penjelasan singkat mengenai pergeseran paradigma perencanaan di indonesia

16
1.2. Penjelasan singkat mengenai pergeseran paradigma perencanaan di Indonesia 1.2.1. Periode 60-an Periode 60-an merupakan awal bagi pembangunan terencana setelah mengalami keterpurukan akibat penjajahan dan perang. Gambarannya adalah sebagai berikut : Kebijakan pembangunan nasional lebih menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Perencanaan diwarnai oleh pendekatan sektoral dan parsial; ada pembedaan kota dan desa (dikotomi desa-kota). Konsentrasi diarahkan ke perkotaan, sementara di perdesaan ditemui stagnasi, kemunduran dan kemiskinan. Dikotomi perencanaan kota dan perencanaan desa memberi dampak yang tidak menguntungkan secara regional, karena interdependency desa-kota tidak terjadi. Cara pandang perencana yang mempertentangkan urban dan rural, yang menimbulkan friksi karena tidak adanya koordinasi lintas sektoral. Muncul disparitas kegiatan ekonomi dan kependudukan antara kota sebagai growth pole dengan desa sebagai hinterland-nya. Mulai terjadi polarisasi kota-kota yang dicirikan oleh tingginya angka indeks primacy (di atas 2,0 untuk kota-kota besar dan di atas 3,0 untuk kota- kota metro). 1.2.2. Periode 70-an Pada era 70-an terdapat enam pendekatan yang digunakan di Indonesia, yaitu : Pendekatan sektoral

Upload: rizki-adriadi-ghiffari

Post on 26-Jul-2015

839 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Penjelasan Singkat Mengenai Pergeseran Paradigma Perencanaan Di Indonesia

1.2. Penjelasan singkat mengenai pergeseran paradigma perencanaan di Indonesia

1.2.1. Periode 60-anPeriode 60-an merupakan awal bagi pembangunan terencana setelah mengalami keterpurukan akibat penjajahan dan perang. Gambarannya adalah sebagai berikut : Kebijakan pembangunan nasional lebih menitikberatkan pada

pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Perencanaan diwarnai oleh pendekatan sektoral dan parsial; ada

pembedaan kota dan desa (dikotomi desa-kota). Konsentrasi diarahkan ke perkotaan, sementara di perdesaan ditemui stagnasi, kemunduran dan kemiskinan.

Dikotomi perencanaan kota dan perencanaan desa memberi dampak yang tidak menguntungkan secara regional, karena interdependency desa-kota tidak terjadi.

Cara pandang perencana yang mempertentangkan urban dan rural, yang menimbulkan friksi karena tidak adanya koordinasi lintas sektoral.

Muncul disparitas kegiatan ekonomi dan kependudukan antara kota sebagai growth pole dengan desa sebagai hinterland-nya.

Mulai terjadi polarisasi kota-kota yang dicirikan oleh tingginya angka indeks primacy (di atas 2,0 untuk kota-kota besar dan di atas 3,0 untuk kota-kota metro).

1.2.2. Periode 70-anPada era 70-an terdapat enam pendekatan yang digunakan di Indonesia, yaitu : Pendekatan sektoral

Pada awal 70-an perencanaan kewilayahan sudah mulai dilakukan, walaupun konsepnya baru sebatas kepentingan sektoral dan masih berjalan sendiri-sendiri. Dalam pengembangan pertanian dianut pembagian unit lahan yang menggambarkan kelas kesesuaian lahan pertanian berdasarkan sifat, kondisi tanah, iklim, morfologi. Di sektor pertanahan dilakukan perencanaan tata guna tanah yang didasarkan pada potensi tanah sehingga diperoleh rencana penggunaan tanah (zoning plan). Di sektor kehutanan diintroduksi cara penetapan status/fungsi hutan berupa pembagian unit hutan yang disebut rencana tata guna hutan. Di dalam Rencana Induk Pariwisata dikenal clustering berdasarkan WTW dan DTW. Departemen Perhubungan menyusun sistem transportasi nasional dengan memanfaatkan hasil OD survei, struktur jaringan jalan dan pola sebaran transportasi. Perencanaan

Page 2: Penjelasan Singkat Mengenai Pergeseran Paradigma Perencanaan Di Indonesia

sektoral bertujuan meningkatkan optimasi penggunaan ruang dan sumberdaya, dengan titik berat kepentingan sektor; sehingga terjadi duplikasi pendanaan, konflik kepentingan, sentralistis, normative dan supply-driven oriented.

Pendekatan pengembangan wilayahPada pertengahan 70-an mulai berkembang penggunaan teori dan model pembangunan yang terkait dengan aspek pembangunan ekonomi, demografi dan geografi; sebagai reaksi atas kelemahan pendekatan sektoral. Pada era ini dikembangkan pendekatan komprehensif dengan tujuan agar pembangunan saling sinergi yang secara totalitas menunjukkan resultante perkembangan optimum (pareto optima). Untuk mendukung pendekatan tersebut banyak dikembangkan model analisis wilayah seperti backward-forward linkage, urban-rural linkage, shift and share, input-output, economic-treeshold dan lainnya. Kompleksitas permasalahan mendorong para pakar untuk mencari pendekatan yang lebih komprehensif, yang akhirnya melahirkan pendekatan pengembangan wilayah yang menekankan pada keterpaduan analisis wilayah (Regional Science). Pendekatan pengembangan wilayah merupakan kajian terhadap hubungan sebab akibat dari faktor-faktor utama pembentuk wilayah yang meliputi aspek fisik, sosial-budaya dan ekonomi.

Pengembangan wilayah melalui pembangunan infrastrukturPendekatan ini didasari oleh kebijakan pembangunan nasional (Pelita I) yang menekankan pertumbuhan ekonomi berbasis pertanian, yang membutuhkan pembangunan sosial ekonomi yang didukung pembangunan fisik infrastruktur sesuai dengan kondisi geografi Indonesia. Soetami (1973) menggagas konsep pengembangan wilayah bersamaan dengan pembangunan infrastruktur. Konsepnya didasarkan pada interaksi antara manusia dengan alam dan lingkungan yang membentuk keserasian, keselarasan dan keseimbangan (Ilmu Wilayah). Kemudian disusun program pembangunan prasarana dan sarana untuk meningkatkan aksesbilitas kegiatan bermukim dan berproduksi tanpa merusak lingkungan. Dalam implementasinya lebih bersifat mendukung pengembangan sentra-sentra produksi. Sebagai contoh; pada sub sektor pertanian tanaman pangan, pembangunan prasarana dilaksanakan untuk mendukung program intensifikasi dan ekstensifikasi, antara lain pembangunan waduk, jaringan irigasi, pengembangan rawa, lahan pasang surut, pencetakan sawah, dan sebagainya.

Pengembangan wilayah berbasis sistem kegiatan ekonomiKonsep ini dikembangkan oleh Poernomosidi Hadjisarosa melalui pendekatan satuan-satuan wilayah ekonomi yang bertumpu pada teori Losch.

Page 3: Penjelasan Singkat Mengenai Pergeseran Paradigma Perencanaan Di Indonesia

Pendekatan ini juga mengadopsi teori interdependency yang menyatakan bahwa antara wilayah satu dengan lainnya akan terjadi saling ketergantungan melalui mekanisme pasar (hubungan supply-demand). Konsep ini diarahkan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan struktur ekonomi bertumpu pada sektor pertanian secara luas (kebijakan Pelita II). Pembangunan yang menonjol pada saat itu adalah kegiatan produksi, koleksi, distribusi dan transmigrasi. Setiap wilayah yang mempunyai pengaruh ekonomi yang berbeda; masing-masing berbentuk Satuan Wilayah Ekonomi (SWE) dimana luas dan batasnya sangat bergantung pada kemampuan jangkauan pelayanan kotanya (pusat pengembangan) sebagai simpul jasa koleksi dan distribusi barang; sehingga kota-kota mempunyai hirarki dan fungsi dalam sistem perkotaan (system of cities) yang diidentifikasikan sebagai kota ordo kesatu, kedua, ketiga dan seterusnya. Jaringan transportasi untuk mendukung sistem tersebut mempunyai fungsi dan hirarki yang diidentifikasi sebagai jalan arteri primer/sekunder, kolektor primer/ sekunder dan lokal primer/sekunder. Pendekatan Poernomosidi ini sangat mewarnai hirarki jalan (Undang-undang tentang Jalan) dan hirarki permukiman dalam perencaaan lokasi transmigrasi.

Pengembangan wilayah melalui koordinasi antar daerah administrasiPertengahan tujuh puluhan, Hariri Hady (Beppenas) mengintroduksikan sistem perwilayahan nasional, yakni pengelompokan beberapa daerah administrasi menjadi suatu wilayah/sub wilayah Pembangunan berdasarkan kekuatan perdagangan, keuangan, jasa, kegiatan produksi, sistem prasarana wilayah, dan lainnya. Sistem perwilayahan ini merupakan pendekatan untuk menjamin tercapainya pembangunan yang serasi, selaras dan seimbang, baik antar sektor maupun antar wilayah pembangunan. Walaupun secara konseptual dilaksanakan secara regional, tetapi dalam pelaksanaannya tetap dilakukan menurut prosedur administrasi pembangunan yang ada. Karena itu perlu kerjasama antar Pemerintah Daerah, antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, dan antar sektor. Pendekatan ini dilakukan melalui forum konsultasi regional dan nasional, dimana perencanaan dan program dirumuskan bersama, dan mencari pemecahan bersama.

Pengembangan wilayah melalui sinkronisasi program pembangunanPendekatan ini merupakan penyempurnaan pendekatan sebelumnya dengan memperjelas mekanisme penyusunan program pembangunan. Muncul pendekatan perencanaan yang disebut top-down approach, dan bottom-up approach. Pendekatan dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas, harus dilihat sebagai satu kesatuan sesuai dengan proses alamiah perkembangan di suatu wilayah. Muncul mekanisme perumusan

Page 4: Penjelasan Singkat Mengenai Pergeseran Paradigma Perencanaan Di Indonesia

program pembangunan dengan melibatkan seluruh perangkat pemerintah melalui mekanisme rembug desa – temu karya – rakorbang II – rakorbang I – konreg – konnas. Sebagai perwujudannya muncul pembangunan yang memusatkan perhatiannya pada persoalan urgen; seperti basic needs, teknologi tepat guna, land consolidation, kampoong improvement, posyandu, puskesmas, SD Inpres, dan lainnya.

1.2.3. Periode 80-anPada era 80-an ada empat pendekatan perencanaan, yaitu : Pendekatan pembangunan perkotaan

Pada awal delapan puluhan dirumuskan pengembangan kota berdasarkan fungsi dan hirarkinya melalui strategi nasional pembangunan perkotaan (NUDS). Klasifikasi kota menurut pendekatan pembangunan perkotaan yaitu:a. Berdasarkan besaran penduduk, kota diklasifikasikan menjadi kota

metropolitan, kota besar, kota sedang dan kota kecil.b. Berdasarkan fungsi pelayanan, kota diklasifikasikan ke dalam

National Development Centre (NDC), Interregional Development Centre (IRDC), Regional Development Centre (RDC) dan Local Service Centre (LSC).

c. Berdasarkan RTRWN (PP. No. 47/1997 dikembangkan menjadi Pusat Kegiatan Nasional (PKN), Pusat Kegiatan Wilayah (PKW), dan Pusat Kegiatan Lokal (PKL).

Untuk mengimplementasikan strategi tersebut disusunlah rencana-rencana tata ruang kota dan program-program P3KT dengan mengembangkan sistem jaringan transportasi melalui pendekatan keterpaduan.

Pengembangan melalui pendekatan lingkunganKebijakan pembangunan pada awal 80-an (Pelita III) adalah pemerataan pembangunan ekonomi dengan dominasi sektor industri yang saling menguatkan dengan pertanian. Setelah diterimanya konsep sustainable development dan Ramsar Convention tentang pengelolaan lahan basah, pemerintah mempertajam kebijakannya melalui keterpaduan pembangunan yang berwawasan lingkungan dan manusia. Pada era ini berbagai kegiatan sektor ekonomi digalakkan; seperti kehutanan, perkebunan, pertambangan, industri, pariwisata, transportasi; yang menuai kecaman para ecologist dan environmentalist tentang permasalahan lingkungan (global issue). Sebagai implikasinya muncul pendekatan yang mengarah pada upaya pemanfaatan sumberdaya alam sehemat mungkin tanpa merusak lingkungan, dan upaya untuk mempertahankan keseimbangan lingkungan. Model pengembangan

Page 5: Penjelasan Singkat Mengenai Pergeseran Paradigma Perencanaan Di Indonesia

tersebut antara lain adalah : economic treeshold, ecodevelopment, carriryng capacity, analisis dampak lingkungan, analisis sumber daya, dan sebagainya. Untuk mengoperasionalkan kebijakan tersebut maka dikeluarkanlah UU No. 4/1982 tentang Ketentuan Pokok Lingkungan Hidup, Keppres 32/1990 tentang Kawasan Lindung. Suyono Sosrodarsono kemudian mengembangkan :a. Pendekatan wilayah fungsional yang merupakan satu ekosistem,

yaitu Satuan Wilayah Sungai (SWS dan Daerah Pengaliran Sungai (DPS).

b. Keterpaduan antara pengembangan prasarana (pengairan, transportasi, pengelolaan lingkungan) dengan kesatuan wilayah fungsional.

Desentralisasi perencanaanMenjelang akhir 80-an (akhir Pelita IV) disadari bahwa mekanisme yang terlalu sentralistis telah menimbulkan banyak permasalahan, antara lain :a. Terjadinya kebocoran dan duplikasi pendanaan pembangunan

karena penyusunan program sektoral yang tumpang tindih.b. Dalam pelaksanaan kebijakan pembangunan seringkali tidak tepat

sasaran (lokasi, waktu, target group, kualitas dan kuantitas) karena rendahnya akuntabilitas.

c. Kurangnya keterlibatan peranserta daerah, masyarakat dan swasta/dunia usaha, yang sebenarnya dapat membantu pemerintah dalam pendanaan.

d. Keterlambatan dalam mewujudkan hasil pembangunan karena terlalu birokratif.

e. Banyak peraturan yang dibuat masing-masing sektor lebih mengutamakan kepentingan sektor.

Dalam rangka memperbaiki mekanisme pembangunan dari sentralistis ke desentralistis, maka dirumuskan kebijakan desentralisasi, antara lain dengan diterbitkannya PP. No. 14/1987 tentang penyerahan sebagian urusan pemerintah di bidang ke-PU-an kepada daerah, termasuk penyerahan urusan rencana tata ruang ke urusan di bidang Cipta Karya. Desentralisasi perencanaan berimplikasi pada pemberdayaan daerah di bidang perencanaan, melalui beberapa kegiatan :a. Pembentukan unit perencanaan di daerah, dan dikembangkannya

pusat informasi dan dokumentasi penataan ruang daerah.b. Penyusunan pedoman dan petunjuk teknis penataan ruang.c. Pembinaan teknis penataan ruang melalui kegiatan desiminasi dan

sosialisasi produk hukum yang terkait penataan ruang; pelatihan perencanaan tata ruang di daerah; sosialisasi pedoman/petunjuk teknis penataan ruang.

Page 6: Penjelasan Singkat Mengenai Pergeseran Paradigma Perencanaan Di Indonesia

Pendekatan penataan ruang dinamisDi akhir 80-an pendekatan pengembangan wilayah semakin diperjelas, dengan memasukan rencana tata ruang dalam dokumen resmi perencanaan pembangunan (Buku Repelita IV dan Repelita V). Untuk mengantisipasi adanya pengaruh globalisasi ekonomi, dikembangkan pendekatan penataan ruang yang tanggap terhadap dinamika pembangunan melalui pendekatan penataan ruang dinamis (Tarudin). Berawal dari pendekatan yang terlalu normatif, legalistik, tertutup, supply oriented, atau hanya menampung visi perencanaan saja, sudah waktunya dirubah. Aternatifnya adalah pendekatan perencanaan yang lebih partisipatif, tanggap terhadap dinamika pembangunan yang berubah cepat, serta mempertimbangkan kepentingan semua pihak (stakeholders). Dalam upaya menarik investasi, penataan ruang dinamis dikembangkan sebagai instrumen dalam :a. Keterpaduan pelaksanaan pembangunan dan sinkronisasi program

pebangunan sektoral dan daerah.b. Acuan dalam alokasi investasi.c. Mendorong dan membuka peluang serta memberi kemudahan

dalam kegiatan investasi.d. Kerjasama atau peran serta masyarakat dan swasta dengan

pemerintah.Pada era ini juga sudah mulai dirintis pengembangan sistem informasi penataan ruang dan sistem informasi geografis.

1.2.4. Periode 90-anSelama periode 90-an ada dua pendekatan pengembangan wilayah yang diintroduksi di Indonesia, yaitu : Penataan ruang berdasarkan pendekatan wilayah

Pendekatan ini diwarnai oleh penataan wilayah berdasarkan UU No. 24/1992 tentang Penataan Ruang, dan termuatnya rencana tata ruang sebagai dasar perencanaan pembangunan dalam GBHN 1993 yang diikuti dengan TAP MPR No. IV/MPR/199 tentang GBHN 1999 dan UU Propenas (2000-2004). Prinsip-prinsipnya adalah :a. Pendekatan wilayah adalah cara pandang untuk memahami kondisi,

ciri, fenomena, dan hubungan sebab akibat dari unsur-unsur pembentuk wilayah; seperti penduduk, sumberdaya alam, sumberdaya buatan, sosial, ekonomi, budaya, fisik lingkungan.

b. Rencana tata ruang dikembangkan ke arah wawasan lingkungan dan manusia, yang menserasikan tata guna tanah, tata guna hutan dan

Page 7: Penjelasan Singkat Mengenai Pergeseran Paradigma Perencanaan Di Indonesia

tata guna sumberdaya lainnya dalam satu kesatuan tata lingkungan yang harmonis.

c. Tata ruang disusun berdasarkan pola terpadu melalui pendekatan wilayah dengan memperhatikan sifat alam dan lingkungan sosial.

d. Bersifat futuristik melalui langkah-langkah menentukan arah pengembangan; bersifat preskriptif menuju kondisi masa depan yang diharapkan bertitik tolak dari data, informasi, iptek.

Hasilnya bukan hanya berupa identifikasi fenomena atau hubungan sebab akibat, tetapi juga pemahaman bagaimana mengembangkan kegiatan sektor ekonomi, sumberdaya alam, perlindungan lingkungan, pengembangan infrastruktur, yang dituangkan dalam “spatial planning”.

Pendekatan strategic management untuk perencanaan yang berwawasan implementasia. Pertama

Globalisasi mempercepat “gelombang ketiga” yakni peralihan dari ekonomi dunia yang bertumpu pada industrialisasi kepada ekonomi informasi (Alvin Tofler. “The Third Wave”. 1997). Dampak globalisasi yang paling terasa menjelang akhir 90-an adalah munculnya blok ekonomi. Saat itu Asia dalam proses memegang peranan ekonomi dunia (John Naisbitt. “Megatrend Asia”. 1996) karena revolusi 3 T lebih terkonsentrasi di sini. Di Indonesia, dengan keikutsertaannya dalam revolusi 3 T, berkembanglah tuntutan masyarakat akan transparansi, peranserta masyarakat, desentralisasi, HAM. Menghadapi situasi ini para ahli menyarankan re-orientasi arah pembangunan terutama pemanfaatan ruang perlu diperkaya dengan rencana tindak (action plan). Dalam perkembangannya action plan banyak mengadopsi model manajemen yang disebut strategic plan, dan implementasinya disebut manajemen strategis. Dalam kaitannya dengan perbaikan struktur ekonomi nasional, beberapa pendekatan yang disarankan Toeffler banyak diterapkan. Dalam rangka peningkatan kinerja birokrasi, pemerintah menerima pendekatan dari Osborne, yang menawarkan perubahan paradigma cara kerja birokrat :1. Lebih bersifat menyetir dari pada mendayung.2. Lebih bersifat pemberdaya (enabler) dari pada penyedia

(provider).3. Lebih merupakan organisasi yang berperan sebagai penggerak

perubahan.4. Penggunaan dana untuk memperoleh hasil, bukan untuk input.5. Mempertemukan kebutuhan costumer, bukan birokrasi.

Page 8: Penjelasan Singkat Mengenai Pergeseran Paradigma Perencanaan Di Indonesia

6. Lebih banyak pendapatan dari pada pebelanjaan.7. Lebih baik mencegah dari pada mengobati.8. Mengubah pendekatan dari hirarki menuju partisipatori.9. Lebih baik mendelegasikan (desentralisasi) dari pada dipusatkan.10. Lebih berorientasi pada pasar.

Dengan kesadaran perlunya melakukan reorientasi arah pembangunan, maka dilakukan upaya :

1. Pergeseran tupoksi pemerintah dari provider menjadi enabler.2. Restrukturisasi organisasi pemerintah.3. Mempromosikan kawasan-kawasan bernilai strategis.4. Pengembangan model pembangunan dalam engembangkan

kawasan strategis dan sektor unggulan.5. Penyederhanaan mekanisme pembangunan melalui deregulasi,

debirokratisasi, pemberian insentif/disinsentif, reward dan punishment kepada pelaku pembangunan.

6. Pengembangan model-model kerjasama dalam proses pebangunan.

7. Kebijakan fiskal dan moneter.

Dalam tata ruang wilayah mulai diprakarsai pengembangan “kawasan andalan” sebagai sektor unggulan. Model yang pertama kali dikembangkan adalah KAPET (Kawasan Pertumbuhan Ekonomi Terpadu) yang merupakan gabungan strategic planning dan strategic management yang dinamakan IDEP (Integrated Area Developent Plan).

b. KeduaDesakan untuk menerapkan peranserta masyarakat, mendorong dikembangkannya pendekatan penataan ruang yang lebih memperhatikan hak masyarakat yang dituangkan dalam PP. No. 69/1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Serta Bentuk dan Tata Cara Peranserta Masyarakat dalam Penataan Ruang. Hal ini mendorong keterlibatan penyediaan dana pembangunan, menciptakan keragaman alternatif, dalam penyusunan rencana pembangunan yang melibatkan pihak swasta.

a. KetigaBerkaitan dengan revolusi 3 T, diperlukan dukungan informasi yang handal. Pada akhir 90-an telah dilakukan :1. Pengembangan SIGNAS (Sistem Infromasi Geografi Nasional)2. Pengembangan Sistem Informasi Penataan Ruang Wilayah

Propinsi dan Kabupaten.

Page 9: Penjelasan Singkat Mengenai Pergeseran Paradigma Perencanaan Di Indonesia

3. Pengembangan Sistem Informasi Manajemen Pembangunan Perkotaan.

4. Pengembangan pola-pola kerjasama masyarakat dan dunia usaha dengan pemerintah.

5. Pengembangan pendekatan action plan.

Selain itu mulai muncul Revolusi 3 T (telekomunikasi, transportasi dan tourism) mempercepat arus globalisasi yang menciptakan kebutuhan transformasi di segala aspek kehidupan.

Hal ini mewarnai kebijakan pebangunan era 90-an, yakni :

Pertumbuhan sekaligus pemerataan pembangunan ekonomi dengan dominasi sektor industri dan pemasaran yang saling menguatkan dengan sektor pertanian, pertambangan, pariwisata, transportasi dan telekomunikasi.

Peningkatan penanaman modal asing dan domestik. Peningkatan desentralisasi dan peranserta masyarakat. Pengembangan kawasan strategis. Pelaksanaan Agenda 21 Rio de Janeiro.

Operasionalisasi kebijakan tersebut antara lain dikeluarkannya PP. No. 45/1992 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah yang kemudian disempurnakan dalam UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah.

1.2.5. Periode 2000-anPada era 2000-an muncul paradigma baru dalam pengembangan wilayah/kawasan, yaitu memasuki era otonomi daerah, melalui pergeseran paradigma sebagai berikut : Dari sasaran yang terfokus pada pertumbuhan, sektoral, parsial, makro

dan nasional; ke sasaran yang menitikberatkan pada kesejahteraan, keterpaduan, mikro, dan local based.

Dari pendekatan perencanaan yang terlalu general, model abstrak ideal, sentralistik dan model ekonomi kuantitatif; menuju ke pendekatan perencanaan yang lebih lokal spesifik dengan pandangan holistik, berfikir ke depan secara global, kontemporer, lokal dan sosio kualitatif.

Dari implementasi berdasarkan pembangunan terencana, top-down approach, dan arahan pemerintah yang dominan; menuju ke pembangunan yang interaktif, bottom up approach, dan partisipatory.

Dari kontrol yang menekankan pada auditing pencapaian goal, ke kontrol yang yang menekankan kepada umpan balik dan penyempurnaan proses.

Sejalan dengan itu maka paradigma baru dalam penataan ruang wilayah adalah sebagai berikut :

Page 10: Penjelasan Singkat Mengenai Pergeseran Paradigma Perencanaan Di Indonesia

Penataan ruang desentralistik (lebih bottom up approach). Pemerintah tidak lagi sendiri tetapi bersama masyarakat menciptakan

rencana, melaksanakan dan melakukan pengendalian. Pemerintah daerah proaktif dan kebijakan tata ruang diketahui semua

pihak. Penyusunan rencana tata ruang dilakukan dengan mengikut sertakan

masyarakat (public participation). Pemerintah daerah aktif memberikan sosialisasi dan pemberdayaan

masyarakat.

Agar pendekatan wilayah lebih realistis, acceptable dan mudah diterapkan, maka pada awal 2000-an lebih disempurnakan lagi dengan mengakomodasi jiwa otonomi :

Lebih menitikberatkan pada pendekatan bottom up. Melibatkan semua pelaku pembangunan (stakeholders). Transparan dalam perencanaan, implementasi dan pengendalian. Memberi perhatian besar pada tuntutan jangka pendek. Realistis terhadap tuntutan dunia usaha dan masyarakat. Berwawasan luas, dengan perhatian pada kawasan yang lebih detail. Rencana dapat dijadikan pedoman investasi. Menjaga dan meningkatkan mutu lingkungan sambil mendorong dan

memfasilitasi pembangunan. Mempunyai visi pembangunan dan manajemen pembangunan.

Sebagai respons terhadap berbagai pendekatan yang pernah diterapkan sebelumnya, maka pendekatan pada periode 2000-an adalah pendekatan tata ruang wilayah melalui proses perencanaan berwawasan otonomi daerah, yang sudah mempertimbangkan aspek pemanfaatan ruang dan aspek pengendaliannya.

1.2.6. Wawasan masa depanDengan mengadopsi nilai-nilai yang berkembang, idealnya pendekatan pengembangan wilayah memiliki wawasan (Deni dan Jumantri, 2002) : Local based flexible (conditional)

Dapat dimodifikasi, dapat di”adjust” sesuai kesepakatan berdasarkan kebutuhan masyarakat yang selalu berkembang.

Tranparency (politically accepted)Terbuka, melibatkan masyarakat dan pelaku pembangunan lainnya sejak awal. Semua pihak mentaati norma, kriteria, prosedur yang telah disepakati bersama.

Probisnis (layak ekonomi)

Page 11: Penjelasan Singkat Mengenai Pergeseran Paradigma Perencanaan Di Indonesia

Memperhitungkan seluruh korban termasuk lingkungan dan sumberdaya lainnya.

Pemanfaatan ruang yang menimbulkan kerugian bagi yang lain, wajib membayar atas kerugian yang ditimbulkannya.

Pemanfaatan ruang yang menciptakan keuntungan bagi yang lain, layak mengenakan biaya kepada pemanfaat yang mendapat keuntungan.

Long term (berkesinambungan)Pembangunan diperhitungkan manfaatnya untuk jangka panjang dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan.

Integrated (holistik)Program dan kegiatan diselenggarakan oleh pelaku pembangunan dengan mengacu pada kesepakatan yang telah dipahami bersama.

Selain itu dalam konteks pembangunan dewasa ini perlu dikembangkan pendekatan holistik; yaitu cara pandang yang menyatakan bahwa pembangunan fisik bukanlah tujuan tetapi lebih merupakan alat untuk mewujudkan tujuan akhir yang telah disepakati bersama. Untuk mewujudkan tujuan akhir ini tidak dapat dilakukan sendiri, tetapi harus bekerjasama dengan pihak lain sejak awal sampai akhir.