peran dewan pengawas syariah terhadap pengawasan aspek .../peran... · bantuannya kepada penulis...
TRANSCRIPT
Peran dewan pengawas syariah terhadap pengawasan aspek syariah di baitul
maal wa tamwil (bmt)
Safinah Klaten
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan Untuk
Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum
Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh
Anik Arofah E 0003077
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2008
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
PERAN DEWAN PENGAWAS SYARIAH TERHADAP PENGAWASAN
ASPEK SYARIAH DI BAITUL MAAL WA TAMWIL (BMT) SAFINAH KLATEN
Disusun oleh ANIK AROFAH NIM. E 0003077
Disetujui untuk Dipertahankan Dosen Pembimbing
AGUS RIYANTO, SH. MHum. NIP. 131 842 682
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi)
PERAN DEWAN PENGAWAS SYARIAH TERHADAP PENGAWASAN ASPEK SYARIAH DI BAITUL MAAL WA TAMWIL (BMT)
SAFINAH KLATEN
Disusun oleh ANIK AROFAH NIM. E 0003077
Telah diterima dan disahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada : Hari : Sabtu
Tanggal : 29 Maret 2008
TIM PENGUJI
1. Mohammad Adnan, SH.,MHum. : ............................................. Ketua
2. Mohammad Jamin,SH.,MHum. : ............................................. Sekretaris
3. Agus Rianto,SH.,MHum. : ............................................. Anggota
MENGETAHUI Dekan,
Mohammad Jamin, SH.,MHum NIP. 131 570 154
MOTO DAN PERSEMBAHAN
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
beribadah kepada-Ku.” (Q.S. Ad-Dzariyat : 56)
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong agama Allah, niscaya Dia
akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (Q.S. Muhammad : 7)
”Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum hingga mereka
mengubah nasibnya sendiri" (Q.S. Ar-Ra'd : 13)
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhoan) Kami, benar-benar
akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah
benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S. Al-‘Ankabut : 69)
Karya kecil ini penulis persembahkan kepada:
ALLAH SWT.;
Ayah dan Ibu tercinta, beserta keluarga;
Fakultas Hukum UNS;
Pejuang-pejuang ekonomi Islam;
Saudara-saudara seperjuangan di jalan Islam.
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillaahirobbil’aalamiin penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas kehendak dan pertolongan-Nya penulis mampu menyelesaikan penulisan hukum ini guna melengkapi syarat kelulusan pendidikan Sarjana Hukum. Salam dan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW, sang murobbi sejati yang memberikan cinta yang tulus kepada umatnya dan suri teladan yang sempurna.
Meningkatnya kesadaran umat Islam untuk menerapkan syariat, khususnya di bidang ekonomi menjadi salah satu faktor pendukung prospek perkembangan Lembaga Keuangan Syariah, terlebih setelah keluar fatwa MUI tahun 2003 yang menyatakan bahwa bunga haram hukumnya. Munculnya Baitul Maal Wa Tamwil (BMT) di tengah-tengah masyarakat ekonomi mikro selain menjadi alternatif bagi pengusaha-pengusaha mikro untuk lepas dari jeratan rentenir beralih pada lembaga keuangan yang aman, halal dan memberikan keringanan serta kemudahan mendapatkan modal usaha kecil. Namun belakangan muncul opini-opini dan berita serta beberapa penelitian yang mengungkapkan adanya praktek BMT yang ternyata menyimpang dari prinsip-prinsip syariah, alasan yang paling banyak diutarakan karena ketidakoptimalan peran Dewan Pengawas Syariah.
Berangkat dari latar belakang tersebut penulis mencoba memberikan kontribusi pada perkembangan ekonomi syariah dengan melakukan penelitian mengenai peran DPS terhadap pengawasan syariah di BMT dengan mengambil studi pada BMT Safinah Klaten, karena BMT ini sudah berbadan hukum dan merupakan BMT terbesar di Klaten. Dalam penelitian ini penulis mengkaji permasalahan mengenai bagaimana peran DPS terhadap pengawasan aspek syariah di BMT Safinah Klaten, bagaimana pelaksanaan tugasnya dalam melakukan pengawasan syariah, serta apa hambatan yang dihadapi dalam menjalankan tugas serta solusi yang pernah diupayakan. Dengan penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran untuk perkembangan ekonomi syariah khususnya dalam hal pengawasan aspek syariah pada lembaga keuangan syariah Baitul Maal Wa Tamwil (BMT).
Terselesaikannya penulisan hukum ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan, dorongan semangat, dan do’a dari banyak pihak. Atas konstribusi tersebut penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada :
1. Bapak Mohammad Jamin, SH.,MHum. selaku dekan Fakultas Hukum UNS dan telah memberikan banyak masukan untuk kesempurnaan laporan penulisan hukum ini.
2. Bapak Suranto, SH.,MH. selaku pembimbing akademik penulis, yang telah memberikan arahan dan dorongan untuk menyelesaikan penulisan hukum ini.
3. Bapak Agus Rianto, SH.,MHum selaku pembimbing penulisan hukum yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan masukan yang bermanfaat bagi penulis.
4. Bapak Mohammad Adnan, SH.,MH. selaku kepala bagian Hubungan Masyarakat Fakultas Hukum UNS.
5. Bapak dan Ibu Pengelola Penulisan Hukum (PPH) Fakultas Hukum UNS.
6. Bapak Samadi dan Ibu Tumiyem atas kasih sayangnya telah membesarkan dan mendidik penulis dengan segenap cinta, kesabaran, dan pengorbanan yang tak akan pernah dapat penulis membalasnya kecuali oleh Allah semata.
7. Devi Nur Vita Sari, terimakasih atas motivasi dan do’anya. Wujudkan cita-citamu untuk menjadi muslimah yang sholekhah, dalam perjuangan dibutuhkan kesungguhan dan pengorbanan yang dilandasi oleh keikhlasan (mbak yakin kamu bisa, Ayo Semangat!),
8. Keluarga Besar P3KHAM LPPM UNS yang telah memberikan banyak hal berarti bagi penulis: Bapak Sunarno Danusastro yang memberikan nasihat-nasihat bermanfaat; Ibu Sunny Ummul Firdaus yang memberikan kesempatan bagi penulis untuk menimba ilmu di P3KHAM dan mengajarkan tentang aktualisasi diri, optimis dan survive; Pak Hendri yang memberikan cermin kesabaran; Ibu Aminah yang mengajarkan tentang kepercayaan dan ketelitian; serta adik-adik magang (Faisal, Rosyid, Tri dan Toni) terimakasih atas kebersamaan, kekeluargaan dan ilmu yang penulis dapatkan selama di P3KHAM.
9. Sahabat dan saudara seperjuangan terkhusus akhwat FH 2003 jazakillah khoir atas cinta dan ukhuwahnya, kalian telah menjadi sumber inspirasiku: Dayu (inspirasi Ketulusan & Kesetiakawanan); Ebta (inspirasi Cinta dan Keyakinan); Mila (inspirasi Keceriaan & Keberanian); Rosita (inspirasi Perjuangan dan Keistiqomahan); Atik & Jannati (inspirasi Syukur dan Kesabaran); Irma, Amik, & Devica (inspirasi Kegigihan & Harapan); Uchie, Rizka, Sholikhah dan akhwat ’03 lainnya jazakillah khoir atas spirit motivasinya. Semoga tali ukhuwah ini terus terjaga hingga akhirnya kita bertemu lagi di Surga, Uhibbuki Fillah!
10. Ikhwan seperjuangan dalam Jambrood (Jamaa’ah Muslim Brotherhood) 2003: Bambang, Cholid, Anas, Junaidi, Dwi, Taufik, Lutfi dan yang lainnya dalam keluarga besar Jambrood 2003, kebersamaan di Jambrood telah memberi pelajaran berharga bagi penulis, semoga rajutan benang brotherhood yang pernah disulam tidak terputus dengan semboyan ‘satu perjuangan satu arah tujuan’.
11. Generasi pembina, akhwat fillah angkatan 2000-2002: Mbak Androe, Mbak Lutfie, Mbak Nurul, Mbak Vita, Mbak Di-di, Mbak Lia, Mbak Ira, Mbak Wiwik, Mbak Andien dan yang lainnya, yang telah terlibat dalam proses tarbiyah penulis. Syukron Jazakillah khoir atas bimbingannya.
12. Generasi penerus 2004: Athina, Puteri, Nani, Fi’ah, Umi dan lain-lain, jaga dan bina ikatan hati kalian, ‘bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh’ (Kalian adalah Generasi Luar Biasa! Jangan sia-siakan potensi yang ada). Spesial kepada Lina terimakasih banyak atas motivasi yang selalu diberikan, dan
bantuannya kepada penulis untuk menyelesaikan proposal penelitian, semoga Allah membalas dengan memberi kemudahan dalam segala urusan.
13. Generasi ‘Tangguh’ 2005 : Nunik, Aisyah, Wiwiek, Farin dan lain-lain. Setiap masa memiliki ujian dan cobaan yang sesuai dengan kemampuan rijal penghasungnya. Semoga keikhlasan, kesabaran dan ketawadhu’an senantiasa ada di hati kalian untuk menghadapi segala ujian dan cobaan. Keep Istiqomah!
14. Generasi ‘Harapan’ 2006 : Ade, Yeni, Mega, Pipin, Nia, Yaya, Nonie dan lainnya. Kontribusi kalian menjadi harapan dan telah dinantikan (Akan menjadi biasa atau luar biasa? Kita sendirilah yang memilih dan menentukannya!) Kuncinya adalah ‘Peka dan Peduli’.
15. FOSMI FH UNS, DEMA FH UNS, JN UKMI UNS, DEMA UNS, BEM UNS dan lembaga mahasiswa lainnya yang telah memberikan pengalaman berharga bagi penulis tentang arti perjuangan, pengorbanan dan keyakinan akan harapan.
16. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, namun telah memberikan kontribusi pada penulis baik langsung maupun tidak langsung, hingga dapat menyelesaikan penulisan hukum ini.
Penulis sadar bahwa penulisan hukum ini mungkin belum sempurna, sebagaimana kata pepatah ‘tiada gading yang tak retak’, namun demikian masukan yang bermanfaat penulis harapkan untuk perbaikan kedepan. Semoga karya kecil ini dapat memberikan manfaat.
Surakarta, 05 Februari 2008
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ................................................................................. i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ................................................. iii
HALAMAN MOTTO ............................................................................... iv
ABSTRAK ................................................................................................ v
KATA PENGANTAR .............................................................................. vi
DAFTAR ISI.............................................................................................. ix
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ....................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................ 6
C. Tujuan Penelitian ................................................................. 6
D. Manfaat Penelitian ............................................................... 7
E. Metode Penelitian ................................................................ 8
F. Sistematika Skripsi ............................................................... 13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................ 15
A. Kerangka Teori .................................................................... 15
1. Tinjauan Umum Tentang Ekonomi Islam....................... 15
2. Tinjauan Umum Tentang Baitul Maal
Wa Tamwil (BMT) ......................................................... 22
3. Tinjauan Umum Dewan Pengawas Syariah.................... 34
B. Kerangka Pemikiran ............................................................. 40
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ......................... 43
A. Hasil Penelitian ..................................................................... 43
1. Peran Dewan Pengawas Syariah Terhadap Pengawasan
Aspek Syariah di Baitul Maal Wa Tamwil (BMT)
Safinah Klaten ................................................................ 43
2. Pelaksanaan Tugas Dewan Pengawas Syariah dalam
Pengawasan Aspek Syariah di Baitul Maal Wa Tamwil
(BMT ) Safinah Klaten .................................................. 57
3. Hambatan dan Solusi dalam Menjalankan Peran dan
Tugas Dewan Pengawas Syariah Terhadap Pengawasan
Aspek Syariah di Baitul Maal Wa Tamwil (BMT)
Safinah Klaten ................................................................ 64
B. Pembahasan........................................................................... 66
1. Peran Dewan Pengawas Syariah Terhadap Pengawasan
Aspek Syariah di Baitul Maal Wa Tamwil (BMT)
Safinah Klaten ................................................................ 66
2. Pelaksanaan Tugas Dewan Pengawas Syariah dalam
Pengawasan Aspek Syariah di Baitul Maal Wa Tamwil
(BMT ) Safinah Klaten .................................................. 76
3. Hambatan dan Solusi dalam Menjalankan Peran dan
Tugas Dewan Pengawas Syariah Terhadap Pengawasan
Aspek Syariah di Baitul Maal Wa Tamwil (BMT)
Safinah Klaten ................................................................ 81
BAB IV SIMPULAN DAN SARAN ....................................................... 84
A. Simpulan .............................................................................. 84
B. Saran ..................................................................................... 86
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Krisis moneter dan ekonomi yang melanda Indonesia tahun 1997 telah
mengakibatkan banyak penderitaan dan kesengsaraan yang berat bagi rakyat
Indonesia. Umat Islam merupakan penduduk terbesar di Indonesia, maka umat
Islam lah yang paling terkena dan paling menderita akibat ambruknya
ekonomi Indonesia tersebut. Oleh karena sebagian besar penduduk Indonesia
adalah umat Islam, maka kebangkitan ekonomi umat Islam di Indonesia dapat
dikatakan sebagai kebangkitan perekonomian Indonesia.
Umat Islam dalam usaha mengembangkan ekonomi, telah diperintahkan
oleh Allah agar berusaha atau berikhtiar sekuat tenaga dan semaksimal
mungkin dengan mengerahkan segala fasilitas dan potensi yang ada dalam
upaya memperbaiki dan meningkatkan kesejahteraan hidup menjadi lebih
layak dan sejajar dengan orang-orang yang hidupnya berkecukupan. Hal ini
karena Allah tidak akan merubah nasib seseorang atau suatu kaum tanpa
adanya upaya orang atau kaum tersebut untuk merubah nasib mereka sendiri,
sebagaimana diFirmankan Allah SWT dalam Al Qur’an yang artinya sebagai
berikut :
“Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan (nasib) suatu kaum, sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan (malapeteka) terhadap sesuatu kaum, maka tidak akan ada yang dapat merubahnya dan sekali-kali tidak ada perlindungan bagi mereka selain Dia (Allah).” (Q.S Ar Ra’du ayat 11).
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu dimuka bumi dan carilah karunia Allah dan berdzikirlah pada Allah sebanyak-banyaknya supaya engkau beruntung.” (Q.S Al Jum’ah ayat 10).
dan juga didukung oleh sabda Rosulullah SAW yang artinya,
“ Berusahalah untuk kehidupan duniamu, seolah-olah engkau akan hidup abadi (selama-lamanya) dan berbuatlah untuk akhiraatmu, seolah-olah engkau akan mati esok.”
Sebagai cikal-bakal munculnya lembaga-lembaga keuangan syariah di
Indonesia adalah berdirinya Bank Syariah yang diprakarsai oleh Majelis
Ulama Indonesia. Pendirian tersebut berawal dari workshop yang diadakan
MUI pada tahun 1990 membahas bunga bank. Workshop inilah yang menjadi
momentum penting dari pendirian bank syariah di Indonesia, karena dalam
salah satu keputusannya dengan jelas merekomendasikan pendirian bank
syariah untuk melayani masyarakat yang meyakini bunga bank identik dengan
riba, dan oleh karenanya haram. Ide ini terus bergulir dan dengan perjuangan
panjang akhirnya pada 1 November 1991 Bank Muamalat Indonesia didirikan
dengan kerjasama Ikatan Cendikiawan Muslim (ICMI) dan MUI (Adiwarman
A Karim, www.kesultananfansur.com, 2007).
Pada tahun 1999 MUI mengeluarkan Surat Keputusan
No.754/MUI/II/1999 tentang Dewan Syariah Nasional (DSN) yang bertugas
membawahi seluruh Dewan Pengawas Syariah (DPS) / Lembaga Keuangan
Syariah (LKS) di Indonesia. Fungsi utama dari DSN adalah menggali,
mengkaji dan merumuskan nilai dan prinsip hukum Islam (syariah) untuk
dijadikan pedoman dalam kegiatan LKS sehingga ada keseragaman fatwa,
serta mengawasi implementasinya. Keluarnya Fatwa MUI tentang Dewan
Syariah Nasional tersebut semakin menguatkan struktur kelembagaan bank
syariah sehingga turut mendorong pertumbuhan bank syariah yang ikut
berpengaruh munculnya lembaga-lembaga keuangan yang menggunakan
prinsip syariah, diantaranya adalah Asuransi Syariah, Transaksi Foreign
Exchange Syariah dan Perdagangan Bursa Saham Syariah, Pegadaian Syariah,
Bank Perkreditan Syariah (BPRS), serta Koperasi Syariah yang lebih dikenal
dengan Baitul Maal Wa Tamwil (BMT).
Prospek perkembangan Lembaga-lembaga Keuangan Syariah tersebut
didukung oleh beberapa faktor, diantaranya sebagai berikut (Agus Siswanto,
2006: 9):
1. Keluarnya Fatwa bunga haram dari MUI yang di release tanggal 16
Desember 2003.
2. Meningkatnya kesadaran umat Islam untuk melakukan praktek
berekonomi secara syariah. Sebagai indikatornya adalah pesatnya
pertumbuhan Bank Syariah, Asuransi Syariah dan lembaga keuangan
syariah lainnya.
3. Penduduk Indonesia yang mayoritas muslim, memberi peluang pasar yang
potensial untuk produk-produk berbasis syariah.
4. Tingkat pendidikan masyarakat yang semakin baik sehingga
perkembangan ilmu ekonomi syariah juga semakin baik.
5. Kondisi ekonomi global yang dilanda krisis, menjadikan ekonomi syariah
sebagai sistem alternatif penyelesaiannya.
6. Institusi bisnis syariah yang telah terbukti mempunyai daya tahan tinggi
terhadap krisis, dan menerapkan prinsip adil.
Menurut data Bapenas tahun 2005 terdapat sekitar 40 juta usaha mikro
yang tersebar di seluruh penjuru nusantara. Sementara itu keberadaan lembaga
keuangan yang mampu menjangkau dan melayani para pengusaha mikro ini
sangat terbatas. Selain itu sektor usaha mikro dewasa ini tengah mendapatkan
perhatian dunia internasional, bahkan tahun 2005 dicanangkan sebagai tahun
internasional pembiayaan mikro oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
(www.luqmannomic.wordpress.com, 2007).
Keberadaan BMT yang siap memberikan pinjaman modal tanpa agunan,
dengan prosedur administrasi yang mudah, rendah biaya transaksi, dan yang
tak kalah penting bebas bunga akan menjadi daya tarik bagi pengusaha mikro
untuk beralih dari lembaga keuangan informal semacam rentenir kepada
lembaga keuangan yang lebih aman, halal dan syar’i yaitu BMT. Hal ini
merupakan peluang besar bagi BMT sebagai sebuah lembaga keuangan mikro
syariah untuk berkembang dan mendapat dukungan dari pemerintah, baik
dukungan dari segi modal, legalitas, pengawasan maupun infrastruktur.
Disampaikan ketua Pusat Inkubasi Usaha Kecil PINBUK M. Amin Aziz
dalam seminar ekonomi Islam di auditorium UNS pada tanggal 24 Maret 2007
bahwa pertumbuhan BMT cukup baik meskipun ada beberapa hambatan yang
dialami oleh BMT, salah satu diantaranya adalah belum kuatnya dukungan
Pemerintah dari segi regulasi. Data dari Asosiasi BMT se-Indonesia
(ASBINDO) pada tahun 2005 terdapat sekitar 3000 BMT, dari jumlah tersebut
sekitar 1300 sudah berbadan hukum Koperasi sedangkan sisanya masih berupa
Lembaga Swadaya Masyarakat. Pada tahun 2010 ditargetkan tercapai 10.000
BMT (M. Amin Aziz, 2007).
Pada tahun 2004 Menteri Koperasi dan UKM mengeluarkan Surat
Keputusan No. 91/KEP/M.KUM/IX/2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Kegiatan Usaha Koperasi Jasa Keuangan Syariah. Dalam SK ini mengatur
bahwa Dewan Pengawas merupakan salah satu syarat koperasi jasa keuangan
syariah. Sebagaimana tugas DPS dalam perbankan, tugas DPS Koperasi jasa
syariah juga untuk menjaga kepatuhan koperasi terhadap prinsip syariah di
samping menerjemahkan fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) sebelum bisa
diterapkan.
KepMen tersebut ternyata belum juga mampu mengatasi permasalahan
hukum BMT. Hal ini karena bagi BMT yang belum berbadan hukum ada
kemungkinan tidak ada DPSnya, sebab belum ada payung hukum yang dapat
mengikat BMT yang tidak berbadan hukum koperasi harus memiliki DPS,
sehingga bisa mengkibatkan lemahnya pengawasan aspek syariah yang
seharusnya diterapkan dan dipatuhi. Permasalahan lainnya, meski sama-sama
menjalankan fungsi intermediasi dan masa pertumbuhan yang berbarengan,
namun produk yang ditawarkan Baitul Maal Wa Tamwil (BMT) lebih inovatif
dan variatif dibanding bank syariah. Sebagian besar pengembangan produk
BMT belum tersentuh fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN).
Direktur Karim Business Consulting, Adiwarman A Karim,
mengomentari 12 akad transaksi yang diajukan pengurus BMT kepada DSN.
''Saya yang pernah kerja di bank syariah saja belum pernah berfikir ada produk
seperti arisan. Bagaimana mungkin orang bank bisa memikirkannya,'' kata Adi
pada pelatihan pusat inkubasi usaha kecil (Pinbuk), Kamis (13/10/2006).
Adiwarman menyayangkan DSN belum memberikan kontribusi dalam
pengembangan BMT. DSN MUI, menurut dia, lebih banyak mengawal
perbankan dan asuransi syariah (www.pkes.org, 2006).
M. Burhan, pengurus BMT Safinah di Klaten, mengakui inovasi produk
pembiayaan BMT muncul dari keterbatasan. BMT tak punya referensi akad
DSN MUI. Sementara akad yang ada di perbankan syariah amat terbatas untuk
bisa dipraktikkan di BMT. Ia juga mengakui BMT belum dikawal Dewan
Pengawas syariah (DPS) yang mumpuni. ''Banyak kyai yang pandai soal
ibadah mahdhah, tapi kurang menguasai ilmu muamalah,'' kata Burhan pada
pelatihan pusat inkubasi usaha kecil (Pinbuk), Kamis (13/10/2006). Tak heran
beberapa praktik BMT akhirnya tidak sesuai syariah akibat ketidaktahuan
pengurus dan lemahnya peran DPS. Dia mencontohkan banyak BMT yang
mengambil dana program bantuan pemerintah untuk usaha kecil. Padahal
pengembalian dana itu berbasis bunga bank. Sebelumnya ada yang
berpendapat bahwa mengambil dana itu tidak apa-apa asalkan semua langsung
disalurkan ke masyarakat. ''Tapi ternyata oleh DSN itu tetap dianggap haram,''
kata Burhan. Sementara dana pemerintah itu bisa menopang kehidupan BMT
(www.pkes.org, 2006).
Dalam buku berjudul “Teori dan Praktek Lembaga Mikro Keuangan
Syariah”, Makhalul ‘Ilmi menyatakan bahwa sampai saat ini masih terdapat
BMT-BMT yang menyalahi prinsip-prinsip syariah baik itu dalam
penghimpunan maupun penyaluran dana (Makhalul ‘Ilmi dalam http://ghifa-
mandiri.com, 2005).
Pernyataan-pernyataan tersebut menarik untuk dikritisi dan dicermati,
sebab BMT sebagai lembaga keuangan alternatif bagi masyarakat harusnya
memiliki perbedaan dan keunggulan tersendiri, yaitu BMT yang dijalankan
secara agamis, dalam arti tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Syariah
dengan tidak meninggalkan ‘ruh’ profesionalisme dalam menjalankan dan
mengembangkan usahanya.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk
melakukan penelitian hukum tentang sejauh mana peran Dewan Pengawas
Syariah terhadap pengawasan aspek syariah di BMT dengan mengambil studi
pada BMT Safinah Klaten, serta hambatan yang dihadapi DPS dalam
menjalankan tugasnya dan solusi yang telah diupayakan, dengan judul
PERAN DEWAN PENGAWAS SYARIAH TERHADAP PENGAWASAN
ASPEK SYARIAH DI BAITUL MAAL WA TAMWIL (BMT) SAFINAH
KLATEN.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka penulis
merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah peran Dewan Pengawas Syariah terhadap pengawasan
aspek syariah di Baitul Maal Wa Tamwil ( BMT) Safinah Klaten?
2. Bagaimanakah pelaksanaan tugas Dewan Pengawas Syariah dalam
pengawasan aspek syariah di Baitul Maal Wa Tamwil (BMT) Safinah
Klaten?
3. Hambatan apa saja yang dihadapi oleh Dewan Pengawas Syariah dalam
melakukan pengawasan di Baitul Maal Wa Tamwil (BMT) Safinah Klaten
dan Solusi yang telah diupayakan?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Obyektif
a) Untuk mengetahui peran Dewan Pengawas Syariah terhadap
pengawasan aspek syariah di Baitul Maal Wa Tamwil (BMT) Safinah
Klaten.
b) Untuk mengetahui pelaksanaan tugas Dewan Pengawas Syariah dalam
menjalankan perannya terhadap pengawasan aspek syariah di Baitul
Maal Wa Tamwil (BMT) Safinah Klaten.
c) Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang dihadapi Dewan
Pengawas Syariah dalam melakukan pengawasan aspek syariah di
Baitul Maal Wa Tamwil (BMT) Safinah Klaten dan upaya praktis yang
telah ditempuh oleh Dewan Pengawas Syariah untuk mengatasi
hambatan tersebut.
2. Tujuan Subyektif
a) Untuk menambah pengetahuan penulis di bidang hukum ekonomi
Islam khususnya lembaga keuangan syariah Baitul Maal Wa Tamwil
(BMT) sebagai salah satu lembaga keuangan ekonomi mikro.
b) Untuk menambah pengetahuan penulis mengenai kesesuaian antara
teori dan praktek di lapangan mengenai peran Dewan Pengawas
Syariah dalam pengawasan aspek syariah di Baitul Maal Wa Tamwil.
c) Untuk melengkapi persyaratan dalam mencapai gelar kesarjanaan
dalam bidang ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Diharapkan penelitian ini dapat memberi sumbangan pengetahuan dan
pemikiran yang bermanfaat bagi pengembangan ilmu Hukum pada
umumnya dan dalam bidang Hukum Ekonomi Islam pada khususnya
mengenai peran Dewan Pengawas Syariah terhadap pengawasan aspek
syariah di lembaga keuangan mikro syariah (Baitul Maal Wa Tamwil)
2. Manfaat Praktis
a) Dapat memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti.
b) Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu memberikan
pemahaman pada pihak-pihak yang terkait mengenai peran Dewan
Pengawas Syariah dalam pengawasan aspek syariah di Baitul Maal Wa
Tamwil dan permasalahan serta solusi dalam pelaksanaan peran
tersebut.
c) Memperkaya wacana dalam rangka mengembangkan Hukum Ekonomi
Islam.
E. Metode Penelitian
Suatu penelitian ilmiah dapat dipercaya kebenarannya apabila disusun
dengan menggunakan suatu metode yang tepat. “ Metode merupakan cara
kerja atau tata kerja untuk dapat memahami obyek yang menjadi sasaran dari
ilmu pengetahuan yang bersangkutan. Metode adalah pedoman-pedoman, cara
seseorang ilmuwan mempelajari dan memahami lingkungan-lingkungan yang
dihadapi” (Soerjono Soekanto, 1986: 6).
1. Jenis Penelitian
Mengacu pada judul dan perumusan masalah, maka penelitian ini
termasuk ke dalam kategori penelitian hukum empiris, yaitu penelitian
hukum yang dimaksudkan untuk mengetahui efektifitas hukum yang
terdapat dalam masyarakat atau mengkaji hukum dalam realitas /
kenyataan di dalam masyarakat (Soerjono soekanto, 1986: 51).
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu penelitian yang
dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang
manusia, keadaan, atau gejala-gejala lainnya (Soerjono Soekanto,
1986:10).
3. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Menurut
Soerjono Soekanto pendekatan kualitatif merupakan tata cara penelitian
yang menghasilkan data deskriptif, yaitu apa yang dinyatakan oleh
responden secara tertulis atau lisan, dan perilaku nyata (Soerjono
Soekanto, 1986: 10).
4. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di Baitul Maal Wa Tamwil Safinah
Klaten yang beralamat di Jalan Pramuka No. 60 Klaten 57411 telpon
(0272) 327701 Fax. (0272) 324369. Pertimbangan penulis dalam
penentuan lokasi penelitian tersebut adalah bahwa BMT Safinah sudah
berbadan hukum dan merupakan BMT terbesar di Klaten yang memiliki
aset kurang lebih 30 (tiga puluh) milyar rupiah.
5. Jenis Data
a) Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari lapangan
melalui wawancara dengan pihak-pihak yang terkait dengan obyek
yang diteliti, yaitu peran DPS terhadap pengawasan Syariah di BMT
Safinah Klaten. Adapun data penelitian ini diperoleh dari pengelola
dan pengawas syariah BMT.
Dalam pengumpulan data ini peneliti menggunakan metode
purposive sampling, di mana peneliti cenderung memilih informan
yang dianggap tahu dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data
yang mantap dalam mengetahui masalahnya. Namun Demikian
informan yang dipilih dapat menunjukkan informan lain yang lebih
tahu, maka pilihan informan dapat berkembang sesuai dengan
kebutuhan dan kemantapan peneliti (Patton dalam HB Sutopo,
1988:22).
b) Data Sekunder
Data sekunder adalah data pendukung data primer yang
diperoleh secara tidak langsung melalui bahan kepustakaan dari buku,
dokumen, laporan, literatur, Peraturan Perundang-undangan dan
sumber tertulis lainnya yang sesuai dengan masalah yang diteliti.
6. Sumber Data
a) Sumber Data Primer
Sumber data primer diperoleh dari sumber-sumber lapangan
yang dapat memberikan informasi secara langsung mengenai segala
hal yang dapat berkaitan dengan obyek penelitian. Adapun data
penelitian ini diperoleh dari pengelola dan pengawas syariah BMT.
b) Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder diperoleh dari sejumlah keterangan atau
fakta–fakta yang secara tidak langsung diperoleh melalui bahan
dokumen, Peraturan Perundang–undangan, laporan, arsip, literatur dan
hasil penelitian lainnya. Sumber data sekunder dalam penelitian ini
dibagi menjadi tiga yaitu:
(1) Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai
kekuatan mengikat, diantaranya Al Qur’an, Undang-Undang
Koperasi No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, Keputusan
Menteri Koperasi & UKM No. 91 Tahun 2004 Tentang Petunjuk
Pelaksanaan Kegiatan Koperasi Jasa Keuangan Syariah, Keputusan
Dewan Syariah Nasional MUI No. 1 Tahun 2000 tentang Pedoman
Dasar Dewan Syariah Nasioanal - Majelis Ulama Indonesia (PD
DSN-MUI), Keputusan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama
Indonesia No. 03 Tahun 2000 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Penetapan Anggota Dewan Pengawas Syariah Pada Lembaga
Keuangan Syariah, serta Pedoman Akad Syariah Baitul Maal Wa
Tamwil (PAS BMT) 002.
(2) Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder sebagai pendukung data sekunder dari
bahan hukum primer yang digunakan penulis dalam penelitian ini
adalah literatur-literatur yang berasal dari buku-buku, makalah,
laporan penelitian serta artikel dari internet yang terkait dengan
obyek penelitian.
(3) Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier ini sebagai pendukung data sekunder dari
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yaitu Kamus
Besar Bahasa Indonesia.
7. Teknik Pengumpulan Data
a) Wawancara
Teknik pengumpulan data dengan cara terjun langsung untuk
memperoleh data yang valid. Studi lapangan dilakukan dengan cara
wawancara/intervieuw, yaitu suatu kegiatan pengumpulan data dengan
cara mengadakan komunikasi secara langsung dengan informan yang
berkaitan dengan masalah yang diteliti guna memperoleh data, baik
secara lisan maupun tulisan atas sejumlah keterangan dan data yang
diperlukan. Informan yang penulis wawancara adalah pengelola
diantaranya manajer utama dan karyawan, serta dengan dewan
pengawas syariah BMT Safinah.
b) Studi Kepustakaan
Merupakan pengumpulan data dengan membaca, mengkaji,
menganalisis, dan membuat catatan dari buku yang di perlukan, seperti
literatur, Peraturan Perundang-undangan, dokumen serta tulisan-tulisan
lain yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.
8. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian hukum ini
adalah analisis data yang bersifat kualitatif dengan model interaktif.
Analisis data secara kualitatif adalah suatu cara penelitian yang
menggunakan dan menghasilkan data deskriptif analisis, yaitu apa yang
dinyatakan responden secara tertulis maupun lisan dan prilaku nyata yang
diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh ( Soerjono Soekanto,
1986: 242 ).
Model analisis interaktif dilakukan dengan cara bahwa ketiga
komponen pengumpulan data aktivitasnya berbentuk interaksi dengan
proses pengumpulan data berbagai proses siklus. Dalam bentuk ini peneliti
tetap bergerak di antara ketiga komponen dengan komponen pengumpulan
data, selama proses pengumpulan data berlangsung, sesudah pengumpulan
data, kemudian bergerak di antara data reduction, data display, dan
conclusion drawing, dengan menggunakan waktu yang masih tersisa bagi
penelitiannya (Miles & Huberman dalam HB. Sutopo 1988: 37).
Analisis data meliputi tiga tahap komponen pokok pengumpulan
data, yaitu:
a. Reduksi data (data reduction)
Reduksi data merupakan penelitian proses seleksi, pemfokusan,
penyederhanaan, dan abstraksi data yang diperoleh serta tranformasi
dari data “kasar” yang dimuat dari catatan tertulis. Sajian data
merupakan suatu rakitan organisasi informasi yang menghasilkan
kesimpulan riset yang dapat dilakukan.
b. Penyajian data (data display)
Penyajian data merupakan sekumpulan informasi tersusun dalam suatu
kesatuan bentuk yang disederhanakan, selektif dalam konfigirasi mudah
dipakai sehingga memberi kemungkinan pengambilan keputusan.
c. Penarikan kesimpulan (conclution drawing)
Penarikan kesimpulan merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh peneliti
yang perlu diverifikasi, berupa suatu pengulangan dari tahap pengumpulan
data yang terdahulu dan dilakukan secara lebih teliti setelah data tersaji.
Secara garis besar dapat digambarkan dalam gambar berikut:
Pengumpulan Data
Penyajian Data
Penarikan Kesimpulan
Reduksi Data
Gambar 1: Analisis Kualitatif Model Interaktif
F. Sistimatika Penulisan Hukum
Adapun sistematika penulisan hukum tersebut adalah sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini penulis mengemukakan mengenai latar belakang masalah,
perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
metodologi penelitian, dan sistematika penulisan hukum.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini akan dibahas mengenai dua hal yaitu, yang pertama adalah
kerangka teori yang melandasi penelitian serta mendukung dalam
memecahkan masalah yang diangkat dalam penulisan hukum ini,
meliputi: Tinjauan Umum Tentang Ekonomi Islam, Tinjauan
Umum Tentang Baitul Maal Wa Tamwil, dan Tinjauan Umum
Dewan Pengawas Syariah. Pembahasan yang kedua adalah
mengenai kerangka pemikiran.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini merupakan hasil penjelasan dari penelitian yang diperoleh
di lapangan dan pembahasannya tentang Peran Dewan Pengawas
Syariah Terhadap Pengawasan Aspek Syariah di Baitul Maal Wa
Tamwil (BMT) Safinah Klaten, Pelaksanaan Tugas Dewan
Pengawas Syariah dalam Pengawasan Aspek Syariah di Baitul
Maal Wa Tamwil (BMT ) Safinah Klaten, serta Hambatan dalam
Menjalankan Peran dan Tugas Dewan Pengawas Syariah Terhadap
Pengawasan Aspek Syariah di Baitul Maal Wa Tamwil (BMT)
Safinah Klaten dan Solusi yang telah diupayakan.
BAB IV : SIMPULAN DAN SARAN
Bab akhir ini berisi tentang kesimpulan serta saran dari hasil
penelitian yang telah dilakukan penulis.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum Tentang Ekonomi Islam
a. Pengertian Tentang Ekonomi Islam
Definisi mengenai ekonomi Islam yang dikemukakan oleh Dr.
Muhammad Abdullah al Arabi, yaitu: ” Ekonomi Islam merupakan
sekumpulan dasar-dasar umum ekonomi yang kita simpulkan dari Al
Qur’an dan As Sunnah, dan merupakan pembangunan perekonomian
yang kita dirikan di atas landasan dasar-dasar tersebut sesuai dengan
tiap lingkungan dan masa” (Muhammad Abdullah al Arabi dalam
Gemala Dewi, 2004: 33).
Dari definisi tersebut Gemala Dewi membagi ekonomi islam
terdiri dari dua bagian (Gemala Dewi, 2004: 34):
Pertama adalah yang diistilahkan dengan ”sekumpulan dasar-
dasar umum ekonomi yang disimpulkan dari Al Qur’an dan As
Sunnah”, yang ada hubungannya dengan urusan-urusan ekonomi.
Prinsip-prinsip dasar yang termasuk dalam bagian pertama ini tidak
dapat berubah karena bersumber dari Al Qur’an dan As Sunnah.
Prinsip-prinsip ini terbatas jumlahnya dan pada dasarnya mencakup
kebutuhan-kebutuhan pokok yang pasti dihajati oleh setiap
masyarakat, tanpa peduli tingkat kemajuan ekonominya, sehingga
cocok untuk setiap saat dan tempat.
Kedua yaitu yang diistilahkan dengan ”Bangunan perekonomian
yang didirikan di atas landasan dasar-dasar tersebut sesuai dengan
tiap lingkungan dan masa”. Maksud dari istilah tersebut adalah cara-
cara penyesuaian atau pemecahan masalah ekonomi yang dapat dicapai
oleh para ahli dalam negara Islam, sebagai pelaksanaan dari prinsip-
prinsip Al Qur’an dan As Sunnah di atas. Dalam pelaksanaan prinsip-
prinsip ekonomi, atau pada bidang-bidang lain yang tidak diputuskan
hukumnya oleh prinsip-prinsip dasar, maka diperbolehkan
menggunakan ijtihad untuk menemukan pendapat bagi pemecahan
problem ekonomi menurut situasi dan kondisinya dengan petunjuk dari
Al Qur’an dan As Sunnah.
Sistem ekonomi Islam adalah bagian dari nilai-nilai dan ajaran-
ajaran Islam yang mengatur bidang perekonomian umat yang tidak
terpisahkan dengan aspek-aspek yang lain dari keseluruhan ajaran-
ajaran Islam yang komprehensif dan integral (Tazkia Institut dalam
Randy AW, 2005: 2).
Sistem ekonomi Islam memiliki banyak keunggulan daripada
sistem ekonomi lainnya, hal ini dapat dilihat dari tabel berikut:
Perbedaan antara sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi liberal dan sistem ekonomi sosialis
NO
Ekonomi Islam Ekonomi Liberal Ekonomi Sosialis
1 Sumber dari Al Qur’an, As Sunah, dan Ijtihad
Sumber dari pikiran dan pengalaman manusia
Hasil pikiran, filsafat dan pengalaman manusia
2 Berpandangan dunia holistik
Berpandangan dunia sekuler
Berpandangan dunia sekuler ekstrem
3 Kepemilikan individu terhadap kapital adalah nisbi
Kepemilikan individu terhadap kepemilikan adalah mutlak
Membatasi bahkan menghapus kepemilikan individu
4 Mekanisme pasar bekerja menurut maslahat
Mekanisme pasar dibiarkan bekerja sendiri
Mekanisme ekonomi dijalankan melalui perencanaan pusat
5 Kompetisi usaha dikontrol oleh diktum
Kompetisi usaha bersifat bebas dan melahirkan monopoli
Tidak ada kompetisi usaha karena semua diatur oleh pusat
6 Kesejahteraan fungsi dari jasmani, rohani dan akal
Kesejahteraan ditentukan oleh faktor-faktor jasadiyah
Kesejahteraan ditentukan oleh faktor-faktor jasadiyah
7 Profit motive diakui Profit motive diakui Profit motive tidak diakui
lewat cara-cara halal
tanpa ada batasan normatif
sama sekali
8 Mengakui free enterprise dalam koridor halal
Mengakui free enterprise tanpa batasan apapun
Negara mengambil alih semua keiatan ekonomi
9 Pemerintah aktif sebagai pengawas, pengontrol dan wasit yang adil
Pemerintah sebagai penonton yang pasif dan netral
Pemerintah sebagai pemilik, pengawas, dan pengusaha utama perekonomian
10 Mekanisme redistribusi pendapatan sangat menonjol dan diakui perbedaan pendapatan
Tidak dikenal, hanya bila ada tekanan dari berbagai kelompok
Menyamakan pendapatan dan penghasilan individu
Tabel 1. Perbedaan antara sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi liberal dan sistem ekonomi sosialis (Tazkia Institut dalam Randy AW, 2005: 3)
Perbedaan yang ada antara paham materialis, sosialis dan
kapitalis dengan konsep ekonomi Islam sangat signifikan.
Kesejahteraan masyarakat yang diinginkan dalam konsep Islam
tercemin dalam Baldatun Thoyyibatun Warobbun Ghoffur, yaitu
masyarakat yang sejahtera dalam lindungan dan ampunan Allah SWT.
Dengan kata lain kehidupan berekonomi yang baik bukanlah target
akhir yang ingin dicapai oleh Islam, melainkan sebagai ibadah untuk
mencari keridhoan Allah, sebagaimana diFirmankan dalam Al Qur’an
sebagai berikut :
”Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (Q.S. Ad Dzariyat ayat 56).
”Dan diantara meraka ada orang-orang yang mengorbankan dirinya untuk mencari rodho Allah. Dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.” (Q.S Al Baqarah ayat 207).
b. Ciri-ciri Ekonomi Islam
Ekonomi Islam merupakan bagian dari sistem Islam yang
memiliki hubungan sempurna dengan agama Islam, yaitu adanya
hubungan antara ekonomi Islam dengan akidah dan syariat. Hubungan
ini menyebabkan ekonomi Islam memiliki sifat yang menjadi ciri
ekonomi islam yaitu (Gemala Dewi, 2004: 38):
1) Sifat Pengabdian (Ibadah)
Pekerjaan ekonomi seseorang akan bernilai ibadah apabila
dimaksudkan untuk mencari keridhoan Allah, artinya harus
dilaksanakan dengan ikhlas dan sesuai dengan perintah Allah serta
dalam melaksanakan kegiatan ekonomi tidak boleh melanggar
laranganNya. Dalam Islam diajarkan bahwa manusia yang paling
baik adalah yang paling banyak memberikan kemanfaatan untuk
orang lain.
2) Cita-cita Yang Luhur
Tujuan dari kegiatan ekonomi Islam bukan hanya untuk
mendapatkan keuntungan semata, tapi untuk memakmurkan bumi
dalam rangka menjalankan tugas manusia sebagai khilafah atau
pemimpin di muka bumi, yang nantinya amanah tersebut akan
dipertanggungjawabkan dihadapan Allah.
3) Memiliki Pengawasan Atas Pelaksanaan Kegiatannya
Dalam lingkungan ekonomi Islam, disamping adanya pengawasan
syariah yang dilaksanakan oleh kekuasaan umum, ada juga
pengawasan yang lebih ketat dan aktif, yaitu pengawasan hati
nurani yang telah terbina di atas kepercayaan akan adanya Allah
SWT. Perasaan (pengawasan) hati nurani akan lebih mampu
mencegah penyelewengan kegiatan ekonomi jika dibanding dengan
pengawasan dari luar.
4) Keseimbangan Antara Kepentingan Individu Dan Masyarakat
Islam mengakui kepentingan individu maupun kepentingan
masyarakat selama tidak terjadi pertentangan antara keduanya. Hak
milik dan kebebasan individu diakui selama tidak membahayakan
kepentingan orang banyak. Namun jika terjadi pertentangan, maka
Islam mendahulukan kepentingan orang banyak di atas
kepentingan individu.
c. Asas-asas Ekonomi Islam
1) Kebebasan Berusaha
Islam tidak membatasi bentuk dan macam usaha seseorang
untuk memperoleh harta sesuai dengan kemampuan, kecakapan,
dan ketrampilan masing-masing. Sebagaimana diFirmankan dalam
Al Qur’an yang artinya, ”Dialah yang menjadikan bumi ini mudah
buat kamu. Oleh karena itu berjalanlah di permukaannya dan
makanlah dari rezekinya.” (Q.S. Asy Syu’ara’ ayat 15).
2) Pengharaman Riba
Riba menurut pengertian bahasa berarti Az Ziadah yaitu
tambahan atau kelebihan. Sedangkan dalam fikih Islam dikenal
dalam tiga jenis, yaitu (www.pkes.org, 2006):
a) Riba Fadl/riba buyu, yaitu riba yang timbul akibat pertukaran
barang sejenis yang tidak memenuhi kriteria sama kualitasnya
(mistlan bi mistlin), sama kuantitasnya (sawa-an bi sawa-in),
dan sama waktu penyerahannya (yadan bi yadin). Pertukaran
ini mengandung gharar (ketidakjelasan) bagi kedua belah
pihak akan nilai masing-masing barang yang dipertukarkan.
Dalam perbankan konvensional riba fadl dapat ditemui dalam
jual beli valuta asing yang tidak dilakukan dengan cara tunai.
b) Riba Nasi’ah/riba duyun, yaitu riba yang timbul akibat hutang-
piutang yang tidak memenuhi kriteria untung muncul bersama
resiko (al ghunmu bil ghurmi) dan hasil usaha muncul bersama
biaya (al kharaj bi dhaman). Riba ini muncul karena adanya
perbedaan, perubahan, atau tambahan antara barang yang
diserahkan hari ini dengan barang yang diserahkan kemudian.
Transaksinya mengandung pertukaran kewajiban menanggung
beban. Dalam perbankan konvensional riba nasi’ah dapat
ditemui dalam pembayaran bunga kredit dan pembayaran
bunga deposito, tabungan, dan giro.
c) Riba Jahiliyah, yaitu hutang yang dibayar melebihi dari pokok
pinjaman, karena si peminjam tidak mampu mengembalikan
dana pinjaman pada waktu yang telah ditetapkan. Dalam
perbankan konvensional riba jahiliyah dapat ditemui dalam
pengenaan bunga pada transaksi kartu kredit.
Al Qur’an menyinggung masalah riba di beberapa surat, yakni surat Al
Baqarah ayat 275-280, surat Al Imran ayat 130. surat An Nisaa’ ayat 161, dan
surat Ar Ruum ayat 39.
3) Pengaharaman Jual Beli Samar / mengandung Sifat Penipuan
(Bai’u Al Gharar)
Al Gharar ialah suatu yang tidak ketahui pasti, benar atau
tidaknya. Jadi Bai’u Al Gharar ialah jual beli yang tidak pasti
hasil-hasilnya, karena tergantung pada hal yang akan datang atau
kepada seseuatu yang belum diketahui yang kadang terjadi,
kadang-kadang tidak (Gemala Dewi, 2004: 47).
4) Pengharaman Penyalahgunaan Pengaruh untuk Mencari Harta
Islam mengharamkan usaha seseorang untuk mendapatkan
harta dengan jalan menyalahgunakan kekuasaan atau pengaruh.
Dalam hal ini Islam mengahapuskan usaha yang tersembunyi di
balik apa-apa yang dapat diperoleh dengan cara ini, dan
mengarahkannya kepada perbendaharaan kaum muslimin (Gemala
Dewi, 2004: 48).
5) Pengharaman Pemborosan dan Kemewahan
Sebagaimana Islam mengatur mengenai cara-cara berusaha
untuk mendapatkan harta, Islam juga mengatur cara-cara
pengeluaran dan penggunaan harta. Islam melarang pengeluaran
harta dengan cara pemborosan, sebagaimana diFirmankan dalam
Al Qur’an:
”Sesungguhnya orang-orang pemboros adalah saudara-saudara setan, dan setan adalah kafir terhadap Tuhannya. ” (Q.S. Surat Al Isra’ ayat 27).
”Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya menaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantaslah berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (Q.S. Surat Al Isra’ ayat 16).
”Dan orang-orang yang apabila membelanjakan harta, mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (Q.S. surat Al Furqan ayat 67).
6) Pengharaman Penimbunan Harta
Pengaharaman terhadap penimbunan harta apabila barang
yang ditimbun merupakan kelebihan dan kebutuhannya, karena
seseorang diperbolehkan menimbun persediaan nafkah untuk
keluarganya selam satu tahun sebagaimana dilakukan oleh
Rosulullah, serta apabila penimbunan itu dilakukan untuk dijual
pada saat-saat memuncaknya harga dan pada saat manusia sangat
membutuhkannya.
Dalil Al Qur’an Surat At Tawbah ayat ke 34-35, yang artinya
” Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri,
maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan
itu.”
2. Tinjauan Umum Baitul Maal Wa Tamwil (BMT)
a. Pengertian BMT
Baitul Mal berasal dari bahasa Arab bait yang berarti rumah, dan
al-mal yang berarti harta. Jadi secara etimologis (makna lughawi)
Baitul Maal berarti rumah untuk mengumpulkan atau menyimpan harta
(Dahlan dalam Sigit Purnawan Jati, www.msi-uii.net, 2004).
Adapun secara terminologis, sebagaimana uraian Abdul Qadim
Zallum (1983) dalam kitabnya Al Amwaal Fi Daulah Al Khilafah,
Baitul Maal adalah suatu lembaga atau pihak (al jihat) yang
mempunyai tugas khusus menangani segala harta umat, baik berupa
pendapatan maupun pengeluaran negara, dapat juga diartikan secara
fisik sebagai tempat (al- makan) untuk menyimpan dan mengelola
segala macam harta yang menjadi pendapatan negara (Sigit Purnawan
Jati, 2004, www.msi-uii.net).
Baitul Maal wa Tamwil, berasal dari kata baitul maal dan baitul
tamwil. Baitul Maal artinya rumah harta, yaitu tempat penitipan dan
penyaluran dana Zakat Infaq Sodaqoh (ZIS), wakaf, dan sumbangan
social kemanusiaan. Baitul tamwil artinya rumah, yaitu tempat
pengembangan bisnis, pengembangan usaha, balai usaha ekonomi
produktif dalam meningkatkan kualitas hidup pelaku usaha mikro
melalui kegiatan simpan pinjam sistem bagi hasil (Amin Aziz, 2007).
Menurut Heri Sudarsono dalam buku “Bank dan Lembaga
Keuangan Syariah Deskripsi dan Ilustrasi”, BMT terdiri dari dua
istilah yaitu baitul maal dan baitul tamwil. Baitul maal lebih mengarah
pada usaha-usaha pengumpulan dan penyaluran dana yang non profit,
seperti zakat, infak, shodaqoh, sedangkan baitul tamwil sebagai usaha
pengumpulan dan penyaluran dana komersial (http://ghifa-
mandiri.com/download/isi.doc, 2005)
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat ditarik pengertian
yang menyeluruh bahwa BMT merupakan lembaga bisnis yang
berorientasi sosial yang dalam mengoperasikan kegiatannya
berdasarkan ketentuan-ketentuan syariah. Dengan demikian di dalam
BMT terdapat dua peran yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain,
yaitu perannya sebagai lembaga sosial dan juga sebagai lembaga
bisnis. Dalam hal ini ketika suatu lembaga menamakan dirinya sebagai
BMT maka secara de facto harus memiliki dua unit usaha sekaligus,
yaitu usaha dalam bidang pengelolaan ZIS yang mewakili perannya
sebagai lembaga sosial dan usaha dalam bidang perbankan syariah
yang mewakili perannya sebagai lembaga bisnis, apabila salah satunya
tidak ada maka tidak bisa disebut sebagai BMT tetapi baitul maal saja
atau baitul tamwil saja.
b. Sejarah BMT
1) Sejarah Baitul Maal Era Pemerintahan Islam
Kejayaan Islam pada masa lampau, salah satunya ditopang
oleh sistem logistik dan keuangannya yang begitu canggih, yaitu
”Baitul Maal”. Melalui inilah proyek-proyek raksasa dan
prestisius mendapat backing financial. Islam mendapat simpati dan
dukungan di kalangan warga di Jazirah Arab karena melalui sistem
Baitul Maal itulah Nabi dan para sahabat membuat suatu sistem
ekonomi yang berkeadilan dan membantu dhuafa. Bila Nabi
mendapat amanah zakat dari umat Islam di waktu pagi hari, maka
ba’da dhuhur, zakat tersebut sudah terbagi habis kepada mustahiq,
terutama fakir miskin. Dana Baitul Maal juga banyak dipergunakan
untuk memerdekakan budak, sehingga Baitul Maal ini berjasa
besar dalam menghapus sistem perbudakan di wilayah Islam.
Seorang sahabat bernama Hanzhalah bin Shaifi yang menjadi
penulis (katib) Rasulullah SAW menyatakan :
“Rasulullah SAW menugaskan aku dan mengingatkan aku (untuk membagi-bagikan harta) atas segala sesuatu (harta yang diperoleh) pada hari ketiganya… Tidaklah datang harta atau makanan kepadaku selama tiga hari, kecuali Rasulullah SAW selalu mengingatkannya (agar segera didistribusikan). Rasulullah SAW tidak suka melalui suatu malam sementara ada harta (umat)
di sisi beliau.” (Zallum dalam Sigit Purnawan, www.msi-uii.net, 2004).
Keadaan seperti di atas terus berlangsung sepanjang masa
Rasulullah SAW. Ketika Abu Bakar menjadi Khalifah, keadaan
Baitul Mal masih berlangsung seperti itu di tahun pertama
kekhilafahannya (11 H/632 M). Kemudian pada tahun kedua
kekhilafahannya (12 H/633 M), Abu Bakar merintis embrio Baitul
Maal dalam arti yang lebih luas. Baitul Maal bukan sekedar berarti
pihak (al- jihat) yang menangani harta umat, namun juga berarti
suatu tempat (al-makan) untuk menyimpan harta negara. Abu
Bakar menyiapkan tempat khusus di rumahnya berupa karung atau
kantung (ghirarah) untuk menyimpan harta yang dikirimkan ke
Madinah. Hal ini berlangsung sampai kewafatan beliau pada tahun
13 H/634 M.
Setelah Abu Bakar wafat dan Umar bin Khatthab menjadi
Khalifah, beliau mengumpulkan para bendaharawan kemudian
masuk ke rumah Abu Bakar dan membuka Baitul Maal. Ternyata
Umar hanya mendapatkan satu dinar saja, yang terjatuh dari
kantungnya. Akan tetapi setelah penaklukan-penaklukan (futuhat)
terhadap negara lain semakin banyak terjadi pada masa Umar dan
kaum muslimin berhasil menaklukan negeri Kisra (Persia) dan
Qaishar (Romawi), semakin banyaklah harta yang mengalir ke kota
Madinah. Oleh karena itu era Khalifah Umar Ibnul Khatthab,
Baitul Maal sudah membiayai sarana dan prasarana umum seperti
pembangunan jalan raya, jembatan, dan irigrasi pertanian.
Pada fase Umayyah di Damaskus, Baitul Maal membiayai
proyek penerjemahan buku-buku kekayaan intelektual Yunani
kuno. Di sinilah gelombang intelektual Islam dimulai. Era Dinasti
Abbasiyah di Baghdad, khalifah membangun perpustakaan Al-
Hikmah, sekolah-sekolah, dan perguruan tinggi seperti
Nidlomiyah. Baghdad kala itu sudah menjadi kota Metropolitan,
pada saat yang sama di Barat masih ‘gelap gulita’. Meski Khilafah
Islamiyah hancur pada era imperialisme Barat, namun praktik
Baitul Maal masih diteruskan ummat Islam dalam kelompok-
kelompok kecil seperti di masjid-masjid dan lembaga umat
lainnya.
Peran Baitul Maal terus berlanjut, seperti berhasil
membangun Perguruan Tinggi Al-Azhar di Mesir hingga kini
memberi beasiswa gratis untuk jurusan yang mengkaji agama
Islam di sana. Keberpihakan Baitul Maal terhadap kaum dhuafa
juga tetap berlangsung. Bangladesh, misalnya, berhasil mengurangi
penduduk miskin dan Malaysia yang mendanai generasi Islam
yang hendak mencari ilmu mulai dari SD hingga ke program S3
atau doktor. Bahkan umat Islam mengembangkan tradisi Baitul
Maal di negara-negara non-Muslim seperti di Amerika dan Inggris
(www.luqmannoic.wordpress.com, 2007).
Pelembagaan BMT diilhami oleh sejarah kuatnya posisi
lembaga-lembaga ekonomi di masa awal kebangkitan ekonomi
umat Islam, yaitu baitul maal (rumah harta) yang lahir di zaman
Rasulullah SAW. Lembaga ini berfungsi sebagai badan logistik
umat Islam. Namun demikian, baitul maal dan BMT punya banyak
perbedaan, baik sejarah maupun perannya.
Mengenai hal ini, Dr. Yusuf Qardhawi memaparkan
pandangannya, bahwa baitul maal dalam Negara Islam terbagi
menjadi empat (Dr. Yusuf Qardhawi dalam http://ghifa-
mandiri.com/download/isi.doc, 2005). Pertama, baitul maal khusus
untuk zakat. Baitul maal ini mempunyai sistem kerja sendiri dan
bertugas mengumpulkan dan menyalurkan zakat kepada beberapa
sektor yang sudah dibatasi sesuai dengan tingkat kebutuhan.
Kedua, baitul maal khusus untuk menghimpun hasil jizyah
(upeti) dan kharaj (pajak hasil bumi) yang diambil dari kalangan
non muslim yang hidup berdampingan dengan umat Islam.
Imbalannya, mereka diperlakukan seperti warga muslim biasa.
Baik jizyah maupun kharaj, dipungut dari mereka sebagai padanan
zakat dan berbagai shodaqoh yang dipungut dari umat Islam,
seperti derma, zakat fitrah, dan denda akibat ketidaksempurnaan
melakukan ibadah. Atas pajak yang mereka keluarkan, kaum
muslimin wajib menjaga dan mengayomi mereka tanpa
membebani dengan wajib militer. Kharaj adalah pajak hasil bumi
tahunan seperti yang diterapkan Umar terhadap tanah pertanian di
Irak dan lainnya.
Ketiga, baitul maal khusus untuk hasil rampasan perang (al-
Ghanimah) dan barang temuan (al-Luqatahah). Kebijaksanaan ini
diterapkan bagi mereka yang berpendapat bahwa kedua hal ini
tidak dikenai zakat dan tidak pula wajib kepada mereka yang
berhak. Keempat, baitul maal khusus untuk barang-barang tidak
bertuan (tidak diketahui pemiliknya). Sedangkan Baitul maal pada
masa sekarang (BMT), mempunyai peran sebagai lembaga sosial
dan usaha dalam bidang perbankan syariah yang mewakili
perannya sebagai lembaga bisnis, apabila salah satunya tidak ada
maka tidak bisa disebut sebagai BMT tetapi baitul maal saja atau
baitul tamwil saja.
2) Sejarah Baitul Maal Wa Tamwil di Indonesia
a) Sejarah berdirinya
Implikasi nilai-nilai syariah dalam bidang ekonomi
adalah terbentuknya lembaga-lembaga keuangan yang
berlandaskan nilai-nilai syariah. Di Indonesia bank syariah
yang pertama didirikan pada tahun 1992 adalah Bank
Muamalat. BMT mulai lahir sejak tahun 1995, setelah Bank
Muamalat Indonesia (BMI). Kelahirannya diprakarsai oleh
Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), Majelis Ulama
Indonesia (MUI), dan BMI. Hal ini juga didorong oleh rasa
keprihatinan yang mendalam terhadap banyaknya masyarakat
miskin (terutama umat Islam) yang terjerat oleh rentenir dan
juga dalam rangka memberikan alternatif bagi mereka yang
ingin mengembangkan usahanya yang tidak dapat berhubungan
secara langsung dengan bank Islam dikarenakan usahanya
tergolong kecil dan mikro. Namun demikian, sesungguhnya
BMT sudah mulai ada di Indonesia sejak tahun 1992 yang
diprakarsai oleh Aries Mufti, dengan mendirikan BMT Bina
Insan Kamil di Jalan Pramuka Jakarta Pusat. Jadi, embrionya
sejak 1992 tapi belum berkembang
(http://subkhan.wordpress.com, 2008).
Semakin banyaknya orang-orang yang memiliki perhatian
terhadap lembaga kecil ini, maka perlu adanya pembinaan dan
pengawasan pada BMT-BMT serta dibutuhkan adanya
perantara untuk terjalinnya komunikasi dan jaringan antar
BMT ataupun penghubung BMT kepada lembaga ekonomi
yang lebih besar baik pemerintah atau swasta, dan tentunya
juga dalam usaha untuk menumbuhkan dan mengembangkan
BMT dimasa depan. Oleh sebab itu berdiri pulalah lembaga
pembina BMT yang berupa Lembaga Pengembangan Swadaya
Masyarakat (LPSM), baik bernama Pusat Pengkajian dan
Pengembangan Usaha Kecil (P3UK), Pusat Inkubasi Bisnis dan
Usaha Kecil (PINBUK) maupun Dompet Dhuafa (DD)
Republika (www.luqmannomic.wordpress.com, 2007).
Menurut data Asosiasi BMT seluruh Indonesia
(ABSINDO), hingga akhir Desember 2006 ada 3500 BMT
yang tersebar di seluruh Indonesia dengan jumlah aset
mencapai 2 triliun rupiah. Bahkan PINBUK, ICMI dan
ABSINDO punya target mengembangkan 10.000 BMT di
tahun 2010. Setidaknya ada tiga alasan penting mengapa BMT
dapat berkembang pesat (http://subkhan.wordpress.com, 2008).
Pertama, animo masyarakat bawah cukup besar untuk
mendapatkan akses pembiayaan bagi pengembangan usaha
mereka yang tidak dapat dipenuhi oleh perbankan dikarenakan
prosedur dan administrasi bank yang ketat dan juga bank
kurang berminat menyalurkan kredit kecil yang berkisar antara
500.000 rupiah – 5 juta rupiah.
Kedua, berkaitan dengan keinginan sebagian masyarakat
muslim untuk bermuamalah yang berprinsip pada syariah dan
non ribawi. Ketiga, cerita sukses beberapa BMT turut
mendorong orang untuk mendirikan lembaga serupa. Apalagi
proses pendirian BMT relatif mudah dan tidak rumit.
b) Status badan hukum
Badan hukum BMT hingga saat ini belum seragam, hal
ini dikarenakan belum ada peraturan perundangan yang
mengatur secara khusus keberadaan BMT. Sebagian ada yang
berbadan hukum Yayasan, Koperasi, Perkumpulan atau tidak
berbadan hukum sama sekali.
BMT merupakan sejenis lembaga intermediasi dengan
skala mikro, namun BMT bukan bank ataupun koperasi. Dilihat
sekilas dari operasionalnya, BMT lebih menyerupai koperasi
simpan pinjam yang menerapkan prinsip syari’ah. Oleh karena
itu banyak kalangan ekonom Islam yang menyarankan badan
hukum untuk seluruh BMT diseragamkan menjadi bentuk
koperasi.
Tidak banyak BMT yang beroperasi sebagai bank, karena
persyaratan yang berat baik kuantitatif menyangkut
permodalan, maupun kualitatif seperti SDM, sistem dan
prosedur tata cara pelaporan, dan pengawasan. Mengacu pada
Undang-undang perbankan, BMT yang dalam kegiatannya
menghimpun dana secara langsung dari masyarakat dan
menyalurkan kredit kepada masyarakat harus memperoleh
persetujuan dari Bank Indonesia, sebagai sebuah bank.
Apabila BMT menyatakan dirinya berbentuk koperasi
simpan pinjam, maka harus memenuhi persyaratan-persyaratan
sebagai koperasi, seperti Anggaran Dasar, keanggotaan, dan
perangkat organisasi meliputi Rapat Anggota, Pengawasan, dan
Pengurus.
Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-orang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan (Pasal 1 ayat (1) UU Koperasi No. 25 Tahun 1992).
Anggota koperasi adalah pemilik sekaligus pengguna
jasa. Sedang keanggotaan koperasi secara umum didasarkan
pada kesamaan kepentingan ekonomi dalam lingkup usaha
koperasi. Meskipun demikian dalam koperasi ini dimungkinkan
adanya anggota luar biasa yang persyaratan, hak, dan
kewajiban ditetapkan dalam Anggaran Dasar.
Dalam pedoman umum AD/ART BMT yang diterbitkan
oleh PINBUK, status BMT ditentukan oleh jumlah aset yang
dimiliki sebagai berikut:
(1) Pada awal pendiriannya hingga mencapi aset lebih kecil
dari Rp 100 juta, BMT adalah Kelompok Swadaya
Masyarakat yang berhak meminta/mendapatkan Sertifikat
Kemitraan dari PINBUK (Pusat Inkubasi Bisnis Usaha
Kecil).
(2) Jika BMT telah memiliki aset Rp 100 juta atau lebih, maka
BMT diharuskan melakukan proses pengajuan Badan
Hukum kepada notaris setempat, antara lain dapat
berbentuk :
(a) Koperasi Syariah (KOPSYAH)
(b) Unit Usaha Otonom Pinjam Syariah dari KSP (Koperasi
Simpan Pinjam), KSU (Koperasi Serba Usaha), KUD
(Koperasi Unit Desa), Kopontren (Koperasi Pondok
Pesantren), atau Koperasi lainnya yang beroperasi
otonom termasuk pelaporan dan pertanggung
jawabannya.
BMT yang berbadan hukum koperasi harus tunduk pada
UU No. 25/1992 tentang Perkoperasian. Setiap koperasi yang
berdiri harus mendapatkan ijin dari Kementerian Koperasi dan
UKM. Oleh karena itu BMT yang berbadan hukum koperasi
berada dalam pengawasan dan pembinaan Kementerian
Koperasi dan UKM.
Pada bulan September 2004 Kementrian Koperasi dan
UKM mengeluarkan keputusan Kep.Men.Kop & UKM
No.91/Kep/M.KUM/IX/2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Kegiatan Usaha Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS). Pada
ketentuan peralihan pasal 50 disebutkan bahwa Koperasi
Simpan Pinjam (KSP) / Unit Simpan Pinjam (USP)-Koperasi
yang ingin mengubah atau mengkonversikan kegiatan usahanya
menjadi Koperasi Jasa Keuangan Syariah/Unit Keuangan
Syariah dapat menjalankan usaha dengan ketentuan yang telah
ditetapkan. Sedangkan Koperasi yang telah menyelenggarakan
kegiatan pembiayaan Pola Syariah, diberikan kesempatan
selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak berlakunya keputusan
ini, untuk menyesuaikan dan mengikuti segala peraturan yang
berlaku dalam keputusan tersebut.
c. Produk-produk BMT
Penghimpunan dana dalam BMT tidak jauh berbeda dengan bank
syariah yang juga salah satu fungsinya sebagai lembaga perantara
(financial intermediary).
1) Penghimpunan Dana BMT
a) Penghimpunan dengan akad Wadiah
Prinsip ini dikembangkan berdasarkan ketentuan-
ketentuan sebagai berikut :
(1) Keuntungan atau kerugian dari penyaluran dana menjadi
hak milik atau ditanggung BMT, sedang pemilik dana tidak
dijanjikan imbalan dan tidak menanggung kerugian. BMT
dimungkinkan memberikan bonus kepada pemilik dana
sebagai suatu intensif.
(2) BMT harus membuat akad pembukuan rekening yang
isinya mencakup izin penyaluran dana yang disimpan dan
persyaratan lain yang disepakati selama tidak bertentangan
dengan prinsip syariah.
(3) Terhadap pembukaan rekening ini BMT dapat mengenakan
pengganti biaya administrasi untuk sekedar menutupi biaya
yang benar-benar terjadi.
(4) Keuntungan lain yang berkaitan dengan rekening giro dan
tabungan tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan
prinsip syariah.
b) Perhimpunan dana dengan akad Mudharabah
Aplikasi prinsip ini adalah bahwa deposan atau
penyimpan bertindak sebagai shahibul maal dan bank sebagai
mudharib. Dana ini digunakan bank atau BMT untuk
melakukan pembiayaan akad jual beli maupun syirkah.
2) Produk Pembiayaan BMT
a) Pembiayaan berdasar prinsip jual beli
(1) Al Murabahah, yaitu jual beli barang pada harga asal
dengan tambahan keuntungan yang disepakati antara pihak
lembaga keuangan syariah, dalam hal ini BMT dengan
nasabah. Dalam prakteknya, pembayarannya dilakukan
secara cicilan setelah barang diserahkan kepada nasabah.
(2) Bai’ As Salam, merupakan pembelian barang yang dananya
dibayarkan di muka, sedangkan barang diserahkan
kemudian. Menurut Sayyid Sabiq, as-salam dinamai juga
as-salaf (pendahuluan), yaitu penjualan sesuatu dengan
kriteria tertentu (yang masih berada) dalam tanggungan
dengan pembayaran disegerakan.
(3) Bai’ Al Istishna, menurut jumhur ulama fuqaha, bai’ al
istishna merupakan suatu jenis khusus dari bai’ as-salam.
Produk istishna menyerupai produk salam, namun dalam
istishna pembayarannya dapat dilakukan oleh BMT dalam
beberapa kali pembayaran.
Untuk landasan hukum transaksi bai’ al istishna mengikuti
landasan hukum bai’ as salam, mengingat bai’ al istishna
merupakan suatu jenis khusus dari bai’ as salam.
(4) Al-Ijarah, adalah akad pemindahan hak guna atas barang
atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti
dengan pemindahan kepemilikan (ownership/milkiyyah)
atas barang itu sendiri. Pada prinsipnya prinsip al-ijarah
sama dengan prinsip jual beli, namun perbedaannya terletak
pada obyek transaksinya, dalam hal ini obyek transaksinya
adalah jasa.
b) Pembiayaan berdasar prinsip bagi hasil
(1) Musyarakah, yaitu pembiayaan dengan akad kerjasama
(syirkah) dimana BMT dan anggota membiayai usaha
dengan penyertaan manajemen BMT di dalamnya.
(2) Mudharabah, yaitu pembiayaan dengan akad kerjasama
(syirkah) dimana BMT dan anggota membiayai usaha tanpa
penyertaan manajemen BMT di dalamnya.
c) Pembiayaan dalam kelompok jasa
(1) Berdasar akad Wakalah, yaitu pelimpahan kekuasaan oleh
seseorang kepada yang lain dalam hal-hal yang diwakilkan.
Dalam kontrak BMT wakalah berarti BMT menerima
amanah dari investor yang akan menanamkan modalnya
kepada nasabah.
(2) Berdasar akad Kafalah, berarti jaminan yang diberikan oleh
penanggung kepada pihak lain untuk memenuhi
kewajibannya kepada pihak yang ditanggung, dengan kata
lain, mengalihkan tanggung jawab seseorang yang dijamin
kepada orang lain yang menjamin.
(3) Berdasar akad Hawalah, berarti pengalihan hutang dari
orang yang berhutang kepada si penanggung. Dalam istilah
para ulama, hal ini merupakan pemindahan beban utang
dari muhil (orang yang berutang) menjadi tanggungan
muhal’alaih atau orang yang berkewajiban membayar
utang.
(4) Berdasar akad Rahn atau gadai, adalah menahan salah satu
harta milik peminjam sebagai jaminan atas pembiayaan
yang diterimanya.
d) Pembiayaan berdasar prinsip pinjam meminjam
Berdasar akad Al Qard, yaitu pemberian harta kepada
orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali, dengan
kata lain qard adalah pemberian pinjaman tanpa mengharapkan
imbalan.
3. Tinjauan Umum Dewan Pengawas Syariah
a. Pengertian Pengawasan Syariah
Pengawasan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, yaitu hal,
cara, perbuatan mengawasi; penilikan dan penjagaan; penilikan dan
pengarahan kebijakan jalannya perusahaan (Soeharso & Ana
Retnoningsih, 2005).
Pengawasan oleh suatu badan yang berwenang adalah
pengawasan yang dilakukan oleh suatu badan berdasarkan suatu
peraturan perundang-undangan yang sah yang berdasar teori yang ada
bahwa pengawasan dilakukan oleh badan yang berada diatasnya, agar
tidak terjadi sebuah kontrak wewenang antara dua atau lebih badan
pengawas dengan badan yang diawasi dimana badan yang mengawasi
memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada yang diawasi (Ir.
Sujamto, 1987).
Makna pengawasan syariah secara etimologi (lughowi) dapat
berarti riqabah atau penjagaan, pemeliharaan dan pemantauan.
Sebagaimana tersebut dalam al Qur’an surat an Nisaa’ ayat 1
”....Sesungguhnya Allah selalu menjaga mengawasi kalian.”
sedangkan secara terminologi (maknawi) dapat berarti pemantauan,
pemeriksaan dan investigasi untuk menjaga kemaslahatan dan
menghindari terjadinya kerusakan (Muhammad Ridwan,
www.kr.co.id, 2007).
Pengawasan syariah yang dilakukan oleh badan atau lembaga
yang berwenang bertujuan untuk mengetahui sejauh mana proses
kegiatan usaha pada satuan kerja organisasi dan memastikan bahwa
seluruh aktivitas keuangan serta penetapan strategi dan tujuan
organisasi tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Oleh sebab itu
sistem pengawasan syariah harus mengacu pada prinsip-prinsip dasar
pengawasan yang menjadi bagian dari ajaran Islam, yaitu:
1) Jalbul mashalih, yaitu upaya untuk menjaga dan memaksimalkan
unsur kebaikan suapaya dapat terjaga lima dasar resiko dalam
kehidupan yakni resiko moral, resiko agama, resiko harta, resiko
regenerasi dan resiko reputasi.
2) Dar’ul mafasid, yaitu untuk menghindarkan dari unsur-unsur yang
dapat menimbulkan kerusakan baik moral maupun material.
3) Saddudz dzar’ah, yaitu upaya untuk mencegah dan mengantisipasi
terjadinya pelanggaran terhadap syariah dan peraturan-peraturan
lainnya.
Pengawasan syariah harus dilaksanakan secara menyeluruh dan
berkesinambungan agar berbagai kemungkinan terjadinya pelanggaran
dapat terdeteksi sejak dini. Pengawasan menyeluruh meliputi:
1) Riqabah musbaqah atau pengawasan prefentif yanag dilakukan
pada tahapan penyusunan berbagai produk dan penetapan strategi.
2) Riqabah lahiqah atau pengawasan operasional yang dilakuan
untuk memastikan praktifk bisnis seperti pelaksanaan kontrak
pembiayaan atau sistem pemasarannya tidak menyimpang dari
syariah.
3) Riqabah a’mal atau pengawasan pada aspek keuangan dan
perilaku manajemen.
4) Riqabash dzatiyah atau pengawasan berbasis moral pada aspek
individu pengurus dan pengelola bisnis tersebut.
b. Kedudukan Dewan Pengawas Syariah
Keputusan DSN-MUI No. 01 tahun 2000 tentang Pedoman Dasar
Dewan Syariah Nasional, Dewan Pengawas Syariah (DPS) adalah
badan yang ada di lembaga keuangan syariah dan bertugas mengawasi
pelaksanaan keputusan Dewan Syariah Nasional (DSN).
Lembaga keuangan syariah adalah setiap lembaga yang kegiatan
usahanya di bidang keuangan yang didasarkan pada syariah atau
hukum Islam, seperti perbankan, reksadana, takaful, dan sebagainya
(Keputusan DSN-MUI No. 03 tahun 2000).
Keputusan Menteri Koperasi dan UKM No. 91 tahun 2004
menyebutkan dalam ketentuan umum pasal 1 poin ke-19 bahwa Dewan
Pengawas Syariah adalah dewan yang dipilih oleh koperasi yang
bersangkutan berdasarkan keputusan rapat anggota dan beranggotakan
alim ulama yang ahli dalam syariah yang menjalankan fungsi dan
tugas sebagai pengawas syariah pada koperasi yang bersangkutan dan
berwenang memberikan tanggapan atau penafsiran terhadap fatwa
yang dikeluarkan Dewan Syariah Nasional.
Kedudukan DPS dalam LKS sebagaimana diatur dalam
Keputusan DSN-MUI No. 03 Tahun 2000 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Penetapan Anggota Dewan Pengawas Syariah pada
Lembaga Keuangan Syariah adalah sebagai perpanjangan tangan
mewakili DSN dalam mengawasi pelaksanaan fatwa-fatwa DSN di
LKS.
Kewajiban Lembaga Keuangan Syariah terhadap DPS adalah
menyediakan ruang kerja dan fasilitas lain yang diperlukan DPS serta
membantu kelancaran tugas DPS.
Dalam Keputusan DSN-MUI No. 03 tahun 2000 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Penetapan Anggota Dewan Pengawas Syariah di
atur sebagai berikut:
Keanggotaan DPS :
1. Setiap lembaga keuangan syariah harus memiliki sedikitnya tiga
orang anggota DPS.
2. Salah satu dari jumlah tersebut ditetapkan sebagai ketua.
3. Masa tugas anggota DPS adalah 4 (empat) tahun dan akan
mengalami pergantian antar waktu apabila meninggal dunia, minta
berhenti, diusulkan oleh lembaga keuangan syariah yang
bersangkutan, atau telah merusak citra DSN.
Syarat Anggota DPS :
1. Memiliki akhlak karimah
2. Memiliki kompetensi kepakaran di bidang syariah mu’amalah dan
pengetahuan di bidang perbankan dan/atau keuangan secara umum.
3. Memiliki komitmen untuk mengembangkan keuangan berdasarkan
syariah.
4. Memiliki kelayakan sebagai pengawas syariah yang dibuktikan
dengan surat/sertifikat dari DSN.
Prosedur Penetapan Anggota DPS :
1. Lembaga keuangan syariah mengajukan permohonan penempatan
anggota DPS kepada DSN. Permohonan tersebut dapat disertai
usulan nama calon DPS.
2. Permohonan tersebut dibahas dalam rapat BPH-DSN.
3. Hasil rapat BPH-DSN kemudian dilaporkan kepada pimpinan
DSN.
4. Pimpinan DSN menetapkan nama-nama yang diangkat sebagai
anggota DPS
Keputusan Menteri Koperasi & UKM tentang KJKS tidak
mengatur mengenai syarat menjadi Dewan Pengawas Syariah, yang
diatur dalam aturan tersebut hanyalah mengenai pengangkatannya
dipilih dari dan oleh anggota Koperasi dalam Rapat Anggota. Bahkan
dalam keputusan tersebut juga tidak mengharuskan DPS untuk
memiliki sertifikasi kelayakan atau rekomendasi dari DSN MUI untuk
menjadi pengawas syariah. Sedangkan dalam UU Koperasi No. 25
Tahun 1992 juga tidak mengatur hal tersebut, pengaturan mengenai
pengawas dalam UU ini juga masih bersifat umum, tidak secara
khusus mengatur mengenai pengawas syariah. Kedudukan pengawas
pada koperasi bertanggung jawab kepada Rapat Anggota.
c. Peran Dewan Pengawas Syariah
Salah satu yang membedakan antara lembaga keuangan syariah
dengan lembaga keuangan konvensional adalah keberadaan DPS pada
lembaga keuangan syariah. DPS memegang peran penting untuk
memastikan bahwa lembaga keuangan syariah tidak melakukan
penyimpangan terhadap prinsip-prinsip syariah. Tugas utama DPS
dalam Keputusan DSN No. 03 Tahun 2000 adalah mengawasi
kegiatan usaha lembaga keuangan syariah agar sesuai dengan
ketentuan dan prinsip syariah yang telah difatwakan oleh Dewan
Syariah Nasional. Sedangkan Fungsi utamanya adalah:
1) Sebagai penasehat dan pemberi saran kepada direksi, pimpinan unit
usaha syariah dan pimpinan kantor cabang syariah mengenai hal-
hal yang terkait dengan aspek syariah.
2) Sebagai mediator antara lembaga keuangan syariah dengan DSN
dalam mengkomunikasikan usul dan saran pengembangan produk
dan jasa dari lembaga keuangan syariah yang memerlukan kajian
dan fatwa dari DSN.
Dilihat dari tugas dan fungsi utama, maka peran DPS terhadap
LKS adalah:
1) melakukan pengawasan atas perencanaan dan operasional lembaga
keuangan syariah;
2) memberi nasihat dan saran kepada LKS mengenai hal-hal yang
terkait dengan syariah;
3) memberikan opini syariah;
4) mediator hubungan antara BMT dengan DSN terutama dalam
setiap upaya pengembangan produk dan jasa yang perlu
mendapatkan fatwa dari DSN;
Opini syariah adalah pendapat kolektif dari DPS yang telah
dibahas secara cermat dan mendalam mengenai kedudukan / ketentuan
syar’i yang berkaitan dengan produk atau aktifitas LKS. Opini syariah
dapat dijadikan pedoman sementara sebelum adanya fatwa DSN
mengenai masalah tersebut.
Pada UU No. 25 tentang Koperasi, tugas pengawas adalah
melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan dan pengelolaan
Koperasi dan membuat laporan tertulis tentang hasil pengawasannya
(Pasal 39 ayat (1)). Dalam rangka melaksanakan tugasnya, pengawas
memiliki kewenangan meneliti catatan yang ada pada Koperasi dan
mendapat segala keterangan yang diperlukan (Pasal 39 ayat (2)).
Pada Keputusan Menteri Koperasi & UKM No. 91 tahun 2004
menyebutkan tugas Dewan Pengurus Syariah melakukan pengawasan
pelaksanaan usaha Koperasi Jasa Keuangan Syariah / Unit Jasa
Keuangan Syariah berdasarkan prinsip-prinsip syaria dan melaporkan
hasil pengawasannya kepada pejabat (Pasal 32).
Kerangka Pemikiran
Perkembangan perekonomian Islam di Indonesia tumbuh dengan baik
dilihat dari pertumbuhan lembaga-lembaga keuangan syariah di Indonesia
yang terus meningkat serta bermunculannya lembaga-lembaga keuangan
syariah yang baru. Sebagai cikal-bakal munculnya lembaga-lembaga
keuangan syariah di Indonesia adalah berdirinya Bank Syariah yang
diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia. Pendirian tersebut berawal dari
workshop yang diadakan MUI pada tahun 1990 membahas bunga bank.
Dibentuknya Dewan Syariah Nasional oleh MUI semakin menguatkan
struktur kelembagaan bank syariah sehingga turut mendorong pertumbuhan
bank syariah yang ikut berpengaruh munculnya lembaga-lembaga keuangan
yang menggunakan prinsip syariah, diantaranya adalah Asuransi Syariah,
Transaksi Foreign Exchange Syariah dan Perdagangan Bursa Saham Syariah,
Pegadaian Syariah, Bank Perkreditan Syariah (BPRS) serta Koperasi Syariah
yang lebih dikenal dengan Baitul Maal Wa Tamwil (BMT).
Kehadiran BMT ditengah-tengah golongan masyarakat menengah ke
bawah di harapkan dapat membantu mereka mengatasi permasalahan modal
yang selama ini sulit didapatkan dari lembaga keuangan formal seperti bank
serta menjadi alternatif bagi pengusaha mikro untuk beralih dari lembaga
keuangan informal semacam rentenir kepada lembaga keuangan yang lebih
aman, halal dan syar’i. Oleh sebab itu menjadi kewajiban bagi BMT untuk
menerapkan prinsi-prinsip syariah sesuai dengan tuntunan Al Qur’an dan
Hadits, sehingga nama BMT tidak sekedar sebagai ’merek’ untuk menarik
perhatian masyarakat demi mendapatkan keuntungan dari umat Islam yang
menginginkan bertransaksi dengan cara syar’i.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka penting adanya pengawasan aspek
syariah terhadap BMT agar tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan dari
prinsip-prinsip syariah dan lebih memberikan jaminan atau kepastian
keamanan bagi pengguna jasa BMT. DSN MUI telah mengeluarkan keputusan
No. 03 tahun 2000 tentang Pelaksanaan Penetapan Anggota Dewan Pengawas
Syariah pada Lembaga Keuangan Syariah dan pada tahun 2004 Menteri
Koperasi dan UKM mengeluarkan Surat Keputusan No.
91/KEP/M.KUM/IX/2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Koperasi Jasa Keuangan Syariah. Dalam SK ini mengatur bahwa Dewan
Pengawas merupakan salah satu syarat koperasi jasa keuangan syariah.
Namun masih ada praktek dilapangan beberapa kasus BMT yang
melakukan penyimpangan terhadap prinsip-prinsip syariah, selain kendala
belum optimalnya peran DPS, juga permasalahan lainnya adalah tidak adanya
payung hukum bagi BMT yang mengakibatkan ketidakseragaman badan
hukum. Hal ini dapat melemahkan pengawasan syariah pada BMT, karena
tidak adanya aturan yang mengikat dengan jelas mengenai pengawasan
syariah.
Dari uraian tersebut diatas, maka penulis merasa perlu untuk melakukan
penelitian mengenai peran Dewan Pengawas Syariah terhadap Pengawasan
Aspek Syariah di Baitul Maal Wa Tamwil dengan mengambil studi pada BMT
Safinah Klaten. Penelitian ini berupaya untuk menemukan bagaimana peran
Dewan Pengawas Syariah di sana, langkah-langkah yang dilakukan dalam
menjalankan perannya serta hambatan-hambatan yang dihadapi dan solusi
yang telah di upayakan, dengan harapan dari hasil penelitian ini dapat
memberikan informasi mengenai peran Dewan Pengawas Syariah dan
permasalahannya serta dapat memberikan solusi atas permasalahan yang ada.
Gambar 2 : Kerangka Pemikiran
Perkembangan Ekonomi
Penerapan prinsip-prinsip syariah
Lembaga Keuangan
Mikro (BMT) Dewan Pengawas
Peran dan Langkah Pengawasan
--UU No.25 Tahun 1992;
--KepMenKop& UKM No. 91 Tahun 2004;
--Kep.DSN-MUI No. 01 Tahun 2000;
--Kep.DSN-MUI No. 03 Tahun 2000
Pengawasan Aspek
Syariah
Upaya-upaya pengembangan / saran
Faktor penghambat dan solusi
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Hasil penelitian berdasarkan wawancara dengan para informan di
BMT Safinah Klaten antara lain dengan pengelola yaitu, Bapak M. Burhan
selaku manajer utama BMT Safinah dan Ibu Endang Purwanti selaku
karyawan, serta dengan pengawas syariah Bapak Marwan Cholil. Penulis
dalam wawancara mengkroscekkan data yang diperoleh dari sumber data yang
satu dengan sumber data yang lainnya untuk mendapatkan kevalidan data,
hasilnya data yang diperoleh dari satu sumber data dengan sumber data yang
lainnya tidak bertentangan.
Dari wawancara dengan ketiga sumber data tersebut diperoleh data
yang penulis sajikan sebagai berikut:
1. Peran Dewan Pengawas Syariah Terhadap Pengawasan Aspek
Syariah di Baitul Maal Wa Tamwil (BMT) Safinah Klaten
Mengenai peran Dewan Pengawas Syariah terhadap Pengawasan
Aspek Syariah di BMT Safinah, penulis mencari data mengenai sejarah
berdirinya BMT Safinah dan Badan Hukumnya, kedudukan DPS, tugas,
wewenang dan tanggung jawab DPS guna menganalisis jawaban atas
rumusan masalah tersebut. Data-data tersebut diperoleh berdasarkan
wawancara dengan Bapak M. Burhan pada hari Rabu tanggal 30 Januari
2008 dan Rabu tanggal 6 Februari 2008, Ibu Endang pada hari Rabu
tanggal 6 Februari 2006, serta dengan Bapak Marwan Cholil pada hari
Selasa tanggal 26 Februari 2008. Data-data yang diperoleh sebagai
berikut:
a. Sejarah dan Badan Hukum BMT Safinah
Data ini diperoleh berdasarkan wawancara dengan Bapak M.
Burhan selaku manajer utama BMT Safinah pada hari Rabu tanggal 30
Januari 2008 pukul 09.00 WIB dan Rabu tanggal 6 Februari 2008
pukul 09.30 WIB, bahwa Cikal bakal dari BMT Safinah berasal dari
Persaudaraaan Remaja Muslim Kelurahan Klaten yang disingkat
PRMKK yang terbentuk pada tahun 1994. Organisasi ini pada waktu
itu aktif melakukan kegiatan sosial dimasyarakat. Sejarah berdirinya
BMT Safinah berawal dari tahun 1994 PRMKK (diserahi oleh ICMI
(Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) untuk melakukan sosialisasi
Program Baitul Maal Wa Tamwil (BMT) seluruh kabupaten Klaten.
Program ini dilaksanakan oleh ICMI dengan maksud agar peserta
sosialisasi mengetahui tentang BMT dan mendirikan BMT di
Kabupaten Klaten. Pasca acara tersebut sebagai tindak lanjut maka
dibentuklah Panitia persiapan pembentukan BMT Klaten, yang terdiri
dari para remaja dan sesepuh termasuk tokoh agama. Akhirnya pada
tahun 1996 panitia ini berhasil membentuk BMT Safinah, yang pada
awalnya masih berstatus Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM).
BMT didirikan dengan berasaskan pada masyarakat yang salaam,
yaitu penuh keselamatan, kedamaian, dan kesejahteraan.
Pada tahun 1998, BMT Safinah mengajukan status badan hukum
koperasi pada Dinas Koperasi di Klaten. BMT Safinah mendapat status
badan hukum sebagai koperasi serba usaha (KSU) dengan nomor
badan hukum 007/BH/KDK.11.24/8/98. Hingga saat ini badan hukum
BMT Safinah masih berupa KSU, meskipun telah keluar badan hukum
Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS) dengan keluarnya Kep.
MenKop No. 91 tahun 2004. BMT Safinah belum mengajukan badan
hukum KJKS, karena secara implikasi yang signifikan terhadap BMT
tidak ada perbedaan dengan KSU, akan tetapi BMT Safinah sedang
mempersiapkan untuk mengajukan badan hukum Koperasi Syariah
dengan pertimbangan politis jangka panjang, ”kami belum mengajukan
badan hukum KJKS, tapi nanti kami akan mengajukan dengan
pertimbangan aspek politis”, kata Bapak M. Burhan (wawancara pada
hari Rabu 30/01/2008). Bapak M. Burhan menjelaskan alasan politis
tersebut adalah bahwa KJKS sejarahnya berawal dari perjuangan
BMT-BMT untuk mendapatkan badan hukum syariah, akhirnya
dikeluarkanlah Kep.MenKop tersebut. Maka BMT-BMT yang
dahulunya masih berbadan hukum KSU atau KSP seharusnya
mengajukan badan hukum baru yaitu KJKS, sehingga perjuangan tidak
sia-sia serta pemerintah dapat melihat kesungguhan BMT-BMT untuk
mendapatkan pengakuan dan payung hukum.
Mengenai perlakuan Dinas Koperasi Klaten terhadap koperasi
yang berbasis syariah dengan yang berbasis konvensional, Bapak M.
Burhan mengatakan tidak ada pembedaan perlakuan antara koperasi
yang menggunakan prinsip syariah dengan koperasi biasa
(konvensional), selain itu Dinas Koperasi tidak meminta laporan hasil
pengawasan syariah. Bahkan para pejabat Dinas Koperasi banyak yang
tidak paham dengan produk-produk syariah BMT karena tidak
memiliki kompetensi di bidang ekonomi syariah. Namun dari
Departemen Koperasi dan UKM memberikan bantuan pendanaan yang
dikhususkan untuk Koperasi yang kegiatannya mendasarkan pada
prinsip syariah, bantuan tersebut tidak mengandung unsur bunga atau
dalam islam disebut riba.
Sebagai baitul maal wa tamwil, BMT Safinah mempunyai dua
bagian yaitu bagian maal dan bagian tamwil. Bagian Maal BMT
Safinah adalah bagian integral dari BMT Safinah yang berperan
sebagai amil zakat, bertugas untuk mengelola dan memberdayakan
zakat, infak, dan shodaqoh bagi pengembangan dan peningkatan
kualitas hidup kaum dhuafa. Program-program bagian maal
diantaranya:
a. Beasiswa pendidikan anak yatim/ yatim piatu/ dhuafa dalam
bentuk beasiswa pendidikan
b. Pendampingan belajar privat dan intensif bagi siswa beasiswa
c. Subsidi pondok pesantren mitra BMT Safinah
d. Santunan kesehatan bagi dhuafa
e. Kajian kemandirian berupa rangkaian training pengembangan
potensi kemandirian diri
f. Laboratorium wirausaha bagi pengusaha pemula.
Sebagai baitul tamwil BMT bertugas menghimpun, mengelola
serta menyalurkan dana untuk suatu tujuan profit oriented
(keuntungan) dengan bagi hasil (qiradh/mudharabah), jual beli (bai’u
bitsaman ajil / angsur, murabahah / tunda), maupun sewa (al-al-
ijarah) mempunyai produk sebagai berikut:
a. Produk Penggalangan dana, berupa Simpanan berjangka,
Simpanan INVESYA (Investasi Syari’ah), SIMKUS (Simpanan
Khusus), Simpanan Pendidikan, Simpanan Qurban, dan Si
MUDAH (Simpanan Mudharabah). Semua produk simpanan
tersebut menggunakan akad mudharabah.
b. Produk Pembiayaan, berupa Murobahah, Wakalah, Ijarah, dan
Qardh Hasan.
BMT Safinah tidak menerapkan ganti rugi (ta’widh) dan sanksi
(ta’zir) jika anggota atau pengguna jasa melakukan wan prestasi, tapi
diselesaikan dengan kekeluargaan (wawancara dengan Ibu Endang
pada hari Rabu tanggal 6/02/08 pukul 90.00 WIB). Hal ini dengan
pertimbangan karena BMT menggunakan prinsip-prinsip syariah,
dimana jika terjadi perselisihan dalam syariat diajarkan untuk
diselesaikan dengan musyawarah, dan selama ini jika terjadi suatu
permasalahan dengan anggota dapat diselesaikan dengan baik melalui
musyawarah. Bapak M. Burhan mengutarakan hal yang senada dengan
Ibu Endang bahwa bagi BMT Safinah perjanjian adalah amanah yang
harus ditunaikan, yang pertanggung jawabannya bukan sekedar dengan
pihak yang diajak berjanji saja, tetapi juga pasti akan
dipertanggungjawabkan dihadapan Allah. Jadi jika terjadi wan prestasi
yang dilakukan anggota, maka BMT akan mengingatkan dan tidak
meminta ganti rugi atau memberi sanksi tetapi mengembalikan
pertanggungjawabannya kepada Allah SWT
Hal tersebut dipandang penting bagi BMT Safinah, bahwa BMT
sebagai LKS berbeda dengan lembaga keuangan konvensional. Jika
lembaga keuangan konvensional berorientasi pada keuntungan didunia
(profit oriented) dan semata-mata kegiatan dilakukan dengan motif
ekonomi. Sedangkan dalam lembaga keuangan syariah, orientasinya
adalah keuntungan dunia & akhirat, artinya kegiatan ekonomi yang
dilakukan untuk mendapatkan keuntungan di dunia adalah dilandasi
dalam rangka mendapatkan ridho Allah SWT.
b. Kedudukan DPS BMT Safinah
Berdasarkan wawancara penulis dengan Bapak M. Burhan selaku
Manajer Utama BMT Safinah pada hari Rabu tanggal 30 Januari 2008
pukul 09.00 WIB dan Rabu 6 Februari 2008 pukul 09.30 WIB,
diperoleh data bahwa BMT Safinah memiliki Dewan Pengawas
Syariah (DPS) yang disebut Pengawas Syariah. BMT Safinah
terbentuk dengan landasan untuk menegakkan syariat Islam, oleh
sebab itu dalam struktur BMT Safinah keberadaan Pengawas Syariah
adalah wajib yang bertujuan untuk mengawasi dan memastikan bahwa
BMT Safinah dijalankan dengan menegakkan prinsip-prinsip syariah
serta tidak melakukan penyimpangan. Bagi BMT Safinah. Sejak awal
terbentuk belum berbadan hukum hingga sekarang DPS ada dalam
struktur BMT Safinah.
Ketika awal terbentuk, BMT Safinah memiliki dua orang
Pengawas Syariah, kemudian sejak berbadan hukum KSU hingga
sekarang hanya memiliki satu orang Pengawas Syariah. BMT Safinah
tidak mengangkat tiga orang sebagai DPS seperti telah diatur dalam
keputusan DSN MUI yang memberi batasan jumlah minimal DPS
pada tiap LKS tiga orang, hal ini karena pertimbangan Sumber Daya
Manusia (SDM) ulama di Klaten yang mumpuni untuk diangkat
sebagai DPS sangat terbatas. Meskipun sebenarnya bisa saja
mengangkat ulama dari daerah lain, tapi karena pertimbangan
keefektifan bahwa DPS harus aktif memantau BMT, maka jika yang
menjadi DPS bertempat tinggal jauh dari BMT dirasa tidak akan bisa
optimal dan efektif dalam melakukan pengawasan. Selain itu BMT
Safinah juga tidak memperbolehkan pengawas syariahnya untuk
merangkap sebagai DPS di LKS yang lain, agar supaya bisa fokus dan
all out untuk menjalankan tugasnya di BMT Safinah.
Masa jabatan Pengawas Syariah tiga tahun dan dapat dipilih
kembali. Prosedur pengangkatan DPS di BMT Safinah adalah di RAT
(Rapat Anggota Tahunan), tidak melalui prosedur MUI (Majelis
Ulama Indonesia) daerah maupun pusat, serta tidak berhubungan
dengan Dewan Syariah Nasional untuk pengangkatan atau
penetapannya. Bahkan tidak memerlukan rekomendari dari MUI /
DSN. DPS BMT bertanggung jawab dan melaporkan hasil
pengawasannya pada Rapat Anggota.
DPS BMT Safinah dipilih dari dan oleh anggota, syaratnya
adalah:
a. memiliki keahliah di bidang syariah
b. memiliki akhlak yang baik serta
c. cukup terpandang di masyarakat sebagai ulama yang dapat
dipercaya.
d. dipandang oleh RAT mampu menjalankan tugas sebagai DPS
Tidak ada syarat rekomendasi dari DSN MUI ataupun syarat
mempunyai sertifikasi kelayakan sebagai DPS, tetapi cukup dengan
parameter dipandang oleh RAT layak untuk menjadi DPS. Hal tersebut
menurut Bapak M. Burhan karena tidak ada ulama di Klaten yang
memiliki sertifikasi kelayakan dari DSN, sedangkan data yang penulis
peroleh dari wawancara dengan Bapak Marwan Cholil selaku
pengawas syariah pada hari Selasa tanggal 26 Februari 2008 pukul
10.30 WIB, ketika ditanya mengenai alasan kenapa tidak memiliki
sertifikasi kelayakan dari DSN, beliau menjelaskan bahwa yang
diwajibkan untuk memiliki sertifikasi kelayakan dari DSN adalah DPS
Asosiasi BMT bukan DPS tiap BMT, selain itu untuk mendapatkan
sertifikasi harus melalui uji kelayakan oleh DSN tentang kompetensi
dan kafaah pengetahuan hukum ekonomi Islam, mengenai transaksi-
transaksi / muamalah dalam islam beserta dalil-dalilnya. Sehingga
beliau merasa tidak perlu untuk mendapatkan atau mencari sertifikat
kelayakan dari DSN karena hal tersebut tidak wajib baginya.
Jika ternyata anggota tidak ada yang memiliki keahliah di bidang
syariah atau tidak mampu, maka dapat mengangkat DPS di luar
anggoa, dengan cara mengangkatnya terlebih dahulu sebagai anggota
istimewa. Namun selama ini DPS BMT Safinah belum pernah
diangkat dari luar anggota, karena beberapa ulama terkemuka di
Klaten telah bergabung menjadi anggota BMT Safinah dan dipandang
mampu untuk diangkat sebagai DPS. Pengawas Syariah BMT Safinah
yang sekarang adalah mantan ketua MUI daerah Klaten.
Hal senada disampaikan oleh Bapak Marwan Cholil selaku
pengawas syariah pada wawancara hari Selasa 26 Februari 2008 pukul
10.30 WIB, bahwa sejak awal terbentuk BMT Safinah sudah memiliki
Pengawas Syariah. Pengangkatannya melalui RAT, tidak ada
rekomendasi dari DSN-MUI dan tidak ada tes seleksi atau uji
kelayakan. Beliau juga tidak menjadi pengawas di LKS yang lain
selain di BMT Safinah. Tugas dari DPS adalah mengawasi penerapan
dan pelaksanaan prinsip-prinsip syariah di BMT Safinah, dengan
tujuan agar tidak terjadi penyimpangan dari prinsip syariah.
Kedudukan DPS dalam struktur BMT Safinah dapat dilihat
dalam gambar berikut:
Gambar 3: Struktur Organisasi KSU BMT Safinah Klaten
c. Tugas dan Wewenang DPS BMT Safinah
RAPAT ANGGOTA
PENGAWAS Finansial Manajemen Syariah
PENASEHAT PENGURUS Ketua Sekretaris Bendahara
MANAJER UTAMA
MANAJER OPERASIOANAL
MANAJER PEMASARAN
MANAJER PEMBIAYAAN
ACCOUNT OFFICER
REMEDIAL REMEDIAL PEMASARAN RETAIL
PEMASARAN RETAIL
PEMASARAN RETAIL
CUSTOMER SERVICE
ANALISIS KEUANGAN
LAYANAN INTERNAL
AKUNTANSI TELLER
HEAD TELLER
Berdasarkan wawancara penulis dengan Bapak M. Burhan selaku
Manajer Utama BMT Safinah pada hari Rabu tanggal 30 Januari 2008
pukul 09.00 WIB dan Rabu 6 Februari 2008 pukul 09.30 WIB,
diperoleh data bahwa bagi BMT Safinah peran DPS sangat penting,
karena BMT sebagai lembaga keuangan syariah yang belum begitu
dipahami masyarakat, secara kompetensi pengelolanya masih belum
diakui oleh masyarakat dapat benar-benar menjalankan prinsip syariah
dalam operasional BMT, untuk itu dibutuhkan peran dari DPS untuk
bisa mendapatkan kepercayaan masyarakat bahwa BMT Safinah
menjalankan operasionalnya sesuai dengan prinsip syariah. Berkat
kepercayaan dari masyarakat lah maka BMT Safinah bisa berkembang
dengan baik dan memiliki eksistensi di masyarakat, yang dapat
menjalankan kedua fungsinya yaitu sebagai lembaga bisnis (baitul
maal) dan lembaga sosial (baitul tamwil), bahkan mampu menjadi
BMT terbesar di Klaten dengan aset kurang lebih tiga puluh milyar.
Tugas, wewenang dan tanggung jawab DPS BMT Safinah
mengacu pada Pedoman Tugas, Wewenang dan Tanggung Jawab DPS
BMT yang terdapat dalam Pedoman Akad Syariah (PAS) 002 BMT.
BMT yang berbadan hukum koperasi tidak memiliki pedoman
pengawasan dan Tata Cara Pelaporan hasil Pengawasan yang
dikeluarkan oleh Menteri Koperasi dan UKM. Meskipun sebenarnya
ada Surat Keputusan DSN MUI tentang petunjuk pelaksanaan tugas
Dewan Pengawas Syariah di Lembaga Keuangan syariah, tetapi
Asosiasi BMT membuat sendiri pedoman tugas, wewenang dan
tanggung jawab Dewan Pengawas Syariah di Baitul Maal Wa Tamwil
yang termuat dalam PAS 002 BMT.
Pedoman tersebut dirumuskan oleh asosiasi BMT Jateng, dan
kemudian dikukuhkan sebagai pedoman bagi seluruh anggota BMT
Center, dimana BMT Safinah juga termasuk anggota BMT Center
yang artinya terikat dengan pedoman tersebut. PAS 002 BMT adalah
perbaikan dari PAS 001 BMT yang berisi pedoman teknis operasional
yang diturunkan dari fatwa DSN dan rekomendasi Lokakarya Syariah
yang diselenggarakan Asosiasi BMT Solo dan BMT Center di Solo
tanggal 6 Agustus 2005.
Upaya pembuatan pedoman tersebut dengan maksud agar
menjadi acuan bagi pengelola BMT untuk melakukan akad, sehingga
tidak terpaku pada satu jenis akad, akan tetapi dengan akad yang lebih
variatif sesuai dengan keluasaan dalam akad-akad syariah, serta agar
terjadi penyeragaman model-model akad secara umum, sehingga
memudahkan jika suatu ketika dilakukan audit syariah. PAS 002 BMT
terdiri dari :
BAB I : merupakan batang tubuh dari Pedoman Akad Syariah,
sebagaimana umumya suatu lembaga keuangan
produknya meliputi penghimpunan dana dan
penyaluran dana, maka pada pedoman ini terdiri dari:
Bab I.1 mengenai penghimpunan dana anggota, dan
Bab I.2 mengenai pembiayaan dana
BAB II : berisi skema-skema akad
BAB III : berisi contoh-contoh akadnya
BAB IV : berisi pedoman bagi DPS untuk memahami tugas dan
kewenangannya, serta petunjuk pelaksanaan audit
syariah.
Tugas, wewenang dan tanggung jawab DPS BMT Safinah
mengacu pada PAS 002 BMT meliputi :
1) Memastikan dan mengawasi kesesuaian kegiatan operasional BMT
terhadap fatwa yang dikeluarkan oleh DSN-MUI, serta PAS BMT
002;
2) Menilai aspek Syariah terhadap pedoman operasional dan produk
yang dikeluarkan BMT;
3) Memberikan opini dari aspek Syariah terhadap pelaksanaan
operasional BMT secara keseluruhan dalam laporan publikasi
BMT (audit syariah);
4) Mengkaji produk dan jasa baru yang belum ada fatwa untuk
dimintakan fatwa kepada dewan syariah asosiasi untuk diteruskan
kepada DSN;
5) Menyampaikan hasil pengawasan/ audit syariah sekurang-
kurangnya setiap 6 (enam) bulan kepada Pengurus dan Pengelola,
dan menjadi opini pada RAT.
Jika produk dan atau jasa baru yang diusulkan sudah ada
fatwanya, maka tugas DPS adalah memastikan kesesuaiannya terhadap
fatwa yang dikeluarkan oleh DSN-MUI, serta PAS BMT 002.
Mekanisme permohonan produk dan jasa baru yang sudah ada
fatwanya diusulkan oleh bagian marketing kepada manajer kemudian
didiskusikan. Hasil diskusi bagian marketing dengan manajer
kemudian disampaikan kepada pengurus, pengawas syariah dan
penasihat. Setelah dibahas antara pengurus, pengawas dan penasihat,
maka disetujui atau tidaknya produk disampaikan dan ditentukan
disana, kemudian hasilnya disampaikan kepada manajer. Dalam
pembahasan tersebut pengawas syariah memainkan peran penting
untuk mengkaji apakah produk baru yang diajukan tersebut sesuai
dengan syariah, dilihat dari akad-akadnya dan dilihat kesesuaiannya
dengan fatwa yang telah ada.
Berikut ini gambaran mekanisme pengajuan produk baru di BMT
Safinah, jika produk tersebut telah ada fatwa dari DSN atau PAS 002:
Gambar 4: Mekanisme pengajuan produk baru yang sudah ada fatwanya
Mengenai tugas mengkaji produk dan jasa baru yang belum ada
fatwa untuk dimintakan kepada dewan syariah asosiasi untuk
diteruskan kepada DSN, yang dimaksud diteruskan kepada DSN bukan
DSN secara kelembagaaan akan tetapi kepada dewan syariah asosiasi
BMT yang anggotanya terdapat anggota DSN. Jadi secara
kelembagaan atau struktural DPS BMT Safinah tidak ada hubungan
dengan DSN, tapi ada hubungan secara personal dalam arti beberapa
anggota atau pengurus DSN menjadi DPS asosiasi BMT.
Mekanisme pengkajian produk dan jasa baru yang belum ada
fatwanya setelah dikaji oleh Dewan Pengawas Syariah BMT kemudian
diteruskan ke asosiasi BMT wilayah untuk dikaji dewan pengawas
syariah asosiasi BMT, hasil kajian tersebut diteruskan ke asosiasi
tingkat nasional untuk dikaji dan dimintakan opini kepada dewan
syariah asosiasi tingkat nasional, dimana anggotanya ada dari pengurus
DSN. Opini tersebut digunakan sebagai fatwa sementara sampai
dengan adanya fatwa resmi dari DSN MUI. Permohonan fatwa baru ini
tidak melalui DSN MUI secara kelembagaan, sebab mekanismenya
lebih rumit dan membutuhkan waktu yang cukup lama karena harus
melalui workshop ulama nasional. Padahal kegiatan BMT terus
Pengurus DPS Penasihat
Usulan Marketing
Manajemen
berjalan dan tidak akan bisa berkembang dengan baik atau akan sangat
terhambat jika harus menunggu keluarnya fatwa DSN MUI.
Berikut ini gambaran mekanisme pengajuan fatwa baru di BMT:
Gambar 4: mekanisme permohonan fatwa baru
Bapak Marwan Cholil juga mengutarakan bahwa tugas, tanggung
jawab, dan wewenangnya selaku pengawas syariah tidak berpedoman
pada pedoman yang sudah dikeluarkan oleh DSN-MUI, karena tidak
ada hubungan antara DPS BMT dengan DSN-MUI. DPS BMT punya
pedoman tugas sendiri, namun termasuk dalam tugasnya untuk
memeriksa kesesuaian akad yang ada di BMT Safinah dengan fatwa-
fatwa akad transaksi syariah yang telah dikeluarkan oleh DSN-MUI
(wawancara penulis pada hari Selasa 26/02/2008 pukul 10.30 WIB).
9
Produk baru yang belum ada fatwa
Manajemen
1
2
4
7
5
8
g Pengurus DPS BMT
DPS Asosiasi BMT Wilayah
3
6
Dewan Syariah Asosiasi BMT
Nasional
2. Pelaksanaan Tugas Dewan Pengawas Syariah dalam Pengawasan
Aspek Syariah di Baitul Maal Wa Tamwil (BMT ) Safinah Klaten
Data ini diperoleh berdasarkan wawancara dengan Bapak M.
Burhan selaku manajer utama BMT Safinah pada hari Rabu tanggal 30
Januari 2008 pukul 09.00 WIB, bahwa pengawasan syariah di BMT
Safinah selama ini berjalan dengan baik, dengan parameter pengawas
syariah aktif melaksanakan tugas, wewenang dan tanggung jawabnya
sesuai dengan aturan yang telah ada, yaitu PAS 002 BMT. Pengawasan
dilaksanakan baik secara formal maupun informal
1) Secara formal
a) Tiap bulan sekali DPS dapat memantau operasional BMT dengan
meminta keterangan pada Pengelola (Manajer) dalam rapat
pengurus.
b) Setiap tiga bulan sekali DPS melakukan audit syariah, yang
didahului dengan surat pemberitahuan kepada pengelola.
Obyek yang akan diaudit terkadang disampaikan dalam surat
pemberitahuan, sehingga pengelola dapat mempersiapkannya terlebih
dahulu, namun terkadang juga tidak diberitahukan. Hasil audit menjadi
opini yang disampaikan pada RAT.
2) Secara informal
Dilakukan diluar mekanisme pengawasan secara formal,
misalnya jika Pengawas menerima info-info / laporan dari pihak lain
mengenai hal-hal yang negatif tentang penerapan prinsip syariah di
BMT, segera mengkroscekkan kepada pengelola mengenai
kebenarannya.
Dalam rangka mendukung kinerja pengawasan syariah dan
pelaksanaan tugas, wewenang dan tanggung jawab selaku DPS, maka
BMT wajib memberikan fasilitas kepada DPS, antara lain:
1) Mengakses data dan informasi yang diperlukan terkait dengan
pelaksanaan tugasnya, serta mengklarifikasikannya kepada pengelola
BMT;
2) Memanggil dan meminta pertanggungjawaban dari segi syariah kepada
pengelola BMT;
3) Memperoleh fasilitas yang memadai untuk melaksanakan tugas secara
efektif;
4) DPS dapat memperoleh uang jasa yang ditetapkan dalam RAT.
Selain hal tersebut diatas, BMT Safinah juga memberikan
kewenangan kepada DPS untuk menegur jika terjadi penyimpangan
bahkan menghentikan kegiatan jika benar-benar terbukti menemukan
adanya pelanggaran terhadap prinsip-prinsip syariah atas kegiatan yang
dilakukan oleh BMT Safinah.
Pengujian substantif materi syariah terhadap produk BMT Safinah
mengacu pada pedoman tugas, wewenang dan tanggung jawab BMT yang
dikeluarkan oleh Asosiasi BMT di dasarkan pada akad yang digunakan
pada produk yang bersangkutan.
1) Produk Penghimpunan Dana Anggota
Pengujian substantif atas transaksi pembukaan simpanan dan
investasi mudharabah yang harus dilakukan oleh DPS antara lain
sebagai berikut:
a) Meneliti apakah pemberian informasi secara lengkap oleh BMT
kepada anggota, baik secara tertulis maupun lisan tentang
persyaratan mudharabah telah dilakukan;
b) Meneliti apakah pengisian formulir aplikasi simpanan dan investasi
telah dilakukan secara lengkap sebagai salah satu persyaratan ijab
qobul;
c) Meneliti apakah akad simpanan dan investasi mudharabah telah
sesuai dengan fatwa DSN-MUI serta PAS BMT 002 tentang
simpanan dan investasi;
d) Meneliti apakah setoran simpanan dan investasi mudharabah telah
menyebutkan jumlah nominal dan mata uang yang disetor secara
jelas;
e) Meneliti apakah dalam penawaran produk simpanan dan investasi,
BMT tidak menjanjikan pemberian yang ditetapkan dimuka dalam
bentuk prosentase imbalan.
2) Produk Pembiayaan
a) Murabahah
Pengujian substantif atas transaksi pembiayaan berdasarkan prinsip
murabahah yang harus dilakukan oleh DPS antara lain:
(1) Memastikan barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan
oleh syariah Islam;
(2) Memastikan BMT menjual barang tersebut kepada anggota
(pemesan) dengan harga jual senilai harga beli pulsa marjin.
Dalam hal anggota membiayai sebagian dari harga barang
tersebut maka akan mengurangi tagihan BMT kepada
anggota;
(3) Meneliti apakah akad pembiayaan murabahah telah sesuai
dengan fatwa DSN-MUI serta PAS BMT 002 tentang
murabahah;
(4) Meneliti apakah akad wakalah telah dibuat oleh BMT secara
terpisah dari akad murabahah, apabila BMT hendak
mewakilkan kepada anggota untuk membeli barang tersebut
dari pihak ketiga. Akad jual beli murabahah harus dilakukan
setelah barang secara prinsip-prinsip menjadi milik BMT
yang dibuktikan dengan faktur atau kuitansi jual-beli yang
dapat dipertanggungjawabkan;
(5) Meneliti pembiayaan berdasarkan prinsip murabahah
dilakukan setelah adanya permohonan anggota dan perjanjian
pembelian suatu barang atau aset kepada BMT.
b) Ijarah
Prosedur pengujian substantif materi syariah atas transaksi
pembiayaan berdasarkan prinsip ijarah dilakukan dalam rangka
memperoleh bukti guna mendukung opini syariah atas transaksi
tersebut yang antara lain:
(1) Meneliti penyaluran dana berdasarkan prinsip ijarah tidak
dipergunakan untuk kegiatan yang bertentangan dengan
prinsip syariah;
(2) Meneliti apakah akad pembiayaan ijarah telah sesuai dengan
fatwa DSN-MUI serta PAS BMT 002 tentang ijarah;
(3) Memastikan bahwa akad pengalihan kepemilikan dalam
Ijarah Muntahiya Bit Tamlik dilakukan setelah akad ijarah
selesai, dan dalam akad ijarah, janji (wa’ad) untuk
pengalihan kepemilikan harus dilakukan pada saat
berakhirnya akad ijarah;
(4) Meneliti pembiayaan berdasarkan prinsip ijarah untuk
multijasa menggunakan perjanjian sebagaimana diatur dalam
fatwa yang berlaku tentang multijasa dan ketentuan lainnya
antara lain ketentuan standar akad;
(5) Memastikan besar ujrah atau fee multijasa dengan
menggunakan akad ijarah telah disepakati di awal dan
dinyatakan dalam bentuk nominal bukan dalam bentuk
prosentase.
c) Wakalah
Pengujian substantif atas jasa wakalah yang harus dilakukan oleh
DPS antara lain:
(1) Meneliti apakah transaksi wakalah telah dilakukan sesuai
dengan fatwa DSN-MUI serta PAS BMT 002;
(2) Meneliti apakah objek wakalah tidak bertentangan dengan
prinsip syariah;
(3) Meneliti apakah para pihak yang melakukan akad wakalah
telah memenuhi syarat dan rukun wakalah.
(4) Meneliti apakah dalam penetapan fee atau ujroh yang
dibebankan BMT kepada anggota (apabila ada) tidak
mengacu pada suku bunga yang dikaitkan dengan beban
pekerjaan yang diwakilkan oleh BMT kepada anggota.
d) Qardh
Prosedur pengujian substantif materi syariah atas transaksi materi
syariah atas transaksi pembiayaan berdasarkan prinsip qardh
dilakukan dalam rangka memperoleh bukti guna mendukung opini
syariah atas transaksi tersebut yang antara lain:
(1) Meneliti pembiayaan berdasarkan prinsip qardh tidak
dipergunakan untuk kegiatan yang bertentangan dengan
prinsip syariah;
(2) Meneliti apakah akad pembiayaan qardh telah sesuai dengan
fatwa DSN-MUI serta PAS 002 tentang qardh;
(3) Memastikan bahwa BMT telah memberikan kelonggaran
waktu yang cukup kepada anggota untuk melunasi
kewajibannya dalam hal anggota tersebut mengalami
kesulitan keuangan akibat penurunan usaha (business losses);
(4) Memastikan bahwa sumber dana yang digunakan untuk
pembiayaan qardh dalam rangka dana talangan anggota
adalah berasal dari modal BMT.
Tujuan pengawasan syariah yang menjadi tugas DPS BMT Safinah
didasarkan pada tiap produk BMT Safinah, antara lain sebagai berikut:
1) Produk Penghimpunan Dana Anggota
Tujuan pengawasan syariah oleh DPS atas simpanan dan
investasi serta modal penyertaan dengan akad mudharabah adalah
untuk mendapatkan keyakinan yang memadai bahwa:
a) Kegiatan produk simpanan dan investasi serta modal penyertaan
telah dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah;
b) Dalam pemberian bonus tidak boleh:
(1) Diperjanjikan dimuka;
(2) Berdasarkan pendapatan BMT yang belum diterima (accrual)
tetapi harus berdasarkan pendapatan riil yang diterima BMT
(cash basis);
c) Dalam pemberian bagi hasil tidak boleh:
(1) Berdasarkan pendapatan BMT yang diterima tetapi harus
berdasarkan pendapatan riil yang diterima BMT (cash
basis);
(2) Merubah nisbah sebelum berakhirnya akad;
d) Biaya pengelolaan simpanan mudharabah dan tabungan
mudharabah menjadi beban BMT dan menggunakan nisbah
keuntungan yang menjadi haknya, dan tidak ada pembebanan
biaya-biaya lain tanpa persetujuan anggota pemilik dana;
e) Semua kegiatan yang terkait dengan pengelolaan simpanan
investasi saham dan mudharabah, harus mengikuti ketentuan
fatwa DSN-MUI dan PAS BMT 002.
2) Produk Pembiayaan
a) Murabahah
Tujuan pengawasan syariah terhadap pembiayaan
berdasarkan prinsip murabahah adalah untuk mendapatkan
keyakinan, bahwa:
(1) Kegiatan pembiayaan murobahah telah dilakukan sesuai
dengan prinsip-prinsip syariah;
(2) Akad pembiayaan murobahah telah disusun dengan
mengacu pada fatwa DSN-MUI yang berlaku tentang
pembiayaan murobahah serta ketentuan PAS BMT 002;
(3) Potongan tagihan murabahah (al-khashm fi al-murabahah)
yang diberikan oleh BMT bukan dimaksudkan untuk
menyesuaikan dengan suku bunga kredit tetapi diberikan
untuk anggota yang memenuhi kriteria:
(a) telah melakukan kewajiban pembayaran cicilannya
dengan tepat waktu;
(b) mengalami penurunan kemampuan pembayaran.
b) Ijarah
Tujuan pengawasan syariah terhadap pembiayaan
berdasarkan prinsip ijarah, pada dasarnya sama dengan produk
pembiayan di atas. Ada tambahan item tujuan pengawasan untuk
pembiayaan ijarah, penetapan ujrah atau fee tidak berdasarkan
prosentase tertentu yang dikaitkan dengan jumlah nominal
pembiayaan yang diberikan.
c) Wakalah
Tujuan pengawasan syariah terhadap jasa wakalah adalah
untuk mendapatkan keyakinan yang memadai bahwa:
(1) Jasa wakalah yang diberikan telah sesuai dengan fatwa dari
DSN-MUI dan PAS BMT 002;
(2) Apabila terdapat fee maka dalam penetapan fee jasa wakalah
tidak mengacu pada suku bunga yang dikaitkan dengan
besarnya beban pekerjaan yang diwakilkan oleh BMT kepada
anggota.
d) Qardh
Tujuan pengawasan syariah terhadap jasa Qardh adalah
untuk mendapatkan keyakinan yang memadai bahwa:
(1) Jasa pinjaman Qardh yang diberikan telah sesuai dengan
fatwa dari DSN-MUI dan PAS BMT 002;
(2) Penetapan besarnya biaya administrasi sehubungan dengan
pemberian qardh, tidak boleh berdasarkan perhitungan
prosentase dari jumlah dana qardh yang diberikan.
Hal senada juga diungkapkan oleh Bapak Marwan Cholil selaku
pengawas syariah, bahwa selama ini pengawasan syariah di BMT Safinah
berjalan dengan baik dan dilaksanakan sebagaimana mestinya dengan
tujuan menjaga agar tidak terjadi penyimpangan terhadap syariah yang
dilakukan oleh BMT Safinah. Pengawas syariah memeriksa kesesuaian
syariah setiap akad yang telah dilakukan oleh BMT dan juga memeriksa
proses transaksi pembuatan akad. Hal tersebut untuk memastikan bahwa
tidak ada satu akad pun yang dilakukan oleh BMT Safinah yang
bertentangan dengan syariah. Hasil pemeriksaan syariah tersebut
dilaporakan pada RAT.
3. Hambatan dan Solusi dalam Menjalankan Peran dan Tugas Dewan
Pengawas Syariah Terhadap Pengawasan Aspek Syariah di Baitul
Maal Wa Tamwil (BMT) Safinah Klaten
Berdasarkan wawancara penulis dengan Bapak M. Burhan selaku
Manajer Utama BMT Safinah pada hari Rabu tanggal 30 Januari 2008
pukul 09.00 WIB dan Rabu 6 Februari 2008 pukul 09.30 WIB, diperoleh
data bahwa pelaksanaan pengawasan syariah atau tugas dewan pengawas
syariah terhadap pengawasan aspek syariah di Baitul Maal Wa Tamwil
(BMT) Safinah Klaten tidak mengalami hambatan secara teknis, sebab
selama ini antara pengelola dan pengawas syariah bekerja sama dengan
baik dalam menjalankan tugasnya masing-masing secara profesional.
Hambatan yang dialami oleh Dewan Pengawas syariah adalah
keterbatasan pengetahuan Dewan Pengawas Syariah dan juga pengelola
mengenai fiqh muamalah dalam transaksi ekonomi modern. Apalagi
dengan semakin berkembangnya transaksi ekonomi modern yang
memunculkan produk-produk baru yang inovatif, memunculkan berbagai
penafsiran mengenai halal atau haramnya produk tersebut, dan juga
penafsiran impelementasi akad terhadap suatu produk baru. Sehingga
terkadang dalam penilaian aspek syariah suatu produk antara pengawas
syariah dan pengelola memiliki pemahaman yang berbeda.
Solusi yang telah ditempuh oleh BMT Safinah dalam mengatasi
hambatan tersebut adalah dengan menggunakan fatwa DSN dan PAS 002
BMT sebagai pedoman dalam pembuatan dan pelaksanaan transaksi.
Sehingga dalam pembuatan produk baru harus mengacu pada fatwa DSN
atau PAS 002, dan dalam pengawasan atau pemeriksaan aspek syariah
produk ataupun operasional di BMT juga mengacu pada fatwa DSN dan
PAS 002.
Hal senada juga diungkapkan oleh Bapak Marwan Cholil selaku pengawas syariah pada wawancara penulis hari Selasa tanggal 26 Februari 2008 pukul 10.30 WIB bahwa selama menjabat sebagai pengawas syariah tidak mengalami hambatan teknis, karena hal-hal yang diperlukan oleh pengawas syariah dalam menjalankan tugasnya dapat disediakan oleh pengelola sehingga membantu kelancaran tugas pengawas syariah. Dalam hal ini pengelola dapat bekerjasama dengan baik dengan pengawas syariah, dan selama menjadi pengawas syariah Bapak Marwan Cholil menyampaikan belum pernah menemukan penyimpangan syariah di BMT Safinah, namun bila suatu saat ada yang kurang benar atau ada indikasi menyimpang maka beliau akan langsung menegur dan menghentikan penyimpangan tersebut jika penyimpangan terbukti, karena telah menjadi tugas dan wewenangnya sebagai pengawas syariah.
B. Pembahasan
1. Peran Dewan Pengawas Syariah Terhadap Pengawasan Aspek
Syariah di Baitul Maal Wa Tamwil (BMT) Safinah Klaten
a. Kedudukan Pengawas Syariah BMT Safinah
Menurut penulis berdasarkan dari data-data hasil penelitian
menunjukkan bahwa BMT Safinah sebagai lembaga keuangan syariah
telah menempatkan DPS pada kedudukan yang penting sebagai
pengawas yang memiliki peran untuk menjaga dan mengawasi agar
BMT Safinah senantiasa berada pada rel prinsip-prinsip syariah.
Penempatan kedudukan DPS yang penting ini bisa dilihat dari sejak
sejarah berdirinya BMT Safinah meski belum berbadan hukum dan
tidak ada kewajiban yuridis untuk memiliki DPS, namun BMT Safinah
telah memiliki DPS sejak awal terbentuknya.”Sejak awal terbentuk
BMT Safinah sudah memiliki DPS.”, kata Bapak M. Burhan
(wawancara penulis pada hari Rabu 30/01/2008 pukul 09.00 WIB).
Oleh karena pentingnya peran DPS dalam menjaga penegakkan
prinsip-prinsip syariah di BMT, maka DPS BMT Safinah diberikan
kewenangan untuk menegur jika terjadi penyimpangan bahkan
menghentikan kegiatan jika benar-benar terbukti menemukan adanya
pelanggaran terhadap prinsip-prinsip syariah atas kegiatan yang
dilakukan oleh BMT Safinah. Sehingga label lembaga keuangan
syariah bukan sebagai kedok untuk kepentingan bisnis semata, tapi
kesungguhan untuk menjalankan prinsip ekonomi islam.
Menurut penulis kehadiran BMT dapat memberikan solusi bagi
masyarakat ekonomi mikro untuk mendapatkan dana dengan mudah
dan cepat, terhindar dari jerat rentenir, dan mengacu pada prinsip
syariah. Namun demikian terdapat pula BMT yang perlu diwaspadai
masyarakat, yang hanya sebagai kedok penipuan dengan menggunakan
label BMT sebagai lembaga keuangan syariah akan tetapi
operasionalnya tidak dijalankan dengan prinsp-prinsip syariah bahkan
hanya bertujuan untuk mendapatkan keuntungan oleh oknum tertentu.
Prinsip-prinsip syariah Islam yang menjadi dasar pengelolaan
ekonomi syariah, sesungguhnya merupakan nilai-nilai yang ditujukan
agar pengelolaan ekonomi berjalan di rel kebenaran (ma'rufat) dan
jauh dari sifat-sifat bathil (munkarat). Keberadaan Dewan Pengawas
Syariah di setiap lembaga ekonomi syariah, tentu menjadi faktor
penting untuk dapat terpelihara dan dijalankannya prinsip-prinsip
syariah pada lembaga-lembaga tersebut. Pengembangan ekonomi
syariah pun memiliki daya dukung yang memadai sebagaimana
pesatnya pertumbuhan yang menjadi fenomena akhir-akhir ini.
Di sisi lain, atas dasar kesadaran umat Islam untuk
mendapatkan rezeki dengan cara yang halal menjauhi riba dan
larangan Allah lainnya, menjadikan lembaga ekonomi syariah kuat
menghadapi badai krisis ekonomi, serta kebijakan politik ekonomi.
Kesadaran bersyariah di bidang muamalah ditumbuhkembangkan
dengan menanamkan keyakinan bahwa ketaatan pada syariat di bidang
muamalah, khususnya bidang ekonomi, merupakan perwujudan dari
keimanan dan ibadah yang berpahala di sisi Allah SWT.
Sebagaimana definisi ekonomi Islam menurut Gemala Dewi,
bahwa ”Bangunan perekonomian yang didirikan di atas landasan
dasar-dasar tersebut sesuai dengan tiap lingkungan dan masa”.
Maksud dari istilah tersebut adalah cara-cara penyesuaian atau
pemecahan masalah ekonomi yang dapat dicapai oleh para ahli dalam
negara Islam, sebagai pelaksanaan dari prinsip-prinsip Al Qur’an dan
As Sunnah. Dalam pelaksanaan prinsip-prinsip ekonomi, atau pada
bidang-bidang lain yang tidak diputuskan hukumnya oleh prinsip-
prinsip dasar, maka diperbolehkan menggunakan ijtihad untuk
menemukan pendapat bagi pemecahan problem ekonomi menurut
situasi dan kondisinya dengan petunjuk dari Al Qur’an dan As Sunnah.
Oleh karena hal tersebut di atas, menurut penulis keberadaan
sebuah dewan syariah sangat penting bagi sebuah lembaga keuangan
syariah, sebab pada saat ini ada sekian banyak permasalahan yang
bersifat syubhat dan kompleks, sedangkan tsaqafah dan wawasan umat
Islam di negeri ini umumnya sangat kurang. Sehingga dibutuhkan
advisor (penasehat) dan supervisor (pengawas) yang terkait dalam
masalah halal dan haram (hukum syar’i dan tidak syar’i). Kalau
menemukan sekedar orang-orang yang punya semangat ke-Islaman
atau pandai berceramah sehingga menarik pendengar, mungkin tidak
terlalu sulit. Tetapi menemukan ulama yang mendalami detail-detail
masalah dari sudut pandang hukum Islam / syariah, tentu bukan hal
yang sederhana. Sebab jumlah ulama yang ahli di bidang fiqh
muamalah terlebih muamalah kontemporer itu sangat sedikit,
sedangkan kebutuhan atas jasanya sedemikian banyak, dan dinamika
aktifitas umat sehari-hari semakin cepat berkembang.
Mengingat begitu besarnya peran dan tanggung jawab DPS,
maka seharusnya tidak semua orang boleh memainkan peran DPS. Ada
syarat khusus yang selayaknya wajib dipenuhi agar seseorang bisa
dipercaya sebagai DPS. Mengenai hal ini DSN-MUI dalam
Keputusannya No. 03 tahun 2000 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Penetapan Anggota Dewan Pengawas Syariah di Lembaga Keuangan
Syariah, sebenarnya telah menetapkan syarat menjadi anggota DPS
yaitu:
1) memiliki akhlak yang terpuji
2) harus punya kompetensi kepakaran di bidang syariah mu’amalah
serta pengetahuan di bidang ekonomi syariah
3) ada komitmen yang tinggi dalam dari DPS untuk
mengembangakan ekonomi berdasarkan sistem syariah
4) kelayakan sebagai pengawas syariah yang dibuktikan dengan
surat atau sertifikat yang dikeluarkan DSN.
Namun dari hasil penelitian yang dilakukan penulis ternyata
syarat yang terakhir tersebut belum bisa diberlakukan oleh semua
lembaga keuangan mikro syariah, termasuk salah satunya di sini
adalah BMT Safinah. ”Tidak ada sertifikasi kelayakan dari DSN
sebagai syarat menjadi DPS BMT Safinah”, kata Bapak Burhan
(wawancara penulis pada hari Rabu 30/01/2008 pukul 09.00 WIB).
Hal yang sama disampaikan Bapak Marwan Cholil, ”DPS BMT tidak
diwajibkan harus memiliki sertifikasi kelayakan dari DSN, yang
diwajibkan adalah DPS BMT Pusat yang berada di Asosiasi”
(Wawancara penulis pada hari Selasa 26/02/2008 pukul 10.30 WIB).
Hal tersebut menurut penulis wajar karena tidak ada hubungan
secara struktural antara DPS dengan DSN di BMT, selain itu dari DSN
sendiri selama ini belum melakukan sosialisasi secara massif dan
menyeluruh pada semua lembaga keuangan syariah terkait produk
keputusan ataupun fatwa dari DSN untuk mendapatkan produk
keputusan atau fatwa dari DSN, lembaga keuangan mikro syariah
utamanya BMT harus aktif berusaha mencari sendiri. ”Bahkan untuk
mendapatkan fatwa-fatwa akad yang dikeluarkan oleh DSN kami
harus aktif mencari sendiri karena tidak ada sosialisasi”, kata Bapak
M. Burhan (wawancara penulis pada hari Rabu 30/01/2008).
Bahkan dikatakan oleh Ketua Badan Pelaksana Harian DSN:
”BMT belum merupakan bagian pengawasan kami, dia di luar system. Tidak ada mekanisme pengawasan syari’ah. Makanya, banyak yang terindikasi menyimpang. Kamis lalu (22 September 2007) ada Deklarasi Pegembangan Koperasi Syari’ah se-JaBar, dihadiri Menteri Koperasi. Saya di undang berbicara. Saya katakan, koperasi syari’ah ini belum ada regulasinya. Saya minta Menteri Koperasi dan Dewan Koperasi Indonesia mencoba memfalisitasinya, sehingga koperasi syari’ah dan BMT ada regulasinya dan mekanisme pengawasan kesesuaiannya dengan syari’ah.” ( dikutip dari wawancara wartawan Gatra dengan KH. Ma’ruf Amin, 11 Okt 2007, www.gatra.com).
Menurut penulis seharusnya Keputusan DSN MUI yang
mengatur lembaga keuangan syariah dapat diberlakukan kepada semua
lembaga keuangan syariah baik mikro maupun makro, sebab dalam
aturan tersebut ditegaskan berlaku untuk lembaga keuangan syariah
tidak disebutkan adanya pengecualian atau pengkhususan terhadap
lembaga keuangan syariah tertentu. Akan tetapi ternyata tidak berlaku
demikian dan belum ada tindakan dari DSN mengenai hal ini. Padahal
lembaga keuangan mikro syariah khususnya BMT telah mengalami
perkembangan yang cukup pesat yang seharusnya juga menjadi
perhatian dari DSN-MUI, namun dalam prakteknya selama ini
terkesan DSN-MUI lebih memperhatikan lembaga keuangan makro
syariah khususnya bank syariah.
Kurangnya perhatian DSN terhadap BMT menurut penulis bisa
dikarenakan latar belakang terbentuknya DSN tidak lepas dari sejarah
perbankan syariah, dimana keberadaan DPS pada bank syariah adalah
keharusan yang telah diatur dalam Surat Keputusan Direksi Bank
Indonesia No. 52/34/Kep/Dir untuk Bank Umum Syariah, Surat
Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/36/Kep/Dir untuk Bank
Pengkreditan Syariah, dan UU No. 10 tahun 1998. Dalam aturan
tersebut ditegaskan bahwa persyaratan anggota Dewan Pengawas
Syariah diatur dan ditetapkan oleh Dewan Syariah Nasional, dan
wajib mengikuti fatwa Dewan Syariah Nasional. Aturan-aturan
tersebut yang menjadi landasan hukum dibentuknya Dewan Syariah
Nasional melalui keputusan Majelis Ulama Indonesia (Hery Murjianto,
2003: 50). Dari latar belakang tersebut dapat menjadi alasan sehingga
DSN MUI lebih memperhatikan perbankan syariah, karena DSN-MUI
mendapat kedudukan yang kuat secara yuridis untuk terlibat dalam
sistem pengawasan syariah pada perbankan syariah.
Sedangkan pada lembaga keuangan mikro syariah khususnya
BMT, DSN-MUI tidak punya ikatan secara yuridis, sebab belum ada
payung hukum yang dapat dijadikan legalitas bagi DSN untuk terlibat
dalam sistem pengawasan syariah pada lembaga keuangan mikro
syariah khususnya BMT. Bahkan badan hukum BMT pun tidak ada
keseragaman, karena tidak adanya payung hukum yang mengatur
badan hukum BMT. Terhadap BMT-BMT yang berbadan hukum
koperasi termasuk BMT Safinah yang menjadi obyek dalam penelitian
ini, mendapat payung hukum dari Perundang-undangan koperasi,
namun dari hasil penelitian belum ada satupun penegasan dalam
Perundang-undangan koperasi suatu aturan yang berlaku bagi koperasi
yang menggunakan prinsip-prinsip syariah mengenai keterlibatan
DSN-MUI dalam sistem pengawasan syariah termasuk menentukan
syarat anggota DPS.
Sehingga syarat yang keempat untuk menjadi anggota DPS,
yaitu sertifikasi kelayakan dari DSN bagi lembaga keuangan mikro
syariah terutamanya BMT tergantung dari kebijakan lembaganya
masing-masing. Sedangkan di BMT Safinah syarat yang keempat ini
tidak digunakan, sebab sangat sulit bahkan tidak ada ulama di Klaten
yang memiliki sertifikasi dari DSN, walaupun Pengawas Syariah BMT
Safinah adalah mantan ketua MUI Klaten namun juga tidak memiliki
sertifikasi kelayakan sebagai DPS dari DSN. Oleh karena itu, untuk
syarat keempat di BMT Safinah cukup dengan pandangan kelayakan
dari Rapat Anggota yang memandang calon mampu untuk menjadi
DPS.
Menurut penulis mengenai syarat sertifikasi kelayakan, tidak
berarti jika tidak memiliki sertifikasi kelayakan dari DSN maka DPS
tidak memiliki kemampuan untuk menjadi DPS. Sebab bisa jadi DPS
tidak mencari sertifikasi kelayakan padahal memiliki kemampuan,
dikarenakan merasa tidak perlu untuk memiliki bukti kelayakan
dengan sertifikasi, serta tidak ingin direpotkan dengan harus mengikuti
ujian kelayakan yang membutuhkan waktu, biaya, pikiran, dan tenaga.
Meski begitu menurut penulis adanya syarat sertifikasi juga penting,
karena sertifikasi tersebut menjadi bukti secara normatif sebelum
menjalankan tugasnya bahwa calon DPS memiliki kelayakan, hal ini
akan lebih memberikan kepercayaan dan keyakinan terhadap
kemampuan DPS karena telah teruji kelayakannya oleh DSN. Selain
itu juga dapat menambah kepercayaan dari masyarakat dengan adanya
sertifikasi dari DSN-MUI, sebab umat Islam secara emosional
memiliki ikatan dengan lembaga yang mewadahi ulama-ulama
Indonesia yaitu MUI, sedangkan DSN adalah bagian dari MUI.
Berdasarkan hasil penelitian, dilihat dari kedudukannya DPS
BMT Safinah merupakan lembaga independen yang berfungsi
melakukan pengawasan syariah terhadap BMT. Menurut penulis
keberhasilan pelaksanaan tugas dan wewenang pengawasan syariah ini
tergantung kepada independesinya di dalam membuat suatu penilaian
atau putusan yang dibutuhkan. Namun setidaknya independensinya
diharapkan dapat dijamin karena DPS BMT Safinah:
1) bukan staf manajemen/ pengelola, sehingga tidak tunduk di bawah
kekuasaan administrasi
2) dipilih oleh Rapat Anggota, termasuk honorariumnya ditentukan
di sana
3) mempunyai mekanisme kerja dan tugas-tugas khusus seperti
halnya badan pengawas lainnya.
b. Peran Dewan Pengawas Syariah Terhadap Pengawasan Aspek
Syariah di BMT Safinah Klaten
Hasil penelitian dan pembahasan tentang kedudukan DPS BMT
Safinah, menunjukkan bahwa DPS BMT Safinah memiliki peran yang
sangat penting terhadap pengawasan aspek syariah agar tidak terjadi
penyimpangan terhadap prinsip-prinsip syariah. Bahkan penempatan
peran penting ini tidak didasarkan karena adanya aturan yuridis, atau
aturan yang mewajibkan dan mengikat, akan tetapi penempatan peran
penting DPS BMT Safinah didasari kesadaran dan semangat untuk
melaksanakan ekonomi syariah yang diwujudkan dalam aktivitas BMT
Safinah sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
Menurut Penulis, kesadaran bersama tersebut dilandasi oleh
aqidah yang kuat. Sebab dengan aqidah yang kuatlah yang dapat
mendorong jiwa seseorang untuk melaksanakan tuntunan Al Qur’an
dan Sunnah Rosulullah SAW. Dorongan tersebut yang akan
memunculkan niat dalam usaha mengembangkan ekonomi islam
dengan target mewujudkan baldatun thoyyibatun wa robbun ghoffur
(masyarakat yang sejahtera dalam lindungan dan ampunan Allah
SWT), dengan kata lain usaha yang dilakukan diniatkan ikhlas semata-
mata untuk mendapatkan ridho Allah SWT. Niat ini lah yang akan
memacu semangat dan mengoptimalkan usaha untuk meraih
keberhasilan usaha ekonomi yang sedang dilakukan sehingga
mendapat kesuksesan. Hal itu dapat terjadi jika adanya dorongan yang
kuat di dalam jiwa sebagai pancaran dari nilai-nilai aqidah, maka suatu
keharusan berusaha secara optimal untuk mewujudkan kesuksesan dan
keuntungan sebesar-besarnya dari segala bentuk usaha ekonomi yang
dilakukan, yaitu melalui aktifitas yang dilakukan secara tekun dan
optimis serta dibarengi dengan kesabaran sebagaimana telah
diperintahkan oleh Allah dalam Al Qur’an dan perintahkan serta
dicontohkan oleh Rosulullah dalam Sunnahnya.
Jika di lihat dari kedudukan dan tugasnya, setidaknya DPS BMT
Safinah dapat memainkan lima peran:
1) Sebagai supervisor, DPS menjadi pengawas langsung kepatuhan
terhadap prinsip-prinsip syariah, serta mengawasi implementasi
fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) dan PAS 002 pada
operasional BMT.
2) Sebagai advisor, DPS memberi nasihat, pemikiran, saran,
sekaligus sebagai konsultan agar dalam pengembangan produk dan
jasa yang inovatif sesuai dengan prinsip-prinsip syariah..
3) Sebagai marketer DPS menjadi mitra strategis untuk peningkatan
kualitas dan kuantitas BMT. DPS dengan kapasitas yang dimiliki
sebagai ulama dapat membangun kemitraan lewat komunikasi
massa, memberikan motivasi, penjelasan dan edukasi publik
kepada masyarakat terkait pentingnya bermuamalah sesuai dengan
prinsip-prinsip syariah.
4) Sebagai supporter, DPS memberi dukungan, motivasi, dan doa,
agar pengelolaan BMT senantiasa berada rel prinsip-prinsip
syariah sesuai dengan pedoman yang telah digariskan Al Qur’an
dan As Sunnah .
5) Sebagai player atau pemain dan pelaku ekonomi syariah DPS
terlibat sebagai anggota BMT yang bertujuan untuk melaksanakan
dan menjaga prinsip-prinsip syariah..
Dilihat dari kelima peran tersebut dapat menunjukkan bahwa
DPS memiliki peran yang sangat penting, dimana kelima peran
tersebut bertujuan untuk menjaga penegakkan dan penerapan prinsip-
prinsi syariah khususnya dalam bermuamalah.. Namun sebagaimana
telah penulis jabarkan sebelumnya bahwa tidak ada hubungan secara
yuridis antara DPS BMT dengan DSN, hal ini mengakibatkan belum
diakomodasinya fungsi DPS BMT yang seharusnya menjadi mediator
hubungan antara BMT dengan DSN terutama dalam setiap upaya
pengembangan produk dan jasa yang perlu mendapatkan fatwa dari
DSN, dan sebagai perwakilan DSN yang ditempatkan pada BMT yang
berkewajiban menyampaikan laporan secara berkala dari hasil
pengawasannya kepada DSN sekurang-kurangnya sekali dalam satu
tahun.
Menurut penulis meskipun BMT Safinah tidak melakukan
penyimpangan, akan tetapi hal tersebut di atas yang menjadikan
peluang penyimpangan praktik BMT terhadap fatwa DSN sangat
terbuka, sebab pengawasan BMT tanpa induk. Salah satu tugas dan
tanggung jawab DPS BMT adalah untuk menjaga dan mengawasi
pelaksanaan fatwa DSN-MUI, namun tidak ada pengawasan dari DSN-
MUI terhadap pelaksanaan fatwa-fatwanya di BMT, dan tak ada
laporan hasil dari pengawasan DPS BMT kepada DSN. Kondisi ini
dapat berdampak negatif pada lemahnya pengawasan syariah di BMT.
Bagi oknum yang tidak bertanggung jawab tentu saja kondisi ini
sangat memudahkan bagi mereka untuk melakukan penyimpangan-
penyimpangan terhadap prinsip-prinsip syariah yang telah digariskan,
karena kurangnya pengawasan. Terlebih lagi bagi BMT yang tidak
memiliki DPS dikarenakan tidak ada kewajiban yuridis untuk memiliki
DPS, maka peluang terjadinya penyimpangan akan lebih lebar terbuka.
Sebagai pengawas syariah, fungsi DPS sesungguhnya sangat
strategis dan mulia, karena menyangkut kepentingan seluruh umat
Islam pengguna lembaga tersebut. Sebab salah satu yang membedakan
antara koperasi syariah BMT dengan koperasi konvensional terletak
pada adanya dewan pengawas syariah (DPS). Lembaga ini
bertanggungjawab penuh atas konsistensi BMT dalam menjalankan
prinsip-prinsip syariah. Karena sistem syariah bukan semata-mata
strategi guna meraih segmen pasar umat Islam yang jumlahnya besar,
tetapi menjadi landasan ideologi yang sangat mendasar. Secara
emosional umat Islam akan selalu berpedoman pada keberadaan
pengawas syariah, karena dari sinilah kepercayaan pada BMT tersebut
ditumbuhkan. Lembaga ini paling bertanggung jawab atas kebenaran
praktik BMT dengan prinsip-prinsip syariah, namun karena
permasalahan dasar hukum BMT yang tidak jelas mengatur peran
DPS, maka peran penting ini tergantung dari tiap BMT memahami dan
meletakkan peran DPS di BMT nya masing-masing, dan khusus BMT
Safinah Klaten berdasarkan data yang diperoleh dilihat dari
kedudukan, tugas, wewenang dan tanggung jawabnya menunjukkan
telah memahami dan menempatkan peran yang sangat penting bagi
DPS dalam pengawasan aspek syariah di BMT Safinah Klaten.
2. Pelaksanaan Tugas Dewan Pengawas Syariah dalam Pengawasan
Aspek Syariah di Baitul Maal Wa Tamwil (BMT ) Safinah Klaten
Menurut penulis berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan
menunjukkan, bahwa selama ini Dewan Pengawas Syariah telah
melaksanakan tugasnya melakukan pengawasan aspek syariah dengan
baik. Pengawas syariah aktif melaksanakan tugas, wewenang dan
tanggung jawabnya sesuai dengan aturan yang telah ditentukan dalam PAS
002 BMT. Pengawasan dilaksanakan baik secara formal maupun informal.
Pengawasan dilakukan terhadap perencanaan, dan pelaksanaan produk
BMT, serta dilaksanakan terhadap setiap transaksi yang dilaksanakan oleh
BMT meliputi proses transaksi, akad yang digunakan dan pelaksanaan dari
akad dalam transaksi. Pengujian substantif materi syariah terhadap produk
BMT Safinah mengacu pada pedoman tugas, wewenang dan tanggung
jawab BMT yang dikeluarkan oleh Asosiasi BMT di dasarkan pada akad
yang digunakan pada tiap produk.
Menurut penulis berdasarkan data-data hasil penelitian,
pelaksanaan tugas pengawasan Dewan Pengawas Syariah BMT Safinah
selama ini telah dilakukan dengan baik, tidak lepas dari kesadaran akan
tugas dan tanggung jawab dari pengawas syariah dan juga pengelola. Jika
dijabarkan secara ringkas pelaksanaan tugas Dewan Pengawas Syariah
tersebut adalah sebagai berikut :
a. Memberikan pedoman dan garis-garis besar syariah baik untuk
penggalangan dana maupun untuk penyaluran (pembiayaan).
b. Memeriksa proses pembuatan akad dalam transaksi dan
pelaksanaannya agar tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
c. Mengadakan perbaikan dengan mengambil suatu tindakan, seandainya
suatu produk yang telah atau sedang dijalankan dinilai bertentangan
dengan syariah.
d. Memeriksa buku laporan tahunan dan atau memberikan pernyataan
tentang kesesuaian syariah dari semua produk dan operasional.
e. Memberikan rekomendasi dalam bentuk opini terhadap permasalahan
yang diajukan atau dihadapi pengelola dalam operasional BMT.
Pada hasil penelitian didapatkan data bahwa obyek yang akan
diaudit oleh Pengawas Syariah terkadang disampaikan dalam surat
pemberitahuan, namun terkadang juga tidak diberitahukan. Menurut
penulis hal tersebut dapat memotivasi pengelola untuk profesional. Sebab
dengan bekerja secara profesional, maka jika ada audit syariah yang tidak
diberitahukan terlebih dahulu obyek yang akan di audit, pengelola tidak
akan mengalami kesulitan karena semuanya telah dilaksanakan dengan
baik dan pengelola akan senantiasa siap untuk menyediakan obyek yang
akan diaudit secara mendadak.
Dewan Pengawas Syariah BMT tidak hanya mengawasi aspek
syariah yang dijalankan di BMT, tapi juga dalam melaksanakan tugasnya
Pengawas syariah menggunakan tuntunan syariah. Hal ini bisa dilihat dari
pengawasan secara formal, misalnya jika Pengawas menerima info-info /
laporan dari pihak lain mengenai hal-hal yang negatif tentang penerapan
prinsip syariah di BMT, segera mengkroscekkan kepada pengelola
mengenai kebenarannya. Meskipun memiliki peran yang penting dan
kewenangan yang cukup besar, yaitu menjatuhkan vonis menyimpang,
namun DPS BMT Safinah menggunakan kaidah tabayyun ( mencari
penjelasan ). DPS BMT Safinah tidak boleh semena-mena dalam
menjalankan tugas dan menggunakan kewenangannya, untuk itu DPS
BMT Safinah menggunakan prinsip hati-hati dalam melakukan penilain.
Pengawasan yang dilakukan oleh DPS BMT Safinah sebagai
lembaga yang berwenang ( wilayatul riqabah ) bertujuan untuk
mengetahui sejauh mana proses kegiatan usaha pada BMT, dan
memastikan bahwa seluruh aktivitas keuangan serta penetapan strategi dan
tujuan organisasi tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Sistem
pengawasan syariah yang dilakukan oleh DPS BMT Safinah mengacu
pada prinsip-prinsip dasar pengawasan yang menjadi bagian dari ajaran
Islam, yakni pertama jalbul mashalih atau upaya untuk menjaga dan
memaksimalkan unsur kebaikan supaya dapat terjaga lima dasar resiko
dalam kehidupan yakni resiko moral, resiko agama, resiko akal, resiko
harta, resiko regenerasi dan resiko reputasi. Kedua dar'ul mafasid atau
upaya untuk menghindarkan dari unsur-unsur yang dapat menimbulkan
kerusakan baik moral maupun material, dan ketiga adalah saddudz
dzari'ah atau upaya untuk mencegah dan mengantisipasi terjadinya
pelanggaran terhadap syariah dan peraturan-peraturan lainnya
Berdasarkan data yang diperoleh, maka menurut penulis
pengawasan yang dilaksanakan di BMT Safinah untuk menjaga penerapan
prinsip-prinsip syariah, telah dilaksanakan dengan pengawasan yang
menyeluruh meliputi:
a. riqabah musbaqah atau pengawasan prefentif yang dilakukan pada
tahapan penyusunan berbagai produk dan penetapan strategi,
b. riqabah lahiqah atau pengawasan operasional yang dilakukan untuk
memastikan praktik bisnis seperti pelaksanaan kontrak pembiayaan
atau sistem pemasarannya tidak menyimpang dari syariah,
c. riqabah a'mal atau pengawasan pada aspek keuangan dan perilaku
manajemen,
d. riqabah dzatiyah atau pengawasan berbasis moral pada aspek individu
pengurus dan pengelola bisnis tersebut.
Dari sekian banyak sistem pengawasan, yang paling mendasar
menurut penulis terletak pada riqabah dzatiyah, karena dari sanalah
pelaksanaan atau penyimpangan terjadi. Pengawasan syariah yang
dilaksanakan oleh kekuasaan umum dalam hal ini DPS tidak cukup untuk
menjaga penerapan prinsip-prinsip syariah, karena tidak setiap saat DPS
mengawasi. Namun pengawasan hati nurani yang telah terbina oleh
keyakinan yang kuat akan adanya Allah SWT akan melahirkan sistem
pengawasan yang lebih ketat dan aktif, karena keyakinan tersebut
menimbulkan keyakinan yang kuat juga terhadap firman-Nya,
”....Sesungguhnya Allah selalu menjaga mengawasi kalian.” (Qur’an surat
an Nisaa’ ayat 1).
Kepercayaan akan pengawasan Allah tersebut akan menimbulkan
pengawasan hati nurani yang dapat lebih mampu mencegah
penyelewengan kegiatan ekonomi jika dibanding dengan pengawasan dari
luar. Riqabah dzatiyah ini akan mendorong para pelaku BMT memiliki
basis moral yang positif, sehingga menumbuhkan motivasi pengawasan
dari dalam, yang meskipun tidak diawasi oleh orang lain atau suatu badan
yang berwenang, namun individu yang memiliki riqobah dzatiyah tidak
akan melakukan penyimpangan terhadap prinsip-prinsip syariah sekecil
apapun, karena keyakinan yang kuat bahwa Allah tidak sedetik pun lepas
dari mengawasinya, bahkan mengawasi apa yang ada di dalam hati.
Sebagai contoh adalah pengelola baitul tamwil pada masa
Rosulullah dan juga Khulafaur Rasyidin, pada masa itu baitul tamwil tidak
memerlukan adanya dewan pengawas sebab pengelola baitul tamwil pada
masa itu memiliki riqobah dzatiyah yang sangat kuat, sehingga tidak
melakukan penyelewengan atau pelanggaran syariah dalam mengelola
baitul tamwil. Bahkan mereka cenderung bertindak sangat hati-hati demi
menghindari perbuatan-perbuatan yang akan dianggap menyeleweng dari
syariah, karena takut terhadap pengawasan Allah.
Oleh karena itu semua insan BMT sebagai pelaku bisnis syariah
harus didorong agar memiki aqidah yang kuat, untuk mencapai kondisi
tersebut manajemen dan budaya kerja di BMT harus mampu mendukung
terciptanya spiritualitas / ruhiyah dan integritas / khuluqiyah pada masing-
masing individu. Setiap individu BMT harus memiliki kesucian jiwa,
kejernihan fitrah dan kesadaran akan pengawasan dari Allah. Dibutuhkan
kejujuran untuk mampu bertindak sesuai dengan kata hati nuraninya,
karena suara hati nurani menjadi pembisik kebenaran. Sedangkan
kesadaran pengawasan dari Allah merupakan benteng paling kuat untuk
menahan diri ketika para pelaku bisnis BMT mendapatkan peluang untuk
melakukan pelanggaran, sementara manajemen atau pengawas tidak
mampu mendeteksinya.
3. Hambatan dan Solusi dalam Menjalankan Peran dan Tugas Dewan
Pengawas Syariah Terhadap Pengawasan Aspek Syariah di Baitul
Maal Wa Tamwil (BMT) Safinah Klaten
Menurut penulis berdasarkan data hasil penelitian, bahwa
hambatan yang dialami oleh Dewan Pengawas syariah adalah keterbatasan
pengetahuan Dewan Pengawas Syariah dan juga pengelola mengenai fiqh
muamalah dalam transaksi ekonomi modern dan solusi yang telah
ditempuh oleh BMT Safinah dalam mengatasi hambatan tersebut adalah
dengan menggunakan fatwa DSN dan PAS 002 BMT sebagai pedoman
dalam pembuatan dan pelaksanaan transaksi. Meskipun BMT Safinah
tidak mendapatkan pengawasan dari DSN dan juga sebagai lembaga yang
berbadan hukum koperasi tapi tidak mendapatkan pengawasan dari Dinas
Koperasi, namun pengawasan syariah di BMT Safinah dapat berjalan
dengan baik sesuai dengan tugas dan tanggung jawab pengawas syariah,
serta BMT Safinah tetap penggunaan fatwa DSN sebagai pedoman dalam
pembuatan dan pemeriksaan kesesuaian akad dengan syariah..
Menurut penulis, jika melihat dari syarat pengawas syariah di BMT
Safinah, hambatan ini bisa menjadi wajar terjadi dikarenakan pengawas
syariah BMT Safinah tidak memiliki sertifikasi kelayakan dari DSN.
Namun hal tersebut juga dapat dimaklumi dikarenakan keterbatasan ulama
yang paham fiqh muamalah modern dan yang memiliki sertifikasi
kelayakan dari DSN, sedangkan jumlah lembaga-lembaga syariah di
Indonesia semakin banyak jumlahnya, baik di sektor ekonomi mikro
ataupun makro. Jumlah perkembangan lembaga syariah di Indonesia tidak
diimbangi dengan peningkatan jumlah ulama Indonesia yang memiliki
kapasitas pengetahuan fiqh muamalah modern, sehingga wajar jika
sekarang masih banyak terdengar adanya lembaga keuangan syariah yang
melakukan penyimpangan dari prinsip-prinsip syariah dikarenakan belum
dikawal oleh Dewan pengawas syariah yang ’mumpuni’, yaitu selain
karena keterbatasan ilmu juga karena ketidak optimalan serta kesadaran
dari para pihak untuk bekerja sama dalam mewujudkan kesehatan aspek
syariah di lembaga.
Menurut penulis pada aspek pengawasan syariah, sungguh tidak
mudah untuk bertanggung jawab atas pengawasan syariah mengingat
demikian kompleksnya transaksi ekonomi modern, terlebih dengan
perkembangan yang semakin cepat dan tingkat kebutuhan yang semakin
meningkat dalam dunia ekonomi melahirkan transaksi ekonomi modern
yang memunculkan produk-produk baru yang inovatif, yang bisa menjadi
perdebatan mengenai hukum fiqhnya karena ketiadaan landasan dalil
syari’i yang jelas (perkara yang syubhat), sehingga setiap ulama bisa
memiliki penafsiran yang berbeda terhadap hukumnya.
Oleh sebab itu sebagaimana telah dibahas dalam sebelumnya pada
kedudukan DPS BMT Safinah, syarat untuk menjadi DPS seharusnya yang
benar-benar layak, yang tidak hanya memiliki semangat keislaman yang
tinggi atau pandai dalam ilmu-ilmu ibadah mahdha, tapi memiliki ilmu
fiqh muamalah yang memadai. Syarat sertifikasi kelayakan dari DSN perlu
menjadi pertimbangan bagi lembaga-lembaga keuangan syariah khususnya
dalam hal ini adalah BMT untuk memilih DPS, karena dengan sertifikasi
tersebut setidaknya memberikan jaminan bahwa calon DPS telah lulus uji
kelayakan oleh DSN. Sehingga dalam melaksanakan tugas pengawasan
tidak akan mengalami kesulitan keterbatasan ilmu yang dimiliki, serta
dapat menambah kepercayaan dari masyarakat terhadap kompetensi DPS
karena sudah memiliki sertifikasi dari DSN.
Selain hal tersebut di atas, penting juga adanya rasa memiliki yang
kuat dari pengelola, pengurus, dan pengawas syariah yang dapat
mendorong kepedulian untuk memelihara keberlangsungan hidup BMT
sebagai sarana ibadah dan mengimplementasikan operasional BMT sesuai
dengan syariah. Sehingga dalam hal pengawasan syariah antara pengelola,
pengurus, dan pengawas syariah dapat saling bekerja sama untuk
mewujudkan visi bersama BMT agar berjalan sesuai dengan prinsip-
prinsip syariah.
BAB 1V
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
1. Peran Dewan Pengawas Syariah Terhadap Pengawasan Aspek Syariah di
Baitul Maal Wa Tamwil (BMT) Safinah Klaten
Dilihat dari kedudukan, tugas, dan wewenangnya, DPS pada BMT
Safinah memiliki peran yang sangat penting terhadap pengawasan aspek
syariah di BMT Safinah Klaten. Sebagai pengawas syariah DPS memiliki
peran untuk menjaga dan mengawasi agar BMT Safinah senantiasa dapat
terpelihara dan dijalankan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Lembaga
ini yang paling bertanggung jawab atas kebenaran praktik Pedoman tugas,
wewenang dan tanggung jawab DPS BMT Safinah mengacu pada PAS
002 BMT, tidak ada ikatan atau hubungan struktural dengan DSN. Namun
DPS BMT Safinah juga bertugas untuk menjaga kepatuhan pada prinsip-
prinsip syariah, penerapan fatwa DSN dan PAS 002 BMT.
Keberadaan Dewan Pengawas Syariah di setiap lembaga keuangan
mikro syariah, menjadi faktor penting untuk terpeliharanya prinsip-prinsip
syariah pada lembaga-lembaga tersebut. Namun karena permasalahan
dasar hukum BMT yang tidak jelas mengatur peran DPS, maka peran
penting ini tergantung dari tiap BMT memahami dan meletakkan peran
DPS di BMT nya masing-masing. Keberhasilan pelaksanaan tugas dan
wewenang pengawasan syariah ini tergantung kepada independesinya di
dalam membuat suatu penilaian atau putusan yang dibutuhkan.
2. Pelaksanaan Tugas Dewan Pengawas Syariah dalam Pengawasan Aspek
Syariah di Baitul Maal Wa Tamwil (BMT ) Safinah Klaten
Pelaksanaan tugas pengawasan Dewan Pengawas Syariah BMT
Safinah selama ini telah dilakukan dengan baik. Pengawasan syariah
dilakukan secara formal maupun informal, dengan pengawasan yang
menyeluruh meliputi: riqabah musbaqah, riqabah lahiqah, riqabah a'mal,
dan riqabah dzatiyah. Dari sekian banyak sistem pengawasan, yang paling
mendasar menurut penulis terletak pada riqabah dzatiyah, karena dari
sanalah pelaksanaan atau penyimpangan terjadi. Kepercayaan akan
pengawasan Allah tersebut akan menimbulkan pengawasan hati nurani
yang dapat lebih mampu mencegah penyelewengan kegiatan ekonomi jika
dibanding dengan pengawasan dari luar.
Dalam rangka mendukung kinerja pengawasan syariah dan
pelaksanaan tugas, wewenang dan tanggung jawab selaku DPS, maka
BMT wajib memberikan fasilitas kepada DPS, antara lain:
f. Mengakses data dan informasi yang diperlukan terkait dengan
pelaksanaan tugasnya, serta mengklarifikasikannya kepada pengelola
BMT;
g. Memanggil dan meminta pertanggungjawaban dari segi syariah kepada
pengelola BMT;
h. Memperoleh fasilitas yang memadai untuk melaksanakan tugas secara
efektif;
i. DPS dapat memperoleh uang jasa yang ditetapkan dalam RAT.
3. Hambatan dan Solusi dalam Menjalankan Peran dan Tugas Dewan
Pengawas Syariah Terhadap Pengawasan Aspek Syariah di Baitul Maal
Wa Tamwil (BMT) Safinah Klaten
Hambatan yang dialami oleh Dewan Pengawas syariah adalah
keterbatasan pengetahuan Dewan Pengawas Syariah dan juga pengelola
mengenai fiqh muamalah dalam transaksi ekonomi modern. Solusi yang
telah ditempuh oleh BMT Safinah dalam mengatasi hambatan tersebut
adalah dengan menggunakan fatwa DSN dan PAS 002 BMT sebagai
pedoman dalam pembuatan dan pelaksanaan transaksi. Sehingga dalam
pembuatan produk baru, pengawasan atau pemeriksaan aspek syariah
harus mengacu pada fatwa DSN atau PAS 002 BMT.
Jika melihat dari syarat pengawas syariah di BMT Safinah,
hambatan ini bisa menjadi wajar terjadi, dikarenakan pengawas syariah
BMT Safinah tidak memiliki sertifikasi kelayakan dari DSN. Syarat
sertifikasi kelayakan dari DSN perlu menjadi pertimbangan bagi lembaga-
lembaga keuangan syariah khususnya dalam hal ini adalah BMT untuk
memilih DPS, karena dengan sertifikasi tersebut setidaknya memberikan
jaminan bahwa calon DPS telah lulus uji kelayakan oleh DSN.
B. Saran
1. Kepada pejuang-pejuang ekonomi mikro syariah pada umumnya dan BMT
Safinah Klaten khususnya agar terus berjuang mendorong pemerintah
segera mengeluarkan peraturan yang dapat dijadikan payung hukum bagi
lembaga ekonomi mikro syariah, khususnya BMT sehingga BMT
memiliki payung hukum yang kuat dan badan hukum yang seragam.
Dalam peraturan tersebut perlu di atur mengenai pelaksana pengawas
syariah dan petunjuk pelaksanaan pengawasan, karena tugas pengawasan
syariah adalah tugas yang sangat berat tanggung jawabnya, maka jangan
hanya menimpakan beban tersebut kepada DPS, namun juga perlu
keterlibatan dari DSN-MUI dan pemerintah.
2. Kepada DSN-MUI agar meningkatkan perannya dalam menjaga dan
mengawasi penerapan prinsip-prinsip syariah dengan melakukan
sosialisasi intensif terhadap keputusan dan fatwa-fatwa yang telah
dikeluarkan, baik kepada lembaga ekonomi syariah maupun pihak-pihak
lain yang terkait sebagai stakeholders, agar secara sosiologis keputusan
dan fatwa-fatwa tersebut dapat dipraktikkan dalam pergaulan ekonomi
sehari-hari dan berlaku sebagai hukum kebiasaan (usage). Khusus
mengenai masalah sertifikasi kelayakan sebagai syarat DPS, hendaknya
DSN-MUI sebagai satu-satunya lembaga Islam yang legal mengeluarkan
fatwa atau keputusan yang berlaku untuk umat Islam di Indonesia
diharapkan tanggap dan proaktif menangkap kondisi ini dengan jalan
mengatur dan menstandarkan anggota DPS BMT.
3. Kepada Lembaga-lembaga Keuangan syariah pada umumnya dan BMT
Safinah pada khususnya agar melakukan penguatan DPS dengan
pengoptimalan fungsi pengawasan syariah dan memberikan pelatihan-
pelatihan atau beasiswa pendidikan kepada DPS-DPSnya untuk
peningkatan kafaah fiqh ekonominya. Sehingga harapan yang tinggi dari
umat Islam akan kehadiran BMT dapat disikapi sebagai sebuah kesadaran
baru untuk mengamalkan ajaran Islam secara kaffah serta agar kesadaran
tersebut tidak dimanfaatkan oleh oknum yang menjual agama untuk
kepentingan bisnis pribadi dan kelompoknya.
4. Kepada Lembaga-lembaga Keuangan Syariah pada umumnya dan BMT
Safinah Klaten pada khususnya agar mengadakan program rutin untuk
memupuk ruhani para pengelola lembaga keuangan syariah, sehingga
aqidah mereka kuat terjaga yang dapat memperkuat sistem pengawasan
hati nurani (riqobah dzatiyah) dan membantu pengawasan penerapan
prinsip-prinsip syariah.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Al Qur’an dan Terjemahan oleh Departemen Agama RI. 1996. Bandung: Toha Putra
Baihaqi Abd. Madjid & Saifuddin A. Rasyid (ed). 2000. Paradigma Baru Ekonomi Kerakyatan Sistem Syariah Baitul Maal Wa Tamwil. Jakarta: Pinbuk.
Gemala Dewi, dkk. 2005. Hukum Perikatan Islam di Indonesia. Jakarta: Prenada Media.
_______.2004. Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan & Perasuransian Syariah di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Heribetus Sutopo. 1988. Pengantar Penelitian Kualitatif (Dasar-Dasar Teoritis dan Praktis). Surakarta: UNS
Muhammad Amin Aziz. 2005. AD/ART Baitul Maal Wa Tamwil. Jakarta: Pinbuk Press.
Muahmmad. 2005. Manajemen Bank Syairah. Yogyakarta: AMP YKPN.
Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press.
Soeharso & Ana Retnoningsih. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Semarang: CV Widya.
Sujamto. 1987. Norma & Etika Pengawasan. Jakarta: Sinar Grafika.
Tim PPH. 2007. Buku Pedoman Penulisan Hukum Mahasiswa Fakulatas Hukum. Surakarta: UNS Press
Warkum Sumitro. 2004. Asas-asas Perbankan Islam & Lembaga-lembaga Terkait. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Media.
Zainuddin Ali. 2006. Hukum Islam Pengantar Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
______. 2006. Hukum Perdata Islam. Jakarta: Sinar Grafika.
Zainul Arifin. 2000. Memahami Bank Syariah (Lingkup, Peluang, Tantangan dan Prospek). Jakarta: AlfaBeth.
Skripsi/Tulisan Hukum:
Heni Wahyuningsih. 2007.Fungsi Pengawasan Dan Pengaturan Bank Indonesia Terhadap Bank Umum Syariah Di Wilayah Kerja Bank Indonesia Cabang Surakarta. Surkarta.
Hery Murjianto. 2003. Kedudukan dan Peranan Dewan Syariah Nasional dalam Sistem Perbankan Syariah di Indonesia. Surakarta.
Randy AW. 2005. Problematika Penerapan Perjanjian Bagi Hasil Mudharabah Pada Lembaga Keuangan Mikro (Studi Pada BMT Surakarta). Surakarta.
Sriyana. 1995. Studi mengenai Eksistensi dan Prospek Baitul Maal Wa Tamwil sebagai Lembaga Keuangan bukan Bank di Kota Madya daerah tingkat II Surakarta. Surakarta.
Makalah:
Agus Siswanto. 2006. ”Perkembangan dan Prospek Lembaga Ekonomi Syariah. Di Indonesia”. Makalah disampaikan pada Training Dasar Lembaga Keuangan Syariah bagi Notaris di Hotel Imperial Aryaduta Lippo Kawaraci Tangerang Banten, pada tanggal 9 September 2006.
B. Setiaji. 2007. ”Perkembangan Ekonomi Syariah Konsep Syariah”. Makalah disampaikan pada Seminar Ekonomi Islam di Auditorium Universitas Sebelas Maret, pada tanggal 24 Maret 2007.
Izza Mafruhah. 2007. ”Konsep Syariah dalam Ekonomi Berbasis Kerakyatan (Baitul Maal Wa Tamwil)”. Makalah disampaikan pada Seminar Ekonomi Islam di Auditorium Universitas Sebelas Maret, pada tanggal 24 Maret 2007.
Jafril Kholil. 2007. ”Potensi & Peranan Ekonomi Syariah dalam Pembangunan Ekonomi Bangsa”. Makalah disampaikan pada Seminar Ekonomi Islam di Auditorium Universitas Sebelas Maret, pada tanggal 24 Maret 2007.
M. Amin Aziz. 2007. ”Strategi & Prospek Pengembangan BMT di Indonesia”. Makalah disampaikan pada Seminar Ekonomi Islam di Auditorium Universitas Sebelas Maret, pada tanggal 24 Maret 2007.
Internet:
Amir Mu’alim dan M. Zainal Abidin. 2005. Profesionalisme Praktisi BMT di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman (Penelitian). www.msi-uii.net. (diakses tanggal 24 Oktober 2007).
Djoko Karjono. 2007.Perkembangan Sistem Keuangan Syariah di Indonesia. www.tazkiaonline.com. (diakses tanggal 24 Oktober 2007).
Luqman. 2007.Embun Ekonomi Syariah. www.luqmannomic.wordpress.com. (diakses pada tanggal 26 September 2007).
Muhammad Ridwan. 2007. Ulama dalam pengawasan syariah di BMT. www.kr.co.id. (diakses tanggal 2 Januari 2008).
Sigit Purmawan Jati. 2004. Baitul Maal Tinjauan Histories Dan Konsep Idealnya. www.msi-uii.net. (diakses tanggal 24 Oktober 2007).
www.ghifa-mandiri.com. 2005. Proposal Penelitian Analisis Pendapatan Non Halal pada BMT-BMT di Yogyakarta. (diakses tanggal 26 September 2007).
www.mui.or.id. 2007.Koperasi Syariah Perlu DPS. (diakses pada tanggal 14 Agustus 2007).
www.pkes.org. 2007.Tanya jawab Syariah. (diakses tanggal 14 Agustus 2007).
____________.2007.Buku Saku Pendirian BMT. (diakses tanggal 14 Agustus 2007).
Peraturan / Perundang-undangan:
Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 tentang Perkooperasian.
Keputusan Menteri Koperasi No. 91 Tahun 2004 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Koperasi Jasa Keuangan Syariah.
Keputusan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No. 1 Tahun 2000 tentang Pedoman Dasar Dewan Syariah Nasioanl-Majelis Ulama Indonesia (PD DSN-MUI).
Keputusan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No. 03 Tahun 2000 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penetapan Anggota Dewan Pengawas Syariah Pada Lembaga Keuangan Syariah.
Pedoman Akad Syariah Baitul Maal Wa Tamwil (PAS BMT) 002 diterbitkan oleh BMT Center tahun 2007.
.