pengukuran sipat datar
DESCRIPTION
PengukuranTRANSCRIPT
Pengukuran sipat datar Metode sipat datar optis adalah proses penentuan ketinggian dari sejumlah titik atau pengukuran perbedaan elevasi. Perbedaan yang dimaksud adalah perbedaan tinggi di atas air laut ke suatu titik tertentu sepanjang garis vertikal. Perbedaan tinggi antara titik - titik akan dapat ditentukan dengan garis sumbu pada pesawat yang ditunjukan pada rambu yang vertikal. Tujuan dari pengukuran penyipat datar adalah mencari beda tinggi antara dua titik yang diukur. Misalnya bumi, bumi mempunyai permukaan ketinggian yang tidak sama atau mempunyai selisih tinggi. Apabila selisih tinggi dari dua buah titik dapat diketahui maka tinggi titik kedua dan seterusnya dapat dihitung setelah titik pertama diketahui tingginya.
Sebelum digunakan alat sipat datar mempunyai syarat yaitu: garis bidik harus sejajar dengan garis jurusan nivo. Dalam keadaan di atas, apabila gelembung nivo tabung berada di tengah garis bidik akan mendatar. Oleh sebab itu, gelembung nivo tabung harus di tengah setiap kali akan membaca skala rambu. Karena interval skala rambu umumnya 1 cm, maka agar kita dapat enaksir bacaan skala dalam 1 cm dengan teliti, jarak antara alat sipat datar dengan rambu tidak lebih dari 60 meter. Artinya jarak antara dua titik yang akan diukur beda tingginya tidak boleh lebih dari 120 meter dengan alat sipat datar ditempatkan di tengah antar dua titik tersebut dan paling dekat 3,00 m. Beberapa istilah yang digunakan dalam pengukuran alat sipat datar, diantaranya:
1. Stasion adalah titik dimana rambu ukur ditegakkan; bukan tempat alat sipat datar ditempatkan.
Tetapi pada pengukuran horizontal, stasion adalah titik tempat berdiri alat.
2. Tinggi alat adalah tinggi garis bidik di atas tanah dimana alat sipat datar didirikan.
3. Tinggi garis bidik adalah tinggi garis bidik di atas bidang referensi ketinggian (permukaan air
laut rata-rata)
4. Pengukuran ke belakang adalah pengukuran ke rambu yang ditegakan di stasion yang
diketahui ketinggiannya, maksudnya untuk mengetahui tingginya garis bidik. Rambunya disebut
rambu belakang.
5. Pengukuran ke muka adalah pengukuran ke rambu yang ditegakan di stasion yang diketahui
ketinggiannya, maksudnya untuk mengetahui tingginya garis bidik. Rambunya disebut rambu
muka.
6. Titik putar (turning point) adalah stasion dimana pengukuran ke belakang dan kemuka
dilakukan pada rambu yang ditegakan di stasion tersebut.
7. Stasion antara (intermediate stasion) adalah titik antara dua titik putar, dimana hanya
dilakukan pengukuran ke muka untuk menentukan ketinggian stasion tersebut.
8. Seksi adalah jarak antara dua stasion yang berdekatan, yang sering pula disebut slag. Istilah -
istilah di atas dijelaskan pada gambar 46.
Keterangan Gambar 46:
�� A, B, dan C = stasion: X = stasion antara
�� Andaikan stasion A diketahui tingginya,
maka:
Disebut pengukuran ke belakang, b = rambu belakang;
Disebut pengukuran ke muka, m = rambu muka.
Dari pengukuran 1 dan 2, tinggi stasion B diketahui, maka:
Disebut pengukuran ke belakang;
Disebut pengukuran ke muka, stasion B disebut titik putar
1. Jarak AB, BC dst masing-masing disebut seksi atau slag.
2. Ti = tinggi alat; Tgb= tinggi garis bidik.
Pengertian lain dari beda tinggi antara dua titik adalah selisih pengukuran ke belakang dan pengukuran
ke muka. Dengan demikian akan diperoleh beda tinggi sesuai dengan ketinggian titik yang diukur.
Berikut adalah cara - cara pengukuran dengan sipat datar, diantaranya:'
Cara kesatuAlat sipat datar ditempatkan di stasion yang diketahui ketinggiannya.Dengan demikian dengan mengukur tinggi alat, tinggi garis bidik dapat dihitung. Apabila pembacaan rambu di stasion lain diketahui, maka tinggi stasion ini dapat pula dihitung. Seperti pada gambar 47.
Keterangan gambar 47:
ta = tinggi alat di A
T = tinggi garis bidik
HA = tinggi stasion A
b = bacaan rambu di B
HB = tinggi stasion B
hAB = beda tinggi dari A ke B = ta – b
untuk menghitung tinggi stasion B digunakan rumus sbb:HB = T – bHB = HA + ta – bHB = HA + hAB
Cara tersebut dinamakan cara tinggi garis bidik.
Catatan:'
ta dapat dianggap hasil pengukuran ke belakang, karena stasion A diketahui tingginya. Dengan demikian beda tinggi dari A ke B yaitu hAB = ta – b. Hasil ini menunjukan bahwa hAB adalah negatif (karena ta < b) sesuai dengan keadaan dimana stasion B lebih rendah daristasion A.
beda tinggi dari B ke A yaitu hBA = b – t. Hasilnya adalah positif. Jadi apabila HB dihitung dengan rumus HB = HA + hAB hasilnya tidak sesuai dengan keadaan dimana B harus lebih rendah dari A.
Dari catatan poin 1 dan 2 dapat disimpulkan bahwa hBA = -hAB agar diperoleh hasil sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
Cara keduaAlat sipat datar ditempatkan diantara dua stasion (tidak perlu segaris).Perhatikan gambar 48:'
hAB = a – bhBA = b – a
Bila tinggi stasion A adalah HA, maka tinggi stasion B adalah:HB = HA + hAB = HA + a – b = T – b
Bila tinggi stasion B adalah HB, maka tinggi stasion A adalah:HA = HB + hBA = HB + b – a = T – a''
Cara ketigaAlat sipat datar tidak ditempatkan diantara atau pada stasion.Perhatikan gambar 49:
hAB = a – bhBA = b – a
bila tinggi stasion C diketahui HC, maka:HB = HC + tc – b = T – bHA = HC + tc – a = T – a
Bila tinggi stasion A diketahui, maka:HB = HA + hAB = HA + a - b
Bila tinggi stasion B diketahui, maka:HA = HB + hAB = HB + b – a
Dari ketiga cara di atas, cara yang paling teliti adalah cara kedua, karena pembacaan a dan b dapat diusahakan sama teliti yaitu menempatkan alat sipat datar tepat di tengah - tengah antara stasion A dan B (jarak pandang ke A sama dengan jarak pandang ke B).
Pada cara pertama pengukuran ta kurang teliti dibandingkan dengan pengukuran b, dan pada cara ketiga pembacaan a kurang teliti dibandingkan dengan pembacaan b. Selain itu, dengan cara kedua hasil pengukuran akan bebas dari pengaruh kesalahankesalahangaris bidik, refraksi udara serta kelengkungan bumi.
Dalam pembuatan jalan maupun pembangunan diperlukan suatu pengukuran beda tinggi agar dapat diketahui perbedaan tinggi yang ada dipermukaan tanah.
Sipat datar (levelling) adalah suatu operasi untuk menentukan beda tinggi antara dua titik di
permukaan tanah. Sebuah bidang datar acuan, atau datum, ditetapkan dan elevasi diukur terhadap
bidang tersebut. Beda elevasi yang ditentukan dikurangkan dari atau ditambah dengan nilai yag
ditetapkan tersebut, dan hasilnya adalah elevasi titik-titik tadi.
Prinsip dan Fungsi Pengukuran Beda Tinggi
Pengukuran beda tinggi dilakukan dengan menggunakan alat sipat datar (waterpass). Alat didirikan pada suatu titik yang diarahkan pada dua buah rambu yang berdiri vertical. Maka beda tinggi dapat dicari dengan menggunakan pengurangan antara bacaan muka dan bacaan belakang.Rumus beda tinggi antara dua titik :
BT = BTB – BTA
Keterangan : BT = beda tinggiBTA = bacaan benang tengah ABTB = bacaan benang tengah B
Sebelum mendapatkan beda tinggi antara dua titik, diperlukan dulu pembacaan benang tengah titik tersebut, dengan menggunakan rumus :
BT = BA + BB / 2
Keterangan : BT = bacaan benang tengahBA = bacaan banang atasBB = bacaan benang bawah
Untuk mencari jarak optis antara dua titik dapat digunakan rumus sebagai berikut :
J = (BA – BB) x 100
Keterangan : J = jarak datar optisBA = bacaan benang atasBB = bacaan benang bawah100 = konstanta pesawat
Dalam setiap pengukuran tidaklah lepas dari adanya kesalahan pembacaan angka, sehingga diperlukan adanya koreksi antara hasil yang didapat di lapangan dengan hasil dari perhitungan.
Fungsi dari pengukuran beda tinggi ini, antara lain :a. Merancang jalan raya, jalan baja, dan saluran-saluran yang mempunyai garis gradien paling sesuai dengan topografi yang ada.b. Merencanakan proyek-proyek konsruksi menurut evaluasi terencana.c. Menghitung volume pekerjaan tanah.d. Menyelidiki ciri-ciri aliran di suatu wilayah.e. Mengembangkan peta-peta yang menunjukkan bentuk tanah secara umum.
Digunakan untuk mementukan ketinggian titik-titik yang menyebar dengan kerapatan tertentu untuk membuat garis-garis ketinggian (kontur).1. Pengukuran sipat datar resiprokal (reciprocal levelling)Adalah pengukuran sipat datar dimana alat sipat datar tidak dapat ditempatkan antara dua station. Misalnya pengukuran sipat datar menyeberangi sungai/lembah yang lebar.2. Pengukuran sipat datar teliti (precise levelling)Adalah pengukuran sipat datar yang menggunakan aturan serta peralatan sipat datar teliti.
Pengukuran Sipat Datar MemanjangSipat datar memanjang adalah suatu pengukuran yang bertujuan unutk mengetahui ketinggian titik-titik sepanjang jalur pengukuran dan pada umumnya digunakan sebagai kerangka vertikal bagi suatu daerah pemetaan. Sipat datar memanjang terbagi menjadi sipat datar terbuka dan tertutup.
Cara pengukuran:1. Letakkan rambu ukur di titik A dan B.2. Letakkan alat antara titik A dan titik B (usahakan jarak antara alat dengan titik A maupun titik B sama).
3. Baca Rambu A (BA, BT, BB). Hitung koreksi dengan cara BT=(BA+BB):24. Baca rambu B (BA, BT, BB). Hitung koreksi dengan cara BT=(BA+BB):25. Koreksi maksimum 2mm.6. Hitung beda tinggi dengan mengurangi BT muka dan BT belakang.7. Hitung jarak alat dengan titik AdA=(BA A – BB A)x1008. Hitung jarak alat dengan titik BdB=(BA B – BB B)x1009. Hitung jarak AB=dA+dB10. Pada slag berikutnya, rambu A menjadi bacaan muka dan sebaliknya, rambu B menjadi bacaan belakang
Adapun yang perlu diperhatikan dalam pengukuran ini adalah:a. Usahakan jarak antara titik dengan alat sama.b. Seksi dibagi dalam jumlah yang genap.c. Baca rambu belakang, baru kemudian dibaca rambu muka.d. Diukur pulang pergi dalam waktu satu hari.e. Jumlah jarak muka=jumlah jarak belakang.f. Jarak alat ke rambu maksimum 75 m.
Sipat Datar Tertutup
Sipat datar memanjang tertutup yaitu suatu pengukuran sipat datar yang titik awal dan titik akhir sama /berimpit.
Agar didapat hasil yang teliti maka perlu adanya koreksi, dengan asumsi bahwa beda tinggi pergi sama dengan beda tinggi pulang.
C = k / (n-1)
C = Koreksik = kesaahann = banyaknya titik(n-1) = banyak slag (beda tinggi)
Metode Pulang Pergi
Pada saat pembacaan rambu, digunakan metode pulang pergi, yaitu setelah mengukur beda tinggi AB, maka, rambu A dipindahkan ke titik C untuk mengukur beda tinggi BC sehingga akan kita dapatkan beda tinggi BC. Setelah itu, rambu B dipindahkan ke titik D sehingga akan di dapat beda tinggi CD. Hal ini dilakukan untuk mengurangi kesalahan pembacaan rambu yang diakibatkan skala nol pada rambu yang dikeluarkan oleh pabrik tidak berada pada skala nol sebenarnya. Untuk mengoreksi data beda tinggi yang didapat, digunakan rumus:8√d; dimana d = jarak titik (km)setelah semua data terkoreksi, maka beda tinggi antara dua titik dapat diketahui dengan rata-rata beda tinggi antara ulang dan tinggi.∆h = ∆H pergi – ∆H pulang / 2
Pengertian Slag, Seksi dan Sirkuit• 1 slag adalah satu kali alat berdiri untuk mengukur rambu muka dan rambu belakang.• 1 seksi adalah suatu jalur pengukuran sepanjang 1-2 km yang terbagi dalam slag yang genap dan diukur pulang pergi dalam waktu 1 hari.• 1 kring / sirkuit adalah suatu pengukuran sipat datar yang sifatnya tertutup sehingga titik awal dan titik akhirnya adalah sama.
PENGUKURAN SIPAT DATAR
Pengertian Sipat Datar
Metode sipat datar prinsipnya adalah Mengukur tinggi bidik alat sipat datar optis di
lapangan menggunakan rambu ukur. Hingga saat ini, pengukuran beda tinggi dengan
menggunakan metode sipat datar optis masih merupakan cara pengukuran beda tinggi yang
paling teliti. Sehingga ketelitian kerangka dasar vertikal (KDV) dinyatakan sebagai batas harga
terbesar perbedaan tinggi hasil pengukuran sipat datar pergi dan pulang.
Maksud pengukuran tinggi adalah menentukan beda tinggi antara dua titik. Beda tinggi h
diketahui antara dua titik a dan b, sedang tinggi titik A diketahui sama dengan Ha dan titik B
lebih tinggi dari titik A, maka tinggi titik B, Hb = Ha + h yang diartikan dengan beda tinggi antara
titik A clan titik B adalah jarak antara dua bidang nivo yang melalui titik A dan B. Umumnya
bidang nivo adalah bidang yang lengkung, tetapi bila jarak antara titik-titik A dan B dapat
dianggap sebagai Bidang yang mendatar.
Tinggi titik pertama ( h1) dapat di definisikan, sebagai koordonat lokal ataupun terikat
dengan titik yang lain yang telah diketahui tingginya, sedangkan selisih tinggi atau lebih di kenal
dengan beda tinggi ( h ) dapat diketahui/diukur dengan menggunakan prinsip sipat datar.
( h2 ) = h (1) + ∆ h ( 12 )
Yaitu, tinggi selanjutnya adalah tinggi titik sebelumnya ditambahkan dengan beda tinggi
antara kedua titik yang bersangkutan, Umumnya diambil selisih tinggi titik belakang terhadap
titik muka.
H ( 1 0 + h ( i-l ) + ∆h ( i-l.i )
Yang menjadi masalah dalam pengukuran beda tinggi ini adalah pengambilan
penentuan referensi awalnya. Apabila peta yang di inginkan tersebut hanya berorientasi pada
ketinggian setempat saja, tanpa memperhatikan orientasi tinggi yang menyeluruh maka titik nol
dapat dipilih sembarangan.
Namun untuk pemetaan yang teliti dan mempunyai kaitan dengan peta nasional, maka
titik awalnya di ambil dari tinggi permukaan air laut rata-rata dalam keadaan titdak terganggu
selama 18,6 tahun.
Sedangkan permukaan bumi itu sangat berpengaruh dengan berbagai gaya dan gerak
endogen serta eksogen, dan semua ini di pengaruhi secara langsung oleh distribusi massa di
daerah sekitar titik yang bersangkutan.
Hal ini yang menyebabkan masalah pengambilan referensi awal tersebut, karena
sekalipun titik awal di ambil dari permukaan air laut rata-rata, tetapi apabila berbeda lokasi
awalnya, maka akan tetap menghasilkan ketinggian yang berbeda pada satu titik.
Sekali lagi, dalam pemakaian peta yang cukup luas, patut di perhatikan oleh para
perencana, mengenai masalah kemugkinan kesalahan yang akan terjadi pada saat pelaksaaan
kerja konstruksi, yaitu tidak sesuainya perencanaan di atas peta dengan kenyataan di
lapangan. Sehingga selalu terdengar perencanaan pembangunan yang gagal akibat banjir yang
tak terduga ataupun berbagai gejala alam lainnya.
Tujuan Pengukuran Sipat Datar
Tujuan Intruksional Umum
Mahasiswa mampu memahami, mendeskripsikan, dan mengaplikasikan berbagai
metode pengukuran beda tinggi dengan pesawat penyipat datar pada praktik pengukuran dan
pemetaan ilmu ukur tanah.
Tujuan Instruksi Khusus
1. Mahasiswa mampu melakukan survei ke lapangan berkenaan dengan tugas yang diberikan.
2. Mahasiswa dapat menentukan letak patok-patok pengukuran dan pengkondisian dalam jumlah
slag yang genap.
3. Mahasiswa mampu mematok rencana pematokan itu di lapangan.
4. Mahasiswa mampu mengetengahkan gelembung nivo dengan cara menggerakkan 2 skrup kaki
kiap ke dalam atau keluar saja, dan menggerakkan 2 sekrup kaki kiap ke kanan atau ke kiri
saja, dilakukan secara interaktif sehingga gelembung nivo itu benar-benar di tengah dianggap
bahwa garis bidik sejajar dengan gelembung nivo.
5. Mahasiswa mampu melakukan pengukuran kesalahan garis bidik dengan kedudukan alat pada
stand 1 dan stand 2, di mana rumus kesalahan garis bidik adalah (benang tengah belakang
stand 1 – benang tengah muka 1) - (benang tengah belakang stand 2 - benang tengah muka
stand 2) (jarak belakang stand 1 - jarak muka stand 1) - (jarak belakang stand 2 - jarak muka
stand 2).
6. Mahasiswa mampu mendirikan alat pada slag 1 dan slag-slag selanjutnya yang letaknya kira-
kira di tengah antara dua rambu serta mampu membaca benang atas, tengah, dan bawah
rambu belakang, benang atas, tengah, dan bawah rambu muka dan jarak muka dan jarak
belakang.
Peralatan Yang Dibutuhkan
Alat sipat datar optis
Statif ( perhatiakan kecocokannya dengan alat )
Unting – unting
Rambu ukur 2 buah
Alat tulis dan formulir ukuran
Payung 1 buah ( untuk memayungi alat )
Pita ukur 1 buah
Meteran 3 buah
Patok pengukuran ( disesuaikan dengan wilayah pengukuran )
Peta wilayah situasi ( dengan bebas pengukuran )
Alat Ukur Sipat Datar Optis
a. Dumpy level (type kekar)
Pada tipe ini sumbu tegak menjadi satu dengan teropong. Semua bagian pada alat sipat
datar tipe kekar adalah tetap. Nivo tabung berada di atas teropong, teropong hanya dapat
digeser dengan sumbu kesatu sebagai sumbu putar.
Dimana:
1. Teropong. 10. Sumbu ke-1.
2. Nivo tabung. 11. Tombol Fokus.
3. Pengatur Nivo.
4. Pengatur dafragma.
5. Kunci Horizontal.
6. Skrup Kiap
7. Tribrach.
8. Trivet.
9. Kiap (Leveling Head).
b. Reversible level (type reversi)
Pada tipe ini teropongnya dapat diputar pada sumbu mekanis dan disangga oleh bagian
tengah yang mempunyai sumbu tegak. Pada alat ini teropongnya dapat diputar pada sumbu
mekanis dan disangga oleh bagian tengah yang mempunyai sumbu tegak. Di samping itu
teropong dapat diungkit dengan skrup (no 13) sehingga garis bidik dapat mengarah ke atas, ke
bawah, maupun mendatar. Sumbu mekanis, disamping sebagai sumbu puitar teropong
merupakan garis penolong untuk membuat garis bidik sejajar dengan dua garis jurusan nivo
reversi.
Dimana:
1. Teropong. 9. Kiap.
2. Nivo Reversi. 10. Sumbu ke-1 (Sumbu Tegak).
3. Pengatur Nivo. 11. Tombol Fokus.
4. Pengatur Diafragma. 12. Pegas.
5. Skrup Pengunci Horizontal. 13. Skrup Pengungkit Teropong.
6. Skrup Kiap. 14. Skrup Pemutar Teropong.
7. Tribrach. 15. Sumbu Mekanis.
8. Trivet.
c. Tilting level (type jungkit)
Pada tipe ini sumbu tegak dan teropong dihubungkan dengan engsel dan skrup
pengungkit.Berbeda dengan tipe reversi, pada tipe ini teropong dapat diungkit dengan skrup
pengungkit.
Dimana:
1. Teropong. 8. Trivet.
2. Nivo Tabung. 9. Kiap.
3. Pengatur Nivo. 10. Sumbu ke-1.
4. Pengatur Diafragma. 11. Tombol Focus.
5. Pengunci Horizontal. 12. Pegas.
6. Skrup Kiap. 13. Pengungkit Teropong.
7. Tribrach.
d. Automatic level (type Otomatis)
Tipe ini sama dengan tipe kekar, hanya di dalam teropongnya terdapat akat yang disebut
kompensator untuk membuat agar garis bidik mendatar. Berbeda dengan 3 tipe sebelumnya,
pada type otomatik ini tidak terdapat nivo tabung untuk mendatarkan garis bidik sebagai
penggantinya di dalam teropong dipasang alat yang dinamakan kompensator.
Bila benang silang diafragma telah diatur dengan baik, sinar mendatar dan masuk melalui
pusat objektip akan selalu jatuh depat di titik potong benang silang diafragma, walaupun
teropong miring (sedikit). Dengan demikian, dengan dipasangnya kompensator antara lensa
objektip dan diafragma garis bidik menjadi mendatar. Walaupun demikian type otomatik
mempunyai kekurangan yaitu mudah dipengaruhi getaran, karena sebagai kompensatornya
dipergunakan sistim pendulum.
Dimana:
1. Teropong. 7. Trivet.
2. Kompensator. 8. Kiap.
3. Pengatur Diafragma. 9. Tombol Fokus.
4. Pengunci Horizontal.
5. Skrup Kiap.
6. Tribrach.
Penyetelan instrumen-instrumen pokok sipat datar, di antaranya :
Sipat Datar Wye Sipat Datar Tabung
Pengaturan alat
Dua buah syarat yang perlu di jawab dalam masalah kolimasi pada alat level ini adalah.
Sumbu tegak benar benar tegak apabila gelembung nivo sudah di tengah –tengahnya, dan
garis bidik harus sejajar dengn garis nivo yang benar tersebut.
Sumbu tegak
1. Letakan sumbu teropong sejajar dengan dua buah sekrup penyetel, dan ketengahkan
gelembung nivo dengan menggunakan kedua sekrup tersebut. Andaikan keslahan tersebut = e
2. Putarlah teropong 90º derajat, atau sumbu teropong berada diats sekrup penyetel ketiga, dan
aturlah ketiga gelembung nivo tersebut dengan hanya menggunakan sekrup ketiga.
3. ulangi kedua langkah diatas sehingganivo tetap berada di tengah.
4. pada kedudukan pertama kesalaahn yang terdapat adalah = e, namun pada kedudukan kedua,
dimana teropong diputar sebesar 180º derajat, maka kemiringan sumbu yang terjadi adalah
sebesar 2e. Besaran 2e tersebut dapat dilihat dengan menggesernya gelembung nivo, misalnya
sebesar n.
5. Kembalikan gelembung nivo kearh tengah dengan satu sekrup penyetel yang bersangkutan,
yaitu sebesar n/2 bagian skala.
6. kembalikan gelembung nivo ke tengah, dengan menyetel sekrup tabungnivo, yaitu sebesar n/2
bagian skala sisinnya.
ulangi pekerjaan tersebut sehingga nivo berada di tengah tengah tabung nivo
Penyetelan Instrument Sifat Datar
a. Penyetelan instrumen sipat-datar wye
Pada instrumen sipat datar wye, adapun langkah-langkah penyetelan alat antara lain:
Penyetelan agar baris kolimasi sejajar dengan garis-garis rangka teleskop : Membidikkan pada
kertas putih yang dipasang sejauh 50 m dengan teleskop di atas penyangga berbentuk Y dan di
pusat benang silang pada kertas putih sebagai titik a. Kemudian memutar teleskop 180°
mengitari sumbu teleskop dan membidik lagi kertas putih tersebut. Apabila pusat benang silang
tidak berhimpit dengan titik a di atas, titik tersebut ditandai sebagai b dan disetel agar titik pusat
benang silang jatuh tepat pada c titik tengah antara a dan b.
Penyetelan agar garis kolimasi sejajar dengan sumbu niveau tabung dari teleskop:
Menempatkan gelembung pada nivo tabung di tengah-tengah dengan sekrup sekrup penyetel.
Apabila gelembung bergerak ketika teleskop diputar kira-kira 30° pada sumbunya, maka dibuat
dalam keadaan tidak bergerak dengan sekrup penyetel gelembung lateral.
Mengangkat teleskop dari penyangga berbentuk Y dan menempatkan kembali dalam arah
lainnya untuk memastikan apakah gelembung bergeser. Apabila masih juga bergeser, geserkan
setengah penggeserannya ke belakang dengan sekruip penyetel gelembung vertikal dan
setengah pergeseran ke belakang lainnya dengan sekrup-sekrup penyetel yang tersedia.
Penyetelan agar garis kolimasi tegak lurus sumbu vertikal :
Setelah melakukan penyetelan-penyetelan pada (a) dan (b) di atas, maka diperlukan
pengaturan selanjutnya, yaitu : Menempatkan gelembung di tengah-tengah dengan sekrup
penyetel dan memutar teleskop 180° mengelilingi sumbu vertikal untuk mengecek pergeseran
gelembung.
b. Penyetelan instrumen sipat-datar tabung
Penyetelan agar sumbu nivo tegak lurus sumbu vertikal.
Menempatkan gelembung ditengah-tengah dengan sekrup-sekrup penyetel dan putar teleskop
180° mengelilingi sumbu vertikal untuk mengecek apakah gelembung bergeser atau tidak.
Apabila gelembung bergeser, maka dengan sekrup penyetel, gelembung ditempatkan pada
setengah pergeseran ke belakang dan setengah pergeseran ke belakang lainnya dengan
sekrup-sekrup penyetel lainnya.
Penyetelan agar garis kolimasi sejajar dengan sumbu-nivo (pengatur patok)
Menempatkan patok pada titiki A dan B satu dengan yang lainnya sejauh beberapa puluh sampai
100 meter, kemudian mengukur jarak Horizontalnya secara tepat dan akhirnya memasang lagi
patok di C.
Menempatkan instrumen sifat-datar di titik C dan membaca graduasi a1 dan d1 pada rambu yang
dipegang pada titik a dan B , maka ( a1 – b1 ) adalah Perbedaan tinggi titik A dan B tersebut.
Kemudian memindah –tempatkan instrumen sifat-datar tersebut pada titik D sejauh 5 m
dibelakang titik A atau titik B da selanjutnya membaca graduasi a2 dan b2 pada rambu yang
dipegang pada titik A dan titik B.
Apabila ( a1 – b1 ) = ( a2 - b2 ) maka penyetelan tidak diperlukan lagi. Akan tetapi apabila ( a1 – b1 )
= ( a2 - b2 ), maka diperlukan penyetelan benang silang sedemikin rupa sehingga dapat dilihat
graduasi ( a2 + X ) pada garis kolimasi instrumen sifat-datar yang telah ditempatkan pada titik d
tersebut. Adapun X = ((D + d)/d)e, di mana e = (b2 - b1) - (a2 – a1)
c. Penyetelan instrumen sipat-datar ungkit.
Penyetelan hubungan antara nivo bundar dengan sumbu vertikal.
Memasang skrup pengungkit pada posisi sentral dari perpindahan menyeluruh.
Menempatkan gelembung pada posisi ditengah-tengah dengan skrup-skrup penyipat-datar.
Memutar teleskop 180o mengelilingi sumbu vertikal untuk mengecek masalah.
Memutar teleskop 90o mengelilingi sumbu vertikal untuk mengecek apakah gelembung masih
bergeser.
Penyetelan agar garis kolimasi sejajar sumbu niveau
Metode patok dapat digunakan sebagai halnya pada penyetelan instrumen sifat-datar tabung.
Meskipun benang silang digeser untuk menyetel instrumen sifat-datar tabung, akan tetapi
sekrup pengungkit harus disetel sedemikin rupa agar graduasi ( a + x ) pada rambu A dapat
dibaca.
d. Penyetelan instrumen sipat-datar otomatis
Apabila sumbu vertikalnya dalam posisi dengan kemiringan yang terlalu besar, instrumen
sifat-datar seperti ini tidak dapat berfungsi dengan baik dan ketelitiannya pun akan menurun,
karenanya penyetelan niveau bundarnya haruslah sesempurna mungkin. Adapun caranya,
yaitu:
Mengadakan penyetelan-penyetelan yang seperti sudah diuraikan pada penyetelan sifat-
datar ungkit, point a.
Menyetel garis kolimasi seperti yang sudah diuraikan pada metode patok.
Penentuan Beda Tinggi Antara Dua Titik
Penentuan beda tinggi antara dua titik dapat dilakukan dengan tiga cara penempatan alat sipat datar tergantung pada keadaan di lapangan, adapun tiga cara penempatan alat sipat datar, yaitu:
a. Dengan menempatkan alat sipat datar di atas titik B (salah satu titik yang akan diukur beda
tingginya), bidik pesawat ke titik lainnya (A) yang sebelumnya telah berdiri rambu ukur. Sebagai
contoh, hasil bidikan tadi kita beri nama a. Setelah di ketahui a, pindahkan alat sipat datar ke
titik A, lakukan bidikan yang sama terhadap titik B, maka di ketahuilah hasil bidikan terhadap
titik B yaitu b. Beda tinggi dari kedua titik tersebut (h) dapat diperoleh dengan h = b-a. Perlu
diketahui bahwa dalam setiap pengukuran, letak gelembung nivou harus berada di tengah-
tengah.
b. Alat ukur penyipat datar diletakkan diantara titik A dan titik B dan membentuk suatu garis lurus,
ukur jarak antara alat sipat datar terhadap titik A dan titik B, Arahkan garis bidik dengan
gelembung di tengah–tengah ke titik A (belakang) dan ke titik B (muka) yang telah berdiri rambu
ukur, dan misalkan pembacaaan pada dua mistar berturut–turut ada b (belakang) dan m
(muka). Bila selalu diingat, bahwa angka–angka pada rambu selalu menyatakan jarak antara
angka dan alas mistar, maka dengan mudahlah dapat dimengerti, bahwa beda tinggi antara
titik–titik A dan B ada h = b – m.
c. Alat ukur penyipat datar ditempatkan tdak diantara titik A dan B, tidak pula diatas salah satu titik
A atau titik B, tetapi di sebelah kiri titik A atau disebelah kanan titik B, jadi diluar garis AB.
Pembacaan yang dilakukan pada mistar yang diletakkan di atas titik A dan B sekarang adalah
berrturut-turut b dan m lagi, sehingga digambar didapat dengan mudah, bahwa beda tinggi
t = b – m.
Kesalahan – Kesalahan Pada Sipat Datar
Sesuai dengan karateristik, kesalahan dapat di bedakan dalam 3 klasifikasi sebagai
berikut :
1. kesalahan petugas
Sumber kesalahan adalah dari petugas yang menggunakan instrument yaitu kesalahan yang
timbul akibat kekeliruan, kurang hati-hati, kelalaian, ketidak mengertian terhadap instrument
atau belum terlatihnya petugas yang bersangkutan. Kesalahan yang di sebabakan pengukur
mempunyai banyak sebab dan bersifat individual . karena itu sukar di tinjau semuanya.yang
penting adalah:
1. kesalahan pada mata. Kebanyakan orang pada waktu mengukur menggunakan satu mata saja.
Mata itu akan lelah, yang lambat laun akan mengakibatkan kasarnya pembacaan.apalagi bila
nivo harus di lihat tersendiri, karena tidak terlihat di dalam medan lihat teropong, sehingga
kurang tepatnya meletakan gelembung nivo di tengah-tengah.
2. kesalahan pada pembacaan karena kerap kali melakukan penbacaan dengan jalan
menaksir , maka bila mata telah lelah, nilai taksirannya menjadi kurang.
3. kesalahan yang kasar. Karena belum pahamnya tentang pembacaan pada mistar. Mistar-mistar
mempunyai beberapa cara tersendiri dalam pembuat skalanya. Kesalahan yang kasar ini
banyak sekali di buat dalam menemtukan banyaknya meter dan decimeter angka pembacaan.
Karena dalam mempersiapkan dan merencanakan pekerjaan penguran haruslah
diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. supaya di pergunakan metode yang berbeda-beda guna memungkinkan terjadinya pengecekan
otomatis
2. supaya di usahakan beberapa route pengukuran yang berlainan, untuk hasil ukur yang sama.
Penelitian pengukuran dapat dilakukan dengan cara :
a. pada waktu berdiri di suatu tempat, membaca semua benang mendatar diafragma a,t dan b.
maka haruslah t = ½ ( a + b )
b. bila di gunakan alat ukur penyipat datar dengan nivo reversi, lakukan pengukuran cara a denagn
nivo di atas dengan nivo di bawah. Dua beda tinggi yang di dapat harus sama.
c. Pada pengukuran antara dua tugu waterpass yang jaraknya selalu di buat kira-kira 2 km dengan
mengukur penyipat datar pulang pergi, dan selisih v antara hasil pengukuran pulang pergi tidak
boleh melebihi suatu angka yang dinamakan angka toleransi yang mana nanti akan di
bicarakan.
d. Pengukuran di lakukan oleh dua orang, pengukuran mana yang hurus di lakukan bebas dari
satu sama lainnya. Di tinjau oleh kedua orang itu hanya kedua beda tinggi pengukuran .
2. Kesalahan Sistematis
Kesalah sistematis dapat terjadi karena kesalahan alat yang kita gunakan. Alat-alat yang di
gunakan adalah alat ukur penyipat datar dam mistar. Lebih dahulu kita akan tinjau kesalahan
yang ada pada alat ukur penyipat datar. Kesalahan yang di dapat adalah yang berhubungan
dengan syarat utama. Kesalahan itu adalah garis bidik tidak sejajar dengan dengan garis arah
nivo
Dapat di ketahiu bahwa untuk mendapatkan beda tinggi antara dua titik mistar yang di letakan
di atas dua titik harus di bidik dengan garis bidik yang mendatar. Semua pembacan yang di
lakukan dengan garis bidik yang mendatar diberi tanda dengan angka 1. pembacaan dengan
garis bidik yang mendatar adalah BTb1-BTm1, sedang pembacaan yang di lakukan dengan
garis bidik miring dinyatakan dengan angka 2. bila gelembung di tengah-tengah , jadi garis arah
nivo mendatar dan garis bidik tidak sejajar dengan garis arah nivo, maka garis bidik akan miring
dan membuat sudut α denag garis arah nivo, sehingga pembacaan pada kedua mistar akan
menjadi BTm dan BTb .
Beda tinggi antara titik A dan titik B sama dengan t = BTb1-BTm1. sekarang akan dicari
hubungan antara selisih pembacaan BTb2 dan BTm2 yang di dapatkan garis bidik miring
dengan selisih pembacaan BTb1 dan BTm2 yang akan di dapat bila garis bidik mendatar
jadi telah sejajar dengan garis arah nivo . maka koreksi garis bidik untuk diatas adalah
dengan:
= (BTb1-BTm1)-(BTb2-BTm2)
( db1-dm1)-(db2-dm2)
kesalahan sistematis dapat juga disebabkan oleh karena keadaan alam yang dapat di
sebabkan oleh:
1. karena lengkungan permukaan bumi.
2. karena melengkungnya sinar cahaya. ( refraksi ). Sinar cahaya yang datang dari benda yang di
teropong harus melalui lapisan-lapisan udara yang tidak sama padatnya, karena suhu dan
tekannya tidak sama.
3. karena getaran udara . karena adanya pemindahan hawa panas dari permukaan bumi keatas,
maka bayangan dari mistar yang di lihat dengan teropong akan bergetar sehingga pembacan
ada mistar tidak dapat dilakukan.
4. karena masuknya lagi kaki tiga dan mistar kedalam tanah. Bila dalam waktu antara pengukuran
satu mistar dengan mistar lainya baik kaki tiga maupun mistar kedua masuk lagi kedalam tanah
maka pembacan pada mistar kedua akan salah bila di gunakan untuk mencari beda tinggi
antara dua titik yang di tempati oleh mistar-mistar itu.
5. karena perubahan garis arah nivo, karena alat ukur penyipat datar kena napas sinar matahari
maka akan terjadi tegangan pada bagian-bagian alat ukur, terutama pada bagian penting
seperti nivo
6. Pengaruh kesalahan garis bidik
Bila garis bidik sejajar dengan garis arah nivo, maka hasil pembacaan tidak benar, dan akibatnya, beda tinggi tidak benar
Garis bidik mempunyai kemiringan sebesar dan garis arah nivo.
= bacaan seharus
= hasil ukuran
mengatasi kesalahan garis bidik ada dua cara :
Dasar / dihitung kemiringan garis bidik itu, dan selanjutnya dikoraksikan terhadap hasil
ukuran.
Eleminasi, yaitu dengan mengatur penempatan alat sehingga kesalahan tersebut hilang
dengan sendirinya (tereliminir).
Mencari kesalahan garis bidik
3. Kesalahan tak terduga
Semua kesalahan-kesalahan selain kedua jenis kesalahan di atas dapat di klasifikasikan
sebagai kesalahan tak terduga dan kesalahan semacam ini tidak di ketahui penyebabnya
secara pasti. Walaupun kadang-kadang dapat di ketahui penyebabnya, akan tetapi
pengurainnya kedalam masing-masing factor penyebabnya sangatlah sukar. Dalam hal
demikian maka di usahakan agar di peroleh kesalahan yang bersifat gelobal, sedemikian rupa
sehingga menghasilkan nilai yang mendekati nilai yang sebenarnya. Dalam pekerjaan
pengukuran, kesalahan tak terduga biasanya dip roses sebagai rangkaian distribusi normal
dengan nol sebagai harga rata-ratanya. Untuk estiminasi harga sangat mungkin biasanya
dengan menggunakan metode kuadrat terkecil.