peradilan militer

29
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat), bukan negara kekuasaan belaka (machtsstaat). 1 Kekuasaan negara harus dijalankan atas dasar hukum yang baik dan adil. Hukum menjadi landasan segenap tindakan negara dan hukum itu sendiri harus benar dan adil. 2 Secara kelembagaan, sejak tanggal 1 April 1999, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dan Polri telah dipisahkan sesuai dengan Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Hal tersebut mengandung arti bahwa negara Indonesia adalah negara hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya ditulis UUD 1945), menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia dan menjamin setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya. Penegakan keadilan berdasarkan hukum harus dilaksanakan oleh setiap warga negara, setiap penyelenggara negara, setiap lembaga kenegaraan, dan setiap lembaga kemasyarakatan. Polri serta Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri. Awaloedin Djamin, mengatakan, tanpa semangat perubahan yang demikian, kepercayaan publik atas perubahan fungsi dan peran kedua institusi dimaksud akan terus merosot. Sehingga dengan pemisahan 1 Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. 2 Frans Magnis Suseno, Etika Politik Prinsip-Prinsip Dasar Kenegaraan Modern, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama), hal. 295. Universitas Sumatera Utara

Upload: rokhani-bambang-setiono

Post on 28-Nov-2015

145 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

Peraturan ini buat Para anggota TNI atau yang dipersamakan

TRANSCRIPT

Page 1: PERADILAN MILITER

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat), bukan negara kekuasaan

belaka (machtsstaat).1 Kekuasaan negara harus dijalankan atas dasar hukum yang

baik dan adil. Hukum menjadi landasan segenap tindakan negara dan hukum itu

sendiri harus benar dan adil.2

Secara kelembagaan, sejak tanggal 1 April 1999, Angkatan Bersenjata

Republik Indonesia (ABRI) dan Polri telah dipisahkan sesuai dengan Ketetapan MPR

Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan

Hal tersebut mengandung arti bahwa negara Indonesia

adalah negara hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

Dasar 1945 (selanjutnya ditulis UUD 1945), menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia

dan menjamin setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan

pemerintahan dengan tidak ada kecualinya. Penegakan keadilan berdasarkan hukum

harus dilaksanakan oleh setiap warga negara, setiap penyelenggara negara, setiap

lembaga kenegaraan, dan setiap lembaga kemasyarakatan.

Polri serta Ketetapan MPR Nomor

VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri. Awaloedin Djamin, mengatakan,

tanpa semangat perubahan yang demikian, kepercayaan publik atas perubahan fungsi

dan peran kedua institusi dimaksud akan terus merosot. Sehingga dengan pemisahan

1 Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. 2 Frans Magnis Suseno, Etika Politik Prinsip-Prinsip Dasar Kenegaraan Modern, (Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama), hal. 295.

Universitas Sumatera Utara

Page 2: PERADILAN MILITER

itu semakin dapat memperjelas peran dan fungsi TNI dan Polri dalam melaksanakan

tugas-tugas kenegaraan.3

Kondisi yang demikian, berimplikasi pada pandangan selama ini yang

mengatakan “TNI sebagai institusi atau pihak yang tidak bisa disentuh”, tidak ada

lagi pihak yang bisa diistimewakan, semua menjadi sama akan kedudukan, hak dan

juga tanggung jawabnya. Salah satu cara TNI memperbaiki citranya adalah dengan

mendekatkan diri terhadap masyarakat secara lebih terbuka dan membiarkan TNI

untuk bisa dikontrol oleh masyarakat. Hal yang tidak kalah penting dilakukan TNI

adalah membangun komunikasi dengan masyarakat sebagai konsekuensi dari sistem

demokrasi dimana proses check and balance merupakan suatu yang tidak bisa

dihindari.

4

Pemisahan itu juga berimplikasi kepada diundangkannya Undang-Undang

Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (selanjutnya disingkat UU

TNI) pada tanggal 16 Oktober 2004 yang didalamnya ditegaskan berlakunya

Peradilan Umum bagi anggota TNI yang melakukan pelanggaran tindak pidana yang

tercantum dalam KUH Pidana seperti yang diamanatkan dalam Tap MPR No:

VII/MPR/2000 tentang peran TNI dan peran Polri.

Reformasi nasional Indonesia yang didorong oleh semangat bangsa Indonesia

untuk menata kehidupan dan masa depan bangsa yang lebih baik telah menghasilkan

3 Awaloedin Djamin, Sejarah Perkembangan Kepolisian di Indonesia, dari Zaman Kuno Sampai Sekarang, (Jakarta: PTIK Press, 2006), hal. 493. Sebelum tahun 1999 ABRI terdiri dari TNI dan Polri, tetapi setelah tahun 1999 TNI dan Polri telah dipisahkan dari ABRI. Sebutan untuk Polri tetap digunakan akan tetapi untuk ABRI diganti dengan TNI.

4 http://www.pandusakti97.com/content/penyidik-bagi-anggota-tni-dalam-peradilan-umum, diakses tanggal 24 Mei 2011.

Universitas Sumatera Utara

Page 3: PERADILAN MILITER

perubahan mendasar dalam sistem ketatanegaraan dan kenegaraan. Perubahan

tersebut telah ditindaklanjuti antara lain melalui penataan kelembagaan sesuai dengan

perkembangan lingkungan dan tuntutan tugas ke depan. Perubahan pada sistem

kenegaraan berimplikasi terhadap TNI, yaitu pemisahan TNI dan Polri, yang

menyebabkan perlunya penataan kembali peran dan fungsi masing-masing institusi

sekaligus menjadi referensi yuridis dalam mengembangkan suatu undang-undang

yang mengatur tentang TNI.5

Tentara Nasional Indonesia (selanjutnya disingkat TNI) dibangun dan

dikembangkan dengan membentuk tentara yang profesional sesuai dengan

kepentingan politik negara Indonesia.

6

5 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia.

TNI merupakan bagian dari masyarakat yang

dipersiapkan secara khusus untuk melaksanakan tugas pembelaan negara terhadap

ancaman dari negara lain. Ditegaskan dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 34

Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, yaitu TNI berperan sebagai alat

negara di bidang pertahanan yang menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan

6 Penjelasan Pasal 2 huruf d Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UUTNI). Tentara profesional adalah tentara yang mahir menggunakan peralatan militer, mahir bergerak, dan mahir menggunakan alat tempur, serta mampu melaksanakan tugas secara terukur dan memenuhi nilai-nilai akuntabilitas. Untuk itu, tentara perlu dilatih dalam menggunakan senjata dan peralatan militer lainnya dengan baik, dilatih manuver taktik secara baik, dididik dalam ilmu pengetahuan dan teknologi secara baik, dipersenjatai dan dilengkapi dengan baik, serta kesejahteraan prajuritnya dijamin oleh negara sehingga diharapkan mahir bertempur. Tentara tidak berpolitik praktis dalam arti bahwa tentara hanya mengikuti politik negara, dengan mengutamakan prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan ketentuan hukum internasional yang telah diratifikasi.

Universitas Sumatera Utara

Page 4: PERADILAN MILITER

keputusan politik negara. Selain itu, TNI merupakan kekuatan utama dan rakyat

sebagai kekuatan pendukung.

TNI dididik dan dilatih untuk melaksanakan tugas dan kewajiban yang berat

dalam mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). TNI wajib

mematuhi perintah atau komando dari atasan tanpa membantah dan wajib

melaksanakan perintah tersebut. TNI sebagai alat pertahanan negara, berfungsi

sebagai penangkal terhadap setiap bentuk ancaman militer dan ancaman bersenjata

dari luar dan dalam negeri terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah, dan keselamatan

bangsa dan pemulih terhadap kondisi keamanan negara yang terganggu akibat

kekacauan keamanan. Tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara,

mempertahankan keutuhan wilayah NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD

1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari

ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.

Peran, fungsi, dan tugas TNI dinyatakan secara tegas dan sebagai dasar

pelaksanaannya dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara

Nasional Indonesia. TNI sebagai manusia biasa sama dengan masyarakat umumnya,

tidak luput dari bentuk pelanggaran dan kejahatan atau tindak pidana. Perbuatan atau

tindakan dengan dalih atau bentuk apapun yang dilakukan oleh anggota TNI baik

secara perorangan maupun kelompok yang melanggar ketentuan-ketentuan hukum,

norma-norma yang berlaku dalam kehidupan, bertentangan dengan undang-undang,

peraturan kedinasan, disiplin, tata tertib di lingkungan TNI pada hakikatnya

merupakan perbuatan atau tindakan yang merusak wibawa, martabat dan nama baik

Universitas Sumatera Utara

Page 5: PERADILAN MILITER

TNI yang apabila perbuatan tersebut dibiarkan, dapat menimbulkan ketidaktentraman

dalam masyarakat dan menghambat pelaksanaan pembangunan.

Setiap anggota TNI wajib tunduk dan taat terhadap ketentuan-ketentuan

hukum yang berlaku bagi militer yaitu UU) No.39 Tahun 1947 tentang Hukum

Pidana Tentara menyesuaikan Hukum Pidana Tentara (Staatsblad 1934, No. 167)

dengan keadaan sekarang (selanjutnya disingkat KUHPM), UU No.26 Tahun 1997

tentang Disiplin Militer Prajurit TNI, UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI, UU No.31

Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, dan peraturan-peraturan lainnya. Peraturan

hukum Militer diterapkan kepada anggota TNI yang melakukan suatu tindak pidana

yang merugikan kesatuan, masyarakat umum, dan negara yang tidak terlepas dari

peraturan lainnya yang berlaku juga bagi anggota TNI termasuk UU No.1 Tahun

1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUH Pidana). Tindak pidana

dalam hal ini adalah tindak pidana desersi yang dilakukan oleh Anggota TNI AL di

Lantamal I Belawan.

Desersi merupakan salah satu tindak pidana militer murni. Dikatakan sebagai

tindak pidana murni militer karena tindak pidana tersebut hanya dilakukan oleh

seorang militer, karena sifatnya khusus untuk militer. Tindak pidana desersi

sebagaimana diatur Pasal 87 Kitab KUHPM dan tindak pidana insubordinasi

sebagaimana diatur dalam Pasal 105-109 KUHPM dan lain-lain. Tindak pidana

insubordinasi ini adalah seorang bawahan dengan tindakan nyata mengancam dengan

kekerasan yang ditujukan kepada atasannya atau komandannya. Tindakan nyata itu

Universitas Sumatera Utara

Page 6: PERADILAN MILITER

dapat berbentuk perbuatan dan dapat juga dengan suatu mimik atau isyarat. Tindak

pidana meninggalkan pos penjagaan sebagaimana diatur dalam Pasal 118 KUHPM.7

Tindak pidana desersi merupakan suatu tindak pidana yang secara khusus

dilakukan oleh seorang militer karena bersifat melawan hukum dan bertentangan

dengan undang-undang khususnya hukum pidana militer. Tindak pidana desersi

diatur dalam Pasal 87 KUHPM, yaitu:

1) Diancam karena desersi, militer: Ke-1, yang pergi dengan maksud menarik diri untuk selamanya dari

kewajiban-kewajiban dinasnya, menghindari bahaya perang, menyebrang ke musuh atau memasuki dinas militer pada suatu negara atau kekuasaan lain tanpa dibenarkan untuk itu.

Ke-2, yang karena salahnya atau dengan sengaja melakukan ketidakhadiran tanpa izin dalam waktu damai lebih lama dari 30 (tiga puluh) hari, dalam waktu perang lebih lama dari empat hari.

Ke-3 yang dengan sengaja melakukan ketidakhadiran tanpa izin dan karenanya tidak ikut melaksanakan sebagian atau seluruhnya dari suatu perjalanan yang diperintahkan, seperti yang diuraikan dalam Pasal 85 ke-2.

2) Desersi yang dilakukan dalam waktu damai, diancam dengan pidana penjara maksimum dua tahun delapan bulan.

3) Desersi yang dilakukan dalam waktu perang, diancam dengan pidana pencara maksimum delapan tahun enam bulan.

Rumusan pasal tersebut larangan bagi seorang prajurit untuk menarik diri dari

pelaksanaan kewajiban dinas. Hakikat dari tindak pidana desersi harus dimaknai

bahwa pada diri anggota TNI yang melakukan desersi harus tercermin sikap bahwa

anggota TNI tersebut tidak berkeinginan lagi menjadi anggota militer. Seorang

anggota militer yang karena salahnya atau dengan sengaja melakukan ketidakhadiran

tanpa ijin dan tanpa ada suatu alasan untuk menghindari bahaya perang dan

7 S.R. Siantury, Hukum Pidana Militer Indonesia, (Jakarta: Alumini AHM PTHM, 1985), hal. 337.

Universitas Sumatera Utara

Page 7: PERADILAN MILITER

menyeberang ke wilayah musuh atau dalam keadaan damai tidak hadir pada

tempatnya yang telah ditentukan untuk melakukan tugas yang dibebankan kepadanya.

Desersi dilakukan terhadap perbuatan yang bersangkutan pergi meninggalkan

kesatuan dalam batas tenggang waktu minimal 30 hari secara berturut-turut atau

perbuatan menarik diri untuk selama-lamanya. Sementara dalam kehidupan sehari-

hari, seorang anggota militer dituntut kesiapsiagaannya ditempat dimana seharusnya

berada menjalankan tugasnya.

Ketidakhadiran anggota militer pada suatu tempat untuk menjalankan tugas

dinas ditentukan sebagai suatu kejahatan, karena penghayatan disiplin merupakan hal

yang sangat urgen dari kehidupan militer karena disiplin merupakan tulang punggung

dalam kehidupan militer. Lain halnya dengan kehidupan organisasi bukan militer,

bahwa perbuatan tersebut bukan merupakan suatu kejahatan, melainkan sebagai

pelanggaran disiplin organisasi.8

TNI AL pada hakikatnya sebagai lembaga yang bertugas untuk menegakkan

kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah NKRI berdasarkan Pancasila

dan UUD 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah

Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Oleh

karena itu, sebagai negara hukum, maka hukum harus ditegakkan terhadap anggota

TNI yang melakukan tindak pidana desersi dalam lingkup militer.

8 Agita Kartika Ayuningtyas, Pertanggungjawaban Pidana Anggota Militer Yang Melakukan Tindak Pidana Desersi Studi Kasus Putusan Pengadilan Militer III-12 Surabaya NOMOR: PUT/29-K/PM.III-12/AD/II/2009, Tesis, (Surabaya: Yayasan Kesejahteraan Pendidikan dan Perumahan Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum Surabaya, 2010), hal. 20.

Universitas Sumatera Utara

Page 8: PERADILAN MILITER

Tindak pidana atau perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh

undang-undang. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUH Pidana) tidak

memberikan penjelasan secara rinci mengenai perkataan tindak pidana (strafbaar

feit).9 Dirujuk kepada Pasal 1 KUH Pidana bahwa yang dimaksud tindak pidana itu

menyangkut segala sesuatu yang telah dilarang atau sudah diatur dalam undang-

undang. Istilah strafbaar feit diterjemahkan dengan memakai istilah delik, peristiwa

pidana, perbuatan pidana, tindak pidana, pelanggaran pidana.10

Norma-norma yang dilanggar anggota TNI tersebut jelas diatur dalam

berbagai ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku bagi militer yaitu: Wetboek van

Militair Strafrecht (Staatsblad 1934 Nomor 167 jo UU No.39 Tahun 1947) yang

disebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (selanjutnya ditulis

KUHPM), Wetboek van Krijgstucht (Staatsblad 1934 Nomor 168 jo UU No.40 Tahun

1947) yang disebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Disiplin Militer

(selanjutnya ditulis KUHDM), UU No.34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional

Indonesa (UU TNI), Peraturan Disiplin Militer dan peraturan-peraturan lainnya.

Pelanggaran terhadap berbagai peraturan terkait yang pelakunya anggota TNI dapat

9 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal), (Bogor: Politeia, 1988), hal. 28-29.

10 E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya”, (Jakarta: Storia Grafika, 2002), hal. 205. Menurut Simons strafbaar feit adalah suatu handeling (tindakan/perbuatan) yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, bertentangan dengan hukum (onrechtmatig) dilakukan dengan kesalahan (schuld) oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab. Dibaginya dalam 2 (dua) golongan unsur yaitu: unsur subyektif yang berupa kesalahan (schuld) dan kemampuan bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar) dari pelaku dan unsur obyektif yang berupa tindakan yang dilarang/diharuskan, akibat keadaan/masalah tertentu.

Universitas Sumatera Utara

Page 9: PERADILAN MILITER

diselesaikan melalui sistem peradilan pidana militer sebagaimana diatur dalam

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tenang Peradilan Militer.11

Penegakan hukum terhadap anggota TNI yang melakukan tindak pidana

desersi merupakan implikasi dari eksistensi negara hukum yang berdasarkan

Pancasila dan UUD 1945 bertujuan untuk mewujudkan tata kehidupan bangsa yang

sejahtera, aman, tenteram, dan tertib. Maka, diperlukan upaya untuk menegakkan

keadilan, kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum yang mampu memberikan

pengayoman kepada masyarakat, dapat mendorong kreativitas, dan peran aktif

masyarakat dalam pembangunan. Sebab, hal perbuatan desersi dapat merusak citra

atau nama baik TNI pada umumnya dan khususnya TNI AL, dan perbuatan tersangka

bertentangan dengan Sapta Marga, Sumpah Prajurit, dan Delapan Wajib TNI, serta

Tri Sila TNI AL.

Tindak pidana yang dilakukan oleh anggota TNI dapat berupa tindak pidana

murni militer yang didasarkan kepada peraturan terkait militer dan tindak pidana

campuran yakni mengenai perkara koneksitas artinya suatu tindak pidana yang

dilakukan secara bersama-sama antara pihak sipil dan pihak militer yang dalam hal

ini dasarnya kepada undang-undang militer dan KUHAP. Perkara koneksitas

sebagaimana diatur dalam Pasal 198 s/d Pasal 203 UU No.31 Tahun 1997 tentang

Peradilan Militer dan Pasal 89 s/d Pasal 94 KUHAP. Pasal 198 ayat (1) UU No.31

Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang menegaskan bahwa:

11 Toetik Rahayuningsih, Peradilan Militer Di Indonesia Dan Penegakan Hukum Terhadap Pelakunya, (Surabaya: LPPM Universitas Airlangga, 2002), hal. 3-5.

Universitas Sumatera Utara

Page 10: PERADILAN MILITER

Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk yustisiabel peradilan militer dan yustisiabel peradilan umum, diperiksa dan diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum kecuali apabila menurut keputusan Menteri dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer. Ketentuan bunyi Pasal 198 ayat (1) UU No.31 Tahun 1997 tentang Peradilan

Militer di atas, substansinya sama dengan ketentuan yang ditegaskan dalam Pasal 89

ayat (1) KUHAP kecuali apabila menurut keputusan Menteri dengan persetujuan

Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh Pengadilan dalam

lingkungan peradilan militer. Berbeda dengan tindak pidana desersi yang hanya

melibatkan anggota militer secara pribadi tanpa ada kaitannya dengan sipil. Tidaklah

mungkin seorang sipil melakukan desersi karena tidak ada hubungannya dengan

jabatan dalam militer.12

Anggota TNI yang melakukan tindak pidana murni militer sebagaimana

disebutkan dalam hukum pidana militer termasuk pula kejahatan-kejahatan yang

dilakukan terhadap keamanan negara; kejahatan dalam pelaksanaan kewajiban

perang, kejahatan menarik diri dari kesatuan dalam pelaksanaan kewajiban dinas

(desersi); kejahatan-kejahatan pengabdian, kejahatan pencurian, penipuan, dan

penadahan, kejahatan merusak, membinasakan atau menghilangkan barang-barang

keperluan angkatan perang.

13

12 Munir, Rachland Nashidik, Fajrul Falaakh, Bambang Widjojanto, Riefqi Muna, Rudy Satriyo, Kusnanto Anggoro, Rizal Sukma, dan Edy Prasetyono, Nasakah Akademik Perubahan HUHAP Mengenai Koneksitas, (Jakarta: Indonesian Working Group on Security Sector Reform, 2002), hal. 3.

13 SR. Sianturi, Hukum Pidana Militer di Indonesia, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Tentara Nasional Indonesia, 2010), hal. 3-4.

Universitas Sumatera Utara

Page 11: PERADILAN MILITER

Hukum harus ditegakkan terhadap anggota TNI yang melakukan tindak

pidana desersi. Sebagaimana jumlah kasus tindak pidana Desersi pada tahun 2010

sebanyak 15 kasus yang umumnya melanggar Pasal 87 ayat (1) ke-2 KUHPM, yang

karena salahnya atau dengan sengaja melakukan ketidakhadiran tanpa izin dalam

waktu damai lebih lama dari 30 (tiga puluh) hari sebagaimana Pasal 87 ayat (2)

karena desersi yang dilakukan dalam waktu damai. Jumlah kasus yang sudah diputus

oleh Pengadilan Militer Medan sebanyak 9 (sembilan) kasus dan 4 (empat) kasus

masih dalam proses Otmil I-02 Medan.14

Tabel : 1

Nominatif Perkara Tindak Pidana Desersi di Pomal Lantamal I Belawan Periode Triwulan III Tahun 2010

No

Nama/Pangkat/ Korps/NRP/

Jabatan/Kesatuan/ Alamat

Tempat dan Tanggal Kejadian

Pasal yang Dilanggar Keterangan

1 Agus Hermari Samosir

P. Brandan 07/03/2008

Pasal 87 ayat (1) ke 2 jo ayat (2) KUHPM

Penjara 2 (dua) tahun

2 Rajawali Purba Belawan 03/03/2008

Pasal 87 ayat (1) ke 2 jo ayat (2) KUHPM

Penjara 2 (dua) tahun dan dipecat dari Dinas Militer

3 Singgih Wibowo Belawan 01/12//2008

Pasal 87 ayat (1) ke 2 jo ayat (2) KUHPM

Penjara 2 (dua) tahun dan dipecat dari Dinas Militer

4 Ono Sutrisno Sabang 01/09/2008

Pasal 87 ayat (1) ke 2 jo ayat (2) KUHPM

Penjara 2 (dua) bulan 15 (lima belas hari)

5 Fadli Dafid Belawan 11/05/2009

Pasal 87 ayat (1) ke 2 jo ayat (2) KUHPM

Penjara 2 (dua) tahun dan dipecat dari Dinas Militer

6 Juanda Dumai Pasal 87 ayat Penjara 1 (satu)

14 Lampiran Daftar Nominatif Perkara Kejahatan/Pelanggaran Pidana di Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut I tertanggal 30 September 2010.

Universitas Sumatera Utara

Page 12: PERADILAN MILITER

24/11/2008 (1) ke 2 jo ayat (2) KUHPM

tahun dan dipecat dari Dinas Militer

7 Syamsul Bahri P. Brandan 27/10/2008

Pasal 87 ayat (1) ke 2 jo ayat (2) KUHPM

Penjara 5 (lima) bulan

8 Anangsyah Belawan 22/07/2009

Pasal 87 ayat (1) ke 2 jo ayat (2) KUHPM

Penjara 1 (satu) tahun

9 Mochammad Samlawi Lhokeumawe

Pasal 87 ayat (1) ke 2 jo ayat (2) KUHPM

Penjara 1 (satu) bulan 20 (dua puluh) hari

10 Teguh Margono Belawan 21/04/2009

Pasal 87 ayat (1) ke 2 jo ayat (2) KUHPM

Dalam Proses Otmil I-02 Medan

11 Olga Mardiat P. Brandan 09/11/2009

Pasal 87 ayat (1) ke 2 jo ayat (2) KUHPM

Dalam Proses Otmil I-02 Medan

12 Erwin Sahputra Belawan 22/03/2010

Pasal 87 ayat (1) ke 2 jo ayat (2) KUHPM

Dalam Proses Otmil I-02 Medan

13 Tri Buana Sakti Sinaga Belawan

Pasal 87 ayat (1) ke 2 jo ayat (2) KUHPM

Dalam Proses Otmil I-02 Medan

Penyidikan terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anggota TNI,

dilakukan oleh Polisi Militer (Pom), khususnya kepada anggota TNI AL Lantamal I

Belawan yang melakukan tindak pidana desersi yang menyangkut tindak pidana

militer murni.15

15 Tindak pidana militer bersifat murni yaitu tindakan yang dilarang atau diharuskan yang pada prinsipnya hanya mungkin dilanggar oleh anggota militer. Tindak pidana militer bersifat campuran yaitu tindakan yang dilarang atau diharuskan yang sudah ditentukan atau diatur dalam peraturan perundang-undangan lain (misalnya dalam KUH Pidana) kemudian diatur lagi dalam kitab undang-undang pidana militer terkait dengan adanya tindak pidana pidana.

Penyidik dalam tindak pidana desersi terdiri dari Atasan yang Berhak

Menghukum (selanjutnya disingkat Ankum), Polisi Militer Angkatan Laut

(selanjutnya disingkat Pomal), dan Oditur Militer (selanjutnya disingkat Otmil).

Universitas Sumatera Utara

Page 13: PERADILAN MILITER

Hakikat pertahanan negara dan TNI sebagaimana Pasal 30 ayat (2) UUD

1945, menegaskan bahwa usaha pertahanan negara dilaksanakan melalui sistem

pertahanan dan keamanan rakyat semesta, yaitu bahwa TNI merupakan kekuatan

utama dan rakyat sebagai kekuatan pendukung. TNI sebagai kekuatan utama menurut

UU No.3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara adalah sebagai komponen utama

dalam sistem pertahanan negara dimana bahwa TNI merupakan alat negara yang

bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan

negara. Oleh sebab itu, dirasa penting untuk diteliti tentang “Penegakan Hukum

Pidana Terhadap Tindak Pidana Desersi yang Dilakukan Oleh Anggota Tentara

Nasional Indonesia Angkatan Laut (Studi Kasus Desersi di Pomal Lantamal I

Belawan)”.

B. Perumusan Masalah

Sebagaimana telah diuraikan dalam latar belakang di atas, maka perumusan

masalah yang diteliti adalah:

1. Apa faktor-faktor penyebab Anggota TNI AL Lantamal I Belawan melakukan

tindak pidana desersi?

2. Bagaimanakah penegakan hukum terhadap tindak pidana desersi yang

dilakukan oleh Anggota TNI AL di Lantamal I Belawan?

3. Apa hambatan-hambatan dalam pelaksanaan penegakan hukum terhadap

tindak pidana desersi yang dilakukan oleh Anggota TNI AL di Lantamal I

Belawan?

Universitas Sumatera Utara

Page 14: PERADILAN MILITER

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dalam melakukan penelitian ini sebagaimana permasalahan di

atas adalah:

1. Untuk mengkaji faktor-faktor penyebab Anggota TNI AL Lantamal I Belawan

melakukan tindak pidana desersi.

2. Untuk mengkaji pelaksanaan penegakan hukum terhadap tindak pidana

desersi yang dilakukan oleh Anggota TNI AL di Lantamal I Belawan.

3. Untuk mengakji hambatan-hambatan dalam penegakan hukum terhadap

tindak pidana desersi yang dilakukan oleh Anggota TNI AL di Lantamal I

Belawan.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini dapat memberikan sejumlah manfaat kepada para pihak, baik

secara teoritis maupun secara praktis, manfaat tersebut adalah:

1. Secara teoritis, penelitian ini dapat membuka wawasan dan paradigma berfikir

dalam memahami dan mendalami permasalahan hukum mengenai proses

penyidikan, aturan pemberian sanksi, dan proses penegakan hukum terhadap

tindak pidana yang dilakukan oleh anggota TNI AL Lantamal I Belawan.

Selain itu, penelitian ini dapat bermanfaat sebagai bahan referensi bagi

peneliti selanjutnya, dapat memperkaya khazanah ilmu pengetahuan, sebagai

kontribusi bagi penyempurnaan perangkat peraturan mengenai TNI dan

Peradilan Militer;

Universitas Sumatera Utara

Page 15: PERADILAN MILITER

2. Secara praktis, penelitian ini bermanfaat bagi aparat penegak hukum

khususnya aparat penegak hukum yakni Polisi Militer (Pom), Oditur (Jaksa

Militer), dan Hakim Militer serta bermanfaat pula bagi Hakim Pengawas dan

Pengamat (Wasmat) terhadap pola pembinaan narapidana TNI di Masmil.

E. Keaslian Penulisan

Guna menghindari terjadinya duplikasi penelitian terhadap masalah yang

sama dengan permasalahan di atas, maka sebelumnya, peneliti telah melakukan

penelusuran di perpustakaan Universitas Sumatera Utara, dan di Perpustakaan

Program Studi Magister Ilmu Hukum USU. Berdasarkan hasil penelusuran,

ditemukan judul penelitian/tesis yang berjudul “Kewenangan Peradilan Militer Pasca

Berlakunya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional

Indonesia”, oleh: Paul Sihombing, NIM: 067005037, permasalahan yang dibahas

adalah: Pertama, menyangkut landasan Filosofis Peradilan Militer berdasarkan

Undang-undang No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer? Kedua, menyangkut

ketentuan perundang-undangan yang mengakomodir penundukan militer pada

peradilan umum dalam hal melakukan tindak pidana umum? dan Ketiga, mengenai

kewenangan Peradilan Militer dalam menegakkan hukum dan keadilan dengan

memperhatikan kepentingan penyelenggaraan pertahanan keamanan negera.

Sementara permasalahan di dalam penelitian ini dibahas adalah: Pertama,

faktor-faktor yang menyebabkan Anggota TNI AL Lantamal I Belawan melakukan

tindak pidana desersi, Kedua, penegakan hukum terhadap tindak pidana desersi, dan

Universitas Sumatera Utara

Page 16: PERADILAN MILITER

Ketiga, hambatan-hambatan apa yang ditemukan dalam penegakan hukum tindak

pidana desersi di Lantamal I Belawan. Berdasarkan fokus pembahasan dalam

penelitian ini, judul dan permasalahan berbeda dengan penelitian sebelumnya. Oleh

sebab itu, judul dan permasalahan di dalam penelitian ini, dinyatakan masih asli dan

jauh dari unsur plagiat terhadap karya tulis orang lain.

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional

1. Kerangka Teori

Salah satu upaya untuk menegakkan hukum bagi Angota TNI AL yang

melakukan tindak pidana desersi adalah dengan mengoptimalkan Sistem Peradilan

Pidana Militer (SPPM) dan Sistem Peradilan Pidana (SPP) sebagaimana dimaksud

dalam UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No.20 Tahun 1982

tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik

Indonesia junto UU No.1 Tahun 1988 tentang Perubahan atas UU No.20 Tahun 1982

tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik

Indonesia menentukan bahwa Angkatan Bersenjata mempunyai peradilan tersendiri

dan komandan-komandan mempunyai wewenang penyerahan perkara.

Penegakan hukum militer dalam SPP dan SPPM harus melibatkan peran

struktur hukum masing-masing institusi terkait dalam sistem hukum (legal system).

Perlu dikaji dalam hal ini teori yang mendasarinya adalah teori legal sistem (legal

system theory). Sistem hukum adalah suatu susunan atau tatanan yang teratur, suatu

keseluruhan yang terdiri atas bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain, tersusun

Universitas Sumatera Utara

Page 17: PERADILAN MILITER

menurut suatu rencana atau pola, hasil dari suatu pemikiran untuk mencapai suatu

tujuan.16 Sistem hukum menurut Sudikno Mertokusumo, adalah suatu kesatuan yang

terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama lain dan bekerja sama

untuk mencapai tujuan.17

Sistem hukum lebih jauh diartikan oleh Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra,

yang pada hakekatnya sistem hukum merupakan suatu kesatuan sistem besar yang

tersusun atas sub-sub sistem yang kecil, yaitu sub sistem pendidikan, pembentukan

hukum, penerapan hukum, dan lain-lain, yang hakekatnya merupakan sistem

tersendiri pula. Hal ini menunjukkan sistem hukum sebagai suatu kompleksitas sistem

yang membutuhkan kecermatan yang tajam untuk memahami keutuhan prosesnya.

18

Tiga komponen legal system menurut Lawrence M. Friedman, yaitu:19

1. Struktur hukum, yaitu keseluruhan institusi-institusi hukum yang ada beserta aparatnya, mencakup antara lain Kepolisian dengan para Polisinya, Kejaksaan dengan para Jaksanya, Pengadilan dengan para Hakimnya, dan lain-lain;

2. Substansi hukum, yaitu keseluruhan aturan hukum, norma hukum, dan asas hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk putusan pengadilan;

3. Kultur hukum, yaitu opini-opini, kepercayaan-kepercayaan (keyakinan-keyakinan, kebiasaan-kebiasaan, cara berfikir, dan cara bertindak, baik dari para penegak hukum maupun dari warga masyarakat, tentang hukum dan berbagai fenomena yang berkaitan dengan hukum.

Hukum akan mampu dan efektif di tengah masyarakat, apabila instrumen-

instrumen pelaksananya dilengkapi dengan kewenangan-kewenangan dalam bidang

16 R. Subekti, dalam H. Ridwan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999), hal. 169.

17 Ibid. 18 Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung: Mandar Maju,

2003), hal. 151. 19 Lawrence M. Friedman, dalam Wishnu Basuki, Hukum Amerika Sebuah Pengantar,

(Jakarta: Tatanusa, 2001), hal. 9.

Universitas Sumatera Utara

Page 18: PERADILAN MILITER

penegakan hukum. Hukum tersusun dari sub sistem hukum yakni, struktur hukum,

substansi hukum, dan budaya hukum. Unsur sistem hukum atau sub sistem sebagai

faktor penentu apakah suatu sistem hukum dapat berjalan dengan baik atau tidak.

Struktur hukum lebih menekankan kepada kinerja aparatur hukum serta sarana dan

prasarana hukum itu sendiri, substansi hukum menyangkut segala aspek-aspek

pengaturan hukum atau peraturan perundang-undangan, dan budaya hukum

menyangkut perilaku masyarakatnya.20 Ketiga elemen dalam sistem hukum di atas,

teorinya berbeda dalam mencapai tujuan hukum antara hukum timur dan hukum

barat.21

Teori legal sistem berguna dalam menganalisis peran aparat penegak hukum

di lingkungan militer. Sebagaimana dalam perspektif Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1997 tentang Peradilan Militer (selanjutnya disingkat UU No.31 Tahun 1997),

menegaskan bahwa Polisi Militer

22 (penyidik), Oditur23

20 Lawrence M. Friedman, dalam Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), (Jakarta: Kencana, 2009), hal. 204.

(penuntut), dan Hakim

21 Ibid., hal. 212-213. Teori tujuan hukum timur berbeda dengan tujuan hukum barat. Teori tujuan hukum timur umumnya tidak menempatkan ”kepastian” tetapi hanya menekankan pada tujuan yakni, ”Keadilan adalah keharmonisan, dan keharmonisan adalah kedamaian”. Hal ini berbeda dengan tujuan hukum barat yang menghendaki ”kepastian”. Tujuan hukum negara timur misalnya Jepang, tetap menggunakan kultur hukum aslinya. Tujuan hukum di negara Indonesia memiliki kesamaan dengan konsep tujuan hukum barat, sebab sistem hukum yang berlaku adalah civil law hal ini dikenal dengan adanya asas konkordansi dalam penciptaan hukum yang ”pasti”. Indonesia seolah-olah terpaksa menggunakan konsep tujuan hukum barat, walaupun saat ini hukum di Indonesia sudah mulai berkembang ke arah konsep menciptakan hukum yang harmonis dalam masyarakat, namun dengan adanya perundang-undangan yang masih tetap berlaku, menunjukkan fakta bahwa Indonesia tetap mengadopsi tujuan hukum barat yakni ”kepastian”.

22 Pasal 1 ayat 11 UU No.31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, menegaskan bahwa: “Penyidik Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Penyidik adalah Atasan yang Berhak Menghukum, pejabat Polisi Militer tertentu, dan Oditur, yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang ini untuk melakukan penyidikan”.

Universitas Sumatera Utara

Page 19: PERADILAN MILITER

Militer24 (melaksanakan kekuasaan kehakiman militer) adalah institusi yang berhak

melakukan penegakan hukum terhadap anggota TNI khususnya anggota TNI AL

Lantamal I Belawan yang melakukan tindak pidana. Peran ketiga institusi tersebut

bekerja dalam sebuah sistem yang tidak sapat terpisahkan antara satu sama lainnya

untuk mencapai tujuan tegaknya hukum militer.25

Struktur hukum, substansi hukum, dan kultur hukum merupakan elemen-

elemen penting dalam penegakan hukum khususnya penegakan hukum militer, jika

salah satu elemen dari tiga kompenen sistem hukum di atas, tidak bekerja dengan

baik, berimplikasi kepada terganggunya elemen yang lain dalam sistem hukum

tersebut, hingga pada gilirannya mengakibatkan hukum yang tidak efektif.

Komponen-komponen sistem hukum di atas dipertegas oleh Soerjono Soekanto

26

23 Pasal 1 ayat 7 UU No.31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, menegaskan bahwa: ”Oditur Militer dan Oditur Militer Tinggi yang selanjutnya disebut Oditur adalah pejabat yang diberi wewenang untuk bertindak sebagai penuntut umum, sebagai pelaksana putusan atau penetapan Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dalam perkara pidana, dan sebagai penyidik sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini”.

,

yang merupakan bagian faktor-faktor penegakan hukum yang tidak bisa diabaikan

karena jika diabaikan akan menyebabkan tidak tercapainya penegakan hukum yang

diharapkan.

24 Pasal 1 ayat (4) UU No.31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, menegaskan bahwa: ”Hakim Militer, Hakim Militer Tinggi, Hakim Militer Utama, yang selanjutnya disebut Hakim adalah pejabat yang masing-masing melaksanakan kekuasaan kehakiman pada pengadilan”.

25 Mataramnews.com, Tanggal 20 Januari 2011. Dalam amanat tertulis yang dibacakan Kepala Staf Umum Panglima TNI Marsekal Madya TNI Eddy Hardjoko, mengatakan, sebagai salah satu unsur penegak hukum, Polisi Militer harus menampilkan dan mampu membangun citra positif demi mendukung proses transformasi dan reformasi hukum yang progresif di negeri ini. Proses penegakan hukum yang dilakukan dapat menggerakkan masyarakat untuk bertingkah laku sesuai hukum berlaku, dan sebaliknya penegak hukum dapat memberikan perlindungan dan keadilan bagi masyarakat dan seluruh personel TNI khususnya. Terkait itu, diperlukan aparat penegak hukum yang memiliki sifat ksatria, bermental baik, bijaksana, dan jujur.

26 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta, Rajawali, 1983), hal. 5.

Universitas Sumatera Utara

Page 20: PERADILAN MILITER

Terkait dengan bekerjanya ketiga elemen dalam sistem hukum peradilan

militer, khususnya Polisi Militer sebagaimana Pasal 77 ayat (1) UU No.31 Tahun

1997 menegaskan bahwa:

Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh Penyidik atau anggota Polisi Militer atau anggota bawahan Atasan yang Berhak Menghukum yang bersangkutan dengan memperlihatkan surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas Tersangka, menyebutkan alasan penangkapan, uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan, dan tempat ia diperiksa.

Struktur hukum lebih menekankan kepada kinerja aparatur hukum serta sarana

dan prasarana hukum dalam Sistem Peradilan Pidana (SPP). Dalam SPP terdiri dari

Polisi Militer, Oditurat Militer, Peradilan, dan Masyarakat. Tugas Polisi Militer

ditegaskan dalam Pasal 77 ayat (1) UU No.31 Tahun 1999 tentang Peradilan Militer,

melakukan penangkapan dengan memperlihatkan surat perintah penangkapan yang

mencantumkan identitas tersangka, menyebutkan alasan penangkapan, uraian singkat

perkara kejahatan yang dipersangkakan, dan tempatnya diperiksa.

Polisi Militer atau Polisi Militer Angkatan Laut (Pomal) harus berkoordinasi

dengan intansi yang bertugas melakukan penuntutan di lingkungan TNI sebagaimana

penegasannya diatur dalam Pasal 5 ayat (2) UU No.31 Tahun 1997 yaitu Oditurat

(lembaga oditur) merupakan badan pelaksana kekuasaan pemerintahan negara di

bidang penuntutan dan penyidikan di lingkungan Angkatan Bersenjata berdasarkan

pelimpahan dari Panglima, dengan memperhatikan kepentingan penyelenggaraan

pertahanan keamanan negara.

Setelah diteliti oleh oditur militer, apabila berkas perkara menyangkut tindak

pidana yang dilakukan oleh anggota militer, telah memenuhi syarat, maka oditur

Universitas Sumatera Utara

Page 21: PERADILAN MILITER

militer menyerahkan kepada ketua pengadilan militer untuk dilakukan proses

persidangan. Sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 4 UU No.31 Tahun 1997

menegasakan bahwa Hakim Militer, Hakim Militer Tinggi, dan Hakim Militer Utama

(selanjutnya disebut Hakim) adalah pejabat yang masing-masing melaksanakan

kekuasaan kehakiman pada pengadilan.

Ketiga-tiga komponen/elemen di atas dalam legal system khusunya di

lingkungan militer, menunjukkan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum

(rechtsstaat), bukan negara kekuasaan belaka (machtsstaat). Berarti dalam Negara

Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), hukum merupakan urat nadi dalam aspek

kehidupan. Hukum mempunyai posisi strategis dan dominan dalam kehidupan

masyarakat berbangsa dan bernegara. Hukum, sebagai suatu sistem,27

Tugas Polisi Militer dalam teori legal system, oleh UU No.31 Tahun 1997

tentang Peradilan Militer mengamanahkan tugas di bidang penyidikan sebagai

penyidik atas tindak pidana. Secara yuridis, M. Yahya Harahap, menyebutkan bahwa

penyidikan berarti serangkaian tindakan yang dilakukan pejabat penyidik sesuai

dengan cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan

bukti dan dengan bukti itu membuat atau menjadi terangnya tindak pidana yang

dapat berperan

dengan baik dan benar di tengah masyarakat jika instrumen pelaksanaannya

dilengkapi dengan kewenangan-kewenangan dalam bidang penegakan hukum. Salah

satu penegakan hukum itu adalah Kepolisian sebagai penyidik.

27 H. Ridwan Syahrani, Op. cit., hal. 169.

Universitas Sumatera Utara

Page 22: PERADILAN MILITER

terjadi serta sekaligus menentukan tersangka atau pelaku tindak pidana.28 Penyidikan

sama dengan apsporing (Belanda), namun menyidik (apsporing) berarti pemeriksaan

permulaan oleh pejabat-pejabat penyidik yang untuk itu ditunjuk oleh undang-undang

segera setelah mereka dengan jalan apapun mendengar kabar yang sekedar beralasan

bahwa ada terjadi suatu pelanggaran hukum.29

Hubungan koordinasi ketiga institusi tersebut merupakan rangkaian kegiatan

yang secara organisatoris dilakukan oleh lembaga-lembaga peradilan yang terkait

dalam sistem peradilan pidana. Sebagai suatu sistem maka suatu sistem yang utuh

terdiri dari sub sistem-sub sistem yaitu penyidik, penuntut, pengadilan (hakim) dan

lembaga pemasyarakatan khususnya pemasayarakatan militer (Masmil). Tugas dan

wewenang sub sistem tersebut saling terkait dan bertalian satu sama lain, dalam arti

adanya suatu koordinasi fungsional dan instansional serta adanya sinkronisasi dalam

pelaksanaan. Oleh sebab itu, maka hubungan koordinasi instansional dalam sub sitem

tersebut dapat berupa: rapat kerja gabungan antar instansi aparat penegak hukum; dan

penataran gabungan dan lain-lain.

30

Koordinasi pelaksanaan fungsi penegakan hukum antar instansi saling

mematuhi ketentuan wewenang dan tanggung jawab demi kelancaran proses

penegakan hukum. Achmad Ali, mangatakan, harus ada dua unsur dalam sistem

hukum yaitu: Pertama, Profesionalisme, yaitu merupakan unsur kemampuan dan

28 M. Yahya Harahap., Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hal. 109.

29 Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), hal. 121.

30 M. Yahya Harahap, Op. cit., hal. 116.

Universitas Sumatera Utara

Page 23: PERADILAN MILITER

keterampilan secara person dari sosok-sosok aparat penegak hukum; dan Kedua,

Kepemimpinan, juga merupakan unsur kemampuan dan keterampilan secara person

dari sosok-sosok penegak hukum, utamanya kalangan petinggi hukum.31

Keterikatan masing-masing instansi antara yang satu dengan yang lain

semata-mata dalam proses penegakan hukum. Kelambatan, kekeliruan, tidak

profesional, dan tidak memiliki kepemimpinan, pada satu instansi mengakibatkan

rusaknya jalinan pelaksanaan koordinasi dan sinkronisasi penegakan hukum dalam

sistem hukum. Konsekuensinya adalah instansi yang bersangkutan dalam menangani

perkara yang tidak berjalan, akan memikul tanggung jawab kelalaian dan kekeliruan

tersebut dalam sidang praperadilan. Penegakan hukum pada dasarnya melibatkan

seluruh warga negara Indonesia, akan tetapi dalam hal melakukan litigasi dalam

pelaksanaannya dilakukan oleh penegak hukum. Hukum dan penegakan hukum

merupakan sebagian faktor yang tidak bisa diabaikan karena jika diabaikan akan

menyebabkan tidak tercapainya penegakan hukum yang diharapkan.

32

Jauh sebelumnya Plato, menyebutkan, ada 3 (tiga) kekuatan sosial yang

sangat mempengaruhi stabilitas suatu negara. Tiga kekuatan sosial itu adalah: militer

(angkatan bersenjata); kaum intelektual; dan kaum interpreneur (pengusaha).

33

31 Achmad Ali, Op. cit., hal. 204.

Pembangunan di Indonesia dapat berjalan dengan baik sesuai dengan yang

diamanatkan Pancasila dan UUD 1945 beserta amandemennya, apabila ketiga-tiga

32 Soerjono Soekanto, Op. cit., hal. 2. 33 Sanoesi, Almanak Kepolisian Republik Indonesia, Berdasarkan Kadislitbang Polri No. Pol.

B/394/IX/Dislitbang, (Jakarta: PT. Dutarindo ADV, 1987), hal. 342.

Universitas Sumatera Utara

Page 24: PERADILAN MILITER

kekuatan sosial di atas dapat dijalankan sesuai tugas masing-masing institusi terkait.34

2. Landasan Konsepsional

Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa ketiga elemen (Polisi Militer,

Oditur, dan Hakim Militer) dalam penegakan hukum harus bekerja sama idealnya

sebuah sistem yang bekerja dalam sistem peradilan militer untuk memberikan sanksi

yang sesuai kepada anggota TNI khususnya TNI AL yang melakukan tindak pidana.

Landasan konsepsional digunakan dalam penelitian ini terdiri dari beberapa

istilah untuk menghindari kesimpangsiuran dalam memahami dan menafsirkan

definisi/pengertian. Landasan konsepsional dimaksud adalah sebagai berkut:

a. Penegakan hukum adalah upaya hukum yang dilakukan oleh aparat penegak

hukum untuk berperan dalam melaksanakan hukum dengan baik meliputi

peran masing-masing institusi dalam sistem peradilan pidana.

b. Tindak pidana (strafbaar feit) adalah perbuatan yang dilarang oleh hukum

pidana. Tindak pidana dirujuk kepada asas legalitas dalam Pasal 1 KUH

Pidana bahwa yang dimaksud tindak pidana itu menyangkut segala sesuatu

yang telah dilarang atau sudah diatur dalam undang-undang. Strafbaar feit

diterjemahkan dengan memakai istilah delik, peristiwa pidana, perbuatan

pidana, tindak pidana, pelanggaran pidana.35

34 Ibid.

35 E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Op. cit., hal. 205. Menurut Simons strafbaar feit adalah suatu handeling (tindakan/perbuatan) yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, bertentangan dengan hukum (onrechtmatig) dilakukan dengan kesalahan (schuld) oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab. Dibaginya dalam 2 (dua) golongan unsur yaitu: unsur subyektif yang berupa kesalahan (schuld) dan kemampuan bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar) dari pelaku dan unsur obyektif yang berupa tindakan yang dilarang/diharuskan, akibat keadaan/masalah tertentu.

Universitas Sumatera Utara

Page 25: PERADILAN MILITER

c. Desersi adalah suatu tindak pidana dengan tidak beradanya seorang atau lebih

anggota militer tanpa izin atasannya langsung, pada suatu tempat dan waktu

yang sudah ditentukan oleh dinas, lari dari kesatuan dan meninggalkan dinas

kemiliteran, atau keluar dengan dengan cara pergi, melarikan diri tanpa ijin.36

d. Anggota TNI AL adalah anggota Tentara Nasional Indonesia

37 yang bertugas:

melaksanakan tugas TNI matra laut di bidang pertahanan; menegakkan hukum

dan menjaga keamanan di wilayah laut yurisdiksi nasional sesuai dengan

ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratifikasi;

melaksanakan tugas diplomasi Angkatan laut dalam rangka mendukung

kebijakan politik luar negeri yang ditetapkan oleh pemerintah; melaksanakan

tugas TNI dalam pembangunan dan pengembangan kekuatan matra laut; dan

melaksanakan pemberdayaan wilayah pertahanan laut.38

e. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik TNI dan/atau penyidik

pidana umum dalam hal dan menurut cara yang dalam undang-undang (baik

KUHAPMIL maupun KUHAP) untuk mencari serta mengumpulkan bukti

yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna

menemukan tersangka.

39

f. Sanksi yang dimaksud mencakup menetapkan jenis sanksi, tidak hanya

meliputi sanksi pidana tetapi sanksi tindakan. Penekanan kesetaraan sanksi

36 SR. Sianturi, Op. cit., hal. 257. 37 Pasal 1 angka 7 UU No.34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. 38 Pasal 9 UU No.34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. 39 Pasal 1 angka 2 KUHAP dan Petunjuk Pelaksana Kepala Staf Angkatan Laut Nomor Jukal

17/IV2006/Tanggal 7 April 2006, hal. 4.

Universitas Sumatera Utara

Page 26: PERADILAN MILITER

pidana dan sanksi tindakan dalam kerangka double track system,

sesungguhnya terkait bahwa unsur pencelaan lewat sanksi pidana dan unsur

pembinaan melalui sanksi tindakan memiliki kedudukan yang sama

pentingnya.40

G. Metode Penelitian

Metode adalah cara kerja dalam memahami obyek yang menjadi sasaran

penelitian dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan.41 Penelitian merupakan suatu

kerja ilmiah yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis,

metodologis dan konsisten.42 Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah

yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan

untuk mempelajari sesuatu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara

menganalisisnya.43

Metode penelitian hukum adalah upaya ilmiah untuk memahami

dan memecahkan suatu masalah hukum berdasarkan metode tertentu.

40 Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Korporasi, (Jakarta: Sofmedia, 2010), hal. 91 dan hal 92. Lihat juga: M. Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana (Ide Dasar Double Track System & Implementasinya), (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 17. Sanksi tindakan lebih menekankan kepada nilai-nilai kemanusiaan dalam reformasi dan pendidikan kembali pelaku kejahatan sedangkan sanksi pidana lebih menekankan stelsel sanksi dalam hukum pidana yang menyangkut pembuat undang-undang.

41 Soerjono Soekanto, Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris, (Jakarta: Indonesia Hillco, 1990), hal. 106.

42 Soerjono Soekanto dan Sri Mumadji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2001), hal. 1.

43 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hal. 6.

Universitas Sumatera Utara

Page 27: PERADILAN MILITER

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif

yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma dan asas-asas hukum yang

terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan.44

2. Sumber Data

Sedangkan

sifat penelitiannya adalah kualitatif. Alasan penggunaan penelitian hukum normatif

yang bersifat kualitatif ini adalah didasarkan pada paradigma hubungan yang dinamis

antara teori, konsep-konsep, dan data yang merupakan umpan balik atau modifikasi

yang tetap dari teori dan konsep yang didasarkan pada data yang dikumpulkan.

Wawancara dilakukan sebagai data data pendukung untuk memperkuat argumentasi-

argumentasi dan pemikiran-pemikiran dalam penelitian ini.

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang

dibagi dalam 3 (tiga) bahan hukum, yaitu:45

1. Bahan hukum primer, yaitu KUH Pidana, KUHPM, KUHAP, KUHAPMIL,

UU No.34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, UU No.31 Tahun

1997 tentang Peradilan Militer, Surat Keputusan Panglima TNI Nomor

Kep/01/P/I/1984, tanggal 20 Januari 1984 tentang Organisasi Babinkum TNI.

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai

44 Bismar Nasution, ”Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum”, Makalah, disampaikan pada dialog interaktif tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, Tanggal 18 Februari 2003, hal. 1. Penelitian doktrinal (doctrinal research), yaitu suatu penelitian yang menganalisis baik hukum sebagai law as it written in the book, maupun hukum sebagai law as it is decided by the judge through judicial process. Penelitian hukum normatif ini bersifat kualitatif.

45 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), hal. 24.

Universitas Sumatera Utara

Page 28: PERADILAN MILITER

bahan hukum primer, seperti: buku-buku, makalah hasil-hasil seminar atau

pertemuan ilmiah, majalah, jurnal ilmiah, artikel, artikel bebas dari internet,

surat kabar sepanjang memuat informasi yang relevan dengan penelitian ini.

3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk

dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,

seperti kamus hukum dan ensiklopedia).

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara studi dokumen-dokumen

yang relevan dengan penelitian ini di perpustakaan (library research) dengan

melakukan identifikasi data yang ada. Selanjutnya sebagai bahan pendukung

dilakukan wawancara kepada pihak-pihak dan instansi terkait melalui studi lapangan

(field research). Data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan dan lapangan

tersebut selanjutnya akan dipilah-pilah guna memperoleh peraturan dalam perundang-

undangan terkait dengan tindak pidana desersi yang dilakukan oleh Anggota TNI AL.

Data tersebut kemudian disistematisasikan sehingga menghasilkan klasifikasi yang

selaras dengan permasalahan dalam penelitian ini.46

4. Analisis Data

Analisis data dilakukan secara kualitatif yakni pemilihan teori-teori, asas-asas,

norma-norma, dan kaidah-kaidah yang terdapat di dalam peraturan perundang-

undangan yang relevan dengan permasalahan. Data yang dianalisis secara kualitatif

46 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum (Suatu Pengantar), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 195-196.

Universitas Sumatera Utara

Page 29: PERADILAN MILITER

tersebut kemudian disistematisasikan sehingga akan menghasilkan klasifikasi tertentu

sesuai dengan permasalahan yang dianalisis. Data yang dianalisis tersebut akan

dikemukakan dalam bentuk uraian secara sistematis pula dengan menjelaskan

hubungan antara berbagai jenis data, selanjutnya dinyatakan secara deduktif untuk

sampai pada kesimpulan, sehingga selain menggambarkan dan mengungkapkan

dasar hukumnya, juga dapat memberikan solusi terhadap permasalahan yang

dimaksud.

Universitas Sumatera Utara