penyair dalam pandangan islam
DESCRIPTION
Pandangan Islam mengenai profesi PenyairTRANSCRIPT
PROFESI PENYAIR DALAM PANDANGAN ISLAM
OLEH
LUSIANA ULFA H.
041014121
PROGRAM STUDI S1 EKONOMI ISLAM
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2013
LATAR BELAKANG
Penyair merupakan profesi yang sarat kemampuan berfikir, karena isi dari syair itu
kebanyakan menggunakan ragam bahasa yang berbeda dengan bahasa pada umumnya. Tidak
semua orang mampu menjadi penyair, dan tidak semua penyair diperbolehkan dalam Islam.
Seperti disebutkan dalam Surat Asy-Syu’araa ayat 224 dan 227 sebagai berikut:
Artinya: dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. (Asy-Syu’araa ayat
224)
Artinya: kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal saleh dan banyak
menyebut Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezaliman. dan orang-orang
yang zalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali. (Asy-Syu’araa
ayat 227)
Ayat 224 melarang betul segala bentuk syair karena dianggap syair itu dapat
mempengaruhi manusia untuk berbuat sesat, namun kemudian dijelaskan dalam ayat
berikutnya yaitu ayat 227, penyair itu diperbolehkan asalkan mereka (penyair-penyair) itu
adalah orang yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut Allah.
Penyair muslim pada zaman dulu sering menggunakan istilah Islam dalam syairnya,
sehingga membuat kalimatnya terasa begitu indah dan islami. Nabi Muhammad sendiri yang
pada awalnya sangat tidak menyukai profesi penyair (bahkan sampai mengatakan lambung
yang berisi nanah lebih baik daripada lambung yang dipenuhi kalimat syair), namun lambat
laun, setelah menemui penyair bernama Ibnu Rawahah, dan bertanya bagaimana ia membuat
syair, Nabi menyukainya, dan tidak jarang mengutip kalimat syair Ibnu Rawahah saat
berbicara dengan orang.
Namun, bagaimanakah eksistensi dan sepak terjang penyair pada masa sekarang?
Masihkah mereka menyebut nama Allah dalam syairnya? Dengan melihat fakta mengenai
penyair-penyair pada masa lampau, penulis tertarik mengambil tema mengenai “Profesi
Penyair dalam Pandangan Islam” agar dapat mengetahui bagaimanakah kehidupan penyair-
penyair dan hubungan profesi penyair dengan Islam.
A. Pengertian Penyair
Penyair merupakan sebutan bagi pembuat syair dan puisi, disebut juga sebagai
pujangga. Penyair Prancis, Arthur Rimbaud menyimpulkan pengertian penyair dalam
tulisannya:
"A poet makes himself a visionary through a long, boundless, and systematized
disorganization of all the senses. All forms of love, of suffering, of madness; he searches
himself, he exhausts within himself all poisons, and preserves their quintessences.
Unspeakable torment, where he will need the greatest faith, a superhuman strength, where he
becomes all men: the great invalid, the great criminal, the great accursed—and the Supreme
Scientist! For he attains the unknown! Because he has cultivated his soul, already rich, more
than anyone! He attains the unknown, and, if demented, he finally loses the understanding of
his visions, he will at least have seen them! So what if he is destroyed in his ecstatic flight
through things unheard of, unnameable: other horrible workers will come; they will begin at
the horizons where the first one has fallen!"
Dalam tulisan ini, intinya, Arthur Rimbaud mengatakan bahwa seorang penyair
adalah orang yang mencari jati dirinya sendiri, dengan mengorbankan apapun, tidak peduli
dengan apapun. Penyair memang banyak diketahui sebagai seniman yang sangat ‘dirinya
sendiri’, tidak peduli dengan situasi, meskipun dicap gila, aneh, atau apapun. Penyair suka
mengungkapkan pernyataan pikirannya yang nyleneh ke dalam syair atau puisinya. Sikap
penyair yang bisa dikatakan sangat original inilah yang membuat antara penyair satu dengan
penyair lainnya banyak yang tidak sama, dan memiliki keunikan sendiri.
B. Pengertian Puisi/ Syair
Syair adalah salah satu jenis puisi lama. Syair berasal dari Persia (sekarang Iran) dan
dibawa masuk ke Nusantara bersama-sama dengan kedatangan Islam. Kata syair berasal dari
bahasa Arab syu’ur yang berarti perasaan. Kata syu’ur berkembang menjadi kata syi’ru yang
berarti puisi dalam pengertian umum. Syair dalam kesusastraan Melayu merujuk pada
pengertian puisi secara umum. Akan tetapi, dalam perkembangannya syair tersebut
mengalami perubahan dan modifikasi sehingga syair di desain sesuai dengan keadaan dan
situasi yang terjadi.
Shahnon Ahmad (dalam Pradopo, 1993:6), penulis serta sastrawan terkenal Malaysia,
mengumpulkan definisi puisi/ syair yang dikemukakan oleh para penyair romantik Inggris,
sebagai berikut:
1. Samuel Taylor Coleridge mengemukakan puisi itu adalah kata-kata yang terindah
dalam susunan terindah. Penyair memilih kata-kata yang setepatnya dan disusun
secara sebaik-baiknya, misalnya seimbang, simetris, antara satu unsur dengan unsur
lain sangat erat berhubungannya, dan sebagainya.
2. Carlyle mengatakan bahwa puisi merupakan pemikiran yang bersifat musikal. Penyair
menciptakan puisi itu memikirkan bunyi-bunyi yang merdu seperti musik dalam
puisinya, kata-kata disusun begitu rupa hingga yang menonjol adalah rangkaian
bunyinya yang merdu seperti musik, yaitu dengan mempergunakan orkestra bunyi.
3. Wordsworth mempunyai gagasan bahwa puisi adalah pernyataan perasaan yang
imajinatif, yaitu perasaan yang direkakan atau diangankan. Adapun Auden
mengemukakan bahwa puisi itu lebih merupakan pernyataan perasaan yang
bercampur-baur.
4. Dunton berpendapat bahwa sebenarnya puisi itu merupakan pemikiran manusia secara
konkret dan artistik dalam bahasa emosional serta berirama. Misalnya, dengan kiasan,
dengan citra-citra, dan disusun secara artistik (misalnya selaras, simetris, pemilihan
kata-katanya tepat, dan sebagainya), dan bahasanya penuh perasaan, serta berirama
seperti musik (pergantian bunyi kata-katanya berturu-turut secara teratur).
5. Shelley mengemukakan bahwa puisi adalah rekaman detik-detik yang paling indah
dalam hidup. Misalnya saja peristiwa-peristiwa yang sangat mengesankan dan
menimbulkan keharuan yang kuat seperti kebahagiaan, kegembiraan yang memuncak,
percintaan, bahkan kesedihan karena kematian orang yang sangat dicintai. Semuanya
merupakan detik-detik yang paling indah untuk direkam.
Dari definisi-definisi di atas memang seolah terdapat perbedaan pemikiran, namun
tetap terdapat benang merah. Shahnon Ahmad menyimpulkan bahwa pengertian puisi di atas
terdapat garis-garis besar tentang puisi itu sebenarnya. Unsur-unsur itu berupa emosi,
imajinas, pemikiran, ide, nada, irama, kesan pancaindera, susunan kata, kata kiasan,
kepadatan, dan perasaan yang bercampur-baur.
C. Penyair dalam Islam
Imam An-Nawawi menjelaskan, syair itu hukumnya boleh selama tidak terdapat
didalamnya hal-hal yang keji dan sejenisnya. Al-Mubarak fury berkata: yang dimaksud
dengan memenuhi (perutnya dengan syair) adalah ketika syair telah menguasainya dimana
dia lebih disibukkan dengannya dari al-Qur'an dan ilmu-ilmu Islam lainnya, maka hal
tersebut menjadi syair yang tercela apapun bentuknya. Maka dari itu Imam al-Bukhary
dalam shahihnya memberikan bab khusus tentang syair dengan nama bab dibencinya syair
ketika lebih mendominasi manusia dari al-Qur'an dan dzikir kepada Allah. Jadi apabila
seseorang menjadikan al-Qur'an dan Ibadah kepada Allah sebagai kesibukan utama, maka
baginya boleh untuk membuat syair dan melantunkankannya selama syair tersebut, tidak
bertentangan dengan aturan-aturan syari'at.
Penyair dalam pandangan Islam dijelaskan dalam Al-Qur’an Surat Asy-Syu’araa ayat
224 dan 227, serta Surat Yaasiin ayat 69 yang berbunyi:
Artinya: dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat.
Artinya: kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal saleh dan
banyak menyebut Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezaliman. dan
orang-orang yang zalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan
kembali.
Juga dijelaskan dalam Surat Yaasiin ayat 69:
Artinya: dan Kami tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad) dan bersyair itu
tidaklah layak baginya. Al Quran itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang
memberi penerangan.
Dalam surat Asy-Syu’araa ayat 224 dijelaskan pertama-tama Allah mengutuk seorang
penyair karena penyair pada masa itu adalah orang-orang yang terkesan membual dan
berbicara yang tidak sebenarnya. Syair-syair yang mereka buat tidak sesuai dengan apa yang
mereka kerjakan. Maka dari itu Allah sangat tidak menyukainya. Namun kemudian
dijelaskan pada ayat selanjutnya yaitu ayat 227 bahwa penyair dapat masuk surga, namun
hanya penyair-penyair golongan tertentu yang bersyair jujur dan syair yang ia buat sesuai
dengan apa yang ia lakukan. Syair sangatlah indah, manusia terkadang perlu mendengarkan
syair sebagai renungan atau penghibur diri, namun dewasa ini, apa yang dilakukan penyair
banyak yang melenceng isi syair yang ia buat, dan dengan apa yang ia lakukan, maka dari itu,
pada saat sekarang, ketika mendengarkan syair, seyogyanya kita memilah dan memilih, syair
manakah yang boleh di dengar atau yang tidak boleh di dengar.
Dalam hadits, pertama-tama Rasulullah sangat tidak menyukai penyair, namun
lambat-laun, beliau bisa menerima kehadiran penyair yang selain mengucapkan kata-kata
indah, syair-syair mereka juga merupakan syair yang dapat diterima semua orang karena
sangat sesuai dengan realitas yang ada, tidak mengada-ada, serta dengan isi kalimat-kalimat
Islami.
Lambung seseorang penuh dengan nanah lebih baik daripada penuh dengan syair.
(HR. Al-Tirmidzi)
Dari Aisyah beliau berkata: seseorang bertanya kepadanya: 'Apakah Rasulullah Pernah
melantunkan syair, Aisyah menjawab: "Beliau pernah melantunkan Syair Ibnu Rawahah
dan beliau melantunkan 'Dan telah datang kepadamu berita tanpa tambahan'.
(HR. al-Tirmidzi)
D. Implementasi Penyair dalam Kehidupan
Sebelum membahas mengenai penyair-penyair Islam pada masa modern, akan
dijelaskan mengenai penyair Islam di zaman Rasulullah yang telah hidup sebelum turunnya
Surat Asy-Syu’araa ayat 224, yaitu Ibnu Rawahah. Berikut kisahnya:
Ibnu Rawahah adalah seorang penulis yang tinggal di suatu lingkungan yang langka
dengan kepandaian tulisannya. Dia juga seorang penyair yang handal, apabila bait-
bait syair meluncur dari lidahnya, terlihat akan kelancaran yang jitu dan indah
didengari.
Semenjak dia memeluk Islam, dibaktikan kemampuan bersyairnya itu untuk mengabdi
diri bagi kejayaan Islam. Rasullullah saw sangat menyukai syairnya dan sering
meminta beliau untuk lebih tekun lagi membuat syair.
Pada suatu hari, beliau duduk bersama para sahabatnya, tiba-tiba datanglah
Abdullah bin Rawahah, lalu Nabi bertanya kepadanya, “Apa yang anda lakukan jika
anda hendak mengucapkan syair?”
Jawab Abdullah, “Kurenungkan dulu, kemudian baru kuucapkan.” Lalu teruslah ia
mengucapkan syairnya tanpa bertangguh, demikian kira-kira artinya secara bebas:
“Wahai putera Hasyim yang baik, Sungguh Allah telah melebihkanmu dari seluruh
manusia,Dan memberimu keutamaan, Di mana orang tak usah iri.”
Dan sungguh aku menaruh firasat baik yang kuyakini terhadap dirimu, Suatu firasat
yang berbeda dengan pandangan hidup mereka.
Seandainya anda bertanya dan meminta pertolongan mereka, Dan memecahkan
persoalan , Tiadalah mereka hendak menjawab atau membela.
Karana itu Allah mengukuhkan kebaikan dan ajaran yang anda bawa, Sebagaimana
Ia telah mengukuhkan dan memberi pertolongan kepada Musa.”
Apabila mendengar demikian Rasulullah menjadi gembira dan redha kepadanya, lalu
bersabda, “Dan engkau pun akan diteguhkan oleh Allah.”
Dan sewaktu Rasulullah sedang thawaf di Baitullah pada ‘umrah qadla, Ibnu
Rawahah berada di muka beliau sambil membaca syair dari rajaznya:
“Oh Tuhan, Kalaulah tidak karana Engkau, Nescaya tidaklah kami akan mendapat
petunjuk, Tidak akan bersedeqah dan Solat!
Maka mohon diturunkan sakinah keatas kami, Dan diteguhkan pendirian kami jika
musuh datang menghadang.
Sesungguhnya orang-orang yang telah menganaya terhadap kami, Bila mereka
membuat fitnah akan kami tolak dan kami tentang.”
Maka orang-orang Islampun sering mengulangi syairnya yang indah itu.
Penyair Rawahah yang produktif ini amat berduka sewaktu turunnya ayat al-Quranul
Karim yang artinya, “Dan para penyair, banyak pengikut mereka orang-orang
sesat.” (QS Asy-Syu’ara: 224). Tetapi kedukaan hatinya menjadi terlipur sewaktu
turun ayat yang berikut, “Kecuali orang-orang(penyair) yang beriman, beramal
soleh, dan banyak mengingati Allah serta menuntut bela sesudah mereka dianiaya.”
(QS Asy-Syu’ara: 227)
Dan sewaktu Islam terpaksa terjun ke medan perang karana membela diri, tampillah
Abdullah ibnu Rawahah membawa pedangnya ke medan tempur Badar, Uhud,
Khandak, Hudaibiah dan Khaibar, seraya menjadikan kalimat-kalimat syairnya dan
qashidahnya menjadi slogan perjuangan, “Wahai diri! Seandainya engkau tidak
tewas terbunuh, tetapi engkau pasti akan mati juga!”
Dia juga menyorakkan teriakan perang, “Singkirlah kamu, hai anak-anak kafir dari
jalannya. Menyingkir kamu setiap kebaikan akan ditemui pada Rasulnya.”
Dan pabila datang waktu perang Muktah. Abdullah bin Rawahah adalah panglima
yang ketiga dalam pasukan Islam. Ibnu Rawahah berdiri dalam keadaan bersedia
bersama pasukkan Islam yang berangkat meninggalkan kota Madinah. Dia berdiri
tegak sejenak lalu mengucapkan syairnya:
“Yang kupinta kepada Allah Yang Maha Rahman, Keampunan dan kemenangan di
medan perang, Dan setiap ayunan pedangku memberi ketentuan, Bertekuk lututku
pada angkatan perang syaitan, Akhirnya aku tersungkur memenuhi harapan,
Mati syahid di medan perang!”
Benar, itulah cita-cita kemenangan yang gilang terbilang, pukulan pedang atau
tusukan tombak, yang akan membawaku ke alam syuhada yang berbahagia!
Balatentara Islam maju bergerak kemedan perang Muktah. Sewaktu orang-orang
Islam dari kejauhan telah dapat melihat musuh-musuh mereka, mereka
memperkirakan besarnya balatentara Romawi sekitar dua ratus ribu orang! Karana
menurut kenyataan barisan tentara mereka seakan tak ada ujung akhir dan seolah-
olah tidak terbilang banyaknya!
Orang-orang Islam yang melihat jumlah mereka yang sedikit, lalu terdiam dan
sebagian yang ada menyeletuk berkata, “Baiknya kita kirim utusan kepada
Rasulullah, memberitakan jumlah musuh yang besar. Mungkin kita dapat bantuan
tambahan pasukan, atau jika kita diperintahkan tetap maju maka kita patuhi.”
Tetapi Ibnu Rawahah, bagaikan datangnya siang bangun berdiri di antara barisan
pasukan-pasukannya lalu berucap, “Kawan-kawan sekalian! Demi Allah,
sesungguhnya kita berperang melawan musuh-musuh kita bukan berdasar bilangan,
kekuatan atau banyaknya jumlah. Kita tidak memerangi mereka, melainkan karena
mempertahankan Agama kita ini, yang dengan memeluknya kita telah dimuliakan
Allah! Ayuhlah kita maju! Salah satu dari dua kebaikan pasti kita capai, kemenangan
atau syahid di jalan Allah!”
Dengan bersorak Kaum Muslimin yang sedikit bilangannya tetapi besar imannya itu
menyatakan setuju. Mereka berteriak: “Sungguh, demi Allah, benar yang dibilang
Ibnu Rawahah!”
Demikianlah, pasukan terus ke tujuannya, dengan bilangan yang jauh lebih sedikit
menghadapi musuh yang berjumlah 200 ribu orang Romawi untuk menghadapi suatu
peperangan dahsyat yang belum ada taranya. Kedua-dua pasukan bala tentara itu
pun bertemu, lalu bermulalah pertempuran di antara keduanya.
Pemimpin yang pertama Zaid bin Haritsah yang gugur sebagai syahid, disusuli pula
pemimpin yang kedua gugur menemui syahid Ja’far bin Abi Thalib, dan menyusul
pula sesudah itu pemimpin yang ketiga yaitu, Abdullah bin Rawahah. Di kala itu dia
mencapai panji perang dari tangan kanan Ja’far, sementara peperangan sudah
mencapai puncaknya. Hampirlah pasukan Islam yang kecil itu, tersapu musnah di
antara pasukan-pasukan Romawi yang datang membajirinya laksana air bah, yang
berhasil dihimpun oleh Heraklius untuk maksud ini.
Ketika dia bertempur sebagai seorang prajurit dan pemimpin, ibnu Rawahah telah
menoleh mukanya ke belakang, ke kiri dan ke kanan tanpa rasa ragu-ragu dan gentar
menjaga barisan perajurit-perajurit yang lain seraya berkata:
“Aku telah bersumpah wahai diriku agar maju ke medan ini, Tapi kenapa kulihat
engkau seolah-olah menolak syurga… Wahai diriku, bila kau tak terbunuh, kau kan
pasti mati jua, Inilah kematian sejati yang sejak lama kau nanti… Tibalah waktunya
apa yng engkau idam-idamkan selama ini, Jika kau ikuti jejak keduanya, itulah satria
sejati! (Maksudnya, kedua sahabatnya Zaid dan Ja’far yang telah mendahului gugur
sebagai syuhada). Jika kamu berbuat seperti keduanya, itulah ksatria sejati!”
Dia pun maju menyerbu orang-orang Romawi dengan tabahnya. Kalau tidaklah
taqdir Allah yang menentukan, bahwa hari itu adalah saat janjinya akan ke syurga,
nescaya dia akan terus menebas musuh dengan pedangnya, hingga dapat
menewaskan sejumlah besar dari mereka. Tetapi waktu keberangkatannya sudah tiba,
yang memberitahukan awal perjalanannya pulang ke hadrat Allah, maka naiklah ia
sebagai syahid.
Jasadnya jatuh terkapar, tapi rohnya yang suci dan perwira naik menghadap Zat
Yang Maha Pengasih lagi Maha Tinggi, dan tercapailah puncak idamannya,
“Hingga dikatakan, yaitu bila mereka meliwati mayatku, ‘Wahai prajurit perang
yang dipimpin Allah, dan benar ia telah terpimpin!’” “Benar engkau, ya Ibnu
Rawahah! Anda adalah seorang prajurit yang telah dipimpin oleh Allah!”
Ibnu Rawahah dilahirkan bukan pemeluk Islam, namun dia akhirnya menjadi muallaf.
Rasulullah sendiri menyukai syairnya. Semenjak memeluk Islam, Ibnu Rawahah
membaktikan dirinya bagi kejayaan Islam. Meskipun penyair, dia rela menjadi panglima
perang juga, dia menyemangati prajurit-prajutritnya dengan syairnya yang indah. Sempat
bersedih saat wahyu Allah Surat Asy-Syu’araa muncul (menyebutkan bahwa penyair-penyair
itu banyak diikuti oleh orang-orang yang sesat), namun kesedihannya sirna ketika wahyu
berikutnya, Asy-Syu’araa ayat 227 turun, yang menyebutkan pengecualian penyair yang
dapat masuk surga, yaitu: Kecuali orang-orang(penyair) yang beriman, beramal soleh, dan
banyak mengingati Allah serta menuntut bela sesudah mereka dianiaya.
Selain Ibnu Rawahah, penyair Islam yang banyak dikenal diantaranya:
1. Jalaludin Rumi, Rumi merupakan penyair Islam yang paling terkenal diantara
penyair-penyair Islam lainnya. Syairnya terkenal hingga Inggris dan Amerika.
2. Nuruddin Abdurrahman Al-Jami, karya-karya tulisnya menurut salah satu sumber
berjumlah 46 buah, namun menurut sumber lain tak kurang dari 90 buah buku dan
risalah. Kebanyakan karya tulisnya berbicara mengenai tasawuf. Al-Jami menulis
komentar tafsir atas sejumlah surat dalam Al-Qur’an, komentar terhadap 40 hadits dan
hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dzar Al-Ghifari.
3. Orhan Pamuk, peraih Nobel sastra pada tahun 2006. Ia telah menulis 8 buku, dan
rekor terakhirnya adalah penjualan buku yang mencapai 200.000 kopi, yang akhirnya
mengantarnya menjadi peraih Nobel sastra pada tahun 2006.
Selain 3 penyair diatas, banyak pula penyair Islam yang juga terkenal, diantaranya: Johan
Ishak dan Malique Ibrahim (duo Too Phat), mereka menyebarkan syair yang syarat Islam
lewat hip-hop, Abdul Rahman Munif, Abu Nuwas, Yusuf Islahi, dan lain-lain. (daftar penyair
Islam dapat dilihat di wikipedia.com dengan judul list of muslim writers and poets).
Sedangkan penyair-penyair Islam yang berasal dari Indonesia, diantaranya adalah Goenawan
Mohammad, Mustofa Bisri, Remy Sylado, W.S Rendra, Taufiq Ismail, dll.
Lalu, jika penyair zaman dulu menggunakan kalimat-kalimat indah bernuansa Islami
dalam syair yang mereka buat, bagaimana dengan penyair zaman sekarang? Setelah dilihat,
penyair zaman sekarang lebih suka mengambil tema kemanusiaan dalam syair-syairnya.
Entah kenapa, jarang sekali ada penyair yang menggunakan kalimat Islam dalam syairnya.
Ada yang mengatakan, menggunakan kalimat Islam akan tidak mudah diterima, mengingat
banyak orang yang memandang sebelah mata Islam itu sendiri (terutama orang-orang yang
Islamipobhia), menggunakan syair Islam pada orang yang bahkan tidak suka dengan Islam
akan sulit, maka dari itu, penyair lebih memilih menggunakan tema kemanusiaan, supaya
tema itu dapat diterima semua kalangan.
Lebih dari semua masalah isi syair itu, penyair pada masa sekarang sudah kurang
terdengar eksistensinya, digantikan dengan eksistensi penyanyi-penyanyi. Sebenarnya lagu
dan syair hampir sama, namun jika dilihat lebih mendalam, isi syair lebih dalam dan
berkualitas dibandingkan dengan lagu. Mungkin itulah sebabnya, pada zaman sekarang,
jumlah penyanyi jauh lebih banyak dibandingkan dengan penyair. Banyak dugaan yang
muncul, apakah ini akibat kebiasaan generasi muda sekarang yang kurang menyukai
segalanya yang bersifat ‘berfikir’ seperti syair. Banyak yang menolak, banyak juga yang
menerima fakta tersebut, apalagi seperti banyak dilihat pada masa sekarang, dibandingkan
munculnya penyair, munculnya penulis dan penyanyi pop jauh lebih cepat. Bahkan, penyanyi
muslim pun, tetap membawakan lagu-lagu bertemakan non-Islami dengan isi yang sangat
tidak sesuai dengan ajaran Islam.
KESIMPULAN
Penyair dalam Islam banyak dikenal, baik penyair pada zaman dahulu maupun zaman
sekarang. Penyair Jalaludin Rumi sangat terkenal tulisan dan syair-syair yang ia buat,
sehingga tulisan dan syair-syairnya terkenal hingga Inggris dan Amerika, yang mengenal
Jalaludin Rumi sebagai Rumi.
Pada masa modern, penyair dalam Islam kebanyakn menulis dengan berlatarkan
Kemanusiaan, dibandingkan dengan syair zaman dahulu yang lebih banyak membahas
mengenai kehidupan seorang penyair dengan Tuhannya. Hal ini dapat diterima, karena zaman
sekarang, Agama Islam telah banyak dikenal oleh masyarakat, namun, tidak semua
mengamini ketika seseorang menyebutkan Islam adalah agama yang damai. Mungkin itulah
yang pada akhirnya menjadi dasar penyair di masa modern dalam membuat syair, yaitu untuk
mengenalkan Islam sebagai agama yang damai. Orhan Pamuk dapat dijadikan contoh penyair
Islam yang sukses abad 20-an ini, dengan prestasinya meraih nobel sastra pada 2006, cukup
membuktikan bahwa sastra dan syair Islam dapat diterima oleh manusia di seluruh dunia.
Melihat eksistensi penyair Islam yang hampir ‘punah’, menurut penulis, ada baiknya
jika di Indonesia atau dimanapun di seluruh dunia, mulai memberi perhatian lebih pada
profesi penyair ini, karena penyair dapat pula menjadi salah satu agen muslim, dengan
kalimat-kalimatnya, penyair ikut memberi pengaruh pada penikmat syairnya. Mungkin bisa,
di Madrasah atau di pondok pesantren memberikan satu pelajaran yang membahas tentang
penyair dan bagaimana membuat syair yang sarat dengan nilai Islam, dengan mengajarkan
pada anak-anak yang masih muda, Insyaallah, penjelasan mengenai syair akan lebih
mengena. Tentunya, tanpa ada usaha dari umat muslim sendiri, untuk dapat mengembangkan
dan mengajarkan kembali syair Islam, akan tidak mungkin penyair-penyair Islam dapat
muncul dan eksis kembali. Sangat sesuai dengan syair Rumi:
Ada orang asing bergegas mencari tempat tinggal, seorang teman membawanya ke
sebuah rumah rusak, “jika rumah ini beratap, kau dapat tinggal di sebelah tempatku.
Keluargamu juga akan kerasan di sini. Jika di situ ada sebuah kamar lagi..” “ya.” Jawab
orang asing itu, “enak sekali tinggal di sebelah teman-teman, tapi kawanku sayang, orang
tak akan dapat tinggal di dalam ‘jika’”
REFERENSI
Al-Qur’an
Lenthen, Simon. "New and Improved Poem." Accounting, Auditing & Accountability Journal 22.5 (2009): 835. Print.
http://en.wikipedia.org/wiki/Poet, diunduh pada tanggal 29 Juni 2013 pukul 09:48
http://ahlimasjid.com/abdullah-ibnu-rawahah-penyair-dan-panglima-islam/, diunduh tanggal 30 Juni 2013 pukul 17:09
http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_Muslim_writers_and_poets, diunduh pada tanggal 30 juni 2013 pukul 18:33