penggunaan bukti tidak langsung (indirect evidence) dalam...
TRANSCRIPT
PENGGUNAAN BUKTI TIDAK LANGSUNG (INDIRECT
EVIDENCE) DALAM PENANGANAN PELANGGARAN HUKUM
PERSAINGAN USAHA
(Skripsi)
Oleh:
DARWIN YOHANES M
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG 2018
PENGGUNAAN BUKTI TIDAK LANGSUNG (INDIRECT EVIDENCE)
DALAM PENANGANAN PELANGGARAN HUKUM PERSAINGAN
USAHA
Oleh
Darwin Yohanes M
ABSTRAK
Penetapan pelanggaran perjanjian yang dilarang berupa penetapan harga (Pasal 5)
dan kartel (Pasal 11) UU No. 5 Tahun 1999 sangat ditentukan oleh penggunaan
bukti tidak langsung(indirect evidence). Indirect evidence adalah bukti berupa
pertukaran informasi yang mendeskripsikan adanya perjanjian (perjanjian tidak
tertulis) yang digunakan menjadi bukti karena semakin sulitnya ditemukan bukti
langsung dalam penanganan perkara penetapan harga dan kartel. Praktik
penggunaan indirect evidence telah dilakukan oleh KPPU dalam putusan
No.17/KPPU-I/2010 dan putusan No. 08/KPPU-I/2014. Penelitian ini mengkaji
dan membahas mengenai bagaimana penggunaan bukti tidak langsung (indirect
evidence) dalam penanganan hukum persaingan usaha dengan pokok bahasan
yaitu: kekuatan pembuktian alat bukti tidak langsung sebagai alat bukti dalam
hukum persaingan usaha dan penggunaan alat bukti tidak langsung dalam
penyelesaian perkara hukum persaingan usaha.
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan tipe
penelitian deskriptif. Pendekatan masalah yang digunakan yaitu pendekatan
normatif terapan dengan tipe judicial case study yang bersumber dari data primer, sekunder dan tersier. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi
dokumen. Analisis data dilakukan secara kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa bukti tidak langsung dalam
perkembangannya telah diatur dalam Perkom No. 04 Tahun 2010 dan Perkom No.
04 Tahun 2011 kekuatan bukti ini dikelompokkan sebagai alat bukti petunjuk
yang diatur dalam dalam Pasal 42 UU No. 5 Tahun 1999 Jo. Pasal 72 Perkom 01
Tahun 2010. Selanjutnya, Mahkamah Agung RI membenarkan penggunaan bukti
tidak langsung yang tercermin dalam Putusan 221 K/ PDT.SUS-KPPU/2016.
Penggunaan bukti tidak langsung sendiri menggunakan dua metode pendekatan
yaitu pendekatan komunikasi dan pendekatan ekonomi. pendekatan komunikasi
digunakan untuk menguatkan temuan bukti langsung dan untuk membuktikan
kesepakatan diam-diam (tacit collusion) sedangkan bukti ekonomi digunakan
untuk membuktikan terkonsentrasi atau tidaknya struktur pasar dan dampak dari
perilaku pelanggaran hukum persaingan usaha.
Kata Kunci : Bukti tidak langsung, KPPU, Pelanggaran hukum persaingan usaha
PENGGUNAAN BUKTI TIDAK LANGSUNG (INDIRECT
EVIDENCE) DALAM PENANGANAN PELANGGARAN HUKUM
PERSAINGAN USAHA
Oleh:
DARWIN YOHANES M
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar
SARJANA HUKUM
Pada
Bagian Hukum Keperdataan
Fakultas Hukum Universitas Lampung
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2018
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Natar, pada tanggal 10 Juli 1996, sebagai
anak ketiga dari empat bersaudara dari pasangan Bapak P.
Manalu, BBA dan Ibu Alm. S. Ika Siahaan
Penulis menyelesaikan pendidikan Taman Kanak-kanak di
TK Fransiskus Tanjungkarang pada Tahun 2001-2002,
Sekolah Dasar di SD Fransiskus 1 Tanjungkarang pada Tahun 2002-
2008, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di Fransiskus 1 Tanjungkarang pada
Tahun 2008-2011, dan Sekolah Menengah Atas di SMK Negeri 2 Bandar
Lampung jurusan Teknik Mesin Industri pada Tahun 2011-2014. Penulis melalui
jalur SBMPTN diterima sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas
Lampung pada Tahun 2014, dan mengikuti kegiatan kuliah kerja nyata (KKN)
selama 40 Hari di desa Restu Baru, Kecamatan Rumbia, Kabupaten Lampung
Tengah
Selama mengikuti perkuliahan, Penulis aktif sebagai paralegal pada Bidang
Konsultasi dan Bantuan Hukum (BKBH FH Unila), selain itu Penulis aktif
sebagai Asisten Peneliti di Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hak Asasi Manusia
(PKKP-HAM).. Selain itu penulis menjabat sebagai Kepala Bidang Kajian Pusat
Studi Bantuan Hukum (PSBH) pada tahun 2017-2018 dan menjabat sebagai
Kepala Bidang Kajian dalam organisasi Forum Mahasiswa Hukum Kristen
(Formahkris) pada tahun 2016-2017. Selain aktif berorganisasi, penulis juga aktif
mengikuti lomba baik tingkat nasional mupun internasional. Penulis pernah
mendapatkan Juara 2 pada Constitutional Moot Court Competition (CMCC) 2016
yang diselenggarakan oleh Mahkamah Konstitusi, serta pernah mengikuti
kompetisi Phillip C. Jessup International Moot Court Competition 2018 yang
diselenggarakan oleh International Law Student Association (ILSA)
MOTTO
Bersukacitalah dalam pengharapan, sabarlah dalam kesesakan, dan
bertekunlah dalam doa
(Roma 12:12)
Yang terpenting dalam kehidupan bukanlah kemenangan namun
bagaimana bertanding dengan baik.
(Baron Pierre De Coubertin)
Tidak ada batasan untuk usaha manusia. Seburuk apapun hidupmu akan
selalu ada yang bisa kau lakukan dan bisa kau gapai. Selama masih ada
kehidupan maka akan selalu ada harapan.
(Stephen Hawking)
PERSEMBAHAN
Dengan Segala Kerendahan Hati Kupersembahkan Karya Kecilku kepada:
Kedua Orang Tuaku
Bapak P. Manalu, BBA dan Ibu Alm. S. Ika Siahaan
Terimakasih untuk Kasih Sayang, Dukungan, Pengorbanan serta Doa yang tiada
hentinya untuk anakmu
SANWACANA
Puji syukur selalu penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat
dan kasih-Nya yang tiada berkesudahan sehingga penulis mampu
menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul “Penggunaan Bukti Tidak
Langsung (Indirect Evidence) Dalam Penanganan Perkara Pelanggaran
Hukum Persaingan Usaha” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung dibawah
bimbingan dari dosen pembimbing serta atas bantuan dari berbagai pihak
lain.
Penyelesaian penelitian ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan dan saran dari
berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Maroni, S.H., M.H., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Lampung;
2. Bapak Dr. Sunaryo, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum
Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Lampung;
3. Ibu Rilda Murniati, S.H., M.Hum., selaku Pembimbing I atas kesabaran
dan kesediaan meluangkan waktu disela-sela kesibukannya, mencurahkan
segenap pemikirannya, memberikan bimbingan, saran, dan kritik dalam
proses penyelesaian skripsi ini;
4. Bapak Depri Liber Sonata, S.H., M.H., selaku Pembimbing II atas
kesabaran dan kesediaan meluangkan waktu disela-sela kesibukannya,
mencurahkan segenap pemikirannya, memberikan bimbingan, saran, dan
kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini;
5. Bapak Dr. Wahyu Sasongko., S.H., M.H., selaku Pembahas I yang telah
memberikan kritik, saran, dan masukan yang sangat membangun terhadap
skripsi ini;
6. Ibu Dianne Eka Rusmawati, S.H., M.H., selaku Pembahas II yang telah
memberikan kritik, saran, dan masukan yang sangat membangun terhadap
skripsi ini;
7. Bapak Dr. F.X. Sumarja, S.H., M.H., selaku Pembimbing Akademik,
yang telah membantu penulis menempuh pendidikan di Fakultas Hukum
Universitas Lampung;
8. Seluruh Dosen dan Rekan yang tergabung pada Bidang Konsultasi dan
Bantuan Hukum (BKBH), Seluruh dosen dan karyawan/i Fakultas Hukum
Universitas Lampung yang penuh dedikasi dalam memberikan ilmu yang
bermanfaat bagi Penulis, serta segala bantuan secara teknis maupun
administratif yang diberikan kepada penulis selama menyelesaikan studi;
9. Teristimewa untuk kedua orangtuaku yang menjadi orangtua terhebat
dalam hidupku, yang tiada hentinya memberikan dukungan moril maupun
materil juga memberikan kasih sayang, nasihat, semangat dan doa yang
tak pernah putus untuk kebahagiaan dan kesuksesanku. Terimakasih atas
segalanya semoga kelak dapat membahagiakan, membanggakan, dan
menjadi anak yang berbakti kepada kalian;
10. Untuk Abangku Jepri Manalu, S.H., Kakakku Veronika Netty K. Manalu
S.Si, Adikku Michael Victor Manalu, terimakasih untuk motivasi,
dukungan serta mendoakan dan menyemangatiku untuk meraih
kesuksesanku. Semoga kita bisa menjadi anak yang membahagiakan
orang tua sampai akhir hayat;
11. Sahabat-sahabatku I Ketut Dharma Putra Yoga, Frans Manuel Pakpahan,
Dedi Putra, Ambar Pujotomo, Made Atma Gebi Suryani, Maria
Claratoruan Sihombing, Rico Sitorus, Meilinda Sari, Meilinda Sopi,
Nurcahyati, Korin Suryani Sirait, Cindy Moira Sidabalok, Dhanty
Novenda Sitepu, Ega gamalia Sitompul, Findi Senja Kinanti terimakasih
untuk persahabatan selama ini yang senantiasa memberikan nasihat,
semangat dan dukungannya, kalian sudah seperti keluarga bagiku.
Semoga persahabatan kita untuk selamanya;
12. Keluarga Orang Batak Hukum (OBH), Oren Perangin-angin, Joshua
Purba, Rico Sitorus, Timbul Demokrasi Sinaga, Wahyunus Gani
Pasaribu, Alvin Situmeang, Jonathan Simanjuntak Sahat Septiadi
Rajagukguk, Renaldi Boni Sitindaon, Firman Gulo, Alfa Ziliwu, Anjas
Nataniel Sibarani, Nael Tambunan, Anugrah Siburian, Risto Simamora,
Joshua Sihombing, Matthew Marcel Arios, Rully Sitanggang, Agung
Simbolon, Dolly Manalu terimakasih atas kebersamaan, dan dukungan
yang telah diberikan. Salam Satu Mudar Satu Rahang!
13. Keluarga Besar Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hak Asasi Manusia
(PKKP-HAM), bapak Prof. Muhammad Akib, S.H., M.H., bapak Dr. H.
Soerja Tisnanta, S.H., M.H., bapak Dr. F.X. Sumarja, S.H., M.H, bapak
Fathoni, S.H., M.H, serta para kolega Asisten Peneliti PKKPHAM,
terimakasih atas semangat, saran, masukan serta bantuan baik moril
maupun materil yang diberikan kepada penulis sampai penulis dapat
menyelesaikan perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Lampung
14. Keluarga besar BKBH dan UKMF PSBH, Alumni, Pengurus, Anggota
Muda dan Anggota Tetap, Tim CMMC Piala ketua MK, dan Phillip C.
Jessup International Moot Court, Kalian keluarga yang luar biasa, terima
kasih untuk kebersamaan, pengalaman serta ilmu yang berharga yang
tidak saya temukan dalam perkuliahan dan hanya saya temukan di PSBH;
15. Untuk keluarga besar Formahkris angkatan 2013, 2014, 2015, 2016 dan
2017 yang telah menjadi keluarga rohani bagi penulis selama masa
perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Lampung , terimakasih atas
kekeluargaannya, Semangat selalu dalam pelayanan;
16. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah
membantu dalam penyelesaian skripsi ini, terimakasih atas semua bantuan
dan dukungannya.
Semoga Tuhan YME memberikan balasan atas jasa dan budi baik yang
telah diberikan kepada penulis. Akhir kata, Penulis menyadari bahwa
skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan
semoga skripsi yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi yang
membacanya, khususnya bagi penulis dalam mengembangkan dan
mengamalkan ilmu pengetahuan.
Bandar Lampung, 10 Desember 2018
Penulis
DAFTAR ISI
I. PENDAHULUAN ........................................................................................ 1
A. Latar Belakang ......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................................... 7
C. Ruang Lingkup ......................................................................................... 8
D. Tujuan Penelitian ..................................................................................... 8
E. Kegunaan Penelitian ................................................................................. 8
1. Kegunaan Teoritis ................................................................................ 8
2. Kegunaan Praktis .................................................................................. 9
II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 10
A. Hukum Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat ...................................................................................................... 10
1. Pengertian Hukum Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat .................................................................................................. 10
2. Ruang Lingkup Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat ........................................................................................ 13
3. Pendekatan Per se Illegal dan Rule of Reason dalam UU No. 5
Tahun 1999 ........................................................................................ 20
B. Perjanjian Penetapan Harga dan Kartel dalam Hukum Persaingan
Usaha ..................................................................................................... 23
1. Perjanjian Penetapan Harga ................................................................ 23
2. Perjanjian Kartel ................................................................................. 26
2
C. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) ......................................... 31
1. Kedudukan KPPU .............................................................................. 31
2. Tugas dan Wewenang KPPU .............................................................. 32
D. Hukum Acara Komisi Pengawas Persaingan Usaha ................................ 35
1. Tata Cara Penanganan Perkara di KPPU ............................................. 35
2. Upaya Hukum atas Putusan KPPU...................................................... 38
3. Alat Bukti dalam Hukum Persaingan Usaha........................................ 40
4. Indirect Evidence (Pembuktian Tak Langsung) ................................... 41
E. Alur Pikir ............................................................................................... 45
III. METODE PENELITIAN .......................................................................... 47
A. Jenis Penelitian ...................................................................................... 47
B. Tipe Penelitian ....................................................................................... 48
C. Pendekatan Masalah ............................................................................... 48
D. Data dan Sumber Data ............................................................................ 49
E. Metode Pengumpulan Data ..................................................................... 50
F. Metode Pengolahan Data ........................................................................ 51
G. Analisis Data .......................................................................................... 52
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .......................................... 53
A. Kekuatan Pembuktian Alat Bukti Tidak Langsung (Indirect Evidence)
sebagai Alat Bukti dalam Hukum Persaingan Usaha ............................... 53
1. Alasan Hukum Penggunaan Bukti Tidak Langsung (Indirect
Evidence) dalam Hukum Persaingan Usaha ........................................ 53
2. Kedudukan Alat Bukti Tidak Langsung (Indirect Evidence) dalam
Hukum Persaingan Usaha di Indonesia............................................... 55
3. Perkara Pelanggaran Hukum Persaingan Usaha yang
menggunakan pembuktian tidak langsung yang dikuatkan dalam
Upaya Hukum Lanjutan ..................................................................... 62
3
B. Penggunaan Alat Bukti Tidak Langsung (indirect evidence) dalam
Penyelesaian Perkara Hukum Persaingan Usaha ..................................... 66
1. Dugaan Perjanjian Penetapan Harga dan Kartel yang Berasal dari
Sengketa Paten antara Pfizer Inc dan PT Dexa Medica ....................... 67
2. Dugaan Perjanjian Penetapan Harga dan Kartel dalam Asosiasi
Produsen Ban Indonesia (APBI) ......................................................... 72
3. Temuan Bukti Tidak Langsung (Indirect Evidence) dalam Perkara
Penetapan Harga dan Kartel yang Berasal dari Sengketa Paten
antara Pfizer Inc dan PT Dexa Medica dan dalam Asosiasi
Produsen Ban Indonesia (APBI) ......................................................... 81
4. Pertimbangan Majelis Komisi ............................................................. 89
V. Penutup .................................................................................................... 101
A. Kesimpulan .......................................................................................... 101
B. Saran .................................................................................................... 103
DAFTAR PUSTAKA
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kegiatan persaingan adalah bagian dari kehidupan manusia dalam pemenuhan
kebutuhan hidup. Adanya persaingan dalam usaha adalah suatu karakter dari
kehidupan manusia yang selalu dan terus berusaha memenuhi kebutuhan hidup
secara lebih baik. Adanya kebutuhan hidup dan perkembangan tingkat pendapatan
melahirkan kebutuhan atas barang/jasa dengan kualitas tertentu. Untuk itu, pelaku
usaha akan bersaing meningkatkan kualitas produk barang/ jasa dan
menyesuaikan dengan kebutuhan ekonomi manusia. Untuk itu, kebutuhan
ekonomi melahirkan persaingan dalam bisnis atau persaingan di bidang ekonomi.1
Persaingan di bidang ekonomi tersebut terjadi apabila beberapa pengusaha dalam
bidang usaha yang sama (sejenis) bersama-sama menjalankan perusahaan, dalam
daerah pemasaran yang sama, masing masing berusaha keras melebihi yang lain,
untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya.2 Pelaku usaha dalam
bidang usaha sejenis tersebut akan saling bersaing untuk berusaha mengungguli
pelaku usaha dalam bidang usaha tersebut. Kegiatan persaingan tersebut apabila
1 Rilda Murniati, Hukum Persaingan Usaha Kajian Teoritis Menciptakan Persaingan
Sehat Dalam Usaha. Lampung, Justice Publisher, 2014 hlm 51. 2 Ibid
2
dilakukan secara sehat dapat melahirkan produk barang yang lebih berkualitas,
manajemen dan pelayanan yang lebih baik dengan tujuan memperoleh keuntungan
yang sebesar-besarnya. Dampak negatif dari persaingan tersebut adalah timbulnya
keinginan untuk mengungguli pelaku usaha lain dan menguasai pasar dan dapat
menghambat pelaku usaha untuk masuk ke pasar tersebut.
Persaingan yang tidak sehat dapat dilakukan oleh pelaku usaha yang memiliki
kekuatan dalam suatu pasar (market power) dengan tujuan untuk menguasai pasar
atas suatu produk barang sehingga dapat menetapkan harga barang yang harus
dibayarkan oleh konsumen. Selanjutnya pelaku usaha tersebut dapat bersama-
sama pelaku usaha lain sejenis untuk ikut bergabung dan melakukan kesepakatan
harga barang atas produk barang sejenis yang dihasilkan oleh para pelaku usaha
tersebut. Kesepakatan tersebut bertujuan untuk menyingkirkan pelaku usaha lain
atau menghambat pelaku usaha lain untuk masuk ke dalam pasar yang dikuasai
oleh para pelaku usaha tersebut. Perilaku penetapan harga oleh satu pelaku usaha
dan kesepakatan penetapan harga dilakukan oleh beberapa pelaku usaha atau
sekelompok pelaku usaha adalah bentuk-bentuk perjanjian yang dilarang dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat (selanjutnya disingkat UU No.5 Tahun 1999)
mengenai penetapan harga yang diatur dalam Pasal 5 dan kartel yang diatur dalam
Pasal 11 UU No.5 Tahun 1999.
Penetapan harga merupakan strategi yang dilakukan oleh para pelaku usaha yang
bertujuan untuk menghasilkan laba yang setinggi-tingginya.3 Penetapan harga
3 Pengertian penetapan harga yang disampaikan oleh Philip Areeda, dalam Andi Fahmi
Lubis. Et al,Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks, KPPU, 2009, hlm 91
3
dilakukan oleh pelaku usaha dan pelaku usaha pesaingnya yang berada dalam
pasar yang bersangkutan yang sama sehingga tercipta harga yang diinginkan oleh
para pelaku usaha tersebut. Peraturan Komisi Nomor 4 Tahun 2011 tentang
Pedoman Pasal 5 UU No. 5 Tahun 1999 (selanjutnya disingkat Perkom No. 4
Tahun 2011) menjelaskan bahwa penetapan harga merupakan konsekuensi dari
penetapan jumlah produksi atau output. Output yang diproduksi oleh perusahaan
ditentukan pada tingkat tertentu sedemikian sehingga perusahaan mendapatkan
keuntungan yang maksimum. Pencapaian keuntungan yang maksimum ini
didasarkan atas biaya produksi perusahaan dan kondisi permintaan atas barang.
Dalam terminologi ilmu ekonomi, kondisi ini akan tercapai pada saat tambahan
penjualan dari satu unit output sama dengan tambahan biaya untuk memproduksi
satu unit output tersebut. Pelaku usaha tersebut yang telah dapat melakukan
penetapan harga dapat berindikasi mengajak pelaku usaha lain dalam pasar
bersangkutan yang sama untuk bersama-sama menyepakati harga yang harus
dibayar oleh konsumen dan mengatur jumlah produksi sehingga jumlah produksi
mereka di pasar tidak berlebih. Cara tersebut dilakukan pelaku usaha tersebut agar
harga produk di pasar tidak jatuh dan harga produk dapat memberikan keuntungan
yang sebesar-besarnya bagi pelaku usaha. Pengaturan jumlah produksi tersebut
bertujuan agar harga produk barang di pasar tidak menjadi lebih murah.
Pembatasan produksi tersebut merupakan salah satu unsur dari kartel sebagaimana
diatur dalam Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999.
Bentuk paling umum kartel yang terjadi di kalangan penjual adalah perjanjian
penetapan harga, perjanjian pembagian wilayah pasar atau pelanggan, dan
4
perjanjian pembatasan output. Sedangkan yang paling sering terjadi di kalangan
pembeli adalah perjanjian penetapan harga, perjanjian alokasi wilayah dan bid
rigging.4 Pelaku usaha seringkali memulai perjanjian atas harga dan pengaturan
produksi dan pemasaran dengan perjanjian penetapan harga sebelum para pelaku
usaha tersebut bergabung menyepakati harga bersama-sama sehingga melakukan
kartel.
Fakta hukum tersebut tercermin pada putusan perkara pelanggaran yang telah
diputus oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sebagai lembaga
independen yang diberi kewenangan oleh UU No. 5 Tahun 1999 untuk
menyelesaikan perkara perlanggaran hukum persaingan usaha. Fakta hukum
dalam putusan pelanggaran yang diputus oleh KPPU mengenai dugaan penetapan
harga yang diatur dalam Pasal 5 UU No.5 Tahun 1999 dan kartel yang diatur
dalam Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999 ditemukan bahwa dalam hal pelaku usaha
tidak terbukti melakukan kartel maka pelaku usaha dinyatakan terbukti melakukan
penetapan harga yang dilarang atau dapat saja pelaku usaha dinyatakan terbukti
melakukan kedua-duanya yaitu penetapan harga dan kartel.
Perkara pelanggaran penetapan harga dan kartel yang telah diputus oleh KPPU
dan menjadi objek penelitian ini adalah Putusan No. 17/KPPU-I/2010 tentang
dugaan pelanggaran Pasal 5, Pasal 11, Pasal 16, dan Pasal 25 ayat (1) huruf a UU
No. 5 Tahun 1999. Dugaan pelanggaran tersebut terjadi dalam Industri Farmasi
Kelas Terapi Amlodipine yang dilakukan oleh PT Pfizer Indonesia (Terlapor I),
PT Dexa Medica (Terlapor II), PT Pfizer inc (Terlapor III), PT Pfizer Overseas
4 Anna Maria Tri Anggraini, Analisis Ekonomi dalam Mendeteksi Kartel Berdasarkan
Hukum Persaingan Usaha, Jurnal Hukum Persaingan Usaha Vol 4 Tahun 2010, 2010, hlm 30.
5
LLC (d/h Pfizer Overseas Inc) (Terlapor IV), PT Pfizer Global Trading (co Pfizer)
(Terlapor V), dan PT Pfizer Corporation Panama (Terlapor VI). Para Terlapor
diduga melakukan pelanggaran denga cara menetapkan harga obat hipertensi
dengan zat aktif Amlodipine Besylate, melakukan pengaturan produksi dan
pengaturan pemasaran obat Anti hipertensi dengan zat aktif Amlodipine Besylate,
menyalahgunakan posisi dominannya untuk mempengaruhi dokter dan/atau
apotek agar hanya meresepkan obat dengan merek Norvask. Selain itu, Para
Terlapor diduga melakukan pelanggaran tersebut dengan cara melakukan
perjanjian dengan pelaku usaha asing yang berakibat terjadinya praktek monopoli
dan persaingan usaha tidak sehat. Majelis Komisi berdasarkan pertimbangan
Majelis yang dikemukakan dalam putusan tersebut memutuskan bahwa para
terlapor terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 5 dan Pasal 11,
Pasal 16, Pasal 25 ayat (1) huruf a UU No. 5 Tahun 1999
Fakta hukum perkara pelanggaran hukum persaingan usaha yang mencerminkan
adanya penetapan harga dan selanjutnya para pelaku usaha tergabung dalam
kelompok kartel dan diputus melanggar serta menjadi objek dari penelitian ini
yaitu putusan Nomor 08/KPPU-I/2014 tentang dugaan pelanggaran Pasal 5 Ayat
(1) dan Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999. Dalam putusan tersebut terdapat 6 (enam)
terlapor yang diduga melakukan pelanggaran Pasal 5 ayat (1), dan Pasal 11 UU
No. 5 Tahun 1999 dalam industri otomotif terkait kartel ban kendaraan bermotor
roda empat wilayah Indonesia yang diproduksi dan dipasarkan oleh Perusahaan
Ban yang tergabung dalam Asosiasi Perusahaan Ban Indonesia (APBI).. Para
terlapor tersebut di antaranya PT Bridgestone Tire Indonesia (Terlapor I), PT
Sumbani Rubber Indonesia (Terlapor II), PT Gajah Tunggal Tbk (Terlapor III),
6
PT Goodyear Indonesia Tbk (Terlapor IV), PT Elang Perdana Tyre Industry
(Terlapor V), dan PT Industri Karet Deli (Terlapor VI) Majelis Komisi
berdasarkan pertimbangan yang dikemukakan dalam putusan tersebut memutus
bahwa para terlapor terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 5 Ayat
(1) UU No. 5 Tahun 1999 serta terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar
Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999.
Penetapan pelanggaran Pasal 5 dan Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999 yang
dilakukan oleh para Terlapor dan terbukti melanggar dalam putusan KPPU
ditentukan berdasarkan terpenuhinya alat bukti atas terjadinya pelanggaran yang
diatur dalam Hukum Acara Persaingan Usaha sebagaimana ditentukan dalam UU
No. 5 Tahun 1999 dan Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1
Tahun 2010 tentang Tata Cara Penanganan Perkara (disingkat Perkom No.1
Tahun 2010). Selain bukti yang ditentukan dalam UU No. 5 Tahun 1999 dan
Perkom No. 1 Tahun 2010, terdapat bukti tidak langsung (indirect evidence) yang
digunakan oleh Majelis Komisi di KPPU dalam menilai terjadi atau tidaknya
pelanggaran perjanjian penetapan harga dan kartel.
Kebutuhan akan penggunaan bukti tidak langsung (indirect evidence) bagi Majelis
Komisi di KPPU sehubungan semakin sulitnya ditemukan bukti langsung dalam
penanganan perkara penetapan harga dan kartel. Kesulitan tersebut diakibatkan
oleh para pelaku usaha telah mengetahui arti bukti langsung yang gunakan sebagai
dasar hukum yang langsung menententukan terjadinya penetapan harga dan kartel
yang melanggar UU No. 5 Tahun 1999. Bukti langsung berupa surat perjanjian
sangat dihindari oleh para pelaku usaha atau kelempok pelaku usaha
7
yang dapat membuktikan adanya penetapan harga yang disepakati dalam kegiatan
usahanya bersama-sama dengan pelaku usaha lain.
Berdasarkan uraian di atas, maka penggunaan bukti tidak langsung menjadi bukti
yang menentukan dalam menilai terjadinya pelanggaran penetapan harga dan
kartel oleh Majelis Komisi di KPPU. Untuk itu, menjadi kajian yang menarik dan
memiliki alasan yang tepat untuk dilakukan penelitian mengenai bukti tidak
langsung yang digunakan oleh Majelis Komisi dalam putusan KPPU No.
17/KPPU-I/2010 dan Putusan KPPU No. 08/KPPU-I/2014 dan kekuatan hukum
dari bukti tidak langsung (indirect evidence) dalam pembuktian pelanggaran
penetapan harga dan kartel. Selanjutnya hasil penelitian tersebut dituangkan
dalam bentuk skripsi dengan judul: “Penggunaan Bukti Tidak Langsung
(Indirect Evidence) Dalam Penanganan Perkara Pelanggaran Hukum
Persaingan Usaha”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan dibahas
dalam penelitian ini yaitu:
1. Bagaimana kekuatan pembuktian alat bukti tidak langsung sebagai alat bukti
dalam hukum persaingan usaha?
2. Bagaimana penggunaan alat bukti tidak langsung dalam penyelesaian perkara
hukum persaingan usaha?
8
C. Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian ini terdiri dari ruang lingkup bidang ilmu dan lingkup
kajian. Lingkup bidang ilmu dalam penelitian ini adalah hukum keperdataan
ekonomi, khususnya hukum persaingan usaha. Sedangkan lingkup kajian
penelitian ini adalah penerapan bukti tidak langsung (indirect evidence) dalam
penanganan perkara pelanggaran hukum persaingan usaha (Studi Putusan KPPU
Nomor 17/KPPU-I/2010 dan Putusan KPPU Nomor 08/KPPU-I/2014).
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka tujuan dan kegunaan dari penelitian ini
antara lain:
1. Untuk memaparkan secara jelas, rinci, dan sistematis kekuatan pembuktian
alat bukti tidak langsung sebagai alat bukti dalam hukum persaingan usaha.
2. Untuk memaparkan secara jelas, rinci, dan sistematis penggunaan alat bukti
tidak langsung dalam penyelesaian perkara hukum persaingan usaha.
E. Kegunaan Penelitian
Kegunaan Penelitian ini mencakup kegunaan teoritis dan kegunaan praktis, yaitu:
1. Kegunaan Teoritis
Secara Teoritis, skripsi ini berguna memberikan pengetahuan tentang hukum
persaingan usaha khususnya terkait pengunaan bukti tidak langsung (indirect
evidence) dalam penanganan pelanggaran hukum persaingan usaha. Penelitian ini
9
juga dapat menjadi sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu hukum
perdata ekonomi khususnya mengenai hukum persaingan usaha
2. Kegunaan Praktis
Secara Praktis, skripsi ini diharapkan mampu memberikan informasi, serta
wawasan tambahan terhadap penulis, pembaca, serta perkembangan ilmu
pengetahuan khususnya mengenai hukum persaingan usaha seiring perkembangan
hukum persaingan usaha di indonesia, terkhusus pada penerapan bukti tidak
langsung (indirect evidence) dalam penanganan pelanggaran hukum persaingan
usaha. Selain itu, penelitian ini bisa dijadikan rujukan lain dengan penelitian yang
sama, baik untuk meninjau penggunaan alat bukti dalam pembuktian pelanggaran
hukum persaingan usaha di indonesia, maupun ditindaklanjuti dalam kajian
hukum persaingan usaha yang berlaku. Sehingga hasil penelitian ini dapat menjadi
referensi yang mudah diterima masyarakat baik yang menguasai kajian
ilmu hukum maupun yang belum menguasai sepenuhnya.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Hukum Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
1. Pengertian Hukum Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Monopoli secara etimologis berasal dari bahasa Yunani, yakni “monos polein”
yang berarti sendirian menjual. Merujuk pada ketentuan Pasal 1 Ayat (1)
mengartikan monopoli sebagai penguasaan atas produksi dan atau pemasaran
barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu
kelompok pelaku usaha.5 kamus Ekonomi Collins mendefinisikan monopoli
sebagai salah satu jenis struktur pasar yang mempunyai sifat-sifat, bahwa satu
perusahaan dengan banyak pembeli, kurangnya produk substitusi atau pengganti
serta adanya pemblokiran pasar (barrier to entry) yang tidak dapat dimasuki oleh
pelaku usaha lainnya. 6
Pasal 17 Ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999 secara tegas mengatur bahwa “Pelaku
usaha dilarang melakukan penguasaan pasar atas produksi dan atau pemasaran
barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan
5, Andi Fahmi Lubis, Et al, Op Cit hlm 127
6 Elyta Ras Ginting, Hukum Antimonopoli Indonesia: Analisis dan Perbandingan UU No. 5 Tahun 1999, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001, hlm.19.
11
persaingan tidak sehat.”. selanjutnya dalam Ayat 2 menyatakan bahwa pelaku
usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan atau
pemasaran barang dan atau jasa apabila:
a. Barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya, atau
b. Mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk kedalam persaingan
usaha barang dan atau jasa yang sama, atau
c. Satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari
50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang dan atau jasa
tertentu”
Sedangkan Istilah persaingan usaha dapat dibagi menjadi dua pembahasan yaitu
hukum dan persaingan usaha. Hukum adalah sekumpulan aturan yang mengatur
orang atau badan hukum (subjek hukum dan persaingan usaha adalah upaya oleh
pelaku usaha terhadap kegiatan usahanya yang berorientasi pada nilai ekonomis.
Hakekat hukum persaingan usaha bagi perekonomian negara adalah sumber
kehidupan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat yang mencerminkan
keadilan dalam kesempatan berusaha yang sama bagi segenap warganya 7
Persaingan usaha adalah kondisi dimana terdapat dua pihak (pelaku usaha) atau
lebih berusaha untuk saling mengungguli dalam mencapai tujuan yang sama
dalam suatu usaha tertentu.8 Pengertian dari hukum persaingan usaha adalah
hukum yang mengatur tentang interaksi atau hubungan perusahaan atau pelaku
usaha di pasar, sementara tingkah laku perusahaan ketika berinteraksi dilandasi
7, Rilda Murniati, Op Cit , hlm 22.
8 Rilda Murniati, Penyelesaian Perkara Pelanggaran Hukum Persaingan Usaha oleh
KPPU, Dalam buku Hukum Bangun Teori dan Telaah dalam Implementasi, Bandar Lampung: Universitas Lampung, 2009, hlm. 444.
12
atas motif-motif ekonomi.9 Pengertian persaingan usaha secara yuridis selalu
dikaitkan dengan persaingan dalam ekonomi yang berbasis pada pasar, dimana
pelaku usaha baik perusahaan maupun penjual secara bebas berupaya untuk
mendapatkan konsumen guna mencapai tujuan usaha atau perusahaan tertentu
yang didirikannya.10
Dilihat dari segi ekonomi, pengertian persaingan atau competition adalah:11
a. Merupakan suatu bentuk struktur pasar, dimana jumlah perusahaan yang
menyediakan barang di pasar menjadi indikator dalam menilai bentuk pasar
seperti persaingan sempurna (perfect competition), oligopoli (adanya
beberapa pesaing besar).
b. Suatu proses dimana perusahaan saling berlomba dan berusaha untuk merebut
konsumen atau pelanggan untuk dapat menyerap produk barang dan jasa
yang mereka hasilkan, dengan cara:
(1) Menekan harga (price competition);
(2) Persaingan bukan terhadap harga (non price competition) melalui
deferensial produk, pengembangan HAKI, promosi/iklan, pelayanan
purna jual;
(3) Berusaha untuk lebih efesien (low cost production).
9 Andi Fahmi Lubis, et.all, Op.Cit,, hlm. 21. 10 Budi Kagramanto, 2007, Mengenal Hukum Persaingan Usaha, Sidoarjo: Laras, hlm.
57. 11 Loc. Cit.
13
2. Ruang Lingkup Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat
UU No. 5 Tahun 1999 secara tegas mengatur bentuk-bentuk praktek monopoli
dan persaingan usaha tidak sehat. Bentuk-bentuk tersebut meliputi perjanjian yang
dilarang, kegiatan yang dilarang, serta penyalahgunaan posisi dominan.
a. Perjanjian yang Dilarang
Pasal 7 Ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999 mengatur secara khusus mengenai apa
yang dimaksud dengan perjanjian. Perjanjian dalam Pasal ini didefinisikan
sebagai: suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri
terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis
maupun tidak tertulis. Perjanjian yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam UU
No. 5 Tahun 1999 yang terjadi atau mengakibatkan praktik monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat, antara lain meliputi:
1. Perjanjian Oligopoli
Pasal 4 UU No. 5 Tahun 1999 melarang pelaku usaha melakukan perjanjian
oligopoli yaitu perjanjian dua pelaku usaha atau lebih untuk menguasai produksi
dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan praktek
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Dalam hal ini, perusahaan patut
diduga atau dianggap bersama sama melakukan penguasaan pasar apabila 2 (dua)
atau 3 (tiga) pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75%
(tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
14
2. Perjanjian Penetapan Harga
UU No. 5 Tahun 1999 melarang pelaku usaha untuk melakukan perjanjian dengan
pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus
dibayar konsumen atau pelanggannya.
UU No. 5 Tahun 1999 membagi perjanjian penetapan harga kedalam beberapa
jenis yaitu:
a. Perjanjian Penetapan Harga
b. Perjanjian Diskriminasi Harga
c. Harga Pemangsa atau Jual Rugi (Predatory Pricing)
d. Penetapan Harga Jual Kembali
3. Perjanjian Pembagian Wilayah (Market Division)
Prinsip perjanjian antara pelaku usaha untuk membagi wilayah pemasaran diantara
mereka akan berakibat kepada eksploitasi terhadap konsumen, dimana konsumen
tidak mempunyai pilihan yang cukup baik dari segi barang maupun harga.12
UU
No. 5 Tahun 1999 melarang perbuatan tersebut dalam Pasal 9 yang menyatakan
bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya
yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau lokasi pasar terhadap
barang dan/atau jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli
dan persaingan usaha tidak sehat.
4. Pemboikotan
Pasal 10 Ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa pelaku usaha
dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya, yang dapat
12 Ibid, hlm 100
15
menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk
tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri. dalam Pasal 10 Ayat (2)
menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku
usaha pesaingnya, untuk menolak menjual setiap barang dan/atau jasa dari pelaku
usaha lain sehingga perbuatan tersebut:
a. Merugikan atau dapat diduga akan merugikan pelaku usaha lain atau;
b. Membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap barang
dan/atau jasa dari pasar bersangkutan.
5. Kartel
Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang
membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud untuk
mempengaruhi harga dengan cara mengatur produksi dan/atau pemasaran suatu
barang dan/atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat.
6. Trust
Pasal 12 UU No. 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa perjanjian dua pelaku usaha
atau lebih untuk membentuk gabungan perusahaan dengan tetap
mempertahankan kelangsungan perusahaan masing-masing dengan tujuan untuk
mengontrol produksi dan atau pemasaran sehingga dapat mengakibatkan praktek
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
7. Oligopsoni
Oligopsoni merupakan salah satu bentuk praktek anti persaingan yang cukup
unik, karena dalam praktek oligopsoni yang menjadi korban adalah produsen atau
16
penjual, dimana biasanya untuk bentuk-bentuk praktek anti persaingan lain
(seperti price fixing, price discrimination, kartel, dan lain-lainnya) yang menjadi
korban umumnya konsumen atau pesaing. Dalam oligopsoni, konsumen
membuat kesepakatan dengan konsumen lain dengan tujuan agar mereka secara
bersamasama dapat menguasai pembelian atau penerimaan pasokan, dan pada
akhirnya dapat mengendalikan harga atas barang atau jasa pada pasar yang
bersangkutan.13
Praktek oligopsoni dilarang dalam Pasal 13 Ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999 yang
menyatakan menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian
dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk secara bersama-sama menguasai
pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang
dan atau jasa dalam pasar bersangkutan, yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
8. Integrasi Vertikal
Perjanjian Integrasi Vertikal adalah perjanjian dua pelaku usaha atau lebih untuk
menguasai rangkaian produksi berkelanjutan yang dapat mengakibatkan
persaingan usaha tidak sehat dan merugikan masyarakat.
9. Perjanjian Tertutup
Perjanjian Tertutup adalah perjanjian dua pelaku usaha atau lebih yang berisi
syarat bahwa penerima pasokan hanya akan memasok atau tidak akan memasok
produk tersebut kepada pelaku usaha lain; harus bersedia membeli produk
lainnya dari pemasok; atau mengenai harga atau potongan harga yang akan
13 Ibid, hlm 111
17
diterima bila bersedia membeli produk lain atau tidak membeli produk yang sama
dari pelaku usaha lain.
10. Perjanjian dengan Luar Negeri
UU No. 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa Perjanjian dengan pihak luar negeri
adalah perjanjian dengan pihak luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat.
b. Kegiatan yang Dilarang
Kegiatan yang dilarang adalah tindakan atau perbuatan atau perbuatan hukum
sepihak yang dilakukan oleh satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha tanpa
adanya keterkaitan hubungan (hukum) secara langsung dengan pelaku usaha atau
kelompok usaha lainnya.14
Beberapa kegiatan yang dilarang dalam UU No. 5
Tahun 1999 adalah sebagai berikut:
1. Monopoli
Pasal 17 Ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999 secara tegas mengatur bahwa Pelaku
usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang
dan/atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan /atau
persaingan usaha tidak sehat. Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan
penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa apabila:
a. Barang dan/atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya; atau
14 Yani Ahmad dan Gunawan Widjaja, 2010, Seri Hukum Bisnis Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Hlm. 31.
18
b. Mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan
usaha barang dan/atau jasa yang sama; atau
c. Satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari
50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
2. Monopsoni
Pasal 18 UU No. 5 Tahun 1999 menyebutkan bahwa pelaku usaha dilarang
menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan
atau jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Pelaku usaha patut diduga atau
dianggap menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal
sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) apabila satu pelaku usaha atau satu
kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% pangsa pasar atau satu jenis
barang atau jasa tertentu.
3. Penguasaan Pasar
Penguasaan Pasar adalah dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, sendiri
atau bersama yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha
tidak sehat berupa: menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang
sama; atau menghalangi konsumen untuk bertransaksi dengan pelaku usaha
tertentu; atau membatasi peredaran dan penjualan produk; atau melakukan
diskriminasi (Pasal 19); melakukan jual rugi untuk menyingkirkan pesaing (Pasal
20); dengan curang menetapkan biaya produksi dan biaya lainnya (Pasal 21).
19
4. Persengkongkolan
Kegiatan persekongkolan adalah persekongkolan dengan pihak lain untuk
mengatur dan menentukan tender kolusif (Pasal 22), bersekongkol mendapatkan
rahasia perusahaan pesaing (Pasal 23), bersekongkol untuk menghambat produksi
dan atau pemasaran pesaing (Pasal 24).
c. Penyalahgunaan Posisi Dominan
Pasal 1 Angka 4 UU No. 5 Tahun 1999 mengatur bahwa yang dimaksud dengan
posisi dominan yakni keadaan dimana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing di
pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku
usaha mempunyai posisi tertinggi diantara pesaingnya di pasar bersangkutan
dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau
penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang
atau jasa tertentu.
Pasal 25 Ayat (2) UU No. 5 Tahun 1999 menentukan bahwa pelaku usaha
memiliki potensi dominan apabila memenuhi kriteria dibawah ini:
1. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50% atau
lebih pangsa pasar satu jenis barang dan atau jasa tertentu.
2. Dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai 75% atau
lebih pangsa pasar satu jenis barang dan atau jasa tertentu.
Posisi dominan dapat timbul melalui hal-hal berikut ini:15
15 Riris Munadiya, Bukti Tidak Langsung ( Indirect Evidence ) dalam Penanganan Kasus
Persaingan Usaha, Jurnal Persaingan Usaha KPPU, Edisi 5 - Tahun , 2011, hlm. 163.
20
1. Jabatan rangkap pada lebih dari satu perusahaan dalam pasar bersangkutan
yang sama atau memiliki keterkaitan yang erat dalam bidang dan jenis usaha
atau secara bersama-sama menguasai pangsa pasar produk tertentu.
2. Pemilik saham mayoritas pada perusahaan sejenis dengan bidang usaha yang
sama dan pasar yang sama.
3. Penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan saham.
3. Pendekatan Per se Illegal dan Rule of Reason dalam UU No. 5 Tahun
1999
Rumusan pasal dalam UU No. 5 Tahun 1999 secara material menentukan
pendekatan dalam penentuan pelanggarannya sehingga menimbulkan persaingan
usaha tidak sehat dan terciptanya monopoli. Adanya proses pemeriksaan terhadap
dugaan pelanggaran UU No. 5 Tahun 1999, maka KPPU harus mengkaji rumusan
pasal dan pendekatan yang digunakan dalam rumusan pasal terkait dengan
berbagai bentuk larangan terhadap kegiatan usaha atau perjanjian yang dapat
menimbulkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. untuk
membuktikan dugaan pelanggaran tersebut, KPPU menggunakan dua pendekatan
per se illegal dan pendekatan rule of reason sebagaimana dimuat dalam rumusan
pasal UU No. 5 Tahun 199916
adalah sebagai berikut:
a. Pendekatan Per se Illegal
A.M. Tri Anggraini mendefinisikan pendekatan per se illegal sebagai suatu
pendekatan yang menyatakan setiap perjanjian usaha atau kegiatan usaha tertentu
sebagai ilegal, tanpa perlu pembuktian lebih lanjut atas dampak yang ditimbulkan
16 Rilda Murniati, Op Cit, hlm 78
21
dari perjanjian atau kegiatan usaha tersebut.17
Selain itu, menururt Sutrisno
Iwantono yang dimaksud dengan per se illegal adalah suatu perbuatan yang secara
inheren bersifat dilarang atau ilegal terhadap suatu perbuatan atau tindakan atau
praktik yang bersifat dilarang atau ilegal tanpa perlu pembuktian terhadap dampak
dari perbuatan tersebut.18
Carl Kaysen dan Donald F Turner menyatakan bahwa Pendekatan per se illegal
harus memenuhi dua syarat, yakni pertama, harus ditujukan lebih kepada
“perilaku bisnis” daripada situasi pasar, karena keputusan melawan hukum
dijatuhkan tanpa disertai pemeriksaan lebih lanjut, misalnya mengenai akibat dan
hal-hal melingkupinya. Hal ini adalah adil jika perbuatan illegal tersebut
merupakan tindakan sengaja oleh perusahaan yang seharusnya dapat dihindari.
Kedua, adanya identifikasi secara cepat dan mudah mengenai praktek atau
bataasan perilaku yang terlarang. Dengan kata lain, penilaian atas tindakan dari
perilaku baik di pasar maupun dalam proses pengadilan harus dapat ditentukan
dengan mudah. Meskipun demikian, diakui bahwa terdapat perilaku yang terletak
dalam batas-batas yang tidak jelas antara perilaku terlarang dan perilaku yang sah.
Sebab penerapan per se illegal yang berlebihan dapat menjangkau perbuatan yang
sebenarnya tidak merugikan bahkan mendorong persaingan.19
17 Tri Anggraini, Penerapan Pendekatan “Rule of Reason” dan “Per se Illegal” dalam
hukum persaingan, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 24 No. 2, Tahun 2005, hlm 5
18 Hermansyah, Pokok-pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Kecanaa Media Pradana, Jakarta, 2008, hlm 78
19 A.M. Tri Anggraini, Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat: Per se Illegal atau Rule of Reason, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003, hlm 92-93
22
b. Pendekatan Rule of Reason
Pendekatan Rule of Reason adalah kebalikan dari pendekatan per se illegal dalam
hukum persaingan usaha. Dalam pendekatan ini mengharuskan pembuktian,
mengevaluasi mengenai akibat perjanjian, kegiatan, atau posisi dominan tertentu
guna menentukan apakah perjanjian atau kegiatan tersebut menghambat atau
mendukung persaingan.20
Dengan kata lain, pendekatan rule of reason
mengharuskan pembuktian, mengevaluasi mengenai akibat perjanjian, kegiatan
atau posisi dominan tertentu guna menentukan apakah perjanjian atau kegiatan
tersebut menghambat atau mendukung persaingan.
Pendekatan rule of reason memiliki kelebihan dan kekurangan dalam
pengunaannya. Adapun kelebihan adalah menggunakan anlisis ekonomi untuk
mencapai efisiensi guna mengetahui dengan pasti apakah suatu tindakan pelaku
usaha memiliki implikasi kepada persaingan. Sehingga dengan akurat menetapkan
suatu tindakan pelaku usaha efisien atau tidak. Namun, di sisi lain, pendekatan ini
membutuhkan waktu yang panjang dalam rangka membuktikan perjanjian,
kegiatan, dan posisi yang tidak sehat dan menghambat persaingan usaha.
Pendekatan ini menjadikan kepastian hukum lama didapatkan. Lebih dari itu,
terkadang metode ini tidak sama hasil penelitian untuk suatu tindakan yang sama
disebabkan tidak samanya akibat yang timbul dari tindakan pelaku usaha
tersebut.21
20 Mustafa Rokan Kamal, Hukum Persaingan Usaha (Teori dan Praktiknya di Indonesia),
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010, hlm 66 21 Ibid, hlm 83
23
B. Perjanjian Penetapan Harga dan Kartel dalam Hukum Persaingan
Usaha
1. Perjanjian Penetapan Harga
a. Pengertian Perjanjian Penetapan Harga
Penetapan harga (price fixing) adalah suatu istilah yang biasanya diterapkan pada
berbagai tindakan yang diambil oleh para pesaing yang memiliki pengaruh
langsung atas harga. Bentuk yang paling sederhana adalah suatu kesepakatan
mengenai harga atau harga-harga yang akan dibebankan kepada sebagian atau
semua pelanggan. Jika para pelanggan tidak punya alternatif untuk produk yang
dikartelkan dan tidak dapat dengan mudah mengurangi konsumsi mereka, maka
kenaikan harga dapat menjadi sangat besar. paling tidak, kartel pada umumnya
akan menetapkan harga di atas harga produsen yang terkecil efisiensinya di
pasar.22
Penetapan harga dengan mudah dapat dilakukan di pasar tertentu dibandingkan
dengan praktek-praktek lain. Namun demikian sangat dimungkinkan bahwa
penetapan harga tersebut tidak dapat berjalan sama sekali di pasar yang lain. Hal
ini dikarenakan perjanjian penetapan harga merupakan perjanjian yang
terselubung (clandestine) dan seringkali sangat sulit untuk di deteksi. Dibutuhkan
naluri ekonomi yang baik guna menciptakan penegakan hukum di pasar terkait
yang paling kondusif bagi terjadinya penetapan harga.23
22 R.S Khemani, dkk, Kerangka Rancangan dan Pelaksanaan Undang-Undang dan
Kebijakan Persaingan, Washington D.C. dan Paris, Bank Dunia dan OECD, 1999, hlm 27. 23 A.M. Tri Anggraini, Op Cit, hlm 306.
24
Beberapa macam perilaku penetapan harga yang umumnya dilakukan oleh pelaku
usaha berdasrkan Perkom 04 Tahun 2011 diantaranya Penetapan harga (price
fixing), penetapan harga jual kembali (resale price maintenance), diskriminasi
harga (price discrimination), dan harga pemangsa atau jual rugi (predatory
pricing)
b. Penjabaran Unsur Pasal 5 UU No. 5 Tahun 1999 tentang Penetapan
Harga
Pasal 5 Ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999 secara tegas mengatur larangan Perjanjian
penetapan harga. pasal tersebut berbunyi “Pelaku usaha dilarang membuat
perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu
barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada
pasar bersangkutan yang sama.” Berdasarkan rumusannya, ketentuan Pasal 5 Ayat
(1) UU No. 5 Tahun 1999 mensyaratkan 3 (tiga) hal pokok, yaitu adanya pelaku
usaha dan pesaingnya, adanya perjanjian yang isinya menetapkan harga atas suatu
barang atau jasa tersentu, adanya pasar bersangkutan yang sama.
Unsur pertama Pasal 5 Ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999 adalah adanya pelaku
usaha dan pelaku usaha pesaingnya. Pengertian pelaku usaha dan pesaingnya
mengacu pada pengertian dalam Pasal 1 Angka 5 UU No. 5 Tahun 1999 yang
mendefinisikan pelaku usaha sebagai “orang perorangan atau badan usaha, baik
yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik
Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian,
menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.
25
Unsur kedua Pasal 5 Ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999 adalah adanya perjanjian
mengenai penetapan harga atas suatu barang atau jasa tertentu. Pengertian
perjanjian berdasarkan Pasal 1 Angka 7 UU No. 5 Tahun 1999 adalah suatu
perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau
lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis.
Karenanya, isi perjanjian harus secara jelas menyatakan adanya penetapan harga
terhadap barang atau jasa tertentu yang harus dibayar konsumen.24
Pasar
bersangkutan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Angka 10 dari UU No. 5 Tahun
1999 yakni “pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran
tertentu oleh pelaku usaha atas barang dan atau jasa yang sama atau sejenis atau
substitusi dari barang dan atau jasa tersebut.”
Larangan penetapan harga sebagaimana dimaksud Pasal 5 Ayat (1) UU No. 5
Tahun 1999 dikategorikan sebagai Pasal yang sifatnya per se illegal. Dikarenakan
sifatnya per se illegal, maka pihak pengawas persaingan hanya memerlukan bukti
adanya perjanjian mengenai penetapan harga baik berupa perjanjian tertulis
maupun kesepakatan tidak tertulis yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan
pesaingnya dalam pasar yang bersangkutan yang sama.
24
Asri Ernawati, Penetapan Harga dalam Perspektif UU No. 5 Tahun 1999 Tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Studi Kasus Penetapan Tarif Bus Patas AC di Wilayah DKI Jakarta, Tesis, Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2004, hlm 38
26
2. Perjanjian Kartel
a. Pengertian Kartel
Kartel berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah persetujuan
sekelompok perusahaan dengan maksud mengendalikan harga komoditas tertentu
atau organisasi perusahaan besar yang memproduksi barang yang sejenis.25
Pada
dasarnya, kartel dapat didefinisikan secara sempit maupun luas. Secara sempit,
kartel adalah sekelompok perusahaan yang seharusnya saling bersaing, tetapi
mereka justru bekerja sama untuk menetapkan harga dengan tujuan meraih
keuntungan monopolis.26
Dalam pengertian luas, kartel merupakan perjanjian
diantara dua atau lebih pelaku usaha yang melakukan suatu koordinasi
perilaku/tindakan dengan cara membagi pasar, mengalokasikan pelanggan, dan
menetapkan harga.27
Kartel merupakan salah satu yang diterapkan diantara para pelaku usaha untuk
dapat mempengaruhi harga dengan mengatur jumlah produksi mereka. praktik
kartel lazim terjadi pada pasar dengan struktur oligopoli dimana hanya terdapat
beberapa pelaku usaha dengan pangsa pasar yang dominan. Keadaan ini
menimbulkan persaingan yang cukup sengit di pasar. Para pelaku usaha saling
berlomba untuk mendapatkan perhatian konsumen dengan berbagai cara,
25
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, 1993, hllm 643
26 A.M. Tri Anggraini, Op. Cit, hlm 20
27 Udin Silalahi dan Rayendra L. Tobing, Perusahaan Saling Mematikan dan Bersengkongkol, Jakarta, Elex media Komputindo, hlm 17.
27
misalnya memberikan potongan harga, meningkatkan pelayanan dan mutu barang,
promosi besar-besaran dan sebagainya.28
Perjanjian Kartel adalah Pengaturan produksi dan atau pemasaran suatu barang
dan atau jasa untuk mempengaruhi harga. Pada umumnya terdapat beberapa
karakteristik dari kartel. Pertama, terdapat konspirasi antara pelaku usaha. Kedua,
melakukan penetapan harga. Ketiga, agar penetapan harga dapat efektif, maka
dilakukan pula alokasi konsumen atau produksi atau wilayah. Keempat, adanya
perbedaan kepentingan diantara pelaku usaha, misalnya karena perbedaan biaya.
Oleh karena itu perlu adanya kompromi diantara anggota kartel misalnya dengan
adanya kompensasi dari anggota kartel yang besar kepada mereka yang lebih
kecil.29
Perjanjian kartel dapat bermacam macam bergantung dari kebutuhan para pelaku
usaha kartel itu sendiri. berdasarkan penelitian Organization of Economic
Cooperation and Development (OECD) terdapat empat jenis kartel (hard-core
cartel) yang paling sering dijumpai dalam dunia usaha. Hard-core cartel
merupakan perjanjian anti kompetisi, praktek anti kompetitif yang terancang atau
pengaturan anti kompetisi oleh para pelaku usaha yang bersaing untuk:30
a. Menetapkan Harga
b. Tender Kolusif (bid-rigging)
c. Membatasi output atau melakukan kuota, atau
28 Andi Fahmi Lubis, Op. Cit, hlm 107.
29 Ibid,hlm 107
30 OECD Recomendation of the Council Concerning Effective Action Against Hard Core Cartels, https://www.oecd.org/daf/competition/2350130.pdf (diakses pada 20 November 2017 Pukul 23.00 WIB)
28
d. Membagi atau memisahkan pasar dengan mengalokasikan konsumen,
pemasok, wilayah atau batas komersial.
b. Penjabaran Unsur Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999
Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999 secara tegas mengatur larangan kartel. Pasal
tersebut berbunyi “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku
usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur
produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat.” Lebih lanjut, Perkom 04 Tahun 2010 secara yuridis menjabarkan unsur
dari kartel yakni:
1. Unsur Pelaku Usaha
Pelaku usaha menurut Pasal 1 Angka 5 adalah setiap orang perorangan atau badan
usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau badan usaha, baik yang berbentuk
badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau
melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik
sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai
kegiatan usaha dalam bidang ekonomi. Dalam kartel, pelaku usaha yang terlibat
dalam perjanjian ini harus lebih dari dua pelaku usaha. Agar kartel sukses, kartel
membutuhkan keterlibatan sebagian besar pelaku usaha pada pasar yang
bersangkutan.
29
2. Unsur Perjanjian.
Perjanjian menurut pasal 1 Angka 7 adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku
usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih usaha lain dengan nama
apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis.
3. Unsur Pelaku Usaha Pesaingnya.
Pelaku usaha pesaing adalah pelaku usaha lain yang berada di dalam satu pasar
bersangkutan. Definisi pasar bersangkutan, dapat dilihat dalam Peraturan Komisi
Pengawas Persaingan Usaha Nomor 3 tahun 2009 mengenai Pedoman Pasal 1
Angka 10 tentang Pasar Bersangkutan.
4. Unsur Bermaksud Mempengaruhi Harga.
Sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 11 bahwa suatu kartel dimaksudkan untuk
mempengaruhi harga. Untuk mencapai tujuan tersebut anggota kartel setuju
mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa.
5. Unsur Mengatur Produksi dan atau Pemasaran.
Mengatur produksi artinya adalah menentukan jumlah produksi baik bagi kartel
secara keseluruhan maupun bagi setiap anggota. Hal ini bisa lebih besar atau lebih
kecil dari kapasitas produksi perusahaan atau permintaan akan barang atau jasa
yang bersangkutan. Sedangkan mengatur pemasaran berarti mengatur jumlah yang
akan dijual dan atau wilayah dimana para anggota menjual produksinya.
6. Unsur Barang.
Barang menurut Pasal 1 Angka 16 adalah setiap benda baik berwujud maupun
tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, yang dapat
30
diperdagangkan, dipakai, dipergunakan atau dimanfaatkan oleh konsumen atau
pelaku usaha.
7. Unsur Jasa.
Jasa menurut Pasal 1 Angka 17 adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan
atau prestasi yang diperdagangkan dalam masyarakat untuk dimanfaatkan oleh
konsumen atau pelaku usaha.
8. Unsur Dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli.
Praktek monopoli menurut Pasal 1 Angka 2 adalah pemusatan kekuatan ekonomi
oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan
atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan
persaingan usaha tidak sehat. Dengan kartel, maka produksi dan pemasaran atas
barang dan atau jasa akan dikuasai oleh anggota kartel. Karena tujuan akhir dari
kartel adalah untuk mendapatkan keuntungan yang besar bagi anggota kartel,
maka hal ini akan menyebabkan kerugian bagi kepentingan umum.
9. Unsur Dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat.
Pasal 1 Angka 6 menyatakan bahwa persaingan usaha tidak sehat adalah
persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau
pemasaran barang atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur. Kartel adalah
suatu kolusi atau kolaborasi dari para pelaku usaha. Oleh karena itu segala
manfaat kartel hanya ditujukan untuk kepentingan para anggotanya saja, sehingga
tindakan-tindakan mereka ini dilakukan secara tidak sehat dan tidak jujur. Dalam
hal ini misalnya dengan mengurangi produksi atau melawan hukum atau
31
menghambat persaingan usaha, misalnya dengan penetapan harga atau pembagian
wilayah.
Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999 bersifat rule of reason, sehingga untuk
membuktikan adanya pelanggaran terhadap pasal tersebut tidak hanya diperlukan
perjanjian antar pelaku usaha tetapi diperlukan juga pembuktian yang cukup kuat
untuk menunjukkan bahwa perjanjian tersebut menimbulkan dampak terhadap
persaingan. Dengan demikian, otoritas pengawas persaingan membutuhkan kajian
lebih lanjut terhadap dampak yang ditimbulkan oleh para pelaku usaha yang
diduga melakukan kartel.
C. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
1. Kedudukan KPPU
Berdasarkan Pasal 1 Angka 18 UU No.5 Tahun 1999, Komisi Pengawas
Persaingan Usaha adalah komisi yang dibentuk untuk mengawasi pelaku usaha
dalam menjalankan kegiatan usahanya agar tidak melakukan praktek monopoli
dan atau persaingan usaha tidak sehat. Komisi Pengawas Persaingan Usaha
(KPPU) merupakan lembaga non struktural yang dibentuk pada tanggal 8 Juli
1999 berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1999 tentang Komisi
Pengawas Persaingan Usaha. Kepres tersebut mengatur mengenai pembentukan
KPPU dan penegasan KPPU sebagai lembaga non struktural yang terlepas dari
pengaruh dan kekuasaan pemerintah serta pihak lain. KPPU bertugas untuk
mengawasi pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1999. KPPU juga bertugas untuk
32
memastikan terciptanya iklim persaingan usaha yang sehat dan kondusif di
indonesia.
Sebagai suatu lembaga independen, dapat dikatakan bahwa kewenangan yang
dimiliki Komisi sangat besar yang meliputi juga kewenangan yang dimiliki oleh
lembaga peradilan. Kewenangan tersebut meliputi penyidikan, penuntutan,
konsultasi, memeriksa, mengadili, dan memutus perkara.31
Dalam
ketatanegaraan, KPPU merupakan lembaga negara komplementer (state auxiliary
organ).32
Dalam konteks yang mempunyai wewenang berdasarkan UU No. 5
Tahun 1999 untuk melakukan penegakan hukum persaingan usaha. Secara
sederhana state auxiliary organ adalah lembaga negara yang dibentuk diluar
konstitusi dan merupakan lembaga yang membantu pelaksanaan tugas lembaga
negara pokok (Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif yang sering juga disebut
dengan lembaga independen semu negara (quasi).)33
2. Tugas dan Wewenang KPPU
Berdasarkan ketentuan Pasal 35 UU No 5 Tahun 1999, tugas dari KPPU antara
lain:
a. melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat
sebagaimana diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 16;
31 Ibid, hlm 127
32 Ibid
33 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Konpress, 2006, hlm 24.
33
b. melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha
yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan
usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 24;
c. melakukan penilaian terhadap ada atau tidak adanya penyalahgunaan posisi
dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 25 sampai
dengan Pasal 28;
d. mengambil tindakan sesuai dengan wewenang Komisi sebagaimana diatur
dalam Pasal 36;
e. memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan Pemerintah yang
berkaitan dengan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
f. menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan Undangundang
ini;
g. memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja Komisi kepada Presiden
dan Dewan Perwakilan Rakyat
Untuk menjalankan tugas dan fungsinya tersebut, KPPU memiliki sejumlah
kewenangan yang diatur berdasarkan Pasal 36 UU No. 5 Tahun 1999.
kewenangan tersebut diantaranya:
a. Menerima laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha tentang dugaan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
b. Melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atau
tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
34
c. Melakukan penyelidikan dan atau pemeriksanan terhadap kasus dugaan
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh
masyarakat atau oleh pelaku usaha atau yang ditemukan oleh KPPU sebagai
hasil dari penelitiannya.;
d. Menyimpulkan hasil penyelidikan dan atau pemeriksaan tentang ada atau
tidak adanya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
e. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan UU No. 5 Tahun 1999;
f. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan setiap orang yang
dianggap mengetahui pelanggaran terhadap ketentuan UU No. 5 Tahun 1999;
g. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi
ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud huruf e dan f pasal ini, yang
tidak bersedia memenuhi panggilan KPPU;
h. Meminta keterangan dari instansi pemerintah dalam kaitannya dengan
penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang melanggar
ketentuan UU No. 5 Tahun 1999;
i. Mendapatkan, meneliti, dan atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain
guna penyelidikan dan atau pemeriksaan;
j. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak pelaku
usaha lain atau masyarakat;
k. Memberitahukan putusan KPPU kepada pelaku usaha yang diduga
melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
l. Menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang
melanggar ketentuan UU No. 5 Tahun 1999.
35
D. Hukum Acara Komisi Pengawas Persaingan Usaha
1. Tata Cara Penanganan Perkara di KPPU
KPPU sebagai lembaga non struktural dalam menangani perkara persaingan usaha
yang terbentuk berdasarkan UU No. 5 Tahun 1999 memiliki pengaturan mengenai
hukum acara tersendiri yang merupakan penjabaran lebih lanjut tentang hukum
acara KPPU sebagaimana diatur dalam UU No. 5 Tahun 1999 yang diatur lebih
lanjut dalam Perkom 1 Tahun 2010. Pengaturan tersebut merupakan aturan
internal yang dikeluarkan oleh KPPU. Secara garis besar, penanganan perkara
dugaan pelanggaran hukum persaingan usaha oleh KPPU dilakukan berdasar pada
Pasal 38 UU No. 5 Tahun 1999 yang lebih lanjut dijabarkan pada Perkom 01
Tahun 2010 diantaranya:
a. Laporan
Penanganan perkara persaingan Penanganan perkara berdasarkan laporan pelapor
terdiri atas tahap laporan, klarifikasi, penyelidikan, pemberkasan, sidang majelis
komisi, dan putusan komisi.
b. Laporan pelapor dengan permohonan ganti rugi
Penanganan perkara berdasarkan laporan pelapor dengan permohonan ganti rugi
terdiri atas tahap laporan, klarifikasi, sidang majelis komisi, dan putusan majelis
komisi.
36
c. Inisiatif KPPU
Penanganan perkara berdasarkan inisiatif KPPU terdiri atas tahap kajian,
penelitian, pengawasan pelaku usaha, penyelidikan, pemberkasan, sidang majelis
komisi, dan putusan komisi.
Adapun secara garis besar prosedur kerja dalam menangani perkara dugaan
pelanggaran hukum persaingan usaha oleh KPPU antara lain:
1. Monitoring Pelaku Usaha dan Klarifikasi Hasil Laporan
KPPU dapat melakukan penanganan perkara terhadap UU No. 5 Tahun 1999
berdasarkan laporan dari masyarakat, pihak yang dirugikan maupun atas
dasar inisiatif KPPU sendiri sebagaimana diatur dalam pasal 38 ayat (1) Jo.
Ayat (2) Jo. Pasal 40 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999 Jo.Pasal 23 Perkom 1
Tahun 2010. Sebagai permulaan, KPPU akan memonitoring pelaku usaha
yang diduga melakukan pelanggaran terhadap UU No. 5 Tahun 1999.
Monitoring tersebut dilakukan dalam jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari
dan dapat diperpanjang hingga 60 (enam puluh) hari. Apabila dugaan
pelanggaran tersebut di peroleh berdasarkan laporan tertulis yang
ditandatangani oleh pelapor, maka KPPU dapat melakukan penelitian dan
klarifikasi terhadap laporan tersebut. Penelitian dan klarifikasi tersebut
dilakukan oleh KPPU guna mendapatkan kejelasan dan kelengkapan terhadap
laporan dugaan pelanggaran tersebut. Apabila telah memenuhi ketentuan,
maka laporan tersebut akan dilakukan pemberkasan untuk gelar laporan.
Sedangkan apabila tidak memenuhi ketentuan dimasukkan ke dalam buku
daftar penghentian laporan. Kegiatan penelitian dan klarifikasi tersebut
37
dilakukan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari dan dapat diperpanjang
selama 30 (tiga puluh) hari.
2. Pemberkasan
Pemberkasan dilakukan terhadap laporan hasil penyelidikan yang di susun
menjadi laporan dugaan pelanggaran. Pasal 39 Ayat (2) Perkom 1 Tahun
2010 mengatur bahwa Laporan dugaan pelanggaran tersebut di sempurnakan
dan disetujui menjadi laporan dugaan pelanggaran dalam rapat KPPU.
Berdasarkan laporan dugaan pelanggaran tersebut, KPPU menetapkan
dilakukannya pemeriksaan pendahuluan.
3. Pemeriksaan Pendahuluan
pemeriksaan pendahuluan dapat dilakukan setelah KPPU mengeluarkan surat
penetapan atau keputusan tentang dapat dimulainya pemeriksaan
pendahuluan. Pemeriksaan pendahuluan dilakukan untuk mendapatkan
pengakuan terlapor yang berkaitan dengan dugaan pelanggaran yang
dituduhkan dan/atau mendapatkan bukti awal yang cukup mengenai dugaan
pelanggaran yang dilakukan oleh terlapor. Pasal 39 ayat (1) UU No. 5 Tahun
1999 Jo Pasal 49 Perkom 1 Tahun 2010 menentukan bahwa jangka waktu
pemeriksaan pendahuluan adalah 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal surat
penetapan dimulainya pemeriksaan pendahuluan.
4. Pemeriksaan Lanjutan
Pemeriksaan lanjutan dilakukan oleh KPPU apabila ditemukan adanya
indikasi praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, atau apabila
KPPU memerlukan waktu yang lebih lama untuk melakukan penyelidikan
38
dan pemeriksaan secara lebih mendalam terhadap kasus yang sedang
ditangani. Pasal 39 UU No. 5 Tahun 1999 Jo Pasal 49 Perkom 1 Tahun 2010
menyatakan bahwa Pemeriksaan lanjutan dilakukan dalam waktu 60 (enam
puluh) hari dan dapat diperpanjang selama 30 (tiga puluh) hari.
5. Sidang Majelis KPPU
Sidang majelis KPPU dilakukan untuk memutuskan apakah telah terjadi atau
tidak pelanggaran terhadap UU No. 5 Tahun 1999. Pasal 42 Perkom 1 Tahun
2010 mengatur bahwa dalam sidang majelis KPPU, dibentuk sebuah majelis
komisi yang sekurang kurangnya terdiri dari 3 (tiga) orang anggota KPPU
dan salah satu anggotanya adalah anggota KPPU yang telah menangani
perkara yang bersangkutan dalam proses pemeriksaan lanjutan.
2. Upaya Hukum atas Putusan KPPU
Pututsan yang dikeluarkan oleh KPPU tidak bersifat final dan mengikat sehingga,
para Terlapor (Pelaku usaha) yang tidak puas terhadap putusan KPPU dapat
mengajukan keberatan melalui pengadilan negeri. Hal tersebut secara tegas diatur
dalam Pasal 44 Ayat (2) UU No. 5 Tahun 1999 yang menyatakan “Pelaku Usaha
dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri selambat-lambatnya 14
(empat belas) hari setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut”. Namun
apabila Pelaku usaha tidak mengajukan keberatan selama 14 (empat belas) hari
maka Pelaku usaha tersebut dianggap menerima putusan komisi. Hal tersebut
sebagaimana diatur dalam pasal 44 ayat (3) UU No. 5 Tahun 1999 yang
menyatakan “Pelaku usaha yang tidak mengajukan keberatan sebagaimana yang
dimaksud dalam Ayat (2) dianggap menerima putusan Komisi”. Lebih lanjut
39
mengenai tata cara pengajuan upaya hukum tersebut diatur dalam Peraturan
Mahkamah Agung (Perma) Nomor 3 Tahun 2005 tentang pengajuan upaya hukum
keberatan terhadap Putusan KPPU
Mahkamah Agung sebagai lembaga yang tertinggi dalam bidang peradilan
dijajarannya mengeluarkan peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2003
tentang pengajuan upaya hukum keberatan terhadap putusan KPPU. Perma
tersebut kemudian diperbaharui dengan dikeluarkannya Perma No. 03 Tahun 2005
yang sekaligus mencabut keberlakuan Perma No. 01 Tahun 2003. Pasal 4 Perma
No. 3 Tahun 2005 mengatur bahwa mengenai upaya keberatan atas Putusan
KPPU diajukan dalam tenggang waktu 14 hari terhitung sejak pelaku usaha
menerima pemberitahuan putusan dari komisi berikut salinan putusan komisi
dan/atau diumumkan di website KPPU. Pasal 2 Ayat (1) mengatur bahwa
keberatan diajukan melalui kepaniteraan pengadilan negeri yang bersangkutan
sesuai dengan prosedur pendaftaran perkara perdata dengan memberikan salinan
putusan keberatan kepada KPPU. Pengajuan upaya ini hanya dapat diajukan oleh
Terlapor kepada pengadilan Negeri di tempat kedudukan hukum Pelaku Usaha
Tersebut.
Dalam satu putusan adakalanya pihak Terlapor terdiri lebih dari satu orang pihak.
Dalam hal demikian, bilamana pihak Terlapor lebih dari satu dan mempunyai
kedudukan hukum yang sama, maka perkara tersebut harus didaftarkan dengan
nomor yang sama pada pengadilan negeri yang berwenang. Namun apabila
keberatan terhadap putusan KPPU diajukan oleh lebih dari satu orang pelaku
usaha dan masing-masing memiliki kedudukan hukum yang berbeda, maka untuk
40
menentukan pengadilan negeri mana yang berwenang untuk mengadili perkara
keberatan terhadap putusan KPPU tersebut maka berdasarkan Pasal 4 Ayat (4)
Perma 03 Tahun 2005, KPPU mengajukan permohonan tertulis kepada
Mahkamah Agung untuk menunjuk salah satu pengadilan mana yang akan
memeriksa perkara keberatan tersebut.
3. Alat Bukti dalam Hukum Persaingan Usaha
Dalam upaya menilai pelaku usaha yang diduga atau patut diduga melakukan
pelanggaran terhadap UU No. 5 Tahun 1999, majelis komisi menggunakan alat
alat bukti sebagaimana tertulis dalam pasal 42 UU No. 5 Tahun 1999. Penjelasan
lebih lanjut terhadap alat-alat bukti yang digunakan oleh majelis komisi tersebut
dijelaskan lebih lanjut dalam Perkom No. 1 Tahun 2010. Alat alat bukti tersebut
diantaranya:
(1) Keterangan Saksi
Dalam pasal 1 angka 14 Perkom No. 1 Tahun 2010 disebutkan bahwa saksi
adalah setiap orang atau pihak yang mengetahui terjadinya pelanggaran dan
memberikan keterangan guna kepentingan pemeriksaan.
(2) Keterangan Ahli
Pasal 1 angka 15 Perkom No. 1 Tahun 2010 mengkategorikan ahli sebagai
orang yang memiliki keahlian di bidang terkait dengan dugaan pelanggaran
dan memberikan pendapat guna kepentingan pemeriksaan.
(3) Surat dan/atau dokumen
Pasal 76 Perkom No. 1 Tahun 2010 mengatur bahwa surat atau dokumen
sebagai alat bukti terdiri dari:
41
a. Akta autentik
b. Akta dibawah tangan,
c. Surat keputusan atau surat ketetapan yang diterbitkan oleh pejabat yang
berwenang
d. Data yang memuat mengenai kegiatan usaha terlapor, antara lain data
produksi, data penjualan, data pembelian dan laporan keuangan
e. Surat-surat lain atau dokumen yang tidak termasuk dalam angka 1,2, dan
3 yang ada kaitannya dengan perkara.
f. Petunjuk
g. Keterangan Terlapor
4. Indirect Evidence (Pembuktian Tak Langsung)
KPPU dalam melakukan penanganan perkara membutuhkan bukti yang
menguatkan bahwa telah terjadi pelanggaran hukum persaingan usaha, baik dari
sisi bukti langsung (direct evidence) maupun bukti tidak langsung (indirect
evidence). Namun dalam Perkom No. 1 Tahun 2010 tidak mengatur mengenai
batas minimum pembuktian, sehingga satu bukti dapat digunakan sebagai alat
bukti di KPPU.
KPPU selalu berusaha mendapatkan bukti langsung (direct evidence) Dalam
proses penegakan hukum persaingan seperti perjanjian dalam kasus kartel, selain
mengumpulkan bukti langsung, KPPU juga berusaha mendapatkan bukti tidak
langsung (indirect evidence) yang menjadi penguat bukti langsung (direct
evidence) tersebut. Indirect evidence dapat diartikan sebagai bukti yang tidak
42
secara langsung mendeskripsikan istilah perjanjian, namun bisa dalam bentuk
menfasilitasi adanya perjanjian atau pertukaran informasi 34
Ada 2 (dua) macam tipe pembuktian tidak langsung, meliputi bukti komunikasi
dan bukti ekonomi.dari kedua bukti tersebut, bukti komunikasi atau fasilitas lebih
penting dibandingkan bukti ekonomi. Bukti komunikasi adalah pertemuan para
pelaku kartel atau dengan kata lain, adanya komunikasi diantara para pelaku usaha
termasuk didalamnya adalah rekaman perbincangan telepon antar kompetitor.35
bukti komunikasi yang lain bisa berupa catatan pertemuan, notulensi, permintaan
atau manfaat yang bisa diperoleh yang dibicarakan, dokumen internal yang
membuktikan pengetahuan mengenai strategi harga antara kompetitor, seperti
kecenderungan kenaikan harga dimasa depan oleh para pesaing.36
Bukti lain yang ternasuk dalam kategori indirect evidence selain bukti komunikasi
adalah bukti ekonomi. Bukti ekonomi dapat digunakan untuk menunjukkan alasan
khusus dalam upaya membuktikan kartel. Tipe bukti pertama adalah perilaku
(behaviour evidence) dimana kesepakan telah dilakukan. Paralel conduct, harga,
pengurangan kapasitas, adalah tanda utama yang dapat dijadikan acuan. Tipe
kedua adalah struktur pasar yang menjelaskan adanya kartel, misalkan pasar yang
sangat terkonsentrasi dimana terdapat produk yang homogen.37
Analisa ekonomi
dalam kasus persaingan usaha sangat berpengaruh dalam pembuktian pelanggaran
UU No. 5 Tahun 1999. Pihak yang berperkara sering menyatakan kontra pada
34 Ibid, hlm 174
35
OECD “Prosecuting Cartel without Direct Evidence of Agreement, Policy Brief”, http://www.oecd.org/dataoecd/11/30/38704302.pdf. diunduh pada tanggal 18 agustus 2017 pukul 15.00 WIB
36 ibid
37 Riris mundaya, op Cit, hlm 174
43
pendekatan ekonomis sebagai bukti tidak langsung karena pendekatan ekonomi
merupakan kebalikan dari teori bukti hukum, yang tergantung model dan asumsi,
bahkan dapat memuat hasil yang berbeda. Ketidaksepahaman ekonom, yang
menyerahkan analisis yang berbeda bukan merupakan kejadian yang tidak biasa
yang merujuk pada kesimpulan mutlak bahwa bukti ekonomi tidak dapat
diandalkan. Selain itu, hakim dan pengacara memiliki keterbatasan pengetahuan
mengenai bukti ekonomi.38
Bukti ekonomi juga termasuk “facilitating practices” atau praktek yang
mempermudah para pesaing untuk mendapatkan kesepakatan. Facilitating
practices juga termasuk pertukaran informasi, pemberian signal harga,
pemerataan barang, perlindungan harga, dan kebijakan negara yang paling
disukai, dan pembatasan standar produk yang tidak perlu. Tidak selamanya
facilitating practices melanggar hukum. namun apabila komisi pengawas
persaingan usaha menemukan indirect evidence yang menunjukkan adanya
perjanjian kartel, maka facilitating practices menjadi bukti pelengkap yang sangat
penting. Jenis kedua adalah Struktur (structural evidence). Yang termasuk dalam
kategori structural evidence adalah konsentrasi tingkat tinggi, tingkat konsentrasi
rendah pada sisi pasar yang berlawanan, penghalang untuk masuk pasar tinggi,
derajat integrasi vertikal yang tinggi dan standarisasi atau kesamaan produk.39
Penggunaan analisis ekonomi menjadi salah satu kunci penting dalam penggunaan
bukti tidak langsung untuk membuktikan adanya perjanjian. Analisa ekonomi
38Sukarmi, Pembuktian Kartel dalam Hukum Persaingan Usaha jurnal hukum
persaingan, vol 6 tahun 2011, 2011, hlm 141 39 ibid
44
berperan sebagai alat untuk menduga adanya koordinasi atau kesepakatan di
antara pelaku usaha di pasar. 40
40
Ibid, hlm 143
45
E. Alur Pikir
Pelanggaran Perjanjian Penetapan Harga dan Kartel
Bukti Tidak Langsung (Indirect Evidence)
Putusan KPPU No. 17/KPPU-I/2010 dan Putusan
KPPU No. 08/KPPU-I/2014
Penggunaan Alat Bukti Tidak Langsung Kekuatan Pembuktian Alat Bukti Tidak dalam penyelesaian Perkara Hukum Langsung sebagai alat bukti dalam
Persaingan Usaha Hukum Persaingan Usaha
Penjelasan
Berdasarkan bagan diatas, maka dapat diuraikan sebagai berikut:
UU No. 5 Tahun 1999 secara eksplisit membagi ruang lingkup di antaranya
perjanjian yang dilarang, perbuatan yang dilarang, dan larangan posisi dominan.
Salah satu jenis perjanjian yang dilarang dalam UU No. 5 Tahun 1999 yakni
perjanjian penetapan harga yang diatur dalam Pasal 5 dan kartel yang diatur dalam
Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999. Sebagai proses penegakan hukum, undang-
undang No. 5 Tahun 1999 memberikan kewenangan kepada KPPU untuk
melakukan pengawasan, pemeriksaan, dan penilaian terhadap perilaku pelaku
usaha yang diduga melanggar ketentuan hukum persaingan usaha. KPPU dalam
46
proses pengungkapan pelanggaran hukum persaingan usaha selain berusaha
menemukan bukti langsung (hard evidence) juga berusaha mengumpulkan bukti-
bukti tidak langsung (indirect evidence). Kebutuhan akan pengunaan bukti tidak
langsung (indirect evidence) bagi Majelis Komisi di KPPU sehubungan semakin
sulitnya ditemukan bukti langsung dalam penanganan perkara penetapan harga
dan kartel. kesulitan tersebut diakibatkan oleh para pelaku usaha telah mengetahui
arti bukti langsung yang digunakan sebagai dasar hukum yang langsung
menentukan terjadinya penetapan harga dan kartel yang melanggar UU No. 5
Tahun 1999 sehingga perjanjian sangat dihindari oleh para pelaku usaha atau
kelompok usaha.
KPPU sebagai lembaga yang berwenang untuk mengawasi, memeriksa, dan
mengadili perkara pelanggaran hukum persaingan usaha telah menggunakan bukti
tidak langsung (indirect evidence) dalam proses pembuktian hukum persaingan
usaha. Bukti tidak langsung secara eksplisit diatur dalam hukum acara persaingan
usaha sebagaimana ditentukan dalam UU No. 5 Tahun 1999, Perkom No. 01
Tahun 2010. Selain itu secara eksplisit tertulis dalam Perkom 04 Tahun 2010 dan
Perkom 04 Tahun 2011. perkara yang telah diputus oleh KPPU yang
menggunakan bukti tidak langsung (indirect evidence) terdapat pada putusan
perkara No. 17/KPPU-I/2010 dan putusan perkara No. 08/KPPU-I/2014.
Penelitian ini akan mengkaji dan membahas tentang pengunaan alat bukti tidak
langsung (indirect evidence) dalam penyelesaian perkara hukum persaingan usaha
dan kekuatan pembuktian alat bukti tidak langsung (inditrect evidence) sebagai
alat bukti hukum persaingan usaha.
III. METODE PENELITIAN
Menurut Soerjono Soekanto penelitian merupakan kegiatan ilmiah yang berkaitan
dengan analisa, dilakukan secara metodologis, sistematis, dan konsisten. Analisa
dapat dilakukan secara metodologis berarti berdasarkan suatu sistem, sedangkan
konsisten berarti berdasarkan tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu
kerangka tertentu.41
Berdasarkan segi fokus kajiannya, penelitian hukum dapat dibedakan menjadi tiga
tipe yaitu penelitian hukum normatif, penelitian hukum normatif- empiris atau
normatif-terapan, dan penelitian hukum empiris42
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum
normatif yang disebut juga dengan penelitian hukum teoritis atau penelitian
hukum dogmatik karena tidak mengkaji pelaksanaan atau implementasi hukum43
.
penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang digunakan dengan cara
41 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia, 2010,
hlm 42. 42 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti,
2004, hlm 52 43 Soerjono Soekanto, Op Cit, hlm 42
48
meneliti bahan pustaka atau data sekundernya saja.44
Penelitian ini dilakukan
dengan mengkaji isi Putusan Nomor 17/KPPU-I/2010 dan Putusan Nomor
08/KPPU-I/2014, bahan-bahan pustaka dan perundang-undangan terkait dengan
penggunaan alat bukti tidak langsung dalam penyelesaian perkara hukum
persaingan usaha dan kekuatan pembuktian alat bukti tidak langsung sebagai alat
bukti dalam hukum persaingan usaha.
B. Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah tipe deskriptif, yaitu
penelitian yang bersifat pemaparan dan bertujuan untuk memperoleh gambaran
(deskripsi) lengkap tentang keadaan hukum yang berlaku di tempat tertentu dan
pada saat tertentu, atau mengenai gejala yuridis yang ada, atau peristiwa hukum
tertentu yang terjadi dalam masyarakat.45
Penelitian ini diharapkan mampu
memberikan informasi secara lengkap dan jelas mengenai penggunaan alat bukti
tidak langsung dalam penyelesaian perkara hukum persaingan usaha dan kekuatan
pembuktian alat bukti tidak langsung sebagai alat bukti dalam hukum persaingan
usaha.
C. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah merupakan proses pemecahan atau penyelesaian masalah
melalui tahap-tahap yang ditentukan sehingga mencapai tujuan penelitian.
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
normatif-terapan dengan tipe judicial case study yaitu pendekatan studi kasus
44 Ibid, hlm. 115
45 Abdulkadir Muhammad, Op Cit, hlm 50
49
hukum karena suatu konflik yang dapat diselesaikan melalui putusan
pengadilan.46
Penelitian ini mengkaji Putusan Perkara Nomor 17/KPPU-I/2010
dan Putusan Perkara Nomor 08/KPPU-I/2014 berkenaan dengan penggunaan alat
bukti tidak langsung dalam penyelesaian perkara hukum persaingan usaha dan
kekuatan pembuktian alat bukti tidak langsung sebagai alat bukti dalam hukum
persaingan usaha.
D. Data dan Sumber Data
Berdasarkan dengan permasalahan dan pendekatan masalah yang digunakan maka
penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh melalui bahan pustaka
dengan cara mengumpulkan dari berbagai sumber bacaan yang berhubungan
dengan masalah yang diteliti. Data sekunder yang digunakan terdiri dari:47
1. Bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang-undangan meliputi:
a. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat;
b. Peraturan Komisi Nomor 1 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penanganan
Perkara;
c. Peraturan Komisi Nomor 4 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan
Pasal 11 tentang Kartel
d. Peraturan Komisi Nomor 4 Tahun 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan
Pasal 5 tentang Penetapan Harga
46 Ibid, hlm 150
47 Ibid, hlm 82
50
e. Putusan Perkara Nomor 17/KPPU-I/2010 tentang Dugaan Pelanggaran
Pasal 5, Pasal 11, Pasal 16, Pasal 25 ayat (1) huruf a Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 dalam Industri Farmasi Kelas Terapi Amlodipine
f. Putusan Perkara Nomor 08/KPPU-I/2014 tentang Dugaan Pelanggaran
Pasal 5 Ayat (1) dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
dalam Industri Otomotif Terkait Kartel Ban Kendaraan Bermotor Roda
Empat
2. Penelitian bahan hukum sekunder, yaitu buku-buku literatur, serta berbagai
artikel yang masih berhubungan dengan masalah Persaingan Usaha Tidak
Sehat.
3. Penelitian bahan hukum tersier, yaitu tulisan-tulisan ilmiah non hukum yang
berkaitan dengan judul skripsi.
E. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data-data sekunder dilakukan melalui cara-cara sebagai berikut:
1. Studi Kepustakaan
Studi Pustaka adalah pengkajian informasi tertulis mengenai hukum yang berasal
dari berbagai sumber dan dipublikasikan secara luas serta dibutuhkan dalam
penelitian hukum normatif. Studi kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data
sekunder yaitu melakukan serangkaian kegiatan studi dokumentasi dengan
caramembaca dan mengutip literatur-literatur, mengkaji peraturan perundang-
undangan yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas.
51
2. Studi Dokumen
Studi dokumen adalah pengkajian informasi tertulis mengenai hukum yang tidak
dipublikasikan secara umum tetapi boleh diketahui oleh pihak tertentu. Studi
dokumen dilakukan dengan mengkaji Putusan Perkara Nomor 17/KPPU-I/2010
dan Putusan Perkara Nomor 08/KPPU-I/2014.
E. Metode Pengolahan Data
Metode pengolahan data, diperoleh melalui tahapan-tahapan sebagai berikut:48
1. Pemeriksaan Data
Pemeriksaan data merupakan proses meneliti kembali data yang diperoleh dari
berbagai kepustakaan yang ada, menelaah isi Putusan Perkara Nomor 17/KPPU-
I/2010 dan Putusan Perkara Nomor 08/KPPU-I-2014. Hal ini dilakukan untuk
mengetahui apakah data yang terkumpul sudah cukup lengkap, sudah benar dan
sudah sesuai dengan masalah;
2. Rekonstruksi Data
Rekonstruksi data merupakan proses menyusun ulang data secara teratur,
beruntun, logis sehingga mudah dipahami dan diinterpretasikan;
3. Sistematika Data
Sistematika data merupakan proses menempatkan data menurut kerangka
sistematika bahasan berdasarkan urutan masalah.
48 Ibid, hlm. 126
52
F. Analisis Data
Data yang telah dikumpulkan kemudian dilakukan analisis secara kualitatif dan
lengkap. Analisis secara kualitatif maksudnya melakukan penafsiran data secara
bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur, runtun, logis, tidak tumpang tindih
dan efektif. Adapun data yang digunakan adalah seluruh data yang terkait dengan
penggunaan bukti tidak langsung (indirect evidence) dalam penyelesaian perkara
pelanggaran hukum persaingan usaha berdasarkan Putusan Nomor 17/KPPU-
I/2010 dan Putusan Nomor 08/KPPU-I/2014
V. Penutup
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka kesimpulan dari penelitian ini
adalah:
1. Bukti tidak langsung (indirect evidence) adalah alat bukti yang dapat
digunakan untuk membuktikan adanya perjanjian tidak tertulis dalam praktik
pelanggaran hukum persaingan usaha. Bukti tidak langsung (indirect
evidence) dalam perkembangannya telah diatur dalam Perkom No 04 Tahun
2010 dan Perkom No. 04 Tahun 2011 diartikan sebagai bukti yang tidak
secara langsung mendeskripsikan adanya perjanjian (perjanjian tidak tertulis)
tetapi menfasilitasi adanya perjanjian atau pertukaran informasi yang
mengakibatkan adanya pelanggaran hukum persaingan usaha. bukti tidak
langsung/ petunjuk dapat dikategorikan sebagai bukti assessor sehingga
meskipun dalam hukum acara persaingan usaha tidak memiliki batas
minimum pembuktian, namun untuk mendapatkan bukti tidak langsung
dalam persidangan tetap membutuhkan bukti lain untuk dapat menarik bukti
tidak langsung tersebut. Selanjutnya, praktik peradilan membenarkan adanya
penggunaan indirect evidence sebagaiman putusan No 221 K/PDT.SUS/2016
bahwa bukti tidak langsung (indirect evidence) digunakan sebagai alat bukti
102
yang sah sebagai alat bukti yang cukup dan logis serta menjadi bukti yang
menguatkan dalam penetapan bagi dugaan pelanggaran perjanjian yang
dilarang hukum persaingan usaha. Sehingga bukti tidak langsung telah
mendapatkan pengakuan baik dari sistem hukum indonesia maupun praktik
peradilan indonesia.
2. Penggunaan bukti tidak langsung (indirect evidence) dalam praktik
penyelesaian perkara pelanggaran hukum persaingan usaha dalam putusan
KPPU didasarkan pada dua metode pendekatan yaitu pendekatan komunikasi
dan pendekatan ekonomi. Dalam putusan No 17/KPPU-I/2010 ditemukan
bukti komunikasi sebagai dasar pertimbangan Majelis Komisi terhadap
adanya klausul dalam supply agreement yang mewajibkan PT Dexa Medica
untuk menyampaikan forecast kebutuhan bahan baku kepada Pfizer
Indonesia. Bukti komunikasi yang digunakan berbentuk temuan email yang
disampaikan oleh PT Dexa Medica kepada Pfizer Indonesia. Sedangkan
dalam Putusan No. 08/KPPU-I/2014, bukti komunikasi dipergunakan untuk
membuktikan kesepakatan diam-diam (tacit collusion) yang didasarkan pada
fakta terdapat beberapa pernyataan yang mengarah kepada kesepakatan diam-
diam dalam Risalah Rapat Tahunan APBI. Penggunaan bukti tidak langsung
berupa bukti ekonomi dipergunakan oleh Majelis Komisi untuk menentukan
terkonsentrasi atau tidaknya struktur pasar. Selain itu, bukti ekonomi
terbentuk dari dampak perilaku kartel antar pelaku usaha yang melakukan
pelanggaran hukum persaingan usaha terhadap konsumen.
103
B. Saran
Berdasarkan hasil pembahasan tersebut, penulis menyarankan kepada pemerintah
dan DPR agar dapat memberikan pengaturan yang jelas mengenai Bukti tidak
langsung (indirect evidence). Hal tersebut dikarenakan bukti tidak langsung
seringkali dipergunakan oleh KPPU dalam pembuktian pelanggaran hukum
persaingan usaha. Hal tersebut dikarenakan semakin sulitnya ditemukan bukti
langsung yang dapat langsung membuktikan adanya praktik pelanggaran hukum
persaingan usaha yang dilakukan oleh para pelaku usaha maupun untuk
memperkuat bukti langsung yang telah ditemukan oleh KPPU. Pemberian
pengaturan yang jelas tersebut dapat dilakukan dengan melakukan revisi UU No.
5 Tahun 1999 yang dapat memberikan legitimasi penggunaan bukti tidak
langsung (indirect evidence) dalam pembuktian hukum persaingan usaha. Dengan
hal tersebut diharapkan pengaturan mengenai bukti tidak langsung (indirect
evidence) dapat semakin jelas sehingga memperkuat kedudukan bukti tidak
langsung dalam penanganan pelanggaran hukum persaingan usaha untuk
menghindari pro dan kontra mengenai penggunaan bukti tidak langsung (indirect
evidence) oleh KPPU.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Ahmad, Yani dan Gunawan Widjaja. 2010. Seri Hukum Bisnis Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Anggraini, Anna Maria Tri. 2003. Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat:
Per se Illegal atau Rule of Reason. Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Asshiddiqie,Jimly. 2006. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Konpress
. Effendie, Bachtiar. et.al. 1991. Surat Gugat dan Hukum Pembuktian dalam Perkara Perdata.,
Bandung: PT Citra Aditya Bakti
Fuady, Munir. 2012. Teori Hukum Pembuktian Pidana dan Perdata, Bandung: PT Citra Aditya Bakti
Ginting,Elyta Ras. 2001. Hukum Antimonopoli Indonesia: Analisis dan Perbandingan UU No. 5 Tahun 1999, Bandung: Citra Aditya Bakti.
Hermansyah. 2008. Pokok-pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia. Kecanaa Media
Pradana: Jakarta,
Kagramanto, Budi. 2007. Mengenal Hukum Persaingan Usaha. Sidoarjo: Laras
Kamal, Mustafa Rokan. 2010. Hukum Persaingan Usaha (Teori dan Praktiknya di
Indonesia), Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Khemani, R.S dkk. 1992. Kerangka Rancangan dan Pelaksanaan Undang-Undang dan Kebijakan Persaingan, Bank Dunia – OECD. Washington D.C- Parish
Lubis, Andi Fahmi. 2009. Et al. Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks. KPPU.
Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitian hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti
Murniati, Rilda. 2009. Penyelesaian Perkara Pelanggaran Hukum Persaingan Usaha oleh
KPPU, Dalam buku Hukum Bangun Teori dan Telaah dalam Implementasi. Bandar Lampung: Universitas Lampung.
______________ 2014. Hukum Persaingan Usaha Kajian Teoritis Menciptakan Persaingan
Sehat Dalam Usaha. Lampung: Justice Publisher.
Sasangka, Hari. 2005. Hukum Pembuktian dalam Perkara Perdata untuk Mahasiswa dan Praktisi. Bandung: CV Mandar Maju
Silalahi, Udin dan Rayendra L. Tobing. 2007. Perusahaan Saling Mematikan dan Bersengkongkol. Jakarta: Elex media Komputindo.
Soekanto, Soerjono. 2010. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia
Sukarmi. 2011. Pembuktian Kartel dalam Hukum Persaingan Usaha jurnal hukum persaingan, vol 6 tahun 2011
B. Jurnal
Anggraini, Anna Maria Tri. 2005. Penerapan Pendekatan “Rule of Reason” dan “Per se Illegal” dalam hukum persaingan, Jurnal Hukum Bisnis. Volume 24 No. 2, Tahun 2005
______________2010. Analisis Ekonomi dalam Mendeteksi Kartel Berdasarkan Hukum Persaingan Usaha. Jurnal Hukum Persaingan Usaha Vol 4 Tahun 2010.
______________2012. Program Liniency dalam Mengungkap Kartel Menurut Hukum Persaingan Usaha. Jurnal Persaingan, Edisi 6 Tahun 2012.
Lubis, Andi Fahmi. 2013. Analisis Ekonomi dalam Pembuktian Kartel, Jurnal Hukum Bisnis Vol 32 No. 5
Munadiya, Riris. 2011. Bukti Tidak Langsung ( Indirect Evidence ) dalam Penanganan Kasus Persaingan Usaha, Jurnal Persaingan Usaha KPPU, Edisi 5 Tahun 2011
C. Peraturan Perundang-Undangan
UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat Peraturan Komisi No. 01 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penanganan Perkara
Peraturan Komisi No. 04 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Pasal 11 tentang Kartel
Peraturan Komisi No. 04 Tahun 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Pasal 5 tentang Perjanjian Penetapan Harga
D. Website
OECD “Prosecuting Cartel without Direct Evidence of Agreement, Policy Brief”, http://www.oecd.org/dataoecd/11/30/38704302.pdf.
______________. Recomendation of the Council Concerning Effective Action Against Hard Core Cartels, https://www.oecd.org/daf/competition/2350130.pdf
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt598aba978d57c/berjuang-mencari-legitimasi-indirect-evidence
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt598aba978d57c/berjuang-mencari-legitimasi-indirect-evidence
E. Skripsi
Ernawati, Asri. 2004. Penetapan Harga dalam Perspektif UU No. 5 Tahun 1999 Tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Studi Kasus Penetapan Tarif Bus Patas AC di Wilayah DKI Jakarta, Tesis, Pascasarjana Fakultas
Hukum Universitas Indonesia: Jakarta
F. Kamus
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia, 1993. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka,