pengertian, kedudukan, dan manfaat filologibab i pengertian, kedudukan, dan manfaat filologi di...
TRANSCRIPT
BAB I
PENGERTIAN, KEDUDUKAN, DAN MANFAAT FILOLOGI
Di antara Anda mungkin sudah banyak yang mengenal istilah filologi, bahkan
sudah berkecimpung dalam bidang yang satu ini. Mungkin juga berbagai alasan
mengapa Anda tertarik terhadapnya. Ada ketidaktertarikan Anda terhadap bidang
yang langka peminat ini mungkin disebabkan oleh adanya anggapan bahwa
filologi itu adalah ilmu yang berkaitan dengan karya (tulisan) masa lampau, kuno,
lapuk, berdebu, dekil, kotor, dan tidak bermanfaat bagi kehidupan masa kini.
Namun, jika sudah terjun ke dalamnya dan sudah ―jatuh cinta‖ kepadanya, Anda
akan merasakan betapa asyiknya ―menggauli‖ teks-teks masa lampau yang sudah
lapuk dan berdebu itu.
Karena berkaitan dengan produk masa lampau, yang latar sosial dan
budayanya berbeda dengan latar sosial dan budaya masa kini, kebanyakan orang
tidak tertarik akan filologi. Itulah sebabnya, sementara orang memandang bahwa
filologi itu sebagai ilmu yang ―gelap‖ atau kurang jelas.
Sebagaimana dinyatakan para pakar, karya-karya masa lampau merupakan
peninggalan yang mengandung informasi tentang buah pikiran, perasaan,
pengalaman, dan pengetahuan mengenai berbagai segi kehidupan yang pernah
ada. Informasi tentang masa lampau itu merupakan ciptaan manusia yang latar
sosial dan budayanya berbeda dengan latar sosial dan budaya masa kini. Di
samping itu, kondisi karya masa lampau itu – karena dimakan usia – berangsur
lapuk. Selain faktor usia, faktor kesengajaan yang dibuat manusia dalam proses
penyalinan, misalnya, juga mempengaruhi keaslian karya itu. Adanya berbagai
varian dalam teks merupakan akibat kesengajaan yang dibuat manusia (penyalin).
Kerusakan bahan dan munculnya variasi teks menuntut adanya cara
pendekatan dan penggarapannya. Itulah sebabnya, upaya untuk menggali
informasi yang tersimpan dalam karya (tulisan) masa lampau itu sangat
bergantung kepada kondisi teks – yang sulit dipahami pembaca masa kini – dan
kondisi fisiknya yang sudah tidak utuh lagi.
Kekhasan naskah (teks) dengan kondisi yang telah dikemukakan itu
memerlukan pendekatan yang memadai. Untuk itu, diperlukan keterampilan
khusus mengenai teks (tulisan dan bahasa yang digunakan di dalamnya) dan fisik
naskah. Ilmu yang digunakan untuk mengatasi masalah tersebut adalah filologi.
A. Pengertian Filologi
Kata filologi berasal dari bahasa Yunani philologia, yang berupa gabungan
kata philos yang berarti ‗teman‘ dan logos yang berarti ‗ilmu, pembicaraan‘.
Dalam bahasa Yunani philologia berarti ‗senang berbicara‘, kemudian
berkembang menjadi ‗senang belajar‘, ‗senang kepada ilmu‘, ‗senang kepada
tulisan‘, dan akhirnya ‗senang kepada tulisan yang bernilai tinggi‘, seperti karya
sastra (Baried, 1994:2).
Sebagai istilah, filologi mulai dipakai pada abad ke-3 SM oleh
sekelompok ahli dari Iskandariah, untuk menyebut keahlian yang diperlukan
untuk mengkaji tulisan yang dihasilkan berates-ratus tahun sebelumnya. Pakar
dari Iskandariah yang pertama kali melontarkan istilah filologi itu bernama
Eratosthenes. Pada waktu itu mereka harus berhadapan dengan sejumlah
peninggalan tulisan yang mengandung informasi yang bentuknya bermacam-
macam, di samping adanya sejumlah bacaan yang rusak.
1) Berbagai Pengertian Filologi dalam Perkembangnya
Sesuai dengan perkembangan zaman, studi filologi juga memperlihatkan
kemajuan. Sehubungan dengan itu, pengertian filologi juga mengalami perubahan
sesuai dengan sasaran dan objek kajiannya, sebagaimana dikemukakan dalam
uraian berikut.
a. Filologi sebagai Ilmu tentang Pengetahuan yang Pernah Ada
Informasi mengenai masa lampau suatu masyarakat – yang meliputi
berbagai segi kehidupan – dapat diketahui masyarakat masa kini melalui karya-
karya yang mereka tinggalkan, baik berupa benda budaya maupun tulisan. Karya
yang berupa tulisan umumnya mengandung informasi masa lampau yang lebih
jelas dan rinci. Jika informasi yang terkandung dalam tulisan masa lampau itu
mencakupi bidang kehidupan yang lebih luas, pengetahuan yang dipandang
mampu mengungkap informasi itu dapat dikatakan sebagai kunci pembuka
pengetahuan. Itulah sebabnya, Philip August Boekh pengartikan filologi
sebagai‘ilmu pengetahuan tentan g segala sesuatu yang pernah diketahui orang‘.
Berdasarkan pandangan itu, pengkajian terhadap teks-teks yang tersimpan dalam
peninggalan masa lampau disebut sebagai pintu gerbang untuk mengungkap
khazanah pengetahuan masa lampau.
b. Filologi sebagai Ilmu Bahasa
Sebagai hasil budaya masa lampau, suatu tulisan perlu dipahami dari segi
konteks masyarakat yang melahirkannya. Pengetahuan tentang berbagai konvensi
yang hidup dalam masyarakat yang melatarbelakangi penciptaannya mempunyai
peran yang besar bagi upaya memahami kandungan isinya. Karena prinsip dasar
tulisan masa lampau itu berupa bahasa, modal dasar seorang filolog adalah bahasa
yang dipakai dalam tulisan tersebut. Hal itu berarti bahwa pengetahuan
kebahasaan secara luas diperlukan untuk membedah kandungan karya tulisan
masa lampau. Dengan demikian, seorang filolog harus ahli bahasa. Sehubungan
dengan itu, filologi dipandang sebagai ilmu tentang bahasa.
Bertalian dengan konsep tersebut, filologi dipandang sebagai studi bahasa
yang ilmiah, sebagaimana dilakukan bidang linguistik. Jika studi tentang bahasa
itu dikhususkan kepada tulisan masa lampau, studi filologi dapat diartikan sebagai
linguistik diakronis. Studi semacam itu antara lain dapat dijumpai di Inggris dan
Arab.
c. Filologi sebagai Ilmu Sastra Tinggi
Dalam kenyataannya, tulisan masa lampau yang didekati dengan filologi
itu berupa karya yang bernilai tinggi dalam masyarakat. Karya itu pada umumnya
merupakan karya sastra adiluhung, seperti karya Homerus. Kajian atau studi
semacam itu kemudian melahirkan pengertian tentang istilah filologi sebagai studi
sastra atau ilmu sastra.
d. Filologi sebagai Studi Teks
Filologi dapat juga dipakai untuk menyebut ilmu yang berhubungan
dengan studi teks, yaitu studi yang berupaya mengungkapkan hasil budaya yang
terkandung di dalam suatu teks. Studi seperti itu pernah dilakukan di Belanda. Di
Perancis filologi diartikan sebagai studi suatu bahasa melalui dokumen tertulis
dan studi mengenai teks lama serta penurunanya. Dalam hubungan dengan konsep
tersebut, filologi bertujuan mengungkapkan hasil budaya masa lampau
sebagaimana yang tersimpan dalam teks aslinya. Dengan demikian, titik berat
studinya adalah teks yang tersimpan dalam krya tulis masa lampau.
Berdasarkan pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa, sebagai istilah,
filologi adalah suatu disiplin ilmu tentang teks yang terekam dalam tulisan masa
lampau. Studi teks itu didasarkan oleh adanya informasi tentang hasil budaya
manusia pada masa lampau yang tersimpan di dalamnya. Oleh sebab itu, sebagai
satu disiplin ilmu, filologi tergolong dalam ilmu humaniora yang bertujuan
mengungkap hasil budaya masa lampau yang terekam dalam karya yang berupa
tulisan (teks). Konsep kebudayaan di atas, antara lain, bertalian dengan buah
pikiran, perasaan, kepercayaan, adat kebiasaan, bahasa, dan nilai-nilai yang
berlaku dalam masyarakat.
Studi filologi di Indonesia, sampai kira-kira permulaan abad ke-20, masih
mengikuti konsep filologi dalam pengertian studi teks dengan tujuan melacak
bentuk teks aslinya. Pada paruh kedua abad ke-20 studi filologi di Indonesia mulai
mempertimbangkan kondisi teks dan naskah yang tidak sama dengan kondisi teks
dan naskah yang melahirkan disiplin filologi serta kehidupan pernaskahan yang
ada dalam masyarakat saat itu. Sebagai akibatnya, pelacakan bentuk asal teks
bukanlah satu-satunya tujuan studi filologi.
2) Dasar Studi Filologi
Filologi, sebagi suatu disiplin ilmu, diperlukan karena munculnya variasi
teks dalam naskah. Gejala tersebut memperlihatkan bahwa dalam penyalinan teks
senantiasa mengalami perubahan sehingga wujudnya bervariasi. Adanya variasi
teks itulah yang melahirkan studi filologi. Dengan kata lain, studi filologi
berdasarkan pada prinsip bahwa teks berubah dalam penurunannya.
Adanya variasi teks menunjukkan bahwa sifat penurunan (penyalinan) teks
tidak setia. Penyalin, baik disengaja maupun tidak disengaja, akan menghasilkan
salinan yang tidak sama dengan bentuk aslinya. Dengan berbagai keterbatasan dan
kesubjektivitasnya penyalin mempunyai peran yang sangat menentukan dalam
penyalinan teks.
Variasi teks yang merupakan dasar studi filologi mula-mula dipandang
sebagai kesalahan atau keteledoran penyalin. Dalam perkembangan sikap terhadap
adanya variasi yang muncul dalam naskah salinan juga berubah. Variasi teks tidak
hanya dipandang sebagai kesalahan penyalinan, tetapi juga sebagai kreasi
penyalinan, yang merupakan hasil kreativitas dan subjektivitasnya sebagai
penyambut teks sehingga salinannya diterima oleh pembaca sezamannya.
Adanya perbedaan sikap penyalin itu kemudian melahirkan perbedaan
pandangan dalam studi filologi. Pertama, sikap yang memandang variasi sebagai
wujud kesalahan dan kelengahan penyalin melahirkan pandangan yang disebut
filologi tradisional. Dalam konsep itu filologi memandang variasi teks secara
negative. Konsekuensinya, teks harus dibebaskan dari kesalahan. Dengan
demikian, tugas filologi adalah menyiangi teks dari berbagai bentuk kesalahan.
Kedua, sikap yang memandang variasi teks sebagai bentuk kreasi
melahirkan pandangan yang disebut filologi modern. Dalam konsep ini, variasi
dipandang secara positif, yang berarti variasi merupakan wujud kreasi dan resepsi
penyalin. Dalam pandangan yang kedua ini, gejala yang sebetulnya merupakan
akibat keteledoran atau kesalahan penyalin tetap diperhatikan dan pertimbanngkan
dalam pembacaan.
Munculnya perkembangan sikap terhadap variasi teks dipengaruhi oleh
perkembangan pemahaman orang terhadap sasaran dan objek kajian filologi yang
tidak selalu indentik dengan sasaran serta objek kajian yang melahirkan istilah
filologi (di Iskandariah) dan dengan sasaran objek kajian yang dihadapi oleh
kajian filologi yang berkembang di Eropa Abad Pertengahan. Hal itu dapat dilihat
dalam penulisan masa lampau di Nusantara. Berdasarkan gejala-gejala itu, perlu
dicermati studi filologi bagi naskah-naskah Nusantara (termasuk Melayu dan
Jawa).
Contoh : Naskah Melayu asal-usul Bengkulu terdapat beberapa variasi penulisan,
ada yang ditulis dengan aksara Arab, Melayu dan ada yang ditulis
dengan aksara Latin.
3) Sasaran dan Objek Studi Filologi
Karya tulisan yang berupa buah pikiran, perasaan, kepercayaan, adat
kebiasaan, dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat masa lampau itu disebut
naskah. Isi atau informasi yang terdapat dalam naskah disebut teks.
Berdasarkan sejarahnya, sasaran studi filologi adalah naskah. Ilmu yang
berkaitan dengan pernaskahan disebut kodikologi. Objek kajian filologi adalah
teks atau kandungan naskah.
4) Tujuan
Sebagaimana karya lainnya, kondisi fisik peninggalan masa lampau itu
makin lama makin tua, lapuk,mdan secara perlahan-lahan akan mengalami
kerusakan. Untuk menyelamatkan kandungan isinya, cara yang ditempuh
umumnya dengan melakukan penyalinan. Adanya penyalinan yang berulang-
ulang dapat menimbulkan wujud salinan yang bermacam-macam. Perubahan
tersebut dapat terjadi karena beberapa faktor, antara lain faktor kesalahpahaman
penyalin, kesalahan penulisan, dan faktor kesengajaan (subjektivitas) penyalin.
Sebagai akibatnya, informasi yang terkandung di dalamnya juga akan berlain-
lainan pula. Selain itu, bahasa dan faktor sosial budaya yang melatarbelakangi
lahirnya kandungan naskah juga berbeda.
Adanya variasi teks itu menimbulkan sikap yang berbeda pula. Sikap yang
memandang variasi sebagai bentuk korup mempunyai tujuan menemukan bentuk
asal teks. Bacaan varian (variant reading) dalam berbagai teks mengudang
perhatian untuk menemukan bentuk teks yang asli, yang dihasilkan pertama kali,
atau teks yang dalam penyalinannya tidak mengalami perubahan (mendekati yang
asli).
Sikap yang memandang variasi teks sebagai bentuk kreasi mempunyai
tujuan menemukan makna kreasi yang muncul dalam variasi tersebut. Dasar kerja
seperti itu memandang penyalin sebagai penyambut teks yang kreatif. Kreativitas
penyalin timbul selain berdasar pada subjektivitasnya, juga didukung oleh hasil
pembacaan terhadap teks lain. Dengan demikian, tujuan studi filologi dapat
dirumuskan menjadi tujuan umum dan tujuan khusus.
Tujuan Umum
Secara umum studi filologi bertujuan
(1) mangungkapkan produk masa lampau yang berupa (karya) tulisan;
(2) mengungkapkan fungsi karya tulisan itu dalam masyarakat penghasil atau
ahli waris karya itu dari dalam masyarakat masa kini;
(3) mengungkapkan nilai-nilai budaya yang terkandung dalam karya itu.
Tujuan Khusus
Secara khusus, studi filologi bertujuan
(1) menelusuri bentuk asal teks berdasarkan bacaan varian yang ada;
(2) mengungkapkan sejarah perkembangan teks;
(3) mengungkapkan sambutan masyarakat penerima teks;
(4) menyajikan suntingan teks dalam bentuk yang dapat dibaca oleh masyarakat
masa kini.
5) Metode
Sebagai suatu disiplin ilmu, filologi menurut adanya metode yang
memadai. Berbagai faktor yang berkaitan dengan studi filologi menjadi
pertimbangan dalam penetapan metode. Faktor-faktor tersebut antara lain:
(1) sikapnya terhadap bacaan varian (variant reading);
(2) sasaran dan objek studinya, seperti sistem bahasa, sistem sastra, konvensi
sosial budaya;
(3) jumlah naskah;
(4) kondisi naskah (keterbacaan teks); dan
(5) tujuan.
B. Kedudukan Filologi
Jika kita memperhatikan kedudukan filologi di antara ilmu-ilmu yang lain
yang berkaitan dengan objek kajian filologi, tampak adanya hubungan timbal
balik dan saling membutuhkan. Sebagaimana kita ketahui, objek kajian filologi
adalah naskah-naskah yang mengandung teks sastra, yang dihasilkan masyarakat
tradisional, yaitu masyarakat yang belum terpengaruh sastra Barat secara intensif.
Sastra seperti itu mempunyai hubungan yang erat dengan masyarakat yang
menghasilkannya. Oleh sebab itu, pengetahuan tentang masyarakat yang
menghasilkan karya sastra tersebut merupakan syarat mutlak untuk memahami
makna karya sastra tersebut. Kesusastraan Melayu lama, misalnya, sebagian besar
merupakan warisan budaya zaman Sriwijaya, Pasai, Malaka, Aceh, Johor, dan
Riau. Untuk dapat memahami karya sastra Melayu itu, perlu dipelajari pula
kehidupan kemelayuan tersebut. Untuk dapat memahami arti setiap kata / istilah
dan ungkapan yang digunakan dalam teks tersebut, diperlukan juga penguasaan
bahasa yang memadai. Penguasaan bahasa teks tidak terlepas dari pemahaman
terhadap masyarakat penghasil karya tersebut. Dengan demikian, teks tersebut
harus dilihat dari konteks masyarakat dan bangsa yang bersangkutan. Penelitian
yang lebih mendalam dan terinci dapat dilakukan dari ciri bahasanya, nilai
sastranya, kandungan isinya, dan sebagainya.
Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa filologi memerlukan ilmu bantu
yang erat hubungannya dengan bahasa, masyarakat dan budaya yang melahirkan
naskah, dan ilmu sastra. Dengan demikian, untuk menggarap naskah dengan baik,
seorang filolog memerlukan ilmu lain, seperti linguistik, pengetahuan bahasa yang
digunakan dalam teks, ilmu agama, sejarah kebudayaan, antropologi, dan folklor.
Karena kajian filologi banyak yang disajikan dalam bahasa asing, terutama bahasa
Belanda dan Inggris, perlu pula dimiliki pengetahuan bahasa asing yang memadai.
Berikut ini akan diuraikan kaitan antara filologi dan ilmu bantunya.
1) Linguistik
Mempelajari bahasa teks memang bukanlah tujuan utama studi filologi.
Meskipun demikian, karena bahasa teks berbeda dengan bahasa sehari-hari,
sebelum sampai pada tujuan yang sesungguhnya, seorang filologi harus
memahami bahasanya. Untuk itu, dalam pemahaman bahasa inilah diperlukan
bantuan linguistik. Bantuan linguistik dalam bidang filologi sudah tampak sejak
awal perkembangannya ketika linguistik mengutamakan bahasa tulis, termasuk
bahasa naskah. Bahkan, studi bahasa sampai abad ke-19 dikenal dengan istilah
filologi. Pada perkembangannya kemudian, linguistik lebih mengutamakan bahasa
lisan, bahasa yang dipakai sehari-hari. Walaupun demikian, penerapan metodenya
diharapkan dapat diterapkan dalam pengkajian bahasa naskah.
Ada beberapa cabang linguistik yang dipandang dapat membantuk filologi,
antara lain etimologi, sosilinguistik, dan stilistika. Etimologi, yaitu ilmu yang
memperlajari asal-usul dan sejarah kata, telah lama menarik perhatian filolog.
Hampir dapat dikatan bahwa pada setiap kajian bahasa teks selalu ada kajian yang
bersifat etimologi. Hal itu dapat dipahami karena bahasa naskah Nusantara banyak
yang mengandung kata serapan dari bahasa asing, terutama bahasa Arab dan
Belanda, yang dalam perkembangannya mengalami perubahan bentuk, bahkan
perubahan arti. Itulah sebabnya, kajian terhadap kata-kata seperti itu perlu
dilakukan. Kajian terhadap perubahan bentuk atau makna kata menuntut
pengetahuan yang memadai tentang filologi (ilmu tentang bunyi bahasa),
morfologi (ilmu tentang pembentukan kata, dan semantic (ilmu tentang makna
kata). Ketiga hal itu termasuk dalam bidang linguistik.
Adanya kata muwafakat, di samping mufakat, dalam teks Melayu,
misalnya, merupakan hal yang tidak asing karena kata itu diserap dari bahasa
Arab. Kata cinta dalam sastra Melayu sering berarti ‗sedih‘ atau ‗susah‘. Kata
masygul dalam naskah karya Nuruddin Arraniri tidak berarti ‗sedih‘, ‗gundah‘,
tetapi berarti ‗sibuk‘, yaitu arti pertama dalam bahasa Arab. Kata-kata seperti
itulah yang perlu ditelusuri secara etimologi, dengan pengetahuan tentang
fonologi, morfologi, dan semantik.
Sosiolinguistik, sebagai cabang linguistik, mempelajari hubungan dan
saling pengaruh antara perilaku bahasa dan perilaku masyarakat. Oleh karena itu,
sosiolinguistik sangat bermanfaat dalam menekuni teks, misalnya ada atau
tidaknya undak-usuk (tingkatan) bahasa, ragam bahasa, dan alih kode, yang erat
kaitanya dengan konvensi masyarakat pemakai bahasa. Hasil kajian
sosiolinguistik ini diharapkan dapat membantu mengungkapkan keadaan
sosiobudaya yang tersurat dalam naskah.
Stiliska, juga salah satu cabang linguistik yang menyelidiki gaya bahasa
sastra, diharapkan dapat membantu penelusuran teks asli yang mendekati teks asli
dan dalam penentuan usia teks.
Sebagaimana kita ketahui, naskah yang sampai kepada kita adalah naskah
yang telah mengalami penyalinan (penurunan). Dalam penyalinan naskah tampak
adanya tradisi penyalinan yang longgar. Artinya bahwa penyalin dapat mengubah,
memperbaiki, menambah, dan mengurangi teks yang disalinnya, jika dianggap
perlu. Selain itu, penyalinan teks seringkali dilakukan secara horizontal dengan
menggunakan beberapa naskah induk sehingga menyulitkan pelacakan naskah
asli. Dengan mengkaji gaya bahasa suatu teks, diharapkan dapat diketahui adanya
kelainan dalam teks tersebut. Adanya perbedaan itu mengindikasikan bahwa teks
itu bukanlah asli.
Di samping untuk menelusuri keaslian teks, pengetahuan stilistika juga
diharapkan dapat membantu penentuan usia teks. Sebagaimana kita ketahui, teks
lama pada umumnya tidak mencantumkan data penulis / penyalin dan wkatu
penulisan/penyalinan. Dengan memperbandingkan gaya bahasa teks, diharapkan
dapat diketahui pula siapa pengarang/penyalin teks tersebut dan kapan dilakukan
penulisan/penyalinan teks tersebut. Kitab Brahmandapurana dalam sastra Jawa,
misalnya, yang tidak memiliki keterangan penulis dan tahun penulisnya, oleh
Poerbatjaraka digolongkan ke dalam sastra sezaman dengan ―Sang Hyang
Kamahayanikan‖ berdasarkan kajian struktur dan gaya bahasanya.
2) Pengetahuan tentang Bahasa yang Mempengaruhi Bahasa Teks
Bahasa teks Nusantara pada umumnya dipengaruhi oleh bahasa
Sansekerta, Tamil, Arab, Persi dan berbagai bahasa daerah yang serumpun
dengannya. Karena teks Nusantara itu ada yang berasal dari Persi dan Tamil,
pengaruh kedua bahasa itu tampak juga di dalamnya. Namun, pengaruh kedua
bahasa itu sangat sedikit sehingga untuk telaah teks tersebut tidak diperlukan
pendalaman kedua bahasa tersebut. Berbeda halnya dengan bahasa Sansekerta dan
bahasa Arab. Pengaruh kdedua bahasa itu dalam teks Nusantara sangat besar
sehingga untuk keperluan telaah teks, pendalaman terhadap kedua bahasa tersebut
penting dilakukan.
Bahasa Sansekerta sangat diperlukan dalam kajian teks berbahasa Jawa,
terutama Jawa Kuna. Dalam teks berbahasa Jawa Kuna pengaruh bahasa
Sanserkerta ini sangat besar, tidak hanya berupa serapan kosakata atau frasa,
tetapi juga berupa cuplikan teks yang tidak disertai terjemahannya. Pengaruh
bahasa Sanserkerta itu tampak dalam teks ―Ramayana‖, ―Uttarakanda‖, dan ―Sang
Hyang Kamahayanikan‖. Pengaruh dalam teks berbahasa Jawa Baru hanya
sebatas kata dan dalam ungkapan yang dikenal dengan istilah tembung Jawi yang
berarti ‗kata pujangga‘. Dalam teks berbahasa Melayu pengaruhnya hanya berupa
kata serapan dan jumlahnya tidak sebanyak dalam teks berbahasa Jawa Baru.
Walaupun demikian, penanganan teks Melayu juga memerlukan pengetahuan
bahasa Sansekerta.
Pengetahuan bahasa Arab, terutama, diperlukan untuk pengkajian teks
yang berisi ajaran Islam atau tasawuf atau teks yang kena pengaruh Islam. Dalam
teks seperti itu banyak kata, frasa, kalimat, atau ungkapan berbahasa Arab, bahkan
nukilan bagian teks tertentu, seperti bagian pendahuluan atau penutup. Walaupun
pada umumnya bagian teks berbahasa Arab itu nukilan dari Alquran, hadis, atau
kitab terkenal diikuti terjemahnya dalam bahasa teks, teks itu belum tentu dapat
dibaca dengan benar karena ditulis dengan huruf Arab tanpa tanda baca. Oleh
sebab itu, pengetahuan bahasa Arab yang memadai sangat diperlukan agar
pembacaan teks dapat dilakukan dengan benar. Pengetahuan bahasa Arab juga
diperlukan jika kita hendak melacak atau membandingkan teks Nusantara yang
bersumberkan teks berbahasa Arab atau teks Nusantara yang kena pengaruh
Islam. Contoh teks berbahasa Melayu seperti itu adalah teks karya Hamzah
Fansuri yang berjudul ―Syarabul ‗Asyiqin‖, karya Syamsuddin Assumatrani yang
berjudul ―Mir‘atul Mu‘minin‖, karya Nuruddin Arraniri yang berjudul ―Siratal
Mustaqim‖, dan karya Abdulrauf Singkel yang berjudul ―Daqaiqul Huruf‖; dalam
naskah Jawa antara lain teks yang berjudul “Suluk Sukarsa” dan “Suluk Wujil”.
Selain pengetahuan bahasa Arab dan bahasa Sansekerta, pengetahuan
tentang bahasa daerah Nusantara juga diperlukan dalam penggarapkan naskah dan
teks Nusantara. Tanpa wawasan yang luas tentang bahasa daerah Nusantara,
pembacaan teks sering direpotkan oleh hadirnya kata bahasa daerah. Hal itu
terjadi karena naskah yang digarap itu tidak diketahui asal-usulnya, baik daerah
penemuannya maupun daerah penyalinannya, apalagi daerah asal penulis atau
penulisannya. Kesulitan seperti itu, terutama, akan dialami dalam pembacaan teks
Melayu berhuruf Jawi karena ejaan teks tersebut tidak selalu menyertakan tanda
vocal.
Kegiatan lain yang memerlukan pengetahuan bahasa daerah Nusantara
ialah menyadur atau menerjemahkan teks lama Nusantara ke dalam bahasa
Indonesia atau bahasa asing, apabila perlu. Kegiatan seperti itu merupakan salah
satu kegiatan filolog dalam upaya memasyarakatkan teks lama Nusantara dalam
keadaan siap pakai oleh pakar ilmu lain. Dengan demikian, teks lama Nusantara
akan dikenal masyarakat luas sehingga dapat dimasukkan ke dalam khazanah
sastra Indonesia, bahkan sasta dunia.
Dalam sejarah sastra Jawa, misalnya, penyaduran telah dilakukan oleh
Yasadipura I dan Yasadipura II (anak Yasadipura I). Karya sastra Jawa Kuna ynag
hampir punah dihayati, kemudian diciptakannya kembali dalam bentuk yang baru
(bakan terjemahan). Agar sastra lama Nusantara dikenal dan dapat dipahami oleh
masyarakat kini dan yang akan dating, perlu adanya ahli filologi yang berbekal
pengetahuan bahasa daerah Nusantara.
Ada pendapat yang menyatakan bahwa karya saduran dipandang lebih
rendah nilainya daripada karangan asli. Karena adanya pandangan seperti itu,
mungkin kegiatan penyaduran kurang menarik kaum filolog dan tidak mendapat
perhatian. Padahal, kita tahu bahwa penyaduran tidak boleh dianggap enteng atau
hina karena kegiatan ini memerlukan persyaratan yang memadai, yaitu bacaan
yang luas, latar belakang pendidikan dan kebudayaan yang kuat, dan daya cipta
yang dapat dipertanggungjawabkan.
3) Paleografi
Paleografi adalah ilmu tentang macam-macam tulisan kuna. Ilmu ini
diperlukan dalam penelitian tulisan kuna yang berupa prasasti yang tertera di atas
batu, logam, atau bahan lainnya. Paleografi mempunyai tiga tujuan utama: (1)
mengalihaksarakan teks tulisan kuna karena teks tersebut sulit dibaca orang awam
dan (2) menerjemahkan teks tersebut ke dalam bahasa Indonesia atau bahasa
asing, dan (3) menempatkan peninggalan tertulis itu dalam sejarah (kebudayaan)
suatu bangsa berdasarkan waktu dan tempat ditulisnya teks tersebut. Paleografi
juga merupakan modal utama filolog dalam menelaah teks sastra lama yang tidak
mencantumkan penulis serta waktu dan temapt penulisannya.
Untuk memperoleh gambaran tentang teks tulisan kuna dan
perkembangannya di Indonesia, berikut ini diuraikan jenis tulisan beberapa
prasasti yang tersebar di Nusantara yang berkaitan dengan fungsinya sebagai
penunjang penelitian teks lama. Dalam buku Indonesia Paleography karangan
J.G. Casparis, dijelaskan macam-macam tullisan yang dipakai di daratan Asia
Tenggara, terutama di semenanjung Malaya, Muangthai Selatan, Kamboja, dan
Vietnam Selatan yang berdasarkan pelacakannya berasal dari tulisan yang terdapat
pada prasasti raja-raja dinasti Palawa di India Selatan pada abad ke-4. Aksara
Palawa yang dipakai untuk menuliskan bahasa Sansekerta itu dipakai di daerah
luar kerajaan Palawa yang mendapat pengaruhnya, termasuk Kepulauan
Indonesia. Di Nusantara huruf Palawa dapat dibedakan antara Palawa awal dan
Palawa lanjutan. Palawa awalmenunjukkan cirri-ciri yang berhubungan dengan
huruf India Selatan dan Sri Langka pada prasasti abad ke-3 dan ke-5 (antara lain
prasasti Kutai di Kalimantan Timur dan prasasti Purnawarman di Jawa Barat).
Palawa lanjut yang dipakai dalam prasasti abad ke-7 dan ke-8, antara lain prasasti
Tuk Mas di Jawa Tengah, prasasti dari Kerajaan Sriwijaya di Sumatra Selatan
(prasasti Kedukan Bukit (tahun 683), prasasti Talang Tuwo (tahun 684), prasasti
Karang Brahi di Jambi, prasasti Kota Kapur di Pulau Bangka (686), dan prasasti
Canggal (tahun 732) di Jawa Tengah. Prasasti Canggal adalah prasasti tertua di
Jawa dan merupakan prasasti terakhir yang berhuruf Palawa.
Prasasti-prasati budha di Jawa Tengah yang ditulis dalam bahasa
Sansekerta dengan huruf Pra-Nagari- yang berasal dari India utara- dihasilkan
pada abad ke-8. Di antara prasati itu adalah prasasti Kalasan (778), prasasti
Ratubaka (sejaaman dengan Ratubaka), dan prasati Kelurak (782). Prasati Plaosan
diduga dibuat sebelum pertengahan abad ke-9. Batu dan teksnya sudah rusak
sehingga tahun dan nama raja yang memerintahnya tidak dapat dilacak.
Tulisan Jawa kuno-yang merupakan kelanjutan tulisan Palawa-mulai
digunakan pada pertengahan abad ke-8 pada prasasti Dinoyo di Jawa Timur (760).
Tulisan itu digunakan sampai abad ke-13 dalam prasasti yang terdapat di Jawa
Timur, Jawa Barat, Bali dan Sumatera.
Tulisan yang terdapat dalam Prasasti di Bali, Madura, Bima dan Sumbawa
mendekati tulisan Jawa periode Majapahit (Jawa Tengahan) abad ke-13 sampai
dengan abad ke-15. Tulisan Jawa Tengahan itu dipakai sampai dengan akhir abad
ke-16, kemudian berkembang ke bentuk tulisan Jawa Modern. Sejak zaman itu,
tulisan Jawa hanya mengalami perubahan kecil-kecilan.
Tidak adanya prasasti di beberapa daerah di Nusantara tidalk berarti
bahwa penduduk daerah setempat belum mengenai tulisan. Tradisi untuk
menuliskan ketetapan raja pada batu atau logam di daerah-daerah itu memang
tidak ada. Ada kemugkinan bahwa tulisan itu digunakan pada bahan yang lekas
rusak seperti pada kulit kayu, lontar, bamboo, dan sebagainya. Hal itu , antara
lain, terdapat di daerah Sulawesi Selatan dan beberapa daerah di Filipina yang
pada abad ke-16 dan ke-17 masyarakatnya sudah menggunakan tulisan. Tulisan
yang dipakai di derah itu rupanya merupakan prototip tukisan Jawa Tengahan atau
sebelumnya, sebelum tulisan Arab dan Latin dekenal penduduk. Di beberapa
daerah di Sumatera seperti di daerah Batak, Bengkulu, Kerinci, Lampung dipakai
tulisan yang diperkirakan berasal dari tulisan Malaya zaman Adityawarman.
Tulisan Makasar dan Bugis di Sulawesi Selatan dan tulisan Bima di Sumbawa
Timur juga diperkirkirakan berinduk pada tulisan Sumatera. Karena Bima pernah
menjadi daerah bawahan Makasar, tulisannya juga mirip dengan tulisan Makasar.
Prasasti batu berbahasa Melayu Lama yang ditulis dengan huruf Arab
terdapat di Tregganu (abada ke-14). Batu nisan di Pasai dan sekitarnya yang
berasal dari abad ke-13 juga ditulis dengan huruf Arab. Batu nisan yang bertulisan
Arab paling tua adalah batu nisan Malikus-Saleh (1297). Batu nisan itu
didatangkan dari Gujarat India. Bentuk tulisan Arab pada batu-batu nisan itu sama
dengan bentuk tulisan Arab Parsi. Tulisan pada prasati Trengganu berbeda
dengan tulisan Arab pada kebanyakan batu nisan di Pasai. Bentuk tulisan Arab
pada Prasasti Trengganu jelas, sederhana dan fungsional karena prasasti itu berisi
undang-undanh dan peraturan yang harus dibaca oleh banyak orang. Ileh karena
itu, tulisan dalam prasasti itu dituntu supaya mudah dibaca. Tulisan Arab pada
batu nisan Pasai pada umumnya berfungsi sebagai hiasan yang mementingkan
segi keindahan (seni kaligrafi).
Di Jawa prasasti bertulisan Arab tertua adalah batu nisan anak perempuan
Maimun yang terdapat di Leran (1082), Jawa Timur. Walupun didatangkan dari
luar negeri batu nisan itu merupakan bukti telah dipakainya tulisan Arab di
Indonesia.
Huruf Arab berkembang dengan pesat melalui penulisan naskah Melayu,
Jawa, dan naskah daerah lain sesudah tahun 1500 Masehi. Berdasarkan jenis,
bentuk dan ciri khas tulisan naskah dapat ditelusuri daerah asal, waktu penulisan,
dan penulisan teks, apakah penulis atau penulisannya seorang atau lebih. Dan
tersebut berguna untuk memperkirakan seluk beluk dan sejarah terjadinya.
Dengan demikian, paleolografi memberikan sumbangan yang berharga pada
filologi.
4) Ilmu Sastra
Naskah Nusantara pada umumnya berisi teks sastra, yaitu teks yang berupa
cerita rekaan (fiksi). Misalnya, teks Melayu yang tergolong cerita pelipurlara,
cerita berbingkai, cerita jenaka, cerita wayang, cerita panji, dan cerita pahlawan
Islam. Untuk mengkaji teks seperti itu diperlukan metode pendekatan yang sesuai
dengan objeknya, yaitu metode pendekatan ilmu sastra.
Ilmu sastra telah dipelajari sejak Zaman Aristoteles. Bukunya yang
berjudul Poetika merupakan karya tentang teori sastra yang pertama. Dalam
perkembangannya, Abrams (1953) menurut penilaian Teeuw (1980) berhasil
merumuskan teori sastra itu dengan baik. Abrams membedakan empat tipe
pendekatan (kritik) tradisional terhadap karya sastra.
a. Pendekatan mimetik yang menonjolkan aspek referensial, acuan karya sastra,
dan kaitannya dengan dunia nyata.
b. Pendekatan pragmatik yang menonjolkan pengaruh karya sastra terhadap
pembaa/pendengarnya.
c. Pendekatan ekspresif yang menonjolkan penulis karya sastra sebagai
penciptaanya.
d. Pendekatan objektif yang mementingkan karya sastra sebagai struktur
otonomi, lepas dari latar belakang sejarahnya dan dari titik serta nilai
penulisnya.
Wellek dan Warren (1956) menggolongkan pendekatan (a), (b), dan (c)
sebagai pendekatan ekstrinsik, yaitu pendekatan yang mengkaji karya sastra
berdasarkan yang di luar karya sastra itu (latar belakang penciptaannya, keadaan
sekitarnya, penulisannya, sebab-sebab luarnya), sedangkan pendekatan (d)
termasuk pendekatan intrinsik, yaitu pendekatan yang mencoba menafsirkan dan
menganalisis karya sastra dengan teknik dan metode yang diarahkan kepada karya
sastra tersebut, sebagai objeknya.
Unsur-unsur yang terdapat dalam karya sastra antara lain alur, latar,
perwatakan, pusat pengisahan, dan gaya yang kesemuanya terjalin menjadi satu
struktur atau kesatuan organis. Pembahasan mengenai unsur-unsur ini termasuk
pendekatan intrinsik. Jika dalam pendekatan intrinsik itu diperhitungkan juga
kaitan antara unsur itu, tanpa memperhitungkan faktor di luar karya sastra,
pendekatan seperti itu disebut pendekatan struktural.
Selain keempat pendekatan di atas, ada satu pendekatan lagi yang akhir-
akhir ini sering dibicarakan, yaitu pendekatan reseptif, suatu pendekatan yang
menitik beratkan kepada tanggapan pembaca atau penikmat sastra, bukan
tanggapan perseorangan, melainkan tanggapan kelompok masyarakat. Teori ini
dapat diterapkan terhadap naskah Nusantara mengingat adanya tradisi penyalinan
yang tradisional. Menurut teori tradisional, penyalinan naskah dilakukan dengan
setia kepada naskah induknya dan secara vertikal, hanya menggunakan satu
naskah. Dengan demikian, varian bacaan dalam naskah saksi dipandang sebagai
suatu kesalahan. Varian-varian yang terdapat dalam naskah Nusantara agak
berlainan keadaannya. Varian bacaan ini mencerminkan adanya kebebasan
penyalin, yang berupa penambahan, penggunaan, dan perbaikan terhadap naskah
yang disalinnya. Mengingat adanya tradisi penyalinan yang demikian, setiap
naskah saksi dapat dipandang sebagai penciptaan kembali suatu teks yang telah
ada dan varian bacaan tidak dipandang sebagai bentuk korup.
Sehubungan dengan hal di atas, Julia Kristeva mengemukakan bahwa tiap
teks, termasuk teks sastra, merupakan mozaik kutipan dan penyerapan serta
transformasi teks-teks lain. Riffatere (1978) menyebut, teks yang menjadi latar
penciptaan sebuah karya sastra dengan istilah hipogram, sedangkan teks yang
menyerap dan mentransformasinya disebut teks transformasi.
Dalam sejarahnya, perkembangan karya sastra merupakan interaksi yang
terus-menerus antara kreasi dan resepsi, yang menjelma kembali dalam bentuk
kreasi baru, yang kemudian ditanggapi lagi, dan seterusnya. Penyalinan,
penyaduran, dan penerjemahan dapat disebut sebagai wujud resepsi.
Selain pendekatan di atas, dalam ilmu sastra juga ada pendekatan yang
disebut sosiologi sastra, yaitu pendekatan yang mempertimbangkan segi-segi
kemasyarakatan. Hal-hal yang diungkap antara lain:
a. Konteks sosial pengarang: bagaimana pengarang menghasilkan karya,
profesionalisme pengarang, sasaran (masyarakat) pembaca;
b. Sastra sebagai cermin masyarakat, dan
c. Fungsi sastra dalam masyarakat.
Dengan demikian, pendekatan sosiologi sastra merupakan pendekatan
ekstrinsik.
Pendektan terakhir disebut pendekatan semiotik, yang memandang sastra
sebagai gejala kemasyarakatan dan kebudayaan. Banyak peneliti sastra yang
berkeyakinan bahwa sastra tidak dapat diteliti dan dipahami secara ilmiah tanpa
memperhatikan aspek kemasyarakatannya sebagai tindakan komunikasi atau
dengan kata lain tanpa mendekatinya sebagai tanda (sign) atau sebagai gejala
semiotik.
Semiotik adalah ilmu tentang tanda. Semiotik menganggap bahwa fenomena
sosial/kemasyarakatan dan kebudayaan sistem, aturan, konvensi merupakan tanda-
tanda yang bermakna. Dalam bidang kritik sastra, penelitian semiotik meliputi
analisis sastra sebagai wujud penggunaan bahasa yang bergantung pada konvensi
tambahan dan penelitian ciri-ciri yang menyebabkan berbagai-bagai wacana
mempunyai makna.
Tokoh yang dianggap melahirkan teori semiotik ini adalah Ferdinand de
Saussure dan Charles Sanders Peirce (1839-1914). Saussure, seorang linguis,
menyebutkan ilmu ini dengan istilah semiologi (berkembang di Perancis),
sedangkan Peirce, seorang filosof, menyebut ilmu ini dengan istilah semiotik
(digunakan di Amerika).
5) Pengetahuan Agama Hindu, Budha, dan Islam
Penelurusuran tentang naskah Nusantara melalui katalogus dan karya ilmiah
menimbulkan kesan bahwa teks yang terkandung di dalamnya dipengeruhi ajaran
Hindu, Budha, dan Islam. Dalam naskah Jawa Kuna, misalnya, tampak jelas
adanya pengaruh agama Hindu dan Budha, bahkan memang berisi ajaran agama.
“Brahmandapurana” dan “Agastyaparwa” berisi ajaran Hindu dan ―Sang Hyang
Kamahayanikan‖ dan ―Kunjarakarna‖ berisi ajaran Budha. Karya Hamzah
Fansuri, Syamsuddin Assumatrani, Nuruddin Arraniri, dan Abdurrauf Singkel
berisi ajaran Islam. Dari 5.000 naskah Melayu yang dicatat Ismail Hussein dari
perpustakaan dan museum di berbagai negara yang terdiri atas 800 judul – 300
judul di antaranya merupakan karya tentang ketuhanan/keagamaan. Jumlah
naskah keagamaan itu diperkirakan akan bertambah lagi. Hal itu terbukti dari
adanya penemuan naskah keagamaan (Islam) sekitar 200 naskah – di Sri Langka
oleh Bachamiya Abdullah Hussainmiya, dosen Universitias Ceylon.
Berdasarkan gambaran kondisi naskah tersebut, jelaslah bahwa pengetahuan
tentang agama Hindu, Budha, dan Islam amat diperlukan dalam penanganan
naskah Nusantara, terutama naskah keagamaan. Naskah yang berisi ajaran tasawuf
atau mistik Islam, baik berbahasa Jawa maupun berbahasa Melayu, pada
umumnya mengandung kata dan istilah teknik agama Islam yang hanya dapat
dipahami oleh orang yang mempunyai pengetahuan agama Islam yang cukup luas.
6) Sejarah Kebudayaan
Sastra Nusantara, disamping dipengaruhi ajaran Hindu, Budha, dan Islam,
juga dipengaruhi sastra klasik India, Arab, dan Persi. Karya klasik India seperti
“Ramayana” dan “Mahabharata” muncul dalam sastra lama Nusantara,
misalnya dalam sastra Jawa Kuna “Ramayana” dan “Mahabharata” yang
kemudian disadur kedalam sastra Jawa Kuna, Jawa Tengahan, dan Jawa Baru.
Selain itu, muncul pula kreasi baru yang diilhami oleh karya klasik India atau
karya Jawa Kuna saduran karya klasik India. Dalam sastra lama Melayu pengaruh
karya klasik India muncul dalam sastra Jawa, seperti “Hikayat Sri Rama”,
“Hikayat Sang Boma”, dan “Hikayat Pandawa Lima”. Karya sastra Melayu
seperti “Abu Nawas”, “Hikayat Seribu Satu Malam”, “Hikayat Anbiya” (―Serat
Anbiya‖ dalam sastra Jawa), “Hikayat Nur Muhammad”, “Hikayat Amir
Hamzah” (―Serat Menak‖ dalam sastra Jawa), “Hikayat Ibrahim ibn Adam” dan
“Hikayat Seribu Mas‟alah” mengingatkan kita akan khazanah sastra klasik dunia
Islam, Persia, dan Arab. Hasil sastra yang berupa sastra kitab dari dunia Islam
pada umumnya hanya dikenal lewat hasil karya penulis sastra kitab Nusantara
(misalnya Nuruddin Arraniri) sebagai buku sumber atau rujukan. Namun, ada juga
karya terjemahan seperti “Ihya „Ulumuddin” karya Imam AL-Ghazali dan “Tafsir
Baidhawi” terjemahan Abdurrahman Singkel.
Dalam pengkajian secara historis terhadap karya-karya lama Nusantara
tersebut diperlukan pengetahuan sejarah kebudayaan, dalam hal ini kebudayaan
Hindu dan Islam. Lewat sejarah kebudayaan dapat diketahui pertumbuhan dan
perkembangan unsur budaya suatu bangsa. Unsur budaya yang erat kaitannya
dengan perkembangan karya sastra lama Nusantara antara lain sistem
kemasyarakatan, kesenian, ilmu pengetahuan, dan agama. Tanpa didasari
pengetahuan tentang kebudayaan Hindu, misalnya, orang tidak akan dapat menilai
dengan tepat tentang peristiwa yang dalam agama Hindu disebut patibrata, yaitu
kerelaan seorang istri untuk terjun ke dalam api pembakaran mayat suaminya
dengan disaksikan oleh anggota masyarakat lainnya. Hal itu dapat dijumpai dalam
teks “Smaradahan” atau “Kunjarakarna”.
Contoh lain bagaian teks yang pemahamannya memerlukan pengetahuan
sejarah kebudayaan ialah genealogi raja-raja Melayu. Menurut silsilah, raja-raja
Melayu secara genealogi berasal dari nenek moyang yang kelahirannya tidak
wajar, yaitu lahir dari buih, bamboo, atau turun dari langit atau peristiwa yang
berhubungan dengan air. Peristiwa semacam ini terdapat di dalam teks “Hikayat
Raja-Raja Pasat” (Putri Betung lahir dari bamboo; Merah Gajah ditemukan di
atas kepal gajah yang dimandikannya di sungai); “Hikayat Aceh” (Putri Dewi
Indra yang keluar dari bamboo); “hikayat Bajar” (Putri Junjung Buih yang lahir
dari buih, Raden Putra lahir di pangkuan Raja Majapahit yang sedang bertapa);
dan “Salasilah Kutai” (Putri Karang Melemu yang lahir dari buih dan begitu ke
luar duduk di atas gong yang dibawa ular naga, Aji Batara Agung Dewa Sakti
turun dari langit dalam bola emas).
7) Antropologi
Telah dijelaskan di muka bahwa penggarapan naskah tidak dapat dilepaskan
dari konteks masyarakat dan budaya yang melahirkannya. Untuk keperluan itu,
ahli filologi dapat memanfaatkan hasil kajian atau metode antropologi sebagai
suatu ilmu yang objek penyelidikannya manusia dari segifisiknya, masyarakatnya,
dan kebudayaannya. Masalah yang berkaitan dengan antropologi antara lain
adanya sikap masyarakat terhadap naskah yang sekarang masih dipelihara dan
dimilikinya, apakah naskah itu dipandang sebagai benda keramat atau sebagai
benda biasa.
Karya-karya pujangga keraton yang sekarang tersimpan di perpustakaan
keraton Surakarta dan Yogyakarta tampak dikeramatkan seperti benda-benda
pusaka. Tradisi caos dhahar yang berarti ‗memberi sesaji‘ dan nyirami yang
berarti ‗memandikan‘ biasanya dilakukan untuk benda-benda pusaka, dilakukan
juga terhadap naskah sastra. Tentu saja perlakuan nyirami naskah tidak dilakukan
dengan cara memandikan naskah dengan air, tetapi dilakukan dengan cara
mengain-anginkannya. Selain itu, pengeramatan atau penghormatan terhadap
naskah tercermin juga dari adanya istilah mutrani, sebagai istilah yang berarti
‗penyalinan naskah‘. Secara harfiah, istilah mutrani berarti ‗membuat putra‘. Kata
putra mengandung konotasi rasa hormat. Hasil mutrani disebut putran, yang
berarti ‗naskah salinan, naskah kopi‘. Selain itu, ada naskah magis yang
pendekatannya memerlukan informasi antropologi, seperti naskah yang
mengandung teks mantera.
Uraian di atas memperlihatkan perlunya bekal pengetahuan antropologi
dalam penanganan naskh-naskah Nusantara.
8) Folklor
Folklor merupakan cabang ilmu yang relative masih baru. Semula folklor
dipandang sebagai bagian dari antropologi. Folklor telah ada sejak pertengahan
abad ke-19. Folklor dapat dibagi menjadi dua golongan: (a) yang materinya
bersifat bahasa lisan dan (b) yang berupa upacara. Yang termasuk golongan (a)
antara lain mite, legenda, cerita asal-usul (dunia, nama tempat, binatang, tanaman,
dan sebagainya), cerita pelipur lara, dongeng, mantera, tahayul, teka-teki,
peribahasa, dan drama tradisional. Yang termasuk golongan (b) antara lain
upacara yang berhubungan dengan kelahiran, perkawinan, dan kematian.
Berdasarkan penggolongan itu, golongan (a) mempunyai kaitan erat dengan
filologi.
C. Manfaat Filologi bagi Ilmu-Ilmu Lain
Berdasarkan uraian di muka dapat diketahui bahwa objek filologi terutama
teks yang terekam dalam naskah lama. Hasil kegiatannya terutama berupa
suntingan teks. Berdasarkan metode penyuntingannya, ada beberapa jenis
suntingan, yaitu suntingan diplomatis, fotografis, dan suntingan kritis atau
suntingan ilmiah. Suntingan teks biasanya disertai catatan tentang teks atau aparat
kritik, kajian bahasa naskah, singkatan isi naskah, bahasa teks, dan terjemahan
teks ke dalam bahasa nasional jika teks tersebut tersaji dalam bahasa daerah. Jika
suntingan itu disajikan untuk dunia internasional, teks berbahasa daerah itu
diterjemahkan ke dalam bahasa internasional.
Dalam pengertian penyajian suntingan teks itulah, filologi dapat berfungsi
sebagai ilmu bantu bagi ilmu lain yang menggunakan suntingan teks sebagai
objek penelitian. Karena kandungan naskah lama itu bermacam-macam, dapatlah
dipastikan bahwa filologi dapat membantu berbagai bidang ilmu, antara lain
linguistik, ilmu sastra, sejarah, sejarah kebudayaan, ilmu hukum adat, ilmu agama,
dan filsafat. Wujud bantuannya akan diuraikan berikut ini:
1) Filologi sebagai Ilmu Bantu Linguistik
Untuk keperluan penelitian linguistik diakronik, ahli linguistik memerlukan
suntingan teks lama hasil kerja filologi dan mungkin juga memerlukan kajian
bahasa teks lama yang dihasilkan ahli filologi. Pada umumnya ahli linguistik
meyakini kaum filologi atau ahli epigrafi dalam pembacaan teks lama.
Berdasarkan hasil kerja mereka itulah, ahli linguistik menggali dan menganalisis
seluk-beluk bahasa tulis yang pada umumnya berbeda dengan bahasa sehari-hari.
Hasil kajian ahli linguistik itu juga dapat dimanfaatkan oleh para peneliti
teks/naskah lama.
2) Filologi sebagai Ilmu Bantu Ilmu Sastra
Karena banyaknya naskah yang mengandung teks sastra, dalam
perkembangan sejarahnya filologi pernah dipandang sebagai ilmu sastra.
Sebaliknya, sekarang ini karena pesatnya kemajuan ilmu sastra, filologi dianggap
sebagai cabang ilmu sastra. Bantuan filologi terhadap ilmu sastra, terutama dalam
bentuk penyajian teks suntingan dan hasil pengkajian teks yang mungkin, dapat
dimanfaatkan sebagai bahan penyusunan sejarah sastra ataupun teori sastra.
Ilmu sastra dapat bersifat universal jika dalam penyusunan teorinya
didasarkan juga pada sastra lama, bukan hanya sastra baru/modern. Konvensi
sasta baru belum tentu sama dengan konvensi sastra lama. Dengan demikian, hasil
kajian terhadap teks sastra lama akan sangat berguna dalam penyusunan teori-
teori ilmu sastra yang universal.
3) Filologi sebagai Ilmu Bantu Sejarah Kebudayaan
Selain menginventarisasi, memelihara, dan menyunting naskah, kegiatan
filologi juga mengungkap khazanah rohaniah nenek moyang, seperti tentang
kepercayaan, adat-istiadat, kesenian, dan bahasa. Berdasarkan pembacaan teks
lama, banyak dijumpai penyebutkan atau pemberitahuan adanya unsure budaya
yang telah punah, seperti istilah di bidang seni (musik), takaran, timbangan,
ukuran, dan mata uang. Semua itu merupakan bahan yang sangat berguna dalam
penyusunan sejarah kebudayaan.
4) Filologi sebagai Ilmu Bantu Sejarah
Jumlah naskah Nusantara yang dipandang berisi teks sejarah cukup banyak,
seperti “Nagarakertagama”, “Pararaton” (naskah Jawa Kuna), “Babad Tanah
Jawi”, “Babad Dipanegara”, “Babad Blambangan”, “Babad Demak” (naskah
Jawa Baru), “Sejarah Melayu”, “Hikayat Raja-Raja Pasai”, “Hikayat Banjar”,
dan “Hikayat Aceh” (naskah Melayu). Suntingan naskah jenis ini, terutama yang
menggunakan kajian filologis, dapat dimanfaatkan sebagai sumber kajian sejarah
setelah diuji berdasarkan sumber lain, seperti prasasti, batu nisan, atau candi.
Informasi historis yang tertera dalam batu nisan Sultan Malikus-Saleh tidaklah
lengkap jika tidak ditemukannya naskah “Hikayat Raja-Raja Pasai” dan
“Sejarah Melayu”.
Selain hal di atas, ilmu sejarah dapat juga memanfaatkan suntingan teks jenis
lain, bukan teks sastra sejarah, khusunya teks yang menggambarkan kehidupan
masyarakat yang tidak ditemukan dalam sumber sejarah di luar teks sastra. Dalam
“Hikayat Abdullah”, misalnya, dapat kita baca bagian teks yang berupa kritik
tajam terhadap kehidupan feudal. Teks “Undang-undang Melayu” juga
menggambarkan kehidupan masyarakat.
5) Filologi sebagai Ilmu Bantu Hukum Adat
Manfaat filologi bagi ilmu hukum adat, seperti bagi ilmu-ilmu lain, terutama
sebagai sumber data (penyedia teks). Banyak naskah Nusantara yang berisi adat-
istiadat daerah tertentu. Selain itu, dalam khazanah sastra lama Nusantara
memang banyak naskah yang berisi teks hukum, yang dalam sastra Melayu
dikenal dengan sebutan ―undang-undang‖ atau “angger-angger” di Jawa.
Penulisannya dilakukan kemudian setelah dirasakan perlunya kepastian hukum
oleh raja atau setelah adanya pengaruh Barat. Contoh teks undang-undang dalam
sastra Melayu adalah “Undang-undang Negeri Malaka” (dikenal juga dengan
nama “Risalah Hukum Kanun” atau “Hukum Kanon”, “Undangan-undang
Minangkabau”, dan “Undang-undang Bangkahulu”. Dalam sastra Jawa terdapat
teks “Raja Niti”, “Paniti Raja”, “Kapa-Kapa”, “Surya Ngalam”, “Nawala
Pradata”, dan “Angger Sadasa”. Selain “sastra undang-undang”, dalam sastra
Melayu terdapat teks “adat”, seperti “Adat Raja-Raja Melayu”. Teks-teks seperti
itu sangat bermanfaat bagi ilmu hukum adat.
6) Filologi sebagai Ilmu Bantu Sejarah Perkembangan Agama
Telah dikemukakan bahwa naskah Nusantara banyak yang mengandung teks
keagamaan. Teks Jawa Kuna pada umumnya menggambarkan kehidupan
masyarakat beragama Hindu dan Budha, sedangkan teks Melayu menggambarkan
kehidupan masyarakat beragam Islam. Pengaruh Islam dalam sastra Jawa Baru
pada umumnya melalui sastra Melayu.
Suntingan teks yang berisi ajaran keagamaan (sastra kitab) yang disertai
pembahasan isinya merupakan bahan berharga bagi penulisan perkembangan
agama. Berdasarkan teks semacam itu akan diperoleh gambaran antara lain wujud
penghayatan agama, percampuran agama Hindu, Budha, dan Islam dengan
kepercayaan yang hidup dalam masyarakat Nusantara, serta permasalahan aliran
(mazhab) agama yang masuk ke Nusantara. Masalah seperti itu termasuk masalah
yang harus ditangani ilmu sejarah perkembangan agama. Berdasarkan penjelasan
itu, penanganan sastra kitab secara filologis sangat bermanfaat bagi ilmu sejarah
perkembangan agama.
7) Filologi sebagai Ilmu Bantu Filsafat
Filsafat adalah cara berpikir logis, bebas, dan mendalam, hingga sampai ke
dasar persoalan. Berdasarkan objek pemikiran, filsafat terdiri atas beberapa
cabang, yaitu metafisika (ontology), epistemology, logika, etika, estetika, dan
sebagainya. Ada juga yang membaginya menjadi filsafat manusia, filsafat alam,
dan filsafat ilmu pengetahuan.
Renungan yang bersifat filsafat yang pernah terjadi pada masa lampau antara
lain dapat digali lewat warisan budaya lama yang berwujud teks sastra. Kehidupan
masyarakat tradisional Nusantara didominasi oleh nilai-nilai seni dan agama.
Kedatangan kebudayaan Hindu tidak mengubah prinsip hidup tersebut. Pemikiran
rasional muncul setelah datangnya Islam. Teks-teks lama terbukti mengandung
renungan-renungan filsafat yang erat kaitannya dengan seni dan agama, yaitu
estetika, etika, dan metafisika.
Pada hakikatnya semua karya sastra mengandung pandangan hidup tertentu
yang tersaji secara jelas atau samar-samar karena ungkapan batin manusia selalu
berdasar pada pemikiran filsafati. Kajian tentang renungan filsafati dalam teks
sastra secara teoretis dapat dikaitkan dengan teori Roman Ingarden tentang lapis-
lapis suatu karya sastra. Ia menyatakan bahwa karya sastra terdiri atas beberapa
lapis, antara lain lapis metafisika, yang memungkinkan adanya perenungan
filsafati suatu karya sastra. Keagungan, kesucian, kedahsyatan suatu karya sastra
menyebabkan kita untuk merenung-renungkannya atau memikirkannya. Kegiatan
itu akan melahirkan makna filsafati suatu karya sastra.
Menurut para filsuf Yunani, filsafat timbul karena adanya kekaguman yang
dilanjutkan dengan pertanyaan yang terus-menerus melahirkan jawaban. Subagio
Sastrowardoyo (1983) telah mencoba mengangkat pemikiran filsafati dalam sastra
hikayat. Ia menyatakan bahwa teks sastra hikayat banyak mengandung nasihat dan
petatah petitih yang menandakan bahwa sastra merupakan penjaga keselamatan
moralitas yang dijunjungan masyarakat pada umumnya. Moralitas yang demikian
bersumber pada keyakinan yang bersifat filsafat atau pemikiran keagamaan.
Lukisan tokoh dalam hikayat, yang terdiri atas tokoh jahat dan tokoh baik
mencerminkan pandangan hidup sederhana bahwa hidup ini pada dasarnya
merupakan pertarungan antara yang baik dan yang buruk, yang berakhir dengan
kemenangan di pihak yang baik. Dalam sastra tradisional, pandangan umum ini
berlaku secara mutlak walaupun ada sedikit perkecualian.
Menurut Al-Attas (1972:67), naskah yang berisi teks tasawuf mengandung
filsafat yang meliputi aspek ontology, kosmologi, dan psikologi. Al-Attas
memandang bahwa ilmu tasawuf merupakan filsafat Islam yang sejati. Naskah
yang mengandung teks filsafat dalam sastra Nusantara jumlahnya cukup banyak,
terutama dalam sastra Melayu dan Jawa.
Penggalian unsur filsafat dalam teks sastra Nusantara secara mendalam belum
banyak dilakukan walaupun suntingan naskahnya cukup tersedia. Sebetulnya,
sumbangan filologi kepada ilmu filsafat terutama berupa suntingan teks beserta
transliterasi dan terjemahannya dalam bahasa nasional. Suntingan seperti itu dapat
dimanfaatkan oleh ahli filsafat. Contoh teks suntingan yang dapat dimanfaatkan
oleh ahli filsafat adalah “Sang Hyang Kamahayanikan”, “Ramayana Kakawin”,
“Arjuna Wiwaha”, dan “Bomakavya” (berbahasa Jawa Kuna), “Hikayat Sri
Rama”, “Hikayat Andaken Penurat”, “Hikayat Banjar”, “Hikayat Merong
Mahawangsa”, dan “Tajussalatin” (berbahasa Melayu).
BAB II
SEJARAH PERKEMBANGAN FILOLOGI
A. Perkembangan Filologi di Eropa dan di Timur Tengah
Kebudayaan Yunani kuno sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan
masyarakat Barat pada umumnya. Dalam segala bidang kehidupan dapat
dirasakan unsure-unsur yang berakar pada kebudayaan Yunani kuno, yang aspek-
aspeknya tersimpan dalam naskah milik bangsa itu. Cabang ilmu yang mampu
menyingkap aspek yang berakar pada kebudayaan Yunani itu adalah ilmu filologi.
Oleh karena itu, ilmu filologi dipandang penting dalam menyajikan kebudayaan
Yunani kuno yang sampai kini berperan dalam memperluas dan memperdalam
pengetahuan pengenai sumber ilmu pengetahuan. Kebudayaan Yunani kuno tidak
hanya berpengaruh di dunia Barat, tetapi juga di seantero dunia.
Sejak kecil masyarakat Barat terbiasa mengenal nama-nama dewa seperti
Apollo, Pallas, Athena, Zeus, dan Hera. Para dewa dan pahlawan dalam legenda
Yunani kuno dipandang sebagai sumber kehidupan bagi pikiran dan imajinasi
orang Barat, sama halnya dengan cerita wayang dalam masyarakat yang
memegang tradisi jawa.
Para penulis Barat sering mengutip mitologi Yunani kuno apabila
memerlukan perumpamaan yang lebih menjelaskan jalan pikiran mereka. Para
sarjana dan ilmuwan sering menggunakan istilah yang didasarkan pada legenda
Yunani kuno, seperti istilah “Oedipus-complex”. Dalam dunia ilmu pengetahuan,
seperti ilmu filsafat, matematika, dan fisika banyak dikutip pendapat para
ilmuwan Yunani kuno untuk lebih menjelaskan konsep mereka. Jelaslah bahwa
mereka yang ingin mengetahui aspek tertentu dari masyarakat Barat akan
mendapat manfaat apabila mengetahui dasar-dasar kebudayaan Yunani kuno. Ilmu
filologi juga berakar pada kebudayaan Yunani kuno.
1. Filologi di Eropa
1.1. Filologi di Iskandariah
Filologi, sebagai salah satu cabang ilmu, mula-mula tumbuh dan
berkembang di kawasan Kerajaan Yunani, yaitu di kota Iskandariah, di pantai
utara Benua Afrika. Dari kota Iskandariah filologi berkembang dan meluas ke
Eropa Daratan, kemudian ke bagian dunia lain.
Di kota Iskandariah studi filologi mula-mula dilakukan oleh bangsa
Yunani sekitar abad ke-3 S.M. Bangsa Yunani itu mampu membaca teks yang
dimuat dalam naskah Yunani kuno yang ditulis kira-kira pada abad ke-8 SM
dalam huruf bangsa Funisia (asal huruf Yunani kuno). Teks-teks tersebut ditulis
pada daun papirus. Tujuan penulisan teks pada dasarnya merupakan upaya untuk
merekam tradisi lisan mereka yang telah mereka miliki sejak berabad-abad
sebelumnya. Untuk menyelamatkan teks yang terekam dalam naskah,
dilakukanlah penyalinan teks secara berulang-ulang sejak abad ke-8 SM sampai
abad ke-3 SM. Karena adanya penyalinan itulah, teks-teks itu kemudian
mengalami perubahan jika dibandingkan dengan bentuk aslinya.
Pada abad ke-3 SM kota Iskandariah dapat dikatakan sebagai pusat ilmu
pengetahuan karena kota tersebut merupakan tempat dilaksanakannya telaah
naskah dan teks oleh para ahli di bidangnya. Para pakar itu berasal dari daerah
sekitar Laut Tengah, terutama bangsa Yunani, dan dari Eropa Selatan. Pusat studi
itu kemudian berubah menjadi semacam perpustakaan dan di tempat itulah
tersimpan sejumlah naskah yang berisi berbagai ilmu pengetahuan, seperti filsafat,
ilmu kedokteran, perbintangan, ilmu hukum, dan sastra. Bangunan asli
perpustakaan itu sebetulnya adalah sebuah kuil yang digunakan untuk pemujaan.
Para peneliti naskah itu kemudian dikenal sebagai ahli filologi dan yang pertam
kali menggunakan istilah itu adalah Erastosthenes.
Pada waktu itu seorang filolog harus berwawasan luas karena untuk
memahami naskah itu harus mengenai tulisan, bahasa, dan ilmu yang
dikandungnya. Setelah dapat membaca dan memahami isinya, mereka kemudian
menulisnya kembali dengan huruf dan bahasa yang dikenal dan digunakan pada
waktu itu. Metode yang mereka gunakan adalah sebagai berikut: Mula-mula
mereka memperbaiki bacaan (huruf, kata, ejaan, bahasa, dan tata tulisannya) yang
korup (rusak), kemudian menyajikannya dalam suntingan yang mudah dibaca dan
bersih dari sesalahan. Teks yang tanpa cacat itu kemudian disalin berulang-ulang.
Selain disalin, kadang-kadang dalam salinannya diberi komentar yang berupa
tafsiran atau penjelasan lain secukupnya. Ahli filologi pada masa itu betul-betul
harus menguasai ilmu dan kebudayaan Yunani kuno dan mereka itu dikenal
dengan mazhab Iskandariah.
Selain bertujuan menggali ilmu pengetahuan dan kebudayaan Yunani
kuno, kegiatan filologi juga dipandang sebagai kegiatan perdagangan. Untuk
mencapai tujuan kedua itu, penyalinan naskah biasanya dilakukan oleh budak
belian yang pada waktu itu mudah didapat. Dengan cara demikian, penyimpangan
dari teks yang disalin mudah terjadi karena penyalin tidak memiliki kesadaran
yang tinggi terhadap keasliannya. Hasil penyalinan itu kemudian diperdagangkan
di daerah sekitar Laut Tengah.
Jika penyalinan teks yang berkali-kali itu bersumber pada naskah yang
korup, dapat dipastikan bahwa teks salinan akan makin menyimpang dari teks
aslinya. Kemudian, ahli filologi memandang perlu memperbaiki kesalahan atau
penyimpangan itu sejauh yang dapat mereka upayakan untuk menjaga
keasliannya.
Penyalinan teks dengan tulis tangan memang mudah menimbulkan bacaan
yang korup atau rusak. Hal itu terjadi (1) karena penyalin bukan yang ahli dalam
bidang ilmu yang terekam dalam teks tersebut, (2) karena ketidaksengajaan, atau
(3) karena keteledoran penyalin. Kegiatan penyalinan dan penelaahan naskah
makin lama makin meningkat dan terhenti ketika daerah Iskandariah jatuh ke
tangan bangsa Romawi pada abad ke-1 SM.
Perlu dikemukakan bahwa teks yang ditulis dengan menggunakan alas
(bahan) papirus itu berbentuk gulungan. Teks tertulis pada satu sisi (tidak bolak-
balik) dengan menggunakan benda runcing. Karena berupa gulungan, naskah
tidak bernomor halaman seperti dalam naskah berbentuk buku sehingga pembaca
sulit mengecek bagian yang telah dibacanya. Selain itu, penyimpangannya juga
memerlukan tempat yang luas dan tidak mudah. Setelah selesai dibaca, naskah
harus digulung kembali agar awal teks berada di bagian depan.
Teks-teks yang dijadikan bahan kajian para ahli filologi pada masa awal
pertumbuhannya antara lain karya Homerus, Plato, Menander, Hippocrates,
Socrates, Herodotus, dan Aritoteles. Isinya meliputi berbagai bidang ilmu,
filsafat, dan sastra yang bermutu tinggi. Hingga kini karya-karya tersebut diakui
sebagai karya agung dalam dunia ilmu pengetahuan, baik di Barat maupun di
Timur.
Setelah Iskandariah jatuh ke tangan bangsa Romawi, kegiatan filologi
berpindah ke Eropa Selatan, yang berpusat di kota Roma. Aktivitasnya
melanjutkan tradisi Yunani atau mazhab Iskandariah. Teks-teks Yunani kuno
merupakan bahan kajian utama dan bahasa Yunani merupakan bahasa kedua
mereka. Pada abad ke-1 hingga abad ke-4 Masehi kegiatan filologi mulai beralih
pada pembuatan resensi teks-teks tertentu yang berbahasa Yunani kuno. Kegiatan
ini berakhir ketika pecahnya Kerajaan Romawi menjadi Kerajaan Romawi Barat
dan Romawi Timur pada abad ke-4. Peristiwa itu ternyata mempengaruhi
perkembangan ilmu filologi.
1.2. Filologi di Romawi Barat dan Romawi Timur
Kegiatan filologi di Romawi Barat diarahkan kepada penggarapan naskah
dalam bahasa Latin yang sejak abad ke-3 SM telah digarap filologi. Naskah Latin
itu ada yang berupa puisi dan prosa, antara lain karya Cicero dan Varro. Kegiatan
ini mungkin mengikuti kegiatan filologi Yunani mazhab Iskandariah pada abad
ke-3 SM. Isi naskah itu banyak mewarnai dunia pendidikan di Eropa pada abad-
abad selanjutnya.
Tradisi Latin itulah yang dikembangkan di Kerajaan Romawi Barat dan
bahasa Latin dipakai sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Sejak terjadinya
kristenisasi di Eropa, kegiatan filologi di Romawi Barat ditunjukkan untuk telaah
teks keagamaan yang dilakukan oleh kaum pendeta. Sebagai akibatnya, naskah
Yunani ditinggalkkan. Bahkan, sering kali dipandang sebagai tulisan yang berisi
paham jahiliah dan berisi ilmu yang berkaitan dengan paham itu. Dengan
demikian, telaah teks Yunani menjadi mundur dan kandungan isinya tidak banyak
dikenal lagi.
Sejak abad ke-4 teks sudah ditulis dalam bentuk buku yang disebut codex
dengan menggunakan bahan dari kulit binatang, terutama kulit domba yang
dikenal dengan nama perkamen (perkament (bahasa Belanda) atau parchment
(bahasa Inggris). Dalam bentuk codex itu naskah diberi halaman sehingga mudah
dibaca. Selain itu, bahan perkamen juga berdaya tahan lebih lama daripada bahan
papirus.
Ketika telaah teks Yunani mulai mengalami kemuduran di Eropa Barat, di
Eropa Timur malahan mulai muncul pusat-pusat studi teks Yunani, seperti di
Antioch, Athena, Iskandariah, Beirut, Konstantinopel, dan Gaza. Kota-kota
itu merupakan pusat studi dalam bidang tertentu. Iskandariah menjadi pusat studi
filsafat Aristoteles dan Beirut menjadi pusat studi bidang hukum. Pusat-pusat
studi itu selanjutnya berkembang menjadi perguruan tinggi, suatu lembaga yang
menghasilkan tenaga ahli di bidang pemerintahan, pendidikan, dan administrasi.
Pada periode itu mulai muncul tradisi menulis tafsir terhadap isi naskah
pada tepi halaman. Catatan itu disebut scholia. Procopirus dari Gaza telah
membiasakan menulis teks yang disertai dengan scholia dengan bahan yang
diambil dari tulisan lain yang membicarakan masalah yang sama. Karena
tulisannya pada umumnya mengenai ajaran Beibel, cara penulisan seperti itu
dikenal sebagai cara baru dalam kajian Beibel.
Ketika telaah teks Yunani berkembang di Romawi Timur, dirasakan
kurangnya ahli yang mampu melakukan hal itu. Untuk mendapatkan tenaga ahli
filologi yang andal, teks-teks yang dipandang penting diajarkan di perguruan
tinggi.
1.3. Filologi pada Zaman Renaisans
Istilah Renaisans mulai dipakai dengan pengertian perubahan dalam
lapangan sejarah kebudayaan mengenai tanggapan hidup serta peralihan dari
Zaman Pertengahan ke zaman baru. Renaisans mulai berkembang di Italia pada
abad ke-13, kemudian menyebar ke negara-negara Eropa lainnya dan berakhir
pada abad ke-16. Dalam arti sempit zaman Renaisans adalah suatu zaman yang
menempatkan kebudayaan klasik sebagai pedoman hidup. Dalam arti luas,
Renaisans adalah suatu zaman yang rakyatnya cenderung berpedoman pada dunia
Yunani klasik atau kepada aliran humanisme. Renaisans mula-mula merupakan
gerakan di kalangan para sarjana dan seniman, yang selanjutnya meningkat
menjadi perubahan cara berpikir di kalangan umat beradab.
Kata humanisme berasal dari kata humaniora (bahasa Yunani) atau
umanista (bahasa Latin) yang semula berarti ‗guru yang mengelola tata bahasa,
retorika, puisi, dan filsafat‘. Karena bahan-bahan yang diperlukan itu bersumber
pada teks klasik, humanisme kemudian diartikan sebagai aliran yang mengkaji
sastra klasik yang meliputi keagamaan, filsafat, ilmu hukum, sejarah, ilmu bahasa,
kesastraan, dan kesenian.
Pada zaman Renaisans kegiatan telaah teks klasik timbul kembali setelah
berabad-abad diabaikan. Kajiannya berpijak pada kritik teks dan sejarahnya.
Pada abad ke-15 Kerajaan Romawi Timur atau Byzantium jatuh ke tangan
bangsa Turki. Peristiwa itu mendorong para ahli filologi berpindah dari Romawi
Timur ke Eropa Selatan, terutama ke kota Roma. Di tempat-tempat baru itu
mereka mendapat kedudukan sebagai pengajar atau penyalin naskah atau
penerjemah teks Yunani ke dalam bahasa Latin.
Dengan adanya penemuan mesin cetak oleh Gutenberg dari Jerman pada
abad ke-15, bidang filologi mengalami perkembangan baru. Penyalinan teks tidak
lagi dilakukan dengan tulis tangan, tetapi dengan mesin cetak dan dalam jumlah
yang banyak dan mudah. Penggandaan teks dengan mesin cetak menuntut
tersedianya, teks siap cetak dalam bentuk yang baik dan bersih dari korup. Teks
seperti itu dapat dihasilkan lewat kajian filologi secara cermat. Kritik teks perlu
penyempurnaan dengan jumlah yang lebih banyak dan penyebarannya lebih
meluas. Sejak saat itu, kekeliruan pada penyalinan teks makin berkurang, tidak
seperti penyalinan dengan tulis tangan.
Dengan didirikannya berbagai perguruan tinggi pada zaman Pertengahan
kegiatan filologi bertambah-tambah karena lembaga pendidikan tinggi itu
memerlukan teks lama untuk bahan pelajaran. Selain itu, kedudukan bahasa
Romawi, Yunani, dan Latin bertambah penting. Khusus untuk kajian Beibel
diperlukan pengetahuan bahasa Ibrani dan Arab.
Selanjutnya, dalam perkembangannya di Eropa, ilmu filologi diterapkan
juga untuk telaah naskah lama nonklasik, seperti naskah Germania dan Romania.
Untuk itu, ahli filologi dituntut untuk menguasai bahasa-bahasa tersebut. Sejak
saat itu, batas antara filologi dan ilmu bahasa (linguistik) menjadi kabur karena
kegiatan linguistik juga menelaah teks. Mulai abad ke-19 linguistik memisahkan
diri dari filologi dan berkembang menjadi bidang ilmu yang berdiri sendiri. Pada
abad ke-20 pengertian filologi di Eropa tetap seperti semula, yaitu telaah teks
klasik, sedangkan di kawasan Anglo-Sakson berubah menjadi linguistik.
2. Filologi di Kawasan Timur Tengah
Negara-negara di Timur Tengah memperoleh ilmu filsafat dan ilmu
eksakta melalui bangsa Yunani lama, yang sejak zaman Iskandar Zulkarnain telah
menanamkan kebudayaan di Mesir, Siria, dan tempat lain. Sejak abad ke-4
beberapa kota di Timur Tengah telah memiliki perguruan tinggi, pusat studi
berbagai ilmu pengetahuan yang berasal dari Yunani, seperti Gaza, pusat ilmu
oratori (oratory), Beirut dalam bidang hukum, dan Edessa dalam kebudayaan
Yunani. Karena pada abad ke-5 kota Edessa dilanda perpecahan kaum gerejani,
banyak ahli filologi dari kota itu yang berpindah ke kota lain, terutama ke
kawasan Persia. Di Persia mereka disambut baik kaum penguasa. Oleh Kaisar
Anusyirwan mereka diberi kedudukan ilmiah di akademi Jundi Syapur pusat studi
ilmu filsafat dan ilmu kedokteran. Di lembaga itu teks-teks Yunani diterjemahkan
ke dalam bahasa Siria dan dari bahasa Siria diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Kota Harra, di daerah Mesopotamia, pernah menjadi pusat studi naskah Yunani.
Penduduknya, bangsa Sabean, suatu suku bangsa yang tergolong kuno, mahir
berbahasa Arab. Tidaklah mengherankan jika di kota itu dipelajari karya-karya
Plato, Ptolomaeus, dan Galen. Teks-teks Yunani kuno itu banyak yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Siria dan Arab.
Studi teks dan ilmu pengetahuan Yunani makin lama makin berkembang
terutama pada masa Dinasti Abasiah, yaitu masa pemerintahan Khalifah Mansur
(754-775), Khalifah Harun Al-Rasyid (786-809), dan Khalifah Makmun (809-
833). Perkembangan studi teks itu mencapai puncaknya pada masa pemerintahan
Khalifah Makmun.
Di istana Khalifah Makmun berkumpul sejumlah ilmuwan dari berbagai
Negara. Mereka belajar ilmu geometri, astronomi, teknik, dan musik. Di sana
mereka mendapat tempat dan pelayanan yang baik. Mereka dibuatkan pusat studi
yang diberi nama Baitul Hikmah (‗lembaga kebijaksanaan‘), yang dilengkapi
dengan sarana perpustakaan dan observatorium.
Pada masa Khalifah Makmun itu dikenal tiga orang ahli penerjemah, yaitu
(1) Qusta bin Luqa, (2) Hunain bin Ishak, dan (3) Hubaisyi. Ketiga orang itu
beragama Nasrani.
Di antara ketiga orang itu Hunain-lah yang paling luas ilmu
pengetahuannya. Ia lahir berbahasa Arab, Yunani, dan Persia, padahal bahasa
ibunya bahasa Arab. Ia menjadi penerjemah ke dalam bahasa-bahasa tersebut
sejak berumur 17 tahun. Kemahirannya itu, mungkin, diperolehnya karena ia
tinggal di daerah multilingual. Ia mendirikan lembaga penerjemah di kota Bagdad.
Akan tetapi, tidak begitu jelas apakah teks sumbernya berbahasa Yunani atau
berbahasa Siria. Pada waktu itu di daerahnya masih banyak naskah-naskah
berbahasa Yunani. Ia rajin mencari naskah lama Yunani sampai ke Mesir, Siria,
Palestina, dan Mesopotamia.
Setelah beberapa lama, Hunain menyusun daftar naskah Yunani yang telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Siria dan Arab disertai nama penerjemahnya dan
untuk siapa naskah itu diterjemahkan. Selain itu, disusun juga daftar naskah
Yunani yang belum diterjemahkan dan tempat-tempat penyimpanannya.
Hunain juga terkenal karena kritikannya. Kritiknya terhadap hasil
terjemahan orang lain sangat tajam. Dalam kritiknya ia tidak segan-segan
menunjukkan bagian-bagian yang kurang tepat penerjemahannya dan sebab-sebab
kekurangan tepatannya, misalnya karena rusaknya naskah yang menjadi sumber
terjemahkan itu atau karena kurangnya penerjemah mengenal bahasa sumber,
terutama bahasa Yunani kuno. Di samping mengeritik penerjemah, ia juga
melakukan kritik teks dengan menggunakan sebanyak mungkin naskah yang dapat
dijangkaunya.
Bangsa-bangsa di Timur Tengah dikenal sebagai bangsa yang memiliki
dokumen lama (kuno) yang bernilai luhur, seperti karya tulis yang dihasilkan oleh
bangsa Arab dan Persia. Sebelum datangnya agama Islam, bangsa Arab dan Persia
telah memiliki karya sastra, baik prosa maupun puisi, yang mengagumkan.
Bangsa Arab jauh sebelumnya telah mengenal “Mu‟allaqat” dan “Qasidah”.
Setelah Islam berkembang, kegiatan sastra meluas ke kawasan lain di luar Negara
Arab dan mistik Islam berkembang pesat di daerah Persia pada abad ke-10 hingga
abad ke-13. Sastra mistik yang termasyhur antara lain “Mantiq At-Tair” karya
Fariduddin Attar, “Mansnawi fi M‟nawi” karya Jalaluddin Arrumi, dan
“Tarjuman al-Asywaq” karya Ibn al-„Arabi. Selainitu, puisi-puisi Umar
Khayyam, penyair Persia ternama, serta ceria “Seribu Satu Malam” yang hingga
kini masih banyak dikenal di seluruh dunia dan telah diterjemahkan kedalam
berbagai bahasa, baik bahasa-bahasa Barat maupun Timur.
Sejalan dengan datangnya bangsa Barat di kawasan Timur Tengah,
kegiatan filologi membuka peluang terhadap karya-karya agung tersebut. Sebagai
akibatnya, kandungan teks itu makin dikenal di dunia Barat dan banyak menarik
perhatian kaum orientasi Barat. Oleh karena itu, banyak teks yang diteliti oleh
mereka sehingga banyak naskah yang tersebar ke pusat-pusat studi dan koleksi
naskah di Eropa. Kajian filologi terhadap naskah-naskah dilakukan di pusat-pusat
kebudayaan ketimuran di kawasan Eropa dan hasilnya berupa teori mengenal
kebudayaan dan sastra Arab, Persia, Siria, Turki, dan sebagainya.
Pada abad ke-8 sampai dengan abad ke-15 kekuasaan Dinasti Umayah
meluas sampai ke Spanyol dan Andalusia. Hal itu membuka dimensi baru bagi
telaah karya tulis dari kawasan Timur Tengah yang masuk ke Eropa pada waktu
itu. Ilmu pengetahuan Yunani yang telah diserap bangsa Arab kembali masuk ke
Eropa dengan kemasan Islam. Banyak karya sastra Arab dan Persia dikenal di
Eropa dalam periode kekuasaan Dinasti Umayah di Eropa. Tulisan Al-Ghazali,
Ibnu al-„Arabi, Al-Farabi, Ibnu Sina, dan sebagainya merupakan bahan kuliah dan
penelitian yang menarik. Orientalis yang dikenal pada waktu itu ialah Albertus
Magnus, ahli filsafat Aristoteles, melalui tulisan Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Al-
Ghazali. Albertus Magnus mengajar di Persia pada abad ke-12.
Pada abad ke-13 Roger Bacon dan Raymon Lull belajar bahasa Arab dan
Persia untuk mempelajari filsafat Yunani. Pada abad itu Paus Clement telah
memerintahkan agar bahasa Arab, Ibrani, dan Kaldea diajarkan di universitas di
Rome, Bologne, Paris, dan Oxford sebagai alat untuk mempelajari ilmu
pengetahuan yang terkandung dalam naskah yang ditulis dengan bahasa tersebut.
Pada abad ke-13 di pusat studi Montpillier dilakukan penerjemahan tulisan Ibnu
Rusyd dan Ibnu Sina ke dalam bahasa Latin.
Pada abad ke-17 telaah teks klasik Arab dan Persia di Eropa telah
dipandang mantap, terutama did Cambridge dan Oxford. Mimbar kuliah bahasa
Arab dibuka dengan dosen terkenal, seperti Thomas Adams, Archbishop Laud,
Edward Pococke, dan Abraham Wheelock. Pada waktu itu, di samping naskah
Arab dan Persia, ditelaah pula naskah Turki, Ibrani, dan Siria. Sementera itu, di
Inggris dipelajari pula karya-karya sastra Arab, Persia, dan Turki, seperti
“Hikayat Seribu Satu Malam” dan syair-syair sufi. Syair-syair karya Umar
Khayyam deterjemahkan dalam berbagai bahasa Eropa dan disadur dalam bahasa
Inggris.
Pada akhir abad ke-18 di Paris didirikan pusat studi kebudayaan ketimuran
oleh Silvester de Sacy dengan nama Ecole des Langues Orientales Vivantes. Di
tempat itu dipelajari naskah-naskah dari Timur Tengah oleh para ahli di kawasan
Eropa sehingga melahirkan ahli-ahli orientalis Eropa terkemuka dan karangan
bermutu tentang karya-karya penulis Timur Tengah. Di antara ahli orientalis itu
adalah Etienne Quatremere (1782-1857), penanggung jawab Manuscripts
Orienteaux di Paris, yang telah menerjemahkan “Tarikh al-Mamalik” karya Al-
Maqrizi dan “Muqaddimah” karya Ibnu Khaldun ke dalam bahasa Perancis.
Selain itu, ia juga menerbitkan naskahnya yang berbahasa Arab. Ahli orientalis
kedua adalah De Slane. Ia berhasil menyusun katalogus naskah-naskah Arab yang
terdapat di Bibliotheque Nationale de Paris. Ia juga berhasil menerjemahkan
“Diwan Imru‟ul-Qais” ke dalam bahasa Perancis. Ahli orientalis yang ketiga
adalah De Sacy. Ia dipandang sebagai bapak para orientalis di Eropa atas jasanya
yang telah melahirkan orientalis-orientalis Eropa dari Ecole des Langues
Orientales Vivantes. Selain itu, ia juga telah menghasilkan banyak tulisan dalam
bidang telaah karya dari kawasan Timur Tengah pada umumnya.
B. Perkembangan Filologi di Kawasan Asia: India dan Nusantara
1. Filologi di Kawasan Asia yaitu India
Sejak beberapa abad sebelum Masehi, bangsa-bangsa Asia memiliki
peradaban yang tinggi, seperti Cina, Jepang, India, dan bangsa-bangsa di kawasan
Nusantara. Sejak bangsa-bangsa tersebut mengenal huruf, sebagian besar
kebudayaan mereka ditulis dalam bentuk naskah, semacam dokumen yang
mengandung informasi mengenai kehidupan mereka pada masa lampau.
Studi filologi terhadap naskah-naskah tersebut berhasil membuka
khazanah kebudayaan Asia dan kajian tentang naskah tersebut bermanfaat untuk
kepentingan studi humaniora di Asia pada umumnya. Hasil studi itu dapat
menyibak sejarah bangsa Asia dan kebudayaan serta dapat memperjelas
hubungannya dengan kawasan di luar Asia. Dengan demikian, dapat diketahui
pula kebudayaan lain yang pernah menjalin hubungannya dengan kebudayaan
Asia.
Bangsa India adalah salah satu bangsa yang memiliki dokumen
peninggalan masa lampau dan kebudayaannya bersifat terbuka. Keluhuran bangsa
India terungkap melalui berbagai penelitian, terutama penelitian terhadap
dokumen yang berupa prasasti atau naskah. Bangsa India telah mengadakan
kontak secara langsung dengan bangsa Yunani pada zaman Raja Iskandar
Zulkarnain yang telah mengadakan perjalanannya sampai ke India pada abad ke-3
SM. Kebudayaan India di daerah Gandhara ternyata dipengaruhi kebudayaan
Yunani. Patung Budha yang ditemukan di daerah Gandhara dipahat seperti
patung Apollo dengan memakai jubah tebal.
Perpaduan antara kebudayaan Yunani, Hindu, Budha, dan Jaina
dinamakan kebudayaan Gandhara. Kebudayaan tersebut mencapai puncaknya
pada zaman Raja Kaniska Kusana dalam tahun 78-100 Masehi. Fisafat Yunani
diduga telah mempengaruhi silogisme India. Selain itu, teori atom Empedocies
juga telah berpengaruh pada hukum atom India.
Sejak abad ke-1 mulai terjadi kontak langsung antara bangsa India dan
bangsa Cina. Pada waktu itu sekelompok pendeta Budha mengadakan perjalanan
dakwah ke Cina. Sebaliknya, sesudah itu musafir-musafir Cina melakukan
perjalanan ziarah ke tempat-tempat suci agama Budha di India. Di antara kaum
musafir Cina itu ada orang yang tercatat dalam sejarah India, yaitu Fahian yang
berkunjung ke India pada tahun 399, Hiuen-tsing pada tahun 630-645, dan I-tsing
pada tahun 671-695. Mereka telah menerjemahkan naskah-naskah India ke dalam
bahasa Cina. Bahkan, I-tsing telah menulis ringkasan delapan bab ilmu
kedokteran India dalam bahasa Cina.
Kontak antara bangsa India dengan bangsa Persia terjadi lebih awal
daripada kontaknya dengan bangsa lain karena letak kedua Negara itu berdekatan.
Namun, dokumen yang otentik tentang awal terjadinya hubungan itu tidak
memberi informasi yang mantap. Dokumen sastra yang merupakan data adanya
kontak langsung itu, antara lain, masuknya karya sastra India Pancatantra dalam
kesusastraan Persi.
Pancatantra, yang digubah pada abad ke-3 di India oleh seorang
Waisynawa atas perintah Kaisar Anusyirwan dari Dinasti Sasaniah (531-579) di
Persi diterjemahkan ke dalam bahasa Persi. Kaisar tersebut mengirimkan seorang
dokter pribadinya yang bernama Burzue ke India untuk menerjemahkan naskah
“Pancatantra”. Selanjutnya, versi “Pancatantra” dalam bahasa Persi itu berkali-
kali disalin ke dalam bahasa Persi Tengahan dan bahasa Persi Baru. Abdullah ibn
Muqaffa menerjemahkan “Pancatantra” versi Persi itu ke dalam bahasa Arab.
Hasil terjemahnya itu kemudian diberi judul “Kalila wa Dimna”.
Selain “Pancatantra”, sastra India yang disalin ke dalam bahasa Persi
adalah “Sukasaptati”. Dalam versi Persi “Sukasaptati” itu dikenal dengan judul
“Tutinameh”.
Berdasarkan telaah filologi tersebut, dapat disimpulkan bahwa kontak
langsung antara bangsa India dan bangsa Persi paling awal terjadi pada abad ke-6,
saat disalinnya “Pancatantra” ke dalam bahasa Persi.
Pada tahun 1030 Alberuni, seorang musafir Arab-Persi, berkunjung ke
India. Dalam catatannya ia menulis tentang aspek-aspek kebudayaan India, seperti
filsafat, kesastraan, tatabahasa, dan ilmu kedokteran. Diperkirakan dialah yang
pertama kali mempelajari naskah dan teks India untuk mengetahui lebih dekat
kebudayaan India itu.
1) Naskah-Naskah India
Naskah India yang dipandang paling tua adalah “Weda”, kitab suci agama
Hindu. “Weda” terdiri atas empat bagian, yaitu “Rigweda”, “Samaweda”,
“Yajurweda”, dan “Atarweda”. Kitab “Weda” diperkirakan ditulis pada abad ke-
6 SM. Isinya adalah tentang kepercayaan kepada para dewa, penyembahan
terhadap para dewa secara ritual, mantra yang mengiringi upacara keagamaan
Hindu, dan ilmu sihir.
Sesudah periode “Weda”, disusun pula kitab suci Brahmana, kitab
“Aranyaka”, dan kitab “Upanisal”. Kitab suci Brahmana berisi antara lain
tentang penciptaan dunia dan isinya, cerita para dewa, dan cerita tentang
persajian. “Aranyaka” berisi tentang petunjuk bagi petapa yang menjalani
kehidupan di hutan-hutan, sedangkan “Upanisad” berisi masalah filsafat yang
memikirkan rahasia dunia.
Selain naskah yang bernapaskan agama dan filsafat, naskah lama India
juga ada yang berbentuk wiracarita, seperti “Mahabharata” dan “Ramayana”.
Selain bentuk wiracarita (cerita kepahlawanan) ada pula karya yang berbentuk
puisi, seperti ―Harsacarita” (gubahan penyair Bana) dan “Buddhacarita”
(gubahan Aswagosa), yang berbetnuk table atau cerita binatang seperti
“Pancatantra”, “Sukasaptati” dan “Hitopadesa”, dan ada pula yang berbentuk
drama. Di samping itu, ada pula karya yang berisi ilmu pengetahuan, seperti ilmu
kedokteraan, ilmu tatabahasa, ilmu hukum, dan ilmu politik.
2) Telaah Filologi terhadap Naskah-Naskah India
Telaah terhadap naskah-naskah India yang berisi berbagai aspek
kebudayaan baru dimulai pada saat bangsa Barat tiba di kawasan itu setelah
ditemukannya jalan laut ke India oleh Vasco da Gama tahun 1498. Mereka
mengetahui kebudayaan India lewat hasil telaah filologinya terhadap naskah India
mutakhir. Berdasarkan telaah filologi itu, mereka mengenal adanya bahasa-bahasa
daerah di India, seperti bahasa Gujarati dan bahasa Bangali sebelum abad ke-19.
Pada awal abad ke-19 mereka mengetahui tentang bahasa Sansekerta dan pada
akhir abad ke-19 mereka menemukan kitab “Weda”.
Hasil kajian filologi terhadap naskah tersebut mulai dipublikasikan oleh
orang Belanda yang bernama Abraham Roger dengan judul Open Door to Hidden
Heathendom pada tahun 1651. Dia pernah tinggal di Madra dan bertugas sebagai
penyiar agama Nasrani. Karangannya itu berbicara tentang ajaran kitab suci
“Brahmana” dan berupa ikhtisar puisi penyair Bhratihari. Kemudian terbit pula
karangan dua orang Prancis, Bernier (1671) dan Tafernier (1677), tentang
geografi, politik, adat-istiadat, dan kepercayaan bangsa India.
Tatabahasa Sansekerta dalam bahasa Latin mula-mula ditulis oleh
Hanxleden, seorang pendeta berbangsa Jerman. Tatabahasa tersebut diterbitkan di
Roma pada tahun 1790 oleh Fra Paolo Bartolomeo, seorang penginjil berbangsa
Austria. Ia pernah tinggal di Malabar pada tahun 1776-1789.
Pada abad ke-18 bangsa Inggris baru memulai kegiatan filologinya di
India. Kegiatannya berawal dari adanya hasrat Gubernur Jenderal Warren
Hastings untuk menyusun kitab hukum yang bersumber pada naskah-naskah lama
bangsa India. Teks-teks hukum yang terdapat dalam naskah lama itu dikajinya dan
hasilnya diterbitkan di London pada tahun 1776. Pada tahun 1784 di kota Bengal
didirikan suatu wadah kegiatan filologi yang bernama The Asia Society oleh para
orientalis Inggris yang pada saat itu sedang bertugas di India. Di antara kaum
orientalis itu ada tiga orang yang berhasil memajukan telaah filologi India, yaitu
Sir Charles Wilkins, Sir William Jones, dan Henry Thomas Colebrooke. Pada
tahun 1785 Wilkins, yang menguasai bahasa Sansekerta, berhasil menerjemahkan
“Bagawadgita” ke dalam bahasa Inggris. Terjemahannya itu diberi judul Song of
the Adorable One. Pada tahun 1787 ia menerjemahkan “Hitopadesa” ke dalam
bahasa Inggris dan pada tahun 1808 menyusun tatabahasa Sansekerta.
William Jones, yang menjabat ketua mahkamah tinggi di Bengal sejak
tahun 1783, mendirikan The Asia Society di Calcutta. Pada tahun 1794 ia
menerjemahkan “Sakuntala” dan “Gitagowinda”, kitab hukum bangsa Manu.
William Jones yang berpendidikan formal di Universitas Oxford itu adalah orang
pertama kali menyatakan bahwa bahasa Sansekerta merupakan nenek moyang
bahasa Persi, bahasa-bahasa Germani, dan serumpun dengan bahasa Kelt.
Henry Thomas Colebrooke dipandang sebagai orang pertama yang
melakukan dasar-dasar filologi India. Dia menulis dalam bidang hukum, filsafat,
agama, tatabahasa, astronomi, dan ilmu hitung. Dia berhasil menerbitkan kamus
bahasa Sansekerta, buku tatabahasa karangan Panini, dan kitab “Hitopadesa”. Ia
juga berhasil mengoleksi naskah-naskah Sansekerta.
Pada awal abad ke-19 dikenal nama Alexander Hamilton (bangsa Inggris)
dan Friedrich Schlegel (bangsa Jerman). Mereka dipandang sebagai orang yang
memajukan studi naskah Sansekerta di Eropa. Pada tahun 1808 Friedrich Schlegel
menulis buku yang berjudul On the Language and Wisdom of the India. Ia juga
berhasil mendirikan sebuah lembaga filologi India di Jerman.
Kakaknya, August Wilhelm von Schlegel, adalah orang yang pertama kali
memberikan kuliah bahasa Sansekerta din Bonn, Jermah Barat. Sesudah itu, telaah
naskah-naskah Sansekerta di Jerman bertambah maju, melebihi tempat-tempat
lain di Eropa.
Selain ketiga orang itu, dikenal juga nama Frans Bopp. Berdasarkan
telaahnya terhadap naskah-naskah Sansekerta, ia sampai pada simpulan yang
menyatakan bahwa sistem konyugasi bahasa Sansekerta sama dengan sistem
konyungasi bahasa-bahasa di Eropa. Pendapatnya itu ditulis dalam karangannya
yang berjudul On the Conjugational System of the Sanskrit Language in
Comparison with that of the Greek, Latin, Persia, Germanic Languages. Frans
Bopp juga dipandang sebagai orang pertama yang meletakkan dasar-dasar ilmu
perbandingan filologi.
Sampai pertengahan abad ke-19 telah banyak hasil telaah terhadap naskah
karya sastra klasik India dan sastra epic. Namun, telaah terhadap kesastraan
Budha dan Weda belum banyak dilakukan.
Pada abad ke-17 kitab “Upanisad” diterjemahkan ke dalam bahasa Persi.
Pada tahun 1801-1802 hasil terjemahan itu diterjemahkan lagi ke dalam bahasa
Latin oleh seorang orientalis Prancis yang bernama Anquetil Dupperon dengan
judul Oupnek‟hat. Buku itu dipandang telah mempengaruhi dua orang ahli filsafat
Jerman, Schelling dan Schopenhauer.
Telaah filologi yang sebenarnya terhadap sasta “Weda” dilakukan oleh F.
Roesen pada tahun 1838. Hasil terbitannya berupa delapan bagian pertama kitab
“Regweda”.
Pada dasawarsa keempat abad ke-19 Rudolf Roth mengenalkan dasar-dasar
studi sastra “Weda” di Eropa. Pada tahun 1846 dia menulis On the Literature and
History of the Weda. Selain Rudolf Roth, orang yang tekun menelaah “Weda”
adalah F. max Muller, salah seorang murid F. Rosen. Dia menulis buku tentang
Regweda dalam 8 jilid. Dalam buku tersebut disertakan juga tafsiran Regweda
karya Sayana.
Dengan telah dilakukannya studi terhadap “Weda” dan kitab-kitab agama
Budha lainnya, perkembangan studi filologi di India, dari segi materi, telah
dianggap lengkap pada pertengahan abad ke-19. Sejak tahun 1850 kajian terhadap
sastra klasik India secara ilmiah telah dilakukan. Selain itu, sejumlah naskah yang
disertakan dengan kritik teks juga telah diterbitkan.
Pada tahun 1876 Albercht Weber menulis History of India Literature. Dua
orang ahli filologi Jerman, Rudolf Roth dan Bohtlingk, menyusun kamus besar
bahasa Sansekerta dalam 7 jilid.
Pada tahun 1819 Wilhelm von Schlegel menyusun daftar naskah
Sansekerta, baik yang belum disunting maupun yang telah disunting dan yang
telah diterjemahkan, yang jumlahnya mencapai puluhan. Pada tahun 1852 Weber
berhasil menyusun daftar naskah Sansekerta itu dengan jumlah sekitar 500 buah.
Pada awal abad ke-20 daftar tersebut sudah memuat beribu-ribu naskah, yang
tersimpan di berbagai pusat studi kebudayaan dan kesastraan India, baik di India
maupun di Eropa.
2. Filologi di Kawasan Nusantara
Nusantara termasuk kawasan Asia Tenggara. Sebagaimana kawasan Asia
pada umumnya, Nusantara sejak dahulu telah dikenal sebagai kawasan yang
memiliki peradaban tinggi. Hal itu terbukti dari adanya peninggalan nenek
moyang, baik berupa bahan tulisan (naskah dan prasasti) maupun benda-benda
bersejarah (alat rumah tangga, guci, patung, candi, dan lain-lain).
Di kawasan Nusantara terdapat berbagai kelompok etnis. Tiap-tiap etnis
memiliki bentuk kebudayaan yang khas, tanpa mengabaikan sifat kekhasan
kebudayaan Nusantara. Kekayaan naskah lama Nusantara dibuktikan dengan
jumlah koleksinya yang terdapat di berbagai studi kebudayaan Timur dan Barat.
1) Naskah Nusantara dan Pedagang Barat
Minat untuk menelaah naskah-naskah Nusantara mulai timbul pada abad
ke-16 setelah bangsa Barat datang di kawasan Nusantara. Adanya naskah-naskah
lama Nusantara itu mula-mula diketahui oleh para pedagang. Mereka menganggap
naskah-naskah itu sebagai barang dagangan yang mendapatkan untung besar,
seperti yang mereka kenal di Eropa, sekitar Laut Tengah, dan daerah-daerah
lainnya.
Karana adanya anggapan itu, para pedagang Barat mengumpulkan dan
membeli naskah-naskah dari perorangan ataupun dari tempat-tempat tertentu yang
mengoleksinya, seperti kuil dan pesantren. Naskah-naskah itu mereka bawa ke
Eropa, kemudian mereka jual kepada perseorangan atau lembaga yang mengoleksi
naskah lama atau yang mempunyai pusat kajian naskah lama. Naskah-naskah
Nusantara itu selalu berpindah tangan karena diperjualbelikan atau dihadiahkan.
Salah seorang pedagang Eropa yang bergerak dalam perdagangan naskah
adalah Pieter Williemsz atau Peter Floris. Pada tahun 1604 Van Elbinck,
pengusaha naskah, pernah tinggal di Aceh. Kumpulan naskahnya, antara lain,
dijual kepada Thomas Erpenius, salah seorang orientalis kenamaan dari Leiden
(1584-1624).
Tampaknya Erpenius tidak berminat mengkaji naskah-naskah Nusantara
itu karena keahliannya tentang kebudayaan Timur Tengah. Pada tahun 1632
koleksi naskah Nusantara Erpenius jatuh ke perpustakaan Universitas Oxford.
Selain Erpenius, pembeli naskah Nusantara dari para pedagang ialah Edward
Pococke, pemilik naskah tertua “Hikayat Sri Rama”. William Laud, seorang
uskup besar dari Canterbury, menghadiahkan koleksi naskah Nusantaranya
kepada Bodleian di Oxford.
Dalam kaitannya dengan naskah-naskah Nusantara tersebut, perlu dicatat
nama Frederick de Houtman, saudara laki-laki dan teman seperjalanan Cornelis
de Houtman. Minatnya yang besar terhadap kebudayaan Nusantara terbukti dari
karangannya yang berjudul Spraeck en de Woordencboek, in de Maleysche en de
Madagaskarsche Talen yang terbit tahun 1603. Buku tersebut menarik perhatian
bangsa-bangsa Eropa sehingga diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, Inggris, dan
Prancis. Berdasarkan kenyaan itu, diduga bahwa kemahiran berbahasa Melayu
Frederick de Houtman, antara lain, karena membacma dan mempelajari naskah-
naskah Melayu.
Pada zaman VOC upaya mempelajari bahasa-bahasa Nusantara hampir
terbatas pada bahasa Melayu karena dengan bahasa Melayu itu mereka sudah
dapat berhubungan dengan bangsa pribumi dan bangsa asing yang berada di
kawasan Nusantara, seperti bangsa India, Cina, Arab, dan bangsa Eropa lainnya.
Peranan para pedagang, sebagai pengamat bahasa melalui pembacaan naskah-
naskah, dilanjutkan oleh para penginjil. Mereka dikirim VOC ke wilayan
Nusantara dalam jumlah yang besar selama 2 abad pertama (abad 17-18).
2) Telaah Naskah Nusantara oleh para Penginjil
Pada tahun 1629, 30 tahun setelah kapal Belanda pertama tiba di
Nusantara, diterbitkan terjemahan Alkitab pertama dalam bahasa Melayu oleh
penerbit Jan Jacobsz, Palenstein. Penerjemahnya adalah Albert Cornelisz Ruyl.
Buku tersebut berjudul Het Nieuwe Testament in Nederduyts ende Malays, na de
Grieckscher waarheyt Overgeset-Jang Testament Baru Bersalin kepada Bassa
Hulanda dan Bassa Malaju, seperti jang Adillan Bassa Gregu. Ruyl adalah
seorang pedagang. Pada tahun 1600 ia bersama-sama dengan Jacob van Neck
datang ke Nusantara. Sebelum tahun 1600 ia telah menerbitkan buku berjudul
Spiegel van de Maleise Tale yang bersumber dari karangan Frederick de Houtman
dan beberapa terjemahan ajaran gerejani.
Dr. Melchior Leijdecker (1645-1701), seorang penginjil terkenal, menaruh
minat yang besar terhadap naskah-naskah Melayu. Terjemahan Beibelnya dalam
bahasa Melayu baru dapat diterbitkan setelah ia meninggal karena perlu
penyempurnaan dan revisi. Pada tahun 1835 jilid pertama terjemahan itu terbit.
Atas perintah Dewan Gereja Belanda, Leijdecker menyusun terjemahan
Beibel dalam bahasa Melayu tinggi. Untuk memenuhi tugas itu, dia harus
meningkatkan kemampuan bahasa Melayunya dengan cara membaca naskah-
naskah Melayu dan menuliskan karangan-karangannya dalam bahasa Melayu
pula. Akan tetapi, hingga akhir hayatnya terjemahan itu belum selesai.
Pekerjaannya itu kemudian dilanjutkan oleh penginjil lain, Petrus van den Vorm
(1664-1731).
Petrus tiba di Indonesia pada tahun 1688. Mula-mula ia ditugaskan sebagai
pendeta di Kepulauan Maluku. Ia berpendidikan Teologi dari Universitas Leiden.
Dengan diberikannya tugas missionaries di beberapa daerah memungkinkan ia
berkesempatan menulis berbagai aspek kebudayaan Indonesia. Pada tahun 1726
terbitlah karangannya yang ensiklopedik dengan judul Ouden Nieuw Oost Indien,
Vervattende een Naukkenigen en Uitvoerige Verhandelinge van Nederlandse
Mogentheyd in die Gewesten.
Karangannya itu memperlihatkan bahwa pengetahuannya tenang naskah-
naskah Nusantara cukup luas. Dalam tulisannya disebutkan beberapa judul naskah
yang diketahuinya pada waktu itu. Kemahirannya berbahasa Melayu, walaupun
bahasa Melayu rendah, bertujuan menyebarkan Beibel dan menerjemahkannya.
Dia sering menulis karangan tentang kebudayaan Nusantara. Dia juga berhasil
menyusun kamus dan buku tatabahasa Melayu yang baik. Perhatiannya terhadap
bahasa dan sastra Melayu juga cukup besar.
G.H. Werndly adalah penginjil lain yang mengakrabi bahasa dan sastra
Melayu. Pada tahun 1736 terbit karangannya yang berjudul Maleische
Spraakkunst. Dalam lampiran bukunya itu dia menyusun daftar naskah Melayu
yang diketahuinya yang berjumlah 69 naskah. Dia mempelajari naskah itu hingga
memahami isinya. Tiap-tiap naskah dibuat ringkasan isinya, walaupun sangat
pendek, dan dibuat deskripsinya.
Makin lama kedudukan VOC makin lemah. Sebagai akibatnya, dorongan
untuk mempelajari bahasa dan naskah Nusantara makin berkurang. Usaha
pengajaran dan penyebaran Alkitab diteruskan oleh Zending dan
Bijbelgenootschap. Karena menghadapi berbagai kesulitan, lembaga tersebut baru
dapat mengirim seorang penginjil Protestan, yang bernama G. Bruckner, ke
Indonesia pada tahun 1814. Ia ditempatkan di Semarang. Tugas utamanya adalah
menyebarkan ajaran Alkitab kepada masyarakat Jawa.
Agar pelaksanaan tugas tersebut berjalan lancer, Bruckner bergaul dengan
penduduk Jawa dan membaca naskah-naskah Jawa untuk mempelancar
kemampuan-berbahasa-Jawanya, baik lisan maupun tulis. Bruckner berhasil
menerjemahkan Alkitab ke dalam bahsa Jawa. Selain menerjemahkan, dia juga
menulis tatabahasa Jawa yang berjudul Proeve eener Javanaasche Spraakkunst. Buku
tersebut dicetak pada tahun 1930. Di dalam buku tersebut terdapat teks dan
terjemahan cerita Jawa dan beberapa surat dalam bahasa Jawa, sebagai bahan
bacaan. Pada tahun 1842 terbit pula kamus Bruckner yang berjudul Een Klein
Woordenboek der Hollandsche, Engelsche en avaansdie Talen.
Jika ditinjau dari segi ilmu bahasa, Nederlandsche Bijbelgenootschap (NBG)
mempunyai kegiatan penting. Lembaga itu menyanggupi akan menerbitkan
terjemahan atau tulisan Bruckner yang lain. Lembaga tersebut berpendapat bahwa
untuk menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa-bahasa lain, penerjemah harus
memiliki bekal ilmiah yang cukup dalam bidang ilmu bahasa. Ketetapan NBG itu
menuntut para penyiar dan penerjemah Alkitab yang akan dikirim ke Indonesia
untuk memiliki pendidikan akademik yang memadai. Dampak ketetapan itu
muncul karangan ilmiah dari para penginjil mengenai bahasa, sastra, dan
kebudayaan Nusantara pada umumnya. Sebaliknya, negara-negara jajahan
Belanda memperoleh dampak positif dari ketetapan NBG tersebut. Para penginjil
membantu Pemerintah jajahan Belanda itu memberi pelajaran bahasa secara
ilmiah kepada para pegawai sipil Belanda yang memerlukan keahlian itu.
Pada tahun 1824 J.V.C. Gericke, seorang penginjil yang memenuhi
persyaratan itu, dikirim NBG untuk bertugas di Indonesia. Ia ditugaskan mengajar
dalam bidang bahasa Jawa. Dia dapat membantu pemerintah mengajarkan bahasa
Jawa kepada para pegawai negeri sipil Belanda. Dia mendesak Pemerintah
Belanda untuk membuka lembaga pendidikan (institut) bahasa Jawa. Pada tahun
1832 NBG mendirikanlembaga tersebutdengannama Javaansclie Instituut. Namun,
tampaknya lembaga itu sulit maju. Akhirnya, pada tahun 1834 lembaga itu
ditutup.
Selain ke daerah berbahasa Jawa dan Melayu, NBG menugasi penginjil ke
daerah Kalimantan, Sumatra Utara, Sulawesi Selatan, Jawa Barat, dan Kepulauan
Nias. Selain menjalankan tugas dari NBG, mereka juga mengadakan penelitian dan
kajian ilmiah terhadap dokumen dan naskah berbahasa daerah tersebut. Sebagai
akibatnya, mereka mengakrabi naskah-naskah Nusantara dan menghasilkan
karangan ilmiah dalam bidang ilmu yang dikajinya itu. Mereka dipercaya sebagai
petugas yang mempunyai otoritas tentang kebudayaan setempat. Beberapa orang
terkenal di antara mereka adalah A. Hardeland (untuk bahasa Dayak), H.N. van der
Tuuk (bahasa dan Bali), B.F. Matthes (bahasa Bugis dan Makasar), G.j. Grashuis, D.
Koorders, dan S. Coolsma (bahasa Sunda), serta L.E. Denninger (bahasa Nias).
Pada umumnya tenaga-tenaga yang dikirim NBG tidak melakukan telaah
filologis terhadap naskah yang dibaca dan dipelajari bahasanya. Mereka sering
menerjemahkan naskah-naskah itu ke dalam bahasa asing, terutama bahasa
Belanda. Karena ada etnis-etnis yang belum mengenai huruf, etnis itu tidak
memiliki dokumen tertulis (naskah). Sebagai akibatnya,.kebudayaannya masih
tersimpan secara lisan. Menurut teori filologi, sastra lisan termasuk kajian f
ilologi. Oleh sebab itu, ada di antara penginjil yang mengkaji sastra lisan daerah
yang didatanginya. N. Adriani dan Knujt, misalnya, menelaah sastra lisan Toraja.
3) Kegiatan Filologi terhadap Naskah Nusantara
Hadirnya tenaga penginjil yang dikirim NBG ke Indonesia dengan bekal
ilmu pengetahuan linguistik telah mendorong tumbuhnya kegiatan penelitian
naskah dari berbagai daerah Nusantara. Mula-mula mereka mempelajari naskah
dengan tujuan mengenai bahasanya untuk kepentingan penyiaran dan
penerjemahan Alkitab. Selanjutnya, ada di antara mereka yang berminat mengkaji
naskah unttik memahami isinya. Selanjutnya, ada di antara mereka yang berminat
menyuntingnya agar naskah itu dapat diketahui kalangan yang lebih luas.
Minat meneliti naskah Nusantara juga timbul pada pengajar bahasa-bahasa
Nusantara berkebangsaan Belanda. Mereka mengajar calon pegawai sipil yang
akan dikirim ke Indonesia. Calon pegawai itu perlu dibekali pengetahuan dalam
bidang bahasa, ilmu bumi, dan ilmu bangsa-bangsa (hud, landen volkenkunde).
Mimbar kuliah untuk program tersebut mula-mula diadakan di KoninklijkeMilitaire
Academie (KNiA) di Breda dimulai pada tahun 1836 dan di Delft pada tahun 1842.
Di Akademi Breda diangkat Taco Roorda sebagai guru besar dalam bahasa Melayu,
ilmu bumi, dan ilmu bangsa-bangsa Hindia Belanda, sedangkan di Delft diangkat
Roorda van Eysinga. Akhirnya, program tersebut dipindahkart ke Fakultas Sastra
Universitas Leiden. Taco Roorda dikenai sebagai orang yang berdedikasi tinggi
dalam bidang penerjemahan Alkitab, pendidikan kepangrehprajaan, dan ilmu
pengetahuan murni.
Selain tenaga peneliti dari Belanda, banyak juga tenaga peneliti dan ahli
filologi yang berasal dari Inggris, seperti John Ijeyden, J. Logan, W. Marsden, Tlionws
Stamford Raffles, R.J. Wilkinson, R.O. Winstedt, j: Crafurd, dan Sliellebear. Dari Jerman dapat
dicatat nama Hans Overbeck.
Telaah ahli filologi terhadap naskah Nusantara antara lam berbentuk
penyuntingan dan/atau penganalisisan isinya. Pada larai awal kajian filologi
terutama berbentuk penyuntingan. Karena tenaga penyunting vang masih sangat
terbatas, kegiatan penyuntingan lebih banyak dilaknkan untuk naskah Jawa dan
Melayu. Basil suntingannya pada umumnya berupa penyajian teks dalam huruf
aslinya, yaitu huruf Jawa, huruf pegon, atau huruf Jawi dengan disertai Pengantar
atau Pendahuluan secara singkat, tanpa analisis isinva,
Contoh suntingan seperti itu adalah suntingan "Ramayana Kakawin" oleh
H. Kern (1800), "Syair Bidasari" oleh Van Hoevell (1843), Geschiedenis van Sri Rama
oleh Roorda van Eysinga (1843), dan Een Javaansche Geschnft uit de 16de Eeww oleh J.G.H.
Gunning. Suntingan taraf awal itu pada umumnya menggunakan metode intuitif
atau diplomatik.
Dalam perkembangan kajian filologi selanjutm a, naskah itu disunting
dalam bentuk transliterasike dalam huruf Latin, seperti siuitingan "Wrettasantjaja"
(1849), "Ardjoena Wiwaha" (1850), dan "Bomakmvya" (1850). Ketiga naskah itu
berbahasa Jawa Kuna dan disunting oleh R.Th.A. Friederich. Suntingan lainnya
adalah "Brata Joeda" (1850) oleh Cohen Stuart. Selain itu, H.H. ]uynboll menghasilkan
beberapa suntingan teks Maliabharata berjudul Adipanva, Oud-)avaansche Prozageschrift
(1906 dengan transliterasi huruf Latin), dan suntingan yang disertai terjemahan
berjudul
DrieBoekenvanhetOud-JavaansclieMalmbliaratainKaivi-TeksenNederlandsclieVertaling
(1893).
Kegiatan ahli filologi taraf berikutnya ialah berupa penyuntingan naskah
dengan disertai terjemahannya dalam bahasa asing, terutama bahasa Belanda. Hal
itu antara lain-dilakukan oleh /. Kats dengan suntingannya berjudul Sang Hyang
Kamahcryanikan:Oud-JavaansdietekstmetInleiding, VertalingenAanteekeningen (1910) dan
Poerbatjaraka dengan suntingannya berjudul Arjuna-WiwaJui (1926).
Pada abad ke-20 penyuntingan naskah dilakukan dengan disertai
terjemahannya dalam bahasa Inggris atau Belanda. Bahkan, yang diterbitkan
hanya berupa terjemahannya, seperti Sejarah Melayu oleh Leyden (1921), The Malay
Annals oleh C.C Brown (1952), dan Hikayat Hang Tuah oleh H. Overbeck (1922).
Telaah filologis dengan metode kritik teks, yang banyak dilakukan pada
abad ke-20, menghasilkan suntingan yang lebih mantap daripada suntingan
sebelumnya. Terbitan jenis suntingan ini banyak yang disertai terjemahan dalam
bahasa Belanda, Inggris, dan Jerman. Penyuntingan yang menggunakan
pendekatan filologi tradisional itu antara lain dilakukan oleh G.F. Pijper dengan
suntingannya berjudul Het Boek der Duizend. Vragen (1924) yang bersumber pada
naskah "Hikayat Seribu Masalah"; A. Teeuw dengan suntingannya berjudul Shair Ken
Tambuhan (1966); Siti Hawa Saleh dengan suntingannya berjudul Hikayat Merong
Mahazvangsa (1970); S. Supomo dengan judul Arjunawijaya (1977); dan Haryati Soebadio
dengan judul ]nanasiddhanta (1971).
Pada abad ke-20 juga ada terbitan ulang naskah yang pernah disunting
sebelumnya dengan rujuan menyempurnakannya. Hal itu terbukti dari adanya
terbitan primbon Jawa yang berasal dari abad ke-16. Suntingan pertama dilakukan
oleh Gunning (1881) dengan menggunakan metode diplomatik dan pada tahun
1921 suntingan itu disunting lagi oleh H. Kraemer dengan judul Een Javaansclie
Primbon uit de Zestiende Eeuw. Kemudian, pada tahun 1954 suntingan Kraemer itu
diterbitkan lagi oleh G.W.J. Drewes dengan judul yang sama. Naskah "Sunan
Bonang" yang pada tahun 1916 disunting oleh B.J.O. Schrieke dengan judul Het Boek
van Bonang, pada tahun 1969 suntingan itu diterbitkan lagi oleh Drewes dengan
judul The Admonitions ofSeh Bari. Naskah "Wirataparwa" yang pada tahun 1892
diterbitkan oleh Juynboll, pada tahun 1938 diterbitkan lagi oleh Fokker dengan judul
Wiratapanva, Opnieuxv Uitgegeven, Vertaalden Toegelicht. Demikianpula Arjunawizualia
yang pada tahun 1850 diterbitkan oleh Friederich, pada tahun 1926 diterbitkan
lagi oleh Poerbatjaraka dengan judul Arjunawiwaha.
Pada abad ke-20 juga diterbitkan naskah-naskah keagamaan, baik naskah
Melayu maupun naskah Jawa, sehingga isinya dapat dikaji oleh ahli teologi dan
sebagainya sehingga mereka menghasilkan karya ilmiah dalam bidang tersebut.
Naskah-naskah keagamaan itu lazim disebut sastra kitab. Kajian seperti itu antara
lain dilakukan oleh Naguib al-Attas tentang karya Hamzah Fansuri. Dengan
menggunakan metode kritik teks ia menghasilkan karya ilmiah berjudul The
Misticmn ofHamzah Fansuri (1970).
Berdasarkan beberapa naskah yang anonim A. Jones berhasil menyunting
naskah-naskah tersebut dan menerjemahkannya ke dalam bahasa Inggris dengan
diberi judul Malay Mysticism (1957) • Selanjutnya, berdasarkan naskah "Serat
Cabolek" S. Soebardi berhasil menyusun buku dengan judul The Boek ofCabplek
(1975).
Selain naskah yang telah diuraikan di atas, naskah yang berisi teks sejarah
juga telah banyak yang disunting dan dimanfaatkan oleh ahli sejarah. Di antara
ahli sejarah itu ialah (1) Teuku Iskandar yang menghasilkan karangan berjudul De
Flikajal Atjeh (1959) berdasarkan naskah "Hikayat Aceh"; (2) Floesen Djajadiningrat
yang menghasilkan buku berjudul Critische eschoulving van de Sadjarah Banten (1913)
berdasarkan naskah "Babad Banten"; (3) J.J. Ras yang menghasilkan buku berjudul
Hikajat Bandjar (1968) berdasarkan naskah sejarah yang berasal dari suatu kerajaan
di Kalimantan; dan (4) P.J. Worsley yang menghasilkan kajian berjudul Babad
Buleieng berdasarkan naskah sejarah dari Bali. Semua suntingan teks itu
menggunakan pendekatan kritik teks.
Selain menerbitkan suntingan naskah, kegiatan filologi lairmya adalah
menelaah naskah/teks untuk mengungkap isinya ditinjau dari berbagai disiplin
ilmu. Para peneliti naskah itu antara lain, sebagai berikut.
(1) C.A.O. van Nhiwehuijze dengan telaahnya berjudul Samsuddin van Pasai (1945)
berdasarkan naskah-naskah karya Syamsuddin, seorang ulama tasawuf di
Aceh.
(2) Doorenbos dengan kajiannya berjudul De Geschriften van Hamzah Fansoeri (1933)
berdasarkan naskah karya Hamzah Fansuri, seorang ulama tasawuf di Aceh.
(3) P.J. van Leeuwen dengan kajiannya berjudul Dc Maleische Alexanderroman (1937)
berdasarkan naskah "Hikayat Iskandar Zulkarnain".
(4) Ph.S. van Ronkel dengan telaahnya berjudul De R.oman van Amir Hamzah
berdasarkan naskah "Hikayat Amir Hamzah".
(5) W.H. Rassers dengan kajiannya berjudul De Panji Roman berdasarkan naskah-
naskah Panji Nusantara.
Telaah filologi terhadap naskah Iain—selain naskah Jawa dan Melayu—juga
telah dilakukan, baik oleh orang asing (Belanda) maupun oleh orang pribumi.
(1) H.T. Damste yang menghasilkan tulisan berjudul Hikayat Perang Sabil (1928)
berdasarkan naskah yang dituiis dalam bahasa Aceh.
(2) H.K.J. Cowan yang menghasilkan tulisan berjudul Hikayat Malem Dagang (1937)
juga berdasarkan naskah berbahasa Aceh. Kedua suntingan itu berupa
transliterasi disertai terjemahannya dalam bahasa Belanda.
(3) F.S. Eringa menyunting naskah berbahasaSundayangmenghasilkansuntingan
berjudul Loetoeng Kasaroeng: Een Mytologish Verhaal uit West-Java (1949).
(4) Edi S. Ekadjati menghasilkan suntingan berjudul Cento Dipati Ukur (1978)
berdasarkan naskah sejarah tradisional berbahasa Sunda.
(5) Hermansumantri menghasilkan suntingan berjudul Sejarah Sukapura berdasarkan
naskah sejarah tradisional berbahasa Sunda.
(6) J. Noorduyn menghasilkan suntingan berjudul Een Acht tiende Eeuwse Kroniekvan
Wadjo (1955) berdasarkan naskah-naskah Bugis.
(7) Vreede menghasilkan suntingan dengan menggunakan edisi diplomatik yang
berjudul Tjarita Brakaj berdasarkan naskah berbahasa Madura. Sebagian cerita
itu diterje mahkan oleh Teeuw ke dalam bahasa Belanda dengan judul Fragment
uit Tjarita Brakaj yang diterbitkan dalam Letterkunde van de Indische Archipel
suntingan /. Gonda (1947).
Pada periode mutakhir mulai dirintis telaah naskah-naskah Nusantara dengan
analisis berdasarkan ilmu sastra (Barat). Telaah naskah secara mendalam itu
umumnya berupa disertasi atau tesis Program Pascasarjana di berbagai fakultas
sastra. Para peneliti naskah itu antara lain sebagai berikut,
(1) Achadiati Ikram dengan kajiannya berjudul Hikayat Sri Rama: Suntingan Naskah
Disertai Telaah Amanat dan Struktur (disertasi, 1980);
(2) Sulastin Su trisno dengan kajiannya berjudul Hikayat Hang Tuah: A nalisis struktur dan
Fungsi (disertasi, 1979); ^
(3) Worsley dengan telaahnya berjudul Babad Buleleng (1972);
(4) Ras dengan telaahnya berjudul Hikajat Bandjar (1968);
(5) Brakel dengan telaahnya berjudul Hikayat Muhammad Hanafiyyah (1975).
Pada dekade berikutnya penelitian dilakukan dengan menggunakan analisis
inter teks tual atau resepsi.
(1) HendrikM.JanMaier melakukan anahsisintertekstual terhadap naskah "Hikayat
Merong Mahawangsa" dengan judul Fragment of Reading: Tlte Malay Hikayat Merong
Maliawangsa (1985).
(2) I Kuntara Wiryanviftana melakukan analisis resepsi terhadap naskah
"Arjunawiwaha'' dengan judul Arjunawiwalia; Transformasi Teks Jawa Kuna
Lewat Tanggapan dan Penciptaan di Lingkungan Sastra }awa (1987).
(3) Siti Chamamah Soeratno melakukan penelitian terhadap naskah "Hikayat Iskandar
Zulkarnain" dengan pendekatan resepsi dan menghasilkan kajian berjudul
Hikayat Iskandar Zulkarnain: Suntingan Teks dan Analisis Resepsi (1988).
(4) Imran Teuku Abdullah yang melakukan penelitian terhadap naskah "Hikayat
Meukeuta Alam" dan menghasilkan karya berjudul Hikayat Meukeuta Alam:
Suntingan Teks dan Terjemahan beserta Telaah Struktur dan Resepsinya (198?).
Dengan telah diketahuinya sejumlah naskah Nusantara dan telah tersedia teks
suntingaonya, kemungkinan untuk menyusun sejarah sastra Nusantara atau sejarah
sastra daerah makin terbuka. Itulah sebabnya, sejak tahun 1940-an terbitlah buku-
buku sejarah sastra seperti berikut. (1) A History of Malay Literature (1940) oleh
Winstedt; ( 2 ) Letterkunde van de Indische Archipel (1947) oleh Gonda; (3) Over Maleise
Literatur (1947) oleh Hooykaas; dan (4) Sejarah Kesusastraan Melayu Klassik (1982)
oleh Liaw Yock Fang.
Dengan terpeliharanya naskah dan tersedianya suntingan naskah Musantara,
minat untuk menyusun kamus berbagai bahasa daerah Nusantara juga makin
terbuka. Sejak abad ke-19 telah terbit beberapa kamus bahasa Jawa oleh tenaga
penginjil yang dikirim NBG ke Indonesia. Para penyusun kamus Jawa Kuna-
Belanda atau Jawa Kuna-Inggris itu adalah sebagai'berikut.
(1) Van der Tuuk dengan kamusnya berjudul Kawi-Balineesch-Nederlandsch Woordenboek
(1897,1912).
(2) H.}I. Juynboll dengan kamusnya berjudul Old-Javaansch-Nederlandsch Woordenlijst
(1923);
(3) P.J. Zoetmulder dengan kamusnya berjudul Old-Java-nesch-English Dictionary
(1982). .
Selain itu, ada juga kamus bahasa Melayu-Belanda atau Melayu Inggris yang
disu su n oleh peneliti berikut.
(1) H. C. Klinkert dengan kamusnya berjudul Niewo Maleish-Nederlandsch Worrdenboek
(1947);
(2) R.J. Wilkinson dengan kamusnya berjudul A Malay-English Dictionary (1959);
Kamus bahasa Jawa-Belanda disusun oleh Gericke dan Roorda dengan judul
Javaansch-Nederlandsch Handxvoordenboek (1901). Terakhir kamus bahasa Madura-
Belanda disusun oleh H.N. Kiliaan dengan judul Madoereesch-Nederlandsch Woorden-
boek (1904-1905).
Untuk lebih memantapkan pemahaman Anda tentang uraian dalam modul ini,
kerjakan latihan-latihan berikut!
1. Di kawasan Asia, studi filologi banyak dilakukan di India! Jelaskan!
2. Tersebarnya naskah-naskah Nusantara ke Eropa dilakukan oleh para pedagang
Barat. Jelaskan!
3. Dikenalnya naskah-naskah Melayu oleh bangsa Eropa sejalan dengan tugas
misionaris yang diemban para penginjil. Jelaskan!
Petunjuk Jawaban Latihan
Jika Anda telah menyelesaikan latihan itu, cocokkan hasil latihan Anda
dengan rambu-rambu berikut!
1. Bangsa India sangat kaya dengan dokumen kebudayaannya, terutama naskah
yang berupa kitab suci, baik kitab suci agama Hindu, "Weda", maupun kitab
suci Brahmana, "Aranyaka" dan "Upanisad" dan naskah eerita, seperti
"Mahabharata", "Ramayana", "Harsacarita", "Buddhacarita", "Pancatantra",
"Sukasaptati", dan "Hitopadesa". Dokumen budaya yang adiluhung itu telah
menarik perhatian kaum filolog berba gai bangsa di kawasan Asia, terutama
dari Cina dan Persi.
2. Para pedagang Barat menganggap bahwa naskah-naskah Nusantara
merupakan
baramg daganganyang mendatangkan untung besar, sebagaimana yang
terdapat
di Eropa atau di Timur Tengah. Karena adanya dugaan itu, mereka membeli
dan
mengoleksi naskah-naskah itu, lalu membawanya ke Eropa dan menjualnya
kepada lembaga atau perseorangan yang mengoleksi naskah lama.
3, Untuk mempermudah penyebaran agama Kristen, para pendeta harus
menerjemahkan kitab sucinya, Beibel, ke dalam bahasa Melayu. Untuk
memenuhi
tugas itu, para penginjil harus meningkatkan kemampuan bahasa Melayunya
dengan cara membaca naskah-naskah Melayu dan menuliskan karangannya
dalam bahasa Melayu pula.
Studi/kajian filologi di kawasan Asia oleh orang Barat dimulai setelah
terbukanya jalan laut dari Eropa ke India. Telaah filologis tersebut berkembang
dengan pesat di India karena naskah-naskah klasik India, terutama kitab suci
Hindu '' Weda" dan kitab suci Brahmana, "Aranyaka" dan "Upanisad" telah
menarik perhatian mereka.
Minat meneliti naskah-naskah Nusantara dirintis oleh para penginjil
berkebangsaan Belanda. Tenaga penyiar dan penerjemah Alkitab yang dikirim
NBG ke Nusantara harus berbekal pengetahuan banasa. Untuk mengenai bahasa-
bahasa di Nusantara, mereka lakukan dengan menelaah naskah-naskah dari
herbagai daerah Nusantara. Setelah mertguasai bahasa daerah tersebut, mereka
memulai missinya, yaitu menyiaricanajaran Alkitab kepada penduduk setempat.
Minat meneliti naskah Nusantara juga timbul di kalangan pengajar bahasa
Nusantara berkebangsaan Belanda. Mereka mengajar calon pegawai yang akan
dikiriict Ke Indonesia. Calon pegawai itu harus dibekali dengan pengetahuan di
bidang bahasa, ilmu bumi, dan ilmu bangsa-bangsa (taal, landen volkenkunde). untuk
memperdalam pengetahuan bahasa Nusantara itu, mereka terpaksa menelaah
naskah-naskah Nusantara yang mereka peroleh dari pengoleksi naskah Nusantara.
Telaah filologis yang objeknya naskah-naskah Nusantara ternyata dapat
mendorong adanya berbagai kegiatan ilmiah yang hasilnya dapat dimanfaatkan
bagi disiplin ilmu lain, terutama ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Kegiatan-
kegiatan itu sesuai dengan tujuan studi filologi, yaitu melalui telaah naskah dapat
membuka kebudayaan bangsa dan dapat mengangkat nilai luhur yang terkandung
di dalamnya.
BAB III
PENGERTIAN NASKAH DAN TEKS SERTA SITUASI
PERNASKAHAN DI INDONESIA
Sebelum masuk pada penjelasan edisi naskah dan langkah kerjanya: kritik
teks, metode penyuntingan, dan transliterasi yang menjadi inti penelitian filologi,
Anda lebih dahulu harus mengerti perbedaan antara naskah dan teks. Kedua istilah
itu dalam filologi dibedakan. Pada bagian ini kedua istilah itu akan diuraikan
pengertiannya dengan agak terperinci disertai dengan contoh. Contoh sangat
berguna untuk Anda agar pemahaman yang diterima benar-benar konkret.
Di samping pengertian naskah dan teks, pada bagian ini akan dijelaskan
pula situasi pernaskahan di Indonesia. Pengertian naskah di Indonesia mengacu
pada berbagai naskah daerah yang terdapat di Indonesia. Tiap daerah di Indonesia
mempunyai keunikan naskah tersendiri yang ditandai dengan pemakaian alas
naskah, aksara, dan bahasa daerah masing-masing. Dengan aksara dan bahasa
daerah itulah sebuah teks ditulis. Oleh sebab itu, Indonesia menjadi sangat kaya
dengan pernaskahan. Situasi pernaskahan di Indonesia yang akan diuraikan pada
kesempatan ini hanya sebatas pada gambaran sekilas tentang bahan yang
digunakan untuk menulis teks, isi teks, dan beberapa tempat yang penyimpanan
naskah-naskah berbagai daerah di Indonesia (Nusantara).
Setelah mempelajari materi ini diharapkan Anda dapat menjelaskan:
1. perbedaan makna istilah naskah dan teks sebagai suatu istilah dalam kajian
filologi.
2. situasi dari aksara pernaskahan di Indonesia.
Agar uraian ini lebih lengkap, dalam materi ini diberikan beberapa contoh
aksara daerah dan beberapa keunikan naskah yang disertai dengan ilustrasi
(gambar). Berhubung naskah Nusantara sangat banyak, dalam bagian ini akan
diuraikan tujuh daerah saja. Hal itu bukan berarti hanya tujuh daerah itu saja yang
memiliki naskah. Pemilihan itu terbatas pada kemudahan pencarian data
penelitian. Pernaskahan ketujuh daerah itu adalah naskah Melayu, naskah Batak,
naskah Lampung, naskah Bugis (Sulawesi Selatan), naskah Jawa, naskah Sunda,
dan naskah di Bima.
A. Pengertian Naskah dan Teks
Saat Anda mempelajari filologi dan Anda niendengar kata naskah, apa
yang muncul dalam benak Anda? Apakah naskah drama, naskah pidato, atau
naskah buku yang siap dicetak? Kalau kata-kata itu yang muncul, berarti Anda
salah dan Anda harus menyingkirkan pengertian vang seperti itu beberapa lama
karena dalam filologi istilah naskah berbeda dengan pengertian di atas. Kalau
begitu apa yang dimaksud dengan naskah?
Dalam filologi naskah dibedakan pengertiannya dengan teks. Teks
adalah apa yang terdapat di dalam naskah, yaitu isi naskah atau kandungan
naskah, sedangkan naskah adalah wujud fisiknya, kumpulan kertasnya. Di
bavvah ini akan diuraikan perbedaan kedua istilah tersebut dengan lebih
terperinci.
1. Pengertian Naskah
Istilah naskah dalam filologi adalah terjemahan dari codex yang berasal
dari bahasa Latin. Kata itu pada awalnya dipakai dalam hubungannya dengan
pemanfaatan kayu sebagai alat tulis karena kata itu pada dasarnya berarti 'teras
batang pohon'. Kemudian di dalam berbagai bahasa kata itu dipakai untuk
menunjukkan suatu karya klasik dalam bentuk naskah. Naskah dalam pengertian
itu adalah hasil tulisan tangan yang berasal dari abad yang lalu sebelum dikenal
mesin cetak (Mulyadi 1994:1). Ada pakar yang menyebutkan bahwa batas
minimal suatu tulisan tangan dikatakan naskah jika telah berumur di atas 100
tahun.
Sebenarnya istilah naskah seperti yang dinyatakan dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia adalah karangan yang ditulis tangan. Pengertian itu sangat
umum tidak mementingkan apakah tulisan tangan ituTarna atau bam. Pada
perkembangannya kemudian is rilahitu dalam filologi telah mengalami pergeseran
berupa penyempitan arti sehingga kata itu hanya mempunyai pengertian sebagai
karya yang ditulis tangan dan berasal dari abad yang lalu. Akan tetapi, pada
perkembangannya kemudian filologi tidak menutup kemungkinan untuk
diterapkan pada naskah cetakan. Namun, tujuan yang hendak dicapai sama dengan
filologi.
Baried (1985:54) mendef iniskan naskah sebagai tulisan tangan
yangmenyimpan berbagaiungkapanpikiran dan perasaan sebagai
hasilbudayabangsa masa lampau.
Dalam bahasa Belanda, naskah disebut handschrift dan
handschriften bentuk jamakriya yang sering disingkat dengan hss. Dalam,bahasa
Inggris naskah disebut manuscript dan manuscripts adalah bentuk jamaknya
yang sering disingkat dengan, mss. Dalam bahasa Indonesia istilah itu cukup
disebut dengan naskah saja atau kadahg-kadang ada yang menyebutnya dengan
manuskrip (ditulis sudah dengan ejaan bahasa Indonesia). Dalam buku yang
sama Zoetmulder mengatakan bahwa khusus untuk naskah Jawa Kuna, naskah
disebut haras. Naskah Jawa memakai lontar dan kertas. tradisional yang disebut
dluwang. Tentu saja kertas Eropa juga dipakai dalam naskah Jawa.,
Jadi, dari beberapa pendapat di atas dapat dikatakan bahwa naskah
mengacu pada bahan atau alas tulis naskah merupakan bentuk fisik atau bentuk
konkret, benda yang dapat dipegang atau dilihat.
Di Indonesia berbagli daerah menggunakan bahan yang berbeda untuk
menuangkan ide pikirannya ke dalam bentuk naskah-Ada yang menggunakan
Iontar (naskah yang berasal dari sejenispohonpalma), kertas (kertas tradisional
dan kertasEropa),kuhtbinatahg, kayu, dan batu.Pahkanbeberapanegara
mempunyai kekhasart dalam penggunaan naskah sebagai bahan. Gaur (1974:4—
9), di antaranya, menguraikan bahwa berbagai tulisan ada yang diabadikan di
atas bambu, seperti di Cina; daunpalma digunakan di India dan '&«a Tenggara;
papiras digunakan di Mesh"; baja, linen, dan sutra serta perkamenidjgimaj&jm
di Iran dan bagian timur lainnya; di sampmg itu rnasih ada juga beberapa iilisan
yang ditulis di atas batu-batuan, hiking, gading,. dan kulit binatang.
Jika naskah juga menggunakan batu sebagai alat tulis, kemudian timbul
pertariyaan dalam benak Anda, apa bedahya naskah dengan prasasti karena,
prasasti juga ditulis di atas batu? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, menurut
Baried ada tigabutir yang dapat membedakan naskah dan prasasti.
Pertama, naskah pada umumnya panjang karena ia dapat berbentuk
cerita, sedangkan prasasti umumnya pendek karena ia hanya memuat soal-soal
yang ringkas. Kedua, prasasti umumnya menyebutkannama penulisnya bahkan
lengkap dengan angka tahun, tetapi dalam naskah umumnyaanonim dan tanpa
penyebutan tahun penulisan. Kebga, naskah biasanya beriurhlah banyak karena
ia disahkan beberapa kali, sedangkan prasasti tidak disaliniagi. .
Selain dari bahan yang dipakai sebagai sarana tulisan seperti yang sudah
diuraikan di atas, sebenarnya apasaja yang menjadi bagian atau unsur-unsur
dalam naskah? Yang terlihat pada kita adalah naskah dalam wujud fisiknya,
seperti kertas. Namun, sebenarnya banyak unsur yang dapatdikaji dajamhaskah,
yakni semua hal yang berhubungan dengan bahan itu, misalnya alat-alat yang
dipakai untuk menulis, seperti, tinta;pensile dan pena, alas, tulis (seperti.kertas
yang meirtiliki cap kertas dan lontar), huruf, ilustrasi, uurrunasi (gambaf),
penjilidan, dan inf orrnasi Iain yang ada di luar isi teks, misalnya sejarah
pernaskahan. Tinta ada yang dibuat dari bahan-bahan tradisional, yaitu dari
berbagai tumbuhan bahkan datah bihatang, ada juga tinta Eropa. Demikian juga
dengan alat tulis, di beberapa daerahhdi dari pohon aren atau enau digunakan
sebagai alat tulis, tetapi ada juga yang sudah menggunakan alat tulis yang
dibuat oleh orang Eropa. Kajian dari proses pembuatan naskah itu merupakan
bidang kajian tersendiri, yaitu kajian pernaskahan atau istilahnya kajian
kodikologi. Mulyadi (1994) mengatakan bahwa ilmu pernaskahan adalah ilmu
yang mengkaji naskah, bukan ilmu yang mempelajari apa yang tertulis di
dalam naskah. Tugas yang dilakukan bidang kajian ini adalah sejarah naskah,
sejarah koleksi naskah, penelitian tempat (skrip torium),
masalah penyusunan katalog, penyusunan daftar katalog, perdagangan
naskah, dan penggunaan naskah. Informasi yang lebih mendalam tentang
naskah ini akan dibahas dalam modul4, yaitu tentang kodikologi atau ilmu
penaskahan. Penelitian , kodikologi belum berkembangdi Indonesia, tetapi sudah
mulai dirintis, seperti Maria Indra Rukmi (1997) Penyaiinan Naskah Melayu di
Jakarta pada Abad XIX: Naskah Algemeene Secretarie: Kajian dari segi
kodikologi dan I Kuntara Wiryamartana (BKI:149, 1993) The Scriptoria in The.
Merbabu Area.
2. Pengertian Teks
Kalau naskah adalah bentuk fisik yang dapat dipegang, teks adalah isi
yang ada dalam bentuk fisik itu yang umumnya berupa id&4de atau gagasan
yang ingin disampaikan pengarang. Untuk memperjelas definisi itu dikutip
kembali apa yang disampaikan Baried (1985;56) tentang teks. Ia mengatakan
bahwa teks adalah kandungan atau muatan naskah, sesuatu yang abstraknya yang
hanya dapat dibayangkan
saja. Perbedaan antara naskah dan teks menjadi jelas apabila
terdapafnaskah yang muda, tetapi mengandung teks yang tua. Ilustrasi yang
dibuat oleh Muiyadi (1994:3) berikut ini diharapkan dapat memperjelas
perbedaan antara naskah dan teks. Satu naskah dapat saja terdiriatas, beberapa
teks, umpamanya naskah yang berjudul Syair PerangKalwungu bernomor ML198F
yang terdapat dalam koleksi Perpustakaan Nasiohal (Sutaarga dan Jusuf et. al:
1972:241). Dalam naskah itu terdapat enam teks, yaitu (1) Hikayat Maharaja Ali,
hlm.l -33 ditulis dengan huruf Arab Melayu (Jawi) (2) Hikayat, Darma Taisiah,
him. 33-42 juga ditulis dengan huruf Jawi, (3) Hikayat Abu Samah hlm.43-67 ditulis
dengan huruf Latin, (4) Syair Kumkuma/ hlm 68-71 ditulis dengan huruf Latin, (5)
Hikayat ]entayu, h]m. 71 — 85, ditulis dengan huruf Latin,dan (6) Syair Perang
Kaliwungu, hlm.86 — 174, juga ditulis dengan huruf Latin. "
Sebaliknya satu teks dapat ditulis dalam beberapa naskah. Misalnya
Hikayat Negeri Johor ditulis dalam 8 naskah (Mu'jizah, 1996), Naskah dengan judul
Hikayat Negeri Johor itu ada dua buah yang disimpan di Perpustakaan Nasional,
Jakarta, yaitu naskah W. 192 dan haskah W 196 Jtfaskah dengan judul yang sama
terdapat juga tiga buah dalam koleksi Perpustakaan Universitas Leiden, Belahda,
yaitu bernomor Cod. Or; 1741, Cod. Qr3322,.dan H.24. Perpustakaan SQAS
(School of Oriental and Affrican Studies), London, menyimpan dua naskah, yaitu nomor
Ms.40507 dan norridr Ms. 297498, Perpustakaan Royal Asiatic Society (London,
Inggris) menyimpan satu naskah Hikayat Negeri Johor dengan nomor Malay 10.
Mengapa hal seperti itu terjadi, teks yang sama ditulis dalam beberapa
naskah atau dalam satu naskah terdapat beberapa teks, seperti yang dicontohkan di
atas? Jawabannya adalah bahwa proses terjadinya sebuah naskah atau teks
kadangkala sangat rumit. Kerumitan itu terjadi karena naskah ditulis tangan
sehingga produksinya tidak banyak, tidak sama dengan mesin cetak, satu teks
dicetak langsung dalam ratusan naskah (eksemplar).
Berikut ini digambarkan contoh terjadinya sebuah naskah atau teks. Suatu
teks dari karya seorang pengarang kadangkala tidak berhenti setelah teks itu
dicipta menjadi sebuah naskah. Kadangkala teks tersebut menempuh perjalanan
yang panjang. Suatu teks yang sudah dicipta kadangkala dijadikan dasar atau
sumber bagi penciptaan teks yang baru yang benar-benar sama dengan aslinya.
Namun, kadangkala teks itu tidak sama hasilnya atau berubah. Hal itu terjadi
karena pada saat itu sang pencipta tidak hanya menulis dengan menggunakan satu
sumber, tetapi beberapa sumber. Dari beberapa sumber itu, kemudian ia
menggabungkannya menjadi sebuah teks baru. Pada saat itu, sang pencipta sudah
menambah dan mengurangi teks yang ditulisnya sehingga terjadi teks yang sama
sekali baru. Teks baru itu tercipta karena penulis sudah mulai menambahkan
kreativitasnya ketika menulis. Berdasarkan hal itu, dalam filologi dikenal tradisi
penyalinan teks, yaitu tradisi tertutup dan tradisi terbuka. Robson (1978:39 — 40)
menyebutkanbahwa dalam tradisi terbuka penurunan naskah tidak terbatas hanya
pada satu garis (naskah) saja, sedangkan dalam tradisi tertutup penurunan naskah
terbatas hanya pada satu garis (naskah) saja. Hasil penyalinan dalam tradisi
tertutup adalah teks yang sama (merupakan varian dari satu teks) dalam beberapa
naskah, sedangkan hasil dalam penyalinan terbuka teks yang lain (versinya
berbeda) terdapat dalam beberapa naskah.
Karena diturunkan dari satu teks ke teks lain, kadangkala terjadi kesalahan
penulisan. Berdasarkan kesalahan inilah penurunan suatu teks dapat dilacak.
De Haan pada tahun 1973, melalui Robson (1978), menguraikan 3 (tiga)
kemungkinan terjadinya suatu teks.
(1) Aslinya teks hanya ada dalam ingatan pengarang atau pengelola cerita.
Penurunan cerita terjadi secara terpisah yang satu dari yang lain melalui dikte.
Teks itu terjadi apabila seseorang ingin memiliki teks tersendiri. Setiap kali
teks diturunkan terjadi variasi. Variasi itu terjadi selama pengarang
menurunkan teksnya kepada seseorang karena setiap kali mendiktekan teks
terjadi perkembangan cerita. Oleh sebab itu, variasi terjadi selama pengarang
itu masih hidup.
(2) Teks asli ada dalam bentuk tertulis yang bentuknya lebih kurang merupakan
kerangka yang masih memungkinkan atau memerlukan kebebasan seni. Dalam
hal ini, ada kemungkinan bahwa aslinya disalin begitu saja dengan tambahan
seperlunya. Kemungkinan lain ialah aslinya disalin, dipinjam, diwarisi, atau
dicu ri dan terjadilah cabang tradisi kedua atau ketiga di samping yang telah
ada karena varian-varian pembawa cerita d'imasukkan. (3) Teks aslinya
merupakan teks yang tidak mengizinkan kebebasan dalam pemba waannya
karena pengarang telah menentukan piiihan kata, urutan kata, dan komposisi
untuk memenuhi maksud tertentu yang ketat. Sehubungan dengan ketigahalitu,
dalam penurunan teks dikenaljugacampuran horizontal (horizontal contamination)
dan campuran vertikal (vertical contamination), Penurunan dalam campuran
horizontal terjadi pada tradisi terbuka, sedangkan penurunan vertikal terjadi
pada tradisi tertutup. Penurunan teks "dengan campuran horizontal terjadi jika
penyalin tidak seialu menyalin teks dari satu contoh saja. Hal itu terjadi karena
teksnya sering rnenunjukkan ketidaksempurnaan, maka penyalin mencari
sumber-sumber lain dan penyalin mengambilnya juga sebagai sumber
penyalinan. Kemudian ia memilih bacaan yang baik atau bagian-bagian
tertentu yang menarik lain memasukannya ke dalam teks yang disalinnya.
Penurunan teks dengan campuran vertikal adalah jika penyalin menyalin teks
berdasarkan satu sumber saja. Penyalin dengan setia menyalin sumber itu apa
adanya, termasuk menyalin kesalahan-kesalahan dalam teks sumber tersebut.
Hasilnya satu naskah yang hampir sama dengan naskah turunannya.
(a) contoh campuran horizontal
(b) contoh campuran vertikal
A
B
C
Setelah rrtengetahui tradisi penurunan teks, kita kembali pada esensi
sebuah teks. Bagaimanakah bentuknya dan apa saja isinya? Kalau
melihatbentuknya, teks dapat berbenmk puisi (tembang untuk Jawa, syair dan
pantun untuk Melayu) dan prosa. Keduanya mempunyai aturan-aturan tertentu,
pantun misalnya dalam teks Melayu terdiri atas 4 larik. Larik 1 dan 2 berisi
sampir^an dan larik 3 serta 4 merupakan isinya. Pantun juga mempunyai rima
tertentu a-b-a-b. Demikian pula dengan puisi (tembang) dalam teks Jawa yang
mempunyai matra tertentu, misalnya mempunyai guru wilangan dan guru lagu.
Bentuk sebuah teks menarik untuk dikaji oleh masyarakat masa kini,
begitu juga halnya dengan isi teks atau gagasan yang ada dalam sebuah teks. Apa
yang dapat disumbangkan teks itu bagi kehidupan masyarakat saat ini? Banyak
naskah Nusantara yang membicarakan sejarah masa lalu. Data itu sangat penting
untuk merangkai sejarah suatu daerah, misalnya Hikayat Bandjar (Melayu) dapat
dipakai untuk penyusi man sejarah daerah Banjarmasin, Sejarah Melayu dapat
dipakai untuk penyusunan s ejarah masyarakat Melayu. Demikian juga dengan
Hikayat Radja-Radja Pasai, i&i dalam hikayat itu dapat mengungkap dan
mengidentifikasikan sebuah makam yang ada di daerah Pasai. Babad Buleleng dapat
dipakai untuk mengungkap sejarah masyarakat Bali, Hikayat Dipati Ukur untuk
melihat sejarah dan tokoh sejar. ah dari masyarakat Sunda, Kaba Minagkabau juga
dapat mengungkap data tentang masyarakat Minangkabau pada masa lalu. Masih
sederet teks yang dapat mengungkap sejarah daerah masing-masing. Apakah
daerah Anda kira-kira memiliki naskah sejenis itu? Kalau memilikinya, naskah itu
menarik untuk diteliti karena di dalam naskah itu terdapat teks yang mengandung
data sejarah masa lampauyang da pat dipakai untuk merekonstruksi sejarah masa
kiniyang merupakan lanjutan dari sejarah masa lalu. Akan tetapi, satu hal yang
harus diingat dalam penggunaan tek s sebagai data sejarah, yaitu peneliti harus
berhati-hati sekali walau bagaimana pun karya-karya tersebut sudah memadukan
antara fakta dan fiksi, antara kenyataai Y dan dunia rekaan. Untuk itu, diperlukan
dokumen-dokumen lain sebagai pembanding untuk membuktikan unsur
sejarahnya.
Anda masih mengingat cerita-cerita lucu peninggalan nenek moyang kita?
Cerita Pak Belalan g berasal dari Melayu, Joko Bodo berasal dari Jawa, dan Si Kabayan
dari Sunda. Cerita-cerita itu pada dasarnya bukan hanya bersif at menghibur
karena kelucuan tingkah laku tokohnya, tetapi juga dapat bersifat mendidik
pembaca. Sama halnya dengan cerita-cerita binatang yang sangat cerdik yang
ditemukan dalam Hikayat Sang Kancil dan Hikayat Pelanduk Jenaka dari Melayu.
Selain kedua h al di atas, naskah undang-undang juga sangat penting
diketahui karena kalau undang-undang itu digunakan dan penting pada
masyarakat masa lampau berarti undang-undang itu penting juga diketahui bagi
masyarakat masa kini. Dalamkhazanvh Melayu banyak ditemukannaskah-naskah
seperti itu, Undang-Undang Malaka, Ado t-adatRaja Melayu, dan Undang-undang Palembang.
Masyarakat Minangkabau pun memiliki undang-undang untuk mengatur segala
aspek kehidupan masyara katnya di masa lalu, seperti Undang-undang Minangkabau.
Bahasa sebagai sarana pengungkap ide juga dapat diteiiti dalam teks-teks
lama.
Bahasa dengan struktur yang bagaimana yang mereka gunakan dulu? Untuk
keperluan itu, beberapa pakar bahasa juga banyak yang tertarik dengan teks,
terutama untuk melihat sejarah perkembangan bahasa. Suwarso (1991) pernah
mengkaji struktur gramatika bahasa Melayu Jama dalam Hikayat Abu Samah. Tiga
hal yang menjadi perhatiannya, yaitu (1) penggunaan partikel penghubung, seperti
mdka, kemudian maka, kalakian maka; (2) konstruksi kalirnat yang menggunakan
partikel pun dan lah; (3) penggunaan klausa dan f rasa. Konstruksi seperti itu
apakah
masih digunakan dalam bahasa Indonesia saat ini? Hal itu merupakan pertanyaan
yang patut dijawab oleh pakar bahasa yang menekuni sejarah perkembangan suatu
baliasa. '
Naskah yang teksnya berisi masalah keagamaan juga sangat banyak
diperha tikan peneliti, baik dari dalam maupun dari luar negeri. Dalam naskah
keagamaan tersimpan sejarah pemikiran dan pandangan hidup suatu bangsa
Kehidupan sastra keagamaan di Aceh pada abad ke-17, misalnya, banyak
mengundangbeberapa peneliti karena di daerah itu hidup empat orang suf i yang
terkenal, yaitu Shamsuddin as-Suma Irani, Hamzah Fansuri, Abdul Rauf Singkel,
dan Nurudin ar-Raniri. Perdebatan pendapat di antara mereka tentang hubungan
antara manusia dan Tuhan banyak direkam dalam karya-karya mereka. Abdul
Hadi W.M. (1995), misalnya, tertarik dengan kehidupan Hamzah Fansuri dan
kepenyairannya. Ia meneliti penyajr itu. Penelitiannya diberi judul Hamzah Fansuri:
Risalah Tasawuf dan Pitisi-pu isinya. Buku itu memberikan gambaranyang luas
tentang penyair itu, mulai dari kehidupannya sampai dengan pemikiran-
pemikirannya.
Teks-teks yang berbentuk cerita, seperti beberapa karya yang sudah
disebutkan di atas banyak juga dikaji dengan berbagai pendekatan tergantung
pada teksnya. Teks sastra misalnya dikaji dengan pendekatan struktural.
Pendekatan ini lebih banyak menyoroti teknik penceritaan, misalnya alur, tokob
dan penokohan, latar, sudut pandang. Kalau teks berbentuk puisi yang diteiiti
biasanya gaya bahasa, perlambangan, dan rima, atau stilistikanya. Di samping itu,
masih banyak lagi pendekatan lain yang dapat diterapkan. Berbagai kajian atas
naskah dengan berbagai pendeka tan yang pernah diterapkan terhadap berbagai
teks Nusantara akan dibahas khusus pada modul 6, yaitu aneka edisi naskah
Nusantara dan kajiaroiya.
Setelah mengetahui uraian di atas, tentunya Anda yang berasal dari
berbagai daerah di Indonesia juga memiliki khazanah kesastraan dari masa lalu.
Dari berbagai naskah itu banyak butir penting yang patut Anda gali untuk
kepentingan daerah Anda masing-masing. Untuk itu, cobalah meneliti dan
menggali isinya.
Setelah Anda mengikuti uraian di atas dan memahaminya, di bawah ini
diberikan beberapa pertanyaan sebagai latihan. Latihan ini dapat dipakai sebagai
titik tolak keberhasilan Anda dalam memahami materi.
1) Apa yang Anda ketahui tentang naskah?
2) Jika Anda tertarik dengan naskah, apa saja yang dapat Anda kaji?
3) Apa yang Anda ketahui tentang teks?
Petunjuk jawaban Latihan
Jika Anda telah selesai mengerjakan jawaban dari beberapa pertanyaan di
atas, periksalah kembali jawaban Anda dengan memperhatikan rambu-rambu
jawaban di bawah ini.
1) Naskah merupakan terjemahan dari codex yang berasal dari bahasa Latin. Kata
itu berarti 'teras batang pohon' dan dipakai dalam hubungan dengan
penianfaatan kayu sebagai alat tulis. Kemudian di dalam berbagai bahasa kata
itu mengacu pada suatu karya klasik dalam bentuk naskah. Dengan begitu,
pengertian naskah dapat diartikan sebagai hasil tulisan tangan yang berasal
dari abad lalu sebelum dikenal mesin percetakan. Tulisan tangan itu
digoreskan di atas sebuah alas yang disebut dengan naskah. Alas naskah itu
bermacam-macam bahan dasarnya, ada yang berasal dari kayu, kulit, bambu,
dan kertas. Dengan begitu, naskah adalah sesuatu yang dapat dipegang dan
bentuknya konkret. Dalam bahasa Belanda naskah disebut dengan handschrif,
sedangkan dalam bahasa Inggris disebut dengan manuscript.
2) Jika ingin mengkaji naskah, kita dapat memperhatikan beberapa unsur yang
berhubungan dengan naskah, seperti alas naskah, alat yang dipakai untuk
menulis, huruf, cap kertas, ilustrasi, iluminasi, penjilidan, sejarah pernaskahan,
penyalin, dan tempat-tempat penyalinan (skriptorium), serta informasi lain
yang ada di luar isi naskah.
3) Yang dimaksud dengan teks adalah isi naskah atau kandungan yang ada dalam
naskah, yaitu berupa ide atau gagasan yang ingin disampaikan pengarang.
Teks adalah sesuatu yang abstrak yang hanya dapat dibayangkan saja.
Dalam bagian ini diuraikan dua istilah dasar yang dikenal dalam filologi.
Kedua istilah itu adalah naskah dan teks. Naskah adalah hal yang konkret yang
dapat dipegang, misalnya alas tulis (kertas) yang dipakai untuk menulis. Di atas
alas itulah seorang pengarang menuangkan gagasan-gagasannya.
Yang menjadi unsur dalam naskah adalah hal yang berkaitan dengan fisik
naskah, misalnya alas naskah yang digunakan (kertas, kayu, bambu), tinte, pensil,
dan pena, huruf, kolofon, ilustrasi, Uuminasi (gambar), penjilidan, dan informasi
lain yang ada di luar isi teks, misalnya sejarah pernaskahan. Tugas yang dilakukan
bidang kajianini adalah sejarah naskah, sejarah koleksi naskah, penelitian tempat-
tempat penyalinan naskah (skriptorium), masalah penyusunan katalog,
penyusunan daftar katalog, perdagangan naskah, dan penggunaan naskah.
Teks adalah isi atau kandungan yang ada dalam naskah. Kandungan itu
berupa ide atau gagasan yang ingin disampaikan pengarang. Oleh sebab
itu,Uiksbersifatabstrakyanghanyadapatdibayangkansaja.Teksbermacam-macam,
ada yang berisi sejarah, keagamaan, bahasa, cerita, silsilah, adat-istiadat. Dalam
kajian teks digunakan berbagai pendekatan sesuai dengan sifat teks.
Indonesia terdiri atas berbagai daerah dengan ragam bahasa dan aksaranya.
Dengan demikian Indonesia sangat kaya dengan naskah. Di Sumatra terdapat
naskah-naskah dengan aksara dan bahasa masing-masing, seperti Aceh, Batak,
Minangkabau, Kerinci, Riau, Siak, Palembang, Bengkulu, Pasemah, dan
Lampung. Demikian pula di Kalimantan, naskah ditemukan di daerah Sambas,
Pontianak, Banjarmasin, dan Kutai. Pulau Jawa memiliki naskah di daerah
Banten, Jakarta, Pasundan, Cirebon, Yogyakarta, Surakarta, Gresik, Madura dan
beberapa daerah pegunungan di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di Bali naskah
masih terus dibuat di hampir seluruh daerah. Nusa Tenggara Barat juga memiliki
naskah, seperti Lombok, Bima, Sumbawa, dan Dompu. Di sepanjang kepulauan
Indonesia Timur naskah ditemukan di Ternate dan Ambon. Di Sulawesi naskah-
naskah ditemukan di daerah Bugis, Makasar, dan Buton.
Dari sekian banyak kekayaan pernaskahan Indonesia, di mana sajakah
naskah tersebut disimpan? Pada saat ini naskah-naskah di atas penyimpanannya
yang pasti tersebar di berbagai tempat, baik di dalam maupun di luar negeri. Di
dalam negeri naskah-naskah daerah disimpan di berbagai perpustakaan dan
lembaga resmi milik pemerintah dan swasta. Selain itu, beberapa penduduk atau
perorangan juga memiliki naskah yang mereka simpan di rumah mereka. Naskah
yang mereka miliki biasanya merupakan warisan dari orang-orang tua mereka
terdahul. Naskah yang disimpan dan menjadi milik lembaga pemerintah atau
swasta mungkin tidak terlalu mengkhawatirkan pemeliharaannya. Mereka sudah
memperhatikan pemeliharaan itu dan mereka mempunyai dana khusus untuk
keperluan itu. Namun, naskah yang menjadi milik pribadi atau perorangan yang
tersebar luas di masyarakat inilah yang sangat mengkhawatirkan. Naskah yang
harus disimpan di tempat khusus, disimpan di tempat yang tidak layak untuk
naskah. Bahkan ada yang menyimpannya dengan membungkusnya dalam plastik.
Dengan begitu, naskah menjadi cepat rusak. Naskah agar terpelihara dengan baik
dan tidak cepat punah dimakan ngengat (sejenis serangga pemakan buku) disimpan
pada suhu tertentu.Yang menyedihkan lagi sampai saat ini masyarakat berbagai
daerah di Indonesia masih menganggap naskah itu sebagai barang keramat. Untuk
membacanyasajaperludiadakahupacara. Akibatnya, naskah jarangdibuka sehingga
kemushahannya semakin tinggi.
Jakarta, ibukota negara, mempunyai satu tempat penyimpanan naskah,
yakni Perpustakaan Nasional. Berbagai naskah daerah disimpan di perpustakaan
ini dengan a man. Di tempat itu disimpan 9.626 naskah yang ditulis dalam
berbagai bahasa dan aksara, seperti Aceh, Bali, Batak, Jawa,Jawa Kuna, Madura,
Melayu, Sunda, dan Ternate.
Perpustakaan Nasional, saat ini, terletak di Jalan Salemba Rava, Jakarta.
Pemakaiannya baru diresmikan pada tahun 1989. Perpustakaan itu memiliki ruang
khusus di lantai V yang menyimpan berbagai naskah daerah tersebut. Naskah-
naskah itu sebelumnya disimpan di Perpustakaan Museum Pusat atau Gedung
Gadjah, Jalan Merdeka Barat, Jakarta. Naskah itu pada awalnya milik Bataviaasch
Genootschap van Kunsten enWetenschappen. Dalam Pedcman Singkat Mengoendjoengi
Moeseoem (1948:7 — 33) dijelaskan bahwa pada akhir abad XVII di Eropa tampak
adanya suatu kegiatan dan pembaruan dalam bidang ilmu. Sehubungan dengan
itu, di berbagai negara didirikan perkumpulan-perkumpulan sarjana. Dari
perkumpulan yang ada di Belanda didirikan satu cabang di Batavia (Jakarta) tahun
1778, yaitu Bataviaasch Genootsclmp van Kunsten en Wetenschappen.
Menurut Van Ronkel (1909:1 — IV) koleksi naskah di gedung itu berasal
dari berbagai sumber, di antaranya adalah naskah-naskah yang disusun dalam
katalogus Cohen Stuart tahun 1871. Pada tahun 1875 koleksi bertambah lagi.
Tambahan itu dibuat daftarnya oleh Van den Berg. Di samping itu, Von de Wall
juga menghibahkan koleksmya ke perpustakaan tersebut di atas.
Bukan hanya di dalamnegeri saja naskah-naskah Indonesia disimpan,
melainkan juga di luar negeri, seperti Inggris, Belanda, Perancis, Amerika,
Jerman, dan Malaysia. Bagaimana naskah-naskah itu sampai tersebar ke berbagai
negara di atas? Penyebaran naskah itu dilakukan dengan berbagai cara. Inggris
misalnya, dalam perjalanan sejarah Indonesia, pernah menjajah sebagian kawasan
.Asia Tenggara, termasuk Indonesia dan Malaysia. Berdasarkan sejarah masa
lampau itulah naskah-naskah dari kedua negara itu sangat banyak dikoleksi di
negara itu. Naskah-naskah yang tersimpan di Inggris dicatat dengan teliti dalam
katalog vang disusun oleh Ricklefs dan Voorhoeve (1977), Indonesian Manuscripts in
Great Britain: A Catalogue of Manuscripts in Indonesian Languages in British Public Collection.
Dalam katalogus itu tercatat 1.200 naskah yang disimpan pada tempat yang
tersebar di kota-kota di negara itu, di antaranya Bristol, London, Cambridge,
Eidenburgh, Manchester, Oxford, dan Glasgow.
Sama halnya dengan Inggris, Belanda pun pernah menjajah Indonesia.
Oleh sebab itu, naskah-naskah Indonesia sangat banyak tersimpan di sana.
Katalog yang mencatat naskah-naskah Indonesia di Belanda, di antaranya katalog
yang disusun oleh Juynboll (1899), Catalogus van de Maleische' en Sundaneesche
Handschriften der Leidsche Universiteits Bibliotlieek dan katalog yang disusun oleh Van
Ronkel (1909) Catalogus der Maleische en Minangkabausclie Handschriften in de Ixidsdie
Universiteits-
Bibliotheek. Katalog yang paling baru yang mencatat koleksi naskah di
Belanda adalah yang disunting oleh Wieringa (1998) Catalogue of Malay and
Minangkabau Manuscripts: In the Library of Leiden University and other
Collections in the Netherlands. Naskah-naskah yang dicatat dalam katalog itu
disimpan di Perpustakaan Universitas Leiden. Selain di tempat itu, Perpustakaan
KITLV ( Koninklijk Instituut voor Taal Land en Volkenkunde) juga
merupakan tempat penyimpanan naskah-naskah Indonesia di Belanda.
Untuk mengetahui naskah kekayaan Indonesia, berikut ini diuraikan
beberapa situasi pernaskahan daerah. Karena beragamnya naskah daerah, dalam
bagian ini hanya akan diuraikan beberapa daerah saja. Seperti yang sudah
diuraikan di atas daerah di Indonesia sangat banyak yang memiliki naskah. Dalam
uraian ini diambil beberapa naskah daerah yang pernah diteiiti oleh pakar.
Berdasarkan penelitian itulah situasi pernaskahan disusun. Naskah itu adalah
Melayu, Batak, Lampung, Bugis, Jawa, Sunda, dan E5ima. Bahasa Melayu
penyebarannya sangat luas sehingga terdapat di berbagai daerah di Indonesia.
Oleh karena itu, naskah Melayu akan diuraikan pada bagian awal, kemudian
disusul dengan beberapa daerah lain.
3. Pernaskahan Nusantara
a. Naskah Melayu
Bahasa Melayu tersebar di berbagai daerah, seperti di Aceh, Minangkabau,
Siak, Riau, Palembang, Bengkulu, Jakarta, dan Bima. Masing-masing daerah itu
memiliki naskah yang ditulis dengan aksara Arab Melayu (Jawi) dalam bahasa
Melayu yang dipengaruhi oleh bahasa daerah masing-masing. Oleh karena tempat
asalnya berbeda, penyebaran dan penyimpanannya pun tersebar di berbagai
tempat. Ada yang disimpan di berbagai perpustakaan, museum, dan di rumah
penduduk sebagai milik pribadi yang merupakan warisan dari para orang tua
mereka. Penyimpanan terbesar yang ada di Indonesia untuk naskah Melayu adalah
Perpustakaan Nasional, Jakarta, dan di luar negeri adalah Perpustakaan Universi-
tas Leiden, Belanda.
Untuk mengetahui jumlah naskah Melayu, biasanya masing-masing
tempat penyimpanan naskah membuat daftar atau katalog naskah. Perpustakaan
Nasional menerbitkan katalog terbaru tahun 1998 yang memuat seluruh
koleksinya dari berbagai bahasa. Katalog itu berjudul Katalog Induk Naskah-
naskah Nusantara Mid 4: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia,
diterbitkan oleh Yayasan Obor dan Eeole Francaise d'Extreme-Orient.
Sebelumnya para peneliti masih berpegang pada katalog yang diterbitkan oleh
Sutaarga yang berjudul Katalogus Koleksi Naskah Melayu Museum Pusat,
1972. Katalog itu disusun berdasarkan katalog tertua yang disusun oleh Van
Ronkel (1909), Catalogus der Maleische Handschriften in het Bataviaasche
Genootschap van Kunsten en Wetenschappen.
Menurut Ding Choo Ming (1986) naskah Melayu sebagian besar berasal
dari salinan abad ke-19 meskipun ada beberapa naskah yang lebih tua dari abad
itu disimpan di Perpustakaan Universitas Cambridge dan Perpustakaan
Universitas Oxford. Hal itu diketahui melalui daf tar-daf tar naskahyang dibuat
oleh F. Valentijn. Sayangnya, naskah yang disebutkan dalam daf tar tersebut
sudah ada beberapa yang hiiang. Hilangnya satu atau beberapa naskah dalam
pernaskahan Melayu dapat terjadi baik disengaja maupun tidak disengaja.
Rusaknya naskah karena bahan naskah terlalu tua tidak dapat dihindari, tetapi
penghancuran naskah dengan sengaja kadangkala terjadi. Peristiwa seperti itu
misalnya terjadi pada masa kesultanan Melayu di Pasai atau di Aceh,. yaitu
pembakaran naskah. Karya-karya Shamsuddin Pasai pada abad ke-17 sengaja
dibakar di Aceh karena ajarannya dianggap bertentangan dengan ajaran Nuruddin
ar-Raniri.
Dalam kondisi yang seperti itu satu keuntungan bagi naskah Melayu
adalah dengan hadirnya beberapa orang Eropa ke Nusantara. Karena mereka,
banyak naskah yang aman tersimpan dalam berbagai koleksi, terutama di Eropa.
Hal itu terjadi karena sambil menjalankan tugas pemerintahan mereka belajar
bahasa Melayu. Sambil belajar bahasa,merekatertarik dengan naskah yangmereka
pelajari. Oleh karena itu, mereka mengoleksi dan memeliharanya selama dua abad
sehingga naskah tersebut aman sampai saat ini. Akan tetapi, sayangnya tempat
koleksi itu sangat teisebar, misalnya di Inggris, Belanda, Malaysia, dan Jerman
sehingga peneliti agak sulit menjangkaunya.
Mengapa naskah Melayu itu tersebar di negara-negara tersebut?
Penyebaran tersebut terjadi seiring dengan hadirnya pemerintah kolonial di tanah
Melayu misalnya Riau. Riau pada zaman dahulu jaya sebagai kemaharajaan
Melayu dart kerajaan Riau-Lingga pernah menjadi pusatnya. Pada masa lalu di
tempat itu penyalinan dan penciptaan naskah turnbuh subur. Kerajaan menjadi
pusat kegiatan kesastiaan. Di tempat itulah naskah banyak disalin. Roorda van
Eysinga datang ke daerah itu ingin belajar bahasa Melayu Beberapa tahun
kemudian ia sudah mahir mempelajari bahasa dan kesastraan Melayu. Ia pun
kemudian mengoleksi beberapa naskah tersebut. Untuk koleksinya, mereka bukan
hanya meminta penyalin lokal untuk menulis, tetapi juga penyalin Eropa. Untuk
koleksi, mereka juga membeli naskah. Kegiatan seperti itu sudah tersebar di
beberapa bagian tanah air seperti Von de Wall dan A.L. van Hasselt di Riau,
Crawford di Penang, Malaka, dan General Sekretariat di Batavia. Naskah salinan
General Sekretariat banyak dikirim ke Akademi Delf sebagai bahan pelajaran
bahasa Melayu bagi mereka yang akan ditugasi ke tanah jajahan.
Berapa kiranya jumlah seluruh naskah Melayu yang tempat
penyimpanannya tersebar? Meskipun berbagai katalog. bibliografi, dan daftar
naskah sudah dibuat, tetapi beium ada satu pun yang menyebutkan jumlah yang
sama dari seluruh naskah tersebut. Beberapa peneliti berusaha menghitung naskah
itu, di antaranya Ismail Hussein yang menyebutkan jumiahnya 5.000 naskah,
Chambert-Loir mengatakan 4.000 naskah yang tersebai di 26 negara, dan Russel
Jones mengatakan jumiahnya 10.000 naskah.
Tampaknya hampir seluruh naskah lelayu itu ditulis dengan dua aksara,
yaitu aksara Arab Melayu (Jawi) dan Latin dalam bahasa Melayu. Naskah Melayu
agaknya hanya mengenai kertas sebagai alas tubs. Berikut ini dicontohkan aksara
Arab Melayu yang dipakai dalam naskah. Tabel di bawah ini berisi 4 bentuk
pemakaian dari setiap aksara (Hollander, 1984:6 - 7)
Bagairnana dengan isi teks yang terkandung dalam naskah Melayu? Isi
yang ada di dalamnya sangat beragam. Kalau melihatpembagian yang pernah
dilakukan Liaw Yock Fang (1991, Jilid I dan II), naskah Melayu dapat
diklasifikasi menjadi 10. Sepuluh kelompok itu adalah kesusastraan rakyat, epos
India dan sastra wayang, cerita psnji, kesusastraan zaman Islam, cerita berbingkai,
sastra kitab, sastra sejarah, undang-undang Melayu, dan pantun serta syair.
Dari masing-masing kelompok itu sastra Melayu memiliki karya-karya
puncak atau karya yang populer di masyarakat pendukungnya. Misalnya dalam
cerita panji, orang pasti mengenai Hikayat Panji Semirang. Dalam sastra kitab
diketahui karya Flamzah Fansuri yang berjudul Syair Perahu. Sejarah Melayu
merupakan karya yang populer yang tidak pernah berhenti diteiiti hingga saat ini.
Sama halnya dengan cerita berbingkai, yaitu Cerita Seribu Satu Malum hingga
saat ini masih terus diceritakan kembali dalam bahasa yang populer agar akrab
dengan pembaca saat ini.
b. Pernaskahan Batak
Masyarakat Batak tinggal di Sumatra Utara.Kalau, mendengar kelompok
masyarakat ini, kita langsung terjngatpada beberapa nama marga yang sangat kuat
melekat pada nama-nama masyarakat pendukungnya sehingga mereka dapat
dengan cepat diidentifikasi sebagai mayarakat Batak. Kita mengenai beberapa
marga, di antaranya Nababan, Nasution, Sembiring, dan Tarigan. Suku Batak
Toba dan Karo merupakaninduk dari beberapa marga di daerah itu. Mereka
menggunakan bahasa Batak dengan berbagai dialeknya. Bahasa itu pada masa lalu
menggunakan aksara khas masyarakat tersebut, yaitu aksara Batak. Beberapa
peneliti pernah membahas pernaskahan Batak di antaranya K.F. Holle (1882),
Voorhoeve (1927— 1985), Uh Kozok (1991 dan 1996).
Masyarakat Batak menggunakan bahasa Batak dengan empat dialek.
Dialek Karo dipakai oleh orang Karo; dialek Pakpak dipakai oleh orang Pakpak;
dialek Simalungun menjadi ragam bahasa orang Simalungun; dan dialek Toba
dipakai oleh masyarakat Toba, Angkola, serta Mandailing. Di antara para peneliti
ada pendapat yang berbeda antara satu dengan yang lain karena ada juga peneliti
yang membagi bahasa tidak seperti di atas. Bahasa Mandailing, Angkola, dan
Toba merupakan dialek-dialek tersendiri, tidak termasuk dialek Toba.
Naskah Batak yang menggunakan aksara Batak, seperti yang diungkap
beberapa penelitian di atas, memiliki variasi karena di daerah itu tinggal beberapa
suku Karo, Pakpak, Simalungun, Toba, dan Mandailing. Variasi dapat diketahui
dari penyematan vokalnya. Ada usaha penyeragaman (Pudjiastuti, 1997:38)
olehSuruhen Purba dari kelima variasi itu menjadi aksara Batak atau Surat
Pustaha yang disempurnakan. Surat Pustaha yang disempurnakan inilah yang
diajarkan kepada murid SD dan SMP sebagai aksara Batak yang sekarang. Di
bawah ini dicontohkan variasi kelima aksara Batak dari Karo, Pakpak,
Simalungun, Toba, dan Mandailing. Data ini diambil dari Pudjiastuti (1997:50).
Aksara Batak
Masih dari sumber yang sama diperoleh informasi bahwa aksara Batak itu
ditulis di atas bahan atau alas naskah yang beragam. Yang paling terkenal dari
naskah Batak adalah yang disebut pustaha yang berarti buku. Bentuknya seperti
buku yang lembarannya bersambungan dan dilipat-lipat seperti sebuah akordeon
sejenis alat musik). Bahan utama naskah itu adalah kayu, yakni kayu alim
yang banyak terdapat di daerah itu. Ternyata model naskah seperti itu terdapat
juga di Cina, Jepang, Laos, dan Thailand. Selain kayu, bahan lain yang digunakan
adalah bambu. Bambu yang digunakan dari jenis bambu betung. Naskah dengan
bahan itu vang utama digunakan untuk menulis tanggal atau kalender (perlwlaun).
Rotan, tulang binatang, kulit binatang, dan kertas juga merupakan bahan lain yang
digunakan untuk naskah Batak.
Kalau bahan atau alas naskahnya seperti yang disebutkan di atas,
bagairnana dengan alat tulis yang digunakan? Karena alasnya berbeda, alat
tulisnya juga berbeda ka rena alat tulis yang dipakai tergantung pada bahan
naskah, lidi dari ijuk enau (iarugi) dan lidi dari pohon pakis (sampipil) digunakan
untuk menulis naskah yang berasal dari kayu. Pisau kecil (panggorit) dipakai
untuk menulis bahan yang keras, seperti tulang, bambu, rotan, dan tanduk
binatang. Tinta dipakai untuk kertas. Tinta itu ada yang tradisional, dibuat dari
berbagai tumbuhan, darahhewan, dan nunyak. Di samping itu, ada juga tinta yang
berasal dari jelaga lampu. Baja, sejenis tinta, dihasilkan bukan dari jelaga lampu,
tetapi dari jelaga kayu bakar. Tinta bervvarna dibuat dari campuran anggur dan
cuka atau dari getah damar dicampur dengan minyak. Di samping tinta tradisional
itu, dipakai juga tinta rmpor yang dipakai untuk menulis bahan dari kertas
(Pudjiastuti, 1997).
Bahan-bahan di atas berhubungan dengan naskah, bagairnana dengan
teksnya? Masai aii apa saja yang ada di dalam naskah itu? Kembali pada beberapa
penelitian di atas,. kandungan naskah Batak juga sangatberagam, mulai dari cerita,
ramalan, obat-obatan, jimat, kekuatan magis, beragam surat, undang-undang, dan
sejarah. Namun, dari beberapa masalah itu yang terbanyak ditulis adalah jimat,
obat-obatan, dan ramalan. Dalam koleksi naskah di London, ada naskah yang
berisi obat-obatan, terutama cara menangkal racun dalam tubuh. Teks seperti itu
terdapat dalam Tambar Simangaraprap dan Tambar Sirnanuwasah (Ms. Jav.C4)
Teks seperti itu banyak ditemukan dalam naskah Batak dan biasanya disertai
dengan beberapa ilustrasi, seperti Tambar (Ms. Jav. g.l). Ada juga naskah yang
isinya tentang astrologi. Naskah itu Poda ni Pangarambui ari na tolu oulu (E.
5185).
Di rnanakah naskah-naskah tersebut di simpan? Tempat penyimpanan
sangat tersebar, dalam dan luar negeri. Di dalam negeri tentunya kalangan
masyarakat umum banyak yang menyimpannya sebagai milik pribadi. Lembaga
formal juga ada yang menyimpan, seperti Museum Negeri Propinsi Sumatra
Utaia.
Perpustakaan Nasional, Jakarta, banyak menyimpan naskah Batak yang
berasal dari berbagai koleksi, di antaranya koleksi Cohen Stuart. Sayangnya,
naskah-naskah itu sudah dimasukkan dalam katalog Perpustakaan Nasional yang
terbaru (1998), tetapi belum dideskripsikan dengan memadai Di dalam buku itu
baru daf'tar saja yang dimuat. Pendaftarannya diabjad berdasarkan judul naskah.
Perpustakaan luar negeri yang menyimpan di antaranya adalah
Perpustakaan Universitas Leiden (Belanda), beberapa perpustakaan di London
(Inggris, seperti India Office Library dan Perpustakaan School of Oriental and
African Studies, Perpustakaan Bodlein. Beberapa naskah yang disebutkan
judulnya di atas adalah koleksi yang disimpan di London. Selain tempat itu, masih
ada beberapa tempat lain di Inggris yang menyimpan naskah Batak.
c. Pernaskahan Lampung
Lampung merupakan provinsi paling selatan di Pulau Sumatra,
penduduknya yang ad a di daerah lampung, Komering, dan Krui menggunakan
bahasa Lampung. Bahasa itu mempunyai beberapa dialek. Ada yang membaginya
atas dialek abung dan dialek paminggir dan ada juga yang membaginya atas
dialek Ny ou dan dialek Api. Masing-masing dialek terdiri atas beberapa logat.
Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan Pudjiastuti (1995:60)
naskah Lampung ditulis dengan aksara Lampung yang dikenal dengan had
Lampung atau surat Lampung.Aksara Lampung jika dirunut dalam sejarah dapat
dimasukkan dalam rumpun tulisan Kaganga. Menurut beberapa ahli, aksara itu
mirip dengan aksara Rejang, Pasemah, Batak, dan Makasar. Bagi Hadikusuma
(1988:18) aksara Lampung sebenarnya aksara yang dipakai oleh masyarakat di
seluruh Sumatra Selatan. Orang-orang tua di daerah Sumatra Selatan kadang-
kadang menyebut aksara Lampung dengan "Surat Ulu" atau Surat Ugan". Namun,
pada kenyataannya, sejak sebelum perang hingga kini, aksara itu hanya dipakai
oleh orang Lampung. Kebanyakan peneliti beranggapan bahwa aksara Lampung
sebenarnya merupakan perkembangan dari aksara devanagari yang berasal dari
India. Tulisan itu terdiri atas tigaunsur, yakniindukhuruf (kalabaisurat), anakhuruf
atau tandabunyi (benah surat), dan.tanda baca. Sistem menulis aksara Lampung
dimulai dari kiri ke kanan, sama halnya dengan tulisan Latin. Tulisan Lampung
disebut juga dengan huruf Kaganga.
Dalam naskah Lampung, selain aksara Kaganga, ditemukan juga naskah
yang ditulis dengan aksara Arab berbahasa Arab, aksara Jawi berbahasa Melayu,
dan aksara Pegonberbahasa Lampung. Aksara Arab digunakan untuk menulis
masalah agama Islam. Berdasarkan penelitian yang dilakukan peneliti di atas,
bahan atau alas naskah yang digunakan untuk menulis aksara Lampung, hampir
sama dengan Batak. Naskah yang alasnya dari kayu dibentuk seperti akordeon
juga dibuat dari kayu halim. Di samping itu, bambu, rotan, dan kertas juga
digunakan sebagai bahan naskah. Alat tulis yang digunakan adalah lidi (kemasi)
dan pisau kecil yang runcing (lading lancip).Tintanya ada yang berasal dari tinta
tradisional yang dibuat dari campuran buah deduruk, arang, dan getah kayu
kuyung. Selain itu, tinta dapat juga dibuat dari campuran arang dan buah serdang.
Di bawah ini contoh aksara Lampung Lama yang terdiri atas 19 huruf
(Pudjiastuti, 1995).
Di mana sajakah naskah-naskah Lampung disimpan? Berdasarkan
beberapa katalogus, kita ketahui bahwa naskah Lampung ada yang masih
disimpan di rumah-rumah sebagai milik pribadi atau perorangan. Beberapa
lembaga formal di daerah itu juga ada yang menyimpan, seperti Museum Negeri
Propinsi Lampung.
Perpustakaan Nasional, Jakarta, tidak memiliki koleksi naskah Lampung
karena tidak tercatat dalam katalog, 1998. Lain halnya dengan Perpustakaan
Universitas Leiden, Belanda. Di tempat itu ditemukan beberapa naskah Lampung.
Perpustakaan School of Oriental and African Studies dan India Office Library di
London, Inggris, dalam katalognya mencatat beberapa naskah Lampung yang
menjadi milik mereka. Dalam Ricklefs dan Voorhoeve dicatatsatu naskah
Lampung yang terdapat dalam koleksi India Office Library, Surat Pantun cara
Lampung (Malay A.4) yang berbentuk wayak, semacam pantun yang berpola a-b-
a-b.
Isi naskah Lampung banyak ragamnya. Menurut Pudjiastuti, 1997, ada
teks yang membicarakan mantra, doa, dan rajah (khajah). Di daerah itu dikenal
mantra pekasih, mantra penolak bala, mantra pembenci, mantra untuk mengambil
madu, dan mantra kekebalan. Doa juga banyak ditemukan dalam naskah tersebut.
Doa disebut dengan memang. Sama halnya dengan mantra, memang juga terdapat
dalam berbagai. ragam; ada memang untuk para bujang dan gadis agar dapat
saling menyintai; memang untuk mengobati orang sakit; dan memang untuk
memohon dan meminta kepada Tuhan. Ramalan, doa, dan primbon juga sering
dibahas dalam naskah Lampung. Di samping itu, silsilah yang berisi daftar
keturunan dari nenek moyang yang melahirkan penduduk di daerah itu. Di
samping silsilah, hukum adat dan undang-undang juga ada.
d. Pernaskahan Bugis dan Makasar
Di Sulawesi Selatan tinggal empat suku yang besar, suku Bugis (50 %),
suku Makasar (30 %), suku Toraja (5 %), dan suku Mandar (5 %). Toraja masih
hidup dalam tradisi lisan sehingga di daerah itu agaknya tidak ditemukan naskah.
Suku lainnya banyak yang memiliki naskah yang mereka sebut dengan lontarak.
Penyebutan itu lebih dikenal dalam naskah Bugis/Makasar. Penyebutan nama
lontarak karena bahan naskah yang digunakan berasal dari lontar, yaitu bahan
naskah yang dibuat dari sejenis daun palma dengan proses tertentu sehingga dapat
ditulis. Alat tulisnya dapat berupa pisau kecil yang ujungnya sangat lancip.
Dengan pisau itulah lontar yang sudah siap ditulis dipotong dengan ukuran
tertentu kemudian baru ditulis. Setelah selesai, di atas tulisan itu diberi minyak
yang berwarna hitam (biasanya campuran minyak dan kemiri yang sudah diolah
kalau di Jawa). Lontar bukan satu-satunya alas tulis yang dikenal di daerah itu,
kertas juga dikenal mereka.
Aksara Lontarak, berdasarkan pendapat beberapa peneliti, berasal dari
aksara Pallawa. Akasaranya oleh masyarakat di daerah itu disebutnya aksara
lontarak. Aksara itu dikenal juga dengan aksara Bugis/Makasar. Menurut
penelitian Noorduyn aksara itu ditulis dengan berbagai variasi dan banyak pakar
yang sudah menefctinya, seperti Raffles, Crawfurd, 'Ihomsen. Berikut ini
dicontohkan aksara itu yang dicunbil dari penelitian Noorduyn (1993:539) dalam
makalahnya yang berjudul Variation in the Bugis/Makasarese Script, yang
diterbitkan dalam majalah BKl, 149. Apakah Anda mengenai akasara ini?
Aksara Bugis
Naskah-naskah Sulawesi Selatan disimpan di beberapa lembaga formal
dan di rumah perorangan yang menjadi milik pribadi. Naskah yang menjadi nulik
pribadi biasanya sangat jarang dibuka, apalagi untuk diketahui isinya. Pembukaan
naskah biasanya dilakukan dengan suatu upat ara khusus, hampir sama dengan
kebanyakan naskah-naskah daerah lain di Indonesia. Karena jarang dibuka,
banyak para pemilik yang baru sadar setelah melihat bahwa naskah sudah rusak
ketika dalam waktu lama tidak dibuka. Cara penyimpanan naskah ini pun sangat
menyedihkan karena disimpan di antara onggokan padi di rangkiang bersama
dengan benda pustaka lain, seperti keris dan badik. Padahal kedua benda itu
bahannya berbeda dengan lontar serta kertas. Lontar dan kertas memerlukan suhu
tertentu di tempat penyimpanannya. Kondisi itu berbeda dengan tempat
penyimpanan naskah yang ada di beberapa lembaga formal, seperti perpustakaan
dan museum. Mereka sudah lebih layak menyimpannya meskipun tentunya belum
memenuhi sy arat sepenuhnya untuk pemeliharaan naskah.
Naskah dari daerah itu, bukan hanya di Sulawesi Selatan saja disimpan,
Perpustakaan Nasional, Jakarta, juga menyimpannya. Bahkan, beberapa
perpustakaan di luar negeri seperti di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda,
dan beberapa perpustakaan di London, Inggris. Suatu peristiwa yakni pembakaran
naskah yang sangat merugikan menimpa pernaskahan di daerah itu. Peristiwa itu
terjadi pada masa DI/TII. Peristiwa pembakaran itu terjadi di beberapa daerah
yang dikuasainya. Menurut Gani (1991:172) pada masa itu anggota gerombolan
banyak yang merampas nakah-naskah peninggalan nenek moyang mereka yang
disimpan para penduduk. Naskah itu dimusnahkan karena mereka menganggap
penduduk menyembahnya. Dan penyembahan pada naskah itu disamakan dengan
penyembahan berhala. Penyembahan seperti itubertentangan dengan ajaran agama
Islam yang murni. Pada saat itu, memang pada kenyataannya para pemilik naskah
sering melakukan upacara penghormatan terhadap naskah. Peristiwa itu menjadi
semacam trauma bagi beberapa pemilik naskah di daerah itu sehingga dampaknya
sampai saat ini masih terlihat. Kalau ada peneliti yang mencari atau akan
meminjam naskah, mereka curiga bahwa mereka juga akan memusnahkan naskah
yang masih ada. Oleh sebab itu, para peneliti harus pandai membujuk dan
memberi keyakinan sehingga mereka dapat mengeluarkan naskah mereka.
Naskah yang berasal dari Sulawesi Selatan isinya sangat beragam.
Kembali pada penelitian Gani (1991:171), ia mengelompokkan isi naskah tersebut
atas delapan bidang ilmu yang uraiannya seperti di bawah ini.
(1) Naskah yang berisi asal-usul atau silsilah raja-raja, keluarga bangsawan yang
disebutnyaattoriolong. Naskahjenis inisangatbaikuntuk dijadikanbahan dalam
penyusunan sejarah atau daftar silsilah. Dalam naskah yang semacam ini
kadang-kadang ditemukan juga catatan-catatan peristiwa yang pernah terjadi
pada masa silam.
(2) Lontarak bilang yang isinya hampir mirip dengan ottoriolong, tetapi lebih
terperinci dan lebih rumit. Naskah ini dapat dianggap sebagai catatan harian.
(3) Nasihat yang dapat dijadikan pedoman hidup bagi masyarakat disebut
pappangaja.
(4) Ulu ada yaitu lontarak yang berisi berbagai perjanjian, terutama perjanjian
yang bertalian dengan negara atau kerajaan.
(5) Undang-undang atau peraturan yang berasal dari adat leluhur yang disebut
sure bicara attoriolong.
(6) Berbagai naskah yang isinya tentang obat-obatan yang dapat menyembuhkan
berbagai penyakit dan biasa digunakan oleh masyarakat setecnpat. Naskah
berjenis ini disebut lontarak pabbura.
(7) LONTARAK palakia berisi tentang ilmu perbintangan (ilmu falaq).
Pada dasarnya berbagai jenis isi yang disebutkah di atas juga terdapat dalam
naskah lain, seperti Melayu, Jawa, dan Sunda. Hanya keunikan berbagai
ragam isi naskah sudah dinamakan dalam bahasa asli Bugis.
e. Pernaskahan Jawa
Naskah jawa tidak kalah kayanya jika dibandingkan dengan Melayu yang
penyebarannya sangat luas di berbagai kepulauan Naskah Jawa juga tersebar di
beberapa tempa t, tetapi terbatas pada Pvdau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara.
Naskah itu ditemukan, di antaranya diCirebort, Solo, Surakarta, Yogyakarta,
Banyuwangi, dan Banten. Jumiahnya juga sangat besar. Behrend (1993:407)
mengatakan 19.000 naskah Jawa yang penyimpanannya tersebar di beberapa
lembaga di Indonesia dan Eropa, belum termasuk yang dikoleksi oleh perorangan.
Naskah Jawa tersimpan hampir di 27 negara, di antaranya Indonesia, Inggris,
Belanda, Rusiajerman, dan Itali. Di Indonesia penyimpanannya tersebar, seperti di
Jakarta, Surakarta, Yogyakarta, Denpasar.
Bahasa yang digunakan ada tiga, yakni bahasa Jawa Kuna, Jawa
Tengahan, dan Jawa Baru. Aksara yang digunakan dalam naskah yang berbahasa
Jawa disebut aksara Jawa atau hanacaraka, sedangkan aksara Arab yang
mtnggunakan bahasa Jawa disebut pegon. Naskah beraksara pegon biasanya
ditulis di daerah Banten, Madura, dan Cirebon.
Contoh aksara Jawa (hanacaraka) diambil dari Simuh (1988:vii)
Bagairnana dengan bahan atau alas naskah? Masyarakat Jawa mengenai
lontar sebagai alas naskah yang dibuat dari sejenis pohon palma. Bahan yang
sama juga dipakai untuk naskah Bugis, Bali, dan Sunda. Alat tulisnya disebut
pengutik, sedangkan tintanya dibuat dari minyak kemiri. Selain lontar, naskah
Jawa juga ditulis di atas kertas baik kertas tradisional maupun kertas Eropa.
Kertas tradisional disebut dluwang. Kertas ini dibuat dari bahan khusus dari kulit
sebuah pohon yang kemudian diproses secara tradisional. Untuk menulis naskah
yang berasal dari bahan itu adalah tinta. Tinta. itu ada yang dibuat secara
tradisional.
Jika kita ingin mengetahui keragaman naskah Jawa, ada beberapa katalog
yang dapat dipakai untuk mengecek kekayaan naskah itu. Dalam Caraka no .4
disebutkan beberapa katalog yang mendeskripsikan keadaan naskah Jawa. Katalog
yang paling lengkap dan sering dipakai, di antaranya Juynboll, 1907, dengan judul
Supplement of den catalogus van de Javaansche en Madoeresche Handschriften
der Leidsclte Universiteits Bibliotheek. Katalog Nikolaus Girardet yang
diterbitkan pada tahun 1983 yang berjudul Descriptive Catalogue of the Javanese
Manuscripts and Printed Book in Main Libraries of Surakarta and Yogyakarta.
Bagairnana dengan isi naskah? 'Naskah Jawa sangat kaya, sesuai dengan
perkembangan kebudayaannya yang dilatarbelakangi oleh agama Hindu, Budha,
dan Islam. Sehubungan dengan itu, isi yang ada dalam naskah juga sangat
beragam, di antaranya obat-obatan, primbon, cerita panji, cerita wayang, sastra
sejarah, dan masih banyak yang lainnya. Pada bagian ini hanya dicontohkan
beberapa karya sastra sejarah, primbon, dan cerita panji.
Dalam sastra Jawa, banyak sekali ditemukan sastra sejarah. Anda tentu
pernah mendengar Babad Tanah Jawi. Karya itu sangat terkenal. Kata babad
tampaknya dipakai untuk karya-karya yang bersifat kesejarahan. Dalam khazanah
sastra itu dikenal juga Babad Diponegoro (KBG:5) yang mengisahkan peristiwa
Perang Diponegoro pada tahunl813. Dalam karya itu diceritakan pengalaman
Caradiwirya yang memerangi pasukan Diponegoro di berbagai daerah. Sesudah
peperangan ia diangkat menjadi Adipati Diponegoro. Naskah yang berisi ramalan
atau primbon, seperti Nalatruna (KBG:681) sangat unik karena disertai dengan
berbagai gambar raja dan disertai berbagai mantra. Yang tidak kalah menariknya
adalah cerita panji. Dalam sastra itu, di antaranya dikenal Panji Angreni, Panji
Dewakusuma Kembar, dan
Panji Kuda Semirang. Karya sejenis itu dapat dikertali dari beberapa
tokohnya yang selalu mer.ampilkan tokoh Panji dan Candra Kirana atau nama-
nama samaran lain yang sering mereka pakai. Selain cerita panji, dikenal juga
cerita yang hampir mirip dengan cerita itu karena berbagai petualangan
dikisahkan. Cerita itu adalah cerita wayang. Wayang merupakan pertunjukan yang
menarik dalam kebudayaan ini dan sangat digemari bahkan di mancan egara.
Cerita wayangbukanhanya ditemukan dalam pertunjukan, melainkan juga dalam
bentuk naskah, seperti Bharatayuddha (Add. 12279), Serat Kitab Tufah dan Serat
Wirid Hidayat membahas hubungan manusia dan Tuhan juga merupakan naskah
keagamaan yang menarik. Simuh (1988) mengambil Wirid Hidayat Jati menjadi
bahan disertasinya. Ia memberi judul peneliiiaimva dengan Mistik Islam Kejuwen
Raden Ngabehi Ranggaxvarsita: Dalam naskah itu digambarkan hubungan
manusia dengan Tuhan
f. Situasi Pernaskahan Bima
Kalau ingin mengetahui khazanah naskah Bima, kita dapat melihat
katalogus yang disusun oleh Mulyadi dan Salahuddin (1990 dan 1992) yang
berjudul Katalogus Naskah Melayu Bima, jilid 1 dan II. Di dalam buku itu
diuraikan dan dideskripsikan keadaan naskah Bima yang saat ini menjadi koleksi
Museum Kebudayaan Sampuraga, Bima, Museum Negara Nusa Tenggara Barat,
Mataram, dan naskah yang menjadi koleksi Desa Maria, Kampung Dara, Bima.
Naskah yang dideskripsikan dalam katalogus tersebut adalah naskah yang menjadi
koleksi istana Sultan Muhammad Salahuddin (1915 — 1951), Sultan Birna
terakhir.
Naskah Bima, menurut kedua peny usun tersebut, tidak banyak yang
merupakan cata tan dari periode pra-Islam yang ditulis dalam aksara Bima
denganbahasa Bima. Mereka hanya menemukan satu atau dua naskah saja yang
berbahasa Bima. Timbul dugaan bahwa besar kemungkinan hilangnya naskah dari
periode ini karena suatu kebakaran besar yang terjadi pada masa
pemerintahanSultan Abdul Kadim Zilullah fial Alam, tahun 1751 — 1773.
Menurut Noorduyn kebaka ran itu telahmemusnahkan banyak naskah. Rupanya
naskah pada periode pra-islam ke periode masuknya Islam, di Bima pada akhir
abad ke-16 sampai awal abad ke-17, membawa perubahan besar sehingga bahasa
yang digunakan kerajaan Bima adalah bahasa Melayu. Bahasa itu menjadibahasa
resmi negara. Oleh karena itu, i iaskah~naskah peninggalan dari periode inilah
yang banyak ditemukan saat ini. Berdasarkan deskripsi dua. katalog di atas,
naskah Bima tampaknya hampir semua ditulis di atas kertas. Naskah itu ditulis
dalam aksara Arab-Melayu (Jawi) dalam bahasa Melayu, aksara Arab dengan
bahasa Arab, dan aksara Arab dengan bahasa Bima.
Seperti yang diuraikan dalam kedua katalog itu, kita dapat mengetahui isi
naskah Bima. Kedua penyusun katalog itu membagi teks Buna menjadi tujuh
jenis, yaitu Bo, sejenis catatan harian yang sangat lengkap uraiannya disertai
dengan penanggalan waktu terjadinya suatu peristiwa, doa dan ilmu agama,
filsafat, hikayat, silsilah, surat, dan surat keputusan. Ketujuh jenis itu kemudian
ditambah lagi dengan dua jenis pada KATALOGUS NASKAH MELAYU BIMA II, yakni
surat peraturan dan surat perjanjian kontrak serta ilmu tua.
Contoh aksara Bima yang diambil dari Mulyadi dan H.S. Maryam (1991:72)
g. Pernaskahan Sunda
Naskah yang berasal dari suku Sunda (Jawa Barat) bahannya juga beragam
seperti daerah lain karena di daerah itu ditemukan juga naskah yang ditulis di atas
daun pair aa (daun lontar, daun kelapa, daun pandan, dan daun nipah), bambu, dan
kertas. Kertas yang digunakan terdiri atas dua macam, yaitu kertas tradisional
yang disebut daluwang dan kertas Eropa.
Bahasa yang digunakan ada yang berbahasa Sunda, Jawa, dan Melayu.
Bahasa Sunda dibagi lagi atas Sunda Kuna yang digunakan pada naskah yang
dibuat sekitar abad 16 — 18 dan Sunda Baru digunakan dalam naskah yang
berasal dari abad 19. Naskah berbahasa Jawa biasanya digunakan bahasa jawa-
Cirebon, Jawa-Periangan, dan Jawa-Banten. Bahasa Melayu digunakan dalam
naskah yang ditulis pada akhir abad 19 yang jumiahnya tidak terlalu banyak.
Aksara yang digunakan adalah aksara yang disebut Sunda Lama (digunakan pada
naskah-naskah yang berasal dari sebelum abad 18), Cacarakan (Jawa-Sunda yang
dipakai pada sekitar akhir abad 17), Arab dan Latin (naskah-naskah yang berasal
dari abad 19).
Naskah yang berasal dari daerah itu diperkirakan jumiahnya mencapai
1.500 buah. Di antara naskah-naskah itu masih banyak yang disimpan oleh
masyarakat sebagai milik pribadi dan beberapa lembaga formal di tanah air.
Museum Negeri Jawa Barat dan Kantor EFEO (Bandung), MuseumCigugur
(Kuningan) di antaranya yang menyimpan naskah Sunda. Selain itu, beberapa
perpustakaan di luar negeri ju ga menyimpannya, yakni Perpustakaan Universitas
Leiden, perpustakaan KITLV di Belanda, dan The British Library serta Bodleian
Library di London. Di samping itu, beberapa pesantren juga ada yang
menyimpannya. Untuk melihat berbagai naskah Sunda dan tempat koleksinya
dapat dilihat dalam katalog Naskah Sunda (Bandung: Universitas
Padjadjaran,1988) yang disusun oleh sebuah tim yang diketuai oleh EdiS.
Ekadjati. Katalog lain yang dapat dipakai adalah Katalog Naskah-naskah Sunda di
Museum Pusat (Yumsari Yusuf), dan R. Memed Sastrahadiprawira dengan judul
Katalogus Naskah-naskah Sunda di Museum Nasional Jakarta
Menurut Ekadjati (1988), naskah Sunda banyak yang sudah hancur
danmusnah yang tidak mungkin dapat diketahui lagi isinya. Kehancuran itu
disebabkan oleh musibah, seperti terbakar, tertimpa banjir, hilang, dan rusak
dimakan hama. Selain itu, ada pula karena kelalaianpemiliknya, misalnya
diunggal mengungsi sehingga tidak terpeiihara lagi.
Naskah Sunda yang masih diselarnatkan hingga kini jika dilihat dari isinya
hampir sama dengan naskah lain dari bagian Nusantara lainnya. Naskah itu ada
yang mengisahkan tentang silsilah, sejarah, ajaran agama, dan adat istiadat, serta
ajaran moral.
Berikut ini salah satu contoh naskah Sunda yang bentuknya seperti kipas
yang diambil dari buku Illuminations (1996).
Sebagai informasi para peneliti yang membahas naskah Sunda adalah Atja
1968, Tjarita Parahyangan. Bandung: Jajasan Kebudajaan Nusalarang, Edi S. Eka
Djati, 1982. Cerita Dipati Ukur: Karya Sastra Sejarah Sunda, Jakarta: Dunia
Pustaka Djaja, dan Joedawikarta, 1933, Sadjarah Soekapoera, Parakanmoentjang
Sareng Gadjah, Bandung: Pengharepan.
Setelah Anda mengikuti uraian di atas dan memahaminya, di bawah ini
diberikan beberapa pertanyaan sebagai latihan. Latihan ini dapat dipakai sebagai
titik tolak keberhasilan Anda dalam memahami materi.
1) Sebutkan daerah mana saja yang memiliki naskah?
2) Di mana saja naskah-naskah itu disimpan saat ini dan sebutkan tiga
perpustakaan di luar negeri yang menyimpan naskah?
3) Sebutkan nama aksara di daerah yang ada di Indonesia?
Petunjuk jawaban Latihan
Jika Anda telah selesai mengerjakan jawaban dari beberapa pertanyaan di
atas, periksalah kembali jawaban Anda dengan memperhatikan rambu-rambu
jawaban di bawah ini.
1) Daerah yang memiliki naskah di Indonesia ini sangat banyak. Di Sumatra
terdapat naskah-naskah dengan aksara dan bahasa masing-masing, seperti
Aceh, Batak, Minangkabau, Kerinci, Riau, Siak, Palembang, Bengkulu,
Pasemah, dan Lampung. Di Kalimantan, naskah ditemukan di daerah
Sambas, Pontianak, Banjarmasin, dan Kutai. Pulau jawa memiliki naskah
di daerah Banten, Jakarta, Pasundan, Cirebon, Yogyakarta, Surakarta,
Gresik, Madura dan beberapa daerah pegunungan di Jawa Tengah dan
Jawa Timur. Di Bali dan Nusa Tenggara Barat juga memiliki naskah,
seperti Lombok, Bima, Sumbawa, dan Dompu. Di sepanjang kepulauan
Indonesia Timur naskah ditemukan di Ternate dan Ambon. Di Sulawesi
naskah-naskah ditemukan di daerah Bugis, Makasar, dan Buton.
2) Naskah-naskah Indonesia ada yang disimpan di dalam dan di luar negeri.
Di dalamnegerinaskah disimpan di daerah-daerah masing-masing sebagai
pemilik naskah, yaitu di perpustakaan dan lembaga daerah serta di rumah
beberapa penduduk yang masih memilikinya. Di Jakarta disimpan
berbagai naskah daerah Indonesia, yaitu di Perpustakaan Nasional. Di luar
negeri ada juga naskah yang disimpan di Perpustakaan Universitas Leiden
dan Perpustakaan KITLV di Belanda serta di Perpustakaan School of
Oriental and African Studies di London.
3) Lima aksara yang ada di Indonesia adalah aksara Batak, aksara Lampung,
aksara Jawa (hanacaraka), aksara Arab Melayu (Jawi), dan aksara Bima.
Sehubungan derigannaskah dan teks, Indonesia yang terdiri atas berbagai
daerah ini sangat kaya dengan kedua hal itu. Hampir setiap daerah mempunyai
naskah yang ditulis dalam bahasa daerah masing-masing dengan aksara atau huruf
daerah. Oleh sebab itu, penelitian pernaskahan Indonesia sangat perlu dilakukan.
Untuk melihat kekayaan naskah Indonesia, berbagai daerah yang memiliki naskah
itu patut ditampilkan, misalnya naskah apa saja yang mereka dimiliki, naskah
ditulis dalam aksara daerah apa, dan di mana saat ini naskah itu disimpan. Uraian
itu penting agar Anda mengetahui latar balakang pernaskahan sebelum melakukan
sebuah penelitian. Dari berbagai pernaskahan di Indonesia, dalam bagian ini
hanya diambil tujuh pernaskahan daerah. Pemilihan ketujuh daerah itu
berhubungan dengan hasil penelitian yang mudah dijangkau. Pernaskahan daerah
itu adalah Melayu, Batak, Lampung, Bugis/Makasar, Jawa, Bima, dan Sunda.
BAB IV KODIKOLOGI
Pengertian Kodikologi, Tempat Penyimpanan, Alas, Umur, Penulisan dan
Penyalinan Naskah, serta Iluminasi dan Ilustrasi.
1. Pengertian Kodikologi
Sudah sama-sama kita ketahui bahwa kebudayaan nenek moyang kita
masa lampau yang bernilai luhur terekam dalam berbagai cerita rakyat yang
disebarluaskan dari mulut ke mulut. Kini cerita rakyat itu telah direkam dan
dipublikasikan di berbagai media massa (buku, majalah, surat kabar) dan
elektronik (kaset, radio, televisi, film). Selain cerita lisan, ada juga warisan
budaya nenek moyang yang berupa naskah yang bentuk dan ragamny a
bermacam-macam. Naskah-naskah itu tersebar di seluruh Indonesia dan ditulis
dalam berbagai bahasa dan huruf daerah.
Isi naskah itu juga bermacam-macam: ada cerita pelipur lara, cerita tentang
sejarah, cerita keagamaan (kepercayaan), cerita yang mengandung ajaran,
pengetahuan tentang obat-obatan, mantra, dan lain-lain. Kandungan (segi batin)
naskah yang bermacam-macam itu merupakan lahan garapan ilmu filologi.
Sebaliknya, segi fisik naskah yang beraneka bentuk dan ragamnya itu merupakan
lahan garapan ilmu pernaskahan atau kodikologi. Dalam upava penvusunan karya
ilmiah mengenai hasil sastra lama, ilmu filologi dan kodikologi itu sangat
diperlukan.
Apakah yang dimaksud dengan kodikologi itu?
Kodikologi berasal dari kata Latin codex (bentuk tunggal; bentuk
jamaknya codices). Dalam bahasa Indonesia kata codex itu diterjemahkan dengan
'naskah'.
Dalam bahasa Latin, dahulu, kata codex atau caudex herarti' teras batang
pohon'. Itulah sebabnya, kata codex bertalian dengan pemanf aatan kayu sebagai
alas untuk menulis. Dalam perkembangannya kata codex kemudian dipakai
sebagai padanan istilah naskah. Menurut Robson, dalam bukunya Prinsip-Prinsip
Filologi Indonesia, kodikologi dapat diartikan sebagai 'pelajaran naskah'. Baried
(1994: 56) dalam bukunya Pengantar Teori Filologi menyatakan sebagai berikut.
Kodikologiialah ilmu kodeks. Kodeks adalahbahan tulisan tangan atau
menurut The New Oxford Dictionary (1928) berarti manuscript volume, esp of
ancient texts 'gulungan atau buku tulisan tangan, terutama dari teks-teks kuno'.
Kodikologi mempelajari seluk-beluk atau semua aspek naskah, antara lain bahan,
umur, tempat penulisan, dan perkiraan penulis naskah.
Siapakah yang pertama kali menggunakan istilah kodikologi itu?
Jos M.M. Hermans dan Gerda C. Huisman dalam bukunya berjudul De
Descriptione Codicum (1979/1980) menyatakanbahwa istilah codicologie mula-
mula diperkenalkan oleh seorang ahli bahasa Yunarti, Alphonse Dain, dalam
kuliah-kuliahnya di Ecole Normale Superieure, Paris, pada bulan Februari 1944.
Istilah itu dikenal di kalangan yang lebih luas melalui karyanya Les Manuscrits
yang diterbitkan pada tahun 1949.
Alphonse Dain menjelaskan bahwa kodikologi ialah ilmu mengenai
naskah-naskah dan bukan ilmu yang mempelajari apa yang tertulis dalam naskah.
Dijelaskannya pula walaupun istilah kodikologi itu baru, ilmu kodikologi
bukanlah ilmu baru.
Selanjutnya, Alphonse Dain menyatakan bahwa tugas dan lingkup
kodikologi meliputi sejarah naskah, koleksi naskah, penelitian mengenai tempat
penyimpanan naskah yang asli, penyusunan katalog, penyusunan daftar katalog,
perdagangan naskah, dan penggunaan naskah.
Selain naskah, istilah lain yang sering digunakan ialah istilah manuskrip
(bahasa Inggris manuscript). Kata manuscriptberasal dariungkapan
Latincodicesmanu scripti yang berarti 'buku-buku yang ditulis dengan tangan'.
Kata manu berasal dari manus yang berarti 'tangan' dan scriptusx berasal dari
scribere yang berarti 'menulis'.
Dalam bahasa Belanda digunakan istilah handscrift, dalam bahasa Jerman
Handscrift, dan dalam bahasa Prancis manuscrit. Dalam berbagai katalogus,
istilah manuscript atau manuscrit (keduanya bentuk tunggal) biasanya disingkat
menjadi MS, sedangkan istilah manuscripts atau manuscrits (keduanya bentuk
jamak) disingkat menjadi MSS. Istilah handscrift atau Handschrift disingkat
menjadi HS dan istilah handschriften atau Handschriften (bentuk jamak) disingkat
menjadi HSS.
Di dalam bahasa Malaysia istilah nasklmh lebih luas digunakan daripada
istilah manuskrip. Demikian pula halnya dalam bahasa Indonesia; istilah naskah
(dalam pengertian codex) lebih banyak dipakai daripada istilah manuskrip.Kata
naskah tidak perlu disingkat karena sudah singkat. Berdasarkan uraian makna kata
di atas, dapatlah disimpulkan bahwa kodikologi ialah ilmu tentang naskah atau
ilmu pernaskahan.
Dewasa ini kata naskah sering juga digunakan dalam pengertian yang
berbeda, sebagaimana terdapat dalam gabungan kata naskah pidato, naskah siaran
radio, naskah perjanjian, naskah undang-undang, dan naskah kerja sama. Kata
naskah dalam gabungan kata itu sama maknanya dengan kata teks sehingga
gabungan kata itu dapat diganti menjadi teks pidato, teks siaran radio, teks
perjanjian, teks undang-undang, dan teks kerja sama.
Dalam kodikologi—juga filologi—harus dibedakan penggunaan istilah
naskah dan teks. Secara singkat dapat dikatakan bahwa teks ialah isi atau
kandungan naskah, apa yang tertulis, sedangkan naskah ialah wujud fisiknya.
Jika kita berbicara tentang pernaskahan, unsur-unsur apa saja yang dapat
kita ketahui?
Banyak hal yang dapat kita bicarakan sehubungan dengan pernaskahan itu,
antara lain tempat penyimpanan naskah, alas naskah dan cap kertas, umur (daya
tahan naskah), penulisan dan penyalinan naskah, serta iluminasi dan ilustrasi,
sebagaimana diuraikan berikut ini.
2. Tempat Penyimpanan Naskah
Daerah-daerah mana saja yang memiliki dan menyimpan naskah
Nusantara? Karena naskah merupakan warisan tertulis, secara sederhana,
jawabnya adalah daerah-daerah atau kawasan yang memiliki huruf daerah. Selain
kawasan yang mempunyai huruf daerah, ada juga daerah yang mewariskan
budaya lewat aksara Arab. Daerah-daerah tersebut juga merupakan sumber naskah
atau tempat penyimpan naskah.
Di kawasan Sumatra, naskah kita dapati di daerah Aceh, Batak,
Minangkabau, Kerinci, Riau (termasuk Kepulauan Lingga dan Singkep), Siak,
Palembang, Rejang, Bengkulu, Pasemah, dan Lampung. Di kawasan Kalimantan
naskah-naskah berasal dari daerah Sambas, Pontianak, Banjarmasin, dan Kutai. Di
wilayah Jawa, naskah-naskah terdapat di daerah Banten, Jakarta, Pasundan,
Cirebon, Yogyakarta, Surakarta, Brebes, Gresik, Madura, dan daerah pegunungan
di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di daerah Bali naskah dapat ditemukan di
seluruh wilayah karena sampai sekarang masih terus diproduksi. Di wilayah
Sulawesi naskah dapat ditemukan di daerah Bugis, Makasar, Buton, dan Kendari.
Di wilayah Nusa Tenggara Barat naskah terdapat di daerah Lombok, Sumbawa,
Bima, dan Dompo. Di w ilayah Indonesia Bagian Timur naskah terdapat di daerah
Ternate dan Maluku.
Di mana saja naskah-naskah Nusantara itu disimpan?
Pada masa sekarang ini tempat penyimpanan naskah— rang ditulis dalam
berbagai huruf dan bahasa daerah — terlengkap adalah Perpustakaan Nasional,
Jakarta. Kekayaan naskah di Perpustakaan Nasional berjumlah sekitar 10.000
yang tertulis dalam bahasa Aceh, Bah, Batak, Bugis, Makasar, Jawa Kuna, Jawa
Tengahan, Jawa Baru, Madura, Melayu, Sunda, dan Ternate. Sebagian besar
naskah yang disimpan di Perpustakaan Nasional itu merupakan pindahan dari
Museum Nasional (1989)
Naskah-naskah yang disimpan di Perpustakaan Nasional itu mulai
dihimpun kira-kira dua abad yang lalu oleh suatu lembaga yang bernama
Bataviaasch Genootschup van Kunsten en Wetenschappen yang didirikan pada
tahun 1778. Pada tahun 1923 lembaga ini berubah naraa menjadi Koninklijk
Bataviaasch Genoootschap van Kunsten en Wetenschappen (KBG). Setelah
Indonesia merdeka, tepatnya pada tahun 1968, badan tersebut diubah namahya
menjadi Museum Pusat Kebudayaan Indonesia dan pada tahun 1975 menjadi
Museum Nasional.
Selain Perpustakaan Nasional, banyak juga tempat penyimpanan naskah
Nusantara yang lain, yang berupa museum, pesantren, yayasan, pemerintah
daerah, masjid, perpustakaan universitas, dan istana.
Sebagaimana telah diuraikan di muka, naskah Nusantara ditulis dalam
berbagai bahasa daerah. Meskipun naskah itu terdapat di tempat yang sama dan
berasal dari daerah yang sama, bahasa yang digunakan di dalamnya bermacam-
macam. Misalnya, naskah yang terdapat di daerah Aceh atau yang berasal dari
Aceh ada yang berbahasa Aceh dan ada juga yang berbahasa Melayu. Di samping
itu, mungkin juga ada tempat-tempat khusus yang menyimpan naskah berbahasa
daerah yang bersangkutan saja.
Selain Perpustakaan Nasional, tempat-tempat lain yang menyimpan
naskah Jawa, misalnya, ialah Kasultanan Yogyakarta, Pura Pakualaman
Yogyakarta, Keraton Surakarta, museum-museum di Yogyakarta dan Surakarta,
Balai Penelitian Bahasa Yogyakarta, Balai Kajian Sejarah dan Nilai-nilai
Tradisional di Yogyakarta, Griya Dewantara Yogyakarta, Proyek Javanologi
Yogyakarta, Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Depok, Universitas Gadjah
Mada Yogyakarta, dan Universitas Negeri Banyuwangi dan Sumenep. Selain itu,
Gedong Kirtya di Singaraja juga menyimpan naskah-naskah Jawa Kuno dan Jawa
Tengahan.
Dalam Katalog Naskah Aneka bahasa Koleksi Museum Nasional susunan
Jumsari Jusuf et at (1984) dinyatakan bahwa bahasa-bahasa daerah yang dipakai
dalam naskah-naskah itu antara lain bahasa Aceh, Batak Toba, Batak Mandailing,
Lubu (daerah Mandailing), Rejang, Lampung, Minangkabau, Madura, Jawa (Jawa
Kuno, Jawa Tengahan), Bali, Sumbawa, Sasak, Rotti, Ende, Timor, Manggarai,
Banjar, Pantu Dayak, Kenya-Dayak, Lapo-Tau, Apau-Kayan, Sangir (Sangihe),
Taumbulu, Tonsea, Tontemboan, Bolaang-Mongondow, Alfuru, Ternate,
Gorontalo, Mori, Baree, Bungku, Bugis, Makasar, Muna, Tolaki (daerah Sulawesi
Tenggara), Ambon, Moa, Biak, Kamrau, dan Kapam.
Berdasarkan Katalog Koleksi Naskah Maluku (1980) susunan Jumsari
Jusuf et al. bahasa-bahasa yang digunakan dalam naskah Maluku antara lain
bahasa Kei, Serong/Alifuru, Luang, Serum, Tuhiti, Masarete, Bum, Sula, Lett,
Wetar, dan Ternate.
Selain bahasa, huruf yang digunakan untuk menuliskan teks dalam naskah
Nusantara itu juga bermacam-macam. Sebagaimana dinyatakan Voorhoeve, di
daerah Ke rinci banyak dokumen yang ditulis dengan huruf rencong, yang
digunakan sebelum huruf Arab Melayu. Dinyatakannya juga bahwa huruf rencong
yang dipakai di daerah Kerinci itu berbeda dengan huruf rencong yang digunakan
di daerah Rejang, Melayu Tengah (yang disebut huruf Ka*Ga-Nga) dan
Lampung. Teks-teks di daefah Rejang ditulis dalam bahasa Melayu dengan
menggunakan huruf Ka-Ga-Nga, Arab, dan Romawi. (Lihat macam-macam huruf
yang digunakan di Nusantara pada Modul 3).
Huruf daerah lain yang dipakai dalarn penulisan naskah adalah huruf
Sunda, Jawa, Bah, Sasak, Bima, Ende, Madura, Bugis, dan Makassar. Huruf
Bugis dipakai juga untuk menuliskan bahasa Sumbawa dan bahasa Bima pada
masa lampau.
Menurut Ekadjati et al. (1988), naskah Sunda ada yang ditulis dengan
huruf Sunda Kuna, huruf Jawa-Sunda, huruf Arab, dan huruf Latin. Paling banyak
naskah Sunda yang ditulis dengan huruf Arab.
Sejak agama Islam tersebar di Nusantara—kira-kira akhir abad ke-13 —huruf
Arab malai digunakan di Nusantara. Huruf Arab itu tidak hanya digunakan untuk
menuiiskan teks berbahasa Arab, tetapi juga untuk menuliskan teks berbahasa
daerah. Huruf Arab yang digunakan untuk menuliskan teks berbahasa Melayu
disebut huruf Arab-Melayu atau huruf Jawi. Naskah seperti itu berasal dari Aceh,
Riau, Minangkabau, Jakarta, Pontianak, Sambas, Banjarmasin, Buton, Makasar,
Bima, Dorrtpu, SumabaWa, Ternate, dan Ambon.
3. Alas Naskah
Yang dimaksud dengan alas naskah—disebut juga bahan naskah — ialah
sesuatu yang dipakai untuk menuliskan teks sehingga terbentuk suatu naskah.
Albertine Gaur, sebagaimana dikutip Mulyadi (1994:44),, menyatakan bahwa
pada masa lampau di seantero dunia tulisan-tulisan diabadikan dalam berbagai
benda, seperti bambu (di Cina), daun palma (di India dan Asia Tenggara), batu
bata yang terbuat dari tanah hat (claybricks di Mesopotamia, papirus (di Mesir),
baja, linen, velum (vellum), sutera, perkamen {parchment di Iran), dan kertas
(Eropa). Selain itu, ada juga bahan lain seperti batu, batu-batuan berharga, kulit
kura-kura, tulang, gading, dan kain (baju).
Dalam kegiatan Workshop on Southeast Asian Manuscripts di
Perpustakaan Universitas Leiden pada bulan Desember1992 digelar pameran
"dunia naskah". Dalam pameranitu terdapatnaskah-naskahyangalasnya bermacam-
macam, seperti perak dan gading (naskah Bima), sutera (naskah Cina), kain (cloth,
naskah India Barat dan Birma), ternbaga (naskah India Selatan), dan kulit
binatang (naskah lbraru).
Menurut jumsari Jusuf 'yang dikutip Mulyadi (1994:44), naskah-naskah di
Indonesia menggunakan alas atau bahan dari kertas daluwang (dhavang), daun
lontar, daun nipah, kulit kayu, bambu, dan fotan. Pada waktu dahulu sebagian
tulisan diabadikan pada tonggak batu, lempengan ternbaga atau emas (biasanya
disebut prasasti). Karena bahan lontar, bambu, nipah, dan kulit kayu mudah rapuh,
tulisan-tulisan yang terdapat dalam bahan itu kemudian disalin kembali pada
kertas.
Selainbahan-bahan tersebut,naskah-naskah Jawa Barat ada y ang
menggunakan alas janur, daun enau, dan daun pandan. Dluwang, deluwang, atau
daluwang ialah jenis kertas yang dibuat dari kayu sebagai campuran. Dahulu
dluwang banyak dibuat di pesantren Tegalsari, PonOrogo.
Selain dluwang, alas naskah lain yang banyak dipakai ialah daun lontar.
Sampai sekarang daun lontar masih dipakai untuk menuliskan teks-teks di daerah
Bali dan
Lombok. Daun. lontar juga. digunakan dalam naskah Kerinci. Pemilik
naskah Kerinci menyebut daun lontar itu dengan istilah kelopak betiing.
Sampai abad ke-20 daun lontar masih dipakai untuk alas naskah Jawa
Timur dan Madura. Di. Banyuwangi, Jawa Timur, kegiatan macaan yang berarti
'membaca lontar', dalam hal ini Lon tar Yusup, dinamakart Ion tar an. Lontaran
biasanya dilakukan dalam kaitan dengan upacara nujuh bulan, kelahiran, khitanan,
perkawinan, atau untuk memenuhi nazar. Biasanya lontaran itu dilakukan
semalam suntuk. Kata lontar dalam Lontar Yusup tidaklah berarti alas naskah
yang dipakai untuk menuliskan riwayat Nabi Yusuf, tetapi berarti 'naskah
(manuscript)' atau 'karya sastra (literary work)' karena naskah tersebut ditulis pada
kertas dengan huruf pegon). Dengan demikian, kata lon tar di daerah Banyuwangi
sudah mengalami pergeseran makna.
Bahan lain yang dijadikan alas naskah adalah daun nipah. Naskah-naskah
Sunda (Jawa Barat) menggunakan daun nipah sebagai alasnya.
Kulit kayu terutama dipakai sebagai alas naskah Batak.Naskah Batak yang
lebih dikenal dengan istilah pustaha ialah naskah (semacam buku) dari kulit kayu
yang dilipat-lipat seperti akordeon. Isinya antara lain berupa doa, petunjuk
membuat obat, dan cara menolak bala.
Kulitkayu yang dimanfaatkan sebagai alas naskah tidak hanya terdapat
dalam naskah Batak, tetapi juga dalam naskah berhuruf rencong. Bahkan, ada juga
surat untuk pejabat Belanda di Singkel yang ditulis pada kulit kayu. Di samping
itu, kulit kayu juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan mentah pembuat kertas.
Selain kulit kayu, bambu juga telah dimanfaatkan para penulis/penyalin
teks sebagai alas naskah. Bentuknya bermacam-macam: ada yang berbentuk
bulatan— sekitar 1 sampai 5 r,uas, ada yang setengah bulatan, dan ada yang pipih.
Rotan ternyata telah dipakai juga sebagai alas naskah. Rotan yang
dijadikan sebagai alas naskah itu biasanya berbentuk bulat dan panjang.
Selain daun lontar, alas naskah Kerinci juga ada yang menggunakan bahan
lain, seperti tanduk (kerbau), bambu, kulit kayu, telapak gajah, daluwang, dan
kertas. Pemakaian telapak gajah sebagai alas naskah hanya dijumpai pada naskah
Kerinci. Bentuk dokumen (naskah) itu segi empat.
Ada juga yang menyatakan bahwa batok kelapa dan batang tebu pernah
dipakai sebagai alas naskah. Selain itu, untuk menuliskan teks Sunda, digunakan
pula alas naskah lain, yaitu daun kelapa muda (janur), daun enau, dan daun
pandan, di samping daun lontar, nipah, daluwang, dan kertas.
Seba gaimana kita ketahui, naskah-naskah Nusantara yang sampai kepada
kita, umumnya ditulis di atas kertas, yang jenis dan warnanya berbeda-beda. Ada
kertas yang berwarna putih polos, biru muda, dan ada yang bergaris (horisontal
atau garis kombinasi, horisontal dan vertikal). Ukurannya juga bermacam-macam,
ada yang berukuran oktavo, kuarto, ataupun folio.
Sejak kapan kertas dikenal umat manusia?
Berdasarkan catatan Albertine Gaur dalam bukunya berjudul Writing
Materials of the LAST (1979:4), hampir semua penemuan yang berhubungan
dengan tulis-menu]is, seperti percetakan, pembuatan kertas, nelum, perkamen,
tinta, pena, seni penjilidan buku, dan berbagai aspek mengenai ilustrasi buku
berasal dari Asia dan Afrika. Kertas merupakan ciptaan orang Cina yang bernama
Thsai Lun, seorang menteri pada zaman Pemerintahan Kaisar Wu Di dari Dinasti
Han pada tahun 105. Pada masa itu kertas menggantikan sutera sebagai alas tulis.
Dijelaskanya bahwa selama 600 tahun pertama, setelah penemuannya,
kertas hanya dikenal di Cina. Cara pembuatanny a sangat dirahasiakan dan
industri kertas dianggap sebagai monopoli pemerintah. Dikemukakanny a juga
bahwa pada tahun 751 Samarkandia yang diperintah seorang gubernur musiim
diserang pasukan Cina. Sebanyak 20.000 orang tentara Cina tertawan. Beberapa
orang di antaranya adalah ahli pembuat kertas. Entah karena paksaan atau karena
kerelaan akhirnya rahasia mengenai keahlian mereka dalam pembuatan kertas itu
dapat terbongkar dan dimanfaatkan masyarakat Samarkand ia. Selama 100 tahun
kertas Samarkandia menjadi bahan ekspor penting sebagai kertas Cina.
Lambat laun pengetahuan dan teknik pembuatan kertas menyebar sampai
ke Timur Tengah sehingga muncullah pabrik-pabrik kertas di Bagdad, Damsik,
dan Kairo. Pada abad ke-12 pembuatan kertas sudah sampai ke Spanyol
danSisilia. Pada abad ke-13 kertas sampai ke India.
IV lenurut H. Voorn dalam bukunya De Pamermolens in de Provincie
Noord-Holland (1960 ;3), batu, tanah liat, kayu, dan daun-daunan pernah
dimanfaatkan sebagai alat tulis sebelum adanya kertas. Di Cina sutera dan bambu
pernah dipakai sebagai alat kores pondettsi dan administrasi sebelum adanya
kertas. Pada tahun 610 Korea dan Jepang mulai membuat kertas.
Dijelaskannya pula bahwa tidak lama sesudah terjadi peperangan pada
tahun 751 antara pasukan Cina dan pasukan Arab di Turkestan dan sesudah para
pembuat kertas yang menjadi tawanan perang dipekerjakan, pembuatan kertas
mulai berkembang di negeri-negeri Arab, terutama di Bagdad, Damaskus, dan
tripolis. Sekitar tahun 1100 didirikan pabrik kertas di Fez. Pada awal abad ke-12
pembuatan kertas telah berkembang di Spanyol. Agaknya, dari Spanyol kertas
meluas sampai ke Itali dan pada tahun 1296 telah dibangun pabrik kertas pertama
di Itali, yaitu pabrik kertas Fahriano. Pada tahun 1338 dibangun pula pabrik kertas
di Troyes dan Pranci; 5, pada tahun 1398 di Nurenbefg, jerman, dan pada tahun
1428 di Gennep, Belanda.
Bagaimana kertas masuk ke Indonesia dan mulai kapan kertas digunakan
untuk menulis naskah di Indonesia?
Penerintah Flindia Belanda dan dunia perdagangan, terutama,
mempergunakan kertas dari negeri Belanda untuk keperluan administrasi dan
surat-menyurat. Impor kertas dari negara-negara lain tidak banyak. Sri VVulan
Rujiati Mulyadi (1994:61) menyatakan bahwa berdasarkan penektiannya terhadap
naskah-naskah Nusantara, jenis kertas yang dimanfaatkan dalam alas naskah
Nusantara adalah kertas buatan. Inggris, Italia, Jerman, dan Singapura.
Sebelum zaman VOC, ada bermacam-macam kertas yang dipakai di
Indonesia, yaitu kertas buatan Italia, Francis, Spanyol, dan Portugis. Pada zaman
VOC ada tiga arus lalu lintas kertas ke Indonesia, yaitu dari Belanda, dari Inggris,
terutama ke Malaysia, dan dari Itali sebelah timur laut, termasuk Kerajaan
Austria. Pada abad ke-19, Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan
khusus mengenai impor kertas sehingga sangat menopang kelanjutan hidup
pabrik-pabrik kertas di negeri Belanda. Pada tahun 1862 pemerintah Hindia
Belanda juga mengeluarkan peraturan yang mewajibkan lembaga-lembaga
pemerintahan memakai kertas Pro-Patria buatan Belanda. Pada tahun 1874
peraturan mengenai impor kertas ditarik kembali.
Pemerintah Hindia Belanda juga memakai kertas khusus untuk keperluan
surat-menyurat yang ditujukan kepada orang-orang penting di Indonesia dan di
"timur jauh". Sebagai contoh, sesudah Bantam dikalahkan, yaitu pada tanggal 6
Maret: 1682 Gubernur Jenderal dan Dewan Hindia Belanda mengirimkan surat
kepada Sultan Sepuh dan Sultan Kanoman yang ditulis di atas kertas "Zurat"
berper ada emas. Kertas "Zurat" itu berasal dari Surate, sebuah kota di daerah
pantai India. Pada tahun 1663 para penguasa VOC (Verenigne Oost-Indische
Compagnie) berencana untuk membuat pabrik kertas di Batavia (sekarang Jakarta)
dan pabrik tersebut telah siap pada tahun 1665. Selain mendirikan pabrik kertas,
VOC juga mendirikan percetakan. Kedua usaha itu kurang berhasil. Pada akhir
tahun 1682 penguasa VOC memutuskan untuk menghentikan kegiatannya karena
kedua bidang usaha itu selalu rugi.
4. Deluwang Saeh
Di muka telah dinyatakan bahwa selain kertas Eropa, alas naskah
Nusantara juga menggunakan deluwang, yaitu sejenis kertas yang dibuat secara
tradisional dari kulit kayu. Sampai saat ini deluwang masih diproduksi, antara lain
di daerah Garut (Jawa Barat), Purworejo (Jawa Tengah), dan Ponorogo (Jawa
Timur). Berikut ini akan diuraikan cara pembuatan kertas saeh yang diangkat dari
hasil penelitian Titik Pudjiastuti (1994).
Kertas saeh adalah istilah yang digunakan oleh penduduk Desa Cinunuk,
Kecamatan Wanareja, Kabupaten Garut, Jawa Barat, untuk menyebut kertas yang
dibuat dari pohon saeh (Broussonetia papyrifera). Saeh disebut juga glugu (Jawa),
dhalubang (Madura), kembala (Sumbawa), dan malak (Seram). Saeh berbatang
kecil, kira-kira sebesar lengan. Pohonnya setinggi 3 — 5 m. Daunnya lebar
berbentuk tiga jari dengan tangkai daun agak panjang sehingga jarak helai daun
dan ranting agak jauh. Permukaan daun agak tebal dan berbulu. Saeh tidak
berbunga dan tidak berbuah. Pohon saeh berkembang biak dengan tunas yang ke
luar dari akarnya yang tumbuh jauh dari induknya. Pohon saeh banyak tumbuh di
daerah Leles, Lebakjero, Ngamplang, Majalaya, dan Cicalengka. Penduduk
kampung Tunggilis mengambil pohon saeh dari daerah Parentas, di lereng
Gunung Galunggung. Selain di daerah Jawa, pohon saeh juga tumbuh subur di
Sumatra dan Sulawesi.
Produksi kertas saeh yang berlokasi di sekitar Desa Cinunuk semula
dikelola oleh keluarga Bisri, yang mendapat keahlian membuat kertas saeh dari
nenek moyangnya. Setelah ia meninggal pada tahun 1965, usahanya dilanjutkan
oleh istrinya yang bernama Ny. Uki. Sekarang usaha tersebut dikelola oleh anak-
anak dan sanak familinya sebagai industri rumah tangga yang diwarisi secara
turun-temurun Hampir semua penduduk di kampung itu mempunyai usaha kertas
saeh.
Proses Pembuatan Deluwang Saeh
Kertas saeh dibuat dari kulit bagian dalam pohon saeh. Kertas saeh yang
paling baik murunva berasal dari pohon yang berusia 3 — 6 bulan. Makin muda
pohon itu makin hahis seratnya dan hasil yang diperolehnya makin baik. Jika
pohon itu telah berumur 6 bulan atau lebih, kuiitnya keras sehingga serat-seratnya
mudah putus.
Pohon saeh yang masih muda (berumur 3 — 6 bulan) ditebang. Kuiitnya
dilepas dari kayunya. Kulit bagian luar dibuang sehingga tinggal kulit bagian
dalam yang berwama putih. Kulityangberwarna putih itu kemudian dipotong-
potong sepanjang 30-40 cm.
Potongan kulit kayu itu lalu direndam dalam air sekitar 12 jam agar
menjadi lembut dan mudah dipukul-pukul. Makin lama direndam kulit kayu itu
makin lembut dan hasilnya makin baik. Jika perendaman kulit kayu itu lebih dari
12 jam (semalam), air rendamannya harus diganti.
Setelah direndam, kulit saeh itu dipukul-pukul selembar demi selembar
dengan sebuah alat pemukul (bahasa Sunda pangeprek) di a tas balok kayu kira-
kira berukuran 40 x 150cm. Bentuk alat pemukul itu seperti palu, tetapi kepalanya
berbentuk empat persegi panjang berukuran 12 cm x 4 cm dan tingginya 3 cm.
Alat tersebut terbuat dari perunggu dan pegangannya dari kayu atau bambu yang
panjangnya sekitar 20 cm. Alas pemukubvya berupa balok kayu yang terbuat dari
kayu nangka. Kayu nangka adalah jenis kayu yang hat dan kuat sehingga sangat
baik dipakai sebagai alas pangeprek kulit saeh itu.
Setelah dikeprek , satu potong kulit dalam yang lebarnya 10 cm akan
menjadi sekitar 30 cm. Untuk menghasilkan 1 iembar kertas, dibutuhkan 2 atau 3
lembar kulit dalam yang ditumpuk, yang selanjutnya dikeprek sekaligus. Cara
pengeprekarmya adalah sebagai berikut.
Mula-mula satu helai potongan kulit dalam dikeprek. Setelah melebar,
kulit itu dilipat menjadi dua, lalu dikeprek lagi. Sesudah melebar, lipatan dibuka
dan disisihkan. Hal yang sama dilakukan juga pada lembar kedua dan ketiga.
Ketiga lembar kulit yang sudah melebar itu ditumpuk, kemudian dikeprek lagi.
Setelah menyatu, bahan tersebut dilipat dua, kemudian dilipat lagi sehingga
menjadi empat lipatan. Setelah dirasa cukup rata dan menyatu, lipatan itu dibuka.
Sesudah dikeprek, bahan itu dicelupkan ke dalam air, lalu diperas.
Setelah diperas, bahan itu dibungkus daun pisang, kemudian diperam dalam
sebuah keranjang bambu selama sekurang-kurangnya 3 hari. Pemeraman itu
bertujuan agar getah kulit kayu itu ke luar dan merekatkan serat-seratnya. Makin
lama pemeraman dilakukan makin baik kualitas kertas yang dihasilkan.
Sesudah d iperam, bahan tersebut dfjemur di bawah sinar matahari dan
diletakkan di atas batang pisang. Sambil dijemur, bahan tersebut digosok-gosok
dengan daun ki kandel (benalu pohon cangkring) sehingga permukaannya
menjadi halus dan mengkilat. Penjemuran itu dapat berlangsung beberapa hari,
bergantung pada cuaca, sampai bahan tersebut kering dan terlepas dari batang
pisang.
Setelah kering, bahan tersebut digosok lagi dengan menggunakan kuwuk
atau marmer. Bahan tersebut telah menjadi kertas yang siap pakai (ditulisi). Jika
lembaran kertas itu kurang lebar, dua lembar kertas dapat disambung dengan lem
"ka" (sejenis lem berwarna cokelat). Sambungan kertas itu kemudian digosok
dengan kuwuk atau marmer supaya hasilnya rata dan halus.
Sekarang kertas saeh tidak banyak diproduksi. Namun, hal itu tidak berarti
bahwa kertas saeh tidak diproduksi lagi. Kertas saeh masih dibuat sesuai dengan
pesanan.
Menurut keluarga Bisri —yang masih menggeluti industri kertas saehnya
— harga kertas saeh per lembar sekitar Rpl.000,00 (tahun 1994). Kertas tersebut
tidak lagi digunakan sebagai alas tulis seperti dahulu, tetapi kini dipakai sebagai
pelapis bagian dalam sampul (cover) buku.
5.Cap Kertas (Watermark)
Jika Anda melihat uang kertas dengan cara menghadap pada cahaya
matahari atau lampu, tampaklah gambar membayang dalam uang kertas itu.
Gambar yang membayang itu dikenal dengan istilah cap kertas (ivatermark).
Cap kertas juga terdapat dalam perangko atau kertas (tulis).
Selain cap kertas, istilah ivatermark juga ada yang menerjerhahkannya
dengan 'cap air'. Namun, Mulyadi (1994:63) memandang bahwa istilah cap
kertas lebih tepat daripada istilah cap air.
Kalau kita perhatikan kertas itu di tempat yang terang, akan tampaklah
dalam kertas itu garis-garis tipis (laid line) dengan posisi mendatar (horisontal)
dan garis-garis tebal (chain line) dengan posisi tegak (vertikal). Garis-garis
tipis itu berjumlah 8 — 12 per cm, sedangkan jarak antara garis vertikal sekitar
2,5 cm. Dalam Workshop on Malay Manuscrpits di London tahun 1980 istilah
chain line disepakati untuk diterjemahkan dengan 'garis acuan tebal' dan laid
line dengan 'garis acuan halus'. Perlu diketahui bahwa garis tebal dan garis tipis
itu hanya terdapat pada naskah yang diproduksi sebelum tahun 1810. Kertas yang
diproduksi sesudah tahun 1810 tidak menggunakan garis tebal atau garis tipis itu.
Kapankah cap kertas mulai digunakan? '
Berdasarkan penelitian Edward Heawood, cap kertas yang tertua
terdapat pada kertas bUatan Fabriano, Italia, yang diproduksi pada tahun 1282.
Tujuan utama pencantuman cap kertas itu adalah sebagai simbol dagang (trade-
mark) untuk menunjukkan kualitas, ukuran, atau pembuat kertas. Sekitar tahun
1600—1750 muncul pula cap kertas tandingan (counter-mark), yaitu cap
kertas yang menemani cap kertas.
Dalam suatu naskah mungkin saja kita menemukan beberapa macam cap
kertas dan cap kertas tandingan. Ketika mendeskripsi naskah, kita tidak perlu
terlalu memikirkan cap kertas yang utama dan cap kertas tandingan. Selain itu,
jika naskah yang kita garap berukuran kecil, mungkin saja cap kertas itu hanya
tampak sebagian saja sehingga sulit mengidentifikasinya.
Sejak tahun 1742 kertas buatan Prancis dibubuhi tahun dalam cap
kertasnya, sesuai dengan peraturan pemerintah Prancis tahun 1741. Namun,
lambang 1742 ternyata masih dicantumkan pada kertas produksi tahun-tahun
berikutnya. Edward Heawood selanjutnya menyimpulkan bahwa tampaknya
penggantian tahun pada cap kertas tidak dilakukan dengan tepat.
Setelah kertas Inggris terkenal, sejak tahun 1794 Inggris selalu
mencantumkan tahun pembuatan kertasnya yang dibubuhkan di bawah nama
pembuat kertas atau dalam bentuk yang lebih kecil di sudut kertas sebagai cap
kertas tersendiri. Salah seorang pembuat kertas ternama pada akhir abad ke-18
ialah James Whatman.
Berapa lama suatu cap kertas dipergunakan?
Briquet (dalam Heawood, 1950:32) menyatakan bahwa suatu cap
kertas paling lama digunakan 30 tahun. Bahkan, ada cap kertas yang hanya
digunakan selama 2 — 3 tahun.
Walaupun tahun pembuatan kertas dan tahun penulisan naskah Jelas-jelas
tercantum dalam kolofon, Russel Jones mengingatkan kita supaya berhati-hati
dalam menentukan umur naskah. Sebagai contoh, dikemukakan adanya
"keganjilan" suatu naskah. Salah satu naskah yang terdapat di Perpustakaan
Universitas Malaysia, yang bernomor Ms 111, bertanggal 1200 H. (atau sekitar
tahun 1785 — 1786 M). Akan tetapi, alas naskahnya bercap kertas tahun 1795.
Contoh lainnya adalah naskah koleksi SO AS (School of Oriental and
African Studies), London. Naskah yang bernomor 16561 mencantumkan
kolofon bulan Mei 1873, tetapi cap kertas yang tercantum pada alas
rtaskahnyabertahun 1877. Dengan adanya fakta yang demikian, mungkin saja
penulis naskah tersebut menyalin apa adanya yang tersurat pada naskah sumber.
Jika memang begitu, besar kemungkinan Mei 1873 adalah tanggal yang terdapat
pada naskah sumber yang disalinnya.
Kodikologi adalah ilmu yang mempelajari segi fisik naskah, seperti alas
naskah, tempat penyimpanan naskah, penulisan/ penyalinannaskah, umur naskah,
serta ilustrasi dan Uurninasi pada naskah. Karena naskah merupakan warisan
budaya tertulis, penulisan/penyalinan/penyimpanannya tentu dilakukan di daerah-
daerah berbudaya yang mengenai huruf dan di tempat-tempat elit, seperti diistana,
museum, pesantren, atau di rumah orang-orang intelek (pujangga).
Alas naskah yang digunakan bermacam-macam pada setiap tempat. Hal itu
tergantung pada bahan yang terdapat di tempat mereka.
BAB V
UMUR, PENULISAN, PENYALINAN NASKAH, SERTA
ILUMINASI DAN ILUSTRASI
1.Umur (Daya Tahan) Naskah
Sampai berapa lama naskah dapat bertahan di daerah beralam tropis
seperti Nusantara ini? Ada indikasi bahwa di negeri yang beriklim panas dan
lembab, seperti di Nusantara, naskah-naskah kurang bisa bertahan lama
dibandingkan dengan di negeri yang beriklim dingin, seperti di negeri Barat.
Sebagai bukti, di Oxford, Cambridge, dan Itali sampai kini masih terdapat naskah-
naskah Nusantara dari abad ke-16 dan ke-17 yang masih utuh.
Dewasa ini berkat kemajuan teknologi, penyimpanan naskah di dalam
ruangan yang ber-AC di beberapa perpustakaan menolong upaya pelestariannya.
Namun, tidak semua perpustakaan dan tempat penyimpanan naskah di Indonesia
memiliki sarana tersebut. Menurut Russel Jones, karena faktor iklim, jarang
ada naskah di Indonesia yang dapat bertahan lebih dari dua abad.
Naskah "Hikayat Sri Rama" yang terdapat di Perpustakaan Bodleian,
Oxford, t yang dijadikan bahan kajian dalam disertasi Achadiati Ikram, adalah
salah satu dari 23 naskah yang berisikan teks "Sri Rama". Pada tahun 1633
naskah itu telah dihadiahkan oleh Uskup Besar William Laud dari
Canterbury, yang memiliki beberapa naskah tua dalam beberapa bahasa daerah di
Nusantara. Sehubungan dengan itu, naskah tersebut diduga telah beberapa lama
dimilikinya sehingga timbul perkiraan bah wa naskah itu ditulis pada awal abad
ke-17 atau akhir abad ke-16.
Mulyadi (1983) menyatakan bahwa dari tiga puluh naskah "Hikayat
Indraputra " yang dijadikan bahc.n telaahnya, ada satu naskah yang berangka
tahun 1700. Sekarang naskah yang masih utuh itu disimpan di Perpustakaan
KITLV, Leiden.
Di Perpustakaan. Nasional, Jakarta, juga ada dua naskah yang berisikan
teks yangsama. Menurutkajian Mulyadi (1983), salahsatu dari duanaskahitu
tampaknya lebih tua daripada naskah yang disimpan di Leiden. Sayang sekali
naskah tersebut penuh lakuna dan urutannya juga terbalik-balik sehingga naskah
itu tidak dapat dipakai sebagai dasar suntingannya.
Mulyadi juga menambahkan bahwa naskah " Hikayat Indrapu tra"
yang bernomor ML. 125 yang sekarang disimpan di Perpustakaan Nasional,
Jakarta, pada tahun 1696 telah dimasukkan di dalam daftar naskah yang disusun
oleh Pendeta Melchior Leidecker. Naskah yang tercatat dalam daftar
tersebut merupakan naskah koleksi Isaac de St. Martin.
Menurut Werndly (1736), harta peninggalan Isaac de St. Martin
telah dimasukkan ke dalam peti kayu dan disimpan di Sekretarye tanpa ada
yang memanfaatkannya. Sekretarye itu kemudian berubah nama menjadi
Algemeene Secretarie (Kantor Sekretariat Jenderal Pemerintah Belanda).
Menurut perkiraan Mulyadi (1983), warisan Isaac de St. Martin itu adalah 59
naskah berbahasa Melayu dan Arab yang disebutkan dalam NBG 5,1897:42.
Salah satu dari ke-59 naskah itu adalah "Hikayat Indraputra" yang tercatat
dalam urutan ke-27.
Pada tahun 1880 sebanyak 26 naskah (8 naskah berbahasa Arab, 17 naskah
berbahasa Melayu, dan 1 naskah berbahasa Jawa) oleh Algemeene Secretarie
dihibahkan kepada Bataviaasch Genootscfrap van Kunsten en
Wetenschappen, sebagaimana dinyatakan dalam NBG 18,1880. Di antara ke-
26 naskah itu naskah "Hikayat Indraputra" tercatat dalam nomor urut ke-10.
Menurut L.W.C. van den Berg, naskah "Hikayat Indraputra" itu adalah
naskah yang rusak sekali dan halaman awalnya hilang (NBG 18,1880:23,III,IX).
Naskah-naskah warisan Isaac de Si . Martin, yang meninggal tahun
1696 di Batavia, pernah dibicarakan Van Ronkel dalam tulisannya berjudul
"Over Eene Oude Lijst van Maleische Handschriften" dalam BKJ No.
42 tahun 1900. Menurut dugaan Van Ronkel , sebagian peninggalan Isaac St .
Martin merupakan warisan Raffles yang terdapat di Royal Asiatic Society,
London. Dikemukakannya juga bahwa mungkin sebagian naskah peninggalan
Isaac de St. Martin itu termasuk koleksi Bataviaasch Genootschap van
Kunsten en Wetenschappen — sekarang semua naskah itu disimpan di
Perpustakaan Nasional, Jakarta — sejak abad ke-19.
. Dugaan Van Ronkel itu kemudian dibantah P. Voorhoeve dalam
tulisannya berjudul "A Malay Scriptorium" dalam Malayan and Indonesian
Studies: Essays Presented to Sir Richard Winstedton His Eighty -
Fifth Birthday yang diedit John Bastian dan R. Roolvink (1964).
Berdasarkan penelitiannya, naskah-naskah peninggalan Raffles yang disimpan di
Royal Asiatic Society, London, tidak ada yang berasal dari abad ke-17.
Voorhoeve juga menyangkal bahwa tidak ada naskah asli koleksi Isaac de St.
Martin yang dapat ditelusuri dalam koleksi abad ke-19 yang disimpan di Jakarta.
Namun, Mulyadi (1983) menyatakan bahwa salah satu dari dua naskah "Hikayat
Indraputra " yang ada di Perpustakaan Nasional, Jakarta, itu adalah naskah
peninggalan Isaac de St. Martin sesuai dengan cap kertas yang tertera dalam
alas naskah tersebut.
Pada tahun 1990 Mulyadi juga meneliti naskah-naskah Melayu Bima.
Yang tertulis dalam naskah-naskah itu ialah peristiwa yang terjadi pada tahun
1619 — 1891. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa ada 42 naskah Bima yang
alas naskahnya menggunakan cap kertas tua, yaitu Starsburg Lily. Menurut
Churchill dalam tulisannya berjudul Watermark in Paper in Holland,
England, France etc., in the XVII and XVIII Centuries and Their
Interconnection (1935), Starsburg Lily adalah jenis cap kertas yang
diproduksi tahun 1624 — 1789. Sementara itu, Edward Heawood dalam
bukunya Watermarks, Mainly oftlte 17th & 18th Centuries menyatakan
bahwa kertas yang bercap jenis itu diproduksi sepanjang abad ke-17.
Selain yang bercap kertas Starsburg Lily, Mulyadi juga meneliti 25
naskah Bima yang bercap kertas " VOC+A". Ke-25 naskah Melayu Bima itu
mengisahkan peristiwa yang terjadi sekitar tahun 1697—1871. Menurut H. Voorn
dalam bukunya De Papiermnlens in de Provincie Noord -Holland
(1960:7—9) jenis kertas yang bercap "VOC+A" itu dibuat oleh pabrik kertas
VOC di Batavia yang berproduksi antara tahun 1665 dan 1681. Menurut dugaan
Mulyadi (1992), sebagaimana dinyatakan dalam tulisannya "Collections of
Bima Malay Manuscripts", kertas bercap "VOC+A" itu masih diproduksi di
Amsterdam sampai jatuhnya VOC pada akhir abad ke-18. Naskah-naskah Melayu
Bima itu menunjukkan buktibahwa kertas yang diproduksi pada abad ke-17 dan
ke-18 masih dipakai untuk menuliskan peristiwa yang terjadi sampai tahun 1871
dan 1891.
2.Penulisan dan Penyalinan Naskah
Siapakah para penulis dan penyalin naskah Nusantara?
Kenyataan menunjukkan bahwa sebagian besar penulis naskah di
Indonesia, baik penulis naskah berbahasa Melayu maupun penulis naskah
berbahasa daerah, tidak mencantumkan namanya. Hanya beberapa nama penulis
dapat kita ketahui. Biasanya nama penulis tercantum dalam kolofon, yaitu bagian
akhir tulisan di luar teks cerita. Dalam kolofon itu selain nama penulis atau
penyalin teks, juga terdapat tanggal dan tahun penulisan, tempat penulisan,
bahkan ada pula saran atau permohonan kepada pembaca untuk memperbaiki teks,
hasil kerja penulis.
Penulis atau penyalin naskah terdiri atas berbagai lapisan masyarakat, pria
atau wanita, baik secara terof ganisasi maupun tidak, menulis atas kehendak
sendiri atau atas dasar pesanan. Di antara mereka itu ada yang berprofesi sebagai
penulis dan sekaligus sebagai penyalin. Ada pula di antara mereka yang
meminjamkan hasil karyanya kepada masyarakat. Pada masa lampau dikenal
penulis atau pujangga istana dan penulis yang dipekerjakan oleh pihak lain, baik
oleh perseorangan maupun oleh pihak Pemerintah Belanda atau Inggris.
Dalam "Hikayat Abdidlah" tercatat bahwa Raffles sangat rajin
menyuruh orang menyalmkan naskah untuknya, sampai-sampai dipekerjakan
empat atau lima orang juru tulis untuk memenuhi keinginannya itu. Selain itu, dia
juga membeli banyak naskah.
Voorhoeve dalam tulisannya yang berjudul A Malay Scriptorium
dalam buku John Bastian dan R. Roolvink (ed.) yang berjudul Malayan
and Indonesian Studies: Essays Presented to Sir Richard Winstedt
on his Eighty-Fifth Birthday (1964) mengemukakan bahwa kegiatan
Raffles itu telah mendorong pemerintah Belanda untuk menggairahkan
penyalinan naskah. Pada pertengahan abad ke-19 kantor Algemeene
Secretarie pada zaman pemerintah Belanda telah memiliki skiptorium Melayu
yang menghasilkan salinan naskah yang sebagian besar merupakan koleksi
Perpustakaan Universitas Leiden. Voorhoeve (1964:256) juga menambahkan
bahwa salinan naskah Melayu yang dibuat di kantor Algemeene Secretarie itu
sebagian menjadi koleksi naskah di Berlin, Paris, Brussel, dan Den Haag. Naskah
koleksi Koninklijk Instituut voor Taal, Landen Volkenkunde sekarang
sudah dipindahkan ke Leiden.
Salah seorang penyalin yang lama bekerja di Algemeene Secretarie
adalah Muhammad Ghing Saidullah. Hal itu terbukti dari banyaknya naskah
salinan yang dibuatnya. Voorhoeve (1964:260) menyatakan bahwa salinan
naskah produksi Algemeene Secretarie itu menunjukkan kemiripan dan
tampak rapi. Penampilan dan format kertas seragam sehingga karya-karya itu
dengan mudah dapat dikenali sebagai salinan Algemeene Secretarie.
Maria Indra Rukmi (1993) dalam tulisannya berjudul "Penyalinan
Naskah Melayu di Jakarta pada Abad Ke-19 Naskah Algemeene Secretarie:
Kajian dari Segi Kodikologi" menyatakan bahwa orang yang pernah bekerja di
Algemeene Secretarie ialah Muhamad Sulaiman, Muhamad Hasan ibn
Haji Abdul Aziz, dan Abdul Hakim .
Sampai seberapa jauh tugas seorang penyalin?
Gambaran tugas penyalin dalam menyiapkan naskah di dunia Barat,
khususnya di biara Benedict , pada masa lampau pernah dikemukakan oleh
Falconer Madan (1893:34 — 36) dalam karangannya berjudul Books in
Manuscript: A Short Introduction to Tlieir Study and Use. Dalam
buku tersebut dijelaskan bahwa sebuah skiptorium merupakan suatu ruangan yang
luas yang terdiri atas ruang-ruang kecil. Dalam skiptorium itu berlaku berbagai
peraturan yang ketat. Semua peralatan yang dibutuhkan disediakan oleh seorang
petugas khusus. Para biara wan yang ber tugas sebagai penyalin naskah tidak
diperbolehkan mengubah sesuatu dalam teks walaupun di dalam teks itu ada
sesuatu yang salah. Penyalin juga bertugas sebagai iluminator, ilustrator, atau
rubrikator. Jika tugas-itu tidak dapat mereka kerjakan, didatangkan tenaga lain
dari luar biara itu.
T.E. Behrend (1922:17-25) dalam tulisannya berjudul "Patrons,
Sciptoria and Manuscripts Production in Nineteenth Century Java" menjelaskan
bahwa di skiptorium istana Yogyakarta pada pemerintahan Hamengku Buwono V
(1822 — 1855) tugas menyalin naskah, memkubuhkan iluminasi atau gambar, dan
menjilid naskah dijalankan oleh petugas khusus. Diperkirakan bahwa skiptorium
istana Yogyakarta selama Pemerintahar Hamengku Buwono V
mempekerjakan 2 — 10 orang penulis dan/ atau penyalin.
Chambert-Loir mencata-' bahwa salah seorang penulis naskah milik
Von de Wall pada tahun 1837—1865 adalah Husein bin Ismail, orang Bugis,
dari Pulau Penyengat, Riau. Dijelaskannya bahwa naskah-naskah tulisan Husein
bin Ismail , berdasarkan gaya tulisannya yang selalu rapi, mencapai 66 naskah
lebih. Berdasarkan kolofonnya, naskah-naskah Perpustakaan Nasional koleksi Von
de Wall yang ditulis/disalin Husein bin Ismail berjumlah 6 buah, yaitu yang
bernomor 11,31,68,157,228 , dan 257. Giutnbert-Loir juga mencatat bahwa
ada 2 naskah tulisan Husein bin Ismail yang disimpan di School of
Oriental and African Studies, University of London; 1 naskah di
Cambridge University Library, dan 1 naskah di Library of Congress,
Washington.
Naskah-naskah keagamaan—yang berisi ajaran agama, tafsir, atau tasawuf
biasanya ditulis dengan hati-hati dan cermat. Selain naskah keagamaan, naskah
yang ber.si peraturan atau perundang-undangan ditulis dengan cermat juga.
Namun, tidak semua penyalin menaati peraturan itu.
Mulyadi (1994:55) dalam bukunya yang berjudul Kodikologi Melayu
di Indonesia menjelaskan bahwa tradisi penyalinan naskah Melayu dan begitu
juga dalam penyalinan naskah daerah lain di Indonesia sangat berlainan dengan
tradisi penyalinan di dunia Barat yang ketat, sampai-sampai kesalahan pun harus
disalin apa adanya.
Penvalin naskah di Indonesia mempunyai kebebasan. Dia dapat saja
memperbaiki sesuatu yang dianggapnya salah dalam naskah yang disalirmya,
mengubah, menambah, dan mengurangi di sana-sini menurut seleranya. Dalam
kebebasan seperti itu dapat saja dia "menyalin" dari satu naskah atau lebih yang
terdapat di hadapannya dan mengambil bagiandxagian yang dianggap paling
cocok untuk memenuhi seleranya sehingga lahirlah suatu teks ramuan dari
berbagai naskah itu ditambah dengan daya imajinasi.
Dengan gaya penyalinan seperti itu dapat dipahami bahwa dalam
penggarapan edisi naskah tidak selalu berhasil merunut teks yang ada sehingga
dapat disusun sebuah silsilah (slemma). Dalam alam penyalinan seperti yang
terdapat di Indonesia itu, metode stemma yang bertujuan merunut teks asli
diragukan keberhasilannya.
3.Iluminasi dan Ilustrasi
Mula-mula istilah iluminasi dipakai dalam penyepuhan emas pada
beberapa halaman naskah untuk memperoleh keindahan. Dalam
perkembangannya kemudian, iluminasi mengacu pada gambar dalam naskah yang
biasanya terdapat pada halaman depan naskah, halaman 1 dan halaman 2, yang
berfungsi sebagai penghias halaman. Gallop (1991:79) menyatakan bahwa gambar
yang berfungsi sebagai pembingkai sebuah teks disebut iluminasi . Selain
iluminasi , dalam naskah juga ada gambar yang berfungsi bukan hanya
sebagaipenghias halaman melainkan juga sebagai pendukung isi teks. Gambar
seperti itu disebut ilustrasi (Folsom, 1990:40). Karena berfungsi sebagai
penjelas teks, ilustrasi terletak di mana saja, bisa di bagian depan, di tengah atau
di bagian belakang.
Iluminasi biasanya berbentuk bingkai yang ada pada halaman depan.
Dalam The Art of the Book in Central Asia dinyatakan bahwa dekorasi
yang terletak pada halaman depan teks ada 3 jenis: (1) dekorasi yang membingkai
seluruh teks, yang disebut. arlauh; (2) dekorasi yang terdapat pada bagian atas
teks, yang disebut univan; dan (3) dekorasi yang terdapat di tengah teks dan
berbentuk oval, yang disebut samsah.
Dalam naskah Melayu koleksi Perpustakaan Nasional, Jakarta, sebagian
besar iluminasi berbentuk bingkai teks dan terdapat pada halaman bagian depan.
Bentuknya persegi panjang dan kadang-kadang bujur sangkar. Bagian atas
iluminasi ada juga yang berbentuk setengah lingkaran (kubah) dan bagian
tengahnya berbentuk kerucut. Pada kerucut itu ada yang bergambar bunga,
kuncup bunga, bintang, bulan, atau gambar geometrik.
Motif gambar yang membingkai teks juga beragam. Iluminasi yang
terdapat dalam halaman muka naskah "Syair Kumbang dan Melati" berupa
gambar yang membingkai seluruh teks. Motif gambarnya berupa tumbuh-
tumbuhan, bunga teratai yang berpadu dengan daun melati, dan daun anggur yang
berpadu dengan garis geometris. Motif itu berbentuk mihrab dan di atasnya
berbentuk kubah. Di atas gambar kubah itu terdapat gambar bintang.
Iluminasi berbentuk kubah juga terdapat pada naskah "Syahrul lndra
VIII" . Gambar dalam iluminasi itu dipoles dengan cat air dengan warna-warni
yang sangat mencolok: merah, biru, kuning, dan hitam. Goresan dalam iluminasi
itu tampak halus dan rapi.
Dalam naskah "Maharaja Boma IV" iluminasi bermotif geometris
yang berpadu dengan floral. Gambar hanya terdapat pada bagian atas teks,
sedangkan pembatas kiri, kanan, dan bawah hanya menggunakan baris. Bingkai
teks seperti itu juga terdapat dalam naskah "Maharaja Boma I" yang bergambar
akar sulur dan daun melati, sedangkan bingkai kedua sisinya bergambar bintang.
Mengapa motif iluminasi itu berupa tumbuh-tumbuhan, seperti melati,
anggur, dan teratai?
Mungkin tumbuh-tumbuhan jenis itu mempunyai lambang khusus dalam
budaya kita. Teratai merupakan lambang kekuatan dan keteguhankarena
tumbuhan itu dapat hidup kokoh di atas permukaan air walaupun akarnya hanya
terhunjam di air.
Walaupun hidup di air yang kotor, teratai berbunga indah dan berseri-seri.
Motif tumbuhan bersulur yang berupa batang merambat yang dirangkai
dengan daun dan bunga yang saling berkaitan dalam istilah Jawa disebut sulur
gelung. Dalamnaskah "Sejarah Kawedar" dinyatakan bahwa
swZwrgeZimgmerupakan lambang dari pegangan hidup (Pudjiastuti , 1992:3).
Menurut Daneshvari (1986:27), baik sulur anggur maupun sulur lainnya, bukan
hanya muncul dalam seni Islam, melainkan juga dalam seni Kristen. Sulur
merupakan lambang dari kehidupan yang akan datang di surga. Gallop
(1991:59) berpendapat bahwa gambar seperti itu (geometris dan floral) dipakai
sejalan dengan kepercayaan Islam ortodoks yang menolak gambar makhluk hidup.
Oleh sebab itu, gambar manusia jarang dijumpai dalam naskah Melayu.
Sehubungan dengan munculnya seni Islam, (Akbar, 1992:4) menyatakan
bahwa salah satu karakteristik seni Islam adalah pengulangan. Pengulangan dapat
bermotif geometrik atau floral. Dalam arsitektur Islam dapat kita lihat adanya
bentuk yang diulang-ulang hingga menutupi seluruh permukaan dinding. Hal itu
melambangkan keterikatan hubungan antara Tuhan dan khaliknya, termasuk juga
nilai-nilai estetika. Motif gambar seperti itu merupakan upaya untuk menutupi
kekosongan. Kaligrafi merupakan kesenian Islam yang beniilai estetis tinggi.
Motif bunga, bulan, dan geometrik juga berkaitan dengan kepercayaan
orang Melayu tentang Ketuhanan. Orang Melayu menganggap bahwa Tuhan itu
Mahatinggi dan Mahamulia.
Hal itu menunjukkan bahwa kesenian Melayu berkaitan erat dengan
kesenian Islam.
Bertahan dengan kesenian Islam, Akbar (1922) menyatakan bahwa produk
seni Islam didominasi oleh pola geometrik dan bunga yang bersifat non-figuratif
yang melambangkan keesaan (tauhid) Tuhan, tidak berkompromi, tidak dapat di-
ekspresikan dalam bentuk-bentuk bendawi. Seni Islam merupakan simbul
kepercayaan dan pemahaman akan Tuhan yang dituangkan dalam bentuk garis,
warna, dan irama. .
Berbeda dengan iluminasi, yang gambarnya membingkai teks, ilustrasi
tampil dalam haitannya dengan alur cerita (Gallop, 1991:87). Karena berkaitan
dengan alur cerita, ilustrasi tampak pada halaman-halaman tertentu sesuai dengan
alur cerita. Ilustrasi dapat berfungsi memperjelas identifikasi tokoh>, jalan cerita,
atau makna teks. Oleh sebab itu, Vermeeren dan Hallinga (1963:263)
menyebut gambar seperti itu dengan istilah textil lustration.
Pada umumnya kehadiran gambar yang berfungsi sebagai ilustrasi itu
disesuaikan dengan isi cerita dalam teks. Dalam naskah "Merpati Emas dan
Merpati Perak", misalnya, dikisahkan bahwa tokoh berlayar sampai di suatu
pantai. Di bawah teks yang menyatakan peris tiwa itu terdapat gambar — dengan
tinta hi tarn— dua buah kapal laut sedang berlayar yang menghampiri pantai.
Pada halaman lain terdapat gambar istana. Ternyata, istana tersebut merupakan
tempat tinggal tokoh yang bernama istana Negeri Padang Temurat.
Dalam naskah "Wayang Arjuna", "Cerita Wayang", dan "Hikayat
Purusara", ketiga teksnya tergolong cerita wayang, terdapat gambar wayang,
yang menjadi tokoh cerita. Gambar wayang itu dapat diidentifikasi berdasarkan
peristiwa yang tertera dalam teks,
Dalam naskah "Hikayat Purusara"halaman 5, misalnya, terdapat gambar
Petruk, Gareng, dan Garubug sedang bercakap-cakap. Teks yang terdapat pada
halaman itu menyatakan bahwa mereka sedang merundingkan pembagian kerja
dalam pembangunan kampung: siapa yang mencangkul dan siapa yang memotong
kayu. Dalam halaman 118 naskah itu juga terdapat gambar Petruk, Semar,
Garubug, serta Rara Amis dan anaknya. Gambar itu berfungsi memperjelas teks
tentang peristiwa Rara Amis dan para punakawannya ketika berada di hutan.
Kehadiran ilustrasi dalam naskah seperti itu jelas dapat membantu
pembaca dalam memahami isi teks dan dapat merangsang pembaca untuk terus
membaca, di samping untuk menghilangkan kebosanan.
Dalam naskah "Syair Buah-buahan" (bernomor ML 254) terdapat
ilustrasi berupa gambar buah jambu, jeruk, pisang, delima, anggur, dan rambutan.
Gambar buah-buahan tersebut ditampilkan sesuai dengan alur cerita, bahkan
berfungsi sebagai tokoh cerita karena dapat berbicara dan bertindak seperti
manusia. Hal itu dapat kita pahami karena "Syair Buah-buahan" tergolong
syair simbolik.
Selain bermotif geometrik dan sulur, ilustrasi juga ada yang bermotif daun
dan garis yang membentuk silsilah. Dalam naskah koleksi Yayasan Indrasakti,
yang terdapat di Pulau Penyengat, Riau, ada beberapa naskah silsilah, seperti
"Silsilah Keturunan Raja-raja Riau" dan "Silsilah Laksamana Encik
Muhammad Yusuf". Ilustrasi dalam naskah "Silsilah Laksamana Encik
Muhammad Yusuf berbentuk tongkat dengan garis ke kiri dan ke-kanan yang
mencantumkan nama-nama keturunanny a. Tinta yang digunakan dalam kedua
naskah itu berwarna merah dan hitam.
Di Perpustakaan Nasional juga terdapat naskah seperti itu yang berjudul
"Tapel Adam". Ilustrasinya berbentuk akar sulur yang membelah menjadi dua
bagian. Sulur sebelah kiri ditulis dengan aksara Jawa dan sulur sebelah kanan
dengan aksara pegon. Silsilah berawal dari Nabi Adam sampai keturunan
Sultan Yogyakarta dan teralchir Kanjeng Sultan Gangsal. Alas
naskahnya kertas double folio (3 lembar) yang disambung-sambung.
Selain ilustrasi yang telah diuraikan di atas, ada juga ilustrasi motif lain,
sebagaimana yang terdapat dalam naskah kitab, obat-obatan, astrologi, ilmu
firasat (primbon), mistik, dan tasawuf. Ilustrasi dalam naskah tersebut juga
berfungsi sebagai penjelas teks agar doa, ramalan, dan obat-obatan yang tertera
pada teks bertuah ampuh. Ilustrasi dalam naskah seperti itu bermotif binatang,
tumbuh-tumbuhan, geometrik, dan manusia (dalam bentuk yang sangat primitif).
Sebagai contoh, perhatikan ilustrasi teks-teks berikut:
Siapakah yang membuat iluminasi dan ilustrasi itu? Apakah yang
membuatnya penulis atau penyalin naskah itu?
Pertanyaan itu sukar dijawab mengingat sulit sekali
mengidentifikasinya. Dalam naskah ataupun teks sama sekali tidak ada
ciri-ciri yang dapat menelusurinya. jika pembuat iluminasi atau ilustrasi
itu penulis/penyalin, hal itu dapat dilacak melalui kolofon. Namun, itu pun
tidak dapat diandalkan karena naskah-naskah tua tidak berkolofon. Pada
naskah abad ke-19 barulah terdapat kolofon. Kolofon-kolofon itu sering
mencantumkan nama penulis/penyalin, tempat, dan waktu penyalinan.
Bahkan, dalam kolofon kadang-kadang tencantum data pemilik naskah.
Dalam naskah, Melayu yang berilustrasi dan berkolofon tercatat
tempat penyalinan, antara lain Betawi (Jakarta) dan Palembang. Menurut
Chambert-Loir (1984:44 — 67), pada abad ke-19 di Betawi ada seorang
penyalin dan pemilik naskah yang bernama Muhammad Bakir. Chambert-
Loir berhasil mencatat 27 naskah milik Muluwtmad Bakir. Namun, di antara
ke-27 naskah itu hanya 8 naskah yang berilustrasi, yaitu (1) "Hikayat
Agung Sakti", (2) "Hikayat Maharaja Garebag Jagat", (3) Syair Wayang Arjuna",
(4) Hikayat MeiyatiLmas dan MerpatiPerak", (5) "Hikayat Purusara", (6)
"Hikayat Sultan Taburatl", (7) "SyairKen Tambuhan",dan(8) "SyairBuah-
buahan". Semua naskah itu disalin sekitar tahun 1880-an.
Sebagian besar naskah yang disalin Muhammad Bakir disewakan
kepada pembaca. Kolofon yang terdapat dalam naskah "Syahrul Indra VIU"
berbunyi sebagai berikut.
Saya hendak berpesan kepada sekalian Tuan-tuan dan Cucu-cucu
atau Babah atau Enci-Enci yang suka baca ini hikayat jangan terlalu dekat
pelita dan jangan terlalu makan sirih dan jangan terlalu becanda di hadapan
ini hikayat sebab takut nanti ketumpahan minyak. Dan lagi jikalau
sekalian sanak saudara ada empunya rahim serta rida hati yang puti bersi
akan saya, maka adalah saya hendak mohonkan di dalam satu malam 10
sen demikian adanya.
Dalam kolofon "Syahrul Indra VII" juga disebutkan harga sewa
naskah sebagai berikut. "... pada tahun seribu delapan puluh delapan enam ...
Kasim Sarina yang punya di Kampung Ancol. Siapa yang suka baca boleh bayar
10 sen."
Berdasarkan catatan tersebut, penyewaan naskah ternyata berkaitan
erat dengan pemberian ilustrasi dalam naskah karena ilustrasi dapat
merangsang minat pembaca dan mempuanyai nuansa lain dalam bacaan.
Ternyata naskah-naskah berilustrasi yang disewakan itu bukan
hanya naskah yang disalin di Betawi, melainkan juga naskah yang disalin
di Palembang. Kratz (1980:90—96) menyatakan bahwa beberapa naskah
yang ditulis di Palembang disewakan. Naskah itu bertahuri 1886 AD.
Naskah yang disewakan itu ada yang berilustrasi, seperti naskah "Hikayat
Sri Panji Kelana Anaken".
Dalam salah satu naskah tercantum kolofon yang menyatakan
bahwa penyalinnya adalah Radin Mas Subra di Palembang dan selesai
disalin pada 14 Rabiul Awal 1332 H atau 1914 M. Selain itu, ada juga
keterangan sebagai berikut.
"Siapa suka mau beli Syair Syari'at Islam boleh datang di toko Ce Haji
Chatib Kampung Sekanak Sungai Besar."
Dalam kolofon naskah yang lain tercatat bahwa naskah tersebut
"tamat kepada tanggal 3 bulan Jumadil Aioal malam Ahadjam 5 Viadanya pada
tanggal tahun 1336/1918 adanya. Maka adalah yang mengarang ini yaitu Kemas
Ahmad pada Kampung 3 Ulu adanya."
Dalam kolofon naskah "Pandawa Lebur" disebutkan bahwa, "Naskah
baharu sudah dibaikkan pada tanggal 1 Juli 1906. Yang empunya hikayat ini
Muhammad Syafei bin Muhammad Saleh, Kampung Ulu Palembang adanya.
Barangsiapa pakai ini hikayat min ta tolong peliharakan."
Dalam kolofon naskah "Hikayat Anbiya" juga dinyatakan sebagai
berikut.
Ini hikayat ada empat orang yang empunya bekas tulisannya. Maka
jadi berlain-lainan tulisannya. Jangan dikasi tangan pertanyaan dan
sewanya dalam sehari semalam 10 sen.... Hamba memberitahukan kepada
Tuan-tuan yang manah suka membaca hikayat ini, biarlah Tuan-tuan ingat
kepada yang empunya karena ini hikayat tulisannya belum lama dan lagi
jangan ada kena kotor karena harganya 15 rupiah perak adanya. Ini
hikayat yang empunya bernama Muhammad Din, Kampung Nurbaik, Gang
Terunci adanya.
Berdasarkan kolofon tersebut, pencantuman ilustrasi tampaknya
berkaitan erat dengan komersialisasi naskah pada abad ke-19, baik untuk
disewakan, dipinjamkan, maupun untuk dijual.
Daya tahan (usia) naskah bennacam-macam: ada yang tahan lama
dan ada yang tidak tahan lama. Usia naskah sangat bergantung kepada alas
naskah yang digunakan, iklim, dan tempat penyimpanannya. Selain itu,
daya tahan naskah juga bergantung kepada pemeliharaannya.
Penulis atau penyalin naskah Nusantara pada umumnya anonim.
BerdasarKar t kolofon yang biasanya terdapat pada bagian akhir teks,
penulis atau penyal n naskah terdiri atas berbagai lapisan masyarakat, baik
secara terorganisa.' si maupun tidak, yang menulis berdasarkan kehendak
sendiri atau berdas arkan pesanan. Di antara mereka itu ada
yangberprofesi sebagai penulis dar i sekaHgus sebagai penyalin serta
meminjamkan hasil karyanya kepada masyarakat. Pada masa lampau
dikenal penulis atau pujangga istana dan penulis yang dipekerjakan oleh
pihak lain, baik oleh perseo-rangan maupun oleh pihak Pemerintah
Belanda atau Inggris.
Naskah-naskah Nusantara pada umumnya tidak beriluminasi, tetapi
ada pula yang beriluminasi. Selain itu, ada.pula naskah yang berilustrasi.
Iluminasi ac Ialah gambar yang berfungsi sebagai penghias halaman muka
naskah, biasanya membuat sejenis bingkai teks. Ilustrasi adalah gambar
yang berfungsi sebagai penjelas teks. Jadi, ilustrasi ada kaitannya dengan
alur cerita, sedangkan iluminasi tidak berkaitan dengan alur/Lsi cerita.
V1
Edisi Naskah
Langkah Kerja Edisi Naskah
Penciptaan teks dalam naskah biasanya sangat rumit. Apalagi masa
penciptaannya sudah beberapa abad yang lalu. Oleh karena itu, kita
sebagai peneliti harus mengerti benar apa vang harus dilakukan ketika
menghadapi naskah. Pekerjaan yang harus dijalani tentu saja tergantung
pada naskah yang dijadikan objek penelitian. Teks yang hanva terdapat
dalam satu naskah berbeda perlakuannya dengan teks yang ada dalam
beberapa naskah. Untuk itu, dalam melakukan tugasnya, seorang filolog
dapat melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
(1) inventarisasi naskah, ,
(2) deskripsi naskah,
(3) perbandingan teks
(4) penentuan metode penyuntingan,
(5) penentuan umur naskah, dan
(6) transliterasi.
1) Inventarisasi Naskah
Inventarisasi naskah dapat dilakukan jika kita sudah menentukan
naskah apa yang menjadi objek penelitian kita. Misalnya kita akan
mengambil naskah Melayu yang berjuudul Hikayat Muliammad Hanafi ifyah.
Setelah mengetahuinya, kita beranjak dengan meneliti jumlah naskah
tentang cerita atau hikayat itu. Untuk mengetahui jumiahnya kita harus
meneliti di berbagai ternpat penyimpanan naskah yang sangat tersebar.
Cara yang dilakukan adalah dengan melihat berbagai katalog naskah, baik
katalog yang mendaf tarkan naskah yang di dalam negeri maupun di luar
negeri.
Katalogus adalah buku yang berisi berbagai judul naskah yang ada
dalam suatu koleksi. Katalog terbagi dua, yaitu katalog deskriptif dan
katalog yang hanya berupa daftar saja. Katalog deskriptif adalah buku
yang mendeskripsikan keadaan suatu naskah dengan lengkap, umpamanya
ukuran naskah, jumlah halaman, kolofon, serta ringkasan isi. Contoh
katalog yang seperti ini adalah Katalog Koleksi Naskah Melayu Museum Pusat
(1972) dan Ronkel (1909) Catalogus der Maleische Handschriften in liet
Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Katalog yang kedua
berupa daftar karena di dalamnya hanya disebutkan judul naskah dan
tempat penyimpanannya. Contoh katalog yang seperti itu adalah yang
disusun oleh Joseph Howard dengan judul Malay Manuscripts: A
Bibliographical Guide (1966). Bukan hanya katalog yang dapat dipakai
untuk menginventarisasi jumlah dan tempat-tempat penyimpanan naskah,
melainkan juga daftar naskah yang dimiliki oleh berbagai perpustakaan
dan museum. Biasanya suatu perpustakaan atau museum sudah
mendaftarkan koleksi naskah yang menjadi miliknya. Kadang-kadang
daftar itu dibuat sangatsederhana oleh pemiliknya. Meskipun sederhana,
daftar itu tetap bermanfaat.
Katalog apa saja yang kiranya dapat dipakai? Katalog itu
tergantung pada naskah yang diambil. Apakah naskah Jawa, Sunda,
Melayu atau Bali? Naskah di Indonesia sangat beragam karena ditulis
dalam berbagai bahasa daerah dengan aksara yang berbeda. Naskah
berbahasa Jawa dapat dicari dalam katalog naskah Jawa; naskah berbahasa
Bali dapat dicari dalam berbagai katalog naskah Bali; naskah berbahasa
Sunda dapat dicari dalam katalog naskah Sunda, begitu juga halnya
dengan naskah yang berbahasa Melayu. Berbagai katalog naskah daerah di
Indonesia sudah banyak disusun oleh beberapa pakar. Jika kita mengambil
naskah Melayu, berbagai katalog yang memuat naskah Melayu harus kita
cari.
Sebagai contoh kalau kita mengambil naskah Melayu, informasi apa
saja yang diperlukan? Berdasarkan informasi yang diberikan oleh
Chambert-Loir (1980) naskah Melayu disimpan di 29 negara, di antaranya
Indonesia, Malaysia, Inggris, Belanda, Denmark, Belgia, Jerman, Perancis,
dan Italia. Dalam suatu negara, naskah disimpan dalam berbagai
perpustakaan dan museum. Di samping itu, naskah juga masih disimpan
dalam berbagai koleksi pribadi dalam masyarakat di Indonesia yang
koleksinya belum dicatat, lain halnya dengan lembaga formal. Naskah-
naskah yang dikoleksi oleh lembaga itu biasanya'sudah dibuat katalog.
Berbagai katalog perlu diperiksa untuk melihat di mana saja naskah yang
kita ambil itu disimpan.
Naskah Melayu yang disimpan di Perpustakaan Nasional, Jakarta,
dapat diketahui dalam katalog berikut ini.
(a) Catalogus der Maleische, Javaansche en Kaivi HSS van het Bataviaasch,
1872, disusun oleh Cohen Stuart merUpakan katalog naskah Melayu di
Indonesia yang tertua.
(b) Catalogus der Maleische PISS in het Museum van het Bataviaasch van
Kunsten en Wetenschaapen, tahun 1909 disusun oleh Van Ronkel.
(c) Katalogus Koleksi Naskah Melayu Museum Pusat, tahun 1972, dibuat oleh
Sutaarga dan kawan-kawan.
(d) Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara, Perpustakaan Nasional RI, 1998,
Naskah Melayu yang disimpan di Belanda dapat diketahui dalam
katalogus:
(a) Catalogus van de Maleische en Sundaneesclie Handschriften disusun
oleh H.H. Juynboll pada tahun 1899. Katalog ini tidak hanya
memuat naskah Melayu, tetapi juga naskah Sunda yang disimpan di
Belanda.
(b) Supplemen t-Catalogus der Maleisclie en Minagkabausche Handschriften
in de Leidsche Universiteits Bibliotlieek yang disusun oleh Van Ronkel,
1921.
(c) Catalogue of Malay and Minangkabau Manuscripts in the Library of Leiden
University and Oilier Collections in the Netfierlands, tahun L998, katalog
terbaru yang disusun oleh Y.P. Wieringa.
Naskah Melayu yang disimpan di Inggris dapat diketahui dalam katalogus
dan daftar yang disebutkan berikut ini.
(a) ―Account of six Malay Manuscripts of the Cambridge‖, sebuah daftar yang
disusun oleh Van Ronkel dalam Majalah BKI, 6, II, 1896.
(b) Indonesian Manuscripts in Great Britain: A Catalogue of Manuscripts in
Indonesian Languages in British Public Collections, tahun L977. Katalog
yang paling lengkap dibuat oleh Ricklefs dan Voorhoeve. Katalog ini memuat
seluruh naskah yang disimpan di Inggris, di antaranya di London, yaitu di
Royal Asiatic Society, School of Oriental and African Studies, dan The
British Library. Naskah yang disebutkan dalam catalog itu adalah naskah-
naskah Nusantara, seperti Batak, Aceh, Bali, Ambon, Bugis, Jawa, Lampung,
Kalimantan, Makasar, Melayu, Minangkabau, Sasak, dan Sunda.
Naskah Melayu yang disimpan di Malaysia, Negara tetangga, dapat dilihat
dalam katalog:
(A) Malay MSS. A Biblographical Guide, 1966, DIBUAT JOSEPH H. HOWARD YANG
DITERBITKAN DI KUALA LUMPUR OLEH UNIVERSITY OF MALAYA. DI NEGARA TERSEBUT
ADA TIGA TEMPAT MENYIMPAN NASKAH, YAITU MUSEUM NEGARA, UNIVERSITAS MALAYA,
DAN UNIVERSITI KEBANGSAAN YANG TERLETAK DI KUALA LUMPUR.
PERANCIS JUGA MENYIMPAN NASKAH MELAYU. UNTUK MENGETAHUI NASKAH APA
SAJA YANG DISIMPAN DI NEGARA ITU, KITA DAPAT MELIHATNYA DALAM BEBERAPA
KATALOG, MISALNYA
(a) P.VOORHOEVE MEMBUAT ARTIKEL YANG DITERBITKAN DI MAJALAH Archipel 6,
1973 DENGAN JUDUL "LES MSS MALAIS DE LA BIBLIOTHEEQUE NATIONALE DE
PARIS",
(b) WAN ALI WAN MAMAT, 1991 MENYUSUN Katalog Manuskrip Melayu di
Perancis. KATALOG INI MEMUAT 209 NASKAH MELAYU YANG ADA DI NEGARA
TERSEBUT.
2) Deskripsi Naskah
DALAM BAGIAN DESKRIPSI NASKAH KITA HARUS MEMAPARKAN ATAU MENDESKRIPSIKAN
KEADAAAN NASKAH SATU PER SATU SEJELAS MUNGKIN. BUTIR-BUTIR APA SAJA YANG
DIDESKRIPSIKAN? SEBENARNYA BEBERAPA PAKAR TELAH MENGUSULKAN SUATU DAFTAR
YANG MEMUAT BUTIR-BUTIR YANG HARUS DIRINCI DALAM MENDESKRIPSIKAN NASKAH,
TETAPI SELALU SAJA ADA KEKURANGAN DAN KELEBIHAN. YANG DIPENTINGKAN DALAM
SEBUAH DESKRIPSI ADA tiga hal, yaitu deskripsi fisik naskah, jilid naskah, isi
naskah. Informasi lain dapat saja diuraikan misalnya catatan lain yang
memuat sejarah naskah. Mulyadi (1994) menguraikan hal-hal yang harus
dicatat dalam mendeskripsikan sebuah naskah.
(a) Judul naskah
Judul naskah biasanya ditemukan pada halaman awal yang disebut
halaman judul, tetapi tidak semua naskah mempunyai halaman judul.
Kalau tidak ada halaman itu, judul naskah biasanya disebutkan pada awal
teks atau di akhir teks. Kalau ternyata tidak ditemukan juga, filolog wajib
memberi judul. Jika filolog yang memberikan judul, sebaiknya judul itu
ditulis di dalam kurung siku [....] atau diberi tanda petik “…..”
(b) Tempat penyimpanan naskah
Sebutkan semua tempat yang menyimpan naskah itu (lihat dalam berbagai
katalog) .Tempat penyimpanan, seperti yang sudah diuraikan di atas,
dapat berupa lembaga formal (yayasan, museum, perpustakaan) atau
perorangan.
(c) Nomor naskah
Nomor naskah biasanya diberikan oleh pemilik dan ditempelkan pada
sampul naskah. Meskipunpara pemilik naskah sudah mencatatkan nomor,
biasanya sebuah lembaga yang menyimpan memberikan juga nomor baru.
Jika nomor itu ada, semua nomor yang ada harus dicatat. Sebuah lembaga
biasanya tidak akan menghilangkan nomor asli yang dibuat oleh
pemiliknya karena nomor itu penting untuk mengetahui sejarah sebuah
naskah. Di Perpustakaan Nasional, Jakarta, misalnya nomor lama yang
menandai naskah milik Von de Wall diberi inisial W. Tetapi naskah itu
juga mempunyai nomor baru dengan kode Ml. (yang berarti Melayu).
Kedua nomor itu harus dicatat apa adanya.
(d) Ukuran naskah
Ada tiga hal yang dapat diukur dalam naskah, yaitu ukuran sampul
naskah, ukuran halaman naskah, dan ukuran-teks yang ditulis (kolom
teks). Ukuran itu dihitung dengan panjang dikali lebar.
(e) Jumlah halaman
Jumlah halaman naskah ada yang menghitung berdasarkan jumlah
halaman dan ada juga berdasarkan jumlah lembar. Kita harus memiiih
salah satu di antara keduanya agar konsisten dalam penghitungan.
Kemudian disebutkan juga jumlah halaman yang ditulisi dan halaman
yang kosong. Halaman kosong biasanya digunakan untuk pelindung teks
— sebelum dijilid — yang terdapat pada awal dan akhir naskah.
(f) Jumlah baris
Jumlah baris dihitung dalam tiap halaman, biasanya halaman awal dan
akhir berbeda jumlah barisnya dengan halaman isi teks. Untuk itu,
deskripsikan selengkap mungkin atau diambil jumlah rata-rata naris
dalam isi teks, lalu sebutkan jumlah baris halaman awal dan jumlah baris
halaman akhir.
(g) Huruf
Huruf adalah tulisan yang dipakai dalam naskah. Huruf disebut juga
dengan aksara. Pemakaian huruf ini penting disebutkan karena naskah
Nusantara sangat beragam. Apakah naskah itu ditulis dalam aksara
daerah (sebutkan namanya), aksara Arab, atau aksara Latin.
(h) Bahasa
Selain huruf sebutkan juga bahasa yang dipakai dalam teks. Sama halnya
dengan huruf, bahasa di Nusantara juga sangat beragam. Jadi, sebutkan
apakah naskah itu menggunakan bahasa Melayu, Jawa, atau Sunda.
(i) Tinta
Sebutkan jenis tinta yang digunakan serta warna tintanya, apakah teks itu
ditulis dengan tinta hitam, coklat, merah atau mungkin dengan pensil.
Dalam naskah sering ditemukan rubrikasi, pewarnaan dengan tinta merah.
pada kata atau kalimat yang di anggap penting. Pada perkembangannya
tidak hahya tinta merah yang digunakan, tetapi tinta dengan warn a lain.
Jika ada yang seperti itu, sebaiknya juga disebutkan
(j) Alas naskah
Sebutkan alas (bahan) yang digunakan untuk menulis. Kalau kertas,
sebutkan kertas tradisional atau kertas Eropa. Sama halnya kalau naskah
itu menggunakan alas yang lain, neper d lontar atau bambu. Kalau naskah
menggunakan kertas tradisional, sebutkan jenis kertasnya apakah
termasuk kertas dluwang. Kalau sukar untuk mengidentifikat/ikan,
sebutkan saja keadaan kertas itu, apakah tebal, tipis, licin. dan sebutkan
warnanya. Untuk kertas Eropa deskripsikan juga cap kertas yang ada di
dalamnya DI aagan menyebu TKAN nama dan mendeskripsikan gambarny a.
Nama cap kertas itu da oat dilihat dalam daftar cap kertas tulisan
Churchill atau E. Heawood (yang judulnya akan dinyatakan pada
pembicaiaan penentuan umur naskah). Untuk naskah yang berasal dari
abad ke-19 atau 20 banyak ju ga teks yang ditulis di atas kertas bergaris.
(k) Garis tebal dan garis tipis
Kedua jenis garis ini juga terdapat dalam cap kertas sehingga cara
melihatnya sama dengan melihat cap kertas. Kertas diangkat dan
dipantulkan ke cahaya. Kedua garis itu adalah garis tebal (chain line) DAN
garis tipis {laid line). Garis tipis dihitung dalam tiap sentimeter ada
berapa garis, sedangkan garis tebal dapat dihitung jumiahnya.
(l) Kondisi naskah
Kondisi naskah dideskripsikan dengan serinci mungkin agar pembaca
mendapat gambaran tentang keadaan naskah yang ada pada saat ini.
Deskripsi ini penting bagi peneliti selanjutnya. Yang diuraikan, di
antaranya keadaan kertas. Apakah kertas masih baik atau sudah banyak
yang robek, rusak (bolong-bolong), dan apakah sudah dilaminasi.
Bagaimana keadaan tulisan dan tintanya. Akhir-akhir ini banyak juga
ditemukan naskah yang dicetak dengan cara tradisional, yaitu cetak batu
(litografi). Kalau naskah yang seperti i tu yang ditemukan sebaiknya
disebutkan juga.
(m) Kolofon
Kalau dalam naskah itu ada kolofon, sebutkan semua keterangan yang
dinyatakan di dalamnya, misalnya tempat, waktu, dan penulis atau
penyalin. Kolofon biasanya ada di halaman akhir teks, tetapi kadang-
kadang juga ada yang dinyatakan pada bagian awal. Untuk menolong
peneliti lain, sebaiknya kolofon ini dikutip apa adanya, seperti dalam teks.
(n) Gambar
Dalam naskah kadang-kadang dimuat gambar. Gambar untuk hiasan yang
ada pada halaman depan (halaman awal dan halaman dua) disebut
iluminasi. Gambar lain yang terdapat pada halaman isi yang berkaitan
atau menjelaskan teks disebut ilustrasi. Kalau ada gambar dalam naskah
cfeskripsikan gambarnya, alatmenggambar (tinta, cat air, pensil gambar),
dan warna. Sebutkan pula pada halaman berapa gambar itu berada.
(o) Jilid naskah
Yang menjadi perhatian untuk jilid naskah, misalnya bahan untuk sampul
naskah (cover), motifnya, cara menyatukan lembar-lebar naskah, misalnya
dengan benang atau dengan lem, dan kuras. Kuras adalah kertas yang
dilipat dan dipotong lalu disusun bertumpuk, ada yang terdiri atas 4,6,
atau 8 lembar. Untuk itu, dihitung dalam satu jilid ada berapa kuras.
(p) Catatan
Dalam sebuah naskah kadangkala ditemukan catatan-catatan yang kira-
kira dapat mengungkap sejarah teks. Kalau ada catatan itu, kutipkan saja
catatan itu apa adanya. Misalnya dalam Hikayat Maharaja Garebeg fagad
disebutkan sejumlah judul naskah yang menjadi milik Muhammad Bakir,
pengarang dan penyalin dari naskah Betawi yang menyewakan naskahnya
kepada pembaca. Contoh lain adalah adanya stempel pada kertas. Hal itu
juga harus dicatat karena stempel dapat mengungkap kepemilikan naskah.
Intinya segala catatanyang dapat mengungkap sejarah sebuah naskah jika
ditemukan, harap dicatat dalam bagian irti.
3) Perbandingan Teks
Perbandingan teks dalam naskah dilakukan jika teks terdapat lebih dari satu
naskah Kalau naskah vang dihadapi hanya satu, langkah kerja ini dilewati. Akan
tetapi, kalau kita mempunyai naskah lebih dari satu, langkah ini harus dilakukan.
Bagaimana cara rnelakukan perbandingan?
Perbandingan teks dilakukan untuk mengetahui apakah ada perbedaan antara
bacaan satu naskah dengan bacaan naskah lainnya. Kalau ternyata bacaannya
sama dalam semua naskah, penentuan teks yang akan disajikan tidak terlalu
sukar. Namun, masalah akan muncul kalau ternyata naskah-naskah berbeda
bacaannya atau terdapat penyimpangan antara sa tu dan lainnya. Penentuan
naskah yang akan disajikan dalam edisi naskah menjadi sulit. Teks manakah y
ang harus dipilih untuk ditransliterasi.
Perbandingan teks dapat dilakukan dengan perbandingan isi cerita, misalnya
episode per episode kalau teks-teks yang ditemukan berbeda versi. Akan tetapi,
kalau teks yang ditemukan hanya varian dari satu versi, perbandingan biasanya
dilakukan dengan melihat perbedaan pemakaian kata, yakni dibandingkan kata
per kata. Perbedaan-perbedaan dicatat dalam aparatus kritikus. Aparatus kritikus
itu, yang mencatat segala perbedaan, dapat ditempatkan pada kaki halaman atau
pada halaman tersendiri di akhir halaman setelah semua perbedaan dicatat. Se
telah perbandingan selesai, kita diharapkan sudah dapat menentukan teks mana
yang akan dipakai atau disunting karena dari perbandingan itu kita sudah
melihat teks yang dianggap baik. Kalau dalam teks itu banyak ditemukan
kesalahan, teks itu jangan dipilih. Di samping itu, dapat juga dipilih naskah yang
lebih tua. Naskah yang lebih tua menjadi pertimbangan pokok dalam edisi naskah
pada masa lalu. Namun, dalam perkembangan keniudian, kelengkapan isi juga
menjadi pertimbangan. Pertimbangan itu tergantung pada tujuan penelitian.
4) Penentuan Metode Pem/imtingan
Setelah rnelakukan perbandingan, kalau naskah lebih dari satu, kita harus
menentukan metode penyuntingan (edisi) yang akan digunakan. Metode edisi
naskah tunggal berbeda dengan metode dalam edisi naskah yang lebih dari satu
(naskah jamak). Khusus penentuan metode edisi ini akan diuraikan pada sub-bab
tersendiri dalam bagian ini.
5) Penentuan Umur Naskah
Yang patut kita ketahui adalah mengapa penentuan umur naskah penting
dalam penelitian filologi. Kalau kita tidak mengetahui latar belakang suatu
naskah diciptakan atau dari abad mana naskah itu berasal, kita tenru tidak dapat
mengetahui konteks sosial teks itu dan fungsinya. Kalau konteks sosialnya tidak
diketahui bagaimana kita dapat memakainya. Bagaimana kita mengetahui fungsi
teks itu dalam masyarakat yang menciptakannya. Oleh sebab itu, dengan
mengetahui umur naskah, kesalahan penafsiran teks yang diteliti dapat
diperkecil.
Dari mana kita dapat mengidentifikasi umur naskah? Seperti kita ketahui
bahwa naskah lama bersifat anonim (tanpa menyebutkan nama pengarang). Oleh
karena itu, inf ormasi usia naskah hampir sangat jarang ditemukan, apalagi pada
naskah yang berasal dari abad 17 atau 18. Namun, naskah-naskah yang disalin
pada abad 19 atau abad 20 sudah mulai ada yang menginformasikan nama
pengarang, nama penyalin, tempat penyalinan, dan kapan naskah itu disalin.
Keterangan yang menginformasikan ketiga hal itu disebut kolofon. Kolofon
biasanya dicatat pada bagian akhir naskah atau halaman awal naskah. Kalau
ada kolofon dalam naskah berarti peneliti tidak sulit untuk menentukan umur
naskah. Kesulitan timbul kalau inforrnasi atau kolofon itu tidak ditemukan. Dari
mana kita memperolehnya?
Ada dua f aktor yang dapat dipertimbangkan untuk melihat umur naskah. Dua
faktor yang dapat dipakai sebagai pertimbangan adalah inforrnasi yang bersifat
internal dan inforrnasi yang bersifat eksternal. Faktor internal adalah kalau
inforrnasi itu berasal dari naskah itu sendiri, sedangkan faktor eksternal adalah
inforrnasi yang diperoleh dari luar naskah. Kolofon, termasuk faktor internal
karena ada dalam naskah. Faktor internal lain adalah kertas yang digunakan
karena dalam kertas itu terdapat cap kertas (watermark). Cara melihat cap kertas,
seperti yang sudah dikatakan di atas, adalah dengan mengangkat kertas dan
dipantulkan ke cahay a. Di situ dapat terlihat gambar yang ada dalamkertas.
Gambar-gambar itulah yang dapat diidentifikasi, dari tahun berapakah gambar
itu berasal. Perusahaan yang membuat kertas pada masa lalu, Eropa, biasanya
mencantumkan berbagai gambar. Bahkan kadang-kadang di sekitar gambar
disebutkan inisial atau tahun. Inisial dan tahun atau tulisan lain yang ada di
sekitar gambar disebut cap kertas tandingan (countermark). Kalau tidak ada inisial
atau keterangan tahun di sekitar gambar, gambar itulah yang harus diidentifikasi
dan dilihat apakah gambar itu tercantum dalam daftar cap kertas yang dibuat
oleh Churchill (1935) yang berjudul Watermarks in Paper: In Holland, France,
England, etc. in the XVII and XVIII Centuries and Tlieir Interconnection. Buku cap kertas
lain yang dapat digunakan adalah yang dibuat oleh Edwar Heawood (1950),
Watermarks, Mainly of the 17th & 18th Centuries. Dalam kedua buku itu diinformasikan
kapan sebuah perusahaan membuat kertas dengan contoh-contoh gambar yang
menjadi trade mark mereka. Dengan mencocokkan gambar itu, umur naskah dapat
diketahui. Inforrnasi lain yang dipertimbangkan dapat mengetahui umur naskah
juga adalah penjilidan (sampul naskah) atau catatan-catatan lain yang ada
dalam naskah itu. Kalau naskah yang diteliti adalah naskah sejarah, biasanya di
dalam teks itu ada inforrnasi kapan peristiwa itu terjadi. Dalam Hikayat Negeri
Johor rmsalnya peristiwa diawali dengan kalahnya Johor oleh Jambi pada
tahun 1611. Dengan adanya angka tahun itu, berarti naskah dibuat
setelah peristiwa itu terjadi.
Faktor eksternal yang dapat dipakai untuk memperoleh umur naskah
adalah dari sejarah pepyimpanan naskah. Suatu lembaga biasanya
mempunyai catatan kapan mereka menerima naskah yang menjadi
koleksinya. Informasi lain lagi juga dapat diperoleh melalui teks-teks
lain yang kadang-kadang menyebutkan suatu judul teks. Misalnya
Hikayat Amir Ham.-ah disebutkan dalam Sejarah Melayu. Hal itu beraiti teks
Hikayat Amir Hamzah sudah lebih dahulu ada dari Sejarah Melayu. Yasadipura
I adalah pengarang Serat Cabolek. Nama itu ti dak diketahui dari teksnya,
tetapi dari catatan lain yang menyebutkan bahwa Yasadipura adalah
penulis Babad Cayanti, Babad Prayut, Serat Cabolek.
6) 1 ransliterati
Uraian tentang transliterasi akan dijelaskan dalam sub-bab tersendiri
pada akhir bagian ini karena uraian itu harus lebih terperirici.
Kritik Teks
Apakah Anda pernah mendengar istilah kritik teks? I Calau
sudahmendengarnya, apakah Ande sudah memahaminya? Bagian ini
akan menjelaskan kepada Anda tentang kritilk teks. Baried (1985:61)
mengatakan bahwa kata kritik berasal dari bahasa Yunai, krites' seorang
hakim atau krinein' menghaakimi atau kriterion' dasar peng hakima5."..
Dalam kritik teks, filolog memberikan kritik atau evaluasi terhadap teks,
meneliti dan menempatkan teks pada ternpatnya yang tepat. Yang
dimaksud pada tempamya adalah mencari teks yang paling asli, teks
yang ditulis oleh pengarangnya, yang disebut autograf (autograf). Pada
dasarnya teks yang autograf itu hampir tidak dapat ditemukan lagi, di
antaranya karena naskah yang berisi teks itu si idahh ilang atau rusak.
Karena sukar menemukan teks yang autograf, akhirnya dala m kritik
teks hanya dicari teks yang mendekati teks aslinya.
Kritik teks pada awalnya dilakukan terhadap teks-t eks Alkitab, di
Eropa. Hal itu dilal tukan untuk mengetahui firman Tuhan yang semi
irni mungkin dan tujuannya untuk memahami maknanya. Lama-
ke!amaan bukan hanya teks Alkitab saja yang menjadi objek, tetapi
berbagai teks termasuk yang be risi kebudayaan.
Bagairnana cara kerja filolog memperoleh naskah yang teksnya
mendekati aslin ya? Untuk m endapatkan teks itu filolog harus
membandingkan naskah untuk mengkonstruksi naskah dari beberapa
naskah yantg ditemukannya. Naskah-naskah itu seharusnya berasal dari
korpus yang sarna atau naskah-naskah yang menuliki masalah yang
sama. Konstruksi itu dilakukan dengan asumsi bahwa penyalinan suatu
teks terus berlangsung. Dalam perjalanan penyalinan itulah, naskah
mengalami perubahan. Rangkaian penurunan yang dilalui suatu teks
yang turun-temurun d isebut tradisi.
Dalam penciptaan sebuah teks mungkin saja digunakan sebuah
naskah (induk) yang digunakan sebagai dasar dalam penciptaan naskah
baru. Dalam pekerjaan itu, penulis atau penyalin dapat hanya
menyalinnya saja, tetapi dapat juga ia menambahkan, bahkan
mengubahnya. Di samping itu, perubahan yang terjadi selama
penurunan teks itu mungkin dilakukan penyalin dengan sengaja atau
dapat juga terjadi tanpa sengaja. Perubahan dengan sengaja dilakukan
penyalin karena ia merasa ingin menyempurnakan teks itu sehingga
sesuai dengan masyarakat dan zamannya. Penyalin sengaja
menghilangkan atau menambahkan bagian-bagian dalam teks yang
menurutnya perlu dilakukan. Perubahan yang dilakukan tanpa sengaja
biasanya terjadi karena kelalaian sang penyalin. Perubahan seperti itu
biasanya menimbulkan kesalahan dalam teks. Kedua hal itu
menyebabkan terjadinya varian dan versi dalam teks. Varian ditemukan
dalam teks yang sejenis. Dalam teks-teks itu terdapat perbedaan-
perbedaan kecil, misalnya perbedaan dalam pilihan kata dan struktur
kalimat. Perbedaan itu tidak sampai mengubah isi teks. Hal itu berbeda
dengan versi. Versi juga ditemukan dalam teks sejenis, tetapi perbedaan
yang ditemukan dalam teks-teks tersebut agak besar, misalnya jalan
cerita sudah berbeda. Antara satu teks dengan teks lainnya sudah
berbeda, yang satu lebih pendek dari yang lainnya.
Menurut Robson (1978:35) kriteria untuk mendapatkan sebuah teks
adalah varian atau versi dari teks asli. Yang perlu dilihat adalah
penyimpangan-penyimpangan yang ada dalam teks, seperti kesalahan-
kesalahan yang ada. Kesalahan itu misalnya terjadi dalam beberapa
kasus berikut ini.
(1) Kalau terdapat teks puisi dengan corak metrum tertentu, kita
harus mencek apakah varian cocok dengan metrum. Kalau
tidak cocok, ada kemungkinan bahwa varian itu termasuk
kesalahan.
(2) Apakah varian merupakan perkataan yang dikenal dari tempat
(teks) lain? Kalau tidak, ada kemungkinan hal itu salah
walaupun juga mungkin varian itu satu-satunya tempat
perkataan itu dipakai. Satu-satunya tempat dipakainya
perkataan itu disebut Impax.
(3) Apakah varian itu sesuai dengan konteks cerita atau gaya
bahasanya dan tidak bertentangan dengan latar belakang
kebudayaan atau sejarah? Kalau ternyata ditemukan
ketidaksesuaian, kemungkinan adalah varian itu salah.
Reynold dan Wilson (1974) menambahkan bahwa kesalahan yang
terjadi dalam penyalinan teks dapat dibagi atas enam macam, yaitu:
(1) kesalahan yang disebabkan oleh tulisan tangan dalam teks
aslinya kurang jelas sehingga penyalin mengacaukannya
dengan huruf yang mirip
(2) adanya penggeseran lafal sehingga menimbulkan
kecenderuhgan penyalin untuk mengubah ejaan aslinya.
(3) penghilangan beberapa huruf yang disebut haplografi
(liaplography). Penghilangan itu terj adi karena mata penyalin
melompat maju dari satu perkataan ke perkataan yang sama
yang disebut saut de meme au meme. Penghilangan atau pelompatan itu dapat
terjadi dalam satu baris, satu bait, bahkan dapat dalam beberapa baris
(4) tambahan beberapa huruf atau kata yang diulang oleh penyalin yang disebut ditografi
(dittography)
(5) tukaran ditemukan jika pernakaian huruf terbalik, atau baris puisi tertukar
(6) tularan adalah perkataan terkena pengaruh perkataan lain yang baru saja, displin sehingga
meniru bentuknya
Berdasarkan beberapa hal y ang disebutkan di atas, filolog dapat mengidentifikasi kesalahan-kesalahan
dalam teks dan kemudian merekonstxuksi teks-teks dalam naskah berdasarkan suatu turunan yang sarna.
Untuk melakukan hal itu langkah kerja berupa perbandingan naskah harus dilakukan. Setelah perbandingan,
filolog mulai inengkonstruksi naskah dengan melakukan susunan sterna atau yang dikenal dengan metode
sterna,
Menurat Robson (1978:37) metode sterna dikembangkan pada tahun J 830-an di Eropa olf h Lachmann.
Metode itu ber lujuan untuk mendekati teks asli melalui data-data i taskah dengan melakukan perbandingan
teks. Dasar teori susunan itu bahwa naskah disalin satu demi satu, dan kesalahan yang pernah masuk dalam
suatu teks akan terus diturunkan dalam tradisi penyalinan,
Kesalahan-kesalahan itu dapat dipakai untuk menunjukkan perbedaan dan persamaan antara satu teks
dengan teks lain. Hal itu dilakukan untuk mengetahui asal sebuah teks dari naskah yang mana su atu
kesalahan itu diturunkan. Berdasarkan hal inilah filolog kemungkinan menggolongkan beberapa teks.
Penggolongan itu dilakukan karena tujuan kritik teks adalah memperbaiki kesalahan supaya filolog dapat
rnerekonstruksikan teks asli.
Teks asli ialah teks yang sudah rnenurunkan semua naskah yang masih ada. Naskah yang seperti itu
disebut arketip (archet\/pe). Arketip tidak perlu identik dengan autograf, teks yang ditulis oleh pengarang.
Dalam menelusur naskah yang seperti itu, filologboleh melakukan perbaikan atas kesalahan-kesalahan
(kemsakan) dalam teks. Perbaikan itu disebutemendasi. Kalau kerusakan teks ditelusur kembali
kemungkinan filolog dapat menghilangkan semua kesalahan dan kemungkinan dapat menemukan bentuk teks
seperti dulu yang terdapat pada arketip (naskah yang kemungkinan sudah lama hilang ).
Dalambukunya, Reynold dan Wilson (1974:190 -192) memberikan contohcara merekonstruksi naskah.
Naskah-naskah yang masih ada biasanya diberi nama dengan huruf Latin: A, B, C, D , E,dan seterusnya.
Arketip dan hiparketip (hxfparchehjfe) diberi nama dengan huruf Yunani, arketip dinamakan omega dan
hiparketip dinamakan abpa dan beta. Berikut ini adalah ilustrasi yang dibuatnya.
Dengan dasar penurunan seperti itu, kritik te ks harus memurnikan teks, teks sudah dibersihkan dari
berbagai kesalahan selama penyalinan —melalui perbandingan — sehingga tersusun kembali teks y ang
mendekati aslinya dan teks itu dapat dipertanggungjawabkan sebagai sumbei kepentingan penelitian disiplin
ilmu lain.
Pada perkembangannya kemudian, filolog tic lak lagi hanya melakukan kritik teks untuk mencari teks
yang mendekati aslinya. P andangan itu telah berubah. Para filolog saat ini mulai merasa bahwa bukan hanya
i naskah yang mengandung teks yang asli yang bernilai, tetapi setiap naskah m empunyai nilai tersendiri yang
mewakili zaman dan lingkungan sosial penyalinr lya. Pada kenyataannya penyalin bukan hanya menyalin,
tetapi ia juga menciptaka n teks baru dengan memasukkan imajinasi dan kreativitasnya. Oleh sebab itu, dal;
am naskah tunggal (naskah yang tinggal satu atau pun naskah yang me'mang har ya satu) sebuah kritik teks
dapat dilakukan, terutama pada penerapan edisi stand; ar. Dalam edi;;i itu kesalahan kecil dan
ketidakkonsistenan sudah diperbaiki.
Agar penelitian filologi dapat sempurna, diperlukan beberapa langkah kerja.
Langkah kerja itu di antaranya adalah inventarisasi, deskripsi naskah,
perbandingan, penentuan umur naskah, penentuan metode yang akan dipakai, dan
transliterasi.
Jika teks yang dijadikan objek penelitian hanya ada satu, langkah kerja yang
dilakukan adalah langsung pada deskripsi naskah, penentuan umur nasi .all,
penentuan metode, dar i transliterasi. Ketika mendeskripsikan naskah, setiap butir
dari fisik naskah, jilid naskah, dan isi diuraikan dengan teliti. Ketelitian itu
penting karena sttiap butir yang diuraikan dapat menjadi hal penting dalam
mengungkap sejarah teks. Jika teks yang ditemukan lebih dari saiu naskah,
perbandingan dilakukan. Pada bagian inilah, kritik teks dilakukan. Setelah itu,
filolog baru menentukan metode yang akan dipakai untuk menyunting teks.
Pemililian u-etode itu disesuaikan dengan tujuan penelitian.
Langkah yang dikerjakan setelah kritik teks adalah transliterasi, yaitu
mengalihaksarakanhuruf. Alih aksara ini penting agar pembaca mengetahui isi
yang terkandung di dalamnya.
2
Metode Penyuntingan
Metode merupakan cara kerja bagaimana seorang peneliti menyunting (mengedisi) teks. Metode itu itu
ditentukan oleh naskah yang ditemukan. Seperti yang sudah dikatakan di atas, menyunting naskah tunggal
berbeda cara kerjanya dengan menyunting naskah yang lebih dari satu (naskah jamak). Berdasarkan hal itu,
ada dua metode untuk edisi naskah.
Metode Edisi Naskah Tunggal
Untuk menyatakan bahwa sebuah naskah adalah naskah tunggal berbagai katalog harus diteliti lebih
dahulu. Kita harus membaca dahulu dalam beberapa katalogus yang dapat menginformasikan di mana naskah
ituberada. Kalau ternyata setelah dicek tidak tercatat nomor lain dari naskah itu dalam koleksi-koleksi lain,
kita dapat menentukan bahwa naskah itu adalah naskah tunggal. Naskah tunggal disebut codex unicus.
Menurut Robson (1994:21) ada dua metode yang dapat diterapkan pada naskah tunggal yaitu metode edisi
diplomatik dan metode edisi biasa atau yang dikenal dengan edisi standar.
Edisi Diplomatik
Dalam edisi diplomatik penyunting mencoba menyajikan teks dalam bentuk yang semurni mungkin.
Kerja yang paling cocok untuk edisi ini adalah reproduksi fotografis, naskah difoto apa adanya, tanpa
mengubah sedikitpun. Interpretasi dari peneliti ditutup kemungkinannya dalam edisi seperti ini karena
penyunting bahkan tidak dimungkinkan untuk melakukan transliterasi atau mengalihaksarakan huruf. Apalagi
membagi kata dan memberikan pungtuasi. Kalau kita menghadapi edisi yang seperti ini, pembaca seolah-olah
membaca naskah asli.
Dalam edisi seperti ini pembaca tidak dibantu dari berbagai kesukaran yang ada dalam teks. Edisi ini
hanya menarik bagi kalangan akademik yang mengharapkan naskah ditampilkan apa adanya sehingga mereka
masih dapat melihat keaslian teks. Bagi pembaca kalangan lain (yang lebih luas) edisi seperti ini mungkin
kurang menarik karena bacaan yang ada di hadapannya masih sama dengan naskah asli.
Peneliti yang menggunakan metode ini haras bekerja keras dengan memberikan pertgantar yang
biasanya diletakkan pada bagian awal edisi naskah. Contoh yang dapat diberikan dalam edisi seperti ini
adalah yang dilakukan oleh Drewes dan Voorhoeve (1958) terhadap Adat Atjeh. Naskah Mukhtasar
Tawarikh ul-Wusta dari Riau jug i pernah diterbitkan dalam edisi diplomatik ini dalam Manuscripta
Indouesica (1994).
Edisi Biasa (Standar)
Edisi naskah tunggal yang telah memasukkan campur tangan peneliti dalam penyuutingarmya disebut
edisi bia^a (Robson, 1978), Baroroh Baried (1985) menyebutnya dengan edisi standar atau kritik. Dalam edisi
ini inter pre tasi sudah dimasukkan (membetulkan kesalahan reks) dan pembaca sudah dibantu dari berbagai
kesulitan dalam bahasa dan aksara yang ada dalam teks. Filolog sudah mengalil laksarakan, membagi ka ta,
menandai kata dengan memakai huruf kapital, dan menyesuaikan ejaan yang dipakai dengan ejaan yang lebih
dikenal pembaca. Di samping itu, filolog juga sudah member! komentar pada kata yang kurang dapat dibaca
dan memberikan dugaan (konjektur). Namun, dugaan itu harus dipertanggungjawabkan dengan member!
catatan yang diletakkan pada catatan kaki. Catatan itu dibuat agar sifat asli sebuah teks tidak hilang.
Tujuanedisi inimeinangberbeda d< ngan edisi diplomatik. Edisibiasabertujuan agar teks dapat dinikmati
oleh pembaca vang lebih luas. Pembaca tidak mengalami kesukaran karena dibantu menghadapi rintangan
dalam memahami teks. Oleh karena itu, aksara yang digunakan juga aksara yang sudah akrab dengan
pembaca. Robson (1978) menekankan bahwa editor dalam edisi seperti ini harus mempertanggungjawabkan
segala perubahan yang akan dimasukkaravya, tanpa mengabaikan satu titik atau koma.
Bagaimana cara yang harus dilakukan? Bacaan yang dianggap betul (paling
baik) dimasukkan dalam teks dan bacaan naskah dicatat pada kaki halaman
{footnote) atau catatan itu dikumpulkan semuanya dan diletakkan di tempat khusus
(halaman tersendiri yang mencatat seluruh bacaan). Ada juga yang memasukkan
bacaan yang dianggap benar di dalam a a tan kaki halaman. Kita dapat memilih di
antara kedxra catatan itu yang penting harus konsisten. Yang menjadi prioritas di
sini adalah filolog tidak boleh mendiamkan segala perubahan yang dilakukannya.
Maksudnya supaya pembaca selalu meneliti kembali bagaimana bacaan dalam
naskah. Di samping itu, filolog juga dapat menambahkan, kalau perlu membuat
tafsiran sendiri. la selalu akan bersikap Iritis sehingga tiap-tiap keputusan yang
diambilnya dapat diuji kebenarannya. *
Dalam edisi ini, setelah transliterasi teks biasanya dilampirkan juga daftar kata sukar. Kata sukar
maksudnya kata-kata arkais (kata kuno yang sudah tidak dikenal lagi pada masa kini). Contoh penerapan edisi
ini banyak ditemukan, terutama dalam penelitian yang dilakukan mahasiswa untuk skripsi. Penerapan edisi
ini dapat ditemukan juga pada modul 6.
Metode Edisi Naskah Jamak
Jamak berarti lebih dari satu. Metode ini khusus diterapkan pada naskah yang jamak. Seperti yang telah
diuraikan di atas, perbandingan teks dilakukan dalam tahap edisi teks pada naskah yang jamak. Ada dua
metode yang dapat dipakai, yaitu metode landasan dan metode gabungan.
Metode landasan diterapkan jika menurut penafsiran peneliti, di antara naskah-naskah yang diteliti
berbeda nilainya. Nilai itu ditentukan setelah penggunaan bahasa, isi, dan umur naskah diteliti. Karena
berbeda, peneliti dapat memilih salah satu di antara teks' tersebut. Pemilihan disesuaikan dengan tujuan yang
ingin dicapai.,Peneliti yang ingin mengkaji isi naskah yang bersif at sejarah, tentunya akan mengambil naskah
yang lebih lengkap atau usianya yang lebih tua. Peneliti yang tertarik untuk mengkaji penggunaan bahasa,
tentunya akan memilih naskah yang penggunaan struktur kata dan kalimatnya lengkap. Naskah yang sesuai
dengan tujuan itu atau dianggap "berkualitas" yang dijadikan landasan, sedangkan naskah yang lairmya
dipakai sebagai bandingan. Jiasil bandingan (perbedaan-perbedaan) dicatat dalam aparatus kritikus.
Metode gabungan juga diterapkan jika naskah lebih dari satu. Metode ini jarang dilakukan karena
risikonya lebih besar. Dalam menerapkan metode ini, peneliti seolah-olah menciptakan sebuah teks baru yang
berbeda dengan teks-teks asli yang dipakainya.
Kapan metode ini digunakan? Metode ini dipakai jika peneliti menganggap naskah-naskah yang
dipilihnya mempunyai kualitas yang hampir sama. Perbedaan yang ada hanya kecil saja. Karena hampir
sama, peneliti sulit memilih salah satu di antaranya. Antara naskah satu dan naskah lain saling melengkapi
sehingga kalau digabung akan muncul naskah yang paling lengkap. Untuk itu, peneliti menggabungkan
beberapa naskah yang dijadikan objeknya. Di sebut edisi gabungan karena peneliti menggabungkan beberapa
bagian dari naskah yang satu dan beberapa bagian lain dari naskah yang lainnya. Yang harus diingat dan
diperhatikan dengan seksama bahwa peneliti harus mencatat semua bagian yang digabungkan dengan
menyebutkan sumbernya (naskah). Jika hal itu dilakukan berarti peneliti tidak menghilangkan teks asli (data
primer) yang diambil dari naskah asli. Metode ini diterapkan J.J. Ras dalam mengedisi Hikayat Bandjar.
Robson (1994:21) mengajukan suatu istilah, metode kritis, jika filolog telah melakukan perbaikan teks.
Metode ini pada dasarnya dapat diterapkan untuk naskah tunggal (metode standar) atau naskah jamak hanya
disesuaikan dengan tujuan. Ia memperkenalkan metode ini dalam rangka mengkontraskannya dengan edisi
diplomatik (edisi naskah tunggal). Dalam edisi diplomatis, filolog tidak mengadakan sedikitperubahan pun
dalam edisinya, sedangkan dalam edisi kritis, filolog sudah mengadakan kritik atas naskah (mengadakan
beberapa perubahan untuk keterbacaan teks). Oleh karena itu, peneliti sudah membuat beberapa perbaikan
yang harus dipertanggungjawabkannya.
Robson memberikan catatan pada bagian awal uraian tentang edisi ini dengan mengambil pernyataan
yang dikutipnya dari De Haan (1973:77). Di bagian itu dikatakan jika sese'orang ingin memberikan contoh
kepada pembacanya mengenai cara sebuah teks untuk dideklamasikan, bentuk publikasi yang sesuai adalah
jiplakan dan edisi diplomatis. Namun. jika seseorang ingin menerbitkan teks itu seperti fungsinya pada abad
ke-14, maka ia harus memberikan kepada pembacanya edisi kritis. '
Dalam uraian tentang edisi kritis, ia membedakan dua jenis edisi kritis. Edisi kritis yang direkonstruksi
dari satu -umber; akibatnya ada dua metode yang kontras. Yang pertama berusaha memperbaiki teks asli yang
hilang berdasarkan pada sumber-sumber yang ada, memilih bacaan yang terbaik, memperbaiki kesalahan, dan
membakukan ejaan. Yan g kedua, filolog mencoba membuat sumber yang ada menjadi bentuk yang semurni
mungkin berdasarkan satu naskah, tidak mempunyai varian; kesalahan-kesalahan dikoreksi hanya terbatas
pada kesalahan dalam penulisan dan tidak membuhmkan pembakuan ejaan.
Transliterasi
Transliterasi merupakan inti pekerjaanyang dilakukan dalam penelitian filologi. Karena melalui
transliterasi (alih aksai a; i i li lah, peneliti memperkenalka n kandungan isi naskah kepada pembaca untuk
mengetahui nilai-nilai yang ada di dalamnya.
Dalam filologi dibedakan dua istiiah. vaitu transliterasi dan transkripsi. Menurut Robson (1978:30),
transliterasi adalah pe i nindahan macam tulisan yang dipakai dan transkripsi arti dasarnya hanya pada
pemindahan tulisan saja, semacam salinan atau kopi. Yang patut diingat kalau maksudnya memang
mengganti satu macam tulisan dengan yang lainnya, istiiah yang tepat ialah transliterasi. Kata yang lebih
umum yang dipakai untuk istiiah transliterasi adalah alih aksara. Hal ini biasanya dilakukan untuk naskah
daerah yang beraksara daerah dan akan dialihaksarakan ke aksara Latin. Samahalnya dengan m.skah-naskah
Melayu yang beraksara Arab-Melayu (Jawi) ditransliterasi ke aksara Latin.
Langkah apa yang harus dilakukan ] etika akan mentransliterasi? Kalau naskah yang Anda miliki masih
berbahasa daerah dan beraksara daerah berarti Anda harus mengalihaksarakan lebih dahulu dari aksara daerah
ke dalam aksara Latin. Hal itu dilakukan untuk keterbacaan teks. Setelah itu, Anda menerjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia. Tanpa disertai terjernahan, masyarakat di luar pemakai bahasa itu tidak memahami isinya.
Bagaimana cara membuat transliterasi? Memirut Robson, kita harus sudah melakukan pembagian kata,
penyesuaian ejaan, dan menggunakan tanda baca. Sekali lagi ditegaskan bahwa hal itu dilakukan agar
pembaca yang lebih luas dapat mengerti. ladi, semua dilakukan untuk keterbacaan naskah. Tanpa melakukan
hal itu, pembaca masih kurang memahami isi. Dengan melakukan hal itu berarti peneliti belum membantu
pembaca dalam membuka teks.
Pertanggung jawaban Transliterasi
Sebelum transliterasi naskah, dibuat sebuah pertanggungjawaban transliterasi. Dalam
pertanggungjawaban itu diuraikan pedoman apa yang digunakan. Tanpa menggunakan sebuah pedoman,
pekerjaan yang dilakukan biasanya tidak konsisten dan sukar diuji kebenarannya.
Pedoman yang dipakai untuk transliterasi aksara Arab-Melayu ke aksara Latin dapat digunakan beberapa
buku pedoman. Pedoman itu di antaranya dibuat oleh J.J. Holander (1984) dalam Pedoman Bahasa dan
sastra Melayu yang diterbitkan di Jakarta oleh Balai Pustaka. Selain pedoman itu, masih ada beberapa buku
yang memuat bagaimana kita mengalihaksarakan huruf. Untuk pedoman transliterasi aksara Arab yang
berbahasa Arab ke aksara Latin, pedoman yang dapat dipakai di antaranya adalah pedoman transliterasi yang
dibuat oleh Departemen Agama (1985/1986). Untuk aksara daerah ada beberapa buku yang dapat dipakai
sebagai pegangan. Contoh-contoh penggunnaan aksara yang diuraikan pada modul 3 dapat dipakai sebagai
pedoman karena diambil dari beberapa buku yang memang membahas aksara daerah.
Bukan hanya pedoman yang diperlukan dalam pertanggungjawaban transliterasi, tetapi juga hal-hal lain,
seperti tanda-tanda yang digunakan dalam kerja itu. Beberapa contoh akan diuraikan di bawah ini.
a. Seperti yang sudah diuraikan di atas kalau ada perbedaan bacaan (dalam
perbandingan naskah), perbedaan bacaan itu ditempatkan dalam apparatus
kritikus. Akan tetapi, keterangan dan cara kerja penyusunan itu harus
diungkapkan dalam bagian ini.
b. Ejaan yang digunakan harus dijelaskan.
c. Dalam teks sering kali satu kata ditulis dengan dua bentuk bahkan tiga bentuk
tulisan. Jika terdapat perbedaan bentuk tulisan, kita harus memilih satu kata
saja clan bentuk tulisan yang lain harus dijelaskan dan dicontohkan.
d. Bukan hanya kata yang ditulis berbeda-beda, nama diri juga sering ditulis
dalam dua bentuk atau tiga bentuk. Bentuk yang mana yang dipilih dan pilihan
itu harus dinyatakan. Variasi bentuk tulisan juga harus dijelaskan dalam bagian ini.
e. Kata-kata yang salah, biasanya dibetulkan. Kesalahan dan pembetulan itu
harus dijelaskan dan dicontohkan bagaimana pembetulan itu dilakukan.
f. Hal-hal yang ditambahkan dan dikurangi oleh peneliti juga harus dinyatakan
dengan sejelasnya pada bagian ini.
g. Tanda-tanda khusus yang digunakan oleh peneliti untuk kelancaran pembacaan
teks harus dinyatakan. Tanda-tanda yang lazim digunakan dalam transliterasi
seperti contoh di bawah ini.
(....) tanda yang digunakan untuk penambahan kata atau huruf dari
penyunting; dalam teks kata atau huruf itu tidak ditemukan.
[....] tanda yang digunakan untuk menghilangkan kata atau huruf yang ada
dalam teks, kata atau huruf itu dimasukkan dalam tanda itu untuk kelancaran pembacaan.
. . ./1... tanda yang digunakan sebagai pengalihan halaman dalam teks.
Pembagian Kata-kata
Dalam aksara daerah tampaknya hampir seluruhnya belum mengenal tanda
baca. Oleh karena itu tidak ditemukan spasi di antara kata-kata dan tidak ada tanda
baca. Sebagai penyunting yang ingin menyajikan teks agar dapat dibaca oleh
pembaca yang lebih luas, ia harus memberikan tanda baca dengan membagi kata-
kata. Pembagian itu dilakukan agar teks dapat dimengerti. Misalnya dalam naskah
Melayu yang ditulis dengan aksar Melayu (Jawi) tidak ditemukan sama sekali pembagian kata atau tanda
baca Kalimat terus berlangsung kata demi kata, kali mat demi kalimat dan akhirnya berganti dari satu
halaman ke halaman lainnya. Bagaimana kita menyajikan bacaan yang seperti itu? Untuk itu, kita dapat
membagi kata demi kata dan kalimat demi kalimat a gar struklurny a jelas sehingga inf ormasinya pun
dapatsampai kepada pembaca. U ntukitu keperluan itu, pedoman sebuah ejaan menjadi penting danharus
dipakai. Transliterasi dilakukan berdasarkan pembakuan ejaan yang mana?
Ejaan
Pentingnya menggunakan sebuah ejaan sebagai pedoman dalam transliterasi adalah agar suntingan yang
dibuat menjadi konsisten. Jika konsisten, pembaca tidak akan bingung karena penyunting sudah
menyesuaikan dengan ejaan yang dipilihnya. Ejaan yang biasa dipakai untuk alih aksara ke aksara Latin
adalah ejaan yang berlaku saat ini, yaitu Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Cara kerja itu harus
dijelaskan agar dapat dipertanggungjawabkan. Kita tidak boleh seenaknya melakukan perubahan dalam teks,
tetapi harus membuat per tanggungj awabarvny a.
Bukanhanya ejaan yang digunakan dalam mentransliterasisajayang diuraikan, ejaan dan bahasa yang
digunakan dalau i naskah juga sebaiknya dijelaskan sebelum melakukan transliterasi. Uraian ini sanga t
membantu dalam menentukan asal-usul sebuah naskah, kapan, di mana, orang dari tingkatan mana yang
menghasilkan naskah itu.
Pendekatan atau Kajian
Apakah langkah kerja yang enam langkah itu sudah mencukupi dalam f ilologi? Sebenarnya langkah Itu
telah memadai dalam edisi naskah. Namun, menurut Robson (1994:13) tugas filolog ternyata bukan hanya
sampai pada kritik teks, metode penyuntingan, dan transliterasi yang disebutkan di atas dalam sebuah edisi
naskah. Akan tetapi, penyajian edisi tersebut dapat ditambah dengan interprets: atau penafsiran terhadap
teks yang disunting. Hal itu dilakukan karena menurutnya tugas filolog bukan hanya menghilangkan segala
rintangan dalam pembacaan teks tetapi filolog juga harus berhasil mengeluarkan sifat-sifat dasar sebuah teks
untuk pembacanva. Bagaimana cara melakukannya?
Pertanyaan itu menarik untuk dijawab. Baginya sebuah teks mempunya: signifikasi penuh jika kita dapat
memandangnya dalam konteks yang tepat, yakni sebagai bagian dari keseluruhan teks lain yangmuncul
bersamanya. Jadi, konteksnya harus diperhatikan karena konteks merupakan bagian dari signifikasi atau
pemaknaan suatu teks. Hal yang dapat dilakukan, di antaranya dengan menempatkan teks pada la tar belakang
sejarahnya dan melihat fungsinya dalam masyarakatnya.
Dalam menginterpretasikan teks, dilakukan berbagai kajian dengan berbagai pendekatan. Pendekatan
harus sesuai dengan sif at naskah. Seperti yang dikatakan Robson (1978:24) bahwa kita membutuhkan
pendekatan yang lebih luas daripada hanya mengatakan bahwa sebuah naskah berfaedah atau fungsional saja.
Pendekatan yang luas itu berguna untuk meliput dan melukiskan keleluasaan sastra sebagai keseluruhan. Kita
membutuhkan teori yang akan membantu kita menghargai setiap karya sastra.
Apa yang harus diperbuat dengan teks? Ada tiga prinsip yang harus diingat dalam menghadapi sebuah
teks. (1) Teks harus dianalisis sesuai dengan sifat-sifatnya sendiri.'(2) Teks harus diperiksa pada latar
kebudayaannya sendiri. (3) Keanekaragaman teks perlu diselidiki secara terpisah dari yang lain. Teks itu
sendiri pada hakikatnya sangat beragam oleh sebab itu, pendekatannya pun harus beragam pula supaya kita
dapat menunjukkan bahwa teks-teks tersebut (sastra tradisional) dapat berguna untuk masa sekarang.
Gunanya itu khususnya dalam bidang (1) agama, filsafat, mitologi, (2) ajaran yang bertalian dengan sejarah,
dan etika, (3) keindahan alam dan aspek lain.
Keragaman pendekatan yang pernah diterapkan dalam teks-teks naskah Nusantara akan dicontohkan
dalam modul 5, aneka edisi naskah Nusantara dan kajiannya. Penelitian yang disajikan pada bagian itu hanya
beberapa buah saja. Sementara itu, masih banyak lagi penelitian yang pendekatannya beragam yang belum
disajikan.
Metode atau cara kerja dalam penelitian filologi penting. Metode itu disesuaikan dengan keberadaan tel.-
. Karena terciptanya sebuah teks, pada masa lalu, sangat rumit, cara kerja itu dapat menolong-untuk
memecahkan kemrrutan.
Pada dasarnya ada dua metoie edisi teks, yaitu edisi atas naskah tunggal dan edisi teks atas naskah
jamak. Dalam edisi naskah tunggal ada dua metode yang dapat dipakai, yaitu metode edisi diplomatik dan
edisi biasa (standar). Edisi diplomatik dipakai jika penyunting ingin menyajikan teks apa adanya kepada
pembaca Kesukaran bacaan belum terpecahkan dalam edisi ini, sedangkan dalam edisi biasa, kesukaran
bacaan sudah tidak ditemui lagi oleh pembaca karena penyunting telah memberikan catatan-catatan.
Dalam menghadapi naskah jamak, ada dua metode yang dapat dipakai, yaitu metode landasan dan
metod<: gabungan, Metode landasan dipakai kalau menurut penyunting ada satu naskah yang "lebih nilainya"
dari yang lain. Naskah ltulah yang akan dijadikan landasan. Metode gabungan dipakai jika penyunting merasa
dari teks-teks yang ditemukan nilainya samasehingga suiit menentukan satu naskah yang akan dipilih.
Berdasarkan hal ltulah, metode gabungan dipakai. Risiko yang dipakai oleh metode ini sangat besar karena
penyunting seolah-olah membuat teks yang paling baru yang tidak ada dalam teks-teks mana pun.
1
EDISI TEKS NASKAH TUNGGAL DAN KAJIANNYA
Pak Belalang (Naskah Melayu)
Penelitian ini diberi judul Pak Belalang: Snatu Cerita Humor Melayu dikerjakan oleh Maria
Indra Rukmi diterbitkan di Jakarta oleh Proyek Penerbitan Buku Bacaan Sastra Indonesia
dan Daerah, tahun 1978. Pada bagian pendahuluan dikatakan bahwa naskah dengan nomor
W.212, terdiri atas dua teks, Pak Belalang dan cerita Lebai Malang. Keduanya berasal dari
sastra Melayu. Meskipun naskah itu terdiri atas dua teks, Indra Rukmi hanya mengambil
satu teks sebagai bahan kajian dalam penelitiannya, yakni Pak Belalang. Naskah tersebut
merupakan naskah tunggal yang hanya terdapat dalam koleksi Perpustakaan NasionaL
Jakarta. Oleh karena itu, untuk edisi naskah ia memilih metode edisi biasa (standar). Pada
bagian itu ia juga menyampaikan tujuan penelitiannya, yakni mencoba membandingkan
teks Pak Belalang dengan cerita-cerita rakyat sejenis. Yang dimaksud dengan cerita sejenis
adalah cerita-cerita yang mempunyai unsur yang sama. Unsur yang sama itu adalah humor
yang ada di dalamnya. Oleh sebab itu, cerita dengan jenis seperti itu dapat dimasukkan
dalam genre cerita humor. Tujuan yang kedua adalah mencoba melihat la tar belakang
cerita itu, f ungsinya dalam masyarakat, dan penyebaran di berbagai daerah.
Dalam bab satu ia memfokuskan pembicaraannya pada pernaskahan. Pertama, ia
menguraikan riwayat naskah. Dalam riwayat itu ia menemukan informasi ya ng menarik
dalam kolofon naskah, bahwa naskah itu disalin di Pulau Penyengat Cerita itu diambil dari
cerita rakyat dan dibuat atas suruhan seorang pejabat Belanda yang bernama Von de Wall.
Dari informasi itu ia dapat mengembangkan pembahasannya dengan meli hat la tar
belakang sejarah Pulau Penyengat, yaitu suatu pulau yang terletak di Kepulauan Riau. Di
samping itu, ia juga menguraikan kondisi naskah, bahasa yang digunakan, dan penulisan
naskah serta naskah Pak Belalang yang sudah dipublikasikan oleh Winstedt pada tahun 1893.
Kemudian ia membandingkan i s i cerita naskah yang sudah terbit itu dengan cerita Pak
Belalang yang masih dalam bentuk naskah. Setelah perbandingan, pada bagian ini juga ia
melakukan transliterasi teks. Sebelum masuk pada transliterasi, ia memberi
pertanggungjawaban transliterasi. Dalam pertangungjawaban itu diuraikan hal -hal yang
berhubungan dengan pedoman alih aksara dan cara yang dilakukan dalam memperbaiki
teks. Hal itu ia lakukan jika ia menemukan kata-kata atau tulisan yang tidak terbaca.
Untuk melengkapi transliterasi, agar pembaca dapat memahami bahasanya, dilampirkan
daftar kata-kata sukar yang sudah diberi arti.
Bab dua merupakan bagian analisis. Dalam bagian itu dikatakan meskipun teks Pak
Belalang itu teks tertulis, tetapi pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan sastra lisan
atau cerita rakyat. Bagian ini diberi judul "Latar Belakang Cerita Humor". Judul itu
diberikan karena cerita Pak Belalang termasuk cerita humor. Latar belakang itu
dibicarakan sehubungan dengan kolofon atau informasi yang ditemukan dalam akhir teks,
bahwa Pak Belalang disalin dari cerita lisan yang tersebar pada waktu itu. Alasan itu kuat
baginya untuk menerapkan pendekatan dengan melihat motif cerita berdasarkan motif index
yang ada dalam daftar yang dibuat oleh Stith Thompson.
Ada dua hal yang menjadi perhatiannya ketika membahas fungsi cerita humor dalam
masyarakat Melayu. Ia mengatakanbahwa cerita itu termasuk dalam dongeng. Sebagai
dongeng, Pak Belalang mempunyai tiga fungsi, yaitu sebagai hiburan, alat pendidikan, dan
alat untuk melakukan kontrol sosial.
Ia juga melihat kedudukan cerita Pak Belalang dalam kelompok cerita humor lain, yaitu
"Pak Kadok", "Pak Pandir", "Lebai Malang", "Si Luncai"," Abu Nawas",
"Mahashodhak", "Mat Janin", dan "Musang Berjanggut". Dari berbagai cerita itu ia
melihat sifat humor cerita berdasarkan sifat-sifat tokoh. Yang dilakukan kemudian adalah
membagi cerita Pak Belalang ke dalam beberapa episode. Berdasarkan episode itulah ia
melihat motif cerita. Motif-motif cerita itu ada kesamaannya dengan cerita-cerita di atas
sehingga cerita-cerita termasuk dalam satu sejenis. Kesamaan itu ditemukan dalam
berbagai unsur cerita dengan melihat dalam Motif Index of Literature. Pada akhirnya ia sampai
pada pertanyaan yang paling dasar, mengapa cerita itu memiLiki kesamaan, apakah
kesamaan itu terjadi karena cerita yang satu mempengaruhi cerita yang lain atau apakah
kesamaan itu muncul secara tersendiri di berbagai daerah sebagai suatu cerita yang
universal.
Basimal in (Naskah Minangkabau)
Penelitian yang berjudul Naskah Tradisi Basimalin:Pengantar dan Transliterasi dilakukan oleh
Suryadi, 1998. Diterbitkan di Jakarta oleh Program Penggalakan Kajian Sumber -Sumber
Tertulis Nusantara, Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Edisi naskah ini menarik
karena naskah yang diambil juga berasal dari tradisi lisan Minangkabau.
Pada pendahuluan dikatakan bahwa kesastraan Minangkabau pada hakikatnya hidup
dari tradisi lisan. Oleh karena itu, banyak naskah diturunkan dari tradisi lisan. Di antara
naskah itu adalah naskah Kaba Malin Deman yang dijadikan objek penelitiannya. Naskah
itu diturunkan dari tradisi basimalin, yaitu suatu tradisi resitasi yang dilakukan oleh
beberapa lelaki dan perempuan dewasa yang mendendangkan sebuah cerita. Naskah yang
dihasilkan dari tradisi ini, menurutnya, sangat langka karena ditulis dalam aksara Jawi
dengan bahasa Minangkabau dialek Payakumbuh. Dalam resitasi ini didendangkan kisah
Kaba Malin Deman yang motif ceritanya hampir sama dengan "Jaka Tarub", cerita lisan
Jawa, atau "Rajapala", cerita lisan Bali.
Dalam cerita itu dikisahkan kehidupan seorang pria bumi yang menikahi bidadari dari
kayangan. Cerita Kaba Malin Deman dikenal luas di Minangkabau, tetapi apresiasi atas
cerita itu — melalui tradisi basimalin— bersifat lokal. Cerita dengan tradisi itu hanya
dipertunjukkan oleh masyarakat Minangkabau di sebagian wilayah Kecamatan Harau,
luar Kotamadya Payakumbuh, Sumatra Barat. Oleh karena itu, ia tertarik menyajikan
naskah itu dengan tujuan naskah tersebut dapat dibaca oleh kalangan yang lebih luas dan
dapat digunakan sebagai bahan penelitian lanjutan. Dengan tujuan itu pula, ia
menyertakan terjemahan teks ke dalam bahasa Indonesia.
Dalam bab kedua ia membahas konteks sosial dan pertunjukan basimalin. Ia
menguraikan bahwa dalam tradisi pertunjukan basimalin hanya satu cerita yang disajikan,
yakni Kaba Malim Deman yang didendangkan berdasarkan pada naskah. Pada saat
pementasan, naskah diletakkan di hadapan seorang tukang simalin yang berdendang.
Pertunjukan itu biasanya diadakan pada malamhari, selepas salat isya sampai menjelang
waktu subuh (pukul 21.00 — 04.00). Basimalin ditampilkan biasanya dalam upacara yang
berhubungan dengan siklus kehidupan, seperti perkawinan, kelahiran bayi, anak turun
mandi, dan sunatan.
Dalam pembicaraan pernaskahan ia mengatakanbahwa teks yang disunting itu
berbentuk prosa liris. Naskah itu milik perorangan, yakni Suhaimi Dt. Majo Basa yang
usianya sekitar 70 tahun. Survadi memperoleh informasi bahwa Suhaimi menyalin naskah
itu berdasarkan naskah milik Dimin Dt. Majo Basa —lahir tahun 1901 dan meninggal pada
tahun 1977. Dimin Dt Majo berasal dari Desa Aia Putiah, Lubuk Bangku. Naskah milik
Dimin Dt Majo itu, sampai saat ini, sudah tidak ditemukan lagi. Setelah diteliti,'Surva di
menemukan bahwa dalam naskah itu banyak ditemukan kata-kata arkais yang sudah
jarang dikenal lagi oleh masyarakat Payakumbuh. Baginya keseluruhan bahasa naskah ini
cukup "aneh" di telinga orang Minangkabau saat ini. Atas alasan itu, ia menduga teks ini
usianya cukup tua.
Serat Panji Angreni (Jawa)
Fakultas Sastra Universitas Indonesia, tahun 1998, menerbitkan sebuah penelitian
yang dibuat oleh Karsono H. Saputra. Judul penelitian itu Aspek Kesastraan Serat Panji Angreni.
Dalam pendahuluan dikatakan bahwa edisi naskah tidak menjadi tujuan utama dalam
penelitian ini. Meskipun pernyataannya seperti itu, ternyata edisi naskah itu dilakukan
lengkap dengan transliterasinya. Naskah yang dijadikan objek penelitiannya berjudul,
KBG 185, koleksi Perpustakaan Nasional, Jakarta. Masih dalam bagian pendahuluan
dikatakan bahwa dalam analisis teks digunakan pendekatan objektif, pendekatan yang
bertitik tolak pada teks sastra. Tujuan yang ingin dicapai ada dua. Yang pertama adalah
mendeskripsikan unsur-unsur yang membentuk tata bangun teks KBG 185 dan yang kedua
menemukan hubungan antarunsur pembentuk tata bangun teks tersebut. Untuk mencapai
tujuan itu, ia menggunakan teori strukturalisme yang diajukan Todorov dengan melihat
aspek sintaksis, aspek semantis, dan aspek verbal. Ketiga aspek itu diuraikan dalam bab-
bab tersendiri.
Pada uraian tentang naskah KBG 185 ia mengatakan bahwa Serat Panji Angreni
merupakan salah satu versi dalam korpus cerita panji. Versi cerita panji yang lain, di
antaranya Panji Jayalengkara, Panji Pnyembada, Panji Dewakusuma,dan Panji Jaya Kusuma. Teks Serat
Panji Angreni menurutnya terekam dalam 12 naskah. Kedua belas naskah itu disimpan dalam
berbagai tempat yang tersebar. Perpustakaan Nasional, Jakarta, menyimpan dua nas kah;
Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Depok, menyimpan tiga naskah; Museum Sasono
Pustoko, Surakarta, menyimpan satu naskah; Museum Sono Budovo, Yogyakarta,
menyimpan 2 naskah, dan Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda, menyimpan tiga
naskah. Meskipun naskah ini merupakan naskah jamak (lebih dari satu), ia
memperlakukan naskah ini sebagai naskah tunggal.Hal itu dilakukan karena, menurutnya,
naskah-naskah yang lain tidak mungkin terjangkau dalam penelitiannya. Alasan pertama
yang diberikan karena tempat penyimpanan naskah yang ada di Yogyakarta dan Solo
sedang ditutup untuk umum pada vvaktu penelitian ini dilakukan. Alasan kedua karena
keterbatasan waktu dan dana, naskah yang dikoleksi Universitas Leiden tidak mungkin
terjangkau. Oleh karena itu, ia memilih naskah KBG 185 sebagai dasar penelitian dan
naskah inilah yang disunting atau ditransliterasi. Alasan ketiga, naskah itu dipilih karena
isinya lengkap dan utuh sehingga memungkinkan untuk menerapkan teori yang diajukan
oleh Todorov.
Pendekatan objektif dengan penerapan teori Todorov diuraikan mulai bab 2 sampai
dengan bab 4. Ketika membahas aspek sintaksis, ia menguraikan urutan sekuen (setiap
ujaran yang membentuk satuan makna), urutan logis (urutan berdasarkan hubungan
sebab-akiba t), dan urutan temporal (urutan kronologis atau urutan waktu). Dalam aspek
semantik tiga hal yang dikaji, tokoh, latar (tempat dan waktu) serta tema. Pembahasan
tokoh dilihat dengan memperhatikan nama tokoh, citraan dan kepribadian serta derajat
sosial. Tokoh-tokoh yang dikaji, Serat Panji Angreni, Sekartaji, Prasanta, dan
Andayaprana. Dalam aspek verbal, ia meneliti masalah penceritaan, sudut pandang dan
gaya bahasa. Dalam bagian ini, di antaranya dibicarakan prosodi macapat yang dipakai
dengan memperhatikan guru wilangan, guru gatra, dan guru lagu. Transliterasi
dimasukkan dalam bagian tersendiri, yaitu pada lampiran.
Ketiga naskah yang dibicarakan sebagai naskah tunggl adalah naskah Pak Belalang
versi melayu, naskah Basimalin yaitu Malin Deman dari Minangkabau, dan nask ah Panji
Angreni dari Jawa. Naskah Pak Belalang termasuk cerita humor, terdapat pada koleksi
naskah Perpustakaan Nasional Jakarta. Kolofon cerita menginformasikan bahwa cerita ini
disalin di Pulau Penyengat Riau, atas perintah pejabat Belanda Van de Wall d an pernah
diterbitkan oleh R.O. Winstedt pada tahun 1893. Naskah Basimalin Minangkabau
merupakan cerita lisan yang berisi tentang cerita Malin Deman yang sama isinya dengan
cerita Djaka Tarub di pulau Jawa. Malin Deman menceritakan tentang seorang pemuda k a
win dengan putri kayangan yang akhirnya berpisah kembali. Kisah Basimalin ini
diceritakan pada upacara yang terdapat di masyarakat sebagai siklus kehidupan seperti
pada waktu pernikahan, sunatan, kelahiran atau turun mandi. Mengingat bahwa naskah
yang berbeda dengan bahasa Minangkabau sekarang ini, maka dianggap naskah ini adalah
naskah yang sudah tua isinya. Serat Panji Angreni adalah naskah satu versi. Cerita Panji
yang lain tersimpan di berbagai perpustakaan di Indonesia maupun Belanda. Isinya
lengkap untuk menerapkan teori kajian sastra.
2
EDISI NASKAH JAMAK
DAN KAJIANNYA
Hikayat Bandjar (Naskah Melayu)
HikayatBandjar termasuk dalam sastra sejarah. Naskah itu diteliti oleh
Johanas Jacobus Ras dengan judul Hikajat Bandja r. A Study in Malay Historiografi.
Diterbitkan di Belanda oleh Martinus Nijhoff, I%8. Dalam pendahuluan
dikatakan bahwa penelitian ini bertitiktolak dari adanya anggapan yang
meremehkan sastra sejarah atau kronik Melayu. Sastra sejarah dianggap tidak
berisi informasi sejarah. Oleh karena itu, Ras ingin membuktikan dengan
mengambil sebuah kronik Melayu dari Bandjarmasin, Kalimantan. Ia, dalam
penelitian ini, menyajikan sebuah edisi teks dan terjemahan. Kedua hal itu
dilakukan dengan pertimbangan bahwa edisi naskah ter sebut dapat digunakan
sebagai bahan yang amat bernilai dalam pengkajian sejarah kebudayaan
Nusantara. Namun, kalau digunakan sebagai bahan penulisan sejarah Melayu,
karya itu menjadi dianggap kurang begitu penting.
Bab pertama terdiri atas 5 bagian. Bagian (1) memperkenalkan penerbitan-
penerbitan awal tentang daerah Banjar. Terbitan yang disebutkan, di antaranya
adalah J. Hageman yang menulis Contribution to History of Borneo, tahun 1857, A.
Van der Ven menulis Notes on tlie Realm of Bandjermasin, tahun I860. Dalam bagian
ini disinggung juga tentang naskah-naskah yang akan dibahas. Selain itu, ia juga
membahas pemakaianbahasa yang digunakan, yaitu bahasa Melayu yang
ragamnya tidak sama dengan bahasa Melayu standar. Sebagian besar
pemakaiarmya tidak tunduk dengan bahasa baku Melayu Riau-Johor. Bahasa
percakapan daerah Banjar banyak digunakan karena naskah ditulis di
Kalimantan Tenggara. Oleh sebab itu, orang yang tidak kenal dengan bahasa itu
agak sukar memahaminya. Topik lain yang disorotnya juga adalah tradisi
penulisan sejarah Melayu yang banyak berbaur dengan mitos. Dicontohkan
penelitian yang dilakukan oleh Djajadiningrat yang mengatakan bahwa di
kerajaan-kerajaan Indonesia, tradisi sejarah telah terpelihara dan telah
dilakukan dari dahulu kala. Tradisi ini merupakan suatu laporan asal-usul suatu
kerajaan.
Dari teks-teks yang ada, Ras menggolongkan cerita menjadi dua, yaitu
resensi I dan II. Kedua resensi itu dibuat ringkasannya dan masing-masing dibagi
atas 12 episode. Setelah itu antara keduanya dibandingkan. Dari perbandingan
itu, ia menyimpulkan bahwa antara dua resensi itu terdapat ketidakseimbangan.
Pada dasarnya kedua resensi berjalan sejajar, hanya pada bagian-bagian
tertentu panjang pendeknya cerita berbeda; misalnya dalam resensi sejarah
kerajaan Kalimantan Barat dibagi atas empat zaman, sedangkan dalam resensi II
hanya terdiri atas 2 zaman. Di samping itu, ia juga membuat perbandingan
dengan hikay at Melayu lain serta karya sastra Jawa, hanya penekanannya
dengan melihat persamaan-persamaannya. Dalam perbandingan itu ada 4 hal
yang disampaikan. (1) persamaan dilihat berdasarkan mitos Melayu tentang asal-
usul putri yang muncul dari buih. Kemunculan Putri Junjung Buih itu dilihat dari
lima cerita, Silsilali Kutai, Cerita Sukadana, Sejarah Melayu, Hikayat Merong
Malwzvangsa, Hikayat Aceh. Bagian itu ditampilkan dengan tujuan menjelaskan
mitos asal-usul yang melambangkan penciptaan satu kesatuan antara unsur
kosmik, air (dunia bawah) dan matahari (keinderaan). (2) Persamaan dengan
melihat mitos Melayu tentang asal-usul dan cerita Rama Melayu. Dalam
persamaan ini dilihat cerita Salasilah Kutai dan Serat Kanda. Dalam hikayat Melayu,
Hikayat Sri Rama, ditemukan juga kemunculan Putri Junjung Buih, yaitu ketika
Raja Destarata menikah dengan gadis dari buluh. Putranya, Rama, menikah
dengan Sinta. Hal itu dihubungkan dengan unsur kosmik air. Di- sini terlihat
bahwa Hikajat Bandjar sama dengan Hikayat Sri Rama. Jika dibandingkan dengan
Silsilah Kutai perbedaan ditemukan dalam perwujudan Mangkubumi. (3)
Persamaan juga dilihat antara Hikayat Banjar dan Sejarah Melayu dengan melihat
tokoh-tokoh yang muncul, yaitu munculnya putri yang berasal dari buih, pendiri
kerajaan, tokoh Mangkubumi, Putera Raja dari Cina, Raja Iskandar Zulkarnain,
Nabi Khidir, Raja Keling, dan Raja Negeri bawah laut. (4) Persamaan dilihat
juga dengan berdasarkan pada cerita Ampu Jatmika dan Kisah Raja Awab dalam
Serat Kanda. Dari cerita itu ia menemukan persamaan tentang cerita Maharaja
Awab dan cerita Panji serta cerita dinasti kerajaan Jawa.
Pada kritik teks atas resensi I ia melihat penggunaan bahasanya. Menurut
Ras perbendaharaan kata dan gaya bahasa dalam teks tidak sama antara bagian
awal danakhir. Bahasa yang digunakan dalamseparuh bagian pertama lebih
dekatpada bahasa Melayu klasik. Selain itu, pada beberapa kata, seperti kata
ganti digunakan kata Jawa. Kebanyakan kata-kata itu digunakan dalam bahasa
resmi dan tidak resmi. Peralihan dari bahasa Melayu ke bahasa Jawa
mencerminkan satu perubahan dalam percakapan yang memunculkan pula satu
perubahan kebudayaan.
Ia menyimpulkan bahwa teks resensi I ditulis sekurang-kurangnya oleh dua
orang yang bekerja pada zaman yang berbeda. Perubahan juga terjadi dengan
penggunaan kata-kata Arab oleh pengarang. Hal itu menandakan bahwa
pengarang pertama telah mengarang pada masa Islam masuk ke Kalimantan
Tenggara. Pengarang menulis dalam zaman Islam ortodoks yang baru masuk ke
daerah itu sebagai agama resmi. Masa itu di Banjarmasin zaman Sultan
Suryanullah. Teks yang ditulis di istana itu tidak lengkap, kemudian pengarang
kedua menyalinnya dan menambahkan serta membuat perubahan.
Pada bagian akhir menurutnva ada cerita sambungan yang berhubungan
dengan raja-raja berikutnya. Bagian ini mengandung lakuna ketika menceritakan
masa pemerintahan Sultan Hidayatullah. Bagian yang hilang itu menceritakan
pembuangan Sultan Hidayatullah ke Mataram dan digantikan oleh Sultan
Mustainullah. Bagian teks setelah lakuna yaitu tentang kisah pemerintahan
Marhum Panembahan ditulis selepas kemangkatan sultan itu. Dengan melihat
perbedaan gaya penceritaan dengan cerita sebelumnya dapat disimpulkan bahwa
selepas lakuna seorang pengarang baru yaitu yang ketiga telah mulai
mengarang. Penyalin itu menyalin teks yang lama dan mengarang bagian akhir
teks dengan caranya sendiri serta menambah satu cerita sambungan. Ras
menyimpulkanbahwa penulisan itu mungkin dilaktikan di kraton baru di Kayu
Tangi yang telah dibina oleh Raja (Marhum Panembahan). Pengarang yang
ketiga bekerja untuk Pangeran Dipati Tapasana yang menggantikan putra sulung
Marhum Panembahan sebagai sultan Riayatullah. Dalam bagian terakhir.
pengarang memusatkan perhatiannnya pada Pangeran Dipati Anta-Kusuma atau
ratu Kota Waringin daripada Tapasana. Oleh sebab itu, judul teks bernama
Cerita Raja-raja Banjar dan Kota Waringin.
Dalam bagian kelima diuraikan jajahan Melayu di Kalimantan Tenggara dan
hubungannya dengan Jawa. Untuk melihat keadaan itu, Ras melihat beberapa
kasus, di antaranya penyebutan kata Keling dan negeri Tanjung Pura. Keling di
Nusantara biasanya adalah India Selatan karena di situ ada orang yang disebut
orang Keling, sebutan dari Kalingga. Dalam beberapa karya Jawa nama itu
adalah nama lain Kuripan atau Jenggala yang ada pada masa Majapahit.
Pada bagian kritik teks, Ras merekonstruksi teks dengan membandingkan
teks-teks resensi I. Pada bagian ini ia sampai pada kesimpulan bahwa
perbendaharaan kata dan gaya teks resensi I tidak sama dari awal hingga
akhir.Bahasa yang digunakan pada bagian awal dan tengah ialah bahasa Melayu
klasik. Dalam teks ini juga digunakan kata-kata Jawa "baru" dan bahasa
percakapan Banjar. Bagian enam adalah pernaskahan dan edisi naskah. Ia
menemukan 8 naskah yang ada di Jakarta — seperti yang disebutkan oleh Van
Ronkel, 10 naskah di Eropa, yakni 7 di Leiden, 1 di Jerman, dan 2 di Inggris.
Dari naskah-naskah itu ia mendeskripsikan— meskipun tidak mendetail—seluruh
naskah dengan menyebutkan tahun penyalinan. Bahkan ia mengelompokkan
masing-masing naskah dengan melihat variasi bacaan. Berdasarkan itulah, ia
membagi naskah-naskah tersebut menjadi dua kelompok.
Bagian edisi teks, bab dua, disertai dengan terjemahan dan aparatus kritikus
yang diletakkan pada footnote. Edisi itu menggunakan metode gabungan, yaitu
menggabungkan 5 naskah. Bab tiga adalah glosari dan indeks serta lampiran
yang sangat lengkap berupa gambar silsilah dan beberapa foto, peta, dan latar
belakang sejarah serta sosial budaya kota Waringin, permainan dan hiburan,
dankesusastraan Melayu di daerah itu.
Babad Buleleng (Naskah Bali)
Naskah yangberasal dari Bali itu diteliti oleh seorang sarjana dari Australia,
P.J. Worsley yang diberi judul Babad Buleleng, 1972, diterbitkandi Belanda oleh
Martinus Nijhoff. Cerita dalam naskah itu banvak menampilkan tokoh dan
peristiwa "sejarah" dari daerah Bali. Dalam penelitian ini, Worsley berhadapan
pada sebuah tradisi penulisan sastra yang berkaitan dengan fungsinya. Tradisi
penulisan ini menarik dan yang dipersoalkannya mengapa karya seperti ^itu
diciptakan pengarang. Tambahan lagi karya sastra itu seringkali muncul sebagai
karya anonim, tanpa tanggal pembuatan dan keterangan tentang
kepengarangannya sehingga sebuah interpretasi sering menjadi agak berisiko.
Untuk menjawab pertanyaan itu, Worsley menggunakan pendekatan objektif
yaitu sebuah kajian sastra dengan analisis bentuk, tema, dan fungsi serta
penokohan. Unsur sastra tersebut diharapkan dapat memperlihatkan tujuan
pengarang dan fungsi karya sastra tersebut. Untuk kepentingan penelitian itu, ia
memakai4 naskah Babad Buleleng yang terdapat dalam berbagai koleksi, yakni
Perpustakaan Fakultas Sastra Udayana, Gedong Kirtya, Bali, serta Perpustakaan
Universitas Leiden, Belanda. Dari keempat naskah itu, ia memilih satu naskah
sebagai landasan. Naskah inilah yang ditransliterasi dan naskah-naskah lainnya
digunakan sebagai pembanding.
Yang dibicarakan pada bagian pertama adalah tentang cerita Babad Buleleng
yang mengisahkan kehidupan Panji Sakti. Karya itu adalah sebuah karya sastra
Bali yangberisi genealogi atau silsilah. Cerita yang terdiri atas 22 episode ini
menyajikan daftar nenek moyang tokoh tersebut. Dalam silsilah itu dikatakan
bahwa leluhur Panji Sakti adalah seorang imigran yang berasal dari Maosapahit
(Majapahit). Masa kecilnya diceritakan ketika ia berada di Bali Selatan, di
Kerajaan Gelgel dan ia diramal akan menjadi Raja Den Bukit. Dalam bagian lain
juga digambarkan tentang Panji Landung dan beberapa peristiwa lain yang
berhubungan dengan cerita Bali Selatan. Cerita berakhir pada anak-anak Panji
Sakti dan kematiannya.
Dilihat dari bentuknya, babad ini terdiri atas dua unsur, yaitu bagian
genealogi dan bagian naratif. Bagian genealogi menceritakan asal-usul
keturunan Panji Sakti dengan dua garis keturunan, mulai dari Dang Hyang
Kapakisan dan garis klan Jlantik sampai dengan Panji Sakti. Unsur naratif, di
antaranya menggambarkan terjadinya perang saudara antara Ki Gusti Ngurah
Panji Sakti dan Ki Gusti Ngurah Jlantik yang berperan penting dalam perebutan
kerajaan Den Bukit yang dilakukan Raja Karangasem. Bagian naratif ini disusun
secara kronologis. Kedua unsur tersebut pada dasarnya bukan merupakan
sesuatu yang terpisah, melainkan bersatu. Namun, keduanya masih dapat
dikenali. Dari kedua unsur tersebut ditarik tema cerita di sekitar suksesi, yaitu (1)
legitimasi keluarga sebagai pendiri Kerajaan Panji Sakti, (2) ketidaksahan Raja
Karangasem di Den Bukit, dan (3) legitimasi kerajaan Belanda setelah Den Bukit.
Sehubungan dengan pelegitimasian Raja Panji Sakti dari Den Bukit, penelitian
ini juga melihat aspek penokohan, terutama pada tokoh Panji Sakti yang
berperan sebagai tokoh sentral. Kehadiran tokoh sentral tersebut berhubungan
langsung dengan tema. Selain itu, para tokoh vang berperan dalam cerita
tersebut kelihatan mengalami perkembangan.
Tokoh sentral adalah Panji Sakti. Ia keturunan Batara Majapahit (imigran),
seorang raja ideal di Jawa.Tokoh Panji Sakti menjadi pusat perhatian babad ini
karena ia diceritakan lebih dari setengah naskah. Panji Sakti merupakan leluhur
dari klan suku Bali Utara, kerajaan Den Bukit Ia juga diceritakan sebagai tokoh
yang sifatnya tidak seperti manusia biasanya karena ia mempunyai kekuatan yang
terpendam. Kekuatan itu menakutkan dan mengancam klan lain, suku Bali
Selatan, di kerajaan Gelgel.
Ancamankekuatan itu terbukti dengan dikalahkan beberapa musuhnya,
seperti Panji Landung dan Kyai Sasankadri. Kesuksesan dan kepahlawanannya
dalam pertempuran dikaitkan dengan fungsinya sebagai pelindung rakyat dan
pelindung Kerajaan Den Bukit.
Kesuksesan dan keberhasilan Raja Panji Sakti irulah vang ditonjolkan dalam
cerita ini. Keberhasilannya itu menjadi dasar munculnva lovalitas dan
penghormatan rakyat kepada rajanya. Hal itu merupakan suatu kepuasan untuk
menjaga kestabilan bagi kerajaan Panji Sakti. Tokoh-tokoh lain mendukung sosok
Panji Sakti, di antaranya Si Luh Pasek Panji (wanita dari Bali Utara) dan Ki
Pungakan Gendis serta Dampu Awang (musuh Panji Sakti).
Pokok pembicaraan yang ketiga adalah periode Kerajaan Karangasem di
Den Bukit. Bagian ini memasukkan tiga peristiwa bersejarah vang terjadi di
Kerajaan Karangasem, yaitu perang saudara dan bencana alam (banju lahar)
tahun 1815 A. D., dan pemerintahan Ki Gusti Ngurah Made serta restorasi klan
Panji Sakti kepada kerajaan Den Bukit.
Pokok pembicaraan yang lain dalam babad ini adalah pelegitimasian
terhadap kerajaan Belanda setelah Den Bukit. Pelegitimasian itu terjadi ketika Ki
Gusti Made Rahi disuksesi oleh Ki Gusti Ketut Jlantik. Perampasan itu dikontrol
langsung oleh Belanda dan mereka membasmi pemerintahan yang ada di Den
Bukit tersebut. Kejadian selanjutnya Belanda tidak mempunyai pilihan lain,
kecuali ikut terlibat untuk menyingkirkan Ki Gusti Ketut Jlantik dan kerajaan
dengan cara mengabolisinya.
Pokok pembicaraan yang terakhir dalam bagian ini adalah tanggal dan
kepengarangan Babad Buleleng. Bagian ini menginformasikan bahwa Naskah C
disalin dari naskah milik raja terakhir, Ki Gusti Ngurah Ketut Jlantik yang
berkuasa pada tahun 1871 A.D. Hal itu dapat dilihat dari peristiwa vang disorot
dalam babad ini yakni peristiwa berkuasa raja di Den Bukit, Ki Gusti Ngurah
Ketut Jlantik yang hichip pada tahun 1872 A.D. Dengan adanya keterangan itu
kemungkinan babad ini ditulis antara tahun 1872 — 1928 A.D. oleh seseorang
yang belum diketahui identitasnya. Penyusun babad ini diduga adalah seseorang
yang mengerti unsur-unsur cerita Panji Sakti. Ia juga menduga bahwa penulis
babad ini mengambil bahan dari Babad Blah Batu. Ia memperoleh bahan cerita
dari beberapa sumber yang berbeda kdu mengumpulkan dan menyusunnya
sehingga menjadi cerita seperti ini. Penyusunnya merasa bahwa saat ini
merupakan saat yang tepat untuk penulisan babad yang juga berarti juga menulis
"sejarah" untuk kepentingan klannya.
Dalam menyajikan edisi teks Babad Buleleng, Worsley menyadari bahwa
berbagai kesulitan pasti akan ditemui. Sebagai seorang editor ia menyadari
bahwa menyajikan sebuah kritik teks merupakan hal yang sangat penting karena
dengan cara itu ia dapat mengetahui tradisi penyalinan teks-teks yang ditemukan.
Ia melihat teks dari sudut linguistik. Kritik teks dengan melihat gejala kebahasaan
(Jawa Kuno dan Tengahan) pernah dilakukan di antaranya oleh Teeuw dan
Uhlenbeck dalam Negarakertagatna, Pigeaud, dan Van der Tuuk untuk naskah Bali.
Ia melihat kekeliruan sering dilakukan penyalin ketika menurunkan teks. Untuk
melihat kekeliruan ini, Worsley berpegang pada pokok-pokok yang dibicarakan
oleh Reynolds dan Wilson.
Pembicaraan selanjutnya butir empat sampai lima adalah masalah
kebahasaan dalam penyajian sebuah teks. Masalah kebahasaan itu menyangkut
pemakaian ejaan, penulisan kata, dan pemakaian tanda baca. Pada pembicaraan
keenam ia mengatakan bahwa Babpd Buleleng pada dasarnya ada 6 naskah.
Keenam naskah itu dijadikan bukti dalam penelitian ini. Akan tetapi, Worsley
mengeluarkan 2 naskah sehingga hanya 4 naskah yang diperhitungkannya, dan
ke-4 naskah itu dipakai sebagai bahan penelitiannya.
Berdasarkan keempat naskah tersebut, ia mengatakan bahwa keempatnya
termasuk dalam satu versi dengan varian yang berbeda. Perbedaan hanya
diketahui dari detail cerita. Berdasarkan hubungan antarnaskah ia mengajukan
dua alternatif hubungan dengan membuat dua silsilah naskah. Dari naskah-
naskah itu, ia memilih naskah A sebagai landasan dan naskah inilah yang
ditransliterasi, sedangkan ketiga naskah lain dipakai sebagai bandingan. Naskah-
naskah yang diambil kemudian dideskripsikan dengan sangat teliti sehingga
pembaca mendapat gambaran yang jelas tentang keberadaan ke-4 naskah
tersebut.
Serat Cabolek (Naskah Jawa)
Naskah Jawa ini dikerjakan oleh S. Soebardi dengan judul The Book of Cabolek,
diterbitkan di Belanda oleh Martinus Nijhoff, 1975. Penelitian ini merupakan
sajian edisi kritis dari naskah Jawa yang berjudul Serat Cabolek. Untuk keperluan
itu, ia membagi penelitiannya menjadi 4 bagian, yaitu pengantar teks dan
transliterasi serta terjemaharmya ke dalam bahasa Inggris. Pada bagian awal ia
menyajikan ringkasan cerita. Ringkasan ihi di samping transliterasi sangat
bermanfaat karena dapat membimbing pembaca ke arah pembahasan isi. Bagian
kedua adalah masalah pernaskahan. Dalam bagian ini dibicarakan dua hal, yaitu
perbandingan naskah dan edisi. teks. Setelah melakukan perbandingan, Soebardi
menggunakan metode gabungan untuk edisi teks Serat Cabolek. Pada bagian
ketiga, Soebardi memperkenalkan pengarang dan karva-karyanya. Bagian
keempat adalah makna (significance) Serat Cabolek, dan makna cerita Dexoi Ruci.
Pada bagian pernaskahan, ia mengatakan bahwa naskah yang berisi cerita
tersebut mencapai 11 naskah dan 1 cerita terbitan. Kesebelas naskah yang
menjadi saksi penelitian ini disimpan dalam dua tempat, yakni 7 naskah di
Perpustakaan Nasional, Jakarta, dan 4 naskah (mikrofis) disimpan di
Perpustakaan Universitas Leiden. Selain itu ada juga satu Serat Cabolek yang
diterbitkan oleh Dorp & Co, 1886, yang dipakai sebagai bahan bandingan.
Untuk keperluan edisi teks ini, kesebelas naskah ditandai dengan aksara
Latin, yaitu A — k. Naskah-naskah tersebut sebagian besar ditulis dengan aksara
Jawa. Dari naskah-naskah tersebut, ia melihat ada 3 unsur cerita yang sama
dalam setiap cerita.
Di samping persamaan, ditemukan juga perbedaan di antara cerita tersebut.
Oleh sebab itu, Soebardi memakai studi bandingan naskah untuk melihat
persamaan dan perbedaan. Ia mengatakan bahwa perbedaan yang ada dalam
cerita tersebut berhubungan erat dengan kebebasan penyalin dalam
mengadaptasi cerita.Padasaat menyalin, sang penyalin bebas menvisipkan karya
lainyangdianggapsesuai dengan seleranya. •
Soebardi membandingkan berdasarkan bentuk (pupuh dan matra) dan isi
cerita. Dari kesebelas cerita tersebut ia membagi cerita menjadi 3 kelompok.
Kelompok I adalah naskah E, i, dan J. Kelompok II adalah naskah A,B,f,g, dan h.
Kelompok III adalah naskah C,D,k dan 1. Antara ke-3 kelompok tersebut masih
terdapat persamaan dan perbedaan. Kelompok I dan II mempunyai persamaan
dalam pengadilan Haji Mustakim dan perbedaannya dalam bagian cerita Dewi
Ruci. Bagian cerita itu hanya ditemukan dalam naskah i. Naskah i kelihatannya
menyisipkan dari naskah E atau J. kelompok II dan III terdapat persamaan dalam
cerita Mangkubumi yang ada dalam naskah B di kelompok II. Persamaan yang
menghubungkan kelompok I dan III adalah naskah i melalui D.
Dalam edisi teks, Soebardi mengambil dua naskah, yaitu A dan E. Ia memakai
edisi gabungan. Dari naskah A, ia mengambil pupuh I, II, III, IV, V, VI, VII, VIII
— stanza lsampai dengan 26, XII — stanza 14 sampai dengan 65, XIII, XIV, XV/
dan dari naskah E ia mengambil pupuh VIII — stanza 27 sampai dengan 28, IX,
X, XI. Ia member ikan beberapa catatan sehubungan dengan edisi teks ini, yaitu
pada halaman 171. Catatan itu menyangkut penjelasan akar kata, arti kata, juga
catatan perbedaan antara naskah (aparatus kritikus).
Pada bagian pengarang dan karyanya, ia menjelaskan bahwa di antara
naskah yang disebutkan itu tidak ada satu pun naskah yang mencantumkan
keterangan tentang pengarang. Keterangan tentang pengarang, Yasadipura I,
hanya diketahui dari sumber luar (eksternal), bahwa Yasadipura I menyusun
Babad Gayanti, Babad Prayut, Pesinden Badaya, dan Serat Cabolek Informasi itu juga
ditemukan dalam Serat Cabolek yang sudah diterbitkan. Di situ dikatakan bahwa
cerita dibuat pada masa Paku Buwana IV.
Yasadipura ketika membuat karya itu mempunyai tendensi, yaitu ia ingin
meluruskan dirinya dan para ulama yang syariahnya berbeda. Sikap Yasadipura
terhadap syariah dapat dimengerti dalam konteks tradisi sinkretis Jawa. Baginya.
syariah merupakan "sebuah wadah yang merupakan bagian luar dalam sistem
kepercayaan dan bukan merupakan pokok. Yang pokok adalah ilmu tarekat.
Dalam Serat Cabolek, Haji Mutamakin menggambarkan ajaran mistik yang
sangat kuat tentang ilmu tarekat. Ajaran itu merupakan tiruan dari ajaran
sebelumnya, ajaran Shaikh Siti Jenar, Sunan Panggung, Ki Bebeluk, dan Shaikh
Anion Raga. Di antara pendapat-pendapat tersebut ternyata ditemukan motif
umum yang menjadi sumber konflik antara mistik Jawa dengan ortodoks dan
hukum Islam. Konflik itu menambah beberapa bagian ke dalam motif dan makna
Serat Cabolek. (1) Shaikh Siti Jenar merupakan motif yang muncul dalam beberapa
cerita. Oleh karena itu, ajarannya pun muncul dalam berbagai versi. Dalam versi
cerita Shaikh Siti Jenar, ajaran yang disebarkannya adalah doktrin mistik
heterodoks, yang berpusat pada pengenalan identitas manusia dengan Tuhan.
Karena itu ia tidak pernah salat Jumat. Dalam keny ataanny a, Shaikh Siti Jenar
adalah seorang Al Hallaj. Ia dieksekusi dengan pedang karena memunculkan
pengetahuan vang tidak pernah diketahui orang lain. Ia dianggap melanggar
etika mistik yang ada. (2) Sunan Panggung adalah sosok lain dari tiruan Shaikh
Siti Jenar di Demak. Sunan Panggung dibakar karena ia dianggap berani
melanggar syariah atau hukum agama. Alasan lain pembakarannya karena ia
hanya percaya pada iman dan tauhid, sedangkan yang lainnya tidak. Oleh sebab
itu, para ulama merasa ia melanggar agama Islam dan dianggap membahayakan
masyarakat. (3) Motif Ki Babeluk tidak banyak diinformasikan dalam karya ini.
Ia hanya muncul sebagai jembatan yang menghubungkan antara dua gap, yaitu
antara tradisi pra-Islam dan era Islam. (4) Shaikh Among Raga dieksekusi di
lautan dekat kampung Tanjungbang, daerah kekuasaan Sultan Agung, Raja Islam
Ma tar am. Tokoh ini juga dilukiskan Serat Centini. Dengan memasukkan tokoh ini
ke dalam karyanya, Yasadipura I kemungkinan besar mengadaptasi dan
menyisipkars bagian ini dalam seratnya pada tahun 1815 A.D. (5) Motif Haji
Ahmad Mutamakin banyak disorot dalam karya ini. Karena tokoh ini mempunyai
ajaran yang banyak persamaannya dengan Shaikh Siti Jenar dan Sunan
Panggung. Hal itu menandai bahwa daya tarik pengarang sangat besar pada
Shaikh Siti Jenar dan Sunan Panggung. Hal itu dibuktikan dengan munculnya
tokoh Ketib Anom yang menyatakan bahwa Haji Ahmad Mutamakin melanggar
syariah. Dalam Serat Cabolek Haji Ahmad Mutamakin digambarkan sebagai
seorang mistis yang tidak mempunyai kepribadian, tidak berpengetahuan agama
yang mendalam, dan tidak berwibawa.
Cerita Dewi Ruci dalam sastra Jawa merupakan cerita dari era pra-Islam yang
berasal dari cerita Mahabarata. Bima dalam cerita ini lebih penting daripada
Arjuna. Bima tidak hanya ditampilkan sebagai pahlawan yang kuat fisiknya,
tetapi juga seorang yang bijaksana dengan kualitas spiritual yang tinggi. Dalam
versi Yasa dipura I ini cerita diadaptasi dengan cerita wayang purwa.
Dilihat dari maknanya cerita tersebut berfungsi sebagai ajaran. Ajaran yang
terkandung di dalamnya ada dua, yaitu ajaran etika dan ajaran mistik. Ajaran
etika dalam cerita ini, di antaranya terlihat pada pengalaman Bima pada saat
melawan Rakmuka dan Rukmakala waktu mencari air kehidupan. Di bagian itu
terlihat segala usaha Bima untuk memperoleh air itu. Dari peristiwa itu dapat
diambil ajaran bahwa untuk mencapai tujuan dalam hidup ini manusia harus
berusaha keras dan harus dapat mengatasi segala rintangan seberat apa pun.
Selain itu, manusia juga harus jujur dan bersifat loyal.
Selain ajaran etika ada ajaran yang lebih penting dalam cerita ini, yaitu
ajaran mistik. Ajaran itu berisi tentang hubungan manusia dengan Tuhan. Bahwa
tujuan hidup manusia di bumi ini adalah bagaimana manusia mencapai
penyatuan diri dengan Tuhan atau pamoring Kawula Gusti.
Akhirnya dapat dikatakan bahwa Yasadipura dalam karyanya bertujuan untuk
menyejajarkan dirinya dengan ulama vang menghormati ajaran syariah sebagai
sebuah petunjuk formal kepada orang jawa yang beragama. Ia berpendapat
bahwa syariah harus dimengerti dalam konteks tradisi sinkretis Jawa.
Syair-syair Hamzah Fansuri (Naskah Melayu)
Penelitian atas syair-syair Hamzah Fansuri yang berjudul The Poems of Hamzah
Fansuri ini dilakukan oleh G.W.J. Drewes dan L.F. Brakel, diterbitkan di Belanda
oleh Foris Publication, 1986. Buku ini bertujuan ingin menampilkan kepenyairan
Hamzah Fansuri yang belum dibuat secara tuntas sampai sekarang meskipun
sebelumnya beberapa peneliti pernah melakukannya, seperti Al Attas, Untuk itu,
Drewes dan Brakel membagi hasil penelitian menjadi 8 bab.
Dalam pengantar dibicarakan 7 topik.
(1) Riwayat hidup Hamzah Fansuri. Penyair Melayu yang terkenal ini,
dilahirkan di Barus, sebuah pusat perdagangan yang terletak antara
Singkil dan Sibolga, Sumatra Utara. Kehidupan penyair itu tidak pernah
dicatat. Masa hidupnya lebih dulu dari Samsuddin Pasai. Ia diperkirakan
hidup sekitar abad ke-16. Nama Hamzah pernah disebut-sebut oleh
Samsuddin Pasai (1630) dan Nuruddin Ar Raniri (1658). Dalam Tibyan,
Nuruddin melawan Hamzah dan Samsuddin dan mengatakan ajaran
mereka sebagai xvujudiah dalalah. Kreamer mengatakan bahwa Hamzah
mungkin hidup setelah tahun 1636. Namun, latar belakang pendapatnya
sangat lemah. Drewes lebih setuju dengan Voorhoeve daripada Kreamer.
Ia mengatakan bahwa masa hidup Hamzah sekitar abad ke-16 dan
meninggal sebelum tahun 1590.
(2) Dalam sajak-sajaknya, Hamzah meniru bentuk ghazal dari Persia yang
pada bagian akhir sering menyebutkan nama samaran (takhallus). Ia
menggunakan 3 nama yang berbeda, 15 kali dengan Hamzah saja, 15 kali
dengan Hamzah Fansuri, dan 2 kali dengan Hamzah Shahrnawi.
Berdasarkan beberapa larik syair Hamzah, Al Attas mengatakan bahwa
Hamzah orang Bams (Fansur), tetapi tempat memperoleh eksistensi
dirinya di tanah Shahrnawi.
(3) Hamzah Fansuri dalam perjalanannya mencari Tuhan pernah sampai ke
tanah Bagdad, Mekkah, dan Shahr-i Naw, dan Yarussalem. Kepergian itu
ditunjang dengan bukti yang ditemukan dalam Sejarah Banten yang
mengatakan bahwa Raja Banten mengirim tiga buku ke Mekkah dan salah
satu buku itu adalah Muntahi karya Hamzah Fansuri.
(4) Hamzah Fansuri selain menulis syair juga menulis prosa. Ia membuat 32
syair dan juga menulis tiga karya prosa, yaitu Asrar al-arifin, Sharah al-
ashiqin,dan al-Muntahi. Dalam karya pertamanya ia menjelaskan sif at
keabadian Tuhan yang menciptakan dunia dan seluruh isinya. Setelah itu,
dijelaskan juga tentang pengetahuan Tuhan dalam menciptakan hakikat
Muhammad atau Nur Muhammad yang menjadi sumber semua ciptaan
Tuhan di dunia. Dalam karyanya yang kedua ia menjelaskan 4 hal yang
menarik, yaitu a) empat tingkat menuju ajaran mistik dan bagaimana cara
mencapainya, b) doktrin emanation yang membedakan 7 tingkat dalam
membentangkan satuan absolut ke dalam ciptaan-Nya, c) sifat-sifat
Tuhan, d) cinta dan rasa syukur. Karya ketiganya merupakan sebuah
risalah yang banyak mengutip ayat Quran, beberapa sajak dari Persia,
dan Arab serta ditambah juga dengan terjemahan. Karya ini semacam
sebuah antologi yang semua isinya merujuk pada ajaran wujudiah.
(5) Hamzah Fansuri selain menguasai bahasa Arab juga menguasai bahasa
Persia. Kemampuan bahasa Persia itu termuat dalam ketiga karya di atas.
Pengetahuannya dalam bahasa Persia kelihatannya samabagusnya
dengan kemampuannya dalam bahasa Arab. Pada masa mudanya ia
semestinya pernah belajar bahasa Arab dan lebih diperdalam lagi ketika
ia ke Arab. Pada saat irulah ia belajar bahasa Persia dan tinggal di
Shahranawi.
(6) Raniri mencela ajaran wujudiah yang diajukan Hamzah Fansuri. Ia
menyerang Muntahi dalam karangannya yang berjudul Tibyan fi
Ma‘rifatal-adyan Ia menyebut ajaran wujudiah Hamzah adalah bid'ah
sehingga disebutnya dengan wujudiah dalalah. Ketika Raniri tinggal di Aceh
(1637 — 1644) ia didukung Raja Iskandar Muda yang juga tidak setuju
dengan ajaran Hamzah dan Shamsuddin sehingga banyak pengikut
mereka yang dibunuh dan buku-buku mereka dibakar.
(7) Bagian ini membicarakan syair-syair Hamzah Fansuri yang di antaranya
ada yang tidak menyebutkan identitasnya. Oleh sebab itu, banyak yang
meragukan apakah karya itu memang karya Hamzah. Tiga karya yang
anonim Hamzah adalah syair Perahu, Bahr al-nisa (Ikat-ikatan Urn al-nisa) dan
Syair Dagang. Syair Perahu pernah diteliti oleh V.Y. Braginsky. Ia mengenali
syair karya Hamzah dari struktur rimanya yang biasa digunakan Hamzah
dalam syair-syairnya. Bahral-nisa yang tersimpan di Leiden merupakan
syair yang layak diper timbangkan. Syair Dagang menur ut Teeu w dari
pemakaian rimanya terlihat kurang bagus; banyak dipengaruhi kata-kata
Minangkabau, seperti kacie, curita, batunpo-timpo, tidak lai.
Dalam bab 2 tentang pernaskahan, Drewes membicarakan 5 topik. Pertama,
syair-syairnya ditulis dalam 7 naskah. Empat naskah disimpan di Leiden, 2
naskah di Jakarta, dan 1 naskah terbitan dalam bentuk faksimile yang dibuat A.
Hasjmy, 1976. Di antara naskah-naskah itu, naskah tertua adalah B (Cod or.
2016) yaitu tahun 1704, kemudian naskah C (Cod.or. 3372) yang mencatat tahun
pe*nyalinan pada tahun 1851. Di antara naskah-naskah tersebut, yang dianggap
paling baik adalah naskah A • MS.83). Naskah yang dianggap kurang baik karena
tulisannya buruk dan banyak kesalahan adalah naskah C (Cod.Or.3372). Naskah
D (Cod. Or 3374) tidak men yebutkan nama pengarang (anonim) dan memuat
tiga teks, yaitu Syair Dagang, Syair Perahu, dan Hikayat Bakhtiar. Naskah B ( Cod. Or.
2016) memuat Syarab al-ashiqin ruga anonim dan memuat syair Hasan Fansuri dan
beberapa sajak Abdul Jamal
Kedua, syair Hamzah Fansuri d :ngan nomor Ms. Von de Wall 32, disimpan di
Jakarta, merupakan koleksi yang umumya muda dan ditulis ulang dalam bentuk
yang isir.ya bervariasi. Syair-syair ini terkenal di Banten pada abad ke-17
dengan judul Muntahi. Pada abad ke-17 dikenal juga drMakassar sebagai Syair
Perang Mcrngfamar vang ditulis oleh Skinner tahun 1670.
Ket iga, beberapa syair Hamzah merupakan versi yang menyimpang.
Doorenbos menyebutnya sebagai wandering verses dari syair Hamzah. Keempat,
sehubungan dengan tulisan Shamsuddin dan Raniri, Van Nieuwenhuijze dan
Voorhoeve menemukan kutipan (catatan) syair Hamzah. Catatan itu kadang-
kadang berbentuk varias bacaan. Kelima, Drewes membuat tabel yang
memperlihatkan perbedaan atau vanasi dari syair Hamzah berdasarkan teks yang
disunting Doorenbos, naskah Jak.Mai 83. Cod. Or. 2016, Cod. Or. 3372, dan
Cod. Or.3374.
Bab 3 terbagi atas 6 bagian yang akan diuraikan secara singkat di bawah ini.
(1) Dalam bagian ini dikatakan syair Hamzah yang berjumlah 32 nomor
panjangnya tidak scjajar. Shamsuddindalamkomentarnya tentang sajak Hamzah
menyebutnya dengan Ruba'i Hamzah Fansuri. Meskipun begitu rima yang
digunakannya sudah memakai rima syair Melayu, yaitu dengan a- a- a- a, bukan
a- a- b- b. Dengan begitu Hamzah bukan hanya sekedar imitator, tetapi juga
memiliki kekuatan sebagai master. Di Aceh beberapa syairnya dijadikan sebuah
nyanyian yang disebut seulaucuet. yang populer disebut daboih dalam bahasa Arab
disebut dabbus.
Dalam penggunaan bahasa syair-syair Hamzah sangat akrab dengan bahasa
Arab kutipan ayat Quran sehingga syair-syairnya menjadi tidak dapat lagi
dikenali. Pilihan katanya pendek dan tepat, tetapi tidak sampai pada kemurnian
(clarity). Yang dipentingkan dalam syairnya adalah kedalaman pengalaman
spiritual.
Drewes membagi syair hamzah menjadi 6 grup berdasarkan masyarakat yang
ditujunya, yaitu kalangan umum, orang Islam, dan kalangan mistik. Dari enam
grup itu, ia membua t beberapa sinopsis. Untuk edisi teks ia menggunakan metode
gabungan berdasarkan tujuh naskah. Ia tidak menjelaskan kenapa metode ini
digunakan. Setelah transliterasi ia membuat aparatus kritikus, dan indeks syair.
Dalam bab 4, ia menjelaskan kata yang digunakan, seperti etimologi kata dan
sumber kata atau kalimat ditemukan.Ia juga memperhatikan kata Arab yang
digunakan Hamzah Fansuri yang diuraikannya dalam bab 5. Drewes menjelaskan
setiap bahasa Arab yang digunakan lengkap dengan kelas katanya, kutipan ayat
Quran, dan beberapa istilah, glosari.
Ulasan atas karya Hamzah yang pernah disampaikan oleh beberapa orang
diulas lagi pada bab 5, di antaranya oleh Van der Tuuk pada tahun 1866, R.
Roolvink,A. Hasjmy, penyunting Shark Ruba'i Hamzah al Fansuri yang bertahun
1840.Ulasan-ulasan lainnya adalah yang dibuat oleh Hamzah Fansuri sendiri
atas Asrar al-arifin dan ulasan Shamsuddin atas beberapa nomor syairnya.
Dalam bab 6 ia menyajikan tentang naskah dan edisi teks. Naskah terjemahan
ini ada dua buah: naskah koleksi India Office Cod. Or. no. 2446 yang berasal
dari koleksi John Ley den dan naskah Cod. Or. Leiden no. 7392 yang merupakan
salinan dari naskah primbon Priangan yang dibuat untuk Snouck Hurgronje. Edisi
teks menyajikan sebuah transliterasi teks dari naskah yang lengkap yang
disimpan dalam India Office Library.
Pada bab 8, ia menyajikan juga transliterasi naskah Jawa, Muntahi yang
isinya bukan hanya Muntahi, melainkan teks Ibn al-Arabi, Fusus al-hikam. Kondisi
naskah sudah kurang bagus karena beberapa bagian sudah rusak termakan tinta.
Kakawin Gadjah Mada (Naskah Jawa dan Bali)
Penelitian yang dilakukan oleh Partini Sarjono Prakoso ini berjudul Kakawin
Gadjah Mada Sebuah Karya Sastra Kakawin Abadke-20 (Suntingan Naskah serta Telaah
Struktur, Tokoh dan Hubungan Antarteks), diterbitkan di Bandung oleh Binacipta,
1986.Tokoh yang dibicarakan adalah tokoh sejarah yang sangat populer di
masyarakat, Gadjah Mada. Dalam bab I, diuraikan beberapa alasan pemilihan
kakawin itu,di antaranya kakawin adalah bentuk sastra yang populer dan isinya
beragam; puisi ini juga dikenal di Jawa dan Bali; kakawin dapat bertahan selama
6 abad. Ia tertarik mengambil Kakawin Gadjah Mada (selanjutnya KGM) karena ada
keterangan secara eksplisit bahwa protagonis, Gadjah Mada, adalah tokoh
sejarah. Meskipun tokoh sejarah, penelitian ini tidak menggunakan pendekatan
ilmu sejarah karena disiplin itu di luar jangkauannya Sehubungan dengan itu,
tujuan utama penelitian ini adalah mengungkap mitos Gadjah Mada melalui edisi
teks. Hal itu dilakukan agar jangkauan pembacanya dapat lebih luas. Selain itu,ia
juga ingin mengungkap citra Gadjah Mada, apakah tokoh itu mempunyai tempat
khusus dalam diri penyair serta bagaimana penyair itu menggambarkannya
dalam bentuk kakawin yang berbahasa Jawa Kuno pada abad ke-20. Yang
menjadi masalah mengapa penyair KGM mengambil seorang tokoh sejarah
sebagai protagonis? Apakah penyair memakai bahasa Jawa Kuno yang sama
dengan bahasa Jawa Kuno dulu?
Dalam penelitian ini ia membatasi telaahnya pada satu karya sastra saja.
Untuk mencapai sasaran di atas, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan
objektif, mendekati KGM dari struktur.Untuk kepentingan di atas, penelitian ini
juga akan melihat hubungan antarteks karena setiap teks hanya dapat dipahami
dalam hubungannya dengan teks-teks KGM yang lain, termasuk teks dari daerah
lain. Sebagai pembanding ia memakai 5 karya sastra daerah.
Berbagai masalah tersebut mulai dibahas pada bab 2—6. Untuk mengikuti
butir-butir pembahasan, penelitian ini pada dasarnya diklasifikasi menjadi 4
bagian, yaitu pembahasan (1) bentuk kakawin dan pemakaian bahasa Jawa Kuno
dalam KGM, (2) pernaskahan atau edisi teks, (3) analisis struktur — alur dan
tema, tokoh, (4) hubungan antarteks, dan (5) Citra Tokoh Gadjah Mada dalam
sastra daerah lain.
Bab 2 terdiri atas 4 butir. Pertama, ia menguraikan mitos tokoh Gadjah Mada
dalam pandangan penyair KGM. Gajah Mada dimitoskan sebagai tokoh yang
agung. Ia adalah seorang digjaya yang tak tercela di seluruh dunia. Ia adalah
purra Dastrasutra yang gaib karena sering mengeluarkan cahaya. Kedua,
seluruh naskah memuat 730 halaman dalam 76 pupuh. Pola wrtta matra KGM ini
menunjukkan wisarna wrtta dan wisama matra (abed) Hal itu berarti bahwa
prosodi KGM tidak dapat dihitung dengan menggunakan peraturan pola matra
India yang terdapat dalam kavya. Kakawminidinyatakanberhasil, meskipun ada
juga kelemahannya. Namun, kelemahan itu dimaklumi karena kakawin ini ingin
melepaskan diri dari ikatan-ikatan yang mengurangi kebebasannya. Itulah
sebabnya ia membuat pembaruan. Ketiga, bahasa yang digunakan bahasa Jawa
Kuno. Ia menemukan penyimpangan wajar karena kakawin itu dibuat pada abad
XX yang drpengaruhi oleh bahasa ibu dan lingkungan masyarakatnya pada
zaman itu. Keempat,dalam bagian pernaskahan ini dibicarakan asal-usul,
penanggalan, dan penyair naskah KGM. Pernaskahan KGM ini menarik karena
di Bali kegiatan penyalinan ternvata masih berlangsung sampai abad ke-20.
Menurutnya, naskah KGM yang ditemukan ada 3 dan diterimanya dari I Gusti
Ngurah Bagus. Ketiga naskah tersebut disalin dari naskah KGM, yaitu Lontar
315, kropak 136, dankoleksi FS-UNUD. Bali. Naskah koleksi FS-UNUD (Ud)
ternyata adalah salinan setia dari satu naskah yang ada di Ubud (Ub). Naskah ini
menarik karena ada kolofonnya, yang menvatakan iangan diturun sehingga bagian
ini tidak disalin dalam naskah Ud. Naskah Ub ini ternyata disalin pada tahun
1977—1978 dari naskah milik perorangan yang sekarang sudah rusak. Paftini
berkesimpulan bahwa naskah Ub merupakan saurian vang lebih muda dari
naskah Ud karena keadaan naskah Ub masih tampak baru, tetapi tulisannya lebih
buruk. Kolofon yang menarik dari naskah Ub adalah penyebutan nama Ida
Cokorda Ngurah. Penyalin ini ditelusur dan dicari identitasnya. Partini
menyimpulkan bahwa meskipun penyair KGM, Ida Cok.ria Ngurah Bagus <
mengambil pokok isi riwayat hidup Gadjah Mada untuk kakawinnya, ia tidak
bermaksud menulis biografi. Oleh karena itu, dengan mengambil seorang tokoh
sejarah sebagai protagonis dalam kakawinnya, penyair KGM ini boleh dikatakan
menciptakan pembaharuan dalam tradisi kakawin sebagai jenis sastra Jawa
Kuna yang pokok isinya sebelumnya jarang sekali bersifat konkret (down to earth).
Bagian pernaskahan ini dapat juga dilihat pada bab VI, bagian pengantar
teks dan terjemahan KGM. Dalambagian'ini teks yang diambil sebagai dasar
suntingan adalah naskah Ub dan naskah Ud 1 karena menurut Partini keduanya
merupakan salinan dari naskah aslinya dan merupakan naskah yang sama. Dia
membandingkan kedua naskah itu dan keduanya diambil ketika edisi teks, hanya
naskah yang dijadikan landasai adalah naskah Ub.
Bab 3 membahas susunan KGM analisis struktur. Yang dilihat pada bagian
ini adalah hubungan antara alur dan tema KGM. Penulis memilih pendekatan
objektif karena menurutnya pendekatan inilah yang paling efektif. Akan tetapi,
karena sifat kekawin KGM ini ternyata pendekatan-pendekatan lain juga
digunakan, yaitu pendekatan ekspresif yang menyoroti pengarang, pendekatan
pragmatik karena karya ini juga merupakan mabasam, dan pendekatan mimesis
karena karya ini merupakan pencerminan kenyataan yang dilihat.
Pada akhirnya dia melihat bahwa unsur ajaran mendapat perhatian yang
paling banyak dari penyair. Selain itu, ia juga menyimpulkan bahwa Gadjah
Mada adalah tokoh sejarah, tetapi sifat epik dari kakawin tetap dipertahankan
dan prota gonisnya masih tetap the epic divine hero. Penyair tidak lagi memakai
tokoh Mahabarata karena mempunyai tokoh pujaan tersendiri. Tokoh pahlawan
ini mendukung tema, yakni kejayaan tokoh Gadjah Mada. Itulah yang menjadi ide
sentral. KGM terdiri atas serentetan peristiwa yang menunjang dan bermain
seputar tokoh Gadjah Mada dan tidak lepas dengan unsur yang lainnya, yaitu
alur.
Pendekatan objektif dianggap belum len.gkap untuk mengungkapkan makna
karya tersebut maka ia juga merigkaji hubungan antarteks. Hubungan tersebut
dilihat karena melihat sifat KGM sebagai karya sastra yang mengalanu banyak
perkembangan. Hal itu terjadi karana karya ini lahir dari kalangan masyarakat
yang kegiatan sastranya kurang. Oleh sebab itu, ada dugaan bahwa waktu
meoiggubah KGM, penyair menghadapi berbagai teks lain yang menjadi
hipogram. Hal itu terjadi karena penyair sangat akrab dengan te ks-teks lain
yang menjadi hipogramnya. Kegiatan penyair KGM dalam posisi ini adalah tri-
dimensional (sebagai pembaca, penyambut/penafsir, dan pengarang sekaligus).
Penyair kadang-kadang memasukkan satu peristiwa, bahkan satu kalimat atau
ungkapan dalam hipogramnya, yang kemudian diselipkan dalam keutuhan
gubahannya. Hipogram itu beragam, ada prosa, puisi, dan cerita rakyat.
Percampuran itu menyebabkan KGM terbina bagaikan sebuah mosaik kutipan.
Partini membagi menjadi 9 hipogram yang kemudian dikelompokkan lagi menjadi
dua, yaitu teks yang berisi ajaran moral dan teks agama dalam teks tradisi J a wa
Tengahan, cerita sejarah or ang-orang Jawa.
Satu hal yang menolong dalam disertasi ini adanya lampiran garis besar
cerita KGM. Lampiran ini dapat memberi gambaran kepada pembaca untuk
mengikuti alur cerita. Lampiran lainnya berupa perbandingan hipogram-
hipogram.
Bab 4 mengkaji citra Gadjah Mada dalam sastra daerah lain. Sastra d.aerah
yang memuat tokoh itu banyak, Partini hanya memasukkan 5 cerita saja,
"Negarakertagama", "Pararaton","Kidung Sunda", "Caritra Banjar dan Raja
Kota Waringin", dan "Hikayat Hang Tuah". Dari kelima karya tersebut diperoleh
gambaran umum sosok Gadjah Mada. Ia adalah seorang perdana menteri besar
dari Majapahit. Kebesaran itu terutama berkat kebijakartnya sebagai negarawan
dalam penaklukan daerah-daerah di Nu santara. Namanya begitu terkenal
sehingga Gadjah Mada menjadi narna umum untuk perdana menteri Majapahit.
Adanya gambaran umum ini menimbulkan dugaan bahwa penyalin-penyalin
tersebut dapat saja menggunakan teks acuan vang sama atau berbeda. Yang jelas
mereka telah menghasilkan karya dari abad-abad yang silam. Kemudian mereka
menyesuaikannya dengan tujuan dan rungsi karya sastra masing-masing. Hal itu
sejalan dengan Ida Cokorda Ngurah yang menambah dan mengubah atau
mengurangi teks-teks acuannya kemudian menyesuaikan dengan tujuan
karangarmya.
Bab 5 mempakan kesimpulan umum dan bab yang ke-6 adalah edisi teks,
berupa pengantar teks, transliterasi, dan terjemahan KGM.
Siwaratrikalpa (Naskah Bali)
Siwaratrikalpa ofMpu Tanakun, diterbitkan di Belanda oleh Martinus Nijhoff,
1969, dikerjakan oleh sebuah tim yang terdiri atas A. Teeuw, S.O. Robson, Th. P.
Galestin, dan P.J. Worsley. Dalam bab pertama ada 17 topik pembicaraan yang
dapat uikelompokkan lagi menjadi 7 bagian.
Petama, Siwaratrikalpa dalam sastra Jawa Kuno termasuk dalam genre kakawin.
Kakawin merupakan sebuah transposisi dari bentuk kavya India. Penulis
Siwaratrikalpa mempunyai tujuan yang lebih khusus yaitu menyebarkan
pengetahuan tentang ketaatan atau penghormatan pada perayaan malam Siwa
(Siwararrikalva). Karya itu ba gi pengarangnya sendiri berfungsi sebagai
pelepasan rasa estetisnya.
Kedua, ringkasan cerita disajikan dengan sangat pendek. Karajaan Gigindra
dipimpin oleh Raja Suraprabhawa. Di daerah peguiiungan di kerajaan itu
hiduplah seorang pemburu, Lubdhaka namanya. Pada tanggal 14 separuh petang
bulan ketujuh, ia pergi berburu. Ia melewati dusun dekat sebuah pertapaan yang
tersembunyi di lembah dan halaman sebuah candi yang hampir runtuh. Ia juga
melihat laut yang terbentang. Setelah masuk ke hutan, ia siap mencari buruan.
Namun, tidak seekor pun hasil buruan didapat. Suatu kali ia sampai di daerah
perbukitan clan sampai di sebuah danau. Ketika sore datang, ia belum juga
memperoleh buruan. Karena ia merasa tidak mungin lagi pulang ke rumah, ia
pun tidur di sebuch pohon maja yang batangnya menggantung ke arah danau.
Ketika malam tiba, saat ia diserang kantuk ia ingin tidur. Akan tetapi, jika tidur,
ia takut jatuh. Oleh sebab itu, untuk menghilangkan rasa kantuknya ia memetik
daun maja danmenjatuhk annya ke danauitu. Danau tempat ia menjatuhkan daun
itu sebenarnya adalah lingga Siwa. Siangnya ia tidak juga memperoleh buruan. Ia
pun kembali ke rumah dan disambut oleh istri dan anaknya.
Suatu hari ia jatuh sakit dan akhirnya meninggal. Kemudian keluarga
mengremasiny a dan mereka pulang. Jiwa Lubdhaka melayang ke langit. Siwa
meminta Ganas untuk menangkapnya. Menurut Ganas, Lubdhaka harus
dimasukkan ke neraka karena ia tidak melihat kebaikan dalamdirinya. Ia
sepanjang usianya hanya membunuh binatang, tetapi Siwa mencegahnya. Siwa
menjelaskan bahwa selama hidupnya Lubdhaka pernah berbuat kebaikan yang
sangat besar, yakni menghormati Siwa, suatu kebaikan yang tidak ada
bandingnya. Akhirnya, Ganas merebut Lubdhaka dari Kinkara-kinkara. Yama
penentu seseorang masuk surga atau neraka malu karena merasa tidak dapat
menunaikan tugasnya. Ia memohon mengundurkan diri. Akhirnya, Siwa
menjelaskan perbuatan baik Lubdhaka. Perbuatan itu dianggap sangat suci
sehingga dapat membersihkan perbuatan dosa yang dibuat selama hidupnya.
Untuk itu, ia berhak masuk surga.
Ketiga, Mpu Tanakung tercatat sebagai pengarang dalam Siwaratrikalpa yang
dinyatakan pada bagian akhir kakawin ini. Karya itu merupakan karya
terbaiknya jika dibandingkan Wrttasanca dan Udyakala serta sejumlah puisi pendek
lainnya. Penggunaan bahasa dari beberapa kakawinnya tersebut mempunyai
kesamaan. Nama Tanakung berasal dari tan dan akung, tan berarti 'tidak' dan
akung (darivasi dari kata kuri ditambah awalan a) berarti Tepas dari cinta'. Jadi,
tanakung berarti harus melepaskan diri dari segala ikatan cinta. Selain
Tanakung, diuraikan juga dua penyair Jawa Kuno lain yaitu Tantular dan
Nirarta. Tantular adalah pengarang Sutasoma dan Arjunawijaya yang hidup pada
abad ke-14. Nirarta dipercaya dan hidup pada abad ke-16 yang mempunyai
peranan penting dalam tradisi sastra Bali. Ia mengarang Nagarakartagama dan
Prapanca.
Keempat dibicarakan tentang pernaskahan: penanggalan, penggunaan
bahasa,aspek puitis, matra dan manggala, serta naskah dan teks.
Pembicaraan penanggalan, Teeuw dkk. mengacu pada pendapat Zoetmoelder.
Mereka mengatakan bahwa teks ini berasal dari abad ke-15. Abad itu merujuk
pada nama seorang raja yang tercatat dalam teks, yakni Raja Sri
Adisuraprabhawa, seorang keturunan Girindra dengan Raja
Sinhawikramawardhana dyah Suraprabhawa. Nama raja yang terakhir itu
tercatat dalam inskripsi Pamintihan pada 14 Mei, 1473. Mereka juga melihat
inskripsi Warinin Pitu (Suradakan) yang bertanggal 22 November 1447 oleh
Wijayaparakramawardhana, Raja Majapahit. Ia menyimpulkan bahwa
Shoaratrikalpa berada antara tahun 1466 — 1478. Penetapan tahun itu berbeda
pendapat dengan Krom dan Poerbatjaraka. Poerbatjaraka berpendapat bahwa
karya sastra itu dibuat pada masa Ken Angrok dan karya itu merupakan cara
Tanakung untuk mengambil hati Ken Angrok. Oleh sebab itu, Lubdhaka yang
jahat dapat diampuni dan masuk surga meskipun dosanya besar. Hal itu dapat
disamakan dengan diri Ken Angrok .
Shvaratrikalpa ditulis dalam bahasa Jawa Kuna pada masa Hindu Jawa antara
tahun 850 —1500. Sastra itu disebut juga dalam parwa dan kakawin serta
inskripsi. Teeuw dkk. lebih khusus melihat penggunaan bahasa terutama pada
idiom yang digunakan saat itu. Mereka mengatakan bahwa bahasa yang
digunakan adalah bahasa Jawa Kuno yang sangat artifisial yang memang hanya
digunakan dalam penulisan karya sastra. Bahasa itu berdampingan dengan
bahasa Jawa Tengahan yang hidup dalam bahasa percakapan dan dalam kidung.
Mereka juga membicarakan penggunaan stilistik dan kepelikan penggunaan
bahasa dalam Shvaratrikalpa, yaitu bahasa yang digunakan ditandai dengan
penggunaan bahasa kakawin. Shvaratrikalpa pada dasarnya mengikuti struktur
cerita, tetapi tidak tipikal dengan kakawin karena ada beberapa hal yang
menyimpang. Di antaranya, biasanya kakawin menampilkan pahlawannya dari
golongan masyarakat tinggi (kerajaan). seperti raja, tetapi dalam karya ini ia
menampilkan tokoh dari kasta rendah, seorang pemburu biasa yang pekerjaannya
selalu membunuh binatang yang tinggalnya pun di pegunungan. Ia tidak
memunculkan sifat heroik.
Shvaratrikalpa terdiri atas 39 pupuh dengan 20 macam matra, di antaranya
Wasantatilaka dan Sragdhara masing-masing 2, Aswalalita 4, Sardulavvikridita
5, Jagadhita 7 pupuh, Sistem matra India berbeda dengan sistem matra Jawa, di
antaranya dengan panjang dan pendeknya vokal yang tidak lazim digunakan
dalam bahasa Indonesia, juga bahasa jawa.Suvaratrikalva berisi 3 unsor, vaitu (1)
pembacaan doa dewata, (2) pemujaan pada raja, dan (3) kerendahan hati sang
penyair.
Dalam bagian pernaskahan dikatakan bahwa naskah Siwaratrikalpa ada 8
buah. Tujuh naskah terdapat di Perpustakaan Universitas Leiden dan satu naskah
dari Perpustakaan Nasional, Jakarta Kedelapannaskah dideskripsikan, tetapi
tidak lengkap. Ada beberapa naskah yang diinformasikan dituhs di atas ior.tar,
seperti A,B, dan C , sedangkan yang lain, yakni D ditulis di atas kertas dan yang
lainnya tidak disebutkan. Aksara yang dipakai juga tidak banyak disebutkan.
Dari naskah-naskah tersebutnaskah A,B,C, dan D sejajar , tapi B dan C
mempunyai bacaan yang sama, tidak sarrra halnya dengan A dan D. Naskah G
banvak vang korup (salah) sehingga tidak digunakan dalamedisi ini. Untuk
keperluanedisi teks, mereka menggunakan edisi gabungan dari naskah A,B,C, dan
D yang dianggap sejajar.
Selain iru, dalam bagian ini juga diinformasikan tentang beberapa caratan
sehubungan dengan transliterasi, misalnya ejaan. Dari kedelapan naskah itu.
editor membuat aparatus kritikus.
Dalam pembicaraan keagamaan mereka mengatakan melihat adanva sistem
kepercayaanketika jiwa Lubdhaka mela) ang-layang dan akhirnya masuk ke
surga. Dari situ dapat diketahui konsep tentang kediaman Siwa (surga) dan
Cauldron (neraka). Yama adalah pemutus akhir siapa yang berhak masuk surga
atau neraka. lalah yang membawa jiwa manusia setelah meninggal kemudian
Citragupta membacakan buku atau semua catatan (kebaikan dan keburukan)
selama kehidupan manusia. Munculnya surga dan neraka merupakan pembagian
atas kebaikan dan keburukan. Selain itu, juga diperlihatkan konsep reinkarnasi
yang sangat penting dalam pemikiran India.
Karya ini bertema tentang pemujaan pada Siwa. Kita mendapatkan gambaran
tentang pentingnya cara pemujaan pada Siwa dalam periode akhir Ma;apahit.
Yang menarik dalam ajaran ini, apakah setelal i meninggal jiwa meninggalkan
jasadnya?
Dalam teks dicontohkan dalam diri Lubdhaka, yaitu tanda kehidupannya berakhir
ketika jantung dan hati semakin melemah kerjanva dan akhirnya ke luar melalui
tenggorokannya. Setelah meninggal, jiwanya melayang menuju udara. Hal itu
terjadi karena ia sampai saat itu belum ke luar dari pembebasan dan tidak tahu
jalan memasuki surga. Pembebasan itu belum diperolehnya karena ia belum
mempunyai darma, yang berhubungan dengan hukum moral.
Keenam, diuraikan Siwaratrikalpa India.Teks ini penting untuk sejarah
kebudayaan Indonesia. Masa kejadiannya adalah pada masa Majapahit. Pada
saat itu mayoritas beragama Budha. Ajaran itu dalam Bali modern sudah
berintegrasi dengan ajaran Siwa. Ajaran itu juga pernah hidup dengan baik pada
abad ke-15 di Jawa. Kemunculan karya Tanakung mempunyai misi khusus, yaitu
untuk menginformasikan masalah politik, kebudayaan, dan situasi keagamaan di
Jawa. Hasil sastranya seolah-olah mengidentifikasikan bahwa pada masa
Majapahit, yaitu periode Hindu-Jawa masih mempunyai hubungan dengan India.
Melalui karya Tanakung juga upacara ritual Siwa masuk ke Jawa kemudian ke
Bali (ke Indonesia). Upacara itu sangat terkenal di India. Pada pertengahan abad
ke-15 perayaan itu mulai dari satu tempat di India yaitu Vijayanegara, pusat
penyebaran ajaran Siwa. Tempat itu terletak di India Selatan. Dalam karya
Tanakung tersebut digambarkan bahwa tempat itu dipimpin oleh Raja Divaraya
II. Pada masa raja itu, hidup seorang penyair Srinatha. Penyair itu mahir
dalamberbahasa Sansekerta dan dalam sastra Talugu. Ia juga seorang jenius.
Teeuw dkk mempunyai hipotesis bahwa pelajar Jawa mengunjungi India dan
memunculkan inspirasi untuk menyesuaikan agama dan situasi kebudayaan India
ke Jawa. Implikasi yang lain mengenai kronologis keagamaan yang dipengaruhi
India ke Jawa dan Indonesia pada umumnya. Pada saat itu Islam juga maju di
Jawa dan Tanakung menemukan inspirasi dari India. Ia kemungkinan
mengunjungi Malaka ketika dalam perjalanan ke India. Akhirnya, agama-agama
itu mempengaruhi Jawa pada abad ke-15.
Ketujuh, upacara pada Malam Siwaratrikalpa, upacara Malam Siwa
dideskripsikan dalam beberapa bagian dari teks ini, di antaranya pada baris 2
dan 2a, yaitu dijelaskan bahwa pada masa mudanya Lubdhaka tidak
memperhatikan hukum moral dan agama. Ia hanya suka berburu. Bait 3 pupuh 2
menyatakan pada malam tanggal 14 separuh petang bulan ketujuh, ia pergi
berburu dengan menggunakan jaket berburu yang berwarna biru tua. Tanggal itu
menunjukkan Malam Siwa. Pada bait 5, pupuh 5 pengarang menggambarkan
bahwa Lubdhaka menjatuhkan daun maja tanpa berhenti ke tengah air (danau)
yang kebetulan adalah lingga Siwa. Pada pupuh 5 bait 6 diceritakan bahwa ia
tidak tidur sepanjang malam.
Semua peristiwa itu memperlihatkan ketidaksadaran Lubdhaka pada
kesetiaannya pada Siwaratri. Hal itu memperlihatkan, seperti yang dikatakan
Hooykaas, teks Bali mengacu pada peringatan upacara Siwaratri. Dalam
upacara itu diajarkan bahwa tidak tidur semalaman dalam setahun dapat
membawa kita ke surga Siwa dan mendatangkan kebahagiaan selama hidup.
Malam Siwa disebut juga sebagai bulan Magha, satu dari dua belas bulan
dalam satu tahun dan bertepatan dengan Januan-Februari. Satu bulan 30 hari
yang dalam kalender Jawa disebut kapitu. Siang harinya disebut Anusmarana
suatu pemusatan pikiran dan konsentrasi spirit. Setelah itu. orang-orang harus
pergi ke rumah salah seorang guru dan mengekpresikan rasa setianya. Kemudian
berpuasa dan menyepi (silence) sdanjutma menviapkan diri mereka untuk mandi
dan membersihkan seluiuh badan dan menggunakan sesuatu yaxig baru untuk
pergi ke pertunjukan Siwanalarcana. penyembahan untuk mendukung Siwa.
Dalam penyembahan itu digunakan panekar dan bunga. Saat itu yang
dipentingkan membawa daun maja atau selasih. Dua unsurdasar yang juga harus
ada adalah lampu dan kern enyan atau dupa. Sfakanan yang disajikan adalah
bubur dua macam, yaitu bubur pehan (campuran susu dan bubur putih yang
dicampur dengan gula Jawa. Dalam tradisi Jawa dikenal dengan bubur putih dan
bubur merah. Selain itu, dibawa juga buah-buahan, daging, dan minuman. Agar
orang tidak tertidur semalaman, dibawakanlah cerita lubdhaka dan sebuah
kidung.
Bab dua membicarakanpenelitian India tentang kakawin dengan
perbandingan antara Suraratrikalpa dengan Padmapurana. Kedua karya sastra
tersebut banyak kesarnaan Keduanya merupakan karya didaktik. Perbedaan ada
pada karakter keduanva. Padmapurana tidak mempunyai pretensi sastra dan
tidak mementingkan keestetisan karena ia buku ajaran, sedangkan Siwaratrikalpa
justru sangat mementingkan keestetisannya. Perbedaan terjadi pada tokoh.
Dalam Padmapurana Lubdhaka meminta izin pulang dahulu menemui istrinya
sebelum dimakan seekor macan Lubdhaka, sangpemburu, diceritakan sangat
ganas. Iabukan hanya memburu dan membunuh binatang-binatang, tetapi juga
para brahmana.
Bab uga berisi empatilustrasi Bali tentang cerita Lubdhaka. Ilustrasi (1)
sebuah ider-ider Bali milik Royal Tropical Institute, ider-ider Bali itu adalah sebuah
kain tenunan dari katun yang panjangnya 28 cm. Tahun 1933 benda ini
dipinjamkan kepada Royal Tropical Institute. Teeuw dkk menggambarkan dengan
rinci tiap adegan dalam gambar itu. Gambaran itu, di antaranya diberikan
terhadap adegan 1 yang dibagi atas sisi kiri dan sisi kanan. Sisi kiri ada sebuah
kolamyang di atasnya mengambang 8 lotus merah dan juga daun -daun yang
berserakan serta beberapa di antaranya sedang jatuh beterbangan. Di tengah
kolam itu ada sebuah konstruksi baru yang berwarna kuning menggambarkan
Siwa dengan 4 tangan. Di sisi kanan seorang pria memakai celana pendek, baju
biru lengan panjang duduk di cabang pohon yang menjatuhkan daun. (2) Ilustrasi
tentang cerita Lubdhaka yang ada dalam 1 ukisan yang dibuat oleh Bagoes
Gelgel. (3) Ilustrasi yang ada dalam sebuah lukisan Bali yang menjadi milik
Royal Tropical Institute, Leiden. Ilustrasi terdiri atas 20 adegan. (4) Ilustrasi dari
lukisan BalikoleksiTh. A. Resink. Lukisan ini dibuat pada tahun 1933 di Puri
Gede Saren, Krambitan, Tabanan. Lukisan ini berukuran 90 cm x 70 cm. yang
menarik keempat ilustrasi tersebut direproduksi dan dilampirkan pada bagian
akhir buku.
Aneka edisi teks Nusantara ini, khususnya pada bagian edisi naskah jamak
ber tujuan tintukmenunjukkanmetode dan pendekatan yang dipakai
dalammenyunting naskah. Dengan metode dan pendekatan itu diharapkan isi teks
dapat terungkap dan diketahui oleh masyarakatnya. Untuk itu, diambil berbagai
naskah daerah yang pernah diteliti para pakar.
Sama halnya dengan edisi naskah tunggal di atas, edisi naskah jamak ini
disajikan untuk melihat penerapan berbagai teori yang disampaikan pada
beberapa bagian dari modul 1 — 5. Dengan aneka edisi teks ini diharapkan
berbagai teori dapat lebih dipahami karena contoh-contoh edisi teks ini dapat
mengkonkretkannya. Untuk itu, diambil enam penelitian yang telah dilakukan
oleh berbagai f ilolog dari dalam dan luar negeri. Keenam penelitian itu adalah
Hikayat Banjar (Melayu),Babad Buleleng (Bali), Serat Cabolek (Jawa), Syair-
syair Hamzah Fansuri (Melayu), Kakawin Gadjah Mada (Jawa dan Bali), dan
Siwaratrikalpa (Bali).