pengertian kontrak
TRANSCRIPT
Pengertian KontrakPengertian kontrak
Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seseorang yang lain atau dimana dua orang
itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.Bentuk perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang
mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.
Menurut J.Satrio,perjanjian dapat mempunyai dua arti,yaitu:
1.Arti luas
Suatu perjanjian berarti setiap perjanjian yang menimbulkan akibat hukum sebagai yang dikehendaki oleh para
pihak.
2.Arti sempit
Perjanjian berarti hanya ditunjukan kepada hubungan-hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan saja.
Jenis-jenis kontrak
Kontrak dapat dibagi menjadi beberapa jenis,salah satunya Kontrak timbal balik yang merupakan perjanjian yang
didalamnya masing-masing pihak menyandang status sebagai berhak dan berkewajiban atau sebagai kreditur
dan debitur secara timbal balik.
Perjanjian sepihak atau unilateral adalah perjanjian yang mewajibkan pihak yang satu untuk berprestasi dan
memberi hak pada yang lain untuk menerima presentasi.
Arti penting pembedaan tersebut ialah sebagai berikur:
1.Berkaitan dengan aturan resiko,pada perjanjian sepihak resiko ada para kreditur,sedangkan para perjanjian
timbal balik resiko ada pada debitur kecuali perjanjian jual beli.
2.Berkaitan dengan perjanjian syarat batal,pada perjanjian timbal balik selalu dipersengketaan.
Perjanjian dibedakan pula menjadi perjanjian konsensual dan perjanjian riil.perjanjian konsensual adalah
perjanjian dimana adanya kata sepakat antara para pihak saja sudah cukup untuk timbulnya satu
perjanjian.sedangkan perjanjian riil ialah perjanjian yang baru terjadi apabila objek perjanjian telah diserahkan.
Kontrak menurut namanya dibedakan menjadi dua,yaitu:
1.Kontrak bernama
Adalah kontrak jual beli,tukar menukar,sewa menyewa,persekutuan perdata,hibah,penitipan barang,pinjam-
meminjam,penanggungan hutang,perdamaian,dll.
2.Kontrak tidak bernama
Yang termaksud kedalam kontrak ini antara lain:Leasing,beli sewa,keagenan,kontrak rahim,dll.
Kontrak menurut bentuknya dibedakan menjadi:
1.Kontrak lisan
Adalah kontrk yang dibuat secara lisan tenpa dituangkan kedalam tulisan,
2.Kontrak tertulis
Adalah kontrak yang dituangkan kedalam tulisan.
Pelaksanaan kontrak
Yang bertugas untuk melaksanakan kontrak adalah mereka yang menjadi subjek dalam kontrak.
Asas yang mengikat dalam pelaksanaan kontrak
Pelaksanaan perjanjian dapat dibagi menjadi perjanjian untuk memberikan atau menyerahkan hak
kebendaan,perjanjian untuk berbuat sesuatu.Dalam pelaksanaan perjanjian selain melaksanakan isi perjanjian
harus pula mengindahkan kebiasaan,kepatutan.Jika tidak,tentu akan menimbulkan masalah hukum.
Hal-hal yang mengikat dalam kaitan dengan pelaksanaan kontrak ialah sebagai berikut:
1.Segala sesuatu yang menurut sifat kontrak diharuskan oleh kepatutan,kebiasaan,dan undang-undang.
2.Hal-hal yang menurut kebiasaan sesuatu yang diperjanjikan itu dapat menyingkirkan suatu pasal undang-
undang yang merupakan hukum pelengkap.
Pelaksanaan kontrak harus sesuai dengan asaskepatutan,pemberlakuan asas tersebut dalam suatu kontrak
mengandung dua fungsi,yaitu:
1.Fungsi melarang,artinya bahwa suatu kontrak yang bertentangan dengan asas kepatutan itu dilarang atau
tidak dapat dibenarkan.
2.Fungsi menambah,artinya suatu kontrak dapat ditambah dengan atau dilaksanakan dengan asas kepatutan.
Pembatalan perjanjian yang menimbulkan kerugian
Ada tiga bentuk ingkar janji,yaitu:
1.Tidak memenuhi prestasi sama sekali,
2.Terlambat memenuhi prestasi,dan
3.Memenuhi prestasi secara tidak sah.
Syarat-syarat sah perjanjian
Syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu perjanjian:
1.Sepakat mereka yang mengikat dirinya.
2.Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
3.Suatu hal tertentu.
4.Suatu sebab yang halal.
http://gemaisgery.blogspot.com/2010/06/pengertian-kontrak.html
BAB IIPERJANJIAN/KONTRAK
A. PendahuluanPada bab ini akan dibahas tentang pengertian kontrak, pengaturan, asas, bentuk perjanjian, wanprestasi beserta akibatnya, cara penyusunan kontrak dan hapusnya perjanjian. Melalui bahasan dalam bab ini diharapkan mahasiswa mampu menguraikan perjanjian/kontrak sehingga mahasiswa mampu menganalisis sebuah perjanjian/.kontrak.
B. Penyajian1. PengertianMenurut Subekti, kontrak atau perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada orang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.
Ada juga yang memberikan pengertian kepada kontrak sebagai suatu perjanjian atau serangkaian perjanjian di mana hukum memberikan ganti rugi terhadap wanprestasi dari kontrak tersebut, dan oleh hukum, pelaksanaan dari kontrak tersebut dianggap merupakan suatu tugas yang harus dilaksanakan. Menurut Pasal 1313 Kitab Undang Undang Hukum Perdata disebutkan bahwa pengertian perjanjian adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih
2. PengaturanKontrak diatur dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata di Buku ketiga tentang Perikatan. Buku ketiga disamping mengatur tentang perikatan yang timbul dari perjanjian, juga mengatur perikatan yang timbul dari undang undang. Contoh perikatan yang lahir dari undang-undang sebagi berikut :
1. Perikatan yang menimbulkan kewajiban-kewajiban tertentu diantara penghuni pekarangan yang saling berdampingan.
2. Perikatan yang menimbulkan kewajiban mendidik dan memelihara anak
3. Perikatan karena adanya perbuatan melawan hukum.
4. Perikatan yang timbul karena perbuatan sukarela, sehingga perbuatan sukarela tersebut haruslah dituntaskan.
5. Perikatan yang timbul dari pembayaran tidak terhutang.
6. Perikatan yang timbul dari perikatan wajar.
Buku ketiga Kitab Undang Undang Hukum Perdata menganut sistem terbuka. Maksud dari sistem terbuka adalah orang dapat mengadakan perjanjian tentang apapun juga (meski menyimpang dari yang telah ditetapkan buku ketiga) sesuai kehendaknya (baik mengenai bentuk ataupun isinya) sepanjang tidak bertentangan dengan undang undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Jadi aturan buku ketiga Kitab Undang Undang Hukum Perdata merupakan hukum pelengkap yang berlaku bagi para pihak sepanjang tidak mengesampingkan perjanjian mereka.
Dasar-dasar dari hukum kontrak nasional terdapat dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata. Karena itu Kitab Undang Undang Hukum Perdata merupakan sumber utama dari suatu kontrak. Di samping sumbernya dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata tersebut, yang menjadi sumber hukum kontrak adalah sebagai berikut:
1. Peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur khusus untuk jenis kontrak tertentu atau mengatuir aspek tertentu dari kontrak.
2. Yurisprudensi, yakni putusan-putusan hakim yang memutuskan perkara berkenaan dengan kontrak.
3. Perjanjian Internasional, baik bersifat bilateral atau multilateral yang mengatur tentang aspek bisnis internasional.
4. Kebiasaan-kebiasaan bisnis yang berlaku dalam praktek sehari-hari.
5. Doktrin atau pendapat para ahli yang telah dianut secara meluas.
6. Hukum adat di daerah tertentu sepanjang yang menyangkut denganh kontrak-kontrak tradisional bagi masyarakat pedesaan (Munir Fuady, 2005 : 10).
3. Asas-Asas dalam Perjanjian/ KontrakDalam ilmu hukum dikenal beberapa asas hukum terhadap suatu kontrak yaitu sebagai berikut:
a. Asas kontrak sebagai hukum yang mengatur
Hukum mengatur adalah peraturan-peraturan hukum yang berlaku bagi subjek hukum, misalnya para pihak dalam suatu kontrak. Akan tetapi ketentuan hukum seperti ini tidak mutlak berlakunya karena jika para pihak mengatur sebaliknya, maka yang berlaku adalah apa yang diatur oleh para pihak tersebut. Jadi peraturan yang bersifat hukum mengatur dapat disimpangi oleh para pihak. Pada prinsipnya hukum kontrak termasuk kedalam kategori hukum mengatur, yakni sebagian besar (meskipun tidak seluruhnya) dari hukum kontrak tersebut dapat disimpangi oleh para pihak dengan mengaturnya sendiri. Oleh karena itu hukum kontrak ini disebut sebagai hukum yang mempunyai sistem terbuka (open system). Sebagai lawan dari hukum mengatur, adalah apa yang disebut dengan “hukum memaksa”. Dalam hal ini yang dimaksud oleh hukum memaksa adalah aturan hukum yang berlaku secara memaksa atau mutlak, dalam arti tidak dapat disimpangi oleh para pihak yang terlibat dalam suatu perbuatan hukum termasuk oleh para pihak dalam suatu kontrak.
b. Asas kebebasan berkontrak
Asas kebebasan berkontrak ini merupakan konsekuensi dari berlakunya asas kontrak sebagai hukum mengatur. Dalam hal ini yang dimaksud dengan asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang mengajarkan bahwa para pihak dalam suatu kontrak pada pada prinsipnya bebas untuk membuat atau tidak membuat kontrak, demikian juga kebebasannya untuk mengatur sendiri isi kontrak tersebut. Asas kebebasan berkontrak ini dibatasi oleh rambu-rambu hukum sebagai berikut:
1. Harus memenuhi syarat sebagai suatu kontrak
2. Tidak dilarang oleh undang-undang
3. Tidak bertentangan dengan kebiasaan yang berlaku
4. Harus dilaksanakan dengan iktikad baik.
c. Asas Pacta Sunt ServandaIstilah “Pacta Sunt Servanda” berarti “janji itu mengikat”. Yang dimaksudkan adalah bahwa suatu kontrak yang dibuat secara sah oleh para pihak mengikat para pihak tersebut secara penuh sesuai isi kontrak tersebut. Istilah terkenalnya adalah “my word is my bonds” atau sesuai dengan tampilan bahasa Indonesia “jika sapi dipegang talinya, jika manusia dipegang mulutnya”. Mengikatnya secara penuh atas kontrak yang dibuat oleh para pihak tersebut oleh hukum kekuatannya dianggap sama saja dengan kekuatan mengikat mengikat dari suatu undang-undang. Karena itu, apabila suatu pihak dalam kontrak tidak menuruti kontrak yang telah dibuatnya, oleh hukum disediakan ganti rugi atau bahkan pelaksanaan kontrak secara paksa.
d. Asas konsensual
Yang dimaksud dengan asas konsensual dari suatu kontrak adalah bahwa jika suatu kontrak telah dibuat, maka dia telah sah dan mengikat secara penuh, bahkan pada prinsipnya persyaratan tertulis pun tidak disyaratkan oleh hukum kecuali untuk beberapa jenis kontrak tertentu, yang memang dipersyaratkan secara tertulis. Syarat tertulis tersebut misalnya dipersyaratkan untuk jenis kontrak berikut ini :
1. Kontrak perdamaian
2. Kontrak pertanggungan
3. Kontrak penghibahan
4. Kontrak jual beli tanah
1. Asas obligatoir
Asas obligatoir adalah suatu asas yang menentukan bahwa jika suatu kontrak telah dibuat, maka para pihak telah terikat, tetapi keterikatannya itu hanya sebatas timbulnya hak dan kewajiban semata-mata. Sedangkan prestasi belum dapat dipaksakan karena kontrak kebendaan belum terjadi. Jadi jika terhadap kontrak jual beli misalnya, maka dengan kontrak saja hak milik belum berpindah, jadi baru terjadi kontrak obligatoir saja. Hak milik baru berpindah setelah adanya kontrak kebendaan tersebut atau yang sering disebut juga dengan serah terima (levering). Hukum kontrak Indonesia memberlakukan asas obligatoir ini karena hukum kontrak Indonesia berdasarkan pada Kitab Undang Undang Hukum Perdata. Walau pun hukum adat tentang kontrak tidak mengakui asas obligatoir karena hukum adat memberlakukan asas kontrak riil.
Artinya suatu kontrak haruslah dibuat secara riil, dalam hal ini harus dibuat secara “terang” dan “tunai”. Dalam hal ini kontrak haruslah dilakukan di depan pejabat tertentu, misal di depan penghulu adat atau ketua adat yang sekaligus juga dilakukan leveringnya. Jika hanya sekedar janji-janji saja, dalam hukum adat kontrak seperti dalam sistem obligatoir dalah hukum adat kontrak seperti itu tidak punya kekuatan sama sekali.
4. Bentuk Perjanjian/KontrakPerjanjian/kontrak memiliki dua bentuk yaitu bentuk tertulis dan dan tidak tertulis (lisan) Baik berbentuk tertulis maupun tudak tertulis mengikat, asal memenuhi syarat yang diatur Pasal 1320 Kitab Undang Undang Hukum Perdata tentang syarat sah perjanjian. Perjanjian tidak tertulis/lisan
dalam praktek kurang disukai karena perjanjian lisan sulit dalam pembuktiannya kalau terjadi sengketa.
Sedang perjanjian berbentuk tertulis yang berupa akta otentik dan akta dibawah tangan merupakan alat bukti yang mudah dalam pembuktianya.
5. Wanprestasi dan Akibat-AkibatnyaPrestasi adalah pelaksanaan dari isi kontrak yang telah diperjanjikan dan disepakati bersama. Menurut hukum Indonesia, bentuk prestasi adalah sebagai berikut:
1. Memberikan sesuatau
2. Berbuat sesuatau
3. Tidak berbuat sesuatau
Sedangkan wanprestasi adalah tidak dilaksanakannya suatu prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya seperti yang telah disanggupi kedua belah pihak. Dengan kata lain terjadi cidera janji.
Menurut Subekti wanprestasi dibagi dalam empat bentuk yaitu:
1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan
2. Melaksanakan apa yang dijanjikan, tapi tidak sebagaimana yang dijanjikan
3. Melakukan apa yang dijanjikan, tapi terlambat
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan
Akibat atau konsekuensi logis tindakan wanprestasi yaitu adanya tuntutan ganti rugi material dan immaterial dari pihak yang dirugikan. Praktek dari aplikasi ganti rugi akaibat adanya wanprestasi dari suatu kontrak dilaksanakan dalam berbagai kemungkinan, di mana yang dimintakan oleh pihak yang dirugikan adalah hal-hal sebagai berikut:
1. Ganti rugi saja
2. Pelaksanaan kontrak tanpa ganti rugi
3. Pelaksanaan kontrak dengan ganti rugi
4. Pembatalan kontrak tanpa ganti rugi
5. Pembatalan kontrak dengan ganti rugi (Munir Fuady, 2005:21).
6. Penyusunan Perjanjian/KontrakDalam penyusunan suatu perjanjian/kontrak ada tahapan-tahapan tertentu yang harus dilaksanakan agar tercipta suatu kontrak yang baik. Tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai berikut:
a. Prakontrak
1. Negosiasi
2. Memorandum of Understanding (MoU)
3. Studi Kelayakan
4. Negosiasi (lanjutan)
b. Kontrak
1. Penulisan naskah awal
2. Perbaikan naskah
3. Penulisan naskah akhir
4. Penandatanganan
c. Pascakontrak
1. Pelaksanaan
2. Penafsiran
3. Penyelesaian sengketa
7. Hapusnya Perjanjian/KontrakMenurut Pasal 1381 Kitab Undang Undang Hukum Perdata, perjanjian/kontrak dapat hapus dengan cara :
1. Karena pembayaran
2. Karena penawaran pembayaran tunai, diikutidengan penyimpanan atau penitipan
3. karena pembaharuan utang
4. karena perjumpaan utang atau kompensasi
5. karena percampuran utang
6. karena pembebasan utang
7. karena musnahnya barang yang terutang
8. karena kebatalan atau pembatalan
http://naufalalfatih.wordpress.com/2012/10/10/perjanjiankontrak/
1. PENGERTIAN KONTRAK
Pada prinsipnya kontrak terdiri dari satu atau serangkaian janji yang
dibuat para pihak dalam kontrak. Esensi dari kontrak itu sendiri adalah
perjanjian (agreement). Atas dasar itu, Subekti[1] mendefinisikan
kontrak sebagai peristiwa di mana seseorang berjanji kepada orang lain
di mana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu.
Janji sendiri merupakan pernyataan yang dibuat oleh seseorang kepada
orang lain yang menyatakan suatu keadaan tertentu atau affair exists,
atau akan melakukan suatu perbuatan tertentu.[2] Orang terikat pada
janjinya sendiri, yakni janji yang diberikan kepada pihak lain dalam
perjanjian. Janji itu mengikat dan janji itu menimbulkan utang yang harus
dipenuhi.[3]
Menurut Sudikno Mertokusumo perjanjian hendaknya dibedakan dengan
janji. Walaupun janji itu didasarkan pada kata sepakat, tetapi kata
sepakat itu tidak untuk menimbulkan akibat hukum, yang berarti bahwa
apabila janji itu dilanggar, tidak ada akibat hukumnya atau tidak ada
sanksinya.[4] Berlainan dengan itu, di dalam berbagai definisi kontrak di
dalam literatur hukum kontrak common law, kontrak itu berisi
serangkaian janji, tetapi yang dimaksud dengan janji itu secara tegas
dinyatakan adalah janji yang memiliki akibat hukum dan apabila
dilanggar, pemenuhannya dapat dituntut ke pengadilan.[5]
Bab II Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
Indonesia menyamakan kontrak dengan perjanjian atau persetujuan. Hal
tersebut secara jelas terlihat dalam judul Bab II Buku III KUHPerdata,
yakni “Perikatan yang Lahir dari Kontrak atau Persetujuan.”
Pasal 1313 KUHPerdata mendefinisikan perjanjian sebagai suatu
perbuatan yang terjadi antara satu atau dua orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap orang lain. Definisi tersebut dianggap
tidak lengkap dan terlalu luas dengan berbagai alasan tersebut di bawah
ini. 3
Dikatakan tidak lengkap, karena definisi tersebut hanya mengacu kepada
perjanjian sepihak saja. Hal ini terlihat dari rumusan kalimat “yang
terjadi antara satu orang atau lebih mengikatkan dirinya kepada satu
orang atau lebih.” Mengingat kelemahan tersebut, J. Satrio mengusulkan
agar rumusan dirubah menjadi: atau di mana kedua belah pihak saling
mengikatkan diri.[6]
Dikatakan terlalu luas, karena rumusan: suatu perbuatan hukum dapat
mencakup perbuatan hukum (zaakwaarneming) dan perbuatan melawan
hukum (onrechtmatigedaad). Suatu perbuatan melawan hukum memang
dapat timbul karena perbuatan manusia dan sebagai akibatnya timbul
suatu perikatan, yakni adanya kewajiban untuk melakukan transaksi
tertentu yang berwujud ganti rugi kepada pihak yang dirugikan
perbuatan melawan hukum jelas tidak didasarkan atau timbul dari
perjanjian.[7]perjanjian kawin dalam hukum keluarga atau perkawinan
pun berdasarkan rumusan perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata
tersebut dapat digolongkan sebagai perjanjian.[8]
J. Satrio juga membedakan perjanjian dalam arti luas dan sempit. Dalam
arti luas, suatu perjanjian berarti setiap perjanjian yang menimbulkan
akibat hukum sebagai yang dikehendaki (atau dianggap dikehendaki)
oleh para pihak, termasuk di dalamnya perkawinan, perjanjian kawin,
dan lain-lain. Dalam arti sempit, perjanjian hanya ditujukan kepada
hubungan-hubungan hukum dalam lapangan hubungan perkawinan saja
sebagaimana diatur dalam Buku III KUHPerdata.[9]
Untuk memperbaiki kelemahan definisi di atas, Pasal 6.213.I Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata Belanda (BW Baru) mendefinisikan
perjanjian sebagai suatu perbuatan hukum yang terjadi antara satu
orang atau lebih mengikatkan dirinya kepada satu orang atau lebih di
mana keduanya saling mengikatkan dirinya.[10]
Berdasarkan Ketentuan Umum Hukum Kontrak Belanda, pengertian
kontrak adalah suatu perbuatan hukum (juridical act), yang dibuat
dengan formalitas yang memungkinkan, dan diijinkan oleh hukum yang
berwenang-dan dibuat bersesuaian dan harus ada ungkapan niat dari
satu atau dua pihak secara bersama-sama yang saling bergantung satu
sama lain(interdependent). Kontrak ini bertujuan untuk menciptakan
akibat hukum untuk kepentingan satu pihak dan juga untuk pihak lain.
[11]
Kontrak merupakan golongan dari ‘perbuatan hukum’, perbuatan hukum
yang dimaksud adalah suatu perbuatan yang menghasilkan akibat hukum
dikarenakan adanya niat dari perbuatan satu orang atau lebih. Sehingga
dapat dikatakan bahwa beberapa perbuatan hukum adalah kontrak.[12]
Ciri khas yang paling penting dari suatu kontrak adalah adanya
kesepakatan bersama (mutual consent) para pihak. Kesepakatan bersama
ini bukan hanya merupakan karakteristik dalam pembuatan kontrak,
tetapi hal itu penting sebagai suatu niat yang diungkapkan kepada pihak
lain. Di samping itu, sangat mungkin untuk suatu kontrak yang sah
dibuat tanpa adanya kesepakatan bersama.[13]
Untuk menyesuaikan rumusan kalimat bahwa suatu kesepakatan
haruslah interdependent. Satu pihak akan setuju karena atau jika pihak
lain setuju pula. Tanpa adanya ketergantungan (interdependent) maka
tidak ada kesepakatan (consent); contohnya ketika dalam rapat
pemilihan badan direksi suatu perusahaan, pemilihan ini dipilih dengan
persetujuan secara umum, hal ini bukan merupakan kontrak karena tidak
ada mutual interdependence.[14]
Niat para pihak harus bertujuan untuk menciptakan adanya akibat
hukum. Terdapat banyak perjanjian yang menimbulkan kewajiban sosial
atau kewajiban moral, tetapi tidak mempunyai akibat hukum. Contohnya,
janji untuk pergi ke bioskop tidak menimbulkan akibat hukum, walaupun
ada beberapa yang dapat menimbulkan akibat hukum dalam situasi
khusus tertentu. Maksud para pihak untuk mengadakan hubungan
hukum sangatlah menentukan dalam kasus ini.[15]
Pada akhirnya, akibat hukum harus dihasilkan untuk kepentingan satu
pihak dan pihak lainnya, atau, untuk kepentingan kedua belah pihak.
Dalam Peraturan Umum Hukum Kontrak Belanda menyebutkan bahwa
para pihak dalam kontrak hanya dapat untuk mengadakan perikatan
terhadap satu sama lain.[16]
Di dalam sistem common law ada pembedaan
antara contract dan agreement. Semua kontrak adalah agreement, tetapi
tidak semua agreements adalah kontrak.[17] American Restatement of
Contract (second) mendefinisikan kontrak sebagai ‘a promise or set of
promises for the breach of which the law give a remedy or the
performance of which the law in some way recognized a duty.’[18]
Salah satu kelemahan dari pengertian kontrak yang disebutkan
dalam American Restatement adalah tidak adanya elemen persetujuan
(bargain) dalam kontrak. Tidak adanya indikasi yang dibuat dalam
definisi tersebut di atas adalah merupakan suatu ciri khas perjanjian dua
belah pihak (two-sided affair), sesuatu yang sedang dijanjikan atau
dilaksanakan dalam satu sisi merupakan pengganti untuk sesuatu yang
sedang dijanjikan atau dilaksanakan dalam sisi yang lain. Kemudian,
berdasarkan pengertian di atas, bahwa kontrak secara sederhana dapat
menjadi ‘suatu janji’. Hal ini berarti untuk melihat fakta yang secara
umum merupakan beberapa tindakan atau janji yang diberikan sebagai
pengganti untuk janji yang lain sebelum janji itu menjadi sebuah kontrak.
Di samping itu, kontrak juga dapat merupakan’ serangkaian janji’. Hal ini
tidak memberikan indikasi bahwa beberapa janji biasanya diberikan
sebagai pengganti untuk janji yang lainnya. Akan tetapi hal tersebut bisa
saja salah untuk mengasumsikan bahwa semua kontrak adalah
persetujuan asli di mana di satu sisi suatu hal yang ditawarkan untuk
suatu hal lain yang memiliki nilai sama dengan yang lainnya. Faktanya,
seperti yang kita lihat, ada beberapa kasus di mana sebuah janji
diperlakukan sebagai pemikiran kontraktual yang tidak ada persetujuan
(bargain) yang nyata.[19]
Beberapa pengertian kontrak yang lain masih memiliki arti yang sama,
tetapi ada satu pengertian yang tepat dan ringkas yang diungkapkan oleh
Pollock yang mendefinisikan kontrak sebagai ‘suatu janji di mana hukum
dapat diberlakukan baginya’ (promises which the law will enforce).[20]
Substansi dari definisi-definisi kontrak di atas adalah adanya mutual
agreement atau persetujuan (assent) para pihak yang menciptakan
kewajiban yang dilaksanakan atau kewajiban yang memiliki kekuatan
hukum.[21]
II SYARAT SAHNYA KONTRAK
Pasal 1320 KUHPerdata menentukan adanya 4 (empat) syarat sahnya
suatu perjanjian, yaitu:
1. 1. Adanya Kata Sepakat
Supaya kontrak menjadi sah maka para pihak harus sepakat terhadap
segala hal yang terdapat di dalam perjanjian.[22] Pada dasarnya kata
sepakat adalah pertemuan atau persesuaian kehendak antara para pihak
di dalam perjanjian. Seseorang dikatakan memberikan persetujuannya
atau kesepakatannya jika ia memang menghendaki apa yang disepakati.
[23]
Mariam Darus Badrulzaman melukiskan pengertian sepakat sebagai
persyaratan kehendak yang disetujui (overeenstemende wilsverklaring)
anta pihak-pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan
tawaran (offerte). Dan pernyataan pihak yang menerima penawaran
dinamakan akseptasi (acceptatie).[24] Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa penawaran dan akseptasi merupakan unsur yang sangat penting
untuk menentukan lahirnya perjanjian. Di samping itu, kata sepakat
dapat diungkapkan dalam berbagai cara, yaitu:
1. Secara lisan
2. Tertulis
3. Dengan tanda
4. Dengan simbol
5. Dengan diam-diam
Berkaitan dengan kesepakatan dan lahirnya perjanjian, Mariam Darus
Badrulzaman mengemukakan beberapa teori mengenai lahirnya
perjanjian tersebut, yaitu: [25]
1. Teori kehendak of will (wilstheorie)
Menjelaskan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak pihak
penerima dinyatakan, misalnya dengan menuliskan surat.
1. Teori Pengiriman (verzentheorie)
Mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak yang
dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang menerima tawaran.
1. Teori Pengetahuan (vernemingstheorie)
Mengajarkan bahwa pihak yang menawarkan seharusnya sudah
mengetahui bahwa tawarannya sudah diterima; dan
1. Teori Kepercayaan (vertrowenstheorie)
Mengajarkan bahwa kesepakatan itu terjadi pada saat pernyataan
kehendak dianggap layak diterima oleh pihak yang menawarkan .
Suatu perjanjian dapat mengandung cacat kehendak atau kata sepakat
dianggap tidak ada jika terjadi hal-hal yang disebut di bawah ini:
1. a. Paksaan (dwang)
Setiap tindakan yang tidak adil atau ancaman yang menghalangi
kebebasan kehendak para termasuk dalam tindakan pemaksaan. Di
dalam hal ini, setiap perbuatan atau ancaman melanggar undang-undang
jika perbuatan tersebut merupakan penyalahgunaan kewenangan salah
satu pihak dengan membuat suatu ancaman, yaitu setiap ancaman yang
bertujuan agar pada akhirnya pihak lain memberikan hak, kewenangan
ataupun hak istimewanya. Paksaan dapat berupa kejahatan atau
ancaman kejahatan, hukuman penjara atau ancaman hukuman penjara,
penyitaan dan kepemilikan yang tidak sah, atau ancaman penyitaan atau
kepemilikan suatu benda atau tanah yang dilakukan secara tidak sah,
dan tindakan-tindakan lain yang melanggar undang-undang, seperti
tekanan ekonomi, penderitaan fisik dan mental, membuat seseorang
dalam keadaan takut, dan lain-lain.[26]
Menurut Sudargo,[27] paksaan (duress) adalah setiap tindakan intimidasi
mental. Contohnya adalah ancaman kejahatan fisik dan hal ini dapat
dibuat penuntutan terhadapnya. Akan tetapi jika ancaman kejahatan fisik
tersebut merupakan suatu tindakan yang diperbolehkan oleh hukum
maka dalam hal ini ancaman tersebut tidak diberi sanksi hukum, dan
dinyatakan bahwa tidak ada paksaan sama sekali. Selain itu paksaan juga
bisa dikarenakan oleh pemerasan atau keadaan di bawah pengaruh
terhadap seseorang yang mempunyai kelainan mental.
1. b. Penipuan (Bedrog)
Penipuan (fraud) adalah tindakan tipu muslihat. Menurut Pasal 1328
KUHPerdata dengan tegas menyatakan bahwa penipuan merupakan
alasan pembatalan perjanjian. Dalam hal ada penipuan, pihak yang
ditipu, memang memberikan pernyataan yang sesuai dengan
kehendaknya, tetapi kehendaknya itu, karena adanya daya tipu, sengaja
diarahkan ke suatu yang bertentangan dengan kehendak yang
sebenarnya, yang seandainya tidak ada penipuan, merupakan tindakan
yang benar. Dalam hal penipuan gambaran yang keliru sengaja
ditanamkan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain. Jadi, elemen
penipuan tidak hanya pernyataan yang bohong, melainkan harus ada
serangkaian kebohongan (samenweefsel van verdichtselen), serangkaian
cerita yang tidak benar, dan setiap tindakan/sikap yang bersifat menipu.
[28]
Dengan kata lain, penipuan adalah tindakan yang bermaksud jahat yang
dilakukan oleh satu pihak sebelum perjanjian itu dibuat. Perjanjian
tersebut mempunyai maksud untuk menipu pihak lain dan membuat
mereka menandatangani perjanjian itu. Pernyataan yang salah itu sendiri
bukan merupakan penipuan, tetapi hal ini harus disertai dengan tindakan
yang menipu. Tindakan penipuan tersebut harus dilakukan oleh atau atas
nama pihak dalam kontrak, seseorang yang melakukan tindakan tersebut
haruslah mempunyai maksud atau niat untuk menipu, dan tindakan itu
harus merupakan tindakan yang mempunyai maksud jahat – contohnya,
merubah nomor seri pada sebuah mesin (kelalaian untuk
menginformasikan pelanggan atas adanya cacat tersembunyi pada suatu
benda bukan merupakan penipuan karena hal ini tidak mempunyai
maksud jahat dan hanya merupakan kelalaian belaka). Selain itu
tindakan tersebut haruslah berjalan secara alami bahwa pihak yang
ditipu tidak akan membuat perjanjian melainkan karena adanya unsur
penipuan.[29]
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa penipuan terdiri dari 4
(empat) unsur yaitu: (1) merupakan tindakan yang bermaksud jahat,
kecuali untuk kasus kelalaian dalam menginformasikan cacat
tersembunyi pada suatu benda; (2) sebelum perjanjian tersebut dibuat;
(3) dengan niat atau maksud agar pihak lain menandatangani perjanjian;
(4) tindakan yang dilakukan semata-mata hanya dengan maksud jahat.
[30]
Kontrak yang mempunyai unsur penipuan di dalamnya tidak membuat
kontrak tersebut batal demi hukum (null and void) melainkan kontrak
tersebut hanya dapat dibatalkan (voidable). Hal ini berarti selama pihak
yang dirugikan tidak menuntut ke pengadilan yang berwenang maka
kontrak tersebut masih tetap sah.
1. c. Kesesatan atau Kekeliruan (Dwaling),
Dalam hal ini, salah satu pihak atau beberapa pihak memiliki persepsi
yang salah terhadap objek atau subjek yang terdapat dalam perjanjian.
Ada 2 (dua) macam kekeliruan, yang pertama yaitu error in
persona, yaitu kekeliruan pada orangnya, contohnya, sebuah perjanjian
yang dibuat dengan artis yang terkenal tetapi kemudian perjanjian
tersebut dibuat dengan artis yang tidak terkenal hanya karena dia
mempunyai nama yang sama. Yang kedua adalah error in
substantia yaitu kekeliruan yang berkaitan dengan karakteristik suatu
benda, contohnya seseorang yang membeli lukisan Basuki Abdullah
tetapi kemudian setelah sampai di rumah orang itu baru sadar bahwa
lukisan yang dibelinya tadi adalah lukisan tiruan dari lukisan Basuki
Abdullah.[31]
Di dalam kasus yang lain, agar suatu perjanjian dapat dibatalkan, tahu
kurang lebih harus mengetahui bahwa rekannya telah membuat
perjanjian atas dasar kekeliruan dalam hal mengidentifikasi subjek atau
orangnya.[32]
1. d. Penyalahgunaan Keadaan (misbruik van
omstandigheiden)
Penyalahgunaan Keadaan (Undue influence) merupakan suatu konsep
yang berasal dari nilai-nilai yang terdapat di pengadilan. Konsep ini
sebagai landasan untuk mengatur transaksi yang berat sebelah yang
telah ditentukan sebelumnya oleh pihak yang dominan kepada pihak
yang lemah. Penyalahgunaan Keadaan ada ketika pihak yang melakukan
suatu perbuatan atau membuat perjanjian dengan cara di bawah paksaan
atau pengaruh terror yang ekstrim atau ancaman, atau paksaan
penahanan jangka pendek. Ada pihak yang menyatakan bahwa
Penyalahgunaan Keadaan adalah setiap pemaksaan yang tidak patut atau
salah, akal bulus, atau bujukan dalam keadaan yang mendesak, di mana
kehendak seseorang tersebut memiliki kewenangan yang berlebihan, dan
pihak lain dipengaruhi untuk melakukan perbuatan yang tak ingin
dilakukan, atau akan berbuat sesuatu jika setelahnya dia akan merasa
bebas.[33]
Secara umum ada dua macam penyalahgunaan keadaan yaitu: Pertama
di mana seseorang menggunakan posisi psikologis dominannya yang
digunakan secara tidak adil untuk menekan pihak yang lemah supaya
mereka menyetujui sebuah perjanjian di mana sebenarnya mereka tidak
ingin menyetujuinya. Kedua, di mana seseorang menggunakan
wewenang kedudukan dan kepercayaannya yang digunakan secara tidak
adil untuk membujuk pihak lain untuk melakukan suatu transaksi. [34]
Menurut doktrin dan yurisprudensi, ternyata perjanjian-perjanjian yang
mengandung cacat seperti itu tetap mengikat para pihak, hanya saja,
pihak yang merasakan telah memberikan pernyataan yang mengandung
cacat tersebut dapat memintakan pembatalan perjanjian. Sehubungan
dengan ini, 1321 KUHPerdata menyatakan bahwa jika di dalam suatu
perjanjian terdapat kekhilafan, paksaan atau penipuan, maka berarti di
dalam perjanjian itu terdapat cacat pada kesepakatan antar para pihak
dan karenanya perjanjian itu dapat dibatalkan.
Persyaratan adanya kata sepakat dalam perjanjian tersebut di dalam
sistem hukumCommon Law dikenal dengan
istilah agreement atau assent. Section 23 American
Restatement (second) menyatakan bahwa hal yang penting dalam suatu
transaksi adalah bahwa masing-masing pihak menyatakan
persetujuannya sesuai dengan pernyataan pihak lawannya.
1. 2. Kecakapan untuk Membuat perikatan
Pasal 1329 KUHPerdata menyatakan bahwa setiap orang adalah cakap
untuk membuat perjanjian, kecuali apabila menurut undang-undang
dinyatakan tidak cakap. Kemudian Pasal 1330 menyatakan bahwa ada
beberapa orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian, yakni:
1. Orang yang belum dewasa (persons under 21 years of age)
2. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan (curatele
or conservatorship); dan
3. Perempuan yang sudah menikah
Berdasarkan pasal 330 KUHPerdata, seseorang dianggap dewasa jika dia
telah berusia 21 tahun atau kurang dari 21 tahun tetapi telah menikah.
Kemudian berdasarkan pasal 47 dan Pasal 50 Undang-Undang No
1/1974 menyatakan bahwa kedewasaan seseorang ditentukan bahwa
anak berada di bawah kekuasaan orang tua atau wali sampai dia berusia
18 tahun.
Berkaitan dengan perempuan yang telah menikah, pasal 31 ayat (2) UU
No. 1 Tahun 1974 menentukan bahwa masing-masing pihak (suami atau
isteri) berhak melakukan perbuatan hukum
1. 3. Suatu Hal Tertentu
Syarat sahnya perjanjian yang ketiga adalah adanya suatu hal tertentu
(een bepaald onderwerp), suatu hal tertentu adalah hal bisa ditentukan
jenisnya (determinable).[35]Pasal 1333 KUHPerdata menentukan bahwa
suatu perjanjian harus mempunyai pokok suatu benda (zaak)yang paling
sedikit dapat ditentukan jenisnya. Suatu perjanjian harus memiliki objek
tertentu dan suatu perjanjian haruslah mengenai suatu hal tertentu
(certainty of terms), berarti bahwa apa yang diperjanjikan, yakni hak dan
kewajiban kedua belah pihak. Barang yang dimaksudkan dalam
perjanjian paling sedikit dapat ditentukan jenisnya (determinable).
Istilah barang yang dimaksud di sini yang dalam bahasa Belanda disebut
sebagai zaak.Zaak dalam bahasa Belanda tidak hanya berarti barang
dalam arti sempit, tetapi juga berarti yang lebih luas lagi, yakni pokok
persoalan. Oleh karena itu, objek perjanjian itu tidak hanya berupa
benda, tetapi juga bisa berupa jasa.
Secara umum, suatu hal tertentu dalam kontrak dapat berupa hak, jasa,
benda atau sesuatu, baik yang sudah ada ataupun belum ada, asalkan
dapat ditentukan jenisnya (determinable). Perjanjian untuk menjual
sebuah lukisan yang belum dilukis adalah sah. Akan tetapi, suatu kontrak
dapat menjadi batal ketika batas waktu suatu kontrak telah habis dan
kontrak tersebut belum terpenuhi.[36]
J. Satrio menyimpulkan bahwa apa yang dimaksud dengan suatu hal
tertentu dalam perjanjian adalah objek prestasi (performance). Isi
prestasi tersebut harus tertentu atau paling sedikit dapat ditentukan
jenisnya (determinable).[37]
KUHPerdata menentukan bahwa barang yang dimaksud tidak harus
disebutkan, asalkan nanti dapat dihitung atau ditentukan.[38] Sebagai
contohnya perjanjian untuk ‘panen tembakau dari suatu ladang dalam
tahun berikutnya’ adalah sah.
American Restatement Contract (second) section 33 menyatakan bahwa
pokok perjanjian (term) menyatakan bahwa walaupun suatu pernyataan
dimaksudkan untuk dianggap sebagai penawaran, hal ini belum dapat
diterima langsung menjadi perjanjian, bila pokok perjanjian itu tidak
tentu.
Black Law Dictionary mendefinisikan term sebagai persyartan,
kewajiban, hak, harga, dan lain-lain yang ditetapkan dalam perjanjian
dan dokumen. American Restatement Contract(second) Section 33 Sub
2 menjelaskan bahwa bila pokok perjanjian itu mencakup dasar untuk
menyatakan adanya wan prestasi dan untuk memberikan ganti rugi yang
layak.
1. 4. Kausa Hukum yang Halal
Syarat sahnya perjanjian yang keempat adalah adanya kausa hukum
yang halal. Jika objek dalam perjanjian itu illegal, atau bertentangan
dengan kesusilaan atau ketertiban umum, maka perjanjian tersebut
menjadi batal. Sebagai contohnya, perjanjian untuk membunuh
seseorang mempunyai objek tujuan yang illegal, maka kontrak ini tidak
sah.[39]
Menurut Pasal 1335 Jo 1337 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu
kausa dinyatakan terlarang jika bertentangan dengan undang-undang,
kesusilaan, dan ketertiban umum.
Suatu kausa dinyatakan bertentangan dengan undang-undang, jika kausa
di dalam perjanjian yang bersangkutan isinya bertentangan dengan
undang-undang yang berlaku. Untuk menentukan apakah suatu kausa
perjanjian bertentangan dengan kesusilaan (geode zeden) bukanlah hal
yang mudah, karena istilah kesusilaan tersebut sangat abstrak, yang
isinya bisa berbeda-beda antara daerah yang satu dan daerah yang
lainnya atau antara kelompok masyarakat yang satu dan lainnya. Selain
itu penilaian orang terhadap kesusilaan dapat pula berubah-ubah sesuai
dengan perkembangan jaman.[40]
Kausa hukum dalam perjanjian yang terlarang jika bertentangan dengan
ketertiban umum. J. Satrio memaknai ketertiban umum sebagai hal-hal
yang berkaitan dengan masalah kepentingan umum, keamanan negara,
keresahan dalam masyarakat dan juga keresahan dalam masalah
ketatanegaraan.[41] Di dalam konteks Hukum Perdata internasional
(HPI), ketertiban umum dap[at dimaknai sebagai sendi-sendi atau asas-
asas hukum suatu negara.[42]
Kausa hukum yang halal di dalam sistem Common Law dikenal dengan
istilah legalityyang dikaitkan dengan public policy. Suatu kontrak dapat
menjadi tidak (illegal) jika bertentangan dengan public policy. Walaupun,
sampai sekarang belum ada definisi public policy yang diterima secara
luas, pengadilan memutuskan bahwa suatu kontrak bertentangan
dengan public policy jika berdampak negatif pada masyarakat atau
mengganggu keamanan dan kesejahteraan masyarakat (public’s safety
and welfare)[43]
Syarat sahnya kontrak di atas berkenaan baik mengenai subjek maupun
objek perjanjian. Persyaratan yang pertama dan kedua berkenaan
dengan subjek perjanjian dan pembatalan untuk kedua syarat tersebut
adalah dapat dibatalkan (voidable). Sedangkan persyaratan ketiga dan
keempat berkenaan dengan objek perjanjian dan pembatalan untuk
kedua syarat tersebut di atas adalah batal demi hukum (null and void).
Dapat dibatalkan (voidable) berarti bahwa selama perjanjian tersebut
belum diajukan pembatalannya ke pengadilan yang berwenang maka
perjanjian tersebut masih tetap sah, sedangkan batal demi hukum (null
and void) berarti bahwa perjanjian sejak pertama kali dibuat telah tidak
sah, sehingga hukum menganggap bahwa perjanjian tersebut tidak
pernah ada sebelumnya.
III. ASAS-ASAS KONTRAK
Henry P. Panggabean menyatakan bahwa pengkajian asas-asas
perjanjian memiliki peranan penting untuk memahami berbagai undang-
undang mengenai sahnya perjanjian. Perkembangan yang terjadi
terhadap suatu ketentuan undang-undang akan lebih mudah dipahami
setelah mengetahui asas-asas yang berkaitan dengan masalah tersebut.
[44]
Nieuwenhuis menjelaskan hubungan fungsional antara asas dan
ketentuan hukum (rechtsgels) sebagai berikut:[45]
1. Asas-asas hukum berfungsi sebagai pembangun sistem. Asas-asas itu
tidak hanya mempengaruhi hukum positif, tetapi juga dalam banyak hak
menciptakan suatu sistem. Suatu sistem tidak akan ada tanpa adanya asas-
asas;
2. Asas-asas itu membentuk satu dengan lainnya suatu sistem check and
balance. Asas-asas ini sering menunjuk ke arah yang berlawanan, apa yang
kiranya menjadi merupakan rintangan ketentuan-ketentuan hukum. Oleh
karena menunjuk ke arah yang berlawanan, maka asas-asas itu saling
kekang mengekang, sehingga ada keseimbangan.
Sistem pengaturan hukum perjanjian yang terdapat di dalam Buku III
KUHPerdata memiliki karakter atau sifat sebagai hukum pelengkap
(aanvullenrechts atau optional law). Dengan karakter yang demikian,
orang boleh menggunakan atau tidak menggunakan ketentuan yang
terdapat di dalam Buku III KUHPerdata tersebut. Di dalam perjanjian,
para pihak dapat mengatur sendiri yang menyimpang dari ketentuan
Buku III KUHPerdata.
Hukum perjanjian memberikan kebebasan kepada subjek perjanjian
untuk melakukan perjanjian dengan beberapa pembatasan tertentu.
Sehubungan dengan itu Pasal 1338 KUHPerdata menyatakan:
1. Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya;
2. Perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kata sepakat
keduabelah pihak atau karena alasan undang-undang yang dinyatakan cukup
untuk itu; dan
3. Perjanjian tersebut harus dilaksanakan dengan iktikad baik.
Ada beberapa asas hukum perjanjian yang dikandung Pasal 1338
KUHPerdata sebagai berikut:
1. Asas konsensualisme;
2. Asas facta sunt servanda;
3. Asas kebebasan berkontrak; dan
4. Asas iktikad baik.
Sudikno Mertokusumo mengajukan tiga asas perjanjian yang dapat
dirinci sebagai berikut:[46]
1. Asas konsensualisme, yakni suatu persesuaian kehendak (berhubungan
dengan lahirnya suatu perjanjian);
2. Asas kekuatan mengikatnya suatu perjanjian (berhubungan dengan
akibat perjanjian; dan
3. Asas kebebasan berkontrak (berhubungan dengan isi perjanjian).
Asas yang sama juga dikemukakan Ridwan Khairandy. Menurut Ridwan
hukum perjanjian mengenal tiga asas perjanjian yang saling kait
mengkait satu dengan yang lainnya. Ketiga asas sebagai berikut:[47]
1. Asas konsensualisme (the principle of consensualism);
2. Asas kekuatan mengikatnya kontrak (the legal binding of contract); dan
3. Asas kebebasan berkontrak (the principle of freedom of contract).
Berbeda dengan uraian di atas, Nieuwenhuis mengajukan tiga asas
perjanjian yang lain, yakni:
1. asas otonomi, yaitu adanya kewenangan mengadakan hubungan hukum
yang mereka pilih (asas kemauan bebas);
2. asas kepercayaan, yaitu adanya kepercayaan yang ditimbulkan dari
perjanjian itu, yang perlu dilindungi (asas melindungi pihak beriktikad baik);
dan
3. asas kuasa, yaitu adanya saling ketergantungan (keterikatan) bagi suatu
perjanjian untuk tunduk pada ketentuan hukum (rechtsregel) yang telah
ada, walaupun ada kebebasan berkontrak.
Terhadap adanya perbedaan unsur-unsur asas-asas perjanjian tersebut di
atas, Nieuwenhuis memberikan penjelasan sebagai berikut:[48]
1. hubungan antara kebebasan berkontrak dan asas otonomi berada dalam
keadaan bahwa asas otonomi mensyaratkan adanya kebebasan mengikat
perjanjian; dan
2. perbedaannya adalah menyangkut pembenaran dari keterikatan
kontraktual, asas otonomi memainkan peranan dalam pembenaran mengenai
ada tidaknya keterikatan kontraktual. Suatu kekurangan dalam otonomi
(tiadanya persetujuan (toesteming),misbruik omstandigheiden) digunakan
sebagai dasar untuk pembenaran ketiadaan dan keterikatan kontraktual.
Menurut Henry P. Pangabean, perkembangan hukum perjanjian,
misalnya dapat dilihat dari berbagai ketentuan (Nieuwe) Burgerlijk
Wetboek atau BW (Baru) Negeri Belanda. Perkembangan itu justeru
menyangkut penerapan asas-asas hukum perjanjian yang dikaitkan
dengan praktik peradilan.[49]
1. 1. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak merupakan tiang dari sistem hukum perdata,
khususnya hukum perikatan yang diatur Buku III KUHPerdata. Bahkan
menurut Rutten, hukum perdata, khususnya hukum perjanjian,
seluruhnya didasarkan pada asas kebebasan berkontrak.[50] Asas
kebebasan berkontrak yang dianut hukum Indonesia tidak lepas
kaitannya dengan Sistem Terbuka yang dianut Buku III KUHPerdata
merupakan hukum pelengkap yang boleh dikesampingkan oleh para
pihak yang membuat perjanjian.
Dengan asas kebebasan berkontrak orang dapat menciptakan perjanjian-
perjanjian baru yang dikenal dalam Perjanjian Bernama dan isinya
menyimpang dari Perjanjian Bernama yang diatur oleh undang-undang.
[51]
Sutan Remy Sjahdeini menyimpulkan ruang lingkup asas kebebasan
berkontrak sebagai berikut:[52]
1. kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian;
2. kebebasan untuk memilih dengan pihak siapa ia ingin membuat
perjanjian;
3. kebebasan untuk memilih causa perjanjian yang akan dibuatnya;
4. kebebasan untuk menentukan objek suatu perjanjian;
5. kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian
6. kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang
yang bersifat opsional (aanvullen, optional).
Asas kebebasan berkontrak ini bersifat universal, artinya berlaku juga
dalam berbagai sistem huk perjanjian di negara-negara lain dan memiliki
ruang lingkup yang sama.[53]
Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata mengakui asas kebebasan berkontrak
dengan menyatakan, bahwa semua perjanjian yang dimuat secara sah
mengikat para pihak sebagai undang-undang.
Menurut sejarahnya, Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang
mencerminkan tipe perjanjian pada waktu itu yang berpijak pada
Revolusi Perancis, bahwa individu sebagai dasar dari semua kekuasaan.
Pendapat ini menimbulkan konsekuensi, bahwa orang juga bebas untuk
mengikat diri dengan orang lain, kapan dan bagaimana yang diinginkan
kontrak terjadi berdasarkan kehendak yang mempunyai kekuatan
mengikat sebagai undang-undang.[54]
Hukum Romawi sendiri tidak mengenal adanya kebebasan berkontrak.
Menurut Hukum Romawi, untuk membuat suatu perjanjian yang
sempurna tidak cukup dengan persesuaian kehendak saja, kecuali dalam
empat hal, yaitu: perjanjian jual beli, sewa-menyewa, persekutuan
perdata, dan memberi beban atau perintah (lastgeving). Selain keempat
jenis perjanjian itu semua perjanjian harus dilakukan dengan syarat-
syarat tertentu yang disebut causa civilis oligandi, yaitu untuk mencapai
kesepakatan harus disertai dengan kata-kata suci (verbis) disertai
dengan tulisan tertentu (literis) dan disertai pula penyerahan suatu
benda (re).[55]
Jadi, konsensus atau persesuaian kehendak saja belum cukup untuk
terjadinya perjanjian. Tetapi kemudian dalam perkembangan lebih lanjut
telah terjadi dalam Hukum Kanonik dengan suatu asas, bahwa setiap
perjanjian meskipun tanpa bentuk tertentu adalah mengikat para pihak,
yang disokong oleh moral agama Nasrani yang menghendaki bahwa kata-
kata yang telah diucapkan tetap dilaksanakan. Dengan demikian
kebebasan berkontrak telah dimulai dalam hukum Kanonik.[56]
Dalam perkembangannya, ternyata kebebasan berkontrak dapat
menimbulkan ketidakadilan, karena untuk mencapai asas kebebasan
berkontrak harus didasarkan pada posisi tawar (bargaining position)
para pihak yang seimbang. Dalam kenyataannya hal tersebut sulit (jika
dikatakan tidak mungkin) dijumpai adanya kedudukan posisi tawar yang
betul-betul seimbang atau sejajar. Pihak yang memiliki posisi tawar yang
lebih tinggi seringkali memaksakan kehendaknya. Dengan posisi yang
demikian itu, ia dapat mendikte pihak lainnya untuk mengikuti
kehendaknya dalam perumusan isi perjanjian. Dalam keadaan demikian,
pemerintah atau negara seringkali melakukan intervensi atau
pembatasan kebebasan berkontrak dengan tujuan untuk melindungi
pihak yang lemah. Pembatasan tersebut dapat dilakukan melalui
peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan.
Pasal 1320 KUHPerdata sendiri sebenarnya membatasi asas kebebasan
berkontrak melalui pengaturan persyaratan sahnya perjanjian yang harus
memenuhi kondisi:
1. adanya persetujuan atau kata sepakat para pihak;
2. kecakapan untuk membuat perjanjian;
3. adanya objek tertentu; dan
4. ada kausa hukum yang halal.
Di negara-negara dengan sistem common law, kebebasan berkontrak
juga dibatasi melalui peraturan perundang-undangan dan public policy.
Hukum perjanjian Indonesia juga membatasi kebebasan berkontrak
dengan ketentuan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan.
Pembatasan ini dikaitkan dengan kausa yang halal dalam perjanjian.
Berdasar Pasal 1337 KUHPerdata suatu kausa dapat menjadi terlarang
apabila dilarang oleh undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Selain pembatasan tersebut di atas, Ridwan Khaiarandy mencatat
beberapa hal yang menyebabkan makin berkurangnya asas kebebasan
berkontrak, yakni:[57]
1. makin berpengaruhnya ajaran iktikad baik di mana iktikad baik tidak
hanya ada pada saat perjanjian dilaksanakan juga telah harus ada pada saat
perjanjian dibuat; dan
2. makin berkembangnya ajaran penyalahgunaan keadaan dalam kontrak
(misbruik van omstandigheden, undue influence).
Selain kedua hal di atas, Setiawan mencatat dua hal lagi yang dapat
membatasi kebebasan berkontrak. Makin banyaknya perjanjian yang
dibuat dalam bentuk baku yang disodorkan pihak kreditor atas
dasar take it or leave it. Di sini tidak ada kesempatan bagi debitor untuk
turut serta menentukan isi perjanjian. Juga makin berkembang peraturan
perundang-undangan di bidang ekonomi turut membatasi kebebasan
berkontrak. Peraturan yang demikian itu merupakan mandatory rules of
a public nature. Peraturan-peraturan ini bahkan membuat ancaman
kebatalan perjanjian di luar adanya paksaan, kesesatan, dan penipuan
yang sudah dikenal dalam hukum perjanjian.[58] Contoh dari peraturan
perundang-undangan di bidang hukum ekonomi yang membatasi
kebebasan berkontrak adalah Undang-Undang Konsumen.
1. 3. Asas Konsensualisme
Perjanjian harus didasarkan pada konsensus atau kesepakatan dari
pihak-pihak yang membuat perjanjian. Dengan asas konsensualisme,
perjanjian dikatakan telah lahir jika ada kata sepakat atau persesuaian
kehendak diantara para pihak yang membuat perjanjian tersebut.[59]
Berdasarkan asas konsensualisme itu, dianut paham bahwa sumber
kewajiban kontraktual adalah bertemunya kehendak (convergence of
wills) atau konsensus para pihak yang membuat kontrak.[60]
1. 4. Asas Kekuatan Mengikatnya Kontrak
Dasar teoritik mengikatnya kontrak bagai para pihak yang umumnya
dianut di negara-negara civil law dipengaruhi oleh hukum Kanonik.
Hukum Kanonik dimulai dari disiplin penitisial bahwa setiap janji itu
mengikat. Dari sinilah kemudian lahir prinsip pacta sunt servanda.
Menurut asas ini kesepakatan para pihak itu mengikat sebagaimana
layaknya undang-undang bagai para pihak yang membuatnya.[61]
Dengan adanya janji timbul kemauan bagai para pihak untuk saling
berprestasi, ada kemauan untuk saling mengikatkan diri. Kewajiban
kontraktual tersebut menjadi sumber bagi para pihak untuk secara bebas
menentukan kehendak tersebut dengan segala akibat hukumnya.
Berdasarkan kehendak tersebut, para pihak secara bebas
mempertemukan kehendak masing-masing. Kehendak para pihak inilah
yang menjadi dasar kontrak. Terjadinya perbuatan hukum itu ditentukan
berdasar kata sepakat.[62]
Dengan adanya konsensus dari para pihak itu, maka kesepakatan itu
menimbulkan kekuatan mengikat perjanjian sebagaimana layaknya
undang-undang (pacta sunt servanda). Apa yang dinyatakan seseorang
dalam suatu hubungan menjadi hukum bagi mereka. Asas inilah yang
menjadi kekuatan mengikatnya perjanjian. Ini bukan kewajiban moral,
tetapi juga kewajiban hukum yang pelaksanaannya wajib ditaati.[63]
sumber :
http://ridwankhairandy.staff.uii.ac.id
JENIS KONTRAK PROYEK KONSTRUKSI 21.44 YOHANES OE
Tiga jenis kontrak pada proyek konstruksi adalah :
Kontrak Harga Satuan (Unit Price Contract) Kontrak Biaya Plus Jasa (Cost Plus Fee Contract) Kontrak Biaya Menyeluruh (Lump Sum Contract)Pemilihan jenis kontrak yang sesuai untuk suatu proyek konstruksi lebih didasarkan pada karakteristik dan kondisi proyek.
Kontrak Harga Satuan (Unit Price Contract)
Dalam menggunakan kontrak jenis ini, kontraktor hanya menentukan harga satuan pekerjaan. Kontraktor perlu memperhitungkan semua biaya yang mungkin dikeluarkan pada item penawarannya, seperti biaya overhead dan keuntungan.
Jenis kontrak ini digunakan jika kuantitas aktual masing-masing item pekerjaan sulit untuk diestimasi secara akurat sebelum proyek dimulai. Untuk menentukan kuantitas pekerjaan yang sesungguhnya, dilakukan pengukuran (opname) bersama pemilik dan kontraktor terhadap kuantitas terpasang. Kelemahan dari penggunaan kontrak jenis ini, yaitu pemilik tidak dapat mengetahui secara pasti biaya aktual proyek hingga proyek itu selesai.
Kontrak Biaya Plus Jasa (Cost Plus Fee Contract)
Pada kontrak jenis ini, kontraktor akan menerima pembayaran atas pengeluarannya, ditambah dengan biaya untuk overhead dan keuntungan. Besarnya biaya overhead dan keuntungan, umumnya didasarkan atas persentase biaya yang dikeluarkan kontraktor.
Kontrak jenis ini umumnya digunakan jika biaya aktual dari proyek belum bisa diestimasi secara akurat, karena perencanaan belum selesai, proyek tidak dapat digambarkan secara akurat, proyek harus diselesaikan dalam waktu singkat, sementara rencana dan spesifikasi belum dapat diselesaikan. Kekurangan dari kontrak jenis ini, yaitu pemilik tidak dapat mengetahui biaya aktual proyek yang akan dilaksanakan.
Kontrak Biaya Menyeluruh (Lump Sum Contract)
Kontrak ini menyatakan bahwa kontraktor akan melaksanakan proyek sesuai dengan rancangan biaya tertentu. Jika terjadi perubahan dalam kontrak, perlu dilakukan negosiasi antara pemilik dan kontraktor untuk menetapkan besarnya
pembayaran (tambah atau kurang) yang akan diberikan kepada kontraktor terhadap perubahan tersebut.
Kontrak ini dapat diterapkan jika perencanaan benar-benar telah selesi, sehingga kontraktor dapat melakukan estimasi kuantitas secara akurat. Pemilik dengan anggaran terbatas akan memilih jenis kontrak ini, karena merupakan satu-satunya jenis kontrak yang memberi nilai pasti terhadap biaya yang akan dikeluarkan.
Jenis-Jenis Kontrak
Dalam dunia konstruksi, perjanjian antara
pihak ownerdengan pihak kontraktor diikat dalam sebuah kontrak kerja. Pengaturan
hukum kontrak kerja proyek konstruksi diatur oleh pihak-pihak yang terlibat dan
sesuai dengan ketentuan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku (KUHP
pasal 1601b). Kontrak proyek konstruksi ini berupa dokumen tertulis dan wajib
menjelaskan tentang kesepakatan keselamatan umum dan tertib bangunan karena
sebuah proyek konstruksi merupakan pekerjaan yang mengandung resiko tinggi.
Jenis-jenis kontrak proyek konstruksi adalah:
Kontrak harga satuan (Unit price contract)Dalam kontrak ini, pihak kontraktor hanya menentukan harga satuan pekerjaan
untuk biaya semua jenis pekerjaan yang mungkin dikeluarkan termasuk biaya
overhead dan keuntungan. Biasanya, kontrak ini digunakan jika kuantitas aktual dan
masing-masing item pekerjaan sulit untuk diestimasi secara akurat sebelum proyek
dimulai. Pemilik dan kontraktor akan melakukan opname atau pengukuran bersama
terhadap jumlah bahan yang terpasang untuk menentukan kuantitas pekerjaan yang
sesungguhnya. Kelemahan dari jenis kontrak ini yaitu pemilik tidak dapat
mengetahui secara pasti biaya aktual proyek hingga proyek itu selesai.
Kontrak biaya plus jasa (Cost plus fee contract)Dalam kontrak ini, kontraktor akan menerima pembayaran atas pengeluarannya,
ditambah dengan biaya untuk overhead dan keuntungan. Besarnya biaya overhead
dan keuntungan biasanya dihitung berdasarkan presentase biaya yang akan
dikeluarkan kontraktor. Yang menjadi kelemahan jenis kontrak ini hampir sama
dengan jenis kontrak harga satuan dimana pemilik tidak dapat mengetahui biaya
aktual proyek yang akan dilaksanakan. Biasanya kontrak jenis ini dipakai jika proyek
tersebut harus diselesaikan dalam waktu yang singkat sementara rencana dan
spesifikasinya belum dapat diselesaikan.
Kontrak biaya menyeluruh (Lump sum contract)Dalam kontrak ini menyatakan bahwa kontraktor akan melaksanakan proyek sesuai
dengan rancangan biaya tertentu. Apabila terjadi perubahan dalam kontrak, perlu
dilakukan negosiasi antara pemilik dan kontraktor untuk menetapkan besarnya
pembayaran (baik tambah maupun kurang) yang akan diberikan kepada kontraktor
terhadap perubahan tersebut.
Kontrak jenis ini hanya bisa diterapkan apabila ada perencanaan yang telah benar-
benar selesai, dimana kontraktor sudah dapat melakukan estimasi kuantitas secara
akurat. Biasanya pemilik proyek dengan jumlah anggaran yang terbatas akan
memilih jenis kontrak ini karena merupakan satu-satunya jenis kontrak yang
memberi nilai pasti terhadap biaya yang akan dikeluarkan.
Sengketa Dalam Kontrak Konstruksi
Suatu dokumen kontrak konstruksi harus benar-benar dicermati dan ditangani secara benar dan hati-hati karena mengandung aspek hukum yang akan mempengaruhi dan menentukan baik buruknya pelaksanaan kontrak. Pentingnya Administrasi kontrak bertujuan untuk memastikan bahwasanya Pihak-pihak yang terkait dalam kontrak tersebut dapat memenuhi kewajiban sesuaidengan perjanjian. Walaupun kelihatannya sederhana, namun dalam kenyataannya mengadministrasikan suatu kontrak tidaklah mudah.
Dalam kebiasaan pelaksanaan suatu kontrak konstruksi yang melibatkan Owneer/Pengguna Jasa dan Kontraktor selaku Penyedia Jasa, posisi Penyedia Jasa selalu dipandang lebih lemah dari pada posisi Pengguna Jasa. Dengan kata lain posisi Pengguna Jasa lebih dominan dari pada posisi Penyedia Jasa. Penyedia Jasa hampir selalu harus memenuhi konsep/draf kontrak yang dibuat Pengguna Jasa karena Pengguna Jasa selalu menempatkan dirinya lebih tinggi dariPenyelia Jasa. Peraturan perundang-undangan yang baku untuk mengatur hak-hakdan kewajiban para pelaku industri jasa konstruksi sampai lahirnya Undang-Undang No. 18/1999 tentang Jasa Konstruksi, belum ada sehingga asas "Kebebasan Berkontrak" sebagaimana diatur oleh Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) Pasal 1338 dipakai sebagai satu-satunya asas dalam penyusunan kontrak. Dengan posisi yang lebih dominan, Pengguna Jasa lebih leluasa menyusunkontrak dan ini dapat merugikan Penyedia Jasa.
Ketidak seimbangan antara terbatasnya pekerjaan Konstruksi/Proyek dan banyaknya Penyedia Jasa, mengakibatkan posisi tawar Penyedia Jasa sangat lemah. Dengan banyaknya jumlah Penyedia Jasa maka Pengguna Jasa leluasa melakukan pilihan. Adanya kekhawatiran tidak mendapatkan pekerjaan yang ditenderkan Pengguna jasa/Pemilik Proyekmenyebabkan Penyedia Jasa "rela" menerima Kontrak Konstruksi yang dibuat Pengguna Jasa. Bahkan sewaktu proses tender biasanya Penyedia Jasa enggan bertanya hal-hal
yang sensitive namun penting seperti ketersediaan dana, isi kontrak, kelancaran pembayaran, Penyedia Jasa takut pihaknya dimasukkan dalam daftar hitam.
Kondisi ideal pelaksana konstruksi adalah apabila seluruh komponen kontrak konstruksi dengan pengguna jasa terinci secara jelas yang tercakup dalam surat perjanjian , syarat umum kontrak, spesifikasi teknis, dll.
Seringkali terjadi perselisihan/sengketa akibat kelalaian dalam mengadministrasikan kontrak konstruksi tersebut, sehingga sering menimbulkan perselisihan/sengketa diantara kedua belah pihak. Sengketa konstruksi adalah sengketa yang terjadi sehubungan dengan pelaksanaan suatu usaha jasa konstruksi antara para pihak yang tersebut dalam suatu kontrak konstruksi.
Dalam penyelenggaraan proyek konstruksi, fungsi-fungsi perencanaan dan Pelaksanaan dilaksanakan secara terpisah-pisaholeh berbagai pihak yang berbeda. Sejalan dengan meningkatnya aktivitas pembangunan berbagai fasilitas infrastruktur yang disertai dengan kemajuan teknologi konstruksi, terdapat peningkatan potensi timbulnya perbedaan pemahaman, perselisihan pendapat,maupun pertentangan antar berbagai pihak yang terlibat dalam kontrak konstruksi. Hal ini seringkali tidak dapat dihindari. Perselisihan yang timbul dalam penyelenggaraan proyek-proyek konstruksi perlu diselesaikan sejak dini dan memuaskan bagi semua pihak. Sehingga menjadi persengketaan dan berakibat pada penurunan kinerja pelaksanaan konstruksi secara keseluruhan.
Sengketa konstruksi dapat timbul antara lain karena, keterlambatan penyelesaian pekerjaan, perbedaan penafsiran dokumen kontrak, ketidak mampuan baik teknis maupun manajerial dari para pihak. Selain itu sengketa konstruksi dapat pula terjadi apabila karena klaim yang tidak dilayani, keterlambatan pembayaran pengguna jasa ternyata tidak melaksanakan tugas-tugas pengelolaan dengan baik dan mungkin tidak memiliki dukungan dana yang cukup.
Seringkali juga terjadi perselisihan disebabkan karena faktor ekstern Penyedia jasa, seperti perbedaan gambar rencana dengan Spesifikasi teknis dan Bill of Quantity, lambatnya keputusan direksi pekerjaan dalam suatu usulan material atau design, adanya force majeure, dan lain-lain yang mengakibatkan bertambahnya waktu penyelesaian dan biaya pelaksanaa pekerjaan. Sementara kebiasaan pada proyek pemerintah terutama yang dibiayai oleh APBD/APBN dibatasi oleh Tahun anggaran, dimana proyek harus diselesaikan sebelum tutup buku anggaran.
Prinsip Hukum dalam Kontrak Konstruksi
Dalam KUH Perdata Indonesia tidak banyak mengatur tentang kontrak konstruksi. Kebanyakan ketentuan tenatang hukum konstruksi tersebut bersifat hukum mengatur, jadi umumnya dapat dikesampingkan oleh para Pihak. Adapun prinsip-prinsip yuridis mengenai kontrak konstruksi yang terdapat dalam KUH Perdata adalah sebagai berikut :
1. Prinsip Korelasi antara tanggung jawab para pihak dengan kesalahan dan penyediaan bahan bangunan.
2. PPrinsip ketegasan Tanggung jawab Pemborong jika bangunan musnah karena cacat dalam penyusunan atau faktor tidak ditopangoleh kesanggupan tanah.
3. Prinsip Larangan Merubah harga kontrak.4. Prinsip kebebasan pemutusan kontrak secara sepihakoleh Pihak Bowheer.5. Prinsip kontrak yang melekat dengan PihakPemborong.6. Prinsip Vicarious Liability (Tanggung Jawab Pengganti)7. Prinsip Hak retensi
Sedangkan prinsip hukum Pemborongan dalam Undang-UndangJasa Konstruksi No. 18 Tahun 1999, berdasarkan pada azas-azas Kejujuran dan keadailan, Azas manfaat, azas keserasian, keseimbangan, kemandirian, keterbukaan,kemitraan serta azas keamanan dan keselamatan demi kepentingan masyarakat dan negara.
Aspek Hukum Kontrak Konstruksi
Sesuai dengan pasal 1338 KUH Perdata menyatakan bahwasanya seluruh perjanjian yang dibuat secara syah merupakan undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Sehingga suatu dokumen kontrak sesungguhnya adalah hukum. Adapun beberapa aspek hukum yang sering menimbulkan dampak hukum yang cukup luas yaitu :
1. Penghentian Sementara Pekerjaan2. Pengakhiran perjanjian/Pemutusan kontrak.3. Ganti rugi keterlambatan4. Penyelesaian perselisihan5. Keadaaan memaksa/Force majeure6. Hukum yang berlaku7. Bahasa Kontrak8. Domisili
Faktor Penyebab sengketa Konstruksi
Berbagai faktor potensial penyebab perselisihan dalam pelaksanaansuatu proyek konstruksi, dikelompokkan dalam 3 aspek yang saling terkait satu dengan yang lainnya, sbb :
1. Aspek teknis/mutu : faktor perubahan lingkup pekerjaan, faktor perbedaan kondisi lapanga,faktor kekurangan material yang sesuaidengan spesifikasi tekni,faktor keterbatasan peralatan,faktor kurang jelas atau kurang lengkapnyagambar rencana dan/atau spesifikasi teknis.
2. Aspek waktu : faktor penundaan waktu pelaksanaanpekerjaa, faktor percepatan waktu penyelesaianpekerjaa, faktor keterlambatan waktu penyelesaian pekerjaan.
3. Aspek biaya : faktor penambahan biaya pengadaan sumberdaya proye, faktor penambahan biaya atas hilangnyaproduktivita, faktor penambahan biaya atas biaya overheaddan keuntungan.
Ketidak pastian sudah merupakan risiko dalam suatu proyek konstruksi, tidak semua hal secara detil dapat ditentukan dengan baik selama proses perencanaan sehingga para pihak yang terlibat harus menyelesaikannya setelah masa pelaksanaan dimulai. Penyusunan dokumen kontrak yang adil bagi semua pihak untuk mengatur hubungan sepertidalam proyek konstruksi yang memiliki sedikit banyak tingkat ketidak pastian menjadi sesuatu yang tidak mudah.
Penggunaan kontrak konstruksi yang standar belum umum dilakukan di Indonesia, apalagi untuk keperluan pengaturan hubungan yang bersifat subkontraktual. Aturan- aturan dalam kontrak yang sulit menghilangkanseluruh "celah" (gaps) seringkali diperparah dengan sifat oportunistik dari para pelaku yaitu pihak yang memiliki posisi tawar yang lebih tinggi. Pihak dengan posisi tawar yang lebih tinggi ini bisa dilakoni oleh pemilik,perencana, pengawas, kontraktor, subkontraktor, atau pemasok, tergantung kepada situasi yang dihadapi.
Jenis Sengketa konstruksi
Seringnya terjadi sengketa dalam pelaksanaan suatu kontrak konstruksi terjadi karena adanya perubahan lingkup pekerjaan pada waktu pelaksanaan konstruksi, yang bagi penyedia jasa dapat mengakibatkan adanya berakibat pada waktu penyelesaian pekerjaan serta perubahan biaya pelaksanaan pekerjaan. Adapun jenis sengketa dalam suatu proyek konstruksi dikelompokkan seperti tabelberikut ;
No. Jenis SengketaPenyebab Sengketa
A B C D E F G H I J
1 Biaya V V V V V
2 Waktu Pelaksanaan V V V V
3 Lingkup Pekerjaan V V
4 Gabungan Biaya, Waktu & Lingkup Pekerjaan V V V V V V V
Dimana :A = Perizinan
B = Surat Perjanjian Kerjasama ( Kontrak )C = Persyaratan KontrakD = Gambar RencanaE = Spesifikasi teknisF = Rencana Anggaran Biaya / BofQG = Administrasi KontrakH = KondisiLapanganI = Kondisi EkternalJ = Etika Profesi
Dari tabel diatas terlihat, bahwasanya jenis sengketa yang paling sering terjadi adalah gabungan biaya, waktu dan lingkup pekerjaan. Jenis sengketa ini sering terjadi saat pelaksanaan konstruksi karena sering terjadinya perubahan perubahan lingkup pekerjaan pada waktu pelaksanaan konstruksi, yang bagi penyedia jasa(kontraktor) dapat mengakibatkan adanya perubahan biaya pada pelaksanaanpekerjaan dan juga dapat berakibat adanya perubahan waktu pelaksanaankonstruksi. Dalam hal ini, batasan dana (anggaran) yang dimiliki oleh pemilik pada saat pelaksanaan konstruksi juga sangat berpengaruh terhadap terjadinya sengketa.
Menurut survey yang dilakukan Soekirno, dkk ( 2006 ) yang ditulis dalam Makalah yang ditulis oleh Poernomo Soekirno, dkk ( FTSL, ITB Bandung ), terhadap beberapa kontraktor nasional di Jawa Timur, penyebab sengketa yang sering terjadi berdasarkan hasilsurvei tersebut adalah kondisi eksternal (26,79%), gambar rencana (21,43%), kondisi lapangan (19,64%) dan spesifikasi teknis (16,07%). Temuan ini sejalan dengan kenyataan bahwa pada tahap pelaksanaan konstruksi bangunan gedung,kinerja kontraktor dipengaruhi oleh perubahan kondisi eksternal, seperti kebijakan pemerintah dalam ekonomi dan fiskal, serta kondisi sosial. Sebagai contoh bila terjadi lonjakan perubahan harga atau biaya baik tenaga kerja, bahan/material,peralatan dll, dapat menyebabkan tersendatnya pelaksanaan pekerjaan di lapangan karena harga kontrak awal yang diajukan oleh penyedia jasa (kontraktor) sangat jauh berbeda dengan harga pada saat pelaksanaan pekerjaan. Agar pekerjaan dapat tetap diselesaikan maka penyedia jasa (kontraktor) akan mengajukan permintaan perubahan kepada pihak pemilik baik perubahan biaya, perubahan waktu maupun gabungan antara perubahan biaya, waktu dan lingkup pekerjaan (jasa). Pada tahun2005, kondisi ekonomi dalam negeri masih belum stabil, termasuk adanya kenaikan harga dasar bahan bakar minyak (BBM) yang signifikan, mempengaruhi harga-hargabahan dasar material untuk pekerjaan konstruksi dan menyebabkan terjadinya pembengkakan biaya untuk menyelesaikan pekerjaan konstruksi.
Perubahan gambar rencana sering terjadi di lapangan. Gambar rencana berbeda dengan hasil akhir pembangunan sesuai yang diinginkan oleh pihak pemilik. Pada tahap pelaksanaan pembangunan sering pihak pemilik memerintahkan perubahan-perubahan terhadap gambar rencana, yang berakibat pada klaim dari pihak penyedia jasa (kontraktor) berupa permintaan perubahan baik biaya, waktu maupun gabungan antara perubahan biaya, waktu dan lingkup pekerjaan (jasa). Penyebab sengketa lainnya yang mempengaruhi pelaksanaan pekerjaan adalah kondisi lapangan (kondisi cuaca, kondisi tanah, kondisi topografi, dll), spesifikasi teknis, surat perjanjian kerjasama (kontrak), persyaratan kontrak dan administrasi kontrak.
Pada survey yang sama, juga didiskusikan mengenai cara penyelesaian sengketanya. Jenis penyelesaian sengketa yang sering digunakan dalam sengketa pada tahap pelaksanan pekerjaan konstruksi adalah negosiasi, yaitu sekitar 90%. Hal ini dikarenakan jenis penyelesaian negosiasi lebih mudahdan dianggap tidak akan mengganggu jalannya pelaksanaan pekerjaan dan hasil penyelesaian sengketa dapat memuaskan semua pihak yang terlibat dalam kontrak.
Suatu kecenderungan terlihat dari hasil survei ini, bahwa karena kebanyakan proyek yang dikerjakan adalah proyek pemerintah dan dikerjakan oleh perusahaan kualifikasi menengah, maka sengketa yang terjadi sebaiknya diselesaikan dengan jalan negosiasi antar pihak saja. Hal ini sangat terkait dengan kekhawatiran dari pihak kontraktor jika sengketa akan menyebabkan kehilangan pekerjaan yang bersangkutan, karena untuk mendapatkan proyek tersebut relatif sulit. Dengan demikian, bila terjadi sengketa maka perusahaan kontraktor berusaha menyelesaikan dengan negosiasi agar hubungan baik dapat tetap terjaga dan berusaha sebisa mungkin menghindari konflik dengan pihak pemilik. Lembaga arbitrase (BANI, Arbitrase Adhoc) digunakan bila jenis penyelesaian sengketa negosiasi yang telah ditempuh sebelumnya tidak dapat menghasilkan keputusan yang dapat memuaskan semua pihak.
Kekuatan hukum dokumen dalam kontrak konstruksi
Dalam pelaksanaan proyek konstruksi, kadang kita menemui kesulitan untuk melaksanakan perintah karena perintahnya berbeda dengan isi dokumen kontrak. Kesulitan lainnya yang sering terjadi adalah perbedaan isi dokumen yang satu dengan yanglainnya. Untuk itu prinsip dari kekuatan atau prioritas untuk diikuti dan dilaksanakan adalah : Dokumen yang terbit lebih akhir adalah yang lebih kuat/mengikat untuk dilaksanakan.
Apabila tidak ditentukan lain, sesuai dengan prinsip tersebut diatas, maka urutan prioritas pelaksanaan pekerjaan adalah berdasarkan :
1. Instruksi tertulis dari Konsultan MK (jika ada)2. Addendum Kontrak (jika ada)3. Surat Perjanjian Pemborongan dan Syarat-syarat perjanjian4. Surat Perintah Kerja, Surat Penunjukan5. Berita Acara Negosiasi6. Berita Acara Klarifikasi7. Berita Acara Aanwijzing8. Sarat-syaratAdministrasi9. Spesifikasi teknis10. Gambar Rencana dan Rincian Nilai Kontrak
PENUTUP1. Bahwasanya dokumen kontrak sangat penting dicermati,dipahami dan dilaksanakan dengan sebaik-
baiknya oleh para pihak yang terlibat didalamnya, karena mengandung aspek hukum yang berdampak hukum bila Para Pihak lalai dalam melaksanakan kewajibannya.
2. Dalam pelaksanaan suatu proyek konstruksi dengan tingkat kompleksitas sumber daya, metode, serta permasalahan lainnya, sangat memungkinkan timbulnya suatu perselisihan/sengketa. Untuk itu Para Pihak harus dapat menyelesaikannya dengan sebaik-baiknya dengan keputusan yang tidak merugikan salah satu pihak yang bersengketa.
3. Jenis sengketa yang banyak terjadi dalam pelaksanaan suatu kontrak konstruksi lebih banyak disebabkan oleh faktor ekternal yang sejalan dengan kenyataan bahwasanya kinerja kontraktor selaku penyedia jasa dipengaruhi oleh perubahan eksternal tersebut. Untuk itu Pihak penyedia jasa harus lebih proaktif dalam menyampaikan permasalahan-permasalahan yang dapat menimbulkan perselisihan/sengketa di dalam pelaksanaan konstruksi.
4. Untuk meminimalkan potensi terjadinya sengketa dalam suatu pelaksanaan kontrak suatu proyek konstruksi, para pihak disarankan untuk : Memahami administrasi kontrak dan pengadministrasian kontrak tersebut, Memahami kontrak secara keselurahan, termasuk aspek hukum yang terkandung di dalam kontrak tersebut, Memenuhi kewajibannya sesuai kontrak, Mengelola kontrak dengan fair, Meminta bantuan lembaga hukum dalam pengesahan isi dokumen kontrak.
<taufik effendi>
DAFTAR PUSTAKA1. PT. PP (PERSERO), ?BukuReferensi untuk Kontraktor Bangunan Gedung dan Sipil?.Penerbit
PT. GramediaPustaka Utama, Jakarta (2003).2. Ir.H. Nazarkhan Yasin, ?Mengenal Kontrak Konstruksi di Indonesia?. Penerbit PT.
GramediaPustaka Utama, Jakarta (2006).3. Munir Fuady, SH.,M.H.,LL.M, ?Kontrak Pemborongan Mega Proyek?, Penerbit PT. Citra Aditya
Bakti,Bandung (2002).4. Iman Soeharto, ?ManajemenProyek ; dari konseptual sampai operasional?. Penerbit Erlangga,
Jakarta(1995).5. Purnomo Soekirno, dkk, paper ?Sengketa dalam Penyelenggaraan Konstruksi diIndonesia ;
Penyebab dan Penyelesaiannya?. FTSL ITB.6. Kristiawan, paper ?PerubahanLingkup Pekerjaan?. Migas Indonesia (2006)7. UU No. 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi8. Kepres No. 80 Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang danJasa.
KONTRAK
Pertanyaan :
Bagaimana proses dan prosedur kontrak
dari Supriyono
Jawaban :
Kontrak (perjanjian) adalah suatu "peristiwa di mana seorang berjanji kepada orang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal ". (Subekti, 1983:1).
Melalui kontrak terciptalah perikatan atau hubungan hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban pada masing-masing pihak yang membuat kontrak. Dengan kata lain, para pihak terikat untuk mematuhi kontrak yang telah mereka buat tersebut. Dalam hal ini fungsi kontrak sama dengan perundang-undangan, tetapi hanya berlaku khusus terhadap para pembuatnya saja. Secara hukum, kontrak dapat dipaksakan berlaku melalui pengadilan. Hukum memberikan sanksi terhadap pelaku pelanggaran kontrak atau ingkar janji (wanprestasi).
Pengaturan tentang kontrak diatur terutama di dalam KUH Perdata (BW), tepatnya dalam Buku III, di samping mengatur mengenai perikatan yang timbul dari perjanjian, juga mengatur perikatan yang timbul dari undang-undang misalnya tentang perbuatan melawan hukum.
Dalam KUH Perdata terdapat aturan umum yang berlaku untuk semua perjanjian dan aturan khusus yang berlaku hanya untuk perjanjian tertentu saja (perjanjian khusus) yang namanya sudah diberikan undang-undang.Contoh perjanjian khusus : jual beli, sewa menyewa, tukar-menukar, pinjam-meminjam, pemborongan, pemberian kuasa dan perburuhan.
Selain KUH Perdata, masih ada sumber hukum kontrak lainnya di dalam berbagai produk hukum. Misalnya : Undang-undang Perbankan dan Keputusan Presiden tentang Lembaga Pembiayaan. Di samping itu, juga dalam jurisprudensi misalnya tentang sewa beli, dan sumber hukum lainnya.
Suatu asas hukum penting berkaitan dengan berlakunya kontrak adalah asas kebebasan berkontrak. Artinya pihak-pihak bebas untuk membuat kontrak apa saja, baik yang sudah ada pengaturannya maupun yang belum ada pengaturannya dan bebas menentukan sendiri isi kontrak. Namun, kebebasan tersebut tidak mutlak karena terdapat pembatasannya, yaitu tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan.
Aspek-aspek kebebasan berkontrak dalam Pasal 1338 KUH Perdata (BW) , yang menyiratkan adanya 3 (tiga asas) yang seyogyanya dalam perjanjian :
1. Mengenai terjadinya perjanjianAsas yang disebut konsensualisme, artinya menurut BW perjanijan hanya terjadi apabila telah adanya persetujuan kehendak antara para pihak (consensus, consensualisme).
2. Tentang akibat perjanjianBahwa perjanjian mempunyai kekuatan yang mengikat antara pihak-pihak itu sendiri. Asas ini ditegaskan dalam Pasal 1338 ayat (1) BW yang menegaskan bahwa perjanjian dibuat secara sah diantara para pihak, berlaku sebagai Undang-Undang bagi pihak-pihak yang melakukan perjanjian tersebut.
3. Tentang isi perjanjianSepenuhnya diserahkan kepada para pihak (contractsvrijheid atau partijautonomie) yang bersangkutan.
Dengan kata lain selama perjanjian itu tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku, kesusilaan, mengikat kepentingan umum dan ketertiban, maka perjanjian itu diperbolehkan.
Berlakunya asas kebebasan berkontrak dijamin oleh oleh Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang menentukan bahwa :
"setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya".
Jadi, semua perjanjian atau seluruh isi perjanjian, asalkan pembuatannya memenuhi syarat, berlaku bagi para pembuatnya,sama seperti perundang-undangan. Pihak-pihak bebas untuk membuat perjanjian apa saja dan menuangkan apa saja di dalam isi sebuah kontrak.
Syarat Sahnya Kontrak
Dari bunyi Pasal 1338 ayat (1) jelas bahwa perjanjian yang mengikat hanyalah perjanjian yang sah. Supaya sah pembuatan perjanjian harus mempedomani Pasal 1320 KUH Perdata.
Pasal 1320 KUH Perdata menentukan empat syarat sahnya perjanjian yaitu harus ada kesepakatan, kecakapan, hal tertentu dan sebab yang diperbolehkan.
1. Kesepakatan Yang dimaksud dengan kesepakatan di sini adalah adanya rasa ikhlas atau saling memberi dan menerima atau sukarela di antara pihak-pihak yang membuat perjanjian tersebut. Kesepakatan tidak ada apabila kontrak dibuat atas dasar paksaan, penipuan atau kekhilafan.
2. Kecakapan Kecakapan di sini artinya para pihak yang membuat kontrak haruslah orang-orang yang oleh hukum dinyatakan sebagai subyek hukum. Pada dasarnya semua orang menurut hukum cakap untuk membuat kontrak. Yang tidak cakap adalah orang-orang yang ditentukan hukum, yaitu anak-anak, orang dewasa yang ditempatkan di bawah pengawasan (curatele), dan orang sakit jiwa.Anak-anak adalah mereka yang belum dewasa yang menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan belum berumur 18 (delapan belas) tahun. Meskipun belum berumur 18 (delapan belas) tahun, apabila seseorang telah atau pernah kawin dianggap sudah dewasa, berarti cakap untuk membuat perjanjian.
3. Hal tertentuHal tertentu maksudnya objek yang diatur kontrak tersebut harus jelas, setidak-tidaknya dapat ditentukan. Jadi tidak boleh samar-samar. Hal ini penting untuk memberikan jaminan atau kepastian kepada pihak-pihak dan mencegah timbulnya kontrak fiktif. Misalnya jual beli sebuah mobil, harus jelas merk apa, buatan tahun berapa, warna apa, nomor mesinnya berapa, dan sebagainya. Semakin jelas semakin baik. Tidak boleh misalnya jual beli sebuah mobil saja, tanpa penjelasan lebih lanjut.
4. Sebab yang dibolehkanMaksudnya isi kontrak tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan yang sifatnya memaksa, ketertiban umum, dan atau kesusilaan. Misalnya jual beli bayi adalah tidak sah karena bertentangan dengan norma-norma tersebut.
KUH Perdata memberikan kebebasan berkontrak kepada pihak-pihak membuat kontrak secara tertulis maupun secara lisan. Baik tertulis maupun lisan mengikat, asalkan memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam Pasal 1320 KHU Perdata. Jadi, kontrak tidak harus dibuat secara tertulis.
Penyusunan Kontrak
Untuk menyusun suatu kontrak bisnis yang baik diperlukan adanya persiapan atau perencanaan terlebih dahulu. Idealnya sejak negosiasi bisnis persiapan tersebut sudah dimulai.Penyusunan suatu kontrak bisnis meliputi bebrapa tahapan sejak persiapan atau perencanaan sampai dengan pelaksanaan isi kontrak.
Tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Prakontrak
a. Negosiasi;
b. Memorandum of Undersatnding (MoU);
c. Studi kelayakan;
d. Negosiasi (lanjutan).
2. Kontrak
a. Penulisan naskah awal;
b. Perbaikan naskah;
c. Penulisan naskah akhir;
d. Penandatanganan.
3. Pascakontrak
a. Pelaksanaan;
b. Penafsiran;
c. Penyelesaian sengketa.
Sebelum kontrak disusun atau sebelum transaksi bisnis berlangsung, biasanya terlebih dahulu dilakukan negosiasi awal. Negosiasi merupakan suatu proses upaya untuk mencapai kesepakatan dengan pihak lain. Dalam negosiasi inilah proses tawar menawar berlangsung. Tahapan berikutnya pembuatan Memorandum of Understanding (MoU). MoU merupakan pencatatan atau pendokumentasian hasil negosiasi awal tersebut dalam bentuk tertulis. MoU walaupun belum merupakan kontrak, penting sebagai pegangan untuk digunakan lebih lanjut di dalam negosiasi lanjutan atau sebagai dasar untuk melakukan studi kelayakan atau pembuatan kontrak.Setelah pihak-pihak memperoleh MoU sebagai pegangan atau pedoman sementara, baru dilanjutkan dengan tahapan studi kelayakan (feasibility study, due diligent) untuk melihat tingkat kelayakan dan prospek transaksi bisnis tersebut dari berbagai sudut pandang yang diperlukan misalnya ekonomi, keuangan, pemasaran, teknik, lingkungan, sosial budaya dan hukum. Hasil studi kelayakan ini diperlukan dalam menilai apakah perlu atau tidaknya melanjutkan transaksi atau negosiasi lanjutan. apabila diperlukan, akan diadakan negosiasi lanjutan dan hasilnya dituangkan dalam kontrak.
Dalam penulisan naskah kontrak di samping diperlukan kejelian dalam menangkap berbagai keinginan pihak-pihak, juga memahami aspek hukum, dan bahasa kontrak. Penulisan kontrak perlu mempergunakan bahasa yang baik dan benar dengan berpegang pada aturan tata bahasa yang berlaku. Dalam penggunaan bahasa, baik bahasa Indonesia maupun bahasa asing harus tepat, singkat, jelas dan sistematis.
Walaupun tidak ditentukan suatu format baku di dalam perundang-undangan, dalam praktek biasanya penulisan kontrak bisnis mengikuti suatu pola umum yang merupakan anatomi dari sebuah kontrak, sebagai berikut :
(1) Judul;
(2) Pembukaan;
(3) Pihak-pihak;
(4) Latar belakang kesepakatan (Recital);
(5) Isi;
(6) Penutupan.
Judul harus dirumuskan secara singkat, padat, dan jelas misalnya Jual Beli Sewa, Sewa Menyewa, Joint Venture Agreement atau License Agreement.Berikutnya pembukaan terdiri dari kata-kata pembuka, misalnya dirumuskan sebagai berikut :
Yang bertanda tangan di bawah ini atau Pada hari ini Senin tanggal dua Januari tahun dua ribu, kami yang bertanda tangan di bawah ini.
Setelah itu dijelaskan identitas lengkap pihak-pihak. Sebutkan nama pekerjaan atau jabatan, tempat tinggal, dan bertindak untuk siapa. Bagi perusahaan/badan hukum sebutkan tempat kedudukannya sebagai pengganti tempat tinggal. Contoh penulisan identitas pihak-pihak pada perjanjian jual beli sebagai berikut :
1. Nama ....; Pekerjaan ....; Bertempat tinggal di .... dalam hal ini bertindak untuk diri sendiri/untuk dan atas nama .... berkedudukan di .... selanjutnya disebut penjual;
2. Nama ....; Pekerjaan ....; Bertempat tinggal di .... dalam hal ini bertindak untuk diri sendiri/selaku kuasa dari dan oleh karenanya bertindak untuk atas nama .... berkedudukan di .... selanjutnya disebut pembeli.
Pada bagian berikutnya diuraikan secara ringkas latar belakang terjadinya kesepakatan (recital). Contoh perumusannya seperti ini :
dengan menerangkan penjual telah menjual kepada pembeli dan pembeli telah membeli dari penjual sebuah mobil/sepeda motor baru merek .... tipe .... dengan ciri-ciri berikut ini : Engine No. .... Chasis ...., Tahun Pembuatan .... dan Faktur Kendaraan tertulis atas nama .... alamat .... dengan syarat-syarat yang telah disepakati oleh penjual dan pembeli seperti berikut ini.
Pada bagian inti dari sebuah kontrak diuraikan panjang lebar isi kontrak yang dapat dibuat dalam bentuk pasal-pasal, ayat-ayat, huruf-huruf, angka-angka tertentu. Isi kontrak paling banyak mengatur secara detail hak dan kewajiban pihak-pihak, dan bebagai janji atau ketentuan atau klausula yang disepakati bersama.
Jika semua hal yang diperlukan telah tertampung di dalam bagian isi tersebut, baru dirimuskan penutupan dengan menuliskan kata-kata penutup, misalnya,
Demikianlah perjanjian ini dibuat untuk dipergunakan seperlunya atau kalau pada pembukaan tidak diberikan tanggal, maka ditulis pada penutupan. Misalnya :
Dibuat dan ditandatangani di .... pada hari ini .... tanggal .... Di bagian bawah kontrak dibubuhkan tanda tangan kedua belah pihak dan para saksi (kalau ada). Dan akhirnya diberikan materai. Untuk perusahaan/badan hukum memakai cap lembaga masing-masing.
Jika kontrak sudah ditandatangani berarti penyusunan sudah selesai tinggal pelaksanaannya di lapangan yang kadangkala isinya kurang jelas sehingga memerlukan penafsiran-penafsiran.
This page: http://www.asiamaya.com/konsultasi_hukum/ist_hukum/kontrak.htm
Pengertian Hukum Kontrak | karakterisik | Asas
Pada prinsipnya kontrak terdiri dari satu atau serangkaian janji yang dibuat para pihak dalam
kontrak. Esensi dari kontrak itu sendiri adalah perjanjian (agreement). Atas dasar itu, Subekti
mendifinisikan kontrak sebagai peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain di mana dua
orang salaing berjanji untuk melaksanakan sesuatu.
Pengaturan umum tentang kontrak diatur dalam KUHPerdata buku III. Hukum kontrak adalah
cabang dari sector hokum yang berhubungan dengan mengikat hokum dan pertukaran perjanjian
antara kelompok atau pihak, dalam efek, kontrak. Sebuah kontrak dapat banyak hal: lisan, tertulis,
bahkan tindakan yang beroreintasi. Jika anda membeli baju, misalnya, anda dikontrak untuk
membanyar jumlah gaun itu ke pedagang. Kehidupan sehari-hari kita penuh dengan kontrak dan
perjanjian.
Karakterisik Hukum Kontrak
Cirri khas yang paling penting dari suatu kontrak adalah kesepakatan bersama (mutual consent)
para pihak. Kesepakatan bersama ini bukan hanya merupakan karakterisik dalam permbuatan
kontrak, tetapi hal itu penting sebagai suatu niat yang di ungkapkan kepada pihak lain. Di samping
itu, sangat mungkin suatu kontrak yang sah tanpa adanya kesepakatan bersama.
Asas Hukum Kontrak
Asas-asas hokum kontrak diantaranya:
Asas Kebebasan Berkontrak
Pasal 1338 (1) KUHPdt
“semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai UU bagi mereka yang membuatnya”.
Pembatasan : Pasal 1337 KUHPdt “Perjanjian tidak boleh bertentangan dengan kesusilaan,
ketertiban umum, dan UU”.
Asas Konsensualisme
Dalam pasal 1320 KUHPdt, salah satu syarat sahnya perjanjian yaitu : adanya kesepakatan antara
para pihak.
Asas Pacta Sunt servada/Asas kepastian Hukum
Perjanjian yang dibuat oleh para pihak secara sah mengikat/ berlaku sebagai UU bagi mereka yang
membuatnya. Asas ini memberikan kepastian hokum bagi mereka yang membuatnya.
Asas Kepribadian
Menunjukan personalia dalam suatu perjanjian.
Paal 1315 KUHPdt
“dalam perjanjian pada umumnya hanya mengikat para pihak yang mengadakan perjanjian”
Pengecualian pada pasal 1317 KUHPdt dan pasal 1318 KUHPdt
Asas Moral
Asas ini terlihat dalam perikatan wajar dimana suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak
menimbulkan hak baginya untuk menggugat kontra prestasi dari pihak debitur.
Perbuatan sukarela (Zaakwaameming)
Asas Kebiasaan
Diatur dalam pasal 13339 jo 1347 KUHPdt.
Pasal 1339 KUHPdt : (kebiasaan Umum )
“Suatu persetujuan tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang secara tegas dinyatakan didalamnya,
tetapi juga segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan
dan UU.
Pasal 1347 KUHPdt : (kebiasaan Setempat)
“Hal-hal yang menurut kebiasaan diperjanjikan dianggap secara diam-diam dimasukan didalam
perjanjian meskipun tidak dengan tegas dinyatakan.
Asas Itikad Baik
Pasal 1388 (3) KUHPdt :
“Bahwa tiap orang dalam membuat perjanjian harus dilakukan dengan itikad baik. Ada 2 macam
itikad baik :
Itikad baik yang subyektif –kejujuran, sikap batin.
Itikad baik yang obyektif-pelaksanaan perjanjian didasarkan atas norma kepatuatn/sesuai norma
yang berlaku dimasyarakat,
Asas Kepercayaan
Saling adanya kepercayaan para pihak yang melakukan perjanjian.
Wanprestasi
Wanprestasi (breach of contract) adalah pelanggaran atau kegagalan untuk melaksanakan
ketentuan kontrak atau perjanjian yang mengikat secara hukum.
Ada dua jenis wanprestasi, yaitu wanprestasi total (total breach) dan wanprestasi parsial (partial
breach). Pada wanprestasi total, pelaksanaan kontrak sudah tidak mungkin dilaksanakan,
sedangkan pada wanprestasi parsial pelaksanaan kontrak masih mungkin. Macam-macam
bentuk keadaan wanprestasi:
1. Tidak terpenuhinya prestasi sama sekali.
2. Ada prestasi, tetapi tidak sesuai dengan harapan.
3. Memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat waktunya (terlambat) dari waktu yang telah
dijanjikan.
4. Melakukan sesuatu yang menurut perikatan/perjanjian tidak boleh dilakukan, demi
tercapainya suatu prestasi.
Seorang debitur baru dikatakan wanprestasi apabila dia telah diberikan somasidan
pengadilanlah yang akan memutuskan, apakah debitur wanprestasi atau tidak.
WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN
1. A. Pengertian Wanprestasi:
Wanprestasi dapat diartikan sebagai tidak terlaksananya prestasi karena kesalahan
debitur baik karena kesengajaan atau kelalaian.
Menurut J Satrio: “Suatu keadaan di mana debitur tidak memenuhi janjinya atau tidak
memenuhi sebagaimana mestinya dan kesemuanya itu dapat dipersalahkan kepadanya”.
Yahya Harahap: “Wanprestasi sebagai pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada
waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya, sehingga menimbulkan keharusan bagi
pihak debitur untuk memberikan atau membayar ganti rugi (schadevergoeding),atau dengan
adanya wanprestasi oleh salah satu pihak, pihak yang lainnya dapat menuntut pembatalan
perjanjian.
1. B. Bentuk-bentuk Wanprestasi:
A. Tidak melaksanakan prestasi sama sekali;
B. Melaksanakan tetapi tidak tepat waktu (terlambat);
C. Melaksanakan tetapi tidak seperti yang diperjanjikan; dan
D. Debitur melaksanakan yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Tata cara menyatakan debitur wanprestasi:
1. Sommatie: Peringatan tertulis dari kreditur kepada debitur secara resmi melalui
Pengadilan Negeri.
2. Ingebreke Stelling: Peringatan kreditur kepada debitur tidak melalui Pengadilan Negeri.
Isi Peringatan:
1. Teguran kreditur supaya debitur segera melaksanakan prestasi;
2. Dasar teguran;
3. Tanggal paling lambat untuk memenuhi prestasi (misalnya tanggal 9 Agustus 2012).
Somasi minimal telah dilakukan sebanyak tiga kali oleh kreditor atau juru sita. Apabila somasi itu
tidak diindahkannya, maka kreditor berhak membawa persoalan itu ke pengadilan. Dan
pengadilanlah yang akan memutuskan, apakah debitor wanprestasi atau
tidak. Somasi adalah teguran dari si berpiutang (kreditor) kepada si berutang (debitor) agar
dapat memenuhi prestasi sesuai dengan isi perjanjian yang telah disepakati antara
keduanya. Somasi ini diatur di dalam Pasal 1238 KUHPerdata dan Pasal 1243 KUHPerdata.
1. C. Akibat Hukum bagi Debitur yang Wanprestasi:
Akibat hukum dari debitur yang telah melakukan wanprestasi adalah hukuman atau sanksi
berupa:
1. Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur (ganti rugi);
2. Pembatalan perjanjian;
3. Peralihan resiko. Benda yang dijanjikan obyek perjanjian sejak saat tidak dipenuhinya
kewajiban menjadi tanggung jawab dari debitur;
4. Membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan hakim.
Disamping debitur harus menanggung hal tesebut diatas, maka yang dapat dilakukan
oleh krediturdalam menghadapi debitur yang wanprestasi ada lima kemungkinan sebagai berikut
(Pasal 1276 KUHPerdata):
1. Memenuhi/melaksanakan perjanjian;
2. Memenuhi perjanjian disertai keharusan membayar ganti rugi;
3. Membayar ganti rugi;
4. Membatalkan perjanjian; dan
5. Membatalkan perjanjian disertai dengan ganti rugi.
Ganti rugi yang dapat dituntut:
Debitur wajib membayar ganti rugi, setelah dinyatakan lalai ia tetap tidak memenuhi
prestasi itu”. (Pasal 1243 KUHPerdata). “Ganti rugi terdiri dari biaya, rugi, dan bunga” (Pasal
1244 s.d. 1246 KUHPerdata).
- Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan
oleh suatu pihak.
- Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang diakibatkan
oleh kelalaian si debitur.
- Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan, yang sudah dibayarkan atau
dihitung oleh kreditur.
Ganti rugi harus mempunyai hubungan langsung (hubungan kausal) dengan ingkar janji”
(Pasal 1248 KUHPerdata) dan kerugian dapat diduga atau sepatutnya diduga pada saat
waktu perikatan dibuat.
Ada kemungkinan bahwa ingkar janji (wanprestasi) itu terjadi bukan hanya karena
kesalahan debitur (lalai atau kesengajaan), tetapi juga terjadi karena keadaan memaksa.
Kesengajaan adalah perbuatan yang diketahui dan dikehendaki.
Kelalaian adalah perbuatan yang mana si pembuatnya mengetahui akan kemungkinan
terjadinya akibat yang merugikan orang lain.
1. D. Pembelaan Debitur yang dituntut membayar ganti rugi:
A. Mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa. Misalnya: karena barang yang
diperjanjikan musnah atau hilang, terjadi kerusuhan, bencana alam, dll.
B. Mengajukan bahwa kreditur sendiri juga telah lalai (Execptio Non Adimreti
Contractus). Misalnya: si pembeli menuduh penjual terlambat menyerahkan
barangnya, tetapi ia sendiri tidak menetapi janjinya untuk menyerahkan uang muka.
C. Mengajukan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi
(Rehtsverwerking). Misalnya: si pembeli menerima barang yang tidak memuaskan
kualitasnya, namun namun pembeli tidak menegor si penjual atau tidak
mengembalikan barangnya.
1. E. Keadaan Memaksa (Overmacht/Force Majeur):
Pengertian:
Tidak dirumuskan dalam UU, akan tetapi dipahami makna yang terkandung dalam pasal-pasal
KUHPerdata yang mengatur tentang overmacht.
Adalah: “Suatu keadaan di mana debitor tidak dapat melakukan prestasinya kepada
kreditor, yang disebabkan adanya kejadian yang berada di luar kekuasaannya, seperti karena
adanya gempa bumi, banjir, lahar, dan lain-lain”. Misalkan: seseorang menjanjikan
akanmenjual seekor kuda (schenking) dan kuda ini sebelum diserahkan mati karena disambar
petir.
Akibat keadaan memaksa:
1. Krediturtidak dapat meminta pemenuhan prestasi;
2. Debiturtidak dapat lagi dinyatakan lalai;
3. Resiko tidak beralih kepada debitur.
Unsur-unsur Keadaan memaksa:
(1)Peristiwa yang memusnahkan benda yang menjadi obyek perikatan;
(2)Peristiwa yang menghalangi Debitur berprestasi;
(3)Peristiwa yang tidak dapat diketahui oleh Kreditur/Debitur sewaktu dibuatnya perjanjian.
1. F. Sifat Keadaan memaksa:
Keadaan memaksa dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu:
1. a. Keadaan memaksa absolut:
Adalah suatu keadaan di mana debitor sama sekali tidak dapat memenuhi prestasinya kepada
kreditor, oleh karena adanya gempa bumi, banjir bandang, dan adanya lahar. Contoh:si A ingin
membayar utangnya pada si B, namun tiba-tiba pada saat si A ingin melakukan pembayaran
utang, terjadi gempa bumi, sehingga A sama sekali tidak dapat membayar utangnya pada B.
1. b. Keadaan memaksa yang relatif:
Adalah suatu keadaan yang menyebabkan debitor masih mungkin untuk melaksanakan
prestasinya, tetapi pelaksanaan prestasi itu harus dilakukan dengan memberikan korban yang
besar, yang tidak seimbang, atau menggunakan kekuatan jiwa yang di luar kemampuan
manusia, atau kemungkinan tertimpa bahaya kerugian yang sangat besar. Contoh: seorang
penyanyi telah mengikatkan dirinya untuk menyanyi di suatu konser, tetapi beberapa detik
sebelum pertunjukan, ia menerima kabar bahwa anaknya meninggal dunia.