penyelesaian konflik separatis di thailand...
TRANSCRIPT
PENYELESAIAN KONFLIK SEPARATIS DI THAILAND SELATAN
OLEH PENGUASA MILITER DAN PENGUASA SIPIL
STUDI KASUS PERDANA MENTERI SURAYUD CHULANONT DAN
PERDANA MENTERI YINGLUCK SHINAWATRA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
Faisal Abdau
NIM. 1110112000070
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017
PENYELESAIAN KONFLIK SEPARATIS DI THAILAND SELATAN
OLEH PENGUASA MILITER DAN PENGUASA SIPIL:
STUDI KASUS PERDANA MENTERI SURAYUD CHULANONT
DAN PERDANA MENTERI YINGLUCK SHINAWATRA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
Faisal Abdau
NIM. 1110112000070
Mengetahui,
Menyetujui,
Ketua Program Studi Pembimbing Skripsi
Dr. Iding Rosyidin, M.Si
Dr. Chaider S. Bamualim, MA
NIP. 197010132005011003 NIP. 196605241999031001
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
SKRIPSI
PENYELESAIAN KONFLIK SEPARATIS DI THAILAND SELATAN
OLEH PENGUASA MILITER DAN PENGUASA SIPIL
STUDI KASUS PERDANA MENTERI SURAYUD CHULANONT DAN
PERDANA MENTERI YINGLUCK SHINAWATRA
Oleh:
Faisal Abdau
1110112000070
Telah dipertahankan dalam sidang ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 03 Mei 2017.
Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu prasyarat memperoleh gelar Sarjana Sosial
(S.Sos) pada Program Studi Ilmu Politik.
Ketua,
Dr. Iding Rosyidin, M.Si
NIP. 197010132005011003
Sekretaris,
Suryani, M.Si
NIP. 197704242007102003
Penguji I,
Dr. A. Bakir Ihsan, MA
NIP. 197204122003121002
Penguji II,
Adi Prayitno, M.Si
Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan pada tanggal 3 Mei 2017
Ketua Program Studi,
Dr. Iding Rosyidin, M.Si
NIP. 197010132005011003
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul:
PENYELESAIAN KONFLIK SEPARATIS DI THAILAND SELATAN
OLEH PENGUASA MILITER DAN PENGUASA SIPIL
STUDI KASUS PERDANA MENTERI SURAYUD CHULANONT
DAN PERDANA MENTERI YINGLUCK SHINAWATRA
1. Merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan
memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 03 Mei 2017
Faisal Abdau
i
ABSTRAKSI
Skripsi ini menganalisis tentang upaya penguasa militer dan penguasa sipil
dalam penyelesaian konflik separatis di Thailand Selatan. Tujuan penulisan ini adalah
untuk memberikan deskripsi tentang situasi dan kondisi konflik separatis di Thailand
Selatan. Selain itu, penulisan ini juga bertujuan untuk mengidentifikasi dan
mengetahui upaya penyelesaian konflik separatis di Thailand Selatan oleh penguasa
militer dan penguasa sipil. Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan
pendekatan kualitatif dengan metode kajian kepustakaan (library research).
Konflik separatis di Thailand Selatan pada dasarnya merupakan masalah
politik identitas. Kemunculan gerakan separatis dipahami sebagai salah satu upaya
mempertahankan identitas keagamaan dan etnisitas masyarakat Melayu Muslim
terhadap sikap diskriminatif pemerintah Thailand. Keberadaan penguasa militer dan
penguasa sipil sangat mempengaruhi sikap pemerintah dalam mengeluarkan
kebijakan tentang konflik separatis di Thailand Selatan. Dalam studi kasus skripsi ini,
penguasa militer Jenderal Surayud Chulanont cenderung menggunakan pendekatan
militeristik dan penguasa sipil Yingluck Shinawatra mengutamakan pendekatan
politis dalam penerapan kebijakan pemerintah terkait konflik separatis di Thailand
Selatan. Temuan ini didasari dari hasil analisis penulis menggunakan kerangka teori
konflik, teori kebijakan publik dan teori hubungan sipil-militer.
Teori konflik digunakan penulis untuk menganalisis akar permasalahan dan
dinamika konflik separatis di Thailand Selatan. Sedangkan, teori kebijakan publik
digunakan untuk menganalisa produk-produk kebijakan dan proses implementasi
kebijakan serta hasil yang dicapai dari suatu kebijakan pemerintah mengenai
penyelesaian konflik separatis di Thailand Selatan. Selain itu, penulis menggunakan
teori hubungan sipil-militer untuk menganalisa relasi sipil-militer dalam pembuatan
dan pelaksanaan kebijakan publik terkait konflik separatis di Thailand Selatan.
Kata kunci: Konflik separatis, Surayud Chulanont, Yingluck Shinawatra, teori
konflik, teori kebijakan publik, teori hubungan sipil-militer, Thailand Selatan.
ii
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Segaja puji dan syukur penulis panjatkan akan kehadirat Allah SWT atas
segala nikmat-Nya, taufik dan hidayah-Nya tercurah kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada baginda Nabi
Muhammad SAW, yang senantiasa memberikan bimbingan dan petunjuk serta suri-
teladan bagi umatnya.
Skripsi ini penulis persembahkan kepada kedua orang tua khususnya
ayahanda yang telah lama berpulang ke pangkuan Illahi Rabbi, Sya’roni dan juga
kepada ibunda, Masroni. Kedua orang tua yang luar biasa mendidik penulis sejak
kecil hingga saat ini dengan penuh kasih sayang dan kesabaran. Kemudian untuk sang
adik, Quraish Shihab yang senantiasa mendukung dan memberikan semangat penulis.
Terimakasih yang setulus-tulusnya atas semua yang telah diberikan kepada penulis.
Penulisan skripsi ini tentu tidak dapat terselesaikan dan berjalan maksimal
tanpa bantuan, dukungan, motivasi, dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena
itu, perkenankan penulis menyampaikan banyak terimakasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Zulkifli, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Iding Rosyidin, M.Si selaku Ketua Program Studi Ilmu Politik dan
Ibu Suryani, M.Si selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Politik, Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Dr. Chaider S. Bamualim, MA selaku dosen pembimbing yang dengan
begitu sabar membimbing penulis, bahkan ketika masa-masa sulit sekalipun.
Terimakasih telah memberikan segenap ilmu, ide, pemikiran, pengalaman dan
kesabaran dalam proses penulisan skripsi ini.
iii
4. Bapak Dr. Ahmad Bakir Ihsan, MA, Bapak Adi Prayitno, M.Si, Bapak Dr. Ali
Munhanif, MA, Bapak M. Zaki Mubarak, M.Si, Ibu Dr. Haniah Hanafie,
M.Si, Ibu Dra. Gefarina Djohan, MA, MA, Bapak Dr. Agus Nugraha, MA,
Bapak Dr. Saiful Mujani, Bapak Dr. Burhanuddin Muhtadi, Bapak Idris
Thaha, M.Si, dan Ibu Ana Sabhana Azmy, M.I.P, yang telah memberikan
sumbangsih ilmu dan pengalaman selama masa studi penulis di Program Studi
Ilmu Politik. Semoga ilmu yang telah diberikan bermanfaat bagi penulis di
masa mendatang.
5. Sahabat dalam suka dan duka yang selalu memberikan semangat kepada
penulis dari Ilmu Politik 2010; Erwin, Choir, Aisyah, Lulu, Fahmi, Riyan,
Ferdian, Fajar, Adis, Enda, Ajoe, Jideng, Ibhem, Hilman, Rizki, Faisal (Oye),
Dona, Indra, Turminah, dll. Semoga persahabatan ini akan terus terjalin di
kemudian hari kelak.
6. Sahabat terbaik penulis Reta Marina Pratiwi yang telah bersama-sama dalam
suka dan duka serta senantiasa memberikan dukungan, semangat, dan
motivasi sehingga penulis mampu berjuang kembali untuk menyelesaikan
skripsi ini.
7. Sahabat KKN SPIRIT 2013 yang terus memotivasi penulis; Tashul, Soni,
Erwin, Tebe, Sekar, Cindy, Abo, Jandri, Dina, Jhimi, Didi, Anton, Panji, Mia,
Hakim, Wandi, Asmi.
8. Dukungan dan motivasi tak terkira dari orang-orang luar biasa; Mr. Thirachai
‘Salahudin’ Wuthitham, Mrs. Angkhana Neelaphaijit, dan Mr. Abemie
Chainarong dari Thailand.
9. Dukungan dan bantuan materil yang luar biasa; Mr. Don Pathan dari Patani
Forum, dan Mr. Romadon Panjor dari Deep South Watch.
10. Kepada seluruh keluarga besar Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi
(Perludem); Mba Titi Anggraini, Mba Rahmi, Mba Diah, Sebastian, Mas
Kholil, Mas Usep, Dhika, Oik, Mas fadli, Mba Ninis, Santo, Juki, yang telah
memberikan kesempatan berharga dalam menimba ilmu dan pengalaman.
iv
11. Kepada Ikatan Keluarga Besar Pondok Pesantren Daarul Mughni Al-Maaliki
(IKBDM) khususnya Geifari 05; Alim, Ade Alim, Rudi, Ikhwan, Mus, Yuli,
dll, yang selama ini telah menjalani pahit getir perjuangan dan kehidupan
bersama selama enam tahun di pesantren.
12. Kepada keluarga besar UKM Bahasa FLAT khususnya angkatan Flawless;
Albert, Dina, Fajar, Fauziah, Eni, Kohar, Kamil, Yuni, Herry, dll.
13. Komunitas International Studies Club UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
telah memberikan wawasan keilmuan penulis.
14. Organisasi YEP! Youth Empowering, Faktabahasa, HIPESASI, Bulan Sabit
Merah Indonesia yang telah memberikan ilmu dan wawasan berorganisasi
penulis.
15. Terimakasih kepada pihak-pihak terkait; Mr. Ernie Bower dari Center for
Strategic and International Studies, Mr. Sunai Phasuk dari Human Right
Watch Thailand, Mr. Jim Della Giocoma dari International Crisis Group
Thailand, Mr. Kasturi Mahkota dari PULO, Almunauwar bin Rusli dari
Universitas Islam Indonesia.
Akhir kata, dengan kerendahan hati penulis mengucapkan terimakasih kepada
semua pihak terkait yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Semoga seluruh bentuk
dukungan, bimbingan, dan motivasi yang diterima penulis dapat bermanfaat dan
tercatat sebagai amal kebaikan di sisi Allah SWT.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, untuk itu
penulis memohon maaf atas segala kekurangan dan kelalaian tersebut. Semoga Allah
SWT senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua. Amin Ya
Rabbal ‘Alamiin.
Jakarta, 03 Mei 2017.
Faisal Abdau
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK…………………………………………………………………… i
KATA PENGANTAR………………………………………………………. ii
DAFTAR ISI………………………………………………………………… v
DAFTAR GAMBAR………………………………………………………… vii
DAFTAR SINGKATAN…………………………………………………….. viii
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………. 1
1.1 Pernyataan Masalah………………………………………………… 1
1.2 Pertanyaan Penelitian………………………………………………. 13
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian…………………………………….. 14
1.4 Tinjauan Pustaka……………………………………………………. 15
1.5 Metodologi Penelitian.……………………………………………… 18
1.6 Sistematika Penulisan………………………………………………. 19
BAB II LANDASAN TEORI……………………………………………… 22
2.1 Teori Kebijakan Publik…………………………………………….... 22
2.1.1 Pengertian Kebijakan Publik……………………………….... 22
2.1.2 Implementasi Kebijakan Publik……………………………… 24
2.1.3 Model Implementasi Kebijakan Publik………………………. 27
A. Model Grindle…………………………………………… 27
B. Model George Edwards III………………………………. 28
C. Model Mazmanian dan Sabatier…………………………. 29
D. Model Van Meter dan Van Horn………………………… 31
2.2 Teori Konflik…………………………………………………………. 35
2.3 Teori Hubungan Sipil-Militer………………………………………… 42
BAB III LATAR BELAKANG GERAKAN SEPARATIS DI THAILAND
SELATAN…………………………………………....................... 45
3.1 Gambaran Umum Gerakan Separatis di Thailand Selatan………... 46
3.2 Kelompok – Kelompok Gerakan Separatis di Thailand Selatan...... 50
vi
3.2.1 Barisan Nasional Pembebasan Patani (BNPP)……………. 50
3.2.2 Barisan Revolusi Nasional (BRN)………………………… 54
3.2.3 Patani United Liberation Organization (PULO)………....... 58
3.2.4 Gerakan Mujahidin Islam Patani (GMIP)…………………. 64
3.3 Biografi Penguasa Militer dan Penguasa Sipil Thailand…………... 67
3.3.1 Biografi Penguasa Militer: Jenderal Surayud Chulanont…... 67
3.3.2 Biografi Penguasa Sipil: Yingluck Shinawatra…………….. 70
BAB IV PENYELESAIAN KONFLIK SEPARATIS DI THAILAND
SELATAN OLEH PENGUASA MILITER DAN PENGUASA
SIPIL………………………………………………………………. 73
4.1 Politik dan Pemerintahan………………………………………....... 74
4.1.1 Reformasi Birokrasi……………………………………....... 74
4.1.2 Dialog dan Negosiasi………………………………………. 79
4.2 Keamanan………………………………………………………….. 89
4.3 Hukum dan HAM………………………………………………….. 96
4.4 Ekonomi…………………………………………………………… 101
4.5 Pendidikan……………………………………………………......... 105
4.6 Respon Kelompok Separatis terhadap Kebijakan Penguasa
Militer dan Penguasa Sipil……………............................................. 109
BAB V PENUTUP………………………………………………………… 122
5.1 Kesimpulan………………………………………………………… 122
5.2 Saran……………………………………………………………….. 126
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………... ix
LAMPIRAN…………………………………………………………………….. xx
vii
DAFTAR GAMBAR
1. Jumlah Kasus Konflik di Thailand Selatan Tahun 2001 – 2003…………. 3
2. Kasus Konflik di Thailand Selatan 2004 – 2005…………………………. 6
3. Model Implementasi Kebijakan Grindle…………………………………. 27
4. Model Implementasi Kebijakan George Edwards III……………............. 28
5. Model Implementasi Kebijakan Mazmanian dan Sabatier………………. 29
6. Model Implementasi Kebijakan Van Meter dan Van Horn………............ 31
7. Rincian Penambahan Aparat Keamanan di Thailand Selatan……………. 93
8. Insiden Kekerasan di Thailand Selatan (2006-2008)…………………….. 95
9. Anggaran Nasional untuk Perbaikan dan Pembangunan Provinsi
Perbatasan Selatan Thailand 2004-2014…………………………………. 104
10. Aksi Kekerasan, Jumlah Korban Tewas dan Terluka dalam Konflik
Separatis di Thailand Selatan (Periode Surayud Chulanont)…………….. 110
11. Aksi Kekerasan, Jumlah Korban Tewas dan Terluka dalam Konflik
Separatis di Thailand Selatan (Periode Yingluck Shinawatra)…………... 120
viii
DAFTAR SINGKATAN
ASEAN : Association of South East Asia Nations
BNPP : Barisan Nasional Pembebasan Patani
BRN : Barisan Revolusi Nasional
BRN-C : Barisan Revolusi Nasional Coordinate
CPM : Civil-Police-Military Task Force
DPP : Dewan Pimpinan Parti
GMIP : Gerakan Mujahidin Islam Patani
HAM : Hak Asasi Manusia
HDC : The Henri Dunant Center for Humanitarian Dialogue
ISA : Internal Security Act
ISOC : Internal Security Operations Command
LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat
NRC : National Reconciliation Commission
NSC : National Security Council
OKI : Organisasi Konferensi Islam
PBB : Persatuan Bangsa-Bangsa
PPM : Patani People’s Movement
PSTI : Private School Teaching Islam
PULO : Patani United Liberation Organization
SBPAC : Southern Border Provinces Administration Center
UKM : Usaha Kecil dan Menengah
UNHCR : United Nation High Commissioner for Refugees
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Pernyataan Masalah
Fenomena gerakan separatis menjadi sebuah tantangan terhadap integritas
suatu wilayah dan eksistensi negara, dan juga dianggap sebagai uji standar kedaulatan
sebuah negara. Gerakan separatis saat ini terjadi di berbagai belahan dunia seperti
Thailand, Aceh, Chechnya, Kashmir, Skotlandia, Somalia, Sri Lanka, Tibet, dan
Transnistria.1 Gerakan separatis terjadi ketika sekelompok orang dari suatu negara
berusaha untuk memisahkan diri atau menciptakan sebuah negara baru.2
Kemunculan gerakan separatis ini disebabkan oleh berbagai aspek seperti
ekonomi, politik, budaya, suku, etnis, ras, dll. Tujuan dari gerakan separatis pun
bervariasi mulai dari menuntut suatu otonomi khusus hingga memperoleh
kemerdekaan.3 Hal itu dilakukan agar mereka dapat memperoleh pengakuan oleh
negara dan memperjuangkan kepentingan mereka.
Gerakan separatis di Thailand Selatan terjadi karena adanya aneksasi wilayah
Patani Raya oleh kerajaan Siam (Thailand) melalui Anglo-Siam Treaty sejak tahun
1 Brian Beary, Separatist Movement: A Global Reference, (Washinghton DC: CQ Press, 2011), h. 28-30. 2 Yuna Hiraide, “Creating A Framework for the Peaceful Resolution of the Separatist State Movement”
DIMUN V Research Report, 13 November 2014, h. 1. 3 Ryan D. Griffiths dan Ivan Savic, “Globalization and Separatism: The Influence of Internal and
External Interdependence on The Strategies of Separatism,” dalam Jerry Harris, The Nation in the Global Era:
Conflict and The Transformation, (Leiden: Brill, 2009), h. 319.
2
1909.4 Pasca perjanjian tersebut, wilayah Patani, Yala, Narathiwat dan Songkla
dengan mayoritas penduduk beragama Islam dikuasai oleh negara yang bercorak
agama Buddha.
Separatisme merupakan gerakan politik terhadap suatu negara yang bercita-
cita untuk membentuk sebuah daerah otonom menjadi wilayah merdeka.5 Oleh karena
itu, kelompok separatis Thailand berusaha melawan kebijakan pemerintah Thailand
yang menginginkan penerapan kebijakan asimilasi (mengubah budaya Melayu berciri
khas Islam menjadi budaya Thailand).
Tidak hanya penerapan asimilasi, namun gerakan separatis juga menginginkan
adanya otonomi secara luas atau kemerdekaan dari Thailand. Adanya ideologi
Thainess yang diterapkan oleh Thailand menyebabkan perbedaan ideologi oleh
Thailand Selatan.6 Thainess merupakan karakter nasional yang berkonsep sebagai
bangsa, agama, dan kerajaan yang menjadikan ciri khas Thailand.7
Ideologi Thainess memunculkan kebijakan politik sentralistik yang
memusatkan seluruh kebijakan pada pemerintah pusat.8 Kebijakan sentralistik juga
dianggap sebagai tindakan yang mengintimidasi masyarakat Thailand Selatan dengan
4 Thanet Aphornsuvan, “Origins of Malay Muslim “Separatism” in Southern Thailand,” Asia Research
Institute: Working Paper Series No. 32 (Bangkok: Thammasat University, 2004), h. 2. 5 Thomas Goumenos, Mechanism of Ethnic and Separatist Movement, (Essex: Essex University Press,
2006), h. 4. 6 Saichol Sattayanurak, “The Construction of Mainstream Thought on “Thainess” and the “Truth”
Constructed by “Thainess”, (Chiang Mai: Chiang Mai University, t.t), h. 3. 7 Saichol Sattayanurak, “The Construction of Mainstream Thought on “Thainess” and the “Truth”
Constructed by “Thainess”, h. 9. 8 Saichol Sattayanurak, “The Construction of Mainstream Thought on “Thainess” and the “Truth”
Constructed by “Thainess”, 12.
3
menempatkan pejabat-pejabat pemerintahan daerah berasal dari pemerintah pusat
Thailand.9
Di akhir tahun 2001, bertepatan pada tanggal 24 Desember 2001 menjadi awal
pecahnya kembali konflik di Thailand Selatan. Pasca terpilihnya Thaksin Shinawatra
sebagai Perdana Menteri Thailand, kelompok separatis melancarkan penyerangan ke
lima kantor polisi di Patani, Yala dan Narathiwat yang menyebabkan beberapa polisi
dan seorang satuan pengamanan desa tewas.10
Dalam dua tahun berikutnya, berbagai gangguan keamanan seperti
penembakan terhadap aparat keamanan, pembakaran rumah warga, sekolah dan
gedung pemerintah semakin meningkat dari 50 kasus pada tahun 2001 menjadi 75
kasus tahun 2002 dan 119 kasus pada tahun 2003.11
Gambar I.1.
Jumlah Kasus Konflik di Thailand Selatan Tahun 2001 - 2003
Sumber: International Crisis Group, Southern Thailand: Insurgency, Not Jihad, ICG, 2005.
9 Saichol Sattayanurak, “The Construction of Mainstream Thought on “Thainess” and the “Truth”
Constructed by “Thainess”, h. 6-7. 10 Peter Chalk, The Malay-Muslim Insurgency in Southern Thailand: Understanding the Conflict’s
Evolving Dynamic, (Virginia: Rand Corporation, 2008), h. 9. 11 International Crisis Group, “Southern Thailand: Insurgency, Not Jihad,” Crisis Asia Group Report No
98, Mei 2005, (Brussel: International Crisis Group, 2005), h. 16.
4
Pada tanggal 4 Januari 2004, Thailand Selatan kembali bergejolak dengan
insiden pembakaran 20 sekolah dan tiga pos polisi di 13 distrik Provinsi Narathiwat
serta pemboman di jembatan dan jalan layang di Provinsi Yala. Tak berselang lama,
terjadi peristiwa penyerangan dan penjarahan 405 senjata terdiri dari 366 senapan
serbu M-16, 24 pistol, tujuh roket granat, dua senapan mesin M-60 dan empat
peluncur roket di markas militer Rachanakarin, Distrik Jho Ai Rong, Provinsi
Narathiwat, Thailand Selatan.12
Pasca insiden tersebut, pemerintah Thailand membuat kebijakan dengan
memberlakukan status “Darurat Militer” untuk wilayah Patani, Yala, Narathiwat dan
empat distrik di Provinsi Songkhla efektif sejak 5 Januari 2004 serta penambahan
3.000 tentara yang dipimpin Fourth Royal Army yang bertugas menjaga keamanan di
bagian Selatan Thailand termasuk Patani, Yala dan Narathiwat.13
Bahkan, Perdana
Menteri Thaksin Shinawatra memberikan batas akhir tujuh hari pasca insiden di
Thailand Selatan untuk melakukan penangkapan terhadap pelaku kejahatan tanpa
melalui proses pengadilan.14
Militer Thailand berhasil menangkap 33 pelaku kejahatan dan lima
diantaranya adalah pemimpin kelompok yang bertanggung jawab atas peristiwa 4
Januari 2004 lalu yaitu Nasoree Saesang, Karim Karubang, dan Jehku Mae Kuteh
12 International Crisis Group, “Southern Thailand: Insurgency, Not Jihad,” h. 17. 13 Felix Heiduk dan Kay Moller, Southern Thailand: The Origin of Violence (Berlin: German Institute
for International Affairs, 2004), h. 1. 14 International Crisis Group, “Southern Thailand: Insurgency, Not Jihad”, h. 17.
5
dari Gerakan Mujahidin Islam Patani (GMIP) dan Masae Useng dan Waeli Copter
Waji yang berasal dari Barisan Revolusi Nasional (BRN).15
Meskipun pemerintah Thailand berhasil menangkap aktor penting dalam
kerusuhan 4 Januari 2004 silam, situasi dan kondisi di wilayah Thailand Selatan
belum sepenuhnya normal dan terkendali. Dua bulan kemudian, pemerintah Thailand
dikejutkan dengan peristiwa penyerbuan pos pemeriksaan, kantor polisi dan markas
militer di Provinsi Patani, Songkhla, dan Yala pada 28 April 2004.16
Serangan ini dilakukan oleh kelompok separatis Hikmat Allah Abadan
pimpinan ustadz Soh alias Ismail Yusuf Rayalong beserta pengikutnya sekitar 150
orang.17
Pemerintah Thailand mengerahkan militernya untuk mengepung kelompok
ustadz Soh di masjid Krue Sae sehingga terjadi pertempuran sengit yang menewaskan
106 militan dan 5 polisi.18
Akibat dari tindakan represif militer dalam peristiwa masjid Krue Sae,
pemerintah Thailand mendapat kecaman dari berbagai pihak mulai dari organisasi
HAM lokal hingga internasional seperti Amnesty International dan UNHCR.19
UNHCR juga melakukan investigasi atas peristiwa yang paling mematikan dalam
sejarah Thailand.20
Ketika investigasi peristiwa masjid Krue Sae belum usai, Thailand
15 International Crisis Group, “Southern Thailand: Insurgency, Not Jihad”, h. 17. 16 Peter Chalk, The Malay-Muslim Insurgency in Southern Thailand: Understanding the Conflict’s
Evolving Dynamic, h. 10. 17 International Crisis Group, “Southern Thailand: Insurgency, Not Jihad”, h. 21. 18 National Reconciliation Commission, Report of National Reconciliation Commission: Overcoming
Violence Throught the Power of Reconciliation (Bangkok: Secretariat of Cabinet, 2005), h. 46. 19 International Crisis Group, “Southern Thailand: Insurgency, Not Jihad”, h. 27-28. 20 International Crisis Group, “Southern Thailand: Insurgency, Not Jihad”, h. 27-28.
6
Selatan dikejutkan dengan insiden demonstrasi berdarah di kantor polisi Tak Bai,
Narathiwat pada 25 Oktober 2004.21
Demonstrasi yang diikuti oleh sekitar 1.500
orang menuntut atas pembebasan enam warga Narathiwat yang ditangkap atas
tuduhan memasok senjata untuk kelompok separatis.
Dalam insiden ini, militer Thailand membubarkan paksa dan menahan para
demonstran yang menyebabkan 85 orang tewas dan 1.300 lainnya ditahan.22
Insiden
ini berhasil menarik kembali perhatian dunia internasional atas kasus HAM di
Thailand Selatan dan pemerintah bertanggung jawab dengan memberikan santunan
sebesar 10.000 Baht untuk keluarga korban tewas maupun luka-luka dalam insiden
Tak Bai. Pemerintah juga didesak untuk memasukan kasus ini ke dalam investigasi
independen yang dilakukan Komisi Rekonsiliasi Nasional.23
Gambar I.2.
Kasus Konflik di Thailand Selatan 2004 - 2005
Sumber: Srisompob Jitpiromsri, 9 Months Into The 9th
Year, http://www.deepsouthwatch.org/
21 Robert B. Albitron, Thailand in 2004: The “Crisis in South”, Asian Survey Vol. 45 No. 1, (California:
University of California Press, 2005), h. 170. 22 Enam orang demonstran tewas tertembak oleh militer Thailand dalam proses pembubaran aksi
demonstrasi dan 79 orang lainnya tewas dalam tahanan akibat sesak napas dan dehidrasi dalam truk-truk tahanan.
National Reconciliation Committee, h. 47. 23 International Crisis Group, “Southern Thailand: Insurgency, Not Jihad”, h. 31.
7
Konflik yang terjadi sepanjang tahun 2004 – 2005 telah berdampak secara
langsung pada bidang ekonomi dan bisnis di empat wilayah konflik di Thailand
Selatan. Sektor perikanan yang menjadi mata pencaharian sebagian besar penduduk
di Thailand Selatan sepi peminat akibat konflik berkepanjangan yang membuat pasar
industri perikanan menurun. Selain itu, pertumbuhan ekonomi dari sektor bisnis
mengalami penurunan seperti properti, dan penyediaan barang dan jasa.24
Sejak pemerintah menetapkan status darurat militer, pengunjung domestik
maupun mancanegara merosot tajam dan mematikan industri perhotelan dan restoran.
Para tenaga pengajar asing pun meninggalkan wilayah tersebut sehingga kegiatan
belajar mengajar terganggu akibat kurangnya pengajar di berbagai lembaga
pendidikan di Thailand Selatan.25
Berbagai peristiwa yang terjadi dalam konflik di Thailand Selatan tak lepas
dari peran para aktor-aktor yang terlibat dalam konflik tersebut. Menurut Wallensten,
konflik dapat terjadi jika adanya konfrontasi antara dua kelompok yang berusaha
mencapai tujuannya masing-masing.26
Dalam hal ini, kelompok separatis di Thailand
Selatan ingin memperjuangkan hak-hak mereka sebagai etnis Muslim Melayu dengan
menentang kebijakan politik asimilasi yang mengganti bahasa Melayu menjadi
24 National Reconciliation Commission, Report of National Reconciliation Commission: Overcoming
Violence Through the Power of Reconciliation, h. 41-42. 25 Robert B. Albritton, Thailand in 2005: The Struggle for Democratic Consolidation, Asian Survey Vol.
46, No. 1, (California: University of California Press, 2006), h. 143. 26 Peter Wallensten, Understanding Conflict Resolution: War, Peace and the Global System, (London:
SAGE Publication Ltd, 2002), h. 16.
8
bahasa Thai sebagai bahasa nasional dan mengubah sistem pendidikan Islam salafi
menjadi pendidikan sekuler sehingga pemerintah Thailand bisa mengatur regulasi dan
kurikulum pendidikan di Thailand Selatan.27
Pemerintah Thailand merespon aksi kekerasan yang dilakukan gerakan
separatis ini dengan berbagai cara mulai dari perundingan damai dengan pihak
kelompok separatis hingga intervensi bersenjata.28
Sejak tahun 2004, Perdana
Menteri Thaksin Shinawatra menerapkan kebijakan “garis keras” yang cukup
kontroversial yaitu penetapan status darurat militer pasca insiden kerusuhan 4 Januari
2004 di Provinsi Yala, Patani dan Narathiwat.29
Perdana Menteri Thaksin Shinawatra mengirim pasukan sebanyak 24.000
personil terdiri dari 10.000 personil polisi, 10.000 anggota militer dan 4.000 pasukan
penjaga perbatasan.30
Selain itu, Thaksin menambah jumlah pasukan paramiliter yang
terdiri dari 5.000 Ranger, 2.200 pasukan keamanan desa (Chor Ror Bor), 67.400
relawan keamanan desa (Or Sor), 9.541 anggota relawan wanita keamanan desa dan
1.400 pasukan pelindung guru.31
27 Neil J. Melvin, Conflict in Southern Thailand: Islamism, Violence and the State in the Patani
Insurgency, SIPRI Policy Paper No. 20, (Swedia: CM Gruppen, 2007), h. 20-21. 28 Anthony L. Smith, “Trouble in Thailand‟s Muslim South: Separatism, not Global Terrorism”, Asia-
Pacific Center for Security Studies Vol. 3 No. 10, December 2004, (Hawai: APCSS, 2004), h. 3. 29 Peter Chalk, The Malay-Muslim Insurgency in Southern Thailand: Understanding the Conflict’s
Evolving Dynamic, h. 17. 30 Peter Chalk, The Malay-Muslim Insurgency in Southern Thailand: Understanding the Conflict’s
Evolving Dynamic, h. 17. 31Angel Rabasa, dkk. The Evolving Terrorist Threat to Southeast Asia: A Net Assessment, (Virginia:
Rand Corporation, 2009), h. 107-111.
9
Selama kurun waktu 2001-2006, pemerintahan Thaksin lebih
mengimplementasikan kebijakan konfrontasi dengan kelompok separatis melalui
intervensi bersenjata daripada negosiasi politik untuk penyelesaian konflik di
Thailand Selatan. Demi kelancaran implementasi kebijakan Thaksin, ia meningkatkan
alutsista komando daerah militer Keempat (Fourth Royal Army) dengan helikopter
angkut dan helikopter tempur. Hal ini dilakukan untuk memperlancar koordinasi
dalam setiap operasi militer di seluruh wilayah Thailand Selatan.32
Meskipun Thaksin telah menempatkan ribuan pasukan bersenjata dan
menetapkan status darurat militer sejak 5 Januari 2004, keadaan di wilayah Thailand
Selatan belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Hal ini terlihat dari jumlah
insiden konflik di Thailand Selatan mengalami peningkatan dari 1.838 kasus (2004)
menjadi 2.173 kasus (2005).33
Sedangkan jumlah korban jiwa akibat konflik di
wilayah Thailand Selatan cukup tinggi yaitu 1.654 orang (2004) dan 1.675 orang
(2005).34
Pada 16 Juli 2005, Perdana Menteri Thaksin Shinawatra mengumumkan
Undang-Undang Darurat tentang Administrasi Publik dalam Situasi Darurat
(Emergency Decree on Public Administration in Emergency Decree). Undang-
undang yang berisi 19 pasal ini disahkan sebagai upaya alternatif dari status darurat
militer di Thailand Selatan dan melindungi hak-hak warga negara dari tindakan
32 Angel Rabasa, dkk. The Evolving Terrorist Threat to Southeast Asia: A Net Assessment, h. 111-112. 33 Srisompob Jitpriromsi dan Duncan McCargo, “The Southern Thai Conflict Six Years On: Insurgency,
Not Just Crime”, Contemporary Southeast Asia Vol. 32, No. 2, (Singapura: ISEAS, 2010), h. 157. 34 Srisompob Jitpriromsi dan Duncan McCargo, “The Southern Thai Conflict Six Years On: Insurgency,
Not Just Crime”, h. 162.
10
sewenang-wenang sehingga undang-undang ini memberikan perlindungan yang lebih
baik kepada masyarakat selama operasi militer berlangsung.35
Akan tetapi, para pegiat HAM baik lokal maupun internasional mengecam
kemunculan undang-undang tersebut. Human Rights Watch, sebuah organisasi HAM
internasional berbasis di Amerika Serikat menyampaikan surat terbuka kepada
Perdana Menteri Thaksin Shinawatra bahwa undang-undang darurat itu tidak
mencerminkan negara Thailand dalam keadaan darurat sepenuhnya namun hanya
sebagian wilayah dari negara Thailand.36
International Crisis Group juga mengkritisi kebijakan Thaksin bahwa undang-
undang darurat telah melanggar kebebasan hidup seseorang dengan memberikan
mandat penuh kepada penegak hukum untuk menghalalkan segala cara dalam
penanganan situasi krisis dan memberikan kekebalan hukum dari segala tuduhan
ataupun tindakan kriminal selama menjalankan tugas.37
Ketua Komisi Rekonsiliasi Nasional Anand Panyarachun yang menangani
kasus konflik di Thailand Selatan ikut bereaksi keras terhadap pengesahan undang-
undang tersebut dan menganggap bahwa gagasan (undang-undang) pemerintah
Thailand tidak sesuai dengan upaya-upaya rekonsiliasi dan hanya akan membawa
situasi di Thailand Selatan semakin kritis, Ia mengatakan:
35 International Crisis Group, “Thailand‟s Emergency Decree: No Solution”, Crisis Asia Group Report
No 105 November 2005, (Jakarta: International Crisis Group, 2005), h. 1-2. 36Human Rights Watch, “Emergency Decree Violates Thai Constitution and Laws,” artikel diakses pada
tanggal 14 Februari 2015 dari laman http://www.hrw.org/legacy/english/docs/2005/08/04/thaila11592_txt.htm 37International Crisis Group, “Thailand‟s Emergency Decree: No Solution”, h. 2-4.
11
“The authorities have worked inefficiently. They have arrested innocent people
instead of the real culprits, leading to mistrust among locals. So, giving them
broader power may lead to increased violence and eventually a real crisis… The
government’s ideas are not compatible with reconciliation efforts”.38
(Pihak-pihak berwenang tidak bekerja secara efisien. Mereka menangkap orang-
orang yang tidak bersalah atas tuduhan kejahatan, menimbulkan ketidak percayaan
masyarakat [terhadap pemerintah]. Lalu, mereka diberikan kekuasaan yang lebih luas
sehingga memungkinkan bertambahnya pelanggaran dan berakhir pada krisis yang
nyata… Kami [NRC] setuju bahwa gagasan pemerintahan ini tidak sesuai dengan
upaya-upaya rekonsiliasi)”.
Kebijakan represif Thaksin terhadap masyarakat Melayu Muslim di Thailand
Selatan memberikan preseden buruk bagi pemerintah Thailand. Berbagai pelanggaran
HAM yang terjadi akibat tindakan sewenang-wenang pemerintahan Thaksin
berakibat fatal bagi karir politik Thaksin. Selain itu, hubungan penguasa sipil dengan
militer yang buruk semakin memperkeruh situasi politik nasional.
Pada 16 September 2006, sebuah kudeta militer yang dipimpin oleh Panglima
Tentara Thailand Jenderal Sonthi Boonyaratglin berhasil menggulingkan
pemerintahan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra sekaligus mengakhiri 15 tahun
kekuasaan Thailand dibawah kepemimpinan penguasa sipil. Kelompok kudeta
menyatakan tiga alasan penting atas pemakzulan Thaksin Shinawatra yaitu kasus
korupsi, kasus penghinaan terhadap keluarga kerajaan, dan penyalahgunaan
kekuasaan dalam konflik di Thailand Selatan.39
Tak berselang lama, kelompok kudeta melantik Jenderal Surayud Chulanont
sebagai Perdana Menteri Thailand. Di masa kepemimpinannya, Surayud
38 The Nations, “Emergency Decrees: Anand Slams Govt as Editors up in Arms,” artikel diakses pada
tanggal 14 Februari 2015 dari http://www.nationmultimedia.com/specials/south/1907.php 39 Patani Forum, Negotiating The Future of Patani, (Patani: Patani Forum, 2014), h. 90.
12
mengandalkan peran militer dalam berbagai kebijakan terkait penyelesaian konflik
separatis. Latar belakang Surayud yang berasal dari militer, tentu sangat berpengaruh
dalam penentuan kebijakan pemerintah salah satunya pengesahan Undang – Undang
Keamanan Dalam Negeri (Internal Security Act).40
Hubungan masyarakat sipil
dengan militer kembali diuji dengan kepemimpinan penguasa Militer di Thailand.
Pasca pemerintahan Surayud Chulanont, Thailand mengalami beberapa kali
pergantian pemerintahan yang tergolong singkat akibat krisis politik nasional seperti
periode Samak Sundarajev (Februari-Agustus 2008), Somchai Wongsawat
(September-Desember 2008), dan Abhisit Vejjajiva (Januari 2009-Juli 2011).
Pemilu 2011 menjadi momentum penting dengan terpilihnya Yingluck
Shinawatra menjadi Perdana Menteri Thailand. Mengusung tema „Rekonsiliasi
Nasional‟, Yingluck menerapkan strategi yang mengedepankan pendekatan politik
daripada kekuatan militer, salah satunya dialog perdamaian dengan kelompok
separatis dan kesepakatan gencatan senjata selama bulan Ramadhan 2013.41
Pemerintahan penguasa sipil seperti Yingluck Shinawatra membuka lembaran baru
hubungan masyarakat Melayu Muslim dengan pemerintah Thailand.
Beragam upaya penyelesaian konflik di Thailand Selatan telah dilakukan
pemerintah, baik oleh penguasa militer seperti Jendral Surayud Chulanont maupun
40 Canan Atilgan, The Internal Security Act (ISA) Implication for Southern Conflict, (Thailand: Konrad-
Adenauer-Siftung, 2008), h. 1-3. 41 Kathleen Rustici, “Peace Talks Announced to Address the Conflict in Southern Thailand,” Artikel
diakses pada tanggal 26 Maret 2015 dari http://csis.org/publication/peace-talks-announced-address-conflict-
southern-thailand
13
penguasa sipil seperti Yingluck Shinawatra. Implementasi kebijakan kedua tokoh
penguasa tersebut patut menjadi perhatian utama untuk mencapai tujuan perdamaian
di Thailand Selatan yaitu memulihkan stabilitas ekonomi, sosial dan politik
masyarakat Thailand Selatan serta mengakhiri konflik separatis di empat provinsi
bagian selatan Thailand.
Berdasarkan latar belakang diatas penulis tertarik untuk menganalisis
“Penyelesaian Konflik Separatis di Thailand Selatan oleh Penguasa Militer dan
Penguasa Sipil”, studi kasus tentang Perdana Menteri (Jend) Surayud Chulanont dan
Perdana Menteri Yingluck Shinawatra.
1.2 Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, penelitian ini
difokuskan pada penyelesaian konflik separatis di Thailand Selatan oleh penguasa
militer dan penguasa sipil. Oleh karena itu, pertanyaan penelitian ini sebagai berikut:
1. Apa yang melatarbelakangi munculnya gerakan separatis di Thailand Selatan?
2. Bagaimana kebijakan penguasa militer dan penguasa sipil dalam penyelesaian
konflik separatis di Thailand Selatan?
14
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
A. Tujuan Penelitian
Tujuan dan kegunaan akademis yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Memberikan deskripsi tentang situasi dan kondisi konflik yang terjadi di
Thailand Selatan.
2. Melakukan identifikasi dan mengetahui upaya penyelesaian konflik separatis di
Thailand Selatan oleh penguasa militer dan penguasa sipil.
3. Menganalisa hubungan sipil-militer dalam pembuatan dan pelaksanaan
kebijakan terkait konflik separatis di Thailand Selatan.
B. Manfaat Penelitian
Ada dua manfaat yang bisa diambil dari penelitian ini, yaitu:
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini memiliki peran yang cukup signifikan dalam memperkaya studi
tentang separatisme. Kemudian, penelitian ini menunjukan bagaimana peran negara
yaitu pemerintah Thailand dalam upaya penyelesaian konflik separatis.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini bermanfaat bagi mahasiswa dan peneliti yang memiliki perhatian
dalam penanganan konflik separatis di Thailand.
15
1.4 Tinjauan Pustaka
Beberapa penelitian juga pernah dilakukan seputar permasalahan konflik di
Thailand Selatan dan peran pemerintah Thailand dalam penganggulangan gerakan
separatis di wilayah tersebut, diantaranya adalah:
Pertama, “Implementasi Kebijakan Perdana Menteri Thaksin
Shinawatra dalam Menyelesaikan Konflik Minoritas Muslim di Thailand
Selatan.” Skripsi ini disusun oleh Mahamarophi Uma di program studi Jinayah
Siyasah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini merupakan salah satu studi yang
membahas tentang kebijakan pemerintah Thailand dalam penyelesaian konflik di
Thailand Selatan pada masa Perdana Menteri Thaksin Shinawatra yaitu antara tahun
2001-2006 dan langkah-langkah apa saja yang diambil pemerintah Thailand untuk
menyelesaikan konflik minoritas muslim di Thailand Selatan. Uma menggunakan
metode penelitian kualitatif dengan pendekatan metode content analysis. Sedangkan
teknik pengumpulan data berupa observasi dan penggunaan angket penelitian serta
studi dokumentasi dilakukan untuk menambah data-data yang akan dianalisa dalam
penelitian ini.
Fokus penelitian Uma, seperti terlihat jelas pada judulnya adalah
implementasi kebijakan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra. Dalam penelitiannya
Uma mencoba untuk menganalisa strategi penerapan kebijakan yang dilakukan oleh
Perdana Menteri Thaksin Shinawatra mulai dari sosialisasi pelaksanaan kebijakan
pemerintah hingga penerapan kebijakan dalam aspek pendidikan, ekonomi, sarana
16
prasana, budaya dan militer. Uma juga melakukan korespondensi dengan
menganalisa respon masyarakat terhadap penerapan kebijakan Perdana Menteri
Thaksin Shinawatra.
Hasil penelitian Uma ini menyarankan agar implementasi kebijakan di
Thailand Selatan tidak hanya sekedar sosialisasi kebijakan tapi pengawasan dan
evaluasi yang rutin dan intensif juga harus dilakukan sehingga proses penerapan
kebijakan dapat berjalan dengan baik dan lancar. Pelatihan kepada pelaksana
kebijakan harus dilakukan agar mereka memahami dan menjalankan kebijakan sesuai
dengan rencana strategi kebijakan pemerintah Thailand.
Kedua, “Diplomasi Thailand-Malaysia dalam Mengatasi Gerakan
Separatis di Thailand Selatan Periode 2000-2009.” Skripsi ini dilakukan pada
tahun 2012 dan disusun oleh Desy Arisandy dari program studi Hubungan
Internasional UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini menjelaskan tentang
dampak negatif yang disebabkan oleh gerakan separatis di Thailand Selatan telah
berimbas pada ketegangan hubungan diplomatik negara Malaysia yang berbatasan
langsung dengan negara Thailand bagian Selatan. Oleh karena itu, Desy berusaha
mengetahui langkah-langkah dan bentuk diplomasi yang dilakukan antara Thailand
dan Malaysia agar gerakan separatis dapat teratasi. Dalam penelitian ini, Desy
menggunakan beberapa teori yaitu diplomasi, kerjasama keamanan, kepentingan
nasional, dan kebijakan luar negeri dengan metode penelitian kualitatif melalui
pendekatan teknik studi pustaka (library research).
17
Dalam penelitian ini, Desy menjelaskan bahwa diplomasi Thailand-Malaysia
telah terjalin dalam berbagai sektor mulai dari peningkatan sosio-ekonomi di wilayah
perbatasan, mengatasi kewarganegaraan ganda, dan menjalin kerjasama militer
dengan memperketat wilayah perbatasan. Selain itu, Malaysia juga berperan sebagai
fasilitator perdamaian antara pemerintah Thailand dan Organisasi separatis di
Thailand Selatan. Kerjasama diplomasi ini terus dilakukan sehingga konflik internal
di Thailand yang telah terjadi selama hampir satu abad ini berakhir.
Pada dasarnya penelitian yang dilakukan saat ini memiliki objek kajian yang
sama yaitu mengenai konflik dan gerakan separatis di Thailand Selatan. Namun
terdapat perbedaan dari penelitian sebelumnya. Penelitian terdahulu melihat
penerapan kebijakan pemerintah Thailand pada masa Thaksin Shinawatra dan
hubungan diplomatis dengan negara tetangga yaitu Malaysia.
Perbedaan dalam penulisan ini, penulis melihat bagaimana kebijakan
penguasa militer dan penguasa sipil Thailand dalam penyelesaian konflik separatis di
Thailand Selatan. Selain itu, perbedaan lain terletak pada teori yang digunakan dalam
penelitian ini adalah teori kebijakan publik, teori konflik, dan teori hubungan sipil-
militer.
18
1.5 Metodologi Penelitian
A. Metode
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kajian
kepustakaan (library research) dengan pendekatan kualitatif. Melalui metode kajian
kepustakaan ini diharapkan peneliti mampu memberikan informasi yang bersifat
deskriptif, yaitu menjabarkan hal – hal yang berkaitan dengan suatu fenomena
tertentu. Dalam penelitian ini, penulis berusaha mengumpulkan dan menganalisa
informasi tentang upaya pemerintah Thailand dalam menyelesaikan konflik
separatisme di Thailand Selatan. Dengan pendekatan kualitatif, penelitian ini
diharapkan mampu menggambarkan keadaan yang sebenarnya (naturalistik).
B. Pengumpulan Data
Pengumpulan data akan dilakukan melalui kajian dokumentasi dalam teknik
dokumentasi. Penulis mulai membaca, mengkaji, dan mencatat data – data yang
diambil dari berbagai sumber. Data yang dikumpulkan berupa buku-buku, surat
kabar, majalah, bahan elektronik seperti internet, jurnal ilmiah, dan lain sebagainya.
C. Teknik Analisis Data
Data yang sudah diperoleh kemudian diolah dan dijelaskan menggunakan
analisis isi (content analysis) terhadap berbagai sumber informasi termasuk bahan
cetak (buku, artikel, koran, majalah, dan sebagainya) dan bahan non cetak seperti
gambar, chart, video dan lain – lain.
19
Dalam penelitian ini, penulis mulai mencari dan mengidentifikasi bukti –
bukti dari data yang telah dikumpulkan. Kemudian penulis mulai memilah data yang
dikumpulkan, mana data yang digunakan dan mana data yang tidak digunakan. Pada
tahap akhir, penulis mulai menganalisa datanya, menginterpretasikan dan
mengkomparasikan dengan sumber-sumber lain dan mengambil kesimpulan akhir
dari analisisnya.
1.6 Sistematika Penulisan
Sebagai gambaran umum, penulis menyajikan sistematika penulisan dalam
lima bab. Hal ini dimaksudkan pembahasan dapat dilakukan secara sistematis
sehingga dapat memberikan gambaran yang lebih jelas dan mudah di pahami oleh
para pembaca skripsi ini. Adapun pembahasan dan penulisan skripsi ini secara garis
besar, sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN.
Bab ini menjelaskan mengenai latar belakang permasalahan, pertanyaan
penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teoretis dan konseptual,
metodologi penelitian terdiri dari metode, teknik pengumpulan data, teknik analisis
data, dan sistematika penelitian.
20
BAB II LANDASAN TEORI.
Dalam bab ini, penulis menjelaskan teori–teori yang digunakan sebagai pisau
analisis dalam penelitian ini. Teori yang digunakan adalah teori kebijakan publik,
teori konflik, dan teori hubungan sipil-militer untuk membantu mempertajam analisa
penulis dalam skripsi ini.
BAB III LATAR BELAKANG KONFLIK SEPARATIS DI THAILAND
SELATAN.
Pada bab ini, penulis membahas tentang gambaran umum konflik separatis di
Thailand Selatan mulai dari sejarah dan perkembangan konflik di Thailand Selatan,
profil penguasa dari militer yaitu Perdana Menteri Surayud Chulanont, dan profil
penguasa dari sipil yaitu Perdana Menteri Yingluck Shinawatra, serta informasi
tentang kelompok – kelompok separatis di Thailand Selatan.
BAB IV PENYELESAIAN KONFLIK SEPARATIS DI THAILAND
SELATAN OLEH PENGUASA MILITER DAN PENGUASA SIPIL.
Bab ini membahas tentang temuan dan analisis yang menjelaskan tentang
upaya mengatasi konflik separatis di Thailand Selatan dengan penerapan analisis dan
teori yang telah dibahas pada landasan teori. Poin–poin yang menjadi bahan analisis
adalah kebijakan penguasa militer dan penguasa sipil Thailand dalam penyelesaian
konflik separatis di Thailand Selatan dan mengevaluasi hasil–hasil yang telah dicapai
pemerintah Thailand dalam mengatasi konflik tersebut.
21
BAB V PENUTUP
Pada bab ini, penulis berharap dapat mendeskripsikan hasil dari penelitian
dalam bentuk kesimpulan. Selanjutnya untuk melengkapi penelitian ini, penulis
menyisipkan saran–saran agar bahan pertimbangan tentang bahasan yang telah
diangkat sebagai pokok permasalahan.
22
BAB II
LANDASAN TEORI
3.1 Teori Kebijakan Publik
2.1.1 Pengertian Kebijakan Publik
Kebijakan publik memiliki ruang lingkup yang sangat luas dan mencakup
berbagai sektor seperti ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum, dan sebagainya.
Terdapat beberapa tingkatan yang bersifat nasional, regional ataupun lokal dalam
bentuk kebijakan seperti undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden,
peraturan menteri, dan peraturan pemerintah daerah/provinsi. Dalam KBBI, kebijakan
dimaknai sebagai sebuah rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan
dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak
(tentang pemerintahan, organisasi, dsb); tujuan, prinsip, dan garis pedoman untuk
manajemen dalam usaha mencapai sasaran.42
Sedangkan publik diartikan sebagai
suatu kelompok atau masyarakat dengan kepentingan tertentu.43
Kebijakan publik merupakan modal utama yang dimiliki pemerintah untuk
menata kehidupan masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan. Dikatakan sebagai
modal utama karena hanya melalui kebijakan publiklah pemerintah memiliki
kekuatan dan wewenang untuk mengatur masyarakat sekaligus memaksakan
ketentuan yang telah ditetapkan. Walaupun memaksa, akan tetapi sah dan memiliki
42 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa Diknas,
2005), h.131. 43 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 131.
23
legitimasi yang didasari pada regulasi yang jelas.44
Intervensi yang dilakukan
pemerintah terhadap masyarakat mendorong terjadinya perubahan terhadap publik
melalui usaha-usaha yang telah direncanakan sehingga memberikan dampak yang
cukup berpengaruh pada kehidupan masyarakat.45
Secara terminologi, pengertian kebijakan publik (public policy) memiliki
banyak perspektif yang berbeda-beda dari berbagai ahli, tergantung dari perspektif
tafsirannya. Terdapat pengertian berbeda yaitu kebijakan publik merupakan suatu
tindakan yang diambil pemerintah untuk melakukan suatu hal atau sebaliknya seperti
yang dijelaskan oleh Thomas R. Dye yang dikutip dari Agustino Leo.46
Definisi ini
menekankan bahwa kebijakan publik bukan hanya suatu hasil dari perumusan
masalah tertentu tetapi dapat berupa suatu tindakan yang akan memiliki pengaruh
pada masyarakat baik ketika dilakukan pengambilan keputusan ataupun sebaliknya.
George Edwards III mendefinisikan kebijakan publik sebagai “suatu tindakan
pemerintah yang berupa program-program pemerintah untuk pencapaian sasaran atau
tujuan”.47
Berbeda dengan James A. Anderson, ia mendefinisikan kebijakan publik
merupakan “kebijakan yang ditetapkan oleh badan-badan dan aparat pemerintah”.48
44 Budiman Rusli, Kebijakan Publik: Membangun Pelayanan Publik yang Responsif, (Bandung: Hakim
Publishing, 2013), h. 3. 45 Benny Sianturi, Implementasi Kebijakan Restrukturisasi Organisasi Perangkat Daerah di Kabupaten
Toba Samosir, (Medan: Universitas Sumatera Utara, 2013), h. 17. 46 Leo Agustino, Dasar-Dasar Kebijakan Publik, (Bandung: Alfabeta, 2008), h. 7. 47 Sri Suwitri, Konsep Dasar Kebijakan Publik, (Semarang: Universitas Diponegoro Semarang, 2008),
h. 10. 48 AG Subarsono, Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori, dan Aplikasi, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2005), h. 2.
24
Menurut Carl Friedrich sebagaimana dikutip juga dari Agustino Leo
menerangkan bahwa kebijakan publik terdiri dari rangkaian tindakan atau kegiatan
yang digagas baik perseorangan, kelompok maupun pemerintah dalam suatu
lingkungan yang memiliki permasalahan atau hambatan sehingga diperlukan
kebijakan yang diharapkan dapat mengatasinya dan mencapai tujuan dari kebijakan
tersebut.49
Definisi ini menunjukkan bahwa kebijakan dapat menjadi suatu manajemen
konflik. Carl mencoba menjelaskan bahwa dibutuhkan lebih banyak peran atau aktor
dalam memutuskan suatu masalah sehingga hasil kebijakan pun tidak hanya
berdampak pada pemerintah, tapi juga berbagai pihak yang terlibat dalam pembuatan
kebijakan. Definisi ini juga mengangkat konsepsi dasar demokrasi yaitu setiap orang
memiliki hak untuk bersuara sehingga konsep demokrasi ini dapat berfungsi dalam
perumusan kebijakan publik.
2.1.2 Implementasi Kebijakan Publik
a. Konsep Implementasi Kebijakan Publik
Implementasi menjadi salah satu tahapan dalam proses kebijakan dan
petunjuk untuk menjelaskan tingkat keberhasilan atau kegagalan suatu kebijakan
dalam mencapai sasarannya. Istilah implementasi pertama kali digunakan oleh Harold
Lawswell, seorang tokoh studi kebijakan publik. Menurut Lawswell, implementasi
merupakan salah satu tahapan atau proses dalam suatu kebijakan publik, perlu adanya
49 Leo Agustino, Dasar-Dasar Kebijakan Publik, (Bandung: Alfabeta, 2008), h. 8.
25
rangkaian tahapan atau proses yang terdiri dari penyusunan agenda, formulasi,
legitimasi, implementasi, evaluasi, reformulasi dan terminasi. Pendekatan ini dikenal
dengan pendekatan proses (policy process approach).50
Seiring dengan perkembangan studi kebijakan publik, para ilmuwan mulai
menjadikan implementasi menjadi sebuah konsep seperti Jeffrey Pressman dan Aaron
Wildavsky yang dikutip dari Purwanto, implementasi memiliki beberapa ciri khusus
yaitu untuk menjalankan kebijakan (to carry out), untuk memenuhi janji-janji
sebagaimana dinyatakan dalam dokumen kebijakan (to fulfill), untuk menghasilkan
output sebagaimana dinyatakan dalam tujuan kebijakan (to produce), untuk
menyelesaikan misi yang harus diwujudkan dalam tujuan kebijakan (to complete).51
Menurut Robert Nakamura dan Frank Smallwood, implementasi kebijakan
sangat berkaitan dengan tingkat keberhasilan mengevaluasi masalah lalu
menginterpretasikan ke dalam keputusan-keputusan yang bersifat khusus. Sedangkan,
Van Meter dan Van Horn yang dikutip dari Winarno menyatakan implementasi
kebijakan publik hanya sebatas tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu atau
kelompok untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan
sebelumnya. Tindakan-tindakan yang dimaksud diatas meliputi upaya-upaya untuk
mengubah keputusan-keputusan menjadi tindakan-tindakan operasional dalam kurun
50 Erwan Agus Purwanto, Implementasi Kebijakan Publik: Konsep dan Aplikasinya di Indonesia,
(Yogyakarta: Gava Media, 2012), h. 17. 51 Erwan Agus Purwanto, Implementasi Kebijakan Publik: Konsep dan Aplikasinya di Indonesia,
h. 17-20.
26
waktu tertentu maupun dalam rangka melanjutkan upaya-upaya untuk mencapai
perubahan-perubahan yang telah ditetapkan dalam suatu keputusan kebijakan.52
Implementasi merupakan tahap yang penting dalam proses kebijakan publik.
Tahapan ini menjadi penentu dari tingkat keberhasilan maupun kegagalan suatu
kebijakan. Implementasi kebijakan menjadi proses terberat setelah merumuskan
kebijakan, proses ini akan menghadapi berbagai kendala dan hambatan di lapangan
yang berbeda dari konsep yang telah dibuat. Oleh karena itu, diperlukan konsistensi
dalam implementasi kebijakan yang telah dirumuskan sebelumnya agar mempunyai
dampak atau tujuan yang diinginkan.
b. Tahapan Implementasi Kebijakan Publik
Implementasi kebijakan publik hakikatnya adalah pelaksanaan atau penerapan
keputusan yang dibuat oleh pemerintah dalam bentuk kegiatan – kegiatan baik dan
ditindak lanjuti kepada badan pelaksana kebijakan, atau oleh pemangku kepentingan
lain yang menjadi sasaran keputusan yang telah diputuskan sebelumnya sehingga
tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan tersebut bisa menimbulkan dampak,
baik dampak positif maupun dampak negatif.
c. Tahapan Implikasi
Proses yang terdapat dalam tahapan ini merupakan hasil dari setiap proses
tahapan interpretasi dan tahapan pengorganisasian.
52 Budi Winarno, Kebijakan Publik: Teori dan Proses, (Yogyakarta: Media Presindo, 2007),
h. 102.
27
2.1.3 Model Implementasi Kebijakan Publik
A. Model Grindle
Gambar II.1
Model Implementasi Kebijakan Grindle
Sumber: AG Subarsono, Analisa Kebijakan Publik: Konsep, Teori, dan Aplikasi, Pustaka Pelajar, 2005.
Model implementasi kebijakan yang dipopulerkan oleh Merilee S. Grindle
memiliki dua variabel penting yang mempengaruhi pelaksanaan suatu kebijakan,
yaitu isi kebijakan (content of policy) dan lingkungan implementasi (context of
implementation).53
Suatu kebijakan yang sudah menjadi program aksi dengan biaya
yang tersedia, belum tentu berjalan dengan baik dan sesuai yang diharapkan. Hal ini
ditentukan dari kemampuan mengimplementasikan kebijakan dan dapat dilihat dari
faktor konten dan konteks kebijakan tersebut.Variabel isi kebijakan Grindle terdiri
atas enam hal, yaitu:
a) Kepentingan yang dipengaruhi oleh kebijakan,
b) Tipe atau jenis manfaat yang akan dihasilkan,
53 AG Subarsono, Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori, dan Aplikasi, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2005), h. 93.
28
c) Tingkat perubahan yang diharapkan,
d) Kedudukan pengambil keputusan,
e) Pelaksana kebijakan,
f) Sumber daya yang dapat disediakan.
Sedangkan variabel lingkungan implementasi terdiri atas tiga hal, yaitu:
a) Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat,
b) Karakteristik lembaga dan penguasa,
c) Kepatuhan dan daya tanggap pelaksana kebijakan.
B. Model George Edwards III
Gambar II.2
Model Implementasi Kebijakan George Edwards III
Sumber: Budi Winarno, Kebijakan Publik: Teori dan Proses, Media Presindo, 2007.
Menurut Edwards, implementasi kebijakan merupakan tahapan krusial dalam
suatu kebijakan melalui program-program dan berdampak langsung terhadap
masyarakat sebagai sasaran dan tujuan yang dipengaruhinya.54
Jika suatu kebijakan
yang tidak sesuai dengan masalah yang menjadi target dari kebijakan. Maka,
kebijakan tersebut dapat mengalami kegagalan meskipun diimplementasikan dengan
baik.
54 Sri Suwitri, Konsep Dasar Kebijakan Publik, (Semarang: Universitas Diponegoro Semarang, 2008),
h. 10.
29
Sebaliknya, suatu kebijakan yang telah diformulasikan dengan baik untuk
mengatasi suatu masalah di masyarakat, bisa mengalami kegagalan jika pelaksana
kebijakan tidak mampu mengimplementasikan kebijakan dengan baik. Oleh karena
itu, Edwards menjelaskan empat faktor krusial yang mempengaruhi suatu kebijakan,
yaitu komunikasi, sumber daya, disposisi, dan struktur birokrasi.55
C. Model Mazmanian dan Sabatier
Gambar II.4
Model Implementasi Kebijakan Mazmanian dan Sabatier
Sumber: Samodra Wibawa, Evaluasi Kebijakan Publik, PT. Raja Grafindo Persada, 1994.
Menurut Mazmanian dan Sabatier, ada tiga kelompok variabel dalam model
implementasi kebijakan, yaitu;
1) Karakteristik masalah (tractability of the problem).
55 Budi Winarno, Kebijakan Publik: Teori dan Proses, (Yogyakarta: Media Presindo, 2007), h. 126.
30
2) Kemampuan regulasi dalam struktur kebijakan (ability of statute to
structurize implementation).
3) Variabel diluar kebijakan/lingkungan (nonstatutory variables affecting
implementation).
Pada variabel karakteristik masalah (tractability of the problem), terdapat
empat faktor penting untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan permasalahan agar
implementasi kebijakan berjalan dengan efektif, yakni ketersediaan dukungan teknis
dan teoritis, keragaman perilaku kelompok sasaran, persentase kelompok sasaran dari
total keseluruhan populasi, dan tingkat perubahan perilaku yang diharapkan.
Sedangkan pada variabel kemampuan regulasi dalam menstrukturisasi
implementasi (ability of statute to structurize implementation), terdiri atas tujuh
elemen yang menstrukturisasi implementasi suatu kebijakan yaitu kejelasan dan
konsisten tujuan, memiliki kajian tentang kebijakan secara teoritis maupun empiris,
memiliki pendanaan yang memadai untuk menunjang pelaksanaan kebijakan,
integrasi lembaga pelaksana kebijakan, diskresi petugas pelaksana dalam
menjalankan tugas di lapangan, sistem rekrutmen petugas pelaksana, dan keterbukaan
akses bagi publik terhadap implementasi kebijakan.
Di variabel ini, Mazmanian dan Sabatier menekankan faktor eksternal yang
memiliki pengaruh besar pada pelaksanaan kebijakan. Ada enam aspek yang meliputi
kondisi sosial, ekonomi dan teknologi, perhatian pers terhadap masalah kebijakan,
31
respon publik terhadap kebijakan, respon dan sumber daya target kebijakan,
dukungan kelompok penguasa, dan komitmen serta kemampuan petugas pelaksana.56
D. Model Van Meter dan Van Horn
Gambar II.3
Model Implementasi Kebijakan Van Meter dan Van Horn
Sumber: Riant Nugroho, Kebijakan Publik untuk Negara-Negara Berkembang, PT. Elex Media
Komputindo, 2006.
Model implementasi kebijakan Van Meter dan Van Horn memiliki enam
variabel yang dapat mempengaruhi kebijakan dengan menghubungkan seluruh
variabel ke dalam suatu simpul yang saling berkaitan antara kebijakan dan
pencapaian. Model ini memperlihatkan hubungan berbagai faktor yang
mempengaruhi hasil atau kinerja suatu kebijakan. Van Meter dan Van Horn
menjelaskan keenam variabel sebagai berikut;
a. Standar dan Sasaran Kebijakan
Standar dan sasaran merupakan hal penting dalam suatu kebijakan yang harus
diperhatikan dan dilakukan oleh pelaksana kebijakan. Hal ini berkaitan dengan
56 Samodra Wibawa, Evaluasi Kebijakan Publik, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), h. 25-26.
32
kinerja kebijakan yang menjadi tolak ukur atas tingkat keberhasilan kebijakan yang
telah dirumuskan oleh pembuat kebijakan. Oleh karena itu, standar dan sasaran
kebijakan harus disusun dengan baik, jelas dan terarah sehingga dalam tahap
pelaksanaan tidak terjadi permasalahan dalam penafsiran kebijakan yang telah
ditetapkan.
b. Sumber Daya
Suatu kebijakan yang telah dirancang dengan baik dan rapi tentunya
memerlukan sumber daya yang memadai untuk menunjang dan menggerakkan
pelaksanaan kebijakan agar sesuai dengan standar dan sasaran yang ditetapkan.
Sumber daya berupa dukungan finansial, tenaga manusia, dan alat-alat perlengkapan
lainnya sangat diperlukan untuk membantu kelancaran implementasi kebijakan agar
dapat berjalan efektif dan efisien.
c. Hubungan Antar Organisasi
Komunikasi merupakan hal penting dalam pelaksanaan suatu kebijakan atau
dalam hal ini koordinasi intra organisasi/instansi pelaksana kebijakan mulai dari
tingkat pimpinan hingga petugas pelaksana di lapangan semesti memiliki alur
komunikasi dan koordinasi yang baik dan jelas agar memudahkan pelaksanaan
kebijakan kepada target atau sasaran kebijakan.
33
Selain hubungan intra organisasi/instansi terkait, keberhasilan implementasi
kebijakan juga didukung oleh hubungan yang baik antar organisasi yang terlibat atau
memiliki kepentingan yang sama dalam kebijakan tersebut.57
d. Karakteristik Petugas Pelaksana
Karakteristik yang dimaksud Van Meter dan Van Horn dapat diperhatikan
dari struktur birokrasi badan pelaksana yang mencerminkan karakteristik, norma-
norma, dan pola-pola hubungan dalam birokrasi. Ketiga hal tersebut sangat
mempengaruhi pelaksanaan suatu kebijakan. Implementasi kebijakan sangat
terpengaruh pada struktur birokrasi yang terjadi pada suatu organisasi karena alur
birokrasi telah menciptakan hubungan yang simultan antar petugas pelaksana
kebijakan. Norma-norma yang muncul dalam suatu organisasi akan menentukan cara
pelaksanaan kebijakan baik secara formal seperti standard operating procedure
(SOP) atau pedoman pelaksanaan kebijakan maupun secara informal seperti
informasi yang bersifat nasihat dari pimpinan kepada petugas pelaksana lapangan.58
e. Kondisi Sosial, Politik dan Ekonomi
Efektivitas suatu kebijakan tak hanya dipengaruhi oleh tingkat kecakapan
petugas pelaksana dalam menjalankan kebijakan tapi juga terdapat faktor eksternal
yang tak kalah penting untuk dicermati dalam implementasi kebijakan yaitu kondisi
sosial, politik dan ekonomi yang dipengaruhi oleh kebijakan tersebut. Kondisi ini
meliputi sumber daya ekonomi yang menunjang pelaksanaan kebijakan, tingkat
57 Budi Winarno, Kebijakan Publik: Teori dan Proses, (Yogyakarta: Media Presindo, 2007), h. 112-114. 58 Samodra Wibawa, Evaluasi Kebijakan Publik, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), h. 20-21.
34
dukungan dari kelompok-kelompok kepentingan terhadap kebijakan, keadaan sosio-
ekonomi masyarakat yang akan dipengaruhi kebijakan, karakter dan opini publik
terhadap implementasi kebijakan, serta dukungan elit politik dalam pelaksanaan
kebijakan.
f. Disposisi Pelaksana
Van Meter dan Van Horn menegaskan dalam variabel ini bahwa keberhasilan
dan kegagalan implementasi suatu kebijakan ditentukan oleh perilaku petugas
pelaksana. Pemahaman dan pengetahuan petugas pelaksana terhadap kebijakan yang
dijalankan menjadi faktor penting dalam efektivitas implementasi kebijakan. Selain
itu respon atau sikap petugas pelaksana juga penting agar penyampaian informasi
kepada target atau sasaran kebijakan dapat tersampaikan dengan baik dan jelas.
Petugas pelaksana kebijakan semestinya memiliki kesamaan preferensi nilai
dengan sistem nilai kebijakan yang telah dibuat. Bersikap netral, loyal, dan obyektif
dalam menerapkan kebijakan kepada masyarakat menjadi faktor utama keberhasilan
implementasi kebijakan.59
Dalam penelitian ini, model implementasi Van Meter dan Van Horn
digunakan sebagai acuan dalam menganalisa proses implementasi kebijakan oleh
penguasa sipil dan penguasa militer terkait penyelesaian konflik di Thailand Selatan.
59 Samodra Wibawa, Evaluasi Kebijakan Publik, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), h. 21-22.
35
2.2 Teori Konflik
Konflik merupakan masalah sosial yang timbul karena adanya perbedaan
pandangan antara dua orang, kelompok bahkan negara.60
Konflik juga merupakan
gejala sosial yang selalu ada dalam kehidupan sosial, sehingga konflik bersifat
inheren artinya konflik akan senantiasa ada dalam setiap ruang dan waktu, dimana
saja dan kapan saja. Istilah “konflik” secara etimologis berasal dari bahasa Latin
“con” yang berarti bersama dan “fligere” yang berarti benturan atau tabrakan.61
Pada
umumnya istilah konflik sosial mengandung suatu rangkaian fenomena pertentangan
dan pertikaian antar pribadi melalui dari konflik kelas sampai pada pertentangan dan
peperangan internasional.
Konflik diartikan sebagai perjuangan untuk memperoleh hal-hal yang langka
seperti nilai, status, kekuasaan dan sebagainya dimana tujuan mereka berkonflik itu
tidak hanya memperoleh keuntungan tetapi juga untk menundukkan pesaingnya.
Konflik artinya perselisihan atau pertentangan. Sedangkan konflik sosial yaitu
pertentangan antar anggota atau masyarakat yang bersifat menyeluruh dikehidupan.
Konflik yaitu proses pencapaian tujuan dengan cara melemahkan pihak lawan, tanpa
memperhatikan norma dan nilai yang berlaku.62
Dalam pengertian lain, konflik
60 Council of Europe, Youth Transforming Conflict: Understanding Conflict, diakses pada tanggal 27
April 2015 dari laman http://pjp-eu.coe.int/documents/1017981/7110680/3-Understandingconflict.pdf/0f63c846-
6942-4e8f-83c0-3626f2f73dfa 61 Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan
Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), h. 345. 62 Soerjono Soekanto, Kamus Sosiologi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993), h. 99.
36
merupakan suatu proses sosial yang berlangsung dengan melibatkan orang-orang atau
kelompok-kelompok yang saling menantang dengan ancaman kekerasan.63
Dalam pandangan ini, masyarakat merupakan arena konflik atau arena
pertentangan dan integrasi yang senantiasa berlangsung. Oleh sebab itu, konflik dan
integrasi sosial merupakan gejala yang selalu mengisi setiap kehidupan sosial. Hal-
hal yang mendorong timbulnya konflik dan integrasi adalah adanya persamaan dan
perbedaan kepentingan sosial.
Di dalam setiap kehidupan sosial tidak ada satu pun manusia yang memiliki
kesamaan yang persis, baik dari unsur etnis, kepentingan, kemauan, kehendak, tujuan
dan sebagainya. Dari setiap konflik ada beberapa diantaranya yang dapat
diselesaikan, akan tetapi ada juga yang tidak dapat diselesaikan sehingga
menimbulkan beberapa aksi kekerasan. Kekerasan merupakan gejala tidak dapat
diatasinya akar konflik sehingga menimbulkan kekerasan dari model kekerasan yang
terkecil hingga peperangan.
Karl Marx mengatakan bahwa potensi-potensi konflik terutama terjadi dalam
bidang perekonomian, dan ia pun memperlihatkan bahwa perjuangan atau konflik
juga terjadi dalam bidang distribusi prestise/status dan kekuasaan politik.64
Segi
pemikiran filosofis Marx berpusat pada usaha untuk membuka kedok sistem nilai
masyarakat, pola kepercayaan dan bentuk kesadaran sebagai ideologi yang
63 J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2005), h. 68. 64 Karl Marx dan Friedrich Engels, The Communist Manifesto: A Modern Edition, (New York: Verso,
1998), h. 35.
37
mencerminkan dan memperkuat kepentingan kelas yang berkuasa. Meskipun dalam
pandangannya, orientasi budaya tidak seluruhnya ditentukan oleh struktur kelas
ekonomi, orientasi tersebut sangat dipengaruhi dan dipaksa oleh struktur tersebut.
Tekanan Marx pada pentingnya kondisi materiil seperti terlihat dalam struktur
masyarakat, membatasi pengaruh budaya terhadap kesadaran individu para
pelakunya.
Terdapat beberapa segi kenyataan sosial yang Marx tekankan, yang tidak
dapat diabaikan oleh teori apa pun yaitu antara lain adalah; pengakuan terhadap
adanya struktur kelas dalam masyarakat, kepentingan ekonomi yang saling
bertentangan diantara orang-orang dalam kelas berbeda, pengaruh yang besar dari
posisi kelas ekonomi terhadap gaya hidup seseorang serta bentuk kesadaran dan
berbagai pengaruh dari konflik kelas dalam menimbulkan perubahan struktur sosial,
merupakan sesuatu hal yang sangat penting. Marx lebih cenderung melihat nilai dan
norma budaya sebagai ideologi yang mencerminkan usaha kelompok-kelompok
dominan untuk membenarkan berlangsungnya dominasi mereka.
Lewis A. Coser terikat pada model sosiologi dengan tertumpu kepada struktur
sosial. Pada saat yang sama dia menunjukkan bahwa model tersebut selalu
mengabaikan studi tentang konflik sosial.65
Berbeda dengan beberapa ahli sosiologi
yang menegaskan eksistensi dua perspektif yang berbeda (teori fungsionalis dan teori
konflik), Coser mengungkapkan komitmennya pada kemungkinan menyatukan kedua
65 Lewis Coser, The Functions of Social Conflict, (New York: The Free Press, 1956), h. 16.
38
pendekatan tersebut. Coser mengakui beberapa susunan struktural merupakan hasil
persetujuan dan konsensus, suatu proses yang ditonjolkan oleh kaum fungsional
struktural, tetapi dia juga menunjuk pada proses lain yaitu konflik sosial.66
Coser memilih untuk menunjukkan berbagai sumbangan konflik yang secara
potensial positif yaitu membentuk serta mempertahankan struktur suatu kelompok
tertentu.67
Coser menunjukkan bahwa konflik dengan kelompok luar akan membantu
pemantapan batas-batas struktural. Sebaliknya konflik dengan kelompok luar juga
dapat mempertinggi integrasi di dalam kelompok. Coser berpendapat bahwa “tingkat
konsensus kelompok sebelum konflik terjadi” merupakan hubungan timbal balik
paling penting dalam konteks apakah konflik dapat mempertinggi kohesi kelompok.
Coser menegaskan bahwa kohesi sosial dalam kelompok itu tergantung pada
penerimaan secara total seluruh aspek-aspek kehidupan kelompok. Konflik dengan
kelompok-kelompok lain bisa saja mempunyai dasar yang realistis, tetapi konflik ini
sering (sebagaimana yang telah kita lihat dengan berbagai hubungan emosional yang
intim) berdasar atas isu yang non-realistis.68
Coser mengatakan musuh-musuh baru mungkin mencoba untuk lebih
memperkuat perkembangan dan peningkaan kohesi kelompok-kelompok yang
demikian tak hanya mencapai identitas struktural lewat oposisi dengan berbagai
kelompok luar tetapi dalam perjuangannya juga mengalami peningkatan integrasi dan
66 Lewis Coser, The Functions of Social Conflict, (New York: The Free Press, 1956), h. 33. 67 Lewis Coser, The Functions of Social Conflict, h. 46. 68 Lewis Coser, The Functions of Social Conflict, h. 67.
39
kohesi.69
Coser mendefinisikan konflik sosial sebagai suatu perjuangan terhadap nilai
dan pengakuan terhadap status yang langka, kemudian kekuasaan dan sumber-sumber
pertentangan dinetralisir atau dilangsungkan atau dieliminir saingannya.70
Berbeda dengan Coser, Edward Azar mendefinisikan konflik berasal dari
suatu kelompok (etnis, agama, bahasa, atau karakteristik budaya) ditolak identitasnya
di suatu wilayah yang memiliki perbedaan dengan identitas tersebut.71
Dipahami oleh
Edward bahwa konflik adalah gagasan realis politik yang melihat konflik menjadi
perebutan kekuasaan tak terelakkan dan semua tingkatan berusaha untuk membangun
beberapa keunggulan komparatif.
Konflik diartikan sebagai perjuangan untuk memperoleh hal-hal yang langka
seperti nilai, status, kekuasaan, dan sebagainya. Tujuan pihak yang berkonflik tidak
hanya memperoleh keuntungan tetapi juga untuk menundukkan pesaingnya. Seperti
yang didefinisikan oleh Lawang, Konflik dapat diartikan sebagai benturan kekuatan
dan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lain dalam proses perebutan
sumber-sumber kemasyarakatan (ekonomi, politik, sosial dan budaya) yang relatif
terbatas.72
Menurut Dahrendorf, ia melihat teori konflik sebagai teori parsial,
menganggap teori itu merupakan perspektif yang dapat dipakai untuk menganalisa
69 Lewis A. Coser, “Social Conflict and the Theory of Social Change”, The British Journal of Sociology,
Vol. 8, No. 3, September 1957, (London: The London School of Economics and Political Science, 1957), h. 203. 70 Irving M. Zeitlin, Memahami Kembali Sosiologi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1998),
h. 156. 71 Edward E. Azar, The Management of Protracted Conflict: Theory & Cases, (Aldershot: Dartmouth,
1990), h. 6. 72 Robert Lawang, Buku Materi Pokok Pengantar Sosiologi, (Jakarta: Universitas Terbuka, 1994), h. 53.
40
fenomena sosial. Dahrendorf menganggap masyarakat berisi ganda, memiliki sisi
konflik dan sisi kerjasama.73
Asumsi Dahrendorf tentang masyarakat ialah bahwa
setiap masyarakat setiap saat tunduk pada proses perubahan, dan pertikaian serta
konflik ada dalam sistem sosial juga berbagai elemen kemasyarakatan memberikan
kontribusi bagi disintegrasi dan perubahan. Suatu bentuk keteraturan dalam
masyarakat berasal dari pemaksaan terhadap anggotanya oleh mereka yang memiliki
kekuasaan, sehingga ia menekankan tentang peran kekuasaan dalam mempertahankan
ketertiban dalam masyarakat.
Bagi Dahrendorf, masyarakat memiliki dua wajah, yakni konflik dan konsesus
yang dikenal dengan teori konflik dialektika.74
Dengan demikian diusulkan agar teori
sosiologi dibagi menjadi dua bagian yakni teori konflik dan teori konsesus. Teori
konflik harus menguji konflik kepentingan dan penggunaan kekerasan yang mengikat
masyarakat sedangkan teori konsesus harus menguji nilai integrasi dalam masyarakat.
Bagi Dahrendorf, masyarakat tidak akan ada tanpa konsesus dan konflik. Masyarakat
disatukan oleh ketidakbebasan yang dipaksakan. Dengan demikian, posisi tertentu di
dalam masyarakat mendelegasikan kekuasaan dan otoritas terhadap posisi yang lain.
Jadi ada perilaku yang ditentukan dan perilaku yang otonom, maka keduanya harus
seimbang.
73 Ralf Dahrendorf, Class and Class Conflict in Industrial Society, (Stanford: Stanford University Press,
1959), h. 24 74 Ralf Dahrendorf, Class and Class Conflict in Industrial Society, h. 24.
41
Teori konflik dipahami melalui suatu pemahaman bahwa masyarakat
memiliki dua wajah karena setiap masyarakat kapan saja tunduk pada perubahan,
sehingga asumsinya bahwa perubahan sosial ada dimana-mana, selanjutnya
masyarakat juga bisa memperlihatkan perpecahan dan konflik pada saat tertentu dan
juga memberikan kontribusi bagi disintegrasi dan perubahan, karena masyarakat
didasarkan pada paksaan dari beberapa anggotanya atas orang lain.
Dahrendorf adalah tokoh utama yang berpendirian bahwa masyarakat
mempunyai dua wajah (konflik dan konsensus).75
Oleh karena itu, harus dibagi
menjadi dua bagian: teori konflik dan teori konsensus. Teoritisi konsensus harus
menguji nilai integrasi dalam masyarakat dan teoritisi konflik harus menguji konflik
kepentingan dan penggunaan kekerasan yang mengikat masyarakat bersama
dihadapan tekanan itu. Dahrendorf mengakui bahwa masyarakat tak akan ada tanpa
konsensus dan konflik yang menjadi persyaratan satu sama lain. Jadi, kita tidak akan
punya konflik kecuali ada konsensus sebelumnya.76
Konsep teori ini adalah wewenang dan posisi. Keduanya merupakan fakta
sosial. Distribusi kekuasaan dan wewenang secara tidak merata tanpa kecuali menjadi
faktor yang menentukan konflik sosial secara sistematis. Perbedaan wewenang adalah
suatu tanda dari adanya berbagai posisi dalam masyarakat. Perbedaan posisi serta
perbedaan wewenang di antara individu dalam masyarakat itulah yang harus menjadi
75 Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, (Jakarta: CV. Rajawali, 2000), h.131. 76 George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, (Jakarta: Prenada Media, 2004),
h. 154.
42
perhatian utama. Struktur yang sebenarnya dari konflik-konflik harus diperhatikan di
dalam susunan peranan sosial yang dibantu oleh harapan-harapan terhadap
kemungkinan mendapatkan dominasi. Tugas utama menganalisa konflik adalah
mengidentifikasi berbagai peranan kekuasaan dalam masyarakat.77
2.3 Teori Hubungan Sipil-Militer
Sejak tahun 1945, studi hubungan sipil-militer mulai berkembang di Amerika
Serikat. Kemunculan studi ini disebabkan oleh dua faktor utama yaitu perubahan
situasi keamanan internasional pasca perang dunia II, dan perkembangan ilmu sosial
modern abad ke-20.78
Perkembangan studi hubungan sipil-militer semakin pesat ketika munculnya
tokoh Samuel Huntington dengan karyanya “The Soldier and The State”. Huntington
mengemukakan gagasannya mengenai teori hubungan sipil-militer bahwa kelompok
sipil dapat mengendalikan militer melalui dua cara yaitu kontrol sipil subyektif
(Subjective Civilian Control) dan kontrol sipil obyektif (Objective Civilian
Control).79
Huntington memfokuskan teori hubungan sipil-militer dengan meminimalisir
kekuasaan yang dimiliki militer dan memperkuat kekuasaan sipil atas militer. Oleh
karena itu, Huntington mengemukakan konsep kontrol sipil subyektif (Subjective
77 George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2010), h. 26. 78 Peter Douglas Feaver, “Civil-Military Relations”, Annual Review of Political Sciences Vol. 2, (North
Carolina: University of Kentucky, 1999), h. 212. 79 Samuel P. Huntington, The Soldier and The State: Theory and Politics of Civil-Military Relations,
(Massachussett: Harvard University Press, 1964), h. 80.
43
Civilian Control). Konsep ini berusaha memaksimalkan peran dan kekuasaan sipil
dengan penguatan konstitusi negara – parlementer dan presidensial. Pada akhirnya,
militer harus bergantung pada kelompok elit politik dan memperlemah pengaruh
militer dengan menolak keberadaan institusi militer yang independen sehingga terjadi
civilianization of the military.80
Berbeda halnya dengan kontrol sipil subyektif, pendekatan kontrol sipil obyektif
(Objective Civilian Control) lebih terfokus pada penguatan potensi militer sebagai
lembaga profesional. Demi tercapai tujuan tersebut, kelompok elit sipil harus
membagi kekuasaan kepada militer dengan memberikan otonomi khusus dalam hal
keamanan dan pertahanan serta kebijakan yang mendukung profesionalitas militer.
Sebaliknya, militer harus menghargai adanya kekuasaan politik sipil dan bersedia
menjadikan militer sebagai alat negara. Hal ini berdampak pada pembatasan militer
terhadap posisi atau pengaruh politik.81
Jika dirujuk menggunakan teori hubungan sipil-militer oleh Huntington,
profesionalitas militer di Thailand sangat berpengaruh besar pada politik nasional
Thailand sehingga hubungan sipil-militer di Thailand tidak selalu berjalan mulus dan
kerap terjadi ketegangan yang memicu timbulnya krisis politik berkepanjangan.
Khusus penanganan konflik separatis di Thailand Selatan, terjadi perebutan
kekuasaan dalam kepemimpinan proses rekonsiliasi konflik di Thailand Selatan.
80 Samuel P. Huntington, The Soldier and The State: Theory and Politics of Civil-Military Relations,
h. 83. 81
Samuel P. Huntington, The Soldier and The State: Theory and Politics of Civil-Military Relations, h.
80-85.
44
Kubu Thaksin bersama para pemimpin elit politik dan birokrat bersaing dengan
kekuasaan Raja Thailand bersama militer yang menganggap dirinya sebagai “The
Guardian of Thai Nation” (Penjaga Bangsa Thailand).82
Ketegangan dalam hubungan
sipil-militer dapat terjadi jika penguasa menggunakan militer sebagai alat perubahan
sosial.83
Kepemimpinan penguasa militer Surayud Chulanont berusaha meminimalisir
peran sipil dalam proses penyelesaian konflik di Thailand Selatan dengan lebih
mengedepankan penggunaan aparat keamanan dan operasi militer. Sedangkan
kepemimpinan penguasa sipil Yingluck Shinawatra berusaha mengurangi peran
militer dalam sektor keamanan di Thailand Selatan dan memaksimalkan peran sipil
khususnya penggunaan paramiliter (kelompok sipil bersenjata) serta memfokuskan
pada isu pembangunan dan perundingan dengan militer.
82 International Crisis Group, “A Coup Ordained? Thailand Prospects for Stability” Crisis Group Asia
Report No263 December 2014, (Bangkok: International Crisis Group, 2014), h. 1-3. 83 Edward R. Taylor, Command in The 21st Century: An Introduction of Civil-Military Relations,
(California: United State Naval Academy, 1998), h. 30.
45
BAB III
LATAR BELAKANG KONFLIK SEPARATIS DI THAILAND SELATAN
Gerakan separatisme merupakan suatu gerakan yang berupaya memisahkan
diri dari suatu wilayah atau sekelompok manusia.84
Gerakan separatis sering terjadi
akibat munculnya rasa ketidakadilan terhadap kebijakan yang telah dibuat atau
adanya kesenjangan sosial terhadap wilayah tersebut sehingga timbul upaya untuk
melawan penguasa dan menginginkan kemerdekaan. Keinginan tersebut menuntut
keadilan atas hak-hak politik atau hak kekayaan alam yang terkandung dalam wilayah
tersebut.
Separatisme merupakan gerakan politik terhadap suatu negara yang bercita-
cita untuk membentuk sebuah daerah otonom menjadi wilayah merdeka.85
Pola inilah
yang ditemukan dalam gerakan separatis di Thailand Selatan. Berawal dari kegagalan
pemerintah Thailand mengakomodasi perbedaan identitas dengan menerapkan
kebijakan yang monolitik (single identity) melalui berbagai program integrasi dan
sentralisasi pembangunan nasional. Kebijakan ini secara langsung memaksa
masyarakat Islam Melayu di Thailand Selatan agar mengadopsi kehidupan
masyarakat Buddha Thailand.
Situasi ini didukung oleh keadaan sosial ekonomi yang cenderung miskin di
empat provinsi Islam di Thailand Selatan. Hal ini diakibatkan adanya kesenjangan
84 Yuna Hiraide, “Creating A Framework for the Peaceful Resolution of the Separatist State
Movement,” DIMUN V Research Report, 13 November 2014, h. 1. 85 Thomas Goumenos, Mechanism of Ethnic and Separatist Movement, (Essex: Essex University Press,
2006), h. 4.
46
pembangunan dan kurangnya perhatian pemerintah dalam pemerataan ekonomi.
Kegagalan pejabat pemerintah daerah yang berasal dari utusan pemerintah pusat
dalam melakukan pendekatan kepada warga setempat dan kurangnya pemahaman
terkait agama, budaya dan etnik menimbulkan rasa ketidakpuasan warga terhadap
otoritas yang memimpin wilayah tersebut dan melatarbelakangi lahirnya ide-ide
untuk memperoleh keadilan dan persamaan hak sebagai warga negara.
Berbagai upaya dilakukan agar tercapai tujuannya mulai dari penyampaian
aspirasi secara damai melalui dialog dengan otoritas setempat hingga tindakan
anarkis yang mengganggu keamanan dan stabilitas politik wilayah tersebut demi
mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah pusat ataupun penguasa. Hal inilah
yang dialami Thailand, gerakan separatis yang terdapat di bagian Selatan negara ini
berupaya untuk memperoleh otonomi khusus hingga memisahkan diri dari Thailand.
3.1 Gambaran Umum Konflik Separatis di Thailand Selatan
Konflik separatis yang terjadi di Thailand Selatan merupakan hasil dari
konflik lama antara kelompok minoritas Muslim Melayu dengan kelompok mayoritas
Buddha Siam (Thailand). Wilayah yang telah menjadi tempat tinggal bagi tiga juta
jiwa warga Muslim atau 80 persen dari jumlah populasi di provinsi Patani, Yala, dan
Narathiwat.86
86 Felik Hiduk dan Kay Moller, “Southern Thailand: The Origins of Violence”, Stiftung Wissenschaft
und Politik Comment Vol. 7, Mei 2004, (Berlin: German Institute or International and Security Affairs, 2004), h. 2.
47
Konflik di Thailand Selatan diawali sejak peristiwa aneksasi wilayah Patani
Raya (Patani, Yala, Narathiwat dan Songkla) ke dalam wilayah kerajaan Siam
(Thailand). Proses penggabungan wilayah ditandai dengan perjanjian pembagian
wilayah antara kerajaan Siam (Thailand) dengan pemerintah Inggris tahun 1909
(Anglo-Siam Treaty).87
Pasca perjanjian tersebut, wilayah Patani, Yala, Narathiwat
dan Songkla dengan mayoritas penduduk beragama Islam keturunan Melayu
terintegrasi ke dalam kerajaan Siam yang menganut agama Buddha.
Sejak integrasi wilayah Patani menjadi Thailand Selatan, masyarakat Muslim
Melayu harus mengikuti pola integrasi nasional yang diterapkan Thailand yaitu
ideologi Thainess. Ideologi Thainess merupakan karakter nasional yang berkonsep
sebagai satu bangsa, satu bahasa, satu agama, dan satu kerajaan yang menjadi ciri
khas Thailand.88
Paham Thainess menjadi dasar kebijakan pemerintah Thailand
memberlakukan program asimilasi diseluruh wilayah Thailand. Hal ini menjadikan
bahasa resmi negara adalah bahasa Thai dan mengeliminasi budaya Melayu yang
identik dengan Islam menjadi budaya Thai.89
Selain kebijakan asimilasi terdapat juga
kebijakan politik sentralistik yang dianggap sebagai tindakan yang mengintimidasi
87 Thanet Aphornsuvan, “Origins of Malay Muslim “Separatism” in Southern Thailand,” Asia Research
Institute: Working Paper Series No. 32, (Bangkok: Thammasat University, 2004), h. 2. 88 Thanet Aphornsuvan, “Origins of Malay Muslim “Separatism” in Southern Thailand,” h. 9. 89 Saichol Sattayanurak, The Construction of Mainstream Thought on “Thainess” and the “Truth”
Constructed by “Thainess, (Chiang Mai: Chiang Mai University, t.t), h. 3.
48
masyarakat Thailand Selatan dengan menempatkan pejabat-pejabat pemerintah
daerah di Thailand Selatan berasal dari utusan pemerintah pusat Thailand.90
Masyarakat Muslim Melayu dipaksa menjadi bagian negara Thailand melalui
serangkaian program integrasi dengan menjadikan mereka bangsa Thai (Thainess).
Pemerintah Thailand secara paksa telah menghancurkan kedaulatan dan kemandirian
masyarakat Muslim Melayu sebagai suatu entitas politik, budaya, bahasa, dan agama
yang telah ada sebelumnya. Kegiatan pembangunan nasional diimplementasikan
melalui program migrasi yang dipaksakan (forced migration policy), sentralisasi
pembangunan serta timpangnya pembagian hasil sumberdaya ditambah lagi dengan
implementasi praktek asimilasi masyarakat mayoritas Buddha Thailand baik dalam
bidang sosial politik, sosial budaya, maupun sosial ekonomi terhadap Muslim Melayu
di Thailand Selatan.91
Dilihat secara geografis, perubahan wilayah yang terjadi ini, Patani yang
asalnya merdeka dan merupakan mayoritas kemudian berubah sebagai wilayah
subordinat Thailand serta menjadi minoritas di level nasional.92
Muslim Melayu di
Thailand Selatan memiliki agama, budaya, bahasa, dan ethnik yang berbeda pula
sehingga mereka sering dianggap sebagai outsider, orang luar dan warganegara kelas
dua di Thailand. Kelompok minoritas Muslim Patani seakan tidak mendapat tempat
90 Thanet Aphornsuvan, “Origins of Malay Muslim “Separatism” in Southern Thailand,” h. 67. 91 Paulus Rudolf Yuniarto, “Minoritas Muslim Thailand: Asimilasi, Perlawanan Budaya dan Akar
Gerakan Separatisme”, Jurnal Masyarakat dan Budaya, Vol. 7, No. 1, Tahun 2005, (Jakarta: LIPI, 2005),
h. 91-92. 92 Paulus Rudolf Yuniarto, “Minoritas Muslim Thailand: Asimilasi, Perlawanan Budaya, dan Akar
Gerakan Separatisme”, h. 94-95.
49
dan mendapat perlakuan yang berbeda. Mereka dipandang sebagai kelompok lain
(outsiders) justru di tanah airnya sendiri. Kenyataan ini bisa menjadi acuan, mengapa
daerah Selatan Thailand sering muncul konflik dibandingkan daerah lainnya.
Konflik berkepanjangan memicu tumbuhnya generasi baru perlawanan
masyarakat Muslim Melayu. Pada tahun 1950-an atau setengah abad pasca
penggabungan paksa wilayah Patani Raya ke dalam negara Thailand dan
implementasi kebijakan-kebijakan yang tidak akomodatif bagi masyarakat Melayu
Muslim di wilayah Thailand Selatan. Muncullah organisasi-organisasi separatis yang
bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat Muslim Melayu diantaranya;
a. Barisan Nasional Pembebasan Patani (BNPP) yang didirikan oleh para
pemuka agama setempat dan didukung oleh kaum intelektual muslim
Thailand yang berasal dari Arab Saudi, Mesir dan Pakistan;
b. Barisan Revolusi Nasional (BRN) dibentuk oleh sekumpulan prajurit-
prajurit Muslim di wilayah Thailand Selatan;
c. Patani United Liberation Organization (PULO) merupakan organisasi
yang didirikan oleh para pelajar Muslim di Thailand Selatan yg bersekolah
diluar negeri;
d. Gerakan Mujahidin Islam Patani (GMIP) yang berasal dari sekumpulan
veteran perang Afghanistan dari wilayah Thailand Selatan.93
93 Felik Hiduk dan Kay Moller, “Southern Thailand: The Origins of Violence”, h. 2.
50
3.2 Kelompok – Kelompok Gerakan Separatis di Thailand Selatan
3.2.1 Barisan Nasional Pembebasan Patani (BNPP – BIPP)
Barisan Nasional Pembebasan Patani atau disingkat BNPP merupakan
organisasi separatis pertama yang terbentuk pada tahun 1959.94
Organisasi ini
pertama kali dipimpin oleh Tengku Mahmud Mahyiddin, anak dari raja Patani
terakhir, Tengku Abdul Kadir. Pembentukan BNPP di insiasi oleh dua organisasi
masyarakat di Thailand Selatan yaitu Gabungan Melayu Patani Raya (GAMPAR),
dan Patani People’s Movement (PPM).95
Para tokoh-tokoh penting dalam BNPP
berasal dari berbagai golongan mulai dari politisi, pemuka agama hingga tokoh
pendidikan di Thailand Selatan.
Pergerakan organisasi ini cukup masif dan terstruktur, BNPP merekrut para
pemuda dan pelajar muslim dan kemudian dikirim keluar negeri diantaranya
Malaysia, Indonesia, Mesir, Pakistan, dan Arab Saudi untuk membangun jaringan
BNPP di luar negeri seperti Rumah Patani di Mesir dan Akhon di Arab Saudi. Selain
itu, BNPP juga mengirim para pemuda untuk berlatih kemiliteran dan teknik gerilya
di Libya, Suriah dan Afghanistan. Semua hal itu dilakukan untuk mendidik para
kader muda BNPP untuk memperjuangkan kemerdekaan Patani Raya.96
94 International Crisis Group, “Southern Thailand: Insurgency, Not Jihad”, Crisis Group Asia Report
N°98, Mei 2005, (Singapura: International Crisis Group, 2005), h. 6. 95 Osman Abdullah Chuah, ”Conflict and Peace Initiatives Between Minority Muslims and Thai
Buddhists in Southern Thailand,” diakses pada tanggal 19 Oktober 2014 dari laman
http://www.religionconflictpeace.org/print/61 96 International Crisis Group, “Southern Thailand: Insurgency, Not Jihad”, h. 6-7.
51
Pembentukan pasukan bersenjata juga menjadi salah satu cara BNPP
melancarkan intervensi terhadap pemerintah Thailand. Dibawah kepemimpinan
militer Idris Mat Diah alias Pak Yeh alias Deureh Madiyoh, BNPP berhasil
menghimpun sekitar 200 - 300 personil untuk menjalankan aksi – aksi subversif
terhadap aparat keamanan Thailand sekaligus memprovokasi masyarakat muslim
untuk bergabung sebagai anggota BNPP.97
Pemimpin BNPP Tengku Abdul Jalal menetap di Kelantan, Malaysia dan
menjalankan berbagai agenda politik di Malaysia diantaranya menjalin kerjasama
dengan Partai Islam Se-Malaysia (PAS) dan mengajak para pemuda untuk menjadi
warga Malaysia dan memiliki kewarganegaraan ganda serta masuk ke dalam
pemerintahan Malaysia agar mempermudah BNPP dalam menjalankan operasi lintas
perbatasan.
Seiring dengan pesatnya perkembangan BNPP baik dalam maupun luar
negeri, Barisan Nasional Pembebasan Patani menjadi sangat terkenal di dunia
internasional dan menjadi ancaman terbesar bagi pemerintah Thailand. Hal ini
terbukti dengan keberhasilan BNPP membawa permasalahan Thailand Selatan ke
Konferensi Menteri Luar Negeri Muslim di Istanbul, Turki pada tahun 1976.98
Selain
97 International Crisis Group, “Southern Thailand: Insurgency, Not Jihad”, h. 6-7. 98 Fadinla Da-oh, Ideologi Politik Organisasi Perjuangan Melayu Muslim di Patani Thailand Selatan,
(Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2008), h. 36.
52
itu, menjalin kerjasama dengan berbagai organisasi internasional seperti Organisasi
Pembebasan Palestina (PLO), Liga Arab, dan Organisasi Konferensi Islam (OIC).99
Barisan Nasional Pembebasan Patani melakukan berbagai macam upaya
untuk memperoleh kemerdekaan dan terlepas dari kekuasaan pemerintah Thailand.
Prinsip ini sangat berbeda dari organisasi-organisasi pendahulunya seperti Gabungan
Melayu Patani Raya (GAMPAR) memiliki tujuan untuk bergabung dengan Malaysia
atau Patani People’s Movement (PPM) menuntut adanya otonomi khusus untuk
beberapa wilayah di Thailand Selatan yaitu Patani, Yala, dan Narathiwat. BNPP
memiliki cakupan yang sangat luas, tak hanya sekedar daerah otonomi khusus atau
integrasi tetapi negara independen yang berdaulat.100
Demi mencapai tujuan kemerdekaan Patani Raya, BNPP menetapkan
landasan revolusi dan manifesto perjuangan Melayu Muslim Patani.101
Berikut lima
landasan revolusi Barisan Nasional Pembebasan Patani yaitu;
1) Angkatan tentara gerilya adalah angkatan tentara nasional, sebagai angkatan
tentara rakyat Patani yang berjuang untuk kemerdekaan dan tidak melakukan
perkara-perkara yang tidak adil atau menghina kaum wanita dan anak-anak.
2) Tidak melakukan perampokan harta benda, membuat kebinasaan atau
mengganggu mata pencaharian rakyat yang sah mengikuti undang-undang dan
menurut prinsip ajaran Islam.
99 International Crisis Group, “Southern Thailand: Insurgency, Not Jihad”, h. 7. 100 International Crisis Group, “Southern Thailand: Insurgency, Not Jihad”, h. 11. 101 Fadinla Da-oh, Ideologi Politik Organisasi Perjuangan Melayu Muslim di Patani Thailand Selatan,
h. 35.
53
3) Menghormati adat-istiadat atau carahidup rakyat serta memberikan kerjasama
terhadap mereka.
4) Berjuang dengan gagah dan berani di samping menghormati tunas-tunas
perjuangan dengan tenaga dan daya sendiri, dan segala peralatan senjata yang
dirampas akan dirahasiakan tempat simpanannya.
5) Segala keputusan masyarakat hendaklah mengikuti suara terbanyak dan ini
akan dianggap penting, hendaklah diadakan latihan-latihan dan memberikan
pengetahuan mengenai peperangan, muslihat perang gerilya dan ajaran-ajaran
doktrin pemberontakan.
Barisan Nasional Pembebasan Patani juga memiliki enam manifesto yang
menjadi cita-cita perjuangan kemerdekaan Patani Raya, yakni:
1) Menuntut kemerdekaan hak bangsa Melayu Patani yaitu Tanah Air, Agama
Islam, Bahasa, kebudayaan dan Kedaulatan pemerintahan Melayu Patani.
2) Mewujudkan sebuah negara Islam Patani dan mewujudkan sebuah masyarakat
yang menjalankan hukum Islam dalam kehidupan sehari-hari serta menuntut
keridhoan dari Allah SWT.
3) Berusaha menyatukan perjuangan kemerdekaan Patani supaya berada di
bawah satu puncak pimpinan partai.
4) Mengorganisasikan kekuatan rakyat ke arah perjuangan kemerdekaan yang
lebih terorganisir.
5) Menjadikan suara rakyat Patani keperingkat antara bangsa.
6) Menegakkan konsep hidup bersama antara negara dan menjunjung tinggi
piagam bangsa-bangsa bersatu.102
Pada tahun 1977, pemimpin BNPP Tengku Abdul Jalal meninggal di
Kelantan, Malaysia. Hal ini menjadi awal kemunduran organisasi tersebut. Setahun
102 Fadinla Da-oh, Ideologi Politik Organisasi Perjuangan Melayu Muslim di Patani Thailand Selatan,
h. 36.
54
kemudian, Partai Islam Se-Malaysia (PAS) sebagai aliansi utama organisasi BNPP
mengalami kekalahan dan menjadikan BNPP semakin merosot. Pada tahun 1986,
BNPP resmi berganti nama menjadi Barisan Islam Pembebasan Patani (BIPP).103
3.2.2 Barisan Revolusi Nasional (BRN)
Organisasi ini didirikan pada bulan Maret 1960 oleh Ustadz Haji Abdul
Karim Hassan, seorang guru agama di distrik Ruso, Narathiwat. Pembentukan
Barisan Revolusi Nasional atau disingkat BRN di latar belakangi oleh kebijakan
Program Peningkatan Pendidikan yang dicetuskan pemerintah Thailand dibawah
kepemimpinan Marsekal Sarit Thannarat yang memerintahkan agar sekolah-sekolah
agama untuk menerapkan kurikulum sekuler dalam kegiatan belajar mengajar dan
mengubah status dari sekolah agama (ponoh) menjadi sekolah umum pendidikan
Islam (rongrian ekachon son satsana Islam).104
Bagi sekolah yang menolak
kebijakan,akan ditutup secara paksa.
Penerapan kebijakan ini menyebabkan banyak pelajar Melayu Muslim
melanjutkan studi ke sekolah sekuler yang mengadopsi kurikulum nasional Thailand.
Sedangkan para guru agama menentang kebijakan ini karena dianggap menyalahi
sistem pengajaran agama Islam, diantara yang menentang ialah Abdul Karim Hassan.
103 International Crisis Group, “Stalemate in Southern Thailand”, Crisis Group Asia Briefing N°113,
November 2010, (Bangkok: International Crisis Group, 2010), h. 8. 104 International Crisis Group, “Southern Thailand: Insurgency, Not Jihad”, h. 7.
55
Ia beranggapan kebijakan ini merupakan upaya pemerintah Thailand mengasimilasi
masyarakat Muslim dan melemahkan budaya Melayu di wilayah Thailand Selatan.105
Oleh karena itu, BRN dibentuk sebagai organisasi politik yang menentang
kebijakan pemerintah Thailand dengan menggunakan jaringan sekolah-sekolah
agama sebagai basis pertahanan dan membentuk pasukan bersenjata guna
melancarkan intervensi yang dapat mengganggu stabilitas negara. Perlawanan
bersenjata BRN dipimpin oleh Jehku Baku alias Mapiyoh Sadalah dan memiliki
kekuatan tempur 150 hingga 300 personil yang tersebar di provinsi Yala dan
Songkhla.106
Abdul Karim Hassan bersama para tokoh intelektual muda menjadikan BRN
sebagai bentuk perjuangan meraih kemerdekaan dari pemerintah Thailand dan
mendirikan sebuah negara republik yang berasaskan nasionalisme, sosialisme dan
Islam atau dikenal dengan ideologi “Sosialisme Islam”.107
Barisan Revolusi Nasional
memiliki dua misi utama dalam memperjuangkan kemerdekaannya108
, antara lain;
1) Menjadikan seluruh wilayah berpenduduk mayoritas Muslim di Thailand
Selatan (Yala, Patani, Narathiwat, dan sebagian distrik di Songkhla) sebagai
bagian dari negara Patani Raya yang berdaulat dan meraih kemerdekaan
penuh dari Thailand.
105 International Crisis Group, “Southern Thailand: Insurgency, Not Jihad”, h. 7-8. 106 International Crisis Group, “Southern Thailand: Insurgency, Not Jihad”, h. 8. 107 International Crisis Group, “Southern Thailand: Insurgency, Not Jihad”, h. 8. 108 Peter Chalk, The Malay-Muslim Insurgency in Southern Thailand: Understanding The Conflict’s
Evolving Dynamic, (Virginia: Rand Corporation, 2008), h. 5-6.
56
2) Menggabungkan seluruh wilayah di Patani Raya menjadi satu-satunya bangsa
Melayu Muslim Sosialis di Asia Tenggara dan dipimpin oleh seorang
penguasa dibawah satu bendera kebangsaan.
Paham Sosialisme Islam yang diusung BRN menimbulkan kekhawatiran
sekaligus ancaman terbesar bagi Pemerintah Thailand karena organisasi sayap kiri ini
berhasil menjalin hubungan baik dengan Partai Komunis Thailand dan Partai Sosialis
Rakyat Malaya (Malaysia). Selain itu, Barisan Revolusi Nasional mendapat
dukungan dari para kelompok ultrakonservatif di Malaysia dan Timur Tengah seperti
Aljazair, Libya, dan Suriah.109
Hubungan erat yang terjalin antara BRN dengan Partai Komunis di Thailand
dan Malaysia mengancam stabilitas keamanan wilayah perbatasan kedua negara, hal
ini yang menjadi concern utama pemerintah Thailand karena BRN telah mengubah
konflik internal antara pemerintah Thailand dengan kelompok minoritas Melayu
Muslim menjadi konflik ideologi yang lebih berbahaya. Konflik ini dapat
mengundang perhatian kelompok radikal dan kelompok kiri dari negara-negara blok
sosialis, terutama Vietnam dan Tiongkok.110
Barisan Revolusi Nasional beranggapan bahwa paham sosialisme merupakan
tren baru dalam perjuangan masyarakat Melayu Muslim sehingga dapat menarik
minat para pemuda untuk ikut terlibat dalam pergerakan organisasi tersebut. Selain
itu, paham sosialisme juga memberikan keuntungan berupa jaringan yang besar
109 International Crisis Group, “Southern Thailand: Insurgency, Not Jihad”, h. 8. 110 Fadinla Da-oh, Ideologi Politik Organisasi Perjuangan Melayu Muslim di Patani Thailand Selatan,
h. 40.
57
khususnya dalam suplai persenjataan dan strategi gerilya. Namun demikian, hal ini
menimbulkan kontroversi dan sentimen dari kelompok konservatif Islam baik di
Thailand maupun luar negeri seperti Malaysia dan negara-negara Arab yang
menganggap pergerakan BRN cenderung ke arah sosialisme dan dapat merusak citra
perjuangan kemerdekaan masyarakat Melayu Muslim.111
Pada tahun 1980-an, pemerintah Thailand melakukan operasi militer besar-
besaran di wilayah Patani, Yala, Narathiwat dan Bangkok untuk mengatasi
pergerakan kelompok sayap kiri yang dipelopori Barisan Revolusi Nasional. Aparat
keamanan Thailand menangkap para guru agama dan menutup sekolah-sekolah
agama di provinsi Yala yang dianggap sebagai basis komunis. Hal ini menjadikan
preseden buruk bagi masyarakat Melayu Muslim, khususnya BRN karena pemerintah
Thailand menganggap orang Melayu adalah orang komunis.112
Akibatnya, timbul perpecahan dikalangan internal BRN karena dianggap
menyalahi landasan organisasi BRN yang semula berjuang atas dasar solidaritas etnik
dan agama berubah menjadi perjuangan ideologi semata. Selain itu, hubungan yang
kurang baik dengan kalangan konservatif Islam yang merupakan kelompok dominan
semakin memperlemah pengaruh BRN di wilayah Thailand Selatan.113
111 Laili Maftukhah, Gerakan Pembebasan Islam Pattani di Thailand Selatan Pada Tahun 1973-1982,
(Surabaya: UIN Sunan Ampel Surabaya, 2011), h. 55. 112 Fadinla Da-oh, Ideologi Politik Organisasi Perjuangan Melayu Muslim di Patani Thailand Selatan,
h. 42. 113 Peter Chalk, The Malay-Muslim Insurgency in Southern Thailand: Understanding The Conflict’s
Evolving Dynamic, h. 6.
58
Pada tahun 1990-an, Barisan Revolusi Nasional mulai mengalami
kemunduran dan disintegrasi yang sistematis ditandai dengan kemunculan organisasi
pecahan diantaranya Barisan Revolusi Nasional Ulama (BRN-Ulama), Barisan
Revolusi Nasional Kongres (BRN-Kongres) dan Barisan Revolusi Nasional
Coordinate (BRN-C).114
3.2.3 Patani United Liberation Organization (PULO)
Organisasi Persatuan Pembebasan Patani atau dikenal dengan PULO dibentuk
pada tahun 1968 oleh Tengku Bira Kotanila alias Kabir Abdul Rahman. Ia berasal
dari keturunan bangsawan, Bira merupakan putra dari Raja Raman, Kadir Abdul
Rahman.115
Selain itu, ia merupakan tokoh intelektual lulusan ilmu politik Universitas
Muslim Aligarh, India. Menurut Bira, pembentukan PULO merupakan solusi jalan
tengah dalam gerakan perjuangan Melayu Muslim. Ia beranggapan bahwa organisasi-
organisasi pendahulunya terlalu membatasi keinginan masyarakat Melayu Muslim
secara umum sehingga strategi perjuangan pun menjadi tidak efektif.116
Berbeda dengan para pendahulunya, PULO mengadopsi sistem dual-track
strategy yaitu menjalankan strategi dengan aksi kekerasan dan juga cara-cara yang
lebih persuasif. Pergerakan organisasi ini pun tidak menganut paham-paham
organisasi pendahulunya seperti BNPP dengan paham konservatif Islam atau BRN
114 Neil J. Melvin, “Conflict in Southern Thailand: Islamism, Violence and the State in the Patani
Insurgency, SIPRI Policy Paper No. 20, September 2007, (Stockholm: SIPRI, 2007), h. 8. 115 Laili Maftukhah, Gerakan Pembebasan Islam Pattani di Thailand Selatan Pada Tahun 1973-1982,
h. 56. 116 Peter Chalk, The Malay-Muslim Insurgency in Southern Thailand: Understanding The Conflict’s
Evolving Dynamic, h. 6.
59
yang terkenal dengan paham Sosialisme Islam. Akan tetapi, PULO mengadopsi
paham yang dikenal dengan Ubangtapekema atau singkatan dari Ugama (Agama),
Bangsa, Tanah Air, dan Perikemanusiaan.117
Melalui ideologi ini, PULO lebih
dikenal sebagai organisasi etno-nasionalis daripada organisasi Islam. Meskipun,
tujuan utama pergerakan organisasi ini adalah meraih kemerdekaan sebagai negara
Islam Patani dan terbebas dari pemerintahan Thailand.118
Lebih lengkapnya, Chaiwat Satha-Anand yang dikutip dari S.P. Harish
menjelaskan secara rinci tujuan-tujuan berdirinya organisasi PULO, sebagai berikut:
1. “PULO is a political organization for the people of Patani. PULO aims to:
a. Unite all active political parties among the people of Patani against the Thai
imperialist.
b. Unite and actively fight for freedom, world liberty against prevalent
colonialist, both old and new. [We] will fight the imperialist in every way
with the strength and the force of weapons. [We] will especially fight the
Israelis who occupy the Arabs’ land.
2. PULO has its own history and ideology which constitute a particular political,
military, economic order which is most conducive to the hope, costum, and wish
of the people of Patani.
3. The doctrine of federation (sic) adheres to the concept of nation-state which is, in
turn, defined by Islam, nationality and humanitarianism.
4. Liberation of Patani from the yoke of the Thai imperialist is a matter of life and
death for the people of Pattani will try and continue to fight for the freedom of
Pattani and the emergence of an Islamic Republic.”119
1. PULO merupakan organisasi politik masyarakat patani. Tujuan PULO ialah:
a. Mempersatukan seluruh partai politik aktif di kalangan masyarakat Patani
melawan imperialis Thailand.
b. Bersatu dan berjuang secara aktif untuk kemerdekaan, kebebasan dunia
melawan penjajahan, baik yang lama maupun yang baru. (Kami) akan
melawan kaum imperialis menggunakan segala cara dengan kekuatan dan
117 Fadinla Da-oh, Ideologi Politik Organisasi Perjuangan Melayu Muslim di Patani Thailand Selatan,
h. 43. 118 Neil J. Melvin, “Conflict in Southern Thailand: Islamism, Violence and the State in the Patani
Insurgency”, h. 16. 119 S. P. Harish, “Changing Conflict Identities: The case of the Southern Thailand Discord”, Working
Paper Series No. 107, February 2006, (Singapore: Institute of Defense and Strategic Studies, 2006), h. 12-13.
60
pasukan bersenjata. [Kami] khususnya akan memerangi orang-orang Israel
yang merebut tanah orang-orang Arab.
2. PULO memiliki sejarah dan ideologi tersendiri yang mendasari kebijakan
ekonomi, militer dan politik yang menjadi paling sesuai bagi harapan dan
keinginan masyarakat Patani.
3. Ajaran tentang sebuah negara federasi yang menganut konsep negara berbangsa
yang kemudian didefinisikan sebagai Islam, nasionalisme, dan kemanusiaan.
4. Kemerdekaan Patani dari penindasan kaum imperialis Thailand merupakan
persoalan hidup dan mati bagi seluruh masyarakat Patani yang akan mencoba dan
melanjutkan perjuangan kemerdekaan Patani dan kebangkitan sebuah negara
Republik Islam.”
Untuk mencapai tujuan-tujuan diatas, PULO membuat struktur organisasi ke
dalam tiga tingkatan. Tingkatan pertama memiliki peran sebagai pembuat kebijakan
(policy-maker) yang terdiri dari pimpinan senior PULO sekaligus menjadi markas
besar PULO yang terletak di Kota Mekkah, Arab Saudi.120
Markas ini juga bertugas
sebagai pencari dana (fund raiser) yang menjalankan operasinya di berbagai negara
Timur Tengah diantaranya Libya, Suriah, Iran bahkan Eropa seperti Jerman.121
Tingkatan kedua bertanggung jawab menangani urusan politik PULO baik di
dalam maupun luar negeri yang berbasis di Tumpah, Kelantan, Malaysia. Melalui
markas ini, PULO menjalankan agenda-agenda politik seperti memobilisasi massa
dan melakukan propaganda terkait perjuangan Muslim Melayu di Thailand Selatan.122
Di Malaysia, PULO memiliki hubungan dekat dengan Partai Islam Se-Malaysia
(PAS) sehingga memudahkan pergerakan aktivitas PULO di luar negeri.
120 Fadinla Da-oh, Ideologi Politik Organisasi Perjuangan Melayu Muslim di Patani Thailand Selatan,
h. 42. 121 International Crisis Group, “Southern Thailand: Insurgency, Not Jihad”, h. 8. 122 Laili Maftukhah, Gerakan Pembebasan Islam Pattani di Thailand Selatan Pada Tahun 1973-1982,
h. 57.
61
Tingkatan ketiga merupakan pusat komando militer PULO yang dipimpin
oleh Sama-ae Thanam, terletak di Kota Baru, Kelantan, Malaysia. Meskipun markas
militer berbasis di luar negeri, PULO memiliki jaringan yang cukup besar sekitar 200
hingga 600 personil dengan persenjataan lengkap dan tersebar di empat provinsi
berpenduduk Muslim di Thailand Selatan. Untuk meningkatkan keahlian tempur dan
strategi gerilya, para anggota militer PULO mendapatkan pelatihan di luar negeri
seperti Palestina dan Suriah.123
Proses rekrutmen anggota PULO lebih difokuskan pemuda Muslim Thailand
Selatan yang sedang belajar di luar negeri seperti Malaysia dan negara-negara Timur
Tengah. Selain itu, PULO juga merekrut masyarakat Muslim Thailand yang
melaksanakan ibadah haji di Mekkah, Arab Saudi.124
Di Thailand Selatan, PULO
merekrut para guru agama untuk menjadi kader dan ikut terlibat dalam organisasi
tersebut. PULO mengklaim telah memiliki 20.000 anggota yang tersebar di seluruh
wilayah Thailand Selatan dan di berbagai negara.125
Oleh karena itu, PULO dikenal
sebagai organisasi separatis terbesar dan paling efektif selama lebih dari 20 tahun.
Strategi gerakan separatis PULO mengarah kepada berbagai target yang
berkaitan erat dengan simbol-simbol budaya Thai seperti sekolah-sekolah umum,
wihara, gedung pemerintahan, bahkan guru-guru yang beragama Buddha.126
Selain
123 International Crisis Group, “Southern Thailand: Insurgency, Not Jihad”, h. 8-9. 124 International Crisis Group, “Southern Thailand: Insurgency, Not Jihad”, h. 8. 125 International Crisis Group, “Southern Thailand: Insurgency, Not Jihad”, h. 9. 126 Peter Chalk, The Malay-Muslim Insurgency in Southern Thailand: Understanding The Conflict’s
Evolving Dynamic, h. 6.
62
itu, PULO lebih memfokuskan serangan yang mampu menarik perhatian pers
internasional agar gerakan separatis di Thailand Selatan menjadi fokus dunia.
Pada akhir tahun 1975, terjadi sebuah pembunuhan yang dilakukan oleh
tentara Thailand terhadap lima warga sipil di distrik Bacho, Narathiwat. PULO
memanfaatkan peristiwa ini melalui propaganda terhadap penduduk Thailand Selatan
untuk melakukan demonstrasi menuntut pemerintah Thailand agar mengadili tentara
yang bertanggung jawab atas pembunuhan tersebut.127
Bertepatan pada hari raya Idul
Adha, PULO berhasil mengerahkan 70.000 orang dalam aksi protes terhadap
pemerintah Thailand dan peristiwa ini mendapat perhatian dari media
internasional.128
Pasca aksi protes, pemerintah Thailand tidak merespon dengan baik dan
menetapkan status darurat militer di seluruh wilayah Thailand. Hal ini berakibat pada
kemarahan masyarakat Melayu Muslim khususnya kelompok separatis. Pada
September 1977, PULO terlibat dalam aksi penyerangan rombongan kerajaan di
provinsi Yala yang mengakibatkan lima orang tewas dan puluhan luka-luka.129
Kemudian, PULO juga bertanggung jawab terhadap peristiwa pemboman
terhadapbandara, terminal bus, dan stasiun kereta api di Bangkok.130
Pada tahun 1984, pemerintah Arab Saudi mulai mengkhawatirkan aktivitas
PULO di wilayah Arab Saudi. PULO diketahui memiliki hubungan erat dengan Partai
127 International Crisis Group, “Southern Thailand: Insurgency, Not Jihad”, h. 9. 128 S.P.Harish,“Changing Conflict Identities: The case of the Southern Thailand Discord”, h. 13 129 S.P.Harish,“Changing Conflict Identities: The case of the Southern Thailand Discord”, h. 13. 130 International Crisis Group, “Southern Thailand: Insurgency, Not Jihad”, h. 9-10.
63
Baath di Suriah dan membuka kantor perwakilan di Iran. Selain itu, PULO juga
membuat semacam kartu identitas khusus bagi para penduduk Melayu Muslim di
Thailand Selatan untuk menetap di Arab Saudi sekaligus mengumpulkan pajak dari
mereka.131
Hal inilah yang membuat pemerintah Arab Saudi menghentikan segala
aktivitas PULO di Mekah dengan menangkap dan mendeportasi para pimpinan
PULO serta menutup kantor pusat PULO di Mekah yang merupakan basis utama
PULO di luar negeri.
Akibat dari penangkapan para pimpinan PULO di Mekah, aktivitas
pergerakan PULO menurun drastis. Diiringi pula dengan keberhasilan pemerintah
Thailand memberlakukan kebijakan amnesti bagi para kelompok separatis dan
pembentukan pasukan keamanan gabungan yang terdiri dari tentara, polisi, dan warga
sipil (CPM 43).132
Pada tahun 1995, Aarong Mureng dan Haji Abdul Rahman Bazo membentuk
organisasi pecahan PULO yang bernama New PULO.133
Organisasi ini lebih
mengutamakan penyerangan kecil terhadap instansi pemerintahan Thailand daripada
propaganda politik seperti yang dilakukan PULO. Pembentukan New PULO
menandai kemunduran organisasi PULO dan mengawali kemunculan organisasi New
PULO.
131 International Crisis Group, “Southern Thailand: Insurgency, Not Jihad”, h. 9-10. 132 International Crisis Group, “Southern Thailand: Insurgency, Not Jihad”, h. 11-12. 133 S. P. Harish, “Changing Conflict Identities: The case of the Southern Thailand Discord”, h. 14.
64
3.2.4 Gerakan Mujahidin Islam Patani (GMIP)
Organisasi separatis ini merupakan kelompok yang terbilang baru
dibandingkan organisasi separatis lainnya di Thailand Selatan. Berdiri pada tahun
1995, organisasi ini dipimpin oleh Nasoree Saesang, ia berasal dari distrik Bacho,
Narathiwat.134
Gerakan Mujahidin Islam Patani atau disingkat GMIP memiliki misi
untuk merebut kemerdekaan dari Thailand dan membentuk negara Islam Patani.135
Gerakan Mujahidin Islam Patani merupakan organisasi dengan jumlah
anggota yang cukup kecil sekitar 27 orang. Pada awal pembentukan GMIP, seluruh
anggotanya merupakan veteran perang Afghanistan - Uni Soviet yang sudah terlatih
dalam berbagai pertempuran dan berpengalaman dalam pembentukan gerakan
bersenjata.
Berbeda dengan organisasi separatis lainnya di Thailand Selatan yang
independen dalam melakukan aksi penyerangan terhadap pemerintah Thailand. GMIP
merupakan bagian dari jaringan teroris internasional, Al-Qaeda pimpinan Osama bin
Laden.136
GMIP juga terlibat aktif dalam berjejaring dengan kelompok Al-Qaeda di
negara tetangga seperti Kelompok Mujahidin Malaysia (KMM), dan Jamaah
Islamiyah (JI). Mereka membentuk aliansi organisasi Al-Qaeda tingkat regional yang
dikenal dengan Rabiatul Mujahidin (RM).137
134 International Crisis Group, “Southern Thailand: Insurgency, Not Jihad”, h. 13. 135 S.P.Harish,“Changing Conflict Identities: The case of the Southern Thailand Discord”, h. 14. 136 S.P.Harish, “Changing Conflict Identities: The case of the Southern Thailand Discord”, h. 14. 137 International Crisis Group, “Southern Thailand: Insurgency, Not Jihad”, h. 25.
65
Oleh karena itu, kebutuhan logistik, persenjataan dan pelatihan anggota
sebagian dipasok dari jaringan Al-Qaeda. Selain itu, GMIP juga menggalang dana
melalui berbagai tindakan kriminal seperti penculikan, pemerasan dan perampokan.
Hal inilah yang menyebabkan aparat keamanan Thailand menganggap GMIP hanya
sebagai kelompok penjahat lokal.138
Pada Agustus 1997 hingga Januari 1998, GMIP bekerjasama dengan New
PULO melakukan 33 aksi penyerangan dengan target gedung-gedung pemerintahan
Thailand. Penyerangan ini merupakan yang terbesar sejak tahun 1980-an. Selain itu,
GMIP juga dikenal selalu meninggalkan jejak di setiap aksi penyerangannya dengan
menyebarkan kertas selembaran berisi ajakan untuk berjihad dan mendukung Osama
bin Laden.139
Sepanjang tahun 2001 hingga 2003, GMIP meningkatkan target
penyerangannya dari gedung pemerintahan menjadi kantor polisi dan markas militer
di wilayah Thailand Selatan. GMIP juga terlibat dalam berbagai upaya pencurian
senjata dari markas militer. Aparat keamanan Thailand merespon dengan
melancarkan operasi penangkapan para pimpinan GMIP. Pada Agustus 2003, dua
pimpinan GMIP yaitu Nasae Saning dan Mahma Maeroh tewas tertembak dalam
sebuah operasi penyergapan di provinsi Patani.140
138 International Crisis Group, “Southern Thailand: Insurgency, Not Jihad”, h. 16. 139 International Crisis Group, “Southern Thailand: Insurgency, Not Jihad”, h. 14. 140 International Crisis Group, “Southern Thailand: Insurgency, Not Jihad”, h. 16.
66
Pada 4 Januari 2004, GMIP bekerjasama dengan BRN melancarkan aksi
penyerangan terbesar sepanjang sejarah separatis di Thailand Selatan. Penyerangan
ini melibatkan lebih dari 100 penyerang bersenjata yang menargetkan markas militer
Thailand di distrik Cho Airong, Narathiwat. Disamping penyerangan tersebut,
kelompok separatis juga menjarah 400 senjata dari gudang militer yang terdiri dari
senapan laras panjang, pistol, senapan mesin dan peluncur roket.141
Pada saat yang bersamaan, kelompok separatis juga melancarkan aksi
pembakaran di 20 sekolah, tiga kantor polisi yang tersebar di 11 distrik provinsi
Narathiwat. Selain itu, aksi pemboman juga terjadi di provinsi Patani. Keesokan
harinya, Perdana Menteri Thaksin Shinawatra memberlakukan status darurat militer
di tiga provinsi (Patani, Yala, dan Narathiwat).142
Para pimpinan GMIP dan BRN masuk ke dalam Daftar Pencarian Orang
(DPO) teratas oleh seluruh aparat keamanan Thailand. Para pimpinan GMIP yang
masuk dalam DPO diantaranya Nasoree Saesang (Pimpinan GMIP Narathiwat),
Karim Karubang (Pimpinan GMIP Yala), dan Jehku Mae Kuteh (Pemimpin Utama
GMIP).143
Pada Januari 2005, Jehku Mae Kuteh tertangkap di Malaysia. Hal ini
menandai kemunduran aktivitas GMIP dalam gerakan separatis di Thailand Selatan.
141 International Crisis Group, “Southern Thailand: Insurgency, Not Jihad”, h. 16. 142 International Crisis Group, “Southern Thailand: Insurgency, Not Jihad”, h. 16. 143 Laili Maftukhah, Gerakan Pembebasan Islam Pattani di Thailand Selatan Pada Tahun 1973-1982,
h. 61.
67
3.3 Biografi Penguasa Militer dan Penguasa Sipil Thailand
3.3.1 Biografi Penguasa Militer: Perdana Menteri Jenderal Surayud Chulanont
Jenderal (Purn) Surayud Chulanont adalah Perdana Menteri ke-24 Thailand
dan juga menjabat sebagai kepala pemerintahan sementara Thailand pasca kudeta
militer yang menggulingkan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra. Sebelum menjabat
sebagai Perdana Menteri, Surayud merupakan Panglima Angkatan Bersenjata
Thailand (2002-2003) dan Kepala Satuan Angkatan Darat Thailand (1998-2002).144
Pria kelahiran Prachinburi, 28 Agustus 1943 ini berasal dari keluarga militer
dan politisi. Ayahnya, Phayom Chulanont merupakan tokoh politisi dari Partai
Komunis Thailand yang sebelumnya adalah mantan anggota Tentara Angkatan Darat
Thailand berpangkat Letnan Kolonel. Mengikuti jejak sang ayah sebagai tentara,
Surayud menempuh pendidikan militer di Chulachomklao Royal Military Academy
dan National Defence College of Thailand.
Karir kemiliteran Surayud dimulai dengan menempati posisi sebagai tentara
divisi artileri dan infantri. Operasi militer pertamanya ialah pemberantasan kelompok
Komunis Thailand yang pada saat itu dipimpin oleh ayahnya sendiri, Phayom
Chulanont.145
Pada tahun 1992, berkat keberhasilan Surayud dalam menjalankan
operasi pertamanya, ia diangkat sebagai Komandan Pasukan Khusus Thailand oleh
Jenderal Prem Tinsulanonda.
144 Thailand for You, “Surayud Chulanont: Privy Councilor, Soldier and Regent of Thailand”, Diakses
pada tanggal 24 Januari 2016 dari laman http://www.th4u.com/surayud_chulanont.htm 145 Kevin Hewison, “Thailand New Prime Minister General Surayud Chulanont: A man and his
contradictions”, diunduh pada 24 Januari 2016 dari laman http://www.csr-asia.com/upload/surayudchulanont1.pdf
68
Dimasa kepemimpinannya, ia terlibat pada kasus “Bloody May” yang
mengakibatkan 50 orang tewas dan ratusan luka-luka pada sebuah aksi damai di
Bangkok. Hal ini memicu kecaman dari berbagai pihak. Akan tetapi, Surayud sebagai
komandan pasukan pada peristiwa itu, membantah terlibat tindakan represif
tersebut.146
Tak berselang lama, tahun 1994 Surayud di rotasi menjadi Panglima
Komando Daerah Militer Kedua (2nd Army Region) yang bertugas di wilayah Timur
Laut Thailand.
Pada tahun 1998, Surayud dilantik sebagai Kepala Satuan Angkatan Darat
Thailand (Royal Thai Army) oleh Perdana Menteri Chuan Leekpai. Surayud
menerapkan kebijakan “Political-Free Army” atau tentara tidak terlibat dalam
politik.147
Surayud melakukan berbagai upaya untuk menjaga stabilitas negara seperti
operasi militer pemberantasan narkoba di perbatasan Myanmar, penghentian
deportasi dan menerima pengungsi Burma (Vietnam) tinggal di Thailand, dan
memberantas mafia dikalangan tentara.148
Sejak masa kepemimpinan Surayud,
tentara Thailand mulai terlibat dalam pasukan penjaga perdamaian PBB (United
National Peacekeeper Force) di Timur Timor.
Pada tahun 2002, Surayud kembali dilantik sebagai Panglima Tentara
Nasional Thailand, sebuah posisi tertinggi dalam struktur militer Thailand. Diakhir
masa jabatannya, Surayud berhasil menjalankan misi penyelamatan warga Thailand
146 BBC News, “Profile: Surayud Chulanont”, Diakses pada tanggal 24 Januari 2016 dari laman
http://news.bbc.co.uk/2/hi/asia-pacific/5392722.stm 147 BBC News, “Profile: Surayud Chulanont”. 148 Shawn L Nance, “Unplugging Thailand, Myanmar energy deals”, diakses pada tanggal 24 Januari
2016 dari laman http://www.atimes.com/atimes/Southeast_Asia/HK14Ae02.html
69
di Phnom Penh, Kamboja dalam operasi“Pochentong One”, sebuah peristiwa
penyerangan kedubes Thailand dan perusahaan milik warga Thailand di Kamboja.149
Diakhir tahun 2003, Surayud mengakhiri karir kemiliterannya sebagai
komandan tertinggi tentara Thailand. 38 tahun berkecimpung di bidang militer,
Surayud memiliki reputasi yang baik sebagai prajurit yang bebas dari politik dan anti
korupsi. Hal inilah yang menjadikan Surayud dipilih Raja Bhumibol Adulyadej
sebagai Dewan Penasehat Raja (Privy Council) di tahun yang sama.
Pertengahan tahun 2006, terjadi kudeta militer yang dipimpin oleh Jenderal
Sonthi Boonyaratglin untuk menggulingkan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra.
Jenderal Sonthi Boonyaratglin merupakan panglima tertinggi tentara Thailand dan
rekan sejawat Surayud Chulanont semasa ia menjabat sebagai Komandan Pasukan
Khusus Thailand. Kudeta militer yang berlangsung selama 12 hari berhasil mencopot
Thaksin Shinawatra sebagai kepala negara dan pemerintahan.
Pasca kudeta, rumor pengganti sementara Perdana Menteri Thailand semakin
menguat dan Surayud Chulanont menjadi kandidat terkuat posisi tersebut. Dibawah
tekanan masyarakat nasional dan internasional serta citra negatif kudeta militer akan
memperburuk stabilitas politik dan ekonomi Thailand. Pada 1 Oktober 2006, Jenderal
Sonthi sebagai pimpinan tertinggi militer menunjuk Surayud Chulanont sebagai
Perdana Menteri Thailand atas titah Raja Bhumibol Adulyadej. Sonthi beranggapan
149 Alexander Hilton, “Khmerness and the Thai „Other‟: Violence, Discourse and Symbolism in the
2003 Anti-Thai Riots in Cambodia”, Journal of Southeast Asian Studies Vol. 37 Issue 3, October 2006,
(Singapore: The National University of Singapore, 2006), h. 448.
70
bahwa Surayud adalah warga sipil dan tidak terikat pada struktur kemiliteran dan
reputasinya yang bebas dari dunia politik dan dikenal sebagai pejuang anti korupsi
dikalangan militer menjadikannya pilihan terbaik sebagai Perdana Menteri
Thailand.150
Surayud Chulanont menjabat sebagai Perdana Menteri mulai 1 Oktober
2006 hingga 29 Januari 2008.
3.3.2 Biografi Penguasa Sipil: Perdana Menteri Yingluck Shinawatra
Yingluck Shinawatra lahir pada 21 Juni 1967 di Provinsi Chiang Mai
merupakan seorang pengusaha Thailand dan juga politisi dari Partai Pheu Thai.151
Ayahnya adalah seorang anggota parlemen dari akhir 1960-an sampai pertengahan
1970-an, dan kakaknya, Thaksin Shinawatra juga menjabat di parlemen dan di
berbagai jabatan menteri sebelum menjadi Perdana Menteri pada tahun 2001-2006.152
Yingluck menjabat sebagai Perdana Menteri setelah berhasil memenangkan pemilu
2011 dan menjadi Perdana Menteri pertama perempuan di Thailand.
Yingluck memulai pendidikannya di Regina Coeli College, sebuah sekolah
swasta tingkat menengah khusus perempuan dan Yupparaj College, sekolah tingkat
menengah atas. Kemudian ia melanjutkan studi dan meraih gelar sarjana dari Chiang
150 Connie Levett, “General Sworn in as new Thai PM”, diakses pada tanggal 24 Januari 2016 dari
laman http://www.smh.com.au/news/world/general-sworn-in-as-new-thai-pm/2006/10/01/1159641211838.html 151 The Telegraph, “Yingluck Shinawatra is set to become Thailand‟s first female prime minister”,
diakses pada tanggal 25 Januari 2016 dari laman
http://www.telegraph.co.uk/news/worldwide/asia/thailand/8683053/Yingluck-Shinawatra-profile.html. 152 The Britannica, “Yingluck Shinawatra: Profile” diakses pada tanggal 25 Januari 2016 dari laman
http://www.britannica.com/print/article/1786711
71
Mai University dan gelar master dari Kentucky State University, Amerika Serikat di
bidang administrasi publik.153
Setelah kembali ke Thailand, ia mulai bekerja di berbagai perusahaan bisnis
keluarganya, secara bertahap mengemban lebih banyak tanggung jawab hingga
diangkat menjadi direktur eksekutif di perusahaan yang didirikan oleh kakaknya,
Thaksin Shinawatra, perusahaan pengembang properti SC Asset Company dan
direktur pelaksana Advanced Info Service (AIS), sebuah perusahaan
telekomunikasi.154
Yingluck menikah dengan pengusaha Thailand Anusorn Amornchat pada
tahun 1995, dan pasangan ini memiliki seorang anak laki-laki bernama Supasek.
Anusorn adalah direktur M Link Asia, perusahaan yang bergerak dibidang penjualan
telepon selular. Kakak perempuan Yingluck, Yaowapa Wongsawat adalah istri dari
mantan Perdana Menteri Thailand Somchai Wongsawat.155
Yingluck mengawali karir politiknya ketika diusung sebagai kandidat Perdana
Menteri oleh partai Puea Thai (PPT), sebuah partai bentukan mantan politisi partai
Thai Rak Thai (Partai pendukung Thaksin Shinawatra) yang dibubarkan tahun 2007.
Pada bulan Mei 2011, Partai Pheu Thai mengusung Yingluck Shinawatra sebagai
kandidat Perdana Menteri dalam pemilihan umum 2011.
153 Thomas Fuller, “Yingluck Shinawatra Is Elected Thai Prime Minister by Parliament”, diakses pada
tanggal 25 Januari 2016 dari laman http://www.nytimes.com/2011/08/06/world/asia/06thailand.html. 154 BBC News, “Profile: Yingluck Shinawatra” diakses pada tanggal 25 Januari 2016 dari laman
http://www.bbc.com/news/world-asia-pacific-13723451 155 CBC News, “Yingluck Shinawatra, Thailand‟s 1st female prime minister”, diakses pada tanggal 25
Januari 2016 dari laman http://www.cbc.ca/news/world/yingluck-shinawatra-s-1st-female-prime-minister-
1.982685
72
Pada pemilu 2011, Yingluck bersaing dengan kandidat dari Partai Demokrat
Abhisit Vejjajiva, incumbent Perdana Menteri Thailand periode 2008-2011. Yingluck
mengangkat tema kampanye rekonsiliasi nasional untuk mengakhiri krisis politik
Thailand yang telah berlangsung sejak 2008 hingga 2011. Yingluck juga mengangkat
isu terkait pengurangan pajak perusahaan, peningkatan taraf hidup, pengurangan
biaya pendidikan, dan pembentukan otonomi khusus daerah Thailand Selatan.156
Pada 3 Juli 2011, Partai Pheu Thai berhasil memenangkan pemilu dengan
perolehan kursi 265 dari 500 kursi parlemen dan menjadikan Yingluck Shinawatra
terpilih sebagai Perdana Menteri ke-28 Thailand. Pada 8 Agustus 2011, Yingluck
Shinawatra dilantik sebagai Perdana Menteri Thailand oleh raja Bhumibol
Adulyadej.157
Yingluck menjabat sebagai Perdana Menteri Thailand mulai 5 Agustus
2011 hingga 7 Mei 2014.
156 Tim LaRocco, “Yingluck Faces Thai Insurgency”, diakses pada tanggal 25 Januari 2016 dari laman
http://thediplomat.com/2011/08/yingluck-faces-thai-insurgency/ 157 The Telegraph, “Yingluck Shinawatra formally appointed Thailand‟s first female prime minister”,
diakses pada tanggal 25 Januari 2016 dari laman
http://www.telegraph.co.uk/news/worldwide/asia/thailand/8683019/Yingluck-Shinawatra-formally-appointed-
thailands-first-female-prime-minister.html
73
BAB IV
PENYELESAIAN KONFLIK SEPARATIS DI THAILAND SELATAN OLEH
PENGUASA MILITER DAN PENGUASA SIPIL
Konflik dan peningkatan aktivitas gerakan separatis di Thailand Selatan antara
masyarakat Melayu Muslim dengan pemerintah Thailand telah berlangsung selama
hampir dua dekade. Persoalan sejarah, keterpurukan pembangunan ekonomi,
kesenjangan sosial, dan kegagalan mengakomodasi perbedaan identitas mendorong
masyarakat Melayu Muslim melakukan perlawanan terhadap pemerintah Thailand
yang berusaha mempersatukan wilayah mereka.
Pemerintah Thailand telah melakukan berbagai upaya untuk menyelesaikan
konflik separatis di Thailand Selatan melalui kebijakan-kebijakan yang
mengakomodasi kebutuhan dan tuntutan masyarakat Melayu Muslim sekaligus
memulihkan stabilitas keamanan negara. Akan tetapi, kebijakan yang diterapkan tidak
selalu mendapat respon positif oleh masyarakat Melayu Muslim. Selain itu,
kurangnya koordinasi antar lembaga dalam pemerintahan Thailand menyebabkan
pelaksanaan kebijakan terhambat atau bahkan tidak tepat sasaran. Semestinya, suatu
kebijakan mampu mengatasi permasalahan dan mencapai tujuan yang diharapkan.158
Oleh karena itu, pemerintah Thailand menganalisis akar permasalahan dalam
konflik separatis di Thailand Selatan agar kebijakan yang diimplementasikan dapat
menjadi solusi untuk mengakhiri krisis dan konflik berkepanjangan tersebut. Peran
158 AG Subarsono, Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori, dan Aplikasi, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2005), h. 8.
74
Perdana Menteri selaku kepala negara dan kepala pemerintahan Thailand menjadi
sangat penting sebagai inisiator atau penggagas kebijakan yang mempengaruhi
kehidupan rakyat khususnya masyarakat Melayu Muslim di Thailand Selatan.
4.1 Politik dan Pemerintahan
4.1.1 Reformasi Birokrasi
Kebijakan pertama Perdana Menteri Surayud Chulanont adalah membuat
Keputusan Perdana Menteri No. 207/2006 tentang Pelaksanaan Pemerintahan Administratif
di Provinsi Perbatasan Selatan Thailand.159
Melalui keputusan tersebut, SBPAC (Southern
Border Provinces Administration Center) kembali dibentuk dan menjalankan fungsinya
sebagai lembaga administrasi negara yang merancang dan menjalankan kebijakan
ekonomi, politik, dan sosial di Thailand Selatan. SBPAC juga menjadi ruang
komunikasi masyarakat perbatasan dengan pemerintah pusat.160
Kemudian Surayud juga melakukan revitalisasi CPM (Civil-Police-Military
Task Force), sebuah badan keamanan negara yang bertugas menjaga keamanan di
wilayah perbatasan Selatan Thailand, kedua kebijakan tersebut mulai efektif sejak
November 2006. Selain itu, Surayud melakukan restrukturisasi dan mengubah jalur
birokrasi kedua lembaga tersebut. Surayud juga melibatkan masyarakat Melayu
159 Thai Laws, Internal Security Act: Translation, (Bangkok: Government of Thailand, 2008), h. 8. 160 International Crisis Group, “Southern Thailand: The Impact of Coup”, Crisis Group Asia Report No
129 March 2007, (Jakarta: International Crisis Group, 2007), h. 13.
75
Muslim yang terdiri dari tokoh agama, politisi, dan pendidikan dalam Dewan
Penasehat SBPAC.161
Keterlibatan masyarakat Melayu Muslim di dalam struktur SBPAC yang baru
diharapkan dapat memberikan dampak positif terhadap proses penyelesaian konflik
separatis di Thailand Selatan. Keberadaan staf lokal SBPAC terbukti mampu
membangun jalur koordinasi antara pemerintah Thailand dengan penduduk lokal di
Thailand Selatan sekaligus sumber informasi intelijen untuk mengantisipasi
pergerakan kelompok separatis di Thailand Selatan.162
Surayud menunjuk Prannai Suwannarath, seorang pejabat tinggi Kementerian
Dalam Negeri Thailand sebagai direktur SBPAC yang baru. Meskipun lembaga ini
khusus menangani permasalahan di wilayah mayoritas Muslim, namun pejabat tinggi
dan menengah SBPAC berasal dari non Melayu Muslim. Hanya pejabat tingkat
bawah yang merupakan penduduk asli Melayu Muslim di Thailand Selatan.163
Pada masa pemerintahan Surayud, SBPAC dan CPM berada langsung di
bawah koordinasi Kantor Staf Perdana Menteri dan Internal Security Operations
Command (ISOC) sebuah badan militer yang menangani keamanan nasional.
161 Srisompob Jitpriromrsi dan Duncan McCargo, “A Ministry of South: New Governance‟s Proposal
for Thailand‟s Southern Region”, Contemporary Southeast Asia Vol. 30, No. 3, 2008, (Singapura: Institute of
Southeast Asian Studies, 2008), h. 414-415. 162 Srisompob Jitpriromrsi dan Duncan McCargo, “A Ministry of South: New Governance‟s Proposal
for Thailand‟s Southern Region”, h. 414-415. 163 International Crisis Group, “Southern Thailand: The Impact of Coup”, h. 13.
76
Sedangkan struktur birokrasinya berada di bawah pimpinan Kementerian Dalam
Negeri dan 18 kementerian lainnya sebagai tenaga pendukung.164
Pasca kudeta September 2006, militer mulai mengambil alih peran kepolisian
sebagai pasukan keamanan di Thailand Selatan. Hal ini dilakukan untuk mengurangi
pengaruh Thaksin yang memiliki hubungan erat dengan kepolisian. Meskipun
Perdana Menteri Surayud Chulanont menekankan pendekatan persuasif melalui
dialog dengan banyak pihak menjadi cara utama dalam penyelesaian konflik separatis
di Thailand Selatan,165
akan tetapi, pendekatan ini dibarengi dengan penambahan
jumlah aparat keamanan di wilayah tersebut sehingga menimbulkan kekhawatiran
terhadap peningkatan kekerasan dan penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat
keamanan.
Sedangkan, pada masa pemerintahan Perdana Menteri Yingluck Shinawatra,
kebijakan reformasi birokrasi menjadi salah satu isu pertama dalam penyelesaian
konflik separatis di Thailand Selatan. Pada 18 Oktober 2011, Yingluck melantik
Kolonel (Polisi) Thawee Sodsong sebagai Sekretaris Jenderal SBPAC, dan beberapa
bulan kemudian melantik Letnan Jenderal Paradorn Pattanathabut sebagai Kepala
NSC (National Security Council), sebuah lembaga keamanan nasional yang salah
164 International Crisis Group, “Stalemate in Southern Thailand”, Crisis Group Asia Briefing No 113,
November 2010, (Bangkok, International Crisis Group, 2010), h. 10. 165 Parvaiz Bukhari, “For Southern Thailand, Still No Peace”, diakses pada tanggal 1 Februari 2017 dari laman
http://content.time.com/time/world/article/0,8599,1572061,00.html
77
satu tugasnya adalah merancang kebijakan keamanan dan pembangunan di Thailand
Selatan.166
Pasca pelantikan para pimpinan lembaga negara yang menangani konflik
separatis di Thailand Selatan, Perdana Menteri Yingluck Shinawatra menginisiasi
pembentukan unit khusus yang dikenal dengan “Pentagon II”, sebuah pusat
komando gabungan SBPAC dan ISOC untuk menghimpun informasi intelijen di
Thailand Selatan. Yingluck menganggap kegagalan aparat keamanan menangani
pergerakan separatis akibat buruknya koordinasi SBPAC dan ISOC. Oleh karena itu,
koordinasi yang baik antar lembaga menjadi prioritas utama untuk mengantisipasi
aktivitas kelompok separatis di Thailand Selatan.167
Sebelumnya, pada masa pemerintahan Surayud, SBPAC berada dibawah
pengawasan ISOC dan Kantor Staf Perdana Menteri. Akan tetapi, di masa
pemerintahan selanjutnya Perdana Menteri Abhisit Vejjajiva (2008-2011) struktur
kelembagaan SBPAC dipisah dari ISOC dan menjadi lembaga independen setingkat
menteri yang dipimpin langsung oleh seorang Perdana Menteri. Kemudian SBPAC
diberikan wewenang lebih luas dalam perencanaan dan penggunaan anggaran.168
Hal
ini dilakukan untuk meningkatkan peran masyarakat sipil dalam menangani konflik
separatis di Thailand Selatan, khususnya di bidang pembangunan.
166 International Crisis Group, “Thailand: The Evolving Conflict in the South”, Crisis Group Asia
Report No 241, December 2012, (Bangkok: International Crisis Group, 2012), h. 15. 167 International Crisis Group, “Thailand: The Evolving Conflict in the South”, h. 17. 168 International Crisis Group, “Southern Thailand: Moving Towards Political Solution?”, Crisis Group
Asia Report No 181, December 2009, (Bangkok: International Crisis Group, 2009), h. 7-8.
78
Akibat adanya dualisme kelembagaan dalam penanganan konflik separatis di
Thailand Selatan antara SBPAC yang dipimpin oleh masyarakat sipil dengan ISOC
yang didominasi oleh militer, terjadilah ketidak harmonisan antar lembaga dan
menyebabkan lemahnya koordinasi dan pelaksanaan kebijakan di Thailand Selatan.
Oleh karena itu, Yingluck memperluas unit khusus Pentagon II menjadi sebuah
badan koordinasi nasional yang bertugas menjalankan kebijakan strategis terkait
permasalahan di perbatasan Thailand Selatan atau dikenal dengan Operations Centre
for the Implementation of Policy and Strategy to Resolve Problems of the Southern
Border Provinces.169
Lembaga yang diresmikan Yingluck pada 8 Agustus 2012, berfungsi sebagai
pusat koordinasi lintas lembaga yang terdiri dari 17 kementerian dan 66 instansi
lainnya yang bertanggung jawab menangani wilayah perbatasan Selatan Thailand.
Lembaga ini dipimpin langsung oleh Perdana Menteri Yingluck Shinawatra selaku
direktur utama dan Letnan Jenderal Paradorn Pattanathabut selaku direktur pelaksana.
Lembaga ini akan menjalankan koordinasi dalam pelaksanaan kebijakan di bidang
keamanan, pembangunan dan hukum.170
Meskipun pemerintah telah membentuk badan koordinasi khusus penanganan
wilayah Thailand Selatan, keberadaan lembaga tersebut tidak sepenuhnya berjalan
maksimal. SBPAC menganggap keberadaan badan koordinasi akan membingungkan
jalur birokrasi di wilayah perbatasan dan SBPAC bersikeras untuk tetap menjalankan
169 Patani Forum, Negotiating the Future of Patani, (Patani: Patani Forum, 2014), h. 74. 170 International Crisis Group, “Thailand: The Evolving Conflict in the South”, h. 17.
79
kebijakan sosial, ekonomi, dan politik secara independen. Sedangkan, militer masih
memiliki hak veto untuk menjalankan berbagai kebijakan keamanan tanpa
persetujuan lembaga manapun.
4.1.2 Dialog dan Negosiasi
Bagi pemerintah Thailand, penyelesaian konflik separatis di Thailand Selatan
merupakan isu terpenting yang harus segera dituntaskan, terlebih Surayud
menegaskan cara-cara damai dan terbuka untuk mengakhiri konflik akan menjadi
pilihannya menghadapi kelompok separatis di Thailand Selatan. Surayud berkata
dalam sela-sela kunjungannya ke Malaysia, “We will try to talk to a lot of people to
resolve these (south) problems by peaceful means.”171
(Kami akan mencoba berbicara
dengan banyak pihak untuk menyelesaikan masalah-masalah [Thailand Selatan]
secara damai).
Demi mencapai tujuan tersebut, pemerintah Thailand berupaya mengadakan
pertemuan dengan para pimpinan kelompok separatis di Thailand Selatan. Akan
tetapi, pemerintah Thailand mengalami hambatan dalam pelaksanaan dialog tersebut,
permasalahannya adalah kelompok separatis di Thailand Selatan memiliki struktur
organisasi dan jalur koordinasi yang rumit. Kemudian, setiap aksi penyerangan yang
171 Fox News, “Thai PM Plans to quell Country‟s Muslim Insurgency Peacefuly”, diakses pada tanggal
2 Februari 2017 dari laman http://www.foxnews.com/story/2006/10/18/thai-pm-plans-to-quell-country-muslim-
insurgency-peacefully.html.
80
dilakukan kelompok separatis Thailand Selatan tidak pernah diklaim, dipublikasikan
dan tanpa tuntutan serta tujuan yang jelas.172
Selama pemerintahan Surayud, tercatat hanya satu kali pertemuan resmi
antara pemerintah Thailand dengan para pimpinan kelompok separatis. Pertemuan
dilaksanakan pada tanggal 10-12 Desember 2007 di Bahrain. Pertemuan ini bersifat
tertutup dan berbentuk dialog antara perwakilan pemerintah Thailand yang terdiri dari
Perdana Menteri Thailand Surayud Chulanont, Penasehat Perdana Menteri Thailand
Dr. Mark Tamthai, dan Menteri Luar Negeri Thailand Nitya Pibulsonggram dengan
perwakilan dari kelompok separatis BRN-C dan PULO.173
Pertemuan yang di mediasi oleh LSM yang berbasis di Jenewa, Swiss yaitu
The Henri Dunant Center for Humanitarian Dialogue (HDC), telah berjalan dengan
baik. Pada pertemuan tersebut, Surayud mengatakan bahwa pemerintah Thailand
bersedia untuk memulai pembicaraan tentang hal apapun kecuali pemisahan diri dari
negara Thailand.174
Pertemuan di Bahrain menghasilkan beberapa komitmen di kedua
belah pihak yaitu;
a. BRN-C dan PULO tidak menuntut adanya pemisahan diri dari negara
Thailand.
172 Benjamin Zawacki, “Political Inconvenient, Legally Correct: A Non-International Armed Conflict in
Southern Thailand”, Journal of Conflict and Security Law 2012, (London: Oxford University Press, 2012),
h. 15-16. 173 US Diplomatic Cable, “Southern Dialogue Facilitator Gives Optimistic Readout on Bahrain Talks”,
diakses pada tanggal 2 Februari 2017 dari laman http://www.cabledrum.net/diff/07BANGKOK6281 174 US Diplomatic Cable, “Southern Violence: Surayud Talks to The BRN-C”, diakses pada tanggal 2
Februari 2017 dari laman http://archive.org/stream/07BANGKOK6161/07BANGKOK6161_djvu.txt
81
b. Pemerintah Thailand membebaskan tahanan yang diminta oleh BRN-C dan
PULO.
c. Pemerintah Thailand mengganti seluruh aparat keamanan yang terindikasi
korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan di wilayah Thailand Selatan.
d. Pemerintah Thailand menangani insiden-insiden yang dilaporkan oleh BRN-C
dan PULO.
e. Pemerintah Thailand, BRN-C, dan PULO sepakat melakukan pertemuan
kembali setelah pemerintahan Thailand baru telah terbentuk.175
Pertemuan ini menjadi pertemuan pertama dan terakhir Perdana Menteri
Surayud Chulanont sebelum ia mengakhiri masa jabatannya pada 29 Januari 2008.
Namun demikian, pertemuan ini menjadi langkah awal yang baik antara pemerintah
Thailand dengan kelompok separatis untuk mengakhiri konflik di Thailand Selatan.
Pemerintahan Surayud Chulanont mewarisi ruang dialog dengan kelompok
separatis yang dapat dilanjutkan oleh pemerintahan berikutnya. Tercatat, banyak
upaya pemerintah Thailand pasca Surayud Chulanont melakukan dialog dengan
kelompok separatis. Beberapa pertemuan masih berlanjut pasca pergantian
pemerintahan seperti The Bahrain Talk (Maret dan Juni 2008), The Geneva Process
(Januari 2010, November 2011, Januari 2012)176
, dan beberapa inisiatif dialog
perdamaian gagal dilanjutkan seperti The Bogor Talk (September 2008), The OIC
Initiative (Oktober 2010), dan The Thaksin Initiative (Maret 2012).177
175 US Diplomatic Cable, “Southern Violence: Surayud Talks to The BRN-C”. 176 International Crisis Group, “Thailand: The Evolving Conflict in the South”, h. 21. 177 Patani Forum, Negotiating a Peaceful Coexistence between the Malays of Patani and the Thai State,
(Patani: Patani Forum, 2012), h. 58-59.
82
Upaya dialog perdamaian antara pemerintah Thailand dengan kelompok
separatis giat dilakukan terutama di masa pemerintahan Perdana Menteri Yingluck
Shinawatra yang menerapkan strategi “Political Leading the Military” sebuah
konsep yang mengedepankan pendekatan politik dibanding kekuatan militer. Pada
Maret 2012, Yingluck mengesahkan kebijakan tiga tahunan tentang manajemen dan
pembangunan di provinsi perbatasan Selatan Thailand atau dikenal dengan “The
National Security Council Policies on Management and Development in Southern
Border Province 2012-2014”.178
Kebijakan ini menjadi pedoman utama dalam pelaksanaan kebijakan di
seluruh wilayah perbatasan Selatan Thailand. Kebijakan yang terdiri dari sembilan
poin utama mengenai fokus kebijakan pemerintah Thailand selama tiga tahun
mendatang, salah satunya menyebutkan tentang upaya pemerintah mendukung dialog
dengan kelompok separatis. Hal ini jelas terlihat pada poin kedelapan, yaitu;
“Create environments suitable and favourable for discussion of conflict resolution
and … give guarantee[s] for participation to those involved and the stakeholders in
the process of peace-building by: … Encouraging continuity of peace dialogue
process with people who have different opinions and ideologies from the state and
choose to use violence to fight against the state, as one of the stakeholders in
Southern border provinces problems.”179
(Menciptakan lingkungan yang nyaman dan baik untuk berdiskusi tentang
penyelesaian konflik dan … Memberikan jaminan bagi semua pihak yang terlibat dan
berkepentingan untuk berpartisipasi dalam proses perdamaian … Mendorong
berlangsungnya proses dialog perdamaian dari pihak-pihak yang memiliki perbedaan
pendapat dan ideologi dengan negara dan [pihak-pihak] yang memilih menggunakan
jalan kekerasan untuk melawan negara sebagai salah satu pihak yang berkepentingan
dalam permasalahan di provinsi perbatasan Selatan Thailand).
178 Deep South Watch, “The National Security Council: Policies on Management and Development in
Southern Border Province 2012-2014”, (Dalam bahasa Thai) diakses pada 25 Februari 2017 dari laman
http://www.deepsouthwatch.org/sites/default/files/nsc_deepsouthpolicy12-14.pdf 179 International Crisis Group, “Thailand: The Evolving Conflict in the South”, h. 10.
83
Poin di atas menyatakan dengan jelas bahwa dialog menjadi salah satu isu
penting dalam proses perdamaian di Thailand Selatan. Kebijakan ini juga mengakhiri
sikap pemerintah yang selama ini berpura-pura tidak menganggap kelompok separatis
sebagai ancaman negara. Sebaliknya, Yingluck mulai mempertimbangkan pentingnya
berdialog dengan pihak-pihak yang melakukan perlawanan terhadap negara sebagai
upaya penyelesaian konflik di Thailand Selatan.
Pada 28 Februari 2013 di Kuala Lumpur, Malaysia. Perdana Menteri
Yingluck Shinawatra bersama Perdana Menteri Malaysia Najib Razak menginisiasi
nota kesepahaman untuk memulai dialog perdamaian antara pemerintah Thailand
dengan kelompok separatis di Thailand Selatan. Malaysia bertindak sebagai fasilitator
dalam dialog resmi kedua belah pihak tersebut. Peristiwa bersejarah ini dikenal
dengan General Consensus on Peace Dialogue Process.180
Dalam proses dialog yang berlangsung sebanyak tiga kali, pemerintah
Thailand mengutus 10 anggota delegasi yang dipimpin oleh Sekretaris Jenderal NSC
Letnan Jenderal Paradorn Pattanatabut, Wakil Sekretaris Jenderal Kementerian
Pertahanan Thailand Jenderal Niphat Tonglek, dan Sekretaris Jenderal SPBAC
Kolonel Polisi Thawee Sodsong. Seluruh tim pemerintah Thailand terdiri dari NSC,
SBPAC, Kepolisian Thailand, Kementerian Dalam Negeri Thailand. Sedangkan
delegasi kelompok separatis dipimpin oleh perwakilan Barisan Revolusi Nasional
(BRN) Hassan Taib. Adapun anggotanya terdiri dari Lukman Bin Lima dari PULO,
180 International Crisis Group, “Southern Thailand: Dialogue in Doubt,” Crisis Group Asia Report No
270, July 2015, (Bangkok: International Crisis Group, 2015), h. 3.
84
Abdul Karim Khalib dan Adam Muhammad Noor dari Pemuda (Organisasi sayap
BRN), dua anggota divisi luar negeri BRN, dan dua anggota senior BRN. Kemudian
fasilitator dari Malaysia ialah Datuk Seri Ahmad Zamzamin Hashim, mantan Kepala
Badan Intelijen Malaysia sekaligus rekan terdekat Perdana Menteri Najib Razak.181
Pertemuan pertama diadakan pada 28 Maret 2013 dengan agenda
mendengarkan permintaan kedua belah pihak sebelum pembahasan proses
perdamaian. BRN memanfaat kesempatan ini dengan mengajukan lima tuntutan
kepada pemerintah Thailand, sebagai berikut:
a. Pengakuan bahwa BRN merupakan perwakilan dari seluruh masyarakat
Melayu Patani.
b. Pengangkatan status Malaysia sebagai mediator, bukan hanya sebagai
fasilitator.
c. Melibatkan negara-negara ASEAN, Organisasi Konferensi Islam (OKI),
dan LSM dalam proses dialog perdamaian.
d. Pengakuan atas eksistensi kedaulatan bangsa Melayu Patani.
e. Membebaskan seluruh tahanan pejuang Patani dari penjara.182
Sedangkan delegasi pemerintah Thailand hanya mengajukan permintaan
untuk tidak menuntut adanya pemisahan diri atau kemerdekaan dari Thailand dan
meminta kelompok separatis untuk mengalihkan penyerangan terhadap warga sipil
(soft target) menjadi penyerangan ke aparat keamanan (hard target).183
Dalam
181 Duncan McCargo, Southern Thailand: From Conflict to Negotiation?, (Sydney: Lowy Institute for
International Policy, 2014), h. 6-9. 182 Duncan McCargo, Southern Thailand: From Conflict to Negotiation?, h. 8. 183 Srisompob Jitpiromsri, “An Inconveniant Truth about the Deep South Violence Conflict: A Decade
of Chaotic, Constrained Realities and Uncertain Resolution”, diakses pada tanggal 17 Februari 2017 dari laman
http://deepsouthwatch.org/print/5904
85
pertemuan pertama, delegasi pemerintah Thailand terlihat belum memiliki persiapan
yang matang untuk memulai dialog. Berbeda dengan delegasi separatis yang
menyatakan dengan jelas tujuan mereka berdialog melalui poin-poin di atas.
Sedangkan delegasi pemerintah Thailand tidak memiliki poin-poin utama yang
menegaskan kepentingan mereka dalam dialog perdana tersebut.
Pada 28 April 2013, pertemuan kedua diadakan untuk menindaklanjuti hasil
dialog sebelumnya dan mendengar respon dari kedua belah pihak. Hassan Thaib
menegaskan kembali jika pemerintah menyetujui lima permintaan tersebut. Maka,
BRN akan mengurangi aksi penyerangan di Thailand Selatan. Akan tetapi, delegasi
pemerintah Thailand mengatakan permintaan BRN masih dalam tahap pengkajian
dan memastikan akan segera membebaskan para tahanan. Pemerintah Thailand juga
meminta BRN menahan seluruh operasi kelompok separatis sebagai bukti bahwa tim
separatis dalam dialog ini mampu mengendalikan pergerakan anggotanya di
lapangan.184
Ternyata, delegasi kelompok separatis tidak memiliki kapasitas untuk
mengontrol anggotanya. Hal ini terlihat dari semakin meningkatnya aksi kekerasan
sepanjang dialog berlangsung.
Pertemuan ketiga dilakukan pada 13 Juni 2013. Malaysia mengajukan
gagasan pemberlakukan gencatan senjata dari kedua belah pihak pada bulan
Ramadhan atau dikenal dengan “Ramadhan Peace Initiative”. Pada kesempatan
terpisah, Hassan Thaib menyetujui gagasan dengan tujuh syarat diantaranya
184 International Crisis Group, “Southern Thailand: Dialogue in Doubt,” h. 3.
86
penarikan aparat keamanan non lokal dari Thailand Selatan, penarikan tentara dari
desa-desa, menghentikan aksi penyergapan, penangkapan, dan membebastugaskan
personil keamanan Muslim selama bulan Ramadhan. Jika syarat itu terpenuhi, BRN
akan menghentikan seluruh operasi kelompok separatis.185
Namun, pemerintah
Thailand belum merespon persyaratan Hassan Thaib tapi pemerintah Thailand
menjamin akan mengikuti gagasan gencatan senjata. Pada akhirnya, gencatan senjata
tetap berlangsung selama 40 hari terhitung mulai 10 Juli sampai dengan 18 Agustus
2013.186
Pada pekan pertama gencatan senjata, terlihat hampir tidak terjadi aksi
kekerasan yang dilakukan kelompok separatis seperti pemboman atau penyerangan
terhadap aparat keamanan. Hal ini menunjukkan BRN mampu mengendalikan
pergerakan anggotanya di seluruh wilayah Thailand Selatan.187
Namun, gencatan
senjata yang diharapkan mampu menjadi awal pondasi dan komitmen kedua belah
pihak untuk mengakhiri konflik harus kandas.
Pada awal Agustus 2013, BRN menuduh aparat keamanan Thailand telah
melakukan 11 kali serangan terhadap kelompok separatis dan masyarakat Melayu
Muslim diantaranya penyerbuan markas kelompok separatis di Narathiwat oleh
militer Thailand dan pembunuhan imam Masjid Raya Patani, Yacob Raimanee, oleh
185 International Crisis Group, “Southern Thailand: Dialogue in Doubt,” h. 5. 186 Srisompob Jitpiromsri dan Anders Engvall, A Meaningful Peace: Ramadhan Ceasefire Assessment,
(Patani: Deep South Watch, 2013), h. 1. 187 International Crisis Group, “Southern Thailand: Dialogue in Doubt,” h. 5-6.
87
terduga aparat keamanan.188
Pada 6 Agustus 2013, BRN menyatakan mundur secara
sepihak dari gencatan senjata dan menunda sementara keikutsertaannya dalam dialog
perdamaian karena pemerintah Thailand tidak merespon lima tuntutan dalam dialog
dan tujuh persyaratan gencatan senjata.189
Kegagalan dialog dan gencatan senjata menjadi pukulan keras bagi
pemerintah Thailand. Sejak awal pembentukan tim delegasi Thailand, tidak terdapat
tokoh petinggi militer maupun pejabat tinggi setingkat menteri yang terlibat dalam
dialog. Padahal dua elemen – Militer dan Birokrat, merupakan unsur penting dalam
proses perdamaian di Thailand Selatan. Sebaliknya, Yingluck memilih susunan tim
Thailand yang memiliki kedekatan dengan Partai Pheu Thai seperti Letnan Jenderal
Paradorn Pattanatabut dan Kolonel Polisi Thawee Sodsong yang berhubungan baik
dengan Thaksin.190
Pembentukan delegasi Thailand yang bersifat politis, membuat
banyak pihak khawatir dan meragukan kredibilitas pemerintah Thailand dalam dialog
termasuk dari kelompok separatis.
Di lain pihak, kelompok separatis khususnya Dewan Pimpinan Parti (DPP)
yang merupakan dewan pimpinan tertinggi BRN sudah menyatakan tidak mendukung
rencana dialog 28 Februari 2013 silam. Meskipun pada akhirnya BRN mengutus tim
delegasinya, Hassan Thaib bukan berasal dari DPP BRN dan tidak memiliki pengaruh
188 Duncan McCargo, “Southern Thailand: From Conflict to Negotiation?,” h. 11. 189 International Crisis Group, “Southern Thailand: Dialogue in Doubt,” h. 6. 190 Duncan McCargo, “Southern Thailand: From Conflict to Negotiation?,” h. 12-13.
88
besar terhadap anggota separatis lainnya.191
Hal ini terbukti dari ketidakmampuan
Hassan Thaib menginstruksikan para anggotanya untuk menghentikan serangan saat
pertemuan kedua.
Kelemahan Perdana Menteri Yingluck Shinawatra dalam melakukan
koordinasi dengan jajaran kabinetnya dan para petinggi militer menyebabkan
perpecahan dikalangan internal pemerintahan. Menteri Pertahanan Thailand
Sukhompol Suwanathat dan Wakil Perdana Menteri Thailand Chalerm Yubamrung
menolak tuntutan kelompok separatis. Sedangkan, Panglima Tentara Thailand
Jenderal Prayuth Chan-ocha mengkhawatirkan respon publik jika pemerintah
menuruti permintaan kelompok separatis.192
Selain itu, sabotase yang dilakukan
militer selama bulan Ramadhan menjadi penyebab berakhirnya gencatan senjata.
Namun demikian, pemerintah Thailand dibawah kepemimpinan Perdana
Menteri Yingluck Shinawatra berhasil mengidentifikasi akar permasalahan konflik di
Thailand Selatan. Sikap pemerintah yang mengakui keberadaan kelompok separatis
sebagai “pihak yang berkepentingan dalam penyelesaian konflik” mengubah pola
pikir pemerintah dalam menangani konflik di Thailand Selatan. Terlepas dari
kekurangan dalam ruang dialog, pemerintah Thailand berhasil meyakinkan
masyarakat bahwa dialog merupakan cara terbaik untuk mengakhiri konflik dengan
191 Patani Forum, Negotiating a Peaceful Coexistence between the Malays of Patani and the Thai State,
h. 90. 192 Isaara News, “BRN set new conditions for reduction of violence”, diakses pada tanggal 18 Februari
2017 dari laman http://www.isranews.org/isranews-article/item/22019-brn-set-new-conditions-for-reduction-of-
violence.html
89
mengundang tokoh kelompok separatis membahas kemungkinan terciptanya
perdamaian di Thailand Selatan.
4.2 Keamanan
Isu keamanan menjadi salah satu pondasi utama dalam upaya penyelesaian
konflik di Thailand Selatan, tak terkecuali oleh Perdana Menteri Surayud Chulanont.
Kebijakan keamanan dinilai sangat penting untuk meningkatkan keberhasilan
pemerintah dalam pelaksanaan kebijakan. Selain itu, isu keamanan juga berkaitan
dengan penegakan hukum serta memastikan situasi dan kondisi di daerah konflik
aman dan kondusif.
Di awal pemerintahan Surayud Chulanont, pendekatan secara persuasif
melalui dialog lebih diutamakan untuk meraih kembali kepercayaan dan simpati
masyarakat Melayu Muslim terhadap pemerintah. Surayud berusaha meyakinkan
masyarakat Melayu Muslim bahwa pemerintahan baru tidak akan menerapkan
kebijakan-kebijakan represif seperti yang dilakukan pemerintahan Thaksin. Upaya
Surayud pun berhasil menarik perhatian banyak pihak dan sebagian besar masyarakat
Melayu Muslim mulai mendukung kebijakan yang diterapkan pemerintah.
Namun kelompok separatis terlihat tidak mempedulikan siapa penguasa pasca
kudeta dan perkembangan politik nasional di Bangkok. Kelompok separatis terus
melancarkan serangannya demi mencapai tuntutan mereka yaitu pemisahan diri dari
90
Thailand.193
Selain itu, peningkatan serangan kelompok separatis bertujuan untuk
menggagalkan proses rekonsiliasi yang dijalankan pemerintah dan mengintimidasi
masyarakat agar tidak bekerjasama dengan pemerintah Thailand.
Komitmen pemerintahan Surayud tentang penyelesaian konflik separatis di
Thailand Selatan melalui proses damai ternyata tidak selalu mendapat respon positif
dari semua pihak. Ketegangan antara aparat keamanan dengan penduduk Melayu
Muslim makin memanas dengan peningkatan aksi kekerasan yang terjadi di Thailand
Selatan. Peningkatan aksi kekerasan menyebabkan meningkat pula jumlah korban
tewas dan terluka dari kedua belah pihak. Tercatat, aktivitas kelompok separatis tidak
mengalami penurunan dari 1,847 insiden (2006) menjadi 1,850 insiden (2007). Selain
itu, terjadi pula peningkatan korban tewas dan luka-luka dari 1,913 orang (2006)
menjadi 2,337 orang (2007).194
Pada Juni 2007, Perdana Menteri Surayud Chulanont bersama Ketua Dewan
Keamanan Nasional (Council of National Security) Jenderal Sonthi Boonyaratglin
merespon peningkatan aksi kekerasan di Thailand Selatan dengan menerapkan
kebijakan keamanan yang dikenal dengan “The Southern Territory Protection
193 Ian Storey, “Ethnic Separatism In Southern Thailand: Kingdom Fraying at The Edge?”, Asia Pacific
Center for Security Studies Paper, March 2007, (Hawai: APCSS, 2007), h. 8. 194 Srisompob Jitpiromsri dan Duncan McCargo, “The Southern Thailand Conflict Six Years On:
Insurgency, Not Just Crime,” Contemporary Southeast Asia: A Journal of International and Strategic Affairs, Vol.
32, No. 2, Agustus 2010, (Singapura: ISEAS, 2010), h. 162.
91
Plan”.195
Kebijakan keamanan ini sekaligus mengubah strategi pemerintah dalam
penyelesaian konflik dari pendekatan persuasif menjadi represif.
Perdana Menteri Surayud Chulanont menginstruksikan Panglima Tentara
Nasional Thailand Jenderal Anupang Paochinda menambah jumlah personil aparat
keamanan di wilayah Thailand Selatan. Terhitung sebanyak 50,000 personil
diterjunkan di bawah komando Internal Security Operations Command (ISOC).
Penambahan personil ini terdiri dari 30,000 tentara dan 20,000 polisi.196
Jumlah ini
belum termasuk personil aparat keamanan dari kalangan paramiliter.
Selain pasukan regular (tentara dan polisi) yang bertugas mengendalikan dan
menjaga keamanan seluruh wilayah perbatasan di Thailand Selatan, terdapat pasukan
paramiliter yang bertugas menjaga lokasi-lokasi vital seperti gedung pemerintahan,
sekolah, tempat ibadah dan ruang publik lainnya. Paramiliter yang bertugas di
Thailand Selatan terbagi menjadi empat, yaitu;
a. The Ranger Force atau Thahan Phran (pasukan pemburu) dibentuk pada
tahun 1981 oleh Tentara Nasional Thailand untuk melawan pemberontakan di
perbatasan negara Thailand. Di wilayah Thailand Selatan, terdapat tujuh
markas Komando Resimen (Korem) Ranger yang tersebar di seluruh wilayah
Thailand Selatan. Seluruh Korem berada dibawah markas Komando Daerah
Militer (Kodam) atau dikenal The Fourth Army. Pasukan ini memiliki tugas
yang sama dengan tentara Thailand, menjaga stabilitas keamanan di wilayah
195 Srisompob Jitpiromsri dan Duncan McCargo, “The Southern Thailand Conflict Six Years On:
Insurgency, Not Just Crime”, h. 159. 196 Zachary Abuza, “The Ongoing Insurgency in Southern Thailand: Trends in Violence,
Counterinsurgency Operations, and the Impact of National Politics”, Institute for National Strategic Studies:
Strategic Perspective No.6, (Washington DC: National Defense University Press, 2011), h. 13.
92
Korem masing-masing, hanya struktur komando yang berada langsung
dibawah Tentara Nasional Thailand.
b. The Volunteer Defence Corps atau dikenal dengan Or Sor (sukarelawan),
merupakan organisasi paramiliter terbesar di Thailand. Pasukan ini berada di
bawah pimpinan kementerian dalam negeri Thailand.
c. The National Village Development and Self-Defense Volunteers atau Chor
Ror Bor, organisasi ini berada di bawah kementerian administrasi daerah
Thailand dan di bawah komando ISOC. Chor Ror Bor bertugas menjaga
keamanan tingkat desa dan mengawal para pejabat desa. Organisasi ini hanya
merekrut warga lokal sehingga mampu menjadi sumber informasi intelijen
untuk menghadapi gerakan kelompok separatis.
d. The Village Protection Volunteers dikenal dengan Or Ror Bor merupakan
organisasi paramiliter yang diinisiasi oleh Ratu Sirikit. Or Ror Bor berada
dibawah kendali kementerian pertahanan Thailand bertugas menjaga desa
berpenduduk Buddha di wilayah Thailand Selatan.197
Terdapat beberapa perbedaan kebijakan penambahan personil keamanan
antara Perdana Menteri Surayud Chulanont dengan Perdana Menteri Yingluck
Shinawatra. Di masa kepemimpinan Yingluck, pemerintah Thailand memang masih
mengandalkan kemampuan aparat keamanan dalam penyelesaian konflik di Thailand
Selatan dan Yingluck menyetujui adanya penambahan pasukan keamanan di Thailand
Selatan.
Perbedaan kebijakan penambahan personil keamanan mulai terlihat dari
komposisi aparat keamanan di Thailand Selatan. Yingluck mengurangi jumlah
pasukan militer dari 30,000 tentara (2007) menjadi 24,000 tentara (2012) dan pasukan
197 International Crisis Group, “Southern Thailand: The Problem with Paramilitaries”, Crisis Group Asia
Report No 140, Oktober 2007, (Jakarta: International Crisis Group, 2007), h. 15-18.
93
polisi dari 20,000 (2007) menjadi 17,000 (2012).198
Yingluck meningkatkan jumlah
personil keamanan dari kalangan paramiliter seperti yang disebutkan di atas. Adapun
perbandingan rincian jumlah penambahan aparat keamanan pada masa pemerintahan
Surayud Chulanont dengan Yingluck Shinawatra adalah sebagai berikut:
Gambar IV.1
Rincian Penambahan Aparat Keamanan di Thailand Selatan
No. Nama Instansi Keamanan
Masa Pemerintahan
Surayud
Chulanont
Yingluck
Shinawatra
1. Royal Thai Army 30,000 24,000
2. Royal Thai Police 20,000 17,000
3. The Ranger Force 10,000 18,000
4. The Volunteer Defence Corps 2,787 7,000
5. The National Village
Development and Self-Defense
Volunteers
47,400 60,000
6. The Village Protection
Volunteers 10,000 25,000
Total Personil 120,187 151,000 *Diolah dari berbagai sumber.
Penambahan personil paramiliter di Thailand Selatan bertujuan untuk
mengurangi peran pasukan reguler (militer dan polisi) dalam konflik di Thailand
Selatan sekaligus memberikan tanggung jawab yang lebih besar kepada paramiliter
untuk melakukan pengamanan di Thailand Selatan. Selain itu, pasukan paramiliter
direkrut dari warga lokal sehingga pasukan ini memiliki pemahaman lebih tentang
kondisi masyarakat dan situasi keamanan di Thailand Selatan.199
198 International Crisis Group, “Thailand: The Evolving Conflict in the South”, h. 12. 199 International Crisis Group, “Thailand: The Evolving Conflict in the South”, h. 12-13.
94
Perbedaan kebijakan keamanan selanjutnya adalah keberadaan operasi militer.
Dalam kebijakan keamanan Surayud, penambahan aparat keamanan merupakan salah
satu tahapan dari “The Southern Territory Protection Plan”. Tahapan berikutnya
adalah pelaksanaan operasi militer yang dikenal dengan “Cordon and Search
Operation” (Operasi Cari dan Kepung) dimulai pada pertengahan Juli 2007. Operasi
ini melibatkan sekitar 60,000 personil aparat keamanan di seluruh Thailand
Selatan.200
Operasi militer ini dipimpin langsung Jenderal Anupong Paochinda. Berbeda
dengan operasi militer sebelumnya yang dipimpin oleh Kodam Keempat (The Fourth
Army), operasi kali ini melibatkan seluruh markas komando daerah militer di
Thailand. The First Army, bertugas di Provinsi Narathiwat, The Second Army berada
di Provinsi Patani, The Third Army memimpin di Provinsi Yala, dan The Fourth
Army bertanggung jawab atas empat distrik di Provinsi Songkhla.201
Kepolisian
Thailand juga membentuk Pusat Operasi Polisi Perbatasan Selatan Thailand
(SBPPOC).
Operasi ini mengutamakan informasi intelijen yang akurat untuk menentukan
wilayah pertahanan kelompok separatis dan menangkap para pemimpinnya. Aparat
keamanan menyisir setiap wilayah, dari rumah ke rumah, desa ke desa untuk
menangkap anggota kelompok separatis. Petugas pengamanan juga memperbanyak
200 International Crisis Group: “Southern Thailand: Moving Towards Political Solutions?,” Crisis Group
Asia Report No 181, Desember 2009, (Bangkok: International Crisis Group, 2009), h. 2. 201 Srisompob Jitpiromsri dan Duncan McCargo, “The Southern Thailand Conflict Six Years On:
Insurgency, Not Just Crime”, h. 181.
95
jumlah pos pemeriksaan dan patrol rutin untuk mempersempit ruang gerak kelompok
separatis.
Gambar IV.2
Insiden Kekerasan di Thailand Selatan (2006-2008)
Sumber: Srisompob Jitpiromsri & Duncan McCargo, The Southern Thailand Conflict Six Years On, ISEAS, 2010.
Berdasarkan grafik di atas, terjadi penurunan insiden secara drastis pasca
operasi militer Juli 2007. Penurunan sebesar 50% terjadi dari 229 insiden (Agustus
2007) menjadi 114 insiden (September 2007) dan terus menurun di bawah angka 100.
Meskipun militer Thailand berhasil meredam serangan kelompok separatis, operasi
militer ini telah menimbulkan banyak masalah baru khususnya kasus pelanggaran
HAM seperti penangkapan tanpa surat perintah hingga pembunuhan ekstra judisial.202
202 Srisompob Jitpiromsri dan Duncan McCargo, “The Southern Thailand Conflict Six Years On:
Insurgency, Not Just Crime”, h. 160.
96
Sedangkan, pemerintahan Yingluck Shinawatra melalui konsep “Political
leading the military”,203
lebih menekankan pada pembangunan ekonomi dan
pemerintahan di Thailand Selatan. Aktivitas aparat keamanan khususnya militer harus
menyesuaikan dengan program-program pemerintah.204
Oleh karena itu, Yingluck
memutuskan untuk mengubah struktur militer di Thailand Selatan dengan
mengembalikan tanggung jawab keamanan wilayah Thailand Selatan hanya kepada
The Fourth Army dan meningkatkan peran paramiliter di Thailand Selatan.205
4.3 Hukum dan HAM
Persoalan hukum dan HAM di Thailand Selatan menjadi isu penting dalam
pemerintahan Perdana Menteri Surayud Chulanont. Terlebih, pemerintahan terdahulu
dikenal dengan kebijakan yang keras dan terlibat banyak kasus pelanggaran HAM.
Oleh karena itu, penanganan kasus hukum dan HAM perlu mendapat perhatian
khusus dari pemerintah Thailand sebagai salah satu upaya meredam potensi konflik di
Thailand Selatan.
Pada 2 November 2006, Surayud Chulanont melakukan kunjungan pertama ke
Thailand Selatan sejak menjabat sebagai Perdana Menteri. Agenda utama Surayud
ialah bertemu dengan para pemuka agama Islam di Thailand Selatan dan pemerintah
203 Srisompob Jitpiromsri, “An Inconveniant Truth about the Deep South Violence Conflict: A Decade
of Chaotic, Constrained Realities and Uncertain Resolution”, diakses pada tanggal 17 Februari 2017 dari laman
http://deepsouthwatch.org/print/5904 204 Srisompob Jitpiromsri, “The New Challenge of Thailand‟s Security Forces in Southern Frontiers”,
Civil Society, Politics and Development in ASEAN Countries: International Conference on Political Science,
Public Administration and Peace Studies, 6-7 September 2012, (Hatyai: Prince of Songkhla University, 2012), h.
48-49. 205 International Crisis Group, “Thailand: The Evolving Conflict in the South”, h. 13.
97
Thailand memohon maaf kepada seluruh masyarakat Melayu Muslim di Thailand
Selatan atas kekejaman dan ketidakadilan yang diderita selama pemerintahan
Thaksin.206
Khusus peristiwa demonstrasi Tak Bai dan masjid Krue Sae yang
menelan 191 korban jiwa, pemerintah akan memberikan kompensasi sebesar 42 Juta
Baht bagi keluarga korban dan membebaskan 56 tahanan yang masih mendekam di
penjara.207
Tak berselang lama, 8 November 2006 menjadi hari kunjungan kedua
Surayud ke Thailand Selatan. Kunjungan kali ini bertempat di sekolah Thamma
Witthaya dan bertemu dengan para tokoh pendidikan, guru, dan pelajar di Thailand
Selatan. Pada kesempatan ini, Surayud mengumumkan penghapusan kebijakan daftar
hitam (blacklist policy) yang mencakup 80% tenaga pengajar di sekolah Thamma
Witthaya masuk dalam daftar hitam tersebut. Selain itu, Surayud juga membebaskan
lima guru yang ditahan atas tuduhan keterlibatan kelompok separatis.208
Pada Februari 2007, Surayud membentuk tim investigasi atas kasus aktivis
HAM Muslim Somchai Neelaphaijit yang “dihilangkan” oleh aparat keamanan
Thailand pada Maret 2004. Surayud menunjuk Letnan Jenderal Polisi Thanee
206 Neil J. Melvin, “Conflict in Southern Thailand: Islamism, Violence, and the State in the Patani
Insurgency”, SIPRI Policy Paper No. 20, September 2007, (Stockholm: Stockholm International Peace Research
Initiative, 2007), h. 5. 207 International Crisis Group, “Southern Thailand: The Impact of Coup”, h. 3. 208 International Crisis Group, “Southern Thailand: The Impact of Coup”, h. 3-4.
98
Somboonsap sebagai ketua tim investigasi dan membentuk tim yang berasal dari
Departemen Investigasi Khusus Kepolisian Thailand.209
Penanganan kasus demonstrasi Tak Bai dan masjid Krue Sae masih
menyisakan permasalahan yang belum tuntas. Meskipun seluruh keluarga korban
telah diberikan kompensasi, para keluarga korban diminta menandatangani perjanjian
untuk tidak mengajukan gugatan atau tuntutan terhadap kasus tersebut. Sedangkan
aparat keamanan yang terlibat dalam kedua kasus tersebut tak satupun dibawa ke
pengadilan.210
Menjelang akhir masa pemerintahannya, Perdana Menteri Surayud Chulanont
mengesahkan undang-undang (UU) terkait keamanan nasional yang dikenal dengan
“Internal Security Act” (ISA). Sebuah kebijakan nasional yang juga berdampak pada
proses penyelesaian konflik di Thailand Selatan. Surayud berharap UU ISA menjadi
pilihan alternatif pemerintah Thailand dalam menangani isu keamanan nasional
daripada pemberlakukan status Darurat Militer dan kebijakan “Emergency Decree”
yang disahkan Thaksin 2005 silam.211
Undang-Undang yang disahkan pada 20 Desember 2007 memuat beberapa
regulasi yang mengundang kontroversi publik diantaranya terkait kewenangan luar
biasa dan kekebalan hukum pejabat ISOC dalam penanganan masalah keamanan
209 International Crisis Group, “Southern Thailand: The Impact of Coup”, h. 18 210 International Crisis Group, “Southern Thailand: The Impact of Coup”, h. 18. 211 International Commission of Jurist, Thailand’s Internal Security Act: Risking The Rule of Law?,
(Bangkok: International Commission of Jurist, 2010), h. 4.
99
nasional, penahanan tanpa proses pengadilan kepada terduga pelaku kejahatan, dan
pemberian amnesti bagi tersangka yang mengakui kesalahan melalui proses
„rehabilitasi‟.212
Kebijakan hukum dan HAM selama masa pemerintahan Perdana Menteri
Surayud Chulanont terbilang cukup banyak dibandingkan dengan periode Perdana
Menteri Yingluck Shinawatra. Hal ini bukan berarti Perdana Menteri Yingluck
Shinawatra tidak memperhatikan isu hukum dan HAM dalam penyelesaian konflik
separatis di Thailand Selatan. Akan tetapi, beberapa kasus hukum dan HAM sudah
terselesaikan oleh penguasa terdahulunya seperti Perdana Menteri Abhisit Vejjajiva.
Upaya pemerintah Thailand dibawah kepemimpinan Yingluck Shinawatra
dalam penanganan kasus hukum dan HAM ialah pemberian kompensasi dan
pemberdayaan keluarga korban konflik di Thailand Selatan. Pemerintah Thailand
memberikan anggaran sebesar 2 Milyar Baht untuk pemberian kompensasi bagi
korban konflik di Thailand Selatan.213
Pemerintah Thailand mencatat sekitar 2,000 korban konflik terdaftar dalam
program pemberian kompensasi.214
Pemerintah juga menentukan jumlah kompensasi
dengan mengklasifikasi korban konflik dalam empat kategori. Pertama, keluarga
korban dari warga sipil berhak mendapat kompensasi sebesar 100,000 Baht. Kedua,
212 Human Right Watch, “Thailand: Internal Security Act Threatens Democracy and Human Rights”
diakses pada tanggal 15 Februari 2017 dari laman http://www.hrw.org/news/2007/11/05/thailand-internal-
security-act-threatens-democracy-and-human-rights. 213 Bureau of Democracy, Human Rights and Labor, “Thailand 2013 Human Rights Report,” Country
Report on Human Rights Practices for 2013, (Washington DC: United States Department of State, 2013), h. 3. 214 International Crisis Group, “Thailand: The Evolving Conflict in the South”, h. 16.
100
keluarga korban dari pegawai negeri sipil, termasuk polisi dan tentara berhak
mendapat kompensasi dari tunjangan khusus PNS dan anak korban mendapat
pekerjaan di badan pemerintah. Ketiga, keluarga korban yang berasal dari peristiwa
pembantaian di Masjid Krue Sae dan demonstrasi Tak Bai berhak mendapat
kompensasi sebesar 7.5 Juta Baht. Keempat, korban yang ditahan tanpa tuduhan yang
jelas dan korban yang dibebaskan oleh pengadilan terkait konflik di Thailand Selatan
juga berhak mendapat kompensasi.215
Berbagai kasus pelanggaran HAM yang telah diusut sejak periode Perdana
Menteri Surayud Chulanont masih belum terselesaikan seperti kasus demonstrasi Tak
Bai dan Masjid Krue Sae. Begitu pula kasus penghilangan paksa aktivis HAM
Somchai Neelaphaijit oleh terduga aparat keamanan Thailand belum tuntas hingga
saat ini.
Upaya pemerintah Thailand baik di masa pemerintahan Perdana Menteri
Surayud Chulanont maupun Perdana Menteri Yingluck Shinawatra dalam
penanganan isu hukum dan HAM berhasil mendapat sambutan baik dari masyarakat
Melayu Muslim di Thailand Selatan. Melalui kebijakan tersebut, Surayud berusaha
meraih kembali kepercayaan masyarakat Melayu Muslim terhadap pemerintah dan
mendukung kebijakan pemerintah. Sedangkan, Yingluck berusaha meyakinkan
215 Pattaya Mail, “Govt to compensate violence victims in Deep South”, diakses pada tanggal 17
Februari 2017 dari laman http://www.pattayamail.com/thailandnews/govt-to-compensate-violence-victims-in-
deep-south-11357
101
masyarakat Melayu Muslim bahwa pemerintahan Yingluck Shinawatra bertanggung
jawab dan peduli terhadap korban konflik separatis di Thailand Selatan.
4.4 Ekonomi
Di awal pemerintahan Surayud Chulanont, pemerintah Thailand membuat
rencana pembangunan ekonomi di tiga provinsi perbatasan Selatan Thailand ke dalam
sebuah konsep “Special Economic Zone”.216
Dalam konsep tersebut, pemerintah
akan memberikan insentif pajak bagi para investor yang bersedia menanam modal di
daerah perbatasan Selatan Thailand. Selain itu, pemerintah berupaya
mengembangkan kembali “Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle”, sebuah
kerjasama ekonomi trilateral yang pernah dijalankan tahun 1993, dan pemerintah
Thailand memasukkan seluruh provinsi di Thailand Selatan ke dalam rencana
tersebut.
Namun, upaya pemerintah Thailand mengembangkan berbagai rencana dan
konsep pembangunan ekonomi di perbatasan Selatan Thailand tidak membuahkan
hasil. Hal ini terjadi akibat peningkatan kekerasan di Thailand Selatan yang semakin
mengkhawatirkan sehingga para investor tidak melihat provinsi-provinsi di
perbatasan Selatan Thailand sebagai peluang bisnis yang cukup baik. Hal ini juga
diperburuk dengan krisis ekonomi nasional dan instabilitas politik dalam negeri
sehingga menghambat pertumbuhan ekonomi baik nasional maupun daerah.
216 Ian Storey, “Ethnic Separatism In Southern Thailand: Kingdom Fraying at The Edge?”, h. 7.
102
Dalam konteks konflik separatis di Thailand Selatan, peningkatan tingkat
kekerasan sepanjang tahun 2006-2007 menjadi salah satu faktor utama kegagalan
pemerintah menarik minat pengusaha untuk berinvestasi di wilayah Thailand Selatan.
Selain itu, rendahnya pendapatan di sektor pariwisata diakibatkan berbagai peristiwa
terorisme seperti pemboman pada malam Tahun Baru 2007 di Bangkok dan
rangkaian pemboman di Hatyai, Thailand Selatan.217
Oleh karena itu, upaya Perdana Menteri Surayud Chulanont melalui gagasan
pembangunan ekonomi di Thailand Selatan tidak dapat terealisasikan. Pemerintah
Thailand seharusnya terlebih dahulu menanggulangi gangguan keamanan dari
kelompok separatis di Thailand Selatan agar memberikan rasa aman bagi masyarakat
dan menciptakan lingkungan yang kondusif untuk sektor pariwisata dan bisnis.
Pada periode Perdana Menteri Yingluck Shinawatra, sektor ekonomi menjadi
salah satu fokus utama pemerintah Thailand. Melalui konsep “Political Leading the
Military”, pemerintahan Yingluck lebih mengedepankan isu pembangunan ekonomi
dan reformasi pemerintahan. Yingluck menunjuk National Security Council (NSC)
dan Southern Border Provinces Administration Center (SBPAC) sebagai lembaga
penanggung jawab proses pembangunan ekonomi di wilayah perbatasan Selatan
Thailand.
217 Bank of Thailand, Annual Report: Thailand’s Economic and Monetary Condition in 2007, (Bangkok:
Monetary Policy Group, 2008), h. 2.
103
NSC bertugas merancang kebijakan terkait pembangunan dan pemerintahan di
provinsi perbatasan Selatan Thailand yang dikenal dengan “The National Security
Council Policies on Management and Development in Southern Border Province
2012-2014”. Kemudian SBPAC sebagai pelaksana kebijakan pemerintah melalui
program-program pembangunan ekonomi sesuai dengan pedoman kebijakan yang
dikeluarkan NSC. Program-program pemerintah terkait pembangunan ekonomi antara
lain peningkatan kualitas hidup dan pendapatan penduduk lokal, perbaikan ekonomi
daerah dan investasi, serta kerjasama ekonomi dengan negara perbatasan.218
SBPAC mengadakan program pelatihan keterampilan dan kewirausahaan
untuk penduduk lokal di perbatasan Selatan Thailand. Melalui program Satu Desa
Satu Produk “One Tambon One Product” (OTOP),219
diharapkan masyarakat mampu
meningkatkan kualitas hidup dan pendapatan. Selain itu, SBPAC juga memberikan
bantuan dana sebesar 5,000 Baht per unit usaha kecil dan menengah (UKM) untuk
mendukung program kewirausahaan.220
Setiap tahunnya, pemerintah Thailand mengalokasikan anggaran besar untuk
program perbaikan dan pembangunan wilayah perbatasan Selatan Thailand.
Anggaran ini dikhususkan untuk mendukung program-program pemerintah yang
bertujuan untuk menyelesaikan konflik di provinsi perbatasan Selatan Thailand.
218 Srisompob Jitpiromsri, “An Inconveniant Truth about the Deep South Violence Conflict: A Decade
of Chaotic, Constrained Realities and Uncertain Resolution”, diakses pada tanggal 17 Februari 2017 dari laman
http://deepsouthwatch.org/print/5904 219 United National Development Program, Lesson Learned from the Implementation of Southern
Thailand Empowerment and Participation (STEP) Project 2010-2014, (Patani: Prince of Songkhla University),
h. 8. 220 International Crisis Group, “Thailand: The Evolving Conflict in the South”, h. 15.
104
Gambar IV.3
Anggaran Nasional untuk Perbaikan dan Pembangunan
Provinsi Perbatasan Selatan Thailand 2004-2014
Sumber: Srisompob Jitpiromsri, An Incovenient Truth about the Deep South Violent Conflict,
Deep South Watch, 2014.
Konflik separatis di Thailand Selatan telah menghabiskan anggaran yang
cukup besar. Terhitung mulai tahun 2004 hingga 2014, konflik tersebut telah menelan
biaya sebesar 206 Miliar Baht. Selama masa Perdana Menteri Surayud Chulanont,
pemerintah telah menghabiskan anggaran 31.7 Miliar Baht yang sebagian besar
digunakan untuk operasi militer dan intelijen di wilayah perbatasan Selatan Thailand.
Surayud mengatakan;
“The government will raise the efficiency of intelligence and operations of the
National Intelligence Co-ordination Centre, integrate efforts of resolving security
problems in border provinces in the south so as to boost public trust in government
security enforcement.”221
(Pemerintah akan meningkatkan efisiensi dalam operasi-operasi [militer] dan
intelijen yang dilakukan oleh Pusat Koordinasi Intelijen Nasional, [pemerintah] akan
mengintegrasikan berbagai upaya untuk menyelesaikan masalah keamanan di Selatan
221 Vithoon Amorn, “Thailand adopts deficit budget to spur growth”, diakses pada tanggal 18 Februari
2017 dari laman http://www.reuters.com/article/idUSBKK27464720070704
105
[Thailand] sehingga dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap pemerintah
dalam penegakan keamanan).”
Pada periode Perdana Menteri Yingluck Shinawatra, pemerintah
mengalokasikan anggaran sebesar 61.8 Miliar Baht. Sebagian besar anggaran
digunakan untuk menjalankan program-program pembangunan ekonomi dan
reformasi pemerintahan daerah di perbatasan Selatan Thailand. Selain itu, proses
dialog perdamaian dengan kelompok separatis juga memakan biaya yang tak
sedikit.222
Berbagai upaya pemerintah dalam perbaikan sektor ekonomi daerah belum
mencapai target secara signifikan. Isu keamanan masih menjadi masalah utama,
peningkatan aksi kekerasan di wilayah Thailand Selatan memberikan dampak buruk
terhadap perekonomian daerah, khususnya sektor pertanian dan sektor industri.
Ekonomi yang terpuruk mengakibatkan tingginya angka kemiskinan dan
pengangguran. Pemerintah semestinya mampu membuat kebijakan yang lebih efektif
dengan melibatkan aparat keamanan demi kelancaran implementasi kebijakan dan
memberikan dampak besar bagi masyarakat.
4.5 Pendidikan
Pendidikan menjadi hal yang paling krusial dalam pembangunan sumber daya
manusia di suatu daerah. Akan tetapi pada masa pemerintahan Surayud Chulanont isu
pendidikan tidak menjadi isu yang populer dalam upaya penyelesaian konflik
separatis di Thailand Selatan. Padahal, sistem sekolah negeri yang dijalankan
222 Srisompob Jitpiromsri, “An Inconveniant Truth about the Deep South Violence Conflict: A Decade
of Chaotic, Constrained Realities and Uncertain Resolution”, diakses pada tanggal 17 Februari 2017 dari laman
http://deepsouthwatch.org/print/5904
106
pemerintah menggunakan bahasa pengantar Thai dan mengeliminasi budaya Melayu
menjadi faktor utama timbulnya gerakan perlawanan di Thailand Selatan.
Pemerintah hanya berupaya meningkatkan insentif bagi sekolah-sekolah di
Thailand Selatan tanpa mengubah kurikulum dengan memasukkan pelajaran bahasa
dan budaya Melayu dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah negeri. Pemerintah
memberikan subsidi bagi sekolah Islam swasta (PSTI) sebesar 10,000 Baht per siswa
dan sekolah negeri (State School) sebesar 2,900 Baht per siswa ditambah sumbangan
pembangunan dan bonus gaji pengajar sebesar 1,000 Baht per bulan.223
Hal ini
mengakibatkan infrastruktur sekolah Islam jauh tertinggal dibanding sekolah negeri
di Thailand Selatan. Selain itu, sekolah Islam masih dinyatakan ilegal dan ijazahnya
tidak diakui pemerintah sehingga lulusan sekolah Islam kalah bersaing dalam dunia
kerja dibandingkan lulusan sekolah negeri.
Tak hanya masalah kesenjangan infrastruktur dalam dunia pendidikan di
Thailand Selatan, keamanan sekolah dan tenaga pengajar menjadi hal yang patut
diperhatikan. Sejak tahun 2004-2007, tercatat 100 sekolah dibakar dan 73 guru tewas
terbunuh dalam konflik separatis di Thailand Selatan.224
Para guru khususnya yang
beragama Buddha dianggap sebagai simbol kebijakan asimilasi yang diterapkan
pemerintah sejak tahun 1920-an. Pemerintah merespon peningkatan kekerasan
223 International Crisis Group, “Southern Thailand: The Impact of Coup”, h. 19-20. 224 Joseph Chinyong Liow dan Don Pathan, “Confronting Ghosts: Thailand‟s Shapeless Southern
Insurgency”, Lowy Institute Paper 30, (New South Wales: Lowy Institute for International Policy, 2010), h. 35.
107
terhadap guru di Thailand Selatan dengan memberikan pengawalan aparat bersenjata
dan mempermudah izin kepemilikan senjata bagi profesi guru.225
Selain itu, pemerintah juga mengedarkan selembaran informasi yang berisikan
himbauan agar penduduk lokal melindungi guru dari tindakan kekerasan. Pemerintah
juga membangun jalur komunikasi radio khusus sekolah dan melibatkan para guru
untuk membuat rencana pengamanan sekolah.226
Hal ini dilakukan untuk
mengantisipasi tindakan kekerasan terhadap guru di Thailand Selatan.
Pemerintah juga memberikan beasiswa studi keperawatan sebesar 140 Juta
Baht untuk 3,000 wanita Muslim yang kemudian bertugas di Thailand Selatan.227
Selain itu, pemerintah juga memberikan pendampingan dan pelatihan khusus pelajar
lulusan bidang kesehatan untuk memperoleh sertifikat ketenagakerjaan. Disamping
meningkatkan pemerataan pendidikan, pemerintah juga membuka kesempatan untuk
pelajar Melayu Muslim bekerja di pemerintahan.
Terdapat sekitar 10,000 pelajar Melayu Muslim yang melanjutkan studi di
luar negeri dan kembali ke daerahnya untuk mencari pekerjaan. Akan tetapi, tak
sedikit dari ijazah mereka yang tak diakui pemerintah sehingga mereka diharuskan
mencari pekerjaan yang tidak sesuai bidang profesi yang diinginkan.228
Hal ini
menjadi masalah penting karena semakin bertambahnya tingkat pengangguran dari
225 Benjamin Zawacki, “Political Inconvenient, Legally Correct: A Non-International Armed Conflict in
Southern Thailand”, h. 13-14. 226 National Reconciliation Commission, The Report of The National Reconciliation Commission:
Overcoming Violence Through the Power of Reconciliation, h. 95. 227 Zachary Abuza, “The Ongoing Insurgency in Southern Thailand: Trends in Violence,
Counterinsurgency Operations, and the Impact of National Politics”, h. 13. 228 International Crisis Group, “Southern Thailand: The Impact of Coup”, h. 21-22.
108
pelajar lulusan luar negeri di Thailand Selatan. Pemerintah berusaha menyediakan
lapangan pekerjaan bagi pelajar lulusan luar negeri seperti kantor perwakilan
Thailand di luar negeri atau petugas administrasi di badan militer dan pemerintahan.
Pada masa pemerintahan Perdana Menteri Yingluck Shinawatra, pemerintah
Thailand mencanangkan pendidikan menjadi salah satu isu penting dalam
penyelesaian konflik separatis di Thailand Selatan. Di poin kelima dari “The National
Security Council Policies on Management and Development in Southern Border
Province 2012-2014”, pemerintah menyatakan “The state must promote education
and awareness of the value of multicultural society.” (Negara harus memajukan
[sektor] pendidikan dan kesadaran akan nilai-nilai masyarakat multikultural).229
Kebijakan ini menjadi dasar pemerintah melaksanakan program-program
pendidikan di wilayah perbatasan Selatan Thailand. Sekretaris Jenderal SBPAC
Thawee Sodsong memberikan hibah pendidikan senilai 175 Juta Baht untuk
pembangunan gedung baru Yala Islamic University. Pemerintah juga mengalokasikan
dana sebesar 63.5 Juta Baht untuk sekolah-sekolah dasar Islam dan kegiatan
keagamaan di seluruh masjid di Thailand Selatan.230
Pemerintah Thailand juga memperhatikan pentingnya kesadaran atas nilai-
nilai keberagaman etnis di Thailand Selatan. Berbeda dengan pemerintahan
sebelumnya, Yingluck dan Thawee mendorong penggunaan bahasa Melayu Patani
sebagai bahasa kedua setelah bahasa Thai. Untuk mendukung hal tersebut,
229 Deep South Watch, “The National Security Council: Policies on Management and Development in
Southern Border Province 2012-2014” (Dalam bahasa Thai) diakses pada tanggal 25 Februari 2017 dari laman
http://www.deepsouthwatch.org/sites/default/files/nsc_deepsouthpolicy12-14.pdf 230 International Crisis Group, “Thailand: The Evolving Conflict in the South”, h. 15.
109
pemerintah membangun stasiun televisi dan radio berbahasa Melayu. Selain itu,
pemerintah juga membangun Institut Bahasa Thai-Melayu sebagai sarana komunikasi
dan edukasi bagi masyarakat Thailand.231
4.6 Respon Kelompok Separatis terhadap Kebijakan Penguasa Militer dan
Penguasa Sipil
Peristiwa kudeta militer September 2006 silam menjadi lembaran baru bagi
proses penyelesaian konflik separatis di Thailand Selatan. Perdana menteri Surayud
Chulanont diharapkan mampu memperbaiki situasi dan kondisi di wilayah Thailand
Selatan dengan memulai proses-proses damai yang sempat tertunda dan mengakhiri
kebijakan-kebijakan negatif yang diterapkan penguasa sebelumnya, Thaksin
Shinawatra.
Di awal pemerintahan Surayud, berbagai inisiatif baru diterapkan untuk
mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah Thailand seperti
permohonan maaf kepada penduduk Melayu Muslim, pembebasan tahanan,
penghapusan kebijakan negatif Thaksin, dan berbagai reformasi kebijakan lain yang
memberikan kesejahteraan bagi penduduk Melayu Muslim serta mengakhiri konflik
secara damai.232
Komitmen yang telah disampaikan pemerintah pusat tentang penyelesaian
konflik separatis di Thailand Selatan melalui proses damai ternyata tidak selalu
mendapat respon positif dari semua pihak. Ketegangan antara aparat keamanan
231 United National Development Program, Lesson Learned from the Implementation of Southern
Thailand Empowerment and Participation (STEP) Project 2010-2014, h. 3. 232 International Crisis Group, “Southern Thailand: The Impact of Coup”, h. 3-4.
110
dengan penduduk Melayu Muslim makin memanas dengan meningkatnya aksi
kekerasan yang terjadi di Thailand Selatan. Peningkatan aksi kekerasan menyebabkan
meningkat pula jumlah korban tewas dan terluka dari kedua belah pihak.
Pemerintah Thailand memberikan isyarat kepada kelompok-kelompok
separatis untuk berdialog membahas proses perdamaian di Thailand Selatan. Akan
tetapi, kelompok-kelompok separatis merespon negatif terhadap ide tersebut.233
Hal
ini terlihat dari peningkatan aksi kekerasan dan jumlah korban tewas dan terluka di
awal pemerintahan Surayud Chulanont.
Gambar IV.4
Aksi Kekerasan, Jumlah Korban Tewas dan Terluka dalam
Konflik Separatis di Thailand Selatan (Periode Surayud Chulanont)
Sumber: Srisompob Jitpiromsri dan Duncan McCargo, The Southern Thailand Six Years On, ISEAS, 2010.
233 Neil J. Melvin, “Conflict in Southern Thailand: Islamism, Violence, and the State in the Patani
Insurgency”, h. 5-6.
111
Kelompok separatis terlihat tidak mempedulikan siapa penguasa pasca kudeta
dan perkembangan politik nasional di Bangkok. Kelompok separatis terus
melancarkan serangannya demi mencapai tuntutan mereka yaitu pemisahan diri dari
Thailand.234
Selain itu, peningkatan serangan kelompok separatis bertujuan untuk
menggagalkan proses rekonsiliasi yang dijalankan pemerintah dan mengintimidasi
masyarakat agar tidak bekerjasama dengan pemerintah Thailand.
Aparat keamanan yang saat itu berjumlah 30,000 personil (sebelum operasi
militer) terlihat tidak mampu meredam konflik yang terjadi di Thailand Selatan.
Kelompok separatis berusaha memprovokasi aparat keamanan agar menggunakan
jalan kekerasan untuk menanggulangi konflik di Thailand Selatan.235
Hal ini terbukti
berhasil, pemerintah bersama militer Thailand menjalankan operasi militer besar-
besaran dengan menambah pasukan keamanan menjadi 60,000 personil.
Meskipun operasi militer ini berhasil meredam aksi kekerasan di Thailand
Selatan. Namun menyisakan banyak permasalahan seperti penangkapan dan
penahanan massal, pembunuhan, dan berbagai pelanggaran HAM lainnya.236
Hal ini
dijadikan kelompok separatis sebagai alat propaganda kepada masyarakat agar tidak
mendukung kebijakan pemerintah, seperti dalam sebuah selembaran yang disebar
kelompok separatis pada Juli 2007:
234 Ian Storey, “Ethnic Separatism In Southern Thailand: Kingdom Fraying at The Edge?”, h. 8. 235 Zachary Abuza, “The Ongoing Insurgency in Southern Thailand: Trends in Violence,
Counterinsurgency Operations, and the Impact of National Politics”, h. 17. 236 Srisompob Jitpiromsri dan Duncan McCargo, “The Southern Thailand Conflict Six Years On:
Insurgency, Not Just Crime,” h. 163.
112
“The Siamese kafirs are creating confusion in the four provinces. They have killed
innocents, shot into teashops, into people’s houses, at people returning from prayers,
into ponohs [Islamic boarding schools]…. All these incidents have been carried out
by government officials, especially Thahan Phran.”237
(Orang-orang kafir Thailand sedang menciptakan kekacauan di empat provinsi
[Patani, Yala, Narathiwat dan Songkhla]. Mereka membunuh orang tak bersalah,
menembaki kedai teh, rumah-rumah penduduk, menembaki orang-orang yang pulang
dari sholat, menembaki Ponoh [sekolah-sekolah Islam]…. Semua kejadian tersebut
didalangi oleh pejabat pemerintah, khususnya Thahan Phran [pasukan paramiliter])”.
Selama operasi militer berlangsung, propaganda menjadi senjata efektif
kelompok separatis untuk menghancurkan hubungan dan kepercayaan masyarakat
kepada pemerintah. Kelompok separatis juga menerapkan strategi baru yaitu
membatasi serangan dan memfokuskan pada target tertentu yang bersifat vital dan
menarik perhatian publik. Oleh karena itu, meskipun operasi militer berhasil
meredam aksi kekerasan namun tidak mengurangi jumlah korban tewas dan luka-luka
dalam konflik di Thailand Selatan.
Kegagalan pemerintah melakukan pendekatan kepada masyarakat Melayu
Muslim dan kegagalan aparat keamanan meredam ketegangan dan kekerasan di
Thailand Selatan dimanfaatkan dengan baik oleh kelompok separatis melalui berbagai
serangan sporadik dan masif.238
Peningkatan serangan yang dilakukan kelompok
separatis menandai keberhasilan mereka meningkatkan kepercayaan diri,
penambahan jumlah anggota, dan kecanggihan senjata dan strategi.
Pertemuan kelompok separatis dengan Perdana Menteri Surayud Chulanont di
Bahrain merupakan kesempatan langka dan berharga bagi kelompok separatis.
237 International Crisis Group, “Southern Thailand: Problem with Paramilitaries”, h. 8. 238 Ian Storey, “Ethnic Separatism In Southern Thailand: Kingdom Fraying at The Edge?”, h. 8.
113
Pertemuan yang langsung dihadiri kepala negara belum pernah terjadi sebelumnya
dalam proses perdamaian konflik di Thailand Selatan. Kelompok separatis
memanfaatkan momentum ini untuk menyatakan komitmen mereka tidak menuntut
kemerdekaan dari negara Thailand. Tentunya komitmen ini disertai dengan syarat-
syarat yang sekiranya bisa diterima pemerintah.
Sikap kelompok separatis yang bersedia mengikuti pertemuan dengan
pemerintah menunjukkan keinginan yang besar pula dari kelompok separatis untuk
memulai proses perdamaian dan mengakhiri konflik berkepanjangan. Sikap kelompok
separatis sangatlah jelas selama belum tercapai kesepakatan dan persetujuan atas
permintaan mereka, aksi kekerasan akan terus berlangsung untuk menekan
pemerintah mendengarkan tuntutan mereka.
Seiring pergantian pemerintahan, kelompok separatis juga mengalami
regenerasi dari generasi lama (Tahun 60-70an) ke generasi baru (Tahun 2000-an).
Kemunculan generasi baru “Juwae” (Pejuang) dalam struktur organisasi separatis
menambah masalah baru bagi pemerintah Thailand. Pada masa pemerintahan
Yingluck Shinawatra, kelompok separatis menjadi lebih kompleks dengan adanya
perbedaan generasi separatis. Generasi lama “Pemimpin” yang sebagian besar
mengasingkan diri ke luar negeri masih memimpin organisasi. Sedangkan generasi
baru “Juwae” yang menjadi aktor-aktor dibalik serangan di Thailand Selatan
membentuk jaringan kecil tingkat desa yang terdiri dari divisi politik dan militer.
114
Oleh karena itu, Juwae miliki kemampuan bertindak secara independen dan
sistematis.239
Per April 2012, kelompok separatis memiliki sekitar 300 pimpinan unit, 3.000
Juwae aktif, dan 10.000 pendukung.240
Seluruhnya tersebar di empat provinsi
perbatasan Selatan Thailand dengan rincian 4.116 anggota di provinsi Narathiwat,
3.183 anggota di provinsi Patani, 2.059 anggota di provinsi Yala, dan 334 di empat
distrik provinsi Songkhla.241
Dalam sebuah wawancara The Asia Foundation dengan
kelompok separatis menjelaskan betapa mudahnya melakukan rekrutmen anggota
baru kelompok separatis;
“Finding people to take up arms is not difficult because there are plenty of people
who are angry at the Thai state. The hard part is getting combatants to commit to the
chosen course of action. It takes real commitment for a person who is angry to take
up arms. Every insurgent has his own personal reasons. Some personally
experienced discrimination or were abused. I just feel that it’s my moral obligation
to fight.”242
(Menemukan orang-orang untuk mengangkat senjata bukanlah hal yang sulit karena
banyak orang yang marah kepada negara Thailand. Bagian tersulit adalah
menemukan pejuang yang berkomitmen untuk melakukan aksi-aksi yang telah
ditentukan. Diperlukan komitmen yang kuat dari seseorang yang marah [kepada
pemerintah] untuk mengangkat senjata. Setiap pemberontak memiliki alasan masing-
masing [untuk bergabung]. Sebagian memiliki pengalaman tersendiri atas tindakan
diskriminatif dan sewenang-wenang [pemerintah]. Saya merasa bahwa ini
[pemberontakan] adalah tanggung jawab moral saya untuk melakukan perlawanan).”
Pemerintah Thailand khawatir para Pemimpin sebagai generasi lama tidak
mampu mengendalikan aktivitas serangan Juwae di Thailand Selatan. Sejak lama,
239 International Crisis Group, “Thailand: The Evolving Conflict in the South”, h. 3-4. 240 Phuket News, “Army chief says Thailand facing 3,000 militans”, diakses pada 2 Maret 2017 dari
laman http://www.thephuketnews.com/army-chief-says-thailand-facing-3-000-militants-29547.php 241 Bangkok Post, “10.000 named in insurgency handbook” diakses pada 2 Maret 2017 dari laman
http://www.bangkokpost.com/print/309273 242 Adam Burke, Pauline Tweedie, dan Ora-orn Poocharoen, The Contested Corners of Asia: The Case
of Southern Thailand, (San Fransisco: The Asia Foundation, 2013), h. 28.
115
pemerintah selalu melakukan kontak dan hubungan dengan generasi lama kelompok
separatis. Apalagi pemerintahan Yingluck Shinawatra telah berkomitmen untuk
menggunakan jalur dialog dalam penyelesaian konflik di Thailand Selatan.
Pelantikan Kolonel Polisi Thawee Sodsong sebagai Sekretaris Jenderal
SBPAC yang baru menimbulkan polemik dari berbagai pihak. Pasalnya, rekam jejak
Thawee tidak cukup baik dalam sejarah penanganan konflik separatis di Thailand
Selatan. Pasca serangan Januari 2004 silam, Thawee terlibat dalam aksi penangkapan
besar-besaran dan penganiayaan kepada sejumlah terduga separatis dan guru-guru
Muslim. Terlebih, Thawee mengeluarkan surat perintah penahanan terhadap tokoh
muslim paling berpengaruh di Thailand Selatan, Sapae-ing Basor atas tuduhan
keterlibatan dalam jaringan kelompok separatis, meskipun Sapae-ing Basor tak
berhasil ditahan dan pemerintah mengakui bahwa surat penahanannya telah
dipalsukan. Akan tetapi, masyarakat Melayu Muslim khususnya kelompok separatis
sudah terlanjur trauma atas tindakan diskriminatif Thawee di masa lalu.243
Pada 17 Maret 2012, pimpinan kelompok separatis yang berada di Malaysia
melakukan pertemuan dengan Thaksin Shinawatra dan didampingi oleh Thawee
Sodsong. Pertemuan ini berhasil dilaksanakan dengan bantuan Perdana Menteri
Malaysia Najib Razak dan Kepolisian Malaysia yang menekan para pimpinan
kelompok separatis untuk mengikuti pertemuan tersebut.244
Undangan dialog
243 Patani Forum, Negotiating a Peaceful Coexistence between the Malays of Patani and the Thai State,
h. 108-109. 244 International Crisis Group, “Thailand: The Evolving Conflict in the South”, h. 22.
116
perdamaian dengan cara paksaan tentunya tidak memberikan hasil yang baik. Pada 31
Maret 2012, kelompok separatis melancarkan dua serangan bom mobil di kawasan
bisnis Yala dan sebuah hotel di Hatyai yang mengakibatkan 18 orang tewas dan 500
lainnya luka-luka. Kedua serangan tersebut merupakan jawaban atas ketidakpuasan
Juwae terhadap kehadiran Thaksin dalam dialog dan ancaman atas tekanan yang
diterima para pimpinan kelompok separatis dalam pertemuan tersebut.245
Barisan Revolusi Nasional Coordinate (BRN-C) sebagai salah satu dari
kelompok separatis terbesar di Thailand Selatan memboikot pertemuan tersebut.
BRN-C beralasan masyarakat Melayu Muslim masih belum bisa memaafkan
kebijakan-kebijakan Thaksin yang represif dan otoriter.246
Selain itu, pertemuan
mendadak antara Thaksin dan pimpinan kelompok separatis mengejutkan banyak
pihak termasuk kalangan Juwae. Pasca pertemuan, pemerintah Thailand berusaha
merahasiakan dari publik hingga serangan 31 Maret terjadi dan kebenaran pun
terungkap.
Peristiwa 31 Maret 2012 menunjukan kemampuan dan persenjataan kelompok
separatis semakin canggih. Generasi baru kelompok separatis mampu melaksanakan
serangan di target-target dengan penjagaan ketat. Tentu hal ini mengkhawatirkan bagi
pemerintah karena warga sipil menjadi korban terbesar dalam serangan kelompok
separatis di Thailand Selatan. Selama tahun 2011 tercatat 1,987 insiden dengan 1,464
245 International Crisis Group, “Thailand: The Evolving Conflict in the South”, h. 6. 246 Patani Forum, Negotiating a Peaceful Coexistence between the Malays of Patani and the Thai State,
h. 110-111.
117
korban tewas dan luka-luka, lalu tahun 2012 ada 1,045 insiden dengan 1,837 korban
tewas dan luka-luka, sedangkan di tahun 2013 terhitung 1,297 insiden dengan 1,418
korban tewas dan luka-luka.247
Pola serangan kelompok separatis selama pemerintahan Yingluck Shinawatra
lebih menekankan pada efektifitas serangan terhadap target dengan jumlah korban
yang tinggi tapi minim jumlah serangan. Pada Juli 2012, sebuah serangan kelompok
separatis terhadap patroli keamanan di Distrik Mayo, Patani yang menewaskan empat
tentara membuat gempar seluruh Thailand. Pasalnya, kelompok separatis sengaja
melakukan serangan dengan direkam oleh CCTV.248
Tentunya, peristiwa ini menjadi
viral di media Thailand sekaligus menjadi tekanan untuk pemerintah agar segera
bertindak mengatasi ketidak efektifan aparat keamanan dalam menangani konflik di
Thailand Selatan. Pimpinan kelompok separatis juga menyatakan bahwa serangan
Mayo merupakan bagian dari strategi melumpuhkan pemerintahan di Thailand
Selatan.249
Pemerintah Thailand tentunya tak tinggal diam terhadap aksi kelompok
separatis, Yingluck dan Thawee meminta bantuan Malaysia untuk memfasilitasi
pemerintah Thailand dalam pertemuan dengan kelompok separatis. pertemuan yang
dikenal dengan ”The Kuala Lumpur Process” diresmikan pada 28 Februari 2013
247 Srisompob Jitpiromsri, “An Inconveniant Truth about the Deep South Violence Conflict: A Decade
of Chaotic, Constrained Realities and Uncertain Resolution”, diakses pada tanggal 17 Februari 2017 dari laman
http://deepsouthwatch.org/print/5904 248 Terry Fredrickson, “Forces go after attackers”, diakses pada tanggal 3 Maret 2017 dari laman
http://www.bangkokpost.com/learning/advanced/305012/forces-go-after-attackers 249 Patani Forum, Negotiating the Future of Patani, h. 72.
118
dengan rangkaian pertemuan antara pemerintah Thailand dengan kelompok separatis
pada 31 Maret, 28 April, dan 13 Juni 2013.
Sebelum pertemuan itu terlaksana, Dewan Pimpinan Parti (DPP) BRN-C
sebagai pimpinan tertinggi kelompok separatis menyatakan tidak tertarik pada
gagasan pertemuan tersebut karena Yingluck tidak bersedia menjamin keselamatan
perwakilannya. Akan tetapi, BRN-C mendukung adanya proses perdamaian di
Thailand Selatan. Reaksi ini membuat pemerintah Thailand dan Malaysia kesulitan
mencari sosok yang akan menempati posisi sebagai perwakilan dari kelompok
separatis. Pada akhirnya, BRN-C mengutus Hassan Thaib sebagai „perantara‟
delegasi kelompok separatis.250
Terpilihnya Hassan Thaib membingungkan banyak pihak karena ia bukan
berasal dari DPP BRN-C dan tidak memiliki kapabilitas untuk mengendalikan Juwae
di lapangan. DPP BRN-C menggunakan Hassan Thaib sebagai strategi kelompok
separatis menguji kesiapan dan kesungguhan pemerintah Thailand untuk benar-benar
memulai perundingan perdamaian. BRN-C beranggapan pemerintah Thailand tidak
akan berkomitmen dalam proses perdamaian karena adanya perpecahan internal
dengan tidak melibatkan kalangan militer dan birokrat dalam pertemuan. Selain itu,
BRN-C ingin melatih delegasinya dalam perundingan politik dan diakui oleh
pemerintah Thailand dan dunia internasional.251
250 International Crisis Group, “Southern Thailand: Dialogue in Doubt,” h. 4. 251 Patani Forum, Negotiating the Future of Patani, h. 91.
119
Bagi kalangan Juwae, pertemuan di Kuala Lumpur tidak mempengaruhi
pergerakan kelompok separatis di Thailand Selatan. Selama pertemuan berlangsung,
terjadi peningkatan serangan dari 130 insiden (Maret 2013) menjadi 298 insiden
(April 2013), termasuk pembunuhan Wakil Gubernur Provinsi Yala Issara
Thongthawat yang mengejutkan banyak pihak.252
Pasca insiden, pemerintah Thailand
meminta Hassan Thaib untuk memerintahkan Juwae mengurangi serangan di
Thailand Selatan. Sejak saat itu, pemerintah mengakui bahwa Hassan Thaib tidak
memiliki kapabilitas mengendalikan kelompok separatis.
Namun demikian, pertemuan terus berlanjut hingga tercapainya kesepakatan
gencatan senjata melalui “Ramadhan Peace Initiative”. BRN-C yang semula
menyatakan tidak mendukung dialog perdamaian, mulai menunjukan niat baik
dengan menyetujui gencatan senjata. Dalam periode gencatan senjata, BRN-C
terbukti mampu mengendalikan gerakan kelompok separatis dengan berkurangnya
intensitas serangan kelompok separatis. Tercatat, Juli 2013 menjadi bulan dengan
jumlah aksi kekerasan terendah sejak Desember 2007 dengan 42 insiden.253
252 Bangkok Post, “Deputy governor killed”, diakses pada tanggal 3 Maret 2017 dari laman
http://www.pressreader.com/thailand/bangkok-post/20130406/281479273881140 253 Srisompob Jitpiromsri dan Anders Engvall, A Meaningful Peace: Ramadhan Ceasefire Assessment,
(Patani: Deep South Watch, 2013), h. 4.
120
Gambar IV.5
Aksi Kekerasan, Jumlah Korban Tewas dan Terluka dalam
Konflik Separatis di Thailand Selatan (Periode Yingluck Shinawatra)
Sumber: Deep South Watch, Summary of Unrest in Southern Border Province, 2012-2014.
Pada hari ke-26 masa gencatan senjata, kelompok separatis mengakhiri
kesepakatan secara sepihak dan menunda keikutsertaan dalam dialog perdamaian.
Kelompok separatis menilai aparat keamanan Thailand tidak kooperatif dengan
sengaja melakukan penyergapan ke markas kelompok separatis di Narathiwat serta
melakukan pembunuhan warga Melayu Muslim selama masa gencatan senjata,
khususnya pembunuhan Imam Besar Masjid Raya Patani, Yacob Raimanee.254
Selain
itu, kelompok separatis menilai pemerintah Thailand menghambat proses perdamaian
dengan belum menyetujui tuntutan yang diajukan kelompok separatis.255
254 Duncan McCargo, “Southern Thailand: From Conflict to Negotiation?,” h. 11. 255 International Crisis Group, “Southern Thailand: Dialogue in Doubt,” h. 6.
Peace Dialogue
Ramadhan Peace Intiative
121
Kedua kalinya, pemerintah meminta delegasi kelompok separatis untuk
menjelaskan lebih lanjut tentang lima tuntutan tersebut. Malaysia meminta Hassan
Thaib untuk meyakinkan DPP BRN-C agar mengikuti kemauan pemerintah. Pada
September 2013, fasilitator Malaysia Dato Ahmad Zamzamin menyampaikan
dokumen yang berisi penjelasan tuntutan kelompok separatis kepada pimpinan
delegasi pemerintah Thailand, Letnan Jenderal Paradorn Pattanataburn.256
Isi dari
dokumen tersebut diantaranya meminta pemerintah Thailand mengakui BRN-C
sebagai perwakilan resmi masyarakat Melayu Muslim, BRN-C meminta keempat
wilayah perbatasan Selatan Thailand menjadi sebuah daerah otonomi khusus.
Pada Oktober 2013, kelompok separatis mendapat jawaban akan segala
tuntutan mereka bahwa pemerintah Thailand menyetujui pembahasan lebih lanjut
mengenai lima tuntutan kelompok separatis. Pertemuan yang direncanakan pada
Desember 2013 terpaksa harus tertunda oleh pemerintah Thailand karena adanya
krisis politik nasional di Bangkok.
Namun demikian, kelompok separatis bersikeras tetap menginginkan adanya
dialog perdamaian secara terbuka dengan pemerintah dan kelompok separatis juga
bersedia jika harus melibatkan organisasi internasional dalam dialog. Tentunya
keinginan ini harus disambut dengan baik oleh pemerintah Thailand agar terciptanya
perdamaian di seluruh wilayah Thailand Selatan.257
256 Duncan McCargo, “Southern Thailand: From Conflict to Negotiation?,” h. 10. 257 Patani Forum, Negotiating the Future of Patani, h. 112-113
122
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Gerakan separatis Melayu Muslim di Thailand Selatan pada dasarnya
merupakan masalah politik identitas. Bahasa, norma (tradisi dan adat-istiadat), dan
agama merupakan identitas asli yang masih dipertahankan oleh masyarakat Melayu
Muslim. Penyatuan wilayah Patani Raya ke dalam negara Thailand secara geografis
dan administratif membawa dampak sosio-kultural dan keagamaan. Apalagi
kebijakan integrasi pemerintah Thailand dibuat untuk mencampuri urusan-urusan
keagamaan dan tradisi masyarakat Melayu Muslim. Identitas Melayu Muslim yang
cenderung bersifat baku dituntut untuk beradaptasi dengan simbol-simbol Thainess
yang menekankan tentang kesetiaan kepada Raja Thai (Monarchy), etika Buddha
(Religion), dan budaya mayoritas bangsa Thai (Nation).
Gerakan perlawanan yang muncul dipahami sebagai salah satu upaya
mempertahankan identitas nilai keagamaan dan etnisitas masyarakat Melayu Muslim
dengan menuntut dihentikannya sikap diskriminatif pemerintah Thailand. Faktor
etnisitas dan solidaritas keagamaan telah membedakan masyarakat minoritas Melayu
Muslim dari bagian utama penduduk mayoritas Thai sehingga memicu tumbuhnya
paham separatis yang muncul sebagai perlawanan budaya atas diskriminasi dari
etnisitas Thai.
123
Dari segi ekonomi, masyarakat Melayu Muslim yang berdiam di provinsi
perbatasan Selatan Thailand diketahui sebagai wilayah yang berada dibawah garis
kemiskinan. Hal ini melahirkan perasaan ketidakadilan secara politik, ekonomi, dan
budaya, yang akhirnya juga memunculkan perasaan anti pemerintah dan
berkontribusi besar dalam perkembangan ideologi separatisme di kalangan
masyarakat Melayu Muslim.
Kondisi sosial politik dan ekonomi masyarakat Melayu Muslim yang terus
bergejolak dimanfaatkan oleh pemerintah Thailand untuk memobilisasi dan mendapat
dukungan rakyat dalam upaya penyelesaian konflik di Thailand Selatan. Peristiwa
kerusuhan 4 Januari 2004 silam menjadi pemicu pemerintah Thailand menerapkan
pendekatan militeristik. Status Darurat Militer (2004), UU Adminstrasi Darurat
(2005), dan UU Keamanan Internal (2008) seraya mengamini upaya pemerintah
Thailand membuat masyarakat Melayu Muslim menjadi pihak yang paling menderita
dari kebijakan tersebut.
Konflik berdarah yang telah terjadi lebih dari seratus tahun tak membuat
pemerintah Thailand memetik pelajaran dan memahami inti permasalahan. Rasa
ketidakadilan dan penderitaan masyarakat Melayu Muslim yang muncul ke
permukaan dalam berbagai aksi kekerasan dan balas dendam menegaskan bahwa
pendekatan militeristik untuk meredam aksi kekerasan akan semakin memperkuat
identitas bahwa mereka memiliki perbedaan dengan bangsa Thai.
124
Pendekatan militeristik merupakan salah satu yang digunakan Perdana
Menteri Surayud Chulanont dalam meredam aksi perlawanan „pejuang‟ Melayu
Muslim di Thailand Selatan. Metode yang mengedepankan peran aktif militer dalam
berbagai proses kebijakan pemerintah ternyata berdampak negatif dan tidak efektif
bagi pemerintah Thailand. Inkonsistensi sikap Surayud Chulanont yang semula
menggunakan cara-cara persuasif melalui permohonan maaf pemerintah, pemberian
amnesti, dan kompensasi untuk korban konflik berubah menjadi cara-cara sporadik
dan represif melalui operasi militer yang memang berhasil meredam aksi kekerasan
tapi juga menambah deretan daftar hitam kasus pelanggaran HAM di Thailand
Selatan.
Julukan “The Sole Guardian of the Thai Nation” yang melekat pada tubuh
militer Thailand juga mengilhami Surayud Chulanont untuk tetap menjaga kemurnian
ideologi Thainess. Jika pemerintah Thailand bersikeras menempatkan ideologi
Thainess di atas segalanya, maka semakin keras pula perlawanan (budaya)
masyarakat Melayu Muslim untuk mempertahankan identitas mereka. Konflik
separatis di Thailand Selatan secara tidak langsung memiliki pola “action-reaction”,
membuat setiap langkah pemerintah Thailand akan menemui jalan buntu.
Pemerintah Thailand berusaha mencari kebijakan alternatif yang
mengakomodasi kebutuhan masyarakat Melayu Muslim mulai dari pembangunan
sosial ekonomi, pemerataan pendidikan, perluasan lapangan pekerjaan hingga dana
insentif peningkatan infrastruktur daerah.
125
Tentunya, kebijakan pemerintah ditanggapi secara berbeda oleh beragam
kelompok masyarakat. Bagi kelompok separatis, kebijakan ini dicurigai sebagai
bentuk penetrasi terhadap budaya dan ekonomi masyarakat Melayu Muslim. Ketidak
percayaan kelompok separatis terhadap pemerintah muncul sebagai bentuk akumulasi
kekecewaan, penderitaan, dan keputusasaan masyarakat Melayu Muslim atas
tindakan diskriminatif dan sewenang-wenang pemerintah.
Respon serupa juga diterima Yingluck Shinawatra yang menggunakan
pendekatan politis melalui pembangunan ekonomi dan reformasi pemerintahan yang
tertuang dalam strategi “The National Security Council Policies on Management and
Development in Southern Border Province 2012-2014”. Program kewirausahaan dan
peningkatan kualitas hidup masyarakat Melayu Muslim tidak memberikan dampak
signifikan dalam hal pemerataan pembangunan ekonomi. Faktor keamanan masih
menjadi penghalang utama yang membuat kebijakan pemerintah terhambat dan tidak
maksimal.
Dalam konteks politik nasional, perpecahan internal pemerintahan antara
partai penguasa Pheu Thai dengan jajaran kabinet dan petinggi militer serta rusaknya
koordinasi antar lembaga menjadi penyebab kegagalan setiap kebijakan Yingluck
Shinawatra sehingga menjadi tidak efektif. Hubungan elit sipil dengan militer yang
saling bersaing memperebutkan kekuasaan dalam proses rekonsiliasi konflik
mengakibatkan kesenjangan antara kelompok sipil dan militer. Kondisi ini
126
mempengaruhi proses dialog perdamaian antara pemerintah Thailand dan kelompok
separatis.
Upaya Yingluck Shinawatra menyelesaikan konflik disalah artikan pihak
militer sebagai upaya memperbaiki „nama baik‟ Thaksin untuk meraih kepercayaan
publik sehingga militer melakukan sabotase dalam proses gencatan senjata. Untuk
kesekian kalinya, masyarakat Melayu Muslim menjadi pihak yang paling dirugikan
akibat kontestasi politik nasional yang tidak sehat. Kelompok separatis kembali
menunjukan kekuatan seiring dengan propaganda yang dilakukan militer melalui
aksi-aksi diskriminatif terhadap masyarakat Melayu Muslim. Upaya perdamaian di
Thailand Selatan yang menjadi impian harus kandas di tengah jalan.
5.2 Saran
Pada akhirnya, pemerintah dan militer harus saling bersinergi dan
berkoordinasi dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan. Keterlibatan kedua
elemen tersebut merupakan hal paling utama dalam proses penyelesaian konflik
separatis di Thailand Selatan. Apalagi jika pemerintah dan militer mulai memahami
akar permasalahan konflik di Thailand Selatan dengan mengeluarkan kebijakan yang
akomodatif dan pro-masyarakat Melayu Muslim.
Semestinya, aktor-aktor negara baik dari militer, birokrat, politisi hingga
kerajaan mulai membuka diri terhadap kebijakan politik desentralisasi dalam sebuah
ruang otonomi berdasarkan etnisitas sebagai solusi konflik di Thailand Selatan.
Daerah otonomi yang memberikan kebebasan bagi setiap orang untuk menjalani
127
kehidupan sesuai dengan identitas agama dan budayanya, memberikan kesempatan
bagi masyarakat daerah untuk berperan dalam penyelesaian masalah dan
pembangunan. Kebijakan ini tentunya perlu dibahas dalam sebuah „forum dialog‟
dengan melibatkan seluruh pihak yang berkepentingan dalam konflik. Hal ini penting
agar semua pihak dapat menerima hasil kesepakatan dan terciptanya transisi politik
secara damai.
ix
DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Jurnal
Abuza, Zachary. “The Ongoing Insurgency in Southern Thailand: Trends in Violence,
Counterinsurgency Operations, and the Impact of National Politics”, Institute
for National Strategic Studies: Strategic Perspective No.6, Washington DC:
National Defense University Press, 2011.
Agustino, Leo. Dasar-Dasar Kebijakan Publik, Bandung: Alfabeta, 2008.
Albittron, Robert B. “Thailand in 2004: The Crisis in South”, Asian Survey Vol. 45
No. 1. California: University of California Press, 2005.
_ _ _ _. “Thailand in 2005: The Struggle for Democratic Consolidation,” Asian
Survey Vol. 46, No. 1. California: University of California Press, 2006.
Aphornsuvan, Thanet. “Origins of Malay Muslim “Separatism” in Southern
Thailand,” Asia Research Institute: Working Paper Series No. 32, Bangkok:
Thammasat University, 2004.
Atilgan, Canan. The Internal Security Act (ISA) Implication for Southern Conflict,
Thailand: Konrad-Adenauer-Siftung, 2008.
Azar, Edward E. The Management of Protracted Conflict: Theory & Cases,
Aldershot: Dartmouth, 1990.
Bank of Thailand, Annual Report: Thailand’s Economic and Monetary Condition in
2007, Bangkok: Monetary Policy Group, 2008.
Beary, Brian. Separatist Movement: A Global Reference, Washinghton DC: CQ
Press, 2011.
Bureau of Democracy, Human Rights and Labor, “Thailand 2013 Human Rights
Report,” Country Report on Human Rights Practices for 2013, Washington
DC: United States Department of State, 2013.
Burke, Adam. Tweedie, Pauline dan Poocharoen, Ora-orn. The Contested Corners of
Asia: The Case of Southern Thailand, (San Fransisco: The Asia Foundation,
2013),
x
Chalk, Peter. The Malay-Muslim Insurgency in Southern Thailand: Understanding
the Conflict’s Evolving Dynamic. Virginia: Rand Corporation, 2008.
Coser, Lewis A. The Functions of Social Conflict, New York: The Free Press, 1956.
_ _ _ _, “Social Conflict and the Theory of Social Change”, The British Journal of
Sociology, Vol. 8, No. 3, September 1957, London: The London School of
Economics and Political Science, 1957.
Da-oh, Fadinla. Ideologi Politik Organisasi Perjuangan Melayu Muslim di Patani
Thailand Selatan, Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2008.
Dahrendorf, Ralf. Class and Class Conflict in Industrial Society. Stanford: Stanford
University Press, 1959.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat
Bahasa Diknas, 2005.
Dunn, William N. Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2000.
Feaver, Peter Douglas. “Civil-Military Relations”, Annual Review of Political
Sciences Vol. 2, North Carolina: University of Kentucky, 1999.
Goumenos, Thomas. Mechanism of Ethnic and Separatist Movement, Essex: Essex
University Press, 2006.
Griffiths, Ryan D. dan Savic, Ivan. “Globalization and Separatism: The Influence of
Internal and External Interdependence on The Strategies of Separatism,” dalam
Jerry Harris, The Nation in the Global Era: Conflict and The Transformation,
Leiden: Brill, 2009.
Harish, S.P. “Changing Conflict Identities: The case of the Southern Thailand
Discord”, Working Paper Series No. 107, February 2006, Singapore: Institute
of Defense and Strategic Studies, 2006.
Heiduk, Felix dan Moller, Kay. Southern Thailand: The Origin of Violence. Berlin:
German Institute for International Affairs, 2004.
Hilton, Alexander. “Khmerness and the Thai „Other‟: Violence, Discourse and
Symbolism in the 2003 Anti-Thai Riots in Cambodia”, Journal of Southeast
xi
Asian Studies Vol. 37 Issue 3, October 2006, Singapore: The National
University of Singapore, 2006.
Hiraide, Yuna. “Creating A Framework for the Peaceful Resolution of the Separatist
State Movement” DIMUN V Research Report, 13 November 2014.
Howlett, Michael dan Ramesh, M. Studying Public Policy: Policy Cycles and Policy
Subsystem, Toronto: Oxford University Press, 1995.
_ _ _ _. “Pattern of Policy Instrument Choice: Policy Styles, Policy Learning and the
privatization Experience” dalam Review of Policy Research, Vol. 12, Issues, 1-
2, Review of Policy Research, 2005.
Huntington, Samuel P. The Soldier and The State: Theory and Politics of Civil-
Military Relations, Massachussett: Harvard University Press, 1964.
International Commission of Jurist, Thailand’s Internal Security Act: Risking The
Rule of Law?, Bangkok: International Commission of Jurist, 2010.
International Crisis Group. “Southern Thailand: Insurgency, Not Jihad”. Crisis Group
Asia Report N°98, Mei 2005, Singapura: International Crisis Group, 2005.
_ _ _ _. “Thailand‟s Emergency Decree: No Solution”. Crisis Group Asia Report No
105, November 2005, Jakarta: International Crisis Group, 2005.
_ _ _ _, “Southern Thailand: The Impact of Coup”, Crisis Group Asia Report No
129
March 2007, Jakarta: International Crisis Group, 2007.
_ _ _ _, “Southern Thailand: The Problem with Paramilitaries”, Crisis Group Asia
Report No 140, Oktober 2007, Jakarta: International Crisis Group, 2007.
_ _ _ _, “Southern Thailand: Moving Towards Political Solution?”, Crisis Group Asia
Report No 181, December 2009, Bangkok: International Crisis Group, 2009.
_ _ _ _, “Stalemate in Southern Thailand”, Crisis Group Asia Briefing N°113,
November 2010, Bangkok: International Crisis Group, 2010.
_ _ _ _, “Thailand: The Evolving Conflict in the South”, Crisis Group Asia Report No
241, December 2012, Bangkok: International Crisis Group, 2012.
_ _ _ _, “A Coup Ordained? Thailand Prospects for Stability” Crisis Group Asia
Report No
263 December 2014, Bangkok: International Crisis Group, 2014.
xii
_ _ _ _, “Southern Thailand: Dialogue in Doubt,” Crisis Group Asia Report No 270,
July 2015, Bangkok: International Crisis Group, 2015.
Jitpiromsri, Srisompob. “The New Challenge of Thailand‟s Security Forces in
Southern Frontiers”, Civil Society, Politics and Development in ASEAN
Countries: International Conference on Political Science, Public
Administration and Peace Studies, 6-7 September 2012, Hatyai: Prince of
Songkhla University, 2012.
_ _ _ _, dan Engvall, Anders. A Meaningful Peace: Ramadhan Ceasefire Assessment,
Patani: Deep South Watch, 2013.
_ _ _ _, dan McCargo, Duncan. “A Ministry of South: New Governance‟s Proposal
for Thailand‟s Southern Region”, Contemporary Southeast Asia Vol. 30, No. 3,
2008, Singapura: Institute of Southeast Asian Studies, 2008.
_ _ _ _, “The Southern Thai Conflict Six Years On: Insurgency, Not Just Crime,”
Contemporary Southeast Asia Vol. 32, No. 2. Singapura: Institute of Southeast
Asian Studies, 2010.
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Peraturan
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 04 Tahun 2007.
Lawang, Robert. Buku Materi Pokok Pengantar Sosiologi, Jakarta: Universitas
Terbuka, 1994.
Liow, Joseph Chinyong dan Pathan, Don. “Confronting Ghosts: Thailand‟s Shapeless
Southern Insurgency”, Lowy Institute Paper 30, New South Wales: Lowy
Institute for International Policy, 2010.
Maftukhah, Laili. Gerakan Pembebasan Islam Pattani di Thailand Selatan Pada
Tahun 1973-1982, Surabaya: UIN Sunan Ampel Surabaya, 2011.
Marx, Karl. dan Engels, Friedrich. The Communist Manifesto: A Modern Edition,
New York: Verso, 1998.
McCargo, Duncan. “Southern Thailand: From Conflict to Negotiation?,” Sydney:
Lowy Institute for International Policy, 2014.
xiii
Melvin, Neil J. “Conflict in Southern Thailand: Islamism, Violence and the State in
the Patani Insurgency,” SIPRI Policy Paper No. 20. Swedia: CM Gruppen,
2007
Narwoko, J. Dwi. dan Bagong Suyanto, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan,
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005
National Reconciliation Commission, Report of National Reconciliation Commission:
Overcoming Violence Through the Power of Reconciliation. Bangkok:
Secretariat of Cabinet, 2005.
Patani Forum, Negotiating a Peaceful Coexistence between the Malays of Patani and
the Thai State, Patani: Patani Forum, 2012.
_ _ _ _, Negotiating The Future of Patani, Patani: Patani Forum, 2014.
Polama, Margaret M. Sosiologi Kontemporer, Jakarta: CV. Rajawali, 2000.
Purwanto, Erwan Agus. Implementasi Kebijakan Publik: Konsep dan Aplikasinya di
Indonesia, Yogyakarta: Gava Media, 2012.
Rabasa, Angel. dkk. The Evolving Terrorist Threat to Southeast Asia: A Net
Assessment. Virginia: Rand Corporation, 2009.
Ritzer, George. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2010.
_ _ _ _ dan Goodman, Douglas J. Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Prenada Media,
2004.
Rusli, Budiman. Kebijakan publik membangun pelayanan publik yang responsif,
Bandung: Hakim Publishing, 2013.
Sattayanurak, Saichol. “The Construction of Mainstream Thought on “Thainess” and
the “Truth” Constructed by “Thainess”, Chiang Mai: Chiang Mai University.
Setiadi, Elly M. dan Kolip, Usman. Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan
Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2011.
xiv
Sianturi, Benny. Implementasi Kebijakan Restrukturisasi Organisasi Perangkat
Daerah di Kabupaten Toba Samosir, Medan: Universitas Sumatera Utara,
2013.
Smith, Anthony L. “Trouble in Thailand‟s Muslim South: Separatism, not Global
Terrorism”, Asia-Pacific Center for Security Studies Vol. 3 No. 10, December
2004, Hawai: APCSS, 2004.
Soekanto, Soerjono. Kamus Sosiologi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993.
Storey, Ian. “Ethnic Separatism In Southern Thailand: Kingdom Fraying at The
Edge?”, Asia Pacific Center for Security Studies Paper, March 2007, Hawai:
APCSS, 2007.
Subarsono, A.G. Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori, dan Aplikasi,
Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005.
Suwitri, Sri. Konsep Dasar Kebijakan Publik, Semarang: Universitas Diponegoro
Semarang, 2008.
Taylor, Edward R. Command in The 21st Century: An Introduction of Civil-Military
Relations, California: United State Naval Academy, 1998.
Thai Laws, Internal Security Act: Translation, Bangkok, 2008.
Tilaar, H.A.R. dan Nugroho, Riant. Kebijakan Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2008.
United National Development Program, Lesson Learned from the Implementation of
Southern Thailand Empowerment and Participation (STEP) Project 2010-2014,
Patani: Prince of Songkhla University.
Wallensten, Peter. Understanding Conflict Resolution: War, Peace and the Global
System, London: SAGE Publication Ltd, 2002.
Wibawa, Samodra, Evaluasi Kebijakan Publik, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1994.
Winarno, Budi. Kebijakan Publik: Teori dan Proses, Yogyakarta: Media Presindo,
2007.
xv
Yuniarto, Paulus Rudolf. “Minoritas Muslim Thailand: Asimilasi, Perlawanan
Budaya dan Akar Gerakan Separatisme”, Jurnal Masyarakat dan Budaya, Vol.
7, No. 1, Tahun 2005, Jakarta: LIPI, 2005.
Zawacki, Benjamin. “Political Inconvenient, Legally Correct: A Non-International
Armed Conflict in Southern Thailand”, Journal of Conflict and Security Law
2012, London: Oxford University Press, 2012.
Zeitlin, Irving M. Memahami Kembali Sosiologi, Yogyakarta: Gajah Mada University
Press, 1998.
Artikel dan Portal Berita Online
Amorn, Vithoon. “Thailand adopts deficit budget to spur growth”, diakses pada
tanggal 18 Februari 2017 dari laman
http://www.reuters.com/article/idUSBKK27464720070704
Bangkok Post, “10.000 named in insurgency handbook” diakses pada 2 Maret 2017
dari laman http://www.bangkokpost.com/print/309273
_ _ _ _, “Deputy governonr killed” diakses pada tanggal 3 Maret 2017 dari laman
http://www.pressreader.com/thailand/bangkokpost/20130406/28147927388114
0
BBC News, Profile: Surayud Chulanont, Diakses pada tanggal 24 Januari 2016 dari
laman http://news.bbc.co.uk/2/hi/asia-pacific/5392722.stm
_ _ _ _, “Profile: Yingluck Shinawatra” diakses pada tanggal 25 Januari 2016 dari
laman http://www.bbc.com/news/world-asia-pacific-13723451
Bukhari, Parvaiz. “For Southern Thailand, Still No Peace”, diakses pada tanggal 1
Februari 2017 dari laman
http://content.time.com/time/world/article/0,8599,1572061,00.html
CBC News, “Yingluck Shinawatra, Thailand‟s 1st female prime minister”, diakses
pada tanggal 25 Januari 2016 dari laman
http://www.cbc.ca/news/world/yingluck-shinawatra-s-1st-female-prime-
minister-1.982685
xvi
Chuah, Osman Abdullah. ”Conflict and Peace Initiatives between Minority Muslims
and Thai Buddhists in Southern Thailand” diakses pada tanggal 19 Oktober
2014 dari laman http://www.religionconflictpeace.org/print/61
Council of Europe, Youth Transforming Conflict: Understanding Conflict diakses
pada tanggal 27 April 2015 dari laman website http://pjp-
eu.coe.int/documents/1017981/7110680/3-Understandingconflict.pdf/0f63c846-
6942-4e8f-83c0-3626f2f73dfa
Deep South Watch, “The National Security Council: Policies on Management and
Development in Southern Border Province 2012-2014” (Dalam bahasa Thai)
diakses pada tanggal 25 Februari 2017 dari laman
http://www.deepsouthwatch.org/sites/default/files/nsc_deepsouthpolicy12-
14.pdf
Fox News, “Thai PM Plans to quell Country‟s Muslim Insurgency Peacefuly”,
diakses pada tanggal 2 Februari 2017 dari laman
http://www.foxnews.com/story/2006/10/18/thai-pm-plans-to-quell-country-
muslim-insurgency-peacefully.html.
Fredrickson, Terry. “Forces go after attackers” diakses pada tanggal 3 Maret 2017
dari laman http://www.bangkokpost.com/learning/advanced/305012/forces-go-
after-attackers
Fuller, Thomas. “Yingluck Shinawatra Is Elected Thai Prime Minister by
Parliament”, diakses pada tanggal 25 Januari 2016 dari laman
http://www.nytimes.com/2011/08/06/world/asia/06thailand.html.
Hewison, Kevin. Thailand New Prime Minister General Surayud Chulanont: A man
and his contradictions, diunduh pada tanggal 24 Januari 2016 dari laman
http://www.csr-asia.com/upload/surayudchulanont1.pdf
Human Rights Watch, “Emergency Decree Violates Thai Constitution and Laws.”
Artikel diakses pada tanggal 14 Februari 2015 dari
http://www.hrw.org/legacy/english/docs/2005/08/04/thaila11592_txt.htm
xvii
_ _ _ _, “Thailand: Internal Security Act Threatens Democracy and Human Rights”
diakses pada tanggal 15 Februari 2017 dari laman
http://www.hrw.org/news/2007/11/05/thailand-internal-security-act-threatens-
democracy-and-human-rights.
Isaara News, “BRN set new conditions for reduction of violence”, diakses pada
tanggal 18 Februari 2017 dari laman http://www.isranews.org/isranews-
article/item/22019-brn-set-new-conditions-for-reduction-of-violence.html
Jitpiromsri, Srisompob. “An Inconveniant Truth about the Deep South Violence
Conflict: A Decade of Chaotic, Constrained Realities and Uncertain
Resolution”, diakses pada tanggal 17 Februari 2017 dari laman
http://deepsouthwatch.org/print/5904
LaRocco, Tim. “Yingluck Faces Thai Insurgency” diakses pada tanggal 25 Januari
2016 dari laman http://thediplomat.com/2011/08/yingluck-faces-thai-
insurgency/
Levett, Connie. General Sworn in as new Thai PM, diakses pada tanggal 24 Januari
2016 dari laman http://www.smh.com.au/news/world/general-sworn-in-as-new-
thai-pm/2006/10/01/1159641211838.html
Nance, Shawn L. Unplugging Thailand, Myanmar energy deals, diakses pada tanggal
24 Januari 2016 dari laman
http://www.atimes.com/atimes/Southeast_Asia/HK14Ae02.html
Pattaya Mail, “Govt to compensate violence victims in Deep South”, diakses pada
tanggal 17 Februari 2017 dari laman
http://www.pattayamail.com/thailandnews/govt-to-compensate-violence-
victims-in-deep-south-11357
xviii
Phuket News, “Army chief says Thailand facing 3,000 militans” diakses pada 2
Maret 2017 dari laman http://www.thephuketnews.com/army-chief-says-
thailand-facing-3-000-militants-29547.php
Rustici, Kathleen. “Peace Talks Announced to Address the Conflict in Southern
Thailand,” Artikel diakses pada tanggal 26 Maret 2015 dari
http://csis.org/publication/peace-talks-announced-address-conflict-southern-
thailand
Thailand for You, Surayud Chulanont: Privy Councilor, Soldier and Regent of
Thailand, Diakses pada tanggal 24 Januari 2016 dari laman
http://www.th4u.com/surayud_chulanont.htm
The Britannica, “Yingluck Shinawatra: Profile” diakses pada tanggal 25 Januari 2016
dari laman http://www.britannica.com/print/article/1786711
The Nations, “Emergency Decrees: Anand Slams Govt as Editors up in Arms.”
Artikel diakses pada tanggal 14 Februari 2015 dari
http://www.nationmultimedia.com/specials/south/1907.php
The Telegraph, “Yingluck Shinawatra is set to become Thailand‟s first female prime
minister”, diakses pada tanggal 25 Januari 2016 dari laman
http://www.telegraph.co.uk/news/worldwide/asia/thailand/8683053/Yingluck-
Shinawatra-profile.html.
_ _ _ _, “Yingluck Shinawatra formally appointed Thailand‟s first female prime
minister”, diakses pada tanggal 25 Januari 2016 dari laman
http://www.telegraph.co.uk/news/worldwide/asia/thailand/8683019/Yingluck-
Shinawatra-formally-appointed-thailands-first-female-prime-minister.html
US Diplomatic Cable, “Southern Dialogue Facilitator Gives Optimistic Readout on
Bahrain Talks”, diakses pada tanggal 2 Februari 2017 dari laman
http://www.cabledrum.net/diff/07BANGKOK6281
xix
_ _ _ _, “Southern Violence: Surayud Talks to The BRN-C” diakses pada tanggal 2
Februari 2017 dari laman
http://archive.org/stream/07BANGKOK6161/07BANGKOK6161_djvu.txt
MALAYSIA
w...."hi,,,"
,._,.•
Sf 5Mbon......,. ....
,.... Y.~ngG• Naralhlwa'•
"'.........•
y-. .......-Y.I.•
II•••Lon ~ y.......... ....!'-'. ~
IoIIliid.kbK ....
THAILAND
Songkhla•
(Datuk Mohame Thajudeen bin Abdul Wahab)Secretary of the
National Security Council of Malaysia
Witnessed By:
(Ustaz Hassan Taib)(Lt. Gen, Paradorn Pattanatabut)
Done and signed in Kuala LumpurOn the 28th February 2013
We are willing to engage In peace dialogue wrth people who Il,lVl'different opmions and Ideologies from the state (10 bo roten I -<I 10 .1Sparty 8) as one of the stakeholders In solvmq the Southum Bordl"Provinces problem under the framework of the 111.11 Consutunonwhile Malaysia would act as tacllltatcr Safely 1n()(lSlIIOS SI1.111bl'provided to all members of the Joint Workmg Group tlliougilolilthe'entire process,
The Government of 111atland 11.15 opporntcd Ih,' S", "'lillY {'I'llI",11
of the National Secuuty Council (to be rulou od to dS Ihllty A) 1011(11111the group supportmg favour able envuonment L'tI',lllon 101 1'1'lit "promotion m the Southern Border Provinces ot Ill.III,IIUI
GENERAL CONSENSUS ON PEACE DIALOGlJl· PHOCf SS
www.ThaiLaws.com 1
Internal Security Act, B.E. 2551 (2008)
Translation
BHUMIBOL ADULYADEJ, REX;
Given on the 19th Day of February 2008
Being the 63rd Year of the Present Reign.
His Majesty King Bhumibol Adulyadej is graciously pleased to proclaim that:
Whereas it is expedient to have an Act on Internal Security
This Act contains provisions which impose restrictions on the rights and liberties of the
people as allowable under Section 29 and Section 31 along with Section 32, 33, 34, 36, 41,
and 43 of the Constitution of the Kingdom of Thailand by virtue of the provisions of the
law.
Be it, therefore, enacted by the King, by and with the advice and consent of the National
Legislative Assembly as follows.
Section 1
This Act is called "the Internal Security Act, B.E.2551 (2008)"
Section 2
This Act comes into force on the day following its announcement in the Government
Gazette.
Section 3
In this Act
‘the maintenance of internal security’ means operations to prevent, control, resolve, and
restore any situation which is or may be a threat arising from persons or groups of persons
creating disorder, destruction, or loss of life, limb, or property of the people or the state, in
order to restore normalcy for the sake of the peace and order of the people, or the security
of the nation.
‘the Board’ means the Internal Security Operations Board
‘the Director’ means the Director of the Internal Security Operations Command
‘government agency’ means an office of government, state enterprise, public organization,
local government body, or other government body but excluding the courts and
independent organizations under the Constitution.
‘state official’ means a government servant, officer, or employee of a government agency
‘competent officer’ means a person appointed by the Director of Internal Security to carry
out duties under this Act
‘province’ includes Bangkok
‘provincial governor’ includes the governor of Bangkok
Section 4
The Prime Minister shall have charge and control of the execution of this Act.
Chapter 1
The Internal Security Operations Command
www.ThaiLaws.com 2
Section 5
There shall be an Internal Security Operations Command, known in short as ISOC, within
the Prime Minister’s Office with power and responsibility for the maintenance of internal
security.
ISOC shall have the status of a special government agency under the direct command of
the Prime Minister. The administration, management, structure and division of work, the powers of units, and manpower level shall be determined by the Cabinet.
The Prime Minister in his status as head of government shall be the Director of Internal
Security, known in short as DISOC, with command over government servants, officers and
employees in ISOC, and with responsibility for the official operations of ISOC. The Commander-in-Chief of the Army shall be Deputy Director of Internal Security.
The Director may appoint an Assistant Director from among government servants affiliated
to ISOC or other state officials as appropriate with due regard to the structure and division of work within ISOC.
The Chief of Staff of the Army shall be the Secretary of ISOC with the duty to take
responsibility for the direction and activity of ISOC.
The Deputy Director, Assistant Director, and Secretary of ISOC have power to command
government servants, officers and employees in ISOC as deputies of the Director, and have other powers and duties as assigned by the Director.
The Director shall have power to undertake juristic acts, prosecute or defend lawsuits, and
perform any actions in connection with lawsuits which are related to the duty of the
Internal Security Operations Command, acting in the name of the Prime Minister’s Office.
In execution of duty and exercise of power under this Act, the Director may assign his power in writing to the Deputy Director to execute the power on his behalf.
Section 6
ISOC shall be a government agency according to the law on budget procedures and the law on government finance.
Section 7
ISOC shall have powers and duties as follows:
(1) to monitor, investigate, and evaluate situations which may give rise to a threat
to internal security, and report to the Cabinet for consideration on further action;
(2) to direct the maintenance of internal security, pursuant to which ISOC shall have
the power and duty to propose a plan and directions for operation and
implementation for the Cabinet to consider and approve, and when the Cabinet has given approval, government agencies shall follow this plan and directions;
(3) to direct, coordinate, and support the activity of government agencies in
operations related to implementation under (2), pursuant to which the Cabinet
may also assign ISOC the power to oversee implementation by government agencies as determined by Cabinet;
(4) to encourage people to be aware of their duty in upholding nation, religion, and
king; to build love and unity among people in the nation; as well as to promote
popular participation in preventing and overcoming various problems which
affect internal security and the peace and order of society;
(5) to undertake other operations according to legislation or as assigned by the Cabinet, National Security Council, or Prime Minister.
Section 8
Beside the transfer of government duties under the Act on the Organization of State
Administration, the Director may assign the powers and duties of the Director under this
www.ThaiLaws.com 3
Act to the director of a Regional ISOC, the director of a Provincial ISOC, or the director of a center or head of an agency otherwise named.
Section 9
To facilitate operations within the power of ISOC under this Act, a government agency
shall, at the request of the Director of ISOC, send state officials to serve at ISOC; and a
central personnel organization or any other body which has power and duty similar to that
government agency shall provide the government agency that has sent state officials to
serve at ISOC with replacement staff as required, but not exceeding the number sent.
Section 10
There shall be an Internal Security Operations Board composed of the Prime Minister or a
Deputy Prime Minister assigned by the Prime Minister as Chairman; Minister of Defense
and Minister of Interior as Deputy Chairmen; Minister of Justice, Minister of Information
and Communications Technology, Permanent Secretary for Defense, Permanent Secretary
for Foreign Affairs, Permanent Secretary for Interior, Attorney-General, Director-General of
the National Security Council, Director of the National Intelligence Agency, Director of the
Budget Bureau,, Secretary of the Civil Service Commission, Secretary of the Public Sector
Development Commission, Supreme Commander, Commander-in-Chief of the Royal Thai
Army, Commander-in-Chief of the Royal Thai Navy, Commander-in-Chief of the Royal Thai
Air Force, Commissioner-General of the Royal Thai Police, Comptroller-General, and
Director of the Department of Special Investigations, as members; the Secretary of ISOC
as member and secretary; and no more than two government servants within ISOC
appointed by the Director as assistant secretaries.
The Board shall have the power to oversee, offer consultation, and make proposals to
ISOC on operations within the power of ISOC, including the following powers and
responsibilities:
(1) to prescribe procedures for the direction and coordination of government
agencies related to the maintenance of internal security;
(2) to prescribe procedures for the activity of ISOC, Regional ISOCs, and Provincial
ISOCs;
(3) to issue regulations concerning budget, financing, properties, and the
management of the assets of ISOC;
(4) to appoint an ISOC advisory council with due regard to participation by various
segments of the population, consisting at the minimum of people with expertise
or experience in political science, public administration, jurisprudence, science
and technology, maintenance of people’s rights and freedoms, peaceful
resolution of problems, maintenance of state security, and public media, with
the duty to propose solutions to problems or prevention of threats that arise and
to give advice as sought by the Board;
(5) to appoint committees or working groups to exercise duty as assigned;
(6) to undertake other duties as laid down in this Act or other laws.
Section 11
When there is necessity for the sake of internal security within the territory of any army
region, the Board on the proposal of the Director may pass a resolution for the regional
army to establish a Regional Internal Security Operations Command, known in short as a
Regional ISOC.
A Regional ISOC shall report directly to ISOC; the Commander of the Regional Army shall
be the Regional Director of Internal Security with duty and responsibility to support the
maintenance of internal security within the territory of responsibility of the regional army,
as the Director assigns.
www.ThaiLaws.com 4
To facilitate the work of a Regional ISOC, the Director has the power to appoint
government servants, officers and employees of the regional army, together with
government servants, officers and employees of government agencies within the territory,
to work regularly or temporarily in a Regional ISOC, as proposed by the director of a Regional ISOC.
The director of a Regional ISOC shall have command over government servants, officers,
and employees who have been ordered to work within the Regional ISOC, and shall take
responsibility for the implementation of the work of the Regional ISOC.
The structure, division of work, staffing, and management of working units within a
Regional ISOC shall be determined by the Director following proposals by the director of the Regional ISOC.
ISOC and the regional army shall study how to provide support with personnel, budget,
and resources for the operations of a Regional ISOC on the request of the Director of
Regional Security, with the provisions of Section 9 applying to the Regional ISOC, mutatis mutandis.
Section 12
To facilitate participation in overcoming problems or protecting against threats that arise,
the director of a Regional ISOC may establish a Regional ISOC advisory board consisting of
a chairman and no more than 50 members, appointed from among persons accepted and
trusted by the people in all parts of the territory with duty to propose solutions for
problems or for prevention of threats that arise, and to give consultation as requested by the director of the Regional ISOC
Section 13
To facilitate the support, assistance, and execution of duty of the director of a Regional
ISOC under Section 11, the director of a Regional ISOC with the approval of the Minister of
Interior and the Director may establish a Provincial Internal Security Operations Command,
known in short as a Provincial ISOC, in any province within the territory of the regional
army as a unit reporting directly to the Regional ISOC, with duties and responsibilities to
support the maintenance of internal security in an area of responsibility within that
province as assigned by the Director. The Provincial Governor shall be the Provincial
Director of Internal Security, with power of command over government servants, officers and employees, and responsibility for the operations of the Provincial ISOC.
The structure, division of work, staffing, and administration of working units within a
Provincial ISOC shall be as determined by the Director.
ISOC and the province shall study how to provide support with personnel, budget, and
resources for the operations of a Provincial ISOC on the request of the director of a
Provincial ISOC, with the provisions of Section 9 applying to the Provincial ISOC, mutatis mutandis.
Section 14
To promote participation in overcoming problems or guarding against threats that arise,
the director of a Provincial ISOC may establish an advisory board consisting of a chairman
and no more than 30 members, appointed from among persons accepted and trusted by
the population in all parts of the territory, with duty to propose solutions for problems or
for prevention of threats that arise, and to give consultation as requested by the director of
the Provincial ISOC.
Chapter 2
Duties of maintaining internal security
Section 15
In the event of an occurrence which affects internal security but which does not yet require
the declaration of a state of emergency under the Act on Public Administration in an
www.ThaiLaws.com 5
Emergency Situation, in which the occurrence has a tendency to persist for a long time,
and falls under the power and responsibility for solving problems of several government
agencies, the Cabinet shall pass a resolution to have ISOC take responsibility for
prevention, suppression, and eradication or mitigation of this occurrence which affects
internal security, within an assigned area and time-period, and shall make a general
announcement of this fact.
In the event that the occurrence in paragraph 1 subsides or can be overcome within the
powers of the government agencies which have normal responsibility, the Prime Minister
shall declare that the powers of ISOC as assigned under paragraph 1 lapse, and the Prime
Minister shall promptly report the outcome to the House of Representatives and Senate.
Section 16
In implementation under Section 15, ISOC shall also have powers and duties as follows:
(1) to prevent, suppress, eradicate, and overcome or mitigate the occurrence that
affects internal security as assigned under Section 15;
(2) to draw up a plan of execution according to (1) to be proposed to the Board for
approval;
(3) to oversee, follow up, and expedite relevant government agencies and state
officials to implement or coordinate implementation according to the plan in (2);
(4) to order that any state official whose behavior is a threat to internal security or
an obstruction to the maintenance of internal security, be excluded from a
designated area.
In drawing up a plan under (2), ISOC shall meet to consult with the Office of the National
Security Council and relevant government agencies, and pursuant to this shall draw up a
plan to confront every situation that may arise.
In the event of an order under (4), ISOC shall inform the government agency to which the
state official belongs along with the reason, and shall have the state official report to the
government agency to which that state official is attached as soon as possible. The
officials of the government agency to which that official is attached shall issue an order for
that state official to be relieved of official duties or relieved from the implementation of
official duties in the area as prescribed in the aforesaid order.
For the benefit of implementing operations according to the duties and powers under
paragraph 1, if there is necessity for ISOC to use the powers and duties that according to
law fall within the powers, duties or responsibilities of any government agency, the Cabinet
shall have the power to appoint any officer within ISOC to be a government official or
competent officer under law, or to pass a resolution for the government agency to transfer
its powers, duties and responsibilities under law in the aforesaid matter to ISOC to operate
in its stead, or to have power to operate within a specified area and time period, and shall
also prescribe the principles and conditions relating to that power.
Section 17
In the event of a need to overcome problems affecting internal security according to the
powers and duties in Section 16 in any area, the Director with the approval of the Board
shall have the power to establish one or more special operations centers or agencies
otherwise named to carry out any duty or several duties as specified.
The structure, staffing, administration, duties, control and coordination or command of an
operations center or agency otherwise named under paragraph 1 shall be as determined by
the Director with the approval of the Board, and published in the Government Gazette.
The provisions of Section 9 shall apply to these operations centers and agencies, mutatis
mutandis, and the power of the Director shall serve as the power of the director of the
center or agency.
www.ThaiLaws.com 6
Section 18
To facilitate the prevention, suppression, eradication, and solution or mitigation of an
occurrence under Section 15, the Director with the approval of the Cabinet shall have the
power to issue regulations as follows:
(1) to have relevant state officials implement any action, or suspend any action;
(2) to prohibit entry or exit at a locality, building, or designated area during its
operating hours, except with the permission of a competent official or being an
exempted person;
(3) to prohibit exit from dwelling places within a designated time;
(4) to prohibit the carrying of weapons outside dwelling places;
(5) to prohibit the use of routes or vehicles or to prescribe conditions on the use of
routes or vehicles;
(6) to order persons to perform or suspend any action in connection with electronic
equipment in order to guard against danger to life, limb, or property of the
people.
Orders under paragraph 1 may prescribe principles, time period, or other conditions and
the aforesaid prescriptions must not create unreasonable inconvenience for the people.
Section 19
In the execution of powers under Section 16(1), the Director and any competent officer
designated by the Director shall be deemed to be a high-level Interior official or police
officer and also an investigating officer according to the Code of Procedure for Criminal
Investigation.
Section 20
Should the execution of power by ISOC under Section 16 (1) result in loss for any innocent
person, ISOC shall arrange for that person to receive compensation for the loss
appropriate to the case according to principles and conditions determined by the Cabinet.
Section 21
Within the area assigned for ISOC operations under a Cabinet resolution in Section 15, if
an investigating officer believes that any accused person has committed an offence which
affects internal security as designated by Cabinet by mistake or out of ignorance, and that
granting the suspect the opportunity to reform will be of benefit to the maintenance of
internal security, the investigating officer shall submit records about that accused along
with the opinion of the officer to the Director.
If the Director concurs with the opinion of the investigating officer, the Director shall send
the report along with the Director’s opinion to a public prosecutor to present to the court;
if the court deems it appropriate, the court may order that person be sent to the Director
to undergo training at a designated place for a period not exceeding 6 months and under
any other conditions prescribed by the court, in lieu of court proceedings.
The procedure under paragraph 2 may be carried out only when the accused consents to
undergo training and abide by the conditions in lieu of court proceedings. The consent of
the wrongdoer shall be submitted along with the report and opinion of the investigating
officer according to paragraph 2.
Section 22
Officials exercising their duties within an area designated under Section 15 may receive
special remuneration as designated by the Cabinet.
Any official under paragraph 1 who suffers injury, death, disability, or loss of body parts as
a result of the execution of duty may receive other benefits apart from those provided by
law in accordance with regulations decided by the Cabinet.
www.ThaiLaws.com 7
Section 23
Any regulation, notification, order, or action under this Chapter is not subject to the law on
administrative procedures.
Any court case arising from a regulation, notification, order or action under this provision
shall fall within the power of the courts of justice. Pursuant to this, in the event that the
court must consider providing measures of protection or temporary protection prior to a
judgment under the Code of Civil Procedure or the Code of Criminal Procedure, according
to the case, the court shall summon the state official or competent officer who issued the
regulation, notification, order or action to explain the facts, report, or show reason, as part
of the consideration of ordering the aforesaid measures of protection or temporary
protection.
Chapter 3
Liability
Section 24
Any person who violates a regulation issued under Section 18 (2), (3), (4), (5), or (6) is
liable to imprisonment not exceeding 1 year, or a fine not exceeding 20,000 Baht, or both.
Provisions
Section 25
The activities, resources, budget, debts, rights, government servants, employees, and
personnel of the Internal Security Operations Command according to the order of the
Prime Minister’s Office 205/2006 concerning the establishment of the Internal Security
Operations Command, dated 30 October 2006 shall be transferred to the Internal Security
Operations Command under this Act.
Section 26
The Southern Border Provinces Administration Center and the Joint Civilian-Police-Military
Command established by the order of the Prime Minister’s Office 207/2006 concerning
government administration in the southern border provinces dated 30 October 2006 shall
become centers of operations or agencies otherwise named established under Section 17
of this Act.
Countersigned by
General Surayud Chulanont
Prime Minister
Note: The reasons for promulgating this Act are as follows. At present there are security
problems caused by various people or groups of people. These problems are violent, and
may quickly expand to a point they have broad and complex impact that may affect the
independence and integrity of the realm, give rise to disorder within country, and threaten
the peace and contentment of the people. In order to protect against such threats and to
resolve them promptly and completely, it is appropriate to designate a principal agency
www.ThaiLaws.com 8
with responsibility for internal security, including integrating and coordinating actions
among all government offices, and promoting participation by people in preserving security
and strengthening their own localities. It is necessary to enact this law in order to guard
against threats which may arise in times of normalcy, and to lay down measures and
mechanisms for use at times when a security threat has arisen in any area in order to
regulate the use of power for the specific purpose according to the level of seriousness of
the situation, so that the situation may be resolved efficiently and with unity.
Published in the Government Gazette, 125, 39 a, 27 February 2008, pp. 33-44.
Disclaimer
This translation is intended to help Thais or foreigners to understand Thailand laws and
regulations only, not to use as references, because it is only the original Thai version of
legislation that carries legal effect. www.ThaiLaws.com, therefore, shall not be held
responsible in any way for any damage or otherwise the user may incur as a result of or in
connection with any use of this publication for any purposes. It’s the responsibility of the
user to obtain the correct meaning or interpretation of this publication or any part thereof
from Thai version or by making a formal request to the appropriate or related authorities.