penguatan industri kecil dan
TRANSCRIPT
PENGUATAN INDUSTRI KECIL DAN
MENENGAH (IKM) DI INDONESIA
Penulis
Dr. Suryono Efendi, SE.,MBA., MM
Eddy Guridno, SE.,M.Si.M
Dr. Ir. Edi Sugiono,SE.,MM
Dr. Sufyati HS.,SE.,MM
PENGUATAN INDUSTRI KECIL DAN
MENENGAH (IKM) DI INDONESIA
Penyusun : Tim Penulis
Editor : Sufyati HS
Desain Sampul : Wahyu Suratman
Layout : Sufyati HS
ISBN : 978-602-5668-59-3
Penerbit : Nusa Litera Inspirasi
Jl. KH. Zainal Arifin
Kabupaten Cirebon, Jawa Barat
Telepon: 0857-1644-6889
www.nusaliterainspirasi.com
i
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi Robbil Aalamiin, puji dan syukur
senantiasa kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang
telah menganugerahkan karunia, rahmat dan hidayah-
Nya, sehingga tim penulis dapat menyelesaikan
penyusunan buku “Penguatan Industri Kecil dan
Menengah (IKM) di Indonesia“.
Buku ini merupakan salah satu luaran hasil
penelitian dari Hibah Bersaing Skema Penelitian Strategi
Nasional Institusi di bawah Kementrian Riset Teknologi
dan Pendidikan Tinggi (Ristekdikti) Tahun anggaran
2018 yang merupakan tahun ke dua.
Pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan
hati, perkenankan tim penulis untuk menyampaikan
ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-
tingginya kepada yang terhormat Bapak/Ibu:
1. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Republik
Indonesia;
2. Rektor Universitas Nasional Jakarta;
3. Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
(LPPM) Universitas Nasional Jakarta;
ii
4. Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Nasional Jakarta;
5. Pemerintah daearah kota Singkawang, Sambas,
Pontianak (Kalimantan Barat), Tanjung Balai Asahan
(Sumatera Utara) dan Lombok (Nusa Tenggara Barat)
yang telah membantu, mengarahkan dan memberikan
data penelitian; serta
6. Teman sejawat yang tidak dapat kami sebutkan satu per
satu yang telah memberikan bantuannya sehingga
penelitian ini dapat berjalan dengan baik.
Tim penulis menyadari bahwa keberhasilan
dalam menyelesaikan buku hasil penelitian ini adalah
berkat bantuan dan dukungan dari berbagai pihak.
Dengan segala rasa hormat dan kerendahan hati tim
penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada
pihak-pihak yang telah membantu dalam penyelesaian
buku ini. Kami sangat mengharapkan kritik dan saran
yang membangun agar buku ini dapat bermanfaat bagi
yang membutuhkannya.
Jakarta, Oktober 2015
Tim Penulis
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..................................................... i DAFTAR ISI .................................................................. iii DAFTAR TABEL........................................................ vii
DAFTAR GAMBAR.................................................. viii
BAB I PENDAHULUAN ............................................. 1 BAB II INDUSTRI KECIL DAN MENENGAH (IKM)
........................................................................ 16 2.1. Konsep Industri Kecil dan Menengah .............. 17
2.1.1 Industri .................................................... 19 2.1.2 Pengelompokan industri ........................ 22 2.1.3 Industri Kecil .......................................... 27 2.1.4 Karakteristik Industri Kecil .................... 33 2.1.5 Industri Menengah .................................. 43
2.2. Peran Indusri Kecil dan Menengah dalam
Penyerapan Tenaga Kerja ................................ 50 2.3 Perkembangan Industri Kecil dan Menengah ... 59
iv
2.4 Hambatan dalam Pengembangan IKM ............. 68
BAB III KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI KECIL DAN MENENGAH ....... 71
3.1 Perkembangan IKM di Indonesia ..................... 71 3.2 Peran Pemerintah terhadap Perkembangan IKM
di Indonesia ....................................................... 72 3.3 Pola Kebijakan Pemerintah dalam Membantu
IKM ................................................................... 77 3.4 Kebijakan Pengembangan Industri Kecil dan
Menengah .......................................................... 82 3.5 Strategi Pengembangan Industri Kecil dan
Menengah .......................................................... 89 3.6 Sasaran Pengembangan IKM ............................ 92
BAB IV DESAIN DAN MODEL PENGUATAN POSISI TAWAR INDUSTRI KECIL DAN MENENGAH ................................................................ 95
4. 1. Penguatan Posisi Tawar .................................. 95 4.2 Road Map Posisi Tawar ................................... 97
v
4.3. Metode Penelitian .......................................... 100 4.3.1 Desain Penelitian .................................. 100 4.3.2 Teknik Pengumpulan Data .................. 100 4.3.3 Populasi dan Sampel Penelitian ............ 101 4.3.4 Jenis dan Sumber Data Penelitian ......... 102 4.3.5 Tahap Pelaksanaan ................................ 103 4.3.6 Teknik Analisis Data ............................ 103
BAB V DAYA SAING INDUSTRI KECIL DAN
MENENGAH ............................................... 106 5.1 Daya Saing ...................................................... 106 5.2.Daya Saing Indonesia ..................................... 107 5.3 Daya Saing Industri Kecil dan Menengah (IKM)
di Indonesia ..................................................... 113 5.4 Keunggulan Bersaing Industri Kecil dan
Menengah (IKM) ............................................ 120 5.5 Metode Peningkatan Daya Saing Industri Kecil
dan Menengah (IKM) ................................... 121
vi
BAB VI POSISI TAWAR INDUSTRI KECIL DAN MENENGAH ......................................................... 123
6.1 Posisi Tawar .................................................... 123 6.2 Posisi Tawar Industri Kecil dan Menengah
(IKM) di Indonesia ........................................... 125 6.3 Blue Print Posisi Tawar .................................. 127 6.4 Trade Creation Constraint .............................. 134 6.5 Analisis Diagram Tulang Ikan ........................ 137 6.6 Model Penguatan Posisi Tawar ....................... 139 6.7 Metode Penguatan Posisi Tawar Industri Kecil
dan Menengah (IKM) ...................................... 146 DAFTAR PUSTAKA ................................................. 149 BIODATA PENULIS ................................................. 154
vii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Jumlah Tenaga Kerja Indonesia Menurut Sektor Ekonomi (Orang) Tahun 2010-2013 ............... 57
viii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Harapan Masa Depan Industri Pengolahan Indonesia ................................................... 10
Gambar 2. Perkembangan Jumlah UMKM Binaan ..... 61 Gambar 3. Road Map Posisi Tawar ............................ 99 Gambar 4. Diagram Tulang Ikan ............................... 104 Gambar 5. Saka Sakti ................................................ 110 Gambar 6. Blue Print Posisi Tawar ........................... 130
1
BAB I
PENDAHULUAN
Globalisasi merupakan suatu fenomena yang
mendorong perusahaan di tingkat mikro ekonomi untuk
meningkatkan efisiensi agar mampu bersaing di tingkat
lokal, nasional, maupun internasional. Dengan
globalisasi yang menyatukan pasar dan kompetisi
investasi internasional meningkatkan tantangan sekaligus
peluang bagi semua perusahaan baik kecil, menengah
maupun besar. Untuk menghadapi globalisasi maka
diperlukan daya saing yang kuat.
Daya saing merupakan kemampuan perusahaan,
industri, daerah, negara, atau antar daerah untuk
menghasilkan faktor pendapatan dan faktor pekerjaan
yang relatif tinggi dan berkesinambungan untuk
menghadapi persaingan internasional. Daya saing
industri merupakan fenomena di tingkat mikro
perusahaan sehingga kebijakan pembangunan industri
nasional harus didahului dengan mengkaji sektor industri
secara utuh sebagai dasar pengukurannya.
2
Industri kecil dan menengah atau yang sering
disebut IKM merupakan salah satu tumpuan utama
pemerintah dalam menciptakan lapangan kerja baru
terutama setelah krisis ekonomi yang terjadi beberapa
tahun yang lalu. IKM ini mempunyai peran penting dan
strategis dalam menggerakkan perekonomian nasional,
khususnya dari perspektif kesempatan kerja dan sumber
pendapatan bagi kelompok miskin, distribusi pendapatan
dan pengurangan kemiskinan (Tambunan, 2008).
Pembangunan industri khususnya industri kecil
diarahkan dapat menjadi salah satu peran yang cukup
berkualitas dalam perekonomian, sehingga mampu
bersaing di dalam negeri maupun di luar negeri.
Pengembangan sektor ekonomi rakyat pada otonomi
daerah, khususnya pada sektor industri kecil mendapat
perhatian ekstra dari pemerintah, dikarenakan sektor
industri kecil memberikan banyak dampak pada
penyerapan tenaga kerja, maupun pendapatan
masyarakat yang mampu meningkatkan taraf hidup
masyarakat golongan bawah. Setiap tahun industri atau
usaha kecil selalu tumbuh dan berkembang, selain itu
industrialisasi berperan penting dalam peningkatan mutu
3
sumber daya manusia dan memanfaatkan sumber daya
alam dan sumber daya lainnya secara optimal.
Proses pembangunan seringkali dikaitkan dengan
proses industrialisasi. Proses industrialisasi dan
pembangunan industri sebenarnya merupakan satu jalur
kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat
dalam arti tingkat hidup yang lebih maju maupun taraf
hidup yang lebih bermutu. Menurut Arsyad (1997: 68)
pembangunan industri merupakan suatu fungsi dari
tujuan pokok kesejahteraan rakyat, bukan merupakan
kegiatan yang mandiri. Pertumbuhan laju industri
merupakan andalan pemerintah dalam upaya
meningkatkan perekonomian di Indonesia.
Perekonomian di Indonesia tidak akan berkembang tanpa
dukungan dari peningkatan perindustrian sebagai salah
satu sektor perekonomian yang sangat dominan di jaman
sekarang.
Jumlah IKM mencapai sekitar 99,85% dari total
unit usaha di Indonesia dan mampu menyerap sekitar
96,66%. Selain itu sektor IKM juga mampu
menyediakan sekitar 57% kebutuhan barang dan jasa,
kontribusinya terhadap ekspor serta kontribusi terhadap
4
pertumbuhan ekonomi nasional mencapai 2-4% (BPS,
2014). IKM juga telah terbukti lebih tangguh dari usaha
menengah dan besar dalam mengatasi dampak krisis
ekonomi Indonesia tahun 1997. Data Biro Statistik
(BPS) menunjukkan terjadinya penurunan jumlah usaha
secara drastis (7,42%) dari 1997 ke 1998, bahkan usaha
besar pada periode tersebut mengalami penurunan lebih
dari 10%.
Peran strategis IKM dalam menggerakkan
ekonomi nasional dan peningkatan kesejahteraan rakyat
tersebut dapat dipertahankan dan dikembangkan jika
jumlah wirausaha semakin meningkat baik dari sisi
kuantitasmaupun kualitas. Menurut seorang pakar
kewirausahaan dari Amerika Serikat (David Mc.
Cleland), suatu negara akan mencapai tingkat
kemakmuran apabila jumlah wirausahanya paling sedikit
2% dari jumlah penduduknya. Data statistik
menunjukkan jumlah wirausaha di Indonesia masih
dibawah 1%. Situasi yang ideal tersebut masih jauh dari
kenyataan. Selain jumlah wirausaha yang masih belum
memenuhi syarat ideal, wirausaha yang masuk kategori
5
IKM yang sudah ada saat inipunjuga masih banyak
kendala/persoalan.
Produk-produk industrial selalu memiliki „dasar
tukar‟ (term of trade) yang tinggi atau lebih
menguntungkan serta menciptakan nilai tambah yang
lebih besar dibandingkan produk-produk sektor lain. Hal
ini disebabkan karena sektor industri memiliki variasi
produk yang beragam dan mampu memberikan manfaat
marginal yang tinggi kepada para memakainya
(Dumairy, 1997). Keunggulan-keunggulan sektor
industri tersebut diantaranya memberikan kontribusi bagi
penyerapan tenaga kerja dan mampu menciptakan nilai
tambah (value added) yang lebih tinggi pada berbagai
komoditas yang dihasilkan.
Industri kecil dan menengah memiliki peranan
yang penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi
secara menyeluruh. Peranan industri kecil di Indonesia
dirasakan sangat penting terutama dalam aspek-aspek
seperti kesempatan kerja, pemerataan pendapatan,
pembangunan ekonomi di pedesaan, pemerataan tenaga
kerja, dan lain-lain.
6
Tambunan (2008), mengidentifikasi ada tiga
persoalan yang dihadapi wirausaha yang masuk kategori
industri kecil menengah di Indonesia, yaitu
produktivitas, daya saing, dan kinerja yang rendah.
Sementara upaya pengembangan IKM masih terkendala
oleh pengelolaan usaha yang masih tradisional, kualitas
sumber daya manusia yang belum memadai, skala dan
teknik produksi, kapabilitas inovasi yang masih rendah,
terbatasnya akses pasar, serta masih terbatasnya akses
kepada lembaga keuangan, khususnya perbankan.
Keterbatasan sumber daya manusia (SDM) dalam IKM
disebabkan sebagian besar IKM di Indonesia tumbuh
secara tradisonal dan merupakan usaha yang turun-
temurun. Keterbatasan tersebut mencakup pendidikan
formal maupun pengetahuan dan keterampilan, sehingga
manajemen pengelolaan IKM sangat praktis dan
sederhana, yang akhirnya akan sulit berkembang
optimal.
Di sisi lain pada awal tahun 2013 situasi global
yang tidak menguntungkan yaitu pertumbuhan ekonomi
Amerika dan Eropa yang melambat terus berlanjut. Hal
ini memaksa negara-negara Asia yang selama ini
7
menjalin perdagangan ekspor kekedua benua tersebut
harus mencari pasar baru. Cina, India, Malaysia, Korea
Selatan dengan sangat serius melakukan langkah-
langkah bisnis dan politis menjadikan Indonesia sebagai
pasar baru mereka1.Peringkat daya saing Indonesia
berada pada posisi 50 atau dibawah Singapore,
Malaysia,Thailand dan Berunai Darussalam,yaitu urutan
ke 50 dari 144 negara kawasan.
Kondisi tersebut menimbulkan kekhawatiran bagi
bangsa Indonesia untuk berkiprah di arena perdagangan
bebas dikawasan Masyarakat Ekonomi Asia Tenggara
berdasarkan hasil penelitian sebelumnya terdapat
beberapa hal krusial yang berpengaruh kuat terhadap
daya saing yaitu, secara internal perusahaan terdapat
produktivitas tenaga kerja rendah,penggunaan kapasitas
mesin dan peralatan rendah, absentisme tenaga kerja
tinggi,efisiensi penggunaan bahan buku rendah, desain
yang tidak berkembang, harga ditentukan oleh pembeli
(posisi tawar rendah). Ekternalitas,pajak agresif,suku
bunga,nilai tukar dan pungutan liar.Kondisi demikian
1 Majalah UKM Indonesia: www.ukm.indonesia.net,Jan-Feb, 2013.
8
sanga di khawatirkan pasar negeri akan dibanjiri oleh
produk sejenis yang berasal dari negara–negara mitra
kerjasama dikawasan ASEAN.Dari serangkaian
persoalan disebutkan diatas perlu didalami untuk
mencari akar permasalahan yaitu melakukan
inventarisasi permasalahan untuk mencari tahu
fenomena yang memberi pengaruh kuat terhadap posisi
tawar.Disamping hal-hal tersebut yang menjadi perhatian
adalah kegiatan-kegiatan yang bernilai tambah rendah
berdampak kuat terhadap pemborosan dalam kegiatan
produksi
Menyadari peran IKM yang sangat strategis
dalam menggerakkan perekonomian nasional, maka
penanganan masalah produktivitas, daya saing, dan
kinerja yang rendah harus melibatkan banyak pihak dan
menjadi program prioritas pemerintah melalui berbagai
instrumen kebijakan. Pentingnya peran institusi atau
kelembagaan formal yang berskala nasional dalam
menangani dan mengembangkan industri kecil
menengah di Indonesia agar mempunyai posisi tawar
tinggi dalam persaingan pasar bebas ASEAN.
Dengan menyadari besarnya peran strategis IKM
9
dalam pertumbuhan perekonomian dan kesejahteraan
rakyat Indonesia, dan masih banyaknya kendala
dilapangan serta menindak lanjuti penelitian tahun
pertama yang berkaitan dengan penciptaan model posisi
tawar terhadap pengamanan produksi dalam negeri,
menjadikan penelitian ini dipandang relevan dan penting
untuk dilakukan.
Berikut ini disajikan harapan ideal dari hasil
pengolahan Industri Kecil Menengah yang berdaya saing
menghadapi persaingan pasar global khususnya kawasan
pasar ASEAN.
10
Gambar 1. Harapan Masa Depan
Industri Pengolahan Indonesia
11
Permasalahan dalam IKM antara lain sebagai
berikut.
Faktor Internal
1) Kurangnya Permodalan
Permodalan merupakan faktor utama yang
diperlukan untuk mengembangkan suatu unit usaha.
Kurangnya permodalan IKM, oleh karena pada
umumnya usaha kecil dan menengah merupakan
usaha perorangan atau perusahaan yang sifatnya
tertutup, yang mengandalkan pada modal dari si
pemilik yang jumlahnya sangat terbatas, sedangkan
modal pinjaman dari bank atau lembaga keuangan
lainnya sulit diperoleh, karena persyaratan secara
administratif dan teknis yang diminta oleh bank tidak
dapat dipenuhi.
2) Sumber Daya Manusia (SDM) yang Terbatas
Sebagian besar usaha kecil tumbuh secara tradisional
dan merupakan usaha keluarga yang turun temurun.
Keterbatasan SDM usaha kecil baik dari segi
pendidikan formal maupun pengetahuan dan
keterampilannya sangat berpengaruh terhadap
manajemen pengelolaan usahanya, sehingga usaha
12
tersebut sulit untuk berkembang dengan optimal. Di
samping itu dengan keterbatasan SDM-nya, unit
usaha tersebut relatif sulit untuk mengadopsi
perkembangan teknologi baru untuk meningkatkan
daya saing produk yang dihasilkannya.
3) Lemahnya Jaringan Usaha dan Kemampuan
Penetrasi Pasar
Usaha kecil yang pada umumnya merupakan unit
usaha keluarga, mempunyai jaringan usaha yang
sangat terbatas dan kemampuan penetrasi pasar yang
rendah, oleh karena produk yang dihasilkan
jumlahnya sangat terbatas dan mempunyai kualitas
yang kurang kompetitif. Berbeda dengan usaha besar
yang telah mempunyai jaringan yang sudah solid
serta didukung dengan teknologi yang dapat
menjangkau internasional dan promosi yang baik.
Faktor Eksternal
1) Iklim Usaha Belum Sepenuhnya Kondusif
Kebijaksanaan Pemerintah untuk menumbuh
kembangkan Industri Kecil dan Menengah (IKM),
meskipun dari tahun ke tahun terus disempurnakan,
13
namun dirasakan belum sepenuhnya kondusif. Hal
ini terlihat antara lain masih terjadinya persaingan
yang kurang sehat antara pengusaha-pengusaha kecil
dengan pengusaha-pengusaha besar.
2) Terbatasnya Sarana dan Prasarana Usaha
Kurangnya informasi yang berhubungan dengan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi,
menyebabkan sarana dan prasarana yang mereka
miliki juga tidak cepat berkembang dan kurang
mendukung kemajuan usahanya sebagaimana yang
diharapkan.
3) Pungutan Liar
Praktek pungutan tidak resmi atau lebih dikenal
dengan pungutan liar menjadi salah satu kendala juga
bagi UKM karena menambah pengeluaran yang tidak
sedikit. Hal ini tidak hanya terjadi sekali namun
dapat berulang kali secara periodik, misalnya setiap
minggu atau setiap bulan.
4) Implikasi Otonomi Daerah
Dengan berlakunya Undang-undang No. 22 Tahun
1999 tentang Otonomi Daerah, kewenangan daerah
mempunyai otonomi untuk mengatur dan mengurus
14
masyarakat setempat. Perubahan sistem ini akan
mengalami implikasi terhadap pelaku bisnis kecil
dan menengah berupa pungutan-pungutan baru yang
dikenakan pada Usaha Kecil dan Menengah (UKM).
Jika kondisi ini tidak segera dibenahi maka akan
menurunkan daya saing Usaha Kecil dan Menengah
(UKM). Di samping itu semangat kedaerahan yang
berlebihan, kadang menciptakan kondisi yang kurang
menarik bagi pengusaha luar daerah untuk
mengembangkan usahanya di daerah tersebut.
Ada 5 (lima) poin penting untuk dibahas dalam
buku ini yaitu (1) Bagaimana konsep industri kecil dan
menengah di Indonesia (2) Peran IKM dalam
penyerapan tenaga kerja (3) Model dan disain posisi
tawar dan desain indutri kecil dan menengah (4)
kebijakan pemerintah terhadap indusri kecil dan
menengah, birokrasi pemerintah dalam bentuk kebijakan
untuk mengatasi dampak eksternal IKM yang berada di
kawasan perbatasan Indonesia-Malaysia dan bentuk
strategi untuk memperbaiki produktivitas dan kinerja
Industri Kecil Menengah (IKM) yang berada di kawasan
perbatasan Indonesia-Malaysia yang masih rendah
15
sehingga mampu bersaing di pasar ASEAN (5) posisi
tawar dan daya saing IKM di kancah era globalisasi
ekonomi. Hal tersebut didasari dari hasil penelitian yang
dilakukan di daerah yang berbatasan langsung dengan
negara-negara yang tergabung dengan Kelompok
Kerjasama Regional MEA: (1) Kalimantan Barat
(Pontianak, Singkawang, Sambas) (2) Sumatra Utara
(Medan, Tanjung Balai Asahan). Ruang lingkup
penelitian tersebut dilakukan untuk mendapatkan
masukan posisi tawar hasil industri pengolahan dipasar
lokal maupun ekspor relatif lemah dan mencari
penyebab-penyebab yang sensitif terhadap perubahan
nilai tawar produk produksi dalam negeri yang terus
melemah dan dikhawatirkan akan tergilas oleh produk
sejenis yang berasal dari negara-negara kawasan MEA
lainnya.
16
BAB II
INDUSTRI KECIL DAN MENENGAH (IKM)
Industri Kecil dan Menengah (IKM) merupakan
salah satu sektor yang penting dalam perekonomian
Indonesia. IKM menjadi sektor yang penting di
Indonesia karena mampu menyediakan lapangan kerja,
sehingga IKM menjadi sumber pendapatan primer
maupun sekunder bagi banyak rumah tangga di
Indonesia. Selain itu, IKM juga memiliki peran yang
penting dalam perekonomian daerah dan mendorong
pertumbuhan ekspor sektor nonmigas dan menjadi
industri pendukung yang memproduksi komponen dan
suku cadang bagi perusahaan besar.
Industri Kecil Menengah (IKM) yang dipandang
sebagai infrastruktur pembangunan ekonomi nasional,
harus mampu bersaing dan mempertahankan
kelangsungan usahanya. Salah satu langkah yang dapat
dilakukan adalah dengan meningkatkan produktivitas
dan performa kerja. Pada IKM, tenaga kerja manusia
banyak diandalkan sebagai salah satu aset yang memiliki
peranan penting dalam melakukan proses produksi.
17
Tentunya hal ini akan menuntut IKM untuk menerapkan
prinsip-prinsip ergonomi agar selaras dengan aktivitas
kerja yang dilakukan. Menurut (Manuaba, 1997)
penerapan ergonomi dalam aktivitas suatu industri
dipandang sebagai kegiatan investasi. Dengan adanya
ergonomi, diharapkan dapat menciptakan sistem kerja
yang ENASE (Efektif, Nyaman, Aman, Sehat, dan
Efisien).Sebelum dibahas lebih jauh maka perlu dibahas
tentang konsep dan karateristik IKM dan bagaimana
perannya dalam penyerapan tenaga kerja.
2.1. KONSEP INDUSTRI KECIL DAN
MENENGAH
Sektor industri dan perdagangan merupakan
salah satu sektor penting dalam perekonomian suatu
negara, sebab sektor ini tidak hanya berfungsi sebagai
penggerak roda perekonomian, akan tetapi mampu
menjadi sumber penghidupan dan pembangunan
masyarakat, dimana strategi industri yang dikembangkan
lebih menonjolkan aspek-aspek ekonomi tanpa
mempersoalkan apakah industri tersebut menciptakan
impor bahan baku, barang modal dan impor jasa.
18
Dalam menghadapi era persaingan global tidak
ada pilihan selain meningkatkan daya saing nasional.
Untuk mempertahankan dan meningkatkan daya saing
nasional dalam rangka mewujudkan pembangunan yang
berkesinambungan diperlukan suatu arah kebijakan
pembangunan nasional dengan paradigma baru.
Industri Kecil Menengah (IKM) adalah usaha
yang mempunyai ketahanan akan krisis ekonomi. Hal ini
terbukti saat terjadi krisis tahun 1998, IKM bisa bertahan
dari keterpurukan yang dialami usaha besar lainnya.
Bahkan jumlah IKM semakin meningkat paska
terjadinya krisis. Faktor pendukung IKM dapat bertahan
dan cenderung meningkat jumlahnya pada masa krisis
adalah: (1) sebagian besar IKM memproduksi barang
konsumsi dan jasa-jasa dengan elastisitas permintaan
terhadap pendapatan yang rendah, (2) sebagian besar
IKM mempergunakan modal sendiri dan tidak mendapat
modal dari bank ataupun lembaga keuangan lainnya.
Sehingga pada masa krisis keterpurukan sektor
perbankan dan naiknya suku bunga tidak berpengaruh
terhadap IKM, (3). Pada umumnya IKM melakukan
spesialisasi produk yang ketat, dalam arti hanya
19
memproduksi barang atau jasa tertentu saja Sehingga
pengangguran yang ada melakukan kegiatan usaha yang
berskala kecil, akibatnya jumlah IKM semakin
meningkat (Partomo dan Soejodono, 2004), (4)
Terbentuknya IKM baru sebagai akibat dari banyaknya
pemutusan hubungan kerja di sektor formal.
2.1.1 Industri
Industri merupakan kumpulan dari beberapa
perusahaan yang menghasilkan barang sejenis
(Sudarman. 1990). Sedangkan hasil symposium hukum
perindustrian, mendefinisikan industri sebgai satu
rangkaian , kegiatan usaha ekonomi yang meliputi
pengolahan, pengerjaan, pengubahan, dan perbaikan
bahan baku atau barang jadi sehingga lebih berguna dan
bermanfaat bagi seluruh masyarakat.Industri diartikan
secara sempit dan luas, dalam arti sempit industri
merupakan kumpulan perusahaan yang memiliki
kesejenisan dalam produksi yang dihasilkan atau bahan
baku yang digunakan dalam proses produksi yang
digunakan dan proses produksi yang dilaksanakan.
Pengertian industri dalam arti luas diartikan sebagai
20
kumpulan atau gabungan perusahaan yang memproduksi
dengan aktifitas permintaan silang yang positif tinggi.
Menurut Winardi (1998:181) Industri
adalah usaha untuk produktif terutama dalam bidang
produksi atau perusahaan tertentu yang
menyelenggarakan jasa-jasa misalnya transport atau
perkembangan yang menggunakan modal atau tenaga
kerja dalam jumlah relative besar.
Teguh S. Pambudi, industri adalah sekelompok
perusahaan yang bisa menghasilkan sebuah produk yang
dapat saling menggantikan antara yang satu dengan yang
lainnya. Menurut Hinsa Sahaan, industri adalah bagian
dari sebuah proses yang mengolah barang mentah
menjadi barang jadi sehingga menjadi sebuah barang
baru yang memiliki nilai lebih bagi kebutuhan
masyarakat.
Hasibuan (2000), membagi pengertian industri
ke dalam lingkup makro dan mikro.Secara mikro,
pengertian industri sebagai kumpulan dari sejumlah
perusahaan yang menghasilkan barang-barang homogen,
atau barang-barang yang mempunyai sifat saling
mengganti sangat erat. Dari segi pembentukan
21
pendapatan yakni cenderung bersifat makro.Industri
adalah kegiatan ekonomi yang menciptakan nilai
tambah. Jadi batasan industri yaitu secara mikro sebagai
kumpulan perusahaan yang menghasilkan barang
sedangkan secara makro dapat membentuk pendapatan.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2014 tentang Perindustrian (“UU Perindustrian”) industri
adalah seluruh bentuk kegiatan ekonomi yang mengolah
bahan baku dan/atau memanfaatkan sumber daya
industri sehingga menghasilkan barang yang mempunyai
nilai tambah atau atau manfaat lebih tinggi, termasuk
jasa industri (Pasal 1 angka 2 UU Perindustrian).
Menurut Sadono Sukirno, (2002 Industri
merupakan salah satu sektor yang memiliki peranan
penting dalam upaya pembangunan perekonomian
Indonesia. Pengelolaan yang tepat pada sektor ini dapat
mendukung adanya peningkatan jumlah ekspor produk
lokal, peningkatan jumlah penyerapan tenaga kerja,
mendorong pemerataan tenaga kerja serta dapat
meningkatkan pendapatan masyarakat lokal. Sektor
industri diyakini sebagai sektor yang dapat memimpin
sektor-sektor lain dalam sebuah perekonomian menuju
22
kemajuan. Oleh sebab itu industri merupakan salah satu
sektor yang mempunyai andil besar dalam pertumbuhan
ekonomi dalam suatu wilayah.
2.1.2 Pengelompokan industri
Pengertian tentang Industri Kecil dan Menengah
(IKM) di Indonesia tenyata sangat bervariasi. Paling
tidak ada tiga lembaga yang menggunakan kriteria
berbeda, antara lain Biro Pusat Statistik (BPS),
Kementerian Perindustrian, dan Bank Indonesia. Secara
umum, dalam pengertian IKM biasanya mencakup
sedikitnya dua aspek, yaitu aspek nilai investasi awal
(jumlah aset) dan aspek jumlah tenaga kerja.
a. Menurut BPS
Berdasarkan jumlah tenaga kerja yang bekerja,
industri dikelompokkan menjadi empat kelompok
yaitu:
1) Industri besar adalah industri yang memiliki 100
orang atau lebih pekerja.
2) Industri sedang adalah industri yang memiliki 20
orang sampai dengan 99 pekerja.
23
3) Industri kecil adalah industri yang memiliki 5
orang sampai dengan 19 pekerja
4) Industri kerajinan atau rumah tangga adalah
industri yang memiliki pekerja dibawah 5 orang.
b. Menurut Departemen Perindustrian Indonesia
(Arsyad,2001)
1) Industri besar
Industri besar terdiri dari industri mesin dan
industri logam dasar (IMLD) serta industri kimia
dasar (IKD). Kelompok IMLD terdiri dari
industri elektronika, mesin, pertanian, kereta api,
dan lain-lain. Sedangkan kelompok IKD terdiri
dari industri karet alam, industri pengolahan
kayu, industri petisida, dan lain-lain. Tujuan
utama dari industri besar ini adalah
meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
2) Industri Kecil
Industri kecil terdiri dari kelompok industri
pangan, industri sandang, industri kimia dan
industri bangunan, industri galian logam dan
bukan logam. Fungsi dari industri kecil ini adalah
24
menyerap tenaga kerja dan meningkatkan nilai
tambah suatu produk.
3) Industri Hilir
Industri hilir terdiri dari kelompok aneka industri
seperti, industri pengolahan sumber daya hutan,
industri pengolahan hasil pertambangan, dan
lain-lain.
c. Menurut Eksistensi dinamis
Klasifikasi industri berdasarkan eksistensi
dinamisnya digolongkan menjadi tiga (Shaleh,1986),
antara lain :
1) Industri lokal
Pada umumnya industri ini menggantungkan
hidupnya pada pasar setempat yang
jangkauannya sangat terbatas. Skala usaha pada
kelompok industri ini sangat kecil sehingga lebih
bersifat subsisten. Dalam pemasarannya
kelompok industri ini sangat terbatas karena
hanya menggunakan sarana transportasi masih
sederhana. Peran pedagang perantara hampir
tidak ada karena pemasarannya dapat ditangani
sendiri.
25
2) Industri Sentra
Industri sentra adalah industri yang skala
usahanya kecil tetapi industri ini mengelompok
pada satu kawasan tertentu. Pada umumnya
industri sentra memproduksi barang yang sejenis.
Dalam aspek pemasarannya industri ini lebih luas
daripada industri lokal sehingga peran pedangang
perantara cukup penting.
3) Industri Mandiri
Industri mandiri masih tergolong dalam industri
kecil namun yang menjadi pembedanya adalah
kemampuan industri ini dalam mengadaptasi
teknologi produksi yang lebih canggih. Dalam
aspek pemasarannya tidak tergantung pada
pedagang perantara.
Menurut KADIN dan Assosiasi serta Himpunan
Pengusaha kecil, juga kriteria dari Bank Indonesia, maka
yang termasuk kategori usaha kecil adalah sebagai
berikut.
26
a. Usaha perdagangan
Keagenan, pengecer, ekspor/impor dan lain - lain
dengan modal aktif perusahaan (MAP) tidak
melebihi Rp150.000.000 per tahun dan capital
turn over (CTO) atau perputaran modal tidak
melebihi Rp 600.000.
b. Usaha Pertanian
Pertanian maupun perkebunan, perikanan darat /
laut peternakan dan usahalain yang termasuk
lingkup pengawasan departemen pertanian.
ketentuanMAP dan CTO seperti usaha
perdagangan diatas.
c. Usaha industri
Industri logam/kimia, makanan/minuman,
pertambangan, bahan galian serta aneka industri
kecil lainnya dengan batas MAP =
Rp250.000.000,- serta batas CTO =
Rp1000.000.000.
d. Usaha jasa
Menjual tenaga pelayanan bagi pihak ketiga,
konsultan, perencana, perbengkelan, transportasi
serta restoran dan lainnya dengan batas MAP dan
27
CTO seperti usaha perdagangan dan dinas
pertanian di atas.
e. Usaha jasa kontruksi
Kontraktor bangunan , jalan kelistrikan, jembatan
pengairan dan usaha -usaha lain yang berkaitan
dengan teknik konstruksi bangunan, dengan batas
MAP dan CTO seperti usaha industri.
2.1.3 Industri Kecil
Pengertian industri kecil secara mikro adalah
kumpulan dari perusahaan-perusahaan yang
menghasilkan barang yang homogen, atau barang-barang
yang mempunyai sifat saling mengganti yang sangat erat
(Hasibuan, 1993). Ada begitu banyak pengertian industri
kecil saat ini, karena masing-masing lembaga atau
departemen mendefinisikan pada kriteria yang saling
berbeda.
Menurut Mintzberg (Jannah, 2004:1), industri
kecil atau small scale industry memiliki banyak
terjemahan.) mendefinisikan sektor usaha kecil sebagai
organisasi yang memiliki entreprenerial organization
dengan ciri-ciri antara lain struktur organisasi yang
28
sederhana, krakter khas elaborasi, memiliki hirarki
manajer kecil, aktivitasnya hanya sedikit diformalkan,
sangat sedikit menggunakan proses perencanaan, dan
jarang sekali mengadakan pelatihan karyawan dan
manajer, sukar membedakan aset pribadi dan aset
perusahaan, serta sistem akutansi perusahaan yang
kurang baik, bahkan tidak memiliki.
Pendefinisian dan pengkriteriaan industri kecil di
Indonesia masih berbeda antara satu institusi dengan
institusi lain. Misalnya, Deperindag membatasi kriteria
industri kecil pada investasi perusahaan sampai 200 juta
(tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha dan
harus milik WNI), dan Badan Pusat Statistik
menggunakan kriteria jumlah tenaga kerja dan yang
mengerjakan pekerja antara 1 sampai 19 orang. Ini pun
kemudian digolongkan ke dalam dua sub kategori.
Pertama, industri rumah tangga, yaitu unit usaha dengan
pekerja antara 1 sampai dengan 4 orang. Kedua, pabrik
kecil, yaitu unit usaha degan jumlah tenaga kerja anatara
5 sampai 19 orang. ( Thoha, dikutif dari Jannah, 2004:2)
Menurut Peraturan Menteri Perindustrian
Republik Indonesia Nomor 64/M-IND/PER/7/2016
29
tentang Besaran Jumlah Tenaga Kerja dan Nilai
Investasi untuk Klasifikasi Usaha Industri, industri kecil
merupakan industri yang mempekerjakan paling banyak
19 (sembilan belas) orang tenaga kerja dan memiliki
nilai investasi kurang dari Rp1.000.000.000,00 (satu
milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan
tempat usaha yang lokasinya menjadi satu dengan lokasi
tempat tinggal pemilik usaha.
Barney (Jannah,2004:5) ,menuliskan bahwa
government policy as a barrier to entry. Hal ini
disebabkan kebijakan yang dibut oleh pemerintah dapat
menyebabkan semakin maju atau semakin mundurnya
berbagai bidang, termasuk bidang industri ketika sebuah
regulasi dibuat untuk menghambat pengusaha kecil lain
untuk masuk, maka kemungkinan yang terjadi adalah
monopoli. Ketika keikutsertakan semua pihak
dibebaskan, maka akan terjadi persaingan yang sehat.
Namun demikian, hal ini tetap harus diatur pemerintah
untuk mengawasi dan mengatur jalannya perekonomian
yang ada terutama pembinaan sektor kecil.
Beberapa pengertian industri kecil menurut
berbagai pihak adalah sebagai berikut :
30
a. Pengertian Industri Kecil Menurut Departemen
Perindustrian
Peraturan Menteri Perindustrian menjelaskan
beberapa pengertian yang berkaitan dengan usaha
kecil dan menengah yaitu:
1) Industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah
bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi,
dan atau barang jadi menjadi barang dengan nilai
yang lebih tinggi untuk penggunaannya,
termasuk kegiatan rancangan bangunan dan
perekayasaan industri.
2) Perusahaan Industri Kecil yang selanjutnya
disebut Industri Kecil (IK) adalah perusahaan
yang melakukan kegiatan usaha di bidang
industri dengan nilai investasi paling banyak Rp.
200.000.000 (dua ratus juta rupiah) tidak
termasuk tanah dan bangunan usaha.
3) Perusahaan industri menengah yang selanjutnya
disebut industri menengah (IM) adalah
perusahaan yang melakukan kegiatan usaha di
bidang industri dengan nilai investasi lebih besar
dari Rp.200.000.000 (dua ratus juta rupiah)
31
sampai dengan paling banyak Rp.
10.000.000.000 (sepuluh milyar rupiah) tidak
termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.
4) Industri kecil dan Menengah (IKM) adalah
perusahaan industri yang terdiri dari industri
kecil (IK) dan industri menengah (IM).
b. Pengertian Industri Kecil Menurut Departemen
Perdagangan
Departemen perdagangan dalam mendefinisikan
industri kecil lebih menitikberatkan pada aspek
permodalan, yaitu industri dengan modal kurang dari
Rp. 25.000.000 (Mudrajad Kuncoro, 2000:310).
c. Pengertian Industri Kecil Menurut Kementrian
Koperasi dan UKM
Kementrian Negara Koperasi dan UKM
mendefinisikan UKM adalah sebagai berikut
(Mudrajad Kuncoro, 2000:310) :
1) Usaha mikro adalah suatu usaha yang memiliki
aset diluar tanah dan bangunan kurang dari Rp.
200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan memiliki
omset kurang dari Rp.1.000.000.000 (satu milyar
rupiah) per tahun.
32
2) Usaha menengah adalah suatu usaha yang
memiliki aset lebih dari Rp. 200.000.000 (dua
ratus juta rupiah) dan memiliki omset antara 1
milyar rupiah sampai 10 milyar rupiah per tahun.
M. Tohar dalam bukunya Membuat Usaha Kecil
(1999:2) mengatakan definisi usaha kecil dari berbagi
segi tersebut adalah sebagai berikut
a. Berdasarkan total asset. Pengusaha kecil adalah
pengusaha yang memiliki kekayaan bersih paling
banyak Rp 200.000.000 tidak termasuk tanah dan
bangunan tempat membuka usaha.
b. Berdasarkan total penjualan. Pengusaha kecil adalah
pengusaha yang memiliki hasil total penjualan
bersih/tahun paling banyak Rp 1.000.000.000.
c. Berdasarkan status kepemilikan, pengusaha kecil
adalah usaha berbentuk perseorangan yang bisa
berbadan hukum atau tidak berbadan hukum yang
didalamnya termasuk koperasi.
Industri kecil perlu mendapat perhatian
dikarenakan industri kecil tidak hanya memberikan
penghasilan bagi sebagian angkatan kerja namun juga
merupakan ujung tombak dalam upaya pengentasan
33
kemiskinan. Selain itu, industri kecil juga dapat
memberikan tambahan penghasilan bagi keluarga, juga
berfungsi sebagai strategi dalam mempertahankan hidup
(survival strategy) di tengah krisis ekonomi masyarakat.
Industri kecil ini tidak akan terlepas dari peranan para
pengusaha (entrepreneur) yang bergerak di dalamnya
2.1.4 Karakteristik Industri Kecil
Industri kecil pada tahap awal berbentuk industri
Rumah Tangga (Home Industry), tempat tinggal dan
tempat kerja menjadi satu. Semua pekerjaan dari
pimpinan, pelaksanaan produksi dan penjualan dilakukan
oleh para anggota keluarga dari satu keluarga. Modal
yang digunakan dalam kegiatan produksi tercampur
dengan uang rumah tangga dalam membiayai kehidupan
sehari-hari, untung-rugi sulit dibedakan karena modal
dimana untuk barang yang dikonsumsi selalu sama.
Secara umum industri kecil memiliki
karakteristik yang hampir sama (Kuncoro, 2000) yaitu:
a. Tidak ada pembagian tugas yang jelas antara bidang
administrasi, pemilik dan pengelola industri, serta
34
memanfaatkan tenaga kerja dari keluarga dan teman
dekatnya.
b. Rendahnya akses industri kecil terhadap lembaga-
lembaga kredit formal, industri kecil sebagian besar
menggantungkan pembiayaan usahanya dari modal
sendiri atau bahkan sumber lain–lain seperti
keluarga, kerabat, pedagang perantara, bahkan
rentenir.
c. Sebagian besar industri kecil ditandai dengan belum
dipunyainya status badan hukum. Menurut catatan
BPS (1994), dan jumlah industri kecil sebanyak
124.990 ternyata 90,6 persen merupakan perusahaan
perseorangan yang tidak berakta notaris; 4,7 persen
teergolong perusahaan perseorangan berakta notaris
dan hanya 1,7 persen yang sudah mempunyai badan
hukum (PT, CV, Firma).
d. Ditinjau menurut golongan industri tampak bahwa
hampir sepertiga bagian dari sseluruh industri
bergerak dibidang kelompok industri makanan,
minuman, tembakau yang kemudian diikuti oleh
kelompok industri bahan galian bukan logam.
Adapun yang bergerak pada kelompok usaha industri
35
kertas dan kimia relatif masih sedikit sekali yaitu
kurang dari satu persen.
Karakteristik IKM di Indonesia, berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh AKATIGA, the Center
for Micro and Small Enterprise Dynamic (CEMSED),
dan the Center for Economic and Social Studies (CESS)
pada tahun 2000, adalah mempunyai daya tahan untuk
hidup dan mempunyai kemampuan untuk meningkatkan
kinerjanya selama krisis ekonomi. Hal ini disebabkan
oleh fleksibilitas IKM dalam melakukan penyesuaian
proses produksinya, mampu berkembang dengan modal
sendiri, mampu mengembalikan pinjaman dengan bunga
tinggi dan tidak terlalu terlibat dalam hal birokrasi.
UKM di Indonesia mempunyai peranan yang
penting sebagai penopang perekonomian. Penggerak
utama perekonomian di Indonesia selama ini pada
dasarnya adalah sektor UKM. Berkaitan dengan hal ini,
paling tidak terdapat beberapa fungsi utama UKM dalam
menggerakan ekonomi Indonesia, yaitu (1) Sektor UKM
sebagai penyedia lapangan kerja bagi jutaan orang yang
tidak tertampung di sektor formal, (2) Sektor UKM
mempunyai kontribusi terhadap pembentukan Produk
36
Domestik Bruto (PDB), dan (3) Sektor UKM sebagai
sumber penghasil devisa negara melalui ekspor berbagai
jenis produk yang dihasilkan sektor ini.
Usaha Kecil dan Menengah (UKM) merupakan
salah satu bidang yang memberikan kontribusi yang
signifikan dalam memacu pertumbuhan ekonomi
Indonesia. Hal ini dikarenakan daya serap UKM
terhadap tenaga kerja yang sangat besar dan dekat
dengan rakyat kecil. Statistik pekerja Indonesia
menunjukan bahwa 99,5 % tenaga kerja Indonesia
bekerja di bidang UKM (Kurniawan, 2008). Hal ini
sepenuhnya disadari oleh pemerintah, sehingga UKM
termasuk dalam salah satu fokus program pembangunan
yang dicanangkan oleh pemerintah Indonesia. Kebijakan
pemerintah terhadap UKM dituangkan dalam sejumlah
Undang-undang dan peraturan pemerintah.
Kemampuan industri kecil dan menengah
Indonesia untuk menembus pasar global atau
meningkatkan ekspornya atau menghadapi produk-
produk impor di pasar domestik ditentukan oleh suatu
kombinasi antara faktor keunggulan kompetitif. Inti dari
paradigma keunggulan komperatif dan keunggulan
37
kompetitif dapat dijelaskan bahwa keunggulan suatu
negara atau industri di dalam persaingan global selain
ditentukan oleh keunggulan komperatif yang dimilikinya
yang diperkuat dengan proteksi atau bantuan pemerintah,
juga sangat ditentukan oleh keunggulan kompetitifnya
(Tambunan, 2002:7)
Menurut Tambunan (Tiktik Sartika Partomo, Juni
2004, Working Paper Series No.9 hal: 6. Usaha Kecil
Menengah dan Koperasi) Ada sub kelompok UKM yang
memiliki sifat entrepreneurship tetapi ada pula yang
tidak menunjukkan sifat tersebut. Dengan menggunakan
kriteria entrepreneurship maka kita dapat membagi
UKM dalam empat bagian, yakni :
1. Livelihood Activities
UKM yang masuk kategori ini pada umumnya
bertujuan mencari kesempatan kerja untuk mencari
nafkah. Para pelaku dikelompok ini tidak memiliki
jiwa entrepreneurship. Kelompok ini disebut sebagai
sektor informal. Di Indonesia jumlah UKM kategori
ini adalah yang terbesar.
38
2. Micro enterprise
UKM ini lebih bersifat “artisan” (pengrajin) dan
tidak bersifat entrepreneurship (kewiraswastaan).
Jumlah UKM ini di Indonesia juga relatif besar.
3. Small Dynamic Enterprises
UKM ini yang sering memiliki jiwa
entrepreneurship. Banyak pengusaha skala menengah
dan besar yang tadinya berasal dari kategori ini.
Kalau dibina dengan baik maka sebagian dari UKM
kategori ini akan masuk ke kategori empat. Jumlah
kelompok UKM ini jauh lebih kecil dari jumlah
UKM yang masuk kategori satu an dua. Kelompok
UKM ini sudah bisa menerima pekerjaan sub-
kontrak dan ekspor
4. Fast Moving Enterprises
UKM ini merupakan UKM tulen yang memilki jiwa
entrepreneurship yang sejati. Dari kelompok ini
kemudian akan muncul usaha skala menengah dan
besar. Kelompok ini jumlahnya juga lebih sedikit
dari UKM kategori satu dan dua.
Dilihat dari pembinaan yang efektif maka
sebaiknya pemerintah memusatkan perhatiannya pada
39
UKM kategori tiga dan empat. Kelompok ini juga dapat
menyerap materi pelatihan. Tujuan pembinaan terhadap
UKM kategori tiga dan empat adalah untuk
mengembangkan mereka menjadi usaha sekala
menengah. Secara konseptual penulis menganggap ada
dua faktor kunci yang bersifat internal yang harus
diperhatikan dalam proses pembinaan UKM. Pertama,
sumber daya manusia (SDM), kemampuan untuk
meningkatkan kualitas SDM baik atas upaya sendiri atau
ajakan pihak luar. Selain itu dalam SDM juga penting
untuk memperhatikan etos kerja dan mempertajam naluri
bisnis. Kedua, manajemen, pengertian manajemen dalam
praktek bisnis meliputi tiga aspek yakni berpikir,
bertindak, dan pengawasan.
Menurut Suryana (2001: 85-86) usaha kecil
memiliki kekuatan dan kelemahan tersendiri. Beberapa
kekuatan usaha kecil antara lain:
a. Memiliki kebebasan untuk bertindak
Bila ada perubahan misalnya perubahan produk baru,
teknologi baru dan perubahan mesin baru, usaha
kecil bisa bertindak dengan cepat untuk
menyesuaikan dengan keadaan yang berubah
40
tersebut. Sedangkan pada perusahaan besar, tindakan
tersebut sudah dilakukan.
b. Feleksibel
Perusahaan kecil dapat menyesuaikan dengan
kebutuhan setempat. Bahan baku,tenaga kerja dan
pemasaran produk usaha kecil pada umumnya
menggunakan sumber-sumber setempat yang bersifat
lokal.
c. Tidak mudah goncang
Karena bahan baku kebanyakan lokal dan sumber
daya lainnya bersifat lokal,maka perusahaan kecil
tidak rentan terhadap fluktuasi bahan baku impor.
Sedangkan kelemahan perusahaan kecil dapat
dikategorikan kedalam dua aspek antara lain
a. Aspek kelemahan struktural, yaitu kelelmahan dalam
strukturnya, misalnya kelemahan dalam bidang
manajemen dan organisasi kelemahan
dalam pengendalian mutu kelemahan dalam
mengadopsi dan penguasaan teknologi,kesulitan
mencari permodalan tenaga kerja masih lokal dan
terbatasnya akses pasar.
41
b. Kelemahan kultural, mengakibatkan kelemahan
struktural, kurangnya aksesinformasi dan lemahnya
berbagai persyaratan lain guna memperoleh
akses permodalan, pemasaran dan bahan baku seperti
informasi peluang dan caramemasarkan produk
informasi untuk mendapatkan bahan baku murah dan
mudah didapat informasi untuk memperoleh fasilitas
dan bantuan pengusaha besar dalam menjalin
hubungan kemitraan untuk memperoleh
bantuan permodalan dan pemasaran informasi
tentang tata cara pengembangan produk baik desain,
kualitas maupun kemasannya, serta informasi untuk
menambahsumber permodalan dengan persyaratan
yang terjangkau.
Menurut Subanar (2001: 6-9) usaha kecil
memeiliki keunggulan dan kelemahan. Beberapa
keunggulan usaha kecil antara lain :
a. Pemilik merangkap manajer perusahaan yang bekerja
sendiri dan memiliki gaya manajemen sendiri
merangkap semua fungsi manajerial seperti
marketing, finance dan administrasi
42
b. Sebagian besar membuat lapangan pekerjaan baru,
inovasi sumber daya baruserta barang dan jasa- jasa
baru
c. Risiko usaha menjadi beban pemilik
d. Prosedur hukumnya sederhana
e. Merupakan tipe usaha yang paling cocok mengelola
produk, jasa atau proyek perintisan yang sama sekali
baru atau belum pernah ada yang mencobanya,
sehingga memiliki sedikit pesaing
Sedangkan kelemahan serta hambatan bagi
pengelolaanya suatu usaha kecil diantaranya faktor
intern serta beberapa faktor ekstern seperti :
a. Kekurangan informasi bisnis hanya mengacu pada
intuisi dana ambisi pengelola, lemah dalam promosi
b. Pembagian kerja tidak proporsional, sering terjadi
pengelola memiliki pekerjaanyang melimpah atau
karyawan yang bekerja di luar jam kerja standar
c. Risiko utang-utang pada pihak ketiga ditanggung
oleh kekayaan pribadi
43
d. Perkembangan usaha tergantung kepada pengusaha
yang setiap waktu dapat berhalangan karena sakit
atau meninggal.
2.1.5 Industri Menengah
Pemerintah Indonesia pada tahun 1998
mengeluarkan Inpres No.10 yang menjelaskan tentang
apa itu sebenarnya usaha menengah. Dalam inpres ini
dijelaskan bahwa usaha menengah adalah sebuah usaha
produktif yang memiliki kekayaan usaha bersih sekitar
Rp.200 juta sampai dengan paling banyak Rp.10 milyar.
Jumlah kekayaan tersebut berada diluar nilai tanah serta
bangunan tempat usaha didirikan.
Menurut Peraturan Menteri Perindustrian
Republik Indonesia Nomor 64/M-IND/PER/7/2016
tentang Besaran Jumlah Tenaga Kerja dan Nilai
Investasi untuk Klasifikasi Usaha Industri, industri
menengah merupakan industri yang mempekerjakan
paling banyak 19 (sembilan belas) orang tenaga kerja
dan memiliki nilai investasi paling sedikit
Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Industri
menengah juga dapat didefinisikan sebagai industri yang
44
mempekerjakan paling sedikit 20 (dua puluh) orang
tenaga kerja dan memilik nilai investasi paling banyak
Rp15.000.000,00.
Ciri-ciri usaha menengah sebenarnya tidaklah
jauh berbeda dengan ciri-ciri usaha besar atau usaha
kecil. Namun walaupun seperti itu, berikut ciri-ciri usaha
menengah yang bisa anda jadikan acuan untuk mengenal
lebih jauh apa sebenarnya usaha menengah itu:
a. Memiliki Manajemen dan Struktur Organisasi yang
Lebih Baik
Tidak sulit mencari perbedaan perusahaan kecil,
menengah, dan besar. Salah satunya adalah dari sisi
manajemen dan struktur organisasi yang dimilikinya.
Ciri-ciri usaha menengah yang pertama adalah sudah
memilikinya sistem manajemen yang lebih baik jika
dibandingkan usaha kecil yang segalanya masih
dikerjakan seorang diri. Selain itu, struktur organisasi
pada usaha menengah juga mulai kompleks karena
usaha menengah merupakan jenis usaha yang sedang
berkembang sehingga kebutuhan akan pelaporan
administrasi serta urusan yang lainnya sedang
mengalami peningkatan kerja.
45
b. Lebih Tersistem
Selain manajemen yang lebih baik, ciri-ciri usaha
menengah selanjutnya adalah sistem yang lebih baik
dan teratur. Usaha kecil termasuk jenis usaha
merintis karena segalanya masih dapat dilakukan
seorang diri bahkan sistem yang dimilikinya hanya
mengenai dirinya sendiri. Berbeda dengan jenis
usaha menengah dimana sistem yang dibangun sudah
mulai difungsikan untuk mengatur cara kerja orang
lain didalam membangun usahanya.
c. Memiliki Pembagian Tugas untuk Para Karyawannya
Menyangkut pada poin pertama tentang organisasi
yang mulai kompleks dan melibatkan banyak orang,
ciri-ciri usaha menengah selanjutnya adalah mulai
berlakunya pembagian tugas. Pembagian tugas
adalah hal yang sangat penting karena dengan begitu
seluruh aspek bagian usaha dapat dikerjakan secara
fokus dan berkelanjutan dan menjadikan usaha dapat
berjalan lebih maksimal. Pembagian tugas ini adalah
salah satu fungsi manajemen menurut para
ahli karena jika usaha dapat berjalan maksimal,
46
perkembangan usaha menjadi lebih besar akan
semakin cepat terjadi.
d. Pelaporan Mulai Rumit
Jika pada usaha kecil pelaporan administasi hanya
sebatas barang keluar atau barang masuk dan daftar
orang yang berhutang, pelaporan pada usaha
menengah mulai rumit. Seperti disinggung diatas,
usaha menengah merupakan jenis usaha yang sedang
berkembang dan sedang mengarah menjadi usaha
besar. Untuk itulah pelaporan administrasi mereka
mulai rumit karena pelaporan yang mereka miliki
tidak lagi sebatas barang keluar atau barang masuk.
Pelaporan administrasi mereka mulai meluas menjadi
berbagai jenis pelaporan seperti tentang daftar asset
yang dimiliki, daftar investor, bahkan daftar hutang
serta jenis-jenis pelaporan akuntansi lainnya.
Pelaporan ini wajib dimiliki oleh usaha menengah
karena dengan adanya pelaporan ini, proses audit
akan dengan mudah dilaksanakan. Bahkan, laporan
keuangan yang rumit ini menjadi salah satu syarat
pertimbangan bagi para investor untuk berinvetasi
pada usaha tersebut. Pentingnya pelaporan ini karena
47
tidak lengkapnya pelaporan termasuk faktor
kegagalan wirausaha yang paling sering ditemui.
Karena dari pelaporan inilah anda akan mengetahui
apakah perusahaan tersebut sehat atau tidak.
e. Adanya Asuransi Kesehatan, Pensiunan, Ataupun
Tunjangan Hari Raya
Salah satu fokus utama usaha menengah adalah fokus
dalam mengembangkan usahanya. Oleh karena itu,
demi menjaga kualitas produk atau jasa yang
dimilikinya, sumber daya manusia yang mereka
miliki harus mendapatkan perlindungan dan jaminan.
Perlindungan yang dimaksud bisa berupa asuransi
dalam keselamatan kerja, jaminan hari tua atau dana
Pensiunan, ataupun Tunjangan Hari Raya.
f. Memenuhi Syarat Legalitas
Usaha kecil adalah jenis usaha yang tidak
memerlukan legalitas yang berbelit. Karena biasanya
usaha kecil berdiri hanya berdasarkan sepengtahuan
RT/RW setempat usaha mereka beraktifitas. Namun
ketika usaha mulai berkembang menjadi usaha
menengah, segala persyaratan legalitas harus mereka
miliki. Hal ini menjadi salah satu syarat utama usaha
48
menengah dapat berjalan karena legalitas
menyangkut izin aktifitas, izin produksi, izin tempat,
ataupun legalitas lainnya seperti kewajiban untuk
membayar pajak. Pemenuhan legalitas ini adalah
salah satu cara mengatasi kegagalan dalam
berwirausaha yang sangat besar dampaknya. Karena
tanpa adanya legalitas ini, segala aktifitas dapat
dihentikan karena terindikasi kegiatan illegal.
g. Memiliki Akses Sumber Pendanaan
Salah satu kendala utama sebuah usaha kecil
berkembang menjadi usaha besar adalah dari segi
modal. Namun permasalahan ini ternyata semakin
menemukan titik terang pemecahannya seiring usaha
tersebut berkembang. Salah satunya adalah
menemukan sumber-sumber pendanaan baru. Salah
satu cara mereka mendapatkan sumber-sumber
keuangan baru ini adalah dengan semakin meluasnya
pergaulan serta produk yang mereka miliki sehingga
mereka semakin dikenal oleh banyak orang. Dan jika
usaha yang mereka miliki memiliki kualitas produk
yang baik maka akan semakin besar pula suntikan
dana yang akan mereka dapatkan.
49
h. Sumber Daya Manusia yang Terdidik dan Terlatih
Dalam rangka memproduksi produk berkualitas
unggul, kualitas karyawan adalah satu hal yang harus
diperhatikan. Tanpa adanya karyawan yang
berkualitas sudah pasti produksi yang dihasilkan
akan biasa-biasa saja. Untuk menuju kearah sana,
pendidikan karyawan adalah hal yang harus
didahulukan. Karena dengan begitu, karyawan akan
tahu apa yang seharusnya mereka kerjakan dan hal
apa yang tidak boleh mereka lakukan. Pendidikan
dan pelatihan tidak hanya tentang skill atau
kemampuan dalam bekerja tapi juga sikap dan etos
kerja dalam bekerja sama didalam sebuah tim.
i. Jumlah Tenaga Kerja
Ciri-ciri usaha menengah yang paling mudah
dikenali adalah jumlah karyawannya. Setiap jenis-
jenis badan usaha memiliki jumlah karyawan yang
berbeda-beda. Namun walaupun seperti itu, jumlah
karyawan dapat digolongkan menjadi tiga jenis.
Seperti misalnya usaha kecil yang memiliki jumlah
karyawan berkisar antara 2-20 orang, usaha
50
menengah 21-99 orang, dan usaha besar dengan
jumlah karyawan lebih dari 100 orang.
2.2. PERAN INDUSRI KECIL DAN MENENGAH
DALAM PENYERAPAN TENAGA KERJA
Pada tahun 2017, Kementerian Perindustrian
(Kemenperin) menargetkan jumlah industri kecil dan
menengah (IKM) di Indonesia mencapai 4,03 juta unit .
Salah satu caranya dengan menggandeng IKM asal
Jepang untuk bermitra dengan IKM lokal. Upaya ini
tengah dilakukan dengan menggandeng Japan External
Trade Organization (Jetro). Selain memacu investasi
perusahaan besar Jepang di Indonesia, kami juga
mendorong agar pelaku IKM Jepang dapat bermitra
dengan pengusaha nasional. kerja sama tersebut sejalan
dengan program prioritas Presiden Joko Widodo
(Jokowi) di 2017 dalam pemerataan pembangunan dan
kesejahteraan nasional. "Selain itu dilandasi pula oleh
amanat Undang-Undang Nomor 3 tahun 2014 tentang
Perindustrian.2
2 https://www.liputan6.com/bisnis/read/2896111/kemenperin-
targetkan-4-juta-industri-kecil-dan-menengah-pada-2017
51
Untuk menjaga konsistensi peran IKM yang
selama ini memberikan kontribusi besar terhadap
perekonomian nasional. Kemenperin mencatat, IKM
meningkatkan nilai tambah di dalam negeri yang cukup
signifikan setiap tahun. Hal ini terlihat dari capaian pada
2016 sebesar Rp 520 triliun atau meningkat 18,3 persen
dibandingkan pada 2015. IKM juga berperan penting
dalam penyerapan tenaga kerja di dalam negeri. Pada
2017, penambahan tenaga kerja sektor IKM diperkirakan
mencapai 400 ribu orang. Sedangkan, jumlah IKM
ditargetkan sebanyak 182 ribu unit sehingga total akan
menjadi 4,03 juta pada 2017 atau meningkat 4,7 persen
dari 3,85 juta pada 2016.3
IKM Merupakan suatu realitas yang tidak dapat
dipungkiri lagi bahwa IKM adalah sektor ekonomi
nasional yang paling strategis dan menyangkut hajat
hidup orang banyak, sehingga menjadi tulang punggung
perekonomian nasional. IKM juga merupakan kelompok
pelaku ekonomi terbesar dalam perekonomian di
3 https://www.liputan6.com/bisnis/read/2896111/kemenperin-
targetkan-4-juta-industri-kecil-dan-menengah-pada-2017
52
Indonesia dan telah terbukti menjadi kunci pengaman
perekonomian nasional dalam masa krisis ekonomi, serta
menjadi dinamisator pertumbuhan ekonomi pasca krisis.
Itu artinya, usaha mikro yang memiliki omset penjualan
kurang dari satu milyar, dan usaha kecil memiliki omset
penjualan pada kisaran satu milyar, serta usaha
menengah dengan omset penjualan di atas satu milyar
pertahun, memiliki peran yang sangat besar dalam proses
pembangunan bangsa ini.
Indonesia ini memiliki industri kecil menengah
yang jumlahnya banyak, sesuai dengan data dari BPS
bahwa industri kecil menengah mendominasi struktur
industri di Indonesia.Sehingga jika dikembangkan secara
intensif dan berkelanjutan, cepat atau lambat hal tersebut
dapat meningkatkan perekonomian masyarakat. Industri
kecil menengah ini merupakan industri berbasis
masyarakat, artinya diproduksi dan dikelola oleh
masyarakat,maka hasil yang akan diperoleh pun
berdampak langsung pada masyarakat. Jika di setiap
daerah IKM dikembangkan secara baik, maka tak ayal
perekonomian masyarakat meningkat, yang akhirnya
pendapatan daerah pun meningkat. Alferd Marshall juga
53
telah melihat potensi klater industri yang di dalamnya
terdapat IKM dapat mendorong pertumbuhan ekonomi
suatu negara.
Peran sektor Industri Kecil Menengah (IKM)
sebagai pemberdayaan masyarakat ekonomi lemah,
membuat sektor ini lebih banyak berkembang di daerah
pedesaan. Sub sektor IKM merupakan bentuk
pemberdayaan masyarakat ekonomi lemah yang
bergerak dalam berbagai sektor ekonomi. Sehingga
jumlah IKM sangat banyak dan tersebar disemua sektor
ekonomi dan diseluruh wilayah Indonesia. Karena
tersebar diberbagai sektor dan wilayah maka sektor IKM
dapat menyerap banyak tenaga kerja secara merata
disemua wilayah. Jenis IKM yang berkembang pun
beraneka ragam karena keanekaragaman budaya
Indonesia. Selain itu, Industri Kecil Menengah (IKM)
adalah usaha yang mempunyai ketahanan akan krisis
ekonomi. Hal ini terbukti saat terjadi krisis tahun 1998,
IKM bisa bertahan dari keterpurukan yang dialami usaha
besar lainnya. Bahkan jumlah IKM semakin meningkat
paska terjadinya krisis.
54
Faktor pendukung IKM dapat bertahan dan
cenderung meningkat jumlahnya pada masa krisis
adalah: (1) sebagian besar IKM memproduksi barang
konsumsi dan jasa-jasa dengan elastisitas permintaan
terhadap pendapatan yang rendah, (2) sebagian besar
IKM mempergunakan modal sendiri dan tidak mendapat
modal dari bank ataupun lembaga keuangan
lainnya,sehingga pada masa krisis keterpurukan sektor
perbankan dan naiknya suku bunga tidak berpengaruh
terhadap IKM, (3) Terjadinya krisis ekonomi yang
berkepanjangan menyebabkan sektor formal banyak
memberhentikan pekerjanya,sehingga pengangguran
yang ada melakukan kegiatan usaha yang berskala kecil,
akibatnya jumlah IKM semakin meningkat (Partomo dan
Soejodono, 2004)
Perluasan kesempatan kerja merupakan usaha
untuk mengembangkan sektor-sektor yang mampu
menyerap tenaga kerja. Usaha penyerapan tenaga kerja
tidak lepas dari faktor-faktor yang mempengaruhinya,
seperti pengembangan jumlah penduduk dan angkatan
kerja, pertumbuhan ekonomi, tingkat produktivitas
tenaga kerja dan kebijakan pemerintah dalam hal
55
penyerapan tenaga kerja itu sendiri. Salah satu cara
untuk memperluas penyerapan tenaga kerja adalah
melalui pengembangan industri terutama industri yang
bersifat padat karya.
Potensi IKM, dalam kemampuan penyerapan tenaga
kerjanya merupakan potensi yang paling menonjol. Jenis
IKM yang beraneka ragam, jumlahnya yang besar serta
penyebarannya yang merata disemua sektor ekonomi
membuat sektor ini dapat menyerap tenaga kerja secara
merata (Partomo,2004: 13). Prabowo (dalam Woyanti,
2010) berpendapat bahwa jumlah unit usaha mempunyai
pengaruh yang positif terhadap permintaan tenaga kerja,
artinya jika unit usaha suatu IKM meningkat maka
permintaan tenaga kerjanya juga akan bertambah.
Peningkatan unit usaha suatu sektor Industri Kecil
Menengah (IKM) pada suatu daerah akan menambah
jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia, kemudian
pertambahan lapangan kerja ini mengakibatkan
permintaan tenaga kerja juga bertambah. Dengan
demikian dapat disimpulkan jika semakin banyak jumlah
perusahaan atau unit usaha IKM yang berdiri maka akan
semakin besar penyerapan tenaga kerjanya. Melihat IKM
56
mempunyai keterlibatan yang besar terhadap angkatan
kerja, secara garis besar IKM memegang peranan
penting sebagai sektor yang potensial dalam penyerapan
tenaga kerja. Dimana keberadaan sektor IKM disuatu
daerah akan memberi kontribusi nyata dalam usaha
meningkatkan penyerapan tenaga kerja di daerah
tersebut.
Peranan UKM dalam penyerapan tenaga kerja
yang lebih besar dari usaha besar juga terlihat selama
periode 2010–2013. UKM memberikan kontribusi
terhadap penyerapan tenaga kerja rata-rata sebesar
96,66% terhadap total keseluruhan tenaga kerja nasional,
sedangkan usaha besar hanya memberikan kontribusi
rata-rata 3,32% terhadap tenaga kerja nasional. Tinggi
kemampuan UKM dalam menciptakan kesempatan kerja
dibanding usaha besar mengindikasikan bahwa UKM
memiliki potensi yang cukup besar untuk dikembangkan
dan dapat berfungsi sebagai katub pengaman
permasalahan tenaga kerja (pengangguran).
57
Tabel 1. Jumlah Tenaga Kerja Indonesia
Menurut Sektor Ekonomi (Orang)
Tahun 2010-2013
(Sumber: BPS, 2013)
Peranan UKM yang tak kalah pentingnya dengan
upaya mewujudkan pertumbuhan ekonomi dan perluasan
kesempatan kerja yang tinggi adalah peranan dalam
upaya mewujudkan pemerataan pendapatan. Dalam
rangka meningkatkan peran UKM di Indonesia berbagai
kebijakan dari aspek makroekonomi perlu diterapkan.
58
Dengan memberikan stimulus ekonomi yang lebih besar
kepada industri ini akan memberikan dampak yang besar
dan luas terhadap pertumbuhan ekonomi, kesempatan
kerja dan distribusi pendapatan yang lebih merata di
Indonesia. Stimulus yang dimaskud dapat berupa
memberikan dana kepada UKM melalui investasi
pemerintah dan investasi swasta domestik maupun
investasi luar negeri. Diperlukan komitmen yang kuat
dalam bentuk peraturan pemerintah, baik pemerintah
pusat maupun pemerintah daerah untuk mengalokasikan
sebagian besar dana APBD maupun APBN untuk
diinvestasikan dalam usaha produktif UKM.
Sementara itu, untuk menciptakan dan
mendorong berbagai pihak swasta maupun swasta asing
menginvestasikan dananya pada UKM perlu diberikan
berbagai kemudahan dalam bentuk penyediaan database,
penyediaan infrastruktur, kemudahan sistem administrasi
birokrasi, dan kemudahan pajak. Pemanfaatan dana
pinjaman luar negeri dalam bentuk loan bagi
pengembangan UKM juga dapat dilakukan, disamping
mengerahkan bantuan(hibah) luar negeri untuk
memperkuat dan meningkatkan peran UKM.
59
2.3 PERKEMBANGAN INDUSTRI KECIL DAN
MENENGAH
Pengembangan ekonomi lokal bukanlah hal yang
baru, tetapi konsep pengembangan ekonomi lokal dan
teknik implementasinya terus berkembang. Secara umum
pengembangan ekonomi regional atau lokal pada
dasarnya adalah usaha untuk penguatan daya saing
ekonomi lokal untuk pengembangan ekonomi daerah dan
akumulasi kegiatan tersebut akan berpengaruh besar
pada pengembangan daya saing ekonomi nasional dan
penguatan daya saing ekonomi nasional. Industri kecil
dan menengah atau yang sering disebut
IKM merupakan salah satu tumpuan utama
pemerintah dalam menciptakan lapangan kerja baru
terutama setelah krisis ekonomi yang terjadi beberapa
tahun yang lalu. IKM juga bagian penting dari
perekonomian suatu negara termasuk Indonesia. Sebagai
gambaran, walaupun sumbangan sektor IKM dalam
output nasional (PDRB) tahun 2000 hanya 56,7 persen
dan dalam ekspor non migas hanya 15 persen pada tahun
2000, namun IKM memberikan kontribusi sebanyak 99
persen dalam jumlah badan usaha di Indonesia serta
60
memiliki andil sebayak 99,6 persen dalam penyerapan
tenaga kerja (“Menuju UKM”, 2001). Namun
kenyataannya selama ini keberadaan IKM kurang
mendapatkan perhatian yang layak dari pemerintah.
Ada tiga alasan mengapa keberadaan IKM sangat
diperlukan (Berry, Rodriquez & Sandeem, 2001),
pertama, kinerja IKM cenderung lebih baik dalam
menghasilkan tenaga kerja yang produktif. Kedua, IKM
sering meningkatkan produktivitasnya melalui investasi
dan aktif mengikuti perubahan teknologi. Ketiga, IKM
diyakini memiliki keunggulan dalam fleksibilitas
dibandingkan usaha besar.
Sedikitnya ada tiga keunggulan IKM yang tidak
ditemukan dalam korporasi, yaitu (1) modal usahanya
yang kecil. Faktor modal yang kecil ini yang menjadikan
alasan mengapa banyak yang berani mengambil resiko
untuk memulai bisnis di sektor ini. (2) modal relatif kecil
dan tidak melibatkan banyak orang sehingga
pengelolaannya dapat dilakukan dengan improvisasi
dalam memilih produk dan cara menghasilkannya. (3)
modal yang kecil dan improvisasi yang dimilikinya
ternyata memberi ciri UKM sebagai organisasi bisnis
61
yang sangat fleksibel. Usaha kecil dan usaha rumah
tangga di Indonesia juga memainkan peranan penting
dalam menyerap tenaga kerja, meningkatkan jumlah unit
usaha dan mendukung pendapatan rumah tangga.
Jumlah UKM Binaan di Indonesia terus
mengalami peningkatan disetiap tahunnya. Mulai dari
2011-2015 selalu mengalami peningkatan yang
signifikan.
Gambar 2. Perkembangan Jumlah UMKM Binaan
62
Pengembangan UMKM Pengembangan dapat
diartikan sebagai suatu usaha untuk meningkatkan
kemampuan konseptual, teoritis, teknis, dan moral
individu sesuai dengan kebutuhan pekerjaan atau jabatan
melalui pendidikan dan pelatihan. mengemukakan
bahwa pengembangan UKM lebih diarahkan untuk
menjadi pelaku ekonomi yang berdaya saing melalui
perkuatan kewirausahaan dan peningkatan produktivitas
yang didukung dengan upaya peningkatan adaptasi
terhadap kebutuhan pasar, pemanfaatan hasil inovasi dan
penerapan teknologi. (Afifuddin, 2010:180). Pengaruh
dari pengembangan UMKM di Indonesia dan melihat
peran serta pemerintah dalam meningkatkan
pertumbuhan UMKM di Indonesia memiliki hasil
positif, baik secara langsung maupun tidak langsung.
(Tambunan, 2009:04)
Pengembangan UMKM pada hakikatnya
merupakan tanggungjawab bersama antara pemerintah
dan masyarakat. Dengan mencermati permasalahan yang
dihadapi oleh UMKM, diperlukan upaya hal-hal seperti:
(a) Penciptaan iklim usaha yang kondusif, (b) Bantuan
Permodalan, (c) Perlindungan Usaha, (d) Pengembangan
63
Kemitraan, (e) Pelatihan, (f) Mengembangkan Promosi,
dan (g) Mengembangkan Kerjasama yang setara.
(Hafsah 2004:43-44).
Usaha Mikro,Kecil dan Menengah (UMKM)
sebagai perwujudan konkret ekonomi rakyat dirasakan
strategis untuk dikembangkan, karena sektor ini mampu
menyediakan lapangan kerja yang mampu menyerap
tenaga kerja yang cukup tinggi sehingga diharapkan
dapat membantu meningkatkan pendapatan untuk
memenuhi kebutuhan dasar hidup masyarakat. Mubyarto
(1997;3) menyatakan bahwa ekonomi rakyat adalah
kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh rakyat yang
secara swadaya mengelola sumberdaya yang dapat
dikuasainya dan ditunjukan untuk memenuhi kebutuhan
dasarnya dan keluarganya.
Masalah yang dihadapi dalam pengembangan
UMKM Hafsah (200;1) menyatakan permasalahan
internal usaha mikro kecil dan menengah; rendahnya
profesionalisme sumber daya manusia yang mengelola,
keterbatasan permodalan dan akses terhadap perbankan
dan pasar, kemampuan penguasaaan teknologi yang
rendah, sedangkan permasalahan eksternal ; iklim usaha
64
yang kurang menguntungkan bagi pengembangan usaha
kecil, kebijakan pemerintah yang belum memihak bagi
pengembangan usaha kecil, kurangnya pembinaaan
manajemen dan peningkatan kualitas sumberdaya
manusia.
Brom dan Longenecker (1979, 31) menyatakan
kegagalan yang dialami usaha kecil disebabkan oleh;
kemerosotan posisi modal kerja (deterioration of
working capital), penurunan volume penjualan
(declining sales), penurunan laba atau keuntungan
(declining profits) dan meningkatkan utang (increasing
debt), dan beberapa hasil penelitian
Scarborough dan Zimmerer, 1993:12) bahwa
faktor penyebab kegagalan sektor usaha kecil untuk
berkembang di antaranya: lemahnya pengambilan
keputusan, (poor decision making ability),
ketidakmampuan manajemen (management in
competence), kurang pengalaman (lack of experience)
dan lemahnya pengawasan keuangan (poor financial
control). Perkembangan usaha mirko kecil yang rendah
karena dukungan modal yang terbatas bahkan nyaris
tidak tersentuh dan dianggap tidak memiliki potensi dana
65
oleh lembaga keuangan dan dinilai tidak layak oleh bank
karena tidak memiliki agunan dan rendahnya tingkat
pengembalian pinjaman mengakibatkan aksesbilitas
pengusaha mikro dan kecil sangat rendah terhadap
sumber keuangan formal dan hanya mengandalkan
modal sendiri.
Dalam pengembangan IKM, ada empat tahap
yang akan dilalui IKM, yaitu tahap memulai
usaha (start-up), tahap pertumbuhan (growth), tahap
perluasan (expansion), dan sampai akhirnya merambah
ke luar negeri (going overseas). Pembinaan IKM empat
tahap ini merupakan model pengembangan IKM yang
telah berhasil diterapkan di Singapura. Namun, sampai
sekarang Indonesia belum memiliki sebuah model yang
komprehensif yang dapat diterapkan sebagai model
pembinaan untuk jangka menengah maupun jangka
panjang (Tiktik Sartika dan Soejoedono, 2002).
Menurut Tiktik Sartika dan Soejoedono (2002)
strategi pengembangan IKM antara lain sebagai berikut.
1. Kemitraan Usaha
Kemitraan adalah hubungan kerja sama usaha di
antara berbagai pihak yang sinergis, bersifat
66
sukarela, dan berdasarkan prinsip saling
membutuhkan, sating mendukung, dan sating
menguntungkan dengan disertai pembinaan dan
pengembangan IKM oleh usaha besar. Salah satu
bentuk kemitraan usaha yang melibatkan IKM dan
usaha besar adalah producton linkage. IKM sebagai
pemasok bahan baku dan bahan penolong dalam
rangka mengurangi ketergantungan impor, di mana
saat ini harga produk impor cenderung sangat tinggi
karena depresiasi rupiah.
2. Permodalan IKM
Pada umumnya permodalan IKM sangat lemah, baik
ditinjau dari mobilisasi modal awal (start-up
capital) dan akses ke modal kerja jangka panjang
untuk investasi. Untuk memobilisasi modal awal
perlu dipadukan tiga aspek yaitu bantuan
keuangan, bantuan teknis, dan program penjaminan,
sedangkan untuk meningkatkan akses permodalan
perlu pengoptimalan peranan bank dan lembaga
keuangan mikro untuk IKM. Sementara itu daya
serap IKM terhadap kredit perbankan juga masih
sangat rendah. Lebih dari 80 persen kredit perbankan
67
terkonsentrasi ke segmen korporat, sedangkan porsi
kredit untuk IKM hanya berkisar antara 15-21 persen
dari total kredit perbankan. Untuk mengoptimalkan
jangkauan pemberian kredit kepada IKM telah
dikembangkan skim kredit dengan Program
Kemitraan Terpadu, misalnya Program Kemitraan
BUMN dan Bina Lingkungan (PKBL), Program
Kemitraan dengan BPR, Koperasi dan Asosiasi, serta
kredit program.
3. Modal Ventura
Pada umumnya IKM kurang paham atau tidak
menyukai prosedur atau persyaratan yang diwajibkan
oleh lembaga perbankan, sebaliknya lembaga
perbakan kadangkadang juga memberikan persepsi
inferior mengenai potensi IKM. Hal ini menimbulkan
terjadinya distorsi dalam pembiayaan IKM. Oleh
karena itu, modal ventura dapat dijadikan sebagai
alternatif sumber pembiayaan IKM. Menurut
Keppres No. 61 Tahun 1998, perusahaan modal
ventura adalah badan usaha yang melakukan usaha
pengembangan dalam bentuk penyertaan modal ke
dalam suatu perusahaan yang menerima bantuan
68
pembiayaan untuk jangka waktu tertentu. Pembiyaan
dengan modal ventura ini berbeda dengan bank yang
memberikan pembiayaan dalam bentuk pinjaman
atau kredit. Usaha modal ventura memberikan
pembiayaan dengan cara ikut melakukan penyertaan
modal langsung ke dalam perusahaan yang dibiayai.
Perusahaan yang dibiayai disebut perusahaan
pasangan usaha (investee company), sedangkan
pemodal yang membiayai disebut perusahaan
pemodal (invesment company atau venture
capitalist).
2.4 HAMBATAN DALAM PENGEMBANGAN IKM
Kementerian Perindustrian (Kemenperin)
mengakui saat ini masih terdapat hambatan yang
dihadapi dari masing-masing pelaku Industri Kecil dan
Menengah (IKM)."Permasalahan yang dihadapi yaitu
inkonsistensi kualitas yang sesuai standard dan mutu,"
ungkap Direktur Jenderal IKM Kemenperin Euis Saedah
di Kementerian Perindustrian
(https://economy.okezone.com17/9/2013).
69
Selain itu, ada beberapa kendala yang sangat
kruisial dalam pengembangan IKM antara lain sebagai
berikut.
(https://finance.detik.com, diakses 1/11/2018)
a. Terbatasnya akses kredit dalam pembiayaan.
Hal ini disebabkan oleh belum tertatanya laporan
keuangan UMKM secara rapi, keterbatasan
kemampuan dalam menyusun laporan keuangan dan
terbatasnya pelatihan karyawan dalam manajemen
keuangan
b. Terbatasnya akses pasar/pemasaran
Keterampilan beberapa Sumber Daya Manusia
(SDM) yang kurang mumpuni juga menjadi kendala
untuk bersaing di pasar. Kemampuan berpromosi
para pelaku IKM dirasa masih sangat kurang, baik
promosi melalui pameran maupun penyebaran
informasi.
c. Terbatasnya SDM dan keterampilan.
Pada umumnya, IKM belum memiliki divisi khusus
riset dan pengembangan. Masih belum dimanfaatkan
secara maksimal sehingga masih diproduksi secara
tradisional.
70
d. Kapasitas produksi yang terbatas.
Kemampuan pemenuhan order yang besar dalam
waktu yang singkat menjadi kendala meningat rata-
rata pelaku IKM memilki kapasitas produksiyang
terbatas. Kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM)
IKM melalui berbagai macam pelatihan serta
memberikan fasilitasi bantuan mesin peralatan baik
program revitalisasi maupun program restrukturisasi
untuk dapat meningkatkan produktivitas IKM.
71
BAB III
KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP
INDUSTRI KECIL DAN MENENGAH
3.1 PERKEMBANGAN IKM DI INDONESIA
Perkembangan Usaha Kecil dan Menengah
(UKM) di Indonesia data dari Kementerian Koperasi dan
UMKM sampai tahun 2012 sampai dengan 2017 tercatat
perkembangan jumlah unit usaha sebanyak 7,72 juta unit
usaha atau 13,98% dari total jumlah usaha. Sedangan
perkembangan total tenaga kerja yang mampu diserap
dari UMKM sebanyak 14, 95 juta orang. Kemudian
perkembangan eksport yang mampu disumbang dari
produk yang dihasilkan dari UMKM atau total ekspor
Nonmigas sebesar Rp.110,76 milliar atau 59,09% dari
seluruh total produk eksport.
Namun dari perkembangan yang dicapai oleh
UMKM baik dari konstribusi peneyerapan tenaga kerja
maupun jumlah eksport, masih banyak menyisakan
persoalan antara lain:
1. Permodalan untuk penegembangan UMKM yang
masih sangat terbatas,
72
2. Kemampuan manajerial dan sumber daya
manusia yang masih lemah,
3. Tingkat produktivitas yang masih rendah,
4. Kemampuan membangun jaringan usaha dan
penetrasi pasar yang masih lemah,
5. Dan kelemahan lain yang terkait dengan efisiensi
proses produksi yang masih lemah.
Disinilah peran pemerintah sangat diharapkan dalam
membantu menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh
pelaku usaha UMKM tidak hanya sekedar membuat
regulasi kebijakan akan tetapi membantu dengan bukti
menyelesaikan akar masalah melalui pemberdayaan
pelaku usaha.
3.2 PERAN PEMERINTAH TERHADAP
PERKEMBANGAN IKM DI INDONESIA
Peran pemerintah sebagai pemegang regulasi
yang sekaligus sebagai pembina terhadap perkembangan
industri kecil dan menengah (IKM) sangat penting dan
strategis. Peran IKM dalam menggerakkan
perekonomian nasional, khususnya dari perspektif
kesempatan kerja dan sumber pendapatan bagi kelompok
73
miskin, distribusi pendapatan dan pengurangan
kemiskinan sudah terbukti (Tambunan, 2008). Jumlah
IKM mencapai sekitar 99,85% dari total unit usaha di
Indonesia dan mampu menyerap sekitar 96,66%. Selain
itu sektor IKM juga mampu menyediakan sekitar 57%
kebutuhan barang dan jasa, kontribusinya terhadap
ekspor serta kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi
nasional mencapai 2-4% (BPS, 2014). IKM juga telah
terbukti lebih tangguh dari usaha menengah dan besar
dalam mengatasi dampak krisis ekonomi Indonesia tahun
1997. Data Biro Statistik (BPS) menunjukkan terjadinya
penurunan jumlah usaha secara drastis (7,42%) dari 1997
ke 1998, bahkan usaha besar pada periode tersebut
mengalami penurunan lebih dari 10%.
Peran strategis IKM dalam menggerakkan
ekonomi nasional dan peningkatan kesejahteraan rakyat
tersebut dapat dipertahankan dan dikembangkan jika di
dukung oleh kebijakan pemerintah yang di perlukan
oleh pelaku industri kecil dan menengah. Kebijakan
strategis pemerintah untuk mengembangkan dan
memajukan IKM tidak hanya dalam bentuk stimulus
pendanaan, kemudahan, perlindungan, dan bentuk
74
stimulus lain. Akan tetapi yang jauh lebih penting adalah
keperpihakan kepada kepentingan pelaku industri kecil
dan menengah dalam menghadapi era persaingan global.
Sebagai gambaran Indonesia menganut sistem
pasar terbuka yang berawal adanya kesepakatan
pengelompokan kerja sama regional di bidang
perdagangan: ASEAN Free Trade Area (AFTA), tahun
1980-an, dengan adanya kerja sama tersebut disepakati
hambatan-hambatan dibidang perdagangan dalam bentuk
tarif maupun non tarif diantara negara-negara anggota
dihilangkan guna percepatan pembangunan ekonomi dari
masing-masing negara anggotanya. Dengan adanya
kesepakatan tersebut industri Negara anggota dituntut
untuk mempersiapkan diri untuk bersaing dikawasan
negara-negara ASEAN. Kesepakatan kerja sama
ekonomi regional tersebut berlanjut untuk membentuk
kawasan ekonomi baru di wilayah ASEAN yang disebut
dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Ditambah
lagi Indonesia menjadi anggota 9 (Sembilan) kelompok
negara-negara Free Trade Area diantaranya: kerjasama
ASEAN-China, ASEAN-India, kerjasama regional
AFTA, APEC dan seterunya. Berdasarkan fakta
75
dilapangan keberadaan forum kerjasama tersebut tidak
selalu menguntungkan Indonesia.
Kehadiran pemerintah melalui regulasi dalam
kancah kerja sama ekonomi global sangat dibutuhkan
pelaku usaha, sebab tidak semua forum kerja sama
regional maupun global tersebut selalu menguntungkan
dan menjadi peluang bagi pelaku usaha didalam negeri
namun justru sebaliknya menjadi ancaman baru bagi
pelaku usaha didalam negeri terutama produk-produk
yang dihasilkan oleh industri kecil dan menengah. Untuk
itu pemerintah dituntut harus selalu jeli dan tanggap
dalam melihat dan mengidentifikasi masalah-masalah
yang dihadapi oleh pelaku usaha khususnya IKM
sebagai imbas dari pemberlakuan kerja sama ekonomi
regional.
Banyak kasus yang dialami oleh pelaku usaha
kecil dan menengah di beberapa daerah di Indonesia,
dimana produk-produk yang dihasilkan mengalami
kesulitan untuk mengirimkan atau menjual produknya
kenegara lain (eksport) seperti kenegara tetangga
Malaysia, Singapura, dan Thailand. Penyebab dari
persoalan tersebut bukan pada produk yang kurang
76
berkualitas atau produk IKM yang daya saingya rendah,
tetapi lebih pada persoalan birokrasi pada instansi
pemerintah. Kurangnya koordinasi, singkronisasi, dan
integrasi antara instansi terkait (dinas perdagangan, dinas
industri, dinas koperasi dan UKM, bea cukai, dan
keimigrasian) menjadikan proses ekport produk-produk
yang dihasilkan IKM kurang optimal. Contoh kasus
produk-produk IKM di daerah perbatasan Indonesia –
Malaysia dipropinsi Kalimantan Barat (Singkawang,
Sambas, Pontianak) dan profinsi Sumatera Utara
(Tanjung Balai dan Medan). Produk-produk IKM kita
merasa kesulitan untuk mengirim (ekport) produknya ke
Malaysia baik untuk dijual atau untuk kepentingan
pameran. Akan tetapi, hal tersebut sangat berbeda
dengan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah
Malaysia yang membuka lebih luas pelabuhan/ terminal
ekspor di wilayah perbatasan, sehingga untuk
merealisasi ekspor ke Indonesia bisa langsung dari lokasi
ketempat tujuan yang ingin dicapai tanpa tambahan
biaya dan transportasi yang besar. Dengan demikian
negara jiran Malaysia berpeluang besar untuk me
ngambil manfaat ”Create Creation” yang ditimbulkan
77
adanya pengelompokan regional antar negara-negara
Kelompok Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).
Berdasarkan fakta lapangan di atas, meskipun
produksi kawasan wilayah Indonesia diwilayah
perbatasan di Sumatera Utara dan di Kalimantan Barat
terjadi hambatan didalam pelaksanaan ekspor ke
Malaysia akan tetapi posisi tawar produk Indonesia kuat.
Hal ini dikarenakan pelabuhan ekspor dibatasi oleh
kebijakan pemerintah. Oleh karena itu disarankan
pelabuhan ekspor diperbatasan diperbanyak sehingga
ekspor bisa dilaksanakan ke wilayah Malaysia yang ada
diperbatasan Indonesia-Malaysia dapat dengan mudah
dan murah tanpa tambahan biaya.
3.3 POLA KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM
MEMBANTU UMKM
Ada sebuah motto yang cukup menarik dari
Kementerian Koperasi dan UMKM yaitu “UMKM sehat,
indikator kemajuan pembangunan daerah”. Namun
dibalik motto tersebut ada ungkapan yang kurang
menyenangkan yaitu pelaku usaha kecil dan menengah
kerap dipandang sebelah mata, pemberdayaan mereka
78
pun banyak dinilai setengah hati, malah ada dengan
pendekatan proyek. Hal ini mengindikasikan pada
tataran kebijakan puncak tingkat pemerintah pusat
(kementerian) kesungguhan dengan sepenuh hati untuk
mendorong dan membantu menyelesaikan masalah yang
dihadapi UMKM dan sekaligus ikut memajukan
perkembangan pelaku usaha kecil menengah. Akan
tetapi pada tataran implementasi birokrasi menengah
bawah sering dijumpai masih setengah hati dalam
membantu memberdayakan UMKM atau pemerintah
bersedia membantu tetapi lebih berorientasi pada proyek.
Jadi intinya pada tataran implementasi lebih banyak
pada pendekatan proyek dari pada pendekatan
pemberdayaan pelaku usaha. Wajar kalau pemerintah
daerah menyikapi pandangan miring terhadap semua
upaya pemerintah pusat dalam memajukan UMKM.
Idealnya pemerintah memberikan bukti, bukan hanya
sekedar retorika dalam peraturan pemerintah bahwa
UMKM akan diberdayakan.
Jika yang menjadi indikator utama kemajuan
daerah adalah UMKM yang sehat, maka sebenarnya
tugas utama kepala daerah adalah membantu secara all
79
out untuk memajukan UMKM daerah atau wilayah yang
dipimpinya. Karena itu harus ada potical will dari para
pengambil kebijakan. Pemerintah pusat maupun
daerah/Kepala daerah harus mempunyai keperpihakan
yang jelas kepada pelaku UMKM.
Pola kebijakan yang dapat ditempuh dalam
pembinaan UMKM, pemerintah pusat dalam hal ini
Kementerian Koperasi dan UMKM dalam melakukan
pembinaan kepada UMKM di daerah diserahkan
sepenuhnya kepada pemerintah daerah (Pemda). Karena
yang memahami karakteristik, permasalahan yang
dihadapi, dan produk-produk unggulan yang dihasilkan
oleh UMKM adalah daerah masing-masing. Bentuk
kebijakan pembinaan UMKM di daerah yang dapat
dilakukan dengan membuat payung hukum terlebih
dahulu berupa Perda yang dikeluarkan oleh Gubernur
atau Bupati/walikota dengan persetujuan oleh DPRD.
Pemda dalam hal ini di wakili oleh Dinas
Koperasi dan UMKM baik ditingkat profinsi maupun
kabupaten kota harus mampu menggali potensi dan
mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi oleh
pelaku usaha kecil dan menengah di daerahnya. Contoh
80
seperti yang dilakukan pemda Lampung, bentuk
komitmen dan keperpihakan kepada pelaku UMKM
mengeluarkan Perda Nomer 3 tahun 2016 tentang
Perlindungan dan Pemberdayaan UMKM sebagai
pedoman SKPD untuk melakukan penanganan dan
pembinaan sektor ini. Perda tersebut mengatur tentang
mulai dari kemudahan perijinan pendirian usaha, bentuk
dukungan permodalan, jenis pelatihan, pemberdayaan,
dan bantuan pemasaran untuk penjualan pasar domestik
sampai penjualan kepasar luar negeri (eksport).
Bagi daerah yang sebenarnya mempunyai potensi
besar terhadap produk-produk yang dihasilkan oleh
UMKM dan bisa menjadi produk unggulan daerah,
namun sumber daya manusia yang dimiliki oleh pemda
sangat terbatas maka sebagai solusinya adalah Pemda
bisa menggunakan jasa Konsultan yang ahli dalam
pembinaan UMKM. Sehingga persoalan – persoalan
yang dihadapi oleh pelaku usaha kecil dapat diatasi.
Seperti yang dilakukan oleh dinas koperasi dan UMKM
Profinsi Kalimantan Tengah menggandeng konsultan
untuk membranding produk yang dihasilkan oleh
UMKM di kabupaten Kapuas yaitu produk kerajinan
81
getah nyatu, usaha kerajinan rotan yang ada kabupaten
katingan, dan produk kerajinan batik benang bintik
dikota Palangkarya. Kehadiran konsultan dapat
membantu pelaku UMKM dalam hal kemasan produk
sampai menyebarkan pemasaran produk melalui media
social dan bekerjasama dengan pemilik situs online.
Dinas Koperasi dan UMKM didaerah dapat
menggandeng dunia perguruan tinggi di daerahnya
sebagi mitra untuk melakukan pembinaan dan
pendampingan UMKM. Kerja sama ini sangat
menguntugkan kedua belah pihak, pemda dapat terbantu
dari sisi SDM yang terbatas dan bagi perguruan tinggi
sebagai media untuk melaksakan pengabdian masyarakat
dan pengembangan ilmu dari hasil penelitiannya.
Dari berbagai kebijakan yang ditempuh oleh
pemerintah dalam melakukan pembinaan,
pemberdayaan, dan memberikan motivasi untuk
mengembangkan dan memajukan UMKM harus didasari
oleh komitmen dan niat baik untuk senantiasa berpihak
kepada kepentingan masyarakat banyak. Tanpa didasari
komitmen tersebut sulit untuk bisa memajukan produk
82
UMKM yang mempunyai daya saing dan dapat bersaing
di pasar regional maupun pasar global.
3.4 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI
KECIL DAN MENENGAH
Kebijakan didefinisikan sebagai suatu daftar
tujuan cita-cita (goals) yang memiliki urutan prioritas
atau pernyataan umum tentang maksud dan tujuan
(Starling, 1998). Menurut Pal (1997), kebijakan
bertujuan untuk menyelesaikan masalah atau
sekelompok masalah yang kompleks. Kebijakan publik
didefinisikan sebagai serangkaian tindakan (action) atau
diamnya (in-action) otoritas publik (pemerintah) untuk
memecahkan suatu masalah (Pal, 1997).
Adapun kebijakan industri diartikan sebagai
penggunaan kekuasaan dan sumberdaya pemerintah
untuk menjalankan suatu kebijakan untuk memenuhi
kebutuhan sektor atau industri tertentu (dan, jika
diperlukan untuk perusahaan tertentu) dengan tujuan
untuk meningkatkan produktivitas faktor masukan
adalah salah satu bentuk regulasi pemerintah untuk
mencapai kebijakan makroekonomi yang pada akhirnya
83
diharapkan akan menghasilkan daya saing sektor industri
atau perusahaan tersebut.
Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan
tahun 1997 ternyata telah membuka cakrawala bangsa
Indonesia tentang rapuhnya sistem ekonomi yang
dibangun hanya dengan segelintir konglomerasi.
Pentingnya pengembangan ekonomi lokal dalam konteks
perkuatan IKM tidak lepas dari kinerja nyata yang
dihadapi oleh sebagian besar usaha terutama mikro,
kecil, dan menengah di Indonesia. Hal yang paling
menonjol adalah rendahnya tingkat produktivitas,
rendahnya nilai tambah, dan rendahnya kualitas produk.
Walau diakui pula bahwa IKM menjadi lapangan kerja
bagi sebagian besar pekerja di Indonesia, tetapi
kontribusi dalam output nasional di katagorikan rendah.
Pemerintah menyiapkan sejumlah kebijakan
strategis dalam mendukung pertumbuhan sektor IKM
(Hartanto, https://ekonomi.kompas.com,2016).
Pertama, industri kecil hanya dapat dimiliki oleh
warga negara Indonesia karena IKM memiliki keunikan
dan merupakan warisan budaya bangsa.
84
Kedua, dalam rangka penguatan struktur industri
nasional, peran IKM terus ditingkatkan secara
sigfnifikan dalam rantai suplai industri prioritas,
sehingga terjalin kemitraan yang strategis antara industri
kecil, menengah dan besar.
Ketiga, pemerintah pusat dan pemerintah daerah
melakukan perumusan kebijakan, penguatan kapasitas
kelembagaan dan pemberian fasilitas yang diperlukan
bagi IKM.
Kebijakan yang berpihak kepada IKM tidak
hanya ditujukan kepada industri prioritas, tetapi juga
ditujukan pada industri-industri seperti IKM kerajinan
dan barang seni, gerabah/keramik hias, batu mulia dan
perhiasan, serta tenun/kain tradisional. Untuk
meningkatkan peran Industri Kecil dan Menengah, selain
langkah-langkah strategis untuk mendorong
pertumbuhan sektor industri secara keseluruhan, juga
akan diberlakukan berbagai langkah kebijakan yang
berpihak kepada IKM, yang antara lain sebagai berikut.
1. Dalam rangka keberpihakan terhadap Industri Kecil
dan Menengah dalam negeri ditetapkan bahwa
Industri Kecil hanya dapat dimiliki oleh warga
85
negara Indonesia, Industri yang memiliki keunikan
dan merupakan warisan budaya bangsa hanya dapat
dimiliki oleh warga negara Indonesia, dan industri
menengah tertentu dicadangkan untuk dimiliki oleh
warga negara Indonesia.
2. Dalam rangka penguatan struktur industri nasional,
peran IKM perlu ditingkatkan secara signifikan
dalam rantai suplai industri prioritas.
3. Dalam upaya meningkatkan pembangunan dan
pemberdayaan IKM, Pemerintah dan/atau
Pemerintah Daerah melakukan perumusan kebijakan,
penguatan kapasitas kelembagaan, dan pemberian
fasilitas bagi IKM.
Dalam rangka mewujudkan tujuan pembangunan
industri nasional, upaya pengembangan IKM perlu terus
dilakukan melalui strategi pembangunan berikut.
1. Pemanfaatan potensi bahan baku
Indonesia memiliki sumber bahan baku nasional
yang sangat potensial, namun secara alamiah berada
pada lokasi yang tersebar. Pemanfaatan sumber daya
tersebut akan efisien jika dilakukan pada skala
ekonomi tertentu (umumnya skala menengah dan
86
besar) yang seringkali memerlukan sarana dan
prasarana yang memadai. Seiring dengan
pembangunan sarana dan prasarana yang diperlukan,
sesuai dengan skala operasinya, IKM dapat berperan
signifikan sebagai pionir dengan melakukan
pengolahan yang memberikan nilai tambah pada
bahan baku tersebut.
2. Penyerapan tenaga kerja
Dibalik keterbatasan IKM dalam permodalan, IKM
memiliki potensi penyerapan tenaga kerja pada
industri padat karya. Melalui dukungan sederhana
pada sentra IKM, penyiapan operasi IKM baru dan
pengembagan IKM yang ada dapat dilakukan relatif
lebih mudah dibanding industri besar sehingga
berpotensi membuka lapangan kerja yang lebih luas
dalam waktu yang relatif singkat. Namun, upaya ini
perlu diikuti dengan peningkatan kompetensi tenaga
kerja IKM secara langsung melalui berlatih sambil
bekerja (on the job training), baik dalam aspek
manajerial maupun aspek teknis, yang akan
berpengaruh terhadap peningkatan daya saing IKM.
3. Pemanfaatan teknologi, inovasi dan kreativitas
87
Teknologi dikembangkan dalam berbagai tingkatan,
dari yang sederhana sampai yang canggih. Berbagai
teknologi sederhana, terbukti mampu memberikan
manfaat yang besar pada aplikasi di industri yang
memiliki sumber daya (bahan baku, pemodalan, dan
tenaga kerja) yang terbatas namun memiliki tingkat
inovasi dan kreativitas yang tinggi. Pemanfaatan
teknologi yang disertasi inovasi dan kreativitas
sesuai dengan karakteristik IKM yang memiliki
tingkat fleksibilitas yang tinggi. Dengan cara
tersebut, IKM mampu menghasillkan produk dengan
biaya yang relatif rendah namun dengan kualitas
yang memadai sehingga dapat memperluas pasarnya.
4. Program Pengembangan IKM
Program yang dilakukan dalam rangka mencapai
sasaran tersebut di atas meliputi hal-hal berikut.
a. Pemberian insentif kepada industri besar yang
melibatkan IKM dalam rantai nilai industrinya
b. Meningkatkan akses IKM terhadap pembiayaan,
termasuk fasilitasi pembentukan Pembiayaan
Bersama (Modal Ventura) IKM.
88
c. Mendorong tumbuhnya kekuatan bersama
sehingga terbentuk kekuatan kolektif untuk
menciptakan skala ekonomis melalui
standardisasi, procurement dan pemasaran
bersama.
d. Perlindungan dan fasilitasi terhadap inovasi baru
dengan mempermudah pengurusan hak kekayaan
intelektual bagi kreasi baru yang diciptakan IKM.
e. Diseminasi informasi dan fasilitasi promosi dan
pemasaran di pasar domestic dan ekspor.
f. Menghilangkan bias kebijakan yang menghambat
dan mengurangi daya saing industri kecil.
g. Peningkatan kemampuan kelembagaan Sentra
IKM dan Sentra Industri Kreatif, serta UPT, TPL,
dan Konsultan IKM;
h. Kerjasama kelembagaan dengan lembaga
pendidikan, dan lembaga penelitian dan
pengembangan;
i. Kerjasama kelembagaan dengan Kamar Dagang
dan Industri dan/atau asosiasi industri, serta
asosiasi profesi.
j. Pemberian fasilitas bagi IKM yang mencakup:
89
k. Peningkatan kompetensi sumber daya manusia
dan sertifikasi kompetensi;
l. Bantuan dan bimbingan teknis;
m. Bantuan bahan baku dan bahan penolong, serta
mesin atau peralatan; dan
n. Pengembangan produk.
3.5 STRATEGI PENGEMBANGAN INDUSTRI
KECIL DAN MENENGAH
Era reformasi yang berkembang sejak 1998 telah
membawa banyak perubahan di berbagai bidang.
Pemusatan kekuatan ekonomi nasional pada sekelompok
tertentu telah surut seiring dengan terjadinya krisis
ekonomi dan moneter. Paradigma pembangunan
ekonomi yang semula lebih berorientasi pada
pertumbuhan industri berskala besar telah bergeser
kepada pembangunan ekonomi yang lebih ditekankan
pada ekonomi kerakyatan (industri kecil dan menengah).
Perubahan paradigma tersebut telah berpengaruh
terhadap proses pemulihan ekonomi yang tercermin dari
beberapa indikator ekonomi.
90
Strategi pengembangan yang ditempuh
didasarkan kepada pola pendekatan logis dan
komprehensif melalui dua langkah simultan yang saling
sinergik.Sinergik tersebut digunakan dalam menangani
setiap proyek ataupun objek pengembangan industri,
baik yang bersifat pemecahan masalah maupun yang
bersifat pengembangan ke depan. Adapun kedua strategi
tersebut adalah:
1. Memperkuat daya tarik faktor-faktor penghela pada
sisi permintaan terhadap produk-produk industri
(Demand Pull Strategy) melalui berbagai bentuk
upaya yang sesuai dengan keadaan dan
kebutuhannya.
2. Memperkuat daya dukung faktor-faktor pendorong
pada sisi kemampuan daya pasok (Supply Push
Strategy) untuk memperlancar kegiatan produksi
secara berdaya saing, sesuai dengan kondisi dan
kebutuahnnya.
Pendekatan upaya pengembangan melalui dua
pendekatan tersebut dalam aspek-aspek yag secara
umum memerlukan pemantapan dukungan. Dukungan
ditujukan pada semua sektor/kelompok industri,
91
ditempuh langkah-langkah yang dituangkan dalam
program penunjang.
IKM memiliki peran yang strategis dalam perekonomian
nasional. Hal tersebut dapat dilihat dari jumlah unit
usaha yang berjumlah 3,4 juta unit dan merupakan lebih
dari 90 persen dari unit usaha industri nasional. Peran
tersebut juga tercermin dari penyerapan tenaga kerja
IKM yang menyerap lebih dari 9,7 juta orang pada tahun
2013 dan merupakan 65,4 persen dari total penyerapan
tenaga kerja sektor industri non migas. Disamping itu
IKM juga memiliki ragam produk yang sangat banyak,
mampu mengisi wilayah pasar yang luas, dan menjadi
sumber pendapatan bagi masyarakat luas serta memiliki
ketahanan terhadap berbagai krisis yang terjadi. Dengan
karakteristik tersebut, maka tumbuh dan berkembangnya
IKM akan memberikan andil yang sangat besar dalam
mewujudkan ekonomi nasional yang tangguh, dan maju
yang berciri kerakyatan.
Industri Kecil dan Industri Menengah (IKM)
ditetapkan berdasarkan jumlah tenaga kerja dan nilai
investasi, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat
usaha. Besaran jumlah tenaga kerja dan nilai investasi
92
untuk Industri Kecil dan Industri Menengah ditetapkan
oleh Menteri. Dalam rangka meningkatkan pengamanan
terhadap pengusaha Industri Kecil dan Menengah dalam
negeri ditetapkan bahwa Industri Kecil hanya dapat
dimiliki oleh warga negara Indonesia, dan industri
menengah tertentu dicadangkan untuk dimiliki oleh
warga negara Indonesia.
3.6 SASARAN PENGEMBANGAN IKM
Pengembangan IKM diharapkan akan
meningkatkan jumlah unit usaha IKM rata-rata sebesar 1
persen per tahun atau sekitar 30 ribu unit usaha IKM per
tahun dan peningkatan penyerapan tenaga kerja rata-rata
sebesar 3 persen per tahun. Untuk mendukung
pengembangan IKM ditetapkan sasaran penguatan
kelembagaan yang disertai dengan pemberian fasilitas
sebagai berikut.
1. Penguatan Kelembagaan
a. Penguatan sentra IKM (sentra)
b. Revitalisasi dan pembangunan Unit Pelayanan
Teknis (UPT)
c. Penyediaan Tenaga Penyuluh Lapangan (orang)
93
d. Penyediaan Konsultan Industri kecil dan Industri
Menengah (orang)
2. Pemberian Fasilitas
a. Peningkatan kompetensi SDM (Orang)
b. Pemberian bantuan dan bimbingan teknis (unit
IKM)
c. Pemberian bantuan serta fasilitasi bahan baku
dan bahan penolong (unit IKM)
d. Pemberian bantuan mesin atau peralatan (unit
IKM)
e. Pengembangan produk (unit IKM)
f. Pemberian bantuan pencegahan pencemaran
lingkungan hidup (unit IKM)
g. Pemberian bantuan informasi pasar, promosi, dan
pemasaran (unit IKM)
h. Memfasilitasi akses pembiayaan (unit IKM)
i. Penyediaan Kawasan Industri untuk IKM yang
berpotensi mencemari lingkungan (Kawasan)
j. Memfasilitasi kemitraan antara industri kecil,
menengah dan besar (unit IKM)
k. Memfasilitasi HKI terhadap IKM (unit IKM)
94
l. Memfasilitasi penerapan standar mutu produk
bagi IKM (unit IKM)
m. Bantuan pencegahan pencemaran lingkungan
hidup untuk mewujudkan Industri Hijau;
n. Bantuan informasi pasar, promosi, dan
pemasaran;
o. Penyediaan Kawasan Industri untuk IKM yang
berpotensi mencemari lingkungan; dan/atau
p. Pengembangan dan penguatan keterkaitan dan
hubungan kemitraan.
95
BAB IV
DESAIN DAN MODEL
PENGUATAN POSISI TAWAR
INDUSTRI KECIL DAN MENENGAH
4. 1. PENGUATAN POSISI TAWAR
Perspektif barriers to entry,order to entry yang
dipelopori oleh Porter dikenal dengan aliran market
based view (MBV). Pandangan ini selalu mengawali
pemikiran dengan melihat pasarnya terlebih
dahulu,melakukan anlisa lingkungan eksternal (industri)
serta melihat peru sahaan yang sangat dinamis (the
dynamic of industry environment) khususnya terhadap
para pesaing, pelanggan, pemasok dan produk pengganti.
Dampaknya model analisis industri: model Fi ve Force
dari Porter ini sangat terkenal dan selalu menjadi rujukan
bagi setiap rancangan bisnis. Fokus penyusunan strategi
bersaing dari MBV diletakkan pada upaya menga
mankan pasar (memproteksi pasar) dengan cara
membuat rintangan bagi pesaing agar menga lami
kesulitan memasuki pasar (barriers to entry). Pandangan
Polter ini kemudian dianggap oleh berbagai kalangan
96
telah mengabaikan sumberdaya dan interaksi diantara
sumberdaya dan aktivitasnya. Model lainnya adalah
transaction cost antar perusahaan atau opportunism
based model (OBM).
Menurut model ini pada dasarnya teori-teori
organisasi mencari jawaban melalui sekurang-kurangnya
tiga pertanyaan dasar yaitu,mengapa perusahaan tetap
eksis? Apa yang menentukan skala dan lingkup
perusahaan? Mengapa perusahaan berbeda? Salah satu
pendekatan yang ditujukan untuk menjawab pertanyaan-
pertanyaan tersebut adalah Transaction Cost Economics.
Model ini juga tidak mampu menjelaskan kemanjuran
transaksi karena kekhususan aset akan timbul ketika
perusahaan bergantung pada pemasok yang telah terikat
spesialisasi untuk terlibat dalam transaksi. MBV dan
OBM belum menjelaskan fenomena yang terjadi setiap
saat, kemudian muncul pendekatan lain yang dikenal
Resource Based View (RBV) dan para peneliti dalam
memperdalam RBV, kemudian memunculkan perspektif
baru yang dinamakan”Knowladge Based View”.
Menurut Barney dalam Sangkala (2006), syarat suatu
sumberdaya dinggap strategik bila sumber daya tersebut:
97
(1)bernilai, (2)langka, (3) sukar atau mustahil untuk
ditiru oleh para pesaing, misalnya karena terhalang
karena membutuhkan pengeluaran biaya yang terlalu
besar, dan (4) tidak dapat digantikan oleh tipe/jenis
sumberdaya yang lain.
4.2 ROAD MAP POSISI TAWAR
Berdasarkan hasil penelitian tahap I tahun 2017
yang sudah ditemukan model perkuatan posisi tawar
industri kecil menengah di daerah perbatasan Indonesia
– Malaysia, maka pada Road Map Posisi Tawar tahap II
tahun 2018 ini lebih menekankan pada bagaimana
mencari pengembangan alternatif strategi untuk
meningkatkan daya saing posisi tawar industri kecil
menengah di pasar ASEAN dengan cara sosialiasasi
model posisi tawar, mencari masukan dari pihak terkait /
pemerintah daerah dalam bentuk FGD (focus group
discustion) dan masukan dari pelaku IKM langsung.
Seluruh masukan dari stakeholder tersebut nanti akan
dianalisis untuk menemukan solusi yang tepat dalam
menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh pelaku IKM
dikawasan daerah perbatasan Indonesia – Malaysia.
98
Selanjutnya bentuk solusi tersebut akan
ditawarkan kepada pemerintah dalam bentuk
kebijakan/policy.
Berikut ini merupakan Road Map Posisi Tawar.
99
Gambar 3. Road Map Posisi Tawar
100
4.3. METODE PENELITIAN
4.3.1 Desain Penelitian
Penelitian ini ditempuh melalui survei dan
bersifat grounded. Penelitian survei ini merupakan
penelitian lapangan yang dilakukan terhadap beberapa
anggota sampel dari populasi tertentu yang pengumpulan
datanya dilakukan dengan menggunakan kuesioner
sedangkan grounded research merupakan penelitian yang
dilakukan berdasarkan teori-teori yang sudah ada yang
kemudian dikembangkan menjadi sebuah model
penelitian dimana model pada penelitian ini didesain
untuk meneliti Model Posisi Tawar dalam Peningkatan
Hasil Produksi IKM dikawasan daerah Perbatasan
Indonesia-Malaysia.
4.3.2 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah Teknik Komunikasi Tidak
Langsung dan Teknik Komunikasi Langsung. Teknik
Komunikasi Tidak Langsung menggunakan kuesioner
sebagai instrumen. Sedangkan Teknik Komunikasi
Langsung menggunakan wawancara untuk menanyakan
101
sesuatu yang dirasakan memerlukan penjelasan lebih
lanjut dari responden dengan menelepon dan mendatangi
langsung responden.
4.3.3 Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi adalah wilayah generalisasi yang
mempunyai kualitas dan karakteristik dan ciri-ciri
tertentu yang diterapkan sebelumnya. Berdasarkan
kualitas dan ciri-ciri tersebut, populasi dapat dipahami
sebagai kelompok individu atau obyek pengamatan yang
minimal memiliki satu persamaan karakteristik
(Sugiyono 2004). Adapun populasi dalam penelitian ini
adalah seluruh pelaku industri dan kecil menengah yang
ada di daerah perbatasan Indonesia – Malaysia dan
daerah bukan berbatasan langsung Malaysia. Sedangkan
sampel yang diambil adalah industri kecil menengah
yang berada di Propinsi Kalimantan Barat yaitu kota
Singkawang, Sambas, dan Pontianak. Propinsi Sumatera
Utara yaitu kota Tanjung Balai Asahan, Propinsi Nusa
Tenggara Barat yaitu kota Lombok.
Sampel adalah subset dari populasi yang terdiri
dari beberapa anggota populasi. Subset ini diambil
102
karena dalam banyak kasus tidak mungkin kita meneliti
seluruh anggota populasi oleh karena itu kita membentuk
sebuah perwakilan populasi yang disebut sampel
(Ferdinand, 2006). Adapun sampel yang digunakan
dalam penelitian ini adalah sebagian dari pelaku industri
kecil dan menengah yang ada di kabupaten/kota yang
berada di Propinsi Kalimantan Barat yaitu kota
Singkawang, Sambas, dan Pontianak. Propinsi Sumatera
Utara yaitu kota Tanjung Balai Asahan, dan Propinsi
Nusa Tenggara Barat yaitu kota Lombok.Sedangkan
teknik pengambilan sampling dalam penelitian ini
menggunakan teknikporpusive sampling yaitu
pengambilan sampel dengan pertimbangan-
pertimbangan tertentu sesuai dengan tujuan penelitian.
4.3.4 Jenis dan Sumber Data Penelitian
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah data primer yang meliputi data yang berhubungan
dengan pernyataan responden terhadap pelaku industri
kecil dan menengah daerah perbatasan Indonesia -
Malaysia. Data primer ini bersumber dari para responden
(pelaku industri kecil dan menengah) dengan menyebar
103
angket secara langsung dan wawancara mendalam (debt
interview). Selain itu didukung dengan data sekunder
berupa dokumen-dokumen yang bersumber dari instansi
terkait (dinas perdagangan dan perindustrian pemerintah
daerah dan pelaku usaha IKM) yang relevan dengan
kajian penelitian ini.
4.3.5 Tahap Pelaksanaan
Tahap dalam penelitian ini terdiri dari tujuh
tahapan yaitu; (1)penyelesaian administrasi penelitian,
(2) pembentukan tim peneliti, (3) mempersiapkan
peralatan penelitian, (4) pengumpulan data sekunder dan
lapangan, (5) pengolalahan data lapangan, (6)
memformulasikan konsep menjadi variabel yang relevan
dengan model yang diinginkan, (7) merangkaikan
variabel-variabel yang relevan dan terkait untuk
diformasikan menjadi output.
4.3.6 Teknik Analisis Data
Menurut Tannady (2015:36), Fishbone Diagram
(diagram tulang ikan) atau yang lebih dikenal sebagai
Cause Effect Diagram adalah sebuah gambaran garis
104
yang menampilkan data mengenai faktor penyebab dari
kegagalan atau ketidaksesuaian, hingga menganalisa ke
sub paling dalam dari faktor penyebab timbulnya
masalah
Diagram Fishbone merupakan salah satu metode
yang dikembangkan dalam manajemen mutu untuk
mengidentifikasi persoalan yang ada dalam perusahaan
yang menyebabkan kinerja, kepuasan, kapasitas, dan
produktivitas tidak tercapai. tawar produk IKM di
kawasan daerah perbatasan Indonesia-Malaysia masih
rendah dan sebagai akibatnya daya saing produk menjadi
lemah. Selanjutnya dari bagan diagram tulang ikan ini
dianalisis untuk mencari solusi penyelesain masalah.
Berikut ini merupakan diagram tulang ikan dari
permasalahan posisi tawar IKM di Indonesia.
Gambar 4. Diagram Tulang Ikan
105
Langkah-langkah yang dilakukan dalam analisis
diagram tulang ikan yaitu sebagai berikut.
a. Tetapkan penyebab-penyebab cabang yang sesuai
b. Bertanya beberapa kali pada setiap kemungkinan
penyebab untuk mendapatkan akar permasalahan
c. Interpretasi diagram sebab-akibat
d. Implementasi dan menjawab permasalahan secara
konfrehensif melalui model
Analisis Cluster Industry
Model teknik analisis ini digunakan untuk
mengetahui seberapa efektif dan efisien dari
pengelompokan jenis industri baik dari sisi letak
geografis maupun pengelompokan jenis produk dan
kedekatan bahan baku. Keefektifan dari hasil analisis ini
dapat juga dilihat dari seberapa besar peningkatan
keunggulan bersaing dari industri kecil dan menengah
yang mengimplementasikan strategi industri klaster.
106
BAB V
DAYA SAING
INDUSTRI KECIL DAN MENENGAH
5.1 DAYA SAING
Menurut Boediono (2014), daya saing suatu
negara adalah kemampuan suatu negara untuk bertahan
dan maju dalam perjalanan sejarahnya di tengah-tengah
tantangan dunia nyata yang bergerak secara dinamis.
Peningkatan daya saing harus dilakukan secara
berkelanjutan. Para pakar manajemen strategik
menyatakan bahwa terdapat dua pendekatan yang dapat
digunakan oleh suatu negara untuk mencapai daya saing
yang tinggi, yaitu pendekatan berbasis pasar dan inovasi
(Maulana, 2013).
Pendekatan berbasis pasar (market-based view)
menyatakan bahwa daya saing suatu negara ditentukan
oleh kemampuan perusahaan dalam membaca
lingkungan utama pasarnya, sedangkan pendekatan
berbasis inovasi (inovation-based view) menyatakan
bahwa daya saing suatu negara ditentukan oleh
kemampuan perusahaan dalam berinovasi secara
107
berkelanjutan. Agar dapat bersaing, suatu negara perlu
menguasai kompetensi yang vital bagi keberhasilan
negara tersebut (Hamel dan Prahalad, 1994).
Porter dalam presentasinya di depan Thailand
Competitiveness Institute (TCI) tahun 2003 yang dikutip
oleh Maulana (2013) mendefinisikan daya saing sebagai
hal yang berkaitan dengan peningkatan produktivitas
yang berkelanjutan. World Economic Forum (WEF)
dalam Maulana (2013) mendefinisikan daya-saing
sebagai kemampuan suatu negara untuk mencapai
pertumbuhan PDB/kapita secara berkelanjutan.
Sementara itu, Competitiveness Advisory Group (CAG)
dalam Maulana (2013) menyatakan bahwa daya-saing
harus dilihat sebagai suatu cara dasar untuk
meningkatkan standar hidup, menyediakan kesempatan
kerja bagi yang menganggur dan menurunkan angka
kemiskinan.
5.2.DAYA SAING INDONESIA
Berdasarkan data Global Competitiveness Report
2014-2015 yang dirilis oleh World Economic Forum
(WEF), daya saing Indonesia menempati peringkat ke-34
dari 144 negara yang disurvey. Peringkat tersebut berada
108
di bawah negara-negara lain di kawasan regional
ASEAN, seperti Singapura yang berada di peringkat 2,
Malaysia yang berada di peringkat 20, dan Thailand
yang berada di peringkat 31. Kondisi tersebut
menimbulkan kekhawatiran bagi bangsa Indonesia untuk
berkiprah di era perdagangan bebas di kawasan
ASEAN. Oleh karena itu, perlu dilakukan pembenahan
untuk meningkatkan daya saing Indonesia di era
perdagangan bebas ini.
Kementerian Perindustrian sejak lama telah
melaksanakan banyak program dengan peningkatan daya
saing, salah satu program dikembangkan sejak tahun
2006 adalah program pengembangan kompetensi inti
daerah,kompetensi inti daerah yang belakangan sedikit
dirubah menjadi program pengembangan kompetensi inti
industri daerah (KIID). Kompetensi inti dapat menjadi
kunci keberhasilan kabupaten/kota dalam menentukan
arah pembangunan sesuai dengan keunggulan dayasaing
yang dimiliki:ibid:24
Model Sakasakti, Husaini(1999) berpendapat
bahwa pengembangan kompetensi inti daerah haruslah
terfokus sehingga sumber daya fisik dan non fisik
109
didaerah tersebut dapat dioptimalisasikan untuk
mengembangkan model saka-sakti yang merupakan
kependekan dari Satu Kabupaten Satu Kompetensi
Inti:ibid,ibid:26
Secara konseptual, model Saka Sakti
menggambarkan keterkaitan antara rantai nilai dari
komoditas unggulan yaitu pembelajaran kolektif,
kompetensi dan sumberdaya dengan sembilan faktor
yang dikembangkan oleh Choo dan Moon.Keterkaitan
tersebut melibatkan kemampuan sosial(Social
Capability) dengan struktur industri yang sesuai dengan
kompetensi inti. Sehingga secara konseptual Saka Sakti
dapat dimodelkan pada grafik berikut:
110
Gambar 5. Saka Sakti
1. Kabupaten/Kota,dikembangkan bukan berdasarkan
komoditas atau produk unggulan melainkan
berdasarkan kompetensi inti. Namun demikian
komoditas unggulan dapat dijadikan dasar dalam
pembentukan dan pengembangan kompetensi inti
111
yang harus mendapatkan dukungan dari sumberdaya
daerah baik fisik maupun non fisik.
2. Pengamanan kompetensi inti didasarkan pada
pembelajaran kolektif dari sumber daya manusia yang
ada sehingga dukungan bagi pengembangan
kompetensi ini dapat diwujudkan.
3. Kerjasama atau kemitraan antar daerah dimungkinkan
melalui penguasaan kompetensi inti yang berbeda
contohnya melalui kebijakan Rantai Nilai Lintas-
Batas dan Analisa Skala dan Cakupan Ekonomis.
4. Indikator yang dapat digunakan untuk mengukur
keberhasilan pengembangan kompetensi inti adalah:
kinerja ekonomi,untuk mengukur hasil (outcome)
pengembangan kompetensi inti. Perekonomian dapat
diukur melaui indikator-indikator makro seperti
pendapatan asli daerah, tingkat pengangguran,tingkat
inflasi maupun besaran-besaran iain yang lazim
digunakan un tuk mengukur setiap sektor usaha.
5. Jaringan dan kemitraan antara pemerintah dan dunia
usaha.kemitraan juga dijalin antar daerah dan apabila
memungkinkan dapat menjalin kerjasama dengan
insvestor dari luar negeri,
112
6. Perluasan modal sosial masyarakat,modal ini
diperlukan untuk mendukung proses pengem bangan
kompetensi inti melalui semangat kerja dan
masyarakat didaerah.
7. Inovasi melalui pendekatan penelitian dan
pengembangan termasuk didalamnya penambah an
kapasitas penelitian dan pengembangan.Indikator ini
menunjukkan peluang munculnya kreativitas dan
inovasi-inovasi dari pengembangan kompetensi inti
daerah.
8. Indikator sumber daya manusia dapat berupa
keahlian, ketersediaan dan kualitas tenaga kerja
daerah.
9. Pengembangan perekonomian dan dunia usaha yang
dapat menunjukkan keterlibatan tenaga kerja serta
ketersediaan lapangan kerja: Dr. Agus Maulana.
MSM, Kawasan Edisi 03, 2012: 25-27.
113
5.3 DAYA SAING INDUSTRI KECIL DAN
MENENGAH (IKM) DI INDONESIA
Berdasarkan data Kementerian Perindustrian
Republik Indonesia, jumlah IKM terus mengalami
pertumbuhan yang pesat dari tahun ke tahun. Pada tahun
2014 jumlah IKM naik dari 3,43 juta unit di tahun 2013
menjadi 3,52 juta unit. Jumlah IKM naik kembali
menjadi 3,68 juta unit di tahun 2015. Di tahun 2016,
jumlah IKM meningkat sebesar 4,5%, yaitu sebanyak
165.983 unit usaha yang menyebabkan jumlah IKM naik
menjadi 4,41 juta unit. Di tahun tersebut, IKM berhasil
menyerap 10,1 juta orang tenaga kerja dan memberikan
kontribusi sebesar Rp520 triliun terhadap produk
domestik bruto (PDB). Kontribusi yang diberikan oleh
IKM terhadap PDB tersebut naik sebesar 18,3% dari
kontribusinya di tahun sebelumnya. Per triwulan II tahun
2017, jumlah IKM telah mencapai 4,59 juta unit usaha.
Suburnya pertumbuhan IKM tersebut bukanlah
tanpa alasan. IKM terbukti lebih tangguh dari usaha
menengah dan besar dalam mengatasi dampak krisis
ekonomi Indonesia tahun 1997. Data Biro Statistik
(BPS) menunjukkan terjadinya penurunan jumlah usaha
114
secara drastis (7,42%) dari 1997 ke 1998, bahkan usaha
besar pada periode tersebut mengalami penurunan lebih
dari 10%. Pada saat krisis tersebut, banyak perbankan
yang mengalami kebangkrutan akibat kemacetan kredit
yang mencapai 30%. Angka kredit di saat itu pun
bukannya bertumbuh, melainkan justru menyentuh
angka minus, yaitu sebesar -13%.
Ketahanan IKM dalam menghadapi krisis
tersebut di antaranya disebabkan oleh sumber daya dan
sumber pembiayaan lokal yang menjadi andalan utama
IKM. Para pelaku IKM cenderung menggunakan sumber
daya lokal dalam melakukan kegiatan produksi dan
operasionalnya, mulai dari sumber daya manusia, modal,
bahan baku, hingga peralatan. Hal tersebut menunjukkan
bahwa IKM cenderung tidak mengandalkan barang
impor, sehingga kondisi keuangan IKM cenderung tidak
terpengaruh oleh fluktuasi kurs mata uang asing.
Artinya, ketika nilai kurs dalam negeri anjlok, biaya
produksi IKM tidak mengalami kenaikan yang sangat
drastis mengingat bahan baku yang digunakannya
berasal dari dalam negeri, bukan diimpor dari luar negeri
115
dengan menggunakan dollar dan mata uang asing
lainnya dalam pelaksanaan transaksi jual belinya.
Sumber pembiayaan IKM cenderung tidak terlalu
bergantung pada perbankan, apalagi utang luar
negeri. Hal tersebut kembali menjelaskan alasan
mengapa IKM cenderung tidak terpengaruh oleh krisis
dan fluktuasi kurs mata uang asing. Artinya, ketika nilai
kurs dalam negeri anjlok, biaya modal (cost of capital)
yang ditanggung oleh IKM tidak berlipat ganda
mengingat sumber modalnya cenderung berasal dari
modal sendiri dengan tidak terlalu bergantung pada
sektor perbankan yang sangat lemah terhadap fluktuasi
kurs mata uang asing ataupun bahkan utang luar negeri
yang pelunasannya dilakukan dengan menggunakan
dollar dan mata uang asing lainnya.
Tingginya ketahanan IKM pada berbagai situasi
ekonomi membuat industri tersebut mengalami
pertumbuhan yang pesat setiap tahunnya. Oleh karena
itu, industri kecil menengah (IKM) berperan penting
dalam menggerakkan perekonomian nasional, yakni
dalam menyediakan lapangan kerja dan sumber
pendapatan bagi masyarakat dalam rangka membantu
116
mengurangi angka pengangguran dan kemiskinan. Selain
itu, IKM juga diharapkan dapat menjadi media
pendistribusian ekonomi secara lebih merata dalam
rangka mengurangi kesenjangan ekonomi dan
meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Sebagai salah satu unit bisnis yang bersaing di
pasar, IKM perlu senantiasa meningkatkan daya
saingnya agar dapat terus bertahan di tengah ketatnya
persaingan yang terjadi di pasar. Suatu unit usaha
dikatakan mempunyai daya saing apabila memenuhi
tiga kriteria, yaitu mempunyai sesuatu yang tidak
dimiliki oleh pesaing, melakukan sesuatu yang lebih baik
dari perusahaan lain, dan mampu melakukan sesuatu
yang tidak mampu dilakukan oleh perusahan lain (Porter,
1985). Keunggulan bersaing berkembang dari nilai yang
mampu diciptakan oleh sebuah perusahaan bagi
konsumennya yang melebihi biaya yang dikeluarkan
oleh perusahaan tersebut dalam menciptakannya. Nilai
yang unggul terbentuk dari tawaran harga yang lebih
rendah dari pada pesaing untuk manfaat yang sepadan
atau memberikan manfaat unik yang lebih dari pada
sekedar mengimbangi harga yang lebih tinggi.
117
Pertumbuhan IKM yang pesat sayangnya
cenderung masih belum diiringi dengan peningkatan
daya saing yang signifikan. Salah satu permasalahan
yang menghambat IKM dalam meningkatkan daya
saingnya antara lain masih sederhananya mesin dan/atau
peralatan yang digunakan dalam kegiatan produksi dan
operasionalnya, sehingga produktivitas dan kualitas
produknya relatif rendah. Akibatnya, daya saing produk
pun relatif rendah. Terbatasnya modal yang dimiliki oleh
para pelaku IKM dan akses mereka ke lembaga
keuangan, baik perbankan maupun non-perbankan
menyebabkan IKM mengalami kesulitan untuk membeli
dan/atau memperoleh mesin dan/atau peralatan canggih
yang mampu meningkatkan efisiensi produksi dan
menekan biaya serta waktu produksi dengan tanpa
mengurangi kualitas produk, atau bahkan justru
meningkatkan kualitas produk. Selain itu, daya saing
IKM juga semakin berkurang akibat banyaknya
kedatangan produk-produk impor dari negara-negara lain
yang menawarkan produk dengan harga yang lebih
murah.
118
Berdasarkan hasil penelitian-penelitian terdahulu,
beberapa faktor internal yang berpengaruh terhadap
rendahnya daya saing suatu unit usaha antara lain
rendahnya produktivitas tenaga kerja, rendahnya
penggunaan kapsitas mesin dan peralatan, tingginya
tingkat absensi tenaga kerja, rendahnya efisienensi
penggunaan bahan buku, tidak berkembangnya desain
kerja, dan rendahnya posisi tawar. Dari segi eksternal,
faktor-faktor yang berpengaruh terhadap rendahnya daya
saing suatu unit usaha antara lain agresifnya pajak,
tingginya suku bunga dan nilai tukar, serta banyaknya
pungutan liar. Selain itu, pemberlakuan Masyarakat
Ekonomi ASEAN (MEA) juga menimbulkan
kekhawatiran dalam kaitannya dengan daya saing
produk-produk IKM terhadap produk-produk dari
negara-negara mitra kerja sama di kawasan ASEAN.
Tambunan (2008) mengidentifikasi tiga
persoalan yang dihadapi wirausaha yang masuk kategori
industri kecil menengah di Indonesia, yaitu
produktivitas, daya saing, dan kinerja yang rendah.
Upaya pengembangan IKM masih terkendala oleh
pengelolaan usaha yang masih tradisional, kualitas
119
sumber daya manusia yang belum memadai, skala dan
teknik produksi, kapabilitas inovasi yang masih rendah,
terbatasnya akses pasar, serta masih terbatasnya akses ke
lembaga keuangan, khususnya perbankan.
Permasalahan-permasalahan tersebutlah yang
menghambat suatu IKM untuk berkembang secara
optimal.
Keterbatasan sumber daya manusia dalam IKM
meliputi rendahnya tingkat pendidikan formal yang telah
ditempuh oleh sumber daya manusianya tersebut, serta
terbatasnya pengetahuan dan keterampilan lainnya yang
dimiliki oleh sumber daya manusianya tersebut. Hal
tersebut terjadi karena sebagian besar IKM di Indonesia
tumbuh secara tradisonal dan merupakan usaha yang
turun-temurun, sehingga manajemen dan pengelolaan
IKM dilakukan dengan sistem yang sangat praktis dan
sederhana tanpa memperhatikan pengetahuan dan
keterampilan dari sumber daya manusianya.
120
5.4 KEUNGGULAN BERSAING INDUSTRI KECIL
DAN MENENGAH (IKM)
Dalam menciptakan keunggulan bersaing, IKM
dapat menggunakan tiga strategi generic Porter yang
terdiri dari cost leadership, differensiation, dan focus.
Porter meyakini bahwa pengimplementasian strategi
generic akan mampu mendorong perusahaan untuk
mencapai hasil di atas rata-rata industri. Sebaliknya,
posisi yang tidak konsisten dengan tiga pilihan tersebut
akan menyebabkan perusahaan “stack in the middle”dan
tidak memperoleh rata-rata profit yang besar.
Barney (1991) mengemukakan pandangan
mengenai keunggulan bersaing yang dikenal dengan
istilah pandangan berbasis sumber daya (resources based
view). Pandangan berbasis sumber daya meyakini bahwa
penguasaan aset berwujud dan tidak berwujud
memungkinkan perusahaan untuk memahami dan
menerapkan strategi yang dapat meningkatkan efisiensi
dan efektivitas. Empat karakteristik sumber daya yang
dapat menghasilkan keunggulan bersaing yang
berkelanjuatan (sustainable competitive advantage),
yaitu nilai tinggi (high value), langka (rareness),
121
sulit/mahal untuk ditiru (immutability) dan kriteria
organisasi yang spesifik.
5.5 METODE PENINGKATAN DAYA SAING
INDUSTRI KECIL DAN MENENGAH (IKM)
Terdapat beberapa metode yang dapat digunakan
untuk meningkatkan daya saing IKM di pasar, yaitu
sebagai berikut.
1. Perampingan Biaya (Lean Production)
IKM perlu menekan biaya produksinya dengan tidak
mengurangi kualitas produknya agar dapat
menetapkan harga jual yang lebih murah, sehingga
konsumen tertarik untuk membeli produk yang
diproduksinya tersebut.
2. Diferensiasi Produk (Product Differentiation)
Dalam rangka menciptakan ciri khas tertentu yang
unik pada produknya, serta berbeda dari produk-
produk pesaing dan produk-produk lainnya yang
telah ada sebelumnya, IKM perlu melakukan
diferensiasi produk. Keunikan produk tersebut
diharapkan dapat menarik minat konsumen untuk
membelinya.
122
3. Pengiriman (Delivery)
Bagi produk berukuran besar atau produk yang
sensitif terhadap guncangan, IKM dapat
menyediakan layanan pengiriman (delivery) untuk
memastikan bahwa produk tersebut sampai ke tangan
konsumen dalam keadaan utuh.
4. Lingkungan (Environment)
IKM perlu memastikan bahwa toko/gerai tempat
produknya dijual berada di lingkungan yang baik dari
segi fisik dan non-fisik, sehingga konsumen merasa
nyaman saat berkunjung ke toko/gerai tersebut.
123
BAB VI
POSISI TAWAR
INDUSTRI KECIL DAN MENENGAH
6.1 POSISI TAWAR
Menurut Khols dan Uhl (1980) dalam Nurhadi
(2011), daya tawar (bargaining power) adalah kekuatan
relatif pembeli dan penjual dalam mempengaruhi
pertukaran pada suatu transaksi. Sukirno (2002)
mendefinisikan daya tawar (bargaining power) sebagai
negosiasi dan kapasitas satu pihak dalam mendominasi
pihak lainnya dengan menggunakan pengaruh, kekuatan,
ukuran dan statusnya ataupun kombinasi dari berbagai
taktik persuasi yang berbeda. Lilien et al. (1992) dalam
Nurhadi (2011) mendefinisikan tawar-
menawar/negosiasi sebagai proses komunikasi dua pihak
atau lebih yang saling berkepentingan dan konflik
kepentingan dalam membentuk kesepakatan.
Berdasarkan definisi-definisi tersebut, posisi
tawar (bargaining position) dapat diartikan sebagai
kemampuan seseorang dan/atau sekelompok orang
pelaku usaha dalam mempengaruhi suatu proses
124
transaksi penjualan dari suatu barang/jasa agar dapat
mencapai kesepakatan harga jual di tingkat yang
dikehendakinya, yakni sejauh mungkin melebihi harga
minimum yang telah ditetapkannya berdasarkan biaya-
biaya yang telah dikeluarkannya untuk memproduksi
atau memperoleh barang/jasa tersebut.
Di dunia bisnis, pembeli (konsumen) dan penjual
(produsen) selalu memiliki perspektif yang berbeda
antara yang satu dengan yang lainnya. Di satu sisi,
penjual (produsen) selalu bersaing dalam menghasilkan
produk dengan biaya yang seefisien mungkin dan/atau
dalam menjual hasil produksi ataupun barang
dagangannya dengan harga yang memberikan
keuntungan semaksimal mungkin. Di sisi lain, pembeli
(konsumen) selalu ingin memperoleh barang/jasa dengan
harga beli yang murah dan kualitas yang bagus. Pada
situasi ini, penjual (produsen) yang mempunyai posisi
tawar yang baik akan lebih mampu dalam
mempengaruhi pembeli (konsumen) untuk membeli
barang/jasa yang dijualnya dengan harga yang
memberikan keuntungan baginya.
125
Harga yang terbentuk dalam suatu transaksi
perdagangan berasal dari proses negosiasi dan tawar
menawar antara penjual dan pembeli. Pihak yang
mempunyai posisi tawar yang lebih kuat akan lebih
mampu mengendalikan
pembentukan harga. Dengan kata lain, pihak tersebut
akan menjadi pihak yang menentukan harga (price
leader). Sementara itu, pihak lain dengan posisi tawar
yang lebih lemah akan menerima harga yang ditawarkan
untuk disepakati (price taker).
6.2 POSISI TAWAR INDUSTRI KECIL DAN
MENENGAH (IKM) DI INDONESIA
Berdasarkan data Kementerian Perindustrian
Republik Indonesia, jumlah IKM terus mengalami
pertumbuhan yang pesat dari tahun ke tahun. Pada tahun
2014 jumlah IKM naik dari 3,43 juta unit di tahun 2013
menjadi 3,52 juta unit. Jumlah IKM naik kembali
menjadi 3,68 juta unit di tahun 2015. Di tahun 2016,
jumlah IKM meningkat sebesar 4,5%, yaitu sebanyak
165.983 unit usaha yang menyebabkan jumlah IKM naik
menjadi 4,41 juta unit. Di tahun tersebut, IKM berhasil
126
menyerap 10,1 juta orang tenaga kerja dan memberikan
kontribusi sebesar Rp520 triliun terhadap produk
domestik bruto (PDB). Kontribusi yang diberikan oleh
IKM terhadap PDB tersebut naik sebesar 18,3% dari
kontribusinya di tahun sebelumnya. Per triwulan II tahun
2017, jumlah IKM telah mencapai 4,59 juta unit usaha.
Pertumbuhan IKM yang pesat tersebut sayangnya
cenderung masih belum diiringi dengan signifikannya
perbaikan posisi tawar IKM di pasar dalam negeri. Salah
satu permasalahan yang menghambat IKM dalam
mencapai posisi tawar yang lebih baik antara lain masih
sederhananya mesin dan/atau peralatan yang digunakan
dalam kegiatan produksi dan operasionalnya, sehingga
produktivitas dan kualitas produknya relatif rendah.
Akibatnya, daya saing produk pun relatif rendah.
Terbatasnya modal yang dimiliki oleh para pelaku IKM
dan akses mereka ke lembaga keuangan, baik perbankan
maupun non-perbankan menyebabkan IKM mengalami
kesulitan untuk membeli dan/atau memperoleh mesin
dan/atau peralatan canggih yang mampu bersaing dengan
perusahaan-perusahaan besar. Berdasarkan hal-hal
tersebut, perusahaan dengan skala dan/atau modal usaha
127
yang besar cenderung mempunyai posisi tawar yang
lebih baik dengan daya tawar yang lebih kuat, sehingga
memiliki kemampuan yang lebih baik dalam
mengendalikan harga yang terjadi di pasar. Selain itu,
derasnya produk-produk impor dari negara-negara lain
yang menawarkan produk dengan harga yang lebih
murah menyebabkan posisi tawar IKM semakin tergerus.
6.3 BLUE PRINT POSISI TAWAR
Berdasarkan hasil penelitian lapangan dan
informasi yang berkaitan faktor-faktor penentu posisi
tawar yang diproduksi di wilayah perbatasan Indonesia
dan Malaysia, hasil produksi Indonesia ditawar dengan
harga yang ditentukan oleh produsen oleh produsen
dikarenakan memiliki khas yang tidak dimiliki oleh
Malaysia dan sebaliknya produk buatan Malaysia
diproduksikan oleh pabrik/perusahaan besar yang
menghasilkan produk sejenis oleh beberapa perusahaan
pesaing, oleh karena itu harga ditentukan oleh pasar
(price taker), parameter penentu posisi tawar untuk
produksi pabrik yaitu jumlah, kualitas, biaya, keamanan.
128
Sedangkan produk local yang dominan pada
kreasi dan ketrampilan.Karena itu parameter yang
digunakan adalah jumlah, kearifan local, spesifik,
kelangkaan, sulit digantikan dan sulit ditiru atau
direkayasa. Dalam bentuk analisis model bisa tampilkan
seperti terlihat sebagai berikut.
Produk-produk yang ditawarkan oleh masyarakat
Tanjung Balai Asahan ke Malaysia merupakan produk
yang memiliki kearifan lokal dan padat ketrampilan.
Sebaliknya, produk yang ditawarkan oleh masyarakat
Malaysia memiliki kecenderungan padat teknologi. Hal
tersebut menunjukkan bahwa produk olahan masyarakat
Tanjung Balai Asahan dan Malaysia memiliki Cross
Elastitisity of Demand (CED) ≤ 1 karena termasuk ke
dalam kategori produk komplementer atau produk yang
saling melengkapi. Contoh produk buatan masyarakat
Tanjung Balai Asahan yang berorientasi padat
ketrampilan adalah sepatu.
Produk-produk yang ditawarkan oleh masyarakat
di Singkawang, Sambas dan Pontianak antara lain tauco,
sambal, cabai, gerabah, mie, makanan kecil (snack).
Produk-produk tersebut diolah oleh industri padat
129
ketrampilan.Sebaliknya, produk yang ditawarkan oleh
masyarakat Malaysia memiliki kecenderungan padat
teknologi. Hal tersebut menunjukkan bahwa produk
olahan masyarakat Singkawang, Sambas, Pontianak, dan
Malaysia memiliki Cross Elastitisity of Demand (CED)
≤ 1 karena termasuk ke dalam kategori produk
komplementer atau produk yang saling melengkapi.
Berikut ini merupakan blue print posisi tawar.
130
Gambar 6. Blue Print Posisi Tawar
131
Keterangan: Kasus pada kawasan Asahan(Sumut) dan
Pontianak/Sambas/ Singkawang(Kal Bar)
→ CE ≤ 1, yaitu komplementer yang ke-
dua hasil produksi di kawasan Indonesia
dan Malaysia mengisi sigmentasi pasar
masing-masing.
Berikut ini merupakan data yang diperoleh dari
penelitian ini.
1. Sebaliknya perlakuan berbeda dari negara jiran
Malaysia yang membuka lebih luas pelabuhan/
terminal ekspor di wilayah perbatasan,sehingga
untuk merealisasi ekspor ke Indonesia bisa langsung
dari lokasi ketempat tujuan yang ingin dicapai tanpa
tambahan biaya dan transportasi yang besar. Dengan
demikian negara jiran Malaysia berpeluang besar
untuk me ngambil manfaat”Creat Creation” yang
ditimbulkan adanya pengelom pokan regional antar
negara-negara Klompok Masyarakat Ekonomi
ASEAN (MEA).
132
2. Pasar lokal yang jenuh mamaksa hasil produksi
mengikuti selera pelanggan lokal yang menguras
besaran laba,yang ditandai oleh Liner’s (L) ≤ 0,278.
3. Given Paradox, dikarenakan daya beli masyarakat
lagi melemah maka berlaku price taker yaitu
produsen mengikuti kondisi permintaan pelanggan
meskipun produk yang ditawarkan unik, namun tidak
berpeluang untuk melakukan ekspansi pasar ke-
wilayah potensial permintaan pasar yang lebih
tinggi(Malaysia).
4. Peminat produk hasil produksi Indonesia cukup
tinggi, hal ini terbukti pada arena pameran dagang
yang diselenggarakan di wilayah Negara
Malaysia,namun disayangkan produk yang
ditampilkan di arena pameran tersebut tidak
diperkenankan di jual oleh pemerintah Indonesia,
tetapi harus dibawa kembali ke tanah air karena
produk untuk ditampilkan di pameran belum
dikenakan pungutan yang harus di setor kapada
negara.
5. Hal yang sama berlaku juga dikawasan Kabupaten
Asahan yang berada di Sumatra Utara,yang
133
berhadapan langsung dengan Port Klang di Malaysia
(ada 3 pelabuhan utama di Malaysia: Port Klang di
KL, Pulau Penang dan Pelabuhan bebas Pulau
Langkawi), sedang di Sumut hanya ada 1 (satu)
pelabuhan yang representatif yaitu pelabu han
Belawan di Medan.
6. Dari sisi internal perusahaan tercermin terjadi
pemborosan didalam proses produksi yaitu adanya
produk cacat (reject) ≥ 10%, sangat jauh dari batas
toleransi yang dibenarkan dalam TQC: max 2% yang
berakibat menggerogoti laba perusahaan.
7. Struktur biaya produksi yang kurang idial yaitu
komponen bahan baku cukup dominan: 70% dari
total biaya produksi,selanjutnya diikuti oleh biaya
overhead (20%), dan terakhir upah buruh setara
dengan UMR, hal tersebut boleh jadi rendahnya
stimulus untuk memotivasi tena ga kerja dan
berdampak pada penurunan kualitas kerja dan
memperbesar jumlah produk/jasa berkualitas
dibawah standar yang diperkenankan dalam TQC.
134
6.4 TRADE CREATION CONSTRAINT
Menurut Viner (1950) dalam Arifin, dkk. (2004),
trade creation adalah pengalihan perdagangan dari
pemasok yang kurang efisien ke pemasok lain yang
lebih efisien. Rendahnya daya tawar produk Indonesia
dapat menimbulkan terjadinya trade creation, yaitu
beralihnya masyarakat Indonesia dari produk domestik
ke produk-produk impor yang memiliki daya tawar yang
lebih tinggi. Oleh karena itu, pemerintah berperan
penting dalam membuat kebijakan-kebijakan yang
membatasi terjadinya trade creation tersebut. Hal
tersebut perlu dilakukan untuk mengamankan pasar hasil
produksi dalam negeri agar tidak tergerus oleh produk-
produk dari negara lain di pasar bebas. Pengendalian
atau pembatasan trade creation disebut trade creation
constraint.
Keluwesan pemanfaatan Trade Creation dibatasi
faktor-faktor eksternal dan internal, yaitu sebagai
berikut.
1. Kebijakan pemerintah untuk membatasi
pelabuhan/terminal ekspor di kawasan toritorial
wilayah perbatasan Indonesia – Malaysia(Bag Timur
135
– Kalimantan): ditetapkan pelabuhan/terminal ekspor
di Pontianak, Palangkaraya dan Balik Papan, dengan
demikian terjadi hambatan masuk(bariers to entry)
produk dan jasa yang berada di Kota-kota yang
berbatasan langsung dengan perbatasan
Malaysia,seperti dari Singkawang, Sambas dan
Kota2 lainnya yang ber-batasan langsung → terjadi
penyempitan(bottlel neck) arus ba rang dan jasa dari
dan wilayah Malaysia. Sebaliknya perlakuan ber
beda dari negara jiran Malaysia yang membuka lebih
luas pelabuhan/ terminal ekspor di wilayah
perbatasan,sehingga untuk merealisasi ekspor ke
Indonesia bisa langsung dari lokasi ketempat tujuan
yang ingin dicapai tanpa tambahan biaya dan
transportasi yang besar. Dengan demikian negara
jiran Malaysia berpeluang besar untuk me ngambil
manfaat ”Create Creation” yang ditimbulkan adanya
pengelom pokan regional antar negara-negara
Klompok Masyarakat Ekonomi ASEAN(MEA).
2. Pasar lokal yang jenuh mamaksa hasil produksi
mengikuti selera pelanggan lokal yang menguras
besaran laba,yang ditandai oleh Liner’s(L) ≤ 0,278.
136
3. Given Paradox, dikarenakan daya beli masyarakat
lagi melemah maka berlaku price taker yaitu
produsen mengikuti kondisi permintaan pelanggan
meskipun produk yang ditawarkan unik, namun tidak
berpeluang untuk melakukan ekspansi pasar ke-
wilayah potensial permintaan pasar yang lebih
tinggi(Malaysia).
4. Peminat produk hasil produksi Indonesia cukup
tinggi, hal ini terbukti pada arena pameran dagang
yang diselenggarakan di wilayah Negara
Malaysia,namun disayangkan produk yang
ditampilkan di arena pameran tersebut tidak
diperkenankan di jual oleh pemerintah Indonesia,
tetapi harus dibawa kembali ke tanah air karena
produk untuk ditampilkan di pameran belum
dikenakan pungutan yang harus di setor kapada
negara.
5. Hal yang sama berlaku juga dikawasan Kabupaten
Asahan yang berada di Sumatra Utara,yang
berhadapan langsung dengan Port Klang di
Malaysia(ada 3 pelabuhan utama di Malaysia:Port
Klang di KL,Pulau Penang dan Pelabuhan bebas
137
Pulau Langkawi),sedang di Sumut hanya ada 1(satu)
pelabuhan yang representatif yaitu pelabu han
Belawan di Medan.
6. Dari sisi internal perusahaan tercermin terjadi
pemborosan didalam proses produksi yaitu adanya
produk cacat(reject) ≥ 10%, sangat jauh dari batas
toleransi yang dibenarkan dalam TQC: max 2% yang
ber akibat menggrogoti laba perusahaan.
7. Struktur biaya produksi yang kurang ideal yaitu
komponen bahan baku cukup dominan:70% dari total
biaya produksi,selanjutnya diikuti oleh biaya
overhead(20%), dan terakhir upah buruh setara
dengan UMR, hal tersebut boleh jadi rendahnya
stimulus untuk memotivasi tena ga kerja dan
berdampak pada penurunan kualitas kerja dan
memperbesar jumlah produk/jasa berkualitas
dibawah standar yang diperkenankan dalam TQC.
6.5 ANALISIS DIAGRAM TULANG IKAN
Berdasarkan hasil survey dilapangan baik
dengan instansi pemerintah melalui Dinas Usaha Kecil
dan Menengah Singkawang, Sambas, Pontianak profinsi
138
Kalimantan Baratdan Tanjung Balai Medan Sumatera
Utara maupun wawancara langsung secara mendalam
dengan pelaku usaha, maka ada beberapa masalah yang
berhasil diidentifikasi terhadap kuranggnya posisi tawar
produk IKM yang menjadikan masih rendahnya daya
saing produk IKM khususnya daerah perbatasan, yaitu:
1. Manusia : Faktor sumber daya manusia yang menjadi
kelemahan utama adalah masih rendahnya pendidikan
(mayaoritas lulusan Sekolah Menengah Pertama) dan
kurangnya pelatihan. Sehingga daya kreativitas,
inovasi dan produktivitasnya menjadi rendah.
2. Pengukuran: Pengukuran faktor-faktor produksi
yang digunakan untuk input produksi yang menjadi
hambatan adalah kurangnya valid dan reliable.Hal ini
yang menjadi salah factor terjadinya in efisiensi.
3. Metode: Metode yang digunakan untuk proses
produksi rata-rata kurang optimal.
4. Bahan baku: Bahan baku yang digunakan untuk
proses produksi baik kualitas masih ada yang kurang
kualitasnya dan harganya masih terlalu mahal. Ini
yang menjadikan proses produksi kurang efisien.
139
5. Teknologi: Faktor teknologi yang cukup signifikan
dalam mempengaruhi produktivitas adalah masih
dipakainya tenaga kerja manual dan atau pemakaian
teknologi yang masih rendah.
6. Lingkungan: faktor lingkungan yang mempengaruhi
daya saing dan posisi tawar produk IKM adalah
pemerintah dan pesaing. Factor pemerintah dalam
bentuk kebijakan dan factor pesaing adalah
keunggulan daya saing baik harga maupun kualitas
produk.
Keenam factor inilah yang menjadi penyebab
produktivitas, kinerja dan posisi tawar produk IKM di
kawasan daerah perbatasan Indonesia-Malaysia masih
rendah dan sebagai akibatnya daya saing produk menjadi
lemah.
6.6 MODEL PENGUATAN POSISI TAWAR
Terdapat dua model yang dapat digunakan untuk
merumuskan posisi tawar dari suatu IKM di dalam pasar,
yaitu market-based model (model berbasis pasar) dan
resource/knowledge-based model (model berbasis
sumber daya/pengetahuan). Market-based model
140
merupakan suatu model yang menekankan bahwa posisi
tawar suatu produk cenderung dipengaruhi oleh faktor-
faktor pasar. Market-based model merupakan model
yang digunakan untuk merumuskan posisi tawar dari
suatu produk biasa yang cenderung tidak memiliki ciri
khas tertentu. Produk-produk yang memiliki
karakteristik tersebut biasanya merupakan produk-
produk pabrik yang proses produksinya tidak
memerlukan keterampilan dan kreativitas tertentu yang
unik. Harga dari produk dengan karakteristik tersebut
biasanya ditentukan oleh pasar, sehingga produsen hanya
berperan sebagai price taker yang menerima harga yang
telah ditentukan oleh pasar tersebut.
Parameter yang menentukan posisi tawar IKM
yang memproduksi dan/atau menjual produk pabrik yang
cenderung tidak memiliki ciri khas tertentu tersebut
antara lain jumlah (amount), kualitas (quality), biaya
(cost), waktu pengiriman (delivery time), keamanan
(security), dan moral/etika (morale/ethics). Berikut ini
merupakan rumus posisi tawar suatu produk berdasarkan
market-based model.
141
Keterangan:
A = Jumlah (amount)
Q = Kualitas (quality)
C = Biaya (cost)
D = Waktu pengiriman (delivery time)
S = Keamanan (security)
M = Moral/etika (morale)
Model tersebut merujuk pada model Five Force
dari Porter. Menurut Porter (2008), ada lima hal yang
menentukan tingkat persaingan dan daya tarik pasar
dalam suatu industri, yaitu rivalitas kompetitif dalam
industri (competitive rivalry within the industry),
tantangan bagi para pendatang baru (threat of new
entrants), tantangan bagi produk substitusi (threat of
substitute products), daya tawar pemasok (bargaining
power of suppliers), dan daya tawar para pembeli
(bargaining power of buyers/consumers).
Model ini selalu mengawali pemikiran dengan
melihat pasarnya terlebih dahulu, menganalisis
∑MB = a∑A + b∑Q + c∑C + d∑D+ e∑S +f∑M
142
lingkungan eksternal (industri), serta melihat dinamisme
suatu lingkungan industri tempat dimana suatu
perusahaan bergerak (the dynamic of industry
environment), khususnya terhadap para pesaing
(competitors), pelanggan (customers), pemasok
(suppliers) dan produk pengganti (subsitute products).
Fokus penyusunan strategi bersaing dari market-based
view diletakkan pada upaya untuk mengamankan dan
memproteksi pasar dengan cara membuat rintangan bagi
para pesaing agar mereka mengalami kesulitan untuk
memasuki pasar (barriers to entry).
Model lainnya yang dapat digunakan untuk
merumuskan posisi tawar dari suatu IKM di dalam pasar,
yaitu resource/knowledge-based model (model berbasis
sumber daya/pengetahuan). Resource-based model
merupakan suatu model yang menekankan bahwa posisi
tawar suatu produk cenderung dipengaruhi oleh faktor-
faktor superioritas nilai dan keunikannya. Artinya,
kemampuan seorang produsen dalam menghasilkan
produk yang memiliki nilai yang superior dan unik, serta
tidak mudah ditiru dan digantikan memiliki peran yang
143
penting dalam menentukan posisi tawarnya sekaligus
harga dari produk yang diproduksinya.
Resource-based model merupakan model yang
digunakan untuk merumuskan posisi tawar dari suatu
produk yang memiliki ciri khas tertentu yang unik dan
membedakannya dari produk-produk yang lainnya.
Produk-produk yang memiliki karakteristik tersebut
biasanya merupakan produk-produk yang dalam proses
produksinya memerlukan keterampilan dan kreativitas
tertentu yang unik. Harga dari produk dengan
karakteristik tersebut biasanya ditentukan oleh produsen,
sehingga produsen berperan sebagai price setter yang
menentukan harga dari suatu produk di dalam pasar.
Adapun parameter yang menentukan posisi tawar
IKM yang memproduksi dan/atau menjual produk lokal
yang memiliki ciri khas tertentu yang unik tersebut
antara lain jumlah (amount), kearifan lokal (local
wisdom), spesifikasi (spesification), kelangkaan
(scarcity), tingkat kesulitan untuk digantikan
(irreplaceability), dan tingkat kesulitan untuk ditiru atau
direkayasa (difficulty level to imitate). Berikut ini
144
merupakan rumus posisi tawar suatu produk berdasarkan
resource/knowledge-based model.
Keterangan:
A = Jumlah (amount)
L = Kearifan lokal (local wisdom)
SP = Spesifikasi (spesification)
SC = Kelangkaan (scarcity)
I = Tingkat kesulitan untuk digantikan
(irreplaceability)
DI = Tingkat kesulitan untuk ditiru (difficulty level
to imitate)
Resource/knowledge-based model menekankan
bahwa posisi tawar suatu produk cenderung dipengaruhi
oleh faktor-faktor unik yang berkaitan dengan
keterampilan produsen untuk membuat ciri khas tertentu
pada suatu produk yang membedakan produk tersebut
dari produk lainnya. Barney dalam Sangkala (2006) juga
mengemukakan bahwa suatu sumber daya dianggap
strategik apabila memiliki nilai tertentu, langka, sukar
atau mustahil untuk ditiru oleh para pesaing, dan tidak
∑RB = a∑A + b∑L + c∑SP + d∑SC + e∑I+ f∑DI
145
dapat digantikan oleh tipe/jenis sumber daya lainnya.
Artinya, produsen yang mampu memproduksi produk
dengan nilai khas tertentu yang langka, sukar atau
mustahil untuk ditiru, dan tidak dapat digantikan oleh
tipe/jenis sumber daya lainnya cenderung memiliki
posisi tawar yang lebih baik dari produsen lainnya yang
tidak mampu memproduksi produk dengan karakteristik-
karakteristik tersebut.
Resource-based model mengemukakan bahwa
suatu perusahaan dapat memperoleh laba di atas normal
secara berkelanjutan jika memiliki sumber daya yang
superior karena nilainya, keunikannya, tingkat
kesulitannya untuk ditiru, dan tingkat kesulitannya untuk
digantikan (Grant, 1991). Menurut Fahy dan Smithee
(1999), resouce-based view diawali oleh asumsi bahwa
hasil yang diinginkan oleh manajemen perusahaan
adalah competitive advantage yang akan menguntungkan
perusahaan secara ekonomis. Kemudian, fokus tersebut
berkembang pada bagaimana perusahaan mencapai dan
mempertahankan competitive advantage tersebut.
146
6.7 METODE PENGUATAN POSISI TAWAR
INDUSTRI KECIL DAN MENENGAH (IKM)
Terdapat beberapa metode yang dapat digunakan
untuk memperkuat posisi tawar IKM di pasar, yaitu
sebagai berikut.
1. Penciptaan Nilai (Value Creation)
IKM perlu menciptakan produk yang memiliki nilai
yang superior dengan spesifikasi yang unggul dan
ciri khas yang unik, sehingga sulit untuk ditiru oleh
para pesaing dan sulit untuk digantikan dengan
produk-produk lainnya. Keunggulan spesifikasi dan
keunikan produk tersebut diharapkan dapat menarik
konsumen untuk membeli produk tersebut,
sedangkan kesulitan produk untuk ditiru dan
digantikan diharapkan dapat memicu konsumen
untuk senantiasa membeli produk tersebut dari
produsen aslinya.
2. Kepuasan Pelanggan (Customers Satisfation)
Dalam menciptakan produk, IKM diharapkan tidak
hanya berfokus pada keunikan produk, tetapi juga
perlu memperhatikan manfaat utama yang
diharapkan oleh konsumen dari produk tersebut
147
sehingga konsumen dapat merasa puas dengan
produk tersebut dan tertarik untuk melakukan
pembelian kembali secara berulang-ulang
(repurchase).
3. Kesetiaan Pelanggan (Customers Loyalty)
Agar dapat menciptakan kesetiaan pelanggan
(customers loyalty), IKM harus mampu
memposisikan dirinya di posisi yang strategis di
benak pelanggan, sehingga pelanggan mau bersikap
loyal kepada IKM tersebut. Salah satu cara untuk
memposisikan IKM di posisi yang strategis di benak
pelanggan yaitu dengan senantiasa menciptakan
produk yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan
pelanggan, berkualitas tinggi, berspesifikasi unggul,
unik, sulit untuk ditiru dan sulit untuk digantikan,
serta dengan membangun hubungan yang baik
dengan pelanggan.
4. Pembangunan Nama Baik (Reputable)
Agar dapat membangun nama baiknya, suatu IKM
perlu menjamin bahwa produknya senantiasa
berkualitas unggul dengan tidak mengandung cacat-
cacat yang dapat mengurangi kualitas produk
148
tersebut. Oleh karena itu, IKM perlu menjamin
bahwa proses produksi selalu berjalan sesuai dengan
prosedur yang telah ditentukan sebelumnya, sehingga
tidak terjadi kesalahan-kesalahan yang dapat
mengurangi kualitas produk.
149
DAFTAR PUSTAKA
Agenda Nawacita, Membangun Industri yang Tangguh
dan Berdaya Saing, 04, 2014 Media Industri, Pusat Komunikasi Publik, Kementerian Perindustrian Republik Indonesia, Jakarta.
Arikunto, Suharsimi. (2010). Prosedur Penelitian: Suatu
Pendekatan Praktek. Edisi Keempat. Jakarta: Rineka Cipta.
Barney, J.B. (1991). Firm Resources and Sustained
Competitive Advantage. Journal of Management, Vol. 17. No.9.
Biro Pusat Statistik (BPS). 2017. Fahy, J. dan A. Smithee. (1999). Strategic Marketing and
the Resource Based View of the Firm. Academy of Marketing Science Review. 10.
Ferdinand, A.T. (2013). Metode Penelitian Manajemen,
BP. Semarang: Universitas Diponegoro. Gaspersz, V. (2006). Lean-Sigma Approach. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama. Global Competitiveness Report 2013-2014, Edisi 02
Kina Media Ekuitas Produk Indonesia, Pusat Komunikasi Publik, Kementerian Perindustrian Republik Indonesia, Jakarta
150
Grant, R.M. (1991). The Resource-Based Theory of Competitive Advantage: Implications for Strategy Formulation. California Management Review, 33(3), 114-135.
Hafsah, M.J. (2004). Upaya Pengembangan Usaha Kecil
dan Menengah (UKM). Jurnal Infokop. Nomor 25 Tahun XX.
Hamel dan Prahalad. (1994). Competing for The Future.
New York: Harvard Business Press. Kemenprind Gelar Pisah Sambut dan Serah Terima
Jabatan,tanggal 26 Oktober 2014: Kennett, D. (2001). A New View of Comparative
Economic Systems. Harcourt College Publisher, Inc.
Kohls, R.L dan J.N. Uhl. (1980). Marketing of
Agricultural Products. New York: Macmillan Publishing.
Lilien G.L., Kotler, P. dan Moorthy, K.S. (1992).
Marketing Models. New Jersey: Prentice Hall International Corporation.
Maulana, A. (2013). MP3EI dan Pembangunan
Kompetensi Inti Industri Daerah dalam Rangka Meningkatkan Daya Saing Negara. Majalah Agrimedia, 18(2), 35-43.
151
Media Ekuitas Produk Indonesia: Kina, Edisi 02, 2014. Media Industri Menuju Kehidupan yang Lebih Baik,
Edisi No 04, 2014. Media Informasi Perwilayahan Industri:Kawasan,Edisi
03, Oktober 2012. Mikkelsen, B. (2003). Metode Penelitian Partisipatoris
dan Upaya-upaya Pemberdayaan. Edisi Pertama. Jakarta: Yayasan Obor.
Anoraga, P. dan D. Sudantoko. 2002. Koperasi,
Kewirausahaan, dan Usaha Kecil. Jakarta: Rineka Cipta.
Porter, M.E. (1980). Competitive Strategy: Techniques
for Analyzing Industries and Competitors. New York: T he Free Press.
Porter, M.E. (1985). Competitive Advantage: Creating
and Sustaining Superior Performance. New York: The Free Press.
Porter, M.E. 2008. The Five Competitive Forces that
Shape Strategy. Harvard Business Review, 86(1), 79-93.
Sangkala. 2006. Intelectual Capital Management. Edisi
Pertama. Jakarta: YAPENSI.
152
Schwab, K. 2014. The Global Competitiveness Report 2014-2015. Geneva: World Economic Forum.
Setiawan, A.H. (2004). Fleksibilitas Strategi Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah, Dinamika Pembangunan Universitas Diponegoro. Semarang.
Subanar, H. (2001). Manajemen Usaha Kecil.
Yogyakarta: BPFE. Sugiyono, (2004). Metode Penelitian Bisnis, Penerbit
Alfabeta, Bandung Suhardjono. (2003). Manajemen Perkreditan Usaha
Kecil dan Menengah.Yogyakarta: BPFE Suryana. (2000). Ekonomi Pembangunan: Problematika
dan Pendekatan. Jakarta: Salemba Empat. Suryana. (2003). Kewirausahaan. Pedoman Praktis,
Kiat dan Proses Menuju Sukses. Tannady, H. (2015). Pengendalian Kualitas.
Yogyakarta: Graha Ilmu. Partomo, T.S. dan A.R. Dejoedono. (2002). Ekonomi
Skala Kecil Menengah dan Koperasi. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Tambunan, T.H. 2002. Usaha Kecil dan Menengah di
Indonesia: Beberapa Isu Penting, Penerbit Jakarta: Salemba Empat.
153
Husaini. (1999). Model Saka Sakti: Pergeseran
Paradigma Bersaing di Era Globalisasi. Edisi 03. Kawasan, Media Informasi Kewilayahan Industri, Kementerian Perindustrian Republik Indonesia, Jakarta
www.ukm.indonesia.net, Jan-Feb,2013: Menjadikan
Indonesia Sebagai Indonesia.
154
BIODATA PENULIS
Suryono Efendi
Dosen Tetap Program Studi
Manajemen Fakultas Ekonomi dan
Bisnis Universitas Nasional Jakarta
(1991-sekarang) dengan pangkat
Akademik Lektor Kepala.
Menyelesiakan pendidikan S3
Manajemen di Universitas
Diponegoro tahun 2015.
Sufyati HS
Dosen Tetap Program Studi
Manajemen Fakultas Ekonomi dan
Bisnis- Universitas Nasional Jakarta
(1991-sekarang) dengan pangkat
Akademik Lektor Kepala.
Menyelesaikan pendidikan S3
Ekonomi Islam di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2016.
155
Edi Sugiono
Dosen Tetap Program Studi
Manajemen Fakultas Ekonomi dan
Bisnis Universitas Nasional
Jakarta (2007-sekarang) dengan
pangkat akademik Lektor.
Menyelesiakan pendidikan S3
Manajemen di Universitas
Brawijaya tahun 2018.
Eddy Guridno
Dosen Tetap Program Studi
Manajemen Fakultas Ekonomi
Universitas Nasional Jakarta
dengan pangkat akademik Lektor.
Menyelesaikan pendidikan S2
Manajemen di Universitas
Nasional.
156
DiterbitkanOleh:NusaLiteraInspirasiJl.KH.ZainalArifin
KabupatenCirebon,JawaBaratPhone:0857–1644–6889www.nusaliterainspirasi.com