuk menganalisis
perbedaan konsumsi dan tingkat kecukupan contoh.
71
Tahap-tahapan Perancangan Model Penyelenggaraan Makanan Model penyelenggaraan makanan yang dilakukan dalam perancangan ini
merupakan model sarapan menu sepinggan di sekolah. Hal ini dilakukan karena
siswa kelas 5 dan kelas 6 berada di sekolah selama 5.5 jam (pukul 07.00-12.30),
dan berdasarkan hasil penelitian pendahuluan di SDN Kebon Kopi 2 Bogor
mengungkapkan bahwa, rata-rata konsumsi sarapan siswa hanya sebesar 10%
dari AKG.
Tahap-tahapan dalam perancangan model sarapan menu sepinggan
adalah sebagai berikut: 1) menentukan lokasi SD yang berasal dari keluarga
miskin berdasarkan wawancara dari Kepala Tata Usaha Dinas Pendidikan kota
Bogor, 2) melakukan kelompok diskusi terbatas (Focus Group Discussion atau
FGD) dengan pihak Puskesmas, 3) melakukan FGD dengan pihak sekolah, 4)
melakukan survei di kelas 5 dan kelas 6 tentang menu sepinggan yang disukai
siswa, 5) menghitung nilai energi, protein, vitamin A dan zat besi (Fe) menu
sepinggan yang direncanakan, 6) melatih penjamah makanan dalam rangka
penyiapan & pemasakan menu sepinggan, 7) efikasi pemasakan terhadap 3
menu sepinggan di dapur penjamah makanan, dan efikasi pelaksanaan sarapan
menu sepinggan di dalam kelas, serta 8) melaksanakan evaluasi kegiatan
penyelenggaraan makanan menu sepinggan dan melakukan beberapa perbaikan
yang diperlukan (Gambar 9).
Untuk merancang model penyelenggaraan makanan anak sekolah maka
diperlukan penjelasan-penjelasan di dalam sumberdaya manusia (input) yang
terdiri dari: biaya (dari orang tua siswa dan jumlahnya terbatas, dapat juga
berupa bantuan/subsidi dari orang lain), metode produksi, yang dapat
dipergunakan adalah konvensional (bahan pangan dipersiapkan dan dimasak
pada hari yang sama dengan penyajian makanan), bahan (berupa bahan pangan
dan bukan bahan pangan, karena biaya terbatas, maka bahan pangan dan
bukan bahan pangan juga menjadi terbatas), peralatan fisik, berupa lokasi dapur
yang dipergunakan di luar gedung sekolah (tetapi dekat dengan lokasi sekolah
untuk menghindari biaya transportasi), fasilitas ruang makan tidak ada, sehingga
dipergunakan ruang kelas, alat penyiapan, alat penyimpanan, alat masak, alat
saji dan fasilitas pencucian yang terbatas menyebabkan menu yang dimasak
juga terbatas, SDM terdiri dari: kepala sekolah & guru, murid, orang tua murid,
masyarakat sekitar sekolah, dan Tenaga Pelaksana Gizi (TPG) dari Puskesmas.
72
Tenaga-tenaga tersebut dapat bekerja tanpa adanya pelatihan karena biaya
yang terbatas.
Gambar 9 Tahapan kegiatan perancangan sarapan menu sepinggan di SDN Kebon Kopi 2 Bogor
Proses dalam Gambar 10, terdiri dari: perencanaan sarapan menu
sepinggan, pembelian bahan, penyiapan bahan, pemasakan bahan,
penyajian/pemorsian makanan, pendistribusian makanan, serta pencucian
peralatan (alat masak dan alat makan). Semua proses kegiatan yang dilakukan
harus memenuhi syarat higiene & sanitasi dari makanan yang diolah, dan
Kegiatan Hasil
Terpilih lokasi SD Negeri
SDN terpilih merupakan binaan Puskesmas
Penjamah makanan terpilih
Terpilih 6 menu yang disukai siswa
6 menu dengan nilai gizi 20% AKG
Penjamah makanan dapat membuat standar porsi & standar resep
3 menu dimasak & diberikan kepada siswa di kelas
Mengetahui kelemahan-kelemahan saat pelaksanaan
Tahap 1 Wawancara dengan Dinas Pendidikan Kota Bogor
Tahap 7
Tahap 8
Memasak, memorsi & menyajikan sarapan
bersama di kelas
Melakukan evaluasi & perbaikan-perbaikan yang
ditemukan di lapangan
Tahap 6
Melatih penjamah makanan dalam rangka penyiapan &
pemasakan menu sepinggan
Tahap 4
Tahap 5
Melakukan survei makanan kesukaan siswa di kelas
Menghitung nilai energi, protein, vit A & Fe dari menu
yang dirancang
Tahap 2
Tahap 3
Melakukan FGD dengan Tim UKS Puskesmas Merdeka
Melakukan FGD dengan pihak sekolah
(kepala sekolah & guru)
73
melakukan administrasi yang diperlukan walaupun dengan biaya yang terbatas.
Alat saji yang dipergunakan adalah boks plastik yang dibelakangnya terdapat
angka 5, artinya alat ini aman dipergunakan jika dicuci berulang-ulang untuk
dipergunakan sebagai alat saji.
Hasil Perancangan Model Penyelenggaraan Makanan
Gambar 10 Hasil perancangan model penyelenggaraan sarapan menu sepinggan untuk anak sekolah dasar bagi siswa dari keluarga miskin
Perencanaan menu sepinggan harus dilakukan dengan biaya yang
terbatas, sehingga menu sepinggan yang dihasilkan adalah menu-menu yang
berasal dari bahan pangan yang murah. Kegiatan penerimaan, penyimpanan,
dan pengeluaran bahan pangan tidak dilakukan dalam model ini karena fasilitas
yang terbatas, sehingga bahan yang dibeli langsung dipersiapkan dan dimasak
pada hari yang sama. Penyiapan dan pemasakan bahan pangan dilakukan
dengan cara pengolahan dan peralatan yang sederhana. Alat saji yang
dipergunakan adalah sederhana, semua makanan dimasukkan kedalam boks
plastik. Cara pendistribusian dengan sentralisasi dilakukan untuk menghemat
waktu pengangkutan. Semua boks plastik yang telah berisi makanan dimasukkan
ke dalam kontainer plastik, lalu diangkut ke sekolah oleh siswa. Pencucian alat
74
makan dilakukan oleh siswa sendiri dengan mempergunakan fasilitas yang
tersedia yaitu di tempat wudhu. Pencucian alat masak dilakukan di rumah
penjamah makanan, yaitu di wastafel yang tersedia.
Hasil akhir dari perancangan model ini adalah sarapan menu sepinggan
(one dish meal breakfast). Menu sepinggan yang dihidangkan diharapkan disukai
oleh siswa dan dapat diterima dengan baik (daya terima tinggi), yang pada
akhirnya dapat meningkatkan konsumsi dan berpengaruh terhadap tingkat
kecukupan siswa. Tingkat kesukaan dan daya terima siswa terhadap menu
sepinggan akan diamati sebagai evaluasi terhadap menu yang diproduksi di
dapur penjamah makanan yang berada diluar sekolah.
Hasil Efikasi Model Sarapan Menu Sepinggan
Gambaran Umum Sekolah
Sekolah Dasar Negeri (SDN) Kebon Kopi 2 merupakan SDN yang
berlokasi di jalan Kebon Kopi RT.04/09 kelurahan Kebon Kelapa di Kecamatan
Bogor Tengah Kotamadya Bogor, provinsi Jawa Barat. Letak sekolah ini
dikelilingi oleh pemukiman penduduk padat dan kuburan umum. SDN ini
dipergunakan sejak tahun 1974.
Fasilitas yang tersedia di dalam SD adalah: 6 ruang belajar, 1 ruang
kepala sekolah, satu ruang guru, 1 ruang Usaha Kesehatan Sekolah (UKS)
berupa kamar yang berisi 1 tempat tidur, 1 mushola, WC 2 buah dan tempat air
wudhu (menjadi satu ruangan), air bersih yang dipergunakan bersumber dari
PDAM dan listrik dari PLN serta ada halaman tempat untuk diadakannya upacara
bendera. SDN ini tidak memiliki kantin, tetapi di sekitar sekolah terdapat
beberapa pedagang jajanan keliling dan warung makan.
SDN Kebon Kopi 2 saat penelitian dikepalai oleh Hj. Neni Suprani, S.Pd.
Sekolah memiliki tenaga 9 guru, 1 orang tata usaha, dan 1 orang penjaga
sekolah. Jumlah siswa sebanyak 215 orang. Kegiatan belajar mengajar
dilakukan mulai pukul 07.00 sampai dengan 12.30 WIB untuk kelas 3, 4, 5 dan 6,
dan kelas 1 dan 2 dimulai pukul 07.00 hingga 10.00 WIB.
Karakteristik Peserta
Umur dan Jenis Kelamin
Peserta dalam penelitian ini merupakan siswa SDN Kebon Kopi 2 Bogor
kelas 5 dan 6, dengan jumlah sebanyak 62 orang. Sebaran peserta berdasarkan
75
jenis kelamin dan umur dapat dilihat pada Tabel 5. Berdasarkan tabel tersebut,
diketahui bahwa sebesar 56.5% (35 orang) dari siswa berjenis kelamin
perempuan. Tabel tersebut juga menggambarkan bahwa distribusi usia kelas 5
dan kelas 6 berada pada rentang 9-13 tahun, dan sebesar 44.5% berjenis
kelamin laki-laki, 42.9% adalah perempuan berada pada usia 11 tahun. Anak
usia 6 sampai 12 tahun termasuk dalam fase akhir masa anak-anak (late
childhood) sampai tiba saatnya anak menjadi matang secara seksual yaitu pada
usia 13 tahun bagi anak perempuan dan 14 tahun bagi anak laki-laki (Hurlock
1999). Pada golongan usia anak sekolah dasar yaitu anak belum mencapai
dewasa tetapi masih dalam tahap pertumbuhan (usia emas ke-2/golden age).
Oleh karena itu, pada usia tersebut perlu diperhatikan konsumsi makanan yang
tepat jumlah dan kualitasnya.
Tabel 5 Distribusi peserta berdasarkan umur dan jenis kelamin
Umur Laki-laki Perempuan Total
n % n % n %
7-9 0 0.0 1 2.9 1 1.6
10-12 26 96.3 32 91.4 58 93.5
13-15 1 3.7 2 5.7 3 4.8
Total 27 100.0 35 100.0 62 100.0
Besar Uang Jajan
Besar uang jajan merupakan sejumlah uang yang diterima anak didik
dalam sehari untuk membeli jajan. Uang jajan anak sekolah menjadi suatu
kebiasaan, baik yang berasal dari keluarga dengan pendapatan yang rendah
maupun tinggi. Napitu (1994) menyatakan bahwa sebaiknya anak diharapkan
dapat belajar bertanggung jawab untuk mempergunakan uang jajan yang
dimilikinya. Tabel 6 menggambarkan bahwa sebagian besar (54.8%) peserta
memiliki uang jajan ≤ Rp3.000. Jumlah uang jajan ini mengindikasikan bahwa
sebagian besar siswa tersebut berasal dari golongan miskin, karena besar
kecilnya uang jajan dipengaruhi oleh besarnya pendapatan keluarga. Hasil ini
berbeda dengan penelitian di 2 lokasi sekolah dasar (orang tua siswa termasuk
ekonomi mampu) yang sebagian besar (51.8%) siswanya memiliki uang jajan
berkisar antara Rp 5.001-10.000 (Nurdiani 2011).
Pendidikan Orang Tua
Pendidikan orang tua merupakan salah satu unsur penting yang dapat
mempengaruhi keadaan gizi keluarga. Pada Tabel 7, diketahui bahwa sebagian
76
besar (43.1%) pendidikan ayah peserta tamat SMA, sedangkan pendidikan ibu
peserta sebagian besar (36.7%) hanya tamat SD. Salimar et al (2010)
menyebutkan bahwa sebagian besar tingkat pendidikan ayah di perkotaan
minimal SLTP. Hal ini diduga karena jumlah peserta dalam penelitian ini terlalu
kecil.
Tabel 6 Distribusi peserta berdasarkan besar uang jajan
Kategori uang jajan n %
≤ Rp3.000,- 34 54.8
>Rp3.000,-s/d Rp4.000,- 18 29.0
>Rp4.000,- 10 16.1
Total 62 100.0
Karakteristik Orang Tua Peserta
Dari Tabel 7 tersebut, dapat diketahui bahwa tingkat pendidikan ayah
peserta lebih tinggi dibandingkan tingkat pendidikan ibu peserta. Tingkat
pendidikan ibu berpengaruh terhadap derajat kesehatan keluarga. Ibu yang
memiliki pendidikan tinggi cenderung memiliki pengetahuan gizi, kesehatan, dan
pengasuhan anak yang baik.
Tabel 7 Distribusi orang tua peserta berdasarkan tingkat pendidikan
Kategori Pendidikan Ayah Ibu
n % n %
Tidak Sekolah 1 1.7 0 0.0
SD 16 27.6 22 36.7
SMP 13 22.4 20 33.3
SMA 25 43.1 18 30.0
Perguruan Tinggi 3 5.2 0 0.0
Total 58 100.0 60 100.0
Pekerjaan dan Pendapatan Orang Tua
Pekerjaan atau mata pencaharian berperan penting dalam kehidupan
sosial ekonomi dan terkait dengan faktor-faktor lain seperti kesehatan. Anak-
anak yang tumbuh dalam keluarga miskin paling rawan terhadap kekurangan gizi
diantara seluruh anggota keluarga (Harper et al 1986). Pekerjaan seseorang
akan berpengaruh terhadap kuantitas dan kualitas makanan yang
dikonsumsinya. Hal tersebut dikarenakan pekerjaan akan menentukan
pendapatan yang dihasilkan, yang akan digunakan untuk membeli makanan.
77
Pekerjaan ayah peserta sebesar 53.3% adalah sebagai buruh, yaitu buruh
bangunan, angkut barang, ataupun buruh pabrik. Pekerjaan memiliki hubungan
dengan tingkat pendidikan yang nantinya akan mempengaruhi kehidupan sosial
ekonominya.
Pekerjaan orang tua terutama ibu akan mempengaruhi kebiasaan makan
dalam keluarga. Hal ini disebabkan karena umumnya ibu terlibat langsung dalam
penyediaan makanan keluarga.
Tabel 8 Distribusi orang tua peserta berdasarkan pekerjaan
Kategori Pekerjaan Ayah Ibu
n % n %
Tidak Bekerja 3 5.2 50 83.3
Buruh (Bangunan , Angkut Barang, Pabrik) 31 53.5 4 6.7
Pedagang Keliling, Asongan 12 20.7 6 10.0
PNS 2 3.4 0 0
Jasa (supir angkot, ojeg) 10 17.2 0 0
Total 58 100 60 100
Ibu yang bekerja tidak lagi memiliki waktu untuk mempersiapkan
makanan bagi keluarganya (Suhardjo 1989). Tabel 8 diatas menunjukkan bahwa
sebagian besar (83.3%) adalah sebagai ibu rumah tangga, tetapi terdapat juga
ibu yang bekerja sebagai buruh (tukang cuci). Hal ini kemungkinan sebagai
penyebab kondisi ekonomi peserta sebagian besar termasuk miskin.
Sebagian besar (75.8%) pendapatan orang tua peserta termasuk kategori miskin
berdasarkan batas garis kemiskinan untuk kota Bogor sebesar Rp 278.530,00
(BPS 2010).
Besar Keluarga
Besarnya anggota keluarga merupakan sekelompok orang yang terdiri
dari ayah, ibu serta anggota keluarga lainnya yang hidup dari sumberdaya yang
sama. Suhardjo (1989) menyatakan bahwa terdapat hubungan sangat nyata
antara besar keluarga dan kurang gizi pada masing-masing keluarga. Menurut
Hurlock (1999), besar keluarga dibagi menjadi tiga kategori yaitu kecil (≤ 4
orang), sedang (5-6 orang) dan besar (≥ 7 orang). Hasil penelitian yang
ditunjukkan dalam Tabel 9 dapat diketahui bahwa sebagian besar (46.8%)
peserta termasuk kedalam golongan keluarga kecil.
78
Tabel 9 Distribusi peserta berdasarkan jumlah anggota keluarga
Besar keluarga n %
Kecil (≤ 4 orang) 29 46.8
Sedang (5-6 orang) 25 40.3
Besar (≥ 7 orang) 8 12.9
Total 62 100.0
Sumberdaya pada Penyelenggaraan Sarapan Menu Sepinggan
Tenaga Penjamah Makanan
Syarat-syarat sumberdaya yang dipekerjakan sebagai tenaga penjamah
makanan dalam penyelenggaraan makanan adalah sebagai berikut: 1) bersih
diri/penampilan bersih, 2) bersih rumah dan lingkungan, 3) mempunyai peralatan
untuk menyelenggarakan makanan banyak/massal/institusi, dan 4) buat SOP
(Standart Operating Procedure). Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam
pemilihan tenaga penjamah makanan yaitu: 1) hubungi pihak kepala sekolah
atau guru atau aparatur desa yang lebih mengenal penduduk setempat, 2)
setelah tenaga terpilih, amati rumahnya, amati ruang dapur apakah memenuhi
syarat kesehatan untuk penyelenggaraan makanan banyak/massal/institusi, 3)
komunikasikan dengan Tenaga Pelaksana Gizi (TPG) puskesmas Merdeka agar
dapat bekerja dibawah pengawasan TPG, dan 4) tuliskan tugas-tugas yang
harus dapat diselesaikan oleh tenaga penjamah makanan. Jumlah tenaga
penjamah makanan yang dibutuhkan dalam efikasi ini adalah 3 orang, yang
bertugas sebagai tukang masak dan pembantu tukang masak.
Peralatan
Peralatan dibagi menjadi dua, yaitu peralatan masak (equipment) dan
peralatan makan (utensil). Jenis dan jumlah peralatan yang harus disediakan
oleh penyelenggara makanan anak sekolah tergantung dari macam menu yang
diolah dan berapa banyak jumlah yang harus di masak. Peralatan yang
dipergunakan dalam penyelenggaraan makanan ini adalah pisau, panci, kuali,
wajan, kukusan. Umumnya bahan/material dari peralatan yang dipergunakan
selama efikasi adalah aluminium dan stainless-steel. Peralatan memasak
merupakan salah satu modal yang penting bagi kegiatan penyelenggaraan
makanan anak sekolah. Jumlah dan mutu peralatan masak harus dipenuhi agar
kegiatan penyelenggaraan makanan dapat berjalan sesuai dengan rencana.
79
Ketersediaan dan kelayakan peralatan yang digunakan turut menentukan proses
pengolahan bahan pangan (Palacio 2009).
Syarat-syarat peralatan masak menurut (Depkes 2006) adalah: 1) bahan
peralatan masak tidak boleh melepaskan zat beracun kepada makanan, seperti
cadmium, plumbum (timah hitam), zincum (seng), cuprum (tembaga), stibium
(antimon) atau arsenicum (arsen). Logam ini beracun yang dapat berakumulasi
sebagai penyakit saluran kemih dan kanker, 2) keutuhan peralatan dalam
penyelenggaraan makanan anak sekolah adalah tidak boleh patah, gompel,
penyok, tergores atau retak karena akan menjadi sarang kotoran atau bakteri.
Peralatan yang tidak utuh tidak mungkin dapat dicuci sempurna sehingga dapat
menjadi sumber kontaminasi, dan 3) letak peralatan yang bersih dan siap
dipergunakan sudah berada pada tempatnya masing-masing sehingga
memudahkan waktu mencari (mengambilnya).
Alat makan yang dipergunakan dalam efikasi adalah boks makanan, yang
bahannya dari plastik dan aman untuk dicuci berulang-ulang (tertera angka 5),
serta tidak berlekuk-lekuk. Menurut Depkes (2006), syarat-syarat peralatan
makan (utensil) adalah: 1) bersih, peralatan harus dalam keadaan bersih karena
peralatan dapat mencemari makanan, 2) bentuknya utuh, tidak rusak, cacat,
retak atau berlekuk-lekuk tidak rata, 3) peralatan yang sudah bersih dilarang
dipegang di bagian tempat makanan, yang menempel di mulut, karena akan
terjadi pencemaran mikroba melalui jari tangan, 4) peralatan yang sudah retak,
gompel atau pecah selain dapat menimbulkan kecelakaan (melukai tangan) juga
menjadi sumber pengumpulan kotoran karena tidak akan dapat dicuci sempurna,
dan 5) peralatan makan yang dipakai yang sudah bersih disimpan di dalam
kontainer plastik tertutup yang terlindung dari serangga dan tikus dan dikeluarkan
apabila akan dipergunakan.
Bahan Pangan
Prosedur pembelian dan dimana membeli bahan pangan sangat
menentukan kualitas bahan pangan yang akan dipergunakan. Kualitas bahan
pangan sangat menentukan kualitas masakan yang dihasilkan. Untuk
memperoleh bahan pangan yang baik harus dilakukan pemilihan bahan pangan
pada saat pembelian ataupun selektif dalam menentukan tempat membeli bahan
pangan. Penggunaan bahan pangan segar dilakukan setiap hari sehingga
pembelian bahan pangan juga dilakukan setiap hari. Tempat pembelian bahan
pangan dilakukan secara langsung di pasar terdekat, yaitu pasar kebon kopi
80
(dekat dengan Pusat Grosir Bogor/PGB). Tempat penyimpanan bahan pangan
tidak tersedia, oleh karena itu kegiatan penyiapan dan pemasakan langsung
dilakukan setelah bahan pangan dibeli (fasilitas yang tersedia tidak memadai).
Biaya (Dana)
Biaya makanan sebesar Rp3.000/hari/menu untuk sarapan menu
sepinggan. Biaya ini mencakup biaya bahan pangan, biaya tenaga kerja dan
biaya operasional, seperti bahan bakar, air dan listrik. Setelah dianalisa, maka
rata-rata biaya pembelian bahan pangan (food cost) selama 2 minggu adalah
67.21%, biaya operasional (overhead cost) 12.81% dan upah tenaga penjamah
makanan (manpower cost) sebesar 19.88%. Profit tidak ada dalam proses
penyelenggaraan sarapan menu sepinggan, karena pelayanan makanan anak
sekolah umumnya bersifat pelayanan atau service-oriented. Petugas pemasak
dalam hal ini harus mempunyai jiwa sosial atau sukarela, artinya bekerja bukan
mencari keuntungan, tetapi bertujuan untuk meningkatkan konsumsi makanan
anak sekolah.
Metode
Tempat penyiapan dan pemasakan bahan pangan dilakukan di luar
gedung sekolah karena fasilitas dapur sekolah belum ada, dan dilaksanakan oleh
masyarakat yang dekat dengan sekolah. Hal ini dilakukan untuk menghindari
biaya transportasi. Metode produksi yang dipergunakan dalam efikasi model ini
adalah bahan pangan yang dibeli hari ini dimasak hari ini dan dimakan hari ini.
Metode tersebut dikenal dengan metode produksi conventional. Hal ini dilakukan
karena jumlah produksi tidak terlalu banyak dan fasilitas penyimpanan makanan
jadi (ready to eat) belum ada. Standar-standar resep yang dihasilkan pada saat
kegiatan pengolahan makanan didokumentasikan dengan baik, agar dapat
digunakan sebagai standar baku (standar resep) untuk mempertahankan cita
rasa makanan yang baik (rasa makanan sama, walaupun dilakukan oleh tenaga
penjamah makanan yang berbeda).
Proses Penyelenggaraan Sarapan Menu Sepinggan untuk Anak Sekolah
Perencanaan Menu.
Perencanaan menu dilakukan melalui food preference dari siswa. Food
preference dilakukan pada saat penelitian pendahuluan. Food preference dapat
juga dilakukan oleh TPG dari puskesmas terdekat, dan dilaksanakan di sekolah,
lalu hasilnya didiskusikan dengan calon tenaga penjamah makanan. Hal ini
81
sangat penting karena akan mempengaruhi jumlah dan kualitas tenaga
penjamah makanan yang akan melaksanakan pemasakan. Menu yang
direncanakan juga harus disesuaikan dengan peralatan yang tersedia, dan alat
saji yang akan dipergunakan. Perencanaan menu yang dilakukan menitik
beratkan kepada ketentuan sarapan untuk anak sekolah. Siklus menu
mempergunakan 6 hari (senin sampai sabtu). Komposisi menu terdiri dari
sumber energi (dapat berupa nasi, bubur, mie), lauk-pauk dan sayur. Resep
makanan yang digunakan adalah resep yang pernah dimasak oleh petugas
penjamah makanan. Standar resep tersebut di dokumentasikan dengan baik.
Pada Tabel 10 dapat dilihat menu sepinggan dan kandungan energi, protein,
vitamin A dan Fe yang disajikan selama 6 hari.
Tabel 10 Kandungan energi, protein, vit. A dan Fe sarapan menu sepinggan
Menu sepinggan
Energi Protein Vit. A Fe
Kkal %
AKG Gr
% AKG
µg RE %
AKG mg
% AKG
Laki-laki
Perem-puan
Mie goreng 422 20.6 9.6 19.2 363.6 60.6 3.4 26.2 16.9
Nasi uduk kuning
456 22.2 8.7 17.4 152.9 25.5 1.3 9.7 6.3
Lontong sayur 412 20.1 8.1 16.2 320.4 53.4 1.3 10.0 6.5
Bubur ayam 433 21.1 9.4 18.8 283.4 47.2 1.0 7.5 4.9
Gado-gado lontong
478 23.3 16 32.0 316.3 52.7 3.8 29.4 19.1
Nasi goreng 435 21.2 8.4 16.8 164.1 27.4 1.3 9.7 6.3
Rata-rata 439 21.4 10 20.1 266.8 44.5 1.97 15.4 10.0
Rata-rata kandungan energi menu sepinggan adalah 439 Kkal dan
protein 10 gram. Berdasarkan AKG tahun 2004, angka ini sudah memenuhi 20%,
dan dapat dipergunakan sebagai sarapan bagi siswa SD kelas 5 dan 6.
Kandungan menu sepinggan ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan menu
PMT-AS di SDN 1 Malangsari Cipanas Lebak Banten.
Pengolahan
Berapa lama waktu yang diperlukan untuk penyiapan bahan pangan dan
waktu pemasakan perlu diperhitungkan. Siapa yang melakukan penyiapan dan
pemasakan bahan pangan juga perlu diperhatikan. Standard Operational
Procedure (SOP) pemasakan diperlukan sebagai acuan untuk pengolahan
bahan pangan. Langkah-langkah yang harus dilakukan saat penyiapan dan
82
pengolahan bahan pangan, seperti tidak terlalu lama waktu penyiapan ke waktu
pemasakan dan waktu penyajian makanan.
Pengolahan bahan pangan terdiri atas dua kegiatan yaitu penyiapan dan
pemasakan bahan pangan. Tahap ini perlu mendapat perhatian karena
kehilangan zat gizi sering terjadi pada saat bahan pangan mengalami proses
pengolahan. Pelaksanaan efikasi penyelenggaraan makanan anak sekolah ini
melakukan penyiapan bahan dan pemasakan yang rata-rata dimulai pukul 04.30
dan selesai pukul 06.30 (2 jam), dilanjutkan dengan pemorsian dan siap untuk
didistribusikan pada pukul 06.45. Proses penyiapan tidak selalu dilakukan pada
hari yang sama karena ada penyiapan-penyiapan yang dilakukan 1 hari
sebelumnya seperti membuat bumbu gado-gado. Proses pemasakan dilakukan 1
kali dalam 1 hari.
Proses penyiapan dan pemasakan yang dilakukan oleh penjamah
makanan dalam pembuatan kudapan PMT-AS di SD Negeri 1 Malangsari adalah
7 jam. Jika dibandingkan dengan waktu penyiapan dan pemasakan yang
dilakukan oleh penjamah makanan kudapan PMT-AS di SD Negeri 1 Malangsari,
maka pembuatan makanan sepinggan lebih cepat, dan jika dibandingkan dengan
data pada laporan pengumpulan data dasar dan evaluasi PMT-AS (1997), rata-
rata lama memasak adalah 10.8 hingga 21.9 jam. Hal tersebut terjadi karena
beberapa faktor, yaitu tenaga penjamah makanan yang kurang terampil
memasak berbagai jenis kudapan, jumlah dan jenis alat penyiapan dan alat
masak yang kurang memadai, dan lain-lain.
Higiene dan Sanitasi
Higiene dan sanitasi makanan adalah pengendalian terhadap faktor
makanan, orang, tempat, dan perlengkapannya yang dapat atau mungkin dapat
menimbulkan penyakit atau gangguan kesehatan lainnya. Upaya untuk mencapai
higiene dan sanitasi makanan yang dilakukan adalah memberikan pelatihan
kepada tenaga penjamah tentang apa-apa yang harus dilakukan supaya tidak
terjadi pencemaran pada saat proses penyiapan, pemasakan dan pemorsian
serta penyajian (Depkes 2006). Hasil penilaian terhadap higiene & sanitasi
sesuai dengan Permenkes Nomor: 1096 tahun 2011 tentang Higiene Sanitasi
Jasaboga, didapatkan nilai bobot sebesar 66. Nilai ini telah memenuhi syarat
untuk jasaboga golongan A1 (jasaboga yang melayani kebutuhan masyarakat
umum, dengan pengolahan makanan yang menggunakan dapur rumah tangga
83
dan dikelola oleh keluarga). Nilai minimal yang dipenuhi tempat pengolahan
tersebut mencapai 65 dari total nilai 70. Hal ini mengindikasikan bahwa 93%
(65/70) nilai yang berhasil dicapai (lampiran 8). Bobot total 70 belum tercapai
dalam penilaian karena masih ada kekurangan, yaitu bagian dinding yang kena
percikan air sudah dilapisi keramik (bahan kedap air) tetapi hanya setinggi 1,5
meter dari lantai, pintu dapur belum dapat menutup sendiri, dan membuka hanya
ke satu arah, tersedia tempat sampah yang cukup, tetapi belum bertutup, serta
pada proses pencucian tahapan perendaman belum dilakukan.
Pemorsian dan Pendistribusian
Cara pembagian makanan untuk siswa adalah dengan memorsi sesuai
dengan kecukupan anak SD kelas 5 dan kelas 6. Jumlah nasi/bubur/mie, lauk
dan sayur disesuaikan dengan kecukupan siswa, dengan cara ditimbang dalam 1
porsi. Peralatan yang digunakan untuk penyajian adalah kotak plastik dan
sendok. Proses distribusi yang dipergunakan adalah dengan cara sentralisasi
yaitu makanan diporsi di tempat pengolahan. Peralatan makan yang digunakan
oleh siswa merupakan alat yang sederhana sehingga mudah dalam pencucian
dan penyimpanannya.
Penyajian Makanan
Cara penyajian makanan untuk anak di sekolah sangatlah tergantung dari
fasilitas yang tersedia di sekolah, seperti adanya ruang makan, alat saji yang
cukup, dan jumlah tenaga yang melaksanakannya. Umumnya makanan anak
sekolah disajikan dengan tipe/gaya cafetaria. Penyajian makanan anak sekolah,
dapat mempergunakan kotak makan yang tidak bersekat, dan terbuat dari
plastik. Menu yang disajikan merupakan menu sepinggan, sehingga tidak perlu
memisahkan satu masakan dengan masakan lainnya, tetapi penyajiannya cukup
dalam satu alat saji, yaitu boks makanan.
Pada efikasi model penyelenggaraan sarapan menu sepinggan untuk
anak sekolah di SDN Kebon Kopi 2 Bogor didapatkan bahwa, tidak terdapat
fasilitas ruang makan, jadi makan bersama dilakukan di kelas masing-masing.
Tipe pelayanan makanan yang dipergunakan adalah gaya cafetaria dengan
kantin bergilir, yaitu dengan cara siswa antri bergilir mengambil boks makanan
dari dalam kontainer plastik.
84
Monitoring dan Evaluasi
Monitoring dan evaluasi penyelenggaraan makanan anak sekolah
merupakan serangkaian kegiatan mengumpulkan data kegiatan pengelolaan
makanan dalam jangka waktu tertentu, untuk menghasilkan bahan bagi penilai
kegiatan pelayanan makanan. Monitoring yang dilakukan selama penelitian
adalah adalah: jumlah makanan yang diproduksi, penggunaan bahan pangan,
lamanya waktu produksi, lamanya waktu pemorsian, lamanya waktu penyajian,
monitoring keuangan tentang pembelian bahan pangan, dan pembelian bahan
bakar. Monitoring dan evaluasi terhadap menu yang diproduksi dilakukan dengan
memberikan kuesioner evaluasi dan dilakukan secara langsung sehingga catatan
penting mengenai evaluasi menu dapat segera diketahui, seperti makanan mana
yang disukai atau kurang disukai siswa. Monitoring dan evaluasi dilakukan oleh
penulis dengan dibantu oleh guru kelas pada saat makan. Jika model ini
dipergunakan sebagai program maka tenaga monitoring dan evaluasi dapat
dilakukan oleh guru, kepala sekolah, TPG puskesmas yang berkaitan dengan
menu, pengolahan bahan pangan, tingkat kesukaan & daya terima makanan,
serta tenaga penyuluh pertanian yang ada di kecamatan yang berkaitan dengan
pengadaan bahan pangan lokal di sekitar sekolah yang melaksanakannya.
Output Penyelenggaraan Makanan Anak Sekolah
Tingkat Kesukaan Anak terhadap Menu Sepinggan
Menurut Suhardjo (1989), sikap manusia terhadap makanan banyak
dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman dan respon-respon yang
diperlihatkan oleh orang lain terhadap makanan sejak masa kanak-kanak.
Pengalaman yang diperoleh ada yang dirasakan menyenangkan atau sebaliknya
tidak menyenangkan, sehingga setiap individu dapat mempunyai sikap suka atau
tidak suka (like or dislike) terhadap makanan.
Preferensi makanan merupakan suatu tindakan/ukuran suka atau tidak
suka terhadap makanan. Preferensi terhadap makanan didefinisikan sebagai
derajat suka atau ketidaksukaan terhadap makanan dan akan berpengaruh
terhadap konsumsi pangan (Suhardjo 1989). Uji kesukaan dilakukan dengan
menggunakan uji hedonik, dengan 5 skala yaitu, sangat suka, suka, biasa, tidak
suka, dan sangat tidak suka. Gambar 11 merupakan pengelompokkan menjadi
dua kategori tingkat kesukaan, yaitu suka dan tidak suka. Kategori sangat suka
dan suka dimasukkan ke dalam kategori suka, sedangkan kategori biasa saja,
tidak suka, dan sangat tidak suka termasuk dalam kategori tidak suka.
85
Berdasarkan Gambar 11 diketahui bahwa sebagian besar contoh
menyukai menu sepinggan yang diberikan selama penelitian. Hal ini dapat dilihat
dari besarnya persentase suka terhadap setiap menu sepinggan > 90%.
Beberapa contoh yang tidak menyukai menu sepinggan karena ada siswa yang
tidak suka akan sayuran seperti mentimun, kol dan tomat.
Penelitian yang dilakukan Nurdiani (2011) di SD IT Insantama Bogor,
menyatakan bahwa sebagian besar siswa menyukai makanan yang diberikan
sekolah (katering). Sebanyak 88.6% siswa menyukai makanan pokok (nasi),
91.4% siswa menyukai lauk hewani, 91.4% siswa menyukai lauk nabati, 94.3%
menyukai sayuran dan 97.1% menyukai buah. Dalam penelitian ini jenis menu
yang diberikan adalah makanan sepinggan, jadi tidak ada pemisahan antara
makanan pokok, lauk pauk dan sayuran. Hal tersebut dilakukan mengingat
kondisi ekonomi dan jenis makanan yang biasa dikonsumsi oleh peserta. Dari
hasil ini dapat dikatakan bahwa sarapan menu sepinggan di sukai oleh siswa.
Gambar 11 Tingkat kesukaan peserta terhadap menu sepinggan
Apabila dibandingkan dengan kudapan PMT-AS yang dilakukan di SD
Negeri 1 Malangsari, maka tingkat kesukaan siswa terhadap menu sepinggan
lebih tinggi persentasenya dibandingkan dengan kudapan PMT-AS yang
diberikan.
Daya Terima Makanan Anak Sekolah
Daya terima makanan merupakan salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi konsumsi pangan seseorang. Daya terima terhadap makanan
ditentukan oleh rangsangan dan indera penglihatan, penciuman, pencicip, dan
pendengaran. Faktor utama yang dinilai dari cita rasa diantaranya ialah rupa
86
yang meliputi warna, bentuk, ukuran, aroma, tekstur dan rasa (Hardinsyah et al
1989). Gregoire dan Spears (2007) menyatakan bahwa tingkat kesukaan akan
mempengaruhi daya terima siswa terhadap menu yang disajikan.
Daya terima seseorang terhadap makanan secara umum dapat dilihat
dari jumlah makanan yang dikonsumsi. Sisa makan atau jumlah makanan yang
tersisa di dalam alat saji merupakan metode yang digunakan untuk mengukur
daya terima makanan. Penilaian dapat juga dilakukan dengan memperkirakan
atau mengestimasikan jumlah sisa makanan yang terlihat dengan menggunakan
skala. Skala yang digunakan dibagi kedalam 6 kategori yaitu: dimakan habis,
dimakan ¾ bagian, dimakan ½ bagian, dimakan ¼ bagian, hanya dicicipi, dan
tidak dimakan sama sekali. Metode dengan penilaian ini dikenal dengan metode
Comstock (Gregoire dan Spears 2007).
Tabel 11 Daya terima contoh terhadap menu sepinggan
Hari ke-
Menu Sepinggan
Persentase Daya Terima
Dimakan habis
Dimakan ¾ bgn
Dimakan ½ bgn
Dimakan ¼ bgn
Hanya Dicicipi
Tidak dimakan
1 Mie goreng 88.5 9.8 1.6 0.0 0.0 0.0
2 Nasi uduk kuning 95.1 4.9 0.0 0.0 0.0 0.0
3 Lontong sayur 93.2 6.8 0.0 0.0 0.0 0.0
4 Bubur ayam 91.4 6.9 0.0 0.0 0.0 1.7
5 Gado-gado lontong 76.7 16.7 6.7 0.0 0.0 0.0
6 Nasi goreng 72.9 11.9 6.8 1.7 5.1 1.7
7 Mie goreng 89.7 6.9 3.4 0.0 0.0 0.0
8 Nasi uduk kuning 78.3 8.3 5.0 5.0 1.7 1.7
9 Lontong sayur 81.4 10.2 1.7 3.4 3.4 0.0
10 Bubur ayam 89.5 7.0 3.5 0.0 0.0 0.0
11 Gado-gado lontong 90.3 6.5 3.2 0.0 0.0 0.0
12 Nasi goreng 37.1 56.5 4.8 0.0 0.0 1.6
Berdasarkan Tabel 11 dapat diketahui, bahwa sebagian besar contoh
menghabiskan makanan yang disediakan. Hal tersebut dilihat dari besaran
persentase pada menu sarapan yaitu mie goreng, nasi uduk kuning, lontong
sayur, bubur ayam dan gado-gado lontong adalah ≥ 70%. Namun berbeda
halnya dengan menu nasi goreng, terjadi penurunan daya terima pada minggu
pertama dan minggu kedua. Hal tersebut dikarenakan nasi goreng pada minggu
kedua memiliki tekstur kurang lunak karena beras yang dipergunakan berbeda,
walaupun sebagian besar (56.5%) contoh masih dapat menghabiskan ¾
bagiannya. Hal ini kemungkinan disebabkan karena siswa dalam kondisi benar-
benar sangat lapar. Apabila dibandingkan dengan penyelenggaraan PMT-AS
87
yang dilakukan di SD Negeri 1 Malangsari, persentase daya terima siswa pada
menu sepinggan lebih baik dibandingkan dengan kudapan PMT-AS.
Penyelenggaraan makanan anak sekolah yang siswanya berasal dari
keluarga miskin dapat dilakukan dengan baik, yaitu dengan menyediakan
makanan lengkap, aman dan membiasakan siswa untuk disiplin menghabiskan
makanan yang disajikan. Selain itu, penyelenggaraan makanan anak sekolah
juga merupakan media pendidikan gizi yang efektif untuk menanamkan
pengetahuan gizi yang baik sejak duduk di tingkat SD, yang akan berdampak
pada perilaku makan yang baik dan benar jika siswa sudah menjadi remaja dan
dewasa. Dan juga dapat membawa dampak yang positif terhadap perilaku
makan keluarga melalui anak sekolah, karena siswa akan menceritakan kepada
keluarga tentang makanan yang disajikan di sekolah.
Konsumsi dan Tingkat Kecukupan
Konsumsi pangan merupakan banyaknya atau jumlah pangan secara
tunggal maupun beragam yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang
yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan fisiologis, psikologis dan sosiologis.
Tujuan fisiologis adalah upaya untuk memenuhi keinginan makan (rasa lapar)
atau untuk memperoleh zat-zat gizi yang diperlukan tubuh. Tujuan psikologis
adalah untuk memenuhi kepuasan emosional atau selera, sedangkan tujuan
sosiologis adalah untuk memelihara hubungan manusia dalam keluarga dan
masyarakat (Sediaoetama 1991).
Pengukuran konsumsi pangan dilakukan untuk mengetahui status gizi
masyarakat secara langsung, sedangkan untuk mengetahui tingkat kecukupan
gizi seseorang atau sekelompok orang dapat dilakukan melalui penilaian
konsumsi pangan. Menurut Hardinsyah dan Briawan (1994), penilaian konsumsi
pangan adalah perbandingan antara kandungan gizi makanan yang dikonsumsi
seseorang atau sekelompok orang dengan angka kecukupannya.
Konsumsi Energi dan Protein
Energi merupakan salah satu hasil metabolisme karbohidrat, protein dan
lemak. Energi berfungsi sebagai zat tenaga untuk metabolisme pertumbuhan,
pengaturan suhu dan kegiatan fisik. Kelebihan energi disimpan sebagai
cadangan energi dalam bentuk glikogen sebagai cadangan energi jangka pendek
dan dalam bentuk lemak sebagai cadangan jangka panjang (Hardinsyah &
Tambunan 2004).
88
Rata-rata konsumsi energi perhari contoh sebelum efikasi adalah 1146 ±
291 Kkal dan sesudah efikasi pemberian sarapan menu sepinggan menjadi 1577
Kkal. Data ini memperlihatkan bahwa terjadi kenaikan konsumsi energi sebesar
27.2%, walaupun belum memenuhi standar kecukupan. Widyakarya Nasional
Pangan dan Gizi (WNPG) 2004 menetapkan kecukupan energi anak usia 9
tahun sebesar 1800 Kkal, anak usia 10-12 tahun yaitu 2.050 Kkal, dan
kecukupan energi anak usia 13-15 tahun adalah sebesar 2.400 Kkal (laki-laki)
dan 2.350 Kkal (perempuan).
Berdasarkan hasil uji statistik menggunakan uji beda t, terdapat
perbedaan yang signifikan antara rata-rata konsumsi energi sebelum dan
sesudah pemberian sarapan (p<0.05). Dan hasil penelitian Kustiyah dkk (2006),
yang menunjukkan bahwa intervensi makanan kudapan (buras) yang
mengandung energi 82.3 Kal dan protein 5 gram dapat meningkatkan konsumsi
energi secara nyata. Hasil penelitian ini juga mendukung penelitian yang
dilakukan Nurdiani (2011), yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan rata-
rata konsumsi energi dan protein pada SPM (Sekolah dengan Penyelenggaraan
Makanan) dan STPM (Sekolah Tanpa Penyelenggaraan Makanan).
Rata-rata tingkat kecukupan energi (TKE) contoh sebelum pemberian
sarapan adalah 60.21% dan sesudah pemberian meningkat menjadi 87.23%.
Sebagian besar (75.8%) tingkat kecukupan energi per hari contoh sebelum
pemberian menu sepinggan masih berada di bawah AKE, dan masuk dalam
kategori defisit berat. Data ini sesuai dengan hasil Riskesdas 2010 yang
menyatakan bahwa rata-rata kecukupan energi secara nasional pada anak usia
7-12 tahun adalah 71.6-89.1%. Pemberian sarapan menu sepinggan berdampak
positif terhadap tingkat kecukupan contoh, hal ini dapat dilihat dari menurunnya
jumlah contoh yang termasuk dalam kategori defisit berat (dari 75.8% turun
menjadi 38.7%), dan yang termasuk kategori normal meningkat dari 9.7%
menjadi 24.2% (Tabel 12). Berdasarkan hasil uji statistik menggunakan uji beda
t, terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata tingkat kecukupan energi
sebelum dan sesudah pemberian sarapan (p<0.05).
Rata-rata konsumsi protein perhari contoh sebelum efikasi adalah 27.8 ±
8.0 gram dan sesudah efikasi pembrian sarapan menu sepinggan menjadi 40,0
gram. Data ini memperlihatkan bahwa terjadi kenaikan konsumsi protein sebesar
31.3%, walaupun belum memenuhi standar kecukupan. Angka kecukupan
protein anak usia 9 tahun sebesar 45 gram, anak usia 10–12 tahun sebesar 50
89
gram, dan anak usia 13-15 tahun sebesar 60 gram (laki-laki) dan 57 gram
(perempuan) (WNPG 2004).
Oleh karena itu, dengan adanya pemberian makanan di sekolah dapat
memberikan efek yang positif terhadap konsumsi energi dan protein siswa.
Peningkatan konsumsi ini dapat juga terjadi karena dipengaruhi oleh faktor
psikologi anak. Anak-anak sekolah cenderung lebih suka makan bersama teman-
teman sebayanya, dibandingkan dengan makan sendirian di rumah.
Konsumsi Vitamin A dan mineral Fe (zat besi)
Vitamin merupakan senyawa kimia esensial yang dibutuhkan tubuh dalam
jumlah yang sangat kecil untuk pemeliharaan kesehatan dan pertumbuhan
normal (Suhardjo & Kusharto 1989). Vitamin dibedakan menjadi vitamin larut air
dan larut lemak. Vitamin larut air adalah vitamin B dan C, sedangkan vitamin larut
lemak adalah vitamin A, D, E dan K.
Rata-rata konsumsi vitamin A perhari contoh sebelum efikasi adalah 143
g RE dan sesudah efikasi model penyelenggaraan makanan menjadi 363.8 g
RE. Data ini memperlihatkan bahwa terjadi kenaikan konsumsi vitamin A sebesar
42.3%, walaupun belum memenuhi standar kecukupan. Muhilal dan Sulaeman
(2004) menetapkan angka kecukupan vitamin A untuk anak usia 9 tahun adalah
500 g RE/hari, anak usia 10-12 tahun adalah 600g RE/hari untuk pria dan
wanita.
Mineral merupakan bagian dari tubuh dan memegang peranan penting
dalam pemeliharaan fungsi tubuh, selain itu berperan dalam berbagai tahap
metabolisme. Mineral digolongkan kedalam mineral makro dan mikro. Mineral
makro dibutuhkan dalam jumlah lebih dari 100 mg sehari sedangkan mineral
mikro dibutuhkan kurang dari 100 mg sehari. Fe merupakan mineral mikro yang
paling banyak terdapat dalam tubuh manusia (Almatsier 2006).
Rata-rata konsumsi Fe (zat besi) perhari contoh sebelum efikasi adalah
5.5 mg dan sesudah efikasi model penyelenggaraan makanan menjadi 10.0 ± 3.3
mg, walaupun belum memenuhi standar kecukupan. Data ini memperlihatkan
bahwa terjadi kenaikan konsumsi Fe (zat besi) sebesar 4.8 mg atau 30.0%.
WNPG (2004), menetapkan angka kecukupan zat besi untuk anak usia 9 tahun
sebesar 10 mg, anak (laki-laki) usia 10–12 tahun sebesar 13 mg dan anak
(perempuan) sebesar 19 mg. Kecukupan Fe untuk usia 13 tahun (laki-laki)
sebesar 19 mg dan (perempuan) sebesar 26 mg.
90
Tingkat Kecukupan Energi dan Protein
Departemen Kesehatan (1996), mengklasifikasikan tingkat kecukupan
energi dan protein menjadi lima kelompok, yaitu: 1) defisit tingkat berat (<70%
AKG), 2) defisit tingkat sedang (70%-79% AKG), 3) defisit tingkat ringan (80%-
89% AKG), 4) normal (90%-119% AKG), dan 5) kelebihan (≥ 120% AKG).
Distribusi contoh berdasarkan tingkat kecukupan energi sebelum dan
sesudah efikasi model penyelenggaraan makanan anak di sekolah dapat dilihat
pada Tabel 12. Kecukupan energi contoh tergolong defisit berat disebabkan
konsumsi pangan sumber energi masih di bawah angka kecukupan yang
dianjurkan. Pangan sumber energi adalah pangan sumber lemak, karbohidrat,
dan protein. Pangan sumber energi yang kaya lemak antara lain gajih/lemak dan
minyak, buah berlemak (alpukat), biji berminyak (biji wijen, bunga matahari dan
kemiri), santan, coklat, kacang-kacangan dengan kadar rendah (kacang tanah
dan kacang kedelai) dan serealia lainnya, umbi-umbian, tepung, gula, madu,
buah dengan kadar air rendah (pisang, kurma dan lain-lain). Pangan sumber
energi yang kaya protein antara lain daging, ikan, telur, susu, dan aneka produk
turunannya (Hardinsyah & Tambunan 2004).
Rata-rata kecukupan konsumsi energi secara nasional anak umur 7-12
tahun (usia sekolah dasar) adalah antara 71.6%-89.1% dan sebanyak 44.4%
anak masih mengonsumsi energi di bawah kebutuhan minimal (Riskesdas 2010).
Tingkat kecukupan energi pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan
Riskesdas (2010). Hal tersebut kemungkinan disebabkan karena jumlah contoh
dalam penelitian ini tergolong kecil dan homogen.
Kekurangan energi dapat terjadi bila konsumsi energi melalui makanan
kurang dari energi yang dikeluarkan. Tubuh akan mengalami keseimbangan
energi negatif sehingga dapat terjadi penurunan berat badan. Bila hal ini terjadi
pada anak-anak sekolah dapat menghambat pertumbuhannya. Gejala yang
ditimbulkan pada anak-anak adalah kurang perhatian, gelisah, lemah, cengeng,
kurang bersemangat, dan penurunan daya tahan terhadap penyakit infeksi
(Almatsier 2006).
Protein merupakan komponen fungsional dan struktural utama sel-sel
dalam tubuh. Semua enzim, zat pembawa (carrier) dalam darah, matriks
intraseluler, dan sebagian besar hormon tersusun atas protein. Protein bagi anak
usia sekolah memiliki peranan penting terutama untuk membangun jaringan baru
dan berperan dalam transpor zat gizi (Nasoetion & Damayanthi 2008).
91
Sebagian besar (75.8%) contoh mengalami defisit protein tingkat berat.
Hal ini dikarenakan konsumsi pangan hewani dan nabati sangat rendah sehingga
tidak memenuhi kecukupan protein. Hardinsyah dan Tambunan (2004)
mengemukakan pada umumnya pangan hewani mempunyai mutu protein yang
lebih baik dibandingkan pangan nabati. Almatsier (2006) menyatakan bahwa
kekurangan protein banyak terdapat pada masyarakat dengan sosial ekonomi
yang rendah. Distribusi contoh berdasarkan kecukupan protein sebelum dan
sesudah efikasi model penyelenggaraan makanan anak di sekolah dapat dilihat
pada Tabel 12.
Tabel 12 menunjukkan terjadinya kenaikan terhadap tingkat kecukupan
energi dan protein contoh dari normal 9.7% menjadi 24.2% untuk energi, dan
6.5% menjadi 22.6% untuk protein. Penurunan persentase tingkat kecukupan
contoh yang defisit berat juga terjadi, yaitu dari 75.8% menjadi 38.7% untuk
energi dan 72.6% menjadi 35.5% untuk protein.
Tabel 12 Distribusi tingkat kecukupan energi dan protein (TKE dan TKP) contoh sebelum dan sesudah efikasi
Tingkat Kecukupan
Sebelum Efikasi Sesudah Efikasi
Energi Protein Energi Protein
n % n % n % n %
Diatas angka kecukupan 0 0.0 2 3.2 7 11.3 9 14.5
Normal 6 9.7 4 6.5 15 24.2 14 22.6
Defisit ringan 4 6.5 5 8.1 9 14.5 9 14.5
Defisit sedang 5 8.1 6 9.7 7 11.3 8 12.9
Defisit berat 47 75.8 45 72.6 24 38.7 22 35.5
Total 62 100.0 62 100.0 62 100.0 62 100.0
Setelah dilakukan uji beda t-test, terdapat perbedaan yang nyata antara
tingkat kecukupan energi dan protein sebelum dan sesudah efikasi
penyelenggaraan makanan di sekolah dengan tingkat kepercayaan p<0.05
(p=0.00).
Tingkat Kecukupan Vitamin A dan mineral Fe (zat besi)
Tingkat kecukupan vitamin dan mineral dikategorikan menjadi 2, yaitu
kurang (tingkat kecukupan <77%) dan cukup (tingkat kecukupan ≥77%) (Gibson
2005). Tingkat kecukupan vitamin A dan Fe sebelum dan sesudah efikasi
penyelenggaraan makanan dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13 Tingkat kecukupan vit. A dan Fe contoh sebelum dan sesudah efikasi
92
penyelenggaraan makanan anak sekolah
Klasifikasi
Sebelum efikasi Sesudah Efikasi
TK Vit. A TK Fe TK Vit. A TK Fe
n % n % n % n %
Cukup 2 3.2 1 1.6 11 17.7 13 21.0
Kurang 60 96.8 61 98.4 51 82.3 49 79.0
Total 62 100.0 62 100.0 62 100.0 62 100.0
Berdasarkan Tabel 13, menunjukkan terjadinya kenaikan terhadap tingkat
kecukupan vitamin A contoh dari klasifikasi cukup sebesar 3,2% menjadi 17,7%.
Hasil uji beda t menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata antara tingkat
konsumsi vitamin A sebelum dan sesudah efikasi penyelenggaraan makanan
anak di sekolah dengan nilai p<0.05 (p=0.00).
Vitamin A terdapat dalam pangan hewani, dan karoten di dalam pangan
nabati. Sumber vitamin A adalah hati, kuning telur, susu (di dalam lemaknya) dan
mentega. Margarin biasanya diperkaya dengan vitamin A. Minyak ikan digunakan
sebagai sumber vitamin A yang diberikan untuk keperluan penyembuhan.
Sumber karoten adalah sayuran berwarna hijau tua dan buah-buahan yang
berwarna kuning-jingga, seperti daun singkong, daun kacang, kangkung, bayam,
kacang panjang, buncis, wortel, tomat, jagung kuning, pepaya, mangga, nangka
masak dan jeruk. Minyak kelapa sawit yang berwarna merah kaya akan karoten
(Almatsier 2006).
Kekurangan vitamin A banyak terdapat di negara-negara berkembang
termasuk Indonesia, karena makanan kaya vitamin A pada umumnya mahal
harganya. Kekurangan vitamin A dapat merupakan kekurangan primer akibat
kurang konsumsi, atau kekurangan sekunder karena gangguan penyerapan dan
penggunaannya dalam tubuh, kebutuhan yang meningkat, ataupun karena
gangguan pada konversi karoten menjadi vitamin A. Kekurangan vitamin A
sekunder dapat terjadi pada penderita Kurang Energi Protein (KEP), penyakit
hati, beta-lipoproteinemia, atau gangguan absorpsi karena kekurangan asam
empedu. Fungsi kekebalan tubuh seseorang akan menurun jika terjadi
kekurangan vitamin A, sehingga tubuh mudah terserang infeksi. Kekurangan
vitamin A juga menghambat pertumbuhan sel-sel, termasuk sel-sel tulang
(Almatsier 2006).
Tabel 13 menunjukkan adanya peningkatan Fe (dari kategori kurang
sebesar 98.4% menjadi 79.0%) atau dari kategori cukup sebesar 1.6% menjadi
93
21.0%. Hasil uji beda t menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata antara
tingkat kecukupan Fe (zat besi) sebelum dan sesudah efikasi model
penyelenggaraan makanan anak di sekolah dengan nilai p<0.05 (p=0.00).
Pada saat efikasi model, siswa diberikan menu sepinggan yang bahan
pangannya bersumber Fe seperti telur, tahu, tempe, dan sayur-sayuran. Daging
dan ikan merupakan sumber makanan yang mengandung tinggi besi heme,
tetapi dalam efikasi model ini tidak diberikan karena harganya mahal. Tempe dan
tahu termasuk kedalam sumber besi non-heme (nabati) karena terbuat dari
kedele dan harganya lebih murah.
Simpulan Perancangan model penyelenggaraan sarapan menu sepinggan anak
sekolah disesuaikan dengan situasi dan kondisi sekolah, lingkungan serta
sumberdaya yang ada. Rancangan model yang dibentuk adalah sebagai berikut:
penyiapan dan pengolahan bahan pangan mempergunakan dapur di luar
sekolah, ruang makan di dalam ruang kelas, pengadaan bahan pangan
dilakukan dengan cara pembelian langsung ke pasar tradisional yang letaknya
tidak jauh dari lokasi pemasakan. Menu sepinggan yang dimasak disesuaikan
dengan biaya yang rendah, jenis peralatan masak yang sederhana, alat makan
sederhana dan memenuhi syarat sanitasi, keahlian tenaga penjamah makanan
yang terbatas, dan waktu yang dipergunakan untuk memproduksi makanan tidak
terlalu lama.
Model penyelenggaraan makanan yang dirancang dapat diterapkan
dengan baik sesuai dengan syarat-syarat penyelenggaraan makanan yang
ditentukan. Rata-rata kandungan energi sarapan menu sepinggan contoh 436
KKal, 10 gram protein, 136.6 RE vitamin A, dan 1.97 mg Fe dengan biaya Rp
3.000/porsi. Konsumsi energi, protein dan Fe contoh meningkat secara nyata
sesudah pemberian sarapan menu sepinggan yaitu energi 21,16%, protein
24.35%, vitamin A 42.51%, dan Fe 30.05%. Tingkat kecukupan contoh terhadap
energi, protein, vitamin A dan Fe meningkat sesudah pemberian sarapan menu
sepinggan.
Daftar Pustaka Almatsier S. 2006. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Garis Kemiskinan Kota Bogor tahun 2010.
Jakarta: Badan Pusat Statistik.
94
Chitra U and Reddy CR. 2005. The role of breakfast in nutrient intake of urban
schoolchildren, public Health Nutrition: 10(1), 55-58.
Del Rosso, J.M. 1999. School Feeding Programs : Improving effectiveness and
increasing the benefit to education. Oxford: University of Oxford [Depkes] Departemen Kesehatan RI. 2005. Pedoman Umum Gizi seimbang.
http://www.gizi.depkes.co.id/ [10 Februari 2012].
________. 2006. Kumpulan Modul Kursus Hygiene Sanitasi Makanan &
Minuman. Jakarta: Depkes
________. 2011. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1096/MENKES/PER/VI/2011 tentang Higiene Sanitasi Jasaboga. Jakarta: Depkes.
Erwin LT. 2011. Hidangan Sepinggan Istimewa. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Gibson, R.S. 2005. Principles of Nutritional Assessment. Second Edition. Oxford:
Oxford Press
Gregoire MB & Spears MC. 2007. Foodservice Organizations: A Managerial and
Systems Approach 6th ed. New Jersey: Pearson Education. Hardinsyah dan Martianto D. 1989. Menaksir Kecukupan Energi dan Protein
serta Penilaian Mutu Gizi Konsumsi Pangan. Bogor: Wirasari Jakarta.
__________ dan Briawan D. 1994. Penilaian dan Perencanaan Konsumsi
Pangan. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga,
FAPERTA IPB.
___________ dan Tambunan V. 2004. Angka Energi, Protein, Lemak dan Serat
Makanan. Dalam Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII 17-19 Mei.
Jakarta: Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia (LIPI).
___________. 2012. Breakfast in Indonesia pada symposium healthy breakfast [makalah]. 16 Juni 2012. Jakarta.
Khomsan A. 2005. Pangan dan Gizi Untuk Kesehatan cetakan ke-2. Bogor:
Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian
Bogor.
Jacoby E, Cueto S and Pollitt E. 1996. Benefits of a school breakfast programme among
andean children in huaraz, Peru. Food and Nutrition Bulletin 17 (1): 54-64.
95
Meyers AF, Sampson AE, Weitzman M, Rogers B & Kayne H. 1989. School Breakfast Program and School Performance. The American Journal of Diseases Of Children 143 :1234–1239.
Muhilal dan Sulaeman A. 2004. Angka Kecukupan Vitamin Larut Lemak. Dalam
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII 17-19 Mei. Jakarta: Lembaga
Ilmu Penelitian Indonesia (LIPI).
Nurdiani R. 2011. Analisis penyelenggaraan makan di sekolah dan kualitas menu
bagi siswa sekolah dasar di Bogor [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT Rineke Cipta.
Palacio, JP and Theis, M. 2009. Introduction to Foodservice. Eleventh Edition.
New Jersey: Columbus, Ohio. Pearson, Prentice Hall.
Perdigon, GP. 1989. Foodservice Management in The Philippines. Diliman: U.P. College of Home Economics.
Powell CA, Walker SP, Chang SM, and Grantham-McGregor SM. 1998. Nutrition
and education: A randomized trial of the effects of breakfast in rural primary school children. Am J Clin Nutr 68: 873-9.
Rampersaud GC, Pereira MA, Girard BL, Adams J, and Metzl JD. 2005.
Breakfast habits, nutritional status, body weight, and academic performance in children and adolescents. J Am Diet Assoc 105 (5): 743-60.
Saidin S, Krisdinamurtirin Y, Murdiana A, Moecherdiyantiningsih, Karyadi LD dan
Murni Sri. 1991. Hubungan Kebiasaan Makan Pagi dengan Konsentrasi Belajar pada Anak Sekolah Dasar. Penelitian Gizi dan Makanan 14:60-70.
Salimar dkk. 2010. Laporan Analisis Lanjut Data Riskesdas 2010: Faktor-faktor
yang Berhubungan dengan Status Gizi Anak Usia Sekolah (6-12 tahun) di Indonesia. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi dan Makanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
Sinaga T. 2007. Manfaat Makan di Sekolah. Diktat Pelatihan Gizi untuk Anak
Sekolah (11-13 Desember 2007) Jakarta: Yayasan Kuliner Jakarta. Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif,
dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Bogor: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas
Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor.
96
_______ dan Kusharto CM. 1989. Prinsip-prinsip Ilmu Gizi. Bogor: Pusat Antar
Universitas, Institut pertanian Bogor (PAU-IPB).
[WNPG] Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. 2004. Ketahanan Pangan
dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Prosiding. Jakarta: LIPI.
97
98
ANALISIS SWOT MODEL PENYELENGGARAAN MAKANAN ANAK SEKOLAH DENGAN MENU SEPINGGAN
(SWOT Analysis Implementation Model of School Feeding
with One Dish Meal)
Abstrak
Model penyelenggaraan makanan anak sekolah di SD dari keluarga miskin dengan menu sepinggan telah diefikasi dengan hasil yang baik, akan tetapi masih memerlukan penguatan dalam beberapa hal. Penguatan model ini meliputi cara penerapan dan dampaknya terhadap konsumsi, kecukupan gizi dan dalam waktu jangka panjang dapat meningkatkan status gizi anak sekolah. Analisis SWOT dipergunakan untuk menggambarkan dan menganalisis faktor-faktor strategik internal dan eksternal dengan lebih terstruktur, sehingga dapat membantu evaluasi model penyelenggaraan makanan yang sudah diefikasi dan keberlanjutannya. Penguatan model juga dilengkapi dengan perhitungan biaya dalam penyelenggaraan makanan anak sekolah, khususnya biaya yang dipergunakan sebagai investasi untuk membangun dapur dan membeli peralatan dapur yang dibutuhkan. Kata kunci : Penguatan model, analisis SWOT, perhitungan biaya
Abstract
Implementation model of school feeding for elementary children of poor family with one dish meal has been tested showed with a good results, but it was needs to improve in some part. Completion of this model include its implementation and the impacts on consumption, the adequacy on nutrition and in the long period can be improve the nutritional status of schoolchildren. SWOT analysis was used to describe and analyze strategic factors internal and external to be more structured to assist the evaluation of the implementation model of school feeding that have been tested and it’s sustainability. Completion of the model is also equipped with a cost in school foodservice management, especially the funds that are used to invest to build the kitchen and the cooking tools and utensils are needed.
Key words : Improving model, SWOT analysis, calculation of cost
99
Pendahuluan Efikasi yang dilakukan dalam penelitian ini dapat berjalan dengan baik,
tetapi masih membutuhkan penguatan agar model dapat diterapkan di berbagai
daerah. Suatu strategi penguatan penyelenggaraan makanan anak sekolah,
perlu dirumuskan secara sistematis. Hal tersebut dilakukan melalui identifikasi
terhadap berbagai faktor yang mempengaruhinya, sehingga diharapkan dapat
mencapai tujuan penyelenggaraan makanan yang lebih berdaya guna, efektif,
efisien, dan berkelanjutan. Untuk mencapai tujuan tersebut diatas, maka metode
yang digunakan adalah analisis SWOT.
Analisis SWOT didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan
kekuatan (strength) dan peluang (opportunities), namun secara bersamaan dapat
meminimalkan kelemahan (weakness) dan ancaman (threats). Analisis SWOT
dipergunakan untuk membantu proses pengambilan keputusan strategis yang
berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi, dan kebijaksanaan
penyelenggaraan makanan dalam kondisi yang ada pada saat tertentu. Analisis
SWOT disebut juga Analisis Situasi.
Proses penguatan model tersebut juga melampirkan layout dapur dan
ruang makan beserta perhitungan biaya pembangunan dapur serta biaya
pengadaan peralatan (masak dan penyajian) yang dibutuhkan dalam kegiatan
penyelenggaraan makanan anak sekolah (lampiran 16).
Metode Analisis
Kerangka Analisis Strategis SWOT
Analisis SWOT dapat dilakukan dalam penguatan model apabila
pengelola penyelenggaraan makanan anak sekolah mempunyai visi, misi, dan
tujuan yang jelas. Visi penyelenggaraan makanan anak sekolah adalah:
“Membangun Sumberdaya Manusia yang Berkualitas”, dengan misi:
“Meningkatkan Konsumsi Pangan Anak Sekolah sehingga Mampu Belajar Lebih
Baik”, dan tujuannya: “Untuk Mencegah Masalah Kekurangan Energi dan Zat
Gizi Pada Siswa SD”, maka analisis SWOT diarahkan untuk menyusun strategi
penguatan model penyelenggaraan makanan anak sekolah secara efektif,
effisien dan berkesinambungan.
Pada prinsipnya analisis SWOT adalah suatu kegiatan menganalisis
faktor-faktor internal berupa kekuatan dan kelemahan, serta faktor-faktor
eksternal berupa peluang dan ancaman. Pada model penyelenggaraan makanan
100
anak sekolah, pemilihan strategi apa yang harus dilakukan agar kegiatan
penyelenggaraan makanan anak sekolah dapat dikembangkan, dikuatkan, dan
dapat berjalan dengan baik serta berkinerja terus secara efektif, efisien, dan
berkelanjutan, maka dapat dibuat suatu diagram seperti pada Gambar 12.
Gambar 12 Diagram proses penyusunan strategi penguatan model penyelenggaraan makanan anak sekolah melalui analisis SWOT
Formulasi Analisis SWOT
Kinerja penyelenggaraan makanan anak sekolah dapat ditentukan oleh
kombinasi faktor internal dan eksternal. Kedua faktor tersebut harus
dipertimbangkan dalam analisis SWOT. SWOT adalah singkatan dari lingkungan
Internal Strenght dan Weaknesses serta lingkungan External Opportunities dan
Threats. Analisis SWOT membandingkan antara faktor eksternal Peluang
(Opportunities) dan Ancaman (Threats) dengan faktor internal Kekuatan
(Strenght) dan Kelemahan (Weaknesses).
Berdasarkan tahapan-tahapan yaitu dengan cara membandingkan
keempat faktor dalam suatu diagram, maka dapat dirumuskan alternatif strategi
untuk mengembangkan model penyelenggaraan makanan anak sekolah, seperti
yang tertuang dalam Gambar 13. Jika model penyelenggaraan makanan anak
sekolah mempunyai kekuatan yang handal, dan berpeluang besar untuk
mencapai tujuan dengan kinerja pengelola yang baik, maka model
penyelenggaraan makanan tersebut berada pada kondisi puncaknya. Jika model
penyelenggaraan makanan anak sekolah dalam kondisi puncak, seharusnya
ANALISIS MODEL
PENGUATAN
PENYELENGGARAAN
MAKANAN SISWA
EVALUASI VISI, MISI DAN
TUJUAN
PENYELENGGARAAN
MAKANAN SISWA
ANALISIS SWOT
EVALUASI DAN REVISI:
VISI, MISI DAN TUJUAN
PEMILIHAN STRATEGI
ALTERNATIF TERBAIK
FAKTOR INTERNAL FAKTOR EKSTERNAL
FAKTOR-FAKTOR: - Kekuatan (strength) - Kelemahan
(weaknesses)
FAKTOR-FAKTOR: - Peluang (opportunities) - Ancaman (threats)
101
dapat disusun suatu strategi yang agresif untuk selalu terus maju dalam posisi
terdepan.
Gambar 13 Diagram analisis SWOT (Sumber: Supranto, 1997)
Jika model penyelenggaraan makanan anak sekolah mempunyai
kekuatan yang handal tetapi menghadapi ancaman yang serius dari luar, maka
pengelola penyelenggaraan makanan anak sekolah seharusnya membuat
diversifikasi jangka panjang. Dalam kondisi ini berarti pengelola harus
merumuskan strategi dengan mendayagunakan kekuatannya sambil mencari
celah-celah yang aman untuk mencapai tujuan.
Jika model penyelenggaraan makanan anak sekolah mempunyai
kelemahan di dalam dan ancaman serius dari luar, maka dapat dirumuskan
berada pada kondisi yang tidak menguntungkan. Strategi yang dapat dirumuskan
adalah memperoleh bimbingan teknis agar kekuatan internal meningkat, dan
pada saatnya berupaya untuk menghindari ancaman yang dihadapi.
Analisis SWOT Kekuatan (Strengths) yang dimiliki model penyelenggaraan makanan
anak sekolah dalam melakukan kegiatan dan mengembangkan pengelolaannya
di bidang sumberdaya manusia adalah: 1) adanya TPG Puskesmas yang dapat
dijadikan sebagai pengawas dalam penyelenggaraan makanan anak sekolah,
adanya guru UKS di SD yang sudah dilatih oleh TPG tentang kesehatan sekolah,
adanya tenaga penjamah makanan yang sudah berpengalaman memasak untuk
makanan banyak/massal/institusi; 2) siswa dapat mengangkut makanan yang
telah diporsi dari rumah tenaga penjamah makanan; 3) siswa dapat mencuci alat
makan di sekolah dengan fasilitas yang tersedia (sumber air dari PDAM, ada
tempat pencucian alat makan berupa wastafel & tempat ambil wudhu; 4) adanya
motivasi murid, orang tua dan guru untuk sarapan bersama di sekolah sangat
tinggi; 5) ada masyarakat sekitar sekolah yang mempunyai dapur bersih dan
Kekuatan Eksternal (Opportunity)
Kekuatan Eksternal
(Threat)
Kekuatan Internal (Strength)
Kekuatan Internal
(Weak)
1. Strategi Agresif
3. Strategi meminimalkan kelemahan untuk merebut peluang
2. Strategi diversifikasi jangka panjang
4. Strategi defensif
102
mampu memasak makanan untuk anak sekolah dan 6) jarak pasar tradisional
bahan pangan dekat dengan tempat produksi makanan.
Kelemahan (Weaknesses) yang ada dalam mengelola dan
mengembangkan model penyelenggaraan makanan anak sekolah adalah: 1)
dukungan sumber dana belum jelas; 2) masyarakat di sekitar sekolah tidak
banyak yang mempunyai kondisi dapur dan rumah yang memenuhi syarat
kesehatan; 3) masyarakat di sekitar sekolah banyak yang berjualan makanan
tetapi belum memenuhi persyaratan kesehatan dan 4) siswa suka jajan di sekitar
sekolah walaupun makanan kurang memenuhi syarat kesehatan.
Peluang (Opportunities) yang dapat dimanfaatkan dalam mengelola dan
mengembangkan penyelenggaraan makanan anak sekolah adalah: 1) adanya
kebutuhan yang cukup besar, yaitu murid dan guru sebagai konsumen potensial
untuk mengonsumsi sarapan sehat dan 2) belum adanya kantin dan penjual
makanan yang memenuhi syarat kesehatan untuk anak sekolah.
Ancaman (Threats) yang dihadapi dalam mengelola dan
mengembangkan kegiatan penyelenggaraan makanan anak sekolah adalah: 1)
masyarakat sekitar sekolah banyak yang miskin dan pemerintah daerah/pusat
belum sungguh-sungguh mau memberikan bantuan dana; 2) biaya produksi
untuk membuat makanan anak sekolah terus meningkat; 3) kegiatan yang harus
dilakukan oleh TPG Puskesmas cukup banyak sehingga pengawasan terhadap
penyelenggaraan makanan anak di sekolah kurang maksimal. Untuk
menanggulangi TPG dari Puskesmas, maka sudah saatnya membutuhkan
tenaga gizi sekolah agar dapat mengawasi mutu makanan siswa. Kondisi seperti
disebutkan diatas dapat digambarkan dalam diagram matriks (Gambar 14).
Keberlangsungan model yang dirancang ini akan berjalan dengan baik
jika ada sumber dana yang cukup. Sumber dana dapat diperoleh dari pemerintah
(pusat ataupun daerah), LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), CSR (Corporate
Social Responsibility), dan sumbangan-sumbangan dari donatur. Model
penyelenggaraan makanan anak sekolah ini dapat juga dikembangkan di
sekolah lain yang siswanya bukan dari keluarga miskin. Untuk keberlangsungan
dalam hal dana, maka dapat dilakukan dengan cara: 1) jika siswa berasal dari
keluarga ekonomi mampu, maka dapat membayar seluruh biaya yang
dibutuhkan untuk kegiatan penyelenggaraan makanan; 2) jika siswa berasal dari
keluarga ekonomi menengah, maka dapat membayar 50% dari biaya yang
dibutuhkan dan 50% dibayar oleh pemerintah dan 3) jika siswa berasal dari
103
keluarga ekonomi miskin, maka pemerintah wajib membayar seluruh biaya untuk
kegiatan penyelenggaraan makanan anak sekolah.
Tenaga penjamah makanan jika tidak ada dari masyarakat yang berada
di sekitar sekolah, maka alternatif adalah memilih pedagang yang ada di sekitar
sekolah, dan diberi training, terutama mengenai higiene dan sanitasi. Perlu juga
dilakukan pemeriksaan kesehatan terhadap pedagang tersebut sebelum
dipekerjakan sebagai tenaga penjamah makanan. Pedagang tetap
mempersiapkan dan memasak makanan anak sekolah di dapur yang memenuhi
syarat kesehatan. Kegiatan tersebut di bawah pengawasan Tenaga Pelaksana
Gizi Puskesmas.
Pengembangan menu dapat dilakukan dengan mengganti bahan pangan
seperti mi menjadi bihun jagung, bihun beras serta menambah menu lainnya
agar siswa tidak bosan dengan menu yang sudah ada. Sebaiknya pembelian
bahan pangan mempergunakan spesifikasi bahan pangan, seperti yang ada
dalam SOP (Standard Operational Procedure). Di dalam SOP terdapat quality
control, yang pada pelaksanaannya belum tentu sesuai dengan yang tertulis
dalam SOP, seperti yang terjadi pada saat efikasi, yaitu beras mutu B yang
digunakan untuk membuat nasi ternyata stoknya kosong, sehingga terpaksa
membeli beras mutu C. Beras mutu B dan mutu C memiliki kualitas berbeda,
sehingga kualitas nasi yang dihasilkan pun berbeda. Contoh SOP dapat dilihat
pada Lampiran 14.
Model penyelenggaraan makanan anak sekolah pada penelitian yang
dikembangkan memiliki kelemahan dan kelebihan dalam pelaksanaannya.
Kelebihan model ini adalah: 1) ada rumah masyarakat sekitar sekolah yang
dapat dijadikan sebagai tempat pengolahan makanan; 2) ada masyarakat yang
bisa dan mampu memasak dengan sukarela, dan mempunyai komitment untuk
membantu penyelenggaraan makanan anak sekolah; 3) tersedia fasilitas air
bersih di sekolah untuk mencuci tangan siswa sebelum makan dan mencuci alat
saji setelah makan dan 4) ada komunikasi yang baik diantara guru, murid, orang
tua murid, masyarakat sekitar sekolah dan TPG Puskesmas. Kelemahan model
tersebut adalah: 1) tidak dapat dipergunakan jika lokasi sekolah jauh dari rumah
penduduk; 2) tidak dapat dipergunakan jika fasilitas air di sekolah tidak tersedia
dan 3) tidak dapat dipergunakan jika masyarakat di sekitar sekolah tidak ada
yang mampu memasak dengan sukarela.
104
IFAS
(Internal Factor Analysis Strategic)
TABEL ANALISA SWOT –
SARAPAN MENU SEPINGGAN
DI SEKOLAH
(External Factor Analysis Strategic)
EFAS
STRENGTHS
1. Penguatan Model yang telah dibandingkan secara komprehensive dan diefikasi dengan hasil yang baik
2. Metode pelaksanaan yang terstruktur dan sederhana tidak membutuhkan organisasi yang rumit
3. Ketersediaan Sumberdaya manusia yang cukup di masyarakat, TPG Puskesmas, Guru UKS, Orang Tua Siswa, Siswa.
4. Biaya pengadaan dan pelaksanaan yang ekonomis dengan hasil konsumsi gizi dan daya terima yang lebih tinggi dari PMT-AS
5. Tingkat dukungan masyarakat yang sangat tinggi.. 6. Tidak memerlukan infrastruktur tambahan yang
mahal. 7. Semakin banyaknya tenaga gizi yang
menyelenggarakan program gizi serta dapat dipergunakan sebagai pusat-pusat penelitian dan pengembangan di daerah-daerah
WEAKNESSES
1. Model yang dibuat perlu diefikasi lebih lanjut pada daerah yang lebih luas dan bervariasi secara sosial, budaya dan agroekologi
2. Kondisi kesehatan lingkungan disekitar SD keluarga miskin kebanyakan kurang memadai
3. Perlu dikaji sumber-sumber pendanaan yang dapat mendukung pelaksanaan dan pengadaannya.
4. Perlu adanya Sertifikasi dan standarisasi prosedur
5. Belum adanya detail Sistem pengelolaan dari pihak-pihak terkait.
6. Usaha pengembangan dari pemerintah belum maksimal. Belum memiliki arah yang jelas dalam pengembangan (belum ada master plan yang konsisten dan terpadu)
OPPORTUNITIES
Adanya regulasi yang mendukung (1-8) 1. UU 23 tahun 1992 Pasal 11:
tentang perbaikan gizi institusi. 2. UU 20 tahun 2003 tentang Sis
Dik Nas 3. UU 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah 4. UU 17 tahun 2007 tentang
RPJPN 2005-2025 5. UU 36 tahun 2009 tentang
Kesehatan (Pasal 79 ayat: 1- 2 tentang Kesehatan Anak sekolah).
6. PP 47 tahun 2008 tentang Wajib Belajar
7. Keppres 5 tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014
8. Peraturan Menteri Dalam Negeri No 18 tahun 2011 tentang Pedoman Penyediaan Makanan Tambahan Anak Sekolah
9. Keinginan pemerintah dan masyarakat Indonesia untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia untuk generasi mendatang.
10. Baru diterapkan untuk sekolah dari keluarga mampu, sedangkan dari keluarga miskin belum
11. Potensi partisipasi masyarakat yang tinggi, memung-kinkan untuk dilakukan dengan swadana dari masyarakat / orang tua murid
12. Paradigma Mempersiapkan SDM yang Berkualitas Dimulai dari Usia Dini
13. Kelembagaan Kesehatan, Pendidikan dan Masyarakat yang semakin tertata
14. Pendidikan gizi dan sanitasi ke pedagang makanan disekitar sekolah dan melakukan kerjasama untuk penyelenggaraan makanan.
STRATEGI SO Strategi yang menggunakan kekuatan untuk
memanfaatkan peluang:
1. Mensosialisasikan slogan PUGS: “Biasakanlah Makan Pagi”
2. Sosialisasi program makan bersama disekolah 3. Melaksanakan proyek-proyek percontohan
dengan menu sarapan sepinggan. 4. Pendidikan Gizi melalui “Learning by Doing” dan
etika sosial. 5. Mengajak masyarakat dalam pengadaan sarapan
bersama di sekolah 6. Memberikan penghargaan kepada pelaksana
penyelenggaraan makanan anak sekolah teladan 7. Melakukan penelitian lebih lanjut mengenai model-
model untuk daerah dengan kondisi dan situasi yang bervariasi, sehingga diperoleh standar model yang lebih umum dan dapat diimplementasikan secara lebih luas dengan tetap mengacu pada ketentuan-ketentuan penyelenggaraan makanan anak sekolah.
STRATEGI WO Strategi yang meminimalkan kelemahan untuk
memanfaatkan peluang:
1. Evaluasi dan Monitoring perlu dilakukan secara intensif dengan melibatkan tim penyelenggaraan makanan anak sekolah yang meliputi Puskesmas, Sekolah, Penyuluh Pertanian, Komite Sekolah dan Ibu PKK
2. Pembuatan dapur sekolah jika dana memungkinkan
3. Koordinasi antara tim penyelenggaraan makanan anak sekolah dan komunikasi yang transparan
4. Jika ada pendanaan dari pemerintah, sebaiknya Monitoring dan Evaluasi penyelenggaraan makanan melibatkan tim penyelenggaraan makanan anak sekolah)
THREATS
1. Belum adanya model pelaksanaan berupa juklak untuk realisasinya
2. Kurang terarahnya koordinasi lintas departemen (DepDaGri, DepDikBud, DepKes, Bappenas, Deptan) yang mengatur penyelenggaraan makanan tersebut.
3. Komitment Pemerintah dari tingkat Pusat hingga Sekolah untuk melaksanakan dengan benar
4. Kolusi Korupsi Nepotisme 5. Otonomi Daerah dan Perda-nya 6. Peningkatan Jumlah Penduduk 7. Peningkatan angka kemiskinan 8. Kenaikan harga kebutuhan pokok
dan BBM
STRATEGI ST Strategi yang menggunakan kekuatan untuk
mengatasi ancaman:
1. Model yang dikuatkan harus dituangkan ke dalam suatu Pedoman Umum yang mudah dimengerti oleh penyelenggara pendidikan dan pihak terkait.
2. Perlunya mensosialisasikan program tersebut di atas ke sekolah-sekolah dan instansi terkait
3. Perlunya pelatihan yang intensif tentang program kepada tenaga kesehatan dan pendidikan.
STRATEGI WT Strategi yang meminimalkan kelemahan dan
menghindari ancaman:
1. Perlunya legalisasi dari pemerintah terhadap Pedoman Umum
2. Membutuhkan komitment pemerintah untuk menyediakan dana yang konsisten untuk program dan penguatan peraturan-peraturan yang terkait dengan pelaksanaan program.
3. Perlu landasan hukum yang lebih detail untuk pelaksanaannya di lapangan, terutama yang melibatkan koordinasi antar lembaga institusi yang terkait, seperti Puskesmas, Sekolah, penyuluh pertanian, ibu PKK, komite sekolah.
4. Memperjelas peranan tenaga pelaksana gizi puskesmas untuk sekolah dan ketersediaan sumberdaya manusia untuk program tersebut.
5. Sebagai alternatif untuk item no. 4, maka perlu pengadaan tenaga gizi sekolah yang bertugas mengawasi mutu makanan anak sekolah.
Gambar 14 Hasil Matrix Analisis SWOT Model Penyelenggaraan Sarapan Menu
Sepinggan Anak Sekolah
Faktor-faktor internal (kekuatan-kelemahan) serta eksternal (peluang-
ancaman) yang mempengaruhi penyelenggaraan makanan anak sekolah dengan
105
menu sepinggan dipetakan pada diagram SWOT. Hasil pemetaan SWOT pada
gambar 15 menunjukan model penyelenggaraan sarapan bersama menu
sepinggan mempunyai situasi yang kuat untuk dikembangkan dengan membuat
strategi-strategi penguatan jangka pendek, jangka menengah dan jangka
panjang.
Strategi SO dan WO adalah strategi penguatan yang dilakukan dalam
jangka pendek dan menengah, yaitu: 1) mensosialisasikan slogan PUGS:
“Biasakan Makan Pagi”; 2) mensosialisasikan program sarapan bersama di
sekolah; 3) melaksanakan proyek percontohan dengan sarapan menu
sepinggan; 4) melakukan pendidikan gizi melalui “Learning by Doing” dan etika
sosial; 5) mengajak masyarakat berpartisipasi dalam pengadaan sarapan
bersama menu sepinggan disekolah; 6) memberikan penghargaan kepada
pelaksana-pelaksana terbaik dalam penyelenggaraan sarapan bersama menu
sepinggan; 7) melakukan penelitian lebih lanjut tentang pelaksanaan dan
pengadaan sarapan bersama menu sepinggan di daerah lainnya; 8) melakukan
koordinasi antara tim penyelenggaraan makanan dan komunikasi yang intensif
serta transparan; 9) mengevaluasi dan monitoring bersama dengan melibatkan
tim penyelenggaraan makanan anak sekolah yang meliputi sekolah, puskesmas,
penyuluh pertanian, komite sekolah dan Ibu PKK; 10) jika ada pendanaan dari
pemerintah, sebaiknya monitoring dan evaluasinya melibatkan tim
penyelenggaraan makanan anak sekolah, dan 11) pembuatan dapur sekolah jika
dana memungkinkan.
Strategi ST dan WT adalah strategi penguatan yang dilakukan dalam
jangka panjang, yaitu : 1) model penyelenggaraan sarapan bersama menu
sepinggan yang dikuatkan, perlu dituangkan ke dalam suatu Pedoman Umum
yang mudah dimengerti oleh penyelenggara pendidikan dan pihak terkait lainnya;
2) perlunya mensosialisasikan program penyelenggaraan sarapan bersama
menu sepinggan ke sekolah-sekolah dan instansi terkait; 3) perlunya pelatihan
yang intensif tentang program tersebut kepada tenaga kesehatan dan
pendidikan; 4) perlunya legalisasi dari pemerintah terhadap Pedoman Umum
untuk penyelenggaraan sarapan bersama menu sepinggan; 5) membutuhkan
komitment pemerintah untuk menyediakan dana yang konsisten untuk program
dan penguatan peraturan-peraturan yang terkait dengan penyelenggaraan
sarapan bersama menu sepinggan; 6) perlu landasan hukum yang lebih detail
untuk pelaksanaannya di lapangan, terutama yang melibatkan koordinasi antar
106
lembaga institusi yang terkait, seperti Puskesmas, Sekolah, Penyuluh pertanian,
ibu PKK, Komite sekolah; 7) memperjelas peranan TPG puskesmas untuk
sekolah dan ketersediaan sumberdaya manusia untuk program tersebut, dan 8)
perlu pengadaan tenaga gizi sekolah yang bertugas mengawasi mutu makanan
anak sekolah.
Simpulan Model yang dikuatkan dalam efikasi penelitian ini mempunyai kekuatan
situasi dan peluang sangat besar untuk dikembangkan secara terstruktur pada
cakupan yang lebih luas, tetapi juga mempunyai kelemahan dalam sumber
pendanaan dan peraturan pemerintah yang belum cukup mendukung
keberlangsungan penyelenggaraan makanan anak sekolah. Rencana
penanggulangan masalah sumber dana dan kebijakan pemerintah membutuhkan
waktu yang lama dan koordinasi yang kompleks. Hal tersebut sangat menarik
untuk dipelajari dan diteliti lebih lanjut.
Daftar Pustaka Peraturan Presiden No. 5 tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 Peraturan Menteri Dalam Negeri No 18 tahun 2011 tentang Pedoman Penyediaan Makanan Tambahan Anak Sekolah PP 47 tahun 2008 tentang Wajib Belajar
Sinaga T. 1995. Feasibility Study dalam Foodservice Management. Pendidikan Ahli Madya Gizi. Malang.
Supranto J. 1997. Pengukuran Tingkat Kepuasan Pelanggan dengan Analisis
SWOT. Jakarta: Rineka Cipta. Trifu A and Cîndea M. 2012. Economics of Food And Leisure Services. Journal of
Social and Development Sciences 3 (2): 33-38. UU 20 tahun 2003 tentang Sisim Pendidikan Nasional.
UU 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
UU 17 tahun 2007 tentang RPJPN 2005-2025.
UU 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, khususnya Pasal 79 ayat: 1- 2 tentang Kesehatan Anak sekolah).
107
108
PEMBAHASAN UMUM Hasil tinjauan pustaka yang dilakukan, didapatkan bahwa ada 6 model
penyelenggaraan makanan anak sekolah yang dilaksanakan. Model penyiapan
makanan yang dilakukan di sekolah yang berasal dari sumbangan/bantuan
berupa bahan pangan, umumnya diolah sebagai makanan lengkap, tetapi ada
juga beberapa sekolah yang memasaknya sebagai makanan selingan atau
berupa kue. Hal ini tergantung dari jenis bahan sumbangan yang diperoleh, dan
peralatan yang tersedia, serta tenaga yang dapat mengolah jenis makanan
(lengkap atau selingan) yang telah dimiliki oleh dapur sekolah.
Bahan pangan sumbangan dapat berasal dari satu negara atau
organisasi internasional seperti World Food Program (WFP). Bahan pangan yang
diberikan sebagai sumbangan akan diolah di dapur sekolah sehingga menjadi
makanan yang siap disajikan kepada siswa. Kelemahan model ini adalah fasilitas
dapur yang ada termasuk peralatan yang tersedia, dan tenaga penjamah
makanan yang ada belum tentu mendukung pengolahan makanan yang akan
dilaksanakan. Sumbangan yang diberikan oleh WFP umumnya berupa biskuit
yang siap dikonsumsi oleh siswa, bukan berupa bahan pangan (UNESCO 2004).
Di beberapa negara ada yang mendapatkan sumbangan berupa bahan
pangan untuk diolah di dapur sekolah. Hal ini dimungkinkan karena sekolah
sudah mempunyai fasilitas dapur. Pengalaman di negara Jamaika dalam
penyelenggaraan makanan anak sekolah dengan bantuan komoditas pangan
dari Amerika Serikat, diolah di dapur terpusat yang didirikan di daerah-daerah
perusahaan. Hal ini dilakukan karena perusahaan yang membangun dapur
sekolah dan diperuntukkan untuk memasak makan siang bagi siswa yang berada
di sekitar perusahaan. Bahan pangan yang diterima oleh Jamaika, yaitu dari
Masyarakat Ekonomi Eropa (EEC) dan Lembaga Perkembangan Internasional
Kanada (CIDA). EEC memberikan bantuan berupa minyak, mentega, susu
bubuk, dan tepung jagung, dan dari USA berupa tepung terigu, tepung jagung,
bulgur, jagung, dan campuran kedelai (soya blend), serta dari CIDA berupa
bubuk susu skim.
Tenaga partisipasi masyarakat dapat berasal dari Komite Sekolah, atau
masyarakat di sekitar sekolah, atau ibu PKK. Tenaga ini dapat bersifat sukarela
atau sosial atau dibayar dengan upah/honor yang rendah. Tenaga ini umumnya
bekerja part-time, sedangkan tenaga yang bekerja di dapur sekolah adalah full-
109
time. Model ini dapat mempersiapkan dan memasak bahan pangan di sebuah
dapur atau beberapa dapur yang berada diluar gedung sekolah. Dapur yang
dipergunakan merupakan dapur masyarakat yang bersedia untuk dipergunakan
sebagai pengolahan makanan anak sekolah (PCD 2010).
Model kupon bawa pulang atau tunai bawa pulang atau bahan pangan
bawa pulang dalam jumlah tertentu. Pada model ini makanan tidak dikonsumsi di
sekolah, tetapi dibawa pulang ke rumah masing-masing siswa. Dalam hal ini
siswa mendapatkan bahan pangan dalam jumlah tertentu atau mendapatkan
kupon atau uang tunai yang dapat dipergunakan untuk membeli makanan
(UNESCO 2004; Gelli 2010). Negara yang pernah menerapkan model ini adalah
Banglades, Laos, Nigeria (PCD 2010).
Menurut Perdigon (1989) untuk melayani 1.350 siswa yang tinggal di
asrama (boarding school) di Pilipina, jenis menu ditetapkan (fixed menu), jenis
pelayanan cafetaria self-service membutuhkan: satu ahli gizi, satu pengawas,
satu tenaga penerima bahan makanan, tiga tukang masak, dua pembantu tukang
masak, empat pelayan, lima pencuci alat saji, dan empat petugas kebersihan.
Model penyelenggaraan makanan yang dilakukan dalam perancangan ini
merupakan model sarapan bersama di sekolah. Sarapan dipilih karena umumnya
siswa yang berasal dari keluarga miskin mengonsumsi sarapan kurang dari
standar yang telah ditentukan dan juga dipilih karena siswa hanya berada di
sekolah sampai pukul 13.00. Sarapan yang dipilih dengan menyediakan menu
sepinggan karena penyiapan dan pemasakannya lebih mudah, waktunya lebih
cepat, penyajiannya lebih sederhana (dapat memakai satu alat saji) serta
pencucian alat saji lebih praktis.
Pada saat efikasi model, siswa diberikan menu sepinggan yang bahan
pangannya bersumber Fe seperti telur, tahu, tempe, dan sayur-sayuran. Daging
dan ikan merupakan sumber makanan yang mengandung tinggi besi heme,
tetapi dalam efikasi model ini tidak diberikan karena harganya mahal. Tempe dan
tahu termasuk kedalam sumber besi non-heme (nabati) karena terbuat dari
kedele dan harganya lebih murah.
Penyelenggaraan makanan anak sekolah yang siswanya berasal dari
keluarga miskin dapat dilakukan dengan baik, yaitu dengan menyediakan
makanan lengkap, aman dan membiasakan siswa untuk disiplin menghabiskan
makanan yang disajikan. Oleh karena itu, dengan adanya pemberian sarapan
menu sepinggan di sekolah dapat memberikan efek yang positif terhadap
110
konsumsi energi dan protein siswa. Peningkatan konsumsi ini dapat juga terjadi
karena dipengaruhi oleh faktor psikologi anak. Anak-anak sekolah cenderung
lebih suka makan bersama teman-teman sebayanya, dibandingkan dengan
makan sendirian di rumahnya.
Sekolah dapat melakukan analisis SWOT untuk mengetahui potensi
kekuatan dan mengetahui kelemahan yang ada, serta untuk mengetahui
ancaman dari dalam dan dari luar, dan untuk mengetahui peluang yang ada bagi
sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan. Dari hasil analisis ini sekolah dapat
melakukan langkah-langkah untuk mengatasi berbagai kendala, kelemahan, dan
ancaman yang timbul sehingga sekolah mampu menjalankan penyelenggaraan
pendidikan secara baik dan profesional menurut kemampuan dan kondisi
masingmasing (DEPDIKNAS 2007).
Analisis SWOT dipergunakan untuk memetakan faktor-faktor internal
(kelemahan dan kekurangan) dan faktor eksternal (peluang dan ancaman). Dari
diagram SWOT maka dibuat strategi-strategi untuk penguatan dan
pengembangan peyelenggaraan sarapan bersama menu sepinggan.
Dari strategi jangka pendek dan menengah diperoleh langkah penguatan
yang mudah dan dapat segera diterapkan. Langkah tersebut menyangkut
sosialisasi, partisipasi, koordinasi, percontohan dan monitoring serta evaluasi
yang dapat dilakukan dilingkungan yang terbatas.
Pada strategi jangka panjang dibutuhkan intervensi pemerintah dan hal
tersebut membutuhkan waktu yang cukup lama. Langkah dalam strategi jangka
panjang meliputi masalah legalitas sebagai payung hukum program
penyelenggaraan sarapan bersama menu sepinggan, koordinasi yang
terintegrasi antar departemen, sampai subsidi untuk penyediaan dana sehingga
dapat menjamin keberlangsungan (sustainability) program.
Dari diagram SWOT dapat juga ditunjukkan dampak positif lainnya dari
penyelenggaraan sarapan bersama menu sepinggan ini. Disamping Visi, Misi
dan Tujuan utama program ini, juga diperoleh pendidikan etika sosial, pendidikan
gizi, kebersamaan dan kepedulian sosial, dan lain-lain.
111
112
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan 1. Ada 6 model penyiapan penyelenggaraan makanan anak sekolah yang
dapat dilaksanakan, yaitu: 1) penyiapan makanan di dalam sekolah dengan
asal bahan pangan berupa sumbangan, dengan metode produksi
konvensional atau terpusat; 2) penyiapan makanan di dalam sekolah
dengan bahan pangan lokal, dengan metode produksi konvensional atau
terpusat; 3) penyiapan makanan di dalam sekolah dengan penjual makanan
sebagai tenaga penjamah makanan, dengan metode produksi konvensional
atau terpusat; 4) penyiapan makanan di luar sekolah dengan partisipasi
swasta, dengan metode produksi konvensional atau terpusat; 5) penyiapan
makanan di luar sekolah dengan partisipasi masyarakat, dengan metode
produksi konvensional atau terpusat dan 6) kupon bawa pulang atau tunai
atau makanan dalam jumlah tertentu.
2. Penyelenggaraan makanan anak sekolah di Indonesia dapat dilaksanakan
dengan model penyiapan dilakukan di dalam sekolah atau di luar sekolah,
dengan metode produksi konvensional ataupun terpusat. Hal ini
bergantung pada fasilitas yang ada di sekolah dan sekitar sekolah. Jika
ruang makan tidak ada, dapat mempergunakan ruang kelas sebagai ruang
makan, dengan memperhatikan ruangan harus bersih, jauh dari tempat
pembuangan sampah, dan pembuangan limbah. Tenaga penjamah
makanan bisa berasal dari ibu PKK, Komite Sekolah, atau tenaga yang
bekerja khusus untuk pelayanan makanan.
3. Perancangan model penyelenggaraan makanan anak sekolah
disesuaikan dengan situasi dan kondisi sekolah, lingkungan serta
sumberdaya yang ada. Rancangan model yang dibentuk adalah
sebagai berikut: penyiapan dan pengolahan bahan pangan
mempergunakan dapur di luar sekolah, ruang makan di dalam ruang
kelas, pengadaan bahan pangan dilakukan dengan cara pembelian
langsung ke pasar tradisional yang letaknya tidak jauh dari lokasi
pemasakan. Menu sepinggan yang dimasak disesuaikan dengan
biaya yang rendah, jenis peralatan yang dipergunakan sering dipakai
untuk mengolah makanan banyak/massal/institusi, tenaga penjamah
113
makanan biasa melakukan pengolahan makanan
banyak/massal/institusi, dan waktu pengolahan tidak terlalu lama.
4. Model penyelenggaraan makanan anak yang dirancang dapat
diterapkan dengan baik sesuai dengan syarat-syarat
penyelenggaraan makanan yang ditentukan. Rata-rata kandungan
energi sarapan menu sepinggan contoh 439 KKal, 10 gram protein,
266.8 µg RE vitamin A, dan 1.97 mg Fe dengan biaya Rp 3.000/porsi.
Konsumsi energi, protein dan Fe contoh meningkat secara nyata
sesudah pemberian sarapan menu sepinggan yaitu energi 27.0%,
protein 31.3%, vitamin A 42.3%, dan Fe 30.0%. Tingkat kecukupan
contoh terhadap energi, protein, vitamin A dan Fe meningkat sesudah
pemberian sarapan menu sepinggan.
5. Keberlangsungan model yang dirancang akan berjalan dengan baik
jika ada sumber dana. Sumber dana dapat diperoleh dari pemerintah
(pusat ataupun daerah), dapat juga dari LSM (Lembaga Swadaya
Masyarakat), CSR (Corporate Social Responsibility), dan
sumbangan-sumbangan dari donatur. Metode SWOT dipergunakan
untuk menguatkan model penyelenggaraan sarapan bersama menu
sepinggan.
Saran
1. Model pemberian makanan sepinggan sebagai sarapan ini dapat
digunakan sebagai pengganti penyediaan makanan tambahan anak
sekolah (PMT-AS) yang pernah dilaksanakan oleh Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan.
2. Model ini dapat juga dipergunakan di sekolah yang siswanya berasal
dari keluarga mampu untuk menanggulangi masalah sarapan,
seperti pergi ke sekolah terburu-buru, makan di dalam mobil/bus,
tidak lapar, tidak ada yang mempersiapkan makanan, tidak suka
dengan makanan yang disediakan di rumah, dan tidak mempunyai
nafsu makan. Ada pun untuk keberlangsung-annya dilakukan dengan
cara pendanaan sebagai berikut: a) untuk siswa yang berasal dari
keluarga sangat mampu dapat membayar lebih dari harga jual
114
makanan; b) jika siswa berasal dari keluarga mampu, maka
membayar penuh harga jual makanan; c) untuk siswa yang berasal
dari keluarga menengah, maka membayar setengah dari harga jual
makanan dan sisanya dibayar oleh pemerintah, dan d) bila siswa
berasal dari keluarga miskin, maka pemerintah yang akan membayar
secara penuh.
3. Model ini masih perlu dikuatkan dengan mengadakan penelitian
tentang keragaman bahan pangan lokal yang dimiliki oleh masing-
masing daerah (tipikal agro-ekologi), memperhatikan perbedaan
budaya, perbedaan kebiasaan makan, perbedaan wilayah
(pesisir/pantai, pegunungan, dan lain-lain).
4. Dalam Penyelenggaraan Sarapan Menu Sepinggan selain
memberikan pendidikan tentang gizi juga memberikan pendidikan
etika yang dapat membentuk karakter siswa. Untuk itu diperlukan
partisipasi dari guru-guru, terutama guru kelas dan guru UKS/PenJas
dalam pengawasan kegiatannya.
5. Partisipasi orang tua siswa ataupun masyarakat di sekitar sekolah
melalui Komite Sekolah sangat diharapkan dalam kegiatan
Penyelenggaraan Sarapan Menu Sepinggan ini, mulai dari pembelian
bahan pangan dan pengawasan pelaksanaannya, sehingga dapat
meningkatkan hubungan antara Orang tua siswa, Guru, Masyarakat
sekitar sekolah dan Siswa.
6. Untuk perhitungan biaya dalam penyelenggaraan makanan anak
sekolah, khususnya biaya yang dipergunakan sebagai investasi untuk
membangun dapur dapat dilihat pada lampiran 16; desain
pembangunan dapur sekolah dapat dilihat pada lampiran 17, dan
biaya pembelian peralatan yang dibutuhkan dapat dilihat pada
lampiran 18.
115
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed AU. 2004. Impact of Feeding Children in School: Evidence From
Bangladesh. International Food Policy Research Institute/IFPRI,
Washington D.C. USA.
Almatsier S. 2006. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Chang SM et al. 1996. Effects of Breakfast on Classroom Behavior in Rural
Jamaican School-children. Food and Nutrition Bulletin 17:248-257.
Chitra U and Reddy CR. 2005. The Role of Breakfast in Nutrient Intake of Urban
Schoolchildren. Public Health Nutrition 10(1): 55-58.
Cueto S and Chinen M. 2008. Educational Impact of a School Breakfast
Programme in Rural Peru. International Journal of Educational
Development 28 : 132-148.
Del Rosso JM. 1999. School Feeding Programs : Improving effectiveness and increasing the benefit to education. Oxford: University of Oxford.
[Depkes] Departemen Kesehatan RI. 2005. Pedoman Umum Gizi seimbang.
http://www.gizi.depkes.co.id/ [10 Februari 2012].
________. 2006. Kumpulan Modul Kursus Hygiene Sanitasi Makanan &
Minuman. Jakarta: Depkes.
________. 2008. Riset Kesehatan Dasar 2007. Departemen Kesehatan RI.
________. 2008. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007: Provinsi Jawa Barat. www.depkes.go.id [ 10 Februari 2011].
________. 2011. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1096/MENKES/PER/VI/2011 tentang Higiene Sanitasi Jasaboga. Jakarta: Depkes.
Dwinanda. 2011. Mengejar Kecukupan Nutrisi Anak sekolah.
http://www.republika.co.id [10 Februari 2011].
Erwin LT. 2011. Hidangan Sepinggan Istimewa. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Florencio CA. 2001. Developments and Variations in School-Based Feeding
Programs Around the World. Nutrition Today 36:29-36.
Gelli A. 2010. Food Provision in School in Low and Middle Income Countries: Developing an Evidence Based Programme Framework. PCD working paper n 215.
116
Gibson RS. 2005. Principles of Nutritional Assessment. Second Edition. Oxford:
Oxford Press.
Gregoire MB & Spears MC. 2007. Foodservice Organizations: A Managerial and Systems Approach 6th ed. New Jersey: Pearson Education.
Hardinsyah dan Martianto D. 1989. Menaksir Kecukupan Energi dan Protein
serta Penilaian Mutu Gizi Konsumsi Pangan. Bogor: Wirasari Jakarta.
________ dan Briawan D. 1994. Penilaian dan Perencanaan Konsumsi Pangan.
Bogor: Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga,
FAPERTA IPB.
________ dan Tambunan V. 2004. Angka Energi, Protein, Lemak dan Serat
Makanan dalam Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII 17-19 Mei.
Jakarta: Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia (LIPI).
Hardinsyah. 2012. Breakfast in Indonesia pada symposium healthy breakfast [makalah]. 16 Juni 2012. Jakarta.
Khan MA. 1989. Food Service Operation. New York: Van Nostrand Reinhold
Company Inc.
Khomsan A. 2005. Pangan dan Gizi Untuk Kesehatan cetakan ke-2. Bogor:
Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian
Bogor.
[Kemendagri] Kementerian Dalam Negeri RI. 2010. Pedoman Umum Penyediaan Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT-AS) melalui Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta.
[Kemendiknas] Kementerian Pendidikan Nasional. 2011. Petunjuk Teknis
Pengolahan Kudapan Nusantara dalam PMT-AS. Jakarta. Departement Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan
Sekolah Dasar dan Menengah, Direktorat Pembinaan Taman Kanak-Kanak dan Sekolah Dasar. 2007. Panduan Penyelenggaraan Sekolah Standard Nasional Untuk Sekolah Dasar. Jakarta.
Jacoby and Pollitt. 1996. Benefits of A School Breakfast Programme among
Andean Children in Huaraz, Peru. Food and Nutrition Bulletin 17 (1): 54-64. Judhiastuty F. 2005. Nutrition Education: It has Never been An Easy Case for
Indonesia. Food Nutrition Bulletin 26;(2 suppl.2):S267-S274.
Kinton R and Ceserani V. 1989. The Theory of Catering Sixth Edition. Great
Britain: English Language Book Society (ELBS).
117
Kustiyah L. 2004. Kajian pengaruh intervensi makanan kudapan terhadap perubahan kadar glukosa darah dan daya ingat anak sekolah dasar [disertasi]. Bogor: Program Pascasrjana IPB.
Meyers AF et al. 1989. School Breakfast Program and School Performance. The American Journal of Diseases Of Children 143 :1234–1239.
Moehyi S. 1992. Penyelenggaraan Makanan Institusi dan Jasa Boga. Jakarta:
Bhatara. Muhilal H dan Sulaeman A. 2004. Angka Kecukupan Vitamin Larut Lemak.
Dalam Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII 17-19 Mei. Jakarta:
Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia (LIPI).
_________ . 1998. Program Makanan Tambahan Anak Sekolah di Negara Lain dan di Indonesia. Gizi Indonesia 23: 1-9.
Mukri NA dkk. 1990. Manajemen Pelayanan Gizi Institusi Dasar. Jakarta: Proyek Pengembangan Pendidikan Tenaga Gizi Pusat Bekerjasama dengan Akademi Gizi Departemen Kesehatan RI.
Nurdiani R. 2011. Analisis penyelenggaraan makan di sekolah dan kualitas menu
bagi siswa sekolah dasar di Bogor [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT Rineke Cipta.
Pannell-Martin D. 1999. School Foodservice Management for the 21st Century.
Fifth Edition. Virginia: InTEAM Associates, Inc. Palacio JP and Theis M. 2009. Introduction to Foodservice. Eleventh Edition.
New Jersey: Columbus, Ohio. Pearson, Prentice Hall.
[PCD] The Partnership for Child Development. 1999. School Feeding Programs: Improving effectiveness and increasing the benefit to education. A Guide for Program Managers. Oxford, UK. University of Oxford. Perdigon GP. 1989. Foodservice Management in The Philippines. Diliman: U.P.
College of Home Economics. Powell CA et al. 1998. Nutrition and education: A randomized trial of the effects
of breakfast in rural primary school children. Am J Clin Nutr 68: 873-9. Rampersaud GC, Pereira MA, Girard BL, Adams J, and Metzl JD. 2005.
Breakfast habits, nutritional status, body weight, and academic performance in children and adolescents. J Am Diet Assoc 105 (5): 743-60.
Riyadi, DMM. 2006. PMT-AS dan peningkatan kualitas SDM dalam perspektif
IPM pada rapat koordinasi teknis program PMT-AS [makalah]. 19 September 2006. Jakarta.
118
Riyadi H. 1995. Prinsip Penilaian Status Gizi. Bogor: Departemen Masyarakat
dan Sumberdaya Keluarga, Institut Pertanian Bogor.
[Riskesdas] Riset Kesehatan Dasar. 2010. Jakarta: Badan Litbangkes, Depkes
Republik Indonesia
Roosita E. 11 Okt 2007. Menanamkan Nilai Lewat Makan Siang. Kompas: 12 (kolom 1-4).
Salimar dkk. 2010. Laporan Analisis Lanjut Data Riskesdas 2010: Faktor-faktor
yang Berhubungan dengan Status Gizi Anak Usia Sekolah (6-12 tahun) di Indonesia. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi dan Makanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
Sinaga T . 2 Maret 2009. Makan di Sekolah dari APBN/APBD. Kompas: 6 (kolom
1-4). _______. 2007. Manfaat Makan di Sekolah. Diktat Pelatihan Gizi untuk Anak
Sekolah (11-13 Desember 2007) Jakarta: Yayasan Kuliner Jakarta. _______. 1995. Feasibility Study dalam Foodservice Management. Pendidikan
Ahli Madya Gizi. Malang. Simeon. 1998. School Feeding in Jamaica: A Review of Its Evaluation. Am J Clin
Nutr, 67(4): 790S-794S
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif,
dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Soekirman dkk. 2006. Hidup Sehat Gizi Seimbang dalam Siklus Kehidupan
Manusia. Jakarta: PT Primamedia Pustaka.
Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Bogor: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas
Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor.
_______ dan Kusharto CM. 1989. Prinsip-prinsip Ilmu Gizi. Bogor: Pusat Antar
Universitas, Institut pertanian Bogor (PAU-IPB).
_______. 2003. Berbagai Cara Pendidikan Gizi. Jakarta: Bumi Aksara.
Sullivan C. 1989. Medical Foodservice. New York: Van Nostrand Reinhold
Company Inc.
Supariasa DN, Bakri B dan Fajar I. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran ECG.
119
Supranto J. 1997. Pengukuran Tingkat Kepuasan Pelanggan dengan Analisis
SWOT. Jakarta: Rineka Cipta.
Studdert L & Soekirman. 1998. School feeding in Indonesia: A Community based
Programme for Child, School and Community Development. SCN News
16 : 15-16.
Syarief H. 1997. Membangun Sumber Daya Manusia Berkualitas : Suatu Telaah
Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Orasi Ilmiah pada
Pengukuhan Guru Besar Ilmu Gizi Masyarakat dan Sumberdaya
Keluarga, Fakultas Pertanian, IPB. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
[UNDP] United Nations Development Programme. 2011. Human development index. http://hdrstats.undp.org/en/countries/profiles/IDN.html. [1 Februari 2012].
[UNESCO]. 2004. Guidelines to Develop and Implement School Feeding Programmes that Improve Education. FRESH Tools for Effective School http://toolkit.ineesite.org/toolkit/INEEcms/uploads/1072/Guidelines_to_Develop_and_Implement_Feeding.pdf [10 mei 2012] [WFP] Home Grown School Feeding Project. 2007. http://documents.wfp.org/stellent/groups/public/documents/newsroom/wfp207421.pdf [10 mei 2012] Winch R. 2009. School Feeding: Country Experience from Mali, Chile, and India
http://foodaid.org/news/wp-
content/uploads/2011/01/Rachel_Winch_International_Approaches_to_Sc
hool_Feeding.pdf [18 Februari 2012].
Wirakusuma ES, H Santoso, D Roedjito, dan Retnaningsih. 1989. Manajemen Gizi Institusi. Diktat. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Faperta IPB.
[WNPG] Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII. 1998. Pangan dan Gizi Masa
Depan: Meningkatkan Produktifitas dan Daya Saing Bangsa. Prosiding, Jakarta: LIPI.
[WNPG] Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. 2004. Ketahanan Pangan
dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Prosiding. Jakarta: LIPI.
Yang, Yi-Nung. 2006. Declining Rice Consumption and the School Lunch Programs in Taiwan. Taiwan: Chung Yun Christian University.
120
L A M P I R A N
121
122
Lampiran 1 Persetujuan Etik (Ethical Clearance)
102
123
Lampiran 2 Analisis uji beda konsumsi dan tingkat kecukupan contoh selama pemberian makanan sepinggan di SDN Kebon Kopi
2 Bogor (Dependent sampleT-test )
Paired Differences
t df Sig. (2-tailed)
Mean Std. Deviation
Std. Error
Mean
95% Confidence Interval of the
Difference
Lower Upper
KonsE_sblm - KonsE_stlh -410.0 358.877 45.577 -501.140 -318.864 -8.996 61 .000
KonsP_sblm - KonsP_stlh -12.153 9.910 1.259 -14.670 -9.636 -9.656 61 .000
KonsFe_sblm - KonsFe_stlh -4.740 3.357 .426 -5.593 -3.888 -11.119 61 .000
KonsVitA_sblm - KonsVitA_stlh -99.067 111.470 14.157 -127.375 -70.758 -6.998 61 .000
TKE_sblm - TKE_stlh -27.016 35.310 4.484 -35.983 -18.049 -6.025 61 .000
TKP_sblm - TKP_stlh -31.265 37.954 4.820 -40.903 -21.626 -6.486 61 .000
TKFe_sblm - TKFe_stlh -29.974 28.927 3.674 -37.320 -22.628 -8.159 61 .000
TKVitA_sblm - TKVitA_stlh 42.298 25.729 3.268 -48.832 -35.764 -12.945 61 .000
122
124
Lampiran 3 Perbedaan Komponen dalam Penyelenggaraan Makanan di Setiap Sekolah
Unsur dalam PM Yayasan Islam Cibitung Sekolah Marsudirini SAB SDIT Insantama SDN 1 Malangsari
1. Tempat/sistem produksi On-site/central
production On-site/central production On-site/ conventional Off-site/ conventional
On-site/central production
2. Perencanaan menu Ahli gizi Manager penyelenggaraan
makanan/Suster Manager catering & staff
Manager catering &
orangtua
Buku kumpulan menu kudapan PMT-AS tahun
2011
3. Pembelian melalui Rekanan Rekanan Rekanan dan pasar
tradisional Rekanan dan pasar
tradisional Pasar tradisional
4. Penerimaan bahan pangan Ada Ada Ada Ada Tidak ada
5. Penyimpanan bahan pangan Ada Ada Ada Ada Ada
1. Pengeluaran bahan pangan Ada Ada Ada tetapi terbatas Ada tetapi terbatas Ada
2. Penyiapan bahan pangan Ada Ada Ada Ada Ada
3. Pemasakan Ada Ada Ada Ada Ada
4. Penyajian/pemorsian Cafetaria/self-service Cafetaria dilayani Prasmanan dan
rantangan Prasmanan Dilayani
5. Pendistribusian Desentralisasi Desentralisasi Desentralisasi/
sentralisasi Desentralisasi/sentralisasi Sentralisasi
6. Pencucian alat makan Siswa Siswa + Petugas Siswa Petugas catering Petugas pemasak
7. Biaya Rp. 5.000,00 (SD) Rp. 7.500,00 (SMP,SMA) Rp. 2.000,00 (snack)
Tidak dapat informasi secara rinci (rahasia)
Rp. 5.500,00 (TK) Rp. 6.000,00 (SD) Rp. 6.500,00 (pegawai)
Rp. 6.000,00 (SD kelas 1-3) Rp. 6.500,00 (SD kelas 4-6) Rp. 7.000,00 (SMP)
Biaya dari pemerintah, yaitu
Rp 2.500,00/anak/hari
8. Waktu belanja Sehari sebelum diolah Sehari sebelum diolah 04.00 – 06.00 02.30 – 05.00 Sehari sebelum diolah
9. Waktu Penyiapan dan pengolahan
07.00-10.45/11.00-14.00 07.00-11.00/11.00-14.00 07.00-10.45 05.00-10.30 14.00-17.30 hari sebelumnya/05.00-09.00
10. Waktu makan siang/snack 11.00-12.00/14.30-15.00 11.30-12.30/14.30-15.00 12.00-13.00 11.30-12.30/15.00 09.00 (kelas 1-2) 09.30 (kelas 3-6)
11. Fasilitas ruang makan/di Ada dengan kapasitas
150 orang/1 kali pelayanan
Ada dengan kapasitas 250 orang /1 kali
pelayanan Di kelas masing-masing Di kelas masing-masing Di kelas masing-masing
12. Tempat pencucian alat makan Cukup Cukup Cukup Cukup Tidak ada
13. Tempat pencucian alat masak Cukup Cukup Cukup Cukup Cukup
14. Silkus menu 20 – 22 hari 20 hari 20 – 22 hari 20 – 22 hari 12 hari
123
125
Lampiran 4 Nilai Higiene & Sanitasi Model off-site prepared meal community sector participation with conventional production
UJI KELAIKAN FISIK UNTUK HIGIENE SANITASI MAKANAN di SDN KEBON KOPI 2 BOGOR
Nama pengusaha : Bu Sastra. Alamat perusahaan : Kebon Kopi 2 Bogor. Nama pemeriksa : Tiurma Sinaga Tanggal penilaian : 2 Mei 2011.
No. URAIAN BOBOT X
LOKASI, BANGUNAN, FASILITAS
1. Halaman bersih, rapi, tidak becek, dan berjarak sedikit-nya 500 meter dari sarang lalat/tempat pembuangan sampah, serta tidak tercium bau busuk atau tidak sedap yang berasal dari sumber pencemaran.
1 1
2. Konstruksi bangunan kuat, aman, terpelihara, bersih dan bebas dari barang- barang yang tidak berguna atau barang sisa. 1 1
3. Lantai kedap air, rata, tidak licin, tidak retak, terpelihara dan mudah dibersihkan. 1 1
4. Dinding dan langit-langit dibuat dengan baik, terpelihara dan bebas dari debu (sarang laba-laba) 1 1
5. Bagian dinding yang kena percikan air dilapisi bahan kedap air setinggi 2 (dua) meter dari lantai 1 0
6. Pintu dan jendela dibuat dengan baik dan kuat. Pintu dibuat menutup sendiri, membuka kedua arah dan dipasang alat penahan lalat dan bau. Pintu dapur membuka ke arah luar.
1 0
P E N C A H A Y A A N
7. Pencahayaan sesuai dengan kebutuhan dan tidak menimbulkan bayangan. Kuat cahaya sedikitnya 10 fc pada bidang kerja. 1 1
P E N G H A W A A N
8. Ruang kerja maupun peralatan dilengkapi ventilasi yang baik sehingga terjadi sirkulasi udara dan tidak pengap. 1 1
AIR BERSIH
9. Sumber air bersih aman, jumlah cukup dan bertekanan 5 5
AIR KOTOR
10. Pembuangan air limbah dari dapur, kamar mandi, WC dan saluran air hujan lancar, baik dan tidak menggenang. 1 1
FASILITAS CUCI TANGAN DAN TOILET
11. Jumlah cukup, tersedia sabun, nyaman dipakai dan mudah dibersihkan. 3 2
PEMBUANGAN SAMPAH
12. Tersedia tempat sampah yang cukup, bertutup, anti lalat, kecoa, tikus dan dilapisi kantong plastik yang selalu diangkat setiap kali penuh.
2 1
RUANG PENGOLAHAN MAKANAN
13. Tersedia luas lantai yang cukup untuk pekerja pada bangunan, dan terpisah dengan tempat tidur atau tempat mencuci pakaian
1 1
14. Ruangan bersih dari barang yang tidak berguna. (barang tersebut disimpan rapi di gudang) 1 1
124
6
126
Lampiran 5 (Lanjutan ) Nilai Higiene & Sanitasi Model off-site prepared meal community sector participation with conventional
production
No. URAIAN BOBOT X
K A R Y A W AN
15. Semua karyawan yang bekerja bebas dari penyakit menular, seperti penyakit kulit, bisul, luka terbuka dan infeksi saluran
pernafasan atas (ISPA). 5 5
16. Tangan selalu dicuci bersih,kuku dipotong pendek, bebas kosmetik dan perilaku yang higienis. 5 5
17. Pakaian kerja, dalam keadaan bersih, rambut pendek dan tubuh bebas perhiasan. 1 1
M A K A N A N
18. Sumber makanan, keutuhan dan tidak rusak. 5 5
19. Bahan makanan terolah dalam kemasan asli, terdaftar, berlabel dan tidak kadaluwarsa. 1 1
PERLINDUNGAN MAKANAN
20. Penanganan makanan yang potensi berbahaya pada suhu, cara dan waktu yang memadai selama penyimpanan peracikan, penyiapan penyajian dan pengangkutan makanan serta melunakkan makanan beku sebelum dimasak (thawing).
5 5
21. Penanganan makanan yang potensial berbahaya karena tidak ditutup atau disajikan ulang. 4 4
PERALATAN MAKAN DAN MASAK
22. Perlindungan terhadap peralatan makan dan masak dalam cara pembersihan, penyimpanan, penggunaan dan pemeliharaan-nya.
2 2
23. Alat makan dan masak yang sekali pakai tidak dipakai ulang. 2 2
24. Proses pencucian melalui tahapan mulai dari pembersihan sisa makanan, perendaman, pencucian dan pembilasan. 5 4
25. Bahan racun / pestisida disimpan tersendiri di tempat yang aman, terlindung, menggunakan label / tanda yang jelas untuk digunakan.
5 5
26. Perlindungan terhadap serangga, tikus, hewan peliharaan dan hewan pengganggu lainnya. 4 4
JUMLAH
65 60
KHUSUS GOLONGAN A.1
27. Ruang pengolahan makanan tidak dipakai sebagai ruang tidur. 1 1
28. Tersedia 1 (satu) buah lemari es (kulkas) 4 4
JUMLAH
70 65
125
37
127
Lampiran 6 Gambar Penyelenggaraan Makanan di Clinton Elementary School
dan Southwest High School Nebraska USA
Dapur (Finishing kitchen)
Lunch Menu di ES
Meja counter
R. Makan Elementary School
R. Makan High School
Dishwashing machine di HS
127
126
38
128
Lampiran 7 Gambar Penyelenggaraan Makanan di Yayasan Al-Muslim
Tambun Cibitung Bekasi
Penyimpanan Bahan Pangan
Penyiapan bahan pangan
Pemasakan
Pemorsian
Pendistribusian
Penyajian
Saat makan di kelas
Ruang makan
Penyediaan air minum
Pencucian alat makan
Pencucian alat makan di ruang
makan
Rak piring di dalam kelas
127
39
129
Rak piring di ruang makan
Alat saji kotor
Pencucian alat masak
130
Lampiran 8 Gambar Penyiapan, Pemasakan, Penyajian dan Pencucian Alat di
Sekolah Marsudirini, Parung Bogor
Ruang Penyiapan
Ruang Pemasakan
Ruang Pemasakan
Pencucian alat masak
Ruang Penyajian
Saat pemorsian
R
uang Makan Tempat cuci tangan Te
mpat mencuci alat makan
128
40
131
Lampiran 9 Gambar Penyimpanan, Pemasakan, Pendistribusian, Penyajian
dan Penyimpanan Alat di SAB, Bogor
Penyimpanan pangan basah
Penyimpanan pangan kering
Pemasakan
Pemorsian
Penyajian untuk satu porsi
Penyajian untuk beberapa porsi
Makanan siap
didistribusikan
Ruang makan di kelas
Temp
at penyimpanan alat bersih
129
41
132
Lampiran 10 Gambar Penyimpanan, Pemasakan, Pendistribusian,
Penyajian dan Penyimpanan Alat di SD IT Insantama Bogor
Tempat pemasakan
Penyimpanan peralatan
Pemorsian dalam jumlah besar
Makanan siap didistribusikan
Pelayanan makanan
Penyajian 1 porsi
Snack yang siap disajikan
Makan di ruang kelas
Makan di ruang kelas
130
42
133
Lampiran 11 Gambar Penyiapan, Pemasakan, Penyajian dan Suasana Makan
Kudapan PMT-AS di SDN 1 Malangsari Cipanas
Penyimpanan Bahan
Pangan
Penyiapan Bahan Pangan
Penyiapan Bahan Pangan
Pemasakan
Pemasakan
Penyajian
Dapur
Saat makan di Ruang Kelas
Fasilita
s Mencuci Tangan
131
43
134
Lampiran 12 Gambar Alur Pemilihan Penjamah Makanan
Lampiran 13 Gambar Alur Pembelian Bahan Pangan
Masyarakat Sekitar Sekolah
Bersih Diri
PENYELENGGA
RAAN
MAKANAN
ANAK
SEKOLAHBersih
Dapur
Bersih Lingkungan
Spesifikasi Bahan Pangan
Pasar Terdekat
Beli Sesuai Spesifikasi
135
Lampiran 14 Gambar Alur Pendidikan Gizi melalui Makanan di Sekolah
Makanan dibagikan
Makanan siap
dikonsumsi
Siswa menghabiskan
makanan
Guru memberikan penjelasan
manfaat makanan yang dihidangkan
Siswa siap mencuci
alat saji
Makanan tidak habis
dikonsumsi
Bimbingan indiviu oleh guru
untuk menghabiskan makanan
136
Lampiran 15 Gambar Alur Perencanaan Menu Siswa
Preferensi Makan Siswa
Menu Siswa
Konsultasikan Ke TPG
Konsultasikan Ke Penjamah Makanan
Pelaksanaan
137
Lampiran 16 Prosedur Penyelenggaraan Sarapan Menu Sepinggan di SDN Kebon Kopi 2 Bogor
Masyarakat sekitar Sekolah/ Penjamah
Makanan
Tenaga Pelaksana Gizi
(TPG) Puskesmas
Penyiapan Makan Pagi di masing2 kelas: - Siswa mengantri cuci tangan - Siswa mengambil kotak makanan - Siswa diberi Pendidikan Gizi dg menyanyi
(“Cuci Tangan Sebelum Makan”, “ Kurang Vitamin-A”)
- Siswa berdoa bersama - Siswa makan bersama - Siswa mencuci alat saji dan mengeringkannya - Siswa mengumpulkan alat saji ke kontainer /
box plastik besar - Siswa mengisi questioner - Siswa mengembalikan kontainer ke rumah
pemasak
Kelas
SekolahKelas
Sekolah
Tempat Ambil
Wudhu
Rumah Penjamah
Makanan
Pasar
Kepala Sekolah
Guru Wali
KelasGuru Wali
Kelas
Siswa Kelas-
5Siswa Kelas-5 Siswa Kelas-
6Siswa Kelas-6
Pembelian Bahan Pangan
Penyiapan Bahan Pangan
Pemasakan Bahan Pangan
Pemasakan Bahan Pangan
Pemorsian Makanan
Penyiapan Pengiriman
MakananPenyiapan Pengiriman
Makanan
Perencanaan Menu “Siklus 6
Hari”Perencanaan Menu “Siklus 6
Hari”
Pukul 08.00 box
kosong bersih dibawa
siswa
Pukul 06.50 box isi
menu sepinggan
dibawa siswa
Guru
UKSGuru UKS
146
13
5
138
Lampiran 17 Perhitungan Biaya Pembangunan Dapur Sekolah
139
Lampiran 18 Desain Pembangunan Dapur Sekolah
137
137
140
Lampiran 19 Perhitungan Biaya Pengadaan Alat Masak dan Alat Saji
No Alat Masak dan Alat Saji Harga Satuan Jumlah Harga
1. Wajan besar Rp 100.000,00 x 2 Rp 200.000,00
2. Wajan kecil Rp 25.000,00 x 2 Rp 50.000,00
3. Panci besar Rp 100.000,00 x 2 Rp 200.000,00
4. Panci kecil Rp 25.000,00 x 2 Rp 50.000,00
5. Baskom plastik besar Rp 15.000,00 x 4 Rp 60.000,00
6. Boks makan plastik Rp 9.500,00 x 180 Rp 1.710.000,00
7. Sendok stainless-steel Rp 1.500,00 x 180 Rp 270.000,00
8. Dandang + Kukusan Rp 350.000,00 Rp 350.000, 00
Total Harga Rp 2.890.000,00