peran kepolisian dalam usaha menyelesaikan …/peran... · pidana kekerasan dalam rumah tangga...
TRANSCRIPT
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
i
PERAN KEPOLISIAN DALAM USAHA MENYELESAIKAN TINDAK
PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA MELALUI MEDIASI
PENAL (STUDI DI KEPOLISIAN RESOR KOTA SURAKARTA)
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan Guna
Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh :
FADLUN MAJD ALHAKIM
NIM. E0008031
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
PERNYATAAN
Nama : Fadlun Majid Alhakim
NIM : E0008031
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul :
PERAN KEPOLISIAN DALAM USAHA MENYELESAIKAN TINDAK
PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA MELALUI MEDIASI
PENAL (STUDI DI KEPOLISIAN RESOR KOTA SURAKARTA) adalah
betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum
(skripsi) inidiberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila
dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia
menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan
gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, 7 September 2012
Yang Membuat Pernyataan
Fadlun Majid Alhakim
NIM. E0008031
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
ABSTRAK
Fadlun Majid Alhakim. E0008031. 2012. PERAN KEPOLISIAN DALAM USAHA MENYELESAIKAN TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA MELALUI MEDIASI PENAL (STUDI DI KEPOLISIAN RESOR KOTA SURAKARTA). Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran kepolisian dalam usaha menyelesaikan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga melalui mediasi penal. Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian hukum empiris untuk memberikan gambaran atau pemaparan atas subjek dan objek penelitian yang berkaitan dengan mediasi penal yang dilakukan kepolisian dalam usaha menyelesaikan perkara tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga. Sumber data yang diperoleh dari data primer dan data sekunder. Penganalisisan data secara kualitatif dengan interaktif model yaitu komponen reduksi data dan penyajian data dilakukan bersama dengan pengumpulan data, kemudian setelah data terkumpul maka tiga komponen tersebut berinteraksi dan bila kesimpulan dirasakan kurang, maka perlu ada verifikasi dan penelitian kembali mengumpulkan data lapangan. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan kesimpulan bahwa peran kepolisian dalam penelitian ini adalah Unit Pelayanan Perempuan dan Anak Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Kota Surakarta dalam usaha menyelesaikan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga melalui mediasi penal adalah memberikan pelayanan, perlindungan kepada perempuan dan anak yang menjadi korban tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga dengan professional penuh empati dan penegakan hukum terhadap perempuan dan anak sebagai pelaku kejahatan. Hambatan kepolisian dalam usaha menyelesaikan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga melalui mediasi penal adalah korban tidak melapor, tidak ada bukti yang menguatkan, selang waktu antara kejadian dengan pelaporan terlalu lama, sehingga tidak ada bukti Visum.
Kata kunci : Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Mediasi Penal, Kepolisian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
ABSTRACT
Fadlun Majid Alhakim. E0008031. 2012. POLICE ROLE IN RESOLVING CRIME OF DOMESTIC VIOLENCE THROUGH PENAL MEDIATION (STUDY IN THE RESORT CITY POLICE OF SURAKARTA). Faculty of Law, Sebelas Maret University Surakarta.
This study aimed to determine the role of the police in an effort to resolve crimes of domestic violence through penal mediation. In this study the authors use this type of empirical legal research or presentation to give an overview on the subject and object of research related to the penal mediation by the police in an attempt to resolve the criminal case of domestic violence. Source data obtained from the primary data and secondary data. Analyzing qualitative data with interactive model of the component data reduction and presentation of data is done in conjunction with the collection of data, then the data collected after the three components interact and if the conclusion is lacking, it is necessary to verify and research re-collect field data. Based on the research and discussion produced the conclusion that the role of the police in this study were Unit Pelayanan Perempuan dan Anak Satuan Reserse Kriminal Resort City Police of Surakarta in an effort to resolve crimes of domestic violence through penal mediation is to provide services, protection to women and children who are victims criminal domestic violence with empathy and professional law enforcement on women and children as perpetrators of crime. Barriers to the police in an effort to resolve crimes of domestic violence through penal mediation is the victim not to report, there is no corroborating evidence, the lapse of time between the occurrence of the reporting too long, so there is no evidence Visum. Keywords: Crime of Domestic Violence, Penal Mediation , Police
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
MOTTO
Man Jadda Wajadaa
(Barangsiapa bersungguh-sungguh pasti akan berhasil)
“Jangan tanyakan apa yang bisa diberikan negara kepadamu, tapi tanyakanlah
apa yang bisa kamu berikan kepada negara”
(John. F. Kennedy)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan kepada :
1. Allah SWT yang telah memberi segala kenikmatan dan karunia-Nya, serta
selalu memperlancar segala proses yang harus saya tempuh dalam
pembuatan skripsi ini.
2. Bapak (Sarbingi, S.Pd., M.M.Pd.) dan Ibu (Siti Khotijah, S.Ag.) yang saya
cintai dan sayangi, terimakasih atas doa, bimbingan, kasih sayang, dan
dukungannya hingga saya bisa mewujudkan harapan meskipun tidak
semuanya dapat saya penuhi, saya akan berusaha sekuat tenaga untuk
selalu membahagiakan Bapak dan Ibu, semoga Bapak dan Ibu selalu
dalam lindungan Allah SWT.
3. Abang saya (Kapten. Inf. Karuniawan Hanif Arridho, S.E.) dan Kakak
saya (Lettu. Chk. Emma Ratna Gumilar, S.H.) yang tak pernah berhenti
untuk selalu memotifasi saya untuk pantang menyerah dan selalu berusaha
menjadi lebih baik, terimakasih atas teladan yang diberikan.
4. Keponakan saya tercinta Kenzie Aryasutha Arridho.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat,
karunia, segala nikmat, dan kekuatan, sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi/penulisan hukum yang berjudul “PERAN KEPOLISIAN DALAM
USAHA MENYELESAIKAN TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM
RUMAH TANGGA MELALUI MEDIASI PENAL (STUDI DI KEPOLISIAN
RESOR KOTA SURAKARTA)”. Penulisan hukum ini sebagai tugas akhir guna
memenuhi syarat-syarat dalam mencapai derajat Sarjana (S1) dalam Ilmu Hukum
pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan skripsi ini tidak terlepas
dari dorongan dan bantuan banyak pihak. Oleh karenanya, penulis dengan ini
mengucapkan terimakasih kepada :
1. Prof. Dr. Hartiwinngsih, S.H.,M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta sekaligus selaku Pembimbing
Akademik penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan
bimbingan kepada penulis.
2. Sabar Slamet, S.H.,M.H., selaku Ketua Bagian Pidana Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
3. Rehnalemken Ginting, S.H.,M.H., selaku dosen pembmbing 1 yang
telah memberikan bimbingan, perhatian, dan pengarahan yang sangat
berharga bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Budi Setyanto, S.H.,M.H., selaku dosen pembimbing 2 yang telah
memberikan bimbingan dan masukan yang sangat membantu bagi
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
5. Bapak dan Ibu dosen, serta karyawan Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta, terimakasih saya ucapkan atas semua ilmu
berharga yang dibagi.
6. AKP Sri Rahayu, selaku Kepala Unit Pelayanan Perempuan dan Anak
Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Kota Surakarta, terimakasih
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
atas ijin dan bantuan yang begitu besar bagi penulis untuk melakukan
penelitian di Unit PPA Sat Reskrim Polresta Surakarta.
7. Bapak dan Ibu saya, Sarbingi, S.Pd.,M.M.Pd. dan Siti Khotijah, S.Ag.
yang selalu memberikan doa, dukungan, kasih sayang yang tanpa
henti.
8. Abang saya (Kapten. Inf. Karuniawan Hanif Arridho, S.E.) dan Kakak
saya (Lettu. Chk. Emma Ratna Gumilar, S.H.) yang tak pernah
berhenti untuk selalu memotifasi saya untuk pantang menyerah dan
selalu berusaha menjadi lebih baik, terimakasih atas teladan yang
diberikan.
9. Keponakan saya tercinta Kenzie Aryasutha Arridho.
10. Narwasti Primastuti, S.H. terimakasih atas segala motivasi, perhatian
dan doa yang telah diberikan kepada penulis sehingga sangat
membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
11. Keluarga besar “Dibawah Pohon Rindang” Oki Budi Santoso, M.
Arfien Ariawan, Dika Yudanto, Stefanus Donatumar, R. Hanung
Satrio P, Riza Kurniawan, Rio Andi K, Rusdi Salam Januardi,
Muhammad Fariz Aljabbar, Prizky Darmawan D, Johan Sudarmono,
Eric Mustika W, Azahery Insan Kamil, Ridho Putra Sugianto, Wandira
Kusuma, Taufik Dwi Paksi, Gery Fifalia, Zulfikar Suryo, Rizky Afnan
Hutomo, Pandji Ndaru Sonatra, Hari Cahyadi Yusuf, Budi Wardana,
Arifin Budhi Cahyo, Uce Adi Wibowo, Imron Nurul Kolbi, Ardi
Temon, Pieter Wisnu, Alby Prilia Anggana, Hasti Riyanto, Bos Bowo,
Ghiaz Yuniar, Fian, Imron Soleh, Yoni, Adit Bokir, Nicko Pratama,
Nicko Bambink.
Terimakasih atas segala dukungan, loyalitas dan kebersamaan yang
tanpa pamrih.
12. Keluarga Kos Aura 2, Bowo, Arisqo, Ilham, Febrian Mbi, Dani, Ayub,
Wisnu, Ganang, Galang, Mas Acha, Ipin, Ndaru, Handy, Bagus, Agus,
Deon, Oyong, Febri 2009, Febri 2010, Febri Agung Blank, Pak Endro.
Terimakasih atas kebersamaan tulus yang diberikan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
13. LNC Band : Qory Uci S, Dika Yudanto, M. Arfien Ariawan, Zacky
Satya Rosadi, Fuad Nur Hasan. Terimakasih telah berjuang bersama
dalam bermusik.
14. Keluarga Olahraga Tarung Derajat (KODRAT) Surakarta - Jawa
Tengah. Terimakasih atas didikan mental dan sikap seorang petarung
sejati yang diberikan.
15. Keluarga KMM BNI 46 periode 13 Yosef Darman Damanik dan
Bhirawa. Terimakasih tak henti-hentinya memberikan motivasi kepada
penulis.
16. Sahabat-sahabat saya Qory Uci S, Helga Anastasia, Ayu Soraya,
Arinda Puspita Sari, Olvita Winastesia, Whinnie Nalurita, Niken
Trihapsari, Fatra Lysandra, Nandhina Ayu S.
17. Teman-teman panitia KASASI 2011.
18. Seluruh teman-teman almamater Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret Surakarta angkatan 2008.
19. Dan semua pihak yang tidak dapat Penulis sebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa karya ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu
kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak, penulis harapkan
demi perbaikan yang berkelanjutan. Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan di kemudian hari. Terimakasih.
Surakarta, 7 September 2012
Penulis
Fadlun Majid Alhakim
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ........................................................ iii
HALAMAN PERNYATAAN ......................................................................... iv
ABSTRAK .................................................................................................. v
ABSTRACT .................................................................................................. vi
HALAMAN MOTTO ...................................................................................... vii
HALAMAN PERSEMBAHAN ...................................................................... viii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... ix
DAFTAR ISI .................................................................................................. xii
DAFTAR TABEL ............................................................................................ xv
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xvi
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xvii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................ 4
C. Tujuan Penelitian.................................................................................. 5
D. Manfaat Penelitian................................................................................ 5
E. Metode Penelitian ................................................................................. 6
F. Sistematika Penulisan Hukum .............................................................. 13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 15
A. Kerangka Teori ..................................................................................... 15
1. Tinjauan umum tentang Kepolisian .............................................. 15
a. Pengertian Kepolisian ............................................................... 15
b. Fungsi Kepolisian ..................................................................... 15
c. Tugas dan wewenang Kepolisian ............................................. 16
d. Landasan hukum POLRI dalam Alternative Dispute
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
Resolution (ADR) berperspektif hukum .................................. 18
2. Tinjauan umum tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga ......... 19
a. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga .......................... 19
b. Pengertian penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga .... 20
c. Bentuk-bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga ................... 20
d. Lingkup Rumah Tangga ........................................................... 21
e. Faktor-faktor penyebab terjadinya Kekerasan Dalam
Rumah Tangga ......................................................................... 22
f. Penanggulangan tindak pidana Kekerasan Dalam
Rumah Tangga ` ....................................................................... 24
3. Tinjauan umum tentang Mediasi Penal ......................................... 25
a. Perkembangan dan latar belakang Mediasi Penal .................... 25
b. Pengertian Mediasi Penal ......................................................... 29
c. Model-model Mediasi Penal .................................................... 30
d. Kelebihan Mediasi Penal .......................................................... 32
e. Kelemahan Mediasi Penal ........................................................ 36
B. Kerangka Pemikiran ............................................................................. 38
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................. 41
A. Hasil Penelitian .................................................................................... 41
1. Peran Kepolisian dalam usaha menyelesaikan tindak pidana
Kekerasan Dalam Rumah Tangga melalui Mediasi Penal ............. 41
2. Hambatan Kepolisian dalam usaha menyelesaikan
tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga melalui
Mediasi Penal ................................................................................. 52
B. Pembahasan ......................................................................................... 56
BAB IV PENUTUP ........................................................................................ 70
A. Simpulan............................................................................................... 70
B. Saran .................................................................................................. 71
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiv
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 73
LAMPIRAN .................................................................................................. 76
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xv
DAFTAR TABEL
1. Tabel 1 Kelebihan Mediasi Penal ............................................................. 32
2. Tabel 2 Data Perbandingan Perkara Unit PPA ......................................... 47
3. Tabel 3 Data Perkara yang Ditangani Unit PPA Tahun 2012 .................. 49
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xvi
DAFTAR GAMBAR
1. Bagan 1
Analisis Interaksi Penelitian ..................................................................... 12
2. Bagan 2
Struktur Organisasi Unit PPA Sat Reskrim Polresta
Surakarta .................................................................................................. 46
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
1. Surat Permohonan Ijin Penelitian ............................................................. 77
2. Surat Keterangan Telah Selesai Melaksanakan Penelitian ....................... 78
3. Daftar Data yang diteliti............................................................................ 79
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada era globalisasi sekarang ini kekerasan terhadap manusia
sudah sangat mengkhawatirkan. Kekerasan terjadi tidak hanya pada
lingkup lingkungan masyarakat tetapi juga sudah merambah ke dalam
wilayah yang pada zaman dahulu dianggap sebagai wilayah yang sakral
yaitu wilayah keluarga.
Kekerasan dalam wilayah keluarga atau kekerasan domestik (domestic violence) pada umumnya menunjuk pada kasus kekerasan yang dilakukan suami terhadap isterinya (wife beating). Namun dalam kenyatannya, kekerasan domestik dalam pengertian diatas tidak hanya terbatas pada kekerasan yang dilakukan suami terhadap isterinya saja yakni orang–orang yang berada dalam relasi perkawinan, namun mencakup kekerasan yang terjadi antara orang – orang yang mempunyai relasi karena adanya hubungan darah (anak, bapak, ibu, saudara dan lain–lain) dan hubungan intim (pacar, tunangan, pasangan–pasangan yang mempunyai relasi seksual lainnya) serta hubungan interpersonal lainnya. Dalam konteks Indonesia banyak keluarga mempunyai pembantu atau pekerja rumah tangga dan atau banyak pelajar atau mahasiswa tinggal bersama induk semangnya yang juga kerap mengalami kekerasan, maka kekerasan yang terjadi pada mereka yang kedudukannya lebih subordinat ini termasuk kedalam pengertian kekerasan domestik (Nursyahbani, 2004 : 5).
Dengan demikian, kekerasan domestik mencakup segala bentuk
kekerasan yang disebabkan karena adanya relasi kekuasaan yang tidak
seimbang antara pelaku dan korban yang terjadi dalam relasi domestik
atau privat, atau hubungan interpersonal lainnya dan atau yang terjadi
pada mereka yang berada dan hidup dalam rumah tangga yang sama.
Menurut Harkristuti Harkrisnowo, kekerasan domestik mempunyai kekhususan dibandingkan dengan bentuk-bentuk lain dari kekerasan terhadap perempuan oleh karena adanya hubungan yang berkenaan dengan kekuasaan (power relatipnship) antara korban dan pelaku. Beban psikologis yang dialami perempuan korban KDRT sangat tinggi karena hubungan kekuasaan selalu mengandung unsur kepercayaan dan unsur dependensi sampai pada tingkat tertentu. Selain merasa adanya abuse of power oleh pemilik kekuasaan tersebut, korban juga pada umumnya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
mengalami ketakutan, keengganan, dan juga malu untuk melaporkan kepada yang berwajib. Sebagai akibat lanjutan, angka KDRT tidak pernah dapat direkam dengan baik, sehingga dark number of domestic crimes menjadi tinggi (Harkristuti Harkrisnowo dalam Ridwan Mansyur, 2010 : 6).
Seperti sudah diketahui, bahwa banyak sekali kekerasan yang
menimpa kaum wanita dan anak–anak tidak dilaporkan kepada pihak yang
berwajib dalam hal ini polisi. Hal ini terjadi karena masih ada anggapan
bahwa urusan yang bersifat pribadi tidak boleh diketahui oleh orang lain
karena hal itu dianggap aib keluarga jika sampai masyarakat
mengetahuinya. Masyarakat cenderung tidak akan melaporkan kasus
kekerasan dalam rumah tangga ini ke polisi dan lebih memilih agar kasus
tersebut diselesaikan secara kekeluargaan.
Semestinya masyarakat tidak perlu takut melaporkan kasus
kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa salah satu anggota
keluarganya kepada pihak kepolisian, tetapi jika masyarakat segan dapat
melaporkan kepada Komisi Anti Kekerasan Terhadap Perempuan.
Komnas inilah yang selanjutnya baru akan ditindaklanjuti kepada pihak
polisi.
Pihak kepolisian berdasarkan Peraturan Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Pembentukan Ruang
Pelayanan Khusus Dan Tata Cara Pemeriksaan Saksi Dan/Atau Korban
Tindak Pidana, telah menyediakan suatu ruang khusus untuk
menyelesaikan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga, sehingga
penyelesaian tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga tidak lagi
berada di dalam ruang pemeriksaan yang lazimnya digunakan untuk
menyidik tersangka kasus-kasus lainnya. Ruang khusus ini dinamakan
Ruang Pelayanan Khusus (RPK) yang berada di kantor kepolisian baik itu
ditingkat Polisi Sektor, Polisi Resor, Polisi Kota Besar, maupun Polisi
Daerah.
Pasal 2 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia
Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Pembentukan Ruang Pelayanan Khusus
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
Dan Tata Cara Pemeriksaan Saksi Dan/Atau Korban Tindak Pidana
menyebutkan :
(1) Tujuan pembentukan RPK untuk memberikan pelayanan dan
perlindungan khusus kepada perempuan dan anak yang
menjadi saksi, korban dan/atau tersangka yang ditangani di
RPK.
(2) RPK selain sebagai tempat pelaksanaan dan pelayanan dan
perlindungan terhadap perempuan dan anak yang menjadi saksi
dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang juga
digunakan untuk kepentingan pemeriksaan terhadap saksi
dan/atau korban perempuan dan anak dalam tindak pidana
lainnya.
(3) Perlindungan dan pelayanan sebagaimana dimaksud ayat (2)
juga bermakna untuk menghindari pelanggaran terhadap Hak
Asasi Manusia (HAM) dan tindakan yang dapat menimbulkan
ekses trauma atau penderitaan yang lebih serius bagi
perempuan dan anak.
Adanya ruang khusus ini menjadi suatu tempat dimana pihak
kepolisian menyelesaikan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga
menggunakan cara mediasi penal. Mediasi penal adalah suatu bentuk
penyelesaian sengketa pidana di luar pengadilan.
Barda Nawawi Arief menjelaskan perkembangan dan latar belakang munculnya ide mediasi penal sebagai pilihan penyelesaian perkara pidana yang terintegrasi dalam sistem peradilan pidana. Mediasi penal bisa digunakan untuk menangani perkara yang dilakukan orang dewasa maupun anak-anak. Metode ini melibatkan berbagai pihak yang bertemu dengan dihadiri oleh mediator yang ditunjuk. Mediasi penal sebagai alternatif sistem peradilan saat ini sangat diperlukan, karena :
- Diharapkan mampu mengurangi penumpukan perkara - Merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang
dianggap lebih cepat, murah, dan sederhana - Dapat memberikan akses seluas mungkin kepada para pihak
yang bersengketa untuk memperoleh keadilan - Memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan
dalam penyelesaian sengketa di samping proses menjatuhkan pemidanaan (Barda Nawawi Arief dalam DS. Dewi, 2011 : 80).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
Ridwan Mansyur mengungkapkan, dengan adanya mediasi penal ini juga akan menciptakan suatu penegakan Hak Asasi Manusia, mediasi penal ini menekankan pada pemulihan atas kerugian yang dialami korban dan atau masyarakat sebagai akibat dari perbuatan pelaku, serta melibatkan pelaku dan korban secara aktif dan langsung di dalam penyelesaiannya (restorative justice) (Ridwan Mansyur, 2010 : 239).
Jadi, dengan adanya mediasi penal ini para pelaku tindak pidana
kekerasan dalam rumah tangga dan saksi/korban tindak pidana kekerasan
dalam rumah tangga dapat dipertemukan secra langsung dan dimediasi
oleh aparat kepolisian guna menyelesaikan perkara yang dialaminya,
sehingga tidak sampai berlanjut ke pengadilan.
Tertarik dengan permasalahan tersebut diatas, maka penulis
mencoba mengangkat permasalahan tersebut dan menuangkannya dalam
penulisan hukum dengan judul “PERAN KEPOLISIAN DALAM
USAHA MENYELESAIKAN TINDAK PIDANA KEKERASAN
DALAM RUMAH TANGGA MELALUI MEDIASI PENAL (STUDI
DI KEPOLISIAN RESOR KOTA SURAKARTA)”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka
penulis merumuskan masalah untuk dikaji secara lebih rinci. Adapun
permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimanakah peran kepolisian dalam usaha menyelesaikan
tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga melalui mediasi
penal ?
2. Apakah hambatan kepolisian dalam usaha menyelesaikan
tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga melalui mediasi
penal ?
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini pada hakekatnya mengungkapkan apa yang
hendak dicapai oleh peneliti, yang mana tujuan penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1. Tujuan Objektif
a. Untuk mengetahui peran kepolisian dalam hal ini adalah Unit
Pelayanan Perempuan dan Anak Satuan Resesrse Kriminal
Kepolisian Resor Kota Surakarta dalam usaha menyelesaikan
tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga melalui mediasi
penal.
b. Untuk mengetahui hambatan kepolisian dalam hal ini adalah Unit
Pelayanan Perempuan dan Anak Satuan Reserse Kriminal
Kepolisian Resor Kota Surakarta dalam usaha menyelesaikan
tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga melalui mediasi
penal.
2. Tujuan Subjektif
a. Untuk menambah wawasan, pengetahuan, dan kemampuan penulis
di bidang Hukum Pidana khususnya tentang peran kepolisian
dalam usaha menyelesaikan tindak pidana kekerasan dalam rumah
tangga melalui mediasi penal.
b. Untuk memenuhi persyaratan akademis guna memperoleh gelar
Strata 1 (Sarjana) dalam bidang Ilmu Hukum di Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
D. Manfaat Penelitian
Dalam setiap kegiatan penelitian sangat diharapkan adanya
manfaat dan kegunaan yang dapat diambil dari penelitian tersebut. Penulis
berharap kegiatan penelitian dalam penulisan hukum ini akan memberi
manfaat bagi sebanyak mungkin pihak yang terkait dengan penulisan
hukum ini, yaitu bagi penulis, maupun bagi pembaca dan pihak – pihak
lain. Adapun manfaat yang dapat diharapkan dari penelitian ini adalah :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran dan landasan teoritis bagi pengembangan ilmu hukum
pada umumnya serta hukum pidana pada khususnya.
b. Hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai literatur dan bahan–
bahan informasi ilmiah, khususnya untuk memberikan deskripsi
yang jelas mengenai peran kepolisian dalam usaha menyelesaikan
tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga melalui mediasi
penal.
c. Hasil penelitian diharapkan dapat dipakai sebagai acuan terhadap
penelitian – penelitian sejenisnya pada tahap selanjutnya.
2. Manfaat Praktis
a. Menjadi wahana bagi penulis untuk mengembangkan penalaran
dan membentuk pola pikir ilmiah, sekaligus untuk mengetahui
kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu–ilmu yang diperoleh.
b. Sebagai bahan masukan bagi pihak–pihak yang terkait langsung
dengan penelitian ini.
E. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan salah satu faktor penting yang menunjang suatu kegiatan dan proses penelitian. Metode berasal dari kata “metodhos” yang artinya cara atau menuju suatu jalan. Metode merupakan kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan suatu cara kerja (sistematis) untuk memahami suatu subjek atau objek penelitian, sebagai upaya untuk menemukan jawaban yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah termasuk keabsahannya. Metode merupakan suatu unsur mutlak harus ada dalam penelitian, dipilih berdasarkan dan mempertimbangkan keserasian objek serta metode yang digunakan sesuai dengan tujuan, sasaran, variable, dan masalah yang hendak diteliti. Sedangkan penelitian hukum merupakan suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2009 : 35).
Metode yang digunakan dalam penelitian ini dapat diuraikan
sebgai berikut :
1. Jenis Penelitian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum empiris. “Pada
penelitian hukum empiris yang diteliti pada awalnya adalah
data sekunder, untuk kemudian diadakan penelitian terhadap
data primer di lapangan atau pada masyarakat” (Soerjono
Soekanto, 2010 : 52).
Dalam hal ini peneliti ingin mengetahui peran kepolisian dalam
hal ini adalah Unit PPA Sat Reskrim Polresta Surakarta dalam
usaha menyelesaikan tindak pidana kekerasan dalam rumah
tangga melalui mediasi penal.
2. Sifat Penelitian
Menurut bidangnya penelitian ini termasuk penelitian yang
bersifat deskriptif. Penelitian deskriptif menurur Soerjono
Soekanto adalah :
“Suatu penelitian yang dimaksud untuk memberikan data yang
seteliti mungkin tentang manusia, keadaan, gejala-gejala
lainnya. Maksudnya adalah terutama mempertegas hipotesa-
hipotesa, agar dapat membantu memperkuat teori-teori lama,
atau didalam kerangka penyusunan teori baru”(Soerjono
Soekanto, 2010 : 10).
Dalam penulisan hukum ini, penulis akan memaparkan hasil
penelitian tentang peran kepolisian dalam usaha menyelesaikan
tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga melalui mediasi
penal (Studi di Kepolisian Resor Kota Surakarta).
3. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini bersifat kualitatif, yaitu pendekatan yang menggunakan data yang dinyatakan secara verbal yang dimaksudkan untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek. Penelitian sperti perilaku, tindakan, persepsi dan lain-lain secara holistic dengan deskripsi dalam bentuk kata-kata dan naratif dalam konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah (Soerjono Soekanto, 2010 : 18).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
4. Jenis Data
Secara umum dalam penelitian dibedakan antara data yang
diperoleh secara langsung dari masyarakat dan dari bahan
pustaka. “Data yang diperoleh langsung dari masyarakat
dinamakan data primer, sedangkan data yang diperoleh dari
bahan-bahan kepustakaan dinamakan data sekunder” (Soerjono
Soekanto, 2010 : 51).
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Data Primer
Adalah sejumlah keterangan atau fakta yang diperoleh
secara langsung melalui penelitian lapangan, baik dengan
cara wawancara atau observasi terhadap responden dalam
penelitian. Adapun data tentang penelitian ini diperoleh dari
Unit PPA Sat Reskrim Polresta Surakarta.
b. Data Sekunder
Adalah sejumlah keterangan atau fakta yang diperoleh
secara tidak langsung tetapi melalui penelitian kepustakaan.
5. Sumber Data
Sumber data adalah tempat ditemukannya data. Adapun data
dari penelitian ini diperoleh dari dua sumber yaitu : sumber
data primer yang berasal dari Unit PPA Sat Reskrim Kepolisian
Resor Kota Surakarta, pihak yang dimintai keterangan adalah
AKP Sri Rahayu selaku Kepala Unit Pelayanan Perempuan dan
Anak Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor kota
Surakarta, dan yang kedua adalah sumber data sekunder yang
terdiri dari :
a. Bahan Hukum Primer
Yaitu kaidah dasar, peraturan perundang-undangan antara
lain yaitu :
1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga,
3) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Pembentukan
Ruang Pelayanan Khusus dan Tata Cara Pemeriksaan
Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah sejumlah keterangan atau
fakta yang diperoleh melalui buku-buku hasil karya dari
kalangan hukum, hasil-hasil penelitian, dan artikel koran
serta bahan lain yang berhubungan dengan pokok bahasan.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier adalah bahan yang memberi
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder,
yaitu Kamus Hukum, Kamus Besar Bahasa Indonesia.
6. Tehnik Pengumpulan Data
Dalam memperoleh data yang lengkap untuk penelitian ini
menggunakan data yang bersifat primer maupun sekunder
sebagai berikut :
a. Data Primer
Data yang diperoleh melalui studi langsung ke lapangan
yaitu di Kepolisian Resor Kota Surakarta. Adapun data
yang diperoleh melalui :
Wawancara (Interview), yaitu proses tanya jawab secara
langsung dua orang atau lebih berhadapan secara langsung
atau tidak (melalui media komunikasi). Dalam penelitian
ini menggunakan interview yang bebas terpimpin yaitu
interview dalam pengumpulan data secara bebas dengan
pengumpulan data berupa catatan-catatan mengenai pokok-
pokok yang ditanyakan sehingga masih memungkinkan
variasi pertanyaan sesuai dengan kondisi saat interview.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
Wawancara dilakukan dengan AKP Sri Rahayu selaku
Kanit PPA Sat Reskrim Polresta Surakarta.
b. Data Sekunder
Data sekunder diperoleh dengan penelitian kepustakaan
atau library research guna memperoleh landasan hukum
atau bahan penulisan lainnya yang dapat dijadikan sebagai
landasan teori. Data yang diperoleh dari dokumen-
dokumen, catatan-catatan, buku-buku yang berhadapan
dengan materi kemudian diselaraskan dengan bahan dari
kepustakaan sebagai bahan acuan dari bahan referensi
penelitian.
Studi kepustakaan ini dilakukan dengan mempelajari dan
mengidentifikasi literatur-literatur yang berupa buku-buku,
peraturan-peraturan, dokumen, artikel-artikel serta hasil
penelitian yang dilakukan oleh para ahli.
7. a. Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi berupa subjek atau
objek yang diteliti untuk dipelajari dan diambil kesimpulan.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh polisi yang ada
di Kepolisian Resor Kota Surakarta.
b. Sampel
Sampel adalah sebagian populasi yang diteliti, sampel
merupakan sebagian atau bertindak sebagai perwakilan
populasi sehingga hasil penelitian yang berhasil diperoleh
dari sampel dapat digeneralisasikan pada populasi. Sampel
dalam penelitian ini adalah polisi yang bertugas di Unit
Pelayanan Perempuan dan Anak Satuan Reserse Kriminal
Kepolisian Resor Kota Surakarta.
c. Teknik Sampling
Teknik sampling merupakan teknik pengambilan
sampel yang secara umum terbagi dua yaitu probability
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
sampling dan non probability sampling. Penelitian ini
menggunakan teknik non probability sampling. Non
probability sampling artinya setiap anggota populasi tidak
memiliki kesempatan atau peluang yang sama sebagai
sampel. Teknik-teknik yang termasuk kedalam non
probability sampling diantaranya Sampling Sistematis,
Sampling Kuota, Sampling Insidental, Sampling Purposive,
Sampling Jenuh, dan Snowball Sampling (Arikunto
Suharsimi, 2005 : 32).
Penelitian ini lebih khususnya menggunakan teknik
Sampling Purposive (Purposive Sampling) yakni
merupakan teknik penentuan sampel dengan pertimbangan
khusus sehingga layak dijadikan sampel. Dalam penelitian
ini, Penulis ingin mengetahui peran kepolisian dalam usaha
menyelesaikan tindak pidana kekerasan dalam rumah
tangga melalui mediasi penal, maka sampel yang diambil
adalah polisi yang bertugas di Unit PPA Sat Reskrim
Polresta Surakarta, dimana Unit PPA ini memang Unit
untuk menangani tindak pidana kekerasan dalam rumah
tanngga.
8. Teknik Analisa Data
Teknik analisis yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah analisis kualitatif dengan interaktif model yaitu komponen reduksi data dan penyajian data dilakukan bersama dengan pengumpulan data, kemudian setelah data terkumpul maka tiga komponn tersebut berinteraksi dan bila kesimpulan dirasakan kurang, maka perlu ada verifikasi dan penelitian kembali mengumpulkan data lapangan (H.B. Sutopo, 2002 : 8). Menurut H.B. Sutopo, ketiga komponen tersebut adalah :
a. Reduksi Data Merupakan proses seleksi, penyederhanaan dan abstraksi dari data.
b. Penyajian Data
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
Merupakan suatu realita organisasi informasi yang memumungkinkan kesimpulan penelitian dapat dilakukan, sajian data dapat meliputi berbagai jenis matriks, gambar atau skema, jaringan kerja, kaitan kegiatan dan juga tabel.
c. Kesimpulan atau Verifikasi Setelah memahami arti dari berbagai hal yang meliputi pencatatan-pencatatan, peraturan, pernyataan-pernyataan konfigurasi-konfigurasi yang mungkin, alur sebab-akibat, akhirnya peneliti menarik kesimpulan (H.B. Sutopo, 2002 : 37). Adapun analisis interaksi penelitian dibuat sebagai berikut :
Bagan 1
Analisis Interaksi Penelitian
(HB. Sutopo, 2002 : 37)
Dengan model analisis ini maka peneliti harus bergerak diantara empat sumbu kumparan itu selama pengumpulan data, selanjutnya bolak-balik diantara kegiatan reduksi, penyajian dan penarikan kesimpulan selama sisa waktu penelitian . aktifitas yang dilakukan dengan proses itu komponen-komponen tersebut akan didapat yang benar-benar mewakili dan sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Setelah analisis data selesai, maka hasilnya akan disajikan secra deskriptif, yaitu dengan jalan apa adanya sesuai dengan masalah yang diteliti dan data yang diperoleh. Setelah semua data dikumpulkan, kemudian diambil kesimpulan dan langkah tersebut tidak harus urut
PENGUMPULAN DATA
REDUKSI DATA
SAJIAN DATA
KESIMPULAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
tetapi berhubungan terus menerus sehingga membuat siklus (HB Sutopo, 2002 : 13).
F. Sistematika Penulisan Hukum
Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai
sistematika penulisan hukum yang sesuai dengan aturan baru dalam
penulisan hukum, maka penulis menyiapkan suatu sistematika dalam
penulisan hukum ini. Adapun sistematika penulisan hukum ini terdiri dari
4 (empat) bab, yang tiap-tiap bab terbagi dalam sub-sub bagian yang
dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil
penelitian ini. Sistematika penulisan hukum ini adalah sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini menguraikan tentang latar belakang
masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan
hukum.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini akan dibahas kajian pustaka berkaitan
dengan judul dan masalah yang diteliti yang memberikan
landasan teori terhadap penelitian hukum. Pada bab ini
dibahas mengenai :
a. Tinjauan Umum tentang Kepolisian
b. Tinjauan Umum tentang Kekerasan Dalam Rumah
Tangga
c. Tinjauan Umum tentang Mediasi Penal.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini akan diuraikan mengenai hasil penelitian dan
pembahasan, yaitu tentang peran kepolisian dalam usaha
menyelesaikan tindak pidana kekerasan dalam rumah
tangga melalui mediasi penal, dan hambatan kepolisian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
dalam usaha menyelesaikan tindak pidana kekerasan dalam
rumah tangga melalui mediasi penal.
BAB IV : PENUTUP
Merupakan bagian akhir dari penulisan hukum yang berisi
beberapa kesimpulan dan saran berdasarkan analisis dari
data yang diperoleh selama penelitian sebagai jawaban
terhadap pembahasan agar dapat menjadi bahan pemikiran
dan pertimbangan untuk menuju perbaikan sehingga
bermanfaat bagi semua pihak.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum tentang Kepolisian
a. Pengertian Kepolisian
Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia,
mendefinisikan bahwa kepolisian adalah :
“Kepolisian adalah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan
fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-
undangan”.
Dalam ayat (2) yang dimaksud dengan Anggota Kepolisian
Negara Republik Indonesia adalah pegawai negeri pada
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
b. Fungsi Kepolisian
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia, menyebutkan :
Pasal 2 :
Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara
di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat,
penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan
kepada masyarakat.
Pasal 3 :
(1) Pengemban fungsi kepolisian adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh : a. kepolisian khusus; b. penyidik pegawai negeri sipil; dan/atau c. bentuk-bentuk pengamanan swakarsa.
(2) Pengemban fungsi kepolisian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, b, dan c, melaksanakan fungsi kepolisian sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukumnya masing-masing.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
Pasal 4 :
Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayomen, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
c. Tugas dan Wewenang Kepolisian
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia, menyebutkan tugas kepolisian
adalah sebagai berikut :
Pasal 13 :
Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah :
a. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat ;
b. menegakkan hukum; dan
c. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan
kepada masyarakat.
Pasal 14 :
(1) dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas : a. melaksanakan peraturan, penjagaan, pengawalan, dan
patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;
b. menyelenggarakan segala kegiatan dan menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan;
c. membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan;
d. turut serta dalam pembinaan hukum nasional; e. memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum; f. melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan
teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
g. melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya;
h. menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian;
i. melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkunagn hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia;
j. melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang;
k. memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; serta
l. melaksanakan tugas lain sesuai dengan perundang-undangan.
(2) Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf f diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia, menyebutkan
wewenang kepolisian adalah sebagai berikut :
Pasal 15 :
(1) Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang : a. menerima laporan dan/atau pengaduan; b. membantu menyelesaikan perselisihan warga
masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum; c. mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit
masyarakat; d. mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan
atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa; e. mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup
kewenangan administratif kepolisian; f. melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari
tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan; g. melakukan tindakan pertama di tempat kejadian; h. mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta
memotret seseorang;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
i. mencari keterangan dan barang bukti; j. menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional; k. mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang
diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat; l. memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan
pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat;
m. menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.
(2) Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan lainnyaberwenang : a. memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian
umum dan kegiatan masyarkat lainnya; b. menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan
bermotor; c. memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor; d. menerima pemberitahuan tentang kegiatam politik; e. memberikan izin dan pengawasan senjata api, bahan
peledak, dan senjata tajam; f. memberikan izin operasional dan melakukan
pengawasan terhadap badan usaha di bidang jasa pengamanan;
g. memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian khusus dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian;
h. melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan memberantas kejahatan internasional;
i. melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait;
j. mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian internasional;
k. melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian.
(3) Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a dan d diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
d. Landasan Hukum POLRI Dalam Alternative Dispute
Resolution (ADR) Berperspektif Hukum
Dasar hukum atau payung hukum bagi POLRI untuk
penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan Alternative
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
Dispute Resolution (ADR) dengan cara perdamaian adalah
sebagai berikut :
Pasal 7 ayat (1) huruf j KUHAP jo Pasal 16 ayat (1) huruf l Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang POLRI dalam rangka menyelenggarakan tugas dan wewenang dibidang proses tindak pidana (penyelidikan dan penyidikan) berwenang “mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab”.
Yang dimaksud tindakan lain adalah : a) Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum. b) Selaras dengan kewajiban hukumyang mengharuskan
tindakan; tersebut dilakukan. c) Harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam
lingkunagan jabatannya. d) Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang
memaksa. e) Mengjormati hak asasi manusia. Dengan demikian polisi berwenang untuk melakukan tindakan apa saja, termasuk menyelesaikan perkara pidana di luar pengadilan, sepanjang memenuhi ketentuan huruf a sampai e tersebuit diatas (Suparmin, 2012 : 50).
2. Tinjauan Umum tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga
a. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Berikut ini beberapa pengertian tentang Kekerasan Dalam
Rumah Tangga (KDRT) yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2004. Pasal 1 angka 1, mendefinisikan bahwa
kekerasan dalam rumah tangga adalah :
“Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan,yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”.
Namun secara umum pengertian Kekerasan Dalam Rumah
Tangga lebih dipersempit artinya sebagai penganiayaan oleh
suami terhadap isteri. Hali ini bisa dimengerti karena sering
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
dijumpai korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah
isteri.
Family Law Act merumuskan family violence (kekerasan dalam rumah tangga) untuk mencakup tindakan-tindakan atau ancaman-ancaman seseorang terhadap anggota keluarga lainnya atau barang-barang milik mereka. Selain itu juga mencakup menyaksikan tindakan-tindakan atau ancaman-ancaman tersebut, seperti anak-anak menyaksikan kekerasan (http://www.australia.gov.au/familyrelationships.co.id diakses pada tanggal 2 Mei 2012 Pukul 22.00).
b. Pengertian Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2004, yang dimaksud dengan penghapusan kekerasan dalam
rumah tangga adalah jaminan yang diberikan oleh negara untuk
mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak
pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban
kekerasan dalam rumah tangga.
c. Bentuk-Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 membagi bentuk-
bentuk kekerasan dalam rumah tangga antara lain :
Pasal 5 :
Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara : a. kekerasan fisik; b. kekerasan psikis; c. kekerasan seksual; atau d. penelantaran rumah tangga.
Pasal 6 :
Kekerasan fisik sebagaimna dimaksud dalam Pasal 5 huruf
b adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh
sakit, atau luka berat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
Pasal 7 :
Kekerasan psikis sebgaimana dimaksud dalam Pasal 5
huruf b adlah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan,
hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemapuan untuk
bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis
berat pada seseorang.
Pasal 8 :
Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi : a. pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap
orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut;
b. pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan irang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
Pasal 9 :
(1) setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukumyang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
(2) Penelantaran sebagaimana dimaksud ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.
d. Lingkup Rumah Tangga
Yang dimaksud dengan lingkup rumah tangga menurut
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004, adalah :
Pasal 2 :
(1) Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini
meliputi :
a. Suami, isteri, dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri);
b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana disebutkan diatas karena
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
hubungan darah, perkawinan (misalnya mertua, menantu, ipar, dan besan), persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau
c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.
(2) “Orang yang bekerja sebagaimana yang dimaksud
pada huruf c diatas dipandang sebagai anggota
keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam
rumah tangga yang bersangkutan”.
e. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Dalam Rumah
Tangga
1) Menurut Kriminolog dari Universitas Indonesia Erlangga Masdiana berpendapat, kekerasan itu sangat dipengaruhi ideologi dan pemahaman budaya masyarakat, dalam kasus kekerasan terhadap anak, selalu muncul pemahaman bahwa anak dianggap lebih rendah, tidak pernah dianggap sebagai mitra sehingga dalam kondisi apapun anak harus menuruti apapun kehendak orang tua. Ideologi dan kultur itu juga muncul karena transformasi pengetahuan dari masa lalu. Zaman dahulu, anak diwajibkan tunduk pada orang tua, tidak boleh mendebat barang sepatah kata pun. Kemudian, ketika ada informasi baru, misalnya dari televisi atau dari kampus, tentang pola budaya yang lain, misalnya yang menegaskan setiap orang punya hak yang sama, masyarakat sulit menerima. Jadi persoalan kultur semacam itu ada di benak manusia dan direfleksikan dalam bentuk perilaku. Dalam rumah tangga yang membedakan antara perempuan dan laki-laki adalah persoalan fungsi, dan masing-masing fungsi itu bisa ditukar, kecuali fungsi kodrati, seperti hamil dan menyusui. Tetapi, untuk fungsi mengasuh anak misalnya, bisa dipertukarkan sehingga isteri seharusnya bisa mendebat sesuatu kalau suami tidak bersikap proporsional.
Pemahaman masyarakat tentang kesetaraan hak masih sangat terbatas hal itu disebabkan karena budaya lama itu sudah mendarah daging dalam diri mereka. Mungkin yang bisa mengubah hanya dengan pendidikan yang betul-betul menanamkan pengertian bahwa perempuan dan laki-laki sama derajatnya. Selain faktor pendidikan tersebut diatas yang dapat merubah paradigma tentang kesetaraan gender yaitu faktor modernisasi, yang disebut modernisasi disini bukan gaya hidup saja, tetapi yang lebih substantif, misalnya perubahan nilai-nilai kemanusiaan,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
pola pikir, wawasan, pengetahuan dan aspek-aspek penting lainnya.
Faktor eksternal yang mempengaruhi, misalnya terpaan media. Jika sajian media tetap menampilkan perempuan sebagai komoditas yang hanya dieksploitasi oleh laki-laki, itu artinya ada proses penanaman pola pikir. Tampilan-tampilan di televisi misalnya, menjadi pembenaran bahwa laki-laki bisa melakukan kekerasan. Faktor ekonomi juga dapat berperan dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga ini, intinya jika dalam masalah ekonomi tidak ada keksepakatan antara kedua belah pihak, lantas tidak ada komunikasi yang melahirkan jalan keluar, bisa saja terjadi kekerasan dalam rumah tangga (Erlangga, 2004 : 4).
2) Menurut CDC dan Komite Nasional Pencegahan Kekerasan di Amerika Serikat ada beberapa faktor penyebab terjadinya kekerasan yaitu : a) Faktor Masyarakat, yang terdiri dari :
(1) Kemiskinan; (2) Urbanisasi yang terjadi disertai kesenjangan diantara
penduduk kota; (3) Mesyarakat keluarga ketergantungan obat; (4) Lingkungan dengan frekuensi kekerasan dan
kriminalitas tinggi. b) Faktor Keluarga, yang terdiri dari :
(1) Adanya anggota keluarga yang sakit yang membutuhkan bantuan terus menerus seperti misalnya anak dengan kelainan mental, orang jompo;
(2) Kehidupan keluarga yang kacau tidak saling mencintai dan menghargai, serta tidak menghargai peran wanita;
(3) Kurang keakraban dan hubungan jaringan sosial pada keluarga;
(4) Sifat kehidupan keluarga inti bukan keluarga luas. c) Faktor Individu, yang terdiri dari :
(1) Wanita yang single, bercerai atau ingin bercerai; (2) Berumur 17 sampai 28 tahun; (3) Ketergantungan obat atau alkohol atau riwayat
ketergantungan kedua zat itu; (4) Sedang hamil; (5) Mempunyai patner dengan sifat memiliki dan
cemburu berlebihan. (http://www.cdc.com diakses pada tanggal 1 Mei 2012 Pukul 23.30)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
f. Penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah
Tangga
Dalam hal penanggulangan terhadap tindak pidana KDRT telah banyak diatur di dalam undang-undang, tetapi penanggulangan terhadap tindak pidanan KDRT dalam mewujudkan pemulihan (restorative) secara hakiki yang melindungi Hak Asasi Manusia tidak secara eksplisit diatur lengkap oleh undang-undang tersebut. Chambliss & Seidman yang didukung oleh Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa pada dasarnya ada dua unsur yang merupakan faktor yang turut menentukan dalam perwujudan pemulihan (restorative) dalam penaggulagan tindak pidana KDRT tersebut, yaitu : 1) Tujuan yang hendak dicapai dengan penyelesaian sengketa
itu. Apabila tujuan yang hendak dicapai oleh pranata adalah untuk merukunkan para pihak sehingga selanjutnya dapat hidup bersama kembali setelah sengketa itu, maka orang dapat mengharapkan bahwa tekanan disitu akan lebih diletakkan pada cara-cara mediasi dan kompromi, sebaliknya apabila tujuan pranata itu adalah untuk menerapkan peraturan-peraturan (rule enforcement) maka cara penyelesaian birokratis mungkin akan lebih banyak dipakai, dimana sasarannya yang utama adalah untuk menetapkan secara tegas apa yang sesungguhnya menjadi isi dari suatu peraturan itu serta selanjutnya menentukan apakah peraturan itu telah dilanggar.
2) Tingkat perlapisan yang terdapat dalam masyarakat. Semakin tinggi tingkat perlapisan yang terdapat di dalam masyarakat, semakin besar pula perbedaan kepentingan dan nilai-nilai yang terdapat disitu. Dalam keadaan yang demikian maka lapisan atau golongan yang dominan akan mencoba untuk mempertahankan kelebihannya dengan cara memaksakan berlakunya peraturan-peraturan disitu yang menjamin kedudukan. Berbeda dengan keadaan masyarakat sederhana dimana tingkat pemakaian teknologi masih rendah, kesepakatan nilai masih mudah dicapai dimana kerukunan merupakan pola penyelesaian sengketa maka di dalam masyarakat yang mempunyai perlapisan yang tinggi dengan susunan masyarakat yang mendorong timbulnya ketidaksamaan (inequality), penerapan peraturan dengan pembebanan sanksi merupakan pola kerja yang cocok untuk masyarakatnya (Chambliss & Seidman didukung oleh Satjipto Rahardjo dalam Ridwan Mansyur, 2010 : 73).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
3. Tinjauan Umum tentang Mediasi Penal
a. Perkembangan dan Latar Belakang Mediasi Penal
Barda Nawawi Arief menjelaskan perkembangan dan latar belakang munculnya ide mediasi penal sebagai pilihan penyelesaian perkara pidana yang terintegrasi dalam sistem peradilan pidana. Perkembangan tersebut dapat dilihat dalam : 1) Kongres PBB ke-9 Tahun 1995 dalam dokumen penunjang
yang berkaitan dengan manajemen peradilan pidana mengungkapkan perlunya semua negara mempertimbangkan privatizing some law enforcement and justice functions dan alternative dispute resolution/ADR (berupa mediasi, konsiliasi, restitusi, dan kompensasi) dalam sistem peradilan pidana.
2) Laporan kongres PBB ke-9 Tahun 1995 tentang The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders mengemukakan : a) Untuk mengatasi problem kelebihan muatan (penumpukan
perkara) di pengadilan, para peserta kongres menekankan pada upaya pelepasan bersyarat, mediasi, restitusi, dan kompensasi, khususnya untuk pelaku pemula dan pelaku muda (dalam laporan Nomor 112).
b) Ms. Toulemonde (Menteri Kehakiman Perancis) mengemukakan mediasi penal (penal mediation) sebagai suatu alternatif penuntutan yang memberikan kemungkinan penyelesaian negosiasi antara pelaku tindak pidana dengan korban (dalam laporan Nomor 319).
3) Dalam Konferensi Internasional Reformasi Pidana (International Penal Reform Conference) yang diselenggarakan di Royal Holloway College, University of London, pada tanggal 13-17 April 1999, dikemukakan, bahwa salah satu unsur kunci dari agenda baru pembaharuan hukum pidana (the key elements of a new agenda for penal reform) ialah perlunya memperkaya sistem peradilan formal dengan sistem atau mekanisme informal dalam penyelesaian sengketa yang sesuai dengan standar-standar hak asasi manusia (the need to enrich the formal judicial system with informal, locally based, dispute resolution mechanisms which meet human rights standards). Konferensi ini juga mengidentifikasikan sembilan strategi pengembangan dalam melakukan pembaharuan hukum pidana.
4) Komisi Para Menteri Dewan Eropa (the Committee of Ministers of the Council of Europe) ada tanggal 15 September 1999 telah menerima Recomendation No. R (99) 19 tentang Mediation in Penal Matters.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
5) Deklarasi Wina, Kongres PBB ke-10 Tahun 2000 antara lain mengemukakan bahwa untuk memberikan perlindungan kepada korban kejahatan, hendaknya diintrodusir mekanisme mediasi dan peradilan restoratif (restorative justice).
6) Uni Eropa membuat The EU Council Framework Decision pada tanggal 15 Maret 2001 tentang “kedudukan korban dalam proses pidana” (The standing of Victims in Criminal Proceedings)-EU (2001/220/JBZ) yang didalamnya mencakup masalah mediasi.
7) ECOSOC (PBB) telah menerima Resolusi 2002/12 pada tanggal 24 Juli 2002 mengenai Basic Principles on the Use of Restorative Justice Programmes in Criminal Matters (Barda Nawawi Arief dalam DS. Dewi, 2011 : 75).
Mediasi penal pertama kali dikenal di Kitchener, Ontario, Kanada pada tahun 1974. Program ini kemudian menyebar ke Amerika Serikat,Inggris,dan negara-negara lain di Eropa. Di Amerika Serikat, mediasi penal pertama kali dipraktikkan di Elkhart, Indiana dan di Inggris oleh The Exeter Youth Support Team pada tahun 1979. Setelah itu, program mediasi penal tersebar ke banyak negara di dunia, dan yang perkembangannya paling subur adalah di negara-negara Eropa (Triani Retno, 2011 : 78).
Warner Robets mengatakan “Mediation is a process by which a trained neutral third party brings together people in conflict. The parties have an opportunity to talk about the conflict and to negotiate its resolution, if possible. Mediators do not impose settlements. The process is meant to empower both parties” (Warner Robets, 1996 : 4), yang artinya mediasi adalah suatu proses di mana pihak ketiga yang terlatih netral menyatukan orang dalam konflik. Para pihak memiliki kesempatan untuk berbicara tentang konflik dan bernegosiasi resolusi, jika memungkinkan. Mediator tidak memaksakan pemukiman. Proses ini dimaksudkan untuk memberdayakan kedua belah pihak.
Barda Nawawi Arief memaparkan perkembangan pengaturan mediasi penal di Indonesia :
1) Walaupun perkara pidana pada prinsipnya tidak dapat diselesaikan di luar pengadilan, namun dalam hal-hal tertentu dimungkinkan adanya penyelesaian kasus pidana di luar pengadilan, antara lain : a) Dalam hal delik yang dilakukan berupa “pelanggaran yang
hanya diancam dengan pidana denda”, menurut Pasal 82 KUHP, kewenangan/hak menuntut delik pelanggaran itu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
hapus, apabila terdakwa telah membayar denda maksimum untuk delik pelanggaran itu dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan jika penuntutan telah dilakukan. Ketentuan dalam Pasal 82 KUHP ini dikenal dengan istilah “afkoop” atau “pembayaran denda damai” yang meruakan salah satualasan penghapus penuntutan.
b) Ketentuan di atas hanya memberi kemungkinan adanya penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan, namun belum merupakan mediasi penal seperti yang diuraikan diatas. Penyelesaian di luar pengadilan berdasarkan Pasal 82 KUHP di atas belum menggambarkan secara tegas adanya kemungkinan penyelesaian damai atau mediasi antara pelaku dan korban (terutama dalam masalah pemberian ganti rugi atau kompensasi) yang merupakan “sarana pengalihan/diversi” (means of disversion)” untuk dihentikannya penuntutan maupun penjatuhan pidana.
c) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia juga membuka kemungkinan lain dalam memberi kewenangan kepada Komnas HAM untuk melakukan mediasi dalam kasus pelanggaran HAM (Pasal 1 ke-7; Pasal 76 : 1; Pasal 89 : 4, Pasal 96). Namun tidak ada ketentuan yang secara tegas menyatakan bahwa semua kasus pelanggaran HAM dapat dilakukan mediasi oleh Komnas HAM, karena menurut Pasal 89 ayat 4 Komnas HAM juga dapat hanya memberi saran kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui pengadilan (sub-c), atau hanya memberi rekomendasi keada Pemerintah atau DPR untuk ditindaklanjuti penyelesaiannya (sub-d dan sub-e).
d) Di beberapa negara lain, mediasi penal dimungkinkan untuk tindak pidana yang dilakukan oleh anak dan kasus kekerasan dalam rumah tangga. Namun, ketentuan mediasi penal itu tidak terdapat dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak maupun dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
e) Gugurnya kewenangan penuntutan seperti yang ada dalam KUHP dan di dalam Konsep Rancangan KUHP digabung dalam satu pasal dan diperluas dengan ketentuan sebagai berikut : Kewenangan penuntutan gugur, jika : (1) Telah ada putusan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap. (2) Terdakwa meninggal dunia. (3) Daluwarsa. (4) Penyelesaian di luar proses.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
(5) Maksimum pidana denda dibayar dengan sukarela bagi tindak pidana yang dilakukan hanya diancam dengan pidana denda paling banyak kategori II.
(6) Maksimum pidana denda dibayar dengan sukarela bagi tindak pidana yang diancam dengan pidana enjara paling lama (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III.
(7) Presiden memberikan amnesti atau abolisi. (8) Penuntutan dihentikan karena penuntutan diserahkan
kepada negara lain berdasarkan perjanjian. (9) Tindak pidana aduan yang tidak ada engaduan atau
pengaduannya ditarik kembali. (10) Pengenaan asas oportunitas oleh Jaksa Agung.
Bisa disimpulkan berdasarkan ketentuan tersebut bahwa Rancangan KUHP memungkinkan penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan. Walaupun pengaturan rincinya belum ada, namun akan diatur lebih lanjut di dalam Rancangan KUHAP.
Mediasi pidana yang dikembangkan bertolak dari ide dan prinsip kerja (working princeples) sebagai berikut :
1) Penanganan konflik (Conflict Handling/Konflikbeitung) Tugas mediator dalah membuat para pihak melupakan kerangka hukum dan mendorong mereka terlibat dalam proses komunikasi. Hal ini didasarkan pada ide bahwa kejahatan telah menimbulkan konflik interpersonal. Konflik itulah yang dituju oleh proses mediasi.
2) Berorientasi pada proses (Process Orientation; Prozessorientierung) Mediasi penal lebih berorientasi pada kualitas proses daripada hasil, yaitu menyadarkan pelaku tindak pidana akan kesalahannya, kebuntuan-kebuntuan konflik terpecahkan, ketenangan korban dari rasa takut dan sebagainya.
3) Proses informal (Informal Proceeding-Informalitat) Mediasi penal merupakan suatu proses informal, tidak bersifat birokratis, menghindari prosedur hukum yang ketat.
4) Ada partisipasi aktif dan otonom para pihak Para pihak (pelaku dan korban) tidak dilihat sebagai objek dari prosedur hukum pidana tetapi lebih sebagai subjek yang mempunyai tanggungjawab pribadi dan kemampuan untuk berbuat, mereka diharapkan berbuat atas kehendaknya sendiri (Barda Nawawi Arief. 2008 : 5).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
b. Pengertian Mediasi Penal
Mediasi penal sering juga disebut dengan berbagai istilah,
antara lain : “mediation in criminal cases” atau “mediation in
penal matters”. Barda Nawawi Arief menjelaskan bahwa
mediasi penal merupakan salah satu bentuk alternatif
penyelesaian sengketa di luar pengadilan (yang biasa dikenal
dengan ADR atau Alternatif Dispute Resolution.
Umbreit, seorang profesor, pionir, dan pakar mediasi penal dari Amerika Serikat, menawarkan definisi mediasi penal, yaitu proses yang memberikan kesempatan kepada korban pencurian dan tindak pidana ringan untuk bertemu pelaku dalam suasana yang aman dan terstruktur, dengan tujuan meminta pelaku langsung bertanggungjawab sambil menyediakan bantuan dan kompensasi untuk korban, dengan dibantu oleh seorang mediator yang ahli, korban mampu memberitahu pelaku bagaimana kejahatan yang dilakukan mempengaruhi hidupnya, mendapatkan jawaban, dan secara langsung terlibat dalam membuat rencana restitusi sebagai bentuk pertanggungjawaban pelaku terhadap kerugian atau kerusakan yang ditimbulkan (Umbreit dalam DS. Dewi, 2011 : 80).
Mediasi pidana dalam Explanatory Memorandum to the
Council of Europe Recommendation tentang Mediation in Penal Matters sebagaimana tertuan dalam mediation in Penal Matters, Recomendation No. R (99) 19 adopted by the Committee of Ministers of the Council of Europe on September 1999, mendefinisikan mediasi penal sebagai proses dimana korban dan pelaku kejahatan dimungkinkan secara sukarela, untuk berpartisipasi secara aktif dalam penyelesaian masalh mereka akibat dari perbuatan pidana yang dilakukan pelaku tindak pidana dengan melibatkan pihak ketiga atau mediator (Trisno Raharjo, 2011 : 15).
Ms. Toulemonde (Menteri Kehakiman Perancis)
mengemukakan mediasi penal (penal mediation) sebagai suatu
alternatif penuntutan yang memberikan kemungkinan
penyelesaian negosiasi antara pelaku tindak pidana dengan
korban (dalam laporan Nomor 319) (Barda Nawawi Arief,
2008 : 6).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
Mediasi penal bisa digunakan untuk menangani perkara yang dilakukan orang dewasa maupun anak-anak, metode ini melibatkan berbagai pihak yang bertemu dengan dihadiri oleh mediator yang ditunjuk. Mediator dapat berasal dari pejabat formal, mediator independen, atau kombinasi. Mediasi ini dapat diadakan ada setia tahapan proses, baik ada tahap kebijakan polisi, tahap penuntutan, tahap pemidanaan, atau setelah pemidanaan (Marlina, 2010 : 34).
Berdasarkan beberapa pendapat diatas maka bisa
disimpulkan bahwa mediasi penal juga biasa disebut sebagai
mediasi pidana yang merupakan proses pemecahan masalah
dimana pihak luar yang tidak memihak dan netral bekerja
dengan pihak yang bermasalah untuk membantu mereka
memperoleh kesepakatan yang memuaskan dan dapat
mengembalikan keseimbangan kepentingan terutama korban
yang telah dirugikan akibat perbuatan pelaku tindak tindak
pidana, pihak luar dalam hal ini mediator hanya bersifat pasif,
ia hanya menyediakan tempat untuk komunikasi dan diskusi
antara korban dan pelaku sehingga masing-masing pihak bisa
mengemukakan keinginannya. Untuk hasil keputusan tetap
diserahkan kembali kepada kedua belah pihak baik korban dan
pelaku.
c. Model-Model Mediasi Penal
Dalam Explanatory memorandum dari Rekomendasi Dewan Eropa Nomor R (99) 19 tentang Mediation in Penal Matters, dikemukakan beberapa model mediasi penal sebagai berikut : 1) Model Informal Mediation
a) Model ini dilaksanakan oleh personel peradilan pidana (criminal justice personnel) dalam tugas normalnya, yaitu dapat dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum dengan mengundang para pihak untuk melakukan penyelesaian informal dengan tujuan, tidak melanjutkan penuntutan apabila tercapai kesepakatan; dapat dilakukan oleh pekerja sosial atau pejabat pengawas
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
(probation officer), oleh pejabat polisi, atau oleh Hakim.
b) Jenis intervensi informal ini sudah dalam seluruh sitem hukum.
2) Model Traditional Village or Tribal Moots Menurut model ini, seluruh masyarakat bertemu untuk memecahkan konflik politik di antara warganya. a) Model ini ada di beberapa negara yang kurang maju dan
di wilayah pedesaan/pedalaman. b) Model ini lebih memilih keuntungan bagi masyarakat
luas. c) Model ini mendahului hukum barat dan telah memberi
inspirasi bagi kebanyakan program-program mediasi modern. Program mediasi modern sering mencoba memperkenalkan berbagai keuntungan dari pertemuan suku (tribal moots) dalam bentuk yang disesuaikan dengan struktur masyarakat modern dan hak-hak individu yang diakui menurut hukum.
3) Model Victim-Offender Mediation a) Mediasi antara korban dan pelaku merupakan model
yang paling sering ada dalam pikiran orang. b) Model ini melibatkan berbagai pihak yang bertemu
dengan dihadiri oleh mediator yang ditunjuk. Banyak variasi dari model ini. Mediatornya dapat berasal dari pejabat formal, mediator independen, atau kombinasi.
c) Mediasi ini dapat diadakan pada sitiap tahapan proses, baik pada tahap kebijakan polisi, tahap penuntutan, tahap pemidanaan atau setelah pemidanaan.
d) Model ini ada yang diterapkan untuk semua tipe pelaku tindak pidana; ada yang khusus untuk anak; ada yang untuk tipe pidana tertentu (misal pengutilan, perampokan dan tindak kekerasan). Ada yang terutama ditujukan pada pelaku anak, pelaku pemula, namun ada juga untuk delik-delik berat dan bahkan untuk residivis.
4) Model Reparation Negotiation Programmes a) Model ini semata-mata untuk menaksir/ menilai
kompensasi atau perbaikan yang harus dibayar oleh pelaku tindak pidana kepada korban, biasanya pada saat pemeriksaan di pengadilan.
b) Program ini tidak berhubungan dengan rekonsiliasi antara para pihak, tetapi hanya berkaitan dengan perencanaan perbaikan material.
c) Dalam model ini, pelaku tindak pidana dapat dikenakan program kerja agar dapat menyimpan uang untuk mebayar ganti rugi/ kompensasi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
5) Model Community Panels or Courts Model ini merupakan program untuk membelokkan kasus pidana dari penuntutan atau peradilan pada prosedur masyarakat yang lebih fleksibel dan informal dan sering melibatkan unsur mediasi atau negosiasi.
6) Model Family and Community Group Conferences a) Model ini telah dikembangkan di Australia dan New
Zealand, yang melibatkan partisipasi masyarakat dalam SPP (Sistem Peradilan Pidana). Tidak hanya melibatkan korban dan pelaku tindak pidana, tetapi juga keluarga pelaku dan masyarakat lainnya, pejabat tertentu (seperti polsi dan hakim anak) serta para pendukung korban.
b) Pelaku dan keluarganay diharapkan menghasilkan kesepakatan yang komprehensif dan memuaskan korban serta dapat membantu untuk menjaga si pelaku keluar dari kesusahan/ persoalan berikutnya, dengan tetap menghormati norma agama, norma sosial dan hukum adat (Suparmin, 2012 : 47).
d. Kelebihan Mediasi Penal
Umbreit dan Coates melakukan penelitian tentang tingkat
kepuasan yang dirasakan korban dan pelaku sebagai pengguna
mediasi penal. Berikut ini adalah hasil penelitiannya :
Tabel 1 Kelebihan Mediasi Penal
No . Bagi Korban Bagi Pelaku
1. Kesempatan bertemu dengan pelaku untuk memahami tindak kriminal yang dilakukan dan situasi pelaku.
Bertemu dengan korban dan mendapatkan kesempatan untuk didengar oleh korban
2. Kesempatan untuk memastikan adanya restitusi.
Terhindar dari penjara dan juga tidak memiliki catatan kriminal.
3. Mendapatkan curahan penyesalan dari pelaku.
Mendapat kesempatan untuk membuat restitusi yang terjangkau menurut pelaku dan memperbaiki kesalahan.
4. Mendapat perhatian dan perawatan dari mediator.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
(Mark Umbreit dan Robert B Coates dalam DS. Dewi 2011 : 86).
Penelitian yang dilakukan oleh Umbreit menemukan bahwa mediasi penal memberikan tingkat kepuasan yang tinggi dan adil bagi para pihak dan menghasilkan lebih dari 90% kesepakatan yang sukses diraih untuk mengompensasi korban. Penelitian lain yang dilakukan yang dilakukan Umbreit dan Armour mencatat tingkat keberhasilan yang cukup tinggi, yaitu 40% - 60% dimana para pihak mengikuti proses mediasi penal (DS. Dewi, 2011 : 86).
Van Ness dan Strong juga berpendapat bahwa proses
mediasi penal memberikan manfaat yang besar bagi kedua
belah pihak, yaitu korban dan pelaku. Manfaat tersebut
diantaranya adalah :
1) Korban bisa mengonfrontasi pelaku, mencurahkan perasaan mereka, mengajukan pertanyaan, dan memiliki peranan langsung dalam menentukan hukuman.
2) Pelaku diberikan kesempatan untuk bertanggungjawab terhadap perbuatan mereka dan memperbaikinya kepada korban.
3) Korban dan pelaku berhadapan secara langsung sebagai orang, bukan dua kubu yang saling bermusuhan tanpa wajah, yang membuat mereka memahami perbuatan yang dilakukan, kondisi yang melatarbelakangi, dan apa yang harus diperbuat untuk memperbaiki keadaan (Daniel van Ness, Karen Heetderks Strong dalam DS. Dewi, 2011 : 87).
Liebmann memaparkan manfaat yang lebih rinci dari
mediasi penal, tidak hanya untuk korban dan pelaku, tetapi
juga untuk pengadilan dan masyarakat luas. Manfaat mediasi
penal tersebut adalah :
1) Bagi korban : a) Mengenali dan mempelajari pelaku. b) Mengajukan pertanyaan pada pelaku. c) Mencurahkan perasaan dan kebutuhan setelah kejahatan. d) Menerima permintaan maaf dan/atau perbaikan/ganti
rugi. e) Mengedukasi pelaku mengenai akibat dari pernuatan
mereka. f) Menyelesaikan konflik yang masih ada.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
g) Menjadi bagian dari proses peradilan pidana. h) Melupakan kejahatan yang terjadi.
2) Bagi pelaku : a) Memiliki tanggungjawab atas kejahatan yang mereka
lakukan. b) Mengetahui akibat perbuatan. c) Meminta maaf atau menawarkan perbaikan/ganti rugi. d) Introspeksi diri.
3) Bagi pengadilan : a) Mempelajari bagaimana hidup korban terengaruh akibat
perbuatan kejahatan. b) Membuat putusan yang lebih realistis. c) Menerima permintaan maaf dan/atau perbaikan/ganti
rugi dari pelaku. d) Membantu reintegrasi korban dan pelaku (Marian
Liebmann dalam DS. Dewi, 2011 : 88).
Bisa disimpulkan bahwa mediasi penal yang merupakan
salah satu instrumen alternatif penyelesaian perkara di luar
pengadilan mempunyai beberapa kelebihan, antara lain :
1) Mediasi penal akan mengurangi perasaan balas dendam
korban, lebih fleksibel karena tidak harus mengikuti
prosedur dan proses sebagaimana dalam sistem peradilan
pidana, dan lebih sedikit menghabiskan biaya, serta
prosesnya lebih cepat dibandingkan dengan proses litigasi
(proses penyelesaian perkara di pengadilan).
2) Beban sistem peradilan pidana karena menumpuknya
perkara dan proses penyelesaiannya yang memerlukan
waktu lama dapat dikurangi dengan kehadiran mediasi
antara pelaku dan korban.
3) Mediasi penal memberikan kesempatan kepada korban
bertemu dengan pelaku untuk membahas kejahatan yang
telah merugikan kehidupannya,mengungkapkan perhatian
dan perasaannya serta meminta adanya restitusi.
4) Mediasi penal menciptakan kembali hubungan yang
harmonis antara korban dan pelaku. Kondisi ini tidak
ditemukan di dalam penyelesaian konflik melalaui sistem
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
peradilan pidana. Pemberian maaf korban kepada pelaku
akan mengurangi rasa bersalah pelaku dan menciptakan
rekonsiliasi antara keduanya (Barda Nawawi Arief, 2008 :
6).
Mediasi penal merupakan salah satu instrumen dari konsep keadilan restoratif. Para pihaklah yang menentukan nilai keadilan yang mereka inginkan, bukan lembaga peradilan. Keterlibatan aparat penegak hukum hanyalah sebagai mediator. Mediasi penal merupakan metode penyelesaian sengketa yang cocok dalam menangani perkara KDRT di Indonesia. Hal ini disebabkan karena mayoritas masyarakat masih mengutamakan penyelesaian secara damai dalam penyelesaian sengketa terutama dalam sengketa keluarga. Harmoni dan keutuhan keluarga merupakan prioritas dalam budaya masyarakat Indonesia yang terus dijaga. Tradisi ini sesuai dengan sifat kolektivitas negara timur yang berbeda dengan individualitas negara barat (A. Syukur, 2011:199).
Liliana Tedjosaputro berpendapat, dibanding proses persidangan yang hanya mempertimbangkan fakta hukum dan perbuatan yang telah dilakukan, mediasi mempunyai keunggulan karena mempertimbangkan kepentingan masa depan keluarga dan menjaga keutuhan keluarga terutama untuk kepentingan masa depan anak, ajaran agama juga mengajarkan penyelesaian sengketa secara damai. Proses mediasi dilakukan secara tertutup dan hanya dihadiri para pihak dan mediator, yang terikat etika dan kode etik untuk menjaga kerahasiaan. Menghindarkan pelaku pada pidana penjara dan stimatisasi serta pergaulan dalam penjara yang cenderung menyebabkan orang menjadi recidive. Hanya saja proses mediasi penal ini hanya ditemui di tingkat Kepolisian itupun tidak ada penelitian yang dapat menunjukan data statistik seberapa besar mediasi penal digunakan sebagai metode penyelesaian kasus KDRT. Mengingat tidak adanya payung hukum yang memberikan dasar pembenaran mediasi penal di tingkat persidangan menyebabkan hakim enggan menyelesaikan kasus kekerasan dalam rumah tangga dengan menggunakan mediasi penal. Sebenarnya tidak semua kasus kekerasan dalam rumah tangga dapat diselesaikan secara mediasi penal melainkan harus ada seleksi terhadap kasus yang ditangani. Terhadap pelaku yang mempunyai kebiasaan untuk menyakiti, sadis dan terus berulang kiranya tidaklah tepat diselesaikan secara mediasi, melainkan litigasi merupakan alternatif yang terbaik untuk perlindungan korban (Liliana Tedjosaputro, 2012 : 52 – 63).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
e. Kelemahan Mediasi Penal
Dari penelitian yang dilakukan oleh Umbreit dan Coates
ditemukan beberapa faktor mediasi penal yang membuat pihak
korban mengalami kekecewaan, yaitu :
1) Kurangnya tindak lanjut pelaku terhadap kesepakatan yang telah dibuat.
2) Penundaan antara perbuatan kriminal yang telah dilakukan dan solusinya karena proses mediasi penal.
3) Banyaknya waktu yang dibutuhkan untuk berpartisipasi dalam proses mediasi penal (Umbreit dan Coates dalam DS. Dewi, 2011: 89).
Sesuai dengan sifat dasar sengketa yang timbul dari tindak pidana kriminal, hambatan utama dari pelaksanaan mediasi penal adalah penolakan dari pihak utama yang terlibat, yaitu korban dan pelaku. Korban enggan berhadapan langsung dengan pelaku dalam proses mediasi penal karena ada perasaan takut dan marah terhadap pelaku kejahatan; sementara pelaku merasa malu dan bersalah ketika berhadapan dengan korban serta adanya kewajiban untuk bertanggungjawab. Bila hal ini terjadi, bukan mediasi penal tidak bisa dilakukan. Mediator bisa bertemu kedua belah pihak di tempat yang terpisah (shuttle mediation). Mediasi jenis ini juga disebut dengan mediasi tidak langsung (indirect mediation) (DS. Dewi, 2011 : 89).
Marshall dan Merry juga mengungkapkan kelemahan atau
hambatan yang dihadapi oleh mediasi penal, diantaranya :
1) Masalah operasional a) Rekomendasi kasus untuk memakai mediasi
Hal ini merupakan masalah umum yang sering terjadi. Seperti telah disebutkan sebelumnya, pemahaman dan kerjasama antara aparat penegak hukum masih kurang hingga sulit meyakinkan mereka merekomendasikan kasus untuk diselesaikan melalui mediasi penal.
b) Terbatasnya waktu Karena mediasi penal tergabung dalam sistem peradilan pidana maka ada keterbatasan waktu dalam memediasi suatu kasus, walaupun kasus tersebut sangat kompleks atau sensitif.
c) Kurangnya persiapan tindak lanjut Banyak mediator yang kurang mempersiapkan diri dalam menghadapi suatu kasus, padahal tingkat kompleksitas
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
dan sensitivitas tiap kasus berbeda-beda. Selain tiu, mediator juga sering menganggap tugasnya selesai ketika para pihak sudah mencapai kesepakatan. Padahal, tindak lanjut berupa pengawasan terhadap implementasi kesepakatan juga harus dilakukan.
d) Mediasi tidak langsung Kalau proses mediasi ini yang dipakai, maka akan banyak memakan waktu dan kurang produktif dibandingkan bila korban dan pelaku saling bertemu secara langsung.
e) Kurangnya sumber daya Apabila kuantitas dan kualitas sumber daya manusia terbatas atau sumber daya berupa fasilitas (seperti ruang mediasi) tidak tersedia, maka akan mengganggu jalannya proses mediasi penal. Ruang khusus untuk mediasi mutlak diperlukan sesuai asas kerahasiaan proses mediasi yang harus dijaga.
2) Kegagalan untuk mempertahankan tujuan awal. Hal ini terjadi karena masih dominannya paradigma dan budaya sistem peradilan pidana, hingga tujuan mediasi penal yang tergabung dalam sistem tersebut bisa luntur atau goyah.
3) Kompensasi Seringkali pelaku yang melakukan tindak kriminal memang miskin hingga tidak mampu membayar kompensasi yang diajukan oleh korban yang mengakibatkan gagal tercapai kesepakatan.
4) Akuntabilitas pelaku Banyak pelaku yang hanya memanfaatkan mediasi penal sebagai cara untuk menghindar dari peradilan pidana (penjara), setelah tercapainya kesepakatan perdamaian, mereka tidak mau melaksanakannya (Tony F. Marshall, Susan Merry dalam DS. Dewi, 2011 : 90).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
B. Kerangka Pemikiran
Keterangan :
Kerangka pemikiran dalam bentuk skema di atas mencoba
memberikan gambaran yang disusun secara sistematis terkait alur berfikir
dalam menjawab permasalahan dalam penelitian ini, yaitu tentang fungsi
mediasi penal dalam menyelesaikan tindak pidana kekerasan dalam rumah
tangga.
Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Mediasi Penal
Ruang Pelayanan Khusus
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor
3 Tahun 2008
Peran Kepolisian Menyelesaikan Tindak
Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Melalui
Mediasi Penal
Hambatan Kepolisian Dalam Usaha Menyelesaikan
Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Melalui Mediasi Penal
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
Tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga atau kekerasan
domestik pada umumnya menunjuk pada kasus kekerasan yang dilakukan
suami terhadap isterinya (wife beating). Adanya Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
nampaknya belum begitu memadahi untuk terciptanya penyelesaian dari
kasus kekerasan dalam rumah tangga ini.
Seperti sudah diketahui, bahwa banyak sekali kekerasan yang
menimpa kaum wanita dan anak-anak tidak dilaporkan kepada pihak yang
berwajib dalam hal ini polisi. Hal ini terjadi karena masih ada anggapan
bahwa urusan yang bersifat pribadi tidak boleh diketahui orang lain karena
hal itu dianggap aib keluarga, adanya anggapan pula bahwa tidak adanya
suatu wadah tersendiri sebagai sarana pelayanan dan perlindungan khusus
terhadap saksi dan/atau korban kekerasan dalam rumah tangga
mengakibatkan minimnya pelaporan kasus ini kepada polisi.
Berangkat dari masalah tersebut diatas maka pada tahun 2008
dibentuklah Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia
Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Pembentukan Ruang Pelayanan Khusus
Dan Tata Cara Pemeriksaan Saksi Dan/Atau Korban Tindak Pidana.
Dengan adanya Ruang Pelayanan Khusus ini diharapkan mampu
menyelesaikan kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi di
masyarakat. Ruang Pelayanan Khusus ini diharapkan mampu memberikan
pelayanan dan perlindungan khusus bagi perempuan dan anak yang
menjadi saksi, korban dan/atau tersangka yang ditangani di Ruang
Pelayanan Khusus itu sendiri.
Dengan adanya ruang khusus ini aparat kepolisian bisa
menjalankan perannya untuk menyelesaikan perkara tindak pidana
kekerasan dalam rumah tangga dengan menggunakan mediasi penal.
Dalam menjalankan perannya, kepolsian tentunya mengalami hambatan-
hambatan dalam usaha menyelesaikan tindak pidana kekerasan dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
rumah tangga melalui mediasi penal, hal inilah yang juga turut menjadi
perhatian penulis untuk meneliti hambatan-hambatan apa saja yang terjadi,
sehingga dapat menemukan suatu solusi untuk mencegah atau
meminimalisir hambatan yang terjadi dalam menyelesaikan tindak pidana
kekerasan dalam rumah tangga melalui mediasi penal. Melalui mediasi
penal ini diharapkan mampu menjadi suatu cara atau solusi untuk
menyelesaikan perkara tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga,
sehinnga proses penyelesaian perkara tidak perlu sampai ke pengadilan.
Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mencoba meneliti tentang
peran kepolisian dalam usaha menyelesaikan tindak pidana kekerasan
dalam rumah tangga melalui mediasi penal.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. HASIL PENELITIAN
1. Peran Kepolisian Dalam Usaha Menyelesaikan Tindak Pidana
Kekerasan Dalam Rumah Tangga Melalui Mediasi Penal
Berdasarkan wawancara penulis dengan Kepala Unit PPA Sat
Reskrim Polresta Surakarta AKP Sri Rahayu, didapat keterangan bahwa
Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (Unit PPA) Kepolisian Resor Kota
Surakarta adalah suatu unit yang bertugas menangani kasus yang terkait
dengan perempuan dan anak, baik sebagai korban maupun pelaku
kejahatan yang berkedudukan dibawah Satuan Reserse Kriminal
Kepolisian Resor Kota Surakarta. Dasar pembentukan Unit PPA ini adalah
:
a. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia,terdapat dalam Pasal 13 yang berbunyi :
“Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah :
1) Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
2) Menegakkan hukum; dan
3) Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat”.
b. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga, terdapat dalam Pasal 13 yang
berbunyi :
“Untuk penyelenggaraan pelayanan terhadap korban, pemerintah dan
pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing
dapat melakukan upaya :
1) Penyediaan runag pelayanan khusus di kantor kepolisian;
2) Penyediaan aparat, tenaga kesehatan, pekerja sosial, dan
pembimbing rohani;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
3) Pembuatan dan pengembangan sistem dan mekanisme kerja sama
program pelayanan yang melibatkan pihak yang mudah diakses
oleh korban; dan
4) Memberikan perlindungan bagi pendamping, saksi, keluarga, dan
teman korban”.
c. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak,
terdapat dalam Pasal 22 yang berbunyi :
“Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggungjawab
memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan
perlindungan anak”.
d. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi
dan Korban, terdapat dalaam Pasal 5 yang berbunyi :
1) Seorang saksi dan korban berhak :
a) memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan
harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan
dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;
b) ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk
perlindungan dan dukungan keamanan;
c) memberikan keterangan tanpa tekanan;
d) mendapat penerjemah;
e) bebas dari pertanyaan yang menjerat;
f) mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;
g) mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;
h) mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;
i) mendapat identitas baru;
j) mendapatkan tempat kediaman baru;
k) memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan
kebutuhan;
l) mendapat nasihat hukum; dan/atau
m) memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas
waktu perlindungan berakhir.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
2) Hak sebaagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Saksi
dan/atau Korban tindak pidana dalam kasus-kasus tertentu sesuai
dengan keputusan LPSK.
e. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang, terdapat dalam Pasal 45 yang
berbunyi :
1) Untuk melindungi saksi dan/atau korban, di setiap provinsi dan
kabupaten/kota wajib dibentuk ruang pelayanan khusus pada kantor
kepolisian setempat guna melakukan pemeriksaan di tingkat
penyidikan bagi saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan
orang.
2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan ruang pelayanan
khusus dan tata cara pemeriksaan saksi dan/atau korban diatur
dengan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Visi dari Unit PPA Polresta Surakarta adalah memberikan
pelayanan, perlindungan kepada perempuan dan anak yang menjadi
korban kekerasan dan kejahatan dengan profesional penuh empati dan
penegakan hukum terhadap perempuan dan anak sebagai pelaku kejahatan.
Misi dari Unit PPA Polresta Surakarta adalah memberikan perlindungan
kepada perempuan dan anak yang menjadi korban dan atau saksi tindakan
kekerasan dan kejahatan trafiking dan pelecehan seksual dengan empati :
a. Memberikan pelayaanan secara cepat dan profesional kepada
perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan, kejahatan,
trafiking dan tindak pelecehan seksual.
b. Memperhatikan kepentingan yang terbaik bagi anak.
c. Menciptakan rasa aman dan nyaman kepada perempuan dan anak
korban kejahatan.
d. Memproses sampai ke pengadilan para pelaku kejahatan dengan korban
perempuan dan anak.
e. Penegakan hukum terhadap perempuan dan anak sebagi pelaku
kejahatan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
Tugas Unit PPA Polresta Surakarta adalah memberikan pelayanan dalam
bentuk perlindungan terhadap perempuan dan anak yang menjadi korban
kejahatan/kekerasan dan penegakan hukum terhadap pelakunya, dalam
pelaksanaan tugasnya Unit PPA polresta Surakarta menyelenggarakan :
a. Menerima laporan / pengaduan tentang tindak kejahatan / kekerasan
terhadap perempuan dan anak-anak yang meliputi :
1) Kekerasan secara umum.
2) Kekerasan dalam rumah tangga.
3) Pelecehan seksual.
4) Perdagangan orang.
5) Penyelundupan manusia.
6) Kasus-kasus yang melibatkan perempuan dan anak, baik kejahatan
maupun kekerasan.
b. Membuat Laporan Polisi.
c. Merujuk / mengirimkan korban ke Pusat Pelayanan Terpadu ( PPT )
atau Rumah Sakit terdekat.
d. Memberikan kepastian kepada pelapor, bahwa akan ada tindak lanjut
dari laporan / pengaduan.
e. Menyalurkan korban ke Lembaga Bantuan Hukum ( LBH ) atau
Rumah Aman, apabila diperlukan.
f. Memberikan konseling.
g. Menginformasikan pengembangan penyidikan kepada pelapor.
h. Melakukan penyidikan perkara, termasuk permintaan Visum et
Repertum.
i. Menjamin kerahasiaan informasi yang diperoleh.
j. Menjamin keamanan dan keselamatan baik pelapor maupun korban.
k. Mengadakan koordinasi/kerjasama dengan lintas fungsi/instansi, pihak
yang terkait.
l. Membuat laporan kegiatan secara berkala sesuai dengan prosedur/
hierarki.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
Fungsi Unit PPA Polresta Surakarta adalah :
a. Memberikan perlindungan terhadap anak korban
kejahatan/kekerasan,dalam rangka penegakan hukum.
b. Mengungkap kasus kejahatan/kekerasan yang terkait dengan
perempuan dan anak sebagai pelaku.
c. Melakukan penyidikan perkara terhadap perempuan dan anak pelaku
kejahatan/kekerasan.
d. Membangun dan memelihara sinergi dengan fungsi/lembaga terkait
dalam pelayanan terhadap perempuan dan anak yang menjadi korban
maupun penegak hukum terhadap perempuan dan anak yang menjadi
pelaku kejahatan/kekerasan.
Peranan Unit PPA Polresta Surakarta adalah memberikan rasa aman
kepada perempuan dan anak yang menjadi korban kejahatan/kekerasan.
Dalam Unit PPA inilah terdapat Ruang Pelayanan Khusus (RPK)
yang menurut Pasal 2 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Pembentukan Ruang Pelayanan
Khusus Dan Tata Cara Pemeriksaan Saksi Dan/Atau Korban Tindak
Pidana menyebutkan :
a. Tujuan pembentukan RPK untuk memberikan pelayanan dan
perlindungan khusus kepada perempuan dan anak yang menjadi saksi,
korban dan/atau tersangka yang ditangani di RPK.
b. RPK selain sebagai tempat pelaksanaan dan pelayanan dan
perlindungan terhadap perempuan dan anak yang menjadi saksi
dan/atau korban tindak pidana perdaganagn orang juga digunakan
untuk kepentingan pemeriksaan terhadap saksi dan/atau korban
perempuan dan anak dalam tindak pidana lainnya.
c. Perlindungan dan pelayanan sebagaimana dimaksud ayat (2) juga
bermakna untuk menghindari pelanggaran terhadap Hak Asasi
Manusia (HAM) dan tindakan yang dapat menimbulkan ekses trauma
atau penderitaan yang lebih serius bagi perempuan dan anak.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
Mengenai struktur organisasi Unit PPA Satuan Reserse Kriminal
Kepolisian Resor Kota Surakarta akan dijelaskan melalui bagan berikut :
Bagan 2
Struktur Organisasi Unit PPA Sat Reskrim Polresta Surakarta
(Sumber : Unit PPA Sat Reskrim Polresta Surakarta)
Data perbandingan perkara yang ditangani Unit PPA Sat Reskrim
Polresta Surakarta dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2011, akan
dijelaskan melalui tabel berikut :
KASAT RESKRIM KOMPOL EDY SURANTA SITEPU, SIK
KANIT PPA AKP SRI RAHAYU
PANIT LINDUNG AIPTU KRISTINA LELY
BRIGADIR EVI WIJAYANTI
PANIT IDIK IPTU RATNA KARLINA SARI
BRIGADIR SARWONO, S.E. BRIGADIR KRISTANTI F, S.E. BRIGADIR MIFTAH HERMAWAN, S.H.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
Tabel 2
DATA PERBANDINGAN PERKARA UNIT PPA
No PERKARA 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
1. Perkosaan 7 10 10 11 9 5 2 9 3
2. Cabul 10 7 11 13 7 11 10 10 11
3. Penelantaran Anak
1 2 1 1 1
4. Penganiayaan Anak
1 1 3 8 3 4 1
5. Melarikan Anak 1 7 2 5 5 4 5
6. Perdagangan Anak
1 1 1
7. Perdagangan Perempuan
1 5 2 7
8. Penganiayaan/ KDRT
3 5 27 40 34 64 41 44 37
9. Penelantaran Isteri
2 2 3
10. Lain-Lain 15 20 9 10 8 3
JUMLAH 21 22 51 89 80 109 75 79 71
(Sumber : Unit PPA Sat Reskrim Polresta Surakarta)
Berdasaran tabel diatas, perkara yang paling sering atau paling
banyak ditangani oleh Unit PPA Satreskrim Polresta Surakarta adalah
perkara KDRT. Berdasarkan wawancara penuis dengan AKP Sri Rahayu,
didapat keterangan bahwa KDRT mendapat peringkat tertinggi
dikarenakan banyaknya masyarakat yang melaporkan kasus KDRT kepada
polisi. Meningkatnya jumlah kasus KDRT yang dilaporkan, bisa
dipengaruhi oleh banyak hal diantaranya meningkatnya kesadaran
perempuan untuk memperjuangkan hak/keadilan. Adanya sosialisasi UU
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT) yang semakin
meluas, sangat memungkinkan masyarakat semakin mudah mengakses
informasi dan memperkuat kesadaran masyarakat bahwa kasus KDRT
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
penting untuk dilaporkan bahkan bisa diproses secara hukum. Biasanya
korban melaporkan kasusnya karena ada dorongan dari teman atau
keluarga yang sudah mendapat informasi tentang KDRT dan kekerasan
terhadap perempuan lainnya.
Selain faktor eksternal, ada faktor yang berasal dari internal yaitu
dinamika Unit PPA yang semakin memperkuat partisipasi masyarakat
dalam upaya pencegahan dan penanganan kasus KDRT. Unit PPA mulai
mendorong komunitas-komunitas dampingan untuk melakukan
pencegahan maupun penanganan kasus KDRT yang terjadi di wilayahnya
masing-masing. Dalam hal ini semakin banyak elemen masyarakat yang
melakukan aksi untuk mencegah maupun ikut melakukan penanganan
pada korban KDRT, sehingga semakin banyak pula kasus KDRT yang
teridentifikasi.
Data perkara yang ditangani Unit PPA Tahun 2012, dimulai dari
bulan Januari sampai dengan bulan Agustus tahun 2012 akan dijelaskan
melalui tabel berikut :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
Tabel 3
DATA PERKARA YANG DITANGANI UNIT PPA TAHUN 2012
No PERKARA Jan Feb Mar April Mei Juni Juli Agustus
1. Perkosaan
2. Cabul 4 1 1
3. Penelantaran Anak
4. Penganiayaan Anak
5. Melarikan Anak
6. Perdagangan Anak
7. Perdagangan Perempuan
8. Penganiayaan/ KDRT
3 3 3 4 4 1
9. Penelantaran Isteri
10. Lain-Lain 1 5 1 1
JUMLAH 3 4 8 9 6 2
(Sumber : Unit PPA Sat Reskrim Polresta Surakarta)
Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Kepala Unit PPA Sat
Reskrim Polresta Surakarta AKP Sri Rahayu, data perkara tahun 2012
khususnya KDRT mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun
sebelumnya dikarenakan mulai tahun 2012 setiap Polsek di wilayah
Polresta Surakarta telah tersedia unit untuk melayani setiap pengaduan
perkara KDRT, sehingga tidak semua perkara KDRT masuk ke Unit PPA
Sat Reskrim Polresta Surakarta.
Standar Operasional Prosedur Unit Pelayanan Perempuan dan
Anak (Unit PPA) Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Kota
Surakarta. Proses penyelesaian tindak pidana oleh Unit PPA Sat Reskrim
Polresta Surakarta agar dapat terlaksana secara efektif, efisien dan tepat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
sasaran maka harus dikelola secara profesional, salah satu caranya adalah
dengan menggunakan fungsi manajemen, sebagaimana yang tercantum
dalam Standar Operasional Prosedur Unit PPA Sat Reskrim Polresta
Surakarta yang isinya adalah sebagai berikut :
a. Pelaksanaan
Jumlah personel Unit PPA tingkat Polda Jawa Tengah sesuai dengan
Perkap Nomor 10 Tahun 2007 sekurang-kurangnya 5 orang, yang
terdiri dari :
1) Pengendali Unit PPA
2) Staf Administrasi
3) Petugas Pemberian Pelayanan
4) Petugas Pemeriksa
5) Pembantu Umum
b. Sarana prasarana dan fasilitas yang digunakan adalah berupa :
1) Ruang tamu yang berfungsi untuk menerima tamu/saksi dan atau
korban dengan dilengkapi meubel, bahan bacaan, TV, penyejuk
ruangan.
2) Ruang konseling dan pemeriksaan berfungsi untuk menerima
laporan/ keluhan saksi dan atau korban guna kepentingan
pemeriksaan yang dilengkapi dengan meja dan kursi konsultasi,
penyejuk ruangan, alat pemantau (CCTV).
3) Ruang kontrol berfungsi untuk memantau kegiatan di ruang
konseling dan pemeriksaan yang didukung dengan petugas
pengawas yang dilengkapi antara lain alat perekam kegiatan,
komputer, CCTV, TV monitor.
4) Ruang istirahat berfungsi untuk tempat istirahat saksi dan atau
korban dengan dilengkapi tempat tidur, meja dan kursi santai,
penyejuk ruangan, almari, kamar mandi dan toilet.
c. Urutan tindakan Petugasn Unit PPA
1) Wajib menindaklanjuti laporan baik secara lisan maupun tertulis
yang berasal dari masyarakat, petugas ataupun SPKT.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
2) Melakukan koordinasi dengan instansi terkait mengenai tindak
pidana tersebut (BAPPAS, Rumah Sakit, Psikiater, WCC, KPAI).
3) Melakukan pemeriksaan terhadap korban, saksi, tersangka di
ruangan khusus (tertutup).
4) Memberikan perlindungan kepada korban, saksi dan tersangka.
5) Bertutur kata sopan dan santun serta tidak menyinggung perasaan.
6) Memiliki kemampuan dibidang reserse (dalam penanganan tindak
pidana KDRT dan tindak pidana lainnya yang menyangkut
perempuan dan anak.
7) Memiliki kesabaran yang tinggi dalam menghadapi korban, saksi,
tersangka perempuan dan anak.
8) Harus mengetahui waktu penahanan bagi tersangka anak-anak
pelaku kejahatan.
9) Tidak melakukan kekerasan terhadap tersangka.
10) Memberikan pelayanan semaksimal mungkin bagi korban
(perempuan dan anak).
d. Pelayanan terhadap Pelapor
1) Menerima masyarakat sebagai pelapor dengan sikap yang santun
dan simpatik.
2) Petugas berpenampilan rapi dan sopan.
3) Menunjukkan sikap empati terhadap pelapor.
4) Memberikan keyakinan dan kepercayaan kepada pelapor bahwa
laporannya akan segera ditindaklanjuti.
5) Memberikan informasi perkembangan penanganan kasus yang
sudah dilaporkan (SP2HP).
6) Terhadap pelapor anak wajib didampingi orang tua dan petugas
BAPPAS.
e. Pelayanan Saksi
1) Menerima saksi dengan sikap yang santun dan simpatik.
2) Berpenampilan rapi dan sopan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
3) Memberikan penjelasan kepada saksi terkait perkara yang sedang
ditangani oleh penyidik.
4) Memberikan perlindungan secara psikis dan fisik.
5) Memberikan bantuan transportasi, konsumsi dan akomodasi bagi
yang kurang mampu.
6) Memperhatikan waktu dalam pemeriksaan.
f. Pelayanan terhadap Tersangka
1) Memperlakukan tersangka dengan sikap yang santun dan simpatik
berdasarkan asas praduga tak bersalah.
2) Memberitahukan hak-hak yang dimiliki seorang tersangka.
3) Melakukan penjelasan secara humanis dengan menjunjung tinggi
HAM.
4) Memberikan rasa aman dan nyaman baik psikis maupun fisik.
5) Menjelaskan pasal yang dilanggar oleh tersangka.
6) Terhadap tersangka anak wajib didampingi BAPPAS dan orang
tua.
2. Hambatan Kepolisian Dalam Usaha Menyelesaikan Tindak Pidana
Kekerasan Dalam Rumah Tangga Melalui Mediasi Penal
Kebijakan penanggulangan kejahatan melalui mediasi penal
sebagai alternatif penyelesaian tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah
Tangga oleh kepolisian dalam penerapannya, terdapat beberapa hambatan.
Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Kepala Unit PPA Sat
Reskrim Polresta Surakarta AKP Sri Rahayu, dapat penulis paparkan
mengenai hambatan kepolisian dalam usaha menyelesaikan tindak pidana
KDRT melalui mediasi penal adalah :
a. Korban tidak melapor
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) merupakan
permasalahan yang sering terjadi di masyarakat kita khususnya di kota
Surakarta, berdasarkan data yang didapat penulis menunjukkan KDRT
mendapat peringkat tertinggi pada kasus yang ditangani oleh Unit PPA
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
Satreskrim Polresta Surakarta. Namun demikian ,berdasarkan
keterangan AKP Sri Rahayu, masih banyak lagi kasus KDRT yang
tidak dilaporkan kepada polisi, hal inilah yang menghambat proses
penyelesaian tindak pidana KDRT oleh kepolisian.
AKP Sri Rahayu mencontohkan seperti belum lama ini pada
bulan Juni 2012 ada laporan yang masuk mengenai KDRT di wilayah
Surakarta, namun akhirnya perempuan korban KDRT tersebut
membatalkan niat laporan tersebut tanpa alasan yang jelas, padahal
pihak kepolisian telah memberikan upaya perlindungan terhadap
perempuan dan memudahkan mereka melapor jika menjadi korban
KDRT. Berdasarkan data yang diperoleh penulis dari wawancara
dengan AKP Sri Rahayu, dapat penulis jelaskan bahwa alasan korban
tidak mau melapor adalah :
1) Takut diceraikan suami.
2) Memiliki anak yang masih kecil, sehingga lebih mengutamakan
masa depan si anak.
3) Wanita tergantung secara ekonomi terhadap suaminya, ia tidak ingin
hidup susah.
4) Perasaan malu akan kondisi rumah tangga jika diceritakan kepada
orang lain.
5) Desakan dari keluarga besar (misalnya orang tua) untuk
mempertahankan keutuhan rumah tangganya.
Sebenarnya korban KDRT berhak melaporkan secara langsung
kekerasan dalam rumah tangga kepada kepolisian baik di tempat ia
tinggal ataupun di tempat kejadian perkara, Pasal 26 Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga menyebutkan :
1) Korban berhak melaporkan secara langsung kekerasan dalam rumah
tangga kepada kepolisian baik di tempat korban berada maupun di
tempat kejadian perkara.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
2) Korban dapat memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain
untuk melaporkan kekerasan dalam rumah tangga kepada pihak
kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian
perkara.
Tanpa adanya laporan dari korban, maka akan menghambat
kepolisian dalam menuntaskan atau menyelesaikan kasus KDRT yang
terjadi di masyarakat khususnya masyarakat kota Surakarta.
b. Tidak ada bukti yang menguatkan
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan
menurut cara-cara yang diatur dalam Undang-Undang untuk mencari
serta mengumpulkan bukti, dengan bukti itu akan memperjelas tentang
tindak pidana yang terjadi dan untuk menemukan tersangka, apakah
benar orang yang dilaporkan itu telah melakukan tindak pidana. Dalam
tahap penyidikan pada Unit PPA Sat Reskrim Polresta Surakarta yang
dilakukan adalah penyidikan itu bertujuan untuk menunjuk siapa yang
telah melakukan kejahatan dan memberikan bukti-bukti mengenai
kesalahan yang telah dilakukan oleh terlapor. Untuk mencapai tujuan
tersebut, maka penyidik Unit PPA Sat Reskrim Polresta Surakarta akan
menghimpun keterangan-keterangan dengan fakta-fakta atau peristiwa
yang terjadi, keterangan yang dihimpun antara lain :
1) Fakta tentang terjadinya KDRT, apakah benar telah terjadi KDRT.
2) Identitas dari korban.
3) Tempat yang pasti dimana KDRT dilakukan.
4) Waktu terjadinya KDRT.
5) Motif, tujuan dan niat dari si terlapor melakukan KDRT.
6) Identitas pelaku atau terlapor.
Dalam proses penyidikan, bukti adalah suatu hal yang utama,
bukti adalah barang yang digunakan untuk melakukan atau berkaitan
dengan tindak pidana. Oleh karena itu, tanpa adanya bukti yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
menguatkan maka laporan dari korban KDRT tidak bisa diproses lebih
lanjut, AKP Sri Rahayu menjelaskan bahwa tanpa adanya bukti yang
menguatkan, akan mempersulit dalam proses penyidikan. Mencari
keterangan dan barang bukti adalah dalam rangka mempersiapkan
bahan-bahan berupa fakta sebagai landasan hukum guna memulai
proses penyidikan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan AKP Sri Rahayu, penulis
mendapat keterangan bahwa banyak terjadi dari kasus yang dilaporkan
tidak memiliki cukup bukti yang kuat, sehingga penyidik Unit PPA Sat
Reskrim Polresta Surakarta tidak dapat memproses laporan tersebut,
penyidik tidak mempunyai wewenang untuk menyatakan dalam
Laporan Polisi bahwa KDRT benar-benar terjadi tanpa adanya bukti
yang kuat. Sebagai contoh kasus KDRT yang masuk ke Unit PPA Sat
Reskrim Polresta Surakarta yakni kasus KDRT antara SM (korban) dan
HW (pelaku/suami korban), dalam kasus tersebut telah dilakukan
Visum yang isinya ada luka lebam di pegelangan tangan kiri korban,
namun dalam kasus ini tidak ada saksi yang melihat atau mendengar
terjadinya KDRT, sehingga oleh penyidik (Brigadir Miftah Hermawan,
S.H.) dinyatakan belum cukup untuk disebut sebagi KDRT, karena dari
kasus-kasus yang terjadi sebelumnya, ada korban yang melaporkan
bahwa telah dianiaya oleh suaminya, ternyata hal itu tidak terjadi, ia
hanya terjatuh atau karena sebab-sebab lain yang bukan merupakan
perlakuan keras dari sang suami. Biasanya hal itu hanya dijadikan
sebagai alasan agar bisa bercerai dengan suaminya.
c. Selang waktu antara kejadian dengan pelaporan terlalu lama, sehingga
tidak ada bukti Visum
Berdasarkan hasil wawancara dengan AKP Sri Rahayu, dapat
penulis jelaskan bahwa kondisi yang terjadi pada kasus KDRT yang
dilaporkan ke Unit PPA Sat Reskrim Polresta Surakarta tidak semuanya
bisa diproses oleh kepolisian, salah satu penyebabnya adalah selang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
waktu antara kejadian dengan pelaporan terlalu lama sehingga tidak ada
bukti visum. Niat melapor dari korban sebenarnya dalam hal ini sudah
ada, namun dikarenakan berbagai faktor dan kondisi, sehingga
menyebabkan ia terlambat melaporkan KDRT yang dialaminya kepada
polisi.
Selang waktu yang lama antara kejadian dengan pelaporan
menyebabkan hilangya bekas luka akibat pemukulan ataupun bentuk
kekerasan yang lain, hal inilah yang menyebabkan bukti Visum tidak
bisa diperoleh oleh Dokter, selang waktu yang lama misalnya sampai
berminggu-minggu atau berbulan-bulan menyebabkan sembuhnya luka,
bahkan sudah tidak ada bekas sama sekali. Pihak kepolisian dalam hal
ini Penyidik Unit PPA Sat Reskrim Polresta Surakarta tidak akan
melanjutkan penyidikan kasus ke proses selanjutnya, hal ini
dikarenakan tanpa adanya bukti visum, akan mempersulit penyidik
dalam menggali keterangan dari korban, apalagi tanpa adanya
keterangan tambahan dari saksi, karena menurut AKP Sri Rahayu,
korban yang melapor bisa saja mengada-ada, membuat laporan palsu
tentang KDRT yang dialaminya.
Keberadaan visum sebagai alat bukti yang dibuat oleh seorang
dokter ahli berdasarkan sumpah jabatannya tentang apa yang dilihat dan
ditemukannya dari objek yang diperiksanya bagi penyidik Unit PPA
sangatlah penting dalam proses penyidikan, karena dengan adanya
visum penyidik dapat menentukan bersalah tidaknya si pelaku atau
terlapor. Hal ini dikarenakan dalam visum terdapat uraian hasil
pemeriksaan medis yang tertuang dalam bagian pemberitaan, yang
karenanya dapat dianggap sebagai pengganti barang bukti.
B. PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh penulis, peran
kepolisian dalam hal ini adalah Unit Pelayanan Perempuan dan Anak Satuan
Reserse Kriminal Kepolisian Resor Kota Surakarta dalam usaha
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
menyelesaikan tindak pidana Kekerasan Dalam rumah Tangga melalui
mediasi penal adalah memberikan pelayanan, perlindungan kepada
perempuan dan anak yang menjadi korban tindak pidana Kekerasan Dalam
Rumah Tangga dengan profesional penuh empati dan penegakan hukum
terhadap perempuan dan anak sebagai pelaku kejahatan, memberikan
perlindungan kepada perempuan dan anak yang menjadi korban dan atau
saksi dengan penuh empati :
a. Memberikan pelayaanan secara cepat dan profesional kepada perempuan
dan anak yang menjadi korban tindak pidana kekerasan dalam rumah
tangga.
b. Memperhatikan kepentingan yang terbaik bagi anak.
c. Menciptakan rasa aman dan nyaman kepada perempuan dan anak korban
tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga.
Berdasarkan wawancara penulis dengan Kepala Unit PPA AKP Sri
Rahayu, penulis mendapat keterangan bahwa peran kepolisian dalam usaha
menyelesaikan tindak pidana KDRT melalui mediasi penal adalah
menyediakan tempat untuk sarana mediasi, komunikasi antara Pelapor dan
Terlapor, sedangkan untuk keputusan penyelesaian diserahkan kepada kedua
belah pihak baik Pelapor maupun Terlapor, petugas hanya mengambil
tindakan berupa :
a. Mendengarkan laporan dari pelapor dan terlapor.
b. Memberikan nasihat yang sepatutnya.
c. Tidak ada unsur memaksa untuk memberikan suatu keputusan/
penyelesaian kepada Pelapor/Terlapor.
Mediasi penal berbeda dengan mediasi umum, mediator dalam
mediasi penal lebih cenderung bersifat pasif, dan lebih mengutamakan
kenyamanan dan menjaga perasaan korban ataupun pelaku. Target utama
dari mediasi penal adalah dialog antara korban dan pelaku, memberikan suatu
kondisi yang aman dan nyaman bagi korban dan pelaku untuk berdiskusi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
secara langsung, untuk keputusan akan diserahkan sepenuhnya kepada korban
maupun pelaku.
Peran Unit PPA Polresta Surakarta adalah memberikan pelayanan
dalam bentuk perlindungan terhadap perempuan dan anak yang menjadi
korban kejahatan/kekerasan tindak pidana KDRT dan penegakan hukum
terhadap pelakunya, dalam pelaksanaan tugasnya Unit PPA polresta Surakarta
menyelenggarakan :
a. Menerima laporan / pengaduan tentang tindak pidana KDRT, penanganan
perkara yang dilayani adalah berdasarkan locus delictie (tempat dimana
perkara terjadi, yakni perkara yang terjadi berada dalam wilayah Surakarta
yurisdiksi Kepolisian Resor Kota Surakarta).
b. Membuat Laporan Polisi.
c. Merujuk / mengirimkan korban ke Pusat Pelayanan Terpadu ( PPT ) atau
Rumah Sakit terdekat.
d. Memberikan kepastian kepada pelapor, bahwa akan ada tindak lanjut dari
laporan / pengaduan.
e. Menyalurkan korban ke Lembaga Bantuan Hukum ( LBH ) atau Rumah
Aman, apabila diperlukan.
f. Memberikan konseling.
g. Menginformasikan pengembangan penyidikan kepada pelapor.
h. Melakukan penyidikan perkara, termasuk permintaan Visum et Repertum.
i. Menjamin kerahasiaan informasi yang diperoleh.
j. Menjamin keamanan dan keselamatan baik pelapor maupun korban.
k. Mengadakan koordinasi/kerjasama dengan lintas fungsi/instansi, pihak
yang terkait.
l. Membuat laporan kegiatan secara berkala sesuai dengan prosedur/
hierarki.
Apabila suatu perkara telah dicabut oleh Pelapor, maka dilakukan
penghentian perkara oleh pihak kepolisian, hal ini dikarenakan telah terjadi
kesepakatan dari musyawarah antara pelapor dan terlapor bahwa masalahnya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
akan diselesaikan dengan cara berdamai. Jika suatu saat terjadi lagi masalah
yang dilaporkan dengan pelapor yang sama, maka pelapor harus kembali
mendaftar dan didata ulang oleh petugas.
Berikut ini akan penulis paparkan dalam sebuah kasus mengenai peran
kepolisian dalam usaha menyelesaikan tindak pidana Kekerasan Dalam
Rumah Tangga melalui mediasi penal oleh Unit PPA Sat Reskrim Polresta
Surakarta :
a. Identitas Korban/Pelapor dan Pelaku/Terlapor
1) Identitas Korban/Pelapor
Nama : HE
Umur : 25 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pekerjaan : Swasta
Kewarganegaraan : Indonesia
Alamat : (dirahasiakan)
2) Identitas Pelaku/Terlpor
Nama : TR (suami korban)
Umur : 27 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Swasta
Kewarganegraan : Indonesia
Alamat : Sama dengan korban (dirahasiakan)
b. Peristiwa yang dilaporkan :
1) Waktu Kejadian : (dirahasiakan)
2) Tempat Kejadian : Sebuah Mall
3) Apa yang terjadi : KDRT
4) Siapa : Terlapor (suami korban), dan Pelapor (korban)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
c. Uraian singkat kejadian :
Yaitu berawal pada hari tanggal dan jam poin (b,1) waktu kejadian,
semula korban yang berprofesi sebagai Viar (pemandu karaoke) sedang
berbelanja di sebuah Mall, dan bertemu Terlapor dan DS di Mall tersebut,
korban sedang bersama seorang laki-laki. Karena cemburu, terlapor
langsung menghampiri korban dan memukul korban pada bagian wajah,
hidung, pelipis dengan menggunakan tangan kosong. Pada saat kejadian,
DS yang merupakan kakak kandung terlapor dan sekaligus kakak ipar
korban melihat langsung kejadian tersebut. Atas kejadian tersebut
korban/Pelapor mengalami luka-luka dan kejadiannya dilaporkan ke
Polresta Surakarta untuk pengusutan lebih lanjut.
d. Peran Kepolisian
Berdasarkan adanya laporan dari korban, selanjutnya Unit PPA Sat
Reskrim Polresta Surakarta mengambil tindakan :
1) Penyidikan.
Tindakan pertama yang dilakukan Unit PPA setelah mendapat laporan
dari korban (HE), adalah melakukan penyidikan. Penyidikan
dilakukan oleh Brigadir Miftah Hermawan, S.H. selaku petugas
kepolsian di Unit PPA. Pelaksanaan penyidikan sebagai berikut :
a) Bukti Permulaan yang Cukup
Bukti permulaan yang cukup disini adalah telah adanya laporan
polisi bahwa telah terjadi tindak pidana kekerasan dalam rumah
tangga yang dilakukan oleh tersangka yang bernama TR (suami
korban) terhadap korban yang bernama HE, serta adanya
keterangan dari saksi yang bernama DS, 32 tahun, Islam, Ibu
Rumah Tangga, dengan alamat sama dengan korban, yakni
merupakan kakak ipar dari korban (HE).
b) Rencana Penyidikan
Pada tahap ini, Brigadir Miftah Hermawan, S.H. akan membuat
rencana penyidikan terhadap tindak pidana kekerasan dalam rumah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
tangga yang terjadi meliputi langkah-langkah yang akan diambil,
serta taktik dan tehnik yang dilakukan dalam penyidikan.
2) Terbit Laporan Polisi, yang isinya meliputi :
a) Identitas yang melaporkan;
b) Peristiwa yang dilaporkan;
c) Bagaimana terjadi;
d) Tanggal dilaporkan;
e) Tindak Pidana, dalam kasus diatas telah melanggar ketentual Pasal
44 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yang isinya :
(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam
lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas
juta rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
atau denda paling banyak Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta
rupiah).
(3) Dalam hal sebgaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan
matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama
15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp
45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah).
(4) Dalam hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan
penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan
atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda
paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
f) Uraian singkat kejadian.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
g) Tanda tangan pelapor dan petugas yang ditunjuk.
3) Membuat Berita Acara Pemeriksaan.
a) Berita Acara Pemeriksaan Korban
Sebagaimana termuat dalam berita acara pemeriksaan korban yang
dilakukan pada tanggal 12 Juni 2012 pukul 09.40 WIB, korban
yang dalam hal ini adalah HE telah menguraikan dengan jelas
tentang kronologis tindakan KDRT yang terjadi padanya.
b) Berita Acara Pemeriksaan Saksi
Pada hari Rabu, 13 Juni 2012 pukul 10.30 WIB telah dilakukan
pemeriksaan terhadap saksi yang bernama DS yang selanjutnya
dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan Saksi. Dalam
keterangannya, saksi menguraikan tentang peristiwa yang dia lihat
sendiri pada saat kejadian.
c) Berita Acara Pemeriksaan Tersangka
Pada hari Jumat, 15 juni 2012 sekitar pukul 15.00 WIB telah
dilakukan pemeriksaan terhadap tersangka yang bernama TR yang
selanjutnya dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan
Tersangka. Berdasarkan hasil pemeriksaan, tersangka telah
mengakui bahwa benar dia melakukan tindakan KDRT berupa
pemukulan terhadap HE. Perbuatan tersebut dilakukan pada
tanggal (dirahasiakan) kurang lebih pukul (dirahasiakan) di sebuah
Mall. Pemukulan tersebut dilakukan dengan tangan kosong tanpa
menggunakan alat. Tersangka mengungkapkan mengenai maksud
dan tujuan tindakan pemukulan tersebut, tersangka melakukan
pemukulan terhadap isterinya (HE) untuk meluapkan rasa emosi
dan cemburu terhadap korban. Perasaan emosi tersebut timbul
karena pada jam tersebut seharusnya si isteri sudah selesai bekerja
dan sudah waktunya pulang, akan tetapi si isteri malah masih
bersama laki-laki lain dan bahkan bukan di tempat ia bekerja.
4) Visum et Repertum.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
Korban mendapat luka di memar di bagian hidung dan luka sobek
pada bagian pelipis.
5) Terlapor (suami korban) diharuskan wajib lapor pada hari Senin dan
Kamis.
6) Mediasi Penal
Setelah dilakukan visum; pemeriksaan korban, saksi, dan tersangka
sudah dilakukan, maka disinilah muncul tahap mediasi penal oleh
petugas kepolisian, langkah yang diambil oleh petugas adalah :
a) Menyediakan tempat bagi Pelapor/korban dan Terlapor untuk
berkomunikasi, berdiskusi atas permasalahan yang dialami kedua
belah pihak.
b) Mendengarkan kemauan atau keinginan baik Pelapor maupun
Terlapor.
c) Setelah di mediasi penal oleh Unit PPA Sat Reskrim Polresta
Surakarta, maka kedua belah pihak baik Pelapor maupun Terlapor
mengambil keputusan bahwa Korban/Pelapor mencabut
laporannya, dikarenakan kedua belah pihak sudah menyelesaikan
secara kekeluargaan dengan alasan kedua belah pihak juga
mempertimbangkan nasib anaknya karena mempunyai anak yang
masih kecil. Korban/Pelapor mencabut laporannya dengan
menyampaikan Surat Permohonan Pencabutan Laporan kepada
pihak kepolisian. Oleh pihak kepolisian dilakukan penghentian
perkara karena telah dicabut oleh Pelapor dan berakhir dengan
keputusan musyawarah mufakat dan berdamai.
Berdasarkan mekanisme yang dilakukan dalam proses mediasi penal
yang dilakukan oleh Unit PPA Sat Reskrim Polresta Surakarta terhadap kasus
KDRT antara tersangka TR dan korban HE, proses mediasi tersebut masuk ke
dalam model mediasi penal yaitu Victim-offender Mediation (VOM). Victim-
offender Mediation (VOM) merupakan model mediasi antara pelaku dan
korban dengan melibatkan berbagai pihak yang bertemu dengan dihadiri
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
mediator yang ditunjuk. Mediator dapat berasal dari pejabat formal, mediator
independen atau kombinasi diantara keduanaya. Mediasi ini dapat dilakukan
pada setiap tahap proses, baik di kepolisian, penuntutan (kejaksaan) maupun
pemeriksaan di pengadilan. Mariana semini mengatakan, “Victim-offender
mediation tends to humanize the justice process and results in a higher
‘getting-to-the-table’ rate of actual mediation participation. Once the victim
and offender have indicated their willingness to participate, the mediator then
schedules a ‘face-to-face meeting”(Mariana Semini, 2005 : 11), yang artinya
model mediasi Victim-Offender cenderung memanusiakan dalam proses
peradilan dan mendapatkan tingkat partisipasi mediasi yang sebenarnya,
setelah korban dan pelaku menunjukkan kesediaan mereka untuk
berpastisipasi, mediator kemudian menentukan jadwal untuk pertemuan
antara korban dan pelaku.
Model VOM yang diterapkan oleh Unit PPA Sat Reskrim Polresta
Surakarta dilakukan pada tingkat penyidikan setelah pihak penyidik yakni
Brigadir Miftah Hermawan, S.H. melakukan tugas penyidikan yang meliputi
pemeriksaan tempat kejadian perkara serta pemeriksaan korban (HE), saksi
(DS), dan tersangka (TR) yang selanjutnya dilakukan pemberkasan perkara.
Hasil dari proses mediasi penal yang dilakukan oleh pelaku TR dan korban
HE selanjutnya dituangkan dalam Surat Penyataan Perdamaian yang isinya
antara lain adalah pihak pelaku telah mengakui kesalahannya dan bersedia
memberikan ganti kerugian atau pemulihan kepada korban, dan kedua belah
pihak bersedia tetap membina keluarganya dengan baik. Berdasarkan
kesepakatan tersebut, maka pihak korban melakukan pencabutan laporan
kepada penyidik dan meminta agar perkara tindak pidana KDRT yang
menimpanya tidak lagi dilanjutkan ke proses penuntutan karena telah dicapai
kesepakatan perdamaian. Menindak lanjuti hal tersebut, maka pihak
kepolisian yang dalam hal ini adalah Brigir Miftah Hermawan, S.H. akan
mengeluarkan pernyataan penghentian perkara yang semuanya terangkum
dalam Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
Mediasi penal yang dilakukan oleh Unit Pelayanan Perempuan dan
Anak (Unit PPA) Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor kota Surakarta
dalam menyelesaikan tindak pidana Kekerasan Dlam Rumah Tangga
mempunyai beberapa kelebihan jika dibandingkan dengan penyelesaian
melalui jalur pengadilan. Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh
Kepala Unit PPA Sat Reskrim Polresta Surakarta AKP Sri Rahayu, penulis
dapat memaparkan tentang kelebihan mediasi penal tersebut, antara lain
adalah :
a. Proses mediasi penal dapat dilakukan secara cepat dan tidak membutuhkan
biaya yang mahal;
b. Melalui proses mediasi penal, hak-hak korban yang dalam hal ini adalah
korban tindak pidana KDRT dapat terakomodasi, selain itu pelaku juga
tidak perlu masuk penjara apabila sudah mempertanggungjawabkan
perbuatannya kepada korban;
c. Proses mediasi penal dapat mengurangi perasaan balas dendam korban
terhadap pelaku tindak pidana KDRT;
d. Proses mediasi penal dapat mengurangi penumpukan perkara di Sat
Reskrim Polresta Surakarta;
e. Proses mediasi penal dapat menciptakan hubungan yang harmonis antara
pelaku dan korban kekerasan dalam rumah tangga, karena telah adanya
kesepakatan untuk berdamai diantara keduanya.
Kebijakan penanggulangan kejahatan melalui mediasi penal sebagai
alternatif penyelesaian tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga oleh
kepolisian dalam penerapannya, terdapat beberapa hambatan. Tindak pidana
kekerasan dalam rumah tangga termasuk delik aduan, delik aduan adalah
delik yang hanya dapat dituntut jika diadukan oleh orang yang merasa
dirugikan. Delik aduan sifatnya pribadi atau privat, yang memiliki syarat
yaitu harus ada aduan dari pihak yang dirugikan. Dikarenakan KDRT sifatnya
pribadi atau privat, maka banyak orang yang tidak melaporkan tindak KDRT
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
ini ke polisi, karena dianggap rahasia pribadi dan aib jika sampai diketahui
orang lain.
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) merupakan permasalahan
yang sering terjadi di masyarakat kita khususnya di kota Surakarta,
berdasarkan data yang didapat penulis menunjukkan KDRT mendapat
peringkat tertinggi pada kasus yang ditangani oleh Unit PPA Satreskrim
Polresta Surakarta. Namun demikian ,berdasarkan keterangan AKP Sri
Rahayu, masih banyak lagi kasus KDRT yang tidak dilaporkan kepada polisi,
hal inilah yang menghambat proses penyelesaian tindak pidana KDRT oleh
kepolisian.
AKP Sri Rahayu mencontohkan seperti belum lama ini pada bulan
Juni 2012 ada laporan yang masuk mengenai KDRT di wilayah Surakarta,
namun akhirnya perempuan korban KDRT tersebut membatalkan niat laporan
tersebut tanpa alasan yang jelas, padahal pihak kepolisian telah memberikan
upaya perlindungan terhadap perempuan dan memudahkan mereka melapor
jika menjadi korban KDRT. Berdasarkan data yang diperoleh penulis dari
wawancara dengan AKP Sri Rahayu, dapat penulis jelaskan bahwa alasan
korban tidak mau melapor adalah :
a. Takut diceraikan suami.
b. Memiliki anak yang masih kecil, sehingga lebih mengutamakan masa
depan si anak.
c. Wanita tergantung secara ekonomi terhadap suaminya, ia tidak ingin hidup
susah.
d. Perasaan malu akan kondisi rumah tangga jika diceritakan kepada orang
lain.
e. Desakan dari keluarga besar (misalnya orang tua) untuk mempertahankan
keutuhan rumah tangganya.
Sebenarnya korban KDRT berhak melaporkan secara langsung
kekerasan dalam rumah tangga kepada kepolisian baik di tempat ia tinggal
ataupun di tempat kejadian perkara, Pasal 26 Undang-Undang Nomor 23
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
menyebutkan :
(1) Korban berhak melaporkan secara langsung kekerasan dalam rumah
tangga kepada kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat
kejadian perkara.
(2) Korban dapat memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk
melaporkan kekerasan dalam rumah tangga kepada pihak kepolisian baik
di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara.
Tanpa adanya laporan dari korban, maka akan menghambat kepolisian dalam
menuntaskan atau menyelesaikan kasus KDRT yang terjadi di masyarakat
khususnya masyarakat kota Surakarta.
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan
menurut cara-cara yang diatur dalam Undang-Undang untuk mencari serta
mengumpulkan bukti, dengan bukti itu akan memperjelas tentang tindak
pidana yang terjadi dan untuk menemukan tersangka, apakah benar orang
yang dilaporkan itu telah melakukan tindak pidana. Dalam tahap penyidikan
pada Unit PPA Sat Reskrim Polresta Surakarta yang dilakukan adalah
penyidikan itu bertujuan untuk menunjuk siapa yang telah melakukan
kejahatan dan memberikan bukti-bukti mengenai kesalahan yang telah
dilakukan oleh terlapor. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka penyidik Unit
PPA Sat Reskrim Polresta Surakarta akan menghimpun keterangan-
keterangan dengan fakta-fakta atau peristiwa yang terjadi, keterangan yang
dihimpun antara lain :
a. Fakta tentang terjadinya KDRT, apakah benar telah terjadi KDRT.
b. Identitas dari korban.
c. Tempat yang pasti dimana KDRT dilakukan.
d. Waktu terjadinya KDRT.
e. Motif, tujuan dan niat dari si terlapor melakukan KDRT.
f. Identitas pelaku atau terlapor.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
Dalam proses penyidikan, bukti adalah suatu hal yang utama, bukti
adalah barang yang digunakan untuk melakukan atau berkaitan dengan tindak
pidana. Oleh karena itu, tanpa adanya bukti yang menguatkan maka laporan
dari korban KDRT tidak bisa diproses lebih lanjut, AKP Sri Rahayu
menjelaskan bahwa tanpa adanya bukti yang menguatkan, akan mempersulit
dalam proses penyidikan. Mencari keterangan dan barang bukti adalah dalam
rangka mempersiapkan bahan-bahan berupa fakta sebagai landasan hukum
guna memulai proses penyidikan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan AKP Sri Rahayu, penulis
mendapat keterangan bahwa banyak terjadi dari kasus yang dilaporkan tidak
memiliki cukup bukti yang kuat, sehingga penyidik Unit PPA Sat Reskrim
Polresta Surakarta tidak dapat memproses laporan tersebut, penyidik tidak
mempunyai wewenang untuk menyatakan dalam Laporan Polisi bahwa
KDRT benar-benar terjadi tanpa adanya bukti yang kuat. Sebagai contoh
kasus KDRT yang masuk ke Unit PPA Sat Reskrim Polresta Surakarta yakni
kasus KDRT antara SM (korban) dan HW (pelaku/suami korban), dalam
kasus tersebut telah dilakukan Visum yang isinya ada luka lebam di
pegelangan tangan kiri korban, namun dalam kasus ini tidak ada saksi yang
melihat atau mendengar terjadinya KDRT, sehingga oleh penyidik (Brigadir
Miftah Hermawan, S.H.) dinyatakan belum cukup untuk disebut sebagi
KDRT, karena dari kasus-kasus yang terjadi sebelumnya, ada korban yang
melaporkan bahwa telah dianiaya oleh suaminya, ternyata hal itu tidak terjadi,
ia hanya terjatuh atau karena sebab-sebab lain yang bukan merupakan
perlakuan keras dari sang suami. Biasanya hal itu hanya dijadikan sebagai
alasan agar bisa bercerai dengan suaminya.
Selang waktu antara kejadian dengan pelaporan terlalu lama, sehingga
tidak ada bukti Visum. Berdasarkan hasil wawancara dengan AKP Sri
Rahayu, dapat penulis jelaskan bahwa kondisi yang terjadi pada kasus KDRT
yang dilaporkan ke Unit PPA Sat Reskrim Polresta Surakarta tidak semuanya
bisa diproses oleh kepolisian, salah satu penyebabnya adalah selang waktu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
antara kejadian dengan pelaporan terlalu lama sehingga tidak ada bukti
visum. Niat melapor dari korban sebenarnya dalam hal ini sudah ada, namun
dikarenakan berbagai faktor dan kondisi, sehingga menyebabkan ia terlambat
melaporkan KDRT yang dialaminya kepada polisi.
Selang waktu yang lama antara kejadian dengan pelaporan
menyebabkan hilangya bekas luka akibat pemukulan ataupun bentuk
kekerasan yang lain, hal inilah yang menyebabkan bukti Visum tidak bisa
diperoleh oleh Dokter, selang waktu yang lama misalnya sampai berminggu-
minggu atau berbulan-bulan menyebabkan sembuhnya luka, bahkan sudah
tidak ada bekas sama sekali. Pihak kepolisian dalam hal ini Penyidik Unit
PPA Sat Reskrim Polresta Surakarta tidak akan melanjutkan penyidikan
kasus ke proses selanjutnya, hal ini dikarenakan tanpa adanya bukti visum,
akan mempersulit penyidik dalam menggali keterangan dari korban, apalagi
tanpa adanya keterangan tambahan dari saksi, karena menurut AKP Sri
Rahayu, korban yang melapor bisa saja mengada-ada, membuat laporan palsu
tentang KDRT yang dialaminya. Keberadaan visum sebagai alat bukti yang
dibuat oleh seorang dokter ahli berdasarkan sumpah jabatannya tentang apa
yang dilihat dan ditemukannya dari objek yang diperiksanya bagi penyidik
Unit PPA sangatlah penting dalam proses penyidikan, karena dengan adanya
visum penyidik dapat menentukan bersalah tidaknya si pelaku atau terlapor.
Hal ini dikarenakan dalam visum terdapat uraian hasil pemeriksaan medis
yang tertuang dalam bagian pemberitaan, yang karenanya dapat dianggap
sebagai pengganti barang bukti.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan permasalahan dan pembahasan yang telah penulis uraikan
pada bab-bab sebelumnya, maka simpulan yang dapat ditarik sebagai berikut :
1. Peran kepolisian dalam hal ini adalah Unit Pelayanan Perempuan dan Anak
Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Kota Surakarta dalam usaha
menyelesaikan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga melalui mediasi
penal adalah memberikan pelayanan, perlindungan kepada perempuan dan
anak yang menjadi korban tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga
dengan profesional penuh empati dan penegakan hukum terhadap perempuan
dan anak sebagai pelaku kejahatan, memberikan perlindungan kepada
perempuan dan anak yang menjadi korban dan atau saksi dengan penuh
empati. Dalam pelaksanaannya kepolisian menyediakan tempat untuk sarana
mediasi, komunikasi, dan diskusi antara Pelapor/Korban dan Terlapor/Pelaku,
sedangkan untuk keputusan penyelesaian diserahkan kembali kepada kedua
belah pihak baik Pelapor maupun Terlapor sesuai keinginan kedua belah pihak,
petugas hanya mengambil tindakan berupa :
a. Mendengarkan kemauan dari pelapor dan terlapor.
b. Memberikan nasihat yang sepatutnya.
2. Hambatan kepolisian dalam hal ini Unit Pelayanan Perempuan dan Anak
Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Kota Surakarta dalam usaha
menyelesaikan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga melalui mediasi
penal adalah :
a. Korban tidak melapor, dalam hal korban tidak mau melapor disebabkan oleh
:
1) Takut diceraikan suami.
2) Memiliki anak yang masih kecil, sehingga lebih mengutamakan masa
depan si anak.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
3) Wanita tergantung secara ekonomi terhadap suaminya, ia tidak ingin
hidup susah.
4) Perasaan malu akan kondisi rumah tangga jika diceritakan kepada orang
lain.
5) Desakan dari keluarga besar (misalnya orang tua) untuk mempertahankan
keutuhan rumah tangganya.
b. Tidak ada bukti yang menguatkan
Dalam proses penyidikan, bukti adalah suatu hal yang utama, bukti
adalah barang yang digunakan untuk melakukan atau berkaitan dengan
tindak pidana. Oleh karena itu, tanpa adanya bukti yang menguatkan maka
laporan dari korban tindak pidana KDRT tidak bisa diproses lebih lanjut
oleh kepolisian.
c. Selang waktu antara kejadian dengan pelaporan terlalu lama, sehingga tidak
ada bukti Visum.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini, maka penulis memberikan saran sebagai
berikut :
1. Aparat penegak hukum khususnya polisi selaku penyidik seyogyanya
melakukan seleksi terhadap kasus-kasus KDRT mana yang patut
diselesaikan secara litigasi dan mana yang bisa diselesaikan secara non
litigasi dengan mempertimbangkan kasus demi kasus dan tingkat
berbahayanya pelaku dan perbuatannya, sehingga bisa mengurangi
penumpukan berkas perkara.
2. a. Perlu dibuat payung hukum untuk penyelesaian kasus kekerasan
dalam rumah tangga melalui mediasi penal.
a. Penerapan mediasi penal sebagai alternatif penyelesaian perkara
pidana di luar pengadilan, hendaknya lebih diapresiasi oleh
Pemerintah dan dijadikan sebagai suatu pembaharuan dalam sistem
peradilan pidana di Indonesia karena mengingat banyaknya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh mediasi penal dalam
menyelesaikan perkara pidana, di satu sisi juga menimbulkan
kepuasan bagi korban dan pelaku jika tercapai kesepakatan damai
dan tidak perlu berlanjut sampai ke pengadilan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Adami Chazawi. 2002. Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa. Jakarta : Rajawali
Press.
Arikunto Suharsimi. 2005. Manajemen Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta.
A Syukur, Fatahillah. 2011. Mediasi Perkara KDRT (Kekerasan Dalam Rumah
Tangga) Teori dan praktek Di Pengadilan Indonesia. Bandung : Mandar Maju.
Dikdik M. Arief Mansur. 2007. Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan. Jakarta
: Raja Grafindo Persada.
Barda Nawawi Arief. 1998. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan
Pengembangan Hukum Pidana. Bandung : PT Citra Aditya Bakti.
___________________ . 2008. Mediasi Penal Penelesaian Perkara di Luar
Pengadilan. Semarang : Pustaka Magister.
DS. Dewi. 2011. Mediasi Penal Penerapan Restorative Justice di Pengadilan
Anak Indonesia. Depok : Indie Publishing.
Heribertus Sutopo. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta : Universitas
Sebelas Maret.
Leden Marpaung. 1992. Proses Penanganan Perkara Pidana. Jakarta : Sinar
Grafika.
Marlina. 2010. Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice dalam Hukum
Pidana. Medan : USU Press.
Moeljatno. 1993. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta : Rineka Cipta.
Muhammad Yunus. 2005. Urgensi Perlunya Memberikan Perlindungan Saksi.
Jakarta : Rineka Cipta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
Nursyahbani Katjasungkana. 2004. Studi Kasus Kekerasan Domestik Kejahatan
Yang Tak Dihukum. Jakarta : LBH APIK.
Peter Mahmud Marzuki. 2005. Penelitian Hukum. Jakarta : Kencana Prenada
Media Group.
Ridwan Mansyur. 2010. Mediasi Penal Terhadap Perkara KDRT. Jakarta :
Yayasan Gema Yustisia Indonesia.
Soerjono Soekanto. 2010. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : Gramedia
Pustaka Utama.
Sudarto . 1990. Hukum Pidana I. Cetakan ke II. Semarang : Yayasan Sudarto d/a
Fakultas Hukum Undip.
Suparmin. 2012. Model Polisi Pendamai. Semarang : Universitas Diponegoro
Semarang.
Triani Retno. 2011. Penerapan Restorative Justice di Pengadilan Anak Indonesia.
Depok : Indie Publishing.
Trisno Raharjo. 2011. Mediasi Dalam Sistem Peradilan Pidana, Suatu Kajian
Perbandingan dan Penerapannya di Indonesia. Yogyakarta : Litera dan
Laboratorium Hukum UMY
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2008
Tentang Pembentukan Ruang Pelayanan Khusus Dan Tata Cara Pemeriksaan
Saksi Dan/Atau Korban Tindak Pidana.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
Majalah atau Jurnal
Liliana Tedjosaputro. 2012. “Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Melalui
Mediasi Penal Sebagai Alternatif Penyelesaian Tindak Pidana KDRT”. Jurnal
Kriminologi Indonesia Vol. 8 No. I.
Mariana Semini. 2005. “Restorative Justice and Victim Offender Mediation in
Criminal Matters Involving Teenagers and Youngsters in Albania”. HUMSEC
journal issue 3. Vol I, No. 3.
Warner Robets. 1996. “Mediation of Criminal Conflict in England : An
Assessment of Services In Conventry and Leeds”. International Journal of
Resource Center in Support of Restorative Justice Dialogue. Vol I, No. 7.
Koran
Erlangga Masdiana. “Kekerasan dalam Rumah Tangga Dipengaruhi Faktor
Ieologi”. Kompas, 5 Mei 2004.
Internet
Seto Mulyadi. Kekerasan Dalam Rumah Tangga. http://www.komnasanak.co.id
[12 Mei 2012 Pukul 14.10].
Family Law Act. Family Violence.
http://www.australia.gov.au/familyrelationships.co.id [2 Mei 2012 Pukul 22.00].
http://www.cdc.com [1 Mei 2012 Pukul 23.30].