peradilan militer
DESCRIPTION
Peraturan ini buat Para anggota TNI atau yang dipersamakanTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat), bukan negara kekuasaan
belaka (machtsstaat).1 Kekuasaan negara harus dijalankan atas dasar hukum yang
baik dan adil. Hukum menjadi landasan segenap tindakan negara dan hukum itu
sendiri harus benar dan adil.2
Secara kelembagaan, sejak tanggal 1 April 1999, Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia (ABRI) dan Polri telah dipisahkan sesuai dengan Ketetapan MPR
Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan
Hal tersebut mengandung arti bahwa negara Indonesia
adalah negara hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945 (selanjutnya ditulis UUD 1945), menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia
dan menjamin setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dengan tidak ada kecualinya. Penegakan keadilan berdasarkan hukum
harus dilaksanakan oleh setiap warga negara, setiap penyelenggara negara, setiap
lembaga kenegaraan, dan setiap lembaga kemasyarakatan.
Polri serta Ketetapan MPR Nomor
VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri. Awaloedin Djamin, mengatakan,
tanpa semangat perubahan yang demikian, kepercayaan publik atas perubahan fungsi
dan peran kedua institusi dimaksud akan terus merosot. Sehingga dengan pemisahan
1 Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. 2 Frans Magnis Suseno, Etika Politik Prinsip-Prinsip Dasar Kenegaraan Modern, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama), hal. 295.
Universitas Sumatera Utara
itu semakin dapat memperjelas peran dan fungsi TNI dan Polri dalam melaksanakan
tugas-tugas kenegaraan.3
Kondisi yang demikian, berimplikasi pada pandangan selama ini yang
mengatakan “TNI sebagai institusi atau pihak yang tidak bisa disentuh”, tidak ada
lagi pihak yang bisa diistimewakan, semua menjadi sama akan kedudukan, hak dan
juga tanggung jawabnya. Salah satu cara TNI memperbaiki citranya adalah dengan
mendekatkan diri terhadap masyarakat secara lebih terbuka dan membiarkan TNI
untuk bisa dikontrol oleh masyarakat. Hal yang tidak kalah penting dilakukan TNI
adalah membangun komunikasi dengan masyarakat sebagai konsekuensi dari sistem
demokrasi dimana proses check and balance merupakan suatu yang tidak bisa
dihindari.
4
Pemisahan itu juga berimplikasi kepada diundangkannya Undang-Undang
Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (selanjutnya disingkat UU
TNI) pada tanggal 16 Oktober 2004 yang didalamnya ditegaskan berlakunya
Peradilan Umum bagi anggota TNI yang melakukan pelanggaran tindak pidana yang
tercantum dalam KUH Pidana seperti yang diamanatkan dalam Tap MPR No:
VII/MPR/2000 tentang peran TNI dan peran Polri.
Reformasi nasional Indonesia yang didorong oleh semangat bangsa Indonesia
untuk menata kehidupan dan masa depan bangsa yang lebih baik telah menghasilkan
3 Awaloedin Djamin, Sejarah Perkembangan Kepolisian di Indonesia, dari Zaman Kuno Sampai Sekarang, (Jakarta: PTIK Press, 2006), hal. 493. Sebelum tahun 1999 ABRI terdiri dari TNI dan Polri, tetapi setelah tahun 1999 TNI dan Polri telah dipisahkan dari ABRI. Sebutan untuk Polri tetap digunakan akan tetapi untuk ABRI diganti dengan TNI.
4 http://www.pandusakti97.com/content/penyidik-bagi-anggota-tni-dalam-peradilan-umum, diakses tanggal 24 Mei 2011.
Universitas Sumatera Utara
perubahan mendasar dalam sistem ketatanegaraan dan kenegaraan. Perubahan
tersebut telah ditindaklanjuti antara lain melalui penataan kelembagaan sesuai dengan
perkembangan lingkungan dan tuntutan tugas ke depan. Perubahan pada sistem
kenegaraan berimplikasi terhadap TNI, yaitu pemisahan TNI dan Polri, yang
menyebabkan perlunya penataan kembali peran dan fungsi masing-masing institusi
sekaligus menjadi referensi yuridis dalam mengembangkan suatu undang-undang
yang mengatur tentang TNI.5
Tentara Nasional Indonesia (selanjutnya disingkat TNI) dibangun dan
dikembangkan dengan membentuk tentara yang profesional sesuai dengan
kepentingan politik negara Indonesia.
6
5 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia.
TNI merupakan bagian dari masyarakat yang
dipersiapkan secara khusus untuk melaksanakan tugas pembelaan negara terhadap
ancaman dari negara lain. Ditegaskan dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 34
Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, yaitu TNI berperan sebagai alat
negara di bidang pertahanan yang menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan
6 Penjelasan Pasal 2 huruf d Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UUTNI). Tentara profesional adalah tentara yang mahir menggunakan peralatan militer, mahir bergerak, dan mahir menggunakan alat tempur, serta mampu melaksanakan tugas secara terukur dan memenuhi nilai-nilai akuntabilitas. Untuk itu, tentara perlu dilatih dalam menggunakan senjata dan peralatan militer lainnya dengan baik, dilatih manuver taktik secara baik, dididik dalam ilmu pengetahuan dan teknologi secara baik, dipersenjatai dan dilengkapi dengan baik, serta kesejahteraan prajuritnya dijamin oleh negara sehingga diharapkan mahir bertempur. Tentara tidak berpolitik praktis dalam arti bahwa tentara hanya mengikuti politik negara, dengan mengutamakan prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan ketentuan hukum internasional yang telah diratifikasi.
Universitas Sumatera Utara
keputusan politik negara. Selain itu, TNI merupakan kekuatan utama dan rakyat
sebagai kekuatan pendukung.
TNI dididik dan dilatih untuk melaksanakan tugas dan kewajiban yang berat
dalam mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). TNI wajib
mematuhi perintah atau komando dari atasan tanpa membantah dan wajib
melaksanakan perintah tersebut. TNI sebagai alat pertahanan negara, berfungsi
sebagai penangkal terhadap setiap bentuk ancaman militer dan ancaman bersenjata
dari luar dan dalam negeri terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah, dan keselamatan
bangsa dan pemulih terhadap kondisi keamanan negara yang terganggu akibat
kekacauan keamanan. Tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara,
mempertahankan keutuhan wilayah NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD
1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari
ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.
Peran, fungsi, dan tugas TNI dinyatakan secara tegas dan sebagai dasar
pelaksanaannya dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara
Nasional Indonesia. TNI sebagai manusia biasa sama dengan masyarakat umumnya,
tidak luput dari bentuk pelanggaran dan kejahatan atau tindak pidana. Perbuatan atau
tindakan dengan dalih atau bentuk apapun yang dilakukan oleh anggota TNI baik
secara perorangan maupun kelompok yang melanggar ketentuan-ketentuan hukum,
norma-norma yang berlaku dalam kehidupan, bertentangan dengan undang-undang,
peraturan kedinasan, disiplin, tata tertib di lingkungan TNI pada hakikatnya
merupakan perbuatan atau tindakan yang merusak wibawa, martabat dan nama baik
Universitas Sumatera Utara
TNI yang apabila perbuatan tersebut dibiarkan, dapat menimbulkan ketidaktentraman
dalam masyarakat dan menghambat pelaksanaan pembangunan.
Setiap anggota TNI wajib tunduk dan taat terhadap ketentuan-ketentuan
hukum yang berlaku bagi militer yaitu UU) No.39 Tahun 1947 tentang Hukum
Pidana Tentara menyesuaikan Hukum Pidana Tentara (Staatsblad 1934, No. 167)
dengan keadaan sekarang (selanjutnya disingkat KUHPM), UU No.26 Tahun 1997
tentang Disiplin Militer Prajurit TNI, UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI, UU No.31
Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, dan peraturan-peraturan lainnya. Peraturan
hukum Militer diterapkan kepada anggota TNI yang melakukan suatu tindak pidana
yang merugikan kesatuan, masyarakat umum, dan negara yang tidak terlepas dari
peraturan lainnya yang berlaku juga bagi anggota TNI termasuk UU No.1 Tahun
1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUH Pidana). Tindak pidana
dalam hal ini adalah tindak pidana desersi yang dilakukan oleh Anggota TNI AL di
Lantamal I Belawan.
Desersi merupakan salah satu tindak pidana militer murni. Dikatakan sebagai
tindak pidana murni militer karena tindak pidana tersebut hanya dilakukan oleh
seorang militer, karena sifatnya khusus untuk militer. Tindak pidana desersi
sebagaimana diatur Pasal 87 Kitab KUHPM dan tindak pidana insubordinasi
sebagaimana diatur dalam Pasal 105-109 KUHPM dan lain-lain. Tindak pidana
insubordinasi ini adalah seorang bawahan dengan tindakan nyata mengancam dengan
kekerasan yang ditujukan kepada atasannya atau komandannya. Tindakan nyata itu
Universitas Sumatera Utara
dapat berbentuk perbuatan dan dapat juga dengan suatu mimik atau isyarat. Tindak
pidana meninggalkan pos penjagaan sebagaimana diatur dalam Pasal 118 KUHPM.7
Tindak pidana desersi merupakan suatu tindak pidana yang secara khusus
dilakukan oleh seorang militer karena bersifat melawan hukum dan bertentangan
dengan undang-undang khususnya hukum pidana militer. Tindak pidana desersi
diatur dalam Pasal 87 KUHPM, yaitu:
1) Diancam karena desersi, militer: Ke-1, yang pergi dengan maksud menarik diri untuk selamanya dari
kewajiban-kewajiban dinasnya, menghindari bahaya perang, menyebrang ke musuh atau memasuki dinas militer pada suatu negara atau kekuasaan lain tanpa dibenarkan untuk itu.
Ke-2, yang karena salahnya atau dengan sengaja melakukan ketidakhadiran tanpa izin dalam waktu damai lebih lama dari 30 (tiga puluh) hari, dalam waktu perang lebih lama dari empat hari.
Ke-3 yang dengan sengaja melakukan ketidakhadiran tanpa izin dan karenanya tidak ikut melaksanakan sebagian atau seluruhnya dari suatu perjalanan yang diperintahkan, seperti yang diuraikan dalam Pasal 85 ke-2.
2) Desersi yang dilakukan dalam waktu damai, diancam dengan pidana penjara maksimum dua tahun delapan bulan.
3) Desersi yang dilakukan dalam waktu perang, diancam dengan pidana pencara maksimum delapan tahun enam bulan.
Rumusan pasal tersebut larangan bagi seorang prajurit untuk menarik diri dari
pelaksanaan kewajiban dinas. Hakikat dari tindak pidana desersi harus dimaknai
bahwa pada diri anggota TNI yang melakukan desersi harus tercermin sikap bahwa
anggota TNI tersebut tidak berkeinginan lagi menjadi anggota militer. Seorang
anggota militer yang karena salahnya atau dengan sengaja melakukan ketidakhadiran
tanpa ijin dan tanpa ada suatu alasan untuk menghindari bahaya perang dan
7 S.R. Siantury, Hukum Pidana Militer Indonesia, (Jakarta: Alumini AHM PTHM, 1985), hal. 337.
Universitas Sumatera Utara
menyeberang ke wilayah musuh atau dalam keadaan damai tidak hadir pada
tempatnya yang telah ditentukan untuk melakukan tugas yang dibebankan kepadanya.
Desersi dilakukan terhadap perbuatan yang bersangkutan pergi meninggalkan
kesatuan dalam batas tenggang waktu minimal 30 hari secara berturut-turut atau
perbuatan menarik diri untuk selama-lamanya. Sementara dalam kehidupan sehari-
hari, seorang anggota militer dituntut kesiapsiagaannya ditempat dimana seharusnya
berada menjalankan tugasnya.
Ketidakhadiran anggota militer pada suatu tempat untuk menjalankan tugas
dinas ditentukan sebagai suatu kejahatan, karena penghayatan disiplin merupakan hal
yang sangat urgen dari kehidupan militer karena disiplin merupakan tulang punggung
dalam kehidupan militer. Lain halnya dengan kehidupan organisasi bukan militer,
bahwa perbuatan tersebut bukan merupakan suatu kejahatan, melainkan sebagai
pelanggaran disiplin organisasi.8
TNI AL pada hakikatnya sebagai lembaga yang bertugas untuk menegakkan
kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah NKRI berdasarkan Pancasila
dan UUD 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah
Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Oleh
karena itu, sebagai negara hukum, maka hukum harus ditegakkan terhadap anggota
TNI yang melakukan tindak pidana desersi dalam lingkup militer.
8 Agita Kartika Ayuningtyas, Pertanggungjawaban Pidana Anggota Militer Yang Melakukan Tindak Pidana Desersi Studi Kasus Putusan Pengadilan Militer III-12 Surabaya NOMOR: PUT/29-K/PM.III-12/AD/II/2009, Tesis, (Surabaya: Yayasan Kesejahteraan Pendidikan dan Perumahan Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum Surabaya, 2010), hal. 20.
Universitas Sumatera Utara
Tindak pidana atau perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh
undang-undang. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUH Pidana) tidak
memberikan penjelasan secara rinci mengenai perkataan tindak pidana (strafbaar
feit).9 Dirujuk kepada Pasal 1 KUH Pidana bahwa yang dimaksud tindak pidana itu
menyangkut segala sesuatu yang telah dilarang atau sudah diatur dalam undang-
undang. Istilah strafbaar feit diterjemahkan dengan memakai istilah delik, peristiwa
pidana, perbuatan pidana, tindak pidana, pelanggaran pidana.10
Norma-norma yang dilanggar anggota TNI tersebut jelas diatur dalam
berbagai ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku bagi militer yaitu: Wetboek van
Militair Strafrecht (Staatsblad 1934 Nomor 167 jo UU No.39 Tahun 1947) yang
disebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (selanjutnya ditulis
KUHPM), Wetboek van Krijgstucht (Staatsblad 1934 Nomor 168 jo UU No.40 Tahun
1947) yang disebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Disiplin Militer
(selanjutnya ditulis KUHDM), UU No.34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional
Indonesa (UU TNI), Peraturan Disiplin Militer dan peraturan-peraturan lainnya.
Pelanggaran terhadap berbagai peraturan terkait yang pelakunya anggota TNI dapat
9 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal), (Bogor: Politeia, 1988), hal. 28-29.
10 E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya”, (Jakarta: Storia Grafika, 2002), hal. 205. Menurut Simons strafbaar feit adalah suatu handeling (tindakan/perbuatan) yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, bertentangan dengan hukum (onrechtmatig) dilakukan dengan kesalahan (schuld) oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab. Dibaginya dalam 2 (dua) golongan unsur yaitu: unsur subyektif yang berupa kesalahan (schuld) dan kemampuan bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar) dari pelaku dan unsur obyektif yang berupa tindakan yang dilarang/diharuskan, akibat keadaan/masalah tertentu.
Universitas Sumatera Utara
diselesaikan melalui sistem peradilan pidana militer sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tenang Peradilan Militer.11
Penegakan hukum terhadap anggota TNI yang melakukan tindak pidana
desersi merupakan implikasi dari eksistensi negara hukum yang berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945 bertujuan untuk mewujudkan tata kehidupan bangsa yang
sejahtera, aman, tenteram, dan tertib. Maka, diperlukan upaya untuk menegakkan
keadilan, kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum yang mampu memberikan
pengayoman kepada masyarakat, dapat mendorong kreativitas, dan peran aktif
masyarakat dalam pembangunan. Sebab, hal perbuatan desersi dapat merusak citra
atau nama baik TNI pada umumnya dan khususnya TNI AL, dan perbuatan tersangka
bertentangan dengan Sapta Marga, Sumpah Prajurit, dan Delapan Wajib TNI, serta
Tri Sila TNI AL.
Tindak pidana yang dilakukan oleh anggota TNI dapat berupa tindak pidana
murni militer yang didasarkan kepada peraturan terkait militer dan tindak pidana
campuran yakni mengenai perkara koneksitas artinya suatu tindak pidana yang
dilakukan secara bersama-sama antara pihak sipil dan pihak militer yang dalam hal
ini dasarnya kepada undang-undang militer dan KUHAP. Perkara koneksitas
sebagaimana diatur dalam Pasal 198 s/d Pasal 203 UU No.31 Tahun 1997 tentang
Peradilan Militer dan Pasal 89 s/d Pasal 94 KUHAP. Pasal 198 ayat (1) UU No.31
Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang menegaskan bahwa:
11 Toetik Rahayuningsih, Peradilan Militer Di Indonesia Dan Penegakan Hukum Terhadap Pelakunya, (Surabaya: LPPM Universitas Airlangga, 2002), hal. 3-5.
Universitas Sumatera Utara
Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk yustisiabel peradilan militer dan yustisiabel peradilan umum, diperiksa dan diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum kecuali apabila menurut keputusan Menteri dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer. Ketentuan bunyi Pasal 198 ayat (1) UU No.31 Tahun 1997 tentang Peradilan
Militer di atas, substansinya sama dengan ketentuan yang ditegaskan dalam Pasal 89
ayat (1) KUHAP kecuali apabila menurut keputusan Menteri dengan persetujuan
Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh Pengadilan dalam
lingkungan peradilan militer. Berbeda dengan tindak pidana desersi yang hanya
melibatkan anggota militer secara pribadi tanpa ada kaitannya dengan sipil. Tidaklah
mungkin seorang sipil melakukan desersi karena tidak ada hubungannya dengan
jabatan dalam militer.12
Anggota TNI yang melakukan tindak pidana murni militer sebagaimana
disebutkan dalam hukum pidana militer termasuk pula kejahatan-kejahatan yang
dilakukan terhadap keamanan negara; kejahatan dalam pelaksanaan kewajiban
perang, kejahatan menarik diri dari kesatuan dalam pelaksanaan kewajiban dinas
(desersi); kejahatan-kejahatan pengabdian, kejahatan pencurian, penipuan, dan
penadahan, kejahatan merusak, membinasakan atau menghilangkan barang-barang
keperluan angkatan perang.
13
12 Munir, Rachland Nashidik, Fajrul Falaakh, Bambang Widjojanto, Riefqi Muna, Rudy Satriyo, Kusnanto Anggoro, Rizal Sukma, dan Edy Prasetyono, Nasakah Akademik Perubahan HUHAP Mengenai Koneksitas, (Jakarta: Indonesian Working Group on Security Sector Reform, 2002), hal. 3.
13 SR. Sianturi, Hukum Pidana Militer di Indonesia, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Tentara Nasional Indonesia, 2010), hal. 3-4.
Universitas Sumatera Utara
Hukum harus ditegakkan terhadap anggota TNI yang melakukan tindak
pidana desersi. Sebagaimana jumlah kasus tindak pidana Desersi pada tahun 2010
sebanyak 15 kasus yang umumnya melanggar Pasal 87 ayat (1) ke-2 KUHPM, yang
karena salahnya atau dengan sengaja melakukan ketidakhadiran tanpa izin dalam
waktu damai lebih lama dari 30 (tiga puluh) hari sebagaimana Pasal 87 ayat (2)
karena desersi yang dilakukan dalam waktu damai. Jumlah kasus yang sudah diputus
oleh Pengadilan Militer Medan sebanyak 9 (sembilan) kasus dan 4 (empat) kasus
masih dalam proses Otmil I-02 Medan.14
Tabel : 1
Nominatif Perkara Tindak Pidana Desersi di Pomal Lantamal I Belawan Periode Triwulan III Tahun 2010
No
Nama/Pangkat/ Korps/NRP/
Jabatan/Kesatuan/ Alamat
Tempat dan Tanggal Kejadian
Pasal yang Dilanggar Keterangan
1 Agus Hermari Samosir
P. Brandan 07/03/2008
Pasal 87 ayat (1) ke 2 jo ayat (2) KUHPM
Penjara 2 (dua) tahun
2 Rajawali Purba Belawan 03/03/2008
Pasal 87 ayat (1) ke 2 jo ayat (2) KUHPM
Penjara 2 (dua) tahun dan dipecat dari Dinas Militer
3 Singgih Wibowo Belawan 01/12//2008
Pasal 87 ayat (1) ke 2 jo ayat (2) KUHPM
Penjara 2 (dua) tahun dan dipecat dari Dinas Militer
4 Ono Sutrisno Sabang 01/09/2008
Pasal 87 ayat (1) ke 2 jo ayat (2) KUHPM
Penjara 2 (dua) bulan 15 (lima belas hari)
5 Fadli Dafid Belawan 11/05/2009
Pasal 87 ayat (1) ke 2 jo ayat (2) KUHPM
Penjara 2 (dua) tahun dan dipecat dari Dinas Militer
6 Juanda Dumai Pasal 87 ayat Penjara 1 (satu)
14 Lampiran Daftar Nominatif Perkara Kejahatan/Pelanggaran Pidana di Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut I tertanggal 30 September 2010.
Universitas Sumatera Utara
24/11/2008 (1) ke 2 jo ayat (2) KUHPM
tahun dan dipecat dari Dinas Militer
7 Syamsul Bahri P. Brandan 27/10/2008
Pasal 87 ayat (1) ke 2 jo ayat (2) KUHPM
Penjara 5 (lima) bulan
8 Anangsyah Belawan 22/07/2009
Pasal 87 ayat (1) ke 2 jo ayat (2) KUHPM
Penjara 1 (satu) tahun
9 Mochammad Samlawi Lhokeumawe
Pasal 87 ayat (1) ke 2 jo ayat (2) KUHPM
Penjara 1 (satu) bulan 20 (dua puluh) hari
10 Teguh Margono Belawan 21/04/2009
Pasal 87 ayat (1) ke 2 jo ayat (2) KUHPM
Dalam Proses Otmil I-02 Medan
11 Olga Mardiat P. Brandan 09/11/2009
Pasal 87 ayat (1) ke 2 jo ayat (2) KUHPM
Dalam Proses Otmil I-02 Medan
12 Erwin Sahputra Belawan 22/03/2010
Pasal 87 ayat (1) ke 2 jo ayat (2) KUHPM
Dalam Proses Otmil I-02 Medan
13 Tri Buana Sakti Sinaga Belawan
Pasal 87 ayat (1) ke 2 jo ayat (2) KUHPM
Dalam Proses Otmil I-02 Medan
Penyidikan terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anggota TNI,
dilakukan oleh Polisi Militer (Pom), khususnya kepada anggota TNI AL Lantamal I
Belawan yang melakukan tindak pidana desersi yang menyangkut tindak pidana
militer murni.15
15 Tindak pidana militer bersifat murni yaitu tindakan yang dilarang atau diharuskan yang pada prinsipnya hanya mungkin dilanggar oleh anggota militer. Tindak pidana militer bersifat campuran yaitu tindakan yang dilarang atau diharuskan yang sudah ditentukan atau diatur dalam peraturan perundang-undangan lain (misalnya dalam KUH Pidana) kemudian diatur lagi dalam kitab undang-undang pidana militer terkait dengan adanya tindak pidana pidana.
Penyidik dalam tindak pidana desersi terdiri dari Atasan yang Berhak
Menghukum (selanjutnya disingkat Ankum), Polisi Militer Angkatan Laut
(selanjutnya disingkat Pomal), dan Oditur Militer (selanjutnya disingkat Otmil).
Universitas Sumatera Utara
Hakikat pertahanan negara dan TNI sebagaimana Pasal 30 ayat (2) UUD
1945, menegaskan bahwa usaha pertahanan negara dilaksanakan melalui sistem
pertahanan dan keamanan rakyat semesta, yaitu bahwa TNI merupakan kekuatan
utama dan rakyat sebagai kekuatan pendukung. TNI sebagai kekuatan utama menurut
UU No.3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara adalah sebagai komponen utama
dalam sistem pertahanan negara dimana bahwa TNI merupakan alat negara yang
bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan
negara. Oleh sebab itu, dirasa penting untuk diteliti tentang “Penegakan Hukum
Pidana Terhadap Tindak Pidana Desersi yang Dilakukan Oleh Anggota Tentara
Nasional Indonesia Angkatan Laut (Studi Kasus Desersi di Pomal Lantamal I
Belawan)”.
B. Perumusan Masalah
Sebagaimana telah diuraikan dalam latar belakang di atas, maka perumusan
masalah yang diteliti adalah:
1. Apa faktor-faktor penyebab Anggota TNI AL Lantamal I Belawan melakukan
tindak pidana desersi?
2. Bagaimanakah penegakan hukum terhadap tindak pidana desersi yang
dilakukan oleh Anggota TNI AL di Lantamal I Belawan?
3. Apa hambatan-hambatan dalam pelaksanaan penegakan hukum terhadap
tindak pidana desersi yang dilakukan oleh Anggota TNI AL di Lantamal I
Belawan?
Universitas Sumatera Utara
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dalam melakukan penelitian ini sebagaimana permasalahan di
atas adalah:
1. Untuk mengkaji faktor-faktor penyebab Anggota TNI AL Lantamal I Belawan
melakukan tindak pidana desersi.
2. Untuk mengkaji pelaksanaan penegakan hukum terhadap tindak pidana
desersi yang dilakukan oleh Anggota TNI AL di Lantamal I Belawan.
3. Untuk mengakji hambatan-hambatan dalam penegakan hukum terhadap
tindak pidana desersi yang dilakukan oleh Anggota TNI AL di Lantamal I
Belawan.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini dapat memberikan sejumlah manfaat kepada para pihak, baik
secara teoritis maupun secara praktis, manfaat tersebut adalah:
1. Secara teoritis, penelitian ini dapat membuka wawasan dan paradigma berfikir
dalam memahami dan mendalami permasalahan hukum mengenai proses
penyidikan, aturan pemberian sanksi, dan proses penegakan hukum terhadap
tindak pidana yang dilakukan oleh anggota TNI AL Lantamal I Belawan.
Selain itu, penelitian ini dapat bermanfaat sebagai bahan referensi bagi
peneliti selanjutnya, dapat memperkaya khazanah ilmu pengetahuan, sebagai
kontribusi bagi penyempurnaan perangkat peraturan mengenai TNI dan
Peradilan Militer;
Universitas Sumatera Utara
2. Secara praktis, penelitian ini bermanfaat bagi aparat penegak hukum
khususnya aparat penegak hukum yakni Polisi Militer (Pom), Oditur (Jaksa
Militer), dan Hakim Militer serta bermanfaat pula bagi Hakim Pengawas dan
Pengamat (Wasmat) terhadap pola pembinaan narapidana TNI di Masmil.
E. Keaslian Penulisan
Guna menghindari terjadinya duplikasi penelitian terhadap masalah yang
sama dengan permasalahan di atas, maka sebelumnya, peneliti telah melakukan
penelusuran di perpustakaan Universitas Sumatera Utara, dan di Perpustakaan
Program Studi Magister Ilmu Hukum USU. Berdasarkan hasil penelusuran,
ditemukan judul penelitian/tesis yang berjudul “Kewenangan Peradilan Militer Pasca
Berlakunya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional
Indonesia”, oleh: Paul Sihombing, NIM: 067005037, permasalahan yang dibahas
adalah: Pertama, menyangkut landasan Filosofis Peradilan Militer berdasarkan
Undang-undang No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer? Kedua, menyangkut
ketentuan perundang-undangan yang mengakomodir penundukan militer pada
peradilan umum dalam hal melakukan tindak pidana umum? dan Ketiga, mengenai
kewenangan Peradilan Militer dalam menegakkan hukum dan keadilan dengan
memperhatikan kepentingan penyelenggaraan pertahanan keamanan negera.
Sementara permasalahan di dalam penelitian ini dibahas adalah: Pertama,
faktor-faktor yang menyebabkan Anggota TNI AL Lantamal I Belawan melakukan
tindak pidana desersi, Kedua, penegakan hukum terhadap tindak pidana desersi, dan
Universitas Sumatera Utara
Ketiga, hambatan-hambatan apa yang ditemukan dalam penegakan hukum tindak
pidana desersi di Lantamal I Belawan. Berdasarkan fokus pembahasan dalam
penelitian ini, judul dan permasalahan berbeda dengan penelitian sebelumnya. Oleh
sebab itu, judul dan permasalahan di dalam penelitian ini, dinyatakan masih asli dan
jauh dari unsur plagiat terhadap karya tulis orang lain.
F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional
1. Kerangka Teori
Salah satu upaya untuk menegakkan hukum bagi Angota TNI AL yang
melakukan tindak pidana desersi adalah dengan mengoptimalkan Sistem Peradilan
Pidana Militer (SPPM) dan Sistem Peradilan Pidana (SPP) sebagaimana dimaksud
dalam UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No.20 Tahun 1982
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik
Indonesia junto UU No.1 Tahun 1988 tentang Perubahan atas UU No.20 Tahun 1982
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik
Indonesia menentukan bahwa Angkatan Bersenjata mempunyai peradilan tersendiri
dan komandan-komandan mempunyai wewenang penyerahan perkara.
Penegakan hukum militer dalam SPP dan SPPM harus melibatkan peran
struktur hukum masing-masing institusi terkait dalam sistem hukum (legal system).
Perlu dikaji dalam hal ini teori yang mendasarinya adalah teori legal sistem (legal
system theory). Sistem hukum adalah suatu susunan atau tatanan yang teratur, suatu
keseluruhan yang terdiri atas bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain, tersusun
Universitas Sumatera Utara
menurut suatu rencana atau pola, hasil dari suatu pemikiran untuk mencapai suatu
tujuan.16 Sistem hukum menurut Sudikno Mertokusumo, adalah suatu kesatuan yang
terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama lain dan bekerja sama
untuk mencapai tujuan.17
Sistem hukum lebih jauh diartikan oleh Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra,
yang pada hakekatnya sistem hukum merupakan suatu kesatuan sistem besar yang
tersusun atas sub-sub sistem yang kecil, yaitu sub sistem pendidikan, pembentukan
hukum, penerapan hukum, dan lain-lain, yang hakekatnya merupakan sistem
tersendiri pula. Hal ini menunjukkan sistem hukum sebagai suatu kompleksitas sistem
yang membutuhkan kecermatan yang tajam untuk memahami keutuhan prosesnya.
18
Tiga komponen legal system menurut Lawrence M. Friedman, yaitu:19
1. Struktur hukum, yaitu keseluruhan institusi-institusi hukum yang ada beserta aparatnya, mencakup antara lain Kepolisian dengan para Polisinya, Kejaksaan dengan para Jaksanya, Pengadilan dengan para Hakimnya, dan lain-lain;
2. Substansi hukum, yaitu keseluruhan aturan hukum, norma hukum, dan asas hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk putusan pengadilan;
3. Kultur hukum, yaitu opini-opini, kepercayaan-kepercayaan (keyakinan-keyakinan, kebiasaan-kebiasaan, cara berfikir, dan cara bertindak, baik dari para penegak hukum maupun dari warga masyarakat, tentang hukum dan berbagai fenomena yang berkaitan dengan hukum.
Hukum akan mampu dan efektif di tengah masyarakat, apabila instrumen-
instrumen pelaksananya dilengkapi dengan kewenangan-kewenangan dalam bidang
16 R. Subekti, dalam H. Ridwan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999), hal. 169.
17 Ibid. 18 Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung: Mandar Maju,
2003), hal. 151. 19 Lawrence M. Friedman, dalam Wishnu Basuki, Hukum Amerika Sebuah Pengantar,
(Jakarta: Tatanusa, 2001), hal. 9.
Universitas Sumatera Utara
penegakan hukum. Hukum tersusun dari sub sistem hukum yakni, struktur hukum,
substansi hukum, dan budaya hukum. Unsur sistem hukum atau sub sistem sebagai
faktor penentu apakah suatu sistem hukum dapat berjalan dengan baik atau tidak.
Struktur hukum lebih menekankan kepada kinerja aparatur hukum serta sarana dan
prasarana hukum itu sendiri, substansi hukum menyangkut segala aspek-aspek
pengaturan hukum atau peraturan perundang-undangan, dan budaya hukum
menyangkut perilaku masyarakatnya.20 Ketiga elemen dalam sistem hukum di atas,
teorinya berbeda dalam mencapai tujuan hukum antara hukum timur dan hukum
barat.21
Teori legal sistem berguna dalam menganalisis peran aparat penegak hukum
di lingkungan militer. Sebagaimana dalam perspektif Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1997 tentang Peradilan Militer (selanjutnya disingkat UU No.31 Tahun 1997),
menegaskan bahwa Polisi Militer
22 (penyidik), Oditur23
20 Lawrence M. Friedman, dalam Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), (Jakarta: Kencana, 2009), hal. 204.
(penuntut), dan Hakim
21 Ibid., hal. 212-213. Teori tujuan hukum timur berbeda dengan tujuan hukum barat. Teori tujuan hukum timur umumnya tidak menempatkan ”kepastian” tetapi hanya menekankan pada tujuan yakni, ”Keadilan adalah keharmonisan, dan keharmonisan adalah kedamaian”. Hal ini berbeda dengan tujuan hukum barat yang menghendaki ”kepastian”. Tujuan hukum negara timur misalnya Jepang, tetap menggunakan kultur hukum aslinya. Tujuan hukum di negara Indonesia memiliki kesamaan dengan konsep tujuan hukum barat, sebab sistem hukum yang berlaku adalah civil law hal ini dikenal dengan adanya asas konkordansi dalam penciptaan hukum yang ”pasti”. Indonesia seolah-olah terpaksa menggunakan konsep tujuan hukum barat, walaupun saat ini hukum di Indonesia sudah mulai berkembang ke arah konsep menciptakan hukum yang harmonis dalam masyarakat, namun dengan adanya perundang-undangan yang masih tetap berlaku, menunjukkan fakta bahwa Indonesia tetap mengadopsi tujuan hukum barat yakni ”kepastian”.
22 Pasal 1 ayat 11 UU No.31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, menegaskan bahwa: “Penyidik Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Penyidik adalah Atasan yang Berhak Menghukum, pejabat Polisi Militer tertentu, dan Oditur, yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang ini untuk melakukan penyidikan”.
Universitas Sumatera Utara
Militer24 (melaksanakan kekuasaan kehakiman militer) adalah institusi yang berhak
melakukan penegakan hukum terhadap anggota TNI khususnya anggota TNI AL
Lantamal I Belawan yang melakukan tindak pidana. Peran ketiga institusi tersebut
bekerja dalam sebuah sistem yang tidak sapat terpisahkan antara satu sama lainnya
untuk mencapai tujuan tegaknya hukum militer.25
Struktur hukum, substansi hukum, dan kultur hukum merupakan elemen-
elemen penting dalam penegakan hukum khususnya penegakan hukum militer, jika
salah satu elemen dari tiga kompenen sistem hukum di atas, tidak bekerja dengan
baik, berimplikasi kepada terganggunya elemen yang lain dalam sistem hukum
tersebut, hingga pada gilirannya mengakibatkan hukum yang tidak efektif.
Komponen-komponen sistem hukum di atas dipertegas oleh Soerjono Soekanto
26
23 Pasal 1 ayat 7 UU No.31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, menegaskan bahwa: ”Oditur Militer dan Oditur Militer Tinggi yang selanjutnya disebut Oditur adalah pejabat yang diberi wewenang untuk bertindak sebagai penuntut umum, sebagai pelaksana putusan atau penetapan Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dalam perkara pidana, dan sebagai penyidik sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini”.
,
yang merupakan bagian faktor-faktor penegakan hukum yang tidak bisa diabaikan
karena jika diabaikan akan menyebabkan tidak tercapainya penegakan hukum yang
diharapkan.
24 Pasal 1 ayat (4) UU No.31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, menegaskan bahwa: ”Hakim Militer, Hakim Militer Tinggi, Hakim Militer Utama, yang selanjutnya disebut Hakim adalah pejabat yang masing-masing melaksanakan kekuasaan kehakiman pada pengadilan”.
25 Mataramnews.com, Tanggal 20 Januari 2011. Dalam amanat tertulis yang dibacakan Kepala Staf Umum Panglima TNI Marsekal Madya TNI Eddy Hardjoko, mengatakan, sebagai salah satu unsur penegak hukum, Polisi Militer harus menampilkan dan mampu membangun citra positif demi mendukung proses transformasi dan reformasi hukum yang progresif di negeri ini. Proses penegakan hukum yang dilakukan dapat menggerakkan masyarakat untuk bertingkah laku sesuai hukum berlaku, dan sebaliknya penegak hukum dapat memberikan perlindungan dan keadilan bagi masyarakat dan seluruh personel TNI khususnya. Terkait itu, diperlukan aparat penegak hukum yang memiliki sifat ksatria, bermental baik, bijaksana, dan jujur.
26 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta, Rajawali, 1983), hal. 5.
Universitas Sumatera Utara
Terkait dengan bekerjanya ketiga elemen dalam sistem hukum peradilan
militer, khususnya Polisi Militer sebagaimana Pasal 77 ayat (1) UU No.31 Tahun
1997 menegaskan bahwa:
Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh Penyidik atau anggota Polisi Militer atau anggota bawahan Atasan yang Berhak Menghukum yang bersangkutan dengan memperlihatkan surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas Tersangka, menyebutkan alasan penangkapan, uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan, dan tempat ia diperiksa.
Struktur hukum lebih menekankan kepada kinerja aparatur hukum serta sarana
dan prasarana hukum dalam Sistem Peradilan Pidana (SPP). Dalam SPP terdiri dari
Polisi Militer, Oditurat Militer, Peradilan, dan Masyarakat. Tugas Polisi Militer
ditegaskan dalam Pasal 77 ayat (1) UU No.31 Tahun 1999 tentang Peradilan Militer,
melakukan penangkapan dengan memperlihatkan surat perintah penangkapan yang
mencantumkan identitas tersangka, menyebutkan alasan penangkapan, uraian singkat
perkara kejahatan yang dipersangkakan, dan tempatnya diperiksa.
Polisi Militer atau Polisi Militer Angkatan Laut (Pomal) harus berkoordinasi
dengan intansi yang bertugas melakukan penuntutan di lingkungan TNI sebagaimana
penegasannya diatur dalam Pasal 5 ayat (2) UU No.31 Tahun 1997 yaitu Oditurat
(lembaga oditur) merupakan badan pelaksana kekuasaan pemerintahan negara di
bidang penuntutan dan penyidikan di lingkungan Angkatan Bersenjata berdasarkan
pelimpahan dari Panglima, dengan memperhatikan kepentingan penyelenggaraan
pertahanan keamanan negara.
Setelah diteliti oleh oditur militer, apabila berkas perkara menyangkut tindak
pidana yang dilakukan oleh anggota militer, telah memenuhi syarat, maka oditur
Universitas Sumatera Utara
militer menyerahkan kepada ketua pengadilan militer untuk dilakukan proses
persidangan. Sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 4 UU No.31 Tahun 1997
menegasakan bahwa Hakim Militer, Hakim Militer Tinggi, dan Hakim Militer Utama
(selanjutnya disebut Hakim) adalah pejabat yang masing-masing melaksanakan
kekuasaan kehakiman pada pengadilan.
Ketiga-tiga komponen/elemen di atas dalam legal system khusunya di
lingkungan militer, menunjukkan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum
(rechtsstaat), bukan negara kekuasaan belaka (machtsstaat). Berarti dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), hukum merupakan urat nadi dalam aspek
kehidupan. Hukum mempunyai posisi strategis dan dominan dalam kehidupan
masyarakat berbangsa dan bernegara. Hukum, sebagai suatu sistem,27
Tugas Polisi Militer dalam teori legal system, oleh UU No.31 Tahun 1997
tentang Peradilan Militer mengamanahkan tugas di bidang penyidikan sebagai
penyidik atas tindak pidana. Secara yuridis, M. Yahya Harahap, menyebutkan bahwa
penyidikan berarti serangkaian tindakan yang dilakukan pejabat penyidik sesuai
dengan cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan
bukti dan dengan bukti itu membuat atau menjadi terangnya tindak pidana yang
dapat berperan
dengan baik dan benar di tengah masyarakat jika instrumen pelaksanaannya
dilengkapi dengan kewenangan-kewenangan dalam bidang penegakan hukum. Salah
satu penegakan hukum itu adalah Kepolisian sebagai penyidik.
27 H. Ridwan Syahrani, Op. cit., hal. 169.
Universitas Sumatera Utara
terjadi serta sekaligus menentukan tersangka atau pelaku tindak pidana.28 Penyidikan
sama dengan apsporing (Belanda), namun menyidik (apsporing) berarti pemeriksaan
permulaan oleh pejabat-pejabat penyidik yang untuk itu ditunjuk oleh undang-undang
segera setelah mereka dengan jalan apapun mendengar kabar yang sekedar beralasan
bahwa ada terjadi suatu pelanggaran hukum.29
Hubungan koordinasi ketiga institusi tersebut merupakan rangkaian kegiatan
yang secara organisatoris dilakukan oleh lembaga-lembaga peradilan yang terkait
dalam sistem peradilan pidana. Sebagai suatu sistem maka suatu sistem yang utuh
terdiri dari sub sistem-sub sistem yaitu penyidik, penuntut, pengadilan (hakim) dan
lembaga pemasyarakatan khususnya pemasayarakatan militer (Masmil). Tugas dan
wewenang sub sistem tersebut saling terkait dan bertalian satu sama lain, dalam arti
adanya suatu koordinasi fungsional dan instansional serta adanya sinkronisasi dalam
pelaksanaan. Oleh sebab itu, maka hubungan koordinasi instansional dalam sub sitem
tersebut dapat berupa: rapat kerja gabungan antar instansi aparat penegak hukum; dan
penataran gabungan dan lain-lain.
30
Koordinasi pelaksanaan fungsi penegakan hukum antar instansi saling
mematuhi ketentuan wewenang dan tanggung jawab demi kelancaran proses
penegakan hukum. Achmad Ali, mangatakan, harus ada dua unsur dalam sistem
hukum yaitu: Pertama, Profesionalisme, yaitu merupakan unsur kemampuan dan
28 M. Yahya Harahap., Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hal. 109.
29 Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), hal. 121.
30 M. Yahya Harahap, Op. cit., hal. 116.
Universitas Sumatera Utara
keterampilan secara person dari sosok-sosok aparat penegak hukum; dan Kedua,
Kepemimpinan, juga merupakan unsur kemampuan dan keterampilan secara person
dari sosok-sosok penegak hukum, utamanya kalangan petinggi hukum.31
Keterikatan masing-masing instansi antara yang satu dengan yang lain
semata-mata dalam proses penegakan hukum. Kelambatan, kekeliruan, tidak
profesional, dan tidak memiliki kepemimpinan, pada satu instansi mengakibatkan
rusaknya jalinan pelaksanaan koordinasi dan sinkronisasi penegakan hukum dalam
sistem hukum. Konsekuensinya adalah instansi yang bersangkutan dalam menangani
perkara yang tidak berjalan, akan memikul tanggung jawab kelalaian dan kekeliruan
tersebut dalam sidang praperadilan. Penegakan hukum pada dasarnya melibatkan
seluruh warga negara Indonesia, akan tetapi dalam hal melakukan litigasi dalam
pelaksanaannya dilakukan oleh penegak hukum. Hukum dan penegakan hukum
merupakan sebagian faktor yang tidak bisa diabaikan karena jika diabaikan akan
menyebabkan tidak tercapainya penegakan hukum yang diharapkan.
32
Jauh sebelumnya Plato, menyebutkan, ada 3 (tiga) kekuatan sosial yang
sangat mempengaruhi stabilitas suatu negara. Tiga kekuatan sosial itu adalah: militer
(angkatan bersenjata); kaum intelektual; dan kaum interpreneur (pengusaha).
33
31 Achmad Ali, Op. cit., hal. 204.
Pembangunan di Indonesia dapat berjalan dengan baik sesuai dengan yang
diamanatkan Pancasila dan UUD 1945 beserta amandemennya, apabila ketiga-tiga
32 Soerjono Soekanto, Op. cit., hal. 2. 33 Sanoesi, Almanak Kepolisian Republik Indonesia, Berdasarkan Kadislitbang Polri No. Pol.
B/394/IX/Dislitbang, (Jakarta: PT. Dutarindo ADV, 1987), hal. 342.
Universitas Sumatera Utara
kekuatan sosial di atas dapat dijalankan sesuai tugas masing-masing institusi terkait.34
2. Landasan Konsepsional
Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa ketiga elemen (Polisi Militer,
Oditur, dan Hakim Militer) dalam penegakan hukum harus bekerja sama idealnya
sebuah sistem yang bekerja dalam sistem peradilan militer untuk memberikan sanksi
yang sesuai kepada anggota TNI khususnya TNI AL yang melakukan tindak pidana.
Landasan konsepsional digunakan dalam penelitian ini terdiri dari beberapa
istilah untuk menghindari kesimpangsiuran dalam memahami dan menafsirkan
definisi/pengertian. Landasan konsepsional dimaksud adalah sebagai berkut:
a. Penegakan hukum adalah upaya hukum yang dilakukan oleh aparat penegak
hukum untuk berperan dalam melaksanakan hukum dengan baik meliputi
peran masing-masing institusi dalam sistem peradilan pidana.
b. Tindak pidana (strafbaar feit) adalah perbuatan yang dilarang oleh hukum
pidana. Tindak pidana dirujuk kepada asas legalitas dalam Pasal 1 KUH
Pidana bahwa yang dimaksud tindak pidana itu menyangkut segala sesuatu
yang telah dilarang atau sudah diatur dalam undang-undang. Strafbaar feit
diterjemahkan dengan memakai istilah delik, peristiwa pidana, perbuatan
pidana, tindak pidana, pelanggaran pidana.35
34 Ibid.
35 E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Op. cit., hal. 205. Menurut Simons strafbaar feit adalah suatu handeling (tindakan/perbuatan) yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, bertentangan dengan hukum (onrechtmatig) dilakukan dengan kesalahan (schuld) oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab. Dibaginya dalam 2 (dua) golongan unsur yaitu: unsur subyektif yang berupa kesalahan (schuld) dan kemampuan bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar) dari pelaku dan unsur obyektif yang berupa tindakan yang dilarang/diharuskan, akibat keadaan/masalah tertentu.
Universitas Sumatera Utara
c. Desersi adalah suatu tindak pidana dengan tidak beradanya seorang atau lebih
anggota militer tanpa izin atasannya langsung, pada suatu tempat dan waktu
yang sudah ditentukan oleh dinas, lari dari kesatuan dan meninggalkan dinas
kemiliteran, atau keluar dengan dengan cara pergi, melarikan diri tanpa ijin.36
d. Anggota TNI AL adalah anggota Tentara Nasional Indonesia
37 yang bertugas:
melaksanakan tugas TNI matra laut di bidang pertahanan; menegakkan hukum
dan menjaga keamanan di wilayah laut yurisdiksi nasional sesuai dengan
ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratifikasi;
melaksanakan tugas diplomasi Angkatan laut dalam rangka mendukung
kebijakan politik luar negeri yang ditetapkan oleh pemerintah; melaksanakan
tugas TNI dalam pembangunan dan pengembangan kekuatan matra laut; dan
melaksanakan pemberdayaan wilayah pertahanan laut.38
e. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik TNI dan/atau penyidik
pidana umum dalam hal dan menurut cara yang dalam undang-undang (baik
KUHAPMIL maupun KUHAP) untuk mencari serta mengumpulkan bukti
yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna
menemukan tersangka.
39
f. Sanksi yang dimaksud mencakup menetapkan jenis sanksi, tidak hanya
meliputi sanksi pidana tetapi sanksi tindakan. Penekanan kesetaraan sanksi
36 SR. Sianturi, Op. cit., hal. 257. 37 Pasal 1 angka 7 UU No.34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. 38 Pasal 9 UU No.34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. 39 Pasal 1 angka 2 KUHAP dan Petunjuk Pelaksana Kepala Staf Angkatan Laut Nomor Jukal
17/IV2006/Tanggal 7 April 2006, hal. 4.
Universitas Sumatera Utara
pidana dan sanksi tindakan dalam kerangka double track system,
sesungguhnya terkait bahwa unsur pencelaan lewat sanksi pidana dan unsur
pembinaan melalui sanksi tindakan memiliki kedudukan yang sama
pentingnya.40
G. Metode Penelitian
Metode adalah cara kerja dalam memahami obyek yang menjadi sasaran
penelitian dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan.41 Penelitian merupakan suatu
kerja ilmiah yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis,
metodologis dan konsisten.42 Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah
yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan
untuk mempelajari sesuatu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara
menganalisisnya.43
Metode penelitian hukum adalah upaya ilmiah untuk memahami
dan memecahkan suatu masalah hukum berdasarkan metode tertentu.
40 Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Korporasi, (Jakarta: Sofmedia, 2010), hal. 91 dan hal 92. Lihat juga: M. Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana (Ide Dasar Double Track System & Implementasinya), (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 17. Sanksi tindakan lebih menekankan kepada nilai-nilai kemanusiaan dalam reformasi dan pendidikan kembali pelaku kejahatan sedangkan sanksi pidana lebih menekankan stelsel sanksi dalam hukum pidana yang menyangkut pembuat undang-undang.
41 Soerjono Soekanto, Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris, (Jakarta: Indonesia Hillco, 1990), hal. 106.
42 Soerjono Soekanto dan Sri Mumadji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2001), hal. 1.
43 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hal. 6.
Universitas Sumatera Utara
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif
yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma dan asas-asas hukum yang
terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan.44
2. Sumber Data
Sedangkan
sifat penelitiannya adalah kualitatif. Alasan penggunaan penelitian hukum normatif
yang bersifat kualitatif ini adalah didasarkan pada paradigma hubungan yang dinamis
antara teori, konsep-konsep, dan data yang merupakan umpan balik atau modifikasi
yang tetap dari teori dan konsep yang didasarkan pada data yang dikumpulkan.
Wawancara dilakukan sebagai data data pendukung untuk memperkuat argumentasi-
argumentasi dan pemikiran-pemikiran dalam penelitian ini.
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang
dibagi dalam 3 (tiga) bahan hukum, yaitu:45
1. Bahan hukum primer, yaitu KUH Pidana, KUHPM, KUHAP, KUHAPMIL,
UU No.34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, UU No.31 Tahun
1997 tentang Peradilan Militer, Surat Keputusan Panglima TNI Nomor
Kep/01/P/I/1984, tanggal 20 Januari 1984 tentang Organisasi Babinkum TNI.
2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai
44 Bismar Nasution, ”Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum”, Makalah, disampaikan pada dialog interaktif tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, Tanggal 18 Februari 2003, hal. 1. Penelitian doktrinal (doctrinal research), yaitu suatu penelitian yang menganalisis baik hukum sebagai law as it written in the book, maupun hukum sebagai law as it is decided by the judge through judicial process. Penelitian hukum normatif ini bersifat kualitatif.
45 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), hal. 24.
Universitas Sumatera Utara
bahan hukum primer, seperti: buku-buku, makalah hasil-hasil seminar atau
pertemuan ilmiah, majalah, jurnal ilmiah, artikel, artikel bebas dari internet,
surat kabar sepanjang memuat informasi yang relevan dengan penelitian ini.
3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk
dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,
seperti kamus hukum dan ensiklopedia).
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara studi dokumen-dokumen
yang relevan dengan penelitian ini di perpustakaan (library research) dengan
melakukan identifikasi data yang ada. Selanjutnya sebagai bahan pendukung
dilakukan wawancara kepada pihak-pihak dan instansi terkait melalui studi lapangan
(field research). Data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan dan lapangan
tersebut selanjutnya akan dipilah-pilah guna memperoleh peraturan dalam perundang-
undangan terkait dengan tindak pidana desersi yang dilakukan oleh Anggota TNI AL.
Data tersebut kemudian disistematisasikan sehingga menghasilkan klasifikasi yang
selaras dengan permasalahan dalam penelitian ini.46
4. Analisis Data
Analisis data dilakukan secara kualitatif yakni pemilihan teori-teori, asas-asas,
norma-norma, dan kaidah-kaidah yang terdapat di dalam peraturan perundang-
undangan yang relevan dengan permasalahan. Data yang dianalisis secara kualitatif
46 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum (Suatu Pengantar), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 195-196.
Universitas Sumatera Utara
tersebut kemudian disistematisasikan sehingga akan menghasilkan klasifikasi tertentu
sesuai dengan permasalahan yang dianalisis. Data yang dianalisis tersebut akan
dikemukakan dalam bentuk uraian secara sistematis pula dengan menjelaskan
hubungan antara berbagai jenis data, selanjutnya dinyatakan secara deduktif untuk
sampai pada kesimpulan, sehingga selain menggambarkan dan mengungkapkan
dasar hukumnya, juga dapat memberikan solusi terhadap permasalahan yang
dimaksud.
Universitas Sumatera Utara