peran seorang mursyid kepada murid untuk mencapai...
TRANSCRIPT
PERAN SEORANG MURSYID KEPADA MURID UNTUK
MENCAPAI MAQAMAT DAN AHWAL DALAM KITAB AL-
THARIQAH AL-SYADZILIYAH KARYA KHALID IBN NĀSHIR
AL-‘UTAIBY
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Serjana Strata Satu (S1)
Oleh:
SHOLEHODDIN
1112033100068
PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2019 M
iv
ABSTRAK
Kitab al-Thariqah al-Syadziliyah terdiri dari empat jilid, merupakan kitab yang
membahas secara khusus tentang ajaran-ajaran Syadziliyah baik mengenai
Kalam, Filsafat, dan utamanya Tasawuf yang dikutip dari kitab-kitab Ibn
Athaillah. Kitab tersebut (al-thariqah al-syadziliyah) dikarang oleh Dr. Khalid
Ibn Nashir al-„Utaiby merupakan sebuah penyajian dan tinjauan pengarang
terhadap para guru, murid-murid, dan para pengikut Syadzily, karena Abul
Hasan Syadzily tidak mempunyai karangan-karangan atau tulisan-tulisan yang
ditinggalkannya. Abul Wafa‟ al-Taftazany berkata “ Abul Hasan Syadzily tidak
meninggalkan karangan-karangan tentang tasawuf dan yang lainnya begitu
pula muridnya, Abul „Abbas al-Mursi. Setiap sesuatu yang diterima kemudian
(setelah wafatnya Syadzily dan al-Mursi) tentang ajaran-ajaran tasawuf teruma
tarekatnya ditulis oleh pengikut-pengikutnya sperti doa-doa, hizb-hizbnya dll,
adalah Ibn Athaillah al-Syakandary yang menjadi penyambung dakwah al-
Syadzily dan al-Mursi, baik yang disampaikan melalui pengajaran secara
langsung oleh Ibn Athaillah atau melalui karangan-karangannya”. Terdapat
ungkapan Abul Hasan Syadzily yang populer ketika ditanya oleh murid
utamnya al-Mursi “Wahai Tuanku, kenapa engkau tidak mengarang kitab-kitab
yang berisi petunjuk-petunjuk menuju Allah swt,. sebagai pedoman? Abul
Hasan Syadzily menjawab, kitab-kitabku adalah sahabat-sahabatku”. Ibn
Athaillah merrupakan salah satu pengikut Syadziliyah yang pertama kali
mengumpulkan perkataan-perkataan, wasiat-wasiat, dakwah-dakwah dari Abul
Hasan Syadzily melalui lisan gurunya al-Mursi. Ia menjaganya melalui
karangan-karangan yang di tulis sebagai warisan dalam ajaran tarekat
Syadziliyah. Pada penelitian ini yang menjadi fokus penulisan skripsi adalah
tentang Maqamat dan Ahwal di dalam ajaran Tarekat Syadziliyah dan peran
seorang Mursyid (Syeikh) kepada Murid didalam pencapaian tingkatan spiritual
tersebut.
Kata kunci: Mursyid (Syeikh), Murid, Maqamat dan Ahwal.
v
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, tuhan
semesta alam yang telah memeberikan kekuatan bagi hamba-Nya untuk
menjalankan segala aktifatasnya. Berkat pertolongan dan kekuatan yang
diberikan, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan di beri judul:
PERAN SEORANG MURSYID KEPADA MURID UNTUK MENCAPAI
MAQAMAT DAN AHWAL DALAM KITAB AL-THARIQAH AL-
SYADZILIYAH KARYA KHALID IBN NĀSHIR AL-‘UTAIBY. Shalawat
dan salam semoga tetap tercurahkan kepada sang pembawa risalah untuk umat
manusia, sang insan kamil baginda Nabi besar Muhammad SAW, sebagai
panutan bagi ummat islam yang menjadikan teladan dan panutan hidup. Beliau
diutus oleh Allah untuk menyempurnakan akhlak sebagaimana sabdanya,
بعثت ألتمم مكارم األخالق نماإ
“Sesungguhnya saya diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang
mulya”
Semoga kita semua dapat meneladaninya, dalam segala hal yang
telah beliau contohkan kepada kita semua. Kita sebagai ummatnya semoga
mendapatkan syafa‟atnya di dunia dan di akhirat nanti. Selanjutnya penulis
mengucapkan banyak terimakasih kepada pihak-pihak yang telah memberikan
kontribusi besar atas selesainya penulisan sikripsi ini, penulis menyadari
sikripsi ini tidak mungkin rampung tampa bantuan, dukungan dan doronganya,
oleh karena itu penulis mengucakan terimakasih banayak kepada;
1. Prof. Dr. Hj. Amany Lubis, MA. Selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, dan Dr. Yusuf Rahman, MA. Selaku Dekan Fakultas Ushuluddin.
2. Dra. Tien Rohmatin, MA. Selaku Ketua Jurusan Aqidah dan Filsafat
Islam. Dr. Abdul Hakim Wahid, MA. Sebagai Sekretaris Jurusan Aqidah
vi
dan Filsafat Islam, dan Dr. Edwin Syarif, MA. Sebagai Dosen
Pembimbing Akademik penulis. Terima kasih banyak atas nasihat,
dorongan dan bantuannya, akhirnya penulis tetap konsisten menyelesaikan
judul skripsi ini.
3. Dr. Edwin Syarif, MA. Sebagai pembimbing skripsi, terima kasih sudah
menerima, membimbing, memberi nasehat, dan bersabar dalam
memberikan masukan serta arahan kepada penulis, sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan dengan baik.
4. Seluruh dosen Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang
tidak dapat penulis sebut namanya satu persatu. Semoga ilmu yang telah
diajarkan kepada penulis dapat diamalkan serta mendapat keberkahan dari
Allah sehingga dapat diamalkan dan semoga kelak mendapat balasan dari
Allah.
5. Pimpinan dan segenap civitas akademika Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah banyak membantu kelancaran administrasi
dan birokrasi.
6. Kepada kedua orang tua tercinta. Ayahanda Yatim dan Ibunda Taqiyah.
yang telah memberikan restu, ridha dan mengikhlskan penulis untuk
melanjutkan Studi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Karena berkat doa
dan dorongan beliau penulis pada akhirnya dapat menyelesaikan masa
pendidikan dengan baik. Juga kepada kakak dan adik-adik penulis: Siti
Zulaikha, Muhdi Ramadhan, Ainol Yaqin, Ali Hasan dan Royhan Rahibul
Muharrom serta keponakan tercinta; Khoiru Umamiddin, Ali Mukhtar, dan
tidak lupa juga Neng Arzha Azzhofiroh Alivatul Hidayah yang terus
mensupport dan memberi semangat. Karena mereka semua, penulis
vii
semangat dan gigih dalam menyelesaikan skripsi ini, guna menjadi teladan
yang baik.
7. Kepada teman-teman angkatan AF12 (Aqidah Filsafat 2012), yang berasal
dari Sabang sampai Merauke, yang tidak bisa penulis sebut namanya satu-
satu. Terimkasih banyak atas diskusi-diskusinya.
8. Kepada teman-teman Se-Organisasi: Tretan-tretan Pengurus Forum
Mahasiswa Madura (FORMAD) Se-Jabodetabek. Kawan-kawan Forum
Komunikasi Mahasiswa Santri Banyuanyar (FKMSB) Se-Asia, utamanya
kawan-kawan FKMSB Se-Jabodetabek. Kakak-kakak angkatan; Umar
Mahmudi, Humaidi, Abduh, Ust. Badrut Tamam dll, terimakasih banyak
telah membantu mendaftar penulis kuliah di UIN Jakarta, memberikan
arahan serta motivasi bagi penulis. Juga buat kawan-kawan seangkatan 12,
Bahriyadi, Suher dll. Dan juga buat adik-adik angkatan khususnya Badrut
Tamam, Syamsuri, yang telah ikut membantu dan yang lainnya yang tidak
bisa saya sebut satu persatu.
9. Teman-teman Kuliah Kerja Nyata (KKN) UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta 2016.
Jakarta, 16 Mei 2019
(Sholehoddin)
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................i
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ...............................................iii
ABSTRAK ......................................................................................................iv
KATA PENGANTAR .....................................................................................vi
DAFTAR ISI ...................................................................................................ix
PEDOMAN TRANSLITERASI .....................................................................xii
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................1
A. Latar Belakang Masalah ..............................................................1
B. Permasalahan Penelitian ..............................................................6
a. Identifikasi Masalah ................................................................7
b. Batasan Masalah .....................................................................7
c. Perumusan Masalah ................................................................8
C. Tujuan Penelitian .........................................................................8
D. Manfaat Penelitian .......................................................................9
E. Studi Kepustakaan .......................................................................9
F. Metodologi Penelitian .................................................................10
G. Sistematika Penulisan ..................................................................11
BAB II AWAL ISTILAH MAQAMAT DAN AHWAL DAN
TERMINOLOGI KEMUNCULAN AJARAN TAREKAT .....................13
A. Pengertian Maqamat dan Ahwal .................................................13
B. Awal Istilah Maqamat dan Ahwal ...............................................18
C. Pegertian Tarekat .........................................................................22
D. Sejarah Kemunculan Tarekat ......................................................23
ix
BAB III ABUL HASAN AL-SYADZILY DAN KITAB AL-THARIQAH
AL-SYADZILIYAH .....................................................................................28
A. Biongrafi Abul Hasan al-Syadzily...............................................28
1. Ajaran Tarekat Abul Hasan al-Syadzily ................................31
2. Guru-guru Abul Hasan al-Syadzily .......................................32
3. Para Pengikutnya ...................................................................33
B. Kitab Al-Thariqah al-Syadziliyah ...............................................37
1. Biografi Pengarang Kitab al-Thariqah al-Syadziliyah ..........37
2. Penjelasan Isi Kitab ...............................................................37
BAB IV PERAN DAN AJARAN MURSYID DALAM MEMBIMBING
MURID UNTUK MENCAPAI MAQAMAT DAN AHWAL DALAM
KITAB AL-THARIQAH AL-SYADZILIYAH .............................................42
A. Mursyid........................................................................................42
1. Definisi Mursyid ...................................................................42
2. Kedudukan Seorang Mursyid ...............................................43
B. Murid ...........................................................................................43
1. Derinisi Murid ......................................................................43
2. Adab Seorang Murid ............................................................44
3. Pembagian Murid .................................................................46
C. Peran seorang Mursyid kepada Murid mengenai Maqamat dan
Ahwal ..........................................................................................47
1. Perbedaan Maqamat dan Ahwal ...........................................47
2. Perbedaan dalam Menentukan Maqamat dan Ahwal ...........48
3. Kedudukan Maqamat dan Ahwal .........................................49
x
4. Wajibnya keberadaan Seorang Guru dalam Membimbing
untuk mengetahui Maqamat dan Ahwal ...............................50
5. Buah dari Maqamat dan Ahwal ............................................51
D. Peran seorang Mursyid di dalam Memperkenalkan Jenis-jenis
Maqamat ......................................................................................53
E. Peran seorang Mursyid di dalam Memperkenalkan Jenis-jenis
Ahwal ..........................................................................................73
BAB V PENUTUP ................................................................................................. 85
A. Kesimpulan ..................................................................................85
B. Saran-saran ..................................................................................87
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................89
xi
PEDOMAN TRANSLITERASI
Arab Indonesia Inggris Arab Indonesia Inggris
th ṭ ط A A ا
zh ẓ ظ B B ب
„ „ ع T T ت
gh Gh غ Ts Th ث
f F ف J J ج
q Q ق ḥ ḥ ح
k K ك Kh Kh خ
l L ل D D د
m M م Dz Dh ذ
n N ن R R ر
w W و Z Z ز
h H ه S S س
, , ء Sy Sh ش
y Y ي Sh ṣ ص
Dl ḍ ض
xii
Vokal Panjang
Arab Indonesia Inggris
Ā Ā آ
Ī Ī إِى
Ū Ū أُو
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam kalangan kaum sufi terdapat beberapa fase yang harus
dijalani oleh seseorang yang menempuh kehidupan tasawuf yang di sebut
dengan tingkatan (maqâmât) dan keadaan/kondisi (ahwâl)1 yang dapat
dilalui oleh seseorang untuk meraih tingkat paling tinggi dari kehidupan
ruhaninya.2
Sebuah perjalanan (thariqah)3 menuju Allah yang ditempuh oleh
seseorang harus dilakukan secara konsisten dan terus-menerus sekalipun
telah mencapai taraf spiritualitas yang tinggi, ia terus melakukan
mujahadah (memerangi hawa nafsu)4 didalam memperjuagkan suatu
tahapan tanpa menghentikan usaha untuk terus berada bersama yang dituju
yaitu Allah.
اما المقامات فهي مجاهدات ومكابدات يقوم بها السالك في طريقة
1Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), hlm. 197
2Muhammad Jalal Syaraf, Tasawuf Islam Mazdhab Baghdad (Tasawuf Islam fi Madrasah
Baghdad), Terj. Subhan Anshari, (Tangerang Selatan: Gaya Media Pratama, 2014), hlm. 111 3Thariqat yang di maksud disini bukanlah thariqat seperti yang sudah berbentuk lembaga
institusi dalam sebuah aliran atau kelompok yang dijumpai di banyak tempat seperti Qadariyah,
Naqsyabandiyah, Syadziliyah dsb. Akan tetapi thariqat yang dimaksud adalah suatu perjalanan
yang belum melembaga menjadi institusi melainkan hanya berupa pendekatan-pendekatan dan
pelatihan-pelatihan ruhaniyah. 4Muhammad Fauqi Hajjaj, Tasawuf Islam dan Akhlak, terj. Kamran As‟at Irsyady dan
Fakhri Ghazali, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2011), hlm. 97
2
Artinya; adapun maqamat merupakan hasil perjuangan yang dilakukan
dengan sungguh-sungguh dan bersusah payah dalam menghilangkan tabir-
tabir dalam dirinya yang menghalangi dan konsisten dilaksanakan
(maqamat) oleh salik dalam suatu thariqah (perjalanan suatu maqam).5
Suatu riyadhah (latihan ruhani) yang dilakukan seorang hamba
sebagai tahapan adab (etika) dengan berbagai upaya sehingga dapat
wushul (sampai) kepada hakikat tujuannya. Riyadhah dilakukan dengan
satu tujuan dalam pencarian seseorang yang menjadi tugas utamanya.6 Ia
menjalaninya tahap demi tahap untuk dapat menghilangkan segala sesuatu
yang menghalanginya.
Ada banyak tahapan atau tingkatan (maqamat) yang dikemukakan
oleh tokoh-tokoh sufi dalam meniti jalan menuju Allah. Tahapan yang
dimaksud disini adalah dalam arti tahapan-tahapan untuk dapat tercapainya
kebersamaan dengan sebenar-benarnya bersama Allah dalam kata lain
seseorang yang menempuh jalan tasawuf terlebih dahulu mensucikan diri
dari berbagai kotoran yang ada pada dirinya (tazkiyatun nafs) karena ia
merupakan inti dari kegiatan bertasawuf.7
Seperti seseorang yang ingin melaksanakan shalat tentu syarat
utamanya harus benar-benar dilaksanakan dari apa yang menjadi syarat
5 Khalid Ibn Nashir al-„Utaiby, al-Thariqatu al-Syadziliyah „ardl wa naqd, (Riyadl:
Maktabah al-Rusyd, 2011), hlm. 1892 6 Imam Qusyairy an-Nisabury, Risalatul Qusyairiyah (Induk Ilmu Tasawuf), terj.
Mohammad Luqman Hakiem, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), hlm. 23 7 Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), hlm. 210
3
sahnya shalat tersebut. Tidak cukup sampai disitu, ketika shalat sedang
dilaksanakan mulai dari takbir pertama sampai terakhir salam diharuskan
hadirnya hati sehingga shalat yang dikerjakan tersebut sampai pada tahap
yang paling tinggi, karena shalat tidak ada tampa kehadiran hati kepada
Allah di dalam shalat tersebut
ال صالة إال بحضور القلب
Artinya: “tidak ada shalat tampa kehadiran hati”8 begitu juga ibadah-
ibadah yang lain.
Pencapaian maqamat dalam perjalanannya menuju Allah akan
membimbing seseorang pada suatu pengetahuan dan pengenalan secara
khusus (ma‟rifat) dan itu tidak dapat dicapai dengan mudah atau secara
tiba-tiba, terdapat suatu proses panjang yang harus dilalui oleh seseorang
tersebut. Proses yang dimaksud adalah maqamat (tahapan/tingkatan) dan
ahwal jamak dari kata hal (keadaan/kondisi). Dua persoalan tersebut harus
dilalui oleh seorang salik untuk menuju Tuhan.9 Ketekunan dalam
menjalankan suatu tahapan menuju Allah akan merefleksikan sebuah
pengetahuan disertai pengenalan secara khusus.
Hal merupakan perasaan seseorang dikedalaman jati dirinya
dengan berbagai anugerah dari alam ghaib, dan perbedaannya atas
8 Khan Sahib Khaja Khan, cakrawala Tasawuf, terj. Achmad Nashir, (Jakarta: Rajawali
Pers, 1987), hlm. 139 9 Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), hlm. 198
4
berbagai perbedaan yang terjadi di dalam cakrawala hatinya.10
Kondisi
tersebut ibarat samudera yang tidak bertepian. Samudera yang
dimaksudkan adalah ilmu yang tidak mempunyai batas dan juga tidak
memiliki akhir. Ilmu itu adalah ilmu hati untuk mendekatkan diri kepada
Allah. Ilmu yang bisa membuat pemiliknya menyadari keagungan dan
kebesaran Allah dalam segala sesuatu termasuk pada diri seseorang. Itulah
samudera yang tiada batas dan juga tiada akhirnya.11
Hal dapat terjadi kapan saja tampa terikat waktu dan juga tampa
sebuah perenungan pada masa lalu, masa kini, dan masa depan yang
terencana. Hal adalah suatu keadaan mistik tertentu yang dikaruniakan
Tuhan kepada seorang sufi pada sewaktu-waktu di saat ini.12
Saat ini yang
dimaksud adalah keadaan yang dirasakan tanpa sebuah rencana baik itu di
masa lalu, masa kini, dan masa depan.
Hal tidak dapat dicapai dengan suatu kehendak dan upaya, ia
diperoleh tampa disengaja. Adapun Maqam dapat dicapai dengan suatu
daya dan upaya13
secara tekun, konsisten, dan terus-menerus.
10
Muhammad Fethullah Gulen, Tasawuf Untuk Kita Semua, terj. Fuad Syaifudin Nur,
(Jakarta: Republika, 2013), hlm. 60 11
al-Muhasibi, Renungan Suci Bekal Menuju Taqwa, terj. Wawan Djunaedi Soffandi,
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2001), hlm. 275 12
Annemarie Schimmel, Dimensi Mestik Dalam Islam, terj. Sapardi Djoko Damono,
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986), hlm.134 13
Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), hlm. 199
5
Jalan menuju Allah s.w.t., memuat jenjang-jenjang maqamat dan
ahwal yang harus dilalui oleh seseorang untuk mencapai kedekatan dan
kebersamaan dengan Allah.14
Maqamat dan Ahwal yang dikemukakan pada uraian diatas
merupakan fase tasawuf pada awal mula kemunculannya dalam dunia
islam (istilah kata tasawuf) yaitu pada awal abad ketiga hijriyah15
yang
mana hanya dijalankan secara individualistik dengan berbagai tingkatan
yang diyakininya dan yang dianggap sebagai tokoh utamanya adalah
Dzunnun al-Mishri.16
Namun pada perkembangan dikemudian yaitu abad
keenam dan abad ketujuh, tasawuf terus melebarkan sayap
perkembangannya dengan corak yang berbeda ialah tasawuf yang dibawa
dan diajarkan oleh Para Pendiri Tarekat.17
Tarekat (thariqoh) dengan metode penerapan pembinaan yang
berbeda baik ajaran ataupun karakter baik terdahulu (tasawuf) maupun
yang muncul kemudia dalam berbagai kelompok orang yang mengikuti
madzhab pemikiran yang dikembangkan oleh seorang alim atau syeikh
14
Muhammad Fauqi Hajjaj, Tasawuf Islam dan Akhlak, terj. Kamran As‟at Irsyady dan
Fakhri Ghazali, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2011), hlm. 76 15
Abu al-Wafa‟ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi Dari Zaman ke Zaman, terj. Ahmad Rofi‟
Ustmani, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1997), hlm. 91 16
Abu al-Wafa‟ al-Ghanimi al-Taftazani, hlm. 97 17
Abu al-Wafa‟ al-Ghanimi al-Taftazani, hlm. 234
6
tertentu (mursyid). Meskipun para syeikh menerapkan metode pembinaan
yang berbeda-beda, tujuan mereka tetap sama.18
Dengan cara yang sama, murid seorang syeikh tertentu akan
menunjukkan ciri khas ajaran dan karakter syeikh tersebut. Karena itu,
setiap mazdhab sufi kaum Tarekat memiliki nama yang berbeda-beda
sesuai dengan nama dan perspektif pendirinya.19
Dalam kasus ini penulis akan meneliti perkembangan tasawuf
tentang maqamat dan ahwal dalam tradisi Para Pendiri Ajaran Tarekat
yang difokuskan pada penelitian Tarekat Syadziliyah.
Dari interpretasi diatas sekaligus sebagai latar belakang dari tujuan
penulisan karya ilmiyah ini, penulis akan menjelaskan bagaimana
Maqamat dan Ahwal menurut Tarekat Syadziliyah sehingga penulisan ini
diberi judul “PERAN SEORANG MURSYID KEPADA MURID
UNTUK MENCAPAI MAQAMAT DAN AHWAL DALAM KITAB AL-
THARIQAH AL-SYADZILIYAH KARYA KHALID IBN NĀSHIR AL-
„UTAIBY”.
Berikut beberapa rumusan yang akan dibahas berhubungan dengan
permasalahan yang akan dibahas oleh penulis:
B. Permasalahan Penelitian
18
Syekh Muhammad Hisyam Kabbani, Tasawuf & Ihsan (anti virus kebatilan dan
kedzaliman), terj. A. Syamsu Rizal, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2015), hlm. 8 19
Syekh Muhammad Hisyam Kabbani, Tasawuf & Ihsan (anti virus kebatilan dan
kedzaliman), hlm. 9
7
Mengacu pada pembahasan permasalahan di atas tentang penulis
ingin menjelaskan permasalahan penelitian yang terdiri dari identifikasi
masalah, batasan masalah, dan perumusan masalah sebagai berikut:
a. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas,
maka dapat dikemukakan identifikasi masalah sebagai berikut:
1. Apa itu Maqamat?
2. Apa ituAhwal?
3. Apa peran seorang Mursyid dalam mencapai Maqamat?
4. Apa ciri-ciri tiap-tiap Maqamat?
5. Bagaimana sikap seorang murid atau salik ketika sudah
mencapai suatu maqam dan menaiki maqam selanjutnya?
b. Batasan Masalah
Untuk mendapatkan gambaran dan karangka yang jelas mengenai
ruang lingkup penelitian, perlu kiranya diberi batasan-batasan yang
menyangkut permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini. Latar
belakang yang telah dipaparkan, maka penulis akan membatasi
pembahasan hanya pada “Peran Seorang Mursyid Kepada Murid Untuk
Mencapai Maqamat Dan Ahwal Dalam Kitab Al-Thariqah Al-
Syadziliyah Karya Khalid Ibn Nashir Al-„Utaiby”.
c. Perumusan Masalah
8
Adapun penelitian pokok pada penelitian ini dapat dirumuskan
sebagai berikut:
1. Apa pengertian Maqamat dan Ahwal?
2. Bagaimanakah proses dalam mencapai sebuah
Maqamat dan Ahwal?
3. Apa saja yang termasuk jenis-jenis maqamat dan
ahwal?
C. Tujuan Penelitian
Dari latar belakang masalah dan perumusan masalah yang telah
dikemukakan di atas, dapat diketahui bahwa tujuan dari penulisan skripsi
ini adalah:
a. Mengetahui, mempelajari, menggali, serta mengungkapkan secara
jelas mengenai apakah maqamat dan ahwal dalam Tarekat
Syadziliyah itu ada.
b. Mencoba memberikan penjelasan yang tepat dengan mengambil jalan
tengah, agar tidak terjadi salah paham terhadap pemahaman Peran
Seorang Mursyid Kepada Murid Untuk Mencapai Maqamat Dan
Ahwal Dalam Kitab Al-Thariqah Al-Syadziliyah Karya Khalid Ibn
Nashir Al-„Utaiby.
Memenuhi tugas akhir proses pembelajaran di Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada jurusan Aqidah dan Filsafat Islam
di fakultas Ushuluddin, yaitu berupa penulisan karya ilmiyah/skripsi yang
9
nantinya dapat dimanfaatkan sebagai dokumentasi almamater dan refrensi
kepada semua pihak, khususnya para peneliti yang sesuai dengan
pembahasan ini.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penulisan ini adalah:
1. Penulis dapat memahami serta memperkaya dalam
memperluas khazanah keilmuan teoritis khususnya mengenai
maqamat dan ahwal dalam tradisi Tarekat Syadziliyah
2. Dapat memberikan kontribusi berupa bacaan perpustakaan di
lingkungan sekitar Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta
E. Studi Kepustakaan
Sebagaimana oleh Peneliti sebelumnya dalam kitab al-Thariqah al-
Syadziliyah yang diambil dari beberapa rujukan penulisan skripsi dalam
Penelitian ini ditujukan untuk mengungkap bagaimana maqamat dan
ahwal dalam Tarekat Syadziliyah dan akan dijelaskan secara mendalam
dari berbagai literatur yang dapat dipertanggungjawabkan. Penting sekali
untuk diteliti dengan detail dan gamblang baik secara terminologi maupun
epistemologi dengan mengacu pada sejarah dimulai gerakan tarekat.
F. Metodologi Penelitian
10
Penelitian ini digolongkan kepada penelitian kualitatif yaitu
dengan menggali informasi melalui data berupa teks atau dokumen yang
berhubungan dengan judul penelitian, kemudian mendeskripsikan dan
menganalisisnya.
Sumber data penelitian yang menjadi rujukan oleh penulis dalam
penelitiannya diambil dari tulisan-tulisan maqamat dan ahwal baik
terdokumentasi dalam buku, makalah, jurnal, artikel, dan majalah yang
mempunyai relevansi dengan maksud uraian skripsi ini merupakan sumber
sekunder yang menjadi pendukung sumber primer.
Metode pembahasan yang digunakan adalah metode Deskriptif
Analisis. Deskriptif adalah menggambarkan secara jelas terkait dengan
masalah yang akan diteliti yaitu “Peran Seorang Mursyid Kepada Murid
Untuk Mencapai Maqamat Dan Ahwal Dalam Kitab al-Thariqah al-
Syadziliyah Karya Khalid Ibn Nashir al-„Utaiby”, sedangkan analisis
adalah menyelidiki setiap masalah untuk memperoleh pemahaman yang
lebih mendalam.
Kemudian menyajikan hasil penelitian melalui sumber-sumber
pustaka primer maupun sekunder dengan menggunakan karangan-
karangan kitab Tasawuf khususnya yang membahas maqamat dan ahwal
dalam tarekat dari berbagai sumber dan yang berkaitan dengan
pembahasan maqamat dan ahwal. Teknik pengumpulan data penelitian ini,
11
penulis dapatkan dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan
(library research).
Teknik penulisan penelitian skripsi ini berpedoman pada ketentuan
yang ditetapkan oleh Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
yaitu buku “Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi Fakultas
Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta”, yang diterbitkan oleh UIN
Press tahun ajaran 2012/2013
G. Sistematika Penulisan
Untuk lebih mempermudah pembahasan dan penulisan pada skripsi
ini, maka penulis membagi tulisan dalam beberapa bab, dengan
sistematika sebagai berikut:
BAB I, pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
studi kepustakaan, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II, maqamat, ahwal dan tarekat, yang dimulai dengan,
menguraikan pengertiannya, menguraikan awal kemunculan Maqamat dan
Ahwal, pengertian tarekat dan sejarah kemunculannya.
BAB III, adalah Abul Hasan Syadzily dan Kitab al-Thariqah al-
Syadzilyah, dimulai dengan Biografi, ajaran tarekat, Guru-guru, dan para
12
pengikutnya yang masyhur. Kemudian dilanjut dengan pembahasan
biografi pengarang kitab serta menguraikan penjelasan isi kitabnya.
BAB IV, menjelaskan hasil penelitian mengenai peran mursyid
kepada murid dengan pembahasan mursyid, pengertian dan
kedudukannya, kemudian dilajut dengan pembahasan murid, definisi, adab
seorang murid dan pembagian murid, selanjutnya membahas tentang peran
mursyid mengenai maqamat dan ahwal baik mulai dari pengertian, jenis-
jenis Maqamat dan Ahwal dalam kitab al-Thariqah al-Syadziliyah, karya
Khalid Ibn Nashir al-„Utaiby.
BAB V, merupakan bab penutup dari penulisan karya ilmiah ini
yang berisi kesimpulan dan saran-saran dari penulis.
13
28
BAB II
AWAL ISTILAH MAQAMAT DAN AHWAL DAN TERMINOLOGI
KEMUNCULAN AJARAN TAREKAT
A. Pengertian Maqamat (Maqam) dan Ahwal (Hal)
Secara lughah (bahasa) Maqamat mempunyai arti;
قام بالفتح مصدر قام يقوم مقاما, واؼبقام أيضا موضع القيام, وأقام الشيئ أي: َاإلقامة واؼب
قامة بالضم: اإلقامة, [٣سورة البقرة: ﴾]ويقيمون الصلوة﴿أدامو, ومنو قولو تعاىل: ُواؼب
قامة بالفتح: اجمللس واعبماعة من الناس, وأما اؼبقام واؼبقام فقد يكون كل واحد منهماَ واؼب
. اإلقامة, واؼبقام موضع القدمُتدبعٌت
Artinya:“kata Iqamah dan Maqam dengan dibaca fathah
merupakan akar kata dari mashdar Qama, Yaqumu, Maqaman.
Maqam mempunyai arti tempat berdiri, melaksanakan,
sebagaimana di dalam firman Allah, “dan orang-orang yang
melaksanakan shalat”, (Q.S. al-Baqârah: 3). Kata Iqamah
(Muqamah dan Maqamah dengan dibaca dhammah dan fathah)
mempunyai arti Majlis, Perkumpulan manusia. Adapun kata
Maqam dan Muqam keduanya dapat bermakna Iqamah, dan kata
Maqam mempunyai arti tempat berpijak atau meletakkan kedua
kaki”.1
Adapun secara istilah Maqamat mempunyai arti;
عبارة عما يتوصل إليو بنوع تصرف, ويتحقق بو بضرب تطلب, ومقاساة تكلف, وقال إبن عجيبة: وأما اؼبقام فهو ما يتحقق العبد دينازلتو واجتهاد من األدب, وما يتمكن فيو من
.وتطلب, فمقام كل أحد موضع إقامتومقامات اليقُت بتكسب
Artinya:“merupakan sebuah ungkapan tentang sesuatu
(tahapan-tahapan spiritual) untuk dapat sampai pada tujuannya
dengan suatu tindakan, merealisasikannya dengan cara berusaha
1 Khalid Ibn Nashir al-„Utaiby, al-Thariqah al-Syadziliyah („ardl wa naqd),
(Riyadl: Maktabah al-Rusyd, 2011), hlm. 1889
14
mencari atau menuntut, dan dilakukan dengan susah payah tanpa
mengenal lelah.”
Adapun pengertian Ahwal jamak dari hal secara terminologi
adalah;
هناية اؼباضي وبداية : , واغبال... نزل بو, كاحتلو, وبو فهو حالحل اؼبكان, وبو حيل .اؼبستقبل
Artinya: hal adalah puncak masa lampau dan permulaan
yang akan datang.
Dan menurut istilah pengertian Hal adalah;
, قال أبو اؼبواىب الشاذيل: بَت تصنع, وال اجتالب, وال اكتسامعٌت يرد على القلب من غ"ما ربول وزال, وملك صاحبو ومل ديلكو فهو حال, لو مل ربل ما ظبيت حاال", وقال إبن
.وال اجتالب, وال تسبب وال اكتسابعجيبة: "اغبال: معٌت يرد على القلب من غَت تعمد
Artinya: Makna yang terbersit dalam hati tanpa suatu
keinginan, tanpa proses perjuangan, dan tanpa proses usaha. Abul
Muwahib al-Syadzily berkata “suatu kondisi yang berubah dan
hilang, terkadang pemilik hal mengalami kondisi itu akan tetapi
tidak tetap atau berubah maka disebut hal, jika tidak berubah maka
bukan di sebut hal”. Ibn Ajibah berkata, “hal adalah makna yang
terbersit dalam hati tanpa disengaja, tanpa suatu penyebab, dan
tanpa suatu usaha”.
Jadi Hal adalah suatu kondisi spiritual yang dialami seseorang di
dalam kedalaman hatinya tanpa proses usaha, sebab, ataupun kesengajaan
dll. Hal adalah anugerah Allah kepada seseorang yang mempunyai
kekuatan spiritual baik secara dhohir maupun secara bathin.
Pada dasarnya kajian tentang maqamat merupakan sebuah kajian
yang tidak dapat dipisahkan dengan ahwal kerena kaduanya mempunyai
15
hubungan yang erat dan kaduanya tidak bisa dibahas secara terpisah.
Dalam al- Luma‟ al-Tuhsi dijelaskan bahwa maqamat adalah tingkatan
antara seorang hamba dengan Allah Swt, yang dibangun atas dasar
pelaksanaan ibadah, mujahadah, riyadhah, dan kebersamaan dengannya,
hal tersebut berlandaskan pada Q.S. Ibrahim:14, danQ.S. al-Shaffat:164.
Sedangkan Ahwal adalah keadaan hati (qalb) seorang sufi sebagai akibat
dari kemurnian dzikirnya.2
Menurut Abu al-Najib al-Suhrawardy dan al-Qusyairy maqamat
adalah tingkatan spiritual seorang hamba dalam ibadah dihadapan Allah
swt. Dari defnisi ini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
maqamat adalah nilai atau kualitas spritualitas sesorang terhadap Rabb-
nya. Sebagaiama dijelaskan dalam Risallah al-Qusyairiyyah, al-Qusyairi
bahwa maqamat adalah tingkatan spritualn yang akan diraih salik dengan
jalan mujahadah dan mengamalkan adab-adab, perilaku, dan sikap
tertentu, serta riyadhah.3
Menurut al-Ghazali beberapa maqamat yang dapat kita temukan
dalam ihya, seperti tobat, sabar, kefakiran, zuhud, tawakal, mahabbah dan
rida; Pertama, tobat, yaitu pertama berkaitan dengan pengetahuan tentang
dosa serta akibatnya pada masa sekarang, dan keinginan untuk
meninggalkan segala dosa yang telah ia lakukan dimasa lalu dan di masa
2 Ja‟far, Gerbang Tasawuf, (Medan: PerdanaPublishing, 2016), hlm. 48
3 Ja‟far, Gerbang Tasawuf, (Medan: PerdanaPublishing, 2016), hlm. 49
16
yang akan datang.4 Kedua, sabar, berkaitan dengan fisik, seperti ketabahan
dan ketegaran memikul beban dengan badan. Kesabaran seperti ini biasa
dilakukan dengan perbuatan, seperti melakukan pekerjaan yang berat berupa
ibadah atau lainnya. Sabar yang kedua disebut dengan kesabaran terpuji dan
sempurna, yaitu kesabaran yang berkaitan dengan jiwa dalam menahan diri
dari berbagai keinginan tabiat atau hawa nafsu. Ketiga, kefakiran diartikan
oleh al-Ghazali sebagai ketidaktersedianya apa yang dibutuhkan oleh
seseorang atau sesuatu. Maka dalam arti ini, seluruh wujud selain Allah,
adalah fakir karena mereka membutuhkan bantuan Tuhan untuk
kelanjutan wujudnya. Keempat, zuhud didefinisikan sebagai tidak adanya
perbedaan Kemiskinan, kekayaan, kemuliaan dan kehinaan, pujian dan
celaan. Karena keakrabannya dengan tuhan, tiga tanda zuhud;
(1) tidak bergembira dengan yang ada dan tidak bersedih karena ada
yang hilang.
(2) sama saja baginya orang yang mencela dan memujinya.
(3) keadaan tawakal yang paling tinggi, yaitu hendaknya ia berada
dihadapan Allah dalam semua gerak dan diamnya.
Yang kelima tawakal. Tawakal adalah menyerahkan urusan kepada
seseorang yang kemudian disebut wakil, dan mempercayakan kepadanya
dalam urusan tersebut. Tentu saja dalam hal ini, yang dimaksud adalah
4 Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf. (Penerbit Erlangga), hlm. 197
17
tawakal kepada Allah swt. wakil kita yang dapat kita percaya, Mahakuasa
dan mempunyai kecakapan yang tidak ada batasnya. Keenam, adalah cinta
Ilahi (al-mahabbah). orang yang mencintai sesuatu yang tidak punya
keterkaitan dengan Allah, maka orang itu melakukannya karena kebodohan
dan kurangnya mengenal Allah. Cinta kepada Rasulullah adalah hal yang
terpuji karena cinta ini merupakan buah kecintaan kita kepada Allah.
Ketujuh, Ridha adalah terkait erat dengan cinta. Kalau cinta kepada Allah
telah tertanam dihati seseorang, maka cinta tersebut akan menimbulkan rasa
ridha atau senang atas semua perbuatan Tuhan, karena dua alasan: yang
pertama, cinta bisa menghilangkan rasa sakit atau luka yang menimpa diri
seseorang. Yang kedua, ia mungkin merasakan kesakitan atas dirinya, tetapi
ia merasa rida atas dirinya.
Sedangkan yang dimaksud dengan Ahwal adalah bentuk jamak dari hal
yang biasanya diartikan sebagai keadaan mental (mental states) yang dialami
oleh para sufi disela-sela perjalanan spritualnya. Hal merupakan anugerah
dan rahmat dari Tuhan. Meskipun demikin sikap mental itu semata anugerah
Allah, bukan karena latihan dan perjuangan, namun bagi setiap orang
yang ingin meningkatkan intensitas jiwanya haruslah berusaha menjadikan
dirinya orang yang berhak menerima anugerah Allah tersebut, yaitu dengan
meningkatkan amal perbuatannya, baik dari segi kualitas maupun segi
18
kuantitasnya. Ada beberapa sifat dan ciri dari pada ahwal dintaranya; Khauf,
Raja‟, Syauq, Uns dan Mahabbah.5
B. Awal Istilah Maqamat dan Ahwal
Penemuan-penemuan mengenai para sufi awal menunjukkan
bahwa batasan-batasan yang dianggap milik para mistik abad ke-9 mugkin
bisa ditelusuri ke masa-masa jauh sebelumnya. Penemuan-penemuan
tersebut juga menunjukkan bahwa gagasan-gagasan sufi, pada tahap
awalnya, saling berkaitan. Namun masih banyak persoalan yang
menunggu pemecahan. Gagasan-gagasan ja‟far dan, mungkin, pemikir-
pemikir sufi lain di zaman awal tentunya tersebar diam-diam, melebar di
dalam kehidupan mistik sampai akhirnya muncul dalam pernyataan-
pernyataan sejumlah tokoh sufi yang hidup hampir bersamaan, yang
mengungkapkan keanekaragaman kemungkinan dalam kehidupan mistik.6
Dari sini dapat kita lihat bahwa pada abad-9 terjadi sebuh siklus dimana
perkembangan sufisme begitu pesat sehingga para sejarawan berusaha
mencari titik terang tentang kehidupan para mistik dan siapa saja tokoh
yang paling berpengaruh waktu itu. Seperti Dzun-Nun Al-Mishri (859),
5 Ahmad Bangun Nasution, Rayani Hanum Siregar, AkhlakTasawuf, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada), hlm. 53 6 Ibnu Farhan, “Konsep Maqamat Dan Ahwal Dalam Perspektif Para Sufi”YAQZHAN
Volume 2, Nomor 2, Desember 2016, hlm. 160
19
Bayazid al-Bistami dari iran (874) Yahya bin Mu‟adz dari rayy (871) al-
Harist al-Muhasibi dari irak (875).7
Pada hakikatnya tujuan utama dari pada sufisme dalam
mendekatkan diri sedekat mungking dengan sang maha pencipata yaitu
Allah swt, mekipun masih perdebatan yang terjadi sebagaimana penulis
sebutkan diatas tentang sejarah sufisme namum yang lebih penting adalah
sufisme meruapakan cara bagaiamana manusia bisa dekat dengan tuhan.
Sebab sebagaimana yang dikatakan oleh gibb sufisme adalah pengalaman
keagamaan yang otentik dalam Islam.8
Di dalam perjalanannya menuju Allah SWT, para guru sufisme
mempunyai peranan yang sangat vital. Ia merupakan tokoh sentral dalam
dunia tasawuf. Ia adalah satu-satunya yang mempunyai otoritas dalam
menuntun para salik, dalam melakukan perjalanan menuju Allah SWT.
Lewat pengalamannya para guru Sufi ini kemudian membuat beberapa
metode dan konsep untuk membantu dan memudahkan para Salik
mencapai tujuannya. Dari banyaknya konsep yang ada dan berkembang
dikalangan Sufi konsep mengenai maqamat dan ahwal adalah salah
satunya.
7 Ibnu Farhan, “Konsep Maqamat Dan Ahwal Dalam Perspektif Para Sufi” YAQZHAN
Volume 2, Nomor 2, Desember 2016 hlm. 160 8 William C. Chitick, Sufism; A Beginner‟s Guide (England: One world Publication
Oxford, 2008), hlm. 3
20
Maqamat merupakan salah satu konsep yang digagas oleh Sufi
yang berkembang paling awal dalam sejarah tasawuf Islam. Kata maqamat
sendiri merupakan bentuk jamak dari kata maqam, yang secara literal
berarti tempat berdiri, stasiun, tempat, lokasi, posisi atau tingkatan. Dalam
al-Qur‟an kata ini maqam yang mempunyai arti tempat disebutkan
beberapa kali, baik dengan kandungan makna abstrak maupun konkrit.
Diantara penyebutannya terdapat pada Q.S. al-Baqarah ayat 125, Q.S. al-
Isra‟ ayat79,Q.S. Maryama yat 73,Q.S. al-Shaffat ayat 164, Q.S. al-
Dukhan ayat 51, dan Q.S. al-Rahman ayat 46. Sedangkan kata ahwal
merupakan bentuk jamak dari kata hal, yang secara literal dapat diartikan
dengan keadaan. Adapaun secara lebih luas ahwal dapat diartikan sebagai
keadaan mental (mental states) yang dialami oleh parasufi disela-sela
perjalanan spiritualnya.
Secara historis konsep maqamat diduga muncul pada abad pertama
hijriyah ketika para sahabat Nabi masih banyak yang hidup. Sosok yang
memperkenalkan konsep tersebut adalah menantu Rasulullah saw yaitu
sahabat Ali bin Abi Thalib. Hal ini dapat ditemukan dalam satu informasi
bahwa suatu ketika para sahabat bertanya kepadanya mengenai Iman, Ali
bin Abi Thalib menjawab bahwa iman itu dibangun atas empat pondasi
yaitu kesabaran (as-sabr), keyakinan (al-yaqinu), keadilan (al-„adl) dan
perjuangan (al-jihadu). Danmasing-masing pondasi tersebut mempunyai
sepuluh tingkatan (maqamat). Hal ini setidaknya menjadi bukti kuat
21
bahwa sumber tasawuf sudah dapat dilihat pada masa Nabi Muhammad
saw.
Namun dalam tradisi tasawuf, istilah maqamat dan ahwal ini
biasanya disandarkan kepada tokoh sufi mesir yaitu Syekh Dzunnun al-
Mishri. Dia adalah salah satu sufi masyhur yang lahir di Mesir selatan dan
meninggal pada tahun 859 M. Dia adalah seorang sufi yang
memperkenalkan teori ma‟rifah atau gnosis dalam tradisi tasawuf.
Menurut Dzunnun ma‟rifah adalah cahaya yang diberikan Tuhan ke dalam
hati seorang sufi. Sebuah ungkapan mengenai ma‟rifah yang terkenal
darinya “Aku mengetahui Tuhan melalui Tuhan dan jika sekiranya tidak
karena Tuhan, aku tidak akan tahu Tuhan”. Dzunnun juga menambahkan
bahwa ma‟rifah bukan saja merupakan hasil dari usaha seorang sufi untuk
menggapainya tapi juga merupakan anugerah dari Tuhan. Dengan
demikian adanya usaha dan kesabaran dalam menunggu anugerah Tuhan
merupakan keniscayaan untuk menggapai ma‟rifah.9
Dalam perkembangan selanjutnya konsep maqamat dan ahwal ini
merupakan salah satu konsep tasawuf yang pada giliranya mendapat
perhatian yang serius dari para Sufi. Para Sufi kemudian membuat
beberapa definisi dan tingkatan maqamat yang berbeda-beda. Para Sufi
juga membuat beberapa definisi berkenaan dengan ahwal dan bagaimana
9 Ibnu Farhan, “Konsep Maqamat Dan Ahwal Dalam Perspektif Para Sufi” YAQZHAN
Volume 2, Nomor 2, Desember 2016, hlm. 161
22
mengenai proses dari konsep-konsep tersebut. Adapun tujuan dari
pembuatan konsep maqamat atau ahwal oleh para Sufi adalah sebagai
gerakan atau prilaku untuk mencapai kesempurnaan menuju Tuhan secara
sistematik. Berdasarkan konsep maqamat dan ahwal ini maka para sufi
dapat memberikan suatu aturan yang dapat dijalankan oleh pengikutnya
sehingga jalan menuju Tuhan menjadi jelas dan mudah.
C. Pengertian Tarekat
Kata tarekat berasal dari bahasa arab “thariqah” yang berarti jalan,
keadaan, aliran atau garis pada sesuatu. Tarekat adalah jalan yang
ditempuh para sufi. Dapat pula digambarkan sebagi jalan yang berpangkal
dari syariat, sebab jalan utama disebut syar‟, sedangkan anak jalan disebut
“thariq”.10
Dari definisi ini dapat kita ambil kesimpulan bahwa tarekat
adalah jalan menuju tuhan yang sering identik dengan jalan seorang sufi
untuk mencapai kesempurnaan dalam beribadah kepada Tuhan.
Menurut Abu Bakar Aceh, Tarekat adalah jalan, petunjuk dalam
melaksanakan suatu ibadah sesuai dengan ajaran yang ditentukan dan
dicontohkan oleh Nabi dan dikerjakan oleh sahabat dan tabi‟in, turun-
menurun sampai kepada guru-guru, atau suatu cara mendidik, mengajar,
lama-kelamaan meluas menjadi kumpulan kekeluargaan yang mengikat
penganut-penganut sufi yang sepahamdan sealiran, guna memudahkan
10
Rosihan Anwar, Ilmu Tasawuf,(Bandung: Pustaka Setia,2004), hlm. 165
23
menerima ajaran-ajaran dan latihan-latihan dari para pemimpinnya dalam
suatu ikatan. Tarekat ialah suatu sistem dan cara-cara beramal atas Irsyad
seseorang mursyid terhadapa murid-muridnya yang mengikat dalam suatu
mazdhab tertentu yang pada dasarnya untuk menjalankan sunnah
Rasulullah secara optimal dan sungguh-sungguh.11
Sufi-sufi yang melakukan Tarekat menggambarkan dirinya yang
sedang mencari Tuhan bagaikan pengembara (salik). Mereka melangkah
maju dari satu tahap ke tahap berikutnya. Tahapan-tahapan itu mereka
menyebutnya dengan “maqamat”. Jalan yang mereka tempuh disebut
“thariqah”. Tarekat atau jalan sufi ini begitu penting sehingga sering kali
Ilmu Tasawuf disebut juga dengan ilmu suluk.12
D. Sejarah Kemunculan Tarekat
Tasawuf merupakan hal yang tak terpisahkan dari dunia tarekat
sebab kemunculan taerekat sendiri tidak terlepas dari keberadaan tasawuf
secara umum. Hal yang perlu kita ketahui adalah perubahan atau peralihan
tasawuf yang bersifat individual kepada tarekat sebagai suatu organisasi.
Hal tersebut merupakan perkembangan, pengamalan serta perluasan dan
keluasan ajaran tasawuf. Kajian tentang tarekat sendiri tidak mungkin
dilakukan tanpa kajian tasawuf. Beraneka ragam asal kata tasawuf. Salah
11
Damanhuri Basyir,Ilmu Tasawuf,(Banda Aceh: Yayasan Pena,2005), hlm. 60 12
Akbarizan, Tasawuf Integratif Pemikiran dan Ajaran Tasawuf diIndonesia, (Riau:
Suska Press, 2008), hlm. 9-10
24
satu yang dipandang paling dekat adalah kata Suf yang mengandung arti
„wol kasar‟. Pengertian ini dihubungkan dengan seseorang yang ingin
memasuki tasawuf mesti mengganti pakaian mewah dengan kain wol
kasar, yang melambangkan kesederhanaan dan ketulusan hamba Allah
dalam menjauhkan diri dari dunia materi dan memusatkan perhatian pada
alam rohani.13 Pada mulanya atau pada priode awal upaya tersbut mereka
tempuh dikenal sebagai zuhhad.14
Menurut terminologi, tasawuf merupakan upaya mendekatkan diri
sedekat mungkin kepada Tuhan, dengan menggunakan intuisi dan daya
emosional spiritual yang dimiliki manusia sehingga benar-benar merasa
berada di hadirat-Nya. Upaya pencapaian ini dilakukan melalui tahapan-
tahapan panjang yang disebut maqâmât dan ahwâl. Pada tahapan
selanjutnya, tasawuf mengalami perkembangan makna, yang semula
diamalkan secara invidual, seperti yang terjadi pada masa awal Islam
hingga abad ke-5/11. Namun dengan bertambahnya jumlah pengikut
tasawuf, maka secara perlahan terjadi transformasi tasawuf dari semata
sebagai doktrin menjadi organisasi (tarekat) sepanjang abad ke-6/12 dan
hingga saat ini.15
13
Abû al-Wafa‟ al-Ghanimî al-Taftazanî, Sufi dari Zaman ke Zaman, terj. Ahmad Rofi‟i
Ustman (Bandung: Pustaka ITB, 1985), hlm. 21 14
J. Spencer Trimingham, Madzhab Sufi, terj. Lukman Hakim (Bandung: Pustaka, 1999),
hlm. 1-2 15
Hidayat Siregar,”Sejarah Tarekat dan Dinamika Sosial” MIQOTVol. XXXIII No. 2
Juli-Desember, 2009 hlm. 171
25
Dalam konteks ini, Trimingham menggambarkan perkembangan
tasawuf menjadi tarekat ke dalam tiga tahapan. Tahap pertama, Kanaqah,
Guru dan majelis muridnya, yang sering kali berpindah-pindah tempat,
mempunyai aturan yang minimum untuk menempuh kehidupan biasa,
menjurus pada abad ke-10 ke arah pembentukan pondok-pondok yang
seragam dan tidak khusus. Bimbingan di bawah seorang guru menjadi
prinsip yang diterima. Secara intelektual dan emosional merupakan suatu
gerakan yang aristokratik. Menerapkan metode-metode kontemplasi dan
latihan-latihan yang individualistik dan komunal untuk menumbuhkan
ekstase.
Tahap kedua, tharîqah, abad ketiga belas, zaman Saljuq. Periode
formatif 1100-1400 M. Pada periode ini terjadi transmisi doktrin, aturan,
dan metode. Perkembangan mazhab-mazhab mistisisme yang
bersinambung. Silsilah-thariîah, yang berasal dari seseorang yang
tercerahkan, gerakan borjuis. Menyesuaikan dan menjinakkan semangat
mistikal dalam sufisme yang terorganisasi kepada standar tradisi dan
legalisme. Perkembangan tipe-tipe baru metode kolektif untuk
menumbuhkan ekstase. Tahap ketiga, ta‟ifah, abad kelima belas, zaman
pembentukan Kemaharajaan Ottoman. Transmisi baiat bersama-sama
doktrin dan aturan. Sufisme menjadi suatu gerakan yang populer. Fondasi-
fondasi baru terbentuk dalam aliran-aliran thariqah, bercabang menjadi
banyak „ordo‟, yang sepenuhnya menyatu dengan kultus orang suci.
26
Pada proses selanjutnya, tasawuf yang pada awalnya hanya
merupakan bentuk praktik ibadah yang diajarkan secara khusus kepada
orang tertentu, maka pada tahapan selanjutnya, jumlah pengikut semakin
bertambah, sehingga menjadi suatu komunitas yang membentuk kekuatan
sosial perkumpulan khusus, kemudian memunculkan organisasi sufi yang
melestarikan ajaran syaikhnya, seperti tarekat Qadiriyah, Naqsyabandiyah,
Syaziliyah dan lain-lain. Nama tarekat identik dengan nama figur
pendirinya.16
1. Tarekat Qadiriyah, (dihubungkan kepada Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani,
yang wafat di Irak pada (1161 H) yang mempunyai penganut di Irak, Turki,
Turbekistan, Sudan, Cina, India, dan Indonesia.
2. Tarekat Syadziliah, (dihubungkan kepada Syaikh Abul Hasan al-Syadzily,
yang wafat di Mesir pada 1258 M), yang mempunyai pengikut di Mesir,
AfrikaUtara, Syiria, dan Negri-negri Arab lainnya..
3. Tarekat Rifaiyah, (dihubungkan kepada Syaikh Ahmad al-Rifai, yang
wafat di Mesir pada 1182 M), yang mempunyai pengikut di irak dan di Mesir.
4. Tarekat Naqsyabandiyah (dihubungkan kepada Syaikh Bahaudin Naqsabandi
yang wafat di Bukhara pada 1389 M), yang mempunyai pengikut di Asia
16
Hidayat Siregar,”Sejarah Tarekat dan Dinamika Sosial” MIQOTVol. XXXIII No. 2
Juli-Desember 2009, hlm. 172
27
Tenggara, Turki, India, Cina, dan Indonesia. Pandangan tokoh-tokoh tarekat
tentang maqamat dan Ahwal.17
17
M. Solihin, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Nuansa, 2005), hlm. 249
28
43
BAB III
ABUL HASAN AL-SYADZILY DAN KITAB AL-THARIQAH AL-
SYADZILIYAH
A. Biografi Abul Hasan al-Syadzily
Abul Hasan al-Syadzily, julukannya adalah Taqiyu al-Din, nama
panggilannya, Abul Hasan dan terkenal dengan sebutan al-Syadzily.
Orang-orang berbeda pendapat tentang nasab Abul Hasan al-Syadzily,
setelah kesepakatan mereka terdapat dua pendapat bahwa Abul Hasan al-
Syadzily bernasab kepada Sayyidina Hasan bin Ali r.a;
a. Pendapat orang-orang Timur
Mereka mengembalikan nasab Abul Hasan al-Syadzily kepada „Isa
bin Muhammad bin al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib, yaitu, Ali bin
Abdullah bin Abdul Jabbar bin Tamim bin Hurmuz bin Hatim bin Qushoi
bin Yusuf bin Yusya‟ bin Warod bin Bathol bin Ahmad bin Muhammad
bin Isa bin Muhammad bin al-Hasan bin Ali bin Abi Tholib r.a, yang
mengatakan dengan pendapat ini adalah Ibn Athaillah al-Sakandari dalam
kitabnya lathaiful minan dan Ibn Shabagh dalam kitabnya durrotul asror
wa tuhfatul abror.1
1 Khalid Ibn Nashir al-„Utaiby, al-Thariqah al-Syadziliyah („ardl wa naqd), (Riyadl:
Maktabah al-Rusyd, 2011), hlm. 115
29
Imam Al-Dzahabi berpendapat bahwa putra-putra sayyid Hasan bin
Ali r.a mereka adalah Hasan, Zaid, Thalhah, Qosim, Abu Bakr, dan
Abdullah akan tetapi mereka syahid bersama paman-pamannya (Umar,
Abdurrahman, Husain, Muhammad, Ya‟qub, dan Ismail) dalam tragedi
karbala, mereka sama sekali tidak memberi keturunan kecuali dari dua
orang laki-laki yang utama yaitu Hasan dan Zaid. Sayyid Hasan bin Hasan
mempunyai lima keturunan sedangkan sayyid Zaid bin Hasan mempunyai
satu putra yaitu Hasan bin Zaid.
b. Pendapat orang-orang Barat
Mereka mengembalikan nasab Abul Hasan al-Syadzily kepada
golongan Idris, mereka merupakan para sultan di bagian wilayah ujung
barat dunia arab (maroko). Mereka sepakat dengan orang-orang timur
tentang nasab Abul Hasan Syadzily kepada Isa yang merupakan kakek ke
tiga belas, akan tetapi pada setelahnya mereka berbeda pendapat mengenai
nasab Syadzily. Maka mereka berpendapat Isa bin Idris bin Umar bin Idris
al-Azhar bin Idris al-Akbar bin Abdullah bin al-Hasan al-Mutsanna bin
Abi Muhammad al-Hasan bin Amir al-Mu‟minin Ali bin Abi Tholib r.a.,
yang mengatakan dengan pendapat ini adalah Ibn „Iyad dengan
melewatkan Idris al-Azhar, kemudian dia mengatakan, Isa bin Idris bin
Umar bin Idris bin Abdullah, sebagaimana dapat diketahui dalam kitab-
kitab sejarah bahwa Idris al-Akbar bin Abdullah adalah penggagas Daulah
Adarisah, setelah meninggal ia tidak mempunyai pewaris tahta kecuali ia
30
mengangkat seseorang pada tahun ke tujuh. Ketika dilahirkan ia diberi
nama Idris dan diberi julukan al-Azhar, maka Umar bukan bagian dari
putra Idris al-Akbar. Jadi, urutan yang benar dalam pendapat ini adalah Isa
bin Idris bin Umar bin Idris al-Azhar bin Idris al-Akbar bin Abdullah bin
al-Hasan al-Mutsanna bin Abi Muhammad al-Hasan bin Amiril Mu‟minin
Ali bin Abi Tholib r.a,. Berdasarkan pendapat yang Shahih ini nama-nama
mereka terdapat dua puluh dua jumlahnya, adapun pada pendapat pertama
mereka semua berjumlah tujuh belas.2
Terdapat beberapa pendapat tentang tahun kelahiran dan tempat
dilahirkan Abul Hasan al-Syadzily diantar pendapat tersebut ada yang
mengatakan beliau dilahirkan pada tahun 591 H dan ada juga yang
mengatakan dilahirkan pada tahun 571 H, akan tetapi pendapat paling
shohih mengenai tahun kelahirannya yaitu pada tahun 593 H di Iklim
(ghumaroh) Maghribil Aqsho Tunis dekat dari kota Sabtah.3
Abul Hasan al-Syadzili tumbuh hingga dewasa di tempat
kelahirannya di Iklim (ghumaroh) Maghribil Aqsho, beliau mempunyai
warna kulit sawo mateng, badannya kurus, tinggi, tipis cambang, panjang
jari-jari kedua tangannya sepertinya Dia bangsa Hijaz, fasih dalam
berucap, dan perkataannya penuh hikmah serta menyenangkan bagi orang-
orang yang mendengarkannya. Sebagian penterjemah mengatakan bahwa
2 Khalid Ibn Nashir al-„Utaiby, al-Thariqah al-Syadziliyah („ardl wa naqd), (Riyadl:
Maktabah al-Rusyd, 2011), hlm. 118 3 Khalid Ibn Nashir al-„Utaiby, al-Thariqah al-Syadziliyah („ardl wa naqd), (Riyadl:
Maktabah al-Rusyd, 2011), hlm. 122
31
Abul Hasan al-Syadzily mengalami kebutaan semenjak pertumbuhannya
dan pendapat ini salah. Abul Hasan al-Syadzily tidak mengalami kebutaan
kecuali setelah kedatangannya ke mesir.4
1. Ajaran Tarekat Abul Hasan al-Syadzily
Sebagai mana tarekat-tarekat yang ada kebanyakan mendominasi
pada ajaran-ajaran dan kitab-kitab sebelumnya maka disini dalam
beberapa buku ajaran tarekat Syadziliyah lebih mendominasi tasawuf
imam al-Ghazali yang berlandaskan al-Quran dan al-Sunnah.5
Abul Hasan al-Syadzily sama sekali tidak mempunyai kitab
karangan yang ditinggalkannya begitu juga muridnya al-Mursi. Mengenai
ajaran-ajaran Syadziliyah yang tersebar dipelopori oleh Ibnu „Athaillah
dalam kitab-kitabnya seperti al-Hikam, Lathaiful Minan, dll.
Ajaran-ajaran tarekat Syadziliyah dapat diikhtisharkan dalam lima
pokok ajaran: ketakwaan kepada Allah, baik diketahui orang atau tidak
diketahui orang; konsisten menjalani al-Sunnah, baik dengan ucapan dan
harus dibuktikan dengan perbuatan, maka ucapan dan perbuatan dapat
sejalan; penghormatan terhadap makhluk, baik diketahui atau tidak
diketahui orang; ridha kepada Allah, baik dalam kecukupan maupun
4 Khalid Ibn Nashir al-„Utaiby, al-Thariqah al-Syadziliyah („ardl wa naqd), (Riyadl:
Maktabah al-Rusyd, 2011), hlm. 129 5 Zaprulkhan, Ilmu Tasawuf (sebuah kajian tasawuf). (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), hlm.
105
32
kekurangan; dan kembali kepada Allah, baik dalam senang maupun
susah.6
2. Guru-guru Abul Hasan Syadzily
Sebagaimana yang telah dijelaskan didepan bahwa Abul Hasan
Syadzily tumbuh hingga dewasa di Maghrib al-Aqsha dan berpindah ke
suatu wilayah yang berada diantara Iklim (ghumaroh) dan Kota (fes)
dalam permulaan hidupnya dengan perjumpaan dengan guru-gurunya serta
memulai belajar tentang ilmu-ilmu dari para gurunya tersebut.
Berikut guru-guru Abul Hasan Syadzily;
a) Abd Salam Bin Masyis
Beliau Ibn Masyis merupakan Guru spiritual Abul Hasan
Syadzily yang paling Masyhur dan yang paling mempengaruhi
sebagian besar perjalanan spiritualnya. Beliau adalah Abd Salam
bin Masyis bin Abi Bakr bin Ali bin Hurmah bin Isa bin Sallam bin
Mazwar ibn Haidrah.
Ibn Masyis dilahirkan pada tahun 559 H, di gunung al-Alam
dekat kota Tuthwan. Ibn Masyis tidak banyak yang mengetahui
tentang perjalanannya (biografinya).
6 Zaprulkhan, Ilmu Tasawuf (sebuah kajian tasawuf), hlm. 105
33
Abdul al-Salam bin Masyis wafat pada tahun 622 H.
Pendapat lain mengatakan wafat apada tahun 625 H. Ia di
kebumikan di Jabal Alam di sekitar kota Tutwan. Ia wafat di bunuh
di Jabal Alam yang merupakan bagian dari Jabal Ghumaroh.
Kuburannya sangat terkenal dan di tempatkan di tempat yang
paling keramat di bagian maghrib. Yang menyebabkan
terbunuhnya Ibnu Masyis adalah Muhammad bin Abi al-Thawajin
al-Kattami.
b) Ibn Harizm
Beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin al-Syaikh Abil
Hasan Ali bin Ismail bin Harizm. Ia di tinggalkan orang tuanya
sejak kecil. Ibn Harzm adalah yang pertama kali yang
mempengaruhi Abul Hasan al-Syadzily tentang tasawuf dan
memakaikannya khirqah dan itu dilakukan sebelum Syadzily
berpindah ke tunis. Ibn Harizm wafat pada 633 h.
c) Abu al-Fath al-Washithy
Beliau adalah Najm al-Din Muhammad Abu al-Ghinayam
al-Wasithy wafat pada 580 h dan dimakamkan di iskandariyah.
d) Abu Sa‟id al-Baji
Beliau adalah Khalaf bin Yahya al-Tamimy.
3. Para pengikut Abul Hasan al-Syadzily yang masyhur
34
a) Abul Abbas al-Mursi
Nama lengkap beliau adalah Syihabuddin Abul Abbas
Ahmad bin Umar bin Muhammad al-Ansori al-Mursi as-Syadzili
al-Maliki. Namun ia lebih dikenal dengan sebutan nama Abul
Abbas al-Mursi. Kelahiran al-Mursi pada paruh pertama abad
ketujuh hijriyah tepatnya pada era akhir al-Muwahhidun di kota
Andalusia Negeri Mursi (616 H).
Masa kehidupan Abul Abbas al-Mursi yang dimulai dari
tahun 616 H. Hingga pada tahun 686 H dapat dibedakan menjadi
tiga fase sebagai berikut;
Pada fase pertama, mengenai kehidupanya, dimulai dari tahun 616
H hingga pada tahun 640 H. Ia meninggalkan Andalus bersama
keluarganya untuk menunaikan ibadah haji. Fase ini merupakan
fase yang sulit yang tidak bisa dijelaskan dengan detail mengenai
perjalanan hidup al-Mursi, dan tidak ada teori sejarah yang dapat
memberikan solusi untuk mengetahui tentang ilmu-ilmu yang
dipelajari al-Mursi dalam permulaan hidupnya. Terdapat sebuah
pendapat bahwa Abul Abas al-Mursi mulai dari sejak kecil
menekuni ilmu tasawuf yang mana hal ini diungkapkan oleh Ibnu
Athaillah dalam kitab Latoifulminan.
35
Dan pada tahun 640 H, Abul Abbas al-Mursi genap berusia 24
tahun ia bersama keluarganya pergi untuk melaksanakan haji, akan
di tengah perjanannya mereka karam di tengah lautan, karena
perahu yang ditumpanginya mengalami kerusakan, sehingga
mereka terdampar di pesisir pantai Tunis. Ayah dan ibunya
meninggal, sedangkan Almursi dan saudaranya (Muhammad)
selamat.
Adapun fase kedua, dimulai pada tahun 640 H sampai tahun 656 ia
meninggalkan Andalus dan merupakan tahun wafatnya guru al-
Mursi, yaitu al-Syadizili. Fase ini adalah fase di mana ia belajar
kepada gurunya yaitu al-Syadzili dan ia mendapati madzhab
tasawuf Perjalanan menapaki tasawuf dimulai sejak Abu al-Abbas
al-Mursi memasuki negara Tunis. Tidak ada semangat lain kecuali
ia mencari Abu al-Hasan al-Syadzili untuk belajar ilmu tasawuf.
Fase ketiga, dimulai pada tahun 656 H hingga 686 H. Tahun ini
merupakan tahun wafatnya al-Mursi. Dan pada tahun tersebut al-
Mursi menggantikan gurunya sebagai mursyid tarekat Syadziliyah
dan beruasaha menyebarkan ajaran-ajaran tarekat Syadziliyah.
Kemudian mendidik para murid, dan mengirim para Dai.
b) Ibn Athaillah al-Sakandary
36
Nama lengkapnya adalah, Ahmad bin Muhammad bin
Abdul Karim bin Athaillah Tajuddin Abul Fadl al-Sakandary al-
Syadzily al-Judzami. Ia dilahirkan di kota iskandariyah, tetapi tidak
ada yang tahu pasti terkait tanggal dan tahun kelahirannya, namun
diperkirakan Ia lahir pada paruh kedua abad ketujuh hijriyah. Ia
tumbuh dengan menganut paham Akidah Asy‟ariyah dan
bermadzhab imam Malik.
Masa pertumbuhan Ibn Athaillah dapat dibagi dalam tiga
fase;
Fase Pertama, Ibn Athaillah menuntut ilmu di Iskandaria tentang
ilmu-ilmu syari‟at dibawah bimbingan ulama-ulama ilmu syari‟at,
yang mana para ulama tersebut memungkiri tentang adanya ilmu
tasawuf, karena mereka beranggapan wahwa tasawuf merupakan
bid‟ah dan bersabrangan dengan syari‟at.
Fase Kedua, Ibnu Athaillah menganut tasawuf atas tarikat
Syadzily, Ia merupakan murid utama dari gurunya Abul Abbas al-
Mursi yang menggantikan al-Mursi di kemudian.
Faze Ketiga, Ibnu Athaillah memulai perjalanan hidupnya dari
iskandaria, kemudian ia bermukim di kairo, dan ia wafat pula pada
fase ketiga ini, tepatnya pada tahun 709 H.
37
c) Ibnu „Ajibah
Nama lengkapnya Abul Abbas Ahmad bin Muhammad al-
ma‟ruf dan ia lebih di kenal dengan sebutan Ibn Ajibah,
bermadzhab maliki dan menganut ajaran tarekat Syadziliyah. Ia
dilahirkan di sebuah desa yang bernama A‟jabis dari kabilah
Anjaroh.
Ibnu Ajibah tumbuh berkembang di negeri mangribil aqso
(maroko) yang merupakan tanah kelahiran Abul Hasan al-Syadzily,
ia tumbuh sebagai seorang sufi sejak permula‟an hidupnya
mengikuti jejak kehidupan keluarganya.
B. Kitab al-Thariqah al-Syadziliyah
1. Biografi pengarang kitab al-thariqah al-syadziliyah
Pengarag kitab al-thariqah al-syadziliyah adalah Dr. Khalid
Ibn Nashir al-„Utaiby. Menurut informasi yang penulis dapatkan Ia
saat ini menjabat sebagai Dekan pada Fakultas Ushuluddin di
Universitas Imam Muhammad bin Su‟ud al-Islamiyah (kerajaan
saudi). Keterangan lengkap mengenai biografinya tidak tercantum
di dalam kitab tersebut, demikian juga di dalam pencarian penulis
melalui situs-situs internet tidak ditemukan mengenai biografinya.
2. Penjelasan isi kitab
38
Kitab al-Thariqah al-Syadziliyah yang di karang oleh Dr.
Khalid Ibn Nashir al-„Utaiby ini merupakan karangan sebagai
bentuk penyajian dan tinjauan terhadap ajaran-ajaran tarekat
syadziliyah. Dalam kitab ini terdapat tiga pembahasan pokok dalam
sub bab yang mana dalam setiap bab mempunyai fashl-fashl dan
setiap fashl juga terdapat beberapa pembahasan.
Bab pertama membahas mengenai Imam Abu Hasan
Syadzily, pera pengikutnya yang masyhur, dan tarekat Syadziliyah.
Dalam bab ini terdapat tiga fashl dengan masing-masing
pembahasannya. Fashl pertama yaitu informasi tentang Abu Hasan
Syadzily dan masa kehidupannya, pada fashl ini terdapat tujuh
pembahasan pertama yaitu; kehidupan beragama, budaya, politik,
dan sosial, ke dua; pembahasan mengenai nama, tempat lahir,
pertumbuhan, menimba ilmu, dan pengalamannya, ke tiga;
kesibukannya di dalam mengajar dan kedudukannya, ke empat;
pembahasan mengenai para guru dan para muridnya yang utama,
ke lima; pengaruh keilmuannya di dunia, ke enam; akidah dan
madzhabnya mengenai fiqh, ke tujuh; wafatnya. Fashl ke dua yaitu
mengenai para pengikutnya yang masyhur pada fashl ini terdapat
empat pembahasan, pertama yaitu; Abul „Abbas al-Mursi (nama,
tempat lahir, pertumbuhan, menimba ilmu, dan pengalamannya), ke
dua; Ibn „Athaillah al-Sakandary (nama, tempat lahir,
39
pertumbuhan, menimba ilmu, dan pengalamannya), ke tiga; Ibn
„Ajibah (nama, tempat lahir, pertumbuhan, menimba ilmu, dan
pengalamannya), ke empat; mengenai para pengikut imam syadzily
yang masyhur di dunia modern. Fashl ke tiga pembahasan
mengenai tarekat syadziliyah.
Bab ke dua pembahasan tentang sumber permulaan dan
pembahasan mengenai masalah akidah menurut pengikut imam
Syadzily. Fashl pertama terdapat tujuh pembahasan yaitu, pertama;
ajakan pengikut imam Syadzily untuk berpegang pada al-Quran, al-
Sunnah, manhaj salaf, dan memerangi bid‟ah, ke dua; dakwa untuk
menjumpai Allah tanpa perantara, ke tiga; dakwa mengenai
bertemu nabi baik dalam keadaan sadar atau tidur, ke empat; dakwa
perjumpaan mengenai Nabi Khidlr a.s, ke lima; dakwa mengenai
penerimaan pengetahuan dengan jalan kasyf, ke enam; dakwa
mengenai meneri pengetahuan dengan jalan ru‟yah dalam tidur dan
hikayat, ke tujuh; pengaruh yang sukses tentang sumber yang
menjadi kecenderungan. Fashl ke dua terdapat tujuh pembahasan
yaitu, pertama; akidah mereka tentang kesaan Allah, ke dua; akidah
tentang Rasulullah s.a.w, ke tiga; akidah tentang kewalian, ke
empat; akidah tentang karomah, ke lima; akidah tentang bab takdir
(al-qadr), ke enam; akidah tentang pembagian agama kepada
40
syari‟at dan hakikat, ke tujuh; akidah tentang pendapat wahdatul
wujud.
Dan Bab ke tiga membahas tentang pandangan mereka
mengenai pendidikan jiwa (al-nafs) manusia, pada bab ini terdiri
dari tujuh fashl. Fashl pertama tentang perhatian pengikut imam
Syadzily mengenai jiwa manusia. Pembahsan pertama; defini,
kedudukan, dan hubungannya dengan badan, ke dua; keburukan
jiwa, penyakit jiwa, pendodrong-pendorong jiwa, obat jiwa, dan
upaya untuk mencapai jiwa yang sempurna, ke tiga;
memberlakukan hukum-hukum syari‟at dan ulama‟ di dalam
mendidik jiwa, ke empat; perbandingan mengenai teori Syadziliyah
tentang jiwa manusia dan manhaj yang sempurna yang mengikuti
manhaj ahlus sunnah wal jamaah. Fashl ke dua yaitu tentang
mujahadatun nafs menurut syadziliyah. Pembahasan pertama;
makna mujahadah, kedudukannya, buahnya, dan pembagian para
salik di dalam mujahadah, ke dua; kaidah mujahadatun nafs antara
manhaj terdahulu dan manhaj yang baru menurut sydziliyah, ke
tiga; praktek-praktek mujahadatun nafs, ke empat; kemuliaan
seorang syeikh atas murid di dalam mujahadah, tugas atau fungsi
seorang syeikh, dan adab seorang murid bersama syeikh, ke lima;
tinjauan terhadap pemahaman mujahadah menurut syadziliyah.
Fashl ke tiga tentang riyadloh menurut syadziliyah. Pembahasan
41
pertama; makna, dalil-dalil, kedududkan, dan asas riyadloh, ke dua;
cakupan riyadloh, ke tiga; tinjauan atas pemahaman riyadlloh
menurut syadziliyah. Fashl ke empat tentang dzikir dan
kedudukannya menurut syadziliyah. Pembahasan pertama; dzikir,
kedudukan, dan cara memilihnya menurut syadziliyah, ke dua;
fungsi dzikir, ke tiga; tinjauan terhadap dzikir-dzikir syadziliyah.
Fashl ke lima tentang „uzlah dan khalwat menurut syadziliyah.
Pembahasan pertama; „uzlah menurut syadziliyah dan
perbedaannya dengan khalwat, ke dua; kaidah ilmiah, adab yang
dapat mempersahabat kepada „uzlah, dan khalwat, ke tiga; nilai-
nilai „uzlah, ke empat; tinjauan tentang pemahaman „uzlah dan
khalwat menurut syadziliyah. Fashl ke enam tentang adab suluk
menurut syadziliyah. Pembahasan pertama; maksud adab suluk,
kedudukan, buah, dan asas suluk, ke dua; macam-macam adab
suluk, ke tiga; tinjauan adab suluk menurut syadziliyah. Fashl ke
tujuh tentang maqamat dan ahwal. Pembahasan pertama; maqamat
dan ahwal serta hubungan ke duanya, ke dua; kedudukan maqamat,
ke dua; kedudukan ahwal, ke empat; tinjauan maqamat dan ahwal
menurut syadziliyah.
42
Demikian di atas mengenai penjelasan isi kitab al-Thariah
al-Syadziliyah.
43
85
BAB IV
PERAN DAN AJARAN MURSYID DALAM MEMBIMBING
MURID UNTUK MENCAPAI MAQAMAT DAN AHWAL DI
DALAM KITAB AL-THARIQAH AL-SYADZILIYAH
A. Mursyid
1. Pengertian Mursyid
Mursyid (syeikh, pir) adalah sosok pembimbing spiritual.
Mursyid merupakan seorang Ahli Waris Sejati NabiMuhammad saw.
Setelah dibawa kehadirat Ilahi selama kenaikan (mi‟raj)-nya, sang hamba
pun dikembalikan oleh Allah kepada mahkluk untuk membimbing dan
menyempurnakan orang-orang yang masih belum sempurna. Dia dibawa
sebagai seorang hamba dan kembali sebagai seorang hamba dan mursyid.
Sifat-sifat seorang mursyid sejati adalah sifat-sifat yang dimiliki oleh
Syaikh atau Gurunya sendir, yakni nabi Muhammad saw. Hubungan suci
antara seorang mursyid dengan para muridnya terjalin dalam zaman Pra-
keabadian atau keazalian dan berlanjut terus hingga zaman keabadian
(akhirat). Disebabkan oleh berbagai capaian spiritual sang mursyid, maka
segenap muridnyapun mempunyai kemungkinan untuk menjadi para
penempuh jalan spiritual (salikin). Mursyid yang sempurna adalah
44
seorang malamatiyah,dan segenap muridnya kadang-kadang mencapai
kesempurnaan.1
2. Kedudukan seorang Mursyid
Menurut Syadziliyah seorang Syeikh mempunyai
kedudukan yang besar, Ia merupakan pilar pertama bagi seseorang
yang ingin melakukan mujahadah dan suluk. Tanpa seorang
Syeikh tidak mungkin bagi seseorang dapat melakukan jalan
kesufian. Mujahadah, riyadhoh, khalwat, dan dzikir semua tersebut
tidak akan mempunyai nilai apa-apa tanpa seorang guru. Setiap
orang yang melakukan mujahadah dan jalan kesufian tanpa seorang
syeikh maka akan berakibat pada kesesatan dan kebimbangan.
Abu al-Faidh berkata pusat dari perjalanan seorang salik
baik yang ditempuh melalui maqamat (tingkatan-tingkatan) dan
syuhud (penyaksian) untuk menuju kehadirat Allah terdiri atas tiga
komponin; seorang syeikh yang menuntun, seorang salik, dan
media spiritual untuk dijalani seorang murid menuju Allah.
B. Murid
1. Defini Murid
Abu al-Faidh mengatakan adapun murid adalah seorang
salik yang berada di jalan kebenaran menaiki wilayah syuhud
1 Amatullah Amstrong, Kunci Memasuki Dunia Tasawuf (khazanah istilah sufi), terj.
M.S. Nashrullah dan Ahmad Baiquni. (Bandung: Mezan Media Utama, 2000), hlm. 197-198
45
(penyaksian) dan qurb (kedekatan). Alasan atau sebab seorang
salik disebut sebagai murid karena sebuah adanya sebuah keingin
dan tekad yang kuat untuk mencapai kedudukan qurb (berada
sedekat mungkin) dengan tuhan, maka ia melakukan pertauban dan
bertawajjuh kemudian bersungguh-sungguh untuk kembali pada
rumah keabadian (akhirat) serta menjauh dari rumah kehancuran
(dunia).
2. Adab seorang Murid kepada Syeikh
Para Imam tarekat Syadziliyah menetapkan sebuah peraturan-
peraturan untuk mengatur hubungan antara Murid dan Syeikh, dan
mereka para Syaikh mewajibkan kepada seorang murid untuk
dilaksanakannya. Sesiapa yang melaksanakannya maka serang murid
akan futuh (keterbukaaan atau kemenangan) jalan menuju pengalaman
spiritual, dan siapa yang meninggalkannya atau melalaikannya maka
keterbukaan baginya adalah haram, karena proses wushul (persatuan)
seorang murid yang tampa melaksanakan peraturan-peraturan yang
ditetapkan itu muhal baginya.
Ibn „Ajibah membagi adab-adab seorang murid kepada syeikh
dalam delapan bagian, empat kepada dhohir dan empat kepada bathin.
Yang terbagi empat pada dhohir;
46
1) Melaksanakan semua perintah sang guru sekalipun
bertentangan dengan dirinya, dan menjauhi larangan-
larangannya sekalipun sudah wafat
2) Bersikap damai dan tenang ketika sedang duduk diatara guru,
tidak tertawa, tidak meninggikan suara, tidak makan bersama
syeikh, dan tidak tidur bersamanya ataupun tidur di dekatnya.
3) Berinisiatif atau bersegera di dalam membantu Syeikh sesuai
kadar kemampuan, baik dengan jiwa , harta, atau dengan
perkataan. Karena khidmadnya seorang murid kepada para
guru menajdi sebab wishal kepada pemimpinnya para
pemimpin
4) Selalu menghadiri majlis.
Adapun empat adab bathin adalah;
1) Meyakini kesempurnaan seorang syeikh bahwa seorang
syeikh mampu menjadi guru spiritual dan menjadi pendidik
spiritual yang telah terkumpul di dalam diri seorang syeikh
antara syari‟at dan hakikat, jadzab dan suluk, dan harus
meyakini bahwa syeikh datang dan sudah diajarkan langsung
oleh nabi saw.
2) Memuliakan, menjaga kehormatan baik ketika tidak ada
maupun ketika sedang hadir. Pendidikan mahabbah seorang
47
syeikh ke dalam hati merupakan dalil kebenaran dan
kejujurannya.
3) Mengucilkan atas akal, kehormatan, ilmu, dan amal dirinya
kecauali atas apa yang telah diperoleh dari gurunya sebgai
pembimbing spiritualnya.
4) Melakukan perpindahan guru pembimbing spiritual dan ini
merupakan sejelek-jeleknya sikap dari semua yang dianggap
jelek, seburuk-buruknya prilaku dari semua prilaku buruk,
karena hal tersebut dapat menyebabkan terganggunya benih-
benih keinginan, maka rusaklah pohon keinginan itu karena
rusaknya akarnya. Ini berlaku bagi setiap guru pembimbing
spiritual sebagaimana pada penjelesan-penjelesan
sebelumnya. Adapun pembimbing-pembimbing ilmu-ilmu
dhohir maka tidak apa-apa untuk berpindah kepada
pembimbing yang lain dan tidak memerlukan izin.
3. Pembagian Murid
Ibn „Ajibah membagi seorang murid ke dalam tiga kelompok;
I. Seorang murid yang menginginkan keberkahan dan kehormatan
saja.
II. Seorang murid yang menginginkan wishal (penyatuan) dengan
Allah.
48
III. Seorang murid yang menginginkan sebuah khilafah dan
kesempuranaan ma‟rifah.
C. Peran seorang Mursyid kepada Murid tentang Maqamat dan Ahwal
1. Perbedaan Maqamat dan Ahwal
بالرغم من شهرة اؼبقامات واألحوال عند الصوفية إال أن التفريق بينهما من أصعب األمور, "قد كثر اإلشتباه بُت اغبال واؼبقام, واختلفت إشارات اؼبشايخ يف ذالك قال سهروردي:
ووجود اإلشتباه ؼبكان تشاهبهما يف نفسهما وتداخلهما, فًتاءى للبعض الشيئ حاال وتراءى ا, وكال روايتُت صحيحة لوجود تداخلهما, وال بد من ذكر ضابط يفرق بينهما للبعض مقام
على أن اللفظ والعبارة عنهما تشعر بالفرق, فاغبال ظبي حاال لتحولو, واؼبقام مقاما لثبوتو .الشيئ بعينو حاال, مث يصَت مقاماواستقراره, وقد يكون
Artinya: di dalam kalangan ulama sufi, maqamat dan ahwal
merupakan suatu hal yang populer akan tetapi keduanya merupakan
perkara yang paling sulit untuk dibedakan. Suhrawardi berpendapat
terdapat banyak kemiripan antara maqam dan hal, para syeihk
berbeda-beda di dalam memberikan isyarat mengenai hal tersebut.
Kemiripan-kemiripan yang ada karena saling keberkesinambungan
antara keduanya. Sebagian berpendapat sebagai hal dan sebagian
yang lain mengatakan maqam dan kedua pendapat tersebut dapat
dibenarkan karena keberadaan maqam dan hal yang saling
berkesinambungan. Perlu untuk menyebutkan ukuran yang bisa
membedakan keduanya bahwa secara lafal dan pengungkapan
keduanya dirasa terdapat perbedaan. Hal disebut hal karena
ketidaktetapannya (berubah-ubah) dan maqam disebut sebagai
maqam karena kemantapan, kekonsistenan dan keadaannya yang
tetap.
Bahwa untuk membedakan maqam dan hal merupakan perkara
yang rumit, karena keduanya saling berkaitan, saling berkesinambungan,
dan saling memasuki satu sama lain ke dalam diri seseorang, apakah ia
49
adalah sebuah maqam atau hal. Perbedaan tersebut dapat diketahui dengan
melihat sifat-sifatnya, jika datang secara tiba-tiba, tidak menetap,
berubah-ubah dan tanpa sebuah usaha maka itu adalah hal, apabila
kemudian menetap, tidak berubah-ubah dan dapat dicapainya dengan
usaha-usaha yang terus-menerus maka itu adalah maqam.
2. Perbedaan pendapat dalam menentukan Maqamat dan Ahwal
األحوال واؼبقمات من اؼبصطلحات اليت درجت الصوفية على ذكرىا يف أقواؽبم ومؤلفاهتم, وبالرغم من شهرهتا لديهم إال أهنم مل يتفقوا على تعيينها, فما يذكره شيخ أنو من
خر بأنو من األحوال, وبالعكس, كما قال إبن عجيبة: "وقد يطلق اغبال آاؼبقامات يذكره الن صار عنده الشهود مثال حاال".على اؼبقام فيقال: ف
Ahwal dan Maqamat merupakan istilah-istilah yang
dipopulerkan oleh para sufi baik di dalam pengungkapan-
pengungkapan dan karangan-karangan mereka, walaupun karena
kemasyhuran ahwal dan maqamat akan tetapi mereka tidak sepakat
dalam menetukannya. Seorang syeikh menyebutnya ini bagian dari
maqamat dan yang lain menyebutnya bahwa ini adalah ahwal dan
sebaliknya, sebagaimana pendapat Ibn „Ajibah, terkadang hal
diceraikan atas maqam maka dikatakan, sebagai contoh hal, fulan
telah mengalami syuhud.
Betapapun maqamat dan ahwal menjadi perbincangan, pembahasan,
perdebatan, diskusi-diskusi, dll, oleh para ulama‟ tasawuf baik sejak pada
awal kemunculannya hingga pada masa selanjutnya mereka tidak dapat
menentukan secara pasti mana yang disebut maqamat dan mana yang
disebut ahwal, diantara mereka ada yang menyebutnya maqamat dan
diantara yang lainnya menyebutnya ahwal. Hal dapat dipisahkan atau
diceraikan dari maqam, artinya bahwa terkadang hal dapat dialami atau
50
dicapai oleh seseorang tanpa proses maqam. Terkadang sebuah maqam pada
awalnya berupa hal yang dialami secara tiba-tiba kemudian ia menjada
sebuah maqam jika dapat diusahakan pada proses selanjutnya.
3. Kedudukan Maqamat dan Ahwal
تعترب اؼبقامات واألحوال اؼبرحلة األخَتة من مراحل ؾباىدة النفس, فبعد أن يتحقق داب السلوك يصل السالك آالسالك عند الشاذيل باجملاىدة ورياضة النفس والذكر والعزلة و
الو اؼبختلفة, ومن ىنا كان مبحث و إىل شبرة تلك األعمال بتصحيح مقامات سلوكو وأحغاية تلك اجملاىدات, فال عربة لتلك اجملاىدات وال أمهية ؽبا إذا مل )اؼبقامات واألحوال( ىو
يصل السالك إىل )اؼبقامات واألحوال(, ويدل على ذالك أن الشاذيل فضل األحوال ملك السماوات ﴿واؼبقامات على العبادات واؼبعامالت, وذالك يف تفسَته يف قولو تعاىل:
اناث ٩٤ء الذكور آثا ويهب ؼبن يشإن ء آء يهب ؼبن يشآواألرض خيلق ما يش أ و يزوهجم ذكراان وا
نه علمي قديرآ وجيعل من يش ء إناثا آقال: "يهب ؼبن يش [٠٥-٩٤سورة الشورى: ﴾]ء عقامي ا ء الذكور: األحوال والعلوم واؼبقامات".آالعبادات واؼبعامالت, ويهب ؼبن يش
Maqamat dan Ahwal merupakan tahap terakhir dari
beberapa tahap di dalam proses mujahadah. Menurut Imam
Syadzily seorang salik yang telah merealisasikan proses
mujahadah, riyadhoh, melalui dzikri, „uzlah, dan memperhatikan
adab-adab suluk, maka seorang salik akan dapat memperoleh hasil
dari proses amal-amal tersebut dengan cara memperbaiki maqamat
dan ahwal yang bebeda-beda. Maqamat dan Ahwal adalah puncak
dari mujahadah. Proses mujahadah itu tidak akan ada artinya dan
tidak penting jika seorang salik tidak dapat sampai pada maqamat
dan ahwal. Oleh karena itu, Imam Syadzily lebih mengutamakan
ahwal dan maqamat dibanding dengan ibadah dan mu‟amalah. Hal
tersebut sebagaimana penafsiran Imam Syadzily di dalam firman
Alla s.w.t; “milik Allah-lah kerajaan langit dan bumi; Dia
menciptakan apa yang Dia kehendaki, memberikan anak
perempuan kepada yang Dia kehendaki dan memberikan anak laki-
laki kepada siapa yang Dia kehendaki. Atau Dia menganugerahkan
jenis laki-laki dan perempuan, dan menjadikan mandul siapa yang
Dia kehendaki. Dia maha mengetahui, maha kuasa (Q.S. al-Syura:
49-50)”. Imam Syadzily berkata, maksud dari memberikan anak
51
perempuan kepada yang Dia kehendaki adalah ibadah-ibadah dan
mu‟amalat, sedangkan maksud dari dan memberikan anak laki-laki
kepada siapa yang Dia kehendaki adalah ahwal, pengetahuan-
pengetahuan, dan maqamat.
قال الشاذيل: "خطر ببايل يوما أين لست بشيئ, وال عندي من اؼبقامات واألحوال شيئ, فغمست يف بيت مسك فكنت فيو غريقا, فلدوام غرقي فيو مل أجد لو تلك الرائحة,
فقيل يل: عالمة اؼبزيد فقدان اؼبزيد لعظم اؼبزيد".Pada suatu hari terlintas dalam diriku bahwa aku tidak
menemukan sesuatu apapun dalam diriku, aku tidak memiliki
sesuatu sebagian dari maqamat dan ahwal, kemudian aku terbenam
di dalam sebuah rumah misik dan aku karam di dalamnya, namun
selama karamku di dalamnya aku tidak dapat menemukan bau
harum itu, kemudian ada yang berkata kepadaku; tanda-tanda
sebuah kelebihan (keutamaan) adalah kosongnya atau hilangnya
keutamaan diri karena keagungan dan kemuliaan yang memberi
keutamaan.
Artinya bahwa maqamat atau ahwal tidak akan pernah dicapai oleh
seseorang kecuali dengan menanggalkan dirinya, mengosongkan dirinya
dari keutamaan dirinya baik lahir maupun bathin semua tersebut tiada lain
karena keutamaan dan keagungan Allah, hanya keutamaan, kemuliaan, dan
keagungan Allah saja yang ada. Kedirian seseorang dapat menghalangi
proses-proses perjalanan spiritualnya.
4. Wajibnya keberadaan seorang guru dalam membimbing untuk
mengetahui Maqamat dan Ahwal
ال يصح للسالك أن يتلقى علوم اؼبقامات واألحوال إال على يد شيخ الًتبية من الصوفية, ومن تلقاىا عن غَته ال يفلح يف ىذا الباب: قال ابن عجيبة "ال تعرف اؼبقامات إال
بصحبة أىل اؼبقامات العالية".
52
Tidak sah bagi seorang salik menerima ilmu-ilmu maqamat
dan ahwal kecuali mempelajarinya dari seorang syeikh sufi yang
mendidiknya. Seseorang yang menerimanya tanpa seorang syeikh
maka tidak akan pernah sukses. Ibn Ajibah berkata “seseorang
tidak akan pernah mengetahui maqamat kecuali berteman dengan
orang yang telah menguasai maqamat yang tinggi”.
وال يشًتط عندىم يف الشيخ أن يكون عاؼبا بعلم الظاىر بل قد يكون أميا فيو, قال ابن عجيبة: "وقد ربققت تربية كثر من األولياء, كانوا أميُت يف علم الظاىر, وأما علم
الباطن فاؼبطلوب فيو التبحر التام".Seorang syeikh tidak disyaratkan harus orang yang „alim dengan
ilmu dhahir (syari‟at) akan tetapi ia adalah orang ummi dalam ilmu
dhahir. Ibn Ajibah mengatakan sebuah pendidikan dapat dicapai oleh
seseorang melalui para auliya‟, mereka adalah orang-orang yang ummi
mengenai ilmu dhahir, adapun tentang ilmu bathin mereka mempunyai
kemampuan pengetahuan yang mendalam serta sempurna.
Seorang salik atau murid yang ingin menjalani suatu proses spiritual
maka harus melalui seorang syeikh atau guru spiritual yang telah sempurna untuk
membimbingnya, ia (murid atau salik) mempelajari maqamat dan ahwal harus
melalui seorang Syeikh agar tidak terjerembab dalam kesesatan dan keragu-
raguan bahkan yang mejadi pembimbingnya adalah setan, sebagaiman disebutkan
dalam sebuah maqal (ungkapan);
فمرشده الشيطانفمن ال شيخ لو
Artinya: barang saipa yang belajar (menjalani suatu proses spritual
yang khusus) tanapa seorang syeikh, maka guru pembimbingnya adalah
setan.
5. Buah dari Maqamat dan Ahwal
إمنا وضعت اؼبقامات واألحوال عند الصوفية حىت يسار باؼبريد شيئا فشيئا عرب أخَتا إىل اإلديان بوحدة الوجود, وسبب ذلك أن مراحل بعضها أعلى من بعض, حىت يصل
53
أن يتدرج مع اؼبريد عقل والنقل والفطرة, فكان لزاما عقيدة الوحدة ال ديكن قبوؽبا مباشرة بال .حىت يسهل عليو قبول ىذه العقيدة هبذه اؼبقامات واألحوال
Menurut para Sufi penyusunan maqamat dan ahwal agar
mempermudah seorang murid sesuai kemapuannya, sedikit demi
sedikit seorang murid melintasi perjalanan-perjalanan menuju
tahapan yang lebih tinggi dari sebelumnya sehingga pada akhirnya
ia dapat sampai kepada keimanan wahdatul wujud. Keyakinan
kepada yang Esa tidak serta merta dapat diterima dengan akal,
mengutip, dan fitrah. Seorang murid harus terus menerus berlatih
menempuh maqamat dan ahwal sampai ia dengan mudah menerima
akidah ini.
ينتقل من مقام يف سلوكو, حىت إذا استوىف [اؼبريد]وقال أبو الوفاء التفتازاين: "وىو ىذه اؼبقامات فإنو يصل إىل معرفة ا, ويرى اغبق متجليا يف ىذا الكون".
Abu al-Wafa‟ al-Taftazani mengatakan, seorang murid yang
berpindah maqam dalam suluknya, sehingga ketika ia menerima
maqam-maqam tersebut maka sesungguhnya ia telah sampai
kepada ma‟rifatullah, dan ia melihat Allah bertajalli di dalam alam
semesta ini.
ىي الوصول إىل الوحدة, فالسالك فاؼبقامات واألحوال إذا وسيلة إىل غاية أكرب, و ما, وحاال حاال, حىت يصل إىل اؽبدف األظبى منها, وىي عد اؼبقامات واألحوال مقاما مقايص
فاء هبا, توحدة الوجود, ولذلك حذر أتباع الطريقة من الوقوف مع اؼبقامات واألحوال, واإلكوىذه بعض النصوص الواردة عنهم يف ذم ألنو من أكرب القواطع عن الوصول إىل الوحدة,
وحدة الوجود.ىلاؼبقامات واألحوال اليت ال يتوصل من خالؽبا إMaqamat dan ahwal merupakan perantara untuk sampai
pada puncak yang leih besar. Ia sebuah media sebagai perantara
sampainya dan menyatunya seseorang kepada yang Esa. Seorang
salik menaiki maqamat dan ahwal tahap demi tahap, sehingga ia
dapat sampai kepada tujuan yang tertinggi melalui maqamat dan
ahwal yaitu wahdatul wujud. Oleh karena itu tarekat syadziliyah
sangat memperhatikan agar tidak berhenti dalam menapaki
perlintasan maqamat dan ahwal serta merasa cukup hanya dengan
tahapan yang telah dicapainya. Para pengikut tarekat syadziliyah
menganggap sikap yang demikian akan menjadi terputusnya
seorang salik untuk dapat menyatu atau sampai kepada yang Esa.
54
وكذلك إعترب إبن عجيبة اإلكتفاء باؼبقامات واألحوال اليت تدل على أعمال القلوب فقط من السموم القاتلة, اليت سبنع من الوصول إىل وحدة الوجود فقال يف نص صريح: "فإن حالوة الطاعة ظبوم قاتلة, دينع الوقوف معها من الًتقي إىل حالوة الشهود ولذة
ها أىوية سبنع فبا ىو أعلى لكرامات, والوقوف مع اؼبقامات, كلا اؼبعرفة, وكذلك الركون إىلمنها, من مقام العيان, فال يزل اؼبريد جياىد نفسو, ويرحلها عن ىذه اغبظوظ, حىت تتمحض
."ؿببتها يف اغبق تعاىل, فال يشتهي إال شهود ذاتو األقدسIbn „Ajibah menganggap bagi seorang salik yang merasa
cukup dengan maqamat dan ahwal yang menuntun atas perbuatan-
perbuatan hati saja dianggap sebagai racun yang mematikan yang
dapat mencegah seorang salik untuk dapak wushul kepada
wahdatul wujud kemudian Ibn „Ajibah mengatakan sebagai
penegasan “bahwa manisnya ketaatan adalah racun yang
mematikan, yang dapat mencegah untuk dapat berhenti untuk dapat
menaiki pada manisnya syuhud dan lezatnya ma‟rifat, begitu juga
keyakinan terhadap karomah-karomah. Sedangkan berhenti
melintasi maqamat semua itu merupakan hawa nafsu yang dapat
mencegah seorang salik untuk mencapai tahap yang lebih tinggi
dari suatu maqam yang jelas. Seorang murid tidak berputus asa
untuk melakukan mujahadah dan terus melakukan proses
perjalanan maqamat hingga beruntung (berhasil atau tercapai)
hingga cintanya menjadi murni kepada Allah, ia tidak
mendambakan sesuatu kecuali hanya menyaksikan dzat Allah yang
suci.”.
D. Peran seorang Mursyid di dalam memperkenalkan Jenis-jenis
Maqamat
a. Perbedaan pendapat dalam pembagian Maqamat dan menyebutkan
syaratnya
جعل ابن عطاء ا مقامات السلوك تسعة, فقال: "فاعلم أن مقامات اليقُت تسعة وىي: التوبة, والزىد, والصرب, والشكر, واػبوف, والرضا, والرجاء, والتوكل, وابة", وتصنيف ابن عطاء ا خيتلف عن تصنيف غَته من الصوفية اؼبتقدمُت, فالطوسي جيعل اؼبقامات سبعة
55
والورع, والزىد, والفقر, والصرب, والتوكل, والرضا, كما خيتلف عن تصنيف الغزايل ىي: التوبة, إذ جيعلها الغزايل عشرة ىي: التوبة, والصرب, والشكر, والرجاء, واػبوف, والفقر, والزىد,
والتوحيد, والتوكل, وابة.Ibn „Athaillah membagi maqamat ke dalam sembilan
bagian, Ia berkata; ketahuilah bahwa maqamat yang diyakini oleh
sebagian para sufi ada sembilan yaitu, taubat, zuhud, sabar, syukur,
khauf, ridlo, roja‟, tawakkal, dan mahabbah. Pembagian Ibn
„Athaillah mengenai maqamat berbeda dengan pembagian
maqamat para sufi terdahulu, seperti al-Thusy, ia membagi
maqamat ke dalam tujuh bagian yaitu, taubat, wara‟, zuhud, faqr,
sabar, tawakkal, ridlo,sebagaimana imam Ghazali juga berbeda, Ia
membagi maqamat dalam sepuluh bagian yaitu, taubat, sabar,
syukur, raja‟, khauf, faqr, zuhud, tauhid, tawakkal, dan mahabbah.
وجيعلها ابن عجيبة طبسة عشر مقاما فيقول: "اؼبقامات ىي: التوبة, والتقوى, واإلستقامة, والزىد, والورع, واػبوف والرجاء, والرضى والتسليم, واإلخالص, والصدق,
واؼبراقبة, واؼبشاىدة, واؼبعرفة. والطمأنينة,Ibn „Ajibah membagi lima belas maqam yaitu, taubat,
takwa, istiqamah, zuhud, wara‟, khauf, raja‟, ridla, taslim, ikhlas,
jujur, tenang, muraqabah, musyahadah, dan ma‟rifah.
Syarat maqamat;
قال ابن عجيبة: "شرطو: أال يًتقي مقاما حىت يستويف أحكامو, فمن ال توبة لو ال ة لو ال تصح لو إستقامتو... وىكذا, وقد يتحقق اؼبقام األول تصح لو إنابة, ومن ال إناب
بالثاين, إذا ترقى عنو قبل أحكامو, إن كان لو شيخ كامل".Ibn „Ajibah berkata, syaratnya adalah seorang salik tidak
boleh menaiki maqam yang lain sampai ia memenuhi hukum-
hukum yang sedang dijalaninya. Sesorang tidak melaksanakan
maqam taubat maka tidaksah baginya inabah, dan seseorang yang
tidak melakukan inabah maka tidak sah baginya istiqamah dan
seterusnya. Jika seorang salik meanaiki suatu maqam sebelum
memenuhi hukum-hukumnya, maqam pertama dapat dicapainya
dengan maqam yang ke dua, dengan sayarat jika ia mempunyai
syeikh yang telah sempurna.
b. Contoh-contoh Maqamat
56
أغلب ىذه اؼبقامات اليت سوف اتناوؽبا بالبحث إمنا حبثتها الطريقة الشاذلية بلسان الظاىر, الذي يعنون بو التصوف الظاىر, وأما حقيقة ىذه اؼبقامات فال يذكروهنا يف كتبهم, وأمام الغَت فبن ال يقر بتصوفهم, ومن ىنا نشأ اللبس عند البعض, فظن أن كالمهم عن
لصرب والشكر وغَتىا من اؼبقامات ىي مباحث صحيحة يف ؾبملها, مقامات التوبة واواعبواب على ىذه الشبهة كما سبق من أن حقائق ىذه العلوم إمنا تقال سرا ػبواصهم, وقد
تؤخذ من بعضهم.Biasanya maqamat yang diterima dan di bahas oleh tarekat
syadziliyah adalah maqamat secara dhohir, maksudnya adalah
tasawuf dhohir, adapun hakikat maqamat mereka tidak menyebutya
di dalam kitab-kitab mereka, dan pemimpin tasawuf yang lainnya
juga tidak menetapkannya. Maka disini menurut sebagian timbul
ketidakjelasan, maka perkiraan mengenai pendapat mereka tentang
maqamat yaitu taubat, sabar, syukur, dll, adalah sebagian dari
pembahasan maqamat yang benar secara umum. Jawaban atas
keraguan terebut sebagaimana sebelumnya, bahwa hakikat-hakikat
pengetahuan ini dikatakan sebagai rahasia karena hanya khusus
utuk mereka. Maka hanya sebagian yang diambil dari mereka.
1) Taubat dan pengertiannya
عرف ابن عطاء ا التوبة بأهنا: "الرجوع إىل ا تعاىل من كل ما ال يرضاه لك", وقال ابن عجيبة: "التوبة: الرجوع عن كل وصف ذميم إىل كل وصف ضبيد".
Ibnu Athaillah mengartikan Taubat sebagai kembalinya
seseorang kepada Allah swt dari perkara-perkara yang tidak
diridhoi-Nya. Sedangkan menurut Ibnu Ajiabah Taubat adalah
kembalinya seorang hamba dari setiap sifat yang tercela menuju
sifat yang terpuji.
Kedudukan Taubat menurut Tarekat Syadziliyah
a) Taubat merupakan Maqam pertama
أول اؼبقامات وأمهها ىو مقام التوبة, وصبيع اؼبقامات األخرى مفتقرة إليها, وال توبة, تصح تلك اؼبقامات إال بتقدم مقام التوبة عليها, قال ابن عطاء ا: "فأول اؼبقامات: ال
".وال يقبل ما بعدىا إال هبا
57
Maqam Taubat adalah maqam pertama dan uatama dari
pada maqam-maqam lain yang harus dilalui seorang salik, karena
semua maqam membutuhkan atau bergantung pada maqam taubat.
Maqama-maqam yang ada tidak akan menjadi sah atau tidak akan
diterima apibila tidak melalui maqam taubat. Ibnu Athaillah
berkata “merupakan maqamat pertama adalam taubat maka
maqam-maqam yang setelahnya tidak akan diterima kecuali
setelah melalui maqam taubat”.
Setiap maqam bergantung pada maqam taubat, siapapun seorang
salik atau murid yang menjalankan suatu tingkatan spiritual harus
melaksanakan maqam taubat terlebih dahulu.
b) Memperbaiki taubat dan Syarat-syaratnya
أوجبت الطريقة الشاذلية تصحيح التوبة, قال ابن عطاء ا: "وما زكت األحوال, وال قبلت األعمال, وال ثبتت مراتب اإلنزال إال بتصحيح التوبة... وألن يصحح ا لك مقام
سبعُت ألف غيب ويفدك إياىا". التوبة خَت لك من أن يطلعك علىTarekat Syadziliyah mewajibkan untuk memperbaiki
taubat, Ibnu Athaillah berkata, bahwa ahwal tidak akan dicapai,
amal-amal tidak akan diterima, dan kedudukan di suatu tempat
tidak akan tetap kecuali dengan cara memperbaiki pertaubatan
kepada Allah swt. Maqam taubat yang diterima disisi Allah adalah
lebih baik bagimu daripada kamu mengetahui tujuh puluh ribu
keghaiban sekalipun ia hanya datang kepadamu.
Salik atau murid mempunyai kewajiban untuk memperbaiki
taubatnya kepada Allah swt, maksudnya adalah bahwa ia benar-benar
menyesali perbuatan maksiatnya baik secara lahir terlebih scara bathin.
Segala bentuk amal dan kedudukan tidak akan mempunyai nilai apa-apa
tanpa pertaubatan yang baik serta diterima oleh Allah sekalipun
mempunyai kelebihan-kelebihan mengenai perkara ghaib, seperti yang
58
dikatakan oleh Ibn „Athaillah taubat yang sah dan diterima oleh Allah
adalah lebih baik baginya daripada melihat tujuh puluh ribu perkara ghaib,
sekalipun hanya dialami olehnya.
ة فقد ذكر ابو اؼبواىب الشاذيل فقال: "شروط التوبة عند وأما شروط صحة التوباعبماعة باإلصباع...: الندم على ما فعلو العبد من اؼبخالفات, واإلقالع يف الوقت فورا بال تأن وال التفات, والعزم على أال يعود لفعلو فيما يستقبلو من األوقات, ورد ما أخذه من
عراض".األعراض, واإلستحالل من الوقوع يف األAdapun syarat sahnya taubat dapat diterima yaitu dengan
menyesali segala perbuatan maksiat dan tidak mengulanginya
kembali. Abu al-Muwahib al-Syadzily berkata “syarat-syarat
taubat menurut kesepakatan para ulama ahlus sunnah wal jamaah
adala seorang hamba harus menyesali perbuatan yang telah
dilakukannya yang bertentangan syariat, dan berhenti seketika itu
tanpa menunda-nunda waktu, tanpa pertimbangan, dan
bersunguh-sungguh untuk tidak kembali melakukannya lagi,
menolak untuk mengambil sesuatu sebagian dari harta benda dan
merasa cukup dengan harta yang dimiliki dengan cara yang
halal”.
c) Taubat dan pengguguran pengaturan
ربقيق التوبة وتصحيحها ال يكون إال بإسقاط التدبَت ونفي اإلختيار عن العبد, ومن يسقط تدبَته مل تصح توبتو, وؼبا عد ابن عطاء ا اؼبقامات وصدرىا دبقام التوبة قال بعدىا: "وال يصح كل واحدة من ىذه اؼبقامات إال بإسقاط التدبَت مع ا واإلختيار, وذلك
جيب عليو أن يتوب من ذنبو كذلك جيب عليو أن يتوب من التدبَت واإلختيار أن التائب كما من كبائر الذنوب واألسرار".
Tercapainya sebuah taubat dan benarnya sebuah taubat
tidak akan pernah terjadi kecuali dengan menggugurkan sebuah
pengaturan dan meniadakan sebuah pertimbangan oleh seorang
hamba, dan siapapun yang belum gugur pengaturannya maka
taubatnya dianggap tidak sah. Ketika Ibn „Athaillah menghitung
jumlah maqamat kemudian ia menyampaikan maqam taubat dan
berkata; “setiap maqamat tidak dianggap sah kecuali dengan
menanggalkan sebuah pengaturan dan sebuah pilihan bersama
59
Allah, seseorang yang melakukan pertaubatan ia harus bertaubat
dari semua bentuk dosa, begitu juga ia harus bertaubat dari sebuah
pengaturan dan sebuah pilihan terhadap dosa-dosa besar dan dosa-
dosa yang sembunyi-sembunyi”.
Bagi seorang hamba yang terlanjur berbuat dosa dan maksiat maka
seketika dan sesegera mungkin melakukan pertaubatan kepada Allah tanpa
sebuah pengaturan, penataan, dan pertimbangan. Pengaturan dan
pertimbangan dalam melaksanakan pertaubatan kepada Allah merupakan
bentuk sikap meremehkan baik atas dosa-dosa kecil lebih-lebih dosa-dosa
besar.
d) Motifasi-motifasi Taubat
سهل حصوؽبا من العبد, ومن ذلك: رغبت الشاذلية يف التوبة, وذكرت ؽبا بواعث تم اليأس من حصول التوبة, ويبُت ابن عطاء ا أن العبد مهما عمل من ذنب فإن ا عد
تعاىل فتح لو باب التوبة وسهلها لو, مث بُت البواعث اليت تعُت على التوبة, فمن ذلك: اعتقاد .قادر على إخراجو من ذنبو بالتوبة, ومن البواعث أيضا: حسن الظن باالتائب بأن ا
Pengikut Imam Syadzlili mengutamakan maqam taubat,
disebutkan tentang perkara-perkara yang dapat memudahkan
seorang hamba untuk mencapai maqam taubat. Motivasi-motivasi
tersebut yaitu, tidak adanya rasa putus asa untuk mencapai maqam
taubat. Ibn „Athaillah menjelaskan sesungguhnya ketika seorang
hamba melakukan perbuatan dosa maka Allah membukakan pintu
taubat baginya dan Allah memudahkan pertaubatan baginya.
Kemudian Ibn „Athaillah menjelaskan motivasi-motivasi yang
ditetapkan atas maqam taubat, yaitu keyakinan seseorang yang
bertaubat bahwa Allah kuasa menghapuskan dosa seseorang
dengan pertaubatan, yang juga merupakan motivasi-motivasi
adalah berbaik sangka kepada Allah”.
60
Menurut uraian diatas bahwa yang menjadi pendorong bagi
seorang hamba untuk dapat melakukan pertaubatan kepada Allah atas
dosa-dosanya adalah;
1) Tidak berputus asa untuk meraih ampunan Allah
2) Harus yakin bahwa Allah kuasa untuk menghapus dosa-dosa
3) Senantiasa berbaik sangka kepada Allah
e) Buah dari taubat
للتوبة عند الشاذلية درجات, ولكل درجة شبرة وفائدة ربصل ؽبا, فأول تلك الدرجات ىي: ترك اؼبخالفات الشرعية, والندم على ما مضى منها, وىذه أدىن درجات التوبة
عندىم, وتسمى توبة العوام, وشبرتو ترك اؼبخالفات الشرعية.Menurut pengikut tarekat syadzily taubat mempunyai
tingkatan-tingkatan, dan setiap tingkatan mempunyai buah dan
manfaat yang dihasilkan. Adapun tingkat pertama adalah
meninggalkan segala bentuk perbuatan yang bertentangan dengan
syari‟at, menyesali perbuatan yang bertentangan yang telah lalu,
dan ini merupakan tingkatan taubat paling rendah menurut pengikut
syadzily, dan merupakan taubat golongan orang awam, adapun
buahnya adalah dapat meninggalkan perbuatan yang bertentangan
dengan syariat.
مث ينتقلون إىل درجة أخرى للتوبة وىي: الندم على اغبياة الدنيا بكل ملذاهتا ومتاعها, والعزم على لزوم طريق التصوف, واعتقاد أمنا سوى التصوف ذنوبا جيب التوبة منها, وتسمى توبة اػبواص, وشبرهتا التخلص من العادات, مث ينتقلون إىل الدرجة النهائية وىي:
سوى ا من موجود, وأال يرى بعينو وال بقلبو إال ا, وإن خالف ذلك كان التوبة من كل ما ذنب يستحق التوبة منو.
Kemudian beralih pada tingkatan taubat berikutnya yaitu
taubat dengan menyesali kehidupan dunia dengan setiap kelezatan
dan kesenangannya, kemudian bertekad untuk mengikuti dan
melanggengkan jalan tasawuf, dan meyakini bahwa suatu perkara
selain tasawuf adalah dosa-dosa yang diwajibkan untuk bertaubat,
61
ini disebut sebagai taubatnya orang-orang khusus dan buahnya
adalah terlepasnya diri dari kebiasaan-kebiasaan. Adapun tingkatan
taubat yang paling puncak adalah taubat dari segala sesuatu yang
ada selain Allah, ia tidak melihat apapun baik dengan mata ataupun
hatinya kecuali melihat Allah semata, jika seorang salik berpaling
maka ia berdosa dan wajib bertaubat.
Taubat di bagi dalam tiga tingkatan, yaitu, pertama: taubat orang
awam dengan meninggalkan segala bentuk larangan dan menjalankan
segala bentuk perintah Allah, ke dua: taubat orang khawas yaitu menyesali
kehidupan duniawi dengan segala bentuk kelezatan dan kesenangannya, ke
tiga: taubat orang khawasul khawas yaitu bertaubat dari segala sesuatu
yang ada selain Allah dan tidak melihat baik dengan pandangan mata atau
pandangan hati kecuali Allah.
وإذا ربقق العبد دبقام التوبة واستويف صبيع أحكامو صح لو اإلنتقال إىل اؼبقام الذي يليو, وىو مقام الزىد.
Jika seorang hamba telah melaksanakan maqam taubat
dengan sebenar-benarnya taubat dan telah memenuhi semua hukum
taubat maka boleh baginya untuk pindah kepada maqam yang
berikutnya yaitu maqam zuhud.
2) Zuhud dan pengertiannya
قال الشاذيل: "حقيقة الزىد: فراغ القلب فبا سوى الرب تبارك وتعاىل", وقال ابن عجيبة: "الزىد يف الشيئ ىو خروج ؿببتو من القلب وبرودتو منو, وعند القوم بغض كل ما
".يشغل عن ا, وحيبس عن حضرة اImam Syadzily berkata: “hakikat zuhud adalah kosongnya
hati dari sesuatu selain Allah yang maha memberkati dan maha
tinggi”, Ibn „Ajibah juga mengatakan: “zuhud di dalam sesuatu
yaitu tidak adanya rasa cinta di dalam hati kepada sesuatu selain
Allah dan tidak terpedaya oleh sesuatu selain Allah, dan menurut
62
suatu kaum zuhud adalah membenci setiap sesuatu yang melalaikan
dari Allah serta menahan diri dari kehadiran Allah”.
a( Pembagian Zuhud
اىر اعبايل: قال ابن عطاء ا: "الزىد زىدان: زىد جلي, وزىد باطن خفي, فالظالزىد يف فضول اغبالل من اؼبأكوالت واؼبلبوسات وغَت ذلك, والزىد الباطن اػبايف: الزىد يف
الرياسة وحب الظهور".Ibn „Athaillah berkata; “zuhud ada dua yaitu zuhud yang
jelas dan zuhud bathin yang samar. Adapun zuhur dhohir adalah
zuhud terhadap keutamaan-keutamaan sesuatu yang halal seperti
makanan, pakaian dan selainnya, sedangkan zuhud bathin ialah
zuhud dalam suatu kedudkan dan zuhud untuk bermegah diri”.
عند حديثهم بلسان التصوف الباطن يقررون أن اؼبريد لن يصل إىل وحدة الوجود ش الذىن, بل ال بد لو من الزىد يف كل ما سوى ا من موجود, وىو مشغول اػباطر, مشو
فإن وصل إىل ىذه اؼبرتبة من الزىد فإن عملو يكون عظيما ولو كان يف أعُت الناس قليال, , ويف اؼبقامات, ويف ويظهر ذلك يف أقسام الزىد اليت ذكرىا ابن عجيبة يف اؼبال, ويف اعباه
الكون بأسره.Menurut para sufi mereka menetapkan bahwa seorang
murid tidak akan pernah sampai kepada wahdatul wujud sedangkan
ia disibukkan dengan keinginannya, pikirannya dipenuhi dengan
perkara dunia. Seorang murid harus zuhud dari setiap sesuatu yang
ada selain Allah, jika seorang murid sudah sampai kepada tingkatan
zuhud tersebut maka perbuatannya menjadi mulia sekalipun itu
sedikit menurut manusia. Penjelasan tentang perkara tersebut
sangat jelas di dalam masalah pembagian zuhud sebagaimana yang
disebutkan oleh Ibn „Ajibah bahwa zuhud yaitu pada harta,
pangkat, kedudukan, dan dalam masalh dunia dengan bagian-
bagiannya.
b) Zuhud dan Pengguguran Pengaturan atau penataan
63
ال يصح الزىد إال بإسقاط التدبَت واإلختيار عن العبد السالك, فهم يؤكدون على أن يتجرد من كل تدبَت, قال ابن عطاء ا: أنو جيب على السالك قبل أن يسلك مقام الزىد
"وكذلك ال يصح الزىد إال باػبروج عن التدبَت, ألن فبا أنت ـباطب باػبروج عنو, والزىد فيو تدبَتك".
Tidak sah zuhud seorang salik kecuali dengan
menggugurkan pengaturan dan pilihan, para syeikh menegaskan
kepada murid atau salik sebelum ia menjalani maqam zuhud ia
harus membebaskan diri dari segala bentuk pengaturan, Ibn
„Athaillah berkata; “zuhud dianggap tidak sah kecuali keluar dari
pengaturan, sesungguhnya kamu dianjurkan untuk keluar dari
pengaturan itu, karena zuhud sendiri yang telah menjadi pengaturan
terhadapmu”.
3) Sabar dan artinya
. بأنو: "حبس القلب على حكم الربعرف ابن عجيبة الصرب
Ibn „Ajibah memberi tahu tentang sabar yaitu menahan hati
dengan hukum Allah.
a) Sabar dan pengguguran pengaturan penataan
الصرب عند الشالذية ليس كسبا للعبد, وإمنا ىو فضل من ا, دين بو على من يتو, قال ابن عطاء ا: "اعلم أن اغبق سبحانو إذا اراد أن يقّوي عبدا على ما خيتصهم بعنا
يريد أن يورده عليو من وجود حكمو ألبسو من أنوار وصفو, وكساه من وجود نعتو, فتنزلت األقدار وقد سبقت إليها األنوار, فكان بربو ال بنفسو, فقوي ألعبائها, وصرب لألوائها".
Sabar menurut syadziliyah bukan hasil usaha seorang
hamba melainkan merupakan sebuah keutamaan dari Allah, Ia
mengaruniakannya kepada mereka yang dikhususkan karena
pertolongan Allah. Ibn „Athaillah berkata; “ketahuilah bahwa Allah
swt jika menghendaki menguatkan seorang hamba atas sesuatu
yang dikehendaki-Nya, Allah membawanya untuk melaksanakan
hukum Allah, memakaikannya cahaya-cahaya dari sifat Allah,
dihiasinya dengan sifat-sifat Allah ”
b) Buah dari Sabar
64
قال ابن عطاء ا: "إذا علمت إن الصرب تعود عليك شبرتو, وتنعطف عليو بركتو, يو, وعولت إليو".سارعت إل
Ibn „Athaillah berkata, jika kamu mengetahui bahwa buah
dari sabar akan kembali kepadamu, dan keberkahannya akan
berbelok kepadamu, maka kamu akan bergegas kepadanya, dan
kamu pasti mengharapkannya.
اعتربت الطريقة الشاذلية مقام الصرب مقاما ضروريا ألصحاب اجملاىدات الشاقة, فلواله لًتكت تلك اجملاىدات, ولكنهم أوجبوا عليو الصرب, قال ابن عجيبة: "وال بد يف مبادئ
لراحة".األمور من الصرب, والتحمل للمشاق, وقمع النفس عن اؽبوى وا
Tarekat Syadziliyah menjelaskan bahwa maqam sabar
merupakan maqam yang bersifat keharusan bagi orang-orang yang
melakukan mujahadah yang sulit, jika tidak bersabar maka mereka
akan meninggalkan mujahadah tersebut, bahkan tarekat syadziliyah
mewajibkan maqam sabar. Ibn „Ajibah berkata; “wajib bagi
seorang salik untuk bersabar di dalam permulaan suatu perkara,
bertahan pada suatu kesulitan, dan menahan hawa nafsu dari
keinginan dan kenyamanan”.
4) Syukr dan pengertiannya
شكورا, يا إؽبي, مىت أكون لك عبداقال الشاذيل: "كنت يف مغارة فقلت: فسمعت النداء يف جوف اؼبغارة: إذا مل تر يف الوجود منعما عليك غَته, فأنت إذا عبد
شكور", وقال ابو العباس اؼبرسي: "الشكر: انفتاح القلب لشهود منة الرب".Imam Syadziliy berkata: suatu ketika aku berada disebuah
gua kemudian aku berkata, wahai Tuhanku, kapankah aku menjadi
seorang hamba yang bersyukur kepada-Mu? Lantas aku mendengar
sebuah suara di tengah-tengah gua: ketika kamu tidak melihat di
dunia ini yang memberi nikmat atasmu selain-Nya, maka kamu
adalah hamba yang besyukur. Abul „Abbas al-Mursi berkata:
syukur adalah terbukanya hati untuk menyaksikan karunia Rabb.
a) Faidah-faidah Syukur
اىتمت الطريقة الشاذلية ببيان مكانة الشكر وذكر فوائده:
65
قال ابن عطاء ا يف بيان منزلتو: "وقال بعض العارفُت: لو علم الشيطان طريقا مث ألتينهم من بُت أيديهم ﴿يوصل إىل ا أفضل من الشكر لوقف فيها, أال تراه كيف قال:
, ومل [٧١سورة األعراف: ﴾]كثرىم شكرينومن خلفهم وعن أدياهنم وعن مشائلهم, وال ذبد أيقل: وال ذبد أكثرىم صابرين, وال خائفُت, وال راجُت", وقال أيضا مبينا منزلة الشكر:
"وأحق ما يفتقد العباد من حقوق ا سبحانو الشكر لو".Tarekat Syadziliyah mengutamakan penjelasan kedudukan
syukur dan menyebutkan faidah-faidahnya;
Ibn „Athaillah berkata di dalam menjelaskan kedudukan
syukur; “ sebagian orang „arif berkata: jika setan mengetahui
sebuah jalan untuk sampai kepada Allah yang lebih utama daripada
syukur maka ia akan berhenti di dalamnya, maka perhatikanlah
bagaimana ia berkata: kemudian aku pasti mendatangi mereka dari
depan, dari belakang, dari kanan dan dari kiri meereka. Dan
engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (Q.S.
al-A‟raf: 17), tidak dikatakan Dan engkau tidak akan mendapati
kebanyakan mereka bersabar, bukan takut, dan bukan berharap”.
Ibn „Athaillah juga menegaskan mengenai kedudukan syukur;
“seorang hamba benar-benar merasa kehilangan sesuatu sebagian
dari hak-hak Allah adalah rasa syukur kepada-Nya”.
م وزيادهتا: قال ابن عطاء ا: "وقد ضمن ومن فوائد الشكر أنو سبب لدوام النعسورة إبراىيم: ﴾]لئن شكرمت ألزيدنكم﴿ا اؼبزيد للشاكرين وما استثٍت, فقال عز من قائل:
, فإذا كان قد ضمن ؽبم الزيادة على ما أعطاىم فكيف ال يدًن ؽبم ما كان منحهم [١ أوال... فقيدوا نعم ا فيكم بوجود الشكر".
Dan sebagian dari faidah-faidah syukur adalah bahwasanya
ia menjadi sebab langgengnya kenikmatan-kenikmatan dan terus
bertambah. Ibn „Athaillah berkata; “sungguh Allah telah menjamin
untuk menambah kenikmatan bagi orang-orang yang bersyukur
tanpa terkecuali, Allah berfirman: sesungguhnya jika kamu
bersyukur, niscaya Aku akan menabahkan (nikmat) kepadamu
(Q.S. Ibrahim: 7). Maka ketika Allah sudah menjami untuk
menambah kenikmatan yang telah diberikan-Nya, lantas bagaimana
mereka tidak mau melanggengkan rasa syukur kepada Allah atas
nikmat yang diberikan kepada mereka. Maka hendaklah kalian
mengikat nikmat-nikmat Allah yang telah diberikan dengan rasa
syukur kepada-Nya”.
66
b) Macam-macam Syukur
قال ابن عطاء ا: "الشكر على ثالثة أقسام: شكر اللسان, وشكر األركان, وأما بنعمت ربك ﴿ن, فشكر اللسان: التحدث بنعم ا, قال ا سبحانو: وشكر اعبنا
اعملوا ﴿, وشكر األركان: العمل بطاعة ا, قال ا تعاىل: [١١سورة الضحى: ﴾]فحدث, وشكر اعبنان: اإلعًتاف بأن كل نعمة بك أو بأحد من [١٣سورة سبأ: ﴾]ال داود شكرا
".[٠٣سورة النحل: ﴾]وما بكم من نعمة فمن ا﴿و: العباد ىي من ا, قال ا سبحانIbnu 'Athaillah berkata: "syukur terbagi dalam tiga bagian:
syukur secara lisan, syukur dengan anggota tubuh, dan syukur
dengan bagian yang diberikan. Adapun bersyukur dengan lisan
adalah dengan tahddust (mengakui) dengan nikmat-nikmat Allah.
Allah berfirman,: "dan terhadap nikmat tuhanmu hendaklah engkau
nyatakan (bersyukur) [al-Dhuha: 11]. Syukur dengan anggota
badan adalah dengan mengerjakan ketaatan kepada Allah sebagai
mana disebutkan dalam firman-Nya; “bekerjalah wahai keluarga
Dawud untuk bersyukur [saba‟: 13]”. Sedangkan Syukur atas
bagiannya yaitu dengan mengakui serta menerima bahwa setiap
nikma yang telah diberikan kepadamu dan orang lain semua berasal
dari Allah bahwa semua rahmat Anda atau salah satu hamba
berasal dari Allah, Allah swt berfirman: “dan segala nikmat ynag
ada padamu (datangnya) dari Allah”[Al-Nahl: 53]".
c) Cakupan-cakupan Syukur
بُت ابن عطاء ا أن الشكر يكون يف العلم, ويف الغٍت, ويف اعباه, وذلك عند فالتبيُت واإلرشاد, ن ذا علما كاكرا؟ فأجاب بقولو: "إذسئالو: ما الذي يصَت بو الشاكر شا
وإذا كان ذا غٌت فالبذل, واإليثار للعباد, وإذا كان ذا جاه فبإظهار العدل فيهم, ودفع األضرار".
Ibnu „Athaillah menjelaskan: bahwa syukur itu pada ilmu,
keakayaan, dan kesuksesan. Kemudian Ibnu „Athaillah melajutkan
penjelasanya dengan menjawab pertanyaan apa yang menjadikan
seorang Syakir (orang yang bersyukur) dapat bersyukur? Maka
Ibnu „Athaillah menjawab: ketika seseorang mempunyai ilmu
kemudian Ia menjelaskan dan mengajarkannya, apabila mempunyai
kekayaan Ia berbagi dan mengutamakan bagi seorang hamba, dan
apabila memiliki kesuksesan Ia menegakkan keadilan dan menolak
kemudharatan.
67
5) Khauf (takut) dan pengertiannya
قال ابن عجيبة: "اػبوف: انزعاج القلب من غبوق مكروه, أو فوات مرغوب".Ibn „Ajibah berkata; “Khauf adalah cemasnya hati atau rasa
takut yang timbul di hati dari tertimpa sesuatu yang tidak disukai,
atau tidak mendapatkan sesuatu yang diharapkannya”.
a) Pembagian Khauf
تتبُت حقيقة اػبوف اؼبمدوحة عند الشاذلية عند تقسيمهم للخوف, فعند اػباصة ىو: اػبوف من أن تسلب منهم احواؽبم ومقاماهتم, وعند العامة ىو: اػبوف من عقوبة ا ؽبم عند وقوعهم يف اؼبعصية, كما خيافون على أجسادىم من النار, قال اؼبرسي: "اػبوف
لعامة وخوف اػباص, فخوف العامة على أجسادىم من النار, وخوف على قسمُت: خوف ااػباصة على خلعهم اليت كساىم موالىم أن تدنس باؼبخالفة", وقال ابن عجيبة: "خوف العامة: من العقاب, وفوت الثواب, وخوف اػباصة: من العتاب, وفوت اإلقًتاب, وخوف
: من اإلحتجاب بعروض سوء األدب".خاصة اػباصة
Menurut pandangan pengikut syadziliyah Hakikat kahuf
yang terpuji itu jelas dalam pembagiannya, yaitu khaufnya orang
yang khas (khusus), mereka merasa takut ahwal dan maqamat
mereka menjadi rusak, dan khaufnya orang awam, yaitu mereka
takut akan siksa Allah ketika mereka melakukan kemaksiatan,
sebagaimana ketakutan mereka terhadap api neraka. Al-Mursi
berkata; “khauf terbagi dua: yaitu khufnya orang awam dan
khaufnya orang khas. Khaufnya orang awam adalah kekhawatiran
mereka terhadap api neraka sedangkan kahufnya orang khas
(khusus) adalah terlepasnya mereka dari pemberian Allah kepada
mereka dan menodainya dengan perbuatan yang menyimpang”. Ibn
„Ajibah berkata; “Khaufnya orang awam adalah dari siksaan dan
hilangnya pahala, sedangkan khaufnya orang khas (khusus, utama)
adalah dari celaan atau teguran dan hilangnya kedekatan bersama
Allah, dan khaufnya khassatul khassah adalah dari terhijabnya
melihat buruknya adab”. b) Hubungan Khauf dengan Aqidah Wahdatul Wujud
68
إذا مل يكن يف الوجود عند الطريقة الشاذلية إال ا وحده فإن اػبوف ينقلب أمنا من بو من كل شيئ, آعندىم, كما قال الشاذيل: "أوصاين أستاذي أن أخاف من ا خوفا
فال معٍت للخوف من شيئ, ومع كل شيئ, وربت كل شيئ, وقريب من كل شيئ, وؿبيط بكل شيئ".
Menurut tarekat syadziliyah ketika sudah tidak ada lagi
wujud selain hanya wujud Allah semata, maka sesunggungnya rasa
takut akan menjadi rasa aman, sebagaimana dikatan Imam
Syadzily; “guruku telah berwasiat kepadaku agar aku takut kepada
Allah dengan ketakutan yang membuat rasa aman dari setiap
sesuatu, maka tiada arti takut terhadap sesuatu, bersama segala
sesuatu, diatas segala sesuatu, di bawah segala sesuatu, di dekat
segala sesuatu, dan di sekitar setiap sesuatu”.
6) Raja‟ (harap) dan pengertiannya
قال ابن عجيبة: "الرجاء: سبٌت الشيئ مع السعي يف اسبابو وإال فهو أمنية", وقال أيضا: "الرجاء: سكون القلب إىل انتظار ؿببوب, بشرط السعي يف أسبابو, وإال فأمنية
وغرور".Ibn „Ajibah berkata; “Raja‟ (harap) adalah mengharap
sesuatu disertai usaha di dalam mendapatkannya jika tidak maka ia
hanya sebuah kebohongan atau angan-angan belaka”, Ibn „Ajibah
menegaskan; “Raja‟ (harap) adalah kedamaian hati di dalam
menunggu yang dicintainya, dengan syarat adanya usaha untuk
dapat mencapainya, jika tidak maka ia hanya anngan-angan dan
tipuan”.
a) Pendorong-pendorong Raja‟ (harap)
للرجاء عند الطريقة الشاذلية أسباب وبواعث تعُت السالك على مقام الرجاء, ومن ذلك:
Menurut tarekat syadziliyah Raja‟ (harap) mempunyai
beberapa sebab dan beberapa motivasi-motivasi yang ditentukan
bagi salik di dalam maqam raja‟ ini, yaitu;
إىل أوصاف اؼبرجو: الباعث األول: النظرPertama, memandangi atau memperhatikan kepada sifat-sifat yang
diharapkannya:
69
جعلت الطريقة الشاذلية النظر إىل أوصاف ا تعاىل من الرضبة واؼبغفرة وغَتىا من صفات العفو سببا عظيما يف رجاء السالك, فالسالك الكامل ىو من يدًن النظر إىل أوصاف اؼبرجو اليت تتضمن الرضبة, قال ابن عطاء ا: "أىل ا إذا خافوا رجوا: عاؼبُت أن وراء
خوفهم وما بو خافوا أوصاف اؼبرجو الذي ال ينبغي أن يقنط من رضبتو".Tarekat syadziliyah menjadikan sebuah perhatian tehadap
sifat-sifat Allah sebagai rahmat dan ampunan Allah, dan sebagian
sifat-sifat yang lainnya menjadi sebab yang mulia di dalam harapan
seorang salik. Seorang salik yang sempurna ia akan senantiasa
memperhatikan sifat-sifat yang diharapkannya yang mana sifat-
sifat tersebut mengandung sebuah rahmat. Ibn „Athaillah berkata;
“orang yang selalu berada bersama Allah ketika mereka merasa
takut mereka berharap kepada Allah; mereka mengetahui bahwa
dibelakang ketakutan mereka terhadap sesuatu, mereka takut
terhadap sifat-sifat yang diharapkan yang tidak sepantasnya
membuat berputus asa dari rahmat yang diharapkan (Allah)”.
الباعث الثاين: النظر إىل نعم ا تعاىل على عبده:Kedua, memperhatikan nikmat-nikmat Allah yang ada pada hamba-
Nya:
من بواعث الرجاء: أن السالك ينظر إىل ما من ا إليو من نعم وأفضال متتالية, يقوى أملو, وحيسن ظنو با, أما إذا داوم النظر إىل ما منو إىل ا من معصية فهو وعندئذ
جالب ؼبقام اػبوف دون مقام الرجاء, قال ابن عطاء ا: "إذا أردت أن يفتح لك باب الرجاء: فاشهد ما منو إليك, وإذا اردت ان يفتح لك باب اػبوف: فاشهد ما منك إليو",
يمة الذنب عند العارف الصويف.ويلي ىذه اؼبسألة قYang merupakan bagian dari motivasi-motivasi raja‟ adalah
bahwa seorang salik harus memperhatikan sesuatu yang diberikan
Allah kepadanya yang berupa kenikmatan-kenikmatan dan
keutamaan-keutamaan yang berturut-turut, seketika itu ia harus
menguatkan harapannya, dan terus berbaik sangka dengan Allah.
Jika seorang salik sentiasa melihat kemaksiatan yang dilakukan
kepada Allah, ia akan terbawa kepada maqam khauf bukan kepada
maqam raja‟. Ibn „Athaillah berkata; “jika kamu ingin dibukakan
untukmu pintu harapan, maka saksikanlah apa yang telah Allah
berikan kepadamu, dan jika kamu ingin dibukakan kepadamu pintu
70
khauf (ketakutan), maka saksikanlah apa yang telah kamu perbuat
di hadapan Allah”. Berikut ini akan dijelaskan suatu masalah
tentang nilai suatu dosa menurut orang arif yang sufi.
b) Keberadaan dari suatu amal merupakan Syarat bagi sahnya
Raja‟
زعمت الطريقة الشاذلية أن العمل شرط لصحة الرجاء, وإال كان ؾبرد أمنية, ويف فهو أمنية".ىذا يقول ابن عطاء ا: "الرجاء ما قارنو عمل, وإال
Tarekat Syadziliyah mengklaim bahwa suatu amal merupakan
sebuah syarat untuk sahnya sebuah harapan, jika tidak ia hanya
sebuah kebohongan. Mengenai hal ini Ibn „Athaillah berkata; “raja‟
itu harus dibarengi dengan amal, jika tidak ia merupakan
kebohongan”.
c) Nilai dari suatu Dosa bagi orang-orang yang punya harapan
العارف الصويف ىو الذي يدًن النظر إىل أوصاف ا تعاىل ونعمو اؼبتتالية, وال يلتفت إىل ذنوبو الصادرة منو, بل ال تسبب لو خوفا وال تأنيبا, وقد عد ابن عجيبة عدم خوفهم من الذنب من مظاىر اعتداؽبم يف باب اؼبقامات فقال: "ومن صبلة ذلك اػبوف
م طاعة ال يزيد رجائهم, وإذا وقعت منهم زلة ال يعظم والرجاء حبيث إذا صدرت منه خوفهم, وال تنقص إستقامتهم".
Seorang Arif sufi adalah orang yang senantiasa
memperhatikan terhadap sifat-sifat Allah dan selalu mensyukuri
nikmat-nikmat Allah yang berturut-turut, tidak berpaling dari dosa-
dosa yang telah dikerjakannya, akan tetapi dosa-dosa tersebut tidak
menyebabkan ia takut dan hina. Ibn „Ajibah menganggap bahwa
mereka tidak merasa takut akan dosa adalah demi menjaga aspek
keseimbangan mereka di dalam menjalani maqamat, maka Ibn
„Ajibah berkata; “dari beberapa rasa takut dan harap tersebut ketika
ketaatan mereka mulai tampak tidak membuat harapan mereka
bertambah, ketika mereka tergelincir tidak membuat mereka sangat
ketakutan, dan keistiqamahan mereka tidak berkurang barang
sedikitpun”.
7) Mahabbah dan pengertiannya
71
قال الشاذيل: "حقيقة ابة: رؤية ابوب على العيان, وكماؽبا فقدانك يف كل وقت وأوان", وسأل الشاذيل شيخو ابن مشيش عن حقيقة ابة فقال: "ابة: آخذة من ا
تعاىل قلب من أحب دبا يكشف لو من نور صبالو, وقدس كمال جاللو".Imam Syadzily berkata: “hakikat mahabbah adalah melihat
yang dicintainya dengan pandangan mata, kesempurnaan
mahabbah adalah ketiadaanmu di setiap waktu dan keadaan”. Imam
Syadzily bertanya kepada gurunya Ibn Masyisy tentang hakikat
mahabbah, kemudia beliau menjawab; “mahabbah yaitu Allah
mengambil hati seseorang yang mencintai-Nya dan Allah
membukakan baginya dengan cahaya keindhan Allah, dan
mensucikan kesempurnaan keagungan Allah”.
a) Derajat Mahabbah
مقام ابة من أكثر اؼبقامات اليت تناولتها الطريقة الشاذلية بالبحث والعناية, .وص الكثَتة عنهم يف بيان مكانتهاوجائت النص
Maqam mahabbah merupakan maqamat yang paling banyak didiskusikan tarekat syadzliyah dengan pembahasan dan perhatian, banyak sekali nash dari mereka tentang keterangan kedudukan mahabbah.
قال الشاذيل: "ابة اصل يف اإلفهام, فمن أحب ا فهم عنو كل شيئ", وقال ابن عطاء ا: "ابة من ايضا: "خصلتان تسهالن الطريق إىل ا تعاىل: اؼبعرفة وابة", وقال
امات اليقُت".أجل مقImam Syadzily berkata; “mahabbah merupakan pokok
utama dalam memberikan pemahaman, siapapun yang mencintai
Allah maka ia akan dipahamkan setiap sesuatu”, ia juga berkata;
“dua perkara yang mudah untuk menuju Allah swt yaitu, ma‟rifat
dan mahabbah”. Ibn „Athaillah berkata; “mahabbah merupakan
paling agunggnya maqamat”.
b) Pembagian Mahabbah
تتبُت حقيقة ابة اؼبمدوحة عند الطريقة الشاذلية عند تقسيمهم للمحبة, فمحبة علماء الشريعة زبتلف عن ؿببة العارفُت من الصوفية, فمحبة العارفُت ىي دوام اغبضور مع ا
72
ىي سر واؼبعاينة واؼبشاىدة, وىي اؼبقصودة بوحدة الوجود, وىذه ابة ال ديكن البوح هبا, بل .ا خاصة اػباصة منهماختص هب
Menurut Tarekat Syadziliyah hakikat mahabbah yang
terpuji itu jelas dalam pembagiannya. Mahabbah seorang Ulama‟
Syariat tentu berbeda dengan Mahabbah orang Arif Sufi. Adapun
mahabbah seorang Arif adalah mahabbah yang selalu disertai
kehadiran, pemandangan, dan penyaksian bersama Allah dan yang
dimaksud dengan semua itu wahdat al-wujud. Mahabbah yang
disertai kehadiran, pemandangan, dan penyaksian di dalam hati
tidak akan mengacaukan atau menghancurkan, akan tetapi ia akan
menjadi rahasia bagi orang yang khusus.
قال أبو العباس اؼبرسي: "أىل ابة والشوق على قسمُت: قوم اشتاقت نفوسهم إىل الغيبة, فال سكون ؽبم إال باللقاء, وقوم إشتاقت أرواحهم إىل اغبضور, واؼبعاينة, والشهود,
فال سكون ؽبم إال بالغوص يف حبر األسرار, وتنزل اؼبعاين على قلوهبم".Abul Abbas al-Mursi berkata “ahli Mahabbah dan Syauq
ada dua bagian: orang-orang yang tertanam di hatinya kerinduan
kepada yang ghaib (Allah) maka mereka tidak akan pernah diam
kecuali setelah menjumpai yang dirindukannya, dan orang-orang
yang tertanam dalam ruhnya kerinduan akan suatu kehadiran,
pemandangan, dan penyaksian kepada Allah, mereka tidak akan
pernah diam kecuali setelah mereka menyelami lautan sir-sir Ilahi,
dan Allah turunkan makna-makna yang mencerahkan ke dalam hati
mereka”.
بة ؽبا بداية, ووسط, وهناية, فأول ابة وبدايتها: مالزمة وقال ابن عجيبة: "اسورة ﴾]قل إنكنتم رببون ا فاتبعوين حيببكم ا﴿امتثال األمر, واجتناب النهي, قال تعاىل:
, ووسطها: ؽبج اللسان بالذكر, وتعلق القلب بشهود ابوب, وهنايتها: ال [٣١آل عمران: لعبارة, وال ربلقها اإلشارة, ويف ىذا اؼبعٌت قيل:تدرك با
حبيب لقلب غاب عن كل مقصد فلم يبق إال اهلل ال رب غيره فهذا اؼبعاين ال تدركها العامة وال اػباصة وإمنا يذوقها خاصة اػباصة".
Ibn Ajibah berkata “Mahabbah itu mempunyai Permulaan,
pertengahan, dan puncak. Adapun yang pertama dan sebagai
permulaannya yaitu melazimkan segala perintah Allah dan
menjauhi larangan-Nya, Allah berfirman: katakanlah (muhammad)
73
jika kalian mencintai Allah maka ikutilah aku maka Allah pasti
akan mencintai kalian (ali Imran: 31), sedangkan pertengahannya
adalah membasahi lisan dengan berdzikir, dan menggantungkan
hati dengan menyaksikan yang dicintainya lewat dzikir, dan
puncaknya Mahabbah tidak dapat diketahui dengan ungkapan
apapun, tidak dapat ditangkap melalui isyarat. Tentang hal ini
terdapat sebuah ungkapan dalam bait, yang artinya; tidak ada suatu
apapun kecuali Allah dan tidak ada Rabb selain-Nya, Ia adalah
kekasih hatiku dan sirnalah dari diriku selain-Nya”.
c) Buah dari Mahabbah
بة, قال: "فًتى النفس مائلة ذكر الشاذيل للمحبة شبارا كثَتة ؼبا تكلم على شبرات الطاعتو, والعقل متحصنا دبعرفتو, والروح مأخوذة يف حضرتو, والسر مغمورا يف مشاىدتو, والعبد يستزيد من حبو فيزاد ويفاتح دبا ىو أعذب من لذيذ مناجاتو, فيكسي حلل التقريب
ات العلوم".القربة, وديس أبكار اغبقائق وثيب على بساطImam Syadzily menyebutkan, mahabbah mempunyai
banyak buah, ketika Ia berbicara tentang buah-buah dari mahabbah,
beliau berkata; “ketenangan jiwa condong untuk taat kepada Allah,
akal dibentengi dengan ma‟rifah, ruh diambil dari kehadirat Allah,
sir dilimpahkan di dalam musyahadah kepada Allah. Seorang
hamba yang menambah kecintaannya kepada Allah maka
ditambahkan dan dibukakan kepadanya sesuatu yang memberi
kesegaran dari kelezatan munajatnya, ”
وىذه الثمار اليت تكلم عنها الشاذيل نصت على نوعُت من الثمار وىي: طلب العلوم اللدنية الغيبة, وطلب الوحدة واؼبشاىدة, وتفصيل تلك الثمار فيما يلي:
أوال: حصول العلوم اللدنية واؼبكاشفات:قال ابن عجيبة: "فإذا اراد ا فتح بصَتة العبد أشغلو يف الظاىر خبدمتو, ويف
لباطن دبحبتو, فكلما عظمت ابة يف الباطن, واػبدمة يف الظاىر قوي نور البصَتة, حىت ايستوىل على البصر, فيغيب نور البصر يف نور البصَتة, فال يرى إال ما تراه البصَتة من اؼبعاين
اللطيفة, واألنوار القددية".Ibn „Ajibah berkata; “jika Allah menginginkan kepada
seorang hamba dibukakan mata hatinya, Allah membuat dhohirnya
sibuk berkhidmat kepada Allah, bathinnya dengan mahabbah
74
kepada Allah, ketika cinta sudah tumbuh besar di hati dan
berkhidmat secara dhohir maka kuatlah cahaya pandangan
bathinnya sehingga ia menguasai pandangan matanya itu. Maka
terbenamlah cahaya matanya di dalam cahaya mata bathinnya
sehingga ia tidak dapat melihatnya kecuali apa yang dilihat oleh
mata bathinnya dari makna-makna yang lembut dan cahaya yang
lampau”.
ثانيا: الوصول لوحدة الوجود:ؼبا سأل الشاذيل شيخو ابن مشيش عن ابة, عرفها وذكر شراهبا, الذي أراد بو الوصول للوحدة, فقال ابن مشيش: "وشراب ابة: مزج األوصاف باألوصاف, واألخالق
ال".عباألخالق, واألنوار باألنوار, واألظباء باألظباء, والنعوت بالنعوت, واألفعال باألفKetika imam Syadzily bertanya kepada gurunya Ibn Masyis
tentang mahabbah, beliau memberitahu dan menyebutkan minuman
mahabbah supaya orang dapat sampai kepada Allah. Maka Ibn
Masyis menjawab; “minuman mahabbah adalah meleburnya sifat
dengan sifat, ahlak dengan akhlak, cahaya dengan cahaya, asma‟
dengan asma‟, karakteristik dengan karakteristik, dan perbuatan
dengan perbuatan”.
Menurut penjelasan diatas tentang buah dari mahabba terdapat dua
pokok pencapaian yaitu;
1) Terbukanya mata bathin (hati) sehingga tersingkap atau tercapai
pengetahuan-pengetahuan Ilahi (ladunni dan mukasyafah).
2) Mahbbah yang sempurna akan mengantarkan pada akidah
wahdatul wujud (hanya satu yang ada) yaitu Allah.
E. Peran seorang Mursyid di dalam memperkenalkan Jenis-jenis
Ahwal
1) Al-Uns dan pengertiannya
75
"األنس معناه: استبشار القلب فرحو دبطالعة اعبمال, حىت إنو إذا غلب وذبرد عن مالحظة ما غاب عنو وما يتطرق إليو من خطر الزوال عظم نعيمو ولذتو".
Arti al-Uns adalah kegembiraan hati disebabkan melihat yang
maha indah, sehingga hati ketika sudah menguasai al-Uns dan
terbebas dari pengawasan ia tidak akan menjauh dari al-Uns dan
tidak akan menghadapi sebuah bahaya yang dapat melenyapkan
kebesaran nikmat uns dan kelezatannya.
ا واألنس با من األحوال اليت يوردىا ا على السالك, وذلك حُت يقبل على بأنواع الطاعات اليت يتقرب هبا إليو, وإىل ىذا أشار ابن عطاء ا بقولو: "كفي العاملُت جزاء
ما ىو فاربو على قلوهبم يف طاعتو, وما ىو مورده عليهم من وجود مؤانستو".Al-Uns bersama Allah merupakan bagian dari kondisi-
kondisi yang Allah anugerahkan kepada seorang salik, dan itu
didapatkan ketika seorang salik mendekatkan dirinya kepada Allah
dengan berbagai ketaatan. Dalam hal ini Ibn „Athaillah memberi
isyarat dengan perkataannya; “suatu balasan sudah cukup bagi
orang-orang yang melakukan amal yang dapat melapangkan hati
mereka dalam ketaatan kepada Allah, dan ia merupakan sumber
bagi dari keberadaan keramahan (keakraban/keintiman) Allah”.
a. Hakikat al-Uns
مل تًتك الطريقة الشاذلية عقيدة من عقائدىا إال وطبقت عليها نظرية إسقاط التدبَت واإلختيار القاضية باعبرب, ومن ذلك األحوال أيضا, فاألنس ال يكون عندىم إال دبحض العناية اإلؽبية, وليس إلرادة السالك مدخل حقيقي يف ربققو بو, ويف ىذا يبُت ابن عطاء ا
.أن اؼبعرفة وابة واألنس ليست إال دبحض فضل ايف مناجاتو Tarekat Syadziliyah tidak pernah meninggalkan suatu
akidah dari akidah-akidah yang menjadi keyakinanny kecuali ia
telah menerapan suatu teori pengguguran pengaturan atau
penataan, pilihan atau pertimbangan yang sudah menjadi sebuah
ketentuan dalam suatu lembaga, dan juga ahwal-ahwal yang lain.
Hal al-Uns menurut tarekat syadziliyah tidak akan terjadi pada
seseorang kecuali dengan memurnikan kepedulian sifat ketuhanan,
bukan karena keinginan seorang salik untuk masuk secara hakiki di
dalam mencapai kondisi al-uns. Mengenai hal ini Ibn „Athaillah
menjelaskan di dalam munajatnya bahwa ma‟rifat, mahabbah, dan
76
al-uns tidak akan tercapai kecuali dengan memurnikan keutamaan
Allah.
نس ال يكون إال مقًتنا دبقام ابة , قال ابن عطاء ا: "يا من أذاق أحباءه واأل .حالوة مؤانستو فقاموا بُت يديو متملقُت"
Hal al-Uns tidak dapat terjadi atau tidak dapat dialami oleh
seseorang kecuali melalui maqam Mahabbah kepada Allah. Ibn
„Athaillah berkata; “wahai orang yang ingin merasakan manisnya
keakraban atau keintiman bersama para kekasihnya maka berdirilah
dihadapannya dengan mencari muka dihadapannya”.
b. Sebab-sebab al-Uns
وضعت الطريقة الشاذلية أسبابا جالبة لألنس با, فمن ذلك: Tarekat Syadziliyah menetapkan beberapa sebab untuk
mencapai kondisi al-uns bersama Allah, yaitu; السبب االول: االنقطاع عن اػبلق يف العزلة واػبلوة:
Sebab pertama adalah memutuskan diri dari makhluk dengan cara
„uzlah dan khalwat.
اػبلق لفتح لك باب األنس بو تعاىل, ألن قال ابن عطاء ا: "لو انقطعت عن ن أردت أن تستخرج مرآة لة, فسمعوا من ا وأنسوا بو, فإاألولياء قهروا أنفسهم باػبلوة والعز
.قلبك من األكدار فارفض ما رفضوا وىو األنس باػبلق"Ibn „Athaillah berkata; “jika seseorang memutuskan diri
dari makhluk maka Allah akan membuka pintu al-uns, karena
sesungguhnya para kekasih Allah itu bersikeras memaksakan diri
mereka di dalam melakukan khalwat dan „uzlah, mereka
mendengarkan dari Allah dan mereka akrab bersama-Nya, jika
kamu ingin mengeluarkan kekeruhan cermin hatimu maka tolaklah
sperta apa yang para kekasih Allah tolak, itulah yang disebut al-uns
dengan makhluk”.
السبب الثاين: الوحشة من اػبلق: Sebab ke dua adalah merasa risau dari pada makhluk.
قال ابن عطاء ا: "مبٌت أمرىم يف بدايتهم على الفرار من اػبلق, واإلنفراد باؼبلك ."أنو يريد أن يفتح لك باب األنس بو اغبق", وقال أيضا: "مىت أوحشك من خلقو فاعلم
77
Ibn „Athaillah berkata; “para kekasih Allah memulai
perkara mereka dengan membebaskan diri dari makhluk, dan
menyendiri bersama Sang Raja Kebenaran. Ketika Allah
membuatmu risau dari makhluk-Nya maka ketahuilah bahwa Allah
ingin membukakan pintu al-uns kepadamu”.
لسبب الثالث: الذكر:ا Seba ketiga adalah dzikir
قال عبد القادر عيسى: "ينفذ الذكر إىل سويداء قلبو: فَتتسم االسم اؼبفرد فيو, ".ويشعر حبالوة األنس با تعاىلوترحل عنو الغفلة, وتزول األغيار,
Abdul Qadir „Isa berkata; “dzikir dapat menembus dan
menerangi kegelapan atau hitamnya hati seseorang, hanya akan
tertulis satu nama dihatinya, pergi darinya kelalaian, hilang
keangkuhan-keangkuhan di dalam hatinya, dan ia hanya akan
merasakan manisnya kemesraan dan keramahan bersama Allah”.
2) Al-Qabdl dan al-Basth serta pengertian keduanya
القبض والبسط حالتان نفسيتان متعاقبتان تردان على السالك, ويف القبض تشعر نفس السالك بالقلق واغبزن واألمل, أما يف البسط فتشعر بالفرح والطمأنينة والرضا.
Dua hal Qabdl (kesempitan)2 dan Basth (kelapangan atau
keluasan) yang saling bergantian dan saling bertoalak belakang
bagi seorang salik, pada kondisi qabdl seorang salik merasakan
kegelisahan, kegundahan, dan kepedihan, sedang dalam kondisi
basth seorang salik akan merasakan kebahagiaan, ketenangan, dan
kerelaan hati.
ب او األرواح, إما بسبب قرب شهود قال ابن عجيبة: "البسط: فرح يتعري القلو عن أوصاف كمالو, وذبلى ذاتو, أو بغَت ب, أو شهود صبالو, أو بكشف اغبجاباغببي
سبب", وقال يف تعريف القبض: "القبض: حزن وضيق يتعري القلب, إما بسبب فوات مرغوب, أو عدم حصول مطلوب, أو بغَت سبب".
Ibn „Ajibah berkata; “al-Basth adalah kebahagiaan yang
dapat membebaskan hati dan ruh baik disebabkan kedekatan
penyaksian terhadap sang kekasih, menyaksikan keelokan-Nya,
2 Amatullah Amstrong, Kunci Memasuki Dunia Tasawuf (khazanah istilah sufi), terj.
M.S. Nashrullah dan Ahmad Baiquni. (Bandung: Mezan Media Utama, 2000), hlm. 221
78
terbukanya tirai-tirai sifat kesempurnaan-Nya, Dzat-Nya menjelma
merasuk ke dalam jiwa, atau tanpa sebab”. Dan Ibn „Ajibah
mengemukakan tentang ta‟rif al-Qabdl yaitu kesedihan dan
kesempitan yang dapat menekan hati seseorang baik disebabkan
luputnya hati dari yang dicintai atau tidak adanya hasil dari yang
diusahakannya, atau tanpa sebab.
a. Posisi al-Qabdl dan al-Basth
نبو ابن عباد النفزي يف شرحو للحكم إىل أن الشاذلية قد استوفوا الكالم يف القبض والبسط على خالف غَتىم من الصوفية الذين ال توجد ؽبم يف القبض والبسط إال إشارات قليلة, ونبو شيوخ الشاذلية على مالزمة حال القبض والبسط للسالك يف ليلو وهناره, حىت شبو
بالليل اؼبظلم, والبسط بالنهار واؼبشرق, يف قولو: "فلما خيلو منهما, يتعاقبان الشاذيل القبض .علينا كتعاقب الليل والنهار"
Ibn „Ibad al-Nafzi memberitahukan di dalam keterangannya
pada kitab al-hikam bahwa para pengikut imam Syadzily mereka
menerima al-qabdl dan al-basth berbeda dengan para sufi lainnya
yang mana mereka tidak ditemukan konsep al-qabdl dan al-basth
kecuali hanya sedikit petunjuk-petunjuk dari mereka. Para syeikh
tarekat syadziliyah mengingatkan bagi seorang salik untuk
melazimkan hal al-qabdl dan al-basth pada waktu siang dan
malam, sampai-sampai imam Syadzily menyeupakan al-qabdl
seperti malam yang gelap, sedangkan al-basth bagaikan siang dan
terang. Dalam perkataan imam Syadzily ketika seseorang kosong
dari keduanya, keduanya saling berurutan bagi kita sebagaimana
saling berurutannya malam dan siang.
b. Buah dari al-Qabdl dan al-Basth
زعموا أن القبض والبسط سبب للكشف عن اغبجاب, والفناء يف ا عن كل موجود, قال ابن عجيبة بعد أن بُت القبض والبسط: "يفتح لك الباب, ويرفع بينك وبينو
الصفات, فتغيب عن اثر اعبالل واعبمال بشهود اغبجاب, فتتنزه يف كمال الذات, وشهودالكبَت اؼبتعال, فال جاللو حيجبك عن صبالو, وال صبالو حيجبك عن جاللو, وال ذاتو رببسك عن صفاتو, وال صفاتو رببسك عن ذاتو, تشهد صبالو يف جاللو, وجاللو يف صبالو, وتشهد
ذاتو يف صفاتو, وصفاتو يف ذاتو".
79
Para pengikut tarekat syadziliyah mengklaim bahwa al-
qabdl dan al-basth merupakan sebuah sebab bagi terbukanya hijab,
dan fana‟ di dalam Allah dari segala yang ada. Ibn „Ajibah berkata
setelah mengalami al-qabdl dan al-basth maka akan dibukakan
kepadamu sebuah pintu, diangkat diantara kamu dengan-Nya
sebuah hijab, maka kemudian ia berjalan-jalan di dalam
kesempurnaan dzat-Nya, menyaksikan sifat-sifatnya, kamu
terbenam karena jejak keagungan dan keindahan dengan
menyaksikan yang maha besar dan maha tinggi, keagungan Allah
tidak akan menghijabmu dari keindahan-Nya, dan keindahan Allah
tidak akan menghijabmu dari keagungan-Nya, dzat Allah tidak
akan memalingkanmu dari sifat-Nya, sifat Allah tidak akan
memalingkanmu dari dzat-Nya, engkau akan menyaksikan
keindahan Allah di dalam keagungan-Nya, dan keagungan Allah di
dalam keindahan-Nya, engkau akan menyaksikan dzat Allah di
dalam sifat-Nya, dan sifat Allah di dalam dzat-Nya.
c. Adab dari al-Qabdl dan al-Basth
للقبض والبسط آداب ال تصح وال تكمل إال هبا, وقد فصل الشاذيل يف اسباب القبض والبسط, وذكر آداب كل قسم منهما: فالقبض عند الشاذيل: إما أن يعرف سببو أو ال يعرف سببو, فإن عرف سببو فهو ال خيلو من ثالثت أسباب ىي: "ذنب أحدثتو, أو دنيا
ذيك يف نفسك أو عرضك أو ينسبك لغَت دين", ذىبت عنك أو نقصت لك, أو ظامل يؤ مث بُت الشاذيل األدب والعبودية يف ىذا القسم, فإن كان ذنبا فاألدب التوبة, وإن كان ذىاب دنيا أو نقص فاألدب التسليم والرضا, وإن كان ظاؼبا يؤذيك فاألدب الصرب واإلحتمال, وإن
إلرادات, واغبركات.كان القبض بغَت سبب فاألدب السكون يف األقوال, وا
al-Qabdl dan al-Basth mempunyai adab-adab maka tidak
sah dan tidak sempurna kecuali dengan memperhatikan adab-
adabnya. Imam Syadzily telah merincinya di dalam penjelasan
mengenai sebab-sebab tercapainya al-qabdl dan al-basth, kemudian
ia menyebutkan pembagian setiap adab dari keduanya, maka al-
qabdl menurut imam Syadzily penyebabnya dapat diketahui atau
tidak, jika penyebabnya dapat diketahui maka al-qabdl tidak dapat
kosong dari tiga sebab yaitu dosa yang terjadi pada dirinya, dunia
yang pergi atau berkurang darimu, atau orang dholim yang
menyakiti jiwa dan mencederai kehormatanmu atau
80
menisbahkanmu ke lain agama. Kemudian imam Syadzily
menjelaskan pembagian adab dan „ubudiyah di dalam masalah
tersebut, jika seseorang mempunyai dosa maka adabnya bertaubat,
jika mengalami perginya atau kekurangan harta maka adabnya
adalah merasa tentram dan rela, dan jika kedholiman menimpamu
maka adabnya sabar dan teguh. Apabila seseorang mengalami al-
qabdl tanpa suatu sebab maka adabnya tetap tenang baik dalam
berbicara, berkeinginan, dan aktifitas.
وأما البسط عند الشاذيل: فإما أن يعلم لو سبب أو ال يعلم, فاألسباب ثالثة:
Adapun al-basth menurut imam Syadzily penyebabnya dapat
diketahui atau tidak, sebab-sebanya ada tiga;
زيادة من "السبب األول: زيادة بالطاعة, أو نوال من اؼبطاع, كالعلم واؼبعرفة, والسبب الثاين: دنيا بكسب أو كرامة أو ىبة أو صلة, والسبب الثالث: باؼبدح والثناء من الناس, وإقباؽبم عليك, وطلب الدعاء منك, وتقبيل يدك", مث بُت الشاذيل األدب يف ىذا األقسام وىو: رؤية
العبودية واؼبنة من ا عليك, ومالزمة اػبوف من السلب, وشكر ىذه النعم.
Sebab pertama adalah menambah dengan ketaatan, meraih dari
perintah yang ditaati seperti ilmu dan ma‟rifah, sebab ke dua yaitu
bertambahnya duniawi baik karena bekerja, karomah, karunia, atau
perantara, dan sebab yang ke tiga ialah kemuliaan dan sanjungan
dari manusia serta penerimaan mereka atasmu, meminta didoakan
olehmu, dan menerima tanganmu. Kemudian imam Syadzily
menjelaskan adab di dalam pembagian ini yaitu melihat pengabdian
dan karunia dari Allah atasmu, melazimkan rasa takut dari
kerusakan, dan mensyukuri nikma-nikmat yang telah diberikan.
3) Fana‟ dan Baqa‟ serta pengertian keduanya
عرف شيوخ الطريقة الشاذلية الفناء والبقاء بتعاريف متقاربة, وىي دالة على غياب اػبلف يف عُت الفاين, لفنائو يف ربو, وأما يف حال البقاء فاػبلق ثابتُت يف عُت الباقي إال أن
ه فيهم ىو ا وحده.حقيقة ما يرا
Para syeikh tarekat syadziliyah mengartikan fana‟ dan
baqa‟ dengan pengertian yang saling berdekatan, menunjukkan
81
tidak adanya perbedaan menurut orang yang mengalami kefanaan,
karena ia telah fana‟ di dalam tuhannya. Adapun di dalam hal baqa‟
makhluk itu tetap menurut pandangan orang yang mengalami
kebaqaan, karena hakikat sesuatu yang dilihatnya di belakang
mereka hanyalah Allah semata.
قال ابن عطاء ا: "الفناء: ىو أن يفٌت اإلنسان عن نفسو, فال حيس بشيئ من ياء اػبارجة عنو, وال العوارض الباطنة فيو, بل يغيب عن صبيع ذلك, ظواىر جوارحو, وال األش
, وقال ابن عجيبة: "الفناء ىو: أوال, مث ذاىبا إليو أخرى" ويغيب عنو صبيع ذلك ذاىبا إىل ربوأن تبدوا لك العظمة, فتنسيك كل شيئ, وتغيبك عن كل شيئ سوى الواحد الذي ليس
ىو: شهود حق بال خلق".كمثلو شيئ, وليس معو شيئ, أو تقول
Ibn „Athaillah berkata; “fana‟ adalah manusia harus sirna
dari dirinya, tidak merasakan sedikitpun keberadaan anggota
tubuhnya sendiri, tidak ada sesuatupun yang keluar darinya, dan
tidak ada anggota-anggota tubuh yang tersembunyi di dalamnya,
akan tetapi ia terbenam dari semua itu. Seseorang sirna dari semua
itu dan berpaling kepada tuhannya, kemudian berpaling kepada-
Nya yang lain”. Ibn „Ajibah berkata; “fana‟ adalah engkau melihat
dengan jelas keagungan-keagungan Allah, maka melupakan segala
sesuatu, dan engkau terbenam dari segala sesuatu selain Allah yang
tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya, dan tidak ada
sesuatupun bersama-Nya, atau kamu mengatakan fana‟ adalah
menyaksikan Allah tanpa makhluk”.
Maksud Fana‟ pada uraian di atas yang dikemukakan oleh Ibn „Athaillah
bahwasanya tidak sesuatu apapun yang ada pada diri manusia baik secara lahir
maupun secara bathin, ia tebenam dari dirinya dan alam sekitarnya yang ada
hanyalah Allah semata semua itu hanya memalingkan diri seseorang kepada Allah
saja, adapun menurut Ibn „Ajibah manusia hanya melihat keagungan-keagungan
Allah semata sehingga segala sesuatu yang tampak dari alam semesta dan yang
tampak pada dirinya semua itu tidak ada dan hanya Allah yang disaksikannya.
82
وأما البقاء فهو شهود خلق حبق, قال ابو اؼبواىب الشاذيل: "البقاء مقام ديلك حقيقة الشهود على بساط األدب مع الشهود", وقال ابن عجيبة: "الفناء ىو أن تبدوا لك العظمة فتنسيك كل شيئ وتغيبك عن كل شيئ سوى الواحد الذي ليس كمثلو شيئ وليس
خلق, كما أن البقاء ىو شهود خلق حبق". معو شيئ, أو تقول ىو شهود حق بال
Adapun pengertian baqa‟ yaitu menyaksikan ciptaan
dengan Allah. Abul Muwahib al-Syadzily berkata; “baqa‟
merupakan sebuah maqam yang memiliki hakikat syuhud diatas
permadani adab disertai syuhud”. Ibn „Ajibah berkata; “fana‟
adalah engkau melihat dengan jelas keagungan-keagungan Allah
dan kamu melupakan segala sesuatu dan kamu terbenam dari
segala sesuatu selain Allah yang tidak ada sesuatupun yang
menyerupai-Nya, tidak sesuatu apapun membersamai-Nya, atau
kamu katakan fana‟ adalah menyaksikan Allah tanpa ciptaan,
sebagaimana baqa‟ yaitu menyaksikan ciptaan dengan Allah”.
a. Hakikat Fana‟ dan Baqa‟
يغيب الفاين عن كل حال الفناء: حقيقة الفناء والبقاء ىو القول بوحدة الوجود, إال ا وحده, أما يف حال البقاء فال يغيب عنو شيئ, ألنو يرى كل شيئ ىو شيئ, وال يرى
ه.ا وحد
Hakikat Fana‟ dan Baqa‟ merupakan ungkapan lain dari
Wahdatul Wujud. Kondisi fana‟ ialah terbenamnya orang yang
fana‟ dari segala sesuatu, ia tidak melihat suatu apapun kecuali
hanya Allah. Adapun kondisi Baqa‟ ialah tidak terbenam darinya
sesuatu karena ia melihat segala sesuatu hanya Allah semata.
Hubungan antara Fana‟ dan Baqa‟ serta kutamaan keduanya
تعترب الطريقة الشاذلية الفناء بابا للبقاء, فبداية السالك تكون يف حال الفناء, وهنايتو يف حال البقاء, قال ابن عطاء ا: "فإذا أفناك عنك أبقاك بو, فالفناء دىليز البقاء, ومنو يدخل إليو, فمن صدق فناءه صدق بقاؤه, ومن كان عما سوى ا فناءه كان با
بقاءه".
Tarekat Syadziliyah menganggap Fana‟ sebagai sebuah
gerbang untuk mencapai hal Baqa‟, maka permulaan hal seorang
salik terjadi pada kondisi fana‟, dan puncaknya mengalami hal
83
Baqa‟. Ibn „Athaillah berkata; “ketika Kamu mengalami kefanaan
maka kamu menjadi Baqa‟, karena fana‟ merupakan pintu
masuknya baqa‟, melalui fana‟ dapat memasuki baqa‟. Seseorang
yang benar-benar mengalami kondisi fana‟ maka benar pula
kondisi baqa‟nya. Kefanaan seseorang dari sesuatu selain Allah
maka ia baqa‟ bersama Allah”.
ىم أكمل من ومع أن كال اغبالُت يدل على وحدة الوجود إال أن حال البقاء عند إال أنو ىجر اػبلق و عٍت الوصول إىل حقيقة أنو ال موجود إال احال الفناء, فالفناء ي
وغاب عنهم, أما البقاء فيعٍت الوصول إىل حقيقة أنو ال موجود إال ا, إال أنو ال يغيب عن ال الفناء, وإمنا يشهد الكائنات ويراىا العامل اػبارجي كما ىو الشأن يف حو وبإحساسو بنفس
اغبق فيها, فهي عُت ا يف عينو.لكنو يشهد
Kedua hal fana‟ dan baqa‟ menunjukkan pada wahdatul
wujud, menurut mereka hal baqa‟ lebih sempurna dari pada hal
fana‟. Fana‟ dimaksudkan sebagai menyatu kepada hakikat dan
hanya Allah yang ada dan sesungguhnya makhluk itu berpindah
dan terbenam dari mereka, adapun baqa‟ dimaksudkan sebagai
menyatu kepada yang hakikat sesungguhnya ia tidak ada kecuali
Allah, akan tetapi ia tidak terbenam dari inderanya sendiri dan alam
sekitar sebagaimana di dalam hal fana‟, melainkan menyaksikan
alam semesta dan melihatnya akan tetapi ia menyaksikan Allah di
dalamnya, yaitu pandangan Allah di dalam pandangannya.
b. Sebab Fana‟
حيصل الفناء للسالك نتيجة تعلقو اؼبستمر بالذات اإلؽبية, وحصر شعوره يف اذباه واحد بعينو مدة طويلة, ويكون ذلك يف اػبلوة نتيجة ذكر السر, وذلك أن للذكر ثالث مراتب: ذكر اللسان, وذكر القلب, وذكر السر, وذكر السر ىو الذي يصل السالك من
الذكر الذي يغيب فيو الذاكر عن نفسو سباما وعن الذكر, فإذا خاللو إىل حال )الفناء(, وىوصاحب ىذ اغبال بالعوامل وصل إىل ىذه اغبال فقد وصل غبال الفناء, وعندئذ يكاشف
العلوية.
Kondisi fana‟ dapat dicapai dengan sukses oleh seorang
salik dengan cara terus-menerus bergantung bersama dzat Ilahi,
menahan perasaannya untuk fokus dengan satu pandangan dalam
masa yang panjang, itu bisa di capai dengan sukses di dalam
84
khalwat dan dzikir sir. Dzikir mempunyai tiga tingkatan: dzikir
lisan, dzikir hati, dan dzikir sir. Melalui dzikir sir seorang salik
dapat mencapai kondisi fana‟, ia merupakan dzikir yang dapat
membuat pedzikir terbenam dari dirinya sendiri secara sempurna.
Ketika seseorang telah sampai pada hal ini maka benar-benar telah
sampai pada hal fana‟, seketika seseorang yang telah mengalami
kondisi fana‟ tersebut akan terbuka baginya pengetahuan-
pengetahuan yang tinggi.
c. Pembagian Fana‟
قسمت الطريقة الشاذلية الفناء إىل ثالثة أقسام: فناء عن أفعالو بأفعالو, وعن م بأفعالو, أوصافو بأوصافو, وعن ذاتو بذاتو, قال ابو العباس اؼبرسي: "إن عبادا ؿبوا أفعاؽب
وأوصافهم بأوصاف, وذاهتم بذاتو, وضبلهم بأسراره ما تعجز عامة األولياء عن ظباعو, وىم , قال ابن عطاء ا معلقا على النص السابق: .الذين غرقوا يف حبر الذات وتيار الصفات"
"فهي إذا فناءات ثالث: أن يفنيك عن أفعالك بأفعالو, وعن أوصافك باوصافو, وعن ذاتك اتو".بذ
Tarekat Syadziliyah mebagikan fana‟ ke dalam tiga bagian;
Fana‟ dari perbuatan diri sendiri ke dalam perbuatan Allah, Fana‟
dari sifat-sifat dirinya ke dalam sifat-sifat Allah, Fana‟ dari dirinya
sendiri ke dalam dzat Allah. Abul „Abbas al-Mursi berkata;
“sesungguhnya Allah mempunyai seorang hamba yang perbuatan-
perbuatannya terhapus karena perbuatan-perbuatan Allah, sifat-sifat
mereka hilang karena sifat-sifat Allah, dan diri mereka tidak ada
karena dzat Allah. Mereka memikul sir-sir Allah yang tidak dapat
melemahkan pendengaran para wali kepada Allah, mereka
tenggelam dalam lautan dzat Allah dan terseret oleh arus sifat-sifat
Allah”. Ibn „Athaillah berkata; “Fana‟ itu tiga: engkau sirna dengan
perbuatan-perbuatanmu dengan perbuatan-perbuatan Allah, engkau
sirna dari sifat-sifatmu dengan sifat-sifat Allah, dan engkau sirna
dari dirimu sendiri dengan dzat Allah”.
85
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian pada bab-bab didepan mengenai peran seorang mursyid
kepada murid didalam pencapaian tingkatan spiritual (maqamat dan ahwal)
dapat disimpulkan Maqamat adalah sebuah tingkatan spiritual untuk
menuju Allah s.w.t., ia sebagai sebuah media bagi seorang murid atau
salik. Dalam tradisi kaum tarekat khususnya tarekat Syadzilyah maqamat
dijadikan sebagai azas dan peraturan ketat yang wajib dilaksanakan
dengan tekun, konsisten, terus-menerus, bersusah payah, dan tekad yang
kuat oleh para salik sehingga maqamat dapat dicapai dengan usahanya
yang keras. Sedangkan Ahwal adalah kondisi spiritual yang dialami
didalam kedalaman sanubari salik oleh karena tingginya spiritalitas yang
dijalaninya. Hal jamaknya adalah Ahwal tidak dapat dicapai dengan usaha
salik melainkan ia merupakan sebuah karuni langsung oleh Allah kepada
hambanya, hal (kondisi spiritual) diberikan Allah dengan tiba-tiba,
berubah-ubah, dan tidak menetap.
Seorang salik tidak akan dapat mencapai tingkatan (maqam) dan
kondisi (hal) spiritual jika tidak melalui proses yang tekun, konsisten,
tekad yang kuat, terus-menerus, bersusah payah, usaha yang keras,
mujahadah, riyadlah. Artinya, bahwa setiap perkara yang menghimpun
serta menjadi syarat pencapaian suatu tingkatan dan kondisi spiritual harus
86
benar-benar dilaksanakan. Apabila seorang salik sudah mencapai suatu
maqam maka ia tidak boleh merasa cukup hanya dengan pencapaian itu
atau meninggalkan maqam yang telah dicapainya ketika berpindah kepada
maqam selanjutnya.
Yang merupakan jenis-jenis maqam dan hal sebagaimana
disebutkan didalam penulisan skripsi ini yaitu, Maqamat; taubat, zuhud,
sabar, syukur, khauf, raja‟, dan mahabbah, adapun Ahwal; al-uns, al-qabld,
al-basth, dan al-fana‟, al-baqa‟. Bagi seseorang yang menempuh jalan
tasawuf khususnya dalam tarekat harus berada dalam bimbingan seorang
Mursyid karena tanpanya tidak mungkin bagi seorang murid menjalani dan
menapaki sebuah Tarekat tanpa keberadaan seorang Syeikh yang
mengajarkan, karena setiap orang yang menapaki suatu jalan spiritual
seperti mujahadah, riyadloh, khalwat, dan dzikir-dizkir tidak akan ada
artinya semua tersebut tanpa peran dan pendidikan guru. Syeikh atau
Mursyid menjadi simbol utama dalam suatu tarekat maka para murid tidak
mungkin akan terlepas dari peranan gurunya, karena Ia menjadi tonggak
terpenting dalam pencapaian di dalam menuju puncak ruhaniyahnya. Abu
al-Faidh al-Manufi mengatakan sesungguhnya pokok utama bagi seorang
salik yang melakukan suluk dalam tingkatan-tingkatan (maqamat) yang
ditempuhnya untuk berada selalu dekat dan syuhud (penyaksian) kepada
kehadirat Allah tidak terlepas dari tiga komponen yaitu, seorang Syeikh
atau Mursyid, seorang salik dalam suatu tarekat, dan Maqamat sebagai
87
media spiritual yang dijalankan oleh seorang murid untuk sampai kepada
Allah.
B. Saran-saran
Pada bagian akhir pembahasan skripsi ini penulis ingin
menyampaikan beberpa saran, diantaranya sebagai berikut:
1. Seorang murid atau salik yang menekuni suatu tahapan
spritual pada masa kini harus melalui seorang syeikh atau
mursyid, jika tidak dikhawatirkan ia akan terjerumus pada
kesesatan, meras bingung, dan ragu-ragu.
2. Ketika seorang salik sedang menekuni atau mejalankan suatu
tingkatan spiritual (maqam), maka ia tidak boleh menaiki atau
berpindah ke tingkatan selanjutnya sebelum mencapai dan
memenuhi hukum-hukum pada suatu tingkatan yang sedang di
jalaninya. Misalnya, ketika seorang salik atau murid sedang
melakukan maqam taubat maka ia harus benar-benar
menjalaninya sehingga tercapailah maqam tersebut dan ini
dilakukan dengan harus mengikuti saran seorang mursyid,
karena seorang mursyid mempunyai kedudukan yang muthlak
menurut tarekat syadziliyah.
3. Apabila melihat atau pernah menyaksikan perbuatan seorang
guru yang bertentangan, maka seorang murid tidak boleh
88
menceritakannya kepada orang lain dan sebaiknya ia
merahasiakannya.
4. Seorang murid harus betul-betul memperhatikan adab-adab
yang sudah menjadi ketentuan dan dilaksanakan dengan
sebenar-benarnya.
89
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihon. Akhlak Tasawuf. Bandung: CV Pustaka Setia,
2010.
Akbarizan. Tasawuf Integratif Pemikiran dan Ajaran Tasawuf di
Indonesia. Riau: Suska Press, 2008.
Amstrong, Amatullah. Kunci Memasuki Dunia Tasawuf (khazanah
istilah sufi). Terj. M.S. Nashrullah dan Ahmad Baiquni.
Bandung: Mezan Media Utama, 2000.
Basyir, Damanhuri. Ilmu Tasawuf. Banda Aceh: Yayasan Pena,
2005.
Chitick, William. C, Sufism; A Beginner‟s Guide. England: One
world Publication Oxford, 2008.
Farhan, Ibnu. “Konsep Maqamat Dan Ahwal Dalam Perspektif
Para Sufi”. YAQZHAN Volume 2, Nomor 2, Desember
2016.
Gulen, Muhammad Fethullah. Kalbin Zumrut Tepeleri. Terj. Fuad
Syaifudin Nur. Jakarta: Republika, 2013.
Hajjaj, Muhammad Fauqi. Tasawuf al-Islami wa al-Akhlaq. Terj.
Kamran As‟at Irsyady dan Fakhri Ghazali. Jakarta: Sinar
Grafika Offset, 2011.
Ja‟far, Gerbang Tasawuf. Medan: Perdana Publishing, 2016.
Kartanegara, Mulyadi. Menyelami Lubuk Tasawuf. Penerbit
Erlangga.
Khan, Khan Sahib Khaja. Studies in Tasawuf. Terj. Achmad
Nashir. Jakarta: Rajawali Pers, 1987.
Kabbani, Syekh Muhammad Hisyam. Tasawuf & Ihsan (anti virus
kebatilan dan kedzaliman). Terj. A. Syamsu Rizal.
Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2015.
al-Muhasibi. al-Washaya. Terj. Wawan Djunaedi Soffandi. Jakarta:
Pustaka Azzam, 2001.
al-Nisabury, Imam Qusyairy. Risalatu al-Qusyairiyah. Terj.
Mohammad Luqman Hakiem. Surabaya: Risalah Gusti,
1996.
90
Nasution, Ahmad Bangun, Siregar, Rayani Hanum. Akhlak
Tasawuf. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Syaraf, Muhammad Jalal. Tasawuf Islam fi Madrasah Baghdad.
Terj. Subhan Anshari. Tangerang Selatan: Gaya Media
Pratama, 2014.
Schimmel, Annemarie. Mystical Dimension of Islam. Terj. Sapardi
Djoko Damono. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986.
Solihin, M, Akhlak Tasawuf. Bandung: Nuansa, 2005.
Siregar, Hidayat. ”Sejarah Tarekat dan Dinamika Sosial”.
MIQOT Vol. XXXIII No. 2 Juli-Desember 2009.
al-Taftazani, Abu al-Wafa‟ al-Ghanimi. Sufi Dari Zaman ke
Zaman. Terj. Ahmad Rofi‟ Ustmani. Bandung: Penerbit
Pustaka, 1997.
Trimingham, J. Spencer. Madzhab Sufi. Terj. Lukman Hakim.
Bandung: Pustaka, 1999.
al-„Utaiby, Khalid Ibn Nashir. al-Thariqatu al-Syadziliyah. Riyadl:
Maktabah al-Rusyd, 2011.