perbaikan

61
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konsep kota merujuk kepada fenomena yang sangat bervariasi sesuai dengan perbedaan sejarah dan wilayah. Namun secara umum istilah kota sebagai tempat di wilayah tertentu yang dihuni oleh cukup banyak orang dengan tingkat kepadatan penduduk yang cukup tinggi pula. Studi tentang masyarakat kota tidak hanya terbatas menelaah masyarakat secara luas, tetapi juga karakteristik-karakteristik tertentu dari kehidupan internalnya (Hannerz, 2000:110). Tidak ubahnya dengan seluruh instrumen ataupun material di alam ini selalu mengalami dinamika dari waktu ke waktu baik itu merupakan hal fisik maupun sosial. Salah satu contoh dinamika adalah perubahan fungsi lahan sebagai kawasan permukiman. Kebutuhan pembangunan permukiman di daerah kota merupakan hal yang terus bertambah tiap saat dikarenakan adanya aktivitas demografi (fertilisasi 1

Upload: agung-satria-warman

Post on 16-Dec-2015

7 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Dinamika perubahan lahan merupakan objek studi yang menarik dan penting untuk dikaji dikarenakan hal tersebut berkait dengan isu global, baik terkait secara langsung maupun tidak langsung, contohnya terkait pemanasan global, climate changes, berkurangnya biodiversitas dan banyak hal lainnya.Penggunaan lahan merupakan fenomena dinamis yang dinamikanya tergantung dari tiga faktor yaitu: kualitas inherentlahan, pengaruh penggunaan lahan disekitarnya (neighbouring effect) dan kebutuhan lahan untuk kegiatan tertentu (White, 1997 dalam Singh, 2003).Salah satu objek kajian yang memiliki dinamika perubahan lahan yang tinggi ialah kota, kota merupakan daerah permukiman yang sifatnya sangat dinamis, baik ditinjau dari segi sosial, ekonomi, kultural maupun fisik wilayahnya. Dua faktor utama yang menjadi determinan dinamika kota ialah faktor kependudukan dan kegiatannya (Yunus, 2005:55). Faktor kependudukan mengacu pada aspek demografis, dimana jumlah penduduk kota negara berkembang seperti Indonesia memiliki tingkat pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi dibandingkan wilayah rural.

TRANSCRIPT

2

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Konsep kota merujuk kepada fenomena yang sangat bervariasi sesuai dengan perbedaan sejarah dan wilayah. Namun secara umum istilah kota sebagai tempat di wilayah tertentu yang dihuni oleh cukup banyak orang dengan tingkat kepadatan penduduk yang cukup tinggi pula. Studi tentang masyarakat kota tidak hanya terbatas menelaah masyarakat secara luas, tetapi juga karakteristik-karakteristik tertentu dari kehidupan internalnya (Hannerz, 2000:110). Tidak ubahnya dengan seluruh instrumen ataupun material di alam ini selalu mengalami dinamika dari waktu ke waktu baik itu merupakan hal fisik maupun sosial. Salah satu contoh dinamika adalah perubahan fungsi lahan sebagai kawasan permukiman.Kebutuhan pembangunan permukiman di daerah kota merupakan hal yang terus bertambah tiap saat dikarenakan adanya aktivitas demografi (fertilisasi atau kelahiran dan mobilitas penduduk menuju kota), tetapi seringkali pembangunan dengan kuantitas ruang yang sangat terbatas ini dilaksanakan tidak sesuai dengan fakta wilayah dan kaedah keilmuan sehingga pada akhirnya menyebabkan berbagai masalah. Ruang yang terbatas tersebut dipaksakan untuk menampung jumlah penduduk yang begitu padat. Kondisi ruang tersebut sangat tidak memenuhi persyaratan karena tidak memenuhi rasa keamanan, kenyamanan, kesehatan, dan keselamatan serta dapat menyebabkan daerah tersebut dalam kondisi yang rentan, salah satunya adalah rentan terhadap bencana kebakaran.Kebakaran merupakan salah satu bencana yang tidak lepas dari kehidupan manusia baik yang terjadi secara alami maupun karena ulah perbuatan manusia. Dampak yang diakibatkan kebakaran sendiri mempengaruhi kelangsungan hidup manusia. Menurut Keputusan Menteri Negara Pekerjaan Umum Nomor: 10/KTPS/2000 bahaya kebakaran adalah bahaya yang diakibatkan oleh adanya ancaman potensial dan derajat terkena pancaran api sejak awal terjadi kebakaran hingga penjalaran api, asap, dan gas yang ditimbulkan. Mengingat begitu banyaknya kerugian yang diakibatkan oleh bencana kebakaran baik yang berupa material dan nonmaterial maka perlu diketahui tingkat bahaya kebakaran wilayah permukiman, persebaran maupun luasnya sehingga apabila terjadi kebakaran, penanggulangan dan antisipasi dapat dilakukan secara efektif. Kebakaran biasanya terjadi di permukiman padat penduduk yang beresiko dapat mengakibatkan jatuhnya korban jiwa. Kebakaran juga bisa disebabkan faktor alam dan kelalaian manusia. Berdasarkan UU No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, kebakaran merupakan bencana yang berdasarkan penyebab kejadiannya dapat digolongkan sebagai bencana alam (natural disaster) maupun bencana non-alam yang diakibatkan oleh kelalaian manusia (man-made disaster). (Sumber)Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sumatera Barat tercatat sebanyak 1.175 peristiwa kebakaran di Kota Padang selama 7 tahun terakhir dengan rincian tahun 2006-2012. Informasi mengenai peristiwa kejadian Kebakaran perkecamatan di Kota Padang dapat dilihat pada tabel berikut ini.Tabel 1. Jumlah Kejadian Kebakaran PerkecamatanDi Kota Padang Tahun 2006-2012.No.KecamatanTahunJumlah

2006200720082009201020112012

1Bungus Teluk Kabung4-4111411

2Lubuk Kilangan5485512847

3Lubuk Begalung710111414281296

4Padang Selatan782125192238140

5Padang Timur1451235303926161

6Padang Barat19241442283841206

7Padang Utara9131325152445144

8Nanggalo321483173582

9Kuranji8107109193194

10Pauh3231562646

11Koto Tangah9121517203635144

Jumlah88901221831492423011175

Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS) Sumatera Barat Pada data tersebut diperoleh informasi bahwa peristiwa kebakaran di Kota Padang mengalami peningkatan tiap tahunnya dan terdapat beberapa Kecamatan yang menempati tiga peringkat tertinggi yaitu ;

1. Kecamatan Padang Barat,

2. Kecamatan Padang Timur, dan 3. Kecamatan Koto Tangah.Untuk menentukan tingkat kerentanan kebakaran permukiman diperlukan variabel potensi kebakaran dan variabel ketersediaan fasilitas pemadam kebakaran misalnya kepadatan bangunan permukiman yang cukup tinggi, kualitas bahan bangunan yang digunakan, tidak tersedianya hidran, serta kualitas jalan. Teknik penyajian informasi yang efektif dan efisien diperlukan untuk mengetahui tinggi rendahnya tingkat kerentanan kebakaran permukiman di daerah penelitian. (Jangan tiba-tiba) Teknik penginderaan jauh adalah teknik yang dapat menjadi pilihan disamping metode terestrial yang banyak menghabiskan waktu dan biaya.(Jangan tiba-tiba) Perpaduan keunggulan citra dengan Sistem Informasi Geografis (SIG) dapat digunakan untuk mengetahui persebaran daerah rentan kebakaran. Keunggulan pengolahan menggunakan SIG adalah dalam hal penyimpanan, pemrosesan, dan penyajian data spasial yang dapat dilakukan dengan bantuan komputer sehingga pengolahan yang dilakukan lebih leluasa, mudah, dan cepat (Isni Atiqoh, 2012, hal. 2 3).Lokasi yang dipilih untuk penelitian ini adalah Kecamatan Padang Barat Kota Padang. Wilayah ini dipilih dengan pertimbangan :1. Wilayah dengan kondisi bangunannya bervariasi sehingga tingkat kerentanannya bervariasi.

2. Memiliki riwayat kejadian kebakaran tertinggi dibandingkan dengan Kecamatan yang lain di sekitarnya dalam Kota Padang.Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian mengenai tingkat kerentanan kebakaran di Kecamatan Padang Barat Kota Padang. Adapun judul yang penulis ambil adalah Analisis Kerentanan Kebakaran Permukiman dengan Citra Quickbird di Kecamatan Padang Barat Kota Padang.B. Identifikasi MasalahBerdasarkan latar belakang di atas maka identifikasi masalah sebagai berikut :1. Faktor yang menyebabkan timbulnya api dan cepat menjalarnya api di daerah penelitian.2. Kepadatan bangunan permukiman.

3. Kualitas bangunan yang digunakan.

4. Tidak tersedianya hidran.

5. Kualitas jalan.

6. Pemakaian listrik dengan cara yang tidak benar (pemasangan liar.7. Tingkat kerentanan kebakaran.8. Menentukan variabel-variabel yang paling berpengaruh terhadap kerentanan kebakaran.9. Kendala yang dihadapi dalam proses pemadaman api.

C. Batasan MasalahPembatasan masalah diperlukan dalam penelitian ini agar tidak menyimpang dari permasalahan yang telah ditetapkan. Dengan mempertimbangkan luasnya kajian yang dapat diambil dalam penelitian ini dan dikarenakan keterbatasan yang ada pada pelaksanaan penelitian maka digunakan batasan masalahnya adalah tingkat kerentanan kebakaran di daerah penelitian.D. Rumusan MasalahRumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana tingkat kerentanan kebakaran permukiman berdasarkan variabel-variabel penilaian kerentanan kebakaran permukiman didaerah penelitian ?E. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitain ini adalah untuk menentukan tingkat kerentanan kebakaran permukiman berdasarkan variabel-variabel penilaian kerentanan kebakaran permukiman di daerah penelitian.

F. Manfaat Penelitian

1. Sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Program Strata Satu (S1) pada Jurusan Geografi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Padang.2. Sebagai pengembangan khasanah keilmuan geografi dan kajian Sistem Informasi Geografis (SIG) di bidang kebencanaan dan studi perkotaan.3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi data yang bisa membantu instansi terkait dan masyarakat.BAB IIKAJIAN TEORIA. KerentananKerentanan (vulnerability) adalah keadaan atau sifat/perilaku manusia atau masyarakat yang menyebabkan ketidakmampuan menghadapi bahaya atau ancaman. Kerentanan ini dapat berupa:

1. Kerentanan Fisik

Secara fisik bentuk kerentanan yang dimiliki masyarakat berupa daya tahan menghadapi bahaya tertentu, misalnya: kekuatan bangunan rumah bagi masyarakat yang berada di daerah rawan gempa, adanya tanggul pengaman banjir bagi masyarakat yang tinggal di bantaran sungai dan sebagainya.

2. Kerentanan Ekonomi

Kemampuan ekonomi suatu individu atau masyarakat sangat menentukan tingkat kerentanan terhadap ancaman bahaya. Pada umumnya masyarakat atau daerah yang miskin atau kurang mampu lebih rentan terhadap bahaya, karena tidak mempunyai kemampuan finansial yang memadai untuk melakukan upaya pencegahan atau mitigasi bencana.

3. Kerentanan Sosial

Kondisi sosial masyarakat juga mempengaruhi tingkat kerentanan terhadap ancaman bahaya. Dari segi pendidikan, kekurangan pengetahuan tentang risiko bahaya dan bencana akan mempertinggi tingkat kerentanan, demikian pula tingkat kesehatan masyarakat yang rendah juga mengakibatkan rentan menghadapi bahaya.

4. Kerentanan Lingkungan

Lingkungan hidup suatu masyarakat sangat mempengaruhi kerentanan. Masyarakat yang tinggal di daerah yang kering dan sulit air akan selalu terancam bahaya kekeringan. Penduduk yang tinggal di lereng bukit atau pegunungan rentan terhadap ancaman bencana tanah longsor dan sebagainya.B. Kebakaran dan PenanggulangannyaKebakaran adalah bencana yang datangnya tidak terduga dan dapat menimbulkan kerugian harta benda dan korban jiwa, baik perorangan maupun masyarakat. Kebakaran merupakan masalah yang terjadi di seluruh dunia, sampai saat ini masih sulit diatasi secara menyeluruh dan tuntas (Lili Somantri, 2011 : hal 87).

Penelitian yang dilakukan oleh Suharyadi, 2001 (dikutip dalam Lili Somantri, 2011) menyatakan bahwa daerah yang rentan terhadap bahaya kebakaran dicirikan oleh kondisi sik bangunan yang padat, pola bangunan tidak teratur, dan kualitas bangunan rendah, ditambah dengan minimnya fasilitas pemadam kebakaran. Jarak antar rumah yang sempit akan menyulitkan mobil petugas pemadam kebakaran, dan kurang berfungsinya hidran akan memudahkan perembetan api. Kebakaran yang cepat menyebar biasanya sering terjadi di daerah permukiman yang padat. Penjalaran tersebut dikarenakan berbagai hal, antara lain kepadatan bangunan, kualitas bangunan, tata letak bangunan, dan listrik. Kesulitan memadamkan api dengan cepat juga disebabkan karena beberapa faktor misalnya lebar jalan masuk ke lokasi kebakaran, jarak terhadap kantor pemadam kebakaran, dan ketersediaan hidran (Isni Atiqoh, 2012 : 13) (Penelitian Relevan)Prawira, 2009 (dalam Isni Atiqoh, 2012) menyebutkan bahwa bahaya kebakaran adalah bahaya yang ditimbulkan oleh adanya api yang berlangsung cepat dan tidak terkendali sehingga dapat mengancam keselamatan jiwa manusia maupun harta benda. Teknik pemadaman yang cepat dan tepat diperlukan apabila terjadi kebakaran. Teknik-teknik pemadaman secara umum dibedakan menjadi:

1. Cooling / Pendinginan

Suatu kebakaran dapat dipadamkan dengan menghilangkan panas serta mendinginkan permukaan dan bahan yang terbakar dengan bahan semprotan air sampai mencapai suhu di bawah titik nyalanya, atau dengan kata lain mengurangi/menurunkan panas sampai benda yang terbakar mencapai suhu di bawah titik nyalanya. Pendinginan permukaan yang terbakar tersebut akan menghentikan proses terbentuknya uap.2. Smothering / PenyelimutanKebakaran dapat juga dipadamkan dengan menghilangkan unsur oksigen atau udara. Menyelimuti bagian yang terbakar dengan busa akan menghentikan suplai udara. Biasa juga dikenal dengan sistem pemadaman isolasi/lokalisasi yaitu memutuskan hubungan udara luar dengan benda yang terbakar, agar perbandingan udara dengan bahan bakar tersebut berkurang.

3. Memisahkan Bahan yang Terbakar (Starvation)Suatu bahan yang terbakar dapat dipisahkan dengan jalan menutup aliran yang menuju ke tempat kebakaran atau menghentikan suplai bahan bakar yang dapat terbakar, yaitu mengurangi atau mengambil jumlah bahan-bahan yang terbakar serta menutupi bahan yang terbakar.4. Memutus Rantai ReaksiPemutusan rantai reaksi pembakaran dapat dilakukan secara fisik, kimia atau kombinasi fisik-kimia. Nyala api secara fisik dapat dipadamkan dengan peledakan bahan peledak di tengah-tengah kebakaran. Pemadaman nyala api secara kimia dapat dilakukan dengan pemakaian bahan-bahan yang dapat menyerap hidroksit (OH) dari rangkaian reaksi pembakaran, seperti misalnya logam alkali berupa tepung kimia kering, atau halogen yang berupa gas dan cairan. (Sumber)Klasifikasi kebakaran didasarkan oleh penggolongan jenis atau benda yang mudah terbakar. Klasifikasi ini dibuat untuk memudahkan masyarakat dalam hal mengadakan pemilihan dalam hal pemadaman kebakaran sehingga dampak kerugian dapat ditekan. Adapun kelas klasifikasi kebakaran yang didasarkan oleh material yang mudah terbakar serta cara penanggulangannya berdasarkan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum 10/KTPS/ tahun 2000 adalah sebagai berikut : 1. Kelas A

Kelas ini dicirikan oleh bahan yang mudah terbakar contohnya saja kertas, kayu, plastik, dan cara pemadamannya yaitu dengan cara menggunakan air dalam hal mematikan material yang mudah terbakar.

2. Kelas B

Yang termasuk dalam kelas ini adalah material yang melibatkan cairan yang mudah terbakar seperti : bensin, minyak tanah, dan lainnya, adapun cara penanggulangannya yaitu dengan cara menyemprotkan cairan berbahan foam.3. Kelas CPada kelas ini diakibatkan oleh terjadinya korsleting listrik ataupun terjadinya tegangan listrik yang dapat mengakibatkan terjadinya percikan api. Adapun cara penanggulangannya yaitu dengan cara menggunakan bahan pemadam kebakaran yang bersifat non kondusif, cara ini dipilih agar pengguna yang ingin memadamkan percikan api ini tidak mudah tersengat.

4. Kelas D

Kelas ini termasuk ke dalam kelas bahan logam yang mudah terbakar contohnya saja: kalium, magnesium dan titanium. Cara mengatasinya yaitu dengan cara menggunakan bubuk khusus untuk mengatasi kebakaran yang disebabkan oleh logam. Menurut Depnaker UNDP ILO (1987), terjadinya suatu musibah kebakaran diakibatkan oleh beberapa ketimpanganyang muncul, adapun ketimpangan yang terjadi adalah:

1. Sistem alarm tidak berfungsi dengan baik. 2. Tidak terdapatnya sarana deteksi alarm.

3. Alat pemadam api tidak berfungsi. 4. Alat pemadam api tidak memadai.5. Sarana evakuasi tidak tersedia.\

C. Penginderaan Jauh

Penginderaan jauh adalah ilmu atau seni untuk memperoleh informasi tentang objek, daerah atau gejala, dengan jalan menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat, tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau gejala yang akan dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1990). Penginderaan jauh merupakan upaya untuk memperoleh, menemutunjukkan (mengidentifikasi) dan menganalisis objek dengan sensor pada posisi pengamatan daerah kajian (Avery, 1985). Penginderaan jauh merupakan teknik yang dikembangkan untuk memperoleh dan menganalisis informasi tentang bumi. Informasi itu berbentuk radiasi elektromagnetik yang dipantulkan atau dipancarkan dari permukaan bumi (Lindgren, 1985). Dari beberapa batasan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa penginderaan jauh merupakan upaya memperoleh informasi tentang objek dengan menggunakan alat yang disebut sensor (alat peraba), tanpa kontak langsung dengan objek. Dari beberapa istilah diatas, dapat diambil beberapa kata kunci tentang penginderaan jauh, (Sumber) yaitu:

1. Sumber energi, sumber energi yang digunakan dalam penginderaan jauh dapat berasal dari matahari (sistem penginderaan jauh pasif) atau sumber energi buatan yang dipasang pada suatu wahana (sistem penginderaan jauh aktif).

2. Energi, yang dimaksud energi disini adalah gelombang elektromagnet yang dipancarkan oleh matahari atau sumber energi buatan. Gelombang elektromagnetik dari matahari mempunyai karakteristik tertentu pada setiap julat tertentu dari keseluruhan gelombang yang dipancarkan. Beberapa Julat spektral (atau disebut spektrum) dari gelombang elektromagnetik yang dipancarkan matahari dapat dimanfaatkan untuk penginderaan jauh, sedangkan sisanya terhamburkan atau terserap di atmosfer. 3. Objek di permukaan bumi, objek permukaan bumi merupakan objek yang akan diambil informasinya dalam penginderaan jauh. Setiap objek akan mempunyai respon (dalam bentuk perbedaan intensitas pantulan-serapan) yang berbeda terhadap energi gelombang elektromagnetik yang datang padanya. Selain itu, objek yang sama juga akan mempunyai respon berbeda terhadap spektrum yang berbeda. Oleh karena itu, variasi respon objek ini yang menjadi sasaran utama dilakukannya penginderaan jauh terhadap objek tersebut, yang kemudian informasi yang dihasilkan dari proses tersebut digunakan untuk berbagai aplikasi.4. Sensor/perekam, energi elektromagnet yang dipantulkan oleh objek di permukaan bumi kemudian dideteksi dan direkam oleh sensor yang dipasang pada suatu wahana (satelit, pesawat, balon udara dan wahana lainnya). Sensor-sensor penginderaan jauh mempunyai kapabilitas yang berbeda-beda sesuai dengan tujuan pengembangan dan aplikasinya. Sensor dapat dibedakan berdasarkan atas berbagai kriteria. Secara umum sensor penginderaan jauh dapat dibedakan menjadi dua yaitu fotografis dan elektronis. Keluaran dari sensor fotografis berupa foto (analog), sedangkan sensor elektronis berupa citra (digital). Setiap sensor baik fotografis maupun elektronis mempunyai kemampuan yang berbeda dalam merekam energi elektromagnetik yang datang padanya. Ada yang hanya mampu merekam pada julat spektral yang sangat lebar (bisa satu atau lebih spektrum). Sistem ini disebut pankromatik. Sedangkan sistem lain bisa merekam pada beberapa julat spektral (tiga julat atau lebih) yang disebut dengan sistem multispektral. Perkembangan dewasa ini sistem yang dikembangkan sudah ada yang dapat merekam sampai ratusan julat spektral (band). Sistem ini disebut hiperspektral. Dilihat dari jenis spektrum yang direkam, sensor dapat dibedakan menjadi sensor optis (bekerja pada spektrum visible sampai Short Wave Infrared), sensor thermal (bekerja pada spektrum mid infrared sampai far/thermal infrared), dan sensor gelombang mikro (passive) atau RADAR (active). Selain dari karakteristik spektral, sensor elektronis juga dapat dibedakan berdasarkan kemampuan kedetilan dalam merekam permukaan bumi atau disebut dengan resolusi spasial, mulai dari resolusi rendah (> 500 meter), resolusi menengah (50 meter 500 meter) dan resolusi tinggi (< 50 meter). 5. Pemrosesan, setelah energi dideteksi dan ditangkap sensor, energi ini kemudian direkam dalam detektor, untuk kemudian diproses menjadi citra. Untuk sistem fotografi, detektor berupa film yang nanti kemudian dicetak menjadi foto. Sedangkan untuk sistem elektronis/digital, data yang terekam dikirim ke stasiun penerima di bumi untuk kemudian diproses menjadi citra digital. Level pemrosesan pada setiap jenis produk citra dapat saja berbeda antara satu pengelola layanan citra (vendor) satu dan lainnya. Untuk citra Landsat misalnya, produk dijual dalam berbagai level pemrosesan mulai dari Level 0 (data mentah), level 1R (terkoreksi radiometrik), level 1G (terkoreksi radiometrik dan geometrik) sampai level 1T (terkoreksi medan).6. Analisis citra, yang dimaksud dengan analisis citra disini adalah tahapan kerja (metode) yang diaplikasikan pada suatu citra agar dapat diambil suatu informasi dari citra tersebut (ekstraksi informasi dari citra). Terdapat dua jenis metode ekstraksi informasi dari citra satelit, yaitu manual (visual) dan analisis digital terotomasi dengan bantuan komputer. Ekstraksi informasi secara manual atau dikenal dengan interpretasi visual dilakukan melalui beberapa tahapan kerja yang dimulai dari deteksi objek, identifikasi objek, deduksi objek, analisis, klasifikasi dan idealisasi (Verstappen, 1977). Deteksi objek adalah pengamatan suatu objek (target) pada citra yang nampak khas dan berbeda dengan latar belakangnya. Pada tahap identifikasi, objek tersebut berusaha diidentifikasi karakteristiknya, Identifikasi ini mendasarkan pada enam kunci interpretasi citra yang meliputi bentuk (shape), rona/warna (tone/color), ukuran (size), pola (pattern), tekstur (texture), bayangan (shadow) dan asosiasi (association). Setelah diketahui karakteristik objek tersebut dari hasil identifikasi menggunakan enam kunci interpretasi, pada tahap deduksi disimpulkan objek tersebut merupakan objek apa. Setelah tahap deduksi kemudian baru dilakukan analisis (identifikasi sebaran objek), klasifikasi (deliniasi objek yang sama) dan idealisasi (penyajian dalam bentuk peta). Ekstraksi secara digital menggunakan pendekatan yang berbeda dengan ekstraksi visual. Disini segala pekerjaan mulai dari identifikasi sampai klasifikasi dilakukan oleh komputer secara otomatis. Operator biasanya hanya perlu memasukkan nilai - nilai parameter statistik yang akan menjadi dasar komputer dalam menganalisis. Analisis digital juga memasukkan beberapa tahap pra pemrosesan sebelum citra dianalisis seperti misalnya koreksi radiometrik, koreksi geometrik, image enhancement, dan transformasi citra.

7. Aplikasi, informasi tematik yang diturunkan dari analisis citra penginderaan jauh dapat dimanfaatkan di berbagai bidang, misalnya pertanian, kehutanan, perencanaan wilayah, geologi, pertambangan, dan geografi. (Bramantiyo Marjuki, 2010)D. Citra Quickbird

Pada tahun 2002 Digital Globe meluncurkan satelit komersial dengan kemampuan mengungguli Ikonos. Nama satelit ini adalah Quickbird yang mempunyai resolusi spasial hingga 60 centimeter dan 2,4 meter untuk moda pankromatik dan multispektral. Selain resolusi spasial sangat tinggi, keempat sistem pencitraan satelit memiliki kemiripan cara merekam, ukuran luas liputan, wilayah saluran spektral yang digunakan, serta lisensi pemanfaatan yang ketat. Keempat sistem menggunakan linear array CCD-biasa disebut pushbroom scanner. Scanner ini berupa CCD yang disusun linier dan bergerak maju seiring gerakan orbit satelit. Jangkauan liputan satelit resolusi tinggi seperti Quickbird sempit (kurang dari 20 km) karena beresolusi tinggi dan posisi orbitnya rendah, 400-600 km di atas Bumi.

Resolusi spasial tinggi ditujukan untuk mendukung aplikasi kekotaan, seperti pengenalan pola permukiman, perkembangan dan perluasan daerah terbangun. Saluran-saluran spektral B, H, M, IMD, dan PAN cenderung dipilih, karena telah terbukti efektif dalam menyajikan variasi fenomena yang terkait dengan kota. Kondisi vegetasi tampak jelas pada komposisi warna semu (false color) yang tersusun atas saluran-saluran B, H, IMD ataupun H, M, IMD yang masing-masing ditandai dengan urutan warna biru, hijau, dan merah. Pada citra komposit warna ini, vegetasi dengan berbagai tingkat kerapatan tampak bergradasi kemerahan. Teknik pengolahan citra digital dengan indeks vegetasi seringkali memilih formula NDVI (normalised diference vegetation index = IMD-M/IMD+M). Indeks atau nilai piksel yang dihasilkan kemudian sering dijadikan ukuran kuantitatif tingkat kehijauan vegetasi.

Kehadiran Quickbird dan Ikonos telah melahirkan eforia baru pada praktisi inderaja yang jenuh dengan penggunaan metode baku analisis citra 11 berbasis Landsat dan SPOT. Klasifikasi multispektral standar berdasarkan resolusi spasial sekitar 20-30 meter seringkali dianggap kurang halus untuk kajian wilayah pertanian dan urban di Jawa. Model-model dengan knowledge-based techniques (KBT) yang berbasis Landsat dan SPOT umumnya tidak tersedia dalam menu baku di perangkat lunak komersial, dan lebih sulit dioperasikan. Quickbird menjawab kebutuhan itu. Resolusi 60 cm bila dipadukan dengan saluran multispektralnya akan menghasilkan pan-sharped image, yang mampu menonjolkan variasi objek hingga marka jalan dan tembok penjara. Citra ini mudah sekali diinterpretasi secara visual. Meski demikian, para pakar inderaja saat ini masih bergulat dengan pengembangan metode ekstraksi informasi otomatis berbasis citra resolusi tinggi seperti Quickbird.

Resolusi spasial yang sangat tinggi pada Quickbird telah melahirkan masalah baru dalam inderaja digital, di mana respons spektral objek tidak berhubungan langsung dengan karakter objek secara utuh, melainkan bagian-bagiannya. Bayangkan citra multispektral SPOT-5 beresolusi 10 meter, maka dengan relatif mudah jaringan jalan dapat kita klasifikasi secara otomatis ke dalam kategori-kategori jalan aspal, jalan beton, dan jalan tanah, karena jalan-jalan selebar sekitar 5 hingga 12 meter akan dikenali sebagai piksel-piksel dengan nilai tertentu. Namun, pada resolusi 60 cm, jalan selebar 15 meter akan terisi dengan pedagang kakilima, marka jalan, pengendara motor, dan bahkan koran yang tergeletak di tengah jalan. (Danoedoro, dikutip dalam Achmad Siddik Thoha, 2008).Tabel 2. Karakteristik Quickbird

SistemQuickbird

Orbit600 km, 98.2o, sun-synchronous, 10:00 AM crossing

Sensorlinear array CCD

Swath Width 220 km (CCD-array)

Off-track viewing TTidak tersedia

Revisit Time-

Band-band Spektral (m)

0.45 -0.52 (1), 0.52-0.60 (2), 0.63-0.69 (3), 0.76-0.90 (4), 1.55-1.75 (5), 10.4-12.50 (6), 2.08-2.34 (7), 0.50-0.90 (PAN)

Ukuran Piksel Lapangan

(Resolusi spasial)

Arsip data60 cm (PAN), 2.4 m (band 1-5, 7)

Sumber : Digital Globe, Inc, 2012Jenis data dari citra satelit Quickbird antara lain:

1. Panchromatic : terdiri dari citra dengan warna hitam dan putih dengan resolusi 0.61 - 0.72 m.

2. Multispectral : terdiri dari citra berwarna dengan band 1, 2, 3 (visible) dan 4 (infrared), dengan resolusi 2.4 m.

3. Bundle : terdiri dari citra pankromatik dan multispektral, pada area yang sama. Apabila membeli citra dalam bentuk bundle, pembeli harus melakukan pan-sharpen sendiri untuk mendapatkan citra dengan resolusi tinggi.

4. Natural color / infrared color : itu merupakan produk dari Quickbird yang sudah di pansharpen dan dibuat kombinasi warna sehingga resolusinya pun sudah 0.61 m.5. Pansharpen (4 band) : produk ini terdiri dari 4 band, sama dengan multispektral, namun sudah dilakukan pansharpen dengan pankromatiknya. (www.digitalglobe.com, dikutip dalam Isni atiqoh, 2012)E. Sistem Informasi GeografisPenggunaan Sistem Informasi Geografis (SIG) meningkat tajam sejak tahun 1980-an. Peningkatan pemakaian sistem ini terjadi di kalangan pemerintah, militer, akademis, atau bisnis terutama di negara-negara maju. BAKOSURTANAL (Sekarang BIG) menjabarkan SIG sebagai kumpulan yang terorganisir dari perangkat keras komputer, perangkat lunak, data geografi, dan personel yang didesain untuk memperoleh, menyimpan, memperbaiki, memanipulasi, menganalisis, dan menampilkan semua bentuk informasi yang bereferensi geografi. Dengan demikian basis analisis dari SIG adalah data spasial dalam bentuk digital yang diperoleh melalui data satelit atau data lain terdigitasi. Analisis GIS memerlukan tenaga ahli sebagai interpreter, perangkat keras komputer, dan software pendukung. (Eko Budiyanto, 2002 : 2 & 3)

Menurut ESRI, 1990 (dikutip dalam Suhadi dan Dyah, 2010), SIG adalah suatu komponen yang terdiri dari perangkat keras, perangkat lunak, data geografis dan sumberdaya manusia yang bekerja bersama secara efektif untuk menangkap, menyimpan, memperbaiki, memperbaharui, mengelola, memanipulasi, mengintegrasikan, menganalisis, dan menampilkan data dalam suatu informasi berbasis geografi.

SIG secara garis besar terdiri dari empat subsistem, yaitu masukan data, manajemen data, analisis dan manipulasi, serta keluaran data. Masukan data berfungsi untuk mengumpulkan dan mempersiapkan data spasial dan atribut dari berbagai sumber. Subsistem ini pula yang bertanggungjawab dalam mengkonversi atau mentransformasikan format-format data-data aslinya ke dalam format yang dapat digunakan oleh SIG. Manajemen data mengorganisasikan data spasial dan atribut ke dalam sebuah basis data sedemikian rupa sehingga mudah dipanggil, di-update, dan di-edit. Analisis dan manipulasi data menentukan informasi yang dapat dihasilkan oleh SIG, selain itu juga melakukan manipulasi dan pemodelan data untuk menghasilkan informasi yang diharapkan. Subsistem keluaran data berfungsi untuk menampilkan atau menghasilkan keluaran seluruh basis data baik dalam bentuk softcopy atau hardcopy seperti tabel, grafik, peta dan lain-lain (Isni Atiqoh, 2012 : 12)

Pemanfaatan SIG secara terpadu dalam sistem pengolahan citra digital adalah untuk memperbaiki hasil klasifikasi. Dengan demikian, peran teknologi SIG dapat diterapkan pada operasionalisasi penginderaan jauh satelit. Mengingat sumber data sebagian besar berasal dari data penginderaan jauh baik satelit maupum terrestrial terdigitasi, maka teknologi sistem informasi geografis (SIG) erat kaitannya dengan teknologi pemginderaan jauh. Namun demikian, teknologi penginderaan jauh bukanlah satu-satunya ilmu pendukung bagi sistem ini (Eko Budiyanto, 2002 : 4)

F. Penelitian SebelumnyaSuharyadi (2000), mengadakan penelitian tentang kebakaran permukiman dengan judul Pemodelan Zonasi Kerentanan Kebakaran dengan Memanfaatkan Ortho-Foto Dijital. Lokasi yang diambil adalah di sebagian Kecamatan Gondomanan Yogyakarta. Penelitian ini bertujuan untuk membuat model spasial kerentanan kebakaran di daerah permukiman perkotaan dengan mengkaji variabel kondisi fisik permukiman dan fasilitas pemadam kebakaran. Variabel yang digunakan meliputi kepadatan bangunan, tata letak bangunan, kualitas bahan bangunan, lebar jalan, kualitas jalan, fasilitas air hidran untuk pemadam kebakaran, fasilitas alat pemadam kebakaran kimia, dan fasilitas air tandom untuk pemadam kebakaran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa daerah yang sangat berpotensi terjadi kebakaran adalah di Kampung Ledok Prawirodirjan, Surakarsan, dan Mergangsan Kidul, sedangkan yang tidak berpotensi terjadi kebakaran berada di Kampung Mergangsan Lor, Gondomanan, Siliran dan Panembahan. Luas wilayah yang rentan, agak rentan dan tidak rentan berturut-turut adalah 114,95 ha; 309,97 ha; dan 729,87 ha.

Isni Atiqoh (2012), melakukan penelitian tentang Analisis Kerentanan Kebakaran Permukiman dengan Aplikasi Citra Quickbird dan Sistem Informasi Geografis dengan Studi Kasus di Kecamatan Gondokusuman, Mergangsan, dan Umbulharjo, Kota Yogyakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat keakuratan citra Quickbird dalam menyadap variabel-variabel yang digunakan untuk melakukan zonasi rawan kebakaran permukiman kota dan menentukan pewilayahan kerentanan kebakaran yang terjadi di daerah penelitian berdasarkan variabel-variabel penilai kerentanan kebakaran. Metode analisis yang digunakan adalah pengharkatan berjenjang tertimbang, yaitu dengan melakukan scoring masing-masing variabel kerentanan kebakaran, kemudian melakukan pembobotan tiap-tiap variabel. Variabel yang digunakan meliputi kepadatan bangunan, tata letak bangunan, lebar jalan masuk, lokasi terhadap jalan utama, lokasi terhadap kantor pemadam kebakaran, kualitas bahan bangunan, listrik, aktivitas internal, dan ketersediaan hidran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Citra Quickbird memiliki ketelitian yang tinggi yaitu 93,68 %. Wilayah dengan kelas kerentanan tinggi sebesar 172,66 ha, banyak terdapat di Kecamatan Umbulharjo dan Mergangsan. Kelas kerentanan sedang sebesar 1.039,06 ha, banyak terdapat di Kecamatan Umbulharjo dan Gondokusuman. Wilayah dengan tingkat kerentanan rendah sebesar 229,28 ha, banyak terdapat di Kecamatan Umbulharjo. Kelas kerentanan rendah tidak dijumpai di Kecamatan Mergangsan. Variabel yang paling berpengaruh terhadap kerentanan kebakaran adalah tata letak bangunan, kepadatan bangunan, dan lebar jalan masuk.Ulmy Rakhmadani (2012), melakukan penelitian tentang Identifikasi Kawasan Rawan Kebakaran Permukiman Di Kota Padang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui daerah mana yang menjadi daerah rawan kebakaran permukiman,dilihat dari parameter kepadatan bangunan, pola bangunan, listrik, lebar jalan masuk, kualitas permukaan jalan, lokasi sumber air (sungai) serta fasilitas hidran yang ada dikota padang. Penelitian ini menemukan hasil sebagai berikut : 1) Kepadatan bangunan terkonsentrasi di pusat kota, seperti Kecamatan Padang Timur, Padang Barat, Padang Utara, Padang Selatan, dan Nanggalo, dengan luas blok permukiman 4175,65 Ha, 2) terdapat pola bangunan yang teratur sejumlah 40% dikarenakan banyaknya perumahan di Kota Padang, 3) Adanya keserasian antara lebar jalan, kualitas permukiman, jalan, kepadatan bangunan, dan pola bangunan. Seperti jika suatu blok permukimannya jarang maka sudah bisa dipastikan kalau pola bangunannya tidak teratur, lebar jalan masuknya sempit, serta belum mengalami pengerasan jalan, 4) terdapat kecocokan antara kelas kerawanan kebakaran permukiman dengan data kebakaran dari Dinas Pemadam Kebakaran, yang menyatakan bahwa Kecamatan Koto Tangah merupakan Kecamatan yang memiliki riwayat rawan kebakaran yang tinggi.Tabel 3. Penelitian Perbandingan dengan Penelitian Sebelumnya.NoPenelitiLokasiMetode dan Bahan (Citra)VariabelHasil

(1)(2)(3)(4)(5)(6)

1Suharyadi

(2000)

Sebagian KecamatanGondomanan

YogyakartaPengharkatanberjenjang

tertimbang

(skoring).

Citra ortho-foto digital

tahun 1996, foto udara

pankromatik hitam putihKepadatan bangunan, tata letak bangunan, lebar jalan masuk, kualitas bahan bangunan, permukiman, kualitas jalan, air hidran, pemadam kebakaran kimia (portable), tendon air pemadam kebakaranPeta Kerentanan

Kebakaran Sebagian

KecamatanGondomanan

2Isni Atiqoh (2012)Kecamatan Gondokusuman, Mergangsan, dan Umbulharjo, Kota YogyakartaPengharkatan berjenjang tertimbangCitra Quickbird tahun 2005 dan 2009 Kepadatan bangunan, tata letak bangunan, lebar jalan masuk, lokasi terhadap jalan utama, lokasi terhadap kantor pemadam kebakaran, kualitas bahan bangunan, listrik, aktivitas internal, dan ketersediaan hidranTingkat keakuratan citra Quickbird danPeta kerentanan kebakaran Kecamatan Gondokusuman, Mergangsan, dan Umbulharjo, Kota Yogyakarta

(1)(2)(3)(4)(5)(6)

3Ulmy Rakhmadani (2012)Kota PadangPengharkatan berjenjang tertimbang. Citra Ikonos (Google Earth) Kota Padang Tahun 2007

Kepadatan bangunan, pola bangunan, listrik, lebar jalan masuk, kualitas permukaan jalan, lokasi sumber air (sungai) serta fasilitas hidran.Peta kerentanan kebakaran Permukiman Kota Padang

4Dedi Putra

(2014)Kecamatan Padang Barat Kota Padang (Sumatera Barat)Pengharkatan

berjenjang

tertimbang

(skoring).

Citra Quickbird Kecamatan Padang Barat Kota Padang Tahun 2011Kepadatan bangunan, pola bangunan, jenis atap, lokasi dari jalan utama, lokasi dari sumber air, lebar jalan, kualitas jalan, bahan bangunan, pelanggan listrik, fasilitas hidran, fasilitas APAB, fasilitas APAR, fasilitas tandon airPeta Tingkat

Kerentanan Kebakaran

Permukiman Kecamatan Padang Barat Kota Padng

G. Diagram Alir PenelitianAdapun alur penelitian Analisis Kerentanan Kebakaran Permukiman dengan Citra Quickbird di Kecamatan Padang Barat Kota Padang dapat dilihat gambar yang disajikan di bawah ini:Gambar 1. Diagram Alir Kerangka KonseptualBAB III

METODE PENELITIANA. Jenis Penelitian

Berdasarkan pembatasan masalah dan rumusan masalah serta tujuan penelitian, maka penelitian ini dapat digolongkan pada jenis penelitian deskriptif kuantitatif yang bertujuan untuk mengetahui tingkat kerentanan kebakaran di Kecamatan Padang Barat kota Padang. Pada penelitian ini data dan analisis yang digunakan yaitu data dan analisis kuantitatif.

B. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini akan di laksanakan di Kecamatan Padang Barat kota Padang (provinsi Sumatera Barat) dengan unit yang meliputi seluruh kelurahan yang ada. Wilayah administrasi Kecamatan Padang Barat kota Padang terdiri dari wilayah Kecamatan. Penelitian ini direncanakan berlangsung selama 3 bulan yang dimulai Februari 2015 sampai dengan April 2015. Secara tabular mengenai informasi dan lokasi penelitian dapat di lihat pada tabel berikut ini :

NoKecamatanLuas Wilayah (km2)KelurahanJumlah PendudukKepadatan Penduduk per km2

1Padang Barat71044.1186302.57

2Padang Timur8.151077.5729518.04

3Padang Utara8.08769.2248567.33

4Padang Selatan10.031257.8625768.89

5Koto Tangah232.2513165.980714.66

6Nanggalo8.07657.9057175.34

7Kuranji57.419130.2512268.79

8Pauh146.29961.442420.00

9Lubuk Kilangan85.99750.032581.84

10Lubuk Begalung30.9115109.0623528.37

11Bungus100.78623.283231.03

Jumlah694.96104846.7311.218

Tabel 4. Profil Wilayah Kota PadangSumber : Badan Pusat Statistik Provinsi (BPS) Sumatera BaratC. Populasi dan Sampel

Menurut Pabundu Tika (1996), populasi adalah himpunan individu atau objek yang banyaknya terbatas atau tidak terbatas. Populasi geofrafi adalah himpunan individu/objek yang masing-masing mempunyai sifat atau ciri-ciri geografi yang sama. Ciri geografi yang dimaksud bisa berbentuk fisik maupun non-fisik.Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah seluruh blok bangunan yang ada di Kecamatan Padang Barat kota Padang yang tersebar pada kelurahan Kecamatan Padang Barat kota Padang. Blok bangunan di sini adalah kumpulan dari beberapa bangunan yang didasarkan pada keseragaman jenis, ukuran, dan karakteristik banguan dengan dibatasi oleh jalan besar, sungai, selokan, rel kereta api, dan lain-lain. Blok bangunan juga berperan sebagai satuan analisis penelitian ini.

Sampel adalah sebagian dari objek atau individu-individu yang mewakili suatu populasi (Pabundu Tika, 1996:33). Sementara jenis sampel yang digunakan yaitu Total Sampling. Menurut Sugiyono (2007), total sampling adalah tekhnik penentuan sampel bila semua anggota populasi digunakan sebagai sampel.Adapun kelurahan-kelurahan yang ada di Kecamatan Padang Barat kota Padang dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 5. Kelurahan-Kelurahan Kecamatan Padang Barat Kota Padang

No.KelurahanLuas (Km2)

1.Flamboyan Baru0,57

2.Rimbo Kaluang0,89

3.Ujung Gurun0,71

4.Padang Pasir0,31

5.Purus0,65

6.Olo1,63

7.Kampung Jao0,68

8.Belakang Tangsi0,71

9.Berok Nipah0,42

10.Kampung Pondok0,43

Jumlah7

Sumber : Badan Pusat Statistik Provinsi (BPS) Sumatera BaratD. Variabel Penelitian

Dalam penelitian ini, untuk tercapainya tujuan penelitian terdapat dua variabel utama, yaitu variabel potensi kebakaran dan variabel ketersediaan fasilitas pemadam kebakaran. Adapun variabel potensi kebakaran terdiri atas kepadatan bangunan rumah mukim, pola bangunan rumah mukim, jenis atap bangunan rumah mukim, lokasi sumber air, lokasi permukiman dari jalan utama, lebar jalan masuk, kualitas jalan, kualitas bahan bangunan, dan pelanggan listrik. Sedangkan variabel ketersediaan fasilitas pemadam kebakaran, yaitu fasilitas air hidran, fasilitas alat pemadam kebakaran ringan (APAR), alat pemadam kebakaran berat (APAB), dan tendon air.E. Alat dan Bahan1. Alat Penelitian

Alat penelitian yang digunakan anatara lain :

a. Laptop dengan spesifikasi Processor Intel Core i3 CPU M370 @ 2.40 GHz, Memory (RAM) 3.00 GB (2.74 GB usable), System Type 32-bit Operating System.b. Software : ArcGIS, Microsoft Word, Microsoft Excel, SPSS.c. Kamera.d. Meteran.e. GPS (Global Positioning System) Tipef. Perlengkapan Alat Tulis.2. Bahan Penelitian

Bahan penelitian yang digunakan antara lain :

a. Citra Quickbird Kecamatan Padang Barat Kota Padang Tahun 2012.b. Peta Topografi Helai 1223-II (Padang) Skala 1:50.000 tahun 1985.c. Peta Administrasi Kecamatan Padang Barat Kota Padang.d. Data sekunder berupa data lokasi hidran yang akan dicari pada instansi terkait.F. Jenis Data dan Pengumpulan Data

1. Jenis Data Berdasarkan sumbernya data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer berasal dari Citra Quickbird Kecamatan Padang Barat Kota Padang, hasil survey lapangan dan pengukuran terestrial. Data sekunder berasal dari instansi terkait.

2. Pengumpulan DataData diperoleh dari Interpretasi Citra Quickbird dan dilengkapi pengukuran secara terestrial serta survei lapangan. Kemudian di lengkapi dengan data sekunder. Berikut disajikan tabel mengenai sumber perolehan data yang digunakan sebagai variabel penentu tingkat kerentanan kebakaran.

Tabel 6. Sumber Perolehan Data.NoVariabelSumber Perolehan Data

Citra QuickbirdSurvey &

Pengukuran TerestrialData Sekunder

1.Kepadatan bangunan

2.Pola bangunan

3.Jenis atap bangunan

4.Lokasi permukiman terhadap jalan

5.Lokasi permukiman terhadap sumber air

6.Lebar jalan masuk

7.Kualitas jalan

8.Jenis bahan bangunan

9.Pelanggan listrik

10.Fasilitas hidran

11.Fasilitas APAB

12.Fasilitas APAR

13.Fasilitas tandon air

Sumber : Isni Atiqoh, (2012)G. Tahap Penelitian

1. Tahap Persiapan

a. Kajian pustaka mengenai literatur dan referensi, serta bahan bacaan yang berkaitan dengan penelitian.b. Mempersiapkan peta administrasi daerah penelitian dari peta administrasi yang telah ada.c. Mempersiapkan citra quickbird daerah Kecamatan Padang Barat kota Padang.d. Mengumpulkan data sekunder berupa data lokasi hidran yang berasal dari instansi terkait yang ada di kecamtan Padang Barat kota Padang.

2. Tahap Interpretasia. Menentukan batas-batas (delineasi) daerah penelitian dan batas administrasi dalam bentuk (tipe data) garis/polyline. Data ini telah ada yang berbentuk data shapefile.b. Mendelineasi jaringan jalan dan sungai, kemudian menentukan satuan pemetaan (blok bangunan) berdasarkan batas administrasi, jalan, dan sungai dengan melakukan union unsur-unsur tersebut. Satuan pemetaan (blok bangunan permukiman) diperoleh dengan melakukan konversi (feature to polygon) hasil union yang berasal dari data bangunan bertipe garis/polyline.c. Interpretasi variabel-variabel parameter kerentanan kebakaran dapat diperoleh dari citra quickbird antara lain, kepadatan bangunan, pola bangunan, jenis atap bangunan, lokasi permukiman terhadap jalan, lokasi permukiman terhadap sumber air, lebar jalan masuk, kualitas jalan. Interpretasi dilakukan dengan skala yang telah di tentukan.

d. Melakukan overlay semua variabel parameter kerentanan kebakaran untuk memperoleh peta zonasi kerentanan kebakaran permukiman.3. Tahap Kerja Lapangan (Survei & Pengukuran Terestrial)Pada tahap ini yang dilakukan adalah proses pencocokkan dan pemeriksaan hasil interpretasi citra quickbird dengan kondisi yang (real) sesungguhnya di lapangan. Kerja lapangan ini juga dilakukan untuk memperoleh data kulaitas bahan bangunan, aktifitas masyarakat yang mempengaruhi peristiwa kebakaran yang sifatnya internal, dan pelanggan listrik.

4. Tahap Analisis Data

Tahapan untuk memperoleh penilaian dari parameter kerentanan kebakaran permukiman, yang akan lebih dalam dibahas pada bagian metode analisis.

H. Metode AnalisisMetode yang digunakan yaitu interpretasi citra penginderaan jauh. Teknik interpretasi dilakukan secara visual pada citra quickbird, dimana mengenali objek berdasarkan unsur-unsur interpretasi. Untuk pengolahan dan analisis data menggunakan sistem informasi geografis (SIG) dengan cara pengharkatan (skoring), pembobotan, dan overlay.Untuk menentukan tingkat kerentanan kebakaran berdasarkan potensi kebakaran permukiman dan fasilitas pemadam kebakaran dilakukan melalui pendekatan kuantitatif dengan pengharkatan berjenjang tertimbang, yaitu memberikan harkat (skor) pada setiap parameter dan memberikan bobot penimbang pada masing-masing parameter yang besarnya sesuai dengan pengaruhnya terhadap tingkat kerentanan kebakaran permukiman. Untuk memadukan antara potensi kebakaran dan fasilitas pemadam kebakaran dilakukan dengan matriks dua dimensi. Nilai harkat dan bobot setiap parameter yang memengaruhi kerentanan kebakaran yang dapat dilihat pada tabel berikut ini.Tabel 7. Nilai Harkat dan Bobot Parameter Kerentanan Kebakaran PermukimanNo.Parameter Kerentanan KebakaranKelasHarkatBobot

1. Kepadatan Bangunan Rumah Mukim (Persentase Blok Permukiman Berdasarkan Kepadatan bangunan Rata-rata)Jarang< 40%13

Agak padat40%-75%2

Padat>75%3

2.Pola Bangunan Rumah Mukim (Persentase Blok Permukiman yang menghadap ke Jalan Utama)Teratur>75%12

Agak Teratur40%-75%2

Tidak Teratur< 40%3

3.Jenis Atap Bangunan Rumah Mukim (Persentase Blok Permukiman Berdasarkan Jenis Atap Genteng dan Beton)Baik>75%12

Sedang40%-75%2

Buruk< 40%3

4. Lokasi Permukiman dari Jalan Utama (Persentase Blok Permukiman dari Jalan Utama)Dekat>75% berjarak 100 m13

Agak Jauh40%-75% berjarak 100 m dan >75% berjarak 100 m - 200 m2

Jauh< 40% berjarak 100 m dan 75% berjarak kurang dari 500 m13

Sedang40%-75% berjarak kurang dari 500 m dan >75% berjarak antara 500 m - 2.000 m2

Jauh< 40% berjarak kurang dari 500 m dan 75% lebar jalan masuknya lebih dari 6 m13

Agak Lebar40%-75% lebar jalan masuknya lebih dari 6 m dan >75% lebar jalan masuknya antara 3 m - 6 m2

Sempit< 40% Lebar jalan masuknya lebih dari 6 m dan 75%12

Sedang40%-75%2

Buruk< 40%3

8. Jenis Bahan Bangunan (Persentase Blok Permukiman terhadap Kualitas Bahan Bangunan Beton, Bata, Batako)Tidak Mudah Terbakar>75%13

Agak Mudah Terbakar40%-75%2

Mudah Terbakar< 40%3

9. Pelanggan Listrik (Persentase Blok Permukiman yang Berlangganan Listrik ke PLN)Baik>50%13

Sedang25%-50%2

Buruk75% berjarak antara 500 m - 1.000 m2

Buruk< 40% berjarak kurang dari 500 m dan 50%11

Agak Lengkap1%-50%2

Tidak Lengkap50%11

Agak Lengkap1%-50%2

Tidak Lengkap75% berjarak antara 500 m - 2.000 m2

Jauh< 40% berjarak kurang dari 500 m dan