pengertian nilai dalam laporan akuntan dan penilai dalam sengketa perpajakan

20
www.futurumcorfinan.com Page 1 Catatan Kecil atas Arti Nilaidalam Laporan Akuntan dan Penilai dalam Sengketa Perpajakan antara Wajib Pajak dan Otoritas Perpajakan terkait Transaksi Pengalihan Harta antara Pihak-Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa Pendahuluan Hubungan istimewa dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (selanjutnya disingkat UU No. 36/2008), pada umumnya dianggap ada, apabila terdapat salah satu unsur di bawah ini: (a) Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain; hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak atau lebih; atau hubungan di antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir; (b) Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau Sukarnen DILARANG MENG-COPY, MENYALIN, ATAU MENDISTRIBUSIKAN SEBAGIAN ATAU SELURUH TULISAN INI TANPA PERSETUJUAN TERTULIS DARI PENULIS Untuk pertanyaan atau komentar bisa diposting melalui website www.futurumcorfinan.com

Upload: futurum2

Post on 15-Apr-2017

333 views

Category:

Economy & Finance


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pengertian nilai dalam laporan akuntan dan penilai dalam sengketa perpajakan

www.futurumcorfinan.com

Page 1

Catatan Kecil atas Arti “Nilai” dalam Laporan Akuntan dan Penilai

dalam Sengketa Perpajakan antara Wajib Pajak dan Otoritas

Perpajakan terkait Transaksi Pengalihan Harta antara Pihak-Pihak

Yang Mempunyai Hubungan Istimewa

Pendahuluan

Hubungan istimewa dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36

Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang

Pajak Penghasilan (selanjutnya disingkat UU No. 36/2008), pada umumnya dianggap ada,

apabila terdapat salah satu unsur di bawah ini:

(a) Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah

25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain; hubungan antara Wajib Pajak

dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak

atau lebih; atau hubungan di antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir;

(b) Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di

bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau

Sukarnen

DILARANG MENG-COPY, MENYALIN,

ATAU MENDISTRIBUSIKAN

SEBAGIAN ATAU SELURUH TULISAN

INI TANPA PERSETUJUAN TERTULIS

DARI PENULIS

Untuk pertanyaan atau komentar bisa

diposting melalui website

www.futurumcorfinan.com

Page 2: Pengertian nilai dalam laporan akuntan dan penilai dalam sengketa perpajakan

www.futurumcorfinan.com

Page 2

(c) Terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan

lurus dan/atau ke samping satu derajat.

Walaupun tidak menggunakan kalimat yang persis sama, namun dalam Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan

Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan (selanjutnya disingkat PP No. 94/2010),

Pasal 8 ayat (1) terkait Pasal 4 ayat (3) huruf a dalam UU No. 36/2008 mengenai dikecualikan

dari objek pajak adalah harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis

keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk

yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang

ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak

ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak

yang bersangkutan, disebutkan bahwa:

Hubungan di antara pihak -pihak yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4

ayat (3) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan dapat terjadi karena ketergantungan atau

keterikatan satu dengan yang lain secara langsung atau tidak langsung berkenaan dengan:

a) usaha;

b) pekerjaan; atau

c) kepemilikan atau penguasaan.

Terkait Pasal 18 ayat (4) huruf a dan b UU No. 36/2008 ada disebutkan secara spesifik dalam

Pasal 8 angka (4) huruf a dan b PP No. 94/2010, yaitu:

Hubungan di antara pihak-pihak yang bersangkutan berkenaan dengan kepemilikan atau

penguasaan antara Wajib Pajak pemberi dengan Wajib Pajak penerima sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) huruf c terjadi apabila terdapat:

a) penyertaan modal secara langsung atau tidak langsung sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 18 ayat (4) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan; atau

b) hubungan penguasaan secara langsung atau tidak langsung sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 18 ayat (4) huruf b Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Di sini muncul kata-kata “penguasaan, penyertaan modal (identik dengan kepemilikan)”.

Namun arti “penguasaan” tidak diberikan arti yang jelas, kecuali dalam Penjelasan Pasal 18

ayat (4) UU No. 36/2008, dimana dikatakan:

Page 3: Pengertian nilai dalam laporan akuntan dan penilai dalam sengketa perpajakan

www.futurumcorfinan.com

Page 3

Hubungan istimewa di antara Wajib Pajak dapat terjadi karena ketergantungan atau keterikatan

satu dengan yang lain yang disebabkan:

a) kepemilikan atau penyertaan modal; atau

b) adanya penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi.

Selanjutnya, selain karena hal-hal tersebut, hubungan istimewa di antara Wajib Pajak orang

pribadi dapat pula terjadi karena adanya hubungan darah atau perkawinan.

Di sini, bisa kita lihat dan dapat kita perluas, bahwa ada salah satu atau beberapa unsur-unsur ,

dimana diindikasikan adanya ketergantungan atau keterikatan (link) satu sama lain.

1) kepemilikan (umumnya lewat penyertaan modal);

2) penguasaan (umumnya melalui manajemen atau penggunaan teknologi); hubungan

penguasaan manajemen bisa secara langsung dan tidak langsung sebagaimana

diuraikan dalam Penjelasan Pasal 8 ayat (4) huruf b PP No. 94/2010;

Hadirnya “hubungan usaha” tidak otomatis ada menciptakan hubungan istimewa, misalnya

antara supplier/vendor dengan pelanggan.

Adanya hubungan istimewa tentunya tidak bermakna apa-apa hingga terjadinya transaksi.

Dalam praktek bisnis, tentunya biasanya akan didapatkan transaksi antar pihak-pihak yang

dianggap memiliki hubungan istimewa sebagaimana dijabarkan di atas.

Mengacu ke Lampiran Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-22/PJ/2013 tentang

Pedoman Pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang Mempunyai Hubungan Istimewa, jenis

transaksi (disebut sebagai transaksi “afiliasi”) yang dimaksud antara lain:

1) transaksi penjualan, pembelian, pengalihan, serta pemanfaatan harta berwujud;

2) transaksi pemberian jasa intra-grup (intra-grup service);

3) transaksi pengalihan (ini bisa mencakup juga dalam konteks hibah, bantuan dan

sumbangan) dan pemanfaatan harta tak berwujud;

4) transaksi pembayaran bunga; dan

5) transaksi penjualan atau pembelian saham.

Setiap transaksi pada umumnya akan melibatkan penentuan harga transaksi, yang umum

dikenal sebagai transfer pricing. Adanya transaksi afiliasi pada umumnya akan menarik

perhatian pihak otoritas perpajakan Indonesia (salah satunya dengan diterbitkannya Surat

Edaran Direktorat Jenderal Pajak Nomor SE-50/PJ/2013 yang memberikan Petunjuk Teknis

Page 4: Pengertian nilai dalam laporan akuntan dan penilai dalam sengketa perpajakan

www.futurumcorfinan.com

Page 4

Pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang Mempunyai Hubungan Istimewa), dimana diperlukan

pengujian atas penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha pada transaksi afiliasi

tersebut.

Pasal 1 angka 6 dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 tentang

Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam Transaksi Antara Wajib Pajak

dengan Pihak yang Mempunyai Hubungan Istimewa (dan telah direvisi Peraturan Direktur

Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2011) tentang Penerapan Prinsip Kewajaran Prinsip

Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam Transaksi Wajib Pajak dengan Pihak yang Mempunyai

Hubungan Istimewa, memperkenalkan kepada pihak Wajib Pajak (WP) mengenai Prinsip

Kewajaran dan Kelaziman Usaha (Arm's Length Principle/ALP), yang diartikan sebagai:

prinsip yang mengatur bahwa apabila kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-

pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa sama atau sebanding dengan kondisi dalam

transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang

menjadi pembanding, maka harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak

yang mempunyai Hubungan Istimewa harus sama dengan atau berada dalam rentang harga

atau laba dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan

Istimewa yang menjadi pembanding.

Terkait penerapan ALP, transaksi afiliasi akan lebih dipertanyakan otoritas perpajakan

dibandingkan transaksi non-afiliasi. Masalahnya, dari sisi pihak WP, tidak ada satupun

pedoman atau petunjuk dari pihak otoritas perpajakan terkait hal-hal yang perlu diperhatikan

guna memastikan bahwa transaksi tidak dipertanyakan (atau lebih jauh, tidak dikoreksi).

Pihak WP guna memastikan kepatuhan kepada ketentuan perpajakan, kemudian menggunakan

jasa konsultan untuk mempersiapkan apa yang sekarang dikenal sebagai TP documentation

dan pihak konsultan untuk menghitung nilai wajar suatu rencana transaksi.

Di sini penulis tidak akan membahas isu pengujian penerapan ALP karena sudah banyak

literatur yang membahas ini, namun di sini, penulis ini mengangkat beberapa poin yang

diharapkan bisa memberikan pemikiran atau pertimbangan lebih jauh bagi pihak WP dan

otoritas perpajakan terkait penggunaan laporan penilaian.

Di sini juga menjadi dilema bagi pihak WP, suatu transaksi yang nilai wajarnya dihitung oleh

pihak konsultan eksternal, katakan menggunakan tenaga penilai, belum tentu menyelesaikan

permasalahan sengketa perpajakan yang terjadi antara pihak WP dan otoritas perpajakan.

Page 5: Pengertian nilai dalam laporan akuntan dan penilai dalam sengketa perpajakan

www.futurumcorfinan.com

Page 5

Koreksi tetap berjalan, dan dari satu transaksi ke transaksi afiliasi lainnya, pihak WP selalu

dihadapkan pada permasalahan yang sama, pada saat berhadapan dengan pihak otoritas

perpajakan. Bahkan dalam beberapa kasus sengketa perpajakan, isi laporan pendukung

tersebut kemudian dipertanyakan, termasuk metodologi, sumber data untuk analisa

kesebandingan dan lain-lain.

Lalu, bagaimana mencapai titik temu?

Menurut penulis, ini tidak mudah.

Menurut hemat penulis, salah satu kontribusi terhadap munculnya sengketa pajak, adalah

masalah mengartikan isi laporan dari konsultan. Disinyalir bisa jadi pihak WP dan otoritas

perpajakan belum tentu benar-benar paham isi laporan konsultan.

Sebelum kita bicarakan nilai yang dicantumkan dalam laporan konsultan, ada beberapa poin

yang ingin penulis angkat terlebih dahulu:

Pertama, apakah cukup logis, katakan ada pihak calon penjual dan calon pembeli, yang mau

begitu saja menyerahkan penentuan harga transaksi diserahkan kepada pihak ketiga, apalagi

untuk transaksi dalam jumlah yang cukup signifkan? Artinya secara implisit, nilai yang dihitung

oleh pihak konsultan, adalah untuk awal negosiasi. Apakah nilai ini nantinya akan terealisasi

menjadi harga transaksi? Belum tentu juga, karena ada proses tarik-menarik. Justru unsur inilah

yang pada umumnya hadir dalam transaksi antara pihak-pihak yang tidak mempunyai

hubungan isitimewa.

Kalau ada nilai yang dihitung oleh pihak konsultan, lalu ini menjadi harga transaksi, maka ini

justru menimbulkan pertanyaan, karena dalam kondisi non-afiliasi, proses negosiasi mesti

terjadi. Bagaimana bisa harga transaksi “cocok persis” dengan nilai yang dihitung oleh pihak

konsultan?

Tapi di sinilah juga yang menjadi dilemma tersendiri bagi pihak WP:

Kalau harga transaksi sama dengan nilai wajar perhitungan konsultan, justru mestinya

ini tidak sesuai dengan proses penerapan ALP. Dalam situasi arm’s length, proses

negosiasi selalu akan terjadi.

Kalau harga transaksi tidak sama dengan nilai wajar perhitungan , malah pihak WP

mengkuatirkan akan dipertanyakan oleh pihak otoritas perpajakan. Menurut hemat

penulis, kalau sama, justru mestinya dipertanyakan, yaitu dimana proses negosiasinya?

Page 6: Pengertian nilai dalam laporan akuntan dan penilai dalam sengketa perpajakan

www.futurumcorfinan.com

Page 6

Kalau non-afiliasi, pastinya akan terjadi tarik ulur, hingga diperoleh harga yang “nyaman”

bagi kedua belah pihak yang akan bertransaksi, yaitu pihak penjual dan pihak pembeli.

Kedua, dalam proses mencapai harga transaksi, ada beberapa pertanyaan yang bisa

membantu:

Mengapa objek transaksi tidak ditawarkan kepada pihak lain atau eksternal, misalnya di

luar grup usaha? Dalam kondisi non-afiliasi, kemungkinan besar, suatu objek akan

ditawarkan ke beberapa pihak guna memperoleh gambaran harga yang akan terbentuk.

Contoh, katakan suatu PT A dalam suatu grup usaha: apakah PT A bersedia tawarkan

objek transaksi ke pihak luar? Jawabannya: belum tentu juga.

Apakah ada proses pemasangan iklan jual di surat kabar atau menggunakan agen,

sama seperti menjual properti? Jawabannya : ini tidak diwajibkan dilakukan, karena

tidak ada peraturan yang mewajibkan hal ini.

Banyak motivasi terkait mengapa tidak ditawarkan kepada pihak eksternal. Misalkan,

yang mudah, masalah rahasia dagang (trade secret) atau guna mempertahankan

keunggulan kompetitif, atau saham perusahaan afiliasi tetap berada dalam grup usaha

tersebut. Tentunya, suatu perusahaan yang akan menjual suatu objek, belum tentu mau

melakukan suatu transaksi dengan pihak luar yang sederhanya, baru ketemu di jalan.

Dalam transaksi afiliasi, terkait penguasaan, manajemen dan pengendalian, pasti dalam

kadar tertentu, unsur-unsur ini pada umumnya hadir. Terkait ini, lalu apakah pihak

afiliasi lainnya yang ditawarkan, bisa menolak? Belum tentu juga, karena transaksi

demikian, bisa terjadi karena adanya unsur “pengendalian, manajemen atau

penguasaan, atau bahkan masih dalam konteks kekeluargaan”.

Secara prinsip, artinya, tidak ada yang aneh sama sekali untuk melakukan transaksi dengan

pihak yang memiliki hubungan istimewa. Yang menjadi sengketa, menurut hemat penulis,

jangan memperdebatkan apakah transaksi tersebut masuk atau tidak masuk dalam ketentuan

transaksi afiliasi. Ini ujung-ujungnya bermuara pada “debat kusir” tak berujung. Masing-masing

pihak berpegang pada peraturan yang sama (yang dibuat oleh pihak Direktur Jenderal Pajak),

tapi anehnya, masing-masing memiliki interpretasi yang berbeda.

Menurut hemat penulis, pada prinsipnya perlu disepakati terlebih dahulu bahwa semua

transaksi antar pihak hubungan istimewa dapat dimasukkan ke dalam transaksi afiliasi, karena

Page 7: Pengertian nilai dalam laporan akuntan dan penilai dalam sengketa perpajakan

www.futurumcorfinan.com

Page 7

bagaimanapun unsur hubungan penguasaan, manajemen, kepemilikan, atau kekeluargaan,

dalam kadar tertentu dapat ditemukan.

Jauh lebih penting, pihak WP dapat memaparkan substansi komersial transaksi dengan pihak

afiliasi karena semua transaksi, baik afiliasi dan non-afiliasi, seyogyanya memiliki landasan

komersial (commercial substance). Hal ini juga dapat membantu para pihak bersengketa untuk

memahami mengapa transaksi tersebut dilakukan dengan pihak tertentu, dan bukan dengan

pihak lainnya, termasuk pihak eksternal.

Pertanyaan selanjutnya apakah yang dimaksud dengan transaksi yang memiliki substansi

komersial?

Interpretasi ini kembali tidak mudah.

Namun menurut hemat penulis, terlepas apakah mau dikemas dengan alasan strategis, namun

ujung-ujungya dalam banyak transaksi riil dan antar pihak non-afiliasi, ada hak tagih atas

potensi arus kas yang di”perjual-belikan atau dipertukarkan (exchanged)” walaupun hak tagih

atas arus kas ini bisa “tersimpan” dalam berbagai bentuk, apakah instrumen keuangan atau

non-keuangan.

Paragraf 25 dari PSAK 16 (revisi 2011) : Aset Tetap (adopsi dari IAS 16: Property, Plant and

Equipment), bisa membantu kita melihat hal ini dari sudut pandang akuntan, dimana dikatakan:

Entitas menentukan apakah suatu transaksi pertukaran memiliki substansi komersial atau tidak

dengan mempertimbangkan sejauh mana arus kas masa depan diharapkan dapat berubah

sebagai akibat dari transaksi tersebut. Suatu transaksi pertukaran memiliki substansi komersial

jika:

(a) Konfigurasi (contohnya risiko, waktu, dan jumlah) arus kas atas aset yang diterima

berbeda dari konfigurasi dari aset yang diserahkan; atau

(b) Nilai spesifik entitas dari bagian operasi entitas yang dipengaruhi oleh perubahan

transaksi sebagai akibat dari pertukaran; dan

(c) Selisih di (a) atau (b) adalah relatif signifikan terhadap nilai wajar dari aset yang

dipertukarkan.

Untuk tujuan menentukan apakah transaksi pertukaran memiliki substansi komersial, nilai

spesifik entitas dari bagian operasi entitas yang dipengaruhi oleh transaksi mencerminkan arus

kas setelah pajak. Hasil analisis ini dapat menjadi jelas tanpa entitas melakukan perhitungan

lebih rinci.

Page 8: Pengertian nilai dalam laporan akuntan dan penilai dalam sengketa perpajakan

www.futurumcorfinan.com

Page 8

Namun hal di atas juga kembali tidak mudah, karena “arus kas” yang diperjual-belikan atau

dipertukarkan, yang merepresentasikan “arus kas yang diharapkan terjadi di masa depan”, tidak

bisa ditentukan juga dengan mudah, kecuali untuk bisnis-bisnis yang sudah sangat stabil,

dimana katakan, dalam 10 tahun terakhir, pertumbuhan bisnis tersebut umumnya menunjukkan

tingkat yang tidak terlalu variatif. Analisa proyeksi arus kas juga dapat diperdebatkan dengan

mudah. Pada titik tanggal transaksi atau sebelum tanggal transaksi, tentunya arus kas yang

akan terjadi di masa depan, tidak dapat diketahui dengan pasti, yaitu apakah akan terjadi atau

tidak. Ini analisa ex-ante (belum terjadi). Tentunya hampir sebagian besar transaksi dilakukan

dengan ex-ante. Namun pada saat pemeriksaan oleh otoritas perpajakan, yang dapat terjadi

beberapa tahun sesudah titik tanggal transaksi, sebagian dari estimasi arus kas sudah diketahui

dalam kenyataannya, dan ini disebut sebagai analisa ex-post (sudah terjadi). Analisa ex-ante

jelas berbeda cukup signifikan dibandingkan analisa ex-post1.

Karena ada harga transaksi, kembali selisih arus kas antara sebelum dan sesudah mestinya

positif, kalau tidak, tidaklah mungkin suatu pihak mau bertransaksi dengan pihak lain. Apalagi,

misalkan dalam transaksi akuisisi, pihak yang menjual, sudah mengantongi di depan, nilai tunai

dari arus kas yang akan terjadi (yang bisa juga tidak akan terjadi atau meleset dari proyeksi) di

masa depan.

Namun, secara prinsip, suatu perusahaan bersedia membayar suatu harga transaksi, karena

dari analisa perusahaan tersebut, nilai kini (present value) dari arus kas yang akan dihasilkan

oleh objek transaksi akan lebih tinggi dari harga yang dia bayar. Ya, sesederhana itu.

Namun, harga yang perusahaan tersebut akan bayar, bisa dalam rentang manapun juga. Pada

titik inilah, pihak perusahaan biasanya melibatkan pihak konsultan eksternal untuk membantu

menghitung nilai wajar dari objek transaksi tersebut.

Laporan Konsultan

Laporan konsultan eksternal dapat menggunakan istilah “value” (=nilai), yang belum tentu sama

dengan “price” (=harga).

Hasil laporan pihak konsultan eksternal, umumnya menggunakan kata-kata “fair value” (=nilai

wajar) atau “fair market value” (=nilai pasar wajar). Namun apakah “nilai” ini nantinya menjadi

1 Pihak otoritas perpajakan juga perlu menyadari kemungkinan adanya analisa ex-post, dimana

pemeriksaan pajak dilakukan beberapa tahun “sesudah” tanggal transaksi, artinya, di saat arus kas bisa diketahui sebagian. Namun tidak demikian, bagi pihak WP. Pada saat transaksi dilakukan, pihak WP bisa jadi tidak memiliki “keistimewaan” mengetahui arus kas yang akan terjadi di kemudian hari.

Page 9: Pengertian nilai dalam laporan akuntan dan penilai dalam sengketa perpajakan

www.futurumcorfinan.com

Page 9

“harga transaksi”? Jawabannya: tidak selalu, dan kemungkinannya bisa antara 0% - 100%.

Artinya, nilai yang dihitung oleh pihak konsultan eksternal cuma terbatas pada penentuan

“value” (nilai) objek. Terlepas bagaimana nilai ini kemudian diartikan sebagai nilai wajar atau

tidak (“fair value”) juga menjadi rumit.

Permasalahan, kemungkinan, dan masih kemungkinan bahwa nilai transaksi tidak selalu sesuai

dengan nilai yang ditentukan oleh kekuatan pemain pasar, atau katakan istilah nilai pasar

(market value).

Tapi kalau itu objek privat, katakan berupa saham, atau suatu bisnis, tentunya tidak selalu

mudah untuk menentukan nilai pasarnya.

Di sini penulis mencoba melihat “nilai wajar” yang dimaksudkan pihak akuntan dan lalu pihak

penilai.

Sudut Pandang Akuntan

Menurut PSAK 68: Pengukuran Nilai Wajar (adopsi dari IFRS 13: Fair Value Measurement),

Lampiran A: Definisi Istilah, disebutkan:

Nilai wajar adalah harga yang akan diterima untuk menjual suatu aset atau harga yang akan

dibayar untuk mengalihkan suatu liabilitas dalam transaksi teratur antara pelaku pasar pada

tanggal pengukuran.

Kalau kita baca teks asli IFRS 13: Fair Value Measurement,

Fair value: the price that would be received to sell an asset or paid to transfer a liability in an

orderly transaction between market participants at the measurement date.

Sebagai catatan atas IFRS 13, International Accounting Standards Board (IASB) tetap

menggunakan istilah “fair value”, namun yang sesungguhnya IFRS 13 maksudkan adalah

“current exit price” (lihat bagian Basis for Conclusions paragraf BC44 dari IFRS 13). “Exit Price”

sendiri didefinisikan sebagai “the price that would be received to sell an asset or paid to transfer

a liability”.

Bagian Basis for Conclusions (Dasar Kesimpulan) dari IFRS 13 paragraf BC36 :

The definition of fair value in IFRS 13 is a current exit price…..Many respondent thought the

proposal to define fair value as a current, market-based exit price was appropriate because that

definition retains the notion of an exchange between unrelated, knowledgeable and willing

Page 10: Pengertian nilai dalam laporan akuntan dan penilai dalam sengketa perpajakan

www.futurumcorfinan.com

Page 10

parties in the previous definition of fair value in IFRSs, but provides a clearer measurement

objective.

Definisi PSAK 68/IFRS 13 menjadi menarik karena dalam menentukan nilai wajar objek, yang

perlu dipertimbangkan HANYA KEPENTINGAN PIHAK PENJUAL, dan tidak perlu memasukkan

KEPENTINGAN PIHAK PEMBELI. Dalam suatu transaksi, selalu melibatkan dua belah pihak,

yaitu ada pihak penjual dan pihak pembeli, namun definisi “nilai wajar” PSAK 68/IFRS 13 hanya

perlu fokus pada sisi penjual dari transaksi tersebut. Pertimbangan sisi pembeli dari suatu

transaksi sama sekali dihiraukan atau dihilangkan, dan ini akan mencakup unsur-unsur

kemungkinan kenaikan atau penurunan nilai objek sesudah tanggal pengukuran, dan juga

diskon yang akan diminta oleh pihak pembeli atau bahkan rencana pihak pembeli di kemudian

hari yang dapat mempengaruhi nilai objek, sama sekali tidak diperhitungkan.

Bacaan atas bagian Basis for Conclusions (Dasar Kesimpulan) dari IFRS 13 akan membantu

kita memahami alur berpikir akuntan terkait penggunaan nilai wajar.

[Paragraf BC27]: IFRS 13 also provides a framework that is based on an objective to estimate

the price at which an orderly transaction to sell the asset or to transfer the liability would take

place between market participants at the measurement date under current market conditions

(ie an exit price from the perspective of a market participant that holds the asset or owes the

liability at the measurement date).

[Paragraf BC28]: That definition of fair value retains the exchange notion contained in the

previous definition of fair value in IFRSs: The amount for which an asset could be exchanged, or

a liability settled, between knowledgeable, willing parties in an arm’s length transaction.

Dari bacaan di atas, tampak bahwa nilai wajar yang diartikan sebagai “harga keluaran”, dan

bukan “harga masukan (entry price) yang bisa merupakan jumlah pertukaran (exchange

amount)” berdasarkan kondisi pasar pada saat pengukuran dilakukan tetap dalam konteks

objek tersebut nantinya akan dilepas atau dipertukarkan dalam suatu transaksi bebas ikatan,

atau antara pihak-pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa.

[Paragraf BC31] …..It also conveys more clearly that fair value is a market-based

measurement, and not an entity-specific measurement, and that fair value reflects current

market conditions (which reflect market participants’, not the entity’s, current expectations about

future market conditions).

Page 11: Pengertian nilai dalam laporan akuntan dan penilai dalam sengketa perpajakan

www.futurumcorfinan.com

Page 11

Di sini tampak bahwa nilai wajar jelas berbasis dari perspektif pihak pelaku pasar yang

memegang aset atau memiliki hutang, dan tidak berbasis pada perspektif entitas atau

perusahaan yang memegang aset atau memiliki liabilitas yang akan menjadi objek penilaian.

PSAK 68 : Pengukuran Nilai Wajar menggarisbawahi hal ini:

Nilai wajar adalah pengukuran berbasis pasar, bukan pengukuran spesifik atas suatu

entitas. Untuk beberapa aset dan liabilitas, transaksi pasar atau informasi pasar yang

dapat diobservasi dapat tersedia. Untuk aset dan liabilitas lain, hal tersebut mungkin

tidak tersedia. Akan tetapi, tujuan pengukuran nilai wajar dalam kedua kasus tersebut

adalah sama – untuk mengestimasi harga dimana suatu transaksi teratur (orderly

transaction) untuk menjual aset atau mengalihkan liabilitas akan terjadi antara pelaku

pasar (market participants) pada tanggal pengukuran dalam kondisi pasar saat ini (yaitu

harga keluaran (exit price) pada tanggal pengukuran dari perspektif pelaku pasar yang

memiliki aset atau liabilitas). [paragraf 2]

Ketika harga untuk aset atau liabilitas yang identik tidak dapat diobservasi, entitas

mengukur nilai wajar menggunakan teknik penilaian lain yang memaksimalkan

penggunaan inputyang dapat diobservasi (observable inputs) yang relevan dan

meminimalkan penggunaan inputyang tidak dapat diobservasi (unobservable inputs).

Karena nilai wajar merupakan pengukuran berbasis pasar, maka nilai wajar diukur

menggunakan asumsi yang akan digunakan pelaku pasar ketika menentukan

harga aset atau liabilitas, termasuk asumsi mengenai risiko. Sebagai hasilnya,

intensi entitas untuk memiliki suatu aset atau untuk menyelesaikan atau

memenuhi suatu liabilitas menjadi tidak relevan ketika mengukur nilai wajar.

[paragraf 3]

Pengukuran nilai wajar adalah untuk aset atau liabilitas tertentu. Oleh karena itu, ketika

mengukur nilai wajar, entitas memperhitungkan karakteristik aset atau liabilitas jika

pelaku pasar akan memperhitungkan karakteristik tersebut ketika menentukan

harga aset atau liabilitas pada tanggal pengukuran. Karakteristik tersebut termasuk,

sebagai contoh, hal sebagai berikut:

(a) kondisi dan lokasi aset; dan

(b) pembatasan, jika ada, atas penjualan atau penggunaan aset. [paragraf 11]

Page 12: Pengertian nilai dalam laporan akuntan dan penilai dalam sengketa perpajakan

www.futurumcorfinan.com

Page 12

Pengukuran nilai wajar mengasumsikan bahwa aset atau liabilitas dipertukarkan dalam

suatu transaksi teratur antara pelaku pasar untuk menjual aset atau mengalihkan

liabilitas pada tanggal pengukuran berdasarkan kondisi pasar saat ini. [paragraf 15]

Bahkan ketika tidak terdapat pasar yang dapat diobservasi untuk menyediakan

informasi penentuan harga mengenai penjualan aset atau pengalihan liabilitas pada

tanggal pengukuran, pengukuran nilai wajar mengasumsikan bahwa transaksi terjadi

pada tanggal tersebut, dipertimbangkan dari perspektif pelaku pasar yang memiliki

aset atau liabilitas. Transaksi yang diasumsikan tersebut menjadi dasar untuk

mengestimasi harga untuk menjual aset atau mengalihkan liabilitas. [paragraf 21]

Nilai wajar adalah harga yang akan diterima untuk menjual suatu aset atau harga yang

akan dibayar untuk mengalihkan suatu liabilitas dalam transaksi teratur di pasar utama

(atau pasar yang paling menguntungkan) pada tanggal pengukuran berdasarkan kondisi

pasar saat ini (yaitu harga keluaran) terlepas apakah harga tersebut dapat

diobservasi secara langsung atau diestimasi menggunakan teknik penilaian lain.

[paragraf 24]

Lebih lanjut :

[Paragraf BC39] : The IASB concluded that an exit price of an asset or a liability embodies

expectations about the future cash inflows and outflows associated with the asset or liability

from the perspective of a market participant that holds the asset or owes the liability at

the measurement date. An entity generates cash inflows from an asset by using the asset or

by selling it. Even if an entity intends to generate cash inflows from an asset by using it rather

than by selling it, an exit price embodies expectations of cash flows arising from the use of the

asset by selling it to a market participant that would use it in the same way. That is because a

market participant buyer will pay only for the benefits it expects to generate from the use

(or sale) of the asset. Thus, the IASB concluded that an exit price is always a relevant

definition of fair value for assets, regardless of whether an entity intends to use an asset or sell

it.

Page 13: Pengertian nilai dalam laporan akuntan dan penilai dalam sengketa perpajakan

www.futurumcorfinan.com

Page 13

[Paragraf BC42]: That definition of current enty price, like fair value, assumes a

hypothetical orderly transaction between market participants at the measurement date. It

is not necessarily the same as the price an entity paid to acquire an asset or received to

incur a liability, eg if that transaction was not at arm’s length….

Paragraf BC42 di atas menegaskan bahwa exit price tidak selalu sama dengan entry price

(yaitu harga pembelian suatu aset atau harga yang diterima untuk menanggung suatu liabilitas).

Namun demikian, dalam situasi tertentu, exit price bisa sama dengan entry price, yaitu apabila

kedua harga tersebut terkait dengan aset atau liabilitas yang sama, pengukuran pada tanggal

yang sama dan dalam bentuk yang sama dan terjadi pada pasar yang sama, sebagaimana

disebutkan dalam paragraf BC44 di bawah ini.

[Paragraph BC44] : ….the IASB concluded that a current entry price and a current exit price will

be equal when they relate to the same asset or liability on the same date in the same form in the

same market. Therefore, the IASB considered it unnecessary to make a distinction between

current entry price and a current exit price in IFRSs with a market-based measurement objective

(ie fair value), and the IASB decided to retain the term fair value and define it as a current exit

price.

Karena PSAK 68/IFRS 13 menggunakan pengertian “current exit price” maka dengan

sendirinya, yang menjadi pertanyaan berikutnya, dimana transaksi itu dilakukan.

Paragraf 15 dan 16 PSAK 68/IFRS 13 memberikan penjelasan terkait transaksi tersebut, yaitu:

Pengukuran nilai wajar mengasumsikan bahwa aset atau liabilitas dipertukarkan dalam suatu

transaksi teratur antara pelaku pasar untuk menjual aset atau mengalihkan liabilitas pada

tanggal pengukuran berdasarkan kondisi pasar saat ini.

Pengukuran nilai wajar mengasumsikan bahwa transaksi untuk menjual aset atau mengalihkan

liabilitas terjadi:

(a) di pasar utama (principal market) untuk aset atau liabilitas tersebut; atau

(b) jika tidak terdapat pasar utama, di pasar yang paling menguntungkan (most advantegous

market) untuk aset atau liabilitas tersebut.

Paragraf BC53 IFRS 13 memaparkan lebih lanjut bahwa pasar yang dimaksud adalah pasar

dimana biasanya perusahaan atau entitas tersebut mengadakan transaksi, atau pasar dimana

terdapat volume atau tingkat aktivitas yang paling tinggi untuk aset atau liabilitas tersebut.

Page 14: Pengertian nilai dalam laporan akuntan dan penilai dalam sengketa perpajakan

www.futurumcorfinan.com

Page 14

[Paragraf BC53] : In addition, the boards concluded that an entity normally enters into

transactions in the principal market for the asset or liability (ie the most liquid market, assuming

that the entity can access that market). As a result, the boards decided to specify that an entity

can use the price in the market in which it normally enters into transactions, unless there is

evidence that the principal market and that market are not the same. Consequently, an entity

does not need to perform an exhaustive search for markets that might have more activity for the

asset or liability than the market in which that entity normally enters into transactions. Thus,

IFRS 13 addresses practical concerns about the costs of searching for the market with the

greatest volume or level of activity for the asset or liability.

Jadi di sini, IFRS 13 atau PSAK 68 memperkenalkan dua pasar dimana transaksi tersebut

dapat dilakukan

Pasar utama (principal market) adalah pasar dengan volume dan tingkat aktivitas

terbesar untuk aset atau liabilitas.

Pasar yang paling menguntungkan (most advantegous market) adalah pasar yang

memaksimalkan jumlah yang akan diterima untuk menjual aset atau meminimalkan

jumlah yang akan dibayar untuk mengalihkan liabilitas, setelah memperhitungkan biaya

transaksi dan biaya transpor.

Karena penekanannya pada bagaimana pihak pelaku pasar mempersepsikan harga yang akan

diminta, maka transaksi tersebut dalam konteks penentuan nilai wajar tidak mesti transaksi

yang sesungguhnya, akan tetapi transaksi hipotetis, sebagaimana disebutkan dalam paragraf

BC30 Basis for Conclusions dari IFRS 13:

[Paragraf BC30] : Like the previous definition of fair value, the revised definition assumes a

hypothetical and orderly exchange transaction (ie it is not an actual sale or a forced

transaction or distress sale)…..

Jadi kalau kita telaah, “nilai wajar” yang dimaksudkan PSAK 68/IFRS 13, HANYA

mempertimbangkan sudut pandang pihak “penjual” (seller), makanya ditekankan bahwa ini

“[current] exit price”, yaitu harga yang diminta kalau pihak penjual akan bersedia melepas aset-

nya kepada pihak calon pembeli. Nilai wajar ini tetap berbasis pasar, artinya apa yang akan

dilakukan oleh pihak penjual/pembeli, tidak relevan, sehingga akan lebih mempertimbangkan

apa yang akan dilakukan oleh pihak “pemain/pelaku pasar”. Tapi ini juga tidak mudah…siapa

yang bisa tahu pikiran “pihak pemain/pelaku pasar”, terutama untuk aset yang tidak

diperdagangkan di publik, misalnya saham.

Page 15: Pengertian nilai dalam laporan akuntan dan penilai dalam sengketa perpajakan

www.futurumcorfinan.com

Page 15

Sudut Pandang Penilai

Berbeda dengan pihak akuntan, pihak penilai menggunakan istilah “nilai pasar” (=market

value2), dan bukan “nilai wajar”, yang wajib mempertimbangkan kepentingan kedua belah pihak

dalam suatu transaksi, yaitu pihak penjual dan pihak pembeli, yang tentunya bukan merupakan

suatu hal yang relatif mudah untuk dilakukan.

Kita gunakan Standar Penilaian Indonesia (SPI) 20133.

SPI 101 : Nilai Pasar Sebagai Dasar Penilaian

[Paragraf 3.1] : Nilai pasar didefinisikan sebagai estimasi sejumlah uang yang dapat diperoleh

dari hasil penukaran suatu aset atau liabilitas pada tanggal penilaian, antara pembeli yang

berminat membeli dengan penjual yang berminat menjual, dalam suatu transaksi bebas

ikatan, yang pemasarannya dilakukan secara layak, di mana kedua pihak masing-masing

bertindak atas dasar pemahaman yang dimilikinya, kehati-hatian dan tanpa paksaan.

Setiap unsur dari definisi Nilai Pasar ini memiliki kerangka pengertian masing-masing:

[Paragraf 3.2.1] : “estimasi sejumlah uang…” merujuk pada harga yang dinyatakan dalam

satuan uang (biasanya dalam Rupiah), yang dapat dibayarkan secara tunai pada tanggal

penilaian atas suatu aset dalam transaksi pasar bebas ikatan. Nilai Pasar diukur sebagai harga

yang paling memungkinkan diperoleh secara wajar di pasar pada tanggal penilaian, dengan

memenuhi definisi Nilai Pasar. Ini merupakan harga terbaik yang dapat diperoleh oleh

penjual secara wajar dan harga yang paling menguntungkan yang dapat diperoleh oleh

pembeli secara wajar pula.

[Paragraf 3.2.1] : “…dapat diperoleh dari hasil penukaran suatu aset atau liabilitas…” merujuk

pada fakta bahwa nilai suatu aset atau liabilitas lebih merupakan estimasi jumlah uang

dari pada harga yang ditetapkan sebelumnya atau harga jual sebenarnya…..

2 Istilah “fair market value” digunakan oleh otoritas perpajakan di Amerika Serikat, dimana didefinisikan

dalam Internal Revenue Code and Ruling 59-60 sebagai: “the amount at which the property would change hands between a willing buyer and a willing seller when the former is notunder compulsion to buy and the latter is not under any compulsion to sell, both parties having reasonable knowledge of the relevant facts.” Di sini, pihak otoritas perpajakan di Amerika Serikat menganut prinsip bahwa “nilai” mesti mempertimbangkan sisi penjual dan sisi pembeli dari suatu transaksi. 3 SPI 2013 ditetapkan 1 Mei 2013 dan berlaku efektif 1 November 2013. SPI 2013 diterbitkan untuk

Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (disingkat MAPPI).

Page 16: Pengertian nilai dalam laporan akuntan dan penilai dalam sengketa perpajakan

www.futurumcorfinan.com

Page 16

[Paragraf 3.2.3] : “…pada tanggal penilaian…” mensyaratkan bahwa estimasi Nilai Pasar

berlaku hanya pada tanggal dimana opini nilai diberikan saja. Karena pasar dan kondisi pasar

dapat berubah, maka estimasi nilai dapat saja tidak benar atau tidak tepat pada waktu yang

lain. Nilai Pasar hasil penilaian akan mencerminkan keadaan dan kondisi pasar actual pada

tanggal efektif penilaian dan bukan pada tanggal sebelumnya atau tanggal yang akan datang.

[Paragraf 6.2] : Konsep Nilai Pasar tidak harus tergantung pada transaksi sebenarnya yang

terjadi pada tanggal penilaian. Nilai Pasar lebih merupakan estimasi harga yang mungkin

terjadi dalam penjualan pada tanggal penilaian sesuai dengan persyaratan definisi Nilai

Pasar.

[Paragraf 6.6] : Konsep Nilai Pasar juga menganggap bahwa dalam transaksi Nilai Pasar

suatu aset atau properti akan ditawarkan secara bebas dan cukup lama di pasar dan

dengan publikasi yang cukup pula. Penawaran in dianggap dilaksanakan sebelum tanggal

penilaian. Pasar untuk real properti serta personal properti berwujud biasanya berbeda dengan

pasar untuk jenis properti lainnya seperti saham, obligasi atau aset lancar lainnya. Properti

tersebut biasanya lebih jarang terjual dan pasarnya pun cenderung kurang formal dan kurang

efisien dibandingkan, misalnya, dengan efek yang dicatatkan di bursa. Lebih lanjut, jenis

properti in biasanya kurang likuid. Karena alasan ini, dan karena real properti dan personal

properti berwujud tidak biasanya diperdagangkan di bursa, Nilai Pasar-nya harus

mempertimbangkan penawaran yang memadai dan cukup waktu sehingga pemasaran yang

layak dan penyelesaian negosiasi dapat terlaksana.

Jadi di sini, penentuan nilai pasar suatu objek penilaian, merupakan gabungan dari “exit price”

(harga keluaran) dan “entry price” (harga masukan), sisi penjual dan sisi pembeli dari suatu

transaksi turut dipertimbangkan. Dan nilai pasar ini hanya merupakan “estimasi” harga,

sehingga tidak mesti menjadi harga transaksi sesungguhnya, dan kemungkinan [besar] bisa

berbeda, karena dalam penentuan harga dalam suatu transaksi yang ditentukan oleh kekuatan

pasar, atau antar pihak-pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa, akan terjadi proses

negosiasi, permintaan diskon atau premium yang akan dinegosiasikan besarannya, dan lain-

lain. Dan nilai pasar ini akan terbentuk sesudah objek penilaian dipublikasikan di antara

pelaku/pemain pasar dalam cakupan waktu yang cukup guna membantu para pelaku/pemain

pasar untuk mempertimbangkan harga titik temu.

Selanjutnya, dalam SPI 102: Dasar Penilaian Selain Nilai Pasar, para penilai menggunakan

definisi “Nilai Wajar” sesuai dengan definisi dalam IFRS 13 (paragraf 3.19.1).

Page 17: Pengertian nilai dalam laporan akuntan dan penilai dalam sengketa perpajakan

www.futurumcorfinan.com

Page 17

Terdapat penegasan terkait Nilai Wajar oleh pihak penilai:

[Paragraf 6.18] : Nilai Wajar adalah istilah yang digunakan di dalam akuntansi, yang penting

dibedakan dengan Nilai Pasar. Meskipun Nilai Wajar dan Nilai Pasar dapat memiliki besaran

yang sama di dalam kondisi tertentu, kedua nilai ini memiliki definisi yang berbeda. Sebagai

contoh, estimasi Nilai Wajar mungkin tidak memenuhi persyaratan Nilai Pasar mengenai

adanya pasar bagi properti maupun kondisi transaksi.

[Paragraf 6.19] : Nilai Wajar merupakan konsep yang lebih luas dari Nilai Pasar. Meskipun

dalam banyak kasus harga yang wajar antara dua pihak akan sama dengan yang diperoleh di

pasar, akan tetapi terdapat kasus di mana penilaian dengan Nilai Wajar akan

mempertimbangkan berbagai hal yang diabaikan dalam penilaian dengan Nilai Pasar,

sepertinya pada Nilai Khusus yang timbul karena adanya kombinasi kepentingan.

[Paragraf 6.20] : Penggunaan Nilai Wajar Khusus meliputi:

Penentuan harga yang wajar untuk suatu kepemilikan saham dalam bisnis tertutup,

dapat merupakan harga yang wajar di antara kedua pihak tertentu dalam

kepemilikan bisnis, akan tetapi dapat berbeda dengan harga yang dapat diperoleh

di pasar.

….

Rangkuman

Kalau kita perhatikan di atas, Nilai Wajar dan Nilai Pasar dapat berbeda, dan lebih jauh, kedua

nilai tersebut dapat berbeda dengan Nilai Transaksi Sesungguhnya (atau penulis, gunakan

“price” (=Harga) guna membedakan dengan “value” (=nilai).

Sebagaimana dari bacaan PSAK 68/IFRS 13 dan SPI 2013, baik pihak akuntan dan pihak

penilai, keduannya menyebutkan bahwa Nilai Wajar atau Nilai Pasar adalah pengukuran

berbasis pasar dan bukan spesifik pada pihak pembeli atau penjual tertentu.

Ini yang menarik.

Karena justru Harga yang terbentuk di pasar, adalah SPESIFIK TERHADAP PIHAK PENJUAL

DAN PIHAK PEMBELI TERTENTU. Harga adalah representasi kas tunai atau ekivalen kas

yang diminta dalam suatu transaksi yang SUDAH TERJADI, dan bukan dalam suatu transaksi

Page 18: Pengertian nilai dalam laporan akuntan dan penilai dalam sengketa perpajakan

www.futurumcorfinan.com

Page 18

hipotetis, asumsi yang dipakai oleh PSAK 68/IFRS 13 dan SPI 2013 dalam mendefinisikan Nilai

Wajar atau Nilai Pasar.

Antara satu calon pembeli dengan calon pembeli lainnya, bisa memberikan Nilai Wajar yang

sama, namun dalam transaksi, Harga yang terbentuk, akan hanya spesifik pada satu pembeli

saja. Suatu perusahaan pembeli katakana berani menawar harga yang lebih tinggi daripada

Nilai Wajar suatu objek, karena mereka dapat menciptakan sinergi atau skala ekonomis yang

lebih baik daripada calon pembeli lainnya, atau bahkan hal tersebut belum tentu tersedia bagi

pihak pembeli lainnya.

Ini membawa kepada pemahaman bahwa Harga yang kemudian sesungguhnya terjadi dalam

suatu transaksi, tidak selalu sama dengan Nilai Wajarnya (baik menurut pihak akuntan ataupun

pihak penilai). Walaupun informasi mengenai suatu objek penilaian, katakan, tersedia secara

publik kepada semua calon pembeli, namun bagaimana pihak calon pembeli memproses

informasi tersebut dapat mengakibatkan Harga Transaksi berbeda dengan Nilai Wajarnya.

Sebagai contoh, persepsi terkait tingkat resiko dan tingkat imbal hasil investasi, tekanan untuk

segera menuntaskan suatu transaksi, ketertarikan akan objek penilaian dalam kaitannya

dengan strategi perusahaan, atau tidak tersedianya sumber daya manusia yang diperlukan

akan objek penilaian, dapat berbeda-beda antara satu calon pembeli dengan calon pembeli

lainnya. Semua faktor tersebut akan turut mengakibatkan Harga Transaksi berbeda dengan

Nilai Wajar atau Nilai Pasarnya.

Dalam pembentukan Harga Transaksi, akan turut dipengaruhi:

Kondisi permintaan dan ketersediaan objek penilaian di pasar

Kondisi mood pemain/pelaku pasar, gosip di pasar terkait objek penilaian, dan lain-lain

Hal ini berimplikasi bahwa pihak eksternal tidak dapat dengan mudah menghitung “Price”

(Harga Transaksi). Satu-satunya objek yang relatif mudah ditentukan Harga Transaksi, adalah

uang tunai. Diluar uang tunai, nilainya bisa menjadi apa saja.

Contoh sederhana, misalkan ada piutang usaha yagn dialihkan atau dijual. Secara teoritis,

standar akuntansi, mengatakan menggunakan net realizable value.

Secara umum, dapat dikatakan, piutang usaha akan dibayar pada nilai tagihan. Kembali, kita

lihat digunakan kata “value”. Apakah ini sama dengan “price” transaksi? Belum tentu…..

Ini tergantung, kondisi “market” saat transaksi dilakukan. Misalkan perusahaan debitur, dimana

tagihan tersebut muncul, dalam kondisi rugi besar, apakah anda berpikir, anda dapat menagih

Page 19: Pengertian nilai dalam laporan akuntan dan penilai dalam sengketa perpajakan

www.futurumcorfinan.com

Page 19

seluruh nilai tagihan. Kemungkinan, anda ragu. Kalau ragu, lalu berapa besar diskon yang akan

anda berikan?

10%, 20%, 30%, 40%, 50%...

Ini juga kembali tergantung kondisi keuangan pihak penjual, kalau dia “butuh uang”, mungkin ia

bersedia menerima diskon besar.

Nilai Wajar, karena hanya mempertimbangkan pihak penjual, dia tidak perlu menerapkan

“diskon”. Secara logika, siapa yang mau menjual dengan diskon? Bagaimana dengan Nilai

Pasarnya, dimana perlu mempertimbangkan sisi beli dan sisi jual, disinilah, muncul

diskon/premium, dll.

Lalu bagaimana merekonsiliasi ini?

Menurut penulis, “nilai” inilah yang perlu dicari titik temu, dan bukannya dihitung kembali oleh

pihak otoritas perpajakan, seperti dalam beberapa kasus sengketa pajak yang melibatkan

laporan pihak konsultan eksternal. Kemungkinan “nilai” yang dihitung kembali oleh pihak

otoritas perpajakan, justru merupakan nilai “hipotetis” semata.

Lalu bagaimana?

Kedua belah pihak, yaitu pihak WP dan otoritas perpajakan, mesti memahami bahwa ada

perbedaan antara “value” dan “price”. Dan nilai yang dihitung pihak konsultan eksternal, bisa

jadi, hanya “value”. Di sinilah pihak WP mesti bisa mendokumentasikan bagaimana “value”

menjadi “price” dan menjelaskan kepada pihak otoritas perpajakan. Dalam konteks transaksi

non-afiliasi, atau transaksi bebas ikatan, “value” dapat dikatakan tidak sama dengan “price”.

“Value” cenderung tidak dapat diamati secara langsung, sedangkan “Price” dapat diamati

secara langsung. Ini saja sudah membuat perbedaan yang signifikan.

Price is what you paid, and value is what you get (Warren Buffett)

~~~~~~ ####### ~~~~~~

Page 20: Pengertian nilai dalam laporan akuntan dan penilai dalam sengketa perpajakan

www.futurumcorfinan.com

Page 20

Disclaimer

This material was produced by and the opinions expressed are those of FUTURUM as of the date of

writing and are subject to change. The information and analysis contained in this publication have been

compiled or arrived at from sources believed to be reliable but FUTURUM does not make any

representation as to their accuracy or completeness and does not accept liability for any loss arising from

the use hereof. This material has been prepared for general informational purposes only and is not

intended to be relied upon as accounting, tax, or other professional advice. Please refer to your advisors

for specific advice.

This document may not be reproduced either in whole, or in part, without the written permission of the

authors and FUTURUM. For any questions or comments, please post it at www.futurumcorfinan.com

© FUTURUM. All Rights Reserved