penyiaran agama dalam aturan agama dan negara i_khoirul anwar

3
1 Penyiaran Agama Dalam Aturan Negara dan Agama [I] ______________________Khoirul Anwar PENYIARAN AGAMA DALAM ATURAN NEGARA DAN AGAMA (I) Oleh: Khoirul Anwar* Seputar Definisi Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata siar yang biasa digunakan dengan imbuhan meng- dan -kan (meng-siar-kan) memiliki beberapa arti, antara lain; meratakan ke mana-mana, memberitahukan kepada khalayak umum, mengumumkan, menyebarkan, mempropagandakan, menerbitkan, menjual dan mengirimkan. Dalam kamus arab terdapat dua kata yang hampir serupa dengan kata siar, yaitu si‟ar (dengan menggunakan sin kecil) yang memiliki arti menyalakan, dan syi‟ar (dengan menggunakan syin besar) yang berarti simbol (Muhammad Farid Wajdi: vol. V, hal. 154). Dua kata ini apabila disandarkan pada kata agama (al-din) maka yang pertama berarti menyalakan agama (si‟ar al-din), dan yang kedua simbol agama (syi‟ar al-din). Besar kemungkinan kata siar dalam bahasa Indonesia diambil dari kata si‟ar dalam bahasa Arab yang berarti menyalakan. Dalam bahasa Arab klasik kata si‟ar biasa disandarkan dengan kata api (al-nar) sehingga susunannya menjadi menyalakan api (si‟ar al-nar). Dikemudian hari kata si‟ar digandeng dengan agama (si‟ar agama) karena kata si‟ar yang memiliki arti menyalakan dapat juga diartikan dengan menyebarkan dan memperluas. Dengan demikian si‟ar atau siar agama artinya adalah menyebarkan atau memperluas agama. Arti demikian sesuai dengan definisi penyiaran agama yang tercantum dalam Keputusan Bersama Menag dan Mendagri Nomor 1 1979 Bab II Pasal 2 yang berbunyi: “Penyiaran agama adalah segala kegiatan yang bentuk, sifat dan tujuannya untuk menyebarluaskan ajaran sesuatu agama.” Agama-agama besar di dunia seperti Islam dan Kristen penyiaran agama merupakan bagian dari ajaran agama itu sendiri, karena agama tanpa ada yang menyebarkannya niscaya tidak dapat berkembang, bahkan akan segera gulung tikar seiring dengan matinya si penerima agama (baca; nabi). Dalam Islam kegiatan penyiaran agama memiliki beberapa istilah, antara lain; dakwah, tabligh, bayan, amar ma‟ruf nahi munkar dan yang lainnya. Kendati masing-masing istilah memiliki makna sendiri-sendiri namun keragaman arti ini semuanya masuk dalam ruang pembahasan penyiaran agama. Ahmad Umar Hasyim dalam bukunya, al-Da‟wah al-Islamiyyah; Manhajuha wa Ma‟alimuha, mendefinisikan dakwah dengan menyampaikan petunjuk Allah (tabligh hidayah Allah) kepada manusia dengan berpijak pada al-Quran, hadis, sejarah nabi Muhammad Saw. dan sahabatnya (Ahmad Umar Hasyim: hal. 6). Definisi ini memberikan kesan bahwa dakwah hanya menjadi kegiatan lisan. Berbeda dengan definisi di atas, Ahmad Mahmud dalam salah satu karyanya, al- Da‟wah ila al-Islam, mendefinisikannya dengan lebih luas, yakni tindakan yang dapat menarik simpati seseorang (fi‟l imalah wa targhib). Dengan demikian menurut definisi yang kedua ini dakwah tidak hanya menyampaikan pesan dalam bentuk ungkapan (bi al-lisan), tapi juga dalam bentuk aksi (bi al-hal) sebagaimana yang tertulis dalam Keputusan Bersama Menag dan Mendagri di atas (Ahmad Mahmud: hal. 8). Sementara dalam Kristen penyiaran agama biasa disebut dengan misi atau evangelisme, yakni menyebarkan Kabar Suka Cita kepada semua penjuru dunia. Kegiatan ini berbeda dengan diakonia, karena diakonia lebih dimaksudkan pada pelayanan terhadap Gereja. (Olaf H. Schumann: 2008, hal. 114-115). Kritik Terhadap Aturan Penyiaran Agama Di Indonesia penyiaran agama telah diatur dalam Keputusan Bersama Menag dan Mendagri RI Nomor 70 1978. Peraturan tersebut antara lain tertulis:

Upload: khoirul-anwar

Post on 24-Apr-2015

35 views

Category:

Documents


12 download

TRANSCRIPT

Page 1: Penyiaran Agama Dalam Aturan Agama Dan Negara I_Khoirul Anwar

1 Penyiaran Agama Dalam Aturan Negara dan Agama [I] ______________________Khoirul Anwar

PENYIARAN AGAMA DALAM ATURAN NEGARA DAN AGAMA (I) Oleh: Khoirul Anwar*

Seputar Definisi

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata siar yang biasa digunakan dengan

imbuhan meng- dan -kan (meng-siar-kan) memiliki beberapa arti, antara lain; meratakan ke

mana-mana, memberitahukan kepada khalayak umum, mengumumkan, menyebarkan,

mempropagandakan, menerbitkan, menjual dan mengirimkan.

Dalam kamus arab terdapat dua kata yang hampir serupa dengan kata siar, yaitu si‟ar

(dengan menggunakan sin kecil) yang memiliki arti menyalakan, dan syi‟ar (dengan

menggunakan syin besar) yang berarti simbol (Muhammad Farid Wajdi: vol. V, hal. 154).

Dua kata ini apabila disandarkan pada kata agama (al-din) maka yang pertama berarti

menyalakan agama (si‟ar al-din), dan yang kedua simbol agama (syi‟ar al-din). Besar

kemungkinan kata siar dalam bahasa Indonesia diambil dari kata si‟ar dalam bahasa Arab

yang berarti menyalakan. Dalam bahasa Arab klasik kata si‟ar biasa disandarkan dengan kata

api (al-nar) sehingga susunannya menjadi menyalakan api (si‟ar al-nar). Dikemudian hari

kata si‟ar digandeng dengan agama (si‟ar agama) karena kata si‟ar yang memiliki arti

menyalakan dapat juga diartikan dengan menyebarkan dan memperluas.

Dengan demikian si‟ar atau siar agama artinya adalah menyebarkan atau memperluas

agama. Arti demikian sesuai dengan definisi penyiaran agama yang tercantum dalam

Keputusan Bersama Menag dan Mendagri Nomor 1 1979 Bab II Pasal 2 yang berbunyi:

“Penyiaran agama adalah segala kegiatan yang bentuk, sifat dan tujuannya untuk

menyebarluaskan ajaran sesuatu agama.”

Agama-agama besar di dunia seperti Islam dan Kristen penyiaran agama merupakan

bagian dari ajaran agama itu sendiri, karena agama tanpa ada yang menyebarkannya niscaya

tidak dapat berkembang, bahkan akan segera gulung tikar seiring dengan matinya si penerima

agama (baca; nabi).

Dalam Islam kegiatan penyiaran agama memiliki beberapa istilah, antara lain;

dakwah, tabligh, bayan, amar ma‟ruf nahi munkar dan yang lainnya. Kendati masing-masing

istilah memiliki makna sendiri-sendiri namun keragaman arti ini semuanya masuk dalam

ruang pembahasan penyiaran agama.

Ahmad Umar Hasyim dalam bukunya, al-Da‟wah al-Islamiyyah; Manhajuha wa

Ma‟alimuha, mendefinisikan dakwah dengan menyampaikan petunjuk Allah (tabligh hidayah

Allah) kepada manusia dengan berpijak pada al-Quran, hadis, sejarah nabi Muhammad Saw.

dan sahabatnya (Ahmad Umar Hasyim: hal. 6). Definisi ini memberikan kesan bahwa

dakwah hanya menjadi kegiatan lisan.

Berbeda dengan definisi di atas, Ahmad Mahmud dalam salah satu karyanya, al-

Da‟wah ila al-Islam, mendefinisikannya dengan lebih luas, yakni tindakan yang dapat

menarik simpati seseorang (fi‟l imalah wa targhib). Dengan demikian menurut definisi yang

kedua ini dakwah tidak hanya menyampaikan pesan dalam bentuk ungkapan (bi al-lisan),

tapi juga dalam bentuk aksi (bi al-hal) sebagaimana yang tertulis dalam Keputusan Bersama

Menag dan Mendagri di atas (Ahmad Mahmud: hal. 8).

Sementara dalam Kristen penyiaran agama biasa disebut dengan misi atau

evangelisme, yakni menyebarkan Kabar Suka Cita kepada semua penjuru dunia. Kegiatan ini

berbeda dengan diakonia, karena diakonia lebih dimaksudkan pada pelayanan terhadap

Gereja. (Olaf H. Schumann: 2008, hal. 114-115).

Kritik Terhadap Aturan Penyiaran Agama

Di Indonesia penyiaran agama telah diatur dalam Keputusan Bersama Menag dan

Mendagri RI Nomor 70 1978. Peraturan tersebut antara lain tertulis:

Page 2: Penyiaran Agama Dalam Aturan Agama Dan Negara I_Khoirul Anwar

2 Penyiaran Agama Dalam Aturan Negara dan Agama [I] ______________________Khoirul Anwar

“Penyiaran agama tidak dibenarkan untuk ditujukan terhadap orang dan atau orang-

orang yang telah memeluk sesuatu agama lain.”

Dengan melarang penyiaran agama terhadap pemeluk agama lain sebagaimana yang

tertulis dalam peraturan di atas sesungguhnya bertentangan dengan ajaran agama itu sendiri,

bahkan peraturan tersebut seakan-akan dibuat dengan ketidaksadaran terhadap sejarah

agama-agama di dunia.

Hampir menjadi konsensus sejarawan bahwa agama mulanya hanya dipeluk satu

orang (oleh pengikutnya dipercaya sebagai utusan Tuhan/rasul/nabi) kemudian setelah si

penerima melakukan dakwah atau menyebarkan kepada orang lain (al-mad‟u) agama itu

menjadi dianut orang banyak. Sebagai sampel, misalnya Islam. Mulanya agama ini hanya

dianut oleh Muhammad Saw. kemudian setelah ia menyampaikannya kepada orang-orang di

sekitarnya terutama kepada keluarganya sendiri, agama ini lambat laun memiliki pengikut.

Diinformasikan bahwa nabi Muhammad Saw. selalu berdakwah, menyiarkan agama Islam

kepada masyarakat Arab, terutama setiap kali datang musim haji maka ia memanfaatkan

kesempatan itu untuk berdakwah di jalan yang menjadi lalu lalang orang berjalan menuju

Makkah (Sir T. W. Arnold: hal. 28).

Di Indonesia sendiri Negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam (muslim)

bukan semata-mata agama Islam berkembang secara kebetulan, tiba-tiba dipeluk oleh jutaan

manusia di bumi ini. Tapi berawal dari beberapa gelintir orang saja, yakni pedagang dari

Arab dan Persia yang bersinggah di Nusantara hingga dikemudian hari mulai berkembang,

puncaknya pada pertengahan abad VIII H./XV M. ketika dakwah Islam dipelopori oleh

tokoh-tokoh sufi yang dikenal dengan Walisongo. (Agus Sunyoto: 2011, hal. 37).

Dengan demikian tanpa ada dakwah niscaya Islam tidak bisa dikenal, begitu juga

dengan agama lainnya.

Di samping itu penyiaran atau penyebarluasan agama merupakan bagian dari ajaran

agama itu sendiri. Dalam Islam ajaran dakwah merupakan suatu kewajiban bagi pemeluknya,

namun apakah kewajiban ini bersifat personal (fardlu „ain), yakni setiap muslim yang sudah

dewasa wajib melaksanakannya, atau komunal (fardlu kifayah) apabila ada seorang muslim

yang melakukannya maka kewajiban yang lainnya gugur. Dalam hal ini sarjana muslim

berbeda pendapat, namun menurut Abdul Karim Zaidan pendapat yang argumentasinya kuat

dari pendapat-pendapat yang ada adalah pendapat yang menyatakan fardlu „ain. Kendati

menjadi kewajiban setiap orang, namun bukan berarti kewajiban ini berjalan tanpa syarat.

Salah satu syarat yang mutlak harus dipenuhi oleh da‟i menurut Abdul Karim Zaidan adalah

“berilmu”, yakni da‟i menyampaikan pengetahuan agamanya kepada orang yang belum atau

tidak mengetahuinya (Abdul Karim Zaidan: hal. 128).

Tujuan Penyiaran Agama

Menyiarkan agama atau memberikan informasi kepada orang lain baik yang seagama

maupun tidak merupakan sesuatu yang niscaya, karena bagi orang yang beragama di samping

menjadi perintah ajaran agamanya untuk menyebarkan agama yang diyakininya, juga seakan-

akan dirinya mendapat suatu kebenaran sehingga ia mengharuskan diri untuk meneruskan

pengetahuan kebenaran itu kepada orang-orang yang belum mengetahuinya. Namun patut

ditegaskan di sini bahwa penyiar agama (da‟i, misionaris, evangelis, dan yang lainnya) hanya

memiliki hak menyampaikan, tidak lebih. Sehingga penyiar agama tidak memiliki hak

memaksakan isi dakwahnya kepada seseorang, karena setiap orang memiliki hak untuk

menerima atau menolaknya.

Dalam Islam secara tegas dinyatakan bahwa dalam beragama tidak boleh ada

pemaksaan (QS. 2:256). Isma‟il al-Faruqi menyatakan, apabila orang yang diseru (al-mad‟u)

tidak mau menerima ajakan da‟i maka da‟i harus menyerahkan persoalannya kepada Allah,

da‟i tidak memiliki hak memaksa. Hal ini sebagaimana diteladankan Nabi Muhammad Saw.

Page 3: Penyiaran Agama Dalam Aturan Agama Dan Negara I_Khoirul Anwar

3 Penyiaran Agama Dalam Aturan Negara dan Agama [I] ______________________Khoirul Anwar

pada saat menyampaikan Islam (dakwah) kepada orang-orang Kristen Najran. Orang-orang

Kristen Najran mendengarkan dakwah nabi Muhammad Saw. namun mereka tidak

menerimanya. Oleh Nabi Saw. orang-orang Kristen tersebut tidak dipaksa mengikuti pesan

dakwah dan mereka diperbolehkan pulang secara hormat (Olaf H. Schumann: 2008, hal.

120).

Jika demikian halnya maka sesungguhnya tujuan menyiarkan agama tidak lebih dari

memberikan informasi ajaran agama, bukan memaksa atau berharap orang yang tidak

seagama masuk ke dalam agama penyeru atau da‟i, karena sesungguhnya menyiarkan agama

adalah undangan kepada seseorang (al-mad‟u) untuk berfikir, menerima atau menolaknya

menjadi hak preogatif pendengar itu sendiri.

Dalam al-Quran dinyatakan bahwa Nabi Muhammad Saw. diutus hanya diperintahkan

untuk memberitakan kabar gembira (mubasysyir) dan pengingat (nadzira) (QS. 25:56-58).

Ketika Nabi Muhammad Saw. bersedih karena pamannya, Abu Thalib, yang selalu

melindunginya baik dari serangan kafir Quraisy maupun yang lain belum juga masuk Islam

hingga menjelang wafat, Allah menurunkan QS. 28:56 sebagai teguran kepada Nabi Saw.

bahwa yang berhak memberikan petunjuk hanyalah Allah. Andai Allah menghendaki semua

umat manusia di muka bumi ini beriman niscaya semuanya akan beriman, tapi Allah tidak

menghendakinya (QS. 10:99-100).

*Aktif di Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang.

Email: [email protected] Twitter: @khoirulanwar_88