penjara dan sejarah.gfgdocfg
DESCRIPTION
vTRANSCRIPT
Penjara dan Sejarah5 June 2013
David Tobing
LKIP
Catatan atas Pembacaan terhadap Puisi-Puisi dari Penjara Sabar Anantaguna
Judul: Puisi-Puisi dari Penjara
Penulis: S. Anantaguna
Tebal: 172 Halaman
Penerbit: Ultimus, Bandung
Tahun: Cetakan Pertama, 2010
Demi kebiruan langit
kehijauan bumi
Kuletakkan hati di telapak tangan
merebut angan-angan
Demi kebiruan langit
kehijauan bumi
Kuletakkan taufan dalam hati
menghembus awan dalam fikiran
(Sajak “Kertas Bekas”)[1]
Pengantar
Penjara dan sejarah. Itulah dua kata yang muncul di benak saya sewaktu saya hendak
merangkum makna dari 44 sajak Sabar Ananta (SA) yang terhimpun dalam buku Puisi-
Puisi dari Penjara.[2] Saya sadar bahwa tindakan saya merangkum makna dari 44 sajak ke
dalam dua kata berpotensi mereduksi makna yang terkandung pada tiap-tiap sajak. Namun,
dalam benak saya muncul pembelaan sederhana: “jika ada yang tidak setuju dengan
proposal pemaknaan yang saya ajukan, lebih baik pihak yang bersangkutan membaca
sendiri sajak-sajak SA tersebut untuk kemudian menuliskan hasil pembacaannya—sebab,
kehidupan makna atau proses produksi makna suatu sajak atau sehimpunan sajak, pada
dasarnya, ditentukan oleh aktivitas pembacaan atau penafsiran yang dilakukan
secaralangsung oleh pembaca terhadap teks.”
Saya memutuskan menggunakan perspektif Foucauldian[3] untuk membaca sehimpunan
sajak SA. Alasan saya: perspektif Foucauldian dapat membantu saya sebagai pembaca
mengidentifikasi: (1) adanya relasi-relasi kuasa (power relations) yang bekerja menjadi latar
belakang faktual dari kelahiran sehimpunan sajak SA, (2) memosisikan sehimpunan sajak
SA sebagai “narasi-sejarah” yang menolak atau resisten terhadap pendominasian “narasi-
Sejarah”.
Penjara
Di dalam pemikiran Foucault, secara metaforis arsitektur kota adalah arsitektur tubuh sosial
adalah arsitektur ‘kesadaran’[4] adalah arsitektur manusia. Di dalam suatu kota kita
menemukan bangunan penjara, rumah ibadah, kantor presiden, toilet umum, rel kereta api,
tempat pemakaman umum, kantor kejaksaan, daerah lokalisasi, gedung Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR), rumah sakit, pabrik, kantor Mahkamah Konstitusi, sekolah, gorong-gorong,
kantor polisi, terminal bus, kantor Mahkamah Agung, diskotek, markas tentara, jalan utama,
rumah pribadi, patung Sudirman, hingga Grand Indonesia. Secara puitis, arsitektur kota
menjadi situs kelahiran puisi—dalam kata lain, puisi adalah kemungkinan yang lahir dari
arsitektur kota. Puisi dapat lahir dari rumah ibadah, toilet umum, kantor presiden, tempat
pemakaman umum, dlsb.—begitu juga sehimpunan sajak dari SA.
Sehimpunan sajak SA memang lahir dari penjara, bukan dari Grand Indonesia—karena
itulah editor dari penerbit Ultimus memberikan judul Puisi-Puisi dari Penjara, bukan Puisi-
Puisi dari Grand Indonesia. Dengan demikian, penjara menjadi situs kelahiran sehimpunan
sajak SA—sajak-sajak SA yang terhimpun dalam Puisi-Puisi dari Penjaramerupakan hasil
kreasinya pada kurun waktu 1966-1978, masa-masa ketika SA menjalani kehidupan
sebagai tahanan. Dari sudut pandang demikian, saya melihat kata “penjara” dalam
sehimpunan sajak SA pertama-tama bukan sebagai metafora, melainkan sebagai realitas.
Jika merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi ketiga: penjara yang
masuk dalam nomenklatur kata benda berarti bangunan tempat mengurung orang
hukuman; bui; lembaga pemasyarakatan. Inilah arti (sense) dari penjara versi KBBI.
Lantas bagaimana dengan makna (meaning) dari “penjara” itu sendiri?
Jika kita memperhatikan percakapan sehari-hari di dalam masyarakat, kita menemukan
fakta bahwa masyarakat juga memproduksi makna dari kata “penjara.” Ada yang memaknai
“penjara” sebagai “hotel prodeo”; ada juga yang memaknai “penjara” sebagai “berakhirnya
masa depan”; ada yang memaknai “penjara” sebagai “hotel bintang lima.” Saya akan mulai
dari pemaknaan “penjara” sebagai “hotel bintang lima”. Tentu kita masih ingat, pada tahun
2010 media massa ramai memberitakan kehidupan Artalyta Suryani di Rumah Tahanan
Wanita Pondok Bambu, Jakarta Timur sudah seperti “hotel bintang lima” karena penjara
yang dihuninya berfasilitaskan pendingin ruangan, televisi layar datar, kulkas, ruang tamu,
meja kerja, sofa, ruangan karaoke, bahkan juga dilengkapi dengan ruang perawatan
kecantikan. Pemaknaan demikian memang hidup di dalam masyarakat yang menyadari
bahwa kehidupan di dalam Republik Indonesia bukan ditentukan oleh kepatuhan warga
negara melaksanakan tugas sebagai warga negara, melainkan kehendak individu di mana
kuasa ekonomi menentukan keterlaksanaan kehendak individu bersangkutan. Apakah
demikian makna “penjara” dalam benak SA atau pihak-pihak yang berkepentingan
menempatkan SA dalam penjara? Saya pikir tidak; tentunya berdasarkan pada sehimpunan
sajak yang ditulis SA.
Pada halaman 50 tercetak satu sajak SA yang berjudul “Bukan Misteri”. Demikian kutipan
lengkap sajak tersebut:
Bukan Misteri
Terlambat atau tersumbat
penjara bukan kiamat
Tidak usah dipersoalkan
bulan itu bulan
bintang itu bintang
matahari itu matahari
api itu api
hidup pun bukan misteri
Terlambat atau tersumbat
penjara bukan kiamat
Tidak usah latah
angin berdesah
hidup kejam dan ramah
teguh atau menyerah
Dari terali pagi dihirup
angin masih hidup
Pada sajak tersebut nyata bahwa SA—atau paling tidak si aku dalam sajak—memaknai
“penjara” sebagai “bukan kiamat”. Jika dalam perbincangan sehari-hari kita menemukan
pandangan yang memaknai bahwa “penjara” adalah “berakhirnya kebebasan dan
kehidupan”, maka pada sajak “Bukan Misteri” makna “penjara” bukanlah demikian. Bagi SA,
atau setidaknya aku-liris, “penjara” bukan akhir dari kehidupan. Di dalam “penjara”, SA,
atau setidaknya aku-liris, masih dapat melakukan aktivitas yang menandakan dirinya masih
hidup. Pada sajak “Bukan Misteri”, penjara bukan kiamat bertemu makna dengan Dari terali
pagi dihirup / angin masih hidup. “Bukan Misteri,” setidaknya kepada saya, hendak
memperlihatkan bahwa sekalipun bangunan penjara dapat mengurung atau membatasi
gerak tubuh, penjara tetap saja gagal membendung datangnya pagi dan angin.
Jika kita mengalihkan perhatian pada sajak SA yang lain, yaitu “Suara Dinding Penjara”,
kita akan menemukan makna yang lain lagi dari “penjara”. Demikian saya kutipkan secara
lengkap sajak yang tercetak di halaman 25 itu:
Suara Dinding Penjara
Ruang bisu hanya hitam
Rasa rindu timbul tenggelam
Sepi sel sebelah, seorang tahanan gantung diri
Tekanan batin lebih menyiksa daripada mati
Kami bisa berkomunikasi dengan mengetuk dinding
malam sepi nyamuk berdenging-denging
temanku kesepian didera kerinduan
anaknya masih bayi ia tinggalkan tanpa kesalahan
Aku tersentak petugas kawal membuka kunci
merazia tali-tali
nyawa tetangga selku sudah terazia tak kembali lagi
Selembar nyawa yang berharga
sampai mati tidak pernah diadili tanpa tahu kesalahannya
Aku diburu rindu dan rasa sepi
mencengkeram sekali
dinding penjara yang biasa bersuara
tinggal rasa hampa nyamuk merajalela
Aku pandangi langit-langit tanpa kata
bertanya di mana arti merdeka.
Sajak “Suara Dinding Penjara” memberikan makna “penjara” yang lain lagi. Jika dalam
kehidupan sehari-hari kita mengenali penjara sebagai tempat orang-orang terhukum, orang-
orang bersalah, maka sajak “Suara Dinding Penjara” memberikan kesaksian lain: penjara
adalah juga tempat bagi orang-orang yang tidak bersalah. Hal ini dapat kita saksikan
melalui bait: Selembar nyawa yang berharga / sampai mati tidak pernah diadili tanpa tahu
kesalahannya. Sajak “Suara Dinding Penjara” bersaksi tentang terpenjaranya orang-orang
yang tidak pernah menjalani proses pengadilan—atau, dalam kata lain, terpenjaranya
orang-orang yang tidak pernah diketahui apa kesalahannya[5].
Melalui sajak “Suara Dinding Penjara”, SA menyingkapkan makna lain dari “penjara”
dengan bertolak dari pengalaman seorang tahanan yang memutuskan gantung diri.
Larik tekanan batin lebih menyiksa daripada matiseakan-akan hendak berbicara tentang
makna lain “penjara” bagi seorang tahanan yang dipisahkan secara paksa dari kerabat dan
keluarga, serta anaknya (yang) masih bayi. Ketika penjara menjadi tempat menghukum
orang-orang bersalah yang sudah menjalani proses pengadilan, maka penjara menjadi
situs keadilan. Namun, ketika penjara menjadi tempat menghukum orang-orang yang tidak
diketahui kesalahannya karena belum menjadi proses pengadilan, maka penjara adalah
situs ketidakadilan. Di dalam “penjara” sebagai situs ketidakadilan, SA menulis:Aku
pandangi langit-langit tanpa kata / bertanya di mana arti merdeka.
Pada sajak-sajak yang lain, kita juga masih dapat menemukan makna lain dari “penjara.”
Misalnya, pada sajak “Catatan dalam Ingatan” atau pada “Pertanyaan Diri” atau pada “Sel
Cipinang Belakang”, kita—atau, paling tidak saya—dapat menemukan makna lain dari
“penjara”: penjara hanya mampu membatasi gerak tubuh, namun tidak untuk kehendak dan
kenangan dan harapan, penjara memang tak pernah berhasil
menghentikan pagi dan angin.
Penjara dan Relasi-relasi Kuasa
Kita telah melihat pada bagian sebelumnya, melalui sajak-sajaknya, SA memperlihatkan
penjara sebagai situs dari ketidakadilan. Idealnya, penjara adalah situs keadilan, tetapi jika
penjara menjelma sebagai situs ketidakadilan, apa yang dapat menjelaskan hal demikian?
Perspektif postmodern Foucauldian memberikan jawaban yang memadai untuk hal ini:
relasi-relasi kuasa.
Secara sederhana, relasi-relasi kuasa merupakan relasi antara pihak yang mendominasi
dan pihak yang menolak dominasi—dalam kerangka pemikiran Hegelian, relasi-relasi kuasa
mengacu kepada relasi tuan-budak.[6] Peralihan penjara sebagai situs keadilan menjadi
situs ketidakadilan merupakan dampak dari relasi-relasi kuasa. Relasi-relasi kuasa yang
berinteraksi di dalam diskursus atau pertarungan wacana pada tahun 1965-1966
berdampak (effect) pada penetapan dua keputusan politik, yaitu (1) Surat Keputusan
No.1/3/1996 dan (2) Tap MPRS No.XXV/MPRS/1966, yang menjadi aturan hukum di dalam
masyarakat—atau, di dalam kota. Keputusan politik itulah yang menetapkan apa yang
menyimpang dan apa yang tidak menyimpang pada tubuh sosial. Secara historis,
keputusan politik inilah yang dapat menjelaskan mengapa penjara dapat dipergunakan atau
diperuntukkan bagi orang-orang yang tidak pernah diketahui kesalahannya karena tidak
pernah menjalani proses pengadilan yang sesungguhnya—relasi-relasi kuasa.
Meski tidak secara langsung mengarah kepada atau menunjuk kepada relasi-relasi kuasa,
sajak “Suara Dinding Penjara” memuat indikasi tentang adanya relasi-relasi kuasa yang
berperan dalam menempatkan seseorang menjadi orang yang terpenjara. Dari sajak “Suara
Dinding Penjara” larik sampai mati tidak pernah diadili tanpa tahu
kesalahannya mengindikasikan adanya konteks sosial-politik faktual tertentu yang
memungkinkan penafsiran terhadap sajak berhasil memproduksi makna. Hanya dengan
menyadari atau mengetahui kondisi sosial-politik faktual di masa-masa awal kelahiran Orde
Baru dan sepanjang Orde Baru pembaca dapat memproduksi makna dari pembacaan atas
sajak tersebut.
Pada sajak “Kawat Berduri”, pembaca—setidaknya saya—dapat menemukan bentuk lain
dari relasi-relasi kuasa yang berlangsung secara extra-judicial sekaligus judicial. Saya
kutipkan sajak yang tercetak di halaman 59.
Kawat Berduri
Secara resmi dibatasi kawat berduri
Secara resmi disangkar besar barak isolasi
Secara resmi dikeluarkan dari sel jeruji besi
Secara resmi tidak pernah diadili
Secara tidak resmi ditahan malam hari
Secara tidak resmi disita milik pribadi
Secara tidak resmi terampas hak asasi
Resmi atau tidak resmi ribuan orang mati
Sajak “Kawat Berduri” memperlihatkan relasi-relasi kuasa dapat berlangsung secara taat
hukum sekaligus mengangkangi hukum. Melalui sajak “Kawat Berduri”, SA—atau, paling
tidak si aku dalam sajak—bersaksi tentang kehidupan di dalam penjara di mana orang-
orang yang hidup di dalam penjara (meski tidak pernah jelas status mereka, apakah
tahanan, terdakwa, atau terpidana) didata secara resmi bahkan ketika keluar pun
mendapatkan legalitas. Namun, di sisi lain, relasi-relasi kuasa extra judicial pun terjadi.
Inilah ambiguitas di dalam relasi-relasi kuasa yang bekerja di alam Republik Indonesia pada
periode Orde Baru.[7]
Relasi-relasi kuasa ini tidak hanya mewujud dalam kontekstualisasi historis dari
sehimpunan sajak SA. Relasi-relasi kuasa ini pun mewujud dalam konteks diskursus atau
pertarungan wacana antara narasi “Sejarah” qua pelajaran sejarah[8] yang-dominan dan
narasi “sejarah” qua sajak yang-resisten. Setidaknya, bagi saya pribadi, hal ini muncul
dengan sangat terang dalam sajak SA yang berjudul “Suatu Malam Tahun 60-an”. Namun,
sebelum membahas hal itu, relasi-relasi kuasa harus terlebih dahulu ditempatkan di dalam
konteks sejarah, bagian yang akan dibahas berikutnya.
Sejarah
Biasanya, apa yang dimaksud dengan sejarah adalah catatan tentang peristiwa-peristiwa
(events) di masa lalu, sekaligus menyangkut proses terjadinya peristiwa tersebut. Namun,
filsuf Hegel dengan Idealisme subjek-nya, mengubah cara pandang kita terhadap sejarah.
Sejarah tidak lagi dipandang semata-mata catatan tentang peristiwa-peristiwa di masa lalu
dan proses terjadinya peristiwa, melainkan sebagai situs bagi Roh Absolut mengenali
dirinya sendiri. Secara sederhana, sejarah dipahami sebagai aktualisasi kebebasan melalui
tindakan individu-individu secara konkret. Jika sebelumnya sejarah hanya dipahami sebagai
catatan tentang peristiwa-peristiwa di masa lalu dan proses terjadinya tanpa mengetahui
apa ujung atau akhir dari peristiwa-peristiwa itu, Hegel memperlihatkan bahwa peristiwa-
peristiwa di masa lalu itu merupakan bagian dari proses mengaktualnya kebebasan. Ketika
kebebasan sudah mengaktual secara konkret, maka pada saat itu juga sejarah berakhir.
Di tangan Marx, gagasan Hegel tentang hukum perkembangan sejarah sebagai aktualisasi
kebebasan secara konkret mengalami perubahan. Marx tetap mengakui bahwa sejarah
mengandung muatan teleologis, tetapi muatan itu bukan seperti yang dinyatakan oleh
Hegel, yaitu aktualisasi kebebasan secara konkret. Bagi Marx, hukum perkembangan
sejarah adalah hukum pertentangan kelas di dalam masyarakat di mana puncak dari
perkembangan sejarah adalah berakhirnya kontradiksi kelas atau terwujudnya masyarakat
tanpa kelas—pembebasan dan emansipasi menjadi kata kunci dari gerak sejarah versi
Marx. Inilah hukum sejarah yang diyakini, melalui konstruksi argumentatif tertentu, berlaku
secara niscaya!
Secara mendetail, hukum perkembangan sejarah bersumber dari kontradiksi antara kelas
buruh dan kapitalis padabasis-ekonomi di mana pertentangan inilah yang menentukan
tatanan dari suprastruktur-politik. Foucault, yang memang seorang Marxist, tentu tidak
melupakan analisis materialisme historis dan dialektika materialisme Marx. Dalam
pemikiran Foucault, meski dapat dipisahkan secara relatif dari hukum perkembangan
sejarah, namun relasi-relasi kuasa tidak dapat dilepaskan dari struktur ekonomi-politik.
Secara sederhana, relasi-relasi kuasa bekerja di ranah politik ditujukan demi menjamin
keberlangsungan aktivitas produksi ekonomi yang kapitalistik. Di sinilah relasi-relasi kuasa
bekerja pada tubuh di mana tubuh dikendalikan oleh relasi-relasi kuasa demi menjamin
aktivitas produksi ekonomi kapitalistik. Dari sudut pandang demikian, arsitektur kota adalah
orkestrasi relasi-relasi kuasa, pendisplinan dan penghukuman terhadap tubuh sosial.[9]
Dari perspektif Foucauldian, penghukuman terhadap tubuh diharapkan berdampak pada
kesadaran atau jiwa sehingga yang terhukum menyadari, mengakui, dan meninggalkan
kesalahannya. Barangkali demikianlah yang dikehendaki pihak-pihak tertentu yang telah
melakukan tindakan extra judicial terhadap orang-orang yang disangka terlibat dalam Partai
Komunis Indonesia (PKI), yaitu agar mereka meninggalkan gagasan-gagasan masyarakat
yang dicita-citakan Karl Marx. Namun, dari pembacaan terhadap sajak-sajak SA dalam
buku Puisi-Puisi dalam Penjaratampaklah si aku-liris tetap teguh memegang keyakinannya.
Keteguhan ini dapat kita, setidaknya saya saksikan, melalui sajak SA yang berjudul “Teka-
Teki di Tembok”. Demikian saya kutipkan secara utuh sajak yang tercetak di halaman 15
itu.
Teka-Teki di Tembok
Cinta
diukur kesetiaan
Setia
diukur keteguhan
Teguh
diukur pendirian
Pendirian
dalam kata dan perbuatan
Saya agak heran mengapa SA menggunakan diksi “perbuatan” daripada “kerja”—saya
tidak tahu pasti alasannya, namun hal ini, bagi saya, merupakan licentia poetica dari SA
(licentia poetica—sekaligus otentisitas—juga dapat ditemukan dalam sajak “Bukan Teka-
Teki” pada diksi “beberapa banyak” dari bait terakhir: Tapi, di bumi beberapa banyak /
manusia mati ditembak).
Terlepas dari komentar saya menyangkut diksi, sajak “Teka-Teki di Tembok”
memperlihatkan bahwa fungsi koreksi dari penjara terhadap tubuh SA, atau setidaknya aku-
liris, dalam perspektif Foucaldian, tidak berdampak apa-apa. Di sinilah, “penjara” sebagai
situs dari relasi-relasi kuasa gagal mengkoreksi penyimpangan dari tubuh sosial—dan
seiring dengan hal itu, tentunya aktivitas produksi ekonomi pun tentunya mengalami
gangguan (dalam pengertian, tidak dapat bekerja optimal, karena satu tubuh yang berada
di dalam penjara tidak melakukan aktivitas produksi ekonomi).
Jika penjara menjadi situs bagi/efek dari relasi-relasi kuasa untuk menghukum tubuh demi
mengkoreksi tindakan tubuh yang dinilai mengganggu aktivitas produksi ekonomi, maka
sekolah menjadi situs bagi/efek dari relasi-relasi kuasa untuk mendisiplinkan tubuh melalui
indoktrinasi “Sejarah”. Dalam konteks relasi-relasi kuasa, “Sejarah” yang ditulis oleh yang-
dominan berhadapan dengan “sejarah” yang ditulis oleh yang-resisten: sajak “Suatu Malam
Tahun 60-an”. Demikian saya kutipkan sajak yang tercetak di halaman 3 itu:
Suatu Malam Tahun 60-an
kelam kabut
melawan takut
berdebar liar dada terbakar
siang malam
direjam dendam
detak-detak sepatu mengagetkan aku
detak-detik jam tajam di hatiku
deru-deru jip atau panser membangunkan malamku
derak-derak tank menantang manusia tidak tahu
Aku salah seorang tidak berdaya
tanpa senjata
harus bermain kucing-kucingan
tanpa mengetahui mengapa harus demikian
di sebuah kamar berdinding bambu di tepi jalan
mendekap nyawa
mendesahkan kata: aku di sini di negeri merdeka
Dinding-dinding yang berlubang-lubang memberikan jalan
angin berbisik perlahan:
kemerdekaan yang kalian rebut dengan senjata
kini diancam manusia-manusia bersenjata
Ada masa politik bersenjata
dan ada saat senjata berpolitik
keduanya mencari pengesahannya
dalam sejarah konflik
Malam makin lengang
kertas jatuh pun terdengar nyaring
malam-malam bertambah tegang
jika yang lemah diperlakukan lebih buruk dari maling
Dan sejarah memberikan pelajaran
kemanusiaan hanya sebuah gincu di dalam kebencian
kekejaman minta pengesahan
dengan mahkota kemerdekaan dan kebebasan
Dan senjata menjadi nyawa
nyawa pun tidak ada harganya
di dalam bagian sejarah Indonesia merdeka
Kelam kabut melawan maut
apa salah yang mati di darat dan di laut
suatu saat sejarah akan menyebut
kemerdekaan pernah direnggut
Sajak “Suatu Malam Tahun 60-an’ sebagai “sejarah” yang-resisten berinteraksi dengan
“Sejarah” yang-dominan. Bagi saya, hal ini memperlihatkan bahwa apa yang ternyatakan
dalam “Sejarah” selalu mengandung “sejarah”.[10] Di sinilah, sajak atau sastra tidak lagi
sekadar menempati posisi sebagai fiksi-imajinatif, tapi sudah menjadi bagian dari fakta-
aktual. Implikasinya, aktivitas pembacaan dan penafsiran atas teks-teks sastra demikian—
yang juga dapat dengan mudah ditemukan pada Orde Reformasi—bukan sekadar
mengakses dunia fiksi-imajinatif di dalam teks, melainkan juga menyadari adanya dunia
fakta-aktual yang hidup dan bersuara di dalam teks. Disadari atau tidak oleh SA, sajak
“Suatu Malam Tahun 60-an” sudah menjadi “sejarah” sebagaimana yang dituliskan SA
pada dua larik terakhir: suatu saat “sejarah” akan menyebut / kemerdekaan pernah
direnggut.
Bertitik tolak dari relasi-relasi kuasa dan hukum perkembangan sejarah, saya memahami
“Sisi yang Cerah” sebagai momen pembebasan dan emansipasi kelas sebagaimana yang
dicita-citakan Marx. Demikian saya kutipkan sajak yang tercetak di halaman 12 itu.
Sisi yang Cerah
Kepahitan bila berlalu
Jadi lagu sangat merdu
Sewaktu membacanya untuk pertama kali, saya langsung terpikat dengan sajak pendek ini.
Meski demikian, setelah saya pikir ternyata pesan yang terkandung dalam sajak ini biasa
saja, tidak istimewa. Pepatah yang sering kita dengar “hidup itu seperti roda, kadang di atas
kadang di bawah” juga mengandung pola pesan yang mirip, jika tidak identik, dengan sajak
“Sisi yang Cerah”. Namun, ketika saya membaca “Sisi yang Cerah” sebagai representasi
dari relasi-relasi kuasa dan hukum perkembangan sejarah, materialisme historis—saya
menemukan daya pikat yang lain. Pembacaan demikian memampukan saya memproduksi
makna yang lain, yaitu pembebasan dan emansipasi kelas sebagai “Sisi yang Cerah”.
Penutup
Sebagaimana yang sudah saya nyatakan sebelumnya, tulisan atau apa yang saya
sampaikan berpotensi mereduksi makna yang terkandung dalam sehimpunan sajak SA
dalam Puisi-Puisi dari Penjara. Namun, satu hal yang membekas dalam ingatan saya
sewaktu membaca sajak-sajak SA adalah saya seakan-akan tengah berbicara dengan
saksi sejarah. Mengetahui sejarah dari seorang saksi sejarah tentu memiliki nilai lebih dari
sekadar mengetahui sejarah dari buku-buku sejarah. Jika Anda pernah menyaksikan film
dokumenter The Act of Killing besutan Joshua Oppenheimer, maka saya pikir Anda,
pembaca yang budiman, mengetahui apa yang saya maksudkan.[11]
[1] Sajak Sabar Anantaguna (SA) yang tercetak pada halaman 14 pada buku “Puisi-Puisi
dari Penjara”. Saya suka dengan sajak ini—meski mengandung keanehan tematik, jika kita
memperhatikan judulnya: Kertas Bekas. Selain sajak ini, saya juga suka dengan larik-larik
dari bait ke-5 dari sajak ”Yang Masih Punya Cinta”, yang tercetak pada halaman 34.
Demikian petikan larik-larik itu:
Adakah cinta lebih cinta yang kita punya
dalam pedih dan duka tetap setiaPada bait ini, rima yang dibangun SA berdampak
membangun suasana rindu yang penuh optimisme akan hari depan yang cerah.
[2] Sajak-sajak dalam Puisi-Puisi dari Penjara dibagi dalam tiga bagian utama. Bagian
pertama, yang terdiri atas 21 sajak—Suatu Malam Tahun 60-an, Cinta I, Cinta II, Cinta III,
Pertanyaan Diri, Kertas Rokok, Sisi yang Cerah, Catatan, Kertas Bekas, Teka-Teki di
Tembok, Impian, Bukan Teka-Teki, Interogasi, Istirahat, Canda Hari Pertama, Puncak
Malam, Siapa Penjahat?, Malam Bulan Purnama, Seorang Buangan, Suara Dinding
Penjara, dan Kisah Sepatu—dirangkum pada bagian yang diberi tajuk “Nyanyian Bumi
Bukan Antri Mati (1966-1978)”. Bagian kedua yang diberi tajuk “Arus Detik—Lagu Tanpa
Nada (1967-1978)” menghimpun 22 sajak: “Lagu Tanpa Nada”, “Gerimis”, “Kepedasan
Hidup”, “Sel Cipinang Belakang”, “Yang Masih Punya Cinta”, “Pengertian”, “Renungan”,
“Adegan Malam”, “Rindu”, “Arus Detik”, “Bukan Misteri”, “Yang Diburu Juga Memburu”,
“Sampai di Mana”, “Kebisuan”, “Catatan dalam Ingatan”, “Tangerang”, “Kecapi Terali Besi”,
“Kawat Berduri”, “Malam di Barak”, “Manusia Alam”, “Aku—Ayam dan Hujan”, “Gadis di
Hutan”. Terakhir, “Pasir-Pasir di Hati (Pulau Buru, 1974-1975)”—yang bagi saya pribadi,
kisah yang ditawarkan melalui 14 fragmen sajak ini tidak terlalu menarik. “Pasir-Pasir di
Hati” berkisah dengan konflik antara “Tampan,” seorang pemuda yang juga representasi
dari kelas proletar, dengan “Juragan”, orang yang juga merupakan representasi dari kelas
borjuis. Konflik bermula dari kepulangan “Ayu”, anak “Jurangan,” dari kota ke desa. Pada
saat itulah “”Jurangan” dan istrinya mengetahui bahwa putrinya sudah hamil di luar nikah—
dan untuk mengantisipasi aib yang bakal menimpa, “Juragan” dan istrinya meminta agar
orang tua “Tampan”, pekerja “Juragan,” menikahkan “Tampan” dengan putri mereka,
“Ayu”. Di sisi lain, “Tampan” sudah memiliki kekasih yang bernama “Manis.” Di tengah
kompleksitas pusaran konflik antara “Tampan” dan keluarga “Jurangan”, lalu antara
“Tampan” dan ayah-ibunya, juga antara “Tampan” dan “Manis,” ternyata “Tampan”
memutuskan bunuh diri. Bertitik tolak dari konstruksi pengisahan yang demikian, saya
menilai sajak “Pasir-Pasir di Hati” cenderung stereotip dan klise—singkatnya: tak
mantaplah!
[3] Foucault, Michel, Discipline and Punish: The Birth of Prison (diterjemahkan Alan
Sheridan), England: Penguin Books, 1991. Buku inilah yang menjadi titik perspektif
Foucault-ian yang saya pergunakan untuk membaca sajak-sajak SA. Selain itu, saya juga
menggunakan: Foucault, Michel, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings
1972-1977 (ed. Colin Gordon, diterjemahkan Colin Gordon, Leo Marshall, John Mepham,
Kate Soper), New York: Pantheon Books, 1980.
[4] Saya memperlakukan secara khusus kata kesadaran dengan memberikan tanda petik
tunggal. Perlakuan khusus ini diperlukan karena secara mendasar pemikian Foucault sudah
meniadakan atau menghilangkan subjek, dan tentunya juga menghilangkan substansi
sebagai fondasi ontologis. Implikasi dari penghilangan subjek adalah penghilangan rasio
atau penghilangan kesadaran. Dengan melenyapkan subjek, maka titik tolak pemikiran
Foucault adalah relasi atau struktur.
[5] Berangkat dari sajak “Suara Dinding Penjara”, khususnya larik sampai mati tidak pernah
diadili tanpa tahu kesalahannya, tentunya kita dapat mengimajinasikan bagaimana sikap
Aku-liris saat menyaksikan siaran langsung dari Dago Pakar, Kabupaten Bandung, Jawa
Barat, tentang batalnya eksekusi Komisaris Jenderal (Purn.) Susno Duadji pada 24 April
2013 hanya karena kesalahan nomor perkara, sekalipun dia sudah menjalani proses
persidangan mulai dari Pengadilan Negeri hingga Mahkamah Agung.
[6] Sebagai titik tolak pemahaman, sebelum Foucault, pemikiran filosofis tentang
kekuasaan selalu bertolak dari kekuasaan sebagai substansi, kekuasaan berasal sumber
tertentu, misalnya rasio atau darah (baca: keturunan dewa). Pemikiran kekuasaan sebagai
substansi atau berasal dari sumber tertentu melahir gagasan tentang kekuasaan yang
bermula dari eksistensi penguasa di mana eksistensi penguasa ditentukan oleh rasio atau
penguasa itu merupakan keturunan dewa, untuk kemudian menentukan eksistensi yang
dikuasai, lalu menetapkan relasi antara penguasa dan yang-dikuasai. Namun, karena
Foucault telah mencoret apa yang disebut substansi dan menghapus adanya sumber
kekuasaan [dengan demikian Foucault menghapus rasio sebagai pengkonstitusi subjek
modern], maka kekuasaan bukan bermula dari eksistensi penguasa, melainkan bermula
dari relasi—penguasa mustahil ada tanpa adanya yang-dikuasai dan sebaliknya.
Konsekuensi pemikiran demikian memperlihatkan bahwa gagasan kekuasaan tidak
semata-mata berimplikasi kepada kepatuhan, melainkan kepada resistensi! Pada pemikiran
kekuasaan yang bersifat substansial, kekuasaan menjadi justifikasi bagi adanya kepatuhan.
Namun, pada pemikiran kekuasaan yang bersifat relasional, kekuasaan merupakan
interaksi antara dominasi dari penguasa dan resistensi dari yang-dikuasai.
[7] Salah satu buku menarik yang mengupas kehidupan sosial-politik Indonesia di masa
Orde Baru dari sudut pandang postmodern adalah buku karangan Ariel Heryanto yang
berjudul State Terrorism and Political Identity in Indonesia: Fatally Belonging, terbitan
Routledge, 2006. Narasi peristiwa 1965 dikelola secara optimal oleh penguasa sehingga
narasi itu hidup di dalam tubuh sosial—dengan menggunakan perspektif Foucault-ian,
narasi peristiwa 1965 tidak lain adalah panopticon yang diinskripsikan penguasa ke dalam
tubuh sosial sehingga tubuh sosial memperlihatkan tindakan yang patuh terhadap segala
hal yang sudah distigmatisasi dalam narasi tersebut. Hal ini menyadarkan kita bahwa
narasi sejarah, secara sosial, berfungsi melegitimasi kelahiran rejim tertentu (lihat.,
Thomson, Paul, The Voice of the Past: Oral History, New York: Oxford University Press,
2000; Adam, Asvi Warman,1965: Tahun yang tak pernah berakhir dalam “Konflik
Kekerasan Internal: Tinjauan Sejarah, Ekonomi-Politik, dan Kebijakan di Asia Pasifik (ed.
Dewi Fortuna Anwar, dkk), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005; Roosa, John, Dalih
Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto (terjemahan Hersri
Setiawan), Jakarta: Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra, 2008; untuk
mengetahui korelasi antara peristiwa 1965 dan kebangkitan ekonomi di Indonesia baca
Simpson, Bradley R., Economist with Guns: Amerika Serikat, CIA, dan Munculnya
Pembangunan Otoriter Rezim Orde Baru (terjemahan Johanes Supriyono dan Kt. Arya
Mahardika), Jakarta: PT. Gramedia, 2010.)
[8] Atau sejarah versi resmi dari pemerintah. Saya persilahkan Anda, pembaca, memeriksa
buku pelajaran sejarah di sekolah dasar dan menengah yang berbicara tentang reformasi
1998. Perspektif siapakah atau apakah yang dimenangkan dalam penulisan sejarah itu?
[9] Di dalam pemikiran Foucauldian, relasi-relasi kuasa ditujukan demi pendisiplinan tubuh.
Pendisiplinan tubuh diperlukan agar aktivitas produksi ekonomi kapital berjalan.
Pendisiplinan tubuh diperlukan karena tubuh merupakan situs dari basis-suprastruktur
Marxian, situs ekonomi-politik.
Pendisiplinan tubuh tubuh terjadi melalui aparatus ideologis negara, berupa sekolah, rumah
sakit, dan lainnya—selain aparatus ideologis, negara juga memiliki aparatus represif,
semisal institusi kepolisian. Di dalam sekolah, rumah sakit, dan lainnya, tubuh sosial
didisiplinkan dengan menginskripsikan aturan-aturan sosial-politik-ekonomi tertentu, yaitu
hal-hal yang harus dipatuhi dan harus dijauhi atau larangan—penginskripsian kode-kode
sosial ini mirip dengan proses instalasi komputer di mana instalasi program memungkinkan
komputer untuk dipergunakan secara optimal.
Penjara merupakan situs bagi pendisiplinan tubuh melalui koreksi terhadap tubuh. Tubuh
perlu dikoreksi atau dipenjara karena tubuh melakukan apa yang dilarang untuk dilakukan.
Dalam skematisasi pemikiran Foucault, koreksi berlangsung melalui pembebasan gerak
tubuh di dalam penjara di mana keterbatasan gerak ini diharapkan berdampak pada
ketersiksaan jiwa atau kesadaran ‘subjek’ sehingga ‘subjek’ menyadari, mengakui dan
meninggalkan kesalahannya. Fungsi koreksi tubuh dalam penjara ini paralel dengan fungsi
koreksi tubuh di dalam rumah sakit. Di dalam rumah sakit, dokter memberikan perlakuan
tertentu [yang dapat dipahami sebagai penyiksaan] terhadap tubuh pasien hingga tubuh
pasien yang sakit, dengan koreksi yang diberikan, menjadi sembuh—secara epistemologis,
kesembuhan pasien adalah peristiwa kebenaran (event of truth). Pasien di dalam rumah
sakit adalah orang-orang hukuman di dalam penjara, perlakuan medis di rumah sakit
sebagai fungsi koreksi terhadap penyimpangan tubuh adalah keterbatasan gerak dan
jadwal aktivitas bagi tiap orang-orang hukuman, dan pasien yang sembuh setelah
mendapatkan perlakuan medis tertentu adalah orang-orang hukuman yang sudah
menjalani masa hukuman di mana seiring dengan selesainya masa hukuman itu
diharapkan tubuh orang-orang hukuman itu tidak lagi melakukan aktivitas yang dilarang.
[10] Bandingkan juga dengan Southgate, Beverly, Postmodernisme dalam “A Companion to
the Philosophy of History and Historiography” (ed. Aviezer Tucker), UK: Blackwell, 2009,
hlm. 540-549.
[11] Saya ingat sewaktu peluncuran buku Martin Aleida yang berjudul “Langit Pertama
Langit Kedua” di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada 22 Februari 2013, sastrawan
Arswendo Atmowiloto berkata, kurang lebih demikian: “Di dalam cerita pewayangan,
cerpen-cerpen Martin Aleida itu ibarat bunga wijaya kusuma. Bunga itu adalah bunga yang
ajaib. Bunga itu dapat membangkitkan orang yang sudah mati, jika kematian orang itu
adalah kematian yang tidak wajar.” Apa yang dinyatakan oleh Arswendo itu, menurut saya,
paralel yang pemikiran Walter Benjamin tentang [tujuan dari] sejarah, yaitu sebagai
eskatologi atau penebusan atau pembebasan bagi mereka-mereka yang menjadi korban di
masa lalu.
Estetika dan Kritik Sosial dalam Karya-karya Oscar Wilde (Bagian 1)5 July 2013
Iqra Anugrah
LKIP
“…it is much more easy to have sympathy with suffering than it is to have sympathy with
thought.” (“…adalah lebih mudah untuk bersimpati kepada penderitaan daripada bersimpati
kepada pemikiran.”)
Oscar Wilde dalam The Soul of Man Under Socialism (Jiwa Manusia dalam Sosialisme)
Iqra Anugrah[i]
Pendahuluan
Siapakah Oscar Wilde? Pembahasan atas kehidupan pribadinya yang bohemian dan
flamboyan terutama hubungannya dengan Lord Alfres Douglas yang juga membuat dia
dipenjara seringkali mengalihkan perhatian khalayak dan menimbulkan kesalahpahaman
atas karya-karyanya. Namun, tentu saja ada beberapa hal menarik yang dapat kita kaji dari
karya-karya salah satu penulis Anglo-Irlandia[ii] paling terkemuka yang juga salah satu
seniman aliran estetik-dekaden[iii] paling terdepan ini.
Salah satu sisi yang terlupakan dari peranan dan karya-karya Wilde sebagai penulis adalah
Wilde sebagai penganjur estetika dan kritikus sosial. Dalam berbagai karyanya, mulai dari
naskah drama, puisi, novel, traktat politik, esai, prosa, hingga surat-surat pribadinya, tema
yang kerap muncul dalam tulisan-tulisan Wilde adalah perayaan terhadap estetika dan
keindahan sekaligus kritik atas moralitas Victorian[iv] yang dominan pada zamannya.
Dengan gayanya yang jenaka, kontemplatif dan terkadang bombastis, Wilde mencoba
menyentuh tema-tema tersebut dalam tulisan-tulisannya yang membahas berbagai macam
topik, mulai dari filsafat seni, sosialisme, teologi, individualisme, hingga kritik sosial.
Dalam konteks inilah, saya berusaha mengulas beberapa karya-karya Oscar Wilde. Bagian
pertama dari tulisan ini bermaksud memberi pengantar dan sedikit pembahasan atas karya-
karya Wilde, sedangkan bagian kedua dari tulisan ini akan membahas berbagai ulasan
kritis tentang karya Wilde serta konteks sejarah dan relevansi masa kini dari karya-karya
Wilde. Dari sekian banyak karya Wilde, saya akan fokus kepada beberapa karyanya yang
saya anggap cukup representatif, yaitu The Picture of Dorian Gray, The Importance of
Being Earnest, Lady Windermere’s Fan, dan An Ideal Husband[v], De Profundis, dan The
Soul of Man Under Socialism.
Sekilas tentang Oscar Wilde
Terlahir sebagai Oscar Fingal O’Flahertie Wills Wilde dari sepasang intelektual Anglo-
Irlandia di Dublin pada 16 Oktober 1854, Oscar Wilde segera menunjukkan bakatnya dalam
dunia kesusasteraan semenjak masa mudanya. Baik di Trinity College, Dublin, maupun di
Universitas Oxford, Wilde menekuni studi klasik (Classics), yaitu studi sejarah dan filsafat
Yunani dan Romawi baik di masa kuno maupun modern. Semasa studinya, ia berkali-kali
menerima penghargaan akademik atas prestasi intelektual dan literernya. Tetapi, alih-alih
menjadi seorang akademisi, Wilde justru meniti karier sebagai penulis.
Sebagai penulis, Wilde segera memperoleh reputasi sebagai salah satu penulis dan
sastrawan terkemuka di Inggris. Selain karya-karyanya tersebut di atas, beberapa karya
Wilde lain yang mendapat sambutan yang cukup luas adalahThe Happy Prince and Other
Tales, Lord Arthur Savile’s Crime and Other Stories, A House of Pomegranates, The Decay
of Lying, The Critic as Artist dan Salomé. Wilde juga menikmati kemapanan finansial dari
pementasan naskah-naskah dramanya dan penjualan berbagai karyanya.
Namun, pertemuannya dengan Lord Alfred Douglas, atau yang lebih dikenal sebagai
‘Bosie’, perlahan-lahan memutar roda kehidupan Wilde. Meskipun Wilde sudah menikah
dan memiliki dua orang anak, perlahan-lahan ia menjalin hubungan yang melampaui
pertemanan dengan Bosie. Kemudian, mereka menjadi sepasang kekasih, suatu hal yang
amat ditentang oleh pihak keluarga dan teman-teman Wilde dan Bosie. Sampai-sampai,
ayah Bosie, bangsawan Queensberry, menuduh mereka sebagai pasangan
homoseksual[vi]. Ironisnya, atas anjuran Bosie, Wilde menuntut ayahnya Bosie dengan
tuduhan pencemaran nama baik. Tuduhan ini, yang kemudian ditarik kembali, kemudian
menjerat Wilde dengan dakwaan ‘perilaku yang tidak senonoh dengan laki-laki lain’ (gross
indecency), dakwaan yang tragisnya dikenakan berdasarkan bukti-bukti yang di antaranya
diambil dari beberapa karya dan surat pribadinya yang bernuansa homoseksual. Wilde
kemudian ditahan dan dikenakan hukuman kerja paksa selama dua tahun dan tak lama
setelah ia dibebaskan, ia sakit-sakitan, memeluk agama Katolik, dan kemudian meninggal
dunia di Paris pada 30 November 1900.
Komedi dan Kritik dalam Tiga Naskah Drama Wilde
Sebagai pengantar, ada baiknya saya memulai pembahasan karya Wilde dari tiga naskah
dramanya yang jenaka namun kritis, yaitu Lady Windermere’s Fan (Kipas Lady
Windermere, selanjutnya LWF), An Ideal Husband (Suami yang Ideal, selanjutnya AIH),
dan The Importance of Being Earnest (Pentingnya Menjadi si Jujur, selanjutnya TIBE). Di
bagian ini, saya menyajikan ringkasan atas naskah-naskah drama tersebut satu persatu
sebelum memberikan ulasan kritis terhadapnya.
LWF dan AIH memiliki tema yang mirip, yaitu seputar kehidupan masyarakat kelas atas
Inggris dan intrik, kemunafikan sekaligus kekonyolan yang menyertai dan inheren dalam
kehidupan kelompok sosial tersebut. LWF berkisah tentang sepasang suami istri
bangsawan, Lord Windermere dan Lady Windermere. Lady Windermere curiga bahwa
suaminya, Lord Windermere, berselingkuh dengan seorang perempuan yang bernama Mrs.
Erlynne. Masalah bertambah pelik tatkala Lady Windermere mengetahui suaminya telah
memberi Mrs. Erlynne uang bulanan selama beberapa bulan terakhir. Tidak hanya itu, Lord
Windermere bersikeras untuk mengundang Mrs. Erlynne di pesta ulang tahun istrinya
dengan alasan Erlynne adalah ‘perempuan terhormat’ yang ‘ingin kembali ke masyarakat’
(Wilde, 2000: 345). Sebagai balasan, Lady Windermere berencana untuk menjawab ajakan
selingkuh dari salah seorang tamu pria yang datang ke pestanya. Untungnya, Mrs. Erlynne
berhasil menghentikan rencana Lady Windermere. Usut punya usut, Mrs. Erlynne rupanya
adalah ibu kandung dari Lady Windermere yang mengira bahwa ibunya meninggal sewaktu
ia masih kecil. Akhir cerita, hubungan Lady Windermere dan Lord Windermere kembali
harmonis, dan Mrs. Erlynne menerima lamaran seorang bangsawan yang ia temui di pesta
ulang tahun Lady Windermere.
Masih membahas tema yang serupa, AIH berkisah tentang Sir Robert Chiltern, seorang
politisi dan bangsawan muda yang sedang naik daun di London. Dalam sebuah pesta yang
dihadiri oleh anggota kelas atas di London, ia bertemu Mrs. Cheveley, yang mengetahui
rahasia kotor dari kesuksesan Sir Robert. Rupanya, almarhum kekasih Mrs. Cheveley,
Baron Arnheim, meyakinkan Sir Robert untuk membocorkan rencana Pemerintah Inggris
untuk membeli saham di Terusan Suez. Tiga hari sebelum Pemerintah Inggris
mengumumkan rencana pembelian saham tersebut, Baron Arnheim membeli saham
tersebut dan untung besar. Sebagai imbalannya, Sir Robert juga ‘kecipratan’ keuntungan
tersebut, yang kemudian ia gunakan sebagai modal politiknya. Mrs. Cheveley mengancam
akan membocorkan rahasia Sir Robert apabila Sir Robert tidak mendukung rencana
pembangunan sebuah kanal di Argentina yang sarat dengan korupsi. Awalnya, Sir Robert
yang mulanya menolak terpaksa mendukung proyek korup tersebut. Sialnya, istrinya, Lady
Chiltern, mengetahui perubahan sikap Sir Robert, dan kesal terhadap perbuatan suami
yang tidak mencerminkan perilaku ‘suami ideal’ (‘an ideal husband’). Pahlawan dan
penyelamat dari tragedi Sir Robert adalah Lord Goring, teman dari Sir Robert yang juga
seorang bangsawan namun menjalani hidup secara bebas dan terkesan tidak peduli
dengan norma-norma sosial ala kaum borjuis dan aristokrat Victorian: berambut
gondrong, suka berkelakar, belum ingin menikah meskipun sudah memasuki usia kepala
tiga, dan karenanya sering diomeli ayahnya yang juga seorang bangsawan. Akhir cerita,
tidak hanya dosa politik Sir Robert berhasil ditutupi, ia juga akhirnya menolak pengesahan
proyek kanal yang dinilai korup itu. Karir politik Sir Robert kembali menanjak, kehidupan
rumah tangganya terselamatkan, dan Lord Goring pun akhirnya direstui untuk menikah
dengan gadis pujaannya yang juga adik dari Sir Robert, Miss Mabel Chiltern.
Dengan latar belakang sosial yang masih relatif sama namun topik yang berbeda, TIBE
mengangkat isu yang tidak kalah sensitif: pernikahan dan norma sosial. TIBE[vii] berkisah
tentang dua orang pemuda dari kelas atas di London, Algernon ‘Algy’ Moncrieff dan John
‘Ernest’ Worthing. Karena ‘sesaknya’ norma dan ketentuan sosial di kehidupan sosial
London, Algy dan Ernest sengaja berbohong dengan memiliki identitas ganda: Algy
mengaku memiliki ‘teman’ yang bernama Bunbury, sedangkan John alias Ernest memiliki
identitas ganda sebagai John atau Paman Jack di desa yang selalu khawatir dengan
‘adiknya’, Ernest yang tinggal di London, sedangkan di kota, Jack sendiri mengaku
bernama ‘Ernest’.
Masalah kemudian muncul ketika John melamar sepupunya Algy yang juga seorang
bangsawan, Gwendolen Fairfax. Gwendolen menerima lamaran John—masalahnya, ia
tertarik kepada John karena ia mengenal John sebagai ‘Ernest’, dan menurut Gwendolen,
‘cita-citaku selalu adalah untuk mencintai seseorang yang bernama Ernest’ (hlm. 490). Dari
sini, muncullah masalah pertama: John harus secara resmi bernama Ernest supaya bisa
menikahi Gwendolen, oleh karena itu, ia berencana untuk membuat kabar palsu: Ernest,
‘adiknya’ John, baru saja meninggal, agar nama ‘Ernest’ bisa dipakai oleh John ketika ia
pelesir di kota.
Tetapi, masalah tidak berhenti di sini. Algy, yang diam-diam mencatat alamat rumah John di
desa, kemudian bertemu dan naksir dengan anak angkat John, Cecily Cardew.
Masalahnya, Algy juga mengaku bernama ‘Ernest’. Penyebabnya sama: Cecily juga hanya
mau menikahi lelaki bernama Ernest. John, yang sudah membawa kabar meninggalnya
‘Ernest’, kemudian datang ke rumahnya hanya untuk segera terkejut kembali, karena
‘Ernest’ tiba-tiba ada di rumahnya! Tak lama, Gwendolen juga mendatangi rumah John. Ini
semua berujung ke timbulnya masalah kedua: Gwendolen dan Cecily berebut untuk
menikahi ‘Ernest’. Solusi yang dipikirkan oleh Algy dan John juga tidak kalah
bermasalahnya: kedua-duanya ingin kembali dibaptis dengan nama ‘Ernest’!
Kemudian, datanglah Lady Brucknell, ibu dari Gwendolen sekaligus tantenya Algy.
Keadaan kemudian bertambah pelik: karena Lady Brucknell tidak setuju apabila Gwendolen
menikahi John, maka John juga tidak merestui hubungan antara Algy dengan anak
angkatnya, Cecily. Namun, cerita ini kemudian memiliki akhir yang berbahagia: setelah
ditelusuri, barulah diketahui bahwa John adalah anak dari saudara perempuan Lady
Brucknell. Dengan kata lain, John adalah kakak dari Algy dan juga keponakannya Lady
Brucknell. Kemudian, diketahui juga bahwa nama baptis John adalah Ernest. Cerita ditutup
dengan Lady Brucknell yang merestui hubungan Gwendolen dengan John, John yang
merestui hubungan Cecily dengan Algy, dan John yang menyadari bahwa “…untuk pertama
kalinya dalam hidupku, aku menyadari pentingnya menjadi si Jujur” (“…I’ve now realized for
the first time in my life, the vital Importance of Being Earnest.”)[viii] (hlm. 538).
Dari tiga lakon ini, apa yang bisa kita pelajari dan amati? Setidaknya kita bisa melihat tiga
lakon ini dari tiga aspek, yaitu gaya penulisan, isi atau substansi, dan kritik dalam tema-
tema yang diangkat. Pertama, dari segi penulisan, setidaknya ada tiga ciri khas dari lakon-
lakon Wilde yaitu permainan kata-kata (wit), kejenakaan (comedy), dan terkadang
kekonyolan (farce) (Foster, 1956). Apabila kita amati lebih lanjut, biasanya kejenakaan yang
menjadi ciri khas lakon-lakon Wilde terletak pada dialog di antara para tokohnya. Yang lebih
menarik lagi, kejenakaan ini dapat segera dipahami dengan baik oleh penonton—termasuk
oleh saya yang bukan penutur asli Bahasa Inggris. Ini juga menandakan ciri khas yang lain
dari lakon-lakon Wilde–lakon yang membahas mengenai kekonyolan masyarakat kelas atas
Inggris, khususnya London di Era Victoria yang dapat dipahami oleh khalayak.
Tidak percaya? Perhatikan saja contoh potongan dialog “…I’ve now realized for the first
time in my life, the vital Importance of Being Earnest.”, atau contoh-contoh lain yang dapat
kita temukan. Di lakon LWF misalnya, terdapat sebuah ironi: Lady Windermere yang ibunya
meninggal ketika ia kecil curiga bahwa suaminya selingkuh dengan Mrs. Erlynne, yang
rupa-rupanya adalah ibu kandung dari Lady Windermere yang meninggalkan keluarganya
namun sekarang ingin melihat lagi anaknya yang sudah dewasa dan sukses. Lakon AIH
juga menyajikan campuran yang pas antara dimensi ironis dan komedi dari kehidupan Sir
Robert, keluarganya, serta kawan-kawannya: ada intrik, politik kotor dan kesalahpahaman
yang tidak perlu. Menariknya, pahlawan tak terduga yang menyelematkan Sir Robert
adalah Lord Goring, seorang bangsawan yang bohemian, yang menurut beberapa pengkaji
Wilde sebenarnya adalah representasi dari Wilde sendiri.
Kedua, secara substansi, tema-tema yang diangkat oleh Wilde dalam lakon-lakonnya
sesungguhnya adalah tema-tema yang sensitif pada masanya: skandal politik,
pengancaman, masa lalu yang gelap dari para orang penting, kerepotan untuk menjalani
moralitas dan norma sosial Victorian, hingga pernikahan. Skandal Sir Robert dalam AIH
misalnya, bagi saya, terdengar seperti lagu lama: seorang politisi muda terkemuka yang
menjustifikasi ‘dosa’ masa lalunya agar bisa tampil ke permukaan dan ‘mengabdi’ ke
masyarakat (terdengar familiar?). Contoh lain yang tidak kalah konyol dan menariknya
adalah Algy dan John dalam TIBE: dua pemuda kelas atas yang memiliki identitas ganda
agar bisa menjalani kehidupan sebagai ‘orang baik dan terhormat’[ix] di satu sisi dan ‘orang
bebas’ di sisi lain yang saking ngebetnya ingin kawin bersedia menempuh sebuah jalan
pintas: dibaptis ulang dengan nama Ernest (ini juga mengingatkan saya akan 1.001 cara
masyarakat Indonesia, baik kelas bawah maupun kelas atasnya, untuk ‘mengakali’ lembaga
pernikahan, mulai dari membuat KTP baru, nikah siri, hingga berbagai justifikasi atas
praktek poligami). Membaca lakon-lakon Wilde dalam konteks ini, barulah kita merasakan
pedasnya kritik Wilde: moralitas Victorian sesungguhnya adalah moralitas yang munafik,
hipokrit.
Ketiga, kritik atas kemunafikan moralitas Victorian yang membelenggu ‘para pengikutnya’
(baca: kelas atas) juga terasa makin subversif karena disajikan dengan cara-cara yang
jenaka, komedi, dan konyol. Hal-hal yang dianggap serius, penting, bahkan sakral, seperti
politik, pencitraan publik, bahkan institusi keluarga dan pernikahan dikritik oleh Wilde,
dengan caranya yang kocak dan cerdas.
Tiga naskah drama atau lakon dari Wilde ini, dalam pandangan saya, meneguhkan posisi
Wilde sebagai kritikus sosial terdepan atas kebangkrutan moralitas Victorian yang dapat
menyampaikan kritiknya dengan cara-cara yang artistik dan jenaka.
Estetika dan Kegelisahan Sosial dalam The Picture of Dorian Gray
Satu karya lain dari Wilde yang mendapat sambutan publik yang cukup luas adalah satu-
satunya novel yang ia tulis,The Picture of Dorian Gray (Lukisan Dorian Gray, selanjutnya
TPDG). Berbeda dengan tiga naskah dramanya yang jenaka, cerita dalam TPDG
cenderung muram. Kali ini, saya menggunakan analisis seorang sarjana Wilde asal Jepang
dari Universitas Nagoya, Mitsuharu Matsuoka (2003), untuk menelaah tema estetika dan
kegelisahan sosial (social anxiety) dalam TPDG.
Wilde dalam TPDG sesungguhnya berusaha bergumul dengan keterbatasan filsafat
estetika dan hedonisme serta mencoba merumuskan kritik terhadapnya sembari, lagi-lagi,
mengkritik moralitas Victorian ala kelas menengah dan elit penguasa Inggris. TPDG
berkisah tentang Lord Henry Wotton, seorang pelukis yang sensitif bernama Basil Hallward,
dan seorang pemuda tampan yang bernama Dorian Gray yang menjadi model lukisan
Basil. Di tengah-tengah perbincangan antara tiga tokoh tersebut, Lord Henry melontarkan
dukungannya atas sebuah aliran pandangan estetika di zamannya yang mengagungkan
hedonisme, bahwa seni haruslah mengabdi hanya untuk seni dan bahwa tujuan terpenting
dalam hidup adalah pencarian akan keindahan—dan juga kenikmatan (Matsuoka, 2003:
77). Terpengaruh pandangan Lord Henry, Dorian akhirnya memutuskan untuk menjadi
seorang hedonis. Dalam perjalanan Dorian untuk memenuhi hasrat hedonisnya, harapan
Dorian juga menjadi kenyataan—alih-alih dirinya sendiri, lukisan dirinya yang dibuat oleh
Basil akan menua. Kejadian ini membuat Dorian semakin hedonis sekaligus liar, sampai-
sampai ia rela membatalkan pertunangannya dan membunuh Basil. Dalam penyesalannya,
akhirnya Dorian memutuskan untuk menusuk lukisan dirinya yang sudah buruk rupa dan
menua. Akhir cerita, Dorian meninggal dalam keadaan tertusuk, tua, dan buruk rupa,
sedangkan lukisan dirinya kembali pada kondisi awalnya seperti semula.
Sebelum membahas kritik Wilde terhadap gerakan estetika dan moralitas Victorian dalam
TPDG, ada baiknya kita sedikit membahas mengenai konteks sosial saat gerakan Estetika
muncul. Pertama-tama, perlu diingat bahwa Estetika lahir di tengah-tengah puncak
industrialisasi dalam Revolusi Industri di Era Victoria. Estetika adalah reaksi terhadap
‘produk-produk buruk rupa yang dihasilkan oleh mesin-mesin buatan’ yang berimbas
kepada ‘menghilangnya yang indah’ (‘the disappearance of the beautiful’) (hlm. 78). Karya-
karya Wilde, sebagaimana karya-karya seniman Estetik lain, seperti John Ruskin dan
William Morris, perlu ditempatkan dalam konteks ini. Di tengah usaha penyelamatan
terhadap ‘yang indah’, kaum Estetik-Dekaden bersimpang jalan dengan kelas menengah
Inggris di waktu itu. Bagi kelas menengah Victorian, terdapat signifikansi moral yang
inheren dalam kesenian dan menjadi kewajiban bagi kesenian untuk mengeksplisitkannya,
sedangkan bagi kaum Estetik-Dekaden, kesenian berarti adalah apresiasi terhadap
keindahan (hlm. 78—9).
Namun, terdapat perbedaan pandangan dalam aliran Estetik-Dekaden itu sendiri. Wilde
sendiri berdiri di persimpangan jalan antara berbagai tendensi dalam aliran ini, suatu hal
yang juga tercermin dalam tiga karakter Wilde (Lord Henry, Basil, dan Dorian Gray) dalam
TPDG. Bagi Matsuoka, ini sesungguhnya menunjukkan ambivalensi Wilde dalam melihat
potensi artistik dan kritik aliran Estetik-Dekaden. Di satu sisi, Wilde bisa dikatakan sebagai
bagian utama, jikalau bukan representasi terbaik, dari aliran Estetik-Dekaden. Di sisi lain,
Wilde juga kritis terhadap kecenderungan hedonisme yang eksesif yang dapat muncul dari
filsafat Estetik-Dekaden. Konflik segitiga antara Lord Henry-Basil-Dorian dalam TPDG juga
menunjukkan ambivalensi Wilde: ada Lord Henry yang menganjurkan estetika yang
hedonistik, ada Dorian yang menerapkan hedonisme secara ekstrem yang kemudian
menyesali perbuatannya, dan ada Basil yang menghargai keindahan namun berpendapat
bahwa ‘yang baik’ (the good) tidaklah terlepas dan selalu bertautan dengan ‘yang indah’
(the beautiful) dan ‘yang nikmat’ (the pleasurable) (hlm. 80). Ini diakui sendiri oleh Wilde,
yang dalam salah satu suratnya mengatakan, “Basil Hallward adalah apa yang aku pikirkan
tentang diriku; Lord Henry adalah apa yang dunia pikir tentang diriku; Sedangkan Dorian,
aku ingin menjadi seperti dirinya – mungkin di masa lain.”[x] (Holland & Hart-Davis, 2000:
585). Secara garis besar, menurut Matsuoka, setidaknya ada dua kecenderungan di aliran
Estetik-Dekaden di masa Wilde[xi]: kecenderungan pertama, yang diwakili oleh penulis
seperti Walter Pater dan tokoh Lord Henry dalam TPDG, menganjurkan pemisahan antara
seni dan keindahan dari moralitas. Sedangkan kecenderungan pertama, yang disebut oleh
Matsuoka sebagai moralis estetik (aesthetic moralists), diwakili oleh kritikus seni John
Ruskin dan tokoh Basil dalam TPDG, tetap mengkritik moralitas status quo (Victorian),
namun menolak menyingkirkan ‘yang baik’ dalam seni dan keindahan (hlm. 80). Kebetulan,
baik Walter Pater maupun John Ruskin adalah mentor Wilde semasa ia kuliah di Oxford
(hlm. 80). Oleh karena itu, tidak heran apabila kita melihat berbagai dilema dalam aliran
Estetik-Dekaden tercermin dalam karya Wilde. Terlepas dari perbedaan dari dua tendensi
pemikiran dalam aliran Estetik-Dekaden, satu hal yang menyatukan mereka adalah kritik
mereka terhadap moralitas Victorian. Sejatinya, apa yang menjadi kritik utama dari kaum
Estetik-Dekaden adalah ide bahwa kesenian harus mengabdi kepada suatu kepentingan
moral yang lebih tinggi (some higher moral purpose), yang sesungguhnya berarti moralitas
aristokratik, borjuis, dan borjuis kecil dari Victorianisme yang sesugguhnya, setidaknya
menurut Wilde, dipenuhi dengan kemunafikan dan kontadiksi-kontradiksi di dalamnya.
‘Basis material’ yang memungkinkan kritik Wilde terhadap Victorianisme muncul, menurut
Matsuoka, adalah tantangan terhadap struktur kelas masyarat yang rigid dan romantisme
kelas menengah Inggris di masanya (hlm. 81). Di aspek kesenian, Wilde mengkritik
kecenderungan kesenian yang vulgar dan dangkal dari kelas menengah Inggris yang
kemampuan ekonominya mulai menanjak dan mencoba menikmati berbagai karya dan
aktivitas kesenian (hlm. 84). Ini terlihat, misalnya, dari pergeseran tren kesenian Victorian
yang mula-mula ‘dipimpin’ oleh para seniman yang berafiliasi dengan Royal Academy of
Arts yang kemudian ‘diambil alih’ oleh kelas menengah Inggris dengan perkumpulan
keseniannya, Art Union, yang mempromosikan realisme domestik (domestic realism),
penghormatan dan puji-pujian dalam karya seni, dan pengutamaan atas aktivitas sosial,
seperti jalan-jalan dan kunjungan ke berbagai galeri seni alih-alih penghargaan atas karya
seni—semuanya atas nama norma sosial ala Victorian (hlm. 82—4). Kritik ini diungkapkan
secara tajam melalui pernyataan Lord Henry dalam TPDG, “zaman sekarang, orang-orang
tahu harga semua hal, tetapi tidak tahu nilainya”[xii] (hlm. 84; cetak miring oleh penulis).
Di aspek sosial, Oscar lain tidak hanya mengkritik berbagai kontradiksi moralitas dan
‘kedangkalan’[xiii] kesenian kelas menengah dan kelas atas Victorian, namun juga
menyerang optimisme palsu dan norma seksualitas mereka. Sosok Dorian, menurut
Matsuoka, adalah gambaran kemunafikan (hypocrisy) kelas borjuis-aristokrat: di satu sisi ia
melakukan segenap perbuatan yang dianggap imoral, namun di sisi lain ia tampil dengan
penampilan yang luar biasa mengesankan (hlm. 85). Wilde juga mengkritik optimisme dan
kebaikan moralis ala kaum borjuis-aristokrat, yang menurut Wilde sesungguhnya timbul dari
ketakutan kaum borjuis-aristokrat akan kemungkinan ‘dirampasnya’ privilese sosial mereka,
sebagaimana diungkapkan oleh Lord Henry kepada Basil (hlm. 85). Lebih lanjut lagi, Wilde
mencoba menampilkan kontras antara kemewahan kelas yang berpunya dan berkuasa
dengan kesulitan hidup yang membebani mayoritas rakyat Inggris di masa Victoria.
Padahal, aktivitas produktif dilakukan oleh mayoritas rakyat tersebut, sedangkan kelas
borjuis-aristokrat Victorian melihat aktivitas produktif sebagai beban dan menganggap
waktu luang (leisure) dan bermalas-malasan (idleness) sebagai suatu privilese sosial. Wilde
secara sinis menyebut gaya hidup kaum borjuis-aristokrat sebagai “seni tidak melakukan
apa-apa secara gemilang ala kaum bangsawan” (“the great aristocratic art of doing
nothing”) (hlm. 87). Kritik Wilde ini, menurut Chamberlin (1972), terdengar mirip dengan
kritik ekonom nyentrik Thornstein Veblen atas konsumsi mencolok atau pamer
(conspicuous consumption) dari kelas atas yang gemar menghabiskan waktu luang yang
juga disebut Veblen sebagai the leisure class. Wilde juga menunjukkan kontras antara
kelas penghisap dan kelas produktif dengan sosok Dorian, yang selalu bergerak melintasi
dua dunia: kelas-kelas dengan status sosial tertinggi dan terendah (Matsuoka, 2003: 87).
Terakhir, Wilde juga mengkritik norma seksualitas yang kaku dan mengekang ala Era
Victoria. Hasrat seksual Dorian yang tidak terkontrol, liar, dan eksperimental, menurut
Wilde, sesungguhnya adalah ‘efek samping’ dari “represi borjuis Victorian atas segala
bentuk seksualitas non-reproduktif” (hlm. 89).
Interpretasi Matsuoka atas TPDG juga senada dengan interpretasi Ryan dan Cadwallader
(2013) atas kritik Wilde atas hedonisme ekstrem ala Dorian, interpretasi Duggan (2008—
2009) atas berbagai dilema yang berkaitan dengan kemampuan filsafat estetika
merumuskan suatu kritik sosial, dan interpretasi Quintus (1980) atas dimensi moral dari
Estetika Wilde. Namun, terlepas dari ambivalensi Wilde atas berbagai dilema dan potensi
kritik aliran Estetik-Dekaden, secara sadar Wilde mengusung suatu bentuk seni yang ingin
menonjolkan keindahan sekaligus membongkar kebangkrutan moralitas Victorian dalam
TPDG.
Sosialisme dan Teologi dalam The Soul of Man dan De Profundis
Jikalau sebelumnya kita banyak membahas mengenai karya-karya seni Wilde, di bagian ini
kita beralih ke tulisan Wilde dalam versinya yang lain. Pertama, dibahas traktat politik Wilde
yang berjudul The Soul of Man Under Socialism (Jiwa Manusia dalam Sosialisme) yang
juga dikenal sebagai The Soul of Man. Selanjutnya, dibahas surat panjang Wilde yang
ditulisnya semasa ia di penjara yang ditujukan kepada kekasihnya Bosie, De
Profundis (diambil dari Mazmur 130 dalam Perjanjian Lama, yang berarti ‘Dari Kedalaman’).
Selain traktat politik, The Soul of Man juga dapat dibaca sebagai tulisan di mana visi politik
dan kesenian Wilde bertemu. Sedangkan De Profundis, yang bernuansa kontemplatif,
dapat dibaca sebagai renungan dan rangkuman pemikiran Wilde seputar kesenian, politik,
dan teologi.
The Soul of Man membahas berbagai macam tema, mulai dari sosialisme, anarkisme,
negara, individualisme, bentuk pemerintahan, kesenian, Hellenisme, hingga kebebasan.
Wilde memulai traktatnya dengan mengkritik konsep sumbangan dan altruisme[xiv]:
“They find themselves surrounded by hideous poverty, by hideous ugliness, by hideous
starvation. It is inevitable that they should be strongly moved by all this. The emotions of
man are stirred more quickly than man’s intelligence; and, as I pointed out some time ago in
an article on the function of criticism, it is much more easy to have sympathy with
suffering than it is to have sympathy with thought. Accordingly, with admirable though
misdirected intentions, they very seriously and very sentimentally set themselves to the task
of remedying the evils that they see. But their remedies do not cure the disease: they
merely prolong it. Indeed, their remedies are part of the disease.”
(“Mereka dikelilingi oleh kemiskinan, keburukan, dan kelaparan yang kejam. Adalah tak
terhindarkan apabila mereka merasa tergerak oleh semua itu. Emosi manusia lebih cepat
terpanggil daripada daya pikirnya, dan, seperti sudah kutunjukkan beberapa waktu yang
lalu dalam sebuah artikel tentang fungsi kritisisme, adalah lebih mudah untuk bersimpati
kepada penderitaan daripada bersimpati kepada pemikiran. Karenanya, dengan niat
yang mengesankan namun salah sasaran, mereka dengan amat serius dan sentimental
berupaya mengatasi kejahatan yang mereka lihat itu. Namun, jawaban yang mereka
berikan tidak mengobati penyakit tersebut, jawaban tersebut hanya memperpanjang
penyakit itu. Sungguh, jawaban yang mereka berikan adalah bagian dari permasalahan”).
(Cetak tebal oleh penulis)
Bagi Wilde, moralitas borjuis-aristokrat Victorian bukanlah jawaban, melainkan bagian dari
permasalahan sosial yang berupa kemiskinan, kesengsaraan, dan kelaparan. Tujuan politik
yang pantas, menurut Wilde, adalah “…menata ulang masyarakat sehingga kemiskinan
menjadi tidak mungkin.”[xv] Dengan sosialisme, maka segala permasalahan sosial ini bisa
diatasi, terutama karena “…Sosialisme sendiri berharga karena ia akan membawa kita
kepada Individualisme.”[xvi]. Di sini, kita bisa melihat ada yang menarik dari politik Wilde:
ada nuansa libertarian atau anarkis dalam Sosialisme Wilde. Lebih lanjut lagi, Wilde
mengamati bagaimana industrialisasi, yang dianggap memiliki potensi untuk
memerdekakan manusia dari kewajiban kerja, malah semakin memperbudak (enslave)
manusia melalui perkembangan mesin-mesin industri. Wilde juga menggarisbawahi
pentingnya individualisme, yang ia definisikan sebagai kebebasan individu untuk
merealisasikan potensinya tanpa hambatan struktural, dalam masyarakat sosialis. Wilde
juga berkali-kali menyatakan skeptisismenya terhadap institusi negara, terutama
kecenderungan watak koersif dan otoritarian yang ia lihat dari negara. Dalam hal
dukungannya terhadap praktik-praktik sosial baru dan pengorganisasian, Wilde
berpendapat bahwa “semua asosiasi haruslah sedikit banyak didasarkan atas prinsip
kesukarelaan. Hanya dalam asosiasi-asosiasi yang sukarelalah manusia akan baik-baik
saja.”[xvii] (cetak miring bersumber dari teks aslinya).
Di dalam The Soul of Man, Wilde juga secara ekstensif membahas secara panjang
mengenai visi dan filsafat keseniannya. Pengaruh aliran Estetik-Dekaden masih terasa di
sini: berkali-kali Wilde menyatakan pentingnya Seni (dengan ‘S’ kapital) dan kesenian. Di
sinilah, visi politik dan kesenian Wilde beradu. Di satu sisi ada semangat egalitarianisme,
terutama dalam kritik Wilde atas aktivitas kerja kasar yang menurutnya adalah suatu proses
dehumanisasi. Namun, di sisi lain, ada kritik terhadap selera kesenian publik yang
menurutnya vulgar dan dangkal, yang terlihat dalam pernyataan-pernyataan seperti
“sekarang Seni tidak boleh mencoba menjadi populer. Publiklah yang harus menjadi
artistik,” atau “karya seni haruslah mendominasi penikmatnya: penikmatnya tidak boleh
mendominasi karya seni.”[xviii] Ini menggambarkan semacam dilema dan pertentangan
antara visi politik dan visi kesenian Wilde.
Tema lain yang kerap muncul dalam The Soul of Man adalah teladan dari figur Yesus
Kristus. Meskipun seorang bohemian, dan kerap mengungkapkan skeptisismenya terhadap
aspek-aspek ortodoks dari agama beserta institusinya, Wilde tampaknya begitu terinspirasi
dengan sosok Kristus—satu tema yang kemudian juga muncul dalam De Profundis dan
kehidupannya ketika ia memutuskan menjadi seorang Katolik. Yesus, bagi Wilde, adalah
semacam teladan: ia mengkritik akumulasi harta dan kepemilikan pribadi, membela mereka
yang miskin, mengampuni dosa, dan tersentuh oleh cinta. Namun, bagi Wilde, kita tidak
perlu mewujudkan Individualisme melalui penderitaan seperti Kristus. Individualisme bisa
dicapai melalui kesenangan (joy).
Wilde menutup traktatnya dengan kembali mengingatkan bahaya simpati semu. Kemudian,
ia kembali mengambil contoh perjuangan Kristus relevansinya dalam mewujudkan suatu
tatanan masyarakat Sosialis yang voluntaris. Di akhir traktatnya, Wilde menyerukan bahwa
‘Individualisme baru adalah Hellenisme baru.’[xix]. Hellenisme yang dimaksud Wilde adalah
cita-cita masyarakat Yunani kuno mengenai suatu visi masyarakat yang egaliter yang tiap-
tiap individu dapat berkembang dan merealisasikan potensinya yang ada dalam pikiran
mereka namun tidak dapat direalisasikan pada masa itu. Dengan Sosialisme dan
Individualisme, menurut Wilde, maka Hellenisme baru itu dapat tercapai.
Tema-tema yang sama, namun dengan nada yang lebih kontemplatif dan rendah hati, juga
dapat ditemukan dalamDe Profundis. De Profundis dimulai dengan sebuah pernyataan
yang menyiratkan keputusasaan, “tempatku akan berada di antara Gilles de Retz dan
Marquis de Sade.”[xx] Kemudian, Wilde memulai dengan bercerita mengenai
kehidupannya, hubungannya dengan Bosie, hingga kesulitan hidupnya selama di penjara.
Awalnya, ada kalimat yang bernada bombastis, “Para Dewa telah memberiku hampir
segalanya. Aku memiliki kejeniusan, nama yang terkemuka, posisi sosial yang tinggi,
kebrilianan, keberanian intelektual.”[xxi]. Namun, di bagian selanjutnya, Wilde jauh lebih
rendah hati dalam De Profundis. Di tengah-tengah kesulitan hidupnya, Wilde menyatakan
bahwa baik moralitas, agama, maupun akal tidaklah membantunya, karena, “Aku terlahir
sebagai antinomian.[xxii] Aku adalah satu dari sekian yang tercipta untuk pengecualian,
bukan untuk (mematuhi) hukum.’[xxiii]. Dalam kesusahannya, ia menemukan bahwa
penderitaan (suffering) merupakan jalan untuk menemukan dirinya. Dengan kata lain,
melalui kesulitan, ia kembali meneguhkan dirinya sebagai seorang individualis. Kembali,
figur Yesus menjadi panutan bagi Wilde. Menurutnya, ‘Dan di atas segalanya, Kristus
adalah individualis yang paling agung.’[xxiv]
Di sini, kita dapat melihat evolusi dan kesinambungan pemikiran Wilde tentang
individualisme, kebebasan dan Kristus di sini. Di The Soul of Man, Wilde secara optimis
menyatakan bahwa kita tidak perlu menempuh jalan penderitaan seperti Kristus demi
mencapai individualisme. Namun, perjalanan hidup Wilde dan pengalamannya di penjara
seperti yang ditulisnya dalam De Profundis menunjukkan bahwa bagi Wilde, untuk
mencapai jati diri Individualisnya, rupa-rupanya ia harus menempuh jalan seperti Kristus:
jalan penderitaan.
Namun demikian, ada satu teka-teki atau puzzle di sini: bagaimana Wilde yang
menganggap bahwa agama, moralitas, dan akal tidak akan menolongnya, justru berpaling
kepada Kristus yang dianggapnya contoh terbaik Individualisme?
Pengakuan inilah, menurut Simon Critchley (2009), profesor di The New School, New York,
aspek yang paling radikal dari konsepsi Wilde tentang keimanan dan individualisme.
Menurut Critchley, ada beberapa hal yang menarik yang dapat dikaji dari De
Profundis. Pertama, dalam kesusahan hidupnya, Wilde menyadari bahwa kerendahhatian
(humility) dan penderitaan (suffering) adalah jalannya untuk menemukan kebahagian dan
Individualisme. Kedua,dalam penderitaannya, alih-alih bersujud kepada otoritas, moralitas,
hukum, atau yang transedental (some transcedent deity), ia menjadikannya sebagai
momen baru untuk realisasi dirinya (‘fresh mode of self-realization).Ketiga, agama menurut
Wilde adalah ‘kesetiaan estetis’ (aesthetic fidelity) terhadap suatu simbol yang kita ciptakan
sendiri—bagi Wilde, jelas, simbol tersebut adalah Kristus. Keempat, bagi Wilde, Kristus
adalah ‘seniman agung yang romantis’ (supreme romantic artist), karena, ‘Ia mengambil
seluruh dunia yang diam, dunia kesakitan yang tanpa suara, sebagai kerajaan-Nya dan
menjadikan diri-Nya juru bicara.’[xxv] Kristus menjadi seniman yang paling agung dan
romantis karena Ia menjadikan diri-Nya suara bagi mereka yang bisu (voiceless), dalam hal
ini tidak hanya mereka yang lemah dan tertindas, namun juga mereka yang berpunya
namun terjebak dalam hedonisme yang terkomodifikasi. Kelima, di De Profundis, kita bisa
melihat bagaimana visi Sosialisme dan teologi Wilde bertemu: jika sebelumnya, dalam The
Soul of Man, Wilde meyakini bahwa Sosialisme dan Individualisme dapat dicapai tanpa
melalui penderitaan ala Kristus, Imitatio Christi, di De Profundis, Wilde tidak begitu yakin.
Sebagai tambahan dari saya, satu sisi lain dari diri dan karya Wilde yang dapat kita lihat
dalam De Profundis adalah genealogi pemikiran Wilde dan beberapa pemikir serta penulis
yang berpengaruh dalam pemikiran Wilde. Wilde menyebut, antara lain, Walter Pater,
mentornya di Oxford, Victor Hugo, Charles Baudelaire, dan Peter Kropotkin, sang pangeran
anarkis.
Secara singkat, dapat dikatakan bahwa selain membaca karya-karya seni Wilde, maka
untuk lebih memahami bangunan pemikiran Wilde, kita juga perlu membaca The Soul of
Man dan De Profundis. Jika karya-karya Wilde adalah manifestasi atau pengejawantahan
dari pemikiran, pemahaman seni, dan kritik sosialnya, The Soul of Mandan De
Profundis adalah refleksi dan fondasi dari karya dan pemikirannya. Terdapat evolusi tetapi
juga kesinambungan pemikiran Wilde dalam The Soul of Man dan De Profundis, namun
tema-tema yang diangkat Wilde kurang lebih sama, yaitu politik, teologi, Individualisme,
filsafat seni, dan perjalanan hidupnya.
Tinjauan Kritis
Setelah membahas karya-karya Wilde secara cukup ekstensif, setidaknya ada beberapa
hal yang dapat kita ulas secara kritis tentang karya-karya Wilde. Pertama, sebagaimana
dapat kita lihat dalam karya Wilde terutama TPDG dan The Soul of Man, terdapat suatu
ambivalensi dari sikap Wilde terhadap aliran kesenian yang juga menjadi inspirasi baginya,
yaitu Estetik-Dekaden. Dialog antara tokoh-tokoh dalam novel TPDG, konsepsi Wilde
tentang seni dalam The Soul of Man adalah beberapa jejak ambivalensi Wilde. Meskipun
Wilde lahir dari konteks dan tradisi kesenian Estetik-Dekaden, Wilde sadar bahwa tendensi
hedonistik dan anti-moralitas yang berlebihan dalam aliran Estetik-Dekaden bisa menjadi
hal yang kontra-produktif dalam aktivitas berkesenian. Namun, Wilde juga sadar bahwa
aliran Estetik-Dekaden menawarkan cara baru untuk menjaga keindahan sekaligus
mengkritik kebangkrutan moralitas Victorian. Kemudian, Wilde juga menyadari pentingnya
dimensi ‘moral’, yang saya asumsikan sebagai moralitas yang sejalan dengan prinsip
Individualisme Wilde, yang dia rasa perlu diadopsi baik dalam gaya dan bentuk maupun
substansi dari karya-karyanya. Perhatian Wilde akan ‘hilangnya’ keindahan juga
mengingatkan saya akan perhatian yang kurang lebih serupa dari Walter Benjamin (1968)
dalam salah satu esainya, The Work of Art in the Age of Mechanical Reproduction (Karya
Seni dalam Masa Reproduksi Mekanis), yang menyatakan bahwa dengan penemuan teknik
reproduksi seni secara mekanis terutama teknologi fotografi dan perfilman, karya seni
perlahan-lahan akan kehilangan ‘aura’-nya. Dalam konteks ini, kecemasan kaum Estetik-
Dekaden termasuk Wilde akan hilangnya ‘yang indah’ bisa dibilang cukup mirip dengan
kecemasan Benjamin akan hilangnya ‘aura’. Namun, yang berbeda adalah Benjamin
mengakui bahwa reproduksi mekanis dapat memberikan sebuah pengalaman kesenian
yang baru dan inovatif dan gerakan Kiri dapat mengambil momentum tersebut dengan
‘mempolitisasi kesenian’ (politicizing art)[xxvi], sedangkan bagi Wilde, pengalaman
kesenian baru yang muncul dalam masa Revolusi Industri di Era Victoria hanya berdampak
pada merebaknya kesenian yang dangkal dan vulgar berupa ritual kesenian ala kelas
borjuis-aristokrat Victorian. Perbedaan lain antara Benjamin dan Wilde adalah Benjamin
pada dasarnya dapat dikatakan sebagai seorang kritikus seni, Wilde menjalani peran ganda
sebagai kritikus seni dan seniman sekaligus. Mungkin ini juga yang menjelaskan berbagai
ambivalensi, paradoks, dan dilema dalam aktivitas kesenian Wilde: ia menyadari kegunaan
gaya Estetik-Dekaden dalam karya-karyanya, namun juga mengkritisi kecenderungan
hedonistik yang nihilis dari aliran tersebut; ia ingin menjadi pelaku sekaligus kritik kesenian;
ia secara sadar memosisikan diri sebagai seorang seniman (artist) yang memiliki semacam
‘otoritas berkesenian’, namun di sisi lain ia menulis karya-karya seperti lakon teater yang
dapat dinikmati dan dikomentari oleh khalayak umum[xxvii].
Kedua, ambivalensi Wilde dalam melihat gerakan Estetik-Dekaden juga menggiring kita ke
pertanyaan selanjutnya: bagaimana pandangan Wilde mengenai aktivitas berkesenian dan
produsen seni? Dalam The Soul of Man, Wilde mengkritik kecenderungan dan selera
kesenian publik yang dianggap tidak mengetahui Seni (sekali lagi, dengan ‘S’ kapital).
Namun, terdapat komitmen terhadap suatu bentuk politik sosialis yang libertarian-anarkis
dan pro-Individualisme. Satu penafsiran yang muncul atas ambivalensi Wilde adalah, pada
akhirnya, apabila kita melihat karya dan pemikiran Wilde secara kesuluruhan, maka pada
dasarnya Wilde percaya bahwa Seni dapat menembus divisi kelas, dan semua orang dapat
menjadi produsen seni yang kreatif yang merupakan bagian dari manifestasi
Individualismenya[xxviii]. Pada titik ini, saya sendiri belum dapat mengambilkan kesimpulan
yang jelas mengenai pandangan Wilde terhadap kemungkinan publik (dengan latar
belakang yang bukan borjuis dan aristokrat) untuk menjadi produsen Seni. Namun, jika kita
berangkat dari asumsi bahwa Wilde adalah, mengutip istilah Nassaar (1974), seorang
estetik dengan komitmen moral (morally commited aesthete), kita dapat mengatakan bahwa
Wilde mendukung pandangan bahwa publik (yang meliputi dan melintasi berbagai divisi
kelas sosial) dapat menjadi produsen Seni.
Ketiga, dilema lain yang dihadapi Wilde adalah keinginannya untuk menjadi kritikus
seni sekaligus seniman (Chislett Jr., 1915). Wilde, dalam kritiknya atas Filitinisme
(Philistinism), atau kecenderungan moralis yang kaku dan ‘anti-Seni’ di masa Victoria, justru
kemudian harus bergumul secara intens dengan Filitinisme (hlm. 363) secara intens, dalam
rangka merumuskan ‘Hellenisme Barunya’ (The New Hellenism). Dilema ini juga terlihat
apabila kita membaca esai Wilde tentang kritik kesenian, The Critic as Artist, yang di
dalamnya Wilde berpendapat bahwa kritik kesenian, yang berarti berinteraksi dan bergumul
dengan aktivitas berkesenian dan karya seni, adalah tidak kalah bahkan sama berharga
dan pentingnya dengan aktivitas berkesenian itu sendiri. Mungkin, dalam konteks inilah, kita
bisa membaca pandangan Wilde tentang seni dan kritik seni secara lebih jelas.
Keempat, sebagaimana halnya banyak intelektual yang melampaui zamannya, kita juga
dapat melihat sejarah sosial Wilde sebagai sesuatu yang menarik untuk dikaji. Terlahir dan
besar sebagai bagian dari kelas atas di Irlandia dan Inggris di Era Victoria, Wilde secara
kritis menggunakan gaya dan analisis Estetik-Dekaden untuk mengkritik kemunafikan
moralitas Victorian. Wilde, yang haus dan menikmati reputasi dan popularitas namun tetap
tergerak untuk melontarkan kritik sosial, akhirnya harus dihukum oleh masyarakat Victorian
(dan ulah kekasihnya) karena seksualitasnya, menjadikannya menderita dan rendah hati—
pengalaman yang menurut Wilde membuatnya mampu merealisasikan Individualismenya.
Hal menarik lainnya dari sejarah sosial seorang Oscar Wilde adalah sejarah intelektualnya:
pengaruh intelektual yang dominan pada Wilde adalah studi klasik (Classics), yaitu studi
sejarah dan filsafat Yunani dan Romawi masa kuno dan modern. Mungkin, dari kacamata
inilah, sedikit banyak Wilde memikirkan dan mengkritik masyarakatnya.
Penutup: Oscar Wilde dan Dialektika
Sebagai penutup, secara garis besar, sekarang kita dapat memahami secara lebih jelas
mengenai karya dan pemikiran Oscar Wilde. Sastrawan Anglo-Irlandia yang secara kritis
berada dalam tradisi Estetik-Dekaden ini mengukuhkan dirinya sebagai salah satu kritikus
sosial terkemuka di Inggris, terutama atas moralitas borjuis-aristokrat Victorian yang
dominan pada zamannya.
Terlepas dari konteks aliran saat karya Wilde dirumuskan dan berkembang, yaitu aliran
Estetik-Dekaden, yang sebagian tendensinya masih terlampau hedonistik dan mungkin
berbau borjuis, Wilde berhasil mencoba membuat perhitungan dan kritik atas keterbatasan
aliran Estetik-Dekaden dan lebih lanjut lagi atas keterbatasan moralitas dan kesenian
Victorian. Yang menarik, kita bisa melihat semacam dialektika dalam karya Wilde: Wilde
bergumul dengan kehidupan, moralitas, dan cita rasa seni dari kaum kelas atas Victorian,
untuk kemudian melakukan kritik tajam atasnya—tentunya dengan caranya yang jenaka,
muram, terkadang bombastis, namun sesekali kontemplatif.
Meskipun kritik Wilde lahir dari konteks masyarakat Victorian, kritik dan pemikirannya terasa
relevan hingga sekarang. Setidaknya, saya bisa membayangkan relevansi kritik Wilde
untuk konteks Indonesia, untuk mengupas berbagai persoalan mulai dari korupsi, suap-
menyuap, politik kotor, standar ganda, moralitas sok suci, hingga praktik kawin-mawin dan
skandal seks dari para petinggi negeri. Mungkin, relevansi ini terasa karena apa yang Wilde
kritik sesungguhnya adalah moralitas borjuis-aristokrat (atau dalam konteks masyarakat di
negara berkembang, borjuis-feodal) yang bangkrut.
Bagi Wilde, inspirasi bisa datang dari mana saja, baik dari atas maupun bawah, dari Pater
maupun Roskin, dari Kropotkin maupun Yesus Kristus. Semuanya didedikasikan untuk
keindahan, kritik sosial, dan Individualisme.
*Penulis beredar di twitterland dengan id @libloc
[i] Penulis berterima kasih kepada rekan Ayumi Kaneko Zapata, pengkaji karya-karya Oscar
Wilde dan alumnus Trinity College Dublin, atas diskusi dan masukannya dalam penulisan
artikel ini.
[ii] Oscar Wilde, meskipun berdarah Irlandia dan menghabiskan periode awal
kehidupannya di Irlandia, di kemudian hari lebih banyak bermukim dan berkarier di London.
[iii] Aliran atau angkatan Estetika (Aesthetics Movement) adalah sebuah aliran kesenian
yang mengedepankan aspek estetis atau keindahan dari suatu karya seni alih-alih fungsi
moral, sosial atau politiknya. Aliran ini juga terkadang dikenal dengan slogan ‘seni untuk
seni’ (‘art for the sake of art’). Aliran Estetika mempengaruhi banyak aspek dari corak
pemikiran Wilde, terutama filsafat seninya. Menariknya, melalui Estetika pulalah ia
merumuskan kritiknya atas moralitas masyarakat Victorian.
[iv] Era Victoria (1837—1901), secara umum, merujuk kepada masa berkuasa Ratu
Victoria di Inggris yang juga diasosiasikan dengan proses modernisasi beserta
kemajuannya sekaligus berbagai kontradiksinya: norma sosial yang ketat dan struktur kelas
yang rigid. Oscar Wilde adalah kritik terkemuka atas moralitas Victorian. Saya perlu
berterima kasih kepada rekan Sony Karsono yang pernah secara spesifik mendiskusikan
karakter moralitas Victorian kepada saya.
[v] Kebetulan, selain membaca naskah dramanya, saya pernah menonton pementasan
drama An Ideal Husbandsecara langsung.
[vi] Perlu diingat bahwa aktivitas seksual sesama jenis atau homoseksual dianggap
sebagai perbuatan kriminal di Inggris pada Era Victoria. Homoseksualitas baru
didekriminalisasi di Inggris pada tahun 1967 dengan berlakunyaSexual Offences Act
1967 (Undang-Undang Pelanggaran Seksual Tahun 1967).
[vii] Ada semacam wordplay atau permainan kata-kata di sini. Di lakon TIBE,
kata earnest yang berarti ‘jujur atau bersungguh-sungguh’ dan nama Ernest yang menjadi
nama idola oleh tokoh-tokoh di lakon TIBE memiliki pelafalan yang mirip.
[viii] Lagi-lagi, ada permainan kata-kata antara ‘Ernest’ dan ‘Earnest’ di sini.
[ix] Di lakon TIBE, sepertinya kita dapat menangkap kesan bahwa Algy dan John
sesungguhnya agak malas, jikalau tidak enggan sama sekali, untuk terus mematuhi dan
menaati moralitas dan norma sosial Victorian, dan karenanya mereka menjalani dua
kehidupan. Karenanya, frasa ‘orang baik dan terhormat’ dan ‘orang bebas’ sengaja saya
beri tanda kutip untuk menunjukkan sesaknya moralitas Victorian pada masa itu.
[x] Teks aslinya, “Basil Halward is what I think I am; Lord Henry what the world thinks
me; Dorian what I would like to be—in other ages, perhaps.”.
[xi] Nassaar (1974) menyebut kecenderungan pertama sebagai kaum dekaden
(decadent) dan kecenderungan kedua sebagai kaum estetik dengan komitmen moral
(morally committed aesthete). Bahkan, menurut Nassaar, kaum dekaden mencari
keindahan dalam kejahatan.
[xii] Teks aslinya, “Nowadays people know the price of everything, and the value of
nothing.”.
[xiii] Kita tentunya bisa berdebat mengenai apa yang dimaksud dengan ‘kedangkalan
artistik’ dari kelas menengah. Problematika dan konteks sosio-historis yang berkaitan
dengan seni, aliran Estetik-Dekaden, dan Victorianisme akan saya bahas selanjutnya di
bagian kedua dari seri tulisan ini.
[xiv] Kritik Wilde atas moralitas borjuis (dan mungkin juga kapitalisme) juga dikutip dan
dibahas secara ekstensif oleh Slavoj Zizek (2011, p. 117—8), dalam salah satu buku
terbarunya, Living in the End Times. Kuliah Zizek yang membahas mengenai kritik Wilde
juga dapat dilihat di http://www.youtube.com/watch?v=hpAMbpQ8J7g
[xv] Teks aslinya, “…reconstruct society on such a basis that poverty will be impossible.”.
[xvi] Teks aslinya, “…Socialism itself will be of value simply because it will lead to
Individualism.”.
[xvii] Teks aslinya, “All association must be quite voluntary. It is only in voluntary
associations that man is fine.”.
[xviii] Teks aslinya, “Now Art should never try to be popular. The public should try to
make itself artistic,’ dan ‘The work of art is to dominate the spectator: the spectator is not to
dominate the work of art.”.
[xix] Teks aslinya, “The new Individualism is the new Hellenism.”.
[xx] Teks aslinya, “My place would be between Gilles de Retz and the Marquis de
Sade.”. Giles de Retz adalah seorang pensiunan militer yang kemudian menjadi pembunuh
berantai yang menyerang anak-anak dan Marquis de Sade adalah bangsawan sekaligus
penulis yang terkenal karena tulisannya yang erotis.
[xxi] Teks aslinya, “The gods had given me almost everything. I had genius, a
distinguished name, high social position, brilliancy, intellectual daring.”.
[xxii] Antinomianisme (Bahas Yunani, anti = ‘melawan’, dan nomos = ‘hukum’), adalah
ajaran bahwa hanya iman, dan bukannya hukum moral, yang diperlukan untuk
keselamatan.
[xxiii] Teks aslinya, “I am a born antinomian. I am one of those who are made for
exceptions, not for laws.”.
[xxiv] Teks asli, “And above all, Christ is the most supreme of individualists.”.
[xxv] Teks asli, “…he took the entire world of the inarticulate, the voiceless world of pain,
as his kingdom, and made of himself its external mouthpiece.”.
[xxvi] Namun, pandangan Benjamin yang melihat reproduksi mekanis secara pesimistis
menurut Theodor Adorno ‘kurang dialektis’. Sebagai rujukan, lihat Caygill, et al. (2000).
[xxvii] Mungkin juga, apabila Wilde tidak di penjara, perkembangan pemikiran
keseniannya akan lain. Namun, ini hanyalah sekadar hipotesis.
[xxviii] Ini adalah penafsiran yang diajukan oleh rekan saya, Ayumi Kaneko Zapata.
Mengingat by trainingAyumi adalah seorang sarjana humaniora dan pengkaji karya-karya
Wilde, maka bisa jadi penafsiran Ayumi cukup valid.
Daftar Pustaka
Aldington, R. The Portable Oscar Wilde. New York: The Viking Press, 1946.
Benjamin, W. Illuminations. New York: Harcourt, Brace & World, 1968.
Callow, S. Oscar Wilde and His Circle. London: National Portrait Gallery Publications, 2000.
Caygill, H., A. Coles, R. Appignanesi & A. Klimowski. Introducing Walter Benjamin. London:
Icon Books Ltd., 2000.
Chamberlin, J. E. “Oscar Wilde and the Importance of Doing Nothing”. The Hudson
Review, 25(2), hlm. 194—218, 1972.
Chislett Jr., W. “The New Hellenism of Oscar Wilde”. The Sewanee Review, 23(3), hlm. 357
—63, 1915.
Critchley, S. Oscar Wilde’s faithless Christianity. [Online]
Available at: http://www.guardian.co.uk/commentisfree/belief/2009/jan/14/religion-wilde
[Accessed 2 July 2013], 2009.
Duggan, P. “The Conflict Between Aestheticism and Morality in Oscar Wilde’s The Picture
of Dorian Gray”. WR: Journal of the CAS Writing Program, Issue 1, 2008—2009.
Foster, R. “Wilde as Parodist: A Second Look at the Importance of Being Earnest”. College
English, 18(1), hlm. 18—23, 1956.
Holland, M. & Hart-Davis, R. The Complete Letters of Oscar Wilde. New York: Henry Holt,
2000.
Holland, V. Oscar Wilde. 2nd ed. London: Thames and Hudson, Ltd., 1997.
Matsuoka, M. “Aestheticism and Social Anxiety in The Picture of Dorian Gray”. Journal of
Aesthetic Education, Volume 29, hlm. 77-100, 2003.
Nassaar, C. S. Into the Demon Universe: A Literary Exploration of Oscar Wilde. New
Haven: Yale University Press, 1974.
Quintus, J. A. “The Moral Implications of Oscar Wilde’s Aestheticism”. Texas Studies in
Literature and Language, 22(4), hlm. 559-74, 1980.
Ryan, D. J. & R. L. Cadwallader, R. L. “Giving Voice to the Death of Dorian Gray: An
Investigation of Hedonistic Suicide”. SPECTRUM: Journal of Student Research at Saint
Francis University, 3(4), hlm 16—9, 2013.
Wilde, O. The Works of Oscar Wilde. New York: Walter J. Black, Inc., 1927.
Wilde, O. Oxford World’s Classics: Oscar Wilde, The Major Works. 2nd ed. New York:
Oxford University Press, 2000.
Zizek, S. Living in the End Times. London: Verso, 2011.
*Iqra Anugrah adalah mahasiswa doktoral ilmu politik di Northern Illinois University, AS
Estetika dan Kritik Sosial dalam Karya-karya Oscar Wilde (Bagian 2)5 November 2013
Iqra Anugrah
LKIP
[1]
DALAM tulisan sebelumnya kita sudah membahas karya-karya Oscar Wilde secara cukup
detail. Kali ini, saya akan membahas era Victoria, yakni konteks waktu di mana Wilde
tumbuh, berkarya dan merumuskan kritiknya. Wilde adalah anak zaman sekaligus salah
seorang kritik terdepan atas Victorianisme, suatu periode yang memungkinkan Wilde
berkembang, yang dia kritik secara keras namun jenaka, namun secara ironis akhirnya
menjebloskan dirinya ke dalam penjara—satu dari sedikit contoh turbulensi sejarah yang
dialami oleh masyarakat Inggris dalam perkembangannya di masa tersebut.
Dinamika Sosial Zaman Victoria
Persepsi umum mengenai zaman Victoria adalah kontradiksi antara modernisasi dan
kemajuan di satu sisi dan norma social dan struktur kelas yang kaku di sisi lainnya.
Hasilnya adalah berbagai ‘kemunafikan’ berupa komitmen atas moralitas dan kesusilaan
yang sejatinya menutupi pelanggaran-pelanggaran atas komitmen tersebut, terutama di
kalangan kelas menengah dan atas Inggris—sebuahpenilaian yang juga sangat menonjol
dalam karya-karya Wilde. Secara garis besar penilaian tersebut cukup akurat. Namun,
apabila moralitas Victorian adalah kemunafikan belaka, mengapa dan bagaimana berbagai
penulis dan seniman seperti Wilde bisa muncul di zaman tersebut?
Sunardi-St,-Percaya,-160x170cm,-Acrylic-on-canvas,-2012
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu melihat zaman Victoria secara lebih
mendalam. Secara formal, zaman Victoria dimulai pada tahun 1837 hingga 1901. Ini adalah
zaman ketika fase lanjutan dari revolusi industri dan ekspansi imperialisme Inggris terjadi
bersamaan dengan berbagai perubahan sosial, termasuk tarik-menarik antara
konservatisme dan tuntutan menjaga tradisi di satu sisi dengan berbagai upaya reformasi
social dan politik di sisi lain. Industrialisasi yang pesat pada masa itu juga mempengaruhi
struktur dan relasi kelas yang ada, terutama dengan derasnya perkembangan kelas
menengah dan terpinggirkannya kelas bawah seperti kaum buruh dan kaum miskin kota—
suatu kondisi yang mirip dengan kondisi kita akhir-akhir ini. Dalam hal hubungan luar
negeri, Inggris di masa Victoria harus berhadapan dan berkonflik dengan Perancis—yang
mengalami fase revolusioner dalam Revolusi Perancis yang disusul dengan fase kekuasan
Napoleon—satu hal yang tidak diinginkan oleh kelas penguasa Inggris untuk terjadi dalam
daerah kekuasaannya pada waktu itu.
Dalam karya klasiknya, The Victorian Frame of Mind[2], sejarawan pakar zaman Victoria
Walter E.Houghton (1957) dengan mengutip John Stuart Mill menjelaskan bahwa pada
zaman tersebut ‘manusia telah melampaui lembaga-lembaga dan doktrin-doktrin lama,
namun belum mendapatkan penggantinya yang baru’[3].Di saat yang bersamaan, ide-ide
baru bermunculan dan terkadang saling mendukung, atau lebih seringnya lagi berkonflik,
antara satu sama lain, mulai dari Utilitarianisme, Konservatisme (yang terutama diwakili
oleh kaum Tory[4]), Sosialisme, Darwinisme dan masih banyak lagi. Karenanya, tak heran
apabila zaman yang menyaksikan dan mengalami perubahan yang pesat ini juga
menimbulkan polarisasi yang dahsyat di dalam masyarakat, yang mengakibatkan
‘Meskipun sebuah ‘isme’ tidak perlu menjadi radikal dan sebuah sekte dapat mencoba
berimbang antara kiri dan kanan, zaman itumenjurus kepada posisi-posisi yang ekstrim dan
tanpa kompromi—meskipun kecenderungan yang sama lebih terlihat di dekade-dekade
sebelumnya. Banyak orang-orang yang hidup di zaman Victoria adalah ‘antara kaum kafir
atau Kristen yang total, antara Tory[5] mentok atau demokrat mentok[6] (hlm. 165).
Perubahan yang begitu pesat ini menimbulkan ambivalensi,khususnya bagi kelas
menengah Inggris yang mulai berkembang pada masa itu, terutama antara mencari
‘identitas alternatif’ bagi dirinya atau gumun alias terkagum-kagum, dan mengikuti moralitas
kelas atas Victorian—kaum borjuis dan aristokrat—sebagai penanda atas diterimanya
mereka dalam ‘klub ekslusif’ dalam sebuah masyarakat dengan struktur kelas sosial yang
kaku. Tak heran apabila Houghton mendedikasikan sebuah bab berjudul ‘rigiditas’ dan
menutup bukunya dengan bab berjudul ‘kemunafikan’ (hypocrisy), yang didalamnya dia
menyatakan bahwa ‘Dari segala kritik terhadap mereka oleh Lytton Stratcheys dari abad
kedua puluh, orang-orang zaman Victoria hanya akan mengaku salah dalam satu hal…
(yaitu) kemunafikan’ (hlm. 394). Kemudian, Houghton melanjutkan lagi secara mendetail
bagaimana masyarakat Victorian menyembunyikan dan menundukkan niat dan
kecenderungan alamiah mereka, mengatakan dan melakukan hal-hal yang dianggap
‘benar’, berpura-pura lebih baik dari karakter asli mereka dan berperilaku sangat alim dan
moralis—dan melakukan hal-hal yang justru sangat berbeda dengan penampakan di luar
tersebut (hlm. 394-395)—satu hal yang terdengar cukup familiar dan bahkan terasa masih
relevan hingga sekarang. Ciri-ciri yang khas dari kemunafikan Victorian adalah sikap
kompromis terhadap norma-norma sosial yang kaku namun diperlukan sebagai penanda
masuknya seseorang dalam lingkaran pergaulan kelas atas, kepura-puraan moral (moral
pretension), kebohongan (terutama dalam hal-hal yang menyangkut praktek-praktek sosial
dan seksualitasvis-à-vis lembaga-lembaga keagamaan—yang lagi-lagiterdengar cukup
mirip dengan kondisi kita) dan…anti-kemunafikan (di tengah-tengah masyarakat yang
melakukan praktek-praktek kemunafikan) (hlm. 395-430).
Senada dengan penjelasan-penjelasan di atas, karya Sally Mitchell (2009) yang
berjudul Daily Life in Victorian England juga merupakan referensi yang bagus mengenai
berbagai detail sejarah dan narasi kehidupan orang-orang di zaman Victoria. Definisi dan
karakteristik dari moralitas Victorian misalnya, dibahas cukup detail oleh Mitchell, yang
mencakup antara lain kemandirian (self-help), yang menekankan bagaimana ‘kerja keras’
dapat ‘membawa kesuksesan’, aktivitas kerja yang produktif dan perang terhadap
kemalasan, kehormatan (respectability), keseriusan atau kesungguh-sungguhan
(serious/earnest[7]), pembedaan antara hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan,
tentunya dengan penekanan yang lebih kepada ‘kewajiban’ dibandingkan ‘hak’ untuk
perempuan (hlm. 261-273).
Kritik Sosial atas Victorianisme
Victorianisme memang identik dengan kekakuan dan kemunafikan, namun bukan berarti
tidak ada ruang bagi kritik untuk bersemi, karena sebagaimana banyak epos sejarah yang
lain, Victorianisme sedari awal menyimpan benih-benih kritik yang tajam atas dirinya. Ide-
ide Pencerahan terutama Revolusi Perancis misalnya, yang dilawan oleh para elit Inggris,
tidak terbendung penyebarannya ke zaman Victoria. Eksperimen ide-ide progresif-radikal
juga bermunculan. Perlu diingat, di zaman Marx dan Engels menerbitkan The Communist
Manifesto pada tahun 1848, Charles Dickens menulis Oliver Twist tahun 1838, dan Charles
Darwin mulai mengembangkan ide-idenya termasuk soal evolusi. Kelaparan, kesenjangan
ekonomi, praktek perburuhan anak dan segudang masalah sosial-ekonomi lainnya
merebak, terutama di masa-masa awal zaman Victoria. Sebagai reaksi atas berbagai
masalah tersebut, berbagai elemen kelas bawah memobilisasi dirinya, yang salah satu
ekspresinya mengemuka dalam Gerakan Chartist, gerakan buruh Inggris yang menuntut
agenda-agenda ekonomi yang redistribusionis[8] dan reformasi politik (perluasan hak
memilih dalam pemilu dan hak-hak politik lainnya bagi rakyat pekerja) (Mitchell, 2009, hlm.
4-6). Di berbagai koloni Inggris, India misalnya, meletus serangkaian pemberontakan
terhadap kolonialisme dan imperialisme Inggris, yang kemudian mulai mendapat perhatian
dari masyarakat Victoria yang sebelumnya abai atau cuek terhadap kondisi berbagai
masyarakat non-Barat di bawah kolonialisme Inggris (hlm. 9).
Selain berkembangnya berbagai ide-ide ‘anti-kemapanan’, salah satu imbas yang tidak
kalah penting dari perkembangan zaman Victoria terutama industrialisasi adalah
perkembangan pers yang pesat. John Stokes (1989) dalam karyanya In The
Nineties menceritakan bagaimana ide-ide radikal dari Henrik Ibsen, Leo Tolstoy dan
Friedrich Nietzsche masuk ke lingkaran intelektual Inggris dan di saat yang bersamaan tren
‘Jurnalisme Baru’ (New Journalism) dalam dunia pers yang mengedepankan pendekatan
yang lebih personal terhadap para pembaca pers terutama koran, memperluas jumlah
pembaca koran dan bahkan menyediakan kolom bagi pembaca. Pembaca tidak hanya
memiliki kesempatan untuk menanggapi dan menjawab isu-isu publik yang dibahas di
koran, namun juga menulis dan berpartisipasi dalam perdebatan mengenai isu-isu tersebut.
Hal ini pun memungkinkan seniman dan penulis seperti Oscar Wilde tampil dan dikenal di
hadapan publik (hlm. 12-16). Yang ‘baru’ dari Jurnalisme Baru bukan hanya gaya
jurnalistiknya, tetapi juga imbasnya yang luas terhadap pola komunikasi publik pada saat itu
(hlm. 16). Jurnalisme Baru juga merupakan bagian dari berbagai gerakan yang menuntut
hak-hak warga negara yang lebih luas di Inggris era Victoria dan seakan-akan memiliki
ambisi untuk ‘menghilangkan’ batas antara pembaca dan penulis atau produsen berita.
Wilde, selain aktif berkarya seni, juga aktif dalam semangat Jurnalisme Baru sebagai salah
satu penulis kolom yang mengurusi berbagai persoalan kesenian dan isu-isu sosial bagi
koran Pall Mall Gazette. Wilde, yang cenderung kritis dan ambivalen terhadap tendensi
‘aristokratik radikal’ dan di kalangan intelektual dan seniman Inggris terutama dalam
gerakan Estetik-Dekaden dan khawatir akan menghilangnya ‘yang baik’ (the good) dalam
aktivitas berkesenian namun tidak mau terjebak dalam kemunafikan moralitas Victorian.
[9] Ia lantas menjalani berbagai peranan ganda: sebagai produsen sekaligus kritikus seni,
sebagai kolumnis koran sekaligus penulis lakon dan cerita, sebagai penganjur Sosialisme
dan pembela nasionalisme Irlandia; dan menariknya pula, menggarisbawahi peranan karya
seni dalam ‘mendominasi penikmatnya’ yaitu publik, sebagai pembentuk berita dan opini
publik.
Perkembangan zaman inilah yang memungkinkan Oscar Wilde untuk muncul dan kemudian
mengukuhkan posisi dirinya sebagai salah satu seniman dan kritikus sosial terkemuka di
zaman Victoria.
*Iqra Anugrah adalah mahasiswa doktoral ilmu politik di Northern Illinois University,
AS. Penulis beredar di twitterland dengan id @libloc
Daftar PustakaHoughton, W. E., 1957. The Victorian Frame of Mind. New Haven dan London: Yale
University Press.
Mitchell, S., 2009. Daily Life in Victorian England. Edisi kedua. Westport dan London:
Greenwood Press.
Stokes, J., 1989. In The Nineties. Hertfordshire: Harvester Wheatsheaf.
[1]Lagi-lagi saya harus berterima kasih kepada rekan Ayumi Kaneko Zapata dan Sony
Karsono atas diskusinya mengenai Oscar Wilde dan Victorianisme. Segala kesalahan dan
kekurangan dalam tulisan ini tentu murni datangnya dari saya.
[2]Karya Houghton sayangnya, sebagaimana ditunjukkan oleh banyakkritik, tidak banyak
membahas mengenai narasi kehidupan kelas pekerja/buruh di masa Victoria.Namun, hal
tersebut tidak mengurangi nilai dari karya Houghton, terutama dalam upayanya
‘membongkar’ gaya dan pandangan hidup kelas menengah dan kelas atas Victorian.
[3]Kutipan aslinya, ‘mankind have outgrown old institutions and old doctrines, and have not
yet acquired new ones’, yang diambil dari salah satukarya Mill, The Spirit of Age.
[4]Kaum Tory dan Toryisme-nya merupakan precursor atau pendahulus ejarah
Konservatisme modern di Inggris.Tentu saja, di masas ekarang, pertentangan yang tajam
antarakaum Tory dengan kelompok Liberal dan Kiri/Buruh terutama dalam konteks politik
parlementer dapat dikatakan sudah tidak kelihatan, terutama apabila dibandingkan dengan
pertentangan di antara kelompok-kelompok tersebut di masa Victoria.
[5]Pada masa itu, kaum Tory atau Konservatif yang mewakilikelas atas identik dengan
penolakan mereka terhadap berbagai upaya reformasi sosial, seperti perluasan hak
memilih dalam pemilihan umum.
[6]Lagi-lagi terjemahan ini berasal dari salah satu tulisan Mill, Letters and
Memories. Kutipan aslinya, ‘downright infidels or downright Christians, thorough Tories or
thorough democrats’.
[7]Konsep ‘earnest’ ini secara cerdik dijadikan bahan candaan oleh Wilde, sebagaimana
dapat kita lihat dalam salah satujudul lakondramanya, The Importance of Being Earnest.
[8] Yang dimaksud dengan agenda-agenda ekonomi redistribusionis dalam hal ini adalah
berbagai jenis agenda yang berkaitan dengan distribusi ekonomi yang lebih merata seperti
kebebasan berserikat, isu-isu perburuhan, penyediaan lapangan kerja dan kritik atas
imperialism Inggris yang berbaju “perdagangan bebas”.
[9]Soal ini sudah saya bahas secara cukup mendalam di bagian pertama dari artikel saya
dihttp://indoprogress.com/lkip/?p=896
. N. Aidit, Sastra dan Geliat Zamannya [i]5 August 2013
Yoseph Yapi Taum
LKIP
Pendahuluan
Dalam produksi sejarah resmi (official history), Dipa Nusantara Aidit atau D. N. Aidit (1923
—1965) lebih dikenal dan dikenang sebagai seorang “penjahat” dan “pengkhianat bangsa”
yang mendalangi peristiwa di malam jahanam Gerakan 30 September (G30S). Melalui
film Pengkhianatan G30S/PKI garapan sutradara Arifin C. Noer (1984), sosok Aidit benar-
benar buram, “lelaki gugup berwajah dingin dengan bibir yang selalu berlumur asap rokok”
(Zulkifli, 2010: 2). Bayangan orang tentang D.N. Aidit banyak dipengaruhi oleh film yang
sangat populer di Indonesia tahun 1984—1998 itu. Dalam film ini, digambarkan sosok Aidit
sebagai orang yang paling jahat, penuh daya tipu muslihat, yang terus-menerus merokok,
dan merupakan orang yang memerintahkan pembunuhan terhadap tujuh jenderal pada
operasi G30S.
Model penggambaran gelap terhadap tokoh-tokoh kiri Indonesia telah menggelapkan pula
banyak bagian sejarah bangsa ini, seperti peran Tan Malaka dan banyak pejuang
kemerdekaan Indonesia lainnya. Hampir semua tokoh kiri dinafikan peran dan kontribusi
positif mereka terhadap bangsa dan negara ini. Tidak mengherankan bahwa peranan Aidit
sebagai salah seorang pejuang kemerdekaan pun dilupakan bangsa ini.[ii]
Banyak orang tidak mengetahui bahwa ternyata D. N. Aidit juga merupakan seorang
penyair dan budayawan. Aidit adalah ketua Comite Central Partai Komunis Indonesia (CC-
PKI) yang perlu mendapat tempat tersendiri dalam sejarah sastra Indonesia. Selain karena
kedudukannya yang sangat istimewa itu, ia pun dikenal cukup konsisten dalam berpuisi.
Aidit menulis banyak gagasan sosial budaya yang dipublikasikan dalam media massa dan
diterbitkan dalam bentuk buku-buku.[iii] Tokoh ini dipandang paling berhasil dalam
mengangkat partai itu dari keterpurukan akibat Peristiwa Madiun 1948[iv] bersama kedua
sahabatnya: Muhamad Hakim Lukman dan Nyoto. Ketiganya dikenal sebagai trisula PKI:
Sekretaris Jenderal, Wakil Sekjen I, dan Wakil Sekjen II. [v] Ketiganya bahkan dijuluki
sebagai The Three Musketters[vi] (Zulkifli, 2010: 43—9). Dari ketiga sahabat tersebut,
hanya Lukman yang tidak menulis puisi. Nyoto yang menjabat sebagai Ketua Umum Lekra
dan Ketua Redaksi Harian Rakjat juga merupakan seorang penyair yang sangat produktif.
Tulisan ini membahas D. N. Aidit sebagai penyair dalam hubungannya dengan geliat dan
formasi diskursif zamannya. Kajian terhadap puisi-puisi Aidit kiranya dapat mengungkap sisi
lain dari wajah tokoh PKI itu, yang selama Orde Baru dikesankan sebagai seorang penjahat
yang memerintahkan pembunuhan tujuh jenderal dalam peristiwa G30S 1965.
D. N. Aidit dan Struktur Formal Puisi-Puisinya
Dipa Nusantara Aidit terlahir dengan nama Achmad Aidit di Tanjung Pandan, Belitung, 30
Juli 1923. Aidit yang pada masa kecilnya mengenyam pendidikan Belanda itu kemudian
mengubah namanya menjadi Dipa Nusantara Aidit dan hijrah ke Jakarta. Ayahnya,
Abdullah Aidit, adalah pendiri organisasi keagamaan Nurul Islam yang berorientasi ke
Muhammadiyah. Aidit yang menjabat sebagai Ketua Comite Central Partai Komunis
Indonesia (CC-PKI) berhasil membuat PKI bangkit dari keterpurukan akibat Peristiwa
Madiun 1948, bahkan berjaya menjadi partai komunis terbesar ketiga di dunia setelah RRC
dan Rusia. Aidit meninggal dunia di Boyolali, Jawa Tengah tanggal 22 November 1965
pada usia 42 tahun.
Di harian Suara Rakjat, Aidit memublikasikan sebanyak sembilan puisi, yaitu “Hanya Inilah
Jalannya” (Harian Rakjat, 12 Februari 1955), “Untukmu Pahlawan Tani”, “Sepeda Butut”,
“Kidung Dobrak Salahurus”, “Yang Mati Hidup Kembali”, “Sekarang Ia Sudah
Dewasa”, menjambut ulang tahun ke-35 PKI (Harian Rakjat, 22 Mei 1955), “Jauhilah
Imperialis AS”, “Ziarah ke Makam Usani” (Harian Rakjat, 25 Juli 1965), “Tugas Partai”
(Harian Rakjat, 4 Juli 1965).
Secara formal, puisi-puisi D.N. Aidit memiliki sebuah ‘pola estetika’ yang dibangunnya dan
diikutinya secara cukup konsisten. Ia selalu mengawali puisinya dengan terlebih dahulu
menyinggung dan menghadirkan alam. Meminjam filsuf Maritain (Taum, 1997), ada
semacam “Intercommunication between the inner being of things and the inner being of the
human Self”. Jadi, ada semacam interaksi antara manusia dan hakikat alam raya. Puisi
kemudian menjadi proyeksi pengalaman dan perasaan subjektif ke dalam alam raya, dan
sebaliknya alam raya bercerita tentang perasaan manusia.
Dalam puisi “Hanya Inilah Jalannya”, Aidit mengawali dengan mengisahkan tentang
lumpur, ”sepatu setengah usang membenam dalam lumpur/menuju teratak,/air menetes
dari atap/kekayaanku yang paling berharga”. Dalam keadaan berlumpur itulah, Aidit
menghadirkan pemikiran dan ideologi komunis sebagai hasil “pengalaman jerman, inggeris,
perancis, rusia dan tiongkok/dan banyak lagi/hasil pemikiran putera-putera dunia yang
terbaik.”
Dalam “Ziarah ke Makam Usani”, seluruh bait pertama benar-benar hanya bercerita tentang
kemuraman alam yang berduka atas kematian Usani. “Langit seperti muram/Mentari
tertutup mendung, keabu-abuan/Angin meniup sepoi/Pohon bambu, rindang
menghijau/Burung-burung berterbangan, diam/Terasa senyap suasana alam.”
Dalam puisi “Jauhilah Imperialis AS”, Aidit pun menghadirkan keindahan alam yang cerah
di suatu pagi, tempat para aktivis melaksanakan protes terhadap imperialis Amerika:
alangkah indahnya pemandangan pagi ini
mentari cerah mengiringi
barisan pejuang mengalun datang
sarjana, seniman, pemuda, wanita
buruh dan tani sokoguru revolusi
dan pelajar anakkandung revolusi
spanduk dan panji, warna-warni
melambai menghias angkasa lebar
teman tentang menentang
tinjupun diacungkan
Puisi “Tugas Partai” tidak menggemakan suara alam tetapi langsung menggemakan
perasaan aku lirik: “hatiku riang gembira/menerima tugas partai/membawa berita
bahagia/ulang tahun empat-lima PKI”. Dalam puisi “Untukmu Pahlawan Tani”, keceriaan
hati dan alam dihadirkan Aidit sebagai berikut: “di kala senja/mencari cerah/petani
menggarap sawah/mencari seuli padi/sisa pembagi/dari tuan-tanah keji”. Dalam puisi
“Kidung Dobrak Salahurus”, gambaran alam pun dihadirkan: “Kau datang dari jauh adik/dari
daerah banjir dan lapar/membawa hati lebih keras dari bencana/selamat datang dalam
barisan kita.”
Dari uraian ini, tampak bahwa puisi-puisi Aidit secara sengaja dibangun sebagai gema
suara alam. Hal ini membuat puisi-puisinya menjadi karya yang indah dan dapat dinikmati,
sekalipun tak dapat dihindari bahwa puisi-puisi tersebut mengandung muatan ideologis dan
politik yang sangat kental.
Dari segi tema, puisi-puisi D. N. Aidit mengungkap tiga tema pokok, yaitu semangat anti-
imperialis, nyanyian dan pujian untuk pahlawan, serta gagasan mengenai tugas dan
kewajiban partai.
Puisi-puisi Anti-imperialis
Sikap anti-imperealis ditunjukkan dengan sangat gamblang dalam puisi “Jauhilah Imperialis
AS” dan “Yang Mati Hidup Kembali”. Dalam “Jauhilah Imperialis AS”, Aidit bermaksud
mengobarkan kebencian terhadap AS yang telah melakukan agresi ke Vietnam agar
“hentikan agresi AS di Vietnam.”
Jauhilah Imperialis AS
alangkah indahnya pemandangan pagi ini
mentari cerah mengiringi
barisan pejuang mengalun datang
sarjana, seniman, pemuda, wanita
buruh dan tani sokoguru revolusi
dan pelajar anakkandung revolusi
spanduk dan panji, warna-warni
melambai menghias angkasa lebar
teman tentang menentang
tinju pun diacungkan
… marahan Green
hentikan agresi AS di Vietnam
sita modal anak sekolah
sorak-sorai membadai
barisan bergerak maju
menembaki tank …
tari dan nyanyi memecah sunyi
seruling ditiup nyaring
dendang bertalu, mengiringi,
laki-laki berjingkrak, laksana burung jalang
membunuh … Malang
… benci imperialis AS
berkobar tinggi
cinta merdeka meresap setiap dada
manusia juang, pembela masa datang
… pasti muara
… pasti datang
Jakarta, 20-07-65
Vietnam merupakan salah satu negara yang pada tahun 1950-an berada di bawah
kekuasaan komunis. Perang AS di Vietnam berkaitan erat dengan persoalan perang dingin
yang telah membagi dunia atas dua kubu, yaitu kubu AS dan Inggris yang kapitalis dan
imperialis sera kubu Rusia dan Cina yang komunis. Aidit sebagai seorang ketua Partai
Komunis, melihat AS sebagai sebuah ancaman dalam upayanya membangun sistem
komunis di Indonesia.
Kepentingan melawan imperialisme global merupakan sebuah semangat zaman yang
memiliki kaitan dan relevansi dengan kepentingan nasional. Semangat anti-imperialisme
dan kolonialisme (yang berarti anti-Barat dan AS), selain kabir (kapitalis-birokrat), tujuh
setan desa, dan lima setan kota. Puisi ”Yang Mati Hidup Kembali” karya D.N. Aidit
mengungkapkan semangat antikolonialisme dan anti-imperialisme. Puisi itu bertutur tentang
pembunuhan Perdana Menteri Kongo, Patrice Emery Lumumba (2 Juli 1925—17 Januari
1961) yang diduga didalangi oleh kolonialis Belgia dan agen-agen Central Intteligence
Agency (CIA) AS. Pembunuhan Lumumba menjadi pelajaran berharga bagi para pejuang
revolusioner dalam mengusir kaum kolonialis dan imperialis.
Yang Mati Hidup Kembali
Lama nian aku tak menangis.
tidak karena mata sudah mengering
atau hati membeku dingin,
tapi kali ini dengan tak sadar
hati kepala penuh tak tertahan
butir-butir air mata membasahi koran pagi
orang hitam berhati putih itu
dibunuh si putih berhati hitam!
Tapi bukankah pembunuh terbunuh?
Lumumba sendiri hidup selama-lamanya
Lumumba mati hidup abadi!
Kini dunia tidak untuk si putih yang hitam
tapi untuk semua
putih, kuning, sawomatang, hitam…
Kini udara penuh Lumumba
karena Lumumba berarti merdeka.
14-2-1961
Semangat untuk merdeka dan melawan setiap intervensi dan penindasan kaum imperialis
merupakan semangat perjuangan Aidit sejak dia masih sangat muda dan belum menjadi
pemimpin PKI. Ketika menyaksikan kematian Lumumba akibat ulah kolonialis Belgia dan
CIA Amerika, Aidit meradang. Sekalipun demikian, puisi di atas benar-benar terlihat bening
dan menyentuh dengan penggunaan gaya bahasa seperti ironi dan antonimi.
Pujian untuk Pahlawan Petani
Tema pemujaan untuk pahlawan, diperlihatkan Aidit dalam dua puisi, yaitu “Ziarah ke
Makam Usani” (Harian Rakjat, 25 Juli 1965) dan “Untukmu Pahlawan Tani”. Pahlawan
dalam konsep Aidit bukanlah para prajurit yang gugur di medan pertempuran. Pahlawan,
seperti dalam konsep perjuangan PKI, tak lain adalah para petani dan rakyat kecil yang
terpinggirkan.
Puisi “Untukmu Pahlawan Tani” merupakan puisi yang ditulis untuk mengenang
pembantaian petani di Boyolali. Peristiwa di Boyolali dikenal sebagai sebuah peristiwa
perjuangan rakyat melawan tuan tanah. Pihak tuan tanah dengan dibantu tentara
mengepung dan membunuh para petani dari organisasi Barisan Tani Indonesia (BTI) yang
menuntut pembagian hasil yang lebih adil. Mereka pun gugur dan di mata Aidit, mereka
adalah pahlawan:“kutundukkan kepala/untukmu pahlawan/pahlawan tani boyolali.”
Untukmu Pahlawan Tani
dikala senja
mencari cerah
petani menggarap sawah
mencari seuli padi
sisa pembagi
dari tuan-tanah keji
bagi hasil sungguh adil
tuan-tanah kerdil
merampok seluruh hasil
rongga dada meronta
bangun tegakkan kepala
kiprah menggarap sawah
butir-butir padi di teliti
panen raja mengetam padi
hasil dibagi adil!
muka muram durja
tuan-tanah murka
mengepung dengan senjata
peluru menembus disawah
darah tertumpah merah
kutundukkan kepala
untukmu pahlawan
pahlawan tani boyolali
Jakarta, Desember 1964
Dalam “Ziarah ke Makam Usani”, penyair memuji Usani, seorang wanita pejuang komunis
yang mati dalam perjuangannya membela kepentingan kaum buruh dan tani. Kematian
Usani memberi inspirasi bagi sahabat-sahabatnya yang masih hidup untuk berjuang
melawan ‘lima jahat’, yaitu Malaysia, kabir, tujuh setan desa, imperialis AS, dan kaum
Revisionis. Puisi ini tampaknya mewakili pandangan D. N. Aidit tentang puisi, baik dari
aspek formal maupun tematis. Puisi itu dikemukakan secara lengkap berikut ini.
Ziarah ke Makam Usani
Langit seperti muram
Mentari tertutup mendung, keabu-abuan
Angin meniup sepoi
Pohon bambu, rindang menghijau
Burung-burung berterbangan, diam
Terasa senyap suasana alam
Kawan demi kawan datang
Menziarahi makam
Usani, wanita pejuang komunis
Pembela setia buruh dan tani;
Ia mati dalam mengabdi
Proletariat kesayangan sejati
Tanah merah pekuburan dicacaki
Nisan bambu tegak-tegak
Laksana tekad hati usani
Mengibarkan tinggi-tinggi, panji PKI
Semua kawan tunduk berdiri
Duka cita menyayat hati
Airmata mengalir, butir demi butir;
Dan semua berjanji
Akan nyalakan api-juang usani
Mengganyang si-lima jahat
“Malaysia”, kabir, 7 setan desa, imperialis AS dan
Revisionis
Usani pergi, api-juangnya nyala abadi
PKI mekar harum mewangi
Jakarta, 18 Juli 1965
Harian Rakjat, 25 Juli 1965
Tugas Partai Komunis
Tema yang berkaitan dengan tugas dan kewajiban partai terungkap dalam puisi “Tugas
Partai” (Harian Rakjat, 4 Juli 1965), “Sepeda Butut”, “Sekarang Ia Sudah Dewasa” (Harian
Rakjat, 22 Mei 1955), “Kidung Salahurus”, dan “Hanya Inilah Jalannya” (Harian Rakjat, 12
Februari 1955).
Puisi “Tugas Partai” ditulis untuk memperingati ulang tahun ke-45 PKI. Dalam puisi ini, Aidit
mengungkapkan komitmennya menerima tugas dari partai: “ku-emban erat/ku-pegang
ketat/ku’kan sampaikan sepenuh jiwa/kepada rakyat pekerja, di desa dan kota”. Dalam
puisi ini, terlihat dua komitmen Aidit: dua panji berdampingan/merah putih dan PKI,
melambai menghias angkasa/” tetapi juga komitmen bahwa “Marxisme-Leninisme api
abadi.” Dalam puisi ini, terlihat keinginan penyair untuk menanamkan kecintaan masyarakat
pada PKI dan ideologinya.
Tugas Partai
hatiku riang gembira
menerima tugas partai
membawa berita bahagia
ulang tahun empat-lima PKI
ku-emban erat
ku-pegang ketat
ku’kan sampaikan sepenuh jiwa
kepada rakyat pekerja, didesa dan kota
tugas dirimu partai
segala cuaca melanda
terik matahari, gelap gulita malam, dan…
embun pagi membasah tubuh
aku datangi desa demi desa,
gubuk demi gubuk,
kawan demi kawan,
rombongan demi rombongan
ku-sampaikan undangan partai
ku-ceritakan berita acara
semua kawan senyum tawa
tekad bulat penuh semangat
jarak jauh ‘kan ditempuh
semua jalan menuju senayan
setan-setan penghalang ‘kan diganyang
untuk partai dan revolusi
pria dan wanita, berbaris tegap menatap
dua panji berdampingan
merah putih dan PKI, melambai menghias angkasa
derap langkah bersuka ria
maju, maju, maju terus, menuju rapat perkasa PKI
PKI anak zaman melahirkan zaman
Marxisme-Leninisme api abadi
Jakarta, Mei 1965
Harian Rakjat, 4 Juli 1965
Puisi “Sepeda Butut” merekam perjalanan dan perjuangan Aidit yang setiap hari selalu
ditemani sepeda bututnya“Sepeda bututku/tiap hari membantu/mengabdi cita
mulia/kebebasan rakyat pekerja”. Sekalipun hanya dengan sepeda bututnya yang setia,
Aidit yakin bahwa upayanya akan berhasil: “kuyakin sepenuh hati/Rakyat pekerja bebas
pasti/PKI pemimpin sejati/sepeda bututku turut berbakti.”
Sepeda Butut
Sepeda bututku
tiap hari membantu
mengabdi cita mulia
kebebasan rakyat pekerja
semua derita ku-terima
dengan senyum gembira
hidup sekali mengabdi
bukan menanti mati
panji merah menjiwai
ku-yakin sepenuh hati
Rakyat pekerja bebas pasti
PKI pemimpin sejati
sepeda bututku turut berbakti
Jakarta, Oktober 1964
Sama seperti dalam puisi “Tugas Partai”, puisi “Kidung Dobrak Salahurus” juga bertujuan
menanamkan kecintaan masyarakat terhadap PKI.
Kidung Dobrak Salah Urus
Kau datang dari jauh adik
dari daerah banjir dan lapar
membawa hati lebih keras dari bencana
selamat datang dalam barisan kita.
Di kala kidung itu kau tembangkan
bertambah indah tanah Priangan
sesubur seindah Priangan manis
itulah kini Partai Komunis.
Tarik, tarik lebih tinggi suaramu
biar tukang-tukang salahurus mengerti
benci Rakyat dibawa mati
cinta Rakyat pada PKI
Rakyat yang menderita akibat banjir dan bencana kelaparan memercayakan nasibnya pada
Partai Komunis Indonesia karena birokrasi pemerintahan yang berjalan hanyalah “tukang-
tukang salah-urus” yang “benci Rakyat dibawa mati.” Sebaliknya, PKI digambarkan
“sesubur seindah Priangan manis.”
Puisi “Hanya Inilah Jalannya” merupakan sebuah ekspresi keyakinan penyair akan
kebenaran jalan perjuangan politik yang dipilihnya melalui PKI. PKI merupakan “hasil
pemikiran putera-putera dunia yang terbaik,” sehingga “aku akan sumpah setia pada
ajarannya.” Penyair begitu yakin, “kita pasti akan sampai ke ujung jalan ini/di mana tak ada
sepatu usang/di mana tak ada lumpur membenam/di mana tak ada teratak bocor/tapi hanya
inilah jalannya.”Kesejahteraan yang akan dicapai di masa depan hanya bisa dicapai melalui
jalan partai yang dianutnya, yaitu PKI. Keyakinan seorang pemimpin yang seperti inilah
yang telah membawanya menjadi seorang pemimpin yang berhasil membawa partainya
menjadi salah satu partai terbesar pada zamannya.
Hanya Inilah Jalannya
sepatu setengah usang membenam dalam lumpur
menuju teratak,
air menetes dari atap
membasahi kekayaanku yang paling berharga,
pengalaman jerman, inggeris, perancis, rusia dan tiongkok
dan banyak lagi
hasil pemikiran putera-putera dunia yang terbaik.
*
temanku nyenyak kembali sesudah membuka pintu,
kesunyian diluar membantuku
makin dulu makin jauh tenggelam,
ingat aku akan sumpah tetap setia pada ajarannya
kokok ayam jantan tak mengagetkan,
siang dan malam sama saja,
jalan yang ditunjukkannya selamanya terang.
*
kita pasti akan sampai ke ujung jalan ini
di mana tak ada sepatu usang,
di mana tak ada lumpur membenam,
di mana tak ada teratak bocor,
tapi hanya inilah jalannya.
Malam, 27 Januari 1955
Harian Rakjat, 12 Februari 1955
Antaeus dan Ramalan Kejatuhan PKI
Puisi “Sekarang Ia Sudah Dewasa” ditulis untuk menjambut ulang tahun ke-35 PKI. Dalam
puisi ini, penyair mengisahkan bahwa PKI lahir “dengan kesaktian klas termaju” yang “tahan
taufan/dan tak tidur karena sepoi/”. Setelah 35 tahun, PKI “menyusup di hati Rakyat/lebih
dalam dari laut Banda/”. Yang menarik dari puisi ini adalah Aidit mengibaratkan PKI sebagai
“Antaeus, anak Poseidon, yang setia pada bumi”.
Sekarang Ia Sudah Dewasa
menjambut ulang tahun ke-35 PKI
35 tahun yang lalu
Ia lahir
dengan kesaktian
klas termaju,
sebagai anak zaman
yang akan melahirkan zaman.
Ia tahan taufan
dan tak tidur karena sepoi.
Ia menyusup dihati Rakyat
lebih dalam dari laut Banda.
Ia menghias hidup
lebih indah dari sunting cempaka.
Ia dihidupkan oleh hidup,
tahun teror dan provokasi
Dulu, sekarang dan nanti.
Ia Antaeus, anak Poseidon
yang setia pada bumi.
Ia anak zaman yang akan melahirkan zaman
Sekarang ia sudah dewasa.
Jakarta, 21 Mei 1955
Harian Rakjat, 22 Mei 1955
Dalam mitologi Yunani, ada seorang tokoh legendaris bernama Antaeus, seorang raksasa
kesatria yang tak terkalahkan. Jika kalah dalam berperang, ia justru bertambah kuat.
Ayahnya Poseidon adalah Dewa Laut, ibunya, Gaea adalah Dewi Bumi. Antaeus memiliki
satu kelebihan yang tak dimiliki oleh para kesatria Yunani lain. Selama ia setia dan tetap
menginjak bumi, maka bumi akan memberinya kekuatan. Suatu ketika Antaeus bertemu
dengan musuh yang kekuatannya sepadan yang bernama Heracles atau yang lebih dikenal
sebagai Hercules. Ia putra Zeus, Dewa Langit dan Petir, sedangkan ibunya adalah
Alcmene. Karakter Hercules digambarkan sebagai seorang pahlawan dengan kekuatan
yang besar dan juga tak terkalahkan. Hercules mengetahui kekuatan sekaligus kelemahan
lawannya. Kekuatannya Antaeus datang dari tanah dan bumi. Kelemahannya ketika
terpisah dari tanah dan bumi. Maka ketika dua jagoan dalam mitologi Yunani ini bertemu,
terjadilah pertarungan terakhir bagi Antaeus. Jurus terakhir yang digunakan oleh Hercules
adalah mengangkat Antaeus di atas dua pundaknya dan tak diturunkan lagi. Perlahan tetapi
pasti, Antaeus kehilangan kekuatannya. Perlahan tetapi pasti, Antaeus menjadi tak
berdaya, ia hanyalah seonggok raksasa besar yang tak mampu berbuat apa-apa.
Sebabnya, Antaeus terpisah dari tanah yang selama ini memberinya kekuatan. Ketika
terjadi pertarungan gulat yang sangat hebat antara Antaeus dan Hercules, dengan strategi
itu, pertarungan diakhiri dengan kekalahan Antaeus.
D. N. Aidit mengagumi tokoh Antaeus, terutama karena kesetiaan tokoh ini pada bumi yang
dipijaknya. Aidit menginginkan PKI benar-benar membumi sehingga dicintai oleh semua
kalangan. Pilihan Aidit pada Antaeus di tahun 1955 sepertinya meramalkan pula kejatuhan
PKI dari kesatria lainnya, Hercules. Di tahun 1965, Hercules (tentara Angkatan Darat yang
dipimpin oleh Soeharto), dengan siasatnya yang jitu mengalahkan dan mengenyahkan
Anteus (PKI). PKI dipropagandakan sebagai pengkhianat, pelaku penculikan tujuh jendral
dan membantainya dengan kejam dan pengecut di Lubang Buaya. PKI pun lenyap dari
muka bumi Indonesia. Anak cucu dan keluarga orang-orang PKI yang tidak bersalah pun
harus menerima hukuman: menerima tanda selar (stigma) “Organisasi Terlarang” (OT).
Anteus, sebagaimana juga partai PKI yang dipimpin Aidit, akhirnya mengalami nasib yang
sama: jatuh dan tamatlah riwayatnya secara sangat tragis dari bumi Indonesia. Hal itu,
tanpa disadari, telah diramalkan sendiri oleh Aidit melalui puisinya “Sekarang Ia Sudah
Dewasa” yang ditulis Aidit untuk menjambut ulang tahun ke-35 PKI.
Kesimpulan
Karya-karya sastra, khususnya puisi, dalam kurun waktu sepuluh tahun menjelang
terjadinya Tragedi 1965, yaitu 1955—1965, menunjukkan salah satu ciri yang jelas, yaitu
keterlibatan sosial serta identifikasi dengan kaum yang miskin dan menderita. Kemiskinan
dan penderitaan memang begitu menyolok mata. Tanggapan terhadap kemiskinan dan
penderitaan itu dilakukan, baik oleh penyair-penyair Lekra maupun yang bukan Lekra.
[vii] Karya-karya sastrawan Lekra lebih dominan dalam periode ini.
Sesuai dengan keyakinan seniman-seniman Lekra seperti yang tertuang dalam Mukadimah
Lekra (1950), seni bagi kelompok ini merupakan sarana perjuangan ideologi.[viii] Seniman
—tak berbeda dari politisi, ilmuwan, pekerja—terlibat dalam perjuangan untuk
membebaskan rakyat dari penindasan kelas yang berkuasa.
Dalam konteks bersastra seperti inilah penilaian kaum liberal (Barat) yang menuntut adanya
‘nilai estetika’ menemukan jalan buntu. Dengan kacamata estetika liberal, seperti dilakukan
Teeuw (1989: 30—6), maka puisi-puisi Aidit adalah cerita-cerita atau sajak-sajak
sederhana, yang ditulis dengan bahasa yang gampang dipahami, dan melukiskan
gambaran yang mengibakan ‘korban’ apa saja yang sebagian besar klise. Misalnya, petani
miskin, buruh tani, atau gadis tak berdosa yang dengan keji diperdayakan dan dikhianati
oleh bos yang kapitalis, atau perempuan pekerja yang miskin dan buruh kasar yang
tertindas dan dibayar rendah. Getaran tertinggi yang dapat dirasakan dari puisi-puisi Aidit
adalah perasaan ‘simpati’, semangat berjuang, dan keyakinan utopis tentang masa depan
yang lebih baik. Puisi-puisinya juga mengagungkan tindakan partai dan habis-habisan
bermadah tentang kehebatan negara-negara komunis (bdk. Teeuw, 1989: 30—6). Dengan
motivasi dan latar belakang yang seperti ini, Teeuw menilai bahwa “ideologi Marxisme
kehilangan sisa kredibilitas atau kepercayaan yang masih ada sebagai suatu asas
artistik (artistic creed)”.
Saya berpandangan, puisi-puisi Aidit dan sastrawan Lekra lainnya perlu dipandang sebagai
karya yang menjadi saksi sejarah yang khusus, yang memiliki kaitan dengan masalah-
masalah sosial, ataupun dipengaruhi oleh fenomena-fenomena sosial (bdk. Foulcher, 1986:
3—4). Dengan kata lain, karya-karya itu merupakan formasi diskursif dalam kaitannya
dengan formasi-formasi diskursif zamannya dan membentuk episteme tersendiri. Dalam
konteks inilah terbaca dengan jelas ideologi realisme sosialis yang menuntut karya-karya
sastra menjadi alat (ideologi) yang berguna bagi manusia. Meminjam pandangan Horatius,
karya-karya Aidit lebih menekankan kegunaan (utile)daripada keindahannya (dulce).
Membaca karya-karya Aidit, kita mendengarkan dengan jelas geliat zamannya.
D. N. Aidit menciptakan puisi-puisinya sebagai seorang pemimpin partai besar (PKI)
dengan konsep berpuisi yang jelas (politik sebagai panglima). Lingkungan sosial-budaya
pada periode 1955—1965 diwarnai oleh pertentangan ideologi antara kelompok yang pro-
Barat dan pro-Timur, yang diwarisi dari polemik kebudayaan pada tahun-tahun sebelum
kemerdekaan. Kegagalan diplomasi Indonesia melalui KMB membuat beberapa politisi dan
seniman mendirikan Lekra. Periode 1950—1965 merupakan sebuah periode yang secara
ekonomi dan politik terdapat kontradiksi yang intens dalam jantung kehidupan budaya
Indonesia (Foulcher, 1986: 1—3). Dalam bidang kebudayaan, terjadi perdebatan tajam dan
panjang antara Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) (1950—1965) dengan kelompok
Manifest Kebudayaan (Manikebu) (1963) yang mengusung paham ‘humanisme universal’.
Dalam perkembangannya, lingkungan sosial-budaya sangat didominasi oleh kekuatan
Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) (1950—1965) dengan ideologi ‘politik sebagai
panglima’ dan menganut paham ‘realisme sosialis’.
D. N. Aidit tidak hanya seorang tokoh kiri, melainkan lebih dari itu dia merupakan pimpinan
tertinggi PKI, sebuah partai yang kemudian menjadi partai terlarang di Indonesia. Karena
itu, hampir semua informasi, berita, ataupun kontribusi orang-orang kiri itu dianggap tidak
berguna dan acapkali tidak dibicarakan secara terbuka, termasuk Aidit. PKI, yang sejak
awal ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia pun selalu dicurigai sebagai
‘pengkhianat bangsa’ yang hendak membangun sebuah negara tersendiri dengan asas dan
tujuan yang berbeda.
D.N. Aidit memiliki dua wajah (Zulkifli, 2011), wajah politik yang garang dan wajah sastra
yang humanis. Puisi-puisi Aidit, selain menjadi alat menyampaikan visi dan perjuangan
politiknya, mengandung pula elemen-eleman estetis kemanusiaan yang dapat dinikmati
oleh para pencinta sastra. Visi kerakyatan, antikolonialisme, imperialisme, feodalisme
mewarnai karya-karya tokoh politik tersebut.
Wajah humanis D. N. Aidit terlihat jelas dalam beberapa puisinya yang menggugah
pemikiran dan menyentuh perasaan. Aidit sangat tersiksa menyaksikan kematian
Lumumba. Dalam “Kidung Dobrak Salah Urus”, Aidit menaruh perhatian yang sangat intens
terhadap rakyat dari daerah bencana banjir dan lapar. Aidit tidak bisa menerima dan
memahami mengapa rakyat dari sebuah daerah yang seindah dan sesubur Priangan dapat
menderita banjir dan lapar. Karena itu, ia menyerukan “dobrak salah urus”. Logika di balik
puisi itu adalah bahwa bencana yang dialami rakyat disebabkan karena pemerintahnya
salah mengurus kepentingan rakyatnya. Sebagai ketua CC-PKI yang bergerak dalam
bidang politik, kenyataan itu memberi alasan baginya untuk mengajar rakyat mencintai dan
mendukung PKI.
Bacaannya yang luas terhadap mitologi Yunani membuat Aidit memahami betul tokoh-
tokoh yang sangat dikenal dalam mitologi tersebut. Ia pun memilih Dewa Antheus, dewa
yang kemudian dikalahkan Hercules. Aidit, dengan naluri humanistiknya, tanpa sadar telah
meramalkan kejatuhan Antheus (PKI) oleh Hercules (TNI). Pasca-tragedi 1965, Dipa
Nusantara Aidit bersama PKI-nya menghilang untuk selama-lamanya dari bumi Nusantara
ini.***
Daftar Pustaka
Barker, Chris, Cultural Studies, Theory and Practice. London: Sage Publication, 2000.
Foucault, Michel, The Archeology of Knowledge. New York: Pantheon Books, 1972.
____________, Pengetahuan dan Metode: Karya-karya Penting Foucault.
Diterjemahkan dari Aesthetic, Method, and Epistemology: Esential Works of Foucault 1954
—1984 karya Paul Robinow. Yogyakarta: Jalasutra, 2011.
Foulcher, Keith, Social Commitment in Literature and the Arts: The Indonesian “Institute of
Peoples Culture” 1950 – 1965. Victoria: Monash University Press, 1986.
___________, “Menciptakan Sejarah: Kesusastraan Indonesia Kontemporer dan Peristiwa-
peristiwa 1965” dalam Robert Cribb The Indonesian Killings: Pembantaian di Jawa dan Bali
1965-1966. Yogyakarta: MataBangsa bekerja sama dengan Syarikat Indonesia, 2004.
Hindley, Donald, “Review 41 The Communist Uprisings of 1926—1927 in Indonesia: Key
Documents” dalam The Journal of Asian Studies (pre-1986); May 1962; 21, 3;
ABI/INFORM Research, 1962.
Piliang, Yasraf Amir, “Antara Minimalisme dan Pluralisme: Manusia Indonesia dalam
Serangan Postmodernisme” dalam Menggeledah Hasrat: Sebuah Pendekatan Multi
Perspektif (ed. Alfathri Aldin). Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra, 2006.
Ricklefs, M.C., A History of Modern Indonesia Since c.1300, Second Edition. London:
MacMillan, 1993.
Razif, “Bacaan Liar: Budaya dan Politik pada Zaman Pergerakan”. Diunduh
darihttp://www.fortunecity.com/millennium/oldemill/498/selectedworks/B-Liar3.html tanggal
17 Agustus 2010, 2010.
Rosidi, Ajip, Masalah Angkatan dan Periodisasi Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta:
Pustaka Jaya, 1973.
Sulistyo, Hermawan, Palu Arit di Ladang Tebu: Sejarah Pembantaian Massal yang
Terlupakan (1965-1966). Jakarta: Gramedia bekerja sama dengan Yayasan Adikarya IKAPI
dan The Ford Foundation, 2000.
Sumardjo, Jacob, Lintasan Sastra Indonesia Modern Jilid I. Bandung: PT Citra Aditya Bakti,
1992.
Taum, Yoseph Yapi, “Pengarang Ambang dan Kedudukannya dalam Penelitian Sastra”
dalam Horison Nomor 11 Tahun XXVIII, Edisi November. Jakarta: Yayasan Indonesia,
1993.
Taum, Yoseph Yapi, Pengantar Teori Sastra: Ekspresivisme, Strukturalisme, Semiotik,
Resepsi, Dekonstruksi. Ende: Nusa Indah, 1997.
Teeuw, A., Sastra Baru Indonesia. Ende: Percetakan Arnoldus, 1978.
_______, Tergantung Pada Kata. Jakarta: Pustaka Jaya, 1980.
_______, “Indonesia Antara Kelisanan dan Keberaksaraan” (dua karangan) dalam BASIS
No. XXXVII-11 dan XXXVIII-12. Yogyakarta: Andi Offset, 1988a.
_______, Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya – Giri
Mukti Pasaka, 1988b.
Van der Kroef , Justus M. “Interpretations of the 1965 Indonesian Coup: A Review of the
Literature” in Pacific Affairs, Vol. 43, No. 4, (Winter, 1970-1971), pp. 557-77. Pacific Affairs,
University of British Columbia, 1977.
Wikipedia, Antaeus. Dikunjungi pada 20 Juli 2011 dari http://en.wikipedia.org/wiki/Antaeus,
2013.
Yuliantri, Rhoma Dwi Aria dan Muhidin M. Dahlan, Gugur Merah: Sehimpunan Puisi Lekra
Harian Rakjat 1950-1965.Yogyakarta: Merakesumba, 2008.
Zulkifli, Arif, Aidit: Dua Wajah Dipa Nusantara. Jakarta: Kepustakaan Kompas Gramedia
(KPG) (Seri Buku Tempo Orang Kiri Indonesia), 2010.
**Keterangan: tulisan ini pernah dipublikasikan pada Jurnal Ilmiah Kebudayaan, Sintesis,
Volume 7, No.1, Maret 2013, hlm. 1-13
[i] Tulisan ini pernah dimuat dalam Jurnal Ilmiah Kebudayaan Sintesis Volume 7 No. 1,
Maret 2013. Jurnal itu milik Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas
Sanata Dharma, Yogyakarta. Terima kasih kepada Prof. Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum
yang mengizinkan penerbitannya di sini. Pengeditan dilakukan dalam koridor yang semata
teknis, disesuaikan dengan format Lembar Kebudayaan IndoProgress (LKIP).
[ii] Tentang sisi sebagai pejuang nasional, persahabatan, pernikahan, keluarga, dan
peranan Aidit dalam bidang politik, baca Arif Zulkifli, Aidit: Dua Wajah Dipa
Nusantara, Jakarta: Kepustakaan Kompas Gramedia (KPG) (Seri Buku Tempo Orang Kiri
Indonesia), 2010.
[iii] Buku dan serial yang ditulis Aidit antara lain: Sedjarah Gerakan Buruh Indonesia, dari
Tahun 1905 sampai Tahun 1926 (1952); Perdjuangan dan Adjaran-adjaran Karl
Marx (1952); Menempuh Djalan Rakjat: Pidato untuk Memperingati Ulangtahun PKI jang
ke-32 – 23 Mei 1952 (1954); Tentang Tan Ling Djie-isme: Referat jang Disampaikan pada
Kongres Nasional ke-V PKI (1954); Djalan ke Demokrasi Rakjat bagi Indonesia: (Pidato
sebagai laporan Central Comite kepada Kongres Nasional ke-V PKI dalam bulan Maret
1954 (1955); Pertahankan Republik Proklamasi 1945!: Perdjuangan untuk
Mempertahankan Kemerdekaan Nasional, Perdamaian dan Demokrasi Sesudah Pemilihan
Prlemen (1955); Menudju Indonesia baru: Pidato untuk Memperingati Ulang-tahun PKI jang
ke-33 (1955); Perjuangan dan Adjaran-adjaran Karl Marx (1955); Revolusi Oktober dan
Rakjat2 Timur (1957); 37 tahun Partai Komunis Indonesia (1957); Masjarakat Indonesia dan
Revolusi Indonesia: (Soal² Pokok Revolusi Indonesia) (1958); Sendjata Ditangan Rakjat
(1958); dan Kalahkan Konsepsi Politik Amerika Serikat (1958). Daftar ini masih perlu
dilengkapi lagi.
[iv] Dalam masa pemerintahan Presiden Soekarno, apa yang terjadi pada tahun 1948 itu
disebut sebagai “Peristiwa Madiun 1948” tetapi oleh pemerintahan Orde Baru istilahnya
diubah menjadi “Pemberontakan Madiun 1948.”
[v] Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dihancurkan tetapi tidak dilarang tahun 1948,
muncul kembali di tahun 1951 dengan kepemimpinan dari kalangan kaum muda: Aidit,
Lukman, Nyonto, dan Soedisman. Sejak awal, Aidit menekankan bahwa Marxisme
merupakan pedoman untuk bertindak, bukan dogma yang harus diikuti dengan kaku
(Ricklefs, 2004: 478). Kepemimpinannya membawa suatu pragmatisme baru bagi PKI yang
memungkinkan partai ini segera menjadi salah satu partai politik terbesar. Perkembangan
pesat PKI itu, menurut Van der Kroef (1965: 357), juga disebabkan karena selama tahun
1961—1962 PKI sangat vokal mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintah, khususnya
kebijakan militeristik yang sangat membatasi aktivitas politik. Partai ini bahkan menjadi
partai komunis terbesar di seluruh dunia, di luar RRC dan Uni Soviet.
[vi] The Three Musketeers adalah judul novel tenar tentang petualangan tiga orang pemuda
di tengah-tengah pergolakan politik Prancis pada abad pertengahan. Tiga pemuda itu
bernama Athos, Porthos, dan Aramis.
[vii] Menurut Teeuw (1989: 11), sajak-sajak tanggapan terhadap masalah kemiskinan dari
penyair non-Lekra berbeda dengan sajak-sajak Lekra yang mengusung ideologi ‘realisme-
sosialis’. Sajak-sajak non-Lekra lebih mendalam, mengendap, dan ditulis dengan
kesadaran bahwa penderitaan manusia bukan saja disebabkan oleh tindakan-tindakan
buruk kaum politikus jahat, kaum kapitalis, dan kaum imperialis, tetapi bahwa kemiskinan
tak terlepas dari peri hidup umat manusia, dan sebaliknya bahwa kebahagiaan pun tidak
bergantung pada terwujudnya cita-cita tertentu belaka.
[viii] Hal ini berbeda dari perkembangan sastra sebelumnya, yang dikuasai oleh Kantor
Bacaan Rakyat dari Pemerintah Hindia Belanda atau Balai Pustaka, yang dalam
penerbitan-penerbitannya menabukan ideologi, agama, dan politik (lihat Teeuw, 1989: 31).
* Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum., dosen Prodi Sastra Indonesia Fakultas Sastra
Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Alamat surat elektronik:
Membaca reaksi pemerintah Indonesia terhadap film “Jagal” atau “The Act of Killing” kami
merasa perlu memberikan tanggapan.
Film yang kami buat berlokasi di Indonesia, berbahasa Indonesia, dengan tema yang
berkait erat dengan babak gelap dalam sejarah Indonesia, namun demikian film kami
sesungguhnya bercerita tentang manusia; tentang sebuah pembantaian massal yang
dilakukan oleh manusia terhadap manusia lainnya. Film kami bercerita mengenai dunia
yang dibangun oleh imajinasi dan penyampaian cerita; tentang dunia yang dibangun
dengan imajinasi penguasa dan penyampaian cerita berupa propaganda cuci otak. Tentang
sebuah dunia yang dibangun untuk menjustifikasi kekerasan massal sebagai sebuah
perjuangan heroik yang terus dipertahankan sampai hari ini. Tentang sebuah dunia yang
menghasilkan kekosongan moral dan kematian budaya–semati hewan awetan walau
diusahakan kelihatan dan berpose hidup. Tentang sebuah dunia yang dibangun diatas
kuburan massal yang disembunyikan agar terlupakan. Film kami adalah sebuah kisah
mengenai apa yang terjadi di manapun jika manusia membangun normalitas sistem
ekonomi dan politik berdasarkan kekerasan, kebohongan, dan ketakutan.
Menghindari membicarakan pokok persoalan yang diangkat di dalamnya, film Jagal dituduh
sebagai upaya asing untuk memperburuk citra Indonesia di dunia. Kami, pembuat film
Jagal, sama sekali tidak pernah berniat memperburuk citra Indonesia, karena bagi kami
citra buruk bukanlah dari apa yang digali dan diungkap dari kejadian di masa lampau tetapi
apa yang dikerjakan saat ini. Bagi kami citra bukanlah persoalan bagaimana dan seberapa
baik kejahatan terhadap kemanusiaan disembunyikan dari pengetahuan rakyatnya. Citra
buruk adalah melanggengkan ketidakadilan dan impunitas bagi mereka yang melakukan
kejahatan terhadap kemanusiaan. Citra buruk adalah tidak meminta maaf kepada penyintas
dan keluarga korban kejahatan terhadap kemanusiaan. Citra buruk adalah tidak
merehabilitasi dan memberikan mereka rekompensasi atas segala yang telah dirampas dari
mereka selama ini. Citra buruk adalah terus-menerus menyembunyikan fakta yang penting,
walaupun pahit, pada buku teks yang dibaca jutaan murid sekolah dan pada akhirnya
mencetak berlapis generasi yang tak mengenal sejarahnya sendiri. Citra buruk adalah
mengangkat arsitek pembunuhan massal sebagai pahlawan. Citra buruk adalah ketiadaan
upaya untuk memulai sebuah proses rekonsiliasi yang sejati dan menampilkan rekonsiliasi
pura-pura yang berinti proses pelupaan sebagai satu-satunya hal yang mungkin dilakukan.
Tidak satupun kerja memperburuk citra Indonesia kami lakukan lewat film Jagal.
Menuduh film Jagal sebagai suara ‘asing’ adalah upaya usang sekadar memancing
sentimen sempit untuk mendirikan pagar pemisah tinggi-tinggi antara yang ‘kita’ dan yang
‘mereka’. Jika ada yang bisa diambil pelajarannya dari film kami, maka pembedaan yang
melupakan semua kesamaan itulah yang menjadi salah satu faktor mengapa sebuah
kebencian dan kekerasan massal menjadi mungkin dibayangkan dan dilakukan oleh
sekelompok manusia terhadap sekelompok manusia yang lainnya.
Berbicara mengenai intervensi asing, kami ingin mengajak semua untuk melihat berbagai
investasi asing, proyek, dan utang yang menggelontor Indonesia sejak 1965 dan dibukakan
gerbangnya selebar-lebarnya oleh pemerintah, masuk sebagai kelanjutan pembantaian
massal yang disembunyikan itu dan pada akhirnya menggusur, mempermiskin rakyat,
mengeruk segala kekayaan alam sambil meninggalkan jejak kerusakan lingkungan yang
berkelanjutan dari Aceh sampai Papua. Pembunuhan massal 1965-1966–dan bukannya
film ini–yang justru adalah sebuah intervensi asing. Justru pemerintahan yang menuduh
bahwa film ini adalah sebuah intervensi asing yang sesungguhnya adalah produk dari
puluhan tahun intervensi asing.
Film Jagal bukan semata-mata ekspresi dari pendapat dan pandangan awak film
berkebangsaan selain Indonesia, tetapi juga adalah pandangan kami, awak film
berkebangsaan Indonesia. Film ini mewakili pandangan kami semua sebagai manusia
penghuni bumi melintasi batas-batas negara, kebangsaan, ras, etnis, dan bahasa. Film
Jagal dibuat oleh orang-orang dari berbagai bangsa, dengan awak film paling banyak
berasal dari Indonesia, dengan semangat kemanusiaan dan solidaritas kepada semua
korban pelanggaran hak azasi manusia di dunia. Jika film Jagal (The Act of Killing) secara
resmi terdaftar sebagai produksi Denmark, Inggris, dan Norwegia–negara tempat
perusahaan produksi film Jagal berkedudukan–itu semata-mata karena keputusan kami
untuk menjadi Anonim–awak film tak bernama–karena dalam pendapat kami, negara kami
belum bisa menyediakan perlindungan yang memadai. Kami tak bisa mendaftarkan film
kami sebagai film Indonesia karena kami yang tak bernama tak mungkin mendirikan
perusahaan dan tak ada jaminan bahwa perusahaan produksi yang mewakili film kami akan
aman dari tindakan kekerasan. Kami tidak ingin menciptakan risiko baru di dalam negara
yang gagal melindungi pertemuan keluarga penyintas dan korban kekerasan massal 1965,
yang tidak hadir ketika kekerasan terjadi pada saat orang menyampaikan pendapat dan
berekspresi dengan damai, yang tidak mengusut tuntas dan menghukum orang yang
bertanggung jawab atas pembunuhan Munir, wartawan Udin, dan jutaan korban kekerasan
politik serta pelanggaran HAM lainnya sejak 1965 di seluruh Indonesia dan Timor Leste.
Hal-hal seperti inilah yang bisa–dan sepatutnya–dilakukan oleh negara jika negara
sungguh-sungguh ingin memulai memperbaiki citranya, pertama kali, kepada rakyatnya
sendiri.
Kami adalah generasi muda yang berusaha untuk menjadi sadar sejarah dan kami tahu
bahwa banyak terjadi pelanggaran di luar Indonesia yang dilakukan oleh pemerintah negara
lain. Kami tidak membuat film mengenai pelanggaran HAM yang dilakukan negara lain,
seperti Amerika Serikat, Australia, Inggris, Israel, Afrika Selatan, Rwanda, Serbia, dan
lainnya karena, tanpa mengurangi arti penting dari film tentang pelanggaran HAM di
manapun oleh siapapun, hal utama yang memotivasi pembuatan film “Jagal” adalah
solidaritas kami kepada sesama rakyat Indonesia yang menjadi korban penindasan negara
selama ini, dan karena bagi kami yang terpenting adalah membuat negeri kami menjadi
negeri yang terhormat di antara negara lain di dunia. Untuk bisa menjadi negara yang
terhormat, kami yakin, negara harus menyadari bencana moral akibat pembantaian
massal–dan bencana moral hari ini akibat impunitas, korupsi, dan ketakutan. Itu sebabnya
kami membuat film Jagal. Solidaritas terhadap penyintas dan keluarga korban ini juga yang
kami bawa bersama awak film dari bangsa lain dan ingin kami tularkan kepada penonton di
seluruh Indonesia dan di luar Indonesia.
Kami sepenuhnya sadar bahwa sebanyak dan sebesar apapun pelanggaran HAM yang
dilakukan negara lain tidak pernah memberi pembenaran bahwa kita bisa melakukan hal
yang sama.
Seperti kami yang melalui film ini menggugat negara kami, awak berkebangsaan lain pun
menuntut hal yang sama lewat film The Act of Killing kepada pemerintah negaranya. Awak
film berkebangsaan Amerika Serikat, sutradara film Joshua Oppenheimer, lewat film ini
menuntut agar pemerintah Amerika Serikat mengakui perannya dalam genosida, dan
berharap penonton Amerika mengenali The Act of Killing sebagai sebuah film mengenai
dampak kebijakan luar negeri Amerika Serikat yang mengutamakan hak perusahaan-
perusahaan Amerika untuk menjarah dengan perlindungan impunitas di atas hak hak azasi
manusia di negara-negara tempat perusahaan tersebut beroperasi. Sebagaimana telah
berkali-kali disampaikan oleh pembuatnya di berbagai kesempatan di banyak negara, film
ini menyampaikan sebuah pesan bahwa kita lebih mirip dengan para pelaku pelanggaran
HAM daripada yang selama ini kita bayangkan. Pesan yang dimengerti dengan jelas oleh
para penonton di banyak negara.
Kami bekerja dan memberikan sumbangsih untuk membuat film yang sebaik-baiknya
dengan kesadaran bahwa kamilah yang berbahasa Indonesia paling baik di antara semua
awak film Jagal (The Act of Killing), kamilah yang paling dekat dengan sejarah yang
menjadi tema film ini, kamilah yang merasakan tumbuh dan hidup di dalam sebuah dunia
fantasi yang dipaksa menjadi rumah dan tanah air kami, serta kamilah yang akan menjalani
segala konsekuensi dari perubahan atau ketiadaan perubahan di tanah air kami. Kami
menempuh segala risiko yang tak tertebak sampai saat ini, dengan kesadaran tidak akan
pernah dikenal dan menerima langsung penghargaan setelah bekerja dan bekerja sama
selama delapan tahun untuk menghasilkan karya kami, dari Indonesia untuk Indonesia dan
dunia.
Mari menengok kembali tanggung jawab kita bersama membuat dunia yang lebih
manusiawi. Mari kita mulai dengan membuat Indonesia menjadi lebih manusiawi.
Anonim
Ko-Sutradara film Jagal
Dua Belas Puisi2 February 2014
Yovantra Arief
LKIP
/1/
/puisi malam/
Seorang kekasih tidur
dengan mata terbuka,
Tangan
terluka.
“Kenapa?” tanya lelaki
yang kebetulan lewat
di depan kamar kosnya.
“Entah,” igau kekasih itu.
“Mungkin lelah.
Mungkin kalah.”
/2/
/puisi 05:30/
Lelaki itu jarang bicara.
Terkadang ia mimpi.
Malam jauh.
Bahasa purba
yang lupa
pernah punya makna.
Mimpi kerap kali
punya janji.
Terkadang tentang manisnya
esok hari, terkadang
untuk melupakan
kusutnya jalan pagi ini.
/3/
/pagi yang cerah 07.25/
Penyair tak lagi menulis
untuk sarapan pagi
dan secangkir kopi
karena
puisi tak mampu
menggerakkan mesin-mesin
dan
mengusir kantuk.
/4/
/pagi semakin cerah, 08.00/
Jangan.
Banyak.
Bicara.
/5/
/apa yang dilakukan ketika sesuatu harus dilakukan/
Ini begini.
Itu begitu.
Ini di sini.
Itu di situ.
Dibeginikan. Dibegitukan. Oper sana. Oper sini.
Kurang cepat.
Inibegini.
Itubegitu.
Inidisini.
Itudisitu.
Dibeginikan, dibegitukan, opersana, opersini.
Lebih cepat lagi.
Inibegini.Itubegitu.Inidisini.Itudisitu.
Dibeginikan.Dibegitukan.Opersana.Opersini.
Masih kurang cepat!
Inibeginiitubegituinidisiniitudisitu.
Dibeginikandibegitukanopersanaopersini.
Sedikit lagi!
inibeginiitubegituinidisiniitudisitu
dibeginikandibegitukanopersanaopersini.
Nah!
Teruskan!
/6/
/waktu lupa/
“Jam berapa sekarang?”
tanya jam dinding
pada seseorang
yang tidak ia kenal namanya.
Jawab orang itu:
“bukan jam istirahat.”
/7/
/memulai hari yang terlambat, 12.22/
Deretan punuk BH berkibar
di tiang jemuran, serupa
bendera yang
kita hormati
tiap hari Senin.
Seorang kekasih
menyapu debu jalanan
dengan bayangan yang mengantuk.
Remah-remah mimpi di trotoar,
di gedung bioskop tua, di
bawah lampu lalu lintas,
terguyur hujan dan
menguap
di udara.
Berjoged
dangdut.
Menghisap
Aibon.
Mengais
sampah.
Mengasah
kelamin.
Mungkin hidup,
tak pernah mati.
Tak pernah mati.
/8/
/mereka melengang/
seperti anjing.
seperti udara.
seperti jeda.
seperti titik.
dengan tentara
bersembunyi
di belakangnya.
/9/
/lepas tawa sekelebat/
Sore turun seperti hujan.
Mengguyur tubuh-tubuh basah
dengan lelah.
Anjing-anjing kecil
tak bisa mengendus jalan
pulang.
Tapi rumah ada di mana-mana.
Di tikungan jalan,
di pabrik-pabrik,
di selasar toko,
di atas bus dan jalanan padat,
di sepetak kamar kecil
dengan sewa 500 ribu per bulan;
rumah ada di mana pun kau
rebahkan kepalamu.
/10/
/aku menikahi buldoser/
Kami bercinta di atas reruntuhan bayangan gedung yang menimpa jalan. Ketika rindu, rindu
itu remuk di kakinya. Menjelma debu lalu kembali mencucuk mataku.
Aku menikahi buldoser dan tiap malam kami menggaruk kota.
Kami bertemu gubuk yang mimpi. Lembaran triplek rekat dengan cairan manusia. Kami
berteduh dari terik kantuk di pinggir rel.
Begitu matahari meninggi buldoser lakiku mengubur mimpi dengan tangannya sendiri.
Akhir bulan lakiku si buldoser terima upah lalu kami bercinta sampai habis segala lelah.
Kupeluk peluhnya yang dingin dan decitnya logam barah. Terkadang aku mendengar desah
tangis yang entah. Hantu dari masalalu. Aku tak tahu. Banyak mimpi yang mati dan
suamiku lelah menghitung satu-satu.
/11/
/Malam jatuh berdebam/
Menimpa lampu-lampu jalan,
terpelanting ke parkiran, dan
membangunkan mobil-mobil
yang meraung dalam bahasa
alarm. Gelap melompat-lom-
pat di atas aspal basah, men-
ubruk tiang-tiang listrik. Luka
terbirit keluar lewat jendela.
Truk dan taksi berdesing se-
perti peluru. Operator malam,
perempuan muda di belakang
counter, pelacur dan mucikari,
tiang listrik, satpam dengan sebu-
ngkus Dji Sam Soe dan kopi
hitam, rumah sakit dan warung
kopi; beberapa orang mesti
terjaga biar bulan tetap menyala,
biar matahari bangun pada waktunya.
/12/
/hujan turun sebelum pagi/
Jalanan kaku kedinginan
orang-orang di dalam bus
berdesakan
seperti berpelukan.
Pemandangan tahun lalu
—juga hari ini
Tapi
tak ada yang menyangka pejalan kaki
mekar
jadi
orang-orang merah.
Anak-anak TVRI
menyiram kepala mereka sendiri
sampai tumbuh tinggi dan
tidak lagi
percaya televisi.
Tajuk utama tak pernah bicara,
tapi keringat kami
puisi.
Lagu.
Kepalan rapuh
menggenggam janji.
Dunia baru.
Empat Pertanyaan bagi Sastra5 October 2013
Martin Suryajaya
LKIP
Para pembaca rubrik Lembar Kebudayaan Indoprogress yang budiman,
Belakangan ini ada sekelumit persoalan tentang kesusastraan yang terus menghantui saya
setiap kali membaca karya sastra. Maklum saya sendiri tak fasih dalam sastra, juga agak
kurang berbudaya. Oleh karena itu, saya mohon kepada para pembaca sekalian agar sudi
mencerahi budi saya perihal sastra dengan menjawab persoalan yang disebut di muka.
Beberapa persoalan yang dimaksud baru akan mengemuka setelah sedikit kerja praktikum
berikut. Pertama-tama, saya akan sekenanya mengambil salah satu karya sastra. Nah,
karya yang terambil adalah sajak “Di Beranda Ini Angin Tak Kedengaran Lagi” buah karya
Goenawan Mohamad. Berikut saya tik ulang teksnya.
Teks Asli
Setelah kita memperoleh sampel karya sastra yang dipilih sekenanya macam yang tertuang
di muka, berikutnya saya akan mencoba menunjukkan persoalan yang menghantui saya.
Persoalan ini akan segera tampil sehabis kita menerjemahkan puisi di muka. Namun, apa
yang saya maksudkan bukanlah penerjemahan ke dalam bahasa Inggris atau Jawa atau
bahasa-bahasa lain pada umumnya, melainkan ke dalam bahasa kalkulus predikat tatanan-
pertama (first-order predicate calculus). Bahasa ini, sebatas pengetahuan saya, tidak
pernah digunakan untuk menerjemahkan karya sastra sebab lazimnya hanya digunakan
secara terbatas di lingkungan para matematikawan, ilmuwan komputer, dan filsuf Analitik.
Kalkulus predikat adalah bahasa dasar dari semua varian bahasa pemrograman komputer
—serumpun bahasa yang dapat dipahami oleh entitas yang paling tak berbudaya
sekalipun, misalnya robot. Saya akan coba terjemahkan puisi di muka ke dalam bahasa ini.
Terjemahan dalam Kalkulus Predikat
Penomoran pada sisi kanan, (1), (2), dst., bersesuaian dengan penomoran pada baris puisi
aslinya. Deretan kode di muka, kendati terasa asing, sejatinya dapat diucapkan dalam
bahasa Indonesia biasa. Berikut ini, saya akan mengucapkannya secara literal.
Pengucapan Terjemahan Versi Kalkulus Predikat
Inilah pengucapan literal dari deretan kode sebelumnya. Tentu, ada perubahan susunan
dalam terjemahan ini. Namun, hal ini lebih disebabkan karena kekurangahlian saya dalam
berbahasa kalkulus predikat. Artinya, bukan berarti bahwa kalkulus predikat itu sendiri tidak
mampu menerjemahkan karya sastra secara akurat. Terjemahan kalkulus predikat yang
akurat atas karya sastra, secara prinsipil, mungkin. Oleh karena itu, demi tujuan pernyataan
persoalan yang saya maksud, kita dapat mengandaikan bahwa terjemahan kalkulus
predikat yang akurat itu dimungkinkan. Tentu persoalan kemudian adalah bahwa kita tidak
akan mengetahui maknanya apabila kita tidak mengerti arti simbol-simbol yang digunakan
di dalamnya. Untuk itu, berikut saya hadirkan kamus kecil bahasa kalkulus predikat.
Setelah mengetahui arti dari setiap simbol yang digunakan, kita dapat menangkap makna
dari terjemahan logis atas puisi “Di Beranda Ini Angin Tak Kedengaran Lagi”. Silakan
mencoba membaca ulang terjemahan kalkulus predikat yang saya berikan berdasarkan
kamus kecil yang disertakan itu. Nah, sesudahnya kita baru bisa masuk ke dalam sekelumit
persoalan yang saya resahkan di muka.
Empat Persoalan
1. Apakah terjemahan logis di muka adalah juga karya sastra?
2. Apakah terjemahan logis di muka adalah juga karya sastra yang sama?
3. Apakah terjemahan logis di muka memiliki nilai estetis yang sama dengan karya aslinya?
4. Mungkinkah kita menciptakan karya sastra melalui kalkulus predikat?
Keempat persoalan ini sesungguhnya bermuara pada satu pertanyaan pokok yang implisit
dalam keempatnya, yakni: Apakah yang sebenarnya dimaksud dengan ‘karya sastra’?
Inilah pertanyaan yang membuat saya penasaran setiap kali membaca karya sastra.
Namun, mengapa keempat pertanyaan itu seolah-olah sulit dijawab? Berikut saya akan
menunjukkan empat pasang kemungkinan jawaban (karena pertanyaannya dirumuskan
dalam format ya/tidak). Ingat, bahwa kita mengasumsikan terjemahan kalkulus predikat kita
akurat.
Delapan Kemungkinan Jawaban
1. Apakah terjemahan logis di muka adalah juga karya sastra?
1. Kalau tidak, berarti sastra itu murni soal bentuk. Implikasinya, begitu kita mengubah
atau menghilangkan satu iota pun dari sebuah karya sastra (satu kata, satu tanda
baca, dst.), karya sastra tersebut akan lenyap seketika itu juga. Namun, kalau
memang sastra itu tak lain adalah soal bentuk dan bentuk semata, lalu bagaimana
terjemahan karya sastra dimungkinkan? Tidakkah menerjemahkan Shakespeare ke
dalam bahasa India atau Indonesia sama dengan menghancurkannya kalau begini?
Konsekuensi lanjutannya, karya sastra tidak dapat dikomunikasikan ke orang di luar
pengarangnya sendiri, sebab komunikasi mengandaikan penerjemahan ke dalam
kesadaran dan pengalaman yang berbeda, yang mau tak mau akan sedikit
mengubah bentuknya. Karya sastra sepenuhnya berstatus privat.
2. Kalau ya, berarti sastra itu soal substansi atau isi yang mau dinyatakan oleh karya.
Implikasinya, karya sastra dapat diterjemahkan ke dalam bahasa apapun juga
(termasuk kalkulus predikat) dan dapat dikomunikasikan dengan orang di luar
pengarang. Karya sastra bersifat publik.
3. Apakah terjemahan logis di muka adalah juga karya sastra yang sama?
1. Kalau tidak, berarti terjemahan kalkulus predikat niscaya memelintir makna
karya sastra sehingga hasil terjemahannya sama sekali tidak berkaitan
dengan teks aslinya, melainkan memproduksi karya sastra baru. Namun,
muncul persoalan: lalu apa bedanya terjemahan ini dengan terjemahan ke
dalam bahasa asing lainnya? Dengan mengasumsikan bahwa terjemahan
kalkulus predikat kita akurat, lantas bagaimana menjelaskan perbedaan
terjemahan kita yang akurat itu dengan hasil terjemahan seorang profesor
sastra Spanyol, misalnya, yang menerjemahkan karya yang sama? Tidakkah
jawaban negatif kita ini lebih disebabkan karena bias prasangka kita saja
terhadap bahasa logika?
2. Kalau ya, berarti terjemahan kalkulus predikat dapat setia mereproduksi
makna karya sastra. Artinya, tidak ada perbedaan esensial antara proses
terjemahan dari puisi berbahasa Indonesia ke bahasa kalkulus predikat dan
terjemahan ke dalam bahasa Spanyol atau Inggris.
3. Apakah terjemahan logis di muka memiliki nilai estetis yang sama dengan
karya sastra aslinya?
1. Kalau pertanyaan no. 2 dijawab tidak, maka pertanyaan no. 3 ini
harusnya juga dijawab tidak. Sebab bagaimana mungkin karya sastra
yang berbeda memiliki nilai estetis yang sama?
2. Kalau pertanyaan no. 2 dijawab ya, maka pertanyaan no. 3 ini
harusnya juga dijawab ya. Sebab bagaimana mungkin, karya sastra
yang sama memiliki nilai estetis yang berbeda?
3. Mungkinkah kita menciptakan karya sastra melalui kalkulus predikat?
1. Kalau tidak, berarti kita kembali ke jawaban 1.a., yakni bahwa
sastra melulu soal bentuk dan bahwa bahasa kalkulus
predikat tidak mungkin menciptakan bentuk sastrawi, dan
karenanya tidak mungkin menciptakan karya sastra. Namun,
seperti sudah kita lihat, jawaban 1.a. ini sangat problematis
sebab dengan begitu terjemahan apapun jadi tak mungkin
dan karya sastra sepenuhnya bersifat privat. Jadi, semua
orang yang berdiskusi tentang sastra atau menuliskan kritik
sastra sebenarnya berbicara tentang hal lain yang hanya
diketahui oleh masing-masing. Karena jawaban 1.a.
problematis, maka jawaban 4.a. juga sama problematisnya.
2. Kalau ya, berarti kita kembali ke jawaban 1.b., yakni bahwa
sastra berurusan dengan substansi dan bahwa bahasa
kalkulus predikat dapat digunakan untuk menciptakan
substansi sejenis, dan karenanya, dapat menciptakan karya
sastra yang baru. Jawaban 4.b. ini juga didukung, atau
setidaknya tidak ditolak mentah-mentah, oleh jawaban 2.a.,
2.b., 3.a., dan 3.b.
Artinya, hanya ada dua kemungkinan jawaban yang paling bertentangan: memilih jalur 1.a.-
4.a. dan tidak bisa menjawab pertanyaan 2 dan 3 sama sekali, atau memilih jalur 1.b.-4.b.
dan bisa menjawab pertanyaan 2 dan 3 dengan jawaban afirmatif maupun negatif. Pilihan
yang masuk akal adalah rute kedua, yakni 1.b.-4.b. Saya rasa inilah pilihan yang wajar
diambil oleh sebagian besar sastrawan dan penikmat sastra. Sebabnya, dengan pilihan ini,
sastra jadi mungkin dibicarakan secara sosial, tidak tinggal diam dalam lubuk hati
pengarang masing-masing, dan karenanya disiplin kritik sastra itu sendiri dimungkinkan.
Permasalahannya, jawaban yang masuk akal terhadap keempat pertanyaan tersebut—rute
1.b.-4.b.—mendesak kita ke arah yang kurang nyaman. Sebab apa? Sebab dengan
jawaban-jawaban itu kita didorong untuk berkesimpulan bahwa kesusastraan adalah
cabang dari logika (dari matematika, ilmu komputer, dan filsafat Analitik). Artinya, pada
dasarnya, kesusastraan adalah bentuk aplikasi tertentu dari teknologi. Dengan
menggunakan bahasa logika yang mendasari segala bentuk aplikasi mekanika komputer
dan sains pada umumnya, kita dapat menciptakan sastra. Karya sastra apapun dapat
dihasilkan dengan cara diturunkan dari kalkulus predikat, sama seperti kita menurunkan
hukum gravitasi Newton untuk menjelaskan pergerakan benda jatuh di bumi. Dan
kesimpulan ini bukannya tak mungkin diperluas lagi: kesenian itu sendiri adalah bagian dari
sains. Implikasi dari semua ini adalah bahwa kesenian dapat direduksi pada logika,
khususnya kalkulus predikat tatanan pertama—bahasa universal dari entitas-entitas yang
paling tak berbudaya, robot dan mainboard komputer. Inilah yang meresahkan kepercayaan
sehari-hari saya—dan orang-orang pada umumnya juga saya kira—yang menganggap
bahwa sastra berseberangan dengan kalkulasi logis yang dingin.
Apakah di antara para pembaca budiman ada yang bisa memberikan solusi yang lebih
memuaskan terhadap keempat pertanyaan di muka? Saya akan dengan senang hati
mendengarkannya.
Saduran Puisi-Puisi Marx5 February 2013
Yovantra Arief
LKIP
Ada beberapa hal yang bisa dikritik dari Marx. Tentu, Franz-Magnis Suseno pun mengakui,
Marx hanya manusia biasa, bukan Tuhan, dan—kita hanya perlu merujuk pada kapasitas
Fraz-Magnis sebagai seorang pastor dalam hal ini—ia punya banyak salah dan dosa.
Bangunan teoretisnya pun—lagi, seturut mazhab Jesuit—bertanggung jawab atas
melayangnya jutaan nyawa manusia (sebagai orang beriman, Franz-Magnis melihat
kematian sebagai takdir,dus “tanggung jawab” Tuhan), kemelaratan (lagi, ini semata-mata
takdir), serta kekejaman (please, Tuhan memusnahkan Sodom dan
Gomorrah hanya karena mereka gay!) di seantero dunia. Dengan demikian, Marx salah
bukan hanya karena ia ingin membangun “kerajaan Allah” di muka bumi—suatu pekerjaan
yang mustahil dan bahkan, jika kita hidup di abad pertengahan, menghina Tuhan—
melainkan juga karena ia telah menghabiskan hidupnya untuk mengajarkan paham
ekonomi-politik yang tidak manusiawi—dan kita tahu, dengan segala ke-maha-annya,
Tuhanlah yang paling tidak manusiawi.
Namun, barangkali, salah satu kelemahan Marx di mata sebagian besar aktivis Kiri adalah
ini: Marx adalah penyair yang paling tidak Marxis.
Puisi-puisi dan naskah drama Marx yang bisa kita temui saat ini tidak dihiasi dengan kata
“perlawanan”, “revolusi”, “komunisme”, ataupun “penghisapan kapitalisme”. Barangkali
rumusan puitis Marx yang paling revolusioner adalah ungkapan “ada hantu bergentayangan
di Eropa, hantu komunisme”; itu pun penggalan dari traktat filosofisnya, bukan sastra per
se. Tentu kita menjelaskan hal ini dengan menunjuk bahwa puisi/drama/novel Marx
dikarang pada tahun-tahun awal kariernya—ia masih berumur 19 tahun ketika itu—dan
dalam periode ini—dikenal sebagai periode “Marx muda”—banyak komentator
menganggap Marx masih “bau kencur”, masih humanis-romantik, masihapolitis.
Diksi-diksi liris dalam puisi-puisi Marx berasal dari mitos dan cerita rakyat—suatu langkah
yang banyak diambil penyair romantik—dan kadang terkesan melankolis, penuh dengan
metafor-metafor genit: “cahaya” yang kerap disandingkan dengan “Jiwa”, “api”, “samudera”,
“bulan”, dan seterusnya. Beberapa—kalau tidak mau bilang “banyak”—puisi Marx
bahkan picisan, yang terbaik di antaranya tertuju pada satu nama: Jenny. Beberapa dari
Anda mungkin akan tertawa—setidaknya, saya tertawa—ketika membaca salah satu larik
yang ditulis dengan huruf kapital yang dibaca: “CINTA ADALAH JENNY ADALAH NAMA
CINTA”. Ya, mungkin Marx, selain seorang pemikir revolusioner, juga seorang pecinta yang
berhati lembut dan romantis. Setidaknya, ia tidak menulis larik-larik, “aku cinta
padamu/cinta ini abadi/satu untuk selamanya”.
Romantika ini mengalun dengan manis dalam “Tiga Titik Cahaya”. Kita bisa membaca tiga
titik cahaya yang ditulis Marx sebagai perlambangan tiga konfigurasi berpikir yang
berbeda: pertama religiusitas Kristiani, keduakemenangan borjuasi, dan ketiga api
proletariat. Dalam pertikaian kelas-kelas historis yang nampaknya tak pernah padam
tersebut, kita bisa membayangkan sepasang kekasih berdekapan mesra, tangan saling
terpaut dan bibir terpagut, seolah-olah dalam pijar asmara, “[d]ua jiwa menyatu bersanding
tenteram”, sekalipun “angin dan badai mengembus hantam”.
So sweet!
Yang menarik dari puisi-puisi ini adalah Marx kerap mengambil ungkapan-ungkapan
romantik/abad pertengahan kemudian membalik konfigurasinya sebagai sebuah kritik
(mungkin kita ingat buku Proudhon Filsafat Kemiskinanyang dibalik oleh Marx
menjadi Kemiskinan Filsafat). Metode penyajian argumentasi Marx dalam beberapa bagian
tulisan-tulisan filosofis/ekopolnya yang renyah itu adalah tempaan pada masa-masa
kepenyairan ini (tentu, ada juga bagian-bagian tulisannya yang lain yang sedemikian rumit
dan sulit untuk dimengerti). Dalam “Untuk Jenny”, misalnya, kata “jiwa” yang dalam syair
romantik serta abad pertengahan digunakan untuk merujuk pada sesuatu yang suci, baik,
ilahiah, dipakai oleh Marx sebagai sesuatu yang “akan meruntuhkanmu, akan
merendahkanmu/[a]kan menabuhkan tarian purba/[d]unia mekar lalu bersemi dan mati”.
Pembalikan ini menunjuk posisi antagonisnya dengan “Dewa-Dewa bumi
pencemburu/mengintai api manusia dengan mesra” yang membuat “selamanya manusia
melarat/[m]enemani cahaya hatinya dalam sunyi”.
Namun demikian, bukan berarti Marx muda adalah sama dengan Marx dewasa. Memang,
beberapa ide-ide filosofisnya sudah bisa diendus dalam puisi-puisi awalnya, tapi ide-ide itu
masih mentah dan perlu diolah. Lebih lanjut lagi, puisi-puisinya yang lain justru sangat
romantik: dalam “Lelaki Tua dan Samudera” ia menggambarkan lelaki tua yang tinggal di
dasar samudera; ombak menahannya di sana—suatu kuasa adidaya yang tak bisa ia lawan
—dan pada akhirnya ia menerima—ia harus menerima—serta menikmati keterasingannya.
Marx menggambarkan betapapun lihainya sang lelaki bersembunyi, ombak itu akan
menemukannya juga, lalu “[m]enggerus belulang kecilnya yang rapuh/…/[m]engoyak
tubuhnya bagai anak panah”. Keterasingan manusia, dalam puisi ini, serupa takdir, suatu
kodrat ilahiah yang sudah selalu ada di sana, menunggu manusia-manusia untuk terlempar
di dalamnya, dan sepandai apapun manusia untuk menghindar, kedatangannya adalah
sepasti kematian yang dingin dan manjur. Dalam puisi ini, kita justru melihat melankolia
yang berusaha didemistifikasi oleh Marx secara habis-habisan. Beberapa dari kita mungkin
akan berpikir, apabila Marx adalah seorang Marxis yang baik, ia akan menunjukkan bahwa
keterasingan itu adalah sesuatu yang hakikatnya sosial dan manusia bisa menemukan
pembebasan dari kungkungan itu secara sosial pula: masyarakat yang disusun
berdasarkan kelas hanya akan menemukan pembebasan melalui gerakan revolusioner
untuk menghancurkan tatanan alienasi itu. Sebagai pengantar, tulisan ini tidak akan masuk
lebih dalam pada masalah-masalah rumit itu.
Demikianlah pengantar ini ditulis. Semoga berkenan.
Lelaki Tua dan Samudera[i]
Sebuah Balada
Air menderu serupa hantu,
Bulir ombak berpendar laju,
Tak ada perih rasa lebam,
Ketika ia pecah dan karam,
Hati kelu, akal beku,
Deru, deru sepanjang waktu.
Di balik ombak, di perut samudera
Duduk lelaki tua, pucat dengan usia.
Menari ia ketika bulan tiba,
Lintang mengguyah kabut sia-sia.
Serupa hantu ia hinggap dan melesat,
Mereguk sungai laut sampai kesat.
Ombak, tiap bulirnya adalah pembunuh,
Menggerus belulang kecilnya yang rapuh,
Riak air berderai resah,
Mengoyak tubuhnya bagai anak panah;
Lelaki kecil meringis perih dan pasi,
Tari bulan dicuri mentari.
Lalu air menderu serupa hantu,
Bulir ombak berpendar laju,
Tak ada perih rasa lebam,
Ketika ia jatuh dan karam,
Hati kelu, akal beku,
Deru, deru, sepanjang waktu.
Tiga Titik Cahaya[ii]
Tiga titik cahaya berpijar sunyi,
Binarnya kerling mata jeli,
Biar angin dan badai mengembus hantam,
Tiga titik cahaya tak pernah padam.
Satu cahaya meronta tinggi,
Bergetar ia di garis lazuardi,
Kerlip mata teduh dan wibawa,
Mungkin nampak padanya Bapa-Segala.
Yang lain menatap rongga-rongga bumi,
Dan mendengar pekik kemenangan sejati,
Mendongak ia pada saudarinya di angkasa,
Nubuat sunyi diam-diam bertahta.
Yang terakhir berkobar dengan api emas,
Baranya menyengat, segala genggam lepas,
Hatinya berpusar hebat dan—lihat!—
Ia berbunga jadi pepohonan lebat.
Lalu tiga titik cahaya berpijar sunyi,
Binarnya kerling mata jeli,
Biar angin dan badai menghembus hantam,
Dua jiwa menyatu bersanding tenteram.
Untuk Jenny[iii]
Kata-kata—dusta, bayang hampa, tak lebih,
Sesakkan hidup dari tiap sudut!
Padamu, letih dan mati, haruskah kutuangkan
Jiwa yang padaku bergelora?
Namun Dewa-Dewa bumi pencemburu
Mengintai api manusia dengan mesra;
Dan selamanya manusia melarat
Menemani cahaya hatinya dalam sunyi.
Karena, gelora yang menyentak nyalang
Dalam helaian Jiwa cemerlang
Akan mendekap duniamu,
Akan meruntuhkanmu, akan merendahkanmu,
Akan menabuhkan tarian purba,
Dunia mekar lalu bersemi dan mati.
Yovantra Arief, Anggota Redaksi Jurnal ProblemFilsafat dan Mahasiswa STF
Driyarkara Jakarta.
Catatan Akhir:
[i] Ditulis sebelum 12 April 1837. Terdapat dalam A Book of Verse, Marx Engels Collected
Works Vol. I, diterj. ke dalam bahasa Inggris oleh Clemens Dutt, 1975, International
Publishers, hlm. 683—685. Diakses dari marxist.orgpada 30 Januari—03 Februari 2013.
[ii] Ibid.
[iii] Ditulis pada November 1836. Terdapat dalam A Book of Songs, Marx Engels Collected
Works Vol. I, diterj. ke dalam bahasa Inggris oleh Clemens Dutt, 1975, International
Publishers, hlm. 683—685. Diakses dari marxist.orgpada 30 Januari—03 Februari 2013.