penyelesaian sengketa bisnis dan pembuktiannya
DESCRIPTION
Pengantar Hukum BisnisTRANSCRIPT
TUGAS HUKUM BISNIS
PENYELESAIAN SENGKETA DAN PEMBUKTIANNYA
PENDIDIKAN PROFESI AKUNTANSIUNIVERSITAS BRAWIJAYA
2013
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam era globalisasi sekarang ini, dunia seolah-olah tanpa ada batas. Setiap orang
mampu berusaha dan bekerja tanpa ada halangan, serta bersaing dengan para kompetitornya.
Ciri perekonomian saat ini yang paling menonjol adalah “serba cepat” yang mendorong
memasuki: “Free Market” dan “Free Competition” (Hukum Bisnis, 207). Situasi persaingan
seperti ini sering menimbulkan terjadinya sengketa. Sengketa merupakan suatu hal yang
sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia.
Dari beragam transaksi bisnis yang terjadi, tidak mungkin kita bisa menghindari
terjadinya perselisihan/konflik yang menuntut penyelesaian yang cepat pula. Cara yang
paling sederhana untuk menyelesaikan sengketa tersebut adalah para pihak yang bersengketa
menyelesaikan sendiri permasalahan mereka. Cara lain yang dapat ditempuh bisa melalui
jalur resmi yang disediakan oleh negara, yaitu pengadilan. Untuk saat ini, proses atau cara
penyelesaian sengketa bisnis yang populer adalah Arbitrase (Hukum Bisnis, 207).
Secara konvensiona penyelesaian sengketa dilakukan secara ligitasi (pengadilan),
dimana posisi para pihak berlawanan satu sama lain. Proses ini oleh kalangan bisnis
dianggap tidak efektif dan tidak efesien, terlalu formalistik, berbelit-belit, penyelesaiannya
membutuhkan waktu yang lama dan biayanya relative mahal. Apalagi putusan pengadilan
bersifat win-lose solution (menang kalah), sehingga dapat merenggangkan hubungan kedua
belah pihak dimasa-masa yang akan datang.
Sebagai solusinya, kemudian berkembanglah model penyelesaian sengketa non litigasi,
yang dianggap lebih bisa mengakomodir kelemahan-kelemahan model litigasi dan
memberikan jalan keluar yang lebih baik. Proses diluar litigasi dipandang lebih
menghasilkan kesepakatan yang win-win solution, menjamin kerahasiaan sengketa para
pihak, menghindari keterlambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif,
menyelesaikan masalah secara komprehensif dalam kebersamaan, dan tetap menjaga
hubungan baik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian
Dalam kamus Bahasa Indonesia, pengertian sengketa adalah pertentangan atau konflik,
konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan antara orang-orang, kelompok-kelompok,
atau organisasi-organisasi terhadap satu objek permasalahan.
Ronny Hanitijo Soemitro (1990:36), menulis bahwa yang dimaksud dengan konflik
adalah:
“situasi (keadaan) dimana dua orang atau lebih pihak-pihak memperjuangkan tujuan
masing-masing yang tidak dapat dipersatukan dan dimana tiap-tiap pihak mencoba
meyakinkan pihak lain mengenai kebenaran tujuannya sendiri masing-masing”
Dari pengertian diatas, maka dapat ditarik unsur dari konflik atau perselisihan adalah
sebagai berikut:
1. Adanya beberapa pihak (dua orang atau lebih)
2. Para pihak mempunyai tujuan yang tidak dapat dipersatukan
3. Saling meyakini kebenaran masing-masing tujuan.
Sengketa atau konflik umumnya bersumber dari adanya perbedaan pendapat atau
ketidaksesuaian di antara para pihak. Apabila pihak-pihak tidak berhasil menemukan bentuk
penyelesaian yang tepat, maka perbedaan pendapat ini dapat berakibat buruk bagi
kelangsungan hubungan di antara keduanya. Oleh karena itu, setiap menghadapi perbedaan
pendapat (sengketa), para pihak selalu berupaya menemukan cara-cara penyelesaian yang
tepat.
Sengketa bisnis pada umumnya disebabkan oleh :
a. Adanya pelanggaran kontrak (breach of contract) atau wanprestasi
Wanprestasi (atau ingkar janji) adalah berhubungan erat dengan adanya perkaitan atau
perjanjian antara pihak. Baik perkaitan itu di dasarkan perjanjian sesuai pasal 1338
sampai dengan 1431 KUH PERDATA maupun perjanjian yang bersumber pada undang
undang seperti di atur dalam pasal 1352 sampai dengan pasal 1380 KUH perdata. Salah
satu alasan untuk mengajukan gugatan ke pengadilan adalah karena adanya wanprestasi
atau ingkar janji dari debitur.wanprestasi itu dapat berupa tidak memenuhi kewajiban
sama sekali, atasu terlambat memenuhi kewajiban, atau memenuhi kewajibanya tetapi
tidak seperti apa yang telah di perjanjikan
b. Adanya perbuatan melawan hukum (tort)
Melawan hukum bukan hanya untuk pelanggaran perundang-undangan tertulis semata-
mata, melaikan juga melingkupi atas setiap pelanggaran terhadap kesusilaan atau
kepantasan dalam pergaulan hidup masyarakat. Perbuatan melawan hukum telah diartikan
secara luas yakni mencakup salah satu dari perbuatan-perbuatan salah satu dari berikut:
Perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain.
Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri.
Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan.
Perbuatan yang bertentangan dengan kehati-hatian atau keharusan dalam pergaulan
masyarakat yang baik.
Cara Penyelesaian Sengketa Bisnis
Pertumbuhan ekonomi yang pesat dan kompleks melahirkan berbagai macam bentuk
kerjasama bisnis, yang meningkat dari hari ke hari. Semakin meningkatnya kerjasama bisnis,
menyebabkan semakin tinggi pula tingkat sengketa diantara para pihak yang terlibat
didalamnya. Dalam sistem penegakan hukum dikenal adanya sistem in court dan out court.
Sistem in court adalah sistem penegakan (penyelesaian) sengketa hukum di pengadilan dan
out court adalah sistem penegakan (penyelesaian) sengketa diluar pengadilan sebagaimana
yang diatur dalam ketentuan Alternative Dispute Resulation. Penyelesaian sengketa dapat
berupa :
1. Jalur Litigasi
2. Jalur Non Litigasi
1. JALUR LITIGASI
Pengertian Litigasi
Litigasi adalah proses dimana seorang individu atau badan membawa sengketa, kasus
ke pengadilan atau pengaduan dan penyelesaian tuntutan atau penggantian atas
kerusakan. Litigasi merupakan mekanisme penyelesaian sengketa melalui jalur
pengadilan. Proses pengadilan juga dikenal sebagai tuntutan hukum dan istilah biasanya
mengacu pada persidangan pengadilan sipil.
Proses pengadilan tidak selalu terjadi dalam gugatan penggugat. Dalam beberapa
kasus, tuduhan palsu dan kurangnya fakta-fakta dari orang-orang yang terkait,
menyebabkan akan cepat menyalahkan, dan ini menyebabkan litigasi atau tuntutan
hukum. Sayangnya, orang juga tidak mau bertanggung jawab atas tindakan mereka
sendiri, jadi bukannya menghadapi konsekuensi dari tindakan mereka, mereka mencoba
untuk menyalahkan orang lain dan yang hanya bisa memperburuk keadaan.
Pada dasarnya, jalur litigasi merupakan upaya terakhir manakala penyelesaian
sengketa secara kekeluargaan atau perdamaian di luar pengadilan ternyata tidak
menemukan titik temu atau jalan keluar. Dalam penyelesaian sengketa di pengadilan,
istilah sengketa tidak selalu identik dengan perkara. Dalam proses litigasi perdata, perlu
dibedakan terlebih dahulu antara istilah perkara dan sengketa perdata. Kedua istilah ini
terkadang kurang tepat dalam pemakaiannya atau terkadang disamakan begitu saja.
Padahal kedua istilah tersebut mempunyai cakupan yang berbeda. Dapat ditegaskan
bahwa pengertian perkara lebih luas dari pada pengertian sengketa. Dengan kata lain,
sengketa itu adalah bagian dari perkara, sedangkan perkara belum tentu sengketa. Dalam
pengertian perkara tersimpul 2 keadaan, yaitu ada perselisihan (sengketa) dan tidak ada
perselisihan (non-sengketa). Ada perselisihan artinya ada suatu yang menjadi pokok
perselisihan, ada yang dipertengkarkan atau ada yang disengketakan. Perselisihan atau
persengketaan itu tidak dapat diselesaikan oleh pihak-pihak sendirian, melainkan
memerlukan penyelesaian melalui pengadilan sebagai institusi yang berwenangan dan
tidak memihak.
Proses penyelesaian sengketa dipengadilan dijadikan the first and the last resort
dalam penyelesaian sengketa. Setiap penyelesaian sengketa yang timbul di dalam
masyarakat diselesaikan melalui pengadilan, karena bisa memberikan keputusan yang
adil, namun ternyata belum memuaskan banyak pihak, terutama pihak-pihak yang
bersengketa, karena hanya menghasilkan kesepakatan-kesepakatan yang belum mampu
merangkul kepentingan bersama, cenderung menimbulkan masalah baru, lambat dan lama
penyelesaiannya, membutuhkan biaya yang mahal, tidak responsive dan menimbulkan
permusuhan diantara pihak yang bersengketa, serta banyak terjadi pelanggaran dalam
penyelesaiannya. Hal tersebut meresahkan masyarakat umum dan juga dunia bisnis sebab
jika tetap mengadalkan pengadilan sebagai satu-satunya penyelesaian sengketa, tentu
dapat mengganggu kinerja pebisnis dalam menggerakkan roda perekonomian, serta
memerlukan biaya yang relatif besar. Untuk itu dibutuhkan institusi yang baru yang lebih
efektif dan efisien dalam menyelesaikan sengketa bisnis.
Kemudian berkembanglah proses penyelesaian sengketa melalui kerjasama di luar
pengadilan yang dianggap dapat mengakomodasi kelemahan-kelemahan litigasi dan
memberikan jalan keluar yang lebih baik dari pengadilan. Proses diluar pengadilan
menghasilkan kesepakatan yang bersifat win-win solution, menjamin kerahasiaan
sengketa para pihak, menghindari keterlambatan yang diakibatkan karena hal procedural
dan administratif, menyelesaikan masalah secara komprehensif dan kebersamaan, dan
tetap menjaga hubungan baik.
Adapun sisi positif menyelesaikan sengketa di jalur pengadilan adalah :
a. Hukum yang berlaku adalah sistem hukum Indonesia
b. Berlangsung di wilayah Republik Indonesia
Sedangkan sisi negatifnya adalah :
a. Partner asing belum memberikan kepercayaan kepada efektivitas hukum di Indonesia.
b. Proses peradilan memakan waktu yang lama karena terbukanya kesempatan untuk
mengajukan upaya hukum atas putusan hakim, melakui banding, kasasi dan
peninjauan kembali.
c. Proses dilakukan dterbuka untuk umum
Dasar Hukum Litigasi
Dasar hukum litigasi dapat dirujuk pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
16 ahun 2011 Tentang Bantuan Hukum. Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang
diberikan oleh Pemberi Bantuan Hukum secara cuma-cuma kepada Penerima Bantuan
Hukum. Bantuan hukum yang dimaksud meliputi masalah hukum keperdataan, pidana,
dan tata usaha negara baik jalur litigasi maupun jalur non-litigasi. Mekanisme
penyelesaian sengketa dengan jalur pengadilan dilaksanakan di lembaga penyelesaian
sengketa bisnis. Di Indonesia ada 2 lembaga penyelesaian sengketa bisnis : pengadilan
umum dan pengadilan niaga.
Pengadilan Umum
Pengadilan umum adalah salah satu kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari
keadilan yang pada umumnya mengenai perkara perdata dan pidana. Pengadilan
negeri berwenang memeriksa sengketa bisnis, mempunyai karakteristik :
a. Prosesnya sangat formal
b. Keputusan dibuat oleh pihak ketiga yang ditunjuk oleh negara (hakim)
c. Para pihak tidak terlibat dalam pembuatan keputusan
d. Sifat keputusan memaksa dan mengikat (Coercive and binding)
e. Orientasi ke/pada fakta hukum (mencari pihak yang bersalah)
f. Persidangan bersifat terbuka
Kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan umum dilaksanakan oleh:
1. Pengadilan Negeri
Adalah pengadilan tingkat pertama yang berkedudukan di kotamadya atau
ibukota kabupaten dan daerah hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau
kabupaten, yang dibentuk dengan keputusan presiden. Pengadilan negeri bertugas
dan berwenang memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan perkara pidana dan
perkara perdata di tingkat pertama.
2. Pengadilan Tinggi
Adalah pengadilan tingkat banding yang berkedudukan di ibukota propinsi
dan daerah hukumnya meliputi wilayah propinsi yang dibentuk dengan undang-
undang. Pengadilan tinggi bertugas dan berwenang mengadili perkara pidana dan
perkara perdata di tingkat banding, juga berwenang mengadili di tingkat pertama
dan terakhir sengketa kewenangan yang mengadili antar pengadilan negeri di
daerah hukumnya.
3. Mahkamah Agung
Mahkamah Agung merupakan pengadilan negara tertinggi dari semua
lingkungan peradilan yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh
pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain, yang berkedudukan di ibukota negara
Republik Indonesia. Mahkamah Agung bertugas dan berwenang memeriksa dan
memutus permohonan kasasi, sengketa tentang kewenangan mengadili,
permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.
Dalam tingkat kasasi Mahkamah Agung membatalkan putusan pengadilan dari
semua lingkungan peradilan, karena
a. Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang.
b. Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku.
c. Lalai memenuhi syarat-syarat yang mengancam kelalaian itu dengan
batalnya putusan yang bersangkutan.
Permohonan peninjauan kembali putusan perkara perdata harus diajukan
sendiri oleh para pihak yang berperkara atau ahli warisnya atau seorang wakilnya
khusus dikuasakan untuk itu dengan tenggang waktu pengajukan 180 hari yang
didasarkan atas alasan, seperti
Didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang
diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang
kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu.
Setelah perkara diputus ditemukan surat-surat bukti yang bersifat
menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan.
Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari yang
dituntut.
Mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa pertimbangan
sebab-sebabnya.
Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas
dasar yang sama oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah
diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain.
Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu
kekeliruan yang nyata.
Pengadilan Niaga
Pengadilan Niaga adalah pengadilan khusus yang berada di lingkungan
pengadilan umum yang mempunyai kompetensi untuk menerima dan
memutuskan Permohonan Pernyataan Pailit Dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang ( PKPU) dan sengketa Hak atas Kekayaan Intelektual
(HAKI). Pengadilan Niaga mempunyai karakteristik sebagai berikut :
1. Prosesnya sangat formal
2. Keputusan dibuat oleh pihak ketiga yang ditunjuk oleh negara (hakim)
3. Para pihak tidak terlibat dalam pembuatan keputusan
4. Sifat keputusan memaksa dan mengikat (coercive and binding)
5. Orientasi pada fakta hukum (mencari pihak yang salah)
6. Proses persidangan bersifat terbuka
7. Waktu singkat
2. JALUR NON - LITIGASI
Jalur Non-litigasi merupakan mekanisme penyelesaian sengketa diluar pengadilan.
Pada masa sekarang ini masyarakat mulai beralih ke metode alternative penyelesaian
sengketa di luar pengadilan yang sering dikenal dengan istilah ADR (Alternative
Dispute Resolution). Menurut Yahya Harahap dkk, ada faktor-faktor yang menjadi
alasan perlunya alternative penyelesaian sengketa (ADR) sebagai berikut
a ) Adanya tuntutan dunia bisnis
b ) Adanya berbagai kritik yang dilontarkan kepada lembaga peradilan
c ) Peradilan pada umumnya tidak responsive
d ) Keputusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah
e ) Kemampuan para hakim yang bersifat generalis
f ) Adanya berbagai ungkapan yang mengurangi citra pengadilan.
g ) Pencegahan terjadinya sengketa akan memperkecil sengketa.
Dasar hukum Alternativ Dispute Resolution/ADR sebagai berikut :
a. Dasar filosofi adalah pancasila
b. Reglement op de Burgerlijke Rechvordering (RV) atau pengaturan Arbitrase
c. Konvensi Washington / dengan UU No. 5 Tahun 1968
d. Konvensi New York dan Keppres No. 36 Tahun 1981
e. UU No. 14 Tahun 1970 sekarang UU No. 4 Tahun 2004
f. Tahun 1977 didirikan BANI
g. UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
Alternatif Penyelesaian Sengketa (termasuk arbitrase) dapat diberi batasan sebagai
sekumpulan prosedur atau mekanisme yang berfungsi memberi alternatif atau pilihan
suatu tata cara penyelesaian sengketa melalui bentuk arbitrase agar memperoleh
putusan akhir dan mengikat para pihak. Secara umum, tidak selalu dengan
melibatkan intervensi dan bantuan pihak ketiga yang independent yang diminta
membantu memudahkan penyelesaian sengketa tersebut,
Dengan demikian, jelaslah yang dimaksud dengan ADR ( Alternative Dispute
Resolution) atau alternative penyelesaian sengketa adalah suatu pranata
penyelesaian sengketa di luar pengadilan berdasarkan kesepakatan para pihak
dengan menyampingkan penyelesaian sengketa secara litigasi di pengadilan.
Dalam UU No. 30 Tahun 1999, dapat kita temui sekurangnya ada lima macam cara
penyelesaian sengketa di luar pengadilan yaitu :
1. Konsultasi
2. Negosiasi
3. Mediasi
4. Konsiliasi
5. Arbitrase
1. Konsultasi
Konsultasi merupakan suatu tindakan yang bersifat personal antara satu pihak
tertentu yang disebut dengan klien dengan pihak lain yang merupakan pihak
konsultan, yang memberikan pendapatnya kepada kliennya untuk memenuhi
keperluan dan kebutuhan kliennya tersebut. Peran konsultan dalam menyelesaikan
perselisihan atau sengketa yang ada tidaklah dominan sama sekali. Konsultan
hanyalah memberikan pendapat (hukum), sebagaimana diminta oleh kliennya, yang
untuk selanjutnya keputusan mengenai penyelesaian sengketa tersebut akan diambil
sendiri oleh para pihak, meskipun adakalanya pihak konsultan juga diberikan
kesempatan untuk merumuskan bentuk-bentuk penyelesaian sengketa yang
dikehendaki oleh para pihak yang bersengketa tersebut.
2. Negosiasi
Istilah negosiasi berasal dari bahasa Inggris “Negotiation” yang berarti
perundingan, sedangkan orang yang mengadakan perundingan disebut dengan
nogosiator. Negosiasi adalah proses tawar menawar dengan jalan berunding guna
mencapai kesepakatan bersama antara satu pihak dan pihak lain. Negosisasi
merupakan bentuk penyelesaian sengketa oleh para pihak sendiri, tanpa bantuan dari
pihak lain dengan cara bermusyawarah atau berunding untuk mencari pemecahannya
yang dianggap adil oleh para pihak, hasil dari negosiasi berupa penyelesaian secara
kompromi (Compromi solution), tidak mengikat secara hukum.
Secara sederhana, definisi dari negosiasi adalah suatu proses tawar-menawar atau
upaya untuk mencapai kesepakatan dengan pihak lain melalui proses interaksi,
komunikasi yang dinamis dengan tujuan mendapatkan penyelesaian atau jalan keluar
atas suatu masalah yang sedang berlangsung.
Negosiasi merupakan komunikasi langsung yang didesain untuk mencapai suatu
kesepakatan pada saat kedua belah pihak mempunyai kepentingan yang sama atau
berbeda. Berbeda dengan mediasi, komunikasi yang dilaksanakan dalam proses
negosiasi dibangun oleh para pihak tanpa keterlibatan pihak ketiga sebagai penengah.
Kualitas dari suatu negosiasi tergantung pada negosiator yang melakukannya. Dalam
hal ini, yang dimaksudkan dengan negosiator adalah pihak itu sendiri atau penerima
kuasa. Yang dimaksud disini misal advokat.
Hasil proses negosiasi adalah dituangkannya hasil kesepakatan tersebut dalam
suatu perjanjian dalam bentuk tertulis untuk dilaksanakan oleh para pihak. Menunda
hasil kesepakatan bisa mengakibatkan perubahan persepsi para pihak yang terlibat,
yang dapat menghancurkan kesepakatan yang telah dicapai dalam negosiasi. Namun
demikian, dalam hal tercapai kesepakatan, maka seperti mediasi, merujuk pada pasal
6 ayat (7) dan (8) UU No. 30 Tahun 1999, kesepakatan yang telah diraih dibentuk
dalam bentuk tertulis mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik dan
harus didaftarkan ke pengadilan negeri paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak
penandatanganan.
Negosiasi adalah sarana yang paling banyak digunakan. Sarana ini telah
dipandang sebagai sarana yang paling efektif. Lebih dari 80% (delapan puluh persen)
sengketa di bidang bisnis tercapai penyelesaiannya melalui cara ini. Penyelesaiannya
tidak win-lose tetapi win-win. Karena itu pula cara penyelesaian melalui cara ini
memang dipandang yang memuaskan para pihak. Negosiasi melibatkan beberapa
elemen yang merupakan prinsip-prinsip umum, yaitu :
a. Negosiasi melibatkan dua pihak atau lebih
b. Pihak-pihak itu harus membutuhkan keterlibatan satu sama lain dalam mencapai
hasil yang diinginkan bersama.
c. Pihak-pihak yang bersangkutan setidak-tidaknya pada awalnya menganggap
negosiasi sebagai cara yang lebih memuaskan untuk menyelesaikan perbedaan
mereka dibandingkan metode lain.
d. Masing-masing pihak harus beranggapan bahwa ada kemungkinan untuk
membujuk pihak lain untuk memodifikasi posisi awal mereka
e. Setiap pihak harus mempunyai harapan akan sebuah hasil akhir yang mereka dan
suatu konsep tentang seperti apakah hasil akhir tersebut.
f. Masing-masing pihak harus memiliki tingkat kuasa atas kemampuan pihak lain
untuk bertidak.
g. Proses negosiasi itu sendiri pada dasarnya merupakan salah satu interaksi diantara
orang-orang, terutama antar komunikasi lisan yang langsung walaupun kadang
dengan elemen tertulis yang penting.
Ada 2 model negosiasi yaitu :
1. Positional.
Positional, dalam model positional ada 2 hal yang penting yaitu: (a) Hard
Negosiator Competitif ; masing-masing pihak berusaha untuk mendapatkan bagian
yang terbesar dan memenangkan negosiasi tersebut. Dan (b) Soft Negotiator;
Selalu memberikan konsesi atau mengikuti kemauan yang diminta pihak lain
karena ia lebih mementingkan hubungan baik dan dinomorsatukan.
Model perundingan positional memiliki ciri-ciri berikut ini :
Dimulai dengan menawarkan sebuah solusi
Sikap dan perilaku negosiator seperti membagi kue
Tujuannya bagaimana memperoleh potongan kue yang besar
Mereka memposisikan pihak sebagai musuh yang harus dikalahkan
bukansebagai teman untuk menyelesaikan masalah
Solusi hanya satu, yakni solusi saya
Memberikan konsensi adalah suatu kekalahan
2. Interest Based
Interest Based, perundingan ini didasarkan pada kepentingan bersama (Joint
Problem Solving). Para pihak melihat permasalahan yang ada tidak hanya milik
satu orang, tetapi permasalahan bersama, sehingga dicari bagaimanacara
menyelesaikan persoalan yang ada. Perundingan berdasar kepentingan dimulai
dengan: (1) Mengembangkan dan menjaga hubungan. (2) Para pihak berusaha
mendidik satu dengan yang lain akan kebutuhan mereka. (3) mereka akan selalu
mencoba menyelesaikan masalah berdasarkan pada kepentingan atau kebutuhan
belah pihak.
Ciri-Ciri Perundingan Berdasarkan Kepentingan :
Tujuannya adalah win-win
Kebutuhan para pihak harus dibahas dalam rangka mencapai tujuan
Para negosiator adalah adalah individu yang menyelesaikan masalah secara
kooperatif .
Menjaga pola hubungan positif selama perundingan
Mencoba mencari solusi, sehingga didapat penyelesaian yang memuaskan
Bagaimana mereka saling menjaga kepercayaan diri dan kepercayaan
pihaklain. Kunci negosiasi adalah trust.
Tahap-tahap dalam bernegosiasi, ada 3 tahapan antara lain :
1. Tahapan sebelum negosiasi dimulai
Dalam tahap sebelum negosiasi dimulai maka berlaku prinsip-prinsip dasar
tahap pra negosiasi, prinsip dasar tersebut sebagai berikut: (a) pokok persoalan
apa yang cenderung timbul dalam konteks kerja yang umum yang memerlukan
negosiasi. (b) siapa yang terlibat dalam negosiasi? (c) apakah negosiasi itu
perlu? (d) bagaimana kualitas hubungandiantara pihak-pihak itu?
2. Tahap berlangsungnya negosiasi
Pada tahap ini, hal yang perlu diperhatikan dalam bernegosiasi yaitu
menetapkan persoalan, menetapkan posisi awal, argumentasi, menyelidiki
kemungkinan, menetapkan proposal, menetapkan dan menandatangani
persetujuan.
3. Tahap setelah negosiasi disimpulkan
Pada tahap negosiasi ini disimpulkan hasil persetujuan tersebut dan harus
ditindaklanjuti, maka para pihak perlu melakukan beberapa langkah yaitu
memasukkan program pelaksanaan kedalam persetujuan tersebut,
mengadakan tim bersama untuk meninjau pelaksanaan dan memastikan
informasi dan penjelasan yang memadai.
Terdapat beberapa hal yang sangat mempengaruhi jalannya negosiasi, antara
lain:
1. Kekuatan tawar menawar
2. Pola tawar menawar
3. Strategi dalam tawar menawar
Dalam negosiasi akan selalu terdapat tawar menawar diantara para pihak,
tawar menawar tersebut bersifat relatif yang tergantung pada beberapa hal, yaitu :
Bagaimana kebutuhan anda terhadap pihak lain
Bagaimana kebutuhan pihak lain terhadap anda.
Bagaimana alternatif kedua belah pihak
Apa persepsi para pihak mengenai kebutuhann serta pilihan-pilihannya.
Str a tegi dan Taktik Bernegosiasi
Agar suatu negosiasi dapat berhasil dengan baik setiap negosiator harus
menggunakan strategi atau taktik bernegosiasi antara lain:
Bersaing (competing)
Berkompromi (compromising)
Pemecahan masalah (problem solving)
Strategi bernegosiasi ada lima cara antara lain:
1. Withdrawl/Avoidance, yaitu : strategi menghindar atau melarikan diri, strategi
ini sangat baik dipergunakan bila :
a. Permasalahan tersebut sederhana atau sepele
b. Bila pihak-pihak dalam suatu konflik kurang mampu menawarkan
solusi
c. Bila potensi kekalahan dalam konflik lebih berat berdasarkan
analisis Cost Benefit
d. Bila tidak cukup waktu untuk menyelesaikan konflik.
2. Smoothing/ Accommodation. Pengikut strategi ini merasa peduli terhadap
orang dan mereka mencoba menyelesaikan konflik dengan menjaga agar
setiap orang senang. Strategi ini baik digunakan bila :
a. Permasalahannya kecil
b. Kerugian yang berhubungan akan diderita oleh semua pihak yang
terlibat dalam konflik
c. Ada pengurangan tingkat konflik agar mendapatkan informasi yang
lebih banyak
d. Sifat melembut juga berkembang.
3. Compromise, yakni dimana para pihak mendapatkan hak yang sama untuk
mengekspresikan pendapat. Strategi ini sering digunakan untuk
mendapatkan solusi. Kompromi ini dapat dilakukan bila :
a. Kedua belah pihak berkemungkinan mendapatkan keuntungan dalam
kompromi tersebut
b. Bila solusi ideal tidak diperlukan
c. Bila anda perlu solusi sementara untuk masalah yang komplek
d. Bila kedua belah pihak memiliki kekuatan yang sama.
4. Force/ Competition. Para pihak hanya melihat konflik sebagai suatu
keadaan menang-kalah (win-lose), dimana pihak lawan mereka harus kalah.
Strategi ini dapat digunakan bila :
a. Anda atau group perlu tindakan atau keputusan segera
b. Semua pihak dalam konflik mengharapkan dan senang dengan
penggunaan kekuasaan/ kekuatan
c. Semua pihak dalam konflik mengerti dan menerima hubungan
kekuasaan diantara mereka
5. Problem Solving. Strategi ini memberikan dasar pertimbangan bahwa
dengan strategi akan dapat dihasilkan keuntungan jika diselesaikan dengan
cara terbuka. Strategi ini dapat efektif digunakan oleh para pihak yang tengah
menyelesaikan konflik bila :
a. Setiap orang dalam konflik terlatih menggunakan metode pemecahan
masalah
b. Para pihak memiliki tujuan yang sama
c. Konflik menghasilkan masalah pahaman.
3. Mediasi
Istilah mediasi berasal dari bahasa Inggris “mediation” artinya adalah
penyelesaian sengketa dengan menengahi. Pengertian mediasi adalah upaya
penyelesaian sengketa para pihak dengan kesepakatan bersama melalui
mediator/penengah yang bersikap netral, dan tidak membuat keputusan atau
kesimpulan bagi para pihak tetapi menunjang fasilitator untuk terlaksananya dialog
antar pihak dengan suasana keterbukaan, kejujuran, dan tukar pendapat untuk
tercapainya mufakat. Sedangkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008
tentang prosedur Mediasi di Pengadilan (Perma No.1 Tahun 2008) mendefinisikan
mediasi sebagai cara penyelesaiaan sengketa melalui proses perundingan untuk
memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator. Juga, terdapat
beberapa definisi mengenai mediasi menurut Nolah Haley yaitu : dalam hal ini dapat
ditarik kesimpulan bahwa mediasi merupakan salah satu bentuk negosiasi antara para
pihak yang bersengketa dan melibatkan pihak ketiga dengan tujuan membantu demi
tercapainya penyelesaian yang bersifat kompromistis.
Beberapa prinsip mediasi adalah berisifat sukarela atau tunduk pada kesepakatan
para pihak,pada bidang perdata, sederhana, tertutup, dan rahasia, serta bersifat
menengahi atau bersifat sebagai fasilitator. Prinsip-prinsip ini merupakan daya Tarik
sendiri dari mediasi, karena dalam mediasi para pihak dapat menikmati prinsip
ketertutupan dan kerahasiaan yang tidak ada dalam proses litigasi. Proses litigasi
relative bersifat terbuka untuk umum serta tidak memiliki prinsip rahasia sebagaiman
yang dimiliki oleh mediasi.
Kemudian pihak ketiga yang ditunjuk membantu menyelesaikan sengketa
dinamakan sebagai mediator. Pemilihan mediator harus dilaksanakan dengan hati-hati
dan penuh pertimbangan. Hal ini dikarenakan seorang mediator sebagai penengah
memegang peranan penting dalam kemajuan penyelesaian sengketa yang terjadi
antara para pihak. Dalam proses mediasi, seorang mediator memiliki peran sebagai
pihak yang mengawasi jalannya mediasi seperti mengatur perundingan,
menyelenggarakan pertemuan, mengatur diskusi, menjadi penengah,merumuskan
kesepakatan dalam para pihak, serta membantu para pihak untuk menyadari bahwa
sengketa bukanlah suatu pertarungan untuk dimenangkan, tetapi sengketa tersebut
harus diselesaikan. Mediator bersifat netral dan tidak memihak yang tugasnya
membantu para pihak yang bersengketa untuk mengindentifikasikan isu-isu yang
dipersengketakan mencapai kesepakatan. Dalam fungsinya mediator tidak mempunyai
kewenangan untuk membuat keputusan. Jadi dapat disimpulkan pengertian mediasi
mengandung unsur-unsur antara lain :
1. merupakan sebuah proses penyelesaiaan sengketa berdasarkan perundingan.
2. mediator terlibat dan diterima oleh para pihak yang bersengketa di dalam
perundingan
3. mediator bertugas membantu para pihak yang bersengketa untuk mencari
penyelesaiaan
4. Tujuan mediasi untuk mencapai atau menghasilkan kesepakatan yang dapat
diterima pihak-pihak yang bersengketa guna mengakhiri sengketa.
Beberapa elemen mediasi antara lain :
1. Penyelesaian sengketa sukarela
2. Intervensi/bantuan
3. Pihak ketiga yang tidak berpihak
4. Pengambilan keputusan oleh pihak secara konsesus
5. Partisipasi aktif
Keuntungan-keuntungan dari metode penyelesaian melalui mediasi sebagai
berikut :
a. Keputusan yang hemat
b. Penyelesaian secar cepat
c. Hasil yang memuaskan selurruh pihak
d. Kesepakata komprehensif dan custimizea
e. Praktek dan belajar prosedur penyelesaian masalah secara kreatif
f. Tingkat pengendalian lebih besar dan hasil yang bisa didengar
g. Pemberdayaan individu
h. Keputusan-keputusan yang dilaksanakan
i. Melestarikan hubungan yang sudah berjalan
j. Keputusan yang berlaku tanpa mengenal waktu
Tujuan penyelesaian konflik melalui mediasi adalah sebagai berikut:
1. Menghasilkan suatu rencana atau kesepakatan kedepan yang dapat diterima dan
dijalankan oleh pihak yang bersengketa
2. Untuk mempersiapkan para pihak yang bersengketa agar menerima konsekuensi
dari keputusan yang mereka buat
3. Mengurangi kekhawatiran dan dampak negatif lainnya dari suatu konflik.
Tahap tahap mediasi, garis besar pentahapan proses mediasi adalah sebagai
berikut:
1. Tahap pertama, pembentukan forum. Dalam tahap ini kegiatan-kegiatan yang
dilakukan adalah sebagai berikut:
a. Rapat gabungan
b. Pernyataan pembukaan oleh mediator, dalam hal ini yang dilakukan adalah:
Mendidik para pihak
Menentukan pokok-pokok aturan main
Membina hubungan dan kepercayaan
c. Pernyataan para pihak, dalam hal ini yang dilakukan adalah:
Dengar pendapat(hearing)
menyampaikan dan klarifikasi informasi
cara-cara interaksi
2. Tahap kedua, saling mengumpulkan dan membagi informasi. Dalam tahap ini
kegiatan- kegiatan yang dilakukan dengan mengadakan rapat-rapat terpisah yang
bertujuan untuk:
Mengembangkan informasi selanjutnya
Mengetahui lebih dalam keinginan para pihak
Membantu para pihak untuk dapat mengetahui kepentingannya
Mendidik para pihak tentang cara tawar menawar penyelesaian masalah
3. Tahap ketiga, tawar menawar penyelesaian masalah. Dalam tahap ketiga yang
dilakukan mediator mengadakan rapat bersamaatau lanjutan rapat terpisah,
dengan tujuan untuk :
Menetapkan agenda
Kegiatan pemecahan masalah
Menfasilitasi kerja sama
Identifikasi dan klarifikasi isu dan masalah
Mengembangkan alternatif dan pilihan-pilihan
Memperkenalkan pilihan- pilihan tersebut
Membantu para pihak untuk mengajukan, menilai dan memprioritaskan
kepentingan-kepentingannya.
4. Tahap keempat pengambilan keputusan. Dalam tahap ini, kegiatan-kegiatan yang
dilakukan sebagai berikut :
Rapat- rapat bersama
Melokalisasikan pemecahan masalah dan mengevaluasi pemecahan
masalah
Membantu para pihak untuk memperkecil perbedaan-perbedaan
Mengkonfirmasi dan klarifikasi kontrak
Membantu para pihak untuk memperbandingkan proposal penyelesaian
masalah dengan alternatif di luar kontrak
Mendorong para pihak untuk menghasilkan dan menerima pemecahan
masalah
Mengusahakan formula pemecahan masalah berdasarkan win-win solution
dan tidak ada satu pihakpun yang merasa kehilangan muka
Membantu para pihak untuk mendapatkan pilihannya
Membantu para pihak untuk mengingat kembali kontraknya.
Taktik Mediator. Dalam memimpin penyelesaian sengketa, seorang mediator
harus memiliki taktik yang dapat membantu menyelesaikan konflik, yaitu:
Taktik menyusun rangka/keputusan
Taktik untuk mendapatkan wewenang dan kerjasama
Taktik mengendalikan emosi dan menciptakan suasana yang tepat
Taktik bersifat informative
Taktik pemecahan masalah
Taktik menghindarkan rasa malu
Taktik pemaksaan
T eknik- T eknik Mediator , Untuk membantu proses penyelesaian sengketa, seorang
mediator dapat menggunakan beberapa teknik, yaitu :
1. Membangun kepercayaan
2. Menganalisis konflik
3. Mengumpulkan informasi
4. Berbicara secara jelas
5. Mendengarkan dengan penuh perhatian
6. Meringkas/merumuskan ulang pembicaraan para pihak
7. Menyusun aturan perundingan
8. Mengatasi emosi para pihak
9. Mengungkapkan kepentingan yang masih tersembunyi
10. Menyusun kesepakatan
Berbeda dengan arbitrase maupun litigasi yang memiliki produk hokum putusan
yang mengikat dan berkekuatan eksekutorial, produk hokum dari suatu proses mediasi
adalah kesepakatan para pihak yang berbentuk perjanjian. Perjanjian yang menjadi
produk dari mediasi tersebut tidak memiliki kekuatan eksekutorial sebagaimana
putusan pengadilan. Hal ini terkdang menyebabkan susahnya dilakukan penegakan
atas isi dari apa yang telah disepakati oleh para pihak dalam proses mediasi.
Permasalahan yang timbul adalah sejauh mana kesepakatan ini mempunyai kekuatan
hukum yang mengikat bagi para pihak? Bagaimana apabila sudah tercapai
kesepakatan namun salah satu pihak ingkar janji atau wanprestasi atas perjanjian
perdamaian mediasi, apakah akibat hukumnya?
Merujuk pada pasal 6 ayat (7) dan (8) UU No. 3 Tahun 1999, kesepakatan yang
telah diraih dan dibuat dalam bentuk tertulis mengikat para pihak untuk dilaksanakan
dengan itikad baik dan wajib didaftarkan ke pengadilan negeri dalam waktu paling
lama 30 (tiga puluh) hari sejak penandatanganan. Dengan didaftarkannya suatu
kesepakatan tertulis mediasi ke pengadilan negeri, maka kesepakatan tersebut akan
menjadi suatu kesepakatan yang memiliki kekuatan eksekutorial.
Terdapat beberapa kemungkinan yang dapat terjadi atas berakhirnya suatu proses
mediasi, hal-hal tersebut adalah sebagai berikut :
a. Masing-masing pihak memiliki kebebasan setiap saat untuk mengakhiri mediasi
hanya dengan menyatakan menarik diri. Penarikan diri tersebut tidak
menghilangkan beebrapa konsekuensi yang telah timbul, misal keharusan untuk
mengeluarkan biaya atau segala sesuatu yang telah disetujui selama berjalannya
diskusi-diskusi.
b. Jika mediasi berjalan dengan sukses, para pihak menandatangani suatu dokumen
yang menguraikan beberapa persyaratan penyelesaian sengketa. Kesepakatan
penyelesaian tidak tertulis sangat tidak disarankan karena hal tersebut bisa
menimbulkan perselisihan baru.
c. Kadang, jika mediasi tidak berhasil pada tahap pertama, para pihak mungkin
setuju untuk menunda sementara mediasi. Selanjutnya, jika mereka ingin
meneruskan atau mengaktifkan kembali mediasi, hal tersebut akan menimbulkan
kesempatan terjadinya diskusi-diskusi baru, yang sebaiknya dilakukan pada titik
mana pembicaraan sebelumnya ditunda.
Khusus untuk mediasi di pengadilan, merujuk pada pasal 17 ayat (5) PERMA No.
1 Tahun 2008, para pihak dapat mengajukan kesepakatan perdamaian kepada hakim
untuk dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian. Isi dari kesepakatan perdamaian
tersebut akan ditempelkan dalam putusan pengadilan sebagaimana diatur dalam pasal
130 HIR. Namun, pasal 17 ayat (6) PERMA No. 1 Tahun 2008 mengatur lebih lanjut
bahwa dalam hal para pihak tidak membuat kesepakatan dalam bentuk akta
perdamaian, maka kesepakatan perdamaian tersebut harus memuat klausul
pencabutan gugatan dan atau klausul yang menyatakan perkara telah selesai.
Terdapat 2 (dua) ketentuan yang mengatur dalam hal tidak tercapai kesepakatan
dalam suatu mediasi :
a. Dalam pasal 6 ayat (9) UU No. 30 Tahun 1999 dikatakan bahwa apabila usaha
perdamaian sebagaimana diatur dalam alternative penyelesaian sengketa tidak
dapat dicapai maka para pihak berdasarkan kesepakatan secara tertulis dapat
mengajukan usaha penyelesaiannya melalui lembaga arbitrase.
b. Dalam pasal 18 Perma No. 1 Tahun 2008 dikatakan bahwa apabila mediasi tidak
mencapai kesepakatan maka mediator wajib menyatakan secara tertulis bahwa
proses mediasi telah gagal dan memberitahukan kegagalan kepada hakim. Segera
setelah menerima pemberitahuan tersebut hakim akan melanjutkan perkara sesuai
dengan ketentuan hokum yang berlaku.
4. Konsiliasi
Konsiliasi adalah usaha mempertemukan keinginan pihak yang berselisih untuk
mencapai persetujuan dan penyelesaian. Namun, undang-undang nomor 30 tahun
1999 tidak memberikan suatu rumusan yang eksplisit atas pengertian dari konsiliasi.
Akan tetapi, rumusan itu dapat ditemukan dalam pasal 1 angka 10 dan alinea 9
penjelasan umum, yakni konsiliasi merupakan salah satu lembaga untuk
menyelesaikan sengketa.
Sementara itu , mengenai konsiliasi disebutkan di dalam buku Black’s Law
Dictionary, Conciliation is the adjustment and settlement of a dispute in a friendly,
unantagonistic manner used in courts trial with a view to wards avoiding trial and in
labor dispute before arbitrarion. Court of conciliation is a court with propose terms
of adjustments, so as to avoid litigation.. (http://vegadadu.blogspot.com)
Namun, apa yang disebutkan dalam Black’s Law Dictionary pada prinsipnya
konsiliasi merupakan perdamaian sebelum siding peradilan. Dalam menyelesaikan
perselisihan, konsiliator memiliki hak dan kewenangan untuk menyampaikan
pendapat secara terbuka dan tidak memihak kepada yang bersengketa. Selain itu,
konsiliator tidak berhak untuk membuat keputusan dalam sengketa untuk dan atas
nama para pihak sehingga keputusan akhir merupakan proses konsiliasi yang diambil
sepenuhnya oleh para pihak dalam sengketa yang dituangkan dalam bentuk
kesepakatan di anatar mereka.
Tujuan dari pertemuan konsiliasi adalah membawa pihak-pihak yang
berkepentingan untuk bersama-sama mencari jalan keluar untuk menyelesaikan
perselisihan. Konsiliasi mencari jalan tengah yang bisa diterima kedua belah pihak
untuk menyelesaikan permasalahan, supaya kedua belah pihak dapat melewati
perselisihan tersebut. Karena proses konsiliasi memperbolehkan kedua belah pihak
yang berselisih untuk membicarakan masalah mereka, maka ini memungkinkan bagi
salah satu pihak untuk mendapatkan pengertian yang lebih baik atas pihak yang lain.
Ini dapat membantu menghilangkan salah pengertian yang dikarenakan prasangka
atau informasi yang tidak benar untuk mencapai perubahan sikap yang nyata. Semua
informasi yang didapatkan dalam proses konsiliasi akan dijaga kerahasiaannya dan
tidak akan dibuat sebagai bagian dari proses peradilan.
Konsiliasi merupakan kombinasi antara penyelidikan (enquiry) dan mediasi
(mediation). Pada prakteknya, proses penyelesaian sengketa melalui konsiliasi
mempunyai kemiripan dengan mediasi. Pembedaan yang dapat diketahui dari kedua
cara ini adalah konsiliasi memiliki hukum acara yang lebih formal jika dibandingkan
dengan mediasi. Karena dalam konsiliasi ada beberapa tahap yang biasanya harus
dilalui, yaitu penyerahan sengketa kepada komisi konsiliasi, kemudian komisi akan
mendengarkan keterangan lisan para pihak, dan berdasarkan fakta-fakta yang
diberikan oleh para pihak secara lisan tersebut komisi konsiliasi akan menyerahkan
laporan kepada para pihak disertai dengan kesimpulan dan usulan penyelesaian
sengketa.
Perbedaan diantaranya yaitu konsiliator memiliki peran intervensi yang lebih
besar daripada mediator. Dalam konsiliasi pihak ketiga (konsiliator) secara aktif
memberikan nasihat atau pendapatnya untuk membantu para pihak menyelesaikan
sengketa, sehingga para pihak memiliki kebebasan untuk memutuskan atau menolak
syarat-syarat penyelesaian sengketa yang diusulkan. Sedangkan mediator hanya
mempunyai kewenangan untuk mendengarkan, membujuk dan memberikan inspirasi
bagi para pihak. Mediator tidak boleh memberikan opini atau nasihat atas suatu fakta
atau masalah (kecuali diminta oleh para pihak). Jadi konsiliasi merupakan proses dari
suatu penyelidikan tentang fakta-fakta dimana para pihak dapat menerima atau
menolak usulan rekomendasi resmi yang telah dirumuskan oleh badan independen
Pertemuan konsiliasi adalah pertemuan suka rela. Jika pihak yang bersangkutan
mencapai perdamaian, maka perjanjian perdamaian yang ditandatangani oleh pihak
yang bersangkutan merupakan kontrak yang mengikat secara hukum. Perdamaian
dalam pertemuan konsiliasi dapat berupa permintaan maaf, perubahan kebijaksanaan
dan kebiasaan, memeriksa kembali prosedur kerja, memperkerjakan kembali, ganti
rugi uang, dsb.
Konsiliasi membantu para pihak yang berbeda untuk merundingkan penyelesaian
dengan:
Mengidentifikasi permasalahan dan memahami fakta dan keadaan
Mendiskusikan masalah
Memahami kebutuhan para pihak
Mencapai kesepakatan yang dapat diterima satu sama lain
Keuntungan konsiliasi
Bebas biaya
Proses penyelesaian melaui konsiliasi lebih singkat dibandingkan proses
pengadilan.
Tidak ada paparan media terhadap para pihak perorangan.
Tidak seformal dibandingkan dengan sidang di pengadilan
Konsiliasi bersifat sukarela
5. Arbitrase
Pengertian Arbitrase
Arbitrase berasal dari kata arbitrate (bahasa Latin) yang berarti kekuasaan untuk
menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan. Dikaitkannya istilah arbitrase dengan
kebijaksanaan seolah–olah memberi petunjuk bahwa majelis arbitrase tidak perlu
memerhatikan hukum dalam menyelesaikan sengketa para pihak, tetapi cukup
mendasarkan pada kebijaksanaan. Pandangan tersebut keliru karena arbiter juga
menerapkan hukum seperti apa yang dilakukan oleh hakim di pengadilan.
Secara umum arbitrase adalah suatu proses dimana dua pihak atau lebih
menyerahkan sengketa mereka kepada satu orang atau lebih yang imparsial
(disebut arbiter) untuk memperoleh suatu putusan yang final dan mengikat.
Menurut Subekti (1992:1) menyatakan bahwa arbitrase adalah
“Penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para hakim
berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada atau menaati
keputusan yang diberikan oleh hakim yang mereka pilih.”
Menurut UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa Umum, Pasal 1 angka 1, arbitrase adalah :
“Cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang
didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak
yang bersengketa.”
Dari pengertian Pasal 1 butir 1 tersebut diketahui pula bahwa dasar dari arbitrase
adalah perjanjian di antara para pihak sendiri, yang didasarkan pada asas kebebasan
berkontrak. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam pasal 1448 KUHPerdata, yang
menyatakan bahwa apa yang telah diperjanjikan oleh para pihak mengikat mereka
sebagai undang – undang. Pada tanggal 12 Agustus 1999, telah disahkan Undang –
Undang Nomor 30 Tahun 199 9 . Undang–Undang ini merupakan perubahan atas
pengaturan mengenai arbitrase yang sudah tidak memadai lagi dengan tuntutan
perdagangan Internasional. Dari beberapa pengertian di atas, menunjukkan ada
beberapa unsur yang sama yaitu:
1. Adanya kesepakatan untuk menyelesaikan sengketa kepada seseorang atau
beberapa pihak ketiga di luar pengadilan umum untuk diputuskan
2. Penyelesaian sengketa yang bisa diselesaiakan adalah sengketa menyangkut
hak pribadi yang dapat dikuasai sepenuhnya.
3. Putusan tersebut akan merupakan putusan akhir dan mengikat
Suatu arbitrase tidak menjadi batal walaupun disebabkan oleh suatu keadaan
seperti meninggalnya salah satu pihak, bangkrutnya salah satu pihak, novasi, keadaan
tidak mampu membayar salah satu pihak, pewarisan, serta berakhirnya perjanjian
pokok.
Jenis – jenis arbitrase yaitu :
a. Arbitrase Ad Hoc (Volunter Arbitrase)
Arbitrase Ad Hoc (Volunter Arbitrase) ; disebut dengan arbitrase ad hoc atau
volunteer arbitrase karena sifat dari arbitrase ini yang tidak permanen atau
insidentil. Arbitrase ini keberadaanya hanya untuk memutuskan dan
menyelesaikan suatu kasus sengketa tertentu saja. Setelah sengketa selesai
diputus, maka keberadaan arbitrase ad hoc ini pun lenyap dan berakhir dengan
sendirinya.
Para arbiter yang menangani penyelesaian sengketa ini ditentukan dan dipilih
sendiri oleh pihak yang bersengketa, demikian pula tata cara pengangkatan para
arbiter, pemeriksaan dan penyelesaian sengketa, tenggang waktu penyelesaian
sengketa tidak memiliki bentuk yang baku. Hanya saja dapat dijadikan patokan
bahwa pemilihan-pemilihan dan penentuan hal-hal tersebut terdahulu tidak boleh
menyimpang dari apa yang ditentukan oleh undang-undang.
b. Arbitrase Institusional (Lembaga Arbitrase)
Arbitrase Institusional (Lembaga Arbitrase); Arbitrase Institusional ini
merupakan suatu lembaga arbitrase yang khusus didirikan untuk menyelesaikan
sengketa yang terbit dari kalangan dunia usaha. Hampir pada semua negara–
negara maju terdapat lembaga arbitrase ini, yang pada umumnya pendiriannya
diprakarsai oleh Kamar Dagang dan Industri Negara tersebut. Lembaga
arbitrase ini mempunyai aturan main sendiri–sendiri yang telah dibakukan. Secara
umum dapat dikatakan bahwa penunjukan lembaga ini berarti menundukkan diri
pada aturan –aturan main dari dan dalam lembaga ini. Untuk jelasnya, hal ini
dapat dilihat dari peraturan–peraturan yang berlaku untuk masing–masing
lembaga tersebut.
Arbitrase institusional adalah arbitrase yang melembaga yang didirikan dan
melekat pada suatu badan atau lembaga (institusi) tertentu. Sifatnya permanen
dan sengaja dibentuk guna menyelesaikan sengketa yang terjadi sebagai akibat
pelaksanaan perjanjian. Setelah selesai memutus sengketa, arbitrase
institusional tidak berakhir. Pada umumnya, arbitrase institusional memiliki
prosedur dan tata cara pemeriksaan sengketa tersendiri. Arbiternya ditentukan dan
diangkat oleh lembaga arbitrase institusional sendiri.
Lembaga Arbitrase
Menurut Pasal 1 angka 8 UU No. 30 Tahun 1999, lembaga arbitrase adalah
“badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa atau yang ditunjuk oleh
Pengadilan Negeri atau oleh Lembaga Arbitrase, untuk memberikan putusan
mengenai sengketa tertentu yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase.”
Lembaga arbitrase dikenal ada dua, yaitu arbitrase ad hoc dan arbitrase
institusional. Lembaga arbitrase ad hoc disebut “arbitrase volunteer” karena dibentuk
khusus untuk menyelesaikan atau memutus perselisihan tertentu dan bersifat
“insidentil”. Sedangkan lembaga arbitrase institusional adalah lembaga atau badan
arbitrase yang bersifat permanen. Menurut Pasal 1 ayat (2) konvensi New York 1958,
jenis lembaga ini “permanent Arbitral Body”.
Ciri lembaga arbitrase institusional adalah sebagai berikut :
a. Arbitrase institusional sengaja didirikan untuk bersifat permanen/selamanya,
sedangkan arbitrase ad hoc sifatnya sementara dan akan bubar setelah persilisihan
selesai diputus.
b. Arbitrase institusional sudah ada/sudah berdiri sebelum suatu perselisihan timbul,
sedangkan arbitrase ad hoc didirikan setelah perselisihan timbul oleh pihak yang
bersangkutan.
c. Karena bersifat permanen/selamanya, arbitrase institusional didirikan lengkap
dengan susunan organisasi, tata cara pengangkatan arbitrer dan tata cara
pemeriksaan perselisihan yang pada umumnya tercantum dalam anggaran dasar
pendirian lembaga tersebut, sedangkan pada arbitrase ad hoc tidak ada sama
sekali.
Beberapa lembaga arbitrase bersifat nasional maupun internasional yang dikenal
adalah :
a. Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)
b. Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI)
c. The International Centre of Settlement of Investment Disputes (ICSID)
d. The Court of Arbitrasetion of The International Chamber of Commerce (ICC)
Dasar pertimbangan memilih arbitrase
Ada beberapa alasan yang dapat dikemukakan untuk menyelesaikan sengketa
dengan jalan arbitrase :
1. Ketidakpercayaan para pihak pada Pengadilan Negeri
2. Prosesnya cepat
3. Dilakukan secara rahasia
4. Bebas memilih arbitrer
5. Diselesaikan oleh ahlinya (expert)
6. Merupakan putusan akhir (final) dan mengikat (binding)
7. Biaya lebih murah
8. Bebas memilih hukum yang diberlakukan
Ruang Lingkup Arbitrase
Ruang lingkup arbitrase menurut UU No. 30 Tahun 1999, cukuplah luas, yaitu
semua jenis sengketa dalam bidang keperdataan. Dalam hal ini tentunya yang bisa
diselesaikan secara arbitrase adalah sengketa-sengketa di bidang bisnis, sengketa-
sengketa di bidang perburuhan/ketenagakerjaan, sepanjang sengketa tersebut
menyangkut hak pribadi yang sepenuhnya dapat dikuasai oleh para pihak.
Syarat–Syarat Arbitrase
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 Undang–Undang Nomor 30 Tahun 1999 yang
dapat diselesaikan melalui Arbitrase atau Alternatif penyelesaian Sengketa adalah
sengketa atau perbedaan pendapat yang timbul atau mungkin timbul antar para
pihak dalam suatu hubungan hukum tertentu yang telah diperjanjikan sebelumnya
bahwa penyelesaiannya akan ditentukan dengan cara arbitrase atau Alternatif
Penyelesaian Sengketa.
Selanjutnya dalam Pasal 9 ayat ( 3 ) Undang–Undang Nomor 30 Tahun 1999
dinyatakan perjanjian tertulis arbitrase harus memuat :
a. Masalah yang dipersengketakan
b. Nama lengkap dan tempat tinggal para pihak yang bersengketa
c. Nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis arbiter
d. Tempat arbiter atau majelis arbiter akan mengambil keputusan
e. Nama lengkap Sekretaris
f. Jangka waktu penyelesaian sengketa
g. Pernyataan kesediaan dari arbiter, dan
h. Pernyataan kesediaan dari para pihak yang bersengketa untuk menanggung
segala biaya yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase.
Apabila perjanjian yang dibuat tidak memuat syarat–syarat seperti yang
disebutkan di atas, maka perjanjian tersebut batal demi hukum, akan tetapi dalam
Pasal 10 Undang – Undang Nomor 30 Tahun 1999 suatu perjanjian arbitrase
tidak menjadi batal dengan alasan – alasan sebagai berikut :
a. Meninggalkan salah satu pihak
b. Bangkrutnya salah satu pihak
c. Novasi
d. Insolvensi salah satu pihak
e. Pewarisan
f. Berlakunya syarat-syarat hapusnya perikatan pokok
g. Bilamana pelaksanaan perjanjian tersebut dialih tugaskan pada pihakketiga
dengan persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase tersebut atau
h. Berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok
Dalam hal para pihak sudah memperjanjikan bahwa sengketa yang terjadi atau
yang akan terjadi antara mereka akan diselesaikan melalui arbitrase, maka apabila
timbul sengketa, pemohon harus memberitahukan dengan surat tercatat, telegram,
teleks, faksimili, email atau dengan buku ekspedisi kepada termohon bahwa syarat
arbitrase yang diadakan oleh pemohon atau termohon berlaku. Sutat pemberitahuan
untuk mengadakan arbitrase tersebut harus memuat dengan jelas
1. Nama dan alamat
2. Penunjukan kepada klausula atau perjanjian arbitrase yang berlaku
3. Perjanjian atau masalah yang disengketakan
4. Dasar gugatan dan jumlah yang digugat
5. Cara penyelesaian yang dikehendaki
6. Perjanjian yang diadakan oleh para pihak tentang jumlah arbitrase atau apabila
tidak pernah diadakan perjanjian semacam itu, pemohon dapat mengajukan usul
tentang jumlah arbiter yang dikehendaki dalam jumlah ganjil.
Akta Perjanjian Arbitrase
1. Akta kompromitendo adalah suatu klausula dalam perjanjian pokok di mana
ditentukan bahwa para pihak diharuskan mengajukan perselisihannya kepada
seorang atau majelis arbitrase.
2. Akta kompromis adalah perjanjian khusus yang dibuat setelah terjadinya
perselisihan guna mengatur tentang cara mengajukan perselisihan guna yang telah
terjadi itu kepada seorang atau beberapa orang arbitrer untuk diselesaikan.
Dasar Hukum Arbitrase
1. UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
Umum;
2. UU No. 5 Tahun 1968 tentang Persetujuan atas Konvensi tentang Penyelesaian
Perselisihan Antarnegara dan Warga Negara Asing Mengenai Penanaman Modal;
3. Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 tentang Pengesahan KonvensiNew
York 1958;
4. Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1990 mengenai peraturan lebih lanjut
tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing.
Asas-Asas
Asas-asas dari arbitrase adalah sebagai berikut:
a. Penyelesaian sengketa diluar pengadilan;
b. Kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab. Berdasarkan asas ini para pihak
mengadakan kesepakatan tertulis (klausula arbitrase);
c. Para pihak bebas menentukan hukum materiil, acara, tempat, jadwal pemeriksaan
sengketa;
d. Kekuatan mengikat perjanjian (Pacta Sunt Servada);
e. Ruang lingkup terletak dalam bidang perdagangan;
f. Keputusan bersifat final dan binding (tidak ada hak banding dan kasasi);
g. Bersifat rahasia (confidensial);
h. Proses cepat;
i. Biaya murah;
j. Para pihak bebas menentukan arbiter, jadual sidang;
k. Putusan dapat dieksekusi;
l. Keputusan arbitrase berkekuatan mutlak.
Putusan Arbitrase
Syarat-syarat untuk dijadikan suatu putusan arbitrase :
1. Para pihak telah menyetujui bahwa sengketa di antara mereka akan diselesaikan
melalui arbitrase.
2. Persetujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase dimuat dalam suatu
dokumen yang ditandatangani oleh para pihak.
3. Sengketa hanya di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum
dan peraturan perundang-undangan.
4. Sengketa tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.
Yang berwenang menangani masalah pengakuan dan pelaksaan putusan
arbitrase internasional adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Para pihak dapat
mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung
unsur-unsur:
1. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan setelah putusan dijatuhkan
diketahui palsu atau dinyatakan palsu.
2. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan dan yang
disembunyikan oleh pihak lawan.
3. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak
dalam pemerisaan sengketa.
Mekanisme Arbitrase
Pada prinsipnya para pihak yang bersengketa bebas untuk menentukan acara
arbitrase yang digunakan dalam pemeriksaan sengketa sepanjang tidak bertentangan
dengan ketentuan undang-undang Nomor 30 Tahun 1999, penentuan acara
arbitrase ini harus diperjanjikan secara tegas dan tertulis. Penyelesaian sengketa
melalui arbitrase dapat dilakukan dengan menggunakan lembaga arbitrase
nasional atau internasional berdasarkan kesepakatan para pihak. Apabila sudah
ditentukan lembaga yang dipilih, maka penyelesaian sengketa dilakukan menurut
peraturan dan acara dari lembaga yang dipilih kecuali ditetapkan lain oleh para pihak.
Dalam perjanjian tersebut harus ada kesepakatan mengenai ketentuan jangka waktu
dan tempat diselenggarakan arbitrase. Apabila jangka waktu dan tempat arbitrase
tidak ditentukan, maka arbiter atau majelis arbitrase berwenang untuk
memperpanjang jangka waktu tugasnya apabila :
1) Diajukan permohonan oleh salah satu pihak mengenai hal khusus tertentu,
misalnya karena adanya gugatan antara atau gugatan insidentil di luar pokok
sengketa, seperti permohonan jaminan.
2) Sebagai akibat ditetapkan putusan provisional atau putusan lainya, atau
3) Dianggap perlu oleh arbiter atau majelis arbitrase untuk kepentingan pemeriksaan
Sebaliknya apabila para pihak tidak menentukan sendiri ketentuan mengenai
acara arbitrase yang akan digunakan dalam pemeriksaan dan arbiter atau majelis
arbitrase telah terbentuk baik yang ditunjuk oleh para pihak, atau diperiksa dan
diputus menurut ketentuan Undang–Undang Nomor 30 Tahun 1999.
Pemeriksaan sengketa dalam arbitrase harus dilakukan secara tertulis tetapi
tidak menutup kemungkinan pemeriksaan sengketa dilakukan secara lisan apabila hal
ini disetujui oleh para pihak atau dianggap perlu oleh arbiter atau majelis arbitrase.
Arbiter atau majelis arbitrase dapat memerintahkan agar setiap dokumen atau bukti
disertai dengan terjemahan dalam bahasa yang ditetapkan oleh arbiter atau majelis
arbitrase. Dalam pemeriksaan sengketa, para pihak yang bersengketa diberi
kesempatan yang sama dalam mengemukakan pendapat masing–masing dan para
pihak dapat diwakili oleh kuasanya yang dikuasakan dengan kuasa khusus. Dalam
jangka waktu yang ditentukan oleh arbiter atau majelis arbitrase, pemohon harus
menyampaikan surat gugatannya kepada arbiter atau majelis arbitrase.
Tahap pertama dimulai dengan mengajukan permohonan arbitrase. Pada surat
permohonan harus dilampirkan naskah atau akta perjanjian yang secara khusus
menyerahkan pemutusan sengketa kepada arbitrer/majelis arbitrer (akta kompromis)
atau perjanjian yang memuat klausula bahwa sengketa yang akan timbul dari
perjanjian tersebut akan diputus oleh arbitrer/majelis arbitrase. Hal yang harus dimuat
dalam surat permohonan (Pasal 38 UU No. 39 Tahun 1999) :
Nama lengkap dan tempat tinggal atau tempat kedudukan para pihak
Uraian singkat tentang sengketa disertai dengan lampiran bukti – bukti, dalam hal
ini salinan perjanjian arbitrase harus juga diajukan sebagai lampiran
Isi gugatan yang jelas. Apabila isi gugatan berupa uang, harus disebutkan
jumlahnya yang pasti.
Setelah menerima surat gugatan dari pemohon, arbiter atau majelis
arbitrase menyampaikan satu salinan gugatan tersebut kepada termohon dengan
disertai perintah bahwa termohon harus menanggapi dan memberikan jawabannya
secara tertulis dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya
salinangugatan tersebut oleh termohon.
Apabila setelah 14 (empat belas) hari, termohon tidak menyampaikan
jawabannya, maka termohon akan dipanggil untuk menghadap dimuka siding
arbitrase selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari sejak dikeluarkannya perintah itu.
Kepada termohon akan diperintahkan untuk menyerahkan salinan jawaban kepada
pemohon, arbiter atau majelis arbitrase memerintahkan agar para pihak atau kuasa
mereka menghadap dimuka siding arbitrase selambat lambatnya 14 (empat belas) hari
terhitung sejak dikeluarkannya perintah itu. Apabila selambat-lambatnya sepuluh hari
setelah pemanggilan dilakukan, termohon masih juga tidak datang dimuka
persidangan tanpa alasan yang sah, maka pemeriksaan akan diteruskan tanpa
kehadiran termohon dan gugatan pemohon dikabulkan seluruhnya kecuali apabila
gugatan tidak beralasam atau tidak berdasar hokum
Apabila para pihak dating menghadap pada siding yang telah ditetapkan,
arbiter atau majelis arbitrase akan mengusahakan perdamaian dan apabila usaha
perdamaian tercapai, maka arbiter atau majelis arbitrase akan membuat akta
perdamaian. Akta perdamaian yang dikeluarkan oleh arbiter atau majelis arbitrase,
bersifat final dan mengikat para pihak. Sebaliknya apabila usaha perdamaian yang
dikeluarkan arbiter atau majelis arbitrase tidak berhasil, maka pemeriksaan terhadap
pokok sengketa akan dilanjutkan. Kepada para pihak akan diberikan kesempatan
terakhir untuk menjelaskan secara tertulis pendirian masing-masing serta mengajukan
bukti yang dianggap perlu untuk menguatkan pendiriannya dalam jangka waktu yang
ditetapkan oleh arbiter atau majelis arbitrase.
Arbiter atau arbitrase juga berhak untuk meminta kepada para pihak guna
mengajukan penjelasan tambahan secara tertulis, dokumen atau bukti lainnya yang
dianggap perlu dalam jangka waktu yang ditentukan oleh arbiter atau majelis
arbitrase. Selama pemeriksaan sengketa, pihak ketiga di luar perjanjian arbitrase dapat
turut serta dan menggabungkan diri dalam proses penyelesaian sengketa melalui
arbitrase, apabila terdapat unsur kepentingan yang terkait dan keturutsertaanya
disepakati oleh para pihak yang bersengketa serta disetujui oleh arbiter atau majelis
arbitrase yang memeriksa sengketa yang bersangkutan. Selama pemeriksaan sengketa
atas permohonan satu pihak, arbiter atau majelis arbitrase dapat mengambil putusan
provisional atau putusan lainnya untuk mengatur ketertiban jalannya pemeriksaan
sengketa tersebut.
Pemeriksaan atau sengketa harus diselesaikan dalam waktu paling lama180
(seratus delapan puluh) hari sejak arbiter atau majelis arbitrase terbentuk, namun
dengan persetujuan para pihak dan apabila diperlukan, jangka waktu tersebut dapat
diperpanjang. Menurut UU No. 30 Tahun 1999, para pihak dalam suatu perjanjian
yang tegas dan tertulis, bebas untuk menentukan acara (proses pemeriksaan) arbitrase
yang dipergunakan dalam persidangan sepanjang tidak bertentangan dengan UU No.
30 Tahun 1999 tersebut.
Pelaksanaan Putusan Arbitrase
Dalam membicarakan pelaksanaan putusan arbitrase akan dibedakan cara
pelaksanaan putusan arbitrase nasional dan putusan arbitrase internasional. Untuk
menentukan apakah suatu putusan arbitrase internasional, dapat dilihat dari patokan
berikut ini.
Faktor wilayah di mana putusan dikeluarkan
Dikatakan sebagai putusan arbitrase internasional apabila putusan itu
dikeluarkan di wilayah negara Republik Indonesia.
Aturan yang dipergunakan untuk menyelesaikan perselisihan.
Dalam hal ini meskipun putusan itu dikeluarkan di wilayah indonesia,
kemudian para pihak yang berselisih adalah sama-sama warga negara Indonesia,
tetapi aturan yang dipergunakan adalah aturan internasional, putusan arbitrase ini
merupakan putusan arbitrase internasional (asing).
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa yang menentukan suatu putusan
arbitrase itu adalah putusan arbitrase nasional apabila putusan tersebut memenuhi dua
syarat atau patokan tersebut di atas.
Sementara itu, putusan arbitrase internasional adalah sebagaimana tercantum
dalam Pasal 1 ayat (1) Konvensi New York 1958, yaitu “Arbitral award made in
territory of state other than state where the recognition an enforcement of such award
are sought.” Jadi putusan arbitrase internasional merupakan putusan yang dibuat di
suatu negara yang pengakuan dan pelaksanaannya di luar negeri.
Dasar hukum eksekusi putusan arbitrase nasional dapat ditemukan dalam
Pasal 59 dan seterusnya dari UU Nomor 30 Tahun 1999, sedangkan dasar hukum
ekseskusi putusan arbitrase internasional diatur dalam konvensi New York 1958 yang
oleh negara Republik Indonesia telah diratifikasi oleh Republik Indonesia telah
diratifikasi dengan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981, dan juga dalam
konvensi ICSID 1968 yang diratifikasi oleh Republik Indonesia dengan UU Nomor 5
Tahun 1968.
Pelaksanaan Putusan Arbitrase Nasional
Instansi atau pejabat yang berwenang untuk melaksanakan atau mengeksekusi
putusan arbitrase adalah Pengadilan Negeri, sedangkan majelis arbitrase yang
mengeluarkan atau menjatuhkan putusan tidak memiliki kewenangan untuk
memerintahkan dan menjalankan eksekusi (pelaksanaan putusan).
Dalam rangka pelaksanaan putusan arbitrase nasional, ada beberapa tahap
yang akan dilalui, sebagaimana diuraikan berikut ini.
1) Pendaftaran Putusan Arbitrase
Pasal 59 UU Nomor 30 Tahun 1999 menentukan bahwa tahap pertama yang
harus dilaksanakan adalah tahap pendaftaran/penyimpanan atauyang disebut
dengan istilah “deponir” pada Pengadilan Negeri dalam wilayah putusan tersebut
dikeluarkan. Kewajiban mendaftarkan harus dilakukan paling lambat 30 hari
terhitung sejak tanggal putusan diucapkan.
2) Permohonan eksekusi
Makna eksekusi adalah permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri agar
dikeluarkan perintah eksekusi terhadap putusan. Perintah eksekusi akan diberikan
dalam jangka waktu paling lama 30 hari sejak permohonan eksekusi didaftarkan
kepada Panitera Pengadilan Negeri (Pasal 62 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 1999).
Dan selama waktu tersebut, sebelum perintah eksekusi dikeluarkan Ketua
Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa terlebih dahulu,apakah putuan
arbitrase itu sah atau tidak.
Dikategorikan sebagai putusan arbitrase yang sah apabila :
1. Penyelesaian perselisihan tersebut memang disepakati oleh para pihak untuk
diselesaikan melalui arbitrase;
2. Putusan yang dimintakan eksekusi tersebut adalah putusan arbitrase yang
menyangkut perselisihan bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut
hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh para
pihak yang bersengketa.
Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional
Proses pelaksanaan putusan arbitrase internasional ini sama dengan arbitrase
nasional, yakni tahap pendaftaran, kemudian eksekusi. Dalam Pasal 65 UU No. 30
Tahun 1999 dinyatakan bahwa “yang berwenang menangani masalah pengakuan
dalam pelaksanaan putusan arbitrase internasional adalah Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat.”
Namun, tidak semua putusan arbitrase internasional dapat diakui atau
dilaksanakan di Indonesia. Pasal 66 UU Nomor 30 Tahun 1990 menentukan bahwa
putusan arbitrase internasional hanya diakui dan dapat dilaksanakan di wilayah
hukum Republik Indonesia apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a) Putusan arbitrase internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di
suatu negara yang dengan negara Indonesia terkait pada perjanjian, baik secara
bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan
arbitrase internasional. Disebut asas reciprositas.
b) Putusan arbitrase internasional, sebagaimana dimaksud dalam huruf (a), terbatas
pada putusan menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup
hukum perdagangan.
c) Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf (a) hanya dapat
dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan
ketertiban umum.
d) Putusan arbitrase internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah
memperoleh eksekusi dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
e) Putusan arbitrase internasional, sebagaimana dimaksud dalam huruf (a) yang
menyangkut negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa,
hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekusi dari Mahkamah Agung
Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat.
Biaya Arbitrase
Pasa l76 dan Pasal 77 Undang – Undang Nomor 30 Tahun 1999 telah
mengatur ketentuan biaya arbitrase yang ditentukan oleh arbiter dan pihak yang
membayar biaya arbitrase tersebut. Dikatakan bahwa arbiter bertugas menentukan
biaya arbitrase yang meliputi biaya–biaya sebagai berikut :
a. Honorarium arbiter
b. Biaya perjalanan dan biaya lainnya yang dikeluarkan oleh arbiter
c. Biaya saksi dan / atau saksi ahli yang diperlukan dalam pemeriksaan sengketa
d. Biaya administrasi
Beban biaya arbitrase dipikul pihak yang kalah, kecuali dalam hal tuntutan
hanyadikabulkan sebagian, maka beban biaya arbitrase dipikul kepada para pihak
secaraberimbang.
Kelebihan Lembaga Arbitrase
Pada umumnya lembaga arbitrase mempunyai kelebihan dibandingkan dengan
lembaga peradilan lainnya. Badan arbitrase komersial internasional ini sekarang
menjadi cara penyelesaian sengketa bisnis yang paling disukai. Alasan-alasan para
pengusaha menyukai badan ini dari pada pengadilan nasional bermacam – macam
antara lain:
Umumnya pengadilan nasional kurang mendapat kepercayaan dari masyarakat
penguasa bisnis, sedangkan arbitrase komersial internasional merupakan
pengadilan pengusaha yang eksis untuk menyelesaikan sengketa–sengketa di
antara mereka (kalangan bisnis) dan sesuai kebutuhan mereka.
Dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan
administratif;
Banyak pengadilan Negara tidak mempunyai hakim-hakim yang berkompeten
atau yang berspesialisasi hukum komersial internasional, sehingga karena
keadaan ini pula mengapa para pihak lebih suka cara arbitrase.
Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai
pengetahuan, pengalaman dan latar belakang yang cukup mengenai masalah
yang disengketakan, jujur dan adil;
Para pihak dapat memilih hukum apa yang akan diterapkan untuk
penyelesaian masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase.
Berperkara melalui badan arbitrase tidak begitu formal dan lebih fleksibel.
Hakim, dalam hal ini arbitratornya, tidak perlu terikat dengan aturan – aturan
proses berperkara seperti halnya yang terjadi pada pengadilan nasional.
Karena sifat fleksibilitas dan tidak adanya acara formal ini nantinya
berpengaruh pula pada para pihak yang bersengketa. Yakni, mereka menjadi
tidak terlalu bersitegang di dalam proses penyelesaian perkara.
Melalui badan arbitrase, para pihak yang bersengketa diberi kesempatan
untuk memilih hakim ( arbitrator) yang mereka anggap dapat memenuhi
harapan mereka baik dari segi keahlian atau pengetahuannya pada sesuatu
bidang tertentu.
Faktor kerahasiaan proses berperkara dan keputusan yang dikeluarkan
merupakan alasan utama mengapa badan arbitrase ini menjadi
primadonapara pengusaha.
Penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini tidak harus melulu diselesaikan
menurut proses hukum ( tertentu saja) , tetapi\ juga dimungkinkan suatu
penyelesaian secara kompromi di antara para pihak.
Kekurangan Arbitrase
Meskipun arbitrase menyandang berbagai keuntungan seperti telah
dikemukakan diatas, namun dalam prakteknya pun ternyata arbitrase memiliki
kelemahan-kelemagan yakni :
1) Untuk mempertemukan kehendak para pihak yang bersengketa dan untuk
membawanya ke badan arbitrase tidaklah mudah. Kedua pihak harus sepakat.
Padahal untuk dapat mencapai kesepakatan atau persetujuan kadang-kadang
memang sulit.
2) Penakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase asing. Dewasa ini dibanyak negara
masakah pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase asing masih menjadi
persoalan yang rumit.
3) Dalam arbitrase tidak dikenal adanya preseden hokum atau ketertarikan kepada
putusan-putusan arbitrase sebelumnya. Jadi, setiap sengketa yang telah diputus
dibuang begitu saja, meski di dalam putusan mengandung argument-argumen
hokum para ahli hukum kenamaan.
4) Arbitrase ternyata tidak mampu memberikan jawaban yang benefit terhadap
semua sengketa hukum. Hal ini berkaitan erat dengan adanya konsep yang
berbeda dengan yang ada disetiap negara. Bagaimanapun juga keputusan arbitrase
selalu bergantung kepada bagaimana arbitratormengeluarkan keputusan yang
memuaskan keinginan para pihak.
5) Menurut Prof. Dr Komar Kantaatmadja, SH., LLM ternyata arbitrase pun dapat
berlangsung lama dan karenanya membawa akibat biaya yang tinggi, terutama
dlam hal arbitrase luar negeri.
6)
A. Contoh Penyelesaian Sengketa Berdimensi Hukum Perdata
Arbitrase dan APSU
Pada tahun 1999 dengan UU Nomor 30 Tahun 1999 telah diundangkan UU
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APSU). UU ini adalah pembaharuan
dari pasal 615 sampai dengan pasal 651 Reglemen Acara Perdata (Reglement op de
Rechtsvoredering. Staatblad 1847 : 52) dan pasal 377 Reglemen Indonesia yang
diperbaharui (Het Herziene lndonesisch Reglement, Staatblad 1941 : 44 dan pasal 705
Reglement acara untuk daerah Luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement Bujtenewesten,
Staatblad 1927: 227)
UU Arbitrase dan APSU Nomor 30 Tahun 1999 merupakan aturan pokok dari
APSU. Lembaga Arbitrase disebutkan di dalam UU itu, karena sudah mempunyai bentuk
tertentu dan pasti yang dituangkan secara khsusus. APSU adalah pengertian genus, yang
didalam UU itu disebut konsukasi, negosiasi, konsiliasi dan negosiasi. APSU hanya diatur
di dalam 1 (satu) ketentuan, yaitu Pasal 6 tanpa Penjelasan. APSU ini masih mencari
bentuk yang kokoh yang memberikan kepastian hukum. Bagaimana operasional / teknis
proses APSU masih dalam perkembangan dan hal ini tidak memadai dan tidak akan
menjadi pilihan, jika dibiarkan hanya pada kebiasaan dan praktek. Untuk itu perlu
dipikirkan untuk membentuk Lembaga APSU yang setara dengan Lembaga Arbitrase
seperti BANI dan BAMUI.
Penyelesaian Sengketa Berdimensi Hukum Perdata Dalam Undang-Undang
Khusus.
Disamping UU Pokok itu terdapat sejumlah undang-undang yang mengatur
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) untuk bidang-bidang tertentu. Jika
di dalam bidang-bidang itu terjadi sengketa maka para pihak yang bersengketa wajib
menempuh penyelesaian yang diatur oleh UU itu (compulsory dispute resolution). UU itu
adalah sebagai berikut:
1) Arbitrase, mediasi dan lembaga penyelesaian perselisihan industrial (UU tentang
Ketenagakerjaan Nomor 25 Tahun 1997);
2) Arbitrase dan musyawarah untuk mencapai mufakat diantara para pihak yang
berselisih (UU tentang Perdagangan Berjangka Komoditi Nomor 32 Tahun 1997);
3) Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (UU tentang Perlindungan Konsumen
Nomor 8 Tahun 1999)
4) Penggunaan jasa pihak ketiga yang disepakati para pihak yang dibentuk masyarakat
jasa konstruksi atau Pemerintah (UU tentang Jasa Konstruksi Nomor 18 Tahun 1999);
5) Penggunaan jasa pihak ketiga yang dapat dibentuk oleh masyarakat atau Pemerintah
yaitu lembaga penyedia jasa pelayanan penyelesaian sengketa lingkungan hidup (UU
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Nomor 23 Tahun 1997);
6) Arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa (UU tentang Merek Nomor 15 Tahun
2001)
7) Komisi Pengawas Persaingan Usaha untuk menyelesaikan sengketa dalam praktek
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat (UU tentang Larangan Praktek Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Nomor 5 Tahun 1999)
Dengan adanya UU diatas, maka ruang lingkup UU Arbitrase dan APSU
menjadi lebih sempit penggunaannya karena sengketa yang terjadi didalam bidang-
bidang tersebut diatas wajib diselesaikan menurut UU itu (Compulsory Dispute
Resolution).
B. Penyelesaian Sengketa Ekonomi dan Keuangan Berdimensi Hukum Publik
Di bidang ekonomi dan keuangan penyelesaian sengketa diselesaikan melalui
lembaga-lembaga khusus sebagai berikut :
1. Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) / Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara
(BUPLN) ditemukan dalam UU Nomor 49 Prp 1960;
Latar belakang
PUPN dibentuk dengan UU Nomor 49 Prp 1960 jo Keppres Nomor 21 Tahun
1991. Dengan Keppres itu, kedudukan PUPN diperkuat yaitu disamping mengurus
piutang negara juga diberi wewenang melelang benda jaminan. Karena itu lembaga
ini disebut dengan PUPN/BPUPLN.
Pertimbangan untuk memberi wewenang itu kepada PUPN/BPUPLN,
berdasarkan sejarahnya adalah antara lain sebagai berikut :
I. Bahwa untuk kepentingan keuangan Negara, utang kepada Negara atau badan-
badan, baik yang langsung maupun tidak langsung dikuasai oleh Negara, perlu
segera diurus;
II. Bahwa peraturan-peraturan biasa tidak memungkinkan untuk memperoleh
yang cepat dalam mengurus piutang Negara;
III. Bahwa oleh karena “keadaan memaksa”, soal tersebut diatur dengan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
IV. Bahwa "keadaan memaksa" itu dilatarbelakangi adanya piutang negara yang
macet yang berasal dari keuangan Negara dalam masa pembangunan nasional.
Tugas PUPN
Mengurus piutang Negara atau utang kepada Negara yang besarnya pasti
menurut hukum. Utang kepada Negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada
Negara atau badan-badan yang baik secara langsung maupun yang tidak langsung
dikuasai oleh Negara berdasarkan suatu peraturan atau perjanjian atau sebab apapun.
Definisi Piutang Negara dan Pada Negara
Yang dimaksud dengan piutang negara dan utang pada negara menurut
Penjelasan Ps 8 UU Nomor 49 Prp 1960 adalah sebagai berikut:
i. Terutang kepada negara dan oleh karena itu harus dibayar kepada pemerintah
pusat ataupun pemerintah daerah.
ii. Terutang kepada badan-badan yang umumnya kekayaan dan modalnya
sebagian atau seluruhnya milik negara antara lain BUMN termasuk bank
pemerintah dan BUMD termasuk bank pemerintah daerah. Instansi-instansi
Pemerintah dan badan-badan Negara wajib menyerahkan pengurusan piutang
negara kepada PUPN yang adanya dan besarnya telah pasti menurut hukum
akan tetapi debitur atau penanggung utang tidak melunasi utangnya
sebagaimana mestinya.
Mekanisme Pengurusan Piutang Negara
Mekanisme pengurusan ini berlangsung dalam wewenang sebagai berikut:
i. Menerbitkan Surat pernyataan Bersama yang berkepala / memakai irah-irah
"Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa" persis seperti
putusan hakim, dan oleh karenanya berkekuatan sama dengan putusan hakim
dalam suatu perkara perdata yang berkekuatan hukum tetap. Oleh karena itu
Surat Pernyataan Bersama ini adalah merupakan pernyataan pengakuan utang
yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna (valledig bewijs) dan
kekuatan memaksa (dwingend bewijs).
ii. Menertibkan Surat Paksa yang berkepala "Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa". Surat paksa itu juga memuat nama debitur /
penanggung utang kepada negara, alasan-alasan yang menjadi dasar penagihan
serta perintah untuk membayar. Surat paksa mempunyai kekuatan yang sama
seperti grosse dari putusan hakim dalam perkara perdata yang tidak dapat
dimintakan banding lagi pada hakim atasan. Dengan demikian surat paksa
tersebut mempunyai kekuatan eksekutorial.
iii. PUPN berwenang untuk melakukan sita eksekutorial, melakukan pelelangan
(parate eksekusi) dan berwenang untuk memerintahkan agar terhadap
penanggung/penjamin hutang dicekat disandera atau dilakukan paksa badan.
Apabila pengurusan piutang negara macet yang dilaksanakan oleh
PUPN/BPUPLN telah sampai pada tingkat akhir yaitu penyitaan terhadap
barang jaminan dan diterbitkannya Surat Perintah Penjualan Barang Sitaan
(SPPBS), namun debitur tetap tidak bisa menyelesaikan utangnya maka
sebagai alternatif terakhir adalah melakukanpenjualan atas barang jaminan
Utang milik debitur / penanggung utang melalui lelang. UU diatas
mengandung karakter APS yang berbeda dengan karakter APSU
yangberbentuk Arbitrase dan bukan Arbitrase (konsultasi, negosiasi,
konsiliasi, mediasi).
Analisa
Diatas telah dikemukakan bahwa pertimbangan untuk membentuk
PUPN/BPUPLN ini adalah keadaan memaksa dengan pengertian terjadinya
kemacetan penagihan piutang. Kemacetan pembayaran utang kepada negara atau
instansi dan Badan badan seluruhnya atau sebagian milik negara ini, berawal antara
lain dari perjanjian.
Di dalam perjanjian terdapat sejumlah asas, yaitu:
a. Kebebasan kehendak yang bertanggungjawab (Kontracteervrijheid);
b. Asas keseimbangan;
c. Asas konsensualisme;
d. Asas persamaan;
e. Asas kekuatan mengikat;
f. Asas kepercayaan;
g. Asas kepastian hukum;
h. Asas moral dan kepatutan.
Perjanjian yang diikat antara para pihak terikat pada asas-asas tersebut diatas.
Didalam perkembangannya terjadi pergeseran terhadap asas-asas itu. Adanya
kemacetan penagihan piutang oleh instansi Pemerintah, Badan Usaha Milik Negara.
Pemerintah berdasarkan peraturan tertentu mengubah karakter perjanjian itu dimana
kedudukan kreditor yang semula "sama" (nebengeordnet) dengan debitor, dalam
hubungan perdata, dirubah menjadi hubungan publik. Kedudukan kreditor tidak lagi
sama, akan tetapi kreditor lebih tinggi dari debitor (untergeordnet). Didalam
penyelesaian sengketa. kedudukan instansi Pemerintah, Badan Usaha Milik Negara
diidentikkan (disamakan) dengan Pemerintah walaupun modal BUMN terpisah dari
Anggaran Biaya dan Belanja Negara. Dalam posisi demikian kesepakatan tidak lagi
menjadi asas, akan tetapi yang menjadi asas adalah kekuasaan.
Seharusnya, pemerintah wajib mengawasi dengan sungguh-sungguh pejabat-
pejabat yang ditunjuknya baik di dalam instansi, Badan Usaha Milik Negara yang
bertindak di dalam bidang keperdataan memperhatikan asas good corporate
governance. Pemerintah perlu memberikan sanksi kepada pimpinan instansi. Badan
Usaha Milik Negara, yang didalam kegiatan yang dilakukannya menimbulkan
kerugian. Supaya berhasil menagih piutangnya, Pemerintah tidak perlu menerapkan
hak publik.Didalam mekanisme penagihan piutang oleh PUPN/BPUPLN, Pemerintah
mempergunakan kekuasaannya membentuk "Kesepakatan Bersama", diberi irah-irah
"Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa", Surat Paksa, hak parate
eksekusi, yang semuanya itu bertentangan dengan sistem hukum perdata.
Kasus Sengketa Bisnis dan Pembuktiannya
Sengketa Lahan, PTBA Somasi Adaro Energy
Sumber : Ade Hapsari Lestarini - Okezone
Rabu, 9 November 2011 12:10 wib
JAKARTA - PT Bukit Asam Tbk (PTBA) mensomasi perusahaan tambang PT Adaro
Energy Tbk (ADRO) karena permasalahan sengketa lahan di Lahat, Sumatera Selatan.
Menurut Tim Kuasa Hukum PTBA, fakta hukum yang disampaikan pihak ADRO kepada
pihak-pihak terkait tidak benar dan tidak akurat.
"Serta berpendapat sepihak dan hanya sepengetahuan oleh ADRO saja dengan menyatakan
klien kami tidak memiliki izin pertambangan atau Kuasa Pertambangan (KP) sehubungan
dengan telah dicabutnya izin KP eksploitasi PTBA," demikian pernyataan Tim Kuasa Hukum
PTBA, dalam pengumumannya yang dipublikasikan perseroan, Rabu (9/11/2011),
Seperti diketahui, sebelumnya ADRO memberikan informasi tentang pembelian saham PT
Mustika Indah Permai (MIP), di mana ADRO melalui suratnya memberitahukan bila wilayah
IUP MIP tidak bertumpang tindih dengan wilayah izin pertambangan pihak manapun
khususnya PTBA.
"Dengan ini perlu ditegaskan bahwa secara hukum SK Nomor:
556/KPTS/PERTAMBEN/2004 tanggal 20 Oktober 2004 oleh Gubernur Sumatera Selatan
tersebut tidak menghilangkan hak PTBA selaku pemilik KP. Sehingga klien kami masih
memiliki hak untuk meningkatkan KP eksplorasi seluas 26.760 Ha menjadi KP eksploitasi di
wilayah kabupaten Lahat, Sumatera Selatan," bebernya.
Menurutnya, MIP adalah salah satu perusahaan yang semula selaku tergugat atas gugatan
perbuatan melawan hukum (PMH) yang diajukan PTBA pada Pengadilan Negeri Lahat,
terbanding atas putusan sela PN Lahat, pemohon kasasi atas putusan Pengadilan Tinggi
Palembang, dan sekarang sebagai pemohon Peninjauan Kembali (PK) atas putusan kasasi
MA yang saat ini masih dalam proses PK di Mahkamah Agung.
Selanjutnya, izin KP/IUP yang diterbitkan oleh Bupati Lahat kepada PT MIP seluas 2.742 Ha
seluruhnya tumpang tindih dengan KP eksplorasi milik PTBA (KP wilayah sengketa).
"Sehubungan dengan hal di atas, maka wilayah sengketa KP/IUP masih dalam proses PK di
MA dan sampai saat ini belum ada keputusan. Klien kami telah menyampaikan keterbukaan
informasi mengenai kasus sengketa ini kepada Bursa Efek Indonesia (BEI)," ungkapnya.
Berdasarkan hal tersebut, PTBA pun memperingatkan (somasi) ADRO dan atau PT Alam Tri
Abadi (anak usaha Adaro Energy) dan atau afiliasinya, perusahaan lain, bank, notaris,
lembaga keuangan lainnya yang tidak disebutkan, badan-badan, lembaga-lembaga hukum,
organisasi kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat manapun, instansi pemerintah
kabupaten Lahat, Kabupaten Muara Enim dan atau Provinsi Sumatera Selatan untuk
menghentikan setiap upaya dalam bentuk apapun mulai diumumkannya somasi ini.
"Pengumuman ini sekaligus sebagai peringatan terbuka (somasi) bagi semua pihak dan untuk
menghindari kerugian yang semakin besar bagi PTBA, serta untuk menghindari upaya hukum
pidana atau tindak pidana korupsi atau tata usaha negara dan atau perdata yang akan
dilakukan klien kami di kemudian hari," pungkasnya. (ade)
Sengketa Lahan Adaro Vs PTBA
Deskripsi Kasus
PT Tambang Batubara Bukit Asam Tbk (PTBA) mensomasi perusahaan tambang PT
Adaro Energy Tbk (ADRO) karena permasalahan sengketa lahan di Lahat, Sumatera Selatan.
Menurut Tim Kuasa Hukum PTBA, fakta hukum yang disampaikan pihak ADRO kepada
pihak-pihak terkait tidak benar dan tidak akurat.
Sebelumnya ADRO memberikan informasi tentang pembelian saham PT Mustika
Indah Permai (MIP), di mana ADRO melalui suratnya memberitahukan bila wilayah ijin
usaha pertambangan (IUP) MIP tidak bertumpang tindih dengan wilayah izin pertambangan
pihak manapun khususnya PTBA.
Namun, menurut kuasa hukum PTBA bahwa secara hukum SK Nomor:
556/KPTS/PERTAMBEN/2004 tanggal 20 Oktober 2004 oleh Gubernur Sumatera Selatan
tersebut tidak menghilangkan hak PTBA selaku pemilik KP. PTBA masih memiliki hak
untuk meningkatkan KP eksplorasi seluas 26.760 Ha menjadi KP eksploitasi di wilayah
kabupaten Lahat, Sumatera Selatan.
MIP adalah salah satu perusahaan yang semula selaku tergugat atas gugatan perbuatan
melawan hukum (PMH) yang diajukan PTBA pada Pengadilan Negeri Lahat. Kemudian, izin
KP/IUP yang diterbitkan oleh Bupati Lahat kepada PT MIP seluas 2.742 Ha seluruhnya
tumpang tindih dengan KP eksplorasi milik PTBA. PTBA telah memenangkan persidangan
di tingkat pengadilan pertama, banding menang, memenangkan kasasi, dan sekarang masih
dalam tahap Peninjauan Kembali oleh MA.
Berdasarkan hal tersebut, PTBA pun memperingatkan (somasi) ADRO dan atau PT
Alam Tri Abadi (anak usaha Adaro Energy) dan atau afiliasinya, perusahaan lain, bank,
notaris, lembaga keuangan lainnya yang tidak disebutkan, badan-badan, lembaga-lembaga
hukum, organisasi kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat manapun, instansi
pemerintah kabupaten Lahat, Kabupaten Muara Enim dan atau Provinsi Sumatera Selatan
untuk menghentikan setiap upaya dalam bentuk apapun mulai diumumkannya somasi ini.
Kisruh perebutan lahan antara PT Tambang Batubara Bukit Asam Tbk (PTBA) dan
PT Adaro Energy Tbk (ADRO) juga mendapatkan perhatian serius dari Menteri BUMN
Dahlan Iskan. Beliau telah bertemu dan berkomunikasi perihal sengketa lahan tambang itu
dengan jajaran direksi PTBA serta menegaskan bahwa lahan tersebut jangan sampai dikuasai
oleh pihak asing.
Pihak-pihak yang terkait
a. PT Tambang Batubara Bukit Asam Tbk (PTBA) selaku pihak penggugat
Setelah berakhirnya kekuasaan kolonial (1919 – 1940) dengan Belanda di
tanah air, para Karyawan Indonesia berjuang menuntut perubahan status menjadi
Pertambangan Nasional. Pada tahun 1950, Pemerintah RI kemudian mengesahkan
pembentukan Perusahaan Negara Tambang Arang Bukit Asam (PN Taba). Pada 1981,
PN Taba kemudian berubah statusnya menjadi Perseroan Terbatas dengan Nama PT
Tambang Batubara Bukit Asam (Persero) Tbk, Yang Selanjutnya disebut
Perseroan. Dalam, Rangka meningkatkan pengembangan Industri batubara di
Indonesia, pada 1990 Pemerintah menetapkan penggabungan Perum Tambang
Batubara dengan Perseroan. Sesuai dengan Program pengembangan ketahanan energi
Nasional, pada 1993 Pemerintah menugaskan Perseroan untuk mengembangkan
briket batubara Usaha. Pada 23 Desember 2002, Perseroan mencatatkan Diri sebagai
perusahaan Publik di Bursa Efek Indonesia dengan Kode "PTBA".
b. PT Adaro Energy Tbk (ADRO) selaku pihak tergugat yang membeli saham PT
Mustika Indah Permai (MIP) melalui anak perusahaanya yaitu PT Alam Tri Abadi
pemilik wilayah ijin usaha pertambangan yang bersengketa.
PT Adaro Energy didirikan dengan nama PT Padang Karunia, suatu perseroan
terbatas yang didirikan di Indonesia pada tahun 2004. Pada April 18, 2008 Padang
Karunia berubah nama menjadi PT Adaro Energy Tbk dalam persiapan untuk menjadi
perusahaan publik. Visi Adaro Energy adalah untuk menjadi perusahaan
penambangan batubara terbesar dan paling efisien yang terintegrasi dan perusahaan
energi di Asia Tenggara. Adaro Energy dan anak perusahaannya saat ini bergerak
dalam pertambangan batubara dan perdagangan, infrastruktur dan logistik batubara,
dan jasa kontraktor penambangan. Setiap anak perusahaan yang beroperasi
diposisikan sebagai pusat laba mandiri dan terintegrasi sehingga Adaro Energy
memiliki produksi batubara yang kompetitif dan handal dan rantai pasokan batubara
yang menghasilkan nilai pemegang saham optimal. (www.adaro.com)
Analisis Yuridis
Tanah mempunyai peranan yang besar dalam dinamika pembangunan, maka didalam
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3 disebutkan bahwa Bumi dan air dan kekayaan
alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besar kemakmuran rakyat .Ketentuan mengenai tanah juga dapat kita lihat dalam Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria atau yang biasa kita sebut dengan UUPA. Timbulnya sengketa hukum yang bermula
dari pengaduan sesuatu pihak (orang/badan) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak
atas tanah, baik terhadap status tanah, prioritas, maupun kepemilikannya dengan harapan
dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Mencuatnya kasus-kasus sengketa tanah di Indonesia beberapa waktu terakhir seakan
kembali menegaskan kenyataan bahwa selama 66 tahun Indonesia merdeka, negara masih
belum bisa memberikan jaminan hak atas tanah kepada rakyatnya. Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria (UU PA) baru sebatas menandai
dimulainya era baru kepemilikan tanah yang awalnya bersifat komunal berkembang menjadi
kepemilikan individual.
Setelah melalui proses yang cukup panjang sesuai dengan tahapan kegiatan
pertambangan serta prosedur/ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, Menteri
Pertambangan dan Energi, Direktur Jenderal Pertambangan Umum atau Direktorat Jenderal
Mineral, Batubara dan Panas Bumi telah mengeluarkan Keputusan No.
130.K/23.01/DJP/2000 tanggal 14 April 2000. No. 609.K/23.01/DJP/2000 tanggal 03
November 2000 yang pada intinya memberikan KP Eksplorasi atas nama PT Tambang
Batubara Bukit Asam (Persero) Tbk. Kode Wilayah KW.97.PP.0350 dengan luas 26.670
Hektar (dari hasil penggabungan dengan Kode Wilayah KW.99.PP.0042) yang meliputi
Arahan, Banjarsari, Air Serelo, Kungkilan, Bunian dan Sukamerindu;
Tanggal 21 Juli 2003, PTBA mengajukan permohonan kepada Gubernur Sumsel guna
peningkatan KP Eksplorasi KW 97PP0350 (wilayah Kabupaten Lahat dan Muara Enim)
menjadi KP Eksploitasi. Pengajuan ini ditindaklanjuti dengan keluarnya SK. Gubernur
Sumsel No. 461/Kpts/Pertamben/2003 clan No. 462/Kpts/Pertamben/2003 tanggal 11
September 2003 tentang KP Eksploitasi pada wilayah lintas Kabupaten Muara Enim dan
Kabupaten Lahat dengan luas 24.751 Ha dan 31.177 Ha.
Namun karena adanya komplain dari Bupati Lahat yang menyampaikan keberatan
atas diterbitkannya KP Eksploitasi PTBA. Tidak lama keluar SK Gubernur Sumsel, Nomor :
556/Kpts/Pertamben/2004 tanggal 20 Oktober 2004 yang mencabut hak Kuasa
Pertambangan (KP) Eksploitasi yang sudah diterbitkan.
Sedangkan untuk wilayah yang berada di Kabupaten Muara Enim, Gubernur dengan
surat No. 545/0040/Pertamben/2004 meminta kepada Bupati Muara Enim untuk melakukan
peninjauan ulang atas SK Gubernur No. 462/Kpts/Pertamben/2003 seluas 31.177 Ha.
Saat itu, sesuai dengan butir yang tertera pada SK. Gubernur Sumsel, Nomor:
556/KPTS/Pertamben/ 2004 tanggal 20 Oktober 2004, disebutkan bahwa proses peningkatan
Kuasa Pertambangan Eksplorasi menjadi Kuasa Pertambangan Eksploitasi dialihkan kepada
Pemerintah Kabupaten Lahat dan Pemerintah Kabupaten Muara Enim.
Perbuatan ini tentunya membuat PTBA seolah-olah diserobot dari belakang. PTBA
kemudian menindaklanjuti surat Gubernur No. 556/Kpts/Pertamben/2004, dengan
menyampaikan permohonan peningkatan Kuasa Pertambangan Eksplorasi menjadi Kuasa
Pertambangan Eksploitasi kepada Bupati Muara Enim, yang SK KP-nya sudah terbit pada tgl.
8 September 2005 No. 857/K/KPTS/TAMBEN/2005 seluas 25.360 Ha dari total luas 31.177
Ha yang dikeluarkan oleh Gubernur Sumsel.
Pada tanggal 16 Juli 2004 PTBA menyampaikan permohonan peningkatan KP
Eksplorasi menjadi KP Eksploitasi kepada Bupati Lahat seluas 14.190 Ha dari total luas yang
diberikan oleh Gubernur Sumsel. (seluas 24.751 Ha).
Namun karena permintaan Bupati Lahat, agar partisipasi PTBA kepada Pemda Lahat
lebih besar dari sebelumnya, maka secara intensif PTBA melakukan negosiasi dengan Pemda
Lahat guna meningkatkan partisipasi PTBA kepada Pemda Lahat, namun hasil pertemuan ini
belum mencapai titik kesepakatan. Tiba-tiba pada tanggal 1 Januari 2005 Bupati Lahat
memberikan KP Eksplorasi kepada PT. Mustika Indah Permai dengan luas 2.739 Ha, dan
pada tanggal 1 Februari 2005 menerbitkan SK KP kepada PT Muara Alam Sejahtera seluas
2.821 Ha.
Sementara ada kejanggalan saat Bupati Lahat dengan Surat Keputusan, Nomor :
540/29/KEP/PERTAMBEN/05 tentang Penetapan Status Wilayah Eks. Kuasa Pertambangan
Eksplorasi KW.97.PP.0350 dan Kuasa Pertambangan Eksploitasi KW.DP.16.03.04.01.03 PT.
Tambang Batubara Bukit Asam (Persero) Tbk pada pada tanggal 24 Januari 2005
menetapkan bahwa status wilayah tersebut sebagai wilayah yang dikuasai oleh Negara
dimana pengelolaannya dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten Lahat dan memerintahkan
kepada PT. Tambang Batubara Bukit Asam (Persero), Tbk. untuk mengajukan kembali
permohonan baru peningkatan KP.
Selanjutnya, PTBA mengadakan pertemuan dengan Pemda Lahat, dimana pada
pertemuan ini disepakatinya pembentukan perusahaan baru dimana PTBA memiliki saham
60% dan Pemda (dalam hal ini Perusda) memiliki saham 40% pada wilayah KP yang sudah
diterbitkan oleh Bupati Lahat tersebut. Selanjutnya antara kedua belah pihak dilanjutkan
perundingan yang akan membahas detil teknis pengaturan pembentukan perusahaan patungan
seperti yang disepakati tersebut.
Namun kesepakatan tersebut tidak dihiraukan oleh Bupati Lahat (Harunata), sebab
pada saat perundingan antara kedua belah pihak masih berjalan ternyata Bupati Lahat pada
tanggal 1 Pebruari 2005 tersebut menerbitkan SK KP kepada PT. Bukit Bara Alam seluas
7451 Ha, dimana PT. Bukit Bara Alam ini diluar agenda yang sudah disepakati kedua belah
pihak sebelumnya.
Dikarenakan adanya keberatan pihak kedua swasta tersebut untuk bergabung dengan
Perusda dan terbitnya KP kepada PT Bukit Bara Alam seperti tersebut pada butir 10, maka
kesepakatan yang sudah disepakati terhenti tanpa ada kelanjutan, dan PTBA mengajukan
gugatan terhadap Bupati Lahat di PTUN Palembang, dimana gugatan PTBA tersebut oleh
PTUN Palembang dengan Putusan ditolak karena tidak mengikutsertakan Gubernur Sumsel
sebagai pihak yang digugat.
Gugatan PTBA ditolak maka selanjutnya PTBA mengajukan Banding ke PTTUN
Medan dan selanjutnya Kasasi ke Mahkamah Agung dalam perkara ini pada tanggal 10 Mei
2007 Mahkamah Agung memutuskan bahwa SK Bupati Lahat No. 540/29 belum final karena
pada butir 2 SK tersebut menyatakan bahwa PTBA masih diberi kesempatan untuk
mengajukan permohonan peningkatan KP Eksplorasi menjadi KP Eksploitasi. Selanjutnya
PTBA mengajukan permohonan sebanyak 3 (tiga) kali kepada Bupati Lahat, namun ketiga-
tiganya tidak ada balasan/tanggapan.
Upaya mediasi dengan Bupati Lahat tidak berhasil disepakati, sebab Bupati bersikeras
hanya akan memberikan KP kepada PTBA di luar wilayah KP yang sudah diterbitkan.
Bupatri Lahat sama sekali tidak mau menerima solusi sama-sama untung (win win solution)
yang ditawarkan PTBA. Upaya terakhir dengan difasilitasi Gubernur Sumsel juga diadakan
pertemuan, namun Bupati Lahat tetap bertahan pada prinsipnya, dimana Bupati hanya akan
memberikan wilayah pada sisa wilayah yang sudah diterbitkan kepada swasta, sehingga
pertemuan inipun gagal.
Semua jalan mediasi sudah tertutup dan terlebih-lebih Bupati menerbitkan lagi SK KP
a.n. PT Bumi Merapi Energi pada wilayah yang disengketakan, maka selanjutnya PT.
Tambang Batubara Bukit Asam (Persero), Tbk. menempuh upaya hukum yaitu dengan
mengajukan gugatan perdata di Pengadilan Negeri Lahat yang terdaftar dengan Reg. No.
04/Pdt.G/2008/PN.LT, dan dalam perkara tersebut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
telah menyampaikan permohonan intervensi terhadap Bupati Lahat (Voeging van
Partijen)/atau sebagai Penggugat II atas perkara ini, “ dan selanjutnya terbit Putusan Sela
dari Majelis Hakim Pengadilan Negeri Lahat yang menyatakan pada intinya Pengadilan
Negeri Lahat tidak berwenang untuk memeriksa dan mengadili gugatan PTBA, maka PTBA
Banding ke Pengadilan Tinggi Palembang, serta Pengadilan Tinggi
Palembang menerbitkanpula Putusan Sela yang memutuskan bahwa Pengadilan Negeri
Lahat berwenang untuk memeriksa dan mengadilai perkara gugatan PTBA tersebut.
Akhirnya atas Putusan Sela Pengadilan Tinggi Palembang Bupati Lahat dan pihak
perusaahaan swasta lainya sebagai semula Tergugat/Terbanding dan Termohon mengajukan
Kasasi di Mahkamah Agung. (Kasasi Bupati Lahat tersebut Ditolak oleh Mahkamah Agung
RI);
Sebenarnya, lokasi yang telah diterbitkan SK KP oleh Bupati Lahat tersebut,
sebelumnya sudah dieksplorasi oleh PTBA sejak lama, sehingga kuantitas dan kualitas
cadangan batubara yang ada diwilayah tersebut sudah digolongkan sebagai cadangan terbukti
(Proven reserve). Sementara kegiatan eksplorasi tersebut telah menghabiskan biaya sebesar
kurang lebih Rp. 206 miliar (termasuk biaya pembebasan tanah seluas 600 Ha).
Memang, penerobotan KP yang dilakukan oleh Bupati Lahat dengan alasan untuk
mempercepat pembangunan di daerah Lahat, sementara PTBA belum melakukan pengelolaan
terhadap KP yang dimiliki, maka Pemerintah Kabupaten Lahat telah memberikan Izin Kuasa
Pertambangan Eksplorasi kepada 16 (enambelas) perusahaan swasta.
PT. Tambang Batubara Bukit Asam (Persero) Tbk. sebagai Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) dalam rangka memberikan sumbangan bagi perekonomian nasional melalui
kontinuitas penerimaan Negara, semakin terancam eksistensinya. Padahal sesuai dengan
kebijakan mantan MESDM, Purnomo Yusgiantoro, yang status hukumnya masih berlaku
hingga saat ini, dimana Pemerintah memberikan ijin khusus kepada para BUMN
Pertambangan sesuai surat No.1150/30/MEM.B/ 2008 tanggal 13 Februari 2008.
Surat tersebut menunjukan ketegasan pemerintah terutama MESDM memberikan
jaminan perlindungan kepada semua KP BUMN. Bahkan Purnomo yang sekarang menjabat
Menhan, menegaskan bahwa perubahan peraturan tidak boleh meniadakan hak BUMN yang
sah.
Dalam istilah hukum, perbuatan yang meniadakan hak BUMN tersebut dapat
dikategorikan sebagai perbuatan sewenang-wenang (wellekuer) atau setidak-tidaknya sebagai
tindakan melampaui kewenangan (detourenement de pouvoir).
Mengenai surat kekhususan tersebut, pernah juga disampaikan dalam ketentuan Pasal
2 Undang-undang Nomor 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, yang
menyebutkan bahwa keberadaan BUMN ditujukan untuk memberikan sumbangan penting
bagi perkembangan perekonomian nasional dan penerimaan Negara. Bahkan IB Sudjana,
Menteri Pertambangan dan Energi sebelumnya. Sesuai surat No.2330/201/M.SJ/1995 tanggal
10 Agustus 1995, memberikan kekhususan kepada semua KP BUMN agar dapat melebihi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (3) dan pasal 21 ayat (1) Peraturan
Pemerintah No.32 Tahun 1969.
Melihat status hukum kekhususan tersebut, seharusnya Bupati Lahat
mempertimbangkan surat keputusan tersebut, mengingat kekhususan terhadap Pertambangan
BUMN tersebut untuk kepentingan yang lebih luas. Apalagi PTBA telah melakukan mediasi
dan negosiasi dengan memberikan opsi share saham kepemilikan dengan Pemda Lahat.
Namun Bupati Lahat dalam waktu bersamaan malah pula menerbitkan SK Eksplorasi.
Tentunya hal ini menyalahi aturan hukum yang telah disepakati bersama. Perbuatan ini
disinyalir telah melanggar hukum dan atau /peraturan perundang-undangan yang berlaku
termasuk ketentuan/peraturan pemerintah pusat.
Karena kasus sengketa lahan ini diselesaikan melalui pengajuan PTBA pada
Pengadilan Negeri Lahat, sesuai dengan dasar hukum yang berkaitan dengan pengadilan:
UU No.2 Tahun 1986
Pengadilan adalah pengadilan negeri dan pengadilan tinggi di lingkungan peradilan umum.
Hakim atau pengadilan adalah penegak hukum.
Pasal 2 UU No. 4 Tahun 2004
Penyelenggara kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berbeda di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan
oleh sebuah mahkamah konstitusi.
Peradilan Umum
Peradilan umum adalah salah satu kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang
pada umumnya mengenai perkara perdata dan pidana.
Kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan umum dilaksanakan oleh: Pengadilan Negeri
yaknii pengadilan tingkat pertama yang berkedudukan di kotamadya atau ibukota kabupaten
dan daerah hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten, yang dibentuk dengan
keputusan presiden.
Pengadilan negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan
perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama.
Secara hukum, PTBA menegaskan SK Gubernur Sumatra Selatan
No.556/KPTS/PERTAMBEN/2004 tanggal 20 Oktober 2004 tidak menghilangkan hak
PTBA selaku pemilik KP sesuai dengan ketetapan kedua Keputusan Gubernur Sumsel.
Hal ini sesuai dengan penyelesaian sengketa bisnis disertai dengan pembuktiannya berupa SK
Gubernur Sumatra Selatan.
Untuk saat ini, wilayah sengketa tersebut masih dalam proses Peninjauan Kembali
(PK) di Mahkamah Agung. Sesuai dengan dasar teori mengenai Mahkamah Agung :
Mahkamah Agung merupakan pengadilan negara tertinggi dari semua lingkungan peradilan
yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-
pengaruh lain, yang berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia.
Mahkamah Agung bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus permohonan kasasi,
sengketa tentang kewenangan mengadili, permohonan peninjauan kembali putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Analisis Akuntansi
Kasus sengketa lahan antara Adaro dan PTBA terkait dengan PSAK NO. 16 tentang
Aktiva Tetap dan Aktiva lain-lain.
PSAK NO. 16 Aktiva Tetap dan Aktiva Lain-lain
Aktiva tetap adalah aktiva berwujud yang diperoleh dalam bentuk siap pakai atau
dengan dibangun lebih dahulu, yang digunakan dalam operasi perusahaan, tidak dimaksudkan
untuk dijual dalam rangka kegiatan normal perusahaan dan mempunyai masa manfaat lebih
dari satu tahun.
Penyusutan adalah alokasi sistematik jumlah yang dapat disusutkan dari suatu aktiva
sepanjang masa manfaat. Jumlah yang dapat disusutkan (depreciable amount) adalah biaya
perolehan suatu aktiva, atau jumlah lain yang disubstitusikan untuk biaya perolehan dalam
laporan keuangan, dikurangi nilai sisanya.
Masa manfaat adalah:
(a) periode suatu aktiva diharapkan digunakan oleh perusahaan; atau
(b) jumlah produksi atau unit serupa yang diharapkan diperoleh dari aktiva oleh perusahaan.
Biaya perolehan adalah jumlah kas atau setara kas yang dibayarkan atau nilai wajar
imbalan lain yang diberikan untuk memperoleh suatu aktiva pada saat perolehan atau
konstruksi sampai dengan aktiva tersebut dalam kondisi dan tempat yang siap untuk
dipergunakan.
Nilai sisa adalah jumlah neto yang diharapkan dapat diperoleh pada akhir masa
manfaat suatu aktiva setelah dikurangi taksiran biaya pelepasan.
Nilai wajar adalah suatu jumlah, untuk itu suatu aktiva mungkin ditukar atau suatu
kewajiban diselesaikan antara pihak yang memahami dan berkeinginan untuk melakukan
transaksi wajar {arm's length transaction).
Jumlah tercatat {carrying amount) adalah nilai buku, yaitu biaya perolehan suatu
aktiva setelah dikurangi akumulasi penyusutan.
Jumlah yang dapat diperoleh kembali {recoverable amount) adalah jumlah yang
diharapkan dapat diperoleh kembali dari penggunaan suatu aktiva di masa yang akan datang,
termasuk nilai sisanya atas pelepasan aktiva.
Dalam hal PT Adaro Energy Tbk membeli saham PT Mustika Indah Permai (MIP),
terkait dengan PSAK No. 21 tentang Akuntansi Ekuitas.
PSAK No. 21 Akuntansi Ekuitas
Ekuitas merupakan bagian hak pemilik dalam perusahaan yaitu selisih antara aktiva
dan kewajiban yang ada, dan dengan demikian tidak merupakan ukuran nilai jual perusahaan
tersebut.
Pada dasarnya ekuitas berasal dari investasi pemilik dan hasil usaha perusahaan.
Ekuitas akan berkurang terutama dengan adanya penarikan kembali penyertaan oleh pemilik,
pembagian keuntungan atau karena kerugian.
Ekuitas terdiri atas setoran pemilik yang seringkali disebut modal atau simpanan
pokok anggota untuk badan hukum koperasi, saldo laba, dan unsur lain.
Modal saham meliputi saham preferen, saham biasa dan akun Tambahan Modal
Disetor. Pos modal lainnya seperti modal yang berasal dari sumbangan dapat disajikan
sebagai bagian dari tambahan modal disetor.
DAFTAR PUSTAKA
Asyahadie, Zaeni, S.H.,M.Hum. Hukum Bisnis. 2005. Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada
Dr. Abdul Halim Barkatullah, dan syahrida. Sengketa bisnis. 2010. Bandung : Nusa Media
Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2006, hlm. 150
Susanti Adi Nugroho, op. cit., hlm. 65
Suwardi, Sri Setianingsih. Penyelesaian Sengketa Internasional. 2006. Jakarta: Universitas
Indonesia.
Winarta, Frans Hendra. Hukum Penyelesaian Sengketa Edisi Dua. 2012. Jakarta: Sinar
Grafika.
Yahya harahap. Hukum Pembuktian
http://id.shvoong.com/law-and-politics/law/2094342-pengertian-litigasi-dalam-proses-
hukum/#ixzz1gHIX62Vw
http://larazsekar.blogspot.com/2012/05/penyelesaian-sengketa.html
http://rencute-ozha.blogspot.com/2013/01/penyelesaian-sengketa-bisnis-secara.html