peran rekayasa desain tambak dan bentuk pond system dalam upaya budidaya ramah lingkungan dan...
DESCRIPTION
TaskTRANSCRIPT
MAKALAH
“Peran Rekayasa Desain Tambak dan Bentuk Pond
System dalam Upaya Budidaya Ramah Lingkungan dan
Peningkatan Produksi Kepiting“
Disusun oleh:
Ety Nurul Fitriyati 26010212130030
Muhammad Nur Sihabuddin 26010212130078
Muhammad Falah 26010212140022
Muhammad Kosim 26010212140044
Pindo Hafiyyan 26010212140075
Viola Indah Utari 26010212120008
Winanda Adi Kusuma 26010212130075
Suci Fitriyanti 26010212140097
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2015
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Usaha diversifikasi produk tambak merupakan alternatif dalam mengatasi
kompleksnya permasalahan budidaya tambak. Kepiting bakau merupakan salah
satu alternatif yang bisa dipilih untuk dibudidayakan karena mempunyai nilai
ekonomis tinggi dan merupakan salah satu jenis golongan crustaceae yang
mengandung protein hewani cukup tinggi, hidup di perairan pantai dan muara
sungai, terutama yang ditumbuhi oleh pohon bakau dengan dasar perairan
berlumpur (Mossa et al., 1995). Lebih lanjut dikatakan bahwa permintaan
komoditas kepiting terus meningkat baik di pasaran dalam maupun luar negeri,
sehingga menyebabkan penangkapan di alam berjalan semakin intensif, akibatnya
terjadi penurunan populasi kepiting di alam. Untuk mengatasi hal tersebut
alternatif peningkatan produksi lewat budidaya perlu dikaji lebih lanjut.
Kepiting bakau (Scylla serrata) merupakan satu diantara komoditas laut
yang mempunyai nilai ekonomis tinggi di pasaran dunia. Sangat digemari
konsumen lokal maupun luar negeri dan dalam kurun waktu sepuluh tahun
terakhir ekspor kepiting meningkat rata-rata 14,06%. Komoditas ini mempunyai
kandungan nilai gizi tinggi, protein dan lemak, bahkan pada telur kepiting
kandungan proteinnya sangat tinggi, yaitu sebesar 88,55%. Dengan nilai
komposisi demikian, komoditas ini sangat digemari konsumen luar negeri dan
menjadi salah satu makanan paling bergengsi di kalangan mereka. Amerika
Serikat merupakan negara penyerap hampir 55% produksi kepiting dunia, sedang
permintaan lainnya datang dari negara-negara di kawasan Eropa, Australia,
Jepang, Hongkong, Taiwan, Singapura, Korea Selatan (Ditjen Perikanan, 2000).
Permintaan ekspor kepiting bakau terus meningkat dan telah menjadikan
komoditas ini sebagai salah satu andalan ekspor non migas yang pada tahun 2000
meraup devisa US $ 25.488.000 (Ditjen Perikanan, 2000). Namun kebutuhan
ekspor kepiting bakau selama ini masih mengandalkan hasil penangkapan di
muara sungai / kawasan bakau yang apabila eksploitasi kepiting bakau ini
semakin intensif dan tidak terkendali akan mengancam kelestarian sumber daya
tersebut. Oleh karena itu, guna memenuhi kebutuhan konsumsi domestik maupun
kebutuhan ekspor yang terus meningkat diperlukan upaya alternatif melalui usaha
budidaya. Upaya budidaya, yaitu penggemukan kepiting bakau telah cukup
berkembang yang dilakukan oleh petani tambak di Indonesia. Di Jawa Tengah,
usaha ini dilakukan dengan sistem silvofishery, yang memadukan antara budidaya
komoditas perikanan berupa ikan bandeng dan kepiting dengan penanaman
tanaman bakau. Hal ini menjadi salah satu alternatif bagi para petani tambak atas
kegagalan mereka dalam budidaya udang windu beberapa tahun terakhir.
Di Indonesia secara umum kepiting bakau merupakan komoditas perikanan
yang penting sejak tahun 1980, pada dekade 1985-1994, peningkatan produksi
mulai dari 14,3% per tahun. dalam tahun 1994 produksi mencapai 8756 ton dari
hasil budidaya dan penangkapan di alam (Dirjen Perikanan 1985-1994 dalam
Cholik, 2005). Permintaan kepiting bakau untuk pasar Internasional dan lokal
terus meningkat, dalam tahun 2005 pemasok soft crab kepiting bakau untuk
Kabupaten Pemalang membutuhkan lebih dari 10 ton per bulan, sementara
petambak hanya mampu menghasilkan ± 5500 kg soft crab/bulan. Sedangkan
penangkapan kepiting dialam (seputar hutan mangove) dibatasi oleh aturan lokal
tidak diperbolehkan menangkap kepiting dalam kondisi bertelur dan baby crab.
Potensi budidaya perikanan pantai di negara kita sangat besar, hal ini
didukung oleh kenyataan bahwa sebagai negara kepulauan, Indonesia mempunyai
panjang pantai lebih dari 81.000 km, terdiri lebih dari 17.000 pulau tersebar luas
antara 6° LU-11°LS dan 95° BT-141°BT , 70 persen dari luas wilayahnya berupa
laut (perairan) terbentang dari Sabang sampai Merauke. Di dalam wilayah
Indonesia terkandung kekayaan hewani dan nabati yang saat ini tingkat
eksploitasinya belum optimal. Sebagai negara bahari, bangsa Indonesia harus
mampu memanfaatkan potensi perairan yang ada sebagai media penghubung antar
pulau sekaligus sebagai sumber daya kehidupan maritim. Jika dimanfaatkan
secara arif, potensi kekayaan tersebut dapat mendukung pembangunan sosial
ekonomi menuju masyarakat Indonesia yang maju, makmur dan berkeadilan.
Namun potensi yang besar ini belum tergarap secara optimal sehingga membuka
peluang bagi kita untuk mengelolanya. Sumber daya sektor perikanan saat ini
memberikan kontribusi penting bagi perekonomian nasional antara lain:
1. Produk perikanan merupakan pemasok utama protein hewani bagi 200 juta
lebih penduduk Indonesia
2. Sub sektor perikanan menyerap lapangan pekerjaan bagi sekitar 4,4 juta
masyarakat nelayan/ petani ikan.
3. Penghasil devisa bagi perekonomian Indonesia Misi dan tujuan pembangunan
sektor kelautan dan perikanan ke depan seyogyanya diarahkan untuk
mencapai tiga target secara seimbang, yaitu:
a. meningkatkan pertumbuhan ekonomi dalam bentuk nilai ekspor,
sumbangan terhadap PDB dan penyediaan lapangan kerja
b. pemerataan hasil-hasil pembangunan secara adil, terutama peningkatan
kesejahteraaan masyarakat pesisir, nelayan dan petani ikan yang masih
tertinggal.
c. pemeliharaan daya dukung dan kualitas lingkungan
Carryng capacity dalam ekosistem pertambakan mempunyai peran yang
signifikan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan tambak. Menurut Beveridge
(1996) mengemukakan bahwa carryng capcity digunakan untuk menjabarkan
produksi dari budidaya yang dapat berkelanjutan dalam suatu lingkungan, dan
kapasitas penyangga dalam lingkungan yang mengalami kerusakan memerlukan
waktu pemulihan yang relatif lama. Lebih lanjut dikatakan untuk menentukan
carryng capacity dalam suatu lingkungan perairan budidaya dapat dilakukan
dengan pendekatan, menghitung beban limbah total fosfor (TP) dari sistem
budidaya yang terbuang ke lingkungan perairan terkait dengan influx nutrient,
budget nutrient dan out flux nutrient.
1.2. Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui peran rekayasa design tambak dan bentuk pond system dalam
upaya budidaya ramah lingkungan
2. Mengetahui peran rekayasa design tambak dan bentuk pond system dalam
upaya peningkatan produksi kepiting.
1.3. Manfaat
Manfaat yang dapat diambil dari makalah ini yaitu:
1. Dapat mengetahui peran design tambak dan pond system dalam budidaya
ramah lingkungan.
2. Dapat mengetahui peran design tambak dan pond system dalam peningkatan
produksi kepiting
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Klasifikasi dan Morfologi
Kepiting bakau adalah hewan berkulit keras dari kelas Crustacea yang
pertumbuhannya dicirikan oleh proses ganti kulit (moulting). Ordo Dechapoda
ditandai dengan adanya 10 buah (lima pasang) kaki, pasangan kaki pertama
disebut capit yang berperan sebagai alat penangkap/pemegang makanan, pasangan
kaki kelima berbentuk seperti kipas (pipih) berfungsi sebagai kaki renang dan
pasangan kaki selebihnya sebagai kaki jalan. Dengan capit dan kaki jalan,
kepiting bisa berlari cepat di darat dan berbekal kaki renang dapat berenang
dengan cepat di air sehingga tergolong Swimming Crab (Portunidae). Genus
Scylla ditandai oleh bentuk carapace yang oval dengan bagian depan memiliki 9
duri pada sisi kiri dan kanan serta 4 duri di antara kedua matanya.
Kepiting merupakan fauna yang habitat dan penyebarannya terdapat di air
tawar, payau dan laut. Jenis-jenisnya sangat beragam dan dapat hidup di berbagai
kolom di setiap perairan. Menurut Agus (2008), kepiting bakau mempunyai
beberapa spesies antara lain Scylla serrata, Scylla tranquebarica, dan Scylla
oceanica. Sebagian besar kepiting yang kita kenal banyak hidup di perairan payau
terutama di dalam ekosistem mangrove. Beberapa jenis yang hidup dalam
ekosistem ini adalah Hermit Crab, Uca sp, Mud Lobster dan kepiting bakau.
Sebagian besar kepiting merupakan fauna yang aktif mencari makan di malam
hari nocturnal (Prianto, 2007).
Kepiting termasuk dalam beberapa suku (familia), Portunidae dan seksi
(sectio) Brachyura. Cukup banyak jenis yang termasuk dalam suku ini. Tetapi dari
sekian jenis ini, hanya ada beberapa saja yang banyak dikenal orang karena biasa
dimakan, dan tentu saja berukuran agak besar. Jenis yang tubuhnya berukuran
kurang dari 6 cm tidak lazim dimakan karena terlalu kecil dan hampir tidak
mempunyai daging yang berarti. Beberapa jenis yang dapat dimakan ternyata juga
dapat menimbulkan keracunan (Nontji, 2007).
Gambar 1. Kepiting Bakau (Scylla serrata)
Sumber : FAO (2001)
Adapun klasifikasi kepiting bakau (Scylla serrata) Menurut Prianto (2007),
dilihat dari sistematikanya adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Athropoda
Kelas : Crustasea
Ordo : Decapoda
Famili : Portunidae
Genus : Portunus
Spesies : Scylla serrata
Kepiting mempunyai bentuk dan ukuran yang beragam tetapi seluruhnya
mempunyai kesamaan pada bentuk tubuh. Seluruh kepiting mempunyai chelipeds
dan empat pasang kaki jalan. Pada bagian kaki juga dilengkapi dengan kuku dan
sepasang penjepit, chelipeds terletak di depan kaki pertama dan setiap jenis
kepiting memiliki struktur chelipeds yang berbeda-beda. Chelipeds dapat
digunakan untuk memegang dan membawa makanan, menggali, membuka kulit
kerang dan juga sebagai senjata dalam menghadapi musuh. Di samping itu, tubuh
kepiting juga ditutupi dengan Carapace. Carapace merupakan kulit yang keras
atau dengan istilah lain exoskeleton (kulit luar) berfungsi untuk melindungi organ
dalam bagian kepala, badan dan insang (Prianto, 2007).
Beberapa bagian yang terdapat di sekitar mulut berfungsi dalam memegang
makanan dan juga memompakan air dari mulut ke insang. Kepiting memiliki
rangka luar yang keras sehingga mulutnya tidak dapat dibuka lebar. Hal ini
menyebabkan kepiting lebih banyak menggunakan sapit dalam memperoleh
makanan. Makanan yang diperoleh dihancurkan dengan menggunakan sapit,
kemudian baru dimakan (Shimek, 2008).
Tubuh kepiting juga dilengkapi bulu dan rambut sebagai indera penerima.
Bulu-bulu terdapat hampir di seluruh tubuh tetapi sebagian besar bergerombol
pada kaki jalan. Untuk menemukan makanannya kepiting menggunakan
rangsangan bahan kimia yang dihasilkan oleh organ tubuh. Antena memiliki
indera penciuman yang mampu merangsang kepiting untuk mencari makan.
Ketika alat pendeteksi pada kaki melakukan kontak langsung dengan makanan,
chelipeds dengan cepat menjepit makanan tersebut dan langsung dimasukkan ke
dalam mulut. Mulut kepiting juga memiliki alat penerima sinyal yang sangat
sensitif untuk mendeteksi bahan-bahan kimia. Kepiting mengandalkan kombinasi
organ perasa untuk menemukan makanan, pasangan dan menyelamatkan diri dari
predator (Prianto, 2007).
Gambar 2. Morfologi Kepiting Bakau
Sumber: www.google.com
Kepiting menggunakan capitnya yang besar untuk makan, yaitu
menggunakan sapit untuk memasukan makanan ke alam mulutnya. Kepiting
mempunyai kebiasaan unik dalam mencari makan, bila di daerah kekuasaannya
diganggu musuh, misalnya oleh kepiting lain, kepiting dapat saja menyerang
musuhnya dengan ganas (Rosmaniar, 2008).
2.2. Reproduksi
Reproduksi kepiting terjadi di luar tubuh, hanya saja sebagian kepiting
meletakkan telur-telurnya pada tubuh sang betina. Kepiting betina biasanya segera
melepaskan telur sesaat setelah kawin, tetapi sang betina memiliki kemampuan
untuk menyimpan sperma sang jantan hingga beberapa bulan lamanya. Telur yang
akan dibuahi selanjutnya dimasukkan pada tempat (bagian tubuh) penyimpanan
sperma. Setelah telur dibuahi telur-telur ini akan ditempatkan pada bagian bawah
perut (abdomen). Jumlah telur yang dibawa tergantung pada ukuran kepiting.
Beberapa spesies dapat membawa puluhan hingga ribuan telur ketika terjadi
pemijahan. Telur ini akan menetas setelah beberapa hari kemudian menjadi larva
(individu baru) yang dikenal dengan “zoea”. Ketika melepaskan zoea ke perairan,
sang induk menggerak-gerakkan perutnya untuk membantu zoea agar dapat
dengan mudah lepas dari abdomen. Larva kepiting selanjutnya hidup sebagai
plankton dan melakukan moulting beberapa kali hingga mencapai ukuran tertentu
agar dapat tinggal di dasar perairan sebagai hewan dasar (Prianto, 2007).
2.3. Siklus hidup
Kepiting dapat bertahan hidup hingga mencapi umur 3 - 4 tahun.
Sementara itu pada umur 12 - 14 bulan kepiting sudah dianggap dewasa dan dapat
dipijahkan. Sekali memijah, kepiting bisa menghasilkan jutaan telur tergantung
ukuran induk. Di alam bebas, jumlah larva yang mampu menjadi kepiting muda
sangat kecil karena antara lain faktor lingkungan yang tiak mendukung dan
banyaknya musuh alami. Sekali melakukan pemijahan kepiting betina mampu
menyimpan sperma jantan dan dapat melakukan pemijahan hingga tiga kali tanpa
perkawinan lagi. Telur kepiting yang telah dibuahi akan menetas menjadi zoea,
megalops dan kepiting muda yang akhirnya menjadi kepiting dewasa. Selama
masa pertumbuhan, kepiting menjadi dewasa akan mengalami pergantian kulit
antara 17 - 20 kali tergantung kondisi lingkungan dan pakan yang dapat
mempengaruhi pertumbuhan. Proses molting (pergantian kulit) pada zoea
berlangsung lebih cepat yaitu sekitar 3 - 4 hari, sedangkan pada fase megalops,
proses dan interval pergantian kulit berlangsung relatif lama yaitu setiap 15 hari.
Setiap molting, tubuh kepiting akan bertambah besar sekitar 1/3 kali ukuran
semula dan panjang carapace meningkat 5 - 10 mm pada kepiting dewasa.
Kepiting dewasa berumur 12 bulan memiliki lebar carapace 17 cm dan berat
sekitar 200 g.
Gambar 3. Siklus Hidup Kepiting Bakau
Sumber: www.google.com
Kepiting tidak dapat tumbuh secara linier sebagaimana hewan lain karena
mereka memiliki cangkang luar yang keras (karapas) yang tidak dapat bertumbuh.
Karenanya agar kepiting dapat bertumbuh maka karapas lama harus diganti
dengan yang baru yang lebih besar. Proses pergantian ini disebut molting. Pada
kepiting, pertumbuhan merupakan proses perubahan panjang dan bobot yang
terjadi secara berkala pada setiap rangkaian proses pergantian kulit atau molting
(Fujaya, 2008).
Molting adalah proses sentral dan berkesinambungan yang terjadi selama
hidup kepiting. Ada empat fase dalam siklus molting: intermolt, premolt
(persiapan untuk mencapai molting), molt (molting), dan post molt (recovery dari
molting). Selama intermolt, exoskeleton terbentuk sempurna dan hewan
mengakumulasi calcium dan energi untuk disimpan. Premolt dimulai ketika
exsoskeleton yang lama mulai memisahkan diri dari epidermis dan mulai
terbentuk exsoskeleton baru. Calcium dan beberapa nutrien lainnya diabsorbsi
dari exoskeleton lama dan disimpan di dalam daging kepiting dan selanjutnya
dikembalikan pada exoskeleton baru. Ada beberapa faktor yang mengontrol
molting, yaitu informasi eksternal dari lingkungan seperti cahaya, temperatur, dan
ketersediaan makanan. Selain itu, informasi internal juga sangat berperan, seperti
ukuran tubuh yang membutuhkan tempat yang lebih luas. Kedua faktor ini akan
mempengaruhi otak dan menstimulasi organ-Y untuk menghasilkan hormon
molting ( Fujaya, 2008).
Masa pertumbuhan menjadi dewasa, kepiting bakau akan mengalami
beberapa kali molting yaitu antara 17 sampai 20 kali. Hal ini terjadi karena rangka
luar yang membungkus tubuhnya tidak dapat membesar, sehingga perlu dibuang
dan diganti dengan yang lebih besar. Setiap periode (fase intermolt) pertumbuhan
kepiting dapat mencapai 20% sampai 30% dari ukuran semula (Anonim, 2009).
Kepiting yang masih kecil penambahan bobot dapat mencapai 400%. Secara
keseluruhan, penambahan bobot pada setiap molting berkisar antara 3% sampai
44%. Pertumbuhan kepiting bakau sejak dari telur sampai dewasa dengan lebar
karapas sekitar 114.2 mm memerlukan waktu minimal 369 hari (Warner, 1977).
2.4. Kebiasaan Makan
Kondisi air/dasar tambak yang sangat jelek dapat mematikan secara total
bila kepiting tersebut tidak dapat kesempatan untuk berlindung ketempat yang
lebih aman. Jenis pakan yang dikonsumsi kepiting bervariasi, tergantung
stadia/ukuran kepiting. Sejak fase megalops sampai dewasa kepiting bakau
bersifat bentik dan suka berbenam diri kedalam lumpur. Pada fase zoea bersifat
pemakan plankton, setelah megalops bersifat carnivora, dan kepiting muda hingga
dewasa bersifat omnivorus scavenger, yaitu senang memakan daging. Oleh karena
itu beberapa alternatif pakan yang bisa diberikan adalah antara lain ikan rucah
segar, ikan rucah kering tawar, kulit sapi/kambing, jenis siput (keong sawah),
bekicot, daging ular, belut, dan kerang (kepah/joi atau sejenisnya). Pada umumnya
kepiting aktif pada saat air pasang atau bersamaan arus air baru. Sebaiknya
pemberian pakan disesuaikan dengan kebiasaan tersebut. Untuk pemberian pakan
ikan kering tawar sebelumnya direndam dulu supaya pada saat disebar/diberikan
segera tenggelam mendekat kepiting yang biasanya ada didasar. Bila tidak, pakan
tersebut akan sulit dijangkau oleh kepiting karena mengapung di permukaan yang
akhirnya bisa keluar pagar melalui celah pagar dan tidak termakan.
2.5. Budidaya Kepiting Bakau
Kepiting merupakan komoditas yang berekonomis tinggi oleh karena itu
adanya budidaya kepiting yang meliputi Alat tangkap yang umum dipergunakan
antara lain bulu/wadong dan pintur sejenis rakkang terapung terutama di daerah
Cilacap, rakkang tancap dan amban (mirip anco kecil) seperti di Sulawesi Selatan,
Aceh, Kalimantan Barat dan Timur dan juga kail. Semua jenis alat tersebut
memerlukan umpan berupa ikan rucah, belut, daging ular dan lain-lain. Biasanya
operasi penangkapan bersamaan pasang naik pada waktu kepiting aktif mencari
makan. Alat tersebut biasa dipasang dengan jarak antara 10 - 15 m di perairan
dekat hutan bakau, muara atau sepanjang sungai yang banyak terdapat kepiting
bakau, dengan bantuan sampan dilakukan pengecekan secara teratur. Hasil
penangkapan segera dilakukan pengikatan sehingga mudah penanganan
selanjutnya. Sebaiknya hasil tangkapan yang telah diikat jangan disimpan terlalu
lama (lebih dari 3 hari) agar mutu tidak menurun. Ukuran kecil yang belum
memenuhi masyarat pasar bisa dibesarkan dalam kurungan yangditempatkan
dalam tambak/saluran air yang mendapat air baik dan diberi makan selama 1 - 2
minggu tergantung ukuran awal.
Budidaya pembesaran kepiting bisa dilakukan secara monokultur atau
polikultur dengan bandeng. Pemilihan komoditas untuk dipolikultur harus
komoditas yang bersifat plankton feeder, lincah sehingga tidak mudah ditangkap
kepiting. Dengan demikian kepiting tidak bisa dibudidayakan dengan udang
karena sifat udang yang hidup di dasar dan mengalami ganti kulit akan mudah
dimangsa oleh kepiting. Pemberian pakan kepiting berupa ikan rucah akan
memberikan efek menyuburkan air dan menstimulir pertumbuhan plankton akibat
dari sebagian sisa pakan/protein yang terlepas berfungsi sebagai pupuk. Padat
penebaran berkisar antara 1 - 3 ekor/m2 , ukuran benir tebar sekitar 60 g dengan
masa pemeliharaan 5 - 6 bulan.
Budidaya penggemukan dimaksudkan untuk memelihara kepiting yang
tidak berisi/keropos dengan pemberian pakan menjadi berisi/gemuk sehingga
dapat meningkatkan harga. Dalam penangkapan jumlah banyak dan pengumpulan
dari penangkap sering ditemukan banyak kepiting tidak berisi baik jantan maupun
betina. Dalam kondisi smacam ini kepiting tidak laku/murah sekali karena
dagingnya sedikit. Untuk jumlah yang cukup dapat ditampung ditambak atau
dalam kurungan bambu, diberi makan secara cukup mutu dan jumlahnya sehingga
dalam waktu relatif singkat 1 - 2 minggu menjadi gemuk. Kepadatan tebar untuk
ukuran sekitar 100 - 150 g sebanyak 10 - 20 ekor/m2 dan ukuran 200 - 250 g
sekitar 10 ekor/m2 tergantung kondisi wadah budidaya dan sistem penggantian
air.
Keberhasilan suatu usaha budidaya sangat tergantung pada keberhasilan
menjaga kondisi lingkungan budidaya dan sekitarnya, hal ini sangat terkait
dengan daya dukung, daya tampung, dan self purying, serta daya asimilasi dalam
lingkungan tersebut. Pengaruh lingkungan yang memburuk bisa mengakibatkan
penurunan laju pertumbuhan, timbulnya penyakit, bahkan yang ekstrim berupa
kematian massal pada kultivan tersebut. Lebih lanjut dijelaskan bahwa
peningkatan kandungan P (posfor) dan N (nitrogen) dalam air dan sedimen perlu
diwaspadai terutama pada budidaya yang tidak mengandalkan pemanfaatan pakan
alami, karena dalam proses dekomposisi sisa pakan dan feces akan berpengaruh
pada penurunan oksigen terlarut dalam lingkungan budidaya, sehingga kulitvan
akan mengalami masalah dalam kelangsungan hidup dan pertumbuhannya
(Subandar et al., 2005).
Kepiting yang baru saja dipanen harus segera diikat supaya tidak lepas dan
saling menyerang, memudahkan seleksi dan penanganan selanjutnya. Pengikatan
dapat dilakukan dengan dua cara yakni: (1) pengikatan seluruh kaki dan capit
sehingga kepiting tidak mampu bergerak, (2) pengikatan pada capit saja sehingga
kepiting masih mampu berjalan tetapi tidak dapat menyerang. Pengikatan pertama
mempunyai kelemahan bila dibiarkan dalam beberapa hari, ketika akan dilepas,
kepiting menjadi lumpuh, tidak lincah sehingga dinilai lemah atau sakit yang
dapat menurunkan mutu, sedangkan pengikat cara kedua kepiting masih bisa lari
kecuali yang lemah atau sakit sehingga peluang lepas atau hilang bila tempat
penyimpanan atau penampungan tidak tertutup, selalu ada.
Kepiting yang telah diikat, disortir, disusun rapi (tidak terbalik) di dalam
keranjang atau semacamnya bersusun 3 - 5 lapis dengan kondisi keranjang cukup
memiliki ventilasi/lubang untuk sirkulasi udara. Dalam keadaan ini dapat
disimpan dalam ruangan lembab bersuhu rendah. Bila karena sesuatu hal kepiting
yang telah diikat tidak dapat segera dikirim kepada konsumen/pembeli, maka
setiap 12 jam dapat dicelup dalam air asin selama beberapa menit untuk
menghindari dehidrasi. Bila ada yang lemah sekali atau mati harus segera
dipisahkan untuk menghindari kematian kepiting lainya. Kepiting yang lemah,
kurang sehat ditandai dengan gerakan tangkai mata dan kaki renang yang lamban,
serta keluar busa dari mulutnya.
Ukuran kepiting sangat bervariasi. Anakan kepiting yang berukuran berat
30 - 50 gram dijadikan benih untuk budidaya unit pembesaran. Kepiting
tangkapan yang ukurannya 150 - 200 gram menjadi benih untuk unit
Penggemukan, terdiri dari kepiting jantan dan betina. Kepiting ukuran itu juga
dijadikan benih untuk unit produksi cangkang lunak dan juga unit produksi
kepiting bertelur, (betina saja.). Pedagang biasanya membuat bak untuk
pengangkut itu ukuran garis tengah 50 cm. Dapat juga dibuat dari fiber glass
berbentuk kotak ukuran 50 x 50 cm , dalam 60 cm. Bak ukuran itu dapat memuat
150 - 200 ekor kepiting kecil-kecil berat 20 - 50 gram/ekor. Selama diangkut,
kepiting direndam dalam air payau 10-25 ppt. Pengangkutan selama 7 - 8 jam,
mortalitasnya berkisar 0 - 40 % (Gunarto,1989 dalam Cholik,1991).
Harga kepiting betina yang bertelur penuh bisa 3 kali lebih tinggi daripada
kepiting betina yang tidak bertelur untuk ukuran yang sama. Untuk kepiting
ukuran sekitar 200 g yang baru mulai bertelur dinilai sama harganya dengan
kepiting yang belum bertelur, padahal dengan menahan 1 - 2 minggu dan
pemberian pakan yang cukup, mutu dan jumlahnya akan diperoleh kepiting betina
bertelur penuh. Prinsip pemeliharan sama dengan penggemukan, bedanya disini
dilakukan secara monosex (betina semua). Ukuran tebar 200 - 250 g dengan masa
pemeliharaan sekitar 2 minggu diperoleh 75 - 100% betina bertelur penuh. Yang
perlu diperhatikan adalah penggantian air secara cukup, pemberian pakan cukup
mutu dan jumlah. Pada kepiting bertelur, semakin berkembang telur menjadi
penuh maka nafsu makan semakin berkurang seperti “berpuasa” sehingga jumlah
pakan dikurangi supaya tidak berlebih yang dapat menurunkan mutu air.
2.6. Rekayasa Budidaya Desain Tambak
Persiapan tambak meliputi: Pengeringan merupakan proses dimana seluruh
air yang berada di area tambak dikeringkan total sampai tanah mengerut.
Persiapan tanah dasar tambak yang pertama kali dilakukan adalah pengeringan
total kemudiaan penjemuran tanah dasar dibawah terik matahari hingga tanahnya
retak. Lama penjemuran sekitar 1-2 minggu, tergantung dari kondisi cuaca.
Khusus tambak yang pernah digunakan untuk memelihara udang, lapisan atas
tanah dasar tambak perlu dibuang karena mengandung timbunan sisa pakan yang
sudah membusuk. Pembuangan lapisan atas tanah dasar dilakukan dengan
cangkul. Jika kondisi tanah dasar tambak tidak terlalu buruk, pembuangan lapisan
atas tidak perlu dilakukan , tetapi cukup membalik tanah dasar dengan cangkul
atau bajak (Ahmad, 2006). Pengapuran merupakan proses kedua dalam
pembuatan tambak yang mana pengapuran merupakan proses penaburan kapur
pertanian. Proses pengeringan dan pembalikan tanah dasar dianggap cukup,
selanjutnya dilakukan pengapuran dengan kapur pertanian. Pengapuran tidak
hanya dilakukan di tanah dasar tambak, tetapi juga di dinding tanggul bagian
dalam yang mengarah ke tambak. Cara pengapuran adalah menyebar kapur secara
merata ke seluruh tanah dasar dan dinding tanggul (Ahmad, 2006).
Pemupukan adalah proses pemberian pupuk pada tambak. Setelah dilakukan
tahap-tahap sebulumnya, air tambak harus dipupuk dengan pupuk NPK dosis 4-5
ppm dan penambahan pupuk organik (kotoran ayam) dosis 0,1 ppm. Gunanya,
untuk menyuburkan pertumbuhan plankton setelah plankton mati karena aplikasi
klorin. Bila plankton sama sekali tidak tumbuh maka harus dimasukkan bibit
plankton yang diperoleh dari laboratorium yang membuat kultur tersebut. Bila
plankton tidak dibenarkan diambil dari tambak lain karena kekhawatiran akan
tertular penyakit (Suyanto, 2009).
Faktor Ekologi pada budidaya kepiting sangat diperlukan untuk menunjang
pertumbuhan kepiting dan produksi yang baik yaitu meliputi faktor tanah, tekstur
tanah liat berpasir, liat berlempung sehingga mudah untuk konstruksi, tidak
mudah bocor atau porous, bukan tanah gambut dan masam dengan tingkat
kesuburan yang cukup. Iklim yang meliputi curah hujan, suhu, angin dan
berkaitan dengan gelombang atau ombak besar perlu diperhatikan. Perbedaan
musim hujan dan kemarau yang sangat tegas dan panjang akan mengakibatkan
kendala fluktuasi salinitas, bahaya banjir dan erosi dan abrasi pantai sehingga air
menjadi keruh. Informasi rinci mengenai iklim penting untuk memperhatikan pola
tanam.
Topografi yang relatif datar dan pondasi pantai stabil merupakan tempat
yang ideal. Air irigasi yang ideal adalah air irigasi dapat diperoleh secara cukup
mutu dan jumlah setiap diperlukan, baik air tawar maupun air laut. Persyaratan
lainnya kadar garam berkisar antara 10 - 35 permil, pH 6.5 - 8.5, kandungan
oksigen terlarut lebih dari 4 ppm, air bersih dan bebas cemaran, sirkulasi air
cukup dengan fluktuasi pasang surut berkisar antara 1.5 - 2 m, terlindung dari
ombak dan arus deras serta bebas banjir.
Shelter (Pelindung) diperlukan karena kepiting mempunyai sifat kanibal,
terutama saat lapar atau bila ada sesamanya yang sedang molting akan akan
diserang. Sifat ini yang sering menyebabkan mortalitas tinggi pada budidaya
pembesaran karena dari frekuensimolting ukuran kecil lebih sering. Untuk
mengurangi sifat kanibal ini perlu upaya pemberian makanan yang bermutu dan
cukup, pemeliharaan monosex dan pemberian shelter yang berguna sebagai
tempat berlindung, terutama kepiting yang molting dan kepiting kecil. Shelter
dapat dibuat dari akar/bahan yang sejenisnya yang tahan terhadap air dan tidak
membusuk atau berubah sifat/mutu air ditempat secara terpisah (menyebar dalam
petakan tambak). Bila dikhawatirkan akan terjadi perubahan/penurunan mutu
selama pemeliharaan misalnya akibat kelebihan pakan, sulit ganti air yang dapat
mengakibatkan kematian kepiting, maka perlu adanya gundukan tanah atau
semacamnya yang bisa dipergunakan oleh kepiting untuk menghindarkan diri dari
kondisi air yang jelek sebelum adanya pergantian air. Keberadaan vegetasi
mangrov di petak pembesaran yang luas dalam jumlah terbatas (beberapa pohon
saja) dapat juga berfungsi sebagai shelter dan mengurangi pengaruh suhu tinggi
bila ketinggian air berkurang.
Menurut Cholik & Hanafi, 1991, Tehnik budidaya kepiting yang
dipraktekkan di berbagai daerah di Indonesia, dideskripsikan dibawah ini.
a. Kotak dari bambu
Wadah penggemukan itu kebanyakan dibuat dari bambu ukuran kotak 2 x
0,5 x 0,2 m. Terbagi menjadi 2 bagian yang masing-bagian diberi tutup. Ruangan
kotak itu disekat-sekat menjadi kotak-kotak kecil masing- masing 30 cm2. cukup
untuk diisi dengan 1 ekor kepiting di setiap kotak tersebut. Wadah seperti ini
digunakan oleh para nelayan di Cilacap (Jawa Tengah) dan juga di Bone
(Sulawesi Selatan), untuk memelihara kepiting bertelur.
b. Kotak plastik
Wadah yang mungkin digunakan juga ialah kotak dari plastic ukuran 60 x
40 x 20 cm. Kotak ini juga di beri sekat-sekat menjadi 9 ruang masing-
masing untuk 1 ekor kepiting. Sistem kotak kecil ( disebut sistem baterei
pada kandang ayam) , ini berarti sangat hemat ruang atau padat penebaran
tinggi ,yaitu 40 ekor kepiting per-M2. Dengan system ini mortalitas hanya 5
% atau kurang, karena kepiting tidak dapat saling menyerang atau
memangsa. Menurut Cholik (1991) kematian itu disebabkan oleh kegagalan
pada waktu ganti kulit.
Gambar 4. Kotak Bambu Terapung Sistem Baterei
c. Kotak dari jaring (Jaring apung)
Khusus untuk memelihara kepiting, Jaring apung yang dibuat berukuran
kecil, 2,5 x 2,5 x 1 m Bingkai diibagian atas dari papan sedikit agak lebar,
sedemikian rupa sehingga papan bingkai itu menjorok kedalam, dapat
menghalangi kepiting keluar. Agar tidak hanyut terbawa arus, setiap sudut diberi
jangkar dengan ikatan tali, seperti pada gambar dibawah ini
.
Gambar 5. Kotak Jaring Apung (Menurut Cholik dan Hanafi, 1994)
Metoda pemeliharaan kepiting dilakukan di petak tambak air payau. Petak
luasnya 20 x 50 m= 100 m2, petak tambak itu diberi pintu air 2 buah: satu untuk
pemasukan air dan satu untuk pembuangan. Didalam petak itu di sekat-sekat
menjadi beberapa bagian dengan cara memasang pagar dari bambu. Setiap bagian
ukurannya misalnya 5 m x 10 m. dibagian sekeliling pagar bambu dibuat lebih
dalam berbentuk saluran keliling (caren) sedalam 50-60 cm, sedangkan dibagian
tengahnya menjadi pelataran yang dapat terendam air sedalam 30-40 cm. Metoda
ini dapat ditemui di daerah Kamal, dan Tangerang.
d. Kotak berpagar tanpa caren
Kotak-kotak juga dapat dibuat dengan sekatan pagar bambu di dalam petak
tambak, dibuat tanpa caren. Di dalam kotak itu dibagian dalam pagar, dipasang
bambu atau gedek 0,5 -1m dibawah permukaan air, dimana kepiting dapat
berteduh.
Gambar 6. Sekat petak tambak dengan pagar bambu.
e. Pagar dari jaring dengan pintu air
Pemagaran tambak dapat juga dipakai jaring yang dipasang tegak
menggunakan tihang-tihang kayu atau bambu. Pintu air juga dipasang saringan
dari kerei bambu, dan tanpa caren dalam pagar itu. Ditengah diberi pelataran
terendam air 40-60 cm dimana kepiting mendapatkan makanan alami yang
tumbuh disitu.
Gambar 7. Pagar Bambu untuk Sekat Tambak
III. PEMBAHASAN
3.1. Rekayasa Peningkatan Produksi Kepiting Bakau (Scylla serrata)
Budidaya tambak hingga sekarang terhitung sebagai suatu usaha yang dapat
memberikan keuntungan yang luar biasa. Kecenderungan kearah ini memang
beralasan karena terbukti pada lahan- lahan yang baru dibuka ternyata dapat
menghasilkan produksi, baik pada tingkat penguasaan teknologi petani yang
masih rendah hingga sedang. Kondisi yang terlihat diawal masa usaha tersebut
pada umumnya diikuti dengan ekspansi lahan atau peningkatan jumlah input yang
selalu berakhir dengan penurunan produktivitas yang berulang- ulang dengan
pemecahan masalah jangka pendek. Tata letak tambak, jenis tanah setempat,
kesalahan desain, dan teknologi pengelolaannya adalah faktor- faktor yang
berperan terhadap penurunannya produktivitas tambak, seperti ukuran udang yang
cenderung sulit berkembang serta respon tambak yang negative terhadap
pertumbuhan fitoplankton.
Persyaratan pengembangan usaha budidaya ikan, antara lain ditentukan oleh
beberapa faktor yang meliputi sumber air menyangkut kualitas dan kuantitasnya,
dan lahan tanah menyangkut topografi, tekstur dan kesuburannya, disamping
potensi sumber daya manusia, teknologi budidaya ikan dan permodalan. BPAP
(2004) menyatakan bahwa pembangunan tambak pada umumnya dipilih di daerah
sekitar pantai, khususnya yang mempunyai atau dipengaruhi sungai besar, sebab
banyak petambak beranggapan, bahwa dengan adanya air payau akan memberikan
pertumbuhan ikan/udang yang lebih baik dari pada air laut murni. Secara umum
wilayah intertidal, merupakan daerah yang sangat cocok untuk membangun
tambak karena ketersediaan air laut sangat mempengaruhi bisa tidaknya tambak
beroperasi dengan sukses.
3.2. Tata Letak Tambak Kepiting Bakau (Scylla serrata)
Tata letak dari komponen-komponen yang terdapat dalam satu unit tambak
harus diatur sedemikian rupa sehingga memenuhi tujuan antara lain; menjamin
kelancaran mobilitas operasional sehari-hari; menjamin kelancaran dan keamanan
pasok air dan pembuangan; dapat menekan biaya konstruksi tanpa mengurangi
fungsi teknis dari unit pertambakan yang dibangun; dan dapat mempertahankan
aspek kelestarian lingkungan. Menurut Ahmad et al. (1998), menyatakan bahwa
lokasi sangat menentukan keberhasilan usaha budidaya komoditi perikanan.
Untuk itu, perlu dipertimbangkan beberapa faktor yang sangat terkait sebagai
berikut
1. Pertimbangan secara teknis
Secara teknis lokasi sanagat mempengaruhi kontruksi dan daya tahan setra
biaya pemeliharaan tambak. Faktor teknis yang perlu diperhatikan adalah sebagai
berikut: ketinggian air dalam petak; iklim; tanah; dan benih dan pakan
2. Pertimbangan secara biologis
Secara biologis lokasi sangat menentukan tingkat produktivitas usaha dan
bahkan keberhasilan panen. Faktor biologis yang dianggap cukup merugikan dan
perlu mendapatkan perhatian adalah sebagai berikut: hama darat; hama air; hama
udara; dan kompetitor
3. Pertimbangan secara sosial ekonomi
Pemilihan lokasi juga harus mempertimbangkan faktor sosial ekonomi,
karena keuntungan maksimal dapat diperoleh bila lokasi yang dipilih mampu
menurunkan biaya panen dan transportasi serta meningkatkan akses pemasaran.
Lokasi dan temapat tambak sebaiknya tidak terlalu jauh dari sumber pakan, benih,
dan sarana produksi.
3.2. Rekayasa Desain Tambak Kepiting Bakau (Scylla serrata)
Menurut Ahmad et al. (1998), Tambak merupakan salah satu alternatif
tempat untuk melakukan kegiatan budidaya kepiting, baik secara ekstensif, semi
intensif dan intensif. Untuk itu, bangunannya perlu dirancang sehingga memenuhi
syarat.
1. Petak tambak
Pada saat merancang petak tambak, jumlah oksigen terlarut dalam air dan
fluktuasi suhu air menjadi pertimbangan utama. Pada suhu tinggi kejenuhan
oksigen terlarut lebih rendah padahal metabolisme ikan cenderung lebih cepat
hingga memerlukan lebih banyak pakan dan oksigen. Kemudian pergantian air,
kedalaman air optimal, maksimasi difusi oksigen dari udara. Untuk memudahkan
pergantian air maka pompa ditempatkan sedemikian rupa sehingga mampu
mengairi banyak petak tambak (Gambar 8)
Gambar 8. Penempatan Pompa untuk Mengairi Petak Tambak Secara Efisien
Pipa tegak yang digunakan
untuk
mengganti dan mengendalikan
air di petak tambak
Air masuk kedalam petak tambak melalui pipa yang dilengkapi dengan saringan
di ujung yang masuk ke petak tambak. Air keluar dari petak tambak juga melalui
pipa peralon yang dilengkapi dengan saringan dan pipa tegak di dalam dan diluar
petak. Luas petak sebaiknya tidak lebih dari 0,5 ha dengna dimensi empat persegi
panjang atau bujur sangkar. Bentuk empat persegi panjang sebaiknya dibuat tegak
lurus arah angin dominan. Kedalaman air dipertahankan 1 meter dan tidak ada
perbedaan kedalamana air dalam petak. Pematang dirancang untuk ketinggian 0,5
meter dari permukaan air tambak saat kedalaman 1 meter dengan lebar atas
minimal 1 meter dan kemiringan 1,5 : 1 sampai 1 : 1.
2. Saluran air
Kesinambungan pergantian air petak tambak merupakan salah satu faktor
yang penting dalam budidaya secara intensif, karena dapat meredam faktor
pembatas dan menambah faktor pemacu pertumbuhan. Pergantian ar petak tambak
tidak mungkin terlepas dari pengadaan saluran air yang berfungsi baik dan
optimal. Pada gilirannya, saluran air juga tidak terlepas dari keberadaan pematang
yang dipelihara dengan baik.
Pencegahan patogen yang masuk melalui saluran air maka saluran air masuk
dan keluar harus dipisahkan. Disarankan air yang keluar dari hamparan petak
tambak dialirkan melewati vegetasi mangrove supaya tidak mencemari
lingkungan sekitar hamparan tambak sebab vegetasi mangrove dapat berfungsi
sebagai biofilter yang andal bagi air limbah tambak.
Gambar 9. Saluran yang Digunakan untuk Mengelola Air dalam Hamparan
Tambak
Gambar 10. Jenis-jenis Saluran yang Seharusnya ada pada Irigasi Tambak
3. Pematang
Secara umum, pematang dibagi menjadi atas dua jenis. Pertama pematang
keliling dan kedua adlah pematang petak tambak. Dalam kondisi tetentu pematang
keliling juga dapat berfungsi sebagai pematang petak tambak (Gambar 11).
Gambar 11. Pembagian Pematangg Berdasarkan Fungsinya
Pematang keliling berfungsi sebagai pendukung bagi hamparan tambak
karena biasanya merupakan pematang dari saluran utama. Pada saat tanah
pematang kurang baik atau kurang memenuhi syarat untuk menahan air (porous)
maka pematang harus dilengkapi dengan lapisan kedap air (puddle trench). Tanah
yang digunakan untuk lapisan air atau inti pematang atau pelapis pematang harus
dipadatkan sehingga membentuk lapisan kedap air dalam pematang (Gambar 12).
Gambar 12. Penempatan Lapisan Kedap Air Berdasarkan Kondisi Tekanan Air
Untuk Mencegah Kebocoran Lewat Pematang
4. Pintu air
Pintu air terbagi atas pintu air utama yang terletak pada saluran utama dan
pintu air sekunder atau tersier yang terletak pada petak tambak. Sebagai pengatur
air bagi hamparan tambak, pintu air utama dirancang hingga dapat memasukkan
air secara maksimal dan cepat (Gambar 13)
Gambar 13. Rancangan Pintu Air Utama untuk Mengendalikan Air dalam
Hamparan Tambak
Pipa air biasanya menggunakan pipa yang permukaannya relatif licin. Oleh karena
itu, untuk mencegah terjadinya pengikisan tanah sekitar permukaan pipa akibat
tekanan air dari dalam maupun dari luar petak maka pipa yang digunakan
sebaiknya dilengkapi dengan penahan kebocoran (antiseeps collar) pada keliling
pipa. Penahan kebocoran ini dapat terbuat dari kayu maupun bahan lain yang
tidak dapat dirembesi air dan tahan dari gigitan kepiting serta hewan pengerat
lainnya. Fungsi penahan kebocoran selain untuk mencegah aliran air sejajar pipa
juga untuk mencegah pipa bergeser dari posisi awalnya, apalagi bila pipa
dilengkapi dengan pipategak yang selalu digunakan untuk mengganti air.
Pembuatan desain suatu unit tambak mendasarkan pada kriteria perencanaan
yang secara garis besar menyangkut hal-hal berikut :
1. Kebutuhan air (jumlah dan mutu) yang sangat dipengaruhi oleh tingkat
teknologi budidaya yang diterapkan. Kebutuhan air untuk budidaya ini akan
menentukan ukuran, bentuk tambak dan pintu air serta salurannya. Kebutuhan
air itu sendiri akan ditentukan oleh parameter berikut ini:
a. Kondisi pasang surut air laut.
b. Jumlah dan mutu air akan banyak berpengaruh terhadap teknologi yang
diterapkan.
c. Lama waktu yang diperlukan untuk pengisian, pengeringan dan
penggantian air tambak.
d. Frekuensi dan besarnya prosentase penggantian air.
e. Tingkat salinitas bulanan yang dibutuhkan
f. Kedalaman/tinggi air tambak
g. Tingkat teknologi budidaya, pola dan waktu tanam.
2. Keadaan topografi dan elevasi lahan serta kondisi sumber air (tawar tawar dan
air laut) akan menentukan kemiringan dasar tambak dan saluran, kedalaman
penggalian tanah untuk tambak, dimensi dan penggalian saluran serta
penggunaan pompa air
3. Kondisi dan karakteristik tanah akan menentukan lebar pematang, serta lebar
dan kemiringan tanggul.
4. Cara-cara pemanenan akan menetukan pola bentuk dari pintu air (outlet).
5. Dalam pembuatan tambak mengacu pada kelestarian sumberdaya seperti
penyediaan areal untuk jalur hijau di tepi pantai dan sungai serta pemisahan
antara saluran pasok dan buang.
Menurut Kanna (2012), Desain tambak Kepiting Bakau, walaupun
desain tambak kepiting bakau tidak berbeda jauh dengan tambak bandeng dan
udang. Namun, tambak kepiting bakau mempunyai karakteristik tertentu karena
kepiting memiliki sifat dan tingkah laku yang menuntut adanya desain tertentu.
Kepiting bakau akan selalu berusaha melarikan diri dari tambak apabila datang
saatnya beruaya ke laut untuk memijah. Kepiting bakau juga senang berkelahi dan
menggali tanggul/pematang atau apa saja yang ada di tambak terutama bangunan
yang berasal dari bahan kayu/bambu.
Untuk mencegah agar kepiting bakau tidak melarikan diri lewat tanggul
atas atau bwah, maka kontruksi tambak harus kokoh dan padat. Selain itu, tambak
harus di pagar dengan bambu atau waring mulai dari dasar tambak ke atas agar
kepiting bakau tidak dapat melarikan diri. Pohon-pohon yang berada di tengah-
tengah tambak dibiarkan tetap hidup sebagai tempat perlindungan dan menggali
lubang bagi kepiting bakau. Selain itu, gundukan pepohonan tersebut juga dapat
berfungsi sebagai perlindungan dari cahaya panas matahari, mengurangi
penguapan, sumber hara dan memberi kesempatan pada kepiting bakau untuk
berada di dekat permukaan pada saat oksigen terlarut dalam tambak rendah.
Tinggi air dalam tambak dipertahankan kurang lebih 1 meter untuk mengurangi
kemungkinan bagi kepiting bakau melarikan diri pada saat suhu air dalam tambak
naik dan mengganggu dan merugikan kegiatan kepiting dalam melakukan
penggalian tanggul/pematang.
1. Petakan tambak
Petakan tambak didesain berdasarkan kondisi dan sifat perairan (sungai),
disamping faktor biologis, fisik, ekonomi dan sosial. Disamping itu, tingkah laku
dan sifat biologis kepiting bakau juga diperhitungkan dalam membuat kontruksi
tambak, terutama pematang/tanggul dan pintu air. Luas satu unit tambak sekitar 5
– 10 hektare yang terdiri atas 2 petakan pembesaran dan 2 petakan kecil untuk
kepiting bakau yang mengalami pergantian kulit (moulting). Luas untuk petakan
kecil cukup 5 m2. Untuk menjaga kepiting bakau dari serangan hama, penyakit,
pencemaran air dan untuk memudahkan pemanenan, maka setiap petakan
sebaiknya mempunyai pintu air sendiri. Untuk itu, pertambakan kepiting bakau
memerlukan saluran pembagi air yang dapat mensuplai dan mengatur volume air
yang diperlukan dalam tambak.
Untuk memudahkan pergatian air, terutama pengeluaran air maka sekeliling
tambak kepiting bakau sebaiknya dilengkapi caren (parit keliling). Selain itu,
caren juga berfungsi sebagai tempat berlindung bagi kepiting bakau dari cahaya
panas matahari, tempat berlangsungnya perkawinan, pemberian pakan dan
memudahkan pemanenan. Secara sederhana, desain petakan tambak untuk
pembesaran kepiting bakau dapat dilihat pada gambar dibawah ini
2. Tanggul (Pematang)
Bahan penyususn pematang sangat penting diperhatikan dalam mendesain
tambak, karena pematang berfungsi menahan massa air dalam tambak dan
melindungi tambak dari tekanan air dari luar akibat banjir atau penggenangan air
pasang. Selain itu, pembangunan pematang sebaiknya berdasarkan hasil survey
untuk menghindari hal-hal yang tidaj diinginkan, misalnya:
a. Pemotongan arus atau anak sungai yang arusnya kuat
b. Areal yang tanahnya jelek sehingga memerlukan biaya banyak untuk membuat
kontruksi tambak
c. Pembangunan pematang dekat jalur sungai yang tercemar atau tererosi
3. Pemagaran Tanggul
Pemagaran tanggul dapat menggunakan pagar bambu atau waring yang
ditempatkan disekeliling pematang bagian dalam. Untuk mencegah kepiting
bakau melarikan diri melalui dasar pematang dengan menggali tanah, maka
pemagaran sebaiknya dumilai pada dasar pematang. Pagar ditanam sedlam 30 cm
– 40 cm dan usahakan jarak antara bilahan-bilahan bambu pada pagar tersebut
tidak terlalu renggang agar kepiting bakau tidak bisa melrikan diri melewati celah-
celah anatar bilahan bambu tersebut.
Gambar 14. Pemagaran Pematang dengan Bambu
Jika bangunan tanggul/pematang cukup kuat, besar dan padat. Khususnya
bila terbuat dari tanah liat atau tanah liat sedikit bercampur pasir dan diyakini tak
mungkin digali kepiting bakau, maka pemagaran cukup dilakukan pada bagian
atas tanggul. Tinggi pagar sekitar 50 cm diukur dari puncak sampai tanah
pematang. Pembuatan pagar bambu sama dengan pembuatan kandang ternak
seperti pada gambar diatas.
Pemagaran tambak menggunakan waring dapat dilakukan dengan
kombinasi anatara bambu dan waring. Adapun cara pembuatannya adalah sebagai
berikut:
a. Siapkan waring berukuran lebar kurang lebih 2 meter dan panjangnya
disesuaikan dengan keliling tambak kepiting bakau
b. Siapkan babmbu berbentuk batangan (tanpa dibelah), kecuali bambu yang
berukuran lebih besar harus dibelah menjadi 2 (dua) bagian. Banyaknya bambu
yang digunakan disesuaikan dengan kebutuhan
c. Rangkaian bambu tersebut hingga tambak yang akan dipagari menyerupai
sketsa kasar pembuatan gubuk
d. Pasanglah waring di sekeliling rangkaian bambu tersebut hingga seluruh
bagian luar rangkaian bambu tertutup waring. Seperti halnya pagar bambu,
pagar waring pun perlu ditanamkan untuk menghindari kepiting yang akan
melarikan diri
4. Pengapuran
Salah satu hal yang juga harus diperlukan dlam budidaya kepiting bakau
adalah pengapuran. Seperti halnya udang. Kepiting memerlukan kapur dalam
proses penggantian kulit (moulting). Pengapuran juga berguna untuk menaikkan
pH tambak yang rendah, mengikat CO2 yang berlebihan karena proses
pembusukan dan pernapasan dan mempercepat proses penguraian bahan organik.
Jumlah kapur yang diperlukan tergantung pada pH tambak. Tambak-tambak
didaerah hutan bakau biasanya memiliki pH rendah (4 – 5) sehingga
membutuhkan kapur dalam jumlah banyak (3.000 – 6.000 kg/ha batu kapur,
CaO). Kapur ini diberikan pada waktu pengolahan tanah dengan cara mengaduk-
aduknya sehingga tercampur merata dengan lumpur tanah dasar tambak sedalam
10 cm. Pemberian pupuk sebaiknya dilakukan 1 – 2 minggu sekali setelah
pengapuran
5. Pengisian Air
Setelah kegiatan perbaikan kontruksi, pengeringan, pemupukan dan
pengapuran dilakukan, tambak tersebut dapat diisi air. Tinggi air dalam tambak
sekurang-kurangnya 0,75 – 1 meter. Denga ketinggian air demikian, kegiatan
kepiting bakau menggali dasar tanggul/pematang dapat dikurangi. Pengisian air
sebaiknya dilakukan pada saat suhu air rendah yaitu pada saat pagi atau
sore/malam hari sehingga pada saat penebaran, kepiting bakau tidak mengalami
stress. (Kanna, 2012)
3.3. Bentuk Pond System Kepiting Bakau (Scylla serrata)
1. Tipe-Tipe Tambak
Secara umum, beberapa tipe tambak di Indonesia dibagi ke dalam beberapa
bentuk di antaranya:
a. Tambak tanah, merupakan tambak yang umum di Indonesia, berteknologi
konstruksi sederhana, terdapat di daerah pasang surut untuk memudahkan
pengambilan dan pembuangan air.
b. Tambak semi plastik, merupakan modifikasi dari tambak tanah, diberikan
penambahan plastik pada pematang untuk alasan operasional (bocor) atau
tekstur tanah yang tidak stabil (berpasir).
c. Tambak beton, seperti halnya tambak semi plastik, diberikan penambahan
konstruksi pematang beton untuk alasan operasional (bocor) atau tekstur tanah
yang tidak stabil (berpasir).
d. Tambak biocrete, merupakan modifikasi dari tambak beton, hanya saja
menggunakan bahan-bahan penguat (serabut atau ijuk aren) dan plastik.
Menurut Rusmiyati (2011), menyatakan bahwa tempat budidaya kepiting
meliputi beberapa metode pemeliharaan sebagai berikut.
a. Metode keramba bambu
Pemeliharaan dengan sistem keramba yang terbuat dari bahan bambu pada
umumnya sudah lama dilakukan oleh para petani tambak. Selain itu, cara
pembuatannya yang relatif sangat mudah, juga bahan yang diperlukan mudah
diperoleh dengan harga yang terjangkau. Namun, disisi lain metode ini terbatas
dengan padat penebaran yaitu elatif sedikit. Hal ini disebabkan karena ruang gerak
kepiting yang sempit sehingga dikhawatirkan kepiting mudah untuk saling
memangsa (kanibalisme)
b. Metode keramba jaring
Keramba dengan bahan dari jaring adalah merupakan hasil modifikasi dari
keramba dari bahan bambu, wadah pemeliharaan ini lebih kuat karena dindingnya
terbuat dari bahan jaring, selaibn lebih kuat dan tahan juga mempunyai kelebihan
sirkulasi air lebih lancardibanding dengan bahan dari bambu. Perkiraan kuatnya
metode ini sampai 2 tahun atau lebih, serta pembutannya yang sangat praktis.
c. Metode pagar tancap
Metode pagar tancap merupakan bagian dari pengembangan wadah sistem
budidaya penggemukan kepiting yang memanfaatkan bahan dari bambu yang
dibelah sebagai dinding atau pagar, rangka pagar terbuat dari balok kayu sebagai
tempat untuk mengikat belahan bambu tersebut. Kontruksi pembuatan pagar
bambu biasa digunakan pada areal tambak dengna ukuran yang bervariasi antara
15 x 8 meter atau 20 x 10 meter. Potongan bambu yang telah dibelah-belah
kemudian ditancapkan ke dasar tanah sedalam 0,5 meter dan disusun secara
vertikal dengan sedikit memberi celah agar sirkulasi air lancar
2. Konstruksi
Konstruksi tambak yang kurang baik akan mengakibatkan tambak tersebut
tidak dapat dimanfaatkan secara optimal. Pada umumnya, konstruksi tambak yang
dilakukan secara manual mempunyai kelemahan menonjol yaitu pada kualitas
tanggul. Oleh karena itu, agar tanggul cukup kuat, padat, kedap air dan tidak
mudah longsor, maka pembuatannya agar menggunakan peralatan berat.
3. Sistem irigasi
Sistem irigasi yang dikembangkan agar memenuhi tujuan, sebagai berikut :
a. Dapat menjamin kelancaran dan keamanan pasok serta buang air tambak.
b. Pendistribusikan air yang efektif dengan sistem drain yang mampu
membersihkan kotoran dan membuang air limbah dari dalam tambak secara
praktis dan tuntas sampai keluar kawasan pantai.
Gambar 15. Pond System yang Ramah Lingkungan
3.4. Tambak Kepiting Bakau (Scylla serrata) yang Ramah Lingkungan dan
Berkelanjutan
Prinsip teknologi budidaya kepiting ramah lingkungan ini adalah dengan
cara penerapan konstruksi tambak secara benar, pengelolaan budidaya kepiting
secara tepat dengan manajemen kualitas air dan pemberian pakan yang baik, serta
pengendalian lingkungan tambak (water treatment) secara bijaksana. Semua ini
menggunakan bahan konstruksi ramah lingkungan, serta penggunaan formulasi
bahan pakan alami. Selain juga memelihara plankton baik sebagai pakan alami
maupun menciptakan lingkungan yang kondusif bagi kultivan.
Budidaya tambak kepiting yang berlokasi di daerah pesisir sangat
berhubungan dengan kondisi tata ruang, sosial budaya, keamanan dan ekonomi
masyarakat pesisir tersebut. Oleh karena itu pendekatan pemecahan masalah
dilakukan secara terintegrasi. Pada saat ini sudah waktunya untuk melaksanakan
pendekatan dan isu bagi pembangunan budidaya yang lestari dan
bertanggungjawab melihat kenyataan bahwa produksi udang di tanah air menurun
drastis akibat dari kesalahan pengelolaan.
Pemahaman terhadap budidaya yang berkelanjutan perlu disosialisasikan di
berbagai pihak, pemerintah perlu menetapkan tindakan pengawasan terhadap
pelaksanaan undang-undang dan peraturan yang berkenaan dengan pengelolaan
kawasan pesisir. Pendekatan yang seimbang dan informatif dapat dilakukan untuk
memusatkan isu-isu perhatian terhadap konsep pembangunan budidaya yang
berwawasan lingkungan dan bertanggungjawab. Penyiapan lingkungan yang
kondusif untuk pembangunan budidaya berkelanjutan adalah merupakan
tangungjawab bersama, baik pemerintah, akademisi, dan LSM. Selain itu juga
perlu dukungan media massa, lembaga keuangan, kelompok kepentingan khusus
termasuk asosiasi sosial dan sektor swasta produsen budidaya, pabrik serta
penyedia saprodi, pengolah dan pedagang akuakultur.
Irianto dan Soesilo (2007) menyatakan bahwa dukungan teknologi yang
diperlukan bagi pengembangan perikanan budidaya untuk pemenuhan gizi
masyarakat adalah:
a. Sistem budidaya, perlu dikembangan sistem yang lebih efisien dan efektif
mengingat biaya input budidaya yang cenderung meningkat, seperti
penggunaan pakan buatan
b. Teknologi budidaya untuk komoditas baru yang digemari oleh masyarakat,
seperti cumi-cumi
c. Teknologi perbenihan, khususnya untuk lebih memberi kemudahan bagi
masyarakat di dalam mendapatkan benih, seperti yang telah dikembangkan di
Gondol (Bali) backyard hatchery untuk benih bandeng. Teknologi pemuliaan
diperlukan untuk mendukung teknologi perbenihan ini, mengingat semakin
menurunnya mutu genetik kultivan dewasa ini.
d. Teknologi pakan/nutrisi. Pembuatan pakan ikan selama ini lebih banyak
mengandalkan tepung ikan sebagai sumber protein, sedangkan untuk
memenuhi kebutuhan tepung ikan masih harus diimpor. Oleh karena itu perlu
dikembangkansumber protein alternatif, seperti misalnya memanfaatkan
maggot yang dikembangbiakkan dengan memanfaatkan limbah kelapa sawit.
Teknologi produksi artemia, yang digunakan untuk pakan benih ikan dan
udang, perlu dikembangkan karena selama ini masih diimpor.
1. Budidaya Kepiting Bakau (Scylla serrata) yang Ramah Lingkungan
Desain suatu petakan tambak merupakan salah satu kunci utama keberhasilan
budidaya. Hasil penelitian membuktikan bahwa kandungan berbagai polutan
(mangrove). Kecenderungan positif seperti ini akan terus dikembangkan hingga
diperoleh sebuah standar desain dan teknologi budidaya yang baru dan lebih
ramah lingkungan. Lingkungan yang dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhan
kepiting adalah yang mampu menyediakan kondisi fisika, kimia, dan biologi yang
optimal. Kondisi lingkungan fisik yang dimaksud antara lain suhu dan salinitas.
Kondisi lingkungan kimia antara lain meliputi pH, oksigen terlarut (DO), nitrat,
ortofosfat, serta keberadaan plankton sebagai pakan alami. Selain itu perlu
diperhatikan timbulnya kondisi lingkungan yang dapat menghambat pertumbuhan
udang, bahkan dapat mematikan kepiting, misalnya munculnya gas-gas beracun
serta mikroorganisme patogen.
Kapasitas dan daya dukung lingkungan adalah nilai suatu lingkungan yang
ditimbulkan oleh interaksi dari semua unsur atau komponen fisika, kimia, dan
biologi dalam suatu ekosistem. Daya dukung lahan pesisir di suatu lokasi
pertambakan ditentukan oleh mutu air tanah, sumber air, hidro oceanografi,
topografi, klimatologi daerah pesisir dan daerah hulu, tipe dan kondisi pantai.
Faktor-faktor tersebut berpengaruh terhadap produktivitas dan kelestarian tambak.
Selain itu, juga menjadi faktor pembatas pada distribusi atau sebaran dan luas
areal pertambakan disuatu lokasi daerah pesisir, sesuai dengan tingkat teknologi
budidaya yang diterapkan. BPAP (2004) menyatakan bahwa tambak intensif yang
ramah lingkungan harus terdiri dari atas: saluran pengairan; petak tandon
perlakuan air masuk; petak tandon air siap pakai; petak pemeliharaan dengan
sistem pembuangan sedimen limbah; saluran pengendapan limbah; saluran
pengurangan nutrien terlarut; dan petak pengolahan limbah
Dinas Perikanan Jawa Tengah (1997) menyatakan bahwa produksi lestari
tambak disetiap hamparan lahan pantai dipengaruhi oleh luas unit tambak di
hamparan tersebut, tingkat teknologi budidaya yang diterapkan, dan distribusi unit
areal tambak di sepanjang pesisir. Pada suatu hamparan pantai jumlah kebutuhan
air untuk operasional budidaya meningkat dengan bertambahnya luas areal
tambak. Kualitas air sebagai variabel pendukung carryng capacity merupakan
faktor dalam lingkungan tambak yang berpengaruh terhadap kelangsungan usaha
budidaya soft crab kepiting bakau dalam tambak. Kualitas air menunjukkan tidak
layak untuk mendukung carryng capacity tambak kepiting. Perubahan (fluktuasi)
kisaran kualitas air yang menjolok dalam tambak sangat dipengaruhi oleh air
sumber, kepadatan, jumlah serta jenis pakan yang diberikan dan lain-lain
2. Parameter Budidaya Kepiting Bakau (Scylla serrata) yang Berkelanjutan
a. Tekstur tanah tambak
Tekstur tanah tambak memegang peranan yang sangat penting dalam
budidaya kepiting di tambak, karena kesuburan perairan tambak sangat ditentukan
oleh kondisi tekstur tanah penyusunnya. Tekstur memegang peran penting dalam
menentukan apakah tanah memenuhi syarat dalam kapasitas penyangga dalam
ekososistem tambak atau tidak, karena tekstur tidak saja menentukan sifat fisik
tanah seperti permeabilitas dan drainase tetapi juga sejumlah sifat kimia tanah
tertentu, seperti tingkat absorbsi fospor (DKP, 2002). Kapasitas absorbsi fosfor
berkorelasi dengan kandungan liat, sehingga absorbsi fospor tanah dasar tambak
dapat diduga dari tingginya kandungan liat pada lapisan tersebut (Boyd dan
Munsiri, 1996).
b. Suhu air tambak
Suhu air selama 3 periode produksi berkisar antara 26 – 30 oC, nilai tersebut
termasuk dalam kisaran yang layak untuk kehidupan dan pertumbuhan kepiting
bakau, sehingga disamping adanya faktor pakan sebagai pertumbuhan, suhu
merupakan salah satu faktor juga dalam pertumbuhan kepiting selama penelitian.
Hal ini karena suhu mempunyai peran penting dalam pengaturan aktifitas kepiting
diantaranya adalah respirasi, metabolisme, konsumsi pakan, dan lain-lain. Lebih
lanjut ditegaskan bahwa suhu air media untuk budidaya kepiting bakau dalam
tambak yang optimal adalah 18 – 32 oC, suhu yang kurang dari atau lebih dari
kisaran optimum akan berpengaruh terhadap pertumbuhan kepiting, karena reaksi
metabolisme mengalami penurunan dan apabila perubahan suhu yang secara
mendadak akan dapat mengakibatkan stress pada kepiting hingga dapat
mengakibatkan kematian.
c. Salinitas dan osmoregulasi
Salinitas air media selama penelitian berkisar antara 20 – 24 ppt, kisaran
salinitas tersebut dalam batas normal, sesuai dengan pendapat Ramelan (1994)
bahwa kepiting bakau dalam budidaya ditambak akan tumbuh dengan baik pada
kisaran salinitas 15 – 25 ppt. Pada kisaran salintas 35 – 40 ppt, kepiting akan
mengalami pertumbuhan yang lambat. Perubahan salinitas dapat mempengaruhi
konsumsi oksigen, sehingga mempengaruhi laju metabolisme dan aktivitas suatu
organisme (Buwono, 1993). Hasil penelitian Gunarto (2002) Pada salinitas 20 –
25 ppt, kepiting bakau yang dipelihara ditambak dapat tumbuh dengan baik
mencapai 0,62 g/hr, pada salinitas 15 –20 ppt pertumbuhannya 0,56 g/hr, pada
salinitas 10 – 15 ppt mencapai pertumbuhan 0,41 g/hr, dan pada salinitas 25 – 30
ppt pertumbuhannya hanya mencapai 0,28 g/hr. Lebih lanjut hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa kepiting yang dipelihara pada salinitas dibawah 20 ppt
mengalami kematian, karena pada kisaran salinitas ini sangat rawan terhadap
penyakit.
Osmolaritas air media tambak yang bersalinitas 24 ppt sebesar 700,37
mOsm/l H2O. Pada fase intermoult kepiting cukup mantap dalam pertumbuhan
sel dan jaringan serta pengerasan kulit karena osmolaritas media hampir seimbang
dengan osmlaritas kepiting sehingga energi untuk adaptasi dalam proses
osmoregulasi dapat diminimalisasi. Selanjutnya terjadi proses mobilisasi serta
akumulasi cadangan nitrien terutama kalsium dan fospor, serta terjadinya aktivitas
penyiapan kulit baru diiringi dengan penyerapan nutrien organik dan kalsium dari
kulit lama kedalam haemolymph. hal tersebut yang menyebabkan nilai osmolaritas
menjadi meningkat, sehingga osmolaritas haemolymph kepiting pada fase moult
lebih tinggi dibanding nilai osmolaritas media, hal ini menunjukkan bahwa
kepiting mengalami regulasi hiperosmotik. Nilai osmolaritas tersebut diduga
terjadi mulai saat kepiting dalam kondisi premoult ke moult, sehingga dalam
kondisi yang demikian kepiting berusaha mempertahankan tekanan osmotik
cairan tubuh dengan menjaga agar cairan tubuh
tidak keluar dari sel dan mencegah agar cairan urine tidak lebih pekat dari
haemolymphnya. Moulting merupakan cara yang ditempuh supaya terjadi
keseimbangan tekanan osmotik media dengan haemolymph kepiting, dengan
moulting kepiting akan mengekstrak air tawar dari air medianya melalui
penyerapan dengan kulit barunya.
d. Oksigen terlarut (DO)
Hasil penelitian Wahyuni E. dan W. Ismail (1997) kepiting bakau
membutuhkan oksigen terlarut dalam perairan sekurang-kurangnya 3 mg/l.
Oksigen terlarut dalam ekosistem perairan tidak hanya sebagai limiting faktor
saja, melainkan juga sebagai directive faktor. Oksigen terlarut tidak saja
digunakan untuk pernafasan biota dalam air tetapi juga untuk proses biologis
lainnya. Jika oksigen terlarut dalam keadaan minim dapat menyebebkan stres dan
meningkatkan peluang infeksi penyakit. Ketika kelarutan oksigen rendah
sedangkan konsentrasi CO2 tinggi kemampuan kepiting dan sejenisnya dalam
mengambil oksigen akan terganggu (ISU, 1992). Bila konstrasi oksigen terlarut <
3 mg/l, maka nafsu makan kultivan akan berkurang dan tidak dapat berkembang
dengan baik (Buwono, 1993).
Tingginya oksigen terlarut pada siang hari selain dipengaruhi dari
fotosintesa fitoplankton, proses difusi juga mempunyai andil dalam suplay
oksigen terlarut
dalam media tambak, hal ini disebabkan suhu air media yang berada pada kisaran
26 – 30 oC belum mempengaruhi kelarutan gas oksigen dari udara yang berdifusi
kedalam air media tambak, karena salinitas media masih berada pada kisaran 20 –
24 ppt sehingga kondisi air tambak tidak pekat dan gas oksigen dari udara bisa
masuk kedalam media tambak.
e. pH air tambak
pH air media dalam tambak berkisar antara 7,06 – 7,35 (pada periode
produksi ke-1) 6,52 – 7,02 (pada periode produksi ke-2) dan 5,98 – 6,91 (pada
periode produksi ke-3) kisaran nilai ini tergolong dalam kondisi yang sangat layak
sampai tidak layak. Konsentrasi pH mempengaruhi tingkat kesuburan perairan
karena mempengaruhi kehidupan jasad renik. Perairan yang asam cenderung
menyebabkan kematian pada kepiting bakau yang dibudidayakan di tambak,
demikian juga pada pH yang mempunyai nilai kelewat basa. Hal ini disebabkan
konsentrasi oksigen akan rendah sehingga aktifitas pernafasan tinggi dan
berpengaruh terhadap menurunnya nafsu makan. (Ghufron dan H. Kordi, 2005)
lebih lanjut ditegaskan bahwa nilai pH yang baik untuk pertumbuhan kepiting
bakau di tambak adalah berkisar antara 6,5 - 7,5. Nilai pH air dipengaruhi oleh
konsentrasi CO2. pada siang hari karena terjadi fotosintesa maka konsentrasi CO2
menurun sehingga pH airnya meningkat. Sebaliknya pada malam hari seluruh
organisme dalam air melepaskan CO2 hasil respirasi, sehingga pH air menurun.
f. Densitas dan diversitas fitoplankton
Fitoplankton sebagai pakan alami mempunyai peran ganda yaitu berfungsi
sebagai penyangga kualitas air dan dasar dalam mata rantai makanan di perairan
atau yang disebut sebagai produsen primer (Odum, 1979). Keberadaan plankton
baik jenis maupun jumlah terjadi karena pengaruh faktor-faktor berupa musim,
nutrien, jumlah konsentrasi cahaya dan temperatur. Perubahan-perubahan
kandungan mineral, salinitas, aktivitas di darat dapat juga merubah komposisi
fitoplankton di perairan (Viyard, 1979). Hasil penghitungan densitas fitoplankton
dalam media tambak terlihat peningkatan sejalan dengan waktu budidaya, yaitu
mulai 8,62.103 s/d 4,94 . 104 cell/cc (pada periode produksi ke-1), 1,12.104 s/d
5,82 . 105 cell/cc (pada periode produksi ke-2), dan 9,14 .104 s/d 2,84 . 106
cell/cc (pada periode produksi ke- 3). Densitas dan deversitas plankton merupakan
salah satu parameter sebagai tolok ukur tingkat kesuburan perairan. Peningkatan
densitas fitoplankton tersebut sangat berkolerasi dengan peningakatan kandungan
nutrien (fospor) yang ada dalam media tambak. Hasil análisis regesi nilai R2
antara fospor dengan densitas fitoplankton mencapai 0,8 dengan nilai signifikansi
0,001 nilai ini memperlihatkan hubungan yang sangat erat sekali, bahwa densitas
fitoplankton sangat dipengaruhi oleh keberadaan fospor dalam media tersebut.
Menurut Marsambuana, et al (2006), fospor merupakan peubah yang penting
dalam pertumbuhan fitoplankton di suatu perairan, hasil penelitiannya
menunjukan perbedaan yang sangat nyata (P>0,05) dari densitas fitoplankton pada
berbagai media tambak yang mempunyai perbedaan konsentrasi fospor. Tambak
yang memiliki konsentrasi fospor lebih dari 0,8 mg/l sering terjadi blooming
plankton yang kemudian diikuti dengan kematian udang sebagai kultivannya.
g. Kecerahan air tambak
Kecerahan perairan merupakan cerminan dari jumlah fitoplankton yang ada
dalam media dan jumlah padatan tersuspensi yang terakumulasi dalam media
tambak. Kecerahan untuk media budidaya kepiting di tambak paling baik berkisar
antara 25 – 35 cm (Efendi, 2003), namun secara umum kecerahan air media di
tambak yang baik berkisar antara 30 – 40 cm (Dirjen Perikanan Budidaya, 2003).
Hasil pengukuran kecerahan selama penelitian didapat 43 – 51 cm (pada periode
produksi ke- 1), 28 – 47 cm (pada periode produksi ke- 2), dan 18 – 39 cm (pada
periode produksi ke- 3). Tinggi rendahnya kecerahan ini sangat dipengaruhi oleh
densitas fitoplankton, hal ini terlihat bahwa penurunan kecerahan sejalan dengan
waktu periode budidaya, dimana hal yang sama juga diikuti dengan semakin
tingginya densitas fitoplankton. Hasil analisis regesi antara densitas fitoplankton
dengan kondisi kecerahan perairan tambak budidaya kepiting menunjukkan nilai
R2 = 0,86 dengan signifikansi 0,23. artinya bahwa kondisi kecerahan perairan
sangat dipengaruhi oleh densitas fitoplankton.
h. Total fospor
Total fospor merupakan faktor pembatas dalam ekosistem tambak,
keberadaannya dalam tanah maupun air media budidaya mutlak dibutuhkan
sebagai faktor utama dalam keseimbangan lingkungan, hal ini karena total fospor
merupakan unsur hara utama yang dibutuhkan untuk pertumbuhan produktifitas
primer. Besaran total fospor dalam tanah maupun air media jika melebihi batas
daya asimilasi akan menyebabkan kondisi lingkungan menjadi euritrifikasi
(kelewat subur), disamping menyebabkan blomming plankton juga dapat
menyebabkan penurunan jenis plankton, karena hanya sedikit jenis plankton yang
mampu hidup pada kondisi yang euritrifikasi akibat meningkatnya fospor.
IV. PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Kesimpulan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Peran rekayasa design tambak dan bentuk pond system dalam upaya budidaya
ramah lingkungan sangat berperan dan berpengaruh terhadap keberlanjutan
budidaya kepiting yang dilakakan. Konsep budidaya ramah lingkungan perlu
dilakukan agar lingkungan sekitar tetap terjaga kelestariannya. Mulai dari
penerapan penghijauan tambak kepiting dengan hutan atau pohon mangrove
yang kaya akan manfaat untuk kepiting sendiri dan bagi pemilik tambak.
2. Peran rekayasa design tambak dan bentuk pond system dalam upaya
peningkatan produksi kepiting sangat menentukan keberhasilan dalam
melakukan usaha budidaya kepiting. Hal ini karena desain dan pond system
yang baik dan diterapkan dengan teknologi yang maju, maka hasil produksi
dari hasil panen akan tercapai dengan maksimal, karena dengan adanya
penerapan desain yang sangat modern dan pond system yang sangat ramah
lingkungan maka akan cocok bagi kehidupan kepiting, sehingga sangat
penting dalam usaha kepitig yang berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, T., E. Ratnawati dan M. J. R. Yakob. 1998. Budidaya Bandeng Secara
Intensif. Penebar Swadaya. Jakarta
Agus, M., 2008. Analisis Carrying Capacity Tambak pada Sentra Budidaya
Kepiting Bakau (Scylla sp.) di Kabupaten Pemalang-Jawa Tengah. Tesis.
Program Studi Magister Manajemen Sumberdaya Pantai. Universitas
Diponegoro.
Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau. 2004. Kumpulan Materi.
Pelatihan Petugas Teknis Inbudkan Tgl 24-30 Mei 2004, Jepara. Direktorat
Jendral Perikanan Budidaya. BPAP, Jepara.
Boyd, C.E, dan P. Munsiri. 1996. Phosphorus Adsorption Capasity and
Availabillity of Added Phosphorus in Soils from Aquaculture Areas ini
Thailand. Journal of the World Aquaculture Society 27(2):160-167.
Brotowidjoyo, M.D, Dj. Tribawono, E. Mulbyantoro, 1995. Pengantar
Lingkungan Perairan dan Budidaya Air. Penerbit Liberty, Yogyakarta.
Buwono,I.D,. 1993. Tambak Udang Windu Sistem Pengelolaan Intensif.
Kanisius.Yogyakarta.
Cholik, F dan A.Hanafi. 1991. A. Review of the status of the Mud Crab
(Scylla sp.).Fishery and Culture in Indonesia. The Mud Crab . A rep on
Sem convened in Surat Thani,Thailand, Nov 5-8,1991.s for Mud crab
culture – a Preliminary biochemical, Fisical and Biological Evaluation . The
Mud Crab. A Rep on the Sem convened at Surat Thani, Thayland. Nov.5-8.
BOBP.1991.
Cholik, F. 2005. Review of Mud Crab Culture Research in Indonesia, Central
Research Institute for Fisheries, PO Box 6650 Slipi, Jakarta, Indonesia, 310
CRA.
Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). 2002. Kriteria Kesesuaian lahan.
Penyesuaian Panduan Standart Daya Dukung Sumberdaya Alam untuk
Kegiatan Pemanfaatan Ruang. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
Departemen Pertanian, 1999, Penggemukan Kepiting Bakau (Scylla Serrata).
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Ungaran.
Dinas Perikanan Jawa Tengah. 1996. Pengelolaan Air pada Budidaya Udang.
Bagian Proyek P2RT Pembinaan Perikanan, Semarang.
Direktorat Jenderal Perikanan, 2000, Statistik Perikanan. Departemen Pertanian.
Djaenudin, D., H. Marwan, Subagyo, dan Mulyani. 1997. Penyusunan Kriteria
Kesesuaian lahan untuk Komoditas PertanianVersi I juni 1997. Pusat
Penelitian Tanah dan Agoklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Departemen Pertanian.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumberdaya dan
lingkungan Perairan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Gufron, M., dan H. Kordi. 2000, Budidaya kepiting & Ikan Bandeng di tambak
system polikultur, Semarang, Dahara Prize.
--------------,2005. Budidaya Ikan Laut di Karamba Jaring Apung. Penerbit Rineka
Cipta. Jakarta.
Irianto, HE dan I. Soesilo. 2007. Dukungan Teknologi Penyediaan Produk
Perikanan. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan
Perikanan. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Hari Pangan
Sedunia 2007 di Auditorium II Kampus Penelitian Pertanian Cimanggu,
Bogor, 21 Nopember 2007.
Kanna, I. 2012. Budidaya Kepiting Bakau Pembenihan dan Pembesaran. Kanisius.
Jakarta
Mossa, K., I.Aswandy dan A.Kasry. 1995. Kepiting Bakau Scylla serrata dari
Perairan Indonesia. LON – LIPI. 18 hal.
Nontji. A. 2007. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan : Jakarta.
Odum, E. P. 1979. Dasar-dasar Ekologi. Edisi ketiga. Gajah Mada University
Press. Oreginal English Edition. Fundamental of Ecologi Thurd Edition.
Yogyakarta.
Prianto, E. 2007. Peran Kepiting sebagai Spesies Kunci (Keystone Spesies) pada
Ekosistem Mangrove. Prosiding Forum Perairan Umum Indonesia IV. Balai
Riset Perikanan Perairan Umum. Banyuasin. Republik Indonesia.
Ramelan H.S. 1994. Pembenihan Kepiting Bakau (Scylla serrata). Direktorat
Bina Perbenihan.Direktorat jenderal Perikanan. Jakarta.
Rusmiyati, S. 2012. Sukses Budidaya Kepiting Soka dan Kepiting Telur. Pustaka
Baru Press. Yogyakarta
Shimek, R.L. 2008. Crabs, (Online). Website : www.reefkeeping.com. Diakses
pada tanggal 10 Maret 2012.
Subandarawal, Lukijanto, A. Sulaiman. 2005. Penentuan Daya Dukung
Lingkungan Budidaya Keramba Jaring Apung. Progam Riset Unggulan
Strategis Nasional Kelautan. Badan Pengkajian dan PenerapanTeknologi,
Kementrian Riset & Teknologi. Jakarta.
William, A. W., 2003. Aquaculture Site Selection. Kentucky State University
Coorporative Extention Progam. Princeton.
Viyard, W. C. 1979. Diatom of Nort America. 1st Edition. Mad River Press
Eureka. California.