pengertian, kedudukan, dan manfaat filologibab i pengertian, kedudukan, dan manfaat filologi di...

239
BAB I PENGERTIAN, KEDUDUKAN, DAN MANFAAT FILOLOGI Di antara Anda mungkin sudah banyak yang mengenal istilah filologi, bahkan sudah berkecimpung dalam bidang yang satu ini. Mungkin juga berbagai alasan mengapa Anda tertarik terhadapnya. Ada ketidaktertarikan Anda terhadap bidang yang langka peminat ini mungkin disebabkan oleh adanya anggapan bahwa filologi itu adalah ilmu yang berkaitan dengan karya (tulisan) masa lampau, kuno, lapuk, berdebu, dekil, kotor, dan tidak bermanfaat bagi kehidupan masa kini. Namun, jika sudah terjun ke dalamnya dan sudah ―jatuh cinta‖ kepadanya, Anda akan merasakan betapa asyiknya ―menggauli‖ teks-teks masa lampau yang sudah lapuk dan berdebu itu. Karena berkaitan dengan produk masa lampau, yang latar sosial dan budayanya berbeda dengan latar sosial dan budaya masa kini, kebanyakan orang tidak tertarik akan filologi. Itulah sebabnya, sementara orang memandang bahwa filologi itu sebagai ilmu yang ―gelap‖ atau kurang jelas. Sebagaimana dinyatakan para pakar, karya-karya masa lampau merupakan peninggalan yang mengandung informasi tentang buah pikiran, perasaan, pengalaman, dan pengetahuan mengenai berbagai segi kehidupan yang pernah ada. Informasi tentang masa lampau itu merupakan ciptaan manusia yang latar sosial dan budayanya berbeda dengan latar sosial dan budaya masa kini. Di samping itu, kondisi karya masa lampau itu karena dimakan usia berangsur

Upload: others

Post on 19-Feb-2020

48 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENGERTIAN, KEDUDUKAN, DAN MANFAAT FILOLOGI

Di antara Anda mungkin sudah banyak yang mengenal istilah filologi, bahkan

sudah berkecimpung dalam bidang yang satu ini. Mungkin juga berbagai alasan

mengapa Anda tertarik terhadapnya. Ada ketidaktertarikan Anda terhadap bidang

yang langka peminat ini mungkin disebabkan oleh adanya anggapan bahwa

filologi itu adalah ilmu yang berkaitan dengan karya (tulisan) masa lampau, kuno,

lapuk, berdebu, dekil, kotor, dan tidak bermanfaat bagi kehidupan masa kini.

Namun, jika sudah terjun ke dalamnya dan sudah ―jatuh cinta‖ kepadanya, Anda

akan merasakan betapa asyiknya ―menggauli‖ teks-teks masa lampau yang sudah

lapuk dan berdebu itu.

Karena berkaitan dengan produk masa lampau, yang latar sosial dan

budayanya berbeda dengan latar sosial dan budaya masa kini, kebanyakan orang

tidak tertarik akan filologi. Itulah sebabnya, sementara orang memandang bahwa

filologi itu sebagai ilmu yang ―gelap‖ atau kurang jelas.

Sebagaimana dinyatakan para pakar, karya-karya masa lampau merupakan

peninggalan yang mengandung informasi tentang buah pikiran, perasaan,

pengalaman, dan pengetahuan mengenai berbagai segi kehidupan yang pernah

ada. Informasi tentang masa lampau itu merupakan ciptaan manusia yang latar

sosial dan budayanya berbeda dengan latar sosial dan budaya masa kini. Di

samping itu, kondisi karya masa lampau itu – karena dimakan usia – berangsur

lapuk. Selain faktor usia, faktor kesengajaan yang dibuat manusia dalam proses

penyalinan, misalnya, juga mempengaruhi keaslian karya itu. Adanya berbagai

varian dalam teks merupakan akibat kesengajaan yang dibuat manusia (penyalin).

Kerusakan bahan dan munculnya variasi teks menuntut adanya cara

pendekatan dan penggarapannya. Itulah sebabnya, upaya untuk menggali

informasi yang tersimpan dalam karya (tulisan) masa lampau itu sangat

bergantung kepada kondisi teks – yang sulit dipahami pembaca masa kini – dan

kondisi fisiknya yang sudah tidak utuh lagi.

Kekhasan naskah (teks) dengan kondisi yang telah dikemukakan itu

memerlukan pendekatan yang memadai. Untuk itu, diperlukan keterampilan

khusus mengenai teks (tulisan dan bahasa yang digunakan di dalamnya) dan fisik

naskah. Ilmu yang digunakan untuk mengatasi masalah tersebut adalah filologi.

A. Pengertian Filologi

Kata filologi berasal dari bahasa Yunani philologia, yang berupa gabungan

kata philos yang berarti ‗teman‘ dan logos yang berarti ‗ilmu, pembicaraan‘.

Dalam bahasa Yunani philologia berarti ‗senang berbicara‘, kemudian

berkembang menjadi ‗senang belajar‘, ‗senang kepada ilmu‘, ‗senang kepada

tulisan‘, dan akhirnya ‗senang kepada tulisan yang bernilai tinggi‘, seperti karya

sastra (Baried, 1994:2).

Sebagai istilah, filologi mulai dipakai pada abad ke-3 SM oleh

sekelompok ahli dari Iskandariah, untuk menyebut keahlian yang diperlukan

untuk mengkaji tulisan yang dihasilkan berates-ratus tahun sebelumnya. Pakar

dari Iskandariah yang pertama kali melontarkan istilah filologi itu bernama

Eratosthenes. Pada waktu itu mereka harus berhadapan dengan sejumlah

peninggalan tulisan yang mengandung informasi yang bentuknya bermacam-

macam, di samping adanya sejumlah bacaan yang rusak.

1) Berbagai Pengertian Filologi dalam Perkembangnya

Sesuai dengan perkembangan zaman, studi filologi juga memperlihatkan

kemajuan. Sehubungan dengan itu, pengertian filologi juga mengalami perubahan

sesuai dengan sasaran dan objek kajiannya, sebagaimana dikemukakan dalam

uraian berikut.

a. Filologi sebagai Ilmu tentang Pengetahuan yang Pernah Ada

Informasi mengenai masa lampau suatu masyarakat – yang meliputi

berbagai segi kehidupan – dapat diketahui masyarakat masa kini melalui karya-

karya yang mereka tinggalkan, baik berupa benda budaya maupun tulisan. Karya

yang berupa tulisan umumnya mengandung informasi masa lampau yang lebih

jelas dan rinci. Jika informasi yang terkandung dalam tulisan masa lampau itu

mencakupi bidang kehidupan yang lebih luas, pengetahuan yang dipandang

mampu mengungkap informasi itu dapat dikatakan sebagai kunci pembuka

pengetahuan. Itulah sebabnya, Philip August Boekh pengartikan filologi

sebagai‘ilmu pengetahuan tentan g segala sesuatu yang pernah diketahui orang‘.

Berdasarkan pandangan itu, pengkajian terhadap teks-teks yang tersimpan dalam

peninggalan masa lampau disebut sebagai pintu gerbang untuk mengungkap

khazanah pengetahuan masa lampau.

b. Filologi sebagai Ilmu Bahasa

Sebagai hasil budaya masa lampau, suatu tulisan perlu dipahami dari segi

konteks masyarakat yang melahirkannya. Pengetahuan tentang berbagai konvensi

yang hidup dalam masyarakat yang melatarbelakangi penciptaannya mempunyai

peran yang besar bagi upaya memahami kandungan isinya. Karena prinsip dasar

tulisan masa lampau itu berupa bahasa, modal dasar seorang filolog adalah bahasa

yang dipakai dalam tulisan tersebut. Hal itu berarti bahwa pengetahuan

kebahasaan secara luas diperlukan untuk membedah kandungan karya tulisan

masa lampau. Dengan demikian, seorang filolog harus ahli bahasa. Sehubungan

dengan itu, filologi dipandang sebagai ilmu tentang bahasa.

Bertalian dengan konsep tersebut, filologi dipandang sebagai studi bahasa

yang ilmiah, sebagaimana dilakukan bidang linguistik. Jika studi tentang bahasa

itu dikhususkan kepada tulisan masa lampau, studi filologi dapat diartikan sebagai

linguistik diakronis. Studi semacam itu antara lain dapat dijumpai di Inggris dan

Arab.

c. Filologi sebagai Ilmu Sastra Tinggi

Dalam kenyataannya, tulisan masa lampau yang didekati dengan filologi

itu berupa karya yang bernilai tinggi dalam masyarakat. Karya itu pada umumnya

merupakan karya sastra adiluhung, seperti karya Homerus. Kajian atau studi

semacam itu kemudian melahirkan pengertian tentang istilah filologi sebagai studi

sastra atau ilmu sastra.

d. Filologi sebagai Studi Teks

Filologi dapat juga dipakai untuk menyebut ilmu yang berhubungan

dengan studi teks, yaitu studi yang berupaya mengungkapkan hasil budaya yang

terkandung di dalam suatu teks. Studi seperti itu pernah dilakukan di Belanda. Di

Perancis filologi diartikan sebagai studi suatu bahasa melalui dokumen tertulis

dan studi mengenai teks lama serta penurunanya. Dalam hubungan dengan konsep

tersebut, filologi bertujuan mengungkapkan hasil budaya masa lampau

sebagaimana yang tersimpan dalam teks aslinya. Dengan demikian, titik berat

studinya adalah teks yang tersimpan dalam krya tulis masa lampau.

Berdasarkan pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa, sebagai istilah,

filologi adalah suatu disiplin ilmu tentang teks yang terekam dalam tulisan masa

lampau. Studi teks itu didasarkan oleh adanya informasi tentang hasil budaya

manusia pada masa lampau yang tersimpan di dalamnya. Oleh sebab itu, sebagai

satu disiplin ilmu, filologi tergolong dalam ilmu humaniora yang bertujuan

mengungkap hasil budaya masa lampau yang terekam dalam karya yang berupa

tulisan (teks). Konsep kebudayaan di atas, antara lain, bertalian dengan buah

pikiran, perasaan, kepercayaan, adat kebiasaan, bahasa, dan nilai-nilai yang

berlaku dalam masyarakat.

Studi filologi di Indonesia, sampai kira-kira permulaan abad ke-20, masih

mengikuti konsep filologi dalam pengertian studi teks dengan tujuan melacak

bentuk teks aslinya. Pada paruh kedua abad ke-20 studi filologi di Indonesia mulai

mempertimbangkan kondisi teks dan naskah yang tidak sama dengan kondisi teks

dan naskah yang melahirkan disiplin filologi serta kehidupan pernaskahan yang

ada dalam masyarakat saat itu. Sebagai akibatnya, pelacakan bentuk asal teks

bukanlah satu-satunya tujuan studi filologi.

2) Dasar Studi Filologi

Filologi, sebagi suatu disiplin ilmu, diperlukan karena munculnya variasi

teks dalam naskah. Gejala tersebut memperlihatkan bahwa dalam penyalinan teks

senantiasa mengalami perubahan sehingga wujudnya bervariasi. Adanya variasi

teks itulah yang melahirkan studi filologi. Dengan kata lain, studi filologi

berdasarkan pada prinsip bahwa teks berubah dalam penurunannya.

Adanya variasi teks menunjukkan bahwa sifat penurunan (penyalinan) teks

tidak setia. Penyalin, baik disengaja maupun tidak disengaja, akan menghasilkan

salinan yang tidak sama dengan bentuk aslinya. Dengan berbagai keterbatasan dan

kesubjektivitasnya penyalin mempunyai peran yang sangat menentukan dalam

penyalinan teks.

Variasi teks yang merupakan dasar studi filologi mula-mula dipandang

sebagai kesalahan atau keteledoran penyalin. Dalam perkembangan sikap terhadap

adanya variasi yang muncul dalam naskah salinan juga berubah. Variasi teks tidak

hanya dipandang sebagai kesalahan penyalinan, tetapi juga sebagai kreasi

penyalinan, yang merupakan hasil kreativitas dan subjektivitasnya sebagai

penyambut teks sehingga salinannya diterima oleh pembaca sezamannya.

Adanya perbedaan sikap penyalin itu kemudian melahirkan perbedaan

pandangan dalam studi filologi. Pertama, sikap yang memandang variasi sebagai

wujud kesalahan dan kelengahan penyalin melahirkan pandangan yang disebut

filologi tradisional. Dalam konsep itu filologi memandang variasi teks secara

negative. Konsekuensinya, teks harus dibebaskan dari kesalahan. Dengan

demikian, tugas filologi adalah menyiangi teks dari berbagai bentuk kesalahan.

Kedua, sikap yang memandang variasi teks sebagai bentuk kreasi

melahirkan pandangan yang disebut filologi modern. Dalam konsep ini, variasi

dipandang secara positif, yang berarti variasi merupakan wujud kreasi dan resepsi

penyalin. Dalam pandangan yang kedua ini, gejala yang sebetulnya merupakan

akibat keteledoran atau kesalahan penyalin tetap diperhatikan dan pertimbanngkan

dalam pembacaan.

Munculnya perkembangan sikap terhadap variasi teks dipengaruhi oleh

perkembangan pemahaman orang terhadap sasaran dan objek kajian filologi yang

tidak selalu indentik dengan sasaran serta objek kajian yang melahirkan istilah

filologi (di Iskandariah) dan dengan sasaran objek kajian yang dihadapi oleh

kajian filologi yang berkembang di Eropa Abad Pertengahan. Hal itu dapat dilihat

dalam penulisan masa lampau di Nusantara. Berdasarkan gejala-gejala itu, perlu

dicermati studi filologi bagi naskah-naskah Nusantara (termasuk Melayu dan

Jawa).

Contoh : Naskah Melayu asal-usul Bengkulu terdapat beberapa variasi penulisan,

ada yang ditulis dengan aksara Arab, Melayu dan ada yang ditulis

dengan aksara Latin.

3) Sasaran dan Objek Studi Filologi

Karya tulisan yang berupa buah pikiran, perasaan, kepercayaan, adat

kebiasaan, dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat masa lampau itu disebut

naskah. Isi atau informasi yang terdapat dalam naskah disebut teks.

Berdasarkan sejarahnya, sasaran studi filologi adalah naskah. Ilmu yang

berkaitan dengan pernaskahan disebut kodikologi. Objek kajian filologi adalah

teks atau kandungan naskah.

4) Tujuan

Sebagaimana karya lainnya, kondisi fisik peninggalan masa lampau itu

makin lama makin tua, lapuk,mdan secara perlahan-lahan akan mengalami

kerusakan. Untuk menyelamatkan kandungan isinya, cara yang ditempuh

umumnya dengan melakukan penyalinan. Adanya penyalinan yang berulang-

ulang dapat menimbulkan wujud salinan yang bermacam-macam. Perubahan

tersebut dapat terjadi karena beberapa faktor, antara lain faktor kesalahpahaman

penyalin, kesalahan penulisan, dan faktor kesengajaan (subjektivitas) penyalin.

Sebagai akibatnya, informasi yang terkandung di dalamnya juga akan berlain-

lainan pula. Selain itu, bahasa dan faktor sosial budaya yang melatarbelakangi

lahirnya kandungan naskah juga berbeda.

Adanya variasi teks itu menimbulkan sikap yang berbeda pula. Sikap yang

memandang variasi sebagai bentuk korup mempunyai tujuan menemukan bentuk

asal teks. Bacaan varian (variant reading) dalam berbagai teks mengudang

perhatian untuk menemukan bentuk teks yang asli, yang dihasilkan pertama kali,

atau teks yang dalam penyalinannya tidak mengalami perubahan (mendekati yang

asli).

Sikap yang memandang variasi teks sebagai bentuk kreasi mempunyai

tujuan menemukan makna kreasi yang muncul dalam variasi tersebut. Dasar kerja

seperti itu memandang penyalin sebagai penyambut teks yang kreatif. Kreativitas

penyalin timbul selain berdasar pada subjektivitasnya, juga didukung oleh hasil

pembacaan terhadap teks lain. Dengan demikian, tujuan studi filologi dapat

dirumuskan menjadi tujuan umum dan tujuan khusus.

Tujuan Umum

Secara umum studi filologi bertujuan

(1) mangungkapkan produk masa lampau yang berupa (karya) tulisan;

(2) mengungkapkan fungsi karya tulisan itu dalam masyarakat penghasil atau

ahli waris karya itu dari dalam masyarakat masa kini;

(3) mengungkapkan nilai-nilai budaya yang terkandung dalam karya itu.

Tujuan Khusus

Secara khusus, studi filologi bertujuan

(1) menelusuri bentuk asal teks berdasarkan bacaan varian yang ada;

(2) mengungkapkan sejarah perkembangan teks;

(3) mengungkapkan sambutan masyarakat penerima teks;

(4) menyajikan suntingan teks dalam bentuk yang dapat dibaca oleh masyarakat

masa kini.

5) Metode

Sebagai suatu disiplin ilmu, filologi menurut adanya metode yang

memadai. Berbagai faktor yang berkaitan dengan studi filologi menjadi

pertimbangan dalam penetapan metode. Faktor-faktor tersebut antara lain:

(1) sikapnya terhadap bacaan varian (variant reading);

(2) sasaran dan objek studinya, seperti sistem bahasa, sistem sastra, konvensi

sosial budaya;

(3) jumlah naskah;

(4) kondisi naskah (keterbacaan teks); dan

(5) tujuan.

B. Kedudukan Filologi

Jika kita memperhatikan kedudukan filologi di antara ilmu-ilmu yang lain

yang berkaitan dengan objek kajian filologi, tampak adanya hubungan timbal

balik dan saling membutuhkan. Sebagaimana kita ketahui, objek kajian filologi

adalah naskah-naskah yang mengandung teks sastra, yang dihasilkan masyarakat

tradisional, yaitu masyarakat yang belum terpengaruh sastra Barat secara intensif.

Sastra seperti itu mempunyai hubungan yang erat dengan masyarakat yang

menghasilkannya. Oleh sebab itu, pengetahuan tentang masyarakat yang

menghasilkan karya sastra tersebut merupakan syarat mutlak untuk memahami

makna karya sastra tersebut. Kesusastraan Melayu lama, misalnya, sebagian besar

merupakan warisan budaya zaman Sriwijaya, Pasai, Malaka, Aceh, Johor, dan

Riau. Untuk dapat memahami karya sastra Melayu itu, perlu dipelajari pula

kehidupan kemelayuan tersebut. Untuk dapat memahami arti setiap kata / istilah

dan ungkapan yang digunakan dalam teks tersebut, diperlukan juga penguasaan

bahasa yang memadai. Penguasaan bahasa teks tidak terlepas dari pemahaman

terhadap masyarakat penghasil karya tersebut. Dengan demikian, teks tersebut

harus dilihat dari konteks masyarakat dan bangsa yang bersangkutan. Penelitian

yang lebih mendalam dan terinci dapat dilakukan dari ciri bahasanya, nilai

sastranya, kandungan isinya, dan sebagainya.

Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa filologi memerlukan ilmu bantu

yang erat hubungannya dengan bahasa, masyarakat dan budaya yang melahirkan

naskah, dan ilmu sastra. Dengan demikian, untuk menggarap naskah dengan baik,

seorang filolog memerlukan ilmu lain, seperti linguistik, pengetahuan bahasa yang

digunakan dalam teks, ilmu agama, sejarah kebudayaan, antropologi, dan folklor.

Karena kajian filologi banyak yang disajikan dalam bahasa asing, terutama bahasa

Belanda dan Inggris, perlu pula dimiliki pengetahuan bahasa asing yang memadai.

Berikut ini akan diuraikan kaitan antara filologi dan ilmu bantunya.

1) Linguistik

Mempelajari bahasa teks memang bukanlah tujuan utama studi filologi.

Meskipun demikian, karena bahasa teks berbeda dengan bahasa sehari-hari,

sebelum sampai pada tujuan yang sesungguhnya, seorang filologi harus

memahami bahasanya. Untuk itu, dalam pemahaman bahasa inilah diperlukan

bantuan linguistik. Bantuan linguistik dalam bidang filologi sudah tampak sejak

awal perkembangannya ketika linguistik mengutamakan bahasa tulis, termasuk

bahasa naskah. Bahkan, studi bahasa sampai abad ke-19 dikenal dengan istilah

filologi. Pada perkembangannya kemudian, linguistik lebih mengutamakan bahasa

lisan, bahasa yang dipakai sehari-hari. Walaupun demikian, penerapan metodenya

diharapkan dapat diterapkan dalam pengkajian bahasa naskah.

Ada beberapa cabang linguistik yang dipandang dapat membantuk filologi,

antara lain etimologi, sosilinguistik, dan stilistika. Etimologi, yaitu ilmu yang

memperlajari asal-usul dan sejarah kata, telah lama menarik perhatian filolog.

Hampir dapat dikatan bahwa pada setiap kajian bahasa teks selalu ada kajian yang

bersifat etimologi. Hal itu dapat dipahami karena bahasa naskah Nusantara banyak

yang mengandung kata serapan dari bahasa asing, terutama bahasa Arab dan

Belanda, yang dalam perkembangannya mengalami perubahan bentuk, bahkan

perubahan arti. Itulah sebabnya, kajian terhadap kata-kata seperti itu perlu

dilakukan. Kajian terhadap perubahan bentuk atau makna kata menuntut

pengetahuan yang memadai tentang filologi (ilmu tentang bunyi bahasa),

morfologi (ilmu tentang pembentukan kata, dan semantic (ilmu tentang makna

kata). Ketiga hal itu termasuk dalam bidang linguistik.

Adanya kata muwafakat, di samping mufakat, dalam teks Melayu,

misalnya, merupakan hal yang tidak asing karena kata itu diserap dari bahasa

Arab. Kata cinta dalam sastra Melayu sering berarti ‗sedih‘ atau ‗susah‘. Kata

masygul dalam naskah karya Nuruddin Arraniri tidak berarti ‗sedih‘, ‗gundah‘,

tetapi berarti ‗sibuk‘, yaitu arti pertama dalam bahasa Arab. Kata-kata seperti

itulah yang perlu ditelusuri secara etimologi, dengan pengetahuan tentang

fonologi, morfologi, dan semantik.

Sosiolinguistik, sebagai cabang linguistik, mempelajari hubungan dan

saling pengaruh antara perilaku bahasa dan perilaku masyarakat. Oleh karena itu,

sosiolinguistik sangat bermanfaat dalam menekuni teks, misalnya ada atau

tidaknya undak-usuk (tingkatan) bahasa, ragam bahasa, dan alih kode, yang erat

kaitanya dengan konvensi masyarakat pemakai bahasa. Hasil kajian

sosiolinguistik ini diharapkan dapat membantu mengungkapkan keadaan

sosiobudaya yang tersurat dalam naskah.

Stiliska, juga salah satu cabang linguistik yang menyelidiki gaya bahasa

sastra, diharapkan dapat membantu penelusuran teks asli yang mendekati teks asli

dan dalam penentuan usia teks.

Sebagaimana kita ketahui, naskah yang sampai kepada kita adalah naskah

yang telah mengalami penyalinan (penurunan). Dalam penyalinan naskah tampak

adanya tradisi penyalinan yang longgar. Artinya bahwa penyalin dapat mengubah,

memperbaiki, menambah, dan mengurangi teks yang disalinnya, jika dianggap

perlu. Selain itu, penyalinan teks seringkali dilakukan secara horizontal dengan

menggunakan beberapa naskah induk sehingga menyulitkan pelacakan naskah

asli. Dengan mengkaji gaya bahasa suatu teks, diharapkan dapat diketahui adanya

kelainan dalam teks tersebut. Adanya perbedaan itu mengindikasikan bahwa teks

itu bukanlah asli.

Di samping untuk menelusuri keaslian teks, pengetahuan stilistika juga

diharapkan dapat membantu penentuan usia teks. Sebagaimana kita ketahui, teks

lama pada umumnya tidak mencantumkan data penulis / penyalin dan wkatu

penulisan/penyalinan. Dengan memperbandingkan gaya bahasa teks, diharapkan

dapat diketahui pula siapa pengarang/penyalin teks tersebut dan kapan dilakukan

penulisan/penyalinan teks tersebut. Kitab Brahmandapurana dalam sastra Jawa,

misalnya, yang tidak memiliki keterangan penulis dan tahun penulisnya, oleh

Poerbatjaraka digolongkan ke dalam sastra sezaman dengan ―Sang Hyang

Kamahayanikan‖ berdasarkan kajian struktur dan gaya bahasanya.

2) Pengetahuan tentang Bahasa yang Mempengaruhi Bahasa Teks

Bahasa teks Nusantara pada umumnya dipengaruhi oleh bahasa

Sansekerta, Tamil, Arab, Persi dan berbagai bahasa daerah yang serumpun

dengannya. Karena teks Nusantara itu ada yang berasal dari Persi dan Tamil,

pengaruh kedua bahasa itu tampak juga di dalamnya. Namun, pengaruh kedua

bahasa itu sangat sedikit sehingga untuk telaah teks tersebut tidak diperlukan

pendalaman kedua bahasa tersebut. Berbeda halnya dengan bahasa Sansekerta dan

bahasa Arab. Pengaruh kdedua bahasa itu dalam teks Nusantara sangat besar

sehingga untuk keperluan telaah teks, pendalaman terhadap kedua bahasa tersebut

penting dilakukan.

Bahasa Sansekerta sangat diperlukan dalam kajian teks berbahasa Jawa,

terutama Jawa Kuna. Dalam teks berbahasa Jawa Kuna pengaruh bahasa

Sanserkerta ini sangat besar, tidak hanya berupa serapan kosakata atau frasa,

tetapi juga berupa cuplikan teks yang tidak disertai terjemahannya. Pengaruh

bahasa Sanserkerta itu tampak dalam teks ―Ramayana‖, ―Uttarakanda‖, dan ―Sang

Hyang Kamahayanikan‖. Pengaruh dalam teks berbahasa Jawa Baru hanya

sebatas kata dan dalam ungkapan yang dikenal dengan istilah tembung Jawi yang

berarti ‗kata pujangga‘. Dalam teks berbahasa Melayu pengaruhnya hanya berupa

kata serapan dan jumlahnya tidak sebanyak dalam teks berbahasa Jawa Baru.

Walaupun demikian, penanganan teks Melayu juga memerlukan pengetahuan

bahasa Sansekerta.

Pengetahuan bahasa Arab, terutama, diperlukan untuk pengkajian teks

yang berisi ajaran Islam atau tasawuf atau teks yang kena pengaruh Islam. Dalam

teks seperti itu banyak kata, frasa, kalimat, atau ungkapan berbahasa Arab, bahkan

nukilan bagian teks tertentu, seperti bagian pendahuluan atau penutup. Walaupun

pada umumnya bagian teks berbahasa Arab itu nukilan dari Alquran, hadis, atau

kitab terkenal diikuti terjemahnya dalam bahasa teks, teks itu belum tentu dapat

dibaca dengan benar karena ditulis dengan huruf Arab tanpa tanda baca. Oleh

sebab itu, pengetahuan bahasa Arab yang memadai sangat diperlukan agar

pembacaan teks dapat dilakukan dengan benar. Pengetahuan bahasa Arab juga

diperlukan jika kita hendak melacak atau membandingkan teks Nusantara yang

bersumberkan teks berbahasa Arab atau teks Nusantara yang kena pengaruh

Islam. Contoh teks berbahasa Melayu seperti itu adalah teks karya Hamzah

Fansuri yang berjudul ―Syarabul ‗Asyiqin‖, karya Syamsuddin Assumatrani yang

berjudul ―Mir‘atul Mu‘minin‖, karya Nuruddin Arraniri yang berjudul ―Siratal

Mustaqim‖, dan karya Abdulrauf Singkel yang berjudul ―Daqaiqul Huruf‖; dalam

naskah Jawa antara lain teks yang berjudul “Suluk Sukarsa” dan “Suluk Wujil”.

Selain pengetahuan bahasa Arab dan bahasa Sansekerta, pengetahuan

tentang bahasa daerah Nusantara juga diperlukan dalam penggarapkan naskah dan

teks Nusantara. Tanpa wawasan yang luas tentang bahasa daerah Nusantara,

pembacaan teks sering direpotkan oleh hadirnya kata bahasa daerah. Hal itu

terjadi karena naskah yang digarap itu tidak diketahui asal-usulnya, baik daerah

penemuannya maupun daerah penyalinannya, apalagi daerah asal penulis atau

penulisannya. Kesulitan seperti itu, terutama, akan dialami dalam pembacaan teks

Melayu berhuruf Jawi karena ejaan teks tersebut tidak selalu menyertakan tanda

vocal.

Kegiatan lain yang memerlukan pengetahuan bahasa daerah Nusantara

ialah menyadur atau menerjemahkan teks lama Nusantara ke dalam bahasa

Indonesia atau bahasa asing, apabila perlu. Kegiatan seperti itu merupakan salah

satu kegiatan filolog dalam upaya memasyarakatkan teks lama Nusantara dalam

keadaan siap pakai oleh pakar ilmu lain. Dengan demikian, teks lama Nusantara

akan dikenal masyarakat luas sehingga dapat dimasukkan ke dalam khazanah

sastra Indonesia, bahkan sasta dunia.

Dalam sejarah sastra Jawa, misalnya, penyaduran telah dilakukan oleh

Yasadipura I dan Yasadipura II (anak Yasadipura I). Karya sastra Jawa Kuna ynag

hampir punah dihayati, kemudian diciptakannya kembali dalam bentuk yang baru

(bakan terjemahan). Agar sastra lama Nusantara dikenal dan dapat dipahami oleh

masyarakat kini dan yang akan dating, perlu adanya ahli filologi yang berbekal

pengetahuan bahasa daerah Nusantara.

Ada pendapat yang menyatakan bahwa karya saduran dipandang lebih

rendah nilainya daripada karangan asli. Karena adanya pandangan seperti itu,

mungkin kegiatan penyaduran kurang menarik kaum filolog dan tidak mendapat

perhatian. Padahal, kita tahu bahwa penyaduran tidak boleh dianggap enteng atau

hina karena kegiatan ini memerlukan persyaratan yang memadai, yaitu bacaan

yang luas, latar belakang pendidikan dan kebudayaan yang kuat, dan daya cipta

yang dapat dipertanggungjawabkan.

3) Paleografi

Paleografi adalah ilmu tentang macam-macam tulisan kuna. Ilmu ini

diperlukan dalam penelitian tulisan kuna yang berupa prasasti yang tertera di atas

batu, logam, atau bahan lainnya. Paleografi mempunyai tiga tujuan utama: (1)

mengalihaksarakan teks tulisan kuna karena teks tersebut sulit dibaca orang awam

dan (2) menerjemahkan teks tersebut ke dalam bahasa Indonesia atau bahasa

asing, dan (3) menempatkan peninggalan tertulis itu dalam sejarah (kebudayaan)

suatu bangsa berdasarkan waktu dan tempat ditulisnya teks tersebut. Paleografi

juga merupakan modal utama filolog dalam menelaah teks sastra lama yang tidak

mencantumkan penulis serta waktu dan temapt penulisannya.

Untuk memperoleh gambaran tentang teks tulisan kuna dan

perkembangannya di Indonesia, berikut ini diuraikan jenis tulisan beberapa

prasasti yang tersebar di Nusantara yang berkaitan dengan fungsinya sebagai

penunjang penelitian teks lama. Dalam buku Indonesia Paleography karangan

J.G. Casparis, dijelaskan macam-macam tullisan yang dipakai di daratan Asia

Tenggara, terutama di semenanjung Malaya, Muangthai Selatan, Kamboja, dan

Vietnam Selatan yang berdasarkan pelacakannya berasal dari tulisan yang terdapat

pada prasasti raja-raja dinasti Palawa di India Selatan pada abad ke-4. Aksara

Palawa yang dipakai untuk menuliskan bahasa Sansekerta itu dipakai di daerah

luar kerajaan Palawa yang mendapat pengaruhnya, termasuk Kepulauan

Indonesia. Di Nusantara huruf Palawa dapat dibedakan antara Palawa awal dan

Palawa lanjutan. Palawa awalmenunjukkan cirri-ciri yang berhubungan dengan

huruf India Selatan dan Sri Langka pada prasasti abad ke-3 dan ke-5 (antara lain

prasasti Kutai di Kalimantan Timur dan prasasti Purnawarman di Jawa Barat).

Palawa lanjut yang dipakai dalam prasasti abad ke-7 dan ke-8, antara lain prasasti

Tuk Mas di Jawa Tengah, prasasti dari Kerajaan Sriwijaya di Sumatra Selatan

(prasasti Kedukan Bukit (tahun 683), prasasti Talang Tuwo (tahun 684), prasasti

Karang Brahi di Jambi, prasasti Kota Kapur di Pulau Bangka (686), dan prasasti

Canggal (tahun 732) di Jawa Tengah. Prasasti Canggal adalah prasasti tertua di

Jawa dan merupakan prasasti terakhir yang berhuruf Palawa.

Prasasti-prasati budha di Jawa Tengah yang ditulis dalam bahasa

Sansekerta dengan huruf Pra-Nagari- yang berasal dari India utara- dihasilkan

pada abad ke-8. Di antara prasati itu adalah prasasti Kalasan (778), prasasti

Ratubaka (sejaaman dengan Ratubaka), dan prasati Kelurak (782). Prasati Plaosan

diduga dibuat sebelum pertengahan abad ke-9. Batu dan teksnya sudah rusak

sehingga tahun dan nama raja yang memerintahnya tidak dapat dilacak.

Tulisan Jawa kuno-yang merupakan kelanjutan tulisan Palawa-mulai

digunakan pada pertengahan abad ke-8 pada prasasti Dinoyo di Jawa Timur (760).

Tulisan itu digunakan sampai abad ke-13 dalam prasasti yang terdapat di Jawa

Timur, Jawa Barat, Bali dan Sumatera.

Tulisan yang terdapat dalam Prasasti di Bali, Madura, Bima dan Sumbawa

mendekati tulisan Jawa periode Majapahit (Jawa Tengahan) abad ke-13 sampai

dengan abad ke-15. Tulisan Jawa Tengahan itu dipakai sampai dengan akhir abad

ke-16, kemudian berkembang ke bentuk tulisan Jawa Modern. Sejak zaman itu,

tulisan Jawa hanya mengalami perubahan kecil-kecilan.

Tidak adanya prasasti di beberapa daerah di Nusantara tidalk berarti

bahwa penduduk daerah setempat belum mengenai tulisan. Tradisi untuk

menuliskan ketetapan raja pada batu atau logam di daerah-daerah itu memang

tidak ada. Ada kemugkinan bahwa tulisan itu digunakan pada bahan yang lekas

rusak seperti pada kulit kayu, lontar, bamboo, dan sebagainya. Hal itu , antara

lain, terdapat di daerah Sulawesi Selatan dan beberapa daerah di Filipina yang

pada abad ke-16 dan ke-17 masyarakatnya sudah menggunakan tulisan. Tulisan

yang dipakai di derah itu rupanya merupakan prototip tukisan Jawa Tengahan atau

sebelumnya, sebelum tulisan Arab dan Latin dekenal penduduk. Di beberapa

daerah di Sumatera seperti di daerah Batak, Bengkulu, Kerinci, Lampung dipakai

tulisan yang diperkirakan berasal dari tulisan Malaya zaman Adityawarman.

Tulisan Makasar dan Bugis di Sulawesi Selatan dan tulisan Bima di Sumbawa

Timur juga diperkirkirakan berinduk pada tulisan Sumatera. Karena Bima pernah

menjadi daerah bawahan Makasar, tulisannya juga mirip dengan tulisan Makasar.

Prasasti batu berbahasa Melayu Lama yang ditulis dengan huruf Arab

terdapat di Tregganu (abada ke-14). Batu nisan di Pasai dan sekitarnya yang

berasal dari abad ke-13 juga ditulis dengan huruf Arab. Batu nisan yang bertulisan

Arab paling tua adalah batu nisan Malikus-Saleh (1297). Batu nisan itu

didatangkan dari Gujarat India. Bentuk tulisan Arab pada batu-batu nisan itu sama

dengan bentuk tulisan Arab Parsi. Tulisan pada prasati Trengganu berbeda

dengan tulisan Arab pada kebanyakan batu nisan di Pasai. Bentuk tulisan Arab

pada Prasasti Trengganu jelas, sederhana dan fungsional karena prasasti itu berisi

undang-undanh dan peraturan yang harus dibaca oleh banyak orang. Ileh karena

itu, tulisan dalam prasasti itu dituntu supaya mudah dibaca. Tulisan Arab pada

batu nisan Pasai pada umumnya berfungsi sebagai hiasan yang mementingkan

segi keindahan (seni kaligrafi).

Di Jawa prasasti bertulisan Arab tertua adalah batu nisan anak perempuan

Maimun yang terdapat di Leran (1082), Jawa Timur. Walupun didatangkan dari

luar negeri batu nisan itu merupakan bukti telah dipakainya tulisan Arab di

Indonesia.

Huruf Arab berkembang dengan pesat melalui penulisan naskah Melayu,

Jawa, dan naskah daerah lain sesudah tahun 1500 Masehi. Berdasarkan jenis,

bentuk dan ciri khas tulisan naskah dapat ditelusuri daerah asal, waktu penulisan,

dan penulisan teks, apakah penulis atau penulisannya seorang atau lebih. Dan

tersebut berguna untuk memperkirakan seluk beluk dan sejarah terjadinya.

Dengan demikian, paleolografi memberikan sumbangan yang berharga pada

filologi.

4) Ilmu Sastra

Naskah Nusantara pada umumnya berisi teks sastra, yaitu teks yang berupa

cerita rekaan (fiksi). Misalnya, teks Melayu yang tergolong cerita pelipurlara,

cerita berbingkai, cerita jenaka, cerita wayang, cerita panji, dan cerita pahlawan

Islam. Untuk mengkaji teks seperti itu diperlukan metode pendekatan yang sesuai

dengan objeknya, yaitu metode pendekatan ilmu sastra.

Ilmu sastra telah dipelajari sejak Zaman Aristoteles. Bukunya yang

berjudul Poetika merupakan karya tentang teori sastra yang pertama. Dalam

perkembangannya, Abrams (1953) menurut penilaian Teeuw (1980) berhasil

merumuskan teori sastra itu dengan baik. Abrams membedakan empat tipe

pendekatan (kritik) tradisional terhadap karya sastra.

a. Pendekatan mimetik yang menonjolkan aspek referensial, acuan karya sastra,

dan kaitannya dengan dunia nyata.

b. Pendekatan pragmatik yang menonjolkan pengaruh karya sastra terhadap

pembaa/pendengarnya.

c. Pendekatan ekspresif yang menonjolkan penulis karya sastra sebagai

penciptaanya.

d. Pendekatan objektif yang mementingkan karya sastra sebagai struktur

otonomi, lepas dari latar belakang sejarahnya dan dari titik serta nilai

penulisnya.

Wellek dan Warren (1956) menggolongkan pendekatan (a), (b), dan (c)

sebagai pendekatan ekstrinsik, yaitu pendekatan yang mengkaji karya sastra

berdasarkan yang di luar karya sastra itu (latar belakang penciptaannya, keadaan

sekitarnya, penulisannya, sebab-sebab luarnya), sedangkan pendekatan (d)

termasuk pendekatan intrinsik, yaitu pendekatan yang mencoba menafsirkan dan

menganalisis karya sastra dengan teknik dan metode yang diarahkan kepada karya

sastra tersebut, sebagai objeknya.

Unsur-unsur yang terdapat dalam karya sastra antara lain alur, latar,

perwatakan, pusat pengisahan, dan gaya yang kesemuanya terjalin menjadi satu

struktur atau kesatuan organis. Pembahasan mengenai unsur-unsur ini termasuk

pendekatan intrinsik. Jika dalam pendekatan intrinsik itu diperhitungkan juga

kaitan antara unsur itu, tanpa memperhitungkan faktor di luar karya sastra,

pendekatan seperti itu disebut pendekatan struktural.

Selain keempat pendekatan di atas, ada satu pendekatan lagi yang akhir-

akhir ini sering dibicarakan, yaitu pendekatan reseptif, suatu pendekatan yang

menitik beratkan kepada tanggapan pembaca atau penikmat sastra, bukan

tanggapan perseorangan, melainkan tanggapan kelompok masyarakat. Teori ini

dapat diterapkan terhadap naskah Nusantara mengingat adanya tradisi penyalinan

yang tradisional. Menurut teori tradisional, penyalinan naskah dilakukan dengan

setia kepada naskah induknya dan secara vertikal, hanya menggunakan satu

naskah. Dengan demikian, varian bacaan dalam naskah saksi dipandang sebagai

suatu kesalahan. Varian-varian yang terdapat dalam naskah Nusantara agak

berlainan keadaannya. Varian bacaan ini mencerminkan adanya kebebasan

penyalin, yang berupa penambahan, penggunaan, dan perbaikan terhadap naskah

yang disalinnya. Mengingat adanya tradisi penyalinan yang demikian, setiap

naskah saksi dapat dipandang sebagai penciptaan kembali suatu teks yang telah

ada dan varian bacaan tidak dipandang sebagai bentuk korup.

Sehubungan dengan hal di atas, Julia Kristeva mengemukakan bahwa tiap

teks, termasuk teks sastra, merupakan mozaik kutipan dan penyerapan serta

transformasi teks-teks lain. Riffatere (1978) menyebut, teks yang menjadi latar

penciptaan sebuah karya sastra dengan istilah hipogram, sedangkan teks yang

menyerap dan mentransformasinya disebut teks transformasi.

Dalam sejarahnya, perkembangan karya sastra merupakan interaksi yang

terus-menerus antara kreasi dan resepsi, yang menjelma kembali dalam bentuk

kreasi baru, yang kemudian ditanggapi lagi, dan seterusnya. Penyalinan,

penyaduran, dan penerjemahan dapat disebut sebagai wujud resepsi.

Selain pendekatan di atas, dalam ilmu sastra juga ada pendekatan yang

disebut sosiologi sastra, yaitu pendekatan yang mempertimbangkan segi-segi

kemasyarakatan. Hal-hal yang diungkap antara lain:

a. Konteks sosial pengarang: bagaimana pengarang menghasilkan karya,

profesionalisme pengarang, sasaran (masyarakat) pembaca;

b. Sastra sebagai cermin masyarakat, dan

c. Fungsi sastra dalam masyarakat.

Dengan demikian, pendekatan sosiologi sastra merupakan pendekatan

ekstrinsik.

Pendektan terakhir disebut pendekatan semiotik, yang memandang sastra

sebagai gejala kemasyarakatan dan kebudayaan. Banyak peneliti sastra yang

berkeyakinan bahwa sastra tidak dapat diteliti dan dipahami secara ilmiah tanpa

memperhatikan aspek kemasyarakatannya sebagai tindakan komunikasi atau

dengan kata lain tanpa mendekatinya sebagai tanda (sign) atau sebagai gejala

semiotik.

Semiotik adalah ilmu tentang tanda. Semiotik menganggap bahwa fenomena

sosial/kemasyarakatan dan kebudayaan sistem, aturan, konvensi merupakan tanda-

tanda yang bermakna. Dalam bidang kritik sastra, penelitian semiotik meliputi

analisis sastra sebagai wujud penggunaan bahasa yang bergantung pada konvensi

tambahan dan penelitian ciri-ciri yang menyebabkan berbagai-bagai wacana

mempunyai makna.

Tokoh yang dianggap melahirkan teori semiotik ini adalah Ferdinand de

Saussure dan Charles Sanders Peirce (1839-1914). Saussure, seorang linguis,

menyebutkan ilmu ini dengan istilah semiologi (berkembang di Perancis),

sedangkan Peirce, seorang filosof, menyebut ilmu ini dengan istilah semiotik

(digunakan di Amerika).

5) Pengetahuan Agama Hindu, Budha, dan Islam

Penelurusuran tentang naskah Nusantara melalui katalogus dan karya ilmiah

menimbulkan kesan bahwa teks yang terkandung di dalamnya dipengeruhi ajaran

Hindu, Budha, dan Islam. Dalam naskah Jawa Kuna, misalnya, tampak jelas

adanya pengaruh agama Hindu dan Budha, bahkan memang berisi ajaran agama.

“Brahmandapurana” dan “Agastyaparwa” berisi ajaran Hindu dan ―Sang Hyang

Kamahayanikan‖ dan ―Kunjarakarna‖ berisi ajaran Budha. Karya Hamzah

Fansuri, Syamsuddin Assumatrani, Nuruddin Arraniri, dan Abdurrauf Singkel

berisi ajaran Islam. Dari 5.000 naskah Melayu yang dicatat Ismail Hussein dari

perpustakaan dan museum di berbagai negara yang terdiri atas 800 judul – 300

judul di antaranya merupakan karya tentang ketuhanan/keagamaan. Jumlah

naskah keagamaan itu diperkirakan akan bertambah lagi. Hal itu terbukti dari

adanya penemuan naskah keagamaan (Islam) sekitar 200 naskah – di Sri Langka

oleh Bachamiya Abdullah Hussainmiya, dosen Universitias Ceylon.

Berdasarkan gambaran kondisi naskah tersebut, jelaslah bahwa pengetahuan

tentang agama Hindu, Budha, dan Islam amat diperlukan dalam penanganan

naskah Nusantara, terutama naskah keagamaan. Naskah yang berisi ajaran tasawuf

atau mistik Islam, baik berbahasa Jawa maupun berbahasa Melayu, pada

umumnya mengandung kata dan istilah teknik agama Islam yang hanya dapat

dipahami oleh orang yang mempunyai pengetahuan agama Islam yang cukup luas.

6) Sejarah Kebudayaan

Sastra Nusantara, disamping dipengaruhi ajaran Hindu, Budha, dan Islam,

juga dipengaruhi sastra klasik India, Arab, dan Persi. Karya klasik India seperti

“Ramayana” dan “Mahabharata” muncul dalam sastra lama Nusantara,

misalnya dalam sastra Jawa Kuna “Ramayana” dan “Mahabharata” yang

kemudian disadur kedalam sastra Jawa Kuna, Jawa Tengahan, dan Jawa Baru.

Selain itu, muncul pula kreasi baru yang diilhami oleh karya klasik India atau

karya Jawa Kuna saduran karya klasik India. Dalam sastra lama Melayu pengaruh

karya klasik India muncul dalam sastra Jawa, seperti “Hikayat Sri Rama”,

“Hikayat Sang Boma”, dan “Hikayat Pandawa Lima”. Karya sastra Melayu

seperti “Abu Nawas”, “Hikayat Seribu Satu Malam”, “Hikayat Anbiya” (―Serat

Anbiya‖ dalam sastra Jawa), “Hikayat Nur Muhammad”, “Hikayat Amir

Hamzah” (―Serat Menak‖ dalam sastra Jawa), “Hikayat Ibrahim ibn Adam” dan

“Hikayat Seribu Mas‟alah” mengingatkan kita akan khazanah sastra klasik dunia

Islam, Persia, dan Arab. Hasil sastra yang berupa sastra kitab dari dunia Islam

pada umumnya hanya dikenal lewat hasil karya penulis sastra kitab Nusantara

(misalnya Nuruddin Arraniri) sebagai buku sumber atau rujukan. Namun, ada juga

karya terjemahan seperti “Ihya „Ulumuddin” karya Imam AL-Ghazali dan “Tafsir

Baidhawi” terjemahan Abdurrahman Singkel.

Dalam pengkajian secara historis terhadap karya-karya lama Nusantara

tersebut diperlukan pengetahuan sejarah kebudayaan, dalam hal ini kebudayaan

Hindu dan Islam. Lewat sejarah kebudayaan dapat diketahui pertumbuhan dan

perkembangan unsur budaya suatu bangsa. Unsur budaya yang erat kaitannya

dengan perkembangan karya sastra lama Nusantara antara lain sistem

kemasyarakatan, kesenian, ilmu pengetahuan, dan agama. Tanpa didasari

pengetahuan tentang kebudayaan Hindu, misalnya, orang tidak akan dapat menilai

dengan tepat tentang peristiwa yang dalam agama Hindu disebut patibrata, yaitu

kerelaan seorang istri untuk terjun ke dalam api pembakaran mayat suaminya

dengan disaksikan oleh anggota masyarakat lainnya. Hal itu dapat dijumpai dalam

teks “Smaradahan” atau “Kunjarakarna”.

Contoh lain bagaian teks yang pemahamannya memerlukan pengetahuan

sejarah kebudayaan ialah genealogi raja-raja Melayu. Menurut silsilah, raja-raja

Melayu secara genealogi berasal dari nenek moyang yang kelahirannya tidak

wajar, yaitu lahir dari buih, bamboo, atau turun dari langit atau peristiwa yang

berhubungan dengan air. Peristiwa semacam ini terdapat di dalam teks “Hikayat

Raja-Raja Pasat” (Putri Betung lahir dari bamboo; Merah Gajah ditemukan di

atas kepal gajah yang dimandikannya di sungai); “Hikayat Aceh” (Putri Dewi

Indra yang keluar dari bamboo); “hikayat Bajar” (Putri Junjung Buih yang lahir

dari buih, Raden Putra lahir di pangkuan Raja Majapahit yang sedang bertapa);

dan “Salasilah Kutai” (Putri Karang Melemu yang lahir dari buih dan begitu ke

luar duduk di atas gong yang dibawa ular naga, Aji Batara Agung Dewa Sakti

turun dari langit dalam bola emas).

7) Antropologi

Telah dijelaskan di muka bahwa penggarapan naskah tidak dapat dilepaskan

dari konteks masyarakat dan budaya yang melahirkannya. Untuk keperluan itu,

ahli filologi dapat memanfaatkan hasil kajian atau metode antropologi sebagai

suatu ilmu yang objek penyelidikannya manusia dari segifisiknya, masyarakatnya,

dan kebudayaannya. Masalah yang berkaitan dengan antropologi antara lain

adanya sikap masyarakat terhadap naskah yang sekarang masih dipelihara dan

dimilikinya, apakah naskah itu dipandang sebagai benda keramat atau sebagai

benda biasa.

Karya-karya pujangga keraton yang sekarang tersimpan di perpustakaan

keraton Surakarta dan Yogyakarta tampak dikeramatkan seperti benda-benda

pusaka. Tradisi caos dhahar yang berarti ‗memberi sesaji‘ dan nyirami yang

berarti ‗memandikan‘ biasanya dilakukan untuk benda-benda pusaka, dilakukan

juga terhadap naskah sastra. Tentu saja perlakuan nyirami naskah tidak dilakukan

dengan cara memandikan naskah dengan air, tetapi dilakukan dengan cara

mengain-anginkannya. Selain itu, pengeramatan atau penghormatan terhadap

naskah tercermin juga dari adanya istilah mutrani, sebagai istilah yang berarti

‗penyalinan naskah‘. Secara harfiah, istilah mutrani berarti ‗membuat putra‘. Kata

putra mengandung konotasi rasa hormat. Hasil mutrani disebut putran, yang

berarti ‗naskah salinan, naskah kopi‘. Selain itu, ada naskah magis yang

pendekatannya memerlukan informasi antropologi, seperti naskah yang

mengandung teks mantera.

Uraian di atas memperlihatkan perlunya bekal pengetahuan antropologi

dalam penanganan naskh-naskah Nusantara.

8) Folklor

Folklor merupakan cabang ilmu yang relative masih baru. Semula folklor

dipandang sebagai bagian dari antropologi. Folklor telah ada sejak pertengahan

abad ke-19. Folklor dapat dibagi menjadi dua golongan: (a) yang materinya

bersifat bahasa lisan dan (b) yang berupa upacara. Yang termasuk golongan (a)

antara lain mite, legenda, cerita asal-usul (dunia, nama tempat, binatang, tanaman,

dan sebagainya), cerita pelipur lara, dongeng, mantera, tahayul, teka-teki,

peribahasa, dan drama tradisional. Yang termasuk golongan (b) antara lain

upacara yang berhubungan dengan kelahiran, perkawinan, dan kematian.

Berdasarkan penggolongan itu, golongan (a) mempunyai kaitan erat dengan

filologi.

C. Manfaat Filologi bagi Ilmu-Ilmu Lain

Berdasarkan uraian di muka dapat diketahui bahwa objek filologi terutama

teks yang terekam dalam naskah lama. Hasil kegiatannya terutama berupa

suntingan teks. Berdasarkan metode penyuntingannya, ada beberapa jenis

suntingan, yaitu suntingan diplomatis, fotografis, dan suntingan kritis atau

suntingan ilmiah. Suntingan teks biasanya disertai catatan tentang teks atau aparat

kritik, kajian bahasa naskah, singkatan isi naskah, bahasa teks, dan terjemahan

teks ke dalam bahasa nasional jika teks tersebut tersaji dalam bahasa daerah. Jika

suntingan itu disajikan untuk dunia internasional, teks berbahasa daerah itu

diterjemahkan ke dalam bahasa internasional.

Dalam pengertian penyajian suntingan teks itulah, filologi dapat berfungsi

sebagai ilmu bantu bagi ilmu lain yang menggunakan suntingan teks sebagai

objek penelitian. Karena kandungan naskah lama itu bermacam-macam, dapatlah

dipastikan bahwa filologi dapat membantu berbagai bidang ilmu, antara lain

linguistik, ilmu sastra, sejarah, sejarah kebudayaan, ilmu hukum adat, ilmu agama,

dan filsafat. Wujud bantuannya akan diuraikan berikut ini:

1) Filologi sebagai Ilmu Bantu Linguistik

Untuk keperluan penelitian linguistik diakronik, ahli linguistik memerlukan

suntingan teks lama hasil kerja filologi dan mungkin juga memerlukan kajian

bahasa teks lama yang dihasilkan ahli filologi. Pada umumnya ahli linguistik

meyakini kaum filologi atau ahli epigrafi dalam pembacaan teks lama.

Berdasarkan hasil kerja mereka itulah, ahli linguistik menggali dan menganalisis

seluk-beluk bahasa tulis yang pada umumnya berbeda dengan bahasa sehari-hari.

Hasil kajian ahli linguistik itu juga dapat dimanfaatkan oleh para peneliti

teks/naskah lama.

2) Filologi sebagai Ilmu Bantu Ilmu Sastra

Karena banyaknya naskah yang mengandung teks sastra, dalam

perkembangan sejarahnya filologi pernah dipandang sebagai ilmu sastra.

Sebaliknya, sekarang ini karena pesatnya kemajuan ilmu sastra, filologi dianggap

sebagai cabang ilmu sastra. Bantuan filologi terhadap ilmu sastra, terutama dalam

bentuk penyajian teks suntingan dan hasil pengkajian teks yang mungkin, dapat

dimanfaatkan sebagai bahan penyusunan sejarah sastra ataupun teori sastra.

Ilmu sastra dapat bersifat universal jika dalam penyusunan teorinya

didasarkan juga pada sastra lama, bukan hanya sastra baru/modern. Konvensi

sasta baru belum tentu sama dengan konvensi sastra lama. Dengan demikian, hasil

kajian terhadap teks sastra lama akan sangat berguna dalam penyusunan teori-

teori ilmu sastra yang universal.

3) Filologi sebagai Ilmu Bantu Sejarah Kebudayaan

Selain menginventarisasi, memelihara, dan menyunting naskah, kegiatan

filologi juga mengungkap khazanah rohaniah nenek moyang, seperti tentang

kepercayaan, adat-istiadat, kesenian, dan bahasa. Berdasarkan pembacaan teks

lama, banyak dijumpai penyebutkan atau pemberitahuan adanya unsure budaya

yang telah punah, seperti istilah di bidang seni (musik), takaran, timbangan,

ukuran, dan mata uang. Semua itu merupakan bahan yang sangat berguna dalam

penyusunan sejarah kebudayaan.

4) Filologi sebagai Ilmu Bantu Sejarah

Jumlah naskah Nusantara yang dipandang berisi teks sejarah cukup banyak,

seperti “Nagarakertagama”, “Pararaton” (naskah Jawa Kuna), “Babad Tanah

Jawi”, “Babad Dipanegara”, “Babad Blambangan”, “Babad Demak” (naskah

Jawa Baru), “Sejarah Melayu”, “Hikayat Raja-Raja Pasai”, “Hikayat Banjar”,

dan “Hikayat Aceh” (naskah Melayu). Suntingan naskah jenis ini, terutama yang

menggunakan kajian filologis, dapat dimanfaatkan sebagai sumber kajian sejarah

setelah diuji berdasarkan sumber lain, seperti prasasti, batu nisan, atau candi.

Informasi historis yang tertera dalam batu nisan Sultan Malikus-Saleh tidaklah

lengkap jika tidak ditemukannya naskah “Hikayat Raja-Raja Pasai” dan

“Sejarah Melayu”.

Selain hal di atas, ilmu sejarah dapat juga memanfaatkan suntingan teks jenis

lain, bukan teks sastra sejarah, khusunya teks yang menggambarkan kehidupan

masyarakat yang tidak ditemukan dalam sumber sejarah di luar teks sastra. Dalam

“Hikayat Abdullah”, misalnya, dapat kita baca bagian teks yang berupa kritik

tajam terhadap kehidupan feudal. Teks “Undang-undang Melayu” juga

menggambarkan kehidupan masyarakat.

5) Filologi sebagai Ilmu Bantu Hukum Adat

Manfaat filologi bagi ilmu hukum adat, seperti bagi ilmu-ilmu lain, terutama

sebagai sumber data (penyedia teks). Banyak naskah Nusantara yang berisi adat-

istiadat daerah tertentu. Selain itu, dalam khazanah sastra lama Nusantara

memang banyak naskah yang berisi teks hukum, yang dalam sastra Melayu

dikenal dengan sebutan ―undang-undang‖ atau “angger-angger” di Jawa.

Penulisannya dilakukan kemudian setelah dirasakan perlunya kepastian hukum

oleh raja atau setelah adanya pengaruh Barat. Contoh teks undang-undang dalam

sastra Melayu adalah “Undang-undang Negeri Malaka” (dikenal juga dengan

nama “Risalah Hukum Kanun” atau “Hukum Kanon”, “Undangan-undang

Minangkabau”, dan “Undang-undang Bangkahulu”. Dalam sastra Jawa terdapat

teks “Raja Niti”, “Paniti Raja”, “Kapa-Kapa”, “Surya Ngalam”, “Nawala

Pradata”, dan “Angger Sadasa”. Selain “sastra undang-undang”, dalam sastra

Melayu terdapat teks “adat”, seperti “Adat Raja-Raja Melayu”. Teks-teks seperti

itu sangat bermanfaat bagi ilmu hukum adat.

6) Filologi sebagai Ilmu Bantu Sejarah Perkembangan Agama

Telah dikemukakan bahwa naskah Nusantara banyak yang mengandung teks

keagamaan. Teks Jawa Kuna pada umumnya menggambarkan kehidupan

masyarakat beragama Hindu dan Budha, sedangkan teks Melayu menggambarkan

kehidupan masyarakat beragam Islam. Pengaruh Islam dalam sastra Jawa Baru

pada umumnya melalui sastra Melayu.

Suntingan teks yang berisi ajaran keagamaan (sastra kitab) yang disertai

pembahasan isinya merupakan bahan berharga bagi penulisan perkembangan

agama. Berdasarkan teks semacam itu akan diperoleh gambaran antara lain wujud

penghayatan agama, percampuran agama Hindu, Budha, dan Islam dengan

kepercayaan yang hidup dalam masyarakat Nusantara, serta permasalahan aliran

(mazhab) agama yang masuk ke Nusantara. Masalah seperti itu termasuk masalah

yang harus ditangani ilmu sejarah perkembangan agama. Berdasarkan penjelasan

itu, penanganan sastra kitab secara filologis sangat bermanfaat bagi ilmu sejarah

perkembangan agama.

7) Filologi sebagai Ilmu Bantu Filsafat

Filsafat adalah cara berpikir logis, bebas, dan mendalam, hingga sampai ke

dasar persoalan. Berdasarkan objek pemikiran, filsafat terdiri atas beberapa

cabang, yaitu metafisika (ontology), epistemology, logika, etika, estetika, dan

sebagainya. Ada juga yang membaginya menjadi filsafat manusia, filsafat alam,

dan filsafat ilmu pengetahuan.

Renungan yang bersifat filsafat yang pernah terjadi pada masa lampau antara

lain dapat digali lewat warisan budaya lama yang berwujud teks sastra. Kehidupan

masyarakat tradisional Nusantara didominasi oleh nilai-nilai seni dan agama.

Kedatangan kebudayaan Hindu tidak mengubah prinsip hidup tersebut. Pemikiran

rasional muncul setelah datangnya Islam. Teks-teks lama terbukti mengandung

renungan-renungan filsafat yang erat kaitannya dengan seni dan agama, yaitu

estetika, etika, dan metafisika.

Pada hakikatnya semua karya sastra mengandung pandangan hidup tertentu

yang tersaji secara jelas atau samar-samar karena ungkapan batin manusia selalu

berdasar pada pemikiran filsafati. Kajian tentang renungan filsafati dalam teks

sastra secara teoretis dapat dikaitkan dengan teori Roman Ingarden tentang lapis-

lapis suatu karya sastra. Ia menyatakan bahwa karya sastra terdiri atas beberapa

lapis, antara lain lapis metafisika, yang memungkinkan adanya perenungan

filsafati suatu karya sastra. Keagungan, kesucian, kedahsyatan suatu karya sastra

menyebabkan kita untuk merenung-renungkannya atau memikirkannya. Kegiatan

itu akan melahirkan makna filsafati suatu karya sastra.

Menurut para filsuf Yunani, filsafat timbul karena adanya kekaguman yang

dilanjutkan dengan pertanyaan yang terus-menerus melahirkan jawaban. Subagio

Sastrowardoyo (1983) telah mencoba mengangkat pemikiran filsafati dalam sastra

hikayat. Ia menyatakan bahwa teks sastra hikayat banyak mengandung nasihat dan

petatah petitih yang menandakan bahwa sastra merupakan penjaga keselamatan

moralitas yang dijunjungan masyarakat pada umumnya. Moralitas yang demikian

bersumber pada keyakinan yang bersifat filsafat atau pemikiran keagamaan.

Lukisan tokoh dalam hikayat, yang terdiri atas tokoh jahat dan tokoh baik

mencerminkan pandangan hidup sederhana bahwa hidup ini pada dasarnya

merupakan pertarungan antara yang baik dan yang buruk, yang berakhir dengan

kemenangan di pihak yang baik. Dalam sastra tradisional, pandangan umum ini

berlaku secara mutlak walaupun ada sedikit perkecualian.

Menurut Al-Attas (1972:67), naskah yang berisi teks tasawuf mengandung

filsafat yang meliputi aspek ontology, kosmologi, dan psikologi. Al-Attas

memandang bahwa ilmu tasawuf merupakan filsafat Islam yang sejati. Naskah

yang mengandung teks filsafat dalam sastra Nusantara jumlahnya cukup banyak,

terutama dalam sastra Melayu dan Jawa.

Penggalian unsur filsafat dalam teks sastra Nusantara secara mendalam belum

banyak dilakukan walaupun suntingan naskahnya cukup tersedia. Sebetulnya,

sumbangan filologi kepada ilmu filsafat terutama berupa suntingan teks beserta

transliterasi dan terjemahannya dalam bahasa nasional. Suntingan seperti itu dapat

dimanfaatkan oleh ahli filsafat. Contoh teks suntingan yang dapat dimanfaatkan

oleh ahli filsafat adalah “Sang Hyang Kamahayanikan”, “Ramayana Kakawin”,

“Arjuna Wiwaha”, dan “Bomakavya” (berbahasa Jawa Kuna), “Hikayat Sri

Rama”, “Hikayat Andaken Penurat”, “Hikayat Banjar”, “Hikayat Merong

Mahawangsa”, dan “Tajussalatin” (berbahasa Melayu).

BAB II

SEJARAH PERKEMBANGAN FILOLOGI

A. Perkembangan Filologi di Eropa dan di Timur Tengah

Kebudayaan Yunani kuno sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan

masyarakat Barat pada umumnya. Dalam segala bidang kehidupan dapat

dirasakan unsure-unsur yang berakar pada kebudayaan Yunani kuno, yang aspek-

aspeknya tersimpan dalam naskah milik bangsa itu. Cabang ilmu yang mampu

menyingkap aspek yang berakar pada kebudayaan Yunani itu adalah ilmu filologi.

Oleh karena itu, ilmu filologi dipandang penting dalam menyajikan kebudayaan

Yunani kuno yang sampai kini berperan dalam memperluas dan memperdalam

pengetahuan pengenai sumber ilmu pengetahuan. Kebudayaan Yunani kuno tidak

hanya berpengaruh di dunia Barat, tetapi juga di seantero dunia.

Sejak kecil masyarakat Barat terbiasa mengenal nama-nama dewa seperti

Apollo, Pallas, Athena, Zeus, dan Hera. Para dewa dan pahlawan dalam legenda

Yunani kuno dipandang sebagai sumber kehidupan bagi pikiran dan imajinasi

orang Barat, sama halnya dengan cerita wayang dalam masyarakat yang

memegang tradisi jawa.

Para penulis Barat sering mengutip mitologi Yunani kuno apabila

memerlukan perumpamaan yang lebih menjelaskan jalan pikiran mereka. Para

sarjana dan ilmuwan sering menggunakan istilah yang didasarkan pada legenda

Yunani kuno, seperti istilah “Oedipus-complex”. Dalam dunia ilmu pengetahuan,

seperti ilmu filsafat, matematika, dan fisika banyak dikutip pendapat para

ilmuwan Yunani kuno untuk lebih menjelaskan konsep mereka. Jelaslah bahwa

mereka yang ingin mengetahui aspek tertentu dari masyarakat Barat akan

mendapat manfaat apabila mengetahui dasar-dasar kebudayaan Yunani kuno. Ilmu

filologi juga berakar pada kebudayaan Yunani kuno.

1. Filologi di Eropa

1.1. Filologi di Iskandariah

Filologi, sebagai salah satu cabang ilmu, mula-mula tumbuh dan

berkembang di kawasan Kerajaan Yunani, yaitu di kota Iskandariah, di pantai

utara Benua Afrika. Dari kota Iskandariah filologi berkembang dan meluas ke

Eropa Daratan, kemudian ke bagian dunia lain.

Di kota Iskandariah studi filologi mula-mula dilakukan oleh bangsa

Yunani sekitar abad ke-3 S.M. Bangsa Yunani itu mampu membaca teks yang

dimuat dalam naskah Yunani kuno yang ditulis kira-kira pada abad ke-8 SM

dalam huruf bangsa Funisia (asal huruf Yunani kuno). Teks-teks tersebut ditulis

pada daun papirus. Tujuan penulisan teks pada dasarnya merupakan upaya untuk

merekam tradisi lisan mereka yang telah mereka miliki sejak berabad-abad

sebelumnya. Untuk menyelamatkan teks yang terekam dalam naskah,

dilakukanlah penyalinan teks secara berulang-ulang sejak abad ke-8 SM sampai

abad ke-3 SM. Karena adanya penyalinan itulah, teks-teks itu kemudian

mengalami perubahan jika dibandingkan dengan bentuk aslinya.

Pada abad ke-3 SM kota Iskandariah dapat dikatakan sebagai pusat ilmu

pengetahuan karena kota tersebut merupakan tempat dilaksanakannya telaah

naskah dan teks oleh para ahli di bidangnya. Para pakar itu berasal dari daerah

sekitar Laut Tengah, terutama bangsa Yunani, dan dari Eropa Selatan. Pusat studi

itu kemudian berubah menjadi semacam perpustakaan dan di tempat itulah

tersimpan sejumlah naskah yang berisi berbagai ilmu pengetahuan, seperti filsafat,

ilmu kedokteran, perbintangan, ilmu hukum, dan sastra. Bangunan asli

perpustakaan itu sebetulnya adalah sebuah kuil yang digunakan untuk pemujaan.

Para peneliti naskah itu kemudian dikenal sebagai ahli filologi dan yang pertam

kali menggunakan istilah itu adalah Erastosthenes.

Pada waktu itu seorang filolog harus berwawasan luas karena untuk

memahami naskah itu harus mengenai tulisan, bahasa, dan ilmu yang

dikandungnya. Setelah dapat membaca dan memahami isinya, mereka kemudian

menulisnya kembali dengan huruf dan bahasa yang dikenal dan digunakan pada

waktu itu. Metode yang mereka gunakan adalah sebagai berikut: Mula-mula

mereka memperbaiki bacaan (huruf, kata, ejaan, bahasa, dan tata tulisannya) yang

korup (rusak), kemudian menyajikannya dalam suntingan yang mudah dibaca dan

bersih dari sesalahan. Teks yang tanpa cacat itu kemudian disalin berulang-ulang.

Selain disalin, kadang-kadang dalam salinannya diberi komentar yang berupa

tafsiran atau penjelasan lain secukupnya. Ahli filologi pada masa itu betul-betul

harus menguasai ilmu dan kebudayaan Yunani kuno dan mereka itu dikenal

dengan mazhab Iskandariah.

Selain bertujuan menggali ilmu pengetahuan dan kebudayaan Yunani

kuno, kegiatan filologi juga dipandang sebagai kegiatan perdagangan. Untuk

mencapai tujuan kedua itu, penyalinan naskah biasanya dilakukan oleh budak

belian yang pada waktu itu mudah didapat. Dengan cara demikian, penyimpangan

dari teks yang disalin mudah terjadi karena penyalin tidak memiliki kesadaran

yang tinggi terhadap keasliannya. Hasil penyalinan itu kemudian diperdagangkan

di daerah sekitar Laut Tengah.

Jika penyalinan teks yang berkali-kali itu bersumber pada naskah yang

korup, dapat dipastikan bahwa teks salinan akan makin menyimpang dari teks

aslinya. Kemudian, ahli filologi memandang perlu memperbaiki kesalahan atau

penyimpangan itu sejauh yang dapat mereka upayakan untuk menjaga

keasliannya.

Penyalinan teks dengan tulis tangan memang mudah menimbulkan bacaan

yang korup atau rusak. Hal itu terjadi (1) karena penyalin bukan yang ahli dalam

bidang ilmu yang terekam dalam teks tersebut, (2) karena ketidaksengajaan, atau

(3) karena keteledoran penyalin. Kegiatan penyalinan dan penelaahan naskah

makin lama makin meningkat dan terhenti ketika daerah Iskandariah jatuh ke

tangan bangsa Romawi pada abad ke-1 SM.

Perlu dikemukakan bahwa teks yang ditulis dengan menggunakan alas

(bahan) papirus itu berbentuk gulungan. Teks tertulis pada satu sisi (tidak bolak-

balik) dengan menggunakan benda runcing. Karena berupa gulungan, naskah

tidak bernomor halaman seperti dalam naskah berbentuk buku sehingga pembaca

sulit mengecek bagian yang telah dibacanya. Selain itu, penyimpangannya juga

memerlukan tempat yang luas dan tidak mudah. Setelah selesai dibaca, naskah

harus digulung kembali agar awal teks berada di bagian depan.

Teks-teks yang dijadikan bahan kajian para ahli filologi pada masa awal

pertumbuhannya antara lain karya Homerus, Plato, Menander, Hippocrates,

Socrates, Herodotus, dan Aritoteles. Isinya meliputi berbagai bidang ilmu,

filsafat, dan sastra yang bermutu tinggi. Hingga kini karya-karya tersebut diakui

sebagai karya agung dalam dunia ilmu pengetahuan, baik di Barat maupun di

Timur.

Setelah Iskandariah jatuh ke tangan bangsa Romawi, kegiatan filologi

berpindah ke Eropa Selatan, yang berpusat di kota Roma. Aktivitasnya

melanjutkan tradisi Yunani atau mazhab Iskandariah. Teks-teks Yunani kuno

merupakan bahan kajian utama dan bahasa Yunani merupakan bahasa kedua

mereka. Pada abad ke-1 hingga abad ke-4 Masehi kegiatan filologi mulai beralih

pada pembuatan resensi teks-teks tertentu yang berbahasa Yunani kuno. Kegiatan

ini berakhir ketika pecahnya Kerajaan Romawi menjadi Kerajaan Romawi Barat

dan Romawi Timur pada abad ke-4. Peristiwa itu ternyata mempengaruhi

perkembangan ilmu filologi.

1.2. Filologi di Romawi Barat dan Romawi Timur

Kegiatan filologi di Romawi Barat diarahkan kepada penggarapan naskah

dalam bahasa Latin yang sejak abad ke-3 SM telah digarap filologi. Naskah Latin

itu ada yang berupa puisi dan prosa, antara lain karya Cicero dan Varro. Kegiatan

ini mungkin mengikuti kegiatan filologi Yunani mazhab Iskandariah pada abad

ke-3 SM. Isi naskah itu banyak mewarnai dunia pendidikan di Eropa pada abad-

abad selanjutnya.

Tradisi Latin itulah yang dikembangkan di Kerajaan Romawi Barat dan

bahasa Latin dipakai sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Sejak terjadinya

kristenisasi di Eropa, kegiatan filologi di Romawi Barat ditunjukkan untuk telaah

teks keagamaan yang dilakukan oleh kaum pendeta. Sebagai akibatnya, naskah

Yunani ditinggalkkan. Bahkan, sering kali dipandang sebagai tulisan yang berisi

paham jahiliah dan berisi ilmu yang berkaitan dengan paham itu. Dengan

demikian, telaah teks Yunani menjadi mundur dan kandungan isinya tidak banyak

dikenal lagi.

Sejak abad ke-4 teks sudah ditulis dalam bentuk buku yang disebut codex

dengan menggunakan bahan dari kulit binatang, terutama kulit domba yang

dikenal dengan nama perkamen (perkament (bahasa Belanda) atau parchment

(bahasa Inggris). Dalam bentuk codex itu naskah diberi halaman sehingga mudah

dibaca. Selain itu, bahan perkamen juga berdaya tahan lebih lama daripada bahan

papirus.

Ketika telaah teks Yunani mulai mengalami kemuduran di Eropa Barat, di

Eropa Timur malahan mulai muncul pusat-pusat studi teks Yunani, seperti di

Antioch, Athena, Iskandariah, Beirut, Konstantinopel, dan Gaza. Kota-kota

itu merupakan pusat studi dalam bidang tertentu. Iskandariah menjadi pusat studi

filsafat Aristoteles dan Beirut menjadi pusat studi bidang hukum. Pusat-pusat

studi itu selanjutnya berkembang menjadi perguruan tinggi, suatu lembaga yang

menghasilkan tenaga ahli di bidang pemerintahan, pendidikan, dan administrasi.

Pada periode itu mulai muncul tradisi menulis tafsir terhadap isi naskah

pada tepi halaman. Catatan itu disebut scholia. Procopirus dari Gaza telah

membiasakan menulis teks yang disertai dengan scholia dengan bahan yang

diambil dari tulisan lain yang membicarakan masalah yang sama. Karena

tulisannya pada umumnya mengenai ajaran Beibel, cara penulisan seperti itu

dikenal sebagai cara baru dalam kajian Beibel.

Ketika telaah teks Yunani berkembang di Romawi Timur, dirasakan

kurangnya ahli yang mampu melakukan hal itu. Untuk mendapatkan tenaga ahli

filologi yang andal, teks-teks yang dipandang penting diajarkan di perguruan

tinggi.

1.3. Filologi pada Zaman Renaisans

Istilah Renaisans mulai dipakai dengan pengertian perubahan dalam

lapangan sejarah kebudayaan mengenai tanggapan hidup serta peralihan dari

Zaman Pertengahan ke zaman baru. Renaisans mulai berkembang di Italia pada

abad ke-13, kemudian menyebar ke negara-negara Eropa lainnya dan berakhir

pada abad ke-16. Dalam arti sempit zaman Renaisans adalah suatu zaman yang

menempatkan kebudayaan klasik sebagai pedoman hidup. Dalam arti luas,

Renaisans adalah suatu zaman yang rakyatnya cenderung berpedoman pada dunia

Yunani klasik atau kepada aliran humanisme. Renaisans mula-mula merupakan

gerakan di kalangan para sarjana dan seniman, yang selanjutnya meningkat

menjadi perubahan cara berpikir di kalangan umat beradab.

Kata humanisme berasal dari kata humaniora (bahasa Yunani) atau

umanista (bahasa Latin) yang semula berarti ‗guru yang mengelola tata bahasa,

retorika, puisi, dan filsafat‘. Karena bahan-bahan yang diperlukan itu bersumber

pada teks klasik, humanisme kemudian diartikan sebagai aliran yang mengkaji

sastra klasik yang meliputi keagamaan, filsafat, ilmu hukum, sejarah, ilmu bahasa,

kesastraan, dan kesenian.

Pada zaman Renaisans kegiatan telaah teks klasik timbul kembali setelah

berabad-abad diabaikan. Kajiannya berpijak pada kritik teks dan sejarahnya.

Pada abad ke-15 Kerajaan Romawi Timur atau Byzantium jatuh ke tangan

bangsa Turki. Peristiwa itu mendorong para ahli filologi berpindah dari Romawi

Timur ke Eropa Selatan, terutama ke kota Roma. Di tempat-tempat baru itu

mereka mendapat kedudukan sebagai pengajar atau penyalin naskah atau

penerjemah teks Yunani ke dalam bahasa Latin.

Dengan adanya penemuan mesin cetak oleh Gutenberg dari Jerman pada

abad ke-15, bidang filologi mengalami perkembangan baru. Penyalinan teks tidak

lagi dilakukan dengan tulis tangan, tetapi dengan mesin cetak dan dalam jumlah

yang banyak dan mudah. Penggandaan teks dengan mesin cetak menuntut

tersedianya, teks siap cetak dalam bentuk yang baik dan bersih dari korup. Teks

seperti itu dapat dihasilkan lewat kajian filologi secara cermat. Kritik teks perlu

penyempurnaan dengan jumlah yang lebih banyak dan penyebarannya lebih

meluas. Sejak saat itu, kekeliruan pada penyalinan teks makin berkurang, tidak

seperti penyalinan dengan tulis tangan.

Dengan didirikannya berbagai perguruan tinggi pada zaman Pertengahan

kegiatan filologi bertambah-tambah karena lembaga pendidikan tinggi itu

memerlukan teks lama untuk bahan pelajaran. Selain itu, kedudukan bahasa

Romawi, Yunani, dan Latin bertambah penting. Khusus untuk kajian Beibel

diperlukan pengetahuan bahasa Ibrani dan Arab.

Selanjutnya, dalam perkembangannya di Eropa, ilmu filologi diterapkan

juga untuk telaah naskah lama nonklasik, seperti naskah Germania dan Romania.

Untuk itu, ahli filologi dituntut untuk menguasai bahasa-bahasa tersebut. Sejak

saat itu, batas antara filologi dan ilmu bahasa (linguistik) menjadi kabur karena

kegiatan linguistik juga menelaah teks. Mulai abad ke-19 linguistik memisahkan

diri dari filologi dan berkembang menjadi bidang ilmu yang berdiri sendiri. Pada

abad ke-20 pengertian filologi di Eropa tetap seperti semula, yaitu telaah teks

klasik, sedangkan di kawasan Anglo-Sakson berubah menjadi linguistik.

2. Filologi di Kawasan Timur Tengah

Negara-negara di Timur Tengah memperoleh ilmu filsafat dan ilmu

eksakta melalui bangsa Yunani lama, yang sejak zaman Iskandar Zulkarnain telah

menanamkan kebudayaan di Mesir, Siria, dan tempat lain. Sejak abad ke-4

beberapa kota di Timur Tengah telah memiliki perguruan tinggi, pusat studi

berbagai ilmu pengetahuan yang berasal dari Yunani, seperti Gaza, pusat ilmu

oratori (oratory), Beirut dalam bidang hukum, dan Edessa dalam kebudayaan

Yunani. Karena pada abad ke-5 kota Edessa dilanda perpecahan kaum gerejani,

banyak ahli filologi dari kota itu yang berpindah ke kota lain, terutama ke

kawasan Persia. Di Persia mereka disambut baik kaum penguasa. Oleh Kaisar

Anusyirwan mereka diberi kedudukan ilmiah di akademi Jundi Syapur pusat studi

ilmu filsafat dan ilmu kedokteran. Di lembaga itu teks-teks Yunani diterjemahkan

ke dalam bahasa Siria dan dari bahasa Siria diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.

Kota Harra, di daerah Mesopotamia, pernah menjadi pusat studi naskah Yunani.

Penduduknya, bangsa Sabean, suatu suku bangsa yang tergolong kuno, mahir

berbahasa Arab. Tidaklah mengherankan jika di kota itu dipelajari karya-karya

Plato, Ptolomaeus, dan Galen. Teks-teks Yunani kuno itu banyak yang

diterjemahkan ke dalam bahasa Siria dan Arab.

Studi teks dan ilmu pengetahuan Yunani makin lama makin berkembang

terutama pada masa Dinasti Abasiah, yaitu masa pemerintahan Khalifah Mansur

(754-775), Khalifah Harun Al-Rasyid (786-809), dan Khalifah Makmun (809-

833). Perkembangan studi teks itu mencapai puncaknya pada masa pemerintahan

Khalifah Makmun.

Di istana Khalifah Makmun berkumpul sejumlah ilmuwan dari berbagai

Negara. Mereka belajar ilmu geometri, astronomi, teknik, dan musik. Di sana

mereka mendapat tempat dan pelayanan yang baik. Mereka dibuatkan pusat studi

yang diberi nama Baitul Hikmah (‗lembaga kebijaksanaan‘), yang dilengkapi

dengan sarana perpustakaan dan observatorium.

Pada masa Khalifah Makmun itu dikenal tiga orang ahli penerjemah, yaitu

(1) Qusta bin Luqa, (2) Hunain bin Ishak, dan (3) Hubaisyi. Ketiga orang itu

beragama Nasrani.

Di antara ketiga orang itu Hunain-lah yang paling luas ilmu

pengetahuannya. Ia lahir berbahasa Arab, Yunani, dan Persia, padahal bahasa

ibunya bahasa Arab. Ia menjadi penerjemah ke dalam bahasa-bahasa tersebut

sejak berumur 17 tahun. Kemahirannya itu, mungkin, diperolehnya karena ia

tinggal di daerah multilingual. Ia mendirikan lembaga penerjemah di kota Bagdad.

Akan tetapi, tidak begitu jelas apakah teks sumbernya berbahasa Yunani atau

berbahasa Siria. Pada waktu itu di daerahnya masih banyak naskah-naskah

berbahasa Yunani. Ia rajin mencari naskah lama Yunani sampai ke Mesir, Siria,

Palestina, dan Mesopotamia.

Setelah beberapa lama, Hunain menyusun daftar naskah Yunani yang telah

diterjemahkan ke dalam bahasa Siria dan Arab disertai nama penerjemahnya dan

untuk siapa naskah itu diterjemahkan. Selain itu, disusun juga daftar naskah

Yunani yang belum diterjemahkan dan tempat-tempat penyimpanannya.

Hunain juga terkenal karena kritikannya. Kritiknya terhadap hasil

terjemahan orang lain sangat tajam. Dalam kritiknya ia tidak segan-segan

menunjukkan bagian-bagian yang kurang tepat penerjemahannya dan sebab-sebab

kekurangan tepatannya, misalnya karena rusaknya naskah yang menjadi sumber

terjemahkan itu atau karena kurangnya penerjemah mengenal bahasa sumber,

terutama bahasa Yunani kuno. Di samping mengeritik penerjemah, ia juga

melakukan kritik teks dengan menggunakan sebanyak mungkin naskah yang dapat

dijangkaunya.

Bangsa-bangsa di Timur Tengah dikenal sebagai bangsa yang memiliki

dokumen lama (kuno) yang bernilai luhur, seperti karya tulis yang dihasilkan oleh

bangsa Arab dan Persia. Sebelum datangnya agama Islam, bangsa Arab dan Persia

telah memiliki karya sastra, baik prosa maupun puisi, yang mengagumkan.

Bangsa Arab jauh sebelumnya telah mengenal “Mu‟allaqat” dan “Qasidah”.

Setelah Islam berkembang, kegiatan sastra meluas ke kawasan lain di luar Negara

Arab dan mistik Islam berkembang pesat di daerah Persia pada abad ke-10 hingga

abad ke-13. Sastra mistik yang termasyhur antara lain “Mantiq At-Tair” karya

Fariduddin Attar, “Mansnawi fi M‟nawi” karya Jalaluddin Arrumi, dan

“Tarjuman al-Asywaq” karya Ibn al-„Arabi. Selainitu, puisi-puisi Umar

Khayyam, penyair Persia ternama, serta ceria “Seribu Satu Malam” yang hingga

kini masih banyak dikenal di seluruh dunia dan telah diterjemahkan kedalam

berbagai bahasa, baik bahasa-bahasa Barat maupun Timur.

Sejalan dengan datangnya bangsa Barat di kawasan Timur Tengah,

kegiatan filologi membuka peluang terhadap karya-karya agung tersebut. Sebagai

akibatnya, kandungan teks itu makin dikenal di dunia Barat dan banyak menarik

perhatian kaum orientasi Barat. Oleh karena itu, banyak teks yang diteliti oleh

mereka sehingga banyak naskah yang tersebar ke pusat-pusat studi dan koleksi

naskah di Eropa. Kajian filologi terhadap naskah-naskah dilakukan di pusat-pusat

kebudayaan ketimuran di kawasan Eropa dan hasilnya berupa teori mengenal

kebudayaan dan sastra Arab, Persia, Siria, Turki, dan sebagainya.

Pada abad ke-8 sampai dengan abad ke-15 kekuasaan Dinasti Umayah

meluas sampai ke Spanyol dan Andalusia. Hal itu membuka dimensi baru bagi

telaah karya tulis dari kawasan Timur Tengah yang masuk ke Eropa pada waktu

itu. Ilmu pengetahuan Yunani yang telah diserap bangsa Arab kembali masuk ke

Eropa dengan kemasan Islam. Banyak karya sastra Arab dan Persia dikenal di

Eropa dalam periode kekuasaan Dinasti Umayah di Eropa. Tulisan Al-Ghazali,

Ibnu al-„Arabi, Al-Farabi, Ibnu Sina, dan sebagainya merupakan bahan kuliah dan

penelitian yang menarik. Orientalis yang dikenal pada waktu itu ialah Albertus

Magnus, ahli filsafat Aristoteles, melalui tulisan Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Al-

Ghazali. Albertus Magnus mengajar di Persia pada abad ke-12.

Pada abad ke-13 Roger Bacon dan Raymon Lull belajar bahasa Arab dan

Persia untuk mempelajari filsafat Yunani. Pada abad itu Paus Clement telah

memerintahkan agar bahasa Arab, Ibrani, dan Kaldea diajarkan di universitas di

Rome, Bologne, Paris, dan Oxford sebagai alat untuk mempelajari ilmu

pengetahuan yang terkandung dalam naskah yang ditulis dengan bahasa tersebut.

Pada abad ke-13 di pusat studi Montpillier dilakukan penerjemahan tulisan Ibnu

Rusyd dan Ibnu Sina ke dalam bahasa Latin.

Pada abad ke-17 telaah teks klasik Arab dan Persia di Eropa telah

dipandang mantap, terutama did Cambridge dan Oxford. Mimbar kuliah bahasa

Arab dibuka dengan dosen terkenal, seperti Thomas Adams, Archbishop Laud,

Edward Pococke, dan Abraham Wheelock. Pada waktu itu, di samping naskah

Arab dan Persia, ditelaah pula naskah Turki, Ibrani, dan Siria. Sementera itu, di

Inggris dipelajari pula karya-karya sastra Arab, Persia, dan Turki, seperti

“Hikayat Seribu Satu Malam” dan syair-syair sufi. Syair-syair karya Umar

Khayyam deterjemahkan dalam berbagai bahasa Eropa dan disadur dalam bahasa

Inggris.

Pada akhir abad ke-18 di Paris didirikan pusat studi kebudayaan ketimuran

oleh Silvester de Sacy dengan nama Ecole des Langues Orientales Vivantes. Di

tempat itu dipelajari naskah-naskah dari Timur Tengah oleh para ahli di kawasan

Eropa sehingga melahirkan ahli-ahli orientalis Eropa terkemuka dan karangan

bermutu tentang karya-karya penulis Timur Tengah. Di antara ahli orientalis itu

adalah Etienne Quatremere (1782-1857), penanggung jawab Manuscripts

Orienteaux di Paris, yang telah menerjemahkan “Tarikh al-Mamalik” karya Al-

Maqrizi dan “Muqaddimah” karya Ibnu Khaldun ke dalam bahasa Perancis.

Selain itu, ia juga menerbitkan naskahnya yang berbahasa Arab. Ahli orientalis

kedua adalah De Slane. Ia berhasil menyusun katalogus naskah-naskah Arab yang

terdapat di Bibliotheque Nationale de Paris. Ia juga berhasil menerjemahkan

“Diwan Imru‟ul-Qais” ke dalam bahasa Perancis. Ahli orientalis yang ketiga

adalah De Sacy. Ia dipandang sebagai bapak para orientalis di Eropa atas jasanya

yang telah melahirkan orientalis-orientalis Eropa dari Ecole des Langues

Orientales Vivantes. Selain itu, ia juga telah menghasilkan banyak tulisan dalam

bidang telaah karya dari kawasan Timur Tengah pada umumnya.

B. Perkembangan Filologi di Kawasan Asia: India dan Nusantara

1. Filologi di Kawasan Asia yaitu India

Sejak beberapa abad sebelum Masehi, bangsa-bangsa Asia memiliki

peradaban yang tinggi, seperti Cina, Jepang, India, dan bangsa-bangsa di kawasan

Nusantara. Sejak bangsa-bangsa tersebut mengenal huruf, sebagian besar

kebudayaan mereka ditulis dalam bentuk naskah, semacam dokumen yang

mengandung informasi mengenai kehidupan mereka pada masa lampau.

Studi filologi terhadap naskah-naskah tersebut berhasil membuka

khazanah kebudayaan Asia dan kajian tentang naskah tersebut bermanfaat untuk

kepentingan studi humaniora di Asia pada umumnya. Hasil studi itu dapat

menyibak sejarah bangsa Asia dan kebudayaan serta dapat memperjelas

hubungannya dengan kawasan di luar Asia. Dengan demikian, dapat diketahui

pula kebudayaan lain yang pernah menjalin hubungannya dengan kebudayaan

Asia.

Bangsa India adalah salah satu bangsa yang memiliki dokumen

peninggalan masa lampau dan kebudayaannya bersifat terbuka. Keluhuran bangsa

India terungkap melalui berbagai penelitian, terutama penelitian terhadap

dokumen yang berupa prasasti atau naskah. Bangsa India telah mengadakan

kontak secara langsung dengan bangsa Yunani pada zaman Raja Iskandar

Zulkarnain yang telah mengadakan perjalanannya sampai ke India pada abad ke-3

SM. Kebudayaan India di daerah Gandhara ternyata dipengaruhi kebudayaan

Yunani. Patung Budha yang ditemukan di daerah Gandhara dipahat seperti

patung Apollo dengan memakai jubah tebal.

Perpaduan antara kebudayaan Yunani, Hindu, Budha, dan Jaina

dinamakan kebudayaan Gandhara. Kebudayaan tersebut mencapai puncaknya

pada zaman Raja Kaniska Kusana dalam tahun 78-100 Masehi. Fisafat Yunani

diduga telah mempengaruhi silogisme India. Selain itu, teori atom Empedocies

juga telah berpengaruh pada hukum atom India.

Sejak abad ke-1 mulai terjadi kontak langsung antara bangsa India dan

bangsa Cina. Pada waktu itu sekelompok pendeta Budha mengadakan perjalanan

dakwah ke Cina. Sebaliknya, sesudah itu musafir-musafir Cina melakukan

perjalanan ziarah ke tempat-tempat suci agama Budha di India. Di antara kaum

musafir Cina itu ada orang yang tercatat dalam sejarah India, yaitu Fahian yang

berkunjung ke India pada tahun 399, Hiuen-tsing pada tahun 630-645, dan I-tsing

pada tahun 671-695. Mereka telah menerjemahkan naskah-naskah India ke dalam

bahasa Cina. Bahkan, I-tsing telah menulis ringkasan delapan bab ilmu

kedokteran India dalam bahasa Cina.

Kontak antara bangsa India dengan bangsa Persia terjadi lebih awal

daripada kontaknya dengan bangsa lain karena letak kedua Negara itu berdekatan.

Namun, dokumen yang otentik tentang awal terjadinya hubungan itu tidak

memberi informasi yang mantap. Dokumen sastra yang merupakan data adanya

kontak langsung itu, antara lain, masuknya karya sastra India Pancatantra dalam

kesusastraan Persi.

Pancatantra, yang digubah pada abad ke-3 di India oleh seorang

Waisynawa atas perintah Kaisar Anusyirwan dari Dinasti Sasaniah (531-579) di

Persi diterjemahkan ke dalam bahasa Persi. Kaisar tersebut mengirimkan seorang

dokter pribadinya yang bernama Burzue ke India untuk menerjemahkan naskah

“Pancatantra”. Selanjutnya, versi “Pancatantra” dalam bahasa Persi itu berkali-

kali disalin ke dalam bahasa Persi Tengahan dan bahasa Persi Baru. Abdullah ibn

Muqaffa menerjemahkan “Pancatantra” versi Persi itu ke dalam bahasa Arab.

Hasil terjemahnya itu kemudian diberi judul “Kalila wa Dimna”.

Selain “Pancatantra”, sastra India yang disalin ke dalam bahasa Persi

adalah “Sukasaptati”. Dalam versi Persi “Sukasaptati” itu dikenal dengan judul

“Tutinameh”.

Berdasarkan telaah filologi tersebut, dapat disimpulkan bahwa kontak

langsung antara bangsa India dan bangsa Persi paling awal terjadi pada abad ke-6,

saat disalinnya “Pancatantra” ke dalam bahasa Persi.

Pada tahun 1030 Alberuni, seorang musafir Arab-Persi, berkunjung ke

India. Dalam catatannya ia menulis tentang aspek-aspek kebudayaan India, seperti

filsafat, kesastraan, tatabahasa, dan ilmu kedokteran. Diperkirakan dialah yang

pertama kali mempelajari naskah dan teks India untuk mengetahui lebih dekat

kebudayaan India itu.

1) Naskah-Naskah India

Naskah India yang dipandang paling tua adalah “Weda”, kitab suci agama

Hindu. “Weda” terdiri atas empat bagian, yaitu “Rigweda”, “Samaweda”,

“Yajurweda”, dan “Atarweda”. Kitab “Weda” diperkirakan ditulis pada abad ke-

6 SM. Isinya adalah tentang kepercayaan kepada para dewa, penyembahan

terhadap para dewa secara ritual, mantra yang mengiringi upacara keagamaan

Hindu, dan ilmu sihir.

Sesudah periode “Weda”, disusun pula kitab suci Brahmana, kitab

“Aranyaka”, dan kitab “Upanisal”. Kitab suci Brahmana berisi antara lain

tentang penciptaan dunia dan isinya, cerita para dewa, dan cerita tentang

persajian. “Aranyaka” berisi tentang petunjuk bagi petapa yang menjalani

kehidupan di hutan-hutan, sedangkan “Upanisad” berisi masalah filsafat yang

memikirkan rahasia dunia.

Selain naskah yang bernapaskan agama dan filsafat, naskah lama India

juga ada yang berbentuk wiracarita, seperti “Mahabharata” dan “Ramayana”.

Selain bentuk wiracarita (cerita kepahlawanan) ada pula karya yang berbentuk

puisi, seperti ―Harsacarita” (gubahan penyair Bana) dan “Buddhacarita”

(gubahan Aswagosa), yang berbetnuk table atau cerita binatang seperti

“Pancatantra”, “Sukasaptati” dan “Hitopadesa”, dan ada pula yang berbentuk

drama. Di samping itu, ada pula karya yang berisi ilmu pengetahuan, seperti ilmu

kedokteraan, ilmu tatabahasa, ilmu hukum, dan ilmu politik.

2) Telaah Filologi terhadap Naskah-Naskah India

Telaah terhadap naskah-naskah India yang berisi berbagai aspek

kebudayaan baru dimulai pada saat bangsa Barat tiba di kawasan itu setelah

ditemukannya jalan laut ke India oleh Vasco da Gama tahun 1498. Mereka

mengetahui kebudayaan India lewat hasil telaah filologinya terhadap naskah India

mutakhir. Berdasarkan telaah filologi itu, mereka mengenal adanya bahasa-bahasa

daerah di India, seperti bahasa Gujarati dan bahasa Bangali sebelum abad ke-19.

Pada awal abad ke-19 mereka mengetahui tentang bahasa Sansekerta dan pada

akhir abad ke-19 mereka menemukan kitab “Weda”.

Hasil kajian filologi terhadap naskah tersebut mulai dipublikasikan oleh

orang Belanda yang bernama Abraham Roger dengan judul Open Door to Hidden

Heathendom pada tahun 1651. Dia pernah tinggal di Madra dan bertugas sebagai

penyiar agama Nasrani. Karangannya itu berbicara tentang ajaran kitab suci

“Brahmana” dan berupa ikhtisar puisi penyair Bhratihari. Kemudian terbit pula

karangan dua orang Prancis, Bernier (1671) dan Tafernier (1677), tentang

geografi, politik, adat-istiadat, dan kepercayaan bangsa India.

Tatabahasa Sansekerta dalam bahasa Latin mula-mula ditulis oleh

Hanxleden, seorang pendeta berbangsa Jerman. Tatabahasa tersebut diterbitkan di

Roma pada tahun 1790 oleh Fra Paolo Bartolomeo, seorang penginjil berbangsa

Austria. Ia pernah tinggal di Malabar pada tahun 1776-1789.

Pada abad ke-18 bangsa Inggris baru memulai kegiatan filologinya di

India. Kegiatannya berawal dari adanya hasrat Gubernur Jenderal Warren

Hastings untuk menyusun kitab hukum yang bersumber pada naskah-naskah lama

bangsa India. Teks-teks hukum yang terdapat dalam naskah lama itu dikajinya dan

hasilnya diterbitkan di London pada tahun 1776. Pada tahun 1784 di kota Bengal

didirikan suatu wadah kegiatan filologi yang bernama The Asia Society oleh para

orientalis Inggris yang pada saat itu sedang bertugas di India. Di antara kaum

orientalis itu ada tiga orang yang berhasil memajukan telaah filologi India, yaitu

Sir Charles Wilkins, Sir William Jones, dan Henry Thomas Colebrooke. Pada

tahun 1785 Wilkins, yang menguasai bahasa Sansekerta, berhasil menerjemahkan

“Bagawadgita” ke dalam bahasa Inggris. Terjemahannya itu diberi judul Song of

the Adorable One. Pada tahun 1787 ia menerjemahkan “Hitopadesa” ke dalam

bahasa Inggris dan pada tahun 1808 menyusun tatabahasa Sansekerta.

William Jones, yang menjabat ketua mahkamah tinggi di Bengal sejak

tahun 1783, mendirikan The Asia Society di Calcutta. Pada tahun 1794 ia

menerjemahkan “Sakuntala” dan “Gitagowinda”, kitab hukum bangsa Manu.

William Jones yang berpendidikan formal di Universitas Oxford itu adalah orang

pertama kali menyatakan bahwa bahasa Sansekerta merupakan nenek moyang

bahasa Persi, bahasa-bahasa Germani, dan serumpun dengan bahasa Kelt.

Henry Thomas Colebrooke dipandang sebagai orang pertama yang

melakukan dasar-dasar filologi India. Dia menulis dalam bidang hukum, filsafat,

agama, tatabahasa, astronomi, dan ilmu hitung. Dia berhasil menerbitkan kamus

bahasa Sansekerta, buku tatabahasa karangan Panini, dan kitab “Hitopadesa”. Ia

juga berhasil mengoleksi naskah-naskah Sansekerta.

Pada awal abad ke-19 dikenal nama Alexander Hamilton (bangsa Inggris)

dan Friedrich Schlegel (bangsa Jerman). Mereka dipandang sebagai orang yang

memajukan studi naskah Sansekerta di Eropa. Pada tahun 1808 Friedrich Schlegel

menulis buku yang berjudul On the Language and Wisdom of the India. Ia juga

berhasil mendirikan sebuah lembaga filologi India di Jerman.

Kakaknya, August Wilhelm von Schlegel, adalah orang yang pertama kali

memberikan kuliah bahasa Sansekerta din Bonn, Jermah Barat. Sesudah itu, telaah

naskah-naskah Sansekerta di Jerman bertambah maju, melebihi tempat-tempat

lain di Eropa.

Selain ketiga orang itu, dikenal juga nama Frans Bopp. Berdasarkan

telaahnya terhadap naskah-naskah Sansekerta, ia sampai pada simpulan yang

menyatakan bahwa sistem konyugasi bahasa Sansekerta sama dengan sistem

konyungasi bahasa-bahasa di Eropa. Pendapatnya itu ditulis dalam karangannya

yang berjudul On the Conjugational System of the Sanskrit Language in

Comparison with that of the Greek, Latin, Persia, Germanic Languages. Frans

Bopp juga dipandang sebagai orang pertama yang meletakkan dasar-dasar ilmu

perbandingan filologi.

Sampai pertengahan abad ke-19 telah banyak hasil telaah terhadap naskah

karya sastra klasik India dan sastra epic. Namun, telaah terhadap kesastraan

Budha dan Weda belum banyak dilakukan.

Pada abad ke-17 kitab “Upanisad” diterjemahkan ke dalam bahasa Persi.

Pada tahun 1801-1802 hasil terjemahan itu diterjemahkan lagi ke dalam bahasa

Latin oleh seorang orientalis Prancis yang bernama Anquetil Dupperon dengan

judul Oupnek‟hat. Buku itu dipandang telah mempengaruhi dua orang ahli filsafat

Jerman, Schelling dan Schopenhauer.

Telaah filologi yang sebenarnya terhadap sasta “Weda” dilakukan oleh F.

Roesen pada tahun 1838. Hasil terbitannya berupa delapan bagian pertama kitab

“Regweda”.

Pada dasawarsa keempat abad ke-19 Rudolf Roth mengenalkan dasar-dasar

studi sastra “Weda” di Eropa. Pada tahun 1846 dia menulis On the Literature and

History of the Weda. Selain Rudolf Roth, orang yang tekun menelaah “Weda”

adalah F. max Muller, salah seorang murid F. Rosen. Dia menulis buku tentang

Regweda dalam 8 jilid. Dalam buku tersebut disertakan juga tafsiran Regweda

karya Sayana.

Dengan telah dilakukannya studi terhadap “Weda” dan kitab-kitab agama

Budha lainnya, perkembangan studi filologi di India, dari segi materi, telah

dianggap lengkap pada pertengahan abad ke-19. Sejak tahun 1850 kajian terhadap

sastra klasik India secara ilmiah telah dilakukan. Selain itu, sejumlah naskah yang

disertakan dengan kritik teks juga telah diterbitkan.

Pada tahun 1876 Albercht Weber menulis History of India Literature. Dua

orang ahli filologi Jerman, Rudolf Roth dan Bohtlingk, menyusun kamus besar

bahasa Sansekerta dalam 7 jilid.

Pada tahun 1819 Wilhelm von Schlegel menyusun daftar naskah

Sansekerta, baik yang belum disunting maupun yang telah disunting dan yang

telah diterjemahkan, yang jumlahnya mencapai puluhan. Pada tahun 1852 Weber

berhasil menyusun daftar naskah Sansekerta itu dengan jumlah sekitar 500 buah.

Pada awal abad ke-20 daftar tersebut sudah memuat beribu-ribu naskah, yang

tersimpan di berbagai pusat studi kebudayaan dan kesastraan India, baik di India

maupun di Eropa.

2. Filologi di Kawasan Nusantara

Nusantara termasuk kawasan Asia Tenggara. Sebagaimana kawasan Asia

pada umumnya, Nusantara sejak dahulu telah dikenal sebagai kawasan yang

memiliki peradaban tinggi. Hal itu terbukti dari adanya peninggalan nenek

moyang, baik berupa bahan tulisan (naskah dan prasasti) maupun benda-benda

bersejarah (alat rumah tangga, guci, patung, candi, dan lain-lain).

Di kawasan Nusantara terdapat berbagai kelompok etnis. Tiap-tiap etnis

memiliki bentuk kebudayaan yang khas, tanpa mengabaikan sifat kekhasan

kebudayaan Nusantara. Kekayaan naskah lama Nusantara dibuktikan dengan

jumlah koleksinya yang terdapat di berbagai studi kebudayaan Timur dan Barat.

1) Naskah Nusantara dan Pedagang Barat

Minat untuk menelaah naskah-naskah Nusantara mulai timbul pada abad

ke-16 setelah bangsa Barat datang di kawasan Nusantara. Adanya naskah-naskah

lama Nusantara itu mula-mula diketahui oleh para pedagang. Mereka menganggap

naskah-naskah itu sebagai barang dagangan yang mendapatkan untung besar,

seperti yang mereka kenal di Eropa, sekitar Laut Tengah, dan daerah-daerah

lainnya.

Karana adanya anggapan itu, para pedagang Barat mengumpulkan dan

membeli naskah-naskah dari perorangan ataupun dari tempat-tempat tertentu yang

mengoleksinya, seperti kuil dan pesantren. Naskah-naskah itu mereka bawa ke

Eropa, kemudian mereka jual kepada perseorangan atau lembaga yang mengoleksi

naskah lama atau yang mempunyai pusat kajian naskah lama. Naskah-naskah

Nusantara itu selalu berpindah tangan karena diperjualbelikan atau dihadiahkan.

Salah seorang pedagang Eropa yang bergerak dalam perdagangan naskah

adalah Pieter Williemsz atau Peter Floris. Pada tahun 1604 Van Elbinck,

pengusaha naskah, pernah tinggal di Aceh. Kumpulan naskahnya, antara lain,

dijual kepada Thomas Erpenius, salah seorang orientalis kenamaan dari Leiden

(1584-1624).

Tampaknya Erpenius tidak berminat mengkaji naskah-naskah Nusantara

itu karena keahliannya tentang kebudayaan Timur Tengah. Pada tahun 1632

koleksi naskah Nusantara Erpenius jatuh ke perpustakaan Universitas Oxford.

Selain Erpenius, pembeli naskah Nusantara dari para pedagang ialah Edward

Pococke, pemilik naskah tertua “Hikayat Sri Rama”. William Laud, seorang

uskup besar dari Canterbury, menghadiahkan koleksi naskah Nusantaranya

kepada Bodleian di Oxford.

Dalam kaitannya dengan naskah-naskah Nusantara tersebut, perlu dicatat

nama Frederick de Houtman, saudara laki-laki dan teman seperjalanan Cornelis

de Houtman. Minatnya yang besar terhadap kebudayaan Nusantara terbukti dari

karangannya yang berjudul Spraeck en de Woordencboek, in de Maleysche en de

Madagaskarsche Talen yang terbit tahun 1603. Buku tersebut menarik perhatian

bangsa-bangsa Eropa sehingga diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, Inggris, dan

Prancis. Berdasarkan kenyaan itu, diduga bahwa kemahiran berbahasa Melayu

Frederick de Houtman, antara lain, karena membacma dan mempelajari naskah-

naskah Melayu.

Pada zaman VOC upaya mempelajari bahasa-bahasa Nusantara hampir

terbatas pada bahasa Melayu karena dengan bahasa Melayu itu mereka sudah

dapat berhubungan dengan bangsa pribumi dan bangsa asing yang berada di

kawasan Nusantara, seperti bangsa India, Cina, Arab, dan bangsa Eropa lainnya.

Peranan para pedagang, sebagai pengamat bahasa melalui pembacaan naskah-

naskah, dilanjutkan oleh para penginjil. Mereka dikirim VOC ke wilayan

Nusantara dalam jumlah yang besar selama 2 abad pertama (abad 17-18).

2) Telaah Naskah Nusantara oleh para Penginjil

Pada tahun 1629, 30 tahun setelah kapal Belanda pertama tiba di

Nusantara, diterbitkan terjemahan Alkitab pertama dalam bahasa Melayu oleh

penerbit Jan Jacobsz, Palenstein. Penerjemahnya adalah Albert Cornelisz Ruyl.

Buku tersebut berjudul Het Nieuwe Testament in Nederduyts ende Malays, na de

Grieckscher waarheyt Overgeset-Jang Testament Baru Bersalin kepada Bassa

Hulanda dan Bassa Malaju, seperti jang Adillan Bassa Gregu. Ruyl adalah

seorang pedagang. Pada tahun 1600 ia bersama-sama dengan Jacob van Neck

datang ke Nusantara. Sebelum tahun 1600 ia telah menerbitkan buku berjudul

Spiegel van de Maleise Tale yang bersumber dari karangan Frederick de Houtman

dan beberapa terjemahan ajaran gerejani.

Dr. Melchior Leijdecker (1645-1701), seorang penginjil terkenal, menaruh

minat yang besar terhadap naskah-naskah Melayu. Terjemahan Beibelnya dalam

bahasa Melayu baru dapat diterbitkan setelah ia meninggal karena perlu

penyempurnaan dan revisi. Pada tahun 1835 jilid pertama terjemahan itu terbit.

Atas perintah Dewan Gereja Belanda, Leijdecker menyusun terjemahan

Beibel dalam bahasa Melayu tinggi. Untuk memenuhi tugas itu, dia harus

meningkatkan kemampuan bahasa Melayunya dengan cara membaca naskah-

naskah Melayu dan menuliskan karangan-karangannya dalam bahasa Melayu

pula. Akan tetapi, hingga akhir hayatnya terjemahan itu belum selesai.

Pekerjaannya itu kemudian dilanjutkan oleh penginjil lain, Petrus van den Vorm

(1664-1731).

Petrus tiba di Indonesia pada tahun 1688. Mula-mula ia ditugaskan sebagai

pendeta di Kepulauan Maluku. Ia berpendidikan Teologi dari Universitas Leiden.

Dengan diberikannya tugas missionaries di beberapa daerah memungkinkan ia

berkesempatan menulis berbagai aspek kebudayaan Indonesia. Pada tahun 1726

terbitlah karangannya yang ensiklopedik dengan judul Ouden Nieuw Oost Indien,

Vervattende een Naukkenigen en Uitvoerige Verhandelinge van Nederlandse

Mogentheyd in die Gewesten.

Karangannya itu memperlihatkan bahwa pengetahuannya tenang naskah-

naskah Nusantara cukup luas. Dalam tulisannya disebutkan beberapa judul naskah

yang diketahuinya pada waktu itu. Kemahirannya berbahasa Melayu, walaupun

bahasa Melayu rendah, bertujuan menyebarkan Beibel dan menerjemahkannya.

Dia sering menulis karangan tentang kebudayaan Nusantara. Dia juga berhasil

menyusun kamus dan buku tatabahasa Melayu yang baik. Perhatiannya terhadap

bahasa dan sastra Melayu juga cukup besar.

G.H. Werndly adalah penginjil lain yang mengakrabi bahasa dan sastra

Melayu. Pada tahun 1736 terbit karangannya yang berjudul Maleische

Spraakkunst. Dalam lampiran bukunya itu dia menyusun daftar naskah Melayu

yang diketahuinya yang berjumlah 69 naskah. Dia mempelajari naskah itu hingga

memahami isinya. Tiap-tiap naskah dibuat ringkasan isinya, walaupun sangat

pendek, dan dibuat deskripsinya.

Makin lama kedudukan VOC makin lemah. Sebagai akibatnya, dorongan

untuk mempelajari bahasa dan naskah Nusantara makin berkurang. Usaha

pengajaran dan penyebaran Alkitab diteruskan oleh Zending dan

Bijbelgenootschap. Karena menghadapi berbagai kesulitan, lembaga tersebut baru

dapat mengirim seorang penginjil Protestan, yang bernama G. Bruckner, ke

Indonesia pada tahun 1814. Ia ditempatkan di Semarang. Tugas utamanya adalah

menyebarkan ajaran Alkitab kepada masyarakat Jawa.

Agar pelaksanaan tugas tersebut berjalan lancer, Bruckner bergaul dengan

penduduk Jawa dan membaca naskah-naskah Jawa untuk mempelancar

kemampuan-berbahasa-Jawanya, baik lisan maupun tulis. Bruckner berhasil

menerjemahkan Alkitab ke dalam bahsa Jawa. Selain menerjemahkan, dia juga

menulis tatabahasa Jawa yang berjudul Proeve eener Javanaasche Spraakkunst. Buku

tersebut dicetak pada tahun 1930. Di dalam buku tersebut terdapat teks dan

terjemahan cerita Jawa dan beberapa surat dalam bahasa Jawa, sebagai bahan

bacaan. Pada tahun 1842 terbit pula kamus Bruckner yang berjudul Een Klein

Woordenboek der Hollandsche, Engelsche en avaansdie Talen.

Jika ditinjau dari segi ilmu bahasa, Nederlandsche Bijbelgenootschap (NBG)

mempunyai kegiatan penting. Lembaga itu menyanggupi akan menerbitkan

terjemahan atau tulisan Bruckner yang lain. Lembaga tersebut berpendapat bahwa

untuk menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa-bahasa lain, penerjemah harus

memiliki bekal ilmiah yang cukup dalam bidang ilmu bahasa. Ketetapan NBG itu

menuntut para penyiar dan penerjemah Alkitab yang akan dikirim ke Indonesia

untuk memiliki pendidikan akademik yang memadai. Dampak ketetapan itu

muncul karangan ilmiah dari para penginjil mengenai bahasa, sastra, dan

kebudayaan Nusantara pada umumnya. Sebaliknya, negara-negara jajahan

Belanda memperoleh dampak positif dari ketetapan NBG tersebut. Para penginjil

membantu Pemerintah jajahan Belanda itu memberi pelajaran bahasa secara

ilmiah kepada para pegawai sipil Belanda yang memerlukan keahlian itu.

Pada tahun 1824 J.V.C. Gericke, seorang penginjil yang memenuhi

persyaratan itu, dikirim NBG untuk bertugas di Indonesia. Ia ditugaskan mengajar

dalam bidang bahasa Jawa. Dia dapat membantu pemerintah mengajarkan bahasa

Jawa kepada para pegawai negeri sipil Belanda. Dia mendesak Pemerintah

Belanda untuk membuka lembaga pendidikan (institut) bahasa Jawa. Pada tahun

1832 NBG mendirikanlembaga tersebutdengannama Javaansclie Instituut. Namun,

tampaknya lembaga itu sulit maju. Akhirnya, pada tahun 1834 lembaga itu

ditutup.

Selain ke daerah berbahasa Jawa dan Melayu, NBG menugasi penginjil ke

daerah Kalimantan, Sumatra Utara, Sulawesi Selatan, Jawa Barat, dan Kepulauan

Nias. Selain menjalankan tugas dari NBG, mereka juga mengadakan penelitian dan

kajian ilmiah terhadap dokumen dan naskah berbahasa daerah tersebut. Sebagai

akibatnya, mereka mengakrabi naskah-naskah Nusantara dan menghasilkan

karangan ilmiah dalam bidang ilmu yang dikajinya itu. Mereka dipercaya sebagai

petugas yang mempunyai otoritas tentang kebudayaan setempat. Beberapa orang

terkenal di antara mereka adalah A. Hardeland (untuk bahasa Dayak), H.N. van der

Tuuk (bahasa dan Bali), B.F. Matthes (bahasa Bugis dan Makasar), G.j. Grashuis, D.

Koorders, dan S. Coolsma (bahasa Sunda), serta L.E. Denninger (bahasa Nias).

Pada umumnya tenaga-tenaga yang dikirim NBG tidak melakukan telaah

filologis terhadap naskah yang dibaca dan dipelajari bahasanya. Mereka sering

menerjemahkan naskah-naskah itu ke dalam bahasa asing, terutama bahasa

Belanda. Karena ada etnis-etnis yang belum mengenai huruf, etnis itu tidak

memiliki dokumen tertulis (naskah). Sebagai akibatnya,.kebudayaannya masih

tersimpan secara lisan. Menurut teori filologi, sastra lisan termasuk kajian f

ilologi. Oleh sebab itu, ada di antara penginjil yang mengkaji sastra lisan daerah

yang didatanginya. N. Adriani dan Knujt, misalnya, menelaah sastra lisan Toraja.

3) Kegiatan Filologi terhadap Naskah Nusantara

Hadirnya tenaga penginjil yang dikirim NBG ke Indonesia dengan bekal

ilmu pengetahuan linguistik telah mendorong tumbuhnya kegiatan penelitian

naskah dari berbagai daerah Nusantara. Mula-mula mereka mempelajari naskah

dengan tujuan mengenai bahasanya untuk kepentingan penyiaran dan

penerjemahan Alkitab. Selanjutnya, ada di antara mereka yang berminat mengkaji

naskah unttik memahami isinya. Selanjutnya, ada di antara mereka yang berminat

menyuntingnya agar naskah itu dapat diketahui kalangan yang lebih luas.

Minat meneliti naskah Nusantara juga timbul pada pengajar bahasa-bahasa

Nusantara berkebangsaan Belanda. Mereka mengajar calon pegawai sipil yang

akan dikirim ke Indonesia. Calon pegawai itu perlu dibekali pengetahuan dalam

bidang bahasa, ilmu bumi, dan ilmu bangsa-bangsa (hud, landen volkenkunde).

Mimbar kuliah untuk program tersebut mula-mula diadakan di KoninklijkeMilitaire

Academie (KNiA) di Breda dimulai pada tahun 1836 dan di Delft pada tahun 1842.

Di Akademi Breda diangkat Taco Roorda sebagai guru besar dalam bahasa Melayu,

ilmu bumi, dan ilmu bangsa-bangsa Hindia Belanda, sedangkan di Delft diangkat

Roorda van Eysinga. Akhirnya, program tersebut dipindahkart ke Fakultas Sastra

Universitas Leiden. Taco Roorda dikenai sebagai orang yang berdedikasi tinggi

dalam bidang penerjemahan Alkitab, pendidikan kepangrehprajaan, dan ilmu

pengetahuan murni.

Selain tenaga peneliti dari Belanda, banyak juga tenaga peneliti dan ahli

filologi yang berasal dari Inggris, seperti John Ijeyden, J. Logan, W. Marsden, Tlionws

Stamford Raffles, R.J. Wilkinson, R.O. Winstedt, j: Crafurd, dan Sliellebear. Dari Jerman dapat

dicatat nama Hans Overbeck.

Telaah ahli filologi terhadap naskah Nusantara antara lam berbentuk

penyuntingan dan/atau penganalisisan isinya. Pada larai awal kajian filologi

terutama berbentuk penyuntingan. Karena tenaga penyunting vang masih sangat

terbatas, kegiatan penyuntingan lebih banyak dilaknkan untuk naskah Jawa dan

Melayu. Basil suntingannya pada umumnya berupa penyajian teks dalam huruf

aslinya, yaitu huruf Jawa, huruf pegon, atau huruf Jawi dengan disertai Pengantar

atau Pendahuluan secara singkat, tanpa analisis isinva,

Contoh suntingan seperti itu adalah suntingan "Ramayana Kakawin" oleh

H. Kern (1800), "Syair Bidasari" oleh Van Hoevell (1843), Geschiedenis van Sri Rama

oleh Roorda van Eysinga (1843), dan Een Javaansche Geschnft uit de 16de Eeww oleh J.G.H.

Gunning. Suntingan taraf awal itu pada umumnya menggunakan metode intuitif

atau diplomatik.

Dalam perkembangan kajian filologi selanjutm a, naskah itu disunting

dalam bentuk transliterasike dalam huruf Latin, seperti siuitingan "Wrettasantjaja"

(1849), "Ardjoena Wiwaha" (1850), dan "Bomakmvya" (1850). Ketiga naskah itu

berbahasa Jawa Kuna dan disunting oleh R.Th.A. Friederich. Suntingan lainnya

adalah "Brata Joeda" (1850) oleh Cohen Stuart. Selain itu, H.H. ]uynboll menghasilkan

beberapa suntingan teks Maliabharata berjudul Adipanva, Oud-)avaansche Prozageschrift

(1906 dengan transliterasi huruf Latin), dan suntingan yang disertai terjemahan

berjudul

DrieBoekenvanhetOud-JavaansclieMalmbliaratainKaivi-TeksenNederlandsclieVertaling

(1893).

Kegiatan ahli filologi taraf berikutnya ialah berupa penyuntingan naskah

dengan disertai terjemahannya dalam bahasa asing, terutama bahasa Belanda. Hal

itu antara lain-dilakukan oleh /. Kats dengan suntingannya berjudul Sang Hyang

Kamahcryanikan:Oud-JavaansdietekstmetInleiding, VertalingenAanteekeningen (1910) dan

Poerbatjaraka dengan suntingannya berjudul Arjuna-WiwaJui (1926).

Pada abad ke-20 penyuntingan naskah dilakukan dengan disertai

terjemahannya dalam bahasa Inggris atau Belanda. Bahkan, yang diterbitkan

hanya berupa terjemahannya, seperti Sejarah Melayu oleh Leyden (1921), The Malay

Annals oleh C.C Brown (1952), dan Hikayat Hang Tuah oleh H. Overbeck (1922).

Telaah filologis dengan metode kritik teks, yang banyak dilakukan pada

abad ke-20, menghasilkan suntingan yang lebih mantap daripada suntingan

sebelumnya. Terbitan jenis suntingan ini banyak yang disertai terjemahan dalam

bahasa Belanda, Inggris, dan Jerman. Penyuntingan yang menggunakan

pendekatan filologi tradisional itu antara lain dilakukan oleh G.F. Pijper dengan

suntingannya berjudul Het Boek der Duizend. Vragen (1924) yang bersumber pada

naskah "Hikayat Seribu Masalah"; A. Teeuw dengan suntingannya berjudul Shair Ken

Tambuhan (1966); Siti Hawa Saleh dengan suntingannya berjudul Hikayat Merong

Mahazvangsa (1970); S. Supomo dengan judul Arjunawijaya (1977); dan Haryati Soebadio

dengan judul ]nanasiddhanta (1971).

Pada abad ke-20 juga ada terbitan ulang naskah yang pernah disunting

sebelumnya dengan rujuan menyempurnakannya. Hal itu terbukti dari adanya

terbitan primbon Jawa yang berasal dari abad ke-16. Suntingan pertama dilakukan

oleh Gunning (1881) dengan menggunakan metode diplomatik dan pada tahun

1921 suntingan itu disunting lagi oleh H. Kraemer dengan judul Een Javaansclie

Primbon uit de Zestiende Eeuw. Kemudian, pada tahun 1954 suntingan Kraemer itu

diterbitkan lagi oleh G.W.J. Drewes dengan judul yang sama. Naskah "Sunan

Bonang" yang pada tahun 1916 disunting oleh B.J.O. Schrieke dengan judul Het Boek

van Bonang, pada tahun 1969 suntingan itu diterbitkan lagi oleh Drewes dengan

judul The Admonitions ofSeh Bari. Naskah "Wirataparwa" yang pada tahun 1892

diterbitkan oleh Juynboll, pada tahun 1938 diterbitkan lagi oleh Fokker dengan judul

Wiratapanva, Opnieuxv Uitgegeven, Vertaalden Toegelicht. Demikianpula Arjunawizualia

yang pada tahun 1850 diterbitkan oleh Friederich, pada tahun 1926 diterbitkan

lagi oleh Poerbatjaraka dengan judul Arjunawiwaha.

Pada abad ke-20 juga diterbitkan naskah-naskah keagamaan, baik naskah

Melayu maupun naskah Jawa, sehingga isinya dapat dikaji oleh ahli teologi dan

sebagainya sehingga mereka menghasilkan karya ilmiah dalam bidang tersebut.

Naskah-naskah keagamaan itu lazim disebut sastra kitab. Kajian seperti itu antara

lain dilakukan oleh Naguib al-Attas tentang karya Hamzah Fansuri. Dengan

menggunakan metode kritik teks ia menghasilkan karya ilmiah berjudul The

Misticmn ofHamzah Fansuri (1970).

Berdasarkan beberapa naskah yang anonim A. Jones berhasil menyunting

naskah-naskah tersebut dan menerjemahkannya ke dalam bahasa Inggris dengan

diberi judul Malay Mysticism (1957) • Selanjutnya, berdasarkan naskah "Serat

Cabolek" S. Soebardi berhasil menyusun buku dengan judul The Boek ofCabplek

(1975).

Selain naskah yang telah diuraikan di atas, naskah yang berisi teks sejarah

juga telah banyak yang disunting dan dimanfaatkan oleh ahli sejarah. Di antara

ahli sejarah itu ialah (1) Teuku Iskandar yang menghasilkan karangan berjudul De

Flikajal Atjeh (1959) berdasarkan naskah "Hikayat Aceh"; (2) Floesen Djajadiningrat

yang menghasilkan buku berjudul Critische eschoulving van de Sadjarah Banten (1913)

berdasarkan naskah "Babad Banten"; (3) J.J. Ras yang menghasilkan buku berjudul

Hikajat Bandjar (1968) berdasarkan naskah sejarah yang berasal dari suatu kerajaan

di Kalimantan; dan (4) P.J. Worsley yang menghasilkan kajian berjudul Babad

Buleieng berdasarkan naskah sejarah dari Bali. Semua suntingan teks itu

menggunakan pendekatan kritik teks.

Selain menerbitkan suntingan naskah, kegiatan filologi lairmya adalah

menelaah naskah/teks untuk mengungkap isinya ditinjau dari berbagai disiplin

ilmu. Para peneliti naskah itu antara lain, sebagai berikut.

(1) C.A.O. van Nhiwehuijze dengan telaahnya berjudul Samsuddin van Pasai (1945)

berdasarkan naskah-naskah karya Syamsuddin, seorang ulama tasawuf di

Aceh.

(2) Doorenbos dengan kajiannya berjudul De Geschriften van Hamzah Fansoeri (1933)

berdasarkan naskah karya Hamzah Fansuri, seorang ulama tasawuf di Aceh.

(3) P.J. van Leeuwen dengan kajiannya berjudul Dc Maleische Alexanderroman (1937)

berdasarkan naskah "Hikayat Iskandar Zulkarnain".

(4) Ph.S. van Ronkel dengan telaahnya berjudul De R.oman van Amir Hamzah

berdasarkan naskah "Hikayat Amir Hamzah".

(5) W.H. Rassers dengan kajiannya berjudul De Panji Roman berdasarkan naskah-

naskah Panji Nusantara.

Telaah filologi terhadap naskah Iain—selain naskah Jawa dan Melayu—juga

telah dilakukan, baik oleh orang asing (Belanda) maupun oleh orang pribumi.

(1) H.T. Damste yang menghasilkan tulisan berjudul Hikayat Perang Sabil (1928)

berdasarkan naskah yang dituiis dalam bahasa Aceh.

(2) H.K.J. Cowan yang menghasilkan tulisan berjudul Hikayat Malem Dagang (1937)

juga berdasarkan naskah berbahasa Aceh. Kedua suntingan itu berupa

transliterasi disertai terjemahannya dalam bahasa Belanda.

(3) F.S. Eringa menyunting naskah berbahasaSundayangmenghasilkansuntingan

berjudul Loetoeng Kasaroeng: Een Mytologish Verhaal uit West-Java (1949).

(4) Edi S. Ekadjati menghasilkan suntingan berjudul Cento Dipati Ukur (1978)

berdasarkan naskah sejarah tradisional berbahasa Sunda.

(5) Hermansumantri menghasilkan suntingan berjudul Sejarah Sukapura berdasarkan

naskah sejarah tradisional berbahasa Sunda.

(6) J. Noorduyn menghasilkan suntingan berjudul Een Acht tiende Eeuwse Kroniekvan

Wadjo (1955) berdasarkan naskah-naskah Bugis.

(7) Vreede menghasilkan suntingan dengan menggunakan edisi diplomatik yang

berjudul Tjarita Brakaj berdasarkan naskah berbahasa Madura. Sebagian cerita

itu diterje mahkan oleh Teeuw ke dalam bahasa Belanda dengan judul Fragment

uit Tjarita Brakaj yang diterbitkan dalam Letterkunde van de Indische Archipel

suntingan /. Gonda (1947).

Pada periode mutakhir mulai dirintis telaah naskah-naskah Nusantara dengan

analisis berdasarkan ilmu sastra (Barat). Telaah naskah secara mendalam itu

umumnya berupa disertasi atau tesis Program Pascasarjana di berbagai fakultas

sastra. Para peneliti naskah itu antara lain sebagai berikut,

(1) Achadiati Ikram dengan kajiannya berjudul Hikayat Sri Rama: Suntingan Naskah

Disertai Telaah Amanat dan Struktur (disertasi, 1980);

(2) Sulastin Su trisno dengan kajiannya berjudul Hikayat Hang Tuah: A nalisis struktur dan

Fungsi (disertasi, 1979); ^

(3) Worsley dengan telaahnya berjudul Babad Buleleng (1972);

(4) Ras dengan telaahnya berjudul Hikajat Bandjar (1968);

(5) Brakel dengan telaahnya berjudul Hikayat Muhammad Hanafiyyah (1975).

Pada dekade berikutnya penelitian dilakukan dengan menggunakan analisis

inter teks tual atau resepsi.

(1) HendrikM.JanMaier melakukan anahsisintertekstual terhadap naskah "Hikayat

Merong Mahawangsa" dengan judul Fragment of Reading: Tlte Malay Hikayat Merong

Maliawangsa (1985).

(2) I Kuntara Wiryanviftana melakukan analisis resepsi terhadap naskah

"Arjunawiwaha'' dengan judul Arjunawiwalia; Transformasi Teks Jawa Kuna

Lewat Tanggapan dan Penciptaan di Lingkungan Sastra }awa (1987).

(3) Siti Chamamah Soeratno melakukan penelitian terhadap naskah "Hikayat Iskandar

Zulkarnain" dengan pendekatan resepsi dan menghasilkan kajian berjudul

Hikayat Iskandar Zulkarnain: Suntingan Teks dan Analisis Resepsi (1988).

(4) Imran Teuku Abdullah yang melakukan penelitian terhadap naskah "Hikayat

Meukeuta Alam" dan menghasilkan karya berjudul Hikayat Meukeuta Alam:

Suntingan Teks dan Terjemahan beserta Telaah Struktur dan Resepsinya (198?).

Dengan telah diketahuinya sejumlah naskah Nusantara dan telah tersedia teks

suntingaonya, kemungkinan untuk menyusun sejarah sastra Nusantara atau sejarah

sastra daerah makin terbuka. Itulah sebabnya, sejak tahun 1940-an terbitlah buku-

buku sejarah sastra seperti berikut. (1) A History of Malay Literature (1940) oleh

Winstedt; ( 2 ) Letterkunde van de Indische Archipel (1947) oleh Gonda; (3) Over Maleise

Literatur (1947) oleh Hooykaas; dan (4) Sejarah Kesusastraan Melayu Klassik (1982)

oleh Liaw Yock Fang.

Dengan terpeliharanya naskah dan tersedianya suntingan naskah Musantara,

minat untuk menyusun kamus berbagai bahasa daerah Nusantara juga makin

terbuka. Sejak abad ke-19 telah terbit beberapa kamus bahasa Jawa oleh tenaga

penginjil yang dikirim NBG ke Indonesia. Para penyusun kamus Jawa Kuna-

Belanda atau Jawa Kuna-Inggris itu adalah sebagai'berikut.

(1) Van der Tuuk dengan kamusnya berjudul Kawi-Balineesch-Nederlandsch Woordenboek

(1897,1912).

(2) H.}I. Juynboll dengan kamusnya berjudul Old-Javaansch-Nederlandsch Woordenlijst

(1923);

(3) P.J. Zoetmulder dengan kamusnya berjudul Old-Java-nesch-English Dictionary

(1982). .

Selain itu, ada juga kamus bahasa Melayu-Belanda atau Melayu Inggris yang

disu su n oleh peneliti berikut.

(1) H. C. Klinkert dengan kamusnya berjudul Niewo Maleish-Nederlandsch Worrdenboek

(1947);

(2) R.J. Wilkinson dengan kamusnya berjudul A Malay-English Dictionary (1959);

Kamus bahasa Jawa-Belanda disusun oleh Gericke dan Roorda dengan judul

Javaansch-Nederlandsch Handxvoordenboek (1901). Terakhir kamus bahasa Madura-

Belanda disusun oleh H.N. Kiliaan dengan judul Madoereesch-Nederlandsch Woorden-

boek (1904-1905).

Untuk lebih memantapkan pemahaman Anda tentang uraian dalam modul ini,

kerjakan latihan-latihan berikut!

1. Di kawasan Asia, studi filologi banyak dilakukan di India! Jelaskan!

2. Tersebarnya naskah-naskah Nusantara ke Eropa dilakukan oleh para pedagang

Barat. Jelaskan!

3. Dikenalnya naskah-naskah Melayu oleh bangsa Eropa sejalan dengan tugas

misionaris yang diemban para penginjil. Jelaskan!

Petunjuk Jawaban Latihan

Jika Anda telah menyelesaikan latihan itu, cocokkan hasil latihan Anda

dengan rambu-rambu berikut!

1. Bangsa India sangat kaya dengan dokumen kebudayaannya, terutama naskah

yang berupa kitab suci, baik kitab suci agama Hindu, "Weda", maupun kitab

suci Brahmana, "Aranyaka" dan "Upanisad" dan naskah eerita, seperti

"Mahabharata", "Ramayana", "Harsacarita", "Buddhacarita", "Pancatantra",

"Sukasaptati", dan "Hitopadesa". Dokumen budaya yang adiluhung itu telah

menarik perhatian kaum filolog berba gai bangsa di kawasan Asia, terutama

dari Cina dan Persi.

2. Para pedagang Barat menganggap bahwa naskah-naskah Nusantara

merupakan

baramg daganganyang mendatangkan untung besar, sebagaimana yang

terdapat

di Eropa atau di Timur Tengah. Karena adanya dugaan itu, mereka membeli

dan

mengoleksi naskah-naskah itu, lalu membawanya ke Eropa dan menjualnya

kepada lembaga atau perseorangan yang mengoleksi naskah lama.

3, Untuk mempermudah penyebaran agama Kristen, para pendeta harus

menerjemahkan kitab sucinya, Beibel, ke dalam bahasa Melayu. Untuk

memenuhi

tugas itu, para penginjil harus meningkatkan kemampuan bahasa Melayunya

dengan cara membaca naskah-naskah Melayu dan menuliskan karangannya

dalam bahasa Melayu pula.

Studi/kajian filologi di kawasan Asia oleh orang Barat dimulai setelah

terbukanya jalan laut dari Eropa ke India. Telaah filologis tersebut berkembang

dengan pesat di India karena naskah-naskah klasik India, terutama kitab suci

Hindu '' Weda" dan kitab suci Brahmana, "Aranyaka" dan "Upanisad" telah

menarik perhatian mereka.

Minat meneliti naskah-naskah Nusantara dirintis oleh para penginjil

berkebangsaan Belanda. Tenaga penyiar dan penerjemah Alkitab yang dikirim

NBG ke Nusantara harus berbekal pengetahuan banasa. Untuk mengenai bahasa-

bahasa di Nusantara, mereka lakukan dengan menelaah naskah-naskah dari

herbagai daerah Nusantara. Setelah mertguasai bahasa daerah tersebut, mereka

memulai missinya, yaitu menyiaricanajaran Alkitab kepada penduduk setempat.

Minat meneliti naskah Nusantara juga timbul di kalangan pengajar bahasa

Nusantara berkebangsaan Belanda. Mereka mengajar calon pegawai yang akan

dikiriict Ke Indonesia. Calon pegawai itu harus dibekali dengan pengetahuan di

bidang bahasa, ilmu bumi, dan ilmu bangsa-bangsa (taal, landen volkenkunde). untuk

memperdalam pengetahuan bahasa Nusantara itu, mereka terpaksa menelaah

naskah-naskah Nusantara yang mereka peroleh dari pengoleksi naskah Nusantara.

Telaah filologis yang objeknya naskah-naskah Nusantara ternyata dapat

mendorong adanya berbagai kegiatan ilmiah yang hasilnya dapat dimanfaatkan

bagi disiplin ilmu lain, terutama ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Kegiatan-

kegiatan itu sesuai dengan tujuan studi filologi, yaitu melalui telaah naskah dapat

membuka kebudayaan bangsa dan dapat mengangkat nilai luhur yang terkandung

di dalamnya.

BAB III

PENGERTIAN NASKAH DAN TEKS SERTA SITUASI

PERNASKAHAN DI INDONESIA

Sebelum masuk pada penjelasan edisi naskah dan langkah kerjanya: kritik

teks, metode penyuntingan, dan transliterasi yang menjadi inti penelitian filologi,

Anda lebih dahulu harus mengerti perbedaan antara naskah dan teks. Kedua istilah

itu dalam filologi dibedakan. Pada bagian ini kedua istilah itu akan diuraikan

pengertiannya dengan agak terperinci disertai dengan contoh. Contoh sangat

berguna untuk Anda agar pemahaman yang diterima benar-benar konkret.

Di samping pengertian naskah dan teks, pada bagian ini akan dijelaskan

pula situasi pernaskahan di Indonesia. Pengertian naskah di Indonesia mengacu

pada berbagai naskah daerah yang terdapat di Indonesia. Tiap daerah di Indonesia

mempunyai keunikan naskah tersendiri yang ditandai dengan pemakaian alas

naskah, aksara, dan bahasa daerah masing-masing. Dengan aksara dan bahasa

daerah itulah sebuah teks ditulis. Oleh sebab itu, Indonesia menjadi sangat kaya

dengan pernaskahan. Situasi pernaskahan di Indonesia yang akan diuraikan pada

kesempatan ini hanya sebatas pada gambaran sekilas tentang bahan yang

digunakan untuk menulis teks, isi teks, dan beberapa tempat yang penyimpanan

naskah-naskah berbagai daerah di Indonesia (Nusantara).

Setelah mempelajari materi ini diharapkan Anda dapat menjelaskan:

1. perbedaan makna istilah naskah dan teks sebagai suatu istilah dalam kajian

filologi.

2. situasi dari aksara pernaskahan di Indonesia.

Agar uraian ini lebih lengkap, dalam materi ini diberikan beberapa contoh

aksara daerah dan beberapa keunikan naskah yang disertai dengan ilustrasi

(gambar). Berhubung naskah Nusantara sangat banyak, dalam bagian ini akan

diuraikan tujuh daerah saja. Hal itu bukan berarti hanya tujuh daerah itu saja yang

memiliki naskah. Pemilihan itu terbatas pada kemudahan pencarian data

penelitian. Pernaskahan ketujuh daerah itu adalah naskah Melayu, naskah Batak,

naskah Lampung, naskah Bugis (Sulawesi Selatan), naskah Jawa, naskah Sunda,

dan naskah di Bima.

A. Pengertian Naskah dan Teks

Saat Anda mempelajari filologi dan Anda niendengar kata naskah, apa

yang muncul dalam benak Anda? Apakah naskah drama, naskah pidato, atau

naskah buku yang siap dicetak? Kalau kata-kata itu yang muncul, berarti Anda

salah dan Anda harus menyingkirkan pengertian vang seperti itu beberapa lama

karena dalam filologi istilah naskah berbeda dengan pengertian di atas. Kalau

begitu apa yang dimaksud dengan naskah?

Dalam filologi naskah dibedakan pengertiannya dengan teks. Teks

adalah apa yang terdapat di dalam naskah, yaitu isi naskah atau kandungan

naskah, sedangkan naskah adalah wujud fisiknya, kumpulan kertasnya. Di

bavvah ini akan diuraikan perbedaan kedua istilah tersebut dengan lebih

terperinci.

1. Pengertian Naskah

Istilah naskah dalam filologi adalah terjemahan dari codex yang berasal

dari bahasa Latin. Kata itu pada awalnya dipakai dalam hubungannya dengan

pemanfaatan kayu sebagai alat tulis karena kata itu pada dasarnya berarti 'teras

batang pohon'. Kemudian di dalam berbagai bahasa kata itu dipakai untuk

menunjukkan suatu karya klasik dalam bentuk naskah. Naskah dalam pengertian

itu adalah hasil tulisan tangan yang berasal dari abad yang lalu sebelum dikenal

mesin cetak (Mulyadi 1994:1). Ada pakar yang menyebutkan bahwa batas

minimal suatu tulisan tangan dikatakan naskah jika telah berumur di atas 100

tahun.

Sebenarnya istilah naskah seperti yang dinyatakan dalam Kamus Besar

Bahasa Indonesia adalah karangan yang ditulis tangan. Pengertian itu sangat

umum tidak mementingkan apakah tulisan tangan ituTarna atau bam. Pada

perkembangannya kemudian is rilahitu dalam filologi telah mengalami pergeseran

berupa penyempitan arti sehingga kata itu hanya mempunyai pengertian sebagai

karya yang ditulis tangan dan berasal dari abad yang lalu. Akan tetapi, pada

perkembangannya kemudian filologi tidak menutup kemungkinan untuk

diterapkan pada naskah cetakan. Namun, tujuan yang hendak dicapai sama dengan

filologi.

Baried (1985:54) mendef iniskan naskah sebagai tulisan tangan

yangmenyimpan berbagaiungkapanpikiran dan perasaan sebagai

hasilbudayabangsa masa lampau.

Dalam bahasa Belanda, naskah disebut handschrift dan

handschriften bentuk jamakriya yang sering disingkat dengan hss. Dalam,bahasa

Inggris naskah disebut manuscript dan manuscripts adalah bentuk jamaknya

yang sering disingkat dengan, mss. Dalam bahasa Indonesia istilah itu cukup

disebut dengan naskah saja atau kadahg-kadang ada yang menyebutnya dengan

manuskrip (ditulis sudah dengan ejaan bahasa Indonesia). Dalam buku yang

sama Zoetmulder mengatakan bahwa khusus untuk naskah Jawa Kuna, naskah

disebut haras. Naskah Jawa memakai lontar dan kertas. tradisional yang disebut

dluwang. Tentu saja kertas Eropa juga dipakai dalam naskah Jawa.,

Jadi, dari beberapa pendapat di atas dapat dikatakan bahwa naskah

mengacu pada bahan atau alas tulis naskah merupakan bentuk fisik atau bentuk

konkret, benda yang dapat dipegang atau dilihat.

Di Indonesia berbagli daerah menggunakan bahan yang berbeda untuk

menuangkan ide pikirannya ke dalam bentuk naskah-Ada yang menggunakan

Iontar (naskah yang berasal dari sejenispohonpalma), kertas (kertas tradisional

dan kertasEropa),kuhtbinatahg, kayu, dan batu.Pahkanbeberapanegara

mempunyai kekhasart dalam penggunaan naskah sebagai bahan. Gaur (1974:4—

9), di antaranya, menguraikan bahwa berbagai tulisan ada yang diabadikan di

atas bambu, seperti di Cina; daunpalma digunakan di India dan '&«a Tenggara;

papiras digunakan di Mesh"; baja, linen, dan sutra serta perkamenidjgimaj&jm

di Iran dan bagian timur lainnya; di sampmg itu rnasih ada juga beberapa iilisan

yang ditulis di atas batu-batuan, hiking, gading,. dan kulit binatang.

Jika naskah juga menggunakan batu sebagai alat tulis, kemudian timbul

pertariyaan dalam benak Anda, apa bedahya naskah dengan prasasti karena,

prasasti juga ditulis di atas batu? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, menurut

Baried ada tigabutir yang dapat membedakan naskah dan prasasti.

Pertama, naskah pada umumnya panjang karena ia dapat berbentuk

cerita, sedangkan prasasti umumnya pendek karena ia hanya memuat soal-soal

yang ringkas. Kedua, prasasti umumnya menyebutkannama penulisnya bahkan

lengkap dengan angka tahun, tetapi dalam naskah umumnyaanonim dan tanpa

penyebutan tahun penulisan. Kebga, naskah biasanya beriurhlah banyak karena

ia disahkan beberapa kali, sedangkan prasasti tidak disaliniagi. .

Selain dari bahan yang dipakai sebagai sarana tulisan seperti yang sudah

diuraikan di atas, sebenarnya apasaja yang menjadi bagian atau unsur-unsur

dalam naskah? Yang terlihat pada kita adalah naskah dalam wujud fisiknya,

seperti kertas. Namun, sebenarnya banyak unsur yang dapatdikaji dajamhaskah,

yakni semua hal yang berhubungan dengan bahan itu, misalnya alat-alat yang

dipakai untuk menulis, seperti, tinta;pensile dan pena, alas, tulis (seperti.kertas

yang meirtiliki cap kertas dan lontar), huruf, ilustrasi, uurrunasi (gambaf),

penjilidan, dan inf orrnasi Iain yang ada di luar isi teks, misalnya sejarah

pernaskahan. Tinta ada yang dibuat dari bahan-bahan tradisional, yaitu dari

berbagai tumbuhan bahkan datah bihatang, ada juga tinta Eropa. Demikian juga

dengan alat tulis, di beberapa daerahhdi dari pohon aren atau enau digunakan

sebagai alat tulis, tetapi ada juga yang sudah menggunakan alat tulis yang

dibuat oleh orang Eropa. Kajian dari proses pembuatan naskah itu merupakan

bidang kajian tersendiri, yaitu kajian pernaskahan atau istilahnya kajian

kodikologi. Mulyadi (1994) mengatakan bahwa ilmu pernaskahan adalah ilmu

yang mengkaji naskah, bukan ilmu yang mempelajari apa yang tertulis di

dalam naskah. Tugas yang dilakukan bidang kajian ini adalah sejarah naskah,

sejarah koleksi naskah, penelitian tempat (skrip torium),

masalah penyusunan katalog, penyusunan daftar katalog, perdagangan

naskah, dan penggunaan naskah. Informasi yang lebih mendalam tentang

naskah ini akan dibahas dalam modul4, yaitu tentang kodikologi atau ilmu

penaskahan. Penelitian , kodikologi belum berkembangdi Indonesia, tetapi sudah

mulai dirintis, seperti Maria Indra Rukmi (1997) Penyaiinan Naskah Melayu di

Jakarta pada Abad XIX: Naskah Algemeene Secretarie: Kajian dari segi

kodikologi dan I Kuntara Wiryamartana (BKI:149, 1993) The Scriptoria in The.

Merbabu Area.

2. Pengertian Teks

Kalau naskah adalah bentuk fisik yang dapat dipegang, teks adalah isi

yang ada dalam bentuk fisik itu yang umumnya berupa id&4de atau gagasan

yang ingin disampaikan pengarang. Untuk memperjelas definisi itu dikutip

kembali apa yang disampaikan Baried (1985;56) tentang teks. Ia mengatakan

bahwa teks adalah kandungan atau muatan naskah, sesuatu yang abstraknya yang

hanya dapat dibayangkan

saja. Perbedaan antara naskah dan teks menjadi jelas apabila

terdapafnaskah yang muda, tetapi mengandung teks yang tua. Ilustrasi yang

dibuat oleh Muiyadi (1994:3) berikut ini diharapkan dapat memperjelas

perbedaan antara naskah dan teks. Satu naskah dapat saja terdiriatas, beberapa

teks, umpamanya naskah yang berjudul Syair PerangKalwungu bernomor ML198F

yang terdapat dalam koleksi Perpustakaan Nasiohal (Sutaarga dan Jusuf et. al:

1972:241). Dalam naskah itu terdapat enam teks, yaitu (1) Hikayat Maharaja Ali,

hlm.l -33 ditulis dengan huruf Arab Melayu (Jawi) (2) Hikayat, Darma Taisiah,

him. 33-42 juga ditulis dengan huruf Jawi, (3) Hikayat Abu Samah hlm.43-67 ditulis

dengan huruf Latin, (4) Syair Kumkuma/ hlm 68-71 ditulis dengan huruf Latin, (5)

Hikayat ]entayu, h]m. 71 — 85, ditulis dengan huruf Latin,dan (6) Syair Perang

Kaliwungu, hlm.86 — 174, juga ditulis dengan huruf Latin. "

Sebaliknya satu teks dapat ditulis dalam beberapa naskah. Misalnya

Hikayat Negeri Johor ditulis dalam 8 naskah (Mu'jizah, 1996), Naskah dengan judul

Hikayat Negeri Johor itu ada dua buah yang disimpan di Perpustakaan Nasional,

Jakarta, yaitu naskah W. 192 dan haskah W 196 Jtfaskah dengan judul yang sama

terdapat juga tiga buah dalam koleksi Perpustakaan Universitas Leiden, Belahda,

yaitu bernomor Cod. Or; 1741, Cod. Qr3322,.dan H.24. Perpustakaan SQAS

(School of Oriental and Affrican Studies), London, menyimpan dua naskah, yaitu nomor

Ms.40507 dan norridr Ms. 297498, Perpustakaan Royal Asiatic Society (London,

Inggris) menyimpan satu naskah Hikayat Negeri Johor dengan nomor Malay 10.

Mengapa hal seperti itu terjadi, teks yang sama ditulis dalam beberapa

naskah atau dalam satu naskah terdapat beberapa teks, seperti yang dicontohkan di

atas? Jawabannya adalah bahwa proses terjadinya sebuah naskah atau teks

kadangkala sangat rumit. Kerumitan itu terjadi karena naskah ditulis tangan

sehingga produksinya tidak banyak, tidak sama dengan mesin cetak, satu teks

dicetak langsung dalam ratusan naskah (eksemplar).

Berikut ini digambarkan contoh terjadinya sebuah naskah atau teks. Suatu

teks dari karya seorang pengarang kadangkala tidak berhenti setelah teks itu

dicipta menjadi sebuah naskah. Kadangkala teks tersebut menempuh perjalanan

yang panjang. Suatu teks yang sudah dicipta kadangkala dijadikan dasar atau

sumber bagi penciptaan teks yang baru yang benar-benar sama dengan aslinya.

Namun, kadangkala teks itu tidak sama hasilnya atau berubah. Hal itu terjadi

karena pada saat itu sang pencipta tidak hanya menulis dengan menggunakan satu

sumber, tetapi beberapa sumber. Dari beberapa sumber itu, kemudian ia

menggabungkannya menjadi sebuah teks baru. Pada saat itu, sang pencipta sudah

menambah dan mengurangi teks yang ditulisnya sehingga terjadi teks yang sama

sekali baru. Teks baru itu tercipta karena penulis sudah mulai menambahkan

kreativitasnya ketika menulis. Berdasarkan hal itu, dalam filologi dikenal tradisi

penyalinan teks, yaitu tradisi tertutup dan tradisi terbuka. Robson (1978:39 — 40)

menyebutkanbahwa dalam tradisi terbuka penurunan naskah tidak terbatas hanya

pada satu garis (naskah) saja, sedangkan dalam tradisi tertutup penurunan naskah

terbatas hanya pada satu garis (naskah) saja. Hasil penyalinan dalam tradisi

tertutup adalah teks yang sama (merupakan varian dari satu teks) dalam beberapa

naskah, sedangkan hasil dalam penyalinan terbuka teks yang lain (versinya

berbeda) terdapat dalam beberapa naskah.

Karena diturunkan dari satu teks ke teks lain, kadangkala terjadi kesalahan

penulisan. Berdasarkan kesalahan inilah penurunan suatu teks dapat dilacak.

De Haan pada tahun 1973, melalui Robson (1978), menguraikan 3 (tiga)

kemungkinan terjadinya suatu teks.

(1) Aslinya teks hanya ada dalam ingatan pengarang atau pengelola cerita.

Penurunan cerita terjadi secara terpisah yang satu dari yang lain melalui dikte.

Teks itu terjadi apabila seseorang ingin memiliki teks tersendiri. Setiap kali

teks diturunkan terjadi variasi. Variasi itu terjadi selama pengarang

menurunkan teksnya kepada seseorang karena setiap kali mendiktekan teks

terjadi perkembangan cerita. Oleh sebab itu, variasi terjadi selama pengarang

itu masih hidup.

(2) Teks asli ada dalam bentuk tertulis yang bentuknya lebih kurang merupakan

kerangka yang masih memungkinkan atau memerlukan kebebasan seni. Dalam

hal ini, ada kemungkinan bahwa aslinya disalin begitu saja dengan tambahan

seperlunya. Kemungkinan lain ialah aslinya disalin, dipinjam, diwarisi, atau

dicu ri dan terjadilah cabang tradisi kedua atau ketiga di samping yang telah

ada karena varian-varian pembawa cerita d'imasukkan. (3) Teks aslinya

merupakan teks yang tidak mengizinkan kebebasan dalam pemba waannya

karena pengarang telah menentukan piiihan kata, urutan kata, dan komposisi

untuk memenuhi maksud tertentu yang ketat. Sehubungan dengan ketigahalitu,

dalam penurunan teks dikenaljugacampuran horizontal (horizontal contamination)

dan campuran vertikal (vertical contamination), Penurunan dalam campuran

horizontal terjadi pada tradisi terbuka, sedangkan penurunan vertikal terjadi

pada tradisi tertutup. Penurunan teks "dengan campuran horizontal terjadi jika

penyalin tidak seialu menyalin teks dari satu contoh saja. Hal itu terjadi karena

teksnya sering rnenunjukkan ketidaksempurnaan, maka penyalin mencari

sumber-sumber lain dan penyalin mengambilnya juga sebagai sumber

penyalinan. Kemudian ia memilih bacaan yang baik atau bagian-bagian

tertentu yang menarik lain memasukannya ke dalam teks yang disalinnya.

Penurunan teks dengan campuran vertikal adalah jika penyalin menyalin teks

berdasarkan satu sumber saja. Penyalin dengan setia menyalin sumber itu apa

adanya, termasuk menyalin kesalahan-kesalahan dalam teks sumber tersebut.

Hasilnya satu naskah yang hampir sama dengan naskah turunannya.

(a) contoh campuran horizontal

(b) contoh campuran vertikal

A

B

C

Setelah rrtengetahui tradisi penurunan teks, kita kembali pada esensi

sebuah teks. Bagaimanakah bentuknya dan apa saja isinya? Kalau

melihatbentuknya, teks dapat berbenmk puisi (tembang untuk Jawa, syair dan

pantun untuk Melayu) dan prosa. Keduanya mempunyai aturan-aturan tertentu,

pantun misalnya dalam teks Melayu terdiri atas 4 larik. Larik 1 dan 2 berisi

sampir^an dan larik 3 serta 4 merupakan isinya. Pantun juga mempunyai rima

tertentu a-b-a-b. Demikian pula dengan puisi (tembang) dalam teks Jawa yang

mempunyai matra tertentu, misalnya mempunyai guru wilangan dan guru lagu.

Bentuk sebuah teks menarik untuk dikaji oleh masyarakat masa kini,

begitu juga halnya dengan isi teks atau gagasan yang ada dalam sebuah teks. Apa

yang dapat disumbangkan teks itu bagi kehidupan masyarakat saat ini? Banyak

naskah Nusantara yang membicarakan sejarah masa lalu. Data itu sangat penting

untuk merangkai sejarah suatu daerah, misalnya Hikayat Bandjar (Melayu) dapat

dipakai untuk penyusi man sejarah daerah Banjarmasin, Sejarah Melayu dapat

dipakai untuk penyusunan s ejarah masyarakat Melayu. Demikian juga dengan

Hikayat Radja-Radja Pasai, i&i dalam hikayat itu dapat mengungkap dan

mengidentifikasikan sebuah makam yang ada di daerah Pasai. Babad Buleleng dapat

dipakai untuk mengungkap sejarah masyarakat Bali, Hikayat Dipati Ukur untuk

melihat sejarah dan tokoh sejar. ah dari masyarakat Sunda, Kaba Minagkabau juga

dapat mengungkap data tentang masyarakat Minangkabau pada masa lalu. Masih

sederet teks yang dapat mengungkap sejarah daerah masing-masing. Apakah

daerah Anda kira-kira memiliki naskah sejenis itu? Kalau memilikinya, naskah itu

menarik untuk diteliti karena di dalam naskah itu terdapat teks yang mengandung

data sejarah masa lampauyang da pat dipakai untuk merekonstruksi sejarah masa

kiniyang merupakan lanjutan dari sejarah masa lalu. Akan tetapi, satu hal yang

harus diingat dalam penggunaan tek s sebagai data sejarah, yaitu peneliti harus

berhati-hati sekali walau bagaimana pun karya-karya tersebut sudah memadukan

antara fakta dan fiksi, antara kenyataai Y dan dunia rekaan. Untuk itu, diperlukan

dokumen-dokumen lain sebagai pembanding untuk membuktikan unsur

sejarahnya.

Anda masih mengingat cerita-cerita lucu peninggalan nenek moyang kita?

Cerita Pak Belalan g berasal dari Melayu, Joko Bodo berasal dari Jawa, dan Si Kabayan

dari Sunda. Cerita-cerita itu pada dasarnya bukan hanya bersif at menghibur

karena kelucuan tingkah laku tokohnya, tetapi juga dapat bersifat mendidik

pembaca. Sama halnya dengan cerita-cerita binatang yang sangat cerdik yang

ditemukan dalam Hikayat Sang Kancil dan Hikayat Pelanduk Jenaka dari Melayu.

Selain kedua h al di atas, naskah undang-undang juga sangat penting

diketahui karena kalau undang-undang itu digunakan dan penting pada

masyarakat masa lampau berarti undang-undang itu penting juga diketahui bagi

masyarakat masa kini. Dalamkhazanvh Melayu banyak ditemukannaskah-naskah

seperti itu, Undang-Undang Malaka, Ado t-adatRaja Melayu, dan Undang-undang Palembang.

Masyarakat Minangkabau pun memiliki undang-undang untuk mengatur segala

aspek kehidupan masyara katnya di masa lalu, seperti Undang-undang Minangkabau.

Bahasa sebagai sarana pengungkap ide juga dapat diteiiti dalam teks-teks

lama.

Bahasa dengan struktur yang bagaimana yang mereka gunakan dulu? Untuk

keperluan itu, beberapa pakar bahasa juga banyak yang tertarik dengan teks,

terutama untuk melihat sejarah perkembangan bahasa. Suwarso (1991) pernah

mengkaji struktur gramatika bahasa Melayu Jama dalam Hikayat Abu Samah. Tiga

hal yang menjadi perhatiannya, yaitu (1) penggunaan partikel penghubung, seperti

mdka, kemudian maka, kalakian maka; (2) konstruksi kalirnat yang menggunakan

partikel pun dan lah; (3) penggunaan klausa dan f rasa. Konstruksi seperti itu

apakah

masih digunakan dalam bahasa Indonesia saat ini? Hal itu merupakan pertanyaan

yang patut dijawab oleh pakar bahasa yang menekuni sejarah perkembangan suatu

baliasa. '

Naskah yang teksnya berisi masalah keagamaan juga sangat banyak

diperha tikan peneliti, baik dari dalam maupun dari luar negeri. Dalam naskah

keagamaan tersimpan sejarah pemikiran dan pandangan hidup suatu bangsa

Kehidupan sastra keagamaan di Aceh pada abad ke-17, misalnya, banyak

mengundangbeberapa peneliti karena di daerah itu hidup empat orang suf i yang

terkenal, yaitu Shamsuddin as-Suma Irani, Hamzah Fansuri, Abdul Rauf Singkel,

dan Nurudin ar-Raniri. Perdebatan pendapat di antara mereka tentang hubungan

antara manusia dan Tuhan banyak direkam dalam karya-karya mereka. Abdul

Hadi W.M. (1995), misalnya, tertarik dengan kehidupan Hamzah Fansuri dan

kepenyairannya. Ia meneliti penyajr itu. Penelitiannya diberi judul Hamzah Fansuri:

Risalah Tasawuf dan Pitisi-pu isinya. Buku itu memberikan gambaranyang luas

tentang penyair itu, mulai dari kehidupannya sampai dengan pemikiran-

pemikirannya.

Teks-teks yang berbentuk cerita, seperti beberapa karya yang sudah

disebutkan di atas banyak juga dikaji dengan berbagai pendekatan tergantung

pada teksnya. Teks sastra misalnya dikaji dengan pendekatan struktural.

Pendekatan ini lebih banyak menyoroti teknik penceritaan, misalnya alur, tokob

dan penokohan, latar, sudut pandang. Kalau teks berbentuk puisi yang diteiiti

biasanya gaya bahasa, perlambangan, dan rima, atau stilistikanya. Di samping itu,

masih banyak lagi pendekatan lain yang dapat diterapkan. Berbagai kajian atas

naskah dengan berbagai pendeka tan yang pernah diterapkan terhadap berbagai

teks Nusantara akan dibahas khusus pada modul 6, yaitu aneka edisi naskah

Nusantara dan kajiaroiya.

Setelah mengetahui uraian di atas, tentunya Anda yang berasal dari

berbagai daerah di Indonesia juga memiliki khazanah kesastraan dari masa lalu.

Dari berbagai naskah itu banyak butir penting yang patut Anda gali untuk

kepentingan daerah Anda masing-masing. Untuk itu, cobalah meneliti dan

menggali isinya.

Setelah Anda mengikuti uraian di atas dan memahaminya, di bawah ini

diberikan beberapa pertanyaan sebagai latihan. Latihan ini dapat dipakai sebagai

titik tolak keberhasilan Anda dalam memahami materi.

1) Apa yang Anda ketahui tentang naskah?

2) Jika Anda tertarik dengan naskah, apa saja yang dapat Anda kaji?

3) Apa yang Anda ketahui tentang teks?

Petunjuk jawaban Latihan

Jika Anda telah selesai mengerjakan jawaban dari beberapa pertanyaan di

atas, periksalah kembali jawaban Anda dengan memperhatikan rambu-rambu

jawaban di bawah ini.

1) Naskah merupakan terjemahan dari codex yang berasal dari bahasa Latin. Kata

itu berarti 'teras batang pohon' dan dipakai dalam hubungan dengan

penianfaatan kayu sebagai alat tulis. Kemudian di dalam berbagai bahasa kata

itu mengacu pada suatu karya klasik dalam bentuk naskah. Dengan begitu,

pengertian naskah dapat diartikan sebagai hasil tulisan tangan yang berasal

dari abad lalu sebelum dikenal mesin percetakan. Tulisan tangan itu

digoreskan di atas sebuah alas yang disebut dengan naskah. Alas naskah itu

bermacam-macam bahan dasarnya, ada yang berasal dari kayu, kulit, bambu,

dan kertas. Dengan begitu, naskah adalah sesuatu yang dapat dipegang dan

bentuknya konkret. Dalam bahasa Belanda naskah disebut dengan handschrif,

sedangkan dalam bahasa Inggris disebut dengan manuscript.

2) Jika ingin mengkaji naskah, kita dapat memperhatikan beberapa unsur yang

berhubungan dengan naskah, seperti alas naskah, alat yang dipakai untuk

menulis, huruf, cap kertas, ilustrasi, iluminasi, penjilidan, sejarah pernaskahan,

penyalin, dan tempat-tempat penyalinan (skriptorium), serta informasi lain

yang ada di luar isi naskah.

3) Yang dimaksud dengan teks adalah isi naskah atau kandungan yang ada dalam

naskah, yaitu berupa ide atau gagasan yang ingin disampaikan pengarang.

Teks adalah sesuatu yang abstrak yang hanya dapat dibayangkan saja.

Dalam bagian ini diuraikan dua istilah dasar yang dikenal dalam filologi.

Kedua istilah itu adalah naskah dan teks. Naskah adalah hal yang konkret yang

dapat dipegang, misalnya alas tulis (kertas) yang dipakai untuk menulis. Di atas

alas itulah seorang pengarang menuangkan gagasan-gagasannya.

Yang menjadi unsur dalam naskah adalah hal yang berkaitan dengan fisik

naskah, misalnya alas naskah yang digunakan (kertas, kayu, bambu), tinte, pensil,

dan pena, huruf, kolofon, ilustrasi, Uuminasi (gambar), penjilidan, dan informasi

lain yang ada di luar isi teks, misalnya sejarah pernaskahan. Tugas yang dilakukan

bidang kajianini adalah sejarah naskah, sejarah koleksi naskah, penelitian tempat-

tempat penyalinan naskah (skriptorium), masalah penyusunan katalog,

penyusunan daftar katalog, perdagangan naskah, dan penggunaan naskah.

Teks adalah isi atau kandungan yang ada dalam naskah. Kandungan itu

berupa ide atau gagasan yang ingin disampaikan pengarang. Oleh sebab

itu,Uiksbersifatabstrakyanghanyadapatdibayangkansaja.Teksbermacam-macam,

ada yang berisi sejarah, keagamaan, bahasa, cerita, silsilah, adat-istiadat. Dalam

kajian teks digunakan berbagai pendekatan sesuai dengan sifat teks.

Indonesia terdiri atas berbagai daerah dengan ragam bahasa dan aksaranya.

Dengan demikian Indonesia sangat kaya dengan naskah. Di Sumatra terdapat

naskah-naskah dengan aksara dan bahasa masing-masing, seperti Aceh, Batak,

Minangkabau, Kerinci, Riau, Siak, Palembang, Bengkulu, Pasemah, dan

Lampung. Demikian pula di Kalimantan, naskah ditemukan di daerah Sambas,

Pontianak, Banjarmasin, dan Kutai. Pulau Jawa memiliki naskah di daerah

Banten, Jakarta, Pasundan, Cirebon, Yogyakarta, Surakarta, Gresik, Madura dan

beberapa daerah pegunungan di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di Bali naskah

masih terus dibuat di hampir seluruh daerah. Nusa Tenggara Barat juga memiliki

naskah, seperti Lombok, Bima, Sumbawa, dan Dompu. Di sepanjang kepulauan

Indonesia Timur naskah ditemukan di Ternate dan Ambon. Di Sulawesi naskah-

naskah ditemukan di daerah Bugis, Makasar, dan Buton.

Dari sekian banyak kekayaan pernaskahan Indonesia, di mana sajakah

naskah tersebut disimpan? Pada saat ini naskah-naskah di atas penyimpanannya

yang pasti tersebar di berbagai tempat, baik di dalam maupun di luar negeri. Di

dalam negeri naskah-naskah daerah disimpan di berbagai perpustakaan dan

lembaga resmi milik pemerintah dan swasta. Selain itu, beberapa penduduk atau

perorangan juga memiliki naskah yang mereka simpan di rumah mereka. Naskah

yang mereka miliki biasanya merupakan warisan dari orang-orang tua mereka

terdahul. Naskah yang disimpan dan menjadi milik lembaga pemerintah atau

swasta mungkin tidak terlalu mengkhawatirkan pemeliharaannya. Mereka sudah

memperhatikan pemeliharaan itu dan mereka mempunyai dana khusus untuk

keperluan itu. Namun, naskah yang menjadi milik pribadi atau perorangan yang

tersebar luas di masyarakat inilah yang sangat mengkhawatirkan. Naskah yang

harus disimpan di tempat khusus, disimpan di tempat yang tidak layak untuk

naskah. Bahkan ada yang menyimpannya dengan membungkusnya dalam plastik.

Dengan begitu, naskah menjadi cepat rusak. Naskah agar terpelihara dengan baik

dan tidak cepat punah dimakan ngengat (sejenis serangga pemakan buku) disimpan

pada suhu tertentu.Yang menyedihkan lagi sampai saat ini masyarakat berbagai

daerah di Indonesia masih menganggap naskah itu sebagai barang keramat. Untuk

membacanyasajaperludiadakahupacara. Akibatnya, naskah jarangdibuka sehingga

kemushahannya semakin tinggi.

Jakarta, ibukota negara, mempunyai satu tempat penyimpanan naskah,

yakni Perpustakaan Nasional. Berbagai naskah daerah disimpan di perpustakaan

ini dengan a man. Di tempat itu disimpan 9.626 naskah yang ditulis dalam

berbagai bahasa dan aksara, seperti Aceh, Bali, Batak, Jawa,Jawa Kuna, Madura,

Melayu, Sunda, dan Ternate.

Perpustakaan Nasional, saat ini, terletak di Jalan Salemba Rava, Jakarta.

Pemakaiannya baru diresmikan pada tahun 1989. Perpustakaan itu memiliki ruang

khusus di lantai V yang menyimpan berbagai naskah daerah tersebut. Naskah-

naskah itu sebelumnya disimpan di Perpustakaan Museum Pusat atau Gedung

Gadjah, Jalan Merdeka Barat, Jakarta. Naskah itu pada awalnya milik Bataviaasch

Genootschap van Kunsten enWetenschappen. Dalam Pedcman Singkat Mengoendjoengi

Moeseoem (1948:7 — 33) dijelaskan bahwa pada akhir abad XVII di Eropa tampak

adanya suatu kegiatan dan pembaruan dalam bidang ilmu. Sehubungan dengan

itu, di berbagai negara didirikan perkumpulan-perkumpulan sarjana. Dari

perkumpulan yang ada di Belanda didirikan satu cabang di Batavia (Jakarta) tahun

1778, yaitu Bataviaasch Genootsclmp van Kunsten en Wetenschappen.

Menurut Van Ronkel (1909:1 — IV) koleksi naskah di gedung itu berasal

dari berbagai sumber, di antaranya adalah naskah-naskah yang disusun dalam

katalogus Cohen Stuart tahun 1871. Pada tahun 1875 koleksi bertambah lagi.

Tambahan itu dibuat daftarnya oleh Van den Berg. Di samping itu, Von de Wall

juga menghibahkan koleksmya ke perpustakaan tersebut di atas.

Bukan hanya di dalamnegeri saja naskah-naskah Indonesia disimpan,

melainkan juga di luar negeri, seperti Inggris, Belanda, Perancis, Amerika,

Jerman, dan Malaysia. Bagaimana naskah-naskah itu sampai tersebar ke berbagai

negara di atas? Penyebaran naskah itu dilakukan dengan berbagai cara. Inggris

misalnya, dalam perjalanan sejarah Indonesia, pernah menjajah sebagian kawasan

.Asia Tenggara, termasuk Indonesia dan Malaysia. Berdasarkan sejarah masa

lampau itulah naskah-naskah dari kedua negara itu sangat banyak dikoleksi di

negara itu. Naskah-naskah yang tersimpan di Inggris dicatat dengan teliti dalam

katalog vang disusun oleh Ricklefs dan Voorhoeve (1977), Indonesian Manuscripts in

Great Britain: A Catalogue of Manuscripts in Indonesian Languages in British Public Collection.

Dalam katalogus itu tercatat 1.200 naskah yang disimpan pada tempat yang

tersebar di kota-kota di negara itu, di antaranya Bristol, London, Cambridge,

Eidenburgh, Manchester, Oxford, dan Glasgow.

Sama halnya dengan Inggris, Belanda pun pernah menjajah Indonesia.

Oleh sebab itu, naskah-naskah Indonesia sangat banyak tersimpan di sana.

Katalog yang mencatat naskah-naskah Indonesia di Belanda, di antaranya katalog

yang disusun oleh Juynboll (1899), Catalogus van de Maleische' en Sundaneesche

Handschriften der Leidsche Universiteits Bibliotlieek dan katalog yang disusun oleh Van

Ronkel (1909) Catalogus der Maleische en Minangkabausclie Handschriften in de Ixidsdie

Universiteits-

Bibliotheek. Katalog yang paling baru yang mencatat koleksi naskah di

Belanda adalah yang disunting oleh Wieringa (1998) Catalogue of Malay and

Minangkabau Manuscripts: In the Library of Leiden University and other

Collections in the Netherlands. Naskah-naskah yang dicatat dalam katalog itu

disimpan di Perpustakaan Universitas Leiden. Selain di tempat itu, Perpustakaan

KITLV ( Koninklijk Instituut voor Taal Land en Volkenkunde) juga

merupakan tempat penyimpanan naskah-naskah Indonesia di Belanda.

Untuk mengetahui naskah kekayaan Indonesia, berikut ini diuraikan

beberapa situasi pernaskahan daerah. Karena beragamnya naskah daerah, dalam

bagian ini hanya akan diuraikan beberapa daerah saja. Seperti yang sudah

diuraikan di atas daerah di Indonesia sangat banyak yang memiliki naskah. Dalam

uraian ini diambil beberapa naskah daerah yang pernah diteiiti oleh pakar.

Berdasarkan penelitian itulah situasi pernaskahan disusun. Naskah itu adalah

Melayu, Batak, Lampung, Bugis, Jawa, Sunda, dan E5ima. Bahasa Melayu

penyebarannya sangat luas sehingga terdapat di berbagai daerah di Indonesia.

Oleh karena itu, naskah Melayu akan diuraikan pada bagian awal, kemudian

disusul dengan beberapa daerah lain.

3. Pernaskahan Nusantara

a. Naskah Melayu

Bahasa Melayu tersebar di berbagai daerah, seperti di Aceh, Minangkabau,

Siak, Riau, Palembang, Bengkulu, Jakarta, dan Bima. Masing-masing daerah itu

memiliki naskah yang ditulis dengan aksara Arab Melayu (Jawi) dalam bahasa

Melayu yang dipengaruhi oleh bahasa daerah masing-masing. Oleh karena tempat

asalnya berbeda, penyebaran dan penyimpanannya pun tersebar di berbagai

tempat. Ada yang disimpan di berbagai perpustakaan, museum, dan di rumah

penduduk sebagai milik pribadi yang merupakan warisan dari para orang tua

mereka. Penyimpanan terbesar yang ada di Indonesia untuk naskah Melayu adalah

Perpustakaan Nasional, Jakarta, dan di luar negeri adalah Perpustakaan Universi-

tas Leiden, Belanda.

Untuk mengetahui jumlah naskah Melayu, biasanya masing-masing

tempat penyimpanan naskah membuat daftar atau katalog naskah. Perpustakaan

Nasional menerbitkan katalog terbaru tahun 1998 yang memuat seluruh

koleksinya dari berbagai bahasa. Katalog itu berjudul Katalog Induk Naskah-

naskah Nusantara Mid 4: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia,

diterbitkan oleh Yayasan Obor dan Eeole Francaise d'Extreme-Orient.

Sebelumnya para peneliti masih berpegang pada katalog yang diterbitkan oleh

Sutaarga yang berjudul Katalogus Koleksi Naskah Melayu Museum Pusat,

1972. Katalog itu disusun berdasarkan katalog tertua yang disusun oleh Van

Ronkel (1909), Catalogus der Maleische Handschriften in het Bataviaasche

Genootschap van Kunsten en Wetenschappen.

Menurut Ding Choo Ming (1986) naskah Melayu sebagian besar berasal

dari salinan abad ke-19 meskipun ada beberapa naskah yang lebih tua dari abad

itu disimpan di Perpustakaan Universitas Cambridge dan Perpustakaan

Universitas Oxford. Hal itu diketahui melalui daf tar-daf tar naskahyang dibuat

oleh F. Valentijn. Sayangnya, naskah yang disebutkan dalam daf tar tersebut

sudah ada beberapa yang hiiang. Hilangnya satu atau beberapa naskah dalam

pernaskahan Melayu dapat terjadi baik disengaja maupun tidak disengaja.

Rusaknya naskah karena bahan naskah terlalu tua tidak dapat dihindari, tetapi

penghancuran naskah dengan sengaja kadangkala terjadi. Peristiwa seperti itu

misalnya terjadi pada masa kesultanan Melayu di Pasai atau di Aceh,. yaitu

pembakaran naskah. Karya-karya Shamsuddin Pasai pada abad ke-17 sengaja

dibakar di Aceh karena ajarannya dianggap bertentangan dengan ajaran Nuruddin

ar-Raniri.

Dalam kondisi yang seperti itu satu keuntungan bagi naskah Melayu

adalah dengan hadirnya beberapa orang Eropa ke Nusantara. Karena mereka,

banyak naskah yang aman tersimpan dalam berbagai koleksi, terutama di Eropa.

Hal itu terjadi karena sambil menjalankan tugas pemerintahan mereka belajar

bahasa Melayu. Sambil belajar bahasa,merekatertarik dengan naskah yangmereka

pelajari. Oleh karena itu, mereka mengoleksi dan memeliharanya selama dua abad

sehingga naskah tersebut aman sampai saat ini. Akan tetapi, sayangnya tempat

koleksi itu sangat teisebar, misalnya di Inggris, Belanda, Malaysia, dan Jerman

sehingga peneliti agak sulit menjangkaunya.

Mengapa naskah Melayu itu tersebar di negara-negara tersebut?

Penyebaran tersebut terjadi seiring dengan hadirnya pemerintah kolonial di tanah

Melayu misalnya Riau. Riau pada zaman dahulu jaya sebagai kemaharajaan

Melayu dart kerajaan Riau-Lingga pernah menjadi pusatnya. Pada masa lalu di

tempat itu penyalinan dan penciptaan naskah turnbuh subur. Kerajaan menjadi

pusat kegiatan kesastiaan. Di tempat itulah naskah banyak disalin. Roorda van

Eysinga datang ke daerah itu ingin belajar bahasa Melayu Beberapa tahun

kemudian ia sudah mahir mempelajari bahasa dan kesastraan Melayu. Ia pun

kemudian mengoleksi beberapa naskah tersebut. Untuk koleksinya, mereka bukan

hanya meminta penyalin lokal untuk menulis, tetapi juga penyalin Eropa. Untuk

koleksi, mereka juga membeli naskah. Kegiatan seperti itu sudah tersebar di

beberapa bagian tanah air seperti Von de Wall dan A.L. van Hasselt di Riau,

Crawford di Penang, Malaka, dan General Sekretariat di Batavia. Naskah salinan

General Sekretariat banyak dikirim ke Akademi Delf sebagai bahan pelajaran

bahasa Melayu bagi mereka yang akan ditugasi ke tanah jajahan.

Berapa kiranya jumlah seluruh naskah Melayu yang tempat

penyimpanannya tersebar? Meskipun berbagai katalog. bibliografi, dan daftar

naskah sudah dibuat, tetapi beium ada satu pun yang menyebutkan jumlah yang

sama dari seluruh naskah tersebut. Beberapa peneliti berusaha menghitung naskah

itu, di antaranya Ismail Hussein yang menyebutkan jumiahnya 5.000 naskah,

Chambert-Loir mengatakan 4.000 naskah yang tersebai di 26 negara, dan Russel

Jones mengatakan jumiahnya 10.000 naskah.

Tampaknya hampir seluruh naskah lelayu itu ditulis dengan dua aksara,

yaitu aksara Arab Melayu (Jawi) dan Latin dalam bahasa Melayu. Naskah Melayu

agaknya hanya mengenai kertas sebagai alas tubs. Berikut ini dicontohkan aksara

Arab Melayu yang dipakai dalam naskah. Tabel di bawah ini berisi 4 bentuk

pemakaian dari setiap aksara (Hollander, 1984:6 - 7)

Aksara Arab Melayu (Jawi)

Bagairnana dengan isi teks yang terkandung dalam naskah Melayu? Isi

yang ada di dalamnya sangat beragam. Kalau melihatpembagian yang pernah

dilakukan Liaw Yock Fang (1991, Jilid I dan II), naskah Melayu dapat

diklasifikasi menjadi 10. Sepuluh kelompok itu adalah kesusastraan rakyat, epos

India dan sastra wayang, cerita psnji, kesusastraan zaman Islam, cerita berbingkai,

sastra kitab, sastra sejarah, undang-undang Melayu, dan pantun serta syair.

Dari masing-masing kelompok itu sastra Melayu memiliki karya-karya

puncak atau karya yang populer di masyarakat pendukungnya. Misalnya dalam

cerita panji, orang pasti mengenai Hikayat Panji Semirang. Dalam sastra kitab

diketahui karya Flamzah Fansuri yang berjudul Syair Perahu. Sejarah Melayu

merupakan karya yang populer yang tidak pernah berhenti diteiiti hingga saat ini.

Sama halnya dengan cerita berbingkai, yaitu Cerita Seribu Satu Malum hingga

saat ini masih terus diceritakan kembali dalam bahasa yang populer agar akrab

dengan pembaca saat ini.

b. Pernaskahan Batak

Masyarakat Batak tinggal di Sumatra Utara.Kalau, mendengar kelompok

masyarakat ini, kita langsung terjngatpada beberapa nama marga yang sangat kuat

melekat pada nama-nama masyarakat pendukungnya sehingga mereka dapat

dengan cepat diidentifikasi sebagai mayarakat Batak. Kita mengenai beberapa

marga, di antaranya Nababan, Nasution, Sembiring, dan Tarigan. Suku Batak

Toba dan Karo merupakaninduk dari beberapa marga di daerah itu. Mereka

menggunakan bahasa Batak dengan berbagai dialeknya. Bahasa itu pada masa lalu

menggunakan aksara khas masyarakat tersebut, yaitu aksara Batak. Beberapa

peneliti pernah membahas pernaskahan Batak di antaranya K.F. Holle (1882),

Voorhoeve (1927— 1985), Uh Kozok (1991 dan 1996).

Masyarakat Batak menggunakan bahasa Batak dengan empat dialek.

Dialek Karo dipakai oleh orang Karo; dialek Pakpak dipakai oleh orang Pakpak;

dialek Simalungun menjadi ragam bahasa orang Simalungun; dan dialek Toba

dipakai oleh masyarakat Toba, Angkola, serta Mandailing. Di antara para peneliti

ada pendapat yang berbeda antara satu dengan yang lain karena ada juga peneliti

yang membagi bahasa tidak seperti di atas. Bahasa Mandailing, Angkola, dan

Toba merupakan dialek-dialek tersendiri, tidak termasuk dialek Toba.

Naskah Batak yang menggunakan aksara Batak, seperti yang diungkap

beberapa penelitian di atas, memiliki variasi karena di daerah itu tinggal beberapa

suku Karo, Pakpak, Simalungun, Toba, dan Mandailing. Variasi dapat diketahui

dari penyematan vokalnya. Ada usaha penyeragaman (Pudjiastuti, 1997:38)

olehSuruhen Purba dari kelima variasi itu menjadi aksara Batak atau Surat

Pustaha yang disempurnakan. Surat Pustaha yang disempurnakan inilah yang

diajarkan kepada murid SD dan SMP sebagai aksara Batak yang sekarang. Di

bawah ini dicontohkan variasi kelima aksara Batak dari Karo, Pakpak,

Simalungun, Toba, dan Mandailing. Data ini diambil dari Pudjiastuti (1997:50).

Aksara Batak

Masih dari sumber yang sama diperoleh informasi bahwa aksara Batak itu

ditulis di atas bahan atau alas naskah yang beragam. Yang paling terkenal dari

naskah Batak adalah yang disebut pustaha yang berarti buku. Bentuknya seperti

buku yang lembarannya bersambungan dan dilipat-lipat seperti sebuah akordeon

sejenis alat musik). Bahan utama naskah itu adalah kayu, yakni kayu alim

yang banyak terdapat di daerah itu. Ternyata model naskah seperti itu terdapat

juga di Cina, Jepang, Laos, dan Thailand. Selain kayu, bahan lain yang digunakan

adalah bambu. Bambu yang digunakan dari jenis bambu betung. Naskah dengan

bahan itu vang utama digunakan untuk menulis tanggal atau kalender (perlwlaun).

Rotan, tulang binatang, kulit binatang, dan kertas juga merupakan bahan lain yang

digunakan untuk naskah Batak.

Kalau bahan atau alas naskahnya seperti yang disebutkan di atas,

bagairnana dengan alat tulis yang digunakan? Karena alasnya berbeda, alat

tulisnya juga berbeda ka rena alat tulis yang dipakai tergantung pada bahan

naskah, lidi dari ijuk enau (iarugi) dan lidi dari pohon pakis (sampipil) digunakan

untuk menulis naskah yang berasal dari kayu. Pisau kecil (panggorit) dipakai

untuk menulis bahan yang keras, seperti tulang, bambu, rotan, dan tanduk

binatang. Tinta dipakai untuk kertas. Tinta itu ada yang tradisional, dibuat dari

berbagai tumbuhan, darahhewan, dan nunyak. Di samping itu, ada juga tinta yang

berasal dari jelaga lampu. Baja, sejenis tinta, dihasilkan bukan dari jelaga lampu,

tetapi dari jelaga kayu bakar. Tinta bervvarna dibuat dari campuran anggur dan

cuka atau dari getah damar dicampur dengan minyak. Di samping tinta tradisional

itu, dipakai juga tinta rmpor yang dipakai untuk menulis bahan dari kertas

(Pudjiastuti, 1997).

Bahan-bahan di atas berhubungan dengan naskah, bagairnana dengan

teksnya? Masai aii apa saja yang ada di dalam naskah itu? Kembali pada beberapa

penelitian di atas,. kandungan naskah Batak juga sangatberagam, mulai dari cerita,

ramalan, obat-obatan, jimat, kekuatan magis, beragam surat, undang-undang, dan

sejarah. Namun, dari beberapa masalah itu yang terbanyak ditulis adalah jimat,

obat-obatan, dan ramalan. Dalam koleksi naskah di London, ada naskah yang

berisi obat-obatan, terutama cara menangkal racun dalam tubuh. Teks seperti itu

terdapat dalam Tambar Simangaraprap dan Tambar Sirnanuwasah (Ms. Jav.C4)

Teks seperti itu banyak ditemukan dalam naskah Batak dan biasanya disertai

dengan beberapa ilustrasi, seperti Tambar (Ms. Jav. g.l). Ada juga naskah yang

isinya tentang astrologi. Naskah itu Poda ni Pangarambui ari na tolu oulu (E.

5185).

Di rnanakah naskah-naskah tersebut di simpan? Tempat penyimpanan

sangat tersebar, dalam dan luar negeri. Di dalam negeri tentunya kalangan

masyarakat umum banyak yang menyimpannya sebagai milik pribadi. Lembaga

formal juga ada yang menyimpan, seperti Museum Negeri Propinsi Sumatra

Utaia.

Perpustakaan Nasional, Jakarta, banyak menyimpan naskah Batak yang

berasal dari berbagai koleksi, di antaranya koleksi Cohen Stuart. Sayangnya,

naskah-naskah itu sudah dimasukkan dalam katalog Perpustakaan Nasional yang

terbaru (1998), tetapi belum dideskripsikan dengan memadai Di dalam buku itu

baru daf'tar saja yang dimuat. Pendaftarannya diabjad berdasarkan judul naskah.

Perpustakaan luar negeri yang menyimpan di antaranya adalah

Perpustakaan Universitas Leiden (Belanda), beberapa perpustakaan di London

(Inggris, seperti India Office Library dan Perpustakaan School of Oriental and

African Studies, Perpustakaan Bodlein. Beberapa naskah yang disebutkan

judulnya di atas adalah koleksi yang disimpan di London. Selain tempat itu, masih

ada beberapa tempat lain di Inggris yang menyimpan naskah Batak.

c. Pernaskahan Lampung

Lampung merupakan provinsi paling selatan di Pulau Sumatra,

penduduknya yang ad a di daerah lampung, Komering, dan Krui menggunakan

bahasa Lampung. Bahasa itu mempunyai beberapa dialek. Ada yang membaginya

atas dialek abung dan dialek paminggir dan ada juga yang membaginya atas

dialek Ny ou dan dialek Api. Masing-masing dialek terdiri atas beberapa logat.

Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan Pudjiastuti (1995:60)

naskah Lampung ditulis dengan aksara Lampung yang dikenal dengan had

Lampung atau surat Lampung.Aksara Lampung jika dirunut dalam sejarah dapat

dimasukkan dalam rumpun tulisan Kaganga. Menurut beberapa ahli, aksara itu

mirip dengan aksara Rejang, Pasemah, Batak, dan Makasar. Bagi Hadikusuma

(1988:18) aksara Lampung sebenarnya aksara yang dipakai oleh masyarakat di

seluruh Sumatra Selatan. Orang-orang tua di daerah Sumatra Selatan kadang-

kadang menyebut aksara Lampung dengan "Surat Ulu" atau Surat Ugan". Namun,

pada kenyataannya, sejak sebelum perang hingga kini, aksara itu hanya dipakai

oleh orang Lampung. Kebanyakan peneliti beranggapan bahwa aksara Lampung

sebenarnya merupakan perkembangan dari aksara devanagari yang berasal dari

India. Tulisan itu terdiri atas tigaunsur, yakniindukhuruf (kalabaisurat), anakhuruf

atau tandabunyi (benah surat), dan.tanda baca. Sistem menulis aksara Lampung

dimulai dari kiri ke kanan, sama halnya dengan tulisan Latin. Tulisan Lampung

disebut juga dengan huruf Kaganga.

Dalam naskah Lampung, selain aksara Kaganga, ditemukan juga naskah

yang ditulis dengan aksara Arab berbahasa Arab, aksara Jawi berbahasa Melayu,

dan aksara Pegonberbahasa Lampung. Aksara Arab digunakan untuk menulis

masalah agama Islam. Berdasarkan penelitian yang dilakukan peneliti di atas,

bahan atau alas naskah yang digunakan untuk menulis aksara Lampung, hampir

sama dengan Batak. Naskah yang alasnya dari kayu dibentuk seperti akordeon

juga dibuat dari kayu halim. Di samping itu, bambu, rotan, dan kertas juga

digunakan sebagai bahan naskah. Alat tulis yang digunakan adalah lidi (kemasi)

dan pisau kecil yang runcing (lading lancip).Tintanya ada yang berasal dari tinta

tradisional yang dibuat dari campuran buah deduruk, arang, dan getah kayu

kuyung. Selain itu, tinta dapat juga dibuat dari campuran arang dan buah serdang.

Di bawah ini contoh aksara Lampung Lama yang terdiri atas 19 huruf

(Pudjiastuti, 1995).

Perbandingan aksara Lampung dengan aksara daerah lain

Di mana sajakah naskah-naskah Lampung disimpan? Berdasarkan

beberapa katalogus, kita ketahui bahwa naskah Lampung ada yang masih

disimpan di rumah-rumah sebagai milik pribadi atau perorangan. Beberapa

lembaga formal di daerah itu juga ada yang menyimpan, seperti Museum Negeri

Propinsi Lampung.

Perpustakaan Nasional, Jakarta, tidak memiliki koleksi naskah Lampung

karena tidak tercatat dalam katalog, 1998. Lain halnya dengan Perpustakaan

Universitas Leiden, Belanda. Di tempat itu ditemukan beberapa naskah Lampung.

Perpustakaan School of Oriental and African Studies dan India Office Library di

London, Inggris, dalam katalognya mencatat beberapa naskah Lampung yang

menjadi milik mereka. Dalam Ricklefs dan Voorhoeve dicatatsatu naskah

Lampung yang terdapat dalam koleksi India Office Library, Surat Pantun cara

Lampung (Malay A.4) yang berbentuk wayak, semacam pantun yang berpola a-b-

a-b.

Isi naskah Lampung banyak ragamnya. Menurut Pudjiastuti, 1997, ada

teks yang membicarakan mantra, doa, dan rajah (khajah). Di daerah itu dikenal

mantra pekasih, mantra penolak bala, mantra pembenci, mantra untuk mengambil

madu, dan mantra kekebalan. Doa juga banyak ditemukan dalam naskah tersebut.

Doa disebut dengan memang. Sama halnya dengan mantra, memang juga terdapat

dalam berbagai. ragam; ada memang untuk para bujang dan gadis agar dapat

saling menyintai; memang untuk mengobati orang sakit; dan memang untuk

memohon dan meminta kepada Tuhan. Ramalan, doa, dan primbon juga sering

dibahas dalam naskah Lampung. Di samping itu, silsilah yang berisi daftar

keturunan dari nenek moyang yang melahirkan penduduk di daerah itu. Di

samping silsilah, hukum adat dan undang-undang juga ada.

d. Pernaskahan Bugis dan Makasar

Di Sulawesi Selatan tinggal empat suku yang besar, suku Bugis (50 %),

suku Makasar (30 %), suku Toraja (5 %), dan suku Mandar (5 %). Toraja masih

hidup dalam tradisi lisan sehingga di daerah itu agaknya tidak ditemukan naskah.

Suku lainnya banyak yang memiliki naskah yang mereka sebut dengan lontarak.

Penyebutan itu lebih dikenal dalam naskah Bugis/Makasar. Penyebutan nama

lontarak karena bahan naskah yang digunakan berasal dari lontar, yaitu bahan

naskah yang dibuat dari sejenis daun palma dengan proses tertentu sehingga dapat

ditulis. Alat tulisnya dapat berupa pisau kecil yang ujungnya sangat lancip.

Dengan pisau itulah lontar yang sudah siap ditulis dipotong dengan ukuran

tertentu kemudian baru ditulis. Setelah selesai, di atas tulisan itu diberi minyak

yang berwarna hitam (biasanya campuran minyak dan kemiri yang sudah diolah

kalau di Jawa). Lontar bukan satu-satunya alas tulis yang dikenal di daerah itu,

kertas juga dikenal mereka.

Aksara Lontarak, berdasarkan pendapat beberapa peneliti, berasal dari

aksara Pallawa. Akasaranya oleh masyarakat di daerah itu disebutnya aksara

lontarak. Aksara itu dikenal juga dengan aksara Bugis/Makasar. Menurut

penelitian Noorduyn aksara itu ditulis dengan berbagai variasi dan banyak pakar

yang sudah menefctinya, seperti Raffles, Crawfurd, 'Ihomsen. Berikut ini

dicontohkan aksara itu yang dicunbil dari penelitian Noorduyn (1993:539) dalam

makalahnya yang berjudul Variation in the Bugis/Makasarese Script, yang

diterbitkan dalam majalah BKl, 149. Apakah Anda mengenai akasara ini?

Aksara Bugis

Naskah-naskah Sulawesi Selatan disimpan di beberapa lembaga formal

dan di rumah perorangan yang menjadi milik pribadi. Naskah yang menjadi nulik

pribadi biasanya sangat jarang dibuka, apalagi untuk diketahui isinya. Pembukaan

naskah biasanya dilakukan dengan suatu upat ara khusus, hampir sama dengan

kebanyakan naskah-naskah daerah lain di Indonesia. Karena jarang dibuka,

banyak para pemilik yang baru sadar setelah melihat bahwa naskah sudah rusak

ketika dalam waktu lama tidak dibuka. Cara penyimpanan naskah ini pun sangat

menyedihkan karena disimpan di antara onggokan padi di rangkiang bersama

dengan benda pustaka lain, seperti keris dan badik. Padahal kedua benda itu

bahannya berbeda dengan lontar serta kertas. Lontar dan kertas memerlukan suhu

tertentu di tempat penyimpanannya. Kondisi itu berbeda dengan tempat

penyimpanan naskah yang ada di beberapa lembaga formal, seperti perpustakaan

dan museum. Mereka sudah lebih layak menyimpannya meskipun tentunya belum

memenuhi sy arat sepenuhnya untuk pemeliharaan naskah.

Naskah dari daerah itu, bukan hanya di Sulawesi Selatan saja disimpan,

Perpustakaan Nasional, Jakarta, juga menyimpannya. Bahkan, beberapa

perpustakaan di luar negeri seperti di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda,

dan beberapa perpustakaan di London, Inggris. Suatu peristiwa yakni pembakaran

naskah yang sangat merugikan menimpa pernaskahan di daerah itu. Peristiwa itu

terjadi pada masa DI/TII. Peristiwa pembakaran itu terjadi di beberapa daerah

yang dikuasainya. Menurut Gani (1991:172) pada masa itu anggota gerombolan

banyak yang merampas nakah-naskah peninggalan nenek moyang mereka yang

disimpan para penduduk. Naskah itu dimusnahkan karena mereka menganggap

penduduk menyembahnya. Dan penyembahan pada naskah itu disamakan dengan

penyembahan berhala. Penyembahan seperti itubertentangan dengan ajaran agama

Islam yang murni. Pada saat itu, memang pada kenyataannya para pemilik naskah

sering melakukan upacara penghormatan terhadap naskah. Peristiwa itu menjadi

semacam trauma bagi beberapa pemilik naskah di daerah itu sehingga dampaknya

sampai saat ini masih terlihat. Kalau ada peneliti yang mencari atau akan

meminjam naskah, mereka curiga bahwa mereka juga akan memusnahkan naskah

yang masih ada. Oleh sebab itu, para peneliti harus pandai membujuk dan

memberi keyakinan sehingga mereka dapat mengeluarkan naskah mereka.

Naskah yang berasal dari Sulawesi Selatan isinya sangat beragam.

Kembali pada penelitian Gani (1991:171), ia mengelompokkan isi naskah tersebut

atas delapan bidang ilmu yang uraiannya seperti di bawah ini.

(1) Naskah yang berisi asal-usul atau silsilah raja-raja, keluarga bangsawan yang

disebutnyaattoriolong. Naskahjenis inisangatbaikuntuk dijadikanbahan dalam

penyusunan sejarah atau daftar silsilah. Dalam naskah yang semacam ini

kadang-kadang ditemukan juga catatan-catatan peristiwa yang pernah terjadi

pada masa silam.

(2) Lontarak bilang yang isinya hampir mirip dengan ottoriolong, tetapi lebih

terperinci dan lebih rumit. Naskah ini dapat dianggap sebagai catatan harian.

(3) Nasihat yang dapat dijadikan pedoman hidup bagi masyarakat disebut

pappangaja.

(4) Ulu ada yaitu lontarak yang berisi berbagai perjanjian, terutama perjanjian

yang bertalian dengan negara atau kerajaan.

(5) Undang-undang atau peraturan yang berasal dari adat leluhur yang disebut

sure bicara attoriolong.

(6) Berbagai naskah yang isinya tentang obat-obatan yang dapat menyembuhkan

berbagai penyakit dan biasa digunakan oleh masyarakat setecnpat. Naskah

berjenis ini disebut lontarak pabbura.

(7) LONTARAK palakia berisi tentang ilmu perbintangan (ilmu falaq).

Pada dasarnya berbagai jenis isi yang disebutkah di atas juga terdapat dalam

naskah lain, seperti Melayu, Jawa, dan Sunda. Hanya keunikan berbagai

ragam isi naskah sudah dinamakan dalam bahasa asli Bugis.

e. Pernaskahan Jawa

Naskah jawa tidak kalah kayanya jika dibandingkan dengan Melayu yang

penyebarannya sangat luas di berbagai kepulauan Naskah Jawa juga tersebar di

beberapa tempa t, tetapi terbatas pada Pvdau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara.

Naskah itu ditemukan, di antaranya diCirebort, Solo, Surakarta, Yogyakarta,

Banyuwangi, dan Banten. Jumiahnya juga sangat besar. Behrend (1993:407)

mengatakan 19.000 naskah Jawa yang penyimpanannya tersebar di beberapa

lembaga di Indonesia dan Eropa, belum termasuk yang dikoleksi oleh perorangan.

Naskah Jawa tersimpan hampir di 27 negara, di antaranya Indonesia, Inggris,

Belanda, Rusiajerman, dan Itali. Di Indonesia penyimpanannya tersebar, seperti di

Jakarta, Surakarta, Yogyakarta, Denpasar.

Bahasa yang digunakan ada tiga, yakni bahasa Jawa Kuna, Jawa

Tengahan, dan Jawa Baru. Aksara yang digunakan dalam naskah yang berbahasa

Jawa disebut aksara Jawa atau hanacaraka, sedangkan aksara Arab yang

mtnggunakan bahasa Jawa disebut pegon. Naskah beraksara pegon biasanya

ditulis di daerah Banten, Madura, dan Cirebon.

Contoh aksara Jawa (hanacaraka) diambil dari Simuh (1988:vii)

Bagairnana dengan bahan atau alas naskah? Masyarakat Jawa mengenai

lontar sebagai alas naskah yang dibuat dari sejenis pohon palma. Bahan yang

sama juga dipakai untuk naskah Bugis, Bali, dan Sunda. Alat tulisnya disebut

pengutik, sedangkan tintanya dibuat dari minyak kemiri. Selain lontar, naskah

Jawa juga ditulis di atas kertas baik kertas tradisional maupun kertas Eropa.

Kertas tradisional disebut dluwang. Kertas ini dibuat dari bahan khusus dari kulit

sebuah pohon yang kemudian diproses secara tradisional. Untuk menulis naskah

yang berasal dari bahan itu adalah tinta. Tinta. itu ada yang dibuat secara

tradisional.

Jika kita ingin mengetahui keragaman naskah Jawa, ada beberapa katalog

yang dapat dipakai untuk mengecek kekayaan naskah itu. Dalam Caraka no .4

disebutkan beberapa katalog yang mendeskripsikan keadaan naskah Jawa. Katalog

yang paling lengkap dan sering dipakai, di antaranya Juynboll, 1907, dengan judul

Supplement of den catalogus van de Javaansche en Madoeresche Handschriften

der Leidsclte Universiteits Bibliotheek. Katalog Nikolaus Girardet yang

diterbitkan pada tahun 1983 yang berjudul Descriptive Catalogue of the Javanese

Manuscripts and Printed Book in Main Libraries of Surakarta and Yogyakarta.

Bagairnana dengan isi naskah? 'Naskah Jawa sangat kaya, sesuai dengan

perkembangan kebudayaannya yang dilatarbelakangi oleh agama Hindu, Budha,

dan Islam. Sehubungan dengan itu, isi yang ada dalam naskah juga sangat

beragam, di antaranya obat-obatan, primbon, cerita panji, cerita wayang, sastra

sejarah, dan masih banyak yang lainnya. Pada bagian ini hanya dicontohkan

beberapa karya sastra sejarah, primbon, dan cerita panji.

Dalam sastra Jawa, banyak sekali ditemukan sastra sejarah. Anda tentu

pernah mendengar Babad Tanah Jawi. Karya itu sangat terkenal. Kata babad

tampaknya dipakai untuk karya-karya yang bersifat kesejarahan. Dalam khazanah

sastra itu dikenal juga Babad Diponegoro (KBG:5) yang mengisahkan peristiwa

Perang Diponegoro pada tahunl813. Dalam karya itu diceritakan pengalaman

Caradiwirya yang memerangi pasukan Diponegoro di berbagai daerah. Sesudah

peperangan ia diangkat menjadi Adipati Diponegoro. Naskah yang berisi ramalan

atau primbon, seperti Nalatruna (KBG:681) sangat unik karena disertai dengan

berbagai gambar raja dan disertai berbagai mantra. Yang tidak kalah menariknya

adalah cerita panji. Dalam sastra itu, di antaranya dikenal Panji Angreni, Panji

Dewakusuma Kembar, dan

Panji Kuda Semirang. Karya sejenis itu dapat dikertali dari beberapa

tokohnya yang selalu mer.ampilkan tokoh Panji dan Candra Kirana atau nama-

nama samaran lain yang sering mereka pakai. Selain cerita panji, dikenal juga

cerita yang hampir mirip dengan cerita itu karena berbagai petualangan

dikisahkan. Cerita itu adalah cerita wayang. Wayang merupakan pertunjukan yang

menarik dalam kebudayaan ini dan sangat digemari bahkan di mancan egara.

Cerita wayangbukanhanya ditemukan dalam pertunjukan, melainkan juga dalam

bentuk naskah, seperti Bharatayuddha (Add. 12279), Serat Kitab Tufah dan Serat

Wirid Hidayat membahas hubungan manusia dan Tuhan juga merupakan naskah

keagamaan yang menarik. Simuh (1988) mengambil Wirid Hidayat Jati menjadi

bahan disertasinya. Ia memberi judul peneliiiaimva dengan Mistik Islam Kejuwen

Raden Ngabehi Ranggaxvarsita: Dalam naskah itu digambarkan hubungan

manusia dengan Tuhan

f. Situasi Pernaskahan Bima

Kalau ingin mengetahui khazanah naskah Bima, kita dapat melihat

katalogus yang disusun oleh Mulyadi dan Salahuddin (1990 dan 1992) yang

berjudul Katalogus Naskah Melayu Bima, jilid 1 dan II. Di dalam buku itu

diuraikan dan dideskripsikan keadaan naskah Bima yang saat ini menjadi koleksi

Museum Kebudayaan Sampuraga, Bima, Museum Negara Nusa Tenggara Barat,

Mataram, dan naskah yang menjadi koleksi Desa Maria, Kampung Dara, Bima.

Naskah yang dideskripsikan dalam katalogus tersebut adalah naskah yang menjadi

koleksi istana Sultan Muhammad Salahuddin (1915 — 1951), Sultan Birna

terakhir.

Naskah Bima, menurut kedua peny usun tersebut, tidak banyak yang

merupakan cata tan dari periode pra-Islam yang ditulis dalam aksara Bima

denganbahasa Bima. Mereka hanya menemukan satu atau dua naskah saja yang

berbahasa Bima. Timbul dugaan bahwa besar kemungkinan hilangnya naskah dari

periode ini karena suatu kebakaran besar yang terjadi pada masa

pemerintahanSultan Abdul Kadim Zilullah fial Alam, tahun 1751 — 1773.

Menurut Noorduyn kebaka ran itu telahmemusnahkan banyak naskah. Rupanya

naskah pada periode pra-islam ke periode masuknya Islam, di Bima pada akhir

abad ke-16 sampai awal abad ke-17, membawa perubahan besar sehingga bahasa

yang digunakan kerajaan Bima adalah bahasa Melayu. Bahasa itu menjadibahasa

resmi negara. Oleh karena itu, i iaskah~naskah peninggalan dari periode inilah

yang banyak ditemukan saat ini. Berdasarkan deskripsi dua. katalog di atas,

naskah Bima tampaknya hampir semua ditulis di atas kertas. Naskah itu ditulis

dalam aksara Arab-Melayu (Jawi) dalam bahasa Melayu, aksara Arab dengan

bahasa Arab, dan aksara Arab dengan bahasa Bima.

Seperti yang diuraikan dalam kedua katalog itu, kita dapat mengetahui isi

naskah Bima. Kedua penyusun katalog itu membagi teks Buna menjadi tujuh

jenis, yaitu Bo, sejenis catatan harian yang sangat lengkap uraiannya disertai

dengan penanggalan waktu terjadinya suatu peristiwa, doa dan ilmu agama,

filsafat, hikayat, silsilah, surat, dan surat keputusan. Ketujuh jenis itu kemudian

ditambah lagi dengan dua jenis pada KATALOGUS NASKAH MELAYU BIMA II, yakni

surat peraturan dan surat perjanjian kontrak serta ilmu tua.

Contoh aksara Bima yang diambil dari Mulyadi dan H.S. Maryam (1991:72)

g. Pernaskahan Sunda

Naskah yang berasal dari suku Sunda (Jawa Barat) bahannya juga beragam

seperti daerah lain karena di daerah itu ditemukan juga naskah yang ditulis di atas

daun pair aa (daun lontar, daun kelapa, daun pandan, dan daun nipah), bambu, dan

kertas. Kertas yang digunakan terdiri atas dua macam, yaitu kertas tradisional

yang disebut daluwang dan kertas Eropa.

Bahasa yang digunakan ada yang berbahasa Sunda, Jawa, dan Melayu.

Bahasa Sunda dibagi lagi atas Sunda Kuna yang digunakan pada naskah yang

dibuat sekitar abad 16 — 18 dan Sunda Baru digunakan dalam naskah yang

berasal dari abad 19. Naskah berbahasa Jawa biasanya digunakan bahasa jawa-

Cirebon, Jawa-Periangan, dan Jawa-Banten. Bahasa Melayu digunakan dalam

naskah yang ditulis pada akhir abad 19 yang jumiahnya tidak terlalu banyak.

Aksara yang digunakan adalah aksara yang disebut Sunda Lama (digunakan pada

naskah-naskah yang berasal dari sebelum abad 18), Cacarakan (Jawa-Sunda yang

dipakai pada sekitar akhir abad 17), Arab dan Latin (naskah-naskah yang berasal

dari abad 19).

Naskah yang berasal dari daerah itu diperkirakan jumiahnya mencapai

1.500 buah. Di antara naskah-naskah itu masih banyak yang disimpan oleh

masyarakat sebagai milik pribadi dan beberapa lembaga formal di tanah air.

Museum Negeri Jawa Barat dan Kantor EFEO (Bandung), MuseumCigugur

(Kuningan) di antaranya yang menyimpan naskah Sunda. Selain itu, beberapa

perpustakaan di luar negeri ju ga menyimpannya, yakni Perpustakaan Universitas

Leiden, perpustakaan KITLV di Belanda, dan The British Library serta Bodleian

Library di London. Di samping itu, beberapa pesantren juga ada yang

menyimpannya. Untuk melihat berbagai naskah Sunda dan tempat koleksinya

dapat dilihat dalam katalog Naskah Sunda (Bandung: Universitas

Padjadjaran,1988) yang disusun oleh sebuah tim yang diketuai oleh EdiS.

Ekadjati. Katalog lain yang dapat dipakai adalah Katalog Naskah-naskah Sunda di

Museum Pusat (Yumsari Yusuf), dan R. Memed Sastrahadiprawira dengan judul

Katalogus Naskah-naskah Sunda di Museum Nasional Jakarta

Menurut Ekadjati (1988), naskah Sunda banyak yang sudah hancur

danmusnah yang tidak mungkin dapat diketahui lagi isinya. Kehancuran itu

disebabkan oleh musibah, seperti terbakar, tertimpa banjir, hilang, dan rusak

dimakan hama. Selain itu, ada pula karena kelalaianpemiliknya, misalnya

diunggal mengungsi sehingga tidak terpeiihara lagi.

Naskah Sunda yang masih diselarnatkan hingga kini jika dilihat dari isinya

hampir sama dengan naskah lain dari bagian Nusantara lainnya. Naskah itu ada

yang mengisahkan tentang silsilah, sejarah, ajaran agama, dan adat istiadat, serta

ajaran moral.

Berikut ini salah satu contoh naskah Sunda yang bentuknya seperti kipas

yang diambil dari buku Illuminations (1996).

Sebagai informasi para peneliti yang membahas naskah Sunda adalah Atja

1968, Tjarita Parahyangan. Bandung: Jajasan Kebudajaan Nusalarang, Edi S. Eka

Djati, 1982. Cerita Dipati Ukur: Karya Sastra Sejarah Sunda, Jakarta: Dunia

Pustaka Djaja, dan Joedawikarta, 1933, Sadjarah Soekapoera, Parakanmoentjang

Sareng Gadjah, Bandung: Pengharepan.

Setelah Anda mengikuti uraian di atas dan memahaminya, di bawah ini

diberikan beberapa pertanyaan sebagai latihan. Latihan ini dapat dipakai sebagai

titik tolak keberhasilan Anda dalam memahami materi.

1) Sebutkan daerah mana saja yang memiliki naskah?

2) Di mana saja naskah-naskah itu disimpan saat ini dan sebutkan tiga

perpustakaan di luar negeri yang menyimpan naskah?

3) Sebutkan nama aksara di daerah yang ada di Indonesia?

Petunjuk jawaban Latihan

Jika Anda telah selesai mengerjakan jawaban dari beberapa pertanyaan di

atas, periksalah kembali jawaban Anda dengan memperhatikan rambu-rambu

jawaban di bawah ini.

1) Daerah yang memiliki naskah di Indonesia ini sangat banyak. Di Sumatra

terdapat naskah-naskah dengan aksara dan bahasa masing-masing, seperti

Aceh, Batak, Minangkabau, Kerinci, Riau, Siak, Palembang, Bengkulu,

Pasemah, dan Lampung. Di Kalimantan, naskah ditemukan di daerah

Sambas, Pontianak, Banjarmasin, dan Kutai. Pulau jawa memiliki naskah

di daerah Banten, Jakarta, Pasundan, Cirebon, Yogyakarta, Surakarta,

Gresik, Madura dan beberapa daerah pegunungan di Jawa Tengah dan

Jawa Timur. Di Bali dan Nusa Tenggara Barat juga memiliki naskah,

seperti Lombok, Bima, Sumbawa, dan Dompu. Di sepanjang kepulauan

Indonesia Timur naskah ditemukan di Ternate dan Ambon. Di Sulawesi

naskah-naskah ditemukan di daerah Bugis, Makasar, dan Buton.

2) Naskah-naskah Indonesia ada yang disimpan di dalam dan di luar negeri.

Di dalamnegerinaskah disimpan di daerah-daerah masing-masing sebagai

pemilik naskah, yaitu di perpustakaan dan lembaga daerah serta di rumah

beberapa penduduk yang masih memilikinya. Di Jakarta disimpan

berbagai naskah daerah Indonesia, yaitu di Perpustakaan Nasional. Di luar

negeri ada juga naskah yang disimpan di Perpustakaan Universitas Leiden

dan Perpustakaan KITLV di Belanda serta di Perpustakaan School of

Oriental and African Studies di London.

3) Lima aksara yang ada di Indonesia adalah aksara Batak, aksara Lampung,

aksara Jawa (hanacaraka), aksara Arab Melayu (Jawi), dan aksara Bima.

Sehubungan derigannaskah dan teks, Indonesia yang terdiri atas berbagai

daerah ini sangat kaya dengan kedua hal itu. Hampir setiap daerah mempunyai

naskah yang ditulis dalam bahasa daerah masing-masing dengan aksara atau huruf

daerah. Oleh sebab itu, penelitian pernaskahan Indonesia sangat perlu dilakukan.

Untuk melihat kekayaan naskah Indonesia, berbagai daerah yang memiliki naskah

itu patut ditampilkan, misalnya naskah apa saja yang mereka dimiliki, naskah

ditulis dalam aksara daerah apa, dan di mana saat ini naskah itu disimpan. Uraian

itu penting agar Anda mengetahui latar balakang pernaskahan sebelum melakukan

sebuah penelitian. Dari berbagai pernaskahan di Indonesia, dalam bagian ini

hanya diambil tujuh pernaskahan daerah. Pemilihan ketujuh daerah itu

berhubungan dengan hasil penelitian yang mudah dijangkau. Pernaskahan daerah

itu adalah Melayu, Batak, Lampung, Bugis/Makasar, Jawa, Bima, dan Sunda.

BAB IV KODIKOLOGI

Pengertian Kodikologi, Tempat Penyimpanan, Alas, Umur, Penulisan dan

Penyalinan Naskah, serta Iluminasi dan Ilustrasi.

1. Pengertian Kodikologi

Sudah sama-sama kita ketahui bahwa kebudayaan nenek moyang kita

masa lampau yang bernilai luhur terekam dalam berbagai cerita rakyat yang

disebarluaskan dari mulut ke mulut. Kini cerita rakyat itu telah direkam dan

dipublikasikan di berbagai media massa (buku, majalah, surat kabar) dan

elektronik (kaset, radio, televisi, film). Selain cerita lisan, ada juga warisan

budaya nenek moyang yang berupa naskah yang bentuk dan ragamny a

bermacam-macam. Naskah-naskah itu tersebar di seluruh Indonesia dan ditulis

dalam berbagai bahasa dan huruf daerah.

Isi naskah itu juga bermacam-macam: ada cerita pelipur lara, cerita tentang

sejarah, cerita keagamaan (kepercayaan), cerita yang mengandung ajaran,

pengetahuan tentang obat-obatan, mantra, dan lain-lain. Kandungan (segi batin)

naskah yang bermacam-macam itu merupakan lahan garapan ilmu filologi.

Sebaliknya, segi fisik naskah yang beraneka bentuk dan ragamnya itu merupakan

lahan garapan ilmu pernaskahan atau kodikologi. Dalam upava penvusunan karya

ilmiah mengenai hasil sastra lama, ilmu filologi dan kodikologi itu sangat

diperlukan.

Apakah yang dimaksud dengan kodikologi itu?

Kodikologi berasal dari kata Latin codex (bentuk tunggal; bentuk

jamaknya codices). Dalam bahasa Indonesia kata codex itu diterjemahkan dengan

'naskah'.

Dalam bahasa Latin, dahulu, kata codex atau caudex herarti' teras batang

pohon'. Itulah sebabnya, kata codex bertalian dengan pemanf aatan kayu sebagai

alas untuk menulis. Dalam perkembangannya kata codex kemudian dipakai

sebagai padanan istilah naskah. Menurut Robson, dalam bukunya Prinsip-Prinsip

Filologi Indonesia, kodikologi dapat diartikan sebagai 'pelajaran naskah'. Baried

(1994: 56) dalam bukunya Pengantar Teori Filologi menyatakan sebagai berikut.

Kodikologiialah ilmu kodeks. Kodeks adalahbahan tulisan tangan atau

menurut The New Oxford Dictionary (1928) berarti manuscript volume, esp of

ancient texts 'gulungan atau buku tulisan tangan, terutama dari teks-teks kuno'.

Kodikologi mempelajari seluk-beluk atau semua aspek naskah, antara lain bahan,

umur, tempat penulisan, dan perkiraan penulis naskah.

Siapakah yang pertama kali menggunakan istilah kodikologi itu?

Jos M.M. Hermans dan Gerda C. Huisman dalam bukunya berjudul De

Descriptione Codicum (1979/1980) menyatakanbahwa istilah codicologie mula-

mula diperkenalkan oleh seorang ahli bahasa Yunarti, Alphonse Dain, dalam

kuliah-kuliahnya di Ecole Normale Superieure, Paris, pada bulan Februari 1944.

Istilah itu dikenal di kalangan yang lebih luas melalui karyanya Les Manuscrits

yang diterbitkan pada tahun 1949.

Alphonse Dain menjelaskan bahwa kodikologi ialah ilmu mengenai

naskah-naskah dan bukan ilmu yang mempelajari apa yang tertulis dalam naskah.

Dijelaskannya pula walaupun istilah kodikologi itu baru, ilmu kodikologi

bukanlah ilmu baru.

Selanjutnya, Alphonse Dain menyatakan bahwa tugas dan lingkup

kodikologi meliputi sejarah naskah, koleksi naskah, penelitian mengenai tempat

penyimpanan naskah yang asli, penyusunan katalog, penyusunan daftar katalog,

perdagangan naskah, dan penggunaan naskah.

Selain naskah, istilah lain yang sering digunakan ialah istilah manuskrip

(bahasa Inggris manuscript). Kata manuscriptberasal dariungkapan

Latincodicesmanu scripti yang berarti 'buku-buku yang ditulis dengan tangan'.

Kata manu berasal dari manus yang berarti 'tangan' dan scriptusx berasal dari

scribere yang berarti 'menulis'.

Dalam bahasa Belanda digunakan istilah handscrift, dalam bahasa Jerman

Handscrift, dan dalam bahasa Prancis manuscrit. Dalam berbagai katalogus,

istilah manuscript atau manuscrit (keduanya bentuk tunggal) biasanya disingkat

menjadi MS, sedangkan istilah manuscripts atau manuscrits (keduanya bentuk

jamak) disingkat menjadi MSS. Istilah handscrift atau Handschrift disingkat

menjadi HS dan istilah handschriften atau Handschriften (bentuk jamak) disingkat

menjadi HSS.

Di dalam bahasa Malaysia istilah nasklmh lebih luas digunakan daripada

istilah manuskrip. Demikian pula halnya dalam bahasa Indonesia; istilah naskah

(dalam pengertian codex) lebih banyak dipakai daripada istilah manuskrip.Kata

naskah tidak perlu disingkat karena sudah singkat. Berdasarkan uraian makna kata

di atas, dapatlah disimpulkan bahwa kodikologi ialah ilmu tentang naskah atau

ilmu pernaskahan.

Dewasa ini kata naskah sering juga digunakan dalam pengertian yang

berbeda, sebagaimana terdapat dalam gabungan kata naskah pidato, naskah siaran

radio, naskah perjanjian, naskah undang-undang, dan naskah kerja sama. Kata

naskah dalam gabungan kata itu sama maknanya dengan kata teks sehingga

gabungan kata itu dapat diganti menjadi teks pidato, teks siaran radio, teks

perjanjian, teks undang-undang, dan teks kerja sama.

Dalam kodikologi—juga filologi—harus dibedakan penggunaan istilah

naskah dan teks. Secara singkat dapat dikatakan bahwa teks ialah isi atau

kandungan naskah, apa yang tertulis, sedangkan naskah ialah wujud fisiknya.

Jika kita berbicara tentang pernaskahan, unsur-unsur apa saja yang dapat

kita ketahui?

Banyak hal yang dapat kita bicarakan sehubungan dengan pernaskahan itu,

antara lain tempat penyimpanan naskah, alas naskah dan cap kertas, umur (daya

tahan naskah), penulisan dan penyalinan naskah, serta iluminasi dan ilustrasi,

sebagaimana diuraikan berikut ini.

2. Tempat Penyimpanan Naskah

Daerah-daerah mana saja yang memiliki dan menyimpan naskah

Nusantara? Karena naskah merupakan warisan tertulis, secara sederhana,

jawabnya adalah daerah-daerah atau kawasan yang memiliki huruf daerah. Selain

kawasan yang mempunyai huruf daerah, ada juga daerah yang mewariskan

budaya lewat aksara Arab. Daerah-daerah tersebut juga merupakan sumber naskah

atau tempat penyimpan naskah.

Di kawasan Sumatra, naskah kita dapati di daerah Aceh, Batak,

Minangkabau, Kerinci, Riau (termasuk Kepulauan Lingga dan Singkep), Siak,

Palembang, Rejang, Bengkulu, Pasemah, dan Lampung. Di kawasan Kalimantan

naskah-naskah berasal dari daerah Sambas, Pontianak, Banjarmasin, dan Kutai. Di

wilayah Jawa, naskah-naskah terdapat di daerah Banten, Jakarta, Pasundan,

Cirebon, Yogyakarta, Surakarta, Brebes, Gresik, Madura, dan daerah pegunungan

di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di daerah Bali naskah dapat ditemukan di

seluruh wilayah karena sampai sekarang masih terus diproduksi. Di wilayah

Sulawesi naskah dapat ditemukan di daerah Bugis, Makasar, Buton, dan Kendari.

Di wilayah Nusa Tenggara Barat naskah terdapat di daerah Lombok, Sumbawa,

Bima, dan Dompo. Di w ilayah Indonesia Bagian Timur naskah terdapat di daerah

Ternate dan Maluku.

Di mana saja naskah-naskah Nusantara itu disimpan?

Pada masa sekarang ini tempat penyimpanan naskah— rang ditulis dalam

berbagai huruf dan bahasa daerah — terlengkap adalah Perpustakaan Nasional,

Jakarta. Kekayaan naskah di Perpustakaan Nasional berjumlah sekitar 10.000

yang tertulis dalam bahasa Aceh, Bah, Batak, Bugis, Makasar, Jawa Kuna, Jawa

Tengahan, Jawa Baru, Madura, Melayu, Sunda, dan Ternate. Sebagian besar

naskah yang disimpan di Perpustakaan Nasional itu merupakan pindahan dari

Museum Nasional (1989)

Naskah-naskah yang disimpan di Perpustakaan Nasional itu mulai

dihimpun kira-kira dua abad yang lalu oleh suatu lembaga yang bernama

Bataviaasch Genootschup van Kunsten en Wetenschappen yang didirikan pada

tahun 1778. Pada tahun 1923 lembaga ini berubah naraa menjadi Koninklijk

Bataviaasch Genoootschap van Kunsten en Wetenschappen (KBG). Setelah

Indonesia merdeka, tepatnya pada tahun 1968, badan tersebut diubah namahya

menjadi Museum Pusat Kebudayaan Indonesia dan pada tahun 1975 menjadi

Museum Nasional.

Selain Perpustakaan Nasional, banyak juga tempat penyimpanan naskah

Nusantara yang lain, yang berupa museum, pesantren, yayasan, pemerintah

daerah, masjid, perpustakaan universitas, dan istana.

Sebagaimana telah diuraikan di muka, naskah Nusantara ditulis dalam

berbagai bahasa daerah. Meskipun naskah itu terdapat di tempat yang sama dan

berasal dari daerah yang sama, bahasa yang digunakan di dalamnya bermacam-

macam. Misalnya, naskah yang terdapat di daerah Aceh atau yang berasal dari

Aceh ada yang berbahasa Aceh dan ada juga yang berbahasa Melayu. Di samping

itu, mungkin juga ada tempat-tempat khusus yang menyimpan naskah berbahasa

daerah yang bersangkutan saja.

Selain Perpustakaan Nasional, tempat-tempat lain yang menyimpan

naskah Jawa, misalnya, ialah Kasultanan Yogyakarta, Pura Pakualaman

Yogyakarta, Keraton Surakarta, museum-museum di Yogyakarta dan Surakarta,

Balai Penelitian Bahasa Yogyakarta, Balai Kajian Sejarah dan Nilai-nilai

Tradisional di Yogyakarta, Griya Dewantara Yogyakarta, Proyek Javanologi

Yogyakarta, Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Depok, Universitas Gadjah

Mada Yogyakarta, dan Universitas Negeri Banyuwangi dan Sumenep. Selain itu,

Gedong Kirtya di Singaraja juga menyimpan naskah-naskah Jawa Kuno dan Jawa

Tengahan.

Dalam Katalog Naskah Aneka bahasa Koleksi Museum Nasional susunan

Jumsari Jusuf et at (1984) dinyatakan bahwa bahasa-bahasa daerah yang dipakai

dalam naskah-naskah itu antara lain bahasa Aceh, Batak Toba, Batak Mandailing,

Lubu (daerah Mandailing), Rejang, Lampung, Minangkabau, Madura, Jawa (Jawa

Kuno, Jawa Tengahan), Bali, Sumbawa, Sasak, Rotti, Ende, Timor, Manggarai,

Banjar, Pantu Dayak, Kenya-Dayak, Lapo-Tau, Apau-Kayan, Sangir (Sangihe),

Taumbulu, Tonsea, Tontemboan, Bolaang-Mongondow, Alfuru, Ternate,

Gorontalo, Mori, Baree, Bungku, Bugis, Makasar, Muna, Tolaki (daerah Sulawesi

Tenggara), Ambon, Moa, Biak, Kamrau, dan Kapam.

Berdasarkan Katalog Koleksi Naskah Maluku (1980) susunan Jumsari

Jusuf et al. bahasa-bahasa yang digunakan dalam naskah Maluku antara lain

bahasa Kei, Serong/Alifuru, Luang, Serum, Tuhiti, Masarete, Bum, Sula, Lett,

Wetar, dan Ternate.

Selain bahasa, huruf yang digunakan untuk menuliskan teks dalam naskah

Nusantara itu juga bermacam-macam. Sebagaimana dinyatakan Voorhoeve, di

daerah Ke rinci banyak dokumen yang ditulis dengan huruf rencong, yang

digunakan sebelum huruf Arab Melayu. Dinyatakannya juga bahwa huruf rencong

yang dipakai di daerah Kerinci itu berbeda dengan huruf rencong yang digunakan

di daerah Rejang, Melayu Tengah (yang disebut huruf Ka*Ga-Nga) dan

Lampung. Teks-teks di daefah Rejang ditulis dalam bahasa Melayu dengan

menggunakan huruf Ka-Ga-Nga, Arab, dan Romawi. (Lihat macam-macam huruf

yang digunakan di Nusantara pada Modul 3).

Huruf daerah lain yang dipakai dalarn penulisan naskah adalah huruf

Sunda, Jawa, Bah, Sasak, Bima, Ende, Madura, Bugis, dan Makassar. Huruf

Bugis dipakai juga untuk menuliskan bahasa Sumbawa dan bahasa Bima pada

masa lampau.

Menurut Ekadjati et al. (1988), naskah Sunda ada yang ditulis dengan

huruf Sunda Kuna, huruf Jawa-Sunda, huruf Arab, dan huruf Latin. Paling banyak

naskah Sunda yang ditulis dengan huruf Arab.

Sejak agama Islam tersebar di Nusantara—kira-kira akhir abad ke-13 —huruf

Arab malai digunakan di Nusantara. Huruf Arab itu tidak hanya digunakan untuk

menuiiskan teks berbahasa Arab, tetapi juga untuk menuliskan teks berbahasa

daerah. Huruf Arab yang digunakan untuk menuliskan teks berbahasa Melayu

disebut huruf Arab-Melayu atau huruf Jawi. Naskah seperti itu berasal dari Aceh,

Riau, Minangkabau, Jakarta, Pontianak, Sambas, Banjarmasin, Buton, Makasar,

Bima, Dorrtpu, SumabaWa, Ternate, dan Ambon.

3. Alas Naskah

Yang dimaksud dengan alas naskah—disebut juga bahan naskah — ialah

sesuatu yang dipakai untuk menuliskan teks sehingga terbentuk suatu naskah.

Albertine Gaur, sebagaimana dikutip Mulyadi (1994:44),, menyatakan bahwa

pada masa lampau di seantero dunia tulisan-tulisan diabadikan dalam berbagai

benda, seperti bambu (di Cina), daun palma (di India dan Asia Tenggara), batu

bata yang terbuat dari tanah hat (claybricks di Mesopotamia, papirus (di Mesir),

baja, linen, velum (vellum), sutera, perkamen {parchment di Iran), dan kertas

(Eropa). Selain itu, ada juga bahan lain seperti batu, batu-batuan berharga, kulit

kura-kura, tulang, gading, dan kain (baju).

Dalam kegiatan Workshop on Southeast Asian Manuscripts di

Perpustakaan Universitas Leiden pada bulan Desember1992 digelar pameran

"dunia naskah". Dalam pameranitu terdapatnaskah-naskahyangalasnya bermacam-

macam, seperti perak dan gading (naskah Bima), sutera (naskah Cina), kain (cloth,

naskah India Barat dan Birma), ternbaga (naskah India Selatan), dan kulit

binatang (naskah lbraru).

Menurut jumsari Jusuf 'yang dikutip Mulyadi (1994:44), naskah-naskah di

Indonesia menggunakan alas atau bahan dari kertas daluwang (dhavang), daun

lontar, daun nipah, kulit kayu, bambu, dan fotan. Pada waktu dahulu sebagian

tulisan diabadikan pada tonggak batu, lempengan ternbaga atau emas (biasanya

disebut prasasti). Karena bahan lontar, bambu, nipah, dan kulit kayu mudah rapuh,

tulisan-tulisan yang terdapat dalam bahan itu kemudian disalin kembali pada

kertas.

Selainbahan-bahan tersebut,naskah-naskah Jawa Barat ada y ang

menggunakan alas janur, daun enau, dan daun pandan. Dluwang, deluwang, atau

daluwang ialah jenis kertas yang dibuat dari kayu sebagai campuran. Dahulu

dluwang banyak dibuat di pesantren Tegalsari, PonOrogo.

Selain dluwang, alas naskah lain yang banyak dipakai ialah daun lontar.

Sampai sekarang daun lontar masih dipakai untuk menuliskan teks-teks di daerah

Bali dan

Lombok. Daun. lontar juga. digunakan dalam naskah Kerinci. Pemilik

naskah Kerinci menyebut daun lontar itu dengan istilah kelopak betiing.

Sampai abad ke-20 daun lontar masih dipakai untuk alas naskah Jawa

Timur dan Madura. Di. Banyuwangi, Jawa Timur, kegiatan macaan yang berarti

'membaca lontar', dalam hal ini Lon tar Yusup, dinamakart Ion tar an. Lontaran

biasanya dilakukan dalam kaitan dengan upacara nujuh bulan, kelahiran, khitanan,

perkawinan, atau untuk memenuhi nazar. Biasanya lontaran itu dilakukan

semalam suntuk. Kata lontar dalam Lontar Yusup tidaklah berarti alas naskah

yang dipakai untuk menuliskan riwayat Nabi Yusuf, tetapi berarti 'naskah

(manuscript)' atau 'karya sastra (literary work)' karena naskah tersebut ditulis pada

kertas dengan huruf pegon). Dengan demikian, kata lon tar di daerah Banyuwangi

sudah mengalami pergeseran makna.

Bahan lain yang dijadikan alas naskah adalah daun nipah. Naskah-naskah

Sunda (Jawa Barat) menggunakan daun nipah sebagai alasnya.

Kulit kayu terutama dipakai sebagai alas naskah Batak.Naskah Batak yang

lebih dikenal dengan istilah pustaha ialah naskah (semacam buku) dari kulit kayu

yang dilipat-lipat seperti akordeon. Isinya antara lain berupa doa, petunjuk

membuat obat, dan cara menolak bala.

Kulitkayu yang dimanfaatkan sebagai alas naskah tidak hanya terdapat

dalam naskah Batak, tetapi juga dalam naskah berhuruf rencong. Bahkan, ada juga

surat untuk pejabat Belanda di Singkel yang ditulis pada kulit kayu. Di samping

itu, kulit kayu juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan mentah pembuat kertas.

Selain kulit kayu, bambu juga telah dimanfaatkan para penulis/penyalin

teks sebagai alas naskah. Bentuknya bermacam-macam: ada yang berbentuk

bulatan— sekitar 1 sampai 5 r,uas, ada yang setengah bulatan, dan ada yang pipih.

Rotan ternyata telah dipakai juga sebagai alas naskah. Rotan yang

dijadikan sebagai alas naskah itu biasanya berbentuk bulat dan panjang.

Selain daun lontar, alas naskah Kerinci juga ada yang menggunakan bahan

lain, seperti tanduk (kerbau), bambu, kulit kayu, telapak gajah, daluwang, dan

kertas. Pemakaian telapak gajah sebagai alas naskah hanya dijumpai pada naskah

Kerinci. Bentuk dokumen (naskah) itu segi empat.

Ada juga yang menyatakan bahwa batok kelapa dan batang tebu pernah

dipakai sebagai alas naskah. Selain itu, untuk menuliskan teks Sunda, digunakan

pula alas naskah lain, yaitu daun kelapa muda (janur), daun enau, dan daun

pandan, di samping daun lontar, nipah, daluwang, dan kertas.

Seba gaimana kita ketahui, naskah-naskah Nusantara yang sampai kepada

kita, umumnya ditulis di atas kertas, yang jenis dan warnanya berbeda-beda. Ada

kertas yang berwarna putih polos, biru muda, dan ada yang bergaris (horisontal

atau garis kombinasi, horisontal dan vertikal). Ukurannya juga bermacam-macam,

ada yang berukuran oktavo, kuarto, ataupun folio.

Sejak kapan kertas dikenal umat manusia?

Berdasarkan catatan Albertine Gaur dalam bukunya berjudul Writing

Materials of the LAST (1979:4), hampir semua penemuan yang berhubungan

dengan tulis-menu]is, seperti percetakan, pembuatan kertas, nelum, perkamen,

tinta, pena, seni penjilidan buku, dan berbagai aspek mengenai ilustrasi buku

berasal dari Asia dan Afrika. Kertas merupakan ciptaan orang Cina yang bernama

Thsai Lun, seorang menteri pada zaman Pemerintahan Kaisar Wu Di dari Dinasti

Han pada tahun 105. Pada masa itu kertas menggantikan sutera sebagai alas tulis.

Dijelaskanya bahwa selama 600 tahun pertama, setelah penemuannya,

kertas hanya dikenal di Cina. Cara pembuatanny a sangat dirahasiakan dan

industri kertas dianggap sebagai monopoli pemerintah. Dikemukakanny a juga

bahwa pada tahun 751 Samarkandia yang diperintah seorang gubernur musiim

diserang pasukan Cina. Sebanyak 20.000 orang tentara Cina tertawan. Beberapa

orang di antaranya adalah ahli pembuat kertas. Entah karena paksaan atau karena

kerelaan akhirnya rahasia mengenai keahlian mereka dalam pembuatan kertas itu

dapat terbongkar dan dimanfaatkan masyarakat Samarkand ia. Selama 100 tahun

kertas Samarkandia menjadi bahan ekspor penting sebagai kertas Cina.

Lambat laun pengetahuan dan teknik pembuatan kertas menyebar sampai

ke Timur Tengah sehingga muncullah pabrik-pabrik kertas di Bagdad, Damsik,

dan Kairo. Pada abad ke-12 pembuatan kertas sudah sampai ke Spanyol

danSisilia. Pada abad ke-13 kertas sampai ke India.

IV lenurut H. Voorn dalam bukunya De Pamermolens in de Provincie

Noord-Holland (1960 ;3), batu, tanah liat, kayu, dan daun-daunan pernah

dimanfaatkan sebagai alat tulis sebelum adanya kertas. Di Cina sutera dan bambu

pernah dipakai sebagai alat kores pondettsi dan administrasi sebelum adanya

kertas. Pada tahun 610 Korea dan Jepang mulai membuat kertas.

Dijelaskannya pula bahwa tidak lama sesudah terjadi peperangan pada

tahun 751 antara pasukan Cina dan pasukan Arab di Turkestan dan sesudah para

pembuat kertas yang menjadi tawanan perang dipekerjakan, pembuatan kertas

mulai berkembang di negeri-negeri Arab, terutama di Bagdad, Damaskus, dan

tripolis. Sekitar tahun 1100 didirikan pabrik kertas di Fez. Pada awal abad ke-12

pembuatan kertas telah berkembang di Spanyol. Agaknya, dari Spanyol kertas

meluas sampai ke Itali dan pada tahun 1296 telah dibangun pabrik kertas pertama

di Itali, yaitu pabrik kertas Fahriano. Pada tahun 1338 dibangun pula pabrik kertas

di Troyes dan Pranci; 5, pada tahun 1398 di Nurenbefg, jerman, dan pada tahun

1428 di Gennep, Belanda.

Bagaimana kertas masuk ke Indonesia dan mulai kapan kertas digunakan

untuk menulis naskah di Indonesia?

Penerintah Flindia Belanda dan dunia perdagangan, terutama,

mempergunakan kertas dari negeri Belanda untuk keperluan administrasi dan

surat-menyurat. Impor kertas dari negara-negara lain tidak banyak. Sri VVulan

Rujiati Mulyadi (1994:61) menyatakan bahwa berdasarkan penektiannya terhadap

naskah-naskah Nusantara, jenis kertas yang dimanfaatkan dalam alas naskah

Nusantara adalah kertas buatan. Inggris, Italia, Jerman, dan Singapura.

Sebelum zaman VOC, ada bermacam-macam kertas yang dipakai di

Indonesia, yaitu kertas buatan Italia, Francis, Spanyol, dan Portugis. Pada zaman

VOC ada tiga arus lalu lintas kertas ke Indonesia, yaitu dari Belanda, dari Inggris,

terutama ke Malaysia, dan dari Itali sebelah timur laut, termasuk Kerajaan

Austria. Pada abad ke-19, Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan

khusus mengenai impor kertas sehingga sangat menopang kelanjutan hidup

pabrik-pabrik kertas di negeri Belanda. Pada tahun 1862 pemerintah Hindia

Belanda juga mengeluarkan peraturan yang mewajibkan lembaga-lembaga

pemerintahan memakai kertas Pro-Patria buatan Belanda. Pada tahun 1874

peraturan mengenai impor kertas ditarik kembali.

Pemerintah Hindia Belanda juga memakai kertas khusus untuk keperluan

surat-menyurat yang ditujukan kepada orang-orang penting di Indonesia dan di

"timur jauh". Sebagai contoh, sesudah Bantam dikalahkan, yaitu pada tanggal 6

Maret: 1682 Gubernur Jenderal dan Dewan Hindia Belanda mengirimkan surat

kepada Sultan Sepuh dan Sultan Kanoman yang ditulis di atas kertas "Zurat"

berper ada emas. Kertas "Zurat" itu berasal dari Surate, sebuah kota di daerah

pantai India. Pada tahun 1663 para penguasa VOC (Verenigne Oost-Indische

Compagnie) berencana untuk membuat pabrik kertas di Batavia (sekarang Jakarta)

dan pabrik tersebut telah siap pada tahun 1665. Selain mendirikan pabrik kertas,

VOC juga mendirikan percetakan. Kedua usaha itu kurang berhasil. Pada akhir

tahun 1682 penguasa VOC memutuskan untuk menghentikan kegiatannya karena

kedua bidang usaha itu selalu rugi.

4. Deluwang Saeh

Di muka telah dinyatakan bahwa selain kertas Eropa, alas naskah

Nusantara juga menggunakan deluwang, yaitu sejenis kertas yang dibuat secara

tradisional dari kulit kayu. Sampai saat ini deluwang masih diproduksi, antara lain

di daerah Garut (Jawa Barat), Purworejo (Jawa Tengah), dan Ponorogo (Jawa

Timur). Berikut ini akan diuraikan cara pembuatan kertas saeh yang diangkat dari

hasil penelitian Titik Pudjiastuti (1994).

Kertas saeh adalah istilah yang digunakan oleh penduduk Desa Cinunuk,

Kecamatan Wanareja, Kabupaten Garut, Jawa Barat, untuk menyebut kertas yang

dibuat dari pohon saeh (Broussonetia papyrifera). Saeh disebut juga glugu (Jawa),

dhalubang (Madura), kembala (Sumbawa), dan malak (Seram). Saeh berbatang

kecil, kira-kira sebesar lengan. Pohonnya setinggi 3 — 5 m. Daunnya lebar

berbentuk tiga jari dengan tangkai daun agak panjang sehingga jarak helai daun

dan ranting agak jauh. Permukaan daun agak tebal dan berbulu. Saeh tidak

berbunga dan tidak berbuah. Pohon saeh berkembang biak dengan tunas yang ke

luar dari akarnya yang tumbuh jauh dari induknya. Pohon saeh banyak tumbuh di

daerah Leles, Lebakjero, Ngamplang, Majalaya, dan Cicalengka. Penduduk

kampung Tunggilis mengambil pohon saeh dari daerah Parentas, di lereng

Gunung Galunggung. Selain di daerah Jawa, pohon saeh juga tumbuh subur di

Sumatra dan Sulawesi.

Produksi kertas saeh yang berlokasi di sekitar Desa Cinunuk semula

dikelola oleh keluarga Bisri, yang mendapat keahlian membuat kertas saeh dari

nenek moyangnya. Setelah ia meninggal pada tahun 1965, usahanya dilanjutkan

oleh istrinya yang bernama Ny. Uki. Sekarang usaha tersebut dikelola oleh anak-

anak dan sanak familinya sebagai industri rumah tangga yang diwarisi secara

turun-temurun Hampir semua penduduk di kampung itu mempunyai usaha kertas

saeh.

Proses Pembuatan Deluwang Saeh

Kertas saeh dibuat dari kulit bagian dalam pohon saeh. Kertas saeh yang

paling baik murunva berasal dari pohon yang berusia 3 — 6 bulan. Makin muda

pohon itu makin hahis seratnya dan hasil yang diperolehnya makin baik. Jika

pohon itu telah berumur 6 bulan atau lebih, kuiitnya keras sehingga serat-seratnya

mudah putus.

Pohon saeh yang masih muda (berumur 3 — 6 bulan) ditebang. Kuiitnya

dilepas dari kayunya. Kulit bagian luar dibuang sehingga tinggal kulit bagian

dalam yang berwama putih. Kulityangberwarna putih itu kemudian dipotong-

potong sepanjang 30-40 cm.

Potongan kulit kayu itu lalu direndam dalam air sekitar 12 jam agar

menjadi lembut dan mudah dipukul-pukul. Makin lama direndam kulit kayu itu

makin lembut dan hasilnya makin baik. Jika perendaman kulit kayu itu lebih dari

12 jam (semalam), air rendamannya harus diganti.

Setelah direndam, kulit saeh itu dipukul-pukul selembar demi selembar

dengan sebuah alat pemukul (bahasa Sunda pangeprek) di a tas balok kayu kira-

kira berukuran 40 x 150cm. Bentuk alat pemukul itu seperti palu, tetapi kepalanya

berbentuk empat persegi panjang berukuran 12 cm x 4 cm dan tingginya 3 cm.

Alat tersebut terbuat dari perunggu dan pegangannya dari kayu atau bambu yang

panjangnya sekitar 20 cm. Alas pemukubvya berupa balok kayu yang terbuat dari

kayu nangka. Kayu nangka adalah jenis kayu yang hat dan kuat sehingga sangat

baik dipakai sebagai alas pangeprek kulit saeh itu.

Setelah dikeprek , satu potong kulit dalam yang lebarnya 10 cm akan

menjadi sekitar 30 cm. Untuk menghasilkan 1 iembar kertas, dibutuhkan 2 atau 3

lembar kulit dalam yang ditumpuk, yang selanjutnya dikeprek sekaligus. Cara

pengeprekarmya adalah sebagai berikut.

Mula-mula satu helai potongan kulit dalam dikeprek. Setelah melebar,

kulit itu dilipat menjadi dua, lalu dikeprek lagi. Sesudah melebar, lipatan dibuka

dan disisihkan. Hal yang sama dilakukan juga pada lembar kedua dan ketiga.

Ketiga lembar kulit yang sudah melebar itu ditumpuk, kemudian dikeprek lagi.

Setelah menyatu, bahan tersebut dilipat dua, kemudian dilipat lagi sehingga

menjadi empat lipatan. Setelah dirasa cukup rata dan menyatu, lipatan itu dibuka.

Sesudah dikeprek, bahan itu dicelupkan ke dalam air, lalu diperas.

Setelah diperas, bahan itu dibungkus daun pisang, kemudian diperam dalam

sebuah keranjang bambu selama sekurang-kurangnya 3 hari. Pemeraman itu

bertujuan agar getah kulit kayu itu ke luar dan merekatkan serat-seratnya. Makin

lama pemeraman dilakukan makin baik kualitas kertas yang dihasilkan.

Sesudah d iperam, bahan tersebut dfjemur di bawah sinar matahari dan

diletakkan di atas batang pisang. Sambil dijemur, bahan tersebut digosok-gosok

dengan daun ki kandel (benalu pohon cangkring) sehingga permukaannya

menjadi halus dan mengkilat. Penjemuran itu dapat berlangsung beberapa hari,

bergantung pada cuaca, sampai bahan tersebut kering dan terlepas dari batang

pisang.

Setelah kering, bahan tersebut digosok lagi dengan menggunakan kuwuk

atau marmer. Bahan tersebut telah menjadi kertas yang siap pakai (ditulisi). Jika

lembaran kertas itu kurang lebar, dua lembar kertas dapat disambung dengan lem

"ka" (sejenis lem berwarna cokelat). Sambungan kertas itu kemudian digosok

dengan kuwuk atau marmer supaya hasilnya rata dan halus.

Sekarang kertas saeh tidak banyak diproduksi. Namun, hal itu tidak berarti

bahwa kertas saeh tidak diproduksi lagi. Kertas saeh masih dibuat sesuai dengan

pesanan.

Menurut keluarga Bisri —yang masih menggeluti industri kertas saehnya

— harga kertas saeh per lembar sekitar Rpl.000,00 (tahun 1994). Kertas tersebut

tidak lagi digunakan sebagai alas tulis seperti dahulu, tetapi kini dipakai sebagai

pelapis bagian dalam sampul (cover) buku.

5.Cap Kertas (Watermark)

Jika Anda melihat uang kertas dengan cara menghadap pada cahaya

matahari atau lampu, tampaklah gambar membayang dalam uang kertas itu.

Gambar yang membayang itu dikenal dengan istilah cap kertas (ivatermark).

Cap kertas juga terdapat dalam perangko atau kertas (tulis).

Selain cap kertas, istilah ivatermark juga ada yang menerjerhahkannya

dengan 'cap air'. Namun, Mulyadi (1994:63) memandang bahwa istilah cap

kertas lebih tepat daripada istilah cap air.

Kalau kita perhatikan kertas itu di tempat yang terang, akan tampaklah

dalam kertas itu garis-garis tipis (laid line) dengan posisi mendatar (horisontal)

dan garis-garis tebal (chain line) dengan posisi tegak (vertikal). Garis-garis

tipis itu berjumlah 8 — 12 per cm, sedangkan jarak antara garis vertikal sekitar

2,5 cm. Dalam Workshop on Malay Manuscrpits di London tahun 1980 istilah

chain line disepakati untuk diterjemahkan dengan 'garis acuan tebal' dan laid

line dengan 'garis acuan halus'. Perlu diketahui bahwa garis tebal dan garis tipis

itu hanya terdapat pada naskah yang diproduksi sebelum tahun 1810. Kertas yang

diproduksi sesudah tahun 1810 tidak menggunakan garis tebal atau garis tipis itu.

Kapankah cap kertas mulai digunakan? '

Berdasarkan penelitian Edward Heawood, cap kertas yang tertua

terdapat pada kertas bUatan Fabriano, Italia, yang diproduksi pada tahun 1282.

Tujuan utama pencantuman cap kertas itu adalah sebagai simbol dagang (trade-

mark) untuk menunjukkan kualitas, ukuran, atau pembuat kertas. Sekitar tahun

1600—1750 muncul pula cap kertas tandingan (counter-mark), yaitu cap

kertas yang menemani cap kertas.

Dalam suatu naskah mungkin saja kita menemukan beberapa macam cap

kertas dan cap kertas tandingan. Ketika mendeskripsi naskah, kita tidak perlu

terlalu memikirkan cap kertas yang utama dan cap kertas tandingan. Selain itu,

jika naskah yang kita garap berukuran kecil, mungkin saja cap kertas itu hanya

tampak sebagian saja sehingga sulit mengidentifikasinya.

Sejak tahun 1742 kertas buatan Prancis dibubuhi tahun dalam cap

kertasnya, sesuai dengan peraturan pemerintah Prancis tahun 1741. Namun,

lambang 1742 ternyata masih dicantumkan pada kertas produksi tahun-tahun

berikutnya. Edward Heawood selanjutnya menyimpulkan bahwa tampaknya

penggantian tahun pada cap kertas tidak dilakukan dengan tepat.

Setelah kertas Inggris terkenal, sejak tahun 1794 Inggris selalu

mencantumkan tahun pembuatan kertasnya yang dibubuhkan di bawah nama

pembuat kertas atau dalam bentuk yang lebih kecil di sudut kertas sebagai cap

kertas tersendiri. Salah seorang pembuat kertas ternama pada akhir abad ke-18

ialah James Whatman.

Berapa lama suatu cap kertas dipergunakan?

Briquet (dalam Heawood, 1950:32) menyatakan bahwa suatu cap

kertas paling lama digunakan 30 tahun. Bahkan, ada cap kertas yang hanya

digunakan selama 2 — 3 tahun.

Walaupun tahun pembuatan kertas dan tahun penulisan naskah Jelas-jelas

tercantum dalam kolofon, Russel Jones mengingatkan kita supaya berhati-hati

dalam menentukan umur naskah. Sebagai contoh, dikemukakan adanya

"keganjilan" suatu naskah. Salah satu naskah yang terdapat di Perpustakaan

Universitas Malaysia, yang bernomor Ms 111, bertanggal 1200 H. (atau sekitar

tahun 1785 — 1786 M). Akan tetapi, alas naskahnya bercap kertas tahun 1795.

Contoh lainnya adalah naskah koleksi SO AS (School of Oriental and

African Studies), London. Naskah yang bernomor 16561 mencantumkan

kolofon bulan Mei 1873, tetapi cap kertas yang tercantum pada alas

rtaskahnyabertahun 1877. Dengan adanya fakta yang demikian, mungkin saja

penulis naskah tersebut menyalin apa adanya yang tersurat pada naskah sumber.

Jika memang begitu, besar kemungkinan Mei 1873 adalah tanggal yang terdapat

pada naskah sumber yang disalinnya.

Kodikologi adalah ilmu yang mempelajari segi fisik naskah, seperti alas

naskah, tempat penyimpanan naskah, penulisan/ penyalinannaskah, umur naskah,

serta ilustrasi dan Uurninasi pada naskah. Karena naskah merupakan warisan

budaya tertulis, penulisan/penyalinan/penyimpanannya tentu dilakukan di daerah-

daerah berbudaya yang mengenai huruf dan di tempat-tempat elit, seperti diistana,

museum, pesantren, atau di rumah orang-orang intelek (pujangga).

Alas naskah yang digunakan bermacam-macam pada setiap tempat. Hal itu

tergantung pada bahan yang terdapat di tempat mereka.

BAB V

UMUR, PENULISAN, PENYALINAN NASKAH, SERTA

ILUMINASI DAN ILUSTRASI

1.Umur (Daya Tahan) Naskah

Sampai berapa lama naskah dapat bertahan di daerah beralam tropis

seperti Nusantara ini? Ada indikasi bahwa di negeri yang beriklim panas dan

lembab, seperti di Nusantara, naskah-naskah kurang bisa bertahan lama

dibandingkan dengan di negeri yang beriklim dingin, seperti di negeri Barat.

Sebagai bukti, di Oxford, Cambridge, dan Itali sampai kini masih terdapat naskah-

naskah Nusantara dari abad ke-16 dan ke-17 yang masih utuh.

Dewasa ini berkat kemajuan teknologi, penyimpanan naskah di dalam

ruangan yang ber-AC di beberapa perpustakaan menolong upaya pelestariannya.

Namun, tidak semua perpustakaan dan tempat penyimpanan naskah di Indonesia

memiliki sarana tersebut. Menurut Russel Jones, karena faktor iklim, jarang

ada naskah di Indonesia yang dapat bertahan lebih dari dua abad.

Naskah "Hikayat Sri Rama" yang terdapat di Perpustakaan Bodleian,

Oxford, t yang dijadikan bahan kajian dalam disertasi Achadiati Ikram, adalah

salah satu dari 23 naskah yang berisikan teks "Sri Rama". Pada tahun 1633

naskah itu telah dihadiahkan oleh Uskup Besar William Laud dari

Canterbury, yang memiliki beberapa naskah tua dalam beberapa bahasa daerah di

Nusantara. Sehubungan dengan itu, naskah tersebut diduga telah beberapa lama

dimilikinya sehingga timbul perkiraan bah wa naskah itu ditulis pada awal abad

ke-17 atau akhir abad ke-16.

Mulyadi (1983) menyatakan bahwa dari tiga puluh naskah "Hikayat

Indraputra " yang dijadikan bahc.n telaahnya, ada satu naskah yang berangka

tahun 1700. Sekarang naskah yang masih utuh itu disimpan di Perpustakaan

KITLV, Leiden.

Di Perpustakaan. Nasional, Jakarta, juga ada dua naskah yang berisikan

teks yangsama. Menurutkajian Mulyadi (1983), salahsatu dari duanaskahitu

tampaknya lebih tua daripada naskah yang disimpan di Leiden. Sayang sekali

naskah tersebut penuh lakuna dan urutannya juga terbalik-balik sehingga naskah

itu tidak dapat dipakai sebagai dasar suntingannya.

Mulyadi juga menambahkan bahwa naskah " Hikayat Indrapu tra"

yang bernomor ML. 125 yang sekarang disimpan di Perpustakaan Nasional,

Jakarta, pada tahun 1696 telah dimasukkan di dalam daftar naskah yang disusun

oleh Pendeta Melchior Leidecker. Naskah yang tercatat dalam daftar

tersebut merupakan naskah koleksi Isaac de St. Martin.

Menurut Werndly (1736), harta peninggalan Isaac de St. Martin

telah dimasukkan ke dalam peti kayu dan disimpan di Sekretarye tanpa ada

yang memanfaatkannya. Sekretarye itu kemudian berubah nama menjadi

Algemeene Secretarie (Kantor Sekretariat Jenderal Pemerintah Belanda).

Menurut perkiraan Mulyadi (1983), warisan Isaac de St. Martin itu adalah 59

naskah berbahasa Melayu dan Arab yang disebutkan dalam NBG 5,1897:42.

Salah satu dari ke-59 naskah itu adalah "Hikayat Indraputra" yang tercatat

dalam urutan ke-27.

Pada tahun 1880 sebanyak 26 naskah (8 naskah berbahasa Arab, 17 naskah

berbahasa Melayu, dan 1 naskah berbahasa Jawa) oleh Algemeene Secretarie

dihibahkan kepada Bataviaasch Genootscfrap van Kunsten en

Wetenschappen, sebagaimana dinyatakan dalam NBG 18,1880. Di antara ke-

26 naskah itu naskah "Hikayat Indraputra" tercatat dalam nomor urut ke-10.

Menurut L.W.C. van den Berg, naskah "Hikayat Indraputra" itu adalah

naskah yang rusak sekali dan halaman awalnya hilang (NBG 18,1880:23,III,IX).

Naskah-naskah warisan Isaac de Si . Martin, yang meninggal tahun

1696 di Batavia, pernah dibicarakan Van Ronkel dalam tulisannya berjudul

"Over Eene Oude Lijst van Maleische Handschriften" dalam BKJ No.

42 tahun 1900. Menurut dugaan Van Ronkel , sebagian peninggalan Isaac St .

Martin merupakan warisan Raffles yang terdapat di Royal Asiatic Society,

London. Dikemukakannya juga bahwa mungkin sebagian naskah peninggalan

Isaac de St. Martin itu termasuk koleksi Bataviaasch Genootschap van

Kunsten en Wetenschappen — sekarang semua naskah itu disimpan di

Perpustakaan Nasional, Jakarta — sejak abad ke-19.

. Dugaan Van Ronkel itu kemudian dibantah P. Voorhoeve dalam

tulisannya berjudul "A Malay Scriptorium" dalam Malayan and Indonesian

Studies: Essays Presented to Sir Richard Winstedton His Eighty -

Fifth Birthday yang diedit John Bastian dan R. Roolvink (1964).

Berdasarkan penelitiannya, naskah-naskah peninggalan Raffles yang disimpan di

Royal Asiatic Society, London, tidak ada yang berasal dari abad ke-17.

Voorhoeve juga menyangkal bahwa tidak ada naskah asli koleksi Isaac de St.

Martin yang dapat ditelusuri dalam koleksi abad ke-19 yang disimpan di Jakarta.

Namun, Mulyadi (1983) menyatakan bahwa salah satu dari dua naskah "Hikayat

Indraputra " yang ada di Perpustakaan Nasional, Jakarta, itu adalah naskah

peninggalan Isaac de St. Martin sesuai dengan cap kertas yang tertera dalam

alas naskah tersebut.

Pada tahun 1990 Mulyadi juga meneliti naskah-naskah Melayu Bima.

Yang tertulis dalam naskah-naskah itu ialah peristiwa yang terjadi pada tahun

1619 — 1891. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa ada 42 naskah Bima yang

alas naskahnya menggunakan cap kertas tua, yaitu Starsburg Lily. Menurut

Churchill dalam tulisannya berjudul Watermark in Paper in Holland,

England, France etc., in the XVII and XVIII Centuries and Their

Interconnection (1935), Starsburg Lily adalah jenis cap kertas yang

diproduksi tahun 1624 — 1789. Sementara itu, Edward Heawood dalam

bukunya Watermarks, Mainly oftlte 17th & 18th Centuries menyatakan

bahwa kertas yang bercap jenis itu diproduksi sepanjang abad ke-17.

Selain yang bercap kertas Starsburg Lily, Mulyadi juga meneliti 25

naskah Bima yang bercap kertas " VOC+A". Ke-25 naskah Melayu Bima itu

mengisahkan peristiwa yang terjadi sekitar tahun 1697—1871. Menurut H. Voorn

dalam bukunya De Papiermnlens in de Provincie Noord -Holland

(1960:7—9) jenis kertas yang bercap "VOC+A" itu dibuat oleh pabrik kertas

VOC di Batavia yang berproduksi antara tahun 1665 dan 1681. Menurut dugaan

Mulyadi (1992), sebagaimana dinyatakan dalam tulisannya "Collections of

Bima Malay Manuscripts", kertas bercap "VOC+A" itu masih diproduksi di

Amsterdam sampai jatuhnya VOC pada akhir abad ke-18. Naskah-naskah Melayu

Bima itu menunjukkan buktibahwa kertas yang diproduksi pada abad ke-17 dan

ke-18 masih dipakai untuk menuliskan peristiwa yang terjadi sampai tahun 1871

dan 1891.

2.Penulisan dan Penyalinan Naskah

Siapakah para penulis dan penyalin naskah Nusantara?

Kenyataan menunjukkan bahwa sebagian besar penulis naskah di

Indonesia, baik penulis naskah berbahasa Melayu maupun penulis naskah

berbahasa daerah, tidak mencantumkan namanya. Hanya beberapa nama penulis

dapat kita ketahui. Biasanya nama penulis tercantum dalam kolofon, yaitu bagian

akhir tulisan di luar teks cerita. Dalam kolofon itu selain nama penulis atau

penyalin teks, juga terdapat tanggal dan tahun penulisan, tempat penulisan,

bahkan ada pula saran atau permohonan kepada pembaca untuk memperbaiki teks,

hasil kerja penulis.

Penulis atau penyalin naskah terdiri atas berbagai lapisan masyarakat, pria

atau wanita, baik secara terof ganisasi maupun tidak, menulis atas kehendak

sendiri atau atas dasar pesanan. Di antara mereka itu ada yang berprofesi sebagai

penulis dan sekaligus sebagai penyalin. Ada pula di antara mereka yang

meminjamkan hasil karyanya kepada masyarakat. Pada masa lampau dikenal

penulis atau pujangga istana dan penulis yang dipekerjakan oleh pihak lain, baik

oleh perseorangan maupun oleh pihak Pemerintah Belanda atau Inggris.

Dalam "Hikayat Abdidlah" tercatat bahwa Raffles sangat rajin

menyuruh orang menyalmkan naskah untuknya, sampai-sampai dipekerjakan

empat atau lima orang juru tulis untuk memenuhi keinginannya itu. Selain itu, dia

juga membeli banyak naskah.

Voorhoeve dalam tulisannya yang berjudul A Malay Scriptorium

dalam buku John Bastian dan R. Roolvink (ed.) yang berjudul Malayan

and Indonesian Studies: Essays Presented to Sir Richard Winstedt

on his Eighty-Fifth Birthday (1964) mengemukakan bahwa kegiatan

Raffles itu telah mendorong pemerintah Belanda untuk menggairahkan

penyalinan naskah. Pada pertengahan abad ke-19 kantor Algemeene

Secretarie pada zaman pemerintah Belanda telah memiliki skiptorium Melayu

yang menghasilkan salinan naskah yang sebagian besar merupakan koleksi

Perpustakaan Universitas Leiden. Voorhoeve (1964:256) juga menambahkan

bahwa salinan naskah Melayu yang dibuat di kantor Algemeene Secretarie itu

sebagian menjadi koleksi naskah di Berlin, Paris, Brussel, dan Den Haag. Naskah

koleksi Koninklijk Instituut voor Taal, Landen Volkenkunde sekarang

sudah dipindahkan ke Leiden.

Salah seorang penyalin yang lama bekerja di Algemeene Secretarie

adalah Muhammad Ghing Saidullah. Hal itu terbukti dari banyaknya naskah

salinan yang dibuatnya. Voorhoeve (1964:260) menyatakan bahwa salinan

naskah produksi Algemeene Secretarie itu menunjukkan kemiripan dan

tampak rapi. Penampilan dan format kertas seragam sehingga karya-karya itu

dengan mudah dapat dikenali sebagai salinan Algemeene Secretarie.

Maria Indra Rukmi (1993) dalam tulisannya berjudul "Penyalinan

Naskah Melayu di Jakarta pada Abad Ke-19 Naskah Algemeene Secretarie:

Kajian dari Segi Kodikologi" menyatakan bahwa orang yang pernah bekerja di

Algemeene Secretarie ialah Muhamad Sulaiman, Muhamad Hasan ibn

Haji Abdul Aziz, dan Abdul Hakim .

Sampai seberapa jauh tugas seorang penyalin?

Gambaran tugas penyalin dalam menyiapkan naskah di dunia Barat,

khususnya di biara Benedict , pada masa lampau pernah dikemukakan oleh

Falconer Madan (1893:34 — 36) dalam karangannya berjudul Books in

Manuscript: A Short Introduction to Tlieir Study and Use. Dalam

buku tersebut dijelaskan bahwa sebuah skiptorium merupakan suatu ruangan yang

luas yang terdiri atas ruang-ruang kecil. Dalam skiptorium itu berlaku berbagai

peraturan yang ketat. Semua peralatan yang dibutuhkan disediakan oleh seorang

petugas khusus. Para biara wan yang ber tugas sebagai penyalin naskah tidak

diperbolehkan mengubah sesuatu dalam teks walaupun di dalam teks itu ada

sesuatu yang salah. Penyalin juga bertugas sebagai iluminator, ilustrator, atau

rubrikator. Jika tugas-itu tidak dapat mereka kerjakan, didatangkan tenaga lain

dari luar biara itu.

T.E. Behrend (1922:17-25) dalam tulisannya berjudul "Patrons,

Sciptoria and Manuscripts Production in Nineteenth Century Java" menjelaskan

bahwa di skiptorium istana Yogyakarta pada pemerintahan Hamengku Buwono V

(1822 — 1855) tugas menyalin naskah, memkubuhkan iluminasi atau gambar, dan

menjilid naskah dijalankan oleh petugas khusus. Diperkirakan bahwa skiptorium

istana Yogyakarta selama Pemerintahar Hamengku Buwono V

mempekerjakan 2 — 10 orang penulis dan/ atau penyalin.

Chambert-Loir mencata-' bahwa salah seorang penulis naskah milik

Von de Wall pada tahun 1837—1865 adalah Husein bin Ismail, orang Bugis,

dari Pulau Penyengat, Riau. Dijelaskannya bahwa naskah-naskah tulisan Husein

bin Ismail , berdasarkan gaya tulisannya yang selalu rapi, mencapai 66 naskah

lebih. Berdasarkan kolofonnya, naskah-naskah Perpustakaan Nasional koleksi Von

de Wall yang ditulis/disalin Husein bin Ismail berjumlah 6 buah, yaitu yang

bernomor 11,31,68,157,228 , dan 257. Giutnbert-Loir juga mencatat bahwa

ada 2 naskah tulisan Husein bin Ismail yang disimpan di School of

Oriental and African Studies, University of London; 1 naskah di

Cambridge University Library, dan 1 naskah di Library of Congress,

Washington.

Naskah-naskah keagamaan—yang berisi ajaran agama, tafsir, atau tasawuf

biasanya ditulis dengan hati-hati dan cermat. Selain naskah keagamaan, naskah

yang ber.si peraturan atau perundang-undangan ditulis dengan cermat juga.

Namun, tidak semua penyalin menaati peraturan itu.

Mulyadi (1994:55) dalam bukunya yang berjudul Kodikologi Melayu

di Indonesia menjelaskan bahwa tradisi penyalinan naskah Melayu dan begitu

juga dalam penyalinan naskah daerah lain di Indonesia sangat berlainan dengan

tradisi penyalinan di dunia Barat yang ketat, sampai-sampai kesalahan pun harus

disalin apa adanya.

Penvalin naskah di Indonesia mempunyai kebebasan. Dia dapat saja

memperbaiki sesuatu yang dianggapnya salah dalam naskah yang disalirmya,

mengubah, menambah, dan mengurangi di sana-sini menurut seleranya. Dalam

kebebasan seperti itu dapat saja dia "menyalin" dari satu naskah atau lebih yang

terdapat di hadapannya dan mengambil bagiandxagian yang dianggap paling

cocok untuk memenuhi seleranya sehingga lahirlah suatu teks ramuan dari

berbagai naskah itu ditambah dengan daya imajinasi.

Dengan gaya penyalinan seperti itu dapat dipahami bahwa dalam

penggarapan edisi naskah tidak selalu berhasil merunut teks yang ada sehingga

dapat disusun sebuah silsilah (slemma). Dalam alam penyalinan seperti yang

terdapat di Indonesia itu, metode stemma yang bertujuan merunut teks asli

diragukan keberhasilannya.

3.Iluminasi dan Ilustrasi

Mula-mula istilah iluminasi dipakai dalam penyepuhan emas pada

beberapa halaman naskah untuk memperoleh keindahan. Dalam

perkembangannya kemudian, iluminasi mengacu pada gambar dalam naskah yang

biasanya terdapat pada halaman depan naskah, halaman 1 dan halaman 2, yang

berfungsi sebagai penghias halaman. Gallop (1991:79) menyatakan bahwa gambar

yang berfungsi sebagai pembingkai sebuah teks disebut iluminasi . Selain

iluminasi , dalam naskah juga ada gambar yang berfungsi bukan hanya

sebagaipenghias halaman melainkan juga sebagai pendukung isi teks. Gambar

seperti itu disebut ilustrasi (Folsom, 1990:40). Karena berfungsi sebagai

penjelas teks, ilustrasi terletak di mana saja, bisa di bagian depan, di tengah atau

di bagian belakang.

Iluminasi biasanya berbentuk bingkai yang ada pada halaman depan.

Dalam The Art of the Book in Central Asia dinyatakan bahwa dekorasi

yang terletak pada halaman depan teks ada 3 jenis: (1) dekorasi yang membingkai

seluruh teks, yang disebut. arlauh; (2) dekorasi yang terdapat pada bagian atas

teks, yang disebut univan; dan (3) dekorasi yang terdapat di tengah teks dan

berbentuk oval, yang disebut samsah.

Dalam naskah Melayu koleksi Perpustakaan Nasional, Jakarta, sebagian

besar iluminasi berbentuk bingkai teks dan terdapat pada halaman bagian depan.

Bentuknya persegi panjang dan kadang-kadang bujur sangkar. Bagian atas

iluminasi ada juga yang berbentuk setengah lingkaran (kubah) dan bagian

tengahnya berbentuk kerucut. Pada kerucut itu ada yang bergambar bunga,

kuncup bunga, bintang, bulan, atau gambar geometrik.

Motif gambar yang membingkai teks juga beragam. Iluminasi yang

terdapat dalam halaman muka naskah "Syair Kumbang dan Melati" berupa

gambar yang membingkai seluruh teks. Motif gambarnya berupa tumbuh-

tumbuhan, bunga teratai yang berpadu dengan daun melati, dan daun anggur yang

berpadu dengan garis geometris. Motif itu berbentuk mihrab dan di atasnya

berbentuk kubah. Di atas gambar kubah itu terdapat gambar bintang.

Iluminasi berbentuk kubah juga terdapat pada naskah "Syahrul lndra

VIII" . Gambar dalam iluminasi itu dipoles dengan cat air dengan warna-warni

yang sangat mencolok: merah, biru, kuning, dan hitam. Goresan dalam iluminasi

itu tampak halus dan rapi.

Dalam naskah "Maharaja Boma IV" iluminasi bermotif geometris

yang berpadu dengan floral. Gambar hanya terdapat pada bagian atas teks,

sedangkan pembatas kiri, kanan, dan bawah hanya menggunakan baris. Bingkai

teks seperti itu juga terdapat dalam naskah "Maharaja Boma I" yang bergambar

akar sulur dan daun melati, sedangkan bingkai kedua sisinya bergambar bintang.

Mengapa motif iluminasi itu berupa tumbuh-tumbuhan, seperti melati,

anggur, dan teratai?

Mungkin tumbuh-tumbuhan jenis itu mempunyai lambang khusus dalam

budaya kita. Teratai merupakan lambang kekuatan dan keteguhankarena

tumbuhan itu dapat hidup kokoh di atas permukaan air walaupun akarnya hanya

terhunjam di air.

Walaupun hidup di air yang kotor, teratai berbunga indah dan berseri-seri.

Motif tumbuhan bersulur yang berupa batang merambat yang dirangkai

dengan daun dan bunga yang saling berkaitan dalam istilah Jawa disebut sulur

gelung. Dalamnaskah "Sejarah Kawedar" dinyatakan bahwa

swZwrgeZimgmerupakan lambang dari pegangan hidup (Pudjiastuti , 1992:3).

Menurut Daneshvari (1986:27), baik sulur anggur maupun sulur lainnya, bukan

hanya muncul dalam seni Islam, melainkan juga dalam seni Kristen. Sulur

merupakan lambang dari kehidupan yang akan datang di surga. Gallop

(1991:59) berpendapat bahwa gambar seperti itu (geometris dan floral) dipakai

sejalan dengan kepercayaan Islam ortodoks yang menolak gambar makhluk hidup.

Oleh sebab itu, gambar manusia jarang dijumpai dalam naskah Melayu.

Sehubungan dengan munculnya seni Islam, (Akbar, 1992:4) menyatakan

bahwa salah satu karakteristik seni Islam adalah pengulangan. Pengulangan dapat

bermotif geometrik atau floral. Dalam arsitektur Islam dapat kita lihat adanya

bentuk yang diulang-ulang hingga menutupi seluruh permukaan dinding. Hal itu

melambangkan keterikatan hubungan antara Tuhan dan khaliknya, termasuk juga

nilai-nilai estetika. Motif gambar seperti itu merupakan upaya untuk menutupi

kekosongan. Kaligrafi merupakan kesenian Islam yang beniilai estetis tinggi.

Motif bunga, bulan, dan geometrik juga berkaitan dengan kepercayaan

orang Melayu tentang Ketuhanan. Orang Melayu menganggap bahwa Tuhan itu

Mahatinggi dan Mahamulia.

Hal itu menunjukkan bahwa kesenian Melayu berkaitan erat dengan

kesenian Islam.

Bertahan dengan kesenian Islam, Akbar (1922) menyatakan bahwa produk

seni Islam didominasi oleh pola geometrik dan bunga yang bersifat non-figuratif

yang melambangkan keesaan (tauhid) Tuhan, tidak berkompromi, tidak dapat di-

ekspresikan dalam bentuk-bentuk bendawi. Seni Islam merupakan simbul

kepercayaan dan pemahaman akan Tuhan yang dituangkan dalam bentuk garis,

warna, dan irama. .

Berbeda dengan iluminasi, yang gambarnya membingkai teks, ilustrasi

tampil dalam haitannya dengan alur cerita (Gallop, 1991:87). Karena berkaitan

dengan alur cerita, ilustrasi tampak pada halaman-halaman tertentu sesuai dengan

alur cerita. Ilustrasi dapat berfungsi memperjelas identifikasi tokoh>, jalan cerita,

atau makna teks. Oleh sebab itu, Vermeeren dan Hallinga (1963:263)

menyebut gambar seperti itu dengan istilah textil lustration.

Pada umumnya kehadiran gambar yang berfungsi sebagai ilustrasi itu

disesuaikan dengan isi cerita dalam teks. Dalam naskah "Merpati Emas dan

Merpati Perak", misalnya, dikisahkan bahwa tokoh berlayar sampai di suatu

pantai. Di bawah teks yang menyatakan peris tiwa itu terdapat gambar — dengan

tinta hi tarn— dua buah kapal laut sedang berlayar yang menghampiri pantai.

Pada halaman lain terdapat gambar istana. Ternyata, istana tersebut merupakan

tempat tinggal tokoh yang bernama istana Negeri Padang Temurat.

Dalam naskah "Wayang Arjuna", "Cerita Wayang", dan "Hikayat

Purusara", ketiga teksnya tergolong cerita wayang, terdapat gambar wayang,

yang menjadi tokoh cerita. Gambar wayang itu dapat diidentifikasi berdasarkan

peristiwa yang tertera dalam teks,

Dalam naskah "Hikayat Purusara"halaman 5, misalnya, terdapat gambar

Petruk, Gareng, dan Garubug sedang bercakap-cakap. Teks yang terdapat pada

halaman itu menyatakan bahwa mereka sedang merundingkan pembagian kerja

dalam pembangunan kampung: siapa yang mencangkul dan siapa yang memotong

kayu. Dalam halaman 118 naskah itu juga terdapat gambar Petruk, Semar,

Garubug, serta Rara Amis dan anaknya. Gambar itu berfungsi memperjelas teks

tentang peristiwa Rara Amis dan para punakawannya ketika berada di hutan.

Kehadiran ilustrasi dalam naskah seperti itu jelas dapat membantu

pembaca dalam memahami isi teks dan dapat merangsang pembaca untuk terus

membaca, di samping untuk menghilangkan kebosanan.

Dalam naskah "Syair Buah-buahan" (bernomor ML 254) terdapat

ilustrasi berupa gambar buah jambu, jeruk, pisang, delima, anggur, dan rambutan.

Gambar buah-buahan tersebut ditampilkan sesuai dengan alur cerita, bahkan

berfungsi sebagai tokoh cerita karena dapat berbicara dan bertindak seperti

manusia. Hal itu dapat kita pahami karena "Syair Buah-buahan" tergolong

syair simbolik.

Selain bermotif geometrik dan sulur, ilustrasi juga ada yang bermotif daun

dan garis yang membentuk silsilah. Dalam naskah koleksi Yayasan Indrasakti,

yang terdapat di Pulau Penyengat, Riau, ada beberapa naskah silsilah, seperti

"Silsilah Keturunan Raja-raja Riau" dan "Silsilah Laksamana Encik

Muhammad Yusuf". Ilustrasi dalam naskah "Silsilah Laksamana Encik

Muhammad Yusuf berbentuk tongkat dengan garis ke kiri dan ke-kanan yang

mencantumkan nama-nama keturunanny a. Tinta yang digunakan dalam kedua

naskah itu berwarna merah dan hitam.

Di Perpustakaan Nasional juga terdapat naskah seperti itu yang berjudul

"Tapel Adam". Ilustrasinya berbentuk akar sulur yang membelah menjadi dua

bagian. Sulur sebelah kiri ditulis dengan aksara Jawa dan sulur sebelah kanan

dengan aksara pegon. Silsilah berawal dari Nabi Adam sampai keturunan

Sultan Yogyakarta dan teralchir Kanjeng Sultan Gangsal. Alas

naskahnya kertas double folio (3 lembar) yang disambung-sambung.

Selain ilustrasi yang telah diuraikan di atas, ada juga ilustrasi motif lain,

sebagaimana yang terdapat dalam naskah kitab, obat-obatan, astrologi, ilmu

firasat (primbon), mistik, dan tasawuf. Ilustrasi dalam naskah tersebut juga

berfungsi sebagai penjelas teks agar doa, ramalan, dan obat-obatan yang tertera

pada teks bertuah ampuh. Ilustrasi dalam naskah seperti itu bermotif binatang,

tumbuh-tumbuhan, geometrik, dan manusia (dalam bentuk yang sangat primitif).

Sebagai contoh, perhatikan ilustrasi teks-teks berikut:

Siapakah yang membuat iluminasi dan ilustrasi itu? Apakah yang

membuatnya penulis atau penyalin naskah itu?

Pertanyaan itu sukar dijawab mengingat sulit sekali

mengidentifikasinya. Dalam naskah ataupun teks sama sekali tidak ada

ciri-ciri yang dapat menelusurinya. jika pembuat iluminasi atau ilustrasi

itu penulis/penyalin, hal itu dapat dilacak melalui kolofon. Namun, itu pun

tidak dapat diandalkan karena naskah-naskah tua tidak berkolofon. Pada

naskah abad ke-19 barulah terdapat kolofon. Kolofon-kolofon itu sering

mencantumkan nama penulis/penyalin, tempat, dan waktu penyalinan.

Bahkan, dalam kolofon kadang-kadang tencantum data pemilik naskah.

Dalam naskah, Melayu yang berilustrasi dan berkolofon tercatat

tempat penyalinan, antara lain Betawi (Jakarta) dan Palembang. Menurut

Chambert-Loir (1984:44 — 67), pada abad ke-19 di Betawi ada seorang

penyalin dan pemilik naskah yang bernama Muhammad Bakir. Chambert-

Loir berhasil mencatat 27 naskah milik Muluwtmad Bakir. Namun, di antara

ke-27 naskah itu hanya 8 naskah yang berilustrasi, yaitu (1) "Hikayat

Agung Sakti", (2) "Hikayat Maharaja Garebag Jagat", (3) Syair Wayang Arjuna",

(4) Hikayat MeiyatiLmas dan MerpatiPerak", (5) "Hikayat Purusara", (6)

"Hikayat Sultan Taburatl", (7) "SyairKen Tambuhan",dan(8) "SyairBuah-

buahan". Semua naskah itu disalin sekitar tahun 1880-an.

Sebagian besar naskah yang disalin Muhammad Bakir disewakan

kepada pembaca. Kolofon yang terdapat dalam naskah "Syahrul Indra VIU"

berbunyi sebagai berikut.

Saya hendak berpesan kepada sekalian Tuan-tuan dan Cucu-cucu

atau Babah atau Enci-Enci yang suka baca ini hikayat jangan terlalu dekat

pelita dan jangan terlalu makan sirih dan jangan terlalu becanda di hadapan

ini hikayat sebab takut nanti ketumpahan minyak. Dan lagi jikalau

sekalian sanak saudara ada empunya rahim serta rida hati yang puti bersi

akan saya, maka adalah saya hendak mohonkan di dalam satu malam 10

sen demikian adanya.

Dalam kolofon "Syahrul Indra VII" juga disebutkan harga sewa

naskah sebagai berikut. "... pada tahun seribu delapan puluh delapan enam ...

Kasim Sarina yang punya di Kampung Ancol. Siapa yang suka baca boleh bayar

10 sen."

Berdasarkan catatan tersebut, penyewaan naskah ternyata berkaitan

erat dengan pemberian ilustrasi dalam naskah karena ilustrasi dapat

merangsang minat pembaca dan mempuanyai nuansa lain dalam bacaan.

Ternyata naskah-naskah berilustrasi yang disewakan itu bukan

hanya naskah yang disalin di Betawi, melainkan juga naskah yang disalin

di Palembang. Kratz (1980:90—96) menyatakan bahwa beberapa naskah

yang ditulis di Palembang disewakan. Naskah itu bertahuri 1886 AD.

Naskah yang disewakan itu ada yang berilustrasi, seperti naskah "Hikayat

Sri Panji Kelana Anaken".

Dalam salah satu naskah tercantum kolofon yang menyatakan

bahwa penyalinnya adalah Radin Mas Subra di Palembang dan selesai

disalin pada 14 Rabiul Awal 1332 H atau 1914 M. Selain itu, ada juga

keterangan sebagai berikut.

"Siapa suka mau beli Syair Syari'at Islam boleh datang di toko Ce Haji

Chatib Kampung Sekanak Sungai Besar."

Dalam kolofon naskah yang lain tercatat bahwa naskah tersebut

"tamat kepada tanggal 3 bulan Jumadil Aioal malam Ahadjam 5 Viadanya pada

tanggal tahun 1336/1918 adanya. Maka adalah yang mengarang ini yaitu Kemas

Ahmad pada Kampung 3 Ulu adanya."

Dalam kolofon naskah "Pandawa Lebur" disebutkan bahwa, "Naskah

baharu sudah dibaikkan pada tanggal 1 Juli 1906. Yang empunya hikayat ini

Muhammad Syafei bin Muhammad Saleh, Kampung Ulu Palembang adanya.

Barangsiapa pakai ini hikayat min ta tolong peliharakan."

Dalam kolofon naskah "Hikayat Anbiya" juga dinyatakan sebagai

berikut.

Ini hikayat ada empat orang yang empunya bekas tulisannya. Maka

jadi berlain-lainan tulisannya. Jangan dikasi tangan pertanyaan dan

sewanya dalam sehari semalam 10 sen.... Hamba memberitahukan kepada

Tuan-tuan yang manah suka membaca hikayat ini, biarlah Tuan-tuan ingat

kepada yang empunya karena ini hikayat tulisannya belum lama dan lagi

jangan ada kena kotor karena harganya 15 rupiah perak adanya. Ini

hikayat yang empunya bernama Muhammad Din, Kampung Nurbaik, Gang

Terunci adanya.

Berdasarkan kolofon tersebut, pencantuman ilustrasi tampaknya

berkaitan erat dengan komersialisasi naskah pada abad ke-19, baik untuk

disewakan, dipinjamkan, maupun untuk dijual.

Daya tahan (usia) naskah bennacam-macam: ada yang tahan lama

dan ada yang tidak tahan lama. Usia naskah sangat bergantung kepada alas

naskah yang digunakan, iklim, dan tempat penyimpanannya. Selain itu,

daya tahan naskah juga bergantung kepada pemeliharaannya.

Penulis atau penyalin naskah Nusantara pada umumnya anonim.

BerdasarKar t kolofon yang biasanya terdapat pada bagian akhir teks,

penulis atau penyal n naskah terdiri atas berbagai lapisan masyarakat, baik

secara terorganisa.' si maupun tidak, yang menulis berdasarkan kehendak

sendiri atau berdas arkan pesanan. Di antara mereka itu ada

yangberprofesi sebagai penulis dar i sekaHgus sebagai penyalin serta

meminjamkan hasil karyanya kepada masyarakat. Pada masa lampau

dikenal penulis atau pujangga istana dan penulis yang dipekerjakan oleh

pihak lain, baik oleh perseo-rangan maupun oleh pihak Pemerintah

Belanda atau Inggris.

Naskah-naskah Nusantara pada umumnya tidak beriluminasi, tetapi

ada pula yang beriluminasi. Selain itu, ada.pula naskah yang berilustrasi.

Iluminasi ac Ialah gambar yang berfungsi sebagai penghias halaman muka

naskah, biasanya membuat sejenis bingkai teks. Ilustrasi adalah gambar

yang berfungsi sebagai penjelas teks. Jadi, ilustrasi ada kaitannya dengan

alur cerita, sedangkan iluminasi tidak berkaitan dengan alur/Lsi cerita.

V1

Edisi Naskah

Langkah Kerja Edisi Naskah

Penciptaan teks dalam naskah biasanya sangat rumit. Apalagi masa

penciptaannya sudah beberapa abad yang lalu. Oleh karena itu, kita

sebagai peneliti harus mengerti benar apa vang harus dilakukan ketika

menghadapi naskah. Pekerjaan yang harus dijalani tentu saja tergantung

pada naskah yang dijadikan objek penelitian. Teks yang hanva terdapat

dalam satu naskah berbeda perlakuannya dengan teks yang ada dalam

beberapa naskah. Untuk itu, dalam melakukan tugasnya, seorang filolog

dapat melakukan langkah-langkah sebagai berikut:

(1) inventarisasi naskah, ,

(2) deskripsi naskah,

(3) perbandingan teks

(4) penentuan metode penyuntingan,

(5) penentuan umur naskah, dan

(6) transliterasi.

1) Inventarisasi Naskah

Inventarisasi naskah dapat dilakukan jika kita sudah menentukan

naskah apa yang menjadi objek penelitian kita. Misalnya kita akan

mengambil naskah Melayu yang berjuudul Hikayat Muliammad Hanafi ifyah.

Setelah mengetahuinya, kita beranjak dengan meneliti jumlah naskah

tentang cerita atau hikayat itu. Untuk mengetahui jumiahnya kita harus

meneliti di berbagai ternpat penyimpanan naskah yang sangat tersebar.

Cara yang dilakukan adalah dengan melihat berbagai katalog naskah, baik

katalog yang mendaf tarkan naskah yang di dalam negeri maupun di luar

negeri.

Katalogus adalah buku yang berisi berbagai judul naskah yang ada

dalam suatu koleksi. Katalog terbagi dua, yaitu katalog deskriptif dan

katalog yang hanya berupa daftar saja. Katalog deskriptif adalah buku

yang mendeskripsikan keadaan suatu naskah dengan lengkap, umpamanya

ukuran naskah, jumlah halaman, kolofon, serta ringkasan isi. Contoh

katalog yang seperti ini adalah Katalog Koleksi Naskah Melayu Museum Pusat

(1972) dan Ronkel (1909) Catalogus der Maleische Handschriften in liet

Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Katalog yang kedua

berupa daftar karena di dalamnya hanya disebutkan judul naskah dan

tempat penyimpanannya. Contoh katalog yang seperti itu adalah yang

disusun oleh Joseph Howard dengan judul Malay Manuscripts: A

Bibliographical Guide (1966). Bukan hanya katalog yang dapat dipakai

untuk menginventarisasi jumlah dan tempat-tempat penyimpanan naskah,

melainkan juga daftar naskah yang dimiliki oleh berbagai perpustakaan

dan museum. Biasanya suatu perpustakaan atau museum sudah

mendaftarkan koleksi naskah yang menjadi miliknya. Kadang-kadang

daftar itu dibuat sangatsederhana oleh pemiliknya. Meskipun sederhana,

daftar itu tetap bermanfaat.

Katalog apa saja yang kiranya dapat dipakai? Katalog itu

tergantung pada naskah yang diambil. Apakah naskah Jawa, Sunda,

Melayu atau Bali? Naskah di Indonesia sangat beragam karena ditulis

dalam berbagai bahasa daerah dengan aksara yang berbeda. Naskah

berbahasa Jawa dapat dicari dalam katalog naskah Jawa; naskah berbahasa

Bali dapat dicari dalam berbagai katalog naskah Bali; naskah berbahasa

Sunda dapat dicari dalam katalog naskah Sunda, begitu juga halnya

dengan naskah yang berbahasa Melayu. Berbagai katalog naskah daerah di

Indonesia sudah banyak disusun oleh beberapa pakar. Jika kita mengambil

naskah Melayu, berbagai katalog yang memuat naskah Melayu harus kita

cari.

Sebagai contoh kalau kita mengambil naskah Melayu, informasi apa

saja yang diperlukan? Berdasarkan informasi yang diberikan oleh

Chambert-Loir (1980) naskah Melayu disimpan di 29 negara, di antaranya

Indonesia, Malaysia, Inggris, Belanda, Denmark, Belgia, Jerman, Perancis,

dan Italia. Dalam suatu negara, naskah disimpan dalam berbagai

perpustakaan dan museum. Di samping itu, naskah juga masih disimpan

dalam berbagai koleksi pribadi dalam masyarakat di Indonesia yang

koleksinya belum dicatat, lain halnya dengan lembaga formal. Naskah-

naskah yang dikoleksi oleh lembaga itu biasanya'sudah dibuat katalog.

Berbagai katalog perlu diperiksa untuk melihat di mana saja naskah yang

kita ambil itu disimpan.

Naskah Melayu yang disimpan di Perpustakaan Nasional, Jakarta,

dapat diketahui dalam katalog berikut ini.

(a) Catalogus der Maleische, Javaansche en Kaivi HSS van het Bataviaasch,

1872, disusun oleh Cohen Stuart merUpakan katalog naskah Melayu di

Indonesia yang tertua.

(b) Catalogus der Maleische PISS in het Museum van het Bataviaasch van

Kunsten en Wetenschaapen, tahun 1909 disusun oleh Van Ronkel.

(c) Katalogus Koleksi Naskah Melayu Museum Pusat, tahun 1972, dibuat oleh

Sutaarga dan kawan-kawan.

(d) Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara, Perpustakaan Nasional RI, 1998,

Naskah Melayu yang disimpan di Belanda dapat diketahui dalam

katalogus:

(a) Catalogus van de Maleische en Sundaneesclie Handschriften disusun

oleh H.H. Juynboll pada tahun 1899. Katalog ini tidak hanya

memuat naskah Melayu, tetapi juga naskah Sunda yang disimpan di

Belanda.

(b) Supplemen t-Catalogus der Maleisclie en Minagkabausche Handschriften

in de Leidsche Universiteits Bibliotlieek yang disusun oleh Van Ronkel,

1921.

(c) Catalogue of Malay and Minangkabau Manuscripts in the Library of Leiden

University and Oilier Collections in the Netfierlands, tahun L998, katalog

terbaru yang disusun oleh Y.P. Wieringa.

Naskah Melayu yang disimpan di Inggris dapat diketahui dalam katalogus

dan daftar yang disebutkan berikut ini.

(a) ―Account of six Malay Manuscripts of the Cambridge‖, sebuah daftar yang

disusun oleh Van Ronkel dalam Majalah BKI, 6, II, 1896.

(b) Indonesian Manuscripts in Great Britain: A Catalogue of Manuscripts in

Indonesian Languages in British Public Collections, tahun L977. Katalog

yang paling lengkap dibuat oleh Ricklefs dan Voorhoeve. Katalog ini memuat

seluruh naskah yang disimpan di Inggris, di antaranya di London, yaitu di

Royal Asiatic Society, School of Oriental and African Studies, dan The

British Library. Naskah yang disebutkan dalam catalog itu adalah naskah-

naskah Nusantara, seperti Batak, Aceh, Bali, Ambon, Bugis, Jawa, Lampung,

Kalimantan, Makasar, Melayu, Minangkabau, Sasak, dan Sunda.

Naskah Melayu yang disimpan di Malaysia, Negara tetangga, dapat dilihat

dalam katalog:

(A) Malay MSS. A Biblographical Guide, 1966, DIBUAT JOSEPH H. HOWARD YANG

DITERBITKAN DI KUALA LUMPUR OLEH UNIVERSITY OF MALAYA. DI NEGARA TERSEBUT

ADA TIGA TEMPAT MENYIMPAN NASKAH, YAITU MUSEUM NEGARA, UNIVERSITAS MALAYA,

DAN UNIVERSITI KEBANGSAAN YANG TERLETAK DI KUALA LUMPUR.

PERANCIS JUGA MENYIMPAN NASKAH MELAYU. UNTUK MENGETAHUI NASKAH APA

SAJA YANG DISIMPAN DI NEGARA ITU, KITA DAPAT MELIHATNYA DALAM BEBERAPA

KATALOG, MISALNYA

(a) P.VOORHOEVE MEMBUAT ARTIKEL YANG DITERBITKAN DI MAJALAH Archipel 6,

1973 DENGAN JUDUL "LES MSS MALAIS DE LA BIBLIOTHEEQUE NATIONALE DE

PARIS",

(b) WAN ALI WAN MAMAT, 1991 MENYUSUN Katalog Manuskrip Melayu di

Perancis. KATALOG INI MEMUAT 209 NASKAH MELAYU YANG ADA DI NEGARA

TERSEBUT.

2) Deskripsi Naskah

DALAM BAGIAN DESKRIPSI NASKAH KITA HARUS MEMAPARKAN ATAU MENDESKRIPSIKAN

KEADAAAN NASKAH SATU PER SATU SEJELAS MUNGKIN. BUTIR-BUTIR APA SAJA YANG

DIDESKRIPSIKAN? SEBENARNYA BEBERAPA PAKAR TELAH MENGUSULKAN SUATU DAFTAR

YANG MEMUAT BUTIR-BUTIR YANG HARUS DIRINCI DALAM MENDESKRIPSIKAN NASKAH,

TETAPI SELALU SAJA ADA KEKURANGAN DAN KELEBIHAN. YANG DIPENTINGKAN DALAM

SEBUAH DESKRIPSI ADA tiga hal, yaitu deskripsi fisik naskah, jilid naskah, isi

naskah. Informasi lain dapat saja diuraikan misalnya catatan lain yang

memuat sejarah naskah. Mulyadi (1994) menguraikan hal-hal yang harus

dicatat dalam mendeskripsikan sebuah naskah.

(a) Judul naskah

Judul naskah biasanya ditemukan pada halaman awal yang disebut

halaman judul, tetapi tidak semua naskah mempunyai halaman judul.

Kalau tidak ada halaman itu, judul naskah biasanya disebutkan pada awal

teks atau di akhir teks. Kalau ternyata tidak ditemukan juga, filolog wajib

memberi judul. Jika filolog yang memberikan judul, sebaiknya judul itu

ditulis di dalam kurung siku [....] atau diberi tanda petik “…..”

(b) Tempat penyimpanan naskah

Sebutkan semua tempat yang menyimpan naskah itu (lihat dalam berbagai

katalog) .Tempat penyimpanan, seperti yang sudah diuraikan di atas,

dapat berupa lembaga formal (yayasan, museum, perpustakaan) atau

perorangan.

(c) Nomor naskah

Nomor naskah biasanya diberikan oleh pemilik dan ditempelkan pada

sampul naskah. Meskipunpara pemilik naskah sudah mencatatkan nomor,

biasanya sebuah lembaga yang menyimpan memberikan juga nomor baru.

Jika nomor itu ada, semua nomor yang ada harus dicatat. Sebuah lembaga

biasanya tidak akan menghilangkan nomor asli yang dibuat oleh

pemiliknya karena nomor itu penting untuk mengetahui sejarah sebuah

naskah. Di Perpustakaan Nasional, Jakarta, misalnya nomor lama yang

menandai naskah milik Von de Wall diberi inisial W. Tetapi naskah itu

juga mempunyai nomor baru dengan kode Ml. (yang berarti Melayu).

Kedua nomor itu harus dicatat apa adanya.

(d) Ukuran naskah

Ada tiga hal yang dapat diukur dalam naskah, yaitu ukuran sampul

naskah, ukuran halaman naskah, dan ukuran-teks yang ditulis (kolom

teks). Ukuran itu dihitung dengan panjang dikali lebar.

(e) Jumlah halaman

Jumlah halaman naskah ada yang menghitung berdasarkan jumlah

halaman dan ada juga berdasarkan jumlah lembar. Kita harus memiiih

salah satu di antara keduanya agar konsisten dalam penghitungan.

Kemudian disebutkan juga jumlah halaman yang ditulisi dan halaman

yang kosong. Halaman kosong biasanya digunakan untuk pelindung teks

— sebelum dijilid — yang terdapat pada awal dan akhir naskah.

(f) Jumlah baris

Jumlah baris dihitung dalam tiap halaman, biasanya halaman awal dan

akhir berbeda jumlah barisnya dengan halaman isi teks. Untuk itu,

deskripsikan selengkap mungkin atau diambil jumlah rata-rata naris

dalam isi teks, lalu sebutkan jumlah baris halaman awal dan jumlah baris

halaman akhir.

(g) Huruf

Huruf adalah tulisan yang dipakai dalam naskah. Huruf disebut juga

dengan aksara. Pemakaian huruf ini penting disebutkan karena naskah

Nusantara sangat beragam. Apakah naskah itu ditulis dalam aksara

daerah (sebutkan namanya), aksara Arab, atau aksara Latin.

(h) Bahasa

Selain huruf sebutkan juga bahasa yang dipakai dalam teks. Sama halnya

dengan huruf, bahasa di Nusantara juga sangat beragam. Jadi, sebutkan

apakah naskah itu menggunakan bahasa Melayu, Jawa, atau Sunda.

(i) Tinta

Sebutkan jenis tinta yang digunakan serta warna tintanya, apakah teks itu

ditulis dengan tinta hitam, coklat, merah atau mungkin dengan pensil.

Dalam naskah sering ditemukan rubrikasi, pewarnaan dengan tinta merah.

pada kata atau kalimat yang di anggap penting. Pada perkembangannya

tidak hahya tinta merah yang digunakan, tetapi tinta dengan warn a lain.

Jika ada yang seperti itu, sebaiknya juga disebutkan

(j) Alas naskah

Sebutkan alas (bahan) yang digunakan untuk menulis. Kalau kertas,

sebutkan kertas tradisional atau kertas Eropa. Sama halnya kalau naskah

itu menggunakan alas yang lain, neper d lontar atau bambu. Kalau naskah

menggunakan kertas tradisional, sebutkan jenis kertasnya apakah

termasuk kertas dluwang. Kalau sukar untuk mengidentifikat/ikan,

sebutkan saja keadaan kertas itu, apakah tebal, tipis, licin. dan sebutkan

warnanya. Untuk kertas Eropa deskripsikan juga cap kertas yang ada di

dalamnya DI aagan menyebu TKAN nama dan mendeskripsikan gambarny a.

Nama cap kertas itu da oat dilihat dalam daftar cap kertas tulisan

Churchill atau E. Heawood (yang judulnya akan dinyatakan pada

pembicaiaan penentuan umur naskah). Untuk naskah yang berasal dari

abad ke-19 atau 20 banyak ju ga teks yang ditulis di atas kertas bergaris.

(k) Garis tebal dan garis tipis

Kedua jenis garis ini juga terdapat dalam cap kertas sehingga cara

melihatnya sama dengan melihat cap kertas. Kertas diangkat dan

dipantulkan ke cahaya. Kedua garis itu adalah garis tebal (chain line) DAN

garis tipis {laid line). Garis tipis dihitung dalam tiap sentimeter ada

berapa garis, sedangkan garis tebal dapat dihitung jumiahnya.

(l) Kondisi naskah

Kondisi naskah dideskripsikan dengan serinci mungkin agar pembaca

mendapat gambaran tentang keadaan naskah yang ada pada saat ini.

Deskripsi ini penting bagi peneliti selanjutnya. Yang diuraikan, di

antaranya keadaan kertas. Apakah kertas masih baik atau sudah banyak

yang robek, rusak (bolong-bolong), dan apakah sudah dilaminasi.

Bagaimana keadaan tulisan dan tintanya. Akhir-akhir ini banyak juga

ditemukan naskah yang dicetak dengan cara tradisional, yaitu cetak batu

(litografi). Kalau naskah yang seperti i tu yang ditemukan sebaiknya

disebutkan juga.

(m) Kolofon

Kalau dalam naskah itu ada kolofon, sebutkan semua keterangan yang

dinyatakan di dalamnya, misalnya tempat, waktu, dan penulis atau

penyalin. Kolofon biasanya ada di halaman akhir teks, tetapi kadang-

kadang juga ada yang dinyatakan pada bagian awal. Untuk menolong

peneliti lain, sebaiknya kolofon ini dikutip apa adanya, seperti dalam teks.

(n) Gambar

Dalam naskah kadang-kadang dimuat gambar. Gambar untuk hiasan yang

ada pada halaman depan (halaman awal dan halaman dua) disebut

iluminasi. Gambar lain yang terdapat pada halaman isi yang berkaitan

atau menjelaskan teks disebut ilustrasi. Kalau ada gambar dalam naskah

cfeskripsikan gambarnya, alatmenggambar (tinta, cat air, pensil gambar),

dan warna. Sebutkan pula pada halaman berapa gambar itu berada.

(o) Jilid naskah

Yang menjadi perhatian untuk jilid naskah, misalnya bahan untuk sampul

naskah (cover), motifnya, cara menyatukan lembar-lebar naskah, misalnya

dengan benang atau dengan lem, dan kuras. Kuras adalah kertas yang

dilipat dan dipotong lalu disusun bertumpuk, ada yang terdiri atas 4,6,

atau 8 lembar. Untuk itu, dihitung dalam satu jilid ada berapa kuras.

(p) Catatan

Dalam sebuah naskah kadangkala ditemukan catatan-catatan yang kira-

kira dapat mengungkap sejarah teks. Kalau ada catatan itu, kutipkan saja

catatan itu apa adanya. Misalnya dalam Hikayat Maharaja Garebeg fagad

disebutkan sejumlah judul naskah yang menjadi milik Muhammad Bakir,

pengarang dan penyalin dari naskah Betawi yang menyewakan naskahnya

kepada pembaca. Contoh lain adalah adanya stempel pada kertas. Hal itu

juga harus dicatat karena stempel dapat mengungkap kepemilikan naskah.

Intinya segala catatanyang dapat mengungkap sejarah sebuah naskah jika

ditemukan, harap dicatat dalam bagian irti.

3) Perbandingan Teks

Perbandingan teks dalam naskah dilakukan jika teks terdapat lebih dari satu

naskah Kalau naskah vang dihadapi hanya satu, langkah kerja ini dilewati. Akan

tetapi, kalau kita mempunyai naskah lebih dari satu, langkah ini harus dilakukan.

Bagaimana cara rnelakukan perbandingan?

Perbandingan teks dilakukan untuk mengetahui apakah ada perbedaan antara

bacaan satu naskah dengan bacaan naskah lainnya. Kalau ternyata bacaannya

sama dalam semua naskah, penentuan teks yang akan disajikan tidak terlalu

sukar. Namun, masalah akan muncul kalau ternyata naskah-naskah berbeda

bacaannya atau terdapat penyimpangan antara sa tu dan lainnya. Penentuan

naskah yang akan disajikan dalam edisi naskah menjadi sulit. Teks manakah y

ang harus dipilih untuk ditransliterasi.

Perbandingan teks dapat dilakukan dengan perbandingan isi cerita, misalnya

episode per episode kalau teks-teks yang ditemukan berbeda versi. Akan tetapi,

kalau teks yang ditemukan hanya varian dari satu versi, perbandingan biasanya

dilakukan dengan melihat perbedaan pemakaian kata, yakni dibandingkan kata

per kata. Perbedaan-perbedaan dicatat dalam aparatus kritikus. Aparatus kritikus

itu, yang mencatat segala perbedaan, dapat ditempatkan pada kaki halaman atau

pada halaman tersendiri di akhir halaman setelah semua perbedaan dicatat. Se

telah perbandingan selesai, kita diharapkan sudah dapat menentukan teks mana

yang akan dipakai atau disunting karena dari perbandingan itu kita sudah

melihat teks yang dianggap baik. Kalau dalam teks itu banyak ditemukan

kesalahan, teks itu jangan dipilih. Di samping itu, dapat juga dipilih naskah yang

lebih tua. Naskah yang lebih tua menjadi pertimbangan pokok dalam edisi naskah

pada masa lalu. Namun, dalam perkembangan keniudian, kelengkapan isi juga

menjadi pertimbangan. Pertimbangan itu tergantung pada tujuan penelitian.

4) Penentuan Metode Pem/imtingan

Setelah rnelakukan perbandingan, kalau naskah lebih dari satu, kita harus

menentukan metode penyuntingan (edisi) yang akan digunakan. Metode edisi

naskah tunggal berbeda dengan metode dalam edisi naskah yang lebih dari satu

(naskah jamak). Khusus penentuan metode edisi ini akan diuraikan pada sub-bab

tersendiri dalam bagian ini.

5) Penentuan Umur Naskah

Yang patut kita ketahui adalah mengapa penentuan umur naskah penting

dalam penelitian filologi. Kalau kita tidak mengetahui latar belakang suatu

naskah diciptakan atau dari abad mana naskah itu berasal, kita tenru tidak dapat

mengetahui konteks sosial teks itu dan fungsinya. Kalau konteks sosialnya tidak

diketahui bagaimana kita dapat memakainya. Bagaimana kita mengetahui fungsi

teks itu dalam masyarakat yang menciptakannya. Oleh sebab itu, dengan

mengetahui umur naskah, kesalahan penafsiran teks yang diteliti dapat

diperkecil.

Dari mana kita dapat mengidentifikasi umur naskah? Seperti kita ketahui

bahwa naskah lama bersifat anonim (tanpa menyebutkan nama pengarang). Oleh

karena itu, inf ormasi usia naskah hampir sangat jarang ditemukan, apalagi pada

naskah yang berasal dari abad 17 atau 18. Namun, naskah-naskah yang disalin

pada abad 19 atau abad 20 sudah mulai ada yang menginformasikan nama

pengarang, nama penyalin, tempat penyalinan, dan kapan naskah itu disalin.

Keterangan yang menginformasikan ketiga hal itu disebut kolofon. Kolofon

biasanya dicatat pada bagian akhir naskah atau halaman awal naskah. Kalau

ada kolofon dalam naskah berarti peneliti tidak sulit untuk menentukan umur

naskah. Kesulitan timbul kalau inforrnasi atau kolofon itu tidak ditemukan. Dari

mana kita memperolehnya?

Ada dua f aktor yang dapat dipertimbangkan untuk melihat umur naskah. Dua

faktor yang dapat dipakai sebagai pertimbangan adalah inforrnasi yang bersifat

internal dan inforrnasi yang bersifat eksternal. Faktor internal adalah kalau

inforrnasi itu berasal dari naskah itu sendiri, sedangkan faktor eksternal adalah

inforrnasi yang diperoleh dari luar naskah. Kolofon, termasuk faktor internal

karena ada dalam naskah. Faktor internal lain adalah kertas yang digunakan

karena dalam kertas itu terdapat cap kertas (watermark). Cara melihat cap kertas,

seperti yang sudah dikatakan di atas, adalah dengan mengangkat kertas dan

dipantulkan ke cahay a. Di situ dapat terlihat gambar yang ada dalamkertas.

Gambar-gambar itulah yang dapat diidentifikasi, dari tahun berapakah gambar

itu berasal. Perusahaan yang membuat kertas pada masa lalu, Eropa, biasanya

mencantumkan berbagai gambar. Bahkan kadang-kadang di sekitar gambar

disebutkan inisial atau tahun. Inisial dan tahun atau tulisan lain yang ada di

sekitar gambar disebut cap kertas tandingan (countermark). Kalau tidak ada inisial

atau keterangan tahun di sekitar gambar, gambar itulah yang harus diidentifikasi

dan dilihat apakah gambar itu tercantum dalam daftar cap kertas yang dibuat

oleh Churchill (1935) yang berjudul Watermarks in Paper: In Holland, France,

England, etc. in the XVII and XVIII Centuries and Tlieir Interconnection. Buku cap kertas

lain yang dapat digunakan adalah yang dibuat oleh Edwar Heawood (1950),

Watermarks, Mainly of the 17th & 18th Centuries. Dalam kedua buku itu diinformasikan

kapan sebuah perusahaan membuat kertas dengan contoh-contoh gambar yang

menjadi trade mark mereka. Dengan mencocokkan gambar itu, umur naskah dapat

diketahui. Inforrnasi lain yang dipertimbangkan dapat mengetahui umur naskah

juga adalah penjilidan (sampul naskah) atau catatan-catatan lain yang ada

dalam naskah itu. Kalau naskah yang diteliti adalah naskah sejarah, biasanya di

dalam teks itu ada inforrnasi kapan peristiwa itu terjadi. Dalam Hikayat Negeri

Johor rmsalnya peristiwa diawali dengan kalahnya Johor oleh Jambi pada

tahun 1611. Dengan adanya angka tahun itu, berarti naskah dibuat

setelah peristiwa itu terjadi.

Faktor eksternal yang dapat dipakai untuk memperoleh umur naskah

adalah dari sejarah pepyimpanan naskah. Suatu lembaga biasanya

mempunyai catatan kapan mereka menerima naskah yang menjadi

koleksinya. Informasi lain lagi juga dapat diperoleh melalui teks-teks

lain yang kadang-kadang menyebutkan suatu judul teks. Misalnya

Hikayat Amir Ham.-ah disebutkan dalam Sejarah Melayu. Hal itu beraiti teks

Hikayat Amir Hamzah sudah lebih dahulu ada dari Sejarah Melayu. Yasadipura

I adalah pengarang Serat Cabolek. Nama itu ti dak diketahui dari teksnya,

tetapi dari catatan lain yang menyebutkan bahwa Yasadipura adalah

penulis Babad Cayanti, Babad Prayut, Serat Cabolek.

6) 1 ransliterati

Uraian tentang transliterasi akan dijelaskan dalam sub-bab tersendiri

pada akhir bagian ini karena uraian itu harus lebih terperirici.

Kritik Teks

Apakah Anda pernah mendengar istilah kritik teks? I Calau

sudahmendengarnya, apakah Ande sudah memahaminya? Bagian ini

akan menjelaskan kepada Anda tentang kritilk teks. Baried (1985:61)

mengatakan bahwa kata kritik berasal dari bahasa Yunai, krites' seorang

hakim atau krinein' menghaakimi atau kriterion' dasar peng hakima5."..

Dalam kritik teks, filolog memberikan kritik atau evaluasi terhadap teks,

meneliti dan menempatkan teks pada ternpatnya yang tepat. Yang

dimaksud pada tempamya adalah mencari teks yang paling asli, teks

yang ditulis oleh pengarangnya, yang disebut autograf (autograf). Pada

dasarnya teks yang autograf itu hampir tidak dapat ditemukan lagi, di

antaranya karena naskah yang berisi teks itu si idahh ilang atau rusak.

Karena sukar menemukan teks yang autograf, akhirnya dala m kritik

teks hanya dicari teks yang mendekati teks aslinya.

Kritik teks pada awalnya dilakukan terhadap teks-t eks Alkitab, di

Eropa. Hal itu dilal tukan untuk mengetahui firman Tuhan yang semi

irni mungkin dan tujuannya untuk memahami maknanya. Lama-

ke!amaan bukan hanya teks Alkitab saja yang menjadi objek, tetapi

berbagai teks termasuk yang be risi kebudayaan.

Bagairnana cara kerja filolog memperoleh naskah yang teksnya

mendekati aslin ya? Untuk m endapatkan teks itu filolog harus

membandingkan naskah untuk mengkonstruksi naskah dari beberapa

naskah yantg ditemukannya. Naskah-naskah itu seharusnya berasal dari

korpus yang sarna atau naskah-naskah yang menuliki masalah yang

sama. Konstruksi itu dilakukan dengan asumsi bahwa penyalinan suatu

teks terus berlangsung. Dalam perjalanan penyalinan itulah, naskah

mengalami perubahan. Rangkaian penurunan yang dilalui suatu teks

yang turun-temurun d isebut tradisi.

Dalam penciptaan sebuah teks mungkin saja digunakan sebuah

naskah (induk) yang digunakan sebagai dasar dalam penciptaan naskah

baru. Dalam pekerjaan itu, penulis atau penyalin dapat hanya

menyalinnya saja, tetapi dapat juga ia menambahkan, bahkan

mengubahnya. Di samping itu, perubahan yang terjadi selama

penurunan teks itu mungkin dilakukan penyalin dengan sengaja atau

dapat juga terjadi tanpa sengaja. Perubahan dengan sengaja dilakukan

penyalin karena ia merasa ingin menyempurnakan teks itu sehingga

sesuai dengan masyarakat dan zamannya. Penyalin sengaja

menghilangkan atau menambahkan bagian-bagian dalam teks yang

menurutnya perlu dilakukan. Perubahan yang dilakukan tanpa sengaja

biasanya terjadi karena kelalaian sang penyalin. Perubahan seperti itu

biasanya menimbulkan kesalahan dalam teks. Kedua hal itu

menyebabkan terjadinya varian dan versi dalam teks. Varian ditemukan

dalam teks yang sejenis. Dalam teks-teks itu terdapat perbedaan-

perbedaan kecil, misalnya perbedaan dalam pilihan kata dan struktur

kalimat. Perbedaan itu tidak sampai mengubah isi teks. Hal itu berbeda

dengan versi. Versi juga ditemukan dalam teks sejenis, tetapi perbedaan

yang ditemukan dalam teks-teks tersebut agak besar, misalnya jalan

cerita sudah berbeda. Antara satu teks dengan teks lainnya sudah

berbeda, yang satu lebih pendek dari yang lainnya.

Menurut Robson (1978:35) kriteria untuk mendapatkan sebuah teks

adalah varian atau versi dari teks asli. Yang perlu dilihat adalah

penyimpangan-penyimpangan yang ada dalam teks, seperti kesalahan-

kesalahan yang ada. Kesalahan itu misalnya terjadi dalam beberapa

kasus berikut ini.

(1) Kalau terdapat teks puisi dengan corak metrum tertentu, kita

harus mencek apakah varian cocok dengan metrum. Kalau

tidak cocok, ada kemungkinan bahwa varian itu termasuk

kesalahan.

(2) Apakah varian merupakan perkataan yang dikenal dari tempat

(teks) lain? Kalau tidak, ada kemungkinan hal itu salah

walaupun juga mungkin varian itu satu-satunya tempat

perkataan itu dipakai. Satu-satunya tempat dipakainya

perkataan itu disebut Impax.

(3) Apakah varian itu sesuai dengan konteks cerita atau gaya

bahasanya dan tidak bertentangan dengan latar belakang

kebudayaan atau sejarah? Kalau ternyata ditemukan

ketidaksesuaian, kemungkinan adalah varian itu salah.

Reynold dan Wilson (1974) menambahkan bahwa kesalahan yang

terjadi dalam penyalinan teks dapat dibagi atas enam macam, yaitu:

(1) kesalahan yang disebabkan oleh tulisan tangan dalam teks

aslinya kurang jelas sehingga penyalin mengacaukannya

dengan huruf yang mirip

(2) adanya penggeseran lafal sehingga menimbulkan

kecenderuhgan penyalin untuk mengubah ejaan aslinya.

(3) penghilangan beberapa huruf yang disebut haplografi

(liaplography). Penghilangan itu terj adi karena mata penyalin

melompat maju dari satu perkataan ke perkataan yang sama

yang disebut saut de meme au meme. Penghilangan atau pelompatan itu dapat

terjadi dalam satu baris, satu bait, bahkan dapat dalam beberapa baris

(4) tambahan beberapa huruf atau kata yang diulang oleh penyalin yang disebut ditografi

(dittography)

(5) tukaran ditemukan jika pernakaian huruf terbalik, atau baris puisi tertukar

(6) tularan adalah perkataan terkena pengaruh perkataan lain yang baru saja, displin sehingga

meniru bentuknya

Berdasarkan beberapa hal y ang disebutkan di atas, filolog dapat mengidentifikasi kesalahan-kesalahan

dalam teks dan kemudian merekonstxuksi teks-teks dalam naskah berdasarkan suatu turunan yang sarna.

Untuk melakukan hal itu langkah kerja berupa perbandingan naskah harus dilakukan. Setelah perbandingan,

filolog mulai inengkonstruksi naskah dengan melakukan susunan sterna atau yang dikenal dengan metode

sterna,

Menurat Robson (1978:37) metode sterna dikembangkan pada tahun J 830-an di Eropa olf h Lachmann.

Metode itu ber lujuan untuk mendekati teks asli melalui data-data i taskah dengan melakukan perbandingan

teks. Dasar teori susunan itu bahwa naskah disalin satu demi satu, dan kesalahan yang pernah masuk dalam

suatu teks akan terus diturunkan dalam tradisi penyalinan,

Kesalahan-kesalahan itu dapat dipakai untuk menunjukkan perbedaan dan persamaan antara satu teks

dengan teks lain. Hal itu dilakukan untuk mengetahui asal sebuah teks dari naskah yang mana su atu

kesalahan itu diturunkan. Berdasarkan hal inilah filolog kemungkinan menggolongkan beberapa teks.

Penggolongan itu dilakukan karena tujuan kritik teks adalah memperbaiki kesalahan supaya filolog dapat

rnerekonstruksikan teks asli.

Teks asli ialah teks yang sudah rnenurunkan semua naskah yang masih ada. Naskah yang seperti itu

disebut arketip (archet\/pe). Arketip tidak perlu identik dengan autograf, teks yang ditulis oleh pengarang.

Dalam menelusur naskah yang seperti itu, filologboleh melakukan perbaikan atas kesalahan-kesalahan

(kemsakan) dalam teks. Perbaikan itu disebutemendasi. Kalau kerusakan teks ditelusur kembali

kemungkinan filolog dapat menghilangkan semua kesalahan dan kemungkinan dapat menemukan bentuk teks

seperti dulu yang terdapat pada arketip (naskah yang kemungkinan sudah lama hilang ).

Dalambukunya, Reynold dan Wilson (1974:190 -192) memberikan contohcara merekonstruksi naskah.

Naskah-naskah yang masih ada biasanya diberi nama dengan huruf Latin: A, B, C, D , E,dan seterusnya.

Arketip dan hiparketip (hxfparchehjfe) diberi nama dengan huruf Yunani, arketip dinamakan omega dan

hiparketip dinamakan abpa dan beta. Berikut ini adalah ilustrasi yang dibuatnya.

Dengan dasar penurunan seperti itu, kritik te ks harus memurnikan teks, teks sudah dibersihkan dari

berbagai kesalahan selama penyalinan —melalui perbandingan — sehingga tersusun kembali teks y ang

mendekati aslinya dan teks itu dapat dipertanggungjawabkan sebagai sumbei kepentingan penelitian disiplin

ilmu lain.

Pada perkembangannya kemudian, filolog tic lak lagi hanya melakukan kritik teks untuk mencari teks

yang mendekati aslinya. P andangan itu telah berubah. Para filolog saat ini mulai merasa bahwa bukan hanya

i naskah yang mengandung teks yang asli yang bernilai, tetapi setiap naskah m empunyai nilai tersendiri yang

mewakili zaman dan lingkungan sosial penyalinr lya. Pada kenyataannya penyalin bukan hanya menyalin,

tetapi ia juga menciptaka n teks baru dengan memasukkan imajinasi dan kreativitasnya. Oleh sebab itu, dal;

am naskah tunggal (naskah yang tinggal satu atau pun naskah yang me'mang har ya satu) sebuah kritik teks

dapat dilakukan, terutama pada penerapan edisi stand; ar. Dalam edi;;i itu kesalahan kecil dan

ketidakkonsistenan sudah diperbaiki.

Agar penelitian filologi dapat sempurna, diperlukan beberapa langkah kerja.

Langkah kerja itu di antaranya adalah inventarisasi, deskripsi naskah,

perbandingan, penentuan umur naskah, penentuan metode yang akan dipakai, dan

transliterasi.

Jika teks yang dijadikan objek penelitian hanya ada satu, langkah kerja yang

dilakukan adalah langsung pada deskripsi naskah, penentuan umur nasi .all,

penentuan metode, dar i transliterasi. Ketika mendeskripsikan naskah, setiap butir

dari fisik naskah, jilid naskah, dan isi diuraikan dengan teliti. Ketelitian itu

penting karena sttiap butir yang diuraikan dapat menjadi hal penting dalam

mengungkap sejarah teks. Jika teks yang ditemukan lebih dari saiu naskah,

perbandingan dilakukan. Pada bagian inilah, kritik teks dilakukan. Setelah itu,

filolog baru menentukan metode yang akan dipakai untuk menyunting teks.

Pemililian u-etode itu disesuaikan dengan tujuan penelitian.

Langkah yang dikerjakan setelah kritik teks adalah transliterasi, yaitu

mengalihaksarakanhuruf. Alih aksara ini penting agar pembaca mengetahui isi

yang terkandung di dalamnya.

2

Metode Penyuntingan

Metode merupakan cara kerja bagaimana seorang peneliti menyunting (mengedisi) teks. Metode itu itu

ditentukan oleh naskah yang ditemukan. Seperti yang sudah dikatakan di atas, menyunting naskah tunggal

berbeda cara kerjanya dengan menyunting naskah yang lebih dari satu (naskah jamak). Berdasarkan hal itu,

ada dua metode untuk edisi naskah.

Metode Edisi Naskah Tunggal

Untuk menyatakan bahwa sebuah naskah adalah naskah tunggal berbagai katalog harus diteliti lebih

dahulu. Kita harus membaca dahulu dalam beberapa katalogus yang dapat menginformasikan di mana naskah

ituberada. Kalau ternyata setelah dicek tidak tercatat nomor lain dari naskah itu dalam koleksi-koleksi lain,

kita dapat menentukan bahwa naskah itu adalah naskah tunggal. Naskah tunggal disebut codex unicus.

Menurut Robson (1994:21) ada dua metode yang dapat diterapkan pada naskah tunggal yaitu metode edisi

diplomatik dan metode edisi biasa atau yang dikenal dengan edisi standar.

Edisi Diplomatik

Dalam edisi diplomatik penyunting mencoba menyajikan teks dalam bentuk yang semurni mungkin.

Kerja yang paling cocok untuk edisi ini adalah reproduksi fotografis, naskah difoto apa adanya, tanpa

mengubah sedikitpun. Interpretasi dari peneliti ditutup kemungkinannya dalam edisi seperti ini karena

penyunting bahkan tidak dimungkinkan untuk melakukan transliterasi atau mengalihaksarakan huruf. Apalagi

membagi kata dan memberikan pungtuasi. Kalau kita menghadapi edisi yang seperti ini, pembaca seolah-olah

membaca naskah asli.

Dalam edisi seperti ini pembaca tidak dibantu dari berbagai kesukaran yang ada dalam teks. Edisi ini

hanya menarik bagi kalangan akademik yang mengharapkan naskah ditampilkan apa adanya sehingga mereka

masih dapat melihat keaslian teks. Bagi pembaca kalangan lain (yang lebih luas) edisi seperti ini mungkin

kurang menarik karena bacaan yang ada di hadapannya masih sama dengan naskah asli.

Peneliti yang menggunakan metode ini haras bekerja keras dengan memberikan pertgantar yang

biasanya diletakkan pada bagian awal edisi naskah. Contoh yang dapat diberikan dalam edisi seperti ini

adalah yang dilakukan oleh Drewes dan Voorhoeve (1958) terhadap Adat Atjeh. Naskah Mukhtasar

Tawarikh ul-Wusta dari Riau jug i pernah diterbitkan dalam edisi diplomatik ini dalam Manuscripta

Indouesica (1994).

Edisi Biasa (Standar)

Edisi naskah tunggal yang telah memasukkan campur tangan peneliti dalam penyuutingarmya disebut

edisi bia^a (Robson, 1978), Baroroh Baried (1985) menyebutnya dengan edisi standar atau kritik. Dalam edisi

ini inter pre tasi sudah dimasukkan (membetulkan kesalahan reks) dan pembaca sudah dibantu dari berbagai

kesulitan dalam bahasa dan aksara yang ada dalam teks. Filolog sudah mengalil laksarakan, membagi ka ta,

menandai kata dengan memakai huruf kapital, dan menyesuaikan ejaan yang dipakai dengan ejaan yang lebih

dikenal pembaca. Di samping itu, filolog juga sudah member! komentar pada kata yang kurang dapat dibaca

dan memberikan dugaan (konjektur). Namun, dugaan itu harus dipertanggungjawabkan dengan member!

catatan yang diletakkan pada catatan kaki. Catatan itu dibuat agar sifat asli sebuah teks tidak hilang.

Tujuanedisi inimeinangberbeda d< ngan edisi diplomatik. Edisibiasabertujuan agar teks dapat dinikmati

oleh pembaca vang lebih luas. Pembaca tidak mengalami kesukaran karena dibantu menghadapi rintangan

dalam memahami teks. Oleh karena itu, aksara yang digunakan juga aksara yang sudah akrab dengan

pembaca. Robson (1978) menekankan bahwa editor dalam edisi seperti ini harus mempertanggungjawabkan

segala perubahan yang akan dimasukkaravya, tanpa mengabaikan satu titik atau koma.

Bagaimana cara yang harus dilakukan? Bacaan yang dianggap betul (paling

baik) dimasukkan dalam teks dan bacaan naskah dicatat pada kaki halaman

{footnote) atau catatan itu dikumpulkan semuanya dan diletakkan di tempat khusus

(halaman tersendiri yang mencatat seluruh bacaan). Ada juga yang memasukkan

bacaan yang dianggap benar di dalam a a tan kaki halaman. Kita dapat memilih di

antara kedxra catatan itu yang penting harus konsisten. Yang menjadi prioritas di

sini adalah filolog tidak boleh mendiamkan segala perubahan yang dilakukannya.

Maksudnya supaya pembaca selalu meneliti kembali bagaimana bacaan dalam

naskah. Di samping itu, filolog juga dapat menambahkan, kalau perlu membuat

tafsiran sendiri. la selalu akan bersikap Iritis sehingga tiap-tiap keputusan yang

diambilnya dapat diuji kebenarannya. *

Dalam edisi ini, setelah transliterasi teks biasanya dilampirkan juga daftar kata sukar. Kata sukar

maksudnya kata-kata arkais (kata kuno yang sudah tidak dikenal lagi pada masa kini). Contoh penerapan edisi

ini banyak ditemukan, terutama dalam penelitian yang dilakukan mahasiswa untuk skripsi. Penerapan edisi

ini dapat ditemukan juga pada modul 6.

Metode Edisi Naskah Jamak

Jamak berarti lebih dari satu. Metode ini khusus diterapkan pada naskah yang jamak. Seperti yang telah

diuraikan di atas, perbandingan teks dilakukan dalam tahap edisi teks pada naskah yang jamak. Ada dua

metode yang dapat dipakai, yaitu metode landasan dan metode gabungan.

Metode landasan diterapkan jika menurut penafsiran peneliti, di antara naskah-naskah yang diteliti

berbeda nilainya. Nilai itu ditentukan setelah penggunaan bahasa, isi, dan umur naskah diteliti. Karena

berbeda, peneliti dapat memilih salah satu di antara teks' tersebut. Pemilihan disesuaikan dengan tujuan yang

ingin dicapai.,Peneliti yang ingin mengkaji isi naskah yang bersif at sejarah, tentunya akan mengambil naskah

yang lebih lengkap atau usianya yang lebih tua. Peneliti yang tertarik untuk mengkaji penggunaan bahasa,

tentunya akan memilih naskah yang penggunaan struktur kata dan kalimatnya lengkap. Naskah yang sesuai

dengan tujuan itu atau dianggap "berkualitas" yang dijadikan landasan, sedangkan naskah yang lairmya

dipakai sebagai bandingan. Jiasil bandingan (perbedaan-perbedaan) dicatat dalam aparatus kritikus.

Metode gabungan juga diterapkan jika naskah lebih dari satu. Metode ini jarang dilakukan karena

risikonya lebih besar. Dalam menerapkan metode ini, peneliti seolah-olah menciptakan sebuah teks baru yang

berbeda dengan teks-teks asli yang dipakainya.

Kapan metode ini digunakan? Metode ini dipakai jika peneliti menganggap naskah-naskah yang

dipilihnya mempunyai kualitas yang hampir sama. Perbedaan yang ada hanya kecil saja. Karena hampir

sama, peneliti sulit memilih salah satu di antaranya. Antara naskah satu dan naskah lain saling melengkapi

sehingga kalau digabung akan muncul naskah yang paling lengkap. Untuk itu, peneliti menggabungkan

beberapa naskah yang dijadikan objeknya. Di sebut edisi gabungan karena peneliti menggabungkan beberapa

bagian dari naskah yang satu dan beberapa bagian lain dari naskah yang lainnya. Yang harus diingat dan

diperhatikan dengan seksama bahwa peneliti harus mencatat semua bagian yang digabungkan dengan

menyebutkan sumbernya (naskah). Jika hal itu dilakukan berarti peneliti tidak menghilangkan teks asli (data

primer) yang diambil dari naskah asli. Metode ini diterapkan J.J. Ras dalam mengedisi Hikayat Bandjar.

Robson (1994:21) mengajukan suatu istilah, metode kritis, jika filolog telah melakukan perbaikan teks.

Metode ini pada dasarnya dapat diterapkan untuk naskah tunggal (metode standar) atau naskah jamak hanya

disesuaikan dengan tujuan. Ia memperkenalkan metode ini dalam rangka mengkontraskannya dengan edisi

diplomatik (edisi naskah tunggal). Dalam edisi diplomatis, filolog tidak mengadakan sedikitperubahan pun

dalam edisinya, sedangkan dalam edisi kritis, filolog sudah mengadakan kritik atas naskah (mengadakan

beberapa perubahan untuk keterbacaan teks). Oleh karena itu, peneliti sudah membuat beberapa perbaikan

yang harus dipertanggungjawabkannya.

Robson memberikan catatan pada bagian awal uraian tentang edisi ini dengan mengambil pernyataan

yang dikutipnya dari De Haan (1973:77). Di bagian itu dikatakan jika sese'orang ingin memberikan contoh

kepada pembacanya mengenai cara sebuah teks untuk dideklamasikan, bentuk publikasi yang sesuai adalah

jiplakan dan edisi diplomatis. Namun. jika seseorang ingin menerbitkan teks itu seperti fungsinya pada abad

ke-14, maka ia harus memberikan kepada pembacanya edisi kritis. '

Dalam uraian tentang edisi kritis, ia membedakan dua jenis edisi kritis. Edisi kritis yang direkonstruksi

dari satu -umber; akibatnya ada dua metode yang kontras. Yang pertama berusaha memperbaiki teks asli yang

hilang berdasarkan pada sumber-sumber yang ada, memilih bacaan yang terbaik, memperbaiki kesalahan, dan

membakukan ejaan. Yan g kedua, filolog mencoba membuat sumber yang ada menjadi bentuk yang semurni

mungkin berdasarkan satu naskah, tidak mempunyai varian; kesalahan-kesalahan dikoreksi hanya terbatas

pada kesalahan dalam penulisan dan tidak membuhmkan pembakuan ejaan.

Transliterasi

Transliterasi merupakan inti pekerjaanyang dilakukan dalam penelitian filologi. Karena melalui

transliterasi (alih aksai a; i i li lah, peneliti memperkenalka n kandungan isi naskah kepada pembaca untuk

mengetahui nilai-nilai yang ada di dalamnya.

Dalam filologi dibedakan dua istiiah. vaitu transliterasi dan transkripsi. Menurut Robson (1978:30),

transliterasi adalah pe i nindahan macam tulisan yang dipakai dan transkripsi arti dasarnya hanya pada

pemindahan tulisan saja, semacam salinan atau kopi. Yang patut diingat kalau maksudnya memang

mengganti satu macam tulisan dengan yang lainnya, istiiah yang tepat ialah transliterasi. Kata yang lebih

umum yang dipakai untuk istiiah transliterasi adalah alih aksara. Hal ini biasanya dilakukan untuk naskah

daerah yang beraksara daerah dan akan dialihaksarakan ke aksara Latin. Samahalnya dengan m.skah-naskah

Melayu yang beraksara Arab-Melayu (Jawi) ditransliterasi ke aksara Latin.

Langkah apa yang harus dilakukan ] etika akan mentransliterasi? Kalau naskah yang Anda miliki masih

berbahasa daerah dan beraksara daerah berarti Anda harus mengalihaksarakan lebih dahulu dari aksara daerah

ke dalam aksara Latin. Hal itu dilakukan untuk keterbacaan teks. Setelah itu, Anda menerjemahkan ke dalam

bahasa Indonesia. Tanpa disertai terjernahan, masyarakat di luar pemakai bahasa itu tidak memahami isinya.

Bagaimana cara membuat transliterasi? Memirut Robson, kita harus sudah melakukan pembagian kata,

penyesuaian ejaan, dan menggunakan tanda baca. Sekali lagi ditegaskan bahwa hal itu dilakukan agar

pembaca yang lebih luas dapat mengerti. ladi, semua dilakukan untuk keterbacaan naskah. Tanpa melakukan

hal itu, pembaca masih kurang memahami isi. Dengan melakukan hal itu berarti peneliti belum membantu

pembaca dalam membuka teks.

Pertanggung jawaban Transliterasi

Sebelum transliterasi naskah, dibuat sebuah pertanggungjawaban transliterasi. Dalam

pertanggungjawaban itu diuraikan pedoman apa yang digunakan. Tanpa menggunakan sebuah pedoman,

pekerjaan yang dilakukan biasanya tidak konsisten dan sukar diuji kebenarannya.

Pedoman yang dipakai untuk transliterasi aksara Arab-Melayu ke aksara Latin dapat digunakan beberapa

buku pedoman. Pedoman itu di antaranya dibuat oleh J.J. Holander (1984) dalam Pedoman Bahasa dan

sastra Melayu yang diterbitkan di Jakarta oleh Balai Pustaka. Selain pedoman itu, masih ada beberapa buku

yang memuat bagaimana kita mengalihaksarakan huruf. Untuk pedoman transliterasi aksara Arab yang

berbahasa Arab ke aksara Latin, pedoman yang dapat dipakai di antaranya adalah pedoman transliterasi yang

dibuat oleh Departemen Agama (1985/1986). Untuk aksara daerah ada beberapa buku yang dapat dipakai

sebagai pegangan. Contoh-contoh penggunnaan aksara yang diuraikan pada modul 3 dapat dipakai sebagai

pedoman karena diambil dari beberapa buku yang memang membahas aksara daerah.

Bukan hanya pedoman yang diperlukan dalam pertanggungjawaban transliterasi, tetapi juga hal-hal lain,

seperti tanda-tanda yang digunakan dalam kerja itu. Beberapa contoh akan diuraikan di bawah ini.

a. Seperti yang sudah diuraikan di atas kalau ada perbedaan bacaan (dalam

perbandingan naskah), perbedaan bacaan itu ditempatkan dalam apparatus

kritikus. Akan tetapi, keterangan dan cara kerja penyusunan itu harus

diungkapkan dalam bagian ini.

b. Ejaan yang digunakan harus dijelaskan.

c. Dalam teks sering kali satu kata ditulis dengan dua bentuk bahkan tiga bentuk

tulisan. Jika terdapat perbedaan bentuk tulisan, kita harus memilih satu kata

saja clan bentuk tulisan yang lain harus dijelaskan dan dicontohkan.

d. Bukan hanya kata yang ditulis berbeda-beda, nama diri juga sering ditulis

dalam dua bentuk atau tiga bentuk. Bentuk yang mana yang dipilih dan pilihan

itu harus dinyatakan. Variasi bentuk tulisan juga harus dijelaskan dalam bagian ini.

e. Kata-kata yang salah, biasanya dibetulkan. Kesalahan dan pembetulan itu

harus dijelaskan dan dicontohkan bagaimana pembetulan itu dilakukan.

f. Hal-hal yang ditambahkan dan dikurangi oleh peneliti juga harus dinyatakan

dengan sejelasnya pada bagian ini.

g. Tanda-tanda khusus yang digunakan oleh peneliti untuk kelancaran pembacaan

teks harus dinyatakan. Tanda-tanda yang lazim digunakan dalam transliterasi

seperti contoh di bawah ini.

(....) tanda yang digunakan untuk penambahan kata atau huruf dari

penyunting; dalam teks kata atau huruf itu tidak ditemukan.

[....] tanda yang digunakan untuk menghilangkan kata atau huruf yang ada

dalam teks, kata atau huruf itu dimasukkan dalam tanda itu untuk kelancaran pembacaan.

. . ./1... tanda yang digunakan sebagai pengalihan halaman dalam teks.

Pembagian Kata-kata

Dalam aksara daerah tampaknya hampir seluruhnya belum mengenal tanda

baca. Oleh karena itu tidak ditemukan spasi di antara kata-kata dan tidak ada tanda

baca. Sebagai penyunting yang ingin menyajikan teks agar dapat dibaca oleh

pembaca yang lebih luas, ia harus memberikan tanda baca dengan membagi kata-

kata. Pembagian itu dilakukan agar teks dapat dimengerti. Misalnya dalam naskah

Melayu yang ditulis dengan aksar Melayu (Jawi) tidak ditemukan sama sekali pembagian kata atau tanda

baca Kalimat terus berlangsung kata demi kata, kali mat demi kalimat dan akhirnya berganti dari satu

halaman ke halaman lainnya. Bagaimana kita menyajikan bacaan yang seperti itu? Untuk itu, kita dapat

membagi kata demi kata dan kalimat demi kalimat a gar struklurny a jelas sehingga inf ormasinya pun

dapatsampai kepada pembaca. U ntukitu keperluan itu, pedoman sebuah ejaan menjadi penting danharus

dipakai. Transliterasi dilakukan berdasarkan pembakuan ejaan yang mana?

Ejaan

Pentingnya menggunakan sebuah ejaan sebagai pedoman dalam transliterasi adalah agar suntingan yang

dibuat menjadi konsisten. Jika konsisten, pembaca tidak akan bingung karena penyunting sudah

menyesuaikan dengan ejaan yang dipilihnya. Ejaan yang biasa dipakai untuk alih aksara ke aksara Latin

adalah ejaan yang berlaku saat ini, yaitu Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Cara kerja itu harus

dijelaskan agar dapat dipertanggungjawabkan. Kita tidak boleh seenaknya melakukan perubahan dalam teks,

tetapi harus membuat per tanggungj awabarvny a.

Bukanhanya ejaan yang digunakan dalam mentransliterasisajayang diuraikan, ejaan dan bahasa yang

digunakan dalau i naskah juga sebaiknya dijelaskan sebelum melakukan transliterasi. Uraian ini sanga t

membantu dalam menentukan asal-usul sebuah naskah, kapan, di mana, orang dari tingkatan mana yang

menghasilkan naskah itu.

Pendekatan atau Kajian

Apakah langkah kerja yang enam langkah itu sudah mencukupi dalam f ilologi? Sebenarnya langkah Itu

telah memadai dalam edisi naskah. Namun, menurut Robson (1994:13) tugas filolog ternyata bukan hanya

sampai pada kritik teks, metode penyuntingan, dan transliterasi yang disebutkan di atas dalam sebuah edisi

naskah. Akan tetapi, penyajian edisi tersebut dapat ditambah dengan interprets: atau penafsiran terhadap

teks yang disunting. Hal itu dilakukan karena menurutnya tugas filolog bukan hanya menghilangkan segala

rintangan dalam pembacaan teks tetapi filolog juga harus berhasil mengeluarkan sifat-sifat dasar sebuah teks

untuk pembacanva. Bagaimana cara melakukannya?

Pertanyaan itu menarik untuk dijawab. Baginya sebuah teks mempunya: signifikasi penuh jika kita dapat

memandangnya dalam konteks yang tepat, yakni sebagai bagian dari keseluruhan teks lain yangmuncul

bersamanya. Jadi, konteksnya harus diperhatikan karena konteks merupakan bagian dari signifikasi atau

pemaknaan suatu teks. Hal yang dapat dilakukan, di antaranya dengan menempatkan teks pada la tar belakang

sejarahnya dan melihat fungsinya dalam masyarakatnya.

Dalam menginterpretasikan teks, dilakukan berbagai kajian dengan berbagai pendekatan. Pendekatan

harus sesuai dengan sif at naskah. Seperti yang dikatakan Robson (1978:24) bahwa kita membutuhkan

pendekatan yang lebih luas daripada hanya mengatakan bahwa sebuah naskah berfaedah atau fungsional saja.

Pendekatan yang luas itu berguna untuk meliput dan melukiskan keleluasaan sastra sebagai keseluruhan. Kita

membutuhkan teori yang akan membantu kita menghargai setiap karya sastra.

Apa yang harus diperbuat dengan teks? Ada tiga prinsip yang harus diingat dalam menghadapi sebuah

teks. (1) Teks harus dianalisis sesuai dengan sifat-sifatnya sendiri.'(2) Teks harus diperiksa pada latar

kebudayaannya sendiri. (3) Keanekaragaman teks perlu diselidiki secara terpisah dari yang lain. Teks itu

sendiri pada hakikatnya sangat beragam oleh sebab itu, pendekatannya pun harus beragam pula supaya kita

dapat menunjukkan bahwa teks-teks tersebut (sastra tradisional) dapat berguna untuk masa sekarang.

Gunanya itu khususnya dalam bidang (1) agama, filsafat, mitologi, (2) ajaran yang bertalian dengan sejarah,

dan etika, (3) keindahan alam dan aspek lain.

Keragaman pendekatan yang pernah diterapkan dalam teks-teks naskah Nusantara akan dicontohkan

dalam modul 5, aneka edisi naskah Nusantara dan kajiannya. Penelitian yang disajikan pada bagian itu hanya

beberapa buah saja. Sementara itu, masih banyak lagi penelitian yang pendekatannya beragam yang belum

disajikan.

Metode atau cara kerja dalam penelitian filologi penting. Metode itu disesuaikan dengan keberadaan tel.-

. Karena terciptanya sebuah teks, pada masa lalu, sangat rumit, cara kerja itu dapat menolong-untuk

memecahkan kemrrutan.

Pada dasarnya ada dua metoie edisi teks, yaitu edisi atas naskah tunggal dan edisi teks atas naskah

jamak. Dalam edisi naskah tunggal ada dua metode yang dapat dipakai, yaitu metode edisi diplomatik dan

edisi biasa (standar). Edisi diplomatik dipakai jika penyunting ingin menyajikan teks apa adanya kepada

pembaca Kesukaran bacaan belum terpecahkan dalam edisi ini, sedangkan dalam edisi biasa, kesukaran

bacaan sudah tidak ditemui lagi oleh pembaca karena penyunting telah memberikan catatan-catatan.

Dalam menghadapi naskah jamak, ada dua metode yang dapat dipakai, yaitu metode landasan dan

metod<: gabungan, Metode landasan dipakai kalau menurut penyunting ada satu naskah yang "lebih nilainya"

dari yang lain. Naskah ltulah yang akan dijadikan landasan. Metode gabungan dipakai jika penyunting merasa

dari teks-teks yang ditemukan nilainya samasehingga suiit menentukan satu naskah yang akan dipilih.

Berdasarkan hal ltulah, metode gabungan dipakai. Risiko yang dipakai oleh metode ini sangat besar karena

penyunting seolah-olah membuat teks yang paling baru yang tidak ada dalam teks-teks mana pun.

1

EDISI TEKS NASKAH TUNGGAL DAN KAJIANNYA

Pak Belalang (Naskah Melayu)

Penelitian ini diberi judul Pak Belalang: Snatu Cerita Humor Melayu dikerjakan oleh Maria

Indra Rukmi diterbitkan di Jakarta oleh Proyek Penerbitan Buku Bacaan Sastra Indonesia

dan Daerah, tahun 1978. Pada bagian pendahuluan dikatakan bahwa naskah dengan nomor

W.212, terdiri atas dua teks, Pak Belalang dan cerita Lebai Malang. Keduanya berasal dari

sastra Melayu. Meskipun naskah itu terdiri atas dua teks, Indra Rukmi hanya mengambil

satu teks sebagai bahan kajian dalam penelitiannya, yakni Pak Belalang. Naskah tersebut

merupakan naskah tunggal yang hanya terdapat dalam koleksi Perpustakaan NasionaL

Jakarta. Oleh karena itu, untuk edisi naskah ia memilih metode edisi biasa (standar). Pada

bagian itu ia juga menyampaikan tujuan penelitiannya, yakni mencoba membandingkan

teks Pak Belalang dengan cerita-cerita rakyat sejenis. Yang dimaksud dengan cerita sejenis

adalah cerita-cerita yang mempunyai unsur yang sama. Unsur yang sama itu adalah humor

yang ada di dalamnya. Oleh sebab itu, cerita dengan jenis seperti itu dapat dimasukkan

dalam genre cerita humor. Tujuan yang kedua adalah mencoba melihat la tar belakang

cerita itu, f ungsinya dalam masyarakat, dan penyebaran di berbagai daerah.

Dalam bab satu ia memfokuskan pembicaraannya pada pernaskahan. Pertama, ia

menguraikan riwayat naskah. Dalam riwayat itu ia menemukan informasi ya ng menarik

dalam kolofon naskah, bahwa naskah itu disalin di Pulau Penyengat Cerita itu diambil dari

cerita rakyat dan dibuat atas suruhan seorang pejabat Belanda yang bernama Von de Wall.

Dari informasi itu ia dapat mengembangkan pembahasannya dengan meli hat la tar

belakang sejarah Pulau Penyengat, yaitu suatu pulau yang terletak di Kepulauan Riau. Di

samping itu, ia juga menguraikan kondisi naskah, bahasa yang digunakan, dan penulisan

naskah serta naskah Pak Belalang yang sudah dipublikasikan oleh Winstedt pada tahun 1893.

Kemudian ia membandingkan i s i cerita naskah yang sudah terbit itu dengan cerita Pak

Belalang yang masih dalam bentuk naskah. Setelah perbandingan, pada bagian ini juga ia

melakukan transliterasi teks. Sebelum masuk pada transliterasi, ia memberi

pertanggungjawaban transliterasi. Dalam pertangungjawaban itu diuraikan hal -hal yang

berhubungan dengan pedoman alih aksara dan cara yang dilakukan dalam memperbaiki

teks. Hal itu ia lakukan jika ia menemukan kata-kata atau tulisan yang tidak terbaca.

Untuk melengkapi transliterasi, agar pembaca dapat memahami bahasanya, dilampirkan

daftar kata-kata sukar yang sudah diberi arti.

Bab dua merupakan bagian analisis. Dalam bagian itu dikatakan meskipun teks Pak

Belalang itu teks tertulis, tetapi pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan sastra lisan

atau cerita rakyat. Bagian ini diberi judul "Latar Belakang Cerita Humor". Judul itu

diberikan karena cerita Pak Belalang termasuk cerita humor. Latar belakang itu

dibicarakan sehubungan dengan kolofon atau informasi yang ditemukan dalam akhir teks,

bahwa Pak Belalang disalin dari cerita lisan yang tersebar pada waktu itu. Alasan itu kuat

baginya untuk menerapkan pendekatan dengan melihat motif cerita berdasarkan motif index

yang ada dalam daftar yang dibuat oleh Stith Thompson.

Ada dua hal yang menjadi perhatiannya ketika membahas fungsi cerita humor dalam

masyarakat Melayu. Ia mengatakanbahwa cerita itu termasuk dalam dongeng. Sebagai

dongeng, Pak Belalang mempunyai tiga fungsi, yaitu sebagai hiburan, alat pendidikan, dan

alat untuk melakukan kontrol sosial.

Ia juga melihat kedudukan cerita Pak Belalang dalam kelompok cerita humor lain, yaitu

"Pak Kadok", "Pak Pandir", "Lebai Malang", "Si Luncai"," Abu Nawas",

"Mahashodhak", "Mat Janin", dan "Musang Berjanggut". Dari berbagai cerita itu ia

melihat sifat humor cerita berdasarkan sifat-sifat tokoh. Yang dilakukan kemudian adalah

membagi cerita Pak Belalang ke dalam beberapa episode. Berdasarkan episode itulah ia

melihat motif cerita. Motif-motif cerita itu ada kesamaannya dengan cerita-cerita di atas

sehingga cerita-cerita termasuk dalam satu sejenis. Kesamaan itu ditemukan dalam

berbagai unsur cerita dengan melihat dalam Motif Index of Literature. Pada akhirnya ia sampai

pada pertanyaan yang paling dasar, mengapa cerita itu memiLiki kesamaan, apakah

kesamaan itu terjadi karena cerita yang satu mempengaruhi cerita yang lain atau apakah

kesamaan itu muncul secara tersendiri di berbagai daerah sebagai suatu cerita yang

universal.

Basimal in (Naskah Minangkabau)

Penelitian yang berjudul Naskah Tradisi Basimalin:Pengantar dan Transliterasi dilakukan oleh

Suryadi, 1998. Diterbitkan di Jakarta oleh Program Penggalakan Kajian Sumber -Sumber

Tertulis Nusantara, Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Edisi naskah ini menarik

karena naskah yang diambil juga berasal dari tradisi lisan Minangkabau.

Pada pendahuluan dikatakan bahwa kesastraan Minangkabau pada hakikatnya hidup

dari tradisi lisan. Oleh karena itu, banyak naskah diturunkan dari tradisi lisan. Di antara

naskah itu adalah naskah Kaba Malin Deman yang dijadikan objek penelitiannya. Naskah

itu diturunkan dari tradisi basimalin, yaitu suatu tradisi resitasi yang dilakukan oleh

beberapa lelaki dan perempuan dewasa yang mendendangkan sebuah cerita. Naskah yang

dihasilkan dari tradisi ini, menurutnya, sangat langka karena ditulis dalam aksara Jawi

dengan bahasa Minangkabau dialek Payakumbuh. Dalam resitasi ini didendangkan kisah

Kaba Malin Deman yang motif ceritanya hampir sama dengan "Jaka Tarub", cerita lisan

Jawa, atau "Rajapala", cerita lisan Bali.

Dalam cerita itu dikisahkan kehidupan seorang pria bumi yang menikahi bidadari dari

kayangan. Cerita Kaba Malin Deman dikenal luas di Minangkabau, tetapi apresiasi atas

cerita itu — melalui tradisi basimalin— bersifat lokal. Cerita dengan tradisi itu hanya

dipertunjukkan oleh masyarakat Minangkabau di sebagian wilayah Kecamatan Harau,

luar Kotamadya Payakumbuh, Sumatra Barat. Oleh karena itu, ia tertarik menyajikan

naskah itu dengan tujuan naskah tersebut dapat dibaca oleh kalangan yang lebih luas dan

dapat digunakan sebagai bahan penelitian lanjutan. Dengan tujuan itu pula, ia

menyertakan terjemahan teks ke dalam bahasa Indonesia.

Dalam bab kedua ia membahas konteks sosial dan pertunjukan basimalin. Ia

menguraikan bahwa dalam tradisi pertunjukan basimalin hanya satu cerita yang disajikan,

yakni Kaba Malim Deman yang didendangkan berdasarkan pada naskah. Pada saat

pementasan, naskah diletakkan di hadapan seorang tukang simalin yang berdendang.

Pertunjukan itu biasanya diadakan pada malamhari, selepas salat isya sampai menjelang

waktu subuh (pukul 21.00 — 04.00). Basimalin ditampilkan biasanya dalam upacara yang

berhubungan dengan siklus kehidupan, seperti perkawinan, kelahiran bayi, anak turun

mandi, dan sunatan.

Dalam pembicaraan pernaskahan ia mengatakanbahwa teks yang disunting itu

berbentuk prosa liris. Naskah itu milik perorangan, yakni Suhaimi Dt. Majo Basa yang

usianya sekitar 70 tahun. Survadi memperoleh informasi bahwa Suhaimi menyalin naskah

itu berdasarkan naskah milik Dimin Dt. Majo Basa —lahir tahun 1901 dan meninggal pada

tahun 1977. Dimin Dt Majo berasal dari Desa Aia Putiah, Lubuk Bangku. Naskah milik

Dimin Dt Majo itu, sampai saat ini, sudah tidak ditemukan lagi. Setelah diteliti,'Surva di

menemukan bahwa dalam naskah itu banyak ditemukan kata-kata arkais yang sudah

jarang dikenal lagi oleh masyarakat Payakumbuh. Baginya keseluruhan bahasa naskah ini

cukup "aneh" di telinga orang Minangkabau saat ini. Atas alasan itu, ia menduga teks ini

usianya cukup tua.

Serat Panji Angreni (Jawa)

Fakultas Sastra Universitas Indonesia, tahun 1998, menerbitkan sebuah penelitian

yang dibuat oleh Karsono H. Saputra. Judul penelitian itu Aspek Kesastraan Serat Panji Angreni.

Dalam pendahuluan dikatakan bahwa edisi naskah tidak menjadi tujuan utama dalam

penelitian ini. Meskipun pernyataannya seperti itu, ternyata edisi naskah itu dilakukan

lengkap dengan transliterasinya. Naskah yang dijadikan objek penelitiannya berjudul,

KBG 185, koleksi Perpustakaan Nasional, Jakarta. Masih dalam bagian pendahuluan

dikatakan bahwa dalam analisis teks digunakan pendekatan objektif, pendekatan yang

bertitik tolak pada teks sastra. Tujuan yang ingin dicapai ada dua. Yang pertama adalah

mendeskripsikan unsur-unsur yang membentuk tata bangun teks KBG 185 dan yang kedua

menemukan hubungan antarunsur pembentuk tata bangun teks tersebut. Untuk mencapai

tujuan itu, ia menggunakan teori strukturalisme yang diajukan Todorov dengan melihat

aspek sintaksis, aspek semantis, dan aspek verbal. Ketiga aspek itu diuraikan dalam bab-

bab tersendiri.

Pada uraian tentang naskah KBG 185 ia mengatakan bahwa Serat Panji Angreni

merupakan salah satu versi dalam korpus cerita panji. Versi cerita panji yang lain, di

antaranya Panji Jayalengkara, Panji Pnyembada, Panji Dewakusuma,dan Panji Jaya Kusuma. Teks Serat

Panji Angreni menurutnya terekam dalam 12 naskah. Kedua belas naskah itu disimpan dalam

berbagai tempat yang tersebar. Perpustakaan Nasional, Jakarta, menyimpan dua nas kah;

Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Depok, menyimpan tiga naskah; Museum Sasono

Pustoko, Surakarta, menyimpan satu naskah; Museum Sono Budovo, Yogyakarta,

menyimpan 2 naskah, dan Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda, menyimpan tiga

naskah. Meskipun naskah ini merupakan naskah jamak (lebih dari satu), ia

memperlakukan naskah ini sebagai naskah tunggal.Hal itu dilakukan karena, menurutnya,

naskah-naskah yang lain tidak mungkin terjangkau dalam penelitiannya. Alasan pertama

yang diberikan karena tempat penyimpanan naskah yang ada di Yogyakarta dan Solo

sedang ditutup untuk umum pada vvaktu penelitian ini dilakukan. Alasan kedua karena

keterbatasan waktu dan dana, naskah yang dikoleksi Universitas Leiden tidak mungkin

terjangkau. Oleh karena itu, ia memilih naskah KBG 185 sebagai dasar penelitian dan

naskah inilah yang disunting atau ditransliterasi. Alasan ketiga, naskah itu dipilih karena

isinya lengkap dan utuh sehingga memungkinkan untuk menerapkan teori yang diajukan

oleh Todorov.

Pendekatan objektif dengan penerapan teori Todorov diuraikan mulai bab 2 sampai

dengan bab 4. Ketika membahas aspek sintaksis, ia menguraikan urutan sekuen (setiap

ujaran yang membentuk satuan makna), urutan logis (urutan berdasarkan hubungan

sebab-akiba t), dan urutan temporal (urutan kronologis atau urutan waktu). Dalam aspek

semantik tiga hal yang dikaji, tokoh, latar (tempat dan waktu) serta tema. Pembahasan

tokoh dilihat dengan memperhatikan nama tokoh, citraan dan kepribadian serta derajat

sosial. Tokoh-tokoh yang dikaji, Serat Panji Angreni, Sekartaji, Prasanta, dan

Andayaprana. Dalam aspek verbal, ia meneliti masalah penceritaan, sudut pandang dan

gaya bahasa. Dalam bagian ini, di antaranya dibicarakan prosodi macapat yang dipakai

dengan memperhatikan guru wilangan, guru gatra, dan guru lagu. Transliterasi

dimasukkan dalam bagian tersendiri, yaitu pada lampiran.

Ketiga naskah yang dibicarakan sebagai naskah tunggl adalah naskah Pak Belalang

versi melayu, naskah Basimalin yaitu Malin Deman dari Minangkabau, dan nask ah Panji

Angreni dari Jawa. Naskah Pak Belalang termasuk cerita humor, terdapat pada koleksi

naskah Perpustakaan Nasional Jakarta. Kolofon cerita menginformasikan bahwa cerita ini

disalin di Pulau Penyengat Riau, atas perintah pejabat Belanda Van de Wall d an pernah

diterbitkan oleh R.O. Winstedt pada tahun 1893. Naskah Basimalin Minangkabau

merupakan cerita lisan yang berisi tentang cerita Malin Deman yang sama isinya dengan

cerita Djaka Tarub di pulau Jawa. Malin Deman menceritakan tentang seorang pemuda k a

win dengan putri kayangan yang akhirnya berpisah kembali. Kisah Basimalin ini

diceritakan pada upacara yang terdapat di masyarakat sebagai siklus kehidupan seperti

pada waktu pernikahan, sunatan, kelahiran atau turun mandi. Mengingat bahwa naskah

yang berbeda dengan bahasa Minangkabau sekarang ini, maka dianggap naskah ini adalah

naskah yang sudah tua isinya. Serat Panji Angreni adalah naskah satu versi. Cerita Panji

yang lain tersimpan di berbagai perpustakaan di Indonesia maupun Belanda. Isinya

lengkap untuk menerapkan teori kajian sastra.

2

EDISI NASKAH JAMAK

DAN KAJIANNYA

Hikayat Bandjar (Naskah Melayu)

HikayatBandjar termasuk dalam sastra sejarah. Naskah itu diteliti oleh

Johanas Jacobus Ras dengan judul Hikajat Bandja r. A Study in Malay Historiografi.

Diterbitkan di Belanda oleh Martinus Nijhoff, I%8. Dalam pendahuluan

dikatakan bahwa penelitian ini bertitiktolak dari adanya anggapan yang

meremehkan sastra sejarah atau kronik Melayu. Sastra sejarah dianggap tidak

berisi informasi sejarah. Oleh karena itu, Ras ingin membuktikan dengan

mengambil sebuah kronik Melayu dari Bandjarmasin, Kalimantan. Ia, dalam

penelitian ini, menyajikan sebuah edisi teks dan terjemahan. Kedua hal itu

dilakukan dengan pertimbangan bahwa edisi naskah ter sebut dapat digunakan

sebagai bahan yang amat bernilai dalam pengkajian sejarah kebudayaan

Nusantara. Namun, kalau digunakan sebagai bahan penulisan sejarah Melayu,

karya itu menjadi dianggap kurang begitu penting.

Bab pertama terdiri atas 5 bagian. Bagian (1) memperkenalkan penerbitan-

penerbitan awal tentang daerah Banjar. Terbitan yang disebutkan, di antaranya

adalah J. Hageman yang menulis Contribution to History of Borneo, tahun 1857, A.

Van der Ven menulis Notes on tlie Realm of Bandjermasin, tahun I860. Dalam bagian

ini disinggung juga tentang naskah-naskah yang akan dibahas. Selain itu, ia juga

membahas pemakaianbahasa yang digunakan, yaitu bahasa Melayu yang

ragamnya tidak sama dengan bahasa Melayu standar. Sebagian besar

pemakaiarmya tidak tunduk dengan bahasa baku Melayu Riau-Johor. Bahasa

percakapan daerah Banjar banyak digunakan karena naskah ditulis di

Kalimantan Tenggara. Oleh sebab itu, orang yang tidak kenal dengan bahasa itu

agak sukar memahaminya. Topik lain yang disorotnya juga adalah tradisi

penulisan sejarah Melayu yang banyak berbaur dengan mitos. Dicontohkan

penelitian yang dilakukan oleh Djajadiningrat yang mengatakan bahwa di

kerajaan-kerajaan Indonesia, tradisi sejarah telah terpelihara dan telah

dilakukan dari dahulu kala. Tradisi ini merupakan suatu laporan asal-usul suatu

kerajaan.

Dari teks-teks yang ada, Ras menggolongkan cerita menjadi dua, yaitu

resensi I dan II. Kedua resensi itu dibuat ringkasannya dan masing-masing dibagi

atas 12 episode. Setelah itu antara keduanya dibandingkan. Dari perbandingan

itu, ia menyimpulkan bahwa antara dua resensi itu terdapat ketidakseimbangan.

Pada dasarnya kedua resensi berjalan sejajar, hanya pada bagian-bagian

tertentu panjang pendeknya cerita berbeda; misalnya dalam resensi sejarah

kerajaan Kalimantan Barat dibagi atas empat zaman, sedangkan dalam resensi II

hanya terdiri atas 2 zaman. Di samping itu, ia juga membuat perbandingan

dengan hikay at Melayu lain serta karya sastra Jawa, hanya penekanannya

dengan melihat persamaan-persamaannya. Dalam perbandingan itu ada 4 hal

yang disampaikan. (1) persamaan dilihat berdasarkan mitos Melayu tentang asal-

usul putri yang muncul dari buih. Kemunculan Putri Junjung Buih itu dilihat dari

lima cerita, Silsilali Kutai, Cerita Sukadana, Sejarah Melayu, Hikayat Merong

Malwzvangsa, Hikayat Aceh. Bagian itu ditampilkan dengan tujuan menjelaskan

mitos asal-usul yang melambangkan penciptaan satu kesatuan antara unsur

kosmik, air (dunia bawah) dan matahari (keinderaan). (2) Persamaan dengan

melihat mitos Melayu tentang asal-usul dan cerita Rama Melayu. Dalam

persamaan ini dilihat cerita Salasilah Kutai dan Serat Kanda. Dalam hikayat Melayu,

Hikayat Sri Rama, ditemukan juga kemunculan Putri Junjung Buih, yaitu ketika

Raja Destarata menikah dengan gadis dari buluh. Putranya, Rama, menikah

dengan Sinta. Hal itu dihubungkan dengan unsur kosmik air. Di- sini terlihat

bahwa Hikajat Bandjar sama dengan Hikayat Sri Rama. Jika dibandingkan dengan

Silsilah Kutai perbedaan ditemukan dalam perwujudan Mangkubumi. (3)

Persamaan juga dilihat antara Hikayat Banjar dan Sejarah Melayu dengan melihat

tokoh-tokoh yang muncul, yaitu munculnya putri yang berasal dari buih, pendiri

kerajaan, tokoh Mangkubumi, Putera Raja dari Cina, Raja Iskandar Zulkarnain,

Nabi Khidir, Raja Keling, dan Raja Negeri bawah laut. (4) Persamaan dilihat

juga dengan berdasarkan pada cerita Ampu Jatmika dan Kisah Raja Awab dalam

Serat Kanda. Dari cerita itu ia menemukan persamaan tentang cerita Maharaja

Awab dan cerita Panji serta cerita dinasti kerajaan Jawa.

Pada kritik teks atas resensi I ia melihat penggunaan bahasanya. Menurut

Ras perbendaharaan kata dan gaya bahasa dalam teks tidak sama antara bagian

awal danakhir. Bahasa yang digunakan dalamseparuh bagian pertama lebih

dekatpada bahasa Melayu klasik. Selain itu, pada beberapa kata, seperti kata

ganti digunakan kata Jawa. Kebanyakan kata-kata itu digunakan dalam bahasa

resmi dan tidak resmi. Peralihan dari bahasa Melayu ke bahasa Jawa

mencerminkan satu perubahan dalam percakapan yang memunculkan pula satu

perubahan kebudayaan.

Ia menyimpulkan bahwa teks resensi I ditulis sekurang-kurangnya oleh dua

orang yang bekerja pada zaman yang berbeda. Perubahan juga terjadi dengan

penggunaan kata-kata Arab oleh pengarang. Hal itu menandakan bahwa

pengarang pertama telah mengarang pada masa Islam masuk ke Kalimantan

Tenggara. Pengarang menulis dalam zaman Islam ortodoks yang baru masuk ke

daerah itu sebagai agama resmi. Masa itu di Banjarmasin zaman Sultan

Suryanullah. Teks yang ditulis di istana itu tidak lengkap, kemudian pengarang

kedua menyalinnya dan menambahkan serta membuat perubahan.

Pada bagian akhir menurutnva ada cerita sambungan yang berhubungan

dengan raja-raja berikutnya. Bagian ini mengandung lakuna ketika menceritakan

masa pemerintahan Sultan Hidayatullah. Bagian yang hilang itu menceritakan

pembuangan Sultan Hidayatullah ke Mataram dan digantikan oleh Sultan

Mustainullah. Bagian teks setelah lakuna yaitu tentang kisah pemerintahan

Marhum Panembahan ditulis selepas kemangkatan sultan itu. Dengan melihat

perbedaan gaya penceritaan dengan cerita sebelumnya dapat disimpulkan bahwa

selepas lakuna seorang pengarang baru yaitu yang ketiga telah mulai

mengarang. Penyalin itu menyalin teks yang lama dan mengarang bagian akhir

teks dengan caranya sendiri serta menambah satu cerita sambungan. Ras

menyimpulkanbahwa penulisan itu mungkin dilaktikan di kraton baru di Kayu

Tangi yang telah dibina oleh Raja (Marhum Panembahan). Pengarang yang

ketiga bekerja untuk Pangeran Dipati Tapasana yang menggantikan putra sulung

Marhum Panembahan sebagai sultan Riayatullah. Dalam bagian terakhir.

pengarang memusatkan perhatiannnya pada Pangeran Dipati Anta-Kusuma atau

ratu Kota Waringin daripada Tapasana. Oleh sebab itu, judul teks bernama

Cerita Raja-raja Banjar dan Kota Waringin.

Dalam bagian kelima diuraikan jajahan Melayu di Kalimantan Tenggara dan

hubungannya dengan Jawa. Untuk melihat keadaan itu, Ras melihat beberapa

kasus, di antaranya penyebutan kata Keling dan negeri Tanjung Pura. Keling di

Nusantara biasanya adalah India Selatan karena di situ ada orang yang disebut

orang Keling, sebutan dari Kalingga. Dalam beberapa karya Jawa nama itu

adalah nama lain Kuripan atau Jenggala yang ada pada masa Majapahit.

Pada bagian kritik teks, Ras merekonstruksi teks dengan membandingkan

teks-teks resensi I. Pada bagian ini ia sampai pada kesimpulan bahwa

perbendaharaan kata dan gaya teks resensi I tidak sama dari awal hingga

akhir.Bahasa yang digunakan pada bagian awal dan tengah ialah bahasa Melayu

klasik. Dalam teks ini juga digunakan kata-kata Jawa "baru" dan bahasa

percakapan Banjar. Bagian enam adalah pernaskahan dan edisi naskah. Ia

menemukan 8 naskah yang ada di Jakarta — seperti yang disebutkan oleh Van

Ronkel, 10 naskah di Eropa, yakni 7 di Leiden, 1 di Jerman, dan 2 di Inggris.

Dari naskah-naskah itu ia mendeskripsikan— meskipun tidak mendetail—seluruh

naskah dengan menyebutkan tahun penyalinan. Bahkan ia mengelompokkan

masing-masing naskah dengan melihat variasi bacaan. Berdasarkan itulah, ia

membagi naskah-naskah tersebut menjadi dua kelompok.

Bagian edisi teks, bab dua, disertai dengan terjemahan dan aparatus kritikus

yang diletakkan pada footnote. Edisi itu menggunakan metode gabungan, yaitu

menggabungkan 5 naskah. Bab tiga adalah glosari dan indeks serta lampiran

yang sangat lengkap berupa gambar silsilah dan beberapa foto, peta, dan latar

belakang sejarah serta sosial budaya kota Waringin, permainan dan hiburan,

dankesusastraan Melayu di daerah itu.

Babad Buleleng (Naskah Bali)

Naskah yangberasal dari Bali itu diteliti oleh seorang sarjana dari Australia,

P.J. Worsley yang diberi judul Babad Buleleng, 1972, diterbitkandi Belanda oleh

Martinus Nijhoff. Cerita dalam naskah itu banvak menampilkan tokoh dan

peristiwa "sejarah" dari daerah Bali. Dalam penelitian ini, Worsley berhadapan

pada sebuah tradisi penulisan sastra yang berkaitan dengan fungsinya. Tradisi

penulisan ini menarik dan yang dipersoalkannya mengapa karya seperti ^itu

diciptakan pengarang. Tambahan lagi karya sastra itu seringkali muncul sebagai

karya anonim, tanpa tanggal pembuatan dan keterangan tentang

kepengarangannya sehingga sebuah interpretasi sering menjadi agak berisiko.

Untuk menjawab pertanyaan itu, Worsley menggunakan pendekatan objektif

yaitu sebuah kajian sastra dengan analisis bentuk, tema, dan fungsi serta

penokohan. Unsur sastra tersebut diharapkan dapat memperlihatkan tujuan

pengarang dan fungsi karya sastra tersebut. Untuk kepentingan penelitian itu, ia

memakai4 naskah Babad Buleleng yang terdapat dalam berbagai koleksi, yakni

Perpustakaan Fakultas Sastra Udayana, Gedong Kirtya, Bali, serta Perpustakaan

Universitas Leiden, Belanda. Dari keempat naskah itu, ia memilih satu naskah

sebagai landasan. Naskah inilah yang ditransliterasi dan naskah-naskah lainnya

digunakan sebagai pembanding.

Yang dibicarakan pada bagian pertama adalah tentang cerita Babad Buleleng

yang mengisahkan kehidupan Panji Sakti. Karya itu adalah sebuah karya sastra

Bali yangberisi genealogi atau silsilah. Cerita yang terdiri atas 22 episode ini

menyajikan daftar nenek moyang tokoh tersebut. Dalam silsilah itu dikatakan

bahwa leluhur Panji Sakti adalah seorang imigran yang berasal dari Maosapahit

(Majapahit). Masa kecilnya diceritakan ketika ia berada di Bali Selatan, di

Kerajaan Gelgel dan ia diramal akan menjadi Raja Den Bukit. Dalam bagian lain

juga digambarkan tentang Panji Landung dan beberapa peristiwa lain yang

berhubungan dengan cerita Bali Selatan. Cerita berakhir pada anak-anak Panji

Sakti dan kematiannya.

Dilihat dari bentuknya, babad ini terdiri atas dua unsur, yaitu bagian

genealogi dan bagian naratif. Bagian genealogi menceritakan asal-usul

keturunan Panji Sakti dengan dua garis keturunan, mulai dari Dang Hyang

Kapakisan dan garis klan Jlantik sampai dengan Panji Sakti. Unsur naratif, di

antaranya menggambarkan terjadinya perang saudara antara Ki Gusti Ngurah

Panji Sakti dan Ki Gusti Ngurah Jlantik yang berperan penting dalam perebutan

kerajaan Den Bukit yang dilakukan Raja Karangasem. Bagian naratif ini disusun

secara kronologis. Kedua unsur tersebut pada dasarnya bukan merupakan

sesuatu yang terpisah, melainkan bersatu. Namun, keduanya masih dapat

dikenali. Dari kedua unsur tersebut ditarik tema cerita di sekitar suksesi, yaitu (1)

legitimasi keluarga sebagai pendiri Kerajaan Panji Sakti, (2) ketidaksahan Raja

Karangasem di Den Bukit, dan (3) legitimasi kerajaan Belanda setelah Den Bukit.

Sehubungan dengan pelegitimasian Raja Panji Sakti dari Den Bukit, penelitian

ini juga melihat aspek penokohan, terutama pada tokoh Panji Sakti yang

berperan sebagai tokoh sentral. Kehadiran tokoh sentral tersebut berhubungan

langsung dengan tema. Selain itu, para tokoh vang berperan dalam cerita

tersebut kelihatan mengalami perkembangan.

Tokoh sentral adalah Panji Sakti. Ia keturunan Batara Majapahit (imigran),

seorang raja ideal di Jawa.Tokoh Panji Sakti menjadi pusat perhatian babad ini

karena ia diceritakan lebih dari setengah naskah. Panji Sakti merupakan leluhur

dari klan suku Bali Utara, kerajaan Den Bukit Ia juga diceritakan sebagai tokoh

yang sifatnya tidak seperti manusia biasanya karena ia mempunyai kekuatan yang

terpendam. Kekuatan itu menakutkan dan mengancam klan lain, suku Bali

Selatan, di kerajaan Gelgel.

Ancamankekuatan itu terbukti dengan dikalahkan beberapa musuhnya,

seperti Panji Landung dan Kyai Sasankadri. Kesuksesan dan kepahlawanannya

dalam pertempuran dikaitkan dengan fungsinya sebagai pelindung rakyat dan

pelindung Kerajaan Den Bukit.

Kesuksesan dan keberhasilan Raja Panji Sakti irulah vang ditonjolkan dalam

cerita ini. Keberhasilannya itu menjadi dasar munculnva lovalitas dan

penghormatan rakyat kepada rajanya. Hal itu merupakan suatu kepuasan untuk

menjaga kestabilan bagi kerajaan Panji Sakti. Tokoh-tokoh lain mendukung sosok

Panji Sakti, di antaranya Si Luh Pasek Panji (wanita dari Bali Utara) dan Ki

Pungakan Gendis serta Dampu Awang (musuh Panji Sakti).

Pokok pembicaraan yang ketiga adalah periode Kerajaan Karangasem di

Den Bukit. Bagian ini memasukkan tiga peristiwa bersejarah vang terjadi di

Kerajaan Karangasem, yaitu perang saudara dan bencana alam (banju lahar)

tahun 1815 A. D., dan pemerintahan Ki Gusti Ngurah Made serta restorasi klan

Panji Sakti kepada kerajaan Den Bukit.

Pokok pembicaraan yang lain dalam babad ini adalah pelegitimasian

terhadap kerajaan Belanda setelah Den Bukit. Pelegitimasian itu terjadi ketika Ki

Gusti Made Rahi disuksesi oleh Ki Gusti Ketut Jlantik. Perampasan itu dikontrol

langsung oleh Belanda dan mereka membasmi pemerintahan yang ada di Den

Bukit tersebut. Kejadian selanjutnya Belanda tidak mempunyai pilihan lain,

kecuali ikut terlibat untuk menyingkirkan Ki Gusti Ketut Jlantik dan kerajaan

dengan cara mengabolisinya.

Pokok pembicaraan yang terakhir dalam bagian ini adalah tanggal dan

kepengarangan Babad Buleleng. Bagian ini menginformasikan bahwa Naskah C

disalin dari naskah milik raja terakhir, Ki Gusti Ngurah Ketut Jlantik yang

berkuasa pada tahun 1871 A.D. Hal itu dapat dilihat dari peristiwa vang disorot

dalam babad ini yakni peristiwa berkuasa raja di Den Bukit, Ki Gusti Ngurah

Ketut Jlantik yang hichip pada tahun 1872 A.D. Dengan adanya keterangan itu

kemungkinan babad ini ditulis antara tahun 1872 — 1928 A.D. oleh seseorang

yang belum diketahui identitasnya. Penyusun babad ini diduga adalah seseorang

yang mengerti unsur-unsur cerita Panji Sakti. Ia juga menduga bahwa penulis

babad ini mengambil bahan dari Babad Blah Batu. Ia memperoleh bahan cerita

dari beberapa sumber yang berbeda kdu mengumpulkan dan menyusunnya

sehingga menjadi cerita seperti ini. Penyusunnya merasa bahwa saat ini

merupakan saat yang tepat untuk penulisan babad yang juga berarti juga menulis

"sejarah" untuk kepentingan klannya.

Dalam menyajikan edisi teks Babad Buleleng, Worsley menyadari bahwa

berbagai kesulitan pasti akan ditemui. Sebagai seorang editor ia menyadari

bahwa menyajikan sebuah kritik teks merupakan hal yang sangat penting karena

dengan cara itu ia dapat mengetahui tradisi penyalinan teks-teks yang ditemukan.

Ia melihat teks dari sudut linguistik. Kritik teks dengan melihat gejala kebahasaan

(Jawa Kuno dan Tengahan) pernah dilakukan di antaranya oleh Teeuw dan

Uhlenbeck dalam Negarakertagatna, Pigeaud, dan Van der Tuuk untuk naskah Bali.

Ia melihat kekeliruan sering dilakukan penyalin ketika menurunkan teks. Untuk

melihat kekeliruan ini, Worsley berpegang pada pokok-pokok yang dibicarakan

oleh Reynolds dan Wilson.

Pembicaraan selanjutnya butir empat sampai lima adalah masalah

kebahasaan dalam penyajian sebuah teks. Masalah kebahasaan itu menyangkut

pemakaian ejaan, penulisan kata, dan pemakaian tanda baca. Pada pembicaraan

keenam ia mengatakan bahwa Babpd Buleleng pada dasarnya ada 6 naskah.

Keenam naskah itu dijadikan bukti dalam penelitian ini. Akan tetapi, Worsley

mengeluarkan 2 naskah sehingga hanya 4 naskah yang diperhitungkannya, dan

ke-4 naskah itu dipakai sebagai bahan penelitiannya.

Berdasarkan keempat naskah tersebut, ia mengatakan bahwa keempatnya

termasuk dalam satu versi dengan varian yang berbeda. Perbedaan hanya

diketahui dari detail cerita. Berdasarkan hubungan antarnaskah ia mengajukan

dua alternatif hubungan dengan membuat dua silsilah naskah. Dari naskah-

naskah itu, ia memilih naskah A sebagai landasan dan naskah inilah yang

ditransliterasi, sedangkan ketiga naskah lain dipakai sebagai bandingan. Naskah-

naskah yang diambil kemudian dideskripsikan dengan sangat teliti sehingga

pembaca mendapat gambaran yang jelas tentang keberadaan ke-4 naskah

tersebut.

Serat Cabolek (Naskah Jawa)

Naskah Jawa ini dikerjakan oleh S. Soebardi dengan judul The Book of Cabolek,

diterbitkan di Belanda oleh Martinus Nijhoff, 1975. Penelitian ini merupakan

sajian edisi kritis dari naskah Jawa yang berjudul Serat Cabolek. Untuk keperluan

itu, ia membagi penelitiannya menjadi 4 bagian, yaitu pengantar teks dan

transliterasi serta terjemaharmya ke dalam bahasa Inggris. Pada bagian awal ia

menyajikan ringkasan cerita. Ringkasan ihi di samping transliterasi sangat

bermanfaat karena dapat membimbing pembaca ke arah pembahasan isi. Bagian

kedua adalah masalah pernaskahan. Dalam bagian ini dibicarakan dua hal, yaitu

perbandingan naskah dan edisi. teks. Setelah melakukan perbandingan, Soebardi

menggunakan metode gabungan untuk edisi teks Serat Cabolek. Pada bagian

ketiga, Soebardi memperkenalkan pengarang dan karva-karyanya. Bagian

keempat adalah makna (significance) Serat Cabolek, dan makna cerita Dexoi Ruci.

Pada bagian pernaskahan, ia mengatakan bahwa naskah yang berisi cerita

tersebut mencapai 11 naskah dan 1 cerita terbitan. Kesebelas naskah yang

menjadi saksi penelitian ini disimpan dalam dua tempat, yakni 7 naskah di

Perpustakaan Nasional, Jakarta, dan 4 naskah (mikrofis) disimpan di

Perpustakaan Universitas Leiden. Selain itu ada juga satu Serat Cabolek yang

diterbitkan oleh Dorp & Co, 1886, yang dipakai sebagai bahan bandingan.

Untuk keperluan edisi teks ini, kesebelas naskah ditandai dengan aksara

Latin, yaitu A — k. Naskah-naskah tersebut sebagian besar ditulis dengan aksara

Jawa. Dari naskah-naskah tersebut, ia melihat ada 3 unsur cerita yang sama

dalam setiap cerita.

Di samping persamaan, ditemukan juga perbedaan di antara cerita tersebut.

Oleh sebab itu, Soebardi memakai studi bandingan naskah untuk melihat

persamaan dan perbedaan. Ia mengatakan bahwa perbedaan yang ada dalam

cerita tersebut berhubungan erat dengan kebebasan penyalin dalam

mengadaptasi cerita.Padasaat menyalin, sang penyalin bebas menvisipkan karya

lainyangdianggapsesuai dengan seleranya. •

Soebardi membandingkan berdasarkan bentuk (pupuh dan matra) dan isi

cerita. Dari kesebelas cerita tersebut ia membagi cerita menjadi 3 kelompok.

Kelompok I adalah naskah E, i, dan J. Kelompok II adalah naskah A,B,f,g, dan h.

Kelompok III adalah naskah C,D,k dan 1. Antara ke-3 kelompok tersebut masih

terdapat persamaan dan perbedaan. Kelompok I dan II mempunyai persamaan

dalam pengadilan Haji Mustakim dan perbedaannya dalam bagian cerita Dewi

Ruci. Bagian cerita itu hanya ditemukan dalam naskah i. Naskah i kelihatannya

menyisipkan dari naskah E atau J. kelompok II dan III terdapat persamaan dalam

cerita Mangkubumi yang ada dalam naskah B di kelompok II. Persamaan yang

menghubungkan kelompok I dan III adalah naskah i melalui D.

Dalam edisi teks, Soebardi mengambil dua naskah, yaitu A dan E. Ia memakai

edisi gabungan. Dari naskah A, ia mengambil pupuh I, II, III, IV, V, VI, VII, VIII

— stanza lsampai dengan 26, XII — stanza 14 sampai dengan 65, XIII, XIV, XV/

dan dari naskah E ia mengambil pupuh VIII — stanza 27 sampai dengan 28, IX,

X, XI. Ia member ikan beberapa catatan sehubungan dengan edisi teks ini, yaitu

pada halaman 171. Catatan itu menyangkut penjelasan akar kata, arti kata, juga

catatan perbedaan antara naskah (aparatus kritikus).

Pada bagian pengarang dan karyanya, ia menjelaskan bahwa di antara

naskah yang disebutkan itu tidak ada satu pun naskah yang mencantumkan

keterangan tentang pengarang. Keterangan tentang pengarang, Yasadipura I,

hanya diketahui dari sumber luar (eksternal), bahwa Yasadipura I menyusun

Babad Gayanti, Babad Prayut, Pesinden Badaya, dan Serat Cabolek Informasi itu juga

ditemukan dalam Serat Cabolek yang sudah diterbitkan. Di situ dikatakan bahwa

cerita dibuat pada masa Paku Buwana IV.

Yasadipura ketika membuat karya itu mempunyai tendensi, yaitu ia ingin

meluruskan dirinya dan para ulama yang syariahnya berbeda. Sikap Yasadipura

terhadap syariah dapat dimengerti dalam konteks tradisi sinkretis Jawa. Baginya.

syariah merupakan "sebuah wadah yang merupakan bagian luar dalam sistem

kepercayaan dan bukan merupakan pokok. Yang pokok adalah ilmu tarekat.

Dalam Serat Cabolek, Haji Mutamakin menggambarkan ajaran mistik yang

sangat kuat tentang ilmu tarekat. Ajaran itu merupakan tiruan dari ajaran

sebelumnya, ajaran Shaikh Siti Jenar, Sunan Panggung, Ki Bebeluk, dan Shaikh

Anion Raga. Di antara pendapat-pendapat tersebut ternyata ditemukan motif

umum yang menjadi sumber konflik antara mistik Jawa dengan ortodoks dan

hukum Islam. Konflik itu menambah beberapa bagian ke dalam motif dan makna

Serat Cabolek. (1) Shaikh Siti Jenar merupakan motif yang muncul dalam beberapa

cerita. Oleh karena itu, ajarannya pun muncul dalam berbagai versi. Dalam versi

cerita Shaikh Siti Jenar, ajaran yang disebarkannya adalah doktrin mistik

heterodoks, yang berpusat pada pengenalan identitas manusia dengan Tuhan.

Karena itu ia tidak pernah salat Jumat. Dalam keny ataanny a, Shaikh Siti Jenar

adalah seorang Al Hallaj. Ia dieksekusi dengan pedang karena memunculkan

pengetahuan vang tidak pernah diketahui orang lain. Ia dianggap melanggar

etika mistik yang ada. (2) Sunan Panggung adalah sosok lain dari tiruan Shaikh

Siti Jenar di Demak. Sunan Panggung dibakar karena ia dianggap berani

melanggar syariah atau hukum agama. Alasan lain pembakarannya karena ia

hanya percaya pada iman dan tauhid, sedangkan yang lainnya tidak. Oleh sebab

itu, para ulama merasa ia melanggar agama Islam dan dianggap membahayakan

masyarakat. (3) Motif Ki Babeluk tidak banyak diinformasikan dalam karya ini.

Ia hanya muncul sebagai jembatan yang menghubungkan antara dua gap, yaitu

antara tradisi pra-Islam dan era Islam. (4) Shaikh Among Raga dieksekusi di

lautan dekat kampung Tanjungbang, daerah kekuasaan Sultan Agung, Raja Islam

Ma tar am. Tokoh ini juga dilukiskan Serat Centini. Dengan memasukkan tokoh ini

ke dalam karyanya, Yasadipura I kemungkinan besar mengadaptasi dan

menyisipkars bagian ini dalam seratnya pada tahun 1815 A.D. (5) Motif Haji

Ahmad Mutamakin banyak disorot dalam karya ini. Karena tokoh ini mempunyai

ajaran yang banyak persamaannya dengan Shaikh Siti Jenar dan Sunan

Panggung. Hal itu menandai bahwa daya tarik pengarang sangat besar pada

Shaikh Siti Jenar dan Sunan Panggung. Hal itu dibuktikan dengan munculnya

tokoh Ketib Anom yang menyatakan bahwa Haji Ahmad Mutamakin melanggar

syariah. Dalam Serat Cabolek Haji Ahmad Mutamakin digambarkan sebagai

seorang mistis yang tidak mempunyai kepribadian, tidak berpengetahuan agama

yang mendalam, dan tidak berwibawa.

Cerita Dewi Ruci dalam sastra Jawa merupakan cerita dari era pra-Islam yang

berasal dari cerita Mahabarata. Bima dalam cerita ini lebih penting daripada

Arjuna. Bima tidak hanya ditampilkan sebagai pahlawan yang kuat fisiknya,

tetapi juga seorang yang bijaksana dengan kualitas spiritual yang tinggi. Dalam

versi Yasa dipura I ini cerita diadaptasi dengan cerita wayang purwa.

Dilihat dari maknanya cerita tersebut berfungsi sebagai ajaran. Ajaran yang

terkandung di dalamnya ada dua, yaitu ajaran etika dan ajaran mistik. Ajaran

etika dalam cerita ini, di antaranya terlihat pada pengalaman Bima pada saat

melawan Rakmuka dan Rukmakala waktu mencari air kehidupan. Di bagian itu

terlihat segala usaha Bima untuk memperoleh air itu. Dari peristiwa itu dapat

diambil ajaran bahwa untuk mencapai tujuan dalam hidup ini manusia harus

berusaha keras dan harus dapat mengatasi segala rintangan seberat apa pun.

Selain itu, manusia juga harus jujur dan bersifat loyal.

Selain ajaran etika ada ajaran yang lebih penting dalam cerita ini, yaitu

ajaran mistik. Ajaran itu berisi tentang hubungan manusia dengan Tuhan. Bahwa

tujuan hidup manusia di bumi ini adalah bagaimana manusia mencapai

penyatuan diri dengan Tuhan atau pamoring Kawula Gusti.

Akhirnya dapat dikatakan bahwa Yasadipura dalam karyanya bertujuan untuk

menyejajarkan dirinya dengan ulama vang menghormati ajaran syariah sebagai

sebuah petunjuk formal kepada orang jawa yang beragama. Ia berpendapat

bahwa syariah harus dimengerti dalam konteks tradisi sinkretis Jawa.

Syair-syair Hamzah Fansuri (Naskah Melayu)

Penelitian atas syair-syair Hamzah Fansuri yang berjudul The Poems of Hamzah

Fansuri ini dilakukan oleh G.W.J. Drewes dan L.F. Brakel, diterbitkan di Belanda

oleh Foris Publication, 1986. Buku ini bertujuan ingin menampilkan kepenyairan

Hamzah Fansuri yang belum dibuat secara tuntas sampai sekarang meskipun

sebelumnya beberapa peneliti pernah melakukannya, seperti Al Attas, Untuk itu,

Drewes dan Brakel membagi hasil penelitian menjadi 8 bab.

Dalam pengantar dibicarakan 7 topik.

(1) Riwayat hidup Hamzah Fansuri. Penyair Melayu yang terkenal ini,

dilahirkan di Barus, sebuah pusat perdagangan yang terletak antara

Singkil dan Sibolga, Sumatra Utara. Kehidupan penyair itu tidak pernah

dicatat. Masa hidupnya lebih dulu dari Samsuddin Pasai. Ia diperkirakan

hidup sekitar abad ke-16. Nama Hamzah pernah disebut-sebut oleh

Samsuddin Pasai (1630) dan Nuruddin Ar Raniri (1658). Dalam Tibyan,

Nuruddin melawan Hamzah dan Samsuddin dan mengatakan ajaran

mereka sebagai xvujudiah dalalah. Kreamer mengatakan bahwa Hamzah

mungkin hidup setelah tahun 1636. Namun, latar belakang pendapatnya

sangat lemah. Drewes lebih setuju dengan Voorhoeve daripada Kreamer.

Ia mengatakan bahwa masa hidup Hamzah sekitar abad ke-16 dan

meninggal sebelum tahun 1590.

(2) Dalam sajak-sajaknya, Hamzah meniru bentuk ghazal dari Persia yang

pada bagian akhir sering menyebutkan nama samaran (takhallus). Ia

menggunakan 3 nama yang berbeda, 15 kali dengan Hamzah saja, 15 kali

dengan Hamzah Fansuri, dan 2 kali dengan Hamzah Shahrnawi.

Berdasarkan beberapa larik syair Hamzah, Al Attas mengatakan bahwa

Hamzah orang Bams (Fansur), tetapi tempat memperoleh eksistensi

dirinya di tanah Shahrnawi.

(3) Hamzah Fansuri dalam perjalanannya mencari Tuhan pernah sampai ke

tanah Bagdad, Mekkah, dan Shahr-i Naw, dan Yarussalem. Kepergian itu

ditunjang dengan bukti yang ditemukan dalam Sejarah Banten yang

mengatakan bahwa Raja Banten mengirim tiga buku ke Mekkah dan salah

satu buku itu adalah Muntahi karya Hamzah Fansuri.

(4) Hamzah Fansuri selain menulis syair juga menulis prosa. Ia membuat 32

syair dan juga menulis tiga karya prosa, yaitu Asrar al-arifin, Sharah al-

ashiqin,dan al-Muntahi. Dalam karya pertamanya ia menjelaskan sif at

keabadian Tuhan yang menciptakan dunia dan seluruh isinya. Setelah itu,

dijelaskan juga tentang pengetahuan Tuhan dalam menciptakan hakikat

Muhammad atau Nur Muhammad yang menjadi sumber semua ciptaan

Tuhan di dunia. Dalam karyanya yang kedua ia menjelaskan 4 hal yang

menarik, yaitu a) empat tingkat menuju ajaran mistik dan bagaimana cara

mencapainya, b) doktrin emanation yang membedakan 7 tingkat dalam

membentangkan satuan absolut ke dalam ciptaan-Nya, c) sifat-sifat

Tuhan, d) cinta dan rasa syukur. Karya ketiganya merupakan sebuah

risalah yang banyak mengutip ayat Quran, beberapa sajak dari Persia,

dan Arab serta ditambah juga dengan terjemahan. Karya ini semacam

sebuah antologi yang semua isinya merujuk pada ajaran wujudiah.

(5) Hamzah Fansuri selain menguasai bahasa Arab juga menguasai bahasa

Persia. Kemampuan bahasa Persia itu termuat dalam ketiga karya di atas.

Pengetahuannya dalam bahasa Persia kelihatannya samabagusnya

dengan kemampuannya dalam bahasa Arab. Pada masa mudanya ia

semestinya pernah belajar bahasa Arab dan lebih diperdalam lagi ketika

ia ke Arab. Pada saat irulah ia belajar bahasa Persia dan tinggal di

Shahranawi.

(6) Raniri mencela ajaran wujudiah yang diajukan Hamzah Fansuri. Ia

menyerang Muntahi dalam karangannya yang berjudul Tibyan fi

Ma‘rifatal-adyan Ia menyebut ajaran wujudiah Hamzah adalah bid'ah

sehingga disebutnya dengan wujudiah dalalah. Ketika Raniri tinggal di Aceh

(1637 — 1644) ia didukung Raja Iskandar Muda yang juga tidak setuju

dengan ajaran Hamzah dan Shamsuddin sehingga banyak pengikut

mereka yang dibunuh dan buku-buku mereka dibakar.

(7) Bagian ini membicarakan syair-syair Hamzah Fansuri yang di antaranya

ada yang tidak menyebutkan identitasnya. Oleh sebab itu, banyak yang

meragukan apakah karya itu memang karya Hamzah. Tiga karya yang

anonim Hamzah adalah syair Perahu, Bahr al-nisa (Ikat-ikatan Urn al-nisa) dan

Syair Dagang. Syair Perahu pernah diteliti oleh V.Y. Braginsky. Ia mengenali

syair karya Hamzah dari struktur rimanya yang biasa digunakan Hamzah

dalam syair-syairnya. Bahral-nisa yang tersimpan di Leiden merupakan

syair yang layak diper timbangkan. Syair Dagang menur ut Teeu w dari

pemakaian rimanya terlihat kurang bagus; banyak dipengaruhi kata-kata

Minangkabau, seperti kacie, curita, batunpo-timpo, tidak lai.

Dalam bab 2 tentang pernaskahan, Drewes membicarakan 5 topik. Pertama,

syair-syairnya ditulis dalam 7 naskah. Empat naskah disimpan di Leiden, 2

naskah di Jakarta, dan 1 naskah terbitan dalam bentuk faksimile yang dibuat A.

Hasjmy, 1976. Di antara naskah-naskah itu, naskah tertua adalah B (Cod or.

2016) yaitu tahun 1704, kemudian naskah C (Cod.or. 3372) yang mencatat tahun

pe*nyalinan pada tahun 1851. Di antara naskah-naskah tersebut, yang dianggap

paling baik adalah naskah A • MS.83). Naskah yang dianggap kurang baik karena

tulisannya buruk dan banyak kesalahan adalah naskah C (Cod.Or.3372). Naskah

D (Cod. Or 3374) tidak men yebutkan nama pengarang (anonim) dan memuat

tiga teks, yaitu Syair Dagang, Syair Perahu, dan Hikayat Bakhtiar. Naskah B ( Cod. Or.

2016) memuat Syarab al-ashiqin ruga anonim dan memuat syair Hasan Fansuri dan

beberapa sajak Abdul Jamal

Kedua, syair Hamzah Fansuri d :ngan nomor Ms. Von de Wall 32, disimpan di

Jakarta, merupakan koleksi yang umumya muda dan ditulis ulang dalam bentuk

yang isir.ya bervariasi. Syair-syair ini terkenal di Banten pada abad ke-17

dengan judul Muntahi. Pada abad ke-17 dikenal juga drMakassar sebagai Syair

Perang Mcrngfamar vang ditulis oleh Skinner tahun 1670.

Ket iga, beberapa syair Hamzah merupakan versi yang menyimpang.

Doorenbos menyebutnya sebagai wandering verses dari syair Hamzah. Keempat,

sehubungan dengan tulisan Shamsuddin dan Raniri, Van Nieuwenhuijze dan

Voorhoeve menemukan kutipan (catatan) syair Hamzah. Catatan itu kadang-

kadang berbentuk varias bacaan. Kelima, Drewes membuat tabel yang

memperlihatkan perbedaan atau vanasi dari syair Hamzah berdasarkan teks yang

disunting Doorenbos, naskah Jak.Mai 83. Cod. Or. 2016, Cod. Or. 3372, dan

Cod. Or.3374.

Bab 3 terbagi atas 6 bagian yang akan diuraikan secara singkat di bawah ini.

(1) Dalam bagian ini dikatakan syair Hamzah yang berjumlah 32 nomor

panjangnya tidak scjajar. Shamsuddindalamkomentarnya tentang sajak Hamzah

menyebutnya dengan Ruba'i Hamzah Fansuri. Meskipun begitu rima yang

digunakannya sudah memakai rima syair Melayu, yaitu dengan a- a- a- a, bukan

a- a- b- b. Dengan begitu Hamzah bukan hanya sekedar imitator, tetapi juga

memiliki kekuatan sebagai master. Di Aceh beberapa syairnya dijadikan sebuah

nyanyian yang disebut seulaucuet. yang populer disebut daboih dalam bahasa Arab

disebut dabbus.

Dalam penggunaan bahasa syair-syair Hamzah sangat akrab dengan bahasa

Arab kutipan ayat Quran sehingga syair-syairnya menjadi tidak dapat lagi

dikenali. Pilihan katanya pendek dan tepat, tetapi tidak sampai pada kemurnian

(clarity). Yang dipentingkan dalam syairnya adalah kedalaman pengalaman

spiritual.

Drewes membagi syair hamzah menjadi 6 grup berdasarkan masyarakat yang

ditujunya, yaitu kalangan umum, orang Islam, dan kalangan mistik. Dari enam

grup itu, ia membua t beberapa sinopsis. Untuk edisi teks ia menggunakan metode

gabungan berdasarkan tujuh naskah. Ia tidak menjelaskan kenapa metode ini

digunakan. Setelah transliterasi ia membuat aparatus kritikus, dan indeks syair.

Dalam bab 4, ia menjelaskan kata yang digunakan, seperti etimologi kata dan

sumber kata atau kalimat ditemukan.Ia juga memperhatikan kata Arab yang

digunakan Hamzah Fansuri yang diuraikannya dalam bab 5. Drewes menjelaskan

setiap bahasa Arab yang digunakan lengkap dengan kelas katanya, kutipan ayat

Quran, dan beberapa istilah, glosari.

Ulasan atas karya Hamzah yang pernah disampaikan oleh beberapa orang

diulas lagi pada bab 5, di antaranya oleh Van der Tuuk pada tahun 1866, R.

Roolvink,A. Hasjmy, penyunting Shark Ruba'i Hamzah al Fansuri yang bertahun

1840.Ulasan-ulasan lainnya adalah yang dibuat oleh Hamzah Fansuri sendiri

atas Asrar al-arifin dan ulasan Shamsuddin atas beberapa nomor syairnya.

Dalam bab 6 ia menyajikan tentang naskah dan edisi teks. Naskah terjemahan

ini ada dua buah: naskah koleksi India Office Cod. Or. no. 2446 yang berasal

dari koleksi John Ley den dan naskah Cod. Or. Leiden no. 7392 yang merupakan

salinan dari naskah primbon Priangan yang dibuat untuk Snouck Hurgronje. Edisi

teks menyajikan sebuah transliterasi teks dari naskah yang lengkap yang

disimpan dalam India Office Library.

Pada bab 8, ia menyajikan juga transliterasi naskah Jawa, Muntahi yang

isinya bukan hanya Muntahi, melainkan teks Ibn al-Arabi, Fusus al-hikam. Kondisi

naskah sudah kurang bagus karena beberapa bagian sudah rusak termakan tinta.

Kakawin Gadjah Mada (Naskah Jawa dan Bali)

Penelitian yang dilakukan oleh Partini Sarjono Prakoso ini berjudul Kakawin

Gadjah Mada Sebuah Karya Sastra Kakawin Abadke-20 (Suntingan Naskah serta Telaah

Struktur, Tokoh dan Hubungan Antarteks), diterbitkan di Bandung oleh Binacipta,

1986.Tokoh yang dibicarakan adalah tokoh sejarah yang sangat populer di

masyarakat, Gadjah Mada. Dalam bab I, diuraikan beberapa alasan pemilihan

kakawin itu,di antaranya kakawin adalah bentuk sastra yang populer dan isinya

beragam; puisi ini juga dikenal di Jawa dan Bali; kakawin dapat bertahan selama

6 abad. Ia tertarik mengambil Kakawin Gadjah Mada (selanjutnya KGM) karena ada

keterangan secara eksplisit bahwa protagonis, Gadjah Mada, adalah tokoh

sejarah. Meskipun tokoh sejarah, penelitian ini tidak menggunakan pendekatan

ilmu sejarah karena disiplin itu di luar jangkauannya Sehubungan dengan itu,

tujuan utama penelitian ini adalah mengungkap mitos Gadjah Mada melalui edisi

teks. Hal itu dilakukan agar jangkauan pembacanya dapat lebih luas. Selain itu,ia

juga ingin mengungkap citra Gadjah Mada, apakah tokoh itu mempunyai tempat

khusus dalam diri penyair serta bagaimana penyair itu menggambarkannya

dalam bentuk kakawin yang berbahasa Jawa Kuno pada abad ke-20. Yang

menjadi masalah mengapa penyair KGM mengambil seorang tokoh sejarah

sebagai protagonis? Apakah penyair memakai bahasa Jawa Kuno yang sama

dengan bahasa Jawa Kuno dulu?

Dalam penelitian ini ia membatasi telaahnya pada satu karya sastra saja.

Untuk mencapai sasaran di atas, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan

objektif, mendekati KGM dari struktur.Untuk kepentingan di atas, penelitian ini

juga akan melihat hubungan antarteks karena setiap teks hanya dapat dipahami

dalam hubungannya dengan teks-teks KGM yang lain, termasuk teks dari daerah

lain. Sebagai pembanding ia memakai 5 karya sastra daerah.

Berbagai masalah tersebut mulai dibahas pada bab 2—6. Untuk mengikuti

butir-butir pembahasan, penelitian ini pada dasarnya diklasifikasi menjadi 4

bagian, yaitu pembahasan (1) bentuk kakawin dan pemakaian bahasa Jawa Kuno

dalam KGM, (2) pernaskahan atau edisi teks, (3) analisis struktur — alur dan

tema, tokoh, (4) hubungan antarteks, dan (5) Citra Tokoh Gadjah Mada dalam

sastra daerah lain.

Bab 2 terdiri atas 4 butir. Pertama, ia menguraikan mitos tokoh Gadjah Mada

dalam pandangan penyair KGM. Gajah Mada dimitoskan sebagai tokoh yang

agung. Ia adalah seorang digjaya yang tak tercela di seluruh dunia. Ia adalah

purra Dastrasutra yang gaib karena sering mengeluarkan cahaya. Kedua,

seluruh naskah memuat 730 halaman dalam 76 pupuh. Pola wrtta matra KGM ini

menunjukkan wisarna wrtta dan wisama matra (abed) Hal itu berarti bahwa

prosodi KGM tidak dapat dihitung dengan menggunakan peraturan pola matra

India yang terdapat dalam kavya. Kakawminidinyatakanberhasil, meskipun ada

juga kelemahannya. Namun, kelemahan itu dimaklumi karena kakawin ini ingin

melepaskan diri dari ikatan-ikatan yang mengurangi kebebasannya. Itulah

sebabnya ia membuat pembaruan. Ketiga, bahasa yang digunakan bahasa Jawa

Kuno. Ia menemukan penyimpangan wajar karena kakawin itu dibuat pada abad

XX yang drpengaruhi oleh bahasa ibu dan lingkungan masyarakatnya pada

zaman itu. Keempat,dalam bagian pernaskahan ini dibicarakan asal-usul,

penanggalan, dan penyair naskah KGM. Pernaskahan KGM ini menarik karena

di Bali kegiatan penyalinan ternvata masih berlangsung sampai abad ke-20.

Menurutnya, naskah KGM yang ditemukan ada 3 dan diterimanya dari I Gusti

Ngurah Bagus. Ketiga naskah tersebut disalin dari naskah KGM, yaitu Lontar

315, kropak 136, dankoleksi FS-UNUD. Bali. Naskah koleksi FS-UNUD (Ud)

ternyata adalah salinan setia dari satu naskah yang ada di Ubud (Ub). Naskah ini

menarik karena ada kolofonnya, yang menvatakan iangan diturun sehingga bagian

ini tidak disalin dalam naskah Ud. Naskah Ub ini ternyata disalin pada tahun

1977—1978 dari naskah milik perorangan yang sekarang sudah rusak. Paftini

berkesimpulan bahwa naskah Ub merupakan saurian vang lebih muda dari

naskah Ud karena keadaan naskah Ub masih tampak baru, tetapi tulisannya lebih

buruk. Kolofon yang menarik dari naskah Ub adalah penyebutan nama Ida

Cokorda Ngurah. Penyalin ini ditelusur dan dicari identitasnya. Partini

menyimpulkan bahwa meskipun penyair KGM, Ida Cok.ria Ngurah Bagus <

mengambil pokok isi riwayat hidup Gadjah Mada untuk kakawinnya, ia tidak

bermaksud menulis biografi. Oleh karena itu, dengan mengambil seorang tokoh

sejarah sebagai protagonis dalam kakawinnya, penyair KGM ini boleh dikatakan

menciptakan pembaharuan dalam tradisi kakawin sebagai jenis sastra Jawa

Kuna yang pokok isinya sebelumnya jarang sekali bersifat konkret (down to earth).

Bagian pernaskahan ini dapat juga dilihat pada bab VI, bagian pengantar

teks dan terjemahan KGM. Dalambagian'ini teks yang diambil sebagai dasar

suntingan adalah naskah Ub dan naskah Ud 1 karena menurut Partini keduanya

merupakan salinan dari naskah aslinya dan merupakan naskah yang sama. Dia

membandingkan kedua naskah itu dan keduanya diambil ketika edisi teks, hanya

naskah yang dijadikan landasai adalah naskah Ub.

Bab 3 membahas susunan KGM analisis struktur. Yang dilihat pada bagian

ini adalah hubungan antara alur dan tema KGM. Penulis memilih pendekatan

objektif karena menurutnya pendekatan inilah yang paling efektif. Akan tetapi,

karena sifat kekawin KGM ini ternyata pendekatan-pendekatan lain juga

digunakan, yaitu pendekatan ekspresif yang menyoroti pengarang, pendekatan

pragmatik karena karya ini juga merupakan mabasam, dan pendekatan mimesis

karena karya ini merupakan pencerminan kenyataan yang dilihat.

Pada akhirnya dia melihat bahwa unsur ajaran mendapat perhatian yang

paling banyak dari penyair. Selain itu, ia juga menyimpulkan bahwa Gadjah

Mada adalah tokoh sejarah, tetapi sifat epik dari kakawin tetap dipertahankan

dan prota gonisnya masih tetap the epic divine hero. Penyair tidak lagi memakai

tokoh Mahabarata karena mempunyai tokoh pujaan tersendiri. Tokoh pahlawan

ini mendukung tema, yakni kejayaan tokoh Gadjah Mada. Itulah yang menjadi ide

sentral. KGM terdiri atas serentetan peristiwa yang menunjang dan bermain

seputar tokoh Gadjah Mada dan tidak lepas dengan unsur yang lainnya, yaitu

alur.

Pendekatan objektif dianggap belum len.gkap untuk mengungkapkan makna

karya tersebut maka ia juga merigkaji hubungan antarteks. Hubungan tersebut

dilihat karena melihat sifat KGM sebagai karya sastra yang mengalanu banyak

perkembangan. Hal itu terjadi karana karya ini lahir dari kalangan masyarakat

yang kegiatan sastranya kurang. Oleh sebab itu, ada dugaan bahwa waktu

meoiggubah KGM, penyair menghadapi berbagai teks lain yang menjadi

hipogram. Hal itu terjadi karena penyair sangat akrab dengan te ks-teks lain

yang menjadi hipogramnya. Kegiatan penyair KGM dalam posisi ini adalah tri-

dimensional (sebagai pembaca, penyambut/penafsir, dan pengarang sekaligus).

Penyair kadang-kadang memasukkan satu peristiwa, bahkan satu kalimat atau

ungkapan dalam hipogramnya, yang kemudian diselipkan dalam keutuhan

gubahannya. Hipogram itu beragam, ada prosa, puisi, dan cerita rakyat.

Percampuran itu menyebabkan KGM terbina bagaikan sebuah mosaik kutipan.

Partini membagi menjadi 9 hipogram yang kemudian dikelompokkan lagi menjadi

dua, yaitu teks yang berisi ajaran moral dan teks agama dalam teks tradisi J a wa

Tengahan, cerita sejarah or ang-orang Jawa.

Satu hal yang menolong dalam disertasi ini adanya lampiran garis besar

cerita KGM. Lampiran ini dapat memberi gambaran kepada pembaca untuk

mengikuti alur cerita. Lampiran lainnya berupa perbandingan hipogram-

hipogram.

Bab 4 mengkaji citra Gadjah Mada dalam sastra daerah lain. Sastra d.aerah

yang memuat tokoh itu banyak, Partini hanya memasukkan 5 cerita saja,

"Negarakertagama", "Pararaton","Kidung Sunda", "Caritra Banjar dan Raja

Kota Waringin", dan "Hikayat Hang Tuah". Dari kelima karya tersebut diperoleh

gambaran umum sosok Gadjah Mada. Ia adalah seorang perdana menteri besar

dari Majapahit. Kebesaran itu terutama berkat kebijakartnya sebagai negarawan

dalam penaklukan daerah-daerah di Nu santara. Namanya begitu terkenal

sehingga Gadjah Mada menjadi narna umum untuk perdana menteri Majapahit.

Adanya gambaran umum ini menimbulkan dugaan bahwa penyalin-penyalin

tersebut dapat saja menggunakan teks acuan vang sama atau berbeda. Yang jelas

mereka telah menghasilkan karya dari abad-abad yang silam. Kemudian mereka

menyesuaikannya dengan tujuan dan rungsi karya sastra masing-masing. Hal itu

sejalan dengan Ida Cokorda Ngurah yang menambah dan mengubah atau

mengurangi teks-teks acuannya kemudian menyesuaikan dengan tujuan

karangarmya.

Bab 5 mempakan kesimpulan umum dan bab yang ke-6 adalah edisi teks,

berupa pengantar teks, transliterasi, dan terjemahan KGM.

Siwaratrikalpa (Naskah Bali)

Siwaratrikalpa ofMpu Tanakun, diterbitkan di Belanda oleh Martinus Nijhoff,

1969, dikerjakan oleh sebuah tim yang terdiri atas A. Teeuw, S.O. Robson, Th. P.

Galestin, dan P.J. Worsley. Dalam bab pertama ada 17 topik pembicaraan yang

dapat uikelompokkan lagi menjadi 7 bagian.

Petama, Siwaratrikalpa dalam sastra Jawa Kuno termasuk dalam genre kakawin.

Kakawin merupakan sebuah transposisi dari bentuk kavya India. Penulis

Siwaratrikalpa mempunyai tujuan yang lebih khusus yaitu menyebarkan

pengetahuan tentang ketaatan atau penghormatan pada perayaan malam Siwa

(Siwararrikalva). Karya itu ba gi pengarangnya sendiri berfungsi sebagai

pelepasan rasa estetisnya.

Kedua, ringkasan cerita disajikan dengan sangat pendek. Karajaan Gigindra

dipimpin oleh Raja Suraprabhawa. Di daerah peguiiungan di kerajaan itu

hiduplah seorang pemburu, Lubdhaka namanya. Pada tanggal 14 separuh petang

bulan ketujuh, ia pergi berburu. Ia melewati dusun dekat sebuah pertapaan yang

tersembunyi di lembah dan halaman sebuah candi yang hampir runtuh. Ia juga

melihat laut yang terbentang. Setelah masuk ke hutan, ia siap mencari buruan.

Namun, tidak seekor pun hasil buruan didapat. Suatu kali ia sampai di daerah

perbukitan clan sampai di sebuah danau. Ketika sore datang, ia belum juga

memperoleh buruan. Karena ia merasa tidak mungin lagi pulang ke rumah, ia

pun tidur di sebuch pohon maja yang batangnya menggantung ke arah danau.

Ketika malam tiba, saat ia diserang kantuk ia ingin tidur. Akan tetapi, jika tidur,

ia takut jatuh. Oleh sebab itu, untuk menghilangkan rasa kantuknya ia memetik

daun maja danmenjatuhk annya ke danauitu. Danau tempat ia menjatuhkan daun

itu sebenarnya adalah lingga Siwa. Siangnya ia tidak juga memperoleh buruan. Ia

pun kembali ke rumah dan disambut oleh istri dan anaknya.

Suatu hari ia jatuh sakit dan akhirnya meninggal. Kemudian keluarga

mengremasiny a dan mereka pulang. Jiwa Lubdhaka melayang ke langit. Siwa

meminta Ganas untuk menangkapnya. Menurut Ganas, Lubdhaka harus

dimasukkan ke neraka karena ia tidak melihat kebaikan dalamdirinya. Ia

sepanjang usianya hanya membunuh binatang, tetapi Siwa mencegahnya. Siwa

menjelaskan bahwa selama hidupnya Lubdhaka pernah berbuat kebaikan yang

sangat besar, yakni menghormati Siwa, suatu kebaikan yang tidak ada

bandingnya. Akhirnya, Ganas merebut Lubdhaka dari Kinkara-kinkara. Yama

penentu seseorang masuk surga atau neraka malu karena merasa tidak dapat

menunaikan tugasnya. Ia memohon mengundurkan diri. Akhirnya, Siwa

menjelaskan perbuatan baik Lubdhaka. Perbuatan itu dianggap sangat suci

sehingga dapat membersihkan perbuatan dosa yang dibuat selama hidupnya.

Untuk itu, ia berhak masuk surga.

Ketiga, Mpu Tanakung tercatat sebagai pengarang dalam Siwaratrikalpa yang

dinyatakan pada bagian akhir kakawin ini. Karya itu merupakan karya

terbaiknya jika dibandingkan Wrttasanca dan Udyakala serta sejumlah puisi pendek

lainnya. Penggunaan bahasa dari beberapa kakawinnya tersebut mempunyai

kesamaan. Nama Tanakung berasal dari tan dan akung, tan berarti 'tidak' dan

akung (darivasi dari kata kuri ditambah awalan a) berarti Tepas dari cinta'. Jadi,

tanakung berarti harus melepaskan diri dari segala ikatan cinta. Selain

Tanakung, diuraikan juga dua penyair Jawa Kuno lain yaitu Tantular dan

Nirarta. Tantular adalah pengarang Sutasoma dan Arjunawijaya yang hidup pada

abad ke-14. Nirarta dipercaya dan hidup pada abad ke-16 yang mempunyai

peranan penting dalam tradisi sastra Bali. Ia mengarang Nagarakartagama dan

Prapanca.

Keempat dibicarakan tentang pernaskahan: penanggalan, penggunaan

bahasa,aspek puitis, matra dan manggala, serta naskah dan teks.

Pembicaraan penanggalan, Teeuw dkk. mengacu pada pendapat Zoetmoelder.

Mereka mengatakan bahwa teks ini berasal dari abad ke-15. Abad itu merujuk

pada nama seorang raja yang tercatat dalam teks, yakni Raja Sri

Adisuraprabhawa, seorang keturunan Girindra dengan Raja

Sinhawikramawardhana dyah Suraprabhawa. Nama raja yang terakhir itu

tercatat dalam inskripsi Pamintihan pada 14 Mei, 1473. Mereka juga melihat

inskripsi Warinin Pitu (Suradakan) yang bertanggal 22 November 1447 oleh

Wijayaparakramawardhana, Raja Majapahit. Ia menyimpulkan bahwa

Shoaratrikalpa berada antara tahun 1466 — 1478. Penetapan tahun itu berbeda

pendapat dengan Krom dan Poerbatjaraka. Poerbatjaraka berpendapat bahwa

karya sastra itu dibuat pada masa Ken Angrok dan karya itu merupakan cara

Tanakung untuk mengambil hati Ken Angrok. Oleh sebab itu, Lubdhaka yang

jahat dapat diampuni dan masuk surga meskipun dosanya besar. Hal itu dapat

disamakan dengan diri Ken Angrok .

Shvaratrikalpa ditulis dalam bahasa Jawa Kuna pada masa Hindu Jawa antara

tahun 850 —1500. Sastra itu disebut juga dalam parwa dan kakawin serta

inskripsi. Teeuw dkk. lebih khusus melihat penggunaan bahasa terutama pada

idiom yang digunakan saat itu. Mereka mengatakan bahwa bahasa yang

digunakan adalah bahasa Jawa Kuno yang sangat artifisial yang memang hanya

digunakan dalam penulisan karya sastra. Bahasa itu berdampingan dengan

bahasa Jawa Tengahan yang hidup dalam bahasa percakapan dan dalam kidung.

Mereka juga membicarakan penggunaan stilistik dan kepelikan penggunaan

bahasa dalam Shvaratrikalpa, yaitu bahasa yang digunakan ditandai dengan

penggunaan bahasa kakawin. Shvaratrikalpa pada dasarnya mengikuti struktur

cerita, tetapi tidak tipikal dengan kakawin karena ada beberapa hal yang

menyimpang. Di antaranya, biasanya kakawin menampilkan pahlawannya dari

golongan masyarakat tinggi (kerajaan). seperti raja, tetapi dalam karya ini ia

menampilkan tokoh dari kasta rendah, seorang pemburu biasa yang pekerjaannya

selalu membunuh binatang yang tinggalnya pun di pegunungan. Ia tidak

memunculkan sifat heroik.

Shvaratrikalpa terdiri atas 39 pupuh dengan 20 macam matra, di antaranya

Wasantatilaka dan Sragdhara masing-masing 2, Aswalalita 4, Sardulavvikridita

5, Jagadhita 7 pupuh, Sistem matra India berbeda dengan sistem matra Jawa, di

antaranya dengan panjang dan pendeknya vokal yang tidak lazim digunakan

dalam bahasa Indonesia, juga bahasa jawa.Suvaratrikalva berisi 3 unsor, vaitu (1)

pembacaan doa dewata, (2) pemujaan pada raja, dan (3) kerendahan hati sang

penyair.

Dalam bagian pernaskahan dikatakan bahwa naskah Siwaratrikalpa ada 8

buah. Tujuh naskah terdapat di Perpustakaan Universitas Leiden dan satu naskah

dari Perpustakaan Nasional, Jakarta Kedelapannaskah dideskripsikan, tetapi

tidak lengkap. Ada beberapa naskah yang diinformasikan dituhs di atas ior.tar,

seperti A,B, dan C , sedangkan yang lain, yakni D ditulis di atas kertas dan yang

lainnya tidak disebutkan. Aksara yang dipakai juga tidak banyak disebutkan.

Dari naskah-naskah tersebutnaskah A,B,C, dan D sejajar , tapi B dan C

mempunyai bacaan yang sama, tidak sarrra halnya dengan A dan D. Naskah G

banvak vang korup (salah) sehingga tidak digunakan dalamedisi ini. Untuk

keperluanedisi teks, mereka menggunakan edisi gabungan dari naskah A,B,C, dan

D yang dianggap sejajar.

Selain iru, dalam bagian ini juga diinformasikan tentang beberapa caratan

sehubungan dengan transliterasi, misalnya ejaan. Dari kedelapan naskah itu.

editor membuat aparatus kritikus.

Dalam pembicaraan keagamaan mereka mengatakan melihat adanva sistem

kepercayaanketika jiwa Lubdhaka mela) ang-layang dan akhirnya masuk ke

surga. Dari situ dapat diketahui konsep tentang kediaman Siwa (surga) dan

Cauldron (neraka). Yama adalah pemutus akhir siapa yang berhak masuk surga

atau neraka. lalah yang membawa jiwa manusia setelah meninggal kemudian

Citragupta membacakan buku atau semua catatan (kebaikan dan keburukan)

selama kehidupan manusia. Munculnya surga dan neraka merupakan pembagian

atas kebaikan dan keburukan. Selain itu, juga diperlihatkan konsep reinkarnasi

yang sangat penting dalam pemikiran India.

Karya ini bertema tentang pemujaan pada Siwa. Kita mendapatkan gambaran

tentang pentingnya cara pemujaan pada Siwa dalam periode akhir Ma;apahit.

Yang menarik dalam ajaran ini, apakah setelal i meninggal jiwa meninggalkan

jasadnya?

Dalam teks dicontohkan dalam diri Lubdhaka, yaitu tanda kehidupannya berakhir

ketika jantung dan hati semakin melemah kerjanva dan akhirnya ke luar melalui

tenggorokannya. Setelah meninggal, jiwanya melayang menuju udara. Hal itu

terjadi karena ia sampai saat itu belum ke luar dari pembebasan dan tidak tahu

jalan memasuki surga. Pembebasan itu belum diperolehnya karena ia belum

mempunyai darma, yang berhubungan dengan hukum moral.

Keenam, diuraikan Siwaratrikalpa India.Teks ini penting untuk sejarah

kebudayaan Indonesia. Masa kejadiannya adalah pada masa Majapahit. Pada

saat itu mayoritas beragama Budha. Ajaran itu dalam Bali modern sudah

berintegrasi dengan ajaran Siwa. Ajaran itu juga pernah hidup dengan baik pada

abad ke-15 di Jawa. Kemunculan karya Tanakung mempunyai misi khusus, yaitu

untuk menginformasikan masalah politik, kebudayaan, dan situasi keagamaan di

Jawa. Hasil sastranya seolah-olah mengidentifikasikan bahwa pada masa

Majapahit, yaitu periode Hindu-Jawa masih mempunyai hubungan dengan India.

Melalui karya Tanakung juga upacara ritual Siwa masuk ke Jawa kemudian ke

Bali (ke Indonesia). Upacara itu sangat terkenal di India. Pada pertengahan abad

ke-15 perayaan itu mulai dari satu tempat di India yaitu Vijayanegara, pusat

penyebaran ajaran Siwa. Tempat itu terletak di India Selatan. Dalam karya

Tanakung tersebut digambarkan bahwa tempat itu dipimpin oleh Raja Divaraya

II. Pada masa raja itu, hidup seorang penyair Srinatha. Penyair itu mahir

dalamberbahasa Sansekerta dan dalam sastra Talugu. Ia juga seorang jenius.

Teeuw dkk mempunyai hipotesis bahwa pelajar Jawa mengunjungi India dan

memunculkan inspirasi untuk menyesuaikan agama dan situasi kebudayaan India

ke Jawa. Implikasi yang lain mengenai kronologis keagamaan yang dipengaruhi

India ke Jawa dan Indonesia pada umumnya. Pada saat itu Islam juga maju di

Jawa dan Tanakung menemukan inspirasi dari India. Ia kemungkinan

mengunjungi Malaka ketika dalam perjalanan ke India. Akhirnya, agama-agama

itu mempengaruhi Jawa pada abad ke-15.

Ketujuh, upacara pada Malam Siwaratrikalpa, upacara Malam Siwa

dideskripsikan dalam beberapa bagian dari teks ini, di antaranya pada baris 2

dan 2a, yaitu dijelaskan bahwa pada masa mudanya Lubdhaka tidak

memperhatikan hukum moral dan agama. Ia hanya suka berburu. Bait 3 pupuh 2

menyatakan pada malam tanggal 14 separuh petang bulan ketujuh, ia pergi

berburu dengan menggunakan jaket berburu yang berwarna biru tua. Tanggal itu

menunjukkan Malam Siwa. Pada bait 5, pupuh 5 pengarang menggambarkan

bahwa Lubdhaka menjatuhkan daun maja tanpa berhenti ke tengah air (danau)

yang kebetulan adalah lingga Siwa. Pada pupuh 5 bait 6 diceritakan bahwa ia

tidak tidur sepanjang malam.

Semua peristiwa itu memperlihatkan ketidaksadaran Lubdhaka pada

kesetiaannya pada Siwaratri. Hal itu memperlihatkan, seperti yang dikatakan

Hooykaas, teks Bali mengacu pada peringatan upacara Siwaratri. Dalam

upacara itu diajarkan bahwa tidak tidur semalaman dalam setahun dapat

membawa kita ke surga Siwa dan mendatangkan kebahagiaan selama hidup.

Malam Siwa disebut juga sebagai bulan Magha, satu dari dua belas bulan

dalam satu tahun dan bertepatan dengan Januan-Februari. Satu bulan 30 hari

yang dalam kalender Jawa disebut kapitu. Siang harinya disebut Anusmarana

suatu pemusatan pikiran dan konsentrasi spirit. Setelah itu. orang-orang harus

pergi ke rumah salah seorang guru dan mengekpresikan rasa setianya. Kemudian

berpuasa dan menyepi (silence) sdanjutma menviapkan diri mereka untuk mandi

dan membersihkan seluiuh badan dan menggunakan sesuatu yaxig baru untuk

pergi ke pertunjukan Siwanalarcana. penyembahan untuk mendukung Siwa.

Dalam penyembahan itu digunakan panekar dan bunga. Saat itu yang

dipentingkan membawa daun maja atau selasih. Dua unsurdasar yang juga harus

ada adalah lampu dan kern enyan atau dupa. Sfakanan yang disajikan adalah

bubur dua macam, yaitu bubur pehan (campuran susu dan bubur putih yang

dicampur dengan gula Jawa. Dalam tradisi Jawa dikenal dengan bubur putih dan

bubur merah. Selain itu, dibawa juga buah-buahan, daging, dan minuman. Agar

orang tidak tertidur semalaman, dibawakanlah cerita lubdhaka dan sebuah

kidung.

Bab dua membicarakanpenelitian India tentang kakawin dengan

perbandingan antara Suraratrikalpa dengan Padmapurana. Kedua karya sastra

tersebut banyak kesarnaan Keduanya merupakan karya didaktik. Perbedaan ada

pada karakter keduanva. Padmapurana tidak mempunyai pretensi sastra dan

tidak mementingkan keestetisan karena ia buku ajaran, sedangkan Siwaratrikalpa

justru sangat mementingkan keestetisannya. Perbedaan terjadi pada tokoh.

Dalam Padmapurana Lubdhaka meminta izin pulang dahulu menemui istrinya

sebelum dimakan seekor macan Lubdhaka, sangpemburu, diceritakan sangat

ganas. Iabukan hanya memburu dan membunuh binatang-binatang, tetapi juga

para brahmana.

Bab uga berisi empatilustrasi Bali tentang cerita Lubdhaka. Ilustrasi (1)

sebuah ider-ider Bali milik Royal Tropical Institute, ider-ider Bali itu adalah sebuah

kain tenunan dari katun yang panjangnya 28 cm. Tahun 1933 benda ini

dipinjamkan kepada Royal Tropical Institute. Teeuw dkk menggambarkan dengan

rinci tiap adegan dalam gambar itu. Gambaran itu, di antaranya diberikan

terhadap adegan 1 yang dibagi atas sisi kiri dan sisi kanan. Sisi kiri ada sebuah

kolamyang di atasnya mengambang 8 lotus merah dan juga daun -daun yang

berserakan serta beberapa di antaranya sedang jatuh beterbangan. Di tengah

kolam itu ada sebuah konstruksi baru yang berwarna kuning menggambarkan

Siwa dengan 4 tangan. Di sisi kanan seorang pria memakai celana pendek, baju

biru lengan panjang duduk di cabang pohon yang menjatuhkan daun. (2) Ilustrasi

tentang cerita Lubdhaka yang ada dalam 1 ukisan yang dibuat oleh Bagoes

Gelgel. (3) Ilustrasi yang ada dalam sebuah lukisan Bali yang menjadi milik

Royal Tropical Institute, Leiden. Ilustrasi terdiri atas 20 adegan. (4) Ilustrasi dari

lukisan BalikoleksiTh. A. Resink. Lukisan ini dibuat pada tahun 1933 di Puri

Gede Saren, Krambitan, Tabanan. Lukisan ini berukuran 90 cm x 70 cm. yang

menarik keempat ilustrasi tersebut direproduksi dan dilampirkan pada bagian

akhir buku.

Aneka edisi teks Nusantara ini, khususnya pada bagian edisi naskah jamak

ber tujuan tintukmenunjukkanmetode dan pendekatan yang dipakai

dalammenyunting naskah. Dengan metode dan pendekatan itu diharapkan isi teks

dapat terungkap dan diketahui oleh masyarakatnya. Untuk itu, diambil berbagai

naskah daerah yang pernah diteliti para pakar.

Sama halnya dengan edisi naskah tunggal di atas, edisi naskah jamak ini

disajikan untuk melihat penerapan berbagai teori yang disampaikan pada

beberapa bagian dari modul 1 — 5. Dengan aneka edisi teks ini diharapkan

berbagai teori dapat lebih dipahami karena contoh-contoh edisi teks ini dapat

mengkonkretkannya. Untuk itu, diambil enam penelitian yang telah dilakukan

oleh berbagai f ilolog dari dalam dan luar negeri. Keenam penelitian itu adalah

Hikayat Banjar (Melayu),Babad Buleleng (Bali), Serat Cabolek (Jawa), Syair-

syair Hamzah Fansuri (Melayu), Kakawin Gadjah Mada (Jawa dan Bali), dan

Siwaratrikalpa (Bali).