peran pemerintah dalam mengatasi ... - universitas indonesia
TRANSCRIPT
JURNAL ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL, JILID 21, NOMOR 1, APRIL 2020, 44-62
44
PERAN PEMERINTAH DALAM MENGATASI PERMASALAHAN KERAWANAN SOSIAL DI WILAYAH PERBATASAN DARAT
INDONESIA
Kania Saraswati Harisoesyanti1 Getar Hati2
Ni Luh Putu Maitra Agastya3
ABSTRAK
Pengembangan wilayah perbatasan Indonesia menjadi perhatian khusus para pemangku kepentingan mengingat keberadaannya yang merupakan pintu gerbang yang menghubungkan dengan negara tetangga. Situasi wilayah perbatasan yang dinamis, menuntut terwujudnya kondisi masyarakat perbatasan yang sejahtera melalui pembangunan yang bertujuan untuk menjaga keamanan nasional sebagai wujud eksistensi kehadiran negara. Artikel ini bertujuan untuk menggambarkan masalah-masalah di perbatasan dan peran pemerintah lokal sebagai eksekutor kebijakan di titik perbatasan negara untuk mengatasi masalah yang muncul. Penelitian dilakukan dengan metode kualitatif-deskriptif melalui hasil studi literatur, diskusi kelompok, wawancara, serta observasi yang dilakukan di wilayah-wilayah perbatasan Indonesia dengan negara Malaysia, Timor Leste dan Papua New Guinea. Subyek penelitian mencakup lembaga pemerintah yang berwenang dalam mengelola perbatasan darat serta masyarakat di wilayah perbatasan tersebut. Analisis dilakukan dengan menggunakan NVIVO melalui analisis tema dalam memetakan tema-tema permasalahan yang muncul dalam fakta lapangan. Artikel ini mencakup pembahasan mengenai tantangan pemerintah lokal dalam memberikan pelayanan kebutuhan dasar masyarakat perbatasan serta peran pemerintah dalam mengatasi permasalahan kerawanan sosial dan kejahatan yang ada di wilayah perbatasan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kehadiran negara di wilayah perbatasan dapat direpresentasikan melalui relasi pemerintah pusat dan lokal, organisasi lokal, dan masyarakat lokal. Karakteristik geografis, budaya lokal, dan latar belakang sejarah wilayah perbatasan menjadi tantangan dalam mengejawantahkan relasi pemerintah dengan organisasi dan masyarakat lokal. Dalam relasi tersebut, peningkatan kapasitas pemerintah dalam pengelolaan perbatasan dibutuhkan untuk memastikan keselarasan kebijakan dan aksi atas kebijakan yang telah ditetapkan yang membutuhkan disamping pembangunan infrastruktur yang menjadi fokus pemerintah.
KATA KUNCI:: kehadiran negara, pemerintah lokal, wilayah perbatasan.
1 Mahasiswa Program Doktoral, Universiti Malaya, Malaysia 2 Staf Pengajar Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial, FISIP Universitas Indonesia 3 Mahasiswa Program Doktoral, University of Melbourne Australia
PERAN PEMERINTAH DALAM MENGATASI PERMASALAHAN KERAWANAN SOSIAL DI WILAYAH PERBATASAN (KANIA SARASWATI, GETAR HATI, NI LUH PUTU)
45
LATAR BELAKANG
Kepentingan nasional dikedepankan
dalam pengelolaan dan pengembangan
wilayah batas negara karena kebutuhan
sumberdaya yang besar dan isu-isu yang
kompleks. Penelitian ini memaparkan
implementasi pengembangan wilayah
perbatasan Indonesia yang bersifat lintas
sektoral. Dari kajian sebelumnya (Bappenas,
2014; Kemitraan, 2011; hasil Diskusi
Kelompok Terfokus, 2018), secara umum
permasalahan kerawanan sosial dan keamanan
di wilayah perbatasan di wilayah Indonesia
mencakup hal-hal yang terkait permasalahan
yang kompleks, antara lain pengelolaan batas
negara, sosial budaya, fisik, kesehatan,
pendidikan, ekonomi, dan keamanan dimana
antara satu permasalahan dengan
permasalahan lainnya memiliki keterkaitan.
Irwansyah (2017) menyatakan bahwa
diperlukan kajian lebih lanjut mengenai
pejabat pemerintah dalam memahami
kebutuhan masyarakat setempat. Untuk
mengatasi permasalahan di perbatasan,
kehadiran negara menjadi penting sebagai
bukti kemampuannya dalam menjamin
kesejahteraan kepada warga setempat yang
selaras dengan warga negara tetangga.
Berbagai tantangan bermunculan dalam
perencanaan pembangunan pemerintah daerah
di tengah kehadiran otoritas pemerintah
nasional. Peran dan tantangan pemerintah
lokal dalam memberikan pelayanan kebutuhan
dasar masyarakat perbatasan serta peran dalam
mengatasi permasalahan kerawanan sosial dan
kejahatan yang ada di wilayah perbatasan
wilayah perbatasan yakni Indonesia - Malaysia
dan Indonesia - Timor Leste menjadi perhatian
khusus bagi semua pihak. Hal ini dikarenakan
permasalahan yang muncul dapat memicu
permasalahan tidak hanya di wilayah
perbatasan saja tetapi lebih besar lagi
merupakan permasalahan negara karena
mempertaruhkan kedaulatan negara. Untuk
itu, dalam artikel ini menekankan bahwa
kerawanan sosial di wilayah perbatasan
merupakan masalah dengan titik tekan
kerentanan dan konsekuensi yang berbeda dan
khas karena dapat mengganggu stabilitas di
internal maupun eksternal negara yang
kemudian menggambarkan bagaimana peran
pemerintah sebagai eksekutor kebijakan di
titik perbatasan negara untuk mengatasi
masalah yang muncul. Artikel ini juga
berupaya memberikan kontribusi data untuk
mempertajam rekomendasi mengenai peran
pemerintah dalam mengatasi permasalahan ini.
Kerawanan Sosial
Wilayah perbatasan menjadi perhatian
khusus karena disinilah letak garis pemisah
antara dua atau lebih negara. Garis ini akan
menentukan batas wilayah dimana suatu
negara berdaulat. Isu kerawanan masih muncul
di wilayah perbatasan yang muncul karena
berbagai hal. Pemahaman konvensional
mengenai kerawanan dilihat sebagai adanya
keterbukaan dan paparan terhadap ancaman
dan pelanggaran yang berlaku di banyak arena
politik kontemporer, di mana ia memunculkan
JURNAL ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL, JILID 21, NOMOR 1, APRIL 2020, 44-62
46
serangkaian wacana tentang keamanan dan
ketahanan (Drichel, 2013).
Selain itu, kerawanan sosial adalah
struktur sosial dari suatu komunitas atau
masyarakat terkena shock atau stress yang
biasanya disebabkan oleh perselisihan
ekonomi, perubahan lingkungan, kebijakan
pemerintah atau bahkan disebabkan oleh
kejadian internal dan kekuatan yang dihasilkan
dari kombinasi beberapa faktor (EVI, 2003
dalam Badan Pusat Statistik, 2014).
Kerawanan sosial dapat muncul akibat
ketidakadilan atau kesenjangan yang terjadi
dalam pembangunan, termasuk pembangunan
yang ada di wilayah perbatasan. Peran faktor
ekonomi, politik dan sosial membentuk
kerawanan pada suatu kelompok di dalam
masyarakat. Adanya situasi yang rentan
dipandang tidak hanya sebagai fungsi dari
sejauh mana paparan kita terhadap bahaya
tetapi juga sebagai fungsi dari kapasitas untuk
perlindungan diri dan potensi untuk ketahanan
atau pemulihan dari yang negatif efek dari
kejadian buruk (Misztal, 2011, p.
21). Ketidakmampuan individu, komunitas
atau pun lembaga dalam menghadapi
kerawanan sosial dapat mengancam bahkan
merusak proses pembangunan yang berjalan.
Wilayah perbatasan sangat rentan terhadap
ancaman yang datang dari dalam dan juga luar
negara Indonesia. Untuk itu, lembaga negara
merupakan institusi negara yang berperan
penting dalam memberikan respon yang tepat
dalam penanganan permasalahan kerawanan
sosial dan keamanan di kawasan perbatasan.
Kehadiran Negara
Kehadiran negara menjadi prioritas
dalam menjamin perlindungan dan pemenuhan
kesejahteraan warga negara perbatasan
Indonesia. Negara hadir melalui kebijakan,
program, dan aturan yang kemudian
diimplementasikan untuk mencapai tujuan
tersebut. Kehadiran negara dipercaya dapat
menjaga unsur-unsur, yakni hutan, udara,
kekayaan alam, unsur air dan membumi
(memiliki tanah), yang membentuk hukum
untuk kelanjutan hidup. Kehadiran negara
tersebut diupayakan dengan tindakan strategis
pada prioritas dua bidang, yakni pembangunan
nasional dan ketahanan. Pada
bidang pembangunan nasional, warga
berperan aktif selaku ”partisipan” dan negara
melakukan perannya sebagai ”tutor”, tidak
hanya sebagai ”pengabdi” (servant).
Sedangkan pada bidang keamanan,
menyangkut kehidupan masyarakat di
manapun dan kapanpun serta terkait dengan
keselamatan negara dan bangsa (ketahanan
nasional) (Joesoef, 2016).
Darto (2014) mengungkapkan bahwa
kehadiran negara ditunjukkan dengan
pengembangan demokrasi yang membuka
hak-hak warga negara. Hal ini
menggambarkan kemampuan negara atau
pemerintah dalam mengelola kesejahteraan
rakyatnya. Selain itu pula, ia menyatakan
bahwa upaya memberikan teladan,
menumbuhkan terobosan dan inovasi
pelayanan yang langsung dapat dinikmati oleh
masyarakat sebagai respon atau jawaban atas
PERAN PEMERINTAH DALAM MENGATASI PERMASALAHAN KERAWANAN SOSIAL DI WILAYAH PERBATASAN (KANIA SARASWATI, GETAR HATI, NI LUH PUTU)
47
tuntutan kebutuhan layanan merupakan bentuk
kehadiran negara.
Besar atau kecilnya jarak antara negara
dengan warga masyarakat perbatasan dapat
terlihat dari layanan yang diberikan oleh
pemerintah. Semakin kuatnya kehadiran
negara ditunjukkan dengan pelayanan yang
mampu memberikan dampak pada
peningkatan kesejahteraan masyarakat
setempat terutama tidak tergantung pada
negara tetangga, yang akhirnya dapat
memperkecil jarak antara pemerintah dengan
warganya.
Selain itu pula, adanya kesenjangan
antara kemampuan sumber daya manusia yang
memiliki tanggung jawab untuk
mengimplementasikan kebijakan di perbatasan
dengan kebijakan dan hukum yang telah
ditetapkan. Pemerintah pusat, lokal dengan
struktur organisasi lokal saling berinteraksi
untuk dapat berkolaborasi membangun
kekuatan wilayah perbatasan. Kehadiran
negara yang direpresentasikan melalui
kerjasama pemerintah lokal dengan organisasi
masyarakat lokal dan pemimpin lokal.
Kebijakan dan aturan adat istiadat yang
berlaku pada masyarakat lokal juga mungkin
saling bertentangan, sehingga diperlukan
perumusan komunikasi dan informasi yang
konstruktif agar meminimalisasi bentuk
tindakan yang mengancam integrasi bangsa.
Namun, perlu digaris bawahi bahwa
implementasi kebijakan, program, dan aturan
tersebut sangat bergantung pada agen
pelaksana yang langsung mengeksekusi
kebijakan, program, dan aturan tersebut dalam
bentuk tindakan (act). Implementasi di
lapangan seringkali dimodifikasi sesuai
dengan tuntutan faktual di wilayah perbatasan
dengan dinamika, tantangan, dan kepentingan
yang berbeda. Breslin & Nesadurai (2018)
menjelaskan wilayah perbatasan di Asia
Tenggara menunjukkan bahwa pelaku
pembangunan norma, standar, aturan dan
praktik yang mengarahkan perilaku aktor lain
ke arah tujuan fungsional tidak hanya
melibatkan peran negara, tetapi juga dominasi
pelaku non-pemerintah (perusahaan bisnis,
LSM, yayasan, dan pakar) dan dominasinya
cenderung bersifat politis sehingga
menunjukkan kegagalan lembaga dan
organisasi global-regional untuk menyediakan
tata kelola yang dapat efektif.
Di level lokal sebagai ranah direct
executor, salah satu hal utama yang perlu
dilihat dalam mengedepankan efektivitas dan
efisiensi kinerja negara dalam mengatasi
permasalahan di perbatasan adalah dengan
melaksanakan koordinasi antar lembaga.
Koordinasi tersebut tentu dilaksanakan oleh
berbagai pemangku kepentingan. Jadi
koordinasi yang terjalin tidak hanya sebatas
prioritas antara lembaga pemerintah saja,
tetapi antara lembaga pemerintah dan
Lembaga non pemerintah.
Namun perlu disoroti bagaimana
koordinasi tersebut terimplementasi secara
faktual dengan adanya perbedaan dinamika,
tantangan, dan kepentingan di berbagai
wilayah perbatasan di Indonesia, khususnya
JURNAL ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL, JILID 21, NOMOR 1, APRIL 2020, 44-62
48
perbatasan Indonesia – Malaysia dan
Indonesia – Timor Leste. Berdasarkan fakta
lapangan lembaga, koordinasi lembaga di
wilayah lokal perbatasan dinilai masih
memiliki beberapa keterbatasan dan kekuatan.
Sementara itu, wilayah perbatasan juga
memiliki berbagai permasalahan sosial yang
harus ditanggung.
METODE PENELITIAN
Artikel ini merupakan analisis kajian
dengan menggunakan pendekatan kualitatif.
Pengumpulan data dilakukan melalui studi
pustaka; wawancara mendalam; Focus Group
Discussion (FGD); serta pengamatan langsung
di lapangan. Informan terdiri dari pembuat
kebijakan di tingkat pusat dan daerah;
pemerintah lokal; para ahli dan pemerhati
perbatasan; tokoh masyarakat dan anggota
masyarakat di perbatasan; praktisi dari
lembaga pemerintah dan non
pemerintah. Studi pustaka dilakukan sejak
Februari 2018 dengan menelaah berbagai
literatur terkait dengan kondisi dan situasi
perbatasan di Indonesia dan juga luar negeri
untuk memberikan wawasan tentang
perbatasan. Pengumpulan data melalui FGD
dihadiri oleh para pemangku kepentingan di
tingkat nasional. Partisipan yang hadir
memiliki peran penting dan pemahaman yang
mendalam mengenai wilayah perbatasan di
Indonesia. Salah satu hasil FGD dan studi
literatur tersebut, adalah terkait dengan
kebijakan nasional, dan kerawanan sosial
(termasuk kejahatan transnasional dan
keamanan nasional pada umumnya), serta
kapasitas Lembaga negara dan non negara
dalam pengelolaan perbatasan. Lokasi dalam
penelitian ini adalah perbatasan darat
Indonesia dengan Malaysia yakni pada
provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Utara;
dan Timor Leste yakni provinsi Nusa Tenggara
Timur. Hasil data yang terkumpul kemudian
dilanjutkan dengan melakukan teknik analisis
data dengan cara melakukan reduksi data
terkait dengan peran pemerintah di wilayah
perbatasan, menyusun dan menyajikan data
tersebut serta penarikan kesimpulan. Teknik
pengolahan dan analisis data dilakukan
melalui analisis tema (thematic analysis)
dengan menggunakan aplikasi N-Vivo.
HASIL TEMUAN LAPANGAN
Bagian ini mendeskripsikan mengenai
kondisi di wilayah perbatasan yang
meningkatkan risiko terjadinya kerawanan
sosial. Faktor ekonomi (ketimpangan kondisi
ekonomi) dan faktor politik (status
kewarganegaraan dan keamanan perbatasan)
yang saling mempengaruhi memicu timbulnya
kerawanan sosial seperti terbatasnya akses
layanan kesehatan, pendidikan, perdagangan
manusia (human trafficking), dan pengedaran
narkotika.
i. Permasalahan Kerawanan Sosial Wilayah
Perbatasan Darat
Ketimpangan Ekonomi
Kondisi perekonomian makro suatu
negara dengan negara tetangga memicu
PERAN PEMERINTAH DALAM MENGATASI PERMASALAHAN KERAWANAN SOSIAL DI WILAYAH PERBATASAN (KANIA SARASWATI, GETAR HATI, NI LUH PUTU)
49
timbulnya ketimpangan ekonomi di wilayah-
wilayah perbatasan. Dari hasil olah data
melalui wawancara mendalam dan FGD, pada
konteks masyarakat perbatasan Malaysia,
masyarakat setempat lebih memilih untuk
berjualan hasil perkebunannya dengan
memanfaatkan keuntungan dari selisih nilai
tukar uang yang cukup besar. Tidak hanya
untuk menjual hasil panen, tetapi pembelian
pupuk juga diambil dari Malaysia dikarenakan
faktor harga yang lebih murah dibandingkan
menggunakan produk Indonesia. Selain itu,
terdapat juga masalah warga Indonesia yang
cenderung untuk memilih bekerja di Malaysia
dan mayoritas secara non-prosedural. Hal ini
dilakukan dengan menggunakan Pas lintas
batas yang mereka miliki, walaupun PLB
tersebut tidak memberikan izin untuk bekerja.
Bekerja tanpa perlindungan di negara lain yang
sangat dekat dari daerah asal tetap lebih
menguntungkan karena nilai tukar uang yang
lebih tinggi dan tidak adanya lapangan
pekerjaan di wilayah perbatasan karena letak
yang sangat terpencil.
Disamping itu, ketimpangan ekonomi
juga terjadi karena kenyamanan warga
setempat untuk melakukan kegiatan ekonomi
di negara tetangga. Pemerintah setempat juga
sudah berupaya untuk mengkampanyekan
produk-produk nasional, namun tetap
terkendala pada sulitnya mengubah mindset
masyarakat karena mereka telah “akrab”
dengan produk asal Malaysia. Kedekatan
masyarakat Indonesia dengan produk asal
Malaysia di Kalimantan Utara, khususnya di
Kabupaten Nunukan, mendorong lebih
banyaknya transaksi ekonomi di negara
tetangga. Namun, keakraban masyarakat
Indonesia dengan produk negara tetangganya
menjadi permasalahan karena produk yang
dikonsumsi adalah produk yang sudah tidak
memiliki kualitas yang baik. Daging ayam dan
sapi yang kesehariannya di konsumsi oleh
warga bukanlah produk yang berkualitas
bagus. Ayam merah yang mereka dapatkan
adalah ayam petelur yang tidak dikonsumsi
oleh warga negara tetangga. Begitu pula
halnya dengan daging sapi. Daging tersebut
adalah daging yang dikirimkan dari India
(karena warga India tidak mengonsumsi
daging sapi) melalui Malaysia. Hal ini sudah
pernah disosialisasikan oleh pihak puskesmas,
sayangnya, warga belum terlalu peduli karena
tidak ada pasokan dari daerah mereka sendiri.
Padahal, apabila warga mampu
menyediakannya dari hasil ternak sendiri,
tentu kerentanan (baik ketergantungan dari sisi
ekonomi terhadap negara tetangga dan
kerentanan dalam hal kesehatan) dapat
terhindar. Warga negara yang tinggal di
wilayah terjauh hampir tidak dapat terlibat
dalam transaksi ekonomi yang terjadi di negara
sendiri. Keluhan yang dikemukakan oleh
warga Labang, salah satunya adalah apa yang
mereka rasakan telah mereka utarakan kepada
pihak pemerintah, akan tetapi belum ada
tanggapan, “... kami ini menderita, tidak ada
pendapatan uang, .. kami turun ke Mansalong
baru dapat gula dapat kopi, kami suku dayak.
Sudah ada kepala desa, ibu Bupati belum lagi
JURNAL ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL, JILID 21, NOMOR 1, APRIL 2020, 44-62
50
muncul-muncul untuk pertemuan masyarakat
tertinggal ini.” (S, warga Labang, 10 Agustus
2018).
Ketidakjelasan Status Kependudukan
Status kewarganegaraan dan
kependudukan di wilayah perbatasan menjadi
kerawanan dan juga menimbulkan tantangan.
Salah satu contohnya adalah kondisi di Belu
menunjukkan bahwa tantangan penanganan
sistem pemerintahan di wilayah perbatasan ini
adalah terkait dengan membludaknya warga
baik warga Indonesia maupun warga Timor
Leste yang harus dilayani. Tidak dapat
dipungkiri dan diungkap oleh informan
penelitian bahwa pada dasarnya Kabupaten
Belu menjadi wilayah yang menanggung
beban pindahnya penduduk dari 13 kecamatan
di wilayah Timor Timur, yang eksodus ke
wilayah Indonesia, ke NTT umumnya dan
yang tinggal di Belu khususnya. Gelombang
pengungsi eks Timor Timur sangat besar
jumlahnya dan menjalani proses penyatuan
dalam kehidupan sebagai warga di NTT secara
keseluruhan. Penduduk eks Timor Timur
disebut dengan istilah ‘warga pendatang’,
sebuah penamaan yang berlaku pada awalnya.
Lebih dari 15 tahun berselang, warga
pendatang (yang bernuansa labelling) tidak
lagi berlaku dan tidak memiliki makna spesifik
dalam kehidupan masyarakat. Generasi baru
sudah tumbuh dari anak anak para pengungsi
ini dan kini sudah tidak dapat dibedakan lagi
dari warga lokal lainnya. Hal ini merupakan
tantangan untuk perbaikan kapasitas
pemerintah lokal di sana. Hal tersebut
disampaikan oleh Kepala Dinas
Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Belu,
“13 kabupaten, Pak! Bayangkan! Pindah
semua kesini. Dulu, Pak, halaman kantor ini
dijadikan kemah. Teras ini dijadikan kemah....
Lama-lama dia menyebar, kembali, ada yang
tidak kembali, terus ada yang sempat dikirim
jadi transmigran ke Kalimantan. Tapi, kadang-
kadang tidak betah (lalu) kembali lagi.”
(Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat
Kab. B, 2018).
Kondisi tersebut memaksa pemerintah
siap untuk memberikan layanan bagi
masyarakat yang sangat dinamis dengan
kewarganegaraan yang simpang siur.
Beberapa sektor yang menjadi permasalahan
adalah Kabupaten Belu adalah wilayah
terdepan bukan saja dalam garis depan
perbatasan dengan negara tetangga,
namun juga menanggung beban sebagai
kabupaten yang menyerap berbagai ekses
konfliks sosial dari pergolakan politik
kemerdekaan Timor Leste. Untuk selanjutnya,
kerawanan sosial yang meliputi permasalahan
sosial-emosional, kesehatan, kelompok rentan,
pendidikan dan permasalahan identitas akan
membahayakan bagi kualitas hidup
masyarakat di Belu.
Ancaman Keamanan Transnasional
Terkait transmigrasi, wilayah
perbatasan di Entikong merupakan salah satu
wilayah yang cukup padat dan penting
khususnya untuk di daerah Kalimantan Barat
PERAN PEMERINTAH DALAM MENGATASI PERMASALAHAN KERAWANAN SOSIAL DI WILAYAH PERBATASAN (KANIA SARASWATI, GETAR HATI, NI LUH PUTU)
51
itu sendiri. Untuk itu, sebagai wilayah transit,
arus perpindahan barang hingga manusia
terjadi cukup tinggi. Hal ini dapat
menimbulkan kerawanan sosial karena kasus-
kasus kejahatan bermunculan. Permasalahan
Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang menjadi
korban kekerasan dan perdagangan manusia
merupakan salah satu masalah khas di wilayah
perbatasan, terutama di wilayah Entikong.
Selain terkait dengan keamanan, masalah ini
juga erat kaitannya dengan status
kependudukan dalam pemberian pelayanan.
Korban perdagangan manusia yang dalam
banyak kasus adalah bukan warga Entikong
harus segera mendapatkan pendampingan dan
penanganan langsung. TKI non-prosedural
sebagai isu yang menjadi sorotan pemerintah
setempat, secara fakta terungkap bahwa
mereka bukan penduduk asli Entikong,
melainkan merupakan orang-orang yang
berasal dari luar pulau Kalimantan seperti
Jawa hingga Nusa Tenggara. Persepsi seperti
ini kemudian memunculkan sentimen
‘pendatang’ yang cukup kental di dalam
masyarakatnya.
Hal ini kemudian juga berpengaruh
kepada penanganan yang dilakukan oleh
lembaga-lembaga daerah tersebut, terkait
dengan pemulangan para TKI non-prosedural
ini ke daerah asalnya, yang cukup memakan
waktu lama karena persoalan birokrasi dan
anggaran. Situasi seperti ini juga kerap terjadi
pada penanganan isu lain, seperti human
trafficking. Persoalan tersebut juga terjadi di
wilayah Sanggau, Kalimantan Barat. Terkait
dengan TKI non-prosedural seringkali terjadi
karena adanya oknum-oknum yang mampu
mengelabui prosedur formal sehingga
membuat TKI ilegal lolos dari pemantauan,
seperti yang disampaikan sebagai berikut:
“Kita juga melakukan pencegahan
kejahatan, khususnya kita sangat ketat
dalam memberikan paspor untuk
masyarakat yang ada indikasi menjadi
TKA non-prosedural, mereka harus
punya surat rekomendasi kalau mau
bekerja. Cuman persepsinya kan, yang
namanya TKI (Tenaga Kerja Indonesia)
itu kan sektor informal yang beredar di
masyarakat, cuman kan kita
kembangkan juga kan yang namanya
tenaga kerja Indonesia bukan cuman
yang informal, namun yang formal juga.
Kebanyakan yang formal itu yang gak
mengikuti prosedur, namanya kerja di
luar negeri kan biasanya ada rekom
(surat rekomendasi), tapi mungkin
karena pengetahuan mereka lebih dari
yang non-formal, dan juga dari segi
finansial pun memenuhi syarat (terbukti
melalui visa yang bisa mereka
dapatkan), jadinya ya sudah gitu (lolos
dari pemantauan).” (Kodim Sanggau,
2018).
Permasalahan TKI ini masih menjadi
tantangan besar untuk diatasi dengan
merefleksikan lemahnya koordinasi antar
lembaga, seperti yang diungkapkan sebagai
berikut: “Kalau bisa pusat itu tuh jangan jalan
masing-masing, maksudnya gini. Maksudnya
JURNAL ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL, JILID 21, NOMOR 1, APRIL 2020, 44-62
52
kan kalau biasanya itu kepentingannya
berjalan masing-masing, Dinas jalan sendiri,
kementerian jalan sendiri, jadinya mereka itu
tidak bergerak bersatu itu. Tidak ada
koordinasi.” (Ars, FGD... 2018).
Kasus ini memberikan gambaran
ketidakjelasan kewenangan dan juga kakunya
pengalokasian anggaran untuk mengatasi
masalah-masalah khusus di wilayah
perbatasan. Isu kewenangan sangat
mempengaruhi penganggaran serta juga
respon atau tindak lanjut terhadap kasus-kasus
yang terjadi. Di dalam isu kewenangan ini,
kondisi perencanaan dan pemberian layanan
yang masih terkotak-kotak atau sektoral
menyebabkan respon menjadi semakin lambat
dan terlihat tidak komprehensif. Secara
faktual, pemerintah lokal telah mengupayakan
melalui Pos Pelayanan Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (P4TKI)
dengan cara memberikan sosialisasi untuk
merubah pandangan warga lokal perbatasan
agar tidak terlibat dalam perdagangan
manusia. Namun, upaya ini masih belum
mencapai hasil yang optimal. Hal ini
diungkapkan oleh Camat Entikong sebagai
berikut:
“...di Entikong itu kan ada namanya
P4TKI, nah P4TKI ini lah yang
menjadi leading sectornya, nah bersama
dengan Puskesma ya kan. Lalu mereka
ini kan punya satgas, satgas yang P4TKI
itu, yang, yang legal maupun ilegal kan.
Tapi memang dilema juga lah, karena
memang di perbatasan ini
merubah mindset orang ini memang
sangat sulit. Kita berkali-kali ya sudah
memberi sosialisasi penyuluhan, apa
segala, ... Tapi intinya bahwa masyarakat
kita ini memang kadang-kadang
kebiasaan itu yang susah juga mereka.
Kita, seperti penyelundupan ya kan,
lewat jalan tikus, padahal udah dijaga
oleh TNI-Polri, tapi masih ada juga yang
nekat.” (Camat Entikong, 2018).
Hal tersebut kemudian berkaitan
dengan poin kedua, yakni koordinasi antar
lembaga yang masih menemukan hambatan.
Beberapa koordinasi lembaga seperti dinas
sosial, dan dinas tenaga kerja dan transmigrasi
tidak berjalan berkesinambungan, terutama
dengan BNP2TKI yang lebih bersifat vertikal,
padahal permasalahan sosial seperti TKI non-
prosedural yang juga berujung menjadi human
trafficking adalah isu yang sangat kompleks.
Selain itu, BNN juga mengalami kendala
terkait dengan minimnya tenaga kerja,
sehingga belum dapat memaksimalkan
program-program yang dikembangkan.
Masalah perdagangan narkoba sebagai
salah satu isu kejahatan transnasional di
wilayah perbatasan banyak dibicarakan di
wilayah Entikong dan Sanggau, Kalimantan
Barat. Terkait dengan pencegahan, upaya yang
dilakukan mencakup sosialisasi secara
langsung di pertemuan warga maupun melalui
media dengan melibatkan unsur pemerintah,
masyarakat dan pendidikan, serta swasta. Hal
ini seperti yang dinyatakan oleh Pihak
Kepolisian Sanggau:
PERAN PEMERINTAH DALAM MENGATASI PERMASALAHAN KERAWANAN SOSIAL DI WILAYAH PERBATASAN (KANIA SARASWATI, GETAR HATI, NI LUH PUTU)
53
“Untuk pencegahan kita lakukan
dengan berbagai macam metode, yaitu
yang kita laksanakan pada setiap
tahunnya itu adalah pencegahan melalui
media; ada media tatap langsung di
masyarakat dengan tiga unsur yaitu baik
unsur pemerintah, masyarakat dan
pendidikan, serta swasta. Jadi setiap
kegiatan itu kita laksanakan secara
merata mencegah untuk wilayah-
wilayah yang rawan terhadap
penyalahgunaan narkotika atau narkoba.
Nah untuk media-media yang kita
laksanakan itu hampir semua media...
Kemudian yang lainnya seperti melalui
radio, ataupun videotron, sudah kita
laksanakan, tapi memang semakin
dipajang semakin banyak juga kasus-
kasus yang terjadi. Rata-rata dari
Malaysia, kita sudah bekerjasama
dengan imigrasi dan pihak-pihak terkait,
jadi semakin kita bekerja keras justru
semakin banyak juga kasus-kasus yang
terjadi....” (Kepolisian Sanggau, 2018).
Selain itu, juga diupayakan sosialisasi
melalui kegiatan organisasi, sekolah,
kelompok suku dan keagamaan, seperti:
“Kemudian di berbagai bidang organisasi itu,
di luar pemerintahan itu sudah mulai
dijalankan misalnya ada acara-acara ulang
tahun, atau perkumpulan-perkumpulan Jawa,
atau Cina, itu kita tetap rangkul pak. Minimal
kita terlibat sosialisasi dalam acara itu dan bisa
lah masuk. Yang masih belum bisa itu, itu agak
sulit, kalau misalnya promosi lewat acara-
acara di gedung, misalnya perkawinan;
biasanya kalau diperbolehkan ya masuk, kalau
engga ya engga, biasanya lewat pensi atau
dekorasi dan sebagainya.... Yang sudah kita
laksanakan melalui khotbah Jumat, itu
serempat pada tanggal 16 dalam rangka Hari
Kebangkitan Nasional, itu kita bagikan setiap
masjid itu naskah khotbah pada hari yang
sama; yaitu dengan judul yang sama mengenai
pencegahan narkoba. ” (Kepolisian Sanggau,
2018).
Sedangkan kapabilitas pemerintah
lokal dalam penanganan isu ini juga mencakup
upaya penanganan dan pemberdayaan,
pemerintah melalui koordinasi dengan BNN
dan rumah sakit di Pontianak atau di Parindu
juga mengupayakan rehabilitasi bagi
penyalahguna. Sedangkan terkait dengan
upaya pemberantasan, penyelundupan di
wilayah perbatasan banyak terjadi dengan
ditunjukkan adanya pelaku yang tertangkap
melalui beragam modus. Namun, penanganan
ini juga belum optimal karena kurangnya
personil di wilayah perbatasan serta luasnya
kemungkinan titik-titik yang dapat menjadi
‘jalan tikus’ para penyelundup narkoba.
Permasalahan ini akan memberikan dampak
pada kualitas sumber daya manusia Indonesia
di perbatasan untuk masa yang akan datang.
Tidak hanya permasalahan kesehatan yang
bersifat jangka panjang, masalah miras dan
narkoba juga sangat memprihatinkan.
Masyarakat yang terkena dampak pun
masyarakat yang masih berusia muda.
JURNAL ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL, JILID 21, NOMOR 1, APRIL 2020, 44-62
54
Masih kuatnya penerapan adat istiadat
masyarakat Dayak di wilayah ini dirasakan
sulit untuk dihilangkan walaupun dapat
menimbulkan kerentanan pada masyarakat.
Misalnya pada saat perayaan baik pesta
pernikahan ataupun kematian, pada
pelaksanaan adat Dayak yang berlaku adalah
disediakannya minuman-minuman keras
(beralkohol) untuk dikonsumsi secara
bergiliran dengan menggunakan satu alat
minum (sedotan) yang tidak bisa digantikan
dengan alat lainnya. Hal ini tentu dapat
membuat terjangkitnya penyakit menularkan
yang dapat ditularkan antara satu orang dengan
yang lainnya. Selain itu pula, kebebasan warga
untuk mengonsumsi minuman keras tersebut
baik warga yang sudah dewasa maupun anak-
anak dapat menimbulkan kerentanan lainnya.
Konflik antar individu yang terpengaruh
konsumsi alkohol memang pernah terjadi pada
saat perayaan tersebut, akan tetapi warga tidak
cemas karena perselisihan tersebut bisa
diselesaikan.
Layanan Dasar Kesehatan dan Pendidikan
yang Belum Terpenuhi
Mengingat kondisi wilayah perbatasan
yang sangat sulit dijangkau dengan terbatasnya
sumber daya yang dimiliki oleh Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah, maka masalah
terbatasnya layanan kesehatan dan pendidikan
sudah dipastikan terjadi. Di sektor layanan
kesehatan, pemerintah mau tidak mau harus
menyediakan pemenuhan layanan kesehatan
untuk semua masyarakat yang membutuhkan
meskipun mereka sudah lama tinggal di negara
lain dengan alasan kemanusiaan untuk
membantu ‘saudara’. Hal ini karena mereka
seringkali kesulitan untuk berobat di negara
tempat mereka tinggal. Hal ini diungkapkan
oleh staf Dinas Kesehatan Kabupaten Belu,
“Misalnya saya punya saudara. Dia
kawin, dia di sana. Terus tiba-tiba dia
sakit, di sana hidupnya tidak betul, dan
dia mau dapatkan pelayanan kesehatan
di sana—ini sering dialami, ya, dinas
kesehatan; dia di sana hidupnya—
terutama yang batas. Desa-desa
sepanjang perbatasan. Di sana dia
hidupnya sudah tidak ini, ya, kalau dia
datang ‘kan pasti saya tidak tega, ‘to,
Pak, saudara kami. Jadi dia tinggal di
(desa) situ—tinggal di sini, dan kulit,
rambut, ‘kan tidak ada bedanya, lama-
lama juga dia sudah mengaku penduduk
desa itu. Tapi dia karena—minta maaf—
seperti sekarang ini Rubella, ‘kan, tiba-
tiba dia datang, terus dia betah tidak
kembali lagi .... Dan itu kalau desa-desa
di perbatasan dianggap biasa. Kadang-
kadang saya juga tidak tega ini saudara
saya, dia di sana hidupnya sudah tidak
ini (layak)” (Staf Dinas Kesehatan
Kabupaten Belu, 2018).
Layanan kesehatan memang
seharusnya diberikan kepada semua orang
tanpa pertimbangan status kependudukan dan
kewarganegaraan, namun dalam konteks tata
kelola sumberdaya kesehatan, hal ini tentunya
akan menimbulkan tantangan. Fasilitas
PERAN PEMERINTAH DALAM MENGATASI PERMASALAHAN KERAWANAN SOSIAL DI WILAYAH PERBATASAN (KANIA SARASWATI, GETAR HATI, NI LUH PUTU)
55
kesehatan di wilayah perbatasan terjauh masih
terbatas pada fasilitas primer. Di desa-desa
wilayah Entikong, Kalimantan Barat sudah
tersedia layanan kesehatan primer seperti
Posyandu dan Puskesmas sebagai layanan
pertolongan pertama. Namun, warga Indonesia
di perbatasan Indonesia – Malaysia terkadang
memilih untuk berobat di wilayah Malaysia
karena jarak sarana kesehatan yang lebih
memadai untuk pengobatan penyakit serius
lebih dekat dibandingkan harus menuju
Sanggau. Hal ini diungkapkan saat Focus
Group Discussion dengan Dinas Kesehatan
Entikong,
“Kalau Posyandu itu di desa-desa
sudah ada. Memang tapi untuk yang
daerah-daerah jauh karena tenaganya
kurang, dinasnya memang sangat
terbatas ya. ... Jadi begini, kalau masalah
kesehatan itu tidak yang ke Malaysia itu
biasanya untuk sakit yang cukup keras.
Kalau di sini kan biasanya untuk yang
pertolongan pertama, biasanya ada di
Sanggau. Tapi kalau misalnya dibanding
ke Sanggau, di sini kan lebih dekat, kalau
di Sanggau bisa sampai 2 jam setengah.
Kalau masalah pelayanan, sebenarnya
tingkat pelayanan tidak berbeda jauh,
sama. Jadi permasalahannya bukan dari
segi pelayanan, tapi karena jarak.”
(Dinas Kesehatan Entikong, 2018).
Masalah terkait dengan hak pelayanan
dan fasilitas juga ditemukan dalam layanan
pendidikan. Di Kabupaten Belu, jumlah
penduduk yang terus bertambah dan
infrastruktur yang belum mendukung
menjadikan pemerintah terutama Dinas
Pendidikan kesulitan untuk menyediakan
fasilitas pendidikan yang memadai. Untuk itu,
inisiasi pendirian sekolah dari swadaya
masyarakat dirasa sangat membantu meskipun
fasilitasnya belum dinilai layak seperti
ketidaktersediaan tempat sehingga harus
menumpang di area publik serta ketiadaan
fasilitas pendukung seperti ruang guru dan
sanitasi. Hal ini disampaikan oleh Dinas
Pendidikan sebagai berikut:
“Tadi sudah dijelaskan karena efek dari
satu propinsi ke satu kabupaten,
akhirnya jumlah penduduk juga
bertambah. Seiring itu juga jumlah
siswa, dan kita juga di Kabupaten Belu
sebagai kabupaten batas, ya, pasti tingkat
pendidikan untuk anak-anak di era
global sangat dibutuhkan, seperti contoh
ada dari bidang PAUD, kami dari Belu
sini sekolah negeri TK hanya dua. Yang
lain kebanyakan swadaya masyarakat.
Swadaya masyarakat PAUD itu juga
kadang belum memiliki bangunan jadi
masih numpang, kayak Balai Desa, Balai
Dusun. Sudah begitu, tidak dilengkapi
dengan fasilitas. Memang untuk ruangan
ada tetapi itu digabung, hanya dipisah di
bilik antara ruang tutor dan anak didik
itu. Sudah begitu tidak ada fasilitas
sanitasi, WC tidak punya. Terus untuk
SD, SMP, begitu pula. Jumlah siswa
semakin banyak, sarana prasarana tidak
JURNAL ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL, JILID 21, NOMOR 1, APRIL 2020, 44-62
56
mendukung. Di sini ada sekolah yang
ruang gurunya tidak ada. Otomatis
dipakai ruang kelas. Untuk daerah
tertentu, karena keadaan daerah juga,
kadang kekurangan air. Jadi sekolah-
sekolah itu gersang, toiletnya juga tidak
ada fasilitas air bersih. Prasarana SMP
seperti lab komputer, lab IPA, tidak
semuanya punya.” (Dinas Pendidikan
Kabupaten Belu, 2018)
Berdasarkan hasil monitoring Dinas
Pendidikan, warga lokal perbatasan di daerah
pedesaan dianggap memiliki modal manusia
dari adanya minat anak-anak untuk bersekolah.
Namun, hal ini tidak didukung dengan adanya
fasilitas dan sarana yang memadai, seperti
infrastruktur sekolah. Hal ini disampaikan oleh
informan salah satu staf Pendidikan, “Kalau
yang kami pantau dan monitoring, tingkat
minat yang tinggi dan prestasi justru ada di
anak-anak yang tinggal di pedesaan. Cuma
karena di desa kurang didukung dengan
fasilitas dan sarana itu yang masih kurang
sekali.” (Bu Ys, Dinas Pendidikan Kabupaten
Belu, 2018).
ii. Peran Pemerintah Lokal dalam Mengatasi
Permasalahan Kerawanan Sosial di Wilayah
Perbatasan Darat
Pada bagian sebelumnya telah
dideskripsikan bahwa terdapat permasalahan
di aspek politik dan ekonomi yang menjadi
akar masalah dari timbulnya kerawanan sosial
di wilayah perbatasan. Dalam bagian ini,
dideskripsikan mengenai peran-peran yang
dikembangkan oleh Pemerintah dalam
mengatasi permasalahan kerawanan sosial di
wilayah perbatasan darat.
Peran Pemerintah Pusat sebagai Penyusun
Kebijakan dan Pelaksana dalam Keamanan
dan Pengembangan Infrastruktur
Negara dituntut untuk berperan lebih
dominan dan memiliki pengaruh besar dalam
memberikan layanan serta menjamin
kesejahteraan masyarakat. Untuk itu
diperlukan kehadiran negara dalam
menanggapi situasi dan kondisi di wilayah
perbatasan, terutama terkait dengan bagaimana
situasi dan kondisi negara tetangga
mempengaruhi masyarakat lokal di wilayah
perbatasan. Tidak jarang muncul gesekan-
gesekan antara pandangan ataupun kebijakan
lokal yang terjadi antara negara tetangga,
masyarakat lokal serta pihak yang terkait
lainnya. Negara, dalam hal ini pemerintah
pusat, memiliki peran utama untuk
menentukan langkah dan kebijakan yang akan
menentukan arah pembangunan di wilayah
perbatasan. Kemampuan negara untuk hadir
dilihat dari upaya negara dalam menegakkan
kedaulatan dengan menjaga keamanan wilayah
perbatasan yang rentan terhadap ancaman
yang datang dari dalam dan luar negara serta
membangun infrastruktur yang sering
dipandang sebagai cikal bakal pembangunan
ekonomi.
Sesuai dengan regulasi yang berlaku,
pemerintah pusat bertanggung jawab terhadap
keamanan wilayah perbatasan. Hal ini telah
PERAN PEMERINTAH DALAM MENGATASI PERMASALAHAN KERAWANAN SOSIAL DI WILAYAH PERBATASAN (KANIA SARASWATI, GETAR HATI, NI LUH PUTU)
57
terlaksana dengan adanya kebijakan yang
mengatur mengenai ketersediaan pos
penjagaan di beberapa titik wilayah perbatasan
serta pengelolaannya yang dilakukan oleh
pemerintah pusat.
“... tanpa regulasi tidak bisa.
Regulasi instruksi Presiden no. 6 tahun
2015. Kemudian ditindaklanjuti oleh
Menteri Pekerjaan Umum. Nah InPres
ini dasarnya memang dari BNPP, artinya
yang pertama kali untuk mengusulkan
pembangunan 7 PLPN ini, sehingga
terbitlah Inpres ini tahun 2015 itu, dan
kemudian ditindaklanjuti
pembangunannya oleh Menteri
Pekerjaan Umum. Beserta kementerian-
kementerian lain yang mendukung
dalam pelaksanaan pembangunan, dan
personil-personil yang bertugas di
masing-masing PLPN. Contoh; tadi dari
Imigrasi, Bea Cukai, Karantina; kan
mereka berdiri sendiri ya. Kalau Imigrasi
kan kementerian hukum dan HAM, dan
terlibat dalam Inpres itu. Instruksi
Presiden itu jelas, diinstruksikan kepada
kementerian dan lembaga kepada
termasuk gubernur dan Bupati di
kawasan perbatasan dibangunnya tujuh
PLPN tadi” (Narsum1 Entikong, 2018)
Batas negara pada kenyataannya
menjadi tempat “lalu lintas” hubungan antar
dua negara. Dua wilayah negara yang
bertetangga ini telah memberikan
penghidupan bagi warga di perbatasan. Situasi
ini memunculkan adanya negosiasi di antara
negara dengan warga perbatasan.
Diberikannya kesempatan warga untuk dapat
mengakses wilayah negara lain untuk
kepentingan sosial dan ekonomi warga.
Pembangunan infrastruktur pada
dasarnya menjadi kebutuhan mendasar di
daerah perbatasan karena menentukan
kemudahan masyarakat untuk mendapatkan
akses terhadap peningkatan kualitas hidup
mereka. Di Belu, Pembangunan Pos
Perbatasan, misalnya, dirasakan sangat besar
mendorong kebanggaan dan kehormatan.
Mengenal wilayahnya yang memiliki nuansa
sejarah lepasnya (merdeka-nya) Timor Leste
dan konflik sosial yang menyertainya.
Pos Batas Lintas Negara hadir sebagai
tempat yang paling menampilkan kehadiran
berbagai wakil lembaga negara yang
melakukan tugas nya masing-masing, terdiri
dari kementerian kesehatan untuk karantina
kesehatan, kementerian pertanian untuk
karantina tanaman, kemenkumham untuk
masalah imigrasi, kementerian kelautan dan
perikanan untuk karantina ikan dan
kementerian keuangan untuk masalah bea dan
cukai. Pembangunan Pos Batas Lintas Negara
di Papua juga memberikan warna tersendiri
terhadap kehidupan masyarakat yang tinggal
di wilayah perbatasan. Permasalahannya,
wilayah darat di daerah perbatasan yang begitu
luas menjadi tantangan tersendiri. Bahkan di
perbatasan Indonesia dan PNG pun, 99%
perbatasan darat masih belum memiliki
jalanan, dan belum memiliki pos perbatasan.
Walaupun tersedia pos perbatasan, belum tentu
JURNAL ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL, JILID 21, NOMOR 1, APRIL 2020, 44-62
58
dialiri listrik. Perbatasan di Pegunungan
Bintang, misalnya, masih berupa hutan lebat.
Permasalahan pembangunan di
wilayah perbatasan juga ditemui di
Kalimantan Utara. Dari hasil FGD, partisipan
melihat adanya urgensi untuk pembangunan
perbatasan yang lebih layak sebagaimana di
wilayah Entikong. Medan berat mempersulit
pencegahan kejahatan transnasional dan
kerawanan sosial. Kebutuhan pangan sehari-
hari pun, warga masih bergantung pada
pasokan dari negara tetangga, Malaysia.
Peran Koordinatif Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah dalam Pengembangan
Ekonomi dan Penyediaan Layanan Dasar
Tidak hanya itu, keterbatasan ekonomi
memunculkan masalah tidak terpenuhinya gizi
bagi ibu hamil dan balita. Terkait dengan
masalah kesehatan tersebut misalnya,
pemerintah harus hadir tidak hanya upaya
kuratif tapi juga preventif. Upaya pemenuhan
hak warga negara lainnya di wilayah
perbatasan antara lain adalah dengan
menempatkan bantuan tenaga kesehatan yang
mampu memberikan layanan kepada
masyarakat setempat.
Di sisi lain, upaya negara untuk bisa
tetap hadir dalam mendampingi masyarakat
untuk tetap dalam keadaan “sejahtera” juga
tidak selamanya memberikan dampak yang
signifikan terhadap peningkatan kualitas
hidup. Pengembangan program vs project
pengentasan kemiskinan di daerah perbatasan
harus menjadi isu yang serius untuk ditangani.
Jika tidak, kondisi “kesejahteraan” di
Indonesia yang lebih baik dari pada negara
tetangga tidak memiliki implikasi yang baik
terhadap pengembangan sumber daya manusia
masyarakat Indonesia di masa yang akan
datang.
Terkait dengan permasalahan
ekonomi, perhatian dan fasilitasi dari
pemerintah daerah seperti bantuan modal
usaha, pembinaan dan pelatihan bagi petani
sangat diharapkan. (Suwartiningsih, Samiyono
dan Purnomo, 2017). Bila melihat potensi yang
ada, sesungguhnya bantuan pemerintah yang
bersifat pemberdayaan tentu dapat
membangun warga perbatasan. Akan tetapi
bila upaya ini tidak diiringi dengan asesmen
terlebih dahulu terkait dengan budaya dan adat
yang berlaku misalnya, bantuan yang
diberikan tidaklah efektif. Pemerintah perlu
memahami dan memanfaatkan modal yang ada
di wilayah tersebut, apakah kemampuan
manusia yang ada di wilayah perbatasan sudah
siap menerima bantuan dan dampingan yang
diberikan.
Untuk itu, negara perlu melakukan
kontrol terhadap keamanan yang melibatkan
aktivitas sosial dan ekonomi. Apa yang
dirasakan oleh warga di wilayah perbatasan
mengarah pada kebutuhan untuk hadirnya
negara di wilayah mereka. Keberadaan negara,
terwakilkan dengan adanya aparat, tidak dapat
mengontrol penuh apa saja yang terjadi dalam
lalu lintas di perbatasan, mengingat adanya
keterbatasan tidak hanya dari infrastruktur,
tetapi juga manajemen perbatasan yang belum
PERAN PEMERINTAH DALAM MENGATASI PERMASALAHAN KERAWANAN SOSIAL DI WILAYAH PERBATASAN (KANIA SARASWATI, GETAR HATI, NI LUH PUTU)
59
sempurna dijalankan, seperti perbedaan
tanggung jawab dan tugas dari masing-masing
lembaga dan aparat yang seharusnya hadir di
wilayah perbatasan. Rizki dan Merdekawati
(2018) menyatakan bahwa pejabat negara yang
ditempatkan di wilayah perbatasan sangat
minim baik dari jumlah personel serta
infrastruktur pendukung, dimana kondisi ini
menyebabkan dampak baik dari segi hukum
maupun keamanan. Wilayah perbatasan
merupakan wilayah dimana pemerintah
melayani semua warga negaranya. Merujuk
pada hal ini, pemerintah pusat perlu membuat
koordinasi dengan wilayah perbatasan dan
wilayah asal migran dimana saat ini sering
terjadi masalah.
Koordinasi pemerintah pusat hingga
desa harus terus diupayakan, terutama terkait
dengan penilaian kebutuhan warga perbatasan.
Negara tidak dapat secara tepat memberikan
layanan kepada warga bila tidak mengetahui
apa saja yang diperlukan oleh warganya dan
apa potensi yang ada di wilayah perbatasan.
Pemerintah harus melibatkan kepala kampung,
kepala suku, dan tokoh-tokoh adat yang ada di
kampung karena mereka masih sangat
berpengaruh dalam mengelola warga
kampung/adat mereka.
Negara menerapkan aturan hukum dan
kebijakan yang telah ditetapkan dihadapkan
dengan aturan yang berbeda-beda dengan
setiap negara tetangga. Perlu ada kerjasama
dengan negara tetangga untuk berkoordinasi
dalam penerapan aturan mengenai perbatasan
masing-masing negara. Hal ini kembali lagi
menyangkut kedaulatan negara dan
pemenuhan hak warganya demi stabilitas
keamanan dan peningkatan kesejahteraan
masing-masing negara.
Selain penanganan masalah kesehatan,
masyarakat juga membutuhkan koordinasi
untuk penanganan preventif dan
developmental dalam mencegah kejahatan
transnasional dan kerawanan sosial. Di
wilayah tertentu yang ditinggali oleh
masyarakat transmigran, koordinasi dengan
berbagai pihak telah dilakukan karena elit
desanya memiliki kemampuan leadership yang
baik. Berbagai bantuan dan program dari
pemerintah bisa dioptimalkan untuk kemajuan
desanya. Berbeda dengan di wilayah lain yang
dekat dengan perbatasan. Koordinasi untuk
pemanfaatan bantuan pemerintah belum
maksimal. Bahkan penggunaan bantuan
pemerintah lebih menekankan pada aspek
infrastruktur. Temuan ini menekankan
lemahnya Lembaga pemerintah yang memang
seharusnya berperan untuk mengembangkan
koordinasi di daerah perbatasan. Tidak
mengherankan jika pemerintah daerah yang
menyatakan bahwa rapat koordinasi yang
kerap di laksanakan oleh Lembaga tersebut
dipandang kurang bermanfaat nyata. Selain
itu, bagi pemerintah daerah, banyak regulasi
pemerintah pusat yang sering berubah dalam
hal birokratisasi pembangunan yang
menyebabkan mereka harus melakukan
pelatihan ulang dan menghambat kerja nyata.
Pembagian kewenangan secara vertikal
juga menghambat penyelesaian masalah –
JURNAL ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL, JILID 21, NOMOR 1, APRIL 2020, 44-62
60
masalah di perbatasan. Pemerintah pusat
melalui BP4TKI hanya memiliki anggaran
untuk mendeportasi TKI tanpa anggaran dan
kapasitas untuk memberikan pelayanan
psikososial. Setelah TKI masuk kembali ke
wilayah Indonesia, kewenangan untuk
menangani mereka masih belum jelas. Dinas
Sosial Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak memiliki anggaran
terbatas (diutamakan untuk TKI non-
pendatang) untuk memberikan pelayanan
respon psikososial.
Koordinasi dengan pemerintah
provinsi cukup panjang dan setelah koordinasi
dilaksanakan, dalam beberapa kasus, TKI tetap
tidak bisa mendapatkan bantuan karena
provinsi juga tidak memiliki anggaran untuk
respon, yang kemudian harus dilanjutkan ke
tingkat nasional. Hal ini mengakibatkan
permasalahan TKI di wilayah perbatasan
Indonesia-Malaysia yang menjadi sentral isu
ini belum juga dapat efektif diatasi.
KESIMPULAN
Budaya lokal menjadi tantangan bagi
organisasi, dalam hal ini pemerintah, dalam
mengembangkan pengembangan collective
governance di perbatasan, di Indonesia. Untuk
itu diperlukan pemahaman dalam
menempatkan makna perbatasan sebagai suatu
peluang bagi negara untuk dapat hadir menjaga
kedaulatannya.
Kehadiran negara tidak hanya dilihat
dari kebijakan mengenai wilayah perbatasan
yang dibuat oleh negara, dibutuhkan aksi atas
kebijakan dan program yang telah ditetapkan.
Selain itu, kehadiran negara bukan hanya
diwujudkan dalam pembangunan infrastruktur
yang menghubungkan antar kedua negara,
akan tetapi juga membangun kapasitas
pemerintah itu sendiri dalam menghadapi
tantangan di perbatasan. Kapasitas pemerintah
yang mampu mengelola wilayah perbatasan
baik dari segi pengelolaan politik, ekonomi,
sosial dan budaya.
Tantangan wilayah perbatasan dengan
karakteristik geografis, budaya dan latar
belakang sejarah yang memunculkan
permasalahan yang berbeda antara satu daerah
dengan yang lainnya.
REKOMENDASI
Salah satu hal utama yang perlu dilihat
dalam mengedepankan efektivitas dan
efisiensi kinerja negara dalam mengatasi
permasalahan di perbatasan adalah dengan
melaksanakan koordinasi antar Lembaga.
Koordinasi tersebut tentu dilaksanakan oleh
berbagai pemangku kepentingan. Jadi
koordinasi yang terjalin tidak hanya antara
Lembaga pemerintah saja, tetapi antara
Lembaga pemerintah dan Lembaga non
pemerintah.
Pembagian kewenangan secara vertikal
juga menghambat penyelesaian masalah –
masalah di perbatasan. Penanganan TKI
sebagai salah satu masalah sosial yang sering
ditemukan di wilayah perbatasan, termasuk
Entikong, dapat memberikan ilustrasi yang
lebih jelas. Pemerintah pusat melalui BP4TKI
PERAN PEMERINTAH DALAM MENGATASI PERMASALAHAN KERAWANAN SOSIAL DI WILAYAH PERBATASAN (KANIA SARASWATI, GETAR HATI, NI LUH PUTU)
61
hanya memiliki anggaran untuk mendeportasi
TKI tanpa anggaran dan kapasitas untuk
memberikan pelayanan psikososial. Setelah
TKI masuk kembali ke wilayah Indonesia,
kewenangan untuk menangani mereka masih
belum jelas. Dinas Sosial Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak memiliki
anggaran terbatas (diutamakan untuk TKI non-
pendatang) untuk memberikan pelayanan
respon psikososial. Koordinasi dengan
pemerintah provinsi cukup panjang dan setelah
koordinasi dilaksanakan, dalam beberapa
kasus, TKI tetap tidak bisa mendapatkan
bantuan karena provinsi juga tidak memiliki
anggaran untuk respon, yang kemudian harus
dilanjutkan ke tingkat nasional. Di sisi lain,
korban harus segera mendapatkan
pendampingan, salah satunya yang digerakkan
oleh lembaga swadaya. Untuk itu, penanganan
secara preventif diperlukan dalam
mengantisipasi resiko kerawanan sosial yang
mungkin muncul di wilayah perbatasan.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik (BPS). (2014) Indeks
Potensi Kerawanan Sosial di DKI
Jakarta. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Biro Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta.
(2014). Indeks Potensi Kerawanan
Sosial (IPKS) DKI Jakarta
Breslin, S., & Nesadurai, H. E. (2018). Who
governs and how? Non-state actors and
transnational governance in Southeast
Asia. Journal of Contemporary Asia,
48(2), 187-203.
Darto, M. (2014). Menghadirkan (kembali)
Negara. Jurnal Borneo Administrator,
10(2).
Drichel, Simone. (2013). Reframing
Vulnerability: "so obviously the
problem..."?. SubStance, Vol. 42, No. 3,
ISSUE 132: Vulnerability (2013), pp. 3-
27. The Johns Hopkins University Press.
https://www.jstor.org/stable/24540722
Irwansyah (2017). Border Issue:
Misperception between Indonesia and
Malaysia. SHS Web of Conferences 33,
00058 (2017). DOI: 10.1051/
shsconf/20173300058 i-COME'16
Kemitraan (2011). Kebijakan Pengelolaan
Kawasan Perbatasan: Partnership
Policy Paper No.2/2011. Jakarta: Mei
2011.
Misztal, (2011). The challenges of
vulnerability: In search of strategies for
a less vulnerable social life. Houndmills,
Basingstoke: Palgrave Macmillan.
Rizki, M., & Merdekawati, A., (2018), “The
Significance of Boundary Construction
at Land Border between Indonesia-
Malaysia in Temajuk Village, Sambas
Regency as Manifestations of
Indonesia’s Sovereignty” in The 1st
JURNAL ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL, JILID 21, NOMOR 1, APRIL 2020, 44-62
62
International Conference on South East
Asia Studies, 2016, KnE Social
Sciences, hal. 405–423. DOI
10.18502/kss.v3i5.2346
Shaun Breslin & Helen E. S. Nesadurai (2018)
Who Governs and How? NonState
Actors and Transnational Governance in
Southeast Asia, Journal of
Contemporary Asia, 48:2, 187-203,
DOI: 10.1080/00472336.2017.1416423
Suwartiningsih, Sri, David Syonom Daru
Purnomo. Harmoni Sosial Masyarakat
Perbatasan Indonesia-Malaysia. Jurnal
Hubungan Internasional. Vol. 7 No. 1,
April-September 2018.
https://doi.org/10.18196/hi.71120
Joesoef, Daoed. (2016). Kehadiran Negara.
https://nasional.kompas.com/read/
2016/09/26/20130441/kehadiran.negara
?page=all.
Tim Peneliti Kejahatan Transnasional dan
Perlindungan Warga Negara di
Perbatasan Darat Negara Kesaturan RI.
(2018). Transkrip Diskusi Kelompok
Terfokus dan Wawancara Mendalam.
Universitas Indonesia. (tidak
diterbitkan)