penyakit parenkim ginjal

4
Penyakit Parenkim Ginjal Sebenarnya, semua kelainan pada ginjal dapat menyebabkan hipertensi (Tabel 241-3), dan penyakit ginjal adalah penyebab hipertensi sekunder yang paling banyak. Sebanyak 80% pasien dengan gagal ginjal kronis memiliki hipertensi. Pada umumnya, hipertensi lebih berat bila terjadi pada kelainan parenkim daripada kelainan intersisial, seperti pielonefritis kronis. Sebaliknya, hipertensi dapat menyebabkan nefrosklerosis dan pada sebagian kasus sulit menentukan apakah hipertensi atau penyakit ginjal yang merupakan penyakit utamanya. Proteinuria > 1000 mg/hari dan sedimen urin yang aktif merupakan indikator untuk penyakit ginjal primer. Pada kedua kasus, tujuannya adalah untuk mengontrol tekanan darah dan menghambat progresivitas dari disfungsi renal. Hipertensi Renovaskular Hipertensi karena obstruksi arteri renalis, hipertensi renovaskular, merupakan jenis hipertensi yang dapat disembuhkan. Mekanismenya berkaitan dengan aktivasi system renin-angiotensin-aldosteron. Ada dua kelompok pasien yang berisiko terkena penyakit ini : pasien tua dengan arterosklerosis yang memiliki plak yang menghambat pada arteri ginjal, sering pada tempat asalnya, dan pasien dengan displasia fibromuskular. Walaupun displasia fibromuskular dapat muncul pada berbagai usia, penyakit ini memiliki predileksi kuat pada wanita Kaukasia. Prevalensi pada wanita delapan kali lebih banyak daripada pada pria. Ada beberapa variasi histologis pada pasien dengan displasia fibromuskular, termasuk fibroplasia medial, fibroplasia perimedial, hiperplasia medial dan hiperplasia intima. Displasia medial adalah variasi yang paling umum dan terjadi pada dua per tiga pasien. Lesi displasia fibromuskular biasanya bilateral dan, tidak sama dengan penyakit arterosklerosis renovaskular, penyakit ini lebih sering mengenai tempat distal dari arteri renal. Selain usia dan jenis kelamin, beberapa petunjuk dari anamnesa dan pemeriksaan fisik mendukung diagnosa hipertensi renovaskular. Pertama-tama pasien harus

Upload: melissa-kanggriani

Post on 05-Dec-2014

111 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

teori

TRANSCRIPT

Page 1: Penyakit Parenkim Ginjal

Penyakit Parenkim Ginjal

Sebenarnya, semua kelainan pada ginjal dapat menyebabkan hipertensi (Tabel 241-3), dan penyakit ginjal adalah penyebab hipertensi sekunder yang paling banyak. Sebanyak 80% pasien dengan gagal ginjal kronis memiliki hipertensi. Pada umumnya, hipertensi lebih berat bila terjadi pada kelainan parenkim daripada kelainan intersisial, seperti pielonefritis kronis. Sebaliknya, hipertensi dapat menyebabkan nefrosklerosis dan pada sebagian kasus sulit menentukan apakah hipertensi atau penyakit ginjal yang merupakan penyakit utamanya. Proteinuria > 1000 mg/hari dan sedimen urin yang aktif merupakan indikator untuk penyakit ginjal primer. Pada kedua kasus, tujuannya adalah untuk mengontrol tekanan darah dan menghambat progresivitas dari disfungsi renal.

Hipertensi Renovaskular

Hipertensi karena obstruksi arteri renalis, hipertensi renovaskular, merupakan jenis hipertensi yang dapat disembuhkan. Mekanismenya berkaitan dengan aktivasi system renin-angiotensin-aldosteron. Ada dua kelompok pasien yang berisiko terkena penyakit ini : pasien tua dengan arterosklerosis yang memiliki plak yang menghambat pada arteri ginjal, sering pada tempat asalnya, dan pasien dengan displasia fibromuskular. Walaupun displasia fibromuskular dapat muncul pada berbagai usia, penyakit ini memiliki predileksi kuat pada wanita Kaukasia. Prevalensi pada wanita delapan kali lebih banyak daripada pada pria. Ada beberapa variasi histologis pada pasien dengan displasia fibromuskular, termasuk fibroplasia medial, fibroplasia perimedial, hiperplasia medial dan hiperplasia intima. Displasia medial adalah variasi yang paling umum dan terjadi pada dua per tiga pasien. Lesi displasia fibromuskular biasanya bilateral dan, tidak sama dengan penyakit arterosklerosis renovaskular, penyakit ini lebih sering mengenai tempat distal dari arteri renal.

Selain usia dan jenis kelamin, beberapa petunjuk dari anamnesa dan pemeriksaan fisik mendukung diagnosa hipertensi renovaskular. Pertama-tama pasien harus dievaluasi mengenai penyakit arterosklerosis vaskuler. Walaupun respon terhadap terapi antihipertensi tidak menyingkirkan diagnosis, hipertensi berat atau refrakter, hipertensi yang baru saja tidak terkontrol atau baru saja timbul hipertensi yang sedang - berat, dan penurunan fungsi ginjal yang tidak dapat dijelaskan atau gangguan fungsi ginjal yang berhubungan dengan penggunaan penghambat ACE dapat meningkatkan risiko terkena hipertensi renovaskuler. Kurang lebih 50% pasien dengan hipertensi renovaskuler memiliki bruit abdominal dan pinggang, dan bruitnya lebih signifikan jika terdapat lateralisasi atau pemanjangan dari sistol ke diastol.

Jika hipertensi dapat dikontrol dengan obat antihipertensi yang sederhana dan fungsi ginjal tetap stabil, alasan untuk melakukan evaluasi terhadap stenosis arteri ginjal hanya sedikit, terutama pada pasien yang tua dengan penyakit arterosklerosis dan kondisi penyerta. Pasien dengan hipertensi yang lama, dengan insufisiensi renal yang lanjut, atau diabetes mellitus kurang mendapat keuntungan dari perbaikan vaskularisasi ginjal. Terapi medikamentosa yang paling efektif adalah dengan penghambat ACE atau penghambat reseptor angiotensin II; walaupun obat-obat ini menurunkan laju

Page 2: Penyakit Parenkim Ginjal

filtrasi glomerulus pada ginjal yang stenosis karena adanya dilatasi arteriol eferen ginjal. Pada keadaan stenosis arteri ginjal bilateral atau stenosis arteri ginjal pada pasien dengan satu ginjal, penggunaan obat-obat ini dapat berakibat pada insufisiensi ginjal yang progresif. Hal yang penting adalah insufisiensi ginjal yang terjadi umumnya reversibel setelah penggunaan obat-obat tersebut dihentikan.

Jika dicurigai adanya stenosis arteri ginjal, dan keadaan klinis pasien menuntut dilakukannya suatu intervensi seperti percutaneous transluminal renal angioplasty (PTRA), penempatan endoprosthesis (stent) pada pembuluh darah, atau pembedahan revaskularisasi ginjal, pemeriksaan radiologi merupakan langkah evaluasi selanjutnya. Sebagai tes screening, aliran darah ginjal mungkin dapat dievaluasi dengan radionuclide [131I]-orthoiodohippurate (OIH) scan atau pengukuran laju filtrasi glomerulus dapat dilakukan dengan [99mTc]-diethylenetriamine pentaacetic acid (DTPA) scan, sebelum dan setelah pemberian captopril (atau penghambat ACE yang lain). Di bawah ini yang konsisten dengan hasil studi yang positif : (1) penurunan ambilan relatif oleh ginjal yang terlibat, yang mana berkontribusi pada 40% fungsi ginjal total; (2) penundaan ambilan pada sisi yang terpengaruh; atau (3) penundaan buangan pada sisi yang terlibat. Pada pasien dengan fungsi ginjal yang normal atau mendekati normal, renogram captopril yang normal dapat secara signifikan menyingkirkan adanya stenosis arteri ginjal; walalupun penggunaannya terbatas pada pasien dengan insufisiensi ginjal (bersihan kreatinin < 20 ml/menit) atau stenosis arteri ginjal bilateral. Pemeriksaan radiologi lain diindikasikan apabila hasil pemeriksaan positif. Ultrasound dengan Doppler pada arteri ginjal dapat memperkirakan kecepatan aliran darah ginjal secara terpercaya dan menawarkan kesempatan untuk mencari lesi. Hasil yang positif biasanya dikonfirmasi dengan pemeriksaan angiografi, walaupun hasil negatif palsu cukup sering muncul, terutama pada pasien yang obesitas. Angiografi resonansi magnetik dengan kontras gadolinium dapat memberikan gambaran arteri ginjal proksimal dengan jelas walaupun lesi di bagian distal dapat terlewatkan. Keuntungannya adalah kesempatan untuk menggambarkan arteri ginjal dengan agen yang tidak nefrotoksik. Arteriografi dengan kontras masih merupakan standar baku emas untuk evaluasi dan indentifikasi lesi arteri ginjal. Risiko yang potensial terjadi adalah nefrotoksisitas, terutama pada pasien dengan diabetes mellitus atau pasien dengan insufisiensi ginjal terdahulu.

Beberapa tahapan obstruksi arteri ginjal dapat diobservasi pada hampir 50% pasien dengan penyakit arterosklerosis, dan terdapat beberapa pendekatan untuk mengevaluasi signifikansi fungsional dari lesi tersebut agar dapat memperkirakan efek perbaikan vaskular pada pengontrolan tekanan darah dan fungsi ginjal. Setiap pendekatan memiliki sensitivitas dan spesifisitas tersendiri, dan tidak ada satu tes pun yang dapat benar-benar dipercaya untuk menilai hubungan kausal antara lesi arteri ginjal dan hipertensi. Pada angiografi, adanya pembuluh darah kolateral menuju ke ginjal yang iskemik menunjukkan lesi yang signifikan secara fungsional. Lateralisasi rasio pembuluh darah vena ginjal (rasio > 1,5 pada sisi yang terkena atau kontralateralnya) memiliki nilai prediksi 90% untuk lesi yang dapat merespon pada perbaikan vaskular; walaupun, tingkat negatif palsu untuk pengontrolan tekanan darah adalah 50-60%. Pengukuran gradien tekanan melalui lesi arteri ginjal tidak dapat dipercaya untuk memprediksi respon dari perbaikan vaskular.

Page 3: Penyakit Parenkim Ginjal

Pada analisis akhir, keputusan mengenai perbaikan vaskular atau terapi medikamentosa dan tipe prosedur perbaikan sebaiknya ditentukan secara individual oleh tiap pasien. Pasien dengan penyakit fibromuskular memiliki hasil yang lebih baik dibandingkan dengan pasien yang memiliki lesi arterosklerosis, kemungkinan karena usia yang lebih muda, durasi hipertensi yang lebih pendek dan penyakit sistemik yang lebih sedikit. Karena hanya sedikit rasio risiko banding keuntungan dan rasio sukses yang tinggi (perbaikan atau penyembuhan dari hipertensi pada 90% pasien dan rasio stenosis ulang 10%), PTRA adalah terapi inisial yang terpilih untuk pasien-pasien ini. Revaskularisasi secara bedah dapat dilakukan jika PTRA tidak berhasil atau jika ada lesi cabang. Pada pasien dengan arterosklerosis, perbaikan vaskular harus dipertimbangkan jika tekanan darah tidak dapat dikontrol dengan terapi medikamentosa atau jika fungsi ginjal terganggu. Pembedahan mungkin merupakan langkah pertama yang terpilih dalam pendekatan kepada pasien dengan arterosklerosis yang lebih muda, tergantung dari lokasi lesi, pendekatan pertama mungkin merupakan PTRA dan/atau pemasangan stent. Revaskularisasi secara bedah diindikasikan jika pendekatan di atas tidak berhasil, jika lesi vaskuler tidak merespon terhadap PTRA atau pemasangan stent, atau jika pembedahan aorta diperlukan pada saat yang sama karena adanya penyakit lain seperti untuk memperbaiki aneurisma.