peran filsafat hukum
DESCRIPTION
HukumTRANSCRIPT
PERAN FILSAFAT HUKUM DALAM PEMBENTUKAN HUKUM DI INDONESIA
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………......….……………………………...…… i
DAFTAR ISI ……………………….......……………………………..….… ii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah............................................................ 1
B. Rumusan Masalah .................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN........................................................................... 4
A. Pengertian.................................................................................. 4
B. Bagan Filsafat Hukum hingga pada Pemunculan Kaidah Hukum
(Hukum In Concreto) ............................................................... 8
C. Fungsi Hukum dalam Masyarakat............................................. 10
D. Kondisi Pembentukan Hukum ................................................. 14
E. Peran Filsafat Hukum................................................................ 16
BAB III PENUTUP..................................................................................... 19
A. Kesimpulan ............................................................................... 19
B. Saran.......................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 21
3
4
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Filsafat sering dipahami sebagai sebuah falsafah atau sebuah
pandangan umum dan mendalam tentang hidup yang dijalani manusia.
Dalam pemahaman yang demikian, filsafat ditangkap sebagai sesuatu yang
abstrak1. Filsafat hukum sebagai salah cabang dari filsafat, mempunyai fungsi
yang strategis dalam pembentukan hukum di Indonesia.
Dalam konsep Islam, hukum tidak hanya berlaku di dunia saja, akan
tetapi juga di akhirat, karena putusan kebenaran, atau ketetapan sangsi,
disamping berhubungan dengan manusia secara langsung, juga berhubungan
dengan Allah SWT,2 maka manusia disamping ia mengadopsi hukum-hukum
yang langsung (baca; samawi dalam Islam) wahyu Tuhan yang berbentuk
kitab suci, manusia dituntut untuk selalu mencari formula kebenaran yang
berserakan dalam kehidupan masyarakat, manusia akan melihat dari
kenyataan empiris sebagai bekal mengkaji secara mendalam, memberikan
makna filosofis dengan mengetahui hakikat kebenaran yang hakiki.
Kaitannya dengan pembentukan hukum di Indonesia, setidaknya kita
sadar bahwa hukum dibentuk karena pertimbangan keadilan (gerechtigkeit)
1 Antonius Cahyadi dan E. Fernando M. Manulang, Pengantar ke Filsafat Hukum, Kencana, Jakarta, 2008, hal 3?
2 Muchsin, Ikhtisar Filsafat Hukum, Cet ke2, Badan Penerbit Iblam Jakarta, 2006, hlm.24
1
5
disamping sebagai kepastian hukum (rechtssicherheit) dan kemanfaatan
(zweckmassigkeit).3
Keadilan ini berkaitan dengan pendistribusian hak dan kewajiban,
diantara sekian hak yang dimiliki manusia terdapat hak yang bersifat
mendasar yang merupakan anugerah alamiah langsung dari Allah, SWT, yaitu
hak asasi manusia atau hak kodrati manusia, semua manusia tanpa
pembedaan ras, suku, bangsa, agama, berhak mendapatkan keadilan, maka di
Indonesia yang notabene adalah negara yang sangat heterogen tampaknya
dalam membentuk formulasi hukum positif agak berbeda dengan negara-
negara yang kulturnya homogen, sangatlah penting kiranya sebelum
membentuk suatu hukum yang akan mengatur perjalanan masyarakat,
haruslah digali tentang filsafat hukum secara lebih komprehensif yang akan
mewujudkan keadilan yang nyata bagi seluruh golongan, suku, ras, agama
yang ada di Indonesia. Dalam konteks ini, ada sebuah pernyataan menarik
yang diungkapkan oleh Bismar Siregar4 yaitu: “bila untuk menegakkan
keadilan saya korbankan kepastian hukum, akan saya korbankan hukum itu,
hukum hanya sarana, sedangkan tujuan akhirnya adalah keadilan”. Muncul
pertanyaan mendasar, lalu bagaimanakah sebenarnya membentuk hukum
yang mencerminkan keadilan yang didambakan? Berangkat dari hal
tersebutlah penulis tertarik untuk melakukan kajian mengenai hakikat dan
peran filsafat hukum dalam pembentukan hukum di Indonesia.
3 Darji Darmodiharjo, dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum (Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia), PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Cet, VI Mei 2006, hlm. 154
4 Bismar Siregar (lahir di Sipirok, Sumatera Utara, 15 September 1928 – meninggal di Jakarta, 19 April 2012 pada umur 83 tahun) adalah seorang mantan Hakim Agung periode 1984-2000, dikenal sebagai sebagai sosok hakim agung yang memiliki pemikiran yang progresif
6
B. Rumusan Masalah
1. Apakah sebenarnya hakikat filsafat hukum ?
2. Bagaimana peran filsafat hukum dalam pembentukan hukum di Indonesia?
7
BAB II
PEMBAHASAN
Filsafat merupakan suatu hal yang tidak asing terutama bagi orang yang
bergelut di bidang ilmu pegetahuan. Sebenarnya apa sebenarnya filsafat tersebut?
Seseorang yang berfilsafat diumpamakan seorang yang berpijak dibumi sedang
tengadah ke bintang-bintang, ia ingin mengetahui hakikat keberadaan dirinya, lalu
berfikir dengan sifat menyeluruh (tidak puas jika mengenal sesuatu hanya dari
segi pandang yang semata-mata terlihat oleh indrawi saja). Ia juga berfikir dengan
sifat (tidak lagi percaya begitu saja bahwa sesuatu itu benar). Ia juga berfikir
dengan sifat spekulatif (dalam analisis maupun pembuktiannya dapat memisahkan
spekulasi mana yang dapat diandalkan dan mana yang tidak), dan tugas utama
filsafat adalah menetapkan dasar-dasar yang dapat diandalkan.5
Untuk memahami hakikat dan peran filsafat hukum dalam pembentukan
hukum di Indonesia, maka perlu terlebih dahulu dipahami beberepa pengertian,
baik berdasarkan kamus maupun sebagaimana yang dirumuskan oleh sejumlah
filsuf maupun pakar.
A. Pengertian
Pengertian Filsafat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah 1)
Pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala
yang ada, sebab, asal, dan hukumnya, 2) Teori yang mendasari alam pikiran
5 Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta Cet.XVI, 2003
8
atau suatu kegiatan atau juga berarti ilmu yang berintikan logika, estetika,
metafisika dan epistemologi.
Pakar Filsafat kenamaan Plato (427 - 347 SM) mendefinisikan filsafat
adalah ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli,
Kemudian Aristoteles (382 - 322 SM) mengartikan filsafat adalah ilmu
pengetahuan yang meliputi kebenaran, dan berisikan di dalamnya ilmu ;
metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika.
Secara Umum Pengertian Filsafat adalah Ilmu pengetahuan yang ingin
mencapai hakikat kebenaran yang asli dengan ciri-ciri pemikirannya yang 1)
rasional, metodis, sistematis, koheren, integral, 2) tentang makro dan mikro
kosmos 3) baik yang bersifat inderawi maupun non inderawi. Hakikat
kebenaran yang dicari dari berfilsafat adalah kebenaran akan hakikat hidup
dan kehidupan, bukan hanya dalam teori tetapi juga praktek.6
Filsafat hukum adalah cabang filsafat yang membicarakan apa hakekat
hukum, apa tujuannya, mengapa dia ada, dan mengapa orang harus tunduk
kepada hukum. Disamping menjawab pertanyaan masalah-masalah umum
abstrak tersebut, filsafat hukum juga membahas soal-soal kongkret mengenai
hubungan antara hukum dan moral (etika) dan masalah keabsahan berbagai
macam lembaga hukum. Filsafat adalah suatu pendasaran diri dan renungan
diri secara radikal dan mendalam, ia merefleksikan terutama tentang segala
yang ada, yaitu hal ada dalam keumumannya.7 Menemukan hakiket yang
6 Muchsin, Op.Cit., hlm. 247 B.Arif Sidharta, 2008, Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori
Hukum dan Filsafat Hukum, Cetakan kedua, Bandung: Refika Aditama, hlm.65.
9
sebenarnya, bukan untuk mencari perpecahan dari suatu cabang ilmu menjadi
tujuan utama filsafat.
Menurut Gustaff Radbruch adalah cabang filsafat yang mempelajari
hukum yang benar. Sedangkan menurut Langmeyer: Filsafat Hukum adalah
pembahasan secara filosofis tentang hukum, Anthoni D’Amato
mengistilahkan dengan Jurisprudence atau filsafat hukum yang acapkali
dikonotasikan sebagai penelitian mendasar dan pengertian hukum secara
abstrak, Kemudian Bruce D. Fischer mendefinisikan Jurisprudence adalah
suatu studi tentang filsafat hukum. Kata ini berasal dari bahasa Latin yang
berarti kebijaksanaan (prudence) berkenaan dengan hukum (juris) sehingga
secara tata bahasa berarti studi tentang filsafat hukum.8 Secara sederhana,
dapat dikatakan bahwa Filsafat hukum merupakan cabang filsafat, yakni
filsafat tingkah laku atau etika, yang mempelajari hakikat hukum. Dengan
perkataan lain filsafat hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara
filosofis, jadi objek filsafat hukum adalah hukum, dan objek tersebut dikaji
secara mendalam sampai pada inti atau dasarnya, yang disebut dengan
hakikat.9
Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekanto menyebutkan sembilan arti
hukum, yaitu : 1) Ilmu pengetahuan, yaitu pengetahuan yang tersusun secara
sistematis atas dasar kekuatan pemikiran. 2) Disiplin, yaitu suatu sistem
ajaran tentang kenyataan atau gejala-gejala yang dihadapi. 3) Norma, yaitu
pedoman atau patokan sikap tindak atau perilaku yang pantas atau
8 Muchsin, Log.Cit.9 Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Op. Cit, hlm. 11
10
diharapkan. 4) Tata Hukum, yaitu struktur dan proses perangkat norma-
norma hukum yang berlaku pada suatu waktu dan tempat tertentu serta
berbentuk tertulis. 5) Petugas, yakni pribadi-pribadi yang merupakan
kalangan yang berhubungan erat dengan penegakan hukum (law enforcement
officer) 6) Keputusan Penguasa, yakni hasil proses diskresi 7) Proses
Pemerintahan, yaitu proses hubungan timbal balik antara unsur-unsur pokok
dari sistem kenegaraan 8) Sikap tindak ajeg atau perilaku yang teratur, yakni
perilaku yang diulang-ulang dengan cara yang sama, yang bertujuan
mencapai kedamaian 9) Jalinan nilai-nilai, yaitu jalinan dari konsepsi-
konsepsi abstrak tentang apa yang dianggap baik dan buruk.10
Filsafat hukum mempelajari hukum secara spekulatif dan kritis artinya
filsafat hukum berusaha untuk memeriksa nilai dari pernyataan-pernyataan
yang dapat dikatagorikan sebagai hukum;
Secara spekulatif, filsafat hukum terjadi dengan pengajuan pertanyaan-
pertanyaan mengenai hakekat hukum.
Secara kritis, filsafat hukum berusaha untuk memeriksa gagasan-gagasan
tentang hukum yang sudah ada, melihat koherensi, korespondensi dan
fungsinya.11
Lebih jauh Prof. Dr. H. Muchsin, SH. dalam bukunya Ikhtisar Filsafat
Hukum menjelaskan dengan cara membagi definisi filsafat dengan hukum
secara tersendiri, filsafat diartikan sebagai upaya berpikir secara sungguh-
sungguh untuk memahami segala sesuatu dan makna terdalam dari sesuatu
10 Ibid., hlm. 1211 Muchsin., Log.Cit..
11
itu12 kemudian hukum disimpulkan sebagai aturan, baik tertulis maupun tidak
tertulis yang mengatur tingkah laku manusia dalam masyarakat, berupa
perintah dan larangan yang keberadaanya ditegakkan dengan sanksi yang
tegas dan nyata dari pihak yang berwenang di sebuah negara.13
B. Bagan Filsafat Hukum Hingga pada Pemunculan Kaidah Hukum
(Hukum In Concreto)
Dalam bagian ini penulis mengutip bagan filsafat hukum dari Prof. Dr.
H. Muchsin, S.H. yang mana beliau menjelaskan definisi dari tiap hubungan
bagan sebagai berikut: Filsafat adalah ilmu pengetahuan alam maujud dan
bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya, Filsafat Hukum adalah ilmu
yang mempelajari hukum secara filosofis, Teori merupakan pendapat yang
dikemukakan oleh seseorang mengenai suatu asas umum yang menjadi dasar
atau pedoman suatu ilmu pengetahuan, kemudian hukum adalah semua
aturan-aturan, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang dibuat
maupun diakui oleh negara sebagai pedoman tingkah laku masyarakat yang
memiliki sanksi yang tegas dan nyata bagi yang melanggarnya, jadi Teori
Hukum adalah teori yang terdiri atas seperangkat prinsip-prinsip hukum yang
menjadi pedoman dalam merumuskan suatu produk hukum sehingga hukum
tersebut dapat dilaksanakan di dalam praktek kehidupan masyarakat, Asas
Hukum adalah dasar-dasar umum yang terkandung dalam peraturan hukum
dasar-dasar umumtersebut mengandung nilai-nilai etis, Politik Hukum adalah
perwujudan kehendak dari pemerintah Penyelenggaraan Negara mengenai
12 Ibid. hlm. 1313 Ibid., hlm. 24
12
hukum yang belaku di wilayahnya dan kearah mana kukum itu
dikembangkkan, kaedah hukum adalah aturan yang dibuat secara resmi oleh
penguasa negara mengikat setiap orang dan belakunya dapat dipaksakan oleh
aparat negara yang berwenang sehingga berlakunya dapat dipertahankan,
Praktik Hukum adalah pelaksanaan dan penerapan hukum dari aturan-aturan
yang telah dibuat pada kaedah hukum dalam peristiwa konkrit.14
Bagan yang dimaksud adalah sebagaimana tergambar dibawah ini:
Bagan tersebut memperlihatkan suatu rangkaian antara filsafat hukum
dengan pembentukan hukum di Indonesia. Hukum sebenarnya dibuat sebagai
pemenuhan asas legalitas, serta untuk menciptakan masyarakat yang tertib
serta kemakmuran yang menyeluruh, karena Indonesia menganut Sistem Civil
14 Ibid., hlm. 29
13
Law, dimana dalam sistem tersebut peraturan perundang-undangan adalah
merupakan pijakan dasar dalam pelaksanaan dan penerapan hukum.
C. Fungsi Hukum dalam Masyarakat
Fungsi hukum dalam masyarakat sangat beraneka ragam, bergantung
dari berbagai faktor dan keadaan masyarakat. Disamping itu, fungsi hukum
dalam masyarakat yang belum maju juga akan berbeda dengan yang terdapat
dalam masyarakat maju. Dalam setiap masyarakat, hukum lebih berfungsi
untuk menjamin keamanan dalam masyarakat dan jaminan pencapaian
struktur sosial yang diharapkan oleh masyarakat. Namun dalam masyarakat
yang sudah maju, hukum menjadi lebih umum, abstrak dan lebih berjarak
dengan konteksnya.
Berjalannya sistem hukum merupakan aspek yang tidak terpisahkan
dari berfungsinya hukum dalam masyarakat, karena di dalam fungsi hukum
terlihat secara jelas apakah hukum dapat menunjukkan perannya atau tidak.
Hukum dapat menunjukkan perannya dalam masyarakat tentu saja tidak
terlepas dari peranan non hukum dari unsur-unsur budaya. Itulah sebabnya
dikatakan bahwa budaya hukum merupakan motor penggerak untuk dapat
berfungsinya hukum secara baik dalam suatu masyarakat.
Secara umum dapat dikatakan bahwa ada beberapa fungsi hukum
dalam masyarakat, yaitu;
1. Fungsi Menfasilitasi; dalam hal ini termasuk menfasilitasi antara pihak-
pihak tertentu sehinggga tercapai suatu ketertiban.
14
2. Fungsi Represif; dalam hal ini termasuk penggunaan hukum sebagai
alat bagi elite penguasa untuk mencapai tujuan-tujuannya.
3. Fungsi Ideologis; fungsi ini termasuk menjamin pencapaian legitimasi,
hegemoni, dominasi, kebebasan, kemerdekaan, keadilan dan lain-lain.
4. Fungsi Reflektif; dalam hal ini hukum merefleksi keinginan bersama
dalam masyarakat sehingga mestinya hukum bersifat netral.
Selanjutnya Aubert mengklasifikasi fungsi hukum dalam masyarakat,
antara lain: Fungsi mengatur (governance), fungsi distribusi sumber daya.
fungsi safeguard terhadap ekspektasi masyarakat, fungsi penyelesaian
konflik, dan fungsi ekpresi dari nilai dan cita-cita dalam masyarakat.
Terdapat beberapa fungsi hukum menurut para ahli. Rumusan yang
diberikan oleh para ahli tersebut bermacam-macam. Berikut beberapa
rumusan fungsi hukum menurut para ahli:
Menurut J.F. Glastra Van Loon:
“Hukum berfungsi sebagai sarana untuk menertibkan masyarakat dan mengatur pergaulan hidup masyarakat; Hukum berfungsi sebagai sarana untuk menyelesaikan sengketa atau pertikaian dalam masyarakat; Hukum berfungsi sebagai sarana untuk memelihara dan menjaga (mempertahankan) penegakan aturan tertib dengan cara yang memaksa; Hukum berfungsi untuk memelihara dan mempertahankan hak masyarakat; Hukum berfungsi sebagai sarana untuk mengubah peraturan agar sesuai dengan kebutuhan; Hukum berfungsi sebagai sarana untuk memenuhi tuntutan keadilan dan kepastian hukum.15
Sedangkan menurut Prof. Dr. Soerjono Soekanto, fungsi hukum
adalah sebagai alat untuk melaksanakan ketertiban dan ketentraman dalam
kehidupan bermasyarakat, sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial,
15 Soekowathy, R. Arry, Soejadi, Orientasi Filsafat Hukum: Fungsi dan Relevansinya bagi Rasa Keadilan Menurut Hukum Positif, Universitas Gadjah Mada, 2004, hlm. 47
15
baik lahir maupun bathin, dan sebagai sarana untuk menggerakkan
pembangunan bagi masyarakat.
Prof. Dr. Sunaryati Hartono membuat rumusan mengenai fungsi
hukum dalam konteks pelaksanaan pembangunan nasional. Menurut Prof Dr.
Sunaryati Hartono, hukum memiliki fungsi yaitu: Sebagai sarana untuk
memelihara ketertiban dan keamanan dalam masyarakat; sebagai sarana
untuk melaksanakan pembangunan; sebagai sarana untuk menegakkan
keadilan; dan sebagai sarana untuk memberikan pendidikan (mendidik)
masyarakat.16
Sedangkan Gustaf Radbruch dalam W. Friedman mengatakan: “semua
kultur bertujuan merealisasikan nilai-nilai, tidak hanya memahaminya, jadi
kultur bukan akal murni tetapi praktis,17 sedangkan fungsi hukum itu sendiri
sebagaimana yang telah dinyatakan oleh E.A. Goebel (seorang anthropoloog)
dalam bukunya Ronny Hanitijo Soemintro, yaitu: 18
a. Menetapkan pola hubungan antara anggota-anggota masyarakat dengan
cara menunjukkan jenis-jenis tingkah laku mana yang diperbolehkan dan
mana yang dilarang.
b. Menentukan alokasi wewenang, memerinci siapa yang boleh melakukan
paksaan, siapa yang harus mentaatinya, siapa yang memilih sanksi yang
tepat dan efektif.
c. Menyelesaikan sengketa.
16 Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1991, hlm. 24
17 Friedmann. W, Teori dan Filsafat Hukum: Idealisme Filosofis dan Problema Keadilan, (diterjemahkan dari judul asli Legal Theory, oleh Mohamad Arifin) Susunan II, Rajawali, Jakarta, 1990 hlm. 42.
18 Soemitro, Ronny Hanitijo, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta,, 1990, Op. Cit., hlm. 2.
16
d. Memelihara kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan
kondisi-kondisi kehidupan yang berubah, yaitu dengan cara merumuskan
kembali hubungan-hubungan esensial antara anggota-anggota
masyarakat.
Banyak terdapat rumusan tentang fungsi hukum.
Dalam pandangan Achmad Ali, fungsi hukum itu dapat dibedakan ke
dalam: fungsi hukum sebagai “a tool of social control”; fungsi hukum
sebagai “a tool of social engineering”; fungsi hukum sebagai symbol; fungsi
hukum sebagai “a political instrument”; dan fungsi hukum sebagai
integrator.
Sementara menurut Lawrence M. Friedmann, dalam bukunya “Law
and Society an Introduction”, fungsi hukum adalah:
pengawasan/pengendalian sosial (social control) ; penyelesaian sengketa
(dispute settlement); dan rekayasa sosial (social engineering).
Berkaitan dengan fungsi hukum, Muchtar Kusumaatmadja,
mengajukan konsepsi hukum sebagai sarana pembaruan masyarakat, yang
secara singkat dapat dikemukakan pokok-pokok pikiran beliau, bahwa fungsi
hukum di dalam pembangunan sebagai sarana pembaruan masyarakat. Hal ini
didasarkan pada anggapan bahwa adanya keteraturan atau ketertiban dalam
usaha pembangunan atau pembaruan merupakan suatu yang dianggap penting
dan sangat diperlukan. Di samping itu, hukum sebagai tata kaedah dapat
berfungsi untuk menyalurkan arah kegiatan warga masyarakat ke tujuan yang
dikehendaki oleh pembangunan atau pembaruan. Kedua fungsi tersebut
diharapkan dapat dilakukan oleh hukum di samping fungsinya yang
tradisional, yakni untuk menjamin adanya kepastian dan ketertiban.
17
Disamping itu, menurut Soedjono Dirdjosisworo, hukum juga
memiliki fungsi kritis, ia mengatakan: “Dewasa ini sedang berkembang suatu
pandangan bahwa hukum mempunyai fungsi kritis, yaitu daya kerja hukum
tidak semata-mata melakukan pengawasan pada aparatur pemerintah
(petugas) saja melainkan aparatur penegak hukum termasuk didalamnya”.19
Dari beberapa pendapat pakar hukum mengenai fungsi hukum di atas,
dapatlah dikatakan bahwa fungsi hukum, sebagai berikut :
1. Memberikan pedoman atau pengarahan pada warga masyarakat untuk
berprilaku, pengawasan atau pengendalian sosial (social control).
2. Penyelesaian konflik atau sengketa (dispute settlement).
3. Rekayasa sosial (social engineering).
D. Kondisi Pembentukan Hukum
Salah satu tuntutan aspirasi masyarakat yang berkembang dalam era
reformasi sekarang ini adalah reformasi hukum menuju terwujudnya
supremasi sistem hukum di bawah sistem konstitusi yang berfungsi sebagai
acuan dasar yang efektif dalam proses penyelenggaraan negara dan kehidupan
nasional sehari-hari. Dalam upaya mewujudkan sistem hukum yang efektif
itu, penataan kembali kelembagaan hukum, didukung oleh kualitas
sumberdaya manusia dan kultur dan kesadaran hukum masyarakat yang terus
meningkat, seiring dengan pembaruan materi hukum yang terstruktur secara
harmonis, dan terus menerus diperbarui sesuai dengan tuntutan
perkembangan kebutuhan.
19 Soedjono Dirdjosisworo Soedjono, Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan Ke-14, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2010, hlm. 155
18
Di dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan telah disebutkan bahwa
Pancasila adalah merupakan sumber dari segala sumber hukum negara
Indonesia, hal ini dirasa sesuai mengingat falsafah Pancasila adalah
merupakan ruh perjuangan dari para pejuang bangsa, yang merupakan alat
pemersatu, dari yang sebelumnya terkotak-kotak oleh daerah, ras, suku,
agama, golongan, dan lain sebagainya, mengingat masyarakat Indonesia
sangat heterogen, maka dengan kembali pada Pancasila, cita-cita luhur para
pejuang untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur sejahtera
dimungkinkan dapat tercapai. Dilihat dari materinya Pancasila digali dari
pandangan hidup bangsa Indonesia yang merupakan jiwa dan kepribadian
bangsa Indonesia sendiri. Dasar negara Pancasila terbuat dari materi atau
bahan dalam negeri yang merupakan asli murni dan menjadi kebanggaan
bangsa, tidak merupakan produk impor dari luar negeri, meskipun mungkin
saja mendapat pengaruh dari luar negeri.20
Pancasila merupakan Grundnorm atau sumber dari segala sumber
hukum di Indonesia, rumusan Pancasila ini dijumpai dalam Alinea keempat
Pembukaan UUD 1945, maka dapat dikatakan bahwa Pembukaan UUD 1945
adalah filsafat hukum Indonesia, maka Batang Tubuh berikut dengan
Penjelasan UUD 1945 adalah teori hukumnya, dikatakan demikian karena
dalam Batang Tubuh UUD 1945 itu akan ditemukan landasan hukum positif
Indonesia. Teori Hukum tersebut meletakkan dasar-dasar falsafati hukum
20 Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Op.Cit., hlm.229
19
positif kita.21 Dengan demikian penulis sepakat jika filsafat hukum Indonesia,
adalah di mulai dari pemaham kembali (re-interpretasi) terhadap pembukaan
UUD 1945.
E. Peran Filsafat Hukum
Negara di dunia yang menganut paham negara teokrasi menganggap
sumber dari segala sumber hukum adahal ajaran-ajaran Tuhan yang berwujud
wahyu, yang terhimpun dalam kitab-kitab suci atau yang serupa denga itu,
kemudian untuk negara yang menganut paham negara kekuasaan (rechstaat)
yang dianggap sebagai sumber dari segala sumber hukum adalah kekuasaan,
lain halnya dengan negara yang menganut paham kedaulatan rakyat, yang
dianggap sebagai sumber dari segala sumber hukum adalak kedaulatan
rakyat, dan Indonesia menganut paham kedaulatan rakyat dari Pancasila, akan
tetapi berbeda dengan konsep kedaulatan rakyat oleh Hobbes (yang mengarah
pada ke absolutisme) dan John Locke (yang mengarah pada demokrasi
parlementer).
Rumusan Pancasila yang dijumpai dalam Alinea keempat Pembukaan
UUD 1945 adalah sumber dari segala sumber hukum di Indonesia yang
merupakan produk filsafat hukum negara Indonesia, Pancasila ini muncul
diilhami dari banyaknya suku, ras, kemudian latar belakang, serta perbedaan
ideologi dalam masyarakat yang majemuk, untuk itu muncullah filsafat
hukum untuk menyatukan masyarakat Indonesia dalam satu bangsa, satu
kesatuan, satu bahasa, dan prinsip kekeluargaan, walau tindak lanjut hukum-
hukum yang tercipta sering terjadi hibrida (percampuran), terutama dari 21 Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Op.Cit,, hlm.230
20
hukum Islam, hukum adat, dan hukum barat (civil law/khususnya negara
Belanda), hukum Islam; Al-Qur’an) sering dijadikan dasar filsafat hukum
sebagai rujukan mengingat mayoritas penduduk Indonesia adalah umat
muslim, contoh konkrit dari hukum Islam yang masuk dalam konstitusi
Indonesia melalui produk filsafat hukum adalah Undang-undang Nomor 1
tahun 1974 tentang Perkawinan, apalagi di dalamnya terdapat Pasal tentang
bolehnya poligami bagi laki-laki yaitu dalam Pasal 3 ayat 1, Pasal 4 ayat 1,2,
dan Pasal 5 ayat 1 dan 2, walau banyak pihak yang protes pada pasal
kebolehan poligami tersebut, namun di sisi lain tidak sedikit pula yang
mempertahankan Pasal serta isi dari Undang-Undang Perkawinan tersebut.
DPR adalah lembaga yang berjuang mengesahkan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang diundangkan pada tanggal 2 Januari
tahun 1974, dan sampai sekarang masih berlaku tanpa adanya perubahan, ini
bukti nyata dari perkembangan filsafat hukum yang muncul dari kebutuhan
masyarakat perihal penuangan hukum secara konstitusi kenegaraan, yang
mayoritas masyarakat Indonesia adalah agama Islam, yang menganggap ayat-
ayat ahkam dalam kitab suci Al-Qur’an adalah mutlak untuk diikuti dalam
hukum. Hukum adat juga sedikit banyak masuk dalam konstitusi negara
Indonesia, contoh adanya Undang-undang Agraria, kemudian munculnya
Undang-Undang Otonomi daerah, yang pada intinya memenuhi kebutuhan
masyarakat Indonesia yang sangat heterogen. Maka dengan filsafat hukum
yang dikembangkan melalui ide dasar Pancasila akan dapat mengakomodir
berbagai kepentingan, berbagai suku, serta menyatukan perbedaan ideologi
21
dalam masyarakat yang sangat beraneka ragam, dengan demikian masyarakat
Indonesia akan tetap dalam koridor satu nusa, satu bangsa, satu kesatuan, satu
bahasa, yang menjunjung nilai-nilai luhur Pancasila.
22
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari paparan singkat di atas, kiranya dapat disimpulkan sebagai
berukut:
1. Filsafat hukum pada hakikatnya adalah induk dari semua disiplin yuridik,
karena filsafat hukum membahas masalah-masalah yang paling
fundamental yang timbul dalam hukum yang tidak pernah berakhir, yang
berusaha memberikan jawaban terhadap dinamika pertanyaan-pertanyaan
abadi hukum seiring dengan perubahan waktu tempat dan realitas yang
terjadi dalam masyarakat.
2. Filsafat hukum secara spekulatif dan kritis berusaha untuk memeriksa
gagasan-gagasan tentang hukum yang sudah ada, yaitu dengan melihat
koherensi, korespondensi dan fungsi hukum yang diciptakan, sehingga
dengan demikian filsafat hukum sangat berperan dalam perubahan
hukum ke arah lebih demokratis, lebih mengarah pada kebutuhan
masyarakat yang hakiki.
B. Saran
1. Bagi pemegang kekuasaan, khususnya yang memiliki fungsi legislasi
hendaknya senantiasa menjadikan kajian filsafat hukum sebagai
fundamen pembangunan hukum nasional.
19
23
2. Bagi pemegang kekuasaan, khususnya yang memiliki fungsi yudikatif
hendaknya dalam menegakkan hukum tidak hanya mengedepankan
legalitas belaka, tetapi sangat perlu melihat secara filosofis nilai-nilai
living law yang ada dalam masyarakat sehingga dengan demikian salah
satu tujuan hukum, yaitu mewujudkan keadilan dapat terwujud.
24
DAFTAR PUSTAKA
Antonius Cahyadi dan E. Fernando M. Manulang, Pengantar ke Filsafat
Hukum, Kencana, Jakarta, 2008
B.Arif Sidharta, Meuwissen tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum,
Teori Hukum dan Filsafat Hukum, Cetakan II, Refika Aditama
Bandung, 2008
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum (Apa dan
Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia), Cet, VI, PT. Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 2006.
Friedmann. W, Teori dan Filsafat Hukum: Idealisme Filosofis dan Problema
Keadilan, (diterjemahkan dari judul asli Legal Theory, oleh Mohamad
Arifin) Susunan II, Rajawali, Jakarta, 1990.
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Cet.XVI,
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2003.
Muchsin, Ikhtisar Filsafat Hukum, Cet ke2, Badan Penerbit Iblam Jakarta,
2006.
Soekowathy, R. Arry, Soejadi, Orientasi Filsafat Hukum: Fungsi dan
Relevansinya bagi Rasa Keadilan Menurut Hukum Positif, Universitas
Gadjah Mada, 2004.
Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional,
Alumni, Bandung, 1991
Soemitro, Ronny Hanitijo, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1990.
Soedjono Dirdjosisworo Soedjono, Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan Ke-14,
PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2010.